1
EFEK PAKAN MENGANDUNG ISOFLAVON KEDELAI TERHADAP BOBOT BADAN DAN KADAR ANDROGEN SERUM TIKUS JANTAN
BINA PERTAMASARI
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
ABSTRAK BINA PERTAMASARI. Efek Pakan Mengandung Isoflavon Kedelai terhadap Bobot Badan dan Kadar Androgen Serum Tikus Jantan. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH dan WARAS NURCHOLIS. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang dapat memberikan efek estrogenik dan atau antiestrogenik. Kedelai adalah sumber utama penghasil isoflavon. Isoflavon kedelai diduga antiestrogenik terhadap bobot badan dan kadar androgen tikus jantan. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh pemberian pakan mengandung isoflavon kedelai terhadap bobot badan dan kadar androgen tikus jantan Sprague-Dawley. Dua puluh delapan ekor tikus dibagi ke dalam 7 kelompok yaitu satu kelompok kontrol negatif dan enam kelompok perlakuan (tiga kelompok diberikan pakan isoflavon serbuk kacang kedelai (K1, K2, K3) dan tiga kelompok diberikan pakan isolat kacang kedelai (I1, I2, I3)). Parameter yang diamati meliputi bobot badan, konsumsi-efisiensi pakan, berat feses, dan kadar androgen serum (testosteron dan dihidrotestosteron). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan isoflavon K2, K3, I1, I2, dan I3 berpengaruh meningkatkan bobot badan tikus jantan sedangkan pakan K1 menurunkan. Semua pakan isoflavon kedelai dalam penelitian ini berpengaruh signifikan (p<0.05) menurunkan kadar androgen testosteron serum. Presentase rata-rata penurunan testosteron tertinggi adalah kelompok K2 (95.11%), yang diamati pada kelompok tikus yang diberi pakan K2 sedangkan persentase terendah adalah 16.24%, yang diamati pada kelompok pakan I2. Namun, setiap pakan isoflavon kedelai dalam penelitian ini berpengaruh tidak signifikan (p>0.05) meningkatkan kadar androgen dihidrotestosteron. Persentase rata-rata tertinggi dari peningkatan tersebut diamati pada kelompok pakan K2 (325.44%), dan terendah adalah pada kelompok pakan K1 (175.05%). Kata kunci: Isoflavon kedelai, bobot badan, antiestrogenik, testosteron, dihidrotestosteron
3
ABSTRACT BINA PERTAMASARI. The Effect of Soybean Isoflavone Containing Feed against Serum Androgen Level of Male Rats. Under supervision of EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH and WARAS NURCHOLIS. Isoflavone is a phytoestrogen. It can trigger both of estrogenic and antiestrogenic effects. Soybean was known as main source of isoflavone. It was suspected that soybean isovlavone had an antiestrogenic effect against body weight and androgen level of male rats. The objective of this research was to examine the influence of soybean isoflavone feeding against the body weight and androgen level of Sprague-Dawley male rats. Twenty eight rats were divided into seven groups which consist of one negative control group and six experimental groups (three groups were given soybean powder feedings (K1, K2, and K3) and three groups on soybean isolate feedings (I1, I2, and I3). The examined parameters were body weight, feeding consumption-efficiency, feces weight, and serum androgen levels (testosterone and dihydrotestosterone). The result showed that K2, K3, I1, I2, and I3 feeding increased body weight of male rats, whereas K1 feeding decreased them. The isoflavones used in this research has significantly reduced (p<0.05) androgen testosterone serum level. The highest reduction average percentage was on group K2 (95.11%), whiles the lowest percentage, on the other hand (16.24%) was observed on the group of I2 feeding. However, each soybean isoflavone-containing feed has insignificantly increased (p>0.05) androgen dihydrotestosterone. The highest average percentage of this increase was seen at the group of K2 feeding (325.44%), while the lowest one was on group of K1 feeding (175.05%). Key words: Soybean isoflavone, body weight, antiestrogenic, testosterone dihydrotestosterone
4
EFEK PAKAN MENGANDUNG ISOFLAVON KEDELAI TERHADAP BOBOT BADAN DAN KADAR ANDROGEN SERUM TIKUS JANTAN
BINA PERTAMASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
5
Judul Skripsi :rEfek Pakan Mengandung Isoflavon Kedelai terhadap Bobot Badan dan Kadar Androgen Serum Tikus Jantan Nama : Bina Pertamasari NIM : G84070008
Disetujui, Komisi Pembimbing
Drs. Edy Djauhari Purwakusumah, M.Si Ketua
Waras Nurcholis, S.Si, M.Si Anggota
Diketahui,
Dr. I Made Artika, M.App.Sc Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus:
6
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga memberikan kekuatan bagi Penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang diberi judul Efek Pakan Mengandung Isoflavon Kedelai terhadap Bobot Badan dan Kadar Androgen Serum Tikus Jantan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2011 sampai dengan Desember 2011 di Animal Laboratory, Pusat Studi Biofarmaka dan Laboratorium Biokimia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Edy Djauhari dan Bapak Waras Nurcholis selaku komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan motivasi yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih terdalam penulis sampaikan kedua orang tua Penulis Baban Aswin (alm.) dan Rina Suminarsih, S.Pd, M.Pd, serta kedua adik Penulis Deta Lestari dan Tiray Winandasari yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan bagi Penulis. Terima kasih pula kepada Elsa, Kurnia, Danio selaku rekan kerja, Bapak Aulia, Ibu Susi, dan Ibu Salina, yang telah memberikan bantuan. Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat berguna bagi Penulis sendiri maupun bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Juli 2012
Bina Pertamasari
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada 1 Oktober 1989 dari ayah Baban Aswin (alm.) dan ibu Rina Suminarsih, S.Pd, M.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2007, Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cicurug dan di tahun yang sama Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui undangan seleksi masuk (USMI) di Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama perkuliahan, penulis pernah aktif di sejumlah unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan organisasi kemahasiswaan. Tahun 2007-2008 Penulis menjadi staf human resources development (HRD) Century IPB. Penulis di tahun 2008-2009 aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB menjadi staf Kementerian Pendidikan, dan dilanjutkan pada tahun 2009-2010. Selain itu di tahun yang sama (2008-2009), Penulis juga aktif di Himpunan Profesi Community of Research and Education in Biochemistry (CREBs) sebagai staf divisi Bioanalisis. Tahun 2010-2011 Penulis menjadi sekretaris kementerian di Kementrian Pengembangan Potensi Sumber Daya Manusia (PPSDM) BEM KM IPB. Penulis juga aktif dari tahun 2009 sebagai asisten praktikum Biokimia Umum untuk Mahasiswa Departemen Biologi, Budi Daya Perairan, dan Fakultas Kedokteran Hewan dan tahun 2010 sebagai asisten praktikum Pengantar Penelitian Biokimia untuk mahasiswa Departemen Biokimia. Selain itu, di tahun 2011 penulis menjadi asisten praktikum Biokimia Umum untuk mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Budi Daya Perairan, dan Fakultas Kedokteran Hewan. Selama perkuliahan, Penulis pernah melakukan praktik lapang di Laboratorium Fisika Kimia PT INDOLAKTO di Sukabumi selama 2 bulan dan menulis laporan ilmiah yang berjudul Analisis Fisika Kimia pada Produk Akhir Susu Kental Manis Indomilk PT Indolakto. Sebagai pengalaman profesi, Penulis pernah mengajar di bimbingan belajar mahasiswa “Katalis” tahun 2009-2010.
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ x PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 1 Kedelai ............................................................................................................ 1 Isoflavon .......................................................................................................... 2 Bobot Badan .................................................................................................... 4 Estrogenik dan Antiestrogenik ......................................................................... 4 Androgen ......................................................................................................... 4 Hewan Coba .................................................................................................... 6 Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ................................................. 7 BAHAN DAN METODE .................................................................................... 7 Bahan dan Alat ................................................................................................ 7 Metode............................................................................................................. 7 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 9 Pengaruh Perlakuan Pemberian Pakan terhadap Bobot Badan Hewan Coba .... 9 Pengaruh Perlakuan Pemberian Pakan terhadap Kadar Testosteron dan dihidrotestosteron Hewan Coba ...................................................................... 13 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 17 Simpulan........................................................................................................ 17 Saran.............................................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 18 LAMPIRAN ...................................................................................................... 23
9
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi zat gizi kedelai 100 gram bahan kering .......................................... 2 2 Kadar isoflavon pada berbagai bahan makanan ............................................... 3 3 Kadar protein pakan perlakuan ....................................................................... 8 4 Bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses .................... 13 5 Kadar testosteron dan DHT .......................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman kedelai ............................................................................................. 2 2 Biosintesis isoflavon ....................................................................................... 3 3 Biosintesis androgen ....................................................................................... 5 4 Tikus Sprague-Dawley .................................................................................... 7 5 ELISA reader .................................................................................................. 7 6 Bobot badan selama perlakuan ...................................................................... 10 7 Konsumsi pakan kelompok tikus ................................................................. 11 8 Berat feses selama perlakuan ......................................................................... 12 9 Kadar testosteron dan DHT kelompok tikus .................................................. 16
10
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram penelitian secara umum .................................................................. 24 2 Rancangan percobaan.................................................................................... 25 3 Komposisi bahan untuk pembuatan 50 kg pakan ........................................... 26 4 Analisis testosteron ....................................................................................... 27 5 Analisis dihidrotestosteron ............................................................................ 28 6 Koefisien korelasi Pearson bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses hewan coba ........................................................................... 29 7 Data bobot badan tikus selama perlakuan ...................................................... 30 8 Data konsumsi pakan tikus selama perlakuan ............................................... 31 9 Data berat feses tikus selama perlakuan ......................................................... 32 10 Koefisien korelasi Pearson kadar testosteron dan dihidrotestosteron.............. 33 11 Hasil analisis statistik kadar testosteron dan dihidrotestosteron...................... 34 12 Data dan kurva standar testosteron hewan coba ............................................. 35 13 Data dan kurva standar dihidrotestosteron hewan coba ................................. 37 14 Data konsentrasi isoflavon ........................................................................... 39
1
PENDAHULUAN Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Tanaman ini kaya akan protein nabati yang sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan dan murah harganya. Kedelai biasanya dikenal sebagai tanaman pangan dan sayuran. Namun kini diketahui bahwa kedelai juga berkhasiat sebagai obat. Hal ini dikarenakan oleh adanya senyawa bioaktif pada kedelai yang bermanfaat menjaga dan memperbaiki sistem fisiologis, maupun pencegahan penyakit, terutama terdapat pada bagian biji (Asih 2009). Senyawa bioaktif tersebut adalah isoflavon (Okamato et al. 2006). Isoflavon umum ditemukan pada kacang-kacangan dan utama ditemukan pada kedelai (Cornwell et al. 2004). Isoflavon dikenal sebagai fitoestrogen karena struktur molekul isoflavon mirip dengan struktur estrogen endogen. Hal ini menyebabkan isoflavon dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), dan mampu memberikan efek estrogenik dan atau efek antiestrogenik (Robertson 2000). Penelitian banyak menyoroti efek estrogenik isoflavon di antaranya isoflavon dapat membantu meringankan gejala pascamenopause dan melindungi terhadap penyakit kronik, seperti kanker payudara dan endometrium (Anupongsanugool et al. 2005). Namun perlu diketahui isoflavon dapat pula bersifat antiestrogenik. Rendahnya kejadian kanker prostat dan ginekomastia pada pria di negara-negara Asia, seperti Cina dan Jepang dibandingkan dengan kejadian di Amerika, diduga akibat efek antiestrogenik dari isoflavon kedelai yang dikonsumsi tinggi di Asia (White et al. 2010). Efek antiestrogenik isoflavon pada pria berbentuk kompetisi isoflavon dengan estrogen endogen dalam mengikat RE. Keterikatan isoflavon dengan RE mengakibatkan estrogen endogen tinggi. Normalnya ketika estrogen endogen tinggi, akan terjadi umpan balik negatif sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH) hipotalamus, yang selanjutnya mengurangi sensivitas hipofisis anterior dalam memproduksi luteinizing hormone (LH), kemudian menurunkan sintesis testosteron di sel Leydig, menyebabkan kadar testosteron berkurang, dan menghambat aromatisasi testosteron (Hoffman et al. 2009). Namun, ketika isoflavon berikatan dengan RE, isoflavon diduga memicu terjadinya inhibisi
mekanisme umpan balik negatif estrogen terhadap GnRH (Shabsigh et al. 2005). Isoflavon berikatan dengan RE, diduga mencegah estrogen dari membatasi pelepasan GnRH. GnRH kemudian menstimulasi hipofisis anterior untuk melepaskan LH, sehingga terjadi peningkatan sintesis testosteron oleh testis, dan terjadi peningkatan kadar testosteron (Shabsigh et al. 2005). Menurut Astuti dan Sutyarso (2010), pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari terhadap tikus jantan strain Sprague-Dawley dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum. Efek antiestrogenik isoflavon lainnya adalah isoflavon diduga dapat meningkatkan katabolisme sel lemak sehingga dapat menurunkan kadar lemak tubuh, dan berakibat pada turunnya bobot badan (Tolman et al. 2008). Hal ini bermanfaat karena obesitas dan kelebihan berat badan merupakan faktor risiko penyakit kronis, termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, serta rendahnya kadar testosteron (Kuntana 2009). Menurut Zhang et al. (2009) konsumsi isoflavon kedelai dosis 1.5 dan 4.5 g/kg bb/ekor/hari dapat menyebabkan penurunan bobot badan pada tikus jantan Sprague-Dawley. Namun penelitian mengenai pengaruh berbagai macam pakan isoflavon kedelai (serbuk kacang kedelai dan isolat kacang kedelai) terhadap bobot badan dan kadar androgen tikus jantan Sprague-Dawley belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh pemberian pakan mengandung isoflavon kedelai terhadap bobot badan dan kadar androgen tikus jantan Sprague-Dawley. Hipotesis penelitian ini adalah pemberian pakan mengandung isoflavon kedelai mampu menurunkan bobot badan, serta meningkatkan kadar testosteron dan dihidrotestosteron tikus jantan Sprague-Dawley. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai manfaat isoflavon kedelai sehingga dapat dijadikan pengobatan alternatif penyakit kekurangan androgen.
TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Tanaman kedelai termasuk kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dikotiledon, ordo Polipetales, famili Leguminosae, genus Glycine, dan spesies Glycine max L. Merill (Gambar 1). Kedelai dapat tumbuh baik di
2
daerah dengan ketinggian maksimal 500 m di atas permukaan laut. Akar kedelai adalah akar tunggang dengan bintil-bintil yang menempel pada akar yang merupakan kumpulan bakteri Rhizobium. Batang kedelai beruas-ruas 3-6 cm, cabang tumbuh tegak, berdaun lebar, dan tinggi berkisar antara 30-100 cm. Daun kedelai termasuk daun majemuk dengan tiga buah anak daun, bentuk oval, dan ujung lancip. Bunga kedelai berbentuk seperti kupukupu, warnanya ungu atau putih, dan muncul pada ketiak daun. Buah kedelai berbentuk polong, berisi 4 biji setiap polong, dan warna polong kuning kecoklatan atau abu-abu (Marsudi 2007). Biji kedelai dibedakan atas tiga warna, yaitu kuning, hitam, dan hijau, yang secara kimia tidak terdapat perbedaan komposisi gizi (Astawan 2009). Kedelai mengandung sekitar 35-45% protein, 12-30% karbohidrat, 18-32% lemak, dan 7% air per 100 gram (Ristek 2012), serta sejumlah vitamin, yakni vitamin B kompleks (Fafioye et al. 2005), mineral seperti kalsium, tembaga, besi, magnesium, mangan, kalium, natrium, seng (Ibrahim et al. 2008), dan serat (Tabel 1). Kedelai memiliki 8 asam amino esensial yaitu isoleusin, leusin, lisin, treonin, valin, metionin, fenilalanin, dan triptofan, dengan asam amino pembatas metionin dan sistein, serta kandungan asam amino yang cukup tinggi lisin dan treonin. Kandungan lisin yang tinggi dalam kedelai sangat menguntungkan, karena pada umumnya makanan pokok sangat miskin akan lisin. Kombinasi kedelai dengan sumber karbohidrat seperti beras, jagung, sagu, terigu, dan singkong adalah sangat baik untuk kelengkapan gizi (Astawan 2009). Kedelai juga kaya akan asam amino glisin dan arginin yang berperan aktif menurunkan kadar kolesterol, rendah kandungan asam amino bersulfur yang dapat mencegah osteoporosis, dan komponen antikanker antara lain inhibitor protease, fitat, saponin, fitosterol, dan asam lemak omega-3 (Silalahi 2006).
Gambar 1 Tanaman kedelai (Deptan 2012)
Tabel 1 Komposisi zat gizi kedelai dalam 100 gram bahan kering Zat gizi kedelai Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat Kalsium Fosfor Besi Tiamin Riboflavin Niasin Asam pantotenat Piridoksin Biotin Kobalamin Asam amino esensial
Jumlah 6.1 gram 46.2 gram 19.1 gram 28.2 gram 3.7 gram 254 mgram 781 mgram 11 mgram 0.48 mgram 0.15 mgram 0.67 mgram 430 mkg 180 mkg 35 mkg 0.2 mkg 17.7 gram
Sumber: Astawan (2009)
Isoflavon Isoflavon termasuk golongan senyawa flavonoid, salah satu metabolit sekunder tanaman, dicirikan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6, dan melimpah pada tanaman polong-polongan (Gueven 2011). Isoflavon pada tanaman berfungsi sebagai fitoaleksin (Robinson 1995). Fitoaleksin adalah suatu senyawa antimikrobial yang dibiosintesis dan diakumulasikan oleh tanaman setelah terjadi infeksi dari mikroorganisme patogen, terpapar senyawa kimia tertentu, atau iradiasi dengan sinar ultraviolet yang berguna mencegah patogenisasi. Isoflavon juga merupakan persinyalan yang dibentuk oleh kedelai guna menarik bakteri rizhobial (Barnes 2010). Biosintesis isoflavon ditunjukkan pada Gambar 2. Prekursor biosintesis isoflavon adalah asam amino L-fenilalanin. Enzim fenilalanin amonia liase (PAL) mengkatalisis hilangnya gugus amina dari asam amino fenilalanin menghasilkan asam sinamat. Reaksi kedua dan ketiga, sinamat 4-hidroksilase (C4H) dan 4-kumarat KoA ligase (4CL) mengkonversi asam sinamat menjadi p-kumariol-KoA. Kalkon sintase (CHS) selanjutnya melakukan katalisis pada kondensasi p-kumaroil-KoA dengan tiga molekul malonil-KoA untuk membentuk kerangka flavonoid C15, kalkon. Tanaman legum menghasilkan dua jenis kalkon, tetrahidroksi kalkon (naringenin kalkon) dan trihidroksi kalkon (isoliquiritigenin kalkon) dengan reaksi enzimatik tambahan yang dikatalisis oleh kalkon reduktase (CHR), sedangkan tanaman non-legum hanya menghasilkan naringenin kalkon (Dhaubhadel et al. 2003).
3
Naringenin kalkon dan isoliquiritigenin kemudian dikonversi ke flavanon. Naringenin kalkon dikonversi ke naringenin flavanon dan isoliquiritigenin dikonversi ke liquiritigenin oleh enzim kalkon isomerase (CHI). Migrasi aril untuk menciptakan isoflavon dimediasi oleh isoflavon sintase (IFS). Reaksi ini juga membutuhkan reduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dan molekul oksigen sehingga menghasilkan 2hidroksiisoflavanon. Hasil reaksi dari IFS, 2hidroksiisoflavanon, sangat tidak stabil dan mengalami dehidrasi dengan membentuk ikatan ganda antara C2 dan C3 oleh dehidratase untuk membentuk genistein atau daidzein (Dhaubhadel et al. 2003). Empat bentuk isoflavon pada kedelai, yaitu aglikon (bentuk bebas) yang terdiri atas genistein, daidzein, dan glisitein, bentuk glikosida yang beranggotakan genistin, daidzin, dan glisetin, bentuk asetilglikosida yang terdiri atas 6''-O-asetilgenistin, 6''-Oasetildaidzin, dan 6''-O-asetilglisetin, dan bentuk malonilglikosida yang terbagi atas 6''O-malonilgenistin, 6''-O malonildaidzin, 6''-Omalonilglisetin. Isoflavon pada olahan kedelai non-fermentasi umumnya berada dalam bentuk glikosida, yaitu 64 % genistin, 23 % daidzin, dan 13 % glisetin. Bentuk fermentasi kedelai seperti tempe, isoflavon berada dalam bentuk aglikon (Astawan 2009).
Tabel 2 Kadar isoflavon pada berbagai bahan makanan Produk Kacang kedelai Biji bunga matahari Kacang tanah Gandum Beras Jagung Bawang putih Asparagus Wortel Ubi jalar
Kadar isoflavon (µg/100g) 863 396 161 490 297 230 407 374 346 295
Sumber: Wirakusumah (2007)
Kedelai serta produk olahannya merupakan sumber isoflavon, dan hanya sejumlah kecil ditemukan di tanaman lain (Tabel 2) (Barnes 2010). Konsumsi isoflavon dari kedelai diketahui dapat melindungi terhadap penyakit yang berkaitan dengan usia misalnya penyakit jantung dan osteoporosis, kanker tertentu misalnya payudara dan prostat, dan gejala postmenopausal misalnya hot flushes (Lephart 2004). Telah diketahui berbagai teknik pengolahan kedelai utuh. Tempe, tauco, tahu, susu kedelai, kecap merupakan produk hasil olahan kedelai. Proses pengekstrakan minyak dari kedelai akan menghasilkan bungkil kedelai dengan kadar protein hingga 40%, dan
Gambar 2 Biosintesis isoflavon (Dhaubhadel et al. 2003)
4
dapat diolah lebih lanjut menjadi konsentrat protein kedelai atau isolat protein kedelai. Isolat protein kedelai merupakan salah satu hasil isolasi protein dari kedelai yang memiliki kemurnian protein paling tinggi (di atas 90% berdasarkan berat kering) sehingga produk ini hampir terbebas dari zat-zat lain, seperti karbohidrat, serat, dan lemak (Permadi 2011). Menurut Astawan (2009), isolat protein kedelai dibuat dengan cara melarutkan protein tepung kedelai dengan larutan basa encer pada pH 7-9, serta membuang endapan tidak larutnya dengan cara pemusingan atau penyaringan. Ekstrak yang didapat kemudian diasamkan sampai pH-nya mencapai 4.5 agar terjadi pengendapan protein. Endapan protein ini selanjutnya dinetralkan dengan basa dan dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer) sampai diperoleh bentuk tepung. Jadi, pada prinsipnya isolat protein kedelai diperoleh dengan cara pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH sehingga seluruh protein menggumpal. Isolat protein kedelai telah banyak diaplikasikan dalam industri pangan seperti produk daging tiruan, karena isolat protein kedelai memiliki sifat fungsional (di luar sifat nutrisi) yang dapat menyumbangkan karakteristik yang diinginkan pada makanan. Bobot Badan Bobot badan adalah ukuran tubuh dalam sisi beratnya yang ditimbang dalam keadaan tanpa perlengkapan apapun. Bobot badan diukur dengan alat ukur bobot badan dengan satuan gram (g) atau kilogram (kg). Bobot badan merupakan ukuran yang lazim atau sering dipakai untuk menilai kesehatan atau keadaan gizi. Bobot badan diketahui maka akan dapat memperkirakan tingkat kesehatan atau gizi. Bobot badan dianjurkan untuk mengukur kesehatan dan keadaan gizi karena mudah dilihat perubahannya dalam waktu singkat, memberikan gambaran keadaan gizi pada saat sekarang dan kesehatan bila dilakukan secara periodik, ketelitian pengukuran tidak dipengaruhi oleh keterampilan yang mengukur, dan alat ukur mudah diperoleh (Muntaha 2011). Pertumbuhan bobot badan dapat dikatakan secara sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang, dan organ, serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein, dan abu. Faktor jenis kelamin,
hormon, kastrasi, serta genotif mempengaruhi pertumbuhan bobot badan. Konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan bobot badan yang lebih cepat (Soeparno 1992). Estrogenik dan Antiestrogenik Estrogen diproduksi dalam ovarium dan testis. Reseptor estrogen berada di inti, sebagian kecil (2-3%) berada pada membran sel, dan membentuk dimer ketika berikatan dengan estrogen. Dimer kemudian berinteraksi dengan elemen reseptor estrogen (ERE) yang mengatur transkripsi gen responsif estrogen untuk menghasilkan efek estrogenik atau agonis estrogen. Bentuk dominan estrogen endogen dalam tubuh adalah 17β-estradiol, meskipun senyawa yang dapat menginduksi dimerisasi reseptor estrogen, dan selanjutnya mengikat ERE, bisa dianggap estrogen. Efek antiestrogenik atau antagonis estrogen dapat terjadi ketika senyawa mampu dapat berikatan dengan reseptor estrogen namun menghambat respon estrogen dengan cara pembentukan dimer tidak terjadi atau konfigurasi yang benar untuk mengaktifkan ERE tidak tercapai (Robertson 2000). Beberapa senyawa bertindak sebagai estrogenik dan juga antiestrogenik disebut sebagai selektif estrogen receptor modulator (SERM) (Vissac-Sabatier 2003). Senyawa-senyawa SERM secara struktural mirip dengan 17β-estradiol sehingga molekulmolekul senyawa yang mirip dengan estradiol ini dianggap memiliki aktivitas agonis sekaligus antagonis estrogen (Vissac-Sabatier 2003). Antiestrogen tamoxifen, sebagai, contoh bertindak sebagai antiestrogenik dalam jaringan payudara tetapi sebagai estrogenik dalam rahim, tulang, dan sistem pembuluh darah (Cornwell et al. 2004). Androgen Androgen adalah hormon yang bertanggungjawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh (Umam 2010). Hormon ini disintesis di testis, kelenjar adrenal, serta dalam jaringan perifer seperti prostat dan kulit (Hsing 2001). Androgen pada pria memainkan peran penting dalam pengembangan, pemeliharaan, serta regulasi dari fenotip dan fisiologi reproduksi pria (Gobinet et al. 2002) Lima androgen utama dalam tubuh pria yaitu dehidroepiandrosteron, dehidroepiandrosteron sulfat, dihidrotestosteron, androstenedion, dan testosteron (Hsing 2001). Jalur biosintesis androgen ditunjukkan pada Gambar 3.
