BioSMART Volume 1, Nomor 2 Halaman: 28-33
ISSN: 1411-321X Oktober 1999
Distribusi Jenis-jenis Flora Penyusun Hutan Mangrove di Segara Anakan Cilacap ARI SUSILOWATI Jurusan Biologi FMIPA UNS
ABSTRAK The objectives of this research were to find out mangrove diversity, distribution and composition in Segara Anakan mangrove forest. Field works guided by 1963 topographic map, revised from 1945 map made by US Army Services, and completed with areal photo took in 1986. The area of this study was silting area, which was divided into 7 study areas, i.e. (i) Motehan, (ii) Pal Bujang, (iii) Muara Dua, (iv) Panikel, (v) Karanganyar, (vi) Cibeureum and (vii) Klaces. Sampling was determined subjectively in it sites sampling using square method. Sampling square for tree 10X10 m2, seedling 4X4 m2, herb 1X1 m2 (Oosting, 1956). Every species found in each square was listed, counted, and diameter of trees and seedling were measured. In this research, 13 species of mangrove that can be grouped into 10 families were found. The distribution and the composition of mangrove of each area were closely similar, but specific and vary between areas. Along site the coastal line to the land, the mangrove forest was subsequently composed of pioneer species of Avicennia marina and Sonneratia, followed by Rhizophora, Xylocarpus granatum, Xylocarpus maluccensis, then Hiriteria littoralis. Key words: distribution, mangrove forest, Segara Anakan
PENDAHULUAN Hutan yang terdapat di rawa payau disebut vloedbosh, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan mangrove. Istilah yang paling sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau (Kartawinata, 1978). Mangrove merupakan hutan pantai yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis, terdiri dari berbagai familia yang memiliki persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang spesifik. Ekosistem ini dipengaruhi faktor-faktor fisik seperti aliran sungai, pasang surut, aliran laut dan faktor biologi seperti produksi serasah dan dekomposisi, serta semua mekanisme yang mengatur kecepatan pemasukan, pengeluaran dan penyimpanan material organik dan anorganik (Sukardjo, 1985). Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4,25 juta hektar, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Irian Jaya. Di Segara Anakan Cilacap luasnya mencapai 15,145 hektar (Wirjodarmodjo dkk., 1979). Lebar hutan mangrove dapat mencapai beberapa kilometer. Vegetasinya dapat berupa pohon, semak atau herba (semai) yang telah beradaptasi secara morfologi dan fisiologi. Biasanya memiliki daun tebal dan mengkilat. Spesies yang tumbuh di bibir pantai relatif berhabitus rendah, sedang yang jauh relatif tinggi. Formasi hutan mangrove terdiri dari Sonneratia di tepi pantai, diikuti Rhizopora dan Bruguiera. Pada perbatasan hutan mangrove dan rawa air tawar tumbuh Nypa (Arief, 1994; Soekardjo, 1985; Odum, 1971). Struktur flora hutan mangrove di Indonesia terdiri dari 35 jenis pohon, 9 jenis herba, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, 2 jenis parasit dan 5 jenis perdu. Segara Anakan adalah suatu wilayah ekosistem hutan mangrove yang sangat menarik untuk dipelajari karena keadaan geografinya mendukung terbentuknya daerah ekosistem hutan mangrove yang dinamis (Sukardjo, 1985).
