Diagram V: Perangkat Metakognisi untuk Penyelesaian Masalah Matematika Sabri1 Abstrak: Pendidik seharusnya mampu memahami bagaimana peserta didik belajar. Secara profesional, mereka dituntut memahami bagaimana membelajarkan peserta didik seaktif mungkin dan memahami dalam konteks yang bagaimana pembelajaran tersebut bisa berlangsung efektif. Pembelajaran matematika aktif, efektif, dan bermakna sarat dengan kegiatan yang memberdayakan peserta didik dengan potensi yang telah mereka miliki. Salah satu kompetensi yang seharusnya dicapai adalah kemampuan memecahkan masalah matematika. Kemampuan ini akan semakin lengkap dan bisa diberdayakan dengan baik manakala peserta didik menguasai kecakapan metakognisi. Untuk itu, pembelajaran seharusnya memfasilitasi peserta didik dengan perangkat pengembangan kecakapan tersebut. Diagram V adalah perangkat strategis untuk kepentingan ini. Kata Kunci: Pembelajaran aktif, metakognisi, diagram V, penyelesaian masalah.
Pendidik seharusnya mampu memahami bagaimana peserta didik belajar. Secara profesional, mereka dituntut memahami bagaimana membelajarkan peserta didik seefektif mungkin dan memahami dalam konteks yang bagaimana pembelajaran tersebut bisa berlangsung optimal. Mereka juga dituntut memiliki kompetensi profesional yang terkait dengan penguasaan bidang yang diajarkan. Lebih jelas lagi, pendidik atau guru seharusnya mengembangkan pemahaman yang mumpuni tentang prinsip, konsep, dan metode yang mereka ingin ajarkan kepada peserta didik. Penguasaan sejumlah komponen pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk menjadi seorang pendidik profesional. Pengetahuan bidang studi, pedagogi, dan konteks, yang dikembangkan, baik secara terpisah maupun terpadu, ketiganya ditransformasi ke dalam pedagogical content knowledge (pengetahuan bidang studi dan pedagogi) (Gess-Newsome, 1999; Bucat, 2004). Profesionalisme seorang pendidik adalah sebuah kualitas yang dihasilkan dari leburan beragam kecakapan, kompetensi, seni, dan banyak lagi yang lain (Cohen, Manion, & Morrison, 2007). Diskusi tentang kompetensi pendidik profesional tidak bisa dipisahkan dari proses dan hasil belajar yang ideal. Ukuran profesionalisme mereka tidak sematamata dilihat dari apa yang mereka bisa lakukan. Kualitas kinerja guru justru dilihat dari apa yang dicapai oleh peserta didik yang diajarnya. Dalam pembelajaran matematika, salah satu misi mulia yang diemban adalah menghasilkan individu-individu yang mampu belajar matematika sendiri. Kemandirian belajar ini sangat krusial karena proses belajar yang difasilitasi di sekolah sangat singkat jika dibandingkan dengan tuntutan belajar sepanjang hayat pada saat mereka menjalani kehidupan dalam masyarakat dengan memainkan peran-peran sosial-personal secara bertanggung jawab. Latihan penyelesaian masalah matematika merupakan wahana menguji kompetensi peserta didik secara lebih bermakna. Penyelesaian masalah menjadi batu ujian bagi peserta didik untuk menilai apakah pengetahuan teoretis yang mereka telah konstruksi bermakna secara nyata melalui kemampuan menerapkannya untuk mencari penyelesaian persoalan yang dihadapi. Tidak hanya sebatas itu, derajat kompetensi yang lebih tinggi akan tercapai manakala mereka mampu memberdayakan
1
Dosen Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, Makassar Indonesia.
1
kompetensi yang terbangun. Hal ini membutuhkan kemampuan yang lebih tinggi, yaitu, pemahaman tentang apa yang telah dipahami atau dilakukan—metakognisi. Tulisan ini akan membahas salah satu perangkat yang dipandang bisa membantu membangun kemampuan metakognisi dalam penyelesaian masalah. Untuk mengawali pembahasan, ulasan singkat tentang metakognisi akan dipaparkan. Selanjutnya, perangkat metakognisi tersebut dibahas, yang kemudian diikuti dengan cara menganalisis atau menilainya. Sebuah refleksi terhadap penggunaan perangkat ini ditempatkan sebagai diskusi penutup. Sekilas tentang Metakognisi Menjadi tanggung jawab penuh pendidik sebagai agen utama dalam pembelajaran untuk mengimplementasikan dengan cerdas strategi pembelajaran yang dijamin memampukan peserta didik mencapai kompetensi matematika yang telah ditetapkan secara optimal. Pencapaian kompetensi itu adalah