49
4 REPRODUKSI DAN TINGKAH LAKU PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Proses reproduksi adalah bagian penting dari studi biologi spesies (Chellappa et al. 2005). Penentuan jenis kelamin beberapa spesies ikan hanya dapat dibedakan dengan memeriksa gonadnya apabila spesies tersebut tidak menunjukkan dimorfisme seksual yang jelas. Beberapa jenis ikan lainnya dapat dibedakan hanya dengan melihat ciri seksual sekunder seperti perbedaan warna, bentuk atau ukuran apabila ikan tersebut menunjukkan dimorfisme atau dikromatisme seksual. Kepala lebih besar pada ikan siklid betina bisa meningkatkan kapasitas rongga mulut, memungkinkan mulut diisi dengan telur dan juvenil yang lebih besar atau lebih banyak (Takahashi & Hori 2006). Ikan T. sarasinorum diketahui mempunyai dimorfisme seksual yang membedakan ikan jantan dan ikan betina. Ikan jantan mempunyai tubuh lebih tinggi, sirip-sirip dorsal dan anal yang lebih panjang dan lebih besar, dan mempunyai polikromatisme. Ikan betina tubuhnya lebih pendek, ramping dan warnanya abuabu seperti warna pasir (Nilawati et al. 2010). Berdasarkan tipe pemijahannya ada spesies semelparitas, yang memijah sekali seumur hidupnya; hal ini berbeda dengan spesies iteroparitas. Beberapa spesies memijah sekali setahun (misalnya pemijah serempak), sedangkan spesies lainnya memijah beberapa batch dalam satu siklus tahunan (misalnya pemijah berulang atau pemijah sebagian). Berbagai fase perkembangan gonad ikan dapat digunakan untuk menjelaskan dinamika dan pengaturan oogenesis. Karakteristik makroskopis gonad meliputi ukuran, warna, derajat vaskularisasi dan penampilan kelompok telur. Periode pemijahan yang pendek dan karakteristik histologis ovari yang dipijahkan yang hanya berisi telur dalam tingkat-tingkat perkembangan awal, bersama-sama dengan folikel-folikel pasca ovulasi dan atresia, menunjukkan bahwa suatu spesies ikan merupakan pemijah serempak (Goncalves et al. 2006; Cárdenas et al. 2008). Ikan yang di dalam ovarinya terdapat telur dengan sebagian besar tingkat perkembangan ada di dalamnya menunjukkan bahwa ikan tersebut
50
merupakan pemijah bertahap. Ikan dengan kematangan penuh didefinisikan sebagai ikan yang siap bereproduksi (Şaş 2008). Secara
mikroskopis,
tingkat-tingkat
kematangan
gonad
ditentukan
berdasarkan distribusi telur dan sel-sel spermatogenik. Tipe pemijahan diidentifikasi berdasarkan karakteristik histologis ovari dan distribusi frekuensi tingkat kematangan gonad (Goncalves et al. 2006). Secara makroskopis, ovari ovari dengan tingkat kematangan berbeda mempunyai volume, ketebalan, dan warna beragam. Secara mikroskopis, ovari dibungkus oleh tunica albuginea yang mengeluarkan septae ke bagian dalam organ, membentuk ovigerous lamellae tempat telur-telur dengan tingkat perkembangan berbeda. Ukuran diameter telur bervariasi menurut tingkat perkembangan (Chellappa et al. 2005). Perkembangan telur konsisten sepanjang ovari, bergantung kepada derajat kematangan ovari. Distribusi frekuensi diameter oosit menunjukkan cadangan stok pada semua tingkat kematangan, tetapi oosit yang ukurannya lebih besar hanya terdapat pada ovari dengan tingkat kematangan lebih tinggi. Oosit cadangan sulit dibedakan dengan oosit yang sudah dalam proses perkembangan. Suatu pendekatan bisa berupa keberadaan kuning telur untuk membedakan oosit yang sudah dalam proses perkembangan. Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan ―kondisi‖, ―kemontokan‖ atau kesejahteraan ikan. Hal ini berdasarkan pada hipotesis bahwa semakin berat ikan pada panjang tertentu mempunyai kondisi fisiologis yang lebih baik. Faktor kondisi sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biotik dan abiotik, dan dapat digunakan sebagai indeks untuk menilai status ekosistem akuatik tempat hidup ikan. Ukuran yang dicapai oleh individu ikan bisa berbeda-beda yang disebabkan perbedaan pasokan makanan, dan hal ini mencerminkan perbedaan pasokan nutrien atau tingkat kompetisi makanan. Kondisi ikan, didefinisikan sebagai kesehatan dan kekuatan atau kesejahteraan seekor ikan adalah komponen penting dalam biologi perikanan yang digunakan untuk menilai kesehatan umum populasi (Efitre et al. 2009; Freyre et al. 2009). Tingkah laku pemijahan adalah aktivitas yang berhubungan langsung dengan produksi individu baru. Tingkah laku demikian kadang-kadang cukup
51
sederhana. Tingkah laku pemijahan pada banyak spesies ikan bisa jadi sangat rumit
dan
meliputi pertunjukan-pertunjukan
dan gerakan-gerakan
yang
menakjubkan (Grier 1984). Selain melakukan isolasi reproduksi dan mencegah kanibalisme, tingkah laku reproduksi juga harus menyesuaikan/mengharmonisasikan pasangan; yaitu mereka harus siap untuk pembuahan pada waktu yang sama. Tidak hanya mereka harus bersama-sama dalam kedekatan fisik (yaitu secara spasial), tetapi juga secara temporal. Sangat sedikit spesies berada dalam kondisi siap untuk pembuahan sepanjang waktu. Sebagian besar tingkah laku reproduksi bisa berupa menguji atau merangsang kesiapan pasangan (Grier 1984; Andersson 1994). Bab ini menganalisis aspek reproduksi dan tingkah laku pemijahan ikan T. sarasinorum di arena pemijahan berdasarkan penelitian yang dilakukan bersamasama dengan pengamatan arena pemijahan. Aspek reproduksi ikan secara spasial dan temporal nantinya akan dikaji dengan memasukkan faktor-faktor lingkungan yang memengaruhinya. Bahan dan Metode Nisbah kelamin dianalisis melalui perbandingan antara jumlah jantan dan betina yang terdapat dalam suatu populasi dengan mengikuti rumus umum: 𝜒= Keterangan: χ M F
𝑀 𝐹
= nisbah kelamin = jumlah ikan jantan (ekor), dan = jumlah ikan betina (ekor)
Nisbah kelamin ini diuji pada rasio 1:1. Pengujian menggunakan Chi kuadrat (Steel & Torrie 1989). Hubungan panjang-berat yang digunakan untuk memperkirakan berat pada panjang tertentu ditentukan dengan rumus: 𝑊 = 𝑎𝐿𝑏 Keterangan:
W L a b
= berat tubuh ikan (g), = panjang baku ikan (mm), = konstanta, = koefisien allometri.
52
Testis dan ovari ditimbang dan diperiksa secara makroskopis untuk mengamati tingkat kematangan. Testis ikan jantan dan ovari ikan betina matang yang
menunjukkan
semua
fase
perkembangan
spermatosit
dan
oosit,
mengindikasikan kebiasaan memijah bertahap pada spesies ini. Gonad yang telah dibedah difiksasi di dalam larutan etanol Bouin (150 ml 80% etanol, 60 ml formaldehid 37%, 15 ml glacial asam asetat, dan 1 ml asam pikrat) selama 24–36 jam dan disimpan dalam etanol 70% selama tidak lebih dari dua bulan sebelum pemeriksaan histologis. Sampel kemudian didehidrasi dalam serangkaian larutan etanol, dicuci dalam xylene dan dipindahkan dalam paraffin. Seluruh gonad dari tiap hewan dipotong saggitally dengan ketebalan 10 µm. Sejumlah potongan diletakkan pada kaca preparat dan kemudian dikeluarkan paraffinnya di dalam xylene dan dihidrasi kembali dalam serangkaian larutan etanol. Irisan-irisan ini kemudian diberi warna dengan menggunakan metode Y haematoxylin dan eosin dan diamati pada mikroskop binokuler. Foto dari irisan yang representatif diambil dengan kamera film warna Kodak Select 200. Negatifnya dipindai secara digital, dan hasilnya dikumpulkan dan diberi label dengan Photoshop 5.0 (Adobe Systems, San Jose, CA, USA; Wang & Croll 2004). Tingkat kematangan gonad (TKG) jantan dan betina ditentukan secara makroskopis dan mikroskopis. Fekunditas total ditentukan dengan menghitung jumlah seluruh telur di dalam ovari. Diameter telur diukur untuk menentukan frekuensi pemijahan, dan juga untuk melihat apakah ikan-ikan yang diteliti termasuk pemijah serempak (total spawner) ataukah pemijah bertahap (multiple spawner). Diameter telur diukur dengan menggunakan mikroskop binokuler stereo yang berkekuatan rendah (sampai 40 kali) yang dilengkapi dengan mikrometer pada lensa okulernya. Ukuran ikan pada kematangan pertama didasarkan pada ukuran ikan terkecil yang telah matang kelamin (TKG IV). Faktor kondisi menunjukkan keadaan kebugaran ikan (fitness) dilihat dari segi kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi.
53
Indeks Kematangan Gonad (IKG) mengikuti rumus: 𝐼𝐾𝐺 = Keterangan:
𝐵𝐺 × 100 𝐵𝑇 IKG BG BT
= indeks kematangan gonad, = berat gonad (g), dan = berat tubuh (g).
