Umar Sholahudin 2013
EKSAMINASI PUBLIK TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERPESKTIF HUKUM PROGRESIF Oleh: Umar Sholahudin Dosen Sosiologi Hukum FH Universitas Muhammadiyah Surabaya (
[email protected])
Abstrak: It is very commoon at present day the light and free verdict of corruption defendant, shown that verdict on corruption has less qualification. The lack of quality of these verdict does not related to the law of corruption weakness, but it is related to the act and custom of the judges.They are irresponsive and less progressive to the spirit and agenda of corruption eradication. Public examination is one of objective mechanism to exam, research, and measure wheater the judge verdict fullfill the assurance, justice and beneficial aspect or not to public. Progressive law approach on public exam can be assuranced produce exam result which is not just legitimate to laws but also academic-scienctifically can be resposible the accountability to the public Keywords : Public Examination, Verdict, Corruption, and Progressive Law
A. Latar Belakang Kita sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena itu perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extra judicial action). Perlakuan dan penanganan hukumnya pun harus dengan tindakan yang tegas dan berani dari para aparatur penegak hukumnya. Regulasi tentang korupsi, yakni Undang-Undang No. 30 tahun 2002 mengandung materi dan spirit pemberantasan korupsi yang sangat tinggi, namun regulasi yang cukup memadai dan kuat tidaklah cukup untuk memberantas korupsi di tengah praktik korupsi di negeri ini yang semakin menggurita. Praktik korupsi di negeri ini sudah berlangsung sistematis dengan menggunakan modus konvesional sampai dengan modus super canggih. Karena itu, kita sangat dibutuhkan para aparat penegak hukum, mulai kepolisian, kejaksanaan, sampai pengadilan yang memiliki spirit pemberantasan korupsi yang tinggi dan memiliki pemahaman dan penerapan hukum yang progresif. Di tengah gencarnya agenda pemberantasan korupsi, kita dihadapkan pada penegakan hukum dalam kasus korupsi ini yang cukup paradoksal dan masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Salah satunya adalah semakin menggejalanya vonis hakim pengadilan negeri yang menjatuhkan vonis ringan, bahkan sampai ada beberapa vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. Salah satu vonis bebas kasus korupsi yang saat ini menjadi sorotan tajam dari publik adalah bebasnya terpidana kasus megakorupsi BLBI, Sudjiono Timan (ST) yang telah merugikan negara sebesar US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta, dan pada tahun 2004 di tingkat kasasi di MA telah divonis 15 tahun. Sejak tahun 2004 ST menjadi buron. Dalam masa pelariannya, ST yang diwakili pengacaranya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkaranya ke MAdan yang paling mengejutkan PK-nya diterima dan diputus bebas.1 1
Kasus ST ini menjadi preseden buruk bagi praktek penegakan hukum di Indonesia, terlebih lagi dalam konteks pemberantasan korupsi. PK ST yang diajukan terpidana kepada MA bertentangan dengan putusan Pengadilan tingkat pertama yang menghukum ST 15 tahun penjara. Dalam perspekstif sosiologis, putusan PK tersebut menciderai rasa keadilan masyarakat. Berbagai spekulasi hukum muncul, “ada yang tidak beres” dengan putusan PK tersebut apakah tidak beresnya pada sisi prosedur, substansinya, atau pada aparat penegak hukumnya, terutama hakim yang menangani kasus PK ST ini. .
1
Umar Sholahudin 2013 Sebelum kasus ST, banyak terdakwa kasus korupsi yang divonis ringan, bahkan bebas. Di Kota Surabaya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Surabaya pada tahun 2012 telah membebaskan beberapa tersangka korupsi di tingkat pertama, diantaranya adalah kasus korupsi Kasda Kabupaten Sidoarjo puluhan milyar rupiah yang melibatkan mantan Bupati Win Hendrarso, dkk, Bupati Lumajang Syahrazad Masdar, Bupati jember M. Djalal, dan Direktur PDAM Kabupaten Sidoarjo, Djajadi, yang merugikan Negara sebesar Rp 3 milyar. Pada tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Djajadi divonis 1 tahun penjara, namun ditingkat kasasi Pengadilan tinggi divonis bebas.2 Dan masih banyak lagi para pejabat daerah yang divonis bebas. Meskinpun tidak divonis bebas, para terdakwa divonis super ringan; antara 1-2 tahun penjara. Munculnya vonis ringan atau bebas, mulai dipantau masyarakat pada tahun 2008. Pada tahun 2008, Indonesia Corruption Wacth (ICW) pernah memantau kinerja lembaga pengadilan umum. Hasilnya; terdapat 94 perkara korupsi dengan 196 terdakwa yang diperiksa dan diputus (divonis) oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai tingkat pertama hingga kasasi. Nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,196 triliun. Di antara 196 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, 104 terdakwa (53 persen) divonis bebas/lepas oleh pengadilan. Hanya 92 terdakwa (47 persen) yang akhirnya divonis bersalah. Namun, dari 92 terdakwa korupsi yang akhirnya diputus bersalah tersebut, bisa dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis kurang dari satu tahun penjara sebanyak 36 orang (18,3 persen), lebih dari 1,1-2 tahun 40 terdakwa (20,4 persen), divonis 2,1-5 tahun 5 terdakwa (2,5 persen), serta divonis 5,1-10 tahun 4 terdakwa (2,04 persen). Hal yang menarik, terdapat tujuh terdakwa kasus korupsi yang divonis percobaan (3,57 persen). Secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan pengadilan umum adalah 6,43 bulan penjara. Berdasarkan catatan ICW, per 1 Agustus 2012, sedikitnya 71 terdakwa korupsi telah divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Vonis bebas tersebut terbesar terutama di Surabaya sebanyak 26 terdakwa, menyusul Samarinda 15 terdakwa, kemudian Semarang dan Padang masing-masing 7 terdakwa. Dan Bebasnya terdakwa korupsi Djajadi menjadi preseden buruk dan sekaligus alarm bagi pemberantasan korupsi di Jatim. Dan yang paling fenomenal ada di Semarang. Di kota itu ada tujuh perkara korupsi, lima di antaranya divonis bebas.3 Kondisi ini menjadi keprihatinkan kita semua dan menjadi alarm bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Persoalan mendasar dari bebasnya kasus-kasus korupsi yang disidangkan di pengadilan negeri kabupaten/kota di Jatim ada banyak faktor, di antaranya adalah dakwaan dan pembuktian yang disusun kejaksaan lemah sehingga dalam persidangan terdakwa tidak terbukti bersalah atau bebas. Faktor lain yang menjadikan lolosnya para koruptor adalah maraknya mafia hukum dan peradilan yang bermain.4 Secara sosiologis, munculnya putusan lembaga pengadilan yang tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat dalam penanganan kasus korupsi disebabkan oleh adanya para pihak yang berusaha mencari celah-celah hukum dan menghalalkan berbagai cara untuk mempengaruhi perkara di pengadilan; sehingga prkatek suap, sogok, dan “main mata” bukan lagi sesuatu yang rahasia di dunia peradilan kita. Ada potensi terjadinya judicial corruption, yakni kebanyakan terdakwa berhasil membeli para penegak hukum (terutama hakim)
2
Jawa Pos, 15 November 2012 Koran Tempo, 2 Agustus 2012 4 Kasus terbaru yang menampar institusi hukum tertinggi di negeri ini adalah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi oleh KPK dalam kaitannya dengan Gugatan Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Barat pada tanggal 2 Oktober 2013. Peristiwa ini semakin menegaskan kepada publik, mafia hukum dan peradilan sudah begitu menggurita di negeri ini. 3
2
