E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Daftar Isi
Editorial
Editorial .......................................................1 Mimbar Seribu Harapan : Pluralisme dan Demokras .....................................................2 Kenali DPR ...........................................................3 Gambaran kasus penghilangan paksa di indonesia ....................................................6 Kondisi Buruh Perempuan Di Indonesia ........8 RAKYAT BERHAK TAHU : MENYIMAK PENYAMPAI-PENYAMPAI KEBENARAN ..10 Serba-Serbi Yayasan Yap Thiam Hien ..........12
Yayasan Yap Thiam Hien Dewan Penasehat:
Prof. Dr. Saparinah Sadli (Ketua) Dr. Makarim Wibisono Dewan Pengawas: Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki (Ketua) Dra Maria Hartiningsih Dewan Pengurus: Dr. Todung Mulya Lubis (Ketua) Clara Joewono, MA Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU Asep Rahmat Fajar , MA Yulia Siswaningsih, S.Sos (Sekretaris) Yayasan Yap Thiam Hien d/a Kantor Notaris Niniek Rustinawati SH, MKN Komplek Mitra Matraman Blok A-2 no. 17, lantai 3 Jakarta Timur c/p: Yulia Siswaningsih Telp. 021-750-2401, 021-8591-8070, Mobile. 0815-1322-0269 (Yulia) Email:
[email protected],
[email protected] Website: www.yapthiamhien.org : @yapthiamhien : Yap Thiam Hien
Tanggal 8 September 2013 menjadi tanggal penting dimana berbagai lembaga berkumpul bersama-sama di Gelora Bung Karno (GBK), Sektor 8 (Pintu Biru) untuk melakukan kampanye publik bersama yang isunya dikemas dalam satu isu besar, yaitu HARAPAN UNTUK KEMANUSIAAN. Kegiatan yang bernama “Mimbar 1000 Harapan” (MSH) telah dimulai sejak 6 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2008 untuk merespon keprihatinan atas kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) dan kasus pembunuhan di Palestina. Dua kasus yang berbeda ruang dan waktu namun disatukan oleh satu isu, yaitu KEMANUSIAAN. Kegiatan MSH ini sempat vakum di tahun 2011 dan 2012. Kegiatan MSH 2013 ini menjadi MSH ke-4 yang diadakan untuk merespon harapan besar di tahun 2013 sebagai tahun politik, dimana para elit politik bersiap menghadapi Pemilu 2014. MSH 2013 mengusung tema “Indonesia Rumah Kita, 2014? Waktunya Berperan!”, yang berupaya mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapannya bagi Indonesia menuju Pemilu 2014. Kegiatan MSH 2013 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai permasalahan korupsi politik menjelang Pemilu 2014 dan sekaligus mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Selain itu MSH 2013 juga bertujuan mendesak pemerintah dan DPR atas tanggung jawab yang harus mereka kerjakan untuk membebaskan Indonesia dari segala kondisi yang mempri-
hatinkan.Dalam kegiatan ini, berbagai lembaga yang terlibat membentuk 5 kelompok cluster, yaitu Hukum & HAM, Demokrasi-Pemilu, Lingkungan & SDA, Pluralisme & Gender, Anti Korupsi serta kelompok cluster Media-Komunitas Urban dan Buruh. Yayasan Yap Thiam Hien yang tergabung dalam kelompok cluster Hukum & HAM, mendedikasikan E-Newsletter edisi ke-2 ini bagi kegiatan MSH 2013. Dengan menyuarakan “Rakyat Berhak Tahu”, anggota kelompok cluster Hukum & HAM bersama-sama menyuarakan isu tersebut dalam berbagai tulisan. E-Newsletter memuat artikel utama terkait kegiatan MSH 2013 dan berbagai artikel pendukung yang merupakan kontribusi dari anggota kelompok cluster Hukum & HAM. Dimulai dengan artikel “Kenali DPR” sebagai salah satu kunci cara meraih sukses dalam penyelenggaraan negara adalah cermat dengan pemilihan anggota DPR, kemudian bergulir pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Di samping itu, Yayasan juga mengangkat sosok Peraih Yap Thiam Hien Award yang menjadi bagian dari gerakan “Rakyat Berhak Tahu”, yaitu Profesor Soetandyo Wignjosoebroto (yang baru saja meninggalkan kita semua pada 2 September 2013) dan Majalah TEMPO. Selamat menikmati. Semmoga informasi yang kami berikan dapat bermanfaat guna menggapai HARAPAN INDONESIA BARU di tahun 2014. Tim Penulis E-Newsletter
2
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Mimbar Seribu Harapan :
Pluralisme dan Demokrasi Oleh : Jekson Simanjuntak “Mimbar 1000 Harapan” (MSH) telah dimulai sejak 6 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2008 untuk merespon keprihatinan atas kasus pembunuhan aktivis HAM (Munir) dan kasus pembunuhan di Palestina. Dua kasus yang berbeda ruang dan waktu namun disatukan oleh satu isu, yaitu KEMANUSIAAN. Kegiatan MSH ini sempat vakum di tahun 2011 dan 2012.
T
ahun 2008, sejumlah tokoh LSM, jurnalis, agamawan, budayawan, seniman, akademisi, dan tokoh masyarakat berhimpun dan berdiskusi untuk merespon isu besar yang terjadi saat itu. Pertama Kasus Pembunuhan Munir yang tak kunjung selesai, dan kedua tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina, yang kemudian dipadukan dalam satu isu yaitu KEMANUSIAAN. Dari hasil pertemuan ini keluarlah gagasan untuk melakukan kampanye publik bersama yang diberi nama Mimbar 1000 Harapan. Kemudian tahun 2009, Mimbar 1000 Harapan di selenggarakan dengan mengusung tema yang berbeda, yaitu MOMENTUM PERINGATAN KEMERDEKAAN INDONESIA men-
jadi tema besarnya. Isu yang diangkat terkait refleksi 64 tahun merdeka, antara lain realitas kehidupan masyarakat masih jauh dengan harapan ideal sebuah bangsa yang maju. Praktek kekerasan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tak kunjung selesai. Tahun 2010, Mimbar 1000 Harapan mengusung tema INDONESIA BEBAS DARI KORUPSI, KERUSAKAN LINGKUNGAN, DAN KEKERASAN. Persoalan besar terjadi atas maraknya praktek korupsi, dari tingkat pusat sampai pelosok daerah bahkan ke desa-desa. Penegakan hukum dalam penuntasan kasus-kasus korupsi seringkali berhenti ditengah jalan dan terhalang oleh kuatnya pengaruh kekuasaan, seakan hukum itu diskriminatif, dan para penegak hukum hanya menjadi budak penguasa. Harapan besar yang disandarkan kepada KPK justru mendapat serangan balik atau dikenal dengan corruptor fight back, nampak jelas upaya rekayasa pelemahan KPK, rekaman Anggodo cs yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi membuktikan bahwa genderang perang koruptor telah ditabuh untuk membumi hanguskan KPK, yang dinilai sebagai anak haram reformasi. Untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi kembali menemui jalan buntu. Karena sesuatu dan lain hal, tahun 2011 dan 2012 Mimbar 1000 Harapan sempat vakum. Lalu harapan besar kemudian muncul di tahun 2013, mengingat tahun ini sebagai tahun politik, dimana para elit politik bersiap
untuk menghadapi Pemilu 2014. Salah satu fenomena dapat dilihat ketika pemilu sering dimanfaatkan oleh para elit untuk melakukan politik saling sandera. Artinya politisi menyandera anggaran negara untuk kepentingan logistik kontestasi. Kasus korupsi dengan modus yang terjadi menjelang pemilu adalah penyanderaan anggaran negara melalui hibah/bansos untuk “memelihara” kelompok konstituen yang loyal, guna memuluskan pemenangan ajang kontestasi tersebut. Contoh lain adalah korupsi di lingkungan hidup, dimana kejahatan korupsi pada sektor ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana ekologis. Dalam beberapa kasus, anggota-anggota dewan dan kepala daerah pilihan rakyat ini seperti berpesta-pora mengorupsi uang rakyat. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Sepertinya tidak ada satu pun sosok yang berani dan tegas sekaligus sanggup menginspirasi banyak orang baik dan berintegritas lainnya untuk bersama-sama melawan korupsi. Secara spesifik, kegiatan MSH 2013 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai permasalahan korupsi politik menjelang Pemilu 2014 dan sekaligus mengajak masyarakat untuk menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Selain itu MSH 2013 juga bertujuan mendesak pemerintah dan DPR atas tanggung jawab yang harus mereka kerjakan untuk membebaskan Indonesia dari segala kondisi yang memprihatinkan. n
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
3
KENALI DPR