5
Biosintesis androgen memerlukan kolesterol sebagai prekursornya. Kolesterol dapat disintesis di dalam kelenjar andrenal atau diambil dari plasma darah. Kolesterol yang diambil dari plasma darah memerlukan high density lipoprotein (HDL), sebagai komponen plasma darah yang memberikan kolesterol kepada kelenjar adrenal. Pengambilan kolesterol dari HDL dipacu oleh adrenocorticotropic hormone (ACTH) (Kapsul 2007). Kolesterol dengan demikian jika diambil dari darah, sintesis kolesterol oleh kelenjar adrenal dihambat tetapi jika pengambilan kolesterol dari plasma darah menurun, sintesis kolesterol oleh kelenjar adrenal meningkat. Bila kolesterol tidak segera digunakan untuk sintesis androgen dan hormon steroid lainnya, maka kolesterol disimpan di dalam kelenjar adrenal sebagai ester kolesterol. Ester kolesterol yang akan digunakan untuk sintesis androgen atau steroid lainnya dihidrolisis oleh hidrolase ester sterol yang diaktifkan oleh fosforilasi melalui protein kinase yang kerjanya bergantung pada cyclic adenosine monophosphate (cAMP) (Kapsul 2007). Langkah awal dalam jalur biosintesis testosteron tersebut adalah konversi C27 kolesterol ke C21 steroid pregnenolon. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim pemutus rantai samping sitokrom P450 (P450scc). Pregnenolon berdifusi menembus membran
mitokondria dengan bantuan steroidogenic acute regulatory protein (StAR) dan selanjutnya dimetabolisme oleh enzim yang ada di retikulum endoplasma halus. Pregnenolon dalam sel Leydig dikonversi ke progesteron oleh kerja enzim 3-βhidroksisteroid dehidrogenase (3β HSD) (Kapsul 2007). Enzim 17-α-hidroksilase mengkatalisis pengubahan progesteron menjadi 17-αhidroksiprogesteron, yang selanjutnya diubah menjadi androstenedion, prekursor testosteron, oleh enzim C17,20–liase. Androstenedion kemudian dikatalisis oleh 17– β-hidroksisteroid dehidrogenase menjadi testosteron. Sel Leydig juga mengekspresikan sitokrom P450 aromatase, yang mengkatalisis aromatisasi dari testosteron ke estradiol (Kapsul 2007). Androgen juga memiliki jalur biosintesis lain, tidak melalui progesteron tetapi melalui dehidroepiandrosteron. Pregnenolon yang terbentuk dari kolesterol diubah menjadi 17-αhidroksipregnenolon dengan bantuan enzim 17-α-hidroksilase. 17-α-hidroksipregnenolon selanjutnya diubah oleh C17,20–liase menjadi dehidroepiandrosteron, dan androstenedion terbentuk dengan bantuan enzim 3βhidroksisteroid dehidrogenase. Testosteron kemudian terbentuk dengan bantuan enzim 17-β-hidroksisteroid dehidrogenase (Kapsul 2007).
Gambar 3 Biosintesis androgen (Murray et al. 2003)
6
Tiga komponen penting dalam produksi androgen dalam sistem reproduksi pria yaitu hipotalamus, hipofisis anterior, dan testis, yang membentuk sistem yang disebut dengan hipotalamus-hipofisis-gonad atau HHG (Emanuele dan Emanuele 1998). GnRH dari hipotalamus menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresikan FSH dan LH. FSH bertugas menstimulasi sel Sertoli untuk memproduksi androgen binding protein (ABP), dengan adanya ABP, testosteron mendukung spermatogonesis, sementara LH bertugas menstimulasi sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Jika testis mulai memproduksi testosteron terlalu banyak, hal ini dirasakan oleh otak, dan hipotalamus akan mengirimkan sinyal GnRH ke hipofisis untuk mereduksi sintesis LH. LH berkurang pada gilirannya memicu produksi perlambatan sintesis testosteron. Jika testis mulai memproduksi testosteron terlalu sedikit, hipotalamus akan mengirimkan sinyal ke kelenjar hipofisis untuk membuat LH berlebih, yang merangsang testis untuk membuat testosteron lebih banyak (Cunningham et al. 2003). Hewan Coba Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model dalam mempelajari dan mengembangkan berbagai bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik (Malole dan Pramono 1989). Syarat hewan sebagai hewan coba adalah sedapat mungkin hewan percobaan bebas dari mikroorganisme patogen, mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik, kepekaan terhadap sesuatu penyakit, performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan sifat genetiknya (Sulaksono 1987). Hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok, yaitu hewan laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci, karnivora, seperti kucing dan anjing, primata, seperti Macaca dan babon, kelompok domestik besar, seperti domba, sapi, dan kelompok hewan lainnya, seperti unggas (Wolfensohn dan Lloyd 1998). Pemilihan hewan percobaan untuk penelitian biasanya didasarkan pada tujuan penelitian yang akan dilakukan. Kelinci misalnya merupakan hewan percobaan yang cocok dan paling sering digunakan untuk penelitian tentang hiperkolesterolemia karena kelinci memiliki cadangan lemak tubuh yang banyak (Sirois 2005) dan peka terhadap kolesterol (Muliasari 2009). Berbeda dengan
anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan kolesterol (Sirois 2005). Primata merupakan hewan yang sangat cocok digunakan dalam penelitian ilmiah yang ada kaitannya dengan manusia karena kekerabatan, serta kemiripan anatomis, fisiologis, dan patologis. Namun penggunaan hewan coba primata menemui banyak kendala seperti sulitnya pengadaan hewan, perawatan yang rumit dan mahal, penanganan yang sulit, serta adanya bahaya penyakit menular (Sirois 2005). Hewan percobaan lain yang memiliki karakter fisiologis mirip dengan manusia maupun mamalia lain adalah tikus. Tikus terdiri atas dua spesies, yaitu tikus hitam (Rattus rattus) dan tikus putih (Rattus norvegicus). Spesies yang sering dipakai sebagai hewan model pada penelitian mengenai mamalia adalah Rattus norvegicus (Malole dan Pramono 1989). Rattus norvegicus merupakan kingdom Animalia, famili Muridae, sub famili Murinae, ordo Rodentia, sub ordo Myomorpha, genus Rattus, dan spesies Rattus norvegicus. Tikus putih memiliki 5 macam basic stock yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague-Dawley, dan Wistar (Lane dan Petter 1976). Rattus norvegicus memiliki ciri rambut berwarna putih dan mata berwarna merah (Malole dan Pramono 1989). Tikus yang baru lahir biasanya memiliki berat badan 5-6 gram dan memiliki kecepatan tumbuh 5 gram/hari. Berat badan tikus dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galurnya. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram dan tikus betina jarang lebih dari 350 gram. Galur Sprague-Dawley paling besar hampir sebesar tikus liar (Gambar 4) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Rattus norvegicus sebagai hewan percobaan, memiliki beberapa keunggulan, yaitu pemeliharaan dan penanganan mudah, kemampuan reproduksi tinggi dan masa kebuntingan singkat, serta cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono 1989). Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-obatan, maupun mekanisme penyakit infeksius (Berata et al. 2010). Penelitian yang telah pernah dilakukan menggunakan Rattus norvegicus adalah penelitian tentang hipertensi, diabetes insipidus, katarak, obesitas, diabetes melitus, dan lain-lain (Sirois 2005). Tikus Rattus norvegicus juga diketahui merupakan hewan model yang baik digunakan untuk penelitian yang berkaitan dengan reproduksi (Tamboss 2001).
7
Gambar 4 Tikus Sprague-Dawley Tikus Sprague-Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah dalam perlakuan pencekokan, dan tidak mempunyai kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Enzym-linked immunosobent assay (ELISA) ELISA merupakan suatu metode uji serologis. Prinsip kerja dari ELISA adalah adanya ikatan antigen dengan antibodi spesifik. Ikatan antigen antibodi akan dilabel dengan enzim dan substrat yang akan memberikan warna, dan dibaca pada ELISA reader (Rasmana 2009). Metode ELISA dibagi 2 jenis teknik yaitu teknik kompetitif dan non kompetitif. Teknik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirect. Pemeriksaan hormon biasanya menggunakan teknik kompetitif dan sandwich (Asihara dan Kasahara 2001). Keuntungan metode ELISA yaitu sangat sensitif, spesifik, analisisnya cepat, hasil analisis dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat memeriksa beberapa parameter sekaligus, peralatan mudah didapat, dan tidak menggunakan zat radiasi. Kerugian metode ELISA adalah pemeriksaan menggunakan enzim sebagai label cukup kompleks karena aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor (Asihara dan Kasahara 2001). Hasil uji ELISA dibaca menggunakan ELISA reader. ELISA reader adalah jenis spektrofotometer khusus (Gambar 5). Berbeda dengan spektrofotometer konvensional yang memfasilitasi pembacaan pada berbagai panjang gelombang, ELISA reader memiliki filter atau kisi-kisi difraksi yang membatasi rentang panjang gelombang, umumnya antara
400-750 nm (nanometer). Beberapa pembacaan beroperasi dijangkauan ultraviolet dan melakukan analisis antara 340-700 nm. Sistem optik yang banyak digunakan adalah serat optik untuk memasok cahaya ke sumur microplate berisi sampel. Beberapa ELISA reader juga menggunakan sistem cahaya berkas ganda. Sampel uji diletakkan di plate khusus. Plate umumnya terdiri atas 8 kolom dengan 12 baris dengan total 96 sumur, namun ada juga plate dengan jumlah sumur yang lebih besar. Lokasi dari sensor optik ELISA reader bervariasi, ada yang terletak di atas plate sampel atau langsung di bawah sumur plate (WHO 2009).
Gambar 5 ELISA reader
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kasein, serbuk kacang kedelai, isolat kacang kedelai, minyak jagung, mineral, serat, vitamin, maizena, air, eter, kit ELISA testosteron, dihidrotestosteron, tisu, dan tikus putih jantan galur Sprague-Dawley berumur ±2 bulan yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka, Bogor. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah masker, sarung tangan, kandang ukuran 50x30x10 cm, serbuk kayu, timbangan digital, neraca analitik, tabung reaksi kecil, toples, gunting, pinset, nampan, spoit, Eppendorf, sentrifus, freezer, mikropipet, pipet multichannel, tip, dan seperangkat alat ELISA. Metode Pembuatan Pakan Perlakuan Komposisi pakan perlakuan disesuaikan dengan anjuran Association of Official Analytical Chemists (AOAC) (1984) (Lampiran 2). Pakan terdiri atas kasein, serbuk kacang kedelai atau isolat kacang kedelai, minyak jagung, mineral, vitamin, maizena, dan air. Semua bahan pakan diaduk hingga homogen kemudian dilakukan pemadatan hingga bentuk akhir pakan menjadi bentuk pelet. Tujuh macam pakan yang dibuat dilakukan analisis kadar protein, isoflavon
8
daidzein bebas, total, genistein bebas, dan total di Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center IPB (SEAFAST Center IPB). Perlakuan dan Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan hewan percobaan berupa tikus putih jantan SpragueDawley sebanyak 28 ekor. Tikus ditempatkan dalam kandang berukuran 50x30x10 cm, 1 ekor per kandang, beralaskan serbuk kayu, dengan kondisi cahaya dan ventilasi cukup, dan suhu ruang. Tikus dibagi menjadi 7 kelompok secara acak. Setiap kelompok terdiri atas 4 ekor tikus. Pemberian perlakuan dilakukan selama 1 bulan. Perlakuan yang digunakan adalah perlakuan pakan. Kelompok kontrol adalah kelompok kontrol negatif yang selama perlakuan diberi pakan kasein dan air. Pakan kasein merupakan pakan yang seluruh kandungan proteinnya bersumber dari kasein dan tanpa mengandung isoflavon. Kelompok lainnya merupakan kelompok perlakuan. Pakan perlakuan merupakan pakan yang masing-masing kandungan protein dan isoflavon bersumber dari masing-masing isoflavon kedelai (serbuk kacang kedelai atau isolat kacang kedelai). Kelompok K1 diberikan pakan perlakuan serbuk kacang kedelai 100% dan air. Kelompok K2 diberikan pakan perlakuan serbuk kacang kedelai 50% dan air. Kelompok K3 diberikan pakan perlakuan serbuk kacang kedelai 10% dan air. Kelompok I1 diberikan pakan perlakuan isolat kacang kedelai 100% dan air. Kelompok I2 diberikan pakan perlakuan isolat kacang kedelai 50% dan air. Kelompok I3 diberikan pakan perlakuan isolat kacang kedelai 10% dan air. Pakan 100% merupakan pakan yang seluruh kandungan proteinnya masing-masing dan isoflavonnya bersumber dari masingmasing isoflavon kedelai (serbuk kacang kedelai atau isolat kacang kedelai). Kelompok pakan 50% merupakan pakan yang 50% kandungan proteinnya dan isoflavonnya bersumber dari masing-masing isoflavon kedelai dan 50% bersumber dari kasein. Kelompok 10% merupakan 10% kandungan protein dan isoflavon pakan bersumber dari masing-masing isoflavon kedelai dan 90% dari kasein. Komposisi pakan per kelompok dapat dilihat pada Lampiran 3. Kadar protein pada masing-masing pakan perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3. Konsumsi pakan dan berat feses hewan coba ditimbang, dan diamati setiap harinya.
