Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
Alhamdulillah, aku sangat bersyukur. Kerjaku tidak begitu berat. Gajiku juga lumayan. Bulan-bulan pertama gajiku untuk bayar hutang biaya keberangkatan. Baru disisihkan untuk hutang saat menanam tembakau. Dalam perkiraanku, tak sampai tiga tahun hutang-hutangku sudah lunas. Uang itu aku kirim ke Indonesia lewat Haji Mahfudh. Aku percaya padanya.
Meskipun begitu, sesenang-senangnya aku di Malaysia, tetap lebih enak bersama keluarga. Mengasuh anak-anak bu Ratna membuat kerinduan pada anak-anakku sedikit terobati. Namun kenyataannya, aku tak bersama orang-orang yang kucintai. Apalagi ada malam-malam sepi, yang tak bisa menghalau fitrahku sebagai perempuan dewasa. Namun semua berusaha kutepis dengan puasa dan berbagai kesibukan.
Ketika terus nanti. tetap di
kurasa semua hutangku lunas, aku masih memutuskan untuk mengumpulkan uang dulu, sebagai modal usaha bila pulang Siapa tahu aku bisa mempunyai pekerjaan yang membuatku rumah dengan keluargaku tanpa harus jauh-jauh ke Malaysia.
Lima
tahun aku lewati. Selama waktu itu, aku nyaris tak pernah tahu kabar keluargaku. Karena di rumahku tak ada telepon untuk berkomunikasi langsung dengan mereka. Aku hanya sesekali mendapat kabar tentang keluarga dari Haji Mahfudh. Lewat Haji Mahfudh pula, aku sering berkirim surat ke rumah, walau tak pernah ada balasan. Setelah kurasa cukup, akupun memutuskan pulang. Aku pamit pada bu Ratna dan suaminya, dan mereka memberiku pesangon yang banyak disamping gajiku. Sebelum pulang, aku belanja sekedar oleh-oleh untuk anak-anak, dan untuk Kak Salim kubelikan jam tangan dan
1/7
Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
sebuah ponsel.
Tanggal lebaran
29 Ramadlan, aku pulang ke tanah air, sekalian untuk bisa besok di kampung halaman.
***
Pukul sebelum Setelah
tiga sore bus memasuki kota Sumenep. Aku turun di pertigaan terminal, dan melanjutkan dengan becak ke Kebunagung. menunggu lama, baru ada mobil pick-up menuju Ambunten.
Tak sabar rasanya untuk sampai. Seperti apa keluargaku sekarang? Sebesar apa anak-anakku? Bagaimana Kak Salim? Apakah rumahku sudah diperbaiki?
Menjelang buka puasa, ketidak sabaran itu berakhir. Emak menjerit dan langsung menangis memelukku erat begitu aku datang. Setelah mencium tangan Bapak, pandangku beralih pada tiga anak-anakku. Ahmad dan Aisyah yang langsung menghambur dalam dekapku, sedangkan Alia masih berdiri menatapku dengan raut wajah penuh tanda tanya. Maklumlah, dia masih bayi ketika kutinggalkan. Tapi aku tidak melihat Kak Salim. Apakah dia ke laut? Tapi aku sudah memberi kabar kalau akan pulang akhir Ramadlan. Di mana dia?
Aku Setelah
menyimpan pertanyaanku karena adzan maghrib berkumandang. berbuka dan shalat maghrib, barulah aku bertanya. 2/7
Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
"Kak
Salim arombang ya, Mak?" Mak menatapku terkejut. Aku heran. Bapak menunduk. Ada apa?
"Bapak baru?
pindah ke rumah baru, Mak." Kata Ahmad perlahan. Rumah Ah, ternyata aku yang tak bisa menahan keterkejutan. Jadi Kak Salim membuat rumah baru? Betapa bahagianya aku mendengar ini. Tak sia-sia uang yang kukirim dari hasil jerih payahku.
semua
"Di
mana?" tanyaku sambil menggenggam tangannya hangat. Ia tak menjawab.
"Rumah
bercat hijau dekat masjid." Jawab Aisyah. Ya Allah, terimakasih untuk semua ini.
"Benarkah? Kalau begitu ayo kita ke sana." Kak Salim ternyata sudah bersiap menyambutku di rumah baru.
"Nanti Salim."
"Minah
saja, Nah. Kamu kan masih capek. Atau besok saja menemui Kata Emak pelan.
tidak capek, Mak. Biar segera bertemu dengan bapaknya
3/7
Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
anak-anak," jawabku. Tanpa menunggu lama aku segera berlari menuju rumah yang ditunjukkan Aisyah. Tak kuhiraukan Emak memanggil.