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Apakah DPR? Bersama presiden, DPR memegang kekuasaan legislative untuk membentuk undang-undang. Fungsi lain yang melekat pada DPR adalah melakukan pengawasan kepada pemerintah dan menyusun anggaran. Apa yang diawasi DPR dalam menjalankan fungsinya? DPR melakukan fungsi pengawasan atas kerja pemerintah dalam pelaksaan undang-undang, keuangan negara, dan kebijakan pemerintah. Anggota DPR terdiri dari 560 orang. Bagaimanakah pembagian kerja setiap anggota itu? Kerja Anggota DPR dibagi dalam berbagai alat kelengkapan. Penentuan posisi seseorang diserahkan kepada mekanisme fraksi masing-masing. Keanggotaan dalam alat kelengkapan DPR harus memenuhi unsur keterwakilan fraksi. Artinya, fraksi yang memiliki keunggulan dalam jumlah anggota dengan sendirinya akan mempunyai wakil yang lebih banyak di setiap alat kelengkapan. Apa yang dimaksud dengan alat kelengkapan? Alat kelengkapan DPR merupakan unsur atau unit dalam struktur DPR yang mempunyai tugas dan fungi tertentu. Setiap anggota DPR menempati posisi tertentu dalm alat kelengkapan yang ada. Apabila dibandingkan dengan fraksi, alat kelengkapan itu merupakan wadah berhimpunnya anggota DPR yang bersifat lintas fraksi. Apa saja alat kelengkapan DPR tersebut? Alat kelengkapan tetap terdiri dari: 1. Pimpinan DPR 2. Badan Musyawarah (Bamus) 3. Komisi 4. Badan Legislasi (Baleg) 5. Badan Anggaran (Banggar) 6. Badan Akuntabiltas Keuangan Negara 7. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) 8. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) 9. Badan Kehormatan 10. Panitia Khusus 11. Alat kelengkapan lain yang diperlukan dam dibentuk oleh Rapat Paripurna Bagaimanakah memilih pimpinan dari setiap alat kelengkapan tersebut?
Pimpinan dari setiap alat kelengkapan DPR dipilih berdasarkan keterwakilan dan perimbangan fraksi-fraksi di DPR. Artinya, fraksi yang memiliki lebih banyak anggota akan lebih banyak terwakili di alat kelengkapan DPR. Apakah anggota dan Pimpinan DPR kebal hukum? Tentu saja tidak. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain di hadapan hukum. Karena itu, ada mekanisme yang memungkinkan adanya penggantian antarwaktu, dengan alasan antara lain mereka melanggar hukum (misalnya melakukan korupsi) atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai wakil rakyat. DPR memiliki organ yang disebut Badan Kehormatan yang akan memproses pelanggaran itu secara terbuka. Namun perlu dicatat sehubungan dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Maka itu, jika anggota DPR diduga melakukan tindak pidana, persetujuaan tertulis dari presiden diperlukan untuk proses pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannnya (Pasal 220 ayat (1) UU MD3). Namun, ketentuan tersebut menjadi tidak berlaku apabila anggota DPR yang bersangkutan : 1. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana 2. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau 3. Disangka melakukan tindak pidana khusus Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 220 ayat (3) UU MD3. Apa saja alasan seseorang diberhentikan menjadi Anggota DPR? Pemberhentian Anggota DPR di tengah masa jabatan bisa dilakukan karena penggantian antarwaktu atau pemberhentian sementara. Dalam UU MD3, ketentuan itu diatur dalam Bab tentang DPR bagian kelima belas, yaitu Pasal 213-219. Adapun, alasan seorang Anggota DPR bisa dikenai ketentuan pemberhentian antarwaktu, yaitu: 1. Meninggal dunia 2. Mengundurkan diri, atau
3.
Diberhentikan. Sementara itu, seorang Anggota DPR dikenai ketentuan pemberhentian sementara dengan alasan: • Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau • Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Apa yang dimaksud dengan masa sidang? Selain masa sidang, adakah pembagian waktu lain dalam pelaksanaan tugas DPR? Masa sidang adalah rentang waktu bagi DPR untuk melakukan kegiatan, terutama di dalam gedung DPR. Pembagian waktu lain dalam masa sidang DPR disebut dengan masa reses, yaitu rentang waktu DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja. Bagaimana perencanaan legislasi dilakukan? Perencanaan legislasi dilakukan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pemerintah dan DPR melakukan perencanaannya sendiri kemudian dikoordinasikan dalam forum yang berada dalam lingkup Badan Legislasi (Baleg). Program legislasi dibagi dua bagian, yaitu Prolegnas lima tahunan; Prolegnas yang berlaku selama periode jabatan DPR. Bentuk kedua adalah prioritas tahunan yang merupakan program legislasi yang akan dijalankan oleh DPR setiap tahun. Prolegnas lima tahunan dipecah menjadi prioritas tahunan. Siapa yang menyusun perencanaan legislasi tersebut? Penyusunan perencanaan legislasi di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh Badan Legislasi, sementara koordinasi penyusunan di pemerintah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM. n
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) www.pshk.or.idwww.parlemen.net @pantauDPR @JurnalJentera @LAW_ motion @Danlevlibrary
4
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Selamatkan Generasi Muda dari Terorisme
Foto : Kompas.com
Demi masa depan bangsa Indonesia ke depan yang toleran dan melindungi kebhinnekaan, adalah tugas kita bersama untuk menyelematkan generasi muda dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Untuk membentengi anak muda radikalisme dan terorisme, ada beberapa hal yang patut dikedepankan. Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education)dan wawasan kebangsaan dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan dan wawasan kebangsaan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar-umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar-warga masyarakat.
Oleh : Lazuardi Birru
T
ak bisa dipungkiri, pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, beberapa tahun terkahir tak sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksi terorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora, melibatkan anak muda. Bahkan fakta menunjukkan 11 orang pelaku bom bunuh diri adalah anak muda berusia belasan hingga dua puluhan tahun. Sejatinya, anak muda yang menjadi pelaku atau terlibat terorisme juga merupakan korban. Mereka melakukan tindakan terorisme karena pengaruh dari orang dewasa yang menanamkan paham radikal. Kondisi kejiwaan mereka yang masih labil dimanfaatkan betul oleh kelompok teroris untuk menginfilrasi paham kekerasan. Berdasarkan survei nasional yang dilakukan Lazuardi Birru dan LSI pada tahun 2010 dan 2011 diketahui bahwa anak muda merupakan pihak yang paling rentan terhadap radikalisme sosial keagamaan. Karena itu, anak muda menjadi target utama propaganda radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Hasil Penelitian Indeks Kerentanan Radikalisme Sosial Keagamaan LB-LSI tahun 2011
Rentannya pemuda terhadap pengaruh propaganda radikalisme dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Jika diperhatikan, banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif. Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme.
Bagaimanapun masa depan bangsa ini berada di tangan anak muda. Tak dapat dibayangkan betapa suram masa depan negeri ini jika kelak yang menjadi pemimpin negeri ini adalah anak-anak muda yang memiliki pandangan ekstrem dan radikal. Kebhinnekaan bangsa Indonesia yang merupakan fitrah dan sunatullah dapat terancam. Jika hal ini tak segera dibendung, bukan tidak mungkin ke depan hak-hak kaum minoritas dan kelompok yang berbeda, akan diberangus. Padahal Indonesia adalah rumah bersama bagi berbagai suku, etnis, budaya, aliran, dan agama. Jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, kebhinekaan telah eksis di willayah Nusantara. Kemerdekaan negeri ini pun diperjuangkan oleh para pejuang dari berbagai latar belakang etnis, aliran, dan agama yang berbeda. Maka, sungguh aneh dan buta sejarah, ketika sebagian kelompok kini memaksakan kehendaknya untuk mengubah regulasi dan dasar negara berdasarkan agama tertentu dengan cara-cara kekerasan dan terorisme.
Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitasbaik di bidang akademis, sosial,keagamaan, seni, bud aya, maupun olahraga. Interaksi mereka dalam kegiatan-kegiatan positif tersebut akan memacu mereka menjadi pemuda yang memiliki pikiran terbuka dan menerima perbedaan. Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaranagama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan. Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari kita semua, baik sebagai masyarakat yang dewasa maupun terkait peran sosial kemasyarakatan kita, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadi role model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda. Terakhir, peran orang tua dalam membimbing dan mengawasi putra-putrinya juga sangat penting untuk mencegah mereka dari pengaruh terorisme. Pola asuh yang sehat, perhatian, dan keterbukaan dalam keluarga akan mempersempit celah infiltrasi terorisme kepada anak-anak kita. Di luar upaya-upaya itu, generasi muda secara mandiri harus mampu membentengi diri dari pengaruh radikalisme dan terorisme. Setidaknya dengan tetap setiap pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan, belajar agama tidak hanya dari satu guru, dan bermain internet secara sehat dapat menghindarkan anak muda dari pengaruh terorisme. Untuk menambah wawasan, dua website berikut patut untuk selalu dikunjungi, www.lazuardibirru.org dan www.inspiringforpeace.org. Mari selamatkan generasi muda dari terorisme. n
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
5
Keadilan Untuk Munir Keadilan Untuk Semua!!! Oleh : Kasum
M
unir Said Thalib adalah aktivis Hak Asasi Manusia yang dibunuh di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana.Pada 07 September 2013, genap 9 (sembilan) tahun meninggalnyaMunir. Upaya penuntasan kasusnya berbanding terbalik dengan ucapan yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 9 tahun silam bahwa penuntasan kasus munir adalah test of our history. Secara hukum, beberapa pelaku lapangan memang telah berhasil dijatuhi hukuman, bahkan beberapa diantaranya telah menyelesaikan masa hukumannya, seperti Rohainil Aini dan Indra Setiawan. Namun prospek pengungkapan kasus Munir semakin temaram seiring dengan belum adanya kejelasan dari Kejaksaan Agung untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Proses ini menjadi sangat vital bagi kelanjutan pengungkapan kasus Munir karena jika Muchdi PR tetap divonis bebas, akan menghambat pengembangan kasus ini. Sebenarnya, kasus Muchdi memiliki beberapa”novum” (bukti baru) yang dapat digunakan, seperti rekaman suara Muchdi dan Polycarpus serta putusan kasus Polycarpus yang menyatakan bahwa keduanya memiliki profesi yang sama, yakni sebagai anggota Badan Intelijen Negara [BIN].Tantangan lainnya adalah dengan diajukan Peninjauan Kembali atas Peninjauan Kembali oleh Pollycarpus, yang tidak sesuai dengan aturan perundang – undangan. Tidak hanya itu, kasus Munir juga menjadi pemberitaan hangat di dunia internasional serta mendapat sorotan tajam. Mandeknya kasus pembunuhan Munir mendapat perhatian serius dari KOMITE HAM PBB yang mengeluarkan rekomendasi pada 26 juli kemarin. Keseriusan perhatian komite ini dapat dilihat dari permintaan komite untuk melaporkan perkembangan kasus munir dalam waktu satu tahun kedepan , dalam mekanisme follow up khusus. Hal ini dilatarbelakangi pengakuan komite terhadap kredibilatas MUNIR , sebagai of prominent human rights defender. Point 8 “…Furthermore, the State party should effectively prosecute cases involving past human rights violations such as the murder of prominent human rights defender Munir Said Thalib on 7 September 2004, and provide adequate redress to victims or members of their families. Point 32. In accordance with rule 71, paragraph 5, of the Committee’s rules of procedure, the State party should provide, within one year, relevant information on its implementation of the Committee’s recommendations made in paragraphs 8, 10, 12 and 25 above. Presiden SBY sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan memilki kewenangan eksekutive order, harus segera merespon permintaan komite untuk menindaklanjuti kasus Munir. Langkah Presiden ini harus memiliki skema waktu selama setahunoleh karenanya langkah – langkah yang diambil oleh Presiden harus jelas dan konkret. Konkret dalam tindakan dan pentahapan sampai pada proses pengadilan. Karena tahun ini menjadi tahun terakhir bagi Presiden SBY untuk melunasi janjinya menuntaskan kasus ini. Jangan dulu mengharapkan pemenuhan hak asasi dari Negara, hari ini. Alih – alih menjamin setiap hak warga negaranya, Negara hari ini
adalah sebuah struktur wagu yang minim respon terhadap aksi – aksi kekerasan, bahkan (masih) menjadi pelaku utama baik secara langsung maupun dalam melakukan pembiaran.Penuntasan kasus munir bisa menjadi preseden penting dalam perlindungan terhadap pembela HAM agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama di masa mendatang. Jika kasus munir gagal, maka praktis tidak ada harapan untuk penyelesaian beragam kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Kenapa ? Karena “Keadilan untuk Munir, adalah Keadilan untuk Semua!
6
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Oleh : IKOHI
D
i Indonesia, praktik penghilangan paksa secara sistematik telah dimulai sejak tahun 1965. Jumlah itu meningkat dalam konflik-konflik agraria seiring dengan upaya reformasi agraria pada 1983-1984, kasus Tanjung Priok Jakarta, kasus Talangsari Lampung pada 1989. Pada 1996 terjadi penghilangan paksa dalam kasus penyerangan kantor DPP PDI. Selama 1997-1998 perlawanan rakyat terhadap Negara yang otoriter semakin muncul ke permukaan., dan kasus penculikan paksa terhadap para aktivis pro-demokrasi mulai terkuak serta mendapat perhatian publik (KontraS, tanpa tahun). Kasus Penghilangan Paksa di Aceh justru semakin meningkat sejak pemberlakuan Daerah Operasi Miiter (DOM) di wilayah ini sejak tahun 1989 hingga pencabutan DOM pada tahun 1998. Berdasarkan pendataan Mei 1999-Januari 2000 jumlah orang hilang tercatat 392 orang. Di Papua sejak tahun 1971 hingga tahun 2001, 23 orang dihilangkan secara paksa oleh militer karena diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada awal 2001, di Maluku terjadi penghilangan paksa terhadap dua orang anggota Bantuan Komunikasi Swadaya pada saat aksi sweeping yang dilakukan oleh Yon Gab (KontraS, tanpa tahun). Dengan demikian hingga tahun 2001, jumlah orang hilang secara keseluruhan yang tercatat 1.039 orang. Jumlah itu bertambah hingga 1.167 orang pada awal 2002. Jumlah itu belum termasuk beberapa laporan yang belum diverifikasi ulang dan diinvestigasi
(KontraS, tanpa tahun).
Penghilangan Paksa 1965-1966
Peristiwa kekerasan massal yang terjadi tahun 196-1966 disamping mengakibatkan korban meninggal jutaan orang, juga mengakibatkan adanya korban penghilangan paksa. Korban yang pada umumnya dianggap sebagai kader, anggota dan simpatisan PKI diambil oleh aparat TNI lewat berbagai operasi di berbagai tempat, dan setelah peristiwa pengambilan itu tidak diketahui lagi keberadaan mereka. Penghilangan paksa pada tahun-tahun itu juga dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil yang didukung aparat Negara. Penghilangan paksa pada tahun –tahun ini terjadi dalam konteks peralihan kekuasaan rezim pra-Orde Baru ke kekuasaan rezim Orde Baru dengan motif menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya, atau dengan kata lain motif ideology politik anto komunisme dijadikan landasan bagi tindak penghilangan paksa (Komnas HAM, 2004).
