PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG DAN VITAMIN E TERHADAP FERTILITAS TIKUS JANTAN SEBAGAI HEWAN MODEL
SUSSI ASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Pemberian Tepung
Kedelai
Kaya
Isoflavon,
Seng
dan
Vitamin
E terhadap
Fertilitas Tikus Jantan sebagai Hewan Model adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2009
Sussi Astuti NRP. F261020051
ABSTRACT SUSSI ASTUTI. The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour, Zinc (Zn) and Vitamin E on Fertility of Male Rats as Animal Model. Under direction of DEDDY MUCHTADI as chairman and MADE ASTAWAN, BAMBANG PURWANTARA, and TUTIK WRESDIYATI as members. The objectives of this research were to (1) evaluate the effects of isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on fertility of male rats, (2) evaluate the effects of isoflavone-riched soybean flour with different levels of isoflavone on fertility of male rats. Prior the in vivo experiment, isoflavone-riched soybean flour was defatted using n-hexane. Quantitative analysis of isoflavone on the defatted-soybean flour was conducted by HPLC, while antioxidant activity on the defatted-soybean flour was conducted by DPPH method. Total isoflavone on the defatted-soybean flour (TKI-RL) was considered as the basic concentration that used to calculate isoflavone dosages for the in vivo experiment. Male and female weaning Sprague Dawley rats (21 days old) were used as the animal model in the experiment. On the 1st stage of the experiment, the male rats were given basic diets containing isonitrogen and isocalories with 15% of dietary protein from casein. Thirty male Sprague Dawley weaning rats (21 days old) were divided into six groups and treated with isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E in different combination. Isoflavone-riched soybean flour (3mg/day) was given by oral administration, whereas Zn and vitamin E were mixed with the basic diet. The treatment was conducted for 2 month. On the other hand, thirty female Sprague Dawley rats were only given the basic diets containing 15% of dietary protein from casein to observe the fertility of male rats. After 2 months, both male and female rats were mixed (1:1). Vagina swabs on the female rats were taken every morning to evaluate the conception rate and to detect spermatozoa by Giemsa dyes. Once the spermatozoa detected on the female rats (the 1st day of pregnancy, D1), the male rats were sacrificed by dislocation of cervical bones (dislocasio cervicalis), then all the parameters were tested. On the day 15th of pregnancy, the female rats were sacrificed (D15), the conception rates and total fetus were counted. On the 2nd stage of the experiment, male rats were given basic diets containing isonitrogen and isocalories with 10% dietary protein from casein. Twenty five male of Sprague Dawley rats were divided into five groups and treated with isoflavone-riched soybean flour by oral administration with different levels (dosage). The treatment was conducted for 2 months. On the other hand, twenty five female Sprague Dawley rats were only given the basic diets containing 10% of dietary protein from casein for 2 months to observe the fertility of male rats. After 2 months, both male and female rats were mixed (1:1). Vagina swabs on the female rats were taken every morning to evaluate the conception rate and to detect spermatozoa by Giemsa dyes. Once the spermatozoa detected on the female rats (the 1st day of pregnancy, D1), the male rats were sacrificed by dislocation of cervical bones (dislocasio cervicalis), then all the parameters were tested. On the day 15th of pregnancy, the female rats were sacrificed (D15), the conception rates and total fetus were counted. The data were tested by analysis of variance (ANOVA) using Completely Randomized Design (RAL) to evaluate the effects of the treatments on the tested-parameters. To observe the difference between experiments, the data were then continued for Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Quantitative analysis of isoflavone compound in TKI-RL by HPLC indicated that total concentration of isoflavone (daidzein, genistein, and glisitein) was 2.35 g/100g dried-matter, and the IC50 was 51.96 μg/ml. The result of the 1st stage of the experiment revealed the synergisms effects between isoflavoneriched soybean flour with Zn and vitamin E on the male rats. The effects observed were the reduction of testical MDA level, recovery of testical SOD activities, stability the content of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in spermatocytes and early spermatids cells of seminiferous tubules by immunohistochemical technique, increasing of sperm concentration and rate of motility, increasing of serum testosterone and total spermatogenic cells in the seminiferous tubules of testes. In general, complete treatment of isoflavoneriched soybean flour, Zn and vitamin E on male rats resulted in better fertility in comparison with single treatment and the other combination. However, combination the three components did not affect significantly on relative weight of testes, as well as to the conception rate and the number of fetus on female rats. The best fertility of male rats was on the group given isoflavone 3 mg/day, Zn 6.14 mg/kg diet and vitamin E 100 mg/kg diet. The results of the 2nd stage of the experiment showed that the treatment of TKI-RL on the male rats given isoflavone with dosage of 0 mg/day, 1.5 mg/day, 3 mg/day, 4.5 mg/day, and 6 mg/day did not affect significantly on spermatozoa abnormality. Treatment of isoflavone 6 mg/day resulted in infertility (copulation rate and conception rate on female rats were 100% and 0%, respectively). The higher dosage of isoflavone caused the increasing of concentration of the serum testosterone and Leydig cells of the male rats. The best treatment resulted in the best fertility was on the group given isoflavone 1.5 mg/day indicated by the increasing of relative weight of testes, rate of motility, sperm concentration and total spermatogenic cells in the seminiferous tubules of testes, inhibiting the formation of lipid peroxide which was indicated by decreasing the testical MDA level, recovery of testical SOD activities, and stability the content of Cu,Zn-SOD in the spermatocyte and early spermatid cells as indicated by immunohistochemical technique. Key words : isoflavone-riched soybean flour, Zn, vitamin E, fertility, male rats
RINGKASAN SUSSI ASTUTI. Pengaruh Pemberian Tepung Kedelai Kaya Isoflavon, Seng dan Vitamin E terhadap Fertilitas Tikus Jantan sebagai Hewan Model. Di bawah bimbingan DEDDY MUCHTADI sebagai Ketua Komisi, serta MADE ASTAWAN, BAMBANG PURWANTARA, dan TUTIK WRESDIYATI sebagai Anggota Komisi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi pengaruh pemberian kombinasi tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E terhadap fertilitas tikus jantan sebagai hewan model, (2) mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan sebagai hewan model. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengurangan lemak terhadap tepung kedelai kaya isoflavon menggunakan pelarut n-heksana. Selanjutnya, dilakukan analisis kuantitatif senyawa isoflavon (HPLC) dan pengujian aktivitas antioksidan terhadap tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) yang diperoleh. Kandungan total isoflavon pada TKI-RL dijadikan sebagai dasar perhitungan untuk perlakuan pemberian TKI-RL sesuai dengan dosis isoflavon yang telah ditetapkan. Uji in vivo menggunakan tikus putih jantan dan betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari). Pada uji in vivo Tahap I, tikus jantan mendapat ransum basal kasein yang disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 15%. Tiga puluh ekor tikus jantan strain Sprague Dawley dibagi dalam enam kelompok, yaitu : (1) Kontrol negatif / K-, tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E ; (2) Cekok aquades, tanpa TKI-RL, dengan Zn dan vitamin E (ZE); (3) Cekok TKI-RL (I); (4) Cekok TKI-RL dan Zn (IZ); (5) Cekok TKIRL dan vitamin E (IE); dan (6) Cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari diberikan secara oral, sedangkan Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum dicampur dalam ransum basal kasein. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Tiga puluh ekor tikus betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) diberi ransum basal kasein selama dua bulan dengan kadar protein ransum 15%, untuk mengobservasi fertilitas tikus jantan. Setelah dua bulan perlakuan, tikus jantan digabung dengan tikus betina (1:1). Setiap pagi terhadap tikus betina dilakukan usap vagina dengan pewarnaan Giemsa untuk mengetahui kondisi estrus dan mendeteksi ada tidaknya spermatozoa. Setelah terdeteksi adanya spermatozoa pada vagina tikus betina (dihitung sebagai H1 kebuntingan), tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis), kemudian dilakukan pengamatan terhadap berbagai parameter yang diuji. Tikus betina dikorbankan pada umur kebuntingan 15 hari (H15) untuk pengamatan terhadap angka konsepsi dan jumlah fetus. Pada uji in vivo Tahap II, tikus jantan mendapat ransum basal kasein yang disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 10%. Dua puluh lima ekor tikus jantan strain Sprague Dawley dibagi dalam lima kelompok, yaitu : (1) Kontrol, cekok aquades; (2) Cekok TKI-RL dosis isoflavon (IF) 1.5 mg/ekor/hari; (3) Cekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari; (4) Cekok TKI-RL dosis IF 4.5 mg/ekor/hari; dan (5) Cekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari. Tepung kedelai kaya isoflavon diberikan secara oral. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Dua puluh lima ekor tikus betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) diberi ransum basal kasein selama dua bulan
dengan kadar protein ransum 10%, untuk mengobservasi fertilitas tikus jantan. Setelah dua bulan perlakuan, tikus jantan digabung dengan tikus betina (1:1). Setiap pagi terhadap tikus betina dilakukan usap vagina dengan pewarnaan Giemsa untuk mengetahui kondisi estrus dan mendeteksi ada tidaknya spermatozoa. Setelah terdeteksi adanya spermatozoa pada vagina tikus betina (dihitung sebagai H1 kebuntingan), tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis), kemudian dilakukan pengamatan terhadap berbagai parameter yang diuji. Tikus betina dikorbankan pada umur kebuntingan 15 hari (H15) untuk pengamatan terhadap angka konsepsi dan jumlah fetus. Data diolah dengan sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon pada TKI-RL dengan HPLC menunjukkan kadar total isoflavon (daidzein, genistein, dan glisitein) sebesar 2.35g/100g(bk), sedangkan nilai IC50 TKI-RL sebesar 51.96 μg/ml. Hasil uji in vivo Tahap I menunjukkan bahwa terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan yang menyebabkan : menurunnya kadar MDA testis, aktivitas SOD testis dipertahankan tetap tinggi, kandungan Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,ZnSOD) tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal melalui deteksi secara imunohistokimia dipertahankan tetap tinggi; meningkatnya motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testostreron serum, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan secara lengkap memberikan fertilitas yang paling baik dibanding pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan tidak berpengaruh terhadap berat testis, serta angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina. Perlakuan yang menunjukkan fertilitas tikus jantan terbaik adalah pemberian secara lengkap : tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum, yang menghasilkan berat testis relatif 0.55±0.03%, motilitas spermatozoa 79.5±1.12%, konsentrasi spermatozoa 1636.90 ±87.95 juta/ml, abnormalitas spermatozoa 9.00±0.70%, serta kadar hormon testosteron serum 3.49±0.31 ng/ml. Hasil pengamatan terhadap sel spermatogenik menghasilkan : jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal, spermatid akhir dan total sel spermatogenik masing-masing sebesar 37.56±4.48, 67±4.72, 287.11±31.75, 227.22±29.78, dan 618.89±47.38. Pengukuran terhadap kadar MDA testis sebesar 1.89± 0.06 nmol/g, sedangkan aktivitas SOD testis sebesar 882.4±19.24 U/g. Profil Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal yaitu positif kuat (+++) sebesar 194.78±15.79, positif sedang/ lemah (++/+) 115.22±9.24 dan negatif (-) 41.89±7.44. Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina masingmasing sebesar 100% dan 11±0.71 ekor. Hasil penelitian uji in vivo Tahap II menunjukkan bahwa pemberian TKIRL pada tikus jantan dengan dosis isoflavon 0 mg/ekor/hari, 1.5 mg/ekor/hari, 3 mg/ekor/hari, 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari tidak berpengaruh terhadap abnormalitas spermatozoa. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada dosis isoflavon 6 mg/ekor/hari pada tikus jantan menyebabkan kasus infertilitas, namun tidak mempengaruhi libido (Angka kopulasi pada tikus betina sebesar 100%, namun angka konsepsi sebesar 0%). Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon
dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig pada tikus jantan. Perlakuan yang menunjukkan fertilitas tikus jantan terbaik adalah pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari, yang mengakibatkan : meningkatnya beberapa parameter seperti berat testis, motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; terhambatnya pembentukan peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan menurunnya kadar MDA testis; aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; kandungan Cu,Zn-SOD tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal melalui deteksi secara imunohistokimia dipertahankan tetap tinggi. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan : berat relatif testis 0.5894±0.03%, motilitas spermatozoa 77.5±2.50%, konsentrasi spermatozoa 1393.75±30.62 juta/ml, abnormalitas spermatozoa 8.99±1.29, butiran sitoplasma 8.92±1.08%, kadar hormon testosteron serum 2.96±0.45 ng/ml; jumlah sel Leydig 70.22±9.34; jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid primer, spermatid sekunder dan total sel spermatogenik masing-masing sebesar 48.44±4.82, 60.00±3.43, 221.56± 16.12, 164.33±17.94, dan 494.33±32.94; kadar MDA testis 2.29±0.05 nmol/g serta aktivitas enzim SOD testis 729.4±23.73 U/g. Profil Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal yaitu, positif kuat (+++) sebesar 166.78±6.92, positif sedang/ lemah (++/+) 85.22±9.24 dan negatif (-) 32.33±5.27. Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina masing-masing sebesar 100% dan 10.2±0.45 ekor. Kata kunci
: tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), vitamin E, fertilitas, tikus jantan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG DAN VITAMIN E TERHADAP FERTILITAS TIKUS JANTAN SEBAGAI HEWAN MODEL
SUSSI ASTUTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Prof. Dr. dr. Ichramsjah A. Rachman, SpOG(K) 2. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.
Judul Disertasi Nama NRP
: Pengaruh Pemberian Tepung Kedelai Kaya Isoflavon, Seng dan Vitamin E terhadap Fertilitas Tikus Jantan sebagai Hewan Model : Sussi Astuti : F261020051
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. Anggota
Dr. Drh. Bambang Purwantara, M.Sc Anggota
Dr. Drh. Tutik Wresdiyati Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 18 Desember 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan berkah-Nya sehingga penulisan disertasi yang berjudul "Pengaruh Pemberian Tepung Kedelai Kaya Isoflavon, Seng dan Vitamin E terhadap Fertilitas Tikus Jantan sebagai Hewan Model" dapat diselesaikan. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sangat tulus dan mendalam kepada yang terhormat Ketua Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. atas bimbingan, arahan, dukungan moril dan bantuan bahan baku utama dalam penelitian ini, Anggota Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. atas saran, diskusi dan bimbingannya, Bapak Dr. Drh. Bambang Purwantara, M.Sc. atas saran, diskusi dan bimbingannya, Ibu Dr. Drh. Tutik Wresdiyati atas bimbingan, diskusi dan dukungan moril, serta menyediakan bahan untuk pengamatan histologis dan deteksi imunohistokimia kepada penulis. Peran semua komisi pembimbing sungguh sangat berarti sehingga penelitian ini akhirnya dapat diselesaikan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. dr. Ichramsjah A. Rachman SpOG(K), dan Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S. yang telah meluangkan waktu, menyampaikan saran dan masukan sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, serta Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. atas segala saran dan masukan selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para Staf Pengajar di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan curahan ilmu dan pengalamannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB. Ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada Direktur TPSDP di Unila yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor di IPB. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Iis Arifiantini, M.Si. yang telah memberikan bantuan teknis pada saat pelaksanaan pembedahan. Kepada para sahabat, kolega kerja dan teknisi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik yang berada di laboratorium PAU Biotek, Seafast Centre, FKH dan Program Studi Ilmu Pangan, serta Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis mengucapkan terimakasih atas persahabatan dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik. Kepada ayahanda Bapak Abd. Rachman (almarhum) dan Ibunda Hj. Subaidijah, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang mendalam atas didikan, doa restu, dorongan dan motivasi serta bantuan moril dan materiil sehingga memberikan dukungan yang luar biasa bagi penulis dalam menempuh pendidikan doktor ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada mertua Ibu Hj. Akmaliyah serta seluruh keluarga khususnya kakak, adik, kakak ipar dan adik ipar atas doa dan dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Rasa terimakasih yang
tulus penulis sampaikan kepada suami tercinta
Dr. Ir. Muhammad Irfan Affandi, M.Si., ananda Muhammad Riza Darmawan, Safira Nuril Izzah, dan Muhammad Rafi Naufal, yang telah setia dan sabar mendampingi dengan penuh pengertian dan pengorbanan selama penulis mengikuti program S3 ini. Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima dan diberi balasan berlipat ganda oleh Allah SWT. Tak lupa permohonan maaf bila penulis melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, Januari 2009
Sussi Astuti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 24 Agustus 1967 sebagai anak ketiga dari pasangan Abd. Rachman dan Hj. Subaidijah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Pangan Program Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Pada tahun 2002, dengan Beasiswa TPSDP UNILA penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke program doktor Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak tahun 1993 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang. Penulis pernah menjadi Kepala Laboratorium Pengolahan Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung Tahun 2000-2002. Selama mengikuti program S3, sebagian hasil penelitian disertasi penulis telah diseminarkan pada Seminar Nasional XIII PERSADA BOGOR, 9 Agustus 2007, serta Seminar dan Lokakarya Perkembangan Terkini tentang Tempe & Produk Makanan Berbasis Kedelai, Forum Tempe-Bogor, 28-29 Agustus 2008. Beberapa artikel ilmiah yang telah diselesaikan antara lain : 1. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E (The effects of isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn ) and vitamin E on lipid peroxide level and superoxide dismutase (SOD) activity of rat testes). Majalah Kedokteran Bandung 40(2), Edisi Juli 2008 (Terakreditasi B), in press 2. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kualitas spermatozoa tikus jantan (The effects of isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on the quality of spermatozoa of male rats). Media Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, (Terakreditasi B), in press 3. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan (The effects of isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on testosterone level and total spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rats testes). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (Terakreditasi B), submitted 4. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon terhadap kadar peroksida lipid, aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis dan profil Cu,Zn-SOD tubuli seminiferi testis tikus (The effects of isoflavone-riched soybean flour on lipid peroxide level, superoxide dismutase (SOD) activity, and profile of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in the seminiferous tubules of male rats testes). Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan, Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, (Terakreditasi B), submitted Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Hipotesis Metode Penelitian
1 5 5 5 6 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Isoflavon Kedelai Aktivitas Senyawa Isoflavon pada Hewan Jantan dan Pria Estrogen pada Hewan Jantan Mineral Seng (Zn) Vitamin E Radikal Bebas dan Sistem Pertahanan Tubuh Hubungan Spesies Oksigen Reaktif dengan Kualitas Spermatozoa
9 11 12 14 17 19 22
KADAR PEROKSIDA LIPID, AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) TESTIS DAN PROFIL Cu,Zn-SOD TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn), DAN VITAMIN E Abstrak 26 Abstract 26 Pendahuluan 27 Bahan dan Metode 28 Bahan Penelitian 28 Metode Penelitian 29 Hasil dan Pembahasan 33 Kesimpulan 42 Daftar Pustaka 42 PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn) DAN VITAMIN E TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS JANTAN Abstrak 45 Abstract 45 Pendahuluan 46 Bahan dan Metode 47 Bahan Penelitian 47 Metode Penelitian 48 Hasil dan Pembahasan 51 Kesimpulan 57 Daftar Pustaka 57
PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn) DAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON SERUM DAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK PADA TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS JANTAN Abstrak 60 Abstract 60 Pendahuluan 61 Bahan dan Metode 62 Bahan Penelitian 62 Metode Penelitian 62 Hasil dan Pembahasan 64 Kesimpulan 69 Daftar Pustaka 70 KADAR PEROKSIDA LIPID, AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) TESTIS DAN PROFIL Cu,Zn-SOD TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON Abstrak 72 Abstract 72 Pendahuluan 73 Bahan dan Metode 74 Bahan Penelitian 74 Metode Penelitian 75 Hasil dan Pembahasan 77 Kesimpulan 84 Daftar Pustaka 84 KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS JANTAN YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON Abstrak 87 Abstract 87 Pendahuluan 88 Bahan dan Metode 90 Bahan Penelitian 90 Metode Penelitian 90 Hasil dan Pembahasan 93 Kesimpulan 101 Daftar Pustaka 102 KADAR HORMON TESTOSTERON SERUM, JUMLAH SEL LEYDIG DAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK PADA TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON Abstrak 105 Abstract 105 Pendahuluan 106 Bahan dan Metode 107 Bahan Penelitian 107 Metode Penelitian 108 Hasil dan Pembahasan 110 Kesimpulan 116 Daftar Pustaka 116
PEMBAHASAN UMUM
119
KESIMPULAN DAN SARAN UMUM
141
DAFTAR PUSTAKA
143
LAMPIRAN
154
DAFTAR TABEL
Halaman 3.1
Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon pada TKI-RL
3.2
Profil kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal
33
pada tubuli seminiferi testis tikus perlakuan
37
4.1
Rataan kualitas spermatozoa tikus setelah 2 bulan perlakuan
52
4.2
Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina
56
5.1
Rataan kadar hormon testosteron tikus setelah 2 bulan perlakuan
65
5.2
Rataan jumlah sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus perlakuan
6.1
65
Profil kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus pada berbagai variasi dosis isoflavon
80
7.1
Rataan kualitas spermatozoa tikus setelah 2 bulan perlakuan
94
7.2
Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina
100
8.1
Rataan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig setelah 2 bulan perlakuan
8.2
110
Rataan jumlah sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus perlakuan dengan berbagai variasi dosis isoflavon
114
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Skema penelitian pendahuluan
7
1.2 Skema penelitian in vivo tahap I
7
1.3 Skema penelitian in vivo tahap II
8
3.1 Kadar MDA testis tikus dengan berbagai perlakuan
35
3.2 Aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus dengan berbagai perlakuan
35
3.3 Fotomikrograf jaringan testis tikus perlakuan yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD 4.1 Berat badan tikus selama perlakuan
36 51
5.1 Fotomikrograf tubuli seminiferi pada testis tikus perlakuan (Pewarnaan HE) 6.1 Kadar MDA testis tikus pada berbagai variasi dosis isoflavon
66 78
6.2 Aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus pada berbagai variasi dosis isoflavon
78
6.3 Fotomikrograf jaringan testis tikus perlakuan yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD
79
7.1 Berat badan tikus jantan pada berbagai variasi dosis isoflavon
93
8.1 Fotomikrograf sel Leydig pada testis tikus perlakuan
111
8.2 Fotomikrograf tubuli seminiferi pada testis tikus perlakuan (Pewarnaan HE)
114
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Kromatogram HPLC TKI-RL
154
2
Perhitungan kandungan senyawa isoflavon TKI-RL
155
3
Contoh perhitungan dosis isoflavon untuk cekok
155
4
Perhitungan penambahan ZnSO4.7H20
156
5
Perhitungan penambahan Zn elemental
156
6
Perhitungan penambahan vitamin E
157
7
Prosedur pembuatan sediaan histologi
158
8
Prosedur pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)
158
9
Prosedur pewarnaan Cu,Zn-SOD secara Imunohistokimia
159
10 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap kadar MDA testis (nmol/g) (In Vivo TAHAP I)
160
11 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap aktivitas SOD testis (U/g) (In Vivo TAHAP I)
160
12 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif kuat terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP I)
160
13 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif sedang/lemah terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP I)
160
14 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi negatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP I)
160
15 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap motilitas spermatozoa (%)(In Vivo TAHAP I)
161
16 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap konsentrasi spermatozoa (juta/ml) (In Vivo TAHAP I)
161
17 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap abnormalitas spermatozoa (%)(In Vivo TAHAP I)
161
18 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap berat relatif testis (In Vivo TAHAP I)
161
19 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap kadar hormon testosteron serum (ng/ml) (In Vivo TAHAP I)
161
20 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatogonia (In Vivo TAHAP I)
162
21 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit (In Vivo TAHAP I)
162
22 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatid awal (In Vivo TAHAP I)
162
23 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatid akhir (In Vivo TAHAP I)
162
24 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah total sel spermatogenik (In Vivo TAHAP I)
162
25 Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah fetus pada tikus betina (In Vivo TAHAP I)
163
26 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap kadar MDA testis (nmol/g) (In Vivo TAHAP II)
163
27 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap aktivitas SOD testis (U/g) (In Vivo TAHAP II)
163
28 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif kuat terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP II)
163
29 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif sedang/lemah terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP II)
163
30 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi negatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP II)
164
31 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap motilitas spermatozoa (%)(In Vivo TAHAP II)
164
32 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap konsentrasi spermatozoa (juta/ml) (In Vivo TAHAP II)
164
33 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap abnormalitas spermatozoa (%)(In Vivo TAHAP II)
164
34 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap butiran sitoplasma (%)(In Vivo TAHAP II)
164
35 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap berat relatif testis (In Vivo TAHAP II)
165
36 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap kadar hormon testosteron serum (ng/ml) (In Vivo TAHAP II)
165
37 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel Leydig (In Vivo TAHAP II)
165
38 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatogonia (In Vivo TAHAP II)
165
39 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit (In Vivo TAHAP II)
165
40 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatid awal (In Vivo TAHAP II)
166
41 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatid akhir (In Vivo TAHAP II)
166
42 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah total sel spermatogenik (In Vivo TAHAP II)
166
43 Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah fetus pada tikus betina (In Vivo TAHAP II)
166
PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Persoalan infertilitas (gangguan kesuburan) merupakan masalah kompleks, melibatkan dua pihak, dapat disebabkan oleh gangguan pada pria maupun wanita. Menurut Moeloek (1990), sekitar 40-60% kejadian infertilitas disebabkan oleh gangguan pada pria. Spermatozoa membutuhkan senyawa spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS) pada konsentrasi rendah untuk menginduksi proses kapasitasi dan reaksi akrosom (Sikka 2004), serta berikatan dengan zona pelusida (Sanocka & Kurpisz 2004) sehingga proses fertilisasi dapat berlangsung dengan baik. Pembentukan ROS secara berlebihan akan memicu stres oksidatif, berpotensi mengakibatkan toksik, dan merupakan mediator penting terhadap berkurangnya fungsi dan kualitas spermatozoa (Aitken & Clarkson 1987). Pembentukan ROS yang berlebih dapat dihubungkan dengan penurunan motilitas, morfologi abnormalitas, penurunan kapasitas penetrasi spermatozoa dengan oosit, serta penurunan fertilitas (Potts et al. 1999). Stres oksidatif adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan kerusakan sel akibat induksi oksigen dan turunannya (senyawa spesies oksigen reaktif/ROS). Kerusakan sel disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas pertahanan antioksidan (scavenger). Kondisi yang berhubungan dengan stres meliputi status penyakit kronis, penuaan, terekspos toksin (Sikka et al. 1995). Menurut Saleh & Agarwal (2002), infeksi, inflamasi, serta kasus infertilitas dapat meningkatkan proses oksidasi dan menyebabkan kerusakan sel. Spermatozoa memiliki sistem pertahanan enzimatik maupun non-enzimatik untuk menetralkan pengaruh toksik senyawa ROS pada spermatozoa, sehingga ROS hanya terdapat dalam jumlah kecil yang diperlukan untuk menjaga fungsi spermatozoa tetap normal. Antioksidan yang ditemukan dalam semen manusia meliputi
antioksidan enzimatik
dan
antioksidan
non-enzimatik. Antioksidan
enzimatik meliputi superoksida dismutase (SOD) untuk dismutasi radikal anion superoksida, serta katalase dan glutation peroksidase untuk detoksifikasi H2O2. Antioksidan non-enzimatik meliputi α--tokoferol, asam askorbat, asam urat, pengkelat metal transisi, transferrin, laktoferin dan seruloplasmin Kurpisz
(Sanocka &
2004). Superoksida dismutase (SOD) dilaporkan merupakan garis
pertahanan terdepan spermatozoa terhadap aktivasi dan toksisitas senyawa ROS (Alvarez et al. 1987 diacu dalam Sikka et al. 1995).
2 Peningkatan radikal bebas pada jaringan testis yang memproduksi spermatozoa dapat menyebabkan kerusakan membran spermatozoa, sehingga mengubah kestabilan dan fungsi membran. Integritas serta fluiditas membran yang baik diperlukan untuk berlangsungnya proses kapasitasi, reaksi akrosom serta terjadinya fusi antara membran spermatozoa dengan membran ovum sehingga fertilisasi berlangsung dengan sempurna. Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh membran spermatozoa yang memiliki integritas (keutuhan) dan fluiditas (kelenturan) optimum. Penyebab utama kerusakan membran spermatozoa diduga akibat proses peroksidasi lipid pada membran yang terbentuk dari reaksi berantai antara radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh (Halliwell & Gutteridge 1999; Sanocka & Kurpisz 2004).
Di
samping mengganggu stabilitas membran, peroksidasi lipid dilaporkan dapat mengacaukan aktivitas enzim membran seperti ATP-ase, sehingga mengakibatkan terganggunya regulasi kation intraseluler seperti Ca2+ yang memegang peranan sangat penting dalam motilitas spermatozoa (Sevanian et al. 1988; Aitken et al. 1993). Menurut Sikka (2004), terdapatnya radical scavenger diduga akan membersihkan
radikal
bebas
pada
jaringan-jaringan
yang
memproduksi
spermatozoa dan menstimulasi ekspresi Cu,Zn-SOD yang dapat melindungi sel dari stres oksidatif. Bahan pangan yang mengandung antioksidan, yang berperan sebagai scavenger radikal bebas dilaporkan Sikka (2004) dapat menekan proses oksidasi, peroksidasi lipid dan kerusakan sel spermatozoa, serta mencegah kondisi stres oksidatif sehingga diduga dapat mengurangi kasus infertilitas. Di samping itu, konsumsi bahan pangan yang mengandung antioksidan dilaporkan juga dapat meningkatkan status antioksidan. Kedelai merupakan sumber antioksidan alami, mengandung komponen bioaktif isoflavon, dan termasuk salah satu golongan flavonoid. Aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil aromatik yang mampu mendonorkan ion hidrogen (Toda & Shirataki 1999; Su et al. 2004), dan sebagai scavenger radikal bebas yang terbentuk selama terjadi peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Amic et al. 2002). Tiga struktur penting senyawa flavonoid yang diduga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan sebagai scavenger radikal bebas adalah struktur o-dihidroksil pada cincin B; ikatan rangkap C2-C3 yang berkonjugasi dengan 4-okso pada cincin C; serta meta 5,7-dihidroksil pada cincin A (Saija et al. 1995). Konfigurasi gugus hidroksil pada cincin B senyawa flavonoid dilaporkan berperan sebagai scavenger radikal bebas (Heim et al. 2002; Sugihara et al. 2001). Dikemukakan lebih lanjut bahwa gugus hidroksil pada cincin B dapat mendonorkan ion hidrogen dengan mendonorkan sebuah elektron ke
3 radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan kedua radikal tersebut, serta membentuk radikal flavonoid yang relatif lebih stabil. Struktur molekul isoflavon memiliki susunan meta 5,7-dihidroksil pada cincin A, gugus 4-okso yang berkonjugasi dengan ikatan rangkap C2-C3 pada cincin C, serta gugus 4’-hidroksil pada cincin B (Arora et al. 1998; Pokorny et al. 2001). Dengan struktur kimia tersebut, isoflavon mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai donor ion hidrogen dan memiliki potensi sebagai antioksidan. Isoflavon kedelai dikenal sebagai fitoestrogen karena struktur molekul isoflavon kedelai mirip dengan struktur molekul estrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen (Miksicek 1994). Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis merupakan subyek dari aksi isoflavon (Anderson & Graner 2000). Aksi biologis fitoestrogen adalah kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen, atau bertindak sebagai estrogen antagonis yang dapat berikatan dengan RE namun menghambat respon estrogen (Helferich et al. 2001; Ruggiero et al. 2002). Wang & Kurzer (1998) diacu dalam Robertson et al. (2002) menyatakan bahwa aksi spesifik fitoestrogen dengan keberadaan estrogen endogen tergantung pada konsentrasinya, di mana aksi agonis terlihat ketika estrogen terdapat pada konsentrasi rendah, sedangkan aksi antagonis terlihat ketika estrogen terdapat pada konsentrasi tinggi. Pendapat serupa juga dikemukakan Brzozowski et al. (1997), bahwa isoflavon bersifat antagonis ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon bersifat agonis ketika kadar estrogen rendah. Studi pengaruh isoflavon kedelai terhadap kualitas spermatozoa dan hormon steroid pada pria telah dilakukan oleh Habito et al. (2000), Mitchell et al. (2001) dan Nagata et al. (2001). Dilaporkan bahwa konsumsi isoflavon kedelai pada dosis 40 mg/hari, 48 mg/hari dan 70 mg/hari tidak mempengaruhi kualitas spermatozoa dan konsentrasi hormon reproduksi pria umur 18-46 th. Namun, hasil penelitian yang telah dilakukan Astuti (1999) menunjukkan bahwa pemberian pakan berbasis kedelai yang mengandung isoflavon pada tikus jantan
memperlihatkan
pengaruh
positif
terhadap
fertilitas.
Astuti
(1999)
membuktikan bahwa tikus jantan yang mendapat ransum tepung tempe selama 45 hari memperlihatkan kecenderungan peningkatan motilitas spermatozoa, serta konsentrasi spermatozoa dan berat testis yang lebih tinggi dibandingkan tikus jantan yang mendapat ransum tepung kedelai, atau kontrol yang mendapat ransum standar kasein.
Pengaruh positif terhadap fertilitas tikus jantan terlihat pada
4 kandungan isoflavon tepung tempe dalam ransum sebesar 2.77 ± 0.19 mg/ekor/hari. Sebaliknya, pemberian isoflavon dalam bentuk isolat isoflavon murni pada konsentrasi tinggi terhadap fertilitas mencit jantan dilaporkan memberikan pengaruh negatif. Martin (1983) menyatakan bahwa pemberian genistein pada konsentrasi 9 mg/ekor/hari menyebabkan kecenderungan atropi testis. Atanassova et al. (2000) melaporkan perubahan berat testis, penyusutan dimensi tubuli seminiferi dan terganggunya spermatogenesis setelah tikus diberi genistein melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat badan/hari.
Sedangkan Fritz et al.
(2003)
melaporkan penurunan aktivitas aromatase testis tikus akibat pemberian genistein melalui jalur diet konsumsi secara normal pada dosis 250 mg/kg diet (± 5 mg /ekor/hari). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa hasil penelitian mengenai pengaruh isoflavon kedelai terhadap kualitas spermatozoa dan hormon steroid pada pria masih menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, masih perlu diungkap peran isoflavon kedelai terhadap fertilitas pria dengan menggunakan model tikus jantan. Salah satu produk olahan kedelai yang dapat digunakan sebagai ingredient dalam bentuk kapsul atau tablet adalah tepung kedelai kaya isoflavon, mengandung kadar isoflavon sebesar 3%, dihasilkan dari biji kedelai tanpa proses kimia atau penambahan bahan tambahan pangan, serta mempunyai rasa dan aroma yang disukai (Indiana Soybean Board 1998). American Dietetic Association (ADA) menyatakan bahwa konsumsi pangan alami akan memberikan pengaruh positif bagi kesehatan apabila dikonsumsi secara teratur pada dosis yang efektif. Indiana Soybean Board (1998) menyarankan konsumsi isoflavon per hari sebesar 30-40 mg, sehingga 1-1.5 g tepung kedelai kaya isoflavon telah dapat memenuhi dosis yang direkomendasikan per hari. Sedangkan menurut Cassidy et al. (1994), konsentrasi isoflavon sebesar 50 mg per hari sudah cukup untuk memperoleh pengaruh klinis/biologis dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan laporan beberapa peneliti sebelumnya bahwa konsentrasi isoflavon tersebut sesuai dengan konsumsi hasil olahan kedelai masyarakat Jepang dengan makanan tradisionalnya, dan merupakan angka di mana pengaruh endokrin pada wanita premenopause dapat diamati. Di samping bahan pangan alami yang mengandung antioksidan, mineral seng (Zn) dan vitamin E dilaporkan juga diperlukan untuk perkembangan organ reproduksi pria. Zn dibutuhkan untuk spermatogenesis (Taneja et al. 1995), diperlukan untuk proses produksi, penyimpanan dan sekresi hormon testosteron (Corah 1996), serta pertahanan integritas sel dan stabilisasi membran sel (Taylor et al. 1988).
Defisiensi vitamin E pada testis tikus dilaporkan menyebabkan
5 degenerasi epitel tubuli seminiferi dan menghentikan produksi spermatozoa (Regina & Traber 1999), menghambat spermatogenesis dan menyebabkan degenerasi sel germinal (Bensoussan et al.
1998).
Vitamin E juga berperan
sebagai antioksidan sehingga mampu melindungi spermatozoa terhadap kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas spermatozoa (Iwasaki & Gagnon 1992; Therond 1996; Hsu et al. 1998). Sejauh ini, pengaruh isoflavon kedelai yang dikombinasikan dengan Zn dan vitamin E; serta pengaruh isoflavon yang terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis secara in vivo terhadap fertilitas belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, untuk mengevaluasi pengaruhnya terhadap berbagai parameter yang diuji digunakan tikus jantan sebagai hewan model. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian kombinasi tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E; serta mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan sebagai hewan model. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengevaluasi pengaruh kombinasi tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E; serta mengevaluasi pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap : 1. Kadar malonaldehida (MDA) testis 2. Aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis 3. Profil antioksidan Cu,Zn-SOD secara imunohistokimia pada sel spermatogenik tubuli seminiferi testis 4. Berat relatif testis, motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, butiran sitoplasma dan abnormalitas spermatozoa 5. Angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan perlakuan 6. Kadar hormon testosteron serum 7. Jumlah sel spermatogenik pada berbagai tahap perkembangannya pada tubuli seminiferi testis dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
6 Manfaat Penelitian Memberikan informasi manfaat isoflavon untuk meningkatkan fertilitas tikus jantan. Hipotesis 1.
Kombinasi tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada ransum tikus jantan memberikan pengaruh : 1. Meningkatkan
berat
relatif
testis,
motilitas
spermatozoa,
dan
konsentrasi spermatozoa; meningkatkan kadar hormon testosteron serum; meningkatkan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; serta meningkatkan angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina 2. Menurunkan abnormalitas spermatozoa dan kadar MDA testis 3. Mempertahankan aktivitas SOD testis tetap tinggi. 4. Memperbaiki profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis. 2.
Terdapat dosis optimum isoflavon yang terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon yang memberikan pengaruh pada tikus jantan : 1. Meningkatkan
berat
relatif
testis,
motilitas
spermatozoa,
dan
konsentrasi spermatozoa; meningkatkan kadar hormon testosteron serum; meningkatkan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; serta meningkatkan angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina 2. Menurunkan abnormalitas spermatozoa, persentase butiran sitoplasma dan kadar MDA testis. 3. Mempertahankan aktivitas SOD testis tetap tinggi. 4. Memperbaiki profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis. Metode Penelitian Penelitian terdiri dari tiga tahap sebagai berikut : 1. Pengurangan lemak pada tepung kedelai kaya isoflavon (TKI) 2. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng dan vitamin E terhadap fertilitas tikus jantan (Uji in vivo Tahap I) 3. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan (Uji in vivo Tahap II)
7 METODE PENELITIAN
Pengurangan lemak pada tepung kedelai kaya isoflavon / TKI (ekstrak TKI dengan n-heksana)
KELUARAN TKI rendah lemak (TKI - RL) : Analisis kuantitatif senyawa isoflavon (HPLC) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) TKI - RL : digunakan sebagai bahan baku utama uji in vivo pada Tahap I dan Tahap II
Gambar 1.1. Skema penelitian pendahuluan
METODE PENELITIAN
Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap fertilitas tikus jantan (In Vivo Tahap I)
KELUARAN
Data IN VIVO TAHAP I : Kadar MDA testis Aktivitas SOD testis Profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis Berat badan tikus jantan Konsumsi ransum tikus jantan Motilitas spermatozoa Konsentrasi spermatozoa Abnormalitas spermatozoa Berat relatif testis Angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina Kadar hormon testosteron serum Jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis
Gambar 1.2. Skema penelitian in vivo tahap I
8 METODE PENELITIAN
Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan (In Vivo Tahap II)
KELUARAN DATA IN VIVO TAHAP II : Kadar MDA testis Aktivitas SOD testis Profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis Berat badan tikus jantan Konsumsi ransum tikus jantan Motilitas spermatozoa Konsentrasi spermatozoa Abnormalitas spermatozoa Butiran sitoplasma Berat relatif testis Angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina Kadar hormon testosteron serum Jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis
Gambar 1.3. Skema penelitian in vivo tahap II
9 II. TINJAUAN PUSTAKA Isoflavon Kedelai Flavonoid adalah suatu golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman. Isoflavon termasuk golongan flavonoid dan merupakan kelompok terbesar dalam golongan tersebut. Pada umumnya, senyawa isoflavon terdapat dalam kacang-kacangan atau leguminosa (Harborne 1992). Flavonoid dilaporkan Arora et al. (1998) dan Nijveldt et al. (2001) mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan
mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas, melalui
mekanisme flavonoid untuk bertindak sebagai penangkap radikal bebas secara langsung. Aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil yang mampu mendonorkan ion hidrogen dan berperan untuk menetralkan radikal bebas (Toda & Shirataki 1999; Su et al. 2004), serta sebagai scavenger radikal bebas yang terbentuk selama terjadi peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Amic et al. 2002). Kemampuan menangkap radikal bebas dari senyawa flavonoid disebabkan oleh adanya keterlibatan gugus hidroksil bebas pada cincin B untuk mendonorkan atom H dan berperan sebagai scavenger radikal bebas, konjugasi ikatan rangkap pada C2-C3 dengan gugus 4-okso pada cincin C yang berperan untuk delokalisasi elektron dan meningkatkan kapasitas scavenging radikal (Sugihara et al. 2001; Amic et al. 2002); gugus 3-hidroksil pada cincin C dan gugus 5-hidroksil pada cincin A yang terkonjugasi dengan gugus 4-okso pada cincin C (Pokorny et al. 2001). Flavonoid efektif sebagai scavenger radikal hidroksil dan radikal peroksil (Lee et al. 2004). Konfigurasi gugus hidroksil pada cincin B senyawa flavonoid dilaporkan berperan sebagai scavenger radikal bebas (Heim et al. 2002; Sugihara et al. 2001). Dikemukakan lebih lanjut bahwa gugus hidroksil pada cincin B dapat mendonorkan ion hidrogen dan mendonorkan sebuah elektron pada radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan radikal tersebut serta membentuk radikal flavonoid yang relatif lebih stabil. Tiga struktur penting senyawa isoflavon yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan sebagai penangkap radikal bebas adalah struktur o-dihidroksil
pada cincin B; konjugasi ikatan rangkap C2-C3
dengan gugus 4-okso pada cincin C; serta meta 5,7-dihidroksil pada cincin A (Saija et al. 1995; Oteiza et al. 2005). Sebagian besar isoflavon dalam kedelai atau produk olahan kedelai terdapat dalam bentuk glikosida seperti genistin, daidzin dan glisitin yang berkonjugasi dengan mengikat satu molekul gula. Ketika produk kedelai dikonsumsi, bentuk glikosida isoflavon didegradasi menjadi senyawa aglikon dalam
10 bentuk bebas yang dihasilkan oleh pelepasan glukosa dari glikosida. Proses degradasi glikosida menjadi aglikon seperti genistein, daidzein dan glisitein dikatalis oleh enzim glukosidase dalam usus halus (Matsuura & Obata 1993). Isoflavon dalam bentuk aglikon lebih mudah diserap oleh usus halus sebagai bagian dari misel yang dibentuk oleh empedu. Sirkulasi isoflavon dalam darah bersifat kompleks, karena sebagian larut lemak dan sebagian berikatan dengan protein dengan kekuatan yang lemah. Isoflavon kemungkinan didistribusikan melalui darah ke hati, atau didaur ulang sebagai bagian dari cairan empedu dan sirkulasi enterohepatik. Ekskresi akhir isoflavon terjadi pada feses dan urin (Schmidl & Labuza 2000). Daidzein dapat diubah menjadi equol oleh bakteri intestinal. Ueno et al. (2001) diacu dalam Setchell et al. (2002) mengidentifikasi bakteri pada feses manusia dewasa Jepang yang sehat setelah mengkonsumsi 70 g tofu. Tiga strain bakteri yang dilaporkan mampu mengkonversi daidzein menjadi equol secara in vitro adalah bakteri gram positif strain Streptococcus intermedius spp. dan Ruminococcus productus spp., serta bakteri gram negatif Bacteroides ovatus spp. Equol dilaporkan mempunyai aktivitas estrogenik lebih tinggi dibandingkan komponen isoflavon yang lain, dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor estrogen. Sekali terbentuk, equal relatif stabil dan akan dimetabolisme melalui sistem enzim fase II yaitu glukoronidasi melalui konjugasi dengan asam glukoronat. Terdapat variasi yang besar antar individu terhadap kemampuan individu untuk memproduksi equol. Dilaporkan bahwa sekitar 30 – 50% manusia dewasa tidak mampu mengekskresi equol dalam urin ketika konsumsi harian produk pangan berbasis kedelai ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa populasi dewasa tersebut tidak mampu mengkonversi daidzein menjadi equol. Fenomena ini menyebabkan ada dua terminologi untuk menggambarkan perbedaan ke dua populasi tersebut yaitu, mampu memproduksi equol (equol producers) dan tidak mampu memproduksi equol (non-equol producers) (Setchell et al. 2002). Setchell et al. (2002) melaporkan bahwa manusia yang memiliki konsentrasi equol <40 nmol/L dalam plasmanya dinyatakan mampu memproduksi equol. Apabila konsentrasi equol dalam plasma manusia >83 nmol/L, maka orang tersebut dinyatakan tidak mampu memproduksi equol. Jika pengukuran equol dilakukan pada urin, seseorang dinyatakan mampu memproduksi equol apabila equol dalam urin ditemukan pada konsentrasi >1000 nmol/L. Menurut Morton et al. (2002), persentase equol producers populasi di Asia belum diketahui dengan pasti, namun dilaporkan bahwa persentase equol producers laki-laki dewasa di Jepang cukup tinggi, yaitu sekitar 60%. Dalam hal ini, diduga komposisi bakteri intestinal memainkan peranan penting terhadap produksi equol. Setchell et al. (1998) juga
11 menyatakan bahwa equol tidak ditemukan dalam plasma bayi yang diberi susu formula berbasis kedelai, sehingga diduga bahwa bakteri yang bertanggung jawab terhadap produksi equol tidak berkembang pada awal-awal kehidupan bayi.