Nilai faktor kondisi relatif dihitung mengikuti rumus: 𝐹𝐾 = Keterangan:
𝑊 𝑎𝐿𝑏 W = berat ikan (g), dan L = panjang baku (mm).
Musim pemijahan ikan ditentukan dengan menghitung persentase ikan siap memijah setiap bulan. Frekuensi TKG IV dan pertimbangan IKG dan faktor kondisi digunakan untuk menduga musim pemijahan. Tingkah laku terdiri atas berbagai bagian tubuh, seperti anggota gerak dan otot-otot, serta saraf. Pengamatan tingkah laku adalah mengenali dan menggolongkan pola-pola gerakan yang relatif unik. Satuan minimum yang dapat diidentifikasi untuk tingkah laku belum banyak diterima. Ethologis klasik menyebutnya pola-pola gerakan/aksi, ada pula yang menyebutnya ―ethons‖. Dalam penelitian ini urutan aksi disebut pola tingkah laku atau tingkah laku (Grier 1984). Tingkah laku dijelaskan tidak hanya melalui aksi-aksi terpisah tetapi juga dengan mengukur aspek-aspek kontinyu penampilan ikan, seperti posturnya, sudut dari satu bagian tubuh terhadap yang lain. Kompetisi di sini digunakan dalam arti yang sama seperti dalam ekologi: kompetisi terjadi jika penggunaan suatu sumber daya (dalam hal ini pasangan) oleh satu individu membuat sumber daya itu lebih sulit diperoleh untuk yang lainnya. Oleh karena itu, pemilihan pasangan oleh satu jenis seks biasanya berarti (tidak langsung) kompetisi untuk mendapatkan pasangan pada jenis seks lain (Grier 1984). Saat menerima dan bertemu dengan seekor jantan yang membuahi telur-telurnya, seekor betina menjadi tidak tersedia bagi jantan-jantan lain, setidaknya untuk sementara (Andersson 1994).
54
Hasil dan Pembahasan Nisbah kelamin Selama periode sampling September 2008 sampai dengan Agustus 2009, berhasil dikoleksi sebanyak 3165 ekor ikan T. sarasinorum (68,88% jantan dan 31,12% betina). Ikan-ikan tersebut tertangkap di 15 lokasi sampling. Nisbah kelamin (jantan : betina) di setiap lokasi maupun waktu memiliki nilai yang berbeda-beda. Ikan jantan selalu lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan
Nisbah kelamin (J:B)
betina di semua lokasi sampling. 4,00 2,91 2,50
3,00 2,36 2,00 1,00
2,44
2,43
3,05 2,58
2,24
1,86
1,71 2,24
1,73
1,49 1,95
1,58
0,00
Lokasi
Gambar 14 Nisbah kelamin T. sarasinorum menurut lokasi sampling Nisbah kelamin ikan-ikan yang ditangkap di lokasi-lokasi yang terdapat dalam zona 2 mempunyai nilai rata-rata perbandingan (jantan:betina) yang lebih besar (2,59 : 1) dibandingkan dengan yang terdapat di zona 1 (2,18 : 1) dan zona 3 (1,96 : 1). Apabila lokasi Salonsa-B, P. Otuno I-B dan P. Otuno II-B (tiga lokasi habitat pemijahan perakaran) dikeluarkan, ditemukan bahwa lokasi yang mempunyai nisbah terkecil adalah S. Petea (1,71: 1) dan nisbah terbesar adalah Pantai Salonsa-A (3,05 : 1) (Gambar 14 dan Lampiran 9). Nisbah kelamin di lokasi habitat perakaran (Gambar 14) selalu lebih kecil dibandingkan dengan nisbah kelamin di lokasi habitat batu-pasir. Hal ini disebabkan lebih banyak ikan betina yang terdapat di habitat perakaran. Ikan betina berwarna abu-abu sehingga lebih mudah dilihat oleh ikan jantan, dibandingkan apabila mereka berada di habitat batu berpasir. Kemungkinan lain
55
adalah ikan jantan dan betina yang berpasangan mencari arena yang aman bagi kelangsungan hidup keturunannya. Arena perakaran mempunyai struktur yang lebih kompleks,
sehingga
betina
yakin
akan keselamatan telur
yang
dilepaskannya. Tingkat kompleksitas struktur habitat lebih rendah di arena batu berpasir. Sewaktu-waktu saat hujan atau perairan berombak dan teraduk, telur menghadapi bahaya yang lebih besar akibat lumpur. Hasil pengamatan bawah air menunjukkan bahwa kepadatan ikan di arena pemijahan perakaran (Pantai Salonsa-B, P. Otuno I-B dan P. Otuno II-B) lebih tinggi daripada kepadatan ikan di arena pemijahan batu berpasir. Jumlah ikan di habitat perakaran yang luasnya 2 – 5 m2 berkisar antara 2 -12 pasang dan setiap pasang diikuti oleh 3 – 13 ekor jantan yang tidak memiliki pasangan (cuckolder). Jadi di arena perakaran nisbah kelamin bisa berkisar antara 3:1 sampai dengan 13:1. Perbandingan nisbah kelamin dengan menggunakan uji ‗Chi-square‘ pada taraf nyata α = 0,05, diperoleh bahwa nisbah kelamin di setiap lokasi adalah tidak seimbang (χ2
(0,05: 1)
= 3,841 < χ²
hitung).
Perbandingan nisbah kelamin tertinggi
terdapat di lokasi-lokasi zona 2, sedangkan terendah terdapat di lokasi-lokasi zona 3. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara temporal nisbah kelamin berada pada keadaan tidak seimbang; jumlah ikan jantan selalu lebih banyak daripada ikan betina (Gambar 15 dan Lampiran 10). Nisbah kelamin terendah terjadi pada bulan Mei 2009 (2,04 : 1) dan tertinggi pada bulan November 2008 (2,47 : 1) dan April (2,46 : 1). Pada bulan Mei yaitu periode awal curah hujan mulai turun diduga kumpulan ikan lebih aktif mencari makanan. Sementara bulan November dan April merupakan masa puncak curah hujan yang merangsang ikan jantan untuk memijah sehingga nisbah kelamin meningkat. Nisbah kelamin yang selalu berada dalam ketidak seimbangan ini dapat dikonfirmasi dengan hasil pengamatan tingkah laku pemijahan ikan. Seekor ikan betina diperebutkan oleh beberapa ekor ikan jantan. Jadi pandangan bahwa keadaan ideal dari nisbah 1 : 1 pada ikan hanya berlaku atau ideal bagi spesies tertentu, tetapi tidak untuk ikan-ikan T. sarasinorum. Banyak penulis memahami nisbah kelamin dengan selalu menghubungkannya dengan kestabilan populasi. Vicentini & Araújo (2003) menyatakan bahwa jika nisbah tidak berada dalam
56
keseimbangan (mengikuti perbandingan 1:1) maka harus mempertimbangkan untuk mengubah pemahaman mengenai keseimbangan yaitu dengan menganalisis pertumbuhan populasi. Ikan T. sarasinorum di Danau Matano tidak mengalami penangkapan, oleh karena itu nisbah kelamin yang ditemukan selama penelitian ini adalah alami, bukan karena tekanan penangkapan.
Nisbah kelamin (J:B)
3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
Waktu
Gambar 15 Nisbah kelamin T. sarasinorum menurut waktu sampling Hubungan panjang-berat Penelitian mengenai hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan ikan T. sarasinorum belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti yang mempelajari ikan di Danau Matano. Hubungan panjang-berat dan pola pertumbuhan T. sarasinorum dalam penelitian ini dianalisis. Dengan alasan karena adanya dimorfisme seksual pada ikan ini maka analisis hubungan panjang-berat dilakukan menurut jenis kelamin. Hubungan panjang-berat ikan T. sarasinorum jantan dan betina ditampilkan dalam Gambar 16. Koefisien korelasi (r) untuk ikan jantan adalah 0,980 dan ikan betina adalah 0,960. Nilai eksponen b pada ikan jantan adalah 3,218 dan betina 3,124. Hasil uji t terhadap nilai b dengan konstanta 3 diperoleh pola pertumbuhan ikan T. sarasinorum jantan dan betina adalah allometrik. Nilai b>3 berarti pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat.
57
Gambar 16 Hubungan panjang berat ikan T. sarasinorum jantan dan betina Pertambahan panjang ikan T. sarasinorum jantan dan betina tidak secepat pertambahan beratnya. Tubuh ikan jantan lebih tinggi dan lebih tebal dibandingkan dengan ikan betina. Faktor kondisi Perhitungan nilai Kn rata-rata ikan jantan dan betina di setiap lokasi menunjukkan bahwa Kn rata-rata ikan jantan lebih tinggi dibandingkan dengan Kn rata-rata betina (Gambar 17). Nilai Kn rata-rata ikan jantan adalah 1,088 (±0,154; N=2180) sedangkan Kn rata-rata ikan betina adalah 1,040 (±0,156;
58
N=985). Selanjutnya uji rata-rata nilai Kn dengan menggunakan one way Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata nilai Kn ikan jantan antar lokasi (P>0,05), tetapi ada perbedaan nyata yang kecil nilai Kn ikan betina antar lokasi (P<0,05). Nilai Kn rata-rata ikan jantan tertinggi terdapat di Pantai Paku yaitu 1,112 (±0,131; N=115) dan terendah di Pantai Salonsa-B yaitu 1,072 (±0,184; N=108). Nilai Kn rata-rata ikan betina tertinggi terdapat di Pantai Paku yaitu 1,080 (±0,147; N=46). Nilai tersebut berbeda nyata dengan nilai Kn rata-rata ikan betina terendah (Pantai Kupu-kupu) yaitu 0,990 (±0,133; N=63).