Kasus Petrus
Pada tahun 1983-1984 terjadi peristiwa ‘pembunuhan pelaku tindak kriminal’ yang kemudian dikenal dengan istilah ‘petrus’ (penembakan misterius) yang memakan korban (pada umumnya dituduh sebagai bandit atau ‘gali’) lebih dari 300 orang. Selain itu terdapat korban yang hilang, atau tidak diketahui identitasnya. Korban diduga ditangkap oleh aparat TNI/POLRI yang berpakaian sipil. Tanpa surat perintah penangkapan mereka kemudin dibawa ke kantor Kodim, dan selanjutnya tidak lagi diketahui lagi keberadaanya. Pada
tahun-tahun ini pemerintah sedang menerapkan ideology pembangunanisme (antara lain diwujudkan dengan slogan ‘Trilogi Pembangunan’, yakni stabilitas keamanan, pembangunan ekonomi, dan pemerataan), dengan anggapan bahwa pembangunan yang memerlukan investasi asing memerlukan stabilitas keamanan. Oleh karena itu, diperlukan pemberantasan kaum kriminal, antara lain dengan membunuh dn menghilangkan pelaku tindak kriminal sebagai ‘shock therapy’. Jadi motif ideology pembangunanisme (dalam hal ini diwujudkan sebagai stabilitas keamanan) ditonjolkan sebagai alat pengabsahan (legitimasi) pembunuhan melawan hukum dan penghilangan paksa (Komnas HAM, 2004).
Kasus Tanjung Priok dan Talangsari
Pada tahun 1984 terjadi peristiwa penembakan masyarakat sipil di Tanjung Priok (Jakarta), yang mengakibatkan sejumlah orang meninggal luka-luka dan sekitar 10 orang dinyatakan hilang. Sedangkan pada tahun 1989, penembakan masyarakat sipil terjadi di Talangsari (Lampung) dan 218 orang dinyatakan hilang. Dalam kedua peristiwa tersebut yang terlibat dalam penembakan dan penghilangan paksa adalah aparat TNI. Konteks politik di tahun-tahun ini adalah pemantapan dan penerapan ideology pembangunanisme (stabilitas keamanan dan politik, pembangunan ekonomi) yang terwujud dalam ideologisasi ‘asas tunggal Pancasila’ untuk menjamin stabilitas politik. Korban dalam kedua peristiwa itu adalah kelompok Muslim yang dituduh
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
sebagai kelompok ‘ekstrim kanan’ yang anti-Pancasila’. Motif di balik pembunuhan dan penghilangan paksa dalam kedua peristiwa itu dengan demikian adalah ideology ‘anti ekstrim kanan’ atau ideology ‘anti Islam kanan’ (Komnas HAM, 2004).
Kasus DOM
Selama diterapkannya ‘masa DOM’ (Daerah Operasi Militer) di Aceh tercatat 874 kasus penghilangan paksa. Sedangkan di Papua sejak tahun 1971 sampai dengan 2001 tercatat 23 orang yang hilang secara paksa. Para korban diduga diambil aparat TNI/POLRI di rumah mereka atau di tempat lain, dan setelah itu tidak diketahui keberadaannya. Para korban umumnya dituduh sebagai anggota gerakan separatis oleh TNI. Dengan demikian di balik pembunuhan dan penghilangan paksa di kedua ‘Daerah Operasi Militer’ (di Aceh dan Papua) ideology NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang dijadikan alat pengabsahan ,elawan ‘segala bentuk separatisme’ (Komnas HAM, 2004).
Kasus 27 Juli 1996
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 juga mengakibatkan lima orang korban meninggal, 149 luka-luka, dan korban hilang sebanyak 23 orang yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Peristiwa penyerangan itu terjadi dalam konteks penerapan strategi korparatisme oleh Negara untuk mengontrol, mendominasi dan menghegemoni semua anasir politik dan unsur masyarakat sipil di bawah slogan ‘persatuan dan kesatuan nasional’. Pendek kata motif ‘ideologi persatuan dan kesatuan nasional’ dijadikan landasan pengabsahan tindakan penyerangan kantor PDI (Komnas HAM, 2004).
Kasus Kerusuhan Mei 1998
Pada tanggal 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan yang melanda beberapa kota di Indonesia. Kerusuhan Mei tersebut mengakibatkan korban meninggal 1.190 orang akibat terbakar, 27 orang meninggal akibat senjata dan lainnya, dan 91 orang luka-luka1. Data korban ini didapat dari Tim Relawan Kemanusiaan. Sedangkan dari beberapa instansi pemerintah juga mengeluarkan data korban yang berbeda-beda2. Pada saat kerusuhan tersebut, YLBHI/KontraS menerima laporan ada 4 orang yang hilang. Peristiwa kerusuhan tersebut terjadi ketika suasana politik di Indonesia sedang memanas, karena besarnya tuntutan dari rakyat khususnya mahasiswa yang menginginkan Soeharto mengundurkan diri dari Presiden RI. Pola kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah ditemukan bahwa kerusuhan tersebut terencana dan terorganisir3. Kerusuhan Mei 1998 dijadikan sebagai alat pengalihan isu yang berkembang di masyarakat, karena pada saat itu tuntutan pengunduran Soeharto sedang memanas. Kerusuhan Mei 1998 digunakan untuk menjamin ‘stabilitas kepemimpinan na1 Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa tanggal 13 -15 Mei 1998 2 Data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat; data Kodam 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, 69 orang luka-luka; data Pemda DKI 288 meninggal, dan luka-luka 101. 3 Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998
sional’ dan ‘pembangunan yang berkelanjutan’. Dengan demikian motif dasar dari peristiwa ini adalah ‘ideologi pembangunanisme’ yang diwujudkan di dalam dimensi ‘stabilitas dan kesinambungan kepemimpinan nasional’.
Kasus Penculikan Aktivis 1997/1998
Penghilangan paksa para aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) terjadi tahun 1998. jumlah korban penghilangan paksa ini 14 orang. Sebagian mereka telah dilepaskan sedangkan yang lainnya tetap hilang. Pelaku penghilangan paksa ini adalah Kopassus (dikenal dengan sebutan ‘Tim Mawar’). Konteks politik ‘peristiwa penculikan aktivis’ ini adalah ‘stabilitas kepemimpinan nasional’ di bawah Soeharto yang dipaksakan lewat Sidang Umum MPR, untuk menjamin ‘pembangunan yang berkelanjutan’. Dengan demikian motif dasar dari peristiwa ini adalah ‘ideologi pembangunanisme’ yang diwujudkan di dalam dimensi ‘stabilitas dan kesinambungan kepemimpinan nasional’ (Komnas HAM, 2004). Dari hasil temuan di berbagai sumber yang membahas tentang kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997/1998, maka didapatkan ada tiga waktu penangkapan yang dilakukan pada waktu itu. Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) membuat catatan pengelompokan atas mereka yang diculik. Mereka membaginya ke dalam tiga waktu penangkapan (Sinansari Ecip, 1999:63), yaitu: 1. Penculikan yang berlangsung sepanjang pengamanan Pemilu 1997. Korban-korbannya ialah Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail dan M Yusuf. Mereka dianggap sebagai para pendukung Partai Persatuan Pembangunan, yang pada waktu kampanye tampil luar biasa di Jakarta. Selain dari aktivis PPP, dari kubu PDI tercatat yang diculik ialah Yani Afri dan Sonny. 2. Penculikan yang terjadi sepanjang penagamanan Sidang Umum MPR 1998. Korban-korbannya adalah Pius Lustrilanang, Desmond Junaedi Mahesa, Ptrus Bimo Anugerah, Suyat, Rahardjo Waluyo Jati, Faisol Reza, Andi Arief, Herman Hendrawan,
7
Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Mugiyanto. Dalm periode ii juga dilakukan penangkapan terhadap 128 anggota PDI-Megawati Soekarnoputri (selain Haryanto Taslam) yang menamakan diri Barisan Merah Putih, satu aktivis SBSI, beberapa aktivis LSM, mahasiswa, dan seniman. Mereka diamankan di Polda Metro Jaya sampai Sidang Umum MPR 1998 selesai dan terpilihnya lagi Soeharto sebagai Presiden. 3. Penculikan yang terjadi menjelang tumbangnya rezim Soeharto, sekitar Mei 1998. Korban-korbannya adalah yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan beberapa nama lain dari kalangan mahasiswa, pekerja, maupun masyarakat umum. Dari ketiga momen dan latar belakang mereka yang menjadi korban penculikan dapat ditarik kesimpulan, para pelaku penculikan merupakan sebuah kekuatan terkendali, dan punya kemauan politik cukup kuat untuk mempertahankan kekuasaan dengan memakai cara-cara kekerasan. Setelah diperjuangkan oleh keluarga korban serta segenap aktivis hak asasi manusia di seluruh Indonesia selama 14 tahun, baru pada tanggal 28 September 2009, kasus ini mendapatkan momentum penyelesaiannya. Pada hari itu, Rapar Paripurna DPR RI yang membahas kerja Pansus Penghilangan Paksa 1997-1998 di DPR mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI yang berisi sebagai berikut: Pertama, merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc; Kedua, merekomendasikan kepada presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak yang terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang aktivis yang dinyatakan hilang; Ketiga, merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang; Keempat, merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. n