Aktivitas Senyawa Isoflavon pada Hewan Jantan dan Pria Isoflavon sering disebut sebagai fitoestrogen atau estrogen nabati karena mempunyai struktur hampir sama dengan estrogen, dan memiliki kemampuan untuk berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen berikatan secara tepat dengan estrogen untuk mengawali respon pada jaringan reproduksi dan jaringan lainnya (Schmidl & Labuza 2000). Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis merupakan subyek dari aksi isoflavon (Anderson & Graner 2000). Pengaruh senyawa isoflavon kedelai dalam bentuk isolat isoflavon murni terhadap kesuburan mencit jantan dilaporkan oleh Martin (1983). Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa pemberian genistein pada konsentrasi 9 mg/ekor/hari menunjukkan kecenderungan atropi testis pada mencit. Pada tikus jantan di mana konsentrasi estradiol dalam darahnya lebih rendah dibandingkan tikus betina, paparan estrogen eksogen mungkin akan menyebabkan gangguan. Safe (2000) melaporkan bahwa gangguan akibat senyawa estrogen pada jantan meliputi penurunan konsentrasi testosteron, mengganggu perkembangan testis dan saluran reproduksi serta perubahan terhadap proses spermatogenesis dan fertilitas. Studi yang telah dilakukan oleh Atanasssova et al. (2000) memperlihatkan terjadinya perubahan terhadap morfologi testis dan proses spermatogenesis setelah tikus diberi genistein (isolat isoflavon murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat badan/hari. Fritz et al. (2002) dan Fritz et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian genistein mulai umur sapih sampai masa puber pada tikus meningkatkan konsentrasi testosteron dan menurunkan aktivitas aromatase testis tikus. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut menunjukkan adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh senyawa isoflavon pada konsentrasi tertentu terhadap fertilitas. Sebaliknya, pemberian pakan berbasis kedelai yang mengandung isoflavon dilaporkan Astuti (1999) memperlihatkan pengaruh positif terhadap fertilitas tikus jantan. Perlakuan diberikan bukan dalam bentuk isolat isoflavon murni, namun menggunakan bahan pangan yang mengandung isoflavon, yaitu tepung kedelai dan tepung tempe. Hasil penelitian Astuti (1999) menunjukkan bahwa penggunaan tepung tempe dan tepung kedelai dalam ransum tikus jantan selama 45 hari memperlihatkan
kecenderungan
peningkatan
motilitas
spermatozoa,
serta
12 konsentrasi spermatozoa dan berat testis yang lebih tinggi pada tikus jantan yang mendapat ransum tepung tempe dan tepung kedelai sebagai sumber proteinnya dibandingkan kontrol yang mendapat sumber protein kasein. Pada studi tersebut, dengan memperhitungkan jumlah tepung kedelai dan tepung tempe dalam ransum yang dikonsumsi tikus jantan, kandungan isoflavon dalam ransum tepung kedelai sebesar 0.79 ± 0.05 mg/ekor/hari, sedangkan pada ransum tepung tempe sebesar 2.77 ± 0.19 mg/ekor/hari. Percobaan pemberian isolat protein kedelai terhadap primata jantan berumur 1.3-4.1 tahun juga telah dilakukan oleh Anthony et al. (1996). Dilaporkan bahwa pemberian isolat protein kedelai dalam pakan selama 6 bulan pada jumlah yang sama (200 g/kg diet) tetapi dengan
dosis isoflavon yang berbeda tidak
menimbulkan pengaruh negatif terhadap sistem reproduksi melalui pengamatan terhadap konsentrasi hormon testosteron dan berat organ reproduksi. Di samping itu, studi pengaruh isoflavon terhadap kualitas spermatozoa dan hormon steroid pada pria telah dilaporkan oleh Habito et al. (2000); Mitchell et al. (2001); dan Nagata et al. (2001). Habito et al. (2000) menyatakan bahwa konsentrasi estradiol, testosteron, dan dihidrotestosteron tidak berbeda pada pria dengan umur 35-62 tahun yang mengkonsumsi dua produk olahan kedelai dengan kandungan isoflavon 70 mg/hari selama 1 bulan. Mitchell et al. (2001) melaporkan bahwa tidak ada pengaruh pada testis terhadap volume ejakulat, konsentrasi dan motilitas spermatozoa, serta perubahan terhadap konsentrasi estradiol, testosteron, FSH dan LH pria muda umur 18-35 th yang mengkonsumsi isoflavon kedelai 40 mg/hari selama 2 bulan. Nagata et al. (2001) juga menyatakan bahwa tidak terdapat perubahan pada konsentrasi estradiol dan testosteron pada pria dengan umur rata-rata 32,4 tahun yang mengkonsumsi susu kedelai (mengandung 48 mg isoflavon) selama 2 bulan. Estrogen pada Hewan Jantan Menurut
Kuiper
et
al.
(1997),
estrogen
dilaporkan
mempengaruhi
pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi dari beberapa jaringan target seperti jaringan pada sistem reproduksi, kelenjar susu, uterus dan ovarium pada betina, serta testis dan prostat pada jantan. Sebagian besar estrogen diproduksi dalam ovari dan testis. Estrogen bekerja dengan membentuk suatu kompleks dengan protein yang dinamakan sebagai reseptor estrogen (RE). Kompleks ini meletakkan diri pada suatu tempat, pada gen tertentu dalam inti sel, dan menyebabkan sel memperbanyak diri (proliferasi) atau menyebabkan proses diferensiasi dan
13 membentuk sel khusus. Awalnya, hanya satu jenis RE yang dikenal yaitu REα, namun akhirnya ditemukan jenis lain yaitu REβ (Kuiper et al. 1996). Terdapat perbedaan distribusi jaringan dan affinitas ligand binding dari REα dan REβ, sehingga menjelaskan aksi selektif dari estrogen pada jaringan yang berbeda. Hasil pengamatan Kuiper et al. (1997) terhadap distribusi REα dan REβ menunjukkan bahwa ekspresi REβ tertinggi ditemukan pada ovari dan prostat, ekspresi REβ moderat pada testis, uterus, kandung kemih, dan paru-paru, sedangkan ekspresi REβ terendah pada kelenjar pituitari, epididimis, timus, dan otak. Hasil pengamatan terhadap ekspresi REα tertinggi terlihat pada epididimis, testis, kelenjar pituitari, uterus, ginjal dan adrenal, dimana ekspresi REβ memperlihatkan ekspresi moderat atau tidak terlihat. Dalam aliran darah sebagian estrogen berikatan dengan protein SHBG (Sex Hormone Binding Globulin), sedangkan estrogen dalam plasma yang bebas hanya 2%. Estrogen dalam bentuk bebas (tidak terikat) mampu menembus sel dan aktif secara biologis. Estrogen merupakan senyawa steroid yang mampu mengubah aktifitas biologis sel melalui pengikatannya dengan reseptor estrogen yang sebagian terdapat dalam membran plasma dan inti sel. Potensi estrogen sangat bergantung pada afinitasnya terhadap reseptor estrogen, lamanya berikatan dengan reseptor dan banyaknya hormon bebas yang dapat menembus membran sel. Estrogen sangat larut dalam lemak, oleh sebab itu mudah menembus membran sel, selanjutnya berikatan dengan RE yang sebagian terdapat dalam membran plasma membentuk kompleks ligand-reseptor. Kompleks ligand-reseptor kemudian berdifusi masuk ke dalam inti sel dan berikatan dengan DNA. Ikatan ligand-reseptor-DNA kemudian mengawali transkripsi gen mRNA, selanjutnya mensintesis protein spesifik yang mempunyai pengaruh fisiologis pada jaringan target (Ruggiero et al. 2002). Menurut Nagata et al. (1998), isoflavon mampu menginduksi RE meskipun tidak sekuat estrogen endogen. Senyawa tersebut menempati sisi aktif RE dan menguncinya, sehingga estrogen endogen tidak dapat berikatan dengan RE. Dalam hal ini, isoflavon menggantikan fungsi estrogen dan mengendalikan aktivitasnya. Pengaruh fitoestrogen tergantung pada respon yang terjadi, yaitu bersifat agonis atau antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target (Helferich et al. 2001). Dilaporkan bahwa aksi biologis fitoestrogen sebagai estrogen agonis adalah berikatan dengan RE dan menstimulasi (memacu) respon estrogen, sedangkan aksi sebagai estrogen antagonis adalah berikatan dengan RE, namun menghambat respon estrogen. Menurut Brzozowski et al. (1997); Wang & Kurzer (1998) diacu dalam Robertson et al. (2002), isoflavon bersifat antagonis
14 ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon bersifat agonis ketika kadar estrogen rendah. Biosintesis estrogen dikatalis oleh sitokrom P450 aromatase. Walaupun estrogen diproduksi dalam jumlah kecil pada testis, namun estrogen dilaporkan berperan penting pada sistem reproduksi jantan (Revelli et al. 1998) dan spermatozoa (Luconi et al. 2001). Konsentrasi estrogen dalam aliran darah pada jantan umumnya rendah dengan kisaran 2-180 pg/ml, tergantung masing-masing spesies. Estrogen juga ditemukan dalam semen dan tergantung spesies, dengan konsentrasi estrogen berkisar antara 14-900 pg/ml (Hess 2003). Ekspressi RE-ß ditemukan pada sel benih (Hess 2003), serta sel Leydig dan sel Sertoli (Sharpe 1998; Carreau et al. 1999). Aktivitas aromatase, yaitu enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen pada rodensia ditemukan dalam sel Sertoli (O’Donnell et al. 2001), serta sel Leydig dan sel germinal, yaitu di daerah badan Golgi pada spermatid awal dan pada flagella spermatid akhir (Nitta et al. 1993). Lebih lanjut Nitta et al. (1993) melaporkan bahwa penghambatan aktivitas aromatase menurunkan pematangan spermatid pada tubuli seminiferi testis tikus, sehingga diduga bahwa estrogen berperan penting dalam mengontrol spermatogenesis. Robertson et al. (1999) diacu dalam Adeoya-Osiguwa et al. (2003) menyatakan bahwa defisiensi aromatase pada mencit menyebabkan tertahannya proses awal spermiogenesis.
Mineral Seng (Zn) Seng (Zn) terdapat dalam jaringan manusia/hewan dan diperlukan untuk aktivitas lebih dari 90 macam enzim yang ada hubungannya dengan proses metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi dan sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transpor CO2 dan reaksi-reaksi lain. Beberapa enzim yang membutuhkan Zn sebagai kofaktor adalah karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase, karboksipeptidase, glutamat dehidrogenase, laktat dehidrogenase, Cu,Zn-superoksida dismutase dan alkalin fosfatase. Karena Zn berperan dalam reaksi-reaksi yang luas, kekurangan Zn akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama pada saat pertumbuhan (Linder 2006). Pada sistem hormon, Zn berfungsi pada proses produksi, penyimpanan dan sekresi hormon. Dalam menjalankan fungsinya, hormon timulin, testosteron dan prolaktin memerlukan Zn. Zn dilaporkan juga mampu mempertahankan integritas sel karena Zn berperan dalam sistem imun (Corah 1996) dan memainkan peran penting dalam stabilisasi biomembran (Taylor et al. 1988). Menurut Oteiza et al. (1995), peran Zn dalam sistem pertahanan terhadap oksidan adalah sebagai salah satu komponen esensial atau kofaktor dalam metaloenzim Cu,Zn-superoksida
15 dismutase (Cu,Zn-SOD) yang merupakan garis pertahanan pertama terhadap aktivasi senyawa spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species, ROS) melalui dismutasi radikal anion superoksida. Klotz et al. (2003) menyatakan bahwa Cu dan Zn secara bersama-sama terlibat sebagai sistem pertahanan antioksidan dalam sitosol terhadap aksi oksidan. Berdasarkan aksi Zn tersebut, defisiensi Zn diduga dapat meningkatkan terjadinya kerusakan oksidatif pada jaringan. Defisiensi Zn dilaporkan juga mampu meningkatkan peroksidasi lipid pada mikrosom hati yang diukur melalui peningkatan produksi malonaldehida (Taylor et al. 1988). Pengaruh Zn yang paling nyata adalah dalam metabolisme, fungsi dan pemeliharaan kulit, pankreas dan organ-organ reproduksi pria (Linder 2006). Selain ketersediaan ion an organik Cu dan Mn, Zn merupakan faktor eksogen dari nutrisi yang dilaporkan mempengaruhi motilitas spermatozoa (Hafez & Hafez 2000). Kualitas spermatozoa dihubungkan dengan motilitas serta tergantung pada ketersediaan
Zn.
Bukti
temuan
beberapa
kasus
infertilitas
pada
pria
memperlihatkan bahwa suplementasi Zn mampu menekan kasus ini (Chesters 1997).
Suplementasi Zn secara oral dilaporkan mampu meningkatkan motilitas
spermatozoa pasien astenozoospermia atau oligozoospermia (Hunt et al. 1992). Terjadinya peningkatan jumlah spermatozoa dan motilitas dilaporkan sebagai akibat suplementasi Zn secara oral pada pasien infertil (Oteiza et al. 1995). Spermatozoa membutuhkan Zn dari seminal plasma selama terjadi ejakulasi (Chesters 1997). Sekresi semen merupakan salah satu sumber kehilangan Zn, di mana ejakulasi semen mengandung sampai 1 mg Zn (Shils et al. 1994). Menurut Vernet et al. (2001), Zn merupakan salah satu unsur utama dalam seminal plasma dan spermatozoa. Dilaporkan bahwa ejakulat spermatozoa tikus mengandung sekitar 1.055µg Zn/satu juta sel. Menurut Prasad (1991), defisiensi Zn mengakibatkan selera makan menurun, pertumbuhan terhambat, konsumsi pangan menurun, kelainan pada kulit, serta menurunnya status kesehatan dan sistem kekebalan tubuh. Defisiensi Zn juga
akan
mempengaruhi
produksi
dan
sekresi
testosteron,
insulin
dan
kortikosteroid (Corah 1996); hipogonadisme, menurunnya konversi testosteron ke DHT, serta terhambatnya kematangan seksual (dewasa kelamin) pada pria (Prasad 1991; Oteiza et al. 1995). Agget dan Harries (1979) diacu dalam Linder (2006) menyatakan bahwa Zn diperlukan untuk perkembangan fungsi reproduksi pria dan spermatogenesis, terutama perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron yang dikatalis oleh enzim 5 α-reduktase. Ae-son dan Chung (1996) melaporkan bahwa defisiensi Zn mempengaruhi sirkulasi hormon reproduksi yang diperlihatkan dengan menurunnya konsentrasi
LH,
estradiol
dan
testosteron
serum
tikus
jantan
sehingga
16 mengakibatkan hipogonadisme, yaitu suatu respon terhadap defisiensi Zn yang ditunjukkan dengan menurunnya konsentrasi testosteron pada serum; serta berkontribusi terhadap disfungsi organ reproduksi pejantan seperti terjadinya infertilitas. Kegagalan fungsi testis akibat defisiensi Zn dalam jangka waktu yang lama dilaporkan terjadi pada manusia, rodensia, babi dan ruminansia (Chesters 1997). Menurut Taneja et al. (1995), perubahan patologis akibat defisiensi Zn pada mamalia akan mengakibatkan testis mengecil, menghambat perkembangan spermatozoa dan penipisan sel Leydig yang memproduksi hormon testosteron. Sintesis testosteron oleh sel Leydig dihubungkan dengan kecukupan Zn dalam diet pria dewasa (Prasad 1991). Prasad et al. (1967) diacu dalam Halsted et al. (1974) melaporkan bahwa konsentrasi Zn dalam jaringan testis tikus yang mendapat ransum normal sebesar 176 mg/kg (bk), sedangkan tikus yang mendapat ransum defisien Zn sebesar 132 mg/kg (bk). Defisiensi Zn pada tikus jantan dilaporkan Rogers (1979) berpengaruh terhadap gagalnya fungsi reproduksi, atropi testis dan hipoplasia prostat. Perubahan degeneratif ini berkorelasi dengan metabolisme asam nukleat dan kelainan hormonal termasuk testosteron (Taneja et al. 1995). Defisiensi
Zn
dilaporkan
mengganggu
perkembangan
testis
dan
menghentikan proses spermatogenesis. Hal ini dihubungkan dengan penyusutan tubuli seminiferi dan reduksi sel Leydig (Chesters 1997).
Menurut Shils et al.
(1994), defisiensi Zn menyebabkan reduksi ukuran testis dan atropi pada epitel seminiferi.
Akibat
disfungsi
testis
tersebut
akan
menganggu
proses
spermatogenesis dan produksi testosteron. Kerusakan utama yang mendasari disfungsi testis diduga merupakan gangguan sel Leydig (Hunt et al. 1992). Zn adalah mikromineral yang relatif kurang beracun (non toksik) di antara mineral lain (Halsted et al. 1974; Chesters 1997). Tidak ada pengaruh negatif yang pernah ditemukan setelah seseorang berminggu-minggu mengkonsumsi lebih dari 10 kali anjuran kecukupan gizi. Namun, konsumsi tablet ZnSO4 atau suplemen Zn lain dapat menyebabkan rasa tidak enak bila dikonsumsi tidak bersamaan dengan waktu makan.
Defisiensi Zn dapat terjadi karena kurangnya konsumsi atau
dayaguna yang rendah, penyerapan yang kurang baik atau tingkat pengeluaran dari tubuh yang meningkat (Linder 2006). Tikus yang dikandangkan dalam kandang galvanized membutuhkan Zn sebesar 2 sampai 4 mg/kg diet, tetapi tikus yang dikandangkan dalam kandang stainless steel membutuhkan 12 mg/kg diet untuk mencapai berat maksimum. Jika kedelai digunakan sebagai sumber protein, kebutuhan Zn adalah 18 mg/kg diet karena penyerapan Zn dalam saluran usus akan mengalami penurunan oleh asam
17 fitat.
Namun, pertumbuhan maksimal akan dicapai pada intake Zn sekitar 10
sampai 20 mg/kg diet. Kandungan Zn terendah ditemukan pada kulit, sedangkan kandungan tertinggi terdapat pada testis (Rogers 1979). Konsentrasi Zn dalam ransum hewan sebesar 20 mg/kg diet memperlihatkan kecukupan Zn untuk diabsorbsi (Chesters 1997). Taneja et al. (1995) melakukan suplementasi Zn sulfat pada konsentrasi 20 μg ZnSO4.7H2O/g diet dalam ransum rendah lemak dan tinggi lemak untuk melihat pengaruhnya terhadap testis mencit. Ae-son & Chung (1996) melakukan suplementasi Zn sulfat sebesar 22 mg/kg diet dalam ransum kontrol tikus jantan, serta ransum yang
defisien Zn untuk mengetahui metabolisme steroid, serta
reseptor androgen dan estrogen pada hati tikus. Suplementasi Zn sulfat pada konsentrasi 25 μg ZnSO4.7H2O/g diet dalam ransum tikus yang diberikan secara ad libitum, serta ransum yang defisien Zn dengan konsentrasi Zn sebesar 0.5 μg ZnSO4.7H2O/g diet juga telah dilakukan oleh Oteiza et al. (1995) untuk melihat pengaruh Zn terhadap kerusakan oksidatif pada protein, lipid dan DNA testis tikus. Kynaston et al. (1988) diacu dalam Arsyad (2001) melaporkan adanya perubahan yang bermakna terhadap motilitas spermatozoa pasien dengan asthenozoospermia dan/atau oligozoospermia setelah pemberian Zn sulfat 2x220 mg/hari selama 3 bulan.
Vitamin E Menurut Landvik et al. (2002), α-tokoferol memiliki aktivitas biologis paling tinggi dan paling efektif dari komponen vitamin E karena melindungi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel yang berperan penting terhadap fungsi dan struktur membran sel. Aktifitas α-tokoferol berhubungan dengan sifatnya sebagai antioksidan alami yaitu dapat mencegah oksidasi bagian sel penting atau mencegah terbentuknya hasil oksidasi peroksida asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel (Linder 2006). Vitamin E diperkirakan mempunyai fungsi dasar yang penting dalam pemeliharaan integritas membran pada seluruh sel tubuh. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak utama sebagai antioksidan pemutus rantai (Langseth 2000; Clarkson & Thompson 2000),
ditemukan di
plasma, sel darah merah dan jaringan, serta memainkan peran yang sangat esensial dalam memelihara integritas membran biologis (Chow 2001). Vitamin E memberikan perlindungan terhadap peroksidasi lipid akibat aksi secara langsung beberapa senyawa radikal seperti singlet oksigen dan radikal superoksida menjadi suatu bentuk radikal tokoferol yang relatif tidak merusak (Clarkson & Thompson 2000).
18 Fungsi vitamin E yang utama adalah sebagai antioksidan di dalam tubuh, di mana vitamin E dapat bertindak sebagai penangkap radikal bebas dalam membran. Vitamin E mempunyai kemampuan melindungi asam lemak tidak jenuh ganda dengan cara mencegah terjadinya reaksi oleh radikal bebas yang menyebabkan kerusakan membran dalam organel subseluler (Shils et al. 1994) atau merusak struktur dan fungsi membran sel (Landvik et al.
2002). Sebagai antioksidan
pemutus rantai utama dalam jaringan tubuh, vitamin E merupakan garis pertahanan pertama terhadap peroksidasi lipid dan melindungi membran sel pada tahap awal dari serangan radikal bebas (Landvik et al. 2002). Peran biologik utama vitamin E adalah memutuskan rantai proses peroksidasi lipid dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002). Menurut Mayes (1995), vitamin E tampaknya merupakan baris pertama pertahanan terhadap proses peroksidasi asam-asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat dalam fosfolipid membran seluler dan subseluler. Tokoferol bertindak sebagai antioksidan dengan memutuskan berbagai reaksi rantai radikal bebas sebagai akibat kemampuannya untuk memindahkan hidrogen fenolat kepada radikal bebas peroksil dari asam lemak tak jenuh ganda yang telah mengalami peroksidasi.
Radikal bebas fenoksi yang terbentuk kemudian bereaksi dengan
radikal bebas peroksil selanjutnya. Kekurangan vitamin E pada tikus dilaporkan menyebabkan gangguan reproduksi, yaitu degenerasi ovarium pada tikus betina dan penghambatan spermatogenesis pada tikus jantan, sehingga vitamin E disebut sebagai vitamin antisterilitas (Schunack et al. 1990). Linder (2006) menyatakan bahwa vitamin E dibutuhkan dalam produksi spermatozoa. Defisiensi vitamin E pada monyet, kelinci dan tikus dilaporkan menyebabkan degenerasi epitel tubuli seminiferi sehingga produksi spermatozoa berhenti (Machlin 1991; Regina & Traber 1999), serta menghambat spermatogenesis dan menyebabkan degenerasi sel germinal (Bensoussan et al. 1998). Menurut Therond (1996), persentase motilitas spermatozoa secara signifikan berhubungan dengan kandungan α-tokoferol.
α-tokoferol dilaporkan
memainkan peran terhadap aktivitas enzim antioksidan superoksida dismutase dan gluthation
peroksidase
untuk
mempertahankan
kemampuan
fungsional
spermatozoa terhadap serangan radikal bebas. Suplementasi vitamin E secara oral terhadap pasien infertil akan meningkatkan kadar vitamin E dalam serum darah (Kessopoulou et al. 1995); suplementasi dengan vitamin E akan mereduksi senyawa spesies oksigen reaktif dan melindungi spermatozoa terhadap penurunan motilitas (Hsu et al. 1998); vitamin E memberikan perlindungan yang signifikan
19 terhadap spermatozoa dari kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas (Iwasaki & Gagnon 1992; Kessopoulou et al. 1995; Taylor 2001). Pada pasien astenospermia, pemberian vitamin E secara oral secara signifikan menurunkan konsentrasi MDA dalam spermatozoa dan meningkatkan motilitas spermatozoa (Suleiman et al. 1996). Studi secara in vitro memperlihatkan bahwa suplementasi vitamin E mampu menetralisir penurunan motilitas yang disebabkan oleh spermatozoa yang tidak sempurna, serta mampu meningkatkan fusi spermatozoa dengan oosit (Taylor 2001). Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut memperkuat dugaan bahwa vitamin E melindungi membran terhadap senyawa spesies oksigen reaktif dan peroksidasi lipid. Kebutuhan vitamin E dalam ransum tikus/hari sebesar 30 IU/kg ransum Satuan internasional unit (IU) setara dengan 1 mg α-tokoferol asetat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas biologis dari vitamin E (Machlin 1991). Corwin dan Gordon (1982) melaporkan bahwa pemberian vitamin E sebesar 5 mg/100 g ransum dapat meningkatkan respon imun limfosit terhadap mitogen sebanyak 2.5 kali, sedangkan pada pemberian 50 mg/100 g ransum terjadi peningkatan sebanyak 8 kali. Huang & Fwu (1993) melakukan pemberian vitamin E sebesar 50 mg/kg ransum dengan kadar protein ransum bervariasi, yaitu sebesar 6 %, 8 %, 12 % dan 20 %. Defisiensi protein dalam ransum akan menurunkan aktivitas gluthation peroksidase dan superoksida dismutase hati dan sel darah merah tikus, serta meningkatkan kadar peroksidasi lipid hati, limpa, jantung, ginjal, dan paru-paru tikus.
Radikal Bebas dan Sistem Pertahanan Tubuh Pada keadaan normal, secara fisiologis sel memproduksi radikal bebas sebagai konsekuensi logis pada reaksi biokimia dalam kehidupan aerobik. Organisme aerobik memerlukan oksigen untuk menghasilkan ATP, yaitu suatu senyawa yang merupakan sumber energi bagi makhluk hidup melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi dalam mitokondria. Pada proses tersebut terjadi reduksi O2 menjadi H2O yang memerlukan pengalihan 4 elektron. Namun, dalam keadaan tertentu, pengalihan elektron tersebut berjalan kurang sempurna sehingga dapat terbentuk radikal bebas yang dapat merusak sel jika tidak diredam (Suryohudoyo 2007). Pembentukan radikal bebas akan dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang berimbang. Pengaruh negatif radikal bebas terjadi jika jumlahnya melebihi kemampuan detoksifikasi oleh sistem pertahanan antioksidan tubuh sehingga menimbulkan kondisi stres oksidatif. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu : (1) secara endogen,
20 sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, dalam sel (intrasel) maupun ekstrasel, dan (2) secara eksogen, radikal bebas didapat dari polutan lingkungan, asap rokok, obat-obatan, dan radiasi ionisasi atau sinar ultra violet (Supari 1996; Langseth 2000). Radikal bebas adalah sebuah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya (Clarkson & Thompson 2000). Radikal bebas bersifat tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi, sehingga dapat merebut elektron dari molekul lain dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya. Molekul yang kehilangan elektron ini dapat bersifat reaktif, terutama asam lemak tidak jenuh yang kemudian ditransformasikan menjadi radikal bebas yang sangat reaktif (Nabet 1996). Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitas radikal bebas ini dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak seluruh tipe makromolekul seluler seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat (Langseth 2000). Di samping radikal bebas (free radical), dikenal juga istilah reactive oxygen species (ROS), yaitu molekul yang bukan hanya merupakan radikal oksigen, tetapi juga beberapa turunan oksigen yang non radikal (Halliwell & Gutteridge 1999). Radikal bebas dan senyawa ROS dalam tubuh dapat menyebabkan oksidasi lipid, oksidasi protein, DNA strand break, modifikasi basa DNA, dan modulasi ekspresi genetik (Lee et al. 2004). Beberapa senyawa ROS yang penting dalam kehidupan makhluk hidup adalah : yang tergolong radikal bebas seperti radikal hidroksil (OH*), radikal superoksida (O2*), radikal nitrik oksida (NO*) dan radikal lipid peroksil (LOO*); serta yang tergolong non radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (1O2), asam hipoklorat (HOCl), dan ozon (O3) (Halliwell & Gutteridge 1999; Langseth 2000; Lee et al. 2004). Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas selama zat pemusnahnya tersedia. Secara fisiologis, tubuh manusia mempunyai beberapa macam enzim dan senyawa non enzim tertentu yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan molekul yang dapat mengendalikan reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan biologis dapat dibagi berdasarkan proses enzimatik dan non-enzimatik. Antioksidan endogen terdiri atas enzim-enzim yang disintesis oleh tubuh seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutathion peroksidase. Sedangkan antioksidan eksogen yang berasal dari luar tubuh termasuk antioksidan non-enzimatik, terbagi atas antioksidan larut lemak (α-tokoferol, karotenoid, quinon dan bilirubin) dan antioksidan larut air (asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme) (Halliwell & Gutteridge 1999). Pada keadaan patologik diantaranya akibat terbentuknya radikal bebas dalam jumlah berlebihan, enzim-enzim yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya. Menurut
21 konsep radikal bebas, kerusakan sel akibat molekul radikal baru dapat terjadi apabila kemampuan mekanisme pertahanan tubuh sudah dilampaui atau menurun (Gitawati 1995). Stres oksidatif adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kecepatan kerusakan sel akibat induksi oksigen dan turunannya (senyawa spesies oksigen reaktif/ROS). Kerusakan sel terjadi akibat ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas pertahanan enzim antioksidan (scavenger) (Fujii et al. 2003; Lee et al. 2004). Ketidakseimbangan terjadi ketika pembentukan radikal bebas
melebihi
sistem
pertahanan,
sistem
pertahanan
tidak
mampu
mendetoksifikasi radikal bebas, atau ketika terjadi penurunan proses detoksifikasi (Saleh & Agarwal 2002). Kondisi yang berhubungan dengan stres meliputi status penyakit kronis, penuaan, terekspos toksin (Sikka et al. 1995), infeksi, inflamasi, serta kasus infertilitas yang dapat meningkatkan proses oksidasi dan menyebabkan kerusakan sel (Saleh & Agarwal 2002). Situasi di mana terjadi perubahan keseimbangan karena berlebihnya ROS atau berkurangnya antioksidan yang berfungsi menetralisir ROS, merupakan status positif stres oksidatif (Sikka et al. 1995). Sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa radikal dibedakan menjadi sistem pertahanan preventif dan sistem pertahanan melalui mekanisme pemutusan reaksi rantai radikal bebas. Sistem pertahanan preventif dilakukan oleh antioksidan sekunder, sedangkan pemutusan reaksi berantai radikal bebas dilakukan oleh antioksidan primer (Nabet 1996). Menurut Gordon (1990), antioksidan primer merupakan substansi yang berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat mekanisme radikal bebas pada proses oksidasi. Antioksidan ini juga disebut sebagai antioksidan pemecah rantai yang dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Contoh antioksidan primer antara lain tokoferol dan asam askorbat. Antioksidan sekunder atau antioksidan pelindung berperan dalam mereduksi kecepatan rantai inisiasi melalui berbagai mekanisme. Mekanisme antioksidannya dapat terjadi melalui pengikatan ion-ion logam, scavenger oksigen, dekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk-bentuk non radikal, menyerap radiasi sinar ultra violet atau deaktivasi singlet oksigen. Contoh antioksidan sekunder antara lain asam sitrat dan turunan asam fosfat, karoten, enzim superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase.
Menurut
Nabet
(1996),
pada
sistem
pertahanan
preventif,
pembentukan senyawa ROS dan radikal bebas dihambat dengan mengikat logam atau merusak pembentukannya. Sistem pengikatan logam tersebut terjadi dalam cairan ekstraseluler. Sebaliknya di dalam cairan intraseluler, senyawa ROS dan radikal bebas dirusak oleh sistem enzim.
22 Jadhav et al. (1996) menyatakan bahwa dalam cairan intraseluler, enzim yang berperan pada proses degradasi senyawa ROS meliputi enzim superoksida dismutase (SOD) yang mengkatalisis dismutasi radikal anion superoksida (O2*) menjadi H2O2 dan O2; enzim katalase mendegradasi H2O2 menjadi air dan oksigen; serta enzim glutation peroksidase yang mengkatalisis reduksi H2O2 menjadi H2O dengan menggunakan glutation tereduksi (GSH) dan glutation teroksidasi (GSSG) sebagai kofaktor. Nutrisi memainkan peranan kunci dalam menjaga pertahanan enzim tubuh terhadap radikal bebas. Beberapa mineral seperti Mn, Cu, Zn dan Se terlibat dalam aktivitas katalitik enzim antioksidan tersebut dan diperlukan untuk mengendalikan radikal bebas yang terbentuk pada tahap awal. Keempat mineral tersebut diperlukan dalam jumlah yang cukup dalam makanan. Antioksidan enzimatik yang bekerja intraseluler sebagian besar terdapat dalam mitokondria dan sitoplasma sel. Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan metaloenzim. Menurut logam yang dikandungnya, dikenal tiga bentuk SOD yaitu Cu,Zn-SOD (Copper, Zinc-SOD) yang terdapat di dalam sitosol; Mn-SOD (Manganese-SOD) yang terdapat dalam mitokondria dan beberapa prokariot; serta Fe-SOD yang terdapat dalam prokariot dan beberapa spesies tanaman (Harris 1992). Aktivitas SOD total (unit/mg protein) pada beberapa organ tikus terdapat dalam jumlah yang bervariasi, jumlah tertinggi ditemukan dalam hati, kemudian berturut-turut jumlah tertinggi ke terendah ditemukan dalam kelenjar adrenalin, ginjal, jaringan lemak, jantung, lambung, limpa, eritrosit, otak, paru-paru, usus, ovarium, pankreas dan timus (Halliwell & Gutteridge 1999).
Hubungan Spesies Oksigen Reaktif dengan Kualitas Spermatozoa Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah produk metabolisme dan proses fisiologis yang normal.
Anion superoksida dikeluarkan secara konstan oleh sel
mamalia akibat proses oksidasi (Hellstrom et al. 1994; Tremellen 2008). Respirasi mitokondria merupakan sumber biologis utama dari radikal anion superoksida (Sanocka & Kurpisz 2004). Menurut de Lamirande et al. (1997) dan Taylor (2001), senyawa spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan nitrik oksida pada konsentrasi rendah dan terkontrol memainkan peran penting terhadap fisiologi spermatozoa karena menginduksi dan bertindak sebagai perantara hiperaktivasi spermatozoa, proses kapasitasi, serta reaksi akrosom secara in vitro. Kondisi oksidatif ringan akibat rendahnya konsentrasi ROS juga dapat menstimulasi terikatnya spermatozoa ke zona pelusida (Taylor 2001). Sekitar 50% asam lemak tidak jenuh yang ditemukan dalam sebuah sel spermatozoa adalah dokosaheksaenoat (DHA) (Aitken 1997; Halliwell & Gutteridge
23 1999). Membran plasma spermatozoa mamalia diketahui mengandung asam lemak tidak jenuh (Sanocka & Kurpisz 2004), sehingga membran plasma spermatozoa umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh (Hellstrom et al. 1994; Baker et al. 1996) dan berlebihnya pelepasan senyawa ROS (Sanocka & Kurpisz 2004). Karena spermatozoa dapat menghasilkan senyawa ROS seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida yang berasal dari oksidasi NADPH di mitokondria, maka asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat dalam membran akan mudah mengalami peroksidasi lipid. Semua komponen lipid yang terdapat pada membran spermatozoa berperan pada proses pematangan spermatozoa, spermatogenesis, proses kapasitasi dan reaksi akrosom. Terjadinya peroksidasi lipid dapat mengganggu proses tersebut (Sanocka & Kurpisz 2004). Menurut Baker et al. (1996), walaupun produksi superoksida memainkan peran fisiologis dalam mengontrol kapasitasi spermatozoa, pengaruh patologis akibat berlebihnya senyawa ROS sebagian besar disebabkan oleh konversi anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan diinisiasi oleh peroksidasi lipid. Terbentuknya peroksida lipid pada membran yang terjadi akibat reaksi berantai antara radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh menyebabkan perubahan struktur biologi membran sel sehingga mengubah kestabilan dan fungsi membran. Terjadinya proses peroksidasi pada spermatozoa akan diikuti oleh perubahan struktur membran spermatozoa. Hal tersebut akan mempengaruhi motilitas spermatozoa, sehingga motilitas spermatozoa menjadi berkurang. (Sanocka & Kurpisz 2004).
Tremellen (2008) menyatakan bahwa kerusakan
membran spermatozoa merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria. Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh membran
spermatozoa
yang
memiliki
integritas
(keutuhan)
dan
fluiditas
(kelenturan) yang optimum. Integritas dan fluiditas membran berpengaruh terhadap proses
kapasitasi,
reaksi
akrosom
dan
terjadinya
fusi
antara
membran
spermatozoa dengan membran ovum yang berlangsung di dalam tuba falopii. Selain itu, membran spermatozoa juga berperan dalam menjaga permeabilitas membran, yaitu kemampuan membran sel untuk mentranspor zat-zat dari dalam atau luar sel. Intregritas membran spermatozoa dan aktivitas fungsional membran spermatozoa penting untuk metabolisme spermatozoa yang akan menghasilkan energi untuk motilitas. Menurut Taylor (2001), peningkatan peroksidasi lipid dan perubahan fungsi membran
dapat
menyebabkan
disfungsi
spermatozoa
melalui
gangguan
metabolisme, motilitas dan reaksi akrosom; serta viabilitas spermatozoa (de Lamirande et al. 1997). Peroksidasi lipid dalam membran biologi menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran (Sanocka & Kurpisz
24 2004). Tingginya konsentrasi hidrogen peroksida dapat menginduksi peroksidasi lipid dan menyebabkan kematian sel. Menurut Alvarez et al. (1987), proses peroksidasi lipid pada membran spermatozoa merupakan mekanisme kunci terhadap kerusakan spermatozoa, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kasus infertilitas. Hubungan antara ROS dengan gangguan fungsi spermatozoa seperti terjadinya penurunan motilitas, morfologi abnormalitas spermatozoa, serta berkurangnya fusi spermatozoa pada sel telur juga dilaporkan Taylor (2001). Tremellen (2008) menyatakan bahwa kasus infertilitas yang disebabkan oleh ROS terjadi melalui dua mekanisme utama, pertama ROS menyebabkan kerusakan membran plasma spermatozoa sehingga menurunkan motilitas spermatozoa dan kemampuan fusi spermatozoa dengan oosit, kedua ROS secara langsung menyebabkan kerusakan DNA spermatozoa. Produksi ROS yang berlebih juga terbukti dapat mengganggu kualitas spermatozoa dalam semen/ejakulat dan diidentifikasi sebagai salah satu penyebab utama terjadinya disfungsi spermatozoa/infertilitas (Iwasaki & Gagnon 1992; Lewis et al. 1995; Kessopoulo et al. 1995). Pada pasien astenozoospermia yang memiliki gangguan motilitas spermatozoa, terjadi peningkatan konsentrasi ROS dalam seminal plasmanya. Menurut Suleiman et al. (1996), spermatozoa dari spesimen semen yang kualitasnya jelek memperlihatkan kecepatan peroksidasi yang lebih tinggi dan diimmobilisasi dengan cepat. Dilaporkan bahwa spermatozoa yang tidak motil lebih rentan terhadap peroksidasi lipid daripada satu spermatozoa motil. Sebagai pembangkit energi adalah mitokondria pada bagian midpiece spermatozoa (mtDNA). Mitokondria merupakan sumber utama pembentuk senyawa ROS pada pria infertil (Plante et al. 1994 diacu dalam Saleh & Agarwal 2002). Tingginya pembentukan radikal bebas akan menghambat mekanisme seluler seperti respirasi mitokondria (de Lamirande & Gagnon 1992). Tidak sempurnanya respirasi mitokondria spermatozoa menyebabkan hilangnya mtDNA sehingga meningkatkan produksi radikal bebas, menyebabkan lebih banyak terjadi kerusakan oksidatif dan menurunkan fertilitas (Yakes & Van Houten 1997 diacu dalam Kao et al. 1998). Morfologi spermatozoa yang abnormal lebih banyak menghasilkan senyawa ROS yang erat kaitannya dengan terjadinya infertilitas. Spermatozoa yang abnormal akibat tidak sempurnanya proses spermatogenesis merupakan sumber ROS dalam semen (Baker et al. 1996; Taylor 2001), dan diduga menjadi salah satu penyebab infertilitas (Sanocka & Kurpisz 2004). Menurut Sikka (2004), hubungan antara rendahnya kualitas spermatozoa dan peningkatan pembentukan senyawa ROS juga ditentukan oleh berlebihnya keberadaan residu/butiran sitoplasma (cytoplasmic droplet). Retensi residu sitoplasma pada spermatozoa
25 berkorelasi positif dengan pembentukan ROS (Saleh & Agarwal 2002). Berlebihnya butiran sitoplasma sebagai sumber ROS dilaporkan Taylor (2001) menyebabkan gangguan spermatogenesis. Butiran sitoplasma dan sel benih yang tidak matang (immature germ cells) juga merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas yang akan menyebabkan stres oksidatif dan berperan dalam infertilitas pejantan (Saleh & Agarwal 2002; Sikka 2004; Tremellen 2008).
26 KADAR PEROKSIDA LIPID, AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) TESTIS DAN PROFIL Cu,Zn-SOD TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn), DAN VITAMIN E (The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour, Zinc (Zn ) and Vitamin E on Lipid Peroxide Level, Superoxide Dismutase (SOD) activity, and Profile of Cu,Zn-SOD in the Seminiferous Tubules of Male Rats Testes) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 15%. Tiga puluh ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam enam kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon, seng dan vitamin E dengan kombinasi yang berbeda. Tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari diberikan secara oral, sedangkan Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum dicampur dalam ransum standar kasein. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon secara oral dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum selama 2 bulan mampu menurunkan kadar MDA testis (2.80±0.15 nmol/g pada perlakuan kontrol negatif menjadi 1.89±0.06 nmol/g), mempertahankan aktivitas SOD testis tetap tinggi (882.4±19.24 U/g), serta mempertahankan kandungan Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal tetap tinggi melalui deteksi secara imunohistokimia. Disimpulkan bahwa interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E dapat menghambat pembentukan peroksidasi lipid serta meningkatkan status antioksidan pada testis tikus. Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), vitamin E, peroksida lipid, aktivitas SOD, immunohistokimia ABSTRACT The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavoneriched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on MDA level, SOD activity, and profile of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) of spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rats testes. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 15% of dietary protein from casein. Thirty male Sprague Dawley weaning rats (21 days old) were divided into six groups and treated with isoflavoneriched soybean flour, Zn and vitamin E in different combination. Isoflavone-riched soybean flour (3mg/day) was given by oral administration, whereas Zn and vitamin E were mixed with the basic diet. The treatment was conducted for 2 month. Results of the experiment indicated that oral administration of isoflavone-riched soybean flour (3 mg isoflavone/day), Zn (6.14 mg/kg of ration) and vitamin E (100 mg/kg of ration) for 2 months decreased the level of testes MDA (2.80±0.15 nmol/g of the negatif control compared to 1.89±0.06 nmol/g), recovered SOD activity of rat testes (882.4±19.24 U/g), and stability the content of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) as indicated by immunohistochemical technique on spermatocytes and early spermatids cells of seminiferous tubules. It was concluded that synergic interaction between isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E prevented the formation of lipid peroxide and improved the antioxidant status of rat testes. Key words : isoflavone-riched soybean flour, zinc (Zn), vitamin E, lipid peroxide, SOD activity, immunohistochemistry
27 PENDAHULUAN
Peroksidasi lipid adalah reaksi penyerangan radikal bebas terhadap asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas secara endogen dari proses metabolisme di dalam tubuh. Peroksidasi lipid diinisiasi oleh radikal bebas seperti radikal anion superoksida, radikal hidroksil dan radikal peroksil. Radikal bebas secara berkesinambungan dapat dibuat oleh tubuh kita. Setiap radikal bebas yang terbentuk oleh tubuh dapat memulai suatu reaksi berantai yang akan terus berlanjut sampai radikal bebas ini dihilangkan oleh radikal bebas lain dan oleh sistem antioksidan tubuh (Halliwell & Gutteridge 1999). Upaya meningkatkan status antioksidan dalam tubuh dapat dilakukan dengan mengkonsumsi bahan pangan alami yang mengandung antioksidan. Kedelai merupakan sumber antioksidan alami,
mengandung komponen bioaktif
isoflavon, dan termasuk salah satu golongan flavonoid. Aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh jumlah dan lokasi gugus hidroksil yang mampu mendonorkan ion hidrogen (Sugihara et al. 2001; Amic et al. 2002), dan sebagai scavenger radikal bebas yang terbentuk selama terjadi peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Nijveldt et al. 2001). Menurut Toda & Shirataki (1999), isoflavon kedelai mampu menstimulasi ekspresi Cu,Zn-SOD yang dapat melindungi sel dari serangan stres oksidatif, sehingga tidak terbentuk produk peroksidasi lipid yang berkepanjangan. Vitamin E dan mineral Zn juga sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai antioksidan non-enzimatik, vitamin E merupakan donor ion hidrogen dan dapat mengubah radikal peroksil menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif sehingga tidak mampu menyerang rantai asam lemak (Therond et al. 1996). Zn merupakan mineral penting yang berperan pada berbagai reaksi enzimatis dalam tubuh, mampu mempertahankan sistem imun dan menstimulasi kerja enzim antioksidan. Salah satu enzim endogen yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Zn adalah Cu,Zn-superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD), yaitu enzim antioksidan intraseluler yang mampu mengkatalisis reaksi dismutasi radikal anion superoksida (Oteiza et al. 1995). Pengukuran kadar malonaldehida (MDA) sebagai salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh. Sejauh ini, belum pernah dilaporkan pengaruh isoflavon kedelai yang dikombinasikan dengan Zn dan vitamin E secara in vivo terhadap kadar MDA dan aktivitas SOD testis, serta profil Cu,Zn-
28 SOD pada tubuli seminiferi testis melalui deteksi secara imunohistokimia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi ada tidaknya pengaruh sinergi antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E terhadap kadar peroksida lipid dan aktivitas SOD testis, serta profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis tikus.
BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon
(TKI)
dari
perusahaan
SoyLife
Extra
ORFFA
BELGIUM
NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL; seng sulfat (ZnSO4.7H2O), dan dl-αtokoferol asetat (Merck). n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (TKI-RL). Pengukuran kadar isoflavon TKIRL dilakukan dengan HPLC menggunakan asetonitril, metanol, asam asetat, standar senyawa isoflavon seperti genistein, daidzein dan glisitein; sedangkan aktivitas antioksidan TKI-RL diukur dengan buffer Tris-HCl, metanol, 1,1-diphenyl2-picryl hydrazyl (DPPH), etanol dan vitamin E/α-tokoferol (Sigma). Untuk studi in vivo, digunakan tikus jantan strain Sprague Dawley (SD) umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Analisis kadar malonaldehida (MDA) testis menggunakan fosfat buffer saline (PBS), HCl, asam tiobarbiturat (TBA), asam trikloroasetat (TCA), BHT, dan 1,1,3,3tetraetoksipropana (TEP); aktivitas enzim SOD testis menggunakan SOD murni komersial, xantin, xantin oksidase, sitokrom C, buffer fosfat, kloroform dan etanol. Bahan kimia untuk pembuatan preparat jaringan testis dan proses pewarnaan secara imunohistokimia antara lain NaCl, larutan fiksatif bouin, alkohol, xylol, parafin, neofren, toluen, phosphat buffer saline (PBS), destilated water (DW), H2O2, metanol, goat serum albumin (GSA), antibodi monoklonal copper,zincsuperoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) (Sigma S2147), dako envision peroksidase system (DEPS) (Dako K1491), diaminobenzidine (DAB), dan hematoksilin.
29 Metode Penelitian Pembuatan Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Rendah Lemak (TKI-RL) Ekstraksi tepung kedelai kaya isoflavon (TKI) dilakukan dengan alat Soxhlet menggunakan pelarut n-heksana. TKI ditempatkan dalam kertas saring whatman dan dimasukkan ke dalam kolom yang berisi pelarut. Kondensor diletakkan di bagian atas sampel sedangkan labu pelarut berhubungan langsung dengan sumber panas (waterbath). Ekstraksi TKI dilakukan secara kontinyu selama 9 jam pada suhu waterbath 80oC. Residu TKI dalam kertas saring dikeringanginkan selama 6 jam, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven vakum pada T 40oC selama 12 jam sehingga diperoleh tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL). Selanjutnya terhadap TKI-RL dilakukan analisis kandungan isoflavon dengan HPLC, serta uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH untuk mengetahui nilai IC50 dibandingkan dengan vitamin E (α-tokoferol). Analisis Kandungan Isoflavon TKI-RL (Balai Pengembangan Pascapanen Pertanian 2005)
Besar
Penelitian
&
Sebanyak ± 2 g TKI-RL dikeringkan dalam oven 40oC ± 6 jam, diekstrak 3 kali dengan metanol absolut masing-masing 50 ml. Hasil ekstrak diinkubasi 0oC selama 24 jam untuk menggumpalkan lemaknya. Lemak yang ada dipisahkan melalui penyaringan dengan pompa vakum yang dilapisi kertas saring. Filtrat yang diperoleh selanjutnya diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40 oC. Sebanyak 0.5 g ekstrak kering dilarutkan dalam 10 ml metanol absolut, kemudian disentrifuse 4000 rpm selama 20 menit untuk mendapatkan filtrat yang bening dan memisahkan endapan yang terbentuk. Filtrat yang bening disaring dengan kertas saring millipore dan siap dianalisis dengan HPLC. Identifikasi senyawa isoflavon menggunakan standar daidzein, genistein dan glisitein. 5 μl filtrat diinjek dengan mikroinjektor, berikutnya dipisahkan di kolom berdasarkan perbedaan polaritas. Komponennya dideteksi oleh detektor pada λ 254 nm dan dimunculkan dalam bentuk peak berdasarkan waktu retensi pada integrator. HPLC yang digunakan berada pada kondisi sebagai berikut : Volume sampel
: 5 μl
Kolom
: C18 μbondapak (3.9 x 150 nm)
Eluen
: Asam asetat 30% dan asetonitril
Detektor
: UV 254 nm
Kecepatan alir
: 1 ml/menit
Suhu
: 27 oC
30 Integrator
: Shimadzu C-R3A Chromatopac
Pengukuran Aktivitas Antioksidan TKI-RL (Mimura 2003) 1 g TKI-RL diekstrak dalam 50 ml metanol 80% dengan dishaker pada 240 rpm, 250C selama 24 jam, lalu disaring. Residu diekstrak lagi dengan prosedur yang sama sebanyak 2 kali sehingga diperoleh hasil ekstraksi 150 ml, kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sampai volume akhir 9 ml. Ekstrak hasil pemekatan ditambah metanol 80% sampai volumenya 10 ml. Buffer Tris-HCl 100 mM ditambahkan dalam larutan sampel (dibuat dengan berbagai konsentrasi sehingga memberikan nilai IC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang memberikan persen penangkapan radikal sebanyak 50% melalui persamaan garis regresi linier), ditambah 1 ml larutan DPPH 0.2 mM dan divorteks, kemudian diinkubasi 250C dalam ruang gelap selama 20 menit. Absorbansi diukur pada λ 517 nm. Hasil aktivitas antioksidan TKI-RL dibandingkan dengan vitamin E. Aktivitas antioksidan (%) = Aa– (Ab – Ac) x
100%
Aa Aa = absorbansi DPPH tanpa sampel Ab = absorbansi campuran sampel dan DPPH Ac = absorbansi sampel tanpa DPPH Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling Sebanyak 30 ekor tikus jantan SD umur sapih (21 hari) terlebih dahulu diadaptasikan di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama 1 minggu. Ransum ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 15%, modifikasi AOAC (1990) dan diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus jantan dibagi dalam 6 kelompok, yaitu : (1) Kontrol negatif (K - / tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E); (2) Cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E (ZE) ; (3) Cekok TKIRL (I); (4) Cekok TKI-RL dan Zn (IZ); (5) Cekok TKI-RL dan vitamin E (IE); dan (6) Cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Setiap kelompok perlakuan pada tikus jantan terdiri dari lima ekor tikus (n=5). Penentuan jumlah tikus per kelompok ditetapkan berdasarkan rumus Federer (n-1)(p-1)≥15, di mana : n = jumlah ulangan per kelompok, p = banyaknya perlakuan. TKI-RL diberikan dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari (ditetapkan berdasarkan hasil penelitian Astuti (1999), melalui kajian tepung tempe terhadap fertilitas tikus jantan). TKI-RL diberikan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades, sedangkan Zn dan vitamin
31 E dicampurkan ke dalam ransum. Perhitungan jumlah TKI-RL yang dicekok pada tikus jantan perlakuan sehingga diperoleh dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari didasarkan pada pengukuran kandungan total isoflavon TKI-RL dengan HPLC. Pemberian Zn (elemental) sebesar 6.14 mg/kg ransum dihitung dari 27 mg ZnSO4.7H2O/kg ransum, sedangkan vitamin E yang ditambahkan sebanyak 100 mg/kg ransum. Setelah 2 bulan masa perlakuan, tikus masing-masing kelompok (n=5) dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap kadar MDA, aktivitas SOD, serta kandungan Cu,Zn-SOD. Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut : KOMPOSISI PERLAKUAN BAHAN KZE I* IZ* Kasein (g) 16.64 16.64 16.64 16.64 Minyak jagung (g) 7.91 7.91 7.91 7.91 Mineral mix (g) 4.35 4.35 4.35 4.35 ZnSO4.7H2O (mg) 2.7 2.7 Vitamin mix (g) 1 1 1 1 Asam folat (mg) 30 30 30 30 Vitamin K (mg) 5 5 5 5 50 Vitamin E (mg) Selulosa 0.99 0.99 0.99 0.99 Air 4.28 4.38 4.38 4.38 Pati 64.83 64.83 64.83 64.83 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 Ket : * : I = Cekok TKI-RL dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari
IE* 16.64 7.91 4.35 1 30 5 50 0.99 4.38 64.83 100.00
IZE* 16.64 7.91 4.35 2.7 1 30 5 50 0.99 4.38 64.83 100.00
Pengukuran Kadar MDA (Singh et al. 2002) Sebanyak ± 0.5 g testis segar dicacah dalam kondisi dingin dalam 2.5 ml larutan PBS (phosphat buffer saline) yang mengandung 11.5 g/L KCl. Homogenat disentrifugasi dua kali pada 4000 rpm selama 10 menit. 1 ml supernatan jernih ditambah 4 ml HCl dingin (0.25N) yang mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran dipanaskan 80oC selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifugasi 3500 rpm selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada λ 532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP. Pengukuran Aktivitas SOD (Mc Cord & Fridovich 1969; Nebot et al. 1993) Sebanyak ± 0.5 g testis segar yang telah dihaluskan, ditambah 1 ml buffer fosfat pH 7.4, disentrifugasi pada 10000 rpm, 4oC, selama 20 menit, kemudian diambil bagian cairannya (lisat). Sebanyak 800 µl larutan kloroform/etanol dingin 37.5/62.5 (v/v) ditambahkan ke dalam 300 µl lisat, divorteks 30 detik dan disentrifugasi pada 5000 rpm, 4oC, selama 10 menit. Supernatan disimpan pada 28oC sampai saat akan dianalisis.
32 Larutan standar dibuat dengan melarutkan SOD murni komersial sehingga menghasilkan beberapa konsentrasi larutan untuk pembuatan kurva standar. Pengukuran aktivitas enzim ini berlangsung pada suhu 25oC, larutan xantin oksidase harus tetap dalam keadaan dingin sebelum digunakan. Sebanyak 2.9 ml campuran larutan xantin dan sitokrom c dimasukkan dalam tabung reaksi 3 ml, ditambah 50 µl larutan baku (kontrol) atau sampel dan divorteks secara perlahan. Selanjutnya ditambah 50 µl larutan xantin oksidase dan divorteks secara perlahan. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada λ 550 nm. Untuk blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel dan sebagai kontrol digunakan aquades. Pengamatan Profil Cu,Zn-SOD pada (Imunohistokimia) (Wresdiyati et al. 2002)
Tubuli
Seminiferi
Testis
Organ testis dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%, difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Jaringan testis kemudian diproses dengan metode standar menggunakan parafin. Blok jaringan yang didapat dipotong ± 4 µm dan dilekatkan pada gelas obyek yang telah dilem dengan neofren, sehingga diperoleh potongan jaringan (sediaan). Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan Imunohistokimia terhadap potongan jaringan yang diperoleh (Lampiran 9). Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mengamati profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada sel spermatogenik tubuli seminiferi testis tikus. Keberadaan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD terlihat dengan produk reaksi warna coklat. Intensitas warna coklat menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD. Semakin tua warna coklat, semakin banyak kandungan Cu,Zn-SOD. Sel yang tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif ditunjukkan dengan warna biru. Pengamatan dilakukan secara kuantitatif terhadap jumlah inti sel spermatosit dan spermatid awal pada berbagai tingkat kandungan Cu,Zn-SOD (positif kuat/+++, positif sedang/lemah ++/+, dan negatif/-). Pengamatan dilakukan pada sembilan tubuli seminiferi untuk tiap perlakuan. Analisis Data
Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
33 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Isoflavon dan Aktivitas Antioksidan Tepung Kedelai Kaya Isoflavon Rendah Lemak (TKI-RL) Pengurangan lemak pada tepung kedelai kaya isoflavon (TKI) dilakukan dengan cara mengekstraksi TKI dengan Soxhlet menggunakan pelarut n-heksana, sehingga diperoleh tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL). Pengukuran kandungan total senyawa isoflavon TKI-RL dengan HPLC dalam bentuk aglikon, yaitu flavonoid yang tidak terikat oleh gugus gula. Hasil analisis menunjukkan tiga komponen senyawa isoflavon pada TKI-RL yaitu daidzein, genistein, dan glisitein (Tabel 3.1), yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo. Tabel 3.1. Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon pada TKI-RL Komponen Daidzein Genistein Glisitein Total isoflavon
Tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) g/100 g bb g/100 g bk 1.03 1.09 0.51 0.54 0.68 0.72 2.22 2.35
Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH berdasarkan transfer elektron dengan mengukur kapasitas antioksidan dalam mereduksi oksidan (radikal bebas DPPH). Pada reaksi tersebut terjadi perubahan warna dan tingkat perubahan warna berhubungan dengan konsentrasi antioksidan yang terkandung dalam sampel. Aktivitas antioksidan isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL diukur dari kemampuan isoflavon untuk mendonorkan elektron kepada radikal bebas stabil DPPH yang berwarna ungu sehingga tereduksi menjadi DPPH-H yang berwarna kuning atau tidak berwarna (Nenadis & Tsimidou 2002).
Kapasitas
penangkapan radikal bebas diperlihatkan dengan persentase berkurangnya warna ungu dari DPPH (Kim 2005).
Warna ungu radikal bebas DPPH akan semakin
memudar dengan semakin tinggi kapasitas antioksidan pada sampel, sehingga nilai absorbansi semakin menurun. IC50 merupakan parameter yang menunjukkan konsentrasi ekstrak uji yang mampu menangkap radikal bebas sebanyak 50%, diperoleh melalui persamaan regresi linier. Semakin kecil nilai IC50 suatu senyawa uji, senyawa tersebut semakin aktif sebagai anti radikal bebas atau menunjukkan kemampuan menangkap radikal bebas yang semakin tinggi. Sebagai pembanding digunakan vitamin E yang sudah diketahui sebagai anti radikal bebas dan merupakan senyawa fenolik alami yang berfungsi sebagai scavenger radikal bebas (Pokorny et al. 2001). Hasil penelitian
34 menunjukkan nilai IC50 vitamin E sebesar 8.27 μg/ml, sedangkan nilai IC50 TKI-RL sebesar 51.96 μg/ml. Nilai IC50 vitamin E yang lebih kecil dibandingkan nilai IC50 TKI-RL menunjukkan bahwa vitamin E merupakan anti radikal bebas yang lebih efektif apabila dibandingkan dengan TKI-RL yang diuji, karena vitamin E mampu menangkap radikal bebas sebanyak 50% pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan TKI-RL. Hasil ini sejalan dengan pendapat Buettner (1993) diacu dalam Muchtadi (2008), yang menyatakan bahwa suatu senyawa memiliki potensi antioksidan lebih tinggi dan mampu mencegah oksidasi lipid apabila mempunyai nilai potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). Dilaporkan lebih lanjut bahwa vitamin E (α-tokoferol) memiliki potensial reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid/katekol (isoflavon termasuk salah satu golongan flavonoid) memiliki potensial reduksi 530 mV. Walaupun nilai IC50 TKI-RL lebih tinggi dibandingkan vitamin E, isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL berfungsi sebagai antioksidan karena nilai potensial reduksi senyawa isoflavon lebih rendah daripada potensial reduksi PUFA. Aktivitas antioksidan isoflavon ditentukan oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil (Amic et al. 2002). Dua mekanisme isoflavon sebagai antioksidan yaitu : mendonorkan ion hidrogen dan bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Nijveldt et al. 2001). Struktur meta 5,7-dihidroksil pada cincin A menunjukkan kemampuan isoflavon untuk berperan sebagai donor ion hidrogen sehingga terbentuk senyawa yang lebih stabil dan terbentuk radikal fenoksil yang kurang reaktif (Oteiza et al. 2005), sedangkan gugus 4’-hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Pokorny et al. 2001). Menurut Heim et al. (2002), gugus hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon dapat mendonorkan ion hidrogen dan mendonorkan sebuah elektron pada radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan radikal tersebut serta membentuk radikal isoflavon yang relatif lebih stabil. Castelluccio et al. (1996) menyatakan bahwa antioksidan senyawa flavonoid dapat mendonorkan hidrogen pada radikal bebas sehingga menghasilkan radikal stabil berenergi rendah yang berasal dari senyawa flavonoid yang kehilangan atom hidrogen. Radikal antioksidan yang terbentuk menjadi lebih stabil melalui proses resonansi dalam struktur cincin aromatiknya, sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi radikal yang lain (Lee et al. 2004). Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar MDA Testis, Aktivitas Superoksida Dismutase (SOD) Testis, dan Profil Cu,Zn-SOD Tubuli Seminiferi Testis Tikus Malonaldehida (MDA) merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal sehingga digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan indikator kerusakan oksidatif membran
35 sel. Perbedaan nilai MDA terkait dengan proses oksidasi yang terjadi. Rerata nilai MDA testis akibat perbedaan perlakuan pada tikus jantan disajikan pada Gambar 3.1,
MDA Testis (nmol/g)
sedangkan rerata aktivitas SOD testis disajikan pada Gambar 3.2. 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
d
K-
c
c
c
b
a
ZE
I
IZ
IE
IZE
Perlakuan Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada keenam perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) KZE I IZ IE IZE
= = = = = =
tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Gambar 3.1. Kadar MDA testis tikus dengan berbagai perlakuan SOD Testis (U/g)
1000.0 800.0 600.0 400.0 200.0
a
b
b
b
c
d
ZE
I
IZ
IE
IZE
0.0 K-
Perlakuan Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada keenam perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) KZE I IZ IE IZE
= = = = = =
tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Gambar 3.2. Aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus dengan berbagai perlakuan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan kadar MDA diikuti dengan penurunan aktivitas antioksidan intrasel (enzim SOD), sebaliknya penurunan kadar MDA memperlihatkan peningkatan aktivitas antioksidan intrasel. Pengukuran aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) testis tikus dilakukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung menggunakan metode spektrofotometri
36 secara kuantitatif. Sebagai data pendukung, dilakukan juga pengamatan terhadap keberadaan dan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis tikus melalui produk reaksi yang berwarna coklat, yaitu pengamatan histologis dengan pewarnaan secara imunohistokimia. Intensitas dan distribusi warna coklat menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan tersebut. Apabila warna coklat semakin tua dan semakin merata, berarti kandungan Cu,Zn-SOD semakin banyak. Sel yang tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif ditunjukkan dengan warna biru. Pada Gambar 3.3. disajikan fotomikrograf jaringan testis tikus perlakuan yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD.
a
b
c a. spermatogonia b. spermatosit
d
c. spermatid awal d. spermatid akhir
Gambar 3.3. Fotomikrograf tubuli seminiferi testis tikus kelompok ZE yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD. Sel-sel yang terdeteksi mengandung Cu,Zn-SOD adalah sel spermatosit dan spermatid awal (coklat), sedangkan sel spermatogonia dan spermatid akhir tidak mengandung Cu,Zn-SOD (biru). Skala = 25 µm Kandungan Cu,Zn-SOD diamati pada tahap spermatosit dan spermatid awal karena produk reaksi warna coklat lebih banyak terdistribusi pada tahap tersebut. Hal ini didukung oleh Yoganathan et al. (1989) diacu dalam Peltola et al. (1992), yang melaporkan bahwa pada tubuli seminiferi testis tikus, aktivitas SOD yang lebih tinggi ditemukan pada sel spermatosit dan spermatid awal. Sedangkan Bauche et al. (1994) melaporkan bahwa aktivitas enzim SOD tertinggi ditemukan pada spermatosit pachytene dan spermatid awal, yaitu lebih tinggi sebesar 38-56% dibandingkan sel Sertoli dan sel Leydig. Dalam penelitian ini, hasil pengamatan terhadap sel
37 spermatogonia
dan
spermatid
akhir
menunjukkan
bahwa
keduanya
tidak
mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif, terlihat dengan distribusi warna biru secara merata pada kedua sel tersebut. Hasil perhitungan secara kuantitatif terhadap jumlah inti sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis pada berbagai tingkat kandungan Cu,Zn-SOD tersaji pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Profil kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal pada tubuli seminiferi testis tikus perlakuan Jumlah Sel Spermatosit dan Spermatid Awal
Perlakuan
+++ K-
136.00±11.17
ZE
157.11±13.72
I
153.89± 9.06
IZ
160.44±13.35
IE
180.33± 9.67
++/+ a b b b c d
37.22± 4.79 75.11± 6.07 71.78±10.16 89.11± 9.61 93.89± 8.80
Spermatogonia
a b b c c
-
70.89±13.83 49.89± 3.21
a
62.89±11.01 50.44± 9.66 42.22± 7.60
d
b
29.33±7.11
b a a
19.33±5.12
31.11±7.52 31.89±4.01 32.67±3.43
a
a b b b bc
Spermatid Akhir 134.56±32.57 184.67±22.42 179.22±47.35 172.67±40.50 214.00±32.82
c
a bc bc b cd d
IZE 194.78±15.79 115.22±9.24 41.89± 7.44 37.56±4.48 227.22±29.78 Angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05) +++ = positif kuat; ++/+ = positif sedang/lemah; - = negatif Keterangan : K= tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E ZE = cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Radikal bebas secara fisiologis selalu dihasilkan di dalam tubuh dan diperlukan untuk berlangsungnya proses-proses fisiologis penting yang terjadi di dalam tubuh. Sel yang normal mempunyai sejumlah enzim pertahanan yang beraksi sebagai antioksidan endogen untuk mendetoksifikasi radikal bebas dan mencegah kerusakan sel. Kerentanan suatu jaringan terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada mekanisme pertahanan oksidatifnya, antara lain oleh aktivitas dan kandungan enzim antioksidan endogen. Peningkatan radikal bebas dalam tubuh yang diperlihatkan dengan tingginya kadar MDA testis kelompok kontrol negatif/K- (Gambar 3.1),
akan
meningkatkan
pemakaian
enzim
antioksidan
intrasel
sehingga
menyebabkan penurunan aktivitas enzim SOD testis sebagai salah satu sistem antioksidan endogen dalam tubuh secara nyata (Gambar 3.2). Penurunan aktivitas enzim SOD testis kelompok kontrol negatif/K- didukung oleh rendahnya kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal pada tubuli seminiferi testis tikus kelompok K-, dan mengalami penurunan yang sangat tajam dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 3.2). Hal ini terlihat dari jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif kuat dan positif sedang/lemah paling rendah secara nyata (p<0.05).
38 Enzim
Cu,Zn-superoksida
dismutase
(Cu,Zn-SOD)
merupakan
garis
pertahanan pertama terhadap aktivasi dan toksisitas senyawa reaktif oksigen spesies (ROS) melalui dismutasi radikal anion superoksida, dan merupakan pertahanan utama dari spermatozoa yang aktivitasnya berkorelasi kuat dengan kemampuan sel untuk menghambat produk akhir hasil peroksidasi lipid (Alvarez & Storey 1982; Oteiza et al. 1995). Nutrisi memainkan peranan kunci dalam menjaga sistem pertahanan enzim tubuh terhadap radikal bebas. Beberapa mineral seperti Mn, Cu, Zn dan Se terlibat dalam aktivitas katalitik enzim antioksidan dan diperlukan untuk mengendalikan radikal bebas yang terbentuk pada tahap awal (Jadhav et al. 1996). Aktivitas enzim SOD sangat tergantung pada keberadaan Zn (Oteiza et al. 1995; Klotz et al. (2003). Zn juga berperan dalam stabilisasi membran sel dan mempertahankan integritas sel (Taylor et al. 1988). Tingginya kadar MDA testis kelompok kontrol negatif/K- memperlihatkan bahwa status antioksidan tubuh kelompok kontrol negatif/K- rendah sehingga tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas dalam tubuh, melalui pembentukan
proses
peroksidasi
lipid.
Kurangnya
asupan
Zn
sehingga
meningkatkan terjadinya kerusakan oksidatif jaringan tesis, kurangnya vitamin E dan tanpa mendapat cekok TKI-RL yang mengandung isoflavon, serta mampu bertindak sebagai antioksidan, diduga mengakibatkan jumlah radikal bebas yang tidak ternetralkan menjadi tinggi.
Hal ini menyebabkan tingginya penggunaan
antioksidan endogen dalam tubuh, sehingga menurunkan status antioksidan tubuh. Apabila
kerusakan
oksidatif
jaringan
testis
terus
berlanjut,
akan
terjadi
ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan. Ketidakseimbangan akan terjadi apabila pembentukan radikal bebas lebih tinggi dibandingkan sistem pertahanan antioksidan, sistem pertahanan antioksidan tidak mampu mendetoksifikasi terjadinya perubahan oleh radikal bebas secara terus menerus, atau ketika proses detoksifikasi menurun (Taylor et al. 1988;
Sikka
2004). Pemberian TKI-RL secara tunggal (I), TKI-RL dengan Zn (IZ), Zn dan vitamin E saja (ZE), atau TKI-RL dengan vitamin E (IE) menghasilkan kadar MDA testis yang lebih tinggi, serta aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat kombinasi ketiganya (IZE). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian TKI-RL secara tunggal (I), TKI-RL dengan Zn (IZ), Zn dan vitamin E saja (ZE), atau TKI-RL dengan vitamin E (IE) belum mampu menghambat peroksidasi lipid akibat berlebihnya pembentukan radikal bebas sehingga tidak dapat menekan pembentukan MDA testis sebagai hasil akhir peroksidasi lipid. Akibatnya, aktivitas enzim SOD testis dan kandungan antioksidan intrasel Cu,Zn-SOD pada sel
39 spermatosit dan spermatid awal menjadi tidak mencukupi untuk melawan berlebihnya pembentukan radikal bebas, sehingga aktivitas dan kandungan enzim SOD testis menjadi lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat kombinasi ketiganya (IZE). Hasil ini sejalan dengan pendapat Halliwell & Gutteridge (1999), bahwa pada keadaan patologik diantaranya akibat terbentuknya radikal bebas dalam jumlah berlebihan, enzim-enzim yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi TKI-RL dengan vitamin E (IE) memperlihatkan kadar MDA yang lebih rendah, serta aktivitas dan kandungan enzim SOD yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi TKI-RL dengan Zn (IZ). Zn dilaporkan berperan dalam mempertahankan integritas sel (Corah 1996)
dan
memainkan peran penting dalam stabilisasi membran sel (Taylor et al. 1988). Walaupun Zn merupakan salah satu komponen esensial atau kofaktor metaloenzim Cu,Zn-superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) yang merupakan garis pertahanan utama spermatozoa, Zn tidak dapat berperan sebagai antioksidan, namun Zn dibutuhkan
dalam
sintesis
Cu,Zn-SOD.
Hal
ini
diduga
mengakibatkan
berkurangnya kemampuan Zn untuk berinteraksi dengan isoflavon dalam menetralisir pembentukan radikal bebas dibandingkan interaksi antara isoflavon dengan vitamin E (IE). Isoflavon dan vitamin E merupakan golongan antioksidan fenolik sehingga pengaruh sinergis aktivitas antioksidan keduanya secara langsung dapat melindungi sel dengan kemampuan keduanya sebagai scavenger radikal bebas. Namun demikian, aktivitas dan kandungan enzim SOD kelompok IE lebih rendah dibanding kelompok IZE. Peran isoflavon sebagai antioksidan diduga berlangsung melalui dua mekanisme, yaitu kemampuan sebagai donor ion hidrogen dan scavenger radikal bebas yang terbentuk selama peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Nijveldt et al. 2001). Sebagai akseptor radikal bebas, isoflavon berfungsi sebagai antioksidan primer yang dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas akibat peroksidasi lipid. Vitamin E (α-tokoferol) juga berperan sebagai antioksidan primer, yaitu memperlambat berlangsungnya reaksi peroksidasi karena kemampuannya sebagai scavenger radikal bebas dan memutus reaksi peroksidasi dengan melepaskan ion hidrogen bersama elektronnya (Pokorny et al. 2001). Vitamin E mampu bereaksi dengan radikal peroksil akibat adanya gugus hidroksil pada posisi enam cincin kromana (Almatsier 2002). α-tokoferol sebagai bentuk vitamin E yang paling aktif dalam sistem biologis dapat bereaksi dengan radikal peroksil (LOO*) membentuk radikal tokoferol (α-tokoferol-O*) dan hidroperoksida (LOOH). Selanjutnya radikal tokoferol bereaksi lagi dengan radikal peroksil yang lain membentuk produk yang
40 lebih stabil berupa senyawa non radikal (LOO-α-tokoferol), sehingga reaksi berantai peroksidasi lipid dapat terhenti (Liebler & Burr 1992; Therond et al. 1996; Yamauchi et al. 2002). Kinerja α-tokoferol dalam memelihara stabilitas membran plasma dan melindungi struktur sel terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan peroksidasi lipid adalah dengan membloking reaksi inisiasi dan menginterupsi reaksi propagasi peroksidasi lipid.
Kestabilan dan pembentukan
radikal tokoferol yang lebih lambat dibandingkan perambatan atau propagasi radikal lipid peroksil dapat menekan dan memperlambat berlangsungnya reaksi berantai peroksidasi lipid. Kombinasi Zn, vitamin E dan cekok TKI-RL secara lengkap (IZE) terbukti dapat membantu kinerja enzim SOD testis dalam melawan radikal bebas, sehingga menghambat penurunan kandungan SOD dan memberikan pengaruh yang paling baik
terhadap
peningkatan aktivitas SOD testis.
Hal ini juga didukung oleh
kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal pada tubuli seminiferi kelompok IZE yang dipertahankan tetap tinggi, sehingga menunjukkan kerja sebagai antioksidan yang paling baik. Membran plasma umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh, karena sebagian besar komponen utama penyusun membran adalah PUFA. PUFA bersifat paling rentan/labil terhadap peroksidasi lipid karena banyak mengandung ikatan rangkap. Keberadaan karbon-karbon yang memiliki ikatan rangkap akan melemahkan ikatan karbon-hidrogen, terutama atom hidrogen yang letaknya dekat dengan ikatan rangkap, sehingga atom hidrogen tersebut bersifat rentan untuk terabstraksi. Apabila atom hidrogen pada karbon α-metilen dari ikatan rangkap PUFA hilang, maka akan terbentuk sebuah radikal alkil (R*) yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil. Pembentukan radikal alkil dapat distabilkan melalui proses resonansi (Geva et al. 1998; Pokorny et al. 2001). Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas dengan cara menerima atau mendonorkan satu elektron untuk menghilangkan kondisi elektron yang tidak berpasangan. Suatu senyawa dapat bertindak sebagai antioksidan dan mencegah oksidasi lipid apabila potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). α-tokoferol memiliki potensial reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid memiliki potensial reduksi 530 mV (Buettner 1993 diacu dalam Muchtadi 2008). Berdasarkan data potensial reduksi tersebut, mekanisme efek sinergis antioksidan pada kelompok IZE diduga karena α-tokoferol dan isoflavon berperan sebagai antioksidan primer dengan mendonasikan atom hidrogen secara cepat
41 pada radikal lipid. α-tokoferol yang memiliki potensial reduksi lebih rendah lebih dahulu dapat memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum asam lemak tidak jenuh / polyunsaturated fatty acid (PUFA) memberikannya. Selanjutnya, isoflavon yang termasuk kelompok flavonoid dengan potensial reduksi lebih tinggi dari α-tokoferol bekerja dengan memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Senyawa yang terbentuk sebagai hasil regenerasi radikal peroksil bersifat lebih stabil. Radikal tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil yang lain membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk dari flavonoid bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi. Walaupun tidak berperan sebagai antioksidan, Zn dilaporkan oleh Taylor et al. (1988) memainkan peran penting dalam stabilitas biomembran dan mempertahankan integritas sel. Dengan demikian, diduga bahwa kombinasi α-tokoferol, isoflavon dan Zn menghasilkan sinergisme aktivitas antioksidan yang lebih baik sehingga mampu memperkuat kerja sistem antioksidan akibat terpeliharanya stabilitas membran dan terlindungnya struktur sel dari kerusakan oleh radikal bebas, serta menggambarkan bahwa kombinasi antioksidan vitamin E, isoflavon kedelai, dan Zn memberikan pengaruh yang paling berarti dan paling baik dalam mengeliminir dan menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk. Secara keseluruhan, sel testis yang tidak mengalami kerusakan (tetap utuh) karena terlindung oleh antioksidan vitamin E, isoflavon, maupun Zn (IZE), menunjukkan terjadinya peningkatan status antioksidan tubuh. Akibatnya, sel testis mampu mempertahankan diri dari serangan oksidatif senyawa radikal bebas sehingga mengurangi pembentukan MDA sebagai hasil akhir peroksidasi lipid. KESIMPULAN Terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan yang mengakibatkan : 1. terhambatnya pembentukan peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan menurunnya kadar MDA testis, 2. aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi, 3. dipertahankannya kandungan Cu,Zn-SOD tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal tetap tinggi.
42 DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Almatsier S. 2002. Jakarta.
Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
PT Gramedia Pustaka Utama,
Alvarez JG, Storey BT. 1982. Spontaneous lipid peroxidation in epididymal spermatozoa. It’s effect on sperm motility. Biol Reprod 27:1102-1108. Amic D, Beslo D, Trinajstic N. 2003. Structure-radical scavenging activity relationship of flavonoids. Croat Chem Acta 76(1):56-61 Arora A, Nair MG, Strasburg GM. 1998. Structure – activity relationships for antioxidant activities of a series of flavonoids in a liposomal system. Free Radic Biol & Med 24(9):1355-1363 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Prosedur Pengujian Isoflavon dengan HPLC. Bogor
2005.
Bauche F, Fouchard MH, Jegou B. 1994. Antioxidant system in rat testicular cells. FEBS Lett 349:392-396 Castelluccio C, Bolwell GP, Gerrish C, Rice-Evans C. 1996. Differential distribution of ferulic acid to the major plasma constituens in relation to its potential as an antoxidant. J Biochem 316:691-694 Corah L. 1996. Trace mineral requirement of grazing cattle. Anim Feed Sci Technol 59:61-70. Geva E et al. 1996. Effects of antioxidants treatment. Fertil Steril 66(3):430-434 Geva E, Lessing JB, Lerner-Geva L, Amit A. 1998. Free radical, antioxidant and human spermatozoa : clinical implications. Hum Reprod 13(6):1415-1424. Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. Third Edition. Oxford University Press, Inc., New York. Heim KE, Tagliaferro AR, Bobilya DJ. 2002. Flavonoid : chemistry, metabolism and structure-activity relationship. J Nutr Biochem 13:572-584 Hsu PC, Liu ML, Hsu CC, Chen LY, Guo YL. 1998. Effect of vit E and/or C on reactive oxygen species – related lead toxicity in the rat sperm. Toxicol 128 (3):169-179. Jadhav SJ, Nimbalkar SS, Kulkarni AD, Madhavi DL. 1996. Lipid Oxidation in Biological and Food Systems. Di dalam Madhavi DL, Deshpande SS, Salunkhe DK, editor. Food Antioxidants, Technological, Toxicological and Health Perspectives. Marcel Dekker, Inc. New York. p. 5-53. Kim OS. 2005. Radical scavenging capacity and antioxidant activity of the E vitamer fraction in rice bran. J Food Sci. 70(3):208-213
43 Klotz LO, Kroncke KD, Buchczyk DP, Sies H. 2003. Role of copper, zinc, selenium and tellurium in the cellular defence against oxidative and nitrosative stress. J Nutr 133:1488S-1451S. Lee J, Koo N, Min DB. 2004. Reactive oxygen species, aging, and antioxidative nutraceuticals. Compre Rev in Food Sci and Food Safety 3:21-33 Liebler DC, Burr JA. 1992. Oxidation of vitamin E during iron-catalyzed lipid peroxidation: Evidence for electron-transfer reactions of tocopheroxyl radical. Biochem 31:8278-8284 Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh A. Parakkasi. Jakarta: UI Press. Mimura A. 2003. Protocols for measurements of antioxidative activities. Department of Applied Chemistry and Biotechnology, Faculty of Engineering, University of Yamanashi. Muchtadi D. 2008. Gizi Anti Penuaan Dini. Pangan, Fateta IPB.
Departemen Ilmu dan Teknologi
Mc Cord J, Fridovich I. 1969. Di dalam : Kartikawati D. 1999. Studi Pengaruh Protektif Vitamin C dan Vitamin E terhadap Respon Imun dan Enzim Antioksidan pada Mencit yang Dipapar Paraquat [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nebot C et al. 1993. Spectrophotometric assay of superoxide dismutase activity based on the activated autooxidation of a tetracyclic cathecol. Anal Biochem 214:442-451 Nenadis N, Tsimidou M. 2002. Observations on estimation of scavenging activity of phenolic compounds using rapid 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) test. JAOCS 79: 1191-1195. Nijveldt RJ et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Oteiza PI, Olin KL, Fraga CG, Keen CL. 1995. Zinc deficiency causes oxidative damage to proteins, lipids and DNA in rat testes. J Nutr 125:823-929. Peltola V, Huhtaniemi I, Ahotupa M. 1992. Antioxidant enzyme activity in the maturing rat testis. J Androl 13(5):450-455 Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2001. Antioxidant in Food. CRC Press, Boca Raton, USA. Saija A et al. 1995. Flavonoids as antioxidant agents : importance of their interaction with biomembranes. Free Radic Biol & Med 19(4):481-486 Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18 Singh RP, Murthy KNC, Jayaprakasha GK. 2002. Studies on the antioxidant activity of pomegranate (Punica granatum) peel and seed extracts using in vitro model. J Agric Food Chem 50:81-86
44 Sugihara N, Ohnishi M, Imamura K, Furuno K. 2001. Differences in antioxidative efficiency of cathecins in various metal-induced lipid peroxidation in cultured hepatocytes. J of Health Sci 47(2):99-106 Taylor CG, Bettger WJ, Bray TM. 1988. Effect of dietary zinc or copper deficiency on the primary free radical defense system in rats. J Nutr 118:613-621. Toda S, Shirataki Y. 1999. Inhibitory effect of isoflavones on lipid peroxidation by reactive oxygen species. Phytother Res 13:163-165 Therond P, Auger J, Legrand A, Jouannet P. 1996. Alpha-tocopherol in human spermatozoa and seminal plasma relationship with motility antioxidant enzymes and leukocytes. Mol Hum Reprod 2(10): 739-744. Wresdiyati T, Mamba K, Adnyane IKM, Aisyah US. 2002. The effect of stress condition on the intracellular antioxidant copper, zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in the rat kidney : an immunohistochemical study. Hayati 9(3):85-88. Yamauchi R, Noro H, Shimoyamada M, Kato K. 2002. Analysis of vitamin E and its oxidation products by HPLC with electrochemical detection. Lipids 37:515-522
45 PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn) DAN VITAMIN E TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS JANTAN (The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour, Zinc (Zn) and Vitamin E on the Quality of Spermatozoa of Male Rats) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kualitas spermatozoa tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 15%. Tiga puluh ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam enam kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon, seng dan vitamin E dengan kombinasi yang berbeda. Tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari diberikan secara oral, sedangkan Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum dicampur dalam ransum basal kasein. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Tikus betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) digunakan untuk mengobservasi fertilitas tikus jantan. Tikus betina juga mendapat ransum basal kasein yang disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 15%. Angka konsepsi dan jumlah fetus dievaluasi pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E yang mengakibatkan peningkatan motilitas dan konsentrasi spermatozoa tikus jantan. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan secara lengkap memberikan fertilitas yang paling baik dibanding pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya. Perlakuan pada tikus jantan tidak berpengaruh terhadap berat relatif testis, serta angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina. Fertilitas tikus jantan terbaik adalah perlakuan dengan pemberian secara lengkap tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum, yang menghasilkan motilitas spermatozoa 79.50±1.12%, konsentrasi spermatozoa 1636.90±87.95 juta/ml, serta abnormalitas spermatozoa 9.00±0.70%. Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina masing-masing sebesar 100% dan 11±0.71 ekor. Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), vitamin E, kualitas spermatozoa
ABSTRACT The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavoneriched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on the quality of spermatozoa of male rats. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 15% of dietary protein from casein. Thirty male Sprague Dawley weaning rats (21 days old ) were divided into six groups and treated with isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E in different combination. Isoflavone-riched soybean flour (3mg/day) was given by oral administration, whereas Zn and vitamin E were mixed with the basic diet. The treatment was conducted for 2 months. Thirty female Sprague Dawley rats were used to observe male fertility. Diet for female rats was given as isonitrogen and isocaloric with 15% of dietary protein from casein. Conception rate and fetus size were evaluated on the mated-female rats. Results indicated that synergic interaction between isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E increased motility and concentration of spermatozoa of male rats. Complete treatment of
46 isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E on male rats resulted in better fertility in comparison with single treatment and the other combination. The treatment didn’t affect significantly on relative weight of testes, conception rate and fetus size. The best results revealed from the group which was given isoflavoneriched soybean flour with diet containing both Zn and vitamin E i.e ; motility rate of 79.50±1.12%, sperm concentration of 1636.90±87.95 million/ml, and abnormality rate of 9.00± 0.70%. Conception rate and the number of fetus on female rats were 100% dan 11±0.71 of fetus, respectively. Key words : isoflavone-riched soybean flour, Zn, vitamin E, quality of spermatozoa
PENDAHULUAN Kerusakan membran spermatozoa merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria. Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh membran spermatozoa yang memiliki integritas (keutuhan) dan fluiditas (kelenturan) optimum. Integritas serta fluiditas membran yang baik diperlukan untuk berlangsungnya proses kapasitasi, reaksi akrosom serta terjadinya fusi antara membran sperma dengan membran ovum sehingga fertilisasi berlangsung dengan sempurna. Terdapatnya radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa ditandai dengan peningkatan pembentukan senyawa spesies oksigen reaktif (ROS) sehingga menyebabkan kerusakan membran spermatozoa, serta mengubah kestabilan dan fungsi membran. Membran plasma merupakan tempat utama reaksi radikal bebas, karena memiliki struktur yang mudah teroksidasi. Rusaknya/hilangnya asam lemak tidak jenuh pada membran plasma akan mengganggu permeabilitas membran sehingga radikal bebas semakin mudah masuk ke dalam sel. Terdapatnya radical scavenger diduga akan membersihkan
radikal
bebas
pada
jaringan-jaringan
yang
memproduksi
spermatozoa (Sikka 2004). Sistem pertahanan tubuh yang dapat digunakan untuk melawan radikal bebas dipengaruhi oleh tersedianya zat-zat gizi yang berasal dari bahan pangan yang
memiliki
potensi
sebagai
antioksidan.
Mengkonsumsi
pangan
kaya
antioksidan dapat mempertahankan kadar antioksidan endogen di dalam jaringan tubuh tetap tinggi. Kedelai dilaporkan memiliki senyawa bioaktif isoflavon (salah satu golongan flavonoid) yang bersifat sebagai antioksidan (Toda & Shirataki 1999). Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan dan mencegah kerusakan akibat radikal bebas, berlangsung melalui mekanisme scavenger radikal bebas secara langsung (Nijveldt et al. 2001). Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis dilaporkan Anderson & Graner (2000) merupakan subyek dari aksi isoflavon.
47 Pengaruh konsumsi isoflavon terhadap kualitas spermatozoa telah diteliti oleh Mitchell et al. (2001). Dilaporkan bahwa pada pria umur 18-46 th, konsumsi isoflavon dengan dosis 40-70 mg/hari tidak mempengaruhi kualitas spermatozoa. Namun, hasil penelitian Astuti (1999) pada tikus jantan menunjukkan bahwa pemberian pakan berbasis kedelai (tepung tempe) yang mengandung isoflavon 2.77 mg/ekor/hari selama 45 hari memberikan pengaruh positif terhadap kualitas spermatozoa.
Hal tersebut ditandai dengan kecenderungan terjadi peningkatan
motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa dan berat testis. Sedangkan Martin (1983) menyatakan bahwa pemberian isoflavon dalam bentuk isolat isoflavon murni (genistein) pada konsentrasi tinggi menyebabkan pengaruh negatif, yaitu menyebabkan atropi testis pada dosis 9 mg/ekor/hari. Mengingat pengaruh isoflavon terhadap fertilitas jantan masih menimbulkan kontroversi, dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Zn diperlukan untuk perkembangan organ reproduksi pria (Taneja et al. 1995). Suplementasi Zn secara oral dilaporkan mampu meningkatkan motilitas spermatozoa pasien astenozoospermia (Hunt et al. 1992), dan meningkatkan jumlah spermatozoa pada pasien oligozoospermia (Oteiza et al. 1995). Zn juga dibutuhkan untuk pertahanan integritas sel dan stabilisasi membran sel (Taylor et al. 1988). Vitamin E yang berperan sebagai antioksidan dilaporkan juga mampu melindungi spermatozoa terhadap kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas (Therond 1996). pada
testis
Regina & Traber (1999) menyatakan bahwa defisiensi vitamin E
tikus
menyebabkan
degenerasi
epitel
tubuli
seminiferi
dan
menghentikan produksi spermatozoa. Pada pasien astenozoospermia, pemberian vitamin E secara oral secara signifikan dilaporkan mampu meningkatkan motilitas spermatozoa (Suleiman et al. 1996). Sejauh ini, pengaruh isoflavon kedelai yang dikombinasikan dengan Zn dan vitamin E secara in vivo terhadap kualitas spermatozoa jantan belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengamati ada tidaknya pengaruh sinergi antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E terhadap berbagai peubah yang diuji untuk mengetahui fertilitas tikus jantan sebagai model. BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon
(TKI)
dari
perusahaan
SoyLife
Extra
ORFFA
BELGIUM
NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL; seng sulfat (ZnSO4.7H2O), dan dl-α-
48 tokoferol asetat (Merck). n-heksan digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (TKI-RL) (Astuti et al. 2008). Untuk studi in vivo, digunakan tikus jantan dan betina strain Sprague Dawley (SD) umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Analisis kualitas spermatozoa pada tikus jantan menggunakan NaCl, eosin, nigrosin, giemsa dan metanol. Untuk mengetahui kondisi estrus dan mendeteksi ada tidaknya spermatozoa pada tikus betina digunakan NaCl, alkohol, metanol dan giemsa. Metode Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling Percobaan menggunakan tikus putih jantan dan betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari), masing-masing sebanyak 30 ekor. Adaptasi di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama satu minggu. Ransum yang diberikan pada tikus jantan dan tikus betina adalah ransum basal kasein yang disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 15%, modifikasi AOAC (1990) dan diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan dan tikus betina adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus jantan dibagi dalam 6 kelompok, yaitu : (1) Kontrol negatif (K - /, tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E); (2) Cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E (ZE); (3) Cekok TKI-RL (I); (4) Cekok TKI-RL dan Zn (IZ); (5) Cekok TKI-RL dan vitamin E (IE); dan (6) Cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut : KOMPOSISI BAHAN
PERLAKUAN
KZE I* IZ* Kasein (g) 16.64 16.64 16.64 16.64 Minyak jagung (g) 7.91 7.91 7.91 7.91 Mineral mix (g) 4.35 4.35 4.35 4.35 ZnSO4.7H2O (mg) 2.7 2.7 Vitamin mix (g) 1 1 1 1 Asam folat (mg) 30 30 30 30 Vitamin K (mg) 5 5 5 5 50 Vitamin E (mg) Selulosa 0.99 0.99 0.99 0.99 Air 4.28 4.38 4.38 4.38 Pati 64.83 64.83 64.83 64.83 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 Ket : * : I = Cekok TKI-RL dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari
IE* 16.64 7.91 4.35 1 30 5 50 0.99 4.38 64.83 100.00
IZE* 16.64 7.91 4.35 2.7 1 30 5 50 0.99 4.38 64.83 100.00
49 TKI-RL dengan dosis 3 isoflavon mg/ekor/hari diberikan pada tikus jantan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung, dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades. Pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo dilakukan berdasarkan pengukuran kandungan total senyawa isoflavon TKI-RL. Hasil analisis dengan HPLC menunjukkan terdapatnya tiga komponen senyawa isoflavon yaitu daidzein, genistein, dan glisitein dengan kandungan total senyawa isoflavon sebesar 2.22 g/100 g bb (Astuti et al. 2008). Pemberian Zn dan vitamin E dilakukan dengan mencampur Zn dan vitamin E ke dalam ransum. Pemberian Zn (elemental) sebesar 6.14 mg/kg ransum dihitung dari ZnSO4.7H2O sebesar 27 mg/kg ransum, sedangkan vitamin E yang ditambahkan 100 mg/kg ransum. Perlakuan diberikan selama 2 bulan. Ransum yang dikonsumsi ditimbang setiap hari, sedangkan berat badan tikus jantan ditimbang 2 hari sekali. Ransum yang diberikan pada tikus betina adalah ransum basal kasein yang mengandung ZnSO4.7H2O sebanyak 27 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum (Ransum perlakuan ZE pada tikus jantan). Pada akhir perlakuan, tikus jantan digabung dengan tikus betina dengan sistem perkawinan monogamous mating (1:1). Setiap pagi terhadap tikus betina dilakukan usap vagina dengan pewarnaan Giemsa untuk mengetahui kondisi estrus dan mendeteksi ada tidaknya spermatozoa. Setelah terdeteksi adanya spermatozoa pada vagina tikus betina (dihitung sebagai H1 kebuntingan), tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap berat testis. Kualitas spermatozoa diamati dari bagian cauda epididimis. Tikus betina dikorbankan pada umur kebuntingan 15 hari (H15) untuk pengamatan terhadap angka konsepsi dan jumlah fetus. Berat Relatif Testis (%) Pengukuran berat relatif testis tikus dilakukan terhadap berat badan tikus [berat testis (g)/berat badan (g) x 100%]. Motilitas Spermatozoa (Partodiharjo 1992) Sperma tikus jantan diambil dari bagian kauda epididimis dengan disayat dan dipencet perlahan. Satu tetes sperma ditempatkan pada gelas obyek, ditambah satu tetes larutan NaCl fisiologis 0.9%, dicampur merata menggunakan satu batang gelas steril, dan ditutup gelas penutup. Persentase spermatozoa motil dihitung dalam satu luasan bidang pandang menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 400x dengan menaksir spermatozoa yang bergerak progresif dari keseluruhan lapangan pandang dan daerah taksir, kemudian dikali 100%.
50 Konsentrasi Spermatozoa (Partodiharjo 1992) Perhitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan slide hemocytometer. Caranya, pipet eritrosit diisi dengan sperma yang belum diencerkan sampai tanda 0.5. Selanjutnya, larutan eosin 0.2% dihisap sampai tanda 101 pada pipet eritrosit. Campuran dikocok hati-hati tetapi cukup cepat menurut angka 8 selama 2-3 menit. Beberapa tetes dibuang dan dikocok lagi, beberapa tetes dibuang lagi, kemudian satu tetes ditempatkan dibawah gelas penutup (slide) hemositometer pada ketebalan 0.1 mm. Konsentrasi spermatozoa selanjutnya dihitung pada kamar hitung Neubauer. Sel-sel spermatozoa dalam kamar dihitung menurut arah diagonal (5 kamar). Karena setiap kamar mempunyai 16 ruang kecil, maka dalam kamar terdapat 80 ruang kecil. Seluruh gelas hemositometer memiliki 400 ruangan kecil. Volume setiap ruangan kecil adalah 0.1 mm3. Pengenceran 200 kali (101/0.5). Jika dalam 5 kamar atau 80 ruang kecil terdapat Z spermatozoa, maka konsentrasi spermatozoa yang diperiksa adalah : Z x 400 x 10 x 200 = 10000 = Z x 0.01 juta spermatozoa per mm3 80 atau: Z x 10 juta sperma per ml = Z x 107spermatozoa/ml Morfologi Abnormalitas Spermatozoa (Partodiharjo 1992) Satu tetes suspensi sperma dibuat sediaan ulas, difiksasi dengan metanol dan
diwarnai
dengan
teknik
pewarnaan
Giemsa.
Pemeriksaan
morfologi
abnormalitas spermatozoa dilakukan berdasarkan jumlah spermatozoa normal dan abnormal. Abnormalitas spermatozoa =
Σ spermatozoa abnormal
x 100%
Σ spermatozoa abnormal + normal Angka Konsepsi dan Jumlah Fetus pada Tikus Betina Terjadinya kopulasi diamati dengan terdeteksinya spermatozoa pada vagina tikus betina dan dihitung sebagai hari pertama kebuntingan. Pada umur kebuntingan 15 hari (H15), tikus betina dikorbankan. Jumlah tikus betina bunting (dalam persen) dinyatakan sebagai angka kebuntingan (angka konsepsi), serta dilakukan penghitungan terhadap jumlah fetus pada uterus kiri dan kanan. Analisis Data Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui
51 perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus Jantan Selama Perlakuan Tikus jantan mengalami pertumbuhan berat badan selama masa perlakuan yaitu sebesar 2.95 g/hari pada kelompok kontrol negatif/K-, 3.68 g/hari pada kelompok ZE, 4.25 g/hari pada kelompok I, 3.47 g/hari pada kelompok IZ, 3.91 g/hari pada kelompok IE, dan 3.45 g/hari pada kelompok IZE (Gambar 4.1). Jumlah pakan yang dikonsumsi berturut-turut untuk kelompok kontrol negatif/K-, ZE, I, IZ, IE dan IZE adalah 11.74 g/hari, 13.05 g/hari, 13.59 g/hari, 12.61 g/hari, 13.16 g/hari, dan 12.10 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwa keenam kelompok tikus jantan dalam kondisi sehat selama perlakuan. Secara umum, nampak bahwa peningkatan berat badan berlangsung secara normal, di mana berat badan keenam kelompok tikus meningkat sampai akhir penelitian.
350 300
gram
250 200 150 100 50 0 1
7
13 19 25 31 37 43 49 55 61 Perlakuan hari ke-
KKZE I IZ IE IZE
= = = = = =
ZE
I
IZ
IE
tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Gambar 4.1. Berat badan tikus jantan selama perlakuan
IZE
52 Pengaruh Jenis Ransum terhadap Kualitas Spermatozoa Secara keseluruhan, kualitas spermatozoa akibat pemberian ransum meliputi motilitas, konsentrasi, dan abnormalitas spermatozoa, serta berat relatif testis tikus jantan tersaji pada Tabel 4.1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok IZE dan IE menghasilkan motilitas spermatozoa yang paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lain, sedangkan motilitas spermatozoa terendah dihasilkan kelompok kontrol negatif/K-. Tidak terlihat adanya perbedaan motilitas spermatozoa pada kelompok ZE, I dan IZ. menunjukkan bahwa
Hasil
analisis terhadap konsentrasi spermatozoa
konsentrasi spermatozoa
terendah
dihasilkan
kelompok
kontrol negatif/K-, sedangkan kelompok IZE menghasilkan konsentrasi spermatozoa yang paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lain. Tidak terlihat adanya perbedaan konsentrasi spermatozoa pada kelompok ZE, I dan IZ. Evaluasi terhadap abnormalitas spermatozoa memperlihatkan bahwa abnormalitas kontrol negatif/K- lebih tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lainnya. Tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan (p>0.05) terhadap berat relatif testis (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Rataan kualitas spermatozoa tikus setelah 2 bulan perlakuan Perlakuan
Motilitas Spermatozoa (%)
Konsentrasi Spermatozoa (juta/ml)
K-
66.50 ± 4.18 a
ZE
73.50 ± 2.24 b
1137.50 ± 20.69
I
Abormalitas Spermatozoa (%)
Berat Relatif Testis (%)
1182.50 ± 65.31 a
13.49 ± 1.59 a
0.53 ± 0.04
b
8.09 ± 0.44 b
0.56 ± 0.03 a
73.00 ± 2.74 b
1359.75 ± 68.68 b
9.40 ± 0.93 b
0.57 ± 0.04 a
IZ
74.00 ± 4.18 b
1377.50 ± 66.97
b
0.57 ± 0.03 a
IE
78.00 ± 2.74 c
1485.00 ± 88.12 c
8.75 ± 1.00 b
0.55 ± 0.04
IZE
79.50 ± 1.12 c
1636.90 ± 87.95 d
9.00 ± 0.70 b
0.55 ± 0.03 a
b
8.58 ± 0.76
a
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) K= tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E ZE = cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Untuk memperoleh kemampuan gerak, spermatozoa membutuhkan energi (ATP) yang diperoleh dari proses respirasi (glikolisis atau fruktolisis) dalam mitokondria pada bagian midpiece spermatozoa, sedangkan bagian principal piece dan end piece berfungsi dalam pergerakan spermatozoa. Setelah disintesis di dalam mitokondria, ATP ditransportasikan ke aksonem pada bagian ekor spermatozoa, selanjutnya dikonversikan oleh dinein (enzim ATPase) pada
53 aksonem yang akan menguraikan ATP menjadi energi untuk pergerakan spermatozoa (Bourgeron 2000). Terhambatnya pelepasan ATP ke bagian aksonem mengakibatkan tidak terpenuhinya atau berkurangnya kebutuhan energi untuk menggerakkan ekor, dan selanjutnya mengakibatkan spermatozoa tidak dapat bergerak cepat atau tidak bergerak sama sekali (Asmarinah 2005). Hafez
&
Hafez
(2000)
menyatakan
bahwa
faktor
endogen
yang
mempengaruhi motilitas spermatozoa antara lain persediaan energi (ATP), pematangan spermatozoa serta integritas membran sel, sedangkan faktor eksogen dari nutrisi yang mempengaruhi motilitas spermatozoa adalah ketersediaan ion an organik (Cu, Zn, Mn). Oleh karena itu, Zn merupakan salah satu mineral penting yang dibutuhkan untuk motilitas spermatozoa. Hidiroglou & Knipfel (1984) menyatakan bahwa kontrol motilitas spermatozoa oleh Zn meliputi penggunaan dan pengaturan energi melalui sistem ATP yang dibutuhkan untuk kontraksi/pergerakan spermatozoa, sehingga Zn esensial untuk mekanisme aksi dari sistem ATP yang terlibat dalam kontraksi fibriler. Zn dilaporkan terlibat dalam katabolisme lipid yang merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan untuk pergerakan spermatozoa. Pergerakan spermatozoa membutuhkan sejumlah besar ATP. Tidak sempurnanya struktur internal dan respirasi mitokondria sebagai organel sel spermatozoa yang memproduksi energi dalam bentuk ATP, mengakibatkan proses metabolisme sel spermatozoa terganggu dan menurunkan motilitas spermatozoa (Hidiroglou & Knipfel 1984; Kao-Shu Huei et al. 1998). Mitokondria sebagai pusat respirasi adalah organel sel spermatozoa yang memproduksi energi dalam bentuk ATP (Agarwal et al. 2005). Tidak sempurnanya struktur internal dan respirasi mitokondria sebagai organel sel spermatozoa yang memproduksi energi dalam bentuk ATP mengakibatkan terganggunya proses metabolisme sel spermatozoa dan menurunkan motilitas spermatozoa (Hidiroglou & Knipfel
1984; Kao-Shu Huei et al. 1998). Membran plasma mitokondria
spermatozoa tersusun oleh asam lemak tidak jenuh, yang bersifat sangat rentan terhadap oksidasi. Sekitar 50% asam lemak tidak jenuh yang ditemukan dalam sebuah sel spermatozoa adalah dokosaheksaenoat (DHA) (Aitken 1997), sehingga mudah
mengalami
kerusakan
akibat
reaksi
berantai
radikal
bebas
dan
meningkatnya peroksidasi lipid (Hellstrom et al. 1994; Baker et al. 1996). Terjadinya proses peroksidasi lipid pada spermatozoa akan diikuti oleh perubahan struktur membran plasma spermatozoa sehingga mengubah kestabilan dan fungsi membran, serta menurunkan fluiditas membran spermatozoa. Rusaknya membran plasma mitokondria spermatozoa mengakibatkan terganggunya metabolisme sel spermatozoa, sehingga menyebabkan penurunan motilitas spermatozoa.
54 Terbentuknya radikal peroksi lipid dapat dihentikan oleh antioksidan yang mempunyai kemampuan memutus reaksi berantai yaitu vitamin E, atau antioksidan yang mampu berperan sebagai scavenger radikal bebas seperti isoflavon. Sebagai antioksidan, vitamin E berperan dalam memperlambat berlangsungnya reaksi peroksidasi lipid karena mampu menangkap radikal bebas dan memutus berantai proses peroksidasi lipid di dalam membran sel. Aksi vitamin E adalah dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas yang dibutuhkan untuk menstabilkan sebuah elektron yang tidak berpasangan
akibat
pembentukan
radikal
bebas.
Hal
ini
menyebabkan
terbentuknya radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002; Landvik et al. 2002), serta menghentikan reaksi rantai propagasi yang bersifat merusak pada proses peroksidasi lipid (Combs 1992). Suleiman et al. (1996) melaporkan bahwa vitamin E memainkan peran penting dalam menurunkan peroksidasi lipid dan melindungi spermatozoa dari kerusakan oksidatif; dan dibutuhkan untuk memelihara integritas membran spermatozoa (Therond et al. 1996). Sebagai salah satu kelompok flavonoid, mekanisme isoflavon untuk berperan sebagai antioksidan adalah sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Nijveldt et al. 2001; Sugihara et al. 2001; Amic et al. 2002). Awalnya, flavonoid teroksidasi oleh senyawa radikal, kemudian berubah menjadi stabil karena bereaksi dengan radikal flavonoid lain sehingga membentuk senyawa radikal fenoksil yang kurang reaktif. Dengan demikian, maka reaktivitas radikal bebas dapat diredam. Rendahnya motilitas spermatozoa kelompok kontrol negatif/K- diduga karena rendahnya kadar Zn dan vitamin E dalam ransum, serta tidak adanya isoflavon yang mampu berperan sebagai antioksidan untuk mencegah oksidasi pada membran sel spermatozoa. Hal ini menyebabkan kerusakan membran sel dan mengganggu proses metabolisme sel spermatozoa akibat rusaknya membran sel spermatozoa. Akibatnya, proses peroksidasi lipid meningkat sehingga motilitas spermatozoa menurun. Tingginya proses peroksidasi lipid juga dilaporkan Sanocka & Kurpisz (2004) dapat mengganggu proses spermatogenesis. Dalam hal ini, terganggunya proses spermatogenesis pada kelompok kontrol negatif/K- diduga menyebabkan
gangguan
produksi
spermatozoa,
sehingga
akhirnya
juga
mengakibatkan berkurangnya konsentrasi spermatozoa. Motilitas dan konsentrasi spermatozoa kelompok I dan IZ tidak berbeda dengan kelompok yang dalam ransumnya hanya diberi Zn dan vitamin E saja (ZE), namun lebih rendah dibandingkan kelompok tikus yang mendapat kombinasi ketiganya (IZE). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian cekok TKI-RL secara
55 tunggal (I), cekok TKI-RL dengan Zn (IZ), atau Zn dan vitamin E saja (ZE) belum mampu menghambat proses peroksidasi lipid akibat oksidasi oleh radikal bebas sehingga kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa juga tidak dapat dicegah, proses spermatogenesis tidak dapat dihambat, sehingga produksi spermatozoa terganggu. Akibatnya, motilitas dan konsentrasi spermatozoa kelompok I, IZ dan ZE lebih rendah dibanding kelompok IZE. Kombinasi cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E pada kelompok IZE diduga mampu menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk. Hal ini karena terjadi interaksi secara sinergis antara isoflavon dan vitamin E yang dapat bertindak sebagai antioksidan, didukung oleh peran Zn dalam mempertahankan integritas sel (Corah 1996) dan stabilisasi membran sel (Taylor et al. 1988), sehingga kombinasi ketiganya bekerja lebih baik dalam menghambat dan mencegah terbentuknya hasil peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh. Dengan dicegahnya peroksidasi lipid akibat pemberian secara lengkap TKI-RL, Zn dan vitamin E, maka proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat, dan produksi spermatozoa tidak terganggu. Hal ini mengakibatkan kelompok IZE menghasilkan motilitas dan konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi dibanding kelima perlakuan yang lain. Pemeriksaan terhadap morfologi spermatozoa diperlukan dalam penilaian kualitas spermatozoa. Dalam setiap ejakulat terdapat beberapa spermatozoa yang abnormal. Semen dengan proporsi abnormalitas yang tinggi memberikan hasil fertilitas yang rendah (Salisbury & VanDemark 1985). Evaluasi terhadap abnormalitas spermatozoa memperlihatkan bahwa abnormalitas kontrol negatif/Klebih tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lainnya (Tabel 4.1). Kisaran abnormalitas akibat perlakuan berkisar antara 8.09 - 13.49%. Menurut Toelihere (1985), spermatozoa yang mengalami kelainan morfologi (abnormalitas) kurang dari 20% masih dianggap normal. Mengacu pada kriteria tersebut, keenam kelompok tikus perlakuan memiliki spermatozoa pada kategori normal. Hasil pengamatan terhadap berat relatif testis menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata antar perlakuan (p>0.05) (Tabel 4.1). Pemberian pakan pada tikus jantan dengan jumlah kasein dan kadar protein yang tinggi (15%), serta cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E secara tunggal, kombinasi keduanya maupun pemberian secara lengkap mendukung berlangsungnya perkembangan organ-organ tubuh secara normal, sehingga tidak mempengaruhi berat testis pada keenam kelompok tikus perlakuan. Perlakuan cekok TKI-RL pada dosis 3 mg/ekor tikus/hari diduga masih tergolong dalam konsentrasi rendah sehingga tidak mempengaruhi berat testis. Menurut Martin (1983), atropi testis pada mencit jantan terjadi apabila genistein (salah satu komponen isoflavon) diberikan dalam bentuk isolat isoflavon murni pada dosis 9 mg/ekor/hari.
56 Angka Konsepsi dan Jumlah Fetus pada Tikus Betina Kemampuan fungsional spermatozoa adalah kemampuan spermatozoa untuk melakukan fertilisasi. Secara in vivo, uji fungsional spermatozoa pada hewan percobaan dilakukan dengan cara mengawinkan jantan perlakuan dengan betina dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tikus betina yang dikawinkan dengan keenam tikus jantan perlakuan menghasilkan angka konsepsi 100% (Tabel 4.2). Tikus betina yang digunakan untuk melihat fertilitas tikus jantan mendapat kasein sebagai sumber protein ransum dalam jumlah dan kadar yang tinggi (15%), dan selama percobaan berada pada kondisi sehat. Sumber protein ransum yaitu kasein dengan kualitas, jumlah dan kadar yang tinggi (15%) diduga menyebabkan keberhasilan fertilisasi pada keenam jantan perlakuan. Menurut Baker et al. (1979), kadar protein ransum dari sumber protein hewani sebesar 10% telah mencukupi untuk proses reproduksi dan pertumbuhan tikus. Tabel 4.2. Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina Perlakuan (Jantan)
Angka Konsepsi pada Tikus Betina (%)
Jumlah Fetus pada Tikus Betina (n=5)
K-
100
9.60±1.14 a
ZE
100
10.40±1.82
I
100
10.80±2.28 a
IZ
100
11.40±1.52 a
IE
100
9.40±2.30 a
IZE
100
11.00±0.71 a
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) K= tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E ZE = cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Kelompok tikus jantan perlakuan mendapat TKI-RL bentuk tunggal, atau kombinasi dengan Zn atau vitamin E. Angka konsepsi 100% juga terlihat pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan kelompok kontrol negatif/K- yang tidak dicekok TKI-RL dan dalam ransumnya tidak diberi Zn dan vitamin E. Diduga pada tikus jantan kelompok kontrol negatif/K-, Zn dan vitamin E tidak berada pada kondisi defisien yang sangat ekstrim. Kemungkinan kontrol negatif/K- masih mendapat asupan Zn yang berasal dari kasein sebagai sumber protein ransum, serta mendapat vitamin E yang terkandung dalam minyak jagung sebagai komponen penyusun ransum. Namun demikian, Zn dan vitamin E mungkin terdapat
57 pada konsentrasi rendah. Tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan pada tikus jantan (p>0.05) terhadap jumlah fetus pada tikus betina.
KESIMPULAN 1. Terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan yang mengakibatkan meningkatnya motilitas dan
konsentrasi spermatozoa (kualitas spermatozoa paling baik dibanding
pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya). 2. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn
dan vitamin E pada tikus
jantan tidak berpengaruh terhadap berat testis, serta angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina. 3. Fertilitas secara
tikus
jantan
terbaik
lengkap : tepung kedelai
adalah
perlakuan
dengan
pemberian
kaya isoflavon dengan dosis isoflavon
3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Agarwal A, Prabakaran SA, Said TM. 2005. to sperm. J Androl 26(6): 654-669
Prevention of oxidative stress injury
Aitken RJ. 1997. Molecular mechanisms regulating human sperm function. Mol Hum Reprod 3(3):169-173 Almatsier S. 2002. Utama, Jakarta.
Prinsip
Dasar Ilmu Gizi.
PT Gramedia Pustaka
Amic D, Beslo D, Trinajstic N. 2003. Structure-radical scavenging activity relationship of flavonoids. Croat Chem Acta 76(1):56-61 Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. In : Schmidl, M.K. & T.P. Labuza, editor. Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. p. 239-269. Arora A, Nair MG, Strasburg GM. 1998. Structure – activity relationships for antioxidant activities of a series of flavonoids in a liposomal system. Free Radic Biol & Med 24(9):1355-1363 Asmarinah. 2005. Mutasi gen pada pria infertil dengan Astenozoospermia. Di dalam : Buku Kumpulan Makalah/Abstrak . Andrologi : Sesuatu yang Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta.
58 Astuti S. 1999. Pengaruh Tepung Kedelai dan Tempe dalam Ransum terhadap Fertilitas Tikus Percobaan [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E. Majalah Kedokteran Bandung (In press). Publikasi pada volume 40 (2) Edisi Juli 2008. Baker DEJ. 1979. Reproduction and Breeding. Di dalam Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH, editor. The Laboratory Rat. Vol I. Biology and Diseases. Academic Press Inc. San Diego. Baker HWG, Brindle J, Irvine DS, Aitken RJ. 1996. Protective effect of antioxidants on the impairment of sperm motility by activated polymorphonuclear leukocytes. Fertil Steril 65(2):411-419. Bourgeron, T. 2000. Mitochondrial function and male fertility. Results Probl. Cell Differ. 28: 187-210 Combs GF. 1992. The Vitamins. Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press, Inc. New York. Corah L. 1996. Trace mineral requirement of grazing cattle. Anim Feed Sci Technol 59:61-70. Hafez B, Hafez ESE. Philadephia.
2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger,
Hellstrom WJG, Bell M, Wang R, Sikka SC. 1994. Effect of sodium nitroprusside on sperm motility, viability and lipid peroxidation. Fertil Steril 61(6):11171122. Hidiroglou M, Knipfel JE. 1984. Zinc in mammalian sperm : a review. J Dairy Sci 67:11476-1156 Hunt CD, Johnson PE, Herbel JL, Mullen LK. 1992. Effects of dietary zinc depletion on seminal volume and zinc loss, serum testosterone concentrations, and sperm morphology in young men. Am J Clin Nutr 56:148-157. Kao-Shu Huei, Chao Hsiang-Tai, Wei Yau-Huei. 1998. Multiple deletions of mitochondrial DNA are associated with the decline of motility and fertility of human spermatozoa. Mol Hum Reprod 4(7):657-666 Landvik SV, Diplock AT, Packer L. 2002. Efficacy of Vitamin E in Human Health and Disease. Di dalam Cadenas E, Packer L, editor. Handbook of Antioxidants. Marcel Dekker, Inc. New York. p.75-90. Martin S. 1983. Naturally Occuring Food Toxicans : Estrogens. Di dalam: Miloslav R Jr, editor. Handbook of Naturally Occuring Food Toxicans. Boca Raton Florida: CRC Press. p.81-100. Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive health in normal males. Clin Sci (London) 100(6):613-618
59 Nijveldt RJ et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Oteiza PI, Olin KL, Fraga CG, Keen CL. 1995. Zinc deficiency causes oxidative damage to proteins, lipids and DNA in rat testes. J Nutr 125:823-929. Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Regina BF, Traber MG. 1999. Vitamin E : function and metabolism. 13:1145-1155
Faseb J
Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Fisologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh Djanuar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sanocka D, Kurpisz M. 2004. Reactive oxygen species and sperm cells. Reprod Biol Endocrinol 2:12. Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18 Sugihara N, Ohnishi M, Imamura K, Furuno K. 2001. Differences i n antioxidative efficiency of cathecins in various metal-induced lipid peroxidation in cultured hepatocytes. J of Health Sci 47(2):99-106 Suleiman SA, Ali ME, Zaki ZM, el-Manik EM, Nasr MA. 1996. Lipid peroxidation and human sperm motility : protective role of vitamin E. J Androl 17(5):530-537. Taneja SK, Chadha S, Arya P. 1995. Lipid-zinc interaction : its effect on the testes of mice. Br J Nutr 73:723-731. Taylor CG, Bettger WJ, Bray TM. 1988. Effect of dietary zinc or copper deficiency on the primary free radical defense system in rats. J Nutr 118:613-621. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Toda S, Shirataki Y. 1999. Inhibitory effect of isoflavones on lipid peroxidation by reactive oxygen species. Phytother Res 13:163-165 Therond P, Auger J, Legrand A, Jouannet P. 1996. Alpha-tocopherol in human spermatozoa and seminal plasma relationship with motility antioxidant enzymes and leukocytes. Mol Hum Reprod 2(10): 739-744.
60 PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON, SENG (Zn) DAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON SERUM DAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK PADA TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS JANTAN (The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour, Zinc (Zn) and Vitamin E on Testosterone Serum and Total Spermatogenic Cells in the Seminiferous Tubules of Male Rats Testes) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 15%. Tiga puluh ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam enam kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon, seng dan vitamin E dengan kombinasi yang berbeda. Tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari diberikan secara oral, sedangkan Zn 6.14 mg/kg ransum dan vitamin E 100 mg/kg ransum dicampur dalam ransum basal kasein. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan secara lengkap menghasilkan kadar hormon testosteron serum dan total sel spermatogenik lebih tinggi dibanding pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya. Perlakuan terbaik adalah pemberian secara lengkap tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum, yang menghasilkan kadar hormon testosteron serum 3.49±0.31 ng/ml, serta jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal, spermatid akhir dan total sel spermatogenik masing-masing sebesar 37.56±4.48, 67±4.72, 287.11±31.75, 227.22±29.78, dan 618.89±47.38. Disimpulkan bahwa interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E mengakibatkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan total sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), vitamin E, testosteron, sel spermatogenik
ABSTRACT The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavoneriched soybean flour, zinc (Zn) and vitamin E on testosterone serum and total spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rats testes. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 15% of dietary protein from casein. Thirty male Sprague Dawley weaning rats (21 days old) were divided into six groups and treated with isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E in different combination. Isoflavone-riched soybean flour (3mg/day) was given by oral administration, whereas Zn and vitamin E were mixed with the basic diet. The treatment was conducted for 2 month. Results indicated that complete treatment of isoflavone-riched soybean flour, Zn and vitamin E on male rats increased testosteron level and total spermatogenic cells in comparison with single treatment and the other combination. The best results revealed from the group that given isoflavone-riched soybean flour with diet containing both Zn and vitamin E i.e ; testosterone level of 3.49±0.31 ng/ml; while the number of spermatogonia, spermatocytes, early spermatids, late spermatids, and total spermatogenic cells were 37.56±4.48, 67±4.72, 287.11±31.75, 227.22±29.78, and 618.89±47.38, respectively. It was concluded that synergic interaction between isoflavone-riched
61 soybean flour, Zn and vitamin E increased the testosteron level and total spermatogenic cells of rat testes. Key words : isoflavone - riched soybean flour, Zn, vitamin E, testosterone, spermatogenic cells PENDAHULUAN Jumlah sel spermatogenik sangat tergantung pada aktivitas tubuli seminiferi yang dipengaruhi oleh sistem hormon, sehingga faktor endokrin mempunyai pengaruh paling penting terhadap spermatogenesis. Testosteron yang disintesis sel Leydig diperlukan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis pada tubuli seminiferi (Junqueira et al. 1998). Apabila metabolisme sel Leydig terganggu atau sel Leydig tidak dapat memproduksi hormon testosteron secara optimal, maka kadar testosteron akan menurun. Gangguan spermatogenesis akibat kadar testosteron yang rendah menyebabkan peningkatan resiko terhadap rendahnya mutu spermatozoa yang dihasilkan, yaitu penurunan konsentrasi spermatozoa. Testis sebagai tempat berlangsungnya spermatogenesis bersifat sangat rentan terhadap proses oksidasi oleh radikal bebas. Terdapatnya radikal bebas pada testis dapat mengubah kestabilan dan fungsi membran, akibat berlanjutnya peroksidasi lipid. Proses peroksidasi lipid dilaporkan Sanocka & Kurpizs (2004) mengakibatkan gangguan spermatogenesis. Menurut Sikka (2004), radical scavenger akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa. Sistem pertahanan tubuh yang dapat digunakan untuk melawan radikal bebas dipengaruhi oleh tersedianya zat-zat gizi yang berasal dari bahan pangan yang memiliki potensi sebagai antioksidan. Kedelai dilaporkan memiliki sifat antioksidan. Isoflavon merupakan senyawa bioaktif yang berperan sebagai antioksidan dalam kedelai (Toda & Sirataki 1999). Struktur molekul isoflavon kedelai mirip dengan struktur molekul estrogen, sehingga kedelai dikenal sebagai fitoestrogen. Pengaruh konsumsi isoflavon terhadap hormon steroid telah diteliti Mitchell et al. (2001). Dilaporkan bahwa pada pria umur 18-46 th, konsumsi produk olahan kedelai yang mengandung isoflavon dengan dosis 40-70 mg/hari tidak mempengaruhi hormon steroid. Sedangkan Fritz et al. (2003) menyatakan bahwa pemberian genistein (isolat isoflavon murni) pada dosis 5 mg/ekor/hari mengakibatkan terjadi penurunan aktivitas aromatase testis tikus. Zn dan vitamin E juga berperan penting terhadap organ reproduksi pria. Zn diperlukan
untuk
perkembangan
organ
reproduksi
pria
dan
proses
spermatogenesis (Taneja et al. 1995), sedangkan Corah (1996) melaporkan peran Zn pada proses produksi, penyimpanan dan sekresi hormon testosteron. Taylor et al. (1988) menyatakan bahwa Zn juga berperan dalam mempertahankan integritas
62 sel dan memainkan peran penting dalam stabilisasi biomembran. Di samping Zn, vitamin E dilaporkan juga mempengaruhi kualitas spermatozoa. Menurut Linder (2006), vitamin E merupakan agen pendorong / pemacu fertilitas, yaitu untuk menormalkan epitel pada tubuli seminiferi.
Degenerasi epitel tubuli seminiferi
akibat defisiensi vitamin E pada tikus jantan menyebabkan penghambatan spermatogenesis, menghentikan produksi sperma, dan degenerasi sel germinal (Bensoussan et al. 1998; Regina & Traber 1999). Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi ada tidaknya pengaruh sinergi antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E terhadap kadar hormon testosteron dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus. BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon
(TKI)
dari
perusahaan
SoyLife
Extra
ORFFA
BELGIUM
NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL; seng sulfat (ZnSO4.7H2O), dan dl-αtokoferol asetat (Merck). n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (TKI-RL) (Astuti et al. 2008). Untuk studi in vivo, digunakan tikus jantan strain Sprague Dawley (SD) umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Pengukuran kadar hormon testosteron serum menggunakan KIT Testosteron. Bahan kimia untuk pembuatan preparat jaringan testis dan proses pewarnaan Hematoksilin Eosin/HE antara lain NaCl, larutan fiksatif bouin, alkohol, xylol, parafin, hematoxylin, eosin, dan entellan. Metode Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling Percobaan menggunakan tikus putih jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) sebanyak 30 ekor. Adaptasi di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama satu minggu. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 15%, modifikasi AOAC (1990) dan diberikan secara ad libitum.
Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin
mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus jantan dibagi dalam 6 kelompok, yaitu : (1) Kontrol negatif (K - / tanpa cekok TKI-
63 RL, Zn dan vitamin E); (2) Cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E (ZE); (3) Cekok TKI-RL (I); (4) Cekok TKI-RL dan Zn (IZ); (5) Cekok TKI-RL dan vitamin E (IE); dan (6) Cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut : KOMPOSISI BAHAN
PERLAKUAN
KZE I* IZ* Kasein (g) 16.64 16.64 16.64 16.64 Minyak jagung (g) 7.91 7.91 7.91 7.91 Mineral mix (g) 4.35 4.35 4.35 4.35 ZnSO4.7H2O (mg) 2.7 2.7 Vitamin mix (g) 1 1 1 1 Asam folat (mg) 30 30 30 30 Vitamin K (mg) 5 5 5 5 50 Vitamin E (mg) Selulosa 0.99 0.99 0.99 0.99 Air 4.28 4.38 4.38 4.38 Pati 64.83 64.83 64.83 64.83 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 Ket : * : I = Cekok TKI-RL dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari
IE* 16.64 7.91 4.35 1 30 5 50 0.99 4.38 64.83 100.00
IZE* 16.64 7.91 4.35 2.7 1 30 5 50 0.99 4.38 64.83 100.00
TKI-RL dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari diberikan pada tikus jantan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung, dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades. Pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo dilakukan berdasarkan pengukuran kandungan total senyawa isoflavon TKI-RL. Hasil analisis dengan HPLC menunjukkan terdapatnya tiga komponen senyawa isoflavon yaitu daidzein, genistein, dan glisitein dengan kandungan total senyawa isoflavon sebesar 2.22 g/100 g bb (Astuti et al. 2008). Pemberian Zn dan vitamin E dilakukan dengan mencampur Zn dan vitamin E ke dalam ransum. Pemberian Zn (elemental) sebesar 6.14 mg/kg ransum dihitung dari ZnSO4.7H2O sebesar 27 mg/kg ransum, sedangkan vitamin E yang ditambahkan 100 mg/kg ransum. Perlakuan diberikan selama 2 bulan. Pada akhir perlakuan, tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Kadar hormon testosteron serum diamati dari darah yang diambil pada bagian jantung. Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap morfologi testis. Analisis Kadar Hormon Testosteron Serum (DPC 2003) Pengukuran konsentrasi hormon testosteron serum dilakukan dengan metode
125
I Radioimmunoassay (RIA) teknik fase padat menggunakan kit Coat A-
Count® Total Testosterone. Prinsip kerja berdasarkan pada kompetisi antara testosteron serum dan testosteron berlabel spesifik terhadap hormon testosteron.
125
I untuk terikat pada antibodi yang
64 Untuk pengamatan terhadap kadar testosteron serum tikus jantan, darah diambil dari jantung pada pagi hari dengan menggunakan syringe steril sekali pakai, disimpan pada 50C selama 2 jam, kemudian dilakukan pemisahan serum dengan menggunakan sentrifuge pada 5.000 rpm selama 15 menit. Serum dimasukkan tabung eppendorf dan disimpan –20oC sampai siap dianalisis. Penghitungan Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis (HE) (Kiernan 1990) Organ testis dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%, difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Jaringan testis kemudian diproses dengan metode standar menggunakan parafin. Blok jaringan yang didapat dipotong ± 4 µm dan dilekatkan pada obyek glass, sehingga diperoleh potongan jaringan (sediaan). Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan Hematoksilin Eosin/HE menggunakan metode Kiernan (1990). Jumlah sel spermatogenik pada tiap tahap perkembangan spermatogenesis dihitung pada sembilan tubuli seminiferi untuk tiap perlakuan. Analisis Data Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Jenis Ransum terhadap Kadar Hormon Testosteron Serum dan Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis Rataan kadar hormon testosteron tikus setelah 2 bulan perlakuan disajikan pada Tabel 5.1, sedangkan rataan jumlah sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus perlakuan disajikan pada Tabel 5.2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok IZE menghasilkan kadar hormon testosteron serum dan total sel spermatogenik paling tinggi secara nyata (p<0.05) dibanding kelompok lain, sedangkan kadar hormon testosteron serum dan total sel spermatogenik terendah dihasilkan kelompok kontrol negatif/K-. Tidak terlihat adanya perbedaan kadar hormon testosteron serum pada kelompok I, IZ, dan IE, dan tidak terlihat adanya perbedaan total sel spermatogenik pada kelompok K, I dan IZ. Total sel spermatogenik kelompok IE lebih rendah dibanding IZE. Gambaran
65 histologis sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir pada tubuli seminiferi testis setiap perlakuan tersaji pada Gambar 5.1. Tabel 5.1. Rataan kadar hormon testosteron tikus setelah 2 bulan perlakuan Ransum Perlakuan
Kadar Hormon Testosteron (ng/ml)
K-
1.00 ± 0.56 a
K+
1.62 ± 0.14 b
I
2.40 ± 0.24 c
IZ
2.61 ± 0.51 c
IE
2.81 ± 0.35 c
IZE
3.49 ± 0.31 d
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) K= tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E K+ = tanpa cekok TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E, cekok aquades I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Tabel 5.2. Rataan jumlah sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus perlakuan Perla kuan
Spermatogonia
Spermatosit
Jumlah Sel Kelamin Jantan Spermatid Spermatid Awal Akhir
Total Sel Spermatogenik
K-
19.33±5.12
a
43.44±6.82
a
201.78±18.90
a
134.56±32.57
a
399.11±39.70
a
K+
29.33±7.11
b
51.44±6.41
b
234.00±23.14
b
184.67±22.42
bc
499.44±46.55
b
I
31.11±7.52
b
54.22±6.70
bc
234.33±26.69
b
179.22±47.35
bc
498.89±58.48
b
IZ
31.89±4.01
b
54.78±6.04
bc
245.22±28.36
b
172.67±40.50
b
504.56±27.90
b
IE
32.67±3.43
bc
58.78±7.14
c
257.67±32.62
b
214.00±32.82
cd
563.11±36.92
c
IZE
37.56±4.48
c
67.00±4.72
d
287.11±31.75
c
227.22± 9.78
d
618.89±47.38
d
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) K= tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E K+ = tanpa cekok TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E, cekok aquades I = cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E IZ = cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E IE = cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn IZE = cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E
Kelompok kontrol negatif/K- menghasilkan kadar hormon testosteron serum dan total sel spermatogenik paling rendah dan berbeda dibanding kelima kelompok perlakuan yang lain. Rendahnya kadar hormon testosteron pada kelompok kontrol negatif/K-
(Tabel
5.1)
diduga
menyebabkan
gangguan
terhadap
proses
spermatogenesis sehingga mengakibatkan rendahnya total sel spermatogenik (Tabel 5.2).
66
K-
ZE
I
IZ
IE
IZE
KZE I IZ IE IZE
= = = = = =
tanpa cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E cekok aquades, tanpa TKI-RL; dengan Zn dan vitamin E cekok TKI-RL; tanpa Zn dan vitamin E cekok TKI-RL dan Zn; tanpa vitamin E cekok TKI-RL dan vitamin E; tanpa Zn cekok TKI-RL, Zn dan vitamin
Gambar 5.1. Fotomikrograf tubuli seminiferi pada testis tikus perlakuan. Pada kelompok K -, jumlah sel-sel spermatogenik paling rendah secara nyata dibandingkan dengan kelompok lainnya. Pada gambaran histologis juga tampak luasnya lumen tubuli seminiferi. Pemberian isoflavon secara tunggal (I), kombinasi dengan Zn (IZ) atau vitamin E (IE), dan kombinasi ketiganya secara lengkap (IZE) menunjukkan jumlah sel-sel spermatogenik yang lebih tinggi secara nyata dibandingkan kelompok K -. Pemberian secara lengkap (IZE) memberikan pengaruh yang paling baik. (Pewarnaan HE, skala = 50 µm).
67 Menurut Hidiroglou & Knipfel (1984), defisiensi Zn mengakibatkan rendahnya
produksi
androgen.
Dilaporkan
bahwa
pengaturan
metabolik
spermatozoa diperantarai oleh Zn sebagai regulator aktivitas enzim dalam semen. Defisiensi Zn juga mempengaruhi produksi dan sekresi testosteron (Corah 1996); serta menyebabkan penurunan konversi testosteron ke dehidrotestosteron (DHT) (Oteiza 1995). Om & Chung (1996) menyatakan bahwa pengikatan Zn ke reseptor androgen seperti testosteron dan dehidrotestosteron terjadi melalui affinitas tinggi. Pada organ reproduksi tikus yang defisien Zn, proses pengikatan Zn ke reseptor androgen menjadi lebih rendah. Studi yang dilakukan Hunt et al. (1992) memperlihatkan bahwa defisiensi Zn secara langsung menurunkan jumlah sel Leydig, dan menghentikan proses spermatogenesis karena terjadinya penyusutan tubuli seminiferi dan reduksi sel Leydig (Chesters 1997).
Hasil tersebut sejalan dengan pendapat Taneja et al.
(1995), bahwa Zn diperlukan untuk proses spermatogenesis. Lei et al. (1976) dalam Om & Chung (1996) menyatakan bahwa pada tikus jantan umur 12 minggu yang diberi ransum defisien Zn selama 6 minggu, level FSH meningkat dan LH menurun. Penurunan LH menyebabkan sekresi testosteron terganggu sehingga mengakibatkan rendahnya kadar hormon testosteron. bahwa
Lebih lanjut dilaporkan
jika pakan defisien Zn, sel testis mampu mengangkut kolesterol yang
merupakan prekursor hormon steroid, namun tidak mampu mengkonversinya menjadi
hormon
steroid
sehingga
menyebabkan
tertahannya
proses
menghambat
proses
spermatogenesis. Defisiensi vitamin
E
dilaporkan
juga
mampu
spermatogenesis dan menyebabkan degenerasi sel germinal (Bensoussan et al. 1998), serta mengakibatkan degenerasi epitel tubuli seminiferi dan menghentikan produksi spermatozoa sehingga menurunkan konsentrasi spermatozoa (Regina & Traber 1999). Secara bersama-sama, kurangnya asupan Zn dan vitamin E dalam ransum, dan tanpa perlakuan cekok TKI-RL pada kelompok kontrol negatif/Kmengakibatkan
penurunan
kadar
hormon
testosteron
sehingga
diduga
menyebabkan gangguan proses spermatogenesis dan berakibat pada penurunan total sel spermatogenik. Secara umum, terlihat bahwa keempat kelompok
tikus yang mendapat
cekok TKI-RL (I, IZ, IE, IZE) menghasilkan kadar hormon testosteron lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kelompok kontrol (hanya mendapat vitamin E dan Zn saja) maupun kontrol negatif/K- (tidak mendapat TKI-RL, Zn maupun vitamin E). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Fritz et al. (2003), bahwa pemberian genistein (salah satu komponen senyawa isoflavon) dalam diet tikus melalui jalur konsumsi
secara
normal
sebesar
250
mg
genistein/kg
diet
(5
mg
68 genistein/ekor/hari) menyebabkan penurunan aktivitas aromatase testis dan meningkatkan kadar hormon testosteron. Pengukuran terhadap aktivitas sitokrom P450 aromatase testis ditujukan untuk mengetahui kemampuan testis dalam mengkonversi androgen menjadi estrogen (Hess 2003). Kelompok I, IZ, IE, dan IZE mendapat cekok TKI-RL pada dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari (dihitung sebagai total isoflavon yang terdiri dari tiga komponen isoflavon yaitu genistein, daidzein dan glisitein). Walaupun Fritz et al. (2003) melaporkan terjadi penurunan aktivitas aromatase testis tikus akibat pemberian genistein pada dosis 5 mg/ekor/hari, namun mengingat dalam penelitian ini dosis isoflavon yang diberikan masih tergolong pada kategori rendah (3 mg/ekor/hari), diduga pemberian TKI-RL pada dosis tersebut belum memperlihatkan gangguan terhadap perkembangan morfologi maupun proses spermatogenesis. Hal ini didukung oleh data jumlah sel spermatogenik kelompok I dan IZ yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, bahkan kelompok IZE menghasilkan jumlah sel spermatogenik tertinggi. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon secara tunggal (I), isoflavon dengan Zn (IZ), Zn dan vitamin E saja (kontrol positif/K+), atau isoflavon dengan vitamin E (IE) menghasilkan total sel spermatogenik yang lebih rendah dibanding kelompok tikus yang mendapat kombinasi ketiganya (IZE). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon secara tunggal (I), isoflavon dengan Zn (IZ), Zn dan vitamin E saja (kontrol positif/K+), atau isoflavon dengan vitamin E (IE) belum mampu mencegah oksidasi bagian sel yang penting, atau mencegah terbentuknya hasil peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada jaringan yang memproduksi spermatozoa, sehingga menyebabkan terganggunya proses spermatogenesis. Proses peroksidasi lipid dilaporkan Sanocka & Kurpizs (2004) mengakibatkan gangguan spermatogenesis. Hal ini berakibat pada lebih rendahnya total sel spermatogenik keempat kelompok tersebut dibanding kelompok tikus yang mendapat kombinasi ketiganya (IZE). Kelompok IZE yang mendapat kombinasi cekok TKI-RL, Zn dan vitamin E menghasilkan jumlah sel spermatogenik tertinggi sehingga memberikan pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan sel-sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. Diduga, hal ini terjadi akibat tingginya kadar hormon testosteron kelompok IZE sehingga mendukung berlangsungnya proses spermatogenesis pada tubuli seminiferi (Tabel 5.1). Vitamin E diperlukan pada proses spermatogenesis untuk produksi spermatozoa (Machlin 1991), serta menormalkan epitel pada tubuli seminiferi, tempat berlangsungnya proses spermatogenesis (Linder 2006). Proses spermatogenesis dapat terganggu apabila peroksidasi lipid terus berlanjut (Sanocka & Kurpizs 2004). Vitamin E berperan memperlambat berlangsungnya reaksi peroksidasi karena mampu berperan sebagai scavenger radikal bebas dan
69 memutus
rantai
proses
peroksidasi
lipid
di
dalam
membran
dengan
menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002; Landvik et al. 2002). Sebagai
salah
satu
golongan
flavonoid,
isoflavon
dilaporkan
juga
mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah peroksidasi lipid dengan cara menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Aktivitas antioksidan flavonoid ditentukan oleh grup hidroksil dari masing-masing molekul yang mampu mendonorkan ion hidrogen (Toda & Sirataki 1999). Flavonoid mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas, melalui mekanisme flavonoid untuk bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Nijveldt et al. 2001). Menurut Sikka (2004), terdapatnya radical scavenger akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa. Peran isoflavon sebagai scavenger radikal bebas secara langsung, diduga mampu mencegah oksidasi sel testis atau mencegah terbentuknya hasil peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada jaringan yang memproduksi spermatozoa. Terdapatnya pengaruh sinergi antara vitamin E dan isoflavon diduga memperkuat kerja keduanya sebagai antioksidan fenolik sehingga mampu menghentikan reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel testis, membantu mencegah akumulasi radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa, serta melindungi fungsi spermatozoa. Hal ini juga didukung oleh peran Zn dalam mempertahankan integritas membran sel (Corah 1996) dan stabilisasi membran sel (Taylor et al. 1988). Dengan terlindungnya sel testis dari proses oksidasi, maka diduga proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu. Secara bersama-sama, kombinasi tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E (IZE) memberikan pengaruh sinergi yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. KESIMPULAN 2. Terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan yang mengakibatkan meningkatnya kadar hormon
testostreron serum, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli
seminiferi testis. 2. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan secara lengkap menghasilkan kadar hormon testosteron serum dan total sel
70 spermatogenik lebih tinggi dibanding pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya. 3. Perlakuan terbaik adalah pemberian secara
lengkap : tepung
kedelai kaya
isoflavon dengan dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum. DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2002. Utama, Jakarta.
Prinsip
Dasar Ilmu Gizi.
PT Gramedia Pustaka
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E. Majalah Kedokteran Bandung (In press). Publikasi pada volume 40 (2) Edisi Juli 2008. Bensoussan K, Morales CR, Hermo L. 1998. Vitamin E deficiency causes incomplete spermatogenesis and affects the structural differentiation of epithelial cells of the epididymis in the rat. J Androl 19(3):266-288 Corah L. 1996. Trace mineral requirement of grazing cattle. Anim Feed Sci Technol 59:61-70. Chesters JK. 1997. Zinc. Di dalam O’Dell BL, Sunde RA, editor. Handbook of Nutritionally Essential Mineral Elements. Marcel Dekker, Inc. New York. p. 185-214. Diagnostic Products Corporation. 2003. Corporate Offices, USA.
Coat-A-Count® Total Testosterone.
Fritz WA, Cotroneo MS, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA. 2003. Dietary diethylstilbestrol but not genistein adversely affects rat testicular development. J. Nutr. 133:2287-2293. Hess RA. 2003. Estrogen in the adult male reproductive tract : a review. Reprod Biol Endocrinol 1:52 Hidiroglou M, Knipfel JE. 1984. Zinc in mammalian sperm : a review. J Dairy Sci 67:11476-1156 Hunt CD, Johnson PE, Herbel JL, Mullen LK. 1992. Effects of dietary zinc depletion on seminal volume and zinc loss, serum testosterone concentrations, and sperm morphology in young men. Am J Clin Nutr 56:148-157. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Pergamon Press. Oxford-England
71 Junqueira LC, Jose C, Robert OK. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Diterjemahkan Tambayong. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Landvik SV, Diplock AT, Packer L. 2002. Efficacy of Vitamin E in Human Health and Disease. Di dalam Cadenas E, Packer L, editor. Handbook of Antioxidants. Marcel Dekker, Inc. New York. p.75-90. Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Parakkasi. Jakarta: UI Press.
Diterjemahkan oleh A.
Machlin LJ. 1991. Hand Book of Vitamin. Second Edition. Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc.
Revised and
Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive health in normal males. Clin Sci 100(6):613-618 Nijveldt RJ et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Oteiza PI, Olin KL, Fraga CG, Keen CL. 1995. Zinc deficiency causes oxidative damage to proteins, lipids and DNA in rat testes. J Nutr 125:823-929. Om Ae-son, Chung KW. 1996. Dietary zinc deficiency alters 5α-reduction and aromatization of testosterone and androgen and estrogen receptors in rat liver. J Nutr 126:842-848. Regina BF, Traber MG. 1999. Vitamin E : function and metabolism. Faseb J 13:1145-1155 Sanocka D, Kurpisz M. 2004. Reactive oxygen species and sperm cells. Reprod Biol Endocrinol 2:12. Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18 Taneja SK, Chadha S, Arya P. 1995. Lipid-zinc interaction : its effect on the testes of mice. Br J Nutr 73:723-731. Taylor CG, Bettger WJ, Bray TM. 1988. Effect of dietary zinc or copper deficiency on the primary free radical defense system in rats. J Nutr 118:613-621. Toda S, Shirataki Y. 1999. Inhibitory effect of isoflavones on lipid peroxidation by reactive oxygen species. Phytother Res 13:163-165
72 KADAR PEROKSIDA LIPID, AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) TESTIS DAN PROFIL Cu,Zn-SOD TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON (The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour on Lipid Peroxide Level, Superoxide Dismutase (SOD) Activity, and Profile of Cu,Zn-SOD in the Seminiferous Tubules of Male Rats Testes) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap kadar MDA dan aktivitas SOD testis, serta profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 10%. Dua puluh lima ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam lima kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon secara oral dengan berbagai tingkatan dosis isoflavon. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis optimum yang mengakibatkan : menurunnya kadar MDA testis (2.41±0.10 nmol/g pada perlakuan kontrol menjadi 2.29±0.05 nmol/g); mempertahankan aktivitas enzim SOD testis tetap tinggi (729.4±23.73 U/g); serta mempertahankan kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis tetap tinggi melalui deteksi secara imunohistokimia. Disimpulkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari dapat menghambat pembentukan peroksidasi lipid serta meningkatkan status antioksidan pada testis tikus. Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, peroksida lipid, aktivitas SOD, immunohistokimia
ABSTRACT The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavoneriched soybean flour with different levels of isoflavone on MDA level, SOD activity, and profile of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rat testes. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 10% of dietary protein from casein. Twenty five male of Sprague Dawley rats were divided into five groups and treated with isoflavone-riched soybean flour by oral administration with different levels (dosage). The treatment was conducted for 2 months. The optimum dosage of isoflavone was 1.5 mg/day and resulted : decreased of MDA level of the testis (2.41±0.10 nmol/g on the control group compared to 2.29±0.05 nmol/g), recovered SOD activity of rat testis (729.4±23.73 U/g), and stability the content of Cu,Zn-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) of seminiferous tubules on spermatocytes and early spermatids cells as indicated by immunohistochemical technique. It was concluded that treatment isoflavone-riched soybean flour with 1.5 mg/day dosage of isoflavone prevented the formation of lipid peroxide and improved the antioxidant status of rat testes. Key words : isoflavone - riched soybean flour, lipid peroxide, SOD activity, immunohistochemistry
73 PENDAHULUAN Radikal bebas dibentuk oleh metabolisme xenobiotik atau metabolisme sel aerob secara normal. Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah radikal bebas yang memainkan peran penting pada beberapa proses fisiologis organ tubuh. Pembentukan ROS dapat menginduksi peroksidasi lipid yang bersifat sitotoksik akibat inisiasi suatu reaksi rantai ke dalam membran, diikuti reaksi propagasi sehingga secara keseluruhan akan mengakibatkan kerusakan sel (Sikka 2004). Tubuh memiliki sistem pertahanan enzimatik maupun non-enzimatik untuk menetralkan pengaruh toksik senyawa ROS, sehingga ROS hanya terdapat dalam jumlah kecil yang diperlukan untuk menjaga fungsi sel tetap normal. Sistem pertahanan radikal bebas baik enzimatik maupun non-enzimatik meliputi proteksi terhadap berbagai kompartemen sel antara lain mitokondria, retikulum endoplasma, peroksisom, sitoplasma dan membran sel. Pemeliharaan integritas sel tergantung pada keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dengan sistem pertahanan radikal bebas. Terjadinya kerusakan sel dihasilkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas pertahanan enzim antioksidan (scavenger). Superoksida dismutase (SOD) dilaporkan merupakan garis pertahanan terdepan spermatozoa terhadap aktivasi dan toksisitas senyawa ROS (Alvarez et al. 1987; Sikka et al. 1995). Terdapatnya radical scavenger diduga akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa (Sikka 2004), serta menstimulasi ekspresi Cu,Zn-SOD sehingga melindungi sel dari serangan stres oksidatif dan mencegah terbentuknya produk peroksidasi lipid (Toda & Sirataki 1999). Bahan pangan alami yang mengandung antioksidan sebagai scavenger radikal bebas dilaporkan Sikka (2004) dapat menekan proses oksidasi, peroksidasi lipid dan kerusakan sel spermatozoa, mencegah kondisi stres oksidatif, dan meningkatan status antioksidan. Kedelai dilaporkan memiliki senyawa bioaktif isoflavon (salah satu golongan flavonoid) yang bersifat sebagai antioksidan (Saija et al. 1995; Nijveldt et al. 2001). Isoflavon kedelai dikenal sebagai fitoestrogen karena struktur molekul isoflavon kedelai mirip dengan struktur molekul estrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen (Miksicek 1994). Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis merupakan subyek dari aksi isoflavon (Anderson & Graner 2000). Aksi biologis fitoestrogen adalah kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen, atau bertindak sebagai estrogen
74 antagonis yang dapat berikatan dengan RE namun menghambat respon estrogen (Helferich et al. 2001). Salah satu produk olahan kedelai yang dapat digunakan sebagai ingredient dalam bentuk kapsul atau tablet adalah tepung kedelai kaya isoflavon. Tepung kedelai kaya isoflavon mengandung kadar isoflavon sebesar 3%, dihasilkan dari biji kedelai tanpa proses kimia atau penambahan bahan tambahan pangan, serta mempunyai rasa dan aroma yang disukai (Indiana Soybean Board 1998). American Dietetic Association (ADA) melaporkan bahwa konsumsi pangan alami akan memberikan pengaruh positif
bagi kesehatan apabila dikonsumsi
secara teratur pada dosis yang efektif. Dalam upaya untuk lebih menggali potensi kedelai sebagai bahan pangan alami sumber isoflavon, perlu dilakukan kajian asupan antioksidan alami (isoflavon) yang terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis terhadap kadar MDA dan aktivitas SOD testis, serta profil Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis melalui deteksi secara imunohistokimia dengan menggunakan tikus jantan sebagai hewan model.
BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon
(TKI)
dari
perusahaan
SoyLife
Extra
ORFFA
BELGIUM
NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL. n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (TKI-RL) (Astuti et al. 2008). Untuk studi in vivo, digunakan tikus jantan strain Sprague Dawley (SD) umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Analisis kadar malonaldehida (MDA) testis menggunakan fosfat buffer saline (PBS), HCl, asam tiobarbiturat (TBA), asam trikloroasetat (TCA), BHT, dan 1,1,3,3tetraetoksipropana (TEP); aktivitas enzim SOD testis menggunakan SOD murni komersial, xantin, xantin oksidase, sitokrom C, buffer fosfat, kloroform dan etanol. Bahan kimia untuk pembuatan preparat jaringan testis dan proses pewarnaan secara imunohistokimia antara lain NaCl, larutan fiksatif bouin, alkohol, xylol, parafin, neofren, toluen, phosphat buffer saline (PBS), destilated water (DW), H2O2, metanol, goat serum albumin (GSA), antibodi monoklonal copper,zinc-
75 superoksida dismutase (Cu,Zn-SOD) (Sigma S2147), dako envision peroksidase system (DEPS) (Dako K1491), diaminobenzidine (DAB), dan hematoksilin. Metode Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling Sebanyak 25 ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) terlebih dahulu diadaptasikan di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama 1 minggu. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 10%, modifikasi AOAC (1990) diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus dibagi dalam 5 kelompok, yaitu : (1) Kontrol, cekok aquades; (2) cekok TKI-RL dosis isoflavon (IF) 1.5 mg/ekor/hari; (3) cekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari; (4) cekok TKI-RL dosis IF 4.5 mg/ekor/hari; dan (5) cekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari. Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut : KOMPOSISI BAHAN Kasein (g) Minyak jagung (g) Mineral mix (g) ZnSO4.7H2O (mg) Vitamin mix Fitkom (g) Asam folat (mg) Vitamin K (mg) Vitamin E (mg) Selulosa Air Pati Jumlah
0 (Kontrol) 11.09 7.92 4.43
Perlakuan Isoflavon (mg/ekor/hari) 1.5 3 4.5 11.09 11.09 11.09 7.92 7.92 7.92 4.43 4.43 4.43
6 11.09 7.92 4.43
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
TKI-RL diberikan pada tikus jantan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung, dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades. Pemberian TKI-RL pada tikus
jantan secara in vivo dilakukan berdasarkan pengukuran kandungan total
senyawa isoflavon. Hasil analisis dengan HPLC terhadap TKI-RL menunjukkan adanya tiga komponen senyawa isoflavon yaitu daidzein, genistein, dan glisitein dengan kandungan total senyawa isoflavon sebesar 2.22 g/100 g bb (Astuti et al. 2008). Setelah 2 bulan masa perlakuan, tikus masing-masing kelompok (n=5) dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap kadar MDA, aktivitas SOD, serta kandungan Cu,Zn-SOD.
76 Pengukuran Kadar MDA (Singh et al. 2002) Sebanyak ± 0.5 g testis segar dicacah dalam kondisi dingin dalam 2.5 ml larutan PBS (phosphat buffer saline) yang mengandung 11.5 g/L KCl. Homogenat disentrifugasi dua kali pada 4000 rpm selama 10 menit. 1 ml supernatan jernih ditambah 4 ml HCl dingin (0.25N) yang mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran dipanaskan 80oC selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifugasi 3500 rpm selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada λ 532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP. Pengukuran Aktivitas SOD (Mc Cord & Fridovich 1969; Nebot et al. 1993) Sebanyak ± 0.5 g testis segar yang telah dihaluskan, ditambah 1 ml buffer fosfat pH 7.4, disentrifugasi pada 10000 rpm, 4oC, selama 20 menit, kemudian diambil bagian cairannya (lisat). Sebanyak 800 µl larutan kloroform/etanol dingin 37.5/62.5 (v/v) ditambahkan ke dalam 300 µl lisat, divorteks 30 detik dan disentrifugasi pada 5000 rpm, 4oC, selama 10 menit. Supernatan disimpan pada 28oC sampai saat akan dianalisis. Larutan standar dibuat dengan melarutkan SOD murni komersial sehingga menghasilkan beberapa konsentrasi larutan untuk pembuatan kurva standar. Pengukuran aktivitas enzim ini berlangsung pada suhu 25oC, larutan xantin oksidase harus tetap dalam keadaan dingin sebelum digunakan. Sebanyak 2.9 ml campuran larutan xantin dan sitokrom c dimasukkan dalam tabung reaksi 3 ml, ditambah 50 µl larutan baku (kontrol) atau sampel dan divorteks secara perlahan. Selanjutnya ditambah 50 µl larutan xantin oksidase dan divorteks secara perlahan. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada λ 550 nm. Untuk blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel dan sebagai kontrol digunakan aquades. Pengamatan Profil Cu,Zn-SOD pada (Imunohistokimia) (Wresdiyati et al. 2002)
Tubuli
Seminiferi
Testis
Organ testis dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%, difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Jaringan testis kemudian diproses dengan metode standar menggunakan parafin. Blok jaringan yang didapat dipotong ± 4 µm dan dilekatkan pada gelas obyek yang telah dilem dengan neofren, sehingga diperoleh potongan jaringan (sediaan). Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan Imunohistokimia terhadap potongan jaringan yang diperoleh (Lampiran 9). Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mengamati profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada sel spermatogenik tubuli seminiferi testis tikus. Keberadaan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD terlihat dengan produk reaksi warna coklat.
77 Intensitas warna coklat menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD. Semakin tua warna coklat, semakin banyak kandungan Cu,Zn-SOD. Sel yang tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif ditunjukkan dengan warna biru. Pengamatan dilakukan secara kuantitatif terhadap jumlah inti sel spermatosit dan spermatid awal pada berbagai tingkat kandungan Cu,Zn-SOD (positif kuat/+++, positif sedang/lemah ++/+, dan negatif/-). Pengamatan dilakukan pada sembilan tubuli seminiferi untuk tiap perlakuan. Analisis Data
Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Variasi Dosis Isoflavon terhadap Kadar MDA Testis, Aktivitas Superoksida Dismutase (SOD) Testis, dan Profil Cu,Zn-SOD Tubuli Seminiferi Testis Tikus Malonaldehida (MDA) merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal sehingga digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan indikator kerusakan oksidatif membran sel. Perbedaan nilai MDA terkait dengan proses oksidasi yang terjadi. Rerata nilai MDA testis akibat perbedaan perlakuan pada tikus jantan disajikan pada Gambar 6.1, sedangkan rerata aktivitas SOD testis disajikan pada Gambar 6.2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan kadar MDA diikuti dengan penurunan aktivitas antioksidan intrasel, sebaliknya penurunan kadar MDA memperlihatkan peningkatan aktivitas antioksidan intrasel. Pengukuran aktivitas enzim Superoksida Dismutase (SOD) testis tikus dilakukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung menggunakan metode spektrofotometri secara kuantitatif. Sebagai data pendukung, dilakukan pengamatan terhadap keberadaan dan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis tikus melalui produk reaksi yang berwarna coklat, yaitu pengamatan histologis dengan pewarnaan secara imunohistokimia. Intensitas dan distribusi warna coklat menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan tersebut.
78 Apabila warna coklat semakin tua dan semakin merata, berarti kandungan Cu,ZnSOD semakin banyak. Sel yang tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif ditunjukkan dengan warna biru. Fotomikrograf jaringan testis tikus perlakuan yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD pada Gambar 6.3.
MDA Testis (nmol/g)
3.00 2.50 2.00 1.50
b
a
b
Kontrol (0)
1.5
3
1.00
c
c
4.5
6
0.50 0.00
Perlakuan (Isoflavon mg/ekor/hari) Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kelima perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
Gambar 6.1. Kadar MDA testis tikus pada berbagai variasi dosis isoflavon
800.00
SOD Testis (U/g)
700.00 600.00 500.00 400.00 300.00
b
c
b
a
3
4.5
a
200.00 100.00 0.00 Kontrol (0)
1.5
6
Perlakuan (Isoflavon mg/ekor/hari)
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kelima perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
Gambar 6.2. Aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus pada berbagai variasi dosis isoflavon
79
K
IF-1.5
IF- 3
IF- 4.5
IF- 6
K I-1.5 I-3 I-4.5 I-6
= = = = =
Kontrol, cekok aquades isoflavon 1.5 mg/ekor/hari isoflavon 3 mg/ekor/hari isoflavon 4.5 mg/ekor/hari isoflavon 6 mg/ekor/hari
Gambar 6.3. Fotomikrograf jaringan testis tikus perlakuan yang diwarnai secara Imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD. Sel-sel yang terdeteksi mengandung Cu,Zn-SOD adalah sel spermatosit dan spermatid awal (coklat), sedangkan sel spermatogonia dan spermatid akhir tidak mengandung Cu,Zn-SOD (biru). Skala = 50 µm
80 Kandungan Cu,Zn-SOD diamati pada tahap spermatosit dan spermatid awal karena produk reaksi warna coklat lebih banyak terdistribusi pada tahap tersebut. Hal ini didukung oleh Yoganathan et al. (1989) diacu dalam Peltola et al. (1992), yang melaporkan bahwa pada tubuli seminiferi testis tikus, aktivitas SOD yang lebih tinggi ditemukan pada sel spermatosit dan spermatid awal. Sedangkan Bauche et al. (1994) melaporkan bahwa aktivitas enzim SOD pada spermatosit pachytene dan spermatid awal 38-56% lebih tinggi dibandingkan sel Sertoli dan sel Leydig. Dalam penelitian ini, hasil pengamatan terhadap sel spermatogonia dan spermatid akhir menunjukkan bahwa keduanya tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD atau bereaksi negatif, terlihat dengan distribusi warna biru secara merata pada kedua sel tersebut. Hasil perhitungan secara kuantitatif terhadap jumlah inti sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis pada berbagai tingkat kandungan Cu,Zn-SOD tersaji pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Profil kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus pada berbagai variasi dosis isoflavon Jumlah Sel Spermatosit dan Spermatid Awal Perlakuan
+++ Kontrol, cekok aquades Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari Isoflavon 3 mg/ekor/hari Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari Isoflavon 6 mg/ekor/hari
149.56±13.69 166.78± 6.92 151.78± 8.89 131.56± 7.20
++/+ b c b a a
71.11± 9.61 85.22± 9.24 49.22±14.46 32.44± 8.37
c d b a a
40.22±6.69 32.33±5.27 40.78±6.40 53.56±5.83
b a b c c
Spermatogonia
Spermatid Akhir
-
-
40.33±4.82 48.44±4.82 38.78±2.77 32.00±2.45
b c b a a
130.22±18.17 164.33±17.94 148.67±16.11 109.67±19.91
b c c a a
128.56± 7.09 31.22± 4.79 54.33±3.28 29.56±2.55 106.44±16.49 Angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05) +++ = positif kuat; ++/+ = positif sedang/lemah; - = negatif
Kadar MDA testis kelompok tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari paling rendah dibanding ketiga kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis isoflavon lebih tinggi. Penurunan radikal bebas dalam tubuh yang diperlihatkan dengan rendahnya kadar MDA testis kelompok tikus yang dicekok TKIRL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari (Gambar 6.1) dapat meningkatkan secara nyata aktivitas enzim SOD testis sebagai salah satu sistem antioksidan endogen dalam tubuh (Gambar 6.2). Peningkatan aktivitas enzim SOD testis kelompok tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari didukung oleh tingginya kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal pada tubuli seminiferi testis yang mengalami peningkatan sangat tajam dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 6.1), terlihat dari jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif kuat dan positif sedang/lemah paling tinggi secara nyata (p<0.05). Hal ini
81 menunjukkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari memberikan pengaruh yang paling baik terhadap kandungan Cu,Zn-SOD sel spermatosit dan spermatid awal pada tubuli seminiferi testis. Menurut Anderson & Graner (2000), testis merupakan subyek dari aksi isoflavon.
Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari, diduga
isoflavon bersifat antagonis, yaitu menghambat respon estrogen dengan bertindak sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan isoflavon ditentukan oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil (Amic et al. 2002). Peran isoflavon sebagai antioksidan diduga berlangsung melalui dua mekanisme, yaitu kemampuan sebagai donor ion hidrogen dan scavenger radikal bebas yang terbentuk selama peroksidasi lipid (Arora et al. 1998; Nijveldt et al. 2001). Rice-Evans et al. (1997) menyatakan bahwa struktur kimia flavonoid yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan ditentukan oleh susunan meta 5,7-dihidroksil pada cincin A, sedangkan sebagai senyawa pengkelat logam adalah gugus 4-okso pada cincin C. Konfigurasi grup hidroksi pada cincin B senyawa flavonoid dilaporkan berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Heim et al. 2002). Flavonoid mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas melalui mekanisme flavonoid untuk dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung. Flavonoid (flavonoid– OH) dapat beraksi sebagai scavenger radikal peroksil (ROO*) yang akan diregenerasi menjadi ROOH. Flavonoid juga dapat bertindak sebagai scavenger radikal hidroksil (OH*) yang akan diregenerasi menjadi H2O. Senyawa hasil regenerasi radikal peroksil dan radikal hidroksil bersifat lebih stabil, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk (flavonoid-O*) menjadi bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi (Arora et al. 1998; Nijveldt et al. 2001). Stabilitas radikal fenoksil dilaporkan Pokorny et al. (2001) akan mengurangi laju reaksi propagasi pada proses autooksidasi lipid. Dengan
peran
isoflavon
sebagai
antioksidan,
sel
testis
mampu
mempertahankan diri dari serangan oksidatif senyawa radikal bebas sehingga pembentukan MDA testis dapat dihambat.
Diduga, dosis IF 1.5 mg/ekor/hari
merupakan dosis isoflavon yang paling optimal dan efektif dalam menghambat peroksidasi lipid, di mana sel tidak mengalami kerusakan (tetap utuh) karena terlindung oleh antioksidan isoflavon. Sel yang normal mempunyai sejumlah enzim pertahanan yang beraksi sebagai antioksidan endogen untuk mendetoksifikasi radikal bebas yang berbahaya dan mencegah kerusakan sel. Potensi pertahanan spermatozoa secara normal adalah cukupnya sistem pertahanan enzim antioksidan endogen. Apabila terbentuk radikal bebas dalam jumlah berlebihan, enzim-enzim
82 yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya (Sikka et al. 1995; Halliwell & Gutteridge 1999). Enzim
Cu,Zn-superoksida
dismutase
(Cu,Zn-SOD)
telah
dilaporkan
berperan sebagai garis pertahanan pertama terhadap aktivasi dan toksisitas senyawa
spesies
oksigen
reaktif
(ROS)
melalui
dismutasi
radikal
anion
superoksida, serta merupakan pertahanan utama dari spermatozoa yang aktivitasnya berkorelasi kuat dengan kemampuan sel untuk menghambat produk akhir hasil peroksidasi lipid (Alvarez & Storey 1982; Oteiza et al. 1995). Terhambatnya pembentukan MDA testis mengakibatkan meningkatnya status pertahanan antioksidan endogen, sehingga aktivitas enzim SOD serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal dipertahankan tetap tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis isoflavon paling rendah (1.5 mg/ekor/hari) memberikan pengaruh yang paling menguntungkan terhadap eliminasi radikal bebas. Hal ini didukung oleh pendapat Sikka (2004), bahwa antioksidan eksogen yang dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas akan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan endogen dalam tubuh sehingga mampu mengurangi terbentuknya kondisi stres oksidatif akibat berlebihnya pembentukan radikal bebas. Tidak terlihat adanya perbedaan pada kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari dengan kelompok kontrol (K) yang mendapat cekok aquades terhadap ketiga parameter pengujian. Hasil ini memperlihatkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kadar MDA testis, aktivitas SOD testis, serta kandungan Cu,ZnSOD sel spermatosit dan spermatid awal pada tubuli seminiferi testis. Kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF lebih tinggi (4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari) memperlihatkan pengaruh negatif yang diperlihatkan dengan tingginya kadar MDA testis sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Diduga, pada dosis 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari, isoflavon bersifat sebagai estrogen agonis dengan memacu/menstimulasi respon estrogen sehingga pada
dosis
tersebut
isoflavon
berpotensi
menimbulkan
gangguan
dan
mengakibatkan kerusakan oksidatif pada jaringan testis. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari tidak mampu menghambat berlanjutnya proses peroksidasi lipid. Kerusakan oksidatif dapat terus terjadi apabila ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan terus berlanjut. Menurut Taylor et al. (1988) dan Sikka (2004), ketidakseimbangan terjadi apabila pembentukan radikal bebas lebih tinggi dibandingkan sistem pertahanan antioksidan, sistem pertahanan antioksidan tidak mampu mendetoksifikasi terjadinya perubahan oleh radikal bebas
83 secara terus menerus, atau ketika proses detoksifikasi menurun. Adanya ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan mengakibatkan status pertahanan antioksidan intrasel kedua kelompok tersebut tidak mampu atau tidak mencukupi untuk menangkal reaktivitas dan berlebihnya pembentukan radikal bebas, sehingga menurunkan sistem pertahanan enzim SOD intrasel. Penurunan
kemampuan
antioksidan
SOD
intrasel
menyebabkan
berkurangnya eliminasi senyawa ROS yang bertanggung jawab terhadap kerusakan sel DNA dan protein spermatozoa, serta terbentuknya proses peroksidasi lipid. Kekacauan sistem pertahanan antioksidan tersebut selanjutnya menyebabkan peroksidasi membran fosfolipid oleh radikal bebas. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran oleh akumulasi peroksidasi lipid sehingga mengganggu motilitas spermatozoa.
Hal ini sejalan
dengan pendapat Rajasekaran et al. (1995), bahwa penurunan aktivitas SOD akan mempengaruhi kemampuan pertahanan terhadap senyawa ROS sehingga menyebabkan kerusakan spermatozoa. Reaktivitas tinggi dari radikal bebas dilaporkan menyebabkan pengaruh toksik pada membran plasma spermatozoa (Griveau et al. 1995), serta jaringan yang memproduksi spermatozoa (Sikka 2004). Karena radikal bebas dapat bereaksi dengan komponen-komponen membran, terjadinya kerusakan diduga tidak hanya berlangsung pada membran plasma, tetapi juga pada bagian internal sel. Akibat peningkatan peroksidasi lipid tersebut, metabolisme sel tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa peneliti bahwa terbentuknya peroksida lipid pada membran sel yang terjadi akibat reaksi berantai antara radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan perubahan struktur membran sel sehingga mengubah kestabilan dan fungsi membran (Griveau et al. 1995; de Lamirande et al. 1997; Sanocka & Kurpisz 2004). Pengaruh patologis akibat berlebihnya senyawa ROS sebagian besar disebabkan oleh konversi anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan diinisiasi oleh peroksidasi lipid. Peningkatan peroksidasi lipid pada kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari menunjukkan bahwa komponen membran sel testis kedua kelompok tersebut bersifat lebih rentan terhadap reaksi oksidasi sehingga tidak mampu mencegah dan menghambat reaktivitas senyawa radikal bebas dalam tubuh, dan berakibat terhadap peningkatan kerusakan membran sel testis, atau kerusakan membran plasma spermatozoa.
84 KESIMPULAN Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada tikus jantan dengan dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis isoflavon optimum yang mengakibatkan : 1. terhambatnya pembentukan peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan menurunnya kadar MDA testis, 2. aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi, 3. meningkatnya kandungan Cu,Zn-SOD tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal secara imunohistokimia.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Alvarez JG, Touchstone JC, Blasco L, Storey BT. 1987. Spontaneous lipid peroxidation and production of hydrogen peroxide and superoxide in human spermatozoa : superoxide dismutase as major enzyme protectant against oxygen toxixity. J Androl 8:338-348 Amic D, Beslo D, Trinajstic N. 2003. Structure-radical scavenging activity relationship of flavonoids. Croat Chem Acta 76(1):56-61 Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. Di dalam : Schmidl MK & Labuza TP, editor. Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. hlm. 239-266 Arora A, Nair MG, Strasburg GM. 1998. Structure – activity relationships for antioxidant activities of a series of flavonoids in a liposomal system. Free Radic Biol & Med 24(9):1355-363 Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E. Majalah Kedokteran Bandung (In press). Publikasi pada volume 40 (2) Edisi Juli 2008. Bauche F, Fouchard MH, Jegou B. 1994. Antioxidant system in rat testicular cells. FEBS Lett 349:392-396 de Lamirande E, Jiang H, Zini A, Kodama H, Gagnon C. 1997. Reactive oxygen species and sperm physiology. Rev Reprod 2:48-54 Griveau JF, Dumont E, Renard P, Callegari JP, Le Lannou D. 1995. Reactive oxygen species, lipid peroxidation and enzymatic defence systems in human spermatozoa. J Reprod Fertil 103:17-26 Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. Third Edition. Oxford University Press, Inc., New York.
85 Heim KE, Tagliaferro AR, Bobilya DJ. 2002. Flavonoid : chemistry, metabolism and structure-activity relationship. J Nutr Biochem 13:572-584 Helferich WG, Allred CD, Ju Young-Hwa. 2001. Dietary Estrogens and Antiestrogens. Di dalam : Helferich W & Winter CK, editor. Food Toxicology. CRC Press, Boca Raton. hlm. 37-55 Indiana Soybean Board. 1998. Isoflavone Concentration in Soy http://www.soyfood.com/nutrition/isoflavoneconcentration.html.
Foods.
Miksicek RJ. 1994. Interaction of naturally occurring nonsteroidal estrogens with expressed recombinant human estrogen receptor. J Steroid Biochem Molec Biol 49:153-160 Mc Cord J, Fridovich I. 1969. Di dalam : Kartikawati D. 1999. Studi Pengaruh Protektif Vitamin C dan Vitamin E terhadap Respon Imun dan Enzim Antioksidan pada Mencit yang Dipapar Paraquat [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nebot C et al. 1993. Spectrophotometric assay of superoxide dismutase activity based on the activated autooxidation of a tetracyclic cathecol. Anal Biochem 214:442-451 Nijveldt RJ, et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Oteiza PI, Olin KL, Fraga CG, Keen CL. 1995. Zinc deficiency causes oxidative damage to proteins, lipids and DNA in rat testes. J Nutr 125:823-929. Peltola V, Huhtaniemi I, Ahotupa M. 1992. Antioxidant enzyme activity in the maturing rat testis. J Androl 13(5):450-455 Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2001. Antioxidant in Food. CRC Press, Boca Raton, USA. Rajasekaran M, Hellstrom WJ, Naz RK, Sikka SC. 1995. Oxidative stress and interleukins in seminal plasma during leuckocytospermia. Fertil Steril 64:166-171 Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 1997. Antioxidant properties of phenolic compounds. Trends in Plant Sci 2:152-159 Saija A et al. 1995. Flavonoids as antioxidant agents : importance of their interaction with biomembranes. Free Radic Biol & Med 19(4):481-486 Sanocka D, Kurpisz M. 2004. Reactive oxygen species and sperm cells. Reprod Biol Endocrinol 2:12. Sikka SC, Rajasekaran M, Hellstrom WJG. 1995. Role of oxidative stress and antioxidants in male infertility. J Androl 16(6):464-468 Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18
86 Singh RP, Murthy KNC, Jayaprakasha GK. 2002. Studies on the antioxidant activity of pomegranate (Punica granatum) peel and seed extracts using in vitro model. J Agric Food Chem 50:81-86 Taylor CG, Bettger WJ, Bray TM. 1988. Effect of dietary zinc or copper deficiency on the primary free radical defense system in rats. J Nutr 118:613-621. Toda S, Shirataki Y. 1999. Inhibitory effect of isoflavones on lipid peroxidation by reactive oxygen species. Phytother Res 13:163-165 Wresdiyati T, Mamba K, Adnyane IKM, Aisyah US. 2002. The effect of stress condition on the intracellular antioxidant copper, zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in the rat kidney : an immunohistochemical study. Hayati 9(3):85-88.
87 KUALITAS SPERMATOZOA TIKUS JANTAN YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON (The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour on the Quality of Spermatozoa of Male Rats) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap kualitas spermatozoa tikus jantan. Ransum basal kasein diberikan secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 10%. Dua puluh lima ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam lima kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon secara oral dengan berbagai tingkatan dosis isoflavon. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Tikus betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) digunakan untuk mengobservasi fertilitas tikus jantan dan mendapat ransum basal kasein dengan kadar protein ransum sebesar 10%. Angka konsepsi dan jumlah fetus dievaluasi pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis tidak berpengaruh terhadap abnormalitas spermatozoa. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon tertinggi (6 mg/ekor/hari) mengakibatkan kasus infertilitas pada tikus jantan (angka kopulasi pada tikus betina sebesar 100%, namun angka konsepsi sebesar 0%). Dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis optimum yang mengakibatkan : meningkatnya berat testis, motilitas spermatozoa dan konsentrasi spermatozoa. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan : berat relatif testis 0.5894±0.03%, motilitas spermatozoa 77.5±2.50%, konsentrasi spermatozoa 1393.75±30.62 juta/ml, dan butiran sitoplasma 8.92±1.08%. Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina masing-masing sebesar 100% dan 10.2±0.45. Disimpulkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari dapat meningkatkan kualitas spermatozoa tikus jantan. Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, kualitas spermatozoa
ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the effects of isoflavoneriched soybean flour with different levels of isoflavone on the quality of spermatozoa of male rats. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 10% of dietary protein from casein. Twenty five male of Sprague Dawley weaning rats (21 days old) were divided into five groups and treated with isoflavone-riched soybean flour by oral administration with different levels (dosage). The treatment was conducted for 2 months. Conception rate and the number of fetus were evaluated on the mated-female rats. Result indicated that the treatment didn’t affect significantly on spermatozoa abnormality. The treatment of isoflavone-riched soybean flour on male rats with highest dosage (6 mg isoflavone/day) resulted in infertility (copulation rate and conception rate on female rats were 100% and 0%, respectively). The optimum dosage of isoflavone was 1.5 mg/day and resulted in increase of relative of weight testes, higher motility rate and sperm concentration of rat testes. The treatment of isoflavone-riched soybean flour with 1.5 mg isoflavone/day on male rats resulted in relative of weight testes of 0.59±0.03%, motility rate of 77.5±2.50%, sperm concentration of 1393.75±30.62 million/ml, and cytoplasmic droplete of 8.92±1.08%. Conception rate and the number of fetus on female rats were 100% and 10.2±0.45 of fetus, respectively. It was concluded that treatment isoflavone-
88 riched soybean flour with 1.5 mg/day dosage of isoflavone improved the quality of spermatozoa of male rats. Key words : isoflavone-riched soybean flour, quality of spermatozoa PENDAHULUAN
Radikal bebas dibentuk oleh metabolisme xenobiotik atau metabolisme sel aerob secara normal. Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah radikal bebas yang memainkan peran penting pada beberapa proses fisiologis spermatozoa seperti kapasitasi, hiperaktivasi, reaksi akrosom, dan fusi dengan oosit (Agarwal et al. 2005). Spermatozoa membutuhkan ROS pada level rendah untuk menginduksi proses kapasitasi dan reaksi akrosom (Sikka 2004), serta berikatan dengan zona pelusida (Sanocka & Kurpisz 2004) sehingga dapat berlangsung proses fertilisasi. Pembentukan ROS menginduksi peroksidasi lipid yang bersifat sitotoksik akibat inisiasi suatu reaksi rantai ke dalam membran, diikuti dengan reaksi propagasi sehingga secara keseluruhan akan mengakibatkan kerusakan sel (Saleh & Agarwal 2002; Sikka 2004). Pembentukan ROS yang berlebihan akan memicu stres oksidatif,
berpotensi mengakibatkan pengaruh toksik, dan merupakan
mediator penting terhadap berkurangnya fungsi dan kualitas spermatozoa (Aitken & Clarkson 1987). Berlebihnya pembentukan ROS dihubungkan dengan penurunan motilitas, morfologi abnormal, penurunan kapasitas penetrasi spermatozoa dengan oosit, serta penurunan fertilitas (Potts et al. 1999). Spermatozoa memiliki sistem pertahanan enzimatik maupun non enzimatik untuk menetralkan pengaruh toksik senyawa ROS pada spermatozoa, sehingga ROS hanya terdapat dalam jumlah kecil yang diperlukan untuk menjaga fungsi spermatozoa tetap normal.
Sistem pertahanan radikal bebas baik enzimatik
maupun non enzimatik meliputi proteksi terhadap berbagai kompartemen sel antara lain mitokondria, retikulum endoplasma, peroksisom, sitoplasma dan membran sel. Pemeliharaan integritas sel tergantung pada keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dengan sistem pertahanan radikal bebas. Terjadinya kerusakan sel dihasilkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan ROS dan aktivitas pertahanan enzim antioksidan (scavenger). Terdapatnya radical scavenger diduga akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa (Sikka 2004). Bahan pangan alami yang mengandung antioksidan, yang berperan sebagai penangkap radikal bebas dilaporkan Sikka (2004) dapat menekan proses oksidasi, peroksidasi lipid dan kerusakan sel spermatozoa, serta mencegah kondisi stres oksidatif sehingga diduga dapat mengurangi kasus infertilitas. Di samping itu, konsumsi
89 bahan pangan alami yang mengandung antioksidan dilaporkan juga dapat meningkatkan status antioksidan. Kedelai dilaporkan memiliki senyawa bioaktif isoflavon (salah satu golongan flavonoid) yang bersifat sebagai antioksidan Nijveldt et al. (2001). Kedelai dikenal sebagai fitoestrogen karena struktur molekul isoflavon kedelai mirip dengan struktur molekul estrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen (Miksicek 1994).
Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti
kelenjar susu, ovari dan testis merupakan subyek dari aksi isoflavon (Anderson & Graner 2000). Mekanisme aksi biologis estrogen adalah kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen, atau bertindak sebagai estrogen antagonis yang dapat berikatan dengan RE namun menghambat respon estrogen (Helferich et al. 2001). Menurut Brzozowski et al. (1997), isoflavon bersifat antagonis ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon bersifat agonis ketika kadar estrogen rendah. Salah satu produk olahan kedelai yang dapat digunakan sebagai ingredient dalam bentuk kapsul atau tablet adalah tepung kedelai kaya isoflavon. Tepung kedelai kaya isoflavon mengandung kadar isoflavon sebesar 3%, dihasilkan dari biji kedelai tanpa proses kimia atau penambahan bahan tambahan pangan, serta mempunyai rasa dan aroma yang disukai (Indiana Soybean Board 1998). Pengaruh konsumsi isoflavon terhadap kualitas spermatozoa telah diteliti Mitchell et al. (2001). Dilaporkan bahwa pada pria umur 18-46 th, konsumsi isoflavon dengan dosis 40-70 mg/hari tidak mempengaruhi kualitas spermatozoa. Hasil penelitian Astuti (1999) menunjukkan bahwa pemberian pakan berbasis kedelai (tepung tempe) yang mengandung isoflavon 2.77 mg/ekor/hari selama 45 hari pada tikus jantan memberikan pengaruh positif terhadap kualitas spermatozoa. Hal tersebut ditandai dengan kecenderungan peningkatan motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa dan berat testis tikus. Atanassova et al. (2000) melaporkan perubahan berat testis, berkurangnya volume lumen pada tubuli seminiferi dan terganggunya spermatogenesis setelah tikus diberi genistein (salah satu bentuk isolat isoflavon murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat badan/hari. Mengingat pengaruh isoflavon terhadap fertilitas jantan masih menimbulkan kontroversi, dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian ini akan dikaji asupan antioksidan alami (isoflavon) yang terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis terhadap kualitas spermatozoa dengan menggunakan tikus jantan sebagai hewan model.
90 BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon
(TKI)
dari
perusahaan
SoyLife
Extra
ORFFA
BELGIUM
NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL. n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (TKI-RL) (Astuti et al. 2008). Untuk studi in vivo, digunakan tikus jantan dan betina strain Sprague Dawley (SD) umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Analisis kualitas spermatozoa menggunakan NaCl, eosin, nigrosin, giemsa dan metanol. Untuk mengetahui kondisi estrus dan mendeteksi ada tidaknya spermatozoa pada tikus betina digunakan NaCl, alkohol, metanol dan giemsa. Metode Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling Sebanyak 25 ekor tikus jantan dan 25 ekor tikus betina strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) terlebih dahulu diadaptasikan di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama 1 minggu. Ransum yang diberikan pada tikus jantan dan tikus betina adalah ransum basal kasein yang disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 10%, modifikasi AOAC (1990) dan diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus jantan dibagi dalam 5 kelompok, yaitu : (1) Kontrol, cekok aquades; (2) cekok TKI-RL dosis isoflavon (IF) 1.5 mg/ekor/hari; (3) cekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari; (4) cekok TKI-RL dosis IF 4.5 mg/ekor/hari; dan (5) cekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari. TKI-RL diberikan pada tikus jantan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung, dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades. Perlakuan diberikan selama 2 bulan. Pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo dilakukan berdasarkan pengukuran kandungan total senyawa isoflavon. Hasil analisis dengan HPLC terhadap TKI-RL menunjukkan adanya tiga komponen senyawa isoflavon yaitu daidzein, genistein, dan glisitein dengan kandungan total senyawa isoflavon sebesar 2.22 g/100 g bb (Astuti et al. 2008). Ransum yang dikonsumsi ditimbang setiap hari, sedangkan berat badan tikus jantan ditimbang 2 hari sekali.
91 Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut : KOMPOSISI BAHAN Kasein (g) Minyak jagung (g) Mineral mix (g) ZnSO4.7H2O (mg) Vitamin mix Fitkom (g) Asam folat (mg) Vitamin K (mg) Vitamin E (mg) Selulosa Air Pati Jumlah
0 (Kontrol) 11.09 7.92 4.43
Perlakuan Isoflavon (mg/ekor/hari) 1.5 3 4.5 11.09 11.09 11.09 7.92 7.92 7.92 4.43 4.43 4.43
6 11.09 7.92 4.43
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
Setelah 2 bulan perlakuan, tikus jantan digabung dengan tikus betina (1:1). Setiap pagi terhadap tikus betina dilakukan usap vagina dengan teknik pewarnaan Giemsa untuk mengetahui kondisi estrus dan mendeteksi ada tidaknya spermatozoa. Setelah terdeteksi adanya spermatozoa pada vagina tikus betina (dihitung sebagai H1 kebuntingan), tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap berat testis. Kualitas spermatozoa diamati dari bagian cauda epididimis. Tikus betina dikorbankan pada umur kebuntingan 15 hari (H15) untuk pengamatan terhadap angka konsepsi dan jumlah fetus. Berat Relatif Testis (%) Pengukuran berat relatif testis tikus dilakukan terhadap berat badan tikus [berat testis (g)/berat badan (g) x 100%]. Motilitas Spermatozoa (Partodiharjo 1992) Sperma tikus jantan diambil dari bagian kauda epididimis dengan disayat dan dipencet perlahan. Satu tetes sperma ditempatkan pada gelas obyek, ditambah satu tetes larutan NaCl fisiologis 0.9%, dicampur merata menggunakan satu batang gelas steril, dan ditutup gelas penutup. Persentase spermatozoa motil dihitung dalam satu luasan bidang pandang menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 400x dengan menaksir spermatozoa yang bergerak progresif dari keseluruhan lapangan pandang dan daerah taksir, kemudian dikali 100%.
92 Konsentrasi Spermatozoa (Partodiharjo 1992) Perhitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan slide hemositometer. Caranya, pipet eritrosit diisi dengan sperma yang belum diencerkan sampai tanda 0.5. Selanjutnya, larutan eosin 0.2% dihisap sampai tanda 101 pada pipet eritrosit. Campuran dikocok hati-hati tetapi cukup cepat menurut angka 8 selama 2-3 menit. Beberapa tetes dibuang dan dikocok lagi, beberapa tetes dibuang lagi, kemudian satu tetes ditempatkan dibawah gelas penutup (slide) hemositometer pada ketebalan 0.1 mm. Konsentrasi spermatozoa selanjutnya dihitung pada kamar hitung Neubauer. Sel-sel spermatozoa dalam kamar dihitung menurut arah diagonal (5 kamar). Karena setiap kamar mempunyai 16 ruang kecil, maka dalam kamar terdapat 80 ruang kecil. Seluruh gelas hemositometer memiliki 400 ruangan kecil. Volume setiap ruangan kecil adalah 0.1 mm3. Pengenceran 200 kali (101/0.5). Jika dalam 5 kamar atau 80 ruang kecil terdapat Z spermatozoa, maka konsentrasi spermatozoa yang diperiksa adalah : Z x 400 x 10 x 200 = 10000 = Z x 0.01 juta spermatozoa per mm3 80 atau: Z x 10 juta sperma per ml = Z x 107spermatozoa/ml Morfologi Abnormalitas Spermatozoa (Partodiharjo 1992) Satu tetes suspensi sperma dibuat sediaan ulas, difiksasi dengan metanol dan diwarnai dengan giemsa. Pemeriksaan morfologi abnormalitas spermatozoa dilakukan berdasarkan jumlah spermatozoa normal dan abnormal. Abnormalitas spermatozoa =
Σ spermatozoa abnormal
x 100%
Σ spermatozoa abnormal + normal Angka Konsepsi dan Jumlah Fetus pada Tikus Betina Terjadinya kopulasi diamati dengan terdeteksinya spermatozoa pada vagina tikus betina dan dihitung sebagai hari pertama kebuntingan. Pada umur kebuntingan 15 hari (H15), tikus betina dikorbankan. Jumlah tikus betina bunting (dalam persen) dinyatakan sebagai angka kebuntingan (angka konsepsi), serta dilakukan penghitungan terhadap jumlah fetus pada uterus kiri dan kanan. Analisis Data Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
93 HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus Selama Perlakuan Tikus jantan mengalami pertumbuhan berat badan selama masa perlakuan yaitu sebesar 3.66, 3.60, 4.10, 4.10 dan 4.29 g/hari berturut-turut untuk kelompok kontrol, serta cekok TKI-RL pada dosis IF1.5, 3, 4.5, dan 6 mg/ekor/hari (Gambar 7.1). Jumlah pakan yang dikonsumsi berturut-turut untuk kelompok kontrol, cekok TKI-RL pada dosis IF 1.5, 3, 4.5, dan 6 mg/ekor/hari adalah 12.66, 12.29, 12.84, 14.55 dan 14.87 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwa tikus dalam kondisi sehat selama perlakuan. Secara umum, nampak bahwa peningkatan berat badan berlangsung secara normal, di mana berat badan kelima kelompok tikus meningkat sampai akhir penelitian. Karakteristik fisik yang diperlihatkan oleh kelima perlakuan tidak berbeda, di mana bulu tumbuh dengan baik, tidak terlihat adanya lesi pada kulit, dan aktivitas gerak yang lincah. 300 250
gram
200 150 100 50 0 1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
Perlakuan hari ke-
Kontrol
Isoflavon 1.5 mg/hari
Isoflavon 4.5 mg/hari
Isoflavon 6 mg/hari
Isoflavon 3 mg/hari
Gambar 7.1. Berat badan tikus jantan pada berbagai variasi dosis isoflavon Pengaruh Variasi Dosis Isoflavon terhadap Kualitas Spermatozoa Secara keseluruhan, kualitas spermatozoa akibat perlakuan variasi dosis isoflavon meliputi motilitas, konsentrasi, abnormalitas spermatozoa, butiran sitoplasma, serta berat relatif testis tikus jantan tersaji pada Tabel 7.1.
94 Tabel 7.1. Rataan kualitas spermatozoa tikus setelah 2 bulan perlakuan Perlakuan
Motilitas Spermatozoa (%)
Kontrol, cekok aquades
72.5 ± 1.77
Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari
77.5 ± 2.50
Isoflavon 3 mg/ekor/hari
63.0 ± 4.11
Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari
55.0 ± 3.54
Isoflavon 6 mg/ekor/hari
52.0 ± 2.74
c
d
b
a
a
Konsentrasi Spermatozoa (juta/ml) 1256.90 ± 18.53 1393.75 ± 30.62 1238.00 ± 19.72 1113.75 ± 31.68 1078.88 ± 45.83
b
c
b
a
a
Abnormalitas Spermatozoa (%) 9.02 ± 2.01 8.99 ± 1.29 9.07 ± 1.23 10.22 ± 0.94 10.62 ± 0.99
Butiran Sitoplasma (%) a
a
a
a
a
a
10.00 ± 0.83
a
8.92 ± 1.08 10.82 ± 0.64 29.20 ± 4.82
a
b
63.52 ±10.07
c
Berat Relatif Testis (%) 0.5513 ± 0.02 0.5894 ± 0.03 0.5396 ± 0.02 0.4925 ± 0.03 0.4697 ± 0.04
b
c
b
a
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
Motilitas Spermatozoa Kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hr menghasilkan motilitas spermatozoa yang paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lain, motilitas spermatozoa kelompok kontrol lebih tinggi dibanding kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 3 mg/ekor/hr, sedangkan motilitas spermatozoa terendah dihasilkan kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hr (Tabel 7.1). Tingginya motilitas spermatozoa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF paling rendah (1.5 mg/ekor/hari), diduga isoflavon bersifat antagonis, yaitu menghambat respon estrogen dengan bertindak sebagai antioksidan sehingga menghambat terjadinya proses peroksidasi lipid. Diduga, membran plasma spermatozoa yang terlindung oleh antioksidan isoflavon dan utuh mampu mengatur keluar masuk substrat dan elektrolit dengan baik, sehingga proses metabolisme seperti glikolisis dapat berlangsung dengan baik. Proses metabolisme ini menghasilkan ATP yang mengandung energi sehingga motilitas spermatozoa dipertahankan tetap tinggi. Metabolisme dapat berlangsung dan menghasilkan ATP sebagai sumber energi apabila keutuhan membran plasma terjamin pada spermatozoa yang hidup. Nijveldt et al. (2001) menyatakan bahwa mekanisme kerja isoflavon sebagai antioksidan adalah memiliki kemampuan sebagai donor ion hidrogen, dan dengan menangkap radikal bebas (free radical scavenger) secara langsung. Awalnya, flavonoid teroksidasi oleh radikal, kemudian berubah menjadi stabil karena bereaksi dengan radikal isoflavon lain sehingga merupakan senyawa radikal yang kurang reaktif. diredam.
Dengan demikian, reaktivitas radikal bebas dapat
95 Motilitas spermatozoa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari lebih tinggi dibanding kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari, namun lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Diduga, dosis IF 3 mg/ekor/hari masih terdapat pada konsentrasi yang tidak terlalu tinggi sehingga belum memberikan pengaruh negatif berupa gangguan terhadap pergerakan spermatozoa mengingat kelompok yang dicekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari menghasilkan motilitas spermatozoa lebih tinggi dari 60%.
Menurut Iwasaki & Gagnon (1992),
spermatozoa dengan motilitas lebih dari 60% tergolong pada kategori normal. Dilaporkan bahwa jika motilitas lebih dari 60%, pembentukan senyawa spesies oksigen reaktif (ROS) akan menurun, sehingga diduga bahwa spermatozoa immotil mempunyai peluang yang lebih besar untuk memproduksi ROS daripada spermatozoa yang lebih motil. Namun, motilitas spermatozoa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari lebih rendah dibanding kontrol yang tidak mendapat perlakuan cekok TKI-RL. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol memberikan motilitas spermatozoa lebih baik dibanding kelompok yang dicekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari. Motilitas spermatozoa terendah dihasilkan oleh kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari. Pada kedua dosis tersebut, diduga isoflavon bersifat sebagai estrogen agonis dengan menstimulasi respon estrogen sehingga berpotensi menimbulkan gangguan yang mengakibatkan rusaknya struktur membran plasma mitokondria spermatozoa akibat proses oksidasi radikal bebas sehingga meningkatkan
terjadinya
peroksidasi
lipid.
Terbentuknya
peroksidasi
lipid
dilaporkan berhubungan dengan peningkatan pembentukan radikal bebas dan berkorelasi dengan penurunan motilitas spermatozoa (Iwasaki & Gagnon 1992), penurunan fosforilasi protein pada aksonem dan berkurangnya ATP intrasel (Villegas et al. 2003). Mitokondria sebagai pusat respirasi adalah organel sel spermatozoa yang memproduksi energi dalam bentuk ATP (Agarwal et al. 2005). Tingginya pembentukan radikal bebas dilaporkan menghambat mekanisme seluler seperti respirasi mitokondria (de Lamirande & Gagnon 1992). Kerusakan struktur membran plasma mitokondria spermatozoa menyebabkan terganggunya integritas dan fluiditas membran serta permeabilitas membran untuk mengatur lalu lintas masuk dan keluar substrat dan elektrolit yang dibutuhkan dalam proses metabolisme spermatozoa.
Proses metabolisme spermatozoa yang terganggu menyebabkan
menurunnya produksi energi berupa ATP intraseluler dan kerusakan aksonem sehingga akhirnya menurunkan persentase motilitas spermatozoa. Hal ini didukung oleh pendapat Storey (1997) bahwa kerusakan membran spermatozoa menyebabkan hilangnya aktivitas respirasi dan fruktolisis pada sel spermatozoa
96 sehingga mengubah permeabilitas membran akibat hilangnya enzim yang dibutuhkan ATP untuk pergerakan ekor. Asmarinah (2005) menyatakan bahwa terhambatnya
pelepasan
ATP
ke
bagian
aksonem
mengakibatkan
tidak
terpenuhinya atau berkurangnya kebutuhan energi untuk menggerakkan ekor, dan selanjutnya mengakibatkan spermatozoa tidak dapat bergerak cepat atau tidak bergerak sama sekali. Dalam hal ini, pada kondisi tidak tercukupinya energi akibat terganggunya zat-zat yang berperan sebagai sumber energi, maka daya tahan spermatozoa akan menurun dan menyebabkan kematian.
Konsentrasi Spermatozoa Kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hr menghasilkan konsentrasi spermatozoa yang paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lain. Tidak terlihat adanya perbedaan konsentrasi spermatozoa kelompok kontrol dan kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 3 mg/ekor/hr, sedangkan konsentrasi spermatozoa terendah dihasilkan kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4 dan 6 mg/ekor/hr (Tabel 7.1). Tingginya konsentrasi spermatozoa pada kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF paling rendah (1.5 mg/ekor/hari), diduga karena sifat isoflavon sebagai estrogen antagonis yang berperan sebagai antioksidan pada dosis tersebut bekerja paling efektif dan optimal, yang mengakibatkan sel testis sebagai organ pembentuk spermatozoa terlindungi dan tidak mengalami kerusakan (tetap utuh)
karena
terlindung
oleh
antioksidan
isoflavon
sehingga
mampu
mempertahankan diri dari serangan oksidatif senyawa radikal bebas. Akibatnya, reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel testis dapat dihambat dan akumulasi radikal bebas dapat dicegah. Dengan terlindungnya sel testis dari proses oksidasi, maka diduga proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu sehingga dihasilkan konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi. Konsentrasi spermatozoa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak berbeda dengan kelompok kontrol yang mendapat cekok aquades. Hasil ini memperlihatkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap konsentrasi spermatozoa, baik pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan konsentrasi spermatozoa. Perlakuan cekok TKI-RL dengan dosis IF yang lebih tinggi, yaitu 4.5 dan 6 mg/ekor/hari menghasilkan konsentrasi spermatozoa yang paling rendah, diduga terjadi akibat sifat estrogen agonis yang memacu respon estrogen sehingga berpotensi menimbulkan gangguan. Jaringan reproduksi pada hewan jantan
97 dilaporkan Anderson & Graner (2000) merupakan subyek dari aksi isoflavon. Diduga, cekok TKI-RL pada kedua dosis tersebut mengakibatkan membran sel testis sebagai organ pembentuk spermatozoa mengalami kerusakan (tidak utuh) sehingga terbentuk proses peroksidasi lipid yang berkepanjangan. Sanocka & Kurpisz (2004) menyatakan bahwa tingginya hasil peroksidasi lipid dapat mengganggu proses spermatogenesis, bahkan pada kondisi yang ekstrim
dilaporkan
mengakibatkan kasus infertilitas. Proses oksidasi pada membran sel testis yang tidak dapat dicegah diduga mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis dan terganggunya produksi spermatozoa, sehingga menyebabkan berkurangnya konsentrasi spermatozoa.
Abnormalitas Spermatozoa dan Butiran Sitoplasma Kisaran abnormalitas spermatozoa akibat perlakuan variasi dosis isoflavon antara 8.99 - 10.62%. Tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan (p>0.05) terhadap abnormalitas spermatozoa (Tabel 7.1). Menurut Toelihere (1985), spermatozoa yang mengalami kelainan morfologi kurang dari 20% masih dianggap normal. Mengacu pada kriteria tersebut, keempat kelompok yang mendapat perlakuan cekok TKI-RL pada berbagai dosis dan satu kelompok kontrol yang dicekok aquades memiliki spermatozoa pada kategori normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 6 mg/ekor/hari menghasilkan butiran sitoplasma paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lain. Tidak terlihat adanya perbedaan butiran sitoplasma pada kelompok kontrol dengan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis 1.5 dan 3 mg/ekor/hari, namun butiran sitoplasma ketiganya lebih rendah dibanding kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis 4.5 mg/ekor/hari (Tabel 7.1). Proses pematangan (maturasi) spermatozoa merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh kualitas spermatozoa yang baik. Proses pematangan ditandai dengan adanya pergeseran butiran sitoplasma (cytoplasmic droplet) dari pangkal kepala / bagian leher spermatozoa (proximal droplet) ke ujung bawah bagian tengah spermatozoa (distal droplet), kemudian terlepas atau hilang sama sekali
(Hafez & Hafez 2000). Proses pematangan spermatozoa yang tidak
sempurna diperlihatkan dengan ditemukan butiran sitoplasma dalam jumlah banyak pada semen hasil ejakulat (Senger 1999). Hubungan antara rendahnya kualitas spermatozoa dan peningkatan pembentukan senyawa ROS ditentukan oleh berlebihnya keberadaan residu/butiran sitoplasma (Sikka 2004). Residu sitoplasma pada spermatozoa berkorelasi positif dengan pembentukan ROS (Saleh & Agarwal 2002), dan menyebabkan gangguan spermatogenesis (Taylor 2001).
98 Butiran sitoplasma kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 dan 3 mg/ekor/hari tidak berbeda dengan kelompok kontrol. Hasil ini memperlihatkan bahwa perlakuan cekok TKI-RL pada kedua dosis tersebut tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap retensi butiran sitoplasma. Namun pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF paling tinggi (6 mg/ekor/hari) ditemukan butiran sitoplasma dalam jumlah yang jauh lebih tinggi. Diduga, tingginya butiran sitoplasma pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 6 mg/ekor/hari berhubungan dengan terhambatnya proses pematangan spermatozoa, sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap fertilitas. Di samping itu, sifat estrogen agonis akibat pemberian isoflavon pada dosis yang paling tinggi tersebut diduga berpotensi untuk menimbulkan gangguan pada organ reproduksi hewan jantan. Adanya gangguan terhadap proses spermatogenesis kelompok tersebut diperlihatkan dengan tingginya pembentukan butiran sitoplasma pada bagian distal droplet. Dalam penelitian ini, spermatozoa tikus perlakuan diambil dari bagian cauda epididimis. Ditemukannya butiran sitoplasma dalam jumlah lebih banyak pada bagian distal droplet sejalan dengan pendapat Senger (1999), bahwa distal droplet lebih banyak ditemukan pada spermatozoa yang berasal dari bagian corpus dan cauda epididimis. Akibat terganggunya proses spermatogenesis, mekanisme pelepasan butiran sitoplasma menjadi terganggu sehingga spermatozoa akan dilepaskan dari epitel sel benih dengan membawa kelebihan residu sitoplasma. Pada kondisi seperti ini, spermatozoa yang dilepaskan selama spermiasi diduga menjadi tidak matang (immature), sehingga fungsi spermatozoa menjadi terganggu dan akan mempengaruhi fertilitasnya. Menurut Aitken (1999) diacu dalam Saleh & Agarwal (2002), retensi residu sitoplasma pada spermatozoa berkorelasi positif dengan pembentukan senyawa ROS melalui suatu mekanisme yang diperantarai oleh enzim sitosol glucose-6-phosphat-dehydrogenase (G6PD). Apabila aktivitas enzim G6PD inaktif, ketersediaan NADPH untuk produksi energi dalam sel akan berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan ATP. Terhambatnya ATP berpotensi meningkatkan proses peroksidasi lipid membran spermatozoa (Griveau et al. 1995; Tremellen 2008).
Berat Relatif Testis Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan berat relatif testis yang paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lain. Berat relatif testis kelompok kontrol tidak berbeda dengan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari, sedangkan berat
99 relatif testis terendah dihasilkan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari (Tabel 7.1). Berat relatif testis tertinggi dihasilkan oleh kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis paling rendah (1.5 mg/ekor/hari) mampu meningkatkan berat testis dan memberikan pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan berat testis. Pertumbuhan testis sebagian besar terjadi karena peningkatan jumlah sel benih (germ) (Peltola et al. 1992). Berat testis berhubungan dengan konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan (Salisbury & VanDemark 1985), sedangkan peningkatan konsentrasi spermatozoa dilaporkan Cook et al. (1994) sejalan dengan peningkatan berat testis. Pernyataan tersebut mendukung hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana dosis IF 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan berat relatif testis dan konsentrasi spermatozoa tertinggi. Tingginya berat relatif testis tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF .5 mg/ekor/hari diduga karena sifat isoflavon sebagai estrogen antagonis yang berperan sebagai antioksidan (radical scavenger) pada dosis tersebut mampu bekerja paling efektif dan optimal sehingga kemungkinan mampu mencegah oksidasi bagian sel yang penting, atau mencegah terbentuknya hasil peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada jaringan yang memproduksi spermatozoa. Eliminasi radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa oleh aksi isoflavon
menyebabkan
berlangsungnya
proses
perkembangan
testis
spermatogenesis
untuk
sebagai
tempat
memproduksi
utama
spermatozoa
menjadi tidak terhambat. Berat relatif testis kelompok yang dicekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak berbeda dengan kontrol. Hasil ini memperlihatkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap perkembangan berat testis, baik pengaruhnya terhadap peningkatan atau penghambatan berat testis. Pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF lebih tinggi, yaitu 4.5 dan 6 mg/ekor/hari dihasilkan berat relatif testis yang paling rendah. Diduga, isoflavon yang bersifat sebagai estrogen agonis pada dosis tersebut mengakibatkan terhambatnya dan terganggunya perkembangan berat testis. Penyusutan berat testis juga berhubungan dengan penyusutan dimensi tubuli seminiferi sebagai tempat utama berlangsungnya proses spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa (Fritz et al. 2003). Menurut Martin (1983), kecenderungan atropi testis pada mencit timbul jika genistein (salah satu bentuk isolat isoflavon murni) diberikan pada konsentrasi 9 mg/ekor/hari. Walaupun tidak diberikan dalam bentuk isolat isoflavon murni, dalam penelitian ini terbukti bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis
100 isoflavon yang semakin tinggi akan menghambat perkembangan testis dan menyebabkan atropi (pengecilan ukuran) testis dibanding kontrol. Angka Konsepsi dan Jumlah Fetus pada Tikus Betina Tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan kelompok kontrol, serta kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 1.5 dan 3 mg/ekor/hari mempunyai angka konsepsi sebesar 100% (5 bunting dari 5 ekor yang dikawinkan). Artinya, pada ke lima ekor tikus betina telah terdeteksi terjadi kopulasi dan hasil pengamatan terhadap kebuntingan menunjukkan hasil yang positif. Tikus betina yang dikawinkan dengan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari mempunyai angka konsepsi 60% (3 bunting dari 5 ekor yang dikawinkan). Sedangkan tikus betina yang dikawinkan dengan kelompok yang dicekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari mempunyai angka konsepsi 0% (tidak terjadi kebuntingan dari 5 ekor yang dikawinkan). Kelima kelompok tikus jantan menghasilkan angka kopulasi pada tikus betina masing-masing sebesar 100%, yang menunjukkan bahwa telah terjadi perkawinan/ terdeteksi adanya spermatozoa pada tikus betina (Tabel 7.2). Angka konsepsi 0% pada tikus betina menunjukkan bahwa pemberian TKIRL pada dosis IF paling tinggi (6 mg/ekor/hari) menyebabkan gangguan dan hambatan terhadap fertilitas tikus jantan. Walaupun melalui metode usap vagina telah terdeteksi adanya spermatozoa pada tikus betina (terjadi kopulasi), namun tidak terlihat adanya kebuntingan setelah dilakukan pengamatan kebuntingan pada hari ke-15 sejak terdeteksi terjadi kopulasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF paling tinggi (6 mg/ekor/hari) menyebabkan kasus infertilitas pada tikus jantan. Tabel 7.2. Angka konsepsi dan jumlah fetus pada tikus betina Perlakuan (Jantan)
Angka Kopulasi pada Tikus Betina (%)
Angka Konsepsi pada Tikus Betina (%)
Jumlah Fetus pada Tikus Betina (n = 5)
Kontrol, cekok aquades
100
100
10.20±0.84 a
Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari
100
100
10.20±0.45 a
Isoflavon 3 mg/ekor/hari
100
100
9.60±1.34 a
Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari
100
60
5.40±4.98 b
Isoflavon 6 mg/ekor/hari
100
0
0.00±0.00 b
Diduga aksi estrogen agonis pada dosis isoflavon tertinggi (6 mg/ekor/hari) menyebabkan rusaknya struktur membran plasma mitokondria spermatozoa akibat proses oksidasi oleh radikal bebas sehingga menurunkan fungsi dan kualitas
101 spermatozoa. Hal ini didukung data hasil rekapitulasi pada Tabel 7.1, yang menunjukkan bahwa pada kelompok tersebut : terjadi atropi testis sehingga menurunkan produksi spermatozoa; motilitas spermatozoa rendah sehingga mengganggu proses metabolisme spermatozoa akibat menurunnya produksi energi berupa ATP intraseluler dan kerusakan aksonem; konsentrasi spermatozoa rendah akibat terhambatnya proses spermatogenesis sehingga mengganggu produksi spermatozoa dan menyebabkan berkurangnya konsentrasi spermatozoa. Adanya gangguan terhadap proses spermatogenesis sehingga spermatozoa tidak matang juga terlihat dari tingginya pembentukan butiran sitoplasma di bagian distal droplet (Tabel 7.1), yang mengakibatkan terganggunya mekanisme pelepasan butiran sitoplasma sehingga spermatozoa akan dilepaskan dari epitel sel benih dengan membawa kelebihan residu sitoplasma, dan diduga mengakibatkan spermatozoa yang dilepaskan selama spermiasi menjadi tidak matang (immature). Hal ini menyebabkan fungsi spermatozoa menjadi terganggu sehingga mempengaruhi fertilitasnya. Butiran sitoplasma dan sel benih yang tidak matang (immature germ cells), dilaporkan Saleh & Agarwal (2002) dan Sikka (2004) merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas yang akan menyebabkan stres oksidatif dan berperan dalam infertilitas pejantan. Menurut Saleh & Agarwal (2002), ROS pada level tinggi dilaporkan berpotensi toksik terhadap kualitas dan fungsi spermatozoa. Pendapat tersebut memperkuat hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana fungsi spermatozoa kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari menjadi abnormal dan menyebabkan tikus jantan menjadi infertil karena tidak mampu membuntingi tikus betina. Namun, penurunan kualitas dan fungsi spermatozoa tersebut tidak mengganggu perilaku seksual atau tidak mengganggu libido tikus jantan. Hal ini didukung oleh data angka kopulasi pada tikus betina sebesar 100%. KESIMPULAN 1. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis terhadap tikus jantan tidak berpengaruh terhadap abnormalitas spermatozoa. 2. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada dosis isoflavon 6 mg/ekor/hari pada tikus jantan menyebabkan kasus infertilitas, namun tidak mempengaruhi libido (angka kopulasi pada tikus betina sebesar 100%, sedangkan angka konsepsi sebesar 0%). 3. Dosis isoflavon optimum yang menghasilkan kualitas spermatozoa tikus jantan terbaik adalah 1.5 mg/ekor/hari dan mengakibatkan : meningkatnya berat testis, motilitas spermatozoa dan konsentrasi spermatozoa.
102 DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Agarwal A, Prabakaran SA, Said TM. 2005. to sperm. J Androl 26(6): 654-669
Prevention of oxidative stress injury
Aitken RJ, Clarkson JS. 1987. Cellular basis of defective sperm function and its association with the genesis of reactive oxygen species by human spermatozoa. J Reprod Fertil 81:459-469 Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. Di dalam : Schmidl MK & Labuza TP, editor. Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. hlm. 239-266 Asmarinah. 2005. Mutasi gen pada pria i nfertil dengan Astenozoospermia. Di dalam : Buku Kumpulan Makalah/Abstrak. Andrologi : Sesuatu yang Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta. Astuti S. 1999. Pengaruh Tepung Kedelai dan Tempe dalam Ransum terhadap Fertilitas Tikus Percobaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E. Majalah Kedokteran Bandung (In press). Publikasi pada volume 40 (2) Edisi Juli 2008. Atanassova N et al. 2000. Comparative effects of neonatal exposure of male rats to potent and weak (environmental) estrogens on spermatogenesis at puberty and the relationship of adult testis size and fertility : evidence for stimulatory effect of low estrogen levels. Endocrinol 141:3898-3907. Brzozowski AM et al. 1997. Molecular basic of agonism and antagonism in the oestrogen receptor. Nature 389:753-758 Cook RB, Coulter GH, Kastelic JP. 1994. The testicular vascular cone, scrotal thermoregulation, and their relationship to sperm production and seminal quality in beef bulls. Theriogenol 41:653-671 de Lamirande E, Gagnon C. 1992. Reactive oxygen species and human spermatozoa : Effects on the motility of intact spermatozoa and on sperm axonemes. J Androl 13(5):368-378 Fritz WA, Cotroneo MS, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA. 2003. Dietary diethylstilbestrol but not genistein adversely affects rat testicular development. J. Nutr. 133:2287-2293. Griveau JF, Dumont E, Renard P, Callegari JP, Le Lannou D. 1995. Reactive oxygen species, lipid peroxidation and enzymatic defence systems in human spermatozoa. J Reprod Fertil 103:17-26
103 Hafez B, Hafez ESE. Philadephia.
2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger,
Helferich WG, Allred CD, Ju Young-Hwa. 2001. Dietary Estrogens and Antiestrogens. Di dalam : Helferich W & Winter CK, editor. Food Toxicology. CRC Press, Boca Raton. hlm. 37-55 Indiana Soybean Board. 1998. Isoflavone Concentration in Soy http://www.soyfood.com/nutrition/isoflavoneconcentration.html.
Foods.
Iwasaki A, Gagnon C. 1992. Formation of reactive oxygen species in spermatozoa of infertile patients. Fertil Steril 57(2):409-416. Martin S. 1983. Naturally Occuring Food Toxicans : Estrogens. Di dalam: Miloslav R Jr, editor. Handbook of Naturally Occuring Food Toxicans. Boca Raton Florida: CRC Press. p.81-100. Miksicek RJ. 1994. Interaction of naturally occuring nonsteroidal estrogens with expressed recombinant human estrogen receptor. J Steroid Biochem Molec Biol 49:153-160 Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive health in normal males. Clin Sci 100(6):613-618 Nijveldt RJ, et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Peltola V, Huhtaniemi I, Ahotupa M. 1992. Antioxidant enzyme activity in the maturing rat testis. J Androl 13(5):450-455 Potts RJ, Jefferies TM, Notarianni LJ. 1999. epididymis. Hum Reprod 14(10):2513-2516
Antioxidant capacity of the
Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Fisologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh Djanuar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Saleh RA, Agarwal A. 2002. Oxidative stress and male infertility: from research bench to clinical practice. J Androl 23(6):737-752 Sanocka D, Kurpisz M. 2004. Reactive oxygen species and sperm cells. Reprod Biol Endocrinol 2:12. Senger PL. 1999. Pathway to Pregnancy and Parturition Current Conception. Washington State University, Inc. Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18 Storey BT. 1997. Biochemistry of the induction and prevention of lipoperoxidative damage in human spermatozoa. Mol Hum Reprod 3(3):203-213 Taylor CT. 2001. Antioxidant and reactive oxygen species in human fertility. Environ Toxicol Pharmacol 10(4):189-198.
104 Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Tremellen K. 2008. Oxidative stress and male infertility – a clinical perspective. Hum Reprod Update 14(3):243-258 Villegas J et al. 2003. Reactive oxygen species induce reversible capacitation in human spermatozoa. Androlog 35:227-232
105 KADAR HORMON TESTOSTERON SERUM, JUMLAH SEL LEYDIG DAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK PADA TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON (The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour on Testosterone Serum, Total Leydig Cells and Total Spermatogenic Cells in the Seminiferous Tubules of Male Rats Testes) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap kadar hormon testosteron serum, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 10%. Dua puluh lima ekor tikus jantan strain Sprague Dawley umur sapih (21 hari) dibagi dalam lima kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon secara oral dengan berbagai tingkatan dosis isoflavon. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi secara signifikan menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan peningkatan jumlah sel Leydig. Dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis optimum yang menghasilkan total sel spermatogenik tertinggi. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan : kadar hormon testosteron serum 2.96± 0.45 ng/ml; jumlah sel Leydig 70.22±9.34; jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal, spermatid akhir dan total sel spermatogenik masing-masing sebesar 48.44±4.82, 60.00±3.43, 221.56±16.12, 164.33±17.94,dan 494.33±32.94. Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, testosteron, sel Leydig, sel spermatogenik
ABSTRACT The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavoneriched soybean flour with different levels of isoflavone on testosterone level, total Leydig cells, and total spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rats. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 10% of dietary protein from casein. Twenty five male of Sprague Dawley weaning rats (21 days old) were divided into five groups and treated with isoflavone-riched soybean flour by oral administration with different levels (dosages). The treatment was conducted for 2 months. The treatment of isoflavone-riched soybean flour with higher dosage of isoflavone increased the testosterone levels in the serum and the total Leydig cells in the seminiferous tubules of male rats. The optimum dosage of isoflavone was 1.5 mg/day resulted in the highest total spermatogenic cells of rat testes. The treatment isoflavone-riched soybean flour with 1.5 mg isoflavone/day on male rats resulted in the testosteron level of 2.96±0.45 ng/ml; while the number of spermatogonia, spermatocytes, early spermatids, late spermatids, and total spermatogenic cells were 48.44±4.82, 60.00±3.43, 221.56± 16.12, 164.33±17.94, and 494.33±32.94, respectively. Key words : isoflavone-riched soybean flour, testosterone, Leydig cells, spermatogenic cells
106 PENDAHULUAN
Produksi spermatozoa serta sintesis dan sekresi testosteron berlangsung di dalam
testis.
Spermatogenesis
merupakan
suatu
proses
pembentukan
spermatozoa yang terjadi secara berurutan, teratur dan terus menerus. Proses spermatogenesis tergantung pada kerja hormon. Testosteron yang disintesis dalam jaringan interstisial oleh sel Leydig merupakan salah satu faktor endokrin penting dalam gametogenesis mamalia jantan. Menurut Tendean (2005), spermatogenesis dibedakan atas spermatogenesis yang normal secara kualitatif yaitu lengkapnya tipe sel germinal dan spermatogenesis yang normal secara kuantitatif yaitu lengkapnya jumlah sel germinal. Testis sebagai tempat berlangsungnya spermatogenesis bersifat sangat rentan terhadap proses oksidasi oleh radikal bebas. Terdapatnya radikal bebas pada testis dapat mengubah kestabilan dan fungsi membran, akibat terjadinya proses peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dilaporkan Sanocka & Kurpizs (2004) mengakibatkan gangguan spermatogenesis. Menurut Sikka (2004), terdapatnya radical scavenger akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa. Sistem pertahanan tubuh yang dapat digunakan untuk melawan radikal bebas dipengaruhi oleh tersedianya zat-zat gizi yang berasal dari bahan pangan yang memiliki potensi sebagai antioksidan. Sebagai salah satu golongan flavonoid, komponen bioaktif isoflavon yang terkandung dalam kedelai dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, dengan bertindak sebagai scavenger radikal bebas (Nijveldt et al. 2001). Dietary antioksidan sebagai scavenger radikal bebas akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa, menekan proses oksidasi, peroksidasi lipid dan kerusakan sel spermatozoa, serta mencegah kondisi stres oksidatif sehingga diduga dapat mengurangi kasus infertilitas (Sikka 2004). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya kontroversi akibat pemberian kedelai, produk-produk olahan kedelai, maupun produk turunan kedelai terhadap kesuburan jantan. Mitchell et al. (2001) menyatakan bahwa pada pria umur 18-46 th, konsumsi isoflavon yang terkandung dalam produk-produk olahan kedelai dengan dosis 40-70 mg/hari tidak mempengaruhi kualitas spermatozoa dan hormon steroid. Atanassova et al. (2000) melaporkan perubahan berat testis, berkurangnya volume lumen pada tubuli seminiferi dan terganggunya spermatogenesis setelah tikus diberi genistein (salah satu bentuk isolat isoflavon murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat/hari. Sedangkan Fritz et al. (2003) melaporkan penurunan aktivitas aromatase testis tikus akibat pemberian genistein
107 melalui jalur diet konsumsi secara normal pada dosis 250 mg/kg diet (± 5 mg /ekor/hari). Struktur molekul isoflavon kedelai mirip dengan struktur molekul estrogen, sehingga dikenal sebagai
fitoestrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai
dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen (Miksicek 1994). Sel epitel dari jaringan reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis
merupakan subyek dari aksi
isoflavon (Anderson & Graner 2000). Mekanisme aksi biologis estrogen adalah kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen, atau bertindak sebagai estrogen antagonis yang dapat berikatan dengan RE namun menghambat respon estrogen (Helferich et al.
2001). Aksi spesifik fitoestrogen dengan keberadaan estrogen
endogen tergantung pada konsentrasinya, di mana aksi agonis terlihat ketika estrogen terdapat
pada konsentrasi rendah, sedangkan aksi antagonis terlihat
ketika estrogen terdapat konsentrasi tinggi (Brzozowski et al. 1997; Wang & Kurzer 1998 diacu dalam Robertson et al. 2002). Untuk lebih mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi akibat konsumsi pangan alami sumber isoflavon terhadap kadar hormon testosteron, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis, dalam penelitian ini digunakan tepung kedelai kaya isoflavon. Tepung kedelai kaya isoflavon mengandung kadar isoflavon sebesar 3%, dihasilkan dari biji kedelai tanpa proses kimia atau penambahan bahan tambahan pangan, serta mempunyai rasa dan aroma yang disukai (Indiana Soybean Board 1998). Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji asupan antioksidan alami (isoflavon) yang terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis terhadap kadar hormon testosteron, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis dengan menggunakan tikus jantan sebagai model. BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon
(TKI)
dari
perusahaan
SoyLife
Extra
ORFFA
BELGIUM
NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL. n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak (TKI-RL) (Astuti et al. 2008).
108 Untuk studi in vivo, digunakan tikus strain Sprague Dawley (SD) jantan umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Pengukuran kadar hormon testosteron serum menggunakan KIT Testosteron. Bahan kimia untuk pembuatan preparat jaringan testis dan proses pewarnaan Hematoksilin Eosin/HE antara lain NaCl, larutan fiksatif bouin, alkohol, xylol, parafin, hematoxylin, eosin, dan entellan. Metode Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan (in vivo) dan Sampling Sebanyak 25 ekor tikus jantan SD umur sapih (21 hari) terlebih dahulu diadaptasikan di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama 1 minggu. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 10%, modifikasi AOAC (1990) diberikan secara ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagung/maizena. Setelah masa adaptasi, tikus dibagi dalam 5 kelompok, yaitu : (1) Kontrol, cekok aquades;
(2) cekok TKI-RL dosis isoflavon (IF) 1.5
mg/ekor/hari; (3) cekok TKI-RL dosis IF 3 mg/ekor/hari; (4) cekok TKI-RL dosis IF 4.5 mg/ekor/hari; dan (5) cekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari. Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC (1990) disusun sebagai berikut : KOMPOSISI BAHAN Kasein (g) Minyak jagung (g) Mineral mix (g) ZnSO4.7H2O (mg) Vitamin mix Fitkom (g) Asam folat (mg) Vitamin K (mg) Vitamin E (mg) Selulosa Air Pati Jumlah
0 (Kontrol) 11.09 7.92 4.43
Perlakuan Isoflavon (mg/ekor/hari) 1.5 3 4.5 11.09 11.09 11.09 7.92 7.92 7.92 4.43 4.43 4.43
6 11.09 7.92 4.43
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
1 30 5 15.7 0.99 4.38 70.19 100.00
TKI-RL diberikan pada tikus jantan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung, dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades. Perlakuan diberikan selama 2 bulan. Pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo dilakukan berdasarkan pengukuran kandungan total senyawa isoflavon. Hasil analisis dengan HPLC terhadap TKI-RL menunjukkan adanya tiga komponen senyawa isoflavon yaitu
109 daidzein, genistein, dan glisitein dengan kandungan total senyawa isoflavon sebesar 2.22 g/100 g bb (Astuti et al. 2008). Pada akhir perlakuan, tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang leher (dislocasio cervicalis). Kadar hormon testosteron serum diamati dari darah yang diambil pada bagian jantung. Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap morfologi testis. Analisis Kadar Hormon Testosteron Serum (DPC 2003) Pengukuran konsentrasi hormon testosteron serum dilakukan dengan metode
125
I Radioimmunoassay (RIA) teknik fase padat menggunakan kit Coat A-
Count® Total Testosterone.
Prinsip kerja berdasarkan pada kompetisi antara
testosteron serum dan testosteron berlabel
125
I untuk terikat pada antibodi yang
spesifik terhadap hormon testosteron. Untuk pengamatan terhadap kadar testosteron serum tikus jantan, darah diambil dari jantung pada pagi hari dengan menggunakan syringe steril sekali pakai, disimpan pada 50C selama 2 jam, kemudian dilakukan pemisahan serum dengan menggunakan sentrifuge pada 5.000 rpm selama 15 menit. Serum dimasukkan tabung eppendorf dan disimpan –20oC sampai siap dianalisis. Penghitungan Jumlah Sel Leydig dan Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis (HE) (Kiernan 1990) Organ testis dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%, difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Jaringan testis kemudian diproses dengan metode standar menggunakan parafin. Blok jaringan yang didapat dipotong ± 4 µm dan dilekatkan pada obyek glass, sehingga diperoleh potongan jaringan (sediaan). Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan Hematoksilin Eosin/HE menggunakan metode Kiernan (1990) (Lampiran 7 dan 8). Jumlah sel Leydig pada jaringan interstitial dan jumlah sel-sel spermatogenik pada tiap tahap perkembangan spermatogenesis dihitung pada sembilan tubuli seminiferi untuk tiap perlakuan. Analisis Data Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
110 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Variasi Dosis Isoflavon terhadap Kadar Hormon Testosteron Serum dan Jumlah Sel Leydig pada Tubuli Seminiferi Testis Kelompok yang mendapat cekok TKI-RL dengan empat tingkatan dosis isoflavon menghasilkan kadar hormon testosteron dan jumlah sel Leydig lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Hasil pengukuran terhadap kadar hormon testosteron sejalan dengan hasil perhitungan jumlah sel Leydig pada tubuli seminiferi testis tikus (Tabel 8.1). Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis isoflavon (IF) 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari menghasilkan kadar hormon testosteron dan jumlah sel Leydig yang paling tinggi secara nyata (p<0.05) bila dibanding kelompok lainnya. Tidak terlihat adanya perbedaan kadar hormon testosteron dan jumlah sel Leydig pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 dan 3 mg/ekor/hari. Fotomikrograf sel Leydig pada testis tikus perlakuan disajikan pada Gambar 8.1. Tabel 8. 1. Rataan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig setelah 2 bulan perlakuan Kadar Hormon Testosteron (ng/ml)
Jumlah Sel Leydig
Kontrol, cekok aquades
1.75 ± 0.13 a
58.44 ± 6.98 a
Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari
2.96 ± 0.45 b
70.22 ± 9.34 b
Isoflavon 3 mg/ekor/hari
3.35 ± 0.68 b
79.11 ± 8.75 b
Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari
7.03 ± 1.34 c
94.56 ± 14.09 c
Isoflavon 6 mg/ekor/hari
7.69 ± 1.22 c
100.11 ± 13.52 c
Perlakuan
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
Peningkatan kadar hormon testosteron akibat pemberian TKI-RL sejalan dengan temuan Fritz et al. (2003), bahwa pemberian genistein (salah satu komponen senyawa isoflavon dalam bentuk isolat isoflavon murni) dalam diet tikus melalui jalur konsumsi secara normal (oral) pada kadar yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar hormon testosteron. Fritz et al. (2003) melaporkan bahwa pada konsentrasi yang semakin tinggi, pemberian genistein secara signifikan menurunkan aktivitas aromatase testis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa aktivitas aromatase testis kelompok kontrol (tanpa pemberian genistein) sebesar 100%, kelompok yang diberi genistein 250 mg genistein/kg diet (±5 mg genistein/ekor/hari) sebesar 81.6%, sedangkan kelompok yang diberi genistein 1000 mg genistein/kg diet (± 20 mg genistein/ekor/hari) sebesar 74.8%.
111
K
IF-1.5
IF-3
IF- 4.5
IF - 6
K I-1.5 I-3 I-4.5 I-6
= = = = =
Kontrol, cekok aquades Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari Isoflavon 3 mg/ekor/hari Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari Isoflavon 6 mg/ekor/hari
Gambar 8.1. Fotomikrograf sel Leydig pada testis tikus perlakuan. Jumlah sel Leydig tertinggi secara nyata terlihat pada kelompok tikus yang mendapat isoflavon dengan dosis 4.5 dan 6 mg/ekor/hari, dibandingkan kelompok tikus yang mendapat isoflavon dengan dosis 1.5 dan 3 mg/ekor/hari. Jumlah sel Leydig terendah secara nyata terlihat pada kelompok kontrol. (Pewarnaan HE, skala = 20 µm) = sel Leydig
112 Pengukuran
aktivitas
aromatase
testis
ditujukan
untuk
mengetahui
kemampuan testis dalam mengkonversi androgen menjadi estrogen (Hess 2003). Pada mencit dewasa, aromatase ditemukan dalam sel Leydig dan sel germinal, yaitu di daerah badan Golgi pada spermatid awal dan pada flagella spermatid akhir (Nitta et al. 1993), spermatosit pachytene dan spermatozoa dari epididimis (Janulis et al. 1998). Beberapa peneliti juga melaporkan keberadaan aromatase pada sel Sertoli tikus (Carreau et al. 1999). Pada manusia, defisiensi aromatase dilaporkan menyebabkan mutasi genetik yang berhubungan dengan problem infertilitas. Beberapa kasus memperlihatkan adanya penurunan konsentrasi spermatozoa akibat defisiensi aromatase pada manusia (Carreau et al. 2003). Defisiensi aromatase pada pasien oligospermia dilaporkan menyebabkan penurunan berat testis dan problem infertilitas (Carani et al. 1997 diacu dalam Luconi 2002). Temuan Fritz et al. (2003) memperlihatkan bahwa konsentrasi genistein yang tinggi dalam diet tikus akan menghambat konversi testosteron ke estrogen, sehingga pengaruh tersebut berkontribusi untuk menurunkan konsentrasi estrogen dan mengakibatkan peningkatan kadar hormon testosteron. Menurut dugaan Fritz et al. (2003), peningkatan testosteron setelah pemberian genistein merupakan akibat langsung dari penghambatan aktivitas aromatase, atau kemungkinan penghambatan aromatase oleh genistein terjadi sebagai respon meningkatnya konsentrasi testosteron. Peningkatan konsentrasi testosteron dilaporkan Hess (2003) terjadi akibat gangguan pengaturan umpan balik pada hipotalamus, sedangkan Hafez & Hafez (2000) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi testosteron dalam darah menyebabkan mekanisme umpan balik negatif (negative feedback mechanism) terhadap hipofisis sehingga produksi LH dan FSH menurun. Penurunan
kadar
LH
dan
FSH
akan
menyebabkan
hambatan
proses
spermatogenesis. Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari dan 3 mg/ekor/hari mengalami peningkatan kadar hormon testosteron yang lebih tinggi dibanding kontrol. Hal ini memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap proses spermatogenesis mengingat kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan jumlah sel spermatogenik tertinggi (Tabel 8.2). Tingginya jumlah sel spermatogenik tersebut menunjukkan bahwa dosis IF 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis optimum isoflavon yang terbaik. Tingginya kadar hormon testosteron pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari sejalan dengan peningkatan jumlah sel Leydig pada kedua kelompok tersebut. Sel Leydig merupakan tempat utama untuk berlangsungnya sintesis hormon testosteron. Mengacu pada hasil penelitian Fritz et al. (2003), diduga pemberian TKI-RL dengan dosis isoflavon yang
113 semakin tinggi mengakibatkan rendahnya kadar estrogen akibat terhambatnya aktivitas aromatase. Dalam hal ini, peran isoflavon sebagai estrogen agonis pada dosis tinggi akan menstimulasi respon estrogen sehingga berpotensi menimbulkan gangguan. Aktivitas aromatase yang terhambat diduga menurunkan konsentrasi estrogen dan mengakibatkan peningkatan kadar hormon testosteron. Akibatnya, setelah kedua kelompok tikus tersebut terekspos senyawa isoflavon pada dosis tinggi, testis tikus berpotensi mengalami perubahan dalam perkembangan, morfologi maupun proses spermatogenesis. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan steroidogenesis pada testis kedua kelompok tersebut. Pengaruh Variasi Dosis Isoflavon terhadap Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari menghasilkan total sel spermatogenik paling rendah secara nyata (p<0.05) dibanding kelompok lain, sedangkan total sel spermatogenik tertinggi dihasilkan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari. Tidak terlihat adanya perbedaan total sel spermatogenik pada kelompok kontrol dan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari (Tabel 8.2). Gambaran histologis sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir pada tubuli seminiferi setiap perlakuan tersaji pada Gambar 8.2. Tabel 8. 2. Rataan jumlah sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus perlakuan dengan berbagai variasi dosis isoflavon Jumlah Sel Kelamin Jantan
Perlakuan Spermatogonia Kontrol, cekok aquades
40.33 ± 4.82
Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari
48.44 ± 4.82
Isoflavon 3 mg/ekor/hari
38.78 ± 2.77
Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari
32.00 ± 2.45
Spermatosit b
c
b
a
49.67 ± 3.81 60.00 ± 3.43 49.33 ± 5.27 44.67 ± 4.47
b
c
b
a
Spermatid Awal 211.22 ± 16.02 221.56 ± 16.12 192.44 ± 11.79 170.00 ± 21.04
c
c
b
a
Spermatid Akhir 130.22 ± 18.17 164.33 ± 17.94 148.67 ± 16.11 109.67 ± 19.91
b
c
c
a
Total Sel Spermatogenik 431.44 ± 21.19 494.33 ± 32.94 429.22 ± 25.79 355.22 ± 30.41
b
c
b
a
a a a a a Isoflavon 6 29.56 ± 2.55 44.33 ± 4.72 158.78 ± 10.26 106.44 ± 16.49 339.11 ± 16.16 mg/ekor/hari Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05)
Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF paling rendah (1.5 mg/ekor/hari) menghasilkan total sel spermatogenik tertinggi dibanding kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF yang lebih tinggi. Diduga, dosis 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis isoflavon yang paling optimal dan efektif, di mana
114
K
IF-1.5
IF-3
IF- 4.5
IF - 6 K I-1.5 I-3 I-4.5 I-6
= = = = =
Kontrol, cekok aquades Isoflavon 1.5 mg/ekor/hari Isoflavon 3 mg/ekor/hari Isoflavon 4.5 mg/ekor/hari Isoflavon 6 mg/ekor/hari
Gambar 8.2. Fotomikrograf tubuli seminiferi pada testis tikus perlakuan. Kelompok yang mendapat isoflavon pada dosis 4.5 dan 6 mg/ekor/hari menghasilkan jumlah sel-sel spermatogenik paling rendah secara nyata dibandingkan dengan kelompok lainnya. Pemberian isoflavon pada dosis 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan jumlah sel spermatogenik paling tinggi secara nyata dibandingkan kelompok yang mendapat isoflavon pada dosis 3, 4.5 dan 6 mg/ekor/hari. (Pewarnaan HE, skala = 50 µm).
115 isoflavon berperan sebagai estrogen antagonis dengan bertindak sebagai antioksidan dan menghambat respon estrogen. Akibatnya, sel testis yang terlindung oleh antioksidan isoflavon mampu mempertahankan diri dari serangan oksidatif senyawa radikal bebas, akumulasi radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa dapat dicegah, dan mampu melindungi fungsi spermatozoa. Dengan terlindungnya sel testis dari proses oksidasi, diduga proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu. Total sel spermatogenik kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak berbeda dengan kelompok kontrol. Hasil ini memperlihatkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 3 mg/ekor/hari tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap total sel spermatogenik, baik pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan total sel spermatogenik. Total sel spermatogenik terendah terlihat pada kelompok yang dicekok TKIRL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari. Diduga, timbulnya gangguan akibat sifat estrogen agonis yang mampu menstimulasi respon estrogen pada kedua dosis isoflavon tersebut menyebabkan penurunan aktivitas aromatase testis tikus, sebagaimana laporan Fritz et al. (2003). Pada tikus, penghambatan aktivitas aromatase dilaporkan menyebabkan penurunan pematangan spermatid (Nitta et al. 1993), sedangkan pada mencit, defisiensi aromatase menyebabkan tertahannya
proses awal spermiogenesis (Robertson et al. 1999 diacu dalam
Adeoya-Osiguwa et al. 2003). Robertson et al. (2002) melaporkan adanya gangguan spermatogenesis, yaitu penurunan jumlah sel spermatid awal pada mencit yang kondisinya dibuat kekurangan enzim aromatase. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa produksi estrogen pada jantan dibutuhkan untuk perkembangan sel benih dan mengontrol spermatogenesis. Di samping itu, terhambatnya atau terganggunya proses spermatogenesis pada kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari diduga akibat peningkatan pembentukan radikal bebas karena rusaknya
struktur
membran
plasma
mitokondria
spermatozoa,
sehingga
meningkatkan proses oksidasi pada sel testis. Terjadinya peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal dapat diukur melalui pengamatan terhadap kadar MDA. Hasil penelitian Astuti et al., (2008) memperlihatkan bahwa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari menunjukkan kadar MDA testis tertinggi dan aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) testis sebagai salah satu sistem pertahanan enzim endogen dalam tubuh yang paling rendah. Peningkatan peroksidasi lipid pada kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari menunjukkan bahwa komponen membran sel testis kedua kelompok tersebut bersifat lebih rentan
116 terhadap reaksi oksidasi sehingga tidak mampu mencegah dan menghambat reaktivitas senyawa radikal bebas dalam tubuh, dan berakibat terhadap peningkatan kerusakan membran sel testis, atau kerusakan membran plasma spermatozoa. Menurut O’Connell et al. (2002) selama spermatogenesis, mitokondria dari sel benih jantan mengalami perubahan dan morfologi yang dramatik, yang dapat memulai mutasi mtDNA. Mutasi mtDNA dilaporkan dapat terjadi dan terakumulasi pada spermatid atau selama spermatogenesis, sehingga hal ini akan mengganggu fungsi respirasi mitokondria sebagai organel sel spermatozoa yang memproduksi energi dalam bentuk ATP. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Kao et al. (1998), bahwa mutasi mtDNA dan kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas menyebabkan disfungsi mitokondria. Lebih lanjut dilaporkan bahwa kegagalan proses spermatogenesis disebabkan oleh hilangnya mtDNA, berkaitan dengan berkurangnya jumlah spermatozoa dan dapat menyebabkan kegagalan fungsi reproduksi. Peningkatan radikal bebas pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari diduga menyebabkan lebih banyak terjadi kerusakan oksidatif akibat tidak sempurnanya respirasi mitokondria spermatozoa, sehingga diduga juga mengakibatkan terjadinya mutasi mtDNA. Dugaan tersebut juga didukung pendapat Atanasssova et al. (2000), bahwa pengaruh senyawa estrogen pada jantan akan menyebabkan perubahan terhadap morfologi testis dan proses spermatogenesis; mengganggu perkembangan testis dan saluran reproduksi, serta menyebabkan perubahan proses spermatogenesis dan gangguan fertilitas (Safe 2000). KESIMPULAN 1. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig pada tikus jantan. 2. Dosis isoflavon 1.5 mg/ekor/hari merupakan dosis optimum yang menghasilkan total sel spermatogenik tertinggi pada tikus jantan. DAFTAR PUSTAKA Adeoya-Osiguwa SS, Markoulaki S, Pocock V, Milligan SR, Fraser LR. 2003. 17ßestradiol and environmental estrogens significantly affect mammalian sperm function. Hum Reprod 18(1):100-107
117 Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. Di dalam : Schmidl MK & Labuza TP, editor. Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. hlm. 239-266 AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E. Majalah Kedokteran Bandung (In press). Publikasi pada volume 40 (2) Edisi Juli 2008. Atanassova N et al. 2000. Comparative effects of neonatal exposure of male rats to potent and weak (environmental) estrogens on spermatogenesis at puberty and the relationship of adult testis size and fertility : evidence for stimulatory effect of low estrogen levels. Endocrinol 141:3898-3907. Brzozowski AM et al. 1997. Molecular basic of agonism and antagonism in the oestrogen receptor. Nature 389:753-758 Carreau S, Genissel C, Bilinska B, Levallet J. 1999. Sources of oestrogen in the testis and reproductive tract of the male. Inter J Androl 22:211-223 Carreau S et al. 2003. Aromatase expression and role of estrogen in male gonad : a review. Reprod Biol Endocrinol 1:35 Diagnostic Products Corporation. 2003. Corporate Offices, USA.
Coat-A-Count® Total Testosterone.
Fritz WA, Cotroneo MS, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA. 2003. Dietary diethylstilbestrol but not genistein adversely affects rat testicular development. J. Nutr. 133:2287-2293. Hafez B, Hafez ESE. Philadephia.
2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger,
Helferich WG, Allred CD, Ju Young-Hwa. 2001. Dietary Estrogens and Antiestrogens. Di dalam : Helferich W & Winter CK, editor. Food Toxicology. CRC Press, Boca Raton. hlm. 37-55 Hess RA. 2003. Estrogen in the adult male reproductive tract : a review. Reprod Biol Endocrinol 1:52 Indiana Soybean Board. 1998. Isoflavone Concentration in Soy Foods. http://www.soyfood.com/nutrition/isoflavoneconcentration.html. Janulis L et al. 1998. Rat testicular germ cells and epididymal sperm contain active P450 aromatase. J Androl 19(1):65-71 Kao Shu-Huei, Chao Hsiang-Tai, Wei Yau-Huei. 1998. Multiple deletions of mitochondrial DNA are associated with the decline of motility and fertility of human spermatozoa. Mol Hum Reprod 4(7):657-666.
118 Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Pergamon Press. Oxford-England Luconi M, Forti G. Baldi E. 2002. Genomic and nongenomic effect of oestrogens : molecular mechanisms of action and clinical implications for male reproduction. J Steroid Biochem & Molec Biol 80:369-381 Miksicek RJ. 1994. Interaction of naturally occuring nonsteroidal estrogens with expressed recombinant human estrogen receptor. J Steroid Biochem Molec Biol 49:153-160 Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive health in normal males. Clin Sci (London) 100(6):613-618 Nijveldt RJ, et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Nitta H et al. 1993. Germ cells of the mouse testis express P450 aromatase. Endocrinol 132:1396-1401 O’Connell M, McClure N, Lewis SE. 2002. Mitochondrial DNA deletions and nuclear DNA fragmentation in testicular and epididymal human sperm. Hum Reprod 17:1565-1570 O’Donnell L, Robertson KM, Jones ME, Simpson ER. spermatogenesis. Endocrin Rev 22(3) :289-318
2001.
Estrogen and
Robertson KM, O’Donnell L, Simpson ER, Jones MEE. 2002. The phenotype of the aromatase knockout mouse reveals dietary phytooestrogens impact significantly on testis function. Endocrinol 143(8):2913-2921 Safe S. 2000. Endocrine disruptors and human health – is there a problem? An update. Environ Health Perspect 108:487-493. Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18 Tendean OS. 2005. Terapi sulih testosteron pada gangguan spermatogenesis. Di dalam Buku Kumpulan Makalah/Abstrak . Andrologi : Sesuatu yang Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta.
119 PEMBAHASAN UMUM
Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap fertilitas tikus jantan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) pada dosis isoflavon (IF) 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum secara lengkap (IZE) menghasilkan fertilitas paling baik dibanding pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya. Sebaliknya, kelompok perlakuan tanpa pemberian TKIRL, Zn dan vitamin E (Kontrol negatif/ K-) menghasilkan fertilitas paling rendah. Hasil pengamatan memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap berat testis, angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina. Perlakuan dengan pemberian secara lengkap TKI-RL pada dosis isoflavon (IF) 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum menyebabkan : meningkatnya motilitas, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik; menurunnya kadar MDA testis; aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis dipertahankan tetap tinggi melalui deteksi secara imunohistokimia. Sebaliknya, perlakuan tanpa pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E menyebabkan : rendahnya beberapa parameter seperti motilitas, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik; tingginya kadar MDA testis; rendahnya aktivitas enzim SOD testis, dan rendahnya kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis. Hasil penelitian menunjukkan nilai IC50 TKI-RL sebesar 51.96 μg/ml, nilai ini lebih tinggi dibandingkan nilai IC50 vitamin E (sigma) sebesar 8.27 μg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin E merupakan anti radikal bebas yang lebih efektif apabila dibandingkan dengan TKI-RL yang diuji, karena vitamin E mampu menangkap radikal bebas sebanyak 50% pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan TKI-RL. Walaupun nilai IC50 TKI-RL lebih tinggi dibandingkan nilai IC50 vitamin E, isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL menunjukkan kemampuan sebagai antioksidan sehubungan dengan lebih rendahnya nilai potensial reduksi senyawa isoflavon bila dibandingkan dengan PUFA. Buettner (1993) diacu dalam Muchtadi (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa memiliki potensi antioksidan lebih tinggi dan mampu mencegah oksidasi lipid apabila nilai potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). Dilaporkan lebih lanjut bahwa vitamin E (α-tokoferol) memiliki potensial
120 reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid/katekol (isoflavon termasuk salah satu golongan flavonoid) memiliki potensial reduksi 530 mV. Fenomena keterkaitan antar parameter pengujian sehingga menghasilkan fertilitas yang paling tinggi akibat perlakuan kombinasi TKI-RL, Zn dan vitamin E dapat dijelaskan sebagai berikut : Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari, diduga isoflavon bersifat antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target, yaitu menghambat respon estrogen dengan berperan sebagai antioksidan. Sebagai salah satu golongan flavonoid, senyawa bioaktif isoflavon yang mengandung gugus fenolik telah dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas melalui dua mekanisme, yaitu : mendonorkan ion hidrogen (Saija et al. 1995; Arora et al. 1998), dan
bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Arora et al.
1998; Nijveldt et al. 2001). Struktur meta 5,7-dihidroksil pada cincin A menunjukkan kemampuan isoflavon untuk berperan sebagai donor ion hidrogen sehingga terbentuk senyawa yang lebih stabil dan terbentuk radikal fenoksil yang kurang reaktif (Oteiza et al. 2005), sedangkan gugus 4’-hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Pokorny et al. 2001). Konfigurasi grup hidroksil pada cincin B senyawa flavonoid telah dilaporkan berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Heim et al. 2002). Dikemukakan lebih lanjut bahwa grup hidroksil pada cincin B dapat mendonorkan ion hidrogen dengan mendonorkan sebuah elektron ke radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan kedua radikal tersebut, serta membentuk radikal flavonoid yang relatif lebih stabil. Flavonoid efektif sebagai scavenger radikal hidroksil dan radikal peroksil (Lee et al. 2004). Flavonoid (flavonoid–OH) dilaporkan dapat beraksi sebagai scavenger radikal peroksil (ROO*) yang akan diregenerasi menjadi ROOH, dan bertindak sebagai scavenger radikal hidroksil (OH*) yang akan diregenerasi menjadi H2O. Senyawa hasil regenerasi radikal peroksil dan radikal hidroksil bersifat lebih stabil, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk (flavonoid-O*) menjadi bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi (Arora et al. 1998). Senyawa radikal fenoksil menjadi inaktif akibat tingginya reaktivitas grup hidroksil senyawa flavonoid yang terjadi melalui reaksi ( Nijveldt et al. 2001) : ROO* + Flavonoid-OH → ROOH + Flavonoid-O* HO*
+ Flavonoid-OH → H2O
+ Flavonoid-O*
Dengan berperan sebagai antioksidan, isoflavon mempunyai kemampuan untuk mencegah peroksidasi lipid. Dalam hal ini, isoflavon berfungsi sebagai antioksidan primer karena berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Menurut Pokorny et al. (2001), kemampuan antioksidan untuk mendonasikan hidrogen mempengaruhi
121 aktivitasnya. Dilaporkan bahwa suatu molekul akan mampu bereaksi sebagai antioksidan primer apabila dapat mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipida, radikal yang diturunkan dari antioksidan lebih stabil dibandingkan radikal lipid awal, atau dikonversi menjadi produk yang lebih stabil. Dengan demikian, maka reaktivitas radikal bebas dapat diredam. Lee et al. (2004) menyatakan bahwa radikal antioksidan menjadi lebih stabil akibat proses resonansi dalam struktur cincin aromatiknya, sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi radikal yang lain. Seperti halnya isoflavon, α-tokoferol juga berperan
sebagai antioksidan
primer karena kemampuannya sebagai akseptor radikal bebas dalam menangkap radikal bebas dan memutus reaksi peroksidasi lipid dengan melepaskan ion hidrogen bersama elektronnya. α-tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil (LOO*) membentuk radikal tokoferol (α-tokoferol-O*) dan hidroperoksida (LOOH). Selanjutnya radikal tokoferol bereaksi lagi dengan radikal peroksil yang lain membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal (LOO-αtokoferol), sehingga reaksi berantai peroksidasi lipid dapat terhenti (Liebler & Burr 1992; Therond et al. 1996; Yamauchi et al. 2002). Kestabilan dan pembentukan radikal tokoferol (α-tokoferol-O*) yang lebih lambat dibandingkan perambatan atau propagasi radikal lipid peroksil (LOO*)
dapat menekan dan memperlambat
berlangsungnya reaksi berantai peroksidasi lipid. Mekanisme kerja α-tokoferol memutus rangkaian reaksi berantai dan sebagai scavenger radikal bebas terjadi melalui reaksi : α-tokoferol-OH + LOO* →
α-tokoferol-O* + LOOH
α-tokoferol-O* + LOO* → LOO-α-tokoferol Kinerja α-tokoferol dalam memelihara stabilitas membran sel dan melindungi struktur sel terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan peroksidasi lipid adalah dengan membloking reaksi inisiasi dan menginterupsi reaksi propagasi peroksidasi lipid di dalam membran sel. Vitamin E berperan memperlambat berlangsungnya reaksi peroksidasi karena berperan sebagai scavenger radikal bebas dan memutus rantai proses peroksidasi lipid di dalam membran dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas. Hal ini menyebabkan terbentuknya radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002; Landvik et al. 2002), serta menghentikan reaksi rantai propagasi yang bersifat merusak pada proses peroksidasi lipid (Combs 1992). Membran plasma umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh, karena sebagian besar komponen utama penyusun membran
122 adalah PUFA. PUFA bersifat paling rentan/labil terhadap peroksidasi lipid karena banyak mengandung ikatan rangkap. Menurut Pokorny et al. (2001), keberadaan karbon-karbon yang memiliki ikatan rangkap akan melemahkan ikatan karbonhidrogen, terutama atom hidrogen yang letaknya dekat dengan ikatan rangkap, sehingga atom hidrogen tersebut bersifat rentan untuk terabstraksi. Apabila atom hidrogen pada karbon α-metilen dari ikatan rangkap PUFA hilang, maka akan terbentuk sebuah radikal alkil (R*) yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil. Terjadinya peroksidasi lipid akan menyebabkan hilangnya integritas dan permeabilitas membran (Geva et al. 1998). Suatu senyawa dapat bertindak sebagai antioksidan dan mencegah oksidasi lipid apabila potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). α-tokoferol memiliki potensial reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid (katekol) memiliki potensial reduksi 530 mV (Buettner 1993 diacu dalam Muchtadi 2008). Berdasarkan data potensial reduksi tersebut, mekanisme efek sinergis antioksidan pada kelompok IZE karena α-tokoferol dan isoflavon berperan sebagai antioksidan primer dengan mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipid. α-tokoferol yang memiliki potensial reduksi lebih rendah lebih dahulu dapat memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Selanjutnya, isoflavon yang termasuk kelompok flavonoid dengan potensial reduksi lebih tinggi dari α-tokoferol bekerja dengan memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Senyawa yang terbentuk sebagai hasil regenerasi radikal peroksil bersifat lebih stabil. Radikal tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil yang lain membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk dari flavonoid bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi. Walaupun tidak berperan sebagai antioksidan, Zn dilaporkan oleh Taylor et al. (1988) memainkan peran penting dalam stabilitas biomembran dan mempertahankan integritas sel. Dengan demikian, diduga kombinasi α-tokoferol, isoflavon dan Zn menghasilkan sinergisme aktivitas antioksidan yang lebih baik. Kombinasi ketiganya diduga mampu memperkuat kerja sistem antioksidan akibat terpeliharanya stabilitas membran dan terlindungnya struktur sel dari kerusakan oleh radikal bebas, serta menggambarkan bahwa kombinasi antioksidan vitamin E, isoflavon kedelai, dan Zn memberikan pengaruh yang paling berarti dan paling baik dalam mengeliminir dan menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk. Dengan sel yang utuh karena stabilitas membran terpelihara dan struktur serta fungsi membran sel terlindung dari kerusakan oleh antioksidan
123 vitamin E, isoflavon maupun Zn, maka sel mampu mempertahankan diri dari serangan oksidatif radikal bebas dan peroksidasi lipid.
Hal ini didukung oleh
pendapat Freisleben (1998), bahwa reaksi radikal bebas dapat ditiadakan melalui tiga cara, yaitu : mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas, inaktivasi radikal dan menghambat reaksi propagasi (chain breaking), serta memperbaiki kerusakan akibat reaksi radikal bebas. Spermatozoa kaya akan asam lemak tidak jenuh. Sekitar 50 % asam lemak tidak
jenuh
yang
ditemukan
dalam
sebuah
sel
spermatozoa
adalah
dokosaheksaenoat/DHA (Aitken 1997). Membran plasma mitokondria spermatozoa juga tersusun oleh asam lemak tidak jenuh yang bersifat sangat rentan terhadap oksidasi. Jika asam lemak tidak jenuh dari fosfolipid dioksidasi oleh radikal bebas, akan terjadi kerusakan spermatozoa akibat meningkatnya peroksidasi lipid sehingga mengganggu motilitasnya. Menurut Sanocka & Kurpisz (2004), DHA memainkan peran utama terhadap fluiditas membran spermatozoa. Peningkatan peroksidasi lipid akan menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran spermatozoa (Sanocka & Kurpisz 2004), mengganggu stabilitas membran dan mengacaukan aktivitas enzim-membran seperti ATP-ase, sehingga mengakibatkan terganggunya regulasi kation intraseluler seperti Ca2+ yang memegang peranan sangat penting terhadap motilitas spermatozoa (Sevanian et al. 1988; Aitken et al. 1993). Dalam penelitian ini terlihat adanya keeratan hubungan antara motilitas spermatozoa, kadar MDA testis, aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,ZnSOD pada tubuli seminiferi testis akibat pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E. Secara langsung, kombinasi TKI-RL, Zn dan vitamin E diduga mampu menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk dan mengeliminir pembentukan radikal bebas
pada
membran
plasma
spermatozoa
sehingga
membran
plasma
spermatozoa tidak mengalami kerusakan (tetap utuh), peroksidasi lipid terhambat, sehingga dihasilkan motilitas spermatozoa yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, terhambatnya peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan rendahnya kadar MDA testis terbukti mengakibatkan peningkatan motilitas spermatozoa. MDA merupakan salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal dan digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif membran sel. Penurunan kadar MDA menunjukkan terhambatnya proses oksidasi membran sel, pada kelompok tersebut diikuti dengan meningkatnya aktivitas enzim SOD melalui pengukuran menggunakan spektrofotomoter, maupun pengamatan terhadap profil antioksidan Cu,Zn-SOD melalui pewarnaan jaringan testis secara imunohistokimia. Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tubuli seminiferi testis akibat
124 pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E. Kombinasi secara lengkap ketiganya menghasilkan konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tertinggi. Eliminasi radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa diduga mampu menghentikan reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel sehingga secara keseluruhan akan melindungi fungsi spermatozoa. Dengan terlindungnya jaringan yang memproduksi spermatozoa dari proses oksidasi, proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu, produksi
spermatozoa
tidak
terganggu,
sehingga
dihasilkan
konsentrasi
spermatozoa yang lebih tinggi. Peningkatan konsentrasi spermatozoa didukung oleh tingginya total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir. Secara umum, terlihat bahwa hasil pengukuran terhadap berbagai parameter pengujian seperti motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, jumlah sel spermatogenik, kadar MDA, aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis kelompok yang tidak mendapat TKI-RL, Zn dan vitamin E (kontrol negatif/K-) menunjukkan kualitas spermatozoa yang paling rendah dibanding ZE yang dalam ransumnya diberi Zn dan vitamin E, kelompok yang mendapat perlakuan tunggal cekok TKI-RL yang mengandung isoflavon saja (I), dua kombinasi yaitu isoflavon-Zn (IZ) dan isoflavon-vitamin E (IE), atau kombinasi secara lengkap TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Kelompok yang mendapat perlakuan tunggal atau dua kombinasi juga menunjukkan kualitas spermatozoa yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat kombinasi ketiganya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tanpa TKI-RL, Zn dan vitamin E (Kontrol negatif/K-), perlakuan tunggal atau dua kombinasi saja belum mampu menghambat proses peroksidasi lipid akibat oksidasi oleh radikal bebas sehingga kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa juga tidak dapat dicegah. Kerusakan membran disebabkan oleh hilangnya asam lemak esensial penyusun fosfolipid membran akibat terikatnya elektron hidrogen asam lemak tidak jenuh penyusun
membran
plasma
membentuk
radikal
peroksi
lipid,
sehingga
mengganggu proses metabolisme sel spermatozoa. Peningkatan peroksidasi lipid telah dilaporkan Sanocka & Kurpisz (2004) menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran spermatozoa, serta mengakibatkan hilangnya integritas membran dan permeabilitas membran (Geva et al. 1998). Akibatnya dihasilkan motilitas spermatozoa yang lebih rendah, peningkatan kadar MDA testis yang menunjukkan terjadinya proses oksidasi pada membran sel, serta penurunan aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis. Keberadaan
antioksidan endogen seperti Cu,Zn-SOD dapat menekan
produk akhir hasil peroksidasi lipid. Oleh karena itu, menurunnya status antioksidan
125 endogen intrasel sangat berbahaya karena radikal bebas dalam tubuh menjadi tidak dapat dinetralisir dengan baik dan pada saat tertentu jumlahnya dapat meningkat atau berlebihan di dalam tubuh. Di samping itu, kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa yang tidak dapat dicegah mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis.
Hal
ini
diperlihatkan
mengakibatkan
dengan
lebih
terganggunya
rendahnya
produksi
konsentrasi
spermatozoa
spermatozoa
yang
dibanding
kelompok IZE. Konsentrasi spermatozoa berhubungan erat dengan proses spermatogenesis, di mana akan dihasilkan spermatozoa yang mampu membuahi sel telur. Jumlah sel spermatogenik sangat bergantung pada aktivitas tubuli seminiferi yang dipengaruhi oleh sistem hormon. Hal ini sesuai dengan pendapat Junqueira et al. (1998) yang menyatakan bahwa faktor endokrin mempunyai pengaruh paling penting terhadap spermatogenesis. Dilaporkan bahwa hormon testosteron dibutuhkan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis pada tubuli seminiferi. Apabila terjadi hambatan proses spermatogenesis pada tahap awal, maka akan menyebabkan hambatan pada perkembangan tahap selanjutnya. Gangguan terhadap proses spermatogenesis mengakibatkan peningkatan resiko terhadap rendahnya kualitas spermatozoa yang dihasilkan. Secara umum, terlihat bahwa keempat kelompok
tikus yang mendapat
cekok TKI-RL pada dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari (I, IZ, IE, IZE) menghasilkan kadar hormon testosteron lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kelompok ZE dan K-. Hal ini sejalan dengan temuan Fritz et al. (2003) yang melaporkan penurunan aktivitas aromatase testis (enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen) sehingga mengakibatkan peningkatan hormon testosteron akibat pemberian genistein (isolat isoflavon murni) sebesar 250 mg genistein/kg diet (± 5 mg genistein/ekor/hari). Dalam penelitian ini, tepung kedelai kaya isoflavon yang diberikan secara oral dengan dosis 3 mg/ekor/hari, diduga masih tergolong pada kategori
rendah
perkembangan,
sehingga morfologi
belum maupun
memperlihatkan proses
gangguan
spermatogenesis.
terhadap Sebaliknya,
rendahnya kadar hormon testosteron kelompok kontrol negatif/K- terbukti menyebabkan rendahnya konsentrasi spermatozoa dan menurunkan jumlah sel spermatogenik
melalui
perhitungan
terhadap
jumlah
sel
spermatogonia,
spermatosit, spermatid awal, dan spermatid akhir. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keenam perlakuan mempunyai kriteria spermatozoa yang normal karena kelainan morfologi (abnormalitas spermatozoa) yang ditemukan kurang dari 20%. Tidak terlihat perbedaan nyata
126 pada berat relatif testis keenam perlakuan, diduga perlakuan cekok (oral) TKI-RL pada dosis 3 mg/ekor/hari masih tergolong dalam konsentrasi rendah sehingga tidak mempengaruhi berat testis. Menurut Martin (1983), atropi testis pada mencit jantan terjadi apabila genistein (salah satu komponen isoflavon) diberikan dalam bentuk isolat isoflavon murni pada dosis 9 mg/ekor/hari. Hasil pengamatan terhadap angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina menunjukkan bahwa semua tikus betina yang dikawinkan dengan keenam jantan perlakuan menghasilkan angka konsepsi 100%. Sumber protein ransum yaitu kasein dengan kualitas, jumlah dan kadar yang tinggi (15%) diduga menyebabkan keberhasilan fertilisasi pada keenam jantan perlakuan. Menurut Baker et al. (1979), kadar protein ransum dari sumber protein hewani sebesar 10% telah mencukupi untuk proses reproduksi dan pertumbuhan tikus. Tikus betina yang digunakan untuk melihat fertilitas tikus jantan juga mendapat kasein sebagai sumber protein ransum dalam jumlah dan kadar yang tinggi (15%), dan selama percobaan berada pada kondisi sehat. Tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan pada tikus jantan (p>0.05) terhadap jumlah fetus pada tikus betina. Angka konsepsi 100% juga terlihat pada tikus betina yang dikawinkan dengan kelompok tikus jantan yang tidak mendapat isoflavon, Zn dan Vitamin E (Kontrol negatif/K-). Diduga pada kelompok kontrol negatif/K-, Zn dan vitamin E tidak berada pada kondisi defisien yang sangat ekstrim. Kemungkinan tikus jantan kelompok kontrol negatif/K- masih mendapat asupan Zn yang berasal dari kasein sebagai sumber protein ransum, serta mendapat vitamin E yang terkandung dalam minyak jagung sebagai komponen penyusun ransum. Namun demikian, Zn dan vitamin E mungkin terdapat pada konsentrasi rendah. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa peneliti sebelumnya, bahwa ada spermatozoa yang dapat mencapai sel telur, tetapi tidak dapat melakukan pembuahan karena kualitas spermatozoa yang kurang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peluang terjadinya kehamilan atau konsepsi lebih besar pada jantan yang memiliki jumlah spermatozoa sedikit namun berfungsi dengan baik dibandingkan dengan jantan yang memiliki jumlah spermatozoa banyak namun mempunyai fungsi yang kurang baik. Walaupun perlakuan pada kelompok kontrol negatif/K- menyebabkan terjadinya peningkatan kadar MDA testis, serta penurunan aktivitas dan kandungan enzim SOD testis, kelompok kontrol negatif/K- menghasilkan motilitas spermatozoa sebesar 66.5%, konsentrasi spermatozoa 1182.5 juta/ml, serta abnormalitas spermatozoa 13.49% yang masih tergolong pada kategori spermatozoa normal. Hal ini diduga menyebabkan tikus jantan kelompok kontrol negatif/K- memiliki
127 kemampuan untuk melakukan proses fertilisasi dan akhirnya mampu membuntingi tikus betina. Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan Hasil penelitian menunjukkan dua hal yang berlawanan akibat pemberian tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) dengan berbagai tingkatan dosis isoflavon pada tikus jantan. Pemberian TKI-RL dengan dosis isoflavon (IF) terendah yaitu 1.5 mg/ekor/hari, merupakan dosis IF optimum, menghasilkan kualitas spermatozoa terbaik. Sebaliknya, pemberian TKI-RL dengan dosis IF tertinggi yaitu 6 mg/ekor/hari menghasilkan kualitas spermatozoa yang paling rendah. Hasil pengamatan terhadap semua parameter pengujian memperlihatkan bahwa tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari tidak berbeda nyata, namun terlihat perbedaan yang nyata pada kedua dosis tersebut dengan kelompok tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF lebih rendah. Perbedaan nyata antara dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari terlihat pada pengamatan terhadap butiran sitoplasma dan angka kebuntingan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig. Pemberian
TKI-RL
dengan
dosis
IF
terendah
(1.5 mg/ekor/hari)
mengakibatkan : meningkatnya beberapa parameter seperti berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; menurunnya kadar MDA testis; aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis dipertahankan tetap tinggi. Sebaliknya, pemberian TKI-RL pada dosis IF tertinggi (6 mg/ekor/hari) mengakibatkan: menurunnya berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; meningkatnya butiran sitoplasma, kadar hormon testosteron serum, serta kadar MDA testis; menurunnya aktivitas enzim SOD testis; serta menurunnya kandungan Cu,Zn-SOD. Angka konsepsi pada tikus betina hasil perkawinan dengan tikus jantan kontrol dan yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 dan 3 mg/ekor/hari sebesar 100%, pada dosis IF 4.5 mg/ekor/hari sebesar 60%, sedangkan pada dosis IF 6 mg/ekor/hari sebesar 0%. Namun telah terbukti terjadi kopulasi pada semua tikus betina yang dikawinkan dengan kelima kelompok tikus jantan perlakuan tersebut, dengan terdeteksinya spermatozoa melalui metode deteksi ulas vagina. Angka konsepsi 0% menunjukkan
128 bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari menyebabkan infertilitas pada tikus jantan. Fenomena keterkaitan antara berbagai parameter pengujian dengan hasil yang berlawanan akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF paling rendah dan dosis IF paling tinggi dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan penjabaran sebagai berikut : Kedelai dikenal sebagai fitoestrogen dengan struktur molekul komponen bioaktif
isoflavon
kedelai
yang
mirip
struktur
molekul
estrogen.
Hal
ini
menyebabkan isoflavon kedelai dapat berikatan dengan reseptor estrogen (RE), namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen. (Miksicek 1994). Menurut Kuiper et al. (1997), genistein merupakan senyawa utama isoflavon dengan pengaruh estrogenik terkuat dan mempunyai affinitas yang lebih tinggi terhadap REβ bila dibandingkan dengan REα. Hal ini menunjukkan bahwa genistein membentuk ikatan lemah dengan REα, namun dengan REβ dapat membentuk ikatan yang lebih kuat. Dengan struktur molekul mirip estrogen, isoflavon mampu menggantikan fungsi estrogen dan mengendalikan aktivitasnya. Mekanisme pengendalian aksi fitoestrogen dilaporkan Helferich et al. (2001) dan Ruggiero et al. (2002) tergantung pada respon yang terjadi, yaitu bersifat agonis atau antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target.
Keduanya
melaporkan bahwa aksi biologis estrogen sebagai estrogen agonis adalah berikatan dengan RE dan menstimulasi (memacu) respon estrogen, sedangkan aksi sebagai estrogen antagonis adalah berikatan dengan RE, namun menghambat respon estrogen. Wang & Kurzer (1998) diacu dalam Robertson et al. (2002) menyatakan bahwa aksi spesifik fitoestrogen dengan keberadaan estrogen endogen tergantung pada konsentrasinya, di mana aksi agonis terlihat ketika estrogen terdapat
pada konsentrasi rendah, sedangkan aksi antagonis terlihat
ketika estrogen terdapat pada konsentrasi tinggi. Pendapat serupa juga dikemukakan Brzozowski et al. (1997), bahwa isoflavon bersifat antagonis ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon bersifat agonis ketika kadar estrogen rendah. Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF paling rendah (1.5 mg/ekor/hari), diduga isoflavon bersifat antagonis dengan bertindak sebagai antioksidan. Hal ini didukung laporan Fritz et al. (2003), bahwa pemberian genistein (salah satu komponen senyawa isoflavon) dalam bentuk isolat isoflavon murni sebesar 250 mg genistein/kg diet (± 5 mg genistein/ekor/hari) dan 1000 mg genistein/kg diet (± 20 mg/ekor/hari) pada tikus jantan secara signifikan menyebabkan penurunan kadar estrogen dibanding kontrol. Mengacu pada hasil penelitian Fritz tersebut, diduga pemberian isoflavon pada kadar IF yang paling rendah (1.5 mg/ekor/hari) tidak
129 menyebabkan penurunan kadar estrogen secara signifikan. Dalam hal ini, karena kadar estrogen cukup, maka isoflavon akan menghambat respon estrogen dan beraksi sebagai estrogen antagonis dengan bertindak sebagai antioksidan. Sebaliknya, pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF paling tinggi (6 mg/ekor/hari), isoflavon beraksi sebagai estrogen agonis. Dalam hal ini, karena kadar estrogen rendah, maka isoflavon akan menstimulasi/memacu respon estrogen. Menurut Safe (2000), struktur genistein (salah satu komponen isoflavon) menyerupai estrogen dan dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Pada tikus jantan di mana konsentrasi estradiol dalam darahnya lebih rendah dibandingkan tikus betina, paparan estrogen eksogen mungkin akan menyebabkan pengaruh yang mengganggu. Gangguan akibat senyawa estrogen pada hewan jantan dilaporkan menyebabkan penurunan berat testis, mengganggu perkembangan saluran reproduksi, serta mempengaruhi spermatogenesis dan fertilitas (Safe 2000). Atanassova et al. (2000) melaporkan perubahan berat testis, penyusutan dimensi tubuli seminiferi dan terganggunya spermatogenesis setelah tikus diberi genistein melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat badan/hari. Sharpe & Skakkebaek (1993) melaporkan penurunan jumlah sel Leydig dan penghambatan perkembangan sel Leydig sehingga menyebabkan gangguan reproduksi dan abnormalitas organ testis akibat paparan estrogen pada dosis tinggi. Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara kadar MDA testis dengan motilitas spermatozoa akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari. Pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan kadar MDA testis terendah dan motilitas tertinggi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Iwasaki & Gagnon (1992) yang menyatakan bahwa peningkatan pembentukan radikal bebas berkorelasi dengan penurunan motilitas spermatozoa. Dilaporkan bahwa pembentukan radikal bebas akan meningkat apabila motilitas kurang dari 60%. Kelompok yang diberi TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mg/ekor/hari menghasilkan motilitas spermatozoa tertinggi yaitu 77.5%. Diduga pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari, isoflavon berperan sebagai antioksidan yaitu bersifat antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target dengan menghambat respon estrogen. Kerja isoflavon sebagai antioksidan berlangsung melalui dua mekanisme, yaitu : mendonorkan ion hidrogen
dan
bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Arora et al. 1998; Nijveldt et al. 2001). Awalnya flavonoid teroksidasi oleh senyawa radikal, kemudian terbentuk senyawa yang lebih stabil dan radikal fenoksil yang kurang reaktif. Dengan demikian, maka reaktivitas radikal bebas dapat diredam. Menurut Pokorny et al. (2001), stabilitas radikal fenoksil akan mengurangi laju reaksi propagasi dari autooksidasi reaksi berantai karena propagasi radikal antioksidan sangat lambat
130 dibandingkan dengan propagasi radikal lipid. Akibat teredamnya reaktivitas radikal peroksil dan radikal hidroksil, terjadinya proses peroksidasi lipid spermatozoa dapat dihambat.
Terhambatnya peroksidasi lipid mengakibatkan peningkatan motilitas
spermatozoa. Motilitas (daya gerak) spermatozoa sangat tergantung pada suplai energi berupa ATP hasil metabolisme. Metabolisme akan berlangsung dengan baik apabila membran plasma sel berada dalam keadaan yang utuh, sehingga mampu mengatur lalu lintas masuk dan keluar substrat dan elektrolit yang dibutuhkan dalam proses metabolisme. Peran isoflavon pada dosis 1.5 mg/ekor/hari sebagai antioksidan diduga menyebabkan utuhnya membran plasma spermatozoa akibat terlindungi oleh antioksidan isoflavon, sehingga motilitas spermatozoa dapat dipertahankan tetap tinggi. Menurut Bourgeron (2000), untuk memperoleh kemampuan gerak, spermatozoa membutuhkan energi (ATP) yang diperoleh dari proses respirasi (glikolisis atau fruktolisis) dalam mitokondria pada bagian midpiece spermatozoa, sedangkan bagian principal piece dan end piece berfungsi dalam pergerakan
spermatozoa.
Setelah
disintesis
di
dalam
mitokondria,
ATP
ditransportasikan ke aksonem pada bagian ekor spermatozoa, selanjutnya dikonversikan oleh dinein (enzim ATPase) pada aksonem yang akan menguraikan ATP menjadi energi untuk pergerakan spermatozoa.
Terhambatnya pelepasan
ATP ke bagian aksonem mengakibatkan tidak terpenuhinya atau berkurangnya kebutuhan energi untuk menggerakkan ekor, dan selanjutnya mengakibatkan spermatozoa tidak dapat bergerak cepat atau tidak bergerak sama sekali (Asmarinah 2005). Dalam hal ini, pada kondisi tidak tercukupinya energi akibat terganggunya zat-zat yang berperan sebagai sumber energi, maka daya tahan spermatozoa akan menurun dan menyebabkan kematian. Salah satu faktor untuk aktivasi pergerakan spermatozoa pada mamalia adalah
peningkatan
cyclic
Adenosin
Monophosphat
(cAMP)
intraseluler.
Peningkatan cAMP terjadi melalui fosforilasi protein dalam flagellum untuk memodulasi pergerakan spermatozoa (Inaba 2003 diacu dalam Asmarinah 2005). Aktivasi motilitas spermatozoa melalui peningkatan cAMP diperantarai oleh ion Ca2+. (Aitken 2000). Peningkatan konsentrasi Ca2+ intraseluler dapat memodulasi gerakan flagellum yang menyebabkan gerakan kemotaksis spermatozoa menuju sel telur (Inaba 2003 diacu dalam Asmarinah 2005). Dengan demikian, ion Ca2+ dibutuhkan untuk hiperaktivasi spermatozoa pada saat terjadi proses kapasitasi. Durkee et al. (1998) diacu dalam Carreau et al. (2003) melaporkan keberadaan RE pada membran plasma spermatozoa manusia yang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan steroid. Reseptor membran dihubungkan dengan jalur transduksi sinyal secara cepat oleh ion
Ca2+,
yang
diperlukan
untuk
motilitas
dan
131 kapasitasi spermatozoa (Luconi et al. 2002). Revelli et al. (1998) dan O’Donnell et al.
(2001)
menyatakan
bahwa
estrogen
dapat
menginduksi
peningkatan
konsentrasi Ca2+ atau cAMP dengan sangat cepat melalui mekanisme aksi pengikatan reseptor estrogen pada membran plasma. Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara kadar MDA testis, aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF 1.5 mg/ekor/hari. Pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan kadar MDA testis terendah, serta aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn-SOD tertinggi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa isoflavon pada dosis 1.5 mg/ekor/hari bekerja paling efektif dan optimal dalam membantu kinerja sistem enzim SOD endogen untuk mengeliminir dan menetralisir radikal bebas yang terbentuk, sehingga memberikan pengaruh yang paling menguntungkan terhadap elimininasi radikal bebas. Dengan aksi isoflavon sebagai
antioksidan,
kandungan
enzim
SOD
endogen
testis
jumlahnya
dipertahankan tetap tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sikka (2004), bahwa antioksidan eksogen yang dapat bertindak sebagai scavenger radikal bebas akan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan endogen dalam tubuh sehingga mampu mengurangi terbentuknya kondisi stres oksidatif akibat berlebihnya pembentukan radikal bebas. Keeratan hubungan antara berat relatif testis, konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis terlihat pada tikus jantan yang dicekok TKI-RL dosis IF 1.5 mg/ekor/hari. Pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan berat relatif testis, konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tertinggi. Diduga, eliminasi radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa oleh aksi isoflavon sebagai antioksidan pada dosis tersebut
menyebabkan
berlangsungnya
proses
perkembangan
testis
spermatogenesis
untuk
sebagai
tempat
memproduksi
utama
spermatozoa
menjadi tidak terhambat. Di samping itu, sel yang tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan akibat terlindung oleh antioksidan isoflavon juga mampu menghentikan reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel sehingga secara keseluruhan akan melindungi fungsi spermatozoa. Dengan terlindungnya jaringan yang memproduksi spermatozoa dari proses oksidasi, proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu. Akibat tidak adanya hambatan terhadap proses spermatogenesis, produksi spermatozoa menjadi tidak terganggu, sehingga akhirnya dihasilkan konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi. Hasil pengamatan morfologi testis terhadap jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi mendukung data yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana tingginya berat relatif testis diikuti oleh peningkatan
132 konsentrasi spermatozoa dan total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir. Sebaliknya, pemberian TKI-RL pada dosis IF yang paling tinggi (6 mg/ekor/hari) menimbulkan akibat yang berlawanan dengan pemberian TKI-RL pada dosis IF yang paling rendah (1.5 mg/ekor/hari). Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF paling tinggi (6 mg/ekor/hari), diduga isoflavon bersifat sebagai estrogen agonis dengan memacu/menstimulasi respon estrogen karena kadar estrogen rendah, sehingga pada dosis tersebut diduga isoflavon berpotensi menimbulkan gangguan. Gangguan akibat paparan estrogen eksogen pada jantan diduga karena kadar estradiol pada jantan yang lebih rendah dibandingkan betina. Robertson et al. (2002) menyatakan bahwa pada mencit yang tidak mendapat diet kedelai dan kondisinya dibuat kekurangan enzim aromatase (enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen) memperlihatkan adanya gangguan spermatogenesis. Dilaporkan bahwa jumlah sel spermatid awal pada kelompok mencit tersebut mengalami penurunan secara signifikan sehingga diduga bahwa diet kedelai berkontribusi terhadap proses spermatogenesis ketika sintesis estrogen endogen dihambat. Hasil tersebut mendukung pendapat beberapa peneliti sebelumnya
bahwa
produksi
estrogen
pada
jantan
dibutuhkan
untuk
perkembangan sel benih dan fungsi sel Sertoli. Fritz et al. (2003) juga melaporkan terjadinya penurunan aktivitas aromatase testis tikus akibat pemberian genistein pada dosis tinggi sehingga menurunkan kadar estrogen. Dalam penelitian ini, diduga pemberian TKI-RL pada dosis yang semakin tinggi juga menimbulkan respon yang sama. Defisiensi aromatase dilaporkan berhubungan dengan problem infertilitas (Carreau et al. 2003), sehingga secara keseluruhan pemberian TKI-RL pada dosis yang semakin tinggi menyebabkan penurunan fungsi dan kualitas spermatozoa.
Hal ini didukung
laporan peneliti terdahulu bahwa penghambatan aktivitas aromatase menyebabkan penurunan pematangan spermatid tikus (Nitta et al. 1993), sedangkan defisiensi aromatase pada mencit menyebabkan tertahannya proses awal spermiogenesis (Robertson et al. 1999 diacu dalam Adeoya-Osiguwa et al. 2003). Hal ini memperkuat dugaan bahwa estrogen berperan penting dalam mengontrol spermatogenesis dan fertilitas hewan jantan. Keeratan hubungan antara motilitas dengan kadar MDA testis juga terlihat pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 6 mg/ekor/hari, namun tidak terlihat adanya perbedaan nyata dengan pemberian TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari. Motilitas spermatozoa sebesar 52% dihasilkan oleh dosis IF 6 mg/ekor/hari, sedangkan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari menghasilkan motilitas sebesar
133 55%. Menurut Iwasaki & Gagnon (1992), spermatozoa normal memiliki motilitas lebih dari 60%. Rendahnya motilitas spermatozoa kelompok tikus yang dicekok isoflavon dengan kedua dosis tersebut diduga karena sintesis ATP yang berlangsung dalam mitokondria spermatozoa pada proses respirasi mengalami gangguan. Pada dosis tersebut, diduga terjadi kerusakan struktur membran plasma mitokondria spermatozoa akibat proses oksidasi oleh radikal bebas sehingga menyebabkan peningkatan peroksidasi lipid. Menurut Colenbrander et al. (1992), kerusakan membran plasma spermatozoa pada bagian midpiece menyebabkan berkurangnya enzim aspartat aminotransferase (AspAT), yaitu enzim utama untuk pembentukan ATP oleh mitokondria spermatozoa. Kondisi tersebut dilaporkan menghambat pembentukan ATP dan mengganggu motilitas spermatozoa. Rendahnya motilitas spermatozoa didukung data kadar MDA testis yang tertinggi pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari, yang menunjukkan tingginya keberadaan radikal bebas dan terjadinya proses oksidasi membran sel. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini didukung pendapat Iwasaki & Gagnon (1992) yang menyatakan bahwa peningkatan pembentukan radikal bebas berkorelasi dengan penurunan motilitas spermatozoa.
Dilaporkan bahwa apabila motilitas kurang dari 60%, pembentukan
senyawa spesies oksigen reaktif (ROS) akan meningkat, sehingga diduga bahwa spermatozoa immotil mempunyai peluang yang lebih besar untuk memproduksi ROS daripada spermatozoa yang lebih motil. Peroksidasi asam lemak tidak jenuh pada membran sel spermatozoa bersifat autokatalitik yang mengakibatkan gangguan fungsi membran, menurunkan integritas dan fluiditas membran, serta inaktivasi enzim yang terlibat pada membran (Sanocka & Kurpisz 2004). Berlebihnya pembentukan senyawa ROS dapat menginisiasi perubahan lapisan lemak dan protein pada membran plasma spermatozoa sehingga menimbulkan gangguan fungsional spermatozoa, serta meningkatkan peroksidasi lipid (Griveau et al. 1995). Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang sangat reaktif dan menyebabkan kerusakan membran sel sehingga metabolisme sel tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Sekali radikal bebas terbentuk, akan mengakibatkan pembentukan radikal bebas baru melalui reaksi berantai antar radikal lipid peroksil. Terbentuknya radikal bebas hidroksil yang sangat reaktif dapat menggoyahkan membran dan menyebabkan kematian spermatozoa karena asam lemak tidak jenuh, protein, dan DNA bersifat sangat rentan terhadap radikal hidroksil ini. Ketiga senyawa tersebut merupakan sel target yang paling potensial (Saleh & Agarwal 2002). Berlangsungnya reaksi berantai peroksidasi lipid juga menyebabkan terganggunya integritas membran karena radikal bebas dapat bereaksi dengan
134 komponen-komponen membran, sehingga terjadinya kerusakan tidak hanya berlangsung pada membran plasma tetapi juga pada bagian internal sel. Menurut Comporti (1989) diacu dalam de Lamirande & Gagnon (1992), senyawa hasil degradasi peroksidasi lipid bersifat sangat reaktif terhadap reaksi biokimia sel seperti respirasi mitokondria dan sintesis DNA. Kerusakan oksidatif mitokondria DNA (mtDNA) terjadi pada semua sel yang kaya mitokondria, termasuk spermatozoa (Sikka et al. 1995). Tidak sempurnanya respirasi enzim yang terlibat dalam respirasi mitokondria spermatozoa menyebabkan hilangnya mitokondria DNA sehingga meningkatkan produksi radikal bebas dan menyebabkan lebih banyak terjadi kerusakan oksidatif (Kao et al. 1998; O’Connell et al. 2002). Sikka et al. (1995) melaporkan bahwa peroksidasi lipid merusak DNA dan protein melalui oksidasi basa DNA (terutama guanin), atau melalui binding kovalen dengan MDA, sehingga mengakibatkan DNA strand-breaks dan cross-linking. ROS juga dapat menginduksi oksidasi grup SH pada protein dan DNA sehingga akhirnya akan mengubah struktur dan fungsi spermatozoa. Fraga (1996) diacu dalam Kao et al. (1998) melaporkan bahwa pada perokok yang aktivitas antioksidan endogen lebih rendah dan pembentukan radikal bebas lebih tinggi, terlihat adanya peningkatan 8-hydroxy-2’-deoxy-guanosine (8-OhdG) pada DNA spermatozoanya. Pembentukan 8-OhdG dilaporkan Halliwell & Gutteridge (1999) merupakan kunci biomarker terhadap kerusakan oksidatif DNA. Hasil penelitian Aitken et al. (1993) terhadap pembentukan metabolit oksigen
yang
bersifat toksik
dalam
suatu
sistem
xantin-xantin
oksidase
memperlihatkan bahwa senyawa ROS yang menyebabkan kerusakan spermatozoa adalah hidrogen peroksida (H2O2). H2O2 yang diproduksi oleh dismutasi anion superoksida (O2.-) dilaporkan de Lamirande & Gagnon (1992) bersifat paling toksik pada spermatozoa manusia karena kemampuannya untuk dapat melewati membran sel secara bebas sehingga menghambat aktivitas enzim antioksidan intrasel dan fungsi sel. H2O2 dapat melewati membran sel dengan mudah karena mempunyai kemampuan berdifusi yang sangat tinggi (Lee et al. 2004) Aitken et al. (1997) menduga bahwa difusi H2O2 sebagai salah satu senyawa ROS ke dalam membran sel akan menghambat aktivitas enzim glucose6-phosphat-dehydrogenase (G6PD), suatu enzim kunci pada jalur glikolisis untuk mengontrol kecepatan glukosa dan mengontrol ketersediaan NADPH intrasel. Jalur metabolik utama yang menyebabkan produksi NADPH dalam sel adalah jalur pentosa fosfat, yang akan mentransformasi glucose-6-phosphat menjadi 6-fosfoglukonolakton dengan dikatalis oleh enzim glucose-6-phosphat-dehydrogenase (G6PD). G6PD dilaporkan bersifat sangat rentan terhadap stres oksidatif (Oliver at al. 1987 diacu dalam Griveau et al. 1995). Inaktivasi / penghambatan aktivitas
135 enzim G6PD mengakibatkan blokade jalur pentosa fosfat sehingga menyebabkan penurunan ketersediaan NADPH dalam sel sehingga menyebabkan berkurangnya ATP.
Penurunan ATP berpotensi untuk meningkatkan proses peroksidasi lipid
membran
sehingga
menurunkan
sistem
pertahanan
antioksidan
intrasel
spermatozoa. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran akibat akumulasi peroksidasi lipid, sehingga menghambat pergerakan spermatozoa dan menyebabkan gangguan terhadap berlangsungnya reaksi akrosom (Griveau et al. 1995;Tremellen 2008). Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari, hubungan antara kadar MDA testis, aktivitas SOD testis, dan profil Cu,Zn-SOD testis dapat dijelaskan sebagai berikut : peningkatan kadar MDA testis pada kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa status pertahanan antioksidan intrasel kedua kelompok tersebut tidak mampu menangkal reaktivitas radikal bebas sehingga mengakibatkan rendahnya aktivitas enzim SOD testis, baik melalui pengukuran menggunakan spektrofotomoter maupun pengamatan terhadap profil antioksidan Cu,Zn-SOD
pada
tubuli
seminiferi
testis
melalui
pewarnaan
secara
imunohistokimia. Penurunan sistem pertahanan enzim SOD intrasel pada kelompok yang dicekok isoflavon pada dosis tinggi diduga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksidan dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Sikka et al. (1995) dan Halliwell & Gutteridge (1999), bahwa enzim-enzim yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya apabila terbentuk radikal bebas dalam jumlah berlebihan. Tingginya reaktivitas radikal bebas telah dilaporkan Griveau et al. (1995) menyebabkan pengaruh toksik pada membran plasma spermatozoa. Penurunan kemampuan antioksidan intrasel menyebabkan berkurangnya eliminasi senyawa ROS yang bertanggung jawab terhadap kerusakan sel DNA dan protein spermatozoa, serta terbentuknya proses peroksidasi lipid. Hal ini sejalan dengan pendapat Rajasekaran et al. (1995), bahwa penurunan aktivitas SOD akan mempengaruhi kemampuan pertahanan terhadap senyawa ROS sehingga menyebabkan kerusakan spermatozoa. Kerusakan oksidatif dapat terus terjadi apabila
ketidakseimbangan
antara
radikal
bebas
dan
sistem
pertahanan
antioksidan terus berlanjut. Menurut Sikka (2004), ketidakseimbangan terjadi apabila pembentukan radikal bebas lebih tinggi dibandingkan sistem pertahanan antioksidan, sistem pertahanan antioksidan tidak mampu mendetoksifikasi terjadinya perubahan oleh radikal bebas secara terus menerus, atau ketika proses detoksifikasi menurun. Kekacauan sistem pertahanan antioksidan tersebut selanjutnya menyebabkan peroksidasi membran fosfolipid oleh radikal bebas.
136 Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran akibat akumulasi peroksidasi lipid. Retensi residu sitoplasma pada spermatozoa dilaporkan berkorelasi positif dengan pembentukan ROS melalui suatu mekanisme yang diperantarai oleh enzim glucose-6-phosphat-dehydrogenase terhambat,
ketersediaan
NADPH
(G6PD). dalam
Apabila sel
akan
aktivitas
enzim
berkurang,
meningkatkan proses peroksidasi lipid membran spermatozoa.
G6PD
sehingga
Di samping itu,
pada kondisi berlebihnya residu sitoplasma, spermatozoa yang dilepaskan selama spermiasi menjadi tidak matang (immature) sehingga memicu pembentukan radikal bebas (Aitken 1997). Hal ini terbukti pada hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana pemberian TKI-RL dengan dosis IF tertinggi yaitu 6 mg/ekor/hari mengakibatkan peningkatan butiran sitoplasma yang signifikan dibanding kelompok yang diberi TKI-RL pada dosis IF lebih rendah. Dosis IF 6 mg/ekor/hari menghasilkan butiran sitoplasma tertinggi sebesar 63.52%, sedangkan dosis IF 4.5 mg/ekor/hari menghasilkan butiran sitoplasma sebesar 29.20%. Peningkatan butiran sitoplasma spermatozoa pada kelompok tersebut terbukti mengakibatkan peningkatan kadar MDA testis dan menurunnya aktivitas antioksidan intrasel. Namun hasil pengamatan menunjukkan bahwa morfologi spermatozoa kedua kelompok tersebut tergolong pada kategori normal, dengan abnormalitas spermatozoa kurang dari 20%. Butiran sitoplasma terbentuk dari sisa-sisa badan golgi pada waktu proses spermatogenesis. Posisi proximal droplet lebih banyak terdapat pada spermatozoa yang berasal dari bagian caput, sedangkan posisi distal droplet lebih banyak ditemukan pada spermatozoa yang berasal dari bagian corpus dan cauda epididimis (Senger 1999). Hal ini menunjukkan bahwa spermatozoa mengalami proses maturasi selama perjalanannya melewati saluran epididimis. Secara normal butiran sitoplasma tersebut akan hilang atau terlepas dan bergabung dengan seminal plasma ketika spermatozoa tersebut diejakulasikan. Apabila ditemukan butiran sitoplasma dalam jumlah banyak pada semen hasil ejakulat, hal ini menunjukan proses pematangan spermatozoa yang tidak sempurna. Produksi ROS pada spermatozoa bervariasi dan tergantung pada tingkat pematangan spermatozoa. Produksi ROS ditemukan lebih tinggi pada spermatozoa immature dengan morfologi kepala yang abnormal atau terdapat retensi residu sitoplasma, sedangkan produksi ROS lebih rendah ditemukan pada spermatozoa yang matang. Produksi ROS pada spermatozoa yang immature berkorelasi langsung dengan kerusakan inti DNA spermatozoa (Gomez et al. 1996; Sharma & Agarwal 1996; Saleh & Agarwal 2002). Sharma & Agarwal (1996) menyatakan bahwa senyawa ROS akan diproduksi spermatozoa apabila : spermatozoa terdapat
137 pada kondisi immotil, morfologi abnormalitas spermatozoa tinggi, atau morfologi spermatozoa normal tetapi fungsi spermatozoa abnormal. Sejalan dengan pendapat tersebut, diduga kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 6 mg/ekor/hari menghasilkan morfologi spermatozoa normal, namun memiliki fungsi spermatozoa yang abnormal. Dugaan fungsi spermatozoa menjadi abnormal didukung oleh data tingginya persentase butiran sitoplasma, serta motilitas spermatozoa yang rendah / spermatozoa immotil tinggi yang merupakan
pemicu
terbentuknya
radikal
bebas,
sehingga
menyebabkan
peningkatan kadar MDA testis. Peningkatan kadar MDA testis diikuti dengan menurunnya aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Saleh & Agarwal (2002), bahwa ROS pada level yang tinggi dilaporkan berpotensi toksik terhadap kualitas dan fungsi spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara berat relatif testis, konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. Pemberian TKI-RL pada dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari menyebabkan penurunan
berat
relatif
testis,
konsentrasi
spermatozoa
dan
jumlah
sel
spermatogenik secara signifikan. Diduga, pemberian TKI-RL pada kedua dosis IF tersebut terdapat pada konsentrasi tinggi dan berpotensi menimbulkan gangguan sehingga mengakibatkan terhambatnya perkembangan berat testis. Dalam hal ini, pengaruh estrogen eksogen akibat pemberian TKI-RL dengan dosis tinggi adalah bersifat agonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target, yaitu dengan memacu respon estrogen sehingga berpotensi untuk menimbulkan gangguan spermatozoa. Diduga, terjadi kerusakan pada membran plasma spermatozoa sehingga membran tidak utuh dan terbentuk proses peroksidasi lipid yang berkepanjangan. Menurut Sanocka & Kurpisz (2004), tingginya hasil peroksidasi lipid dapat mengganggu proses spermatogenesis, bahkan pada kondisi yang ekstrim mengakibatkan kasus infertilitas. Proses oksidasi pada membran sel spermatozoa yang tidak dapat dicegah pada kelompok yang mendapat perlakuan cekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mg/ekor/hari diduga mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis dan terganggunya produksi spermatozoa, sehingga menyebabkan
berkurangnya
konsentrasi
spermatozoa.
Hasil
pengamatan
morfologi testis terhadap jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi mendukung data yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana rendahnya berat relatif testis diikuti oleh penurunan konsentrasi spermatozoa, dan mengakibatkan penurunan total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir. Rendahnya
138 jumlah sel spermatogenik menunjukkan bahwa proses spermatogenesis terganggu. Hal ini mengakibatkan mekanisme pelepasan butiran sitoplasma juga mengalami gangguan, sehingga spermatozoa akan dilepaskan dari epitel sel benih dengan membawa kelebihan residu sitoplasma. Secara keseluruhan, penurunan kualitas dan fungsi spermatozoa akibat pemberian TKI-RL pada dosis isoflavon tertinggi sebesar 6 mg/ekor/hari menghasilkan angka konsepsi 0% (tidak terjadi kebuntingan pada tikus betina dari 5 ekor yang dikawinkan). Angka konsepsi 0% menunjukkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari menyebabkan infertilitas pada tikus jantan. Kadar MDA tertinggi yang menunjukkan peningkatan peroksidasi lipid terlihat pada kelompok tikus jantan yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari. Tingginya peroksidasi lipid akan mengurangi kapasitas spermatozoa untuk mengalami reaksi akrosom dan fertilisasi,
diduga
karena
hilangnya
fluiditas
membran,
dan
menurunnya
permeabilitas membran, atau inaktivasi enzim yang terlibat dalam reaksi akrosom. Akrosin dan hialuronidase adalah enzim yang terutama terlibat dalam reaksi akrosom (Valcarcel et al. 1997). Hialuronidase berfungsi untuk membuka dinding luar sel telur yang diselimuti oleh selapis sel kumulus ooforus, sedangkan akrosin berfungsi untuk menembus membran luar sel telur / zona pelusida dan menunjang penetrasi spermatozoa pada lendir serviks/mulut rahim (Soeharso 1985). Kerusakan membran plasma spermatozoa akibat tingginya pembentukan ROS dilaporkan menyebabkan peroksidasi pada membran akrosom spermatozoa dan mengurangi aktivitas akrosin (Zalata et al. 2004), serta menurunkan kemampuan spermatozoa untuk melakukan fusi dengan oosit (Saleh et al. 2003; Tremellen 2008). ROS juga dapat mempengaruhi axonem spermatozoa akibat berkurangnya ATP, menghambat fungsi mitokondria, serta sintesis DNA, RNA dan protein pada spermatozoa (Griveau et al. 1995). Spermatozoa dengan DNA yang rusak tidak dapat berperan pada proses fertilisasi karena diiringi dengan kerusakan peroksidatif pada membran plasma (Kodama et al. 1996). Sharma & Agarwal (1996) menyatakan bahwa mekanisme yang bertanggung jawab terhadap gangguan fusi spermatozoa dengan oosit meliputi berkurangnya fluiditas membran plasma sehingga mengubah aktivitas enzim-membran dan kanal ion. Keadaan tersebut secara keseluruhan memberikan pengaruh negatif dan mengganggu fertilitas tikus jantan yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari, terbukti dengan tidak terdeteksi adanya kebuntingan pada tikus betina (tikus jantan menjadi infertil). Menurut Evenson et al. (2002) diacu dalam Agarwal & Said (2003), ketika
≥ 30% DNA spermatozoa mengalami kerusakan karena struktur kromatin yang abnormal, tidak mungkin terjadi kehamilan pada betina.
139 Tikus jantan yang dicekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari menghasilkan angka konsepsi pada tikus betina sebesar 0% (tidak terjadi kebuntingan pada tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan perlakuan). Hal ini menunjukkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis tersebut mengakibatkan kasus infertilitas pada tikus jantan. Namun, pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan kadar hormon testosteron dan jumlah sel Leydig tertinggi. Salah satu fungsi hormon testosteron yang disintesis oleh sel Leydig adalah mempengaruhi tingkat libido dan perkembangan kelenjar-kelenjar pelengkap organ reproduksi hewan jantan. Robbins (1996) menyatakan bahwa tingkat libido yang rendah pada jantan berhubungan dengan rendahnya konsentrasi hormon testosteron, sehingga semakin tinggi kadar hormon testosteron, libido juga semakin tinggi. peningkatan
kadar
hormon
testosteron
dalam
darah
akan
Namun
menyebabkan
mekanisme umpan balik negatif (negative feedback mechanism) terhadap hipofisis sehingga produksi LH dan FSH menurun, sehingga mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis (Hafez & Hafez 2000). Penurunan kualitas dan fungsi spermatozoa tikus jantan (menjadi infertil) akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari terlihat dari menurunnya berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; meningkatnya butiran sitoplasma, serta kadar MDA testis; menurunnya aktivitas enzim SOD testis; serta menurunnya kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal. Namun, penurunan kualitas dan fungsi spermatozoa tersebut tidak mengganggu perilaku seksual atau tidak mengganggu libido tikus jantan. Hal ini didukung oleh data angka kopulasi pada tikus betina sebesar 100% dan dihasilkannya kadar hormon testosteron tertinggi pada tikus jantan perlakuan. Tidak terganggunya libido tikus jantan, dapat dijelaskan sebagai berikut : Tikus tergolong hewan poliestrus dan dalam kondisi estrus, tikus betina tidak menolak untuk dinaiki hewan jantan. Dalam penelitian ini, tikus betina dalam kondisi estrus digabung dengan tikus jantan (penentuan kondisi estrus dilakukan melalui pengamatan ulas vagina). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kopulasi pada kelima kelompok tikus betina yang dikawinkan dengan kelima kelompok jantan perlakuan sebesar 100%. Terjadinya kopulasi terdeteksi dengan adanya spermatozoa pada vagina tikus betina melalui pengamatan ulas vagina. Hal ini menunjukkan bahwa kelima kelompok tikus betina terbukti telah berhasil dikawini oleh kelima kelompok tikus jantan perlakuan, sehingga pemberian cekok isoflavon pada keempat tingkatan dosis tidak berpengaruh negatif terhadap libido tikus jantan. Namun hasil pengamatan angka kebuntingan pada hari ke-15 (H-15) sejak terdeteksi adanya spermatozoa, menunjukkan tidak terjadi kebuntingan pada
140 tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan yang dicekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari. Keadaan ini mengindikasikan bahwa tikus jantan menjadi infertil akibat pengaruh perlakuan cekok TKI-RL dosis IF 6 mg/ekor/hari. Dengan demikian disimpulkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari menyebabkan kasus infertilitas, namun tidak berpengaruh terhadap penurunan libido tikus jantan.
141 KESIMPULAN UMUM Tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan Vitamin E (Penelitian Tahap I) 1. Terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan yang menyebabkan : •
terhambatnya pembentukan peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan menurunnya kadar MDA testis
•
aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi
•
kandungan Cu,Zn-SOD tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal dipertahankan tetap tinggi
•
meningkatnya motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testostreron serum, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis
•
Fertilitas paling baik dibanding pemberian secara tunggal atau dua kombinasi diantaranya.
2. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan vitamin E pada tikus jantan tidak berpengaruh terhadap berat testis, serta angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina. 3. Perlakuan yang menunjukkan fertilitas tikus jantan terbaik adalah pemberian secara lengkap : tepung
kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon
3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum. Tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis (Penelitian Tahap II) 1. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis terhadap tikus jantan tidak berpengaruh terhadap abnormalitas spermatozoa. 2. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada dosis isoflavon 6 mg/ekor/hari pada tikus jantan menyebabkan kasus infertilitas, namun tidak mempengaruhi libido (angka kopulasi pada tikus betina sebesar 100%, namun angka konsepsi sebesar 0%). 3. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig pada tikus jantan. 4. Dosis isoflavon optimum yang menghasilkan fertilitas tikus jantan terbaik adalah 1.5 mg/ekor/hari dan menyebabkan : •
meningkatnya berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis
142 •
terhambatnya pembentukan peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan menurunnya kadar MDA testis
•
aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi
•
kandungan Cu,Zn-SOD tubuli seminiferi testis pada sel spermatosit dan spermatid awal dipertahankan tetap tinggi SARAN Masih perlu dilakukan uji klinis untuk mengetahui efektivitas isoflavon yang
terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon sebelum diaplikasikan sebagai suplemen untuk meningkatkan fertilitas.
143 DAFTAR PUSTAKA Adeoya-Osiguwa SS, Markoulaki S, Pocock V, Milligan SR, Fraser LR. 2003. 17ßestradiol and environmental estrogens significantly affect mammalian sperm function. Hum Reprod 18(1):100-107 Ae-Son Om, Chung KW. 1996. Dietary zinc deficiency alters 5α-reduction and aromatization of testosterone and androgen and estrogen receptors in rat liver. J Nutr 126:842-848. Agarwal A, Said TM. 2003. Role of sperm chromatin abnormalities and DNA damage in male infertility. Hum Reprod Update 9(4):331-345 Agarwal A, Prabakaran SA, Said TM. 2005. to sperm. J Androl 26(6): 654-669
Prevention of oxidative stress injury
Aitken RJ, Clarkson JS. 1987. Cellular basis of defective sperm function and its association with the genesis of reactive oxygen species by human spermatozoa. J Reprod Fertil 81:459-469 Aitken RJ, Harkiss D, Buckingham D. 1993. Relationship between iron-catalyzed lipid peroxidation potential and human sperm function. J Reprod Fertil 98:257-265 Aitken RJ. 1997. Molecular mechanisms regulating human sperm function. Mol Hum Reprod 3(3):169-173 Aitken RJ. 2000. Possible redox regulation of sperm motility activation. J Androl 21(4):491-496 Almatsier S. 2002. Jakarta.
Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Alvarez JG, Storey BT. 1982. Spontaneous lipid peroxidation in epididymal spermatozoa. It’s effect on sperm motility. Biol Reprod 27:1102-1108. Alvarez JG, Touchstone JC, Blasco L, Storey BT. 1987. Spontaneous lipid peroxidation and production of hydrogen peroxide and superoxide in human spermatozoa : superoxide dismutase as major enzyme protectant against oxygen toxixity. J Androl 8:338-348 Amic D, Beslo D, Trinajstic N. 2003. Structure-radical scavenging activity relationship of flavonoids. Croat Chem Acta 76(1):56-61 AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. Di dalam Schmidl MK, Labuza TP, editor. Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. p. 239-269. Anthony MS, Clarkson TB, Hughes Jr CL, Morgan TM, Burke GL. 1996. Soybean isoflavones improve cardiovascular risk factors without affecting the reproductive system of peripubertal rhesus monkeys. J Nutr 126:43-50
144 Arora A, Nair MG, Strasburg GM. 1998. Structure – activity relationships for antioxidant activities of a series of flavonoids in a liposomal system. Free Radic Biol & Med 24(9):1355-1363 Arsyad KM. 2001. Medical therapy of male infertility. Maj Kedok Indon 51(5):176180 Asmarinah. 2005. Mutasi gen pada pria infertil dengan astenozoospermia. Di dalam Buku Kumpulan Makalah/Abstrak . Andrologi : Sesuatu yang Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta. Astuti S. 1999. Pengaruh Tepung Kedelai dan Tempe dalam Ransum terhadap Fertilitas Tikus Percobaan [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase (SOD) testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn), dan vitamin E. Majalah Kedokteran Bandung (In press). Publikasi pada volume 40 (2) Edisi Juli 2008. Atanassova N et al. 2000. Comparative effects of neonatal exposure of male rats to potent and weak (environmental) estrogens on spermatogenesis at puberty and the relationship of adult testis size and fertility : evidence for stimulatory effect of low estrogen levels. Endocrinol 141:3898-3907 Baker DEJ. 1979. Reproduction and Breeding. Di dalam Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH, editor. The Laboratory Rat. Vol I. Biology and Diseases. Academic Press Inc. San Diego. Baker HWG, Brindle J, Irvine DS, Aitken RJ. 1996. Protective effect of antioxidants on the impairment of sperm motility by activated polymorphonuclear leukocytes. Fertil Steril 65(2):411-419. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2005. Prosedur Pengujian Isoflavon dengan HPLC. Bogor. Bauche F, Fouchard MH, Jegou B. 1994. Antioxidant system in rat testicular cells. FEBS Lett 349:392-396 Bensoussan K, Morales CR, Hermo L. 1998. Vitamin E deficiency causes incomplete spermatogenesis and affects the structural differentiation of epithelial cells of the epididymis in the rat. J Androl 19(3):266-288 Bourgeron, T. 2000. Mitochondrial function and male fertility. Results Probl. Cell Differ. 28: 187-210 Brzozowski AM et al. 1997. Molecular basic of agonism and antagonism in the oestrogen receptor. Nature 389:753-758 Cao G, Sofic E, Prior RL. 1997. Antioxidant and prooxidant behavior of flavonoids: structure-activity relationship. Free Rad Biol & Med 22(5):749-760 Carreau S, Genissel C, Bilinska B, Levallet J. 1999. Sources of oestrogen in the testis and reproductive tract of the male. Inter J Androl 22:211-223
145 Carreau S et al. 2003. Aromatase expression and role of estrogen in male gonad : a review. Reprod Biol Endocrinol 1:35 Cassidy A, Bingham S, Setchell KRD. 1994. Biological effects of soy protein rich in isoflavones on the menstrual cycle of premenopausal woman. Am J Clin Nutr 60:333-340 Castelluccio C, Bolwell GP, Gerrish C, Rice-Evans C. 1996. Differential distribution of ferulic acid to the major plasma constituens in relation to its potential as an antoxidant. J Biochem 316:691-694 Colenbrander B, Fazeli AR, Van Buiten A, Parlevliet J, Gadella BM. 1992. Assesment of sperm cell membran integrity in the horse. Acta Vet Scand Suppl. 88:49-58 Combs GF. 1992. The Vitamins. Fundamental Aspects in Nutrition and Health. Academic Press, Inc. New York. Cook RB, Coulter GH, Kastelic JP. 1994. The testicular vascular cone, scrotal thermoregulation, and their relationship to sperm production and seminal quality in beef bulls. Theriogenol 41:653-671 Corah L. 1996. Trace mineral requirement of grazing Sci Technol 59:61-70.
cattle.
Anim Feed
Corwin LM, Gordon RK. 1982. Vitamin E and immune regulation. Ann New York Acad Sci 393:437-443. Chesters JK. 1997. Zinc. Di dalam O’Dell BL, Sunde RA, editor. Handbook of Nutritionally Essential Mineral Elements. Marcel Dekker, Inc. New York. p. 185-214. Chow CK. 2001. Vitamin E. Di dalam Rucker RB, Suttie JW, McCormick DB, Machlin LJ, editor. Handbook of Vitamins. Third Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. p.165-197. Clarkson PM, Thompson HS. 2000. Antioxidants : what role do they play in physical activity and health ? Am J Clin Nutr 72 (Suppl):637S-646S. de Lamirande E, Gagnon C. 1992. Reactive oxygen species and human spermatozoa : Effects on the motility of intact spermatozoa and on sperm axonemes. J Androl 13(5):368-378 de Lamirande E, Jiang H, Zini A, Kodama H, Gagnon C. 1997. Reactive oxygen species and sperm physiology. Rev Reprod 2:48-54 Diagnostic Products Corporation. 2003. Corporate Offices, USA.
Coat-A-Count® Total Testosterone.
Fujii J, Iuchi Y, Matsuki S, Ishii T. 2003. Cooperative function of antioxidant and redox systems against oxidative stress in male reproductive tissues. Asian J Androl 5:231-242 Freisleben HJ. 1999. Free Radical and The Antioxidant Network. Di dalam Freisleben HJ & Deisinger B, editor. Free Radical-related Diseases and Antioxidants in Indonesia. St. Augustin, Germany.
146 Fritz WA, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA. 2002. Dietary genistein downregulates endrogen and estrogen receptor expression in the rat prostate. Moll Cell Endocrinol 186:89-99. Fritz WA, Eltoum IE, Cotroneo MS, Lamartiniere CA. 2003. Genistein alters growth but is not toxic to the rat prostate. J Nutr 132:3007-3011. Geva E et al. 1996. Effects of antioxidants treatment. Fertil Steril 66(3):430-434 Geva E, Lessing JB, Lerner-Geva L, Amit A. 1998. Free radical, antioxidant and human spermatozoa : clinical implications. Hum Reprod 13(6):1415-1424. Gitawati R. 1995. Radikal bebas – sifat dan peran dalam menimbulkan kerusakan/kematian sel. Cermin Dunia Kedok 102:33-36. Gomez E et al. 1996. Development of an image analysis system to monitor the retention of residual cytoplasm by human spermatozoa : correlation with biochemical markers of the cytoplasmic space, oxidative stress, and sperm function. J Androl 17:276-287. Gordon MH. 1990. The Mechanism of Antioxidants Action In Vitro. Di dalam Hudson BJF, editor. Food Antioxidants. Elsevier Applied Science London-New York. Griveau JF, Dumont E, Renard P, Callegari JP, Le Lannou D. 1995. Reactive oxygen species, lipid peroxidation and enzymatic defence systems in human spermatozoa. J Reprod Fertil 103:17-26 Habito RC, Montalto J, Leslie E, Ball MJ. 2000. Effect of replacing meat with soybean in the diet on sex hormone concentration in healthy adult males. Br J Nutr 84(4):557-563. Hafez B, Hafez ESE. Philadephia.
2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger,
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. Third Edition. Oxford University Press, Inc., New York. Halsted JA, Smith JC Jr, Irwin MI. 1974. A conspectus of research on zinc requirements of man. J Nutr 104(3):347-378 Harborne JB. 1992. New York.
The Flavonoids.
Chapman and Hall. London and
Harris ED. 1992. Copper as a cofactor and regulator of copper, zinc superoxide dismutase. J Nutr 122:636-640. Heim KE, Tagliaferro AR, Bobilya DJ. 2002. Flavonoid : chemistry, metabolism and structure-activity relationship. J Nutr Biochem 13:572-584 Helferich WG, Allred CD, Ju Young-Hwa. 2001. Dietary Estrogens and Antiestrogens. Di dalam : Helferich W & Winter CK, editor. Food Toxicology. CRC Press, Boca Raton. hlm. 37-55
147 Hellstrom WJG, Bell M, Wang R, Sikka SC. 1994. Effect of sodium nitroprusside on sperm motility, viability and lipid peroxidation. Fertil Steril 61(6):11171122. Hess RA. 2003. Estrogen in the adult male reproductive tract : a review. Reprod Biol Endocrinol 1:52 Hidiroglou M, Knipfel JE. 1984. Zinc in mammalian sperm : a review. J Dairy Sci 67:11476-1156 Huang CJ, Fwu ML. 1993. Degree of protein deficiency affects the extent of the depression of the antioxidative enzyme activities and the enhancement of tissue lipid peroxidation in rats. J Nutr 123:803-810. Hunt CD, Johnson PE, Herbel JL, Mullen LK. 1992. Effects of dietary zinc depletion on seminal volume and zinc loss, serum testosterone concentrations, and sperm morphology in young men. Am J Clin Nutr 56:148-157. Hsu PC, Liu ML, Hsu CC, Chen LY, Guo YL. 1998. Effect of vit E and/or C on reactive oxygen species – related lead toxicity in the rat sperm. Toxicol 128 (3):169-179. Indiana Soybean Board. 1998. Isoflavone Concentration in Soy http://www.soyfood.com/nutrition/isoflavoneconcentration.html.
Foods.
Iwasaki A, Gagnon C. 1992. Formation of reactive oxygen species in spermatozoa of infertile patients. Fertil Steril 57(2):409-416. Jadhav SJ, Nimbalkar SS, Kulkarni AD, Madhavi DL. 1996. Lipid Oxidation in Biological and Food Systems. Di dalam Madhavi DL, Deshpande SS, Salunkhe DK, editor. Food Antioxidants, Technological, Toxicological and Health Perspectives. Marcel Dekker, Inc. New York. p. 5-53. Janulis L et al. 1998. Rat testicular germ cells and epididymal sperm contain active P450 aromatase. J Androl 19(1):65-71 Junqueira LC, Jose C, Robert OK. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Diterjemahkan Tambayong. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Kao-Shu Huei, Chao Hsiang-Tai, Wei Yau-Huei. 1998. Multiple deletions of mitochondrial DNA are associated with the decline of motility and fertility of human spermatozoa. Mol Hum Reprod 4(7):657-666 Kessopoulou E et al. 1995. A-double blind randomized placebo cross-over controlled trial using the antioxidant vitamin E to treat reactive oxygen species associated male infertility. Fertil Steril 64(4): 825-831. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Pergamon Press. Oxford-England Kim OS. 2005. Radical scavenging capacity and antioxidant activity of the E vitamer fraction in rice bran. J Food Sci. 70(3):208-213 Kodama H, Kuribayashi Y, Gagnon C. 1996. Effect of sperm lipid peroxidation on fertilization. J Androl 17(2):151-157
148 Kuiper, GGJM, Enmark E, Pelto-Huikko M, Nilsson S, Gustafsson JA. 1996. Cloning of a novel receptor expressed in rat prostate and ovary. Proc Natl Acad Sci USA 93:5925-5930 Kuiper GGJM et al. 1997. Comparison of the ligand binding specificity and transcript tissue distribution of estrogen receptors alpha and beta. Endocrinol 138:863-870 Klotz LO, Kroncke KD, Buchczyk DP, Sies H. 2003. Role of copper, zinc, selenium and tellurium in the cellular defence against oxidative and nitrosative stress. J Nutr 133:1488S-1451S. Landvik SV, Diplock AT, Packer L. 2002. Efficacy of Vitamin E in Human Health and Disease. Di dalam Cadenas E, Packer L, editor. Handbook of Antioxidants. Marcel Dekker, Inc. New York. p.75-90. Langseth L. 2000. Antioxidants and Their Effect on Health. Di dalam Schmidl MK, Labuza TP, editor. Essentials of Functional Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. p. 303-317. Lee J, Koo N, Min DB. 2004. Reactive oxygen species, aging, and antioxidative nutraceuticals. Compre Rev in Food Sci and Food Safety 3:21-33 Lewis SEM, Boyle PM, McKinney KA, Young IS, Thompson W. 1995. Total antioxidant capacity of seminal plasma is different in fertile and infertile men. Fertil Steril 64(4):868-870. Liebler DC, Burr JA. 1992. Oxidation of vitamin E during iron-catalyzed lipid peroxidation: Evidence for electron-transfer reactions of tocopheroxyl radical. Biochem 31:8278-8284 Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Parakkasi. Jakarta: UI Press.
Diterjemahkan oleh A.
Luconi M, Bonaccorsi L, Forti G, Baldi E. 2001. Effects of estrogenic compounds on human spermatozoa : evidence for interaction with a nongenomic receptor for estrogen on human sperm membrane. Molec Cell Endocrinol 178:39-45 Luconi M, Forti G, Baldi E. 2002. Genomic and nongenomic effect of estrogens : molecular mechanisms of action and clinical implications for male reproduction. J Steroid Biochem & Molec Biol 80:369-381 Machlin LJ. 1991. Hand Book of Vitamin. Second Edition. Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc.
Revised and
Martin S. 1983. Naturally Occuring Food Toxicans : Estrogens. Di dalam: Miloslav R Jr, editor. Handbook of Naturally Occuring Food Toxicans. Boca Raton Florida: CRC Press. p.81-100. Matsuura M, Obata A. 1993. ß-Glucosidases from soybeans hydrolyzed daidzin and genistin. J Food Sci 58(1):144-147. Mayes PA. 1995. Struktur dan Fungsi Vitamin yang Larut dalam Lemak. Di dalam Ronardy DH, Oswari J, editor. Biokimia Harper. Diterjemahkan oleh Hartono A. Jakarta: EGC. hlm. 681-691.
149 Miksicek RJ. 1994. Interaction of naturally occurring nosteroidal estrogens with expressed recombinant human estrogen receptor. J Steroid Biochem Molec Biol 49:153-160. Mimura A. 2003. Protocols for measurements of antioxidative activities. Department of Applied Chemistry and Biotechnology, Faculty of Engineering, University of Yamanashi. Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive health in normal males. Clin Sci 100:613-618. Moeloek N. 1990. Beberapa perkembangan mutakhir di bidang andrologi. Maj Kedokt Indon 8:445-453 Morton MS, Arisaka O, Miyake N, Morgan LD, Evans BA. 2002. Phytooestrogen concentrations in serum from Japanese men and women over forty years of age. J Nutr 132:168-171 Muchtadi D. 2008. Gizi Anti Penuaan Dini. Pangan, Fateta IPB Bogor.
Departemen Ilmu dan Teknologi
Mc Cord J, Fridovich I. 1969. Di dalam : Kartikawati D. 1999. Studi Pengaruh Protektif Vitamin C dan Vitamin E terhadap Respon Imun dan Enzim Antioksidan pada Mencit yang Dipapar Paraquat [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nabet FB. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam sistem biologis. Di dalam Zakaria FR, Dewanti R, Yasni S (eds.) : Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Perancis, Jakarta. Nagata C, Takatsuka N, Inaba S, Kawakami N, Shimizu H. 1998. Effect of soymilk comsumption on serum estrogen concentrations in premenopausal Japanese women. J Natl Cancer Inst 90:1830-1835 Nagata C et al. 2001. Effect of soymilk consumption on serum estrogen and androgen concentrations in Japanese men. Cancer Epidemiol Biom Prev 10:178-184 Nebot C et al. 1993. Spectrophotometric assay of superoxide dismutase activity based on the activated autooxidation of a tetracyclic cathecol. Anal Biochem 214:442-451 Nenadis N, Tsimidou M. 2002. Observations on estimation of scavenging activity of phenolic compounds using rapid 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) test. JAOCS 79: 1191-1195. Nijveldt RJ et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential applications. Am J Clin Nutr 74:418-425 Nitta H et al. 1993. Germ cells of the mouse testis express P450 aromatase. Endocrinol 132:1396-1401
150 O’Connell M, McClure N, Lewis SE. 2002. Mitochondrial DNA deletions and nuclear DNA fragmentation in testicular and epididymal human sperm. Hum Reprod 17:1565-1570 O’Donnell L, Robertson KM, Jones ME, Simpson ER. spermatogenesis. Endocrine Rev 22(3) :289-318
2001.
Estrogen and
Om Ae-son, Chung KW. 1996. Dietary zinc deficiency alters 5α-reduction and aromatization of testosterone and androgen and estrogen receptors in rat liver. J Nutr 126:842-848. Oteiza PI, Olin KL, Fraga CG, Keen CL. 1995. Zinc deficiency causes oxidative damage to proteins, lipids and DNA in rat testes. J Nutr 125:823-929. Oteiza PI, Erlejman AG, Verstraeten SV, Keen CL, Fraga CG. 2005. Flavonoidmembrane interactions : A protective role of flavonoids at the membrane surface ? Clin & Dev Immunol 12(1):19-25 Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Peltola V, Huhtaniemi I, Ahotupa M. 1992. Antioxidant enzyme activity in the maturing rat testis. J Androl 13(5):450-455 Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2001. Antioxidant in Food. CRC Press, Boca Raton, USA. Potts RJ, Jefferies TM, Notarianni LJ. 1999. Antioxidant capacity of the epididymis. Hum Reprod 14(10):2513-2516 Prasad AS. 1991. Discovery of human zinc deficiency and studies in an experimental human model. Am J Clin Nutr 53:403-412. Rajasekaran M, Hellstrom WJ, Naz RK, Sikka SC. 1995. Oxidative stress and interleukins in seminal plasma during leuckocytospermia. Fertil Steril 64:166-171 Regina BF, Traber MG. 1999. Vitamin E : function and metabolism. Faseb J 13:1145-1155 Revelli A, Massobrio M, Tesarik J. 1998. Nongenomic action of steroid hormones in reproductive tissues. Endocrine Rev 19(1):3-17 Rice-Evans CA, Miller NJ, Paganga G. 1997. Antioxidant properties of phenolic compounds. Trends in Plant Sci 2:152-159 Robertson KM, O’Donnell L, Simpson ER, Jones MEE. 2002. The phenotype of the aromatase knockout mouse reveals dietary phytooestrogens impact significantly on testis function. Endocrinol 143(8):2913-2921 Robbins A. 1996. Androgens and male sexual behavior. Trends Endocrinol Metab 7:345-350 Rogers AE. 1979. Nutrition. Di dalam: Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH, editor. The Laboratory Rat. Vol. I. Biology and Diseases. San Diego: Academic Press.
151 Ruggiero RJ, Pharm D, Likis FE. 2002. Estrogen : physiology, pharmacology, and formulations for replacement therapy. J Midwifery & Women’s Health 47(3):130-138 Safe S. 2000. Endocrine disruptors and human health – is there a problem? An update. Environ Health Perspect 108:487-493. Saija A et al. 1995. Flavonoids as antioxidant agents : importance of their interaction with biomembranes. Free Radic Biol & Med 19(4):481-486 Saleh RA, Agarwal A. 2002. Oxidative stress and male infertility: from research bench to clinical practice. J Androl 23(6):737-752 Saleh RA et al. 2003. Evaluatin of nuclear DNA damage in spermatozoa from infertile men with varicocele. Fertil Steril 80:1431-1436 Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Fisologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Diterjemahkan oleh Djanuar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sanocka D, Kurpisz M. 2004. Reactive oxygen species and sperm cells. Reprod Biol Endocrinol 2:12. Senger PL. 1999. Pathway to Pregnancy and Parturition Current Conception. Washington State University, Inc. Sevanian A, Wratten ML, Mac Leod LL, Kim E. 1988. Lipid peroxidation and phospholipase A2 activity in liposomes composed of unsaturated phospholipids : a structural basis for enzyme activation. Biochem Biophys Acta 961:316-327 Setchell KDR, Brown NM, Lydeking-Olsen E. 2002. The clinical importance of the metabolit equol – a clue to the effectiveness of soy and its isoflavones. J Nutr 132:3577-3584. Setchell KDR, Zimmer-Nechemias L, Cai J, Heubi JE. 1998. Isoflavone content of infant formulas and the metabolit fate of these phytoestrogens in early life. Am J Clin Nutr 68(suppl):1453S-1461S. Sikka SC, Rajasekaran M, Hellstrom WJG. 1995. Role of oxidative stress and antioxidants in male infertility. J Androl 16(6):464-468 Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology. J Androl 25(1):5-18 Singh RP, Murthy KNC, Jayaprakasha GK. 2002. Studies on the antioxidant activity of pomegranate (Punica granatum) peel and seed extracts using in vitro model. J Agric Food Chem 50:81-86 Soeharso P. 1985. Beberapa Aspek Biokimia Plasma Semen dan Spermatozoa. Di dalam: Peranan Kesuburan dan Potensi Seks Pria dalam Kebahagiaan Perkawinan. Simposium untuk Orang Awam. Jakarta. hlm 109-114. Su YL et al. 2004. Antioxidant activity of tea theaflavins and methylated catechin in canola oil. JAOCS 31(3) : 269-274
152 Sugihara N, Ohnishi M, Imamura K, Furuno K. 2001. Differences in antioxidative efficiency of cathecins in various metal-induced lipid peroxidation in cultured hepatocytes. J of Health Sci 47(2):99-106 Suleiman SA, Ali ME, Zaki ZM, el-Manik EM, Nasr MA. 1996. Lipid peroxidation and human sperm motility : protective role of vitamin E. J Androl 17(5):530-537. Supari F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit. Di dalam Zakaria FR, Dewanti R, Yasni S, editor. Di dalam : Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Perancis, Jakarta. Suryohudoyo P. 2007. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. CV Sagung Seto, Jakarta. Schmild MK, Labuza TP. 2001. Essentials of Functional Foods. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland. Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat. Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schreiber WE. 1984. Medical Aspect of Biochemistry. Boston: Little, Brown and Company. Sharma RK, Agarwal A. 1996. Role of reactive oxygen species in male infertility. Urology 48(6):835-850 Sharpe RM. 1998. The roles of oestrogen in the male. TEM 9(9):371-377 Sharpe RM, Skakkebaek NE. 1993. Are oestrogens involved infalling sperm counts and disorders of reproductive tract ? Lancet 341:1392-1395 Shils ME, Olson JA, Shike M. 1994. Modern Nutrition in Health and Disease. Vol I. Lea and Febiger, Philadelphia. Storey BT. 1997. Biochemistry of the induction and prevention of lipoperoxidative damage in human spermatozoa. Mol Hum Reprod 3(3):203-213 Taneja SK, Chadha S, Arya P. 1995. Lipid-zinc interaction : its effect on the testes of mice. Br J Nutr 73:723-731. Taylor CG, Bettger WJ, Bray TM. 1988. Effect of dietary zinc or copper deficiency on the primary free radical defense system in rats. J Nutr 118:613-621. Taylor CT. 2001. Antioxidant and reactive oxygen species in human fertility. Environ Toxicol Pharmacol 10(4):189-198. Tendean OS. 2005. Terapi sulih testosteron pada gangguan spermatogenesis. Di dalam : Buku Kumpulan Makalah/Abstrak . Andrologi : Sesuatu yang Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta. Toda S, Shirataki Y. 1999. Inhibitory effect of isoflavones on lipid peroxidation by reactive oxygen species. Phytother Res 13:163-165
153 Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Therond P, Auger J, Legrand A, Jouannet P. 1996. Alpha-tocopherol in human spermatozoa and seminal plasma relationship with motility antioxidant enzymes and leukocytes. Mol Hum Reprod 2(10): 739-7 Tremellen K. 2008. Oxidative stress and male infertility – a clinical perspective. Hum Reprod Update 14(3):243-258 Valcarcel A, de las Heras MA, Peres L, Moses DF, Baldassarre H. 1997. Assesment of the acrosomal status of membran-intact ram spermatozoa after freezing and thawing by simultaneous lectin/Hoechst 33258 staining. Anim Reprod Sci 45:299-309 Vernet P, Fulton N, Wallace C, Aitken RJ. 2001. Analysis of reactive oxygen species generating systems in rat epididymal spermatozoa. Biol Reprod 65:1102-1113 Villegas J et al. 2003. Reactive oxygen species induce reversible capacitation in human spermatozoa. Androlog 35:227-232 Wresdiyati T, Mamba K, Adnyane IKM, Aisyah US. 2002. The effect of stress condition on the intracellular antioxidant copper, zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in the rat kidney : an immunohistochemical study. Hayati 9(3):85-88. Yamauchi R, Noro H, Shimoyamada M, Kato K. 2002. Analysis of vitamin E and its oxidation products by HPLC with electrochemical detection. Lipids 37:515-522 Zalata AA, Ahmed AH, Allamaneni SS, Comhaire FH, Agarwal A. 2004. Relationship between acrosin activity of human spermatozoa and oxidative stress. Asian J Androl 6:313-318
154 Lampiran 1. Kromatogram HPLC TKI-RL
Lampiran 2. Perhitungan kandungan senyawa isoflavon TKI-RL
155 Lampiran 2. Perhitungan kandungan senyawa isoflavon TKI-RL Penentuan Kadar Isoflavon : Area sampel
x konsentrasi standar x 10 ml
Area standar
0.5 g
Hasil Perhitungan : Daidzein (Peak no 6) = 165763 x 0.08 x 10 = 1.03% 258545 Genistein (Peak no 9) = 77938
0.5 x 0.08 x 10 = 0.51%
242337
0.5
Glisitein (Peak no 11) = 130172 x 0.08 x 10 = 0.68% 305523
0.5
Kadar Isoflavon Total
= 2.22%
Lampiran 3. Contoh perhitungan dosis isoflavon untuk cekok Kadar total isoflavon pada tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) = 2.22% = 2.22 g/100 g = 2220 mg isoflavon/100 g 2220 mg isoflavon =
3 mg isoflavon
100 g TKI-RL
X g TKI-RL X
=
0.135 g TKI-RL = 135 mg TKI-RL
¾ Setiap ekor tikus mendapat 135 mg TKI-RL yang mengandung kadar isoflavon 3 mg, diberikan pada tikus dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung. 135 mg TKI-RL dilarutkan dalam 1 ml aquades. Perkelompok menggunakan 5 ekor tikus. TKI-RL yang diperlukan per kelompok (untuk 5 ekor tikus) adalah : = 135 mg TKI-RL x 5 ekor = 675 mg TKI-RL
Dilarutkan dalam 5 ml aquadest
Dalam rancangan penelitian TAHAP I, terdapat 4 kelompok yang mendapat perlakuan cekok TKI-RL mengandung isoflavon (I; IZ; IE; IZE), masing-masing dicekok sebanyak 1 ml.
156 Lampiran 4. Perhitungan penambahan ZnSO4.7H20 Dari komposisi mineral mix : ZnSO4.7H20
0.548 g
Komposisi mineral mix total = 999.848 g Mineral mix yang dibutuhkan dalam penyusunan ransum adalah : 5% 5
x
1000 g
=
50 g/kg ransum
100 Zn yang terkandung dalam ransum : 0.548 g
x
100 %
=
0.0548%
999.848 g 0.0548
x
50 g/kg ransum = 0.0274 g/kg ransum = 27.4 mg/kg ransum
100 ¾ Dalam 1 kg mineral mix yang digunakan sebagai sumber mineral pada penyusunan ransum mengandung 27.4 mg ZnSO4.7H20 (Kadar ZnSO4.7H20 dari mineral mix sebesar 27.4 mg) ¾ ZnSO4.7H20 yang ditambahkan adalah 27 mg ZnSO4.7H20/kg ransom Lampiran 5. Perhitungan penambahan Zn elemental ZnSO4.7H20 yang ditambahkan adalah 27 mg ZnSO4.7H20/kg ransum Kandungan Zn dalam ZnSO4.7H20 : BA Zn
x
gr ZnSO4.7H20
BM ZnSO4.7H20 65.38
x
0.027 g
=
0.00614 g Zn
=
6.14 mg Zn (elemental)
287.429
157 Lampiran 6. Perhitungan penambahan vitamin E dl-α- tokoferol asetat : 100 mg/tablet salut (Evion - Merck) Kebutuhan vitamin E yang diperlukan tikus sebesar 10 IU/100 g ransum (AOAC 1990) 1 mg dl-α -tokoferol asetat = 1 IU (Shills 1994) 1 IU
→ 1 mg vitamin E
10 IU → 10 mg/100 g ransum → 100 mg/1000 g ransum → 100 mg/kg ransum Vitamin E yang diperlukan tikus = 100 mg /kg ransum 100 mg dl-α-tokoferol asetat/ tablet salut (Evion - Merck) Dalam 1 tablet → berat salut = 0.5 g Berat 1 tablet = 1 g Vitamin E 100 mg
= 1 – 0.5 g = 0.5 g =
0.5 g
100 mg Xg
X
=
0.5 g
X
=
500 mg
¾ Dilakukan penimbangan terhadap Evion yang telah dibuang salutnya sebesar 500 mg/kg ransum → sehingga diperoleh dosis vitamin E dalam ransum sebesar 100 mg/kg ransum.
158 Lampiran 7. Prosedur pembuatan sediaan histologi Organ Testis Fiksasi dengan Bouin (24 jam) Stopping point dengan alkohol 70% Dehidrasi dengan alkohol bertingkat Clearing dengan xylol Embedding dalam parafin Sectioning dengan mikrotom (4 μm) Pewarnaan Lampiran 8. Prosedur pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) Deparafinasi-Rehidrasi (@ 3 menit) Air mengalir (5menit) Aquadest (5 menit) Hematoxylin (20 detik) Air mengalir (5menit) Aquades (5 menit) Eosin (2 menit) Aquades (5 menit) Dehidrasi (@ 1-3 menit) Clearing (1-3 menit)
Mounting
159 Lampiran 9. Prosedur pewarnaan Cu,Zn-SOD secara Imunohistokimia Deparafinasi-Rehidrasi (@ 3 menit) DW (15 menit) H2O2 dalam metanol (15 menit) DW 2x (@10 menit) PBS 2x (@10 menit) Normal serum 60 µl/preparat Inkubasi 370C (60 menit) PBS 3x (5 menit) Antibodi monoklonal Cu,Zn-SOD 60 µl/preparat Inkubasi Refrigerator (2 malam) PBS 3x (10 menit) Antibodi sekunder (Dako envision peroxidase) 60 µl/preparat Inkubasi 37 oC, gelap, 60 menit PBS 3x (5 menit) Diamino Benzidine (DAB) + H2O2 (gelap, 25 menit) Cek mikroskop DW (Stopping point) Counterstain dengan Hematoxylin Deionized Water Dehidrasi, Clearing, Mounting
160 Lampiran 10. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap kadar MDA testis (nmol/g) (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
Db
JK 5 24 29
2.340357 0.511176 2.851533
KT 0.468071 0.021299
F Hitung 21.9762*
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 11 . Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap aktivitas SOD testis (U/g) (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 24 29
243853.5 25284.94 269138.5
KT 48770.71 1053.539
F Hitung 46.29226*
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 12. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif kuat terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
19440.31 7327.556 26767.87
KT 3888.063 152.6574
F Hitung 25.46921*
F Tabel (5 %) 2.408514
Lampiran 13. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif sedang/lemah terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
30933.5 3345.333 34278.83
KT 6186.7 69.69444
F Hitung 88.76891*
F Tabel (5 %) 2.408514
Lampiran 14. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi negatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
6062.593 5547.333 11609.93
KT 1212.519 115.5694
F Hitung 10.49169*
F Tabel (5 %) 2.408514
161 Lampiran 15. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap motilitas spermatozoa (%) (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 24 29
518.5417 225 743.5417
KT 103.7083 9.375
F Hitung 11.06222*
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 16. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap konsentrasi spermatozoa (juta/ml) (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 24 29
572990.1 117585.2 690575.3
KT 114598 4899.381
F Hitung 23.39031*
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 17. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap abnormalitas spermatozoa (%) (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 24 29
97.87646 22.67408 120.5505
KT 19.57529 0.944753
F Hitung 20.72*
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 18. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap berat relatif testis (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 24 29
0.004964 0.030573 0.035537
KT 0.000993 0.001274
F Hitung 0.779335ns
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 19. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap kadar hormon testosteron serum (ng/ml) (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
Db
JK 5 24 29
19.69683 3.47224 23.16907
KT 3.939366 0.144677
F Hitung 27.22876*
F Tabel (5 %) 2.620654
162 Lampiran 20. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatogonia (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
1643.648 1450 3093.648
KT 328.7296 30.20833
F Hitung 10.88208*
F Tabel (5 %) 2.408514
Lampiran 21. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatosit (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
2745.722 1937.111 4682.833
KT 549.1444 40.35648
F Hitung 13.60734*
F Tabel (5 %) 2.408514
Lampiran 22. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah sel spermatid awal (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 36184.3148 48 35850 53 72034.3148
KT 7236.863 746.875
F Hitung 9.689524*
F Tabel (5 %) 2.408514
Lampiran 23. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah spermatid akhir (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
48177.5 59275.33 107452.8
KT 9635.5 1234.903
F Hitung 7.802639*
F Tabel (5 %) 2.408514
Lampiran 24. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah total sel spermatogenik (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
244282 92394 336676
KT 48856.4 1924.875
F Hitung 25.3816*
F Tabel (5 %) 2.408514
163 Lampiran 25. Analisis ragam pengaruh jenis ransum terhadap jumlah fetus pada tikus betina (In Vivo TAHAP I) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
15.76667 71.6 87.36667
KT 3.153333 2.983333
F Hitung 1.056983ns
F Tabel (5 %) 2.620654
Lampiran 26. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap kadar MDA testis (nmol/g) (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
Db
JK 4 20
24
0.741903 0.074474 0.816377
KT 0.185476 0.003724
F Hitung 49.80966922*
F Tabel (5 %) 2.866081
Lampiran 27 . Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap aktivitas SOD testis (U/g) (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 20
24
107451.9 11179.58 118631.5
KT 26862.97 558.979
F Hitung 48.05721048*
F Tabel (5 %) 2.866081
Lampiran 28. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif kuat terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
8910.533 3331.778 12242.31
KT 2227.633 83.29444
F Hitung 26.74408*
F Tabel (5 %) 2.605975
Lampiran 29. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi positif sedang/lemah terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
20464.13 3839.778 24303.91
KT 5116.033 95.99444
F Hitung 53.2951*
F Tabel (5 %) 2.605975
164 Lampiran 30. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit dan spermatid awal yang memberikan reaksi negatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
3226.978 1265.333 4492.311
KT 806.7444 31.63333
F Hitung
F Tabel (5 %)
25.50299*
2.605975
Lampiran 31. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap motilitas spermatozoa (%)(In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 20
24
2402.5 185 2587.5
KT 600.625 9.25
F Hitung
F Tabel (5 %) 2.866081
64.93243*
Lampiran 32. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap konsentrasi spermatozoa (juta/ml) (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 20
24
JK
KT
F Hitung
315048.004 19095.9425 334143.946
78762.0009 954.797126
82.4908232*
F Tabel (5 %) 2.866081
Lampiran 33. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap abnormalitas spermatozoa (%)(In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 20
24
12.08441 36.28114 48.36555
KT 3.021104 1.814057
F Hitung
F Tabel (5 %)
1.665385ns
2.866081
Lampiran 34. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap butiran sitoplasma (%)(In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 20
24
10924.03 507.8412 11431.87
KT 2731.008 25.39206
F Hitung 107.5536*
F Tabel (5 %) 2.866081
165 Lampiran 35. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap berat relatif testis (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db 4 20
24
JK
KT
F Hitung
0.045553979 0.014257813 0.059811792
0.011388495 0.000712891
15.97509276*
F Tabel (5 %) 2.866081
Lampiran 36. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap kadar hormon testosteron serum (ng/ml) (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 20
24
139.42208 16.43232 155.8544
KT 34.85552 0.821616
F Hitung 42.4231271*
F Tabel (5 %) 2.866081
Lampiran 37. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel Leydig (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40
44
10585.47 4751.778 15337.24
KT 2646.367 118.7944
F Hitung 22.27686*
F Tabel (5 %) 2.605975
Lampiran 38. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatogonia (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
2000.578 502 2502.578
KT 500.1444 12.55
F Hitung 39.85215*
F Tabel (5 %) 2.605975
Lampiran 39. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatosit (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
1442.8 770 2212.8
KT 360.7 19.25
F Hitung 18.73766*
F Tabel (5 %) 2.605975
166 Lampiran 40. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah sel spermatid awal (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
25413.64 9625.556 35039.2
KT 6353.411 240.6389
F Hitung
F Tabel (5 %)
26.40226*
2.605975
Lampiran 41 . Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah spermatid akhir (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
22303.42 12639.78 34943.2
KT 5575.856 315.9944
F Hitung 17.64542*
F Tabel (5 %) 2.605975
Lampiran 42. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah total sel spermatogenik (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 4 40 44
143705 27080.22 170785.2
KT 35926.24 677.0056
F Hitung 53.0664*
F Tabel (5 %) 2.605975
Lampiran 43. Analisis ragam pengaruh dosis isoflavon terhadap jumlah fetus pada tikus betina (In Vivo TAHAP II) Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK 5 48 53
393.84 110 503.84
KT 98.46 5.5
F Hitung 17.901818*
F Tabel (5 %) 2.866081