Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
Eksternalitas Penambangan Pasir Pantai Secara Tradisional Terhadap Ekosistem Mangrove dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Merauke Traditionally Beach Sand Mining Externalities on Mangrove ecosystem and Socioeconomic Coastal communities in Merauke Muhammad Hatta Arisandi1, Suriani br. Surbakti2, Nurhasanah3 1
Pascasarjana MMP Universitas Terbuka, Jakarta, email:
[email protected] 2 Pascasarjana, Universitas Cendrawasih 3 Pascasarjana, Universitas Terbuka, Jakarta
Program Pascasarjana Universitas Terbuka Graduate Studies Program Indonesia Open University Abstrak Penambangan pasir pantai di Kabupaten Merauke merupakan salah satu aktivitas yang bisa berdampak pada ekosistem, lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat, saat ini dan masa mendatang. Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas tersebut, maka dilakukan penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode: observasi, kuesioner, wawancara mendalam dan penelusuran literatur. Metode analisis data untuk mengetahui tingkat kerusakan mangrove yaitu : kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting. Persepsi masyarakat dan tingkat pendapatan dianalisis dengan metode prosentase dan grafik/tabel. Eksternalitas terhadap aktivitas penambangan pasir pantai dilakukan dengan analisis perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambangan pasir pantai mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove di sepanjang wilayah pesisir Distrik Merauke. Penambangan pasir pantai memberi dampak negatif terhadap lingkungan yaitu rusaknya hutan mangrove dan abrasi pantai. Dampak lain yang ditimbulkan adalah menurunnya hasil tangkapan dan pendapatan nelayan, hal ini diperkuat oleh persepsi negatif masyarakat yang tinggi terhadap aktivitas penambangan pasir pantai. Selain dampak negative. Dampak positif dari aktivitas tersebut adalah meningkatkanya pendapatan masyarakat penambang. Masyarakat telah memahami, dengan menambang pasir dapat mengakibatkan kerusakan pada mangrove, namun karena tuntutan ekonomi maka masyarakat tetap melakukan aktivitas tersebut. Eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kegiatan penambangan pasir pantai jauh lebih besar dengan potensi kerugian bisa mencapai Rp.128.109.000.000,- jika dibandingkan dengan eksternalitas positif hanya berpotensi menghasilkan Rp. 25.904.201.428,-. Kata kunci : Eksternalitas, Penambangan Pasir Pantai, Mangrove, Masyarakat pesisir Abstract Beach sand mining in Merauke is one activity that could have an impact on the ecosystem, environmental, social and econonomic society, now and future. To find out how big the impact of these activity, than conducted research. This research is descriptive, with qualitative and quantitative approaches. Data Collected by the method: observation, questionnaires, depth interviews and literature search. ISSN : 2356-3907
1
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
Data analysis methods used to determine the level of mangrove damage: relative density, relaitive frequency, relative dominance and importance value index. Public perception and income levels were analized by the method of percentage and graphs/table. Eksternalities on beach sand mining activities carried out by comparative analysis. The result of this research indicate that the beach sand mining resulting in damage to the mangrove forests along the merauke distric. Beach sand mining have a negative impact on the environment, namely the destruction of mangrove forest and coastal erotion. Other impacts are declining cathes and income of fisherman, especially shrimp fiherman. This condition is reinforced by the negative perception that society high on beach sand mining activity. In addition to the negative impact, the activity have the positive impact on the sand community rising incomes, and contributing to increase tax revenue from mineral group C. Society has to