Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Media Center STAN
1
Media Center Explorer
2
Diterbitkan oleh:
Pemimpin Umum: Medi Kurniawan Sekretaris Umum: Milki Izza Kepala Kesekretariatan: Amalia Dinna Paramita Bendahara Umum: Anggraeni Purfitasari Pemimpin Redaksi: Arfindo Briyan Santoso Redaktur Pelaksana Majalah: Izati Choirina Kepala Penelitian dan Pengembangan: Tulad Peni Kharisma Manajer Art Center: Arswendy Danardhito Pemimpin Perusahaan: Ghulam Azzam Robbani Layouter: Arswendy Danardhito Ilustrator: Tri Hadi Putra Reporter: Dirga Satrio Muhammad Nugroho Budi Sulistyanto Siti Armayani Ray Kontributor: Aditya Rahmat Agustina Rahayuningtyas Fauziyah Arimi Muwardhani Wahyu Utami Wahyu Widyaningrum Telepon: 021 91274205 Pos-el:
[email protected] Laman: mediacenterstan.com
3
suara bengkel
“Sampai kapankah hubungan erat antara Ibu dan Facebook? Mungkin sampai akhir hayatnya.
membuat sebuah kebijakan atas sebuah kasus, membuat beberapa presiden lain lengser, dan mengibarkan bendera perang saudara. Tidak mutlak memang, tetapi tak dapat dipungkiri juga bahwa jejaring sosial ini menyumbangkan sebuah media untuk mengumpulkan massa.
Notebook-nya akan dibawanya…ke…surga” (Ibu dan Facebook—Serafina Ophelia)
Kali ini, Majalah Civitas terbit di tengah hiruk pikuk mahasiswa STAN yang sedang akrab dengan jejaring sosial. (Hampir) semua mahasiswa punya akun Facebook pribadi. Beberapa aktif di Twitter dengan berbagai kicauan dan membuat hashtag khas STAN. Setiap kelas membuat grup tertutup, begitu pula dengan organisasi kampus dan perkumpulan lainnya. STAN bahkan membuat fans page-nya melalui jejaring ini dan mempublish informasi seperti oublikasi IP lewat page tersebut.
Masih ingat penggalan puisi di atas? Adalah Serafina Ophelia, seorang bocah kelas 4 SD yang membuat puisi itu. Videonya yang sedang membaca puisi itu sempat jadi perbincangan di dunia maya pada tahun 2009 lalu. Polos, lugu, dan lucu. Puisinya sangat sederhana: menceritakan betapa erat hubungan antara ibunya dengan situs jejaring sosial itu. Tidak dipungkiri, Facebook menjadi semacam candu bagi banyak orang.
Dalam lingkup kampus pun, jejaring sosial ini berhasil membuat “perang”—dalam sklala kecil tentunya. Mungkin Anda masih ingat kasus “UTS Bahasa Inggris II” yang dialami mahasiswa akuntansi angkatan 2008. Keramaian kasus tersebut bermula di dunia maya, atau setidaknya berkembang lewat dunia itu. Ketika orang-orang bisa dengan bebas
Kini setelah dua tahun berlalu, semakin banyak orang akrab dengan jejaring sosial. Banyak yang dilakukan lewat media baru itu, dari mengunggah foto-foto, membuat catatan perjalan ke luar negeri atau sekadar mengabarkan aktivitas. Namun, jejaring sosial ini juga sudah ‘memaksa’ pemerintah untuk
4
mengekspresikan segala macam pikiran, dalam kasus ini ketidakpuasan, tidaklah berlebihan jika ada yang diadu, ikut dilibatkan dan melibatkan diri, membawa massa untuk saling bertentangan.
membuat berita ala kita sendiri. Tak perlu bakat orasi untuk membuat propaganda seperti keinginan kita sendiri.
Masih dari kampus, “keributan” tugu di kalangan mahasiswa spesialisasi Akuntansi juga lebih tampak dalam dunia maya. Kejadian lainnya dialami mahasiswa Pajak terkait lokasi PKL. Dengan segala spontanitasnya, jejaring sosial berhasil membuat orang-orang berkumpul tak hanya untuk suatu persamaan ide, tetapi juga untuk “berperang” atas berbagai perbedaan pendapat.
Pertanyaan retoris. Siap tak siap, kini mahasiswa STAN toh sudah menjamah alam internet, dunia yang tadinya tidak diprediksi akan berkembang sedemikian rupa dan tak bisa diprediksi seperti apa nantinya. Lagi-lagi, kuncinya ada pada tataran individu, hendak dipakai untuk apa penemuan-penemuan fenomenal ini. Untuk sekedar bilang “Lagi mules nih,” atau sampai menggulingkan suatu pemerintahan. Hanya untuk saling mencaci atau twitwar, sampai menggalang kemanusiaan.
Siapkah kita?
Beberapa pihak telah sampai pada kesadaran bahwa dunia ini benar-benar berpotensi sebagai sarana mencari dukungan. Sebuah notes berisi komplain kepada panitia lomba, misalnya, cukup untuk mengarahkan sorotan publik pada kekurangan yang terjadi dalam event tersebut.
Dosen saya menggarisbawahi aturan realitas internet ini secara singkat, “Seperti kita bertindak dalam dunia nyata aja, kalau dalam dunia nyata kita nggak boleh mengumpat orang lain atau mengancam orang lain, ya jangan lakukan itu di dunia maya.”
Ya, media ini memang sangat memfasilitasi kita untuk mengeluarkan pendapat, apapun itu. Tak perlu pandai menulis dan mengerti prinsip moral semacam cover both side untuk
Akhir kata, selamat membaca sajian kami ini. Salam!
5
liputanutama
Dunia dalam Internet
Kenal dengan kata “netizen”? Istilah ini mungkin masih asing bagi sebagian orang. Namun jika ditanya, “Apakah Anda punya akun Facebook atau Twitter?” Bisa dipastikan sebagian besar menjawab “Punya”.
Netizen didefinisikan sebagai internet citizen, orangorang yang menjadi ‘penduduk’ dunia internet. Termasuk mereka yang menggunakan internet sebagai sarana untuk berkomunikasi online. Via Facebook, misalnya. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh pakar komputer Michael Hauben dalam sebuah artikel pada tahun 1992. Kala itu, masyarakat yang mengenal internet masih sangat sedikit, karena memang jaringannya baru mulai dibangun di Indonesia pada awal tahun 1990-an.
6
“Apakah Anda punya akun Facebook atau Twitter?” Bisa dipastikan sebagian besar menjawab “Punya”. Dari Alat Bisnis ke Candu Sosial
Fasilitas penulisan opini dan situs pribadi sendiri baru dikenal luas setelah kelahiran blog. Blog, aslinya adalah kependekan dari weblog, yang pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997. Jorn Barger menggunakan istilah weblog untuk menyebut kelompok situs pribadi yang selalu di-update secara kontinu, berisi tautan ke situs lain yang dianggap menarik dan disertai dengan komentar-komentar pemilik blog.
Penyebaran internet di Indonesia efektif dimulai pada tahun 1994 dengan dibukanya ISP (Internet Service Provider) pertama di Indonesia, yaitu PT Indo Internet (IndoNet) di Jakarta. Sontak, internet yang bermula sebagai media bisnis, terus berkembang dalam paradigma komersial. Baru pada tahun 2000, internet mulai dikenalkan kepada sektor pendidikan, melalui program Sekolah 2000 yang dirintis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerjasama dengan komunitas pendidikan.
Peran internet sebagai social media, dikenal kancah internasional pada tahun 1998. Sementara di Indonesia, menurut Wicaksono, pemerhati social media yang juga dikenal dengan nama “Ndoro Kakung”, pengguna internet baru mulai mencicipi social media pada awal tahun 2000-an.
Akses internet mulai marak di penghujung 90-an. Orang-orang memanfaatkan jasa surat elektronik gratis yang disediakan Yahoo, berbincang melalui mIRC, serta mengulik informasi dengan mesin pencari Google. Namun, dalam rentang waktu tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 tersebut, informasi yang komprehensif mengenai seluk-beluk internet belum tersebar luas di masyarakt.
“Waktu itu yang make hanya orang-orang yang paham teknologi kemudian baru menyebar ke masyarakat awam. Saya kira, belum terlalu banyak juga penggunanya di indonesia. Ya paling 50, 100 ribu kalau nggak salah juga waktu itu,” jelas Wicaksono.
Peningkatan penetrasi internet, baik melalui sektor rumah-tangga maupun warung internet (warnet), masih mengacu kepada pola-pola kuantitatif yang berpatokan pada jumlah. Kultur membaca dan menulis di Indonesia pada saat itu sangat rendah. Kecenderungan untuk mendapat informasi masih dilakukan dengan ngobrol, atau penyampaian paralel dari mulut ke mulut. Ini menjadi salah satu faktor atas kecilnya perkembangan internet di Indonesia pada masa awal keberadaannya. Berbeda dengan perkembangan internet pada masyarakat, katakanlah, Eropa yang kultur membacanya sudah mengakar. Mereka terbiasa terbuka pada perkembangan alternatif sumber informasi dan media berpendapat.
Interaksi dengan mudah terjalin di dunia maya, bahkan dengan orang yang belum pernah dikenal. Kemudahan ini diikuti dengan mewabahnya jejaring sosial seperti My Space dan Friendster yang makin memudahkan komunikasi, penyebaran opini dan isu di kalangan pengguna internet. Fase ini meningkatkan minat masyarakat terhadap internet, terbukti dengan menjamurnya warnet (warung internet) pada awal tahun 2000an. Kini, dengan sekali klik, setiap orang di berbagai penjuru dunia bisa saling berbicara, mengunduh berbagai materi, mengikuti peristiwa di belahan dunia lain secara live streaming, atau bahkan ketiganya secara bersamaan.
7
liputanutama
Di Indonesia, penggunaan internet untuk bersosialisasi tercermin melalui fenomena demam Friendster yang sempat bertahan hingga sekitar tahun 2007. Mesin sosial baru bernama Facebook perlahan menggeser dominasi Friendster. Berkat fitur-fitur baru yang dimiliki Facebook, kalangan pengguna internet yang didominasi anak muda ini mulai beralih ke situs besutan Mark Zuckerberg. Facebook sebenarnya telah berdiri sejak bulan Mei 2004, tapi baru marak di Indonesia pada awal tahun 2008. Tak hanya menarik pengguna, fitur-fitur tersebut nyatanya mempengaruhi anak muda sampai taraf kultur sosial. Pembicaraan di kalangan remaja beralih dari kata testimonial menjadi nge-wall, dari kata approve menjadi confirm, dan dari kata bulbo menjadi status.
Politik Netizen Kebebasan dalam mengakses dan mempublikasi informasi semakin maju dengan dukungan perangkat mobile seperti telepon genggam, ponsel pintar, iPad dan perangkat berkoneksi internet lainnya. Kebebasan ini diikuti dengan pertumbuhan massa netizen dan mulai menimbulkan efek samping berupa persebaran informasi yang makin simpang siur. Netizen kini tak asing dengan istilah hoax, yang kemudian sering digunakan publik sebagai kosa kata sehari-hari. Pemanfaatan media sosial sekarang meluas dari cakupan informasi jual-beli, perjalanan, lifestyle, atau sekedar curhatan pemilik akun. Ranah politik mulai terjamah, mengenalkan demokrasi dalam dunia maya. Sarana ini menjadi jembatan antara pendapat politis dengan tataran kehidupan sosial. “Media baru merangkai itu, realitas sosial yg tadinya cerai berai mungkin dirangkaikan dengan internet atau jejaring sosial,” papar Wisnu Martha Adiputra, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Penyatuan aspirasi di media sosial yang diiringi pergerakan nyata tidak jarang berhasil menyita perhatian masyarakat maupun pemerintah. Sedikit banyak, ini mempengaruhi sikap pemerintah yang cenderung suam-suam kuku dalam mengambil kebijakan.
Dunia blog turut mengalami variasi, dari Blogspot, Blogdrive, Wordpress, Multiply, Posterous dan sebagainya. Layanan baru dalam blogging pun masih terus dimunculkan hingga saat ini. Di Indonesia, kemajuan pesat peminat blog mulai terjadi pada tahun 2007. Kelahiran miniblog semacam Tumblr, Plurk, Twitter, ikut meningkatkan ketergantungan masyarakat pada social media.
Dengan sekali klik, setiap orang di berbagai penjuru dunia bisa saling berbicara, mengunduh berbagai materi, mengikuti peristiwa di belahan dunia lain secara live streaming, atau bahkan ketiganya secara bersamaan.
Banyak kasus membuktikan kecepatan dan keefektifan unjuk rasa via internet. Sebut saja pengumpulan koin untuk Prita Mulyasari terkait tuduhan pencemaran nama baik oleh Rumah Sakit Omni. Gerakan ini lantas berujung pada terkumpulnya koin dalam jumlah fantastis, mencapai nominal Rp825.728.550. Jumlah yang luar biasa ini padahal ‘hanya’ berawal dari sebuah pesan di mailing list pada bulan Mei 2009.
8
Aksi solidaritas pengguna internet Indonesia juga lahir saat terjadi ledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada bulan September 2009 lalu, melalui aksi Indonesia Unite yang populer lewat jejaring sosial Twitter. Di Facebook, muncul gerakan serupa untuk mendukung pembebasan ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah melalui Gerakan Satu Juta Facebooker Dukung BibitChandra yang populer pada bulan November 2009. Gerakan ini sukses menggaet lebih dari 1,3 juta facebookers Indonesia, bahkan sempat ditengarai sebagai salah satu faktor yang turut menekan pemerintah saat itu untuk membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (Tim Delapan).
bahkan sampai menginspirasi rakyat Cina dan melahirkan nama Jasmine Revolution. Pemerintah Cina sampai merasa perlu melarang pergerakan di internet, meskipun belum terbentuk pergerakan massa yang signifikan di dunia riil. Di Indonesia sendiri, pergerakan via internet jelas berkembang pesat. Namun, kecepatan serupa tidak terjadi dalam perkembangan dari segi pengawasan oleh pemerintah. Praktek pengawasan internet di Indonesia masih terkesan mati suri, hanya masalah penyusunan regulasinyalah yang santer terdengar. Wisnu berpendapat, perkembangan massa netizen Indonesia bersifat sangat terbuka atas berbagai kemungkinan dan tidak mudah diprediksi. Dirinya mengamati, internet di Indonesia dulu diperkirakan akan menjadi alat, media yang bebas, namun ternyata perkembangannya tidak demikian. Pengguna internet dipandang seperti warga suatu negara yang akan dilacak kelakuannya. Tindakan seseorang di dunia maya kini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, melahirkan kebutuhan akan aturan pembatasan atau perundangundangan.
Setelah gerakan-gerakan tersebut membuktikan keampuhannya dalam mencuri perhatian media massa, semakin banyak gerakan sejenis yang muncul di Facebook maupun Twitter. “Itulah salah satu kebangkitan dari yang namanya gerakan social atau e-activism,” jelas Wicaksono. Kebangkitan tersebut membuka pilihan bagi masyarakat untuk muncul berperan di dunia maya dengan muncul secara aktif atau dengan menjadi follower. Terkait kebangkitan e-activism, pada awal tahun 2011 ini dunia menyaksikan peran jejaring sosial dalam pergeseran rezim besar-besaran di beberapa negara. Di Mesir, bermula dari situs www.sandmonkey.org, massa mampu menggulirkan rezim Mubarak. Pergulatan alot rakyat Libya dengan Khadafi juga melibatkan ‘pertarungan’ di media sosial. Pergerakan di Tunisia yang turut terkait dengan dunia maya
“
“Semakin mudah kita terkoneksi dengan media baru, semakin mudah diawasi sebenarnya,” pandang Wisnu. Ia menyatakan, perkembangan internet saat ini adalah suatu peristiwa yang sangat luar biasa karena pertama kali terjadi sepanjang peradaban manusia dan terbukti memiliki potensi bertaraf dunia. [Anggraeni P.S./Izati C.]
Pengguna internet dipandang seperti warga suatu negara yang dilacak kelakuannya. Tindakan di dunia maya kini bisa menimbulkan konsekuensi hukum. 9
“
liputanutama
Karakter Suara Massa, dalam Internet dan Jalanan
Perkembangan internet di Indonesia turut mempengaruhi cara masyarakat beropini. Perubahan ini dimungkinkan dengan pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia. Situs www. internetworldstats.com mencatat, sepanjang periode 2000—2010, pengguna internet di Indonesia mencetak tingkat pertumbuhan fantastis sebesar 1.400%, dengan total lebih dari 30 juta pengguna. Angka ini memang hanya sekitar 12% dari penduduk Indonesia, tapi internet users Indonesia telah melebihi total penduduk Singapura yang berjumlah 4,7 juta atau Malaysia yang ‘hanya’ dihuni 26 juta orang.
10
yg riil itu bayaran, demo yg riil itu cenderung anarkis dan sebagainya.” Namun, menurut Wisnu, unjuk rasa yang demikianlah yang lebih mampu menampilkan intensitas dan tekanan dibandingkan gerakan via internet.
Dengan jumlah sebanyak ini, suara netizen— masyarakat pengguna internet—di Indonesia mudah menarik sorotan media. Dari dalam negeri sendiri, kasus yang berhasil menjadi pembicaraan di jejaring sosial, besar kemungkinan berkembang menjadi isu nasional dan menimbulkan gerakan massa.
Gerakan massa di internet sendiri menjadi istimewa karena kecepatan persebarannya. Pergerakan internet lebih fleksibel, dengan cakupan jarak dan waktu yang lebih tak terbatas. Netizen tidak membutuhkan keberadaan fisik dalam waktu yang bersamaan di satu tempat. Wisnu menerangkan, “Dia (netizen) tidak harus muncul dalam politikal di realitas yang nyata, tapi dia juga dapat mendesahkan kebijakan.”
Untuk tataran dunia, massa netizen Indonesia masih tergolong jarang memanfaatkan besar gaung suaranya untuk isu global. Namun, bukan berarti potensinya kecil. Indonesia dinobatkan www.checkfacebook.com sebagai pengguna Facebook terbesar kedua di dunia. Dari aworldoftweets.frogdesign. com, Indonesia dengan proporsi kicauan 64% menduduki peringkat pertama untuk Twitter di Asia, peringkat ketiga di dunia. Di sini, ada nilai strategis yang signifikan dari media yang semula hanya dimanfaatkan untuk bersosialisasi.
Pergerakan internet juga dapat mencangkup kalangan yang lebih beragam. “Kalau gerakan massa di Indonesia yang kelihatan kan hanya mahasiswa, kalau di online ibu-ibu juga bisa, anak-anak SMP, SMA bisa ikut. Bahkan orangorang tua bisa ikut,” tambah Wicaksono. Unjuk rasa offline terbatas pada syarat kehadiran fisik, beresiko secara fisik juga, sementara
Pengaruh nyata dari pergerakan di dunia maya ini membawa jejaring sosial sebagai sarana berunjuk rasa yang baru. Kicauan netizen mulai mencerminkan suara massa, unsur yang sama dengan para demonstran yang turun ke jalan. Unjuk Rasa, Online Versus Offline Mengambil media yang berbeda, pergerakan massa di internet dan unjuk rasa yang turun jalan punya karakter masing-masing. Demonstrasi, dalam konteks yang turun ke jalan, mensyaratkan kehadiran massa dalam bentuk fisik, dalam satu waktu tertentu. Kedua jenis unjuk rasa ini memang sama-sama dapat menimbulkan kerusakan saat kondisi anarki, namun, “Kalau online, semua gerakannya itu tidak membawa korban secara langsung,” tutur Wicaksono, praktisi social media yang juga dikenal dengan alias “Ndoro Kakung”. Wisnu Martha Adiputra, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, turut menyatakan bahwa salah satu kelemahan demonstrasi fisik adalah, metode ini terlanjur menuai stigma negatif, “Ada retyping bahwa demo
11
Wicaksono alias “Ndoro Kakung”
Unjuk rasa offline terbatas pada syarat kehadiran fisik, beresiko secara fisik juga, sementara versi online mampu melintasi batas waktu, jarak, dan golongan.
liputanutama versi online mampu melintasi batas waktu, jarak, dan golongan. Adapun syarat yang digariskan oleh Wisnu Martha Adiputra, dosen Ilmu Komunikasi pergerakan Universitas Gadjah Mada netizen adalah, pelakunya terbatas pada mereka yang melek internet. Di Indonesia, golongan ini bahkan tak mencapai seperempat total penduduk—proporsi yang relatif kecil untuk dapat dikatakan “mewakili seluruh rakyat”. Namun, syarat pergerakan netizen yang terbatas pada kalangan tertentu ini, bisa menjadi kelemahan sekaligus kelebihan. Pasalnya, “Pengguna jejaring sosial itu penggunanya kelas menengah ke atas, jadi rata-rata mereka sadar apa yg mereka lakukan,” jelas Wisnu, “kelas menengah ke atas, di negara manapun, (berperan) sebagai elemen penting dalam politik untuk perubahan.” Wisnu juga menggarisbawahi kemampuan jejaring sosial dalam membentuk hubungan manusia. Dirinya mencontohkan Facebook yang menghubungkan 500 juta penduduk dunia. “Belum pernah dalam peradaban ditemukan yang bisa menghubungkan seperti itu. Potensinya sebesar itu,” ujarnya. NATO—No Action, Tweet Only? Urun suara dalam social media turut membentuk atmosfir kebebasan berpendapat. Di sisi lain, perannya dalam penyebaran berita dan opini masih tersandung isu anonimitas. Social media yang membebaskan pelakunya menjadi siapa saja, menyulitkan verifikasi yang idealnya ada dalam setiap peredaran kabar.