Hutan mangrove yang terletak tepat di muara sungai memiliki produktivitas paling tinggi karena adanya masukan bahan organik bercampur lumpur dari sungai dan mineral dari laut, sehingga muara sungai sering membentuk delta luas yang cocok untuk habitat mangrove (Barbour dkk., 1983; Goldman dan Horne, 1983; Odum 1971). Nilai produktivitas hutan mangrove diperkirakan 20 kali lebih tinggi dari pada produktivitas laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari pada perairan pantai. Sekitar 80% ikan-ikan komersial yang tertangkap di beberapa perairan pantai, memiliki hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat di dalam ekosistem hutan mangrove. Diperkirakan 70% siklus hidup udang dan ikan yang tertangkap di estuari berada dalam tegakan hutan mangrove (Soeroyo, 1987). Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air laut, menahan limbah serta merupakan tempat lahirnya benih ikan, udang, kerang, tempat bersarang burung dan biota lain. Juga berfungsi sebagai sumber bahan bakar, bangunan, bahan makanan, obat-obatan dan lain-lain (Arief, 1994; Tanaka, 1992; Howe dkk., 1992). Di Indonesia nilai hutan mangrove pada sektor perhutanan dan perikanan telah banyak dikenal dan diaplikasikan. Pendekatan ekologi untuk pemanfaatan hutan ini telah banyak dilakukan, tetapi harus diakui bahwa pemahaman biologi hutan mangrove dan komunitasnya masih minim dan jarang diungkapkan (Sukardjo, 1985). Ekologi dan Biologi Hutan mangrove telah menarik perhatian berbagai ahli biologi sejak abad 19 terutama karena kekhasannya, yaitu hadirnya berbagai macam bentuk akar seperti akar napas, akar tunjang/jangkar dan akar lutut. Akar napas digunakan untuk mengambil oksigen dan akar tunjang untuk pemancang (Mac-Kinnon, 1986; Odum, 1971). © 1999 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
SUSILOWATI - Distribusi Jenis-jenis Flora Hutan Mangrove
Sebagai daerah batas antara perairan laut dan darat, ekosistem hutan mangrove mengalami perubahan gradien lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan, terutama temperatur dan salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor tersebut yang dapat bertahan dan berkembang biak. Sehingga keanekaragaman jenis biota hutan mangrove kecil, meskipun kerapatannya tinggi (Kartawinata, 1978). Pada kondisi demikian akumulasi lumpur (silt) dan unsur hara cukup tinggi, sehingga subur dan hutan mangrove muda dapat tumbuh sempurna menetap pada area yang semula hanya merupakan gundukan lumpur. Hutan mangrove tumbuh dengan baik pada tanah bertipe lumpur atau campuran lumpur dan pasir. Serta menyukai keadaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya penimbunan lumpur dan perluasan lahan (Sukardjo, 1985). Setiap jenis biota di hutan mangrove memiliki kisaran toleransi ekologi tertentu terhadap faktor-faktor lingkungan. Dan masing-masing mempunyai relung khusus. Hal ini menyebabkan terbentuknya zonasi berbagai macam komunitas, sehingga komposisi jenis hutan mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan hutan mangrove adalah (Kartawinata, 1978; Payne, 1986; Steenis, 1958): 1. Tipe tanah: keras atau lembek, perbandingan kandungan pasir dan tanah liat. 2. Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata setiap tahun. 3. Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak. 4. Keberhasilan perkecambahan dan pertumbuhan semai. Distribusi dan Zonasi Menurut Watson (1958) pengaruh pasang surut terhadap penyebaran jenis-jenis tumbuhan mangrove menghasilkan klasifikasi habitat berdasarkan sifat pasang air laut dan tumbuhan yang dominan. Ada lima kelas habitat, yaitu: • Kelas I: digenangi air setiap terjadi air pasang (all high tide), genangan setiap bulan 56 sampai 62 kali. Di tempat ini jarang ditemukan tumbuhan, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai. • Kelas II: digenangi air pasang agak besar (medium high tide). Ditempat ini tumbuh Avicennia dan Sonneratia, sedang pada perbatasan dengan sungai R.mucronata ditemukan sangat melimpah. • Kelas III: digenangi air pasang rata-rata (normal high tide). Mencakup sebagian besar hutan mangrove. Tempat ini ditumbuhi R.mucronata, R.apiculata, Ceriopstaga dan Bruguiera parviflora. • Kelas IV: digenangi pasang perbani (spring tide). Tempat ini didominasi Bruguiera. Pada lumpur yang keras B.cylindrica membentuk tegakan murni sedang pada tempat yang drainasenya baik tumbuh B.parviflora. Kadang-kadang dengan B.sexangula. • Kelas V: kadang-kadang digenangi pasang tertinggi (exceptional or quinoctial tides). Di tempat ini Bruguiera morrhiza berkembang dengan baik, sering bersama-sama dengan pakis dan kadang-kadang R.apiculata. Dari habitat ini ke arah darat sering dijumpai tegakan Oncosperma filamentosa.