Gambar 17 Faktor kondisi relatif ikan T sarasinorum jantan dan betina secara spasial Nilai Kn rata-rata ikan jantan dan betina berfluktuasi antar bulan (Gambar 18). Uji rata-rata nilai Kn dengan menggunakan one way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata nilai Kn ikan jantan dan nilai Kn ikan betina antar waktu (P>0,05). Perbedaan ini diduga berkaitan dengan musim pemijahan; pada musim pemijahan nilai Kn meningkat. Nilai Kn rata-rata ikan jantan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu 1,196 (±0,167; N=174) dan terendah pada bulan Juni yaitu 1,001 (±0,124; N=171). Nilai
59
Kn rata-rata ikan betina tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 1,212 (±0,121; N=75) dan terendah pada bulan Mei yaitu 0,846 (±0,080; N=100). Pada bulan Februari dan Maret saat memasuki musim hujan nilai Kn ikan betina dan jantan tinggi; pada saat itu ikan diduga mengumpulkan energi untuk persiapan pemijahan pada bulan berikutnya. Pada bulan Mei dan Juni ikan baru selesai memijah, nilai Kn ikan betina dan jantan pada waktu itu paling rendah. Hal ini ditandai oleh semakin rendahnya jumlah ikan TKG IV.
Gambar 18 Faktor kondisi relatif ikan T. sarasinorum jantan dan betina secara temporal Tingkat kematangan gonad Secara
mikroskopis,
tingkat-tingkat
kematangan
gonad
ditentukan
berdasarkan distribusi oosit dan sel-sel spermatogenik. Tipe pemijahan diidentifikasi berdasarkan karakteristik histologis ovari yang dipijahkan dan distribusi frekuensi tingkat-tingkat kematangan gonad (Goncalves et al. 2006). Secara makroskopis, ovari bervariasi volumenya, ketebalan dan warnanya, menurut tingkatan kematangan gonad. Secara mikroskopis, dibungkus oleh tunica
60
albuginea yang mengeluarkan septae ke bagian dalam organ, membentuk ovigerous lamellae dimana terdapat oosit dengan tingkat-tingkat perkembangan berbeda. Morfologi testis dan spermatogenesis Testis T. sarasinorum berupa organ berpasangan, memanjang dan fusiform terletak di dalam rongga perut secara lateral ke saluran pencernaan. Testis terdapat bebas dan menyatu pada ujung kaudal membentuk spermatic duct yang biasa, yang terbuka pada urogenital papilla, dimana spermatozoa meninggalkan tubuh.
Gambar 19 Struktur histologis gonad ikan T. sarasinorum jantan Ket.: A=TKG I, B=TKG II, C=TKG III, D=TKG IV, E=TKG V, Sg=spermatogonia, Sc= spermatosit, Spt=spermatid, Sz=spermatozoa, Lo=lobul. Secara mikroskopis, testis dibungkus oleh tunica albuginea yang memunculkan septae ke bagian dalam organ, membentuk lobul yang berisi tubule
61
seminiferi. Dinding tubule ini terdiri dari kista yang dibatasi oleh perpanjangan sitoplasma sel-sel Sertoli. Pengamatan histologis gonad jantan menunjukkan bahwa di dalam gonad jantan terdapat spermatogonia yang menyebar (Gambar 19). Pada TKG I sel-sel punca berada di dalam spermatogonia (SG). Pada TKG II lebih banyak kista berisi spermatogonia, dan pada meiosis spermatogonia menjadi spermatosit (ST). Setelah memasuki TKG III, kista menunjukkan adanya spermatid (SPT) yang mengalami spermiogenesis, dan sel-sel berubah menjadi spermatozoa (SZ). Dinding kista pecah dan spermatozoa dikeluarkan ke dalam lobule lumen. TKG IV adalah tahap akhir spermatogenesis. Spermatozoa yang berada di dalam lobule lumen bertambah banyak, dan spermatozoa masuk ke dalam efferent duct. Batch-batch baru dari sel-sel di dalam kista matang perlahan-lahan. Kista yang berisi spermatogonia lebih dahulu menghilang, diikuti oleh spermatosit dan spermatid, sampai semua sel di dalam gonad menyelesaikan spermatogenesis. Pada TKG V terdapat banyak ruang kosong karena banyak spermatozoa yang telah dikeluarkan saat pemijahan. Spermatozoa yang tertinggal dalam tubule seminiferi mengalami fagositosis (Lampiran 11). Morfologi ovari dan oogenesis Berbeda dengan ikan pada umumnya yang mempunyai ovari berpasangan, pada T. sarasinorum ovari berbentuk organ tunggal yang membulat terletak di dalam rongga perut di bagian posterior hati dan lateral saluran pencernaan. Ovari terdapat bebas dan pada bagian posterior berupa oviduct, yang terbuka pada urogenital papilla di depan anus. Secara makroskopis, ovari bervariasi volume, ketebalan dan warnanya, menurut tingkatan kematangan gonad. Ovari yang belum matang berwarna agak jernih. Ovari dibungkus oleh selaput tipis berwarna hitam pada ovari yang belum matang, dan kuning pada ovari yang sudah matang, dan didalamnya terdapat oosit dengan tingkat-tingkat perkembangan berbeda. Ovari yang sudah matang mengisi sepertiga rongga perut. Pengamatan dengan mikroskop menunjukkan terdapat filamen yang tumbuh mengelilingi oosit. Diameter oosit bertambah dengan berkembangnya oosit. Fungsi dari filamen tersebut adalah untuk melekatkan embrio yang sedang berkembang pada substrat.
62
Selama oogenesis, oogonia (kecil, dengan sebuah nukleus vesikel, sebuah nukleolus pusat dan sedikit sitoplasma) merupakan asal dari oosit. Oogenesis adalah suatu fase fundamental dalam proses reproduksi organisme. Oogenesis memberikan gambaran rinci tentang kondisi reproduksi ikan betina.
Gambar 20 Struktur histologis gonad ikan T. sarasinorum betina Ket.: A= TKG I, B=TKG II, C=TKG III, D=TKG IV, E=TKG V, Og= oogonia, Nu= nukleus, Os=oosit, Ot=ootid, Kt= kuning telur, Oa= oosit atresia, Bm= butiran minyak, Do= dinding ovari Gonad ikan betina yang berada pada kondisi TKG I menunjukkan perkembangan gonad dimana oogonia tersebar di dalam ovari dengan ukuran yang sangat kecil (Gambar 20). Selanjutnya oogonia akan berkembang melalui pembelahan meiosis. Pada TKG II oosit bertambah volume dan ukurannya. Telur
63
masih berupa butiran kecil berwarna putih susu. Pada TKG III, oosit dapat dilihat dengan mata telanjang. Ootid terbentuk; pada tahap ini telur memasuki tahap pematangan gonad. Pada tahap ini terdapat tiga kelompok ukuran telur. Telur yang masih kecil berwarna putih, kemudian telur yang berkembang berwarna kekuningan, dan telur yang matang berwarna kuning bening dengan nukleus berukuran besar. Pada TKG IV, ootid berkembang menjadi ovum. Sebagian telur di dalam ovari mulai matang. Telur yang sudah siap dipijahkan ditandai dengan adanya nukleus berukuran besar dan dikelilingi oleh butiran kuning telur dan nukleolus. Pada TKG V tampak banyak oosit atresia yang bentuknya tidak beraturan (Lampiran 12). Pemijah berulang ditandai oleh pola temporal tingkat-tingkat ovari makroskopik, kejadian teratur ovari yang salin sebagian, dan pola perkembangan oosit, dengan lepasnya oosit matang dalam batch, seperti dalam kasus Cichla monoculus (Chellappa et al. 2005). Awal kematangan kelamin merupakan fase transisi yang kritis dalam sejarah hidup, karena alokasi sumberdaya terutama berhubungan dengan pertumbuhan sebelum dan pada reproduksi setelah kematangan kelamin (Chellappa et al. 2005). Proses reproduksi, seperti kematangan gonad, pada ikan-ikan tropis dipengaruhi oleh berbagai perubahan lingkungan yang dirangsang oleh awal musim hujan. Beberapa ikan jantan, terutama yang matang untuk pertama kalinya, menghasilkan lebih sedikit sel-sel punca yang sedang matang di dalam gonadnya (Dziewulska & Domagała 2003). Dengan kata lain, sebagian besar sel-sel punca tetap tidak aktif, pada tingkat spermatogonium, dalam satu siklus reproduksi. Kondisi ini disebut ―pematangan tidak sempurna‖. Frekuensi jumlah ikan jantan dan betina menurut status tingkat kematangan gonad (TKG) ditampilkan secara spasial dan temporal dalam Gambar 21 - 23. Persentase TKG ikan jantan dan betina berfluktuasi baik berdasarkan lokasi, waktu maupun kelas ukuran. Secara umum, jumlah ikan jantan TKG IV adalah dominan pada setiap lokasi dan waktu sampling. Uji rata-rata dengan menggunakan two way Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata jumlah ikan jantan di setiap lokasi (F=1,47; P=0,153; df=14; α=0,05). Jumlah rata-rata ikan jantan menurut TKG
64
berbeda nyata menurut lokasi (F=60,66; P=0,000; df=4; α=0,05). Jumlah rata-rata ikan jantan TKG IV adalah dominan di setiap lokasi, sedangkan antara jumlah rata-rata ikan jantan TKG I, II, III dan IV tidak berbeda nyata antar lokasi (Gambar 21).
Gambar 21 Persentase TKG ikan T. sarasinorum jantan (atas) dan betina (bawah) secara spasial Secara umum, jumlah ikan betina TKG IV dan V adalah dominan pada setiap lokasi dan waktu sampling. Uji rata-rata dengan menggunakan two way Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata jumlah ikan betina di setiap lokasi (F=1,29; P=0,245; df=14; α=0,05), sedangkan jumlah rata-rata ikan betina menurut TKG berbeda nyata menurut lokasi (F=66,80; P=0,000; df=4; α=0,05). Jumlah rata-rata ikan betina TKG IV dan V tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan jumlah ikan betina TKG I, II dan III di setiap lokasi. Jumlah rata-rata ikan betina TKG I, II dan III tidak berbeda (Gambar 21).
65
Gambar 22 Persentase TKG ikan T. sarasinorum jantan (atas) dan betina (bawah) secara temporal Jumlah rata-rata ikan jantan tidak berbeda nyata antar waktu sampling (F=0,31; P=0,979; df=11; α=0,05), sedangkan ikan betina tidak berbeda nyata antar waktu sampling (F=0,21; P=0,996; df=11; α=0,05). Sementara jumlah ratarata ikan jantan dan betina menurut TKG berbeda nyata antar waktu sampling; one way Anova untuk jantan (F=331,23; P=0,000; df=4; α=0,05) dan betina (F=0,21; P=0,996; df=11; α=0,05). Jumlah rata-rata ikan jantan TKG IV adalah dominan pada setiap waktu (Gambar 22), sedangkan jumlah rata-rata jantan TKG I, II, III dan V tidak berbeda nyata. Sementara jumlah rata-rata ikan betina TKG IV adalah dominan pada setiap waktu sampling, tetapi tidak berbeda nyata dengan jumlah betina TKG V, dan berbeda nyata dengan jumlah betina TKG I, II dan III. Histogram untuk setiap tingkat kematangan gonad ikan jantan dan betina pada setiap waktu sampling menunjukkan bahwa ikan T. sarasinorum memijah
66
Gambar 23 Persentase TKG ikan T. sarasinorum jantan (atas) dan betina (bawah) menurut kelas ukuran sepanjang waktu (Gambar 22). Hal ini ditandai dengan ditemukannya semua tingkat kematangan gonad dengan persentase berbeda-beda pada setiap bulan. Ikan yang merupakan pemijah bertahap pada gonadnya diperoleh komposisi tingkat kematangan yang terdiri dari berbagai tingkatan dengan persentase berbeda-beda (Cárdenas et al. 2008; Goncalves et al. 2006; Şaş 2008). Jumlah rata-rata ikan jantan tidak berbeda nyata antar kelas ukuran (F=1,84; P=0,075; df=11; α=0,05), sedangkan jumlah rata-rata ikan jantan menurut TKG berbeda nyata antar kelas ukuran (F=12,33; P=0,000; df=4; α=0,05). Jumlah ratarata ikan jantan TKG IV adalah dominan pada setiap kelas ukuran; jumlah ratarata ikan jantan TKG I, II, III dan V tidak berbeda nyata (Gambar 23). Berdasarkan Gambar 23 tampak bahwa kelas ukuran 22,44-26,83 dan 26,84-31,23 mm diisi oleh ikan jantan TKG I (100%). Kelas ukuran 31,24-35,63 mm didominasi oleh ikan jantan TKG I (83%). Selanjutnya kelas ukuran 35,64-40,03 mm didominasi oleh ikan TKG II (83%). Kelas-kelas ukuran berikutnya
67
didominasi oleh ikan jantan TKG IV. Kelas ukuran terbesar hanya berisi ikan jantan TKG IV (96%) dan V (4%). Dengan demikian jelas bahwa kelas-kelas ukuran kecil didominasi oleh ikan TKG I atau II, sedangkan kelas-kelas ukuran besar yang hadir di arena pemijahan umumnya adalah ikan yang siap memijah. Jumlah rata-rata ikan betina berbeda nyata antar kelas ukuran (F=3,45; P=0,002; df=11; α=0,05). Begitu pula, jumlah rata-rata ikan betina menurut TKG berbeda nyata antar kelas ukuran (F=4,42; P=0,004; df=4; α=0,05). Jumlah ratarata ikan betina TKG IV dan V tidak berbeda nyata dengan jumlah betina TKG III, tetapi berbeda nyata dengan jumlah TKG I dan II (Gambar 23). Gambar 23 menunjukkan bahwa kelas ukuran 35,64-40,03 mm didominasi oleh ikan betina TKG I (60%). Kelas-kelas ukuran berikutnya didominasi oleh ikan-ikan betina TKG IV dan atau V. Ikan-ikan T. sarasinorum jantan dan betina yang berada di dalam habitat pemijahan adalah ikan-ikan dewasa kelamin yang siap untuk memijah. Umumnya ikan jantan berada pada TKG IV yang berukuran antara 40,04 mm sampai dengan 75,23 mm, sedangkan ikan betina berukuran antara 40,04 – 66,43 mm. Ikan-ikan ini memijah setiap waktu, tetapi puncaknya adalah pada akhir musim kemarau dan musim hujan dengan muka air yang meningkat. Puncak pemijahan ikan T. sarasinorum tampak dipengaruhi oleh fluktuasi muka air dan curah hujan. Banyaknya ikan yang mempunyai TKG IV pada waktu akhir musim kemarau dan awal musim hujan mengantar pada dugaan bahwa ikan T. sarasinorum mempunyai puncak pemijahan pada waktu-waktu tersebut yang disertai kenaikan muka air danau. Ikan memijah pada akhir musim kemarau, sehingga diperkirakan makanan akan cukup tersedia bagi larva pada waktu air naik kembali pada musim hujan. Telur-telur ikan-ikan yang dipijahkan di daerah litoral yang dangkal memiliki peluang mengalami bahaya kekeringan jika terjadi penurunan massa air akibat dibukanya pintu air untuk kepentingan pembangkit listrik yang ada di Danau Towuti (Gambar 4 pada Bab 2). Komposisi dan fluktuasi tingkat kematangan gonad ikan T. sarasinorum disajikan pada Gambar 19. Tahap matang gonad atau memijah (TKG IV) pertama kali ditemukan pada kisaran panjang baku 40,04 – 44,43 mm untuk jantan dan 35,64 – 40,03 mm untuk betina. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan
68
betina lebih cepat matang daripada ikan jantan. Ikan jantan TKG I dan II tidak terdapat di habitat perakaran di P. Otuno I dan P. Otuno II, sedangkan ikan TKG III tidak ditemukan dalam sampel di Pantai Salonsa. Sementara ikan betina didominasi oleh ikan-ikan tingkat kematangan akhir hingga pascapemijahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan-ikan yang berada di habitat perakaran adalah ikan-ikan yang siap memijah. Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad (IKG) ikan T. sarasinorum untuk setiap TKG secara keseluruhan ditampilkan pada Tabel 5. Tampak bahwa semakin tinggi tingkat kematangan gonad ikan semakin tinggi pula indeks kematangan gonadnya, kecuali pada ikan jantan TKG V. Hal ini karena jantan mulai mempersiapkan kembali untuk perkembangan gonad pada pemijahan berikutnya. Tabel 5 Nilai indeks kematangan gonad ikan T. sarasinorum jantan dan betina untuk setiap tingkat kematangan gonad Jenis kelamin Jantan
Betina
TKG I II III IV V I II III IV V
IKG (%) Rata-rata 0,548 0,632 0,945 1,915 1,158 0,363 0,418 1,092 2,298 2,849
SB 0,818 0,288 0,274 0,795 0,891 0,287 0,229 0,393 0,956 0,977
Indeks kematangan gonad rata-rata ikan jantan dan betina di setiap lokasi menunjukkan bahwa IKG rata-rata ikan jantan lebih rendah dibandingkan dengan IKG rata-rata betina (Gambar 24). Nilai IKG rata-rata ikan jantan adalah 1,541 (± 0,901; N=2180) sedangkan IKG rata-rata ikan betina adalah 2,261 (±1,132; N=985). Selanjutnya uji rata-rata nilai IKG dengan menggunakan one way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata nilai IKG ikan jantan antar lokasi (P<0,05) dan nilai IKG ikan betina antar lokasi (P<0,05). Nilai IKG rata-rata ikan jantan tertinggi terdapat di P. Otuno I-B adalah 1,986 (±0,972; N=112) dan
69
terendah di Sokoio yaitu 1,065 (±0,562; N=111). IKG rata-rata ikan betina tertinggi terdapat di P. Otuno II-B adalah 2,712 (±1,168; N=74) dan terendah di Sokoio 1,817 (±0,933; N=64).
Gambar 24 Nilai IKG rata-rata ikan T. sarasinorum jantan dan betina secara spasial Perhitungan nilai IKG rata-rata ikan jantan dan betina antar waktu sampling menunjukkan bahwa IKG rata-rata ikan jantan lebih rendah daripada IKG ratarata betina. Selanjutnya uji rata-rata nilai IKG dengan menggunakan one way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata nilai IKG ikan jantan antar waktu (P<0,05) dan nilai IKG ikan betina antar waktu (P<0,05) (Gambar 23). Nilai IKG rata-rata ikan jantan tertinggi terjadi pada bulan Mei 2009 yaitu 1,708 (±0,987; N=204) dan terendah pada bulan Januari yaitu 1,370 (±0,738; N=165). IKG rata-rata ikan betina tertinggi terjadi pada bulan April 2008 yaitu 2,621 (±1,139; N=76) dan terendah pada bulan Januari yaitu 1,784 (±0,738; N=77). Adanya satu puncak IKG menandakan bahwa ikan tersebut mengalami satu kali puncak pemijahan dalam setahun (Sulistiono et al. 2001a). Hasil penelitian untuk ikan T. sarasinorum (Gambar 25) menunjukkan bahwa terdapat puncak-
70
puncak nilai IKG pada bulan Februari, April-Mei, Agustus dan November untuk ikan betina. Sementara untuk ikan jantan puncak-puncak nilai IKG terjadi pada bulan Februari, Mei, Agustus dan Oktober. Dengan demikian ikan ini mengalami beberapa kali pemijahan dalam setahun.
Gambar 25 Nilai IKG rata-rata ikan T. sarasinorum jantan dan betina secara temporal Fekunditas Fekunditas didefinisikan sebagai jumlah vitelogenic oocytes pada betina matang. Penelitian tentang fekunditas ikan adalah penting untuk menilai potensi reproduksi suatu spesies, sehingga memungkinkan untuk menyimpulkan tentang tingkah laku populasi tersebut (Duarte & Araújo 2002). Ikan T. sarasinorum yang diambil untuk diperiksa fekunditasnya adalah 200 ekor ikan betina yang berada dalam kondisi TKG IV. Hasil menunjukkan bahwa fekunditas rata-rata ikan adalah 224 butir, dengan kisaran 64 – 488 butir. Ikan
71
dengan kondisi TKG IV dengan fekunditas terendah (165 butir) mempunyai PB 56,47 mm, sedangkan ikan TKG IV yang mempunyai fekunditas tertinggi (488 butir ) mempunyai PB 60,77 mm. Uji persamaan regresi untuk hubungan antara fekunditas dan PB menunjukkan nilai koefisien korelasi r = 0,418 (Gambar 26). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang kecil antara fekunditas dengan panjang baku ikan. Atau dengan kata lain bahwa, jumlah telur di dalam ovari ikan T. sarasinorum tidak dapat diduga berdasarkan panjang baku ikan. Hasil uji dengan one way Anova menunjukkan perbedaan tidak nyata fekunditas rata-rata antar lokasi dan antar waktu sampling (masing-masing dengan P>0,05). Tipe pemijahan ikan tergantung pada perkembangan gonad ikan betina (ovari), frekuensi pemijahan dalam siklus setahun dan lamanya periode pemijahan. Tipe pemijahan juga bisa ditandai dengan tingkat adhesiveness telur, 600 F = 0,002 L 2,876 r = 0,418
Fekunditas (butir)
500 400 300 200 100 0 40,00
45,00
50,00 55,00 Panjang baku (mm)
60,00
65,00
Gambar 26 Hubungan fekunditas dan panjang baku ikan T. sarasinorum yang berarti bahwa ikan yang melepaskan telur secara bebas disebut sebagai pemijahan total (Duarte & Araújo 2002), sedangkan yang melepaskan telur yang lebih lengket memijah dalam batch. Perkembangan oosit T. sarasinorum adalah asinkronis, menunjukkan bahwa spesies ini memijah dalam batch.
72
Jumlah oosit yang menyelesaikan perkembangannya pada waktu pemijahan tergantung pada volume rongga perut yang berisi ovari matang dan ukuran oosit ini. Selain fekunditas lebih tinggi, jumlah ikan yang relatif rendah di suatu perairan, mungkin disebabkan sedikitnya jumlah substrat yang tersedia (Duarte & Araújo 2002). Fekunditas berbeda berperan sebagai mekanisme yang mengatur populasi, tergantung pada kepadatan, dan fekunditas yang relatif tinggi ini bisa menjadi mekanisme untuk meningkatkan kelangsungan hidup telur dan larva walaupun substrat tidak tersedia yang cukup. Spesies yang memijah dalam batch dengan perkembangan oosit asinkroni, penentuan fekunditasnya sulit dilakukan (Juchno & Boroń 2006). Korelasi signifikan antara fekunditas, ukuran telur dan ukuran C. paludica betina telah diamati. Ikan betina kecil, yang hidup di sungai-sungai musiman, harus memaksimalkan jumlah telur yang dihasilkan karena fekunditasnya relatif rendah, sedangkan ikan betina yang lebih besar bisa mengorbankan fekunditas untuk membantu meningkatkan ukuran telurnya, yang bisa meningkatkan kualitas (Juchno & Boroń 2010). Memaksimalkan kesejahteraan maternal dengan menghasilkan telur lebih sedikit tetapi lebih besar memberikan pengaruh besar dalam tingkat kelangsungan hidup anak. Diameter telur Jumlah telur yang diperiksa diameternya berasal dari masing-masing 10 ovari ikan betina untuk TKG III, IV dan V (Gambar 27). Hasil pemeriksaan diameter telur menunjukkan bahwa terdapat 18 kelas ukuran yang dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu kelas ukuran I (0,50 – 0,81 mm), kelas ukuran II (0,82 – 1,19 mm) dan kelas ukuran III (1,20 – 1,75 mm). Ikan TKG III mempunyai jumlah telur kelas ukuran I (diameter 0,50 – 0,81 mm) sebanyak 68%, kelas ukuran II (0,82 – 1,19 mm) sebanyak 32% dan tidak ada telur kelas ukuran III. Ikan TKG IV mempunyai jumlah telur kelas ukuran I sebanyak 50%, kelas ukuran II sebanyak 38% dan kelas ukuran III sebanyak 13%. Ikan TKG V mempunyai jumlah telur kelas ukuran I sebanyak 72%, kelas ukuran II sebanyak 29% dan tidak ada telur dalam kelas ukuran III. Jumlah telur pada semua tingkat kematangan gonad berkurang dengan bertambahnya diameter; jumlah telur berukuran kecil dominan pada semua TKG.
73
Telur-telur berukuran sedang pada TKG III tumbuh menjadi telur berukuran besar pada TKG IV dan siap untuk dikeluarkan. Telur berukuran besar pada TKG V sebagian besar sudah dikeluarkan dan gonad hanya berisi beberapa telur berukuran besar, dan lebih banyak berisi telur ukuran kecil dan sedang. Telur yang tidak dikeluarkan pada pemijahan terakhir akan diserap kembali.
Gambar 27 Sebaran diameter telur ikan T. sarasinorum pada TKG III, TKG IV dan TKG V di Danau Matano
74
Data ini menunjukkan bahwa telur-telur dalam kelas ukuran III adalah telur berukuran besar yang siap untuk dipijahkan. Telur berukuran besar ini merupakan telur matang yang siap untuk dipijahkan. Berdasarkan sebaran ukuran diameter telur (Sulistiono et al. 2001b), ikan T. sarasinorum dalam penelitian ini adalah pemijah bertahap; ikan melepaskan telurnya secara bertahap. Dapat disimpulkan bahwa ikan T. sarasinorum merupakan ikan yang memijah secara bertahap pada musimnya. Faktanya, di alam, ikan ini melakukan pemijahan secara terus-menerus sepanjang hari sejak menjelang siang sampai sore hari. Telur ikan T. sarasinorum jumlahnya relatif sedikit tetapi mempunyai ukuran diameter yang relatif besar. Telur berukuran besar mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Jumlah telur ikan T. sarasinorum sedikit tetapi ikan memijah secara bertahap dengan melepaskan telur-telur matang terlebih dahulu. Pola ini juga terjadi pada ikan T. sarasinorum Australia M. s. splendida dan M. eachamensis masing-masing mempunyai sekitar 13% dan 16% telur yang siap dipijahkan (Pusey et al. 2001). Ikan T. sarasinorum mempunyai 13% telur yang siap dipijahkan pada ikan TKG IV. Transpor oksigen yang cukup melalui kapsul telur penting untuk kelangsungan hidup embrio. Pemilihan lokasi pelepasan telur oleh ikan betina tampaknya berkaitan dengan porositas pasir yang memengaruhi aliran air yang membawa pasokan oksigen, yang menjamin kelangsungan hidup embrio, waktu munculnya juvenil, dan kondisi juvenil pada waktu menetas. Suhu inkubasi memengaruhi laju perkembangan, efisiensi metabolisme dan ukuran juvenil saat menetas. Dengan demikian ukuran juvenil, sebagai hasil dari ukuran awal telur, ditentukan oleh investasi betina pada telur, dan kondisi lingkungan selama perkembangan. Telur-telur yang ukurannya besar menghasilkan juvenil berukuran besar, yang secara kompetitif superior dan lebih kuat menghadapi predator (Chellappa et al. 2005). Tetapi telur berukuran besar mempunyai ketahanan yang kurang baik dibandingkan dengan telur berukuran kecil di dalam sarang yang kualitas kerikilnya buruk. Populasi ikan yang ukuran tubuh betinanya menentukan keberhasilan dalam kompetisi lokasi sarang, setiap induk betina akan mempunyai hubungan ukuran telurnya dengan kebugaran anak. Ukuran telur yang optimal
75