Saat marak pemberitaan terkait pernyataan Dipo Alam, misalnya. Akun Twitter @ dipoalam46 ikut ramai dihujani kicauan. Namun, beberapa hari kemudian, tersebar twit yang menyatakan bahwa akun @dipoalam46 bukan milik Dipo Alam. Kerancuan ini butuh waktu untuk diperiksa benar tidaknya, pun tidak semua pelaku Twitter dapat serta merta melakukan konfirmasi tersebut. Berbeda dengan unjuk rasa fisik, identitas yang disediakan social media sejatinya tidak dapat memberikan jaminan kebenaran apapun. Selain itu, walau berada di dunia yang maya, bukan berarti gerakan netizen lepas dari isu mob mentality—mentalitas massa. “Dalam teori massa kan, massa nggak pernah bisa diatur, nggak check and recheck dulu,” papar Wicaksono. Baik offline maupun online, selama melibatkan unsur massa, sikap latah dan minus verifikasi tetap ada. Di samping masalah anonimitas dan watak buruk massa, unjuk rasa netizen juga terganjal pandangan bahwa lalu lintas kata-kata di jejaring sosial tak termasuk tindakan nyata. Pihak yang berpendapat demikian, tidak memasukkan kicauan di dunia maya dalam definisi “aksi nyata”. Meski pendapat lain menyatakan bahwa beropini dapat dikategorikan sebagai aksi karena melahirkan gerakan, pembicaraan di jejaring sosial ini memiliki hubungan ketergantungan pada ada tidaknya tindak lanjut yang menyertai. Wicaksono menyoroti, gerakan online maupun offline sebenarnya memiliki efek pendobrak dan keefektifan yang sama, sepanjang gerakan online itu diikuti dengan aksi nyata dan diberitakan di media.
Di samping anonimitas dan watak buruk massa, unjuk rasa netizen juga terganjal pandangan bahwa lalu lintas kata-kata di jejaring sosial tak termasuk tindakan nyata.
12
tindak lanjut gerakan netizen Indonesia, “Kalau di kondisi nyata beli bensin masih murah, makanan masih enak, ya nggak mungkin revolusi.”
Jejaring Indonesia Di Indonesia, gerakan netizen memang tergolong baru dibanding dengan gerakan demonstran yang turun ke jalan. Namun, unjuk rasa di jejaring sosial ini telah mendapatkan posisi strategis, sehingga pendahulunya, demonstrasi offline, tak bisa berdiri terpisah dari peran para demonstran social media. Kasus Prita, misalnya. Seandainya kasus tersebut hanya disuarakan melalui unjuk rasa offline, besar gaungnya akan berbeda. Netizenlah yang membesarkan suara itu, sampai pada koin Prita yang berlingkup nasional. Fenomena demikian mengukuhkan fungsi social media yang merangkap sebagai kaca pembesar. Jejaring sosial ikut menentukan berapa banyak sorotan media yang diterima suatu isu, karena ia turut digunakan sebagai sumber berita. “Survei terakhir mengatakan, 70% responden, jurnalis semua, mereka mendapatkan isu berita, bahkan berita dari internet,” terang Wicaksono. Alih-alih menjadi “anak” dari gerakan jalanan, gerakan netizen tumbuh sebagai komplementer bagi pendahulunya tersebut. Bahkan di beberapa negara, gerakan netizenlah yang turut memicu aksi di jalanan, sampai mampu menggulingkan suatu pemerintahan. Apakah netizen Indonesia telah mencapai taraf demikian? “Saya kira enggak. Mengapa di Timur Tengah seperti sekarang, sampai menggulingkan rezim, itu karena kehidupan mereka secara riil sudah nggak enak,” jelas Wisnu. Netizen mampu secara signifikan ‘menentukan’ headline berita, tetapi keramaian yang kini ditimbulkan netizen Indonesia tak akan berujung pada revolusi. Kondisi sekarang dianggap belum cukup meresahkan untuk menimbulkan gerakan perubahan seperti tahun 1998. Masyarakat Indonesia ternyata mensyaratkan masalah dengan tingkat keseriusan tertentu, sebelum memberikan respon yang signifikan. Hasilnya, papar Wisnu, kondisi nyata menjadi dasar ada tidaknya
Keefektifan gerakan netizen dipengaruhi pemberitaan yang ditimbulkan dan tindak lanjutnya. Tindak lanjut tersebut bergantung dari parahnya situasi, dan ini bersifat relatif. Jika suatu masyarakat memiliki karakter “bebal” dan terbiasa menoleransi masalah yang ada, mereka akan merasa bahwa tidak ada tindak lanjut yang perlu dilakukan terkait masalah itu. Ketiadaan tindak lanjut inilah yang lantas menumpulkan gerakan netizen dan menjadi salah satu cacat vital dalam unjuk rasa online masyarakat tersebut. “Kebanyakan gerakan sosial internet,” kata Wicaksono, “hanya berhenti di internet.” Besar pengaruh netizen di Indonesia juga belum terukur secara akurat. Dalam bidang kultur-sosial, seperti Koin Bilqis atau Peduli Merapi, hasil pengaruh dapat diukur dari segi materi, besar nominal bantuan yang didapat. Namun dari segi politik, indikatornya lebih tidak gamblang. Kasus Bibit-Chandra dan Cicak Lawan Buaya, misalnya. Suara netizen Indonesia dipercaya memberikan tekanan pada pembuat kebijakan tetapi hal tersebut tidak bisa dipastikan kebenarannya maupun besar pengaruhnya. Dengan segala kelemahan yang ada, bukan berarti masyarakat Indonesia belum siap menghadapi gerakan yang memanfaatkan media internet. Kekurangan netizen Indonesia dipandang sebagai bagian wajar demokrasi yang memang senantiasa berproses. Masalah kepekaan, kurangnya validasi dan sikap ikut-ikutan ini dipercaya akan luntur seiring pembelajaran. Wicaksono meyakini, “Nanti ada yang disebut atau terbentuk mekanisme wisdom of crowd, kearifan khalayak. Masyarakat akan learning by doing.” [Amalia D.P./Tulad P.K.]
13
liputanutama
Konsekuensi Realitas Tiga Dunia Masyarakat kini bisa jadi lupa bahwa jejaring sosial adalah bagian dari virtual reality, realitas tak nyata hasil teknologi yang membuat penggunanya berinteraksi dengan dimediasikan oleh komputer. Istilah virtual reality sendiri dipopulerkan oleh Jaron Layer di penghujung tahun 1980. Lingkungan realitas maya ini pada akhirnya menyajikan berbagai macam pengalaman visual, mirip dengan yang ada di dunia nyata. Tiga Jenis Realitas Wisnu Martha Adiputra, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, juga menyoroti masalah realitas terkait jejaring sosial yang dipandangnya sebagai varian terkini internet. Menurutnya, perkembangan internet telah sampai pada taraf yang mengubah pandangan realitas publik. Dengan internet, seolah-olah ada realitas baru di luar dunia nyata sehari-hari.
Wisnu mengamati, saat ini ada tiga jenis realitas: realitas sosial atau realitas sesungguhnya, realitas media dan realitas visual. Realitas sosial merupakan realitas yang ada di kehidupan dunia nyata. Realitas media memiliki definisi berupa realitas yang dibentuk oleh media terutama oleh media massa. Terakhir, realitas visual mengandung pengertian sebagai realitas yang terjadi di dunia visual atau dunia maya. Dalam perkembangannya, realitas visual saat ini jadi berkaitan sangat erat dengan realitas sosial. Wisnu mencontohkan, dulu setiap orang memiliki akun-akun jejaring sosial dengan nama yang berbeda-beda. Seorang pria pengguna internet, misalnya, dapat membuat lebih dari satu akun atau mengaku sebagai perempuan. Penggunaan berbagai alias dalam dunia maya saat itu tidak dipandang sebagai suatu masalah. Namun sekarang, netizen lebih menghargai
14
Netizen wajarnya menerapkan standar tertentu saat membaca informasi dan menjual mahal kepercayaannya. aspek yang riil dalam interaksi sosialnya. “Artinya kalau kita punya akun Facebook, ada orang yang nggak dikenal atau mutual friend-nya nggak banyak, itu pasti (permintaan pertemanannya) ditolak karena kita nggak mau orang yang nggak riil,” contoh Wisnu. Tuntutan Nyata Dunia Maya Terkait perkembangan karakter netizen yang makin jeli menuntut kebenaran dalam persebaran informasi, timbul kesadaran akan kebutuhan pengecekan informasi. Massa di internet masih perlu belajar menggarisbawahi prinsip yang sering dilupakan: tak ada batasan mengenai informasi apa saja yang dapat netizen baca, namun harus ada standar kualitas sebelum informasi tersebut dapat dipercaya. Standar yang dimaksud, adalah keakuratan isi informasi yang bersangkutan. Netizen wajarnya menerapkan standar tertentu saat membaca informasi dan menjual mahal kepercayaannya.
Wicaksono mengiyakan keberadaan masalah tersebut, “Memang (masalah ini) salah satu yang menjadi kekurangan internet, karena setiap orang itu bisa ada di internet, itu membuat informasi harus di verifikasi terus.” Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Wisnu. Menurutnya, saat ini belum ada filter yang ampuh untuk menyaring berita palsu atau hoax. Dirinya menegaskan, pemahaman masyarakat terhadap social media selaku media baru perlu diperkuat. Ia juga menambahkan, sudah saatnya pemerintah memenuhi tuntutan keadaan dengan menyusun regulasi yang sesuai dan mengatur implementasinya. Dari pihak masyarakat sendiri, Wisnu berpendapat bahwa publik perlu diberi pemahaman bahwa etika dalam realitas sosial juga berlaku untuk realitas visual.
15
[Medi K.]
liputanutama
Menjadi Media dan Pengguna yang Bertanggung Jawab “Saat ini gue nggak peduli WNA WNI WNO, staf UNWRA UNREG UNZIP, cuma mau tahu apa orang tersebut real dan berita tewasnya benar.” Kalimat di atas adalah sebuah cuitan— atau lebih dikenal dengan twit—seorang pengguna Twitter dengan akun @rayafahreza.
Kicauan tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak cuitan senada yang bertebaran di linimasa Twitter pada Kamis siang, tanggal 3 Februari 2011 lalu. Tweeps, sebutan untuk mereka yang aktif di social media Twitter, saat itu memang sedang ramai-ramainya membahas mengenai simpang siurnya kabar Imanda
16
Amalia, staf PBB keturunan Indonesia yang saat itu diduga menjadi korban tewas konflik di Mesir. Kesimpangsiuran itu berawal dari sebuah situs berita online atau daring yang menyebutkan bahwa ada warga negara Indonesia yang tewas di Mesir. Namun, ketika kabar tersebut sedang marak-maraknya dibahas, di Twitter muncul pihak yang mengaku sebagai teman Imanda dan mengkonfirmasi bahwa korban yang bernama Imanda Amalia itu adalah warga negara Australia, bukan Indonesia. Melalui konferensi pers, Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa tidak ada WNI yang menjadi korban tewas di Mesir. Setelah ditanyakan kepada pihak PBB pun, dinyatakan bahwa tidak ada staf PBB di Mesir yang bernama Imanda. Keganjilan berikutnya yaitu ketika ada seseorang yang mengaku bahwa foto yang digunakan sebuah situs berita sebagai ilustrasi foto Imanda adalah fotonya. Ia bahkan kaget karena diberitakan meninggal. Kemudian, seperti yang dilansir tempointeraktif. com, orang tersebut mengaku bernama sama, yakni Imanda Amalia, dan sedang berada di Yogyakarta dalam keadaan sehat wal a fiat. Bagaimana ceritanya sampai kabar ini sedemikian karut marut? Portal-portal berita menyebutkan bahwa sumber pertama yang mengabarkan bahwa Imanda meninggal adalah sebuah alamat di jejaring Facebook. Lebih lanjut disebutkan, ada seseorang yang mengaku rekan Imanda menulis di halaman itu bahwa Imanda sudah tiada. Rekan ini pun menuliskan pesan terakhir Imanda yang disampaikan lewat Blackberry. Inilah dasar
portal-portal tersebut mengangkatnya sebagai berita. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, alamat di Facebook tersebut mencabut keterangan tersebut dan meminta maaf sebab telah ceroboh menyebar kabar yang belum dikonfirmasi lebih jauh. Media Cepat Versus Akurat? Kehebohan masyarakat—yang aktif mengikuti informasi dan bersuara di media maya, atau oleh para pakar sering disebut social media users—dalam kasus Imanda di atas memang bisa dimaklumi. Pertama, berita kematian merupakan berita yang sensitif, kepastiannya ditunggu-tunggu dan tidak untuk dibuat mainmain. Apalagi, kasus Imanda ini terkait konflik berdarah di Mesir saat ribuan masyarakat Indonesia masih tertahan di sana. Kedua, portal-portal berita telah membuat berita yang ‘asal cepat’ dan tidak satu suara. Jika sebelumnya satu situs menggunakan judul ‘telah tewas’, sekitar satu jam berikutnya situs yang sama mengubah beritanya, menjadi ‘tidak ada yang tewas’. Kontan saja ini membuat para pembaca geram. Mereka mengakses portalportal dengan tujuan mendapat kejelasan atas apa yang terjadi. Akan tetapi, justru kabar membingungkan yang mereka dapati. Jika media resmi—yang tugas utamanya memberitakan—saja gagal membuat berita yang akurat dan terpercaya, tentu menjadi pertanyaan: kepada siapa lagi masyarakat bisa percaya?
Jika media resmi—yang tugas utamanya memberitakan—saja gagal membuat berita yang akurat dan terpercaya, tentu menjadi pertanyaan: kepada siapa lagi masyarakat bisa percaya?
17
liputanutama
Prinsip akurasi seyogianya menjadi pegangan bagi media daring. Tuntutan untuk cepat mengabarkan tidak boleh mengabaikan tanggung jawab untuk tetap menyajikan yang akurat.
Avian Tumengkol, Editor in Chief media Waspada Online, masih dalam konteks kasus simpang siur berita Imanda, pernah menulis lewat akun Twitter-nya @ aviantumengkol, “Berita dan informasi cepat itu bagus. Tapi ya percuma aja kalau akurasinya tidak tepat.” Berita dan informasi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah yang didistribusikan melalui daring atau internet.
Being Smart and Responsible Users
Media daring memang berbeda dengan media cetak. Salah satu kelebihan media daring adalah dalam hal kecepatan. Misalnya, terjadi bentrokan di Jakarta saat subuh. Media daring, pada saat itu juga, sudah bisa memuat berita itu di situsnya. Sementara, media cetak baru bisa menyebarkan berita itu setelah dia tercetak dan terbit. Kalau saat subuh berita tersebut sudah tidak bisa masuk untuk edisi hari itu, berarti akan tercipta jeda waktu sehari lagi sampai berita dimuat, sehingga lebih lama pula berita dari media cetak itu sampai di masyarakat. Kecepatan memang menjadi tuntutan bagi media daring. Jika suatu media semakin dikenal sebagai yang tercepat memuat berita, ia akan semakin banyak diminati. Berarti, ia akan semakin banyak diakses. Jika trafik pengunjung situsnya makin ramai, makin banyak pula keuntungan yang ia dapat secara ekonomi. Namun, jika demi hal itu pekerja media daring mengabaikan verifikasi dan akurasi, tentu ini berbahaya. Kerugian tidak hanya akan menimpa para pembaca, tetapi juga media itu sendiri. Media itu bisa kehilangan kepercayaan, setiap beritanya diragukan, bahkan lambat laun menjadi media yang ditinggalkan sama sekali. Sedangkan para pembaca sendiri, bisa tersesat karena mendapat berita yang tidak valid atau bahkan hasil rekayasa.
Media daring, pada saat itu juga, sudah bisa memuat berita itu di situsnya. Sementara, media cetak baru bisa menyebarkan berita itu setelah dia tercetak dan terbit.
Berbicara tentang risiko persebaran informasi secara daring yang luar biasa cepat tidak cukup berhenti hanya pada media resmi sebagai salah satu penyampai berita. Pembaca, sebagai penerima—sekaligus penyebar yang sangat potensial—pun harus disinggung. Sebab, pembacalah yang mendapatkan berita dan informasi, menyebarkannya, juga memanfaatkannya. “Jadi yang mana yang bener?” tanya Adhira Bhakti kepada temannya lewat akun Twitter-nya. Sebelumnya, ia telah meretweet alias meneruskan cuitan temannya yang menyebutkan bahwa Imanda Amalia masih hidup. Dalam waktu singkat, cuitan yang diteruskannya itu lalu diteruskan lagi oleh followers-nya. Meminjam istilah online strategist, cuitan tersebut telah mem-viral, tersebar cepat secara berantai. Namun, tak lama, teman Adhira menyebutkan bahwa informasi yang dicuitkannya tadi sepertinya belum diverifikasi lebih jauh dan kemungkinan keliru. Sebagai orang yang ikut meneruskan informasi itu, Adhira khawatir jika ia menyebarkan informasi yang ternyata salah. “Di Twitter berita cepat banget nyebar. Tapi yang mana yang benar kadang perlu diteliti. Jadi agak ragu sama berita-berita,” tulis pemilik akun @adhirabhakti ini. Kehati-hatian dalam menerima, menyebarkan, dan memanfaatkan informasi dari social media memang layaknya dipegang oleh para penggunanya. Informasi yang dimaksud bukan hanya yang dilansir oleh media massa, melainkan juga yang berasal dari individu
18
pengguna social media. Dengan kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan oleh jejaring, setiap orang, bukan hanya wartawan resmi, bisa menyebarkan berita. Jadi, tidak perlu menunggu wartawan menulis berita dan menggunggahnya, setiap individu yang menjadi saksi atau memiliki informasi mengenai suatu kejadian bisa ‘memberitakannya’. Kasus yang dialami oleh Adhira di atas bisa menjadi contoh perlunya kehati-hatian ini. Informasi dari individu, yang ternyata belum dapat disebut cukup diverifikasi, bisa cepat tersebar luas karena kekuranghati-hatian, baik dari pencuit pertama maupun yang meneruskannya. Namun, seperti dikutip dari sebuah artikel berjudul “Mengapa Kita Twitteran?” oleh Nukman Luthfie, seorang online strategist dari Virtual Consulting, tertulis bahwa, “Ini bisa dimaklumi, mengingat pengguna twitter bukanlah jurnalis yang terlatih membuat berita.” Pemberitaan seseorang yang tidak mengacu pada rukun jurnalistik seperti yang disebut Nukman Luthfie tersebut memang bisa dimaklumi. Akan tetapi, pemakluman ini tetap terikat pada tuntutan tidak tertulis bahwa setiap social media user hendaknya meneruskan informasi yang etis dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, informasi yang disebarkan bukanlah kebohongan yang disengaja. Sementara itu, informasi yang etis misalnya informasi yang tidak mengusik rasa empati masyarakat. Sebuah contoh, dulu, ketika terjadi
“
bentrok berdarah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seusai sidang kasus Blowfish, ada yang memotret dan menyebarkan foto salah satu korban tewas yang tergeletak di tengah jalan. Banyak yang kemudian risau dengan penyebaran ini dan menganggap pemotret maupun penyebar sangat tidak sensitif, baik terhadap penderitaan korban maupun perasaan mereka yang melihat gambar itu. Pasalnya, gambar tersebut mengerikan dan menampakkan luka-luka secara vulgar. Secara etika, gambar macam demikian seharusnya tidak disebarluaskan. Mengenai kehati-hatian, bukan berarti social media users atau pengguna informasi dari dunia daring harus skeptis membabi-buta. Bagaimana pun, social media dan informasi sudah menjadi layaknya kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi tiap hari. Membiasakan diri dengan membandingkan sebuah informasi yang sama ke sumber-sumber berbeda bisa membantu melatih kehati-hatian tanpa ketinggalan informasi. Akhirnya, yang perlu digarisbawahi adalah, tanggung jawab hendaknya menjadi prinsip utama dalam penyebaran informasi. Tanpa verifikasi, lalu buru-buru menyebar info agar mendapat cap “yang pertama tahu”, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali membiarkan penerima info itu tersesat dan ujungnya mengumpat.