hasil pembelajaran yang berlangsung dalam proses dengan suasana menyenangkan, mengaktifkan peserta didik dengan skenario kegiatan yang dirangkai secara komunikatif-interaktif, melayani beragam gaya belajar, memberi ruang untuk mengalami langsung seluruh rangkaian kegiatan, memfasilitasi proses berpikir tingkat tinggi, dan diwarnai dengan refleksi kritis tentang semua proses dan hasil oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Paling tidak, itulah yang menjadi gambaran pembelajaran yang bisa dinyatakan sebagai pembelajaran aktif. Istilah ini dipilih dengan pemaknaan seluas-luasnya mencakupi tidak hanya karakteristik aktif, tetapi juga ciri kreatif, efektif, menyenangkan, inovatif, berbobot, dan sejumlah atribut ideal lainnya yang tidak disebutkan di sini. Gambaran ini juga menjelaskan bahwa proses dan hasil pembelajaran memiliki posisi yang sama pentingnya. Mengacu pada taksonomi Bloom untuk ranah kognitif yang telah direvisi (Anderson & Krathwol, 2001), proses pembelajaran aktif seharusnya memampukan peserta didik mencapai tingkat pengetahuan yang paling tinggi. Mereka tidak lagi hanya berkutat pada capaian-capaian tingkat rendah, seperti menghafal, memahami, dan menerapkan, tetapi juga mampu mencapai kognisi yang lebih tinggi, yaitu, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan fitur utama pembelajaran yang efektif (Cohen, Manion, & Morrison, 2005), yang juga menyangkut kegiatan menginterpretasi, membuat dugaan, memperkirakan, membuat tebakan, berpikir kritisreflektif, regulasi diri, menguji gagasan, dan memecahkan masalah. Pembiasaan merefleksi kritis proses dan capaian dalam pembelajaran diharapkan menjadikan peserta didik mampu memikirkan kembali apa, mengapa, dan bagaimana pikiran mereka. Kemampuan memikirkan apa yang dipikirkan, secara sederhana, disebut kemampuan metakognisi. Dalam konteks kurikulum berbasis kompetensi, peserta didik seharusnya mampu memahami kompetensi yang telah dicapai sehingga mereka bisa lebih memberdayakan kompetensi tersebut. Kapasitas ini mensyaratkan mereka lebih dahulu membangun pengetahuan yang mencapai tingkat kesadaran (Hewitt, 2009). Dalam berbagai kasus dan pengalaman, kita bisa menemui seorang peserta didik yang berhasil menyelesaikan satu masalah matematika, tetapi tidak mampu menjelaskan bagaimana ia memproleh atau melakukan proses penyelesaian itu. Ia tidak mampu memaparkan mengapa langkah-langkah tertentu dilakukan, untuk apa ia melakukannya, dan bagaimana sampai ia bisa melakukannya (van der Walt & Maree, 2007). Biasanya peserta didik hanya mampu berkilah bahwa jika bukan langkah itu, maka jawaban benar
2
tidak bisa diperoleh. Alasan demikian tentunya kurang bisa diterima, lebih-lebih lagi dalam konteks penyelesaian masalah terbuka (open-ended). Ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kemampuan metakognisi. Pencapaian kompetensi metakognisi memang perlu mendapat perhatian pendidik dalam bentuk upaya memfasilitasi peserta didik dengan kegiatan dan perangkat yang tepat sehingga kemampuan ini bisa dibangun. Perangkat itu dapat berupa peta konsep hierarkis, diagram V, atau metode-metode skematis lainnya. Menurut Afamasaga-Fuata’i (2009a), penggunaan perangkat metakognisi semacam peta konsep dan diagram V secara strategis dan inovatif berpengaruh pada: (a) perkembangan pembelajaran bermakna yang berujung pada pencapaian pemahaman konseptual, dan (b) dinamika proses kegiatan dan komunikasi matematika dalam konteks sosial. Dua hal ini cenderung berbeda dari sisi individu yang terlibat. Kegiatan matematika bisa saja dilakukan seseorang saja, tetapi komunikasi matematika membutuhkan lebih dari satu orang. Keduanya saling melengkapi dalam hal bahwa salah satunya akan bermakna hanya jika didukung oleh yang lain. Diagram Venn, diagram V, peta konsep, atau tabel adalah perangkat yang, bagi guru, bisa membantu dalam mengidentifikasi miskonsepsi dan cacat dalam struktur kognitif siswa (Ben-Hur, 2006). Dengan perangkat tersebut, siswa mengilustrasikan secara terbuka hasil penafsiran dan pemahaman mereka tentang topik yang dikaji atau masalah yang dipecahkan. Secara pedagogis, pendidik seharusnya menantang peserta didik untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pekerjaan