understand, with the sand mining may result in damage to the mangroves, that due to the economic demand of the people still do these activities. Negative externalities resulting from sand mining activities is far greater with potential losses could reach Rp.128.109.000.000, - when compared with the potential to generate positive externalities only Rp.25.904.201.428 Keywords: Externalities, Mining Sand beach, mangrove, coastal communities Pendahuluan Berbagai aktivitas dilakukan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan laut Kabupate Merauke seperti menangkap ikan, menjaring udang, menangkap kepiting dan pertambangan pasir pantai menjadikan keberadaan wilayah tersebut menjadi sangat penting untuk menopang kelangsungan hidup masyarakat disekitarnya. Penambangan pasir pantai di Kabupaten Merauke umumnya dilakukan di ekosistem mangrove. Aktivitas penambangan ini mengakibatkan banyaknya pohon mangrove yang ditebang sehingga mengakibatkan kerusakan dan menurunnya fungsi alami hutan mangrove. Kondisi ini dapat mengancam kelestarian biota periaran dan kelangsungan hidup masyarakat pesisir di Kabupaten Merauke. Kerusakan lingkungan di wilayah pantai/pesisir Indonesia sampai saat ini belum bisa ditanggulangi dengan optimal. Bahkan yang terjadi saat ini, berbagai kerusakan lingkungan di wilayah pesisir semakin meluas seperti abrasi pantai, kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang. Kerusakan lingkungan akan berdampak kepada aktivitas manusia dan lingkungan, seperti rusaknya biota laut, terancamnya pemukiman nelayan, terancamnya mata pencaharian nelayan dan sebagainya. (Vatria, 2010). Wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Merauke saat ini sebagian besar telah mengalami kerusakan. Kegiatan penambangan pasir pantai secara tradisional di Kabupaten Merauke tentunya berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem, biota perairan dan sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir. Penambangan pasir pantai jika terus berlangsung dan tidak segera ditertibkan dikhawatirkan akan berdampak bagi lingkungan, biota perairan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan eksternalitas penambangan pasir pantai secara tradisional terhadap kondisi ekosistem mangrove dan sosial ekonomi masyarakat pesisir di Kabupaten Merauke. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
ISSN : 2356-3907
2
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
1. Menganalisis tingkat degradasi terhadap ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Merauke yang terjadi di sekitar pesisir pantai tempat kegiatan penambangan pantai. 2. Menganalisis persepsi masyarakat setempat terkait dengan kegiatan penambangan pasir pantai di wilayah pesisir Kabupaten Merauke. 3. Menganalisis dampak kegiatan penambangan pasir pantai terhadap perubahan pendapatan nelayan di Kabupaten Merauke. 4. Mengidentifikasi eksternalitas penambangan pasir pantai di wilayah pesisir Kabupaten Merauke. Kajian Literatur dan Teori Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly dkk. 2002 dalam Bappenas, 2004). Wilayah pesisir terdapat berbagai habitat dan ekosistem seperti estuaria, terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyedia berbagai bahan kebutuhan hidup manusia dan penyedia jasa bagi komunitas yang tinggal di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan selama ini, menunjukkan hasil yang belum optimal dan cenderung merusak. Dibeberapa kawasan pesisir yang padat penduduk dan tingggi intensitas pembangunannya, telah terjadi laju kerusakan biogeo-fisik lingkungan, seperti kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuary, meningkatnya pencemaran dari darat, tangkap ikan lebih dan abrasi pantai yang sudah sangat mengkawatirkan. (Iskandar dkk. 2008). Menurut Mangkoesoebroto, (1995) dalam Mulyaningrum, (2005) Eksternalitas adalah suatu efek samping atau dampak yang timbul karena adanya keterkaitan antara aktivitas ekonomi yang satu dengan yang lainnya. Sankar (2008) menjelaskan bahwa adanya eksternalitas menyebabkan terjadinya perbedaan antara manfaat (biaya) sosial dengan manfaat (biaya) individu. Eksternalitas positif terjadi saat manfaat sosial marginal lebih besar dari biaya individu marginal (harga). Adapun eksternalitas negatif terjadi, saat biaya sosial marginal lebih besar dari biaya individu marginal. Menrut Acton (1973) dalam Rani (2004), Kegiatan pertambangan adalah secara aman dan menguntungkan mengambil bahan mineral dari dalam tanah. Berdasarkan definisi sumber daya alam tidak terbarukan adalah sumber daya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, maka barang tambang dapat dikatakan sebagai sumber daya tidak terbarukan. Karena sifatnya yang tidak terbarukan ini, maka dalam kurun waktu tertentu cadangan sumberdayanya akan habis dan dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan lingkungan sosial. Pada dasarnya kegiatan pertambangan akan
ISSN : 2356-3907
3
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
menyebabkan perubahan bentang alam sehingga berpotensi mengubah tatanan ekosistem suatu wilayah. Secara fisik, kegiatan penambangan pasir besi di laut atau pesisir merupakan upaya teknologi yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan material bangunan, dengan merubah suatu lingkungan bentang alam pesisir pantai dan dasar laut yang sudah pasti menimbulkan dampak negatif terhadap tipologi ekosistem eustuaria, mangrove, terumbu karang dan biodiversitas laut (Monembodjo 2009). Santoso (2008), berpendapat bahwa beberapa dampak negatif akibat pertambangan bagi perikanan yaitu 1. dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya, 2. kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir, 3. banjir, longsor, lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati, 4. air tambang asam yang beracun yang jika dialirkan ke sungai yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut, 5. sarana dan prasarana seperti jalan dan lain-lain rusak berat. Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, untuk menggambarkan kondisi ekosistem mangrove, sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak dari aktivitas penambangan pasir pantai di Kabupaten merauke, Distrik Merauke, (kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir terdapat di Distrik Merauke, daerah Ndalir dan Payum. Sampel yang akan diambil pada penelitian ini adalah masyarakat pesisir, dan hutan mangrove yang terdapat di Distrik Merauke (Kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir). Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, kuesioner, wawancara secara mendalam dan penelusuran literature. Responden pada penelitian ini berjumlah 120 orang. Analisis pada penelitian ini meliputi: 1. Tingkat kerusakan mangrove dianalisis dengan menghitung kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting, untuk selanjutnya hasil perhitungan dibandingkan dengan standar baku yang telah ditetapkan oleh KMNLH tahun 2004. Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting mengacu pada (Odum, 1971). a. Kerapatan (K)
=
b. Kerapatan Relatif (KR)
=
c. Frekuensi (F)
=
d. Frekuensi Relatif (FR)
=
e. Dominasi (D)
=
ISSN : 2356-3907
x 100%
x 100%
4
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
f. Dominasi Relatif (DR)
=
g. Indeks NilaiPenting (INP)
= KR+FR+DR
x 100%
2. Persepsi masyarakat terkait dengan kegiatan penambangan pasir pantai dianilisis dengan menggunakan metode prosentase dan grafik/tabel. 3. Tingkat pendapatan nelayan, dianilisis dengan menggunakan metode prosentase dan grafik/tabel. Lingkup analisis meliputi pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya aktivitas penambangan pasir pantai. 