EKSTRAKSI XANTHONE DARI KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) DAN APLIKASINYA DALAM BENTUK SIRUP
Oleh NIDIA ERLINA PEBRIYANTHI F34061959
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
EKSTRAKSI XANTHONE DARI KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) DAN APLIKASINYA DALAM BENTUK SIRUP
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : NIDIA ERLINA PEBRIYANTHI F34061959
2010 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi :
EKSTRAKSI XANTHONE DARI KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) DAN APLIKASINYA DALAM BENTUK SIRUP
Nama
:
NIDIA ERLINA PEBRIYANTHI
NRP
:
F34061959
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Indah Yuliasih, S.TP. M.Si NIP. 19700718 1995120 2001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP: 19621009 198903 2001
Tanggal lulus: 26 Agustus 2010
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Nidia Erlina Pebriyanthi
NRP
: F34061959
Departemen
: Teknologi Industri Pertanian
Fakultas
: Teknologi Pertanian
Perguruan Tinggi
: Institut Pertanian Bogor
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul ” Ekstraksi Xanthone Dari kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dan Aplikasinya Dalam Bentuk Sirup” merupakan karya tulis saya pribadi dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan
Bogor, September 2010
Nidia Erlina Pebriyanthi F34061959
Nidia Erlina Pebriyanthi. F34061959. Ekstraksi Xanthone Dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dan Aplikasinya Dalam Bentuk Sirup. Dibawah bimbingan Indah Yuliasih. 2010. RINGKASAN Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan tanaman tahunan yang memiliki buah dengan rasa manis, asam berpadu sedikit sepat. Bagian buah manggis secara umum terdiri atas daging buah dan kulit buah (perikarp). Kulit buah manggis diketahui memiliki jumlah rendemen yang lebih besar daripada daging buahnya yaitu 66.67% dan tersusun atas senyawa polifenol yang cukup banyak, diantaranya adalah antosianin, tannin, xanthone, dan senyawa asam fenolat. Xanthone dan turunannya merupakan salah satu senyawa antioksidan yang efektif dalam mencegah terbentuknya penyakit kanker, antibakteri, dan sifat fungsional lain. Tingginya persentase bagian kulit yang terbuang serta manfaat dari kulit manggis yang besar kurang diimbangi dengan upaya pemanfaatan. Oleh karena itu, sebagai suatu alternatif dapat dilakukan ekstraksi kulit manggis dan aplikasinya dalam bentuk produk sirup. Kendala yang dihadapi adalah pemilihan jenis pelarut yang sesuai pada proses ekstraksi kulit manggis agar dapat diperoleh kandungan xanthone yang tinggi. Selain itu, aplikasi ekstrak kulit manggis menjadi produk sirup memerlukan suatu bahan tambahan lain berupa pewarna, pemanis, dan flavor dengan formulasi yang tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan perbandingan ethanol-air sebagai pelarut dalam proses ekstraksi kulit manggis dan mengaplikasikan esktrak kulit manggis ke dalam bentuk produk sirup. Penelitian terdiri atas karakterisasi kulit manggis, ekstraksi xanthone kulit manggis, dan aplikasi ekstrak kulit manggis dalam bentuk sirup. Karakterisasi bahan baku meliputi analisa proksimat, dan analisa senyawa aktif yaitu kadar xanthone, kadar antosianin, dan kadar tanin. Selanjutnya ekstraksi kulit manggis dimana terdiri atas proses ekstraksi, dan karakterisasi ekstrak kulit manggis. Proses ekstraksi xanthone kulit manggis dilakukan dengan menggunakan campuran pelarut ethanol dan air yang terdiri atas 3 perlakuan yaitu 1:2, 1:3, dan 1:4. Ekstrak kulit manggis yang dihasilkan kemudian diuji berupa kandungan senyawa aktifnya meliputi kadar xanthone, kadar antosianin, kadar serat, dan kadar tanin. Tahapan akhir yang dilakukan adalah aplikasi ekstrak kulit manggis ke dalam produk sirup yang terdiri atas proses pembuatan sirup xanthone, uji organoleptik, dan karakterisasi produk akhir. Karakterisasi yang dilakukan dari sirup xanthone terpilih yaitu analisa proksimat, analisa kadar xanthone, total gula, kadar alkohol, kadar vitamin C, pH, dan total mikroba. Berdasarkan hasil analisa kimia dari ekstrak kulit manggis diketahui bahwa kadar tanin akan semakin menurun dengan penggunaan ethanol yang lebih besar yaitu 0.94% (1:2), 1.18% (1:3), dan 1.42% (1:4), sedangkan kadar antosianin akan semakin meningkat dengan penggunaan ethanol yang lebih besar yaitu 5.63 mg/g contoh (1:2), 4.49 mg/g contoh (1:3), dan 3.99 mg/g contoh (1:4). Pada pengujian kadar serat diperoleh hasil yaitu 0.19% (1:2), 0.16% (1:3), dan 0.12% (1:4) yang berarti nilai kadar serat akan semakin tinggi dengan penggunaan ethanol yang lebih besar, dan hal ini terlihat pula pada hasil uji kadar xanthone yaitu 99.40 mg/100 ml contoh (1:2), 97.70 mg/100ml contoh (1:3), dan 56.50 mg/100 ml contoh (1:4).
Proses pembuatan sirup xanthone terdiri atas pencampuran bahan yaitu ekstrak kulit manggis (50%), madu (40%), dan ekstrak rosela (10%) yang besarnya persentase penggunaan bahan didapat dari hasil trial and error. Campuran kemudian mengalami pemasakan, pendinginan, penambahan flavor blackcurrant (1% dari total campuran) dan pembotolan. Sirup yang dihasilkan selanjutnya dilakukan uji hedonik dengan kriteria rasa, aroma, dan warna. Berdasarkan hasil analisa varian diketahui bahwa untuk kriteria rasa dan aroma tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan, sedangkan dari segi kriteria warna terdapat perbedaan yang nyata dengan hasil terbaik adalah sirup yang menggunakan ekstrak kulit manggis dengan perbandingan ethanol dan air 1:3. Karakteristik akhir dari sirup xanthone terpilih diketahui memiliki kadar xanthone sebesar 46.49 mg/100 ml contoh, kadar vitamin C sebesar 14.08%, total gula 60.41%, dan kadar alkohol sebesar 0.85%.
Nidia Erlina Pebriyanthi. F34061959. Xanthone Extraction from Mangosteen Pericarp (Garcinia mangostana L.) and Its Applications on Syrup. Supervised by Indah Yuliasih. 2010. SUMMARY Mangosteen (Garcinia mangostana L.) is a fruit with sweet and slightly acidic flavor. It consists of endocarp and pericarp. According to (Siriphanick dan Luckanatinvong, 1997), the ratio of the fruit consumed was lower than the discarded parts. The discarded part is almost 66.67% of the total fruits. Mangosteen pericarp is composed of a lot of polyphenol compounds, such as anthocyanin, tannin, xanthone and phenolic acid compounds. Xanthone and its derivate is one of the effective antioxidant to prevent cancer, antibacterial, and other functional. The high percentage of wasted skin from mangosteen has less balanced with an effort to utilize. Therefore, as an alternative xanthone extraction is used to syrup-products. In order to get high concentration of xanthone, the selection solvent extraction is required. The application extracts xanthone into syrup products require an additional material such as dyes, sweeteners and flavor with the appropriate formulation as well. The purpose of this research are to get a proper ratio comparison of ethanolwater as a solvent in the xanthone extraction process and the application of xanthone extract into product. The researches is describing mangosteen characterization, mangosteen pericarp extraction, and application mangosteen pericarp extract in syrup. Characterization of raw materials include proximate analysis and analysis of xanthone, anthocyanin, and tannin content. The mangosteen pericap extraction process consist of two parts. First, the extraction process and the second one is the analysis of characterization extract. Mangosteen pericarp extraction is mixing ethanol and water with three formulations, there are 1:2, 1:3, and 1:4. The extract will be analyzed find out the active compounds include xanthone, anthocyanin, fiber, and tannin. The last stage is the application manggosteen pericarp extract into the syrup. The experiments are consisting of syrup-making process, organoleptic test, and analysis final product’s characterization (proximate analysis, analysis xanthone content, sugar content, alcohol content, vitamin C content, pH, and total microorganisms). Based on experiment, the mangosteen pericarp extract for formulation used are 0.94% (1:2), 1:18% (1:3), and 1:42% (1:4) more while the analysis result of anthocyanin concentrations are 5.63 mg / g sample (1:2), 4:49 mg / g sample (1:3), and 3.99 mg / g sample (1:4). The analysis results for fiber concentrations are 0.19% (1:2), 0:16% (1:3), and 0.12% (1:4) and the results for xanthone concentrations are 99.40 mg/100 ml of sample (1:2), 97.70 mg/100ml example (1:3), and 56.50 mg/100 ml of sample (1:4). In summary, the anthocyanin, fiber, and xanthone concentrations are increase with the usage of more ethanol (bigger ratio of ethanol) while tannin concentration is decrease with the usage of more ethanol. Xanthone syrup-making process consists of mixing the ingredients mangosteen pericarp extract (50%), honey (40%), extracts of roselle (10%), and black currant flavor (1% of the total mixture). Hedonic test is performed on the syrup produced. The criteria analyzed are flavor and color of product. Based on the test, there are no significant flavor differences between sample ( 1:2, 1:3, 1:4) while for color, the best product is syrup produced from mangosteen pericarp extract which
has ratio 1:3 (ethanol : water). The syrup characterization analysis result shows the best syrup has xanthone extract 46.49 mg/100 ml of xanthone, 14.08% vitamin C, 60.41% total sugar, and 0.85% alcohol.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 2 Februari 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang merupakan anak dari pasangan E. Saefulkin dan Tetty Siti Juwati. Pada tahun 1992 penulis memulai pendidikan di TK Putra VII dan melanjutkan pendidikan di SDN Rawa Panjang 1 Bekasi dari tahun 1994 sampai tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bekasi dan lulus tahun 2003. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) dan pernah menjadi asisten praktikum Bioproses. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Nippon Indosari Corpindo dengan topik Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi dan Pengemasan Roti Tawar Gandum. Penulis mengakhiri masa pendidikan di IPB dengan melaksanakan penelitian yang berjudul “Ekstraksi Xanthone Dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dan Aplikasinya Dalam Bentuk Sirup” dibawah bimbingan Dr. Indah Yuliasih, S. TP. M. Si.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah S.W.T. yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Ekstraksi Xanthone Dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dan Aplikasinya Dalam Bentuk Sirup” tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan bentuk pertanggungjawaban penyusun sebagai mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah melaksanakan penelitian dan sebagai salah salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan. Penyusun menyampaikan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada: 1. Ibu Dr. Indah Yuliasih, S. TP. M.Si. selaku dosen pembimbing. 2. Bpk Ir. Sugiarto, M. Si. dan Bpk Muhammad Arif Darmawan, S.TP. MT selaku dosen penguji. 3. Papa, Mama, Ka Illa, Ka Anthony, dan keponakanku tersayang atas segala doa dan dukungan yang diberikan selama ini. 4. Ibu Ega, Ibu Sri, Bpk Gun, Bpk Sugiardi, Ibu Rini, Bpk Edi, dan Bpk Diky atas bantuan selama di Lab. 5. Ita, Jonbie, Yos, Ciz, Irma, dan Tya atas suka duka yang kita lewati selama satu bimbingan. 6. Syelly, Eka, Achie, Uul, dan Wynda yang telah memberikan warna selama ada di TIN. 7. Ka Ipe, Siska, Yulia, Dadin, dan semua pihak yang telah bersedia memberikan dan meminjamkan alat selama penelitian. 8. Teman-teman di Lab Wastu, LDIT, BIOIN, TPDT, dan TEKIM atas kebersamaan selama melakukan penelitian. 9. Mba Ivan, Puput, Zuli, Ka Arin, Tuti, Ka Novi, Ka Nunung, dan Raysa yang telah memeberikan kenangan-kenangan indah selama ada di Pondok Ami. 10. Tika, Che-Che, Ruri, Hilda, Mala, Herna, dan semua penghuni wisma Intan yang telah membantu menjalani kehidupan selama di tingkat awal. 11. Seluruh teman-teman TIN 43 yang sama-sama berjuang selama ini. 12. Seluruh pihak yang telah berjasa dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan untuk perbaikan diri di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang membacanya.
Bogor, September 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR....................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL..........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
vii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang......................................................................................
1
B. Tujuan...................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Manggis (Garcinia mangostana L.)...................................................
3
B. Xanthone.............................................................................................
4
C. Ekstraksi..............................................................................................
5
D. Sirup...................................................................................................
10
III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat....................................................................................
12
B. Metodologi Penelitian..........................................................................
12
1. Karakterisasi Kulit Manggis...........................................................
12
2. Ekstraksi Xanthone Kulit Manggis.................................................
12
3. Aplikasi Xanthone Kulit Manggis Dalam Bentuk Sirup................
14
4. Rancangan Percobaan......................................................................
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Kulit Manggis.................................................................
18
B. Ekstraksi Kulit Manggis.......................................................................
20
1. Proses Ekstraksi...............................................................................
20
2. Karakteristik Ekstrak Kulit Manggis...............................................
23
C. Aplikasi Ekstrak Kulit Manggis............................................................
30
1. Pembuatan Produk Sirup Xanthone.................................................
30
2. Uji Organoleptik..............................................................................
35
3. Karakteristik Sirup Xanthone..........................................................
40
Halaman VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan..........................................................................................
42
B. Saran....................................................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
43
LAMPIRAN...................................................................................................
47
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi kulit buah manggis.........................................................
4
Tabel 2. Sifat fisik ethanol..............................................................................
9
Tabel 3. Syarat mutu sirup..............................................................................
11
Tabel 4. Formulasi sirup xanthone..................................................................
16
Tabel 5. Komposisi kimia kulit manggis.........................................................
18
Tabel 6. Karakteristik sirup xanthone.............................................................
