EKOBIOLOGI REPRODUKSI IKAN OPUDI Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) SEBAGAI DASAR KONSERVASI IKAN ENDEMIK DI DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN
FADLY Y. TANTU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Ekobiologi Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) Sebagai Dasar Konservasi Ikan Endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Fadly Y. Tantu NRP C161050081
ABSTRACT FADLY Y. TANTU. Reproductive Ecobiology of Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) as the Base of the Endemic Fish Conservation in Lake Matano, South Sulawesi. Under direction of SULISTIONO, M.F. RAHARDJO, DJADJA S. SJAFEI, and ISMUDI MUCHSIN. The research were aimed to describe characteristics of habitat, distribution patterns, growth and reproduction of the endemic fish T. antoniae as the base of endemic fish management in Lake Matano, South Sulawesi. This was conducted from September 2010 to August 2011 in nine sampling stations. Fish were collected by mini beach seine of 10 m length and 3 m depth with 3 mm mesh size. The habitat conditions were described and physical chemical parameters of the water were measured monthly. Results showed that temperature was 27.20 - 30.30 ˚C, dissolved oxygen was 5.02 - 7.45 mg l-1, pH was 8.32 - 8.8, total suspended solids was 0.3 - 3.6 mg l-1, total dissolved solids was 80 - 145 mg l-1, and water transparency was 13 - 23 m. The habitat was in shallow areas along the lake sides with clear waters, bottom substrate composed of sand to cobbles with rare aquatic vegetation. Male‟s standard length (SL) ranged between 32.76 and 85.58 mm, while female‟s ranged between 36.17 and 83.25 mm. Male and female population was dominated by those of 41.58-54.80 mm SL and 37.17-54.80 mm, respectively. Both male and female‟s growth patterns were allometric. Male‟s growth equation was Lt = 87.64(1-e-0,36(t-0,11)) and female‟s was Lt = 85.43(1-e0,54(t-0,08) ). Conservation of the endemic fish need to be conducted by enhancing the functions of nature recreation park of Lake Matano. Keywords: ecobiology, reproduction, Telmatherina antoniae, conservation
RINGKASAN FADLY Y. TANTU. Ekobiologi Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) Sebagai Dasar Konservasi Ikan Endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh : SULISTIONO, M.F. RAHARDJO dan ISMUDI MUCHSIN. Penelitian kajian ekobiologi ikan opudi Telmatherina antoniae sebagai dasar pengelolaan ikan endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengkaji karakter habitat, pola distribusi, pertumbuhan dan reproduksi ikan endemik T. antoniae di daerah litoral Danau Matano untuk dijadikan dasar dalam pengelolaan ikan endemik di Danau Matano. Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama 12 bulan yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan Agustus 2011. Sampling dilakukan pada sembilan stasiun penelitian. Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda survei post facto. Stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan pertimbangan: (1) merupakan habitat dari ikan T. antoniae, (2) kondisi stasiun penelitian memungkinkan untuk operasional pelaksanaan sampling, dan (3) stasiun penelitian dapat mewakili keragaman habitat dari ikan T. antoniae. Berdasarkan pertimbangan ini ditetapkan sembilan stasiun penelitian yang dibagi dalam tiga zona yang secara spasial mewakili tiga bagian danau utama yaitu: (1) Zona yang mewakili wilayah danau bagian hulu, (2) zona yang mewakili wilayah danau bagian tengah, dan (3) zona yang mewakili wilayah danau bagian hilir. Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang didisain khusus, yaitu pukat pantai berkantong berukuran panjang 10 meter dan lebar 3 meter dengan mata jaring 3 mm. Pukat pantai ini dioperasikan di daerah pinggiran pada kedalaman 0,5 – 3 m. Pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan secara in situ menggunakan water quality test-kit merek Horiba. Parameter yang diukur in situ adalah suhu (⁰C), oksigen terlarut (mg l-1), pH. Toatal padatan tersuspensi (mg l-1) dan Total padatan terlarut (mg l-1) diperiksa di laboratorium. Transparansi perairan diukur dengan mengukur jarak pandang di dalam air secara horisontal terhadap bidang berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Fluktuasi tinggi muka air danau di atas permukaan laut (dpl) dan curah hujan
rata-rata harian (mm) di sekitar danau dianalisis dari data yang dikoleksi secara periodik dari stasiun pemantau PT. INCO yang ada di sekitar Danau Matano. Hasil pengukuran parameter kualitas perairan Danau Matano selama periode sampling menunjukkan dinamika dengan fluktuasi yang relatif sempit baik secara spasial maupun temporal. Secara umum kisaran nilai hasil pengukuran parameter lingkungan fisika kimiawi perairan Danau Matano sebagai berikut: suhu 27,20 – 30,30 ˚C, oksigen terlarut 5,02 – 7,45
mg l-1, pH 8,32 – 8,8, TSS
0,3 – 3,6 mg l-1, TDS 80 – 145 mg l-1 dan transparansi 13 - 23 m. Habitat T. antoniae pada sembilan stasiun penelitian memperlihatkan bahwa T. antoniae di menempati daerah dangkal pinggiran danau yang memiliki karakter habitat perairan jernih, substrat dasar berpasir sampai berbatu dengan vegetasi dasar yang jarang. Ikan ini tidak menyukai substrat berlumpur. Kisaran ukuran ikan jantan yang diperiksa adalah 32,76-85,58 mm, sedangkan ikan betina 36,17-83,25 mm. Pola sebaran ukuran menunjukkan ikan jantan dengan ukuran panjang baku (PB) 41,58–54,80 mm merupakan jumlah terbanyak di dalam populasi (78,98%). Sedangkan pada ikan betina didominasi oleh ikan-ikan dengan ukuran panjang baku 37,17-54,80 mm (87,80%). Model hubungan panjang berat T. antoniae untuk individu jantan W = 0,000008L3,210 dan betina W= 0,00003L2,915 dengan pola pertumbuhan allometrik. Sedang bentuk persamaan pertumbuhan ikan jantan Lt = 87,64(1-e-0,36(t-0,11)) dan ikan Lt = 85,43(1-e-0,54(t-0,08)). Ukuran panjang baku ikan jantan terbesar yang ditemukan 85,25 mm, sedang betina 83,25 mm. Ikan ini berpasangan dengan perbandingan jantan dan betina seimbang. Pemijahan secara bertahap dan berlangsung sepanjang tahun. Puncak pemijahan terjadi pada akhir musim hujan. Starategi konservasi yang harus dibangun untuk konservasi ikan opudi adalah dengan mengefektifkan status danau sebagai kawasan konservasi taman wisata alam (TWA) sehingga pemanfaatan lahan-lahan sekitar danau yang berpotensi merusak ekosistem danau dapat dikurangi.
Melalui pendekatan pemanfaatan
danau serta biota yang ada didalamnya sebagai objek wisata alam (ekowisata) akan memberikan nilai manfaat bagi keberlanjutan ikan-ikan endemik dan biota endemik lainnya yang hidup di Danau Matano.memiliki muatan ilmiah dan sekaligus objek konservasi.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EKOBIOLOGI REPRODUKSI IKAN OPUDI Telmatherina antoniae (Kottelat,1991) SEBAGAI DASAR KONSERVASI IKAN ENDEMIK DI DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN
FADLY Y. TANTU
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Gadis Sri Haryani 2. Dr. Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Soeroto, M.Sc. 2. Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.Si.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada penulis,
sehingga
dapat
melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan disertasi berjudul „Ekobiologi Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae (Kottelat, 1991) Sebagai Dasar Konservasi Ikan Endemik di Danau Matano, Sulawesi Selatan‟. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan disertasi ini. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Almarhum Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis pada tahap-tahap awal penelitian ini. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT. Ucapan terima kasih kepada Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup dan Ujian terbuka atas saran dan masukan guna memperkaya tulisan ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.Sc. selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Fadly Y.Tantu
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan beasiswa BPPS 2005 yang diberikan kepada penulis.
2.
Rektor Universitas Tadulako Palu dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako atas bantuan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3.
3.
Ayahanda Yasin Tantu (Alm.) dan Ibunda Quraisyin Abdulwali (Alm.) atas doa dan harapan-harapan mereka kepada penulis agar mengedepankan menuntut ilmu. Nasehat mereka yang melekat dalam ingatan penulis adalah “Hanya dengan sekolah (memiliki ilmu pengetahuan) kita bisa mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik”.
4.
Kakanda Isma Y. Tantu, Muh. Roem Y. Tantu (Alm.), Ir. Ramly Y. Tantu, M.Sc. (Alm.). Usman Y. Tantu SE. M.Si., Rukiyani Y. Tantu, Maryam Y. Tantu, Adinda Isra Y. Tantu SH., Ir. Rizal Y. Tantu, M.Si., dan Irvan Y. Tantu, dan seluruh keluarga besar Tantu-Abdulwali yang selalu memberikan dukungan semangat, dorongan dan doa kepada penulis.
5.
Ayah dan Ibu Mertua E. Soeparman S.A. dan Ibunda Sunarmi atas semangat, dorongan dan doa kepada penulis dalam menuntut ilmu. Dan kepada Adinda Rizki Abdussalam, SH, Afiati Nurrohmah, SH, dan Arif Rachman Saleh atas dukungan dan doa yang telah diberikan.
6.
Istri tercinta Ir. Jusri Nilawati, M.Sc. dan ananda Fauzia Noorchaliza, Fadhilah Noor Nabiilah dan Fathan Noor Ilmi Fadly Tantu atas doa, kasih sayang, pengertian, dukungan, dan pengorbanan bagi keberhasilan penulis.
7.
PT. INCO Tbk atas bantuan akomodasi di lapangan.
8.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Luwu Timur atas ijin penelitian.
9.
The Stability of Rainforest Margins in Indonesia (Storma) atas bantuan dana penelitian.
10.
Teman-teman Program Studi Ilmu Perairan atas dukungan semangat selama masa studi.
11.
Berbagai pihak yang turut memberikan andil dalam keberhasilan penulis menyelesaikan studi S3 di Program Studi Ilmu Perairan, SPs IPB, Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, pada tanggal 28 November 1962 dari orang tua Ayah Yasin Tantu dan Quraisyin Abdulwali. Penulis adalah anak ketujuh dari 10 bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Manajeman Sumberdaya Perairan Universitas Sam Ratulangi dan lulus tahun 1990. Pada tahun 1995 penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Ilmu Perairan Universitas Sam Ratulangi dan meraih gelar Magister Sains pada tahun 2001. Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Ir. Jusri Nilawati, M.Sc. dan dikaruniai empat orang putera puteri yaitu Fauzia Noorchaliza (11 tahun), Fathimah Noorasysyifa (Alm.), Fadhilah Noor Nabiilah (7 tahun) dan Fathan Noor Ilmi Fadly Tantu (2,5 tahun). Kemudian pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah yang sudah dipublikasikan adalah: Habitat dan distribusi ukuran ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano, 2011 dalam Jurnal Agrisains 12(3) (in press). Tingkah laku pemijahan Telmatherina antoniae di Danau Matano, Sulawesi Selatan. 2012 dalam Jurnal Agrisains 13(1) (in press).
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................
Halaman xxiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xxvii
PENDAHULUAN ...................................................................................... Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................... Kebaruan ................................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Deskripsi Umum Danau Matano ............................................................ Telmatherina antoniae dan Distribusinya di Danau............................... Reproduksi.............................................................................................. Status Konversi dan Ancaman Potensial Ikan-ikan Endemik Air Tawar ...............................................................................................
5 5 7 10 11
METODE PENELITIAN ............................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ Metode dan Desain Penelitian ................................................................ Analisis Data ..........................................................................................
13 13 13 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... Habitat Ikan T. antoniae ......................................................................... Hidrologi dan Lingkungan Fisik Kimiawi Perairan ............................... Distribusi dan Kelas Ukuran Ikan T. antoniae ....................................... Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan T. antoniae ....................... Reproduksi.............................................................................................. Nisbah kelamin................................................................................ Komposisi warna jantan .................................................................. Tingkat kematangan gonad ............................................................. Indeks kematangan gonad ............................................................... Sebaran diameter telur..................................................................... Fekunditas ....................................................................................... Musim pemijahan dan strategi reproduksi ...................................... Sifat dan tingkah laku reproduksi T. antoniae di perairan .............. Pengelolaan dan Konservasi ...................................................................
23 23 24 29 38 48 48 51 53 60 62 63 64 65 67
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
73
LAMPIRAN ................................................................................................
81
DAFTAR TABEL 1.
Parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano ................................
Halaman 27
2.
Nilai rata-rata dan simpangan baku jumlah ikan menurut stasiun penelitian ..............................................................................................
31
Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, standar deviasi, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae jantan berdasarkan bulan sampling .................................................................
45
Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, standar deviasi, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae betina berdasarkan bulan sampling .................................................................
46
5.
Variasi spasial nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano .............
48
6.
Variasi temporal nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano..........
49
7.
Variasi nisbah kelamin T. antoniae menurut kelas ukuran ..................
50
8.
Ukuran rata-rata PB T. antoniae jantan berdasarkan warna ................
52
9.
Jumlah individu T. antoniae jantan dan betina menurut kondisi TKG .....................................................................................................
57
3.
4.
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Telmatherina antoniae jantan kuning (atas) dan betina (bawah) .........
9
2.
Danau Matano dan stasiun sampling ...................................................
13
3.
Keadaan curah hujan harian dan fluktuasi muka air Danau Matano periode September 2010-Agustus 2011 ..................................
25
Dendogram pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimiawi perairan .........................................................
29
Histogram distribusi spasial ikan T. antoniae menurut stasiun penelitian ..............................................................................................
30
6.
Sebaran kelas ukuran panjang baku T. antoniae jantan dan betina .....
31
7.
Distribusi spasial T. antoniae jantan berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano .....................................
33
Distribusi spasial T. antoniae betina berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano .....................................
34
Distribusi temporal T. antoniae jantan berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano .................................................
36
10. Distribusi temporal T. antoniae betina berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano .................................................
37
11. Hubungan panjang-berat T. antoniae di Danau Matano: (a) jantan dan (b) betina .......................................................................................
39
12. Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut stasiun sampling ...................................................
41
13. Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut bulan sampling .....................................................
43
14. Kurva pertumbuhan Von Bartalanffy ikan T. antoniae jantan dan betina berdasarkan data frekuensi panjang....................................
47
15. Histogram komposisi warna T. antoniae jantan warna biru dan jantan warna kuning (a) menurut stasiun sampling dan (b) menurut waktu sampling ................................................................
52
16. Struktur histologis gonad T. antoniae jantan .......................................
55
17. Struktur histologis gonad T. antoniae betina .......................................
56
18. Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan stasiun penelitian ..................
58
19. Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan waktu penelitian ....................
59
4. 5.
8. 9.
20. Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan sebaran ukuran panjang ........
60
21. Nilai indeks kematangan gonad (TKG) ikan T. antoniae menurut stasiun sampling ....................................................................
61
22. Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut waktu sampling ....................................................
62
23. Sebaran diameter telur T. antoniae pada TKG I-V ..............................
63
24. Hubungan antara fekunditas dengan panjang baku (PB) .....................
64
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Teknik pembuatan preparat histologis gonad ......................................
83
2.
Ragam habitat pemijahan T. antoniae di Danau Matano .....................
85
3.
Karakteristik habitat T. antoniae dan komunitas ikan di sembilan stasiun sampling di Danau Matano .......................................
86
Rata-rata curah hujan harian dan fluktuasi tinggi muka air Dana Matano selama periode September 2010 – Agustus 2011 ...................
89
Nilai rata-rata parameter fisik kimiawi perairan dan jumlah ikan menurut stasiun penelitian ...........................................................
90
Nilai panjang baku (PB) rata-rata T. antoniae jantan dan betina pada lokasi berbeda di Danau Matano .................................................
91
Nilai rata-rata panjang baku (PB) ikan T. antoniae jantan dan betina di Danau Matano .......................................................................
92
Model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T.antoniae jantan dan betina ..................................................................................
93
Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae jantan yang dikoleksi mulai bulan September 2010 – Agustus 2011 di Danau Matano ..................................................................................
94
10. Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae betina yang dikoleksi mulai bulan September 2010 – Agustus 2011 di Danau Matano ..................................................................................
95
11. Deskripsi karakter morfologi dan histologis tahap perkembangan gonad T. antoniae jantan ......................................................................
96
12. Deskripsi karakter morfologi dan histologis tahap perkembangan gonad T. antoniae betina ......................................................................
97
4. 5. 6. 7. 8. 9.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sulawesi terletak di dalam kawasan Wallacea yang telah lama dikenal sebagai pusat biodiversitas. Hal ini disebabkan oleh tingginya derajat endemisme di antara fauna aslinya (Myers et al. 2000; Whitten et al. 2002). Danau Matano adalah salah satu danau tua di dunia yang terdapat di Pulau Sulawesi yang terbentuk sekitar 1,7 juta tahun lalu (Haffner et al. 2001). Danau ini dihuni oleh biota akuatik endemik. Saat ini terdapat lebih dari 35 spesies ikan di danau tersebut, lima belas spesies diantaranya adalah endemik yang digolongkan ke dalam empat kelompok yaitu: Telmatherinidae (sembilan spesies), Gobiidae (empat spesies), Oryziidae dan Hemiramphidae (masing-masing satu spesies) (Tantu & Nilawati 2007a). Telmatherina
antoniae
(Kottelat
1991)
adalah
salah
satu
dari
sembilan
Telmatherinidae yang ditemukan di Danau Matano. Ikan ini berukuran relatif kecil dengan panjang baku kurang dari 100 mm dan memiliki warna yang cerah. Individu jantan memiliki dua bentuk warna yaitu biru dan kuning, memiliki tingkah laku yang atraktif dan berwarna indah. Warna yang indah dan tingkah laku atraktif tersebut membuat ikan ini sangat berpotensi untuk dijadikan ikan hias yang memiliki nilai ekonomi. Masyarakat sekitar danau menyebut ikan T. antoniae dan umumnya ikanikan famili Telmatherinidae dengan nama opudi. Saat ini ikan opudi tidak dieksploitasi untuk tujuan konsumsi maupun ekonomi oleh masyarakat, tetapi ikan ini sedang menghadapi beberapa masalah karena aktivitas yang intensif di perairan maupun di daratan sekeliling danau. Beberapa aktivitas yang diprediksi memiliki potensi mengganggu habitat dan kelangsungan hidup ikan antara lain: perluasan lahan pertambangan yang terus mendekati tepian danau, pembangunan konstruksi jalan lingkar danau, perluasan permukiman, konstruksi dan pengoperasian dam, perubahan badan sungai, pembalakan di sekitar daerah aliran sungai, pembukaan lahan perkebunan, limbah rumah tangga dan buangan minyak dari mesin-mesin perahu transportasi.
2
Dampak nyata dari aktivitas tersebut di atas secara kualitatif dapat dilihat dari semakin meningkat dan meluasnya daerah litoral yang terpapar bahan-bahan tersuspensi. Secara fisik, dampak itu ditandai oleh meningkatnya kekeruhan perairan dan perubahan sistem hidrologis dari kondisi alami ke kondisi buatan akibat adanya pengoperasian dam di aliran sungai keluar danau (outlet). Peningkatan aktivitas di sekeliling danau menimbulkan kekhawatiran tentang kelangsungan ikan ini di habitatnya. Aktivitas-aktivitas lain yang mengancam keberadaan T. antoniae di Danau Matano adalah budidaya dan introduksi ikan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Jumlah ikan eksotik di danau terus meningkat setiap tahun. McKinnon et al. (2000) dan Hadiaty & Wirjoatmodjo (2002) mencatat lima spesies, sementara Tantu & Nilawati (2007b) mendokumentasikan 20 spesies ikan bukan asli. Keberadaan spesies ikan bukan asli di habitat spesies ikan endemik dikhawatirkan menimbulkan tekanan terhadap spesies endemik baik melalui predasi maupun kompetisi (Wijeyaratne & Perera 2001). Selain itu, spesies ikan bukan asli bisa menyebabkan penurunan populasi spesies endemik (Leyse et al. 2003). Ikan bukan asli di Danau Matano umumnya melakukan aktivitas mencari makan, membangun sarang dan bereproduksi di daerah litoral. Apabila masalah degradasi habitat dan peningkatan populasi ikan eksotik di danau ini berakumulasi, kelangsungan T. antoniae diprediksi terganggu. Beberapa topik penelitian mengenai ikan Danau Matano yang telah dilakukan antara lain: radiasi adaptif dan hibridisasi (Herder et al. 2006a); keragaman dan evolusi (Herder et al. 2006b); pemeriksaan pendahuluan “sailfin silversides” (Teleostei: Telmatherinidae) di Danau-danau Malili Sulawesi (Indonesia), dengan sinopsis sistematika dan ancaman-ancamannya (Herder et al. 2008); radiasi adaptif dan genetika populasi (Heath et al. 2006); pemeliharaan polimorfisme warna jantan pada telmatherinid (Gray et al. 2006); deskripsi perbandingan tingkah laku kawin ikan Telmatherinidae dari danau-danau Malili Sulawesi (Gray & McKinnon 2006); dan seleksi seksual pada ikan yang ditampilkan melalui polimorfisme warna yang dipengaruhi oleh lingkungan (Gray et al. 2008a); serta makan telur secara sembunyi-
3
sembunyi pada Telmatherina sarasinorum, ikan endemik dari Sulawesi (Gray et al. 2008b). Studi-studi tersebut difokuskan pada biologi evolusi dan ekologi tingkah laku untuk menelaah mengenai asal dan keragaman biologi dari danau-danau ini. Studi mengenai aspek reproduksi T. antoniae dilaporkan oleh Sumassetiyadi (2003). Penelitian ini menelaah ekobiologi untuk memetakan aspek habitat, biologi reproduksi, dan ancaman yang dihadapi oleh T. antoniae untuk mendapatkan konsep pengelolaan ikan-ikan T. antoniae di Danau Matano.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakter habitat, pola distribusi, pertumbuhan dan reproduksi ikan endemik T. antoniae di daerah litoral Danau Matano. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dijadikan dasar pengelolaan ikan endemik di danau tersebut.
