DETERMINAN PENGGUNAAN METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG (MKJP) PADA AKSEPTOR KB DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2014
Skripsi
Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Oleh: PUTRI ANGGRAENI 1111101000045
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Skripsi, September 2015 Putri Anggraeni, NIM: 1111101000045 Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Pada Akseptor KB Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Xix+128 halaman,17 tabel, 4 bagan, 4 lampiran ABSTRAK Angka kelahiran di Indonesia mengalami stagnansi pada 4 periode terakhir. Dilihat dari cakupan penggunaan kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang digunakan di Indonesia didominasi oleh metode kontrasepsi jangka pendek (pil dan suntik). Padahal metode kontrasepsi jangka pendek merupakan metode yang paling banyak menyumbang angka drop out. Penggunaan kontrasepsi diarahkan pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Puskesmas Pamulang merupakan salah satu Puskesmas di Kota Tangerang Selatan yang mempunyai cakupan MKJP rendah sebesar 6,4%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014. Desain studi yang digunakan yaitu case control unmatched. Sampel penelitian sebanyak 164 dengan perbandingan kasus kontrol 1:3. Sampel diambil dari akseptor yang terdaftar pada kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014. Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan dengan cara purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar menggunakan KB suntik (55,5%). Faktor yang memberi peluang akseptor menggunakan MKJP yaitu umur lebih dari 30 tahun (OR=4,565), bekerja (OR=4,737), berpenghasilan tinggi (OR=2,206), telah berdiskusi dengan suami tentang MKJP (OR=22,579), memiliki anak hidup 3 atau lebih (OR=3,386), memiliki riwayat aborsi (OR=3,284), dan memanfaatkan pelayanan swasta (OR=0,084), sedangkan faktor yang tidak berhubungan yaitu pendidikan dan umur pertama kali melahirkan. Peningkatan sosialisasi tentang MKJP dengan melakukan penyuluhan pada pasangan usia subur baik yang baru menikah maupun yang berencana mempunyai anak perlu dilakukan dengan menekankan bahwa MKJP merupakan metode yang efektif, aman, dan murah. Selain itu perlu adanya pembinaan pada BPS dan unit pelayanan swasta untuk turut serta meningkatkan cakupan MKJP. Kata kunci: MKJP, Akseptor KB, Kontrasepsi, IUD, Implan, MOW Daftar Bacaan: 72 (1995-2015) iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE MAYOR OF PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT OF EPIDEMIOLOGY Undergraduated Thesis, September 2015 Putri Anggraeni, NIM: 1111101000045 Determinants of Using Long-Term Contraception Method (LTCM) On Acceptors FP In The Work Area of Pamulang CHC 2014 xix+128 page,17 tables, 4 chart, 4 attachments ABSTRACT The birth rate in Indonesia stagnant in the last four periods. Judging from the coverage of contraceptive use, the type of contraception used in Indonesia is dominated by short-term contraceptive methods (pills and injections). Though short-term contraceptive method is the method most contributors drop out rate. The use of contraceptives is directed at Long Term Contraception Method (LTCM). Pamulang Community Health Center (CHC) is one of the health centers in South Tangerang City that has LTCM coverage was low by 6.4%. This study aims to determine the determinant of the use of LTCM in Puskesmas Pamulang 2014. The study design used is case control unmatched. The research sample as many as 164 by the comparison case-control 1: 3. Samples were taken from the acceptor registered at cohort FP CHC Pamulang 2014. Sampling of cases and controls was done by purposive sampling based on inclusion criteria and exclusion. Results showed mostly using injections (55.5%). Factors that provide opportunities acceptor using LTCM were age over 30 years (OR = 4.565), work (OR = 4.737), higher income (OR = 2.206), had a discussion with her husband about LTCM (OR = 22.579), have children living 3 or more (OR = 3.386), had a history of abortion (OR = 3.284), and utilize private services (OR = 0.084), whereas the unrelated factors, namely education and the age of first childbirth. Increased socialization of LTCM to do counseling in couples of childbearing age either recently married or are planning to have children needs to be done to emphasize that the LTCM is a method that is effective, safe, and inexpensive. Besides of this, need to guidance on BPS and private service units to participate and improve coverage LTCM. Key word: LTCM, Acceptor KB, contraception, IUDs, implants, MOW Reading List: 72 (1995-2015)
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA DIRI
Nama
:
Putri Anggraeni
Tempat tanggal lahir
:
Jakarta, 14 September 1993
Jenis Kealamin
:
Perempuan
Kewarganegaraan
:
Indonesia
Suku
:
Jawa
No. Telp
:
085693149737
Alamat email
:
[email protected]
Alamat
:
Jln. H. Mencong IX Rt. 001/010 No. 5, Sudimara Timur, Ciledug, Tangerang
Hobi
:
Membaca
Kemampuan
:
Pengoperasian komputer dan bahasa Inggris
Nama Orang Tua
:
Ayah: Yanta Ibu
Pekerjaan Orang Tua
:
: Titi Sularti (Alm.)
Ayah: Pensiunan PNS Ibu
:-
RIWAYAT PENDIDIKAN Taman Kanak-Kanak
:
TPA Al-Hikmah
(1997-1999)
Sekolah Dasar
:
SDN Larangan 09
(1999-2005)
Sekolah Menengah
:
SMPN 142 Jararta Barat
(2005-2008)
:
SMAN 101 Jakarta Barat
(2008-2011)
:
Peminatan Epidemiologi
(2011-sekarang)
Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
vii
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta PENGALAMAN ORGANISASI
:
Anggota OSIS SMAN 101 Jakarta Periode 2009-2010 Anggota Teater Stratsone in Art SMAN 101 Jakarta Periode 2009-2010 Anggota Paduan Suara SMAN 101 Jakarta Periode 2009-2010 dan Periode 2010-2011 Anggota Vokal Grup SMAN 101 Jakarta Periode 2009-2010 dan 2010-2011 Anggota Rohani Islam SMAN 101 Jakarta periode 2010-2011 Sekertaris Keputrian SMAN 101 Jakarta periode 20102011 Ketua
Divisi
Pelatian
Paduan
Suara
Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (PASIFIK) UIN Syarif Hidayatullah jakarta periode 2013-2014 Deputi Kominfo Pami Jakarta Raya periode 2013-2014 Sekertaris Departemen Sosial Masyarakat (Sosmas) Epidemiology Student Association (ESA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta PENGALAMAN PENELITIAN
Pola Distribusi Balita dengan Status Gizi Kurang dan Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Spasial di Kelurahan Bakti Jaya, Kelurahan Muncul dan Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu Tahun 2013 Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu terkait Kelengkapan dan Ketepatan Pemberian Imunisasi Dasar pada Anak Berusia 9-60 Bulan (Balita) di Kelurahan Pamulang Barat Tahun 2013 Faktor-faktor yang mempengaruhi gastritis pada mahasiswi Asrama Putri Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Tahun 2013
viii
Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Penyakit Gastritis Mahasiswi Asrama Putri Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada Tahun 2013 Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada Balita di Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 (Pendekatan One Health) Masalah Kesehatan Reproduksi
Perempuan
dan
Pencarian Pengobatan pada Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014 PENGALAMAN
Enumerator baseline data Kesehatan Masyarakat
KERJA
Tahun 2013 Pengalaman Belajar Lapangan di Wilayah Puskesmas Pamulang, Pamulang Tahun 2014 Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas 1 Soekarno Hatta Tahun 2014 Magang di Puskesmas Pamulang Tahun 2015
Ciputat, 30 November 2014
Putri Anggraeni
ix
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun laporan skripsi ini. Laporan skripsi ini disusun untuk mengetahui determinan penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) pada Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2015. Ucapan terimakasih penulis tuturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas terselesaikannya laporan skripsi ini kepada: 1.
Bapak Yamta dan (almh.) Ibu Titi Sularti selaku orang tua penulis yang selalu menjadi semangat penulis dalam menyelesaikan laporan skripsi
2.
Mas Agung, Mas Yudi, Mba Heni, Teteh Pepi dan Kak Fery selaku kakak penulis yang selalu memberi semangat dan dukungan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
3.
Ibu Minsarnawati SKM M.Kes selaku pembimbing 1 yang selalu siap memberikan bimbingan akademik dan pengarahan membangun dalam proses penyusunan laporan skripsi.
4.
Ibu Fase Badriah Ph.D selaku pembimbing 2 yang selalu siap memberikan bimbingan akademik dan pengarahan membangun dalam proses penyusunan laporan skripsi.
5.
Keponakan penulis (Anindita Lakeishia Maheswari dan Rayyandra Abinaya Atharizki) yang selalu menjadi penyemangat penulis dikala jenuh dalam menyelesaikan skripsi
6.
Lina Sri Marlinawati selaku sahabat yang setia menemani turun lapangan
7.
Teman-teman epidemiologi 2011 yang selalu memberi semangat dalam penyelesaian laporan skripsi.
8.
Eka Lestari Sitepu dan Ajrina Winasari selaku sahabat yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi
9.
drg. Rosmawati, MM selaku kepala UPT Puskesmas Pamulang yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
x
10. Ibu Ida Farida selaku pemegang program KB di Puskesmas Pamulang yang selalu siap membantu penulis untuk menyediakan data terkait KB di Puskesmas Pamulang 11. Ibu Kader di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang senantiasa memudahkan penulis dalam mencari alamat responden
Sungguh Maha Sempurna itu adalah Allah SWT, kekurangan dan kekhilafan mungkin terdapat pada laporan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan laporan skripsi ini. Ciputat, Mei 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ii ABSTRAK ...................................................................................................................... iii PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................. v PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................................vii KATA PENGANTAR ..................................................................................................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................................xii DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xvi DAFTAR BAGAN ..................................................................................................... xviii DAFTAR ISTILAH ...................................................................................................... xxi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 A. Latar Belakang .................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 9 C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 10 D. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 12 1. Tujuan Umum ........................................................................................... 12 2. Tujuan Khusus .......................................................................................... 12 E. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 14 F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................. 15
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 16 A. Keluarga Berencana .......................................................................................... 16 B. Epidemiologi Keluarga Berencana .................................................................... 16 C. Kontrasepsi ........................................................................................................ 19 1. Definisi Kontrasepsi ............................................................................... 19 2. Macam-macam Metode Kontrasepsi...................................................... 21 3. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) ....................................... 21 D. Kontrasepsi dalam Perspektif Islam .................................................................. 28 E. Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) .......... 30 F. Kerangka Teori .................................................................................................. 50 BAB III KERANGKA KONSEP ................................................................................ 53 A. Kerangka Konsep .............................................................................................. 53 B. Definisi Operasional .......................................................................................... 57 C. Hipotesis Penelitian ........................................................................................... 60 BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................... 61 A. Desain Penelitian............................................................................................... 61 B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................................. 62 C. Populasi dan Sampel ......................................................................................... 62 1. Populasi .................................................................................................. 62 2. Sampel .................................................................................................... 65 D. Instrumen Penelitian ......................................................................................... 67
xiii
E. Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 67 F. Manajemen Data ............................................................................................... 68 G. Analisis Data ..................................................................................................... 69 BAB V HASIL PENELITIAN...................................................................................... 72 A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................................. 72 B.Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 73 C.Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ................. 74 D.Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 75 E.Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 76 F.Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 77 G.Determinan Penggunaan MKJP Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 78 BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................................. 87 A.Keterbatasan dalam Penelitian ........................................................................... 87 B.Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 87 C.Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ............................................ 88 D.Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 91 E.Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 91
xiv
F.Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 93 G.Determinan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 94 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 121 A. Simpulan ............................................................................................................ 121 B. Saran .................................................................................................................. 123 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 125 LAMPIRAN ................................................................................................................... xx
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional` ...................................................................................... 57 Tabel 4.1 Besar Sampel Penelitian .................................................................................. 66 Tabel 5.1 Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ............ 73 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Jenis Kontrasepsi yang Digunakan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .......................... 73 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ...................................................................................................... 75 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Kognitif di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ........................................................... 76 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ........................................................... 77 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ........................................................... 77 Tabel 5.7 Analisis Hubungan Umur Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................................................... 79 Tabel 5.8 Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 80 Tabel 5.9 Analisis Hubungan Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 80 Tabel 5.10 Analisis Hubungan Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 81 Tabel 5.11 Analisis Hubungan Akseptor KB yang Berdiskusi dengan Suami dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang.............................. 82 Tabel 5.12 Analisis Hubungan Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ................................................................................................................................. 83