29
Zonasi di hutan mangrove terbentuk sebagai tanggapan terhadap perubahan lamanya waktu penggenangan air laut, salinitas tanah, intensitas sinar matahari, aliran pasang-surut dan aliran air tawar dari sungai. Setiap faktor ini berubah sepanjang transek mulai dari tepi laut sampai kedalaman hutan. Keadaan ini juga berbeda dari satu tempat ke tempat lain dalam satu sistem muara sungai. Setiap zona diidentifikasi berdasarkan individu atau kelompok jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan dan dinamai sesuai dengan jenis tumbuhan yang dominan atau sangat melimpah. Tidak semua jenis tumbuhan mangrove terdapat di setiap tipe komunitas dan kemelimpahan jenis pada setiap komunitas berbedabeda tergantung faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Di samping itu zonasi hutan mangrove juga berbeda komposisi flora dan struktur hutannya (Sukardjo, 1985). Adaptasi dan Reproduksi Keadaan habitat vegetasi mangrove yang ekstrim telah menimbulkan berbagai asumsi tentang fisiologinya. Hutan mangrove dapat digolongkan dalam kelompok vegetasi xerofit dengan asumsi kandungan garam dalam air tinggi, transpirasi tinggi dan pertumbuhan lambat, yang dihubungkan dengan adanya adaptasi morfologi terhadap keadaan kekeringan (xerophil) yaitu daun tebal dan berbulu dengan kutikula dan epidermis menebal, stomata tenggelam dan jaringan air berdinding tipis. Hal ini terjadi karena kadar garam dan transpirasi yang tinggi menyebabkan tumbuhan kekurangan air, sehingga pertumbuhannya lambat dan kerdil (Kartawinata, 1978). Untuk mengatasi tingginya salinitas, vegetasi hutan mangrove melakukan berbagai cara. Beberapa jenis tumbuhan menyimpan sementara garam di dalam jaringan lalu mengeluarkannya melalui kelenjar-kelenjar khusus pada daun. Sebagian jenis tumbuhan lain menyimpan garam dalam jaringan daun tua yang akan segera gugur (Sukardjo, 1985). Tumbuhan bakau memiliki berbagai bentuk sistem perakaran yang khas yang merupakan bentuk adaptasi terhadap habitatnya. Antara lain akar lutut, akar tunjang dan akar horizontal yang dilengkapi dengan peneumatophora berbentuk pasak, berbentuk kerucut dan mengalami penebalan di bagian atas (Whitten dkk., 1984; 1987). Menurut Snaedake (1982) kelestarian hutan mangrove yang alami tergantung pada peremajaan alami hutan itu sendiri. Peremajaan ini berlangsung melalui penyebaran dan pertumbuhan semai (buah, biji atau hipokotil). Propagule semua jenis tumbuhan mangrove ini berpelampung, sehingga apabila jatuh ke dalam air akan mengapung. Hal ini sangat penting untuk pemencaran serta memberi kesempatan bagi tumbuhan mangrove muda untuk menemukan tempat yang cocok bagi pertumbuhannya (Sukardjo, 1985). Hampir semua tumbuhan mangrove memerlukan sinar matahari penuh untuk tumbuh optimum, sehingga tumbuhan muda harus bebas dari naungan pohon induk. Tumbuhan muda juga harus mampu berakar dengan cepat agar tidak terbawa arus ke perairan dalam atau pantai yang kondisinya tidak sesuai. Tumbuhan mangrove banyak yang bersifat vivipar, yaitu biji berkecambah di pohon induk sebelum jatuh (Sukardjo, 1985).