mereka terkait dengan tugas yang diberikan. Proses inilah yang mengarahkan peserta didik pada konstruksi kemampuan metakognisi. Mengutip Ben-Hur (2006), kemampuan metakognisi bisa berkembang jika guru secara terprogram memberikan tantangan kepada siswa untuk merefleksi hal yang mereka telah kerjakan dengan tujuan meningkatkan: kesadaran siswa tentang bagaimana pendekatan mereka terhadap masalah; kesadaran siswa tentang bagaimana mereka belajar dari kesalahan dan keberhasilan; persepsi siswa tentang diri mereka sendiri sebagai generator informasi; motivasi intrinsik siswa; dan kemampuan siswa dalam mentransfer pembelajaran dari satu konteks ke konteks lainnya. Seringkali, saran kepada peserta didik untuk melakukan pemeriksaan sendiri hasil kerja mereka (jawaban atau penyelesaian soal) kurang mendapat tanggapan yang sepatutnya karena mereka sesungguhnya belum tahu bagaimana melakukannya. Informasi bahwa untuk setiap soal disediakan waktu untuk menjawab dan waktu untuk memeriksa jawaban cenderung kurang bermakna karena mereka secara umum belum mampu menggunakan waktu tersebut sebagaimana peruntukannya. Jangankan kemampuan metakognisi, mencapai tingkat evaluasi saja dalam taksonomi Bloom masih kadangkala sulit, meskipun mereka sudah terbilang mahir dalam kemampuan menerapkan atau menganalisis. Pencapaian tingkatan kognisi yang demikian lebih memungkinkan jikalau pembelajaran ditata sedemikian sehingga peserta didik terlibat dalam aktivitas instruksional yang bermakna. Diagram V Ausubel mendefinisikan belajar bermakna sebagai kegiatan belajar yang di dalamnya peserta didik secara aktif menghubungkan antara hal yang telah mereka ketahui dan pengetahuan baru yang dikonstruksi. Sebuah diktum pernah diungkapkan oleh Ausubel: faktor terpenting yang mempengaruhi pembelajaran peserta didik adalah hal yang telah mereka ketahui, pendidik seharusnya meyakinkan dirinya bahwa pengetahuan awal itu ditemukenali dan kemudian memulai pembelajaran dari situ (Ausubel, 1968). Pesan
3
bertuah ini sesungguhnya bukan hal baru karena pemahaman akan hal itu telah mempengaruhi para pendidik, termasuk guru matematika dan sains, jauh hari sebelum Ausubel. Ini bisa ditemui dalam naskah karya pendidik Jerman, Diesterweg, yang memandang sangat penting memulai pembelajaran dari sudut pandang peserta didik (Treagust, Duit, Fraser, 1996). Teori inilah yang mendasari peta konsep dan diagram V, khususnya dengan prinsipnya bahwa struktur kognitif ditata secara hierarkis dimulai dari konsep super-odinat yang lebih umum dan di dalamnya termuat konsep-konsep turunan yang kurang umum atau lebih khusus (Afamasaga-Fuata’i, 2009a). Diagram V mulanya dirancang oleh Professor Gowin dari Cornell University pada awal tahun1980-an. Ini dipicu oleh terjadinya kesenjangan antara kemampuan mahasiswa melaksanakan eksperimen laboratorium dan kesadaran tentang hal yang mereka kerjakan dalam kaitannya dengan konstruksi teoretis yang telah diperkenalkan kepada mereka. Diagram ini mengambil bentuk dasar huruf V yang memuat empat bagian utama, yaitu, Pertanyaan Fokus, Sisi Konseptual, Sisi Metodologis, dan Obyek. Diagram V sebenarnya tidak hanya bisa dipakai untuk membangun kemampuan yang lebih tinggi dalam penyelesaian masalah—diagram V penyelesaian masalah. Diagram ini juga bisa dipakai untuk membangun struktur pemahaman tentang suatu topik supaya lebih kokoh—diagram V pengetahuan. Diagram V membantu proses asimilisi dan akomodasi, meminjam istilah Piaget (Elliot, Kratochwill, Littlefield, & Travers, 1996), atas pengetahuan baru yang dikonstruksi peserta didik. Diagram V untuk pengetahuan dapat dicermati dalam Novak (2002). Diagram V awal yang dikembangkan oleh Gowin kemudian diadaptasi untuk memandu proses penyelesaian masalah matematika. Hasil adaptasi itu salah satunya tertera pada Gambar 1 (Afamasaga-Fuata’i, 1998).
Konseptual/Teoretis (Berpikir) Teori Teori apa yang relevan?
Pertanyaan Fokus Apa pokok masalahnya ? Apa yang ditanyakan?
Prinsip Prinsip apa yang relevan untuk menyelesaikan masalah?
Konsep Apa konsep utamanya?
Metodologis (Melakukan) Klaim Pengetahuan Jawaban pertanyaan fokus
Transformasi Metode yang dipandu oleh prinsip yang relevan.
Rekaman Informasi/data yang diberikan
Obyek Rumusan masalah Soal cerita Pertanyaan operasional
Gambar 1. Diagram V Penyelesaian Masalah Matematika
4
Penelitian menunjukkan bahwa diagram V berguna dalam proses scaffolding pemikiran atau penalaran peserta didik dan untuk mengillustrasikan pemahaman mereka tentang keterkaitan antara teori dan penerapan dalam penyelesaian masalah matematika (lihat Afamasaga-Fuata’i, 2009e). Sebenarnya, terdapat tiga fungsi utama diagram V ditinjau dari sudut pandang pembelajaran matematika, yaitu, sebagai alat bantu belajar untuk mendeskripsikan perkembangan pemahaman atau pengetahuan peserta didik tentang struktur konseptual suatu topik atau masalah; sebagai alat bantu bagi peserta didik untuk melakukan analisis konseptual terhadap masalah dihadapi atau topik yang dipelajari; dan sebagai alat instruksional untuk menata dan mengurutkan kegiatan pembelajaran yang berbasis pada hasil analisis konseptual tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam silabus (Afamasaga-Fuata’i, 2009a). Dengan mengacu pada struktur dan komponen diagram V seperti pada Gambar 1, perangkat ini dapat digunakan untuk menilai kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah. Diagram ini juga bisa digunakan untuk menilai kedalaman serta keluasan landasan konseptual kemampuan penyelesaian masalah yang mereka miliki. Ini dimungkinkan karena mereka dihadapkan pada tugas mengidentifikasi prinsip dan konsep matematika yang melandasi metode atau prosedur yang mereka terapkan (Afamasaga Fuata’i, 2009c). Struktur diagram V dengan segenap komponen dan pertanyaan pemandunya memberikan kerangka kepada peserta didik untuk berpikir dan bernalar secara lebih sistematis. Proses penalaran dalam penyelesaian masalah dimulai dari identifikasi konsep dan prinsip yang relevan dan memberi arah pengembangan strategi penyelesaian yang tepat (Transformasi) hingga mengarahkan pada ditemukannya satu penyelesaian atau jawaban (Klaim Pengetahuan) untuk pertanyaan fokus. Apabila metode atau strategi penyelesaian masalah lebih mudah ditemukan, jalur lain yang bisa digunakan adalah mulai dengan mengidentifikasi prinsip atau konsep yang mendasari strategi penyelesaian yang ditempuh. Tanda panah yang ada di tengah menandakan bahwa terjadi proses timbalbalik saling mempengaruhi antara kedua sisi V dengan berbagai komponennya. Proses demikian ini diperlukan untuk menjamin bahwa landasan teoretis dan konseptual diabstraksi dan ditampilkan di sisi kiri, dan pada saat yang sama, informasi, penafsiran, dan transformasi untuk menemukan penyelesaian ditampilkan di sisi kanan (AfamasagaFuata’i, 2009c). Pada saat melengkapi diagram V, informasi analisis konseptual dipaparkan di sisi kiri. Informasi ini merupakan bentuk respon terhadap pertanyaan ’Teori apa yang relevan dengan masalah? (teori landasan), ’Apa yang telah ketahui?’ (misalnya, prinsip-prinsip matematika) dan ’Apa ide utamanya?’ (konsep utama). Di sisi kanan tertera informasi yang tersedia dalam soal (Informasi apa yang disediakan?) dan metode yang digunakan untuk mentransformasi informasi yang diberikan (Bagaimana cara saya memperoleh jawaban?) dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah dipaparkan. Melatih peserta didik dengan diagram V dapat menumbuhkembangkan dan meningkatkan pemahaman konseptual dan metodologis matematika (Afamasaga-Fuata’i, 2009a). Dengan diagram V, siswa difasilitasi untuk bekerja dan berkomunikasi secara matematis di kelas. Lebih lanjut, Afamasaga-Fuata’i (2009a) mengungkapkan bahwa kegiatan mengembangkan diagram V secara teratur sebagai praktek dalam mempelajari matematika mampu mengarahkan peserta didik untuk mencapai pemahaman matematika secara konseptual, strategis, dan terpadu. Selain itu, kemampuan berpikir dan bernalar secara kritis juga bisa berkembang.
5
Komunikasi dan interaksi adalah komponen penting dalam proses pembelajaran aktif. Tujuannya adalah agar peserta didik terlatih mengemukakan ide dengan cara yang bisa dipahami oleh orang lain, dan mereka bisa menjadi bagian masyarakat dengan kecakapan sosial yang memadai. Lebih khusus dalam pembelajaran matematika aktif, peserta didik perlu difasilitasi dengan kegiatan yang mendorong mereka berpikir, bernalar, berkomunikasi, mengaitkan berbagai ide. Kemampuan ini adalah sebagian komponen literasi matematika (mathematical literacy) yang diusung oleh OECD (2009). Konseptual/Teoretis (Berpikir)
Pertanyaan Fokus
Teori
Klaim Pengetahuan
Berapa panjang tiang seluruhnya?
1. Pecahan 2. Aljabar - Menggunakan sistem simbol aljabar untuk menyederhanakan dan menfaktorkan ekspresi sederhana - Menggunakan istilah dan notasi matematika, simbol aljabar, diagram untuk menjelaskan ide matematika - Menggunakan teknik aljabar untuk menyelesaikan persamaan linier
Panjang tiang keseluruhan adalah 200 cm
Transformasi Misalkan panjang tiang = X cm (P3) Pandang tiang secara keseluruhan (P1) Sekarang, jika ¼ dari tiang berada di bawah permukaan tanah, maka sisanya = 1- ¼ = (4-1)/4 = ¾ berada di atas permukaan tanah (P2) Kemudian , diketahui bahwa panjang tiang di atas permukaan tanah = 150 cm
Prinsip P1.
Metodologis (Melakukan)
Kita ketahui bahwa
¼ dari tiang artinya ¼ panjang tiang
¾
dari tiang, yaitu,
dari X berada di atas permukaan tanah,
dengan memandang tiang secara keseluruhan.
¾ ¾
dari X adalah 150 (P6) atau
¼ tiang di bawah permukaan tanah, maka sisanya (1- ¼) berada di atas
¾ X = 150 cm
¾ × X = 150 cm 3X = 150 cm × 4 X = (150 × 4)/3 X = 200 cm
P2. Jika
permukaan tanah. P3. Mengasumsikan panjang tiang = X cm. P4. Memahami bahwa ’dari’ berarti perkalian dan ’adalah’ berarti sama dengan. P5. Mengoperasikan pecahan senilai. P6. Merubah kalimat ke dalam persamaan. P7. Menafsirkan dengan diagram.
