Emansipasi Wanita Menurut Qasim Amin H. Zikwan Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Emansipasi wanita merupakan suatu gerakan sosial dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas diri perempuan menuju kehidupan yang lebih layak dan menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Qasim Amin merupakan salah seorang tokoh Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap masalah perempuan, dalam hal ini emansipasi. Qasim Amin berupaya menyelaraskan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, bahwa Islam selama ini sering dipahami secara keliru oleh pemeluknya terutama masalah perempuan. Kata Kunci: emansipasi wanita, Qasim Amin.
A. Pendahuluan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama pada awal abad ke19, yang di dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Salah satu gerakan pembaharuan yang mendapat perhatian besar waktu itu ialah emansipasi wanita. Timbulnya pemikiran ke arah itu disebabkan persepsi masyarakat Mesir terhadap wanita waktu itu sudah demikian merosot. Mereka menganggap wanita itu adalah alat untuk memuaskan nafsu lelaki semata dan wanita harus tinggal di rumah. Akibat dari persepsi demikian, mereka tidak diberi kesempatan Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
552 H. ZIKWAN
memasuki lembaga pendidikan serta tidak berhak ikut campur dalam berbagai kegiatan selain dari mengurus rumah tangga semata. Sebagaimana diketahui, Rafa’at al-Tahtawi adalah pemikir Islam pertama yang mencetuskan ide tentang emansipasi wanita. Akan tetapi pemikir yang mempunyai perhatian besar untuk membicarakan hal itu secara mendasar adalah Qasim Amin (1863-1908). Beliau menganalisis kehidupan sosial, terutama mengenai hak-hak wanita di Mesir dalam berbagai aspek. Ternyata wanita dalam pandangan Qasim Amin memang jauh tertinggal, diikat dengan tradisi-tradisi yang tertutup, hingga tidak bisa mengenal kemajuan. Dalam hal ini Qasim Amin mengadakan perubahan dengan memberikan hak wanita itu yang relatif sama dengan pria. Qasim Amin melihat hal-hal yang mendorong cepatnya proses pembangunan di Barat terletak pada keikutsertaan kaum wanita. Di Barat, wanita memeroleh pendidikan yang layak sebagaimana kaum pria, sedangkan wanita Mesir yang jumlahnya setengah dari warga negara tidak mendapat pendidikan dan tidak boleh ikut serta bersama kaum pria dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Ide-ide pembaharuan itu dia terangkan dalam bentuk sebuah buku yang berjudul Tahrir al-Mar’ah yang mula-mula terbit pada 1899. Kemudian untuk memperkuat dan menyanggah serangan yang begitu gencar terhadap ide-idenya ini, dia menyusun lagi sebuah buku yang berjudul al-Mar’at al-Jadidah. Buku ini terbit pada 1906. Isinya bersifat mempertahankan masalah emansipasi wanita dengan lebih kuat lagi.1 Dengan demikian nama Qasim Amin semakin lebih melonjak ke atas dan tercatat sebagai pencetus pembaharuan dengan lima aspek yang menjadi perhatian dalam bidang kewanitaan. Kelima aspek ini adalah pendidikan wanita, hijab, perkawinan, poligami, dan perceraian. Makalah ini akan membicarakan siapa Qasim Amin, ide-ide pembaharuan yang dibawanya, dan bagaimana reaksi terhadap idenya.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 553