30
BioSMART Vol. 1, No. 2, Oktober 1999, hal. 28-33
BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan adalah metode kuadrat dengan penentuan area sampling secara subjektif. Prosedur penelitian ini meliputi pengambilan sampel di lapangan, berupa keanekaragaman jenis, distribusi dan komposisi flora hutan mangrove, serta analisis vegetasi di laboratorium, terutama untuk mendapatkan nilai penting dan indek diversitas. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel meliputi rol meter digunakan untuk menentukan jarak dan mengukur luas plot. Tali rafia dan pasak untuk membuat plot. Kantung plastik untuk tempat menyimpan sementara jenis tumbuhan yang belum diketahui identitasnya. Etiket gantung, kertas koran, sasak dan isolasi untuk membuat herbarium dari jenis yang belum diketahui namanya. Hand counter untuk menghitung cacah individu. Bendera untuk menandai luas plot. Field guide untuk identifikasi spesies yang ditemukan. Peta lokasi untuk mengetahui luas areal kajian serta orientasi segmentasi. Perahu tempel sebagai alat transportasi ke areal kajian. Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Cara Kerja Pengambilan Sampel Orientasi lapangan dilakukan dengan bantuan peta topografi tahun 1963 yang merupakan revisi peta tahun 1943 dari US Army Services dan foto udara tahun 1985. Area kajian merupakan daerah pelumpuran dan mengalami perluasan sedimentasi. Daerah ini meliputi tujuh stasiun, yaitu: stasiun I: Motehan, stasiun II: Palbujang, stasiun III: Muara Dua, stasiun IV: Panikel, stasiun V: Karanganyar, stasiun VI: Cibeureum dan stasiun VII: Klaces. Area sampling tiap stasiun ditentukan secara subjektif, dilakukan dengan metode kuadrat. Luas kuadrat untuk pohon 10X10 m2, anak pohon 4X4 m2, semai (masih berbentuk herba) 1X1 m2 (Oosting, 1956). Setiap stasiun diplot sebanyak 30 kali (Mueller dan Dumbois, 1974). Pada setiap kuadrat dihitung jumlah jenis, cacah individu setiap jenis, serta diameter pohon dan anak pohon. Identifikasi tumbuhan di lapangan menggunakan pustaka/fiels guide Backer dan Posthumus (1939). Spesies yang tidak teridentifikasi di lapangan, diidentifikasi kembali di laboratorium menggunakan pustaka Backer dan Bakhuizen van den Brink (1968). Analisis Vegetasi (Krebs, 1972; Odum, 1971) • Densitas suatu spesies adalah jumlah individu suatu spesies dibagi luas area kajian. • Densitas relatif adalah persentase perbandingan densitas suatu spesies dengan densitas total seluruh spesies. • Frekuensi spesies adalah adanya spesies ditemukan dalam plot dibagi banyaknya plot. • Frekuensi relatif adalah persentase perbandingan antara frekuensi suatu spesies dengan frekuensi seluruh spesies. • Dominasi spesies adalah total basal area. Untuk pohon dan anak pohon digunakan pengukuran basal area dengan rumus: basal area = πr2, dimana r adalah jari-jari pohon atau anak pohon.
• Dominasi relatif adalah persentase perbandingan antara dominasi setiap spesies dengan dominasi total seluruh spesies. • Nilai penting adalah jumlah nilai relatif dari densitas, frekuensi dan dominasi. • Indek diversitas menurut Shannon-Weiner adalah s
ID = Σ (pi) (log2pi) I=1
Dimana: s = macam spesies Pi = cacah individu tiap spesies dibagi cacah total individu seluruh spesies. HASIL DAN PEMBAHASAN Komunitas hutan mangrove memiliki keunikan dan kekhasan yang disebabkan habitatnya yang labil dan berlumpur. Luapan air tawar dari sungai-sungai dan aliran air laut yang masuk merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan mangrove. Pelumpuran yang terjadi di Segara Anakan berasal dari Sungai Cibeureum, Sungai Cikujang, Sungai Banyumanis, Sungai Citanduy dan Sungai Panikel serta dari luapan air laut yang masuk daerah tersebut melalui Kali Kuning di sebelah timur dan melalui Majingklak di barat. Stasiun I (Motehan) dan stasiun V (Karanganyar) merupakan daerah yang berhadapan dengan muara, namun pelumpuran dan perluasan lahan yang terjadi tidak begitu besar, secara umum daerah tersebut menerima genangan air laut pasang melalui Kali Kuning. Sedang pada stasiun II (Palbujang) dan stasiun III (Muara Dua) pelumpuran dan perluasan lahan terjadi dengan cepat dan luas. Hal ini disebabkan sungai-sungai yang masuk membawa sedimen, di samping hempasan air laut pasang tidak begitu besar sehingga memungkinkan
SUSILOWATI - Distribusi Jenis-jenis Flora Hutan Mangrove
31
Tabel 1. Distribusi jenis-jenis pohon pada setiap stasiun di Segara Anakan beserta nilai pentingnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Jenis Avicennia marina Corchorus aestuans Hiriteria litioralis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia caseolaris Sonneratia cidalini Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis
I Motehan 107,409 62,418 34,401 31,915 59,236 1,342 3,226
II Palbujang 131,671 34,286 38,687 1,663 47,322 44,421 1,996
terjadinya pengendapan sedimen. Stasiun IV (Panikel), stasiun VI (Cibeureum) dan stasiun VII (Klaces), merupakan daerah yang sudah mantap, meskipun penambahan pelumpuran masih terjadi. Semua stasiun yang diteliti mengalami genangan yang disebabkan air pasang yang berlangsung dua kali sehari. Komposisi flora hutan mangrove di Segara Anakan terdiri dari 13 jenis dari 10 familia. Di samping itu ditemukan pula beberapa jenis tumbuhan rumput rawa payau yang tumbuh di bagian dalam hutan, berbatasan dengan lahan pertanian atau area tambak. Tegakan hutan mangrove di Segara Anakan pada umumnya masih baik. Jenis-jenis tumbuhan penghuni tegakan hutan ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok utama terdiri dari Rhizophora, Sonneratia dan Avicennia, serta kelompok tambahan yang terdiri dari X.moluccensis, X.granatum, Heriteria littoralis dan Aegisceras. Secara umum pemencaran semai (buah, biji atau hipikotil) tumbuhan mangrove dilakukan oleh air, tetapi mekanismenya dipengaruhi biologi pembungaan jenis, kemampuan regenerasi, kisaran toleransi ekologi serta karakteristik komunitas dan habitatnya. Cara pemencaran propagule yang berbeda-beda karena perbedaan ukuran, bobot, bentuk, daya apung, jumlah dan lokasi tumbuhan induk asal akan menyebabkan perbedaan lokasi penyebaran. Penyebaran tumbuhan mangrove memperlihatkan zonasi jenis-jenis yang dominan. Pada hutan mangrove yang luas terlihat pola zonasi jenis dominan sejajar garis pantai. Zonasi ini umumnya tergantung gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dari laut ke darat.
III Muara Dua 202,989 2,704 30,676 63,679 -
Stasiun IV Panikel -
V Karanganyar
189,908 12,775 4,685 3,543 10,010 75,646 3,449
VI Cibeureum 89,327 12,480 27,185 17,926 133,908 4,993 -
VII Klaces 202,989 21,706 64,890 22,397 12,197 -
Penyebaran tumbuhan mangrove khas, tetapi tidak menunjukkan pola yang tetap. Hal ini dapat dilihat dari penyebaran (keberadaan tumbuhan) pada setiap stasiun. Pada stasiun I (Motehan) dan stasiun V (Karanganyar), yang berhadapan dengan laut, Avicennia tumbuh di bagian paling luar (tepi), di selingi pohon-pohon dari genus Sonneratia yang tumbuh pada daerah yang selalu basah. Keadaan ini hampir sama dengan keadaan di stasiun II (Palbujang) dan stasiun III (Muara Dua), Sonneratia dan Avicennia cukup dominan, meskipun cacah individunya lebih sedikit karena kondisi daerah tersebut masih labil serta masih mengalami pelumpuran dan perluasan lahan. Jenis-jenis pioner ini mampu bertahan dan tumbuh berkembang. Umumnya sesudah zona pioner terdapat zona R.apiculata. Jenis ini khas di parit-parit alam. Hal ini dapat dilihat secara umum pada semua stasiun kecuali di stasiun IV (Panikel) dan stasiun VI (Cibeureum). Ke arah lebih dalam (mendekati daratan), dimana kondisinya agak basah dan lumpur mulai keras, hutan mangrove didominasi R.mucronata. Selanjutnya pada daerah peralihan antara hutan mangrove dan hutan daratan ditemukan X.granatum, X.moluccensis dan Hiritieria littoralis. Pohon-pohon tersebut memiliki ukuran batang besar dengan tinggi dapat mencapai lebih dari 12 m, keadaan ini terdapat pada stasiun VI (Cibeureum) dan stasiun VII (Klaces). Berdasarkan pertumbuhan anak pohon terlihat peremajaan hutan mangrove di Segara Anakan dalam kondisi cukup baik. Komposisi jenis anak pohon terdiri dari 9 jenis dan distribusinya disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi jenis-jenis anak pohon pada setiap stasiun di Segara Anakan beserta nilai pentingnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Jenis Avicennia marina Corchorus aestuans Hiriteria litioralis Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia caseolaris Sonneratia cidalini Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis
I Motehan 49,513 135,681 17,891 3,225 22,324 68,624 2,738
II Palbujang 21,950 135,992 33,954 7,437 21,743 74,298 4,622
III Muara Dua 35,386 4,840 22,721 75,713 22,840 138,497 -
Stasiun IV Panikel 18,954 281,045 -
V Karanganyar 87,436 52,921 18,657 19,995 37,162 1,689 82,136
VI Cibeureum 102,461 45,215 35,387 109,108 -
VII Klaces 3,808 114,525 1,950 4,002 156,179 5,536 4,167 9,829
BioSMART Vol. 1, No. 2, Oktober 1999, hal. 28-33
32
Tabel 3. Distribusi jenis-jenis semai (herba) pada setiap stasiun di Segara Anakan beserta nilai pentingnya No.