Kebaruan Kebaruan penelitian ini adalah penggunaan ikan endemik opudi T. antoniae dalam kajian hubungan habitat, pola distribusi, pertumbuhan, dan reproduksi di Danau Matano.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Danau Matano Danau Matano adalah salah satu danau yang berada dalam wilayah ‟Wallacea‟. Danau ini berada di bagian tengah Pulau Sulawesi, yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Danau Matano merupakan hulu dari rangkaian tiga danau besar yang berdekatan yaitu Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Dua danau lain yang juga bertetangga dengan ketiga danau ini yaitu Danau Lantoa dan Danau Masapi. Kelima danau ini membentuk satu kompleks danau yang dikenal dengan sebutan ‟Kompleks Danau Malili‟. Sistem aliran dari kompleks danau ini berhubungan dengan Teluk Bone melalui Sungai Malili (Tantu & Nilawati 2007a). Danau Matano dan dua danau tetangganya di bagian hilir (Danau Mahalona dan Danau Towuti) merupakan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA). Penetapan sebagai kawasan konservasi TWA telah relatif lama dilakukan yaitu tahun 1979 melalui Surat Keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979. Luas kawasan ini mencapai 98.500,00 ha (termasuk perairan danau), dengan rincian luas masing-masing: TWA Matano 30.000 ha, TWA Towuti 65.000 ha, dan TWA Mahalona 3.500 ha (Tantu & Nilawati 2007b). Walaupun kompleks danaudanau Malili ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi TWA, namun TWA ini tidak dikelola sebagaimana mestinya sebuah kawasan TWA. Padahal danau ini memiliki keunikan dilihat dari sisi biota yang tercermin pada keragaman dan endemisitas biotanya. Danau Matano diidentifikasi sebagai sumber utama kehadiran spesies-spesies endemik dalam kompleks danau-danau Malili (Hafner et al. 2001). Keindahan, keunikan dan keragaman ikan endemik Danau Matano dan danau lainnya di kompleks Malili saat ini menarik perhatian banyak naturalis dari berbagai negara di dunia untuk menjadikan kompleks danau-danau Malili sebagai obyek penelitian (Tantu & Nilawati 2007b). Kawasan ini juga merupakan pusat perhatian keanekaragaman ikan endemik perairan tawar Sulawesi (Tantu & Nilawati 2007a).
6
Walaupun
danau-danau
ini
kaya
akan
spesies
endemik,
namun
produktifitasnya sangat renda dibandingkan dengan danau-danau tropis lain. Menurut Haffner et al. (2006), biomassa fitoplankton di Danau Matano, Mahalona dan Towuti berturut-turut adalah 0,013; 0,008; dan 0,09 mg l-1. Sementara biomassa di Danau Malawi, Tanganyika dan Victoria berturut-turut adalah 0,3; 0,9; dan 5 mg l-1. Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Widhiasari (2003) menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton di daerah litoral Danau Matano berkisar antara 27 dan 1287 ind. l-1; nilai ini berada dalam kisaran kategori oligotrof (0 – 2000 ind. l-1). Studi Widhiasari (2003) ini juga mencatat bahwa jenis fitoplankton yang dominan adalah Chlorophyceae. Sementara Haffner et al. (2006) yang melakukan studi di kompleks Danau Malili melaporkan bahwa komunitas fitoplankton yang dominan adalah cyanobacteria kecil. Taksa yang lebih besar seperti Staurastrum dan Peridinium jarang ditemukan. Demikian pula dengan komunitas zooplankton terdiri atas beberapa spesies terutama calanoid (Eodiaptomus wolterecki), copepoda cyclopoid (Tropocyclops spp.) dan rotifer (Horaella brehmi). Parameter fisik kimiawi perairan dideskripsikan oleh Bramburger et al. (2006) sebagai berikut: kisaran suhu tahunan 27–31ºC; pH 7,7-8,3; konduktivitas 143-175 µS cm-¹; dan total fosfor kurang dari 5 µg l-¹. Secara fisik Danau Matano memiliki keunikan: terjadi secara tektonik; berada pada ketinggian 396 m di atas permukaan laut (dpl); luas 164 km2 dan kedalaman kurang lebih 590 m (Haffner et al. 2001); dan merupakan danau terdalam kedelapan di dunia. Danau Matano dideskripsikan oleh Haffner et al. (2001) sebagai danau oligotrofik; perairan sangat jernih dengan kecerahan mencapai 23 m; daerah litoral relatif sempit yang dibatasi oleh dinding-dinding danau yang curam. Walaupun danau ini berhubungan dengan dua danau di hilirnya, namun danau ini terisolasi oleh elevasi 89 m, dan arus aliran keluar yang kuat, yaitu berkisar 25-30 m³det-¹. Kondisi ini diduga sebagai rintangan fisik bagi penyebaran ikan dari danau-danau yang ada di bagian hilir (Haffner et al. 2001). Soeroto (1997) menyatakan bahwa ikan-ikan endemik Danau Matano merupakan anggota dari famili ikan laut yang diduga telah menempati danau itu sejak
7
awal kejadiannya. Mayoritas ikan air tawar Sulawesi adalah ikan sekunder, yaitu ikan yang mampu mentolerir kandungan garam. Contoh ikan-ikan sekunder adalah Oryziidae dan Adrianichthyidae, sedangkan anggota dari famili ikan laut adalah Gobiidae, Eleotridae, Atherinidae dan Hemiramphidae (Soeroto 1997). Ikan T. antoniae adalah salah satu jenis ikan endemik Danau Matano yang terdistribusi di sepanjang tepian danau Matano (Kottelat 1991). Ikan ini menempati daerah litoral danau (Heath et al. 2006; Nilawati & Tantu 2007). Zona litoral yang dihuni oleh T. antoniae terbatas pada perairan dangkal yang kedalamannya kurang dari 10 m. Zona litoral dikenal merupakan zona penting bagi juvenil dan ikan-ikan dewasa di banyak sistem danau. Sementara itu struktur komunitas, preferensi habitat dan pola-pola musiman pemanfaatan zona litoral oleh komunitas ikan danau di daerah tropis belum banyak dipahami. Zona ini merupakan daerah pengasuhan dan mencari makan yang penting (Vono & Barbosa 2001). Posisi spesies di dalam suatu komunitas sangat bergantung kepada ketersediaan sumber daya dan proses-proses ekologis seperti kompetisi interspesifik atau predasi (Piet 1998). Ada tiga dimensi penting dalam pembagian sumber daya komunitas ikan yaitu: dimensi trofik, spasial dan temporal. Dimensi trofik merupakan dimensi paling penting untuk memisahkan spesies ikan di danau, sedangkan dimensi spasial yang penting di danau adalah distribusi vertikal di dalam kolom air (Ross 1986).
Telmatherina antoniae dan Distribusinya di Danau Famili Telmatherinidae (Kottelat 1991) adalah ikan-ikan kecil dari Kompleks Danau Malili dengan ciri warna yang cerah. Telmatherinidae yang ditemukan di Danau Matano adalah endemik (Gray et al. 2008). Saat ini kelompok ikan ini menjadi perhatian untuk studi yang berkaitan dengan biologi evolusi dan ekologi tingkah laku serta untuk penelaahan asal dan keragaman biologi dalam Kompleks Danau Malili (Herder et al, 2006a, 2006b, 2008; Heath et al. 2006; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Gray et al. 2008a; 2008b). Deskripsi taksonomik beberapa spesies Telmatherinidae pertama kali dipublikasikan oleh Boulenger pada tahun 1897, dan telah direvisi oleh Kottelat
8
(1990b, 1991) dan Aarn & Kottelat (1998). Telmatherina antoniae adalah salah satu dari sembilan spesies anggota Telmathernidae yang hidup di Danau Matano (Nilawati & Tantu 2007). Ikan ini pertama kali diidentifikasi dan dinyatakan sebagai spesies baru dari Danau Matano oleh Kottelat (1991). Klasifikasi T. antoniae menurut Kottelat (1991) adalah sebagai berikut: Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Class
:
Actinopterygii
Order
:
Atheriniformes
Family
:
Telmatherinidae
Genus
:
Telmatherina
Spesies
:
Telmatherina antoniae Kottelat, 1991
T. antoniae mudah dibedakan dari spesies Telmatherina lain dengan karakter sebagai berikut: sirip dorsal kedua dan sirip anal membulat ke arah posterior, ada dua bentuk warna jantan (biru dan kuning), tubuh coklat kebiru-biruan, dan bagian kepala berwarna lebih muda. Suatu garis lebar yang warnanya lebih muda terletak di antara sirip dorsal kedua dan sirip anal. Dua buah garis yang lebih tipis dan lebih muda terletak agak di depan dan agak di belakang permulaan sirip ventral. Sirip dorsal pertama berwarna kehitam-hitaman dengan ujung putih kebiru-biruan. Sirip dorsal kedua, sirip anal dan sirip ventral berwarna sangat biru muda. Sirip pektoral dan sirip kaudal transparan. Ikan jantan warna kuning memiliki pola warna yang sama dengan ikan jantan warna biru, tetapi tubuhnya coklat dengan garis-garis coklat kekuningkuningan. Ikan betina berwarna abu-abu kebiru-biruan (Gambar 1), dengan garisgaris lebih muda seperti garis-garis pada ikan jantan dan satu pita aksial tipis kehitam-hitaman (Kottelat 1991). Secara morfometrik, T. antoniae memiliki karakter sebagai berikut: lebar moncong 0,88-1,05 kali panjang baku; 14-17 sisik predorsal; 33-34 sisik pada baris longitudinal; dan 14-17½ jari-jari anal bercabang. Jari-jari sirip dorsal pertama (D1) V-VII, dorsal kedua (D2) I,8-11½; jari-jari sirip kaudal bercabang 8+7; jari-jari sirip anal I,14-17½; jari-jari sirip pektoral 15-16; dan jari-jari sirip pelvik I,5. Sisik pada
9
baris longitudinal 33-36. Sisik pada baris transversal ½8½, sisik predorsal 14-17; sisik preoperkulum 4-5; sisik operkulum 4-6. Gill-raker pada lengkungan pertama 2731 (Kottelat 1991).
Gambar 1. Telmatherina antoniae jantan kuning (atas) dan betina (bawah)
Ikan T. antoniae dewasa reproduktif memiliki dua kelompok ukuran tubuh yaitu ukuran besar dan kecil (Gray et al. 2006). Perbedaan yang nyata pada kedua kelompok ikan dewasa reproduktif ini yaitu tinggi tubuh yang mencolok meningkat pada ikan-ikan yang berukuran panjang baku (PB) kira-kira 53 mm (Kottelat 1991). Studi yang dilakukan McKinnon et al. (2000) pada T. antoniae jantan yang melakukan pemijahan pada dua lokasi berbeda yaitu di Old Camp dan Pump masingmasing memiliki ukuran rata-rata PB 47,2 mm dan 50,16 mm. Sementara itu McKinnon et al. (2000) juga menemukan bahwa ukuran rata-rata PB jantan biru dan kuning masing-masing adalah 49,8 mm dan 49,7 mm. Ikan T. antoniae hidup di daerah litoral; daerah ini dijadikan sebagai habitat pemijahan (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007).
10
Pasangan yang memijah meletakkan telurnya pada substrat dasar (Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007), seperti di antara batuan, di atas batuan beralga, kerikil atau pasir yang tidak memiliki tumbuhan air, dan pada tumbuhan air, pada batang pohon atau kayu-kayuan beralga yang tenggelam di dasar perairan. Ikan ini bahkan dapat memijah di perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang lebih 0,5 m (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007). Sementara itu Sumassetiyadi (2003) menyatakan bahwa ikan T. antoniae memijah di daerah bervegetasi dan meletakkan telur-telurnya pada substrat tumbuhan air (fitofil).
Reproduksi Gray & McKinnon (2006) meneliti tingkah laku kawin tujuh Telmatherinidae dan menemukan bahwa secara umum ikan-ikan tersebut memperlihatkan tingkah laku sebagai berikut: tidak mempunyai kepedulian induk (non parental care), pemijah pada substrat, tidak menunjukkan teritorialitas, dan sering berganti pasangan memijah. Deskripsi tingkah laku lain dari T. antoniae dan T. albolabiosus telah dijelaskan masing-masing oleh Nilawati & Tantu (2007) dan Tantu & Nilawati (2006). Studi mengenai pemeliharaan polimorfisme warna pada ikan jantan T. antoniae oleh Gray et al. (2006) menunjukkan bahwa frekuensi bentuk warna jantan T. antoniae yang memijah di daerah litoral pada kedalaman 0,5 sampai 2,0 m lebih berhubungan dengan parameter-parameter temporal, dibandingkan dengan parameterparameter spasial. Nilawati & Tantu (2007) mendeskripsikan ritual pemijahan T. antoniae. Ikan jantan dewasa mencari pasangan dengan cara mendekati ikan betina dewasa dari sisi kiri atau kanan. Kemudian ikan betina akan memperlambat kecepatan renangnya apabila ia tertarik pada ikan jantan yang mendekati. Setelah berada di dekat ikan betina, ikan jantan melakukan gerakan ‟seperti menari‟ di samping betina kemudian pasangan ini akan berenang beriringan dengan posisi jantan ‟selalu‟ berada di bawah abdomen ikan betina. Ikan jantan yang agresif melakukan gerakan-gerakan tarian menyilang atau membentuk lingkaran di samping betina. Ikan jantan tampak memandu dan melindungi pasangannya untuk mendapatkan substrat
11
pemijahan. Bila ikan betina mendapatkan substrat pemijahan, ikan jantan akan segera mendekat, dan membentuk formasi posisi sejajar dengan betina. Selanjutnya pasangan ikan ini saling mendekatkan abdomen dan secara bersamaan menekannya ke arah substrat, dengan posisi tubuh membentuk sudut kira-kira 30º terhadap substrat. Ikan betina kemudian melepaskan telur dan ikan jantan melepaskan sperma. Pada posisi ini tubuh pasangan memijah ini tampak bergetar. Sumassetiyadi (2003) yang mempelajari aspek reproduksi ikan T. antoniae menyatakan bahwa nisbah kelamin antara jantan dan betina tidak seimbang, dan populasi ikan ini didominasi oleh ikan jantan. Menurut Sumassetiyadi, ikan betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang total 70 mm (panjang baku ≈ 52,50 mm) dan untuk jantan pada ukuran 77 mm (panjang baku ≈57,75mm).
Status Konservasi dan Ancaman Potensial Ikan-ikan Endemik Air Tawar IUCN telah menyusun 10 kategori konservasi untuk status spesies langka yakni: (1) Punah: spesies (atau taksa lain, seperti subspesies dan varietas) yang telah punah dan tidak ditemukan dimanapun. (2) Punah di alam: spesies yang hanya ada di dalam pemeliharaan, dalam kurungan, atau sebagai populasi alam di luar kisaran asalnya. (3) Kritis: spesies yang menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Peluang punah di alam minimal 50% dalam waktu 10 tahun atau 3 generasi. (4) Genting: spesies menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, dan beresiko menjadi kritis. (5) Rentan: spesies yang menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam dalam jangka menengah, dan beresiko menjadi genting. Spesies dalam golongan ini dalam waktu 100 tahun mempunyai resiko kepunahan lebih dari 10%. (6) Tergantung usaha konservasi: spesies tidak sedang terancam kepunahan, tetapi kelangsungan hidupnya tergantung pada program konservasi, dan spesies itu bisa terancam punah. (7) Mendekati terancam punah: spesies mendekati kualifikasi rentan. (8) Kekhawatiran rendah: spesies tidak dimasukkan ke dalam kriteria tergantung usaha konservasi maupun kriteria mendekati terancam punah. (9) Kurang data: informasi yang ada tidak cukup untuk menentukan resiko kepunahan untuk spesies itu. Dalam banyak hal, spesies
12
belum terlihat selama bertahun-tahun atau dekade karena tidak ada ahli biologi yang telah berusaha untuk mencarinya. Lebih banyak informasi diperlukan sebelum spesies ini bisa digolongkan ke dalam kategori terancam. (10) Tidak di evaluasi: spesies belum dinilai kategori keterancamannya (Primack 2000). Ikan T. antoniae digolongkan berstatus rentan di dalam Red List Data Book of Threatened Animals tahun 1996 dari IUCN (International Union For Conservation of Nature and Natural Resources) (WCMC 2006). Ricciardi (2001) memperkirakan laju kepunahan hewan air tawar pada masa yang akan datang hampir lima kali lebih besar daripada hewan darat, dan tiga kali untuk mamalia laut. Status spesies air tawar di Amerika Utara menunjukkan kondisi krisis pertumbuhan dan kurang lebih 28% ikan air tawar asli telah dimasukkan ke dalam kriteria genting, rentan atau punah oleh World Conservation Union. Kepunahan keanekaragaman hayati antara lain disebabkan oleh: (1) kerusakan habitat, (2) eksploitasi jenis secara berlebihan, (3) introduksi jenis eksotik, (4) gangguan habitat termasuk pencemaran, (5) penyebaran penyakit, (6) persaingan, dan (7) pemanasan global (Reid & Miller 1989; Moyle & Leidy 1992). Danau-danau di dunia telah mengalami introduksi spesies eksotik yang menyebabkan perubahan besar pada komposisi fauna ikannya (Ogutu-Ohwayo 1990). Hal ini berhubungan dengan aktivitas manusia, preferensi masyarakat dan kebijakan pemerintah (Hall & Mills 2000). Meningkatnya introduksi spesies bukan asli dipicu oleh meningkatnya kebutuhan pangan, nilai ekonomis dan rekreasi (Welcomme 1988). Introduksi spesies bukan asli telah dijadikan sebagai strategi umum dalam pengelolaan perikanan danau yang mengalami degradasi stok (Olowo et al. 2004). Berbagai alasan introduksi spesies bukan asli yaitu: (1) olah raga atau rekreasi, (2) budidaya, (3) manipulasi ekologi dan perbaikan stok liar, (4) mengendalikan organisme-organisme yang tidak diinginkan, (5) sebagai ikan hias; (6) transfer tidak disengaja (Welcomme 1984; 1986; 1988; Mills et al. 1993), dan (7) menggantikan stok yang mengalami penurunan (Olowo et al. 2004).
untuk
13
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama satu tahun yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan Agustus 2011. Sampling dilakukan pada sembilan stasiun penelitian (Gambar 2).
Metode dan Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei post facto. Stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan pertimbangan: (1) merupakan habitat ikan T. antoniae, (2) kondisi stasiun penelitian memungkinkan untuk operasional pelaksanaan sampling, dan (3) stasiun penelitian dapat mewakili keragaman habitat ikan T. antoniae. Berdasarkan pertimbangan ini ditetapkan sembilan stasiun penelitian yang dibagi dalam tiga zona. Secara spasial pembagian zona ini mewakili tiga bagian danau yaitu: (1) Zona yang mewakili wilayah danau bagian hulu, (2) zona yang mewakili wilayah danau bagian tengah, dan (3) zona yang mewakili wilayah danau bagian hilir.
Gambar 2. Danau Matano dan stasiun sampling. Ket.: Zona hulu: (1) Sungai Lawa, (2) Paku, (3) Pulau Wotu Pali; Zona tengah: (4) Bubble Beach, (5) Salonsa, (6) Tanah Merah; dan Zona hilir: (7) Otuno, (8) Sungai Petea dan (9) Sungai Soluro
14
Deskripsi Stasiun Penelitian Sembilan stasiun penelitian di Danau Matano ditetapkan sebagai tempat pengambilan sampel ikan, serta parameter fisik, kimiawi dan biologis perairan. Masing-masing stasiun memiliki ciri dan karakter berbeda. Zona Hulu Zona hulu adalah zona yang terdapat di bagian barat Danau Matano. Tiga stasiun penelitian di zona ini yaitu stasiun Sungai Lawa, Stasiun Paku, dan Stasiun Pulau Wotu Pali. Secara umum zona hulu mewakili kawasan yang relatif belum banyak terganggu. Hutan dan lahan yang ada di sekitarnya belum dijadikan lahan tambang. Ciri-ciri ketiga stasiun penelitian di zona ini dideskripsikan sebagai berikut. 1.
Stasiun Sungai Lawa Sungai Lawa merupakan sungai utama yang sepanjang tahun mengalirkan airnya masuk ke Danau Matano. Lokasi yang dipilih sebagai tempat pengambilan sampel berada di bagian sebelah kanan muara sungai. Perairan litoral di tempat ini mempunyai kedalaman berkisar antara 0,50 – 3,0 m dengan jarak tepi danau ke bibir tubir berkisar antara 20 – 25 m. Pada kondisi air surut terendah, sebagian daerah litoral mengering berubah menjadi daratan.
2.
Stasiun Paku Stasiun Paku berada di sisi selatan danau. Bagian daratan di sepanjang pinggiran danau adalah daerah rawa. Kontur dasar perairan relatif datar dan meluas ke tengah danau. Kedalaman perairan di daerah litoral stasiun ini berkisar antara 0,30 dan 6,0 m; kisaran jarak tepi danau ke bibir tubir adalah 30 – 40 m.
3.