Umar Sholahudin 2013 sehingga putusannya sangat menguntungkan terdakwa5. Praktik mafia hukum dan peradilan ini seperti ketut; baunya terasa kemana-mana, namun sulit dibuktikan. Sedangkan menurut pakar Hukum Pidana UI, Harkristuti Harkrisnowo, kondisi semacam itu disebabkan; Pertama, sang koruptor sangat canggih dan mahfum dengan legal jargon dan trick di Indonesia sehingga mereka mampu menyelabui perilaku koruptifnya dari jeratan hukum, Kedua, para jaksa selalu penyidik dan penuntut umum kurang bersemangat, serius, dan canggih dalam melalukan investigasi dan penyusunan surat dakwaan yang layak untuk diajukan ke pangadilan. Ketiga, bukti-bukti sahih yang diperlukan jakwa Penuntut Umum (JPU) untuk menyeret pelaku korupsi ke pangadilan sangat sulit ditemukan.6 Selain itu, para hakim tipikor juga tidak memiliki semangat anti korupsi, sehingga mengakibatkan terdakwa korupsi divonis super ringan, bahkan bebas. Vonis super ringan atau bebasnya tersangka korupsi milyaran rupiah tersebut, tidak saja melukai rasa keadilan masyarakat, tapi juga melawan arus dan semangat pemberantasan korupsi. Inilah gambaran jika kasus korupsi itu menimpa para pejabat, hukum begitu tumpul menjeratnya. Para pejabat berpotensi mendapat vonis bebas atau super ringan. Sementara jika kasus korupsi atau pidana lain menimpa orang kecil, hukum begitu kerasnya. Penegakkan hukum laiknya sebila pedang; tajam ke bawah; menjerat yang miskin. Sebaliknya tumpil ke atas; tidak berdaya jika berusan dengan mereka yang berkuasa atau memiliki kapital.7 Sebagian besar kasus korupsi yang divonis bebas, termasuk kasus Djajadi di Sidoarjo, menurut para hakim Tipikor karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara normatif yang dangkal, tidak terbukti bersalah melawan hukum, karena memang kasus semacam ini sudah “cacat” sejak dalam rahimnya, yakni sejak dalam penyidikan, yang memang sudah “diskenario” untuk vonis bebas atas vonis ringan. Ditambah lagi, para pemutus perkara, cenderung berhukum hanya dengan pasal (istik) yang sangat rigid dan eksklusif, memimjam Sosiolog Hukum, (alm) Satjipto (2008), tanpa mengindahkan nurani dan akal sehat.8. Berdasar fakta makin semaraknya putusan bebas untuk perkara korupsi di berbagai daerah, maka dapat dimaknai bahwa majelis hakim yang memutus kasus korupsi dengan bebas putusan ringan dan bahkan bebas tersebut tidaklah responsif terhadap semangat dan spirit pemberantasan korupsi. Jika dilihat dari produk putusan hukum pengadilan, semakin menggejalanya putusan hukum ringan dan atau bebas terhadap para terdakwa kasus korupsi, menunjukkan bahwa putusan hukum kasus korupsi kian tidak berkualitas. Tidak berkualitas produk putusan hukum ini, bukan karena aturan hukum yang terkait pemberantasan korupsi itu lemah, tapi lebih pada perilaku dan budaya hukum para hakim yang tidak responsive dan progresif terhadap semangat dan agenda pemberantasan korupsi. Semakin menggejalanya putusan ringan dan bahkan bebas terhadap terdakwa kasus korupsi mendapat perhatian serius dari berbagai elemen masyarakat, termasuk ICW. Sebagai bentuk pengawasan, mereka mendesak agar MA melakukan eksaminasi publik terhadap sejumlah perkara korupsi yang menimbulkan kontroversi; ringan atau bebas. Di lingkungan MA sendiri sebenarnya ada kegiatan ekasaminasi9, yang bertujuan untuk mengawasi dan 5
Khoidin dan Ma’ruf Syah, Undercover Peradilan Skandal Korupsi di DPRD Surabaya (Penelusuran Skandal dan Catatan Hasil Eksaminasi Publik), Maraks-ICW, Jakarta, 2004, hal. 4-5 6 Ibid, hal. 4 7 Umar Sholahudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Intrans Malang, 2011, hal. 5 8 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Pogresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2008 9 Eksaminasi juga sering disebut sebagai legal annotation yaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap dakwaan jaksa maupun putusan pengadilan. Eksaminasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris“examination” yang dalam Black’s Law Dictionary sebagai investigation; search; inspection; interrogation. Atau yang dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia sebagai ujian atau pemeriksaan. Jadi istilah
3
Umar Sholahudin 2013 memonitoring putusan hukum pengadilan, terutama yang menimbulkan kontroversi atau “bermasalah”.10 Namun pada prakteknya belum efektif untuk melakukan perubahan yang cukup berarti dilingkungan internal di lembaga peradilan tersebut. Persoalan terkait dengan putusan hukum di lembaga peradilan yang bermasalah dan dipermasalahan publik kerap terjadi. Sedangkan menurut ICW, Alasannya sederhana, eksaminasi yang dilakukan internal MA bersifat tertutup atau eksklusif, publik tidak pernah mengetahui eksaminasi yang digagas oleh kedua lembaga tersebut atau sengaja tidak diperkenankan sehingga tidak ada pengawasan sama sekali.11 Karena sifatnya yang tertutup dan eksklusif, maka dipastikan baik dari segi proses dan hasil eksaminasinya sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan akademis. Oleh karena itu sebagai bentuk tanggung jawab dan partisipasi publik dalam mengawasi putusan lembaga peradilan, khususnya terhadap kasus tindak pidana korupsi, tidak ada upaya lain, publik pun harus pro aktif melakukan eksaminasi yang tentu saja lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Dengan harapan hal ini bisa membuka mata Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung bahwa masyarakat tidak berhenti mengawasi lembaga ini.12 Sebagai media dan mekanisme kontrol masyarakat, Eksaminasi perlu dilakukan untuk mengkaji dan menguji apakah putusan hakim tersebut sesuai dengan mekanisme dan prosedur hukum, sudah menerapkan hukum (material) dengan benar, dan apakah hakim telah melaksanakan proses acara persidangan dan putusan dengan baik dan benar. Dan yang juga lebih penting adalah apakah putusan hukum pengadilan tersebut sudah memenuhi aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi masyaakat sebagai tujuan dari hukum itu sendiri atau tidak. Eksaminasi publik ini semakin urgen untuk dilakukan mengingat monitoring dan pengawasan internal MA masih lemah dan praktik penegakan hukum di Indonesia, termasuk dalam kasus tindak pidana korupsi masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Ketidakdilan hukum ini muncul salah satunya karena adanya pemahaman dan penerapan hukum yang sangat legalistik-positivistik. Dan pemahaman dan penerapan hukum legalistik-positivistik yang nir-sosiologis tidak akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, justru yang terjadi adalah ketidakdilan.13 Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Prof J.E. Sahetapy, kita rupanya tak memberi ampun bagi orang kecil atau miskin. Tetapi, koruptor pencuri miliaran rupiah uang rakyat melenggang bebas dari sanksi hukum. "Kondisi proses penegakan hukum kita cuma berada dalam kemasan jika dibandingkan dengan pada zaman kolonial dan pada zaman orde lama”.14 Kritik pedas ini untuk menggambarkan betapa kelunya proses penegakan hukum yang dilakukan selama ini. Berdasarakan pemikiran di atas, maka permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana eksaminasi publik terhadap putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan menggunakan pendekan hukum progresif? eksaminasi tersebutjika dikaitkan dengan produk badan peradilan berarti ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan/hakim. Lihat Susanti Adi Nugroho, Sejarah dan Pelaksanaan Ekasaminasi di Lembaga Peradilan, dalam buku ”Eksaminasi Publik; Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan”, ICW-Jakarta, 2003. 10 Dalam sejarah MA, pemantauan terhadap putusan hukum di pengadilan sudah dimulai sejak MA mengeluarkan Surat Edaran/Instruksi Mahkamah Agung No. 1 tahun 1967 tentang Eksaminasi. Proses eksaminasi yang ada di lingkungan peradilan ini merupakan salah satu bentuk pernilaian terhadap putusanputusan hakim yang sifatnya intern, dan dilakukan oleh badan peradilan sendiri, tanpa mengikut sertakan publik. Karena itu transparansi dan akuntabilitasnya dipertanyakan publik. Sehingga Surat Edaran tersebut bersifat formalitas belaka. Masyarakat tidak pernah mengetahui apa dan bagaimana hasil eksaminasi internal yang dilakukan MA. 11 Emerson Yuntho dkk, Panduan Eksaminasi Public, Edisi Revisi 2011, ICW, Jakarta, 2011, hal. 5 12 Ibid hal 5 13 Umar Sholahudin, op cit hal. 10 14 Forum Keadilan, Edisi Februari 1997