40
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Diagram alir proses ekstraksi xanthone dari kulit manggis.............. 13 Gambar 2. Diagram alir proses ekstraksi rosela................................................. 15 Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan sirup xanthone................................. 16 Gambar 4. Hasil ekstraksi kulit manggis............................................................. 23 Gambar 5. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar xanthone........... 24 Gambar 6. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar antosianin.......... 26 Gambar 7. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar serat................
28
Gambar 8. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar tanin.................
29
Gambar 9. Sirup xanthone.................................................................................
34
Gambar 10. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan aroma sirup.....................................................................................
36
Gambar 11. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan rasa sirup.........................................................................................
37
Gambar 12. Hubungan perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan warna sirup......................................................................................
38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Prosedur analisis........................................................................
48
Lampiran 2.
Rekapitulasi hasil karakterisasi ekstrak xanthone.....................
55
Lampiran 3.
Tabel analisa keragaman kadar xanthone..................................
56
Lampiran 4.
Tabel analisa keragaman kadar antosianin................................
57
Lampiran 5.
Tabel analisa keragaman kadar serat........................................
58
Lampiran 6.
Tabel analisa keragaman kadar tanin.......................................
59
Lampiran 7.
Rekapitulasi nilai hedonik aroma sirup xanthone.....................
60
Lampiran 8.
Tabel analisa keragaman aroma sirup xanthone......................... 61
Lampiran 9.
Rekapitulasi nilai hedonik rasa sirup xanthone........................
62
Lampiran 10. Tabel analisa keragaman rasa sirup xanthone...........................
63
Lampiran 11. Rekapitulasi nilai hedonik warna sirup xanthone....................... 64 Lampiran 12 Tabel analisa keragaman warna sirup xanthone.......................
65
Lampiran 13. Grafik kurva standar fenol........................................................
66
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan tanaman tahunan yang memiliki buah dengan rasa manis, asam, dan berpadu sedikit sepat. Bagian buah manggis secara umum terdiri atas daging buah dan kulit buah. Daging buah adalah bagian yang sering dimanfaatkan baik dalam keadaan segar yaitu dikonsumsi langsung ataupun dalam bentuk olahan seperti sirup, jus, buah kalengan dan sebagainya. Sedangkan kulit buah adalah bagian yang berfungsi sebagai pembungkus daging buah. Kulit buah manggis diketahui memiliki jumlah rendemen yang lebih besar daripada daging buahnya yaitu 66.67% (Siriphanick dan Luckanatinvong, 1997). Selain memiliki jumlah rendemen yang lebih besar menurut Obolskiy et al. (2009), beberapa penelitian menunjukkan bahwa kulit buah manggis memiliki banyak manfaat yang berguna bagi kesehatan manusia antara lain antioksidan, antikanker, maupun sebagai antimikroba. Kulit manggis memiliki senyawa polifenol yang cukup banyak, diantaranya adalah antosianin, xanthone, tanin, dan senyawa fenolat lain. Kandungan xanthone dan turunannya merupakan salah satu senyawa antioksidan yang efektif dalam mencegah terbentuknya penyakit kanker, antibakteri, dan sifat fungsional lain. Namun, tingginya persentase bagian kulit dengan daging buah yang dimakan serta manfaat dari kulit manggis yang besar kurang diimbangi dengan upaya pemanfaatan yang optimal. Sebagian orang hanya menganggap kulit manggis sebagai sampah yang ketika buahnya sudah dimakan maka kulit tersebut dapat langsung dibuang, padahal dengan kandungan senyawa yang dimiliki dapat dilakukan suatu tindakan pengolahan untuk mengubah kulit manggis menjadi produk yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, sebagai bentuk alternatif pengolahan dari kulit manggis dapat dilakukan suatu ekstraksi senyawa antioksidan berupa xanthone dan aplikasinya ke dalam bentuk produk sirup. Kendala yang dihadapi adalah perlunya penggunaan jenis pelarut yang sesuai dalam proses ekstraksi xanthone dari kulit manggis dan tingginya kandungan tannin pada kulit manggis sehingga
dapat mengakibatkan ekstrak yang dihasilkan sulit diaplikasikan ke dalam bentuk produk sirup. Selain itu, aplikasi ekstrak xanthone kulit manggis memerlukan suatu formulasi yang tepat serta penggunaan bahan tambahan berupa pemanis, pewarna dan flavor yang sesuai sehingga sirup yang dihasilkan memiliki rasa, aroma dan penampilan yang baik.
B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan perbandingan ethanol-air sebagai pelarut dalam proses ekstraksi xanthone dari kulit manggis, dan mendapatkan formula aplikasi xanthone dalam bentuk produk sirup.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manggis (Garcinia mangostana L.) Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah tanaman daerah tropika yang diyakini berasal dari Kepulauan Nusantara. Tumbuh hingga mencapai 7 sampai 25 meter dengan buah berwarna merah keunguan ketika matang meskipun ada pula varian yang kulitnya berwarna merah. Buah manggis dalam perdagangan dikenal sebagai ratu buah dengan klasifikasi botani pohon manggis sebagai berikut: Divisi
: Spermotophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Family
: Guttiferae
Genus
: Garcinia
Species
: Garcinia mangostana
(Anonim, 2009). Tanaman manggis umumnya memiliki adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah, namun untuk pertumbuhan yang baik tanaman manggis menghendaki tanah dengan tekstur liar berpasir dan berstruktur. Derajat keasaman tanah yang dikehendaki adalah 5-7 (agak masam sampai netral). Kedalaman air tanah yang cocok untuk hidup manggis berkisar 0.5-2 m. Ketinggian tempat antara 0-600 m di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu berkisar antara 25-300C sangat cocok sebagai tempat bertumbuh dan berproduksi manggis yang optimum. Curah hujan 1270-2500 mm/tahun dengan 10 bulan basah dalam satu tahun dan kelembaban udara sekitar 80% dan intensitas cahaya matahari yang optimum (Verherj, 1997). Manggis tergolong sebagai buah buni yang mempunyai kulit buah tebal namun mudah dipecah, dengan biji berlapis (pulp) yang mempunyai rasa manis asam (Pantastico, 1986). Komposisi bagian buah yang dimakan per 100 gram meliputi 79.2 g air, 0.5 g protein, 19.8 g karbohidrat, 0.3 g serat, 11 mg kalsium, 17 mg fosfor, 0,9 mg besi, 66 mg vitamin C, vitamin B (tiamin) 0,09 mg, vitamin B2 (riboflavin) 0,06 mg, dan vitamin B5 (niasin) 0,1 mg (Qonytah, 2004).
Buah manggis terdiri atas bagian-bagian seperti tangkai atau mahkota, perikarp, daging buah, dan biji. Sebagian besar kandungan kulit buah manggis adalah tanin dan xanthone sehingga kulit manggis berwarna cokelat, merah, dan sewaktu matang berubah menjadi ungu atau lembayung tua. Kulit buah manggis memiliki permukaan yang licin dan keras. Buah ini juga bergetah, namun semakin tua getahnya akan semakin berkurang. Kulit buah manggis kaya akan pektin, tanin, zat warna hitam, dan zat antibiotik xanthone (Verherj, 1997). Adanya kandunga tanin menyebabkan rasa dari kulit manggis menjadi sangat pahit. Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Senyawa tanin umumnya dapat larut dengan pelarut dari polar sampai semipolar (Hernawan dan Setyawan, 2003). Adapun menurut Nurkamari dan Purnomo (1979), dikatakan bahwa kulit buah manggis mempunyai daya reduksi sebanding dengan daya reduksi asam askorbat. Berikut ini adalah hasil analisis penelitian terhadap kulit buah manggis. Tabel 1 Komposisi kulit buah manggis Komponen Kadar Protein Serat Kasar Pati Kadar Tannin Kadar Zat yang terlarut di dalam isoheksana Kadar Abu
% Berat kering sedikit 29.4 1.1 4.5 4.5
Sumber: Setyawati, 2000 B. Xanthone Xanthone adalah kelompok senyawa bioaktif yang mempunyai struktur cincin 6 karbon dengan kerangka karbon rangkap. Struktur ini membuat xanthone sangat stabil dan serbaguna. Xanthone tergolong derivat dari difenil-γ-pyron, yang memiliki nama IUPAC 9H-xantin-9-on. Xanton terdistribusi luas pada tumbuhan tinggi, tumbuhan paku, jamur, dan tumbuhan lumut. Sebagian besar xanton ditemukan pada tumbuhan tinggi yang dapat diisolasi dari empat suku, yaitu Guttiferae, Moraceae, Polygalaceae dan Gentianaceae (Sluis, 1985).
Menurut Obolskiy et al. (2009), xanthone merupakan kelas utama phenol dalam tanaman. Xanthone memiliki kandungan senyawa yang meliputi mangostin, mangostenol, mangostinon A, mangostenon B, trapezifolixanthone, tovophyllin B, -mangostin, β-mangostin, garcinon B, mangostanol, flavonoid epicatechin, dan gartanin. Senyawa tersebut sangat bermanfaat untuk kesehatan. Dari seluruh senyawa yang ada, turunan xanthone berupa -mangostin merupakan komponen yang paling banyak terdapat pada kulit manggis. Selain jumlahnya yang lebih banyak, -mangostin juga memiliki aktivitas biologi yang paling baik (Parveen et al., 1991). Adanya kandungan xanthone dalam kulit manggis bertindak sebagai antioksidan, antiproliferatif (penghambat pertumbuhan kanker), antiinflamasi, dan antimikrobial. Sifat antioksidannya ini akan melebihi vitamin E dan vitamin C. Selain itu, menurut Jastrzebska et al. (2003) senyawa turunan xanthone juga diketahui memiliki aktivitas yang berbeda-beda pada sistem saraf pusat diantaranya analeptik, antiepileptik, antitumor, dan antialergi. Berbagai hasil penemuan akan kegunaan xanthone pada kulit buah manggis mendorong berkembangnya industri pengolahan kulit manggis dengan merk xango juice yang diproduksi di Malaysia yang kemudian diekspor ke seluruh dunia terutama Amerika, sedangkan di Amerika penjualan juice mangosteen menempati peringkat ke 22 dalam USA top selling suplement pada tahun 2006 (Obolskiy et al., 2009).
C. Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara pemisahan komponen tertentu dari suatu bahan sehingga didapatkan zat yang terpisah secara kimiawi maupun fisik. Ekstraksi biasanya berkaitan dengan pemindahan zat terlarut di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat (Bernardini, 1983).
Metode yang digunakan untuk mengeluarkan satu komponen campuran dari zat padat atau cair dengan bantuan zat cair pelarut dapat digolongkan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah leaching atau ekstraksi zat padat (solid extraction) yang digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut. Kategori kedua adalah ekstraksi zat cair (liquid extraction), yang digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling bercampur (Mc Cabe dan Smith, 1974). Proses pemisahan atau pengambilan komponen dari suatu bahan pada dasarnya dapat dilakukan dengan penekanan atau pengempaan, pemanasan, dan menggunakan pelarut. Ekstraksi dengan pengempaan atau pemanasan dikenal dengan cara mekanis. Ekstraksi cara mekanis hanya dapat dilakukan untuk pemisahan komponen dalam sistem campuran padat-cair. Sebagai contoh adalah ekstraksi minyak dari biji-bijian. Dalam hal ini minyak adalah cair dan ampasnya sebagai padatan (Suyitno et al., 1989). Ekstraksi menggunakan pelarut adalah berdasarkan sifat kelarutan dari komponen di dalam pelarut yang digunakan. Komponen yang larut dapat berbentuk padat maupun cair, dipisahkan dari benda padat atau cair. Ekstraksi padat-cair, komponen yang dipisahkan berasal dari benda padat. Komponen yang diekstraksi dapat berupa protein, vitamin, minyak atsiri, zat warna, dan sebagainya yang berasal dari bahan. Ekstraksi bertujuan untuk memperoleh komponen yang larut dalam pelarut yang dapat melarutkan komponen yang akan dipisahkan (Suyitno et al., 1989). Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe’s dan Whiteley, 1954). Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Danesi, 1992). Proses ini akan terus menerus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar di antara kedua fase dan akan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut
semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini dapat tercapai dengan mudah atau sulit tergantung pada struktur zat padatnya. Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses tersebut berlangsung secara seri. Bila salah satu proses berlangsung relatif lebih cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997). Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan yang berbeda dalam setiap zat pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan suatu zat pelarut yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko, 1982). Terdapat beberapa cara yang sering digunakan dalam melakukan ekstraksi antara lain: perkolasi, perendaman atau maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi. Metode ekstraksi yang digunakan bergantung pada tekstur bahan, kandungan air contoh, dan jenis senyawa yang akan diekstraksi. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu maserasi. Maserasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini relatif sederhana, yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Kelemahan metode ini diantaranya waktu yang diperlukan relatif lama dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu maserasi sederhana, maserasi kinetik, dan maserasi menggunakan tekanan (List dan Schmidt, 1989). Maserasi adalah suatu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif mudah rusak oleh panas. Metode ini dilakukan dengan merendam contoh dalam suatu pelarut baik tunggal ataupun campuran dengan lama waktu tertentu (umumnya 1-2 hari perendaman) tanpa pemanasan (Houghton dan Rahman, 1998). Perendaman bahan yang dilakukan pada proses maserasi akan dapat menaikkan permeabilitas dinding sel melalui tiga tahapan: (1) masuknya pelarut ke dalam dinding sel dan membengkakannya, (2) senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan masuk ke dalam pelarut, (3) difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel. Proses ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu lama ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne, 1996). Faktor penting dalam melakukan ekstraksi suatu senyawa adalah pemilihan pelarut yang digunakan. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis senyawa bioaktif yang terekstrak karena masing-masing pelarut mempunyai efisiensi dan selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen bioaktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran (Durran, 1933). Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, kemudahan untuk diuapkan, dan harganya yang relatif murah (Gamse, 2002). Pelarut untuk ekstraksi senyawa organik terbagi menjadi golongan pelarut yang memiliki densitas lebih rendah daripada air dan pelarut yang memiliki densitas lebih tinggi daripada air. Kebanyakan pelarut senyawa organik termasuk dalam pelarut golongan pertama, seperti misalnya dietil eter, etil asetat, dan hidrokarbon (light petroleum, heksan, dan toluen).