akan bertambah seiring dengan pertambahan ukuran tubuh betina. Sementara atresia pada folikel-folikel yang matang tampak merupakan mekanisme pengaturan jumlah telur sehingga ukurannya akan optimal (Şaş 2008). Musim pemijahan Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa ikan T. sarasinorum memijah hampir sepanjang waktu dalam sehari. Hal ini ditunjang oleh data yang ditampilkan dalam Gambar 20 dan 21 yang menunjukkan bahwa ikan jantan TKG IV adalah dominan dalam setiap waktu sampling, sedangkan ikan betina TKG IV dominan pada sebagian besar waktu. Musim pemijahan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pada periode ikan jantan dan betina dengan kondisi TKG IV yang mencapai frekuensi tertinggi. Adanya ikan yang sudah matang gonad merupakan indikator adanya ikan yang memijah di perairan tersebut (Sulistiono et al. (2001a). Periode waktu ikan jantan TKG IV dengan persentase tertinggi adalah pada bulan Oktober 2008, April 2009, Mei 2009 dan Agustus 2009. Dengan demikian patut diduga bahwa puncak pemijahan ikan T. sarasinorum adalah bulan April, Mei, Agustus dan Oktober. Sementara periode waktu ikan betina TKG IV dengan persentase tertinggi adalah pada bulan September 2008, Februari 2009, Juni 2009 dan Agustus 2009. Dengan demikian patut diduga puncak musim pemijahan ikan T. sarasinorum betina terjadi pada bulan Februari, Juni, Agustus dan September. Pada waktu-waktu tersebut baik IKG jantan maupun betina juga tinggi. Dapat dikatakan bahwa puncak musim pemijahan ikan terjadi pada akhir musim kemarau dengan muka air meningkat, serta musim hujan. Tampak bahwa ikan betina mencapai kematangan gonad lebih awal dibandingkan dengan ikan jantan. Menurut Winemiller & Kelso-Winemiller (2003), banjir musim hujan menstimulasi produksi primer dan sekunder yang lebih besar, biasanya diiringi oleh aktivitas reproduksi yang meningkat diantara ikan-ikan dan organisme akuatik lainnya. Secara histologis, sebagian besar tingkat kematangan gonad terdapat di dalam satu ovari dan gonad yang sama. Hal ini mengantar pada dugaan bahwa ikan T. sarasinorum merupakan pemijah bertahap; telur-telur dilepaskan berulang-ulang. Ikan T. sarasinorum mempunyai ukuran diameter telur yang relatif kecil dalam jumlah yang banyak. Ikan ini merupakan pemijah substrat dan
76
tidak melakukan pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan teori sejarah hidup bahwa ikan ini termasuk ke dalam tipe strategi-r. Melanotaenia eachamensis and Cairnsichthys rhombosomoides, endemik sungai-sungai hutan Australia timur laut dan M. s. splendida yang lebih tersebar (Pusey et al. 2001) mempunyai fekunditas hingga beratus-ratus telur dengan diameter antara 1.10 dan 1.24 mm. Sebagian reproduksinya terjadi pada musim kemarau, walaupun M. s. splendida dan C. rhombosomoides aktif reproduksinya sepanjang tahun. Suhu atau fotoperiod tidak berperan sebagai kunci-kunci lingkungan
untuk
reproduksi,
sehingga
hal
ini
menunjukkan
bahwa
perkembangan gonad sangat berkaitan dengan pertumbuhan somatik. Konsentrasi reproduksi pada musim kemarau menjamin larva yang dihasilkan selama periode kondisi fisik yang relatif stabil dan tenang. Perbandingan perubahan temporal nilai-nilai IKG menunjukkan bahwa musim pemijahan M. eachamensis, yang terjadi di sungai-sungai yang elevasinya tinggi, adalah lebih terbatas dan mulai sekitar 1 bulan lebih cepat daripada spesies lain. Begitu pula populasi M. s. splendida yang ditemukan pada elevasi tinggi dan menekankan potensi untuk perbedaan spasial produktivitas sungai yang memengaruhi sejarah hidup. Ketiga ikan pelangi tersebut matang pada ukuran kecil dan merupakan pemijah batch tersebar (Pusey et al. 2001). Walaupun beberapa individu aktif reproduktif sepanjang tahun, mayoritas aktivitas reproduksi terjadi selama musim kering. Ikan T. sarasinorum T. sarasinorum juga memijah sepanjang waktu. Puncak pemijahan ikan T. sarasinorum ini adalah pada akhir musim kemarau dan pada musim hujan. Tingkah laku pemijahan Peristiwa berpasangan dimulai dengan ikan jantan menemukan ikan betina di habitat pemijahan dan bersama-sama masuk ke dalam arena pemijahan. Kemudian di dalam arena pemijahan pasangan berenang berputar-putar. Pasangan ini selalu diikuti oleh beberapa ekor ikan jantan lain (sneaker atau pesaing pembuahan, dan jantan tunggal bukan pesaing pembuahan) yang juga berusaha merebut ikan betina. Sedangkan ikan jantan yang sedang berpasangan (jantan utama) akan berusaha mempertahankan ikan betina pasangannya dengan menghalang-halangi ikan-ikan jantan lain mendekati betina pasangannya.
77
Pasangan yang sedang memijah akan terus berputar-putar di dalam arena sampai betina mendapatkan kesempatan untuk melepaskan telur. Setelah betina menemukan letak tempat untuk melepaskan telur, pasangan memijah ini akan melakukan perkawinan. Pasangan ikan menekan abdomen ke substrat sehingga ikan betina mengeluarkan telur dan ikan jantan melepaskan sperma.
Gambar 28 Ethogram tingkah laku pemijahan ikan T. sarasinorum Ketika pasangan ikan sedang memijah, pesaing pembuahan turut melepaskan spermanya untuk dapat membuahi telur yang dilepaskan oleh betina. Saat melepaskan spermanya posisi pesaing pembuahan selalu berada di samping ikan jantan utama – bukan di antara ikan jantan utama dan ikan betina, seperti pada ikan bluegill sunfish di Danau Opinicon Canada (Gross 1982). Sesaat setelah peristiwa ini ikan betina meninggalkan tempat pelepasan telur, sedangkan ikan jantan pasangannya membalikkan tubuhnya kembali ke arah tempat telur dilepaskan dan melakukan gerakan seperti menekan-nekan di area tempat pelepasan telur (Gambar 28). Pada banyak hewan banyak jantan mempunyai keuntungan dalam mendapatkan pasangan dan sarang dan oleh karena itu keberhasilan perkawinan jantan sangat bervariasi dengan ukuran dan umur (Ito & Yanagisawa 2006).
78
Sementara itu ikan-ikan jantan pesaing pembuahan melakukan gerakan seperti memungut atau memakan sesuatu dari sekitar tempat pelepasan telur. Peristiwa ini diduga sebagai peristiwa memungut atau memakan sisa-sisa sperma yang tersebar di sekitar tempat pelepasan telur. Belum pernah ada laporan tentang ikan-ikan memakan sisa-sisa sperma yang terbuang saat pembuahan. Tetapi hal ini mungkin terjadi pada habitat perairan yang miskin sumber daya makanannya. Diketahui bahwa Danau Matano adalah danau oligotrofik. Jadi peristiwa memakan sisa-sisa sperma dari pasangan ikan yang memijah merupakan alternatif makan bagi ikan-ikan yang berada di habitat yang miskin akan sumberdaya makanan. Ketika berada di luar habitat pemijahannya, ikan T. sarasinorum diamati mengikuti ikan-ikan T. antoniae yang sedang memijah. Mereka memburu telur-telur ikan T. antoniae yang baru dilepaskan (Kottelat 1991; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007). Ikan yang ada di dalam arena pemijahan adalah individu-individu yang matang kelamin. Mereka menunjukkan kebugaran dalam bentuk pertunjukan warna jantan dengan mengembangkan sirip-sirip lebih besar, berwarna cerah, lebih kuat dan mencolok, yang diikuti oleh pertunjukan berpasangan, perkelahian antar ikan-ikan jantan yang memperebutkan ikan betina, dan gerakan-gerakan melepaskan telur dan sperma. Didalam arena pemijahan dasar gerakan-gerakan tingkah laku pemijahan dipertunjukan secara horisontal ke arah dasar, sedangkan di arena perakaran tingkah laku pemijahan dipertunjukan dengan gerakan-gerakan vertikal dan horisontal. Arah gerakan seperti ini berkaitan dengan struktur arena pemijahan. Ikan-ikan jantan dan betina yang berpasangan diamati aktif memijah pada substrat di bawah kondisi naungan, yang berasal dari pohon di tepian danau atau dari batu bulat besar atau batu besar kecil di dekat arena. Pada waktu perairan berombak dan substrat dasar tercampur maka tidak ada aktivitas kawin yang diamati dan ikan-ikan tampak berpindah ke perairan yang lebih dalam dan lebih jernih. Penelitian ini juga menemukan bahwa aktivitas pemijahan jarang terjadi pada substrat dasar di perairan terbuka tanpa naungan dari vegetasi terestrial atau
79
dari batu-batu besar yang tidak memiliki kolam-kolam pasir. Di perairan terbuka ikan-ikan menggunakan sebagian besar waktunya untuk makan dengan mengikuti pasangan ikan T. antoniae yang sedang memijah dan memburu telur-telur yang baru dilepaskan. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada substrat dasar yang hanya ditutupi oleh batu bulat dan/atau substrat pasir jarang ditemukan kelompokkelompok ikan yang melakukan aktivitas perkawinan. Aktivitas perkawinan tidak pernah ditemukan pada substrat berlumpur. Arena pemijahan yang diamati mempunyai karakteristik fisik khusus (Tabel 2). Ikan betina melepaskan telur pada pasir untuk melindungi telur dari dinamika gerakan air yng mungkin dapat
menghanyutkan telur atau bahkan