B. Riwayat Hidup Qasim Amin Qasim Amin dilahirkan di Iskandariyah pada Desember 1863. Ayahnya bernama Muhammad Bik Amin, seorang gubernur di kota kelahirannya. Sedangkan ibunya seorang wanita Mesir. Tetapi sebelum Bik Amin kawin dengan ibu Qasim Amin ini, dia sudah kawin lebih dahulu dengan wanita Turki.2 Jadi ibu Qasim Amin adalah istri kedua dari ayahnya. Qasim Amin memeroleh pendidikan dasar di sekolah Ra’su alTin di pusat kota Iskandariyah. Kemudian ketika keluarganya pindah ke Kairo, ia melanjutkan pendidikan menengah di Madrasah Tajhiziyah. Dia masuk sekolah hukum dan berhasil memeroleh gelar lisance pada 1881 dalam usia 18 tahun.3 Qasim Amin dikenal anak yang cerdas dan punya otak yang cemerlang. Hal ini terbukti dengan studinya yang selalu cepat. Memerhatikan kecerdasan yang dimiliki Qasim Amin, ia dikirim oleh pemerintah untuk melanjutkan studi di Universitas Montpellier Prancis, mengambil bidang studi hukum dan lulus pada 1885.4 Melihat latar belakang pendidikan Qasim Amin di atas, maka dia termasuk ahli hukum. Sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, maka sekembalinya dari Prancis, Qasim Amin bekerja sebagai jaksa dan penasihat hukum di Pengadilan Negeri Mesir pada 1892.5 C. C. Adams mengatakan, Qasim Amin tidak saja ahli hukum, tetapi juga giat mempelajari karya-karya tulis dalam berbagai disiplin seperti etika, sosiologi, psikologi, dan beberapa cabang ilmu pengetahuan lainnya.6 Selama berada di Prancis, Qasim Amin berjumpa dengan tokohtokoh pembaharuan Islam lainnya seperti Jalaluddin al-Afghani, Sa’ad Zaghlul Pasya, Muhammad Abduh, dan lain-lain.7 Qasim Amin dapat bertukar pikiran dengan mereka dalam membela tanah air dari tekanan penjajah dan membangun bangsanya dari kebodohan dan keterbelakangan.8 Tokoh-tokoh pembaharuan tersebut walaupun berbeda corak pembaharuan yang dibawa, sama dalam cita-cita, yaitu mengupayakan agar umat Islam Mesir maju dan berwibawa. Ide-ide Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
554 H. ZIKWAN
itu disalurkan melalui majalah al-Urwah al-Wusqa yang dipimpin oleh Jalaluddin al-Afghani di Paris. Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh Qasim Amin selama belajar di Paris tampaknya memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan pemikirannya. Ia melihat sistem pengajaran dan lingkungan hidup di Paris serbamodern. Disaksikannya setiap warga negara baik pria maupun wanita memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk ikut ambil bagian dalam berbagai lapangan kehidupan. Sementara wanita bangsanya terbelenggu dalam kebodohan dan keterbelakangan. Hal-hal seperti inilah agaknya turut memotivasi dirinya untuk memperbaiki nasib kaum wanita lewat ideide pembaharuannya. Untuk tujuan tersebut, dengan penuh keberanian ia melontarkan ide-ide pembaharuan serta mengkritik kebiasaan-kebiasaan yang dianut masyarakat Mesir, yang dalam peniaiannya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi sebelum ide-idenya itu menjadi kenyataan, ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa dalam usia relatif muda, yakni ketika berumur 45 tahun, tepatnya pada 1908.9
C. Ide-ide Pemaharuan Qasim Amin Ide-ide pembaharuan Qasim Amin untuk mengangkat martabat kaum wanita mencakup masalah pendidikan wanita, hijab, perkawinan, poligami, dan perceraian. Pendidikan Wanita Wanita dalam pandangan Qasim Amin sama dengan pria. Fungsi anggota tubuh, perasaan, daya pikir serta hakikat kemanusiaannya tidak berbada. Selanjutnya dikatakan, meskipun terjadi pria mengungguli wanita dalam aspek akal dan kekuatan jasmani, itu karena mereka banyak mempunyai kesempatan untuk berbuat dan melatih pikiran dalam waktu yang luas. Sementara wanita dibatasi menggunakan kedua kekuatan potensi itu dan dipaksa untuk menekuni satu keadaan yang sulit dan tidak diberikan kondisi yang Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 555