Dengan kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan oleh jejaring, setiap orang, bukan hanya wartawan resmi, bisa menyebarkan berita.
19
[Agustina R.]
“
wawancara
Raditya Dika, Demonstrasi Lewat Satu Jempol
Penulis komedi papan atas Indonesia, Raditya Dika, berbagi pandangannya mengenai pergerakan pemuda, dari pengemukaan pendapat, aktivitas politis di internet yang dipandang sebelah mata, sampai mengapa kita tak wajib mencari solusi permasalahan bangsa.
20
Bagaimana pergerakan mahasiswa khususnya kaum muda, peran tulisan kaum muda dalam mempengaruhi atau berpartisipasi dalam dunia politik?
Bagaimana caranya penulis itu bisa menyampaikan kritik politik lewat tulisannya, tanpa menggurui atau men-judge seseorang mengenai suatu isu yang ada?
Kalau gue sih pribadi ngeliat internet ini sebagai ruang publik baru, ruang diskusi baru, meskipun bentuknya bukan sebuah ruang cuma dia punya karakteristik seperti sebuah ruang di mana kita bisa berdiskusi dengan bebas di sana. Kalau zaman dulu banget tuh, waktu zaman-zaman Eropa, pertama kali muncul ruang publik tuh, waktu orang-orang lagi ngomongin soal politik, waktu zaman-zamannya orang lagi musimnya duduk di coffee shop mungkin ya. Nah, sekarang coffee shop yang ada di zaman dulu tuh, tempat nongkrongnya politik, sekarang udah pindah ke internet kalau menurut gue.
Itu justru sebaliknya. Kalau misalnya tulisannya memang men-judge seseorang, menggurui secara subjektif, ya itu memang nggak apaapa. Semua bentuk opini terutama opini yang bersifat politik sangat subjektif pada akhirnya.
Anak-anak muda udah internet IT semua, udah biasa main internet, sehingga mereka biasa berdiskusi di ruang publik yang baru ini. Nah, karena karakteristik ruang publik baru, dipakai untuk segala hal politik, gue pikir banyak juga anak muda yang ikut berpartisipasi dalam hal itu. Yang tidak berpartisipasi dan tidak ngobrol soal politik juga banyak, secara persentase memang lebih banyak orang yang peduli daripada orang yang apatis. Apakah cukup baik atau tidak, kalau gue rasa belum cukup baik. Cuma apakah sudah ada yang memanfaatkan sebagai “ruang publik” terkait politik, anak-anak muda sudah melakukannya. Secara garis besar, perkembangan penulis di Indonesia itu gimana? Kalau ngomongin industrinya sih, industrinya menurun, sekitar lima persenan per tahun. Cuma kalau menurut gue minat bacanya naik. Yang jadi pertanyaan, yang naik itu minat baca buku atau minat baca secara keseluruhan? Kalau minat baca secara keseluruhan sih udah naik banget. Mungkin gara-gara Twitter, garagara media sosial, orang jadi terbiasa untuk ngebaca opini orang lain di internet, terbiasa untuk menyampaikan pendapat dia gitu.
Kalau tulisan mau subjektif, ya nggak apaapa, mau menggurui juga nggak apa-apa. Menurutku sih itu nggak apa-apa, nggak ada masalah. Yang penting adalah, satu, apa yang kita bilang, apa yang kita yakini, kita bisa pertanggungjawabkan secara benar. Argumentasinya juga harus nggak ngawur. Kalau misalnya gue nggak suka Gayus karena tampangnya kayak tikus, itu kan argumentasi yang tidak punya basis secara empiris. Nah, tulisan politik boleh mengurui, boleh subjektif—ya, memang sangat subjektif, asal benar. Kalau menyinggung mengenai acara Provocative Proactive sendiri, apakah acara itu hendak mengkritik saja tanpa solusi, atau memang mau menawarkan solusi? Kita memang nggak nawarin solusi. Justru, kadang orang-orang mikir begini, “Gue nonton Provocative Proactive, isinya cuma kritik doang, itu solusinya mana?” Solusinya memang nggak ada. Ya kita memang nggak nawarin solusi. Kami tidak punya tanggung jawab sama sekali (atas solusi tersebut). Jadi tujuan utama acara kami adalah, yang tidak tahu jadi tahu, yang tidak peduli jadi peduli. Itu aja. Misalnya, orang ngomong begini, “Gila ya, orang-orang di Twitter kerja mengkritik pemerintah, tapi kalau turun ke jalan nggak mau. Orang-orang di Twitter itu kerjaannya cuma ngomong-ngomong segala macam.” Bentuk ngomong-ngomong kita itu adalah bentuk demo kita, gitu.
21
wawancara
Kalau hanya berpendapat di Twitter, apa sudah bisa disebut langkah nyata?
aja kalau cukup pintar, gitu. Gue sih kadangkadang ngerasa nggak cukup pintar untuk ngasih solusi.
Oke, kalau misalnya kita ngomong di Twitter, ada satu langkah nyata yang kita lakukan. Followers gue misalnya. Kalau gue ngomong politik, yang tahu pemikiran gue soal politik, itu semacam edukasi buat mereka juga. Kalau misalnya gue ngomong soal Tifatul (Sembiring, Menkominfo saat ini-red), gue nggak suka sama kebijakannya, menurut gue kebijakan pak Tifatul itu salah dan mungkin ini KKN politiknya partai untuk seperti itu.
Sekarang kan kita jarang melihat karya mahasiswa yang berkualitas, yang dimuat di koran misalnya. Itu memang karena ada kendala tertentu atau karena kurang apresiasi? Kalau gue rasa, kita udah dibentuk budaya kita itu budaya konsumen ya, dijejelin aja. Lo dengar musik tiap hari di radio, lo baca buku tiap hari. Kita tidak dibentuk untuk menjadi seseorang yang kreatif, sebagai seorang kreator. Sering dengerin musik, tapi nggak bisa bikin musik, ya udah.
Karena ada pemikiran itu, mereka (followers) harus berhati-hati ketika Pemilu nanti. Mereka akan milih orang yang bukan dari partai yang bersangkutan, (karena) mereka jadi mikir, “Oh, orang-orang (partai) ini kok koruptor semua.”
Karena memang udah kebiasaan, udah terbiasa disuapin aja, begitu. Penurunan cerpen di media massa juga mencerminkan adanya indikasi itu, walaupun sebenernya novel yang masuk ke penerbit nggak banyak berkurang sih. Gue rasa sih kita harus beranjak dari suatu kesadaran bahwa kita “Lo tuh nggak boleh jadi orang yang pasif juga.”
Jadi kuncinya langkah nyata yang terjadi adalah semacam edukasi, broadcasting. Orang yang nggak tahu jadi tahu, yang nggak peduli jadi peduli. Kalau kita demo, belum tentu ada yang nyoroti kan? Cuma dapet panas, capek, pegel lagi. Nggak lebih, nggak kurang. Gue bisa melakukan hal yang sama efektifnya, hanya dengan memberitahu kalau gue nggak suka, dengan satu jempol. Banyak orang yang ngomong, “Lo cuma ngritik doang di Twitter. Lo sama sekali nggak ngasih solusi.” Kita sebagai warga negara, bukan tugas kita mencari solusi. Yang seharusnya nyari solusi adalah pemerintah. Lo sebagai wakil gue di DPR, lo carikan gue solusi dong. Lo adalah menteri, ya tugas kita sebagai warga negara adalah ngasih tahu kalau lo nggak bener, gue nggak suka cara lo. Solusinya apa? Ya gue nggak tahu. Lo cari. Lha uang pajak udah gue kasih buat bayarin lo, masak gue mikir, (tapi) lonya biasa-biasa aja? Jadi bodoh amat, kalau gue.
Di sekolah, dijejelin apa segala macem, ya harus aktif juga, dalam arti ngebuat sesuatu. Kayak Ollie (Aulia Halimatussaidah, penulis dan enterpreneur yang turut mengisi acara saat wawancara berlangsung-red) kan bikin perusahaan, toko buku, ya lo tuh harus aktif gitu. Lo harus ngebuat sesuatu dari tangan lo, jangan cuma sadar hidup doang dan kerja dan segala macem, harus ada budaya itu sih, jadi balik lagi ke budaya. Jadi bukan karena kurang apresiasi ya? Hmm, apresiasi nggak kurang ya kalau menurut gue. Apresiasi nggak kurang sama sekali baik dari segi finansial atau ekonomi, misalnya.
Namun setidaknya, bisa memberikan usul atau...
[Milki I./Siti A. R.]
Kalau memberikan usul, bisa. (Namun) wajib beri solusi? Gue rasa enggak. Ngasi solusi boleh
22
Pandji Pragiwaksono: “Nggak Ada Pilihan, (Kita) Nggak Boleh Pesimis” Memulai dari nol, berbagai pencapaian Pandji Pragiwaksono baik dalam dunia musik, entertainment, maupun enterpreneur membawa semangat optimisme. Namun, Pandji menolak pernyataan bahwa untuk menjadi pesimis atau optimis merupakan pilihan. Mengapa?
23
wawancara Pandji ini kan rapper, MC, penulis, enterpreneur. Sebenarnya lebih suka disebut sebagai apa? Orang yang berkarya. Orang agak menganggap remeh orang yang berkarya. Bokap gue pernah ngobrol sama orang Jerman. “Orang Indonesia itu aneh. Coba lihat itu,” katanya sambil nunjuk ukiran, “orang Indonesia kok bisa bikin itu detail banget, bagus banget. Tapi lihat ini tangga, yang ini nggak detail, yang itu detail banget.” Bapak gue bilang, “Yang itu berkarya, yang ini bekerja.” Berkarya itu kita bikin sesuatu karena emang kita yang ingin. Karena itu adalah sesuatu yang kita suka. Kalau kita bekerja, kita pengen kerjaan itu bagus supaya kita bisa mempertahankan pekerjaan kita, bisa mempertahankan gaji kita, bisa mempertahankan gaya hidup kita. Jadi ada elemen keterpaksaan. Yang harus disadari oleh banyak orang adalah bahwa sekarang itu kita harus berani berkarya. Makanya gue nanya karya hanya untuk sekedar ngasih tahu: kalau gue bisa, orang lain pasti bisa. Apa yang membedakan seorang Pandji dengan orang lain, sehingga bisa sampai seoptimis itu? Karena gue tahu banyak tentang Indonesia. Gue cukup yakin semakin banyak yang lo tahu tentang Indonesia, justru lo semakin optimis sama Indonesia. Orang yang mengaku pesimis karena dia tahu tentang Indonesia, pasti dia tahu dari berita doang. Sementara berita yang diberitakan pasti yang jelek-jelek semua. Akhirnya yang dia tahu tentang jelek-jeleknya Indonesia saja. Bukannya semakin banyak tahu justru juga semakin banyak tahu tentang masalah Indonesia? Iya, tapi juga semakin banyak tahu peluangnya Berapa lama optimisme ini bisa berjalan?
Gue harap sih selamanya ya, hahaha. Semoga sih selamanya. Gue sih berjanji sama diri sendiri, gue pengen bikin semua orang justru jadi optimis. Dibawa oleh gue. Apa jaminannya bisa selama itu? Gue cukup yakin akan dua potensi utama di Indonesia. Yang menjadikan Indonesia hebat itu sebenarnya kekayaan alam dan kekayaan SDM. Gue udah ngelihat langsung dengan mata kepala gue sendiri dari Sumatra sampai Papua. Dan gue tahu itu nggak akan habis. Artinya selama kekayaan itu nggak akan habis, gue nggak akan habis optimismenya juga. Meskipun masalah nggak habis-habis? Masalah itu penanda satu hal: ada peluang untuk perbaikan. Tentang Provocative Proactive (program talkshow yang diasuh Pandji)? Intinya, memprovokasi pikiran kita sendiri. Orang terlalu sering main telen aja. Ada informasi ditelen aja tanpa diproses dulu. Kita harus mempertanyakan diri kita sendiri. Keraguan adalah sesuatu yang penting. Karena ketika orang kembali dari keraguan itu, keyakinannya jadi lebih kuat. Sebelumnya mesti melewati proses ragu dulu. Kalau malah makin ragu? Itu yang menjadikan orang takut. Padahal kalo dia memilih untuk tidak takut sama keraguan, banyak banget yang bisa dia temukan dibalik itu. Tahu nggak Bunda Teresa itu pernah tidak percaya Tuhan, setelah dia dapet nobel. Itu (sempat) masuk majalah Time. Ketika dia kembali dari keraguan, imannya jadi makin kuat. Gue dulu sempet ateis selama gue SMP, nggak percaya sama Tuhan dengan berbagai macam argumen gue. Tapi ketika gue balik dari keraguan itu, nggak ada yang bisa matahin gue sama agama gue.
24
Tentang nasionalisme, ada pendapat bahwa itu euforia, tampak kalau lagi rame-rame. Menurut Pandji? Kalau tampak di saat rame-rame, iya, tapi bukan berarti tidak ada. Misalnya gini, dia pacarku. Nggak perlu setiap kali kita jalan ke mana-mana bilang, “Pacarku nih!” Tapi kalau ada yang mau ngambil dia, boleh dong aku maju, sori ya ini pacar gue. Sama saja seperti Indonesia. Orang bilang Indonesia muncul nasionalismenya pada saat batik dicuri apa segala macem. Bukan kayak gitu. Nasionalismenya keliatan pada saat seperti itu, tapi bukan berarti (saat lain) nggak ada.
Waktu KPK, Bibit-Candra dikriminalisasi, ada gerakan satu juta Facebooker kan, dan itu untuk pertama kalinya gerakan Facebooker yang satu juta. Saking kerasnya gerakan teman-teman di social media, sampai SBY menoleh. Sampai masuk TV. Gara-gara itu SBY bikin Tim Delapan. Turun tangan dia. Sebelum itu nggak ada, nggak mau turun, karena menurut dia kalau hukum yang benar dia nggak perlu turun tangan. Tapi akhirnya kan setelah itu dia bikin Tim Delapan. Tim Delapan bikin rekomendasi bahwa tidak cukup bukti untuk mengkriminalisasi mereka. Akhirnya kan bebas mereka. Facebooker itu anak muda semua. Pengguna internet di Indonesia 80% umurnya 15—30. Apa bukan karena ikut-ikutan?
Semua itu dilakukan oleh anak muda. Kenapa? Karena semua itu awalnya dari internet. Kalau cuma dibilang sekali-kali, ikut-ikutan, kan artinya cuma itu doang terus nggak ada lagi kan? Di sisi lain, masih ada anak muda yang merasa asing di negerinya sendiri....
Dan kalau ada orang yang bilang bahwa anak muda zaman sekarang rasa cintanya terhadap Indonesia turun, pasti bego, hahaha. Atau nggak pernah baca koran, nggak pernah nonton TV. Kok bisa?
menggagalkan gedung DPR. Marzuki Ali bilang, apapun yang terjadi kita akan tetap bikin gedung DPR. Diramein di Twiter dan di Facebook, dan akhirnya dibahas di TV. Akhirnya kan diundurin, nggak jadi.
(Di sinilah) tanggung jawab gue. Kalau gue tahu sesuatu, gue wajib ngasih tahu temanteman gue. Makanya gue bikin blog dan khusus nasionalisme. Dari situ gue berbagi. Kasus dia itu karena dia nggak pernah mencari dan temannya nggak pernah berbagi informasi tentang Indonesia ke dia. Untuk kita, berbagi ilmu itu penting supaya orang-orang di lingkungan lo, tahu dan paham tentang informasi yang sama. Dari karakter anak muda sekarang, apa yang paling bermasalah? Pesimisme. Anak muda harus lebih optimis terhadap Indonesia. Kebanyakan anak muda sok pinter sih, pada bilang, “Justru karena gue tahu tentang Indonesia yang bikin gue pesimis.” Enggak, lo pesimis karena nggak tahu banyak tentang Indonesia. Dan sejujurnya gue nggak pernah ketemu orang sukses karena dia pesimis. Artinya kalo kita berasumsi pengen Indonesia sukses, bangsa ini nggak boleh pesimis. Itu syarat pertama. Nggak ada pilihan. Terakhir, sebagai anak muda, ada pesan nggak buat mahasiswa STAN? Cari tahu arti kata “Bhavati”! [Arfindo B. S./Tulad P. K.]
Ketika koin Prita, koin Bilqis, Indonesia Unite, menggagalkan dana aspirasi, lalu
25
ekonomi
Reksadana, Alternatif Investasi bagi Mahasiswa Ketika mahasiswa memiliki uang lebih, yang kemungkinan besar terpikir adalah saving dalam bentuk tabungan. Investasi belum dipandang sebagai alternatif bagi mahasiswa yang memiliki simpanan uang terbatas. Padahal, tanpa nominal uang yang besar pun mahasiswa bisa melakukan investasi. Salah satu alternatif investasi yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah investasi reksadana. Menurut Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pasal 1 ayat (27), reksadana adalah “Wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi.” Dari definisi di atas, terdapat tiga unsur penting dalam pengertian reksadana: 1. Adanya kumpulan dana masyarakat, baik individu maupun institusi, 2. Investasi bersama dalam bentuk suatu portofolio efek, dan 3. Manajer Investasi dipercaya sebagai pengelola dana milik masyarakat investor. Karena sifatnya yang berupa kumpulan pemodal tadi, investasi reksadana dapat dilakukan dengan modal yang tidak terlalu besar. Dalam reksadana, manajemen investasi mengelola dana-dana yang ditempatkan dalam surat berharga dan merealisasikan keuntungan/ kerugian.
26
Dividen atau bunga yang diterima lalu dibukukan dalam Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana tersebut. Kekayaan reksadana yang dikelola oleh manajer investasi tersebut wajib disimpan di bank kustodian yang tidak terafiliasi dengan manajer investasi. Bank kustodian inilah yang akan bertindak sebagai tempat penitipan kolektif dan administrator. Berdasarkan karakter, jenis reksadana terbagi menjadi reksadana terbuka dan reksadana tertutup. Reksadana terbuka adalah reksadana yang dapat dijual kembali kepada Perusahaan Manajemen Investasi yang menerbitkannya tanpa melalui mekanisme perdagangan di Bursa Efek. Harga jualnya biasanya sama dengan Nilai Aktiva Bersihnya. Sebagian besar reksadana yang ada saat ini adalah merupakan reksadana terbuka. Reksadana tertutup sendiri adalah reksadana yang tidak dapat dijual kembali kepada Perusahaan Manajemen Investasi yang menerbitkannya. Unit penyertaan reksadana tertutup hanya dapat dijual kembali kepada investor lain melalui mekanisme perdagangan di Bursa Efek. Harga jualnya bisa di atas atau di bawah Nilai Aktiva Bersihnya. Cara Investasi
lebih mahal. Hal ini disebabkan karena bankbank tersebut cenderung membidik investor menengah ke atas agar komisi yang diperoleh lebih besar. Membeli via bank pemerintah atau bank swasta menengah yang retail-oriented bisa jadi pilihan yang lebih murah. Sebagai contoh, untuk mendapatkan reksadana Schroders yang dibeli via HSBC, seorang investor harus siap menggelontorkan dana minimal 50 juta rupiah. Melalui BCA, Anda harus jadi nasabah prioritas dengan saldo minimal 200 juta rupiah. Sementara membeli via Bank Mandiri atau Commonwealth Bank, saldo minimal ‘cuma’ sepuluh juta rupiah. Commonwealth Bank sendiri, misalnya, bahkan telah melayani pembukaan rekening dengan saldo nol dan tetap bebas biaya administrasi dan bulanan. Keuntungan berupa selisih antara membeli langsung dan membeli via switching juga dapat dimanfaatkan. Misal, ketika masuk langsung ke Schroders Dana Prestasi Plus, akan dikenakan fee 2%. Tetapi Anda dapat menyiasati hal tersebut dengan membeli Schroder Dana Istimewa yang fee-nya 0%. Setelah itu, Anda bisa switch ke Schroders Dana Prestasi Plus dengan fee hanya 0,5%. Anda bisa menghemat 1,5%.
