KOMPOSISI, KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI LARVA IKAN PADA ESTUARIA PELAWANGAN TIMUR SEGARA ANAKAN,CILACAP
ASTRI SURYANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Astri Suryandari C251090101
ABSTRACT
ASTRI SURYANDARI. Composition, Abundance and Distribution of Fish Larvae in Pelawangan Timur Esturine, Segara Anakan Cilacap. Under direction of M.MUKHLIS KAMAL and YUNIZAR ERNAWATI The sustainability of fish resources depends on survival rate of the larval phase. Larval phase are susceptible to environmental disturbances such as changes in water quality. The aims of this study are assess the composition, abundance and distribution of fish larvae in Pelawangan Timur estuarine. The methodolgy of this research is analytical description and fish larval samples were collected by larval net on June-August 2011. The results showed that total larval fish caught is 5186 consist of 21 families and 32 genera. Gobiidae is dominant of total catch (66.62%), followed by Engraulidae (10.72%), Clupeidae (9.99%) and Blennidae (7.60%). Dominant genera are Tridentiger (1836 ind/100m3), Rhinogobius (392 ind/100m3), Sardinella (316 ind/100m3), Omobranchus (301ind/100m3), Stolephorus (266 ind/100 m3), Engraulis (159 ind/100m3) and Herklotsichthys (79 ind/100 m3). Spatial abundance of fish larvae was highest at station III (Cigintung) and IV (Sapuregel). Tridentiger larval are found in all station with a high abundance compared to other genera, Stolephorus and Engraulis were abundant at station II (Donan), Sardinella and Herklotsichthys were abundant at station I (Muara Donan), Omobranchus (Blenniidae) larval were caught in all stations with lower abundace than Tridentiger. Tridentiger and Rhinogobius are residents in estuarine ecosystem and spawned during the observation. Clupeidae (Sardinella and Herklotsichthys) and Engraulidae (Stolephorus and Engraulis) migrated into the estuary waters at specific times associated with the spawning and nursery time. Tridentiger, Stolephorus and Engraulis larvae can survive in turbid condition. Sardinella and Herklotsichthys larvae were correlated to salinity and phytoplankton abundance. Key words: larval fish, composition, abundance, distribution, estuarine
RINGKASAN
ASTRI SURYANDARI. Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan di Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap Keberhasilan hidup pada fase larva menentukan keberhasilan rekrutmen dan ukuran stok sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria dengan hutan mangrove dan mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia serta masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya. Secara ekologis, estuaria memiliki fungsi sebagai derah asuhan (nursery ground) bagi larva berbagai jenis ikan laut. Sebagian dari siklus hidup ikan laut tergantung pada ekosistem estuaria. Namun demikian, ekosistem estuaria seperti Pelawangan Timur mengalami banyak tekanan akibat aktvitas antropogenik yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan serta sumberdaya perikanan yang ada di estuaria tersebut. Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama kurun waktu yang panjang berpengaruh pada komunitas larva ikan. Kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai habitat asuhan bagi larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan distribusi larva ikan serta kaitannya dengan karakteristik habitat di estuaria Pelawangan Timur. Penelitian berlangsung pada bulan Juni hingga Agustus 2011 di estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Penelitian dibagi kedalam 6 stasiun, penentuan stasiun didasarkan pada masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Pengambilan sampel larva ikan dilakukan dengan menggunakan jaring larva (Bonggo net) dengan diameter mulut jaring 60 cm dan mesh size 700µm, setiap 2 minggu sekali selama bulan Juni hingga Agustus. Selain pengambilan sampel larva ikan, dilakukan pula pengukuran parameter kualias air yang dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel larva ikan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah komunitas larva ikan yang meliputi komposisi dan kelimpahan jenis larva ikan, distribusi larva ikan baik secara temporal dan spasial. Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu air, kecerahan, kekeruhan (turbiditas), salinitas, pH, oksigen terlarut, NNitrat, orthoposfat, plankton dan kecepatan arus. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelimpahan (larva ikan), Analisis Nodul (distribusi larva ikan dan kaitannya dengan lingkungan), Analisis Komponen Utama (kondisi lingkungan perairan), korelasi Spearmanrank (hubungan antara parameter kualitas air dengan kepadatan larva ikan). Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus. Larva ikan famili Gobiidae merupakan yang terbanyak dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut adalah 1836 ind/100m3, 392 ind/100m3,, 316 ind/100m3, 301ind/100m3, 266 ind/100 m3, 159 ind/100m3 dan 79 ind/100m3. .
Kelimpahan larva ikan secara umum paling tinggi pada bulan Juni kemudian menurun pada bulan Juli dan Agustus. Jenis larva yang kelimpahannya tinggi adalah Tridentiger (Gobiidae). Larva Tridentiger dan Rhinogobius selalu tertangkap setiap bulan selama penelitian berlangsung. Larva ikan Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys) tertangkap hanya pada bulan Juli sedangkan larva ikan Engrulidae tertangkan dengan kelimpahan tinggi pada bulan Agustus. Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel. Larva ikan yang kelimpahannya tinggi pada kedua lokasi tersebut adalah larva Tridentiger dan Rhinogobius. Larva ikan Sardinella (Clupeidae) ditemukan melimpah pada bulan Juli di stasiun I, walaupun larva tersebut ditemukan pula di stasiun II, IV dan Vi namun dalam kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I, sedangkan larva ikan Herklotsichthys (Clupeidae) hanya ditemukan melimpah di stasiun I. Larva Omobranchus (Blennidae) tertangkap di semua stasiun dengan kelimpahan yang lebih rendah didandingkan Tridentiger. Secara morfologi, larva ikan yang tertangkap terdiri dari beberapa fase yakni preflexion, flexion dan postflexion. Dilihat dari bentuk morfologinya, larvalarva tersebut masih dalam tahap perkembangan. Nilai rata-rata kualitas air di semua stasiun di estuaria Pelawangan Timur selama penelitian cukup berfluktuasi. Kondisi parameter kualitas air masih dalam batas yang masih diperbolehkan untuk kehidupan biota air, kecuali untuk nilai kekeruhan yang cukup tinggi di beberapa waktu pengamatan. Berdasarkan analisis komponen utama terlihat bahwa stasiun I (Muara Donan) dicirikan oleh salinitas, pH, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang tinggi, arus yang besar serta kedalaman perairan yang dalam. Stasiun II dicirikan dengan oksigen terlarut dan kekeruhan yang tinggi, stasiun III dicirikan oleh suhu air yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Stasiun IV dicirikan oleh kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun V dicirikan oleh kandungan N-NO3 dan stasiun VI (Kembang Kuning) ditandai dengan kandungan ortofosfat yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva ikan dari famili Gobiidae seperti Tridentiger, Rhinogobius, memiliki sebaran yang luas di perairan estuaria Pelawangan Timur sedangkan Sardinella dan Herklotsichthys cenderung berada pada bagian estuari yang berhubungan dekat dengan laut. Stolephorusn dan Engraulis tersebar di perairan estuari namun memiliki kecenderungan berada pada bagian estuari yang dekat dengan mulut estuari. Larva Omobranchus tersebar di semua lokasi namun memiliki kecenderungan berada di stasiun I. Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki penyebaran yang luas di semua wilayah perairan Pelawangan Timur dan ditemukan sepanjang waktu penelitian dengan berbagai tahap morfologi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kedua jenis ikan tersebut merupakan ikan estuari Pelawangan Timur yang memijah sepanjang waktu penelitian berlangsung. Hasil analisis korelasi terhadap parameter lingkungan menunjukkan bahwa parameter kekeruhan berkorelasi posistif dengan kelimpahan larva Tridentiger. Hal tersebut menunjukkan bahwa larva ikan Tridentiger dapat hidup pada kondisi perairan yang keruh. Larva ikan famili Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys)) cenderung berada pada daerah estuaria bagian luar yang berhubungan dengan laut. Parameter lingkungan yang berperan terhadap keberadaan larva Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan fitoplankton. Larva Stolephorus tersebar di semua lokasi penelitian namun kelimpahan teritinggi terdapat di stasiun II (Donan) demikian pula dengan larv Engraulis. Analisis
korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva adalah suhu, kekeruhan dan arus, sedangkan parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan Engraulis adalah kekeruhan. Korelasi positif antara kekeruhan dan kelimpahan larva Stolephorus dan Engraulis menunjukkan bahwa kedua jenis larva tersebut masih dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh. Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki sebaran yang luas di estuaria Pelawangan Timur dan memijah sepanjang waktu penelitian. Larva ikan famili Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys) dan Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) cenderung berada pada bagian estuaria yang dekat dengan laut. Jenis tersebut merupakan ikan yang bermigrasi ke perairan estuaria pada waktu tertentu terkait dengan masa pemijahan dan pengasuhan larva sedangkan famili Gobiidae merupakan penghuni tetap perairan estuaria (sedentary) dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Parameter lingkungan yang berkorelasi positif terhadap keberadaan larva Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan fitoplankton. Kekeruhan perairan tidak menjadi penghalang bagi keberadaan larva Gobiidae (Tridentiger) dan larva Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) di estuaria tersebut.
Kata Kunci : larva ikan, komposisi, kelimpahan, distribusi, estuaria
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMPOSISI, KELIMPAHAN DAN DISTRIBUSI LARVA IKAN PADA ESTUARIA PELAWANGAN TIMUR SEGARA ANAKAN,CILACAP
ASTRI SURYANDARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Tesis
: Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan Pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap
Nama
: Astri Suryandari
NIM
: C251090101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc Ketua
Dr.Ir.Yunizar Ernawati,MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal ujian : 07 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWTatas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah dengan judul: Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva Ikan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap, berhasil diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian tesis ini, mulai dari tahap pelaksanaan penelitian, pengolahan data hingga penulisan hasil tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M.Mukhlis Kamal,MSc dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Didik Wahju Hendro Tjahjo selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran serta Bapak Dr. Ir. Enan M.Adiwilaga selaku ketua Program Studi yang berkenan memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan beserta rekan-rekan atas dukungan dan bantuan selama melaksanakan studi dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, suami serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP), staf administrasi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan rekan-rekan SDP 2009 serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis merasa bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga masih dibutuhkan penelitian serupa yang lebih lengkap dan sempurna. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberi kontribusi bagi pengembangan bidang ichtyoplankton di Indonesia. Bogor, Agustus 2012 Astri Suryandari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 9 Juli 1979 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Djoko Sasono dan Surtiningsih. Pada tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negri 12 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 2002. Penulis bekerja di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (BP2KSI) sejak tahun 2003 di Jatiluhur. Pada tahun 2006 penulis menikah dengan Nanang Widarmanto,S.Pi dan telah dikaruniai 1 orang putri yaitu Fadhillah Ahadiana Khairiani Tahun 2009 penulis diberi kesempatan tugas belajar program magister sains (S2) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Dalam usaha menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Komposisi, Kelimpahan dan Distribusi Larva IKan pada Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan, Cilacap”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………………………. xv DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………. xvi DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………….. xviii 1. PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 1.1 Latar Belakang………………………………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah………………………………………………………… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………..
1 1 2 4
2. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………… 2.1 Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan…………………………...... 2.2 Biologi Larva…………………………………………………………………. 2.3 Faktor-faktor Lingkugan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan.......................................................................... 2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan……………………… 2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan………….
5 5 6 9 10 12
3. METODE PENELITIAN…………………………………………………………. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………………….. 3.2 Alat dan Bahan………………………………………………………………. 3.3 Metode Kerja………………………………………………………………… 3.3.1 Prosedur Kerja di Lokasi Penelitian ……………………………….. Pengambilan dan Penanganan Sampel Larva Ikan di Lokasi…… Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan……………………... Pengumpulan Data Hasil Tangkapan………………………………. 3.3.2 Prosedur Kerja di Laboratorium…………………………………….. 3.4 Analisis Data…………………………………………………………………. 3.4.1 Komunitas Larva Ikan………………………………………………… Kelimpahan Larva Ikan………………………………………………. Indeks Keanekaragaman…………………………………………….. Indeks Keseragaman…………………………………………………. Indeks Dominasi………………………………………………………. 3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan………………………………………………………… 3.4.3 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan………………………. 3.4.4 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Larva Ikan…………….
14 14 16 16 16 16 17 18 18 20 20 20 21 21 22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………… 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan…………………………………….. 4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur………………………… 4.2.1 Kondisi Parameter BioFisika Kimia Perairan Pelawangan Timur… 4.2.2 Kondisi Parameter Biofisika Kimia Perairan Pelawangan Timur secara Spasial dan Temporal………………………………………… 4.2.3 Karakteristik Kondisi Lingkungan di Stasiun Penelitian……………. 4.3 Distribusi Larva Ikan………………………………………………………….. 4.4 Distribusi Larva Ikan dan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan….
26 26 32 32
22 24 25
36 39 42 46
4.5 Komposisi Jenis Ikan di Estuaria Pelawangan Timur…………………….. 4.6 Implikasi Penelitian Larva Ikan di Estuaria Pelawagan Timur bagi Pengelolaan Perikanan……………………………………………………….
54
5. SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………….. 5.1 Simpulan……………………………………………………………………… 5.2 Saran…………………………………………………………………………
58 58 58
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………
60
LAMPIRAN……………………………………………………………………………
67
55
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Lokasi stasiun pengambilan contoh ........................................................ 15
2.
Parameter serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian.. ....... 16
3.
Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan .............................. 26
4. 5. 6.
Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur.......... 33 Korelasi antar variabel lingkungan hasil analisis komponen utama ......... 39 Diagonalisasi Komponen Utama ............................................................. 40
7. Kelompok Larva Ikan Hasil Analisis Cluster ............................................ 48 8. Kelompok ikan berdasarkan siklus hidupnya di ekosistem estuaria ........ 54 9. Jenis dan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di Pelawangan Timur, Segara Anakan………………………………… 55
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Diagram alur perumusan masalah ..........................................................
4
2.
Tahap perkembangan morfologi larva ikan .............................................
8
3.
Peta lokasi ............................................................................................. 14
4.
Pengambilan dan penanganan sampel larva ikan .................................... 17
5.
Mikroskop yang digunakan untuk menyortir dan identifikasi; sampel larva yang disimpan dalam botol dengan pengawet alkohol……………………. …………………………………………………… 19
6.
Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan ........................... 20
7.
Komposisi famili larva ikan secara temporal ........................................... 29
8.
Komposisis famili larva ikan secara spasial ............................................. 29
9.
Komposisi morfologi larva ikan secara temporal ...................................... 20
10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi penelitian ................................................................................................. 32 11. Nilai kecerahan selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur……………………………………………...…. 36 12. Kecepatan arus selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur……………………....................................... 37 13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di pelawangan timur .................................................................................... 37 14. Nilai kekeruhan (turbiditas) selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur…………………...............
38
15. Kadar oksigen terlarut selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur................................................................... 38 16. Salinitas selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur .................................................................................. 39 xvi 17. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) ................................................................... 41
18. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3), .................................................................. 41 19. Distribusi larva ikan dominan di lokasi penelitian ..................................... 43 20. Komposisi morfologi larva ikan secara spasial ........................................ 44 21. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juni.................................................... 45 22. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli ..................................................... 46 23. Kelimpahan larva ikan pada bulan Agustus……………………………....... 46 24. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisika kimia perairan 47 25. Pengelompokan larva ikan dengan analisis cluster…………………….
48
26. Analisis nodul berdasarkan indeks constancy.............. ..........................
49
27. Analisis nodul berdasarkan indeks fidelity................................................
49
28. Peta kawasan lindung dan lokasi penelitian di Pelawangan Timur………. 56
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Kelimpahan Larva Ikan (ind/ 100 m3) di Stasiun I, II, III…………………. 67
2.
Kelimpahan Larva Ikan (ind/100 m3) di stasiu IV, V, VI........................... 68
3.
Kualitas Air Bulan Juni di Lokasi Penelitian............................................. 69
4.
Kualitas Air Bulan Juli di Lokasi Penelitian .............................................. 70
5.
Kualitas Air Bulan Agustus di Lokasi Penelitian ...................................... 71
6.
Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juni .................................... 72
7.
Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juli ...................................... 73
8.
Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Agustus ............................... 74
9.
Korelasi Spearman Larva Tridentiger dan Rhinogobius dengan parameter kualitas air……………………………………………….
75
10. Korelasi Spearman Engraulis dan Stolephorus dengan parameter kualitas air ........................................................................................................... 76 11. Korelasi Spearman Sardinella dan Herklotsichthys dengan parameter kualitas air…………………………………………………………………….. 77 12. Korelasi spearman Omobranchus dengan parameter kualitas air ........... 78 13. Foto Beberapa Larva Ikan ...................................................................... 79 14. Lokasi Penelitian..................................................................................... 80
xviii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberhasilan hidup pada fase larva menentukan keberhasilan rekrutmen dan ukuran stok sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Fase larva merupakan bagian dalam siklus hidup ikan yang rentan terhadap gangguan lingkungan seperti perubahan kualitas perairan. Dengan demikian kajian mengenai larva ikan beserta habitat dan dinamikanya menjadi salah satu unsur yang diperlukan bagi pengelolaan perikanan diantaranya
dalam penentuan
kawasan fisheries refugia ikan, pemantauan kelimpahan populasi ikan, pengembangan budidaya ikan, serta pemantauan kualitas lingkungan perairan (Mitchell, 1994; Quist et al.,2004; UNEP, 2007) Sebagian besar kelangsungan hidup ikan laut pada fase larva tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem estuaria. Estuaria merupakan wilyah pesisir semi tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Ekosistem estuaria dengan produktivitas yang tinggi merupakan salah satu habitat yang memiliki daya dukung untuk berkembangbiaknya berbagai jenis biota akuatik termasuk ikan. Ekosistem estuaria seringkali berasosiasi dengan hutan mangrove yang secara ekologi berperan sebagai habitat asuhan (nursery ground), habitat pemijahan (spawning ground) dan habitat mencari makan (feeding ground) bagi biota akuatik seperti ikan, udang dan gastropoda (Beck et al., 2001; Elliot and Hemingway, 2002; Tse et al., 2008). Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari ekosistem estuaria Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan ekosistem yang unik sebagai hasil interaksi antara ekosistem perairan laguna, hutan mangrove, daratan (termasuk Pulau Nusa Kambangan) dan ekosistem laut.
Estuaria
Pelawangan Timur dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan mendapat pasokan air tawar yang berasal dari Sungai Sapuregel, Donan dan Sungai Kembang Kuning. Selain itu, estuaria Pelawangan Timur juga memiliki vegetasi mangrove yang masih cukup baik. 1
Masukan air tawar dari beberapa aliran sungai di Pelawangan Timur membawa sedimen serta nutrien berupa bahan-bahan organik dan anorganik tersuspensi
yang
menyebabkan
kondisi
perairan
menjadi
keruh
dan
mempercepat pendangkalan. Perubahan kualitas perairan karena sedimentasi serta pencemaran dari hasil aktivitas antropogenik dan industri berpengaruh terhadap perkembangan telur dan larva ikan sehingga mengganggu keberhasilan rekrutmen dan keberlanjutan sumberdaya ikan (Griffin et al., 2009; Mc Kinley, et al., 2011). Penelitian mengenai larva ikan di Segara Anakan telah dilakukan oleh Nursid (2002) dan Sugiharto (2005). Hasil penelitian Nursid (2002) menyebutkan bahwa sebanyak 23 famili dan 38 genus larva ikan ditemukan di perairan laguna Segara Anakan dengan komposisi terbesar adalah larva Gobiidae kemudian Engraulidae dan Apogonidae. Menurut Nursid (2002) beberapa parameter lingkungan yang secara nyata berperan dalam kehidupan larva ikan adalah salinitas
dan
kekeruhan.
Penelitian
yang
dilakukan
Sugiharto
(2005)
mendapatkan sebanyak 12 jenis dari 4 famili larva ikan dengan komposisi yang terbesar adalah dari famili Gobiidae. Menurut Sugiharto (2005), kecepatan arus memegang peranan dalam keberadaan dan sebaran larva ikan sedangkan faktor fisik-kimia air lainnya seperti kekeruhan, salinitas, oksigen terlarut dan temperatur belum merupakan faktor yang berpengaruh pada distribusi larva. Perubahan kondisi perairan dan dinamika lingkungan memungkinkan adanya perubahan terhadap kehidupan larva termasuk jenis, kelimpahan dan sebarannya di estuaria, sehingga adanya penelitian berikutnya diharapkan dapat memberikan informasi terkini mengenai sumberdaya larva ikan dan fungsi ekologis ekosistem tersebut sebagai daerah asuhan. 1.2 Perumusan Masalah Daerah estuaria merupakan habitat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan laut (Velascho, 1996; Elliot and Hemingway, 2002; Bonecker et al.,2007). Estuaria Pelawangan Timur, Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dari Samudra Hindia dan masukan air tawar dari beberapa sungai di sekitarnya serta memiliki vegetasi mangrove. Sebagai ekosistem estuaria dengan komunitas mangrove, Segara Anakan merupakan habitat asuhan bagi berbagai jenis ikan (Dudley, 2000; Kohno dan Sulistiono 1994 dalam Sugiharto dkk., 2007). 2
Ekosistem estuaria secara alami selama kurun waktu tertentu dapat mengalami perubahan kondisi kualitas perairan seperti meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi yang disebabkan masukan air tawar dari daratan yang membawa sedimen serta bahan organik dan anorganik tersuspensi. Hal ini terjadi pula di perairan Pelawangan Timur. Meningkatnya kekeruhan (turbiditas) perairan dapat menghalangi penetrasi sinar matahari di perairan sehingga mengganggu proses fotosintesis fitoplankton yang merupakan sumber makanan bagi organisme akuatik termasuk larva ikan selain itu peningkatan turbiditas dan sedimen tersuspensi dapat mengurangi oksigen terlarut dalam kolom air sehingga mengganggu proses pernafasan bahkan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ward, 1992; Wilber and Clarke, 2001; North and Houde, 2001). Proses sedimentasi yang terus menerus mengakibatkan pendangkalan dan mempersempit ketersediaan habitat untuk bertelur, mengurangi aktivitas bertelur dan meningkatkan mortalitas telur dan larva ikan (Ryan, 1991). Selain proses alami, perubahan kualitas lingkungan estuaria semakin dipercepat oleh tekanan limbah dari kegiatan industri dan pemukiman di sekitarnya. Kawasan Pelawangan Timur terutama di sepanjang Donan sampai Kebon Sayur merupakan kawasan industri, pemukiman dan pelabuhan yang menghasilkan limbah ke perairan.