Stasiun Pulau Wotu Pali Pulau Wotu Pali adalah salah satu pulau dalam gugusan pulau yang terletak di sisi selatan bagian barat Danau Matano. Pulau ini terdiri atas batuan besar, dengan daerah litoral pulau yang relatif sempit (kisaran bibir tubir 5,0 – 7,0 m dari tepi danau), dengan kisaran kedalaman 0,75 – 4,0 m. Dasar perairan yang kedalamannya lebih dari 5 m di sekitar pulau ini terdapat banyak pecahan
15
tembikar. Menurut cerita masyarakat setempat, pulau ini adalah pulau yang terbentuk akibat kejadian tektonik dan pulau ini merupakan bagian dari daratan yang tenggelam (kata “wotu pali” dari bahasa daerah setempat berarti batu yang terbalik atau daratan yang terbalik). Zona tengah Zona tengah adalah daerah yang mewakili bagian tengah danau yang terletak di sisi bagian selatan dan utara danau. Daerah di sisi selatan danau merupakan daerah permukiman, pusat kota dan kawasan industri pertambangan nikel. Sementara sisi utara danau merupakan kawasan bekas perkebunan dan daerah rawa. 4.
Stasiun Bubble Beach Stasiun Bubble Beach adalah sebuah teluk yang berada di sisi selatan danau (sebelah barat Pantai Kupu-kupu). Lokasi ini disebut Bubble Beach karena dari dasar perairannya banyak keluar gelembung gas.
5.
Stasiun Pantai Salonsa Pantai Salonsa terletak di depan kompleks permukiman perumahan karyawan PT Inco. Pantai ini diperuntukkan sebagai salah satu taman rekreasi pantai. Sebagai tempat rekreasi lokasi ini ramai dikunjungi masyarakat pada hari-hari libur. Selain itu tempat ini dimanfaatkan sebagai tempat menambatkan rakit wisata (raft).
6.
Stasiun Tanah Merah Stasiun Tanah Merah terletak di bagian tengah sisi utara Danau Matano. Stasiun ini adalah sebuah teluk kecil dengan daerah dangkal yang relatif luas. Perairan di daerah litoral memiliki kisaran kedalaman 0,50 – 2,00 m. Jarak tepi pantai ke bibir tubir 40 – 60 m. Substrat dasar bervariasi mulai dari lumpur sampai pasir dengan formasi batuan besar di dekat bibir tubir. Zona hilir Zona hilir adalah kawasan bagian Timur Danau Matano. Zona ini memiliki teluk yang relatif besar dengan beberapa pulau yang ada di dalamnya. Terdapat dua sungai di zona ini, yaitu Sungai Soluro di sisi utara dan Sungai Petea di
16
bagian paling timur danau. Sungai Soluro adalah sungai yang mengalirkan airnya masuk ke danau, sementara Sungai Petea adalah sungai yang mengalirkan air keluar dari danau (out let). Sebuah bendungan yang berfungsi untuk mengatur kestabilan muka air danau terletak di Sungai Petea. Zona ini juga mewakili daerah yang lahan atasnya merupakan lahan tambang terbuka. Terdapat tiga stasiun penelitian di zona ini dengan ciri sebagai berikut. 7.
Stasiun Otuno Stasiun Otuno terletak di sisi selatan bagian timur Danau Matano. Daerah ini adalah sebuah teluk dekat gugusan pulau di daerah Otuno. Kisaran kedalaman perairan litoral 0,50 – 3.0 m. Jarak bibir tubir dari tepi 20 - 30 m. Substrat dasar perairan bervariasi mulai dari substrat tanah keras, berpasir sampai berbatu.
8.
Stasiun Sungai Petea Stasiun Sungai Petea terdapat di bagian timur Danau Matano. Stasiun penelitian berada di sisi utara danau kurang lebih 500 m dari out-let Danau Matano. Kedalaman perairan dari tepi danau ke arah tengah 0,50 – 3,00 m.
9.
Stasiun Sungai Soluro Stasiun Sungai Soluro terletak di sisi utara bagian timur Danau Matano, dengan jarak kurang lebih 30 m sebelah kanan muara Sungai Soluro. Perairan dangkal di lokasi ini relatif sempit dengan kedalaman 0,50 m – 3,00 m. Jarak dari tepi danau ke bibir tubir 15 – 20 m.
Pengambilan Sampel Ikan Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang dirancang, yaitu pukat pantai berkantong berukuran panjang 10 meter dan lebar 3 meter. Pukat pantai ini dioperasikan di daerah pinggiran pada kedalaman 0,5 – 3 m. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari (pukul 07:00 – 10:00). Ikan-ikan yang tertangkap di setiap lokasi segera dipisahkan menurut jenis kelamin dan dihitung jumlahnya. Sampel ikan disimpan di dalam wadah dengan media berpengawet formalin 4%. Perlakuan pengawetan dilakukan dengan mengikuti prosedur berikut: (1) Semua ikan yang tertangkap segera diukur panjang total dengan
17
menggunakan jangka sorong (vernier caliper) sampai 0,01 mm terdekat; bobot tubuh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital sampai 0,001 gram terdekat dan diberi label; dan (2) Ikan-ikan kemudian dimasukkan ke dalam wadah sampel berformalin dalam posisi baring. Sampel dibawa ke laboratorium, kemudian dilakukan pembedahan untuk pemeriksaan gonad dan isi lambung.
Pengamatan Tingkah Laku Reproduksi T. antoniae di Perairan Tingkah laku reproduksi ikan diamati secara kualitatif di bawah air. Pengamat melakukan snorkeling di daerah pemijahan ikan. Aktivitas reproduksi ikan di daerah itu dicatat pada kertas tahan air.
Pengambilan Sampel Vegetasi Perairan Sampel vegetasi perairan dikumpulkan dan kemudian diidentifikasi jenisnya menggunakan buku kunci identifikasi dari Pancho & Soerdjani (1978), Fassett (1960) dan Whitten et al. (2002). Selanjutnya sampel dideskripsikan keberadaannya di perairan.
Pengukuran Parameter Fisik Kimiawi dan Hidrologi Perairan Danau Pengukuran parameter fisik kimiawi perairan dilakukan secara in situ menggunakan water quality test-kit merek Horiba. Pengukuran dilakukan pada badan air pada kedalaman 0,5 m di bawah permukaan air. Parameter yang diukur in situ adalah suhu (⁰C), oksigen terlarut (mg l-1) dan pH. Padatan tersuspensi total (mg l-1) dan padatan terlarut total (mg l-1) diperiksa di laboratorium. Transparansi perairan diukur dengan mengukur jarak pandang di dalam air secara horisontal terhadap bidang berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Fluktuasi tinggi muka air danau di atas permukaan laut (dpl) dan curah hujan rata-rata harian (mm) di sekitar danau dianalisis berdasarkan data yang dikoleksi secara periodik dari 4 stasiun pemantau PT. INCO yang ada di sekitar Danau Matano.
18
Analisis Data
Variabel Lingkungan Habitat Perairan Data hasil pengukuran parameter lingkungan dibandingkan antar lokasi dan antar musim, serta dihubungkan dengan kelimpahan ikan menggunakan analisis multivariate dengan perangkat lunak Minitab 14. Substrat dasar dan vegetasi yang terdapat di dalam habitat T. antoniae dideskripsikan fungsi dan peruntukannya bagi ikan. Kelas Ukuran, Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan Kelas ukuran (kohort) ikan yang dikoleksi dianalisis dengan menggunakan metode Bhattacharya. Metode ini adalah suatu teknik pemisahan data sebaran frekuensi panjang ke dalam beberapa distribusi normal dari distribusi total. Puncak masing-masing distribusi normal merupakan modus dari frekuensi panjang dari setiap bulan (kohort), kohort akan bergerak ke kanan pada bulan berikutnya, pergeseran ini adalah pertambahan panjang atau tumbuh (Sulistiono et al. 2001). Dalam penelitian ini penilaian kelompok-kelompok umur dilakukan dengan menggunakan aplikasi perangkat lunak FiSAT (Gayanilo & Pauly 1997). Analisis hubungan panjang-berat mengikuti Ricker (1975) dengan rumus umum: W = aLb Keterangan:
W L a b
= = = =
berat ikan (g) panjang ikan (mm) suatu konstanta, dan koefisien alometrik
Menurut Bagenal &Tesch (1978), koefisien allometrik (b) lebih besar atau lebih kecil dari 3,0 menunjukkan pertumbuhan allometrik. Sementara nilai b > 3 menunjukkan pertumbuhan allometrik positif, dan b<3 menunjukkan pertumbuhan allometrik negatif, tetapi jika b = 3,0 pertumbuhan disebut isometrik.
19
Penerapan rumus hubungan panjang-berat ini dilakukan secara terpisah antara ikan jantan dan betina karena pada jenis ikan ini masing-masing jenis kelamin diduga mempunyai model pertumbuhan yang berbeda. Selanjutnya untuk menguji perbedaan antara jenis kelamin digunakan uji-t dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak Minitab 14. Model pertumbuhan T. antoniae diduga dengan persamaan Von Bertalanffy: Lt = L∞ (1 – e-K(t-to)) Keterangan:
Lt = panjang ikan pada waktu t, L∞ = panjang maksimum, K = koefisien pertumbuhan, dan t0 = umur teoritis saat panjang ikan sama dengan 0.
Selanjutnya parameter pertumbuhan K, L∞ dan t0 diperkirakan dengan menggunakan metode ELEFAN I (Sparre & Venema 1992; Gayanilo & Pauly 1997) yang terdapat dalam aplikasi perangkat lunak FiSAT II. Faktor Kondisi Relatif Faktor kondisi relatif mengikuti LeCren (1951) dengan rumus umum: W FK =
______
Ŵ Keterangan:
FK = faktor kondisi relatif, W = berat ikan (g), ŵ = berat yang diharapkan, diperkirakan dengan menggunakan regresi panjang-berat sebagai berikut: ŵ = aLb
Apabila FK > 1 berarti individu atau populasi berada dalam kondisi lebih baik, dan FK < 1 berarti individu atau populasi dalam kondisi lebih buruk.
20
Variabel reproduksi Nisbah kelamin T.antoniae memiliki dimorfisme seksual yang jelas oleh karena itu penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi. Nisbah kelamin ditentukan dengan cara perbandingan jumlah ikan jantan dan betina per stasiun penelitian, bulan sampling dan kelas ukuran panjang. Perhitungan nisbah menggunakan rumus: M X =
____
F Keterangan:
X = nisbah kelamin, M = jumlah ikan jantan (ekor) dan F = jumlah ikan betina (ekor).
Keseimbangan perbandingan ikan jantan dan ikan betina diuji dengan uji statistik Chi-kuadrat (χ²) (Steel & Torrie 1989) sebagai berikut: (O – E) ² χ²hitung = Σ E Keterangan:
O = frekuensi pengamatan, dan E = frekuensi harapan.
Kematangan gonad Penentuan kematangan gonad dinilai dari tingkat kematangan gonad (TKG) yang dilakukan secara morfologis dan histologis. Secara morfologis yaitu dengan menilai bentuk, ukuran, warna dan perkembangan isi gonad. Sementara secara histologis, yaitu dengan menilai fase-fase perkembangan oosit dan spermatosit. Selanjutnya perkembangan kematangan gonad dibagi dalam beberapa tingkat kematangan. Penilaian fase-fase perkembangan oosit dan spermatosit secara histologis mengacu pada kategori-kategori yang
dikemukakan oleh Treasurer &
Holiday (1981), Nagahama (1983), Rodriguez et al. (1995) dan Goodbred et al. (1997).
21
Gonad dikeluarkan dari perut ikan yang masih segar, lalu ditimbang dan diperiksa tingkat kematangannya secara makroskopis. Kemudian gonad diawetkan di dalam larutan Bouin selama 24–36 jam, dan disimpan dalam etanol 70%. Sampel didehidrasi dengan etanol, dicuci dengan xylene dan dipindahkan pada paraffin. Gonad diiris dengan ketebalan 10 µm, diletakkan pada kaca preparat dan dihidrasi kembali dengan etanol. Irisan-irisan ini kemudian diberi warna (metode Y haematoxylin dan eosin) dan diamati pada mikroskop binokuler (Lampiran 1). Tingkat kematangan gonad (TKG) jantan dan betina ditentukan secara makroskopis dan mikroskopis. Tingkat kematangan gonad T. antoniae dari beberapa stasiun sampling ditentukan dan dibandingkan antara periode pengambilan sampel. Indeks kematangan gonad (IKG) dihitung mengikuti rumus (Effendie 1979): BG IKG =
________
X 100
BT Keterangan: IKG = indeks kematangan gonad, BG = berat gonad (g) dan BT = berat tubuh (g). Kemudian nilai rata-rata IKG antar stasiun dan antar waktu sampling dianalisis menggunakan uji keragaman (ANOVA) yang tersedia dalam perangkat lunak Minitab 14.
Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur induk betina dewasa pada saat tahap matang. Fekunditas dihitung dengan cara menghitung semua telur (fekunditas total) yang terdapat di dalam gonad. Nilai fekunditas kemudian dihubungkan dengan ukuran ikan untuk mendapatkan kecenderungan, sehingga pendugaan fekunditas dapat dilakukan. Hubungan fekunditas total dengan panjang tubuh ikan dinyatakan dalam persamaan:
22
F = aLb Keterangan:
F = fekunditas (butir), L = panjang ikan (mm), a dan b adalah konstanta.
Ukuran ikan pertama kali matang gonad Ukuran ikan pertama kali matang gonad dapat dikaji dari ukuran ikan terkecil yang mempunyai kematangan gonad tingkat IV.
Musim dan daerah pemijahan Pendugaan musim pemijahan dilakukan dengan menghitung jumlah (dalam persen) ikan yang mempunyai kematangan gonad tingkat III dan IV dari seluruh ikan pada saat pengambilan sampel. Perhitungan ini kemudian dibandingkan antar periode pengambilan sampel. Nilai persentase yang tinggi dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV dianggap sebagai puncak-puncak musim pemijahan. Untuk menentukan daerah pemijahan dilakukan penghitungan jumlah (dalam persen) ikan yang mempunyai kematangan gonad tingkat III dan IV pada setiap stasiun pengambilan sampel. Penghitungan ini kemudian dibandingkan antar lokasi. Nilai persentase tertinggi dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV pada stasiun tertentu dianggap sebagai daerah pemijahan.
Diameter telur dan pola pemijahan Pengamatan diameter telur menggunakan mikroskop binokuler yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Telur–telur yang diamati diambil dari ovari ikan-ikan yang berada pada kondisi TKG III, IV dan V. Ovari kemudian dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian posterior, median dan anterior; selanjutnya telur-telur yang terdapat pada masing-masing bagian dihitung jumlahnya dan diukur diameternya. Hasil pengukuran kemudian diplot ke dalam diagram untuk mendapatkan bentuk sebaran ukuran diameter telur yang akan digunakan menduga pola pemijahan.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Ikan T. antoniae Habitat ikan T. antoniae yang diamati pada sembilan stasiun penelitian menunjukkan bahwa ikan ini menempati kolom air dekat dasar perairan di daerah litoral, dan umumnya di daerah terbuka pada perairan yang jernih. Habitat ikan ini juga memiliki substrat dasar yang beragam mulai dari substrat berpasir, kerikil sampai dengan batuan besar yang permukaannya diselimuti oleh alga (Lampiran 2). Selain itu ikan ini juga menempati habitat dasar yang tidak memiliki vegetasi sampai dengan yang bervegetasi jarang, tetapi lebih umum di habitat yang tidak bervegetasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa ikan ini tidak melakukan aktivitas di habitat yang berlumpur dan perairan yang memiliki kecerahan rendah, serta perairan yang berarus seperti aliran-aliran sungai atau pada daerah-daerah inlet dan outlet danau. Berdasarkan pengamatan bawah air diketahui bahwa ikan ini di habitatnya hampir sepanjang hari melakukan aktivitas kawin. Jadi daerah litoral adalah habitat utama untuk pemijahan. Ikan T.antoniae di habitat litoral berasosiasi dengan ikan-ikan endemik lain dan juga dengan ikan-ikan bukan asli yang saat ini telah berkembang di danau. Ikan-ikan endemik yang tampak berasosiasi dengan T. antoniae di daerah litoral adalah T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. abendanoni, T. opudi, T. obscura, T. prognatha, T. bonti, T. wahjui, Oryzias matanensis, Glossogobius matanensis, G. intermedius, Mugilogobius adeia, M. latifrons dan Dermogenys weberi. Sementara ikan-ikan bukan asli antara lain Channa striata, Oreochromis niloticus, O. mossambicus, Anabas testudineus,
Trichogaster pectoralis, Cyprinus carpio, Osphronemus
goramy, Lyposarcus pardalis, Monopterus albus, Serrasalmus sp. dan Amphilophus trimaculatus. Semua ikan endemik di Danau Matano memanfaatkan daerah litoral sebagai habitat mereka. Pengamatan bawah air memperlihatkan bahwa ikan ini paling sering terlihat berada bersama-sama dengan T. sarasinorum. Interaksi kedua spesies ini ditunjukkan oleh sifat T. sarasinorum yang diluar aktivitas memijahnya selalu
24
membuntuti pasangan T. antoniae yang sedang memijah untuk tujuan memakan telurtelur T. antoniae yang baru dilepaskan. Selain T. sarasinorum, G. matanensis juga terlihat melakukan predator telur pada T. antoniae. Sementara itu ikan-ikan bukan asli umumnya
menempati
daerah-daerah
dekat
permukiman
dan
daerah-daerah
bervegetasi. Tetapi jenis O. niloticus, O. mossambicus, C. carpio dan A. trimaculatus tersebar luas di daerah litoral. Beberapa jenis makro fauna dasar yang juga berasosiasi di habitat T. antoniae yaitu kelompok ketam Nautilothelphusa zimmeri, Parathelphusa pantherina, Syntripsa matannensis, udang-udang dari jenis Caridina sp., kerang-kerangan Tilomelania sp., dan Corbicula matanensis. Vegetasi yang berada di dasar perairan yaitu Ottelia mesenterium dan Ceratophylum demersum. Sementara vegetasi tepian danau didominasi oleh tumbuhan tambeua (Mirtacea sp) dan pandan air (Pandanus sp). Deskripsi karakter habitat T. antoniae dan komunitas ikan yang berada di Danau Matano disajikan pada Lampiran 3.
Hidrologi dan Lingkungan Fisik Kimiawi Perairan Curah hujan dan tinggi muka air danau Keadaan curah hujan dan tinggi muka air danau selama periode sampling disampaikan dalam Lampiran 4. Pola fluktuasi curah hujan harian dan keadaan muka air selama periode penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik (Gambar 3). Nilai ratarata curah hujan harian sepanjang periode September 2010 – Agustus 2011 tertinggi terjadi pada bulan Maret 2011 (13,66 mm) dan terendah bulan Agustus 2010 (3,34 mm). Sementara itu nilai rata-rata fluktuasi tinggi muka air danau berkisar antara 319,00 dan 319,55 m dpl. Keadaan muka air terendah terjadi pada bulan Februari 2011 (319,00 m dpl) dan tertinggi pada bulan November 2010 (319,55). Jadi selisih tinggi muka air danau selama periode penelitian hanya 0,55 m. Pola curah hujan pada Gambar 3 menunjukkan dua puncak curah hujan harian wilayah selama periode sampling yaitu pada bulan Oktober – November 2010 dan Maret – April 2011. Curah
25
hujan rendah terjadi pada bulan Desember 2010 – Januari 2011 dan Juni – Agustus 2010. Selisih nilai rata-rata curah hujan harian wilayah 11,32 mm. Curah hujan dan tinggi muka air danau yang tampak pada Gambar 3 menunjukkan irama yang tidak harmoni terutama yang terjadi bulan April – Agustus 2011. Fluktuasi muka air danau yang tidak seiring dengan keadaan curah hujan ini menunjukkan bahwa fluktuasi muka air danau tidak dalam kondisi alami. Karena jika mengikuti kondisi alamiah seharusnya fluktuasi curah hujan dan kedudukan muka air
18.0 16.0 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
Curah hujan
Tinggi muka air
319.60 319.50 319.40 319.30 319.20 319.10 319.00 318.90 318.80 318.70
Tinggi muka air (m dpl)
Curah hujan harian (mm)
danau memiliki bentuk yang relatif sama.
Bulan
Gambar 3 Keadaan curah hujan harian dan fluktuasi muka air Danau Matano periode September 2010-Agustus 2011. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa keadaan tinggi muka air di Danau Matano sengaja dipertahankan pada tinggi tertentu melalui pengaturan buka tutup pintu air dam dengan tujuan untuk menyimpan massa air. Pengaturan buka tutup pintu air dilakukan oleh pengelola dam yaitu PT. Inco. Massa air yang tersimpan di Danau Matano merupakan cadangan air untuk kebutuhan pembangkit listrik yang terdapat di outlet Danau Towuti. Pelepasan massa air yang tersimpan di Danau Matano dilakukan pada periode curah hujan rendah dan volume air di Danau Towuti berkurang.
26
Pengaturan muka air danau untuk pembangkit listrik dan atau untuk mengontrol banjir dikategorikan sebagai gangguan antropogenik utama dalam ekosistem akuatik danau (Richter et al. 1997; Coops et al. 2003). Penyebab terjadinya fluktuasi muka air bisa beragam; ada yang dipicu oleh dinamika hidrologi yang berhubungan dengan perubahan iklim, perubahan sistem tekanan atmosfir yang besar, atau yang paling sering terjadi adalah variasi musiman kondisi meteorologis (Hofmann et. al. 2008). Fluktuasi muka air juga merupakan hasil dari pemanfaatan sumber-sumber air oleh aktivitas antropogenik (Usmanova 2003). Sementara fluktuasi muka air yang dirangsang secara hidrologis adalah hasil dari perubahan simpanan air yang bergantung pada jumlah presipitasi dan evaporasi, ukuran dan karakteristik daerah tangkapan air, dan keseimbangan pada kondisi aliran masuk dan aliran keluar dari danau.