Tiap perusahaan pengelola reksadana punya aturan main yang berbeda-beda. Ada yang biaya masuknya murah tetapi proses keluarnya berbiaya tinggi. Ada yang proses masuk maupun keluarnya murah, tapi terdapat pemotongan dari NAB yang tidak diketahui. Ada juga yang menerapkan performance fee, biaya yang dibebankan atas performa satu periode yang melebihi target sekian persen.
Supaya tak repot bolak-balik, semua transaksi tersebut dapat dilakukan di hari yang sama, atau pembelian diproses hari ini dan switching pada hari berikutnya. Dalam beberapa kasus, fee ini memang bisa dinegosiasikan. Namun, trik-trik di atas juga bisa dilakukan agar bisa menghemat dana yang diinvestasikan.
Kita bisa membeli langsung ke perusahaan pengelola reksadana, namun ada juga reksadana yang hanya bisa dibeli lewat selling agent (bank). Perbedaan harga juga mungkin terjadi, pembelian reksadana dari bank A bisa lebih murah dari B. Biasanya, bank swasta atau bank asing menjatuhkan biaya yang
Bagian yang terpenting adalah jangan terlalu mudah panik dan terpancing euforia pasar. Santai saja kalau bulan ini minus, karena beberapa saat lagi akan pick-up dengan sendirinya. Jangan mudah termakan gosip. Justru ketika pasar panik dan redemption besar-besaran, kita bisa membeli dengan
Pantang Panik
27
wawancara dan politik
harga murah (NAB/NAV rendah), sementara kondisi dan harga berpotensi untuk membaik di kemudian hari. Selain itu, pilihlah perusahaan pengelola reksadana yang berlatar belakang bagus serta memiliki stabilitas dan likuiditas yang sudah teruji. Nama-nama besar seperti Schroders, Manulife, Fortis (asing), atau Trimegah, Danareksa, Panin (lokal) dapat dimasukkan ke daftar pertimbangan. Resiko Reksadana Resiko yang mutlak dihadapi adalah turunnya NAB/NAV ketika pasar sedang kurang bergairah. Resiko lain adalah wanprestasi (default), yaitu kegagalan emiten, penerbit surat berharga, atau pihak lain yang terjadi karena transaksi gagal memenuhi kewajibannya. Reksadana juga tak luput dari resiko likuiditas dalam hal seberapa cepat investor dapat mencairkan unit penyertaannya.
Indonesia memang masih memiliki potensi risiko seperti kendala peraturan, perlindungan investor, pembenahan internal pengelola reksadana, sampai soal pembelajaran publik agar masyarakat tidak terjebak pada imingiming return yang menggiurkan semata. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sendiri belakangan terus menerus menggiatkan pengawasan reksadana. Manajer-manajer investasi yang nakal ditegur dan dikenai sanksi. Aturan-aturan terkait juga terus diperbarui demi melindungi investor. Reksadana termasuk investasi yang terjangkau. Mahasiswa cukup menyisihkan uang saku sebesar 500 ribu untuk dapat berinvestasi dalam reksadana. Daripada menabung di bank atau menyimpan uang di celengan sementara nilai uang sendiri semakin turun, mahasiswa dapat memilih produk investasi reksadana sebagai investasi masa depannya.
Selain menawarkan peluang yang menggiurkan, reksadana khususnya di
[Nugroho S., dari berbagai sumber]
28
Kelayakan Politikus Instan Menjelang Pemilu, selalu ada nama-nama baru. Mereka umumnya akrab di telinga publik justru dalam perannya sebagai artis, entertainer, pemuka agama, atau sosok nonpolitikus lainnya. Pada 2009, sambutan negatif muncul saat mereka maju sebagai calon legislator. Suara kontra tersebut beralasan, sebab pemegang nasib rakyat yang minim pengalaman memang layak dibebani kecurigaan. Diklat Kilat Minus Evaluasi Fungsi DPR: legislasi, pengawasan dan anggaran, tak sekadar sebagai pemanggul suara rakyat, tapi juga menjangkau tataran teknis. Komisi I misalnya, harus bergelut dalam masalah pertahanan, informasi dan hubungan luar negeri. Tugas ini mewajibkan anggota Komisi I paham track record negara dalam bidang tersebut, lengkap dengan problematika dan sejarahnya. Bagaimana menguji dan memastikan pemahaman mereka mengenai hal ini? Apakah pemahaman mereka sudah cukup layak?
Mengenai kelayakan, dilihat dari sisi regulasi, syarat untuk menjadi calon anggota legislatif telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Dalam Undang-Undang Partai Politik hasil revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai penyelenggaraan pemilu, telah tercantum aturan yang membentuk sistem pemilihan wakil rakyat periode ini. Jadi, “Kalau dari (segi) prosedural sudah benar,” tutur M. Djadijono, Peneliti Senior di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Ditinjau dari sisi pemahaman tugas pokok dan fungsi (tupoksi), politikus baru tersebut sebenarnya memang tak sepenuhnya langsung dilepas ke medan kerja. Ada pembekalan yang dilakukan, baik sebelum maupun ketika sedang menjabat. Yang menjadi sorotan adalah tidak tercantumnya syarat penguasaan materi ini dalam peraturan. Tak seperti syarat perolehan suara yang diatur dan tertulis dengan jelas, syarat pemahaman caleg atas materi/tupoksi
29
politik belum diundang-undangkan. Tidak ada tes yang menguji, memastikan dan menjamin penguasaan anggota dewan atas tupoksi yang akan dijalankan.
yang kita lakukan sebagai fungsi pengawasan, itu dijelaskan,” terangnya. Djufri mengakui bahwa belum ada evaluasi dalam bentuk sistematis seperti rapor. Selama ini, evaluasi dilakukan dalam rapat fraksi atau secara personal,” Kalau ada yang menyimpang, saya kirim SMS, ‘Masalah pokok kita ini’,” contohnya.
September 2009 lalu, Komisi Pemilihan Umum memberikan Stadium Generale (pembekalan) bagi anggota DPR. Pemateri didatangkan dari Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri. Namun, pembekalan yang sempat menuai protes karena besarnya anggaran ini dinilai tidak cukup. Pasalnya, banyak yang tidak hadir dan materi yang diberikan lebih bersifat seremonial. “Nggak sampai 60% (atensi) dan itu longgar sekali, orang bebas keluar masuk, tanpa pengaturan waktu yang tepat. Nggak ada evaluasi,” ujar Djadijono menggambarkan situasi pembekalan tersebut.
Djufri sendiri tidak menyangkal keberadaan anggota dewan yang kurang menguasai materi. “Misalnya (mengenai) disiplin, kemudian nggak mengerti membaca anggaran, nggak mengerti bagaimana bicara tentang anggaran,” papar Djufri. Masalah ini juga menjadi perhatian Djadijono, “Kalau DPP tidak memahami betul trackrecordnya orang (anggota-anggota) yang kemudian terpilih, bisa salah menempatkan. Orang yang ahli di bidang seni ditempatkan di, katakan, Komisi I (yang mengurusi masalah pertahanan, informasi dan hubungan luar negeri-red).”
Sementara, latar belakang anggota-anggota baru yang minim pengalaman politik tersebut turut mempengaruhi kinerja. Sesuai fungsi yang disebutkan di atas, anggota dewan harus mengetahui bagaimana cara membuat undang-undang, APBN, mengawasi kebijakan pemerintahan atau operasi pelaksanaan anggaran, dan seterusnya. “Ada banyak aspeknya, umum dan khusus. Ada istilah anggaran DAK dan DAU. Ini mereka (anggota dewan) ngerti nggak?” tanya Djadijono.
Akibat Ilmu Instan Maret ini, Radar Jogja menyebutkan, sepanjang 2010, dari 70 RUU yang diprioritaskan untuk tahun tersebut, hanya sekitar 23% atau sebanyak 16 saja yang disahkan. Kuantitas yang minim ini membuat kemampuan DPR untuk menyusun draft rinci suatu RUU dipertanyakan.
Tergantung Parpol Mengenai pendidikan politik, Djadijono mengutip Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 bahwa hal tersebut merupakan kewajiban partai politik, “Termasuk memberikan pengarahan (kepada) anggota DPR terpilih tetapi belum dilantik dan belum duduk di DPR.” Beberapa fraksi memang memberikan materi politik kepada anggotanya. H. Djufri, Ketua Poksi Komisi II DPR mencontohkan dua diklat yang ia ikuti. Sebagai anggota legislatif yang berlatar belakang birokrat, dirinya merasa diklat tersebut membantu, “Bagaimana fungsi legislasi itu dijelaskan, fungsi anggaran di mana posisi kita, mengenai posisi pengawasan apa
Djadijono menerangkan, undang-undang dapat dikatakan baik dan bermanfaat, salah satunya, bila tidak digugat oleh rakyat, masyarakat atau oleh organisasi apapun atau dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk di-review. Rancangan Undang-Undang yang disusun dengan lengkap dan memenuhi syarat tentu diloloskan oleh MK. Namun, kenyataannya tidak demikian. “Ada bahkan UU yang dibatalkan secara total oleh MK. UU Rekonsiliasi, UU mengenai BHP, banyak lagi UU yang beberapa pasal(-nya) dimentahkan atau dibatalkan oleh MK,” jelasnya. Selain dalam fungsi legislasi, DPR juga memiliki kelemahan dalam kapasitasnya sebagai
30
pelaku fungsi anggaran. Meski memiliki Badan Anggaran, DPR tidak memiliki staf teknis yang khusus direkrut dari kalangan ekonom profesional. Hal yang sama berlaku untuk fungsi pengawasan. Djadijono mengungkapkan, “Dilaporkan oleh gubernur, misalkan, (bahwa) infrastruktur di Sulawesi utara sangat bagus karena anggaran yang diserap untuk pembangunan jalan jembatan itu mencapai katakan 5 Trilyun. DPR kan hanya terima laporan seperti itu, (apakah) langsung turun ke kabupaten/kota? Ya tidak. Apakah kenyataannya seperti itu? Ternyata tidak kok. Saya pernah kesana, dan jalanannya parah.” Wajib Evaluasi? Meskipun terbukti ada kekurangpahaman anggota dewan terhadap materi terkait tupoksinya, ternyata evaluasi tidak serta merta dijalankan.
Mengenai efektivitas, sanksi politik ini dipengaruhi keterlibatan massa. Misalnya, melalui mosi tidak percaya atau pemberitaan media. Sanksi ini mensyaratkan adanya jalinan suara dan sangat bergantung kepada gaung massa tersebut. Jika tak berhasil menggalang massa dan tidak masuk pemberitaan media, keluhan rakyat tak akan timbul di permukaan atau ditindaklanjuti. Bagaimana dengan sanksi moral? “Ya ia malu atau tidak. Kalau malu ya ia mengundurkan diri,” kata Djadijono. Selama ini, hanya sebatas dua sanksi inilah yang menjadi konsekuensi bagi kekurangpahaman anggota dewan, sementara kerugian yang ditimbulkan kekurangpahaman tersebut mencakup ranah dan rentang waktu yang jauh lebih luas. [Dirga S.M./Tulad P.K.]
Djufri menerangkan, memang dalam undangundang selama ini telah terdapat kewajiban pendidikan politik oleh partai. Namun kewajiban ini tidak disertai sanksi bagi partai yang kurang atau tidak menyelenggarakan pendidikan politik. Lebih lanjut, tutur Djufri, sanksi moral dan sosial itu sendiri dirasanya cukup untuk membentuk kesadaran partai. Sebuah partai yang aktif memberikan pendidikan politik akan lebih mudah melakukan kaderisasi dan sosialisasi, sedangkan partai yang tidak aktif berkegiatan akan ditinggalkan. Konsekuensi inilah yang dianggap sudah cukup untuk mendorong partai menjalankan kewajibannya dalam pendidikan politik. Djadijono juga mengakui bahwa sistem evaluasi baku seperti rapor itu tak mudah dijalankan dalam politik, “Tidak ada sanksi dalam artian konkret seperti itu. Sanksinya adalah sanksi moral dan sanksi politik.”. Bila para anggota DPR dari partai tersebut tidak mampu menjalankan tupoksi akibat kelalaian partai memberikan pembekalan, itu akan menimbulkan penilaian negatif dan berimbas pada suara yang diraup partai pada pemilu selanjutnya. Inilah yang dimaksud dengan sanksi politik.
31
opini
Bibit Unggul, Investasi, dan Kebanggaan STAN
Satu keistimewaan STAN yang telah diakui adalah input unggul yang didapat dari berbagai penjuru tanah air. Para mahasiswa dan mahasiswi yang saat ini baru masuk, baru naik tingkat, atau yang baru dinyatakan lulus merupakan sumber daya manusia yang diunggulkan, orang-orang terpilih yang berhasil mengalahkan puluhan ribu peminat. Layaknya para petani yang bercocok tanam dengan menggunakan bibit unggul, panen besar dan bagus di kemudian hari jelas diharapkan. Begitu pula dengan STAN yang berharap bisa mencetak alumni-alumni public servant yang baik. Dengan input yang sudah bagus, seharusnya harapan ini bukanlah impian kosong belaka. Terlebih lagi, penyelengaraan pendidikan di Kampus ini sama dengan investasi pemerintah. Dana dianggarkan untuk merawat dan membesarkan bibit-bibit unggul yang sudah lolos penyaringan tersebut. Selayaknya
Oleh: Aditya Rahmat*
investasi, wajar jika investor mengharapkan return yang memuaskan sehingga pasti ada pula harapan yang ditumpukan atas keberadaan kita di kampus ini. Masalahnya, memang tidak mudah menjaga, merawat, dan membesarkan bibit-bibit unggul agar menghasilkan panen yang bagus. Pada kenyataannya memang bibit unggul tidak selalu menjamin panen yang bagus. Banyak hal turut serta berpengaruh terhadap hasil panen di kemudian hari. Demikian pula halnya dengan STAN. Boleh saja input yang masuk ke STAN adalah bibit unggul semua, tapi belum tentu input tersebut nantinya menjadi output yang dikehendaki, yaitu sebuah panen yang bagus atau return sesuai ekspektasi investor. Terjebak Prioritas Satu hal penting dalam pemenuhan espektasi investor terhadap output STAN adalah berkutat bukan hanya pada pengembangan
32
hardskill, tapi juga softskill. Betapa sering jajaran petinggi kampus ini mengemukakan urgensi dari kedua aspek tersebut. Hanya saja, atmosfir kegiatan kemahasiswaan di kampus ini rupanya masih kurang kondusif. Masih terdapat segolongan mahasiswa yang akhirnya hanya memprioritaskan diri pada pengembangan hardskill saja. Di sinilah, skala prioritas dalam menjalankan aktivitas menjadi salah satu hal harus digarisbawahi. Dengan skala prioritas, meski dihadapkan pada beberapa hal sekaligus, seseorang bisa mengambil keputusan yang tepat berdasarkan kondisi. Meskipun demikian, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terjebak oleh prioritas yang dibuat. Tujuan awal skala prioritas memang untuk membuat keputusan yang tepat, tapi hal ini tidak akan tercapai kalau ternyata skala prioritas yang dibuat adalah sebuah kesalahan. Ancaman DO yang selalu membayangi aktivitas kemahasiswaan memang seringkali membiaskan skala prioritas. Terlebih lagi bagi mahasiswa baru yang mungkin merasa belum mengenal medan dan lebih memilih ‘bermain aman’. Pada akhirnya, tidak sedikit mahasiswa yang acuh tak acuh terhadap kegiatan kemahasiswaan di luar kuliah yang notabene merupakan ajang atau sarana pengembangan softskill. Pada kasus seperti ini, satu pertanyaan perlu diajukan: sudah benarkah skala prioritas yang dibuat, yang mengedepankan pengembangan hardskill dan mengabaikan pengembangan softskill? Inilah yang dapat dikatakan sebagai ‘terjebak prioritas jangka pendek’, skala prioritas yang disusun dengan mempertimbangkan faktor ‘keamanan’ tiga tahun ke depan. Padahal kehidupan setelah tiga tahun ke depan (masa berkarya/dunia kerja) juga tidak kalah pentingnya dan perlu dipersiapkan sejak dini, sejak masih mengecap bangku kuliah di kampus ini. Memang tidak semua orang bisa seimbang dalam kedua hal ini. Namun jangan sampai skala prioritas didefinisikan sebagai
mengutamakan satu hal dan mengabaikan yang lain. Definisi yang lebih tepat dalam kasus ini adalah mengutamakan satu hal (hardskill/ akademis), tetapi tetap melakukan hal lain (softskill/kegiatan ekstra) meski dalam porsi yang lebih kecil. Mumpuni dalam hardskill dan softskill menjadi mutlak karena keduanya dibutuhkan untuk menghasilkan output STAN sesuai profil yang diinginkan: berkualitas dan mampu mengemban amanah penting di instansinya masing-masing. Hal ini pula yang diinginkan ‘investor’ di sektor investasi ini, mendapatkan return berupa sumber daya manusia dengan kinerja terbaik yang bisa terjun di birokrasi negeri ini. Sejak awal bergabung di kampus ini pun para mahasiswa sudah diberikan pemahaman mengenai pentingnya kedua faktor tersebut. Bukan hanya dalam tataran teoritis, tapi juga dalam contoh nyata. Beberapa alumni yang sukses telah membagikan pengalamannya tentang bagaimana mereka menghabiskan masa-masa mahasiswanya. Mahasiswa pun sudah mengenal sosok-sosok alumni yang sukses lainnya lewat biografi-biografi mereka. Kalau sudah begini, seharusnya tidak ada lagi UKM-UKM yang kesulitan mencari pengurus baru, tidak ada lagi open recruitment kepanitiaan yang sepi pendaftar, dan tidak ada lagi acara-acara kampus yang sepi peminat. Kalau kegiatan atau acara-acara kemahasiswaan dirasa kurang menarik, sudah saatnya Andalah yang membuat acara yang menarik itu. Untuk itu, bergabunglah dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada. Jangan hanya jadi penonton dari pinggir lapangan yang hanya bisa berteriak-teriak karena timnya tidak bermain bagus. Sudah saatnya terlibat secara aktif dalam aktivitas kemahasiswaaan di kampus ini. Melebarkan Sayap Seorang dosen pernah mengungkapkan, satu keluhan yang sering muncul dari kantor mengenai kinerja anak STAN adalah sikapnya
33
opini dan sastra
yang cenderung individualis dan susah bersosialisasi. Memang tidak semua output STAN seperti itu, hanya saja keluhan demikian juga tidak bisa dianggap angin lalu. Sebagai mahasiswa yang masih aktif mengecap pendidikan di kampus ini, cikal bakal sikap seperti itu haruslah dibuang jauh-jauh. Jika cikal bakal sikap individualis itu dibiarkan, keluhan tersebut pun akan terus ada. Padahal, sekali lagi, setiap orang berharap panen yang bagus dari bibit-bibit unggul yang masuk ke STAN. Para mahasiswa harus melebarkan sayap pergaulannya. Jangan merasa nyaman berada di lingkungan rekan-rekan sedaerahnya saja. Jangan pula merasa cukup dengan punya jaringan di hanya satu spesialisasi. Pergaulan di kampus ini luas, Kawan. Boleh saja aktif di organisasi kedaerahan, tapi aktif pulalah di organisasi lain yang lebih plural karena bibitbibit unggul di STAN ini nantinya tidak akan ditempatkan pada lokasi yang homogen. Hanya bergaul dengan teman-teman dari berbagai latar belakang saja pun tak cukup. Kepedulian terhadap masyarakat juga perlu ditumbuhkembangkan. Menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan masyarakat adalah suatu keharusan. Bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat juga akan membangun karakter diri yang bagus pada diri mahasiswa yang diminta unggul dalam semua bidang, termasuk bidang kemasyarakatan. Bukan Sekadar Bangga Setiap tahun, fenomena penerimaan mahasiswa baru, kenaikan tingkat, sampai kelulusan mahasiswa STAN mencampuradukkan berbagai perasaan. Jawara yang berhasil pastilah bangga karena telah berhasil menyandang predikat sebagai mahasiswa STAN, menjadi salah satu dari tiga ribuan terbaik di antara lebih dari seratus ribu orang yang berminat masuk kampus ini. Bangga karena telah berhasil melalui satu tahun (lagi) di kampus ini, bertahan dibawah bayang-bayang ancaman DO tiap semesternya. Bangga karena telah berhasil menyelesaikan
studi di kampus ini dan menjadi pengawal keuangan negara. Kebanggan mahasiswa STAN atas kampusnya pun tidak diragukan. Lihat saja bagaimana reaksi mahasiswa STAN (bahkan sampai alumni) ketika kampus ini dihujat dan dicela pihak-pihak tertentu beberapa waktu lalu. Semua mahasiswa dan alumni dengan bangga menyatakan dirinya sebagai mahasiswa dan alumni STAN. Dengan kebanggaan yang tinggi ini pula, mereka berupaya menetralisir tuduhan buruk tersebut. Cukupkah perasaan bangga kita yang seperti itu? Tidak. Ini bukan tentang bagaimana kita bangga, namun yang terpenting adalah bagaimana membuat almamater ini bangga terhadap kita. Bagaimana membuat layaknya seorang ibu–meminjam analogi yang digunakan Kusmanadji, Direktur STAN saat yudisium 2010 lalu–merasa bangga terhadap anak-anak yang dibesarkannya. Kita boleh bangga dengan kampus ini. Namun jangan lupa, ada kewajiban untuk mampu membuat kampus ini bangga terhadap mahasiswa dan alumninya. Ketika kampus ini bangga terhadap kita–saya dan Anda, itu menunjukkan bahwa prestasi, kinerja, dan keberadaan kita memberikan manfaat dan pengaruh positif bagi kampus dan bangsa ini. Kebanggaan almamater terhadap kita menjadi pertanda bahwa bibit-bibit unggul yang dirawat dan dibesarkannya telah menghasilkan panen yang bagus. Kebanggaan inilah yang menunjukkan bahwa investasi pemerintah telah memberikan return, bukan kerugian. Untuk itu, sudah saatnya kita kembali menyadarkan diri: siapa kita, bagaimana posisi kita, dan apa yang diharapkan dari kita, agar bisa mengarahkan diri pada tujuan sebenarnya dari keberadaan kita di kampus ini. *) Penulis adalah Duta STAN tahun 2010
34
Apa yang Kita Bicarakan Ketika Kita Bicara tentang Berlari oleh: Wahyu Widyaningrum*
KITA suka sekali berlari. Ketika hari telah sekarat, ketika burung-burung memutuskan terbang pulang, ketika matahari menjadi terlalu berat, ketika sebentar dia pancarkan semburatsemburat, dan pada akhirnya tenggelam di ujung barat. Namun, tentu tidaklah kita mengejar matahari. Dulu kau pernah berkata kepadaku, kita hanya berlari ke arah barat. Kebetulan saja matahari juga tenggelam di barat. Tapi mungkin kita berdua suka berlari adalah juga sebuah kebetulan.