4. Eksternalitas terkait dengan kegiatan penambangan pasir pantai dilakukan dilakukan analisis perbandingan untuk mengetahui apakah aktivitas penambangan pasir pantai lebih bermanfaat bagi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat atau sebaliknya. Temuan A. KONDISI EKOLOGI 1. Kondisi Fisik Pantai Kegiatan penambangan pasir pantai di Distrik Merauke telah berlangsung cukup lama. Dari hasil tinjauan lapangan dapat dilihat berbagai kerusakan fisik di sepanjang daerah pesisir, khususnya di Kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir. Kerusakan yang ditimbulkan berupa abrasi pantai, kerusakan infrastruktur jalan dan rusaknya hutan mangrove yang selama ini menjadi tanggul atau penahan gelombang. Abrasi pantai yang terjadi mengakibatkan kerusakan pada kondisi fisik pantai, mengakibatkan perubahan pada garis pantai yang semakin menjorok kedarat bahkan garis pantai kian dekat dengan pemukiman warga. Munoz-Perez et al., (2001) menjelaskan bahwa terjadinya perubahan garis pantai sangat dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi pada daerah sekitar pantai (nearshore process), dimana pantai selalu beradaptasi dengan berbagai kondisi yang terjadi. Proses ini berlangsung sangat kompleks, dimana dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kombinasi gelombang dan arus, transport sedimen, dan konfigurasi pantai tersebut, yang saling mempengaruhi satu sama lain. 2. Kondisi Vegetasi Mangrove Mangrove yang ditemukan pada tiga lokasi (Bina loka, Payum dan Ndalir) ada sepuluh jenis yaitu: Avicennia eucalyptifolia, Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Aegialitis annulata, Aegiceras floridum, Acanthus sp, Acanthus ilicifolius, Bruguiera sp dan Excoecaria agalocha. Sebaran mangrove pada tiga lokasi berbeda-beda, mangrove di Bina Loka hanya di jumpai pada daerah yang menjorok kedarat, di sekitar pinggir pantai tidak ditemukan adanya mangrove yang tumbuh, kondisi ini sangat berbeda dengan sebaran mangrove di Payum dan Ndalir, yang mana mangrove tumbuh mulai dari pinggir pantai hingga ke darat. Mangrove yang tumbuh di Payum dan Ndalir merupakan perpaduan antara mangrove alami dan mangrove hasil restorasi. Jenis mangrove yang tumbuh pada ketiga lokasi tersebut didominasi oleh mangrove jenis Avicennia eucalyptifolia. Kerapatan mangrove di Bina Loka sebesar 260,00 ind/ha, Payum 433,33 ind/ha dan Ndalir sebesar 353,33 ind/ha. Kondisi ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove pada ISSN : 2356-3907
5
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
ketiga lokasi penelitian tersebut telah mengalami kerusakan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004), suatu kawasan hutan mangrove tingkat kerusakannya dapat diketahui dari kerapatan pohon/ha seperti pada tabel 1. Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove Kriteria
Penutupan (%)
Kerapatan (Pohon/Ha)
Sangat Padat Sedang Rusak Jarang Sumber : KMNLH tahun 2004
≥ 75 50 - < 75 < 50
≥ 1500 1000 - < 1500 < 1000
Baik
Kerusakan ekosistem mangrove di kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir disebabkan oleh maraknya aktivitas penambangan pasir pantai. Konversi ekosistem mangrove menjadi lokasi penambangan pasir pantai oleh masyarakat mengakibatkan banyaknya pohon mangrove yang mati karena ditebang. Volum
Volume Pengambilan e Bahan Galian Penga Golongan C (M3) mbil… 2005 Volum e Penga mbil… Gambar 1.
Luasan
Luasan Hutan Mangrove Hutan (Ha) Man…
2005 Luasan Hutan 2010 Man…
2010
Gambar 2.
Data pada gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan produksi bahan galian golongan C yang signifikan pada kurun waktu tahun 2005-2010. Data pada gambar 2, menunjukkan adanya penurunan luasan hutan mangrove di Kabupaten Merauke, tahun 2010 seluas 296.778 ha dan tahun 2005 seluas 334.518 ha, dengan demikian terjadi pengurangan luasan mangrove sebesar 37.740 ha. Penambangan pasir pantai sangat mempengaruhi kelangsungan hidup mangrove. Semakin banyak pasir yang diambil mengakibatkan semakin banyak mangrove yang mati. Khomsin (2005) menjelaskan bahwa kegiatan penambangan pasir di pesisir pantai mengakibatkan tergerusnya lahan habitat mangrove, sehingga akar mangrove tidak dapat untuk menangkap subtrat lumpur. Kondisi tersebut dalam jangka panjang menyebabkan lahan mangrove menjadi tidak subur. 