xvi
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 84 Tabel 5.14 Analisis Hubungan Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 85 Tabel 5.15 Analisis Hubungan Tempat Pelayanan KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .......................................... 86
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .............................................................................................. 52 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 56 Bagan 4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 62 Bagan 4.2 Sampel............................................................................................................ 66
xviii
DAFTAR ISTILAH
AKDR
: Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
ASEAN
: Association of Southest Asian Nations
BKKBN
: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPS
: Bidan Praktik Swasta
IUD
: Intrauterine Device
KB
: Keluarga Berencana
MAL
: Metode Amenore Laktasi
MKJP
: Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
MOP
: Metode Operasi Pria
MOW
: Metode Operasi Wanita
PLKB
: Petugas Lapangan Keluarga Berencana
PUS
: Pasangan Usia Subur
SDKI
: Survei Demografi Kependudukan Indonesia
WUS
: Wanita Usia Subur
xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Angka kelahiran merupakan ukuran yang menunjukkan pertumbuhan penduduk di suatu negara. Di tingkat ASEAN, pada tahun 2013 rata-rata angka kelahiran sebesar 2,4 per 1.000 wanita usia subur. Laos merupakan negara dengan angka kelahiran tertinggi sebesar 3,2 per 1000 wanita usia subur, sedangkan Singapura mempunyai angka kelahiran terendah di tingkat ASEAN sebesar 1,3 per 1.000 wanita usia subur (Kemenkes, 2014). Indonesia memiliki angka kelahiran diatas rata-rata negara ASEAN dan terus mengalami fase stagnan dalam 4 periode terakhir yaitu pada tahun 2002, 2007, 2012 dan 2013 sebesar 2,6 anak per 1000 wanita usia subur. Melihat kondisi ini, target menurunkan angka kelahiran menjadi 2,11 per 1000 wanita usia subur pada tahun 2015 memerlukan usaha yang keras. Salah satu upaya konkrit dalam menurunkan angka kelahiran adalah penerapan Keluarga Berencana (KB) dengan menggunakan kontrasepsi (Kemenkes, 2013). Penggunaan kontrasepsi berkaitan dengan kesehatan reproduksi dimana komponen kesehatan reproduksi merupakan bagian dari kesehatan ibu. Program KB berperan besar untuk mencapai pengurangan kematian ibu melalui perencanaan keluarga dengan mengatur kehamilan yang aman, sehat dan
1
diinginkan. Kehamilan yang tidak ideal (terlalu banyak, terlalu muda, terlalu tua, dan terlalu dekat jarak kelahiran) akan sangat membahayakan bagi kesehatan ibu (Kemenkes, 2013). Dalam Islam, KB termasuk ke dalam aghayyuru al-ahkaami bitaghayyuri alazminati wa-al-amkinati wa al-ahwaali (hukum-hukum yang bisa berubah sesuai
dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan) (Nurmila, 2011). Dilihat dari keadaannya, Indonesia merupakan negara yang padat penduduk, namun terbatas dalam ketersediaan lapangan kerja yang memadai serta lemah dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini hanya akan meninggalkan generasi yang banyak, tetapi lemah secara agama, ekonomi, serta lemah dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sudaryanto dkk, 2014). Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 9 menyebutkan bahwa: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Dalam ayat tersebut, orang tua diperintahkan untuk melahirkan dan mendidik anak dengan baik sehingga menciptakan generasi yang berkualitas dalam memimpin bangsa (Nurmila, 2011). Melihat kemampuan Indonesia dalam mempersiapkan generasi yang berkualitas sangat terbatas, maka Indonesia harus fokus dalam mempersiapkan generasi yang kecil tetapi berkualitas. Langkah yang dapat
2
dilakukan salah satunya dengan penerapan Keluarga Berencana (KB) (Sudaryanto dkk, 2014). Walaupun dalam Alqur’an tidak tertulis secara literal tentang KB, namun secara substantif terdapat ayat-ayat Alqur’an dan hadist yang mendukung pengaturan jarak kelahiran, misalnya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 233 yang berisikan tentang anjuran menyusui anak hingga 2 tahun (Nurmila, 2011). Jika Alqur’an menyebutkan bahwa menyusui secara sempurna adalah 2 tahun, maka jarak kelahiran ideal antara anak yang satu dengan yang berikutnya adalah minimal 2 hingga 3 tahun. Semakin jarang jarak kelahiran anak, semakin menambah kekuatan fisik ibu untuk merawat dan membesarkan anak yang telah dilahirkannya dan bertambah pula kesiapan mental untuk menyambut kelahiran anak berikutnya (Nurmila, 2011). Di negara-negara ASEAN, rata-rata penggunaan kontrasepsi dari 20052012 tertinggi adalah Thailand yaitu 80%, kemudian kamboja 79%. Di Indonesia penggunaan kontrasepsi masih di bawah Thailand dan Kamboja yaitu hanya 61% (Kemenkes, 2013). Pada tahun 2013, cakupan KB aktif di Indonesia sebesar 75,88%. Berdasarkan provinsi, cakupan KB aktif tertinggi adalah Provinsi Bengkulu sebesar 87,70% dan terendah yaitu Provinsi Papua sebesar 67,15%. Provinsi Banten termasuk pada 3 provinsi terendah berdasarkan cakupan KB aktif yaitu hanya sebesar 69,92% (Kemenkes, 2014).
3
Di Indonesia, metode kontrasepsi yang digunakan akseptor KB didominasi oleh metode kontrasepsi jangka pendek yaitu suntikan dan pil KB dengan prevalensi berturut-turut 36% dan 15,1% (BKKBN, 2013). Padahal, metode kontrasepsi suntikan dan pil selain merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan, juga penyumbang angka drop out paling banyak. Drop out rate kontrasepsi suntik pada tahun 2003 sebesar 18,4% dan meningkat menjadi 23 pada tahun 2007. Sedangkan drop out rate kontrasepsi pil pada tahun 2003 sebesar 31,9% dan meningkat menjadi 38,8% pada tahun 2007 (Kemenkes, 2013). Mengingat tingginya angka drop out pada Metode Kontrasepsi Jangka Pendek (non MKJP) maka pengguna KB aktif diarahkan untuk meningkatkan cakupan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (selanjutnya akan disingkat MKJP). Hal ini dikarenakan, MKJP lebih efektif dalam mencegah kehamilan tidak diinginkan dari pada non MKJP (Winner dkk, 2012). Penggunaan MKJP di Indonesia jauh dari target (26,7%) dan menurun tiap tahunnya dari 13,7% pada tahun 1991 sampai 10,6% pada tahun 2012 (Kemenkes, 2013). Pada tahun 2013 berdasarkan survei mini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), cakupan MKJP di Indonesia hanya sebesar 12,4% dengan persentase berdasarkan jenis metode yaitu susuk (implan) KB (5,2%), AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)/Intrauterine Device (IUD) (4,7%), dan Metode Operasi Wanita (MOW) (2,2%), padahal target MKJP yang diharapkan dapat dicapai adalah 26,7%. 4
Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, hanya 13 provinsi menunjukkan prevalensi MKJP di atas angka nasional (Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Gorontalo). Prevalensi MKJP terendah ditemui di Provinsi Kalimantan Selatan 4,1%, sedangkan tertinggi di Provinsi Bali 29,7% (BKKBN, 2013). Salah satu provinsi yang memiliki prevalensi MKJP di bawah nasional adalah Provinsi Banten yang hanya sebesar 9,8% (BKKBN, 2013). Provinsi Banten memiliki 8 kabupaten/kota. Tangerang Selatan merupakan kota yang pada tahun 2013 memiliki prevalensi pemakaian MKJP paling tinggi yaitu 14,5%, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Pandeglang sebesar 5,4%. Walaupun tertinggi diantara kota-kota di Provinsi Banten, persentase cakupan MKJP di Tangerang Selatan masih jauh dibawah target nasional yaitu 26,7% (BKKBN, 2013). Ketidakberhasilan kontrasepsi yang digunakan oleh pasangan usia subur yang ingin menunda, menjarangkan, atau menghentikan kelahiran dapat menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Winner dkk, 2012). Kontrasepsi yang sering menyebabkan kegagalan adalah kontrasepsi jangka pendek. Risiko kegagalan kontrasepsi jangka pendek (pil atau kondom) sebesar 4,55 per 100 partisipan per tahun (Winner dkk, 2012). Dampak yang lebih serius dapat terjadi jika kehamilan terjadi pada ibu dengan usia diatas 35 tahun atau kurang dari 19 tahun, anak lebih dari 3, dan jarak kelahiran yang terlalu dekat 5
dapat mengalami kehamilan risiko tinggi yang dapat meningkatkan risiko kematian ibu (Kemenkes, 2013). Kegagalan kontrasepsi juga dapat menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk. Dampak negatif dari tingginya pertumbuhan penduduk dapat terjadi akibat sarana dan prasarana tidak memadai dan mendukung keberlangsungan hidup penduduk yang bersangkutan. Dari segi ekonomi, tingginya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang cukup akan menimbulkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Kebutuhan ekonomi yang tidak memadai juga dapat berpengaruh pada tingkat pendidikan dan kesehatan seseorang. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan tidak akan terpenuhi ketika ekonomi tidak memadai. Selain itu, masalah ekonomi juga dapat menyebabkan angka kriminalitas yang meningkat akibat kebutuhan ekonomi yang mendesak (BKKBN, 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP baik dari segi program terkait ketersediaan layanan, dari segi lingkungan terkait peran orangorang terdekat dan media massa dalam pemberian informasi maupun dari segi masing-masing individu sebagai pengguna layanan. Penggunaan MKJP sangat dipengaruhi oleh faktor individu, karena keputusan akan menggunakan atau tidaknya jenis kontrasepsi tetap berada pada level individu (BKKBN, 2009). Faktor kognitif seperti pengetahuan (Dewi dan Notobroto, 2014; Getinet dkk, 2014; Gebremichael dkk, 2013), sikap (Gebremichael dkk, 2013; Shegaw Getinet dkk, 2014), diskusi dengan pasangan tentang penggunaan MKJP 6
(Gudaynhe dkk, 2014; Yalew dkk, 2015) mempunyai hubungan dengan penggunaan MKJP berdasarkan hasil yang diperoleh dari berbagai penelitian. Penelitian Meskele dan Mekonnen (2014) memperoleh hasil wanita yang memiliki sikap positif 2,5 kali lebih mungkin menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki sikap negatif terhadap MKJP (Meskele dan Mekonnen, 2014). Faktor reproduksi yang merupakan bagian dari faktor individu juga dapat mempengaruhi penggunaan MKJP seperti jumlah anak hidup (Nasution, 2011; Kavanaugh dkk, 2011; Goldstone dkk, 2014), riwayat aborsi (Mestad dkk, 2011; Connolly dkk, 2014; goldstone dkk, 2014; Kavanaugh dkk, 2011), umur pertama melahirkan (Jingbo dkk, 2013; Teffera dan Wondifraw, 2015; Gudayne et al, 2014). Pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015), wanita yang memiliki lebih dari 4 anak berpeluang 5,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki anak. Pada penelitian Jingbo dkk (2013) diperoleh adanya hubungan yang signifikan dan korelasi yang positif antara umur pertama melahirkan dengan penggunaan MKJP. Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi seperti umur (Nasution, 2011; Bernadus dkk, 2013; Getinet dkk, 2014; Goldstone dkk, 2014; Meskele dan Mekonnen, 2014), tingkat pendidikan (Dewi dan Notobroto, 2014; Teffera dan Wondifraw, 2015; Getinet dkk, 2014; Nasution, 2011), tingkat penghasilan (Teffera dan Wondifraw, 2015; Kurniawati, 2002), status pekerjaan (Teffera dan Wondifraw, 2015; Kurniawati, 2002) juga memiliki pengaruh terhadap 7
penggunaan MKJP. Pada penelitian Shegaw Getinet et al (2014) wanita yang memperoleh pendidikan formal mempunyai peluang 2 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak memperoleh pendidikan formal. Pada penelitian yang dilakukan di Etiopia, wanita yang memiliki pendidikan tinggi memiliki peluang 2,8 kali memakai MKJP dibandingkan yang tidak berpendidikan (Meskele dan Mekonnen, 2014). Selain pendidikan, pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil bahwa wanita yang bekerja mempunyai peluang 1,7 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Selain pendidikan dan pendapatan, pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) juga menemukan bahwa wanita dengan pendapatan keluarga tinggi memiliki peluang 4,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki pendapatan keluarga rendah. Faktor eksternal diluar inidividu juga dapat berpengaruh terhadap penggunaan MKJP seperti tempat pelayanan KB (Greenberg dkk, 2013; Nasution, 2011). Pada penelitian Nasution (2011) di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara diperoleh hasil akseptor KB yang mendapatkan pelayanan KB di fasilitas pemerintah memiliki peluang 6,33 kali lebih besar menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang mendapatkan pelayanan KB di fasilitas lainnya. Kota Tangerang Selatan memiliki 25 Puskesmas di wilayah kerjanya. Puskesmas Pamulang merupakan salah satu Puskesmas yang terdapat di Tangerang Selatan. Cakupan MKJP di Puskesmas Pamulang masih jauh di bawah 8
capaian Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Cakupan MKJP di Puskesmas Pamulang hanya 6,4% (Profil Dinkes Tangsel, 2013). Diantara 25 Puskesmas di Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Pamulang menempati urutan ke 20 berdasarkan persentase cakupan MKJP. Sebagai Puskesmas yang sudah lebih dulu ada dibandingkan dengan Puskesmas lain di Tangerang Selatan, seharusnya Puskesmas Pamulang dapat meningkatkan kualitas pelayanan dibandingkan dengan Puskesmas lainnya, salah satunya dengan meningkatkan cakupan MKJP. Puskesmas Pamulang, selain memiliki cakupan MKJP yang rendah, juga memiliki persentase kehamilan risiko tinggi yang meningkat tiap tahun. Pada tahun 2012 persentase kehamilan risiko tinggi di Puskesmas Pamulang mencapai 19%, pada tahun 2013 meningkat menjadi 20%. Dilihat dari situasi tersebut, perlu adanya peningkatan cakupan MKJP. Berdasarkan studi pendahuluan, pada tahun 2014 diantara akseptor KB di wilayah Puskesmas Pamulang hanya 4,9% yang memakai MKJP, sedangkan Januari 2015 sebesar 7,5%. Melihat rendahnya pemakaian MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang, peneliti ingin mengetahui determinan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang pada akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014. B. Rumusan Masalah Angka kelahiran di Indonesia mengalami stagnansi dari 2002 sampai 2013. Target untuk menurunkan angka kelahiran belum tercapai. Salah satu
9
langkah konkrit dalam penurunan angka kelahiran adalah dengan penggunaan kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi selama ini didominasi oleh kontrasepsi jangka pendek yaitu pil dan suntik yang memiliki angka drop out tinggi. Keadaan ini mendorong adanya peningkatan penggunaan MKJP. Kontrasepsi yang tidak efektif menyebabkan kehamilan tidak diinginkan. Banyak faktor yang mendorong penggunaan MKJP diantaranya umur menggunakan KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat penghasilan, jumlah anak hidup, riwayat aborsi, umur melahirkan pertama kali, serta diskusi dengan pasangan tentang penggunaan kontrasepsi dan tempat pelayanan KB. Puskesmas Pamulang berdasarkan studi pendahuluan memiliki prevalensi MKJP rendah (<26,7%). Oleh karena itu, peneliti tertarik mengetahui determinan penggunaan MKJP pada Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014. C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan jenis kontrasepsi yang digunakan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014? 2. Bagaimana
distribusi
frekuensi
akseptor
KB
berdasarkan
faktor
sosiodemografi dan sosioekonomi (umur menggunakan KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan dan tingkat penghasilan) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014?
10
3. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor kognitif (status diskusi dengan suami tentang MKJP) di wilayah kerja Puskemas Pamulang tahun 2014? 4. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor reproduksi (umur melahirkan, jumlah anak hidup, dan riwayat aborsi) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014? 5. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor pelayanan (tempat pelayanan KB) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014? 6. Apakah umur menggunakan KB akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 7. Apakah tingkat pendidikan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 8. Apakah status pekerjaan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 9. Apakah tingkat penghasilan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 10. Apakah status diskusi dengan pasangan tentang MKJP berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 11. Apakah umur pertama melahirkan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 12. Apakah jumlah anak hidup akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 11
13. Apakah riwayat aborsi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? 14. Apakah tempat pelayanan KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014? D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya determinan penggunaan MKJP pada Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014. 2. Tujuan Khusus a.
Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan jenis kontrasepsi yang digunakan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014
b.
Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor sosiodemografi dan sosioekonomi (umur menggunakan KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan dan tingkat penghasilan) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014
c.
Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor kognitif (status diskusi dengan suami tentang MKJP) di wilayah kerja Puskemas Pamulang tahun 2014
12
d.
Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor reproduksi (umur melahirkan, jumlah anak hidup, dan riwayat aborsi) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014
e.
Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor pelayanan (tempat pelayanan KB) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014
f.
Diketahuinya umur menggunakan KB akseptor KB yang berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
g.
Diketahuinya tingkat pendidikan akseptor KB yang berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
h.
Diketahuinya status pekerjaan akseptor KB yang berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
i.
Diketahuinya tingkat penghasilan akseptor KB yang berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
j.
Diketahuinya status berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
13
k.
Diketahuinya umur pertama melahirkan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
l.
Diketahuinya jumlah anak hidup akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
m. Diketahuinya riwayat aborsi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 n.
Diketahuinya tempat pelayanan KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pembuatan program untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP 2. Bagi Puskesmas Pamulang dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Bagi Puskesmas Pamulang khususnya pemegang program KB dan PLKB di masing-masing kelurahan diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam strategi peningkatan cakupan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.
14
3. Bagi masyarakat Bagi masyarakat khususnya Wanita Usia Subur (WUS), penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai MKJP sehingga dapat termotivasi untuk menggunakan metode tersebut dalam mengontrol angka kelahiran. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi terkait penggunaan MKJP sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut. F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan epidemiologi analitik dengan desain studi case control unmatched. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui determinan penggunaan MKJP pada akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah akseptor KB yang tercatat di register kohort KB di Puskesmas Pamulang. Kelompok kasus (MKJP) dan kontrol (non MKJP) diambil secara purposive sampling berdasarkan status penggunaan MKJP yang tercatat di kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014. Data di kumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa peminatan Epidemiologi program studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak pengolah data untuk menggambarkan analisis univariat dan bivariat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-September 2015.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Keluarga Berencana Berdasarkan Undang-Undang No.52/2009, keluarga berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan umur ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (Bakar, 2014). Keluarga berencana juga merupakan suatu proses yang disadari oleh pasangan untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran serta waktu kelahiran anak (Stright, 2004). B. Epidemiologi Keluarga Berencana Di dunia, Pada dari tahun 2005 sampai 2012 diantara Wanita Usia Subur (WUS), CPR (Contraception Prevalens Rate) sebesar 63%. Negara dengan CPR tertinggi adalah Norway dengan 87% dan negara terendah adalah Sudan Selatan dengan 4%. Dari data tersebut, Indonesia memiliki CFR yang lebih rendah dari capaian dunia yaitu 61% (WHO, 2013). Di Indonesia, pada periode 2009-2011 prevalensi KB cenderung tetap pada kisaran angka 67,5 persen. Pada tahun 2013, berdasarkan hasil survei 2013 prevalensi KB cara modern sebesar 64,6%. Secara keseluruhan terdapat 17 provinsi yang mencapai prevalensi KB modern di atas nasional (>64,6 persen). 16
16
provinsi lainnya masih mencapai posisi prevalensi KB modern lebih rendah dari angka nasional (<64,6 persen). 16 provinsi tersebut mencakup DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Aceh, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua (BKKBN, 2013). Metode kontrasepsi yang digunakan peserta KB didominasi oleh suntikan, selanjutnya pil KB, berturut-turut 36,0 persen dan 15,1 persen. Metode kontrasepsi yang dipakai berikutnya adalah susuk KB (5,2 persen), IUD (4,7 persen), dan MOW (2,2 persen). Sedangkan pemakaian metode kontrasepsi modern untuk pria masih rendah yaitu 1,2 persen, terdiri dari sterilisasi pria 0,2 persen dan kondom 1,0 persen (BKKBN, 2013). MKJP, termasuk IUD dan implan didalamnya, mempunyai efektifitas tinggi dalam mencegah kehamilan tidak diinginkan. Di Amerika Serikat, sejak digunakan tahun 2002,
IUD menyumbang proporsi MKJP
terbanyak.
Perbandingan 2006-2010 dengan 2011-2013, penggunaan IUD meningkat 83% (dari 3,5% menjadi 6,4%), dibandingkan dengan penggunaan implan (dari 0,3 menjadi 0,8) (Branum and Jones, 2015). Penggunaan MKJP lebih tinggi pada wanita umur 25-34 tahun dibandingkan dengan umur 15-24 dan usia 35-44 tahun sejak tahun 2002 sampai tahun 2013 di Amerika Serikat. Selain memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari pada kelompok umur lain, penggunaan MKJP umur 25-34 tahun juga meningkat 17
tiap tahunnya, dari 2,9% pada tahun 2002 menjadi 5,3% pada tahun 2006-2010, kemudian naik kembali menjadi 11,1% pada tahun 2011-2013. Peningkatan tiap tahunnya juga terjadi pada penggunaan MKJP umur 15-24 tahun dan 35-44 tahun, dari 0,6% dan 1,1% pada tahun 2002 menjadi 2,3% dan 3,8% pada tahun 20062010. Prevalensi MKJP umur 15-24 tahun dan 35-44 tahun naik kembali pada tahun 2011-2013 menjadi 5,0% dan 5,3% (BKKBN, 2013). Di Indonesia, Dalam target RPJMN periode tahun 2010-2014, telah ditetapkan bahwa target MKJP peserta KB aktif pada akhir 2014 adalah 27,5 persen (BKKBN, 2011, BKKBN, 2013). Selanjutnya pada target tahunan, ditetapkan bahwa pada tahun 2013 target MKJP yang diharapkan dapat dicapai adalah 26,7 persen. Namun demikian beberapa hasil penelitian kesertaan KB di Indonesia belum mencapai angka tersebut. Prevalensi MKJP (MOW, MOP, Susuk KB dan IUD) selama periode survei 2003-2013 juga berfluktuasi. Pada awal tahun 2003 – 2004 prevalensi MKJP mengalami kenaikan, yaitu dari 14,9% menjadi 16,2%. Hasil survei pada tahun 2005-2010 mengalami penurunan, yaitu dari 13,7 p ke 11,6 persen; kemudian meningkat kembali pada tahun 2011 menjadi 12,7% dan sedikit menurun pada tahun 2013 menjadi 12,4% (BKKBN, 2013). Bila diamati perkembangan mix MKJP yaitu peserta KB MKJP di antara semua peserta KB modern juga menunjukkan pola serupa dengan perkembangan prevalensi MKJP. Mix MKJP cenderung menurun pada 2003 s/d 2007, yaitu dari 22-24 persen menjadi 17,2%, selanjutnya secara perlahan meningkat sehingga 18