Ketika aku pertama kali bertemu denganmu, kau sedang sibuk mengatur napas dan mengelap butiran-butiran jagung yang menggelinding di wajahmu. Ketika itu aku belum tahu kau memang rutin beristirahat di tempat yang akhirnya menjadi garis akhir kita sekarang. Aku sendiri datang membawa lima puluh napas putus-putus. Berantakan. Berserakan asal-asalan.
Biasanya kita berlari-lari kecil sampai di belokan ujung jalan itu, lalu mulai menambah kecepatan sampai di pohon beringin depan rumah sakit, lalu dari sana kita selalu mencapai kecepatan tak terkira, dan selanjutnya kita akan berlomba siapa yang tercepat untuk sampai lebih dulu di halte bus di dekat kantor gubernur.
Dari situ akhirnya aku tahu namamu dan fakta bahwa kau masih tetanggaku dan tinggal di belakang rumah kuketahui baru-baru ini— pergaulanku tak begitu baik di lingkungan rumah.
Kala itu aku belum terbiasa berlari.
35
sastra Sejak itu, setiap sore kita selalu berlari bersamasama. Dari garis awal, menuju garis akhir, yang selalu sama. Namun seingatku—kumohon koreksilah aku jikalau aku salah dan kau sempat membaca tulisan ini—sejak pertama kali aku mengenalmu, tak pernah kita berlari ke timur. Tak mau kau kuarahkan kesana. Sampai hari ini, daerah timur dari perjalananku adalah kenanganku bersama orang lain, bukan denganmu. *** SATU jam yang lalu kau datang ke rumahku, mengajakku berlari seperti biasanya. Tapi aku sedang tak enak badan. Sejak kemarin malam suhu tubuhku mendadak tinggi dan belum juga reda. Terpaksa kutolak rutinitas kita berlari bersama. Aku sedih tidak bisa menemanimu berlari. Entah bagaimana kau. Setelah berlari, kita selalu mampir ke kafe pinggir jalan yang letaknya tak begitu jauh dari kantor gubernur. Kita akan memesan menu yang sama, tak pernah berubah sejak pertama kali ke sana. Kau pesan jus wortel sedangkan aku pesan jus tomat. Hanya itu. Dulu, ketika pertama kali ke sana, aku malu setengah mati. Aku hanya mengenakan kaos oblong, celana pendek, sepatu dan handuk melingkar di leherku. Wajah, leher, tangan, dan kakiku berkilat-kilat keringat yang belum kering. Bajuku berwarna lebih gelap dari semula karena basah oleh peluh. Sementara kafe itu penuh dengan orang-orang berpakaian rapi, setidaknya tak ada yang melingkarkan handuk di leher. Tapi kau memaksaku, sambil berkata bahwa kau saja tak malu meski celanamu lebih pendek dari punyaku dan sepatumu lebih kotor lantaran noda lumpur yang menempel di hampir seluruh bagian sepatu dan belum sempat kau bersihkan. Mendadak aku jadi ingin minum jus tomat sambil melihatmu minum jus wortel, di kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur itu. Kau tentu tak tahu jika aku selalu melihat tiap tingkahmu dan menyu….
Tok tok tok tok…. Oke. Ini ada pengacau lamunan. Pengacau itu tengah mengetuk pintu keras-keras dan di sela ketukan ia memencet bel berulang kali. Mungkin jika aku tengah tidur, aku tak akan bisa bangun lagi karena detak jantungku berhenti tiba-tiba gara-gara raungan ketukan pintu dan bel yang sangat mendadak dan meneror itu. Aku berjalan lambat sekali karena tubuhku benar-benar lemah. Aku ingin berteriak, “Hoi, berisik!” pada pengacau itu, tapi suaraku tak bisa keluar dengan lantang. Pintu kubuka. Pencetan bel terakhir masih berbunyi keras. Di depanku, seorang pengacau berdiri. Tubuhnya berkeringat. Pakaiannya basah. Nafasnya terengah-engah. Sesekali ia mengelap wajah dengan handuk yang tergantung di lehernya. Ia tersenyum. Di tangan kirinya, ia menenteng suatu kantong. “Ini untukmu. Jus tomat dari kafe pinggir jalan dekat kantor gubernur.” Aku terhenyak. Kaulah pengacau itu. Kaulah yang sejak tadi mengetuk pintu dan memencet bel dengan tidak sabar. Kaulah yang membuyarkan lamunanku. Tapi kau membawakanku jus tomat. Jadi kau bukan pengacau. “Masuk,” kataku, “kalau kau selalu mengetuk pintu dan memencet bel seperti tadi di rumah semua orang, lama-lama tak ada yang mau menerimamu sebagai tamu.” “Kenapa?” tanyamu setelah masuk dan duduk di kursi tamu yang menghadap ke barat. “Karena esoknya jika mereka ke dokter, maka dokter akan menemukan bahwa tuan rumah-tuan rumahmu itu jantungan gara-gara ulahmu.” Kau tertawa, keras dan tak kunjung berhenti, sampai sudut-sudut matamu mengeluarkan air mata. Kau bahkan sampai memegangi perut dan menepuk-nepuk paha. Padahal menurutku perkataanku tak begitu lucu. Perlahan-lahan tawamu habis.
36
“O iya. Besok kita lari ke timur, yuk,” ajakmu. Wow. Aku sungguh terkejut. Aku tak pernah menduga suatu hari kau akan mengubah haluan kita dan beralih menuju arah timur.
kau temukan bahwa ibukota sebuah negara selalu ada di bagian baratnya. Jakarta ada di barat. Kuala Lumpur ada di barat. Paris ada di barat. Amsterdam ada di barat. New Delhi juga. Sampailah kau pada sebuah kesimpulan: barat selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat. Kau menyimpulkannya, memegangnya, dan mempercayainya.
“Bosan juga ke barat terus.” “Bohong,” kataku, “bosan tak cukup kuat menjadi alasan untuk mengubah kebiasaan berlarimu yang selalu ke barat itu. Ada apa sebenarnya?” “Aku ingin melihat bagaimana dunia timur.” “Cukup oke,” jawabku datar, “banyak pohon, kendaraan tak bermesin motor, orang-orang yang lebih ramah, udara sejuk...” “Bagaimana kau tahu? Kapan kau pernah ke timur? Kita kan selalu berlari ke barat? Bukankah selama ini kita selalu berlari bersama?” “Haha. Terkadang aku jalan-jalan ke timur juga, dengan kawan-kawanku.” “Begitu?” “Ya,” sahutku, “tapi tunggu...aku punya satu pertanyaan untukmu. Sungguh aku ingin menanyakan hal ini sejak lama, namun aku tak berani mengungkapkannya.” “Apa?” “Mengapa tiap sore kau selalu mengajakku untuk berlari ke barat?”
Bahkan di tahun-tahun berikutnya, ketika katamu, kau menemukan bahwa Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin semuanya ada di timur, kau tetap mempercayai keyakinan-kelas-lima-SD-mu itu. Bahwa barat selalu lebih maju dari timur karena ibukota selalu ada di barat. Apalagi, kau bilang, barat identik dengan Eropa dan Amerika. “Haha. Itu karena letak kedua benua itu memang di sebelah barat Indonesia. Kau aneh,” aku menyela ceritamu. “Ssst. Dengarkan dulu.” Aku terdiam, menahan tawaku, dan kembali berkonsentrasi pada kisahmu tentang barat dan timur ini.
Aku siap mendengarmu bercerita. Sepertinya sebuah kisah yang panjang. Kau menarik napas beberapa kali. Lalu sebelum memulai cerita, kau mengambil satu napas panjang dan dalam. “Aku mencintai barat. Karena semua berpusat di barat….” Lantas kau mulai berkisah. Sejak kecil kau selalu merasa bahwa pusat semua hal ada di barat. Itu sebabnya barat lebih maju dari timur. Kau ingin menjadi bagian dari kemajuan itu. Kemajuan zaman, kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, pembangunan, cara berpikir, dan segudang kemajuan lain. Semuanya lantas membuatmu tergila-gila pada barat. Ketergilaanmu membuat kau tak mengerti timur sama sekali. Suatu hari, katamu, ketika masih kelas lima SD, kau pernah membuka-buka buku atlas dunia. Kau buka lembarannya secara acak dan
Kau berkata bahwa kau sangat menikmati barat dengan segala nuansanya: gedung bertingkat, mobil-mobil mewah supermahal yang melaju dengan anggun di atas jalanan aspal yang mulus, mal-mal yang tidak pernah sepi dikunjungi ribuan orang. Di barat kau juga melihat orang-orang berjas dan berdasi yang tampak gagah dan gigih memperjuangkan idealisme mereka, ribuan orang berkemeja yang menyesaki jalanan di pagi dan sore hari, serta banyak golongan manusia lainnya. Katamu, kau seperti telah melihat Kuala Lumpur, Paris, Amsterdam, dan New Delhi sekaligus. Sekarang aku paham mengapa kau selalu tersenyum-senyum sendiri ketika sampai di garis akhir kita, halte bus dekat kantor gubernur itu. Kau tersenyum ketika jalanan ramai oleh mobil dan pekerja kantoran, kau tersenyum melihat kantor gubernur, dan tersenyum menyaksikan orang-orang keluar
37
sastra dari kantor gubernur dengan pakaian rapi dan dagu terangkat—meski kau tak pernah tahu siapa mereka ketika suatu kali kau kutanyai. “Lalu apa yang kau harapkan dari rencanamu pergi ke timur besok?” tanyaku. Kau menerawang—tak jelas juga apakah kau sedang menerawang atau melihat dua ekor cicak yang berkejaran di plafon. Aku jadi berpikir, mungkin ketika kita sedang berlari bersama di sore hari, bisa jadi orang lain melihat kita seperti dua ekor cicak ini. Entahlah. “Emm...” Akhirnya kau memalingkan mata dari entahapa-yang-kau-pandang-tadi. Lantas kau bilang bahwa kau ingin tahu bagaimana timur. “Di timur nanti kita akan melihat hutan, jalanan berbatu, dan bukit-bukit kecil dengan air terjun yang suara gemericiknya menenteramkan hati. Tapi sepertinya di Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin, kau tak akan menemui itu semua. Sudah kubilang, kesimpulan yang selama ini kau yakini itu tak benar. Barat tak selalu lebih maju dari timur.”
KALI ini kita akan memulai sejarah. Untuk pertama kalinya kita akan berlari ke timur. Dan kau, untuk pertama kalinya seumur hidupmu, menuju timur. Sesaat lagi kau akan tahu bagaimana timur.
Ah, sungguh aku ingin sekali tertawa. Jika kau tak berada di depanku saat ini, mungkin dari tadi tawaku sudah lepas, menggema sampai radius lima puluh meter. Ekpresimu seperti murid taman kanak-kanak sedang menanti bus pariwisata yang akan membawa mereka ke kebun binatang, pantai, taman, atau museum. Kita terus berlari ke arah timur, entah akan berhenti garis akhir yang mana. Kita belum punya kesepakatan soal itu. Atau mungkin jika nanti di timur ada halte bus dekat kantor gubernur, kita akan berhenti di situ. Lalu mampir minum jus tomat dan jus wortel di kafe pinggir jalan. Tapi setahuku, ketika dulu aku ke timur, tak ada halte bus, kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan.
“Tunggu sebentar. Aku harus menghabiskan jus tomat ini.” “Kenapa begitu? Nanti saja bisa, kan? Aku harus segera pulang.”
“Baiklah. Segera habiskan.” Sungguh aku senang mendengar kesediaanmu. Ini berarti aku belum kehilangan satu pun kesempatan minum bersamamu tiap sore
***
“Aku tak sabar.”
“Diamlah. Aku sedang tak ingin berdebat saat ini. Pokoknya besok temani aku, kita akan berlari ke timur,” kau beranjak. Mendadak aku merasa sedih karena kau akan pergi. Kucari-cari alasan untuk menahanmu sejenak lebih lama, dan jus tomat menyelamatkanku.
Kita, tiap sore, selalu menghabiskan jus tomat dan jus wortel bersama-sama. Selalu di kafe pinggir jalan tak jauh dari kantor gubernur itu, tak pernah di tempat lain. Selalu hanya kita berdua. Aku minum jus tomat, kau pesan jus wortel.
selama tiga bulan sejak perkenalan kita. “Terima kasih.” “Sama-sama. Aku pergi. Sampai jumpa besok. Jangan lupa, besok kita ke timur.”
“Kita sudah di bagian timur.” Ucapku di tengahtengah napas yang tinggal satu-satu. Sudah tiga bulan rutin lari, napasku tak juga panjang. Selalu pendek. Barangkali bawaan lahir atau masalah genetis warisan mbah buyutku. Kau berhenti berlari. Badanmu berputar-putar pelan, mengamati sekitar. Hahaha. Raka, tak ada gedung bertingkat di sini. Tak ada jalanan mulus, mobil mewah, mal, halte bus kantor gubernur, dan kafe pinggir jalan yang menjual jus tomat dan jus wortel. Kau melihat ke bawah, “Jalannya jelek sekali.” Aku tersenyum. Maklum saja, namanya juga jalan batu. Belum diaspal. Kalau tergenang
38
air jelas becek, menyusahkan tiap orang yang lewat, entah ia jalan kaki atau naik kendaraan. Kau mengajakku menuju pohon besar di pinggir jalan dan duduk di bawahnya. Sambil menyeka keringat, kau bilang bahwa ini sungguh di luar dugaanmu. “Timur ternyata sungguh menyedihkan. Bagaimana orang-orang timur hidup dengan kondisi seperti ini?” “Raka, Tuhan menciptakan masalah bersama dengan solusinya. Lagipula makhluk hidup diberi kemampuan beradaptasi. Masa kau tak ingat pelajaran SD macam ini?” Kau tersenyum pahit. “Tidak mungkin...,” kau menggumam. “Apanya?” ah, gumamanmu terlalu keras bagiku. Aku masih bisa mendengar suaramu, meski hanya samar-samar. “Iya, tidak mungkin Tokyo, Washington DC, Canberra, Beijing, London, Roma, dan Berlin seperti ini. Mereka pasti sudah maju sekali.” “Apa kubilang? Barat tidak selalu lebih maju dari timur.” Aku bangga sekali mengucapkan ini. Rasanya aku berhasil mematahkan teori yang sudah kau pegang selama belasan tahun dan sudah terpatri dengan baik di dalam hati. “Lantas apa yang kulihat selama ini? Yang kulihat barat selalu lebih maju. Gedung ada di mana-mana, mobil mewah, dan lain-lain. Sementara timur? Hanya jalanan berbatu yang becek ketika hujan dan hutan rimbun dengan entah makhluk buas apa sedang menunggu mangsa di dalam sana.” “Selama ini kau hanya memegang ekor gajah, tapi kau mengatakan telah memahami gajah secara keseluruhan.” Kau memandangku. “Entahlah. Mungkin hanya di negara ini saja yang baratnya lebih maju dari timur. Mungkin orang-orang di barat merasa lebih eksklusif, mungkin orang-orang di barat juga tak tahu timur sama sepertimu, dan banyak kemungkinan lain.
Atau mungkin orang-orang barat yang berjas dan berdasi, yang tampak gagah dan pintar itu tak suka jika timur jadi semaju barat. Di sini, aku mengakui bahwa semua berpusat di barat. Tetapi tetap saja, timur lebih indah dari barat.” Kau mengangguk-angguk setuju. Ah, ternyata lari kita sore ini hanya sampai di sini. Sepertinya halte bus dekat kantor gubernur lebih jauh daripada pohon ini. “O iya, Raka. Bisakah kita terus seperti ini?” tanyaku. “Maksudmu lari tiap sore? Sepertinya bisa saja. Aku suka lari saat sore hari, jadi tak masalah bagiku.” “Bukan. Kita seperti ini, selalu bersama.” Kau mengernyitkan alis. “Aku menyukaimu.” Hening. “Apa?” tiba-tiba kau berdiri. Nada bicaramu menjadi tinggi sekali. “Andre, kau sudah gila? Aku masih normal!” Tanpa pamit, kau berlari meninggalkanku. Kau berlari ke arah barat, entah kembali ke rumah, ke halte bus dekat kantor gubernur, atau ke kafe pinggir jalan. Aku kecewa. Kukira kegilaanmu kepada barat— yang lebih berpikiran bebas—membuatmu bisa menanggapi hal-hal seperti yang kurasakan dengan lebih bijaksana. Kukira kau, jika memang masih normal, hanya akan tertawa dan menganggap perasaan ini biasa saja meski tak menerimanya. Matahari terus beranjak turun. Beberapa menit lagi ia akan menghilang di barat. Aku berlari sambil menyeka air mata, mengejar matahari terus ke arah barat, yang tenggelam di ujung dunia. Tiba-tiba aku jadi membenci barat. *) Penulis adalah mahasiswa tingkat III Akuntansi dan anggota UKM Aksara
39
jalan-jalan
Penginapan dipatok per malam, sedang makan cukup deng
“Melarikan Diri” ke Pantai Siung Bosan dengan wisata kota yang melulu menjajakan baju dan makanan? Cobalah ‘tersesat’ di daerah pedalaman Yogyakarta dan temukan tujuan wisata baru.