Keadaan lingkungan fisik kimiawi perairan Hasil pengukuran parameter kualitas perairan Danau Matano selama periode sampling menunjukkan dinamika dengan fluktuasi yang relatif sempit baik secara spasial maupun temporal. Secara umum kisaran nilai hasil pengukuran parameter lingkungan fisik kimiawi perairan Danau Matano adalah sebagai berikut: suhu 27,20 – 30,30 ˚C; oksigen terlarut 5,02 – 7,45 mg l-1; pH 8,32 – 8,8; padatan tersuspensi total 0,3 – 3,6 mg l-1; padatan terlarut total 80 – 145 mg l-1; dan transparansi 13 - 23 m. Nilai rata-rata hasil pengukuran disajikan pada Tabel 1. Sementara itu dinamika keadaan fisik kimiawi perairan secara spasial (antar stasiun sampling) dan temporal (antar waktu sampling) disajikan dalam Lampiran 5. Uji statistik menggunakan One-way Anova pada selang kepercayaan 95% dengan perangkat lunak MINITAB 14 menunjukkan bahwa nilai rata-rata parameter kualitas air memperlihatkan dinamika sebagai berikut: suhu perairan secara spasial maupun temporal menunjukkan adanya beda nyata antar stasiun sampling (P=0,000 < 0,05). Suhu terendah terdapat di stasiun Sungai Lawa (rata-rata 28,22 ˚C), dan tertinggi di stasiun Sungai Petea (rata-rata 29,83˚C). Nilai suhu ini lebih tinggi ± 0,7˚C jika dibandingkan dengan hasil pengukuran Haffner et al. (2001). Suhu
27
permukaan Danau Matano pada pagi hari (jam 09.00) berkisar antara 27,53˚C sampai 27,56˚C pada kedalaman 40 m, dan 26,61˚C di dasar perairan pada kedalaman 560 m. Suhu pada sore hari (pukul 15.00) adalah 29,06˚C di permukaan dan 27,59 ˚C pada kedalaman 20 m (Haffner et al. 2001). Berdasarkan data dalam penelitian ini, secara temporal suhu tertinggi terjadi pada bulan Juli 2011 (rata-rata 29,71˚C) dan terendah pada bulan September (rata-rata 28,50˚C). Secara spasial terjadi peningkatan suhu perairan pada periode curah hujan rendah (Desember 2010 –Januari 2011 dan JuniAgustus 2011). Hal ini menunjukkan bahwa periode musim berpengaruh terhadap fluktuasi suhu perairan.
Tabel 1 Parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano Parameter Suhu (⁰C) Oksigen (mg l-1) pH Padatan tersuspensi total (mg l-1) Padatan terlarut total (mg l-1) Transparansi (m)
Rata-rata 29,12 6,18 8,52 1,11 111,94 18,49
Min 27,2 5,02 8,32 0,3 80,00 13,00
Maks 30,3 7,45 8,8 3,6 145,00 23,00
S.B 0,686 0,572 0,097 0,651 17,235 2,413
Oksigen terlarut secara spasial menunjukkan beda nyata yang kecil antar stasiun penelitian (P= 0,017 < 0,05). Rata-rata oksigen terlarut tinggi di stasiun S. Soluro (6,51 mg l-1) dan terendah di Stasiun Bubble Beach (5,82 mg l-1). Secara temporal rata-rata oksigen terlarut tidak berbeda nyata (P= 0,433 > 0,05), rata-rata oksigen terlarut paling rendah terjadi pada bulan Januari 2010 (5,78 mg l-1). Menurut Haffner et al. (2001), oksigen terlarut di permukaan hasil pengukuran di perairan tahun 1993 dan 1995 berkisar 6 – 8 mg l-1, sedangkan di dasar perairan pada kedalaman 560 m kandungan oksigen terlarut adalah 2,3 mg l-1. Derajat keasaman (pH) perairan secara spasial tidak berbeda nyata (P= 0,135 > 0,05). Nilai pH rata-rata antar stasiun penelitian berkisar antara pH 8,46 – 8,56. Tetapi secara temporal berbeda nyata (P= 0,019 < 0,05). Nilai rata-rata pH tertinggi 8,58 di bulan Januari 2011 dan nilai rata-rata pH terendah 8,44 di bulan April 2011.
28
Nilai rata-rata padatan tersuspensi total secara spasial tidak berbeda nyata (P = 0,175 > 0,05), nilai padatan tersuspensi total tertinggi di stasiun Salonsa (1,60 mg l-1), dan terendah di stasiun Tanah Merah (0,85 mg l-1). Selain itu secara temporal terdapat perbedaan kecil (P= 0,004 < 0,005), nilai padatan tersuspensi total tertinggi terjadi pada bulan September 2010 (1,57 mg l-1) dan terendah pada bulan Juni 2011 (0,75 mg l-1). Rata-rata total padatan terlarut secara spasial berbeda nyata (P= 0,01 < 0,05), nilai rata-rata padatan terlarut tertinggi 126,00 mg l-1 terdapat di stasiun Sungai Soluro dan terendah 100,33 di stasiun Bubble Beach. Secara temporal, rata-rata padatan terlarut total tidak berbeda nyata (P= 0,292 > 0,05), nilai tertinggi 120,11 mg l-1 terjadi pada bulan Agustus 2011, dan terendah 102,00 mg l-1 pada bulan Februari 2011. Nilai rata-rata transparansi perairan secara spasial maupun temporal menunjukkan beda nyata (P= 0,000 < 0,05). Secara spasial, transparansi perairan yang mengekspresikan jarak pandang pengamat di dalam air terhadap obyek berwarna putih rata-rata memiliki nilai jarak pandang terjauh 20,08 m berada di stasiun Otuno, sedangkan jarak pandang terendah 15,67 m di stasiun Sungai Petea. Secara temporal rata-rata jarak pandang terjauh 20,56 m terjadi pada bulan Desember 2010 dan terendah 16,11 m terjadi pada bulan Mei 2011. Kondisi padatan terlarut yang tinggi di stasiun sungai Soluro diduga sebagai penyebab rendahnya jumlah ikan yang tertangkap di stasiun tersebut. Berg & Northcote (1985) menyatakan bahwa perairan yang memiliki konsentrasi TSS tinggi mempunyai jumlah ikan sedikit. Selain itu keadaan sedimen yang tinggi di perairan akan mengurangi cahaya masuk dan membatasi produksi primer perairan, mengurangi pemangsaan, menghambat ruaya, dan menyebabkan ikan menghindari masuk ke dalam perairan yang keruh. Analisis kelompok berdasarkan tingkat kesamaan parameter fisik kimiawi dan jumlah ikan pada tingkat kesamaan 95,00% menunjukkan bahwa tidak terdapat pengelompokkan dari stasiun-stasiun yang diteliti. Ini berarti bahwa Danau Matano memiliki karakter fisik kimiawi perairan yang relatif sama (Lampiran 5). Bubble
29
Beach dan Otuno memiliki tingkat transparansi yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya nilai transparansi perairan di kedua stasiun ini disebabkan letak kedua stasiun ini di daerah teluk yang relatif terlindung. Selain itu di pinggiran tepian danau terdapat tumbuhan tambeua (Mirtacea sp) dan pandan air (Pandanus sp) yang padat. Tumbuhan ini mempunyai struktur perakaran seperti mangrove di daerah pantai, sehingga keberadaan vegetasi ini secara alamiah berfungsi sebagai benteng di perairan tepian danau untuk penyaring bahan masukan yang datang dari daratan serta melindungi tepian danau dari abrasi. Dendrogram
Tingkat kesamaan (%)
Single Linkage; Correlation Coefficient Distance
99,85
99,90
99,95
100,00 aw .S L
a
Pa
li a h o h ea ns ra ac Pa lur et o e e l o u P b S M ot Sa S. S. ble W ah ai t b n . P an Ta Bu
ku
P
O
no tu
Stasiun penelitian
Gambar 4 Dendrogram pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan parameter fisik kimiawi perairan
Distribusi dan Kelas Ukuran Ikan T. antoniae Distribusi spasial Ikan T. antoniae terdistribusi luas di daerah litoral Danau Matano. Hasil sampling yang dilakukan di sembilan stasiun penelitian menunjukkan bahwa ikan ini terdapat pada semua stasiun dengan kelimpahan berbeda. Selama periode sampling
30
September 2010 – Agustus 2011 berhasil dikoleksi 2707 ekor ikan yang terdiri dari 1437 ekor (53,08%) ikan jantan dan 1270 ekor (46,92%) ikan betina. Secara spasial jumlah ikan mulai dari stasiun dengan jumlah koleksi tertinggi sampai dengan jumlah terendah adalah sebagai berikut: stasiun Otuno 438 ekor (16,18%), Bubble Beach 380 ekor (14,04%), Paku 335 ekor (12,38%), Pantai Salonsa 314 ekor (11,60%), Pulau Wotu Pali 277 ekor (10,23%), Tanah Merah 265 ekor (9,79%), S. Lawa 246 ekor
Jumlah ikan (ekor)
(9,09%), S. Soluro 242 ekor (8,94%), dan S. Petea 210 (7,76%) (Gambar 5).
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
N = 2707
Stasiun penelitian
Gambar 5
Histogran distribusi spasial ikan T. antoniae menurut stasiun penelitian.
Uji perbandingan rata-rata kelimpahan antar stasiun penelitian meggunakan perangkat lunak Minitab 14 menunjukkan beda nyata rata-rata kelimpahan antar stasiun pelitian (P < 0,05) (Tabel 2). Hasil sampling juga menemukan ukuran ikan yang tertangkap berkisar antara 32,76 mm – 85,67 mm dan jumlahnya bervariasi menurut jenis kelamin maupun kelas ukuran (Gambar 6). Ikan jantan umumnya didominasi oleh ukuran 41,58 mm – 54,80 mm (78,98%), sementara ikan betina didominasi oleh ukuran 37,17 mm – 54,80 mm (87,80%).
31
Tabel 2 Nilai rata-rata dan simpangan baku jumlah ikan menurut stasiun penelitian Stasiun Sungai Lawa Paku Pulau Wotu Pali Bubble Beach Pantai Salonsa Tanah Merah Otuno Sungai Petea Sungai Soluro
Rata-rata a 20,500 bc 27,197 ac 23,083 b 31,667 a 26,167 a 22,083 d 36,500 a 17,500 a 20,167
SB 4,661 3,260 3,260 3,473 3,563 4,166 3,451 3,119 3,099
Catatan: huruf-huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (P < 0,05). SB= Simpangan baku
Ikan-ikan berukuran kurang dari 32,76 mm tidak ditemukan dalam sampel hasil tangkapan. Hal ini diduga karena ikan-ikan ukuran kecil tersebut memiliki habitat spesifik yaitu di perairan yang bervegetasi padat dan ternaungi sehingga sulit tertangkap. Demikian juga dengan ikan-ikan yang berukuran diatas 54,80 mm secara alami terdapat dalam jumlah sedikit di habitat, dan mereka mendiami tempat yang
Jumlah ikan (%)
relatif lebih dalam. 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
Jantan Betina
Kelas ukuran panjang baku (mm)
Gambar 6 Sebaran kelas ukuran panjang baku T. antoniae jantan dan betina
32
Distribusi ukuran panjang baku secara spasial bervariasi menurut jumlah baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Ditemukan bahwa ikan jantan di stasiun penelitian Otuno, Bubble Beach dan Pantai Salonsa memiliki kisaran ukuran panjang baku yang lebar (Gambar 7). Sementara kisaran ukuran PB yang lebar untuk ikan betina terdapat di Stasiun Bubble Beach dan Pantai Salonsa (Gambar 8). Penelitian ini juga menemukan bahwa PB rata-rata ikan jantan lebih panjang dari pada ikan betina pada semua stasiun penelitian. Gambar ini menunjukkan bahwa PB rata-rata tertinggi ikan jantan berada di Otuno (50,18 mm), dan terendah di Pulau Wotu Pali (46,62 mm). Sementara PB rata-rata tertinggi ikan betina berada di Pantai Salonsa (49,12 mm) dan terendah di Sungai Petea (43,84 mm). Melalui uji perbandingan rata-rata PB ditemukan beda nyata antar stasiun penelitian (P < 0,05), baik pada ikan jantan maupun ikan betina (Lampiran 6). Perbedaan rata-rata PB ini terjadi pada stasiun-stasiun penelitian tertentu. Misalnya ikan jantan pada stasiun Pulau Wotu Pali, Tanah Merah dan Otuno secara statistik menunjukkan beda nyata antar lokasi. Sementara PB rata-rata di stasiun Sungai Lawa, Paku, Bubble Beach, Pantai Salonsa, Tanah Merah dan Sungai Soluro tidak berbeda nyata. Hasil analisis statistik untuk ikan betina di stasiun Sungai Lawa, Paku, Pulau Wotu Pali, Bubble Beach dan Sungai Soluro menunjukkan adanya beda rata-rata PB. Tetapi stasiun Pantai Salonsa, Tanah Merah dan Sungai Petea menunjukkan beda nyata antar lokasi. Jumlah ikan yang tertangkap di stasiun Otuno dan Buble Beach yang relatif tinggi daripada stasiun lainnya diduga berkaitan dengan kejernihan air di kedua stasiun ini yang tinggi dan substrat dasar yang bervegetasi. Kejernihan air yang tinggi di kedua stasiun ini diduga karena lokasi ini berbentuk teluk sehingga perairannya relatif tenang dibandingkan dengan stasiun lainnya. Selain itu peran vegetasi di tepian danau seperti tambeua (Mirtacea sp.) dan pandan air (Pandanus sp.) yang padat membentuk habitat perairan yang tenang. Tumbuhan tambeua dan pandan air ini memiliki struktur perakaran seperti vegetasi mangrove di perairan pantai. Gabungan antara substrat dasar perairan yang bervegetasi dan perairan tepian yang ditumbuhi oleh vegetasi tambeua dan pandan air ini diduga sebagai tempat yang nyaman untuk pengasuhan anak-anak ikan.
33
Gambar 7 Distribusi spasial T. antoniae jantan berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano
34
Gambar 8 Distribusi spasial T. antoniae betina berdasarkan stasiun penelitian dan kelas ukuran di Danau Matano.
35
Keberadaan vegetasi tambeua dan pandan air selain sebagai tempat berlindung anak-anak ikan, juga berperan sebagai penyedia makanan bagi anak-anak ikan. Grenouillet et al. (2002)
menyatakan bahwa vegetasi di tepian perairan
berfungsi sebagai tempat penyedia makanan dan perlindungan terhadap predasi. Berkaitan dengan temuan ukuran PB rata-rata ikan jantan yang lebih besar daripada PB rata-rata ikan betina ini mempertegas bahwa ikan ini memiliki dimorfisme seksual. Beberapa ikan yang dilaporkan memiliki perbedaan ukuran tubuh secara seksual antara lain seperti yang ditemukan pada ikan rainbow Sulawesi T. celebensis dan ikan bonti-bonti Paratherina striata Aurich yang hidup di danau Towuti (Nasution 2004; Nasution 2008) serta ikan pelangi Arfak Melanotaenia arfakensis Allen dari Manokwari (Manangkalangi 2009) dan ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) dari danau Sentani (Siby 2009).
Distribusi temporal Secara temporal jumlah ikan T. antoniae tertinggi terjadi pada bulan November dan Juli, dan terendah terjadi pada bulan Oktober dan Desember (Gambar 9 dan 10). Merujuk pada Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa jumlah ikan secara temporal berfluktuasi sempit dan tampak terdistribusi merata pada semua periode bulan. Berdasarkan jenis kelamin tampak bahwa jumlah ikan jantan selalu dominan daripada ikan betina. Hasil uji rata-rata jumlah ikan antar waktu sampling menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah ikan antar waktu sampling (P > 0,05) Secara temporal ukuran PB rata-rata ikan jantan berbeda nyata menurut waktu sampling (P=0,024 < 0,05). Sementara PB rata-rata ikan betina tidak berbeda nyata (P=0,38 > 0,05). Ikan jantan yang dikoleksi pada bulan Desember 2010 dan Mei 2011 memiliki ukuran PB rata-rata yang lebih besar daripada PB rata-rata ikan yang dikoleksi pada bulan Juni 2011 (Lampiran 7). Fenomena ini diduga berkaitan dengan tingkah laku pergerakan ikan
dewasa yang berukuran besar lebih
terkonsentrasi di dekat tepian danau pada saat curah hujan dan muka air danau rendah. Pada kondisi ini luasan daerah litoral menjadi sempit, sehingga ikan-ikan besar lebih mudah tertangkap. Sebaliknya saat curah hujan tinggi dan muka air danau juga tinggi, pelataran litoral menjadi lebih luas dan ikan-ikan lebih menyebar.
36
Gambar 9 Distribusi temporal T. antoniae jantan berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano
37
Gambar 10 Distribusi temporal T. antoniae betina berdasarkan kelas ukuran dan waktu sampling di Danau Matano
38
Akibatnya ikan-ikan yang berukuran lebih besar menjadi lebih sulit tertangkap. Sehubungan dengan fenomena hasil tangkapan di atas, Munira et al. (2010) menyatakan bahwa ikan dewasa (berukuran besar) memiliki ruaya yang luas akan lebih sulit tertangkap dibandingkan dengan ikan-ikan kecil yang memiliki luas wilayah ruaya sempit. Hasil studi ini juga memperlihatkan bahwa ikan jantan pada semua waktu sampling memiliki ukuran PB rata-rata lebih besar daripada ikan betina. Kisaran ukuran ikan jantan yang adalah 32,76-85,58 mm, sedangkan ikan betina 36,17-83,25 mm. Selain itu, ditemukan pula bahwa ikan yang dikoleksi dalam penelitian ini memiliki selang kelas ukuran yang lebih lebar daripada studi-studi sebelumnya. Misalnya, kisaran panjang baku T. antoniae jantan 47,79 - 50,47 mm (McKinnon et al. 2000); kisaran panjang total jantan 64 – 120 mm (panjang baku ≈ 48 – 90 mm) dan betina 64 – 106 (panjang baku ≈ 48 – 87 mm) (Sumassetiyadi 2003); panjang baku jantan 42,60 - 61,86 mm dan betina 37,63 – 61,28 mm (Nilawati & Tantu 2007). Berdasarkan data di atas tampak bahwa ikan T. antoniae yang berukuran lebih kecil sudah memasuki daerah pemijahan; dengan perkataan lain ikan ini lebih cepat matang kelamin. Hal ini didukung oleh pengamatan bawah air yang menunjukkan bahwa ikan-ikan kecil tersebut juga melakukan aktivitas kawin.
Hubungan Panjang-Berat dan Pertumbuhan T. antoniae Hubungan Panjang-Berat Analisis hubungan panjang-berat ikan T. antoniae dilakukan secara terpisah antara individu jantan dan betina. Pemisahan dilakukan karena ikan ini telah diketahui memiliki dimorfisme seksual. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang-berat secara umum diperoleh model hubungan sebagai berikut: Jantan W = 0,000008 L 3,210, dan Betina W = 0,00003 L 2,915 Nilai eksponen b untuk panjang dan berat pada individu jantan didapatkan nilai 3,210 dan untuk betina 2,915. Uji-t terhadap nilai b dengan konstanta 3 didapatkan
39
pola pertumbuhan dari kedua jenis kelamin bersifat allometrik, atau pertambahan panjang tidak seimbang. Nilai b < 3 berarti pertambahan berat tidak secepat pertambahan panjang, sedangkan nilai b > 3 berarti pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat. Nilai b yang lebih besar pada ikan jantan menunjukkan bahwa T. antoniae lebih montok dari ikan betina. Secara spasial model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T. antoniae bervariasi, baik menurut jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin berbeda sebagaimana disajikan pada Lampiran 8. Selanjutnya dari tabel ini terlihat hasil analisis menunjukkan nilai eksponen b yang berkisar antara 2,713 – 3,335, dan nilai koefisien r berkisar antara 0,941 – 0,989. Gambar regresi dari model hubungan panjang-berat dari masing-masing jenis kelamin disajikan dalam Gambar 11. Uji-t terhadap nilai b dengan konstanta 3 menunjukkan pola pertumbuhan ikan jantan di setiap stasiun penelitian umumnya allometrik, kecuali di stasiun Paku (pola pertumbuhan isometrik). Pola pertumbuhan ikan betina di enam stasiun penelitian (S. Lawa, Paku, Bubble Beach, Pantai Salonsa dan S. Petea) adalah isometrik, sedangkan di tiga stasiun lainnya (P. Wotu Pali, Tanah Merah dan Otuno) adalah allometrik.
Gambar 11 Hubungan panjang-berat T antoniae di Danau Matano: (a) jantan dan (b) betina
40
Nilai b dari model hubungan panjang berat ikan jantan T. antoniae selalu lebih besar daripada nilai b ikan betina (Lampiran 8). Pola yang sama juga dilaporkan oleh Siby (2009) untuk ikan pelangi merah (Glossolepis incisus).
Faktor kondisi Hasil analisis faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina didapatkan nilai rata-rata FK masing-masing 1,032 (SE=0,109, N=1437) dan 1,006 (SE=0,212, N=1270). Nilai FK ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata FK individu betina jauh lebih besar daripada individu jantan. Dimorfisme pada T. antoniae, dimana ikan betina memiliki ukuran kecil diduga sebagai penyebab tingginya nilai FK betina daripada FK ikan jantan. Effendie (2002) menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil mempunya FK yang tinggi, kemudian akan menurun ketika ikan bertambah besar. Peningkatan nilai FK terjadi pada waktu terjadi perkembangan gonad. Tingginaya nilai FK pada T. antoniae ini berkaitan dengan status gonad ikan betina yang didominasi oleh TKG IV pada semua stasiun penelitian. Sementara itu secara spasial nilai rata-rata FK untuk individu jantan dengan nilai FK tertinggi ditemukan di stasiun Bubble Beach 1,044 (SE=0,107, N=204), dan nilai terendah terdapat di stasiun Sungai Lawa 1,012 (SE=0,095, N=135). Individu betina dengan nilai FK tertinggi ditemukan di stasiun Salonsa 1,022 (SE=0,212, N=147), dan terendah di stasiun Sungai Lawa 0,955 (SE=0,232, N=111) (Gambar 12). Hasil uji statistik One-way ANOVA terhadap nilai FK menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata rata-rata FK menurut stasiun sampling baik pada individu jantan maupun betina (P>0,05). Tampak pula adanya pola fluktuasi yang sinkron antara nilai-nilai FK jantan dan betina menurut lokasi, dan juga adanya kecenderungan peningkatan dan penurunan yang sama. Pola ini diduga berkaitan dengan waktu pemijahan. Secara keseluruhan nilai FK ikan betina memiliki kisaran yang lebih lebar daripada ikan jantan. Data menunjukkan kisaran nilai FK betina 0,820 -1,481, dan jantan 0,944 – 1,117. Sementara Sumassetyadi (2003) menemukan kisaran FK ikan
41
betina yang lebih relatif lebih sempit yaitu 0,90 – 1,20 daripada ikan jantan 0,85 – 1,19). Perbedaan lebih disebabkan adanya perbedaan ukuran sampel yang tertangkap akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda selektivitasnya.