Nama Jenis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I Motehan 106,571 5,836 9,512 10,040 12,274 55,765 -
Aegisceras sp. Ayam-ayaman *) Avicennia marina Corchorus aestuans Hiriteria litioralis Jeruk-jerukan *) Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia caseolaris Sonneratia cidalini Tasmak *) Xylocarpus moluccensis
II Palbujang 124,162 2,369 5,317 17,068 27,642 17,445 5,993
III Muara Dua 158,197 2,910 2,336 16,886 19,669 -
Stasiun IV Panikel 171,711 2,543 25,745 -
V Karanganyar
112,014 4,038 -
VI Cibeureum 127,169 3,264 3,116 -
VII Klaces 78,760 3,876 5,834 36,430 2,809 72,288 -
Keterangan: *) belum teridentifikasi
Dengan melihat keberadaan anak pohon dapat diketahui bahwa dinamika perluasan dan kestabilan lahan mempengaruhi peremajaan pohon. Kondisi ini dapat dilihat pada stasiun VII (Klaces) dimana Avicennia sebagai tanaman pioner pada strata pohon sangat dominan, tetapi pada strata anak pohon tidak lagi dominan, dilihat dari kecilnya nilai penting. Keberadaan Avicennia ini tergusur oleh R.mucronata yang lebih sesuai dengan kondisi di daerah tersebut. Keadaan semai di beberapa tempat di arera sampel disajikan pada tabel 3. Pada dasarnya kelompok semai (herba) dapat dibagi menjadi 3, berdasarkan keanekaragaman jenis dan cacah individu. Kelompok I adalah semai-semai yang terdapat pada stasiun I (Motehan), stasiun II (Palbujang), stasiun III (Muara Dua), stasiun VI (Cibeureum) mempunyai macam jenis dan cacah individu relatif banyak. Kelompok II terdapat pada stasiun IV (Panikel) dan stasiun V (Karanganyar) mempunyai keanekaragaman jenis relatif kecil, tetapi cacah individunya cukup besar. Kelompok III di stasiun VII (Klaces) mempunyai keanekaragaman jenis cukup banyak, tetapi cacah individu tiap jenis kecil.
Pada kelompok I, semai-semai tumbuh baik karena banyaknya akumulasi lumput (silt) dan unsur-unsur hara, di samping itu intensitas sinar matahari yang tinggi dapat langsung diterima secara merata. Pada kelompok II, semai-semai tumbuh lebat pada daerah yang cukup stabil, dimana tanahnya cukup keras mendekati keadaan daratan. Pada kelompok ini semai-semai dari jenis tumbuhan pioner tidak ditemukan, hanya dijumpai Tasmak, Ayam-ayaman dan Aegisceras yang tumbuh dengan baik. Pada kelompok III, peremajaan tumbuhan mangrove cukup baik terlihat dari tingginya keanekaragaman jenis, meskipun tidak setinggi kelompok I. Indeks diversitas menurut Shannon-Weiner memberikan informasi keanekaragaman jenis pada komunitas. Jumlah jenis yang besar menunjukkan keanekaragaman yang tinggi dan keseimbangan penyebaran spesies penyusunnya. Keadaan ini menunjukkan kestabilan komunitas tersebut. Spesiesspesies penyusun masing-masing memiliki kemampuan mempertahankan keberadaannya.