Pantai Siung merupakan salah satu objek baru yang dapat dituju. Pantai yang terletak sekitar 70km dari pusat kota Yogyakarta, selatan wilayah kecamatan Tepus, Gunung Kidul ini bisa jadi alternatif baru. Tempat ini mungkin terdengar asing karena masih kalah terkenal dengan pantai Yogyakarta lainnya, seperti Parangtritis, Baron, Krakal, dan Kukup, meski keindahannya berani diadu dengan pantaipantai tersebut. Nama “Siung” sendiri berasal dari batu-batu karang yang menjadi pesona khas pantai ini. Karang-karang yang berukuran raksasa di sebelah barat dan timur pantai tak hanya menjadi penambah keindahan dan pembatas dengan pantai lain. Salah satu karang yang agak menjorok ke lautan, dianggap penduduk setempat menyerupai gigi kera atau siung wanara. Dari kemiripan bentuk itulah nama Siung berasal. Batu karang ini masih menyajikan keindahan yang dipadu dengan ombak besar, celahcelahnya yang disusuri oleh air laut, serta pemandangan sunset yang luar biasa indahnya dari puncak karang. Pantai Siung juga
40
k mulai Rp5.000,00 gkan untuk sekali gan Rp10.000,00
merupakan pantai dengan pasir putih yang lebih banyak digemari daripada pantai yang berwarna gelap. Keadaan pantai yang relatif masih sepi juga turut menjadi nilai jual. Karena, suasana tenang khas Siung ini tak akan bisa didapat di objek wisata yang sudah terlampau ramai pengunjung. Di Pantai Siung, pengunjung biasanya menyukai rasa nyaman yang ditawarkan oleh atmosfer pantai yang tenang, dan memang sengaja datang untuk mencari suasana yang demikian. Selain pemandangan yang indah, wisatawan yang berminat pada panjat tebing akan dimanjakan oleh tebing-tebing dengan jalurjalur yang menantang. Terdapat sekitar 250 jalur yang diurutkan sesuai abjad. Jalur A sampai dengan jalur K merupakan jalur yang umum dipakai. Siung menyediakan banyak jalur untuk dieksplorasi, tetapi jangan lupa memastikan kesiapan alat untuk menjamin kemanan dan perjalanan yang menyenangkan. Pengelola juga mendukung keamanan panjat dengan menentukan batasan jalur yang tidak boleh ditelusuri.
Meski sempat sepi lantaran keterbatasan sarana transportasi, belakangan ini pengunjung Siung mulai meningkat, meninggalkan kesan terisolasi yang sebelumnya melekat. Fasilitas penginapan dan warung makan yang tersedia di sepanjang pantai semakin mendukung perkembangan ini, dan menjadi nilai tambah daya tarik alami pantai. Bagi pengunjung yang berniat untuk bermalam di sini, tidak perlu membawa tenda sendiri. Penginapan ditawarkan dengan harga yang sangat terjangkau, mulai sekitar Rp5.000,00 per malam. Biaya sekali makan termasuk minum pun hanya dipatok sekitar Rp10.000,00.
Penginapan dipatok mulai Rp5.000,00 per malam, sedangkan untuk sekali makan termasuk minum cukup dengan Rp10.000,00 41
jalan-jalan dan resensi
Alternatif Transportasi Jika memakai kendaraan bermotor, dianjurkan untuk memeriksa vitalitas kendaraan sebelum perjalanan. Pasalnya, medan yang ditempuh sebagian berupa kelokan perbukitan. Di samping itu, daerah ini relatif terpencil dan minim fasilitas. Sinyal alat telekomunikasi, misalnya, hanya bisa ditemukan di daerah Tepus dan terbatas untuk operator tertentu. Persiapan matang sebelum berangkat tentu akan sangat membantu kelancaran perjalanan. Jalur yang ditempuh adalah jalur dari pusat kota Yogyakarta menuju ke Wonosari, Gunung Kidul. Dari jalur ini, perjalanan diteruskan ke arah Wedi Ombo. Sebelum masuk kawasan Wedi Ombo, pengunjung akan menemukan penanda bertuliskan “Pantai Siung”. Pantai berjarak sekitar 15 menit dari marka jalan terakhir.
Jika menggunakan kendaraan umum dari terminal Giwangan Yogyakarta, pilih bus tujuan Wonosari. Dari terminal Wonosari, perjalanan dilanjutkan dengan minibus menuju Tepus. Biaya untuk sekali naik bus-bus ini berkisar Rp7.000,00. Perlu dicatat, kendaraan umum dari terminal Wonosari menuju Tepus hanya tersedia sampai sore saja, sedangkan untuk ke arah sebaliknya hanya beroperasi sampai pukul 14.00. Untuk pengunjung yang datang bersama rombongan, mobil sewaan bisa menjadi pilihan. Satu mobil sewaan ini dapat membawa 8—10 orang. Dari terminal Wonosari menuju Siung, sewa dipatok dengan kisaran Rp150.000,00— Rp250.000,00. Harga sewa ini masih dapat dinegosiasikan dengan pemilik mobil, jadi pandai-pandailah menawar. Tarif yang lebih mahal berlaku untuk perjalanan malam. [Izati C.]
42
Cinta dan Sejarah Habibie & Ainun pendamping yang sok tahu, tetapi menjadi seorang pendamping yang menjaga keberadaannya dengan senantiasa menjadi teman berbagi yang sangat match. Buku ini kental sekali dengan kondisi Indonesia era pembangunan ala Soeharto, seperti dialog Habibie dengan Soeharto yang memperbincangkan siasat pembangunan dan pengelolaan sumber daya manusia, serta kritik Habibie atas Trilogi Pembangunan rumusan Soeharto. Habibie & Ainun juga memberi bocoran tentang kondisi pra-reformasi ‘98 dari sisi Habibie, meski penuturan Habibie yang sedikit ini dirasa kurang memuaskan. Dari segi penulisan, bahasa yang digunakan Habibie memang agak sulit untuk dinikmati. Dalam cerita-cerita yang mengawali buku ini, banyak istilah ilmiah yang dipakai. Penuturannya pun agak sulit diikuti dan membutuhkan fokus ekstra, karena alur cerita yang kadang melompat-lompat. Lepas dari beberapa ketidaknyamanan tersebut, briliannya Habibie tetap bisa dirasakan.
“Ini sebuah buku yang luar biasa menarik, amat penting, sebuah buku sejarah Indonesia di 40 tahun terakhir, kisah pengalaman seorang putera utama bangsa Indonesia, tokoh teknologi yang menjadi tokoh politik, sebuah buku yang indah, yang sekaligus cerita cinta, cinta yang menjadi rahmat dari Tuhan. Mempesona!” Franz Magnis dan Suseno S.J.
Endorsement di atas tampaknya memang layak disepakati. Meski judul hingga kalimat pemanis buku ini adalah tentang ‘manunggal’-nya jiwa Habibie dan Ainun, ceritanya turut bertutur mengenai sejarah, oleh seorang putera Indonesia yang sekaligus menjadi tokoh sejarah di dalamnya. Buku ini menganugerahi sosok Habibie sebagai ‘perintis sempurna’: menjadi penasihat Direktur Utama Pertamina, founding father Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), melangkah sebagai Menristek hingga masuk ke wilayah politik yang lebih besar. Dalam perjalanannya, pengaruh Ainun tidak pernah lepas. Bukan menjadi seorang
Bagian yang menakjubkan terutama terdapat di akhir buku. Perjuangan Ainun dalam menghadapi 10 tahun pesakitannya benarbenar mengilhami. Membawa keharuan dan berhasil menginspirasi. Buku ini benar-benar menyajikan cerita cinta sekaligus kisah sejarah. Dalam garis besar: kesederhanaan, kegigihan, kecerdasan, serta prinsip-prinsip Habibie dan Ainun dalam menghadapi kehidupan, patut untuk diteruskan oleh banyak generasi Indonesia. Inilah tokoh nyata yang idealismenya terhadap bangsa, patut diteladani. Seperti pengantarnya, Habibie berkata bahwa sejumlah fakta dari kehidupannya tersebut adalah milik publik. Fakta sejarah yang kini dipunyai bangsa ini patut dijadikan tambahan rujukan mengembangkan Indonesia supaya lebih baik lagi. [Fauziyyah Arimi]
43
resensi
Ten2Five: I Love Indonesia
Awalnya, Ten2Five mengeluarkan single lagu daerah Sumatera Barat berjudul Ayam den Lapeh di tahun 2009. Namun, tak berhenti sampai di situ, Koran Tempo memuat berita bahwa mereka telah merekam beberapa lagu daerah lainnya pada bulan November 2010 lalu. Tak tanggung-tanggung, mereka meluncurkan tujuh lagu daerah sekaligus dalam bentuk album.
Klausa “I Love Indonesia”, baik dalam bahasa Inggris atau Indonesia atau dengan struktur lain yang artinya senada, memang sedang gemar dikumandangkan sepanjang tahun 2010. Frase itu menjadi semacam virus tersendiri yang memang sedikit banyak menumbuhkan nasionalisme masyarakat Indonesia. Ten2Five ikut menginveksikannya lewat musik, jika tidak telah terinfeksi virus ini terlebih dahulu.
Album ini berjudul “I Love Indonesia”. Penasaran, saya kemudian browsing dan mengunduh album yang memang tidak dikomersilkan ini. Jadi, bagi anda yang anti pembajakan, album yang satu ini halal diunduh secara bebas dan gratis.
Grup yang kini digawangi oleh Arief, Imel dan Teguh ini memperlihatkan kecintaan mereka kepada Indonesia melalui sembilan track— delapan lagu daerah dan satu bonus track.
Di balik album versi CD-nya pun tertulis,“Silahkan memperbanyak dan menyebarkan album ini ke seluruh dunia, agar semua orang tahu bahwa lagu asli Indonesia tidak kalah dengan lagu manapun.”
Lagu pembuka album ini, Lir Ilir, menyihir. Imel, yang sering menyanyikan lagu berbahasa Inggris dengan fasih, kali ini harus mengeluarkan aksen medhok ala Jawa Tengah. Beberapa pelafalan Imel atas kata-kata dalam bahasa Jawa mungkin terdengar aneh, tapi mereka berhasil menaklukkan lagu ini dengan baik. Apalagi, beat yang sengaja dipercepat membuat lagu ini lebih rancak didengar.
44
Track berikutnya diisi Kicir-Kicir dari Jakarta. Tempo yang sedikit diperlambat akan membawa Anda menikmati suasana yang lebih santai. Imel menggunakan cengkok khasnya pada lagu ini, serupa di Rum Raisin Chocolate Ice Cream dari album pertama mereka. Ayam den Lapeh adalah lagu yang paling terdengar nge-rock di antara yang lain, terutama di bagian akhir. Lagu ini juga melibatkan sedikit aksen techno dengan ornament efek gitar. Melodi gitar listrik sangat kental dan mendominasi, tidak seperti kebanyakan lagu lain yang menonjolkan nada-nada keyboard. Dari Sumatra Barat, mereka beralih ke Jawa Barat dengan lagu Tokecang. Lagu yang sempat menjadi soundtrack sinetron ini temponya diperlambat sehingga terasa berbeda, lebih fresh. Disusul Angin Mamiri dari Sulawesi Selatan, yang lagi-lagi temponya diubah. Lagu aslinya balad, bahkan sering dikeroncongkan dengan tempo lebih lambat. Namun Ten2Five membuatnya lebih ceria dengan dominasi keyboard dan kadang diselingi gitar listrik yang pasti membuat Anda ingin bergoyang. Berpindah ke Sumatera Utara, Ten2Five menampilkan lagu Anju Ahu. Kali ini, Imel berhasil memberikan kesan sedih, lagu minor, sekaligus memposisikan track tersebut lagu favorit di album ini. Lagu berikutnya adalak Cik Cik Periok dari Kalimantan Barat yang membawa nuansa ceria. Liriknya hanya 6 baris—dua baris berupa
pengulangan. Lirik ini diulang empat kali sepanjang lagu, namun tidak membosankan. Ten2Five juga memilih lagu Rasa Sayange yang sempat menjadi perbincangan terkait negara tetangga. Lagu yang sempat menjadi backsound di salah satu episode kartun Upin Ipin ini menjadi satu-satunya lagu album yang berasal dari daerah timur. Temponya kali ini tidak diubah, tetap rancak. Yang saya rasa kurang dari album ini adalah masalah pemilihan lagu. Album Ten2Five ini masih didominasi oleh lagu daerah Jawa. Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi saya penasaran mendengarkan lagu-lagu Papua atau Nusa Tenggara ala Ten2Five. Mungkinkah ada “I Love Indonesia II”? Semoga. [Arfindo B. S.]
45
resensi
“?”: Cerminan Keragaman Produser: Erick Thohir, Talita Amilia, Hanung Bramantyo, Celerina Judisari | Sutradara: Hanung Bramantyo | Penulis: Titien Wattimena Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.
“?” mengambil latar tahun 2010, di daerah Pasar Baru, Semarang. Daerah ini merupakan permukiman penduduk dari beragam latar belakang etnis dan agama. Perbedaan dan warna-warni inilah yang ditekankan dalam film tersebut.
Kutipan di atas diambil dari penutup film “?” karya Hanung Bramantyo. Kutipan ini juga yang menjadi salah satu penyebab kontroversi. Pasalnya, Hanung dinilai beberapa kalangan telah menyebarkan pluralisme lewat filmnya itu. Sementara, ada kalangan lain yang berpendapat bahwa film ini adalah film bermutu dengan sarat pesan.
Tokoh utama wanita di film ini adalah Menuk (Revalina S. Temat). Dikisahkan, Menuk adalah istri dari seorang pengangguran yang bernama Soleh (Reza Rahadian). Menuk sebenarnya memiliki masa lalu dengan Hendra (Rio Dewanto), anak pemilik restoran tempat Menuk bekerja. Mereka berdua berpisah karena perbedaan agama.
46
Ayah Hendra, Tan Kat Sun (Hengky Sulaeman), adalah seorang Tionghoa yang taat pada agamanya dan sangat menghormati agama lain. Tan diceritakan sebagai orang yang sangat toleran: memasak makanan nonhalal di restorannya tetapi selalu memisahkannya dari masakan halal sehingga pelanggannya yang muslim tetap bisa makan; membantu saat ada perayaan Paskah di gereja; menghargai para karyawannya yang kebanyakan muslim dengan memberinya waktu untuk beribadah juga liburan tiap Idul Fitri. Konflik cerita dibangun antara lain dari ketidaksetujuan Hendra pada kebaikan ayahnya sendiri. Ia menganggap yang dilakukan ayahnya itu tidak mendatangkan keuntungan. Selain itu, ada juga kecemburuan Hendra terhadap Soleh yang berhasil merebut hati Menuk. Menuk juga bersahabat dengan Rika, seorang muslim yang bercerai dari suaminya dan memilih pindah agama menjadi Katolik. Rika bercerai karena menolak dimadu oleh suaminya. Rika dekat dengan Surya, seorang muslim. Surya adalah seorang aktor yang tidak pernah mendapat peran utama dan pada akhirnya ketika ia mendapat peran utama, ia berperan sebagai Yesus dalam drama Paskah di gereja Rika. Rika sendiri membesarkan anaknya—hasil pernikahan dengan suami terdahulu—dengan didikan Islam, seperti mengaji, puasa, dan lebaran. Padahal, Rika sendiri merayakan Natal.
Lika-liku kehidupan masyarakat yang kental digambarkan dalam film ini memang berpusat pada perbedaan agama dan etnis. Hanung bisa dibilang cukup berani mengangkat tema seperti ini, tema yang bisa jadi belum jamak dianggap layak untuk diangkat, apalagi dengan derasnya perlombaan membuat film yang hanya mengejar balik modal. Film ini menggambarkan betapa perbedaan bukanlah alasan untuk berhenti berbuat baik pada sesama. Konflik serta cara film ini menyeret emosi penonton untuk naik turun patut diacungi jempol. Beberapa adegan mampu membuat kita marah, sedih, juga terpingkal-pingkal. Sebuah film yang emosional dan penuh pembelajaran. Alur film ini memang mudah dicerna. Namun, beberapa hal dibuat ‘menggantung’ yang, sayangnya, justru bisa menyebabkan salah tafsir. Seperti kejadian perusakan restoran Tan—yang menyuguhkan menu masakan babi—oleh warga karena restoran tersebut buka saat hari kedua lebaran. Lalu, ada juga adegan saat Hen membaca buku Rahasia 99 Asmaul Husna dan berkata kepada ayahnya “…saya mengerti kenapa Papa selalu baik sama orang yang ndak seagama, sekalipun mereka ndak baik sama Papa.” Bisa jadi, Hen mengerti hal setelah membaca buku tersebut, atau malah menyadari akan posisi minoritasnya sebagai seorang Tionghoa yang harus ‘tunduk’ pada mayoritas yaitu muslim. Ada juga keanehan Menuk, perempuan berjilbab yang tidah risih bekerja di restauran yang memasak daging babi. Hal semacam ini sangat jarang terjadi. Di luar segala kontroversinya, film “?” ini cukup layak tonton. Lewat film ini, penonton diajak bercermin apakah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan peran-peran di film ini. Atau, mungkin kita menjadi bagian di antara mereka? Selamat menonton. [Arfindo B.S.]
47
psikologi
Prokrastinasi
48
Teman saya tiba-tiba menyodorkan tugasnya saat kami chatting via internet. Dia meminta saya untuk buru-buru mengomentari tugasnya yang akan dikumpulkan satu jam lagi itu. “Kekuatan kepepet, tuh,” ketiknya. Menurutnya—dan saya yakin sebagian besar dari Anda setuju—ide-ide segar akan muncul di saat-saat deadline. Inilah mengapa sebagian besar orang menumpuk tugas-tugas mereka dan berencana mengerjakannya di saat-saat akhir pengumpulan. Pun dengan saya. Artikel ini sudah tertunda pembuatannya sekitar dua bulan.
Kebiasaan menunda pekerjaan ini disebut prokrastinasi, yang berasal dari bahasa latin procastinare. Wikipedia mengartikannya sebagai “Perilaku manusia yang sering menunda-nunda baik tugas maupun pekerjaan”. Terdapat banyak riset yang dilakukan psikolog dunia terkait prokrastinasi ini. Salah satunya oleh Joseph Ferrari, Ph.D., profesor psikologi dari De Paul University di Chicago, dan Timorthy Pychyl, Ph.D., profesor psikologi dari Carleton University, Ottawa. Mereka merumuskan beberapa karakter prokrastinasi yang perlu diketahui. Pertama, seperti ditulis di awal tadi, para pengidap prokrastinasi kerap membohongi dirinya sendiri. Seperti misalnya mengatakan “Saya merasa lebih suka melakukanya esok hari” atau “Saya biasa bekerja dalam tekanan”. Namun faktanya, orang-orang ini tidak bergegas bekerja keesokan harinya atau melakukan yang terbaik saat berada dalam tekanan. Selain itu, mereka melindungi perasaan diri dengan mengatakan “Ini tidaklah penting”. Kebohongan besar yang biasa dilakukan prokastinator adalah bahwa tekanan waktu akan membuat mereka menjadi lebih kreatif. Buktinya, mereka tidak berubah menjadi lebih kreatif, mereka hanya merasa menjadi demikian. Mereka justru memboroskan modal mereka sendiri.