Tabel 3 Kadar protein pakan perlakuan Tipe pakan Kontrol Kedelai 100% Isolat 100%
Unit % % %
Kadar protein 19.10 26.80 25.58
Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah vena ekor. Sebelum pengambilan darah suhu tubuh tikus ditingkatkan terlebih dahulu dengan tikus ditempatkan dibawah terik matahari. Hal ini membantu untuk melebarkan pembuluh darah sebelum perdarahan. Namun tidak boleh terlalu panas karena dapat menyebabkan dehidrasi dan hipertemia. Ekor tikus dibersihkan dengan alkohol 70%. Alkohol berfungsi sebagai disinfeksi ekor (Joslin 2009). Ujung ekor dipotong 1 cm dengan menggunakan gunting. Ketika dibutuhkan penambahan darah, ekor dapat dipotong kembali hanya 2-3 mm. Pemotongan ekor terlalu pendek dapat menyebabkan trauma pada tulang rawan (Hoff 2002). Ekor tikus diurut hingga darah menetes. Tetesan darah ditampung dalam tabung reaksi kecil. Tikus kemudian dikorbankan dengan cara dibius dengan eter, dan dilakukan nekropsi untuk pengambilan darah dari jantung. Darah kemudian didiamkan 15 menit, disentrifus pada 3000 g selama 30 menit, dan diambil serumnya. Serum dimasukkan tabung Eppendorf dan disimpan -2°C sampai siap dianalisis. Penentuan Kadar Testosteron Penentuan kadar testosteron dilakukan dengan menganalisis serum darah tikus percobaan dengan menggunakan kit ELISA. Metode yang digunakan mengacu pada Innovation Beyond Limits International (IBL International) (2007). Sebanyak 25 µL blanko, standar, dan sampel serum darah tikus masing-masing dimasukkan ke dalam sumur microtiter plate, ditambahkan masing-masing 200 µL enzim konjugat, kemudian diaduk selama 10 detik. Campuran larutan diinkubasikan selama 60 menit pada suhu ruang (tanpa menutup plat). Isi sumur-sumur dikeluarkan secara cepat, dicuci sebanyak 3 kali dengan menggunakan wash solution (400 µL per sumur). Sumur-sumur diletakkan secara terbalik pada kertas absorben untuk membuang sisa-sisa tetesan yang ada. Setelah itu ditambahkan 200 µL substrate solution pada tiap-tiap sumur, kemudian diinkubasikan selama 15 menit pada suhu ruang. Sebanyak
9
100 µL stop solution pada tiap-tiap sumur ditambahkan untuk menghentikan reaksi enzimatik, dan diamkan selama 10 menit. Setelah 10 menit, densitas optik (OD) dibaca pada panjang gelombang 415 nm dengan menggunakan microtiter plate reader. Penentuan Kadar Dihidrotestosteron Penentuan kadar dihidrotestosteron didasarkan pada metode IBL International (2006) dengan menganalisis serum darah tikus percobaan dengan menggunakan kit ELISA. Sebanyak 50 µL dipipet dari masing-masing blanko, standar, dan sampel serum darah tikus ke dalam sumur berlabel yang sesuai beberapa kali, kemudian 100 µL larutan konjugat dipipet ke dalam tiap-tiap sumur (dengan pipet multichannel). Campuran larutan diinkubasi di dalam plate shaker (sekitar 200 rpm) selama 1 jam dalam suhu ruang. Sumursumur dicuci sebanyak 3 kali dengan menggunakan 300 µL bufer pencuci yang telah diencerkan per sumur dan plat diletakkan secara perlahan-lahan pada kertas tisu untuk memastikan bahwa plat benar-benar kering. Setelah itu 150 µL substrat 3,3,5,5tetrametilbenzidin (TMB) dipipet ke dalam tiap-tiap sumur dengan interval waktu yang tepat, kemudian diinkubasi di dalam plate shaker selama 10-15 menit pada suhu ruang (sampai kalibrator A memiliki warna biru tua untuk mendapatkan nilai OD yang diinginkan). Sebanyak 50 µL stopping solution dipipet ke dalam tiap-tiap sumur dengan interval waktu yang tepat, dan diamkan selama 20 menit. Setelah 20 menit, plat dibaca dengan menggunakan microwell plate reader dengan panjang gelombang 490 nm. Analisis Data Analisis data penelitian yang diperoleh mengacu pada Mattjik (2002). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Model persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij= µ + τi+ εij Keterangan: yij= pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = pengaruh rataan umum τi = pengaruh perlakuan ke-i, i=1,2,3,4,5,6,7 εij= pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i1 = kelompok kontrol i2 = kelompok perlakuan K1 i3 = kelompok perlakuan K2 i4 = kelompok perlakuan K3
i5 = kelompok perlakuan I1 i6 = kelompok perlakuan I2 i7 = kelompok perlakuan I3 Data bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, berat feses, dan kadar androgen diolah dengan analisis one-way analysis of varians (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α=0.05, dan uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan. Pengolahan data statistika ini menggunakan perangkat lunak Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0. Korelasi antara data yang diperoleh dihitung menggunakan koefisien korelasi Pearson (r).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Pemberian Pakan terhadap Bobot Badan Hewan Coba Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus Sprague-Dawley jantan berumur ±2 bulan. Tikus betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang berfluktuasi pada waktu beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda, dan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu parameter yang diuji pada penelitian ini adalah androgen. Kadar androgen pada betina lebih rendah jika dibandingkan dengan jantan sehingga untuk memudahkan dalam mendapatkan kadar androgen digunakan tikus jantan (Dabbs et al. 1997). Hewan percobaan yang sehat merupakan faktor penting dan merupakan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Kondisi hewan yang sehat berguna untuk memperkecil galat percobaan. Bobot badan merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan tikus (Tara 2011). Bobot badan tikus rata-rata pada akhir adaptasi atau awal perlakuan (minggu ke-0) sebesar 142.61 gram dengan bobot badan berkisar antara 116-162 gram (Lampiran 7). Menurut lembaga riset Ace Animal (2006) dalam Meutia (2011), bobot badan tikus jenis Sprague-Dawley pada usia 59-61 hari adalah 275-299 gram. Bobot tikus Sprague-Dawley penelitian lebih rendah 50.31% yang dilaporkan Ace Animal (2006). Hal ini diduga disebabkan perbedaan kadar protein pada pakan, konsumsi pakan, ataupun faktor genetik tikus percobaan. Setelah dilakukan adaptasi, hewan coba kemudian masuk masa perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan pakan selama 1 bulan. Terlihat setelah perlakuan bobot badan tikus mengalami perubahan.
10
Peningkatan bobot badan terjadi pada K2, K3, dan I1. Kontrol, I2, dan 13 juga mengalami peningkatan bobot badan tetapi fluktuatif. Bobot badan kelompok tikus meningkat dari rata-rata 142.83±10.31 g menjadi 165.29±17.80 g dengan presentase kenaikan sebesar 15.72%. Berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok K1 mengalami penurunan bobot badan dengan presentase penurunan sebesar 3.72%, menurun dari rata-rata bobot badan 141.25±14.75 g menjadi 136±20.51 g (Gambar 6). Penurunan bobot badan ini diduga disebabkan tikus mengalami sakit diare selama masa perlakuan. Fluktuasi bobot badan yang terjadi diduga karena nafsu makan yang berbeda-beda antar tikus dengan tikus yang lainnya. Bobot badan kelompok tikus yang diberikan pakan perlakuan kecuali K1 lebih besar jika dibandingkan dengan bobot badan kelompok tikus yang diberi pakan kontrol (tanpa kandungan isoflavon) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung dalam pakan diduga berpengaruh meningkatkan bobot badan. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan terdapat korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan pertambahan bobot badan kelompok tikus perlakuan pakan kacang kedelai (K) (0.7
Bobot badan (gram)
160 140 120 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
Minggu keGambar 6 Bobot badan selama perlakuan ( kontrol, K2, K3, I3, I1, I2, K1). Keterangan: K1= kedelai 100%, K2= kedelai 50%, K3= kedelai 10%, I1= isolat 100%, I2= isolat 50%, dan I3 = isolat 10%
Peningkatan bobot badan yang terjadi pada kelompok tikus perlakuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Astuti (1999) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan bobot badan tikus jantan setelah pemberian kedelai dan Suharma (2011) yang menunjukkan bahwa pemberian isolat protein juga memberikan peningkatan bobot badan pada tikus jantan. Namun menurut Weber et al. (2001), konsumsi fitoestrogen justru menurunkan bobot badan tikus SpragueDawley jantan dengan meningkatkan aktivitas fisik dan menurunkan kadar leptin. Hal ini didukung juga oleh penelitian Oh et al. (2005) yang menyatakan bahwa konsumsi kedelai pada tikus jantan dapat meningkatkan kadar adiponektin dan berakibat menurunkan bobot badan. Hal ini terjadi karena adiponektin menurunkan resistensi insulin dan menurunkan kadar trigliserida otot dan hati (Yamauchi et al. 2001). Isoflavon juga mampu mendorong lipolisis dan menghambat adipogenesis baik pada kultur sel maupun in vivo sehingga berpotensi mengurangi lemak tubuh (Harmon dan Harp 2001). Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan diatas. Hal ini diduga karena isoflavon dapat bersifat estrogenik atau antiestrogenik, termasuk pada bobot badan (Tolman et al. 2008). Korelasi negatif terjadi antara isoflavon yang terkandung pada pakan kacang kedelai dengan pertambahan bobot badan tikus perlakuan pakan kacang kedelai (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan isoflavon kacang kedelai semakin menurunkan bobot badan. Hasil ini serupa dengan pengaruh testosteron terhadap bobot badan tikus jantan dan menandakan isoflavon kacang kedelai pada penelitian bersifat antiestrogenik terhadap bobot badan. Menurut Davis et al (2012), testosteron mengurangi bobot badan tikus jantan dengan bertindak antiadipogenik melalui aktivitas lipolisis. Hal ini terjadi karena kemampuan katekolamin meningkat untuk menstimulasi lipolisis pada sel-sel lemak akibat adanya peningkatan reseptor β-adrenergik, aktivitas adenilat siklase, aktivitas protein kinase A, atau hormon sensitif lipase (Oh et al. 2005). Korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan isolat kacang kedelai dengan pertambahan bobot badan kelompok tikus perlakuan pakan isolat kacang kedelai adalah korelasi positif (Lampiran 6). Semakin tinggi kandungan isoflavon pakan isolat kacang kedelai berarti semakin meningkatkan bobot badan. Hal ini serupa dengan pengaruh
11
16 14
Konsumsi pakan (gram)
estrogen terhadap bobot badan tikus betina dan menandakan konsumsi isoflavon isolat kacang kedelai mengakibatkan efek estrogenik pada bobot badan tikus jantan. Menurut Hardjopranjoto (1995) dalam Suprihatin (2008), pada metabolisme tubuh, estrogen meningkatkan sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan, dan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk meningkatkan metabolisme karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Oh et al. (2005) juga menyatakan bahwa estrogen juga dapat bertindak proandrogenik, meningkatkan jumlah adiposit melalui proliferasi dan diferensiasi sehingga meningkatkan massa jaringan adiposa. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa perlakuan kelompok pakan berpengaruh signifikan terhadap bobot badan (p<0.05) (Tabel 4). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan peningkatan bobot badan K2, K3, I1, I2, I3 dan penurunan bobot badan K1 tidak berbeda signifikan dengan kelompok kontrol sedangkan peningkatan bobot badan K3 berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pakan K3 merupakan pakan yang paling berpengaruh meningkatkan bobot badan. Faktor penyebabnya diduga karena tikus K3 memiliki konsumsi pakan dan efisiensi pakan yang tinggi (Tabel 4). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh konsumsi pakan, semakin tinggi konsumsi pakan semakin tinggi pula pertambahan bobot badan (Farida et al. 2008). Peningkatan bobot badan kelompok kontrol, K2, K3, dan I3 didukung oleh konsumsi pakan tikus yang juga mengalami peningkatan, walaupun fluktuatif (Gambar 7). Lain halnya pada K1, I1, dan I2, terjadi penurunan bobot badan pada K1 tetapi konsumsi pakan kelompok ini meningkat sedangkan terjadi peningkatan bobot badan pada I1 dan I2 tetapi konsumsi pakan kelompok ini menurun (Gambar 6 dan Gambar 7). Namun konsumsi pakan rata-rata kelompok yang diberikan pakan perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberikan pakan kontrol (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung pada pakan diduga berakibat pula pada pola konsumsi pakan tikus. Uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung pada pakan juga berkorelasi dengan konsumsi pakan kelompok tikus perlakuan kacang kedelai (K) (0.4
12 10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
Minggu keGambar 7 Konsumsi pakan kelompok tikus ( kontrol, K2, K3, I3, I1, I2, K1. Keterangan:K1= kedelai 100 %, K2= kedelai 50%, K3= kedelai 10%, I1= isolat 100 % I2= isolat 50%, dan I3= isolat 10 % Weickert et al. (2006) menunjukkan bahwa estradiol atau senyawa mirip estradiol dapat berinteraksi dengan peptida YY (PYY), suatu hormon yang mempengaruhi rasa kenyang. Konsumsi isoflavon kedelai diketahui meningkatkan konsentrasi PYY dan berakibat menurunkan nafsu makan. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan di atas. Hal ini diduga disebabkan sifat estrogenik atau antiestrogenik isoflavon terhadap konsumsi pakan (Dixit et al. 2011). Selain PYY terdapat senyawa lain yang mempengaruhi nafsu makan yaitu ghrelin dan leptin. Ghrelin merupakan hormon yang disekresikan ke dalam darah dan berfungsi merangsang nafsu makan sedangkan leptin merangsang rasa kenyang (Hyde et al. 2010). Keberadaan testosteron dapat meningkatkan konsentrasi ghrelin dan menurunkan leptin, yang berarti testosteron bertindak meningkatkan nafsu makan (Klatz dan Goldman 2004). Hasil ini serupa dengan yang terjadi pada K1, K2, dan K3, dan I1. Kelompok ini mengalami peningkatan nafsu makan atau konsumsi pakan selama perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pakan K1, K2, dan K3, dan I1, bersifat antiestrogenik terhadap konsumsi pakan tikus. Penurunan bobot badan terjadi pada K1 namun konsumsi pakan pada kelompok ini tinggi. Hal ini diduga karena tikus mengalami sakit diare selama perlakuan. Menurut Harianto (2004), bahaya utama diare adalah
12
Tabel 4 menunjukkan pakan K1 dan K2 juga I1 dan I2 lebih banyak meningkatkan konsumsi pakan tikus dibandingkan K3 atau I3. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa perlakuan kelompok pakan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pakan (p<0.05) (Tabel 4). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsumsi pakan I1 dan I3 tidak berbeda signifikan dengan kontrol sedangkan konsumsi pakan K1, K2, K3, dan I2 berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pakan K1, K2, K3, dan I2 merupakan pakan yang paling berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Pakan K1, K2, dan K3 berpengaruh meningkatkan konsumsi pakan tikus sedangkan pakan I2 menurunkan. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pakan di antaranya keadaan lingkungan, kondisi tikus, serta kondisi pakan (bau, rasa, tekstur dan temperatur) (Rasmada 2008). Pengamatan efisiensi pakan bertujuan untuk mengetahui kemampuan hewan coba untuk secara efisien memanfaatkan pakan. Efisiensi pakan merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan dengan jumlah konsumsi pakan dalam jangka waktu tertentu (Farida et al. 2008). K3 memiliki efisiensi pakan tertinggi sebesar 12, disusul dengan I2, K2, I1, I3, dan kontrol. K1 memiliki efisiensi pakan yang rendah bahkan bernilai minus (Tabel 4). Ketidakefisienan pakan K1 disebabkan karena tikus mengalami sakit diare selama masa perlakuan. 3 2.5
Berat feses (gram)
kematian yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam terlarut yang disebut dehidrasi. Dehidrasi yang terjadi pada penderita diare karena usus bekerja tidak sempurna sehingga sebagian besar air dan zatzat yang terlarut didalamnya dibuang bersama feses sampai akhirnya tubuh kekurangan cairan. Derajat dehidrasi diukur menurut persentase terjadinya penurunan bobot badan selama diare. Terlihat pada Gambar 8 dan Tabel 4 berat feses K1 tinggi dan meningkat sedangkan kelompok lain berat fesesnya menurun. Selain itu selama penelitian feses kelompok ini juga terlihat lembek, berwarna hijau tua, dan lebih berbau padahal normalnya feses tikus seharusnya berwarna hitam dan padat. Meningkatnya frekuensi feses disertai adanya perubahan bentuk, dan konsistensi feses (Harianto 2004), feses menjadi lembek atau cair menandakan bahwa K1 terkena diare (Adnyana et al. 2004). Kondisi ini terjadi diduga karena zat nutrisi yang terkandung dalam pakan kacang kedelai terutama serat (Mardiah et al. 2006). Kedelai merupakan bahan makanan yang tinggi serat (Mardiah et al. 2006). Serat kedelai diketahui dapat mempercepat waktu transit makanan (waktu yang diperlukan sejak dimakan sampai dikeluarkan berupa feses) sehingga meningkatkan volume feses. Serat yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor penyebab diare (Hartiningrum 2010). Serat mempunyai daya serap air yang tinggi. Adanya serat makanan dalam feses menyebabkan feses dapat menyerap air yang banyak sehingga volumenya menjadi besar dan teksturnya menjadi lunak (Mardiah et al. 2006). Kelompok I1 dan I2 mengalami peningkatkan bobot badan tetapi tidak disertai dengan konsumsi pakan yang mengalami peningkatan melainkan konsumsi pakan kelompok ini menurun (Gambar 6 dan Gambar 7). Hal ini sejalan dengan pengaruh estrogen terhadap bobot badan dan konsumsi pakan. Estrogen dapat menyebabkan peningkatan bobot badan dan bertindak menurunkan nafsu makan. Hal ini dikarenakan adanya leptin, suatu protein yang disekresi oleh sel lemak putih, yang dengan adanya estrogen kadarnya akan meningkat dan berpengaruh mengurangi nafsu (Nirwana et al. 1998). Kandungan isoflavon pada pakan kacang kedelai maupun isolat kacang kedelai berkorelasi positif dengan konsumsi pakan kelompok tikus perlakuan (Lampiran 6).
