nEBERAPA PIKIRAN MENGENAIKEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh: Yap Thiam Hien
TuliSan ini hanya I1lcn~r unyai satu prctensi saja : dia adalah bebcrapa pikiran yang timbul dari pengalaman professionil yang agak lama meligenai pclaksanaan kekuasaan kehakiman di sid~ng peng3ctilan serta interpretasi ' tertentu ten tang hukum berlaku yang illcmpunyai relasi dengan pctham J
kCll1erdekaan kekuasaan kehakiman, p~;Uran.piki ran yang mcmbangkitkan rasa prihatin bercampllf kekhawatiran akan rcalit::s hukum dan keadiI~n kita.' uc\\'asa ini. pikiran dan perasaan yang mendesak pengungkapannya kepadJ kalangan pengajar dan pelajar·llUkum guna turut memikirkan dan menggumulkan masalah yang merupakan essensi pokok daTi suatu negara hukum dimana Rule of l.aw berlaku. SEMINAR HUKUM NASlONAL KE - II 1968 di Semarang diselenggarakan dibawah thema 'MCNt'GAKKAN KEKUASAAN KI:HAKIMAN YANG BtBAS" berkesin1pulan antara lain seperti bcrikut:
•
"I. Kckuasaan Kehakiman yang bebas merupakan sjarat mu!lak dalam suatu negara hukum. Di Negara Indonesia Pancasila-lah yang merupakan fakto: utama dan mencntukan untuk mengisi pengertian dan menegakkan Kekuasaan Kehakiman yang bebas_" "II. Kebebasan dalam melaksanakan tugas kehakimah mengandung didalamnya suatu kebebasan dari camp,;r t,mgan dari pihak kekuasaankekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiviI atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, '<eeuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang. Kebebasan yang demikian itu tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalali untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Paneasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-az", yang jadi landasarmya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehip.gga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia" (Terbitan Seminar Hukum Nasional ke-ll 1968, Jilid I LfMLfM halaman 109) Kesimpulan bagian II terscbut di atas seluruhnya diambil alill oleh memori Penjelasan pada pasal I Undang-undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 1970 no.14 yang berbunyi "Kekuasaan KelIakiman
ada/alI kekuasaan negara yang merdeka untuk menjelenggarakan peradilan guna menegakkall hukum dan keadilan berdasarki!n PiIncasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indunesia". Pendapat dan cita-cita sekelcmpok sa.jana dan praktisi hukum seperti dinyatakan dalam seminar tersebut di atas adalah tegas mewujudkan negara hukum Indonesia. Caranya menurut pendapat mereka adalah dengan mengadakan dan memelihara suatu kekuasaan kehakiman yang diwajibkan dan sekaligus diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi dan tugas
4
MAJALAH fHUI
penyelenggaraan pcradilan secara bebas dari segala pengaruh dan campur
tangan dari kekuasa:lI1-kckuasaan negara lainnya , yakni tentunya kekuasaan cksekutif dall legislatif. Pembuat undang-undang dengan membenluk undang- undang 1970 No.14 sambil rncncabul undang-undang 1964 No.19
tentang
kctcntuan·k e t~nlllan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang secara