X
(P7) Permukaan tanah
¼ ∴ Panjang tiang keseluruhan adalah 200 cm
Konsep
Rekaman
Pecahan, di bawah, permukaan tanah, di atas, panjang keseluruhan
¼ tiang berada di bawah permukaan tanah dan 150 cm berada di atas permukaan tanah
Obyek Jika ¼ tiang berada di bawah permukaan tanah dan 150 cm berada di atas permukaan tanah, tentukan panjang tiang keseluruhan.
Gambar 2. Contoh Diagram V Penyelesaian Masalah Kegiatan mengembangkan diagram V dalam penyelesaian masalah yang dilengkapi dengan penugasan peserta didik mempresentasikan diagramnya di hadapan seluruh kelas atau mengkonsultasikannya dengan guru menciptakan suasana kondusif yang mendorong diskusi, kritik, dialog, dan komunikasi (Afmasaga-Fuata’i, 2009c). Dengan melatih peserta didik mengembangkan diagram V penyelesaian masalah, dimungkinkan terjadinya perubahan yang berarti pada kedalaman pemahaman tentang masalah, keragaman metode penyelesaiaan, dan kesesuaian prinsip-konsep teoretis yang memandu proses penyelesaian tersebut. Contoh diagram V penyelesaian masalah tertera pada Gambar 2 yang disalin dari Afamasaga-Fuata’i (2009d).
6
Analisis Diagram V Struktur pengetahuan seseorang dalam suatu disiplin ilmu pada dasarnya bisa dicirikan dengan pertanyaan yang menjadi fokus kajian, konsep kunci, konstruksi sistem konseptual, reliabilitas dan relevansi metode dan mekanisme kerja yang diterapkan (Gowin & Alvares, 2005). Pemahaman peserta didik tentang produksi klaim pengetahuan matematika seharusnya akan tergambarkan dalam konstruksi diagram V untuk masalah matematika yang diselesaikan. Dengan demikian, upaya untuk menilai struktur pengetahuan peserta didik tentang masalah yang dihadapi dapat ditempuh melalui penilaian diagram V peemcahan masalah yang dikonstruksinya. Sebagai salah satu alat penilaian kedalaman pemahaman peserta didik tentang masalah matematika yang dihadapi, diagram V memerlukan metode analisis diagram yang baku. Salah satu fokus analisis qualitatif diagram V adalah menentukan apakah sisi konseptual dan sisi metodologis saling mendukung. Afamasaga-Fuata’i (2009c) memberikan beberapa pertanyaan panduan untuk analisis ini. Sebagai contoh, ’Apakah prinsip yang tertera pada diagram mendukung penyelesaian yang ada?’; ’Apakah prinsip tersebut adalah yang paling relevan dengan penyelesaian yang diberikan?’; dan ’Apakah klaim pengetahuan didukung oleh prinsip dan transformasi yang ditampilkan?’ Diagram V dinilai secara kualitatif dengan mengacu pada kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria umum digunakan untuk menilai kesesuaian isi setiap komponen berdasarkan pertanyaan-pertanyaan kunci yang tertera pada Gambar 1. Kriteria umum mengacu pada apakah peserta didik menampilkan jawaban yang memuaskan untuk komponen Teori, Konsep, dan Rekaman. Ketiganya adalah komponen yang pada dasarnya disarikan atau ditafsirkan dari rumusan masalah, pertanyaan, atau soal cerita (pada komponen Obyek). Jika masalahnya ditentukan, maka Klaim Pengetahuan tidak dimasukkan sebagai fokus kriteria umum. Akan tetapi, jika masalahnya ditentukan, maka Klaim Pengetahuan juga dimasukkan ke dalam fokus kriteria umum. Kriteria khusus mengacu pada sejauh mana keterpaduan dan keterhubungan antara prinsip yang dicantumkan dan langkah-langkah utama pada penyelesaian. Penekanan diletakkan pada relevansi, ketepatan, dan kelengkapan prinsip dalam kaitannya dengan metode dan prosedur yang tertera pada komponen Transformasi. Gowin dan Alvares (2005) memberikan garis berat rubrik yang bisa dipakai untuk menilai diagram V penyelesaian masalah sebagai berikut: Untuk komponen Pertanyaan Fokus; nilai 0 jika tidak ada pertanyaan fokus yang diidentifikasi; nilai 1 jika pertanyaan diidentifikasi tetapi tidak difokuskan pada obyek utama atau tidak terfokus pada sisi konseptual diagram V; nilai 2 jika pertanyaan fokus diidentifikasi dan memuat konsep, tetapi tidak mengarahkan pada obyek atau mengarahkan pada obyek yang tidak benar; dan nilai 3 jika pertanyaan fokus diidentifikasi dengan jelas, memuat konsep yang akan digunakan dan langsung berhubungan dengan obyek. Untuk komponen Obyek; nilai 0 jika tidak ada obyek yang diidentifikasi; nilai 1 jika obyek utama diidentifikasi tetapi tidak konsisten dengan pertanyaan fokus; dan nilai 2 jika obyek utama diidentifikasi, dan konsisten dengan pertanyaan fokus. Untuk menilai komponen Teori digunakan rubrik sebagai berikut: nilai 0 jika tidak ada teori yang diberikan; nilai 1 jika teori diberikan, tetapi tidak berhubungan dengan sisi konseptual V atau pertanyaan fokus dan obyek; dan nilai 2 jika teori yang relevan diidentifikasi dan menghubungkan sisi konseptual V dengan pertanyaan fokus dan obyek. Komponen Prinsip secara sederhana dinilai dengan 0 jika tidak ada prinsip diidentifikasi