2 1.5 1 0.5 0 0
1
2
3
4
Minggu keGambar 8 Berat feses selama perlakuan ( kontrol, K2, K3, I3, I1, I2, K1. Keterangan: K1= kedelai 100%, K2= kedelai 50%, K3= kedelai 10%, I1= isolat 100%, I2= isolat 50%, dan I3= isolat 10%
13
Tabel 4 Bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses Kelompok Kontrol K1 K2 K3 I1 I2 I3
Pertambahan bobot badan (g/hari) 0.25 ±0.38ab -0.18 ±0.56a 0.93 ±0.17bc 1.18 ±0.50c 0.66 ±0.17bc 0.98 ±0.73bc 0.50 ±0.46abc
Konsumsi pakan (g/hari) 7.82 ±0.47a 10.03 ±1.69bc 10.44 ±0.35c 9.68 ±0.49bc 9.03 ±1.08abc 9.96 ±0.38bc 8.67 ±0.83ab
Efisiensi pakan 0.03 -0.02 0.09 0.12 0.07 0.10 0.06
±0.05ab ±0.06a ±0.01bc ±0.05c ±0.02bc ±0.07bc ±0.05bc
Feses (g/hari) 1.28 1.98 1.96 1.34 1.20 1.20 1.26
±0.27a ±0.23b ±0.26b ±0.12a ±0.04a ±0.17a ±0.16a
Keterangan: Data disampaikan dalam rata-rata±standar deviasi. Huruf yang berbeda di kolom yang sama bermakna berbeda signifikan (p<0.05). Persentase efisiensi pakan= pertambahan bobot badan/konsumsi pakan.
K= kedelai 100%, K2= kedelai 50%, K3 = kedelai 10%, I1 = isolat 100%, I2 = isolat 50%, dan I3= isolat 10%
Menurut Usman dan Susilowati (2006), pakan yang berkualitas akan digunakan seefisien mungkin oleh hewan untuk produksi atau pertumbuhan maksimal sehingga konversi pakannya rendah. Efisiensi pakan selanjutnya dikatakan merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan pakan, dengan semakin tinggi efisiensi pakan berarti penggunaan pakan lebih efisien. Efisiensi pakan tinggi berarti kualitas pakan lebih baik karena hewan coba dengan mengkonsumsi pakan sedikit dapat meningkatkan pertambahan bobot badan tinggi. Kualitas pakan dapat diukur dari ketersediaan zat-zat nutrisi seperti protein, lemak, dan karbohidrat dalam pakan karena zat-zat ini dapat mempengaruhi terbentuknya jaringan-jaringan tubuh dan menyebabkan pertumbuhan bobot badan (Linder 1992 dalam Astuti 1999). Pakan perlakuan kacang kedelai dan isolat kacang kedelai memiliki kadar protein yang tinggi jika dibandingkan dengan pakan kontrol (Tabel 3) dan dapat dilihat pada Tabel 4, efisiensi pakan keduanya juga tinggi. Konsumsi pakan tikus perlakuan kacang kedelai dan isolat kacang kedelai juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 4). Kandungan protein juga konsumsi pakan yang tinggi ini diduga menyebabkan kelebihan protein yang dikonversi menjadi lemak, disimpan dalam jaringan adiposa, dan dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan (Astuti 1999). Efisiensi pakan kelompok yang diberi pakan perlakuan kecuali pakan K1 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang diberi pakan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung pada pakan diduga juga mempengaruhi efisiensi pakan. Uji korelasi Pearson juga menunjukkan terdapat korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan efisiensi pakan kelompok
perlakuan kacang kedelai (K) (0.7
14
berpengaruh terhadap efisiensi pakan adalah pakan K3. Ini terjadi diduga akibat konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan K3 yang juga berbeda signifikan dengan kontrol karena nilai efisiensi pakan secara kuantitatif dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi pakan dan nilai pertambahan bobot badan (Usman dan Susilowati 2006). Pengaruh Perlakuan Pemberian Pakan terhadap Kadar Testosteron dan Dihidrotestosteron Hewan Coba Fitoestrogen memiliki dua gugus hidroksil (OH) yang berjarak 11.0 – 11.5 amstrong pada intinya, sama persis dengan estrogen. Selain itu cincin fenolat fitoestrogen juga memiliki kemiripan dengan struktur cincin fenolat estrogen pada mamalia. Gugus OH dengan jarak 11 amstrong dan cincin fenolat inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen. Fitoestrogen juga merupakan kompetitor aktif untuk reseptor estrogen, terutama reseptor estrogen β. Mekanisme kompetisi fitoestrogen terhadap estrogen endogen adalah dengan menghambat aktivitas enzim DNA isomerase II sehingga ekspresi protein dalam sel terhambat. Mekanisme tersebut juga terjadi dalam penghambatan fitoestrogen terhadap siklus sel (Sitasiwi 2009). Empat senyawa fenolik yang dihasilkan oleh tanaman yang dianggap fitoestrogen yaitu isoflavon, stilben, lignan dan coumestan (Cornwell et al. 2004). Dua isoflavon yang berlimpah pada kedelai adalah genistein dan daidzein (Fanti 1999). Genistein dan daidzein pada tumbuhan terutama terdapat dalam bentuk glikosida yang bersifat tidak aktif yaitu genistin dan daidzin. Namun, ketika residu gula terputus melalui dekonjugasi oleh bakteri dalam usus, genistin dan daidzin akan berubah menjadi bentuk aglikon yang aktif yaitu genistein dan daidzein (Pan et al. 2008). Genistein menyumbang sekitar 50% dari total isoflavon kedelai sedangkan daidzein sekitar 40% (Rimbach et al. 2008). Testosteron adalah bentuk androgen dominan pada jantan. Tempat produksi utama testosteron pada jantan adalah sel Leydig testis (Fargo et al. 2009). Sejumlah kecil testosteron juga diproduksi di kelenjar adrenal dan perifer (Murray et al. 2003). Isoflavon berkompetisi dengan estrogen endogen untuk mengikat reseptor estrogen. Konsumsi isoflavon yang tinggi dapat menyebabkan afinitas isoflavon yang rendah
jika dibandingkan dengan 17β-estradiol untuk mengikat reseptor estrogen, dengan isoflavon kedelai memiliki sekitar 1/1000 dan 1/3 dari afinitas 17β-estradiol masing-masing untuk ERα dan ERβ, menjadi dapat mengikat reseptor estrogen, dan mengakibatkan estrogen endogen meningkat (Rimbach et al. 2008). Normalnya ketika estrogen endogen meningkat, estrogen akan menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior melalui reaksi umpan balik negatif. Estrogen menghambat secara langsung sekresi GnRH pada hipotalamus, akibatnya pengeluaran LH yang dipicu oleh GnRH menjadi tertekan, tetapi efek primernya terhadap hipofisis anterior yakni menurunkan kepekaan sel penghasil gonadotropin (Nasution 2011). Sintesis testosteron di sel Leydig menurun, kadar testosteron berkurang, dan aromatisasi testosteron terhambat sehingga produksi estrogen endogen menurun (Hoffman et al. 2009). Ketika isoflavon berikatan dengan reseptor estrogen, isoflavon diduga memicu inhibisi umpan balik negatif estrogen terhadap GnRH. Isoflavon berikatan dengan reseptor, mencegah estrogen dari membatasi pelepasan GnRH. Hipotalamus kemudian melepaskan GnRH dan mensekresinya ke hipotalamushipofisis. Setelah mencapai hipofisis anterior, GnRH merangsang pelepasan LH maupun FSH. LH diambil oleh sel-sel Leydig yang berikatan pada reseptor spesifik membran, dan menyebabkan sekresi testosteron (Wahyuni 2012). Hal ini diduga efek antiestrogenik isoflavon. Senyawa antiestrogenik bertindak sebagai estrogen antagonis yang dapat berikatan dengan reseptor estrogen namun menghambat respon estrogen sedangkan senyawa estrogenik adalah senyawa yang kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen. Isoflavon bersifat antiestrogenik ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon dapat juga bersifat estrogenik ketika kadar estrogen rendah (Robertson 2000). Efek antiestrogenik ini terjadi diduga untuk menjaga homeostasis tubuh antara testosteron dan estrogen. Normalnya kisaran optimal untuk rasio testosteron dengan estrogen adalah sekitar 3-4 per 1 untuk jantan, dan 1 sampai 2 untuk betina (Shabsigh et al. 2005). Isoflavon, salah satunya biochanin A juga merupakan inhibitor aromatase, enzim kunci yang berperan dalam pembentukan estradiol dari testosteron dan androstenedion, yang bertugas bila kadar estrogen meningkat
15
sementara testosteron menurun pada jantan. Selain itu genistein dan biochanin A juga inhibitor 17-β-hidroksisteroid dehidrogenase, enzim yang mengubah androgen menjadi estrogen (Gaynor et al. 2003). Gambar 9 menunjukkan adanya penurunan rata-rata kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon (kelompok perlakuan) dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi isoflavon (kelompok kontrol) pada tikus jantan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan kadar testosteron kelompok tikus perlakuan pakan kacang kedelai (K) (0.7
6 bulan) sehingga hormon dan organ reproduksi tikus dalam keadaan normal. Induksi testosteron eksogen atau senyawa upregulation testosteron eksogen pada tikus normal (pada penelitian berupa isoflavon kedelai) diduga dapat menyebabkan kadar testosteron berlebih dan menjadikan umpan balik negatif bagi ketersediaan testosteron (Ibekwe et al. 2009). Kadar testosteron yang tinggi akan menghambat sekresi LH dari hipofisis anterior melalui suatu efek langsung pada hipofisis dan suatu efek penghambat pada tingkatan hipotalamus untuk menghambat sintesis testosteron dan mengakibatkan produksi testosteron menurun. Selain itu efek umpan balik negatif lain diduga diperantarai oleh estradiol yang dapat dihasilkan lokal dari aromatisasi testosteron (Wahyuni 2012). Hal ini dapat terjadi karena baik reseptor androgen dan estrogen terletak di bagian otak, hipotalamus dan hipofisis. Jadi estrogen juga dapat memicu respon umpan balik negatif dalam organ ini (Akinola et al. 2007). Selain itu, isoflavon pada konsentrasi tinggi juga menghambat kerja enzim 17-β-hidroksisteroid dehidrogenase, enzim yang dibutuhkan untuk
sintesis testosteron untuk mengkonversi androstenedion menjadi testosteron (Rice dan Whitehead 2006). Reseptor estrogen dalam jaringan tubuh terdiri atas dua macam, reseptor estrogen α (REα) dan reseptor estrogen β (REβ) dengan tempat distribusi yang berbeda. REα lebih banyak terdistribusi pada jaringan penyusun organ reproduksi sedangkan REβ terdistribusi di luar jaringan reproduksi. REα terdapat jaringan reproduksi, ginjal, tulang, jaringan adiposa putih, dan hati, sedangkan REβ berada pada prostat, paru, saluran pencernaan, kandung kemih, sel-sel hematopoietik, dan sistem saraf pusat (Matthews dan Gustafsson 2003). Perbedaan letak reseptor ini menyebabkan perbedaan efek paparan isoflavon pada hewan uji. Fitoestrogen memiliki afinitas yang lebih kuat pada REβ yang terdistribusi pada jaringan di luar organ reproduksi (Sitasiwi 2009). Hal ini juga diduga menyebabkan isoflavon tidak memberikan peningkatan kadar testosteron pada tikus jantan pada penelitian ini. Selain itu menurut Lehninger et al. (1982), pada saat penghentian sekresi, konsentrasi hormon kembali dengan cepat ke taraf istirahat. Kehadirannya tidak diperlukan lagi, dengan cepat hormon dijadikan tidak aktif. Hormon-hormon dalam darah berada pada kondisi istirahat konsentrasinya sangat rendah, berkisar dalam satuan mikromolar (10-6 M) sampai pikomolar (10-12 M). Pengambilan darah pada waktu yang tepat misalnya saat hormon aktif disintesis atau disekresikan penting dilakukan. Faktor lain yang mempengaruhi pemeriksaan hormon antara lain usia, jenis kelamin, keadaan stres, dan obat-obatan (Howaritz dan Henry 2001). Allen dan Key (2000) mengungkapkan bahwa nutrisi atau gizi sangat mempengaruhi metabolisme hormon. Salah satunya pada keadaan kekurangan gizi. Situasi ini paling jelas pada betina, dengan penurunan dalam konsentrasi gonadotropin dan estrogen darah, serta terganggunya siklus menstruasi. Kekurangan gizi kronis pada jantan juga dapat menyebabkan konsentrasi yang sangat rendah pada testosteron dan LH. Penurunan testosteron pada K1 diduga karena tikus mengalami diare sehingga meningkatkan waktu transit makanan di usus dan menyebabkan menurunnya laju absorpsi nutrisi untuk mendukung ketersediaan testosteron (Sinthamurniwaty 2006). Presentase rata-rata penurunan kadar testosteron terendah terdapat pada kelompok perlakuan pakan I2 sebesar 16.24% sedangkan