Masukan bahan organik dan anorganik dari aktivitas
tersebut yang berinteraksi dengan karakter fisik estuaria seperti pasang surut, masukan air tawar dari sungai dan angin semakin meningkatkan kekeruhan, sedimentasi serta eutrofikasi sehingga mempengaruhi kualitas perairan estuaria yang akhirnya mempengaruhi sintasan larva ikan. Keberhasilan larva ikan dalam bertahan hidup hingga mencapai tahap daur hidup selanjutnya menentukan proses rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok. Perubahan kondisi kualitas perairan estuaria Pelawangan Timur selama kurun waktu yang panjang tentunya berpengaruh pada komunitas larva ikan. Dengan demikian, kajian mengenai komunitas larva ikan diharapkan dapat pula memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan estuaria saat ini sebagai habitat larva ikan yang menjamin keberlanjutan stok ikan di perairan tersebut. Alur perumusan masalah dalam penelitian ini dideskripsikan pada Gambar 1 .
3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi, kelimpahan dan distribusi larva ikan di ekosistem estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Manfaat penelitian
adalah
untuk
menginventarisir
jenis
sumberdaya
ikan
serta
mengetahui karakteristik habitat jenis ikan yang hidup di daerah tersebut sebagai salah satu informasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Segara Anakan.
Ekosistem Estuaria Pelawangan Timur
I N P U T
P R O S E S O U T P U T
Proses Hidrodima nika: pasang surut,masu kan air tawar
Aktivitas Antropogenik: pelabuhan, industri,pemuki man
Faktor biofisik kimia Perairan
Kimia: Salinitas, DO, turbiditas, nitrat, ortofosfat
Fisika: arus, suhu, kecerah an
SD Larva Ikan: Sedentary, migratory, occasional Biologi: Fitoplankton, predator, competitor
Perubahan Kualitas Perairan Turbiditas, sedimentasi, eutrofikasi
Pertumbuhan Mortalitas Sintasan kelimpahan
Keberlanjutan Stok ikan estuaria Segara Anakan
Gambar 1. Alur perumusan masalah
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Estuaria Pelawangan Timur Segara Anakan Estuaria Pelawangan Timur merupakan bagian timur dari Kawasan
Segara Anakan, Cilacap. Segara Anakan merupakan satu-satunya ekosistem estuari dengan hutan mangrove yang terletak di Kabupaten Cilacap di selatan Jawa. Segara Anakan berhubungan dengan Samudra Hindia melalui dua buah inlet yaitu Pelawangan Barat dan Pelawangan Timur. Bagian barat Segara Anakan (Pelawangan Barat), terletak pada sudut barat daya laguna dimana lebar dan panjang salurannya lebih pendek dibandingkan bagian timur (Pelawangan Timur). Estuaria Pelawangan Timur merupakan cabang dari Sungai Kembang Kuning yang bersatu dengan Sungai Sapuregel dan Donan dan akhirnya bermuara di Teluk Penyu (Djuwito, 1985). Perairan Pelawangan Timur memiliki kedalaman air antara 5-10m (White et al.,1989). Inlet Pelawangan Timur merupakan
dekat dengan pelabuhan Cilacap dan
saluran yang menghubungkan laguna ke Samudera Hindia
(Jennerjahn et al., 2007). Perairan Pelawangan Timur
terdiri dari kawasan
lindung Sapuregel sampai wilayah Karang Bolong (ujung timur pulau Nusakambangan). Luas perairan kawasan lindung Pelawangan Timur ±650 Ha. Luas perairan Sapuregel ± 120 Ha dan perairan Kembang Kuning ± 40 Ha (Hadi, 1998 dalam
Sugiharto, 2005). Sedangkan perairan Donan sejak tahun 1978
ditetapkan sebagai kawasan lalu lintas kapal-kapal tanker sehingga kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di perairan tersebut tidak diijinkan lagi (Sugiharto, 2005). Hutan mangrove di Segara Anakan merupakan satu-satunya hutan mangrove yang utama di Pulau Jawa. Luas hutan mangrove di Segara Anakan sekitar 9.600 ha (Ardli, 2007). Sebanyak 26 jenis mangrove terdapat di Segara Anakan (Pribadi, 2007). Kawasan Sapuregel, Pelawangan Timur memiliki hutan mangrove dengan kerapatan yang cukup tebal dan terdiri dari beberapa spesies mangrove yang biasanya merupakan formasi dari hutan yang cukup matang dengan substrat yang stabil (Pribadi, 2007). Mangrove merupakan daerah makanan (feeding ground) dan asuhan (nursery ground) bagi beberapa jenis ikan dan udang baik ikan yang menetap di estuaria atau pun ikan laut yang 5
melakukan migrasi ke ekosistem mangrove dalam daur hidupnya (King, 2007; Laegdsgaard & Johnson, 2001). Perubahan kondisi lingkungan seperti
perubahan kawasan sekitar
perairan menjadi area pertanian banyak ditemukan di bagian barat Segara Anakan, namun demikian bagian timur juga mengalami masalah yang sama walaupun dalam skala yang lebih kecil (Ardli, 2007). Komunitas ikan di Segara Anakan cukup beragam. Sebanyak 45 jenis ikan yang termasuk dalam 37 famili ditemukan di Segara Anakan (Ecology team, 1984;Djuwito, 1985). Dari 45 jenis tersebut 17 jenis merupakan jenis ikan yang selalu melakukan migrasi (migratory species) ke Segara Anakan, 12 jenis merupakan jenis yang menetap (residential species) di perairan tersebut sedangkan 16 jenis lainnya merupakan jenis ikan yang sesekali memasuki perairan tersebut (Ecology team, 1984). Sedangkan menurut Dudley (2000), dari hasil tangkapan di Segara Anakan, diperoleh 60 jenis ikan dan ditemukan pula juvenile dari Scianidae, Leioghnatidae,
Anguillidae, Ariidae, Carangidae,
Clupeidae, Engraulidae, Haemulidae, Sparidae, Synodontidae, Teraponidae dan Trichiuridae.
2.2 Biologi Larva Ikan Dalam siklus hidupnya, ikan mengalami suatu fase yang disebut larva. Larva ikan merupakan fase atau tingkatan ikan setelah telur menetas. Awal daur hidup ikan meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (Effendie, 1997). Stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Larva ikan yang baru menetas ditandai dengan adanya yolk sac (kantong kuning telur) yang terletak di bagian bawah depan dan sebuah sirip tak berjari yang mengelilingi badan larva, mulai dari punggung, ekor sampai pada bagian bwah sebatas belakang anus. Pada beberapa jenis ikan batas sirip keliling terletak tepat di belakang kuning telur (Romimohtarto & Juwana, 2004). Secara garis besar, perkembangan larva dibagi menjadi dua fase yaitu prolarva dan post larva (Russel,1976 dalam Bensman,1990). Pro larva merupakan fase dimana larva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang fungsinya belum diketahui 6
(Gambar 2a). Sirip dada dan ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak mempunyai sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Sistem pernafasan dan peredaran darah pun belum sempurna sedangkan mulut dan rahang belum berkembang serta ususnya masih berupa tabung yang lurus. Makanannya didapat dari sisa kuning telur yang belum habis diserap. Postlarva adalah fase larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sel-sel pigmen berkembang menurut pola-pola yang menjadi karakter berbagai jenis post larva ikan. Tanda-tanda pengenal lainnya adalah bentuk dan ukuran badan serta bentuk ukuran sirip. Pada perkembangan larva lebih lanjut, sirip ekor berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebrata dan tulang-tulang iga mengeras dan dengan perubahan –perubahan pigmentasi badan maka post larva mencapai tingkat benih. Pada fase post larva secara morfologi larva ikan mengalami beberapa tahap perkembangan hingga dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu preflexion,
flexion
dan
postflexion.
Preflexion
adalah
bentuk
tahap
perkembangan larva dimana mulai terbentuk fleksi (lekukan) pada bagian notochord (Gambar 2 B). Flexion adalah bentuk tahap perkembangan yang ditandai dengan adanya fleksi pada notochord dan berakhir pada tulang hypural membentuk posisi vertical (Gambar 2C) sedangkan postflexion adalah tahap perkembangan larva yang ditandai dengan pembentukan sirip ekor (yang merupakan elemen hypural vertical) hingga perkembangan bagian meristik eksternal seperti pada bagian sirip (Gambar 2 D).
7
A. pro larva dengan kantung kuning telur (yolk sac)
C. fase flexion
B. fase preflexion
D. fase postflexion
Gambar 2. Tahap perkembangan morfologi larva ikan (sumber : Kendall et al.,1983)
Beberapa sifat taksonomik yang digunakan untuk mengenal larva ikan meliputi: a) Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan, lambung dan sirip (khususnya sirip dada) b) Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang c) Ukuran larva d) Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanofora) e) Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan terubah, jenggot pada dagu, duri pada pre operculum dan sebagainya Karakter melanophora merupan ciri diagnostik utama dalam mengidentifikasi spesies pada stadia post larva. Perbedaan bentuk dan pola melanophora dan distribusinya dapat dibagi dengan jelas. Kesamaan antar spesies dapat dilihat dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora berada. Lokasi melanophora biasanya terletak di bagian eksternal dari epidermis atau dermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebral dan di daerah otoctystic.
8
2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Berperan dalam Kehidupan Larva Ikan Keberadaan dan sebaran hewan laut termasuk plankton larva tidak terjadi begitu saja, tetapi sebagai hasil dari kejadian-kejadian yang teratur yang berjalan terus menerus berupa faktor-faktor lingkungan tunggal atau ganda yang menata bentuk sebaran, kelulushidupan dan kepadatan hewan laut tersebut. Beberapa yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva adalah kualitas perairan, makanan, deteksi predator dan kemampuan menghindar (Esteves et al., 2000; Garcia et al., 2001; Patrick, 2008). Faktor-faktor lingkungan laut yang diketahui mempengaruhi kehidupan hewan laut termasuk pada fase larva adalah faktor fisik, kimiawi dan biologi. Fakor fisik terdiri dari suhu, tingkat keasinan (salinitas), tekanan, penyinaran atau cahaya, gelombang, arus dan pasang surut. Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Suhu mempengaruhi perilaku larva seperti kecepatan berenang, pertumbuhan dan durasi larva seperti yang ditemukan pada larva ikan karang Amphiprion melanopus (Green & Fisher, 2004). Perairan pesisir seringkali mengalami fluktuasi salinitas. Hewan akuatik yang hidup di perairan ini sudah terbiasa dengan kondisi fluktuasi tersebut namun bagi sebagian lainnya termasuk pada fase larva tidak dapat mentolerir kondisi tersebut sehingga dengan demikian faktor salinitas akan mempengaruhi kehidupannya. Penelitian yang dilakukan Barletta-Bergan et al. (2002), menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas mempengaruhi variasi jumlah spesies dan struktur komunitas larva ikan di Estuaria Caete’. Cahaya mempunyai pengaruh secara tidak langsung yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis fitoplanktton yang menjadi tumpuan hidup hewan laut karena menjdi sumber makanan. Selain itu faktor cahaya mempengaruhi dalam pergerakan ruaya (vertical migration). Sebates (2004) menemukan bahwa distribusi larva ikan secara vertikal pada siang hari berada pada kolom air bagian atas sedangkan pada malam hari larva ikan lebih banyak ditemukan di lapisan air yang lebih dalam. Arus memainkan peranan penting pada larva ikan terutama pada pola distribusi. Arus akan membawa larva ikan masuk atau pun keluar dari perairan estuaria. Adakalanya arus membawa larva ikan yang masih rentan ke habitat yang ekstrim sehingga apabila larva belum siap terhadap kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya (Joyeux, 1999). 9
Faktor kimiawi yang berperan bagi kehidupan biota laut termasuk larva ikan adalah oksigen terlarut, karbondioksida, pH (derajat keasaman) dan senyawa organik lainnya. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh organisme perairan dalam metabolism tubuhnya. Oksigen terlarut dibutuhkan dalam proses respirasi semua organisme termasuk larva ikan. Oksigen terlarut juga berpengaruh dalam proses oksidasi senyawa kimia lainnya di perairan.
Derajat keasaman (pH)
mempengaruhi proses kimiawi yang terjadi di perairan. Penurunan pH perairan laut menyebabkan gangguan reoroduksi pada biota laut seperti kelompok Echinodermata, ikan dan udang (Ros, et al.,2011). Faktor biologi yang berperan dalam kehidupan larva ikan diantaranya adalah makanan, predator dan kompetitor (Romimohtarto & Juwana, 1998; Esteves et al., 2000). Makanan bagi larva ikan adalah fitoplankton. Fitoplankton merupakan produsen dalam jaring-jaring makanan di ekosistem perairan, sehingga kelimpahan fitoplankton di perairan menjadi pendukung bagi keberlanjutan sumberdaya larva. Larva ikan sangat rentan terhadap gangguan predator. Predator larva dapat berupa ikan yang lebih besar dan bersifat karnivora dan ubur-ubur. Laju kelulushidupan larva di perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan predator. Kompetitor larva ikan dapat berupa sesama jenis larva ikan, larva biota lainnya atau pun ikan yang lebih besar. Persaingan selalu terjadi antar organisme dalam suatu ekosistem demikian pula dengan larva ikan. Persaingan dapat terjadi dalam memperebutkan sumberdaya makanan yaitu fitoplankton ataupun persaingan ruang (habitat) yang ditempati. Fitoplankton bukan hanya sumber makanan bagi larva ikan saja, namun juga bagi organisme perairan lainnya termasuk larva udang, kepiting, Moluska serta ikan-ikan herbivora dan omnivora yang telah dewasa. 2.4 Pengetahuan Larva Ikan dalam Bidang Perikanan Pengetahuan mengenai awal daur hidup ikan (larva ikan) mempunyai kaitan erat dengan berbagai aplikasi dalam bidang perikanan seperti budidaya, estimasi jumlah stok ikan, monitoring kondisi kualitas perairan serta penetapan kawasan konservasi dan refugia ikan. Upaya untuk mempelajari larva dan telur ikan sudah dikenal sejak beberapa tahun lampau bahkan di Indonesia lebih dari 100 tahun yang lalu di daerah pesisir Pulau Jawa diketahui adanya usaha pertambakan bandeng. Pada masa itu banyak orang yang mengumpulkan nener bandeng di sepanjang pantai untuk bibit yang dibesarkan di dalam tambak 10
sampai ukuran yang dapat dipanen. Para pengumpul dengan mudah mengenal nener bandeng yang tak lain adalah fase larva dari ikan bandeng. Mempelajari variasi kelimpahan dan distribusi larva ikan pada suatu habitat merupakan hal penting untuk memahami mekanisme dalam proses rekrutmen serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (Mitchell, 1994; Quist, et al., 2004; Shoji & Tanaka, 2008). Informasi mengenai distribusi, kelimpahan dan pertumbuhan larva ikan di perairan laut merupakan hal penting yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan (Van der Lingen & Hugget, 2003). Pengetahuan mengenai pertumbuhan dan mortalitas larva ikan di suatu habitat perairan diperlukan untuk dapat mengetahui laju serta tingkat keberhasilan rekrutmen yang menjamin keberlanjutan stok (Smith, 1981). Selain itu, dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan di suatu habitat seringkali dilakukan upaya perlindungan habitat seperti menetapkan daerah perlindungan laut (Marine Protected Area) dan kawasan Perikanan Refugia (Fisheries Refugia). Salah satu faktor penting dalam penetapan kawasan tersebut adalah informasi mengenai daerah asuhan yang diindikasikan dengan keberadaan larva dan telur ikan di daerah tersebut (Ward, et al., 2001; UNEP, 2007). Pengetahuan mengenai transpor larva dari satu habitat seperti mangrove ke habitat lain seperti terumbu karang menjelaskan keterkaitan antara ekosistem tersebut dan peranannya sebagai habitat asuhan yang potensial bagi ikan sehingga perlu dipertahankan kondisinya (Huijbers,et al., 2008). Kondisi kelimpahan dan komposisi larva ikan di suatu habitat juga dapat menjadi indikator kualitas suatu habitat (Mc Kinley et al., 2011). Selain itu, pengetahuan mengenai larva ikan terutama ikan ekonomis penting
juga penting dalam
pengembangan kegiatan budidaya (The Research Council of Norway, 2009). Dengan demikian mempelajari fase larva ikan menjadi bagian yang cukup penting dalam pengelolaan perikanan.
2.5 Ekosistem Estuaria dan Asosiasinya dengan Komunitas Ikan Menurut Blaber (2000), estuaria merupakan perairan semi tertutup yang memiliki hubungan dengan laut dimana perairan tersebut mendapatkan pengaruh dari air laut dan air tawar dari daratan. Wilayah estuaria dapat berupa muara sungai dan delta-deltabesar, hutan mangrove dekat estuaria, teluk dan rawa pasang surut.
11
Ekosistem estuaria seringkali berasosiasi dengan mangrove sehingga sering disebut dengan ekosistem mangrove. Mangrove didefinisikan sebagai vegetasi dengan tipe batang keras yang berada di lingkungan laut dan payau (Giesen et al., 2006). Ekosistem mangrove memiliki fungsi penting bagi kehidupan berbagai jenis ikan termasuk ikan ekonomis penting yakni sebagai habitat pemijahan dan asuhan (Ikejima et al,2003; Giesen et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Sasekumar et al. (1992) menemukan sebanyak 119 spesies ikan di daerah mangrove di Selangor, Malaysia yang mayoritas adalah fase juvenile. Sedangkan Tse,et al., (2008) mendapatkan bahwa komunitas ikan memiliki ketergantungan terhadap ekosistem mangrove dalam penyediaan sumber makanan bagi fase larva dan juvenilnya. McHugh
(1984)
dalam
Dando
(1984)
dan
Kennish
(1990)
mengelompokkan ikan-ikan estuaria menjadi 6 kelompok yang menggunakan estuaria sebagai tempat pemijahan, migrasi dan tempat hidupnya yaitu: 1. Passage Migrants, yaitu spesies anadromus dan katadromus misalnya Salmoidae, Petromyzonidae dan Anguilla spp. 2. Spesies ikan tawar yang sering secara musiman masuk ke daerah yang bersalinitas rendah untuk mencari makan. Ikan-ikan ini merupakan ikan dari daerah air tawar yang masuk ke dalam estuaria karena banjir, contohnya adalah Carrasius carrasius, Leuciscus leuciscus, Thymallus thymallus. Beberapa diantara spesies tersebut misalnya Leuciscus leuciscus membentuk populasi yang permanen di daerah pasang surut air tawar di sepanjang estuaria. 3. Spesies ikan air laut yang masuk ke mulut estuaria sebagai opportunist feeders. Ikan-ikan ini sering masuk dan meninggalkan daerah pasang surut, misalnya ikan dari Estuaria Tamar di S.W. England yakni Squatina squatina, Conger conger dan Scomber scombrus. 4. Ikan estuaria yakni ikan-ikan yang menghabiskan sebagian besar atau seluruh hidupnya di daerah euryhalin. Ikan estuaria yang sesungguhnya, menghabiskan seluruh siklus
hidupnya di daerah estuaria, contohnya
adalah ikan-ikan gobid seperti Pomatoschistus microps, Fundulus confluentus,
dan
Hypsoblennius
henzti.
Ikan-ikan
estuaria
lain
meninggalkan estuaria dalam periode yang singkat, biasanya untuk melakukan pemijahan misalnya ikan Platichthys flesus, Brevoortia tyrannus dan Morone Americana. 12
5. Ikan laut yang menggunakan estuaria sebagai daerah asuhan (nursery ground). Ikan-ikan ini merupakan kelompok dominan di daerah estuaria Atlantik, diantaranya Clupea harengus, C.sprattus, Pogonia cromis, Dicentranchus labrax, Solea solea Idan Paralichthys dentatus. 6. Ikan air tawar dan air laut yang masuk ke daerah estuaria dalam bentuk dewasa untuk melakukan pemijahan, contohnya Galaxia spp dan Pseudopleuronectes americanus. Ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan keluar bagi ikan-ikan diadromus (anadromus dan katadromus). Ikan anadromus
menggunakan
estuaria sebagai jalan masuk dari laut menuju sungai atau danau, sebaliknya ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar dari sungai atau danau untuk bermigrasi ke laut. Ikan memiliki pola migrasi secara musim (temporal) dan ruang (spasial). Di daerah estuaria pola migrasi ini terlihat jelas. Ikan yang bermigrasi dari air laut ke air tawar untuk bertelur (spesies anadromus) misalnya dari famili Serranidae, Petromyzontidae, Clupeidae, Osemeridae, Salmolidae dan Acipenseridae, sedangkan ikan yang melakukan migrasi dari air tawar ke air laut untuk bertelur (spesies katadromus) seperti Anguilla sp (Kennish,1990). Ikan melakukan migrasi dalam rangka bertelur, mencari makan, kawin dan mencari perlindungan. Menurut Dando (1984), banyak spesies ikan laut yang masuk atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan postlarvanya menggunakan daerah estuaria sebagai tempat asuhannya.
13
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di estuaria Pelawangan Timur, Segara anakan, Cilacap (Gambar 3). Penelitian berlangsung pada bulan Juni–Agustus 2011. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu 2 (dua) minggu sekali.
Penentuan stasiun pengambilan sampel didasarkan pada
masing-masing wilayah estuaria yakni daerah aliran sungai, muara, serta daerah pedalaman (hulu) sungai di antara ekosistem mangrove. Adapun karakteristik masing-masing stasiun tertera pada Tabel 1.
III V
VI
II IV
I
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (ket: I:Muara Donan, II:Donan, III: Cigintung, IV: Sapuregel, V: Pisangan, VI: Kembang Kuning)
14
Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan contoh Stasiun Lokasi
Posisi Geografis 07o 45 ’143” S 109o 00’ 612”E
I.
Muara Donan
II.
Donan
07o42’ 653”S 108o 59’ 553”E
III.
Cigintung
07o40’ 099” S 108o59’ 707’’E
IV.
Sapuregel
07o 43 ’ 114’’ S 108o 58 282”E
V.
Pisangan
07°41’ 262”S 108°57’ 370”E
VI.