Pelarut yang mengandung senyawa klorin seperti diklorometan adalah pelarut yang termasuk dalam golongan pelarut kedua. Pelarut ini memiliki toksisitas yang rendah tetapi mudah membentuk emulsi. Beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk ekstraksi diantaranya adalah metanol, etanol, etil asetat, aseton, dan asetonitril dengan air atau HCl. Toksisitas pelarut yang digunakan merupakan hal penting untuk dipertimbangkan dalam ekstraksi antioksidan, karena zat antioksidan akan digunakan pada produk pangan fungsional sehingga keamanannya harus sangat diperhatikan. Menurut Walker (2007), senyawa xanthone secara alami sukar untuk terlarut di dalam air sehingga sulit diekstrak bila menggunakan pelarut air namun demikian, senyawa xanthone dapat larut di dalam pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol hingga pelarut hexan. Ethanol atau yang lebih dikenal sebagai alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Dalam kondisi kamar, etanol berwujud cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar, mudah larut dalam air, dan tembus cahaya. Ethanol adalah senyawa organik golongan alkohol primer yang bersifat polar. Tingkat kepolaran pelarut ditentukan oleh konstanta dielektri yang dimiliki. Menurut Weast dan Astle (1982) semakin tinggi konstanta dielektrik maka semakin polar pelarut tersebut. Sifat fisik ethanol dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisik ethanol Sifat Fisik Massa molekul relatif
Nilai 46,07 g/mol
Titik beku
-114,1°C
Titik didih normal
78,32°C
Densitas pada 20°C
0,7893 g/ml
Kelarutan dalam air 20°C
sangat larut
Viskositas pada 20°C
1,17 cP
Kalor spesifik, 20°C
0,579 kal/g°C
Kalor pembakaran
25°C 7092,1 kal/g
Kalor Penguapan
78,32°C 200,6 kal/g
Sumber: Kirk dan Othmer, 1951
D. Sirup Sirup merupakan larutan gula pekat yang digunakan sebagai bahan minuman dengan atau tanpa ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam tartarat dan asam laktat), aroma, dan zat warna (SII-0153-77). Sirup tergolong minuman yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini karena kemudahan dalam menyajikannya. Sirup dalam industri dapat berfungsi sebagai pemanis, bahan pengawet alami yang dapat menurunkan aktifitas air (Aw) dan juga sebagai pembawa cita rasa yang menyenangkan pada obat dalam dunia kesehatan. Pembuatan sirup pada garis besarnya meliputi tahap-tahap sortasi, pencucian, pengupasan, pengisian ke dalam wadah,
penutupan,
pasteurisasi,
pendinginan dan
penyimpanan (Kylwe, 1956). Beberapa bahan seperti asam sitrat dan zat pewarna makanan dapat ditambahkan untuk menambah rasa asam dan membuat penampilan produk menjadi lebih menarik. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan sebagai sirup menurut SNI 01-3544-1994 dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Haryanto (1998), terdapat beberapa hal yang menentukan kualitas sirup antara lain: gula, endapan, cita rasa, aroma, kualitas bahan baku, kemasan produk, jenis, dan cara pengemasan. Kadar gula dalam sirup akan menentukan kualitas sirup tersebut. Penggunaan sakarin atau siklamat akan sangat merugikan karena berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan. Adanya endapan dalam sirup akan menimbulkan kesan kotor (dibuat melalui proses yang kurang higienis) atau sirup telah melewati masa simpannya (sudah rusak, kadaluarsa). Cita rasa dan aroma akan menunjukkan tingkat kesegaran dan keaslian dari bahan baku. Kualitas bahan baku yang digunakan dalam pembuatan sirup akan sangat menentukan kualitas sirup yang dihasilkan. Selain harus memiliki kualitas yang baik, sirup juga umumnya tergolong produk yang memiliki umur simpan yang cukup lama. Faktor yang dapat menentukandaya tahan atau umur simpan dari sirup yaitu: kadar gula, bahan pengawet, dan sistem pengawetan. Sirup dengan kadar gula yang tinggi akan memeiliki daya tahan yang semakin lama. Gula dalam konsentrasi tinggi selain sebagai pemanis juga berfungsi sebagai pengawet. Bahan pengawet, meskipun
hanya dalam kadar yang minimal namun keberadaannya dapat memperpanjang daya tahannya. Penerapan sistem pengawetan meliputi pengemasan produk, sterilisasi, penutupan botol kemasan, dan pasteusisasi akan dapat memperpanjang umur produk (Makfoeld, 1982). Tabel 3 Syarat mutu sirup Komponen
Jumlah
Gula (dihitung sebagai sukrosa)
Min 65%
Pemanis Buatan
Tidak boleh ada
Zat Warna
Yang diizinkan
Bahan Pengawet
Sesuai peraturan Depkes
Cemaran Logam: - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Timah (Sn) Kemasan kaleng Kemasan non kaleng - Arsen (As)
Max 0.2 mg/kg Max 2 mg/kg Max 2 mg/kg Max 250 mg/kg Max 40 mg/kg Max 0.1 mg/kg
Cemaran Mikroba: - Angka Lempeng Total - Bakteri Golongan Coli (APM) - Kapang dan Khamir - Salmonella - Cholera
Max 500 koloni/ml Max 20 koloni/ml Max 50 Negatif Tidak Nyata
Sumber: SNI 01-3544-1994
III.
BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kulit buah manggis, ethanol , air, kelopak bunga rosella segar, madu dan flavor blackcurrant. Bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisa adalah katalis CuSO4, aquades, Na2SO4, H2SO4 pekat, NaOH 50%, HCl 0.02 N, NaOH 0.02 N, H2SO4 0.325 N, NaOH 1.25 N, methanol 26.4 M, ethyl asetat, indigo carmine, KMnO4, dan HCl 35%. Peralatan yang diperlukan berupa blender, pisau, baskom, kain saring, sendok pengaduk, panci, kompor, dan botol kemasan serta alat-alat untuk keperluan analisa kimia seperti oven, tanur, labu kjedahl, soxhlet, pH meter, spektrofotometer, alkohol meter, dan alat-alat gelas. B. Metodologi 1. Karakterisasi Kulit Manggis Kulit manggis sebagai bahan baku utama dalam proses ekstraksi mula-mula dilakukan karakteristik awal untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang dimiliki. Analisa kimia yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisa proksimat dan analisa senyawa aktif pada kulit manggis. Analisa proksimat yang dilakukan yaitu kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Sedangkan pengujian senyawa aktif yang dilakukan meliputi kadar xanthone, kadar antosianin, dan kadar tanin. Prosedur analisa dari karakterisasi kulit manggis dapat dilihat pada Lampiran 1. 2. Ekstraksi Xanthone Kulit Manggis Kulit manggis yang telah diketahui kandungan kimia dan senyawa aktif kemudian dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan senyawa xanthone. Proses ekstraksi terdiri atas beberapa tahapan proses yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Buah Manggis
Pencucian
Pemisahan
Daging Buah
Kulit Buah
Pemisahan
Kulit Luar
Kulit Dalam Penghancuran
Ekstraksi Ethanol: Air 1:2 1:3 1:4
Maserasi 24 jam
Ampas
Penyaringan
Filtrat Kulit Manggis
Gambar 1 Diagram alir ekstraksi kulit manggis
Tahap pembuatan ekstrak kulit manggis diawali dengan proses pencucian kulit manggis. Kulit manggis yang telah bersih dan terbebas dari kotoran, selanjutnya mengalami proses pemisahan antara bagian kulit yang
keras (bagian terluar dari kulit manggis) dengan kulit bagian lunak. Kulit manggis bagian lunak ini yang dijadikan sebagai bahan baku utama. Kulit manggis kemudian dihancurkan untuk memperkecil ukuran sehingga memudahkan dalam proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut berupa campuran ethanol dan air. Pada tahapan ini, proses ekstraksi akan terbagi menjadi 3 perlakuan yaitu perlakuan dimana pelarut yang digunakan adalah perbandingan campuran ethanol dan air sebesar 1:2, perlakuan dimana pelarut yang digunakan adalah perbandingan campuran ethanol dan air sebesar 1:3, dan perlakuan dengan pelarut yang digunakan adalah campuran ethanol dan air sebesar 1:4. Perbandingan jumlah bahan yang diekstrak dan volume pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi adalah sebanyak 1:4 (b/v) (Pradipta et al., 2007). Hasil ekstraksi kemudian mengalami proses maserasi atau perendaman selama 24 jam. Setelah proses maserasi maka akan dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan ampas kulit manggis dengan ekstrak kulit manggis. Ekstrak kulit manggis yang diperoleh selanjutnya mengalami pengujian dengan parameter yang diamati berupa senyawa aktif yang terkandung dalam kulit manggis yaitu kadar xanthone, kadar antosianin, kadar serat, dan kadar tanin. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengujian terhadap senyawa aktif kulit manggis dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan perbandingan campuran pelarut ethanol dan air terhadap kualitas dari ekstrak kulit manggis yang dihasilkan dimana akan sangat berpengaruh pada pengaplikasian ekstrak kulit manggis. 3. Aplikasi Xanthone Kulit Manggis Dalam Bentuk Sirup Hasil ekstrak kulit manggis yang diperoleh akan diaplikasikan langsung ke dalam bentuk produk berupa sirup. Bahan-bahan yang digunakan yaitu ekstrak kulit manggis, ekstrak antosianin, madu, dan flavor blackcurrant. Ekstrak antosianin pada penelitian ini diperoleh dari hasil ekstraksi kelopak rosela. Ekstraksi
pigmen
antosianin
dilakukan
dengan
mula-mula
membersihkan kelopak bunga rosela dari kotoran yang menempel. Kelopak rosela yang telah bersih selanjutnya mengalami proses penghancuran untuk
mengecilkan ukuran agar proses ekstraksi lebih mudah. Proses ekstraksi menggunakan perbandingan antara bahan dan air sebanyak 1:1 (b/v). Hal ini dimaksudkan agar filtrat yang terbentuk setelah proses ekstraksi bersifat pekat sehingga sirup xanthone dapat memiliki bentuk yang lebih kental. Rosela yang telah diekstraksi kemudian mengalami proses pemisahan antara filtrat dan ampasnya dengan menggunakan kain saring 2 lapis. Filtrat yang terbentuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pewarna pada proses pembuatan sirup xanthone. Diagram alir proses ekstraksi antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.
Kelopak Rosella Basah
Pencucian
Penghancuran
Ekstraksi
Ampas
Air: bahan (1:1)
Penyaringan
Ekstrak Rosella
Gambar 2 Diagram alir ekstraksi rosela
Pembuatan sirup xanthone dalam penelitian ini akan terbagi menjadi 3 formulasi dimana hanya berbeda pada penggunaan ekstrak kulit manggis, sedangkan persentase penggunaan setiap bahan yang ada untuk masing-masing formula adalah sama. Formulasi sirup xanthone dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Formulasi sirup xanthone Sirup A1
A2
A3
Formula Ekstrak kulit manggis 1:2 (ethanol:air) 50 % Madu 40% Ekstrak Rosela 10% Flavor Blackcurrant 1% Ekstrak kulit manggis 1:3 (ethanol:air) 50% Madu 40% Ekstrak Rosela 10% Flavor Blackcurrant 1% Ekstrak kulit manggis1:4 (ethanol:air) 50% Madu 40% Ekstrak Rosela 10% Flavor Blackcurrant 1%
Proses pembuatan sirup xanthone diawali dengan pencampuran bahan-bahan seperti ekstrak kulit manggis, madu, dan ekstrak rosela hingga homogen. Setelah bahan-bahan ini tercampur sirup mengalami proses pemasakan pada suhu 90-950C selama 10 menit. Sirup yang telah dipanaskan kemudian didinginkan untuk selanjutnya ditambahkan flavor blackcurrant sebagai penguat aroma sirup xanthone sebesar 1% dari total campuran sirup. Diagram alir proses pembuatan sirup xanthone dapat dilihat pada Gambar 3.
Ekstrak Rosela (10%)
Ekstrak Kulit Manggis (50%)
Madu (40%)
Pencampuran
Pemanasan pada suhu 90-95 0 C (t=10 menit)
Pendinginan Flavor (1%) Sirup Xanthone
Gambar 3 Diagram alir pembuatan sirup xanthone
Sirup-sirup yang telah dihasilkan, untuk setiap formulanya dilakukan pengujian organoleptik meliputi warna, aroma dan rasa. Sirup dengan tingkat kesukaan tertinggi akan menjadi salah satu faktor dalam menentukan jenis sirup yang terpilih. Parameter lain yang menjadi faktor penentu adalah hasil karakterisasi terhadap ekstrak kulit manggis berupa nilai kadar xanthone, kadar antosianin, kadar serat, dan kadar tanin. Sirup selanjutnya dianalisa terhadap kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar xanthone, total gula, kadar alkohol, kadar vitamin C, pH, dan total mikroba sebagai karakterisasi produk akhir. 4. Rancangan Percobaan Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan satu perlakuan. Faktor A merupakan jenis kombinasi perbandingan penggunaan pelarut ethanol dan air yang terdiri dari 3 taraf. Ai = Perbandingan penggunaan pelarut ethanol dan air A1 = Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 A2 = Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 A3 = Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:4 Model matematikanya adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ai + εij Keterangan: Yij = Variabel respon hasil observasi ke-j yang terjadi karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor µ =
Rata-rata sebenarnya
Ai =
Pengaruh taraf ke-i faktor A (i= 1,2,3)
εij =
Galat perlakuan ke-i pada ulangan ke-j
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Kulit Manggis Analisa proksimat merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia suatu bahan. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) dengan hasil analisa proksimat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi kimia kulit manggis Komposisi Kimia Jumlah Kadar Air (%)
61.83
Kadar Abu (% bk)
3.29
Kadar Lemak (% bk)
1.23
Kadar Serat (% bk)
21.04
Kadar Protein (% bk)
2.66
Kadar Karbohidrat (% by different)
30.99
Hasil analisis komponen kimia menunjukkan bahwa kulit manggis memiliki kandungan air sebesar 61.83%. Tingginya kadar air kulit manggis dapat menyebabkan bahan mudah mengalami kerusakan jika tidak dilakukan pengolahan. Diketahui bahwa air merupakan komponen penting dalam suatu bahan pangan. Keberadaan air akan menentukan terjadinya kerusakan karena dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Fardiaz et al., 1992). Serat adalah salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh karena dapat membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Hasil analisia menunjukkan bahwa kulit manggis memiliki nilai kadar serat kasar sebesar 21.04%. Adanya hal ini dapat menjadi suatu nilai tambah bagi kulit manggis apabila diaplikasikan ke dalam bentuk produk pangan. Serat sebagai residu dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis dengan bahan kimia memiliki fungsi utama antara lain: (1) memperlambat kecepatan pencernaan pati sehingga aliran energi ke tubuh menjadi berkurang, (2) memperlambat pengosongan lambung sehingga memberi perasaan kenyang yang lebih lama, (3) memperlambat penyerapan glukosa dalam usus sehingga membantu mengatur kebutuhan insulin
(Gallaher, 2000), (4) meningkatkan kebutuhan saluran pencernaan dengan cara meningkatkan motilitas atau pergerakan usus besar, (5) mengurangi resiko penyakit jantung, (6) mengikat asam empedu dalam usus (Starck dan Madar, 1994). Kadar abu dalam suatu bahan menunjukkan keberadaan kandungan mineral atau bahan-bahan anorganik. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa jumlah kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit manggis adalah sebesar 3.29%. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), unsur mineral adalah unsur yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang relatif kecil, tetapi keberadaannya tetap diperlukan sebagai zat pembangun dan pengatur. Komponen nutrien lain yang dianalisa adalah protein. Protein merupakan penyusun utama sel-sel tubuh. Pada kulit manggis diketahui jumlah kadar protein yang rendah yaitu 2.66%. Umumnya buah-buahan memang bukan bahan pangan sumber protein sehingga jumlah kandungan protein yang dimiliki relatif kecil. Menurut Suhardjo dan Clara (1987), beberapa kandungan protein dapat diperoleh tanaman dari tanah dan udara sekitarnya dan nitrogen yang diperoleh dari tanah berada dalam bentuk senyawa nitrat dan nitrit. Lemak adalah salah satu komponen lain yang dapat ditemukan pada bahan pertanian. Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang sebenarnya (Winarno, 1997). Kadar lemak yang dimiliki oleh kulit manggis yaitu 1.23%. Karbohidrat merupakan salah satu komponen utama dalam makanan bersama dengan lemak dan protein. Kadar karbohidrat yang dimiliki oleh kulit manggis sebesar 30.99% yang diperoleh dengan metode “by difference”. Semua jenis makanan mengandung sejumlah karbohidrat, dalam bentuk yang bervariasi dari monosakarida sederhana hingga polisakarida kompleks. Pada buah dan sayuran umumnya sebagian besar padatan tersusun dari karbohidrat dan sedikit protein juga lemak. Analisa terhadap bahan baku yang digunakan pada penelitian ini tidak hanya analisa proksimat saja, tetapi dilakukan pula analisa kandungan senyawa
aktif yang banyak terkandung pada kulit manggis yaitu senyawa xanthone, antosianin dan tanin. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kandungan senyawa xanthone yang terdapat pada kulit manggis adalah 165.90 mg/100 ml contoh. Tingginya kandungan xanthone pada kulit manggis membuat bahan ini perlu dimanfaatkan sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya. Selain adanya kandungan xanthone, kulit manggis juga memiliki kandungan senyawa lain yaitu antosianin dan tanin yang masing-masing sebesar 17.52 mg/g contoh dan 3.32%. B. Ekstraksi Kulit Manggis 1. Proses Ekstraksi Ekstraksi adalah istilah yang digunakan untuk setiap proses dimana komponen-komponen (zat) dalam suatu bahan berpindah ke dalam cairan lain (pelarut). Pada penelitian ini, ekstraksi adalah tahapan awal yang dilakukan untuk memperoleh kandungan xanthone yang terdapat pada kulit buah manggis (Garcinia mangostana L). Proses ekstraksi kulit manggis dapat berjalan dengan baik apabila menggunakan pelarut yang sesuai dimana pelarut dapat secara selektif melarutkan komponen xanthone dari kulit manggis dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lain. Ethanol adalah pelarut yang dipilih untuk digunakan dalam proses ekstraksi xanthone. Hal ini didasarkan atas sifat dari pelarut ethanol yang masih tergolong ke dalam pelarut organik namun relatif lebih aman dibandingkan dengan pelarut lain apabila digunakan dalam bahan pangan. Penggunaan ethanol sebagai pelarut selain dapat mengekstrak senyawa xanthone, diharapkan dengan penggunaan pelarut ethanol juga dapat mengurangi tingkat kepahitan yang berasal dari senyawa tanin pada kulit manggis. Proses ekstraksi mula-mula diawali dengan pencucian buah manggis. Pencucian dimaksudkan agar kulit manggis terbebas dari segala kotoran yang melekat seperti tanah, debu atau sisa pestisida. Buah manggis yang telah bersih kemudian dipisahkan antara kulit dengan daging buah. Penggunaan kulit manggis dikarenakan bagian ini memiliki kandungan xanthone 27 kali lebih banyak dibandingkan pada daging buahnya. Kulit manggis yang telah terpisah kemudian mengalami proses pemisahan kembali antara bagian kulit lunak dan kulit keras (kulit terluar). Pemisahan dilakukan karena penggunaan
kulit manggis bagian luar akan membuat rasa dari sirup xanthone menjadi semakin pahit. Rasa pahit yang ada disebabkan oleh adanya kandungan senyawa tanin dimana senyawa ini relatif lebih banyak pada bagian kulit luar. Selain rasa yang menjadi pahit, penggunaan kulit manggis bagian luar juga dapat membuat warna atau tampilan dari sirup akan menjadi lebih keruh. Oleh karena itu, penggunaan kulit bagian luar manggis sangat dihindarkan. Kulit bagian lunak yang telah diperoleh selanjutnya mengalami proses penghancuran. Penghancuran dimaksudkan untuk memperkecil ukuran dari bahan sehingga dapat mempercepat pelarutan komponen xanthone dan meningkatkan rendemen ekstraksi. Diketahui bahwa semakin kecil ukuran bahan maka luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Ukuran partikel kulit manggis yang kecil akan meningkatkan kelarutan bahan dalam pelarut sehingga kadar xanthone juga akan meningkat. Selain itu, waktu yang diperlukan komponen untuk keluar dari bahan menjadi lebih singkat dan proses ekstraksi berlangsung lebih cepat. Setelah proses penghancuran maka proses ekstraksi dapat dilakukan dengan mencampurkan bahan dengan pelarut pada pebandingan 1:4 (b/v). Perbandingan ini didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Pradipta et al. (2008) tentang isolasi dan identifikasi senyawa
xanthone dari kulit
buah
manggis (Garcinia
mangostana, L.). Pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi adalah campuran antara pelarut ethanol 70% dan air. Penggunaan ethanol dengan konsentrasi 70% didasarkan atas keefektifan terhadap xanthone yang dapat terekstrak, karena semakin tinggi konsentrasi ethanol maka senyawa xanthone yang terekstrak akan semakin tinggi namun kemungkinan ethanol yang tersisa pada sirup juga akan semakin besar. Berdasarkan hal ini maka ethanol 70% dirasa memiliki konsentrasi yang sesuai yaitu tidak cukup tinggi namun tidak juga rendah sehingga diharapkan dapat menghasilkan kadar xanthone yang tinggi namun tidak meninggalkan sisa ethanol pada sirup yang dihasilkan. Begitu pula dengan digunakannya campuran air sebagai pelarut karena penggunaan pelarut ethanol tanpa pencampuran air dikhawatirkan akan sulit menguapkan
ethanol yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis sehingga dapat meninggalkan residu ketika ekstrak kulit manggis diaplikasikan ke dalam bentuk sirup. Sirup yang masih terdapat kandungan ethanol dalam jumlah tinggi dapat membuat produk memiliki cita rasa yang tidak enak dan dianggap tidak halal. Oleh karena itu, untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan campuran pelarut ethanol dan air terhadap kandungan senyawa aktif pada kulit manggis dan hasil aplikasinya pada produk sirup penelitian ini dibagi menjadi 3 perlakuan. Perlakuan pertama adalah perlakuan dengan ekstraksi menggunakan perbandingan 1:2 (ethanol:air), perlakuan kedua menggunakan perbandingan 1:3 (ethanol:air), dan perlakuan ketiga menggunakan perbandingan 1:4 (ethanol:air). Penggunaan perbandingan ethanol-air didasarkan atas prinsip ekstraksi dan sifat dari senyawa xanthone dimana semakin banyak penggunaan pelarut ethanol maka senyawa yang terekstrak akan semakin besar karena kelarutan xanthone hanya pada pelarut organik. Berdasarkan hal ini maka dapat diasumsikan bahwa penggunaan ethanol yang lebih besar dari 1:2 maka xanthone yang akan terekstrak semakin besar namun kandungan ethanol yang mungkin akan tersisa juga besar, sedangkan penggunaan ethanol 70% dan air yang lebih kecil dari perbandingan 1:3 maka xanthone yang terekstrak akan semakin kecil pula dan ini tidak diinginkan. Oleh karena itu, perlakuan penggunaan campuran pelarut ethanol 70% dan air yang dipilih adalah 1:2, 1:3, dan 1:4. Teknik ekstraksi diketahui memiliki beberapa cara seperti perkolasi, maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi, namun pada penelitian ini cara ekstraksi yang dilakukan adalah dengan metode maserasi. Maserasi adalah teknik yang digunakan untuk mengekstrak suatu senyawa yang diinginkan dalam suatu bahan dengan cara merendam bahan dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Proses maserasi pada ekstraksi kulit manggis dilakukan selama 24 jam dan dalam suhu kamar. Waktu perendaman yang cukup lama dimaksudkan agar komponen senyawa xanthone yang akan terekstrak dapat maksimal. Diketahui bahwa menurut Bombardelli (1991), lama ekstraksi akan menentukan jumlah komponen yang dapat diekstrak dari bahan. Lama
ekstraksi berhubungan dengan waktu kontak antara bahan dan pelarut. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dan pelarut semakin besar sehingga kelarutan komponen xanthone dalam larutan akan meningkat. Kulit manggis yang telah mengalami perendaman kemudian mengalami proses pemisahan. Pemisahan adalah tahapan akhir yang dilakukan pada proses ekstraksi yang bertujuan untuk mendapatkan senyawa xanthone pada ekstrak kulit manggis. Hasil ekstraksi kulit manggis dapat dilihat pada Gambar 4.
1:2
1:3
1:4
Gambar 4 Hasil ekstraksi kulit manggis 2. Karakteristik Ekstrak Kulit Manggis Filtrat kulit manggis yang diperoleh dari hasil ekstraksi, selanjutnya akan dianalisa berdasarkan senyawa-senyawa yang banyak terkandung didalamnya yaitu kadar xanthone, kadar antosianin, kadar serat, dan kadar tanin. Hal ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan pelarut terhadap senyawa aktif yang ada dalam ekstrak kulit manggis. Rekapitulasi hasil karakterisasi ekstrak kulit manggis dapat dilihat pada Lampiran 2. a. Kadar Xanthone Xanthone adalah senyawa organik dengan rumus molekul dasar C13H8O2. Turunan senyawa xanthone banyak terdapat di alam dan berdasarkan penelitian telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan. Turunan senyawa xanthone yang paling banyak dikenal dan dimanfaatkan adalah yang berasal dari buah manggis dan merupakan hasil dari metabolit sekunder (Ji et al., 2007).
Analisa kadar xanthone adalah salah satu jenis analisa yang dilakukan pada ekstrak kulit manggis untuk mengetahui pengaruh penggunaan volume ethanol dan air pada hasil ekstraksi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada hasil ekstraksi kulit manggis untuk ketiga perlakuan. Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 memiliki nilai kadar xanthone tertinggi sebesar 99.43 mg/100 ml contoh, kemudian penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 memiliki nilai kadar xanthone sebesar 97.68 mg/100 ml contoh dan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:4 memiliki nilai kadar xanthone sebesar 56.50 mg/100 ml contoh. Hasil pengujian kadar xanthone dapat dilihat pada
Kadar Xanthone (mg/100ml)
Gambar 5. 120 100 80 60 40 20 0 1:2
1:3 Perbandingan Ethanol:Air
1:4
Gambar 5 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar xanthone Nilai kadar xanthone sangat dipengaruhi oleh jenis dan besarnya volume pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi berlangsung. Berdasarkan histogram pada gambar, diketahui bahwa semakin besar ethanol yang digunakan maka xanthone yang terekstrak akan semakin besar pula. Diketahui bahwa xanthone tergolong senyawa polar karena memiliki gugus OH. Namun, kepolaran dari senyawa xanthone lebih rendah dari air seperti menurut Walker (2007), senyawa xanthone secara alami sukar untuk terlarut di dalam air sehingga sulit diekstrak bila menggunakan pelarut air namun xanthone dapat larut di dalam pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol
hingga pelarut hexan. Pada perbandingan ethanol dan air 1:2, 1:3, dan 1:4 penggunaan pelarut ethanol terbesar adalah pada 1:2 sehingga pelarut ini lebih bersifat kurang polar dibandingkan dengan pelarut 1:3 dan 1:4. Oleh karena itu, dengan kurang polarnya pelarut yang digunakan pada perbandingan 1:2 maka kemampuan untuk mengekstrak xanthone menjadi lebih baik dibandingkan dengan 1:3 dan 1:4 sehingga xanthone yang terekstrak menjadi lebih besar. Selain itu, berdasarkan hasil analisa uji lanjut Duncan diketahui bahwa kandungan xanthone pada ekstrak kulit manggis dengan perbandingan 1:2 tidak berbeda nyata dengan 1:3, sedangkan kandungan xanthone pada ekstrak kulit manggis perbandingan 1:4 berbeda nyata terhadap 1:2 dan 1:3. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut ethanol-air 1:3 memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan pelarut 1:2 dalam mengekstrak xanthone dimana ditandai dengan selisih nilai kadar xanthone yang relatif kecil. Sedangkan, penggunaan campuran pelarut ethanol-air yang melebihi 1:3 dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kadar xanthone yang cukup signifikan karena kemampuan ethanol dalam mengikat xanthone kurang optimal. b. Kadar Antosianin Antosianin adalah salah satu senyawa lain yang jumlahnya cukup besar terdapat pada kulit manggis. Senyawa antosianin termasuk ke dalam kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas pada tanaman. Menurut Fasoyiro et al. (2005), senyawa antosianin memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan memiliki peranan yang cukup
penting
dalam
pencegahan
penyakit
neuronal,
penyakit
cardiovascular, kanker, dan diabetes. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar antosianin pada taraf α= 0.05 (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk setiap perlakuan ekstraksi kulit manggis pada perbandingan 1:2, 1:3, dan 1:4. Senyawa antosianin yang ikut terekstrak paling besar terdapat pada penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 yaitu sebesar 5.63 mg/g contoh. Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak
1: 3 pada proses ekstraksi memiliki nilai kadar antosianin sebesar 4.49 mg/g contoh, dan penggunaan ethanol dan air sebanyak 1:4 memiliki nilai kadar antosianin terendah yaitu sebesar 3.99 mg/g contoh. Hasil
Kadar Antosianin (mg/g)
pengujian kadar antosianin dapat dilihat pada Gambar 6. 6 5 4 3 2 1 0 1:2
1:3
1:4
Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 6 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar antosianin Berdasarkan
hasil
ini
diketahui
bahwa
semakin
besar
penggunaan jumlah ethanol pada proses ekstraksi maka senyawa antosianin yang ikut terekstrak akan semakin besar pula. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kepolaran dari senyawa yang akan diekstrak. Senyawa antosianin merupakan senyawa yang kepolarannya lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga relatif kurang polar. Menurut Fieser dan Fieser (1997), ethanol merupakan alkohol rantai pendek yang dapat bercampur merata dengan air dalam berbagai proporsi. Pelarut ethanol umumnya digunakan sebagai pengekstrak dari berbagai senyawa lain. Polaritas dari ethanol lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga digunakan sebagai pelarut yang baik bagi senyawa yang relatif kurang polar. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ‘like disolve like’ dimana senyawa yang bersifat kurang polar akan lebih mudah terekstrak pada pelarut yang bersifat kurang polar maka senyawa antosianin akan lebih mudah terekstrak pada pelarut ethanol.
Selain dikarenakan penggunaan jenis pelarut yang sesuai, tingginya nilai kadar antosianin yang dihasilkan dipengaruhi oleh besarnya volume pelarut yang digunakan. Semakin besar volume pelarut yang digunakan dalam jumlah bahan yang diekstrak maka rendemen yang dihasilkan
juga
semakin
besar.
Semakin
banyak
pelarut
yang
ditambahkan maka semakin besar kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan sehingga semakin banyak komponen bahan yang dapat terekstrak oleh pelarut. Oleh karena itu, penggunaan pelarut ethanol yang besar pada proses ekstraksi kulit manggis akan mengakibatkan senyawa antosianin yang ikut terekstrak akan semakin tinggi, sehingga berdasarkan besarnya penggunaan pelarut ethanol maka perbandingan 1:2 adalah hasil ekstrak yang memiliki nilai kadar antosianin tertinggi dibandingkan dengan 1:3 dan 1:4. c. Kadar Serat Serat adalah salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh karena dapat membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Pada kulit manggis serat merupakan salah satu komponen yang jumlahnya cukup bsar terkandung. Oleh karena itu, pengujian dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya sisa serat yang dihasilkan dari proses ekstraksi kulit manggis. Hasil analisa sidik ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 5) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perbandingan penggunaan ethanol dan air 1:2, 1:3, dan 1:4 dengan hasil uji lanjut Duncan menyatakan perbandingan 1:2 tidak berbeda nyata dengan 1:3 sedangkan perlakuan 1:4 berbeda nyata dengan perlakuan 1:2 dan 1:3. Nilai kadar serat tertinggi yang diperoleh yaitu sebesar 0.19% dimana ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2, kemudian perlakuan dengan perbandingan pelarut ethanol dan air 1:3 yaitu sebesar 0.16% dan nilai kadar serat terendah yaitu sebesar 0.12% dengan penggunaan perbandingan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:4. Histogram hasil pengujian kadar serat dapat dilihat pada Gambar 7.
Kadar Serat (%bk)
0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1:2 1:3 1:4 Perbandingan Ethanol: Air
Gambar 7 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar serat Berdasarkan histogram hasil pengujian kadar serat diketahui bahwa semakin besar penggunaan ethanol pada campuran pelarut maka semakin tinggi nilai kadar serat yang dihasilkan. Adanya pelarut ethanol sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jumlah serat yang dapat terekstrak. Hal ini dikarenakan pengujian kadar serat yang dilakukan pada ekstrak kulit manggis adalah pengujian serat kasar. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia seperti asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 3,25%) sehingga setiap bahan yang tidak terhidrolisis dapat terhitung sebagai serat. Oleh karena itu, pada penggunaan ethanol yang lebih banyak maka kemampuan senyawa lain untuk ikut terekstrak akan semakin besar dan adanya senyawa yang tidak terhidrolisis dan terhitung sebagai serat akan semakin besar pula. Hal ini yang membuat ekstrak kulit manggis pada perbandingan 1:2 memiliki nilai kadar serat tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai kadar serat yang dihasilkan dari ketiga ekstrak kulit manggis sebenarnya cenderung rendah. Rendahnya serat yang dihasilkan dapat disebabkan oleh adanya tahapan pemisahan saat proses ekstraksi
berlangsung, sehingga sebagian besar serat yang ada telah
terbuang bersama ampas. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa yang terhitung sebagai serat pada ekstrak kulit manggis ini hanya merupakan residu dari proses ekstraksi.
d. Kadar Tanin Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit. Adanya kandungan ini yang membuat rasa dari kulit manggis menjadi sepat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 6) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dimana perlakuan dengan perbandingan ethanol dan air sebesar 1:2 memiliki nilai kadar tanin terendah yaitu 0.94%, kemudian perbandingan ethanol dan air sebesar 1:3 yaitu 1.18% dan perbandingan ethanol dan air 1:4 sebesar 1.42%. Nilai kadar tanin terbesar dihasilkan oleh ekstrak kulit manggis dengan perlakuan penggunaan pelarut ethanol yang lebih sedikit dibandingkan air yaitu 1:3, sedangkan nilai kadar tanin terendah dihasilkan oleh ekstrak kulit manggis yang menggunakan pelarut ethanol yang lebih besar dibandingkan air yaitu 1:2. Histogram hasil
Kadar Tanin (%)
pengujian kadar tanin dapat dilihat pada Gambar 8. 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1:2
1:3 1:4 Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 8 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar tanin Melihat histogram di atas maka dapat diketahui bahwa semakin besar perbandingan penggunaan pelarut air dibandingkan ethanol maka kadar tanin yang ikut terekstrak akan semakin tinggi. Tanin tergolong ke dalam senyawa fenol kompleks dengan berat molekul yang tinggi. Senyawa fenol merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri-ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Sifat dari senyawa fenol yaitu cenderung mudah
larut dalam air. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa senyawa tanin adalah senyawa yang bersifat relatif polar. Seperti pada prinsip ekstraksi dimana senyawa yang bersifat polar hanya dapat terikat pada pelarut yang bersifat polar juga maka senyawa tanin akan mudah terekstrak pada pelarut yang bersifat polar. Air merupakan pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut lain sehingga penggunaan pelarut air yang tinggi akan dapat membuat tanin yang ikut terekstrak menjadi lebih banyak. Oleh karena itu, penggunaan perbandingan ethanol dan air sebanyak 1:3 memiliki nilai kadar tanin tertinggi. Selain dari penggunaan pelarut air, nilai kadar tanin juga diengaruhi oleh adanya pelarut ethanol. Ethanol meskipun tidak memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik daripada air namun tetap memiliki kemampuan dalam mengikat senyawa tanin. Hanya saja, senyawa tanin yang terikat oleh ethanol kemudian akan terendap dan terpisah ketika proses penyaringan sehingga kadar tanin yng diperoleh menjadi relatif rendah. Hal ini yang membuat perlakuan dengan penggunaan ethanol tertinggi yaitu 1:2 memiliki nilai kadar tanin terendah. Adanya senyawa tanin pada ekstrak kulit manggis tidak sepenuhnya merugikan, karena beberapa tanin diketahui mempunyai aktivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor. C. Aplikasi Ekstrak Kulit Manggis Salah satu aplikasi yang dapat dilakukan dari ekstrak kulit manggis adalah dalam bentuk produk sirup. Sirup merupakan minuman yang banyak dikonsumsi masyarakat karena kemudahannya dalam penyajian. Menurut SII0153-77, sirup adalah larutan gula pekat yang digunakan sebagai bahan minuman dengan atau ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam tartarat dan asam laktat) juga aroma dan zat warna. 1. Pembuatan Produk Sirup Xanthone Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sirup xanthone adalah ekstrak kulit manggis sebagai bahan utama dan ekstrak rosela, madu serta flavor sebagai bahan tambahan. Bahan tambahan digunakan agar dapat menghasilkan sirup dengan rasa, aroma, dan warna yang baik. Warna adalah
salah satu aspek penting yang membuat suatu produk dapat diterima. Keinginan untuk mengkonsumsi dan membeli produk pangan sebagian besar ditentukan oleh warna yang menarik perhatian. Warna dalam bahan pangan juga dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut. Berdasarkan hal ini maka untuk dapat menghasilkan sirup dengan warna yang menarik digunakan bahan tambahan berupa pewarna dalam proses pembuat sirup xanthone. Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan atau minuman untuk memperoleh warna yang diinginkan. Tujuan penambahan pewarna pada pembuatan sirup xanthone adalah untuk memperbaiki penampakan dari sirup yang dihasilkan karena ekstrak kulit manggis yang digunakan sebagai bahan
utama
cenderung
berwarna
kusam
kecoklatan,
memperoleh
penampakan warna sirup yang seragam, memperoleh penampakan warna yang menarik, untuk memberi identitas dari sirup xanthone, dan sebagai indikator visual dari kualitas. Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia yang diatur dalam SK Meneteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/1988 dan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-0222-1995 mengenai Bahan Tambahan Makanan (BTM). Pewarna makanan terbagi menjadi tiga golongan yaitu pewarna alami, pewarna identik alami, dan pewarna sintetik (Bauernfeind, 1981). Jenis pewarna yang digunakan pada pembuatan sirup xanthone adalah pewarna alami yang diperoleh dari ekstrak rosela. Pewarna alami adalah bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani atau sumber-sumber mineral. Contoh yang tergolong pewarna alami antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid. Penggunaan pewarna alami dipilih karena efek warna yang terbentuk cerah, dapat memberikan rasa yang khas serta diharapkan sirup bersifat alami sehingga baik bagi kesehatan. Antosianin yang berasal dari ekstrak rosela adalah bahan yang dipilih untuk digunakan sebagai pewarna alami. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa) merupakan salah satu tanaman anggota keluarga Malvaceae (tanaman penghasil serat) yang pada bagian kelopak bunganya terkandung pigmen antosianin. Jenis antosianin utama yang terdapat pada
rosela yaitu delphinidin 3-sambubioside atau hibiscin, cyanidin 3sambubioside, delphinidin3-glucoside, dan cyanidin 3-glucoside (Du dan Francis, 1973). Pigmen antosianin pada kelopak bunga rosela tersebut telah banyak dimanfaatkan sebagai pewarna makanan yang berwarna merah. Penggunaan kelopak bunga rosela sebagai pewarna alami lebih disebabkan oleh kelebihan yang dimilikinya. Diketahui bahwa kelopak bunga rosela mengandung vitamin A, vitamin C, dan asam amino. Studi tetang sifat fisikokimia rosela menunjukkan bahwa rosela merupakan tanaman dengan kandungan asam yang tinggi dan gula yang rendah sehingga dengan tingginya rasa asam yang dimiliki oleh rosela dapat memperbaiki dan memberikan efek cita rasa yang lebih baik pada sirup xanthone (Fasoyiro et al., 2005). Bahan penting lainnya untuk membuat sirup selain pewarna alami adalah
pemanis.
Pemanis
merupakan
senyawa
kimia
yang
sering
ditambahkan dan digunakan untuk produk olahan pangan, industri, serta minuman dan makanan kesehatan. Fungsi pemanis dalam campuran sirup xanthone adalah untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifatsifat fisik dari sirup yang terbentuk, sebagai pengawet, dan memperbaiki sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori yang penting bagi tubuh. Jenis pemanis yang digunakan untuk sirup xanthone adalah pemanis nutritif alami. Pemanis nutritif alami merupakan jenis pemanis yang dapat menghasilkan sejumlah energi yang terdapat secara alami dalam bahan tertentu, contohnya madu, laktosa, gula tebu (sukrosa), gula aren, dan gula buah-buahan (fruktosa). Madu adalah pemanis nutritif alami yang dipilih untuk digunakan dalam campuran sirup xanthone. Madu merupakan cairan yang rasanya manis, dihasilkan oleh lebah madu dan berasal dari sari bunga atau dari cairan yang berasal dari bagian tanaman-tanaman hidup yang dikumpulkan, diubah dan diikat dengan senyawa-senyawa tertentu oleh lebah dan disimpan dalam sarangnya (SII, 1977). Penggunaan madu dipilih berdasarkan beberapa alasan yaitu jenis gula yang dominan terdapat pada madu adalah fruktosa sehingga memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan sukrosa dan
glukosa, dapat memperbaiki mutu rasa produk akhir (peningkatan rasa manis dan mengurangi rasa pahit), memperbaiki penampakan produk akhir (warna keemasan yang lebih nyata dan kecermelangan lebih baik), memperbaiki daya awet produk, dan madu memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti alat pencernaan, pernapasan, konstipasi, radang usus, jantung, hipertensi, dan sebagainya (Sumaprastowo dan Suprapto, 1980). Setelah pewarna dan pemanis, bahan terakhir yang diperlukan dalam pembuatan sirup xanthone adalah flavor. Flavor minuman dapat berasal dari buah, minuman buah atau flavor buatan (sintetik). Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber alami.
Keuntungan
menggunakan
flavor
sintetik
adalah
ekonomis,
konsentrasi tinggi, penyimpanan yang mudah, lebih stabil, dan lebih tahan lama. Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh senyawa flavor buatan yang baik diantaranya harus larut dalam air, tidak meninggalkan after taste, tahan asam, murni (bebas dari bahan pengotor), tahan panas, dan digunakan dalam jumlah yang tepat (Hezberg, 1978). Meskipun dalam jumlah kecil flavor sangat berarti atau berperan dalam produk minuman. Flavor Blackcurrant adalah flavor yang dipilih untuk dapat memperbaiki aroma dari sirup xanthone. Blackcurrant diketahui tergolong buah yang hampir serupa dengan anggur dimana bersifat asam sehingga aroma yang dihasilkan menyegarkan. Oleh karena itu, aroma ini dirasa paling sesuai dengan sirup xanthone yang juga memiliki rasa sedikit asam. Ekstrak kulit manggis, ekstrak rosela dan madu yang digunakan dalam pembuatan sirup xanthone adalah sebesar 50%, 10%, dan 40%. Jumlah ekstrak kulit manggis sebesar 50% dari total campuran didasarkan atas tujuan dari pembuatan sirup yaitu sebagai bentuk aplikasi dari ekstrak xanthone kulit manggis sehingga yang diinginkan bahwa penggunaan ekstrak kulit manggis akan lebih dominan dibandingkan dengan persentase bahan lain. Selain itu, produk akhir yang diharapkan adalah sirup yang dapat bermanfaat bagi kesehatan sehingga dengan tingginya persentase penggunaan ekstrak kulit manggis maka kandungan xanthone akan semakin tinggi sehingga sirup
dapat menjadi lebih berkhasiat. Madu adalah bahan lain yang paling banyak terdapat dalam campuran sirup selain ekstrak kulit manggis. Besarnya penggunaan madu adalah 40% dari total campuran. Hal ini didasarkan atas pengertian dari produk sirup yaitu sebagai larutan gula pekat maka penggunaan pemanis harus cukup besar agar kandungan gula yang ada dalam sirup dapat memenuhi SNI (minimal 65% kandungan gula). Penggunaan pewarna pada campuran sirup xanthone hanya sebesar 10% dari total campuran. Hal ini dikarenakan tampilan warna yang terbentuk ketika menggunakan 10% pewarna dirasa paling sesuai bagi produk sirup xanthone. Setelah mendapatkan formula dari masing-masing bahan maka dapat dilakukan proses pencampuran antara ekstrak kulit manggis, madu, dan ekstrak antosianin (50%, 40%, dan 10%). Selanjutnya sirup mengalami proses pemanasan hingga mendidih (± 90 - 95 oC) selama 10 menit. Pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk dapat mematikan mikroba yang terbawa pada saat proses pengolahan, serta menghilangkan ethanol yang ada pada sirup. Hal ini dikarenakan ekstrak kulit manggis yang digunakan sebagai salah satu campuran diperoleh dari proses ekstraksi menggunakan pelarut ethanol. Diketahui bahwa ethanol memiliki titik didih sebesar 78.3-78.4 oC, sehingga pemanasan yang dilakukan di atas titik didih ethanol diharapkan telah dapat menguapkannnya. Penambahan flavor blackcurrant sebesar 1% dari volume sirup dilakukan diakhir proses agar aroma yang terbentuk dapat maksimal. Produk sirup xanthone dapat dilihat pada Gambar 9.
1:2
1:3
1:4
Gambar 9 Sirup xanthone
Sirup xanthone yang dihasilkan selanjutnya akan mengalami pengujian secara kimia dan organoleptik. Pengujian secara kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi yang ada dalam sirup xanthone yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar xanthone, kadar vitamin C, total gula, pH, total mikroba, dan kadar alkohol. Uji organoleptik dilakukan dengan cara menyajikan sirup dengan perbandingan sirup:air sebesar 1:3. 2. Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan salah satu parameter pengujian produk pangan yang bertujuan untuk menilai mutu atau sifat-sifat sensorik dari suatu komoditi. Uji organoleptik tergolong ke dalam uji yang bersifat subyektif dengan menggunakan panelis berdasarkan tingkat kesukaan dan kepekaan yang bervariasi. Sekelompok orang (panelis) akan menilai mutu atau memberikan kesan berdasarkan prosedur yang diujikan. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik (kesukaan) dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Pengujian akan dilakukan terhadap 3 jenis produk yaitu A1, A2, dan A3 berdasarkan kriteria aroma, rasa, dan warna dengan skala penilaian antara 1-7. Pernyataan sangat suka bernilai 7, pernyataan suka bernilai 6, pernyataan agak suka bernilai 5, pernyataan netral bernilai 4, pernyataan agak tidak suka bernilai 3, pernyataan tidak suka bernilai 2, dan pernyataan sangat tidak suka bernilai 1. a. Aroma Kriteria aroma merupakan salah satu uji hedonik yang dilakukan pada penelitian ini. Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung ketika makanan masuk ke dalam mulut (Peckam, 1969). Hasil penilaian berdasarkan kriteria aroma dapat dilihat pada Gambar 11.
Skor Kesukaan
7 6 5 4 3 2 1 A1 (1:2)
A2 (1:3) Perbandingan Ethanol:Air
A3 (1:4)
Gambar 11 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan aroma sirup Respon yang diberikan panelis terhadap produk sirup xanthone menunjukkan bahwa produk A2 (produk dengan penggunaan konsentrasi ethnol dan air sebesar 1:3 pada proses ekstraksi xanthone) memiliki nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.43. Produk lain yang cukup disukai panelis berikutnya adalah A3 (produk dengan penggunaan konsentrasi ethanol dan air sebesar 1:4 pada proses ekstraksi xanthone) dengan rata-rata nilai kesukaan yaitu 5.27, sedangkan produk sirup yang memiliki nilai kesukaan terkecil yaitu A1 (produk dengan penggunaan konsentrasi ethanol dan air sebesar 1:2 pada proses ekstraksi xanthone) dengan rata-rata nilai sebesar 4.90. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai aroma ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Bau dari suatu produk makanan atau minuman harus menentukan kelezatan dari makanan atau minuman tersebut. Oleh karena itu, suatu zat harus bersifat mudah menguap dan larut dalam air sehingga dapat menghasilkan bau yang baik dalam penilaian aroma (Winarno, 1997). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 8) diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dari sirup xanthone tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara ketiga produk sirup. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah penggunaan konsentrasi flavor blackcurant pada A1, A2 dan A3 adalah sama yaitu
sebesar 1% dari total campuran sirup sehingga dengan ini panelis tidak merasakan perbedaan yang signifikan terhadap aroma dari produk yang dihasilkan. b. Rasa Rasa adalah kriteria lain yang menjadi penilaian terhadap tingkat kesukaan sirup xanthone. Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang terbentuk kemudian mengirimnya melalui syaraf ke pusat susunan syaraf. Hasil penilaian uji hedonik terhadap rasa dari sirup xanthone menunjukkan bahwa sirup dengan kode A2 memiliki nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.23. Sirup dengan kode A1 memiliki nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.90 dan sirup dengan kode A3 memiliki nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.63. Berdasarkan hal ini maka sirup dengan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 pada proses ekstraksi kulit manggis (A2) paling disukai dibandingkan dengan kedua produk sirup lainnya. Hasil uji hedonik untuk kriteria rasa dapat dilihat pada Gambar 12. 7 Skor Kesukaan
6 5 4 3 2 1 A1 (1:2)
A2 (1:3) A3 (1:4) Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 12 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan rasa sirup Hasil analisis sidik ragam pada taraf α=0.05 (Lampiran 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga produk sirup dengan A2 merupakan produk yang paling disukai. Hal ini
dapat disebabkan oleh penambahan pemanis berupa madu pada pembuatan sirup xanthone terhadap produk A1, A2 dan A3 adalah sama yaitu sebesar 40%, sehingga dengan ini panelis tidak merasakan perbedaan yang nyata dari ketiga produk. c. Warna Warna
merupakan salah satu karakteristik yang menentukan
penerimaan atau penolakan suatu produk oleh konsumen. Kesan pertama yang didapat dari bahan pangan adalah warna. Menurut Winarno (1997), penilaian mutu bahan makanan umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, namun dari faktor-faktor tersebut warna dari suatu produk adalah hal yang secara visual akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan. Hasil penilaian uji hedonik berdasarkan kriteria warna dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil penilaian uji hedonik berdasarkan kriteria warna dari sirup xanthone menunjukkan bahwa produk dengan kode A3 memiliki nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.47. Sirup dengan kode A1 memiliki tingkat kesukaan tertinggi setelah A2 dengan nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.53 dan sirup dengan kode A3 mendapatkan nilai rata-rata kesukaan terkecil yaitu sebesar 4.2. 7
Skor Kesukaan
6 5 4 3 2 1 A1 (1:2)
A2 (1:3) A3 (1:4) Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 13 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan warna sirup
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α=0.05 (Lampiran 12) diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga produk tersebut. Melalui hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa sirup dengan kode A1 tidak berbeda nyata dengan sirup A3, sedangkan sirup dengan kode A2 berbeda nyata terhadap sirup A1 dan A3. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kadar antosianin yang terkandung pada ekstrak kulit manggis yang digunakan. Semakin tinggi kadar antosianin yang ada pada hasil ekstraksi kulit manggis maka warna sirup yang dihasilkan akan semakin merah pekat karena penambahan ekstrak rosela (pewarna alami) untuk ketiga produk adalah sama yaitu 10%. Nilai kadar antosianin tertinggi dimiliki oleh ekstrak kulit manggis dengan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 (A1), kemudian diikuti oleh ekstrak kulit manggis dengan penggunaan ethanol dan air sebanyak 1:3 (A2) dan ekstrak kulit manggis dengan pengunaan ethanol dan air sebanyak 1:4 (A3). Oleh karena itu, sirup dengan kode A1 akan memiliki warna yang paling merah dibandingkan dengan sirup pada kode A2 dan A3. Pada penilaian sirup terhadap kriteria warna, umumnya panelis akan lebih menyukai sirup dengan warna yang tidak merah pekat, namun tidak pula merah pucat. Sirup dengan kode A1 lebih menghasilkan warna yang merah pekat, sedangkan sirup dengan kode A3 memiliki warna yang merah pucat. Berdasarkan hal ini, maka panelis cenderung menyukai sirup dengan kode A3 yang memiliki warna dengan tingkat kemerahan yang lebih baik. 3. Karakteristik Sirup Xanthone Analisa produk adalah analisa akhir yang dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia dari suatu produk. Pada penelitian ini, analisa dilakukan terhadap formula sirup xanthone dengan penggunaan ekstrak kulit manggis 1:2 (ethanol:air). Penggunaan sirup ini sebagai sirup terpilih dikarenakan kandungan senyawa aktif yang dimiliki dan tingkat kesukaan yang paling baik diantara formula sirup lainnya. Hasil Analisa sirup xanthone dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik sirup xanthone Karakteristik Kadar Air (%) Kadar Abu (%bk) Kadar Protein (%bk) Kadar Serat (%bk) Kadar Xanthone (mg/100ml) Total Gula (%) Kadar Vitamin C (%bk) Kadar Alkohol (%) pH Total Mikroba (koloni/ml)
Jumlah 41.73 0.86 0.36 0.07 46.49 60.41 14.08 0.85 4.00 3.67
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil analisa kadar xanthone menunjukkan nilai sebesar 46.49 mg/100 ml sirup. Nilai kadar xanthone ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai xanthone yang seharusnya terkandung pada sirup xanthone. Diketahui bahwa dalam proses pembuatan sirup, ekstrak kulit manggis yang digunakan adalah sebesar 50% sehingga dengan penggunaan ekstrak kulit manggis 1:2 (kadar xanthone 97.68 mg/100 ml contoh) seharusnya terkandung senyawa xanthone sebesar 48.84 mg/100 ml. Berkurangnya kandungan xanthone pada sirup dapat disebabkan oleh proses pemanasan yang terjadi ketika pembuatan sirup. Saat proses pemanasan terdapat senyawa xanthone yang ikut teruapkan bersama air dan alkohol sehingga terjadi kehilangan sebesar 2.34 mg xanthone. Hasil perhitungan total gula dengan metode fenol (Lampiran 13) terhadap sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 60.41%. Nilai ini lebih rendah dari total gula sirup berdasarkan SNI 01-3544-1994 yaitu minimal 65%. Hal ini dapat disebabkan oleh persentase penggunaan madu sebagai pemanis yang hanya sebesar 40%. Dalam pembuatan sirup umumnya penggunaan bahan pemanis yang ditambahkan melebihi 50% dari total campuran sirup. Sedangkan dalam sirup xanthone, kandungan utama bahan yang diinginkan adalah xanthone sehingga pemakaian madu sebagai pemanis kurang dari 50%. Hasil pengujian terhadap nilai kadar vitamin C sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 14.08 %. Nilai kadar vitamin C yang cukup tinggi pada sirup xanthone dapat disebabkan oleh adanya penggunaan ekstrak rosela. Diketahui bahwa kandungan vitamin C (asam askorbat) dari
rosela 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing dan 25 kali dari jambu biji. Kadar alkohol adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan alkohol dalam suatu bahan. Hasil pengujian terhadap sirup xanthone menunjukkan nilai kadar alkohol sebesar 0.85%. Adanya kandungan alkohol yang tertinggal pada produk sirup xanthone dapat disebabkan oleh terikatnya ethanol pada senyawa-senyawa aktif pada sirup sehingga sulit teruapkan dengan proses pemanasan. Menurut peraturan Menteri Kesehatan No 86 tahun 1997, minuman beralkohol dapat dibedakan menjadi tiga golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5%, golongan B dengan kadar alkohol 5-20%, dan golongan C dengan kadar alkohol 20-55%. Berdasarkan hal ini maka sirup xanthone dapat dikatakan sebagai minuman yang tidak beralkohol. Sedangkan dari segi kehalalan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) suatu bahan makanan atau minuman dapat dikatakan halal apabila memiliki kadar alkohol dibawah 1% dan kadar alkohol pada sirup xanthone adalah dibawah 1% sehingga sirup xanthone bersifat halal. Hasil pengamatan terhadap nilai pH yang dilakukan pada sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 4. Menurut Fardiaz (1992), bahan pangan dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan nilai pH-nya yaitu bahan pangan bersasam rendah (pH>5.3), bahan pangan berasam sedang (pH 4.5-5.3), bahan pangan asam (pH 3.7-4.5), dan bahan pangan berasam tinggi (pH<3.7). Berdasarkan hal ini maka produk sirup xanthone dapat dikategorikan sebagai produk berbahan pangan asam. Tingkat keasaman yang cukup tinggi pada sirup xanthone dapat disebabkan dari adanya penggunaan ekstrak rosela di dalam campurannya. Kandungan total mikroba yang ada dalam sirup xanthone diketahui sebesar 3.67 koloni/ml sampel. Hal ini masih dalam batas yang dapat diterima untuk produk sirup. Menurut SNI 01-35441994, diketahui bahwa cemaran mikroba yang dapat diterima berdasarkan angka lempeng total maksimal 500 koloni/ml. Adanya mikroba yang ditemukan dalam produk sirup xanthone dapat disebabkan oleh proses produksi yang kurang steril ataupun proses penanaman mikroba yang terkontaminasi oleh lingkungan.
V.
A.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Proses ekstraksi kulit manggis dapat dilakukan menggunakan metode maserasi dengan pelarut campuran ethanol 70% dan air pada perbandingan 1:2. Hasil ekstraksi memiliki nilai kadar xanthone sebesar 97.68 mg/100 ml contoh, kadar antosianin sebesar 4.49 mg/g contoh, kadar tanin sebesar 1.18%, dan kadar serat sebesar 0.16%. Ekstrak kulit manggis dengan kadar xanthone 97.68 mg/100 ml contoh tersebut diaplikasikan dalam bentuk sirup dengan menggunakan bahan tambahan berupa madu, ekstrak rosela, dan flavor blackcurrant. Persentase penggunaan setiap bahan yaitu 50 % untuk ekstrak kulit manggis perbandingan 1:2 (ethanol:air), 40% untuk madu, 10% untuk ekstrak rosela, dan 1% untuk flavior blackcurrant. Analisa terhadap sirup xanthone diketahui memiliki kandungan xanthone sebesar 46.49 mg/100 ml sirup, kadar vitamin C 14.08%, kadar alkohol 0.85%, dan total gula 60.41%.
B.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Proses ekstraksi kulit manggis perlu dilakukan dalam berbagai perbandingan pelarut-bahan untuk mengetahui optimalisasi kadar xanthone yang dapat dihasilkan. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh lamanya penyimpanan kulit manggis terhadap kadar xanthone, tanin, dan antosianin 3. Perlu adanya pendugaan umur simpan pada sirup xanthone sehingga dapat mengetahui waktu dimana produk ini tidak layak untuk dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA . Anonim. 2009. Pedoman Pengenalan dan Pengendalian Manggis. http://ditlin. hortikultura.deptan. go.id/manggis /lampiran 01.htm. [ 03 Mei 2010]. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analitycal Chemistry, Washington DC. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1986. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor (IPB Press), Bogor. Bernardini, E. 1983. Oilseeds, Oils and Fats. Volume I. Raw Materials and Extraction Techniques. Publishing House, Rome. Bombardelli, E. 1991. Technologies for The Processing of Medicinal Plants. Di dalam R. O. B. Wijesekera. The Medicinal Plant Industry. CRC Press, Boca Raton. Buckle, K. A., R. A. Edward, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Food Science. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta. Baurnifiend, J. C. 1981. Caretenoid as Colorant and Vitamin A Precusor. Academic Press, New York and London. Danesi, P. R. 1992. Solvent Extraction Kinetics. Di dalam Rydberg, J., C. Musikas dan G. R. Choppin. Principles and Practices of Solvent Extraction. Marcel Dekker Inc., New York. Du, C. T. dan F. J. Francis. 1973. Anthocyanins of Roselle (Hibiscus sabdariffa L.). J. Food Sci. 38:818. Durran, T. H. 1933. Solvents. Van Nostrand Company Inc., New York. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fasoyiro, S. B., O. A. Ashaye, A. Adeola, dan F. O. Samuel. 2005. Chemical and Storability of Fruit Flavoured (Hibiscus sabdarifa, L.) Drinks. J. Word Journal of Agricultural Sciences 1 (2): 165-168. http://www.idosi.org/wjas/wjast(2). Pdf. [ 20 Mei 2010]. Fieser dan Fieser. 1997. Reagents For Organic Synteshis, Vol IV. John Willey and Sons Inc., New York. Gallaher, D. 2000. Dietary Fiber and Its Physiological Effects. Di dalam Schmide, M. K. dan T. P. Labuza. Essentials of Functional Food. Aspen Publication., Maryland.
Gaman, P. M. dan K. B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. The Science of Food, An Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. Penerjemah: G. Murdijati. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Gamse, T. 2002. Liquid-Liquid Extraction and Solid-Liquid Extraction. Institute of Thermal Process and Environmental Engineering, Graz University of Technology, hal. 2-24. Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia Ed. Ke 2. Phytochemical Methods. Penerjemah: Kosasih. ITB, Bandung. Haryanto. 1998. Sirup Sirsak. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hezberg, T. 1978. Non Alkoholic Food Science Beverages Handbook. The AVI Publishing Co. West Port, Connecticut. Houghton, P. J. dan A. Rahman. 1998. Laboratory Handbook for Fractination of Natural Extracts. Chapman and Hall, London. Hernawan, U.E. dan A.D Setyawan. 2003. Ellagitanin; Biosintesis, Isolasi, dan Aktivitas Biologi. J. Biofarmasi 1: 25-38. Jastrzebska, W., T. Librowski, R. Czarnecki, A. Marona, dan G. Nowak. 2003. Central Activity of New Xanthone Derivates withChiral Center in Some Pharmacological Tests in Mice. Poshs Journal of Pharmacology 55: 461465. Ji, X., B. Avula, dan I. A. Khan. 2007. Quantitative And Qualitative Determination Of Six Xanthones In Garcinia Mangostana L.. J Pharm Biomed Anal 43: 1270-1276. http://www3.interscience.wiley.com/journal. [30 Juni 2010]. Kirk, R. E., dan R. F. Othmer. 1951. Encyclopedia of Chemical Technology, vol. 9. John Wiley and Sons Ltd, Canada. Kylwe. 1956. Packaging on The Food Product. Interscine Publishing. Inc, New York. List, P. H. dan P. C. Schmidt. 1989. Phytopharmaceutical Technology. CRC Press, Boston Makfoeld. 1982. Proses Pengolahan Buah-buahan dan Terapannya. Liberty, Yogyakarta. Mc Cabe, W. L. dan J. C. Smith. 1974. Unit Operations of Chemical Engineering 3th ed. Mc Graw Hill International Book Company, New York.
Nurkhamari dan Purnomo. 1979. Pemanfaatan Kulit Buah Manggis sebagai Bahan Pembuat Gel. Departemen Perindustrian, Jakarta. Obolskiy, D., P. Ivo, S. Nisarat, dan H. Michael. 2009. Garcinia mangostana L.: A Phytochemical and Pharmacological Review. http://www.interscience.wiley.com. Diakses tanggal 15 Mei 2010. Pantastico, E. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan BuahBuahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. Postharvest Physiology, Handling and Utilisation of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. Penerjemah: Kamariyani dan G. Tjitrosoepomo. UGM Press, Yogyakarta. Parveen, M., U. K. Nizam, A. Basudeb, dan K. D. Pradeep. 1991. A Triterpen From Garcinia Mangostana. Phytochemistry 30 (1):361-362. Peckham, G. C. 1969. Foundation of Food Preparation 2nded. The Mac Milla Co., Callier Mac Millan Ltd., London. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 86/Menkes/Per/V/1997 Tentang Minuman Keras. Pradipta, V. S., T. W. Nikodemus, dan Y. Susilawati. 2007. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Golongan Xanhtone Dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana,L.). PDII-LIPI : 64-77. Qonytah. 2004. Kajian Perubahan Mutu Manggis (Garcinia mangostanaL.)dengan Perlakuan Pre-Cooling dan Penggunaan Giberelin Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sediawan, W. B. dan A. Prasetya. 1997. Pemodelan Matematis dan Penyelesaian Numeris dalam Teknik Kimia dengan Pemrograman Bahasa Basic dan Fortran. Andi, Yogyakarta. Setyawati, N. A. 2000. Pengaruh Perendaman Konsentrasi Larutan Kapur Tohor terhadap Efektifitas Netralisasi Rasa Pahit pada Produk Jelly Kulit Buah Manggis. Tesis. Fakultas Teknik UNNES, Semarang. SII-0153-77. 1977. Standar Industri Indonesia Mutu dan Cara Uji Sirup. Departemen Perindustrian, Jakarta Siriphanick, J. dan V. Luckanatinvong. 1997. Chemical Composition and The Development Of Flesh Translucent Disorder In Mangosteen. In Proceeding Of The Australian Postharvest Holticulture, Univ. Of Western Sydney Hawkesburry, NSW Australia: 410-413. Sluis, W.G. 1985. Secoiridoids and Xanthones in The Genus Centaurium Hill (Gentianaceae). Drukkerij Elinkwijk, Utrecht.
SNI 01-3544-1994. 1994. Standar Nasional Indonesia untuk Sirup. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Suhardjo dan M. K. Clara. 1987. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Sumoprastowo dan Suprapto. 1980. Beternak Lebah Madu. Bharatara Karya Aksara, Jakarta Suyitno, Handoko, dan W. Bagus. 1989. Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan Proyek Pengembangan. Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas (Bank Dunia XVII). PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta. Stacrk, A. dan Z. Madar. 1994. Dietary Fiber. Di dalam Goldberg. Functional Foods, Designer Food, Pharmafoods, Nutraceuticals. Chapman and Hall, New York. Thorpe’s, J. F. dan M. A. Whiteley. 1954. Thorpe’s Dictionay of Applied Chemistry. Volume II. 4th. Longmans, Green and Co., London. Verherj E. W. M. dan R. E. Coronel. 1997. Proses II. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara Buah-buahan yang Dapat Dimakan. Gramedia, Jakarta. Ucko, D. A. 1982. Basic for Chemistry. Academic Press Inc., New York. Walker, E. B. 2007. HPLC Analysis Of Selected Xanthones In Mangosteen Fruit. Weber State University, Ogden, USA. Weast, R. C. dan M. J. Astle. 1982. Handbook of Chemistry and Physics 63rd ed. CRC Press, USA. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lampiran 1. Prosedur Analisis a.
Kadar Air (AOAC, 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Sebelum digunakan, cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 100oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan yang sudah kering ditimbang (a gram). Sekitar 5 gram sampel ditimbang dengan cepat dalam cawan (x gram), kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya konstan (y gram). Selanjutnya kadar air dihitung dengan cara berikut: x y 100 Kadar air (%wb) = x a
Keterangan :
x y 100 Kadar air (%db) = y a
x = bobot sampel basah y = cawan dan bobot kering a = bobot cawan kering
b.
Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan dengan tanur pada suhu 500oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang dengan neraca analitik (a gram). Sekitar 2 gram sampel ditimbang dalam cawan porselen (w gram). Sampel diarangkan diatas hot plate selama 30-60 menit sampai tidak berasap, kemudian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 2 jam dan ditimbang (x gram). Kadar abu dihitung dengan rumus berikut: xa 100 Kadar abu (% wb) = w a
Keterangan: x = bobot cawan dan abu w = bobot sampel a = bobot cawan kering c.
Kadar Lemak (AOAC, 1995) Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet
dikeringkan dalam oven kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (a gram). Sebanyak ± 5 gram (x gram) sampel kering ditimbang pada kertas saring yang sesuai dengan ukuran kemudian ditutup dengan kapas-wool yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet kemudian alat kondensor dipasang diatasnya dan labu lemak dibawahnya. Pelarut dietil eter dituangkan dalam labu lemak secukupnya. Proses refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, ditimbang labu beserta lemaknya (b gram). Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut: ba 100 Kadar lemak (% wb) = x
Keterangan: x = bobot sampel a = bobot labu lemak kering b = bobot labu lemak dan lemak d.
Kadar Serat (AOAC, 1995) Bahan sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan dengan 100 ml H2SO4 0.325 N. Bahan selanjutnya dihidrolisis di dalam otoklaf bersuhu 105o C selama 15 menit. Bahan yang telah dihidrolisis kemudian didinginkan dan ditambahkan 50 ml NaOH 1.25 N. Hidrolisis bahan dilakukan kembali di dalam otoklaf bersuhu 105oC selama 15 menit. Bahan disaring menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Setelah itu, kertas saring dicuci berturut-turut dengan air panas+25 ml aceton/alkohol. Kertas saring dan bahan kemudian diangkat dan dikeringkan dalam oven bersuhu 110 oC selama ± 1-2 jam.