4
Umar Sholahudin 2013
B. Pembahasan B.1. Korupsi dan Jaring Kekuasaan Salah satu kesimpulan menonjol yang muncul dalam “Simposium Hukum dan Keadilan di Indonesia” yang diselenggarakan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia di Jakarta, 22 Februari 2011, menyebutkan bahwa masa depan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia masih suram. Sistem hukum, mulai dari struktur, budaya, hingga hasil dari sistem yang amburadul, busuk, dan terkontaminasi satu sama lain. Bahkan menjadi pengetahuan umum, hukum di Negara ini kurang berpihak terhadap kepentingan masyarakat, dijalankan secara diskriminatif dan dicengkeram oleh jeratan mafia. Semakin hari wajah negeri ini sepertinya tidak bisa dikenali lagi jati dirinya. Berbagai skandal, kongkalingkong, konspirasi, dan persengkongkolan jahat telah menjadi bagian dari perilaku elit negeri ini dan perilaku tersebut menjadi tontonan yang memprihatinkan. Moralitas bangsa ini sedang berada pada titik nadir. Sehingga menjadikan sendi-sendiri kehidupan negeri ini mengalami kerapuhan yang begitu masif dan sistemik. Apakah negeri ini akan mengalami ajalnya?. Guru Besar Emiritus Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. JE. Sahetapy mengatakan bahwa seluruh sistem hukum kita saat ini dikuasai mafia meski sulit dibuktikan. “Bau busuk ikan dikepalanya, bukan di ekornya. Pembusukan ini merajalela karena tidak ada budaya malu dan budaya bersalah”.15 Negeri ini dalam kondisi darurat korupsi. Berbagai kasus korupsi terjadi di negeri ini, baik pada level pusat, maupun daerah, baik melibatkan pejabat pusat, maupun pejabat daerah. Korupsi sudah menggurita mulai Sabang sampai Merokai. Mengguritanya korupsi, Buya Safi’i Ma’arif mengatakan; “korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet”. Saat ini kita disandera oleh beberapa mega skandal, diantaranya adalah kasus mega skandal BLBI, Century, Wisma Atlit, Hambalang, kasuas DPID, Simulator Polri, dan sebagainya. Di tingkat daerah, kita juga menyaksikan anggaran daerah (baca: APBD) dirampok para elit politik yang berkuasa. Menurut juru bicara Kemendargri, Djohermasyah, Kemendagri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. Khusus untuk kepala daerah, sampai September 2013, Kemendagri mencatat ada 309 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi; baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana.16 Itu baru kepala daerahnya saja. Jika sampai bawahannya, bisa mencapai mencapai 1.500-an. Kementerian juga mencatat anggota DPRD yang terlibat korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus. Saat ini salah satu hambatan krusial dalam pemberantasan korupsi adalah masalah tembok kekuasaan yang begitu tebal. Kasus-kasus korupsi yang belakangan ini terjadi langsung menusuk jantung kekuasaan negeri ini. Dan berbagai kasus korupsi yang muncul memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat struktural, sistemik, dan massif. Kasus-kasus korupsi besar mesti melibatkan tiga aktor utama, yakni penguasa (birokrasi), politisi, dan pengusaha. Dan juga mellibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Jika dilihat dari karakteritik dan konstruksi kasus mega skandal korupsi yang terjadi di negeri ini adalah korupsi bersifat struktural, sistemik, dan masif. Korupsi itu tidak saja 15 16
Kompas, 12 Februari 2011 Jawa Pos, 7 Oktober 2013
5
Umar Sholahudin 2013 melibatkan jaringan dan jejaring personal para pejabat, politisi dan pengusaha, tapi juga sudah mengarah pada jejaring institusi politik dan kekuasaan, termasuk yang di Senayan. Korupsi Gayus, Sesmenpora, Hambalang, skandal Century, Kemenakertrans, dan korupsi struktural lainnya bagaikan korupsi “Laba-Laba”, melibatkan jejaringan yang cukup rumit. Korupsi struktural yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh Korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit untuk diurai menggunakan hukum positif konvensional. Menurur Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain. Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain. Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), sebagaimana dikutip Sulistyawati hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.17 Negara sudah berubah wujud dari hakikatnya sebagai sebuah negara yang mempunyai kewajiban moral dan konstitusional untuk melindungi dan menjamin hak-hak dan kebutuhan masyarakat secara umum. Hak-hak dasar masyarakat diabaikan dan bahkan dicampakkan begitu saja bagaikan sampah masyarakat, sementara kelas atau kelompok berkuasa menikmati sendiri lezatnya kekuasaan. Penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elit kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adakah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah original kekuasaan negara yang sangat kapitalistik. Hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa.18 Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, dalam pandangan Marx, hukum dimanfaatkan sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya. Hukum adalah representasi dari kepentingan elit yang berkuasa. Hukum dimanfaatkan sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya19 Pemikiran ini selaras dengan konsepsi hukum menurut John Austin (1790-1861). Baginya, the positive command of the sovereign; hukum merupakan perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Hukum dapat ditemukan dalam undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat. Hukum adalah representasi dari kepentingan elit yang berkuasa. Sementara itu, Simon Tukan, dalam artikelnya berjudul “Masyarakat, Hukum dan Kekuasaan”, mengatakan agar supaya hukum bisa mencapai tujuannya diperlukan kekuasaan untuk menerapkan hukum dalam masyarakat. Kekuasaan diperlukan untuk memaksakan penerapan hukum melalui pemberian sanksi kepada para pelanggar hukum. Kekuasaan memberikan kekuatan kepada hukum untuk melaksanakan fungsinya. Tanpa kekuasaan, hukum hanya tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka. Dalam masyarakat
17
Sulistyawati Irianto, Sejarah Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi Metodologinya. Makalah Disampaikan pada Temu Kerja Pengajar Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum SeJatim di Malang tanggal 22-23 Februari 2006. 18 Sunarto Kunarto, Pengantar Sosiologi, Lembaga Demografi FE UI-Jakarta, 1993, hal. 82 19 Soetandnyo Wignyosoebroto, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, HuMa, Jakarta 2002, Hal 23
6
Umar Sholahudin 2013 yang kompleks (modern), hukum dibuat oleh kekuasaan yang sah. Karena itu hukum pada hakekatnya adalah kekuasaan itu sendiri.20 B.2. Korupsi dan Putusan Pengadilan Dalam sejarah KPK, sejak dibentuk pada tahun 2003, belum pernah satupun kasus tindak pidana korupsi yang divonis bebas. Baru pada tahun 2011, tepatnya tanggal 11 Oktober 2011 KPK melalui Hakim Pengadilan Tipikor di Bandung menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi Wali Kota Bekasi nonaktif, Mochtar Muhammad, meskipun terdakwa dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Sebelumnya, semua kasus korupsi yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor dapat dipastikan 100 persen divonis bersalah oleh hakim Tipikor. Putusan bebas pertama pengadilan Tipikor ini menjadi mimpi buruk bagi KPK dan agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.21 Vonis bebas ini mematahkan record KPK yang sebelumnya mencapai 100% terdakwa kasus korupsi bersalah dan dimasukan penjara.22 Menurut Emerson Yuntho, dari ICW, bebasnya terdakwa korupsi di Bandung tersebut menambah daftar kasus korupsi yang divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. Dalam catatan ICW, kurang dari dua tahun sudah 26 terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ke-26 terdakwa korupsi itu divonis bebas atau lepas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung. Sementara itu, sebelum ada Pengadilan