memadai. 10 Kata Qasim Amin lagi, masyarakat Mesir masih berkeyakinan pendidikan bagi wanita tidak penting. Bahkan ada yang mempertanyakan apakah mengajar wanita menulis dan membaca dibolehkan dalam syariat Islam.11 Memang wanita dalam pandangan umum masyarakat Mesir waktu itu diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang lemah. Kekuatan akal dan pemahamannya lebih rendah dari pria. Oleh karena itu wanita tidak diberi kesempatan mendapat pendidikan, kecuali pendidikan yang menyangkut dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.12 Selanjutnya Harun Nasution mengatakan, wanita merupakan setengah dari penduduk Mesir yang telah membuat umat Islam menjadi mundur, karena mereka tidak pernah memeroleh pendidikan sekolah. Pendidikan wanita perlu bukan hanya agar dapat mengatur rumah tangga dengan baik, tetapi lebih dari itu untuk dapat memberikan didikan dasar bagi anak-anak.13 Oleh karena itu, wanita harus diberi kesempatan belajar seperti kaum pria, sekurangkurangnya harus mendapat pendidikan dasar yang sama agar kaum wanita juga pandai membaca dan menulis serta dibekali pula dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya seperti etika agama, sejarah bangsa-bangsa, ilmu falak, ilmu alam, dan ilmu bumi.14 Wanita yang telah dibekali dengan sejumlah pengetahuan serta memiliki landasan akidah yang kuat akan mampu melepaskan diri dari belenggu khurafat dan kebatilan. Wanita yang demikian dapat menerima pendapat yang berdasarkan dalil yang kuat.15 Demikianlah gambaran umum pendidikan yang diinginkan oleh Qasim Amin untuk kaum wanita Mesir. Tanpa pendidikan yang baik, menurutnya, wanita Mesir tidak mungkin menjalankan tugasnya dengan baik, baik tugas-tugas kemasyarakatan maupun tugas-tugas dalam rumah tangga. 16 Ibu rumah tangga yang tidak mendapat pendidikan yang memadai akan gagal dalam mendidik anak-anak dan tidak dapat menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
556 H. ZIKWAN
Hijab Hijab adalah cara berpakaian bagi wanita dengan menutup seluruh tubuh disertai dengan cadar.17 Penutupan ini karena anggapan aurat wanita seluruh tubuh tidak terkecuali muka dan telapak tangan. Selain dari itu wanita harus dipisahkan dalam pergaulan, karena anggapan umum di Mesir waktu itu wanita adalah pembawa fitnah dan penggoda pria. Kata hijab dalam pembahasan ini tercakup di dalamnya menutup tubuh dengan pakaian dan mengurung diri dari masyarakat. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut “dipingit”. Dalam hal ini Qasim Amin bukan menolak sama sekali konsep hijab, sebagai salah satu tata kesopanan yang perlu dilestarikan. Menurut Qasim Amin, hijab yang berlaku di Mesir (pingitan perempuan) tidak sesuai dengan syariat Islam. Ia menilai hijab seperti itu telah melampaui batas, sehingga dapat menghambat pembinaan potensi umat manusia.18 Berdasarkan komparasi antara Barat dan Timur, khususnya Mesir, Qasim Amin menilai bahwa Barat telah melampaui batas kemanusiaan dalam hal membuka aurat, sementara di Timur (Mesir) terjadi sebaliknya. Kaum wanita Mesir pada dasarnya baru dipingit dan apabila keluar rumah mereka harus berpakaian dengan menutup seluruh tubuh tidak terkecuali muka dan telapak tangan, sehingga wanita merupakan barang simpanan yang tidak memeroleh kesempatan untuk mengembangkan akal pikiran dan perasaan yang dimilikinya secara fitrah.19 Keadaan sekarang sudah jauh berbeda dengan suasana yang terjadi 20 tahun silam. Perbedaan zaman tersebut menghendaki agar hijab (pingitan) yang dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Mesir sedikit demi sedikit akan hilang dengan sendirinya.20 Menurut Qasim Amin, hijab tidak perlu dipertahankan karena tidak ada nash yang mewajibkan hijab. Cara hijab yang berlaku di Mesir hanyalah sebuah tradisi yang lahir sebagai interaksi pergaulan antara bangsa yang kemudian dinilai baik dan diambil sebagai pakaian islami. Padahal, agama tidak menghendaki demikian. Hal itulah yang membuat Qasim Amin terpanggil untuk menilai kembali Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 557
tradisi tersebut.21 Dengan berpedoman kepada surat an-Nur ayat 30, ia mengatakan bahwa ayat tersebut membolehkan wanita menampakkan sebagian anggota tubuhnya dihadapan ajnabi, hanya saja Alquran tidak menyatakan secara jelas bagian-bagian yang boleh ditampakkan itu. Menurut beliau, ulama mazhab empat sepakat mengatakan bahwa bagian tubuh yang tidak diharuskan menutupnya adalah muka dan telapak tangan. Pendapat ini sesuai dengan Hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah: Nabi mengatakan kepada Asma binti Abi Bakr, ketika ia memakai pakaian tipis, “Wanita yang sudah dewasa tidak boleh menampakkan badannya kecuali ini dan ini.” Nabi menunjuk kepada muka dan dua telapak tangan.22
Selanjutnya Qasim Amin mengatakan, niqab dan burqu tidak termasuk ajaran Islam, bukan aspek ibadah dan bukan pula aspek kesopanan. Tetapi ia merupakan tradisi lama yang telah ada sejak sebelum Islam. Oleh karena itu tradisi ini tidak dikenal di beberapa negara Islam lainnya. Islam menyuruh umatnya menutup dada dengan khimar, bukan memakai burqu atau niqab.23 Pakaian yang menutup muka bagi wanita memisahkan diri dari pergaulan dan mengurung diri di rumah saja, dan itu melambangkan keterbelakangannya serta membuat wanita tidak dapat bergerak sesuai kewanitaannya. Gal itu bisa membawa rasa rendah diri wanita dalam masyarakat. Perkawinan Kemudian Qasim Amin lebih mengkhususkan perhatiannya dalam masalah perkawinan, karena lembaga inilah yang menyatukan dua jenis insan yang berbeda dan pergaulannya nanti melebihi dari bentuk pergaulan apa pun. Tidak ada hubungan lain yang memberikan kemungkinan pergaulan serapat perkawinan. Bahkan hanya melalui perkawinanlah bisa berubah yang sebelumnya haram menjadi halal, dosa menjadi pahala, dan maksiat menjadi ibadah. Menurut Qasim Amin, urusan pendidikan saja tidak akan ada Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
558 H. ZIKWAN
artinya bila tidak diberi perhatian yang kuat bagi perkawinan, yang menyangkut dengan sejumlah aturan hukum dan adat kebiasaan yang berlaku. Dalam hal ini Qasim Amin melihat dari cara memilih jodoh, di mana wanita diperlakukan sebagai barang atau benda mati, tidak boleh menentukan pilihan. Kebiasaan demikian tidak saja diterima oleh masyarakat awam, bahkan didukung oleh pendapat ulama fiqh umumnya. Kekeliruan ini semakin kentara sewaktu menganalisis definisi perkawinan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Sebagai contoh, dikemukakan bahwa nikah adalah aqd yamlik bihi al-rajul budh’a al-marat (sebuah transaksi yang membuat laki-laki dapat menikmati kehormatan wanita).24 Menurut Qasim Amin, definisi tersebut menggambarkan bahwa suatu perkawinan hanya terletak pada kewanitaannya secara biologis, tidak tergambar tujuan yang lebih bermakna yang ingin dicapai dalam suatu perkawinan. Padahal, tujuan perkawinan menurut Islam ialah ditegakkan atas dasar mawaddah wa-rahmah, hal itu sesuai dengan maksud surat ar-Rum ayat 21.25 Pembinaan kasih sayang yang dimaksud oleh ayat tersebut tidak akan terwujud apabila suami-istri tidak saling mencintai, hormatmenghormati, dan sayang-menyayangi. Itulah sebabnya, dalam memilih jodoh, menurut Qasim Amin, sepanjang tidak melanggar ketentuan agama, supaya mereka diberi kelonggaran terlebih dahulu, mencari kecocokan sebelum melaksanakan perkawinan. Jangan hendaknya wanita dipaksa menerima