Kembang Kuning
07°43’ 207”S 108°56’ 708”E
Karakteristik - Terletak di mulut kanal Timur - Pengaruh pasang surut air laut dominan - merupakan alur kapal besar - dijumpai beberapa alat tangkap apong - aliran sungai Donan - sekitarnya merupakan daerah industri - merupakan alur kapal besar - dekat pemukiman penduduk - dasar perairan: berlumpur (warna hitam) - pasang surut melalui kanal Timur - Daerah pedalaman - Merupakan aliran sungai diantara ekosistem mangrove dengan jenis Rhizopora, Avicennia - Minim aktivitas penangkapan - merupakan muara Sungai Sapuregel - merupakan daerah penangkapan dengan alat tangkap apong - merupakan daerah pedalaman yang berupa aliran sungai dengan ekosistem mangrove di sekitarnya - tidak terdapat alat tangkap apong - Aliran sungai Kembang Kuning - daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap apong. - merupakan alur menuju laguna sebelah barat
15
3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan meliputi alat dan bahan yang digunakan untuk
pengambilan sampel larva dan pengukuran parameter lingkungan
perairan. Alat dan bahan serta parameter yang dipergunakan selama penelitian disajikan pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Parameter serta alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian No. 1.
Parameter Larva
Unit Ind/m
Alat dan Bahan 3
Jaring larva (diameter mulut jaring:60 cm,mesh size 700µm), formalin 5%, Alkohol 70%, botol larva
2.
Plankton
sel/l
Plankton net, lugol
3.
Salinitas
%
refraktometer
4
Tingkat keasaman (pH)
5
Oksigen terlarut (DO)
mg/l
Botol Winkler, H2SO4, MnCl, NaOh,KI
6
Kekeruhan
NTU
Turbidimeter
7
Kecerahan
cm
Keping secchi
8
Suhu air
ºC
Water Quality Checker Horiba
9
Arus
m/s
Current meter
10
Kedalaman perairan
m
Depth meter
11
Nitrat
mg/l
Spectrofotometer,Brucine
12
Orthofosfat
mg/l
Spectrofotometer, Amonium molibdat
Water Quality Checker Horiba
3.3 Metode Kerja 3.3.1 Prosedur Kerja di Lokasi Penelitian Pengambilan dan Penanganan Sampel Larva Ikan di Lokasi Pengambilan sampel larva dilakukan pada pagi hingga siang hari dengan menggunakan jaring larva (larva net) dengan ukuran mesh size 729 µm dan diameter 60 cm (Gambar 4 A). Jaring larva dipasang atau diikat pada bagian belakang perahu motor dengan jarak 10 meter dan kedalaman ± 0,5 meter (Gambar 4 B dan 4 C). Kemudian jaring larva ditarik secara horizontal dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit. Setelah itu perahu berhenti, kemudian jaring ditarik dan diangkat untuk diambil sampel larvanya. Sampel larva disimpan dalam botol sampel
dan diawetkan dengan larutan
formalin 4 % (Sanchez-Velasco et al., 1996; Romimohtarto & Juwana, 2004) seperti tertera pada Gambar 4 D. 16
A. Jaring larva
B.Pengoperasian jaring larva
C.Penarikan jaring larva setelah D. Sampel larva di lapangan yang selesai dioperasikan diawetkan dengan formalin
Gambar 4. Pengambilan dan penanganan sampel larva ikan
Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan Pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan perairan dilakukan secara langsung di lokasi (in situ). Sampel air diambil dengan menggunakan Kemmerer water sampler, kemudian sebagian dimasukan ke dalam botol sampel dan botol winkler untuk pengukuran oksigen terlarut. Pengukuran suhu air dan tingkat keasaman (pH) dilakukan dengan bantuan alat Water Quality Checker Horiba secara langsung di lokasi. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode Winkler yang dilakukan langsung di lokasi. Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dan kekeruhan (turbiditas) dengan turbidimeter secara langsung di lokasi. Kecerahan diukur dengan cara memasukan keping sechi (Sechi disk) ke dalam perairan sedangkan kecepatan arus air diukur dengan menggunakan current meter. Pengukuran nitrat dan ortofosfat dilakukan di laboratorium dengan alat spectrophotometer. Sampel air untuk pengukuran parameter tersebut diambil di lokasi bersamaan dengan sampel untuk pengukuran parameter kualitas air lainnya. Sampel air yang digunakan untuk pengukuran parameter nitrat dan 17
ortofosfat disimpan dalam botol sampel dan dimasukkan ke coolbox yang telah diberi batu es untuk menjaga kondisi suhu air tetap rendah agar terhindar dari kerusakan sebelum dianalisis lebih lanjut. Pengumpulan Data Hasil Tangkapan Data hasil tangkapan nelayan merupakan data pendukung yang diperoleh melalui wawancara dengan nelayan setempat. Data tersebut dikumpulkan untuk mengetahui jenis ikan yang tertangkap, jenis dan alat tangkap serta musim dan daerah penangkapan.
3.3.2
Prosedur Kerja di Laboratorium
Penyortiran dan Identifikasi Larva ikan Pengamatan sampel larva dilakukan di laboratorium Biologi Ikan Balai Riset Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jatiluhur. Larva ikan yang didapat dari lokasi penelitian kemudian disortir terlebih dahulu untuk memisahkan antara larva ikan, larva udang, telur ataupun material lain seperti serasah yang ikut masuk sewaktu dilakukan pengambilan sampel di lapangan. Penyortiran dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 1. Sampel larva dari lapangan disaring dengan menggunakan kain jaring plankton 2. Spesimen hasil penyaringan tersebut kemudian dicuci dengan air tawar dan disimpan pada pada wadah (gelas kimia) dengan air tawar atau akuades. 3. Sedikit demi sedikit dari specimen tersebut dituang pada cawan petri untuk dipisahkan/disortir untuk mendapatkan telur dan larva ikan menggunakan mikroskop Merk Olympus SZ 61 perbesaran 10-40 kali (Gambar 5 A) 4. Larva ikan dan telur hasil sortir tersebut sekaligus dihitung jumlahnya dan dipindahkan secara hati-hati dengan menggunakan pinset ke dalam botol specimen berisi larutan alkohol 70 % yang sudah diberi label (Gambar 5 B).
18
A.
B
Gambar 5. A. mikroskop yang digunakan untuk menyortir dan identifikasi; B. sampel larva yang disimpan dalam botol dengan pengawet alkohol
Setelah penyortiran selesai dilakukan pada seluruh sampel yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya dilakukan proses identifikasi sampai ke takson yang paling memungkinkan. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop Binokuler Merk Olympus SZ 61 perbesaran 10-40 kali dan mikroskop binokuler Merk Olympus SX 31 yang dilengkapi dengan kamera dan mikrometer okuler untuk mengukur proporsi panjang tubuh larva.
Larva ikan yang tertangkap
diidentifikasi sampai ke takson yang paling memungkinkan. Identifikasi menggunakan Okiyama (1988) dan
Leis & Carson-Ewart (2000). Identifikasi
dilakukan dengan melihat karakter morfologi pada larva seperti tertera pada Gambar 6. Beberapa karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi larva menurut Leis and Carson-Ewart (2000) adalah sebagai berikut: 1) Bentuk tubuh 2) Myomer 3) Usus/saluran pencernaan 4) Gelembung udara/gelembung renang 5) Duri pada kepala 6) Pembentukan sirip 7) Ukuran tubuh 8) Pigmen 9) Jumlah tulang sirip
19
Myoseptaa
Myomeres
Dorsal fin Notochord tip
Pectoral base Pre anal myomeres
Brain
Post anal myomeres Gas Blader External pigment
Striated gut
Pelvic bud
anus
Head
Tail
Trunk
Spine base
Serrate spine Smooth spine Soft ray
Nostril
Nothocord tip
Pre anal myomers Post anal myomers
Cleithral Symphysis
Gut Cleithrum
Head
Anus Trunk
Soft ray base
Soft ray
Tail
Gambar 6 Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan (Leis & Carson-Ewart, 2000).
3.4 Analisis Data 3.4.1 Komunitas Larva Kelimpahan Larva Ikan Kelimpahan larva ikan yang didefenisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan: N n Vtsr l t
: : : : :
kelimpahan larva ikan (ind/m3) jumlah larva ikan yang tercacah (ind) Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) luas bukaan mulut saringan lama waktu penarikan saringan (menit) 20
v
kecepatan tarikan (m/menit)
Indeks Keanekaragaman Keanekaragaman larva ikan diperlukan untuk menjelaskan kehadiran jumlah individu antar genus dalam suatu komunitas. Keanekaragaman larva ikan dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Krebs, 1989) Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan persamaan sebagai berikut :
Keterangan: H’ : indeks keanekaragaman Shanon-Wiener pi : proporsi individu spesies ke-i s : Jumlah genus Nilai indeks keanekaragaman merujuk pada nilai indeks keanekaragaman Wilhm and Doris (1968) dalam Mason (1981) adalah H’<1 : keragaman larva ikan rendah H’=1-3: keragaman larva ikan sedang H’>3 : Keragaman larva ikan tinggi
Indeks Keseragaman Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu setiap spesies dalam komunitas. Indeks keseragaman (E) larva ikan dihitung berdasarkan persamaan berikut :
H E
!,
H
,!
H maks.
atau E
,
ln s
Keterangan : E H, s
= indeks keseragaman = indeks keanekaragaman = jumlah taksa (jenis atau spesies)
21
Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas. Indeks Keseragaman berdasarkan Odum (1971) adalah : Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati 1 sebaran individu antar jenis merata (seragam). Nilai E mendekati 0 apabila sebaran individu antar jenis tidak merata atau ada sekelompok jenis tertentu yang dominan Indeks Dominasi Indeks Dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Odum 1971) : S
D
pi
2
i 1
n i 1
ni N
2
Keterangan : D ni N pi s
: : : : :
Indeks dominasi jumlah individu genus ke-i jumlah total individu proporsi individu spesies ke-i (ni/N) Jumlah genus
Kriteria nilai sebagai berikut : D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi, dan D mendekati 1 terdapat jenis yang mendominasi jenis yang lain. 3.4.2 Karakteristik Habitat Larva Ikan Berdasarkan Parameter Biofisik Kimia Perairan Analisis Komponen Utama digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter biofisika kimia perairan. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) digunakan untuk memudahkan menginterpretasi data dari suatu matriks data yang berukuran cukup besar (Bengen,2000). Tujuan utama penggunaan analisis komponenn utama dalam suatu matriks data berukuran cukup besar diantaranya adalah (1).mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar, (2)menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi, (3) mempelajari suatu tabel/matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel. 22
Langkah-langkah yang diperlukan dalam analisis komponen utama adalah sebagai berikut: a) Satu individu dapat dijelaskan dengan baik oleh nilai-nilai yang diperleh dari p variabel. Hal yang sama, satu variabel didefinisikan oleh n nilai yang berkaitan dengan distribusi individunya. Dengan demikian satu individu dapat didefinisikan oleh satu titik dari satu geometrik berdimensi p, sedangkan satu variabel dipresentasikan oleh satu titik dari satu ruang berdimensi n. Semua individu (atau variabel) akhirnya membentuk suatu kumpulan titik-titik. Analisis Komponen Utama memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang ini agar dapt lebih mudah dibaca dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin (Bengen, 2000). b) Sumbu-sumbu faktorial yang diperoleh merepresentasikan kombinasi linear dari variabel-variabel asal. Faktor/sumbu utama menjelaskan dengan lebih baik variabilitas data asal/inisial. Faktor kedua menjelaskan dengan lebih baik variabilitas residu yang tidak tergambarkan pada faktor utama dan selanjutnya. c) Untuk menemukan kembali informasi yang lengkap, maka perlu diperhatikan semua sumbu yang jumlahnya sama dengan variabel (kecuali terdapat suatu korelasi sempurna antar variabel). Manfaat dari Analisis Komponen Utama adalah dapat mengasosiasikan pada sumbu faktorial yang berbeda, suatu peran deskriptif dalam batasan kualitatif dan kuantitatif. Secara umum informasi yang diberikan dari hasil Analisis Komponen Utama adalah Matriks korelasi antar semua variabel Akar ciri dari setiap sumbu faktorial:berkaitan dengan jumlah inersi dari setiap sumbu. Vektor
ciri
yang
menjelaskan
koefisien
variabel
(pemusatan
dan
pereduksian) dalam persamaan liniearyang mendeterminasikan sumbusumbu utama. Korelasi antara variabel dan sumbu yang dapat menginterpretasikan sumbu utama; Grafik bidang yang memvisualisasikan variabel terhadap sumbu. Juga dapat digambarkan pada setiap grafik, lingkaran korelasi (=1): semakin 23
dekat suatu lingkaran pada lingkaran korelasi nsemakin besar perannya terhadap sumbu (grafik bidang). Korelasi terhadap sumbu sama dengan kosinus sudut antara sumbu dan garis lurus yang melewati pusat gravitasi dan titik variabel, maka dengan demikian kita tidak menginterpretasikan posisi suatu variabel terhadap jarak dari pusat gravitasi tetapi sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu atau dengan variabel lain apabila variabel ini memberikan kontribusi yang besar (dekat dengan lingkaran korelasi). Koordinat individu pada setiap sumbu. Kualitas representasi titik-individu dalam setiap grafik bidang. Grafik bidang yang memperlihatkan kemiripan (kedekatan) antar titikindividu. 3.4.6 Distribusi dan Preferensi Habitat Larva Ikan Distribusi larva ikan kaitannya dengan karakteristik parameter kualitas lingkungan dilakukan dengan analisis Nodul. Analisis nodul yaitu membuat matrik hubungan antara kelompok spesies dengan kelompok habitat selanjutnya dihitung dengan Indeks constancy (Cij) dan Indeks Fidelity (Fij) (Boesch,1977). Constancy adalah proporsi jumlah kemunculan kelompok spesies pada suatu habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian. Sedangkan Fidelity adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana keberadaan suatu spesies pada suatu kelompok tempat/habitat. Indeks Constancy dihitung dengan persamaan:
keterangan : Cij
: indeks constancy kelompok spesies-i pada kelompok habitat -j
aij
: jumlah anggota kelompok spesies-i pada kelompok habitat- j
ni & nj
: jumlah seluruh kelompok spesies dan kelompok tempat/habitat
Nilai indeks :0-1, dimana nilai 1 apabila kelompok spesies tersebut ditemukan pada kelompok tempat/habitat yang ada dan nilai 0 apabila kelompok spesies tersebut tidak ditemukan pada tempat/habitat .Sedangkan indeks Fidelity dihitung dengan persamaan : 24
Keterangan : Fij
: indeks fidelity kelompok jenis I pada kelompok habitat-j
aij
: jumlah kehadiran kelompok jenis i pada kelompok tempat/habitat-j
ni dan nj
: jumlah seluruh kelompok jenis dan kelompok tempat/habitat
jika nilai indeks Fidelity kurang dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan negatif antara jenis dengan habitat sedangkan nilai indeks lebih dari 1 (satu) artinya terdapat hubungan positif antara jenis dengan habitat. I 3.4.7 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Kelimpahan Larva Ikan Untuk melihat hubungan antara parameter kualitas lingkungan dengan kelimpahan genus larva digunakan analisis korelasi Spearman rank. Tehnik perhitungan dilakukan dengan menggunakan program STATISTICA.
25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi dan Kelimpahan Larva Ikan Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 famili dan 32 genus (Tabel 3). Famili Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dari seluruh total tangkapan (66,62%), diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Genus yang dominan terdiri dari Tridentiger, Rhinogobius, Sardinella, Omobranchus, Stolephorus, Engraulis dan Herklotsichthys dengan masing-masing kelimpahan berturut-turut adalah 1836, 392,, 316, 301, 266, 159 dan 79 individu per 100 m3.
Tabel 3. Jenis/Genus, kelimpahan dan persentase larva ikan Famili
Genus
Ambassidae Atherinidae Blenniidae Cynoglossidae Carangidae Clupeidae Clupeidae Engraulidae Engraulidae Eleotridae Gerreidae Gobiidae Gobiidae Gobiidae Gobiidae Gobiidae Gobiidae Gobiidae Gobiidae Leioghnatidae Mugilidae Mugilidae Mugiloididae Mullidae Ostracidae Pomacentridae Pomachantidae Polynemidae Silaginidae Synghnatidae Synghnatidae Tetraodontidae
Ambassis Hypoatherina Omobranchus Cynoglossus Caranx Herklotsichthys Sardinella Engraulis Stolephorus Eleotris Gerres Gobiidae sp1 Gobiidae sp 2 Glossogobius Tridentiger Rhinogobius Rediogobius Acentrogobius Parachaeturichthys Secutor Mugil Liza Parapercis Upeneus Ostracidae spp Pomacentrus Pomacentrus Eleutheronema Silago Parasyngnathus Oostethus Tetraodontidae spp
Kelimpahan 3 Ind/m % 21 0,54 5 0,12 301 7,6 1 0,02 10 0,25 79 2,01 316 7,98 159 4,01 266 6,71 2 0,06 1 0,02 285 7,19 94 2,37 24 0,62 1836 46,39 392 9,91 2 0,06 2 0,06 1 0,02 12 0,31 18 0,44 12 0,31 3 0,08 7 0,17 2 0,04 2 0,04 2 0,04 2 0,04 1 0,02 95 2,41 2 0,04 4 0,10
Panjang Standar (mm) Rata-rata Kisaran 5 2,5-6,7 3,4 2,5-5,1 2,4 1,8-4,1 1,8 1,8 2,4 2,0-2,7 5,8 4,3-11,6 5,6 4,0-11,2 6,2 2,1-10,5 10,6 4,0-21,9 8,6 8,3-8,6 2,5 2,2-3,5 2,2 1,8-2,7 2,3 1,8-2,8 4,2 2,3-9,0 7,2 1,8-14,2 2,5 1,9-3,3 3,1 2,8-3,3 4,4 2,8-7,7 2,8 2,8 14,2 12,6-17,8 1,8 1,6-2,5 7,9 6,9-8,8 2 1,8-2,5 2,5 1,7-2,8 4,0 3,5-5,4 1,7 1,3-2,0 1,7 1,3-2,0 4,1 3,8-4,3 3,3 3,3 14,4 7,4-24,8 4,4 4,3-4,5 2,2 1,5-2,8
Keterangan F,Pf Pof Pf,F Pf Pf F, Pof F, Pof Pf,F,Pof Pf,F,Pof Pof Pf Pf Pf F Pf, F,Pof Pf Pf Pf Pf Pof F Pof Pf Pf Pf Pf Pf F Pf F F Pf
Pf=preflexion; F=flexion; Pof=Postflexion
Larva ikan Gobiidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selama penelitian ini, seperti halnya pada penelitian Sugiharto (2005) dan Nursid 26
(2002) di estuaria Segara Anakan. Beberapa penelitian lain juga menemukan bahwa larva ikan Gobiidae merupakan penyumbang terbesar dalam komunitas larva di ekosistem estuaria (Sanvicente-Añorve et al.,2003;
Bonecker et
al.,2009; Ramos et al.,2012). Famili Gobiidae terdiri dari 212 genera dan 1875 spesies (Nelson, 1994). Anggota jenis dari famili Gobiidae hidup di habitat air tawar, estuaria hingga laut. Sebagian besar dari famili Gobiidae hidup di ekosistem estuaria. Gobiidae memiliki toleransi terhadap rentang salinitas yang cukup luas. Beberapa anggota jenis Gobiidae yang hidup di air tawar akan pergi ke perairan estuaria untuk memijah (Miller, 1984). Anggota jenis dari famili Gobiidae yang mendominasi pada penelitian ini adalah genus Tridentiger. Jenis tersebut juga dominan ditemukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sugiharto (2005). Famili Engraulidae merupakan penyusun komunitas larva terbesar kedua setelah Gobiidae pada penelitian ini. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nursid (2002) di laguna Segara Anakan. Penelitian di estuaria lain yang dilakukan Morais and Morais (1994) serta Barleta–Bergan (2002) juga menemukan bahwa larva ikan Engraulidae merupakan larva ikan yang dominan ditemukan selain Gobiidae. Menurut hasil penelitian Sanchez-Velasco et al. (1996), ikan Gobiidae dan Engraulidae dalam siklus hidupnya memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria terutama pada fase larva. Anggota jenis dari Engraulidae dikenal sebagai ikan konsumsi ekonomis penting di berbagai perairan estuaria dan laut. Genus dari famili Engraulidae yang ditemukan selama penelitian ini adalah Stolephorus dan Engraulis dengan kelimpahan Stolephorus lebih tinggi daripada Engraulis. Larva ikan famili Clupeidae merupakan larva terbanyak setelah Gobiidae dan Engraulidae. Penelitian yang dilakukan Nursid (2002) di perairan Laguna Segara Anakan juga mendapatkan famili tersebut, namun tidak demikian halnya pada penelitian Sugiharto (2005) yang dilakukan di Pelawangan Timur. Larva ikan Clupeidae yang tertangkap pada penelitian ini terdiri dari genus Sardinella dan Herklotsichthys. Habitat Clupeidae adalah perairan laut dan pesisir. Beberapa jenis dari famili tersebut mampu mentolerir salinitas yang lebih rendah dan melakukan migrasi ke daerah muara sungai untuk bertelur. Ikan Clupeidae hidup berkumpul membentuk schooling dan berenang secara bersama-sama di suatu perairan (Carpenter and Niem, 1999).
27
Larva ikan famili Blennidae merupakan larva ikan berikutnya yang cukup banyak dalam komposisi hasil tangkapan di selama penelitian. Famili Blenniidae tersebar di perairan tawar, payau hingga laut, merupakan ikan dasar yang menyukai daerah pasang surut dan berbatu dengan kedalaman lebih kurang 20 m. Beberapa anggota dari famili ini bahkan hidup di aliran sungai. Anggota jenis Bleniidae bukan ikan konsumsi ekonomis penting. Secara temporal kelimpahan larva ikan paling tinggi terjadi pada bulan Juni dengan komposisi yang dominan adalah famili Gobiidae (Gambar 7). Pada bulan Juli, jumlah kelimpahan menurun demikian juga pada bulan Agustus. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli didominasi oleh famili Clupeidae sedangkan pada bulan Agustus adalah Engraulidae. Larva Gobiidae tertangkap pada setiap bulan pengamatan sedangkan Clupeidae hanya tertangkap pada bulan Juli dan Engraulidae pada bulan Agustus. Tingginya kelimpahan larva ikan pada bulan Juni dapat berkaitan dengan masa pemijahan dari ikan. Beberapa jenis ikan Gobiidae memiliki masa pemijahan sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada waktu tertentu. Secara spasial kelimpahan larva ikan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung) dan IV Sapuregel (Gambar 8). Larva Gobiidae merupakan larva ikan yang ditemukan di semua stasiun penelitian dengan kelimpahan yang tinggi dibandingkan famili lainnya. Larva Engraulidae tertangkap di stasiun I (Muara Donan), II (Donan), III (Cigintung), IV (Sapuregel) dan VI (kembang Kuning), namun kelimpahan tertinggi hanya ada di stasiun II, sedangkan larva Clupeidae ditemukan melimpah di stasiun I (Muara Donan), walaupun juga terdapat di stasiun lainnya dengan kelimpahan yang rendah dibandingkan di stasiun I. Seperti halnya pada larva Gobiidae, larva ikan Blenniidae juga tertangkap di semua stasiun penelitian namun dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan Gobiidae.
28
2500
ind/100m3
2000 Syngnathidae 1500 Gobiidae 1000
Engraulidae Clupeidae
500
Blenniidae 0 juni
juli
agsts
ind/100 m3
Gambar 7. Komposisi famili larva ikan secara temporal
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Syngnathidae Gobiidae: Engraulidae: Clupeidae Blenniidae: I
II
III
IV
V
VI
stasiun
Gambar 8. Komposisi famili larva ikan secara spasial Berdasarkan bentuk morfologinya larva ikan yang tertangkap terdiri dari stadia preflexion, flexion dan postflexion. Komposisi fase larva tersebut tidak sama pada setiap genus selama periode penelitian. Larva Tridentiger yang tertangkap pada bulan Juni terdiri dari fase preflexion, flexion dan postflexion dengan komposisi dominan adalah fase post flexion sedangkan larva yang tertangkap pada bulan Juli dan Agustus didominasi oleh fase flexion (Gambar 9). Tingginya kelimpahan larva Tridentiger fase postflexion pada bulan Juni diduga merupakan hasil pemijahan pada periode sebelumnya yang sudah berkembang sedangkan larva yang masih tahap preflexion merupakan hasil pemijahan pada periode yang berbeda dari larva postflexion tersebut.
Sedangkan larva
Rhinogobius lebih banyak ditemukan pada fase preflexion di setiap bulan. 29
Larva Sardinella yang tertangkap pada bulan Juli terdiri dari fase preflexion dan sebagian kecil flexion sedangkan Herklotsichthys terdiri dari fase flexion dan post flexion (Gambar 9 C dan D). Hal tersebut mengindikasikan bahwa larva Sardinella yang ditemukan pada bulan Juli tersebut merupakan larva yang baru berkembang setelah menetas sedangkan larva Herklotsichtys sudah mengalami tahap perkembangan yang lebih dulu dibanding Sardinella. Larva Stolephorus pada bulan Juni ditemukan pada fase flexion dan postflexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase preflexion dan flexion. Jika dilihat dari bentuk perkembangannya maka larva Stolephorus yang ditemukan pada bulan Juni tersebut sudah mengalami perkembangan lebih lanjut setelah menetas, sedangkan larva yang ditemukan pada bulan Agustus sebagian merupakan larva yang mengalami perkembangan awal setelah menetas. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa larva Stolephorus yang masuk ke pearian estuaria Pelawangan Timur masih dalam tahap perkembangan setelah menetas. Larva Engraulidae lainnya yakni Engraulis yang tertangkap pada bulan Juni merupakan fase flexion sedangkan pada bulan Agustus terdiri dari fase preflexion, flexion dan postflexion dengan komposisi terbesar adalah fase flexion (Gambar 9 F) Larva yang tertangkap pada bulan Juni dan Agustus merupakan larva yang telah mengalami perkembangan lanjut setelah menetas . Komposisi larva ikan secara temporal menunjukkan bahwa beberapa famili larva ikan seperti Clupeidae dan Engraulidae berada di perairan pada waktu tertentu dengan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemijahan terjadi pada waktu tertentu yang diperkuat oleh bentuk morfologi larva (Gambar 9). Larva ikan yang masih dalam fase preflexion adalah larva yang baru mengalami tahap perkembangan setelah cadangan makanannya (kuning telur) habis, kemudian selama kurun waktu tertentu berkembang menjadi fase flexion, postflexion dan juvenil. Tahapan morfologi larva ikan tersebut dapat dijadikan dasar untuk menduga waktu pemijahan dan penetasan dari larva ikan pada suatu peraira. Bulan Juli diduga merupakan waktu pemijahan serta penetasan Sardinella dan Herklotsichthys, sedangkan pada bulan Agustus adalah waktu pemijahan dan penetasan larva Stolephorus dan Engraulis.
30
100%
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
80% 60% 40% 20%
0%
0%
0% Jun
Jul
Jun
Agst
Jul
Jun
Agst
100%
100%
100%
80%
80%
80%
60%
60%
60%
40%
40%
40%
20%
20%
20%
0%
0%
0%
Jun
Jul
Ags
D. Herklotsichthys
: preflexion;
: flexion
Jun
Jul
E. Stolephorus
Agst
C Sardinella
B. Rhinogobius
A.Tridentiger
Jul
Agst
Jun
Jul
Agst
F. Engraulis
: post flexion
Gambar 9. Komposisi morfologi larva ikan secara temporal
Nilai indeks keanekaragaman Shanon (H’) di lokasi penelitian berkisar antara 1,08-1,98 (Gambar 10).
Stasiun VI (Kembang Kuning) memiliki nilai
indeks H’ yang tertinggi (1,98) sedangan stasiun III (Cigintung ) memilki indeks H’ terendah (1,08). Kisaran indeks tersebut menunjukkan keanekaragaman yang sedang. Indeks keseragaman di lokasi penelitian berkisar antara 0,45-0,68. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebaran individu antar jenis masih cukup merata. Hal tersebut terlihat dari ditemukannya berbagai genus larva ikan di seluruh lokasi penelitian. Nilai dominasi di stasiun pengamatan berkisar antara 0,210,50, artinya bahwa belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di komunitas larva tersebut. Walaupun secara umum terlihat genus dari Gobiidae (Tridentiger) mendominasi hasil tangkapan di setiap lokasi penelitian namun pada waktu tertentu ditemukan pula larva ikan selain Gobiidae yang di lokasi penelitian dengan demikian belum terlihat adanya dominasi genus yang sangat kuat di komunitas larva tersebut.
31
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 I
II
indeks keanekaragaman
III
IV
indeks dominasi
V
VI
indeks keseragaman
Gambar 10. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di lokasi penelitian
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Pelawangan Timur 4.2.1 Kondisi Parameter Bio Fisika Kimia Perairan Pelawangan Timur Perairan Pelawangan Timur merupakan bagian dari ekosistem estuaria Segara Anakan yang merupakan pintu masuk air laut dari sisi bagian timur yang menuju ke laguna Segara Anakan. Perairan Pelawangan Timur mendapatkan masukan air laut dari sebelah timur dan air tawar dari beberapa sungai yang mengalir ke kawasan tersebut yaitu Sapuregel, Donan dan Kembang Kuning. Perairan Pelawangan Timur dimanfaatkan sebagai jalur transportasi, jalur kegiatan industri dan daerah penangkapan ikan. Perairan Sungai Donan merupakan kawasan lalu lintas kapal tanker dan perahu penyeberangan, sedangkan perairan Kembang Kuning dan Sapuregel merupakan kawasan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dominan adalah apong. Selain itu sepanjang Perairan Donan hingga pintu masuk Pelawangan Timur merupakan kawasan kegiatan industri. Pengamatan parameter bio-fisika kimia perairan dilakukan di enam stasiun pengamatan. Hasil pengamatan parameter fisika kimia perairan Pelawangan Timur tertera pada tabel 4 berikut ini.
32
Tabel 4. Nilai rataan parameter bio-fisika kimia perairan pelawangan timur Parameter Suhu (ºC) Kecerahan (cm) Kedalaman (m) Arus (mps) Kekeruhan (NTU) pH Salinitas (°/◦◦) Oksigen terlarut (mg/l) N-Nitrat (mg/l) Ortofosfat (mg/l)
Fitoplankton (sel/l)
Stasiun IV 28,09 0,70 77,92 37,44 5,70 1,80 0,15 0,19 18,64 17,10 7,75 0,30 30,92 1,98 3,56 0,86 0,380 0,47 0,018 0,013
Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev Rataan Stdev
I 27,9 1,20 70,00 45,3 7,8 0 3,31 0,29 0,28 27,9 27,30 7,88 0,20 32,67 2,10 3,97 0,64 0,336 0,47 0,016 0,012
II 29,37 1,00 62,10 30,7 6,80 0,60 0,14 0,17 28,55 41,70 7,75 0,30 30,92 1,83 4,03 0,68 0,468 0,57 0,016 0,009
III 29,23 0,80 45,42 16,6 3,30 1,40 0,09 0,08 27,24 17,30 7,67 0,20 29,75 2,01 4,06 0,55 0,395 0,58 0,021 0,016
Rataan
16.155.579
9.803.491
3.040.222
9.651.923
V 28,58 1,00 64,58 36,3 3,60 1,09 0,11 0,19 28,27 24,20 7,58 0,20 31,25 2,49 3,53 0,87 0,461 0,58 0,021 0,013
VI 28,23 0,70 65,83 50,6 4,60 1,22 0,10 0,10 30,64 35,10 7,75 0,30 30,92 1,51 3,81 0,90 0,378 0,41 0,024 0,014
6.511.088
8.796.296
Suhu air di Pelawangan Timur berkisar antara 27,90-29,23°C Suhu berpengaruh pada proses fisik perairan dan daya larut serta difusi oksigen pada perairan serta kehidupan organisme perairan. Setiap organisme memiliki suhu optimum untuk mendukung perkembangannya. Pada biota akuatik seperti ikan, suhu perairan berpengaruh pada proses pertumbuhan dan siklus reproduksinya (Bye,1984). Menurut beberapa penelitian bahwa suhu air berpengaruh pada pertumbuhan larva ikan dimana perubahan suhu secara drastis dapat meningkatkan mortalitas larva ikan (Bjornsson et al., 2001; Jordaan and Kling, 2003). Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 29,75-32,67 °/◦◦ dengan nilai rataan terendah berada di stasiun 3 (Cigintung) sedangkan yang tertinggi di stasiun I (Muara Donan). Berdasarkan KepMen Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, nilai salinitas di perairan tersebut masih termasuk rentang nilai yang sesuai untuk kehidupan biota laut. Salinitas merupakan salah satu parameter yang paling mempengaruhi organisme yang hidup pada ekosistem estuaria. Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme akuatik. Semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi pula tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungannya maka semakin besar pula energi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri. Pada ekosistem estuaria dimana fluktuasi salinitas kerap terjadi, biota akuatik seperti ikan yang dapat hidup di perairan tersebut adalah yang memiliki toleransi dan adaptasi yang luas terhadap perubahan salinitas. 33
Kekeruhan (turbiditas) di perairan Pelawangan Timur berkisar 18,6430,64 NTU. Kekeruhan menggambarkan sifat optik
air yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahanbahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell,1991 dalam Effendi, 2003). Nilai kekeruhan yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama yaitu 5-11,6 NTU (Siregar, 2007) dan 0,19-30,4 NTU (Sugiharto, 2005). Perbedaan nilai turbiditas tersebut dapat disebabkan karena perubahan kondisi lingkungan perairan dimana masukan air tawar dari daratan yang membawa partikel organik dan anorganik terlarut serta masuknya limbah aktivitas manusia di sekitar perairan tersebut semakin hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia di ekosistem tersebut. Kekeruhan yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya matahari yang digunakan dalam proses fotosintesis oleh fitoplankton. Akibatnya produktivitas primer fitoplankton menurun sehingga ketersediaan makanan bagi organisme pemakan fitoplankton seperti larva ikan akan terganggu. Kekeruhan yang diakibatkan meningkatkan partikel lumpur terlarut di perairan menghambat perkembangan telur dan menyebabkan kerusakan pada insang sehingga mengakibatan kematian pada ikan terutama fase larva (Robertson, et al.,2006). Oksigen terlarut yang diperoleh di lokasi pengamatan berkisar 3,56-4,06 mg/l. Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang berlendir (anoxia) sehingga menimbulkan kematian. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai indikator senyawa-senyawa kimia di perairan. Sumber oksigen di perairan adalah difusi udara dan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Perairan yang mengalir pada umumnya memiliki kandungan oksigen yang cukup karena gerakan air oleh arus dan angin menjamin berlangsungnya difusi udara. Derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Konsentrasi pH yang 34
diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,5-7,8. Nilai ini masih dalam kisaran normal dan sebagian besar biota akuatik di suatu perairan menyukai nilai pH dengan kisaran 7 – 8,5. Perubahan kadar pH di perairan mengganggu reproduksi organisme perairan seperti ikan, udang atau pun moluska. Menurut Ross et al. (2011), perubahan pH menyebabkan perubahan respon olfactory pada larva ikan Amphiprion percula yang berpotensi terhadap disorientasi pemilihan habitat yang sesuai. Rataan nilai kandungan N-nitrat (N-NO3) di lokasi penelitian adalah 0,340,47 mg/l dengan konsentrasi tertinggi di stasiun II (Donan) dan yang terendah di stasiun I (Muara Donan). Baku mutu untuk perairan berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 maksimal 10 mg/l, sedangkan kadar ortofosfat yang diperoleh di lokasi penelitian adalah 0,016-0,024 mg/l. Baku mutu air untuk ortofosfat tidak lebih dari 0,1 mg/l. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan disertai dengan keberadaan nitrogen dapat memacu ledakan pertumbuhan alga di perairan. Algae yang berlimpah dapat membentuk lapisan di permukaan air yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian berkisar antara 3.040.22216.155.579 sel/l dengan kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun I (Muara Donan) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun III (Cigintung). Fitoplankton dalam jejaring makanan di ekosistem perairan berperan sebagai produsen. Melalui proses fotosintesis, fitoplankton menyumbang oksigen bagi perairan. Larva ikan yang sudah tidak memiliki kuning telur sebagai cadangan makanan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber makanannya. Rata-rata kecepatan arus pada saat pengamatan berkisar antara 0,09-0,29 m/detik. Kecepatan arus air di lokasi cukup berfluktuatif. Arus air berperan mendistribusikan massa air dari laut menuju estuaria atau pun sebaliknya sehingga memungkinkan kondisi parameter lain seperti salinitas, DO dan turbiditas berfluktuasi. Arus sangat mempengaruhi keberadaan komunitas larva ikan. Larva ikan masih bersifat planktonik dimana pergerakannya sangat dipengaruhi oleh pola arus. Sifat larva ikan yang belum dapat berenang secara sempurna membuat keberadaaan komunitas larva sangat tergantung pola arus yang membawanya. Induk ikan saat memijah memilih lokasi yang sesuai untuk pemijahannya, namun arus dapat membawa telur atau larva ikan ke lokasi yang 35
tidak mendukung perkembangannya, misalnya lokasi dengan kondisi salinitas yang ekstrim, turbiditas tinggi atau banyak predator.
4.2.2 Kondisi Biofisika Kimia Perairan Pelawangan Timur Secara Spasial dan Temporal Hasil pengamatan terhadap parameter lingkungan setiap bulan di perairan Pelawangan Timur menunjukkan hasil yang bervariasi. Nilai kecerahan setiap bulannya berfluktuasi namun memiliki pola yang sama yaitu pada stasiun III nilai kecerahan lebih rendah dari stasiun lainnya (Gambar 11). Hal tersebut dapat disebabkan karena di sekitar stasiun III merupakan vegtasi mangrove dan bagian hulu dari perairan tersebut merupakan daratan dimana saat terjadi hujan partikelpartikel tanah akan terbawa air hujan masuk ke perairan tersebut. Rata-rata nilai kecerahan pada bulan Juni lebih tinggi daripada bulan lainnya, hal ini disebabkan pada waktu pengamatan tidak terjadi hujan sehingga tidak terdapat lumpur atau partikel terlarut dari daerah hulu yang terbawa masuk ke perairan.
120.0 100.0
cm
80.0
JUNI
60.0
JULI
40.0
AGSTS
20.0 0.0 I
II
III
IV
V
VI
Gambar 11. Nilai kecerahan selama waktu pengamatan pada masingmasing stasiun di Pelawangan Timur Kecepatan arus yang terukur pada bulan Juni dan Agustus relatif lebih besar daripada bulan Juli (Gambar 12).
Kecepatan arus yang lebih besar
tercatat di stasiun I (Muara Donan). Arus di estuaria Pelawangan Timur disebabkan oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai.
36
m/detik
0.450 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000
JUNI JULI AGSTS
I
II
III
IV
V
VI
Gambar 12. Kecepatan arus selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur Derajat keasaman (pH) di perairan Pelawangan Timur setiap bulannya berkisar pada 7,5-7,8 (Gambar 13). Rentang nilai tersebut masih
termasuk
normal untuk sebuah perairan yang mendukung kehidupan ikan. 7.9 7.9 7.8 7.8 7.7 7.7 7.6 7.6 7.5 7.5
JUNI JULI AGSTS
I
II
III
IV
V
VI
Gambar 13. Nilai pH selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di pelawangan timur Nilai kekeruhan (turbiditas) setiap bulannya berfluktuasi (Gambar 14). Nilai rataan kekeruhan di beberapa stasiun seperti stasiun II (Donan) dan III (Cigintung) pada bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan pada bulan lainnya. Kekeruhan yang meningkat dapat disebabkan besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan. Partikel tersuspensi dapat berasal dari bahan organik dan anorganik yang masuk ke perairan estuaria dari aliran sungai serta hasil aktivitas manusia. Perairan Donan merupakan jalur lalu lintas kapal dan daerah sekitarnya merupakan pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah ke perairan tersebut.
37
60 50
NTU
40 JUNI
30
JULI 20
AGSTS
10 0 I
II
III
IV
V
VI
Gambar 14. Nilai kekeruhan (turbiditas) selama waktu pengamatan pada masingmasing stasiun di Pelawangan Timur Kadar oksigen terlarut di perairan Pelawangan Timur selama penelitian berkisar antara 2,78-4,58 mg/l (Gambar 15). Kadar oksigen tertinggi terjadi pada bulan Agustus di Stasiun 2 (Donan) dan VI (Kembang Kuning) yaitu sebesar 4,58 mg/l. Kadar oksigen terlarut di perairan diperoleh dari difusi udara dan aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton. Adanya pergerakan angin dan arus menjamin keberadaan oksigen melalui proses difusi. 5.00
mg/l
4.00 3.00
JUNI
2.00
JULI AGSTS
1.00 0.00 I
II
III
IV
V
VI
Gambar 15. Kadar oksigen terlarut selama waktu pengamatan pada masingmasing stasiun di Pelawangan Timur Salinitas merupakan parameter penting di perairan estuaria. Nilai salinitas setiap bulannya memiliki pola yang hampir serupa dimana pada stasiun I (Muara Donan), nilai salinitas lebih tinggi dibandingkan di stasiun lainnya (Gambar 16). Pada bulan Agustus salinitas relatif lebih tinggi dibandingkan bulan lainnya. Perubahan salinitas musiman di estuaria biasanya merupakan akibat perubahan penguapan musiman dan atau perubahan aliran tawar. Pada bulan Agustus tersebut kemungkinan terjadi penguapan air yang tinggi sebagai akibat pengaruh musim kemarau dan minimnya hujan. 38
34
°/
32 30
JUNI
28
JULI
26
AGSTS
24 I
II
III
IV
V
VI
Gambar 16. Salinitas selama waktu pengamatan pada masing-masing stasiun di Pelawangan Timur
4.2.3 Karakteristik Kondisi Lingkungan di Stasiun Penelitian Hubungan karakteristik lingkungan di stasiun pengamatan dilakukan dengan teknik Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Matriks korelasi (Tabel 5) menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Dari hasil analisis matriks korelasi diketahui bahwa variabel kecerahan berkorelasi posistif dengan kelimpahan fitoplankton dan salinitas dengan korelasi masingmasing 0,68 dan 0,63. Variabel arus berkorelasi positif terhadap variabel kedalaman, salinitas, dan kelimpahan fitoplankton dengan nilai korelasi masingmasing 0,82; 0,87; 0,89. Variabel suhu air berkorelasi positif terhadap kadar NO3 dengan nilai korelasi 0,70 Tabel 5. Korelasi antar variabel lingkungan hasil analisis komponen utama CRH CRH ARS DLM T PH DO SAL TRBD NO3 PO4 FITO ZOO
1 0,45 0,55 -0,77 0,42 -0,61 0,63 -0,49 -0,26 -0,32 0,68 0,19
ARS
DLM
T
PH
DO
SAL
TRBD
NO3
PO4
FITO
ZOO
1 0,82 -0,53 0,78 0,20 0,87 -0,09 -0,57 -0,68 0,89 0,96
1 -0,32 0,87 0,28 0,74 -0,09 -0,31 -0,83 0,92 0,76
1 -0,46 0,50 -0,67 0,28 0,70 -0,06 -0,62 -0,35
1 0,42 0,61 -0,06 -0,69 -0,56 0,85 0,78
1 -0,11 0,47 -0,15 -0,29 0,08 0,45
1 0,10 -0,37 -0,47 0,92 0,74
1 0,19 0,30 -0,03 0,05
1 -0,02 -0,48 -0,58
1 -0,62 -0,65
1 0,79
1
Hasil analisis matriks korelasi data menunjukkan bahwa sumbangan komponen utama mempunyai akar ciri 6,61; 2,51; dan 1,40 yang artinya bahwa sebesar 55%; 21%; dan 12% keragaman gugus data dapat dijelaskan oleh ketiga sumbu, sedang sisanya yaitu sebesar 12 % ragam gugus data dijelaskan oleh sumbu-sumbu berikutnya. Secara rinci analisis tersebut disajikan pada Tabel 6. 39
Tabel 6. Diagonalisasi Komponen Utama Diagonalisasi Akar Ciri Kontribusi Ragam (%)
6,61 55%
2,51 21%
1,40 12%
Sumbu 2 (F2) -0,70 0,13 0,20 0,66 0,22 0,95 -0,12 0,57 0,11 -0,30 -0,02 0,37
Sumbu 3 (F3) -0,23 0,02 -0,30 -0,41 0,14 0,14 0,05 0,42 -0,65 0,67 -0,03 0,11
Koefisien Variabel dalam Fungsi Linier Sumbu Utama Variabel Kecerahan Arus Kedalaman Suhu air pH Oksigen terlarut Salinitas Keruhan (Turbiditas) Nitrat Ortofosfat Fitoplankton Zooplankton
Sumbu 1 (F1) 0,63 0,95 0,91 -0,63 0,89 0,13 0,87 -0,15 -0,60 -0,66 0,97 0,87
Kualitas representasi dari masing-masing variabel pada sumbu utama (sumbu 1, 2, dan 3) ditunjukkan dengan dekat tidaknya variabel-variabel tersebut terhadap masing-masing sumbu. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa variabel arus, kedalaman, pH, salinitas, fitoplankton dan zooplankton merupakan faktor utama pada sumbu pertama yang menjelaskan variabilitas data, yaitu masing-masing sebesar 0,95; 0,91; 0,89 ; 097 dan 0,87. Variabel oksigen terlarut, suhu air dan turbiditas merupakan faktor utama dari sumbu kedua. Sedangkan pada sumbu 3, faktor utama yang menjelaskan sumbu tersebut adalah variabel ortofosfat. Korelasi antar variabel dan sumbu utama tersebut dapat dilihat pada gambar 17 A dan 18 A.
40
Correlations circle on axes 1 and 2 (76% )
Biplot on axes 1 and 2 (76% )
1.5
2.5 2
1
DO T
-- axe 2 (21% ) -->
-- axis 2 (21% ) -->
ZOO PH DLM ARS FITO SAL
NO3
0
DO
1
TRBD
0.5
ST 2 ST 3
1.5
PO4
-0.5 CRH
-1
T
ST 1
TRBD
0.5
NO3
0 PO4 ST 6
-0.5 -1
ZOO PH DLM ARS SAL FITO CRH
ST 5
-1.5 -2
ST 4
-2.5
-1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
-3
1.5
-5
0 5 -- axe 1 (55% ) -->
-- axis 1 (55% ) -->
10
B
A Gambar 17 Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) A.korelasi antar variabel, B Sebaran stasiun pada sumbu faktorial utama
Biplot on axes 1 and 3 (67% )
Correlations circle on axes 1 and 3 (67% ) 1.5
2 ST 6
1.5
1
1 PO4
ST 3 -- axe 3 (12% ) -->
-- axis 3 (12% ) -->
0.5
TRBD DO
0
ZOO PH SAL ARS FITO CRH
DLM
T
-0.5
0.5 0
ST 5 T
-0.5
ST 1
PO4 TRBD ZOO DO PHSAL ARS DLM FITO
NO3 ST 4
-1
CRH
-1.5
NO3
ST 2
-2
-1
-2.5 -5
-1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
0
5
10
-- axe 1 (55% ) -->
-- axis 1 (55% ) -->
Gambar 18. Grafik Analisis Komponen Utama pada sumbu faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3), A.Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama (F1 dan F3); B.Sebaran stasiun pada sumbu faktorial utama
Gambar 17 B dan 18 B menunjukkan bahwa stasiun I (Muara Donan) memiliki salinitas, pH,
kelimpahan fitoplankton dan zooplankton
yang tinggi
serta arus yang besar dan kedalaman perairan yang dalam. Stasiun II dicirikan dengan oksigen terlarut dan kekeruhan yang tinggi sedangkan stasiun III 41
dicirikan oleh suhu air yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Stasiun II (Donan) merupakan daerah aliran sungai yang cukup besar dan terbuka dimana ada angin dan arus yang cukup membuat proses difusi udara berlangsung sehingga menjamin adanya oksigen terlarut selain itu Donan juga merupakan daerah alur transportasi dengan berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan limbah ke perairan sehingga kekeruhan meningkat. Sementara itu Stasiun IV cenderung memiliki turbiditas yang rendah dan kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun II. Stasiun IV (Sapurgel) merupakan perairan terbuka bagian dari muara Sungai Sapuregel. Stasiun V dicirikan oleh kandungan N-NO3 yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun VI (Kembang Kuning) ditandai dengan kandungan ortofosfat yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Namun demikian rataan kadar ortofosfat di perairan tersebut masih jauh di bawah ambang batas baku mutu air.
4.3 Distribusi Larva Ikan Jika dilihat secara umum, distribusi setiap genus larva berbeda di setiap stasiun. Larva ikan Tridentiger, Rhinogobius dan Gobiidae spp berada di seluruh stasiun pengamatan dengan kelimpahan yang tinggi sedangkan Sardinella, Herklotsichtys, Stolephorus dan Engraulis ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi hanya di beberapa lokasi (Gambar 19). Tridentiger dan Rhinogobius terdapat di seluruh stasiun, namun kelimpahan tertinggi adalah di stasiun III (Cigintung)
dan IV. Stasiun III
merupakan aliran sungai diantara vegetasi bakau dan merupakan daerah hulu di estuaria tersebut. Sedangkan stasiun IV merupakan muara Sapuregel sekaligus pertemuan antara Sungai Sapuregel dan Kembang Kuning dengan daerah sekitarnya merupakan vegetasi mangrove. Seperti halnya sebagian Gobiidae lainnya, kedua jenis tersebut menyukai perairan estuari dengan vegetasi mangrove serta daerah berlumpur atau berpasit. Larva Tridentiger yang tertangkap di Cigintung dan Sapuregel didominasi oleh fase postflexion sedangkan Rhinogobius didominasi oleh fase preflexion (Gambar 20 C dan D). Sardinella terdistribusi di stasiun I, II, IV, V dan VI namun kelimpahan tertinggi ada di stasiun I sementara Herklotsichthys hanya ditemukan di stasiun I. Stolephorus terdistribusi di stasiun I, II dan VI namun kelimpahan tertinggi hanya di stasiun II sementara Engraulis hanya ditemukan di stasiun II. Sardinella dan Herklotsichthys yang tertangkap di stasiun I terdiri dari fase preflexion dan flexion 42
(Gambar 20 A) demikian pula dengan larva Stolephorus dan Engraulis yang ada di stasiun I dan II (Gambar 20 A dan B). Hal tersebut menunjukkan bahwa larva tersebut masih dalam tahap perkembangan morfologi setelah menetas. Larva Omobranchus terdistribusi di semua stasiun pengamatan dengan kelimpahan tertinggi di stasiun I sedangkan larva Parasyngnathus ditemukan di seluruh lokasi penelitian dengan jumlah kelimpahan tertinggi di stasiun V (Pisangan). Larva Omobranchus yang tertangkap di setiap stasiun terdiri dari fase yang berbeda-beda, di stasiun I, III dan IV didominasi oleh fase flexion, sedangkan di stasiun V didominasi fase preflexion dan di stasiun II adalah fase postflexion (Gambar 20). Sementara itu, larva Parasygnathus yang tertangkap lebih banyak merupakan fase postflexion.
III V II VI
IV
IV
Tridentiger Gobiidae spp
Rhinogobius Sardinella
I
Omobranchus
Stolephorus
Herklostsichthys
Engraulis
Parasyngnathus
Gambar 19. Distribusi larva ikan dominan di lokasi penelitian
43
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Parasyngnathus
Omobranchus
Engraulis
Stolephorus
Sardinella
Gobiidae sp2
Gobiidae sp1
Rhinogobus
Tridentiger
Parasyngnathus
Omobranchus
Engraulis
Stolephorus
Herklotsichtys
Sardinella
Tridentiger
A. Stasiun I
B.Stasiun II 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Parasyngnath us
Omobranchus
Engraulis
Herklotsichtys
Sardinella
Gobiidae sp2
Gobiidae sp1
Rhinogobus
Tridentiger
Parasyngnathus
Omobranchus
Engraulis
Herklotsichtys
Sardinella
Gobiidae sp2
Gobiidae sp1
Rhinogobus
Tridentiger
D. Stasiun IV
C Stasiun III 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
F. Stasiun VI
: post flexion
Gambar 20. Komposisi morfologi larva ikan secara spasial
Jika dilihat setiap bulan pengamatan, distribusi larva ikan pada bulan Juni paling banyak di stasiun III (Cigintung) dan IV (Sapuregel) yang didominasi oleh genus Tridentiger dan Rhinogobius (Gambar 21).
Tridentiger
tidak hanya 44
Parasyngnathus
Omobranchus
Engraulis
Stolephorus
Sardinella
Gobiidae sp2
: flexion
Gobiidae sp1
: pre flexion;
Rhinogobus
Tridentiger
Parasyngnathus
Omobranchus
Sardinella
Gobiidae sp1
Rhinogobus
Tridentiger
E. Stasiun V
ditemukan di stasiun III dan IV namun juga tertangkap di stasiun lainnya namun dalam kelimpahan yang lebih rendah dibandingkan di kedua stasiun tersebut. Selain Tridentiger dan Rhinogobius, tertangkap pula larva Stolephorus di stasiun I, II, IV dan VI. Pada bulan Juli larva ikan terdistribusi paling banyak di
stasiun I
(Gambar 22), dengan komposisi larva dominan adalah dari Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthys).
Selain ditemukan di stasiun I, larva Sardinella juga
terdapat di stasiun II, IV dan VI namun dalam jumlah yang lebih sedikit sedangkan Herklotsichthys hanya ditemukan di stasiun I. Larva ikan lainnya yang tertangkap di stasiun I adalah Omobranchus. Selain ketiga genus larva tersebut pada bulan Juli juga tertangkap larva lainnya seperti Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus dan Parasyngnathus. Distribusi larva ikan pada bulan Agustus paling tinggi terdapat di stasiun II (Donan) dengan larva dominan adalah famili Engraulidae yaitu Stolephorus dan Engraulis (Gambar 23). Stolephorus dan Engraulis hanya tertangkap di stasiun II sedangkan larva ikan seperti Tridentiger, Gobiidae spp dan Omobranchus tertangkap di semua stasiun penelitian. Larva Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus memiliki sebaran yang luas di estuaria Pelawangan Timur serta di temukan setiap bulan pengamatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan tersebut melakukan pemijahan selama bulan-bulan pengamatan.
1000
Parasyngnathus
ind/100m3
900 800
Rhinogobius
700
Tridentiger
600
Gobiidae sp 2
500 Gobiidae sp1
400 300
Stolephorus
200
Engraulis
100
Omobranchus
0 I
II
III
IV
V
VI
Gambar 21. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juni
45
ind/100m3
350 300
Parasyngnathus
250
Rhinogobius
200
Tridentiger sp Gobiidae sp 2
150
Gobiidae sp1
100
Sardinella 50
Herklotsichthys
0 I
II
III
IV
V
VI
Omobranchus
Gambar 22. Kelimpahan larva ikan pada bulan Juli 500
Parasyngnathus
450
Rhinogobius
ind/100m3
400 350
Tridentiger
300
Gobiidae sp 2
250 Gobiidae sp1
200
Stolephorus
150 100
Engraulis
50 Omobranchus
0 I
II
III
IV
V
VI
Gambar 23. Kelimpahan larva ikan pada bulan Agustus
4.4 Distribusi Larva Ikan Hubungannya dengan Kondisi Lingkungan Untuk mengetahui pola distribusi dan preferensi larva ikan tersebut terhadap kelompok habitat dibuat matrik hubungan antara hasil pengelompokan habitat dan larva ikan dan dilakukan analisa nodul memakai indeks constancy dan fidelity. Analisis diawali dengan melakukan pengelompokan (cluster) terhadap habitat (stasiun pengamatan) dan kelompok genus larva ikan. Hasil analisis cluster terhadap stasiun pengamatan menghasilkan 2 kelompok yaitu kelompok 1 yang terdiri dari stasiun I, kelompok 2 terdiri dari stasiun II,III, IV, V dan VI (Gambar 24).
46
Tree Diagram for 6 Variables Complete Linkage Euclidean distances
ST 1 ST 2 ST 4 ST 6 ST 5 ST 3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
(Dlink/Dmax)*100
Gambar 24. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisika kimia perairan
Dari pengelompokkan tersebut terlihat bahwa stasiun I berdiri sendiri, sedangkan stasiun II,III, IV,V dan VI membentuk satu kelompok, artinya bahwa stasiun I memiliki karakteristik yang berbeda dengan stasiun lainnya. Seperti diketahui bahwa stasiun I terletak di mulut estuaria dimana karakteristik parameter kualitas air masih sangat kuat dipengaruhi oleh massa air laut, hal tersebut terlihat dari nilai salinitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sedangkan stasiun II, III, IV, V dan VI merupakan bagian dari aliran sungai yang mendapatkan pengaruh air laut dan terletak lebih jauh dari mulut estuaria sehingga kisaran nilai salinitas lebih rendah dibandingkan dengan stasiun I. Sedangkan hasil analisis cluster untuk komunitas larva ikan (Gambar 25) menghasilkan 6 kelompok sebagai berikut.
47
Ambassis Eleutheronema Parapercis Pomachantidae sp Glossogobius Rediogobius oostethus Secutor Tridentiger sp Rhinogobius Ostracidae sp Cynoglossus Acentrogobius Parachaeturichthys sp Mugil Omobranchus Caranx Liza Tetraodontidae sp Herklotsichthys Silago Upeneus sp Sardinella Hypoatherina Gobiidae sp1 Gerres Pomacentrus Engraulis sp Eleotris Stolephorus sp Gobiidae sp 2 Parasyngnathus
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
(Dlink/Dmax)*100
Gambar 25. Pengelompokan larva ikan dengan analisis cluster Tabel 7. Kelompok Larva Ikan Hasil Analisis Cluster A Ambassis Eleutheronema Parapercis Pomachantus Glossogobius Oosthetus Secutor Tridentiger Rhinogobius Ostraciidae spp
B Cynoglossus Acentrogobius Mugil Omobranchus
C Caranx Liza Tetraodon Herklotsichthys Silago Upeneus Sardinella
D Hypoatherina Gobiidae spp1
E Gerres Pomacentrus
F Engraulis Eleotris Stolephorus Gobiidae spp2 Parasyngnathus
Analisis dengan indeks constancy dan fidelity digunakan untuk melihat keberadaan larva ikan pada habitatnya. Hasil analisis untuk indeks constancy dan fidelity tertera pada Gambar 26 dan 27 di bawah ini.
48
II
I A
keterangan
I
<0,1: sangat rendah
B
≥ 0,1 : rendah
C
≥ 0,3 :sedang ≥ 0,5 : tinggi
D
≥ 0,7: sangat tinggi
E
F Gambar 26. Analisis nodul berdasarkan indeks constancy I A
II keterangan <1 sangat rendah
B C
≥ 1 rendah ≥ 2 sedang ≥ 3 tinggi
D
≥ 4 sangat tinggi
E F Gambar 27. Analisa nodul berdasarkan indeks fidelity
Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva ikan dari jenis kelompok A memiliki nilai constancy yang tinggi di semua kelompok stasiun namun nilai fidelity yang cenderung rendah. Tingginya nilai constancy di kedua kelompok habitat menunjukkan bahwa larva ikan dari kelompok tersebut memiliki kecenderungan terdistribusi di seluruh habitat perairan estuaria tersebut. Kelompok larva ikan A terdiri dari family Gobiidae seperti Glossogobius, Tridentiger, Rhinogobius; famili Polynemidae (Eleutheronema), Ambassidae 49
(Ambassis), Mugiloididae (Parapercis), Leioghnatidae (Secutor), Syngnathidae (Oosthesus) Pomachanthidae (Pomachanthus) dan Ostraciidae. Dilihat dari tingginya nilai constansy di kedua kelompok habitat menunjukkan bahwa larva ikan tersebut memiliki sebaran yang luas di perairan estuaria Pelawangan Timur. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan di perairan estuaria mendukung kehidupan larva tersebut. Sebagian besar dari ikan tersebut merupakan ikan-ikan khas daerah estuaria dan mangrove yang berada di estuaria selama hidupnya seperti Gobiidae, Mugiloididae, Polynemidae
dan
Ambassidae (Leis andCartson-Ewart, 2000; Strydom and d’Hotman, 2005). Larva ikan dari kelompok B terdiri dari Cynoglossidae (Cynoglossus), Gobiidae (Acentrogobius), Mugiliidae (Mugil) dan Blenniidae (Omobranchus) ditemukan di kelompok habitat 1 (stasiun I) dan 2 (stasiun II,III, IV, V dan VI). Larva tersebut memiliki kecenderungan berada di kelompok habitat II yang ditunjukkan dengan tingginya nilai constancy pada kelompok habitat tersebut. Namun demikian nilai fidelity tergolong rendah di habitat tersebut. Larva ikan dari kelompok C terdiri dari Caranx, Liza, Tetraodon, Herklotsichthys, Silago, Upeneus dan Sardinella. Jenis ikan dari kelompok tersebut merupakan ikan-ikan dengan habitat pesisir dan laut.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa kelompok larva ikan tersebut memiliki nilai indeks constancy dan fidelity yang sangat tinggi di kelompok habitat 1 dan rendah di kelompok habitat 2. Hal tersebut menunjukkan keberadaan kelompok larva tersebut di habitat 1 (stasiun I) yang merupakan bagian terluar dari estuaria dan masih memiliki pengaruh masa air laut yang cukup besar. Stasiun I merupakan perairan yang terletak di mulut estuaria terluar, dimana pengaruh massa air laut masih cukup kuat. Jenis ikan dari kelompok C tersebut merupakan ikan-ikan dengan habitat pesisir dan laut yang menggunakan ekosistem estuaria sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi larvanya (Carpenter and Niem,1999; Criales et al., 2002; Strydom and d’Hotman, 2005).
Ikan-ikan yang memiliki
affinitas dengan laut seperti famili Clupeidae (Sardinella) cenderung memilih lower estuary yang masih memiliki karkateristik massa air laut yang kuat untuk memijahkan telur dan membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut diperkuat pula dengan melimpahnya larva fase preflexion di habitat tersebut. Fase preflexion merupakan fase awal perkembangan larva setelah menetas dan cadangan makanan berupa kuning telurnya habis.
50
Larva ikan dari kelompok D terdiri dari Hypoatherina dan Gobiidae spp. Larva kelompok D memiliki konsistensi yang sedang dikelompok habitat 2 namun rendah di habitat 1 sedangkan nilai fidelity rendah di kedua kelompok habitat tersebut. Larva kelompok D cenderung terdistribusi ke tipe habitat 2 yang merupakan aliran sungai dan daerah hulu di sekitar vegetasi mangrove. Hypotherina merupakan famili Atherinidae yang mendiami habitat
perairan
pesisir dan mangrove. Larva kelompok E yang terdiri dari Gerres dan Pomacentrus
memiliki nilai constancy yang sedang di kelompok habitat 1,
artinya bahwa kedua jenis larva tersebut lebih cenderung ditemukan di habitat 1. Gerres merupakan jenis ikan yang hidup di perairan pantai dan menyukai perairan dangkal, jernih dengan dasar berpasir dan terkadang masuk ke perairan estuaria. Pomacentrus menyukai perairan pesisir laut terutama daerah laguna dan karang. Larva ikan dari kelompok F terdiri dari Stolephorus, Engraulis, Eleotris dan Parasyngnathus. Larva ikan tersebut cenderung berada di kelompok habitat 2 terutama di perairan Sungai Donan. Larva ikan Engraulidae memiliki keterkaitan yang tinggi dengan ekosistem estuaria. Hasil penelitian Morais et al., (2010) menunjukkan bahwa ikan Engraulidae memilih daerah estuaria untuk memijahkan telur sehingga larvanya akan berkembang di daerah tersebut terutama pada salinitas yang lebih rendah dan bermigrasi ke daerah dengan salinitas yang lebih tinggi pada fase dewasa. Hasil analisa pada kelompok larva ikan tersebut di atas menghasilkan nilai indeks constancy yang jauh berbeda dengan nilai indeks fidelity seperti pada kelompok A dimana nilai constancy tinggi sementara fidelitynya rendah, demikian juga yang terjadi pada kelompok lainnya. Indeks constancy menunjukkan keberadaan menunjukkan kemunculan kelompok larva ikan pada suatu habitat/tempat dalam setiap kemungkinan kejadian, sedangkan fidelity lebih berkaitan dengan ketetapan larva ikan dalam memilih tipe habitat yang sesuai untuk kehidupannya. Perbedaan nilai indeks constancy dan fidelity yang jauh tersebut disebabkan karena larva ikan masih bersifat planktonik sehingga keberadaannya di suatu habitat perairan lebih ditentukan karena arus yang membawanya sehingga dalam hal ini larva ikan belum memiliki kemampuan untuk berenang memilih perairan yang sesuai untuk hidupnya. Hal tersebut yang menyebabkan nilai fidelity yang rendah.
51
Larva Tridentiger, Rhinogobius, Omobranchus tersebar luas di perairan estuaria Pelawangan Timur. Keberadaan Tridentiger di stasiun IV dan III cukup besar ditandai dengan kelimpahannya yang tinggi dibandingan di stasiun lainnya. Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama terhadap parameter lingkungan dan stasiun pengamatan, stasiun III dicirikan oleh parameter suhu air sedangkan stasiun IV dicirikan oleh kecerahan yang tinggi atau turbiditas yang rendah. Sedangkan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa suhu air dan kekeruhan berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva tersebut dengan nilai korelasi masing-masing 0,25 dan 0,33 (P<0,05) (Lampiran 9). Sementara itu hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva dan parameter lingkungan menunjukkan bahwa suhu air merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva Rhinogobius. Beberapa jenis dari Gobiidae menyukai perairan dengan suhu yang hangat untuk melakukan pemijahan dan perkembangan telur serta larva. Korelasi positif antara kekeruhan dan kelimpahan larva Tridentiger menunjukkan bahwa kondisi perairan estuaria yang keruh tidak menjadi penghalang bagi keberadaan larva Tridentiger. Kekeruhan juga memberikan ruang gerak yang terbatas bagi predator untuk memangsanya. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan larva Omobranchus dengan parameter kualitas lingkungan menunjukkan bahwa salinitas, kecerahan dan fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva Omobranchus. Hasil analisis nodul menunjukkan bahwa larva Stolephorus memiliki constancy yang tinggi di kelompok habitat 2 (stasiun II, III, IV V dan VI). Kelimpahan larva Stolephorus paling tinggi terdapat di stasiun II (Donan). Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama sebelumnya menunjukkan bahwa stasiun II dicirikan oleh kadar oksigen dan kekeruhan yang tinggi. Namun hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan yang berkorelasi positif dengan kelimpahan larva adalah suhu, kekeruhan dan arus berkorelasi positif dengan masing-masing nilai koreasi adalah 0,39; 0,31 dan 0,40 (P<0,05) (Lampiran 10). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tzeng et al. (2008), yang menyatakan bahwa rekrument larva Stolephorus insularis meningkat pada saat musim panas ketika suhu perairan tinggi, sedangkan menurut Arockiamary et al. (2011), kelimpahan telur Engraulidae berkorelasi posistif dengan suhu air. Sedangkan arus air berperan membawa larva ikan masuk ke perairan estuari. Namun dalam penelitian ini belum tergambar dengan jelas peran arus terhadap distribusi larva di perairan estuari. Korelasi positif antara kekeruhan dan 52
kelimpahan larva Stolephorus menunjukkan bahwa larva Stolephorus masih dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh. Larva Engraulis ditemukan melimpah pada tempat yang sama dengan Stolephorus. Hasil analisis korelasi Spearman
menunjukkan bahwa terdapat
korelasi antara kekeruhan dengan kelimpahan larva tersebut. Kiddeys et al., (1999) menyatakan bahwa distribusi telur dan larva anchovy (Engraulis) berkorelasi secara nyata dengan salinitas, suhu dan zooplankton. Namun dengan melihat adanya korelasi antara larva Engraulis dengan kekeruhan menunjukkan bahwa larva tersebut masih dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang keruh. Sardinella dan Herklotsichtys merupakan larva yang memiliki constancy dan fidelity tinggi di kelompok habitat 1 (stasiun I). Berdasarkan analisis komponen utama, stasiun I dicirikan oleh parameter salinitas dan kelimpahan fitoplankton yang tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa salinitas dan fitoplankton berkorelasi positif terhadap kelimpahan larva Sardinella
dengan
masing-masing nilai korelasi 0,26 dan 0,36 (p<0,05), demikian pula dengan larva Herklotsichthys memiliki korelasi positif dengan salinitas (0,253, p<0,05). Famili Clupeidae menyenangi perairan dengan kadar salinitas yang lebih tinggi dibandingkan perairan tawar, bahkan
Cupeidae akan masuk ke perairan
estuaria yang dekat dengan laut dimana pengaruh massa air laut masih cukup besar ditandai dengan salinitas yang masih tinggi untuk melakukan pemijahan dan pengasuhan bagi larvanya (Carpenter and Niem, 1999). Larva ikan Tridentiger dan Rhinogobius ditemukan di seluruh lokasi penelitian pada setiap waktu pengamatan dengan berbagai bentuk tahapan perkembangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan penghuni tetap perairan estuari Pelawangan Timur dan melakukan pemijahan sepanjang bulan pengamatan. Sedangkan jenis ikan lainnya seperti Sardinella, Herklotsichthys, Stolephorus dan Engraulis yang hanya ditemukan melimpah pada waktu dan lokasi tertentu merupakan ikan yang masuk ke perairan estuaria berkaitan dengan aktivitas pemijahan serta pengasuhan larvanya. Menurut penelitian Morais and Morais (1994), larva Engraulidae selalu ditemukan di perairan estuari. Beberapa jenis ikan laut memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria dalam siklus hidupnya terutama pada fase larva. Pada saat memijah, beberapa jenis ikan laut akan masuk ke perairan estuaria sehingga larva-larva ikan yang baru menetas akan berada di perairan tersebut hingga 53
berkembang menjadi juvenil. Beberapa jenis ikan dari famili Clupeidae, akan masuk ke perairan estuaria terutama di bagian muara (upper estuary) untuk memijah dan larva-larva yang ditetaskan akan berkembang di perairan tersebut. Berdasarkan komposisi, kelimpahan, distribusi dan analisis nodul (indeks constancy dan fidelity) serta beberapa pustaka mengenai siklus hidup dan habitat ikan, beberapa Genus ikan yang berada di Estuaria Pelawangan Timur terdiri dari ikan yang merupakan penghuni tetap estuaria (resident), ikan yang melakukan migrasi ke estuaria dalam siklus hidupnya (migratory) atau pun ikan yang hanya sesekali berada di estuaria selama siklus hidupnya (occasional) (Tabel 8).
Tabel 8. Kelompok ikan berdasarkan siklus hidupnya di ekosistem estuaria Genus Ambassis Hypoatherina Omobranchus Cynoglossus Caranx Sardinella Herklotsichthys Stolephorus Engraulis Eleotris Gerres Tridentiger Rhinogobius Glossogobius Secutor Leioghnathus Mugil Parapercis Upeneus Ostraciidae spp Pomacentrus Pomachantus Eleutheronema Silago Parasyngnathus Tetraodontidae spp
Kelompok estuaria estuaria estuaria sesekali di estuaria sesekali di estuaria bermigrasi ke estuaria bermigrasi ke estuaria bermigrasi ke estuaria bermigrasi ke estuaria estuaria sesekali di estuaria estuaria estuaria estuaria sesekali estuaria sesekali di estuaria estuaria estuaria sesekali di estuaria sesekali di estuaria sesekali di estuaria estuaria estuaria sesekali di estuaria estuaria sesekali di estuaria
Keterangan komersial non komersial non komersial non komersial komersial komersial komersial komersial komersial non komersial non komersial non komersial non komersial non komersial non komersial komersial komersial non komersial komersial non komersial non komersial non komersial komersial komersial non komersial non komersial
4.5.Komposisi Jenis Ikan di Estuaria Pelawangan Timur Perairan estuaria Pelawangan Timur merupakan kawasan perairan yang dimanfaatkan oleh nelayan setempat sejak lama untuk menangkap ikan. Beberapa lokasi yang merupakan daerah penangkapan meliputi Sapuregel, 54
Kembang Kuning dan Karang Bolong (di sekitar Muara Donan). Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan setempat meliputi apong (Fyke net) dan jaring. Alat tangkap dominan yang beroperasi di kawasan tersebut adalah apong. Apong merupakan alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan mengandalkan kondisi pasang surut air laut. Ketika kondisi pasang, banyak ikan yang masuk ke perairan estuaria
dan masuk ke dalam perangkap apong. Ketika air surut
nelayan setempat akan mengambil hasil tangkapan dari apong tersebut. Perairan
Pelawangan
Timur
memiliki
berbagai
jenis
ikan
yang
dimanfaatkan oleh nelayan setempat. Selain ikan, hasil tangkapan nelayan tersebut adalah udang. Jenis ikan di kawasan Pelawangan Timur didominasi oleh ikan teri (Engraulidae). Komposisi jenis ikan di estuaria Pelawangan Timur yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan setempat adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Jenis dan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di Pelawangan Timur, Segara Anakan. Nama Daerah Teri Petek Layur Mursia Leak Kiper Belanak Cangkek Rek rekan Kapasan Pempreng Lendra Kuro Bojor Tiga waja Kuniran Tungon Buntal Terogan Pelus
Jenis Stolephorus sp Leiognathus sp; Secutor sp Trichurus sp Sardinella sp Thryssa sp Scatophagus argus Mugil cephalus Caranx sp Pomadasys argenteus Gerres sp Apogon sp Cynoglossus sp Eleutheronema tetradactylum Silago sihama Johnius sp Upeneus sp Trypauchen sp Tetraodon sp Therapon theraps Anguilla sp
Famili Engraulidae Leioghnatidae Trichluridae Clupeidae Engraulidae Scatophagidae Mugilidae Carangidae Pomadacidae Gerreidae Apogonidae Cynoglossidae Polynemidae Silaginidae Scianidae Mullidae Gobiidae Tetraodontidae Theraponidae Anguillidae
Proporsi(%) 51,20 4,73 3,27 8,10 4,40 3,14 3,22 3,01 0,16 2,41 5,44 2,12 0,31 1,15 0,23 1,50 3,14 0,20 0,16 2,11
4.6 Implikasi Penelitian Larva Ikan di Estuaria Pelawangan Timur bagi Pengelolaan Perikanan Pengetahuan mengenai komunitas larva ikan dan dinamikanya dalam suatu perairan menjadi salah satu unsur yang diperlukan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya ikan di suatu kawasan perairan. Data mengenai sebaran larva ikan di suatu perairan menjadi salah satu informasi untuk 55
mengetahui tempat pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan (nursery ground) ikan yang diperlukan untuk upaya pengelolaan sumberdaya ikan melalui perlindungan habitat pemijahan dan pengasuhannya. Sebagaimana diketahui bahwa fase larva merupakan fase kritis dalam siklus hidup ikan yang akan menentukan keberlanjutan stoknya maka perubahan habitat
pemijahan dan
pengasuhan akibat degradasi lingkungan perairan akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan stok ikan di perairan. Saat ini data mengenai komunitas larva ikan, dinamika serta sebarannya di perairan menjadi data penting untuk menentukan kawasan refugia perikanan (fisheries refugia) (UNEP, 2007). Kawasan estuaria Pelawangan Timur merupakan alur lalu lintas kapal dari beberapa kegiatan industri di sekitarnya. Selain itu beberapa wilayah di perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan oleh nelayan. Dalam Perda Kab. Cilacap No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Perikanan di Kawasan Segara Anakan, telah dinyatakan adanya kawasan lindung yang meliputi kawasan perairan pintu masuk bagian timur dari samudera Hindia (pintu masuk kawasan Pelawangan Timur) sampai perairan Sungai Sapuregel, daerah pertemuan Sungai Sapuregel dan Kembang Kuning (Gambar 28).
Gambar 28. Peta kawasan lindung dan lokasi penelitian di Pelawangan Timur
56
Berdasarkan data komunitas larva ikan yang diperoleh di estuaria Pelawangan
Timur,
maka
beberapa
kawasan
perairan
tersebut
perlu
dipertimbangkan untuk menjadi daerah perlindungan bagi ikan-ikan laut yang melakukan pemijahan di kawasan estuaria. Beberapa stasiun pengambilan sampel termasuk ke dalam kawasan lindung yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Cilacap (Gambar 28). Berdasarkan data sebaran komunitas larva ikan, implementasi kawasan lindung harus segera dilaksanakan mengingat potensi kawasan tersebut sebagai daerah pemijahan dan pengasuhan larva namun hingga saat ini kawasan tersebut masih menjadi daerah penangkapan oleh nelayan dengan alat tangkap apong (Fyke net).
57
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Total larva ikan yang tertangkap selama penelitian adalah 5186 ekor yang terdiri dari 21 familia dan 33 genus. Famili Gobiidae merupakan penyusun terbesar dalam komunitas larva ikan di estuaria Pelawangan Timur yaitu sebesar 66,62%, diikuti oleh famili Engraulidae (10,72%), Clupeidae (9,99%) dan Blennidae (7,60%). Larva dominan yang menyusun komunitas larva ikan adalah dari genus Tridentiger (46,39%) dengan kelimpahan 1836/100 m3, Rhinogobius (9,91%) dengan kelimpahan 392 ind/100 m3, Gobiidae sp1 (7,19%) dengan kelimpahan 285 ind/100 m3, Sardinella (7,98%) 318 ind/100 m3, Stolephorus (6,71%) 266 ind/100 m3 dan Omobranchus (7,6%) 301 ind/100 m3. Larva ikan famili Gobiidae seperti Tridentiger dan Rhinogobius memiliki sebaran yang luas di estuaria Pelawangan Timur dan memijah sepanjang waktu penelitian. Larva ikan famili Clupeidae
(Sardinella dan Herklotsichthys) dan
Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) cenderung berada pada bagian estuaria yang dekat dengan laut. Jenis tersebut merupakan ikan yang bermigrasi ke perairan estuaria pada waktu tertentu terkait dengan masa pemijahan dan pengasuhan larva sedangkan famili Gobiidae merupakan penghuni tetap perairan estuaria (sedentary) dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di ekosistem tersebut. Parameter lingkungan yang berkorelasi positif terhadap keberadaan larva Clupeidae (Sardinella dan Herklotsichthy) adalah salinitas dan fitoplankton. Kekeruhan perairan tidak menjadi penghalang bagi keberadaan larva Gobiidae (Tridentiger) dan larva Engraulidae (Stolephorus dan Engraulis) di estuaria tersebut.
5.2 Saran Untuk dapat menggambarkan secara lengkap dinamika komunitas larva ikan di perairan estuaria Pelawangan Timur beserta fluktuasinya yang dipengaruhi oleh musim diperlukan rentang waktu penelitian yang lebih lama. Hal tersebut sangat diperlukan untuk memperkuat informasi jenis ikan laut apa saja yang memiliki ketergantungan terhadap ekosistem estuaria sebagai habitat 58
pemijahan dan pengasuhan. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan habitat daerah pemijahan dan asuhan, selain itu dalam penelitian ini belum tergambar pola arus yang mempengaruhi keberadan dan sebaran larva ikan di perairan tersebut. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pola arus terhadap penyebaran larva ikan di perairan estuaria tersebut.
59
DAFTAR PUSTAKA
Ardli, RE. 2007. Spatial and Temporal Dynamics of Mangrove Conversion at the Segara Anakan Cilacap, Java, Indonesia. Synopsis of Ecological and Socio-Economic Aspectsof Tropical Coastal Ecosystem with Special Reference to Segara Anakan. Research Institute. University of Jenderal Soedirman. Purwokerto. Arockiamary A, Vijayalakshmi, Balasubramanian T. 2011. Engraulidae eggs from Parangipettai waters. European Journal of Experimental Biology 1 :125131. Barletta-Bergan. A., Barletta M, Saint–Paul U. 2002. Structure and Seasonal Dynamics of Larval Fish in the Caete´ River Estuary in North Brazil. Estuarine, Coastal and Shelf Science 54: 193–206. Beck MW et al. 2001. The Identification, Conservation, and Management of Estuariane and Marine Nurseries for Fish and Invertebrates. BioScience 51: 633-640. Bengen DG. 2000. Sinopsis. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor Bensman P.1990. A synopsis of the early developmental stages of fishes of the genus Sardinella Valenciennes from Indian waters with keys for their identification. Indian J.Fish 37 (3): 229-235 Blaber JM. 2000. Tropical Estuarine Fishes: Ecology, Exploitation and Conservation. Blackwell Science Ltd. Boesch DF. 1977. Application of Numerical Classification in Ecological Investigations of Water Pollution. Corvallis Environmental Research Laboratory Office Of Research And Development. Oregon. US Bonecker ACT, De Castro MS, Namiki CAP, Bonecker FT, Gomes de Baros FBA. 2007. Larval fish composition of a tropical estuary in northern Brazil (2º18’-2º47’S/044º20’- 044º25’W) during the dry season. Pan-American Journal of Aquatic Sciences 2 (3): 235-241 Bonecker FT, De Castro MS, Bonecker ACT. 2009. Larval fish assemblage in a tropical estuary in relation to tidal cycles,day/night and seasonal variations. Pan-American Journal of Aquatic Sciences, 4(2): 239-246 Bjornsson B, Steinarsson A, and Oddgeirsson M. 2001. Optimal temperature for growth and feed conversion of immature cod (Gadus morhua L.). ICES Journal of Marine Science, 58: 29–38 Bye JV. 1984. The Role of Environmental Factors in the Timing of Reproductive cycles. In Fish Reproduction (Potts, G. W. & Wotton, R. J., eds). American Press, London,pp187-203 60
Carpenter EK and Niem VH, editor. 1999. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific Volume 3 Batoid fishes, chimaeras and Bony fishes part 1 (Elopidae to Linophrynidae). FAO Species Identification Guide For Fishery Purposes. Carpenter EK and Niem VH, editor. 1999. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific Volume 4 Bony Fish Part 2 (Mugilidae to Carangidae). FAO Species Identification Guide For Fishery Purposes. Carpenter EK and Niem VH, editor. 1999. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific Volume 5 Bony Fish Part 3 (Menidae to Pomacentridae). FAO Species Identification Guide For Fishery Purposes. Criales MM, Yeung C, Amaya F, LO´ Pez AC, Jones DL, Richard W. 2002. Larval Supply of Fishes, Shrimps, and Crabs into the Nursery Ground of the Cie´naga Grande de Santa Marta, Colombian Caribbean. Caribbean Journal of Science, Vol. 38, No. 1-2, 52-65, 2002 Dando PR. 1984 Reproduction in estuarine fish. In Fish Reproduction (Potts, G. W. & Wotton, R. J., eds). American Press, London, pp. 155–170 Dudley RG. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plan. Segara Anakan Conservation and Development Project Component B & C. Consultant ‘s Report. Djuwito, 1985. Analisis Struktur komunitas ikan di Segara Anakan Cilacap. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Ecology team. 1984. Ecological Aspect of Segara Anakan in Relation to its future management. Institute of Hydraulic Engineering & Faculty of Fisheries Bogor Agricultural University. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius Yogyakarta Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. Eliot M and Hemingwy KL. 2002. Fishes in estuaries. Blackwell Science. Esteves E, Teresa Pina§ M, Chícharo A, Pedro Andrade J. 2000. The distribution of estuariane fish larvae: Nutritional condition and co-occurrence with predators and prey. Acta Oecologica 21 (3) : 161−173. Garcia AM, Vieira JP, Winemiller KO. 2001. Dynamics Of The Shallow-Water Fish Assemblage Of The Patos Lagoon Estuary (Brazil) During Cold And Warm ENSO Episodes. Journal of Fish Biology 59: 1218–1238. Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International.
61
Green SB, Fisher R. 2004. Temperature influences swimming speed, growth and larval duration in coral reef fish larvae. Journal Experimental Marine Biology and Ecology 299 (2004) : 115-132. Griffin JF, Smith HE, Carol AV, Garry NC. 2009. Impacts of Suspended Sediments on Fertilization, Embryonic Development, and Early Larval Life Stages of the Pacific Herring, Clupea pallasi. Biol. Bull. 216: 175–187. Hardy JS, Kieser L, Antrim A, Stubin R.Kocan and J. Strand. 1987. The SeaSurface Microlayer of Puget Sound: Part I. Toxic Effects on Fish Eggs and Larvae. Marine Environmental Research 23:227-249. Huijbers CM, Mollee EM, Nagelkerken I. 2008. Post-larval french grunts (haemulon flavolineatum) distinguish between seagrass, mangrove and coral reef water: implications for recognition of potential nursery habitats. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 357: 134–139. Ikejima K, Tongnunui P, Medej T, Taniuchi T. 2003. Juvenile and small fishes in a mangrove estuary in trang province, thailand: seasonal and habitat differences. Estuariane, Coastal and Shelf Science 56 (2003) :447–457. Islam MS, Hibino M, Nakayama K, Tanaka M. 2006. Condition of larval and early juvenile japanese temperate bass (lateolabrax japonicas) related to spatial distribution and feeding in the chikugo estuarine nursery ground in the ariake bay, japan. Journal of Sea Research 55 (2006) 141– 155 Jennerjahn T, Peter H, Insa P, Bushra N. 2007. Environmental condition in the Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. In Yuwono,E., et al. Synopsis of Ecological and Socio-Economic Aspect of Tropical Coastal Ecosystem with Special Reference to Segara Anakan. Research Institute Jendral Soedirman University Purwokerto. Jordaan A and Kling JL. 2003. Determining the optimal temperature range for Atlantic cod (Gadus morhua) during early life. The Big Fish Bang. Proceedings of the 26th Annual Larval Fish Conference. 2003. Institute of Marine Research, Postboks 1870 Nordnes, N-5817, Bergen, Norway Joyeux JC. 1999. The Abundance of Fish Larvae in Estuaries: Within-Tide Variability at Inlet and Immigration. Estuaries Vol. 22, No. 4, p. 889–904 Kendall JrAW, Ahlstrom EH, Moser HG. 1983. Early Life History Stages of Fishes and Their Characters in : Ontogeny and systematic of fishes. Based on An International Symposium Dedicated to the Memory of Elbert Halvor Ahlstrom. National Marine Fisheries Service.US Kennish MJ. 1990. Ecology of estuaries, Volume II Biological Aspects. CRC Press, Boca Raton, Florida, 391 pp. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004btentang Baku Mutu Air Laut. Kiddey AE, Gordina AD, Bingel F and Nierman U. 1999.The Effect of Environmental Conditions on the Distribution of Eggs and Larvae of 62
Anchovy (Engraulis encrasicolus L) in the Black Sea. Journal Marine Science 56: 58-64. King M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and Management. Second edition. Blackwell Publishing. Krebs JC. 1989. Ecological Methodology. R.R.Donnelley& Sons Company. New York.United States of America.653 pp Lagendre L.and Lagendre P. 1998. Numerical Ecology 2nd English Edition. Elsevier Scientific Publishing Company. New York Laegdsgaard P and Johnson C. 2001. Why do juvenile fish utilise mangrove habitats? Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 257 (2001) 229–253. Leis JM and Carson-Ewart BM. 2000. The Larvae of Indo Pasific Coastal Fishes, An Identification guide to Marine Fish Larvae: Fauna Malesiana HandBook 2. Brill. Boston Ludwig JA and Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer On Methods and Computing. John Wiley and Sons Inc. New York. Mason CF.1981. Biology of Fresh Water Pollution.Longman, Inc.New York. Mc.Kinley AC, Miskiewicz A, Taylor MD, Johnson EL. 2011. Strong links between metal contamination, habitat modification and estuarine larval fish distributions. Environmental Pollution 159 (2011): 1499-1509 Morais TA and Morais TL. 1994. The abundance and diversity of larval and juvenile fish in a tropical estuary. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 17: 216-225 Morais P, Babaluk J, Correia AT, Chícharo MA, Campbell JL , Chícharo L. 2010. Diversity of anchovy migration patterns in an European temperate estuary and in its adjacent coastal area: Implications for fishery management. Journal of Sea Research 64 (2010) 295–303. Mitchell CP. 1994. Whitebait Spawning Ground Management. Science & Research Series No. 69. Department of Conservation. Wellington, New Zealand. Miller PJ. 1984. The tokology of gobioid fishes In: Potts G.W. & Wootton R.J. (eds.), Fish reproduction: strategies and tactics. Academic Press, London: 119–153. Nelson JS. 1994. Fishes of the World, 3rd. ed. Wiley and Sons, New York. North EW, Houde ED. 2001. Retention of White Perch and Striped Bass Larvae: Biological-Physical Interactions in Chesapeake Bay Estuarine Turbidity Maximum. Estuaries Vol. 24, No. 5, p. 756–769.
63
Nursid M. 2002.Distribusi dan Kelimpahan Larva Ikan di Estuaria Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Sounders. Toronto. Okiyama M (editor). 1988. An Atlas of the Stage Fishes in Japan. Tokyo University Press. Tokyo Patrick P. 2008. Larval FIish Dynamics in the shallow nearshore of eastern Algoa Bay with particular emphasis on the effect of currents and swimming abilities on dispersal. Thesis.Rhode University. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia.No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pribadi R. 2007. Mangrove vegetation of Segara Anakan Cilacap, Java,Indonesia:Structure Composition, Litter-fall Production and decomposition. In Yuwono,E., et al. Synopsis of Ecological and SocioEconomic Aspect of Tropical Coastal ecosystem with Special reference to Segara Anakan. Research Institute Jendral Soedirman University Purwokerto. Quist MC, Pember KR, Guy CS. 2004. Variation in larval fish communities: implications for management and sampling designs in reservoir systems. Fisheries Management and Ecology 11: 107–116. Ramos S, Amorim E, Elliot M, Cabral H, Adriano B. 2012. Early life stages of fishes as indicators of estuarine ecosystem health. Ecological Indicators :19 172–183. Robertson MJ, Scruton DA, Gregory RS, Clarck KD. 2006. Effect of suspended sediment on Freshwater Fish and Fish Habitat. Canadian technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences. Fisheries and Ocean Canada. Romimohtarto K, Juwana S. 1998. Plankton Larva Hewan Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Romimohtarto K, Juwana S. 2004. Meroplankton Laut. Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Djambatan. Jakarta Ramos S, Cowen RK, Adriano P, Bordalo A. 2006. Temporal and spatial distributions of larval fish assemblages in the Lima estuary (Portugal). Estuarine, Coastal and Shelf Science 66 : 303-314 Ross PM, Parker L, O’Connor WA, Bailey E. 2011. The Impact of Ocean Acidification on Reproduction, Early Development and Settlement of Marine Organisms. Water 3: 1005-1030. 64
Ryan PA. 1991. Environmental effects of sediment on New Zealand streams: a review. New Zeal. J. Mar. Freshwat. Res. 25:207-221. Sasekumar A, Chong VCM, D’Cruz R. 1992. Mangroves as a habitat for fish and prawns. Hydrobiologia, 247: 195-207 Sanchez-Velasco L, Flores-Coto C, Shirasago B. 1996. Fish Larvae Abundance and Distribution in the Coastal Zone off Terminos Lagoon, Campeche (Southern Gulf of Mexico). Estuariane, Coastal and Shelf Science 43: 707– 721. Sanvicente-Añorve L, Hernández-Gallardo A, Gómez-Aguirre S, César F. 2003. Fish Larvae from Caribbean Estuarine System. The Big Fish Bang. Proceedings of the 26th Annual Larval Fish Conference. Institute of Marine Research, Bergen, Norway. Sebates A. 2004. Diel vertical distribution of fish larvae during the winter-mixing period in the Northwestern Mediterranean. ICES Journal of Marine Science, 61: 1243-1252 Sedberry GR and Carter J. 1993. The Fish Community of Shallow Tropical Lagoon in Belize, Central America. Estuaries Vol.16 No.2 p.198-215. Siregar AS, Hilmi E, Sukardi P. 2007. Pola Sebaran Kualitas Air di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Sains Akuatik 10 (2):127-133. Estuaries Vol. 16, No. 2, p. 198-215
Smith EP. 1981. Fisheries on Coastal Pelagic Schooling Fish.In: Marine Fish Larvae: Morpholgy, Ecology and Relation to Fisheries. Edited by Lasker, R. Washington. Strydom AN, d’Hotman BD. 2005. Estuary-dependence of larval fishes in a nonestuary associated South African surf zone: evidence for continuity of surf assemblages. Estuarine, Coastal and Shelf Science. vol. 63, Issues 1–2: 101–108. Shoji J, Tanaka M. 2008. Recruitment Processes of Japanese Sea Bass in the Chikugo Estuary, Japan: Shift from Density-Independence to DensityDependence During the Early Life Stages. J. Northw. Atl. Fish. Sci., Vol. 41: 85–91. Sugiharto. 2005. Analisis Keberadaan dan Sebaran Komunitas Larva Pelagis Ikan Pada Ekosistem Pelawangan Timur Segara Anakan-Cilacap.Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Sugiharto, Siregar AS, Yuwono E. 2007. Analisis Isi Lambung Ikan Pelagis Di Segara Anakan Cilacap.Sains Akuatik 10 (2):141-147 The Research Council of Norway. 2009. The fish larva: a transitional life form, the foundation for aquaculture and fisheries. Report from a working group on research on early life stages of fish Oslo. www.forskningsradet.no/publikasjoner. 65
Tse P, Nip THM, Wong CK. 2008. Nursery function of mangrove: A comparison with mudflat in terms of fish species composition and fish diet. Estuariane, Coastal and Shelf Science 80 : 235–242. Tzeng WN, Chu H, Shen KN, and Wang YT. 2008. Hatching period and EarlyStage Growth Rate of the Gold Estuarine Anchovy Stolephorus insularis in Taiwan as Inferred from Otolith DailyGrowth Increments. Zoological Studies 47: 544-554. UNEP. 2007. Procedure for Establishing a Regional System of Fisheries Refugia in the South China Sea and Gulf of Thailand in the Context of the UNEP/GEF Project Entitled: “Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand” South China. South China Sea Knowledge Document UNEP/GEF/SCS/Inf.4. Thailand. Van der Lingen CD, Huggett JA.2003. The role of ichthyoplankton surveys in recruitment research and management of South African anchovy and sardine. Proceedings of the 26th Annual Larval Fish Conference. Norway. Ward N.1992.The problem of sediment in water for fish. Technical Notes. Northwestern Ontario Boreal Forest Management. Ministry of Natural Resources Onntario.Canada. Ward JT, Heinemann D, Evans N. 2001. The role of marine reserves as fisheries management tools. A Review of Concepts, Evidence and International Experience. Agriculture, Fisheries and Forestry. Australia. White AT, Purwito M, Marie lM. 1989. The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan Cilacap, South-Java-Indonesia. International Center for Living Aquatic Resources Management on behalf of the Association of Southeast Asian Nationsl United States Coastal Resources Management Project. Manila. Wilber DH, Clarke CD. 2001. Biological Effects of suspended sediments :A review of suspended sediment impacts on fish and shellfish with relation to dredging activities in estuaries. North American Journal of Fisheries Management 21 :855-875.
66
Lampiran 1. Kelimpahan Larva Ikan (ind/ 100 m3) di Stasiun I, II, III ST I GENUS Ambassis Hypoatherina Omobranchus Caranx Herklotsichthys Sardinella Engraulis sp Stolephorus Cynoglossus Eleotris Gerres Gobiidae spp1 Gobiidae spp2 Glossogobius Tridentiger Rhinogobius Rediogobius Acentrogobius Parachaeturichthys Secutor Mugil Liza Upeneus Ostracidae Pomacentrus Pomachantidae Eleutheronema Sillago Parasyngnathus ootethus Tetraodontidae Parapercis UI
p 0 0 0 0 0 0 3 8 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Juni s p 0 0 0 0 22 7 0 0 0 0 0 0 8 0 5 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0
s 0 0 8 0 0 2 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 0 0 25 2 18 149 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
Juli s 0 0 0 2 59 47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ST II Agst p 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
p 5 0 2 0 0 2 0 2 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0
p 0 0 12 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
s 0 0 5 1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 0 0 6 0 0 0 0 2 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Juni s p 0 0 0 0 9 2 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 2 0 0 0 26 1 12 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ST III
Juli s 0 1 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
p 0 0 3 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
p 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 14 0 40 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0
p 0 0 6 2 0 1 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
Agst s 0 0 0 0 0 0 134 170 0 0 0 0 0 0 149 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0
Juni p 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
p 0 0 2 0 0 0 0 4 0 0 0 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 559 176 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
Juli p
s 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 5 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0
p 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 40 0 53 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 4 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Agst s
p 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 6 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0
p
s 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
67
Lampiran 2. Kelimpahan Larva Ikan (ind/100 m3) ST IV Juli
Juni Genus Ambassis Hypoatherina Omobranchus Caranx Herklotsichthys Sardinella Engraulis sp Stolephorus Cynoglossus Eleotris Gerres Gobiidae spp1 Gobiidae spp2 Glossogobius Tridentiger Rhinogobius Rediogobius Acentrogobius Parachaeturichthys Secutor Mugil Liza Upeneus Ostracidae Pomacentrus Pomachantidae Eleutheronema Sillago Parasyngnathus ootethus Tetraodontidae Parapercis UI
p 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 3 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 1 4 17 0 0 0 0 42 0 620 175 0 0 0 11 0 0 0 1 0 0 0 0 4 2 0 0 0
p 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
p 0 0 0 1 0 69 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
s 0 0 2 0 2 14 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0
Agst p 0 0 4 0 0 1 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 6 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0
s 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ST V Juli
Juni p 5 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
p 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 5 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 21 0 0 27 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2 2 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 0 1 2 0 0 7 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 1 3 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0
p 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 53 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0
Agst s 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0
p 0 0 5 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 2 0 0 0 0
s 0 0 8 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 8 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
p 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0
ST VI Juli
Juni s 0 0 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
p 0 0 5 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 13 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 3 7 0 0 0 21 0 0 27 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
p 0 1 26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 5 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 14 1 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
p 2 0 2 0 0 5 0 0 1 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
s 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 5 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0
p 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Agst s 0 0 0 2 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0
p 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
s 0 1 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
p 2 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
s 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
68
Lampiran 3. Kualitas Air Bulan Juni di Lokasi Penelitian 2 Juni 2011 parameter
satuan
Kecerahan
(cm)
Kecepatan arus Kedalaman Suhu udara Suhu air PH Warna air DO (alat) DO (winkler) salinitas (refrakto) Turbidity NO3 NH4
mps m °C °C unit
PO4 16 juni 2011 Kecerahan Kecepatan arus Kedalaman Suhu udara Suhu air PH Warna air DO (alat) DO (winkler) salinitas (refrakto) Turbidity NO3 (mg/L) NH4 (mg/L) PO4 (mg/L)
St I
mg/l
NTU
(cm) mps m °C °C unit mg/l
NTU
St II
St III
St IV
St V
St VI
pasang 80.0
surut 40.0
pasang 100.0
surut 50.0
pasang 60.0
surut 25.0
pasang 85.0
surut 20.0
pasang 55.0
surut 20.0
pasang 60.0
surut 10.0
0.57 8.9 28 29 8 hijau 3.74 3.44
0.86 7.9 30 30.9 7.5 hijau 3.91 3.08
0.48 6.3 30 28.7 7.5 coklat 3.46 2.90
0.05 6.2 32 30.5 7.5 coklat 5.85 4.08
0.27 3.9 29 30.1 7.5 hijau 5.31 4.17
0 2.5 30 30.8 7.5 coklat 5.14 3.89
0.13 6 28 28.5 7.5 coklat 4.74 2.90
0.17 2.9 30 29.4 7 coklat 4.04 2.45
0.03 3.5 30 29.9 7.5 coklat 4.12 2.45
0.67 2.8 30 30.7 7.5 coklat 3.72 2.17
0.36 5.8 29 28.7 7.5 coklat 5.23 3.44
0 2.9 30 29.5 7.5 coklat 3.41 2.35
35 6.00 0.111 0.628
34 62.10 0.131 0.48
31 6.52 0.356 1.707
30 17.00 0.114 0.592
31 10.37 0.156 1.065
30 50 0.184 1.15
30 10.00 0.227 2.772
28 54.00 0.177 0.867
30 30.21 0.117 1.728
30 76.00 0.092 0.959
30 12.00 0.2 1.439
29 126.00 0.229 1.114
0.032
0.019
0.016
0.021
0.049
0.03
0.015
0.04
0.033
0.014
0.036
0.034
165.0 0 12.4 29 28 8 hijau 4.5 4.1
140.0 0.038 11 30 28.6 8 hijau 3.85 3.5
105.0 0 7.7 30 30.8 8 coklat 4.47 4.47
100.0 0.138 7 30 29.1 8 coklat 4.47 4
65.0 0.075 1.6 30 29.1 8 coklat 4.32 4.17
50.0 0.022 1.3 31 29.5 8 coklat 4.16 4.12
120.0 0.268 5 29 28.8 8 coklat 4.84 4.2
155.0 0.029 1.8 28 27.8 8 coklat 4.49 4.12
125.0 0 3.1 29 28.5 7.5
115.0 0 3 28 27.7 7.5
155.0 0.129 3.8 29 28.6 7.5
170.0 0.036 2.7 30 27.8 8
3.76 3.5
3.32 3
3.79 3
4.36 4.17
31 4.00 0.012 0.148 0.026
30 7.00 0.098 0.43 0.011
29 8.00 0.134 0.113 0.019
28 6.00 0.096 0.444 0.004
26 15.00 0.128 0.473 0.007
26 16.00 1.955 0.677 0.021
31 4.00 0.291 0.388 0.014
30 3.34 0.07 0.183 0.012
29 9.00 0.114 0.324 0.015
26 4.00 0.961 0.367 0.017
30 5.12 0.08 0.303 0.036
29 4 0.254 0.346 0.03
69
Lampiran 4. Kualitas Air Bulan Juli di Lokasi Penelitian 1 Juli 2011 parameter Kecerahan Kecepatan arus Kedalaman Suhu udara Suhu air PH Warna air DO (alat) DO (winkler) salinitas (refrakto) Turbidity NO3
satuan (cm) mps m °C °C unit mg/l
NTU
NH4 PO4 15 Juli 2011 Kecerahan Kecepatan arus Kedalaman Suhu udara Suhu air PH Warna air DO (alat) DO (winkler) salinitas (refrakto) Turbidity NO3 NH4 PO4
(cm) mps m °C °C unit
mg/l
pasang 90.0 0.106 11 29 26.4 8 hijau 4.82 4.10 34 6.00 0.027
St I surut 20.0 0.09 2.4 31 27.2 8 hijaucoklat 4.8 4.68 34 82.00 0.331
St II pasang 80.0 0 7.3 27 28.7 8 hijau 4.82 4.68 31 9.00 0.148
surut 20.0 0.055 6.1 30 29.8 8 coklat 4.17 3.71 33 52.00 1.03
St III pasang surut 60.0 20.0 0 0.102 3.1 2 30 30 28.5 29.2 8 7.5 coklat coklat 3.93 4.05 3.71 3.51 31 30 15.10 36.00 1.191 0.284
pasang 60.0 0.125 8.1 29 27.2 8 coklat 4.62 4.29 33 16.00 0.061
St IV surut 60.0 0.065 7.3 29 27.4 8 coklat 4.4 4.88 32 30.00 1.425
St V pasang surut 30.0 20.0 0.067 0.145 6 5 29 31 27.5 28.1 8 7.5 coklat coklat 3.84 3.78 3.90 4.10 33 34 17.00 74.00 0.111 0.257
St VI pasang surut 70.0 20.0 0.113 0.173 6.8 5.2 30 30 27.3 28.4 7.5 8 coklat coklat 4.9 3.94 3.12 3.51 32 33 22 69 0.099 0.325
0.804 0.005
0.79 0.003
0.776 0.017
0.776 0.004
1.107 0.006
1.374 0.004
0.578 0.012
0.677 0.009
0.994 0.026
1.023 0.005
0.719 0.01
0.776 0.009
70.0 0.12 11 29 27.9 8 hijau coklat 4.23 4.88 30 17.41 0.154 0.176 0.003
60.0 0.143 5.6 27 27.8 7.5
60.0 0 6.6 29 29.9 7.5 Coklat hijau 2.83 2.93 30 13.70 1.615 0.642 0.005
50.0 0.27 6.6 30 29.3 7.5
60.0 0.100 5.6 29.5 28.5 7.5 hijau coklat 2.68 2.93 28 10.65 0.156 0.19 0.015
40.0 0.17 5.1 29 29.8 7.5 coklat hijau 3.55 4.49 30 11.71 0.074 0.155 0.006
100.0 0.1 6.9 29 28.3 7.5
100.0 0.07 5.6 30 27.8 7.5
95.0 0.07 3.7 29 28.3 7.5
60.0 0 4.5 30 29.1 7.5
80.0 0 5.9 27 28.2 8
25.0 0.143 4.2 27 28.7 7.5
hijau 3.4 3.71 30 7.55 1.306 0.169 0.006
coklat 3.39 2.93 28 7.70 0.122 0.19 0.005
hijau 2.54 3.12 31 9.61 1.444 0.169 0.034
coklat 3.38 3.51 33 7.29 0.117 0.804 0.004
coklat 3.19 3.51 31 7.16 0.122 0.219 0.006
coklat 4.26 4.29 31 17.43 0.696 0.233 0.006
coklat 4.03 3.51 30 11.00 1.537 0.162 0.007
coklat 3.3 3.32 30 14.25 1.476 0.592 0.005
70
Lampiran 5. Kualitas Air Bulan Agustus di Lokasi Penelitian 1 Agustus 2011 Parameter Kecerahan Kecepatan arus Kedalaman Suhu udara Suhu air PH Warna air DO (alat) DO (winkler) salinitas (refrakto) Turbidity NO3 NH4 PO4 15 Agustus 2011 Kecerahan Kecepatan arus Kedalaman Suhu udara Suhu air PH Warna air DO (alat) DO (winkler) salinitas (refrakto) Turbidity NO3 NH4 PO4
satuan (cm) mps m °C °C unit mg/l mg/l
NTU
(cm) mps m °C °C unit mg/l mg/l
NTU
St I pasang 30.0 0.53 5.6 27.0 27.2 7.5 coklat keruh 4.9 3.32
surut 25.0 0.56 3 29 28.3 8 coklat 5.25 3.90
pasang 40.0 0.043 7.5 28 27.4 8 coklat 6.26 4.29
St II surut 10.0 0.163 6 30 28.4 7.5 Coklat pekat 5 4.68
31.0 46.8 0.088 0.283 0.012
33 61.00 0.11 0.202 0.01
31 34.08 0.117 0.415 0.024
31 154.00 0.267 0.730 0.030
31 39.08 0.143 0.143 0.019
31 61.00 0.224 0.112 0.014
31 14.97 0.387 0.102 0.017
80.0 0.1 9.0 26.0 26.7 8.0 hijau 4.5 4.10
40.0 0.39 6 26.5 27.2 8 coklat 5.26 5.07
60.0 0.45 8 28.5 29.4 7.5 cklt hijau 4.72 4.49
70.0 0 6.8 30.5 30.4 8 coklat 4.2 4.88
60.0 0.160 4.7 29 28.3 7.5 coklat 3.47 4.88
45.0 0 3.4 30 29.9 8 coklat 4.52 4.88
35.0 11.5 0.380 0.980 0.036
35 21.00 1.051 0.917 0.032
32 13.00 0.117 0.557 0.024
35 15.00 0.144 0.797 0.020
31 22.00 0.141 1.269 0.046
32 40.00 0.107 0.55 0.038
pasang 40.0 0.132 2.5 28 28.4 7.5 coklat 4.32 3.90
St III surut 20.0 0.102 2.0 29 28.7 7.5 COKLAT 5.12 4.10
pasang 65.0 0.396 6.4 27 27.5 7.5 coklat 5.68 3.71
St IV surut 30.0 0.3 5.6 29 28.4 8 coklat 5.63 2.54
St V
St VI surut 40.0 0.09 4.2 30 28.3 8 coklat 6.23 4.10
pasang 50 0 3.5 30 27.5 8 COKLAT 6.3 4.29
surut 40.0 0.06 3.7 31 28.8 7.5 COKLAT 5.87 3.32
pasang 40.0 0 5 27 27 8 COKLAT 5.49 3.51
31 50.00 0.101 0.573 0.018
31 36.1 0.221 0.187 0.029
30 29.98 1.722 0.844 0.013
30 27.37 0.644 0.059 0.02
30 34.08 0.137 0.601 0.022
65.0 0.152 7 28 27.6 8 coklat 4.83 4.49
75.0 0 6 30 28.4 8 coklat 4.26 2.54
65 0.088 2.8 28 28.2 7.5 coklt hijau 4.09 3.51
100.0 0.191 2 30 28.7 7.5 coklat 5.18 5.46
80.0 0.000 5.2 29 27.8 7.5 hijau 5.2 5.27
40.0 0.102 4.3 30 28.4 8 cklt keruh 4.98 5.46
32 10.13 0.202 0.684 0.049
35 16.00 0.192 0.487 0.021
35 28.00 0.141 0.811 0.046
33 18.00 0.232 1.354 0.019
33 9.00 1.516 0.987 0.049
33 34.55 0.239 1.079 0.025
71
Lampiran 6. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juni St I
No. Kelas dan Genus
St II
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
St III Surut
Pasang
St IV Surut
Pasang
St V Surut
Pasang
St VI Surut
FITOPLANKTON
24600141.54
3603680.113
1562632.696
3447983.015
2284501.062
553432.4133
669497.523
1428167.021
167020.5237
60863.41118
526539.2781
268931.3517
A
BACILLARIOPHYCEAE
24416135.88
3541401.274
1497523.001
3227176.221
2159943.383
552016.9851
648266.1005
1397027.601
167020.5237
48124.55768
508138.712
249115.3574
1
Asterionella sp.