16
presentase rata-rata penurunan terbesar terjadi pada kelompok perlakuan pakan K2 sebesar 95.11% (Tabel 5). Bila penurunan ini diakibatkan perlakuan pakan memicu testosteron yang berlebih pada tikus, bisa dikatakan pemurnian kedelai menjadi isolat dengan protein 90% ternyata tidak memberikan kadar testosteron lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedelai. Kandungan isoflavon pada pakan berkorelasi negatif dengan kadar testosteron tikus baik kelompok tikus perlakuan pakan kedelai maupun isolat. Semakin tinggi kandungan isoflavon pada pakan berarti semakin menurunkan kadar testosteron. Pakan K3 dengan kosentrasi isoflavon 0.01±0.0005 mg daidzein total/g menurunkan kadar testosteron kelompok tikus K3 sebesar 46.58%. Kadar testosteron semakin menurun menjadi sebesar 95.11% ketika kelompok tikus diberikan pakan K2 (0.08±0.0003 mg daidzein total/g pakan) (Tabel 5). Penurunan kadar testosteron sebesar 16.24% terdapat pada kelompok tikus perlakuan pakan I2 (0.07±0.0026 mg daidzein total/g pakan). Penurunan kadar testosteron menjadi sebesar 87.24% pada kelompok tikus yang diberikan pakan pakan I1 (0.14±0.0052 mg daidzein total/g pakan). Penurunan kadar testosteron yang lebih rendah pada kelompok I3 jika dibandingkan dengan I1 dan I2 diduga disebabkan isoflavon yang terkandung pada pakan I3 belum cukup untuk dapat meningkatkan kadar testosteron. Selain itu kandungan isoflavon lebih tinggi pada K1 (0.15 mg daidzein total/g pakan) dibandingkan K2 (0.08 mg daidzein total/g pakan) namun penurunan kadar testosteron
pada K1 yang lebih rendah dibandingkan dengan K2 diduga disebabkan tikus mengalami diare (Tabel 5). Penelitian Astuti et al. (2008) melaporkan bahwa pada konsentrasi isoflavon 22.2 mg/g dapat memberikan peningkatkan kadar testosteron pada tikus jantan. Isoflavon hasil penelitian lebih rendah jika dibandingkan isoflavon pada penelitian Astuti et al. (2008) namun belum dapat meningkatkan kadar testosteron (Tabel 5). Hal ini diduga karena perbedaan komposisi pakan dan penggunaan metode analisis hormon. Hormon pada penelitian ini dianalisis menggunakan ELISA sedangkan penelitian Astuti et al. (2008) menggunakan Radioimmunoassay (RIA). RIA memiliki sensivitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan ELISA (Asihara dan Kasahara 2001). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan kelompok pakan berpengaruh nyata terhadap kadar testosteron (p<0.05) (Lampiran 11). Uji lanjut Duncan menunjukkan penurunan kadar testosteron I2, K3, I3 tidak berbeda signifikan dengan kelompok kontrol sedangkan pada K1, K2, I1 berbeda signifikan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan pakan K1, K2, dan I1 merupakan pakan yang paling menurunkan kadar testosteron. Kandungan isoflavon pada pakan diduga menyebabkan pakan tersebut berpengaruh. Tabel 5 menunjukkan kandungan isoflavon pakan K1, K2, dan I1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Semakin tinggi kandungan isoflavon pada pakan diduga semakin tinggi pula menurunkan kadar testosteron.
25
ng/dL
20
15
Testosteron 10
DHT
5
0
Kontrol
K1
K2
K3
I1
I2
I3
Gambar 9 Kadar testosteron dan DHT kelompok tikus. Keterangan: K1=kedelai 100%, K2=kedelai 50%, K3=kedelai 10%, I1=isolat 100%, I2=isolat 50%, dan I3=isolat 10%
17
Tabel 5 Kadar testosteron dan DHT hewan coba Kelompok K1 K2 K3 I1 I2 I3
Daidzein total (mg/g pakan) 0.15 ±0.0006 0.08 ±0.0003 0.01 ±0.0001 0.14 ±0.0052 0.07 ±0.0026 0.01 ±0.0005
Testosteron (%) -91.00 -95.11 -46.58 -87.24 -16.24 -52.45
DHT (%) 175.05 325.44 312.23 209.55 296.38 257.87
Keterangan: K1= kedelai 100%, K2=kedelai 50%, K3=kedelai 10%, I1=isolat 100%, I2=isolat 50%, dan I3= isolat 10%
Testosteron setelah disintesis dapat berdifusi pasif ke sel yang dekat atau memasuki aliran darah untuk diangkut ke jaringan yang jauh. Setelah di jaringan target, testosteron dapat berperan secara langsung sebagai androgen atau mengalami metabolisme lebih lanjut. Testosteron dapat dikonversi menjadi setidaknya dua metabolit aktif yaitu dihidrotestosteron (DHT) dan 17βestradiol. Konversi dari testosteron menjadi DHT dikatalisis oleh 5α-reduktase dan terjadi di beberapa, tetapi tidak semua sel target (Heemers dan Tindall 2009). Beberapa sasaran androgen seperti prostat, preputium, ren, penis, vesicula seminalis, dan neuron-neuron hipotalamus tertentu tanggap DHT. DHT kemudian memasuki inti sel dan mempengaruhi reaksi sel, namun organ-organ tertentu seperti otot tidak tanggap terhadap DHT sehingga testosteron tidak perlu diubah menjadi DHT (Kapsul 2007). Gambar 9 menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata kadar hormon dihidrotestosteron pada kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan dengan kelompok kontrol pada tikus putih jantan. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Yi et al. (2002) yang mengungkapkan bahwa konsumsi isoflavon kedelai mengurangi kadar DHT pada tikus jantan Sprague-Dawley. Korelasi positif terjadi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan kadar DHT kelompok tikus yang diberikan pakan kacang kedelai (K) (0.7
Korelasi positif juga terjadi antara kadar testosteron dengan kadar DHT baik pada perlakuan pakan kacang kedelai maupun isolat kacang kedelai (Lampiran 10). Sekitar 25% DHT disekresikan oleh testis dan yang paling banyak (65-75%) dihasilkan dari konversi testosteron di jaringan perifer (seperti prostat dan kulit) melalui aksi enzim 5α-reduktase (Hsing 2001). Namun berdasarkan hasil penelitian, kadar testosteron menurun sementara kadar DHT meningkat dalam serum. Padahal DHT terbentuk di jaringan perifer dan bekerja secara lokal, hanya sebagian kecil masuk ke aliran darah (Kaufman dan Vermeulen 2005). Hal ini diduga karena DHT ireversibel terhadap testosteron sehingga saat testosteron tinggi, kemudian mengalami umpan balik negatif, DHT tetap tinggi. Semakin tinggi testosteron semakin tinggi pula DHT namun belum tentu sebaliknya (Heemers dan Tindall 2009). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan kelompok pakan tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar DHT (p>0.05) (Lampiran 11).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian pakan isoflavon K2, K3, I1, I2, dan I3 berpengaruh meningkatkan bobot badan tikus jantan sedangkan pakan K1 menurunkan, dengan presentase kenaikan bobot badan sebesar 15.72% dan presentase penurunan sebesar 3.72%. Isoflavon kacang kedelai berkorelasi negatif dengan bobot badan sedangkan isoflavon isolat kacang kedelai berkorelasi positif. Pemberian pakan isoflavon kedelai juga mempengaruhi konsumsi pakan, berat feses, dan efisiensi pakan. Semua pakan isoflavon kedelai pada percobaan berpengaruh signifikan menurunkan kadar androgen testosteron serum (p<0.05). Presentase rata-rata penurunan testosteron tertinggi adalah tikus yang diberikan pakan K2 sebesar 95.11% dan terendah yang diberikan pakan I2 sebesar 16.24%. Semua pakan isoflavon kedelai pada percobaan berpengaruh tidak signifikan
18
meningkatkan kadar androgen dihidrotestosteron (p>0.05). Presentase ratarata peningkatan dihidrotestosteron tertinggi terdapat pada tikus yang diberikan pakan K2 sebesar 325.44% dan terendah pada tikus yang diberikan pakan K1 sebesar 175.05%. Korelasi antara isoflavon yang terkandung pada pakan dengan kadar androgen testosteron maupun dihidrotestosteron bernilai negatif. Saran Lama perlakuan perlu diperpanjang untuk mengoptimalkan kadar androgen. Sebaiknya digunakan tikus model kekurangan androgen untuk meminimalkan galat dan memaksimalkan hasil penelitian. Sebelum perlakuan juga perlu dilakukan pengukuran baseline kadar testosteron dan kadar dihidrotestosteron darah tikus agar hasil yang diperoleh lebih valid. Selain kontrol negatif, dapat pula terdapat kontrol positif pada percobaan, misalnya obat yang telah terbukti meningkatkan kadar testosteron dan kadar dihidrotestosteron. Pengambilan serum darah dilakukan pada waktu yang tepat. Penggunaan metode analisis hormon lain seperti radioimmunoassay (RIA) dan electro chemiluminescence immunoassay (ECLIA).
Asihara Y, Kasahara, Y. 2001. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Philadelphia: WB Saunders Company. Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang & Biji-Bijian. Jakarta: Penebar Swadaya. Astuti S. 1999. Pengaruh tepung kedelai dan tempe dalam ransum terhadap fertilisasi tikus percobaan [testis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyanti T. 2008. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. JITV 13(4):288-294. Astuti S, Sutyarso. 2010. Pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon terhadap testosteron serum, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus (Rattus norvegicus). Jurnal Biota 15(1):1.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes S 2010. The biochemistry, chemistry and physiology of the isoflavones in soybeans and their food products. Lymphatic Res. Biol. 8(1):89-98.
Adnyana et al. 2004. Efek ekstrak daun jambu biji daging buah putih dan jambu biji daging buah merah sebagai antidiare. Acta Pharmaceut Indonesia 29(1):19-27.
Berata et al. 2010. Studi patologi kejadian Cysticercosis pada tikus Putih. Jurnal Veteriner 11(4):232-237.
Akinola OB et al. 2007. Effect of methanol extract of soy on testicular morphometry and plasma testosterone levels. Pak. J. Pathol. 18(1):120-24. Allen NE, Key TJ. 2000. The effects of diet on circulating sex hormone levels in men. Nutr. Res. Rev. 13:159-184. Anupongsanugool E et al. 2005. Pharmacokinetics of isoflavones, daidzein and genistein, after ingestion of soy beverage compared with soyextract capsules in postmenopausal Thai women. BMC Clin. Pharmacol. 5(2):1-10.
Cornwell T, Cohick W, Raskin I. 2004. Dietary phytoestrogens and health. Phytochemistry 65:995-1016. Cunningham GR, Matsumoto AM, Swerdloff R, Toma SM. 2003. Patient’s Guide to Low Testosteron. United States: The Hormone Foundation. Dabbs JM, Hargrove MF. 1997. Age, testosterone, and behavior among female prison inmates. Psychosomatic Med. 59:477-480.
[AOAC]. Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of Analysis. Washington DC: [AOAC].
Davis et al. 2012. Testosterone supplementation in male obese zucker rats reduces body weight and improves insulin sensitivity but increases blood pressure. Hypertension 59:726-731.
Asih RA. 2009. Isolasi dan identifikasi senyawa isoflavon dari kacang kedelai (Glycine max). Jurnal Kimia 3(1):33-40.
[Deptan]. 2012. Tanaman kedelai. [terhubung berkala].http://cybex.deptan.go.id/lokalita/ tanaman-kedelai [4 April 2012].
19
Dhaubhadel S, McGarvey BD, Williams R, Gijzen M. 2003. Isoflavonoid biosynthesis and accumulation in developing soybean seeds. Plant Mol. Biol. 53(6):733-743. Dixit AK, Antony JIX, Sharman NK, Tiwari RK. 2011. Soybean constituents and their functional benefits. Nat. Pro. Med. Chem. 37(2):367-383. Emanuele MA, Emanuele N. 1998. Alcohol’s effects on male reproduction. Alcohol Health Res. World 22(3):195-201. Fafioye OO, Fagade SO, Adebisi AA, JenyoOni, Omoyinmi GAK. 2005. Effects of dietary soybeans (Glycine max (L.) Merr.) on growth and body composition of african catfish (Clarias gariepinus, Burchell) fingerlings. Turk. J. Fish Aquat. Sci. 5:11-15. Fanti P, Sawaya BP, Custer LJ, Franke AA. 1999. Serum levels and metabolic clearance of the isoflavones genistein and daidzein in hemodialysis patients. J. Am. Soc. Nephrol. 10:864-871. Fargo KN, Pak TR, Foecking EM, Jones KJ. 2009. Molecular Biology of Androgen Action: Perspectives on Neuroprotective and Neurotherapeutic Effects. USA: Elsevier Inc. Farida et al. 2008. Konsumsi dan penggunaan pakan pada tarsius (Tarsius bancanus) betina di penangkaran. Biodiversitas 9(2):148-151. Gaynor et al. 2003. Isoflavones and the prevention and treatment of prostate disease: Is there a role?. Clev. Clin. J. Med. 70(3):203-216. Gobinet J, Poujol N, Sultan C. 2002. Molecular action of androgens. Mol. Cell. Endocrinol. 198:15-24. Gueven A. 2011. Isoflavonoid production by soy plant callus suspension culture. J. Food Eng. 103:237-243. Harianto. 2004. Penyuluhan penggunaan oralit untuk menanggulangi diare di masyarakat. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(1):27-33. Harmon A W, Harp J B. 2001. Differential effects on flavonoids on 3TE L1 adipogenesis and lipolisis. Am. J. Cell. Physiol. 280:807-813. Hartiningrum SY. 2010. Pengaruh pemberian formula preda dan tempe terhadap lama penyakit diare akut pada anak usia 6-24
bulan [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Heemers HV, Tindall DJ. 2009. Androgen Receptors Action in the Central Nervous System. Rochester: Elsevier inc. Hoff J. 2002. Methods of blood collection in the mouse. Lab. Animal 29(10):47-53. Hoffman et al. 2009. Position stand on androgen and human growth hormone use. J. Strength Cond. Res. 23(Suppl.):S1-S56. Howaritz B, Henry JB. 2001. Diagnosis and Management by Laboratory. Philadelphia: WB Saunders Company. Hsing AW. 2001. Hormones and prostate cancer: what’s next?. Epidemiol. Rev. 23(1):42-52. Hyde et al. 2010. Low free testosterone predicts frailty in older men: the health in men study. J. Clin. Endocrinol. Metab. 95:3165-3172. Ibekwe HA, Essien AD, Essien A, Akpet SO. 2009. Effects of Garcinia kola seed powder on serum level of FSH, LH, and testosterone of male albino rats exposed to exogenous hormones administration. Cont. J. Anim. Vet. Res. 1:12-17. [IBL International]. 2006. Innovation Beyond Limits International. Dihidrotestosterone (DHT) ELISA. Hamburg: [IBL International]. [IBL International]. 2007. Innovation Beyond Limits International. Testosterone ELISA. Hamburg: [IBL International]. Ibrahim KA, Elsheikh EAE, Babiker EE. 2008. Minerals composition of soybean (Glycine max L.) seeds as influenced by Bradyrhizobium inoculation and chicken manure or sulphur fertilization. Pakistan J. Nutr. 7(6):793-800. Jo HJ, Choi MJ. 2008. Effects of isoflavone supplementation on the bone mineral density of growing female rats. Nutr. Res. Pract. 2(2):68-73. Joslin J O. 2009. Blood collection techniques in exotic small mammals. J. Exotic Pet Med. 18:117-139. Kapsul. 2007. Kadar testosteron tikus putih (Rattus norvegicus L) setelah mengkonsumsi buah terong tukak (Solanum torvum Sw). Bioscientiae 4(1):18.
20
Kaufman JM, Vermeulen A. 2005. The decline of androgen levels in elderly men and its clinical and therapeutic implications. Endocr. Rev. 26:833-876. Klatz R, Goldman R. 2004. Anti-Aging Therapeutics. Chicago: American Academy of Anti Aging Medicine. Kuntana. 2009. Pengaruh pemberian phytoestrogen terhadap kualitas spermatozoa, spermatogenesis, dan luas jaringan interstisial pada kelinci (Oryctolagus Cuniculus). Jurnal Bionatura 11(1):47-58. Lane W, Petter. 1976. The Laboratory Rat in The UFAW Handbook on Care and Management of Laboratory Animals. London: Churchill, Livingston. Lehninger AL. 1982. Dasar- dasar Biokimia Jilid 3. Maggy Thenawidjaja, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Prinsiples of Biochemistry. Lephart ED, Setchell KDR, Handa RJ, Lund TD. 2004. Behavioral effects of endocrinedisrupting substances: phytoestrogens. ILAR J. 45:443-454. Lund TD, Balke C, Bu L, Hamaker AN, Lephart ED. 2011. Equol an isoflavonoid: potential for improved prostate health, in vitro and in vivo evidence. Reprod. Biol. Endocrin. 9(4):1-9. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mardiah, Zakaria FR, Asydhad LA. 2006. Makanan Antikanker. Tangerang: PT Kawan Pustaka. Marsudi. 2007. Bercocok Tanam Palawija. Jakarta: Azka Press. Matthews J, Gustafsson JA. 2003. Estrogen signaling: a subtle balance between ER alpha and ER beta. Mol. Interv. 3:281-292. Mattjik AA. 2002. Rancangan Percobaan. Bogor: IPB Pr. Meutia F. 2011. Aktivitas hepatoprotektor ekstrak metanol daun kari (Muraya koenigii L.) pada tikus putih SpragueDawley [skripsi]. Bogor: Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Muliasari A. 2009. Konsentrasi lipid peroksida hati kelinci hiperlipidemia yang diberi senyawa hipolipidemik [skripsi]. Bogor: Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Muntaha 2011. Sumbangan daya ledak otot tungkai daya ledak otot lengan dan berat badan terhadap hasil back attack pada mahasiswa putra ilmu kepelatihan khusus bola voli pendidikan kepelatihan olahraga tahun 2011 [skripsi]. Semarang: Pendidikan Kepelatihan Olahraga, Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Semarang. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper Illustrated Biochemistry, Twenty-sixth Ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. Nasution H. 2011. Gambaran coping stress pada wanita dalam menghadapi pramenopause [skripsi]. Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Nirwana SI, Norazlina M, Top AGMD, Khalid BAK. 1998. Vitamin E deficiency impairs weight gain in normal and ovariectomised growing female rats. Med. J. Islamic Acad. Sci. 11(3):99-105. Oh YS, Cho SB, Baek KH, Choi CB. 2005. Effects of testosterone, 17β estradiol, and progesterone on the differentiation of bovine intramuscular adipocytes. AsianAust. J. Anim. Sci. 18(11):1589-1593. Okamoto Y et al. 2006. Anti-estrogenic activity of prenylated isoflavones from Millettia pachycarpa: implications for pharmacophores and unique mechanisms. J. Health Sci. 52(2):186-191. Ostner J, Heistermann M, Kappeler PM. 2003. Intersexual dominance, masculinized genitals and prenatal steroids: comparative data from lemurid primates. Naturwissenschaften 90:141-144. Pan L et al. 2008. Exposure of juvenile rats to the phytoestrogen daidzein impairs erectile function in a dose-related manner in adulthood. J. Androl. 29(1):55-62. Permadi I. 2011. Evaluasi mutu biologis protein fruit soy bar dan efeknya terhadap berat badan tikus percobaan [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
21
Qian LC, Sun JY. 2009. Effect of βglucosidase as a feed supplementary on the growth performance, digestive enzymes and physiology of broilers. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 22(2):260-266. Rasmada S. 2008. Analisis kebutuhan nutrien dan kecernaan pakan pada Owa Jawa (Hylobates moloch) di pusat penyelamatan satwa Gadog-Ciawi-Bogor [skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Perternakan, Institut Pertanian Bogor. Rasmana ID. 2009. Q FEVER:suatu tinjauan perkembangan teknik diagnostik dan permasalahannya [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Rice S, Whitehead SA. 2006. Phytoestrogens and breast cancer–promoters or protectors?. Endocr-Relat. Cancer 13:9951015. Rimbach G et al. 2008. Dietary isoflavones in the prevention of cardiovascular disease:a molecular perspective. Food Chem. Toxicol. 46(4):1308-1319. [Ristek]. 2012. Susu kedelai. [terhubung berkala].http://www.warintek.ristek.go.id [12 Juni 2012]. Robertson KM, O’Donnell L, Simpson ER, Jones MEE, 2000. The phenotype of aromatase knockout mouse reveals dietary phytoestrogensimpact significantly on testis fuction. Endocrinology 143(8):29132921. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants. Shabsigh A et al. 2005. Clomiphene citrate effects on testosterone/estrogen ratio in male hypogonadism. J. Sex Med. 2:716721. Silalahi J. 2006. Makanan Yogyakarta: Kanisius.
Fungsional.
Sinthamurniwaty. 2006. Faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada balita (studi kasus di kabupaten Semarang) [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles and Procedures. United States of America: Mosby, Inc. Sitasiwi AJ. 2009. Efek paparan tepung kedelai dan tepung tempe sebagai sumber fitoestrogen terhadap jumlah kelenjar endometrium uterus mencit (Mus musculus L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi 17(1):1-10. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suharma CDN. 2011. Dampak Konsumsi Fruit Soy Bar terhadap profil hematologi dan lipid darah tikus percobaan [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulaksono ME. 1987. Dilema pada Hewan Percobaan untuk Pemeriksaan Produk Biologis. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. Suprihatin. 2008. Optimalisasi kinerja reproduksi tikus betina setelah pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada usia prapubertas [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tamboss C. 2001. Efektivitas penyuntikan PMSG sebelum perkawinan dalam peningkatan korpus luteum jumlah titik implantasi dan jumlah anak pada tikus putih [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tara AY. 2011. Ekstrak air undur-undur (Myrmelon sp.) sebagai hepatoprotektor tikus jantan (Sprague-Dawley) yang diinduksi parasetamol [skripsi]. Bogor: Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tolman JR, Lephart ED, Setchell KDR, Eggett DL, Christensen MJ. 2008. Timing of supplementation of selenium and isoflavones determines prostate cancer risk factor reduction in rats. Nutr. Met. 5(31):110.
22
Umam DN. 2010. Hubungan antara andropause dengan stres pada pria beristri [skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret. Usman A, Susilowati S. 2006. Uji kecernaan bahan kering dan konversi pakan complete feed yang menggunakan campuran onggok dan isi rumen sapi pada penggemukan kambing peranakan etawah. Jurnal Ilmiah Dinamika Rekasatwa 2(1):12-25. Vissac-Sabatier C. 2003. Phytoestrogen-rich diets modulate expression of Brca1 and Brca2 tumor suppressor genes in mammary glands of female Wistar rats. Cancer Res. 63(20):6607-6612. Wahyuni RS. 2012. Pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus, dan spermatogenesisi tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [tesis]. Padang: Program Studi Ilmu Biomedik, Universitas Andalas. Weber KS, Setchell KD, Stocco DM, Lephart ED. 2001. Dietary soy phytoestrogens decrease testosterone levels and prostate weight without altering LH, prostate 5alpha-reductase or testicular steroidogenic acute regulatory peptide levels in adult male Sprague-Dawley rats. J. Endocrinol. 170:591-599. Weickert MO et al. 2006. Soy isoflavones increase preprandial peptide YY (PYY), but have no effect on ghrelin and body weight in healthy postmenopausal women. Journal of Negative Results in Biomed. 5(11):1-6. White RWD et al. 2010. Effects of a high dose, aglycone-rich soy extract on prostate-specific antigen and serum isoflavone concentrations in men with localized prostate cancer. Nutr. Cancer 62(8):1036-1043. [WHO]. World Health Organization. 2009. Maintenance Manual for Laboratory Equipment, 2nd ed. Geneva: [WHO]. Wirakusumah ES. 2007. Mencegah Osteoporosis. Depok: Penebar Swadaya. Wolfensohn S, Lloyd M. 1998. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. USA: Blackwel Sci. Yamauchi T et al. 2001. The fat-derived hormone adiponectin reverses insulin
resistance associated with both lipoatrophy and obesity. Nat. Med. 7:941-946. Yi M et al. 2002. Regulation of male sex hormone levels by soy isoflavones in rats. Nutr. Cancer 42(2):206-210. Zhang et al. 2009. Subchronic toxicity study on soy isoflavones in rats. Biomed. Environ. Sci. 22:259-264.
23
LAMPIRAN
24
Lampiran 1 Diagram penelitian secara umum Pembuatan pakan
Perlakuan tikus
Pengambilan serum darah dan nekropsi
Analisis androgen
Analisis data
25
Lampiran 2 Rancangan percobaan
28 ekor tikus jantan Sprague-Dawley
4 ekor tikus Kontrol
4 ekor tikus K1
4 ekor tikus K2
4 ekor tikus K3
4 ekor tikus I1
4 ekor tikus I2
4 ekor tikus I3
Kasein + air
Kedelai 100% + air
Kedelai 50% + air
Kedelai 10% + air
Isolat 100% + air
Isolat 50% + air
Isolat 10% + air
26
Lampiran 3 Komposisi bahan untuk pembuatan 50 kg pakan Kelompok Kontrol K1 K2 K3 I1 I2 I3
Jenis pakan Kasein Kedelai 100% Kedelai 50% Kedelai 10% Isolat 100% Isolat 50% Isolat 10%
Sampel 0 28.7687 14.3843 2.8769 14.2491 7.1245 20.2061
Kasein 11.315 0 5.6574 10.183 0 5.6574 10.183
Minyak jagung 3.9582 0.332 2.145 3.5955 3.8732 3.91565 3.94965
Mineral 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Serat 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Vitamin 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Maizena 29.71825 18.7457 24.23195 28.621 27.0091 28.3637 29.44735
Air 1.93765 0 0.9987 1.73985 1.98845 1.96305 1.94275
26
27
Lampiran 4 Analisis testosteron 25 µL blanko, standar, dan sampel masing-masing dimasukkan ke dalam sumur microtiter plate
Ditambahkan 200 µL enzim konjugat per sumur Diaduk 10 detik Diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang (tanpa menutup plat) Isi sumur-sumur dikeluarkan Sumur dicuci 3 kali dengan 400 µL wash solution per sumur Sumur-sumur diletakkan terbalik pada kertas tisu
Ditambahkan 200 µL substrate solution per sumur Diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang Ditambahkan 100 µL stop solution per sumur Ditunggu 10 menit
OD dibaca pada χ= 410 nm dengan menggunakan microtiter plate reader
28
Lampiran 5 Analisis dihidrotestosteron 50 µL blanko, standar, sampel masing-masing dimasukkan ke dalam sumur
Ditambahkan 100 µL larutan konjugat per sumur
Diinkubasi di dalam plate shaker (sekitar 200 rpm) selama 1 jam dalam suhu ruang
Sumur dicuci 3 kali dengan menggunakan 300 µL bufer pencuci yang telah diencerkan per sumur
Plat diletakkan secara perlahan-lahan pada kertas tisu hingga benar-benar kering
Ditambahkan 150 µL substrat TMB per sumur
Diinkubasi di dalam plate shaker selama 10-15 menit pada suhu ruang (sampai kalibrator A memiliki warna biru) Ditambahkan 50 µL stop solution per sumur Ditunggu 20 menit
Plat dibaca menggunakan microwell plate reader dengan χ= 490 nm
29
Lampiran 6 Koefisien korelasi Pearson bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses hewan coba Isoflavon Daidzein bebas Daidzein total Genistein bebas Genistein total
Total 0.073nx -0.355nx 0.128nx -0.039nx
Bobot badan Kedelai -0.958nx -0.958nx -0.958nx -0.958nx
Isolat 0.266nx 0.266nx 0.266nx 0.266nx
Konsumsi pakan Total Kedelai Isolat 0.083nx 0.406nx 0.208nx 0.511nx 0.406nx 0.208nx 0.019nx 0.406nx 0.208nx 0.206nx 0.406nx 0.208nx
Efisiensi pakan Total Kedelai 0.103nx -0.969nx nx -0.396 -0.969nx nx 0.166 -0.969nx nx -0.026 -0.969nx
Isolat 0.392nx 0.392nx 0.392nx 0.392nx
Total -0.715nx -0.216nx -0.745nx -0.631nx
Berat feses Kedelai 0.701nx 0.701nx 0.701nx 0.701nx
Isolat -0.865nx -0.865nx -0.865nx -0.865nx
Keterangan: *, ** = signifikan dan nx = tidak signifikan. 0.70
29
30
Lampiran 7 Data bobot badan tikus selama perlakuan Kelompok Kontrol
K1
K2
K3
I1
I2
I3
Ulangan 1 2 3 4
Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
0 149 146 138 116 137.25 14.91 149 143 153 120 141.25 14.75 150 144 138 130 140.5 8.54 153 145 140 134 143.00 8.04 162 146 141 134 145.75 11.90 158 146 142 136 145.50 9.29 162 146 136 136 145.00 12.28
Minggu ke- (gram) 2 153 156 146 149 143 140 134 139 144.00 146.00 7.87 8.04 118 113 119 110 152 161 111 109 125.00 123.25 18.35 25.22 152 161 150 157 140 152 133.00 143 143.75 153.25 8.88 7.76 169 179 165 174 141 152 140 143 153.75 162.00 15.39 17.26 174 166 162 165 154 164 143 149 158.25 161.00 13.07 8.04 166 172 163 169 185 195 139 149 163.25 171.25 18.88 18.84 163 165 170 174 138 136 145 154 154.00 157.25 14.99 16.36 1
3 149 151 138 138 144.00 6.98 119 113 162 113 126.75 23.67 167 161 155 150 158.25 7.37 189 182 159 149 169.75 18.86 175 163 166 149 163.25 10.78 137 167 199 150 163.25 26.81 173 164 146 169 163.00 11.92
4 149 155 136 139 144.75 8.81 132 121 166 125 136.00 20.51 178 175 159 162 168.50 9.40 200 194 166 153 178.25 22.43 175 167 166 154 165.50 8.66 177 167 204 151 174.75 22.25 166 173 138 163 160.00 15.25
31
Lampiran 8 Data konsumsi pakan selama perlakuan Kelompok
Ulangan
Kontrol
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K1
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K2
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K3
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I1
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I2
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I3
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
1 9.71 7.14 8.43 9.86 8.79 1.27 7.29 5.14 3.57 7.00 5.75 1.74 10.71 9.79 9.07 11.00 10.14 0.88 9.57 10.43 7.71 8.29 9.00 1.23 10.86 10.14 9.57 8.43 9.75 1.03 10.43 9.57 9.86 12.64 10.63 1.39 9.29 10.79 8.00 9.14 9.30 1.14
Minggu ke- (gram) 2 3 6.71 8.43 6.57 5.71 7.86 6.57 7.00 7.00 7.04 6.93 0.58 1.13 12.57 16.29 5.71 9.57 8.86 15.71 11.43 15.14 9.64 14.18 3.05 3.11 9.86 12.00 9.43 12.29 9.57 10.57 10.57 10.71 9.86 11.39 0.51 0.88 9.43 9.43 11.29 8.57 9.57 10.57 8.00 9.57 9.57 9.54 1,35 0.82 7.14 10.14 10.00 9.71 10.00 9.43 6.86 7.71 8.50 9.25 1.74 1.07 9.00 10.71 8.57 9.29 8.86 9.43 11.71 8.14 9.54 9.39 1.46 1.05 5.71 8.00 8.71 8.29 5.00 8.14 6.43 8.00 6.46 8.11 1.61 0.14
4 9.13 10.00 7.33 7.06 8.38 1.42 9.29 9.72 11.22 11.06 10.32 0.96 10.44 10.33 10.44 10.33 10.39 0.06 10.28 10.78 10.28 10.22 10.39 0.26 11.56 7.83 8.33 7.11 8.71 1.96 10.11 10.00 12.44 8.56 10.28 1.61 10.11 11.28 10.06 9.83 10.32 0.65
32
Lampiran 9 Data berat feses tikus selama perlakuan Kelompok
Ulangan
Kontrol
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K1
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K2
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K3
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I1
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I2
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I3
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
1 1.40 1.34 1.21 1.86 1.45 0.28 2.00 2.36 1.23 2.29 1.97 0.52 2.79 2.50 1.71 2.79 2.45 0.51 1.71 1.86 1.93 1.36 1.71 0.25 1.57 1.64 1.64 1.21 1.52 0.20 1.29 1.21 2.29 1.36 1.54 0.50 1.36 1.86 2.00 2.14 1.84 0.34
Minggu ke- (gram) 2 3 1.29 1.14 1.43 1.57 1.36 0.18 2.43 1.43 1.14 1.43 1.61 0.56 1.57 1.57 1.71 2.29 1.79 0.34 1.43 1.29 1.71 1.43 1.46 0.18 1.00 1.14 1.29 1.07 1.13 0.12 1.14 1.14 1.43 1.29 1.25 0.14 1.00 1.14 1.57 1.14 1.21 0.25
4 1.20 1.60 1.21 1.14 1.29 0.21 1.64 1.29 1.64 1.36 1.48 0.19 1.86 1.64 1.64 1.64 1.70 0.11 0.87 1.07 1.71 1.24 1.23 0.36 1.29 1.13 1.21 1.36 1.25 0.10 0.10 1.00 1.00 1.14 1.03 0.08 1.00 1.14 0.93 1.29 1.09 0.16
0.53 2.32 0.66 0.73 1.06 0.85 2.89 1.87 3.56 2.39 2.68 0.72 2.17 2.00 1.44 2.11 1.93 0.33 1.20 1.32 0.80 0.86 1.04 0.26 0.94 1.06 0.88 0.98 0.96 0.07 0.99 0.81 0.84 1.49 1.03 0.31 0.81 1.16 0.84 1.06 0.97 0.17
33
Lampiran 10 Koefisien korelasi Pearson kadar testosteron dan dihidrotestosteron Isoflavon Daidzein bebas Daidzein total Genistein bebas Genistein total Testosteron
Total -0.302nx -0.722nx -0.228nx -0.440nx
Testosteron Kedelai -0.787nx -0.787nx -0.787nx -0.787nx
Isolat -0.545nx -0.545nx -0.545nx -0.545nx
Total 0.103nx 0.107nx 0.097nx 0.112nx -0.410nx
DHT Kedelai -0.858nx -0.858nx -0.858nx -0.858nx 0.360nx
Isolat -0.607nx -0.607nx -0.607nx -0.607nx 0.997*
Keterangan: *, ** = signifikan dan nx = tidak signifikan. 0.70
34
Lampiran 11 Hasil analisis statistik kadar testosteron dan dihidrotestosteron Kelompok Kontrol K1 K2 K3 I1 I2 I3
Kadar testosteron (ng/dL) 11.36 ±9.07c 1.02 ±2.57a 0.56 ±3.03a 6.07 ±6.44abc 1.45 ±1.81ab 9.51 ±2.24bc 5.40 ±4.64abc
Kadar dihidrotestosteron (ng/dL) 2.21 ±3.52a 6.07 ±3.05ab 9.39 ±0.58b 9.10 ±0.59b 6.83 ±5.16ab 8.75 ±1.27b 7.90 ±1.44b
Keterangan: Data disampaikan dalam rata-rata±standar deviasi. Huruf yang berbeda di kolom yang sama bermakna berbeda signifikan (p<0.05)
35
Lampiran 12 Data dan kurva standar kadar testosteron hewan coba Kelompok Kontrol
K1
K2
K3
I1
I2
I3
Ulangan 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi
Aterkoreksi T (ng/dL) 0.119 9.53 0.026 3.33 0.294 21.20 11.36 9.07 0.035 3.93 -0.038 -0.93 -0.023 0.07 1.02 2.57 0.013 2.47 0.008 2.13 -0.068 -2.93 0.56 3.03 0.035 3.93 0.076 6.67 0.09 7.60 6.07 1.91 0.038 0.41 -0.018 0.40 0.029 3.53 1.45 1.81 0.141 11.00 0.135 10.60 0.08 6.93 9.51 2.24 0.011 2.33 0.137 10.73 0.023 3.13 5.40 4.64
36
0.25 0.2 0.15
y = 0.015x - 0.111 R² = 0.588
Absorbansi
0.1 0.05 0 -0.05 0
5
10
-0.1 -0.15 -0.2 [Standar testosteron] (ng/dL)
Gambar 10 Kurva standar kadar testosteron Contoh perhitungan: Data testosteron kontrol ulangan 1 Ablanko = 0.087 Asampel = 0.119 Aterkoreksi= Asampel-Ablanko = 0.119-0.087 = 0.032 Persamaan garis y = 0.015x - 0.111 y = Aterkoreksi x= [T] 0.032= 0.015x – 0.111 x= (-0.032 – 0.111)/0.015 x= 9.5333 ng/dL Jadi kadar testosteron kontrol ulangan 1 sebesar 9.53 ng/dL
15
20
37
Lampiran 13 Data dan kurva standar kadar dihidrotestosteron hewan coba Kelompok Kontrol
K1
K2
K3
I1
I2
I3
Ulangan 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi 1 2 3 Rata-rata Standar deviasi
Aterkoreksi DHT (ng/dL) 0.082 6.28 0.038 0.07 0.114 0.27 2.21 3.52 -0.005 4.23 -0.02 4.41 -0.051 9.60 6.91 3.05 -0.046 9.48 -0.064 9.9 -0.018 8.78 9.39 0.58 -0.004 8.43 -0.048 9.53 -0.041 9.35 9.10 0.59 -0.017 0.88 -0.061 9.85 -0.058 9.78 6.83 5.16 0.04 7.33 -0.034 9.18 -0.057 9.75 8.75 1.27 -0.046 9.48 0.067 6.65 0.03 7.58 7.90 1.44
38
0.12 0.1 0.08
Absorbansi
0.06 0.04 0.02 0 -0.02 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
-0.04 -0.06 -0.08 -0.1
y = -4E-05x + 0.033 R² = 0.412 [Standar dihidrotestosteron] (pg/dL) Gambar 10 Kurva standar kadar dihidrotestosteron
Contoh perhitungan: Data testosteron kontrol ulangan 1 Ablanko = -0.013 Asampel = 0.069 Aterkoreksi= Asampel-Ablanko = 0.069-(-0.013) = 0.082 Persamaan garis y = 0.0004x + 0.033 y = Aterkoreksi x= [DHT] 0.082= 0.0004x + 0.033 x= -0.082 + 0.033 x= 6275 pg/dL x= 6.275 ng/dL Jadi kadar testosteron kontrol ulangan 1 sebesar 6.28 ng/dL
39
Lampiran 14 Data konsentrasi isoflavon Kelompok
Ulangan
Kontrol
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K1
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K2
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
K3
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I1
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I2
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
I3
1 2 3 4 Rata-rata Standar deviasi
Daidzein (mg/g pakan) Bebas Total 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0027 151.1546 0.0027 151.8503 0.0030 152.1892 0.0029 152.2703 0.0028 4.4270 0.0001 0.1763 0.0014 75.5747 0.0014 75.9225 0.0015 76.0919 0.0015 76.1325 0.0014 2.2134 0.00006 0.0882 0.0003 15.1160 0.0003 15.1856 0.0003 15.2194 0.0003 15.2276 0.0003 0.4427 0.00001 0.0176 0.0117 137.4285 0.0116 137.7459 0.0124 128.1518 0.0125 128.6086 0.0121 33.2467 0.00048 1.7317 0.0058 68.7191 0.0058 68.8778 0.0062 64.0804 0.0063 64.3088 0.0060 16.6245 0.00024 0.88659 0.0012 13.7438 0.0012 13.7756 0.0012 12.8161 0.0013 12.8618 0.0012 3.3249 0.0001 0.1732
Genistein (mg/g pakan) Bebas Total 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4.2722 150.9072 4.2826 152.1903 4.5334 146.0378 4.6197 146.0896 151.8661 148.8062 0.5080 3.2099 2.1360 75.4510 2.1412 76.0925 2.2666 73.0163 2.3098 73.0422 75.9304 74.4005 0.2540 1.6049 0.4272 15.0912 0.4283 15.2196 0.4534 14.6043 0.4620 14.6095 15.1871 14.8811 0.0508 0.3210 31.8038 349.7617 31.7026 351.0233 34.9260 343.5707 34.5544 343.9005 132.9837 347.0640 5.3205 3.8800 15.9030 174.8931 15.8524 175.5239 17.4642 171.7974 17.2784 171.9623 66.4965 173.5442 2.6604 1.9401 3.1806 34.9786 3.1705 35.1048 3.4928 34.3595 3.4557 34.3925 13.2993 34.7088 0.5321 0.3880