lamaran pria atau lamaran tersebut diterima oleh orangtuanya tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.26 Jadi dalam hal ini Qasim Amin ingin merombak kebiasaan Mesir dalam penetapan jodoh yang dimonopoli oleh satu pihak saja. Maka wanita mesti punya hak yang sama dalam menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Cara ini baru bisa diterima akal dan akan berakibat pula terjadinya rasa kasih sayang yang hakiki. Keluarga yang memulai perkawinan dengan rasa kasih sayang itu akan kelihatan seperti di sorga. Qasim Amin mengatakan hal itu sambil mengutip ucapan Umar, “Pemberian yang terbaik bagi seorang manusia selain Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 559
iman adalah wanita salehah.”27 Poligami Poligami ialah beristri lebih dari satu orang. Kebiasaan ini telah ada sebelum lahirnya Islam. Islam datang membawa peraturan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya praktik poligami. Meluasnya praktik poligami pada suatu bangsa, menurut Qasim Amin, dapat dipandang sebagai merosotnya harkat dan martabat wanita dalam pandangan bangsa tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa semakin tinggi martabat kaum wanita, semakin turun frekuensi praktik poligami. Namun poligami itu sendiri tidak pernah hapus sama sekali, agaknya problem ini semakin berkepanjangan.28 Poligami di samping tidak sesuai dengan perasaan wanita, juga tidak sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Alquran. Poligami merupakan penghinaan yang menyakitkan kaum wanita. Tidak ada seorang wanita pun yang merelakan suaminya bercumbu dengan wanita lain, sebagaimana seorang suami tidak merelakan orang lain mencintai istrinya. Poligami hanya sebagai ajang pertikaian dan sumber perpecahan di kalangan anak-anak yang dilahirkan.29 Walaupun ada ayat yang sepertinya membolehkan poligami, tetapi dikaitkan dengan berlaku adil. Jika seorang suami tidak bisa berlaku adil dalam menghadapi istri lebih dari satu, maka wajib baginya membatasi diri dengan beristri satu. Hal ini sesuai dengan maksud surat an-Nisa’ ayat 3. Kemudian dalam surat yang sama ayat 129, Allah menegaskan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil dalam berpoligami, kendatipun sangat ingin berlaku demikian.30 Hal ini jelas bahwa Islam menganut prinsip monogami, bukan poligami. Ditambahkannya bahwa jika ada orang yang berpandangan poligami itu haram, maka pandanga tersebut tidak jauh dari maksud kedua ayat di atas, jika saja sunnah Rasulullah tidak menunjukkan kebolehannya.31 Pandangan Qasim Amin tentang praktik poligami sebenarnya tidak terlepas kaitannya dengan ide menempatkan wanita pada posisi
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
560 H. ZIKWAN
yang mulia. Beliau dapat menerima pandangan hukum tentang kebolehan poligami dalam keadaan tertentu, seperti si istri mengidap penyakit yang membuat ia tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai istri atau ia mandul, tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, menurutnya, tidak terdapat dalam Islam hal yang membolehkan poligami. Dan ia mengatakan bahwa dalam setiap keadaan, monogami adalah lebih baik. Sakitnya istri bukan kehendak istri itu sendiri, dan dengan demikian dipandang tidak etis kalau hal itu dijadikan alasan berpoligami.32 Praktik poligami secara sosiologis dapat membawa rendahnya martabat wanita dalam masyarakat, dan secara psikologis tidak ada wanita yang siap menerima kehadiran wanita lain di samping suaminya. Perceraian Perceraian adalah memutuskan ikatan perkawinan. Islam membolehkan perceraian walaupun pelakunya sangat dimurkai. Hal ini mengisyaratkan bahwa