778485.4919
155697.0984
45293.70134
110403.397
99079.97169
5661.712668
15569.70984
77848.54919
7077.140835
0
19815.99434
5661.712668
2
Amphipora sp
0
0
1415.428167
19815.99434
19815.99434
2830.856334
1415.428167
1415.428167
0
0
1415.428167
4246.284501
3
Bacillaria sp
0
8492.569002
0
2830.856334
0
0
0
1415.428167
0
0
0
0
4
Bacteriastrum sp
297239.9151
70771.40835
38216.56051
50955.41401
14154.28167
0
7077.140835
41047.41684
0
0
1415.428167
2830.856334
5
Biddulphia sp
70771.40835
5661.712668
5661.712668
2830.856334
8492.569002
1415.428167
0
15569.70984
1415.428167
1415.428167
1415.428167
1415.428167
6
Campylodiscus sp
0
2830.856334
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
Chaetoceros sp
18046709.13
2564755.839
842179.7594
1786270.347
1047416.844
104741.6844
195329.087
867657.4664
35385.70418
8492.569002
196744.5152
83510.26185
8
Cococcneis sp
0
0
0
0
0
1415.428167
0
1415.428167
0
1415.428167
0
1415.428167
9
Coscinodiscus sp
84925.69002
84925.69002
94833.68719
127388.535
116065.1097
83510.26185
121726.8224
121726.8224
52370.84218
14154.28167
42462.84501
63694.26752
10
Cyclotella sp
0
0
0
8492.569002
0
1415.428167
0
0
0
0
0
0
11
Dytilum sp
14154.28167
0
18400.56617
11323.42534
16985.138
0
5661.712668
7077.140835
0
0
0
0
12
Eucampia sp
0
8492.569002
0
2830.856334
0
0
1415.428167
2830.856334
0
0
0
0
13
Flagillaria sp
0
0
0
0
0
4246.284501
0
0
1415.428167
0
0
0
14
Guinardia sp
0
5661.712668
0
2830.856334
2830.856334
1415.428167
0
0
0
0
0
0
15
Hemiaulus sp
42462.84501
0
4246.284501
2830.856334
2830.856334
0
2830.856334
8492.569002
0
0
2830.856334
0
16
Hyalodiscus sp
0
0
0
0
2830.856334
1415.428167
0
0
1415.428167
0
0
0
17
Lauderia sp
42462.84501
2830.856334
9907.997169
8492.569002
11323.42534
0
1415.428167
4246.284501
0
0
4246.284501
0
18
Leptocylindrus sp
0
5661.712668
1415.428167
11323.42534
11323.42534
0
1415.428167
21231.42251
0
0
1415.428167
2830.856334
19
Melosira sp
0
0
137296.5322
0
0
0
76433.12102
0
0
0
161358.811
0
20
Navicula sp
14154.28167
2830.856334
0
2830.856334
0
1415.428167
4246.284501
2830.856334
2830.856334
0
0
0
21
Nitzchia sp
2123142.251
305732.4841
124557.6787
772823.7792
498230.7148
271762.2081
141542.8167
83510.26185
45293.70134
8492.569002
35385.70418
56617.12668
22
Pinnularia sp
0
0
0
0
0
0
0
0
1415.428167
0
0
0
23
Pleurosigma sp
42462.84501
0
2830.856334
65109.69568
67940.55202
36801.13234
5661.712668
12738.8535
14154.28167
5661.712668
5661.712668
12738.8535
24
Rhizosolenia sp
920028.3086
0
42462.84501
73602.26469
99079.97169
7077.140835
14154.28167
48124.55768
0
0
14154.28167
4246.284501
25
Skeletonema sp
1514508.139
240622.7884
101910.828
84925.69002
110403.397
9907.997169
25477.70701
52370.84218
0
0
14154.28167
5661.712668
26
Thalassiothrix sp
424628.4501
76433.12102
26893.13517
79263.97735
31139.41967
16985.138
26893.13517
25477.70701
4246.284501
8492.569002
5661.712668
4246.284501
B
CHLOROPYCEAE
99079.97169
0
0
0
0
1415.428167
0
0
0
0
0
0
27
Staurastrum sp
84925.69002
0
0
0
0
1415.428167
0
0
0
0
0
0
28
Ulothrix sp
14154.28167
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
C
DINOPHYCEAE
84925.69002
62278.83935
65109.69568
220806.7941
124557.6787
0
21231.42251
31139.41967
0
12738.8535
18400.56617
19815.99434
29
Ceratium sp
28308.56334
2830.856334
2830.856334
8492.569002
0
0
0
2830.856334
0
0
1415.428167
0
30
Dinophysis sp
0
2830.856334
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
31
Noctiluca sp
0
0
5661.712668
0
0
0
7077.140835
0
0
1415.428167
0
0
32
Protoperidinium sp
56617.12668
56617.12668
56617.12668
212314.2251
124557.6787
0
14154.28167
28308.56334
0
11323.42534
16985.138
19815.99434
72
Lampiran 7 Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Juli St I
No Kelas dan Genus A 1 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 C 32 33 34
FITOPLANKTON CYANOPHYCEAE Trichodesmium sp BACILLARIOPHYCEAE Asterionella sp. Asterolamphra sp Amphora sp Amphipora sp Bacillaria sp Bacteriastrum sp Biddulphia sp Chaetoceros sp Cococcneis sp Corethron sp Coscinodiscus sp Cyclotella sp Diploneis sp Dytilum sp Eucampia sp Flagillaria sp Guinardia sp Hemiaulus sp Hyalodiscus sp Lauderia sp Leptocylindrus sp Melosira sp Navicula sp Nitzchia sp Pleurosigma sp Rhizosolenia sp Skeletonema sp Stephanopyxis sp Surirella sp Thalassionema sp Thalassiothrix sp DINOPHYCEAE Ceratium sp Noctiluca sp Protoperidinium sp
St II
St III
St IV
St V
St VI
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
19299363.06 0 0 19108280.25 2250530.786 0 0 0 42462.84501 0 84925.69002 12972399.15 0 0 552016.9851 0 0 42462.84501 0 0 0 21231.42251 0 0 0 0 42462.84501 21231.42251 42462.84501 42462.84501 1061571.125 594479.8301 0 488322.7176 849256.9002 191082.8025 148619.9575 0 42462.84501
11273885.35 0 0 11146496.82 5031847.134 0 0 0 0 318471.3376 127388.535 3524416.136 0 0 233545.6476 0 0 0 0 0 0 21231.42251 0 0 0 0 63694.26752 106157.1125 63694.26752 63694.26752 339702.7601 191082.8025 0 636942.6752 424628.4501 127388.535 106157.1125 0 21231.42251
7707006.369 0 0 7707006.369 1380042.463 0 0 0 0 530785.5626 21231.42251 4203821.656 21231.42251 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 552016.9851 191082.8025 63694.26752 360934.1826 191082.8025 0 127388.535 63694.26752 0 0 0 0
44118895.97 0 0 44019815.99 8888888.889 0 0 56617.12668 0 2901627.742 84925.69002 21061571.13 0 0 594479.8301 0 0 0 0 0 537862.7035 56617.12668 0 28308.56334 169851.38 0 0 4713375.796 155697.0984 1542816.702 1854210.899 0 14154.28167 184005.6617 1174805.379 99079.97169 14154.28167 0 84925.69002
14533616.42 0 0 14471337.58 2717622.081 0 0 67940.55202 0 1290870.488 39631.98868 6227883.935 0 5661.712668 90587.40269 0 0 50955.41401 0 0 107572.5407 62278.83935 0 0 5661.712668 16985.138 0 2326963.907 84925.69002 356687.8981 515215.8528 0 11323.42534 73602.26469 418966.7374 62278.83935 5661.712668 0 56617.12668
2452937.013 0 0 2445859.873 475583.8641 1415.428167 2830.856334 8492.569002 0 29723.99151 2830.856334 887473.4607 1415.428167 0 0 0 0 0 0 14154.28167 0 7077.140835 2830.856334 1415.428167 7077.140835 5661.712668 0 564755.8386 0 31139.41967 251946.2137 0 38216.56051 29723.99151 82094.83369 7077.140835 0 1415.428167 5661.712668
44833687.19 0 0 44621372.97 23991507.43 0 0 35385.70418 0 1238499.646 460014.1543 8067940.552 35385.70418 0 566171.2668 35385.70418 0 141542.8167 0 0 1167728.238 0 0 0 176928.5209 0 35385.70418 1486199.575 389242.7459 247699.9292 2724699.222 0 0 849256.9002 2972399.151 212314.2251 35385.70418 35385.70418 141542.8167
686482.661 0 0 652512.385 0 0 16985.138 0 0 0 1415.428167 76433.12102 9907.997169 0 73602.26469 0 0 2830.856334 0 0 0 0 0 0 0 1415.428167 0 86341.11819 2830.856334 1415.428167 220806.7941 0 16985.138 15569.70984 125973.1069 33970.27601 2830.856334 0 31139.41967
1273885.35 14154.28167 14154.28167 1237084.218 158527.9547 0 0 0 42462.84501 0 42462.84501 5661.712668 0 0 285916.4897 0 0 0 0 2830.856334 0 0 0 0 0 0 0 70771.40835 240622.7884 0 0 53786.27035 0 189667.3744 144373.673 22646.85067 0 0 11323.42534
21443736.73 0 0 21372965.32 636942.6752 0 0 35385.70418 0 884642.6044 176928.5209 14118895.97 70771.40835 0 247699.9292 0 0 0 0 0 707714.0835 0 0 0 35385.70418 389242.7459 0 1875442.321 247699.9292 283085.6334 672328.3793 0 35385.70418 0 955414.0127 70771.40835 0 0 70771.40835
8527954.706 0 0 8527954.706 1415428.167 0 0 0 283085.6334 672328.3793 35385.70418 2087756.546 141542.8167 0 283085.6334 0 35385.70418 0 35385.70418 0 0 0 0 0 0 0 70771.40835 1238499.646 530785.5626 424628.4501 460014.1543 636942.6752 0 141542.8167 35385.70418 0 0 0 0
428874.7346 0 0 428874.7346 0 0 0 0 0 0 0 93418.25902 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4246.284501 55201.69851 0 0 169851.38 4246.284501 89171.97452 12738.8535 0 0 0 0 0 0 0 0
73
Lampiran 8. Data Kelimpahan Fitoplankton (sel/l) Bulan Agustus St I
St II
St III
St IV
St V
St VI
No.
Kelas dan Genus
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
A 1 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 C 41 46
FITOPLANKTON CYANOPHYCEAE Trichodesmium sp BACILLARIOPHYCEAE Asterionella sp. Amphipora sp Bacillaria sp Bacteriastrum sp Biddulphia sp Camphylodiscus sp Chaetoceros sp Cococcneis sp Coscinodiscus sp Cyclotella sp Diploneis sp Dytilum sp Eucampia sp Flagillaria sp Guinardia sp Hemiaulus sp Hyalodiscus sp Leptocylindrus sp Melosira sp Navicula sp Nitzchia sp Pleurosigma sp Rhizosolenia sp Skeletonema sp Stephanopyxis sp Surirella sp Thalassionema sp Thalassiosira sp Thalassiothrix sp DINOPHYCEAE Ceratium sp Protoperidinium sp
17409766.45 0 0 17381457.89 16022646.85 0 0 0 14154.28167 0 0 42462.84501 56617.12668 0 14154.28167 0 0 42462.84501 0 28308.56334 0 0 0 42462.84501 283085.6334 70771.40835 14154.28167 226468.5067 127388.535 0 283085.6334 0 113234.2534 28308.56334 14154.28167 14154.28167
45506015.57 0 0 45470629.87 37331917.91 0 176928.5209 0 70771.40835 35385.70418 1486199.575 70771.40835 460014.1543 35385.70418 0 0 0 0 106157.1125 0 0 70771.40835 0 0 1096956.829 813871.196 176928.5209 636942.6752 0 35385.70418 530785.5626 0 2335456.476 35385.70418 35385.70418 0
36765746.64 0 0 36730360.93 29759377.21 0 0 70771.40835 70771.40835 0 3503184.713 0 283085.6334 0 0 35385.70418 0 0 0 35385.70418 0 0 0 106157.1125 495399.8585 353857.0418 106157.1125 849256.9002 70771.40835 0 495399.8585 0 495399.8585 35385.70418 35385.70418 0
8775654.636 35385.70418 35385.70418 8740268.931 5590941.26 0 35385.70418 0 0 0 672328.3793 0 460014.1543 0 0 0 0 35385.70418 0 0 0 0 0 141542.8167 389242.7459 672328.3793 106157.1125 141542.8167 0 35385.70418 389242.7459 0 70771.40835 0 0 0
1675866.95 0 0 1656050.955 577494.6921 5661.712668 0 0 11323.42534 0 62278.83935 0 62278.83935 0 0 0 0 0 0 0 0 5661.712668 0 8492.569002 14154.28167 169851.38 0 16985.138 0 2830.856334 243453.6447 22646.85067 452937.0134 19815.99434 2830.856334 16985.138
2441613.588 0 0 2441613.588 983722.5761 21231.42251 14154.28167 0 0 0 353857.0418 0 77848.54919 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21231.42251 0 375088.4643 155697.0984 21231.42251 14154.28167 0 0 35385.70418 0 368011.3234 0 0 0
4621372.965 35385.70418 35385.70418 4578910.12 3389950.46 0 0 0 0 0 537862.7035 7077.140835 77848.54919 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 169851.38 84925.69002 35385.70418 120311.3942 35385.70418 0 0 0 120311.3942 7077.140835 0 7077.140835
15392781.32 0 0 15371549.89 3800424.628 63694.26752 339702.7601 0 63694.26752 0 6496815.287 106157.1125 594479.8301 0 0 0 21231.42251 0 42462.84501 0 21231.42251 0 42462.84501 0 806794.0552 467091.2951 21231.42251 615711.2527 0 63694.26752 339702.7601 0 1464968.153 21231.42251 21231.42251 0
39844302.9 0 0 39702760.08 21231422.51 70771.40835 530785.5626 106157.1125 35385.70418 0 5166312.81 353857.0418 566171.2668 0 0 35385.70418 0 70771.40835 70771.40835 70771.40835 0 106157.1125 0 0 2830856.334 1486199.575 70771.40835 849256.9002 0 35385.70418 212314.2251 0 5803255.485 141542.8167 0 141542.8167
2830.856334 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2830.856334 0 2830.856334
32420382.17 0 0 32271762.21 19851380.04 21231.42251 594479.8301 106157.1125 42462.84501 21231.42251 4692144.374 84925.69002 445859.8726 0 0 0 0 0 191082.8025 0 0 84925.69002 0 0 1910828.025 594479.8301 106157.1125 488322.7176 0 42462.84501 573248.4076 0 2420382.166 148619.9575 106157.1125 42462.84501
33050247.7 0 0 32979476.29 24982307.15 106157.1125 106157.1125 0 0 0 2016985.138 106157.1125 460014.1543 35385.70418 0 35385.70418 35385.70418 106157.1125 176928.5209 0 0 106157.1125 70771.40835 70771.40835 1380042.463 566171.2668 106157.1125 636942.6752 0 35385.70418 176928.5209 0 1663128.096 70771.40835 35385.70418 35385.70418
74
Lampiran 9. Korelasi Spearman Larva Tridentiger dan Rhinogobius dengan parameter kualitas air
Tridentiger KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO
Rhinogobius KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO
Tridentiger 1 -0.492 0.254 0.098 -0.312 0.331 -0.30 -0.393 -0.269 0.057 0.039 -0.365 -0.027
Rhinogobius 1 -0.32 0.28 -0.09 -0.48 -0.18 -0.27 0.04 -0.30 -0.09 0.11 -0.53 -0.03
KDLM -0.492 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022
KDLM -0.32 1 -0.22 0.13 0.22 -0.3 0.25 0.23 0.08 -0.12 -0.1 0.27 -0.02
SUHU 0.254 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083
SUHU 0.28 -0.22 1 0 -0.37 0.08 -0.29 -0.27 -0.18 -0.02 0 -0.49 0.08
ARS 0.098 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215
ARS -0.09 0.13 0 1 0.2 0.19 -0.26 -0.21 -0.06 -0.1 -0.02 0.09 -0.22
SAL -0.312 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161
SAL -0.48 0.22 -0.37 0.2 1 0.22 0.27 -0.1 0.27 0.05 0.09 0.47 -0.16
TBD 0.331 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125
TBD -0.18 -0.3 0.08 0.19 0.22 1 -0.12 -0.83 0.01 0.11 0.01 0.09 -0.13
PH -0.3 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188
PH -0.27 0.25 -0.29 -0.26 0.27 -0.12 1 0.12 0.42 -0.09 -0.07 0.39 0.19
KEC -0.393 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231
KEC 0.04 0.23 -0.27 -0.21 -0.1 -0.83 0.12 1 0.01 -0.08 0.09 0.03 0.23
DO -0.269 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151
DO -0.3 0.08 -0.18 -0.06 0.27 0.01 0.42 0.01 1 0.04 0.1 0.32 0.15
NITRAT 0.057 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063
NITRAT -0.09 -0.12 -0.02 -0.1 0.05 0.11 -0.09 -0.08 0.04 1 0.01 -0.17 0.06
FOSFAT 0.039 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179
FOSFAT 0.11 -0.1 0 -0.02 0.09 0.01 -0.07 0.09 0.1 0.01 1 -0.08 0.18
FITO -0.365 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033
FITO -0.53 0.27 -0.49 0.09 0.47 0.09 0.39 0.03 0.32 -0.17 -0.08 1 0.03
ZOO -0.027 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1
ZOO -0.03 -0.02 0.08 -0.22 -0.16 -0.13 0.19 0.23 0.15 0.06 0.18 0.03 1
75
Lampiran 10.Korelasi Spearman Engraulis dan Stolephorus dengan parameter kualitas air Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000
Stolephorus KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO
Stolephorus 1 -0.111 0.395 0.404 -0.094 0.314 -0.318 -0.456 -0.27 -0.008 0.169 -0.274 -0.322
KDLM -0.111 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022
SUHU 0.395 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.485 0.083
ARS 0.404 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.086 -0.215
SAL -0.094 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.475 -0.161
TBD 0.314 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.088 -0.125
PH -0.318 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 0.393 0.188
KEC -0.456 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.032 0.231
DO -0.27 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.322 0.151
NITRAT -0.008 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.168 0.063
FOSFAT 0.169 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.083 0.179
Engraulis sp KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO
Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000 Engraulis sp KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT 1 0.032 0.214 0.193 0.021 0.274 -0.284 -0.218 -0.283 -0.024 0.199 0.032 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.214 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 0.193 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.021 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.274 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 -0.284 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 -0.218 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 -0.283 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 -0.024 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 0.199 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.06 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 -0.061 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179
FITO -0.274 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033
FITO -0.06 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033
ZOO -0.322 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1
ZOO -0.061 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1
76
Lampiran 11.Korelasi Spearman Sardinella dan Herklotsichthys dengan parameter kualitas air
Sardinella KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO
Sardinella 1 0.298 -0.446 -0.036 0.257 0.047 0.195 -0.024 0.149 -0.143 -0.149 0.362 -0.119
Herklotsichthys KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT FITO ZOO
KDLM 0.298 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 0.267 -0.022
Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000 SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT -0.446 -0.036 0.257 0.047 0.195 -0.024 0.149 -0.143 -0.149 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179
Spearman Rank Order Correlations (KORELASI) MD pairwise deleted Marked correlations are significant at p <.05000 Herklotsichthys KDLM SUHU ARS SAL TBD PH KEC DO NITRAT FOSFAT 1 0.089 -0.313 -0.025 0.253 0.06 0.219 -0.015 0.205 0.024 -0.268 0.089 1 -0.217 0.128 0.219 -0.297 0.251 0.231 0.077 -0.12 -0.095 -0.313 -0.217 1 -0.004 -0.374 0.083 -0.289 -0.269 -0.183 -0.023 0.002 -0.025 0.128 -0.004 1 0.203 0.193 -0.256 -0.211 -0.061 -0.098 -0.023 0.253 0.219 -0.374 0.203 1 0.223 0.268 -0.097 0.269 0.054 0.087 0.061 -0.297 0.083 0.193 0.223 1 -0.116 -0.827 0.008 0.108 0.008 0.219 0.251 -0.289 -0.256 0.268 -0.116 1 0.118 0.421 -0.091 -0.07 -0.015 0.231 -0.269 -0.211 -0.097 -0.827 0.118 1 0.009 -0.078 0.087 0.205 0.077 -0.183 -0.061 0.269 0.008 0.421 0.009 1 0.036 0.096 0.024 -0.12 -0.023 -0.098 0.054 0.108 -0.091 -0.078 0.036 1 0.015 -0.268 -0.095 0.002 -0.023 0.087 0.008 -0.07 0.087 0.096 0.015 1 0.075 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 -0.115 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179
FITO 0.36 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033
FITO 0.075 0.267 -0.485 0.086 0.475 0.088 0.393 0.032 0.322 -0.168 -0.083 1 0.033
ZOO -0.119 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1
ZOO -0.115 -0.022 0.083 -0.215 -0.161 -0.125 0.188 0.231 0.151 0.063 0.179 0.033 1
77
Lampiran 12. Korelasi spearman Omobranchus dengan parameter kualitas air
Omobranchus
Omobranchus
KDLM
SUHU
ARS
SAL
TBD
PH
KEC
DO
NITRAT
FOSFAT
1.000
0.142
-0.206
-0.091
0.280
-0.209
0.206
0.263
0.094
0.091
0.138
FITO
ZOO
0.281
0.058
KDLM
0.142
1.000
-0.217
0.128
0.219
-0.297
0.251
0.231
0.077
-0.120
-0.095
0.267
-0.022
SUHU
-0.206
-0.217
1.000
-0.004
-0.374
0.083
-0.289
-0.269
-0.183
-0.023
0.002
-0.485
0.083
ARS
-0.091
0.128
-0.004
1.000
0.203
0.193
-0.256
-0.211
-0.061
-0.098
-0.023
0.086
-0.215
SAL
0.280
0.219
-0.374
0.203
1.000
0.223
0.268
-0.097
0.269
0.054
0.087
0.475
-0.161
TBD
-0.209
-0.297
0.083
0.193
0.223
1.000
-0.116
-0.827
0.008
0.108
0.008
0.088
-0.125
PH
0.206
0.251
-0.289
-0.256
0.268
-0.116
1.000
0.118
0.421
-0.091
-0.070
0.393
0.188
KEC
0.263
0.231
-0.269
-0.211
-0.097
-0.827
0.118
1.000
0.009
-0.078
0.087
0.032
0.231
DO
0.094
0.077
-0.183
-0.061
0.269
0.008
0.421
0.009
1.000
0.036
0.096
0.322
0.151
NITRAT
0.091
-0.120
-0.023
-0.098
0.054
0.108
-0.091
-0.078
0.036
1.000
0.015
-0.168
0.063
FOSFAT
0.138
-0.095
0.002
-0.023
0.087
0.008
-0.070
0.087
0.096
0.015
1.000
-0.083
0.179
FITO
0.281
0.267
-0.485
0.086
0.475
0.088
0.393
0.032
0.322
-0.168
-0.083
1.000
0.033
ZOO
0.058
-0.022
0.083
-0.215
-0.161
-0.125
0.188
0.231
0.151
0.063
0.179
0.033
1.000
78
Lampiran 13. Foto Beberapa Larva Ikan
Ambassis
Sardinella
Hypoatherina
Mugil
Omobranchus
Stolephorus
Mugil
Upeneus
79 Tridentiger
Rhinogobius
Engraulis
Polynemidae
Lampiran 14. Lokasi Penelitian
Stasiun I (Mura Donan)
Stasiun IV (Sapuregel)
Stasiun II ( Donan)
Stasiun V (Pisangan)
Stasiun III (Cigintung)
Stasiun VI (Kembang Kuning)
80