3. Produksi udang Hasil interview yang dilakukan kepada beberapa nelayan penjaring udang menunjukkan bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan bagi para nelayan penjaring udang. Sebelum adanya aktivitas penambangan pasir pantai setiap penjaring bisa mendapatkan udang 8-10 kg per hari, setelah adanya aktivitas tersebut menurun 3-5 kg per hari. Rata-rata penurunan hasil tangkapan udang sekitar 5 kg/penjaring/hari. Kerusakan hutan mangrove di Kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir sebagai akibat dari aktivitas penambangan pasir, sangat berpengaruh bagi seluruh biota perairan. Kerusakan ISSN : 2356-3907
6
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
pada mangrove mengakibatkan daerah asuhan untuk ikan dan udang bertelur, membesarkan anak dan mencari makan tidak cukup tersedia. Dengan semakin meningkatnya kerusakan hutan mangrove mengakibatkan produksi biota perairan di wilayah pesisir semakin menurun, khususnya pada udang. MacKinon et al., (1996) menjelaskan bahwa hilangnya kawasan mangrove akan mengurangi hasil tangkapan ikan dan udang di lepas pantai hingga mencapai 480 kg/ha/tahun. Lebih lanjut dijelaskan oleh DKP (2009) dalam Rusdianti (2012), Mangrove merupakan penyangga kehidupan sumberdaya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground). B. ANALISIS SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT 1. Persepsi Masyarakat terhadap aktivitas penambangan pasir pantai Tabel 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Penambangan Pasir Pantai Skor
Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 23 81 55 45 67 64 62 51 67 97
2 33 25 31 33 44 48 51 57 46 21
3 5 2 5 6 2 1 0 3 2 0
4 54 10 24 23 5 7 5 7 4 2
5 5 2 5 13 2 0 2 2 1 0
Skor x ∑Responden per skor 1 2 3 4 49 100 15 44 81 50 6 40 55 62 15 96 45 66 18 92 67 88 6 20 64 96 3 28 62 102 0 20 51 114 9 28 67 92 6 16 97 42 0 8
Persepsi
Total 5 25 10 25 65 10 0 10 10 5 0
233 187 253 286 191 191 194 212 186 147
(%) 57,50 31,17 42,17 47,87 31,83 31,83 32,33 35,33 31,00 24,50
Kriteria Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
Hasil analisis terhadap 10 pernyataan negatif yang disampaikan kepada responden, sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 2, menunjukkan hasil bahwa sebagian besar persepsi masyarakat terkait dengan aktivitas penambangan pasir pantai terhadap kondisi ekosistem mangrove dan sosial elonomi masyarakat pesisir di Kabupaten Merauke dikriteriakan tinggi, dengan kisaran 31% - 47,67%, kisaran ini tergolong tinggi karena masih termasuk dalam range 26%-50%. Satu pernyataan menunjukkan hasil dengan kriteria sangat tinggi yaitu pernyataan nomor 10 dengan skor 24,50% dan satu pernyataan menunjukkan hasil sedang (pernyataan nomor 1) dengan skor 57,50%. Secara umum persepsi masyarakat negatif terhadap aktivitas penambangan pasir pantai di Kabupaten Merauke. Masyarakat berpendapat bahwa aktivitas penambangan pasir pantai berkontribusi terhadap rusaknya ekosistem mangrove dan lingkungan di wilayah pesisir, kerusakan tersebut mengakibatkan suberdaya ikan semakin menurun. Akhirnya nelayan harus mencari ikan, udang dan hasil perikanan yang lain ke tempat yang lebih jauh yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan sebagian besar tidak sesuai dengan hasil tangkapan. Terkait dengan manfaat atau nilai ekonomi yang diperoleh dari aktivitas penambangan pasir pantai, masyarakat juga memiliki persepsi yang negatif. Masyarakat berpendapat bahwa aktivitas penambangan pasir pantai tidak mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan, hanya masyarakat penambang yang mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Masyarakat berpendapat bahwa aktivitas penambangan pasir memberi dampak negatif yang lebih besar jika dibandingkan dengan dampak positif yang didapatkan. ISSN : 2356-3907
7