perceraian harus dihindari sedapat mungkin, kecuali jalan damai tidak mungkin ditempuh lagi. Dalam masalah ini Qasim Amin mengkritik para fuqaha yang seolah-olah memberi jalan luas bagi terjadinya talaq, seperti dilihat bahwa pembahasan fiqh lebih menekankan pada teknis pelaksanaan sah-tidaknya talaq tanpa memerhatikan aspek sosiologis dan aspek keadilan.33 Oleh karena itu, sebagai ahli hukum Qasim Amin ingin meninjau kembali sistem perceraian yang tidak adil menurutnya itu. Talaq hanya dibenarkan dalam keadaan tertentu saja. Ini didasarkan kepada beberapa dalil, baik Alquran34 maupun Sunah.35 Selain itu, ia mengatakan bahwa talaq yang dijatuhkan baru dianggap sah apabila diucapkan di hadapan dua saksi. Ini berdasarkan Alquran surat Talaq: 2. Lebih lanjut dalam masalah ini Qasim Amin menyarankan kepada pemerintah sebagai berikut: Wanita harus diberi hak minta cerai dan setiap perceraian perlu dihadapkan kepada qadhi yang dihadiri oleh dua saksi. Sebelum qadhi memutuskan cerai, lebih
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 561
dahulu harus diusahakan agar perceraian tidak terjadi dengan memberi nasihat kepada suami-istri, kemudian diberi kesempatan berpikir selama satu minggu. Apabila yang bersangkutan tetap bertahan untuk bercerai, qadhi membentuk satu tim pendamai antara keluarga dari kedua belah pihak. Bila hal demikian juga gagal, maka suami dibolehkan menjatuhkan talaq dengan syarat di hadapan qadhi dan dua saksi serta harus ada bukti tertulis.36 Usul ini sangat baik ditetapkan untuk mencegah kesemena-menaan menjatuhkan talaq tanpa melihat akibat lebih jauh bagi keluarga dan anak-anak.
D. Reaksi Masyarakat Mesir terhadap Ide Qasim Amin Ide-ide pembaharuan Qasim Amin yang bertujuan merombak tradisitradisi yang menyangkut soal kehidupan wanita tidak sedikit mendapat kritik, tetapi tidak sedikit juga yang mendukungnya. Hal itu memang ia sadari bahwa setiap datang ide baru akan menimbulkan sikap pro-kontra di antara anggota masyarakat. Pihak yang menentang adalah golongan Muslim konservatif dan kaum nasionalis Mesir. Mereka menilai ide Qasim Amin sangat berbahaya dan dapat merusak sendi-sendi agama dan akan merusak citra wanita Muslim yang nantinya akan menimbulkan dekadensi moral. Mustafa Kamil mengatakan, menerapkan sistem pendidikan Barat untuk pendidikan wanita Mesir berbahaya. Setiap bangsa punya ciri khas tersendiri, dan Mesir tidak cocok mengikuti Barat. Hijab sebagai ciri khas pakaian wanita Mesir harus dipertahankan, materi pendidikan tidak boleh yang lain kecuali agama. Surat kabar al-Liwa’ sering memuat tulisan yang menolak ide-ide yang dipengaruhi oleh Barat.37 Kritik terhadap Qasim Amin nampaknya tidak terbatas pada masanya saja. Maryam Jameelah (Margarat Marcus), wanita berkebangsaan Amerika yang memeluk Islam pada 1961, mengatakan bahwa selama mengikuti pendidikan di Prancis, polemik-polemik missionaris Kristen meyakinkan Qasim Amin bahwa purdah, poligami, dan perceraian adalah penyebab kelemahan dan Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
562 H. ZIKWAN
kemunduran umat Islam. Pendidikan Prancis yang dialaminya telah menanamkan keyakinan dalam dirinya akan keunggulan budaya Barat, merasa malu dan rendah diri melihat budayanya sendiri.38 Sungguhpun gerakan emansipasi ini besar tantangannya, di kemudian hari sangat berpengaruh bagi bangsa Mesir. Pengaruh tersebut antara lain adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat Mesir tentang pendidikan wanita, mulai ada kelonggaran dalam berhijab serta adanya perhatian pemerintah dan pejabat negara terhadap perbaikan undang-undang yang berlaku di peradilan agama. Akhirnya ide Qasim Amin ini dinilai sangat positif untuk mengangkat derajat wanita dari kebodohan dan keterbelakangan dan memeroleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
E. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat Qasim Amin bahwa pendidikan harus diberi sama antara wanita dan pria, karena Islam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu tanpa membedakan jenis kelamin. Qasim Amin mengatakan, akibat tidak ada pendidikan, seseorang tidak tahu hak dan kewajiban bahkan tetap dalam kebodohan dan keterbelakangan. 2. Untuk mengangkat derajat kaum wanita, Qasim Amin mencanangkan beberapa ide pembaharuan yang meliputi pendidikan wanita; hijab tidak perlu dipertahankan, karena tidak ada nash yang mewajibkan; hak wanita dalam perkawinan; poligami tidak dibolehkan, karena tidak sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Alquran; perceraian juga tidak dibolehkan, dan ia mengusulkan aturan bercerai sesuai dengan nash Alquran. 3. Ide pembaharuan Qasim Amin pada mulanya mendapat tantangan dan kecaman dari berbagai pihak, tetapi kemudian membawa pengaruh yang besar dalam masyarakat Mesir khususnya dan masyarakat Islam umumnya. Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 563
Catatan: 1. Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 23. Bandingkan dengan Harun Nasution, Pembaharuan dalam Isslam Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. I, 1975, hal. 80. 2. Qasim Amin, Op.cit., hal. 11. 3. Ibid., hal. 10-11. 4. Muhammad Syafiq Gharbar, al-Mausu’at al-Arabiyat al-Muyassarat, Dar al-Qalam, Kairo, 1965, hal. 361. 5. Qasim Amin, Op.cit., hal. 22. 6. C.C.Adams, Islam and Modernisme in Egyft, Bussel dan Pussel, New York, 1933, hal. 231. 7. Qasim Amin, Op.cit., hal. 12. 8. Loc.cit. 9. Ibid., hal. 24. 10. Ibid., hal. 41. 11. Loc.cit. 12. Ajlal Khalifah, al-Harakat al-Nisaiyyat al-Hadisat. 13. Harun Nasution, Op.cit., hal. 79. 14. Qasim Amin, Op.cit., hal. 42. 15. Loc.cit. 16. Ibid., hal. 43. 17. Abu al-‘Ala al-Maududi, al-Hijab, Dar al-Fikr, Mesir, tt, hal. 41. 18. Qasim Amin, Op.cit., hal. 77. 19. Ibid., hal. 78. 20.Ibid., hal. 89. 21. Ibid., hal. 80. 22. Ibid., hal. 83. 23. Ibid., hal. 89. 24. Ibid., hal. 139. 25. Ibid., hal. 140. 26. Loc.cit. 27. Ibid., hal. 146. 28.Ibid., hal. 148. 29. Ibid., hal. 152. 30.Ibid., hal. 153-154. 31. Loc.cit. 32. Loc.cit. 33. Ibid., hal. 161. 34. Surat an-Nisa’: 19, 34, 35, 128. 35. Qasim Amin, Op.cit., hal. 159-161. 36. Ibid., hal. 171-172. 37. Muhammad Athiah Khumais, al-Harakat al-Nisayyat wa-Shilatuha bi Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
564 H. ZIKWAN al-Isti’mar, Dar al-Anshar al-Qahirah, 1979, hal. 75. 38.Maryam Jameelah, Islam dan Modrnisme, terj. A. Jainuri, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hal. 187.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
EMANSIPASI WANITA MENURUT QASIM AMIN 565
DAFTAR PUSTAKA Adams, C.C., Islam and Modernisme in Egypt, Bussel dan Pussel, New York, 1933. al-Maududi, Abu al-‘Ala, al-Hibab, Dar al-Fikr, Mesir, tt. Amin, Qasim, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970. Gharbar, Muhammad Syafiq, al-Mausu’at al-Arabiyat alMuyassarat, Dar al-Qalam, Kairo, 1965. Jameelah, Maryam, Islam dan Modrnisme, terj. A. Jainuri, Usaha Nasional Surabaya, 1982. Khalifah, Ajlal, al-Harakat al-Nisaiyyat al-Hadisat. Khumais, Muhammad Athiah, al-Harakat al-Nisayyat wa-Shilatuha bi al-Isti’mar, Dar al-Anshar al-Qahirah, 1979. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Isslam Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. I, 1975.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011