menjadi 19,1% pada 2013. Sementara itu SDKI 2012 mencatat hasil mix MKJP 17,6%. Pencapaian MKJP bersumber utama dari pemakaian IUD dan Implan. Penggunaan IUD sebelumnya terus menurun, namun tiga tahun terakhir tampak bertahan atau tidak berubah. Perkembangan pemakaian implant relatif stabil. Sementara pencapaian MOP, MOW sampai dengan sekarang relatif rendah dan tidak terjadi peningkatan (BKKBN, 2013). C. Kontrasepsi Kontrasepsi merupakan suatu langkah pencegahan kehamilan yang masuk kedalam program Keluarga Berencana pemerintah. Berikut penjelasannya: 1. Definisi Kontrasepsi Kontrasepsi berasal dari kata “kontra” dan “konsepsi”. Kontra berarti mencegah atau melawan; konsepsi berarti pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dengan sel sperma yang mengakibatkan terjadinya kehamilan. Kontrasepsi berarti menghindari/mencegah terjadinya pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma, sehingga tidak terjadinya kehamilan (BKKBN, 2015). Kontrasepsi adalah pencegahan kehamilan yang disadari pemakainya. Keputusan dalam penggunaan kontrasepsi dapat berimplikasi pada individu maupun sosial. Dalam memilih kontrasepsi yang sesuai, seorang wanita harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain orientasi agama, nilai-nilai sosial dan budaya, kontraindikasi medis, kontraindikasi psikologis, ekspresi
19
seksual individu, biaya, ketersediaan fasilitas kamar mandi dan kerahasiaan, dukungan padangan dan kerelaan untuk bekerja sama, gaya hidup personal (Stright, 2004). Metode kontrasepsi yang paling baik adalah metode yang paling nyaman dan alamiah bagi pasangan tersebut dan harus digunakan dengan benar dan konsisten. Efektivitas kontrasepsi (Stright, 2004): a. Efektivitas maksimal adalah efektivitas metode dalam kondisi-kondisi yang ideal (misalnya, bila metode secara lengkap dipahami dan digunakan sesuai prosedur dan rekomendasi yang ada) b. Efektivitas tipikal adalah efektivitas metode pada penggunaan aktual, hal ini dapat terjadi saat sebagian orang menggunakan metode tersebut dengan benar dan sesuai prosedur, namun sebagian lain menggunakan metode tersebut secara sembarangan dan tidak tepat sehingga menghasilkan efek yang berbeda tergantung dengan tipe pemakainya. Contohnya, pada kontrasepsi pil, terdapat akseptor yang meminum pil sesuai jadwal dan rekomendasi yang diberikan. Disisi lain terdapat akseptor yang meminum pil tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan rekomendasi yang diberikan. Hal ini menyebabkan risiko kehamilan tidak diinginkan besar terjadi pada akseptor KB pil yang meminum dengan jadwal yang tidak teratur dan tidak sesuai dengan rekomendasi.
20
2. Macam-Macam Metode Kontrasepsi Pilihan metode kontrasepsi yang ada sangat beragam. Selain beragam, banyak pula kelompok pembagian metode kontrasepsi. Berdasarkan kandungannya, kontrasepsi dapat dibagi menjadi kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi non hormonal. Kontrasepsi hormonal terdiri dari pil, injeksi (suntik) dan implan sedangkan kontrasepsi non hormonal terdiri dari MAL (Metode Amenore Laktasi), kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dan Kontrasepsi Mantap (Tubektomi dan Vasektomi) (BKKBN, 2012). Kontrasepsi merupakan salah satu strategi pemerintah dalam upaya menurunkan angka fertilitas. Dewasa ini, efektifitas metode kontrasepsi menurun dikarenakan faktor pemakainya yang terkadang tidak patuh prosedur. Terdapat pula pembagian metode kontrasepsi berdasarkan lama efektivitasnya, kontrasepsi dibagi menjadi: a. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang terdiri dari IUD, implan, MOP, dan MOW (BKKBN, 2011). b. Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MKJP) yang terdiri dari kondom, pil, suntik, dan metode-metode lain yang tidak termasuk dalam MKJP. 3. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Metode Kontrasepsi Jangka Panjang atau disingkat dengan MKJP merupakan kontrasepsi yang dapat dipakai dalam jangka waktu lama lebih 21
dari 2 tahun, efektif dan efisien untuk tujuan pemakaian menjarangkan kelahiran lebih dari 3 tahun atau mengakhiri kehamilan atau sudah tidak ingin tambah anak lagi (BKKBN, 2009). Kontrasepsi yang tergolong dalam MKJP terdapat beberapa jenis. Implan, IUD, MOW dan MOP merupakan jenis MKJP. Penjelasan lebih lanjut mengenai MKJP adalah sebagai berikut (Glasier, 2005): a.
Kontrasepsi Implan Metode kontrasepsi hormonal ini paling efektif, tidak permanen dan dapat mencegah kehamilan antara 3 hingga 5 tahun. Terdapat beberapa jenis kontrasepsi implan yaitu (Glasier, 2005): 1) Norplant 6 kapsul yang bermuatan 216 mg levonorgestrel, panjang kapsul 34 mm dengan diameter 2,4 mm, dipasang menurut konfigurasi kipas di lapisan subdermal lengan atas 2) Jadell (Norplant) 2 kapsul, memakai levonorgestrel 150 mg dalam kapsul 43 mm dan diameter 2,5 mm 3) Implanon (Organon, Oss, Netherlands) Kapsul tunggal yang mengandung etonogestrel (3-ketodesogestrel), dikemas dalam trokar steril yang sekaligus disertai dengan pendorong (inserter) kapsul sehingga pemasangan hanya butuh waktu 1-2, 5 menit, pemakaian hanya untuk 3 tahun. Keefektifan 22
implanon mendekati 100% dalam mencegah kehamilan, pertama dengan menghambat ovulasi dan kedua dengan mempertebal mukus serviks (Andrews, 2009). 4) Implan lainnya Implan-1 menggunakan Nestorone atau ST-1435, menghambat ovulasi dan tidak terikat dengan sex hormone-binding globulin (SHBG) serta tanpa efek estrogenik atau androgenik, satu kapsul. Implan-2 setara dengan 1095-1460 pil progestin yang harus diminum tiap hari, kemasan 2 kapsul yang masing-masing berisi 75 mg levonorgestrel dalam kantong plastik steril, diinsersikan subdermal pakai trokar, hanya diperlukan pendorong untuk menempatkan kedua kapsul pada lapisan subdermal pakai trokar, hanya diperlukan pendorong untuk menempatkan kedua kapsul pada lapisan subdermal lengan atas klien, masa pakai 3-4 tahun, efektivitas tinggi. Cara kerja kontrasepsi implan ini adalah dengan menghambat ovulasi, menyebabkan endometrium tidak siap untuk nidasi dan mempertebal lendir serviks serta menipiskan lapisan endometrium. Efektivitas metode ini sangat tinggi, dengan tingkat kegagalan hanya 13%. Metode ini tidak boleh dipakai oleh wanita dengan indikasi hamil/diduga hamil, perdarahan pervaginam, tumor/keganasan, penyakit jantung, kelainan haid, darah tinggi, kencing manis. 23
b. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)/Intrauterine Device (IUD) Metode kontrasepsi IUD sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (sampai 10 tahun: CuT-380°). Ketika memakai metode ini, haid akan menjadi lebih lama dan lebih banyak. Metode ini juga dapat dipakai oleh semua perempuan usia produktif. Namun, metode ini tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar Infeksi Menular Seksual (IMS). Terdapat 2 jenis IUD yaitu IUD CuT-380° dan NOVA T (Glasier, 2005). Cara kerja metode kontrasepsi model ini adalah dengan menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii, IUD juga mempengaruhi fertilitas sebelum ovum mencapai kavunm uteri, mencegah sperma dan ovum bertemu serta memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus. Sebagai salah satu metode kontrasepsi jangka panjang, pemakai metode kontrasepsi jenis ini harus memenuhi syarat sebagai berikut: usia