Tiikor, Dalam catatan ICW, sejak 2005 sampai 2009, dari 1.624 terdakwa korupsi yang diadili oleh pengadilan umum, jumlah yang dibebaskan mencapai 812 orang atau 49,4 persen. Sedangkan yang divonis bersalah hanya 831 terdakwa atau 50,6 persen. Umumnya terdakwa korupsi divonis 1-2 tahun penjara di pengadilan umum.23 Putusan hukum ringan atau bebas di pengadilan Tipikor, tidak semata-mata karena faktor hakimnya. unprofessional dan integritas hakim juga patut dipertanyakan. Akan tetapi, perlu juga ditelusuri proses hukum awal di tingkat penyidikan dan penuntutan. Di tingkat penyidikan, bisa saja alat bukti yang dipunyai penyidik masih sangat minimalis. Ini bisa karena faktor objektif dan faktor subjektif. Factor objektif; karena memang secara factual pihak penyidik kurang memiliki bukti-bukti hukum yang sangat kuat. Sementara faktor subjektif; karena memang ada “kepentingan subjektif” penyidik dalam menyidik kasus korupsi atau ada intervensi eksternal, sehingga mengkaburkan atau bahkan menghilangkan secara sengaja alat-alat bukti atau keterangan lainnya. Menurut kajian ICW, Ini yang kemudian berlanjut pada penyusunan surat dakwaan jaksa yang kabur (obscuur libel). Sementara putusan pengadilan dibuat dengan pertimbangan yang ngawur atau dengan tidak memperhatikan bukti-bukti yang diajukan.24 B.3. Eksaminasi Publik ; Wujud Pengawasan Peradilan oleh Masyarakat 20
Dikutip dari (http://www.indomedia.com/poskup/2007/09/28/edisi28/opini.htm, diakses, 23 Februari
2011 21
Kita mengetahui bahwa KPK dalam menyidik, mendakwa dan membuat tuntutan terhadap para tersangka/terdakwa korupsi sangat hati-hati (prinsip prudensialitas sangat dijunjung tinggi). Karena itu, publik sangat yakin, jika kasus korupsi ditangani KPK 100% pasti akan bermuara di vonis pengadilan. 22 Sejak 2004 sampai 2009, dari sedikitnya 68 terdakwa korupsi yang diproses oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, semuanya dinyatakan bersalah dan dihukum penjara atau belum ada koruptor yang divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan ketika hanya ada satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta itu cukup memberi efek jera terhadap koruptor dengan hukuman rata-rata 3-4 tahun penjara. 23 Emerson Yunto, Lampu Kuning untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Opini Koran Tempo 18 Oktober 2011 24 Emerson Yuntho dkk, op cit, hal. 5
7
Umar Sholahudin 2013 Pengawasan terhadap peradilan terdiri dari pemantauan internal dan eksternal. Pemantauan internal selama ini telah dilaksanakan oleh institusi peradilan yang ada. Sedangkan pemantauan eksternal lebih dikenal dengan pemantauan masyarakat. Masyarakat dapat berperan dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan dengan berbagai cara antara lain; Pengawasan langsung dalam setiap proses peradilan, melakukan penelusuran (tracking) terhadap kekayaan atau pola hidup aparat/pejabat lembaga peradilan. Pengawasan terhadap lembaga peradilan sebenarnya sudah dilakukan, baik secara internal (di lingkungan lembaga peradilan itu sendiri), maupun oleh lembaga khusus seperti Komisi Yudisial. Namun demikian, itupun tidak mengurangi adanya beberapa putusan hukum yang kontroversial, khususnya dalam putusan hukum tindak pidana korupsi. Karena itu, pengawasan eksternal dari masyarakat sangat dibutuhkan agar kontrol yudisial semakin kuat. Pengawasan dari masyarakat bisa berisfat langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, yakni dengan melakukan pemantauan langsung pada saat jalannya proses peradilan di pengadilan. Sementara pengawasan masyarakat secara tidak langsung, yakni dengan cara melakukan pengawasan dengan cara pengkritisan atau pengujian terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan (Eksaminasi). Secara normatif, kegiatan eksaminasi publik memang dilakukan terhadap putusan pengadilan yang sudah incrach (sudah berkekuatan hukum tetap). Akan tetapi sebenarnya, juga bisa dilakukan pada putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap. Artinya pada tingkat pertama pun, jika ada kejanggalan hukum, masyarakat secara pro aktif bisa melakukan ekasaminasi publik secara mandiri. Sehingga kontrol yudisial bisa dilakukan sejak awal. Pengawasan oleh masyarakat (publik) harus diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yan bersih dan bebas dari KKN serta upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi termasuk di Lingkungan Peadilan. Peran serta atau partisiapsi masyarakat ini sendiri telah diakui oleh Undang-undang UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999. Adapun tujuan dilakukannya eksaminasi publik diantaranya adalah; 1. Untuk mendeteksi dan mengkaji apakah sebuah putusan pengadilan terindikasi judicial corruption (terdakwa berhasil membeli para penegak hukum (terutama hakim) sehingga putusannya sgt menguntungkan terdakwa) 2. Untuk menilai apakah sebuah putusan pengadilan, sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, melalui pertimbangan hukum yang lebih komprehensif, substantif, atau tidak? 3. Melakukan kajian kritis dalam memberikan penilaian terhadap suatu putusan pengadilan apakah sudah memenuhi aspek atau resa keadilan masyarakat atau tidak? 4. Untuk menguji validitas suatu putusan peradilan 5. Memberikan pendidikan pada masyarakat agar memiliki sikap kritis-konstruktif terhadap persoalan hukum yang terjadi di masyarakat. 6. Mendorong terciptanya proses peradilan yang transparan dan akuntabel (polisi, kejaksaan, pengadilan) B.4. Tahapan Ekasaminasi Publik Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam kegiatan ekasaminasi publik ini, sebagai berikut; 1. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan objek eksaminasi. Objek eksaminasi adalah putusan lembaga peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (incrach), khususnya putusan hukum kasus korupsi yang menimbulkan kontroversi 8
Umar Sholahudin 2013 atau mendapat perhatian luas masyarakat. Misalnya putusan hukum dengan vonis ringan dan atau vonis bebas. Setelah menentukan objek eksaminasi yang akan dieksaminasi, baru mengumpulkan dokumen-dokumen hukum yang dibutuhkan, diantaranya adalah dokumen Berita Acara pemeriksanaan (ada di Polisi), surat dakwaan jaksa, dan Surat Tuntutan yang dibuat jaksa Penuntut Umum (JPU), dan putusan Pengadilan selengkap mungkin. Mempersiapkan tim eksaminator. Tim ini harus melibatkan berbagai pihak yang ahli dalam bidang hukum yang imparsial, diantaranya adalah Para ahli hukum, Akademis, Kelompok masyarakat peduli korupsi, Praktisi hukum, dan Sosiolog hukum. Sebagai upaya untuk mengontrol putusan pengadilan, eksaminasi harus independen dan non partisan, agar hasilnya tidak bias, berat sebelah atau subyektif. Eksaminasi harus dilakukan secara obyektif dan mempunyai kewibawaan, sehingga mempunyai pengaruh yang lebih besar. Sebagai lembaga pengujian dan penilaian, hasil eksaminasi terhadap putusan pengadilan harus lebih berbobot, argumentatif atau berdasar serta bernilai keadilan. Sebagai wujud social control yang independen dan non partisan, maka eksaminasi harus bebas dari pengaruh pihak-pihak yang berkaitan dengan proses peradilan, yakni terdakwa atau terpidana, penggugat, tergugat, kepolisian, kejaksaan, pembela atau kuasa hukum serta hakim.25 Tahap selanjutnya melakukan proses eksaminasi, yakni para eksaminator dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat, mempelajari, menilai, mengkritisi, mencermati secara detail dan teliti berbagai dokumen hukum yang tersedia. Setelah itu baru dilakukan analisis mendalam dengan menggunakan perspektif hukum, tak hanya sekedar pendekatan hukum normative, tapi juga pendekatan hukum progresif dan sosiologis. Sehingga menghasilkan produk eksaminasi yang lebih komprehensif dan multiperspektif. Membuat kesimpulan dan rekomendasi dari proses eksaminasi public. Setelah itu baru melakukan sosialisasi dan publikasi produk eksaminasi sehingga diketahui masyarakat luas.
