EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
TRIONO BASUKI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi saya dengan judul:
EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) merupakan karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi dan Dr. drh. Min Rahminiwati, MS. Penelitian ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 22 Januari 2008
Triono Basuki B04103059
3
ABSTRAK TRIONO BASUKI. Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan MIN RAHMINIWATI. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas sitoproteksi sukralfat pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dengan bobot badan 300 g. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kontrol (-) atau plasebo, kontrol (+) diberi obat anti inflamasi non steroid (OAINS) berupa asam asetil salisilat (AAS) dosis 400 mg/tikus, dan kelompok perlakuan diberi sukralfat dosis 200 mg/tikus, kemudian setelah tiga jam diberikan AAS dosis 400 mg/tikus. Pengamatan dilakukan secara histopatologi pada lambung dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB). Parameter yang dipakai adalah jumlah infiltrasi sel radang, jumlah sel parietal dan sel chief, proliferasi sel goblet, keutuhan lapisan epitel dan kerusakan mukosa lambung. Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukan bahwa sukralfat kurang efektif menghambat gastritis yang diinduksi oleh AAS di lapis mukosa, submukosa dan tunika muskularis lambung secara signifikan (α<0,05). Kata kunci: Sukralfat, Sitoproteksi, Asam Asetil Salisilat, OAINS dan Lambung ABSTRACT This research was aimed to examine effectivity of sucralfate cytoprotective agent on male white rat (Rattus norvegicus) with 300 g BW. This research used 30 rats strain Sprague-Dawley, were divided into 3 groups consist of: (a) negative control or plasebo, (b) positive control was given 400 mg/rat acetyl salicylic acid (ASA) as non steroid anti inflammation drug (NSAID) and (c) the treatment group was given 200 mg/rat sucralfate, and then after 3 hours was given 400 mg/rat ASA. The studied was done on histopathology of gastric which stained with Hematoksilin-Eosin (HE) and Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB) stain. The parameters used were: total infiltration of inflammatory cells, amount of parietal cells and chief cells, proliferation of goblet cell, erosion and ulceration of epithelial layer of gastric mucosa. The ANOVA test were continued with Duncan test as significant showed that sucralfate less effective to inhibit of gastritis induced by ASA in mucosa, submucosa and gastric tunica muscularis, but sucralfate gave the effect to proliferation of goblet cells. (α<0,05). Keyword: Sucralfate. Cytoprotection, Acetyl Salicylic Acid, NSAID and Gastric
4
EFEKTIFITAS SUKRALFAT DALAM MENGHAMBAT GASTRITIS AKIBAT PENGGUNAAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
TRIONO BASUKI B04103059
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
5
Judul Skripsi
Nama NRP
: Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) : Triono Basuki : B04103059
Disetujui: Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi NIP. 131 878 929
Dr. drh. Min Rahminiwati, MS NIP. 131 473 989
Mengetahui, Wakil Dekan I FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942
Tanggal Pengesahan:........................:
6
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur atas segala curahan rahmat dan karunia yang telah Allah SWT berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Kedua orang tua penulis yang telah memberikan doa, nasihat, membantu baik materi, motivasi, serta kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Sebentuk kasih untuk kakak-kakak penulis: Mas Masyu, Mas Heru Setiawan, SKom, Mba Iyam, dan Mba Ayu.
2.
DR. Bambang Kiranadi, selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia membimbing dengan memberikan masukkan dan dorongan kepada penulis selama melakukan studi di FKH-IPB.
3.
Dr. drh. Sri Estuningsih, Msi. dan Drh. Min Rahminiwati, PhD. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penyusunan skripsi.
4.
dr. Chudahman Manan, SpPD, KGEH Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini.
5.
Drh. Hernomo Adi Huminto, MVS selaku dosen penguji yang telah menguji, mengkritik dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
6.
Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, Pak Edi, Bu Melli, Bibi, Mba Yanti dan Pak Ugan di Laboratorium Patologi, Farmakologi dan Reproduksi FKH-IPB.
7.
Dyah AP atas kerjasama, bantuan dan dukungannya selama penelitian.
8.
Mba Nitha dan Pak Ali di BPPT Ciawi-Bogor, Mba Karen’39, Mba Yayuk’39, Mas Mumu’36, Om Adang’39 dan K’Woko’39.
7
9.
Intan Permata Sari, Sandhy, Mungki, Getri, Ditha, Riza, Elpita, Ais, Mudia, Ayu, Prita, Lilis, Lia, Ramlah, Bayu, Reni, Rhiska, Indra, Zaldi, Intan, Rikki, Au, Pegi, Swardi, Setyo, Nurman, Anton, Agus Dompu, Dathuko, mba Irao, Iwid, Elia, Irma, Wiwiko, Sari, Yeyen, Restu, Rahma, Puji, Gaince, Hendro, Gusra, Togu, Wywy, Irvan, Mammi, Metha, Fajri dan semua teman-teman Gymnoleymata’40 yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu. Thanks for all.
10.
Persekutuan Fakultas FKH-IPB: Saltliers, Orniters, Ruminers, HKSA, DKM An-Nahl dan FIM FKH IPB, terima kasih atas kebersamaan yang telah dilalui. Terakhir penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademik
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Tak cukup kata bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas segala bantuan, semangat dan doa yang dipanjatkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Amin.
Bogor, 22 Januari 2008
Triono Basuki B04103059
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, DKI Jakarta pada tanggal 19 September 1984 dari Ayah Tino Sanama dan Ibu Harsiti. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara. Pada tahun 1990 penulis mendapat pendidikan awal di taman kanak-kanak Nol Sembilan Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1991. Penulis mengikuti pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 01 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan tingkat pertama diselesaikan penulis pada tahun 2000 di SLTP Negeri 31 Jakarta Selatan. Pendidikan tingkat atas diselesaikan penulis pada tahun 2003 di SMU Negeri 90 Jakarta Selatan. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis aktif di organisasi Himpro Satwa Liar periode 2004-2006, Himpro Ornitologi periode 2005-2006, DKM An-Nahl FKH IPB periode 2005-2007, FIM FKH IPB periode 2005-2006, dan anggota IMAKAHI FKH IPB. Selain itu, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bedah Umum Veteriner (IBUV) dan Patologi Sistemik II. Penulis juga menerima beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 20042006. Tugas akhir penulis di Fakultas Kedokteran Hewan IPB diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul Efektifitas Sukralfat Dalam Menghambat Gastritis Akibat Penggunaan Asam Asetil Salisilat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...........................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ...................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xiii
PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang ............................................................................. Tujuan .......................................................................................... Hipotesa ....................................................................................... Manfaat ........................................................................................
1 1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Taksonomi Tikus Putih ................................................................ Pengenalan Lambung ................................................................... Anatomi Lambung .......................................................... Histologi Lambung .......................................................... Fisiologi Lambung ........................................................... Patologi Lambung ............................................................ Pertahanan Mukosa Lambung .......................................... Pengenalan Asam Asetil Salisilat ................................................. Senyawa Asam Asetil Salisilat .............…......................... Farmakologi Asam Asetil Salisilat ................................... Mekanisme Kerja Asam Asetil Salisilat ........................... Penggunaan Asam Asetil Salisilat .................................... Efek Samping Umum Asam Asetil Salisilat ..................... Kontraindikasi .................................................................. Overdosis .......................................................................... Pengenalan Sukralfat ……………………………………....…… Farmakologi Sukralfat ..................................................... Mekanisme Kerja Sukralfat .............................................. Penggunaan Sukralfat ...................................................... Efek Samping Umum Sukralfat ........................................
3 3 4 4 5 9 9 12 14 14 14 15 16 16 17 17 17 18 18 19 19
METODE PENELITIAN ........................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... Materi .......................................................................................... Hewan Coba .................................................................... Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) .................... Obat Sitoproteksi ............................................................ Bahan dan Alat ............................................................... Prosedur ...................................................................................... Persiapan Pakan dan Adaptasi Tikus ..............................
20 20 20 20 20 21 21 21 21
10
Kelompok Kontrol Negatif ............................................. Kelompok Kontrol Positif ............................................... Kelompok Perlakuan Mukoprotektan ............................. Tahap Nekropsi Tikus ..................................................... Parameter Pengamatan ................................................................ Desain Penelitian ......................................................................... Analisa Data ................................................................................
22 22 22 22 24 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. Pengaruh Sukralfat Pada Lapisan Mukus .................................... Pengaruh Sukralfat Pada Sel Parietal Dan Sel Chief ................... Pengaruh Sukralfat Pada Proses Peradangan ...............................
26 27 30 31
KESIMPULAN ....................................................................................... 46 SARAN ...................................................................................................
46
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
47
LAMPIRAN ...........................................................................................
51
11
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Sifat fisika dan kimia asam asetil salisilat ..................................... 14 2. Sifat fisika dan kimia sukralfat ...................................................... 17 3. Rataan jumlah sel goblet pada lambung kelenjar kelompok perlakuan dan kontrol
................................................. 28
4. Rataan sel parietal dan sel chief pada regio fundus/korpus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol ................................ 30 5. Rataan sel radang pada lambung non-kelenjar kelompok perlakuan dan kontrol .................................................................... 31 6. Persentase skoring inflamasi pada lambung non-kelenjar dan kelenjar ................................................................................... 36 7. Rataan sel radang pada lambung kelenjar regio fundus dan korpus kelompok perlakuan dan kontrol
................................................. 42
8. Rataan sel radang pada lambung kelenjar regio pilorus kelompok perlakuan dan kontrol ................................................... 42
12
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia .....................
4
2. Histologi lapisan lambung ...........................................................
5
3. Skema sel-sel penyusun lambung kelenjar ..................................
7
4. Tikus laboratorium dan keadaan kandangnya ..............................
20
5. Teknik potongan lambung ...........................................................
23
6. Bagan skematis desain penelitian ................................................
25
7. Histogram persentase sel goblet pada lambung kelenjar kelompok perlakuan dan kontrol .................................................. 28 8. Gambaran histopatologi proliferasi sel goblet di lambung kelenjar .....
29
9. Histogram persentase sel parietal dan sel chief regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol ...............................
30
10. Histogram persentase sel radang di lambung non-kelenjar kelompok perlakuan dan kontrol .................................................. 32 11. Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung non-kelenjar ......................................................................
35
12. Mekanisme perusakan mukosa gastrointestinal oleh NSAID ......
37
+
13. Konsekuensi patofisiologi dari difusi balik ion H melalui kerusakan epitel ...........................................................................
38
14. Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung kelenjar regio fundus dan korpus ......................................................
39
15. Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung kelenjar regio pilorus ......................................................................
40
16. Histogram persentase sel radang di regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol .................................................
42
17. Patogenesis peradangan dan kerusakan mukosa lambung ...........
44
13
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Perhitungan Dosis Obat ..............................................................
51
2. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi .................................
53
3. Pewarnaan Hemaktosilin-Eosin (HE) menurut metode Meyer .............................................................................
54
4. Pewarnaan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS) ..................
55
5. Olahan Data Sel Radang di Lambung Non-Kelenjar .................
56
6. Olahan Data Sel Radang di Regio Fundus dan Corpus ..............
58
7. Olahan Data Sel Radang di Regio Pilorus ..................................
60
8. Olahan Data Sel parietal (red cell) dan sel chief (blue cell) di Lambung kelenjar ...................................................................
62
9. Olahan Data Sel Goblet di Lambung Kelenjar ...........................
64
14
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terutama di bidang kedokteran, khususnya dalam pencegahan maupun pengobatan penyakit dapat memperpanjang harapan hidup. Hal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah kelompok usia lanjut. Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sering didapatkan pada kelompok usia lanjut, diantaranya adalah penyakit degeneratif sendi (osteoartrosis). Dengan bertambahnya populasi usia lanjut memungkinkan
jumlah
penderita
osteoartrosis
juga
meningkat.
Resiko
peningkatan osteoartrosis ini akan diikuti oleh peningkatan konsumsi obat-obat golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS atau NSAIDs). Obat anti inflamasi non steroid merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia untuk mengatasi penyakit degeneratif tersebut, kondisi ini juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat khususnya pada saluran cerna bagian atas. Kelainan yang terjadi terbanyak pada lambung dalam bentuk ringan yaitu hiperemia, sedang dalam bentuk inflamasi, sampai dengan yang paling berat dalam bentuk erosi dan/ulkus. Dapat pula terjadi perdarahan dan perforasi. Hasil evaluasi endoskopi pada penderita yang mendapatkan OAINS menunjukan adanya iritasi mukosa lambung dan ptechiae, bahkan dapat timbul ulkus pada mukosa lambung secara lokal. Umumnya asam asetil salisilat/AAS (salah satu OAINS) telah menyebabkan iritasi mukosa bila terjadi kontak selama 3 jam, dengan endoskopi tampak tanda-tanda pendarahan. Secara sistemik OAINS ini menghambat pembentukan prostaglandin E2 (PGE2) yang berfungsi sebagai proteksi mukosa lambung (Wongso et al. 1992). Studi epidemiologi yang dilakukan terhadap pemakaian OAINS menunjukan 20-30 % pemakai mempunyai komplikasi pada lambung, berupa ulkus peptikum. Namun demikian, komplikasi ini timbul akibat perbedaan respon individu terhadap OAINS (Myrnawati 2005). Secara tidak langsung dapat disebutkan bahwa terdapat perbedaan kualitas mukosa antara penderita yang mengalami kelainan dengan yang tanpa kelainan. Sitoproteksi atau mukoproteksi adalah kemampuan suatu zat untuk mencegah kerusakan mukosa lambung akibat zat ulcerogenik tanpa mengurangi asam
15
lambung (Wongso et al. 1992). Pemikiran dan penelitian masih terus diupayakan untuk memperoleh sitoprotektor yang handal. Obat sitoprotektor yang telah lama dikenal diantaranya ialah sukralfat yang cara kerjanya membentuk lapisan pelindung pada permukaan mukosa yang mengalami erosi atau tukak (Adi 2002). Pada penelitian ini akan dipelajari gambaran histopatologis (HP) mukosa lambung akibat pemberian AAS yang didahului dengan pemberian sukralfat sebagai obat golongan sitoproteksi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran patologis sel dan lapisan lambung tikus akibat pemberian AAS yang didahului dengan pemberian sukralfat sebagai indikator efektifitas sitoprotektor dalam menghambat gastritis oleh AAS.
Hipotesa Terdapat perbedaan gambaran histopatologi sel penyusun lambung antara tikus pengguna AAS dengan kelompok tikus yang diberi AAS yang didahului dengan pemberian sukralfat.
Manfaat Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipahami lebih mendalam mengenai konsep pertahanan tiap lapis lambung dalam mencegah efek samping AAS untuk diterapkan pada manusia. Dapat pula dipelajari respon mukosa terhadap pengaruh OAINS dengan bantuan pemberian sukralfat.