7
dan dinilai 1 jika prinsip yang diidentifikasi sesuai dengan teori. Untuk komponen Konsep, penilaiannya adalah 0 jika tidak ada konsep yang diidentifikasi; 1jika konsep diidentifikasi tetapi tidak berhubungan dengan pertanyaan fokus atau obyek; dan 2 jika konsep diidentifikasi dan terhubung dengan pertanyaan fokus atau obyek. Komponen Rekaman dinilai dengan 0 jika tidak ada rekaman diidentifikasi; 1 jika rekaman diidentifikasi, tetapi tidak konsisten dengan pertanyaan fokus atau obyek utama; dan 2 jika rekaman diidentifikasi untuk obyek utama dan konsisten dengan pertanyaan fokus. Komponen Transformasi dinilai dengan 0 jika tidak ada transformasi diidentifikasi; 1 jika transformasi tidak konsisten dengan pertanyaan fokus dan data yang dikumpulkan dalam rekaman; dan 2 jika transformasi konsisten dengan pertanyaan fokus dan data yang dikumpulkan dalam rekaman. Sedangkan untuk komponen Klaim Pengetahuan, nilainya 0 jika tidak ada klaim pengetahuan diidentifikasi; 1 jika klaim pengetahuan tidak konsisten dengan pertanyaan fokus; 2 jika klaim pengetahuan diturunkan dari rekaman dan transformasi; dan 3 jika klaim pengetahuan konsisten dengan data yang dikumpulkan dalam rekaman dan yang direpresentasikan dalam transformasi. Sebuah Refleksi Melalui konstruksi diagram V, peserta didik belajar lebih banyak tentang struktur konseptual suatu topik secara lebih bermakna. Selain itu, mereka juga akan mencapai kompetensi yang lebih dalam serta menjadi lebih cakap dalam menggunakan metode dan prosedur penyelesaian masalah. Dengan membuat diagram V, pemahaman peserta didik akan lebih dari sekadar pemahaman prosedural atau algoritmik. Mereka mencapai pemahaman relasional atau konseptual. Implikasi pemahaman yang demikian adalah peserta didik akan termotivasi untuk belajar lebih banyak tentang topik yang sedang dikaji (Afamasaga-Fuata’i, 2009c). Ketika peserta didik memiliki kesempatan menelaah suatu obyek atau situasi dari berbagai sudut pandang, dan pada saat mereka mulai menganalisis dan mempertanyakan apa yang mereka pelajari, menurut Nieto (2001), saat itulah proses berpikir kritis-reflektif sedang berlangsung. Untuk menjamin terwujudnya kemampuan metakognisi peserta didik, pengembangan diagram V dalam pemecahan masalah seharusnya dilaksanakan secara berkesinambungan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa peserta didik dari waktu ke waktu mampu meningkatkan derajat atau kualitas diagram yang dikonstruksi (lihat Afamasaga-Fuata’i, 2009e). Capaian yang demikian ini memang sangat mungkin jikalau kegiatan pembelajaran tidak hanya diisi dengan konstruksi diagram untuk penyelesaian masalah, tetapi juga diisi dengan presentasi kelompok—jika diagram dikonstruksi dalam suasana pembelajaran kooperatif, kritik sejawat, dan konsultasi dengan guru secara individual. Suasana yang merefleksikan norma sosio-matematis yang diisi dengan kritik dan presentasi berpengaruh besar terhadap perkembangan kualitas dan perbaikan pemahaman peserta didik. Kegiatan presentasi dan menilai hasil kerja sejawat mensyaratkan kemampuan refleksi memadai yang justru memang sangat mendukung kegiatan penyelesaian masalah. Meningkatnya derajat kerumitan konseptual dan struktural diagram V mencerminkan dinamika kedalaman dan keluasan pemahaman peserta didik tentang keterkaitan antara prinsip teoretis dan metode penyelesaian masalah dalam topik tertentu. Disadari bahwa mengkonstruksi diagram V membutuhkan waktu. Namun, melihat manfaat yang diberikan, kegiatan ini sepatutnya menjadi bagian dari kegiatan penyelesaian masalah di kelas.
8
Dalam konteks pembelajaran matematika aktif, masalah yang baik adalah masalah yang memberi ruang kepada peserta didik melakukan eksplorasi konstruktif yang memberdayakan kekuatan matematika potensial mereka (Nieto, 2001). Akan lebih baik lagi jika masalah tersebut mampu memfasilitasi petualangan dan pengalaman belajar peserta didik untuk menemukan kembali matematika (Gravemeijer, 1994), dengan mengacu pada situasi yang lebih luas dan humanis dan berbasis pada konteks yang sarat ide matematika. Konteks semacam ini mengubah basis pembelajaran dari instruktivisme menjadi konstruktivisme (Cohen, Manion, & Morrison, 2005). Penyelesaian masalah dalam suasana yang dikondisikan sebagai kegiatan pembelajaran adalah wahana bagi peserta didik berlatih untuk kemudian menjadi pemecah masalah mandiri, baik di dalam maupun di luar kelas—dalam kehidupan nyata yang sarat dengan masalah tidak rutin. Seseorang akan mampu mencapai kompetensi ini apabila sudah mampu memberdayakan potensi kognitifnya. Ini berarti bahwa orang tersebut sudah mencapai kecakapan metakognisi. Dengan pendekatan pembelajaran yang berbasis pada konstruktivisme, khususnya konstruktivisme sosial, pencapaian kecakapan metakognitif difasilitasi dengan adanya suasana interaktif yang mendorong peserta didik memantapkan pemahaman mereka (Afamasaga-Fuata’i, 2009b) atau memahami pemahaman mereka. Pemantapan ini terjadi karena mereka diperhadapkan pada tantangan yang membutuhkan refleksi kritis terhadap pemikiran dan penalaran yang dibangun. Adanya kegiatan presentasi memberi ruang bagi peserta didik untuk menegosiasikan makna, menilai, dan mempertahankan hasil kerja mereka. Supaya proses ini tidak melenceng, maka substansi komunikasi atau dialog sebagai tindak lanjut presentasi perlu difokuskan pada ide matematika yang penting. Proses yang melibatkan peserta didik dalam adu argumentasi yang berbasis bukti sebagai bagian dari komunikasi dalam kelas dapat membantu terjadinya konstruksi pemahaman yang lebih dalam dan lebih tinggi. Pola komunikasi seharusnya menggunakan model yang beragam, karena menghubungkan berbagai cara merepresentasikan konsep matematika sangat penting dalam pengembangan pemahaman konseptual yang lebih kokoh (Moschkovitch, 2004). Selain masalah waktu yang dibutuhkan dalam upaya membangun kemampuan metakognisi dengan diagram V, masalah lain yang mungkin dihadapi oleh guru adalah kebaruan perangkat ini bagi peserta didik. Ada dua kemampuan yang seharusnya dilatihkan kepada peserta didik sebagai langkah awal penggunaan diagram V: mengumpulkan semua konsep dan rumus yang relevan, dan memikirkan bagaimana kesemuanya itu dihubungkan satu sama lain. Revisi yang berkelanjutan diperlukan guna meningkatkan derajat kecanggihan diagram V yang dikonstruksi. Contoh diagram V yang dicantumkan pada Gambar 2 adalah hasil perbaikan dari diagram V awal. Seperti halnya untuk peserta didik, diagram V juga sangat berguna untuk pendidik. Mereka dapat menggunakan diagram tersebut untuk menganalisis konsep, khususnya pada saat mereka memilih pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Lebih awal, mereka menganalisis masalah sebelum memaparkannya di kelas sebagai materi pembelajaran. Dengan analisis awal seperti itu, mereka bisa merencanakan atau merancang skenario pembelajaran yang lebih bermakna dan terarah. Singkatnya, peningkatan kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik pendidik bisa difasilitasi dengan latihan-latihan mengembangkan diagram V.
9
Terdapat beragam strategi penyelesaian masalah matematika. Salah satunya adalah yang dikemukan oleh Polya (1973). Diagram V bisa digunakan berdampingan dengan empat langkah penyelesaian masalah Polya. Cara menganalisis masalah akan lebih komprehensif jika hasil dari langkah-langkah Polya dikonstruksi secara skematis dalam diagram V. Studi kasus menunjukkan bahwa penataan pengetahuan atau pemahaman yang dilanjutkan dengan mempresentasikan dan mengomunikasikan pengetahuan tersebut kepada publik secara visual bisa menjadikan kegiatan penyelesaian masalah matematika lebih dari sekadar melakukan atau mengerjakan matematika (Afamasaga Fuata’i, 2009b). Perbedaan antara melakukan atau mengerjakan matematika semata-mata dan mempelajari matematika secara bermakna seringkali diungkap guna memperjelas perbedaan antara kecakapan algoritmis yang cuma mensubstitusi bilangan ke dalam rumus untuk mendapatkan jawaban dan pemahaman konseptual-relasional yang mendalam dan menjadi landasan kokoh untuk membangun pemahaman yang lebih tinggi (Ernest, 1999). Pada saat pemahaman matematika sudah diposisikan sebagai sistem yang dibangun secara personal dan mengaitkan konsep, simbol, rumus, metode, dan obyek atau situasi, maka penilaian yang sahih untuk kompetensi yang demikian ini menuntut pemerolehan informasi tentang bagaimana peserta didik memandang semua komponen tersebut sebagai sistem dan bagaimana mereka memandang keragaman metode sebagai sarana menerapkan pengetahuan dalam konteks yang berbeda-beda (Afamasaga-Fuata’i, 2009d). Menugaskan peserta didik mengkonstruksi diagram V adalah alternatif yang bisa