2.
3.
4.
5.
25
http://fachrizal.lecture.ub.ac.id/2010/08/eksaminasi-publik-sebuah-upaya-penegakan-hukumberbasis-masyarakat-tinjauan-hukum-progresif/
9
Umar Sholahudin 2013 Input; Siapkan Dokumen Sekunder : Menyiapkan Tim surat Dakwaan dan Eksaminator tuntutan Jaksa Penuntut imparsial yang akan Umum (Sumber : Kesimpulan, Menilai dan Kejaksaan Negeri), Rekomendasi, mengkaji dokumen Dokumen Putusan dengan membuka Publikasi Pengadilan (Sumber : partisipasi public PN), Menyiapkan Tim seluas-luasnya untuk meneliti putusan eksaminasi yang memenuhi kriteria tersebut, maka menurut Eva Untuk menciptakan PNpaling tepat apabila eksaminasi dilakukan oleh para akademisi di perguruan tinggi. Sundari
Alasannya adalah karena akademisi umumnya non par-tisan sehingga independesinya lebih dapat diandalkan. Selain itu akademisi adalah kaum intelektual yang lebih sering atau sudah terbiasa melakukan analisis atau kajian secara lebih kritis dan ilmiah untuk tiap persoalan hukum yang muncul demi perkembangan ilmu hukum, serta pengamat atas perkembangan dan perubahan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat yang memerlukan penyelesaian atau perlindungan dan pengaturan oleh hukum.26 B.5. Eksaminasi dan Pendekatan Hukum Progresif Refleksi Kritis Positivisme Hukum27 Banyak kritik yang dilontarkan publik atas putusan hakim di pengadilan yang dianggapnya tidak adil, termasuk dalam beberapa putusan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi. Hakim pengadilan kerapkali memproduksi putusan hukum yang “kontroversial”, diantaranya putusan ringan atau putusan bebas. Padahal nilai korupsi puluhan bahkan ratusan milyar. Putusan hukum kasus korupsi ini semakin hari semakin mempriahtinkan dan putusan hakim semakin tidak berkualitas. Persoalan ini tak bisa dilepaskam dari paradigma, pemahaman dan praktik hukum kita yang masih sangat “konvensional”, yakni legalistic-positivistik. Pemahaman dan penerapan hukum yang berdasar dan “berpangku tangan” pada aturan-turan hukum normative semata, pada pasalpasal yang sifatnya kaku (rigid) dan inklusif¸ pemahaman dan penerapan yang sangat formalistik. Sehingga para hakim hanya berperan dan bertindak atas nama UU dan menjadi corongnya UU. Pemahaman dan penerapan hukum legalistic-positivistik cenderung mengejar aspek kepastian hukum semata, abai terhadap keadilan dan kemanfaatan hukum. Kalaupun ada kepastian dan keadilan hukum, hanya bersifat formil-prosedural, bukan keadilan substantive 26
Eva Sundari, Menciptakan Lembaga Eksaminasi Sebagai Social Control Terhadap Putusan Pengadilan, Yang Independen, Obyektif dan Berwibawa, dalam buku Eksaminasi Publik; Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, Jakarta, 2003 27 Mazhab Positivisme ini muncul dan mendominasi pada abad ke-19 dengan dipelopori oleh Sosiolog Auguste Comte melalui karya “The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Aliran positivism mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam pemikiran dan konsepsi-konsepsi hukum di berbagai Negara. Keyakinan dasar aliran ini menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (Agus Salim, 2006:69). Seluruh proses pemikiran yang berawal dari suatu proposisi bahwa alam pengalaman itulah yang harus dipandang sebagai sumber segala kebenaran yang akhir dan sejati. Penganut paham ini akan senantiasa menggunakan parameter hukum positif – bahkan cenderung mengagung-agungkan hukum positif – untuk melakukan penilaian terhadap suatu masalah dengan mekanisme hirarki perundang-undangan. Dengan penggunaan aliran ini – di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat – para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat. Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonspesi metafisis yang subjektif sifatnya (Gordon, 1991:301, dalam Wignjosoebroto, 2002:96)
10
Umar Sholahudin 2013 yang menyentuh dan menyapa aspek kemanusiaan. Ahmad Ali, mengemukakan, bahwa secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistic positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan yang sebenarnya.28 Sementara Zudan Arif Fakrulloh, dalam tulisannya tentang Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, mengatakan dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal-legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undangundang, itulah yang akan menjadi hukumnya. Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili – dalam kenyataannya – bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu.29 Aliran positivism hukum tersebut mendapat tentangan dari studi hukum kritis (critical legal studies). Studi hukum kritis merupakan sebuah studi yang relatif baru dalam perkembangan pemikiran hukum (kira-kira dimulai tahun 1970-an). Studi ini diinisiasi oleh sekolompok pakar Hukum di Amerika Serikat di mana mereka berusaha menempatkan hukum dalam sorotan berbagai aspek, entah politik, ekonomi, budaya, bahasa maupun pendekatan kajian sosial lainnya. Dalam perkembangannya, studi ini telah menjadi aliran tersendiri dalam pemikiran hukum dengan bumbu pelbagai variannya. Namun, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, secara keseluruhan pemikiranpemikiran CLS terbentuk sebagai reaksi atas kebekuan formalisme hukum dimana aparatus hukum melihat fakta hukum semata-mata sebagai persoalan menerapkan pasal-pasal dalam undang-undang, sementara persoalan empiris yang menyangkut kepekaan terhadap latar belakang sosial-budaya, kondisi politik, ekonomi dan sebagainya justru luput dari perhatian. Ambil contoh, orang miskin yang lapar kemudian mencuri roti di toko dijatuhi sanksi yang sama dengan koruptor kaya raya yang memakan uang negara milyaran rupiah.30 Para penganut CLS, menyatakan positivism hukum dan pemahaman hukum legalformal dianggap tidak mampu menjelaskan pelbagai persoalan aktual dan faktual yang ditumbulkan dari proses perubahan dan dinamika masyarkaat yang begitu cepat. Sementara itu, Soetandyo Wignyosoebroto mengatakan, di tengah perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan masyarakat. Kelemahan substansial dari positivism hukum tersebut; Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma-norma yang eksis secara eksklusif dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya, kini hukum sebagai kekuatan sosial yang empiris wujudnya,namun terlihat secara sah , dan bekerja untuk memola perilaku-periaku actual masyarakat. Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan.31
28
Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia. Bogor Cetakan kedua. Ghalia Indonesia, 2005, hal 48 Zudan Arif Fakrulloh, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005 30 Soetandnyo Wignyosoebroto, op cit, hal. 76-82 31 Ibid, 160-161 29
11