cksplisit mempcrbolchkall call1p"r tangan pemerintah dalam hal peradilan, menegaskan pcndapat uan cit<J-cita serupa. BaikJah dicatat disini sebagai canangan bahwa menllrut pasal 5 (I) Und.ng-undang Dasar '45 pembual undang-undang adalah Presiden scbagai kepala pemerintah bersam. deng.n DPR. Dimaksudkan: Kckuasaan cksekutif-pun mempunyai pendapat dall cita-cila yang sama dengan DPR dOln kaurn jurist lentang perlu adanya kekuasaar. kehakiman yang bebas scbagai sarana unluk merealisasikan Negara Hokum Re?ublik Indonesia. Tampaknya antara cita-cita dan realisasinya lerdapat jarak yang jauh dan sulit, disana-sini lerdapat rintangan dan hambatan. Dalarn konstela si nasional dewasa ini , apakah kebebasan kekuasaan kehakiman seperti dicita-citakan itll cukup te~arnin ? Pertama-tama harus dilihat ba hwa jaminan konstitusionil bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak ada. UUD '45 hanya memuat dua pasal tentang kekuasaan kehakiman, yakni pasal 24 dall pasal 25, dan tidak satu dari kedua pasal itu
., memberi !Cf'
,
«
c
BEBERAPA PIKIRAN MENGENAI KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
5
pasallO ayat (I) yak"i peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer mn peradilan tata usaha negara (yang belum ada) "organisatoris, adm inistratif dan [illQnsiil ada dibawah keA1lasaon masing-masing departemen yang bersangkutan", artinya dibawah kekuasaan-kekuasaan eksekutif. arli lainnya, adalah bergantung (dependent) pada. diatur. dikuasai oleh kek uasaan non-judisiil. Yang mendapat perhatian se lanjutnya adalah pasal 29 yang merumuskan sumpah yang harus d" 'capkan sebelum hakinn me lakukan jabatannya, khususnya paragrap ke, iga anak kalinnat yang terakhir yang menentukan bahwa hakim tidak saja bersumpah/be~anji akan setia pada , mempertahankan serta mengamalkan Pancasilt. Undang-undang Dasar 'd5 dan segala undang-undang, tetapi juga ''peraturan-peraturan lain yang ber/aku bagi Negara Republik Indonesia ". Sumpah inn mengikat hakim-hakim untuk setia pada. mempertahankan serta mengamaikan Keputusan Presiden 1971 No.82 tentang Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang dipusat dipinlpin oleh Me·nteri Dalam Negeri dan di propinsi oleh Gubernur. Lagi pula. oleh karena semua hakim ada lah pegawai negeri. maka hal-hal terseb ut agak menggoncangkan kebebasan me,eka. Peraturan te ntang lembaga Muspida yang dipinnpin oleh kepala daerah ,.tempat tampaknya juga tidak terlalu mengukuhkan kebebasan kekuasaan kehak iman _ Akhirnya pasal 3 1 yang menetapkan bahwa hakim-hakim diangkat mn diberhentikan oleh Kepala Negara. sedangkan undang-undang yang harus menentukan syarat-syarat dari pengangkatan dan pemberhentian itu belum ada. Alhasilnya layaklah kiranya dikemukakan pertanyaan apakah ketentuan-keten tuan tersebut tadi tidak merupakan sekian banyak faktor yang mengurangi kebebasan kekuasaan kehakiman? Persoalannya meiljadi lebih tajam bilamana dihubungkan dengan kamtibmas yang merupakan bagian integral dari konsep konpiehensip dari pertahanan nasional yang rnemang belurn merupakan ur,dang-unmng teta?i dalam praktek tampaknya sudah dilaksanakan. misalnya dengan keputusan Presiden · tentang pembentukan lembaga Kopkamtib. yang dapat t!1emerinlahkan semua instansi negara dalam hal operasi keamanan dan kelerliban. Kebebasan kekuasaan kehakiman menjadi persoalan lerutarna dalam penanganan perkara-perkara subversi. terislinnewa peristiwa-peristiwa C-30-S. yang menurul kelelapan MPRS harus dikikis habis_ Dalam konslelasi hukum dan politik seperli itu sampai dinnanakah nilai dan makna kemerdekaan kekuasaan kehaklman yang juridis-formil saja sudah agak dapal dipersoalkan? Disamping hal-hal tersebut di alas masih lampak gejala lain_ Kekuasaan kenakinnan ada lah kekuasaan yang leramal luas dan mendalam sekali . Dia menjangkau tidak saja harta-benda orang telapijuga menentukan status pribadinya. kemerdekaannya. hidup berkeluarganya. sampai hidupmatinya sekalipun . Disamping itu kekuasaan kehakiman merupakan suatu kekuasaan yang relatif lebih lepas dari pengontrolan umum. Kalau dewasa ini aparalur negara lain mendapal soralan berhubung dengan masa\ah penyalah gunaan kekuasaan dan komersialisasi jabalan dan bisa·· diseret