16
TINJAUAN PUSTAKA TAKSONOMI TIKUS PUTIH Tikus (Rattus norvegicus atau tikus laboratorium) merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan ilmiah. Tikus ini hidup komensal disekitar manusia dan sudah menjadi bagian dari hidup manusia, kadang-kadang hidup di tempat yang sama dengan manusia seperti di ruang bawah tanah dan di loteng (Wiehe 1989). Tikus laboratorium memiliki berbagai macam galur, dan galur yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur Sprague-Dawley. Sprague-Dawley albino merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki panjang leher yang sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekor. Bobot badan tikus galur Sprague-Dawley adalah paling besar dari semua galur tikus laboratorium, atau hampir sebesar tikus liar (Rattus rattus). Hewan ini jinak dan mudah ditangani (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Tikus laboratorium memiliki daya adaptasi yang baik dan besar sehingga cocok sebagai model dari berbagai jenis penelitian yang berbeda-beda misalnya endokrinologi, biokimia, farmakologi, toksikologi, fisiologi, neurofisiologi, onkologi, parasitologi, patologi dan nutrisi (Smith dan Mangkoewidjojo 1987; Stevens and Hume 1996). Robinson (1979) mengklasifikasikan tikus laboratorium ke dalam taksonomi sebagai berikut: Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Myomorpha
Superfamili
: Muroidea
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
17
PENGENALAN LAMBUNG Anatomi Lambung
Gambar 1. Anatomi eksternal dan internal lambung mamalia (Tortora and Grabowski 1996) Ikan, amfibi, reptil dan kebanyakan mamalia, termasuk tikus, memiliki lambung yang relatif sederhana berbentuk tabung sepanjang saluran pencernaan. Lambung tikus berbentuk seperti huruf J dan merupakan pembesaran dari saluran pencernaan. Bagian superior lambung merupakan kelanjutan dari esophagus dan inferior berdekatan dengan duodenum. Struktur dan garis regio epitel lambung mamalia menggambarkan batas yang jelas dengan variasi ukuran pada tiap spesies. Mulai dari gastroesophageal junction, lambung manusia, anjing dan mamalia lainnya memiliki urutan regio yang sama (Stevens and Hume 1996). Telford dan Bridgman (1995) menyatakan bahwa lambung mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu (1) Cardiac, pada tikus merupakan bagian dengan luas kecil dan zona pembatas dekat gastrophageal junction; (2) Fundus, pada mamalia merupakan regio yang banyak terdapat sel kelenjar; (3) Badan atau Corpus, merupakan bagian yang membentang dari fundus inferior sampai ke pylorus; dan (4) Pylorus, merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus berbentuk corong dengan perluasan kerucut, pada sambungan dengan korpus disebut pyloric antrum
18
dan batang corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir pilorus terdapat sphincter yang berhubungan dengan duodenum. Pada lambung tikus dan beberapa mamalia lainnya terdapat regio tambahan sebelum kardiak, yaitu nonglandular stratified squamous epitelium (Stevens and Hume 1996). Tepi bagian tengah yang berbentuk cekung dari lambung disebut lesser curvature atau lekukan kecil. Tepi bagian lateral yang berbentuk cembung disebut greater curvature atau lekukan besar (Miller 1996).
Histologi Lambung
Gambar 2. Histologi lapisan lambung (Tortora and Grabowski 1996) Dinding lambung disusun oleh 4 lapisan dasar yang sama dengan dinding saluran pencernaan, dengan beberapa modifikasi pada berbagai hewan (Telford dan Bridgman 1995). Menurut Telford dan Bridgman (1995); Bevelander dan Ramaley (1998), lapisan lambung dapat diringkas sebagai berikut: mukosa, submukosa, tunika muskularis dan serosa. Mukosa Permukaan mukosa lambung berbentuk lipatan-lipatan (rugae) yang tinggi dan jumlahnya tergantung dari tinggi rendahnya rentangan organnya (Bevelander dan Ramaley 1998). Rugae menyebabkan lambung dapat berdistensi sewaktu diisi makanan. Mukosa lambung tebal, mengandung kelenjar dan sumur lambung
19
(foveolae/gastric pits) dengan sedikit lamina propia. Mukosa lambung juga menghasilkan asam dan enzim pencernaan, dan mengabsorsi sejumlah air (Wilson dan Lesser 1994; Swan 2003). Sel yang terdapat di permukaan mukosa lambung dan sumur lambung disusun oleh epitel silinder sebaris yang dinamakan sel mukus permukaan. Sel ini menghasilkan mukus yang membentuk lapisan tebal yang melindungi sel-sel ini terhadap pangaruh asam kuat yang dihasilkan lambung dan mencegah otodigestion mukosa lambung (Swan 2003). Bevelander dan Ramaley (1998) menyatakan bahwa bentuk dan kedalaman proporsional lubang dan sifat-sifat kelenjarnya berbeda pada berbagai bagian dari lambung. Cardiac glands (kelenjar kardiak), dilapisi oleh epitel kubus selapis dan mempunyai lumen yang lebar dan mengeluarkan sekresi lendir encer (Bevelander dan Ramaley 1998). Kelenjar kardiak sedikit jumlahnya karena luas regio kardiak yang sangat kecil pada organ lambung tikus. Kelenjarnya agak lebar, terbuka, berbentuk pipa bercabang dan di dalam lubang yang pendek dengan sel tipe mukus. Pada daerah ini sel parietal hampir tidak ada (Telford dan Bridgman 1995). Fundic glands (kelenjar fundus), mukosa lebih dalam dan mengandung lebih banyak kelenjar. Kelenjar-kelenjar itu disebut kelenjar fundus karena mereka terdapat di semua bagian organnya, kecuali regio kardiak dan pilorus, maka dapat juga mereka disebut kelenjar lambung (Bevelander dan Ramaley 1998). Kelenjar lambung ini berbentuk pipa yang panjang dan meluas dari muskularis mukosa sampai menuju sumur lambung. Setiap kelenjar tersusun atas bagian dasar, leher dan isthmus. Kelenjar lambung sepanjang korpus dan fundus berbentuk tubuli bercabang sederhana, dengan sel-sel yang terdiri dari: a.
Sel zimogen/chief: melapisi bagian bawah kelenjar lambung. Mereka merupakan sel torak rendah dan mempunyai bentuk sel serosa yang khas. Sel-sel ini umumnya basofilik dengan granul zymogen dan menghasilkan enzim pepsin, renin dan lipase lambung (Bevelander dan Ramaley 1998; Swan 2003).
b.
Sel oksintik/parietal: relatif besar dan sangat asidofil. Mereka terdapat dalam jumlah paling besar pada leher kelenjar. Mereka tidak langsung berbatasan dengan lumen tetapi berkerumun terpisah dari lumen itu oleh sel-sel chief. Sel parietal memproduksi asam hidroklorida (asam HCl) dan
20
pendahulu dari asam hidroklorat; sebagai faktor intrinsik dalam membantu penyerapan vitamin B12 di usus halus. Sel ini juga memiliki sekresi kanalikuli yang panjang dan dilapisi oleh mikrovili (Bevelander dan Ramaley 1998; Swan 2003; Dunlop dan Charles 2004). c.
Sel mukosa leher: relatif sedikit jumlahnya, mempunyai dasar yang lebar, menyempit dibagian puncaknya dan bersifat basofilik (Bevelander dan Ramaley 1998). Sel ini dipusatkan dekat leher kelenjar dari sumur lambung dan menghasilkan mukus dan enzim peptidase. Sel leher ini merupakan progenitor epitel permukaan dan kelenjar lambung yang aktif berperan dalam karsinogenesis lambung. Granul bulat atau lonjong di bagian apikal dan terpulas gelap dengan PAS stain (Swan 2003).
d.
Endokrin/enteroendokrin/argentaffin/enterokromaffin/sel
Kultschitsky:
jumlahnya sedikit dan dapat dilihat dengan pewarnaan metode silver. Sel tersebut berwarna kuat dengan garam-garam bikromat. Dengan pewarnaan HE dikenal dengan sel kosong. Sel tersebut sedikit menghasilkan hormon (gastrin, histamin, endorphins, serotonin dan somatostatin) dan asam amino. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen (Bevelander dan Ramaley 1998; Swan 2003).
Gambar 3. Skema sel-sel penyusun lambung kelenjar (Tortora and Grabowski 1996)
21
Pyloric glands (kelenjar pilorus), kelenjar ini dibatasi oleh regio pilorus dan menyerupai kelenjar kardiak. Kelenjar ini terdiri dari beberapa sel parietal dan sel G (sekresi gastrin) diantara sel-sel mukus. Pada pilorus, sumur lebih dalam dan paling sedikit meluas sampai separuh jalan ke muskularis mukosa (Telford dan Bridgman 1995). Swan (2003) menyebutkan bahwa sel mukus bukan merupakan sel goblet yang sebenarnya di lambung. Sel ini menghasilkan mukus alkalin untuk melindungi keasaman permukaan lambung hingga mencapai pH 1,5-3,5. Sel goblet dapat meningkat jumlahnya dengan proses proliferasi dan metaplasia bila mukosa saluran pencernaan mengalami sakit atau inflamasi (Atuma 2000). Submukosa Submukosa tersusun dari jaringan areoler dan tidak mengandung kelenjar di bagian manapun dari lambung. Pada irisan dari tempat bertemunya esofagus dan lambung, beberapa potongan ujung dari kelenjar lendir yang letaknya dapat menjorok ke dalam submukosa lambung, tetapi, karena saluran mereka bermuara ke dalam esofagus, maka mereka harus dipandang sebagai bagian dari dinding organ terakhir. Submukosa juga mengandung arteri kecil, vena dan saluran limpa yang mudah terlihat, serta pleksus saraf Meissner dan ganglion yang tidak begitu mencolok (Wilson dan Lesser 1994; Telford dan Bridgman 1995; Bevelander dan Ramaley 1998). Muskularis Mukosa Muskularis mukosa tersusun dari 3 lapisan otot polos, yaitu lapis longitudinal dibagian luar, lapis sirkuler dibagian tengah, dan lapis oblique dibagian dalam. Susunan serat otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikelpartikel kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung ke arah duodenum (Wilson dan Lesser 1994). Pada serat melingkar terdapat pleksus Auerbach yang diperlukan untuk mengkoordinasi kontraksikontraksi intrinsik otot polos yang biasanya lemah dan kurang efektif. Pelepasan parasimpatis menjamin bahwa sel-sel melakukan kontraksi lebih secara massal daripada secara sendiri-sendiri (Bevelander dan Ramaley 1998).
22
Serosa Organ lambung tertutup oleh lapisan mesotel yang terdapat di luar jaringan ikat longgar yang membungkus lapisan-lapisan otot. Lapisan ini biasanya rusak pada pembuatan preparat potongan jaringan untuk irisan. Pada lapis serosa terlihat suatu selaput dari jaringan areoler yang mengandung pembuluh darah, jaringan lemak dan batang syaraf (Bevelander dan Ramaley 1998).
Fisiologi Lambung Lambung merupakan bagian sistem pencernaan pada manusia dan hewan yang banyak menghasilkan enzim dan asam lambung yang berguna dalam pencernaan makanan. Pencernaan di lambung terjadi secara mekanik dan kimiawi yaitu dengan adanya gerakan lambung mengaduk makanan dan dengan disekresikannya getah lambung. Lambung berfungsi sebagai tempat pencampuran dan penyimpanan makanan, dan tempat awal proses pencernaan protein dan lemak untuk dicerna. Fungsi yang paling utamanya adalah penyimpanan makanan untuk dilanjutkan menuju duodenum (Swenson 1984). Kandungan cairan yang disekresikan lambung terdiri dari air; elektrolit (K, Na, Cl, HCO3); enzim (pepsin, lipase); glikoprotein (faktor intrinsik, mucin); dan trace element (Zn, Fe, Mg, Ca) serta hormon gastrin yang masuk ke dalam darah. Asam hidroklorida yang terkandung di dalamnya berfungsi untuk supresi mikro organisme di makanan, memperoleh pH optimal untuk fungsi enzimatik pepsin dan lipase, memudahkan absorbsi besi di duodenum, negative feedback pada gastrin dan stimuli sekresi bikarbonat pankreas. Kerja pepsin mengawali hidrolisis protein dan memisah vitamin B12 dari protein makanan. Lipase mengawali hidrolisis trigliserida. Mucin dan bikarbonat berperan dalam fungsi proteksi terhadap bahan-bahan yang bisa merusak mukosa (Feldman dalam Adi 2002).
Patologi Lambung Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor-faktor defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung-duodenum menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan kerusakan
23
mukosa lambung-duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam empedu, obat-obat ulcerogenik (aspirin dan anti inflamasi non steroid lainnya, kortikosteroid dosis tinggi), merokok, etanol, bakteria, leukotrien B4 dan lain-lain (Julius 1992; Setiawati 1992). Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) merusak mukosa gastroduodenal lewat mekanisme langsung dengan terjadinya ion trapping dan efek sistemik menurunkan sintesis prostaglandin E2 (PGE2). Tukak lambung karena OAINS tidak disertai gastritis kronik. Kemungkinan disertai erosi dengan sel radang yang sifatnya setempat dan tidak banyak (Cryer dalam Adi 2002). Asam asetil salisilat (AAS) dapat menyebabkan terjadinya tukak lambung yang bersifat akut. Tukak akut biasanya multipel dan lebih sering pada lambung daripada duodenum, kecuali tukak curling. Tukak ini dangkal dan ukurannya bervariasi serta tidak mempunyai tempat tertentu (predileksi); membesarnya cepat dan dapat pula menyebabkan perforasi dan perdarahan, tetapi kebanyakan hanya superfisial mengenai mukosa dan submukosa, batas-batasnya tidak jelas dan disertai tanda-tanda radang akut. Tukak lambung akut dapat mengalami persembuhan tanpa disertai fibrosis dengan re-epitelisasi (Widjaja 1973). Tukak kronis disebut pula ulcus peptikum, karena berhubungan dengan ”peptic juice”, yaitu asam lambung. Istilah tukak peptik mencangkup tukak duodenum dan tukak di lambung yang benigna. Disebut tukak bila terjadi robekan mukosa berdiameter 5 mm atau lebih dengan kedalam sampai ke submukosa. Robekan mukosa kurang dari 5 mm disebut dengan erosi asalkan secara histopatologi nekrosis yang lebih dalam dari muskularis mukosa digolongkan sebagai tukak (Spechler dalam Adi 2002). Tukak peptik biasanya tunggal, bundar atau lonjong. Tukak peptik lambung biasanya tidak ditemukan pada fundus atau korpus yaitu daerah-daerah yang membuat asam. Tukak peptik biasanya ditemukan di distal ”acid line”, yaitu batas antara daerah yang membuat asam dan daerah yang tidak membuat asam. Secara mikroskopis dapat dilihat 4 lapisan pada tukak lambung, yaitu: lapisan radang, terdiri atas fibrin dan leukosit; lapisan jaringan granulasi nekrotik; lapisan jaringan granulasi hidup dan lapis jaringan parut padat (Widjaja 1973).
24
Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung dan memiliki 2 jenis keadaan, yaitu gastritis akut dan kronis. Gastritis akut ringan adalah Inflamasi akut mukosa lambung dengan reaksi neutrofil pada lapis superfisial mukosa yang sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna (Mac Farlane et al. 2000). Menurut Widjaja (1973) ada 4 jenis gastritis akut, yaitu gastritis irritasi, gastritis corrosiva, gastritis phlegmonosa acuta (gastritis purulenta) dan gastritis acuta
hemorrhagica.
Gastritis
iritasi
dapat
disebabkan
oleh
makanan
dan/minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung, seperti: asam asetil salisilat (AAS), makanan pedas, alkohol, air panas, serta agen infeksius bakterial dan virus (Mac Farlane et al. 2000). Gastritis akuta hemoragika atau gastritis erosif kadang terlihat sebagai perdarahan yang tersebar, selaput lendir bengkak dan rugae melicin. Keduanya disebabkan oleh asam atau alkali keras, aspirin atau OAINS; dan kemungkinan terdapat tukak di mukosa kurvatura mayor (Widjaja 1973; Macfarlane et al. 2000). Terjadinya gastritis kronis bila adanya infiltrasi sel radang pada lamina propria dan/epitelial terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran neutrofil pada daerah tersebut menandakan peningkatan aktivitas gastritis kronis (Mac Farlane et al. 2000). Berdasarkan distribusi anatomisnya (topografi), gastritis kronis dibagi atas 3 regio, yaitu antrum, korpus dan multifokal. Sedangkan berdasarkan histologi yang sering digunakan, gastritis kronis dibagi atas 4 jenis, yaitu (1) Gastritis kronis superfisialis apabila sel radang kronis terbatas pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh; (2) Gastritis kronis atrofik apabila sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai distorsi dan destruksi sel-sel kelenjar mukosa yang lebih nyata; (3) Metaplasia intestinalis dimana terjadi perubahan-perubahan histopatologik kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan tersebut dapat terjadi hampir pada seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung; dan (4) Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronis. Pada keadaan ini struktur kelenjar-kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata
25
dengan jaringan ikat, sedangkan jumlah sel radang menurun (Mac Farlane et al. 2000).