Pohon Anak pohon 2,418 2,147
2,179
Semai(herba)
1,869 1,721
1,755
1,785 1,690
1,719 1,384 1,190
1,448 1,277 1,0
1,061
0,921 0,498
1,103 1,306
0,962 0,184 0,211
Gambar 2. Indeks diversitas pada setiap stasiun untuk pohon, anak pohon dan semai (herba)
Stasiun VII Klaces
Stasiun VI Cibeureum
Stasiun V
Karanganyar
Stasiun IV Panikel
Stasiun III Muara Dua
Stasiun II Palbujang
0 Stasiun I Motehan
Indeks Diversitas
2,0
SUSILOWATI - Distribusi Jenis-jenis Flora Hutan Mangrove
Pada kawasan Segara Anakan, indeks diversitas daerah yang berhadapan dengan muara, yaitu stasiun I (Motehan) dan II (Palbujang) besar, keanekaragaman jenis besar pada strata pohon, anak pohion dan semai (herba). Keadaan ini memungkinkan peremajaan alami dan kestabilan daerah tersebut dapat dipertahankan. Stasiun V (Karanganyar), VI (Cibeureum) dan VII (Klaces) masih dapat berkembang dengan peremajaan alaminya, dimana jumlah jeisnya tidak jauh berbeda dengan stasiun I dan II, meskipun cacah individunya lebih kecil. Stasiun IV (Panikel) memiliki kondisi lingkungan yang cenderung menuju kondisi pedalaman, sehingga tumbuhan mangrove kurang dapat berkembang. KESIMPULAN Dalam penelitian ini ditemukan 13 jenis tumbuhan mangrove berasal dari 10 familia. Pola distribusi dan komposisi tumbuhan pada setiap stasiun hampir sama dan khas, meskipun terdapat variasi. Dari pantai menuju daratan tersusun dari jenis-jenis pioner, A.marina dan Sonneratia, diikuti jenis-jenis Rhizophora, X.granatum, X.moluccensis dan H.littoralis. DAFTAR PUSTAKA Arief. A. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan.. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Backer. C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of Java. 3 volumes. Groningen: Wolters-Noordhoff N.V. Backer. C.A. dan O. Posthumus. 1939. Varenflora voor Java. Buitenzorg: Uitgave van‘s Lands Plantentuin.
33
Barbour. M.G. J.H. Bork dan W.D. Pitts. 1980. Terrestrial Plant Ecology. Menlo Park-Calif.: Benjamin Cumming Plublishing Inc. Kartawinata. K. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Proseding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove.Jakarta: MAP LON LIPI Krebs. J.C. 1972. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper and Row Publisher Goldmand. C.R. dan A.J. Horne. 1983. Limnology. New York: McGraw-Hill inc. Mac-Kinnon. K. 1986. Alam Asli Indonesia. Flora. Fauna dan Keserasian. Jakarta: PT. Gramedia. Mueller. D. dan H.E. Dumbois. 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Willey and Sons. Odum. E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3th edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Oosting. H.J. 1956. The Study of Plant Communities. An Introduction to Plant Ecology. 2nd edition. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Payne. A.I. 1986. The Ecologi of Tropical Lakes and Rivers. New York: John Wiley and Sons. Soeroyo. 1987. Aliran Energi pada Ekosistem Mangrove. Oceana 12 (2): 52-59 Sukardjo. S. 1985. Hutan Berair Melimpah di Indonesia. Oceana 2: 62–77 Sukardjo. S. 1985. Laguna dan Vegetasi Mangrove. Oceana 10 (4): 128-137 Sukardjo. S. 1985. Memahami Beberapa Aspek Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di Delta Cimanuk. Oceana 10 (4): 17-27 Tanaka. S. 1992. Bali Environment. The Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Whitten. A.J. J. Anwar. S.J. Damanik. N. Hisyam. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Whitten. A.J. M. Mustafa. G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wirjodarmodjo. H. S.D. Soeroso dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan Hutan Payau Cilacap. Proseding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI.