DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN INANG
MELYA RINIARTI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Juli 2010
Melya Riniarti NRP E061050011
ABSTRACT MELYA RINIARTI. Colonization Dynamics of Three Ectomycorrhizal Fungi Scleroderma spp. and Their Role on Host Plant Growth. Supervised by IRDIKA MANSUR, ARUM SEKAR WULANDARI DAN CECEP KUSMANA. Ectomycorrhizal symbiosis represented one of the most important mutualistic association in forest ecosystem. Scleroderma spp. have already been known as ectomycorrhizal fungi which could form symbioses with Dipterocarpaceae, Pinaceae, and Gnetaceae. This study was conducted in three steps, (1) Compatibility test of three ectomycorrhizal fungi Scleroderma spp. under in vitro condition. The aim of this study was to determine the mycelial antagonism and interaction patterns among the fungus under in vitro condition. Three species Scleroderma spp. were cultured on solid Modified Melin Norkrans (MMN) medium. Each fungus was cultured as single, pairs and triple combinations. A completely randomized design were used with 7 treatments and 8 replicates Petri dishes. We found that the radial growth of S. sinnamariense mycelia was two times faster than S. columnare and S. dictyosporum. There was no antagonism pattern between fungal mycelia when they grown together. (2) Colonization dynamics of three ectomycorrhizal fungi Scleroderma spp. and their relation to host plant growth. The aim of this study was to determine the compatibility and specificity of each ectomycorrhizal fungi with the host plants, and the effect on host plants growth. S. columnare, S. dictyosporum and S. sinnamariense were inoculated in single-, two-, and three- species treatments to Shorea pinanga, Pinus merkusii and Gnetum gnemon seedlings using spores suspension. After 6, 8, and 10 months of inoculation, seedlings were harvested to determine colonization percentage, height and diameter growth, and plant biomass. The results revealed that S. sinnamariense did not form association with S. pinanga and P. merkusii but form association with G. gnemon. On the other hand, S. columnare and S. dictyosporum both in single- and multi- species treatments could form association with all the host plants. Generally, Scleroderma spp. increased the growth of host plants. The last was (3) Root characteristics of ectomycorrhizal fungi on S. pinanga, P. merkusii, and G. gnemon. The aim of this study was to determine the morphology (hyphae colour, branching pattern, clamp-connection) and anatomy (mantel and Hartig net) of ectomycorrhizal roots in each host plants which associated with the ectomycorrhizal fungus. This result revealed that morphology were affected by fungi, while branching pattern and Hartig net were affected by plants. S. pinanga dan G. gnemon were have monopodial branching pattern which P. merkusii was dichotomously branching pattern. The depth of mantels and Hartig net were increase by time. The Hartig net was only at epidermis S. pinanga and G. gnemon, while its penetrated in cortex on P. merkusii. Key world: Dipterocarpaceae, ectomycorrhizal specificity, Pinaceae, Scleroderma
fungi,
Gnetaceae,
host
RINGKASAN MELYA RINIARTI. Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang. Di bawah bimbingan IRDIKA MANSUR, ARUM SEKAR WULANDARI DAN CECEP KUSMANA. Fungi ektomikoriza memainkan peranan penting dalam berbagai ekosistem, melalui keterlibatannya dalam siklus karbon dan nutrisi, jejaring makanan di bawah tanah, serta dinamika komunitas tanaman. Fungi ektomikoriza merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem hutan, dan diketahui membentuk simbiosis dengan sebagian besar tanaman kehutanan. Scleroderma merupakan genus fungi ektomikoriza yang diketahui dapat membentuk simbiosis dengan Dipterocarpaceae, Pinaceae, dan Gnetaceae. Simbiosis dengan fungi ektomikoriza akan membantu pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inang karena fungi ektomikoriza akan membantu dalam penyerapan unsur hara dan air, meningkatkan ketahanan terhadap patogen dan meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. Beberapa fungi ektomikoriza juga menghasilkan tubuh buah yang dapat dikonsumsi (edible mushroom). Penelitian ini dilaksanakan menggunakan tiga tanaman inang yang mewakili tiga famili, yaitu Shorea pinanga (Dipterocarpaceae-Angiospermae); Pinus merkusii (Pinaceae-Gymnospermae) dan Gnetum gnemon (Gnetaceae-peralihan gymnospermae ke angiospermae). Fungi ektomikoriza Scleroderma spp. yang digunakan adalah jenis yang secara alami bersimbiosis dengan ketiga tanaman inang yang digunakan yaitu: S. columnare bersimbiosis dengan S. pinanga; S. dictyosporum bersimbiosis dengan P. merkusii dan S. sinnamariense bersimbiosis dengan G. gnemon. Tujuan umum penelitian ini ialah mempelajari interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inang. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahapan. Penelitian 1 berjudul “Uji Kompatibilitas Tiga Jenis Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. Secara In Vitro”. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan serta hubungan yang terbentuk antar fungi ektomikoriza Scleroderma spp. secara in vitro. Pada penelitian ini ketiga jenis Scleroderma spp. dibiakkan pada media kultur MMN padat (Modified Melin Norkrans). Perlakuan yang diberikan ialah pembiakan miselium Scleroderma spp. secara terpisah, dua isolat bersamaan dan tiga isolat bersamaan. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengap (RAL) dengan 7 perlakuan dan delapan ulangan. Peubah yang diamati ialah kecepatan awal waktu pertumbuhan miselium dan diameter pertumbuhan koloni masing-masing fungi ektomikoriza. Penelitian 2 (bab IV) berjudul “Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang”. Tujuan penelitian ialah (1) mempelajari kompatibilitas dan spesifisitas tiga jenis fungi ektomikoriza Scleroderma spp. terhadap ketiga jenis tanaman inang; dan (2) mempelajari hubungan antara fungi ektomikoriza Scleroderma spp. dengan tanaman inang. Pada tahapan ini tiap jenis tanaman inang diinokulasi
dengan menggunakan suspensi spora (jumlah spora 25 x 107), dengan perlakuan inokulasi tunggal, dual dan triple fungi ektomikoriza, sehingga untuk tiap jenis tanaman inang didapat 8 perlakuan. Pengamatan terhadap persen kolonisasi dan pertumbuhan tanaman (pertambahan tinggi, pertambahan diameter, berat kering akar, pucuk dan total, serta penyerapan N dan P) dilakukan pada bulan ke-6, 8, dan 10 setelah inokulasi. Rancangan yang digunakan ialah Rancangan Acak Lengkap untuk tiap jenis tanaman dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan, masingmasing ulangan terdiri atas 5 tanaman. Penelitian 3 (bab V) berjudul “Karakterisitik Akar Berektomikoriza Pada Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon”. Tujuan penelitian ini ialah untuk memperoleh informasi tentang karakteristik morfologi dan anatomi akar pada S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon yang telah diinokulasi dengan tiga jenis Scleroderma spp. selama 6, 8, dan 10 bulan. Bahan yang digunakan ialah akar berektomikoriza segar dan akar hasil proses histologi. Parameter yang diamati ialah warna miselium, bentuk percabangan, clamp connection, dan ketebalan mantel, serta kedalaman Hartig net. Hasil Penelitian 1 menunjukkan bahwa S. sinnamariense adalah fungi ektomikoriza yang kecepatan perkembangan dan diameter pertumbuhan koloninya mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan S. columnare dan S. dictyosporum pada media MMN padat. Saat dibiakkan secara bersama-sama, ketiga jenis fungi ektomikoriza dapat tumbuh dengan baik tanpa adanya hambatan pertumbuhan satu dengan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya barrier pada miselium ketiga fungi tersebut, yang menunjukkan tidak ada sifat antagonis di antara ketiganya. Hasil pengamatan pada hifa yang tumbuh diantara fungi menunjukkan pertumbuhan yang normal, ditandai dengan tidak adanya lisis pada dinding hifa. Hasil penelitian 2 menunjukkan adanya spesifisitas yang tinggi pada S. sinnamariense. Fungi ektomikoriza ini hanya dapat bersimbiosis dengan G. gnemon yang merupakan tanaman inang alaminya. Sementara S. columnare dan S. dictyosporum dapat membentuk simbiosis dengan ketiga tanaman inang yang diujicobakan. Pada ketiga tanaman inang, S. columnare dan S. dictyosporum baik pada perlakuan tunggal maupun secara bersamaan, mampu meningkatkan kolonisasi dan pertumbuhan tanaman inang, sedangkan S. sinnamariense hanya dapat berkontribusi pada G. gnemon. Perlakuan multi fungi ektomikoriza tampaknya memberikan hasil yang lebih baik dalam penyerapan N dan P dibandingkan dengan perlakuan tunggal dan kontrol. Hasil penelitian 3 menunjukkan bahwa karakteristik morfologi (warna dan clamp connection) dipengaruhi oleh fungi, sementara bentuk percabangan akar berektomikoriza dan kedalaman Hartig net merupakan karakteristik yang lebih dipengaruhi oleh jenis tanaman, pada P. merkusii percabangan berbentuk dikotomus dan Hartig net mencapai kortek. Pada S. pinanga dan G. gnemon bentuk percabangan akar berektomikoriza adalah monopodial dengan Hartig net hanya mencapai jaringan epidermis. Ketebalan mantel dan kedalaman Hartig net meningkat seiring dengan waktu. Kata kunci: Dipterocarpaceae, Fungi ektomikoriza, Gnetaceae, Pinaceae, Scleroderma, Tanaman inang
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya disertasi tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN INANG
MELYA RINIARTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi : Sidang Tertutup
:
1. Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. 2. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R.
Sidang Terbuka 1. Dr. Ir. Nampiah Sukarno 2. Dr. Ir. Made Hesti Lestari Tata, M.Si.
Judul Disertasi : Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang Nama : Melya Riniarti NRP : E061050011 Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Ketua
Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 18 Mei 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan ridho-Nya penelitian dengan judul “Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang” dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc., Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari M.S. selaku komisi pembimbing. Dr. Istomo, Dr. Elis Nina Herliyana , Dr. Sri Wilarso Budi R, Dr. Nampiah Sukarno dan Dr. Made Hesti Lestari Tata selaku penguji prelim, penguji luar komisi dalam ujian tertutup, dan Penguji luar komisi dalam ujian terbuka. Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan DP3M Dikti atas Hibah Doktor 2009. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan segenap civitas akademika IPB atas kesempatan studi yang diberikan. Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB. Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Unila, dan Jurusan Kehutanan Unila yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan tugas belajar. Dr. Supriyanto (Departemen Silvikultur IPB), Dr. Dorly (Jurusan Biologi IPB), Ibu Endang (LIPI Cibinong), Mbak Faiq, Mbak Susan, Ibu Esti, Pak Yadi, Pak Atang dan Bi Ita, dan berbagai pihak dari berbagai laboratorium yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Pak Julius dan keluarga, Pak Budi Sulistyawan dan keluarga, Mbak Dina, Ibu Diana, Arida, Jusuf Dibisono, Suhasman, Syahidah, Pak Abimanyu, , Pak Iskandar, Ibu Widi, Teh Nur, Mbak Yuniar, Rara, Nani, Yano, Warji dan keluarga, dan seluruh rekan-rekan SPS IPB dan Unila Keluarga besar Ir. S. Hasan Syahrin dan Achadi (Alm.) atas dukungan dan kasih sayangnya. Suami, Achmad Baehaqi S.P., M.Si., dan ketiga anakku, Achmadyan Raya, Adinda Tami Rahmani, dan Aqilya Puti Gemilang, untuk segala dukungan, pengorbanan dan kasih sayang. Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak keterbatasan dan kekurangannya. Namun demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan orang-orang yang memerlukannya terlebih lagi bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bogor,
Juli 2010 Melya Riniarti
Terima kasih… Pada kalian Yang selalu berkata aku pasti bisa Ketika langkahku menyurut Jalan ini tampaknya akan segera kusudahi Dengan kemenangan di tangan Walau tiada gemilang dengan kilau Namun menorehkan sejarah dalam hidupku Karena perjalanan ini menganugerahiku Banyak cinta untuk diterima dan dibagi Terima kasih untuk kalian Yang selalu berkata kami bangga padamu Ketika aku meragukan diriku Karena tanpa segala dukungan dan doa Tak kan mampu aku singkirkan Segala kerikil dan terjalnya pendakianku Terima kasih untuk kalian… Segenap cinta dan kasih Tak kan mampu membalas Segala yang telah kalian berikan Pada ku dan keluarga ku Selama menempuh perjalanan ini….. Kepada Allah lah segalanya ku pinta…. Untuk membalas….. Catatan: kupersembahkan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada ketiga pembimbingku, yang telah mengikhlaskan aku dengan segala kekuranganku……..
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang, pada tanggal 3 Mei 1977 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Ir. S. Hasan Syahrin dan Maryati. Penulis menyelesaikan pendidikan SLTA di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) melalui jalur PMKA dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan jenjang pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana IPB dan mendapatkan gelar Magister Sains pada tahun 2002. Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan meneruskan pendidikan pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui program BPPS dari Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Selama mengikuti program S3 penulis menjadi anggota AMI (Asosiasi Mikoriza Indonesia) dan mengikuti berbagai kegiatan seminar baik nasional maupun internasional yang berhubungan dengan penelitian dan keilmuan. Beberapa hasil penelitian S3 telah dipublikasikan pada berkala ilmiah yaitu (1) Uji kompetisi tiga fungi ektomikoriza Sclerodema spp. secara in vitro. Vegetasi (7):63—67. Dan (2) Karakteristik Akar Berektomikoriza pada Shorea pinanga, Pinus merkusii dan Gnetum gnemon. Perennial (6):11—19. Pada tahun 2000 penulis menikah dengan Achmad Baehaqi, S.P., M.Si. dan sampai saat ini telah dikaruniai satu orang putra bernama Achmadyan Raya dan dua orang putri bernama Adinda Tami Rachmani dan Aqilya Puti Gemilang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
iv
1 PENDAHULUAN .....................................................................................
1
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
7
3 UJI KOMPATIBILITAS TIGA JENIS FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. SECARA IN VITRO ......................................................
29
Abstrak ............................................................................................. Abstract ............................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................
29 29 29 31 33 37 37
4 DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN INANG ................................................................................. Abstrak ............................................................................................. Abstract ............................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................
39 39 39 40 42 47 59 59
5 KARAKTERISTIK AKAR BEREKTOMIKORIZA PADA Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum Gnemon ........................................................ 63 Abstrak ............................................................................................. Abstract ............................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................
63 63 63 65 66 76 77
6 PEMBAHASAN UMUM ..........................................................................
79
7 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
90
DAFTAR TABEL
1.
Halaman Nama spesies Scleroderma, yang dikelompokkan berdasarkan bentuk spora dan keberadaan clamp-connections ................................................. 11
2.
Daftar penelitian fungi ektomikoriza Scleroderma spp. pada berbagai tanaman inang dari Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae ........... 18
3.
Rincian perlakuan yang dilakukan secara in vitro ................................... 33
4.
Rincian perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada tiga jenis tanaman inang .......................................................................................................... 46
5.
Nilai rata-rata pengamatan histologi akar P. merkusii yang diinokulasi oleh S. columnare dan S. dictyosporum pada bulan ke 6, 8, dan 10 ......... 67
6.
Nilai rata-rata pengamatan histologi akar G. gnemon yang diinokulasi oleh S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense pada bul ke 6, 8, dan 10 .................................................................................................... 70
7.
Nilai rata-rata pengamatan histologi akar S. pinanga yang diinokulasi oleh S. columnare dan S. dictyosporum pada bulan ke-6, 8, dan 10 ........ 71
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Bagan alir pemikiran ............................................................................... 3
2.
Simbiosis ektomikoriza pada tanaman ....................................................
3.
Empat tipe morfotipe spora Scleroderma dilengkapi dengan ornamenornamennya ............................................................................................ 10
4.
Jumlah makalah jurnal dari tahun 2000 – 2008 yang berhubungan dengan mikoriza di hutan tropis (kata kunci pencarian: mycorrhiza & tropical & forest), dibandingkan dengan total literatur tentang mikoriza (kata kunci pencarian: mycorrhiza) ........................................................ 17
5.
Bahan yang digunakan dalam penyiapan miselium fungi ..................... 32
6.
Penempatan inokulum miselium fungi ektomikoriza pada cawan Petri . 32
7.
Perhitungan diameter pertumbuhan koloni dalam cawan Petri dengan menggunakan delapan arah mata angin ................................................. 33
8.
Perkembangan diameter koloni tiga jenis fungi Scleroderma dengan beberapa perlakuan pada setiap minggu pengamatan ............................ 33
9.
Diameter pertumbuhan koloni pada setiap minggu pengamatan ............ 35
10.
Tiga jenis tanaman inang yang digunakan dalam penelitian ................. 41
11.
Tiga fungi ektomikoriza yang digunakan dalam penelitian ................... 44
12.
Kolonisasi fungi ektomikoriza Scleroderma pada tanaman inang ......... 48
13.
Persentase kolonisasi ektomikoriza pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikoriza ........................................................................................... 49
14.
Pertambahan tinggi dan diameter pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikoriza.... 51
15.
Berat kering total, berat kering akar dan berat kering pucuk S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6,8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikriza ................................................................................... 52
16.
Penyerapan N dan P pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi dengan fungi ektomikoriza ........... 54
17.
Ujung akar berektomikoriza ................................................................... 67
18.
Penampang akar berektomikoriza (foto dengan perbesaran 10x40) ....... 68
9
19.
Komposisi ketebalan mantel, Hartig net, dan jaringan akar pada akar P. merkusii berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi ................................................................................ 69
20.
Komposisi ketebalan mantel, Hartig net dan jaringan akar pada akar G. gnemon berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi ................................................................................ 70
21.
Komposisi ketebalan mantel, Hartig net dan jaringan akar pada akar S. pinanga berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi ................................................................................ 71
22.
Citra SEM akar berektomikoriza ........................................................... 72
23.
Citra SEM ujung akar berektomikoriza ................................................. 73
24.
Model hubungan fungi—tanaman dalam sistem ektomikoriza ............. 80
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Halaman Komposisi media MMN ......................................................................... 101
2.
Analisis histologi akar ektomikoriza ...................................................... 102
3.
Teknik pewarnaan akar ektomikoriza ..................................................... 103
4.
Hasil analisis korelasi antara berat kering total tanaman dengan persentase kolonisasi pada tanaman Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon .............................................................................. 104
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar tanaman kehutanan sangat bergantung pada mikoriza untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya (Nehls et al. 2007). Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi,
tanaman inang memperoleh hara nutrisi sedangkan
fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Mikoriza akan membantu penyerapan unsur hara (Allen et al. 2003; Dehlin et al. 2004; Lilleskov et al. 2002; Baghel et al. 2009), meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Dell 2002; Dunabeitia et al. 2004), meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Onguene dan Kuyper 2002; Whipps 2004), dan pada beberapa spesies fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) (Hall et al. 2003; Wulandari 2002; Yamada et al. 2001; 2007). Fungi ektomikoriza memiliki kecenderungan untuk lebih spesifik dalam membentuk simbiosis, dan umumnya hanya pada tanaman berkayu (Brundrett 2002) walaupun terdapat laporan adanya fungi ektomikoriza pada perdu dan semak (Bidartondo et al. 2003; Dickie et al. 2004; Nara dan Hogetsu 2004). Fungi ektomikoriza merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan dan umum ditemukan pada hutan-hutan tropis di daerah Asia (Simard dan Durral 2004; Dell 2002; Brearly et al. 2007; Amaronpitak et al. 2006). Scleroderma merupakan genus fungi ektomikoriza yang memiliki kisaran tanaman inang yang luas (Chen et al. 2007; Brundrett et al. 2005). Menurut Dell (2002), di Asia jumlah tanaman inang cenderung meningkat dengan semakin tingginya suatu daerah dari permukaan laut dan dengan semakin tingginya garis lintang.
Kesesuaian antara Scleroderma spp. dengan Dipterocarpaceae (Lee et
al. 2008; Prameswari dan Tata 2004, Watling et al. 2002; Turjaman et al. 2006; Turjaman et al. 2005), Pinaceae (Chen 2006; Scattolin 2006; Barroetavena et al.
2 2007; Irianto 2004; Obase et al. 2009), dan Gnetaceae (Watling et al. 2002; Wulandari 2002; Suhardi 1997) telah banyak dilaporkan, meskipun demikian masih belum banyak yang diketahui tentang interaksi antar fungi ektomikoriza dan spesifisitas tanaman inang dengan kualitas simbiosis yang terbentuk yang berhubungan dengan kompatibilitas antara tanaman inang dan fungi, dan kemampuannya dalam meningkatkan kualitas tanaman inang, sehingga perlu dikaji lebih dalam (Gambar 1). Munculnya interaksi antar fungi ektomikoriza dan spesifisitas pada tanaman inang berhubungan dengan tingginya jumlah fungi ektomikoriza yang ada, menurut perkiraan Rinaldi et al. (2008) ada sekitar 20.000—25.000 spesies fungi ektomikoriza yang berasal dari 343 genus, sementara hanya ada 8000 tanaman yang dapat bersimbiosis dengan fungi ini. Berbagai hasil penelitian menemukan adanya berbagai spesies fungi ektomikoriza yang dapat berasosiasi dengan akar tanaman yang sama (Walbert et al. 2009; Valentine et al. 2004; Tedersoo et al. 2006; Obase et al. 2009; Richard et al. 2004).
Hal ini akan menimbulkan
interaksi antar fungi ektomikoriza (Koide et al. 2005), interaksi ini dapat bersifat saling melengkapi (Newsham et al. 1995; Mollina et al. 1992) atau kompetisi (Kennedy et al. 2007a; Kennedy dan Bruns 2005; Kennedy et al. 2007b; Hortal et al. 2008). Spesifisitas fungi ektomikoriza terhadap tanaman inang telah dikemukakan oleh Mollina et al. (1992) yang mengklasifikasikan fungi ektomikoriza berdasarkan kisaran tanaman inang yang dapat dikolonisasi. Diketahui, beberapa spesies fungi ektomikoriza dapat bersimbiosis dengan tanaman yang berbeda seperti Pisolithus (Chen et al. 2007).
Terdapat beberapa spesies fungi
ektomikoriza yang hanya dapat bersimbiosis dengan genus tanaman tertentu atau spesies tertentu (Bruns et al. 2002). Sato et al. (2007) menemukan fungi Strobilomyces hanya membentuk simbiosis dengan Castanopsis cuspidate.
3 Dipterocarpaceae
Ektomikoriza
Pinaceae Scleroderma
Gnetaceae
Kualitas Simbiosis
Spesifisitas Ektomikoriza pada Tanaman Inang
Interaksi antar Ektomikoriza
Spesies Ektomikoriza
Jumlah Spesies Ektomikoriza/Tan
Informasi aplikasi inokulum ektomikoriza yang
Meningkatkan kualitas tanaman inang
Gambar 1 Bagan alir pemikiran.
Kompatibilitas
4 Hedh et al. (2009) menemukan dari 35 strain
Paxillus involutus yang
diujicobakan pada tanaman birch dan spruce terdapat beberapa strain yang hanya kompatibel dengan salah satu tanaman, dan strain yang kompatibel dengan kedua tanaman inang. Spesifisitas fungi ektomikoriza akan berhubungan dengan kompatibilitas antara fungi ektomikoriza dan tanaman inang, kesesuaiannya akan mempengaruhi optimalisasi fungsi dan peran fungi ektomikoriza dalam membantu pertumbuhan tanaman inang. Pemilihan ketiga spesies tanaman yang digunakan dalam penelitian
ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa masing-masing spesies mewakili tiga kelas yang berbeda yaitu angiospermae (Shorea pinanga), gymnospermae (Pinus merkusii), dan peralihan antara angiospermae dan gymnospermae (Gnetum gnemon) sehingga diharapkan dapat menjabarkan secara luas hubungan antara fungi ektomikoriza dengan berbagai spesies tanaman. Fungi ektomikoriza Scleroderma spp. yang digunakan adalah spesies yang secara alami ditemukan pada ketiga tanaman inang yang digunakan yaitu: Scleroderma columnare bersimbiosis dengan S. pinanga; S. dictyosporum bersimbiosis dengan P. merkusii dan S. sinnamariense bersimbiosis dengan G. gnemon. S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense merupakan spesies fungi
ektomikoriza
yang
dikenal
sebagai
“early-stage
ectomycorrhiza”
(Supriyanto dan Irawan 1997) yaitu spesies fungi ektomikoriza yang membentuk simbiosis pada awal pertumbuhan tanaman inang. Aplikasi multi fungi ektomikoriza pada tanaman inang diharapkan akan memberikan gambaran tentang kompatibilitas dan spesifisitas tanaman inang terhadap fungi ektomikoriza dan sebaliknya, sehingga menggambarkan dinamika yang terjadi pada akar tanaman. Teknik aplikasi inokulum fungi ektomikoriza ini juga diharapkan akan memberikan rekomendasi tentang teknik inokulasi yang dapat
diterapkan
pada
tanaman
kehutanan
yang
diketahui
memiliki
5 ketergantungan yang tinggi terhadap fungi ektomikoriza, sehingga dapat mengoptimalkan peranan ektomikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini ialah: Mempelajari interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahan hidup tanaman inang. Tujuam khusus penelitian ini adalah: (1)
Mempelajari pertumbuhan dan perkembangan serta hubungan yang terbentuk antara S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense secara in vitro.
(2)
Mempelajari
kompatibilitas
dan
spesifisitas
fungi
ektomikoriza
S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense terhadap S. pinanga. P. merkusii dan G. gnemon. (3)
Mempelajari hubungan antara fungi ektomikoriza S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense terhadap S. pinanga. P. merkusii dan G. gnemon.
(4)
Mempelajari karakteristik morfologi dan anatomi akar
S. pinanga,
P. merkusii, dan G. gnemon yang telah diinokulasi dengan S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense selama 6, 8 dan 10 bulan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: (1)
Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam memahami interaksi antar fungi ektomikoriza baik secara in vitro maupun in vivo.
6 (2)
Bagi Pemerintah, khususnya bidang kehutanan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat
memberikan
informasi
tentang
keunggulan
penggunaan fungi ektomikoriza pada tanaman kehutanan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan-kegiatan penanaman di lahan-lahan hutan. (3)
Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi kegunaan fungi ektomikoriza pada berbagai tanaman sehingga memperbaiki kualitas tanaman. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: (1) Terjadi interaksi dalam pertumbuhan dan perkembangan S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense secara in vitro. (2) Fungi ektomikoriza
S. columnare, S. dictyosporum, dan S.
sinnamariense dapat membentuk simbiosis dengan S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon. (3) Aplikasi fungi ektomikoriza akan meningkatkan pertumbuhan
S.
pinanga, P. merkusii dan G. gnemon. (4) Terdapat perbedaan ciri morfologi dan anatomi akar pada setiap spesies kombinasi fungi ektomikoriza dengan tanaman inang.
II. TINJAUAN PUSTAKA Ektomikoriza Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, tanaman inang memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Frank pada tahun 1877 di Jerman (Brundrett 2004). Saat ini diketahui terdapat 7 tipe mikoriza yaitu (1) arbuskular mikoriza, (2) ektomikoriza, (3) ektendomikoriza, (4) arbutoid mikoriza, (5) monotropoid mikoriza, (6) ericoid mikoriza, dan (7) orchid mikoriza.
Pembagian ini didasarkan pada karakter-karakter (1) ada/tidaknya
septa; (2) intraseluler kolonisasi (3) keberadaan mantel dan Hartig net serta (4) acrophyl (Smith dan Read 2008). Fungi
ektomikoriza
umumnya
dari
golongan
Basidiomisetes
dan
Askomisetes. Beberapa genera fungi Basidiomisetes pembentuk ektomikoriza di antaranya adalah Amanita, Boletellus, Boletinus, Boletus, Pisolithus, Scleroderma, Suillus, Russula, dan Laccaria (Brundrett et al. 1996; Rinaldi et al. 2008). Beberapa manfaat mikoriza bagi pertumbuhan tanaman antara lain: (1) meningkatkan penyerapan unsur hara tanaman dari dalam tanah. Hal ini disebabkan mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro. Eksplorasi hifa pada media tumbuh juga lebih luas dibandingkan dengan akar tanaman (Satomura et al. 2006; Santoso et al. 2007);
(2) meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan.
Pada akar
bermikoriza kerusakan jaringan kortek tidak akan bersifat permanen.
Akar
bermikoriza akan cepat pulih, karena hifanya masih mampu menyerap air pada pori tanah, dan penyebaran hifa yang luas akan dapat menyerap air lebih banyak (Querejeta et al. 2003); (3) meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen. Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi
8 patogen akar, perlindungan ini terjadi karena adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik dan antibiotika yang dikeluarkan oleh mikoriza (Whipps 2004; Martin-Pinto et al. 2006; Zadworny et al. 2007); dan (4) menghasilkan beberapa zat pengatur tumbuh.
Fungi mikoriza dapat menghasilkan hormon auksin,
sitokinin, gibberelin, dan vitamin yang bermanfaat untuk inangnya (Allen et al. 2003; Dell 2002). Auksin dapat berfungsi untuk mencegah atau menghambat proses penuaan dan suberinasi akar sehingga umur dan diperpanjang.
fungsi akar dapat
Manfaat lainnya ialah (5) beberapa fungi ektomikoriza
menghasilkan tubuh buah yang dapat dimakan/dikonsumsi oleh manusia, sehingga memberikan hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi dan gizi yang tinggi (Hall et al. 2003; Yamada et al. 2001; 2007). Interaksi antara fungi dan inang dalam medium pertumbuhan sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh sejumlah interaksi biokimia, fisiologi dan proses lingkungan. Simbiosis ektomikoriza pada tanaman disajikan pada Gambar 2.
Scleroderma Scleroderma termasuk dalam divisi Basidiomycota, ditemukan oleh Persoon (1801) dengan spesies S. verrucosum.
Karakter utama Scleroderma ialah: (1)
peridium padat; (2) gleba berwarna kehitaman; (3) dan spora globose, kadangkadang subglobes, ada/tidak adanya retikulata (Watling 2006). Terdapat empat tipe morfotipe spora Scleroderma (Gambar 3) dan berdasarkan bentuk spora Scleroderma dibagi menjadi empat kelompok: (1) Aculcatispora (2) Caloderma, (3) Sclerangium, dan (4) Scleroderma (Tabel 1) (Dickinson dan Hutchison 1997; Chen 2006).
9 A
Tanaman Inang
Pohon dewasa
semai Tubuh Buah (reproduktif)
Miselia (hifa & rizomorf)
Akar berektomikoriza
B Irisan melintang akar
Mantel Kortek Hartig net Hifa Rizomorf
Gambar 2 Simbiosis ektomikoriza pada tanaman (Anonim 2006) A: Gambaran simbiosis yang terbentuk pada akar tanaman dengan miselia fungi ektomikoriza, miselia fungi ektomikoriza dapat menghubungkan dua tanaman yang berbeda. B: Komponen fungi ektomikoriza yang terbentuk pada akar tanaman, yang terdiri dari mantel pada lapisan luar akar tanaman, Hartig net yang terbentuk di sela-sela epidermis dan/atau hingga kortek, serta hifa eksternal.
10 .
Gambar 3 Empat tipe morfotipe spora Scleroderma dilengkapi dengan ornamentornamennya (a) Echinulate, (b) Verrucose, (c) Subreticulate, dan (d) Reticulate (Chen 2006) Pada tahun 1970 Guzman mendeskripsikan 20 spesies Scleroderma, dan kini ada 31 spesies yang telah dideskripsikan (Tabel 1) (Rinaldi et al. 2008). Menurut Watling (2006) tampaknya seluruh genus Scleroderma adalah ektomikoriza. Scleroderma diketahui memiliki kemampuan bersimbiosis dengan banyak tanaman kehutanan, ada sekitar 28 genus tanaman yang terdapat dalam 11 famili yang dilaporkan dapat bersimbiosis dengan Scleroderma (Chen et al. 2007). Antara lain ialah Cistaceae (Moreau et al. 2006)., Dipterocarpaceae (Lee et al. 2008, Peay et al. 2009), Myrtaceae (Pescova 2005), Pinaceae (Kasuya et al. 2002; Niemi et al. 2002a, 2002b), dan Fagacae (Giomaro et al. 2002; Giachini et al. 2004)
11 Tabel 1 Nama spesies Scleroderma, yang dikelompokkan berdasarkan bentuk spora dan keberadaan clamp-connection (Rinaldi et al. 2008). No. Nama Spesies Kelompok Aculcatispora – echinulate atau verrucose, tidak reticulate; tanpa clampconnection 1 S. albidum Pat. Et Trab. 2 S. areolatum Ehrenb. 3 S. cepa Pers. 4 S. columnare Berk. & Broome 5 S. cyaneoperidiatum Watling & Sims 6 S. laeve Lloyd 7 S. leptopodium (Durieu & Mont.) De Toni 8 S. mayama Grgurinovic 9 S. texense Berk. 10 S. uruguayense (Guzmán) Guzmán 11 S. verrucosum Pers. Kelompok Caloderma – sedikit reticulate dengan duri sangat ramping dan pendek; dengan clamp-connection 12 S. stellatum Berk. Kelompok Sclerangium – Subreticulate ; dengan clamp-connection 13 S. bermudense Coker. 14 S. chevalieri Guzmán 15 S. citrinum Pers. 16 S. floridanum Guzmán 17 S. paradoxum Beaton 18 S. polyrhizum Pers. 19 S. reae Guzmán Kelompok Scleroderma – reticulate sempurna; dengan clamp-connection 20 S. bougheri Trappe, Castellano & Giachini 21 S. bovista Fr. 22 S. congolense Demoulin & Dring 23 S. dictyosporum Pat. 24 S. fuscum (Corda) E. Fisch. 25 S. hypogeum Zeller 26 S. meridionale Dem. & Mal. 27 S. michiganense (Guzmán) Guzmán 28 S. schmitzii Demoulin & Dring 29 S. septentrionale Jeppson 30 S. sinnamariense Mont. 31 S. xanthochroum Watling & Sims
12 Scleroderma columnare , S. dictyosporum, dan S. sinnamariense Species S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Brundrett et al. 1996; The National Science Museum 1998): Divisi
: Basidiomycota
Kelas
: Holobasidiomycetes
Anak kelas : Gasteromycetes Bangsa
: Sclerodermatales
Famili
: Sclerodermataceae
Genus
: Scleroderma
Species
: Scleroderma columnare Scleroderma dictyosporum Scleroderma sinnamariense
Menurut Zeller (1948) S. columnare telah ditemukan sejak tahun 1888 oleh Berkeley dan Broome, mempunyai tubuh buah yang tertutup, peridium relatif tebal dan keras, himenium tidak jelas.
Tubuh buah S. columnare berbentuk
hampir bundar atau tidak beraturan dengan diameter 2—12 cm, berwarna coklat tua dan tangkai.
Sporanya berwarna coklat muda hingga coklat tua dan
mempunyai diameter 1—12 µm, bentuk spora echinulate atau verrucose, tidak reticulate (Chen 2006). Hifanya berwarna kuning pucat, berdinding tebal, bercabang dan bersepta sederhana (Smits 1994). Chen (2006) menemukan bahwa fungi ini tidak memiliki clamp-connection, namun Wulandari (2002), Tata (2001) dan Santoso (1997) menemukan clamp-connection pada hifa S. columnare yang diteliti. S. dictyosporum memiliki tubuh buah yang berbentuk setengah bulat atau tidak beraturan, berdiameter 2—4 cm, berwarna coklat kehitaman dan tidak memiliki batang.
Spora berwarna coklat tua hingga kehitaman dan memiliki
diameter 7—12 µm, bentuk spora reticulate sempurna (Chen 2006).
Pertumbuhan S. dictyosporum relatif lambat.
13 Anyaman hifa yang terbentuk
seperti woll dan sulit dilepaskan dari tanah yang menempel, serta berwarna putih kekuningan (Sannon et al. 2009), bersepta dan memiliki clamp-connection (Chen 2006, Wulandari 2002). Tubuh buah S. sinnamariense dapat ditandai dengan warna kuning yang khas, baik pada gleba hingga hifa yang terbentuk.
Bentuk dan ukurannya
sangatlah bervariasi, mulai berbentuk sangat bulat hingga berbentuk tidak beraturan. Spora berwarna coklat tua hingga kehitaman dan memiliki diameter 7—12 µm, bentuk spora reticulate sempurna dan hifa memiliki septa dan clamp connection (Chen 2006). Ciri khas lain fungi ini ialah ketika masak akan pecah dengan pola menyerupai bunga yang mekar.
Pada umumnya ditemukan
bersimbiosis dengan melinjo, dan di berbagai daerah di Indonesia tubuh buahnya yang masih muda (warna glebanya masih putih) dikonsumsi sebagai bahan sayuran (Watling et al. 2002: Wulandari 2002).
Menurut Watling (2006)
S. sinnmariense adalah species Scleroderma yang paling banyak sinonimnya, yaitu: S. aureum, Mass, 1889, dari New Guinea, S. chyrsasrum Mart, 1954 dari Panama, S. endosatrum Petch, 1919, dari Srilangka, S. flavocrocattum Sacc & de toni, 1887, dari Malaysia, S. lutuem Llyod, 1914, Sewarang, S. pantherinum Matt, 1931 dari Indonesia, S. pisiforme P. Henn, 1859, Camerun.
Tanaman Inang Shorea pinanga Nama daerah dari S. pinanga ialah Brunai: kawang, meranti langgai bukit; Indonesia: awang boi (Kalimantan Selatan bagian timur), tengkawang biasa, tengkawang rambai (Kalimantan Barat); Malaysia: kawang pinang (Sabah), meranti langgai bukit (Serawak).
Penyebarannya meliputi seluruh Borneo.
Kayunya digunakan sebagai meranti merah ringan tetapi mempunyai nilai
14 ekonomi yang rendah. Buahnya digunakan sebagai tengkawang (Mindawati dan Rustaman 2004). Pohon S. pinanga berukuran sedang hingga besar, tinggi 50 m, diameter 1,25 m, banir kecil dengan tinggi 1,5 m; daun jorong hingga bulat telur menyempit, berkulit tipis, 11-24 cm x 4-9 cm dengan 10-20 pasang tulang daun sekunder, daun penumpu 6 cm; benang sari 15, kepala sari seperti bola memanjang; stolopodium panjang dan pipih (Sumarhani 2007). Pada umumnya ditemukan pada tanah lempung dan khususnya pada dataran yang luas hingga ketinggian 200 m dpl. Kerapatannya kayu 305-630 kg/m3 pada kadar air 15%. Species tengkawang menghasilkan lemak yang dikenal dengan green butter, yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarine, malam, sabun dan kosmetik.
Biji tengkawang dikenal dengan nama borneo
tallow, illipe nuts, dan tengkawang kernels.
Produksi biji tengkawang dapat
mencapai ± 1,25 ton biji kering/ha/panen (Mindawati dan Rustaman 2004). Pinus merkusii (Pinus) P. merkusii termasuk famili Pinaceae (Earle 2008a). Species ini merupakan salah satu species pohon industri yang penting di Indonesia. Di Sumatera dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti di Aceh disebut damar atau sala, di Gayo disebut uyam, di Tapanuli disebut tusam, di Kerinci sugi, di daerah Alas dikenal dengan nama Sulu, sedangkan di Sumatera Barat disebut susugi (Hendi 2000). Pohon P. merkusii berukuran sedang sampai besar, dapat mencapai ketinggian 70 m dan diameter 140 cm. Pada pohon yang masih muda tajuk berbentuk piramida, kemudian tersebar berbentuk payung pada pohon yang sudah tua. P. merkusii termasuk kayu daun jarum. Jumlah jarum dalam berkas daun ialah dua. Tanaman ini berbuah sepanjang tahun dan buahnya berbentuk kerucut (Earle 2008b).
15 Species kayu pinus dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas, batang dan kotak korek api, dan kayu pertukangan.
Sifat kayu
tanaman ini ialah (1) kayunya berwarna kuning kecoklatan; (2) gubalnya berwarna putih; (3) berat species antara 0,42—0,59; dan (4) panjang serat rata-rata 4 mm. Vinir dan getah pinus banyak digunakan untuk bahan terpentin (sebagai bahan pelarut atau minyak pengering, semir sepatu dan logam) dan gondorukem (untuk campuran bahan batik; campuran sabun, cat, vernis kertas dan pestisida) (Kalima 2005). P. merkusii merupakan salah satu species pinus di daerah tropik yang unik, karena penyebarannya secara alami melintasi khatulistiwa ke arah belahan bumi bagian selatan pada ketinggian 150—900 mdpl, curah hujan lebih dari 1900 mm per tahun dan pada tanah sarang serta baik drainasenya. Tanaman ini secara alami tersebar di Aceh, Tapanuli dan Jambi (Gunung Kerinci) (Yafid dan Jafarsidik 2005). Di luar negeri terdapat di Philipina, Laos, Khmer, Thailand dan Birma. P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian mulai dari beberapa meter dari permukaan laut hingga 1800 m dpl dan pada bermacam-macam jenis tanah dengan bahan induk yang berlainan. Gnetum gnemon (Melinjo) Tanaman ini berasal dari Malaysia, kemudian menyebar sampai ke India, Indonesia dan kepulauan Fiji. Genus melinjo terdiri dari 33 species yang tersebar di beberapa wilayah, di Amerika Utara ada tujuh species, Afrika Tropik ada dua species, dan sisanya di Asia Tropik termasuk di Indonesia. Di Indonesia terdapat 14 species. Di Indonesia tanaman ini dapat ditemukan di seluruh propinsi (Sentra Informasi IPTEK 2005). Syarat tumbuh melinjo tidak terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di lingkungan yang kurang menguntungkan. Melinjo dapat tumbuh di semua jenis tanah; tanah liat, berpasir ataupun lempung, dengan kisaran pH yang cukup luas,
16 sedikit asam hingga netral (4—6). Walaupun demikian tanaman ini tampaknya tidak tahan pada lahan-lahan yang tergenang. Di Indonesia melinjo terdapat pada daerah pantai yang berhawa panas sampai pegunungan dengan ketinggian 1200 m dpl. Pohon melinjo memiliki batang yang ramping dan ditutupi oleh cabang yang banyak. Ketinggiannya dapat mencapai 15 m dengan diameter batang 25 cm. Pertumbuhan cabang tidak pernah melampaui batang pokok sehingga selalu tampak lebih jelas. Sistem percabangan yang demikian ini membuat perawakan pohon melinjo tampak seperti kerucut (Anonim 2007). Daun melinjo berbentuk elips meruncing pada ujungnya dan bertepi rata dengan panjang antara 7,2 —20 cm dan lebarnya antara 2—10 cm. Daun melinjo berjenis tunggal dengan duduk daun berhadapan.
Setiap buah melinjo
mengandung satu biji melinjo berbentuk elips, ujung meruncing pendek dengan panjang 1—3,5 cm (Cheng dan Cheng 2007). Biji melinjo membutuhkan waktu beberapa bulan hingga satu tahun untuk berkecambah, hal ini disebabkan embrio yang terbentuk ketika biji gugur belum sempurna (dormansi embrio), perkembangan embrio disempurnakan ketika biji disemaikan. Kulit batang pohon melinjo dapat dijadikan tali untuk jala atau tali panjat, karena mengandung banyak serat. Kayunya dapat digunakan untuk perkakas dapur, bahkan dapat diproses menjadi kertas yang berkualitas baik. Di Malaysia, kayu melinjo digunakan sebagai bahan bangunan (untuk pembuatan rumah) dan papan kayunya dapat dibuat peti kemas. Manfaat lainnya adalah tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman pelindung di sekitar rumah, tanaman sela di pinggir tegakan hutan, atau tanaman penghijauan di tanah-tanah terbuka dan sebagai tanaman untuk konservasi tanah. Bagian dalam bijinya umum digunakan sebagai sayuran atau dibuat emping. Bahkan saat ini juga banyak dibuat keripik dari kulit buah melinjo.
17 Perkembangan Penelitian Scleroderma Pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae Menurut Alexander dan Selosse (2009) penelitian mengenai mikoriza pada hutan tropis masih sangat sedikit, hal ini didasarkan pada hasil penelusuran pada jurnal ilmiah sejak tahun 2000 hingga 2008, dari sekitar 5600 artikel ilmiah yang diterbitkan hanya sekitar 170 artikel yang membahas tentang mikoriza pada hutan tropis (Gambar 4).
Tahun Gambar 4 Jumlah makalah jurnal dari tahun 2000 – 2008 yang berhubungan dengan mikoriza di hutan tropis (kata kunci pencarian: mycorrhiza & tropical & forest), dibandingkan dengan total literatur tentang mikoriza (kata kunci pencarian: mycorrhiza) (Alexander dan Selosse 2009). Perkembangan
penelitian
fungi
ektomikoriza
Scleroderma
Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae disarikan pada Tabel 2.
pada
Sebagian
besar penelitian yang dilakukan pada Dipterocarpaceae pada genus Shorea. Belum banyak artikel yang membahas tentang P. merkusii dan sangat sedikit tentang G. gnemon.
18 Tabel 2 Daftar penelitian fungi ektomikoriza Scleroderma spp. pada berbagai tanaman inang dari Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae Famili Gnetaceae
Tanaman inang G. gnemon G. gnemon
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae H. odorata S. leprosula H. odorata, V. sumatrana S. stenoptera S. pinanga S. compressa S. affinis S. congestifora S. corfolia S. gardneli S. zaelanica S. javanica
Pinaceae
S. johorensis S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. mecistopteryx S. pinanga S. selanica S. stenopter S. pinanga S. palembanica S. selanica S. selanica S. leprosula S. selanica S. seminis S. seminis S. seminis S. mecistopteryx S. pinanga P merkusii
P. merkusii
Scleroderma S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense S. dictyosporum S. verrucusom Scleroderma sp.
Sumber pustaka Suhardi 1997 Wulandari 2002
S. columnare
Santoso 1988; Santoso 1991
Scleroderma sp.
Tenakoon et al. 2005
S. columnare S. dictyosporum S. columnare
Prameswari 2004
S. columnare S. columnare Scleroderma spp. Scleroderma sp. Scleroderma sp. S. columnare Scleroderma sp.
Sannon et al. 2009 Lee et al. 2008
Omon 2006 Omon 2008 Omon 2003 Norvana 1997 Lee et al. 1997 Supriyanto et al. 1993 Turjaman et al. 2005 Santoso dan Turjaman 2003
S. columnare S. dictyosporum
Darusman 1995 Supriyanto 1996
S. columnare S. columnare S. columnare S. columnare
Prameswari 2005 Tata dan Prameswari 2004 Turjaman et al. 2006 Riniarti 2002
S. citrinum
Sugiarti et al. 2007 Darwo dan Sugiarti 2008a Darwo dan Sugiarti 2008b Darwo dan Sugiarti 2008
Scleroderma sp.
19 Tabel 2 (Lanjutan) Famili Pinaceae
Tanaman inang P. patula P. pinaster
Scleroderma S. citrinum Scleroderma sp.
P. pinaster P. pinea P. pinea P. radiate P. radiata P. ellioti P. taedae
S. citrinum Scleroderma sp. S. verrucosum S. citrinum Scleroderma spp.
Sumber pustaka Mohan et al. 1993 Nieto & Carbone 2009 Pera & Alvarez 1995 Parlade et al. 1996 Rincon et al. 1999 Rincon et al. 2001 Dunabeitia et al. 2004 Chen et al. 2006
Scleroderma sp.
Giachini et al. 2004
Penelitian yang terbanyak bertujuan untuk melihat kompatibilitas dan pengaruh inokulasi fungi ektomikoriza pada tanaman inang dengan berbagai macam inokulum yang digunakan, seperti inokulum suspensi spora (Santoso 1988; Santoso 1991 ; Chen et al. 2006; Tata dan Prameswari 2004; Turjaman et al. 2005; Turjaman et al. 2006; Prameswari 2005; Prameswari 2004;Norvana 1997; Sugiarti et al. 2007), Tablet spora (Omon 2006; Omon 2008; Riniarti 2002), miselium (Supriyanto et al. 1993; Darusman 1995; Lee et al. 2008; Wulandari 2002; Rincon et al. 1999, 2001). Hasil penelitian secara umum menunjukkan kesesuaian antara tanaman inang yang diujicobakan dengan fungi ektomikoriza Scleroderma spp. Hasil lainnya adalah kemampuan fungi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman inang dan juga membantu penyerapan unsur hara bagi tanaman inang. Sebagian
lainnya
adalah
hasil
eksplorasi
di
bawah
tegakan
Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae (Santoso dan Turjaman 2003, Suhardi 1997, Sugiarti et al. 2007, Darwo dan Sugiarti 2008a, 2008b; Tata et al. 2010; Tennakoon et al. 2005; Duñabeitia et al. 2004; Parlade et al. 1996; Pera dan Alvarez 1995; Mohan et al. 1993). Hasil yang diperoleh umumnya menunjukkan bahwa satu species tanaman inang dapat bersimbiosis dengan berbagai species fungi ektomikoriza dari berbagai genus dan salah satunya ialah Scleroderma.
20 Beberapa penelitian tentang upaya pengembangan Scleroderma spp. secara in vitro juga telah dilakukan. Media yang digunakan adalah MMN (Modified Melin Norkrans) padat dan cair (Supriyanto dan Irawan 1997; Tata 2003; Ba et al. 1999; Sannon et al. 2009; Diedhiou et al. 2004; Ray et al. 2005; Zeng et al. 2003; Zadworny et al. 2007) Selain dengan Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae, Scleroderma juga ditemukan banyak bersimbiosis dengan tanaman dari famili Fagaceae, seperti pada Eucalypyus globulus dan E. urophylla (Brundrett et al. 2005; Chen et al. 2007), E. tereticornis (Reddy dan Satyanarayana 1998), Quercus garryana (Valentine et al. 2004), Caesalpiniaceae, yaitu pada Afzelia africana (Bâ et al. 1999; Diedhiou et al. 2004), Uapaca bojeri L. (Ramanankierana et al. 2007), Betulaceae yaitu pada Alnus (Moreau et al. 2006), yang berada di hutan subtropis. Dari hasil-hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Scleroderma merupakan fungi ektomikoriza yang potensial untuk diaplikasikan, berkaitan dengan kemudahan dalam memperoleh inokulum spora dan cukup banyaknya informasi tentang pembiakan miseliumnya pada media kultur. Scleroderma juga telah dibuktikan memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae (Tabel 2). Namun demikian, masih terdapat berbagai bidang yang membutuhkan penelitian lebih lanjut, seperti interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inangnya. Spesifisitas fungi ektomikoriza terhadap tanaman inang dari famili yang berbeda juga belum banyak diteliti. Pengetahuan tentang kompatibilitas dan kesesuaian antara fungi ektomikoriza dengan tanaman inang tertentu akan memberikan pengetahuan tentang metode aplikasi inokulum yang tepat untuk diaplikasikan
21 pada hutan tanaman ataupun pada kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan yang saat ini semakin gencar dilakukan oleh pemerintah. Pengetahuan tentang hubungan species-species fungi ektomikoriza dengan tanaman inang akan memberikan informasi penting untuk penelitian-penelitian di bidang silvikultur dan ekologi, serta dalam pengambilan keputusan manajemen ekosistem hutan, informasi-informasi ini dibutuhkan untuk memahami peranan dan fungsi fungi ektomikoriza bagi tanaman inang.
DAFTAR PUSTAKA Alexander I, Selosse M-A. 2009. Mycorrhizas in tropical forests: a neglected research imperative. New Phytol 182:14–16. Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Anonim. 2006. Mushroom in Asia. www.edinburgh.ceh.ac.uk/tropica/ vietmushManintro.pdf. [4 April 2006]. Anonim. 2007. Gnetum gnemon. www.wordagroforestrycentre.org/sea/ PRODUCT/FDbases/AF/asp/Spesciesinfo.asp?SPID=1751 [4 November 2007]. Bâ AM, Sanon KB, Duponnois R, Dexheimer J. 1999. Growth response of Afzeli africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrientdeficient soil. Mycorrhiza 9:91–95. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Brundrett M, Malajczuk N, Mingqin G, Daping Xu, Snelling S, Dell B. 2005. Nursery inoculation of Eucalyptus seedlings in Western Australia and Southern China using spore and mycelia inoculum of diverse ectomycorrhizal fungi from different climatic regions. For Ecol Man 209:163–205. Brunner I. 2001. Ectomycorrhizas: Their role in forest ecosystem under the impact of acidifying pollutants. Persp Plant Ecol Evol System 4:13–27.
22 Chen YL, Kang LH, Malajczuk N, Dell B. 2006. Selecting ectomycorrhizal fungi for inoculating plantations in south China: effect of Scleroderma on colonization and growth of exotic Eucalyptus globulus, E. urophylla, Pinus elliottii, and P. radiata. Mycorrhiza 16:251–259. Chen YL, Liu S, Dell B. 2007. Mycorrhizal status of Eucalyptus plantations in south China and implication for management. Mycorrhiza 17:527–535. Cheng CY, Cheng WC. 2007. Gnetum, Flora of China. Acta Phytotax Sin 13:88–90. Darusman LK. 1995. Telaah Biokimia Proses Asosiasi Shorea selanica dan Scleroderma columnare [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Darwo, Sugiarti. 2008a. Beberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. J Pen Hut & KA 5:157–173. Darwo, Sugiarti. 2008b. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma citrinum Persoon dan komposisi media terhadap pertumbuhan tusam di persemaian. J Pen Hut & KA 5:461-472. Dickinson TA, Hutchison LJ. 1997. Numerical taxonomic methods, cultural characters, and the systematics of ectomycorrhizal agarics, boletes and gasteromycetes. Mycol Res 101:477–492. Diedhiou AG, Verpillot F, Gueye O, Dreyfus B, Duponnois R, Bâ AM. 2004. Do concentrations of glucose and fungal inoculum influence the competitiveness of two early-stage ectomycorrhizal fungi in Afzelia africana seedlings? For Ecol And Man 203:187–194. Diouf D, Diop TA, Ndoye I. 2003. Actinorhizal, mycorrhizal, and rhizobial symbioses: how much do we know? Af J Biotech 2:1–7. Duñabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental factors and their role in the mycorrhization of Pinus radiata D. Don. Mycorrhiza 14:11–18. Earle CJ. 2008a. Pinus, The Gymnosperm Databases. www.conifers.Org/pi/pin/ index.html. [12 November 2008] Earle CJ. 2008b. Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese 1845. www. Conifers. Org/pi/pin/merkusii.htm [12 November 2008]. Giachini AJ, Souza LAB, Oliveira VL. 2004. Species richness and seasonal abundance of ectomycorrhizal fungi in plantations of Eucalyptus dunnii and Pinus taeda in southern Brazil. Mycorrhiza 14:375–381.
23 Giomaro G, Sisti D, Zambonelli A, Amicucci A, Cecchini M, Comandini O, Stocchi V. 2002. Comparative study and molecular characterization of ectomycorrhizas in Tilia americana and Quercus pubescens with Tuber brumale. FEMS Microbiol Letters 216:9–14. Hall IA, Yun W, Amicucci A. 2003. Cultivation of edible ectomycorrhizal mushrooms. Trends in Biotechnol 21:433–438. Hendi.
2000. Kajian Tehnik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci. www.dephut.go.id/files/Hendi.pdf [12 November 2008]
Kalima T. 2005. Mengenal panorama alam Pinus merkusii Jungh de Vries di Sumatera Utara. Warta Pusat Litbang dan Konservasi Alam 11:6–7. Kasuya T. Guzmán G, Ramirez-Guillèn F, Kato T. 2002. Scleroderma laeve (Gasteromycetes, Sclerodermatales), new to Japan. Mycoscience 43:475– 476. Koide RT, Shumway DL, Xu B, Sharda JN. 2007. On temporal partitioning of a community of ectomycorrhizal fungi. New Phytol 174:420–429. Lee LS, Alexander IJ, Watling R. 1997. Ectomycorrhizas and putative ectomycorrhizal fungi of Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae). Mycorrhiza 7:63–81. Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J of Trop For Sci 20:237–247. Luo Z-B, Janz D, Jiang X, Göbel C, Wildhagen H, Tan Y, Rennenberg H, Feussner I, Polle A. 2009. Upgrading root physiology for stress tolerance by ectomycorrhizas: Insights from metabolite and transcriptional profiling into reprogramming for stress anticipation. Plant Physiol 151:1902–1917. Martín-Pinto P, Pajares J, Díez J. 2006. In vitro effects of four ectomycorrhizal fungi, Boletus edulis, Rhizopogon roseolus, Laccaria laccata and Lactarius deliciosus on Fusarium damping off in Pinus nigra seedlings. New Forests 32:323–334. Mindawati N, Rustaman B. 2004. Mengenal Tengkawang. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam 1:9–10. Mohan V, Natrajan K, Ingleby K. 1993. Anatomical studies on ectomycorrhizas. III The ectomycorrhizas produced by Rhizopogon luteolus and Scleroderma citrinum on Pinus patula. Mycorrhiza 3:51–56. Moreau P-A, Pintner U, Gardes M. 2006. Phylogeny of the ectomycorrhizal mushroom genus Alnicola (Basidiomycota, Cortinariaceae) based on rDNA sequences with special emphasis on host specificity and morphological characters. Mol Phylogen Evol 38:794–807.
24 Muchovej RM. 2002. Importance of Mycorrhizae for Agricultural Crops. http:edis.ifas.ufl.edu/BODY_AGI16 [10 Maret 2006]. Niemi K, Häggman H, Sarjala T. 2002a. Effects of exogenous diamines on the interaction between ectomycorrhizal fungi and adventitious root formation in Scots pine in vitro. Tree Physiol 22:373–381. Niemi K, Vuorinen T, Ernstsen A, Häggman H. 2002b. Ectomycorrhizal fungi and exogenous auxins influence root and mycorrhiza formation of Scots pine hypocotyl cuttings in vitro. Tree Physiol 22:1231–1239. Nieto MP, Carbone SS. 2009. Characterization of juvenile maritime pine (Pinus pinaster Ait.) ectomycorrhizal fungal community using morphotyping, direct sequencing and fruitbodies sampling. Mycorrhiza 19:91–98. Norvana UI. 1997. Peranan Sleroderma columnare dan media tumbuh bahan organik terhadap pertumbuhan stek Shorea leprosula Miq [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Omon RM. 2003. Pengaruh tablet mikoriza terhadap persen akar bermikoriza stek Shorea leprosula Miq. di rumah kaca Wanariset Semboja, Kalimantan Timur. Bul Pen Hutan 16: 23—30. Omon RM. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek Shorea johorensis Foxw. Di rumah kaca. J Pen Hut & KA 3:83–93. Omon RM. 2008. Pengaruh dosis tablet mikoriza terhadap pertumbuhan dua jenis meranti merah asal benih dan stek di HPH PT. ITCIKU, Balikpapan. Kalimantan Timur. Info Hutan 5:329–35. Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17. Parladé J, Per J, Alvarez IF. 1996. Inoculation of containerized Pseudotsuga menziesii and Pinus pinaster seedlings with spores of five species of ectomycorrhizal fungi. Mycorhiza 6:237–245. Peay KG, Kennedy PG, Davies SJ, Tan S, Bruns TD. 2009. Potential link between plant and fungal distributions in a dipterocarp rainforest: Community and phylogenetic structure of tropical ectomycorrhizal fungi across a plant and soil ecotone. New Phytol doi: 10.1111/j.14698137.2009.03075.x. Pera J, Alvarez IF. 1995. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinaster. Mycorrhiza 5:193–200. Pešková V. 2005. Dynamics of oak mycorrhizas. J For Sci 51:259–267.
25 Peterson RL, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhiza: Anatomy and Cell Biology. Ottawa: NRC Research Press. Prameswari D, Tata MHL. 2004. Effect of planting media on the growth of Shorea pinanga Scheff seedlings. J For Res 1:25–30. Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi cendawan ektomikoriza dan media tumbuh terhadap pertumbuhan Shorea javanica K & V. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Querejeta JI, Egerton-Warburton LM, Allen MF. 2003. Direct nocturnal water transfer from oaks to their mycorrhizal symbionts during severe soil drying. Oecologia 134:55–64. Ramanankierana N, Ducousso M, Rakotoarimanga N, Prin Y, Thioulouse J, Randrianjohany E, Ramaroson L, Kisa M, Galiana A, Duponnois R. 2007. Arbuscular mycorrhizas and ectomycorrhizas of Uapaca bojeri L. (Euphorbiaceae): sporophore diversity, patterns of root colonization, and effects on seedling growth and soil microbial catabolic diversity. Mycorrhiza 17:195–208. Ray P, Tiwari R, Reddy UG, Adholeya A. 2005. Detecting the heavy metal tolerance level in ectomycorrhizal fungi in vitro. World J Microbiol Biotech 21:309–315. Reddy MS, Satyanarayana T. 1998. Inoculation of micropropagated plantlets of Eucalyptus tereticornis with ectomycorrhizal fungi. New Forests 16:273– 279. Rinaldi AC, Comandini O, Kuyper TW. 2008. Ectomycorhizal fungal diversity: Separating wheat from the chaff. Fungal Diversity 33:1–45. Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 1999. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinea L. in northeastern Spain. Mycorrhiza 8:271–276. Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 2001. Inoculation of containerized Pinus pinea L. seedlings with seven ectomycorrhizal fungi. Mycorrhiza 11:265–271. Riniarti M, Setiadi Y, Sopandie D. 2005. Aplikasi asam organik dan inokulasi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea pinanga. J Hut Trop 1:25–29. Riniarti M. 2002. Perkembangan kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai Dipterocarpaceae dengan pemberian asam oksalat dan asam humat serta inokulasi ektomikoriza [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
26 Sanon KB, AM Bâ, Delaruelle C, Duponnois R, Martin F. 2009. Morphological and molecular analysis in Scleroderma species associated with some Caesalpinioid legumes, Dipterocarpaceae, and Phylanthaceae trees in southern Burkina Faso. Mycorrhiza 19:571–584. Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam: Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono, Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang, 20 Sep 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hlm 71–80. Santoso E. 1988. Pengaruh mikoriza terhadap diameter batang dan bobot kering anakan Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 504:11–21. Santoso E. 1991. Pengaruh beberapa fungi mikoriza terhadap penyerapan unsur hara pada 5 jenis Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 532:11–18. Santoso E. 1997. Hubungan perkembangan ektomikoriza dengan populasi jasad renik dalam rhizosfer dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Eucalytus pellita dan Eucalyptus urophylla [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santoso E. Turjaman M. 2003. Tipe-tipe Struktur Ektomikoriza Pada Shorea selanica, S. stenoptera, S. pinanga, dan S. palembanica (Dipetocarpaceae) di Hutan Penelitian Haurbentes Jawa Barat. Bul Pen Hutan 636:33–37. Satomura T, Hasimoto Y, Kinoshita A, Horikoshi T. 2006. Methods to study the role of ectomycorrhizal fungi in forest carbon cycling: Introduction to the direct methods to qualify the fungal content in ectomycorrhizal fin roots. Root Research 15:119–124. Sentra Informasi IPTEK.2005. Melinjo. www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/ index.php?id=270 - 20k [20 Maret 2006]. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Smits
WTM. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae Wageningen: The Tropenbos Foundation.
and
Regeneration.
Sugiarti, Darwo, Panjaitan DJ. 2007. Efektivitas bentuk inokulum cendawan Scleroderma citrinum Persoon dalam meningkatkan pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. J Pen Hut & KA 4:63–74. Suhardi. 1997. Inventory, exploration, and identification of mycorrhizae on forest plantation. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 17–23.
27 Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil biji tengkawang (Shorea stenoptera Burk dan Shorea pinanga Scheff). Info Hutan 4:177–185. Supriyanto, Irawan US. 1997. Inoculation techniques of ectomycorrhizal. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 36–40. Supriyanto, Setiawan I, Omon M. 1993. Effect of Scleroderma sp. on the growth of Shorea mecistopteryx Ridl. seedlings. Prosiding: Bio-Refor Proceeding of Yogyakarta Workshop. Yogyakarta 20–23 September 1993. Hlm 186– 188. Tata HL, van Noordwijk M, Summerbell R, Werger MJA. 2010. Limited response to nursery-stage mycorrhiza inoculation of Shorea seedlings planted in rubber agroforest in Jambi, Indonesia. New Forests 39:51–74. Tata MHL, Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi tablet spora ektomikoriza Scleroderma columnare terhadap pertumbuhan Shorea seminis dan efektivitasnya pada berbagai dosis arang. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor. Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza; Bandung, 16 Sep 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia – Jawa Barat bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran Bandung. Hlm 163-170. Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza dipterocarpaceae [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tata MHL. 2003. Nutrient acquisition of ectomycorrhizae fungus Scleroderma columnare. Presented at the Open Science Meeting Indonesia and Netherlands: Back to the Future. Jakarta. Indonesia, 1–2 Sep 2003. Tennakoon MMD, Gunatilleke IAUN, Hafeel KM, Seneviratne G, Gunatilleke CVS, Ashton PMS. 2005. Ectomycorrhizal colonization and seedling growth of Shorea (Dipterocarpaceae) species in simulated shade environments of a Sri Lankan rain forest. For Ecol and Man 208:399–405. Turjaman M, Irianto RSB, Santoso E. 2002. Teknik inokulasi dan produksi massal cendawan ektomikoriza. Info Hutan 152:1–16. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73.
28 Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. Valentine LL, Fiedler TL, Hart AN, Petersen CA, Berninghausen HK, Southworth D. 2004. Diversity of ectomycorrhizas associated with Quercus garryana in southern Oregon. Can J Bot 82:123–135. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm 116—203. Watling R. 2006. The sclerodermatoid fungi. Mycoscience 47:18–24. Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot 82:1198–1227. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yafid B, Jafarsidik YS. 2005. Permudaan Pinus merkusii Jungh et de Vriese galur kerinci, potensi dan komposisi tegakan di kawasan hutan Bukit Tapan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Info Hutan 2:145–152. Yamada A, Kobayashi H, Ogura T, Fukada M. 2007. Sustainable fruit body formation of edible mycorrhizal Tricholoma spesies for 3 years in open pot culture with pine seedling hosts. Mycoscience 48:104–108. Yamada A, Ogura T, Ohmasa M. 2001. Cultivation of mushrooms of ectomycorrhizal fungi associated with Pinus densyflora by in vitro mycorrhizal synthesis. Mycorrhiza 11:67–81. Zadworny M, Smolinski DJ, Idzikowska K, Werner A. 2007. Ultrastructural and cytochemical aspects of the interaction between the ectomycorrhizal fungus Laccaria laccata and the saprotrophic fungi, Trichoderma harzianum and T. virens. Biocontrols Sci and Technol 17:921–932. Zeller SM. 1948. Note on certain Gasteromycetes including two new orders. Mycologia 40:639–668. Zeng RS, Mallik AU, Setliff ED. 2003. Growth stimulation of ectomycorrhizal fungi by root exudates of Brassicaceae plants: Role of degraded compounds of indole glucosinolates. J Chem Ecol 29:1337–1355.
III. UJI KOMPATIBILITAS TIGA SPESIES FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp SECARA IN VITRO (Compatibility Test of Three ectomycorrhizal Fungi Scleroderma spp. Under In Vitro Condition)
ABSTRAK Interaksi antar fungi ektomikoriza dalam mengkolonisasi akar merupakan bagian penting yang harus dipelajari untuk dapat memahami pola pembentukan mikoriza pada akar. Sebuah percobaan secara in vitro di laboratorium telah dilakukan untuk mengidentifikasi pola pertumbuhan miselium fungi ektomikoriza. Tiga spesies Scleroderma spp. dikulturkan pada media MMN (Modified Melin Norkrans). Masing-masing fungi dikulturkan secara tunggal, berpasangan, dan tripel. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan dan 8 ulangan, pengamatan dilakukan selama lima minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa diameter pertumbuhan koloni S. sinnamariense dua kali lebih cepat daripada S. columnare dan S. dictyosporum. Ketiga fungi ektomikoriza dapat berkembang secara bersama-sama, tidak terdapat antagonisme di antara ketiganya. Kata kunci: fungi ektomikoriza, kompatibilitas, miselium, Scleroderma ABSTRACT Understanding on interaction among ectomycorrhizal fungus would led the knowledge of roots colonization. We conducted an in vitro experiment in laboratory condition to identify the compatibility of mycelia among the fungus. Three spesies Scleroderma spp. were cultured on solid Modified Melin Norkrans (MMN) medium. Each fungus was cultured as single, pairs and triple. A completed randomized design were used with 7 treatments and 8 replicates Petri dishes. We found that the radial growth of S. sinnamariense mycelia was two times faster than S. columnare and S. dictyosporum. There was no antagonism pattern among mycelium. Key words: compatibility, ectomycorrhizal fungi, mycelia, Scleroderma PENDAHULUAN Beberapa tanaman diketahui memiliki spesifisitas fungi ektomikoriza yang rendah, sehingga dapat membentuk simbiosis dengan berbagai spesies fungi ektomikoriza (Richard et al. 2004). Hal ini tentunya menyebabkan terjadinya interaksi antar fungi ektomikoriza, salah satunya adalah kompetisi, yang berkaitan dengan alokasi sumber karbon dari tanaman inang (Hedh et al. 2009).
30 Kompetisi didefinisikan sebagai pengaruh negatif suatu spesies terhadap spesies lainnya yang berhubungan dengan alokasi sumberdaya, atau pembatasan akses terhadap sumberdaya yang ada (Keddy 2007). Adanya kompetisi akan menyebabkan terjadinya pembagian niche (Kennedy et al. 2007a), yang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti kelembaban tanah (Kennedy et al. 2007b), kedalaman tanah (Dickie et al. 2004), status nutrisi (Püttsepp et al. 2004), dan sebagainya. Hasil penelitian Kennedy et al. (2009) menunjukkan bahwa waktu pembentukan kolonisasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kompetisi antar fungi ektomikoriza.
Hal ini berhubungan dengan kecepatan
perkecambahan spora fungi ektomikoriza (Smith dan Read 2008), semakin cepat spora berkecambah maka kemungkinan untuk mengkolonisasi akar akan semakin besar. Fungi ektomikoriza yang lebih dulu menginfeksi akar umumnya akan menjadi spesies fungi ektomikoriza yang dominan (Kennedy dan Bruns 2005). Pada kondisi alam, kompetisi yang terjadi berada pada tingkat hifa dan miselium (Daza et al. 2006). Miselium merupakan bagian yang paling dinamis dan berfungsi luas dalam membentuk simbiosis. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan miselium pada akar tanaman akan menentukan besarnya persen kolonisasi yang dapat dibentuk oleh fungi (Leake et al. 2004), karena 80% dari biomassa fungi ektomikoriza adalah ekstraradikal miselium (Wallander et al. 2001). Upaya mempelajari perilaku miselium dapat dilakukan secara in vitro (Zeng et al. 2003),
kompetisi dapat dijabarkan dengan melihat adanya sifat
antagonis pada miselium tiap spesies fungi ektomikoriza yang dibiakkan, untuk memahami perilaku miselium di alam. Tujuan penelitian ini ialah memperoleh informasi tentang (1) pertumbuhan S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense secara in vitro dan (2) interaksi antar spesies fungi ektomikoriza secara in vitro.
31 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2008 hingga November 2009, di Laboratorium Silvikultur Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Bahan dan Metode Penyiapan media dan miselium fungi Media yang digunakan untuk menumbuhkan fungi ektomikoriza secara in vitro ialah Modified Melin Norkrans (MMN) (Lampiran 1).
Miselia yang
dikembangkan berasal dari tubuh buah Scleroderma columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense. Tubuh buah yang digunakan ialah tubuh buah yang masih muda (ditandai dengan tubuh buah yang masih keras dan gleba yang masih kompak). Tubuh buah dikumpulkan dari beberapa lokasi di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, pada bulan Mei 2008. Bagian tubuh buah yang digunakan ialah bagian gleba, dicungkil dengan menggunakan jarum oase dan diletakkan di tengah-tengah media MMN. Miselium yang dikembangkan pada media MMN selama empat minggu digunakan sebagai bahan penelitian (Gambar 5). Semua proses pengembangan miselia dilakukan dalam keadaan aseptik. Uji in vitro pada media agar Di tengah-tengah cawan Petri yang telah berisi media MMN diinokulasikan inokulum fungi ektomikoriza yang berdiameter 1 cm (Gambar 6) selanjutnya cawan Petri diletakkan di dalam inkubator dengan suhu 26—28oC. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap minggu. Kombinasi perlakuan tertera pada Tabel 3. Dari pertumbuhannya di media kultur diharapkan dapat diperoleh data mengenai ruang tumbuh ketiga spesies Scleroderma yang digunakan.
32
1 cm
1 cm
1a 1b
1 mm
1 mm
1 cm
2a
3a
2b
3b
1 mm
1 mm
Gambar 5 Bahan yang digunakan dalam penyiapan miselium fungi: bagian atas (a) tubuh buah dan bagian bawah (b) isolat hasil pembiakan tubuh buah; (1) S. sinnamariense, (2) S. columnare, dan (3) S. dictyosporum.
a
b
c
Gambar 6 Penempatan inokulum miselium fungi ektomikoriza pada cawan Petri: (a) perlakuan tripel (CDS); (b) perlakuan ganda (CD, CS, dan DS); (c) perlakuan tunggal (C, D, dan S).
Peubah yang diamati Peubah yang diamati ialah (1) awal pertumbuhan miselium (2) diameter pertumbuhan koloni (Gambar 7), dan (3) ruang tumbuh.
Rancangan yang
33 digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan tujuh perlakuan dan delapan ulangan sehingga jumlah satuan percobaannya adalah 56. Tabel 3 Rincian perlakuan yang dilakukan secara in vitro No 1 2 3 4 5 6 7
Perlakuan Fungi Ektomikoriza S. columnare + S. dictyosporum +S. sinnamariense S. columnare + S. dictyosporum S. columnare + S. sinnamariense S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense
Ulangan 8 8 8 8 8 8 8
Gambar 7 Perhitungan diameter pertumbuhan koloni dalam cawan Petri dengan menggunakan delapan arah mata angin. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Awal pertumbuhan miselium Scleroderma spp. yang dibiakkan dengan media MMN menggambarkan kecepatan pertumbuhan masing-masing spesies. S. sinnamariense merupakan spesies yang paling cepat tumbuh. Pada hari kelima miselium S. sinnamariense mulai tumbuh.
Sementara S. columnare dan S.
dictyosporum rata-rata baru mulai tumbuh di hari kedelapan setelah penanaman dalam cawan Petri. Hal ini tampaknya berpengaruh pada diameter pertumbuhan koloni masingmasing spesies fungi (Gambar 8). S. sinnamariense merupakan fungi yang paling
34 pesat diameter pertumbuhan koloninya baik ketika dibiakkan sendiri maupun saat berpasangan. Kecepatan pertumbuhan S. sinnamariense dapat mencapai dua kali lipat dari diameter pertumbuhan koloni S. columnare dan S. dictyosporum. Sedangkan diameter pertumbuhan koloni S. dictyosporum sangat lambat, pertumbuhan radial baru dapat diukur pada minggu ketiga setelah penanaman. Perbedaan kecepatan diameter pertumbuhan koloni pada ketiga fungi Scleroderma spp. ini tidak menyebabkan timbulnya kompetisi antar fungi tersebut. Hal ini ditandai dengan tidak adanya barrier saat miselium ketiganya tumbuh bersama dalam satu cawan Petri (Gambar 9), yang menunjukkan tidak adanya sifat antagonisme pada ketiga spesies Scleroderma.
Hasil pengamatan
secara mikroskopis menunjukkan hifa yang tumbuh pada bagian yang bertumpukan antara dua dan tiga fungi tidak ada lisis dan kerusakan pada hifa-hifa
(mm)
fungi yang ada. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Minggu ke‐5 Minggu ke‐4 Minggu ke‐3 Minggu ke‐2 c
d
s
C
D
S
c
d CD
c
s CS
d
s DS
Keterangan: C : Perlakuan tunggal S. columnare D : Perlakuan tunggal S. dictyosporum S : Perlakuan tunggal S. sinnamariense CD : Perlakuan ganda S. columnare + S. dictyosporum CS : Perlakuan ganda S. columnare + S. sinnamariense DS : Perlakuan ganda S. dictyosporum + S. sinnamariense CDS : Perlakuan triple S. columnare + S. dictyosporum + S. sinnamariense
c
d
s
Minggu ke‐1
CDS
c : Miselium S. columnare d : Miselium S. dictyosporum s : Miselium S. sinnamariense
Gambar 8 Diameter pertumbuhan koloni tiga spesies fungi Scleroderma dengan beberapa perlakuan pada setiap minggu pengamatan.
35 1 cm
1 cm
d
c s
c
Keterangan:
d
s
c d s
: : :
S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense
Gambar 9 Diameter pertumbuhan koloni pada minggu kelima pengamatan. Pembahasan Miselium dari fungi ektomikoriza merupakan organ penting yang berperan dalam penyerapan unsur hara pada tanaman inang (Nara 2006).
Miselia fungi
ektomikoriza juga merupakan sumber jembatan hifa bagi tanaman di sekitarnya sehingga membentuk suatu jaringan yang menghubungkan berbagai tanaman (Obase et al. 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. sinnamariense merupakan fungi yang memiliki kecepatan awal perkembangan dan diameter pertumbuhan koloni yang paling pesat dibandingkan dua spesies Scleroderma lainnya. Kecepatan S. columnare berada di level menengah sementara S. dictyosporum tumbuh dan berkembang dengan sangat lambat. Dengan demikian, dapat diduga di alam S. sinnamariense akan memiliki kemampuan untuk lebih dulu berkembang pada akar tanaman. Lambatnya perkembangan miselium S. dictyosporum pada media MMN juga dialami oleh Bâ et al. (1999) yang berupaya mengembangkan fungi ini pada media MMN padat dan cair, dibutuhkan sekitar 2—3 bulan untuk mendapatkan pertumbuhan miselium yang memadai untuk dapat digunakan sebagai sumber
36 inokulum. Zeng et al. (2003) menyatakan sebagian besar fungi ektomikoriza sangat lambat pertumbuhannya pada media kultur dibandingkan spesies fungi non ektomikoriza, namun menurut Sanon et al. (2009) dan Chen (2006), miselium Scleroderma merupakan spesies yang mudah tumbuh dan berkembang baik di media kultur maupun di alam, sehingga mudah digunakan untuk aplikasi pada tanaman-tanaman yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ektomikoriza. Walaupun dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan kedua fungi lainnya, pertumbuhan
S.
sinnamariense
tidak
menghambat
atau
menghentikan
pertumbuhan fungi lainnya ketika ditempatkan dalam satu cawan Petri, ketiga spesies fungi Scleroderma spp. ini dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama. Tidak tampak adanya sifat antagonisme antara ketiga spesies fungi, yang ditandai dengan tidak adanya barrier yang membatasi pertumbuhan masing-masing fungi. Hasil ini tampaknya sejalan dengan penelitian Dickie et al. (2004), yang menemukan lebih dari empat spesies fungi ektomikoriza membentuk kolonisasi pada tanaman Helianthemum bicknellii, semua fungi ektomikoriza tersebut dapat berkembang bersama-sama pada akar tanaman ini.
Namun, hal ini berbeda
dengan yang diperoleh oleh Kennedy et al. (2009) yang menunjukkan bahwa kehadiran salah satu spesies Rhizopogon yang lebih dulu mengkolonisasi akar Pinus
muricata
menghambat
diinokulasikan selanjutnya.
perkembangan
Wu et al. (1999)
fungi
ektomikoriza
yang
juga menemukan adanya
penghambatan dan pergantian miselium Pisolithus tinctorius pada Pinus densiflora oleh spesies fungi ektomikoriza lain (belum diidentifikasi lebih lanjut, dan untuk memudahkan disebut Tanashi 01) yang dikembangkan bersama-sama, hal ini diduga karena fungi ektomikoriza mengeluarkan antimikroba yang berfungsi menghambat infeksi seperti yang digunakan untuk menghambat infeksi patogen.
37 KESIMPULAN Pertumbuhan dan perkembangan fungi ektomikoriza Scleroderma spp. secara in vitro dipengaruhi oleh kecepatan awal pertumbuhan miselium. Miselium S. sinnamariense mulai tumbuh di hari ke-5 dan kecepatan diameter pertumbuhan koloninya dua kali lipat lebih cepat dibandingkan S. columnare dan S. dictyosporum. Miselium S. columnare dan S. dictyosporum mulai tumbuh pada hari ke-8, dan diameter pertumbuhan koloninya sangat lambat. Tidak ada sifat antagonis di antara ketiga spesies fungi ketika dibiakkan secara bersama-sama. DAFTAR PUSTAKA Bâ AM, Sanon KB, Duponnois R, Dexheimer J. 1999. Growth response of Afzeli africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrientdeficient soil. Mycorrhiza 9:91–95. Chen Y. 2006. Optimizing Scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering, Murdoch University. Daza A, Manjón JL, Camacho M, de la Rosa LR, Aguilar A, Santamaria C. 2006. Effect of carbon and nitrogen sources, pH and temperature on in vitro culture of several isolates of Amanita caesarea (Scop.:Fr.) Pers. Mycorrhiza 16:133–136. Dickie IA, Guza RC, Krazewski E, Reich PB. 2004. Shared ectomycorrhizal fungi between a herbaceous perennial (Helianthemum bicknellii) and oak (Quercus) seedlings. New Phytol 164: 375–382 Diedhiou AG, Verpillot F, Gueye O, Dreyfus B, Duponnois R, Bâ AM. 2004. Do concentrations of glucose and fungal inoculum influence the competitiveness of two early-stage ectomycorrhizal fungi in Afzelia africana seedlings? For Ecol And Man 203:187–194. Hedh J, Johansson T. Tunlid A. 2009. Variation in host specificity and gene content in strains from genetically isolated lineages of ectomycorrhizal fungus Paxillus involutus s. lat. Mycorrhiza 19:549–558. Keddy PA. 2007. Plant and Vegetation. New York: Cambridge University Press. Kennedy PG, Peay KG, Bruns TD. 2009. Root tip competition ectomycorrhizal fungi: Are priority effects a rule or an exception? Ecology 90:2098–2107.
38 Kennedy PG, Bruns TD. 2005. Priority effect determine the outcome of ectomycorrhizal competition between two rhizopogon species colonizing Pinus muricata seedlings. New Phytol 166:631–638. Kennedy PG, Hortal S, Bergemann SE, Burns TD. 2007a. Competitive interaction among three ectomycorrhizal fungi and their relation to host plant performance. J of ecol 95: 1338–1345. Kennedy PG, Peay KG. 2007. Different soil moisture conditions change the outcome of ectomycorrhizal symbiosis between Rhizopogon spesies and Pinus muricata. Plant Soil 291:155–165. Leake J, Johnson D, Donnely D, Mucle G, Boddy L, Read D. 2004. Network of power and influence: The rule of mycorrhizal mycelium in controlling plant communities and agroecosystem functioning. Can J Bot 82: 1016– 1045. Nara K. 2006. Ectomycorrhizal network and seedling establishment during early primary succession. New Phytol 169:169–178. Obase K, Tamai Y, Yajima T, Miyamotto T. 2009. Mycorrhizal synthesis of four ectomycorrhizal fungi in potted Populus maxsimowichii seedlings. Mycoscience 50:143—145. Püttsepp Ü, Rosling A, Taylor AFS. 2004. Ectomycorrhizal fungal community associated with Salix viminalis L. and S. dasyclados Wimm. clones in a short-rotation forestry plantation. For Ecol and Man 196:413–424. Richard E, Millot S, Gardes M, Selosse MA. 2004. Diversity and specificity of ectomycorrhizal fungi retrieved from an old-growth mediterranean forest dominated by Quercus ilex. New Phytol 166:1011–1023. Sanon KB, Bâ AM, Delaruelle C, Duponnois R, Martin F. 2009. Morphological and molecular analysis in Scleroderma species associated with some Caesalpinioid legumes, Dipterocarpaceae, and Phylanthaceae trees in southern Burkina Faso. Mycorrhiza 19:571–584. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Wallander H, Nilsson LO, Hagerberg D, Bååth E. 2001. Estimation of the biomass and seasonal growth of external mycelium of ectomycorrhizal fungi in the field. New Phytol 151:753–760 Wu B, Nara K, Hogetsu T. 1999. Competition between ectomycorrhizal fungi colonizing Pinus densiflora. Mycorrhiza 9:151–159. Zeng RS, Mallik AU, Setliff ED. 2003. Growth stimulation of ectomycorrhizal fungi by root exudates of Brassicaceae plants: Role of degraded compounds of indole glucosinolates. J Chem Ecol 29:1337–1355.
IV. DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN INANG (Colonization Dynamics of Three Ectomycorrhizal Fungi Scleroderma spp. and Their Relation to Host Plant Growth) ABSTRAK Scleroderma spp. diketahui merupakan fungi ektomikoriza yang dapat bersimbiosis dengan Dipterocarpaceae, Pinaceae, dan Gnetaceae, namun masih belum banyak diketahui tentang interaksi antar fungi ektomikoriza pada masingmasing tanaman inang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kompatibilitas dan spesifisitas masing-masing fungi ektomikoriza dengan tanaman inang dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman inang. Scleroderma columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense diinokulasikan dalam perlakuan tunggal, ganda, dan tiga spesies pada semai Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon dengan menggunakan suspensi spora. Setelah inokulasi berumur 6, 8, dan 10 bulan, tanaman dipanen untuk menentukan persen kolonisasi, pertumbuhan tinggi dan diameter, dan biomassa tanaman. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa S. sinnamariense tidak membentuk simbiosis dengan S. pinanga dan P. merkusii namun membentuk simbiosis dengan G. gnemon. Sebaliknya, S. columnare dan S. dictyosporum baik secara tunggal maupun bersama-sama dapat membentuk simbiosis dengan semua tanaman inang. Secara umum, Scleroderma spp. meningkatkan pertumbuhan tanaman inang. Kata kunci: fungi ektomikoriza, kompatibilitas, Scleroderma, spesifisitas inang, tanaman inang ABSTRACT Scleroderma spp. already known as ectomycorrhizal fungi which can form symbioses with Dipterocarpaceae, Pinaceae and Gnetaceae, but little is known about interaction among the ectomycorrhizal fungi in each host plant. The aim of this study was to determine the compatibility and specificity of each ectomycorrhizal fungi with the host plants, and the effect on host plants growth. Scleroderma columnare, S. dictyosporum and S. sinnamariense were inoculated in single-, two-, and three- species treatments to Shorea pinanga, Pinus merkusii and Gnetum gnemon seedlings using spores suspension. After 6, 8, and 10 months of inoculation, seedlings were harvested to determine colonization percentage, height and diameter growth, and plant biomass. The results revealed that S. sinnamariense could not form symbioses with S. pinanga and P. merkusii but form symbiosis with G. gnemon. On the other hand, S. columnare and S. dictyosporum both in single- and multi- species treatments could form symbiosis with all the host plants. Generally, Scleroderma spp. increased the growth of host plants. Keywords: compatibility, ectomycorrhizal fungi, host plant, Scleroderma
host specificity,
40 PENDAHULUAN Scleroderma merupakan fungi yang diketahui dapat membentuk simbiosis dengan Dipterocarpaceae (Turjaman et al. 2005, Turjaman et al. 2006) Pinaceae (Chen 2006; Scattolin 2006) dan Gnetaceae (Wulandari 2002). Dari hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa Scleroderma columnare memiliki kompatibilitas yang tinggi dengan berbagai spesies dari genus Dipterocarpaceae (Riniarti et al. 2005, Tata 2001, Prameswari 2005). Hal ini dapat dilihat dari besarnya persen kolonisasi yang terbentuk antara Dipterocarpaceae dengan S. columnare bila dibandingkan dengan spesies Scleroderma yang lain. Hubungan yang erat antara S. dictyosporum dan Pinus merkusii juga sudah diteliti oleh Sugiarti et al. (2007). Pinus merupakan salah satu genus tanaman yang diketahui dapat bersimbiosis dengan berbagai spesies fungi ektomikoriza dengan kisaran yang cukup luas (Dehlin et al. 2004). Hasil penelitian Chen (2006) menunjukkan dari 15 spesies Scleroderma yang diujicobakan pada beberapa spesies pinus, 14 di antaranya bersimbiosis dengan semua spesies pinus yang diuji.
Sementara
kompatibilitas S. sinnamariense dengan Gnetum gnemon (melinjo) telah dibuktikan oleh Wulandari (2002), sebagian besar Gnetum spp. yang diteliti diketahui bersimbiosis dengan S. sinnamariense. Hal serupa juga dikemukakan oleh Watling et al. (2002), yang menemukan banyaknya tubuh buah S. sinnamariense di bawah tegakan melinjo. Ketiga spesies tanaman yang digunakan dalam penelitian ini dipilih karena merupakan spesies yang mewakili tiga kelas yang berbeda yaitu angiospermae (Shorea pinanga), gymnospermae (P. merkusii), dan peralihan antara angiospermae dan gymnospermae (G. gnemon) (Gambar 10), sehingga diharapkan dapat menjabarkan secara luas hubungan antara fungi ektomikoriza dengan beberapa spesies tanaman.
41
A
B
a
b
1 cm
C
1 cm
D
E
1 cm
Gambar 10 Tiga spesies tanaman inang yang digunakan dalam penelitian (A) tanaman G. gnemon (a) biji G. gnemon; (B) tanaman P. merkusii (b) biji P. merkusii; (C-E) S. pinanga (C) biji, (D) kecambah, (E) semai.
Hubungan satu spesies Scleroderma dengan inang tertentu dari spesies Dipterocarpaceae (Turjaman et al. 2006; Turjaman et al. 2005, Tennakoon et al. 2005, Brearley et al. 2003) telah banyak diteliti. Namun masih belum banyak yang diketahui tentang interaksi antar fungi ektomikoriza dan spesifisitas tanaman inang dalam membentuk simbiosis ektomikoriza.
Menurut Kennedy et al.
42 (2007b) ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi, di antaranya adalah sulitnya mengamati perkembangan fungi ektomikoriza secara langsung karena tumbuh di bawah permukaan tanah. Aplikasi multi fungi ektomikoriza pada tanaman inang diharapkan akan memberikan gambaran tentang kompatibilitas dan spesifisitas tanaman
inang
terhadap
fungi
ektomikoriza
dan
sebaliknya,
sehingga
menggambarkan dinamika yang terjadi pada akar tanaman. Tujuan penelitian ini ialah : (1) mempelajari kompatibilitas
dan
spesifisitas S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense pada S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon; (2) mempelajari hubungan antara fungi ektomikoriza dengan pertumbuhan tanaman inang. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2008 hingga November 2009, di Laboratorium dan Rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, dan Laboratorium Bioteknologi SEAMEO-BIOTROP. Bahan dan Metode Penyiapan Bahan Tanaman (1)
S. pinanga Benih S. pinanga dipilih yang seragam dan dibuang sayapnya, lalu
disemaikan pada media pasir dan disusun dalam bentuk larikan, dengan jarak tanam 6 cm x 6 cm antar benih. Benih-benih ini dinaungi dengan paranet 75% untuk mengurangi sinar matahari yang masuk karena tanaman ini termasuk spesies yang toleran. Setelah memiliki 3—4 daun yang terbuka (lebih kurang satu bulan dari penyemaian), semai dipindahkan ke polibag.
43 (2) P. merkusii (Pinus) Sebelum disemaikan benih pinus direndam terlebih dahulu selama 1 x 24 jam dengan pestisida. Dosis yang digunakan adalah 2 g/l. Setelah ditiriskan, benih ditebar di atas pasir secara merata. Sebelum ditutup kembali dengan pasir, benih disemprot pestisida kembali dengan dosis yang sama. Kecambah yang siap sapih umumnya dapat dilihat dari penampilan fisiknya yang sehat, lurus dan kokoh. Warna kecambah merah kecoklatan dan berpenampilan seperti pentol korek api, umumnya berkecambah sekitar 7—21 hari setelah penaburan. (3) G. gnemon (melinjo) Bibit melinjo yang digunakan dalam penelitian ini dibeli dari petani dalam kondisi bibit telah disapih ke media tanah. Dengan kondisi seperti ini, maka perakaran bibit harus dicuci dan diperiksa di bawah mikroskop untuk memastikan tidak ada inokulum fungi ektomikoriza yang berasal dari alam. Setelah itu akar direndam dengan fungisida dengan konsentrasi 2 g/L selama 15 menit, lalu dibilas dengan air. Penyiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan berupa campuran pasir dan arang sekam dengan perbandingan 1:1 (v/v), dan sudah disterilisasi menggunakan autoklaf selama 1 jam, dengan tekanan 1,5 atm dan suhu 120oC. Media tanam dimasukkan ke dalam polibag transparan yang dilapisi dengan polibag hitam.
Hal ini
dilakukan untuk memudahkan pengamatan kolonisasi ektomikoriza yang terbentuk nantinya. Penyiapan Inokulum dan Inokulasi Ektomikoriza (1)
Penyiapan Inokulum Ektmikoriza Bentuk inokulum yang digunakan adalah suspensi spora yang berasal
dari tubuh buah tiga spesies fungi ektomikoriza, yaitu, S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense (Gambar 11).
Sumber inokulum spora
44 diperoleh dari tubuh buah yang sudah tua.
Tubuh buah dikumpulkan dari
beberapa lokasi di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, pada bulan Mei 2008. Setelah tubuh buah dibersihkan dan dikeringanginkan, lalu tubuh buah dibelah dan dikerok bagian dalamnya untuk mendapatkan spora. Spora yang diperoleh dikeringkan pada suhu 27–30ºC selama 24 jam dalam oven, lalu disimpan pada suhu 5ºC dalam refrigerator (Chen 2006).
1 cm
1 cm
C
B
A
1 cm
1 cm
D
E
F
1 cm
G
1 cm
H
1 cm
I
1 cm
1 cm
Gambar 11 Tiga fungi ektomikoriza yang digunakan dalam penelitian: (A—C) tubuh buah S. sinnamariense (A) tubuh buah yang masih utuh, dengan hifa berwarna kuning yang khas; (B) tubuh buah yang sudah matang/tua, peridiumnya pecah membentuk pola bunga; (C) tubuh buah muda, gleba berwarna putih kekuningan; (D—E) tubuh buah S. dictyosporum; (D) tubuh buah S. dictyosporum tidak memiliki tangkai; (E) tubuh buah matang/tua, tampak peridium terbuka dan menunjukkan spora yang berwarna abu-abu kehitaman; (F) bagian dalam tubuh buah muda yang berwarna hitam pekat; (G—I) tubuh buah S. columnare; (G) tubuh buah S. columnare memiliki tangkai; (H) tubuh buah yang matang/tua pecah, spora berwarna kecoklatan; (I) bagian dalam tubuh buah muda berwarna kecoklatan.
45 Suspensi spora dibuat dengan cara mencampurkan 3 gram spora ke dalam 1 liter aquades dan diberi satu tetes tween 80, larutan ini dikocok perlahan hingga tercampur rata (Prameswari 2005; Turjaman et al. 2006). (2) Inokulasi Fungi Ektomkoriza Setiap tanaman diinokulasikan dengan 10 ml (2,5x107 spora/ml) suspensi spora. Kepadatan spora dihitung dengan hematositometer.
Inokulum diberikan
di dekat perakaran tanaman baik untuk perlakuan satu spesies spora ektomikoriza maupun beberapa spesies spora ektomikoriza. Untuk perlakuan dengan lebih dari satu
spesies
fungi
ektomikoriza
pembuatan
larutan
dilakukan
dengan
mencampurkan tiap spesies larutan spora fungi ektomikoriza yang telah disiapkan sebelumnya.
Larutan dicampurkan dengan volume yang sama dan dikocok
perlahan hingga diasumsikan tercampur merata. Dari larutan ini diambil 10 ml untuk diaplikasikan sebagai perlakuan. Aplikasi fungi ektomikoriza dilakukan pada tanaman berumur satu bulan setelah disapih. Sebelum diinokulasi dengan fungi ektomikoriza, media tanam dijenuhi air terlebih dahulu, dan selama tiga hari setelah inokulasi, bibit tidak disiram untuk mencegah tercucinya inokulum. Rancangan Percobaan Penelitian ini disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) untuk setiap spesies tanaman, dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 5 tanaman, sehingga jumlah satuan percobaan untuk setiap spesies tanaman adalah 8 x 3 x 5 = 120 (Tabel 4). Pengamatan dilakukan tiga kali pada bulan ke-6, 8 dan 10. Untuk melihat pengaruh perlakuan dilakukan analisis ragam kemudian perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan uji beda nyata terkecil (BNT).
46
Peubah Yang Diamati Pengukuran tinggi dan diameter bibit. Pengukuran pertama dilakukan pada saat bibit dipindahkan ke polibag dan diinokulasi dengan fungi ektomikoriza. Pengukuran selanjutnya dilakukan sebulan sekali. Tabel 4 Rincian perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada tiga spesies tanaman inang No
Tanaman S. pinanga
P. merkusii
G. gnemon
Perlakuan Fungi Ektomikoriza S. columnare + S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare + S. dictyosporum S. columnare + S. sinnamariense S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense Kontrol Jumlah S. columnare + S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare + S. dictyosporum S. columnare + S. sinnamariense S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense Kontrol Jumlah S. columnare + S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare + S. dictyosporum S. columnare + S. sinnamariense S. dictyosporum + S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense Kontrol
Jumlah Jumlah total
Persentase
akar
bermikoriza.
Perhitungan
Ulangan 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 120 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 120 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 3x5 120 360
kolonisiasi
fungi
ektomikoriza dilakukan secara langsung terhadap ektomikoriza yang terbentuk
47 pada akar. Sebelum dilakukan penghitungan akar tanaman dicuci bersih dengan air mengalir secara perlahan-lahan, jumlah akar yang berektomikoriza dihitung secara langsung di bawah mikroskop. Perhitungan persen kolonisasi dilakukan pada bulan keenam, kedelapan dan kesepuluh setelah inokulasi untuk mendapatkan data dinamika ektomikoriza yang terbentuk.
Persen infeksi
ektomikoriza diperoleh dengan rumus : Persentase akar terinfeksi =
Jumlah akar terinfeksi ektomikoriza × 100% Jumlah seluruh akar yang diamati
Berat kering tanaman. Berat kering tanaman diperoleh setelah tanaman dipanen. Bagian tajuk dan akar dipisahkan dengan cara memotong tanaman pada tempat kotiledon, setelah dibersihkan tanaman ditimbang berat basahnya dan dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC hingga diperoleh berat yang konstan. Berat kering total tanaman diperoleh dengan menjumlahkan berat kering bagian tajuk dan akar tanaman. Serapan P dan N tanaman. Serapan P dan N tanaman diperoleh dengan cara menghitung kandungan P dan N total tajuk tanaman lalu dihubungkan dengan berat kering total tanaman. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Persentase kolonisasi Secara alami S. pinanga ditemukan bersimbiosis dengan S. columnare, P. merkusii bersimbiosis dengan S. dictyosporum dan G. gnemon bersimbiosis dengan S. sinnamariense. Pada penelitian ini, S. columnare dan S. dictyosporum dapat membentuk simbiosis dengan S. pinanga dan P. merkusii (Gambar 12). Namun tidak ditemukan adanya tanda-tanda simbiosis antara S. sinnamariense pada akar kedua spesies tanaman. Pada S pinanga, pemberian kedua inokulum spora S. columnare dan S. dictyosporum secara bersama-sama memberikan hasil
48 yang paling baik dibandingkan bila inokulum diberikan secara terpisah. Hal ini dapat dilihat dari bulan ke enam pengamatan hingga bulan ke sepuluh, persen kolonisasinya menurun dari bulan ke bulan (Gambar 13).
A
B
C
D
F
1 mm
E Gambar 12 Infeksi fungi ektomikoriza Scleroderma pada tanaman inang. A & B: miselium S. columnare pada S. pinanga; C: hifa S. dictyosporum pada P. merkusii; D: akar G. gnemon yang membengkak karena infeksi fungi ektomikoriza; E: miselium S. columnare pada P. merkusii; F: miselium S. sinnamariense pada G. gnemon. Berbeda dengan S. pinanga, pada P. merkusii, sekalipun S. columnare dan S. dictyosporum dapat membentuk simbiosis, namun pemberian secara terpisah memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan bila kedua spesies inokulum Scleroderma spp. diberikan secara bersamaan.
Penurunan persen
kolonisasi per bulan pada P. merkusii juga tampaknya terjadi pada semua
49 perlakuan, walaupun pada bulan kesepuluh perlakuan pemberian inokulum S. columnare memiliki persen kolonisasi yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan kedelapan, dan merupakan perlakuan yang terbaik pada bulan kesepuluh. P. merk usii
S. pinanga
35
60
80
a
60
a
b
50 40 30
c
10
b
b
c
c d
d e
cd d
20
a
0 6
40
c c
e
g
bc
30 a
d
a
20
8 bulan
10
b
b
c c
0
d
0
d
e
6
a a
30
a ab
10
f e
% kolonisasi
50
8
% kolonisasi
70 % kolonisasi
G. gnemon
25
a ab
a b b
20 15
b
10
c
bc c
c d
5 0
10
b bc c
d
d
6
8
10
bulan
bulan
Gambar 13 Persentase kolonisasi ektomikoriza pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikoriza,; perlakuan: : S. columnare; : S. sinnamariense; : kontrol; : S. dictyosporum + S. sinnamariense; : S. dictyosporum; : S. columnare + S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum +S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum. Titik yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada taraf 5%. Hasil yang berbeda diperoleh pada G. gnemon. Pada tanaman ini aplikasi ketiga spesies inokulum Scleroderma spp. yang diujicobakan dapat membentuk simbiosis yang baik pada akar, dan menghasilkan persen kolonisasi yang baik. Awalnya di bulan keenam tampaknya pemberian inokulum secara bersamaan memberikan persen kolonisasi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian inokulum secara tunggal. Namun, pada bulan-bulan selanjutnya terlihat aplikasi multi inokulum memiliki nilai persen kolonisasi yang terus menurun dibandingkan dengan perlakuan pemberian inokulum secara tunggal.
Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tiap spesies tanaman inang tampaknya dipengaruhi oleh perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza yang diberikan.
Pada S. pinanga,
50 pemberian S. columnare memberikan pertambahan tinggi dan diameter yang cenderung terus meningkat pada setiap bulan pengamatan bila dibandingkan dengan perlakuan lain yang menunjukkan adanya penurunan di bulan ke delapan dan meningkat kembali di bulan ke sepuluh (Gambar 14). Namun, hal yang menarik pada S. pinanga ialah pada bulan ke sepuluh, S. dictyosporum memberikan pertambahan tinggi yang secara nyata lebih baik dibandingkan semua perlakuan, dan karena pada S. pinanga tidak ditemukan simbiosis antara S, sinnamariense dengan S. pinanga, maka dapat diasumsikan bahwa pada aplikasi multi ektomikoriza hanya S. columnare dan S. dictyosporum yang berperan. Hal serupa juga terlihat pada P. merkusii, tampaknya perlakuan tunggal aplikasi S. columnare dan S. dictyosporum dan perlakuan multi ektomikoriza memberikan pengaruh yang nyata pada penambahan tinggi dan diameter pada setiap bulan pengamatan.
Sekalipun perlakuan S. columnare menunjukkan
kecenderungan peningkatan pertambahan tinggi dan diameter di setiap bulannya, namun perlakuan S. dictyosporum memberikan hasil yang secara nyata lebih tinggi. Pada G. gnemon semua perlakuan memberikan pertambahan tinggi yang terus meningkat setiap bulannya. Perlakuan tunggal S. columnare dan gabungan S. columnare dan S. sinnamariense pada bulan kedelapan dan kesepuluh secara nyata lebih baik dalam meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada pertambahan diameter tidak terdapat perbedaan yang nyata dari semua perlakuan yang diberikan. Pada S. pinanga, perlakuan S. columnare secara nyata memberikan kontribusi yang lebih tinggi dalam meningkatkan berat kering total, berat kering akar dan berat kering tajuk. Semua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada berat kering akar S. pinanga, sementara semua perlakuan ektomikoriza (kecuali S. sinnamariense) memberikan kontribusi yang baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak berektomikoriza.
51
S. pinanga
P.merkusii 25
G. gnemon
35
a
35
23
a
30
ab
19
b b
a
17
ab
15 13 a a
11 9
c
ab b b
b bc
7
c
5 6
25 b
20 bc
15
a
10
a
5
ab b
c
a
pertambahan tinggi (cm)
30 ab
pertambahan tinggi (cm)
0 6
8 10 bulan
S. pinanga
6
2,0
b a a a
bc c
1,5 6
2,5
a a
2,0
a a a a
ab abc bc bc
ab
1,5
6 bc c
10
2,4
a
2,2
a a
c
a
a a a
2,0 a a a
1,8
a
1,6
a a
1,4
a
a
1,2 a
1,0
1,0 8 10 bulan
8 bulan
a
pertambahan diameter (mm)
2,5
a
ab ab ab
a a
G.gnemon
3,0
a ab ab abc
a
2,6
a
3,5
c
c
15
P.merkusii
4,0
3,0
20
8 10 bulan
3,5
4,5
a b bc
25
ab b
10
pertambahan diameter (mm)
pertambahan tinggi (cm)
21
pertambahan diameter (mm)
a
6
8 10 bulan
6
8
10
bulan
Gambar 14 Pertambahan tinggi dan diameter pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikoriza,; perlakuan: : S. columnare; : S. sinnamariense; : kontrol; : S. dictyosporum + S. sinnamariense; : S. dictyosporum; : S. columnare + S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum +S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum. Titik yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada taraf 5%.
52
Gambar 15 Berat kering total, berat kering akar dan berat kering tajuk S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6,8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikriza; perlakuan: : S. columnare; : S. sinnamariense; : kontrol; : S. dictyosporum + S. sinnamariense; : S. dictyosporum; : S. columnare + S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum +S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum. Titik yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada taraf 5%
53 Seperti pada parameter lainnya, pada P. merkusii perlakuan S. columnare dan S. dictyosporum masing-masing memberikan kontribusi yang lebih tinggi dibandingkan gabungan kedua fungi ektomikoriza tersebut. Pada bulan kedelapan dan bulan kesepuluh pengaruh S. columnare lebih tinggi dibandingkan dengan S. dictyosporum. Pada G. gnemon, tidak ada pengaruh yang berbeda nyata pada parameter berat kering akar dan berat kering tajuk secara terpisah. Namun pada berat kering total
terdapat
perbedaan
antar
perlakuan
yang
diberikan.
Perlakuan
S. sinnamariense hanya pada bulan keenam memberikan nilai biomassa tertinggi, namun pada bulan-bulan selanjutnya pengaruhnya tidak sebaik perlakuan S. columnare dan S. dictyosporum secara tunggal maupun gabungan. Serapan N dan P Tanaman Penyerapan unsur N dan P pada tanaman berektomikoriza akan sangat dipengaruhi oleh simbiosis yang terjadi. S. columnare dan S. dictyosporum
Pemberian inokulum ektomikoriza
secara terpisah maupun gabungan kedua
inokulum pada S. pinanga, menunjukkan adanya peningkatan penyerapan N dan P pada setiap bulan pengamatan. Namun, perlakuan pemberian kedua inokulum secara bersama-sama tampaknya memberikan hasil penyerapan N dan P yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan fungi ektomikoriza tunggal (Gambar 16). Fenomena sebaliknya terjadi pada P. merkusii. Perlakuan inokulasi tunggal tampaknya meningkatkan penyerapan N dan P tanaman lebih baik dibandingkan dengan perlakuan gabungan antara S. columnare dan S. dictyosporum.
Pada
P. merkusii, serapan P pada perlakuan S. columnare lebih baik dibandingkan dengan S. dictyosporum. Namun kedua fungi tersebut memiliki kemampuan yang sama dalam meningkatkan penyerapan N.
54 Aplikasi S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense serta inokulasi gabungan S. columnare dan S. dictyosporum secara nyata dapat meningkatkan penyerapan N pada G. gnemon.
Namun tidak demikian pada penyerapan P,
aplikasi ketiga Scleroderma spp. memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan gabungan S. columnare dan S. dictyosporum dan perlakuan S. sinnamariense tunggal.
S. pinanga
85
ab
b
abc
a
b
180 160 140
ab
bc
abc
b
c
c
ab
65
abc
55
bcd
ab
cd d
bcd cd a
G. gnemon
120
d
b
25
c
a abc
45 35
bc
100 80
a
75
Serapan N (mg)
220 200
Serapan N (mg)
ab
8 10 bulan
10
10
ab a a
abc bc
6 4
ab
cd
b
bc bcd
2
b b
cd
d
0
8 bulan
75
8 10 bulan
b
a
abc bc
60
10
a a
cd
6
P. merkusii
18
a
8 bulan
10
G. gnemon a a
8
b ab ab
7
a
ab
6
b
5
a
4
ab b
3
bc cd d
2
15
abc
12 a
bcd
ab abc bc
cd
abc bc
c
9 6
c c
cd d
3 6
ab
ab
c
d
0
6
90
30
1
d
ab
a a
a ab
9
a
b
a
d
6
S. pinanga
8
ab
105
45
15
6
ab
c
Serapan P (mg)
Serapan N (mg)
a
240
120
Serapan P (mg)
135
a
260
12
P. merkusii
a
Serapan P (mg)
280
8 bulan
10
6
8 bulan
10
Gambar 16 Penyerapan N dan P pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6,8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikriza; perlakuan: : S. columnare; : S. sinnamariense; : kontrol; : S. dictyosporum + S. sinnamariense; : S. dictyosporum; : S. columnare + S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum +S. sinnamariense; : S. columnare + S. dictyosporum. Titik yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada taraf 5%
55 Pembahasan Fungi ektomikoriza dikatakan telah membentuk simbiosis dengan akar tanaman, bila telah terbentuk tiga ciri utama , yaitu (1) keberadaan Hartig net; (2) terbentuknya mantel dan (3) terbentuk hifa eksternal dan internal pada akar tanaman (Smith dan Read 2008). Persentase kolonisasi ektomikoriza didapat berdasarkan perhitungan jumlah ujung akar yang terkolonisasi miselium (Brundrett et al. 1996). Secara alami, S. pinanga ditemukan bersimbiosis dengan S. columnare, P. merkusii bersimbiosis dengan S. dictyosporum dan G. gnemon bersimbiosis dengan S. sinnamariense. Pada penelitian ini, upaya melakukan inokulasi buatan S. sinnamariense pada S. pinanga dan P. merkusii tidak berhasil, namun S. sinnamariense membentuk simbiosis sangat baik pada G. gnemon. Hal ini menunjukkan adanya spesifisitas tanaman inang pada S. sinnamariense. Sebaliknya S. columnare dan S. dictyosporum mampu membentuk simbiosis dengan G. gnemon. S. columnare dan S. dictyosporum tampaknya memiliki spektrum tanaman inang yang lebih luas. Kedua fungi ini dapat membentuk simbiosis dengan ketiga tanaman inang, baik pada perlakuan tunggal maupun bersama, bahkan tampaknya pemberian secara bersamaan memberikan hasil yang lebih baik. Menurut Rinaldi et al. (2008), fungi ektomikoriza memiliki spesifisitas tanaman inang yang tinggi. Di dunia diperkirakan terdapat sekitar 20—25 000 spesies fungi ektomikoriza namun jumlah tanaman inang yang dapat bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza hanya sekitar 8000 spesies.
Bruns et al. (2002)
menyatakan bahwa spesifisitas terhadap tanaman inang dimungkinkan oleh (1) kecepatan pertemuan antara akar tanaman dengan fungi ektomikoriza yang sesuai, yang juga berhubungan dengan kecepatan perkecambahan spora fungi ektomikoriza dan (2) besar kecilnya permintaan karbohidrat oleh fungi terhadap
56 tanaman, yang berhubungan dengan jumlah N dan P yang dapat ditranslokasikan oleh fungi untuk tanaman. Mollina et al. (1992) membagi fungi menjadi tiga kategori berdasarkan kisaran tanaman inang, yaitu: “sempit”, jika fungi ektomikoriza hanya dapat bersimbiosis dengan satu genus tanaman dalam satu famili, “Intermediate”, bila fungi hanya membentuk simbiosis dengan satu famili tanaman inang, dan “luas” bila fungi ektomikoriza dapat membentuk simbiosis dengan berbagai tanaman dari famili, ordo, bahkan kelas yang berbeda. Sebaliknya, sebagian besar tanaman yang menjadi inang bagi fungi ektomikoriza memiliki spesifisitas yang rendah terhadap fungi ektomikoriza, sehingga banyak ditemukan bahwa satu tanaman inang dapat bersimbiosis dengan berbagai spesies fungi ektomikoriza pada waktu yang berbeda (Kennedy et al. 2009), maupun secara bersama-sama (Bruns 1995; Richard et al. 2004; Hedh et al. 2009). Spesifisitas tanaman inang yang rendah ini memberikan keuntungan bagi tanaman, karena akan meningkatkan peluang akar untuk menemukan koloni yang sesuai dan juga dapat membentuk simbiosis dengan berbagai fungi yang memiliki atribut fisiologi yang berbeda, yang akan menambah akses menuju nutrisi (Mollina et al. 1992). Hal ini diduga berkaitan dengan fungsi masingmasing fungi ektomikoriza, menurut Smith dan Read (2008) diduga walaupun setiap fungi ektomikoriza memiliki fungsi umum yang sama, namun masingmasing memiliki keunggulan atau spesifisitas dalam fungsi tertentu. Semakin tinggi persentase akar berektomikoriza, maka semakin tinggi kontribusi fungi ektomikoriza pada tanaman.
Hal ini dapat dilihat dari
penambahan biomassa, tinggi dan diameter tanaman, yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol. Pada ketiga tanaman, S. columnare dan S. dictyosporum baik pada perlakuan tunggal maupun bersamaan mampu meningkatkan ketiga parameter pertumbuhan ini. Sedangkan S. sinnamariense hanya berkontribusi pada pertumbuhan G. gnemon dan tampaknya S. columnare dan S. dictyosporum
juga memiliki kemampuan yang sama pada G. gnemon.
57 Hal ini serupa dengan
hasil yang diperoleh Wulandari (2002), bahwa ketiga fungi ektomikoriza memiliki kemampuan untuk bersimbiosis dengan G. gnemon, namun S. sinnamariense menunjukkan kompatibilitas yang lebih tinggi dibandingkan kedua fungi ektomikoriza
lainnya,
sehingga
pada
penelitiannya
persen
kolonisasi
S. sinnamariense lebih tinggi dibandingkan dua fungi lainnya walaupun nilai biomassa tidak berbeda nyata antara S. sinnamariense dan S. dictyosporum. Aplikasi multi fungi ektomikoriza tampaknya memberikan pengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman pada akhir bulan 10 dibandingkan dengan perlakuan tunggal.
Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Kennedy et al.
(2007a), yang menginokulasikan tiga spesies Rhizopogon pada Pinus muricata. Hasilnya menunjukkan persen kolonisasi dan biomassa lebih rendah pada tanaman yang diinokulasi oleh multi fungi ektomikoriza dibandingkan dengan pada saat mereka diinokulasi secara tunggal, hal ini terjadi karena adanya dominasi salah satu spesies Rhizopogon terhadap dua fungi ektomikoriza lainnya. Sementara Hortal et al. (2008) mendapatkan hasil yang berbeda saat memadukan Lactarius delicious dengan Rhizopogon roseolus dan R. Luteolus.
Ternyata hanya R.
roseolus yang memberikan dampak negatif terhadap perkembangan L. delicious, sementara R. luteolus tidak berdampak apapun, sehingga persen kolonisasi dan pertumbuhan tanaman tidak berbeda pada tanaman yang diinokulasi oleh satu atau dua fungi ektomikoriza. Penyerapan unsur P dan N pada tanaman inang yang diinokulasi dengan multi fungi ektomikoriza
rata-rata 50% lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Pada G. gnemon peranan S. columnare dan S. dictyosporum tampaknya bahkan lebih baik dibandingkan dengan S. sinnamariense yang diinokulasi secara tunggal.
Kemampuan S. columnare dalam meningkatkan
serapan N tanaman juga diperoleh Turjaman et al. (2006), yang mengaplikasikan fungi ini pada tanaman Shorea seminis hingga umur 7 bulan, dan meningkatkan
58 serapan N hingga dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tanpa ektomikoriza.
Menurut Allen et al. (2003), akar bermikoriza lebih efisien dalam
menyerap unsur-unsur makro dan mikro dibandingkan dengan akar yang tidak bermikoriza, terutama pada tingkat kesuburan rendah. Dell (2002) menyatakan mekanisme peningkatan penyerapan nutrisi ini dikarenakan adanya perluasan daerah pencarian nutrisi oleh hifa eksternal yang memiliki diameter yang sangat kecil hingga dapat masuk ke dalam pori-pori tanah yang kecil dan mengakses tempat-tempat nutrisi yang tidak dapat dicapai oleh akar tanaman.
Rasio panjang hifa dibandingkan dengan akar tanaman
diperkirakan berkisar antara 300 sampai 8000, sementara diperkirakan terdapat 16—2000 m hifa/cm3 tanah (Pampolina et al. 2002). Fungi ektomikoriza juga menghasilkan enzim fosfatase untuk mendegradasi fosfat dalam bentuk phytate, asam nukleat dan fosfolipid (Ducic et al. 2009), selain itu fungi ektomikoriza juga mengseksresikan asam-asam organik seperti oksalat, sitrat dan malat, dalam upayanya memobilisasi nutrisi dari bentuk mineral (Landeweert et al. 2001), sehingga akar berektomikoriza mampu menyerap P 3—5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan akar yang tidak bermikoriza (Smith et al. 2003) Namun, beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi antara kolonisasi fungi ektomikoriza dengan penyerapan P dan N tanaman. Brearley et al. (2007) meneliti pengaruh pemberian pupuk P pada Hopea nervosa, dan mendapatkan bahwa tidak terdapat peningkatan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman akibat kolonisasi fungi ektomikoriza.
van Hees et al. (2006) juga
menemukan tidak ada peningkatan penyerapan P pada Pinus sylvestris yang bersimbiosis dengan Hebeloma crustuliniforme.
Smith dan Read (2008)
menyatakan tidak adanya hubungan positif antara persen kolonisasi dan pertumbuhan tanaman serta penyerapan unsur hara mungkin disebabkan oleh dua hal yaitu (1) adanya perubahan tahapan fungi ektomikoriza dari saprofitik menjadi
59 mutualistik dan (2) merupakan salah satu dampak bila ciri-ciri utama ektomikoriza tidak terbentuk dengan sempurna.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa S. sinnamariense memiliki spesifisitas tanaman inang yang sempit, hanya dapat membentuk simbiosis dengan G. gnemon. Sedangkan S. columnare dan S. dictyosporum memiliki spektrum tanaman inang yang lebih luas, sehingga dapat membentuk simbiosis pada S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon. Aplikasi ketiga fungi ektomikoriza pada ketiga tanaman inang, baik secara tunggal maupun bersama mampu meningkatkan peningkatan biomassa tanaman,
namun pengaruhnya berbeda-beda pada
penambahan tinggi dan diameter tanaman.
Aplikasi fungi ektomikoriza
meningkatkan penyerapan N dan P hingga 50% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi gabungan pada S. pinanga dan G. gnemon lebih baik dalam meningkatkan penyerapan N dan P dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal, sedangkan pada P. merkusii aplikasi secara tunggal serapan N dan P lebih baik dibandingkan dengan aplikasi fungi ektomikoriza secara bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Brearly FQ, Press CM, Scholes JD. 2003. Nutrient obtained from the leaf litter can improve the growth of dipterocarp seedling. New Phytol 160:101– 110. Brearly FQ, Scholes JD, Press CM, Palfner G. 2007. How does light and phosphorus fertilization affect the growth and ectomycorrhizal community of two contrasting dipterocarp spesies. Plant Ecol 192:237–249. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research.
60 Bruns TD, Bidartondo MI, Taylor DL. 2002. Host specificity in ectomycorrhizal communities: What do the exceptions tell us? Integ and Comp Biol 42:352–359. Bruns TD. 1995. Thoughts on the processes that maintain local species diversity of ectomycorrhizal fungi. Plant and Soil 170:63—73. Chen Y. 2006. optimizing scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering, Murdoch University. Dehlin H, Nilson MC, Wardle DA, Shevtsova. 2004. Effect of shading and humus fertility on growth, competition and ectomycorrhizal colonization of boreal forest tree seedling. Can J For Res 34:2573–2586. Dell B. 2002. Role of mycorrhiza fungi in ecosystems. CMU J 1:47–55. Dučić T, Berthold D, Langenfeld-Heyser R, Beese F, Polle A. 2009. Mycorrhizal communities in relation to biomass production and nutrient use efficiency in two varieties of Douglas-fir (Pseudotsuga menziesii var. menziesii and var. glauca) in different forest soils. Soil Biol Biochem 41:742–753. Hedh J, Johansson T. Tunlid A. 2009. Variation in host specificity and gene content in strains from genetically isolated lineages of ectomycorrhizal fungus Paxillus involutus s. lat. Mycorrhiza 19:549–558. Hortal S, Pera J, Parlade J. 2008. Tracking mycorrhizas and extraradical mycelium of edible fungus Lactarius deliciosus under field competition of Rhizopogon spp. Mycorrhiza 18:69–77. Kennedy PG, Peay KG, Bruns TD. 2009. Root tip competition ectomycorrhizal fungi: Are priority effects a rule or an exception? Ecology 90:2098–2107. Kennedy PG, Bergemann SE, Hortal S, Burns TD. 2007b. Determining the outcome of field-based competition between two Rhizopogon species using Real-Time PCR. Mol Ecol 16:881–890. Kennedy PG, Hortal S, Bergemann SE, Burns TD. 2007a. Competitive interaction among three ectomycorrhizal fungi and their relation to host plant performance. J of ecol 95: 1338–1345. Landeweert L, Hoffland E, Findlay RD, Kuyper T, van Breeman N. 2001. Linking plants to rock: Ectomycorrhizal fungi mobile nutrients from minerals. Trends Ecol Evol 16:248–54. Mollina R, Massicotte H, Trape JM. 1992. Specificity phenomena in mycorrhizal symbiosis: Community ecological consequences and practical application. Di dalam: Allen MF, editor. Mycorrhizal Functioning. New York: Chapman and Hall. Hlm 357—4223.
61 Pampolina NM, Dell B, Malajczuk N. 2002. Dynamics of ectomycorrhizal fungi in an Eucalyptus globulus plantation: Effect of phosphorus fertilization. For Ecol and Man 158:291—394. Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Richard E, Millot S, Gardes M, Selosse MA. 2004. Diversity and specificity of ectomycorrhizal fungi retrieved from an old-growth mediterranean forest dominated by Quercus ilex. New Phytol 166:1011–1023. Rinaldi AC, Comandini O, Kuyper TW. 2008. Ectomycorhizal fungal diversity: Separating wheat from the chaff. Fungal Diversity 33:1–45. Riniarti M, Setiadi Y, Sopandie D. 2005. Aplikasi asam organik dan inokulasi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea pinanga. J Hut Trop 1:25–29. Scattolin L. 2006. Variation of ectomycorrizal community in high mountain Norway spruce stands and correlation with the main climatic factor [disertasi]. München: Fakultät für Biologie, Ludwig-MaximiliansUniversität. Smith FW, Mudgr SR, Rae AL, Glassopp D. 2003. Phosphate transport in plants. Plants and Soil 248:71–83. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Sugiarti, Darwo, Panjaitan DJ. 2007. Efektivitas bentuk inokulum cendawan Scleroderma citrinum Persoon dalam meningkatkan pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. J Pen Hut & KA 4:63–74. Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza Dipterocarpaceae [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tennakoon MMD, Gunatilleke IAUN, Hafeel KM, Seneviratne G, Gunatilleke CVS, Ashton PMS. 2005. Ectomycorrhizal colonization and seedling growth of Shorea (Dipterocarpaceae) species in simulated shade environments of a Sri Lankan rain forest. For Ecol and Man 208:399–405. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249.