Kadar Serat (%) =
(Berat kertas saring + bahan) − Berat kertas saring x 100% Berat awal bahan
e.
Kadar Protein Sekitar 0.1 – 0.5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Sebanyak 2 gram campuran selenium atau satu butir Kjeltabs dan 25 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu, dididihkan dalam digestion system hingga dingin. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Labu dibilas 23 kali dan larutan diencerkan sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml larutan dipipet kedalam alat penyuling, ditambah 10 ml NaOH 30% dan 3-5 tetes indikator PP dan dilakukan destilasi selama 10 menit. Destilat ditampung dalam 25 ml asam borat 2% yang telah dicampur dengan 5 tetes indikator BCG-MM kemudian larutan dititrasi dengan HCl 0.01N dan dibuat juga blanko. Berikut ini adalah rumus perhitungan kadar protein: (VHCL Vblanko) NHCL 14.007 FK FP 100 Wsampel Kadar Protein (%wb) =
Keterangan: FK = Faktor Konversi (6.25) FP = Faktor Pengenceran f.
Kadar Karbohidrat (Winarno, 2002) Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan metode by difference menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar Karbohidrat (% wb) = 100 - (% air + % abu + % lemak + % protein)
g.
Kadar Antosianin (Boyko et al., 2006) Penentuan total kadar antosianin dilakukan dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Boyko et al. (2006) yang dimodifikasi. Mulamula sebanyak 500 mg ekstrak dilarutkan ke dalam 9 ml metanol kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dipisahkan antara filtrat dengan solidnya. Filtrat yang terbentuk kemudian diencerkan sebanyak 10 kali menggunakan metanol sehingga didapatkan larutan ekstrak dengan konsentrasi 5000 ppm. Setelah dilakukan pengenceran, sebanyak 9 ml ekstrak tersebut masing-masing dicampur dengan 0.25 M buffer KCl (pH 1,0;1ml) dan 4M buffer asetat (pH 4.5;1ml)
A x M x DF x 103 Total antosianin (mg/ g sample) = εxW Keterangan: A =
Selisih absorbansi pH1.0 dengan pH4.5 pada 515
M
Bobot molekul sianidin 3-Oglukosida (445 g/mol)
=
DF =
Faktor Pengenceran
Ε
Absorbansi molar sianidin 3-O-glukosida (29.600 L mol-1 cm-1)
=
W = h.
Bobot kering ekstrak yang digunakan (gram)
Kadar Tanin (AOAC, 2005) a. Reagen 1.
Larutan asam oksalat-0.1N. 1 ml = 0.006235 gram asam quercitannic atau 0.0008 gram O diserap
2.
Larutan potassium permanganate standar- Larutkan 1.33 gram KMnO4 dalam 1 L H2O dan distandarisasi sesuai 1).
3.
Larutan indigo- Larutkan 6 gram Na indigotin disulfonat dalam 500 ml H2O dengan dipanaskan, kemudian didinginkan dan ditambahkan 50 ml H2SO4, encerkan hingga 1 L dan saring
b. Penentuan Kadar Tanin Ekstrak 2 gram sampel, 20 jam dengan anhidrit eter. Residu direbus selama 2 jam dengan 300 ml H2O, dan didinginkan. Kemudian encerkan hingga 500 ml dan saring. Ukur 25 ml dari infusi ke dalam 2L cawan petri serta tambahkan 20 ml larutan indigo dan 750 ml H2O. Tambahkan larutan KmnO4 hingga larutan berwarna kuning emas. Dengan cara yang sama, titrasi campuran 20 ml indigo dan 750 ml H2O. Multiplekan perbedaan antara kedua titrasi dengan faktor desire, 30.018 (1), untuk mendapatkan asam quetri tannic atau O yang diserap. FP x (a-b) x N x 0.006235 Kadar Tanin (%) = bobot contoh
Keterangan: FP = a
Faktor Pengenceran
= ml KMnO4 untuk contoh
B = ml KMnO4 untuk blanko N =
Normalitas KMnO4
1 ml KmnO4 (0.1N) setara dengan 0.006235 gram tanin i.
Kadar Xanthone Penentuan total xanthone dilakukan dengan menggunakan prinsip metode Boyko (1982) dengan menggunakan nilai estimasi -mangostin. Mulamula sebanyak 10 ml sampel diekstrak menggunakan 10 ml etil asetat sebanyak tiga kali. Hasil ekstraksi tersebut kemudian diuapkan menggunakan rotavapor pada suhu 60°C hingga diperoleh padatan kuning. Padatan tersebut kemudian dilarutkan ke dalam 10 ml metanol untuk kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 320 nm. Perhitungan yang digunakan dapat dilihat di bawah ini.
C=
A εxb
Jumlah xanthone (mg/ml sampel) =
C x BM x 10 x FP ml sampel
Keterangan: A
=
Absorbansi
b
=
Lebar kuvet (mm)
ε
=
emisifikasi -mangostin (3.16 x 103 liter/mol)
C
=
konsentrasi ekstrak (mol/liter)
BM =
j.
massa molekul relatif -mangostin (410.47 gr/mol)
Nilai pH (Apriyanto et al., 1989) Pengukuran derajat keasaman (pH) dilakukan dengan pHmeter. Sebelumnya alat dikalibrasi dengan buffer pH 7 dan pH 4. Kemudian 25 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala. Elektroda siap ditempatkan dalam sampel, sehingga dapat dibaca nilai pH yang terukur.
k.
Total Gula (Modifikasi Apriyantono et al) 1.
Pembuatan Kurva Standar Pipet sebanyak 2 ml larutan fruktosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, dan 60 µ glukosa yang masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan 1 ml larutan fenol 5% , kocok dan secara cepat masukkan 5 ml larutan asam sulfat pekat. Ukur absorbansi larutan pada panjang gelombang 490 nm setelah larutan dirasa dingin.
2.
Penetapan Sampel Masukkan 2 ml sampel ke dalam tabung reaksi, kemudian tambahkan 1 ml larutan fenol dan 5 ml larutan asam sulfat pekat. Hitung absorbansi pada panjang gelombang 490 nm setelah larutan dingin. Sampel yang digunakan untuk pengujian harus berwarna bening. Gunakan pengenceran jika sampel berwarna keruh. Hitung nilai total gula berdasarkan kurva standar.
l.
Kadar Vitamin C Sebanyak 10 gram bahan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, dan ditepatkan hingga tera. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 25 ml dan ditambahkan dengan 1 ml larutan kanji 10% dan kemudian titrasi dengan cepat memakai larutan yod 0.01 N sampai timbul perubahan warna. Setiap ml yod 0.01 N sebanding dengan 0.88 mg asam askorbat, sehingga kadar asam askorbat (vitamin C) dari bahan dapat dihitung dengan rumus: ml yod 0.01 N x 0.88 x P x 100 A= bobot contoh Keterangan: A= miligram asam askorbat per 100 gram bahan P= Jumlah pengenceran
m. Total Mikroba Sebanyak 1 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer. Selanjutnya dilakukan pengocokan hingga homogen. Pengenceran dan pemupukan dilakukan hingga tingkat 10-3. Dari pengenceran 10-2 dan 10-3, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril (pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 15-20 ml. Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau angka delapan. Setelah medium membeku, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37oC selama 2 hari (48 jam).
Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Karakterisasi Ekstrak Kulit Manggis
Perlakuan Ethanol:Air 1:2
1:3
1:4
Parameter yang diamati Ulangan 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata
K. Xanthone (mg/100 ml) 99.62 99.24 99.43 97.03 98.33 97.68 55.46 57.54 56.50
K. Antosianin (mg/g) 6.08 5.17 5.63 4.90 4.07 4.49 4.17 3.80 3.99
K. Serat (%) 0.18 0.21 0.19 0.15 0.16 0.16 0.11 0.12 0.18
K. Tanin (%) 0.70 1.18 0.94 1.18 1.18 1.18 1.18 1.65 1.42
Lampiran 3. Tabel Analisa Keragaman Kadar Xanthone
Sumber Keragaman
df
SS
MS
Rata-Rata
1
42878.69
42878.69
Perlakuan
2
2361.23
1180.61
Error
3
3.08
1.03
Total
6
45242.99
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
1149.79
9.55
Kesimpulan: Fhitung > Ftabel maka terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Ethanol-Air terhadap Kadar Xanthone Perlakuan
Rata-Rata
1:2
99.43
a
1:3
97.68
a
1:4
Pengelompokan Duncan
b 56.50 Kesimpulan: pengelompokan Duncan dengan huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata
Lampiran 4. Tabel Analisa Keragaman Kadar Antosianin
Sumber Keragaman df
SS
MS
Rata-Rata
1
132.45
132.45
Perlakuan
2
2.83
1.41
Error
3
0.83
0.28
Total
6
136.09
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
5.13
9.55
Kesimpulan : F hitung < F tabel maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
Lampiran 5. Tabel Analisa Keragaman Kadar Serat
Sumber Keragaman df
SS
MS
Rata-Rata
1
0.14
0.14
Perlakuan
2
0.01
0.00
Error
3
0.00
0.00
Total
6
0.15
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
17.46
9.55 30.82
Kesimpulan : Fhitung > Ftabel maka terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Ethanol-Air terhadap Kadar Serat Perlakuan
Rata-Rata
Pengelompokan Duncan
1:2
0,19
a
1:3
0,16
a
1:4
0,12
b b
Kesimpulan: pengelompokan Duncan dengan huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata
Lampiran 6. Tabel Analisa Keragaman Kadar Tanin
Sumber Keragaman
df
SS
MS
Rata-Rata
1
8.33
8.33
Perlakuan
2
0.23
0.11
Error
3
0.23
0.08
Total
6
8.78
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
1.50
9.55
Kesimpulan : F hitung < F tabel maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
Lampiran 7. Rekapitulasi Nilai Hedonik Aroma Sirup Xanthone
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Total Rata-Rata
A1 7 4 3 5 6 3 6 5 5 3 6 6 5 6 5 4 6 7 5 6 3 2 5 2 6 5 6 4 5 6 147 4.90
Kode Perlakuan A2 7 5 6 3 7 4 7 6 5 6 5 6 4 6 6 4 6 6 4 6 3 6 5 6 6 6 6 5 5 6 163 5.43
Keterangan: A1: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:2 A2: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:3 A3: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:4
A3 7 5 3 4 5 5 6 4 5 6 6 6 6 5 5 6 6 7 3 6 6 2 6 5 6 4 6 5 6 6 158 5.27
Lampiran 8. Tabel Analisa Keragaman Aroma Sirup Xanthone
Sumber Keragaman
df
SS
MS
Rata-Rata
1
2433.60
2433.60
Perlakuan (Ai)
2
4.47
2.23
Kelompok (Bj)
29
55.53
0.96
Error
58
72.40
1.25
Total
90
2493.60
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
2.33
3.15
Kesimpulan : F hitung < F tabel maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
Lampiran 9. Rekapitulasi Nilai Hedonik Rasa Sirup Xanthone
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Total Rata-Rata
A1 2 5 3 6 4 3 6 5 5 5 2 4 6 5 5 5 5 7 6 3 5 3 6 2 5 3 7 6 5 5 139 4.63
Keterangan: A1: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:2 A2: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:3 A3: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:4
Perlakuan A2 5 6 6 7 6 2 7 7 5 6 2 4 6 5 6 6 5 6 5 5 6 2 6 5 7 3 5 5 5 6 157 5.23
A3 4 2 3 5 4 5 7 5 5 5 2 4 6 5 5 5 6 7 3 6 4 7 6 3 4 5 6 6 6 6 147 4.90
Lampiran 10. Tabel Analisa Keragaman Rasa Sirup Xanthone
Sumber Keragaman
df
SS
MS
Rata-Rata
1
2180.54
2180.54
Perlakuan (Ai)
2
5.42
2.71
Kelompok (Bj)
29
71.24
1.23
Error
58
99.79
1.72
Total
90
2257.21
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
2.21
3.15
Kesimpulan : F hitung < F tabel maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
Lampiran 11. Rekapitulasi Nilai Hedonik Warna Sirup Xanthone
Perlakuan
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Yi Rata-Rata
A1 2 3 3 2 5 5 5 6 5 5 4 4 5 4 6 5 6 7 5 4 4 3 5 5 4 6 5 5 6 2 136 4.53
Keterangan: A1: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:2 A2: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:3 A3: Sirup dari hasil ekstrak kulit manggis 1:4
A2 3 5 6 6 6 4 7 6 6 6 5 5 6 6 5 6 7 6 4 4 3 6 5 6 6 5 5 6 7 6 164 5.47
A3 2 6 2 2 5 4 4 4 5 4 4 6 6 4 6 5 6 7 2 4 5 2 6 3 4 2 6 3 5 2 126 4.20
Lampiran 12. Tabel Analisa Keragaman Rasa Sirup Xanthone
Sumber Keragaman
df
SS
MS
Rata-Rata
1
2016.40
2016.40
Perlakuan (Ai)
2
25.87
12.93
Kelompok (Bj)
29
68.80
1.19
Error
58
80.93
1.40
Total
90
2111.07
F Hitung
F Tabel (α=0.05)
10.90
3.15
Kesimpulan : F hitung > F tabel maka terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan Uji Lanjut Duncan terhadap Rasa Sirup Xanthone Perlakuan
Rata-Rata
A2
5.47
A1
4.53
Pengelompokan Duncan a b
b A3 4.20 Kesimpulan: pengelompokan Duncan dengan huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata
Total Gula (ppm)
Lampiran 13. Grafik Kurva Standar Fenol
70 60 50 40 30 20 10 0
y = 67.046x + 0.2409 2
R = 0.999
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Absorbansi
Total Gula Sirup Xanthone Ulangan
Absorbansi
Pengenceran
1 2
0.084 0.089 Total
10-5 10-5
Total Gula (ppm) 587,276.40 620,799.40 604,037.90
Total Gula (%) 58.72 62.07 60.40