Pertahanan Mukosa Lambung Faktor-faktor yang merupakan mekanisme proteksi mukosa lambung adalah sel-sel mukus-bikarbonat, sel epitel mukosa, aliran darah mukosa dan regenerasi mukosa (Chisholm 1998). Mekanisme proteksi mukosa lambung terhadap kerusakan oleh faktor-faktor agresif ini disebut dengan istilah sitoproteksi. Meskipun mekanisme sitoproteksi ini belum diketahui secara pasti, ada bukti bahwa prostaglandin endogen memegang peranan penting (Setiawati 1992). Menurut Julius (1992), epitel saluran pencernaan mempertahankan integritasnya melalui beberapa cara, antara lain sitoproteksi seperti pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan aliran darah. Di samping itu ada beberapa mekanisme protektif di dalam mukosa epitel sendiri antara lain pembatasan dan mekanisme difusi balik ion hidrogen melalui epitel, netralisasi asam oleh bikarbonat dan proses regenerasi epitel. Semua faktor tadi mempertahankan integritas jaringan mukosa saluran cerna; berkurangnya mukosa yang disebabkan oleh satu atau beberapa faktor mekanisme pertahanan mukosa akan menyebabkan timbulnya tukak peptik. Jadi terlihat bahwa untuk terjadinya tukak peptik selain adanya faktor agresif (asam dan pepsin), yang lebih penting adalah integritas faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna; jika ini terganggu maka baru timbul tukak peptik. Berikut di bawah ini yang termasuk dalam faktor defensif antara lain: 1. Pembentukan dan Sekresi Mukus Mukus disekresi oleh sel-sel goblet dan kelenjar Brunner, berupa gel kental yang lengket dan tidak larut dalam air, yang melapisi seluruh permukaan mukosa lambung-duodenum secara merata dengan ketebalan 5-10 kali tinggi sel mukosa. Fungsinya untuk memberikan perlindungan mekanis pada epitel lambung-duodenum, untuk mengurangi difusi balik ion hidrogen, barier terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan pertahanan terhadap organisme patogen. Mukus merupakan polimer yang mengandung 4 sub-unit glikoprotein. Degradasi mukus oleh pepsin atau zat mukolitik menyebabkan
26
lapisan mukus berkurang tebalnya. Sebaliknya, prostaglandin menambah tebal mukus (Julius 1992; Setiawati 1992). 2. Sekresi Bikarbonat Ion bikarbonat disekresi oleh sel-sel epitel permukaan lambung dan duodenum proksimal, berdifusi melalui lapisan gel mukus ke arah lumen. Fungsinya untuk menetralkan asam lambung yang berdifusi masuk dari lumen. Akibatnya terdapat gradien pH dari pH 2 di lumen ke pH 7-8 di permukaan sel epitel (Setiawati 1992). 3. Aliran Darah Mukosa Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi kembali dari asam (Julius 1992; Setiawati 1992). 4. Mekanisme Permeabilitas Ion Hidrogen Proteksi untuk mencapai mukosa dan jaringan yang lebih dalam diperoleh dari resistensi elektris dan permeabilitas ion yang selektif pada mukosa. Pada hewan
percobaan
terlihat
esofagus
dan
fundus
lambung
kurang
permeabilitasnya dibanding dengan antrum lambung dan duodenum. Pergerakan ion hidrogen antar epitel dipengaruhi elektrisitas negatif pada lumen; kation polivalen (Ca2+, Mg2+ dan Al2+) dapat menutupi tekanan elektris negatif dari ion hidrogen sehingga mempunyai efek pada pengobatan tukak peptik (Julius 1992). 5. Regenerasi Epitel Regenerasi mukosa dimulai dari prolifersi sel di zone proliferatif yang kemudian bermigrasi ke permukaan untuk menggantikan sel-sel epitel permukaan yang rusak. Proses re-epitelisasi ini berjalan dengan cepat (kurang dari 48 jam) asal terlindung dari suasana asam yang merusak sel-sel tersebut. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Respon kerusakan mukosa (ulcerasi) pada manusia belum jelas (Julius 1992).
27
PENGENALAN ASAM ASETIL SALISILAT Senyawa Asam Asetil Salisilat Tabel 1. Sifat fisika dan kimia asam asetil salisilat Asam asetil salisilat O OH O O
CH3
Nama Kimia Formula Kimia
2-(acetyloxy)benzoic acid C9H8O4 C6H4(OCOCH3)COOH 2-acetyloxybenzoic acid 2-acetoxybenzoic acid Sinonim Acetylsalicylate Acetylsalicylic acid O-acetylsalicylic acid Massa Molekul 180.57 g/mol Densitas 1.40 g/cm3 Titik Leleh/Didih 136oC (277oF)/140oC (284oF) Sumber : Anonim 2006b Asam asetil salisilat/AAS (acetyl salicylic acid) merupakan salah satu turunan asam salisilat (salicylic acid). Asam asetil salisilat dapat disentesis oleh proses esterifikasi asam salisilat (asam-o-hidrosibenzoat) dan asam asetat (Ebel 1992; Anonim 2006b). Kunci sintesis AAS ditemukan oleh ahli kimia Jerman Herman Kolbe dari fenol pada 100 tahun yang lalu. Dalam sintesis Kolbe, sodium phenoxide dipanaskan dengan CO2 di bawah tekanan dan campuran reaksi, sesudah itu diasamkan untuk menghasilkan asam salisil (Anonim 2006b) Asam asetil salisilat akan larut dalam air apabila ditambahkan natrium hidroksida (NaOH). NaOH dapat mengubah AAS menjadi garamnya yang tidak larut dalam metilena klorida tetapi larut dalam air (Ebel 1992). Farmakologi Asam Asetil Salisilat Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorbsi (70 %) dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, dan sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertingggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan absorbsi tergantung dari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Pendistribusian terjadi pada seluruh tubuh dan
28
cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, liur dan air susu (Wimana 1995) Metabolisme obat ini melalui hati dan diekskresikan lewat ginjal dan feses. Ekskresi salisilat dapat meningkat dengan meningkatkan pH urine 5-8. Kadar AAS tertinggi ada pada hati, jantung, korteks renal dan plasma. (Donald 1995). Mekanisme Kerja Asam Asetil Salisilat Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim cyclooxigenase (COX). Mekanisme AAS sebagai OAINS dapat diterangkan dengan mengikuti alur biosintesis prostaglandin. Terdapat dua jalur utama reaksi-reaksi yang dialami oleh asam arachidonat pada metabolismenya, yaitu jalur COX yang bermuara pada prostaglandin E2 (PGE2), prostasiklin dan tromboksan serta jalur lipoksigenase
yang
menghasilkan
asam-asam
hidroperoksieikosatetraenoat
(HPETE). Reaksi tahap pertama jalur siklooksigenase dikatalisis oleh dua jenis enzim, yaitu COX dan hidroperoksidase (Kartasasmita 2002). Asam asetil salisilat menghambat biosintesis PGE2, prostasiklin, dan tromboksan melalui penghambatan aktivitas enzim COX. Asam asetil salisilat merupakan inhibitor irreversibel COX dengan mekanisme kerja melalui asetilasi residu asam amino pada enzim tersebut. Karena PGE2 berperanan penting pada timbulnya nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan, maka AAS melalui penghambatan aktivitas enzim COX, mampu menekan gejala-gejala tersebut. Namun demikian, PGE2 juga berperan penting pada proses-proses fisiologis normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ (Kartasasmita 2002). Pada selaput lendir traktus gastrointestinal, PGE2 berefek protektif. Keberadaan PGE2 meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis atau kimiawi. Pengurangan PGE2 pada selaput lendir lambung memicu terjadinya tukak. Hal ini membuktikan peranan penting PGE2 untuk memelihara fungsi barier selaput lendir. Dengan demikian, mekanisme kerja obat
29
AAS sekaligus menjelaskan profil efek utama maupun efek samping obat ini terutama toksisitasnya pada traktus gastrointestinal (Kartasasmita 2002). Penggunaan Asam Asetil Salisilat Menurut Wimana (1995) dan Anonim (2006b) terdapat tiga kegunaan AAS, yaitu (1) anti nyeri (analgesic). Preparat AAS dapat meringankan jenis dan/gejala penyakit seperti sakit kepala, kesakitan otot, sakit gigi dan kesakitan kronik seperti kanker; (2) anti peradangan, dalam hal ini AAS bersifat kuat dan efek sampingnya tergantung dari dosis yang diambil; dan (3) anti demam (antipyretic), AAS dapat menurunkan atau meredakan demam dan menghentikan selesma. Penggunaan AAS dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Pada dosis ini laju metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksis, obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik, kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 mcg/ml (Wimana 1995). Efek Samping Umum Asam Asetil Salisilat Asam asetil salisilat (AAS) mempunyai efek samping terhadap kerusakan topikal mukosa lambung (Wallace et al. 1995; Takeuchi et al. 1998). Ada 2 cara AAS menyebabkan efek ulcerogenik pada lambung, yaitu aksi iritasi topikal pada epitelium dan hambatan sintesis PGE2 (Takeuchi et al. 1998). Asam asetil salisilat pada dosis terapeutik dapat menyebabkan iritasi lambung atau usus dalam berbagai tingkatan disertai dengan pendarahan saluran pencernaan. Iritasi saluran cerna tersebut dapat menyebabkan vomiting dan anorexia. Pendarahan tersebut dapat menyebabkan anemia atau hipoproteinemia (Donald 1995). Efek samping akibat penggunaan AAS antara lain gangguan perut (ulceration dan hemorrhagi); sakit kepala, tinnitus dan hilang pendengaran. Dosis yang lebih tinggi lagi, efek sampingnya dapat terjadi pada system saraf pusat; berkeringat, efek dari antipiretic dengan dosis tinggi; dosis tinggi untuk perawatan jangka panjang seperti radang sendi dan demam rematik dapat meningkatkan sekresi enzim hati tanpa gejala, tetapi hati bersifat reversible terhadap kerusakan; nephritis kronik pada penggunaan jangka panjang, yang biasa digunakan dalam kombinasi dengan penawar sakit lainnya. Kondisi ini
30
mendorong ke arah gagal ginjal kronis; waktu beku darah menjadi lebih lama; dan reaksi kulit, angioedem dan bronchospasmus (Anonim 2006a; Anonim 2006b). Kontraindikasi Asam asetil salisilat (AAS) sebaiknya tidak diberikan pada hewan yang memiliki reaksi hipersensitivitas juga pasien dengan ulkus berdarah. Relatif kontraindikasi
untuk
pasien
dengan
hemorrhagic
disorder,
asma
dan
insufisiennsia renalis. Pada pasien hiperalbuminemia dianjurkan diberikan AAS dengan dosis rendah karena obat ini bekerja dengan mengikatan plasma albumin (Donald 1995). Overdosis Asam asetil salisilat (AAS) yang terlalu banyak mempunyai konsekwensi yang serius dan berpotensi untuk mematikan. Kematian saat pemakaian AAS dosis toksik umumnya terjadi noncardiogenic pulmonary edema. Proses terjadinya
kematian
akibat
overdosis
aspirin
adalah
nyeri
abdominal,
hypokalemia, hypoglycemia, pyrexia, hyperventilasi, disarhythmia, hypotensi, halusinasi, gagal ginjal, gelisah, seizure, koma dan mati (Anonim 2006b). PENGENALAN SUKRALFAT Tabel 2. Sifat fisika dan kimia sukralfat Sukralfat Sinonim
Alumane; 3,4,5-trisulfooxy-2-(sulfooxymethyl)-6-[3,4,5trisulfooxy-2-(sulfooxymethyl) oxolan-2-y1] oxy-oxane; icosahydrate.
Formula Kimia
C11H87Al9O55S8
Massa Molekul
1599.14 g/mol.
Bioavailabilitas
3-5% (bekerja secara lokal).
Metabolisme
Gastrointestinal dan hati.
Waktu Paruh
Tidak diketahui.
Ekskresi
Feces dan urine
Sumber : Anonim 2007a Sukralfat adalah obat oral gastrointestinal pertama yang diindikasikan untuk mengobati duodenal ulcer aktif. Sukralfat juga digunakan untuk mengobati
31
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan stress ulcer. Sukralfat adalah sucrose sulfate-aluminum complex atau disebut juga garam aluminium dari sukrose sulfat yang mengikat asam hydrochloric di dalam lambung dan bekerja seperti buffer asam dengan sifat sitoprotektif (Anonim 2007a). Farmakologi Sukralfat Sukralfat adalah sitoprotektor atau mukoprotektor yang melindungi ulkus terhadap difusi asam, pepsin dan garam empedu (proteksi lokal). Sukralfat mempunyai efek sitoproteksi pada mukosa lambung melalui 2 mekanisme yang terpisah, yakni (a) melalui pembentukan prostaglandin endogen dan (b) efek langsung meningkatkan sekresi mukus (Setiawati 1992). Percobaan
laboratorium dan
klinis
menunjukan
bahwa
sukralfat
menyembuhkan tukak dengan 3 cara, yaitu (1) membentuk kompleks kimiawi yang terikat pada pusat ulkus sehingga merupakan lapisan pelindung; (2) menghambat aksi asam pepsin dan garam empedu; dan (3) menghambat difusi asam lambung. Penelitian menunjukan bahwa sukralfat dapat berada dalam jangka waktu lama dalam saluran cerna sehingga menghasilkan efek obat yang panjang (Anonim 2006a). Sukralfat sangat sedikit terabsorbsi di saluran cerna sehingga menghasilkan efek samping sistemik yang minimal, kebanyakan bersifat asymtomatis. Toksisitas akut (LD50) aplikasi secara oral pada mencit adalah lebih dari 8000 mg/kg. Cara kerja sukralfat adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar ulkus untuk mempercepat persembuhan (Anonim 2007b). Mekanisme Kerja Sukralfat Sukralfat adalah substansi yang bekerja lokal pada lingkungan asam (pH<4). Mekanisme kerjanya belum jelas, kemungkinan melalui pelapisan permukaan ulkus dimana anion sukralfat berikatan dengan kutub positif molekul protein pada dasar ulkus (Anonim 2007b). Sukralfat bereaksi dengan asam hidroklorik dalam lambung membentuk sebuah cross-linked yang memiliki konsistensi kental seperti bahan perekat yang mampu bereaksi sebagai buffer asam untuk waktu yang lama, yaitu 6-8 jam setelah dosis tunggal. Sukralfat mengikat protein (albumin dan fibrinogen) pada permukaan ulkus dengan stabil dan tidak dapat dipecahkan atau tahan terhadap hidrolisis pepsin. Perlindungan
32
fisik atau kompleks itu besifat melindungi permukaan ulkus dan mencegah kerusakan lebih lanjut oleh asam, pepsin dan empedu. Kemungkinan sukralfat juga mencegah kembalinya difusi ion hidrogen, penyerapan pepsin dan asam empedu, dan dapat menstimulasi peningkatan protaglandin E2, epidermal growth factors (EGF), fibroblast growth factor dan mukus lambung (Anonim 2007a). Penggunaan Sukralfat Sukralfat digunakan untuk pengobatan jangka pendek (sampai 8 minggu) pada ulkus duodenum aktif (Anonim 2007b) dan tidak digunakan untuk ulkus lambung yang berhubungan dengan pemakaian OAINS jangka panjang, karena adanya mekanisme sekresi asam yang berlebih. (Anonim 2007a). Sukralfat (4 x 1 g sehari pada perut kosong) efektif untuk mengurangi kerusakan mukosa lambung (ulcus peptikum) dan gejala-gejala saluran cerna akibat penggunaan OAINS (Setiawati 1992). Pada hewan kemungkinan sukralfat dapat mencegah terjadinya ulcer akibat AAS atau OAINS lainnya (Anonim 2007c). Efek Samping Umum Sukralfat Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan sukralfat antara lain konstipasi, mulut terasa kering (Xerostomia), diare, mual, muntah, tidak nyaman di perut, kembung (Flatulentsi), pruritus, rash, mengantuk, nyeri pada bagian belakang, hypophosphatemia dan sakit kepala atau Cephalalgia (Anonim 2006a; Anonim 2007a). Sukralfat menyebabkan konstipasi ringan pada 2-10 % penderita karena mengandung aluminium, dan dapat menimbulkan toksisitas aluminium pada penderita gagal ginjal. Kerugiannya yang utama adalah cara pemberiannya; biasanya 4 kali sehari, terutama pada ulkus lambung, serta tidak diberikan bersama antasida ataupun makanan (Setiawati 1992). Pada penggunaan jangka panjang alumunium dalam sukralfat dapat terakumulasi dalam otak dan tulang; penyebab kelemahan tulang (Anonim 2007c).