62 van Hees PAW, Rosling A, Finlay RD. 2006. The impact of trees, ectomycorrhizal and potassium availability on simple organic compounds and dissolved organic carbon in soil. Soil Biol Biochem 38:1912–1923. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The occurrence and distribution of putative ectomycorrhizal basidiomycetes in a regenerating South East Asian rain forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
V. KARAKTERISTIK AKAR BEREKTOMIKORIZA PADA Shorea pinanga, Pinus merkusii DAN Gnetum gnemon (Characteristics of Ectomycorrhizal Roots of Shorea pinanga, Pinus merkusii and Gnetum gnemon)
ABSTRAK Karakteristik morfologi dan anatomi digunakan untuk mengidentifikasikan fungi ektomikoriza yang bersimbiosis. Bahan yang digunakan adalah akar Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon yang telah diinokulasi oleh Scleroderma columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense. Akar yang digunakan berumur 6, 8, dan 10 bulan. Ujung akar dikumpulkan untuk menentukan warna hifa, pola percabangan, keberadaan clamp-connection, Hartig net, dan mantel. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakteristik morfologi warna miselium dan keberadaan clamp connection lebih dipengaruhi oleh fungi, sementara bentuk percabangan dan kedalaman Hartig net dipengaruhi oleh jenis tanaman. Pada S. pinanga dan G.gnemon pola percabangan akar yang terbentuk akibat simbiosis dengan fungi ektomikoriza adalah monopodial, sementara pada P. merkusii berbentuk dikotomus. Ketebalan mantel dan Hartig net meningkat seiring dengan waktu. Pada S. pinanga dan G. gnemon Hartig net terbentuk pada jaringan epidermis dan tidak mencapai kortek, yang merupakan ciri angiospermae. Pada P. merkusii Hartig net terbentuk hingga jaringan korteks, sebagai ciri gymnospermae. Kata kunci: fungi ektomikoriza, Hartig net, mantel, Scleroderma ABSTRACT Morphology and anatomy characteristics were used to identify ectomycorrhizal fungi. Scleroderma columnare, S. dictyosporum, and S. sinnamariense were inoculated to Shorea pinanga, Pinus merkusii, and Gnetum gnemon. After 6,8, and 10 months, each root tips were colleted to determined hyphae colour, branching pattern, clamp-connection, Hartig net and mantle. This result revealed that morphology were affected by fungi, while branching pattern and Hartig net were affected by plants. S. pinanga dan G. gnemon were have monopodial branching pattern which P. merkusii was dichotomously branching pattern. The depth of mantels and Hartig net were increase by time. The Hartig net was only at epidermis S. pinanga and G. gnemon, while its penetrated in cortex on P. merkusii.
PENDAHULUAN Ektomikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara fungi dan akar tanaman, dalam hubungan ini fungi memperoleh hasil fotosintesis sementara akar mendapat bantuan unsur hara dan air dan keuntungan lainnya melalui perantara
64 hifa fungi (Allen 2003; Dehlin et al. 2004).
Sebagian besar tanaman yang
membentuk simbiosis dengan fungi ektomikoriza adalah jenis pohon, sekalipun beberapa jenis semak dan perdu juga ditemukan dapat bersimbiosis dengan fungi ini (Onguene dan Kuyper 2002).
Fungi ektomikoriza diketahui dapat
bersimbiosis dengan jenis-jenis tanaman dari famili Dipterocarpaceae (Turjaman et al. 2005, Turjaman et al. 2006) Pinaceae (Chen 2006, Scattolin 2006) dan Gnetaceae (Wulandari 2002; Watling et al. 2002), yang merupakan bagian dari angiospermae dan gymnospermae. Hubungan fungi dengan tanaman inang ini dapat disebut ektomikoriza bila terdapat perubahan morfologi dan anatomi pada akar tanaman akibat masuknya hifa pada sel-sel akar. Terdapat berbagai variasi dalam karakteristik morfologi dan struktur akar berektomikoriza, namun ada tiga bentuk utama yang secara umum disepakati sebagai karakteristik penting, yaitu terbentuknya sebuah mantel yang menutupi akar, berkembangnya hifa di antara sel-sel akar yang membentuk sel-sel yang kompleks yang disebut Hartig net, dan hifa-hifa yang menonjol keluar dari mantel dan berkembang ke tanah (hifa ekstra radikal) (Peterson et al. 2004). Bahkan menurut Smith dan Read (2008) bila salah satu dari tiga ciri utama ini tidak terbentuk dengan sempurna maka peranan fungi ektomikoriza pada tanaman inang tidak akan berjalan dengan baik. Masing-masing fungi ektomikoriza akan memiliki karakteristik morfologi dan anatomi yang khas pada tanaman inang yang diinfeksinya. Keunikan ini menjadi ciri yang akan digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis fungi tersebut (Agerer 2002). Beberapa karakteristik lebih banyak dipengaruhi oleh tanaman inang daripada fungi ektomikoriza, antara lain adalah pola percabangan dan kedalaman Hartig net.
Pada tanaman tertentu, seperti
Pinus, pola percabangan yang terbentuk adalah dikotomus walaupun tanaman diinokulasi oleh berbagai fungi ektomikoriza (Brundrett et al. 1996). Sementara kedalaman Hartig net lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan struktur akar pada
65 Angiospermae dan Gymnospermae. Pada Angiospermae Hartig net hanya dapat mencapai jaringan epidermis, sedangkan pada gymnospermae Hartig net dapat mencapai jaringan kortek (Brundrett et al. 1996; Peterson et al. 2004). Tujuan penelitian ini adalah memperoleh informasi tentang karakteristik morfologi dan anatomi akar pada Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon yang telah diinokulasi dengan S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense selama 6, 8 dan 10 bulan. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2008 hingga Desember 2009. Bertempat di Laboratorium Silvikultur Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Bioteknologi SEAMEO-BIOTROP, Bogor. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan yang digunakan adalah akar tanaman S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon yang telah diinokulasi dengan S.columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense. Akar yang digunakan berumur enam, delapan dan sepuluh bulan setelah inokulasi. Akar dicuci perlahan dan hati-hati di bawah air mengalir untuk melepaskan partikel-partikel tanah yang menempel. Akar-akar tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop, dan dipilih yang memiliki ciri-ciri akar yang dikolonisasi fungi ektomikoriza, yaitu cenderung lebih pendek dan memiliki diameter lebih besar, serta diselubungi oleh lapisan hifa.
Akar-akar tersebut
kemudian direndam dalam larutan FAA (Formaldehyde acetic acid) selama 24 jam untuk proses analisis lebih lanjut. Analisis Histologi Penyiapan preparat untuk pengamatan anatomi akar dilakukan dengan metode Sass (1958) (Lampiran 2 dan 3). Metode ini dimulai dengan fiksasi akar
66 menggunakan FAA selama 24 jam, lalu diteruskan dengan proses dehidrasi, yaitu upaya pengeluaran air dari dalam jaringan tanaman, proses ini menggunakan alkohol. Proses selanjutnya adalah praparafinasi, yang bertujuan menghilangkan alkohol dari jaringan tanaman agar dapat diisi dengan paraffin, proses ini menggunakan alkohol 100% dan xylol dengan beberapa tahapan.
Proses
parafinasi dilakukan dengan menggunakan xylol dan parafin dengan konsentrasi yang berbeda-beda dalam empat tahapan dan selama 24 jam. Proses ini dilakukan dalam oven dengan suhu 55oC. Hasil parafinasi kemudian dicetak dan hasilnya dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan ukuran 5—10 μm, kemudian dilanjutkan dengan tahapan pewarnaan akar. Teknik pewarnaan akar dilakukan dalam 19 tahapan. Pewarna yang digunakan adalah Safranin 0,5% dan Alcian blue 1%. Setelah keseluruhan proses ini dilakukan maka preparat akar dapat diamati di bawah mikroskop untuk melihat anatomi akar. Peubah Yang Diamati Pengamatan dilakukan pada morfologi dan anatomi akar berektomikoriza. Tipe morfologi yang diamati adalah warna miselium, bentuk percabangan, diameter akar, dan clamp-connection.
Sedangkan pengamatan anatomi akar
dilakukan dengan mengamati ketebalan mantel dan kedalaman Hartig net hasil histologi akar, pengamatan dilakukan pada lima sampel akar.
Pengamatan
dilakukan pada setiap akar S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon yang terkolonisi fungi ektomikoriza pada bulan keenam, delapan dan sepuluh setelah inokulasi.
67 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Akar berektomikoriza Pada P. merkusii S. columnare dan S. dictyosporum dapat membentuk ektomikoriza dengan akar P. merkusii. Kedua ektomikoriza memiliki hifa dan miselium berwarna putih, dan dengan percabangan dikotomus (Gambar 17). Hifa eksternal yang terbentuk dari S. columnare memiliki septa dan tidak memiliki clamp-connection, sedangkan hifa dari S. dictyosporum bersepta dan membentuk clamp-connection (Gambar 22 dan 23).
a
a
b 5 mm
b
c
c
d
5 mm
Gambar 17 Akar berektomikoriza (a) S. columnare pada P.merkusii 5 mm (b) S. dictyosporum pada P. merkusii (c) S. columnare pada S. pinanga dan (d) S. sinnamariense pada G. gnemon. Nilai rata-rata jari-jari akar berektomikoriza yang terbentuk dengan S. columnare berkisar 156—229 μm, sementara akar yang terbentuk dengan S. dictyosporum memiliki kisaran 162—202 μm (Tabel 5).
S. dictyosporum
memiliki nilai rata-rata ketebalan mantel dan kedalaman Hartig net yang lebih tinggi dibandingkan dengan S. columnare. Pada P. merkusii, Hartig net yang dibentuk oleh kedua fungi ektomikoriza mencapai lapisan kortek (Gambar 18).
68 Tabel 5 Nilai rata-rata pengamatan histologi akar P. merkusii yang diinokulasi oleh S. columnare dan S. dictyosporum pada bulan ke 6, 8, dan 10 Perlakuan S. columnare S. dictyosporum S. columnare S. dictyosporum S. columnare S. dictyosporum
Pengamatan Hartig net bulan ke(μm) 6 53,8 6 75,3 8 79,4 8 88,1 10 68,8 10 82,88
Sd 2,5 5,6 3 8 5 0,8
A
B
Mantel (μm) 9,4 13,8 21,3 28,1 19,2 25,0
Sd 2,4 1,4 7,5 6,3 3,8 4,1
r akar (μm) 156,9 202,7 229,1 212,5 163,9 162,5
Sd 2,4 2,1 3,8 6 3,9 1,8
m reec h
100 µm C h
m
100 µm
m
D
h reec h
reec m
100 µm
100 µm
Gambar 18 Penampang akar berektomikoriza (foto dengan perbesaran 10x40): sebelah kiri (A) irisan longitudinal akar S. pinanga ; sebelah kanan irisan melintang akar (B) S. pinanga, (C) P. merkusii, (D) G. gnemon; (h) Hartig net, (m) mantel, (reec) radial elongation epidermis cell. Perbandingan ketebalan mantel, kedalaman Hartig net dan jaringan akar yang tidak dicapai Hartig net, disajikan pada Gambar 19. Mantel dan Hartig net
69 yang terbentuk semakin dalam dan tebal seiring dengan meningkatnya waktu baik oleh S. columnare maupun pada S. dictyosporum. S. dictyosporum tampaknya memiliki kompatibilitas yang lebih baik dengan P. merkusii dibandingkan dengan S. columnare. 100% 80% 60% 40%
Mantel
20%
Hartig net Jaringan akar
0% SC
SD
6 bulan
Keterangan:
SC SD
: :
SC
SD
8 bulan
SC
SD
10 bulan
S. columnare S. dictyosporum
Gambar 19 Komposisi ketebalan mantel, kedalaman Hartig net dan jaringan akar pada akar P. merkusii berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi. Karakteristik akar berektomikoriza pada G. gnemon Ketiga fungi ektomikoriza Scleroderma spp. memiliki kompatibilitas dengan G. gnemon. S. columnare dan S. dictyosporum memiliki hifa berwarna putih dan percabangan monopodial (Gambar 17). Hifa yang terbentuk dari S. columnare bersepta dan tidak memiliki clamp-connection, sedangkan hifa yang terbentuk dari S. dictyosporum bersepta dan membentuk clamp-connection. Hifa dan mantel yang terbentuk dari S. sinnamariense berwarna kuning, bersepta dan membentuk clamp-connection. Pada G. gnemon, Hartig net yang terbentuk dari ketiga jenis fungi hanya ada di lapisan epidermis. Nilai rata-rata pengamatan irisan melintang akar dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 20. Jari-jari akar, kedalaman Hartig net dan ketebalan mantel dari ketiga jenis
70 Scleroderma bervariasi dan tidak membentuk suatu pola tertentu.
Walaupun
terdapat kecenderungan bahwa kedalaman Hartig net yang terbentuk dari S. dictyosporum lebih dalam daripada kedua fungi lainnya. 100% 80% 60% 40%
Mantel
20%
Hartig net Jaringan akar
0% SC
SD 6 bulan
Keterangan:
SC SD SS
: : :
SS
SC
SD
SS
8 bulan
SC
SD
SS
10 bulan
S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense
Gambar 20 Komposisi ketebalan mantel, kedalaman Hartig net dan jaringan akar pada akar G. gnemon berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi. Tabel 6 Nilai rata-rata pengamatan histologi akar G. gnemon yang diinokulasi oleh S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense pada bulan ke 6, 8, dan 10 Perlakuan S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense
Pengamatan Hartig net (μm) bulan ke6 33,3 6 55,6 6 61,1 8 50,0 8 33,3 8 38,9 10 38,9 10 47,2 10 33,3
Sd 00 00 6,4 6,4 00 6,4 4,3 5,5 0,0
Mantel (μm) 66,7 91,7 50,0 50,0 50,0 76,5 52,8 80,6 47,2
Sd 2,8 4 1,1 6,4 6,4 1,7 0,6 1,0 0,6
r akar (μm) 206,1 301,4 252,8 224,7 158,3 273,6 186,1 186,0 208,3
Karakteristik akar berektomikoriza pada S. pinanga Pada S. pinanga, hanya S. columnare dan S. dictyosporum yang membentuk ektomikoriza.
Kedua fungi memiliki hifa berwarna putih dan memiliki
Sd 3,6 3,1 4,2 5,8 2,5 3,2 4,7 3,5 3,5
71 percabangan monopodial (Gambar 17). Hifa S. columnare memiliki septa dan tidak memiliki clamp-connection. Sementara hifa dari S. dictyosporum bersepta dan memiliki clamp-connection. Berbeda dengan P. merkusii, Hartig net dan mantel yang terbentuk pada S. pinanga hanya terbentuk pada lapisan epidermis (Gambar 22 dan 23) dan cenderung lebih dalam dan tebal di bulan keenam, dan menurun pada bulan kedelapan dan kesepuluh (Tabel 7 dan Gambar 21). Hartig net dan mantel yang dibentuk oleh S. columnare juga cenderung lebih dalam dan tebal dibandingkan yang dibentuk oleh S. dictyosporum. Tabel 7 Nilai rata-rata pengamatan histologi akar S. pinanga yang diinokulasi oleh S. columnare dan S. dictyosporum pada bulan ke-6, 8, dan 10 Perlakuan S. columnare S. dictyosporum S. columnare S. dictyosporum S. columnare S. dictyosporum
Pengamatan Hartig net Sd bulan ke(μm) 6 6,6 41,3 6 6,2 23,1 8 2,2 18,3 8 4,3 13,8 10 5,4 27,0 10 1,4 11,3
Mantel (μm) 33,8 15,6 16,5 16,9 16,3 13,6
Sd 1,0 2,5 1,5 3,1 1,7 1,4
r akar (μm) 166,7 105,5 113,8 129,2 99,9 91,7
Sd 3,5 1,5 1,6 1,7 1,4
100% 80% 60% Mantel
40%
Hartig net
20%
Jaringan akar
0% SC
SD
6 bulan Keterangan:
SC SD
: :
SC
SD
8 bulan
SC
SD
10 bulan
S. columnare S. dictyosporum
Gambar 21 Komposisi ketebalan mantel, Hartig net dan jaringan akar pada akar S. pinanga berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi.
72 A
B
REEC
C
c-c
Gambar 22 Citra SEM akar berektomikoriza (A) irisan melintang akar S. pinanga, terlihat mantel terbentuk sempurna dan Hartig net di antara sel epidermis membentuk REE (B) tahap awal perkembangan ektomikoriza S. sinnamariense pada G. gnemon, tampak hifa belum secara kompak menutupi akar tanaman (C) hifa S. dictyoporum pada P. merkusii, c-c: clamp-connection ; REEC: Radial elongation epidermis cell.
73 50 µm
a
100 µm
b
100 µm
c
Gambar 23 Citra SEM ujung akar berektomikoriza (a) Shorea pinanga bersimbiosis dengan S. columnare, (b) Pinus merkusii bersimbiosis dengan S. dictyosporum, dan (c) Gnetum gnemon bersimbiosis dengan S. sinnamariense. Miselium fungi ektomikoriza telah menutupi akar dengan sempurna, hingga membentuk selubung dengan ektraradikal miselium disekitarnya. Pembahasan Warna miselium, keberadaan septa dan clamp-connection pada hifa merupakan tipe morfologi yang menjadi ciri khas masing-masing fungi dan tidak dipengaruhi oleh simbiosis dengan tanaman. Warna miselium merupakan salah satu tipe morfologi penciri dari ektomikoriza (Brundrett et al. 1996) yang dapat dilakukan dengan mata telanjang. Seperti hasil penelitian-penelitian sebelumnya (Santoso 1997; Tata 2001; Wulandari 2002) hifa yang dihasilkan oleh S. columnare dan S. dictyosporum memiliki ciri yang hampir serupa. Keduanya digambarkan memiliki hifa berwarna putih dan bersepta.
Santoso (1997)
menyatakan perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari halus-kasar permukaan miselium yang terbentuk. Menurutnya, S. columnare memiliki permukaan yang lebih kasar, sementara S. dictyosporum tampak lebih halus. Sementara Wulandari (2002) membedakan keduanya dari kekuatan hifa tersebut memegang partikel tanah. Hifa-hifa S. columnare lebih mudah dipisahkan dari partikel tanah yang
74 menempel dibandingkan dengan S. dictyosporum.
Selain itu, warna hifa S.
columnare cenderung tidak berubah akibat proses pencucian maupun perendaman dalam FAA. Sebaliknya, S. dictyosporum hifanya akan kehilangan warna akibat pencucian dan perendaman dalam FAA. Hifa S. sinnamariense memiliki ciri khas yang berbeda dari kedua fungi Scleroderma lainnya. Hifa fungi ektomikoriza ini berwarna kuning, warnanya begitu mencolok hingga mudah untuk dipisahkan dengan hifa fungi ektomikoriza lainnya. Tipe morfologi lain adalah adanya septa dan clamp-connection pada hifa. Menurut Brundrett et al. (1996), sebagian besar fungi ektomikoriza dari famili Basidiomycetes bersepta dan memiliki clamp-connection. Hasil ini serupa dengan yang diperoleh Santoso (1997), Tata (2001), Wulandari (2002) dan Prameswari (2005), yang mendapatkan clamp-connection pada hifa yang berasal dari S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense. Namun, hasil yang berbeda dihasilkan oleh Chen (2006), yang mengelompokkan Genus Scleroderma menjadi empat yang didasarkan pada perbedaan bentuk spora dan keberadaan clampconnection.
Dalam kategori Chen (2006) tersebut, S. columnare merupakan
kelompok Scleroderma yang diketahui tidak membentuk clamp-connection, seperti yang dihasilkan pada penelitian ini
Namun, hal ini membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Bentuk percabangan akar merupakan tipe morfologi yang lebih ditentukan oleh tanaman daripada oleh fungi ektomikoriza. Pada P. merkusii semua fungi ektomikoriza menghasilkan percabangan dikotomus. Sementara pada S. pinanga dan G. gnemon menghasilkan bentuk percabangan monopodial. Keberadaan Hartig net merupakan indikator adanya kompatibilitas fungi dan tanaman inang. Pada penelitian ini terlihat bahwa fungi ektomikoriza yang secara alami bersimbiosis dengan masing-masing tanaman inang (S. columnare— S. pinanga; S. dictyosporum—P. merkusii; S. sinnamariense—G. gnemon)
75 cenderung memiliki Hartig net yang lebih dalam. Hal ini berkaitan dengan fungsi dari struktur ini. Menurut Peterson et al. (2004), Hartig net merupakan tempat pertukaran nutrisi, fungi mengabsorbsi karbohidrat, dan tempat nutrisi dan air menuju sel akar.
Bücking dan Heyser (2001) menunjukkan dengan analisis
autoradiografi adanya aliran karbohidrat dari sel akar masuk ke dalam Hartig net dan kemudian menuju mantel, dan sebaliknya ditemukan juga adanya aliran fosfat dari mantel menuju Hartig net lalu ke sel akar. Pembentukan Hartig net dimulai oleh hifa dengan cara memasuki ruang antara sel-sel luar dari pusat akar. Penetrasi ini secara normal dimulai dari mantel yang terdalam. Namun, dapat pula terjadi, hifa akan segera membentuk Hartig net dan berkembang bahkan sebelum terbentuk mantel (Smith dan Read 2008). Kedalaman Hartig net berbeda antara angiospermae dan gymnospermae (Peterson et al. 2004). Pada sebagian besar angiospermae, kedalaman Hartig net hanya pada lapisan epidermis, hingga sering kali disebut sebagai ”epidermal Hartig net”. Ada dua tipe Hartig net pada angiospermae, yaitu (1) “para-epidermal”, di mana ada bagian dari epidermis yang tidak ditutupi oleh Hartig net dan (2)”periepidermal” di mana seluruh epidermis ditutupi oleh Hartig net. Kedua tipe ini menunjukkan adanya kemungkinan keberlanjutan pembentukan Hartig net yang akan tergantung pada umur akar dan kondisi lingkungan (Smith dan Read 2008). Selain itu, pada angiospermae terbentuk adanya Radial Elongation of Epidermis Cell (REEC). Sementara pada gymnospermae Hartig net memiliki penetrasi yang lebih dalam. Hartig net masuk hingga ke beberapa lapisan korteks, hingga disebut sebagai “cortical Hartig net”. Pada gymnospermae tidak terbentuk REEC. G. gnemon merupakan bentuk peralihan gymnospermae ke angiospermae, Hartig net yang terbentuk menyerupai angiospermae, hanya mencapai jaringan epidermis. Hasil ini serupa dengan yang diperoleh oleh Wulamdari (2002) yang
76 meneliti kompatibilitas ketiga fungi ektomikoriza Scleroderma spp. pada G. gnemon. Mantel merupakan pembatas antara akar tanaman dengan tanah. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat fungsi dan bentuk mantel yang ada (Agerer dan Raild 2004; Agerer 2001; Beccera et al. 2005). Mantel berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai unsur organik dan mineral, mantel juga merupakan tempat penyimpanan unsur-unsur logam berat yang berpotensi menjadi toksik bagi tanaman, sehingga tanaman akan terhindar dari keracunan. Mantel juga melindungi akar dari kehilangan air dan dari serangan patogen (Peterson et al .2004). Mantel juga banyak digunakan sebagai karakteristik dalam identifikasi dan klasifikasi fungi ektomikoriza.
Agerer (2006) mendeskripsikan dua bentuk
mantel, yaitu (1) bentuk di mana hifa masih dapat dikenali struktur individunya disebut “plectencymatous atau prosenchymatous” dan (2) bentuk di mana hifa tidak dapat dipisahkan secara individu karena telah membentuk suatu struktur yang kompak disebut “pseudoparenchymatous”. Agerer (2006) juga memisahkan sembilan tipe plectencymatous dan tujuh tipe pseudoparenchymatous.
Dalam
penelitian ini S. dictyosporum dan S. sinnamariense dapat membentuk lebih dari satu lapisan mantel pada P. merkusii dan G. gnemon, hal ini tampaknya berkaitan dengan kompatibilitas kedua fungi tersebut pada tanaman inang. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik morfologi warna miselium dan keberadaan clamp connection dipengaruhi oleh jenis fungi, sementara bentuk percabangan dan kedalaman Hartig net dipengaruhi oleh jenis tanaman. Bentuk percabangan akar berektomikoriza dan kedalaman Hartig net merupakan karakteristik yang lebih dipengaruhi oleh jenis tanaman, pada P. merkusii percabangan berbentuk dikotomus dan Hartig net mencapai kortek.