menyebabkan mortalitas telur. Selain itu, telur-telur yang dilepaskan pada pasir akan mengalami oksigenasi yang diperlukan untuk perkembangannya. Selama pengamatan tidak tampak ikan yang berpasangan memijah pada substrat lumpur. Selain kemungkinan alasan penglihatan, hal ini merupakan salah satu cara ikan untuk menjamin kelangsungan hidup anak-anaknya. Habitat dengan akar-akar menggantung dan/atau batang/ranting tumbang ditutupi oleh alga dan/atau sponge air tawar disukai sebagai arena pemijahan. Pelepasan telur terjadi pada akar-akar atau batang yang ditutupi oleh alga/sponge air tawar. Dalam tipe arena pemijahan ini tampak bahwa ikan betina menyembunyikan telur yang baru dilepaskannya di antara alga atau sponge, dengan tujuan untuk melindunginya dari predator. Selain itu, alga/sponge juga memberikan makanan bagi anak-anak ikan setelah menetas. Cara seperti ini, walaupun ikan tidak melakukan pengasuhan anak tetapi pemilihan tempat melepaskan telur merupakan cara ikan menjamin kelangsungan hidup anakanaknya. Tingkah laku melepaskan telur pada pasir dan di antara alga/sponge dimaksudkan untuk melindungi anak-anaknya dari predator. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil-hasil dari penelitian lain pada sistem berbeda. Misalnya, Bohlen et al. (2003) yang meneliti habitat pemijahan ikan spined loach (Cobitis taenia), menemukan bahwa ikan melakukan pemilihan tempat melepaskan telur diantara vegetasi yang padat. Keberadaan vegetasi pada tepian danau, yang mempunyai sistem perakaran terendam air/submerge dan vegetasi terestrial yang menaungi permukaan air dari cahaya matahari langsung
80
memegang peran penting dalam keberadaan arena pemijahan. Sejauh ini hasil penelusuran pustaka tidak ada informasi mengenai pengaruh naungan terhadap pemijahan ikan endemik dalam kondisi alami. Tetapi hal ini masih perlu diuji melalui penelitian yang lebih maju. Naungan mempunyai korelasi dengan kelangsungan hidup telur dan anak-anak ikan. Naungan di arena juga membantu melindungi telur dari penglihatan predator. Pola perkawinan pada ikan T. sarasinorum adalah promiscuity yaitu ikan jantan bisa kawin dengan ikan betina manapun secara acak (Grier 1984). Ikan jantan dan betina kawin dengan betina dan jantan berbeda dalam selang waktu yang singkat. Pasangan jantan dan betina yang sama bisa kawin beberapa kali. Ikan-ikan yang ada di daerah pemijahan adalah ikan-ikan yang dewasa dengan ukuran panjang baku yang ada dalam koleksi 22,44 – 75,08 mm. Warna pada ikan jantan muncul seiring dengan umur (dalam hal ini ukuran). Makin matang ikan secara reproduktif maka akan muncul warna karena persaingan pada tingkat ini semakin besar. Makin besar persaingan, kemungkinan bahwa sifat seks dalam bentuk warna akan makin banyak. Makin banyak pesaing makanan mereka akan berkompetisi dengan warna. Makin kurang pesaing akan kembali pada warna asal. Jumlah pasangan ikan yang memijah di arena pemijahan batu berpasir menurut waktu (pagi, siang dan malam) menunjukkan terdapat perbedaan nyata (one way Anova; F=22,53; df=2; P=0,000; N=12). Jumlah pasangan memijah pada pagi dan sore hari tidak berbeda nyata. Jumlah pasangan memijah terbanyak pada siang hari (pukul 11.00 - 12.00). Jumlah perkawinan (courting) rata-rata per pasangan setiap menit tidak berbeda nyata antara siang dan sore hari. Jumlah perkawinan rata-rata paling rendah pada pagi hari (1 kali per menit). Jumlah kehadiran pesaing pembuahan menurut waktu tidak berbeda nyata antara pagi dan sore hari. Jumlah pesaing pembuahan rata-rata paling banyak pada siang hari (2 ekor per pasangan memijah), dan berbeda nyata dengan jumlah pesaing pembuahan pada pagi dan sore hari (F=10,66; df=2; P=0,000). One way Anova menunjukkan jumlah pasangan ikan yang memijah di arena pemijahan perakaran menurut waktu (pagi, siang dan malam) tidak berbeda nyata
81
(F=3,02; df=2; P=0,063; N=12). Jumlah pasangan memijah terendah pada sore hari dan tertinggi pada siang hari. Jumlah perkawinan rata-rata per pasangan setiap menit tertinggi pada siang hari. Jumlah perkawinan rata-rata 5 kali per menit dan terendah pada sore hari (5 kali per menit). Pada pagi hari 5 kali per menit. Secara statistik antar waktu tidak berbeda nyata (F=0,71; df=2; P=0,501). Jumlah kehadiran pesaing pembuahan menurut waktu berbeda nyata (F=11,51; df=2; P=0,000). Jumlah pesaing pembuahan rata-rata paling banyak pada siang hari (8 ekor per pasangan memijah), dan paling sedikit pada sore hari (6 ekor); pada pagi hari jumlahnya 6 ekor. Secara keseluruhan jumlah rata-rata pasangan memijah adalah 4 pasangan per waktu. Durasi berpasangan rata-rata 4,78 menit dengan jumlah perkawinan rata-rata 7 kali (atau jumlah perkawinan rata-rata 2 kali per menit). Pengamatan bawah air di arena pemijahan terdapat kejadian adanya betina kawin yang melakukan gerakan menekan tempat pelepasan telur. Total dari 96 pasang ikan yang perkawinan terdapat 5 kejadian adanya betina menyembunyikan telur, sedangkan pada jantan terdapat 130 kejadian jantan menyembunyikan telur. Selain itu ditemukan 188 kejadian ikan jantan pesaing pembuahan dan bukan pesaing pembuahan memakan sperma. Pada beberapa spesies ekspresi ciri seks sekunder bisa berkurang seiring dengan umur. Ciri seks sekunder ini belum berkembang ketika ikan jantan masih muda. Oleh karena itu preferensi betina terhadap ciri seks sekunder yang berkembang dengan baik akan sering membedakan terhadap jantan-jantan muda. Tidak diketahui apakah betina yang kawin dengan jantan tua mempunyai anak yang kelangsungan hidupnya yang lebih tinggi daripada rata-rata. Pada spesies dengan pengasuhan anak, keuntungan kawin dengan jantan tua adalah kepedulian induk lebih baik atau keuntungan langsung lain. Menurunnya kondisi ikan mungkin berkaitan dengan rendahnya rekrutmen paling tidak sebagian karena rendahnya jumlah dan kualitas gamet bisa menurunkan keberhasilan pembuahan (persentase telur yang dibuahi selama pemijahan). Telur yang dibuahi oleh jantan yang kondisinya baik ditemukan mempunyai laju sintasan yang lebih tinggi daripada yang dibuahi oleh ikan yang
82
kondisinya lebih buruk. Investasi ukuran relatif testis pada whitefish danau di Teluk Quinte (Danau Ontario) berhubungan dengan kondisi, yang menunjukkan bahwa whitefish danau yang kondisinya baik bisa mempunyai keuntungan reproduksi daripada ikan lain (Blukacz et al. 2010). Taktik kawin pada ikan guppy jantan, menurut urutan meningkatnya investasi energi, adalah kopulasi secara diam-diam tanpa pacaran, pertunjukan terhadap betina sebelum kopulasi, dan secara agresif menghalang-halangi jantanjantan lain (Kolluru & Grether 2004). Taktik agresif mulai dari merebut posisi dekat betina, pertunjukan, berhadapan dan menggigit jantan pesaing. Banyak spesies yang menginvestasikan materi dan energi dalam ovum dalam jumlah yang cukup besar dan sangat signifikan dalam hidup betina yang memproduksinya. Jadi massa investasi reproduksi dan tanggung jawab pada kebanyakan spesies ada pada betina, sedangkan jantan terutama menyediakan informasi genetik. Investasi berbeda pada seks ini memunculkan implikasi penting bagi individu yang kawin. Betina harus memilih jantan dengan cermat dan sebaliknya jantan diharapkan berusaha kawin lebih sering. Betina yang paling berhasil (dalam hal kelangsungan hidup dan reproduksi) adalah yang mendapatkan pasangan ―terbaik‖ (terkuat, paling mungkin mengumpulkan makanan jika perlu, paling mungkin untuk bertahan) dengan gen-gen untuk bergabung dengannya. Pada spesies ikan yang betinanya melakukan pemilihan pasangan, jantan bersaing menarik betina. Jantan terbaik ditentukan oleh kemampuannya melakukan pertunjukan, mungkin berarti bahwa jantan yang mempunyai waktu dan energi untuk pertunjukan demikian juga mempunyai waktu dan energi untuk aspek-aspek lain kelangsungan hidup dan reproduksi. Dalam perkelahian antar jantan, jantan terbaik ditentukan oleh pemenang dalam perkelahian. Betina tidak ―memilih‖ tetapi hanya kawin dengan pemenang. Kadang-kadang jantan bertarung satu sama lain memperebutkan betina. Pemilihan pasangan oleh betina dan perkelahian antar jantan bisa menyebabkan perbedaan keberhasilan pemijahan jantan daripada betina, ikatan pasangan yang lemah, dimorfisme seksual (perbedaan fisik antara jantan dan betina) dan kematangan jantan yang tertunda hingga jantan lebih tua dan lebih kuat.
83
Usaha memilih tempat untuk meletakkan telur; merupakan bentuk perlindungan terhadap predator dan menjamin ketersediaan sumber makanan untuk anak yang akan menetas. Telur mungkin diletakkan, seringkali dengan struktur morfologi yang khusus, ovipositor, di dalam tanah atau pasir, di bawah tumbuhan, dalam lubang, atau mungkin melekat pada tumbuhan atau benda lain yang nantinya akan berperan sebagai makanan. Induk pergi, dan anak harus menetas, memasuki dunia, dan mencari makan sendiri. Hal ini tampak pada T. sarasinorum. Selama penelitian sempat diamati telur yang telah dibuahi (melalui pembuahan buatan) tampak mempunyai struktur yang berfungsi sebagai perekat pada substrat. Dengan demikian telur yang dilepaskan melekat pada substrat. Semua ini dikenal dengan istilah seleksi r vs K. Spesies yang mempunyai kecepatan reproduksi yang lebih rendah, seringkali lebih pengasuhan anak, serta tubuh lebih besar adalah seleksi K. Tipe lain, dengan laju reproduksi lebih tinggi dan karakteristik lain, adalah seleksi r. Terbatasnya jumlah sperma yang bisa dikeluarkan oleh seekor jantan juga bisa membantu pemilihan pasangan oleh jantan (Andersson 1994). Tergantung pada sistem kawin, peran pengasuhan, dan ekologi reproduksi, bisa ada kompetisi dan pemilihan pasangan pada jantan dan betina, tetapi kompetisi biasanya paling menonjol pada jantan, dan pemilihan pasangan paling menonjol pada betina. Kejadian-kejadian di habitat pemijahan tidak selalu berakhir dengan perkawinan. Tetapi bisa berlanjut dengan bentuk-bentuk lain, misalnya kompetisi sperma antara jantan-jantan yang kawin dengan betina yang sama (Andersson 1994). Taktik-taktik jantan yang umum yang mengurangi resiko pesaing membuahi betina adalah menjaga atau menguasai betina, dan seringkali jantan kawin dengan betina selama waktu memungkinkan. Ikan betina yang kawin dengan ikan jantan yang paling berornamen diharapkan mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung. Karena sifat-sifat
demikian menandakan kemampuan jantan untuk memberikan
sumberdaya yang berpengaruh langsung terhadap kebugaran ikan betina yang memilihnya, atau karena ornamen menandakan kualitas genetik jantan yang akan menguntungkan betina secara tidak langsung melalui kualitas genetik anakanaknya yang lebih baik (Andersson 1994). Pada spesies dengan sistem
84
perkawinan yang bebas sumber daya (jantan hanya menyumbangkan sperma pada waktu pemijahan), preferensi betina terhadap jantan yang berornamen didorong oleh keuntungan genetik yang diturunkan melalui ayah, seperti ―gen baik‖ untuk kelangsungan hidup anak dan atau untuk reproduksi yang akan datang (Andersson 1994). Pengamatan menunjukkan bahwa ikan T. sarasinorum jantan tidak menunjukkan preferensi terhadap ukuran ikan betina. Menurut Pyron (1996b), tidak adanya preferensi jantan terhadap ukuran betina mungkin disebabkan biasnya nisbah kelamin di arena pemijahan atau rendahnya variasi jumlah telur yang dikeluarkan pada setiap pemijahan. Seekor ikan betina dapat diperebutkan oleh 3 hingga 13 ekor ikan jantan. Tampak bahwa ikan betina lebih menyukai memijah dengan ikan jantan yang berukuran besar. Menurut Cargnelli & Gross (1997), hal ini kemungkinan karena jantan berukuran besar mempunyai sifat-sifat yang lebih baik yang dapat diturunkan kepada anak-anaknya. Jantan berukuran besar mempunyai ketahanan lebih kuat dalam kompetisi memperebutkan sumber daya yang terbatas di danau. Ikan-ikan jantan dalam penelitian ini tampak menunjukkan taktik kawin alternatif yaitu jantan utama dan jantan pesaing pembuahan. Menurut Gross (1980, 1982) dan Taborsky (1994), ikan jantan utama menunda kematangan dan mengadopsi taktik perkawinan dan menjaga, sedangkan jantan pesaing pembuahan matang lebih cepat. Kedua tipe jantan yang melakukan taktik berbeda ini mempunyai keberhasilan pemijahan yang berbeda (Neff et al. 2003). Tingkah laku pengganggu merupakan komponen penting dalam sistem perkawinan ikan ini. Menurut Gross & Charnov (1980), keberhasilan reproduksi ikan jantan utama dipengaruhi oleh ukuran tubuh. Ikan jantan yang ukurannya besar mempunyai akses lebih besar kepada posisi ikan betina. Selain itu, ikan jantan berukuran besar mampu mempertahankan ikan betina pasangannya dari ikan jantan pesaing pembuahan yang umumnya berukuran lebih kecil. Pembuahan eksternal dan penjagaan tempat pemijahan atau betina oleh jantan pasangannya merupakan pola reproduksi yang banyak terjadi pada ikan. Tetapi menjaga telur dari sperma pesaing sulit dilakukan secara fisik karena
85
penjagaan dan pembuahan harus terjadi secara bersama-sama. Oleh karena itu strategi reproduksi alternatif harus ada pada ikan. Tingkah laku pemijahan ikan jantan utama tampak dipengaruhi oleh kehadiran jantan pesaing dan jantan bukan pesaing. Jumlah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan ikan bertambah dengan meningkatnya jumlah ikan jantan lain di arena. Pemijahan meningkat pada siang hari; semakin banyak pasangan ikan kawin pada waktu itu. Aktivitas pemijahan berkurang pada saat turun hujan karena air menjadi keruh akibat percampuran (mixing) pada waktu itu. Ikan-ikan diamati berpindah ke perairan yang lebih dalam, yang lebih jernih. Dapat dikatakan bahwa kecerahan perairan tampak jelas memengaruhi aktivitas pemijahan ikan. Kecerahan tampak berpengaruh terhadap jarak pandang ikan. Ikan betina tampak menyukai kawin dengan ikan jantan berukuran besar dengan sirip-sirip yang panjang dan besar, dan berwarna mencolok. Apabila perairan keruh akibat percampuran, penglihatan ikan menjadi terganggu sehingga pemijahan tidak dapat berlangsung. Perbedaan warna memengaruhi pemijahan pada ikan siklid sehingga daya pandang adalah penting dalam komunikasi ikan-ikan tersebut (Carleton et al. 2005). Perubahan daya pandang di dalam sistem akuatik bermula dari adaptasi sistem penglihatan ikan pada transmisi spektrum cahaya di dalam air akibat perubahan warna perairan, kekeruhan atau kedalaman. Meningkatnya kekeruhan menyebabkan
berkurangnya
cahaya,
dan
mengurangi
transmisi
cahaya
bergelombang pendek. Transmisi cahaya di lokasi-lokasi yang keruh adalah pada gelombang cahaya yang lebih panjang. Penglihatan ikan ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif oleh sifat-sifat optik perairan (Seehausen et al. 2003). Sifat optik perairan juga ditentukan oleh jenis dan kepadatan bahan organik yang terdispersi dan konsentrasi bahan organik terlarut di dalam air. Oleh karena itu sifat optik perairan tergantung pada kondisi trofiknya. Bahan-bahan terdispersi atau terlarut di dalam air mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Meningkatnya kepadatan dan konsentrasi bahan-bahan tersebut dapat menurunkan kecerahan perairan dan transmisi cahaya, serta komposisi panjang gelombang cahaya di dalam air; keduanya mempengaruhi jarak pandang dan warna yang dilihat oleh ikan. Danau Matano mempunyai
86
kecerahan perairan yang tinggi; cahaya merah hanya dapat dilihat hingga kedalaman 2,5 m (Seehausen et al. 2003), sedangkan cahaya biru dapat dilihat hingga sejauh penetrasi cahaya ke dalam perairan. Oleh karena itu perairan Danau Matano tampak biru. Kandungan bahan-bahan terdispersi dan terlarut di perairan saat terjadi percampuran yang menyebabkan perairan menjadi keruh, tentu memengaruhi penglihatan ikan yang pada akhirnya berpengaruh pula pada aktivitas pemijahannya. Kesimpulan Nisbah kelamin T. sarasinorum di arena pemijahan selalu berada dalam keadaan tidak seimbang (tidak mengikuti perbandingan 1:1); kondisi ini adalah kondisi alamiah ikan tersebut. Nisbah seimbang 1:1 yang dianggap ideal pada banyak ikan tidak berlaku pada T. sarasinorum karena ikan ini memiliki tingkah laku pemijahan yang spesifik. Ikan T. sarasinorum memijah sepanjang waktu, dengan puncak pemijahan terjadi pada awal musim hujan saat muka air danau meningkat. Jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina, dan dalam peristiwa pemijahan ikan betina selalu lebih cepat matang kelamin. Ikan ini tidak melakukan kepedulian induk, tetapi melakukan perlindungan terhadap telur yang dipijahkan dengan cara menyembunyikannya di antara pasir atau alga. Ini merupakan strategi reproduksi ikan untuk menjamin kelangsungan keturunannya. Tingginya jumlah pasangan ikan yang memijah di arena perakaran disebabkan struktur arena perakaran lebih kompleks dibandingkan dengan arena pemijahan di batuan berpasir. Struktur perakaran yang kompleks diduga akan lebih memberikan perlindungan dan keselamatan telur-telur yang dilepaskan, dibandingkan dengan jika dilepaskan di arena batu pasir. Arena batu berpasir akan menjadi rawan pada saat terjadi hujan yang membawa materi yang menutup permukaan dasar perairan, dan atau saat terjadi gelombang yang mengaduk perairan.