Umar Sholahudin 2013 Pemahaman dan penerapan hukum legalistik-positivistik dinilai telah gagal dalam keadilan bagi masyarakat. Menurut Koesno Adi, dalam kenyataannya, pemahaman dan penerapan hukum positivistik tersebut masih menjauh dari tujuan hukum itu sendiri (baca: keadilan) atau terjebak dalam keterpurukan. Kalangan hukum kritis, menentang habis pandangan dasar positivism hukum yang merupakan pemikiran hukum liberal tentang netralitas, kemurnian, dan otonomi hukum, dengan mengembangkan teori-teori kiri sebagai bahan inspirasi dan mengembangkan metode berfikir ekletik. Logika hukum liberal berakar dari hukum yang berlogika rasional-sistematik yang rigid. Logika hukum ini berkebalikan dengan logika hukum empiris yang mengedepankan fakta-fakta empiris-sosiologis.32 Paradigma hukum dan praktik berhukum kita masih menganut paradigma legalistikpositivistik, hanya mengacu pada teks formal undang-undang yang dibuat kekuasaan negara. Positivism hukum secara terang-terangan menganggap apa yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenanglah yang merupakan kebenaran hukum (kebenaran formal). Yakni kebenaran yang tidak bergantung pada kenyataan sosiologis, pada sejarah atau kepentingan-kepentingan politik. Hukum menjadi adil apabila mampu berfungsi netral dan imparsial. Di sini berlaku suatu finalitas, hukum, keadilan dan kebenaran adaah identitik dengan apa yang ditetapkan oleh penguasa sebagai hukum, keadilan dan kebenaran.33 Penyelesaian oleh hukum yang didasarkan pada skema-skema yang kaku (rigid) yang telah dirancang dan ditetapkan lebih dulu dalam hukum positif telah gagal dalam menyelesaikan problem-problem yang baru dan kompleks di Amerika Serikat. Sistem peradilan yang berwatak liberal-positivistik itu banyak menuai kegagalan dalam pemberangtasan korupsi. Ini yang menjadi dasar kuat untuk mengajukan gagasan alternative, berua hukum dan penegakan hukum yang progresif. Tipe hukum ini bertolak dari optic, bahwa hukum itu bukan hanya peraturan, melainkan juga perilaku manusia. hukum progresif menyarakan kita berani membuat tusukan dan pembelokan (twist) terhadap sistem yang ada dengan melakukan tindakan intervensi yang nyata (affirmative action).34 Dengan demikian, maka hukum tidak bisa diterapkan sekedar memenuhi kehendak undang-undang saja (norma an sich) atau dalam istilah Roscoe Pound disebut rule bound (teks-teks undang-undang saja), melainkan harus melihat nilai-nilai sosiologis-rasional yang mengehadaki agar hukum lebih memiliki nilai utility atau nilai kemanfaatan bagi masyarakat. Aliran hukum utilitarisme yang dikemukakan Jeremias Bentham (1748-1832) sebagaimana dikutip Soejono, mengatakan baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yangg dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesarbesarnya, dan mengurangi penderitaan.35 Para legalis-normativis biasanya melihat kehidupan hukum dalam tampilan yang linier dan hukum direduksi menjadi sesuatu yang formal. Kompleksitas dan pergulatan secara terus-menerus antara yang formal dan yang otonom muncul dari dalam masyarakat tidak terlihat atau teramati.36 Pemahaman dan praktik penegakan hukum tak sekedar berpatokan pada aturan-aturan dan teks-teks normatif seperti dalam undang-undang. Pemahaman dan 32
Adi Koesno, Sosiologi Hukum dalam Sistem Pembelajaran Hukum di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Temu Kerja Pengajar Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum Se-Jatim di Malang tanggal 22-23 Februari 2006. 33 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif; Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta, 2009, hal. xi 34 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publishing-Yogyakarta, Hal. 81 35 Soejono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Rajawali, Jakarta, 2005, hal 40 36 Satjipto Rahardjo, Eksaminasi Publik Sebagai Mifestasi Kekuatan Otonomi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Hukum, dalam buku Eksaminasi Publik; Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, Jakarta, 2011, hal. 59
12
Umar Sholahudin 2013 praktik hukum yang dilandasari paradigma positivistik, menurut Koesno Adi, sudah kehilangan keniscayaan dan prinsip equality before law nampak hanya hidup di buku-buku teks. Pemaknaan hukum dalam ruang lingkup identik dengan model positivism hukum. Padahal positivism hukum dianggap tidak lengkap dan tidak cukup visible dalam memberikan tawaran berfikir dan terlalu menyederhanakan persoalaan kemanusiaan. Faham positivism hukum menganggap undang-undang adalah teks otoritatif yang paling dapat diandalkan untuk memberi kepastian hukum dan bersifat final, tanpa memberi ruang kepada keadilan, etika, dan kemanfaatan.37 Positivisme, sebagai konsep dasar bagi landasan berpikir sebagian besar pembuat keputusan dan para penegak hukum di Negara ini, sudah selayaknya harus terus dikritisi. Positivisme hukum, secara sederhana dapat diartikan bahwa tindakan atau prilaku yang disebut adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang berlaku. Cara pandang ini tentulah abai terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat: karena positivisme hukum bersandar pada teks hukum (peraturan perundangundangan dan sejenisnya) yang bersifat statis, sedang masyarakat pastinya bersifat dinamis dalam artian selalu terus berkembang dan berubah.38 B. A. Sidharta mengatakan pemahaman dan penegakan hukum legalistik-positivistik melahirkan adanya penafsiran hukum yang monolitik oleh para fungsionaris atau aparat penegak hukum. Penafsiran monolitik bermakna bahwa teks undang-undang hanya memberi rentang ruang penafsiran yang sangat terbatas dan bersifat limitatif. Kata “monolitik” bahkan mengisyaratkan ruang itu hanya ada satu yang biasanya hanya mengidolakan penafsiran gramatikal, bahkan cenderung leksikal. Pemahaman ini juga akan sangat rawan menimbullan subjektivitas dan penafsiran tunggal hukum oleh pihak-pihak yang memegang otoritas dan kekuasaan di lingkup negara.39 Pemahaman hukum yang legalistik-positivistik akan berakibat pada penerapan hukum yang monolitik. Sementara dalam konteks vis a vis dengan kenyataan sosiologis, hukum tidak bisa diterapkan dengan menggunakan paradigm “kaca mata” kuda yang menilai hukum harus terbebas dari faktor-faktor non hukum. Dari sinilah, maka pembentukan hukum (making law) harus memperhatikan aspek-aspek sosiologis dan nilai-nilai kemanusiaan untuk melahirkan hukum progresif, sedangkan pelaksanaannya (law implementation), hukum harus diposisikan sebagai alat dalam mewujudkan keadilan sosial (social justice) dan ketertiban sosial (social order), dan bukan manusia atau masyarakat dikorbankan demi tegaknya hukum. Pendek kata, penegakkan hukum, tak sekedar menegakkan pasal-pasal dalam undang-undang secara monolitik, tetapi harus konstruktif argumentatif dengan memperhatikan aspek sosiologis.40 B.6. Urgensi Pemahaman dan Penerapan Hukum Progresif. Di tengah keterpurukan penegakan hukum yang –salah satunya- ditunjukkan dengan semakin menggejalanya putusan hukum lembaga peradilan yang menimbulkan kontroversi, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi, yakni vonis ringan atau vonis bebas, perlu didorong dikembangkan pemahaman dan penerapan hukum progresif.41 Cara berhukum
37
Adi Koesno, Op cit http://hukum.kompasiana.com/2012/04/11/eksaminasi-publik-putusan-bebas-dalam-perspektifhukum-progresif-454165.html 39 Arief Bernard Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, 2004, Mandar Madju, Bandung, hal. 16 40 Koesno Adi, op cit 41 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa Hukum Progresif adalah kekuatan hukum yang menolak dan ingin mematahkan kondisi status quo yang dinilai lebih menerima normativitas terhadap sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi untuk menuju usaha perbaikan, lebih daripada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara “biasa-biasa” saja 38
13