33
METODE PENELITIAN TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi Veteriner; Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi; Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari sampai Agustus 2007. MATERI Hewan Coba
a
b c
Gambar 4. Tikus laboratorium dan keadaan kandangnya. Keterangan: a=air minum, b=tikus laboratorium dan c=pakan. Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan model adalah tikus putih Ratus norvegicus galur Sprague-Dawley sebanyak 30 ekor jantan dengan bobot badan awal 250 g dan umur 2 bulan. Tikustikus tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 10 ekor kelompok perlakuan (sukralfat + AAS), 10 ekor kelompok kontrol positif (AAS) dan 10 kelompok kontrol negatif (plasebo). Sebelumnya hewan coba dilakukan adaptasi selama tiga minggu di Bagian Patologi FKH IPB. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) Pada penelitian ini dipakai golongan obat OAINS yang tertua yaitu asam asetil salisilat (AAS) murni dengan dosis toksik 400 mg/tikus (LD50 1,5 g/kg pada tikus) (Anonim 2007d).
34
Obat Sitoproteksi Pada penelitian ini dipakai obat golongan sitoproteksi yang telah lama dikenal yaitu sukralfat dengan dosis 200 mg tiap tikus. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian antara lain 60 buah box plastik (kandang), 30 buah botol air minum, timbangan digital (Precisa 3000 D), 1 bungkus kantung plastik putih @1,2 kg, 1 bungkus kantung plastik hitam, 2 buah pinset besar, 1 buah teko air, 1 buah wadah aquades, 1 paket note book dan alat tulis, 1 paket sikat dan alat cuci piring, tissu gulung, 2 buah sonde lambung tikus (1,5 x 80 mm) Knopfkanüle 370144 buatan Jerman, syrinx 1 ml, gelas ukur 50 ml, preparat AAS dan sukralfat (PT. Pratapa Nirmala). Alat nekropsi yang digunakan antara lain 1 paket alat bedah (gunting, scapel dan pinset), 1 gulung alumunium foil, jarum fiksator, 4 buah sterofom, kaca pembesar berlampu untuk pengamatan patologi anatomi, kantung kresek hitam, wadah plastik untuk jaringan dan kertas label, spidol waterproof permanen, larutan pengawet buffer neutral formaldehid (BNF) 10 %, NaCl fisiologis, alkohol 70 %, aquades, ether, 1 gulung kapas, tissue gulung, potongan kertas karton dan 1 paket stepler. Bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan preparat histopatologi antara lain pinset sirurgis, mikrotom, kaset jaringan, BNF 10 %, alkohol konsentrasi bertingkat (70 %, 80 %, 90 %, 95 % dan absolut), xylol, blok (cetakan), parafin, gelas objek, cover glass, inkubator, aquades, HematoksilinEosin (HE), lithium karbonat, asam asetat 1%, periodic acid 1 %, Schiff reagent, air bisulfit dan perekat entelen. Sedangkan alat untuk pengamatan histopatologi antara lain mikroskop cahaya, video mikrometer, mikrometer dan counter.
PROSEDUR Persiapan pakan dan adaptasi tikus Sebelum tikus dipersiapkan untuk penelitian, dilakukan persiapan kebutuhan pakan berbentuk pelet (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan, IPB) dan dilakukan proses adaptasi dalam kandang. Pakan diirradiasi di Batan, Jakarta
35
dengan kekuatan 10 kg untuk sterilisasi. Kandang dan alas diganti dan dibersihkan setiap harinya. Selama penelitian berlangsung tikus diberi pakan pelet dan air minum ad libitium sesuai kebutuhan. Tikus yang digunakan adalah tikus Non-spesifik Pathogen Free (NSPF), sehingga perlu dilakukan
pre treatment sebelum penelitian, yaitu diberikan
anthelmintica Albendazole® 5 % (Sanbe®) dengan dosis 10 mg/kg BB. Dosis tunggal diberikan sebanyak 2 kali dengan selang waktu 2 minggu. Selain itu diberi antibiotika Tertracyclin dengan dosis 500 mg/kg BB serta Fluconazole 50 mg/kg BB sebagai anti jamur yeast (khamir). Pemberian kedua obat tersebut dilakukan selama 3 hari, kemudian tikus diistirahatkan selama 6 hari agar residu obat hilang. Pre treatment diberikan dalam penelitian ini, mengingat, pada penelitian pendahuluan ditemukannya cacing pita, cryptococcus sp. dan bakteri sebagai penyebab gastritis superfisial. Kelompok Kontrol Negatif Tikus kelompok kontrol negatif (plasebo) hanya diberikan minuman aquades. Kelompok Kontrol Positif Tikus kelompok kontrol (+) diberikan AAS dengan dosis tunggal 400 mg/tikus selama 3 hari. Pemberian AAS dilakukan 1 kali sehari pada pagi hari. Kelompok Perlakuan Sitoproteksi Tikus kelompok perlakuan diberi sukralfat 3 jam sebelum pemberian AAS. Dosis sukralfat yang diberikan adalah 200 mg tiap tikus, sedangkan AAS dengan dosis tunggal 400 mg/tikus BB. Keduanya diberikan selama tiga hari, kemudian selama seminggu tikus perlakuan diberi sukralfat dengan dosis yang sama tanpa AAS. Pemberian sukralfat diikuti pemberian AAS dilakukan 1 kali sehari pada pagi hari. Tahap Nekropsi Tikus Setelah selesai pemberian sukralfat pada kelompok perlakuan, kemudian dilakukan euthanasia tikus menggunakan ether dalam anaerobic jar. Selanjutnya dilakukan nekropsi untuk melihat perubahan organ yang diamati secara patologis
36
anatomi (PA) dan pengambilan sample organ untuk pengamatan histopatologis (HP). Organ yang diambil sebagai sampel untuk pengamatan adalah lambung. 1. Teknik Nekropsi Sebelum dimulai nekropsi, tikus diletakkan di atas stiroform beralas alumunium foil kemudian difiksasi ekstrimitasnya. Permukaan abdomen disemprot alkohol 70 % lalu dilakukan nekropsi pada linea alba dengan membuka lapisan kulit, fascia, rongga abdomen dan selanjutnya dilakukan pemotongan otot abdomen sampai dengan di bawah diafragma (prosessus xyphoideus). Organ lambung diambil, kemudian diinsisi dan diamati perubahan patologis anatomisnya sebelum dimasukan ke dalam larutan BNF 10 % sampai proses berikutnya. 2. Trimming kasar organ dan prosesing jaringan Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam Gambar 2 dibawah ini: Bagian lambung non-kelenjar : 3 potong Bagian fundus dan korpus
: 4 potong
Bagian pilorus
: 3 potong
Gambar 5. Teknik Potongan Lambung Sebelum dilakukan tahap proses dehidrasi dan embedding, organ dipotong tipis berukuran 5 mm sesuai dengan bagian yang akan diamati yaitu bagian lambung non-kelenjar, fundus, korpus dan pilorus dengan potongan melintang terhadap kurvatura major. Potongan tipis organ kemudian dimasukan dalam tissue cassete dan dimasukan dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat mulai dari 70 %, 80 %, 90 %, 95 %, 100% (absolut); diikuti clearing dengan larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin (ShendonTM, UK), kemudian jaringan diblok dalam paraffin cair yang memiliki titik leleh 56-57°C dengan dimasukan dalam mesin embedding tissue-tek (SakuraTM, Jepang). Blok kemudian dibiarkan mengeras.
37
3. Trimming halus organ a. Blok yang sudah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 5 µm (Spencer, USA). b. Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu 40°C, diletakkan di atas gelas objek dan kemudian dikeringkan di udara terbuka. c. Potongan organ di atas gelas objek ini diinkubasikan dalam alat inkubator (Memert, Jerman) dengan suhu 55°C selama semalam sebelum diwarnai. d. Pewarnaan menggunakan teknik pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) menurut metode Meyer dan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS-AB).
PARAMETER PENGAMATAN Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan video mikrometer. Parameter yang diamati antara lain adanya infiltrasi sel radang di tiap lapis lambung non kelenjar dan kelenjar, jumlah sel parietal dan chief, proliferasi sel goblet, keutuhan lapisan epitel penutup dan kerusakan mukosa berupa erosi dan/ulkus mukosa lambung. Pengamatan tersebut diatas dilakukan pada 10 lapang pandang dengan pembesaran 40× objektif dan 10× okuler.
DESAIN PENELITIAN Penelitian mempergunakan tikus putih (plasebo, kontrol (+) dan perlakuan). Tikus perlakuan mendapat sukralfat dosis 200 mg tiap tikus, kemudian setelah tiga jam diberi AAS dengan dosis tunggal 400 mg/tikus, selama 3 hari (1 kali sehari). Kemudian tikus perlakuan diberikan sukralfat selama 6 hari dengan dosis 200 mg tiap tikus. Tikus kontrol (+) diberi AAS dengan dosis 400 mg/tikus selama 3 hari. Sedangkan tikus plasebo hanya diberikan aquades. Obat sukralfat dan AAS diberikan secara oral dengan sonde lambung. Nekropsi dari kelompok plasebo dan kontrol (+) dilakukan setelah 3 hari pemberian AAS pada kelompok kontrol (+). Nekropsi kelompok perlakuan setelah seminggu pemberian sukralfat. Organ lambung dikoleksi sebagai bahan untuk pemeriksaan histopatologi (HP).
38
Tikus (30 ekor ) adaptasi (3 minggu)
Kontrol (-)
tanpa perlakuan hanya diberi Aquadest
Kontrol (+)
ASA 400 mg/tikus (3 hari)
Perlakuan Sitoproteksi
Sukralfat 200 mg/tikus + ASA 400 mg/tikus (3 hari)
Sukralfat 200 mg/tikus (6 hari)
Nekropsi Tikus Gambar 6. Bagan skematis desain penelitian ANALISIS DATA Dalam penelitian ini akan diperoleh data dalam bentuk foto bergambar (kualitatif), angka hasil perhitungan (kuantitatif) dan grafik persentase dari nilai skoring perubahan HP dari organ. Nilai data kuantitatif dikemukakan dalam bentuk Mean ± Standar Deviation, dan dilanjutkan dengan Duncan test untuk membandingkan kedua kelompok. Kebermaknaan dalam perbedaan hasil didapatkan dengan metode one-way ANOVA untuk menilai multi kelompok. Nilai p<0,05, ditetapkan hasilnya bermakna atau signifikan berbeda nyata.
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus laboratorium (Rattus norvegicus) jantan dewasa (Gambar 4). Tikus laboratorium memiliki daya adaptasi yang baik dan besar terhadap lingkungan sehingga cocok sebagai model dari berbagai penelitian; khususnya patofisiologi dan farmakologi (Smith dan Mangkoewidjojo 1987; Stevens and Hume 1996). Penggunaan jenis kelamin jantan karena ratio kejadian gastritis pada jantan dan betina adalah 1:1, ratio kejadian Peptic Ulcer Disease (PUD) pada jantan dan betina adalah 2:1 (Shayne 2006), serta untuk menghindari adanya faktor hormonal (siklus estrus) pada hewan betina. Telford dan Bridgman (1995) menyatakan bahwa mamalia memiliki empat regio pada lambung kelenjarnya, yaitu kardiak, fundus, korpus dan pilorus. Stevens and Hume (1996) menambahkan bahwa pada lambung tikus terdapat regio tambahan sebelum kardiak, yaitu nonglandular stratified squamous epithelium. Semua bagian lambung, baik lambung non-kelenjar maupun kelenjar akan dibahas berdasarkan parameter uji secara kualitatif, kuantitatif dan persentase, kecuali regio kardiak. Kelenjar kardiak sedikit jumlahnya karena luas regio kardiak yang sangat kecil pada organ lambung tikus (Telford dan Bridgman 1995). Keadaan ini yang mengakibatkan sulitnya mengamati regio kardiak berdasarkan parameter uji dalam penelitian, sehingga bagian lambung kelenjar diwakili oleh regio fundus, korpus dan pilorus. Menurut Wilson dan Lesser (1994) serta Chisholm (1998), terdapat tiga fase pelepasan asam HCl yang menyebabkan suasana asam dalam lumen lambung yaitu cephalic, gastric, dan intestine. Cephalik adalah fase produksi asam hidroklorida yang dimulai bahkan sebelum makanan masuk ke dalam lambung karena adanya induksi pada syaraf vagus. Dunlop dan Charles (2004) menyatakan bahwa
suasana
lambung
basa
(alkalosis)
selalu
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan diet, tidak adanya makanan yang masuk ke dalam lambung dan hilangnya periode transit makanan dalam lambung. Sekresi lambung normal dalam keadaan puasa atau lambung kosong terutama terdiri dari mukus; dan hanya sedikit asam (1-5 mEq/jam) dan pepsin (Wilson dan Lesser 1994). Penelitian ini menggunakan sukralfat sebagai obat sitoproteksi dosis 200 mg/tikus dalam
40
menghambat gastritis yang diinduksi oleh OAINS berupa asam asetil salisilat (AAS) dosis 400 mg/tikus.
PENGARUH SUKRALFAT PADA LAPISAN MUKUS Lambung normal memiliki faktor protektif atau defensif penting seperti sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa, faktor pertumbuhan sel epitel dan prostaglandin (Julius 1992; Chisholm 1998). Mukus atau lendir dapat disekresikan oleh sel leher (mucous neck cell) dan sel goblet. Mukus tersebut menutupi lumen lambung yang berfungsi sebagai proteksi pre-epitelial (Malik 1992; Chisholm 1998). Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa antara lain pelicin/barier dari kerusakan mekanis (Wilson dan Lesser 1994), barier terhadap asam, barier terhadap pepsin, pertahanan terhadap organisme patogen dan senyawa-senyawa berbahaya (Julius 1992), menjaga pH antara sel permukaan dan neutralisasi difusi kembali ion H+ (Setiawati 1992). Lesi mukosa yang terjadi akibat OAINS, dapat dinilai dari ketahanan mukosa lambung, yang dimulai dari mukus, baik ketebalan maupun kualitas mukus, struktur epitel serta kemampuan reparasi epitel. Menurut Wallace et al. (1995) dan Halter et al. (2001), kontak langsung obat dengan epitel mukosa lambung akan terjadi bila lapisan mukus yang merupakan pertahanan terdepan tidak berfungsi dengan baik. Fungsi mukus ini akan dipengaruhi oleh ketebalan dan kualitas mukus. Ketebalan mukus akan berhubungan erat dengan aktifitas sel goblet sebagai penghasil mukus. Gangguan dari fungsi mukus akan menyebabkan penetrasi obat akan mencapai epitel lambung. Reaksi epitel terhadap terjadinya kontak langsung dengan obat dapat digambarkan dengan meningkatnya growth factor, meningkatnya infiltrasi granulosit dan peningkatan proliferasi seluler. Pada hewan coba yang diberi aspirin atau indometasin terjadi kerusakan mukosa lambung disertai berkurangnya glikoprotein mukus dan hipersekresi asam lambung. Terjadinya hipersekresi asam lambung dan pepsin atau berkurangnya mikrosirkulasi dari lambung menjadi penyebab utama timbulnya lesi mukosa lambung (Nadi 1992). Asam asetil salisilat (AAS) adalah bahan yang sangat kuat menembus barier musin dan efektif dalam konsentrasi rendah sekalipun (Malik 1992).