b
MAJALAH FHUI
kemuka pengadilan, lainlah halnya dengan kckuasaan kehakiman yang diketahui oleh publik juga tidak kebal terhadap beraneka ragam godaan. Dalam hal ini badan manakah berwenang menuntut dan mengadili anggota.anggota kekuasaan judikatif? Adakah mekanisme yang effektif untuk mcnilai dan mengoreksi pe1ak.sanaan kebebasan kekuasaan kehakiman? Apakah mekanisme itu diper/ukan atau tidak demi terselenggaranya kepastian hukum dan keadilan dan negara Intkum Indonesia? Pembuat undang-undang kekua""n kellakiman 1970 no. 14 pereaya pada mekanisme sel[cuntrol yang di!illatnya terletak dala!TI sampahJabatan hakim. Ada yang bilang kepercayaan itll agak naif. ReaJit.asnya mcmanglah menj.'atakan bahwa sump?h jabatan oan pengucapan keputusan 'Vemi Keadilnn berdasarkoll Keruhallall rallg Maha Fsa" agaknya tidak merupakan penghalang besar bagi pengambilan kebijaksanaan dan tindakan (keputusan) ya ng berlawaHan dengan hukum. keadilan, hak-hak Asasi Manusia , Paneasila, Undang-undang Dasar dan tanggung jawab serta kode ethik professi. Karena itulah menjadi pertanya~n mendesak ten tang cliadakannya - disamping upaya hukum banding dan kasasi - suatu mekanlsme prev(;n tif dan represif yang effektif terhadar keeenderungan atau gada an untuk membuat hal-hal yang bcrtentangan dengan kewajiban hukum dan moral serta untuk tidak membuat hal-hal ya ng dituntut oleh hukum dan keadilan, Paneasila dan UUD. : Piof. Paul Scholten didalam salah satu karyanya menulis bahwa keputusan h'ukuln dari seorang jurist, - bukan saja dari seorang hakim adalah suatu keputusan berdasarkan l>ati-nurani Ceen reehtsbeslissing is een gewetensbeslissing). Semuanya itu menunjuk kepada pendapat bahwa hukum dan keputus'an hukum bukanlah semata-mata suatu soal teknis-fo rmil belaka, melainkao erat bertaliannya dengan moral dan kesusilaan. Kiranya juga demikian halnya dengan kebebasan kekuasaan kehakiman dan penggunaan kebebasan kekuasaan itu. Kekuasaan Kehakinlln pada umumnya diJaksanakon di sidang-sidang, baik di sidang-sidang perdata maupun di sidang·sidang pidana. (Di luar sidang misalnya sewaktu memutuskan at au mengambil kebijaksanaan yang mengabulkan atau menolak . permohonan si tertuduh atau l'em\>elanya supaya melepaskan tertudull dari tahanan sementara eX'pasal358 dst. HIR; supaya mendesak Poiisi atau Jaksa supaya segera menyelesaikan pemeriksaan pendahuluan ex pasal 83d (I H1R; supaya mengizinkan tertudull/pembela membuat salinan at au fotokopi dari berkas perkara). Maka di sidang-sidanglah tampak pengambilan keputusan-keputusan (dalam arti yang luas) atau kebijaksanaan-kebijaksanaan (reehtsbeslissingen in ruime zin) berdasarkan kebebasan kekuasaan hakim. Misalnya, tertudull minta supaya sidang ditunda karena ingin mempeJajari berkas perkara; supaya saksi-saksi diperiksa I,ebih dahulu; supaya verbalisan didengar sebagai saksi mengenai tuduhan penganiayaan tertuduh/sa""i; ,upaya saksi-saksi tortuduh juga llidengar. (Contoh-eontoh ini dapat ditambah dengan banyak contoh lain, tetapi kiranya sudah mencukupi sebagai illustrasi). Dari semua tindak-tanduk hakim di sidang itu dapatlah dinilai sampai berapa jauh
r
1
,
BEBERAPA PIKIRAN MENGENAI KEMERDEKAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
7
kebebasan kehakiman diterapkan. Norma-norma apakah harus dipakai
untuk menilai kebcbasan itu?