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. 2. Kondisi ekonomi masyarakat sebelum dan setelah adanya aktivitas penambangan pasir pantai Kondis Kondis Kondisi i i Ekonomi EkonoKondisMasyarakat Ekono Meningkat mi,… i mi,… Kondis Tetap Ekono i Menurun mi,… Ekono mi,… Tidak tau
Gambar 3. Kondisi perekonomian masyarakat
setelah, setelah,sebelu sebelu 100.000 1.600.0 m, m, sebelu setelah, 00- 2.600.0 3.600.0 m, 2.600.0 setelah,sebelu 1.500.… 2.500.…00-… 00-… 1.600.0 00- 3.600.0 sebelum m, > 00-… 3.500.… 00- 5.000.0 sebelu setelah, setelah 5.000.…00, 5> m, 100.000 5.000.0 -… 00, 0 Gambar 4. Peningkatan pendapatan nelayan
Hasil survey yang dilakukan pada 120 responden dengan pertanyaan: bagaimana kondisi ekonomi saudara dengan adanya aktivitas penambangan pasir pantai? menunjukkan hasil, 40 (33,33%) responden menyatakan kondisi prekonomiannya meningkat, 18 (15%) responden menyatakan tetap atau tidak ada perubahan, 55 (45,83%) responden menyatakan pendapatannya menurun dan 7 (7,83%) reponden menyatakan tidak tau, grafik kondisi perekonomian dapat dilihat pada gambar 3. Pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya penambangan pasir pantai (lihat gambar 4) menunjukkan bahwa penurunan pendapatan nelayan terjadi pada tingkat pendapatan di atas Rp.5.000.000 sebelum ada penambangan, ada 5 orang berpenghasilan di atas Rp.5.000.000, setelah ada penambangan tidak ada lagi nelayan yang berpenghasilan di atas Rp. 5.000.000,-. Penurunan pendapatan juga teradi pada nelayan yang berpenghasilan Rp.3.600.000 - Rp.5.000.000,- dan Rp.2.600.000 - Rp.3.500.000. Masyarakat yang berpenghasilan rendah antara Rp.100.000 - Rp.1.500.000 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Awalnya tidak ada nelayan yang berpenghasilan di bawah Rp. 1.500.000,-, setelah berlangsungnya aktivitas penambangan pasir pantai, nelayan yang berpenghasilan rendah meningkat menjadi 17 orang. Peningkatan penghasilan bagi nelayan terjadi pada kisaran penerimaan Rp.1.600.000 Rp.2.500.000. dari 8 menjadi 15 responden. Jika dicermati, sebenarnya tidak ada peningkatan pendapatan bagi para nelayan. Peningkatan di kisaran penerimaan tersebut sebenarnya terjadi karena nelayan yang berpenghasilan di kisaran Rp.2.600.000 - Rp.3.500.000 dan Rp.3.600.000 - Rp.5.000.000 mengalami penurunan pendapatan, yang mana pendapatan nelayan tersebut berada pada kisaran Rp.1.600.000 - Rp.2.500.000. Aktivitas penambangan pasir pantai memberi dampak negatif bagi ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove di sepanjang wilayah pesisir menjadikan habitat tempat udang untuk memijah, mencari makan dan berkembang-biak menjadi terganggu. Kerusakan pada hutan mangrove mempengaruhi produksi udang yang berdampak pada menurunnya jumlah hasil tangkapan para nelayan penjaring udang. Penurunan jumlah ISSN : 2356-3907
8
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
tangkapan para nelayan penjaring udang berdampak pada penurunan pendapatan para nelayan. C. EKSTERNALITAS Aktivitas penambangan pasir pantai dapat menimbulkan eksternalitas negatif dan eksternalitas positif. Sasaran ekternalitas positif lebih mengarah pada peningkatan ekonomi, sedangkan sasaran ekternalitas positif meliputi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan penambangan pasir yaitu meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat penambang, memberi kontribusi bagi penerimaan pajak bahan galian Golongan C dan membantu kelancaran pembangunan infrastruktur yang ada di Kabupaten Merauke. Dampak negatif dari aktivitas penambangan pasir pantai yaitu mengakibatkan kerusakan bagi hutan mangrove yang terdapat disepanjang pesisir pantai, mengakibatkan terjadinya abrasi pantai, menurunnya jumlah hasil tangkapan dan pendapatan para nelayan, mengakibatkan tergenangnya pemukiman masyarakat yang tinggal disepanjang pesisir pantai oleh air laut dan mengakibatkan kerusakan pada jalan dan jembatan. Eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kegiatan penambangan pasir pantai jauh lebih besar dengan potensi kerugian bisa mencapai Rp.128.109.000.000,- jika dibandingkan dengan