41
Tabel 3. Rataan jumlah sel goblet pada lambung kelenjar regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Kelompok Lambung Kelenjar Regio Fundus Regio Pilorus a*) Plasebo 11,890±6,104 11,680±4,509a Kontrol (+) 18,510±10,032 b 17,180±9,734a Perlakuan 27,110±3,760c 27,630±4,038b
% Sel goblet
*) Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
b 48.9
a 20.7 20.7 Plasebo
a*) a
30.4
c b
47.1
32.2
Kontrol (+)
Perlakuan
Kelompok Fundus
Pilorus
*) Superskrip yang berbeda pada regio yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 7. Histogram persentase sel goblet pada lambung kelenjar regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Keterangan : Plasebo : diberi aquades Kontrol (+) : diberi AAS dosis 400 mg/tikus Perlakuan : diberi kombinasi sukralfat dosis 200 mg/tikus dan AAS dosis 400 mg/tikus Persentase jumlah sel goblet di regio fundus dan pilorus kelompok kontrol (+) lebih besar dari plasebo, sedangkan kelompok perlakuan lebih besar dari kontrol (+) (Tabel 3 dan gambar 7). Walaupun nilai sel goblet regio pilorus kelompok kontrol (+) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan plasebo, tetapi ada peningkatan jumlah sel goblet dari kelompok kontrol (+). Menurut Atuma (2000) sel goblet dapat meningkat jumlahnya dengan proses proliferasi dan metaplasia bila mukosa saluran pencernaan mengalami sakit atau inflamasi. Proliferasi sel goblet pada kelompok kontrol (+) diperlukan untuk meningkatkan sekresi mukus guna melindungi mukosa dari agen ulcerogenik AAS, tetapi AAS dapat menyebabkan perubahan kualitatif mukus (pengurangan glikoprotein) lambung yang dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin (Wilson dan Lesser 1994).
42
B
A
c
a a
C
D
c ab ab
ab
E
F c ab
ab Gambar 8. Gambaran histopatologi proliferasi sel goblet di lambung kelenjar. Keterangan: (A) plasebo regio fundus, (B) plasebo regio pilorus, (C)kontrol (+) regio fundus, (D) kontrol (+) regio pilorus, (E) perlakuan regio fundus dan (F) perlakuan regio pilorus; a=sel goblet, ab=proliferasi sel goblet, c=mukus. Pewarnaan PAS perbesaran 100x. Bar 2µm.
43
Persentase sel goblet kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (+). Hal ini kemungkinan sukralfat menyebabkan efek proliferasi sel goblet pada lambung yang di selaputinya, mengingat, mukus disekresikan oleh sel goblet dan salah satu mekanisme kerja sukralfat adalah hipersekresi mukus yang berguna sebagai buffer ion hidrogen melalui penggabungan dengan alumunium hydroxide (Gambar 8) (Danesh et al. 1988; Takahashi dan Susumu 1995). Jumlah sel goblet di regio fundus dan pilorus dari ketiga kelompok relatif sama. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan sel goblet pada lambung tidak dipengaruhi oleh suasana dan kondisi tiap bagian atau region lambung. PENGARUH SUKRALFAT PADA SEL PARIETAL DAN SEL CHIEF Tabel 4. Rataan sel parietal dan sel chief pada regio fundus/korpus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Fundus Pilorus Kelompok Sel Parietal Sel Chief Sel Parietal Sel Chief Plasebo Kontrol (+) Perlakuan
239,810±41,676a*)
277,130±98,172a
8,310±5,911a
316,550±81,866a
199,090±41,381b
254,230±59,663a
7,140±3,491a
322,950±55,142a
243,650±48,994a 304,810±40,559a 13,150±10,359a 323,690±56,340a *) Superscript pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf α<0,05 14.00
%sel kelenjar
12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
a*) a Fundus
a a Pilorus
kontrol (-) Sel parietal Sel chief
b a Fundus
a a Pilorus
kontrol (+)
a a Fundus
a a Pilorus
Perlakuan
9.55
0.33
7.93
0.28
9.70
0.52
11.04
12.61
10.12
12.86
12.14
12.89
Kelompok
*) Superskrip yang berbeda pada sel dan regio yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 9. Histogram persentase sel parietal dan sel chief regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Keterangan : Plasebo : diberi aquades Kontrol (+) : diberi AAS dosis 400 mg/tikus Perlakuan : diberi kombinasi sukralfat dosis 200 mg/tikus dan AAS dosis 400 mg/tikus
44
Rata-rata jumlah sel parietal dan chief kelompok kontrol (+) lebih kecil bila dibandingkan plasebo (kecuali sel chief regio pilorus) (Tabel 4 dan gambar 9). Hal ini terkait dengan kejadian erosi mukosa lambung kelompok kontrol (+) yang diinduksi oleh AAS. Erosi mukosa yang banyak terjadi pada kelompok kontrol (+) akan mengurangi jumlah sel parietal dan sel chief di mukosa lambung. Sedangkan jumlah sel parietal dan sel chief kelompok perlakuan relatif tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan plasebo. Hal ini karena sukralfat dapat menghambat dan/mengurangi kerusakan mukosa lambung yang diinduksi oleh OAINS (Konturek et al. 1986, Danesh et al.1988; Nadi 1992; Anonim 2007b). PENGARUH SUKRALFAT PADA PROSES PERADANGAN Lambung dapat mengalami inflamasi yang disebabkan oleh agen infeksius dan/non-infeksius pada semua regionya. Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal (Wilson dan Lesser 1994). Penelitian ini menggunakan agen noninfeksius AAS sebagai etiologi gastritis, karena AAS telah lama dikenal sebagai senyawa yang menyebabkan kerusakan topikal mukosa lambung (Wallace et al. 1995; Takeuchi et al. 1998). Menurut Wallace et al. (1995), kerusakan mukosa lambung yang disebabkan oleh AAS dosis toksik disertai oleh peningkatan infiltrasi granulocyte. Sel-sel mukosa mensintesis kemotaktik proinflamasi sebagai mediator inflamasi (MI) yang dapat menarik datangnya neutrofil ke arah agen perusak mukosa. (Dunlop dan Charles 2004). Sel radang dan agen perusak jaringan juga merupakan MI yang bersifat kemotaktik dalam respon kerusakan mukosa lambung. Oleh karena itu sel radang merupakan indikator terjadinya inflamasi mukosa lambung. Tabel 5. Rataan sel radang pada lambung non-kelenjar kelompok perlakuan dan kontrol Lapisan Lambung Kelompok Lamina Tunika Epitel Sub mukosa Serosa muscularis muscularis Plasebo Kontrol (+) Perlakuan
1,290±0,605a*) 8,830±16,291a 3,660±3,432a
1,780±0,549a 6,500±4,637b 9,280±5,753b
4,790±2,187a 22,650±15,501b 20,650±11,410b
2,670±1,382a 5,390±2,019b 1,790±1,777a
*) Superskript berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf α<0,05
0,280±0,402a 0,800±0,741b 0,220±0,405a
45
% Jumlah sel radang
30.0
b
b
20.0
a
10.0
a*) a
a
a
0.0
b
b b b
a
Plasebo Epitel Tunika muscularis
Kontrol (+) Kelompok Lamina muscularis Serosa
a
a
a
Perlakuan Submukosa
*) Superskrip yang berbeda pada lapis yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 10. Histogram persentase sel radang di lambung non-kelenjar kelompok perlakuan dan control Keterangan : Plasebo : diberi aquades Kontrol (+) : diberi AAS dosis 400 mg/tikus Perlakuan : diberi kombinasi sukralfat dosis 200 mg/tikus dan AAS dosis 400 mg/tikus Lambung kelompok kontrol (+) dan perlakuan memiliki rataan sel radang yang cukup tinggi pada lapisan mukosa dan submukosa dibanding plasebo (Tabel 5, 7 dan 8). Terdapatnya sel radang pada plasebo merupakan suatu keadaan fisiologis imunoprotektif lokal organ lambung yang normal pada tiap individu (Malik 1992), dan tikus yang digunakan Non-spesifik Pathogen Free (NSPF). Peningkatan sel radang pada semua lapisan lambung kelenjar maupun nonkelenjar kelompok kontrol (+) menandakan AAS bersifat toksik pada organ lambung. Peningkatan sel radang pada lapis mukosa dan submukosa lambung non kelenjar dan kelenjar kelompok perlakuan menandakan sukralfat tidak mampu menurunkan jumlah sel radang akibat peradangan yang diinduksi oleh AAS (Tabel 5, 7 dan 8). Semua lambung non-kelenjar dari ketiga kelompok menunjukan hasil rataan sel radang yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada lapis epitel (Tabel 5). Namun terdapat nilai rataan sel radang yang lebih besar dari kelompok kontrol (+) dan perlakuan terhadap plasebo. Peradangan merupakan respon mukosa lambung terhadap iritan lokal, termasuk AAS. Jumlah sel radang yang relatif besar pada lapis epitel lambung kelenjar maupun non-kelenjar kelompok kontrol (+) karena
46
AAS menginduksi proses gastritis superfisial akut (Tabel 5, 7 dan 8) (Wilson dan Lesser 1994). Jumlah sel radang yang tidak berbeda nyata (P>0,05) di lapis epitel kelompok perlakuan terhadap plasebo membuktikan bahwa sifat protektif lokal sukralfat efektif dalam menghambat perdangan di permukaan mukosa. Jumlah sel radang kelompok perlakuan menunjukan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) di lapis lamina muskularis dan sub mukosa dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hal ini membuktikan bahwa sukralfat kurang efektif untuk menghambat dan/mengurangi perdangan yang disebabkan oleh mekanisme perusakan sistemik AAS (Tabel 5). Lambung non-kelenjar kelompok kontrol (+) pada semua lapisan memiliki nilai rataan yang lebih besar dibandingkan plasebo, bahkan jumlah sel radang pada lapis lamina muskularis dan serosa sangat berbeda nyata (P<0,05) dibanding plasebo. Keadaan ini terjadi karena dosis 400 mg/tikus AAS yang digunakan dalam penelitian adalah dosis toksik (Anonim 2007d), dan kemungkinan dosis tersebut dapat menciptakan inflamasi bukan hanya pada lapis superfisial tapi sampai lapis yang lebih dalam (sampai tunika muskularis dan/serosa). Inflamasi yang terjadi pada lambung non-kelenjar kelompok perlakuan menandakan AAS dapat melewati keratin sebagai lapis pertahanan pertama lambung non-kelenjar (Gambar 11). Wimana (1995) menyatakan bahwa pemberian AAS per-oral akan cepat diabsorpsi dalam bentuk utuh di lambung sebesar 70 %. Kecepatan absorpsi tergantung dari bentuk obat, pH permukaan mukosa, dan waktu pengosongan lambung. Mekanisme kerja AAS dalam menimbulkan peradangan dan kerusakan mukosa lambung non-kelenjar dikarenakan AAS yang telah diabsorpsi akan menghambat biosintesis Prostaglandin E2 (PGE2) melalui penghambatan aktifitas enzim siklooksigenase (COX) (Hudson et al. 1997; Halter et al. 2001; Kartasasmita 2002). Prostaglandin E2 berefek protektif pada mukosa traktus gastrointestinal, sehingga penghambatan sintesisnya akan menurunkan ketahanan mukosa dan memicu kerusakan mukosa lambung (Kartasasmita 2002). Aktivitas inflamasi yang diselenggarakan oleh MI dimulai dengan hiperemi/dilatasi pembuluh darah mikrovaskula. Keberadaan MI dapat dihasilkan oleh agen infeksius maupun non infeksius secara cepat (Dunlop dan Charles 2004). Daerah hyperemi membentuk kapsul yang menimbulkan gap atau celah
47
antar endotel. Dengan demikian, terjadi peningkatan permeabilitas vaskula, sehingga meningkatkan tekanan hydrostatik di dalam kapiler yang mendorong cairan plasma darah (protein plasma seperti albumin dan fibrinogen) keluar mencapai ektravaskula. Cairan tersebut menggenangi daerah interstitium sebagai edema radang (Gambar 11, 14 dan 15) (Mac Farlane et al. 2000). Peningkatan aliran darah akan terlihat dari relaksasi vaskuler dan terjadinya edema (Guiliano 2002). Proses tersebut lebih mudah terjadi pada lapis submukosa karena lapis submukosa tersusun atas jaringan areoler yang banyak mengandung arteri-arteri kecil, pembuluh darah kapiler, vena, saluran limpa, serta pleksus syaraf meissner dan ganglion syaraf (Telford dan Bridgman 1995; Bevelander dan Ramaley 1998). Oleh karena itu gambar 10 dan 16 menunjukan persentase peradangan terbesar ada pada lapisan submukosa. Pada daerah submukosa dapat dilihat aktifitas sel radang, baik granulosit dan makrofag yang banyak dihubungkan dengan pembentukan radikal bebas. Daerah inflamasi selain mengalami hiperemi dan edema radang juga disertai adanya perubahan pengaliran leukosit di dalam vaskula yang mengalami vasodilatasi kapiler. Bila dalam kondisi normal sel-sel darah mengalir di tengah arus. Sedangkan dalam aliran darah yang lambat terjadi marginasi pengaliran leukosit, rolling leukosit sepanjang endotel, adhesi leukosit pada reseptor permukaan endotel dan diapedisis leukosit dari vaskula. Fenomena kemotaksis menuntun perjalanan amoeboid leukosit dengan mengikuti alur datangnya bahan kemotaktik mediator inflamasi dengan arah menuju konsentrasi yang lebih pekat. Leukosit yang tiba di interstitium daerah inflamasi itu bertindak sebagai sel-sel radang (Mac Farlane et al. 2000). Gastritis kronis terjadi bila adanya infiltrasi sel radang pada lamina propria dan/epitelial terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran neutrofil pada daerah tersebut menandakan peningkatan aktivitas gastritis kronis (Mac Farlane et al. 2000).
48
A
B d
1
a
2 3 4 c b 5
C
D d
g f e
b g Gambar 11. Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung nonkelenjar. Keterangan: (A) plasebo perbesaran 200x; (B) kontrol (+) perbesaran 40x, (C) perlakuan perbesaran 200x dan (D) perlakuan perbesaran 400x; 1=keratin, 2=epitel, 3=lamina muskularis, 4=submukosa, 5=tunika muskularis, a=ulkus, b=edema dan inflamasi mukosa-submukosa, c=inflamasi tunika muscularis, d=hiperkeratinisasi, e=eosinofil, f=neutrofil, g=makrofag. Pewarnaan HE. Bar 2µm.