8
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Kondisi Buruh Perempuan Di Indonesia Oleh : Tiasri Wiandani – Kaukus Pemimpin Buruh Perempuan Hak Sosial-Ekonomi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hak memiliki Pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Dalam sejarah peradaban Barat, ada beberapa konsep besar mengenai hak yang pada perkembangan selanjutnya dirujuk oleh sistem besar ekonomi dunia. Abdul Jalil 2008 dalam bukunya yang berjudul Teologi Buruh menjelaskan secara umum, sejarah mengenai hak sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase: • Pertama, fase dimana hak dirumuskan berdasarkan prinsip kebebasan dan ditujukan pada eksistensi pribadi dan kemugkinan perkembangannya. • Gagasan tentang hak yang dirumuskan pada fase ini sering disebut sebagai “hak bebas dari”. Hak ini mencakup hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi, hilangnya perbudakan dan penganiayaan, hak atas peradilan yang jujur, kebebasan berfikir, dan hak beragam. • Kedua, fase perumusan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan setelah melihat bahwa perumusan konsepsi hak pada fase pertama yang lebih bernuansa hukum dan politik pada kenyataannya telah menjadi alat legitimasi status quo. Fase ini lebih merupakan ‘hak atas’. Hak ini dilahirkan agar setiap orang terjamin taraf hidup minimalnya sehingga mampu menikmati lingkungan sosial dan budayanya. Hak ini berkisar pada hak mendapatkan makanan, pekerjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pengembangan pribadinya. Ketiga, fase (yang terus berkembang hingga kini) yang merumuskan hak tidak
sekedar diperuntukkan bagi manusia, tetapi juga bagi entitas yang lain, seperti bangsa sebagai sebuah institusi, dan lingkungan serta makhluk hidup yang lain. Potret Buruh Perempuan dalam Sejarah Industrial di Indonesia Pada era reformasi, pertumbuhan serikat buruh semakin meningkat. Menurut UU No. 21 Tahun 2000, dalam satu perusahaan boleh berdiri lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh. Dalam UU tersebut, arah perkembangan serikat buruh menjadi bersifat basis industri (industrial base). Di era 1980-an, di mana globalisasi menerjang di seluruh negara di dunia, intensitas dan cakupannya menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan. Dengan agenda globalisasi ekonomi, tata dunia baru akan bertumpu pada kekusaan modal dan pemilik modal. Abdul Jalil 2008 dalam bukunya yang berjudul Teologi Buruh menjelaskan bahwa agenda globalisasi ekonomi tersebut adalah: • Pertama, pada tataran tindakan, tata kekuasaan global bertumpu pada praktik bisnis raksasa lintas negara. • Kedua, pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasional (Multinational Corporation, MNCs) • Ketiga, proses kultural ideologis yang dibawanya adalah konsumerisme. Untuk melihat masalah perburuhan di negara kapitalis secara lebih detil, gambaran Gramsci tentang sistem negara kapitalis bisa dijadikan acuan. Menurut Gramsci, dalam negara kapitalis ada beberapa lapisan. Lapisan yang tertinggi adalah negara/pemerintah dan aparat-aparatnya, di bawahnya ada kaum kapitalis, di bawahnya kaum buruh, dan paling bawah adalah petani. Kaum kapitalis cenderung mengeksploitasi buruh sebagai alat untuk mencari keuntungan ekonomi dalam dunia usaha dan industri. Faktor yang paling mempengaruhi pasar tenaga
kerja adalah upah. Tenaga kerja adalah sumber daya yang khusus. Ia tidak sama dengan modal dan tanah yang dapat ditawarkan dengan seenaknya tanpa melihat lokasi dan pemiliknya. Karena kerja mensyaratkan keterlibatan person secara langsung sehingga faktor nonkeuangan, semisal tingkat kesulitan pekerjaan, lokasi, dan kualitas lingkungan pekerjaan akan memainkan peranan penting dalam penawaran tenaga kerja. Perusahaan padat karya banyak yang memilih untuk mempekerjakan buruh perempuan. Perusahaan garmen dan sepatu merupakan contoh perusahaan padat karya yang sebagian besar buruhnya adalah perempuan. Perempuan dianggap penurut dan tidak berani melawan kepada kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Buruh perempuan juga dianggap lebih teliti dan berhati-hati dalam bekerja. Banyak hak buruh perempuan yang masih dilanggar oleh perusahaan. Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur tentang hak-hak buruh perempuan, tetapi pelanggaran hak tersebut masih terus saja terjadi. Karena tidak adanya sanksi yang tegas dari pemerintah yang membuat perusahaan berani melakukan pelanggaran hak terhadap buruh perempuan. Contoh hak-hak buruh perempuan yang dilanggar antara lain adalah hak cuti melahirkan dan keguguran, hak cuti haid, dan hak untuk mendapatkan upah layak. Banyaknya serikat pekerja/buruh yang lebih fokus dalam memperjuangkan hak-hak normatif (seperti upah) membuat isu hak-hak buruh perempuan kurang atau bahkan lupa untuk diperjuangkan. Isu buruh perempuan dianggap sebagai isu yang tidak populer untuk perjuangan buruh. Isu buruh perempuan hanya dianggap sebagai isu kebutuhan perempuan saja dan bukan menjadi isu hak-hak buruh secara keseluruhan. Kurangnya perjuangan hak-hak buruh perempuan juga disebabkan karena kepengurusan dalam serikat pekerja/buruh didominasi oleh laki-laki. Walaupun ada pengurus perempuan dalam serikat pekerja/buruh selalu diposisikan dalam jabatan yang tidak strategis dalam kegiatan program kerja dan pengambilan keputusan. Tekanan dan intimidasi bagi perempuan sebagai pengurus serikat pekerja/buruh lebih banyak dialami dan dirasakan dari pada laki-laki. Pelanggaran-pelanggaran yang sering diterima oleh buruh perempuan antara lain: 1. Cuti haid tidak diberikan dengan berbagai alasan yang mempersulit pekerja perempuan untuk mendapat cuti haid. 2. Penggantian hak cuti haid dengan uang atau pembalut. 3. Fasilitas toilet dicampur dengan laki-laki. 4. Pekerja perempuan sering mendapat tekanan dari atasan/pimpinan bila tidak mau kerja lembur. 5. Mayoritas penangguhan upah diterima oleh buruh perempuan. Perusahaan padat karya yang mayoritas buruhnya perempuan telah melakukan penangguhan upah. 6. Perlakuan pelecehan seksual oleh atasan atau pekerja laki-laki. 7. Perlakuan kekerasan verbal yang sering dikukan oleh atasan/pimpinan. 8. Tekanan dan intimidasi dari atasan/ pimpinan bagi pengurus serikat pekerja/
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
buruh perempuan. Tidak diberikannya waktu dan fasilitas untuk menyusui atau memompa air susu bagi buruh prempuan yang menyusui. Pelanggaran-pelanggaran tersebut sering tidak terpublikasi dan kurang mendapat pembelaan yang serius. Kasus-kasus tersebut sering dianggap sebagai masalah perempuan, bukan dianggap sebagi masalah perburuhan. Padahal kalau kita kaji, masalah-masalah tersebut dapat menimbulakn dampak ketidaknyamanan bagi buruh perempuan. Perjalanan gerakan perjuangan buruh san9.
gat panjang. Ulah pengusaha nakal semakin mempersulit kondisi buruh. Disaat banyak tuntutan hak buruh untuk dipenuhi, maka banyak perusahaan yang mengancam buruhnya untuk relokasi. Tindakan diskriminatif bagi pengurus serikat pekerja perempuan yang aktif sering terjadi. Banyak pekerja perempuan yang diperlakukan tidak adil, dibuat tidak nyaman bekerja dengan dicari-cari kesalahan dan sering dipindah-pindahkan. Pekerja perempuan yang aktif di serikat lebih banyak mendapatkan tekanan dari atasan. Dengan alasan demi kelancaran produktivitas, banyak pengurus perempuan
9
dipindahkan dari pekerjaanya. Peraturan dan hukum perburuhan tidak membuat perusahaan takut melakukan pelanggaran-pealanggaran. Lemahnya dinas pengawasan tenaga kerja dan pemerintah menambah deretan panjang derita buruh dan masalah perburuhan. Buruh dianggap terlalu banyak menuntut, padahal yang buruh tuntut adalah hak dasar yang telah diatur dalam peraturan dan perundang-undangan. Jangan Rampas Hak Kami ! Kami Buruh Perempuan Akan Tetap Melawan dan Berjuang !