Gambar 12
Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut stasiun sampling
Temuan ini berbeda dengan hasil temuan Sumassetyadi (2003) yaitu kisaran FK ikan betina lebih besar (0,90 – 1,20) daripada ikan jantan 0,85 – 1,19). Perbedaan lebih disebabkan adanya perbedaan ukuran sampel yang tertangkap akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda selektivitasnya.
Nasution (2004) yang
mempelajari ikan rainbow celebensis T. celebensis dari Danau Towuti melaporkan bahwa FK ikan jantan lebih kecil daripada FK ikan betina. Hal yang sama juga ditemukan pada ikan pelangi arfak dari Manokwari (Manangkalangi 2009) dan ikan pelangi merah dari Danau Sentani (Siby 2009).
42
Secara temporal terdapat perbedaan nyata nilai rata-rata FK antar waktu sampling menurut jenis kelamin (P<0,05). Nilai FK individu jantan berfluktuasi menurut bulan dengan nilai FK tertinggi terjadi pada bulan Maret 2011, sedangkan nilai FK terendah terjadi pada bulan Desember 2010 dan Agustus 2011. Individu betina mempunyai nilai FK yang bervariasi menurut bulan dengan fluktuasi lebih lebar daripada individu jantan. FK ikan betina tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah Mei (Gambar 13). Tingginya FK pada bulan Maret sampai dengan April ini tampaknya berkaitan dengan periode musim hujan; bulan Maret dan April adalah puncak curah hujan tinggi di wilayah Danau Matano. Saat curah hujan tinggi ini diduga ketersediaan makanan di habitat tinggi, dan ikan-ikan mengumpulkan energi untuk membangun biomassa untuk kesiapan bereproduksi maupun menghadapi kondisi perubahan lingkungan pada memasuki musim panas. Sementara nilai FK terendah yang terjadi pada bulan Agustus, Desember dan Mei adalah periode ketika curah hujan rendah. Keadaan ini diduga berkaitan dengan rendahnya ketersediaan makanan di habitat. Ikan T. celebensis dari Danau Towuti mencapai FK tertinggi pada bulan November (Nasution 2004); ikan pelangi merah pada bulan Desember (Siby 2009); ikan pelangi Arfak pada bulan Juni-Agustus dan Juli-September (Manangkalangi, 2009). Ketiga hasil penelitian ini mengaitkan peningkatan FK dengan pemijahan. Le Cren (1951) menyatakan bahwa FK menentukan periode ikan membangun lebih banyak biomassa didalam tubuhnya dan memungkinkan menentukan perubahan musiman kondisi fisiologis sehubungan dengan umur, jenis kelamin, dan habitat berbeda. Menurut Ricker (1975), kondisi dalam istilah energetika bisa didefinisikan sebagai banyaknya energi yang tersedia bagi individu yang mungkin dialokasikan untuk berbagai fungsi hidup termasuk reproduksi, mencari makan dan pertahanan musim dingin. Schmitt & Dethloff (2000) menyatakan bahwa faktor kondisi adalah respon tingkat organisme, dengan faktor-faktor seperti status nutrisi, pengaruh patogen dan paparan bahan kimia toksik yang menyebabkan berat ikan bertambah atau berkurang dari kondisi normal. Selain itu, faktor kondisi mencerminkan status fisiologi ikan dalam hubungannya dengan kesejahteraannya (Lizama & Ambrosio.
43
2002), dan mencerminkan kandungan lemak atau jumlah energi yang dimiliki oleh individu (Bolger & Connolly 1989).
Gambar 13 Nilai rata-rata faktor kondisi relatif (FK) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut bulan sampling Faktor kondisi bisa bervariasi baik dalam arah di luar kisaran normal sebagai respon terhadap paparan bahan kimia. Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor kondisi meningkat pada Catostomus commersoni dan Lepomis auritus di lokasilokasi yang tercemar oleh limbah bubur kertas (Adams et al. 1993). Nutrisi, penyakit dan kontaminan sangat konsisten berpengaruh terhadap kondisi ikan. Misalnya nutrisi yang tidak cukup bisa menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
44
dengan demikian mengubah faktor kondisi. Dengan demikian kejadian penyakit atau rendahnya sumber daya makanan bisa tampak pada rendahnya faktor kondisi.
Pertumbuhan ikan T. antoniae Analisis pertumbuhan dan umur ikan T. antoniae didasarkan pada kelompok ukuran panjang baku (PB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan jantan yang dikoleksi pada setiap bulan umumnya memiliki lebih dari satu kelompok umur (kohort), kecuali ikan-ikan yang tertangkap pada bulan Maret, Juni dan Agustus hanya memiliki satu kelompok umur (Tabel 3). Pergeseran kelompok ukuran pada bulan-bulan sampling yang berdekatan dari kelompok ukuran kecil menjadi kelompok ukuran yang lebih besar pada bulan berikutnya, serta munculnya kelompok ukuran baru, menunjukkan adanya generasi yang berbeda yaitu kelompok ikan muda dan dewasa. Perbedaan ukuran ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan dan adanya penambahan baru. Dalam analisis pertumbuhan ini dipisahkan antara antara ikan jantan dan betina. Hasil analisis pertumbuhan pada ikan jantan menunjukkan terdapat dua kelompok umur ikan pada bulan September yaitu kelompok umur 1 dengan rata-rata PB 46,18 mm dan umur 2 dengan rata-rata PB 60,23 mm. Kedua kelompok umur ini diduga terus tumbuh hingga bulan Januari 2011. Dugaan ini didasarkan pada hasil analisis yang menunjukkan adanya peningkatan ukuran PB rata-rata dari bulan-bulan sebelumnya ke bulan-bulan berikutnya. Selain itu munculnya kelompok ukuran kecil yang baru menunjukkan terjadinya penambahan baru kedalam populasi. Pola ini menunjukkan bahwa ikan ini memijah sepanjang tahun. Secara umum terdapat pola munculnya kelompok umur ikan muda yang terekspresi pada bulan November, Februari, April dan Juni yang diduga sebagai kelompok ikan yang berasal dari pemijahan dua atau tiga bulan sebelumnya.
45
Tabel 3
Bulan sampling Sep ‟10 Okt ‟10 Nov ‟10 Des ‟10 Jan ‟11 Feb ‟11 Mar ‟11 Apr ‟11 Mei ‟11 Jun ‟11 Jul ‟11 Agu ‟11
Kelompok umur, rata-rata ukuran PB, simpangan baku, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae jantan berdasarkan bulan sampling Kelompok umur 1 2 1 2 1 2 3 1 2 1 2 3 1 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1
Rata-rata PB (mm) 46,18 60,23 47,20 69,55 45,87 58,92 78,35 47,49 68,50 47,14 64,75 79,05 46,46 71,49 48,84 45,47 52,02 47,05 72,70 46,47 48,65 69,22 48,54
SB 4,460 10,340 4,720 5,100 3,840 5490 3,030 4,090 9,410 4,640 2,21 3,620 4,590 5,90 6,720 3,210 12,250 5,740 7,660 4,750 4,210 8,560 6,970
Jumlah populasi 91 16 103 9 127 7 6 98 11 117 3 3 108 5 122 80 39 104 14 113 131 3 127
Indeks pemisah (SI) na 1,900 na 4,550 na 2,800 4,560 na 3,110 na 5,140 49,10 na 4,780 na na 0,850 na 3,830 na na 3,220 na
Keterangan: SB= Simpangan baku; na= tidak dianalisis Pola yang sama juga terjadi pada pada ikan T. antoniae betina (Tabel 4 dan Lampiran 10) yang dapat dilihat dari adanya pergeseran ukuran rata-rata PB dari bulan sebelumnya ke bulan berikutnya, seperti pola yang ditunjukkan pada periode bulan September - Oktober 2010 (kelompok umur dengan rata-rata ukuran PB 44,98 mm bergeser menjadi 46,98 mm). Pola pergeseran ini terjadi pada periode bulanbulan berikutnya.
46
Tabel 4 Kelompok umur , rata-rata ukuran PB, simpangan baku, populasi dan indeks pemisah (SI) dari individu T. antoniae betina berdasarkan bulan sampling Bulan sampling Sep ‟10 Okt ‟10 Nov ‟10 Des ‟10 Jan ‟11 Feb ‟11 Mar ‟11 Apr ‟11 Mei ‟11 Jun ‟11 Jul ‟11 Agu ‟11
Kelompok umur 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1
Rata-rata PB (mm) 44,98 46,98 45,07 46,11 46,35 41,60 50,68 46,40 46,42 45,88 45,75 46,56 45,37
SB 5,790 5,810 4,740 5,710 5,520 2,400 6,550 6,920 6,550 6,150 5,290 6,100 5,330
Jumlah populasi 97 99 116 96 109 51 54 105 109 109 99 118 108
Indeks pemisah (SI) n.a n.a n.a n.a n.a n.a 2,030 n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Keterangan: SB= Simpangan baku; n.a= tidak dianalisis Pada bulan Februari terdapat dua kelompok umur yaitu kelompok umur 1 dengan rata-rata PB 41,60 mm (diduga sebagai generasi baru) dan kelompok umur 2 dengan rata-rata PB 50,68 kelompok umur yang berkembang dari bulan-bulan sebelumnya. Fenomena munculnya kelompok umur dengan ukuran rata-rata lebih kecil dari bulan-bulan sebelumnya diduga sebagai indikasi masuknya kelompok generasi baru ke dalam arena pemijahan di daerah litoral. Parameter pertumbuhan ikan T. antoniae dianalisis menggunakan metode ELEFAN I yang tersedia dalam perangkat lunak FiSAT II. Analisis pertumbuhan berdasarkan jenis kelamin yang diekspresikan dalam bentuk kurva pertumbuhan. Gambar 14 menunjukkan bahwa kelompok umur baru dari populasi T. antoniae jantan maupun betina terjadi antara Maret-April. Jika dilihat dari periode musim maka tampak bahwa periode tersebut adalah periode puncak curah hujan. Analisis parameter pertumbuhan menurut jenis kelamin didapatkan perkiraan T. antoniae jantan mencapai panjang infinity (L∞) 87,64 mm pada tahun ke-8. Masa pertumbuhan yang signifikan terjadi pada tahun pertama hingga tahun ke-3, kemudian melambat hingga mencapai infinity. Hasil analisis ini juga mendapatkan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,36 dan to = -0,11; sedangkan pada ikan
47
betina didapatkan nilai panjang infinity (L∞) 85,43 mm yang dicapai pada tahun keenam dan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,54 dan to = -0,08.
Gambar 14 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan T. antoniae jantan dan betina berdasarkan data frekuensi panjang Nilai koefisien pertumbuhan betina yang lebih besar daripada ikan jantan menunjukkan bahwa ikan betina akan mencapai panjang maksimum dalam waktu yang lebih cepat daripada ikan jantan (Gambar 14). Panjang baku (PB) maksimum hasil pengukuran untuk ikan jantan dan betina masing-masing 85,58 mm dan 83,25 mm. Nilai ini masih berada di bawah nilai panjang infinity. Berdasarkan parameter pertumbuhan yang telah didapatkan ini dapat dibangun bentuk persamaan pertumbuhan menurut jenis kelamin ikan T. antoniae yaitu Lt = 87,64 (1-e-0,36(t-0,11)) untuk ikan jantan dan Lt = 85,43(1-e-0,54(t-0,08)) untuk ikan betina.
48
Nasution (2007) menemukan bahwa ikan rainbow selebensis dari Danau Towuti mempunyai panjang infinity (L∞) 11,90 cm, sementara panjang maksimal ikan jantan dan betina yang ditemukan masing-masing 10,32 mm dan 9,46 mm. Nasution (2008) juga menemukan ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) jantan memiliki panjang infinity (L∞) 20,05 cm, sementara panjang maksimum yang ditemukan 19,78 cm. Ikan betina bonti-bonti infinity (L∞) 20,45 cm, sementara panjang maksimum 18,33 cm. Kedua jenis ikan tersebut juga mempunyai ikan betina yang relatif lebih kecil dari ikan jantan.
Reproduksi Nisbah kelamin Selama periode September 2010 sampai dengan Agustus 2011, jumlah individu jantan yang dikoleksi 1437 ekor (53,08%), dan individu betina 1270 ekor (46,92%). Pendekatan uji perbandingan kelamin menggunakan „Chi-square test‟ pada taraf nyata 0,05, menunjukkan komposisi nisbah (jantan:betina) yang tidak seimbang 1 : 1,131 (χ²
table
< χ²
hitung).
Secara spasial umumnya nisbah kelamin menunjukkan
keadaan seimbang 1 : 1 pada hampir semua stasiun penelitian, kecuali di stasiun Otuno (hasil uji menunjukkan keadaan tidak seimbang 1,258:1 (χ²
table
< χ²= 5,708)
(Tabel 5). Tabel 5 Variasi spasial nisbah kelamin T. antoniae di Danau Matano Jumlah ikan
Stasiun sampling S. Lawa Paku P. Wotu Pali Bubble Beach Pantai Salonsa Tanah Merah Otuno S. Petea S. Soluro
Jantan (ekor) 135 172 144 204 167 134 244 111 126
(%) 54,88 51,34 51,99 53,68 53,18 50,57 55,71 52,86 52,07
Betina (ekor) (%) 111 45,12 163 48,66 133 48,01 176 46,32 147 46,82 131 49,43 194 44,29 99 47,14 116 47,93
Nisbah
χ² hitung
kelamin 1,216 : 1,00 1,055 : 1,00 1,083 : 1,00 1,159 : 1,00 1,136 : 1,00 1,023 : 1,00 1,258 : 1,00 1,121 : 1,00 1,086 : 1,00
2,341 0,242 0,437 2,063 1,274 0,034 5,708 * 0,686 0,413
Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel ≥ χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 (*) perbandingan jantan dan betina ≠ 1: 1
49
Nisbah tidak seimbang yang didominasi oleh ikan jantan di stasiun Otuno diduga karena lokasi ini merupakan tempat yang ideal bagi ikan jantan mencari makan dalam rangka persiapan energi untuk reproduksi. Beberapa ikan pelangi yang juga memiliki nisbah kelamin 1:1 misalnya T. celebensis dari Danau Towuti (Nasution 2004), G. incisus dari Danau Sentani (Siby 2009), dan M. arfakensis dari Manokwari (Manangkalangi 2009). Sementara itu T. ladigesi dari sungai Maros memiliki nisbah (1,5:1,0). Secara temporal dari populasi T. antoniae yang tertangkap terungkap bahwa jumlah ikan jantan lebih banyak daripada betina disemua waktu sampling. Tetapi hasil uji „Chi-square test” terhadap nisbah kelamin menunjukkan bahwa proporsi individu jantan dan betina pada semua waktu sampling berada dalam proporsi keseimbangan 1 : 1 (Tabel 6). Tabel 6 Variasi temporal nisbah kelamin T antoniae di Danau Matano Waktu sampling Sep ‟10 Okt ‟10 Nop ‟10 Des ‟10 Jan ‟11 Feb ‟11 Mar ‟11 Apr ‟11 Mei ‟11 Jun ‟11 Jul ‟11 Agu ‟11
Jumlah ikan Jantan (ekor) (%) 107 52,45 112 53,08 140 54,69 109 53,17 123 53,02 113 51,83 122 53,74 119 52,19 118 51,98 113 53,30 134 53,17 127 54,04
Betina (ekor) (%) 97 47,55 99 46,92 116 45,31 96 46,83 109 46,98 105 48,17 105 46,26 109 47,81 109 48,02 99 46,70 118 46,83 108 45,96
kelamin
χ² hitung
1,103 : 1,00 1,131: 1,00 1,207 : 1,00 1,135 : 1,00 1,128 : 1,00 1,076 : 1,00 1,162 : 1,00 1,092 : 1,00 1,083 : 1,00 1,141 : 1,00 1,136 : 1,00 1,176 : 1,00
0,490 0,801 2,250 0,824 0,845 0,294 1,273 0,439 0,357 0,072 1,016 1,536
Nisbah
Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel ≥ χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 Data ini menunjukkan bahwa perubahan temporal tidak memengaruhi nisbah jantan dan betina pada ikan T. antoniae. Nisbah yang sama juga terjadi pada G. incisus (Siby 2009) dan M. Arfakensis (Manangkalangi 2009). Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada T. ladigesi (Andriani 2000). Nisbah kelamin pada ikan belanak Mugil dussumeiri di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur adalah tidak seimbang
50
(Sulistiono et al. 2001a). Sementara studi yang dilakukan pada tiga jenis ikan buntal Tetraodon lunaris, T. reticulata dan T. fluviatilis menunjukkan bahwa dua jenis ikan buntal yang disebut pertama memiliki nisbah seimbang (1:1) sedangkan yang disebutkan terakhir memiliki nisbah yang tidak seimbang (Sulistiono et al. 2001b). Informasi ini menunjukkan bahwa nisbah kelamin sangat bergantung kepada sifat dan tingkah laku pemijahan ikan. Menurut kelas ukuran nisbah antara individu jantan dan betina umumnya terdapat ketidakseimbangan (χ² tabel < χ² hitung ), kecuali pada kelas ukuran 32,76 mm – 37,16 mm dan 54,81 – 59,21 mm (nisbah 1 : 1). Berdasarkan kelas ukuran, ditemukan bahwa pada kisaran kelas ukuran 32,76 – 45,98 mm jumlah ikan betina mendominasi jumlah ikan jantan. Sementara pada kelas ukuran yang lebih besar umumnya jumlah ikan jantan lebih besar daripada ikan betina. Pada kelas ukuran ikan 59,22 – 68,03 mm tampak terjadi bias karena pada kelas ini tidak ditemukan ikan betina (Tabel 7). Tabel 7 Variasi nisbah kelamin T. antoniae menurut kelas ukuran Kelas ukuran (mm)
Jumlah ikan Jantan (ekor) (%)
Betina (ekor) (%)
Nisbah kelamin
χ² hitung
32,76 - 37,16
37
0,43
49
0,57
0,755 : 1,00
1,674
37,17 - 41,57 41,58 -45,98 45,99 -50,39 50,40 - 54,80 54,81 -59,21 59,22 -63,62 63,63 - 68,03 68,04 -72,44 72,45 -76,85 76,86 -81,26
110 375 548 212 71 14 28 2 20 11
0,32 0,45 0,66 0,62 0,43 1,00 1,00 0,18 0,91 0,92
238 461 285 131 93 0 0 9 2 1
0,68 0,55 0,34 0,38 0,57 0,00 0,00 0,82 0,09 0,08
0,462 : 1,00 0,813 : 1,00 1,923 : 1,00 1,618 : 1,00 0,763 : 1,00 * * 0,222 : 1,00 10,000 : 1,00 11,000 : 1,00
47,080 8,847 83,036 19,128 2,951 14,000 28,000 4,455 14,727 8,333
81,27 - 85,67
9
0,90
1
0,10
9,000 : 1,00
6,400
Ket: χ² tabel (0,05, 1) = 3,841; χ² tabel ≥ χ² hitung perbandingan jantan dan betina = 1 : 1 *=tidak ada betina Data ini menunjukkan bahwa secara umum ikan-ikan jantan berukuran besar selalu berpasangan dengan ikan betina yang berukuran kecil; hal ini didukung oleh
51
pengamatan bawah air. Berdasarkan hasil penelitian ini diduga bahwa ikan jantan besar ini memiliki umur yang lebih tua daripada ikan betina; dengan kata lain ikan jantan menyukai memijah dengan ikan betina yang lebih muda. Nisbah kelamin dan struktur ukuran adalah informasi penting untuk menilai potensi reproduksi dan pendugaan ukuran stok populasi (Vazzoler 1996). Sementara itu faktor lain yang dapat memengaruhi nisbah kelamin adalah ketersediaan makanan. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa di lingkungan yang makanannya terbatas jika makanan berlimpah, maka betina dominan; situasi sebaliknya terjadi di wilayah yang makanannya terbatas. Munro (1976) menjelaskan bahwa simpangan yang diamati dalam proporsi 1:1, sering kali merupakan konsekuensi dari perbedaan laju pertumbuhan yang diamati pada jantan dan betina, yang bisa menyebabkan tangkapan preferensial terhadap skala besar atau kecil spesimen dari satu jenis kelamin. Nisbah yang seimbang antara jantan dan betina pada T. antoniae merupakan bagian dari tingkah laku reproduksi yang memijah secara berpasangan. Proporsi seimbang juga mengindikasikan bahwa ikan tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasangan memijah. Pengamatan bawah air terhadap tingkah laku memijah T. antoniae memperlihatkan ikan-ikan selalu berada dalam pasangan. Walaupun di perairan sering terlihat adanya kejadian perkelahian jantan-jantan untuk mendapatkan pasangan memijah, namun ini tidak berarti bahwa ikan jantan sulit mendapatkan pasangan. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa perbedaan laju pertumbuhan antar jenis kelamin bisa menyebabkan nisbah tidak seimbang. Jenis kelamin yang mempunyai laju pertumbuhan yang cepat akan mengalami fase rentan yang singkat, oleh karena itu akan memperkecil pemangsaan. Sebaliknya jenis kelamin dengan laju pertumbuhan yang lambat akan memiliki peluang mengalami pemangsaan. Komposisi warna jantan T. antoniae adalah salah satu ikan yang memiliki dua bentuk warna (dikromatisme) pada jantan yaitu jantan warna biru dan jantan warna kuning, sedangkan ikan betina berwarna abu-abu pasir. Terdapat 918 ekor individu jantan
52
dengan warna biru (64%) dan 519 ekor individu jantan warna kuning (36%) dari total 1437 ekor ikan jantan yang dikoleksi (Tabel 8). Tabel 8 Ukuran rata-rata PB T. antoniae jantan berdasarkan warna N Jantan Jantan warna biru Jantan warna kuning
1437 918 519
Rata-rata PB (mm) 48,31 47,89 49,07
Min 32,76 32,76 39,60
Maks 85,58 85,58 85,45
St.Dev 7,512 8,131 4,244
Selanjutnya dari data ini ditemukan pula bahwa pada semua stasiun penelitian dan periode sampling jumlah individu jantan warna biru lebih banyak daripada jantan warna kuning, dengan komposisi berbeda pada setiap lokasi dan waktu (Gambar 15).
Gambar 15 Histogram komposisi warna T. antoniae jantan warna biru dan jantan warna kuning (a) menurut stasiun sampling dan (b) menurut waktu sampling
53
Jumlah ikan warna biru yang lebih banyak daripada ikan warna kuning mungkin merupakan strategi penyamaran dari predator; ikan warna biru tidak tampak jelas di habitat yang terbuka di batuan dan di pasir dibandingkan dengan ikan warna kuning. Uji rata-rata PB terhadap warna jantan menunjukkan terdapat perbedaan (P < 0,05): 47,89 (SE=8,13; N=918) untuk warna biru dan 49,07 (SE=6,21; N=519) untuk warna kuning. Dikromatisme jantan ini diduga merupakan salah satu strategi jantan untuk menarik betina agar menjadi pasangan memijah. Pengamatan bawah air menunjukkan bahwa kedua warna ini dapat kawin dengan satu betina yang sama.
Tingkat kematangan gonad Penilaian perkembangan gonad T. antoniaea dilakukan melalui pendekatan penilaian terhadap tahapan perkembangan gonad secara morfologis dan histologis. Sementara untuk mengetahui kondisi reproduksi dilakukan penelaahan perubahan ukuran berat gonad relatif yang diekspresikan dengan indeks kematangan gonad (IKG). Hasil penilaian tahap-tahap perkembangan gonad T. antoniae jantan dan betina dalam deskripsi ini dibagi ke dalam lima tahap perkembangan sebagaimana disajikan dalam Lampiran 11 dan 12. Sementara struktur histologis untuk jantan dan betina berdasarkan telaahan tahapan perkembangan gonad menurut jenis kelamin masing-masing disajikan pada Gambar 16 dan 17. Pemeriksaan makroskopis gonad T.antoniae, menunjukkan bahwa gonad jantan berukuran kecil yang belum matang memiliki berbentuk seperti benang yang sangat halus dan berwarna putih susu. Testis yang matang tampak berwarna putih susu, pejal, melebar, menebal, dan semakin memanjang bergelombang seperti lipatanlipatan dan mengisi 1/3 rongga perut. Pada tahap ini dengan hanya sedikit tekanan pada abdomen testis siap mengeluarkan cairan berwarna putih susu. Jantan pascapemijahan memiliki testis kecil yang tampak kosong, lembek berkerut, menipis, kurang pejal, warna putih susu, dan berdarah. Ikan betina yang belum matang memiliki ovari berbentuk seperti benang dengan permukaan berwarna gelap dan terdapat butiran sangat kecil berwarna putih susu. Ikan betina yang berada pada tingkat perkembangan (tingkat II) memiliki ovari
54
berwarna gelap kehitaman dengan butiran-butiran oosit yang semakin besar dan jaringan ikat berwarna putih susu. Ikan betina yang berada pada tahap kematangan (tingkat III) memiliki ovari berwarna gelap kehitaman pada bagian anterior dan agak kekuningan cenderung transparan di bagian anterior, butiran oosit pada bagian posterior berwarna kuning pucat. Ukuran butiran oosit tampak berdegradasi dengan ukuran besar di bagian posterior dan makin kecil pada bagian anterior. Betina matang dan mijah (tahap IV) memiliki ovari yang besar dan padat mengencang, warna hitam dan agak gelap pada bagian anterior, dan warna kekuningan transparan ke arah posterior sehingga butiran oosit terlihat jelas. Ukuran diameter telur di bagian posterior terlihat lebih besar dan berisi, dan berwarna kekuningan; ovari mengisi 2/3 rongga perut. Ikan betina pascapemijahan (tahap V) memiliki ovari yang mengerut dengan butiran telur yang didominasi ukuran kecil, tetapi masih tampak beberapa butiran yang berukuran besar di daerah posterior. Pemeriksaan secara histologis dibuat untuk jaringan testicular dan ovari dari gonad yang berkembang dan matang untuk melihat perkembangan struktur histology:
Jantan Testis dalam tahap belum berkembang (tingkat I), dikenali dengan tidak adanya aktivitas spermatogenik pada germinal epithelium dan spermatogonia (Sg), dan banyak spermatosit (Sc) (Gambar 16 A). Pada tahap perkembangan awal (tingkat II) tidak ada spermatozoa yang hadir di dalam tubule, germinal epithelium tipis dan ada sel-sel yang belum matang, terdapat spermatosit (Sc) sampai spermatid (Spt), dan
55
Gambar 16 Struktur histologis gonad T. antoniae jantan. Ket.: A= TKG I, B= TKG II, C= TKG III, D= TKG IV, E= TKG V, Sg= spermatogonia, Sc= spermatosit, Spt= spermatid, dan Sz= spermatozoa. juga terdapat beberapa spermatozoa (Sz) (Gambar 16 B). Pada tahap kematangan (tingkat III) spermatogenesis pertengahan dicirikan oleh germinal epithelium yang cukup tebal, dan proliferasi dan kematangan sperma bisa diamati; spermatosit (Sc), spermatid (Spt) dan spermatozoa (Sz) terdapat dalam proporsi yang kira-kira seimbang (Gambar 16 C). Tahap 1 - 3 adalah karakteristik ikan yang matang kelamin, dengan paling sedikit aktivitas yang terjadi (tingkat I) dan aktivitas terbesar terjadi sesaat menjelang dan selama pemijahan (tingkat IV) (Gambar 16 D). Pada tahap pascapemijahan (tingkat III) testis mengerut, terdapat spermatogonia (Sg) dan spermatozoa (Sz), dan terdapat ruang-ruang kosong (Gambar16 E).
56
Betina Irisan ovari yang diambil dari ikan pada tingkat perkembangan awal (tingkat II) menunjukkan adanya oosit dalam tingkat perinukleosis dan pravitellogenis. Oosit perinukleosis berukuran kecil dan nukleus kira-kira 60% dari diameter oosit dengan satu atau dua nukleoli dan sitoplasma basofil yang kuat. Pada oosit pravitellogenis (Os) nukleus mengisi 2/3 sel dan berisi banyak nukleoli yang tersusun dalam membran nukleus (Gambar 17 A dan B). Ovari pada tahap kematangan ( Tingkat III) berisi ootid (Ot) dan oosit (Os) (Gambar 17 C). Ovari tahap matang dan mijah (tingkat IV) dibungkus kuat dengan oosit vitellogenis dan telur dengan kuning telur (Kt). Oosit (Os) membulat bulat dan nukleus tidak tampak karena akumulasi kuning telur yang banyak (Gambar 17 D). Ovari pascapemijahan (tingkat V) terdapat sedikit oosit (Os) kecil yang tampak dan ditandai dengan adanya oosit atresia (Oa) dari perkembangan telur yang tersisa setelah pemijahan. Oosit atresia (Oa) ditandai oleh pecahnya zona radiata dengan ruang-ruang kosong di dalam ovari (Gambar 17 E).
Gambar 17 Struktur histologis gonad T. antoniae betina. Ket: OG= oogonium, Os= oosit, Ot= ootid, Yk= butir kuning telur, O= butiran minyak, Oa= oosit atresia
57
Walaupun tahap III adalah khas pada ikan yang mendekati pemijahan, tetapi tahap I sampai III semuanya adalah representasi ikan betina matang kelamin. Hasil penelitian pada T. antoniae ini menemukan bahwa betina yang matang secara simultan berisi oosit dengan berbagai ukuran dalam setiap tingkat perkembangan; ini adalah tipe dari ikan pemijah berulang (multiple spawner). Menurut Chellappa et al. (2010), pemijah bertahap ditandai oleh pola temporal tingkat-tingkat ovari makroskopis, kejadian teratur ovari yang dilepaskan sebagian, dan pola perkembangan oosit, dengan lepasnya oosit matang secara berkelompok. Hasil pemeriksaan kondisi gonad yang diekspresikan dengan tingkat kematangan gonad (TKG) dari populasi ikan bervariasi baik secara spasial maupun temporal. Tetapi secara umum ditemukan bahwa sebagian besar ikan berada dalam kondisi matang dan memijah (TKG IV). Sebanyak 58% ikan jantan dan 87% ikan betina berada dalam kondisi matang dan memijah (TKG IV). Ikan jantan yang berada dalam tahap kematangan (TKG III) jumlahnya relatif besar (24,57%) dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan gonad individu jantan lainnya; misalnya jantan yang berada dalam tahap perkembangan gonad belum berkembang TKG I (1,04%), tahap perkembangan awal TKG II (6,26%) dan tahap pascapemijahan TKG V (9,67%). Ikan yang berada dalam TKG I, II, III dan V jumlahnya sedikit (Tabel 9). Berdasarkan data ini diduga bahwa ikan-ikan yang tertangkap umumnya ikan-ikan dalam proses pemijahan, dan ikan yang berada di pelataran litoral adalah ikan-ikan dewasa kelamin. Tabel 9 Jumlah individu T. antoniae jantan dan betina menurut kondisi TKG TKG Jantan
I 15 (1,04%)
II 90(6,26%)
III 353(24,57%)
IV 840(58,46%)
V 139(9,67%)
Total 1437
Betina
1 (0,08%)
15(1,18%)
74(5,83%)
1107(87,17%)
73(5,75%)
1270
Secara spasial persentase frekuensi individu jantan matang dan mijah (TKG IV) dan pascapemijahan (TKG V) ditemukan dalam jumlah tertinggi di stasiun Salonsa dan terendah di stasiun Otuno. Individu betina yang berada dalam kondisi TKG IV
58
dan V tertinggi jumlahnya di stasiun Paku dan terendah di stasiun Sungai Soluro (Gambar 18).
Gambar 18 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan stasiun penelitian Hasil uji perbandingan rata-rata TKG pada individu jantan menunjukkan bahwa stasiun Salonsa memiliki nilai perbandingan rata-rata TKG berbeda nyata dengan stasiun S. Lawa, Paku, Otuno dan S. Petea, tetapi tidak berbeda nyata dengan stasiun P. Wotu Pali, Bubble beach, Tanah Merah, dan S.Soluro. Pada individu betina nilai rata-rata TKG di delapan stasiun penelitian (S. Lawa, Paku, P. Wotu Pali, Bubble Beach, Salonsa, Tanah Merah, Otuno dan S. Soluro) tidak berbeda nyata, tetapi dengan stasiun S. Petea menunjukkan beda nyata (P< 0,05). Secara temporal persentase tingkat kematangan gonad individu jantan bervariasi dengan kisaran yang relatif lebar, sedangkan ikan betina bervariasi relatif sempit (Gambar 19). Persentase individu jantan dan betina yang berada dalam TKG IV dan V tertinggi ditemukan pada bulan Juli 2011 dan terendah pada bulan April 2011. Hasil uji perbandingan rata-rata antar waktu penelitian menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antar waktu penelitian baik pada individu jantan maupun pada individu betina (P<0,05).
59
Gambar 19 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan waktu penelitian
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% individu jantan dan betina berada dalam kondisi matang-mijah dan pascapemijahan (TKG IV dan V) (Gambar 20) dan kondisi ini terjadi pada hampir semua kelas ukuran, kecuali pada individu jantan dengan kelas ukuran 32,76 – 37,16 mm, 73,00% yang berada dalam TKG II, 5,40% berada dalam TKG III, serta 22,60% berada dalam TKG IV. Ikan jantan terkecil yang ditemukan matang gonad berukuran 45,42 mm, sedangkan betina 36,17 mm. Individu jantan dan betina yang berada dalam TKG I jumlahnya sangat sedikit; hanya 15 individu jantan dan tersebar di semua stasiun penelitian. Sementara individu betina hanya ditemukan satu saja yang berasal dari stasiun Bubble Beach. Menurut waktu sampling, individu jantan yang berada dalam TKG I ditemukan pada hampir semua waktu sampling kecuali pada bulan Januari 2011 dan Juni 2011. Sementara individu betina hanya ditemukan pada bulan Mei 2011. Menurut kelas ukuran ikanikan yang berada dalam TKG I untuk jantan mulai muncul pada kelas ukuran 37,17 – 41,57 mm. Sementara betina pada kelas ukuran 40,10 - 44,02 mm. Sementara itu ikan-ikan yang berada dalam TKG II dan III umumnya ditemukan di hampir semua lokasi dan waktu sampling. Hasil ini menunjukkan bahwa T. antoniae memanfaatkan habitat berbeda dalam sejarah hidupnya.
60
Gambar 20 Persentase jumlah ikan T. antoniae pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) berdasarkan sebaran ukuran panjang Menurut Villacorta-Correa & Saint-Paul (1999), IKG dapat menjelaskan kondisi reproduksi spesies, melalui perubahan ukuran gonad relatif dihubungkan dengan waktu. IKG dan histopatologi gonad merupakan kategori indikator-indikator yang memberikan informasi struktural, tentang kesehatan gonad dan tahap kematangan (Schmitt & Dethloff 2000). Penghitungan berat gonad sebagai persentase berat tubuh telah secara rutin digunakan untuk menentukan kematangan reproduksi, dan menilai perubahan gonad sebagai respon terhadap dinamika lingkungan (misalnya perubahan musiman) atau tekanan-tekanan eksogen (misalnya paparan terhadap kontaminan) (Schmitt & Dethloff 2000). Indeks kematangan gonad Hasil perhitungan indeks kematangan gonad (IKG) T. antoniae didapatkan nilai rata-rata IKG individu jantan lebih kecil daripada IKG individu betina. Secara umum kisaran nilai rata-rata untuk individu jantan 0,595 (SE±0,268; N=1437) dan individu betina 4,245 (SE=1,641); N=1270). Telaahan secara spasial terhadap nilai rata-rata.
61
Gambar 21 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae menurut stasiun sampling IKG menggunakan One-way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata IKG antar stasiun penelitian (P> 0,05). Sementara untuk ikan betina terdapat perbedaan IKG rata-rata yang nyata antar lokasi (P<0,05) (Gambar 21). Stasiun penelitian yang memiliki nilai rata-rata tertinggi untuk betina adalah Pulau Wotu Pali 4,960 (SE=1,691, N=133), dan terendah adalah Sungai Soluro 3,655 (SE=1,288, N=116). Secara temporal nilai rata-rata IKG untuk individu jantan terdapat beda nyata antara stasiun penelitian (P<0,05); hanya ada satu bulan sampling yang memiliki nilai rata-rata yang beda nyata yaitu Maret 2011, sedangkan bulan lainnya tidak berbeda nyata. Nilai IKG rata-rata jantan tertinggi terjadi pada bulan Desember 2010 (0,648; SE=0,392; N=109) dan nilai terendah bulan Maret 2011 (0,475; SE=0,174; N=122). Hasil uji statistik pada individu betina menunjukkan terdapat beda nyata rata-rata nilai IKG yang kecil antar waktu sampling (P=0,049<0,05); hanya terdapat beda nyata yang kecil antar waktu sampling bulan Oktober dan November, sementara untuk bulan lainnya tidak berbeda nyata (Gambar 22).
62
Gambar 22 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. antoniae jantan dan betina menurut waktu sampling Sebaran diameter telur Diameter telur ikan T. antoniae bervariasi antara 0,33 – 1,23 mm (Gambar 23). Ditemukan bahwa pada setiap tingkat kematangan gonad frekuensi kelas ukuran diameter tidak merata. Pada TKG III kisaran ukuran 0,33 – 1,12 mm, TKG IV kisaran ukuran 1,33 – 1,23 dan pada TKG V kisaran ukuran 0,33 – 0,95 mm. Perbedaan sebaran ukuran diamer telur pada tiap tingkat kematangan menunjukkan bahwa kematangan gonad terjadi secara bertahap (partial spauner). Pengamatan terhadap telur-telur yang terdapat dalam ovari tampak bahwa ukuran diameter telur berdegradasi dari anterior dengan telur-telur berukuran kecil, bagian tengah makin besar dan pada posterior adalah telur berukuran besar. Informasi ini menunjukkan bahwa dalam proses pemijahan telur-telur berukuran besar di posterior adalah telur-telur matang yang siap dipijahkan. Selain itu dari data ini menunjukkan bahwa ikan ini merupakan ikan yang memijah sepanjang tahun. Pola pemijahan seperti ini juga ditemukan pada ikan T. ladigesi (Andriani 2000), T.
63
celebensis (Nasution 2004), G. incisus (Siby 2009), M. Arfakensis (Manangkalangi 2009), dan M. dussumieri (Sulistiono 2001).
Gambar 23 Sebaran diameter telur T. antoniae pada TKG I - V
Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur yang ada di dalam ovari sebelum pemijahan, Berdasarkan definisi ini dalam penelitian ini fekunditas ikan T.antoniae diperiksa dari 120 ekor ikan betina yang berada dalam kondisi TKG IV. Rata-rata fekunditas dari
ikan yang diperiksa memiliki 152 butir per ovari dengan kisaran 46 – 339 butir per ovari.
64
400
Fekunditas (butir)
350 300
F = 0,167PB1,739 r = 0,60 N = 120
250 200 150 100 50 0 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 Panjang baku (mm)
Gambar 24 Hubungan antara fekunditas dengan panjang baku (PB) Ikan ukuran terkecil yang ditemukan berada dalam TKG IV berukuran PB 36,21 mm memiliki fekunditas 94 butir, sedangkan ukuran terbesar 73,40 mm dengan fekunditas 316 butir. Persamaan regresi antara fekunditas dengan panjang baku ikan pada TKG IV adalah F = 0,167PB1,739 (r=0,60) (Gambar 19). Nilai r yang diperoleh menunjukkan korelasi yang lemah antara fekunditas dengan panjang total, sehingga panjang total dari ikan T. antoniae ini tidak dapat dijadikan penduga fekunditas ikan ini. Korelasi yang lemah juga ditemukan pada ikan T. celebensis (Nasution 2004), dan G. incisus (Siby 2009).
Musim pemijahan dan strategi reproduksi Dengan mempertimbangkan perkembangan tingkat kematangan gonad perbulan ditemukan bahwa 87,17% ikan betina berada pada TKG IV; 5,75% pada TKG V;
5,38% pada TKG III;
1,18% pada TKG II dan 0,8% pada TKG I.
Sementara pada ikan jantan 58,46% berada pada TKG IV; 24,57% pada TKG III; 9,67% pada TKG V; 6,26% pada TKG II dan 1,04% pada TKG I. Melihat komposisi TKG ikan jantan dan betina yang sebagian besar berada pada TKG IV ini
65
menunjukkan bahwa ikan-ikan yang berada di daerah litoral ini adalah ikan-ikan yang sedang memijah. Terdapat empat bulan dalam periode sampling yang menunjukkan persentase jumlah ikan yang berada pada TKG IV dan V yang besar yaitu Desember, Januari, Juli dan Agustus.
Jika periode bulan tersebut dihubungkan dengan dinamika
hidrologis maka terlihat bahwa pada periode bulan Desember, Januari, Juli dan Agustus adalah periode curah hujan dan muka air rendah. Diduga ini adalah strategi T. antoniae
memilih puncak pemijahan di musim kering dengan harapan telur-
telurnya akan menetas menjelang awal musim hujan. Pada periode puncak pemijahan ini suhu air rata-rata lebih hangat dari periode bulan lainnya. Suhu air yang hangat ini akan membantu metabolisme dan pertumbuhan larva lebih cepat.
Sifat dan tingkah laku reproduksi T. antoniae di perairan Ikan T. antoniae hidup di daerah litoral; daerah ini dijadikan sebagai habitat pemijahan (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007). Mengenali spesies ini secara langsung di alam dan membedakannya dengan spesies kerabat Telmatherina lainnya dapat didekati dengan mengamati karakter tingkah laku yang ditampilkan. Di alam T. antoniae dewasa hampir selalu berada dalam pasangan jantan dan betina, walaupun kadang tampak ada yang berenang tanpa pasangan. Dari hasil pengamatan bawah air ikan-ikan jantan yang tampak sedang berenang sendiri atau tanpa pasangan adalah ikan jantan yang sedang mencari pasangan betina. Ikan jantan agresif mencari pasangan sedangkan ikan betina tampak bersifat pasif menunggu untuk dipilih oleh jantan. Sifat tingkah laku berpasangan pada T. antoniae ini memudahkan kita mengenali mereka. Pasangan-pasangan jantan-betina tampak melakukan aktivitas kawin sepanjang waktu. Beberapa sifat tingkah laku berpasangan yang selalu ditampilkan oleh individu jantan dan betina adalah berenang berpasangan di dekat dasar perairan, walaupun kadang-kadang terlihat ada pasangan yang berenang di tengah kolom air, tetapi itu
66
adalah taktik menghindari gangguan dari jantan lain atau dalam proses mencari tempat memijah yang nyaman. Dalam proses pemijahan ikan jantan dan betina berenang berpasangan bersamasama dan kadang memperlihatkan gerakan mendekatkan abdomennya pada substrat. Gerakan ini diduga sebagai gerakan melepaskan telur oleh betina pada substrat dan pelepasan sperma oleh jantan. Adalah sulit untuk dapat melihat dengan mata telanjang telur-telur dan sperma yang dilepaskan. Gerakan lain yang sering ditunjukkan oleh T. antoniae adalah perkelahian antara jantan-jantan, baik antara warna jantan yang sama maupun dengan warna jantan yang berbeda. Kejadian perkelahian pada jantan-jantan adalah untuk alasan memperebutkan betina yang menjadi pasangan memijah. Akhir dari perkelahian antar jantan-jantan yaitu ikan jantan yang menang akan segera mengambil betina menjadi pasangan memijah sedangkan jantan yang kalah dalam perkelahian akan segera pergi mencari betina lain. Tetapi kadang-kadang kedua individu jantan yang terlibat dalam perkelahian kehilangan betina calon pasangannya. Pada perkelahian jantan-jantan yang seru terlihat satu sama lain berusaha saling menyerang dengan menggigit tubuh lawan, sehingga keduanya membentuk gerakan berputar dengan cepat di dalam kolom air mulai dari dasar perairan sampai ke permukaan. Adanya interaksi antara kedua bentuk warna individu jantan dalam memperebutkan betina yang sama menunjukkan bahwa kedua bentuk warna ini berasal dari spesies yang sama (Kottelat 1991; McKinnon et. al. 2000). Pemijahan dilakukan di substrat berpasir, bebatuan dan kadang-kadang di atas batu-batu besar dan vegetasi. Telur-telurnya di dasar perairan (Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007), diantara batuan, kerikil atau pasir yang tidak memiliki tanaman air (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007), serta di habitat bervegetasi (Sumassetiyadi 2003). Ikan ini dapat memijah di perairan yang dangkal pada kedalaman kurang lebih 0,5 m (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007), sampai dengan 10 m (Gray & McKinnon 2006). Dalam pengamatan bawah air kadang-kadang ditemukan ikan-ikan jantan T. antoniae yang mempunyai kelas ukuran kecil dengan tinggi tubuh relatif pendek
67
(ini kelas ukuran yang umum ditemukan) dan jantan yang mempunyai kelas ukuran tubuh yang lebih tinggi (sedikit jumlahnya). Gray & McKinnon (2006) mendapatkan kelas ukuran kecil dengan kisaran panjang baku 39 mm – 56 mm, sedangkan kelas ukuran besar memiliki panjang baku yang bisa mencapai 80 mm (Kottelat 1991). Kedua kelas ukuran ini adalah jenis yang sama karena kedua kelas ukuran ini mempunyai tingkah laku kawin yang sama (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006). Dalam beberapa pengamatan bawah air kelas ukuran yang besar ini juga mengawini betina yang sama dengan yang dikawini oleh jantan kelas ukuran kecil. Melalui pengamatan bawah air sifat atau karakter tingkah laku, kehadiran dan aktivitas umum T. antoniae di pelataran daerah litoral sepanjang hari menunjukkan bahwa ikan-ikan ini mulai beraktivitas saat matahari terbit yang ditandai dengan mulai adanya individu-individu yang berenang mencari pasangan, kemudian berpasangan, dan kawin di daerah litoral. Jumlah individu yang memijah di pelataran litoral secara bertahap meningkat seiring dengan waktu menjelang siang hari, kemudian jumlah pasangan-pasangan memijah menurun jumlahnya menjelang sore hari. Sedangkan pada malam hari ikan-ikan ini tampak tidak melakukan aktivitas pemijahan; mereka berdiam di dasar perairan di antara batuan atau di dekat dinding tubir. Fenomena ini mungkin berkaitan dengan menurunnya cahaya di perairan dan atau sebagai antisipasi menghadapi kondisi perairan yang tidak menguntungkan akibat pengadukan oleh gelombang yang terjadi pada hampir setiap menjelang sore dan malam hari. Diamati bahwa pada setiap terjadi pengadukan perairan akibat gelombang, perairan menjadi keruh dan jumlah ikan di pelataran litoral segera menurun sehingga aktivitas perkawinan menurun. Dalam kejadian seperti ini ikanikan tampak pergi ke tempat yang lebih terlindung dan perairan yang jernih di dekat bibir tubir.
Pengelolaan dan Konservasi Pemanfaatan lahan sekitar Danau Matano dalam 10 tahun terakhir ini berlansung intensif. Secara nyata dapat dilihat dari terus terjadinya perubahan lahan di sekitar danau seperti; pembangunan permukiman kota yang dirancang berada dekat
68
dengan tepian danau, misalnya permukiman yang dibangun di bagian timur Desa Old Camp, pembanguanan konstruksi jalan lingkar danau yang menyebabkan hilangnya hutan yang menjadi pelindung perairan danau dari erosi, pembukaan lahan-lahan perkebunan di daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai, dan perluasan lahan tambang yang mendekati perairan danau. Penggunaan lahan yang tidak terkendali di sekeliling danau dapat menyebabkan meningkatnya muatan nutrien ke dalam danau, terjadinya akumulasi sedimen, perubahan suhu air, dan meningkatnya pencemaran. Akibat dari aktivitas penggunaan lahan ini akan berdampak pada biota perairan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Roth et al. (1996) yang mempelajari sungai-sungai di Michigan Amerika Serikat menemukan bahwa kualitas habitat dan populasi ikan menurun dengan meningkatnya penggunaan lahan untuk pertanian di bagian hulu. Walaupun hasil penelitian ini belum dapat menyimpulkan terjadinya perubahan habitat yang signifikan tetapi indikasi kualitatif seperti terjadinya penutupan daerah litoral oleh lumpur yang semakin meluas dan kejernihan perairan yang rendah di dekat kawasan permukiman memberikan indikasi adanya penurunan kualitas habitat. Pengelolaan
dan
konservasi
ikan
T.
antoniae
di
Danau
Matano
harus
mempertimbangkan potensi dari keunikan warna dan tingkah laku dari ikan ini, selain itu perlu memerhatikan keadaan habitat pemijahan, seperti substrat dasar perairan, kondisi temporal hidrologi, dan periode reproduksi. Sifat dan tingkah laku ikan ini yang memanfaatkan daerah litoral sebagai daerah pemijahan menjadi rawan jika daerah litoral mendapat tekanan antropogenik, seperti kerusakan hutan, pemanfaatan lahan untuk permukiman, pertambangan dan perkebunan yang kegiatannya relatif dekat dengan danau. Aktivitas antropogenik seperti ini dapat menyebabkan hilangnya habitat pemijahan di daerah litoral danau. Selain itu kondisi temporal hidrologis (tinggi muka air yang tidak alami) akan mengganggu siklus hidup T. antoniae dan ikan endemik lain yang memanfaatkan daerah litoral sebagai daerah pemijahan, misalnya penurunan muka air yang cepat akibat pengaturan muka air akan mengakibatkan keringnya daerah pemijahan sehingga telur-telur yang diletakkan pada substrat akan mati.
69
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan T. antoniae umumnya memijah di habitat litoral pada kedalaman 0,5 – 3,0 m di perairan yang jenih, pada substrat pasir, kerikil dan batuan besar, dan tidak pada substrat berlumpur. Berdasarkan penelitian ini diduga jika daerah litoral mendapatkan tekanan dari aktivitas antropogenik seperti yang disebutkan di atas maka ikan T. antoniae akan kehilangan habitat pemijahannya. Secara spasial hasil tangkapan ikan di stasiun penelitian Otuno yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya diduga berkaitan dengan kedaaan lokasi yang berbentuk teluk dan adanya vegetasi Pandanus sp. yang lebat. Vegetasi ini memiliki struktur perakaran yang membentuk ruang perlindungan di dalam perairan, baik perlindungan bagi ikan maupun perlindungan habitat dari material yang berasal dari daratan. Sistem perakaran Pandanus sp. berfungsi sebagai penyaring yang baik dan dedaunannya menjadi naungan yang melindungi anak-anak ikan. Peran vegetasi Pandanus sp. diduga menjadi penyebab stasiun ini memiliki kejernihan air yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Sebagai ikan yang dikenal memiliki keindahan warna dan tingkah laku pemijahan yang atraktif dan mudah dinikmati keindahannya dari permukaan perairan maupun dari bawah air (snorkling) ikan ini memiliki potensi untuk dikelola menjadi maskot objek wisata alam (ekowisata) guna mendukung fungsi kawasan konservasi taman wisata alam Danau Matano. Oleh karena itu strategi konservasi yang harus dibangun adalah dengan mengefektifkan status danau sebagai kawasan konservasi taman wisata alam sehingga pemanfaatan lahan-lahan sekitar danau yang berpotensi merusak ekosistem danau dapat dikurangi. Selain itu keunikan dari biota endemik yang ada di perairan Danau Matano dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang memiliki muatan ilmiah dan sekaligus objek konservasi yang berbasis partisipatif masyarakat. Keunikan yang dapat dijadikan objek wisata alam dan memiliki muatan ilmiah, misalnya pada ikan T. antoniae di litoral sering mempertontonkan keindahan warna dan gerakan tarian alamnya saat memijah, ada juga perkelahian jantan yang seru memperlihatkan gerakan berputar dua ikan jantan yang saling menyerang yang
70
gerakannya sangat indah. Mereka berputar secara vertikal dari dasar perairan sampai kepermukaan. Tarian alam dari dalam perairan Danau Matano ini dapat disaksikan dari permukaan air dan atau melalui aktivitas pengamatan bawah air di daerah litoral. Konservasi secara in situ untuk ikan T. antoniae harus terintegrasi dengan konservasi habitat sekitar danau dan spesies lain yang menghuni danau. Karena tidak mungkin menerapkan konservasi secara parsial dengan hanya memfokuskan pada satu spesies saja di danau yang memiliki endemisitas tinggi. Di alam spesies-spesies endemik tersebut berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungannya. Konservasi secara ex situ perlu di upayakan yaitu dengan pembudidayaan ikan ini untuk kepentingan konservasi dan pemanfaatan sebagai ikan hias. Dalam kerangka pengelolaan dan konservasi ikan endemik di Danau Matano melalui peran partisipatif masyarakat, langkah awal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai keragaman biota endemik yang menghuni perairan Danau Matano, keunikan-keunikan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan, dan fungsi habitat bagi kelestarian ikan endemik. dengan memahami hal ini diharapkan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam pengelolaan dan konservasi ikan di sekitar danau tersebut.
71
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan hasil-hasil yang ditemukan dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Habitat utama ikan opudi T. antoniae di Danau Matano berada di daerah litoral yang memiliki karakter perairan jernih, berpasir sampai dengan berbatu, dasar perairan bervegetasi jarang dan pelataran litoral yang relatif dangkal.
2.
Ikan opudi T. antoniae menjadikan daerah litoral sebagai habitat pemijahan.
3.
Ikan opudi T. antoniae adalah ikan pemijah bertahap, yang periode pemijahannya berlangsung sepanjang tahun dengan puncak pemijahan diperkirakan terjadi pada akhir musim hujan.
4.
Pola pertumbuhan ikan jantan dan ikan betina allometrik. Sementara itu bentuk persamaan pertumbuhan von Bertallanffy: ikan jantan Lt = 87,64(1-e-0,36(t-0,11)) dan ikan betina Lt = 85,43(1-e-0,54(t-0,08)). Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman selama berada di lokasi penelitian
maka disarankan untuk dilakukan pengelolaan dan konservasi ikan opudi T. antoniae di Danau Matano melalui pendekatan: 1.
Menjadikan ikan T. antoniae sebagai obyek wisata alam bawah air yang terintegrasi dengan aktivitas kawasan konservasi taman wisata alam (TWA) Danau Matano.
2.
Melakukan konservasi secara in situ melalui pemeliharaan habitat T. antoniae seperti: menjaga kejernihan air, memelihara vegetasi alami hutan di daratan pinggiran danau serta vegetasi alami tepian danau yang berupa pohon tambeua (Mirtacea sp.), dan pandan air (Pandanus sp.), serta mengurangi masuknya limbah rumah tangga serta bahan pencemar lainnya masuk ke perairan danau.
3.
Konservasi secara ex-situ melalui upaya pembudidayaan T. antoniae dan ikan endemik lainnya untuk dijadikan ikan hias akuarium yang memiliki nilai ekonomi.
72
73
DAFTAR PUSTAKA Aarn WI & Kottelat M. 1998. Phylogenetic analysis of Telmatherinidae (Teleostei: Atherinomorpha), with description of Marosatherina, a new genus from Sulawesi. Ichthyol. Explor. Freshw. 9: 311-323. Adams, S.M., Brown, A.M., Goede & R.W. 1993. A quantitative health assessment index for rapid evaluation of fish condition in the field: Transact. Am. Fish. Soc. 122: 63-73. Andriani A. 2000. Bioekologi, morfologi kariotip dan reproduksi ikan hias rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 98 hlm. Bagenal T & Tesch FW. 1978. Age and growth. Method for assessment of fish production in freshwaters third edition. IBP Handbook No. 3. In: Bagenal T, editor. Oxford: Blackwell Science Publications. hlm 101-136. Berg, L. and T.G. Northcote. 1985. Changes in territorial, gill-flaring, and feeding behavior in juvenile coho salmon (Oncorhynchus kisutch) following short-term pulses of suspended sediment. Can. J. Fish. Aquat. Scie. 42: 1410-1417. Bolger T & Connolly PL. 1989. The selection indices for the measurement and analysis of fish condition. J. Fish Biol. 17(3): 1-182. Coops H, Beklioglu M & Crisman TL. 2003. The role of water-level fluctuations in shallow lake ecosystems– workshop conclusions. Hydrobiol. 506: 23–27. Effendie I. 1979. Metoda biologi perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Cetakan I. 112 p. Effendie I. 2002. Biologi perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 163 p. Fassett NC. 1960. A manual of aquatic plants. Madison: The University of Wisconsin Press. 405 p. Gayanilo FC Jr & Pauly D. 1997. FAO-ICLARM stock assessment tools (FiSAT): reference manual FAO computerized information series (Fisheries). No. 8. Rome: FAO. 262 p. Goodbred SL, Gilliom RJ, Gross TS, Denslow NP, Bryant WL & Schoeb TR. 1997. Reconnaissance of 17ß-estradiol, 11- ketotestosterone, vitellogenin, and gonad histopathology in common carp of United States streams: potential for contaminant- induced endocrine disruption. Sacramento (CA): U. S. Geological Survey Open-File Report nr 96-627. 47 p.
74
Gray SM, Dill LM, Tantu FY & McKinnon JS. 2006. The maintenance of male colour polymorphism in the Telmatherinids of the Malili Lakes: implication for conservatian. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, 20-22 Maret 2006. Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm 55-60. Gray SM, Dill LM, Tantu FY, Loew ER, Herder F & McKinnon JS. 2008a. Environment-contingent sexual selection in a colour polymorphic fish. Proc. R. Soc. B. 275: 1785-1791. Gray SM, McKinnon JS, Tantu FY & Dill LM. 2008b. Sneaky egg-eating in Telmatherina sarasinorum, an endemic fish from Sulawesi. J. Fish Biol. 73: 728–731. Gray SM & McKinnon JS. 2006. A comparative description of mating behaviour in the endemic Telmatherinid fishes of Sulawesi‟s Malili Lakes. Environ. Biol. Fishes 75: 471–482. Grenouillet G, Pont D & Seip KL. 2002. Abundance and species richnes as a function of food resources and vegetation structure: juvenile fish assemblages in river. Ecography 25: 641-650. Hadiaty RK & Wirjoatmodjo S. 2002. Studi pendahuluan biodiversitas dan distribusi ikan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. J. Iktiol. Ind. 2(2): 23-29. Haffner GD, Hehanussa PE & Hartoto D. 2001. The biology and physical processes of large lake of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. The Great Lakes of the World (GLOW): food-web, health and integrity. In: Munawar M & Hecky RE, editor. Leiden: Backhuys. Hlm 183-194. Haffner GD, Sabo L, Bramburger A, Hamilton P & Hehanussa P. 2006. Limnology and sediment dynamics in the Malili Lakes: what regulates biological production. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, 20-22 Maret 2006. Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm 5. Hall SR & Mills EL. 2000. Exotic species in large lakes of the world. Aquat. Ecosyst. Health Manag. 3: 105-135. Heath D, Haffner D, Roy D & Walter R. 2006. Adaptive radiation and population genetics of the Telmatherinidae in Lake Matano. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, 20-22 Maret 2006. Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm 61-66.
75
Herder F, Nolte AW, Pfaender J, Schwarzer JJ, Hadiaty RK & Schliewen UK. 2006a. Adaptive radiation and hybridization in Wallace‟s Dreamponds: evidence from sailfin silversides in the Malili Lakes of Sulawesi. Proc. R. Soc. London B 273: 2209-2217. Herder F, Hadiaty RK & Schliewen UK. 2006b. Diversity and evolution of Telmatherinidae in the Malili Lakes system in Sulawesi. Proceedings International Symposium: The Ecology and Limnology of the Malili Lakes. In: Hehanussa PE, Haryani GS & Ridwansyah I, editor. Bogor, 20-22 Maret 2006. Bogor: LIPI-PT INCO Tbk. hlm 67-72. Herder F, Schwarzer J, Pfaender J, Hadiaty RK & Schliewen UK. 2008. Preliminary checklist of sailfin silversides (Teleostei: Telmatherinidae) in the Malili Lakes of Sulawesi (Indonesia), with a synopsis of systematics and threats. Verhandlungen der Gesellschaft für Ichthyologie Band 5: 139-163. Hofmann H, Lorke A & Peeters F. 2008. Temporal scales of water-level fluctuations in lakes and their ecological implications. Hydrobiol. 613:85–96. Kottelat M. 1990. Sailfin silversides (Pisces: Telmatherinidae) of Lakes Towuti, Mahalona and Wawontoa (Sulawesi, Indonesia) with descriptions of two new species. Ichthyol. Explor. Freshw. 1(3): 35-54. Kottelat M. 1991. Sailfin silversides (Pisces: Telmatherinidae) of Lake Matano, Sulawesi, Indonesia, with descriptions of six new species. Ichthyol. Explor. Freshw. 1(4): 321-344. Le Cren ED. 1951. The lenght-weight relationship and seasonal cycle in gonad weight and condition in the perch (Perca fluviatilis). J. Anim. Ecol. 20(2): 201219. Leyse KE, Lawler SP & Strange T. 2003. Effect of an alien fish Gambusia affinis on an endemic California fairy shrimp, Linderiella occidentalis: implications for conservation of diversity in fishless waters. Biol. Conserv. 118: 57-65. Lizama M de los AP & Ambrósio AM. 2002. Condition factor in nine species of fish of the Characidae family in the upper Paraná river floodplain, Brazil. Braz. J. Biol. 62(1): 113-124. Manangkalangi E. 2009. Makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 105 hlm.
76
McKinnon JS, Soeroto B, Dill L & Tantu FY. 2000. An initial survey of ecological and evolutionary aspects of the Telmatherinid radiations in Sulawesi‟s Matano/Towuti Lake System. Report submitted to LIPI and PT.INCO. 21 p. Mills EJ, Leach JH, Carlton JT & Secor CL. 1993. Exotic species in the Great Lakes: a history of biotic crises and anthropogenic introductions. J. Great Lakes Res. 19: 1–54. Moyle PB & Leidy RA. 1992. Loss of biodiversity in aquatic ecosystem: evidence from fish faunas. Conservation Biology: the theory and practice of nature conservation, preservation and management. In: Fiedler PL & Jain SK, editors. New York: Chapman & Hall. 507 p. Munira, Sulistiono & Zairion. 2010. Hubungan panjang-bobot dan pertumbuhan ikan beronang Siganus canaliculatus (Park, 1797) di padang lamun Selat Lonthoir, Kepulauan Banda, Maluku. J. Iktiol. Ind. 10(2): 153-163. Munro JJ. 1976. Aspects of the biology and ecology of Caribbean reef fishes: Mullidae (giat-fishes). J. Fish Biol. 9: 79-97. Myers N, Mittermeier RA, Mittermeier CG, Fonseca AB & Kent J. 2000. Hotspots for biodiversity and conservation. Nature 403: 853–858. Nagahama Y. 1983. The functional morphology of teleost gonads. Fish physiology, Volume IX, Part A. In: Hoar WS, Randall DJ & Donaldson EM, editors. Orlando (FL): Academic Press. hlm 223-264. Nasution SH. 2004. Distribusi dan perkembangan gonad ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 88 hlm. Nasution SH. 2008. Ekobiologi, dinamika stok, dan pengelolaan ikan endemik bontibonti (Paraterina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 152 hlm. Nikolsky GV. 1963. The ecology of fishes. Jerussalem: The Israel program for scientific translation, Ltd. 538 p. Nilawati J & Tantu FY. 2007. Tingkah laku reproduksi dan struktur ukuran Telmatherina antoniae di Danau Matano, Sulawesi Selatan. In: Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2007. In: Isnansetyo A., editor. Yogyakarta, 28 Juli 2007. Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM. BL-5: 1-6.
77
Ogutu-Ohwayo R. 1990. The decline in the native fishes of Lakes Victoria and Kyoga (East Africa) and the impact of the introduced species, especially the Nile Perch Lates niloticus, and Nile Tilapia Oreochromis niloticus. Environ. Biol. Fishes 27: 81–96. Olowo JP, Chapman LJ, Chapman CA & Ogutu-Ohwayo R. 2004. The distribution and feeding ecology of the Characid Brycinus sadleri in Lake Nabugabo, Uganda: implications for persistence with Nile perch (Lates niloticus). Afr. J. Aquat. Scie. 29(1): 13-23. Pancho JV & Soerdjani M. 1978. Aquatic weeds of Southeast Asia: a systematic account of common Southeast Asia aquatic weeds. Los Banos: University of Philippines. 130 p. Piet GJ. 1998. Ecomorphology of a size-structured tropical freshwater fish community. Env. Biol. Fishes 51: 67–86. Primack RB. 2000. A primer of conservation biology. Second edition. Massachussetts USA: Sinauer Associates, Inc. 538 p. Reid WV & Miller KR. 1989. Keeping options alive: the scientific basis for conserving biodiversity. Washington DC: World Resources Institute. 128 p. Ricciardi A. 2001. Facilitative interactions among aquatic invaders: is an invasional meltdown‟ occurring in the Great Lakes? Can. J. Fish. Aquat. Scie. 58: 2513– 2525. Richter BD, Braun DP, Mendelson MA & Master LL. 1997. Threats to imperiled freshwater fauna. Conserv. Biol. 11:1081–1093. Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of biological statistics of fish populations. Fish. Res. Board Can. Bull. No. 191. 382 pp. Rodriguez JN, Oteme ZJ & Hem S. 1995. Comparative study of vitellogenesis of two African catfish species Chrysichthys nigrodigitatus (Claroteidae) and Heterobraanchus longifilis (Clariidae). Aquat. Living Resour. 8:291-6. Ross ST. 1986. Resource partitioning in fish assemblages: a review of field studies. Copeia: 352–388. Roth NE, Allan JD & Erickson DL. 1996. Landscape influences on stream biotic integrity assessed at multiple spatial scale. Landsc. Ecol. 11(3): 141-156.
78
Schmitt CJ & Dethloff GM. 2000. Biomonitoring of environmental status and trends (BEST) program: selected methods for monitoring chemical contaminants and their effects in aquatic ecosystems. U.S. Geological Survey, Biological Resources Division, Columbia, (MO): Information and Technology Report USGS/BRD-2000--0005. 81 pp. Siby LS. 2009. Biologi reproduksi ikan pelangi merah (Glossolepis incisus Weber, 1907) di Danau Sentani. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 55 hlm. Soeroto B, Tantu FY, Nilawati J, Sambali H, Reptandi J, Bataragoa E, Tilaar F, Samadan G & Wantasen A. 2004. The biodiversity and the management strategy of endemic fish species in Lake Towuti, South Sulawesi Indonesia. The Asean Regional Center for Biodiversity Conservation and European Commission. 26 p. Soeroto B. 1997. Ikan-ikan endemik di Pulau Sulawesi dan pengelolaannya. Pidato pengukuhan guru besar madya bidang manajemen sumberdaya perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado Tanggal 21 Agustus 1997. Tidak dipublikasikan. 26 hlm. Sparre P & Venema SC. 1992. Introduction to tropical fish stock assessment, part I. FAO Fisheries Technical Paper 306/1. Rome: FAO. 376 p. Steel RGD & Torrie JH. 1989. Prinsip dan prosedur statistika: suatu pendekatan biometrik (Terjemahan: Sumantri B). Jakarta: Gramedia Utama. 748 hlm. Sulistiono, Arwani M & Aziz KA. 2001a. Pertumbuhan ikan belanak (Mugil dussumieri) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. J. Iktiol. Ind. 1(2): 39-47. Sulistiono, Mia RJ, Yunizar E. 2001b. Reproduksi ikan belanak (Mugil dussumieri) Di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. J, Iktiol. Ind. 1(2): 31-37. Sulistiono, Tri HK, Eti R & Seiichi W. 2001c. Kematangan gonad beberapa jenis ikan buntal (Tetraodon lunaris, T. fluviatilis, T. reticularis) di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. J. Iktiol. Ind. 1(2): 25 – 30. Sumassetiyadi MA. 2003. Beberapa aspek reproduksi ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano, Sulawesi Selatan. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 55 hlm.
79
Tantu FY & Nilawati J. 2007a. Keanekaragaman ikan dan kondisi habitat di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2007. In: Isnansetyo A. Yogyakarta, 28 Juli 2007. Fakultas Perikanan dan Kelautan UGM. MS-8: 1-8. Tantu FY & Nilawati J. 2007b. The exotic fish and fisheries in Lake Matano South Sulawesi. J. Agrokult. 3(7): 29-39. Tantu FY & Nilawati J. 2006. Preliminary studi on morphology and reproductive behaviour of Telmatherina „whitelips‟ (a new record) in Lake Matano, Sulawesi. J. Agrikult. Bogor 3(4): 77-83. Treasurer JW & Holliday FGT. 1981. Some aspects of the reproductive biology of perch Perca flaviatilis L.: a histological description of the reproductive cycle. J. Fish Biol. 18:359-376. Usmanova RM. 2003. Aral Sea and sustainable development. Water Sci. Technol. 47:41–47. Vazzoler AEAM. 1996. Reproduction biology of teleostean fishes: theory and practice. Maringa, EDUEM, Braz. Soc. Ichthyol. 169 p. Villacorta-Correa MA & Saint-Paul U. 1999. Structural indexes and sexual maturity of tambaqui Colossoma masropomum (Cuvier, 1818) (Characiformes: Characidae) in central Amazon, Brazil. Rev. Brasil. Biol. 59(4): 637-652. Vono V & Barbosa FAR. 2001. Habitats and littoral zone fish community structure of two natural lakes in southeast Brazil. Environ. Biol. Fishes 61: 371–379. WCMC. 2006. Telmatherina antoniae. In 2006 IUCN Red List of threatened species. (www.iucnredlist.org) diakses pada 19 Februari 2007. Welcomme RL. 1984. International transfers of inland fish species. Distribution, Biology and Management of Exotic Fishes. In: Courtenay Jr. WR & Stauffer Jr. JR). Baltimore: Johns Hopkins Press. hlm 22–40. Welcomme RL. 1986. International measures for the control of introductions of aquatic organisms. Fisheries 11: 4–9. Welcomme RL. 1988. International introductions of inland aquatic species. FAO Fish. Tech. Papers 294: 1–318. Whitten T, Henderson GS & Mustafa M. 2002. The Ecology of Sulawesi. The ecology of Indonesia series Volume IV, Singapore: Periplus. 754 p.
80
Widhiasari R. 2003. Kandungan unsur hara N dan P serta struktur komunitas fitoplankton di perairan litoral Danau Matano, Sulawesi Selatan. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 94 hlm. Wijeyaratne MJS & Perera WMDSK. 2001. Trophic interrelationships among the exotic and indigenous fish co-occuring in some reservoirs in Sri Lanka. Asian Fish. Scie. 14: 333-342.
81
LAMPIRAN
82
83
Lampiran 1 Teknik pembuatan preparat histologis gonad
1. Gonad diambil dari rongga tubuh ikan, kemudian difiksasi dalam larutan Bouin (asam pikrat jenuh, formaldehid, asam asetat) selama 24–48 jam dalam botol sampel. Selanjutnya gonad dipindahkan ke dalam botol berisi alkohol 70% selama beberapa hari. 2. Gonad diberi perlakuan jaringan (dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding dan blocking). Tujuan perlakuan ini adalah agar jaringan dapat dipotong setebal 57µm. Dehidrasi jaringan secara bertahap dalam alkohol (80%, 90%, 95%, 95% masing-masing selama 2 jam, dan 100% selama semalam). Clearing jaringan dilakukan dengan memindahkannya ke alkohol 100% baru selama 1 jam, lalu dipindahkan kedalam alkohol-xylol (½ jam), xylol I (½ jam), xylol II (½ jam), dan xylol III (½ jam). Impregnasi
jaringan
dilakukan
dengan
mengganti
xylol
dengan
0
parafin:parafin (¾ jam dalam oven 65-70 C). Embedding jaringan dalam parafin I ((¾ jam), parafin II ((¾ jam), dan parafin III (¾ jam). Blocking jaringan dilakukan dengan cara jaringan dikeluarkan dari parafin III, lalu jaringan dicetak dalam cetakan. Setelah blok menjadi dingin keesokan harinya dikeluarkan dari cetakan. 3.
Jaringan dipotong dengan mikrotom (5-6 µm) lalu diapungkan dalam air suam kuku agar jaringan dalam parafin teregang. Kemudian jaringan diangkat dari air dengan kaca preparat yang bersih dan diletakkan di atas hot plate (suhu 400C) supaya agak kering.
4.
Jaringan dihidrasi dengan xylol I, xylol II, alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70% dan alkohol 50% (masingmasing selama 3 menit), kemudian dicuci dua kali. Jaringan diwarnai dengan haematoxylin (7 menit), dicuci dengan air (3 detik), eosin (3 detik), dan dicuci dengan air. Setelah dicuci, kembali dilakukan dehidrasi, dan dapat direkatkan
84
dengan gelas tutup dan zat perekat dengan cara dimasukkan ke dalam alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 100% I, alkohol 100% II, xylol I, dan xylol II (masing-masing selama 2 menit). Selanjutnya ditetesi dengan balsam Canada dan langsung ditutup dengan gelas tutup. Ini dibiarkan selama semalam agar kering, dan jaringan siap diamati dengan mikroskop. Jaringan di foto menggunakan kamera digital yang terintegrasi dengan mikroskop.
85
Lampiran 2 Ragam habitat pemijahan T. antoniae di Danau Matano
86
86
Lampiran 3 Karakteristik habitat T. antoniae dan komunitas ikan di sembilan stasiun sampling di Danau Matano Stasiun
Lebar dan kedalaman
Substrat dasar
Tumbuhan akuatik
Ikan-ikan endemik
Ikan-ikan bukan asli
1.Sungai Lawa
± 30 m dan 0,50 – 3,00 m
Berbatu, kerikil dengan sedikit pasir
Tidak ada tumbuhan akuatik
C. striata, O.niloticus, O. mossambicus, A. testudineus,
2.Paku
± 40 m dan 0,50 – 5,00 m
Kerikil dan pasir
Ceratophylum sp. di daerah dangkal sepanjang pinggiran danau
T. sarasinorum, T. bonti T. opudi, O. matanensis G. matanensis D. weberi. T. sarasinorum, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi.
3.Pulau Wotu Pali
± 20 m dan 0,75 – 5,00 m
Berbatu
Tidak ada tumbuhan akuatik
T. sarasinorum, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi.
C. striata, O. mossambicus, A. testudineus,
Zona hulu
C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, M. albus,
87
Lampiran 3 (lanjutan) Zona tengah 4.Bubble Beach
± 20 m dan 0,30 – 6,00 m
Berkerikil hingga pasir halus
Ceratophylum sp. di pinggiran danau, Ottelia sp. menyebar ke arah tengah
5.Pantai Salonsa
± 40 m dan 0,40 – 4,00 m
Berbatu, kerikil hingga pasir
Ottelia sp. menyebar ke arah tengah danau
6.Tanah Merah
± 20 m dan 1,00 – 4,00 m
Berlumpur hingga berpasir
Tidak ada tumbuhan akuatik
T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. opudi, T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, D.weberi. T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. opudi, T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi. T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. opudi, T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, D. weberi.
C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, A. trimaculatus.
C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. trimaculatus.
C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. trimaculatus.
87
88 88
Lampiran 3 (lanjutan) Zona hilir 7.Otuno
± 40 m dan 0,40 – 3,00 m
Tanah keras dengan sedikit pasir
Rumput dan Pandanus sp.
8.Sungai Petea
± 20 m dan 0,40 – 4,00 m
Lumpur dengan sedikit pasir
Tidak ada tumbuhan akuatik
9.Sungai Soluro
± 30 m dan 0,50 – 3,00 m
Berkerikil
Tidak ada tumbuhan akuatik
T. sarasinorum, T. albolabiosus, T. abendanoni, T. opudi, T. obscura T. prognatha, O. matanensis, G. matanensis, M. adeia M. latifrons D. weberi. T. sarasinorum, T. wahjui G. matanensis, M. adeia
T. sarasinorum, G. matanensis,
C. striata, O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, M. albus,
C. striata, C. carpio O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, A. trimaculatus C. striata, C. carpio O. niloticus, O. mossambicus, A. testudineus, A. trimaculatu
89
Lampiran 4 Rata-rata curah hujan harian dan fluktuasi tinggi muka air Danau Matano selama periode September 2010 – Agustus 2011
Rata-rata curah Tinggi muka air danau (*) hujan harian Bulan (mm) (m dpl) Sep ‟10 7,08 319,52 Okt ‟10 10,06 319,50 Nov ‟10 10,96 319,55 Des ‟10 4,83 319,20 Jan ‟11 4,76 319,08 Feb ‟11 9,75 319,00 Mar ‟11 13,66 319,21 Apr ‟11 13,22 319,50 Mei ‟11 9,27 319,52 Jun ‟11 4,45 319,50 Jul ‟11 6,16 319,33 Agu ‟11 3,34 319,08 Catatan : (*) Data diolah dari curah hujan yang dipantau pada empat stasiun curah hujan PT. INCO yang terdapat di Desa Matano, Nuha, Sorowako, dan Petea
90
Lampiran 5 Nilai rata-rata parameter kualitas fisik kimiawi perairan dan jumlah ikan menurut stasiun penelitian. Stasiun penelitian S. Lawa Paku P. Wotu Pali Bubble beach Pantai Salonsa Tanah Merah Otuno S. Petea S. Soluro
Suhu Oksigen (˚C) (mg.l-1) 28,22 6,40 28,83 6,17 28,97 6,09 29,09 5,82 29,31 5,85 29,38 6,21 29,12 6,46 29,83 6,15 29,38 6,51
pH 8,50 8,52 8,56 8,54 8,56 8,56 8,51 8,46 8,50
TSS (mg.l-1) 0,95 1,09 0,95 0,99 1,60 0,85 1,21 1,26 1,07
TDS Transparansi (mg.l-1) (m) 105,75 19,08 114,00 19,33 105,00 19,00 100,33 19,75 111,17 20,00 117,25 16,58 114,83 20,08 113,08 15,67 126,00 16,92
Ikan (ekor) 20,50 27,92 23,08 31,67 26,17 22,08 36,50 17,50 20,17
91
Lampiran 6
Nilai panjang baku (PB) rata-rata T. antoniae jantan dan betina pada lokasi berbeda di Danau Matano
Lokasi
Jantan N
Betina
Rata-rata
N
Rata-rata
Sungai Lawa
135
47,915
a
111
46,118 acd
Paku
172
48,225
a
163
46,292
Pulau Wotu Pali
144
46,625
b
133
45,211 ade
Bubble Beach
204
48,630 ac
176
46,254
ac
Pantai Salonsa
167
49,383 ac
147
49,117
b
Tanah Merah
134
47,182
a
131
47,141
c
Otuno
244
50,182
d
194
44,524
de
Sungai Petea
111
46,887 ae
99
43,384
e
Sungai Soluro
126
47,707
116
44,761
ae
a
ac
Catatan: Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar lokasi.
92
Lampiran 7 Nilai rata-rata panjang baku (PB) ikan T. antoniae jantan dan betina di Danau Matano Bulan
Jantan N
Betina Rata-rata
N
Rata-rata
ab
97
44,857 a
Sep ‟10
107
48,159
Okt ‟10
112
48,942 ab
99
46,750 a
Nov ‟10
140
47,771 ab
116
45,207 a
Des ‟10
109
49,533
96
45,982 a
Jan ‟11
123
47,969 ab
109
46,215 a
Feb ‟11
113
47,267 ab
105
46,337 a
Mar ‟11
122
48,655 ab
105
46,491 a
Apr ‟11
119
47,488 ab
109
46,354 a
Mei ‟11
118
49,886
a
109
45,590 a
Jun ‟11
113
46,460
b
99
45,672 a
Jul ‟11
134
49,009
ab
118
46,338 a
Agu ‟11
127
48,598 ab
108
45,113 a
a
Catatan: Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
93
Lampiran 8
Stasiun
Model hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T.antoniae jantan dan betina Jenis
Jumlah
Model hubungan (W Koefisien
Pola
kelamin
sampel
= a. Lb)
pertumbuhan
korelasi (r)
(N) Sungai Lawa
♂ ♀
Paku
Pulau Wotu Pali
Bubble Beach
Salonsa
Sungai Petea
Sungai Soluro
111 W = 0,00002 L
0,969 Allometrik 0,956 Isometrik
172 W = 0,000007 L
0,969 Allometrik
♀
163 W = 0,00002 L2,981
0,951 Isometrik
♂
144 W = 0,00001 L3,117
0,951 Isometrik
♀
2,767
3,237
133 W = 0,00004 L
0,959 Allometrik
♂
204 W = 0,000007 L
0,983 Allometrik
♀
176 W = 0,00002 L3,037
0,941 Isometrik
♂
167 W = 0,000005 L3,335
0,983 Allometrik
3,251
2,998
147 W = 0,00002 L
0,973 Isometrik
♂
134 W = 0,000007 L
0,954 Allometrik
♀
131 W = 0,00005 L2,713
0,970 Allometrik
♂
Otuno
2,922
♂
♀ Tanah Merah
135 W = 0,000005 L3,328
3,257
3,168
244 W = 0,000001 L
0,989 Allometrik
♀
2,778
194 W = 0,00004 L
0,947 Allometrik
♂
111 W = 0,00004 L2,783
0,946 Allometrik
♀
99 W = 0,00002 L2,932
0,952 Isometrik
♂
3,107
♀
126 W = 0,00001 L
2,909
116 W = 0,0003 L
Ket.: ♂ = jantan dan ♀ = betina
0,982 Allometrik 0,970 Isometrik
94
Lampiran 9
Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae jantan yang dikoleksi mulai bulan September 2010 – Agustus 2011 di Danau Matano
95
Lampiran 10 Sebaran frekuensi panjang baku T. antoniae betina yang dikoleksi mulai bulan September 2010 – Agustus 2011 di Danau Matano
96
Lampiran 11 Deskripsi karakter morfologis dan histologis tahap perkembangan gonad T. antoniae jantan Tahap Tingkat 1: Belum Berkembang
Karakteristik morfologi testis Testis berukuran sangat kecil dan tipis memanjang seperti benang dengan permukaan berwarna putih susu.
Karakteristik histologis testis Terdapat sedikit spermatogenesis di dalam germinal epithelium, jaringan ikat dominan, lobus berisi spermatogonia (terdapat banyak spermatosit). Tingkat 2: Testis memanjang dan lebih besar Sebagian besar germinal epithelium Perkembangan daripada tahap 2, testis terlihat tipis dengan spermatogenik yang awal lebih jelas, berbentuk garis tipis menyebar dan lobus didominasi oleh gelap memanjang membelah tetis. spermatosit hingga spermatid; terdapat sedikit spermatozoa. Tingkat 3: Testis lebih besar daripada tahap Ketebalan germinal epithelia Kematangan 2, berwarna abu-abu dengan sedang; proliferasi dan kematangan permukaan tampak bergelombang spermatozoa sedang serta campuran (bergerigi) dengan warna putih spermatosit seimbang. Spermatosit susu, terdapat garis gelap berkembang menjadi spermatid dan membujur membelah testis. spermatozoa. Tingkat 4: Testis berukuran lebih besar dari Spermatid berkembang menjadi Matang dan tahap III, berwarna putih susu dan spermatozoa, germinal epithelium mijah pejal, melebar, menebal dan tebal; terjadi kematangan semakin memanjang, spermatozoa; terdapat semua tingkat bergelombang seperti lipatanperkembangan, tetapi didominasi lipatan dan mengisi hampir 1/3 oleh spermatozoa. rongga perut. Tingkat 5: Testis mengecil/ berkerut, Lobus didominasi oleh spermatid. Pascapemijahan menipis, dan kurang pejal, berwarna putih susu.
97
Lampiran 12 Deskripsi karakter morfologis dan histologis tahap perkembangan gonad T. antoniae betina Tahap Tingkat 1: Belum Berkembang Tingkat 2: Perkembangan awal
Tingkat 3: Kematangan
Tingkat 4: Matang dan mijah
Tingkat 5: Pascapemijahan
Karakteristik morfologi ovari Pada ikan betina bentuk ovari seperti benang, permukaan berwarna gelap butiran sudah tampak dengan warna putih susu. Ovari berwana gelap kehitaman, butiran-butiran oosit dengan jaringan ikat berwarna putih susu.
Ovari berwarna gelap kehitaman pada bagian anterior dan agak kekuningan dan cenderung transparan di bagian posterior. Butiran oosit pada bagian posterior terlihat jelas dengan warna kuning pucat. Ukuran oosit di bagian posterior tampak memiliki butiran yang lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat pada bagian tengah dan anterior. Ovari besar berisi dan padat mengencang. Warna ovari hitam/ agak gelap pada bagian anterior dan kekuningan transparan ke arah posterior sehingga butiranbutiran oosit dapat terlihat dengan jelas. Ukuran diameter telur di daerah posterior terlihat lebih besar dan berisi dengan warna kekuningan. Ovari agak mengerut, terdapat butiran telur yang didominasi ukuran kecil, masih terdapat beberapa butir telur besar di posterior.
Karakteristik histologis ovari Oosit pra-vitellogenik didominasi oleh oogonia, dengan warna sitoplasma basofil. Sebagian besar oosit berada pada tahap pra-vitellogenik, sisanya vitellogenik awal sampai pertengahan; oosit tampak lebih besar, perinucleolus akhir sepanjang tingkatan cortical alveolar. Mayoritas folikel yang diamati adalah vitellogenik awal dan pertengahan; oosit lebih besar dari tahap sebelumnya. dan berisi peripheral yolk vesicle; korion bulat dan tebal. Sitoplasma basofil, sedang butiran kuning telur eosinofil.
Mayoritas folikel yang sedang berkembang adalah vitellogenik akhir; butiran kuning telur eosinofil tersebar pada sitoplasma.
Mayoritas folikel yang sedang berkembang adalah vitellogenik akhir; folikel jauh lebih besar daripada tahap IV. Dinding folikel mengerut.