eksternalitas positif hanya berpotensi menghasilkan Rp. 25.904.201.428,-. Kesimpulan Aktivitas penambangan pasir pantai mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove di sepanjang wilayah pesisir Distrik Merauke. Masyarakat memiliki persepsi negatif terkait dengan aktivitas penambangan pasir pantai, masyarakat telah mengetahui bahwa dengan melakukan penambangan pasir pantai akan mengakibatkan kerusakan pada ekosistem mangrove, namun karena tuntutan ekonomi maka masyarakat tetap melakukan aktivitas penambangan pasir pantai. Aktivitas penambangan pasir berdampak pada menurunnya hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kegiatan penambangan pasir pantai jauh lebih besar dengan potensi kerugian bisa mencapai Rp.128.109.000.000,- jika dibandingkan dengan eksternalitas positif hanya berpotensi menghasilkan Rp. 25.904.201.428,-. Saran Pemerintah daerah kabupaten merauke agar menghentikan kegiatan penambangan pasir pantai di sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Merauke dan mengkaji kembali izin penambangan pada daerah lain. Melakukan restorasi terhadap hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan, terutama di Kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir. Sesegera mungkin membangun tembok pemecah ombak yang permanen untuk menghindari terjadinya abrasi. Pemerintah daerah Kabupaten Merauke diharapkan bisa menciptakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat penambang agar masyarakat yang berprofesi sebagai penambang pasir dapat melakukan pekerjaan yang lain. Melaksanakan sosialisasi secara ISSN : 2356-3907
9
Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10
kontinyu kepada masyarakat agar kondisi wilayah pesisir tetap terjaga dan terkelola dengan baik. Daftar Pustaka BAPPENAS, (2004). Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Iskandar., Mulyono, S., Budiyono. & Bachtiar, D. (2008). Perumusan dan penyusunan Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan di Kabupaten Seluma. (Penelitian hibah bersaing. Fakultas hokum, Universitas Bengkulu). Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2004). Kumpulan Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi Bidang Peningkatan Konsrvasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Khomsin. (2005). Studi perencanaan konservasi kawasan mangrove Di pesisir selatan kabupaten sampang dengan Teknologi penginderaan jauh dan Sistem informasi geografis. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN (XIV) 187-195. Mackinnon, K., G. Hatta., H. Halim and A. Mangalik. (1996). The Ecology of Kalimantan. Periplus Edition Ltd. Singapore. Monembodjo, A. Q. H. S. (2009). Penambangan Pasir Paseban Dalam Perpektif Ekologi, Sosial Ekonomi Dan Hukum. Mulyaningrum. (2005). Eksternalitas ekonomi dalam pembangunan wisata alam berkelanjutan. Jurnal Penelitian UNIB Volume. XI (1), 9-20. Munoz-Perez, J. J., Medina, R., dan Tejedor, B. (2001). Evolution of Longshore Beach Contour Lines Determined by The E.O.F. Method. Jurnal Scientia Marina. Vol. 65. 393-402p Odum, E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W. B. Sounders Company. Philadelphia, London. Rani, I. (2004). Pengaruh Kegiatan Pertambangan Pasir Terhadap Kualitas Tanah, Produktivitas Lahan, dan Vegetasi serta Upaya Rehabilitasinya. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rusdianti, K., Sunito. S. (2012). Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya Penduduk Lokal Dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal Sosiologi Pedesaan V (6), 1-17. Sankar, U. (2008). Environmental Externalities. http://coe.mse.ac.in/dp/envt-ext-sankar.pdf
Didapat
Online
:
Santoso, N. (2000). Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia. Santoso, U. (2008). Dampak Negatif Pertambangan. Blog Urip Santoso Vatria, B. (2010). Berbagai kegiatan manusia yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem pantai serta dampak yang ditimbulkannya. Jurnal Belian V( 9), 47-54.
ISSN : 2356-3907
10