AJI: Ruang Redaksi Harus Independen
S
Oleh :Jekson Simanjuntak – AJI Jakarta
istem pers Indonesia mengalami perubahan yang cepat setelah era Orde Baru runtuh pada 1998. Sensor pemerintah, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, dan pengawasan ketat terhadap pers oleh aparatur negara dihapus setelah disahkan Undang-Undang Pers tahun 1999. Undang-undang baru ini memberi angin segar kebebasan pers dan demokratisasi pers. Perusahaan pers tumbuh bak tumbuhnya jamur di musim hujan. Dalam perkembangannya, pers yang mampu bertahan dalam gelombang kebebasan pers adalah perusahaan pers yang sudah tumbuh sejak era Orde Baru dan memiliki modal kuat serta secara bisnis sehat. Tapi kebebasan pers itu ternyata tidak selalu menjamin jurnalis dan newsroom bekerja secara independen. Kebebasan pers merujuk pada dua dua hal sekaligus: kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia dan kebebasan pers itu diwujudkan oleh perusahaan media, yang mayoritas dimiliki swasta. Kebebasan pers menyebarkan informasi berbarengan dengan kebebasan menyebarkan iklan yang dibayar oleh perusahaan pemilik produk. Bahkan pendapatan dari iklan adalah jantung yang menghidupkan perusahaan pers. Dalam bisnis yang unik ini redaksi media massa dikepung oleh berbagai kepentingan baik oleh kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. Dari segi kepentingan politik, misalnya, pemilik media yang kini juga menjadi petinggi partai politik, menjadikan medianya sebagai alat untuk menunjang kepentingan politiknya. Apalagi menjelang pemilihan umum 2014, politikus yang memiliki media memanfaatkan betul medianya untuk meningkatkan keterpilihan partainya dan terus menerus mensosialisasikan diri. Diakui ataupun tidak, kepemilikan media–terutama media televisi– di tangan segelintir pengusaha yang sekaligus politikus, telah menjadikan televisi dan media lainnya sebagai alat pemoles citra atau menghantam lawan-lawan politiknya. Dalam kasus televisi, frekuensi milik publik disalahgunakan untuk kepentingan politiknya. Dari sinilah tampak bahwa tantangan independensi jurnalis dan newsroom kini tidak lagi dari luar seperti era Orde Baru, tapi justru dalam: pemilik media sendiri. Pemilik media atau pemegang saham yang juga politikus me-
minta newsroom untuk membuat berita yang mereka inginkan. Independensi dan kredibilitas media kemudian diragukan. Padahal, satu-satunya aset media adalah kredibelitas. Meski kini media siber yang berbasis Internet dan teknologi informasi pendukung industri media berkembang pesat, kredibelitas tetap menjadi jantung untuk merawat kepercayaan publik terhadap informasi yang dipro-
duksi oleh media. Di tengah Internet yang efektif untuk menyebarkan news ke seluruh ujung dunia, justru dibutuhkan news yang akurat. Sebab, begitu sebuah news tidak akurat, susah dihapus dari Internet. Akurasi news menghasilkan kredibelitas. Salah jawaban untuk membangun dan memperkuat kredeblitas adalah memperkuat independen newsroom dengan cara mendirikan serikat pekerja di media tersebut. Serikat pekerja bisa didayagunakan sebagai alat untuk menjaga independensi jurnalis dan newsroom dari intervensi pemilik. Serikat pekerja yang benar-benar memperjuangkan independensi newsroom tidak hanya baik untuk menjaga kredibelitas media tapi juga baik bagi reputasi pemilik media. Media akan menyajikan informasi yang kredibel, sedangkan pemilik media akan dikenal sebagai pengusaha yang tidak menyalahgunakan medianya untuk kepentingan dia sendiri. Sementara itu, sejak Januari hingga Mei 2013 ini, telah terjadi sedikitnya 25 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena negara terus melakukan praktik impunitas terhadap para pelakunya.
Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi merupakan kelanjutan praktik impunitas dalam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996. Sedangkan delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997) dan Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999). Juga ada Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003) dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006). Sementara Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010). Karena itu AJI menuntut aparat kepolisian dan pengunjuk rasa untuk menghormati jurnalis yang bertugas di lapangan. Jurnalis adalah profesi yang secara konstitusi dilindungi hukum, yakni UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sekaligus menjadi pelapor publik yang profesional dan independen. Dan, dari semua pelanggaran itu, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) akhirnya menobatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai musuh kebebasan pers 2013. Predikat ini diumumkan dalam acara HUT ke-19 AJI yang digelar di Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, beberapa waktu lalu. AJI banyak mensinyalir intimidasi yang dilakukan TNI kepada wartawan, termasuk intimidasi kepada wartawan peliput sidang kasus Cebongan. Hal itu terjadi ketika peliputan Lapas di Cebongan. Ketika itu orang yang meliput mendapatkan teror berupa SMS sampai pemanggilan wartawan pemantau sidang terjadi pada saat itu. Terornya sistematis dan terkoneksi. Oleh karena itu, AJI mendesak agar TNI bisa koreksi diri. Termasuk ikut serta dalam mengusut siapa oknum yang melakukan intimidasi. n
10
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
RAKYAT BERHAK TAHU :
MENYIMAK PENYAMPAI-PENYAMPAI KEBENARAN Oleh : Dina Octaviana Pattiwaellapia
A
cara Mimbar 1000 Harapan yang digelar pada 8 September 2013 di GBK, Senayan, merupakan acara kolaborasi sejumlah pihak antara lain individu aktivis sosial, organisasi non pemerintah, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, entertainer, komunitas kreatif dan jurnalis, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai permasalahan korupsi politik jelang Pemilu 2014 sekaligus mengajak seluruh masyarakat untuk menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Seluruh peserta yang terlibat dibagi dalam beberapa cluster; yaitu Hukum dan HAM, Demokrasi – Pemilu, Lingkungan dan SDA, Pluralisme dan Gender, Antikorupsi, Media – Komunitas Urban, dan Buruh. Yayasan Yap Thiam Hien sebagai lembaga non pemerintah yang mengusung isu hak-hak asasi manusia dalam acara Mimbar 1000 Harapan 2013 menampilkan dua sosok peraih anugerah Yap Thiam Hien Award, yakni Prof. Soetandyo Wignyosoebroto (Yap Thiam Hien Award 2011) dan Majalah TEMPO (Yap Thiam Hien Award 2012). Keduanya dianggap sejalan dengan tema yang diusung cluster Hukum & HAM, yaitu Rakyat Berhak Tahu. Prof. Soetandyo dan Majalah TEMPO adalah penyampai-penyampai kebenaran kepada publik melalui bidang mereka masing-masing. Tentang apa dan bagaimana kiprah keduanya, silahkan menyimak pada uraian di bawah ini.