Profil gastritis pada mukosa dan submukosa lambung non-kelenjar kelompok perlakuan membuktikan bahwa sukralfat dosis 200 mg kurang efektif menghambat gastritis yang diinduksi AAS dosis 400 mg/tikus pada tikus laboratorium. Tetapi tidak dapat dipungkiri adanya kerja sukralfat dalam melapisi
49
permukaan mukosa sebagai barier fisik yang ikut berpengaruh dalam menghambat peradangan hingga lapisan terdalam. Hal ini dibuktikan oleh nilai rataan sel radang pada lapis tunika muskularis dan serosa lambung non-kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (+). Sedangkan pada lambung kelenjar perlakuan terjadi penurunan jumlah sel radang yang bermakna terhadap kontrol (+) dilapis tunika muskularis dan serosa (Tabel 7 dan 8). Mekanisme proteksi mukosa lambung terhadap kerusakan oleh faktor agresif dan defensif ini disebut dengan istilah sitoproteksi. Meskipun mekanisme sitoproteksi ini belum diketahui secara pasti, ada bukti bahwa prostaglandin endogen memegang peranan penting (Setiawati, 1992). Stern et al. (1987) menyatakan sukralfat dapat menstimulasi peningkatan PGE2. Secara kualitatif lambung non-kelenjar kelompok kontrol (+) mengalami ulkus, selain tanda inflamasi seperti kongesti, perdarahan, infiltrasi sel radang, serta edema. Sedangkan kelompok perlakuan hanya mengalami perubahanperubahan inflamasi tanpa ulkus (Gambar 11). Kemungkinan ulkus dapat terbentuk di lambung kelompok perlakuan dan telah mengalami persembuhan karena sukralfat efektif dalam menyembuhkan ulkus dengan sifat sitoprotektifnya yang diberikan terus menerus selama seminggu setelah aplikasi kombinasi sukralfat dan AAS dihentikan. Sifat protektif lokal sukralfat mampu menghambat kontak langsung agen ulcerogenik (termasuk faktor agresif) dengan mukosa lambung, sehingga peradangan dapat dihentikan dan terjadi persembuhan mukosa. Sukralfat dapat menghambat aktivitas fibrinolitik dan peptik (Hudson 1997); dan umum digunakan untuk menyembuhkan gastroduodenal ulcer. (Anonim 2007a). Tabel 6. Persentase skoring inflamasi pada lambung non kelenjar dan kelenjar Kelompok
Lambung Non Kelenjar (%)
Lambung Kelenjar (%)
0 6,4 4,3
19.1 36.2 34.0
Plasebo Kontrol (+) Perlakuan Penentuan skoring
:
0
: : :
1 2 3
Bila tidak terdapat perubahan histopatologi (non spesifik lesio) Bila terdapat tanda-tanda peradangan Bila terdapat perdarahan atau erosi mukosa lambung Bila terdapat perdarahan atau erosi di beberapa tempat
50
Sama seperti lambung non-kelenjar, lambung kelenjar kelompok perlakuan juga mengalami peradangan. Persentase inflamasi yang terjadi pada lambung kelenjar lebih besar dari pada lambung non-kelenjar (Tabel 6). Hal ini karena lambung non kelenjar di lapisi oleh keratin yang impermeable dan tebal, serta terdapatnya faktor agresif asam dan pepsin yang akan memperbesar inflamasi di lambung kelenjar, selain AAS (Julius 1992; Duntop dan Charles 2004). Walaupun kejadian gastritis tetap muncul pada lambung kelompok perlakuan tetapi persentase kejadiannya berkurang, baik pada lambung kelenjar maupun non kelenjar. (Tabel 6). Hal ini membuktikan bahwa sukralfat bekerja dalam mengurangi kejadian gastritis yang diinduksi oleh AAS dengan sifat sitoproteksinya. Inhibition of tromboxane produktion in platelet *inhibition of platelet aggregation *increase in bleeding time Overall effect:GI bleeding
Inhibition of PG synthesis *decrease in mucus and bicarbonate secretion *vasocontriction Overall effect:Impairmant of Mucosal defence & repair
NSAID
Inhibition of repair mechanisms *inhibition of cell proliferation *increase in apoptosis *inhibition of angiogenesis Overall effect:Impalment of GI repair
Topical irritant properteis *increase in GI permeability *drug trapment in gastric cells *uncoupling of oxidative phosphorylation in mitochondria *loss of cytoskletal control over tight juntion *decreas in gel hydrophobicity Overall effect:GI erosions/ulcers Damage to blood vessels *Increase in adhesion molecules *accumulation of leucocytes *injury to endothelial cells Overall effects:GI erosions/ulcers Various other effect of NSAIDs: *inhibition of various other enzymes including phospholipase (ie, sulindac) *reactive oxygen species *interactions with inducible nitric oxide synthese & nitric oxide *direct effect on the gene (ie, aspirin)
Gambar 12. Mekanisme perusakan mukosa gastrointestinal oleh NSAID (Halter et al. 2001) Secara kualitatif pada regio fundus dan pilorus kelompok kontrol (+) menunjukan beberapa bentukan ulkus dan/erosi selain tanda peradangan yang ada (Gambar 14 dan 15). Chisholm (1998) serta Dunlop dan Charles (2004) menyatakan bahwa ketidakseimbangan faktor protektif dengan faktor agresif (asam dan pepsin) adalah faktor penting terjadinya erosi dan/tukak mukosa lambung. Asam lambung hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang berperan dalam patogenesis tukak peptik. Asam asetil salisilat (AAS) dapat
51
mengubah permeabilitas jaringan epitel yang memungkinkan difusi balik ion H+ dengan akibat kerusakan jaringan, khususnya pembuluh darah. Histamin yang dikeluarkan akan merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan hemoragi interstitial dan perdarahan (Gambar 12, 13, 14 dan 15) (Malik 1992; Wilson dan Lesser 1994). Fenomena ini dapat terjadi pada semua bagian lambung, dan sedikit terjadi difusi kembali ion H+ pada lambung nonkelenjar karena struktur anatominya terlapisi oleh keratin yang impermeable terhadap asam HCl (Dunlop dan Charles 2004), sehingga lambung kelenjar mengalami inflamasi yang lebih parah dibandingkan lambung non-kelenjar. Asam dalam lumen +empedu, ASA, dan lain-lain Penghancuran epitel mukosa
Asam kembali berdifusi ke mukosa Penghancuran sel mukosa
Pepsinogen --- Pepsin
Asam
Histamin
Perangsangan kolinergik Fungsi mukosa
Motilitas Pepsinogen
Vasodilatsi Odema
Penghancuran kapiler dan vena kecil Perdarahan Tukak dan/erosi
Gambar 13. Konsekuensi patofisiologi dari difusi balik ion H+ melalui kerusakan epitel (Wilson dan Lesser 1994)
52
A
B 1
a b 2
4
3
D
C
e d c
e a
E
F e d a
b c
a
c
Gambar 14. Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung kelenjar regio fundus dan korpus. Keterangan: (A) plasebo perbesaran 100x, (B, C dan D) kontrol (+) perbesaran 100x, (E) perlakuan perbesaran 40x dan (F) perlakuan perbesaran 100x; 1=epitel, 2=lamina muskularis, 3=submukosa, 4=tunika muskularis, a=erosi, b=fokus nekrosa, c=peradangan dan edema submukosa, d=perdarahan, e=infiltrasi sel radang. Pewarnaan HE. Bar 2µm.
53
A
B
a
1 c 3 2 4
C
D d
b
g g f
e
E
F d
c
b
h
d
e Gambar 15. Gambaran histopatologi inflamasi dan kerusakan mukosa lambung kelenjar regio pilorus. Keterangan: (A) plasebo perbesaran 100x, (B dan C) kontrol (+) perbesaran 100x, (D) kontrol (+) perbesaran 400x, (E) perlakuan perbesaran 100x dan (F) perbesaran 200x; 1=epitel, 2=lamina muskularis, 3=submukosa, 4=tunika muskularis, a=ulkus, b=erosi, c=fokus nekrosa, d=infiltrasi sel radang, e=peradangan dan edema submukosa, f=makrofag, g=neutrofil, h=mukus. Pewarnaan HE. Bar 2µm.
54
Lambung kelenjar kelompok perlakuan hanya mengalami erosi ringan pada regio pilorus selain tanda peradangan lainnya (Gambar 14 dan 15). Menurut Wilson dan Lesser (1994), mukosa pilorus lebih peka terhadap difusi balik asam, sehingga kerusakan mukosa lebih sering terjadi pada regio pilorus dibanding fundus. Ulkus yang tidak terdapat pada lambung kelenjar kelompok perlakuan kemungkinan sama keadaannya di lambung non kelenjar. Kemungkinan sukralfat dapat menghambat kejadian ulkus dan/ulkus yang terbentuk telah mengalami persembuhan karena sifat sitoprotektif sukralfat yang diaplikasikan selama seminggu setelah aplikasi kombinasi sukralfat dan AAS dihentikan. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya bentukan ulkus baik pada lambung nonkelenjar dan kelenajar kelompok perlakuan (Gambar 11, 14 dan 15). Penelitian pada hewan coba menunjukan bahwa sukralfat efektif mencegah kerusakan mukosa lambung (ulkus peptikum) dan gejala-gejala saluran cerna akibat penggunaan OAINS (Setiawati 1992; Anonim 2007c). Mekanisme protektif dan anti-ulcer sukralfat belum sepenuhnya jelas, tapi sukralfat dapat membentuk ikatan dengan molekul protein pada dasar ulkus yang berguna sebagai pelindung permukaan ulkus dari kerusakan lebih lanjut (Konturek et al. 1986, Chisholm 1998; Anonim 2007b). Profil gastritis pada lambung kelenjar kelompok perlakuan juga menjelaskan bahwa sukralfat tidak mampu menghambat peradangan yang diiinduksi oleh AAS (Tabel 6, 7, 8; Gambar 14 dan 15). Sukralfat dapat menstimulasi peningkatan sintesis PGE2 mukosa, sekresi bikarbonat dan sekresi mukus (Konturek et al. 1986; Danes et al. 1988; Setiawati 1992; Anonim 2007c). Namun, tetap munculnya gastritis dan erosi ringan pada kelompok perlakuan kemungkinan karena dosis toksik akut AAS 400 mg/tikus memberikan efek yang terlalu besar untuk dihambat oleh sukralfat dosis 200 mg pada tikus laboratorium. Secara in-vitro sukralfat mampu mengabsopsi sedikit AAS (1-4 mg/g sukralfat) (David et al. 1984), dan penelitian pada tikus laboratorium menunjukan bahwa sukralfat tidak mampu mencegah absobsi AAS karena ditemukannya AAS dalam serum setelah 4 jam aplikasi (Danesh et al. 1988).
55
Tabel 7. Rataan sel radang pada lambung kelenjar regio fundus dan korpus kelompok perlakuan dan kontrol Lapisan Kelompok Lamina Tunika Epitel Sub mukosa muscularis muscularis
Serosa
Plasebo
35,800±15,124a*)
23,700±16,765a
15,850±18,216a
1,200±0,892a
0,930±1,106a
Kontrol (+)
63,400±29,237b
36,080±11,773b
35,150±18,658b
4,140±3,056b
2,190±5,171a
Perlakuan
37,160±12,680a
41,830±10,142b
44,210±15,187b
1,890±1,704a
1,170±0.972a
*) Superskript berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf α<0,05
Tabel 8. Rataan sel radang pada lambung kelenjar regio pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Lapisan Kelompok Lamina Tunika Epitel Sub mukosa muscularis muscularis
Serosa
Plasebo
45,430±29,324a
25,710±5,974a
17,870±9,345a
0,460±0,626a
0,480±0,571a
Kontrol (+)
68,200±27,178a
36.730±9,228b
32.350±11,678b
4,230±3,100b
11,470±21,541a
Perlakuan
46,970±9,859a
35,540±10,829b
48,060±13,398c
2,810±4,089ab
7,700±12,228a
% sel radang
*) Superskript berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf α<0,05
10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
a
a a a*)
b
b b a
a
a
b
a
a a a
Fundus
a
b b
c b
a a a
Pilorus
kontrol (-)
b a
Fundus
b
Pilorus
kontrol (+)
ab
a a
Fundus
a
Pilorus
Perlakuan
Kelompok Epitel
Lamina muskularis
Sub mukosa
Tunika muskularis
Serosa
*) Superskrip yang berbeda pada lapis dan regio yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 16. Grafik persentase sel radang di regio fundus dan pilorus kelompok perlakuan dan kontrol Keterangan : Plasebo : diberi aquades Kontrol (+) : diberi AAS dosis 400 mg/tikus Perlakuan : diberi kombinasi sukralfat dosis 200 mg/tikus dan AAS dosis 400 mg/tikus
56
Secara kuantitatif, jumlah sel radang lambung kelenjar lebih banyak dibanding lambung non-kelenjar. Fenomena ini mendukung pernyataan diatas bahwa lambung kelenjar mengalami gastritis yang lebih parah dibanding lambung non-kelenjar. Tabel 7 dan 8 menunjukan bahwa jumlah sel radang di seluruh lapisan regio fundus dan pilorus kelompok kontrol (+) sangat berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok plasebo (keculai epitel dan serosa). Walaupun jumlah sel radang lapis epitel dan serosa (fundus dan pilorus) kelompok kontrol (+) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan plasebo, tetapi ada peningkatan sel radang pada lapisan tersebut di kelompok kontrol (+). Kemungkinan kelompok plasebo mengalami gastritis superfisial karena jumlah sel radang di epitel regio fundus dan pilorus cukup besar (Tabel 7, 8 dan gambar 16) dan jumlahnya hampir sama dengan kelompok perlakuan pada lapis dan regio yang sama. Keadaan ini kemungkinan karena adanya gangguan non spesifik yang biasa ditemukan pada hewan Non-spesifik Pathogen Free (NSPF) yang dipelihara secara konvensional dan mungkin pernah terpapar beberapa agen eksogenous. Jumlah sel radang di lapis epitel kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kelompok plasebo. Hal ini membuktikan bahwa sukralfat memiliki efektifitas dalam membentuk proteksi lokal di permukaan mukosa lambung. Inflamasi yang terjadi pada lambung kelenjar kelompok perlakuan di lapis lamina muskularis dan submukosa (regio fundus dan pilorus) membuktikan bahwa sukralfat kurang efektif dalam menghambat dan atau mengurangi peradangan yang disebabkan oleh perusakan sistemik AAS (Tabel 7 dan 8). Hal ini juga membuktikan adanya kerja sukralfat dalam menghambat dan/mengurangi fokus peradangan di lapisan tunika muskularis dan serosa. Kemungkinan sukralfat memiliki mekanisme lain untuk menghambat peradangan hingga lapisan terdalam selain membentuk lapisan barier fisik di mukosa lambung kelenjar (Danes et al. 1988; Anonim 2007b). Hal ini karena banyaknya faktor yang mendukung kerusakan
mukosa
lambung
kelenjar
dibanding
lambung
non-kelenjar.
Mekanisme perusakan mukosa oleh faktor agresif AAS (Gambar 12 dan 17) diperkuat oleh adanya proses pelepasan asam hidroklorida, pepsin, dan hormon gastrin di lambung kelenjar yang selanjutnya akan memperbesar proses peradangan dan kerusakan mukosa lambung (Julius 1992; Setiawati 1992; Wilson
57
dan Lesser 1994). Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan kerusakan mukosa lambung-duodenum (Setiawati 1992). Asam Empedu, Kortikosteroid, alkohol, aspirin Peningkatan permeabilitas mukosa Peningkatan difusi balik dari ion hidrogen
Pelepasan pepsin dari sel chief
Pelepasan histamin lokal Edema, peningkatan, permeabilitas kapiler
Peradangan dan kerusakan mukosa (erosi/tukak)
Gambar 17. Patogenesis peradangan dan kerusakan mukosa lambung (Wilson dan Lesser 1994) Mekanisme kerja sukralfat antara lain meningkatkan sekresi mukus yang berguna sebagai buffer ion hidrogen melalui penggabungan dengan alumunium hydroxide; meningkatkan sekresi bikarbonat yang berguna untuk menetralkan asam hidroklorida di lumen; dan meningkatkan sekresi PGE2 yang berguna dalam meningkatkan aliran darah mukosa dan meningkatkan sekresi mukus dan bikarbonat (Konturek et al. 1986, Danes et al. 1988, Setiawati 1992; Takahashi dan Susumu 1995; Anonim 2007a). Kemungkinan juga sukralfat tidak mampu menghambat peradangan disebabkan oleh mulai berkurang/hilangnya kemampuan protektif lokal sukralfat setelah 4 jam aplikasi dan kerusakan mukosa oleh AAS dimulai 10 menit setelah aplikasi serta bersifat sistemik (Danesh 1988). Sedangkan dalam penelitian AAS diberikan setelah 3 jam pemberian sukralfat. Nilai tabel 7 dan 8, serta gambar 16 menunjukan peradangan terbesar ada pada regio pilorus dibanding fundus. Keadaan ini dipengaruhi oleh fisiologis selsel setempat (yaitu: sel parietal, sel chief dan sel G) sebagai faktor pembesar peradangan. Asam dan pepsin merupakan faktor agresif terjadinya kerusakan
58
mukosa dan tukak peptik lambung (Julius 1992; Wilson dan lesser 1994). Penelitian pada hewan coba memberikan hasil bahwa kemungkinan AAS menyebabkan hipersekresi asam lambung dan pepsin (Nadi 1992). Peradangan dan kerusakan mukosa lebih besar terjadi pada regio pilorus karena pada regio tersebut memiliki banyak sel chief sebagi penghasil pepsin (Tabel 4), dan menurut Wilson dan Lesser (1994) mukosa pilorus lebih peka terhadap difusi balik asam dibanding fundus.
59
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi dan analisis ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan dari seluruh parameter uji dalam penelitian ini maka diperoleh kesimpulan bahwa sukralfat dosis 200 mg/tikus efektif membentuk mukoproteksi melalui proliferasi sel goblet dan kurang efektif menghambat gastritis yang diinduksi oleh AAS dosis 400 mg/tikus pada tikus Sprague-Dawley dengan BB 300 g.
SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian dengan sukralfat dosis bertingkat untuk mengetahui dosis efektif sukralfat dalam menghambat gastritis oleh AAS. 2. Waktu pemberian AAS setelah sukralfat diperpendek. 3. Waktu penelitian lebih diperpanjang dengan jumlah hewan yang lebih banyak. 4. Analisa biokimia darah untuk menunjang hasil analisa jaringan.