Umar Sholahudin 2013 aparat penegak hukum kita (polisi, jaksa, dan hakim) tidak hanya sekedar berhukum dengan teks peraturan atau UU saja, tapi juga harus mengikutsertakan akal sehat, hati nurani, suasana kebatinan masyarakat, dan spirit pemberantasan korupsi. . Hukum progresif, sebagaimana yang diungkap oleh Satjipto Raharjo dalam artikelnya yang berjudul Hukum Progresif: Aksi, bukan Teks, menyebutkan bahwa hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum yang bersifat non-linear, oleh karena adanya faktor aksi dan usaha manusia yang terlibat di dalamnya; keterlibatan manusia ini menyebabkan cara berhukum tidak melulu berkaitan dengan mengeja teks, melainkan penuh dengan kreatifitas dan pilihan-pilihan. Lebih lanjut disebutkan, bahwa filsafat yang melatari hukum progresif bukanlah “hukum untuk hukum” sebagaimana yang dimaknai oleh kaum positivis, tetapi adalah “hukum untuk manusia”. Hukum tidak sepenuhnya otonom, melainkan senantiasa dilihat dan dinilai dari koherensinya dengan manusia dan kemanusiaan, serta kondisi masyarakat yang menaunginya.42 Dalam kesempatan lain, sebagaimana yang diungkap oleh Shidarta dalam tulisannya yang berjudul Posisi Pemikiran Hukum Progresif dalam Konfigurasi aliran-aliran Filsafat Hukum, beberapa kata kunci terkait dengan pemahaman hukum progresif menurut Satjipto Raharjo, sebagai berikut:43 1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum; 2. Hukum progresif harus pro-rakyat dan pro-keadilan; 3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia menuju kesejahteraan dan kebahagiaan; 4. Hukum progresif selalu dalam proses “menjadi” (law as a process, law in the making); 5. Hukum progresif selalu menekankan pada hidup baik sebagai dasar hukum yang baik; 6. Hukum progresif memiliki tipe responsive; 7. Hukum progresif mendorong peran publik; 8. Hukum progresif membangun Negara hukum yang berhati nurani; 9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual; dan 10. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Umumnya, cara berhukum di negeri kita masih lebih didominasi ”berhukum dengan peraturan” daripada ”berhukum dengan akal sehat”. Berhukum dengan peraturan adalah berhukum minimalis, yaitu menjalankan hukum dengan cara menerapkan apa yang tertulis dalam teks secara mentah-mentah. Ia berhenti pada mengeja undang-undang. Jiwa dan roh (conscience) hukum tidak ikut dibawa-bawa. Progresivitas hukum dari hakim sebenarnya bisa dilakukan dengan menghayati spirit normative yang ada dalam UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 5 ayat (1) menyatakan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-2 hukum dan rasa keadilan masyarakat. Karena itu, dalam konteks ini, para pengadil tidak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan dan pengetahuan hukum yang cukup, tapi juga dituntut untuk memiliki skiil, kreativitas dan terobosan hukum yang positif yang berdampak pada keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.44 (business as usual)., Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif, www.huma.or.id, Sumber Berita Kompas Cyber Media 6 September 2004 42 http://hukum.kompasiana.com/2012/04/11/eksaminasi-publik-putusan-bebas-dalam-perspektifhukum-progresif-454165.html 43 Ibid 44
Hukum yang berkeadilan adalah hukum nasional yang dalam terapannya dari kasus ke kasus mampu menyapa kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat lokal yang mash diyakini kebenarannya oleh mayarakat setempat. Lihat opini Soetandyo Wignjosoebroto “Nenek Minah Tak Curi Cokelat”, dalam opini Kompas, edisi 15 Februari 2010
14
Umar Sholahudin 2013 Hukum progresif dalam pandangan Satjipto Rahardjo, hukum dilahirkan bukan untuk hukum itu sendiri, akan tetapi hukum untuk manusia, untuk kepentingan dan mencapai kebahagiaan kehidupan manusia. Dengan filosofis ini menegaskan bahwa manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.45 Hukum progresif mendorong pemahaman dan penerapan hukum harus lebih mempertimbangkan aspek manusianya, hukum bukan mengabdi pada pasal-pasal yang sangat kaku dan eksklusif. Karena itu, dalam penegakkan hukum tidak hanya sekedar mengejar keadilan prosedur, yakni keadilan yang diproduksi oleh mekanisme legal-formal dengan berdasar pada pasal-pasal sebagaimana yang diperintahkan oleh undang-undang. Akan tetapi juga yang lebih penting dari itu adalah keadilan yang lebih substanstif, yakni keadilan bagi masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan moral dan kemanusiaan. Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan substansial untuk rakyat dan pencari keadilan, karena dengan hati nurani dan akal sehatnya mereka dapat melakukan interprestasi secara konstruktif terhadap suatu peraturan yang kaku untuk melahirkan nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. . Pemahaman dan penerapan hukum progresif dalam kegiatan eksaminasi publik sangat relevan dan penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Dengan demikian, hasil dari kegiatan eksaminasi publik tidak saja memiliki legitimasi hukum yang kuat, tapi juga legitimasi akademik-ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. Meskipun, hasil eksaminasi publik ini tidak dapat merubah putusan lembaga peradilan, namun demikian, hasil eksaminasi publik dapat dijadikan sebagai alat kontrol yang cukup efektif dan strategis dalam mengawasi kinerja aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan). Selain itu, juga dapat dijadikan sebagai “warning” bagi para aparat penegak hukum dalam berhukum agar lebih cermat, teliti, professional, berhukum tidak sekedar dengan tesk UU, tapi juga berhukum secara progresif untuk dapat menghadirkan keadilan hukum yang lebih substansial. Secara praktis, hasil eksaminasi ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Mahkamah Agung (MA) dalam menilai kinerja dan karier para hakim. B.7. Menjadi hakim Tipikor Progresif Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, selayaknya ditangani pula dengan cara yang luar biasa. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi upaya pemberantasan korupsi, sewajarnya memiliki hakim-hakim yang berpikir progresif. Untuk perkara korupsi, hakim semestinya tidak lagi hanya bersandar pada teks formal semata, tetapi juga selalu menimbang kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Teks hukum formal ditangan hakim yang progresif hanyalah dijadikan semacam panduan, dan bukanlah satu-satunya alat untuk mengambil putusan. Untuk perkara korupsi, kita sungguh membutuhkan para penegak hukum yang berpikir progresif. Seorang yuris Belanda bernama Taverne terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi: “berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bias membuat putusan yang baik”. Kata-kata Taverne tersebut seakan ingin menegaskan kepada kita: bahwa peraturan yang baik dan sempurna sekalipun, jika penerapannya dilakukan oleh orang yang bermental buruk, maka hasilnya pun akan buruk dan mengecewakan begitu banyak pihak. 45
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2008
15