Rumah bercat hijau yang cahaya lampunya temaram di teras depan, namun terang benderang di dalam. Di depannya ada pohon mangga dan beraneka bunga. Hatiku terasa harum semerbak. Kerinduan itu semakin menerjang untuk segera bertemu dengan suamiku tercinta, laki-laki yang telah menanamkan benihnya dalam rahimku. Di pintu rumah, aku mengucap salam. Walaupun ini rumahku, aku tak mau sembarangan masuk. Biar Kak Salim yang menyambutku. Aku ingin tahu seperti apa dia ketika melihatku datang.
Salamku kurindukan
"Aminah?
Aneh.
terjawab. Ah, suara itu…, sosok yang telah begitu lama kini tegak di hadapanku.
Kamu…."
Ada raut keterkejutan di wajah kak Salim. Kenapa? Apa dia tidak tahu tentang kepulanganku? Jadi dia bukan hendak membuat kejutan untukku?
Serasa perempuan pikiranku.
hendak terbang aku dalam pelukannya. Namun suara seorang di belakangnya menghentikan segala hendak dalam
4/7
Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
"Siapa, yang
Kak?" Katanya dengan bayi dalam gendongan. Perempuan tak kukenal dengan dandanan modern dan make-up tebal. Siapa dia? Tidakkah aku yang seharusnya bertanya dia siapa dan mengapa ada satu rumah suamiku?
Tubuhku
bergetar. Tiba-tiba Kak Salim berlutut memeluk kakiku. "Maafkan aku, Nah. Maafkan aku."
"Siapa, lontarkan.
Kak?" Pertanyaan yang sama dengan perempuan itu aku Aku bahkan nyaris tak mendengar suaraku sendiri.
"Istriku,
Nah. A..ku me..nikah la..gi."
ISTRI??!!!
Jadi Kak Salim menikah lagi ketika aku pergi?
"Maafkan
aku. Maafkan, aku, Nah…" Ujarnya sambil menciumi kakiku. Aku seperti jatuh terhempas dari ketinggian ke palung yang paling dalam.
Wahai hatiku, adakah maaf di kedalamanmu untuk suamiku ini? Apakah aku sanggup memunculkan maaf itu ketika cinta dan kepercayaan yang kutitipkan dikhianati sementara cintanya kubawa jauh ke negeri seberang sembari menjaga kepercayaannya dengan
5/7
Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
sepenuh kekuatan?
"Kenapa menahan
Kakak lakukan ini?" Kataku dengan nada pilu sembari sebah di dada. "Aku tak kuat, Nah. Kau pergi begitu lama. Aku rindu. Aku laki-laki normal, Nah. Aku membutuhkannya." Kepalaku mendadak pusing. Mataku serasa berkunang-kunang. Apa aku juga tak normal? Apa aku juga tak punya perasaan yang sama ketika jauh darinya? Malam-malam yang dingin kulalui dengan gigil tanpa ada suami di sisiku. Sementara dia menghadirkan wanita lain dalam ketiadaanku.
Aku
bekerja keras agar hutang terbayar lunas, agar ia sembuh dari kegoncangan jiwanya dan kembali seperti dulu, jauh di negeri orang…, namun balasannya aku ditikam dari belakang. Bahkan ia menikah lagi dan menempati rumah yang dibangun dari hasil kerja kerasku. Adilkah ini, ketika aku pergi ia juga tak menghiraukan anak-anak untuk membahagiakan istri dan keluarganya yang baru?
Kak, menikam? perasaan? berkeinginan siapapun.
Isakku melonggarkan jiwaku.
apakah kau tahu arti kerinduan yang tajam bak sembilu Apa kau tahu makna kesepian yang seperti pisau mengiris Aku punya rindu dan sepi, Kak. Sama. Tapi aku tak pernah untuk menemukan apalagi menggantikan dirimu dengan
tak tertahan. Ingin aku berteriak walau sekali untuk sedikit sesak. Yang lelah tak hanya ragaku, tapi lebih-lebih
6/7
Cerpen Edisi 25: Sembilu Rindu (Episode 2) Ditulis oleh Ida Ar-Rayani Selasa, 30 Juni 2009 07:03 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 18 Agustus 2009 07:13
Adzan
Isya` berkumandang. Takbir mulai bersahut-sahutan, ditingkahi suara petasan. Aku membalikkan badan. Tak kudengar lagi apapun yang ia katakan. Dengan aneka perasaan yang tumpang tindih, antara benci, kecewa dan sedih, aku melangkah meninggalkan mereka berdua.
Di kepada merekalah
rumah, ketiga anakku menyambut. Aku tahu, kini hanya rinduku terpaut.
7/7