Sifat prokrastinasi terbentuk bukan akibat faktor genetik melainkan dari lingkungan. Misalnya dalam lingkungan keluarga yang otoriter terhadap anak. Secara tidak langsung, hal ini akan menumbuhkan kebiasaan untuk menunda-nunda pekerjaan. Dominasi orang tua menghambat perkembangan anak untuk dapat mengatur dirinya sendiri. Prokrastinasi ini, lalu akan dijadikan suatu bentuk pembebasan oleh sang anak. Jangan salah, pengidap prokrastinasi sebenarnya mempunyai kemampuan yang sama dengan orang normal dalam hal perencanaan waktu. Bahkan, masih menurut Ferrari dan Pychyl, prokrastinator cenderung lebih optimis. Prokrastinasi ini bukanlah masalah dalam manajemen waktu atau perencanaan. Teman saya tadi, contohnya. Dia ingat betul bahwa waktu pengumpulan tugasnya masih sebentar lagi dan bahwa sebetulnya, dia tidak terlambat. Hanya saja dia merasa nyaman mengerjakannya di saat-saat akhir deadline. Dia optimis bisa menumpulkan tugas tepat waktu sehingga merasa tidak perlu buru-buru mengerjakannya dari jauh-jauh hari. Kalau tugas seorang prokrastinator toh tetap selesai tepat waktu, lantas apa masalahnya? Masalah timbul bukan dari pekerjaan Anda. Namun di sisi lain, ada kerugian besar yang disebabkan oleh prokrastinasi. Kesehatan
49
psikologi
adalah salah satunya. Bila dikaitkan dengan civitas akademis, mahasiswa prokrastinator cenderung bermasalah dengan kekebalan tubuh, lebih sering terserang flu dan batuk, masalah pencernaan serta insomnia. Selain itu, prokrastinasi merugikan diri sendiri dan orang lain karena mengalihkan beban tanggung jawab pada orang lain. Prokrastinasi merusak hubungan pribadi dan kekompakan tim di tempat kerja. Kontrol Solusi Diri M. Nur Ghufron pernah menggelar penelitian yang mencari sebuah solusi bagi para prokrastinator. Salah satu hipotesis yang ia ambil adalah bahwa ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik. Dalam tesis tersebut, kontrol diri diartikan sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang yang membentuk dirinya sendiri. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan caracara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu yang demikian cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial. Ia, kemudian dapat mengatur kesan, perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka. Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, individu hidup bersama kelompok. Sehingga dalam memuaskan keinginannya, individu harus mengontrol perilakunya agar tidak
mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Berdasarkan hasil analisis, tesis ini menyimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan adanya hubungan negatif antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik terbukti kebenarannya. Ghufron menyimpulkan, siswa dengan kontrol diri yang relatif tinggi cenderung memiliki perilaku prokrastinasi yang relatif rendah. “Remaja atau siswa untuk lebih meningkatkan kecakapan kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian, kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian, kemampuan mengambil keputusan sebagai aspek kontrol diri,” sarannya. Prokrastinasi Versus Prestasi Berkaitan dengan prokrastinasi, majalah Civitas meneliti korelasi antara kecenderungan mahasiswa STAN dalam menunda-nunda pengerjaan tugas dengan IP yang diraih. Hipotesis awal yang akan diuji adalah bahwa mahasiswa STAN yang mengidap prokrastinasi dalam hal akademik seperti mengerjakan tugas, mempunyai IP yang lebih rendah daripada mereka yang tidak mengidapnya. Metode yang digunakan adalah metode survei yang kemudian diolah dengan teknik korelasi menggunakan software SPSS (Statistical Package for the Social Science) , sebuah
50
program komputer yang digunakan untuk analisis statistik. Sedangkan teknik sampling yang digunakan adalah teknik random sampling. Kuesioner yang layak untuk dijadikan sample berjumlah 85 sample dari 200 kuesioner yang disebar, dengan hasil yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini. Test of Normality
IP prokastinasi
Shapiro-Wilk Statistic df ,872 86 ,952 86
Sig. ,000 ,003
Test of Normality adalah pengujian untuk mengetahui signifikasi sample untuk digeneralisasikan, apakah pemilihan sample sudah merata persebarannya atau tidak. Seperti yang ditunjukkan dari tabel hasil Test of Normality oleh software SPSS, signifikansi sampling kurang dari 0,05. Artinya, data tidak berdistribusi normal sehingga hasil penelitian tidak dapat digeneralisasi. Dengan kata lain, kesimpulan dari penelitian ini hanya beraku untuk sample. Aspek yang pertama ingin diselidiki adalah berapa banyak responden pengidap prokrastinasi. Berdasarkan perhitungan angket, untuk pernyataan “Saya selalu menunda mengerjakan tugas kuliah dari dosen” sebanyak 49% responden menjawab “Sesuai”. Sebanyak 26% persen menjawab “Sangat sesuai”. Hanya 24% yang menjawab “Tidak sesuai” dan sisa 1% menjawab “Sangat tidak sesuai”. Ini menandakan mayoritas responden mempunyai tanda-tanda terjangkit prokrastinasi akademik yang ditandai dengan menunda-nunda mengerjakan tugas.
mengerjakan tugas kuliah karena sibuk dengan dengan kegiatan yang lebih menyenangkan”, sebanyak 7% responden memilih “Sangat sesuai” dan 29% memilih “Sesuai”. Sebanyak 55% responden menjawab “Tidak sesuai” dan 9% menjawab ”Sangat tidak sesuai”. Lebih dari 60% mengaku tidak disibukkan oleh kegiatan yang mereka gemari. Ini menandakan bahwa kesibukan bukan merupakan alasan mayoritas responden dalam menunda tugasnya. Akan tetapi, meski alasannya bukanlah kesibukan, mayoritas responden mengakui tidak mempunyai banyak waktu luang untuk tugas kuliah. Dari pernyataan “Saya memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan tugas kuliah sehingga dengan segera saya selesaikan” dijawab “Sesuai” hanya oleh 40% responden. Sebanyak 54% responden menjawab “Tidak sesuai” dan 6% menjawab “Sangat tidak sesuai”. Baiknya, responden tetap mengerjakan tugastugas mereka sendiri. Pada pernyataan “Saya lebih senang mencontek pekerjaan teman daripada mengerjakannya sendiri”, sebanyak 51% responden menjawab “Tidak sesuai” atas pernyataan “Saya lebih senang mencontek tugas teman daripada mengerjakannya sendiri”. Bahkan sebanyak 30% menjawab “Sangat tidak sesuai”. Hanya 13% dan 6% yang menjawab “Sesuai” dan “Sangat sesuai”. Dari pernyataan-pernyataan lain dalam kuesioner seperti “Saya malas mengerjakan tugas kuliah dengan segera”, “Saya langsung mengerjakan tugas kuliah setelah diberikan”, dan lainnya, kami berhasil memberikan penilaian terhadap tingkat prokrastinasi untuk masing-masing responden. Tabel korelasi di bawah menunjukkan pengaruh tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa STAN dengan prestasi berupa Indeks Prestasi (IP) yang mereka raih.
Untuk pernyataan “Saya tidak sempat
51
psikologi dan budaya
Spearman’s rho
Prokastinasi
IP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Korelasi Korelasinya merupakan hubungan timbal balik atau sebab akibat. Seperti hipotesis yang disampaikan di awal tadi, dari tabel di atas kita dapat mengetahui apakah penundaan pengerjaan tugas kuliah akan berpengaruh terhadap IP yang diperoleh. Tabel di atas menunjukkan sig.(2-tailed) sebesar 0,634. Nilai ini lebih besar dari 0,05, artinya korelasi yang ada dapat dikatakan tidak signifikan. Jadi, tidak ada hubungan signifikan antara prokastinasi dengan prestasi belajar mahasiswa, yang dalam hal ini diindikasikan oleh besarnya Indeks Prestasi (IP). Bisa jadi, hal ini disebabkan karena sistem pendidikan di STAN yang Indeks Prestasinya lebih dibentuk oleh hasil ujian mahasiswa daripada tugas ataupun aktivitasnya.
Prokastinasi 1,000 . 86 ,052 ,634 86
IP ,052 ,634 86 1,000 . 86
Jadi, meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa penundaan pengerjaan tugas tidak berpengaruh signifikan dalam pencapaian IP seseorang, bukan berarti prokrastinasi ini boleh ditoleransi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa dampak negatif yang akan dialami, khususnya dalam hal kesehatan. Terkait resiko ini, kontrol diri adalah solusi yang tepat. Ketika menyelesaikan artikel ini, tugas etika profesi saya yang dikumpulkan dua hari lagi sudah menunggu. Saat teringat itu, teman saya yang lain menceletuk ringan, “Kan masih bisa dikerjakan saat mepet deadline!” [Arfindo B. S., dari berbagai sumber]
52
Pemakaman A la Tana Toraja: Dari Potong Kerbau sampai Tari-tarian
Sebagai tujuan wisata dengan beragam budaya, Tana Toraja merupakan warisan nusantara yang masih menuai decak kagum, mengulum ketertarikan wisatawan mancanegara maupun domestik.
53
budaya
Tana Toraja memiliki ritual pemakaman yang, bisa jadi, paling rumit seantero dunia. Upacara pemakaman adat yang disebut Rambu Solo’ ini mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada almarhum. Prosesi ini menjadi magnet wisata budaya karena kelestariannya yang terkenal bertahan begitu lama. Tengoklah kerumitan Rambu Solo’ yang ditandai dengan sejumlah tingkatan berdasar strata sosial almarhum dan keluarganya. Upacara pemakaman ini terkadang baru dapat terlaksana berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah kematian almarhum karena keluarga yang ditinggalkan harus mengumpulkan cukup uang untuk membiayai upacara pemakaman. Pesta pemakaman seorang bangsawan, misalnya, biasa dihadiri sampai ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Pameran Frontal Strata Sosial Semakin kaya dan berkuasa seseorang, biaya upacara pemakamannya pun akan semakin mahal. Tingkat kekuasaan seseorang berbanding lurus dengan jumlah kerbau yang disembelih. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, lantas dijajarkan di padang, menunggu ‘pemilik’-nya yang sedang melalui proses penting dalam kepercayaan suku Toraja. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses bertahap menuju Puya, dunia arwah. Pertama, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan, rumah adat suku Toraja, selama masa penungguan. Arwah almarhum dipercaya tetap tinggal di desa sampai pesta pemakaman selesai, setelah itu arwah baru melakukan perjalanan ke Puya. Prosesi upacara pemakaman sendiri dimulai dengan mengarak jenazah keliling kampung, diikuti barisan kerbau yang akan disembelih. Kesibukan dimulai ketika para pelayat muncul
menuju tempat pemotongan kerbau. Di tempat pemotongan kerbau tersebut, rombongan pelayat dan juga keluarga yang ditinggalkan akan membunyikan ma’badong, suara-suara khas yang menyiratkan kesedihan. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau dalam melakukan perjalanannya ke Puya. Makin banyak kerbau yang disembelih, makin cepat perjalanan tersebut. Penyembelihan kerbau dan babi ini pun menjadi puncak upacara pemakaman, diiringi oleh musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang memuncrat dengan bambu panjang. Anggota keluarga yang ditinggalkan diperbolehkan memotong kerbau dan babi. Mereka percaya bahwa jiwa arwah akan menjadi damai dan meneruskan menggembalakan kerbaukerbau yang ‘menemani’ jiwa yang meninggal tersebut. Sebagian daging sembelihan diberikan kepada para tamu. Uniknya, pemberian daging ini dicatat karena akan dianggap utang tamu kepada keluarga almarhum. Arwah almarhum juga mendapatkan bagian dari daging sembelihan, sedangkan kepala kerbau yang dipotong akan dikembalikan ke tongkonan dan tanduknya akan menjadi dekorasi di depan rumah yang ditinggalkan. Semakin tinggi hiasan tanduk tersebut, semakin tinggi pula kedudukan seseorang dalam masyarakat suku Toraja. Mappasilaga Tedong dan Rambu Solo’ Prosesi pemakaman adat Toraja ini juga menyertakan tahapan adu kerbau, yang dalam bahasa setempat disebut mappasilaga tedong. Sebelum aduan, digelar parade berbagai jenis kerbau: kerbau bule atau albino, kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung, juga Lontong Boke yang bagian punggungnya berwarna hitam. Jenis yang terakhir ini kisaran harga jualnya bisa mencapai lebih dari seratus juta rupiah. Selain itu, ada juga kerbau jantan yang telah dikebiri yang konon katanya memiliki cita rasa daging yang gurih.
54
Puluhan kerbau ini dibariskan, kemudian diarak dan diiringi oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, serta sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante, tempat upacara pemakaman.
dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi arak-arakan jenazah dari lumbung padi menuju rante.
Kerbau-kerbau ini dibariskan lagi di rante, lalu meninggalkan lokasi diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan oleh sejumlah wanita dengan cara menumbuk padi pada sebuah lesung besar dan panjang secara bergantian. Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan tuak—air nira yang sudah difermentasi, kepada pemandu kerbau dan para tamu.
Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu, untuk mengingatkan para tamu akan kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.
Prosesi dilanjutkan dengan adu kerbau di sawah. Adu kerbau diawali dengan kerbau albino. Pergelaran adu kerbau ini diselingi dengan prosesi unik pemotongan kerbau ala Toraja, ma’tinggoro tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dengan hanya sekali tebas.
Pemakaman, dari Gua hingga Pohon
Namun di balik daya tarik Rambu Solo’, banyaknya kerbau yang disembelih mengakibatkan punahnya kerbau dengan cepat, khususnya Tedong Bonga. Padahal, jenis ini termasuk kelompok kerbau lumpur—Bubalus bubalis, spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Selain kerbau, upacara penyelenggaraan Rambu Solo’ juga tidak pernah lepas dari tari-tarian, seperti tari Pa’badong yang diikuti semua pelayat dan dapat berlangsung hingga berjam-jam. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum yang akan melalui perjalanan panjang menuju Puya. Tari Pa’badong ini diawali oleh sekelompok pria yang membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum.
Ada beberapa cara pemakaman, yakni dengan menyimpan peti mati dalam gua, di makam batu berukir, atau digantung dan diletakkan pada tebing. Bangsawan suku Toraja terkadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut bisa menghabiskan waktu pembuatan sekitar beberapa bulan dan tentu berbiaya mahal. Beberapa daerah di Tana Toraja menyimpan jenazah seluruh anggota keluarga dalam sebuah gua batu. Jenazah biasanya disertai dengan patung kayu simbolisasi almarhum yang disebut dengan tau-tau. Patung ini biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.
Pada hari kedua pemakaman, tari prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria menari
55
budaya dan kesehatan
Peti mati jenazah bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Pada umumnya, tali ini hanya bertahan selama setahun sebelum akhirnya lapuk dan membuat peti terjatuh. Uniknya, meski mayat yang disimpan di tebing tersebut diletakkan begitu saja, tidak pernah tercium bau busuk yang merebak. Di wilayah Kambira, terdapat kuburan bayi berupa pohon besar yang dilubangi. Jenazah bayi dimasukkan ke dalam lubang pohon, lalu lubang tersebut ditutup dengan anyaman ijuk setelah jenazah dibalsem dan dibungkus. Lokasi pekuburan atau persemayaman jenazah juga sering berupa lubang-lubang pada dinding cadas yang disebut dengan Batu Lemo. Tempat ini merupakan hasil kreasi manusia Toraja yang
luar biasa karena telah ada sejak abad ke-16 dan dibuat dengan cara memahat dinding batu. Batu Karang Terjal Londa merupakan kuburan batu karang terjal yang salah satu sisinya berada di ketinggian. Batu karang ini mempunyai gua dan di dalamnya diatur peti-peti mayat yang dikelompokkan berdasarkan garis keluarga. Di sisi lain batu karang ini diletakkan lusinan tau-tau yang berdiri dengan hikmat. Bagi suku Toraja, Rambu Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Toraja yang suka tolongmenolong, gotong royong, ikatan kekeluargaannya, kepemilikan strata sosial, serta penghormatan terhadap orang yang lebih tua. [Muwardhani W. U.]
56
Sehat dengan Kerokan? “Masuk angin? Kerokan saja!”
dunia kedokteran. Perut kembung, badan panas, nyeri otot, pusing, sakit tenggorokan, bersin-bersin, sampai pilek dan batuk sebenarnya merupakan gejala awal dari penyakit yang lain.
Sejak dulu, dengan beragam cara pengucapan, kalimat tersebut sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Kerokan, atau sering juga disebut dengan kerikan, ialah menggosok-gosok punggung, dada atau bagian tubuh lainnya dengan uang logam yang dibasahi dengan minyak kelapa, balsem, minyak angin, minyak kayu putih dan sejenisnya. Kerokan tak hanya populer di Indonesia. Vietnam menyebut kerokan sebagai cao giodi, Kamboja menjulukinya gah kyol, sementara Cina mengenalnya dengan sebutan gua sua. Bedanya, masyarakat Cina memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam.
Kerokan tak hanya populer di Indonesia. Vietnam menyebut kerokan sebagai cao giodi, Kamboja menjulukinya gah kyol, sementara Cina mengenalnya dengan sebutan gua sua.
Metode ini disukai karena mudah, cepat dan murah. Hanya bermodalkan minyak angin dan sekeping koin, seseorang bisa merasa lebih bugar dari sebelumnya. Rasa tak enak badan yang disertai pegal dan pusing atau masuk angin bisa langsung hilang tanpa harus minum obat. Sebagian orang bahkan sudah ‘bergantung’ pada metode ini sebagai sarana penyembuhan. Kerokan dipercaya membuat angin yang masuk membuat badan meriang tersebut bisa keluar melalui pori-pori kulit yang terbuka akibat dikerok. Benarkah? Pendapat tersebut tidak benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah. Istilah “masuk angin” yang sering dipakai oleh banyak orang sebenarnya bukanlah penyakit yang dikenal
Perut kembung , dalam dunia kedokteran merupakan gejala penyakit maag atau gangguan pencernaan lainnya. Badan pegal dan nyeri otot merupakan gejala dari kelelahan fisik karena orang tersebut kurang istirahat. Pilek dan batuk merupakan gejala dari penyakit flu. Itulah alasan mengapa ketika seseorang datang untuk berkonsultasi ke dokter dan mengeluhkan masuk angin, biasanya dokter akan menanyakan gejala yang lebih spesifik.
Seperti dilansir dalam gizi.net, akupunkturis Dr. Koosnadi Saputra, Sp.R, menjelaskan prinsip kerja kerokan yang hampir sama dengan tusuk jarum atau akupuntur. Sebab, bisa jadi secara tidak sengaja kerokan akan menekan syaraf-syaraf tubuh bagian belakang yang terkena kerok. Kerokan juga mirip dengan terapi bekam ataupun terapi kop yang biasanya menggunakan alat seperti tanduk, gelas, karet, tabung bambu dan lain-lain yang meningkatkan temperatur badan dari luar serta membuka pembuluh dan memperlancar aliran darah. Hal ini juga diamini oleh dr. Prasanthi dalam artikel “Kerokan dalam Perspektif Kesehatan” (taoway-healthnet.blogspot.com). Menurutnya, kerokan tidak membuang angin yang masuk
57
kesehatan dan english corner
lewat pori-pori kulit, tetapi meningkatkan suhu tubuh melalui gesekan dua benda, yaitu antara kulit dan koin. Panas yang cukup tinggi akan melebarkan pembuluh darah dalam kulit. Otomatis, peredaran darah dan oksigen menjadi lancar, sehingga rasa sakit di tubuh berkurang. Cara kerja kerokan juga bisa dijelaskan secara biologi. Kerokan menyebabkan inflamasi atau radang pada kulit yang ditandai dengan bekas berwarna merah. Menurut Mochtar Wijayakusuma, ahli akupunktur, semakin pekat atau tua warna bekas kerokan, semakin berat juga penyakit yang diderita.