Prof. Soetandyo Wignyosoebroto: Kesetiaan Dedikasi Sang Cendikiawan
Prof. Soetandyo Wignyosoebroto adalah pakar sosiologi hukum dan merupakan pelopor aliran antipositivime dalam hukum. Ia dikenal sebagai ilmuwan yang kritis dan konsisten. Menurut Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, Surabaya ini, hukum tidaklah sama dengan keadilan. Hukum hanya menertibkan. Tertib hukum bukan keadilan. “Jangan mengandalkan keadilan hanya dari hukum positif,” ujarnya. Ada legal justice, tapi ada legal justice yang lain lagi, yakni social justice. Ia berpendapat hendaknya pemikiran-pemikiran masa kini jangan hanya tertuju pada hukum (undang-undang) yang berlaku untuk seluruh tatanan nasional dari Sabang sampai Merauke, sebab hukum dibuat oleh lembaga-lembaga di mana orang desa tak ikut bicara, dan buruh tak ikut terlibat ketika hukum perburuhan dibuat. Keadilan seharusnya bertumpu pada hati nurani, bukan pada undang-undang. “Pak Tandyo yang saya kenal tak pernah kehilangan perspektif, tak pernah goyah pendiriannya untuk membela yang lemah. Beliau memakai ilmunya untuk membela mereka yang tak pernah dibela. Beliau beberapa kali menjadi saksi ahli untuk kasus-kasus perla-
wanan tukang becak dan miskin kota melalui jalur hukum. Beliau adalah orang yang selalu mengingatkan betapa hukum seharusnya untuk keadilan, dan tidak boleh kita terjebak pada bunyi undang-undang,” ungkap Roichatul Aswidah, mantan anggota Komnas HAM, yang mengenal Prof Soetandyo sejak tahun 1995. “Habitat saya memang di bidang pendidikan dan penyuluhan. Perubahan-perubahan takkan berhasil jika kita tak merubah cara berpikir. Perjuangan saya berada`di tataran pola pikir (mind). Saya tak pernah menolak jika diminta memberikan training,” jelas Prof. Soetandyo. Pak Tandyo pernah memberikan “kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Dalam kuliah yang digelar Fakultas Hukum Unair itu, Prof. Soetandyo menyoroti perjanjian jual-beli yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan ke-
hendak kepada warga untuk menjual hak milik mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu bertujuan untuk menyadarkan para pengungsi akan hak-hak mereka dan cara memperjuangkannya. Prof. Soetandyo terkenal akan kebersahajaan hidupnya. Tak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di rumah dinas Universitas Airlangga yang telah didiaminya sejak tahun 1958. Ia biasa naik sepeda jika hendak mengajar. Hari-hari Pak Tandyo dipenuhi berbagai kegiatan mulai dari menulis artikel, memberikan konsultasi pada mahasiswa -termasuk menguji mahasiswa di Malaysia, berceramah di berbagai tempat dan kota, berdiskusi dengan banyak kalangan, dan lain sebagainya. Sebagai guru besar emeritus, dirinya juga masih aktif mengajar di sejumlah universitas. Seakan masih kurang, Pak Tandyo juga aktif terlibat di HUMA, sebuah lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang hukum berbasis ekologi.
E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Majalah TEMPO, 42 Tahun Integritas
Tak bisa dipungkiri, Majalah TEMPO adalah fenomena tersendiri di Indonesia. Bukan saja fenomenal dalam soal pemberitaan-pemberitaannya –dan juga sampul depannyayang tak terbilang memicu kontroversi baik di kalangan penguasa maupun masyarakat biasa, prestasi yang diraihnya di kancah industri media cetak pun tak kalah mencorong. Majalah TEMPO telah membuktikan bahwa ia telah melampaui batas eksistensi sebuah majalah berita mingguan. Jalan terjal yang dilalui Majalah TEMPO selama 42 tahun lebih dari cukup untuk mengukuhkan bahwa TEMPO lebih dari sekedar majalah biasa. Saat ini Majalah TEMPO menguasai 68% pasar majalah berita mingguan di Indonesia dengan oplah mencapai sekitar 180.000 eksemplar. Dari total 620.000 pembacanya, mayoritasnya (65%) adalah kalangan yang mapan secara finansial dan merupakan para profesional yang menempati posisi sebagai eksekutif muda, pemilik perusahaan, CEO, dan Top Management. Jalan yang ditempuh Majalah TEMPO dari awal hingga kini memang berliku dan tak mudah dilalui. Dua tahun setelah penerbitan perdana, Majalah TEMPO harus menghadapi gugatan majalah berita mingguan internasional termashyur, TIME, terkait kemiripan desain kaver. Kemudian TEMPO diguncang perseteruan dua pimpinannya, Gunawan Mohammad (Ketua Dewan Redaksi) dan Bur Rasuanto (Wakil Ketua) yang berakhir dengan mundurnya Bur Rasuanto. Tahun 1982, TEMPO diberangus ijin terbitnya selama beberapa bulan oleh pemerintah akibat pemberitaan soal kampanye GOLKAR di Lapangan Banteng yang ricuh. Tahun 1987, sebanyak 31 wartawan hengkang dari TEMPO terkait masalah renumerasi. Tiga tahun kemudian, lagi-lagi masalah serupa melanda TEMPO. Tak kurang 20 wartawan memilih eksodus akibat isu Kristenisasi dalam tubuh TEMPO. Dan puncaknya adalah tahun 1994 di mana TEMPO kembali dibredel penguasa terkait pemberitaan soal pembelian kapal perang eks Jerman oleh BJ Habibie yang kala itu menjabat Menristek. Agar tetap eksis, TEMPO bersalin rupa menjadi majalah digital pada tahun 1996. Meski begitu, sejumlah wartawannya memutuskan meninggalkan TEMPO akibat ketidakjelasan penghasilan. Setelah rezim Orde Baru ambruk pada tahun 1998, TEMPO pun bangkit dari kematian pada 6 Oktober 1998 dengan menurunkan pemberitaan soal pemerkosaan para perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Hingga kini Majalah TEMPO tetap konsisten menurunkan laporan-laporan ‘panas’ yang intinya membukakan mata khalayak luas akan borok-borok pejabat, institusi pemerintah ataupun kelompok yang diyakini terkait dengan pihak penguasa. Konsistensi itu tak jarang memicu persengketaan antara TEMPO dan pihak-pihak yang merasa tertohok atau dihakimi oleh pemberitaan TEMPO tersebut. Berhubung era telah berganti ke era Refor-
masi, maka kini yang diterima TEMPO sebagai konsekuensi pemberitaan-pemberitaan ‘panas’nya bukan lagi pembredelan, melainkan gugatan hukum, baik pidana maupu perdata (plus kecaman, ancaman, bahkan intimidasi dari mereka yang meradang tersebut). Terkait dengan pemberitaan-pemberitaan TEMPO yang konsisten menyajikan isu-isu sensitif yang amat sering memicu kontroversi dan menjadikannya kontroversial, Wahyu Muryadi selaku Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO menegaskan bahwa tujuan TEMPO hanyalah mengemban misi sebagai jurnalis yang wajib meenyampaikan kebenaran dan informasi yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan publik. Kebenaran dalam berjurnalistik harus dilakukan secara berproses terus-menerus melalui verifikasi tiada henti. “Pada akhirnya kami harus menyampaikan kebenaran itu secara obyektif, jujur, dan apa adanya meskipun konsekuensinya ternyata menyakitkan, termasuk bagi kami sendiri,” ujarnya.