60
DAFTAR PUSTAKA Adi, Pangestu. 2002. Paradigma Baru pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik. http://www.pgh.or.id/Lambung_per.html. [20 Agustus 2006]. Anonim. 2007a. Sucralfate. http://en.wikipedia.org/wiki/Sukralfate. [16 Agustus 2007]. _______. 2007b. Anti-Ulcer Agents. http://redpoll.pharmacy.ualberta.ca. [16 Agustus 2007]. _______. 2007c. Sucralfate (Carafate®). http://rxcarecanada.com/Sucralfate.asp. [16 Agustus 2007]. _______. 2007d. Chemical and Society. http://www.cem.msu.edu. [28 November 2007]. _______. 2006a. Inpepsa® suspensi. Fahrenheit. Tangerang: PT. Pratapa Nirmala. _______. 2006b.. Annual Report of the America Association of poison Control Toxic Exposure Surveillance System. In Aspirin. http://en.wikipedia.org/wiki/Aspirin. [13 November 2005]. Atuma, Christer. 2000. Gastrointestinal Mucosal Protective Mechanisms. Uppsala: Acta Univesitatis Upsaliensis. Pp: 9-44. Bevelander, Garrit dan Judith A. Ramaley. 1998. Dasar-Dasar Histologi. Edisi kedelapan. Alih bahasa Gunarsa. Erlangga. Hal: 245-252. Chisholm, Marie A. 1998. Parmacotherapy of Duodenal and Gastric Ulcerations. American Jurnal of Pharmaceutical Education. Vol. 62: 196-223. Cryer B. 2002. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug Injury. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. th Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7 edistion. Editor: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH. Saunders Philadelphia. Pp. 408. dalam Paradigma Baru pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik oleh Pangestu Adi. http://www.pgh.or.id/Lambung_per.html. [20 Agustus 2006]. Curran, R.C. 1994. Colour Atlas Of Histopathology. 3th edition. Harvey Miller Publishers Oxford University Press : Britain. Pp. 64-66. Danesh BJZ, A Duncan, RI Russell, and G Mitchell. 1988. Effect of Intragastric pH On Mucosal Protective Action of Sucralfate. Gastroentrology Unit, Royal Inirmary, Galsgow, Scotland. Vol. 29: 1379-1385.
61
David Y. Graham, Jeffrey W. Sackman, Dennis H. Giesing and Dennis J. Runser. 1984. In vitro adsorption of bile salts and aspirin to sucralfate. Digestive Diseases and Sciences. Volume 29, Number 5. Pp. 402-406. Donald, Plumb. 1995. Veterinary Drug Handbook. 2th edition. Iowa State University Press : USA. Hal: 55-57. Dunlop, RH and Charles. 2004. Veterinery Pathophysiology. Chapter 4. Irwa, USA: Blackwell Publishing. Pp: 112-139. Ebel, S. 1992. Obat Sintetik ’Buku Ajar Dan Buku Pegangan’. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal: 42-50. Feldman M. 2002. Gastric Secretion. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7thedistion. Editor: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH. Saunders Philadelphia. Pp. 408. dalam Paradigma Baru pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik oleh Pangestu Adi. http://www.pgh.or.id/Lambung_per.html. [20 Agustus 2006]. Giulliano F, Warner TD. 2002. Origins of Prostaglandin E2: Involvements of Cyclooxygenase (COX)-1 and COX-2 in human and rat systems. JPET303:1001-1006. Halter
F,
AS Tarnawski, A Schmassmann and BM Peskar. 2001. Cyclooxygenase-2 implication on maintenance of gastric mucosal integrity and ulcer healing: controversial issues and perspectives. Gut 49: 443-453.
Hudson N, FE Murray, AT Cole, B Filipowicz, CJ Hawkey. 1997. Effect of Sucralfate On Aspirin Induced Mucosal Injury and Impaired Heamostasis in Humans. Division of Gastroentrology, University Hospital, Nottingham. Vol. 41: 19-23. Julius. 1992. Patogenesis Tukak Peptik. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 9-13. Kartasasmita, Rahmana Emran. 2002. Perkembangan Obat Antiradang Bukan Steroid. Acta Pharmaceutica Indonesia. Vol. 27, No. 4. Hal 75-91. Konturek, S J, N Kwiecien, W Obtulowicz, B Kopp, and J Oleksy. 1986. Double Blind Controlled Study On the Effect of Sucralfate On Gastric Prostaglandin Formation and Microbleeding in Normal and Aspirin Treated Man. Vol. 27:1450-1456. Mac Farlene PS, R Reid and R Callander. 2000. Pathology Illustrated. Toronto. Huerchill livingstone. Hal: 32-53; 301-310.
62
Malik, Amirmuslim. 1992. Mekanisme Proteksi Mukosa Saluran Cerna. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 5-8. Miller, George C. Kent Larry. 1996. Comparative Anatomy of the Vertebrates. 8th Ed. Ganon University. WCB WMC. Brown Publishers. Pp. 279-281. Myrnawati. 2005. Mewaspadai Efek Samping http://sinarharapan.co.id. [13 November 2005].
Obat
Rematik.
Nadi, Sujono. 1992. Hasil Pengobatan Gastritis dengan Traksat Empat Kali Sehari Dibandingkan dengan Dua Kali Dua Sehari. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 18-21. Robinson R. 1979. Taxonomy and Genetic. In The Laboratory Rat. Vol 1. J. B. Henry., J. R. Linsey and S. H. Weisbroth (eds). Academic Press. San Diego. Pp. 77-83. Setiawati, Arini. 1992. Farmakologi dan Penggunaan Terapi Obat-obat Sitoproteksi. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 29-35. Smith, John B. and Soesanto Mangkoewidjojo. 1987. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Indonesia University Press. Hal. 37-38. Spechler SJ. 2002. Peptic Ulcer Disease and Its Complication. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. th Pathophysiology/Diagnosis/Management. 7 edistion. Editor: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH. Saunders Philadelphia. Pp. 715. dalam Paradigma Baru pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik oleh Pangestu Adi. http://www.pgh.or.id/Lambung_per.html. [20 Agustus 2006]. Stevens, C. Edward and Ian D. Hume. 1996. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive System. 2th Ed. Cambridge University Press. Pp. 16-18, 67-70, 246-248. Swan J. 2003. Digestive System. Online Anatomy and Phisiology Resources at The University of New Mexico. http://webanatomy.net. [20 Agustus 2006]. Swenson MJ. 1984. Secretory Function of the Gastrointestinal Track. in Dukes Physiology of Domestic Animal. 10th Ed. Swenson MJ, editor. London : Cornell University Press. Pp. 282, 293-294. Shayne, Philip. 2006. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. http://emedicine.com. [20 Agustus 2006].
63
Stern AI, F Ward and G Hartley . 1987. Protective Effect of Sucralfate Against Aspirin Induced Damage to the Human Gastric Mucosa. Am J Med. Vol. 83(3B): 83-5. Takahashi, Satoru and Susumu Okabe. 1995. Sucralfate. Department of Applied Pharmacology, Kyoto Pharmaceutical University, Kyoto 607, Japan. Pp. 197-207. Takeuchi, Koji, Hideki Ukawa, Akira Konaka, Motohiro Kitamura, and Yasunari Sugawa. 1998. Effect of Nitric Oxide-Releasing Aspirin Derivate on Gastric Functional and Ulcerogenic Responses in Rats: Comparison With Plain Aspirin. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 286:115-121. Telford, Ira R. and Charles F. Bridgman. 1995. Introduction to Functional Histology. 2th Ed. Harper Collins College Publisher. Pp. 309-316. Tortora and Grabowski. 1996. Stomach. www.rivm.nl/.../stomach-figure2_tcm75-26457.gif. [28 November 2007]. Weihe, W. A. 1989. The Laboratory. In Rat The UFAW Handbook on thye Care and Management of Animal. 6th ed. T. B. Poole and R. Robinson eds. Longman Scientific and Technical. England. Pp. 309-324. Wallace, John L, McKnight GW, and Bell CJ. 1995. Adaptation of rat gastric mucosa to aspirin requires mucosal contact. Am J Phisiol 268 (Gastrointest Liver Physiol). Vol. 95: 134-138. Wilson LM dan LB Lesser. 1994. Patofisiologi Saluran Cerna : Lambung Dan Duodenum. dalam Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi keempat. Peter Anugrah, penerjemah; Caroline Wijaya, editor. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Pathophysiology. Clinical Concepts of Disease Processe. 4th Ed. Price SA dan LM Wilson, editor. Hal: 371-375. Wimana, F. Freddy. 1995. Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-inflammasi Non Steroid dan Obat Pirai. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke 4. Edt, Sulistia G. Ganiswara, et al. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal: 207-222. Widjaja, Surja. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Kedua ’Patologi Khusus’: Saluran Pencernaan. Sutisna Hirmawan, editor. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 199-200. Wongso, Sayan, Asman Manaf dan Julius. 1992. Proteksi Mukosa Lambung terhadap Obat-obat Anti Inflamasi Nonsteroid. Cermin Dunia Kedokteran. No. 79. Hal: 22-25.
64
LAMPIRAN
65
Lampiran 1. Perhitungan Dosis Obat 1. Obat cacing (Albendazole) Ds. : 10 mg/kgBB BB tikus : 200 g Ds. per 1 ekor tikus : 10 mg/kgBB = (10 mg/ 1000 g) / 200 g = 2 mg Jumlah tikus : 34 ekor Jumlah bungkus yang diperlukan =....??? = 34 x 2 mg = 68 mg 1 bungkus = 5 g/100 ml ~ 5.000 mg/100 ml ~ 100 mg/ 2ml 1 bungkus dilarutkan 20 ml maka, untuk satu kali pemberian per tikus 0.44-0.5 ml 100 mg/2 ml dalam 20 ml aquades Tiap tikus diberikan 0.44-0.5 ml larutan 0.44 ml larutan mengandung 2 mg Albendazole
2. Anti Jamur (Fluconazole) Dosis : 40 mg/kg (human dewasa) Dosis for 1 ekor tikus : 10 mg/tikus 1 bungkus obat berisi : 50 mg Jumlah tikus : 31 ekor Jumlah bungkus yang diperlukan =....??? = (31 × 10 mg) / 50 mg/bungkus = 6.2 bungkus/hari ~ 7 bungkus/hari 1 bungkus dilarutkan 5 ml aquades 7 bungkus dilarutkan 35 ml aquades Maka, untuk 3 hari = 3 × 7 bungkus = 21 bungkus. 7 bungkus dalam 35 ml aquades Tiap tikus diberikan 1 ml larutan 1 ml larutan mengandung 10 mg Fluconazole
3. Antibiotik (Tertracyclin) 1 kapsul mengandung : 250 mg Ds. ±250 g tikus : 100 mg/ekor/hari 2 kapsul untuk 5 ekor tikus 31 ekor tikus : 3100 mg Jumlah bungkus yang diperlukan = ....??? = (3100 mg / 250 mg) × 1 kapsul = 12.4 kapsul/hari ~ 13 kapsul/hari 13 kapusl × 250 mg = 3250 mg 13 kapsul dilarutkan 32.5 ml aq.= 1 ml mengandung 100 mg Tertacyclin Maka, untuk 3 hari = 3 × 13 kapsul = 39 kapsul 13 kapsul dalam 32.5 ml aquades Tiap tikus diberikan 1 ml larutan 1 ml larutan mengandung 100 mg Tetracyclin
66
4. Asam Asetil Salisilat Dosis yang diberikan kepada tikus (BB±250 g) : 400 mg/ekor/hari 1 botol : 30 g = 30000 mg Jumlah tikus : 20 ekor Kebutuhan untuk 3 hari = 3 × 20 ekor × 400 mg = 22500 mg 5 g dilarutkan 20 ml aq. = 5000 mg / 20 ml = 250 mg/ml 5 g dalam 20 ml aquades Tiap tikus diberikan 2 ml larutan 1,6 ml larutan mengandungan 400 mg AS
5. Mucoprotectan Inpepsa® (Sukralfat) Komposisi : tiap 5 ml suspensi mengandung 500 mg Ds. yang diberikan kepada tikus = 2 ml/ekor
67
Lampiran 2. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi 1. Sample organ diambil dan diawetkan dalam larutan BNF 10 %. 2. Sample dipotong memanjang dengan ketebalan ±5 mm sesuai bagian yang akan diamati, yaitu lambung non-kelenjar, fundus, corpus, dan pilorus. 3. Pengambilan air dari jaringan (dehidrasi): Organ lambung didehidrasi dengan alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari 70 %, 80 %, 90 %, 95 %, dan 100 % (absolut). Masing-masing konsentrasi membutuhkan waktu 2 menit. 4. Tahap penjernihan: Organ lambung dimasukkan ke dalam larutan Xylene sebanyak 3 kali selama 30 menit. 5. Penanaman dalam parafin (embedding dan blok): Organ lambung ditanam ke dalam parafin cair dalam lemari pemanas selama 2 jam dan kemudian organ dimasukan ke blok pencetak. 6. Blok parafin dibekukan kemudian disimpan dalam lemari es. 7. Blok dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 5 µm (agar hasil potongan tidak mengkerut maka potongan diletakkan diatas permukaan air yang bersuhu 40oC), hasil potongan kemudian diangkat dengan gelas objek. 8. Gelas objek tersebut disimpan dan dikeringkan ke dalam inkubator Memert, Jerman dengan suhu 55 oC selama 1 malam. 9. Pewarnaan.
68
Lampiran 3. Pewarnaan Hemaktosilin-Eosin (HE) menurut metode Meyer 1. Sediaan gelas objek dari inkubator dimasukkan ke dalam xylol 1 dan 2 selama 2 menit. 2. Gelas objek kemudian dimasukan ke dalam alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari absolut selama 2 menit, 95 % selama 1 menit, dan 80 % selama 1 menit. 3. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 1 menit. 4. Pewarnaan Hematoksilin; dilakukan dengan memasukan sediaan ke dalam zat warna hematoksilin selama 2-3 menit. 5. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. 6. Pencerahan warna biru dalam litium carbonat selama 15-30 detik. 7. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. 8. Pewarnaan Eosin; dilakukan dengan memasukan sediaan ke dalam zat warna eosin selama 2-3 menit. 9. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 2 menit. 10. Proses dehidrasi: sediaan dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat yaitu 95 % sebanyak 10 kali celupan, absolut 1 sebanyak 10 kali celupan dan absolut 2 selama 2 menit. 11. Penjernihan: proses ini dilakukan dengan dimasukkan sediaan ke dalam xylol 1 selama 1 menit dan xylol 2 selama 2 menit. 12. Kemudian terakhir ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan zat perekat entelen.
69
Lampiran 4. Pewarnaan Periodic Acid Schiff-Alcian Blue (PAS) 1. Sediaan gelas objek dari inkubator dimasukkan ke dalam xylol 1 dan 2 selama 2 menit. 2. Gelas objek kemudian dimasukan ke dalam alkohol konsentrasi bertingkat mulai dari absolut selama 2 menit, 95 % selama 1 menit, dan 80 % selama 1 menit. 3. Lalu dibilas dengan air mengalir selama 1 menit. 4. Sediaan dimasukan ke dalam larutan asam asetat 1 %. 5. Lalu dibilas dengan aquades selama 1 menit. 6. Oksidasi ke dalam Periodic acid 1 % selama 5-10 menit. 7. Bilas dengan aquades sampai tiga kali, masing-masing selama 5 menit. 8. Sediaan dimasukan ke dalam Schiff reagent sampai 2 kali, masing-masing selama 2 menit. 9. Bilas dengan air sulfit sampai 3 kali. Catatan: air bisulfit terdiri atas 10 ml sodium bisulfat (NaHSO3), 10 ml HCl 1N, dan 200 ml aquades. 10. Bilas dengan air mengalir selama 10-15 menit. 11. Bilas dengan aquades selama 15 detik. 12. Pewarnaan Hematoksilin; dilakukan dengan memasukan sediaan ke dalam zat warna hematoksilin selama 15 detik. 13. Bilas dengan air dan aquadest selama 2 menit. 14. Proses dehidrasi: sediaan dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat yaitu 95 % sebanyak 10 kali celupan, absolut 1 sebanyak 10 kali celupan dan absolut 2 selama 2 menit. 15. Penjernihan: sediaan dimasukkan ke dalam xylol 1 selama 1 menit dan xylol 2 selama 2 menit. 16. Kemudian terakhir ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan zat perekat entelen.