dijadikan alat penilaian otentik. Dengan berpegang pada prinsip bahwa penilaian adalah adalah bagian integral pembelajaran dan dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Gardner, 2006), maka mengembangkan diagram V untuk masalah yang dipecahkan sepatutnya menjadi salah satu langkah dalam kegiatan inti pembelajaran. Demikian, Afamasaga-Fuata’i (2009c) menyarankan bahwa penggunaan diagram ini sebagai bagian dari rutinitas dan praktek kelas yang normal adalah sesuatu yang patut diteliti lebih lanjut. Daftar Pustaka Afamasaga-Fuata’i, K. (1998). Learning to Solve Mathematics Problems through Concept Mapping and Vee Mapping. Samoa: National University of Samoa. Afamasaga-Fuata’i, K. (2009a). Analysing the “Measurement” Strand Using Concept Maps and Vee Diagrams. Dalam K. Afamasaga-Fuata’i (Ed.), Concept Mapping in Mathematics: Research into Practice, 19-46. New York: Springer Science+Business Media. Afamasaga-Fuata’i, K. (2009b). Concept Mapping and Vee Diagramming “Differential Equations”. Dalam K. Afamasaga-Fuata’i (Ed.), Concept Mapping in Mathematics: Research into Practice, 279-297. New York: Springer Science+Business Media. Afamasaga-Fuata’i, K. (2009c). Enhancing Undergraduate Mathematics Learning Using Concept Maps and Vee Diagrams. Dalam K. Afamasaga-Fuata’i (Ed.), Concept Mapping in Mathematics: Research into Practice, 237-257. New York: Springer Science+Business Media. Afamasaga-Fuata’i, K. (2009d). Using Concept Maps and Vee Diagrams to Analyse the “Fractions” Strand in Primary Mathematics. Dalam K. Afamasaga-Fuata’i (Ed.), Concept Mapping in Mathematics: Research into Practicess, 59-.86. New York: Springer Science+Business Media. Afamasaga-Fuata’i, K. (Ed.) (2009e). Concept Mapping in Mathematics: Research into Practicess. New York: Springer Science+Business Media.
10
Anderson, L. W. & Krathwol, D. R. (Ed.). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives, Edisi Singkat. New York: Longman. Ausubel, D. P. (1968). Educational Psychology: A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart and Winston. Ben-Hur, M. (2006). Concept-Rich Mathematics Instruction: Building a Strong Foundation for Reasoning and Problem Solving. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development Bucat, R. (2004). Pedagogical Content Knowledge as a Way Forward: Applied Research in Chemistry Education. Chemistry Education: Research and Practice, 5(3), 215-228. Cohen, L., Manion, L, & Morrison, K. (2005). A Guide to Teaching Practice (Edisi Kelima). London: Routledge. Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Littlefield, J. & Travers, J. F. (1996). Educational Psychology: Effective Teaching Effective Learning. Madison: Brown & Benchmark. Ernest, P. (1999). Forms of Knowledge in Mathematics and Mathematics Education: Philosophical and Rhetorical Perspectives. Educational Studies in Mathematics, 38, 67–83. Gardner, J. (2006). Assessment or Learning: A Compelling Conceptualization. Dalam J. Gardner (Ed.), Assessment and Learning, 197-204. London: Sage Publications. Gess-Newsome, J. (1999). Pedagogical Content Knowledge: An Introduction and Orientation. Dalam J. Gess-Newsome and N. G. Lederman (Ed.), Examining Pedagogical Content Knowledge, 3-17. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Gowin, D. B. & Alvares, M. C. (2005). The Art of Educating with V Diagrams. Cambridge: Cambridge University Press. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht, The Netherlands: Freudenthal Institute. Hewitt, D. (2009). Towards a Curriculum in Terms of Awareness. Dalam S. Lerman & B. Davis (Ed.), Mathematical Action & Structures of Noticing: Studies on John Mason’s Contribution to Mathematics Education, 89-100. Rotterdam: Sense Publishers. Moschkovitch, J. (2004). Using Two Languages When Learning Mathematics, dari http://math.arizona.edu/˜cemela/spanish/content/workingpapers/UsingTwoLa nguages.pdf, diakses pada 20 Februari 2008. Nieto, S. (2001). Critical Pedagogy, Empowerment and Learning. Dalam J. Collins, K. Insley, & J. Soler (Ed.), Developing Pedagogy: Researching Practice, 39-49. London: Sage Publications in Association with the Open University. Novak, J. D. (2002). Meaningful Learning: the Essential Factor for Conceptual Change in Limited or Inappropriate Propositional Hierarchies Leading to Empowerment of Learners. Science Education, 86(4), 548-571. OECD (2009). Learning Mathematics for Life: A Perspective from PISA. Paris: OECD Publishing. Polya, G. (1973). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method Second, Edisi Kedua Princeton: Princeton University Press. Treagust, D., Duit, R., & Fraser, B. (1996). Overview: Research on Students’ Preinstructional Conceptions—The Driving Force for Improving Teaching and Learning in Science and Mathemaitics. Dalam D. Treagust, R. Duit, & B. Fraser (Ed.), Improving Teaching and Learning in Science and MAthematics, 1-14. New York: Teacher College Press. van der Walt, M. & Maree, K. (2007). Do Mathematics Learning Facilitators Implement Metacognitive Strategies? South African Journal of Education, 27(2), 223–241.
11