Umar Sholahudin 2013 Menurut Pakar hukum Pidana Universitas Hasanuddin, (Almarh) Ahmad Ali; bahwa secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan.46 Sementara itu, menurut Satjipto Raharjo, dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain?. Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakimhakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi. Jika hakim-hakim liberal “tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih “hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum. 47 Pendekatan hukum progresif lebih mendekatkan pada keadilan dan kebenaran yang substantif. Salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan hukum progresif, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan hukum progresif diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif. Pendekatan hukum progresif, bukanlah berhukum secra linier, tidak seekdar berhukum dgn UU, akan tetapi membuka “ruang” kreasi dan teroboson bagi aparat penegak hukum dalam menggali dan mencari kebenaran hukum yang lebih substanstif. Karena itu, menurut Satjipto, para penegak hukum sudah saatnya berhukum dengan akal sehat dan hati nurani. 48 C. Kesimpulan Vonis hukuman ringan atau bebas dari lembaga peradilan terhadap perkara tindak pidana korupsi, selain tidak memiliki semangat pemidanaan (baca: penjeraan), tapi juga menunjukkan hakim pengadil tidak memiliki spirit pemberantasan korupsi. Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penanganannya juga harus luar biasa (extra ordinary action). Putusan tersbuut juga menujukkan absennya sensitivitas para hakim terhadap rasa keadilan masyarakat. 46
Ahmad Ali, op cit, hal. 48 Satjpto Rahardjo, Membedah hukum Progresif, Genta publishing-Yogyakarta,2008, hal. 147 48 Berhukum dengan Akal sehat, intinya adalah adanya hubungan yang erat antara hukum dan manusia yang menjalankan. Hukum bukan teks semata, tetapi terkait alam pikiran manusia yang menjalankan. Jadi, sudah saatnya kita mengubah konsep tentang hukum sebagai teks semata dan menambahkan hukum sebagai perilaku. Berhukum tidak sekedar dengan peraturan perundang-undangan, dengan pasal-pasal, berhukum dengan teks-teks tertulis normatif, namun yang lebih substantif dan berkualitas, adalah berhukum melalui mekanisme musyawarah. Menurut Satjipto, Komunitas Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, memiliki gagasan amat menarik. Mereka tidak membiarkan hukum dijalankan menurut kata-kata dalam teks begitu saja. Mereka mengatakan, hukum memang dimulai dari peraturan, tetapi peraturan itu tidak langsung diterapkan begitu saja. Ia perlu dimusyawarahkan (overleg) lebih dulu agar mencapai hasil baik. Musyawarah atau overleg itu boleh disebut sebagai kata lain untuk ”akal sehat”. Lebih lengkah, lihat Opini Harian KOMPAS Satjipto “Berhukum Dengan Akal Sehat”, Edisi 19 Desember 2008. Berhukum dengan nurani, intinya adalah adanya hubungan yang erat antara hukum dan sikap batin yang menjalankan. Dalam hal ini adalah Polisi, jaksa, dan hakim. Seorang polisi, jaksa, atau hakim yang bekerja dan berhukum dengan nurani (with consciens) akan menghasilkan putusan yang berbeda dibandingkan yang bekerja dan berhukum hanya berdasarkan book-rule atau “mengeja teks”. Hukum bukan teks hukum semata yang kaku, tetapi terkait alam pikiran dan nurani manusia yang menjalankan. Berhukum harus mengikutsertakan nurani kemanusiaan. Dengan demikian, moralitas hukum, yakni keadilan yang sesungguhnya bagi masyarakat bisa diwujudkan. Dalam sosiologi hukum, faktor disposisi nurani terkait erat dengan tindakan seorang penegak hukum . Lihat opini Satjipto “Berhukum Dengan Hati Nurani”, di Harian KOMPAS, Edisi, 21 Juni 2009. 47
16
Umar Sholahudin 2013 Oleh karena itu, dalam konteks semakin menggejalanya vonis ringan atau bebas dalam perkara korupsi, eksaminasi publik memiliki peran dan fungsi sangat strategis dalam mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi lembaga peradilan agar menjalankan hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan. Kegiatan eksaminasi publik tidak hanya sekedar menggunakan pendekatan yuridis-normatif, tapi juga pendekatan hukum progresif. Pendekatan hukum progresif dalam kegiatan eksaminasi publik diyakini dapat menghasilkan hasil ekasaminasi yang tidak saja memiliki legitimasi hukum yang kuat, tapi juga legitimasi akademik-ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.Pendekatan hukum
prograsif diyakini dapat memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat secara luas. .
17
Umar Sholahudin 2013
DAFTAR PUSTAKA Ali, Ahmad. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Bogor Cetakan kedua. Ghalia Indonesia. Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta _________________. 2009. Hukum Progresif; Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta. _________________. 2010. Sosiologi Hukum. Genta Publishing. Yogyakarta _________________. 2011. Eksaminasi Publik Sebagai Manifestasi Kekuatan Otonomi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Hukum, dalam buku Eksaminasi Publik; Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, ICW, Jakarta. Soekanto, Soerjono. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sholahudin, Umar. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat; Kajian Sosiologi Hukum, Intrans-Publishing, Malang. Sunarto, Kunarto. 1993. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Jakarta. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. ELSAM dan HUMA. Jakarta. Yuntho, Emerson, dkk. 2011, Panduan Eksaminasi Publik, edisi Revisi, ICW, Jakarta, Jurnal Adi, Koeno. 2006. Sosiologi Hukum dalam Sistem Pembelajaran Hukum di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Temu Kerja Pengajar Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum Se-Jatim di Malang tanggal 22-23 Februari 2006. Arif Fakrulloh, Zudan. 2005. Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005 Irianto, Sulistyawati. 2006. Sejarah Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi Metodologinya. Makalah Disampaikan pada Temu Kerja Pengajar Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum Se-Jatim di Malang tanggal 22-23 Februari 2006. Sidharta, Bernard Arief. 2004. Maklumat Kematian Themis di Taman Posmodernisme. Newsletter, Edisi N0. 59/Desember 2004. Yayasan Pusat Pengkajian Hukum. Jakarta Undang-Undang UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Media Cetak Rahardjo, Satjipto. Berhukum Dengan Akal Sehat, Opini Kompas, Edisi 19 Desember 2008 _______________. Berhukum Dengan Hati Nurani, Opini Kompas, Edisi, 21 Juni 2009 Wignjosoebroto, Soetandyo. Nenek Minah Tak Curi Cokelat, Opini Kompas, edisi 15 Februari 2010 Jawa Pos, 7 Oktober 2013 Kompas, 12 Februari 2011 Koran Tempo 18 Oktober 2011 Kompas, Edisi 15 Februari 2010. Kompas, 21 Juni 2009, Kompas, 19 Desember 2008 18
Umar Sholahudin 2013 Majalah Forum Keadilan, Edisi Februari 1997. Internet http://hukum.kompasiana.com/2012/04/11/eksaminasi-publik-putusan-bebas-dalamperspektif-hukum-progresif-454165.html, diakses 30 September 2013 http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/11/26/brk,20091126-210553,id.html, diakses tanggal 10 Maret 2011 Rahardjo, Satjipto. Rasa Keadilan yang Terluka, ini dikutip dalam pemberitaan KoranTempo;http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/11/29/Topik/inde x.html, diakses tanggal 10 Maret 2011 http://fachrizal.lecture.ub.ac.id/2010/08/eksaminasi-publik-sebuah-upaya-penegakan-hukumberbasis-masyarakat-tinjauan-hukum-progresif. diakses 30 September 2013 Kompas Cyber Media 6 September 2004
19