produktif,
keadaan
nulipara
(tidak
hamil),
menginginkan
kontrasepsi jangka panjang, status menyusui tidak dipermasalahkan (AKDR tidak mempengaruhi produksi ASI), dapat dipasang pada wanita setelah abortus atau setelah melahirkan, tidak menghendaki metode hormonal, tidak menghendaki kehamilan dalam waktu dekat, dan tidak mengidap penyakit menular seksual atau infeksi menular seksual (BKKBN, 2011). 24
IUD dapat dipasang setiap waktu dalam siklus haid (wanita dipastikan tidak hamil), hari 1 sampai hari ke 7 siklus haid, segera setelah persalinan (48 jam pertama atau 4 minggu pasca persalinan), setelah 6 bulan bila menggunakan metode amenorea laktasi (MAL), setelah abortus (segera atau dalam kurun waktu 7 hari) apabila tidak ada gejala infeksi, dan selama 1 sampai 5 hari setelah sanggama yang tidak dilindungi (Glasier, 2005). Pengguna metode IUD harus kembali memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan setelah 4 sampai 6 minggu pemasangan IUD. Selama bulan pertama pemasangan IUD, benang IUD harus diperiksa secara rutin terutama setelah haid, setelah melewati bulan pertama pemasangan, pemeriksaan keberadaan benang hanya perlu dilakukan setelah haid. Akseptor perlu kembali ke pelayanan kesehatan apabila benang IUD tidak teraba, merasakan bagian yang keras dari IUD, IUD terlepas, siklus terganggu atau meleset, keluar cairan dari vagina yang mencurigakan dan adanya infeksi. Jenis IUD Copper T-380A perlu dilepas setelah 10 tahun pemasangan, tetapi dapat dilakukan lebih awal apabila diinginkan. Efektivitas IUD sangat tinggi dapat mencapai 10 tahun. Namun, IUD tidak dapat digunakan pada wanita yang memiliki indikasi diantaranya, sedang hamil, perdarahan vagina, sedang mengalami infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), sering menderita abortus septik, 25
kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim, penyakit tropoblas yang ganas, menderita TBC pelvik, kanker alat genital dan ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm (Glasier, 2005). c.
Kontrasepsi Mantap Kontrasepsi Mantap atau yang biasa disebut “Kontap” adalah metode kontrasepsi dengan tindakan pembedahan pada saluran telur wanita atau saluran mani pria yang mengakibatkan akseptor KB ini tidak akan memperoleh keturunan. Karena kontrasepsi ini menyebabkan akseptor tidak akan memperoleh keturunan selamanya (steril) maka penggunaan kontrasepsi ini harus dilakukan atas dasar sukarela. Terdapat beberapa metode kontrasepsi mantap yaitu (Glasier, 2005): 1) Tubektomi Tubektomi atau Metode Operasi Wanita (MOW) adalah salah satu metode Kontap dengan cara operasi pada wanita dengan cara dilakukannya tindakan penutupan (pemotongan, pengikatan, pemasangan cincin) pada kedua saluran telur kanan dan kiri sehingga sel telur tidak dapat melewati saluran telur. Walaupun masuk kedalam metode sterilisasi, tubektomi bukan merupakan tindakan pengebirian atau pembuangan kedua indung telur.
26
2) Vasektomi Vasektomi atau Metode Operasi Pria (MOP) adalah salah satu metode kontrasepsi mantap dengan cara operasi pada pria yang dilakukan
dengan
menutup
(pemotongan,
pengikatan,
atau
pemasangan cincin) terhadap kedua saluran mani kanan dan kiri sehingga sel mani tidak bisa keluar pada waktu sanggama. Walaupun masuk kedalam metode sterilisasi, tubektomi bukan merupakan tindakan pengebirian atau pembuangan buah zakar. Metode kontrasepsi mantap ini tidak dapat digunakan pada Akseptor yang memiliki indikasi keadaan kesehatan kurang baik, mengalami gangguan pembekuan darah, alergi terhadap obat-obat anastesi,
infeksi
waktu
melahirkan
(intrapartum)
dan
nipas,
peradangan panggul dan atau organ reproduksi, obesitas, kelainan patologik organ reproduksi. Akseptor yang telah melakukan kontap seperti tubektomi dapat melakukan rekanalisasi Tuba Falopii. Rekanalisasi tuba falopii adalah operasi rekanalisasi dengan teknik bedah micro. Teknik ini selain menyambung kembali tuba falopii juga menjamin kembalinya fungsi tuba falopii. Namun, tidak semua pasien pasca tubektomi dapat mudah menjalankan rekanalisasi. Rekanalisasi tidak dapat dilakukan pada wanita yang usianya > 37 tahun, mempunyai masalah pada ovarium, memiliki suami 27
oligospermi atau azoospermi, kesehatan tidak baik dimana kehamilan dapat memperburuk kesehatannya, mengidap tuberkulosis genital interna, perlekatan organ-organ pelvik yang luas dan berat, memiliki tuba yang sehat terlalu pendek (kurang dari 4 cm) dan memiliki infeksi pelvis yang masih aktif. D. Kontrasepsi dalam Perspektif Islam Kontrasepsi adalah alat atau obat yang bertujuan untuk menjarangkan kehamilan atau membatasi jumlah anak (Sinsin, 2008). Pada orang yang telah menikah keputusan untuk menunda kehamilan dan mencegah kehamilan tergantung pada masing-masing pasangan. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara menunda kehamilan dan membatasi kehamilan (Sudaryanto, 2014). Menunda kehamilan adalah ditundanya masa kehamilan pada waktu tertentu. Sedangkan, membatasi kehamilan adalah masa kehamilan ditunda untuk selama-lamanya. Dalam islam membatasi kehamilan dengan alasan yang tidak jelas hukumnya haram. Sedangkan, untuk menunda kehamilan diperbolehkan (Sudaryanto, 2014). Islam memperbolehkan umatnya menggunakan KB jika jarak kehamilan membuat ibu lebih sehat secara fisik dan ayah secara keuangan lebih nyaman dan terlebih lagi karena tindakan ini tidak melanggar larangan dalam Al-Quran atau tradisi Nabi (Sunnah). Jika kesuburan yang berlebihan menyebabkan risiko kesehatan yang telah terbukti untuk ibu dan anak-anak, atau kesulitan ekonomi
28
serta ketidakmampuan orang tua untuk membesarkan anak-anak mereka dengan baik, umat Islam diizinkan untuk mengatur jumlah kehamilan (Azzam, 2012). Ada beberapa alasan dalam islam untuk memperbolehkan penggunaan kontrasepsi diantaranya adalah (Azzam, 2012): 1. Menghindari risiko kesehatan untuk anak yang menyusui. 2. Menghindari risiko bagi ibu yang memiliki interval kelahiran yang pendek. 3. Menghindari kehamilan istri yang sudah sakit. 4. Menghindari penularan penyakit dari orang tua kepada keturunannya. Jika penggunaan kontrasepsi ini dengan alasan karena takut miskin, takut tidak bisa membiayai kehidupan anak-anak, dsb, maka ini hukumnya haram secara mutlak karena telah berprasangka buruk kepada Allah (Gray, 2010). Terkait dengan kebijakan pemerintah dalam penggunaan kontrasepsi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu forum islam di Indonesia mengeluarkan fatwa terkait dengan keluarga berencana dan kontrasepi. Isi dari fatwa MUI tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Islam membenarkan isi pelaksanaan Keluarga Berencana yang ditujukan demi kesehatan ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak. Pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar sukarela, dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang oleh Islam
2.