77 Pada S. pinanga dan G. gnemon bentuk percabangan akar berektomikoriza adalah monopodial dengan Hartig net hanya mencapai jaringan epidermis. Ketebalan mantel dan kedalaman Hartig net meningkat seiring dengan waktu. DAFTAR PUSTAKA Agerer R, Raildh S. 2004. Distance-related semi-quantitative estimation of extramatrical ectomycorrhizal mycelia of Cornarius obtusus. Mycol Progress 3:57–64. Agerer R. 2001. Exploration types of ectomycorrhiza. A proposal to classify ectomycorrhizal mycelial systems according to their patterns of differentiation and putative ecological importance. Mycorrhiza 11:107– 114. Agerer R. 2002. Rhizomorph structure confirm the relationship between Lycoperdales and Agaricaceae. Nova Hedwig 75:367–385. Agerer R. 2006. Fungal relationship and structural identity of their ectomycorrhiza. Mycol Progress 5:67–107. Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Beccera A. Daniele C, Nouhra E. 2005. Ectomycorrhiza of Cortinaleus holedes with Alnus acciminta from Argentina. Mycorrhiza 15:7–15. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Bücking H, and Heyser W. 2001. Microautoradiographic localization of phosphate and carbohydrates in mycorrhizal roots of Populus tremula × Populus alba and the implications for transfer processes in ectomycorrhizal associations. Tree Physiol 21:101–107. Chen Y. 2006. Optimizing Scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering, Murdoch University. Dehlin H, Nilson MC, Wardle DA, Shevtsova. 2004. Effect of shading and humus fertility on growth, competition and ectomycorrhizal colonization of boreal forest tree seedling. Can J For Res 34:2573–2586.
78 Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17. Peterson RL, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhiza: Anatomy and Cell Biology. Ottawa: NRC Research Press. Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Santoso E. 1997. Hubungan perkembangan ektomikoriza dengan populasi jasad renik dalam rhizosfer dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Eucalytus pellita dan Eucalyptus urophylla [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sass JE. 1958. Botanical Microtechnique. Third Edition. Ames: Iowa State University Press. Scattolin L. 2006. Variation of ectomycorrizal community in high mountain norway spruce stands and correlation with the main climatic factor [disertasi]. München: Fakultät für Biologie, Ludwig-MaximiliansUniversität. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza Dipterocarpaceae [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
VI. PEMBAHASAN UMUM Upaya inokulasi tiga jenis Scleroderma spp. pada S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon menunjukkan adanya spesifisitas tanaman inang pada S. sinnamariense. Fungi ini sama sekali tidak dapat membentuk simbiosis dengan S. pinanga dan P. merkusii, dan bersimbiosis dengan sangat baik pada G. gnemon (Bab IV). Penelitian in vitro menunjukkan bahwa S. sinnamariense memiliki pertumbuhan radial dan perkembangan miselium yang lebih cepat dibandingkan dengan miselium S. columnare dan S. dictyosporum, serta tidak terdapat sifat antagonis di antara ketiga fungi saat dibiakkan secara bersama-sama (Bab III), oleh karena itu tidak terbentuknya asosisasi antara S. sinnamariense dengan S. pinanga dan P. merkusii diduga bukan disebabkan oleh kompetisi dengan kedua jenis fungi ektomikoriza lainnya, tetapi disebabkan oleh spesifisitas fungi ini pada G. gnemon. Chen (2006), Lee et al. (2008), dan Brundrett et al. (2005) menyatakan bahwa Scleroderma memiliki spesifisitas tanaman inang yang rendah, karena berada pada tingkatan Genus, sehingga spesifisitas yang ditunjukkan oleh S. sinnamariense pada G. gnemon adalah suatu fenomena baru. Mollina et al. (1992) membagi fungi menjadi tiga berdasarkan luas— sempitnya (spesifisitas) kisaran tanaman inang yang dapat diinfeksi oleh fungi ektomikoriza.
Fungi akan diklasifikasikan sebagai “sempit”, jika fungi
ektomikoriza hanya dapat bersimbiosis dengan satu genus tanaman dalam satu famili. “Intermediate”, bila fungi hanya membentuk simbiosis dengan satu famili tanaman inang, dan “luas” bila fungi ektomikoriza dapat membentuk simbiosis dengan berbagai tanaman dari famili, order, bahkan kelas yang berbeda. Pola hubungan antara fungi ektomikoriza dengan tanaman diterangkan oleh Bruns et al. (2002) dalam sebuah konsep model (Gambar 24). Pada model tersebut digambarkan beberapa kemungkinan bentuk hubungan antara fungi ektomikoriza dengan tanaman, dapat berbentuk single dan multi.
80 A
Tanaman 1
Tanaman 1 Fungi 1 B
Fungi 1 Fungi 1 Tanaman 1
Tanaman 2 Fungi 2
Fungi 1 Fungi 2
Tanaman 1
Fungi 3
Tanaman 2
Fungi 4 Fungi 5 C
Fungi 1 Fungi 2
Tanaman 1 Fungi 3
Tanaman epiparasitic
Fungi N Gambar 24 Model hubungan fungi—tanaman dalam sistem ektomikoriza (Bruns et al. 2002). A. adalah model “textbook”, yang menunjukkan keterlibatan satu tanaman inang dengan satu fungi ektomikoriza yang mempertukarkan karbon (tanda panah hitam) dengan nutrisi (tanda panah abu-abu). Model ini dapat menjadi lebih komplek dengan hadirnya tanaman inang lain yang dihubungkan oleh fungi yang sama, atau dua fungi yang berhubungan dengan satu tanaman inang yang sama. Dalam hubungan tersebut, manfaat yang diperoleh diindikasikan dengan panjangnya tanda panah yang berbeda-beda pada kombinasi tanaman inang dan fungi. Pada beberapa kasus dapat pula tanaman inang mendapat keuntungan dari tanaman inang yang lain secara tidak langsung (facultative epiparasitism). B. adalah model yang lebih realistis, yang menunjukkan dua tanaman dihubungkan oleh berbagai fungi, dengan manfaat yang berbeda-beda pada setiap kombinasi tanaman inang—fungi. Beberapa fungi menunjukkan perilaku spesifitsitas pada tanaman inang. C. adalah sebuah model epiparasitism yang menunjukkan tanaman nonfotosistesis yang berasosisasi dengan satu jenis fungi, sehingga memperoleh karbon dan nutrisi dari fungi tersebut.
81 S. columnare dan S. dictyosporum memiliki kemampuan membentuk simbiosis dengan ketiga tanaman inang (Bab IV). Secara umum kedua jenis fungi ektomikoriza
ini
memiliki
kemampuan
untuk
berkompetisi
dengan
S.
sinnamariense, karena hasil penelitian secara in vitro menunjukkan ketiga fungi ini dapat tumbuh dan berkembang secara bersama-sama tanpa membentuk barrier yang membatasi pertumbuhan fungi lainnya, yang menunjukkan tidak ada antagonis di antara ketiga fungi ektomikoriza tersebut (Bab III).
Hasil ini
didukung dari hasil penelitian karakteristik akar yang menunjukkan bahwa pada G. gnemon ketiga jenis fungi ektomikoriza ini memiliki kemampuan yang hampir serupa dalam membentuk Hartig net dan mantel (Bab V).
Kemampuan S.
dictyosporum membentuk ektomikoriza pada Dipterocarpaceae juga pernah dibuktikan oleh Supriyanto et al. 1993) yang menguji kompatibilitas S. dictyosporum dengan stek Shorea selanica dan S. leprosula. Walaupun demikian menurut Lee et al. (2008), seringkali hasil penelitian hubungan antara fungi ektomikoriza dan tanaman inang sangatlah beragam dan tidak konsisten, diduga akibat kondisi lingkungan (Koide et al. 2007), antara lain kelembaban tanah (Kennedy dan Peay 2007), kesuburan tanah (Ducic et al. 2009), kandungan bahan organik (Dehlin et al. 2004), sifat-sifat tanah (Kernaghan 2005), ketersediaan unsur hara (Bücking et al. 2001), dan temperatur (Izzo et al. 2006; Tata 2001). Hasil lain dari penelitian menunjukkan bahwa aplikasi fungi ektomikoriza memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada pertumbuhan ketiga tanaman inang. Pada S. pinanga perlakuan gabungan S. columnare dan S. dictyosporum memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sementara pada P. merkusii perlakuan tunggal S. columnare dan S. dictyosporum secara terpisah memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan aplikasi inokulum gabungan. Sedangkan pada G. gnemon perlakuan S. sinnamariense memberikan hasil yang sama baiknya dengan gabungan S. columnare dan S.
82 dictyosporum (Bab IV). Hasil ini diduga berhubungan dengan kompatibilitas dan fungsi masing-masing fungi pada tanaman inang. Hal ini dapat dihubungkan dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan walaupun Scleroderma spp. dapat membentuk simbiosis dengan beberapa tanaman inang, namun kedalaman Hartig net dan ketebalan mantel yang terbaik tetap dihasilkan oleh pasangan fungi ektomikoriza dengan tanaman inang alaminya (Bab V). Pada S. pinanga, S. columnare memiliki kedalaman Hartig net yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dibentuk oleh S. dictyosporum, sementara pada P. merkusii hal sebaliknya terjadi, S. dictyosporum membentuk Hartig net yang lebih dalam dibandingkan dengan S. columnare. Namun pola ini tidak terbentuk pada G. gnemon,
ketiga fungi ektomikoriza memiliki kedalaman Hartig net dan
ketebalan mantel yang relatif sama, namun ketebalan mantel yang terbentuk pada G. gnemon lebih tebal dibandingkan dengan yang terbentuk pada S. pinanga dan P merkusii. Menurut Neswham et al. (1995) mikoriza adalah mikroorganisme dengan multi-fungsi, yang diartikan fungi ektomikoriza yang berbeda akan memberikan dampak yang berbeda pada tanaman yang sama, tetapi dapat pula fungi yang sama memberikan dampak yang berbeda pada tanaman inang yang sama akibat kondisi lingkungan yang berbeda, seperti yang dijelaskan oleh Koide et al. (2007). Interaksi antar fungi ektomikoriza dapat bersifat positif atau negatif (Koide et al. 2005). Hubungan bersifat positif bila merupakan hubungan komplementer atau saling melengkapi fungsi dan peranannya, contohnya ada jenis fungi ektomikoriza yang mengsekresikan enzim-enzim yang menyebabkan jenis fungi ini dapat menyerap N dalam jumlah yang besar, sementara jenis fungi lainnya menghasilkan sekresi enzim yang memudahkan dalam penyerapan P dalam jumlah besar, sehingga saat keduanya tumbuh bersamaan akan mampu memberikan N dan P pada tanaman inangnya.
Hubungan antar fungi
83 ektomikoriza akan bersifat negatif bila akibat adanya kompetisi, ada fungi yang dihambat kolonisasinya oleh fungi lainnya, atau dapat berupa parasitisme antar fungi tersebut dalam memperoleh karbohidrat. Pola lain yang menarik untuk dicermati adalah kecenderungan S. dictyosporum memberikan pengaruh yang lebih baik pada bulan kesepuluh pengamatan, bila dihubungkan dengan hasil penelitian in vitro, maka dapat diduga bahwa hal ini berhubungan dengan lambatnya tingkat pertumbuhan miselium fungi tersebut (Bab III).
Secara in vitro diketahui bahwa S. dictyosporum
memiliki kecepatan pertumbuhan radial dan perkembangan miselium yang paling lambat dibandingkan dengan dua fungi ektomikoriza lainnya. Sehingga diduga simbiosis S. dictyosporum dengan tanaman inang baru terbentuk dengan baik pada bulan kesepuluh, dan memberikan peranan yang signifikan terhadap kolonisasi dan pertumbuhan tanaman inang. Koide
et
al.
(2007)
mengemukakan
bahwa
fungi
ektomikoriza
membutuhkan karbon dalam jumlah yang berbeda untuk dapat berkolonisasi dengan akar tanaman.
Mollina et al. (1992), Kimmel dan Salant (2006)
menyatakan adanya konsep “economical C”, yaitu perbandingan jumlah C yang dibutuhkan oleh fungi dengan N dan P yang dihasilkan oleh fungi tersebut bagi tanaman.
Hal ini didukung oleh penelitian Wiemken et al. (2002) yang
menemukan bahwa ada korelasi antara jumlah P yang ditransfer oleh fungi kepada tanaman inang dengan jumlah karbohidrat yang ditransfer oleh tanaman inang ke fungi simbionnya.
Maka diduga salah satu penyebab lambatnya pengaruh yang
ditunjukkan oleh S. dictyosporum ialah besarnya jumlah sukrosa yang diperlukan yang belum dapat dipenuhi oleh tanaman inang pada masa awal pertumbuhannya. Walaupun demikian Nehl et al. (2007) menyatakan bahwa pembatasan jumlah karbon yang diberikan kepada fungi merupakan suatu bentuk mekanisme pengontrolan agar fungi tidak menjadi parasit bagi tanaman inang, sehingga
84 simbiosis yang lebih menguntungkan akan mendapatkan suplai karbon lebih banyak. Ada tiga mekanisme pengontrolan karbohidrat oleh tanaman inang, yaitu dengan (1) mengontrol eksport sukrosa ke apoplas, (2) hidrolisis sukrosa dan (3) kompetisi heksosa di akar dengan hifa dari apoplas Hartig net.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Umum Penelitian in vitro menunjukkan tidak ada sifat antagonis di antara S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense,
yang dibiakkan secara
bersama-sama dalam satu cawan Petri. Ketiganya dapat berkembang bersama. S. sinnamariense memiliki
diameter pertumbuhan koloni dan perkembangan
miselium yang paling cepat di antara ketiga fungi ektomikoriza, pertumbuhan miselia dimulai di hari ke-5 setelah dipindahkan ke cawan Petri. Kecepatan diameter pertumbuhan koloni S. sinnamariense dua kali lipat dibandingkan dengan S. columnare dan S. dictyosporum, yang baru mulai tumbuh di hari ke-8 setelah dipindahkan ke cawan Petri. Namun, miselium ketiganya berbaur dan tidak membentuk barrier, menunjukkan tidak ada sifat antagonis antar fungi ektomikoriza tersebut.
Hasil pengamatan secara mikrokopis pada hifa yang
tumbuh bertumpukan menunjukkan tidak ada lisis dan kerusakan, menunjukkan fungi tersebut tumbuh normal. Upaya inokulasi S. columnare, S. dictyosporum, S. sinnamariense pada tanaman inang S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon yang diharapkan dapat mewakili angiospermae, gymnospermae dan peralihan dari gymnospermae ke angiospermae, menunjukkan adanya spesifisitas S. sinnamariense terhadap G. gnemon. Pada penelitian ini fungi ektomikoriza ini hanya dapat tumbuh dan bersimbiosis dengan G. gnemon, namun hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dua fungi ektomikoriza lainnya, S. columnare dan S. dictyosporum
memiliki kisaran tanaman inang yang lebih luas karena terbukti dapat membentuk simbiosis dengan ketiga tanaman inang. Pengaruh aplikasi fungi ektomikoriza secara tunggal maupun gabungan pada pertumbuhan tanaman inang memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap tanaman inang. Pada S. pinanga dan G. gnemon perlakuan fungi ektomikoriza
86 baik perlakuan tunggal maupun perlakuan gabungan menunjukkan peningkatan parameter pertumbuhan dibandingkan dengan kontrol. Namun tidak demikan pada P. merkusii, hanya perlakuan aplikasi fungi ektomikoriza secara tunggal yang memberikan pengaruh terhadap parameter pertumbuhan. Aplikasi fungi ektomikoriza meningkatkan penyerapan N dan P hingga 50% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi gabungan pada S. pinanga dan G. gnemon lebih baik dalam meningkatkan penyerapan N dan P dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal, sedangkan pada P. merkusii aplikasi secara tunggal serapan N dan P lebih baik dibandingkan dengan aplikasi fungi ektomikoriza secara bersama-sama. Hasil pengamatan karakteristik morfologi dan anatomi akar berektomikoriza pada S. pinanga, P .merkusii dan G. gnemon yang telah diinokulasi dengan S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense selama 6, 8, dan 10 bulan menunjukkan bahwa karakteristik morfologi warna miselium dan keberadaan clamp connection dipengaruhi oleh
fungi, sementara bentuk percabangan akar
berektomikoriza dan kedalaman Hartig net merupakan karakteristik yang lebih dipengaruhi oleh jenis tanaman, pada P. merkusii percabangan berbentuk dikotomus dan Hartig net mencapai korteks. Pada S. pinanga dan G. gnemon bentuk percabangan akar berektomikoriza adalah monopodial dengan Hartig net hanya mencapai jaringan epidermis. Terdapat kecenderungan bahwa walaupun fungi ektomikoriza dapat bersimbiosis dengan beberapa tanaman inang dan dapat membentuk Hartig net, mantel dan hifa ekstraradikal yang baik, namun pasangan fungi—tanaman inang alami akan menghasilkan ketebalan Hartig net dan mantel yang lebih baik, yang berhubungan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi terhadap tanaman inang.
87 Saran Perlu dilakukan penelitian yang mengkaji peranan dan fungsi masing-masing Scleroderma spp. terhadap tanaman inang agar diperoleh informasi lebih akurat untuk upaya aplikasi fungi ektomikoriza pada tanaman kehutanan sehingga peranan fungi ektomikoriza akan lebih optimal dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman inang.
Selain itu, penggunaan teknik molekuler
perlu dilakukan untuk meningkatkan keakuratan data dan menjelaskan fenomena yang terjadi dalam interaksi antar fungi ektomikoriza dan antara fungi ektomikoriza dengan tanaman inangnya.
DAFTAR PUSTAKA Agerer R, Raildh S. 2004. Distance-related semi-quantitative estimation of extramatrical ectomycorrhizal mycelia of Cornarius obtusus. Mycol Progress 3:57–64. Agerer R. 2001. Exploration types of ectomycorrhiza. A proposal to classify ectomycorrhizal mycelial systems according to their patterns of differentiation and putative ecological importance. Mycorrhiza 11:107– 114. Agerer R. 2002. Rhizomorph structure confirm the relationship between Lycoperdales and Agaricaceae. Nova Hedwig 75:367–385. Agerer R. 2006. Fungal relationship and structural identity of their ectomycorrhiza. Mycol Progress 5:67–107. Alexander I, Selosse M-A. 2009. Mycorrhizas in tropical forests: a neglected research imperative. New Phytol 182:14–16. Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Anonim. 2006. Mushroom in Asia. www.edinburgh.ceh.ac.uk/tropica/ vietmushManintro.pdf. [4 April 2006]. Anonim. 2007. Gnetum gnemon. www.wordagroforestrycentre.org/sea/ PRODUCT/FDbases/AF/asp/Spesciesinfo.asp?SPID=1751 [4 november 2007]. Bâ AM, Sanon KB, Duponnois R, Dexheimer J. 1999. Growth response of Afzeli africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrientdeficient soil. Mycorrhiza 9:91–95. Baghel RK, Sharma R, Pandey AK. 2009. Activity of acid phosphatase in the ectomycorrhizal fungus Cantharellus tropicalis under controlled conditions. J Trop For Sci 21(3):218–222. Barroetaveña C, Cázares E, Rajchenberg M. 2007. Ectomycorrhizal fungi associated with ponderosa pine and douglas-fir: a comparison of species richness in native western North American forest and Patagonian plantations from Argentina. Mycorrhiza 17:355–373. Beccera A. Daniele C, Nouhra E. 2005. Ectomycorrhiza of Cortinaleus holedes with Alnus acciminta from Argentina. Mycorrhiza 15:7–15.
90 Bidartondo MI, Bruns TD, Weiß M, Sérgio C, Read DJ. 2003. Specialized cheating of the ectomycorrhizal symbiosis by an epiparasitic liverwort. Proc R Soc Lond B 270:835–842. Brearly FQ, Press CM, Scholes JD. 2003. Nutrient obtained from the leaf litter can improve the growth of dipterocarp seedling. New Phytol 160:101– 110. Brearly FQ, Scholes JD, Press CM, Palfner G. 2007. How does light and phosphorus fertilization affect the growth and ectomycorrhizal community of two contrasting dipterocarp spesies. Plant Ecol 192:237–249. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Brundrett M, Malajczuk N, Mingqin G, Daping Xu, Snelling S, Dell B. 2005. Nursery inoculation of Eucalyptus seedlings in Western Australia and Southern China using spore and mycelia inoculum of diverse ectomycorrhizal fungi from different climatic regions. For Ecol Man 209:163–205. Brundrett MC. 2002. Coevolution of roots and mycorrhizas of land plants. New Phytol. 154:275–304. Brundrett MC. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol Rev 79:473–495. Brunner I. 2001. Ectomycorrhizas: Their role in forest ecosystem under the impact of acidifying pollutants. Persp Plant Ecol Evol System 4:13–27. Bruns TD, Bidartondo MI, Taylor DL. 2002. Host specificity in ectomycorrhizal communities: What do the exceptions tell us? Integ and Comp Biol 42:352–359. Bruns TD. 1995. Thoughts on the processes that maintain local species diversity of ectomycorrhizal fungi. Plant and Soil 170:63—73. Bücking H, and Heyser W. 2001. Microautoradiographic localization of phosphate and carbohydrates in mycorrhizal roots of Populus tremula × Populus alba and the implications for transfer processes in ectomycorrhizal associations. Tree Physiol 21:101–107. Chen Y. 2006. Optimizing Scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering, Murdoch University. Chen YL, Kang LH, Malajczuk N, Dell B. 2006. Selecting ectomycorrhizal fungi for inoculating plantations in south China: effect of Scleroderma on
91 colonization and growth of exotic Eucalyptus globulus, E. urophylla, Pinus elliottii, and P. radiata. Mycorrhiza 16:251–259. Chen YL, Liu S, Dell B. 2007. Mycorrhizal status of Eucalyptus plantations in south China and implication for management. Mycorrhiza 17:527–535. Cheng CY, Cheng WC. 2007. Gnetum, Flora of China. Acta Phytotax Sin 13:88–90. Darusman LK. 1995. Telaah biokimia proses asosiasi Shorea selanica dan Scleroderma columnare [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Darwo, Sugiarti. 2008a. Beberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. J Pen Hut & KA 5:157–173. Darwo, Sugiarti. 2008b. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma citrinum Persoon dan komposisi media terhadap pertumbuhan tusam di persemaian. J Pen Hut & KA. 5:461-472. Daza A, Manjón JL, Camacho M, de la Rosa LR, Aguilar A, Santamaria C. 2006. Effect of carbon and nitrogen sources, pH and temperature on in vitro culture of several isolates of Amanita caesarea (Scop.:Fr.) Pers. Mycorrhiza 16:133–136. Dehlin H, Nilson MC, Wardle DA, Shevtsova. 2004. Effect of shading and humus fertility on growth, competition and ectomycorrhizal colonization of boreal forest tree seedling. Can J For Res 34:2573–2586. Dell B. 2002. Role of mycorrhiza fungi in ecosystems. CMU J 1:47–55. Dickie IA, Guza RC, Krazewski E, Reich PB. 2004. Shared ectomycorrhizal fungi between a herbaceous perennial (Helianthemum bicknellii) and oak (Quercus) seedlings. New Phytol 164: 375–382 Dickinson TA, Hutchison LJ. 1997. Numerical taxonomic methods, cultural characters, and the systematics of ectomycorrhizal agarics, boletes and gasteromycetes. Mycol Res 101:477–492. Diedhiou AG, Verpillot F, Gueye O, Dreyfus B, Duponnois R, Bâ AM. 2004. Do concentrations of glucose and fungal inoculum influence the competitiveness of two early-stage ectomycorrhizal fungi in Afzelia africana seedlings? For Ecol And Man 203:187–194. Diouf D, Diop TA, Ndoye I. 2003. Actinorhizal, mycorrhizal, and rhizobial symbioses: how much do we know? Af J Biotech 2:1–7. Dučić T, Berthold D, Langenfeld-Heyser R, Beese F, Polle A. 2009. Mycorrhizal communities in relation to biomass production and nutrient use efficiency
92 in two varieties of Douglas-fir (Pseudotsuga menziesii var. menziesii and var. glauca) in different forest soils. Soil Biol Biochem 41:742–753. Duñabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental factors and their role in the mycorrhization of Pinus radiata D. Don. Mycorrhiza 14:11–18. Earle CJ. 2008a. Pinus, The Gymnosperm Databases. www.conifers.Org/pi/pin/ index.html. [12 November 2008] Earle CJ. 2008b. Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese 1845. www. Conifers. Org/pi/pin/merkusii.htm [12 November 2008]. Giachini AJ, Souza LAB, Oliveira VL. 2004. Species richness and seasonal abundance of ectomycorrhizal fungi in plantations of Eucalyptus dunnii and Pinus taeda in southern Brazil. Mycorrhiza 14:375–381. Giomaro G, Sisti D, Zambonelli A, Amicucci A, Cecchini M, Comandini O, Stocchi V. 2002. Comparative study and molecular characterization of ectomycorrhizas in Tilia americana and Quercus pubescens with Tuber brumale. FEMS Microbiol Letters 216:9–14. Hall IA, Yun W, Amicucci A. 2003. Cultivation of edible ectomycorrhizal mushrooms. Trends in Biotechnol 21:433–438. Hedh J, Johansson T. Tunlid A. 2009. Variation in host specificity and gene content in strains from genetically isolated lineages of ectomycorrhizal fungus Paxillus involutus s. lat. Mycorrhiza 19:549–558. Hendi.
2000. Kajian Tehnik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci. www.dephut.go.id/files/Hendi.pdf [12 November 2008]
Hortal S, Pera J, Parlade J. 2008. Tracking mycorrhizas and extraradical mycelium of edible fungus Lactarius deliciosus under field competition of Rhizopogon spp. Mycorrhiza 18:69–77. Irawan US. 2005. Ektomikoriza dan pupuk organik untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman pada media tailling [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Irianto RSB. 2004. Keanekaragaman jenis ektomikoriza pada bibit Pinus merkusii Junghunn et de Vriese dan Shorea selanica Bl. Bul Pen Hutan 644:77–84. Izzo A, Canright M, Bruns TD. 2006. The effect of heat treatments on ectomycorrhizal resistant propagules and their ability to colonize bioassay seedlings. Mycol Res 110:196–202.
93 Kalima T. 2005. Mengenal panorama alam Pinus merkusii Jungh de Vries di Sumatera Utara. Warta Pusat Litbang dan Konservasi Alam 11:6–7. Kasuya T. Guzmán G, Ramirez-Guillèn F, Kato T. 2002. Scleroderma laeve (Gasteromycetes, Sclerodermatales), new to Japan. Mycoscience 43:475– 476. Keddy PA. 2007. Plant and Vegetation. New York: Cambridge University Press. Kennedy PG, Bruns TD. 2005. Priority effect determine the outcome of ectomycorrhizal competition between two rhizopogon species colonizing Pinus muricata seedlings. New Phytol 166:631–638. Kennedy PG, Peay KG. 2007. Different soil moisture conditions change the outcome of ectomycorrhizal symbiosis between Rhizopogon spesies and Pinus muricata. Plant Soil 291:155–165. Kennedy PG, Hortal S, Bergemann SE, Burns TD. 2007a. Competitive interaction among three ectomycorrhizal fungi and their relation to host plant performance. J of ecol 95: 1338–1345. Kennedy PG, Bergemann SE, Hortal S, Burns TD. 2007b. Determining the outcome of field-based competition between two Rhizopogon species using Real- Time PCR. Mol Ecol 16:881–890. Kennedy PG, Peay KG, Bruns TD. 2009. Root tip competition ectomycorrhizal fungi: Are priority effects a rule or an exception? Ecology 90:2098–2107. Kernaghan G. 2005. Mycorrhizal diversity: Cause and effect? Pedobiologia 49:511–520. Kimmel M, Salant S. 2006. The Economics of Mutualism: Optimal utilization of mycorrhizal mutualistic partners by plants. Ecology 87:892–902. Koide RT, Shumway DL, Xu B, Sharda JN. 2007. On temporal partitioning of a community of ectomycorrhizal fungi. New Phytol 174:420–429. Koide RT, Xu B, Sharda J, Lekberg Y, Ostiguy N. 2005. Evidence of species interaction within an ectomycorrhizal fungal community. New Phytol 165:305–316. Landeweert L, Hoffland E, Findlay RD, Kuyper T, van Breeman N. 2001. Linking plants to rock: Ectomycorrhizal fungi mobile nutrients from minerals. Trends Ecol Evol 16:248–54. Leake J, Johnson D, Donnely D, Mucle G, Boddy L, Read D. 2004. Network of power and influence: The rule of mycorrhizal mycelium in controlling plant communities and agroecosystem functioning . Can J Bot 82: 1016– 1045.
94 Lee LS, Alexander IJ, Watling R. 1997. Ectomycorrhizas and putative ectomycorrhizal fungi of Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae). Mycorrhiza 7:63–81. Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J of Trop For Sci 20:237–247. Lilleskov EA, Fahey TJ, Horton TR, Lovett GM. 2002. Belowground ectomycorrhizal fungal community change over a nitrogen deposition gradient in Alaska. Ecology 83:104–115. Luo Z-B, Janz D, Jiang X, Göbel C, Wildhagen H, Tan Y, Rennenberg H, Feussner I, Polle A. 2009. Upgrading root physiology for stress tolerance by ectomycorrhizas: Insights from metabolite and transcriptional profiling into reprogramming for stress anticipation. Plant Physiol 151:1902–1917. Martín-Pinto P, Pajares J, Díez J. 2006. In vitro effects of four ectomycorrhizal fungi, Boletus edulis, Rhizopogon roseolus, Laccaria laccata and Lactarius deliciosus on Fusarium damping off in Pinus nigra seedlings. New Forests 32:323–334. Mindawati N, Rustaman B. 2004. Mengenal Tengkawang. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam 1:9–10. Mohan V, Natrajan K, Ingleby K. 1993. Anatomical studies on ectomycorrhizas. III The ectomycorrhizas produced by Rhizopogon luteolus and Scleroderma citrinum on Pinus patula. Mycorrhiza 3:51–56. Mollina R, Massicotte H, Trape JM. 1992. Specificity phenomena in mycorrhizal symbiosis: Community ecological consequences and practical application. Di dalam: Allen MF, editor. Mycorrhizal Functioning. New York: Chapman and Hall. Hlm 357—423 Moreau P-A, Pintner U, Gardes M. 2006. Phylogeny of the ectomycorrhizal mushroom genus Alnicola (Basidiomycota, Cortinariaceae) based on rDNA sequences with special emphasis on host specificity and morphological characters. Mol Phylogen Evol 38:794–807. Muchovej RM. 2002. Importance of Mycorrhizae for Agricultural Crops. http:edis.ifas.ufl.edu/BODY_AGI16 [10 Maret 2006]. Nara K, Hogetsu T. 2004. Ectomycorrhizal fungi on established shrubs facilitate subsequent seedling establishment of successional plant species. Ecology 85:1700–1707. Nara K. 2006. Ectomycorrhizal network and seedling establishment during early primary succession. New Phytol 169:169–178.
95 Nehls U, Grunze N, Willmann M, Reich M, Kuster H. 2007. Sugar for my honey: Carbohydrate partitioning in ectomycorrhizal symbiosis. Phytochem 68:82–91. Nehls U, Hampp R. 2000. Carbon allocation in ectomycorrhizas. Physiol Mol Plant Pathol 57:95–100. Newsham KK, Fitter AH, Watkinson AR. 1995. Multifunctionality and biodiversity in arbuscular mycorrhiza. Trends Ecol Evol 10:407–411. Niemi K, Häggman H, Sarjala T. 2002a. Effects of exogenous diamines on the interaction between ectomycorrhizal fungi and adventitious root formation in Scots pine in vitro. Tree Physiol 22:373–381. Niemi K, Vuorinen T, Ernstsen A, Häggman H. 2002b. Ectomycorrhizal fungi and exogenous auxins influence root and mycorrhiza formation of Scots pine hypocotyl cuttings in vitro. Tree Physiol 22:1231–1239. Nieto MP, Carbone SS. 2009. Characterization of juvenile maritime pine (Pinus pinaster Ait.) ectomycorrhizal fungal community using morphotyping, direct sequencing and fruitbodies sampling. Mycorrhiza 19:91–98. Norvana UI. 1997. Peranan Sleroderma columnare dan media tumbuh bahan organik terhadap pertumbuhan stek Shorea leprosula Miq [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Obase K, Tamai Y, Yajima T, Miyamotto T. 2009. Mycorrhizal synthesis of four ectomycorrhizal fungi in potted Populus maxsimowichii seedlings. Mycoscience 50:143—145. Omon RM. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek Shorea johorensis Foxw. Di rumah kaca. J Pen Hut & KA 3:83–93. Omon RM. 2008. Pengaruh dosis tablet mikoriza terhadap pertumbuhan dua jenis meranti merah asal benih dan stek di HPH PT. ITCIKU, Balikpapan. Kalimantan Timur. Info Hutan 5:329–35. Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17. Pampolina NM, Dell B, Malajczuk N. 2002. Dynamics of ectomycorrhizal fungi in an Eucalyptus globulus plantation: Effect of phosphorus fertilization. For Ecol and Man 158:291—394. Parladé J, Per J, Alvarez IF. 1996. Inoculation of containerized Pseudotsuga menziesii and Pinus pinaster seedlings with spores of five species of ectomycorrhizal fungi. Mycorhiza 6:237–245.
96 Peay KG, Kennedy PG, Davies SJ, Tan S, Bruns TD. 2009. Potential link between plant and fungal distributions in a dipterocarp rainforest: Community and phylogenetic structure of tropical ectomycorrhizal fungi across a plant and soil ecotone. New Phytol. doi: 10.1111/j.14698137.2009.03075.x. Pera J, Alvarez IF. 1995. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinaster. Mycorrhiza 5:193–200. Pešková V. 2005. Dynamics of oak mycorrhizas. J For Sci 51:259–267. Peterson RL, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhiza: Anatomy and Cell Biology. Ottawa: NRC Research Press. Prameswari D, Tata MHL. 2004. Effect of planting media on the growth of Shorea pinanga Scheff seedlings. J For Res 1:25–30. Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi cendawan ektomikoriza dan media tumbuh terhadap pertumbuhan Shorea javanica K & V. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Püttsepp Ü, Rosling A, Taylor AFS. 2004. Ectomycorrhizal fungal community associated with Salix viminalis L. and S. dasyclados Wimm. clones in a short-rotation forestry plantation. For Ecol and Man 196:413–424. Querejeta JI, Egerton-Warburton LM, Allen MF. 2003. Direct nocturnal water transfer from oaks to their mycorrhizal symbionts during severe soil drying. Oecologia 134:55–64. Ramanankierana N, Ducousso M, Rakotoarimanga N, Prin Y, Thioulouse J, Randrianjohany E, Ramaroson L, Kisa M, Galiana A, Duponnois R. 2007. Arbuscular mycorrhizas and ectomycorrhizas of Uapaca bojeri L. (Euphorbiaceae): sporophore diversity, patterns of root colonization, and effects on seedling growth and soil microbial catabolic diversity. Mycorrhiza 17:195–208. Ray P, Tiwari R, Reddy UG, Adholeya A. 2005. Detecting the heavy metal tolerance level in ectomycorrhizal fungi in vitro. World J Microbiol Biotech 21:309–315. Reddy MS, Satyanarayana T. 1998. Inoculation of micropropagated plantlets of Eucalyptus tereticornis with ectomycorrhizal fungi. New Forests 16:273– 279. Richard E, Millot S, Gardes M, Selosse MA. 2004. Diversity and specificity of ectomycorrhizal fungi retrieved from an old-growth mediterranean forest dominated by Quercus ilex. New Phytol 166:1011–1023.
97 Rinaldi AC, Comandini O, Kuyper TW. 2008. Ectomycorhizal fungal diversity: Separating wheat from the chaff. Fungal Diversity 33:1–45. Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 1999. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinea L. in northeastern Spain. Mycorrhiza 8:271–276. Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 2001. Inoculation of containerized Pinus pinea L. seedlings with seven ectomycorrhizal fungi. Mycorrhiza 11:265–271. Riniarti M, Setiadi Y, Sopandie D. 2005. Aplikasi asam organik dan inokulasi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea pinanga. J Hut Trop 1:25–29. Riniarti M. 2002. Perkembangan kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai Dipterocarpaceae dengan pemberian asam oksalat dan asam humat serta inokulasi ektomikoriza [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sannon KB, Bâ AM, Delaruelle C, Duponnois R, Martin F. 2009. Morphological and molecular analysis in Scleroderma species associated with some Caesalpinioid legumes, Dipterocarpaceae, and Phylanthaceae trees in southern Burkina Faso. Mycorrhiza 19:571–584. Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam: Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono, Murdiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang, 20 Sep 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hlm 71–80. Santoso E. 1988. Pengaruh mikoriza terhadap diameter batang dan bobot kering anakan Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 504:11–21. Santoso E. 1991. Pengaruh beberapa fungi mikoriza terhadap penyerapan unsur hara pada 5 jenis Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 532:11–18. Santoso E. 1997. Hubungan perkembangan ektomikoriza dengan populasi jasad renik dalam rhizosfer dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Eucalytus pellita dan Eucalyptus urophylla [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santoso E. Turjaman M. 2003. Tipe-tipe Struktur Ektomikoriza Pada Shorea selanica, S. stenoptera, S. pinanga, dan S. palembanica (Dipetocarpaceae) di Hutan Penelitian Haurbentes Jawa Barat. Bul Pen Hutan 636:33–37. Sass JE. 1958. Botanical Microtechnique. Third Edition. Ames: Iowa State University Press.
98 Sato H, Yumoto T, Murakami N. 2007. Cryptic species and host specificity in the ectomycorrhizal genus Strobilomyces (Strobilomycetaceae). Am J Bot 94(10):1630–1641. Satomura T, Hasimoto Y, Kinoshita A, Horikoshi T. 2006. Methods to study the role of ectomycorrhizal fungi in forest carbon cycling: Introduction to the direct methods to qualify the fungal content in ectomycorrhizal fin roots. Root Research 15:119–124. Scattolin L. 2006. Variation of ectomycorrizal community in high mountain norway spruce stands and correlation with the main climatic factor [disertasi]. München: Fakultät für Biologie, Ludwig-MaximiliansUniversität. Sentra Informasi IPTEK.2005. Melinjo. www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/ index.php?id=270 - 20k [20 Maret 2006] Simard SW, Durral DM. 2004. Mycorrhizal networks: a review of their extent, function, and importance. Can J Bot 82:1140–1165. Smith FW, Mudgr SR, Rae AL, Glassopp D. 2003. Phosphate transport in plants. Plants and Soil 248:71–83. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Smits
WTM. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae Wageningen: The Tropenbos Foundation.
and
Regeneration.
Sugiarti, Darwo, Panjaitan DJ. 2007. Efektivitas bentuk inokulum cendawan Scleroderma citrinum Persoon dalam meningkatkan pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. J Pen Hut & KA 4:63–74. Suhardi. 1997. Inventory, exploration, and identification of mycorrhizae on forest plantation. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 17–23. Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil biji tengkawang (Shorea stenoptera Burk dan Shorea pinanga Scheff). Info Hutan 4:177–185. Supriyanto, Irawan US. 1997. Inoculation techniques of ectomycorrhizal. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 36–40. Supriyanto, Setiawan I, Omon M. 1993. Effect of Scleroderma sp. on the growth of Shorea mecistopteryx Ridl. seedlings. Prosiding: Bio-Refor Proceeding of Yogyakarta Workshop. Yogyakarta 20–23 September 1993. Hlm 186– 188.
99 Tata HL, van Noordwijk M, Summerbell R, Werger MJA. 2010. Limited response to nursery-stage mycorrhiza inoculation of Shorea seedlings planted in rubber agroforest in Jambi, Indonesia. New Forests 39:51–74. Tata MHL, Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi tablet spora ektomikoriza Scleroderma columnare terhadap pertumbuhan Shorea seminis dan efektivitasnya pada berbagai dosis arang. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor. Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza; Bandung, 16 Sep 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia – Jawa Barat bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran Bandung. Hlm 163-170. Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza Dipterocarpaceae [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tata MHL. 2003. Nutrient acquisition of ectomycorrhizae fungus Scleroderma columnare. Presented at the Open Science Meeting Indonesia and Netherlands: Back to the Future. Jakarta. Indonesia, 1–2 Sep 2003. Tedersoo L, Suvi T, Larsson E, Kõljalg U. 2006. Diversity and community structure of ectomycorrhizal fungi in a wooded meadow. Mycol Res 110:734–748. Tennakoon MMD, Gunatilleke IAUN, Hafeel KM, Seneviratne G, Gunatilleke CVS, Ashton PMS. 2005. Ectomycorrhizal colonization and seedling growth of Shorea (Dipterocarpaceae) species in simulated shade environments of a Sri Lankan rain forest. For Ecol and Man 208:399–405. The National Science Museum. 1998. Database of Fungal Specimen. http://svrsh2.kahaku.go.jp/fungal/FMPro?-db=fungal.fp5&-format= detail.htm&-lay=hp&-max=1&-skip=7038&-findall. [6 Desember 2007]. Turjaman M, Irianto RSB, Santoso E. 2002. Teknik inokulasi dan produksi massal cendawan ektomikoriza. Info Hutan 152:1–16. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. Valentine LL, Fiedler TL, Hart AN, Petersen CA, Berninghausen HK, Southworth D. 2004. Diversity of ectomycorrhizas associated with Quercus garryana in southern Oregon. Can J Bot 82:123–135.
100 van Hees PAW, Rosling A, Finlay RD. 2006. The impact of trees, ectomycorrhizal and potassium availability on simple organic compounds and dissolved organic carbon in soil. Soil Biol Biochem 38:1912–1923. Walbert K, Ramsfield TD, Ridgway HJ, Jones EE. 2010. Ectomycorrhizal species associated with Pinus radiata in New Zealand including novel associations determined by molecular analysis. Mycorrhiza 20:209–215. Wallander H, Nilsson LO, Hagerberg D, Bååth E. 2001. Estimation of the biomass and seasonal growth of external mycelium of ectomycorrhizal fungi in the field. New Phytol 151:753–760 Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm 116—203. Watling R. 2006. The Sclerodermatoid fungi. Mycoscience 47:18–24. Wiemken V, Boller T. 2002. Ectomycorrhiza : Gene expression, metabolism, and the wood – wide web. Current Opinion in Plant Biology 5:1–7. Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot 82:1198–1227. Wu B, Nara K, Hogetsu T. 1999. Competition between ectomycorrhizal fungi colonizing Pinus densiflora. Mycorrhiza 9:151–159. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yafid B, Jafarsidik YS. 2005. Permudaan Pinus merkusii Jungh et de Vriese galur kerinci, potensi dan komposisi tegakan di kawasan hutan Bukit Tapan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Info Hutan 2:145–152. Yamada A, Kobayashi H, Ogura T, Fukada M. 2007. Sustainable fruit body formation of edible mycorrhizal Tricholoma spesies for 3 years in open pot culture with pine seedling hosts. Mycoscience 48:104–108. Yamada A, Ogura T, Ohmasa M. 2001. Cultivation of mushrooms of ectomycorrhizal fungi associated with Pinus densyflora by in vitro mycorrhizal synthesis. Mycorrhiza 11:67–81. Zadworny M, Smolinski DJ, Idzikowska K, Werner A. 2007. Ultrastructural and cytochemical aspects of the interaction between the ectomycorrhizal fungus Laccaria laccata and the saprotrophic fungi, Trichoderma harzianum and T. virens. Biocontrols Sci and Technol 17:921–932.
101 Zeller SM. 1948. Note on certain Gasteromycetes including two new orders. Mycologia 40:639–668. Zeng RS, Mallik AU, Setliff ED. 2003. Growth stimulation of ectomycorrhizal fungi by root exudates of Brassicaceae plants: Role of degraded compounds of indole glucosinolates. J Chem Ecol 29(6):1337–1355.
LAMPIRAN
101 Lampiran 1. Komposisi media MMN (Marx 1969) No
Bahan
Jumlah
1
Malt extract
3,0 g
2
d-Glukosa
10,0 g
3
(NH4)2HPO4
0.25 g
4
KH2PO4
5
MgSO4.7H2O
0,15 g
6
CaCl2
0,05 g
7
FeCl3
1,2 ml (1%)
8
NaCl
0,025 g
9
Thiamin HCl
100 µg
10
pH
5,5—5,7
11
Agar bacteriological 1%
10—15 g
0,5 g
102 Lampiran 2. Analisis histologi akar berektomikoriza (Sass 1958) FIKSASI DALAM FAA
DEHIDRASI
Pematian jaringan tanaman tanpa merusak struktur yang dilakukan dengan merendam material (akar) ke dalam larutan FAA (formaldehyde acetic acid alcohol) dengan komposisi 50 ml asam asetat 50 ml formalin dan 900 ml alkohol 95 % untuk setiap 1 liter larutan. Perendaman dilakukan selama 12 – 24 jam
Pengeluaran air dari dalam jaringan tanaman agar paraffin dapat masuk ke dalam jaringan tanaman dengan tahapan sebagai berikut: - alkohol 20 % : 3 x 5 menit - alkohol 40 % : 3 x 5 menit - alkohol 60 % : 3 x 5 menit - alkohol 80 % : 3 x 5 menit - alkohol 95 % : 3 x 5 menit - alkohol 100 % : 3 x 5 menit
PARAFINASI
PRAPARAFINASI
Proses pemasukan paraffin ke dalam jaringan tanaman dengan tahapan sebagai berikut:
Penghilangan alkohol dari dalam jaringan agar jaringan dapat dimasuki larutan paraffin. Dilakukan dengan mencelupkan material ke dalam larutan alkohol 100 % dan xylol dengan tahapan sebagai berikut:
Xylol 3 2 1 0
: Parafin cair : 1 : : 2 : : 3 : : 4 :
3 x 5 menit 3 x 5 menit 3 x 5 menit 24 jam
Proses dilakukan dalam tabung gelas di dalam oven dengan suhu 55oC
BLOCKING Pencetakan paraffin yang mengandung material ke dalam bentuk balok
PENGAMATAN AKAR
Alkohol 4 3 2 1 0
: Xylol : 0 : 1 : 2 : 3 : 4
: : : : :
3 x 5 menit 3 x 5 menit 3 x 5 menit 3 x 5 menit 3 x 5 menit
EMBEDING/ PEMOTONGAN AKAR Pemotongan menggunakan mikroton dengan ukuran 5 – 10 µm
PEWARNAAN AKAR (Lampiran 3)
103 Lampiran 3. Teknik pewarnaan akar berektomikoriza (Sass 1958)
Xylol
Xylol
Xylol : Alkohol = 1 : 1
Xylol : Alkohol = 1 : 1
Alkohol 100 %
Alkohol 100 %
Alkohol 95 %
Alkohol 95 %
Alkohol 70 %
Alkohol 70 %
Alkohol 50 %
Alkohol 50 %
Alkohol 30 %
Alkohol 30 %
Aquades
Aquades
Safranin 0,5 %
Alcian blue 1 %
Aquades
Keterangan: perendaman masing-masing selama 5 menit, kecuali pada larutan pewarna perendaman dilakukan selama 15 menit
104 Lampiran 4. Hasil analisis korelasi antara berat kering total tanaman dengan persentase kolonisasi pada tanaman Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon. CORRELATION (Shorea pinanga) 2010-01-21 10:36:42 Using: \KorelasiPinanga.dt X1 Column: 8) SP-BKT X2 Column: 10) SP-Kol The Pearson Product Moment Correlation Coefficient ('r') is a measure of the linear association of two independent variables. If the probability that r=0 ('P(r=0)') is <=0.05, r is significantly different from 0 and the variables show some degree of correlation. X1 Column: 8) BKT S. pinanga X2 Column: 10) % Kolonisasi S. pinanga Corr (r) S.E. of r P(r=0) n ------------- ------------- --------- ------0.23518723 0.10799445381 .0323 * 83
CORRELATION (Pinus merkusii) 2010-01-21 12:47:39 Using: \KorelasiPinus.dt X1 Column: 8) P-BKT X2 Column: 10) P-Kol The Pearson Product Moment Correlation Coefficient ('r') is a measure of the linear association of two independent variables. If the probability that r=0 ('P(r=0)') is <=0.05, r is significantly different from 0 and the variables show some degree of correlation. X1 Column: 8) BKT P. merkusii X2 Column: 10) % Kolonisasi P. merkusii Corr (r) S.E. of r P(r=0) n ------------- ------------- --------- -------0.38863316 0.09993905599 .0002 *** 87
CORRELATION (Gnetum gnemon) 2010-01-21 12:55:20 Using: \KorelasiMelinjo.dt X1 Column: 8) M-BKT X2 Column: 10) M-Kol The Pearson Product Moment Correlation Coefficient ('r') is a measure of the linear association of two independent variables. If the probability that r=0 ('P(r=0)') is <=0.05, r is significantly different from 0 and the variables show some degree of correlation. X1 Column: 8) BKT G. gnemon X2 Column: 10) % Kolonisasi G. gnemon Corr (r) S.E. of r P(r=0) n ------------- ------------- --------- ------0.24861069 0.10505979944 .0202 * 87