TEMPO dan Isu HAM
Saat melaporkan soal peristiwa bunuh diri seorang remaja putri di Langsa, Aceh (edisi Senin, 17 September 2012) akibat ditangkap polisi syariat karena gadis itu disangka pelacur yang tengah menjajakan diri, Majalah TEM-
PO dikecam keras sejumlah pihak yang mendukung hukum qanun (syariat Islam). Majalah TEMPO bahkan dituduh anti Islam. Begitu juga ketika TEMPO menerbitan edisi khusus pada 1 Oktober 2012 tentang pengakuan para algojo pembantai orang-orang yang dituduh PKI (1965), tak urung pihak Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur dibuat gerah karena merasa didiskeditkan pemberitaan dalam edisi yang laris manis di pasaran tersebut. Kabarnya pihak NU Jatim telah melayangkan gugatan terhadap TEMPO. Wahyu Muryadi, Pemred Majalah TEMPO, mengakui pihaknya dicaci-maki kelompok-kelompok tertentu yang merasa dirugikan pemberitaan itu. “Apa boleh buat, bagi kami itulah unconvenient truth, kebenaran yang tak membuat nyaman pihak-pihak tertentu yang disorot dalam pemberitaan tersebut. Kami tak memiliki misi atau agenda apapun selain mengungkapkan bahwa apa yang terjadi waktu itu masih menjadi misteri hingga kini, masih ditutup-tutupi oleh suatu konspirasi besar yang kita tak tahu yang mengambil keuntungan dari
11
peristwa itu,” paparnya. Sementara itu, Irfan Abubakar, MA, Direktur Center of Study for Religion & Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, berpendapat bahwa Majalah TEMPO adalah media pejuang HAM. Menurut Irfan Abubakar, integrasi sosial adalah keadaan di mana setiap individu atau kelompok minoritas memiliki kebebasan mengekspresikan dirinya, yang dibarengi kemampuan kelompok mayoritas menerima kaum minoritas dalam partisipasi publik tanpa menekan dan melanggar hak-hak kelompok minoritas. Pendapatnya tersebut didasari hasil kajian yang dilakukannya tentang peranan media massa dalam integrasi sosial di Indonesia (lihat “Media Framing dan Jurnalisme Damai : Menakar Peran Media dalam Integrasi Sosial di Indonesia” dalam buku Media dan Integrasi Sosial, UIN Syarif Hidayatullah, 2011) yang mengamati bagaimana pemberitaan media menyikapi konflik-konflik HAM termasuk konflik bernuansa keagamaan seperti kasus penyerangan terhadap kaum Ahmadiyah di Cikeusik dan terhadap jemaat HKBP di Ciketing. “Majalah TEMPO sangat jelas menunjukkan sikapnya yang membela HAM dengan menggunakan framing yang pro pada nilainilai HAM, dan tegas-tegas menyatakan bahwa pelanggaran HAM harus ditindak,” ungkap pria yang juga berstatus dosen pada UIN Syarif Hidayatullah. Bagi Majalah TEMPO penghargaan Yap Thiam Hien 2012 tersebut merupakan wujud kepercayaan publik, khususnya Yayasan Yap Thiam Hien, terhadap pihaknya dalam melakukan kerja jurnalistik yang juga sangat peduli pada isu-isu HAM. “Puji syukur ke hadirat Tuhan YME. Penghargaan ini melecut kami untuk bekerja lebih baik, lebih keras lagi, bahwa memang isu-isu HAM merupakan peer kita yang menumpuk sampai kapan pun,” ujar Wahyu Muryadi. Menurutnya, Majalah TEMPO sangat concern -dalam liputan redaksionalnya- untuk dengan konsisten meliput, membuka, membongkar dan menayangkan hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM : apakah itu HAM yang menyangkut hak hidup seseorang ataukah hak untuk beragama dan berkeyakinan, mengingat banyak kaum minoritas yang masih tertindas. “Itulah yang kami pertahankan hingga sekarang,” tandasnya.n
OBITUARI
Selasa pagi, 2 September 2013, kabar duka menyeruak. Pak Tandyo –demikian panggilan akrab Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, telah berpulang ke haribaan Sang Khalik setelah sempat dirawat selama beberapa hari di RS Elizabeth, Semarang akibat sakit yang dideritanya. Indonesia kembali kehilangan salah satu putera terbaiknya, sosok mumpuni namun bersahaja yang tanpa kenal lelah serta dengan setia mendedikasikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya bagi kepentingan orang banyak. Selamat jalan, Prof. Beristirahatlah dalam damai. Terimakasih banyak atas segala sumbangsih yang telah diberikan. Kami akan selalu mengenangmu…
12 SERBA-SERBI YAYASAN YAP THIAM HIEN E d i s i 0 2 | Ta h u n I | 2 0 1 3
M
Oleh : Yulia Siswaningsih
asih dalam rangka memperingati 100 Tahun Yap thiam Hien, di tahun 2013 ini Yayasan masih melanjutkan upaya untuk terus meningkatkan kiprahnya untuk menggugah partisipasi masyarakat luas untuk memberikan dukung an, pemberdayaan dan perlindungan bagi mereka yang berjuang melawan ketidakadilan dan pelanggaran HAM. Di tahun 2013 ini hingga September 2013, Yayasan telah melakukan beberapa kegiatannya, yaitu pengembangan media sosial Yayasan dimana jumlah pertemanan telah hampir mencapai angka 1000 dengan komunikasi yang cukup intensif. Artinya dalam kurun waktu 6 bulan, Yayasan cukup berhasil membangun komunikasi dengan masyarakat lebih luas terkait dengan sosialisasi sosok Yap Thiam Hien dan Peraih Yap Thiam Hien Award.
Kegiatan Yayasan terkait dengan peringatan 100 Tahun Yap Thiam Hien adalah dimulai sejak 23 Mei 2013 dimana bersama-sama beberapa YLBHI, INFID, CDC. Ukrida, BPK Penabur, Oikoumene dan BPK Penabur melaksanakan Peringatan 100 Tahun Yap Thiam Hien. Kegiatan ini sekaligus meluncurkan Buku mengenai Yap Thiam Hien. Museum HAM Aceh bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Pusat StudiHukum & HAM (PUSHAM) Unsyiah melaksanakan rangkaian kegiatan peringatan 100 Tahun Yap Thiam Hien pada 23-24 Mei 2013. Kegiatan
yang dilakukan berupa pameran Museum HAM Aceh goes to campus, pemutaran film biografi, peluncuran buku Profil Penerima yap Thiam Hien Award, ceramah dan diskusi. Diskusi yang dilaksanakan tanggal 24 Mei 2013 bertemakan “Gagasan dan Kerja Yap Thiam Hien dalam bidang Hukum dan HAM, Konteks Aceh: Masa Lalu, Hari Ini dan Prospek Masa depan.” Diskusi ini menghadirkan dua perempuan Aceh yang meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA), yaitu Ir. Farida haryani (YTHA 1998) dan Suraiya Kamaruzzaman (YTHA 2001). Selain itu juga menghadirkan perwakilan dari organisasi perkumpulan masyarakat keturunan Tionghoa di Aceh, yaitu Kho Khie Siong (Per-
kumpulan HAKKA Aceh). Bertepatan dengan momentum peringatan hari lahirnya Pancasila, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi menyelenggarakan seminar yang bertujuan merevitalisasi ingatan kita pada nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga sekaligus mengingatkan betapa seorang Yap Thiam Hien ternyata merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam sikap hidup dan pemikirannya. Seminar ini menghadirkan Dr. Todung Mulya Lubis, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA, APU, Pdt. Ferdy Suleeman, Th.M (pendeta jemaat GKI Bekasi Timur) dan Pdt. Yongky Karmar, Ph.D (dosen STT Jakarta).
Pada edisi khusus Majalah TEMPO tanggal 3-8 Juni 2013 mengeluarkan laporan khusus tentang 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan, Bercermin pada Yap Thiam Hien. Tulisan yang mencoba mengangkat hidup Yap Thiam Hiem bagai pelakon kisah Alegori Gua, karya Plato 25 abad silam. Sang protagonis yang berhasil melepaskan diri dari ikatan yang membelenggu di dalam gua sejak lahir. Lalu ia pergi keluar, terpesona melihat kenyataan alam bebas dan merasakan arti sebenarnya sebagai manusia merdeka, untuk pertama kalinya. Kisah hidup Yap Thiam Hien sampai sekarang pun terlihat amat heroik. Padahal semasa hidupnya, mayoritas kenalannya menganggap Yap aneh, menjengkelkan bahkan membahayakan. Di mata penguasa, pembela kaum tertindas dan minoritas ini dikategorikan sebagai pembangkang yang merepotkan. Itu lantaran ia berani berjuang membela hak-hak mereka yang dianggap musuh negara, termasuk kalangan yang secara politik bersebrangan dengannya. Tahun 2013 ini Yayasan akan kembali menye lenggarakan Yap Thiam Hien Award di mana riset pencarian kandidat akan segera dilaksanakan pada bulan September ini. Ke depan, Yayasan Yap Thiam Hien berencana bekerjasama dengan akademisi melakukan bedah buku terkait dengan Yap Thiam Hien. Selain itu juga berupaya mengangkat sosok dan perjuangan beliau ke layar lebar. Yayasan juga tengah menggodok rencana pembuatan filem dokumenter Yap Thiam Hien dengan sejumlah pihak, termasuk rencana mengadakan kompetisi filem pendek untuk kalangan mahasiswa.n