Kir~ya
nonna-norma itu pertama-tama
terdapat dalam hakekat hukum sendiri, yakni ad il , sama (equal), bermanraat (doelmatig); selanjutnya norma-norma yang tereakup dalam Paneasila seperti antara lain demokratis. berprikemanusiaan, bersusila. dan akhirnya ukuran-ukuran formil juridis: konstitusionalitas dan legalitas_ Maka kalau karena syakwasangka atau prasangka terhadap tertuduh atau pembelanya Hakim tidak mengindahkan norma-norma dan azas-azas tersebut di atas, kiranya su.!itloh untuk men!lai tindak-landuk hakim itu sebagai bebas_ Terutama dai3m menangan; periclra-porkara polilik (subversi), khususnya perkara-perkara G-30-S, tanlpaklal! bagaimana Kekuasoan Kehakiman berada dalam bahaya . Disamping ilu, keadaan umum yang dihinggapi penyakit ".oru!'s; dan komersialisasi tidak mampu melihal kekuasaan kehakiman sebagai be bas dan kebal terhadap pengaruh-pengaruh sang Mamon_ Pendapal umum tidak memberi kredibi1itas besar pada !ntegritas kekuasaan kehakiman masa kini. Pendapat ini disayangkan karena sumber yang mengetahui mempunyai keyakinan dan kepereayaan bahwa masih ada unsur-unsur kekuasaan kehakiman yang bersih mueni. Kebebasan kekuasaan kehakiman juga menjadi pertanyaan karena .sistim hukum acara pidana kila: kenyataan-kenyalaannya memperlihatkan bahwasanya Pengadilanlah yang membuat ketetapan dalam perkara tulokan; bahwa berkas perkara diberikan kepada Hakim untuk dipelajari sebelum sidang dimulai (tetapi tidak diberi kepada tertuduh/pembelanya); bahwasanya hakim memegang peranan yang demikian besaenya dalam pemeriksaan schingga terkadong-kadang tampaknya sebagai Jaksa Peiluntut Urn urn Utama saja_ Sistem hukum yang demikian ini menyulitkan kcpercayaan pad a suatu kekuasaan Kehakiman yang bebas untuk mencari dan melaksanakan hukum dan keadilan . Pelajar-hukum Jiajar untuk mcnghormati dan membela hukum serta untuk · menghormati dap menjunjung tinggi Pengadilan seba6i ''pclljaga Hukum dan Keadilan"_ Tetapi pengalaman dengan realitas hukum dan penyelenggaraan hukum dan keadilan memberi keyakinan yang scmakin lama menjadi semakin menebal bahwa banyak hal amat perlu dikoreksi dan dirobah lebih dahulu sebelum kredibilitas dan respek bisa pulih kembali_ "Kekuasaan Kehakiman yang bebas merupakan syarat mutlak dalam suatu negara hukum"_ Peenyataan Seminar Hukum Nasional ke II itu harus diulangi dan diheri titil< bera!. Tetapi peenyataan yang juga tepat dari Menteri Kehakiman kita baru-baru ini "Negara Hukum bukan hadiah tetapi harus diperjuangkan," harus juga dicamkan_ Caranya menurut Menteri · Kehakiman adalah melalui prvses pembaharuan dan pembinaan hukum yang katanya bukan hanya urusan dan tanggung jawab pemerintah saja, tetapi dari seluruh masyarakat termasuk para pc~tgak hukum. ("Kompas" , Kamis, tanggal 14 Oktober 1976)_ Realitas yang seber.arnya - bandinglah pengumuman-pengumu:nan pers len tang keluhan-keluhan dan saran-saran m.asyarakat memperlihatkan bahwa persoalannya bukanlah brena kur:::tn~ :tu3.nya raS3 tangg. ull~'. ·I:J\\ .Il,
.-; MAJALAH t'NUI
o
fA
dan partisipasi darLmasyarakat. tet"pi "gaknya lebih terletak,:pada kurang terbukanya dan kurang tergugaltnya pillak yang berkuasa untuk secara sungguJ:-sungguh mengikut-sert"k.n masyarakat untuk melaksanakan rasa tanggung-jawabny. atas "res publica" (the affairs of stat e)_ Soal lain rupany. buk.n soal 11lIkUJl1 atau sistim hukum yang baru. betapapun diakui penting dan nilain ),a, Hukum kolonial yang kini masill berlaku sekalipun, kalau benar-benar dilaksanakan menurut jiwa dan
maksud-tujuannya . yakni untuk membela kepentingan umum, untuk melindungi harta-benda. keh obasan dan hidup perorangan - pastilah sudah
dapat mencegah dan mengurangi banyak kepincangan dan kesewenangwenangan. Soal po ko knya hen,at pellulis aJalah soal LTHOS flUKUM yang
ma.sih
ku~allg
daII
kafenanya harus ditanam dan dipupuk, sehingga
lambat-Iaun bisa menjldi sualu pola-ke lakuan berdasarkan hukum, Dengan kata lain soal menciptak.n suatu bud.ya hukum, Dan problem. ini adalah
soal tersendiri yang memerlukan pemahaman tersendiri pula.Jakarta , 15 Oktober 197 6 ,