Akan tetapi, kerokan juga dapat berdampak buruk. Menurut dr. Ali Sungkar SpOG, spesialis Kebidanan dan Kandungan Divisi Fetomaternal, pelepasan hormon prostaglandin pada wanita hamil akibat kerokan dapat memicu kontraksi pada rahim. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan kelahiran prematur sehingga wanita yang sedang hamil tidak disarankan untuk melakukan kerokan. Dr. Djoko Santoso, Sp.PD, K-GH, Ph.D, ahli penyakit dalam, menyatakan bahwa selain pada wanita hamil, penderita dengan perubahan sistem pertahanan tubuh juga tidak dianjurkan untuk kerokan. Penderita yang mengkonsumsi obat cangkok atau penderita diabetes, misalnya. Kondisi kulit mereka cenderung sensitif sehingga kerokan justru dapat melukai dan menimbulkan infeksi.
Penelitian lebih dalam mengenai manfaat kerokan pernah dilakukan di Universitas Sebelas Maret Solo. Dibimbing tiga guru besar Universitas Airlangga, penelitian tersebut Selebihnya, jika dilakukan menemukan bahwa dengan benar, kerokan Kenaikan B-endorfin saat kerokan menaikkan tidak menimbulkan efek kerokan menimbulkan kadar IL1 beta, Clq, negatif. Misalnya, uang rasa nyaman dan hormon endorfin logam yang dipakai untuk karena ia berfungsi seperti B-endorfin, tetapi kerokan sebaiknya yang mengendalikan rasa nyeri. menurunkan kadar pinggirnya halus dan Prostaglandin E2 (PGE2) tumpul, semisal pada sebagai penyebab nyeri. koin Rp100,00 berwarna tembaga, bukan yang putih. Arah kerokan Kenaikan B-endorfin saat kerokan sebaiknya cenderung longitudinal pada leher menimbulkan rasa nyaman karena ia berfungsi dan sekitar garis tengah punggung ke tepi. mengendalikan rasa nyeri. Keberadaan zat ini dalam darah menyebabkan penderita merasa Kerokan dilakukan secara ritmis dan kuat, lebih bugar. B-endorfin juga merangsang organ tetapi tidak sampai melukai dan menimbulkan dalam tubuh, terutama paru-paru dan jantung, balur-balur merah, lalu dilanjutkan dengan sehingga napas penderita bisa lebih lega dan menggosokan minyak yang hangat. Balurperedaran darahnya menjadi lebih baik. balur merah akibat pecahnya pembuluh darah kapiler di bawah permukaan kulit yang Selain itu, reaksi inflamasi yang terjadi dikerok tersebut tidak berbahaya karena tubuh dalam kerokan juga diikuti dengan reaksi dikarunai mekanisme untuk menyembuhkan kardiovaskuler berupa pelebaran pembuluh diri dengan cepat. Tetapi, tidak baik pula darah tepi yang semula menutup, sehingga apabila kerokan dilakukan terlalu sering. melancarkan aliran darah dan meningkatkan Pasalnya, pembuluh darah kapiler halus yang kadar oksigen dan nutrisi untuk jaringan otot. pecah akan semakin banyak. Selain itu, kerokan Aliran darah yang lebih lancar membuat zat ditengarai menimbulkan kecanduan atas efek penyebab pegal dapat segera dinetralkan. nyaman yang ditimbulkan hormon B-endorfin.
[Anggraeni P.S., dari berbagai sumber]
58
How to Read English Literatures, without Dictionary
“Why don’t you pick this book? It’s relevant to your paper.” “No way, it’s in English.” “So what’s the point of studying English for 10 consecutive years if you are still afraid to read it?”
My English teacher laughed at me when I asked her so. “Did you also flick dictionary when you first learn reading in Indonesian?” she asked back, “same way works for English. If dictionary was an obstacle for you to have fun reading in English, then leave it.”
There I was in library searching for references to finish my final paper before the sacred date of April 21st, but all I got was a rather bitter comment due to my reluctancy to any literature in English.
...Dear teacher, first of all, “reading in English” and “fun” shouldn’t be in the same sentence. Oh, and now you asked me to leave my dictionary. Right, those English books will Google-translate themselves.
Fun? What Fun?
I continued my conservative method of studying English by highlighting difficult words, looking up for its translation, then trying to remember them. While me and my classmates were memorizing (or rather, mumbling those words repeatedly like chanting spells) for tomorrow’s test, one of our friends only read comics/manga in his laptop without acquiring any reference. He scored better TOEFL than the rest of us.
As true as it hurts, my friend did have a point: we have studied English for 7—10 years, which is about half of our life in this world already, yet we barely put English literatures in our toread-list. No wonder, since just like any other school’s subjects, English was introduced as a matter of our classes and tests. In those long school years, English passages almost never came along with pleasure and excitement of reading, unlike those in Indonesian literatures. What’s the fun if we should flip dictionary every five seconds to understand what we read?
Later I know he has been reading those comics for years, and they are in English. Fact to be bold, he did it barely without a glimpse of dictionary. Does he understand every words
59
english corner dan obrolan bengkel used in those comics? No. Does he enjoy it? Well, he could spend hours reading them, so we’ll take it as a “yes”.
For those who isn’t really good at keeping up with details or plot, there is also comedy that come in a more enjoyable form. David Sedaris’s Me Talk Pretty One Day has the same pattern as Raditya Dika’s: each chapter stands on its own with convenient length, and is sure to crack a laugh. Have you ever heard of Forrest Gump? It is remarkably an entertaining film, as well as the novel. Eat, Pray, Love (the English version, of course) is actually a humorous novel too, with more challenge in vocabulary.
Yet, How? “If it’s a difficult word, just skip it. Keep on reading. And when you see this word over and over again, you will naturally know what that word might mean,” he explained. Naturally? How come? He smirked,”You actually have experienced it. Remember the first time people use the word “galau” everywhere? Previously, you have no idea what “galau” is. You never looked for it in dictionary either. But see, now you somehow understand what it means and ended up using that word every day. English is no difference.”
A contemplative passages could be found in Paulo Coelho’s The Alchemist. It gives much without bothering you by difficult words. A Catcher in the Rye by J. D. Salinger, one of the most well-known literature in the world, is also presented without many confusing terms. The ulmitate challenge? Take a step higher by conquering Joseph Conrad’s. His writing is considered as a rather complicated piece even for native English speakers.
Really, who’d have guessed that enlightment to your English problem would come through the word “galau”? Where to Start? When you first learned to read in Indonesian, you wouldn’t pick “Teori Ekonomi dalam Ekuilibrium Kurva” as a start. Instead, you would go for Bobo magazine or a simple story book. For English, kids would get their first step by reading Beatrix Potter’s tales or Dr. Seuss’s adventures. For us, it is vary based on our interest. Here are some books worth your try. A fan of adventurous journey might be amused to read the light yet detailed Harry Potter series, Eragon , or the more tense Lord of the Ring. Choosing one that has been familiar with you would help in embracing the plot easier. Jules Verne’s (go google!) is also a good choice if you expect a shorter length of reading session. Up into romance? The Time Traveller’s Wife worth a shot. It is simple, yet the plot is anything but ordinary. The famous Arthur Golden’s Memoirs of A Geisha is a touchy one as well, a proper practice for those who want to learn intensely descriptive literature.
Literatures in English could be purchased in book stores, or my favourite: secondhandbooks stand. This kind of bookstall usually set a cheaper price, ranged from IDR 5.000,00 (yes, as that cheap), which is perfect for students. If any English book more than 0,5 cm thick still frightens you, don’t hesitate to find one that doesn’t creep you out. Enid Blyton’s might be written for kids, but I still find it eternally amusing. So is The Little Prince, S. Exupery’s classic. Comics/manga or your favourite songs’ lyric could work as well. Whichever your choice is, remember that it’s all about taking the first step. Hang on for 30 minutes of reading and you will notice how literatures in English is not as hard as previously presumed. While doing so, bear this in mind: have fun, you know you deserve it. Languages aren’t supposed to take away your joy of reading. [Tulad P.K.]
60
Nasionalisme Tanpa Lapar Oleh: Anggraeni Purfita Sari*
“Cheng : Eh, Indonesia main e! Ode : Kamu masih nonton Indonesia juga to? Cheng : Mumpung ada televisi toh. Ode : Aduh, tidak usahmi kau nonton itu bah. Kitora pi minum kopi sajae Cheng : Nda sukako nontong bola kau kah? Ode : Bukan nda suka. Cheng : Kalo begitu kita nonton sj dulu kone, habis ini br pi minum kopi. Ode : Cheng, kamuorang tidak malukah nonton Indonesia? Cheng : Hahahahahahahaha, Sambala, Hahahhahaha. Tapi ini dia menang tawa. Ode : Dia menang? Kasmalu-malu saja. Kami berdua keluar, mencari kopi. Terserah Indonesia menang atau kalah, toh harga bensin bakal tetap mahal.”
*Penulis adalah Bendahara Umum LPM Media Center STAN
Saya menemukan dialog di samping dari chengxplore.blogspot.com ketika iseng blogwalking. Dialog di atas di-post-kan pada tanggal 21 Desember lalu, saat gaung piala AFF terdengar di seluruh penjuru nusantara. Kata nasionalisme terdengar di mana-mana. Dari anak TK yang baru dibelikan jaket Timnas Garuda sampai orang dewasa, fasih mengucapkan kata itu. Karena di-post-kan kala demam Indonesia melanda, praktis artikel di atas sangat menarik perhatian saya. Banyak orang yang tadinya tidak suka bola, lantas mendadak suka. Alasannya macammacam. Paling banyak berdalih karena permainan Indonesia keren. Waktu saya tanya, “Kalau Indonesia mainnya jelek gimana?” Dia menjawab santai, “Ya nggak nonton,” dan saya hanya ber-“ooh” panjang. Orang seperti ini bukan cuma satu dua, tapi banyak. Orang-orang seperti ini juga yang fasih melafalkan kata nasionalisme sebagai salah satu alasan lain mendukung Timnas. Lalu, apakah mereka benar-benar nasionalis? Saya tak tahu harus bertanya pada siapa. Lalu saya menyimpulkan sendiri, mungkin mereka nasionalis musiman, cuma menjadi nasionalis kalau negaranya bisa dibanggakan. Tapi paling tidak, ada saat ia menjadi seorang nasionalis.
61
obrolan bengkel dan satire Bicara tentang nasionalis, sering sekali saya dengar presenter sebuah acara berita di TV menyebutkan, “Negeri ini butuh seorang nasionalis sejati,” terutama saat mendekati Pemilu. Saya termasuk yang bingung dengan arti sosok nasionalis sejati, seperti apa dia. Apakah seperti Bung Karno? Atau seperti Pak Harto? Mungkin Bu Mega? Pak SBY? Atau malah belum ada dan masih menunggu ramalan tentang satrio piningit terbukti? Yang saya tahu, seorang nasionalis pasti cinta negerinya, cinta budaya negerinya, cinta produk negerinya. Namun cinta seperti apa, itulah yang saya tidak tahu. Kembali ke dialog Ode dan Cheng di atas. Mereka tidak mendukung Timnas saat berlaga. Alasannya sepele, entah Timnas menang atau kalah, harga bensin tetap mahal. Hampir serupa dengan alasan banyaknya golput di Pemilu Presiden tahun 2009. Siapa saja yang jadi presiden, sembako tetap saja mahal. Jelas orang-orang seperti itu masuk kategori apatis, namun apakah mereka kemudian bukan nasionalis? Saya kembali bingung harus bertanya pada siapa.
Bukan salah orang-orang golput itu kalau kemudian bersikap demikian. Toh mereka benar, sepanjang beberapa pergantian presiden, harga beras bukan turun, malah tambah naik. Bukan salah orang-orang Indonesia di perbatasan Serawak dan Sabah sana kalau mereka kemudian pindah kewarganegaraan, karena menurut mereka pemerintah Malaysia lebih peduli daripada pemerintah Indonesia. Mereka bukan tidak cinta Indonesia, hanya saja mereka lapar. Nasionalisme ternyata tidak bisa membuat mereka kenyang. Perlahan, saya membuat satu simpulan sendiri lagi. Saya menyimpulkan bahwa negeri ini memang butuh nasionalis sejati. Arti nasionalis sejati menurut saya sederhana, bahkan nyaris konyol: nasionalis sejati adalah nasionalis, yang tidak akan membuat nasionalis lain yang dipimpinnya lapar sehingga harus kehilangan kecintaan terhadap negerinya.
62
Politik Pantun, Resep Panjang Umur Isu
Selamat malam, Bung, lama tak bersua. Banyak yang terjadi selama kita tak bertegur sapa: tsunami, bom, Ahmadiyah... ah betul, memang dua yang terakhir itu sensitif. Tapi tenang saja, saya tak akan berkoar seperti umat preposisi nengenai pihak mana yang benar. Sebab, ketika media memelintir isu, siapa toh yang benarbenar tahu? Belum lagi bila dikaitkan dengan konspirasi-manipulasi-apalah-itu. Seperti biasa, Bung, kalau kata konspirasi sudah disinggung, itu sama artinya dengan mempertanyakan bilangan infinity yang kita pelajari SMA dulu: tak berujung—baik kemungkinan maupun kebenarannya (tentu, dalam berbagai versi masing-masing).
Apa, Bung? Siapa yang salah? Hmm, mungkin semuanya. Panjangnya usia perselisihanperselisihan itu Bung, bisa salah dia, bisa salah keduanya, bisa juga salah kita.
Omong-omong soal konspirasi, di Padepokan tempat Bung juga ada obrolan serupa, kan? Iya benar, isu lama itu. Tapi tunggu, jangan naik pitam dulu, saya tak berniat menceramahi Bung dengan keberpihakan. Tahu apalah saya ini? Saya cuma geli, kok bisa-bisanya isu yang katanya jadi rahasia umum ini bertahan sampai sekian tahun. Kan nggak logis, begitu. Ketidaklogisan ini tidak cuma berlaku untuk isu rezim itu lho Bung, tapi juga sebagian besar kabar pembangkit emosi lainnya. Masalah-masalah nasional yang debatnya berkepanjangan tapi tanpa penyelesaian, misalnya. Nah, kenapa saya bilang isu-isu itu bikin geli? Begini, Bung sendiri kan bilang supaya hidup tak usah dibikin susah. Waktu itu, Bung berkata bahwa sebenarnya semua sudah dalam
logika. Kalau lapar, makan. Haus? Minum. Ada masalah? Selesaikan. Jika berselisih paham, mediasikan. Duduk bersama, adu bukti dan argumen secara terbuka, temukan titik permasalahan. Ngobrol begitu toh tak bakal sampai berbulan-bulan kan, Bung? Kecuali, jika kedua pihak yang bermasalah tadi memang betah mempertahankan ketidaksepahaman sampai hitungan tahun...ah, senang bermusuhan betul tampaknya ya, hahaha.
Dia yang menuduh, mengeluarkan lebih banyak tenaga untuk menghimpun pengikut daripada untuk terjun langsung menyelesaikan. Gemar berkata bahwa ada banyak bukti tuduhan. Wah, kalau cuma mengaku punya bukti sih, saya dan Bung juga bisa. Mengaku lho, Bung, bukan memaparkan. Oh, masih dirasa kurang tepat? Iya, iya, nih, saya koreksi: (mungkin) belum memaparkan. Tapi, entah kapan mau memaparkan. Mungkin bertahun-tahun lagi, seperti sebelumnya. Harapan kita sederhana saja kan, Bung? Semoga buktinya terpapar, supaya masalah lekas kelar. Bukti yang masuk akal dan terverifikasi. Misalnya, misal lho ini, jika argumen kecurigaan cuma dan hanya berdasar kolusi si A teman si B, ya berarti nanti tinggal keluarkan undang-undang yang melarang para pejabat berteman. Haram itu! Jadi, pokoknya Bung, calon pejabat baru nanti tidak boleh
63
satire saling mengenal. Sama sekali! Apalagi satu kos atau satu organisasi. Lalu, bagaimana mengaturnya? Tanyakan pada yang curiga.
Eh? Memojokkan pengunjuk rasa? Lhah, tulisan ini kan juga bagian dari unjuk rasa to? Sesama.
Oh, unjuk pendapat tentu tidak salah. Hanya, bisa bahaya ketika kita lupa bahwa mengumbar kata atau curiga itu hanya sepersekian langkah. Lho, bahaya bagaimana? Nah, ini pertanyaan lucu. Macam orang bikin bola salju lalu bolanya digelundungkan. Masalah bola lari ke mana, lupakan. Bukan urusan. Kan yang penting melangkah, menyuarakan dulu? Benar begitu, kan? Bung masih ingat, isu Ndoro Bei yang kemarin katanya minta naik gaji? Seketika jejaring sosial saya banjir cacian gara-gara itu. Tetapi dari segala makian tersebut, tak ada yang mencantumkan konteks kutipan ucapan prihatin “gaji tak naik-naik” yang jadi asal mula hujatan. Dari berita pun sama saja, cuma satu-dua yang menjelaskan konteks lengkap sepenggal kalimat tadi yang ternyata jauh panggang dari api. Sisanya? Bapak A Ibu B ramai berkomentar. Sengaja dicari yang pro untuk ditabrakkan dengan suara kontra. Mungkin awalnya hanya untuk bersuara, tapi para pemirsa yang lebih berbakat dan berminat (atau terbiasa?) menjadi penonton sinetron, kontan menyambar mentah-mentah. Hasil akhirnya? Ya cuma sumpah serapah. Tentu, saya tahu Bung juga bosan dengan siklus yang berulang macam sidang dewan: masalah diangkat, kalimat-kalimat indah dipuisikan, hasil tetap tak memuaskan. Mungkin, mungkin lho Bung, lama-lama muncul kecurigaan bahwa tujuan pertama penghujat bocor yang berkoarkoar itu bukan mencari solusi, melainkan menarik mata produser reality show merangkap kontes tarik suara. Lha wong yang paling kelihatan semangat ya saat unjuk suara itu lho Bung, menggebu-gebu sekali. Bagaimana kita tidak curiga? Kecuali, Bung, kalau usaha yang tercurah untuk berlama mengumbar nafas tadi setara dengan semangat memecahkan masalah secara logis. Nyata dan tak sekedar dunia maya.
Pada intinya, tak hanya para penuduh yang punya tanggung jawab dalam mempertahankan panjang umur suatu isu. Yang dituduh, tahu ada tuduhan tapi mendiamkan pun sama besar andilnya. Sementara kita tahu, hening mungkin bisa membuat lupa, tapi tak akan menyelesaikan. Menunggu dan bergantung pada lupa, lalu ‘menutup’ kasus dengan membiarkannya lepas dari sorotan publik? Ah, klise. Mungkin yang tertuduh tapi diam itu tak ingat, bahwa ada tanggung jawab untuk tiap pendengar yang ikut terhasut tuduhan yang tanpa sangkalan tersebut. Padahal, katanya, wajib menghindari situasi yang berpotensi menimbulkan prasangka, dan klarifikasi segera itu perlu! Walau pasang posisi sebagai korban, bukan berarti kabar berhenti beredar. Emosi toh bergeming pada diam. Aneh juga kan, Bung? Korban kok melanggengkan fitnah yang katanya ia benci. Apa kemarin kau bilang, Bung? Macam batu berharap hentikan angin? Nah, ya, kira-kira demikian itu. Lucu memang. Ah, berarti ternyata Padepokan Bung canggih juga. Sedari dini sudah meniru para pejabat yang multibakat sebagai politikus merangkap entertainer. Sudah ada cabang seninya lho bidang politik yang satu ini. Namanya: politik pantun! Bagus, bukan? Cukup beradu sajak bermuatan politis, jadilah. Kemampuan yang disyaratkan pun hanya pintar memilih diksi dan menarik perhatian. Makin heboh drama, makin bahagia pemirsanya. Hanya, mungkin seperti kicau Bung dulu itu: pada pertikaian, sisi “pertentangan dan siapa yang menang” itu sendiri selalu lebih menarik daripada solusi. Tapi, mbok sebelum larut pada kebanggaan sebagai tukang berargumen bergelar aktivis-antiapatis-idealis, ada satu alur yang harus mendasari tiap langkah: logis. Kenapa? Supaya ketika ditanya tujuan, Padepokan tak mesti tersesat pada pertentangan, berpaling mencari rumput yang bergoyang, atau produser reality show.
64
www.mediacenterstan.com
Temukan Kebebasan Pemberitaan Tanpa Intervensi
65
66