70
Lampiran 5. Olahan Data Sel Radang di Lambung Non-Kelenjar Descriptives Kel.
Lapisan lambung
Epitel
Lamina muscularis
Sub mukosa
Tunika muscularis
Serosa
N
+ P Total + P Total + P Total + P Total + P Total
10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Minim um
Maxim um
8.8300
16.29131
5.15176
-2.8241
20.4841
1.50
54.80
1.2900
.60452
.19117
.8576
1.7224
.00
2.40
3.6600
3.43194
1.08528
1.2049
6.1151
.00
9.90
4.5933
9.81779
1.79247
.9273
8.2594
.00
54.80
6.5000
4.63681
1.46629
3.1830
9.8170
3.00
16.00
1.7800
.54934
.17372
1.3870
2.1730
1.10
2.80
9.2800
5.75341
1.81939
5.1643
13.3957
3.10
18.70
5.8533
5.19169
.94787
3.9147
7.7919
1.10
18.70
22.3600
15.50084
4.90180
11.2714
33.4486
4.60
52.00
4.7900
2.18706
.69161
3.2255
6.3545
2.20
8.90
20.6500
11.40986
3.60812
12.4879
28.8121
5.40
40.60
15.9333
13.46058
2.45755
10.9071
20.9596
2.20
52.00
5.3900
2.01905
.63848
3.9457
6.8343
3.10
9.00
2.6700
1.38247
.43718
1.6810
3.6590
.50
4.50
1.7900
1.77730
.56203
.5186
3.0614
.00
4.40
3.2833
2.29513
.41903
2.4263
4.1404
.00
9.00
.8000
.74087
.23428
.2700
1.3300
.00
2.20
.2800
.40222
.12719
-.0077
.5677
.00
1.20
.2200
.40497
.12806
-.0697
.5097
.00
1.30
.4333
.58447
.10671
.2151
.6516
.00
2.20
Test of Homogeneity of Variances Lapisan Lambung Epitel Lamina muskularis Sub mukosa Tunika muskularis Serosa
Levene Statistic 3.587 11.025 6.592 .758 5.352
df1 2 2 2 2 2
df2 27 27 27 27 27
Sig. .042 .000 .005 .478 .011
ANOVA Lapisan Lambung Epitel
Lamina muskularis Sub mukosa
Tunika muskularis Serosa
Sum of Squares Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
297.325 2497.954 2795.279 287.523 494.132 781.655 1877.229 3377.198 5254.427 70.443 82.319 152.762 2.035 7.872 9.907
df
Mean Square 2 27 29 2 27 29 2 27 29 2 27 29 2 27 29
F
Sig.
148.662 92.517
1.607
.219
143.761 18.301
7.855
.002
938.614 125.081
7.504
.003
35.221 3.049
11.552
.000
1.017 .292
3.489
.045
71
Duncan test Epitel
-
10
Subset for alpha = .05 1 1.2900
P
10
3.6600
+
10
8.8300
KELOMPOK N
Sig.
.108
Lamina muskularis KELOMPO K
Subset for alpha = .05 N
+ P
10 10 10
Sig.
1 1.7800
2 6.5000 9.2800 .158
1.000
Sub mukosa KELOMPO K
Subset for alpha = .05 N
P +
10 10 10
Sig.
1 4.7900
1.000
2 20.6500 22.3600 .735
Tunika muskularis KELOMPO K
Subset for alpha = .05 N
P +
10 10 10
Sig.
1 1.7900 2.6700 .270
2
5.3900 1.000
Serosa KELOMPO K P +
Subset for alpha = .05 N 10 10 10
1 .2200 .2800
2
.8000 .806 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000. Sig.
72
Lampiran 6. Olahan Data Sel Radang di Regio Fundus dan Korpus Descriptives Lapisan lambung
Epitel
Lamina musculari s
Sub mukosa
Tunika musculari s
Serosa
Kel.
+ P Total + P Total + P Total + P Total + P Total
Mean
Std. Deviatio n
Std. Error
10
63.4000
29.23742
9.24568
42.4848
84.3152
22.30
119.50
10
35.8000
15.12379
4.78256
24.9811
46.6189
15.00
61.10
10
37.1600
12.67966
4.00966
28.0895
46.2305
15.60
55.70
30
45.4533
23.51775
4.29373
36.6717
54.2350
15.00
119.50
10
36.0800
11.77255
3.72281
27.6584
44.5016
23.50
60.00
10
23.7000
16.76511
5.30159
11.7070
35.6930
6.20
64.60
10
41.8300
10.14244
3.20732
34.5745
49.0855
26.40
55.60
30
33.8700
14.87827
2.71639
28.3144
39.4256
6.20
64.60
10
35.1500
18.65781
5.90012
21.8030
48.4970
13.00
78.00
10
15.8500
18.21619
5.76046
2.8189
28.8811
1.70
61.70
10
44.2100
15.18672
4.80246
33.3461
55.0739
13.80
64.10
30
31.7367
20.67101
3.77399
24.0180
39.4553
1.70
78.00
10
4.1400
3.05621
.96646
1.9537
6.3263
.60
11.00
10
1.2000
.89194
.28206
.5619
1.8381
.40
3.20
10
1.8900
1.70388
.53882
.6711
3.1089
.40
5.30
30
2.4100
2.38260
.43500
1.5203
3.2997
.40
11.00
10
2.1900
5.17117
1.63527
-1.5092
5.8892
.00
16.70
10
.9300
1.10559
.34962
.1391
1.7209
.00
3.70
10
1.1700
.97188
.30734
.4748
1.8652
.20
3.10
30
1.4300
3.04633
.55618
.2925
2.5675
.00
16.70
N
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minim um
Maxi mum
Test of Homogeneity of Variances Lapisan Lambung Epitel Lamina muskularis Sub mukosa Tunika muskularis Serosa
Levene Statistic 1.960 .327 .072 4.354 2.703
df1 2 2 2 2 2
df2 27 27 27 27 27
Sig. .160 .724 .930 .023 .085
ANOVA Lapisan Lambung Epitel
Lamina muskularis
Sub mukosa
Tunika muskularis
Serosa
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups Within Groups Total Between Groups
4840.491 11198.964 16039.455
2 27 29
2420.245 414.776
5.835
.008
1716.746
2
858.373
4.928
.015
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups
4702.777 6419.523 4196.211 8195.219 12391.430
27 29 2 27 29
174.177 2098.105 303.527
6.912
.004
47.274
2
23.637
5.438
.010
Within Groups Total Between Groups Within Groups
117.353 164.627 8.952 260.171
27 29 2 27
4.346 .465
.633
4.476 9.636
73
Duncan test Epitel Subset for alpha = .05
KELOMPO K
N
P +
1 35.8000 37.1600
10 10 10
Sig.
2
63.4000 1.000
.882
Lamina muskularis Subset for alpha = .05
KELOMPO K
N
+ P
1 23.7000
10 10 10
Sig.
2 36.0800 41.8300 .339
1.000
Sub mukosa KELOMP OK
N
+ P
10 10 10
Sig. Tunika muskularis KELOMP OK P +
Subset for alpha = .05 1 2 15.8500 35.1500 44.2100 1.000 .255 Subset for alpha = .05
N 10 10 10
1 1.2000 1.8900
Sig.
.466
2
4.1400 1.000
Serosa
-
10
Subset for alpha = .05 1 .9300
P
10
1.1700
+
10
2.1900
KELOMPOK
Sig.
N
.400 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
74
Lampiran 7. Olahan Data Sel Radang di Regio Pilorus Descriptives Kel.
Lapisan lambung Epitel
Lamina muscular is
Sub mukosa
Tunika muscular is
Serosa
+ P Total + P Total + P Total + P Total + P Total
N
Mean
10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30
68.2000 45.4300 46.9700 53.5333 36.7300 25.7100 35.5400 32.6600 32.3500 17.8700 48.0600 32.7600 4.2300 .4600 2.8100 2.5000 11.4700 .4800 7.7000 6.5500
Std. Deviation 27.17834 29.32447 9.85867 25.25767 9.22822 5.97392 10.82869 9.95610 11.67840 9.34476 13.39794 16.80377 3.08979 .62574 4.08859 3.28214 21.54092 .57116 12.22756 14.56069
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error 8.59455 9.27321 3.11759 4.61140 2.91822 1.88912 3.42433 1.81773 3.69303 2.95507 4.23680 3.06793 .97708 .19788 1.29293 .59923 6.81184 .18062 3.86670 2.65841
48.7578 24.4525 39.9175 44.1020 30.1285 21.4365 27.7936 28.9423 23.9958 11.1852 38.4757 26.4854 2.0197 .0124 -.1148 1.2744 -3.9394 .0714 -1.0471 1.1129
87.6422 66.4075 54.0225 62.9647 43.3315 29.9835 43.2864 36.3777 40.7042 24.5548 57.6443 39.0346 6.4403 .9076 5.7348 3.7256 26.8794 .8886 16.4471 11.9871
Minim um
Maxi mum
29.60 20.80 32.50 20.80 22.90 13.10 22.20 13.10 16.50 7.00 21.70 7.00 .80 .00 .00 .00 .00 .00 .00 .00
134.60 114.10 63.20 134.60 51.20 32.00 60.10 60.10 52.60 37.00 69.80 69.80 9.30 1.60 11.90 11.90 72.00 1.50 28.20 72.00
Test of Homogeneity of Variances Lapisan Lambung Epitel Lamina muskularis Sub mukosa Tunika muskularis Serosa
Levene Statistic 1.617 .916 .484 8.075 3.774
df1 2 2 2 2 2
df2 27 27 27 27 27
Sig. .217 .412 .622 .002 .036
ANOVA Lapisan Lambung Epitel
Lamina muskularis
Sub mukosa
Tunika muskularis
Serosa
Sum of Squares
Mean Square
df
F
Sig.
Between Groups Within Groups Total Between Groups
3238.525 15262.022 18500.547
2 27 29
1619.262 565.260
2.865
.074
731.618
2
365.809
4.609
.019
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups
2142.974 2874.592 4559.702 3628.930 8188.632
27 29 2 27 29
79.369 2279.851 134.405
16.963
.000
72.506
2
36.253
4.080
.028
Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
239.894 312.400 623.738 5524.657 6148.395
27 29 2 27 29
8.885 1.524
.236
311.869 204.617
75
Duncan test Epitel
-
10
Subset for alpha = .05 1 45.4300
P
10
46.9700
+
10
68.2000
KELOMPOK N
Sig.
.051
Lamina muskularis Subset for alpha = .05
KELOMP OK
N
P +
10 10 10
Sig.
1 25.7100
2 35.5400 36.7300 .767
1.000
Sub mukosa KELO N MPOK -
10
+
10
P
10
Subset for alpha = .05 1 17.870 0
2
32.350 0
Sig. 1.000 Tunika muskularis KELOMPO K P +
3
48.060 0 1.000
1.000
Subset for alpha = .05 N
1 .4600 2.8100
10 10 10
Sig.
.089
2 2.8100 4.2300 .296
Serosa
-
10
Subset for alpha = .05 1 .4800
P
10
7.7000
+
10
11.4700
KELOMPOK
Sig.
N
.115 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
76
Lampiran 8. Olahan Data Sel parietal dan sel chief di Lambung Kelenjar Descriptives Sel
Fundus red cell
Fundus blue cell
Pylorus red cell
Pylorus blue cell
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minim um
Maxi mum
13.08587
169.4877
228.6923
134.10
276.70
13.17920
209.9966
269.6234
165.80
290.40
15.49340
208.6015
278.6985
174.10
313.10
47.28591
8.63319
209.8598
245.1735
134.10
313.10
59.66322
18.86717
211.5495
296.9105
185.20
387.10
277.1300
98.17297
31.04502
206.9013
347.3587
163.70
462.60
304.8100
40.55861
12.82576
275.7961
333.8239
244.70
374.50
278.7233
71.05448
12.97271
252.1912
305.2555
163.70
462.60
7.1400
3.49132
1.10405
4.6425
9.6375
2.20
14.40
8.3100
5.91090
1.86919
4.0816
12.5384
2.00
19.30
13.1500
10.35881
3.27574
5.7398
20.5602
.00
29.70
9.5333
7.41142
1.35313
6.7659
12.3008
.00
29.70
322.9500
55.14156
17.43729
283.5041
362.3959
202.00
394.80
316.5500
81.86630
25.88840
257.9864
375.1136
214.20
486.90
323.6900
56.34080
17.81652
283.3862
363.9938
204.80
391.00
321.0633
63.39831
11.57489
297.3900
344.7366
202.00
486.90
Std. Deviation
Kel.
N
Mean
+ P Total + P Total + P Total + P Total
10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30 10 10 10 30
199.0900
41.38114
239.8100
41.67630
243.6500
48.99443
227.5167 254.2300
Std. Error
Test of Homogeneity of Variances Sel
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Fundus red cell
.447
2
27
.645
Fundus blue cell Pylorus red cell
2.886
2
27
.073
4.848
2
27
.016
Pylorus blue cell
.977
2
27
.389
ANOVA Sum of Squares
Sel Fundus red cell
Fundus blue cell
Pylorus red cell
Pylorus blue cell
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Mean Square
df
12194.859
2
6097.429
52647.903 64842.762
27 29
1949.922
12829.763
2
6414.881
133583.691 146413.454
27 29
4947.544
203.049
2
101.524
1389.898 1592.947
27 29
51.478
308.291
2
154.145
116252.719 116561.010
27 29
4305.656
F
Sig.
3.127
.060
1.297
.290
1.972
.159
.036
.965
77
Duncan test Fundus red celll KELOMP N OK
Subset for alpha = .05 1
2
+
10
199.0900
-
10
239.8100
P
10
243.6500
Sig.
1.000
.847
Fundus blue cell
+
10
Subset for alpha = .05 1 254.2300
-
10
277.1300
P
10
304.8100
KELOMPOK
N
Sig.
.140
Pylorus red cell KELOMPO N K +
10
Subset for alpha = .05 1 7.1400
-
10
8.3100
P
10
13.1500
Sig. Pylorus blue cell KELOMPO N K
.087
Subset for alpha = .05 1 10 316.5500 + 10 322.9500 P 10 323.6900 Sig. .821 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
78
Lampiran 9. Olahan Data Sel Goblet di Lambung Kelenjar Descriptives Sel
N
Mean
Std. Deviatio n
Std. Error
+
10
18.5100
10.03211
3.17243
Kel.
Sel goblet fundus
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 11.3335
25.6865
Minim um
Maxim um
6.50
38.70
-
10
11.8900
6.10381
1.93020
7.5236
16.2564
4.80
24.80
P
10
27.1100
3.75957
1.18888
24.4206
29.7994
20.60
33.00
Total
30
19.1700
9.34600
1.70634
15.6801
22.6599
4.80
38.70
+
10
17.1800
9.73388
3.07812
10.2168
24.1432
7.70
36.70
-
10
11.6800
4.50871
1.42578
8.4547
14.9053
5.80
21.50
P
10
27.6300
4.03761
1.27681
24.7417
30.5183
19.50
34.10
Total
30
18.8300
9.27597
1.69355
15.3663
22.2937
5.80
36.70
Sel goblet pilorus
Test of Homogeneity of Variances Sel Sel goblet fundus Sel goblet pilorus
Levene Statistic 2.343 3.924
df1
df2
Sig.
2 2
27 27
.115 .032
ANOVA Sum of Squares
Sel Sel goblet fundus
Sel goblet pilorus
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Mean Square
df
F
1164.776
2
582.388
1368.307 2533.083
27 29
50.678
1312.850
2
656.425
1182.413 2495.263
27 29
43.793
Sig.
11.492
.000
14.989
.000
Duncan Test Sel goblet fundus KELOM N Subset for alpha = .05 POK
-
10
+
10
P Sig.
1 11.890 0
2
Sel goblet pilorus KELOMPOK
3 + P
18.510 0
10 1.000
1.000
Subset for alpha = .05
N
27.110 0 1.000
10 10 10
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000.
1 11.6800 17.1800 .074
2
27.6300 1.000