Pengguguran kandungan dalam bentuk apa pun dan pada tingkat kehamilan kapanpun diharamkan oleh islam, karena perbuatan itu 29
tergolong pembunuhan. Ini termasuk pengaturan waktu haid dengan menggunakan pil. Pengecualian diberikan hanya jika pengguguran dilakukan demi menolong jiwa si ibu. 3.
Vasektomi dan tubektomi dilarang dalam islam, kecuali dalam keadaan darurat, seperti untuk menolong jiwa orang yang hendak menjalani vasektomi atau tubektomi.
4.
Penggunaan IUD (Intra Uterine Devices) dalam Keluarga Berencana (KB) dibenarkan, asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau, dalam keadaan tertentu, oleh dokter lelaki dengan dihadiri oleh kaum wanita lain atau suami pasien.
E. Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Faktor eksternal maupun faktor internal dapat mempengaruhi penggunaan MKJP. Berikut faktorfaktor yang mempengaruhi status penggunaan MKJP berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu adalah sebagai berikut: 1. Umur Umur wanita usia subur berhubungan erat dengan penggunaan MKJP. Umur dalam pengaruhnya dengan pemakaian KB berperan sebagai faktor intrinsik. Umur berpengaruh dengan struktur organ, fungsi organ, komposisi biokimiawi dan sistem hormonal. Pada suatu periode umur tertentu, dapat menyebabkan perbedaan pada kontrasepsi yang dibutuhkan. Periode umur
30
wanita di atas 30 tahun sebaiknya mengakhiri kehamilan setelah mempunyai 2 orang anak, sehingga pilihan utama alat kontrasepsinya adalah kontrasepsi mantap misalnya vasektomi atau tubektomi, karena kontrasepsi ini dapat dipakai untuk jangka panjang dan tidak menambah kelainan yang sudah ada. Pada masa usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan dan metabolik biasanya meningkat, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan cara kontrasepsi yang menambah kelainan tersebut (Dewi dan Notobroto, 2014). Pada penelitian Mengistu Meskele dan Wubegzier Mekonnen (2014), yang meneliti mengenai faktor yang berhubungan dengan minat wanita dalam menggunakan MKJP, memperoleh hasil bahwa wanita dengan umur 25-34 tahun berpeluang 0,59 tidak berminat menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita dengan umur 15-24 tahun, namun hasil yang tidak berhubungan antara umur dengan penggunaan MKJP diperoleh saat analisis dikontrol dengan variabel pengganggu (confounding). Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil bahwa jumlah yang paling besar adalah akseptor KB pengguna non MKJP berumur 20-30 tahun sebesar 33,3%, sedangkan akseptor KB pengguna MKJP persentase lebih besar berumur >30 tahun sebesar 29,8%. Uji logistik pengaruh umur akseptor KB dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP menunjukkan nilai p= 0,005 < α= 0,05 sehingga dapat
31
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh umur responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP. Pada penelitian Nasution (2011)
yang meneliti
faktor-faktor
penggunaan MKJP di 6 Provinsi di Indonesia, diperoleh hasil umur juga memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Umur Pasangan Usia Subur (PUS) < 30 tahun memiliki risiko untuk tidak menggunakan MKJP lebih tinggi dibandingkan dengan PUS umur > 30 tahun. Namun, Hasil yang tidak berhubungan antara umur dengan penggunaan MKJP diperoleh pada Provinsi Sumatera. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil sejalan dimana akseptor KB yang berumur 30 tahun atau lebih berpeluang 4,2 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur kurang dari 30 tahun. Pada penelitian Mestad dkk (2012) juga menunjukkan hasil adanya hubungan antara umur dengan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) pun demikian, didapatkan hasil akseptor KB yang berumur 25-34 tahun berpeluang 1,99 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur 15-24 tahun, sedangkan akseptor KB yang berumur ≥ 35 tahun berpeluang 2,12 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur 15-24 tahun.
32
Pada penelitian Shegaw Getinet dkk (2014) juga diperoleh hubungan antara umur dengan pemakaian MKJP, umur 30-34 berpeluang 2 kali menggunakan MKJP daripada umur 15-24 tahun. Namun hasil yang tidak berhubungan juga diperoleh pada hubungan yang telah dikontrol dengan variabel pengganggu. Hasil yang berbeda didapat pada penelitian Gudaynhe dkk (2013). Pada penelitian tersebut didapatkan hasil hubungan yang negatif antara wanita dengan umur 30-34 terhadap penggunaan MKJP (AOR: 0,345). Hal ini berarti wanita yang memiliki umur 20-24 tahun 3,69 kali mempunyai peluang untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki umur 30-34 tahun. 2. Tingkat Pendidikan Pendidikan menjadi salah satu faktor yang mencegah atau mendorong seseorang dalam bertindak, misalnya dalam memilih metode kontrasepsi yang akan digunakan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang diberikan seseorang kepada orang lain yang sedang berusaha mencapai kedewasaan dalam arti normatif dengan menggunakan cara berupa alat, bahasa atau media guna mencapai perubahan tingkah laku dan tujuan (Herijulianti, 2001). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi mampu menyerap informasi dan lebih mampu mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan atau efek samping bagi kesehatan. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. 33
Orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. (Dewi dan Notobroto, 2014). Menurut Teffera dan Wondifraw (2015) wanita yang berpendidikan mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya keluarga berencana untuk dirinya dan untuk keluarganya. Wanita yang berpendidikan mempunyai pengetahuan yang lebih tentang ketersediaan metode kontrasepsi dan mempunyai kesempatan untuk memutuskan tempat pelayanan yang diinginkan. Pada penelitian Shegaw Getinet dkk (2014), wanita yang memperoleh pendidikan formal mempunyai peluang 2 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak memperoleh pendidikan formal. Pada penelitian Nasution (2011) juga diperoleh hasil tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan tingkat pendidikan tidak sekolah/tidak tamat SLTP dan tamat SD/ tamat SLTP saja memiliki peluang yang lebih tinggi untuk tidak menggunakan MKJP dibandingkan dengan Pasangan Usia Subur (PUS) dengan tingkat pendidikan tamatan SMA ke atas di 6 Provinsi yang menjadi wilayah penelitian. Pada penelitian Dewi dan Notobroto, 2014 diperoleh hasil terdapat pengaruh tingkat pendidikan responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS
34
menggunakan MKJP yang dapat dilihat dari hasil uji logistik menunjukkan nilai p= 0,015 < α= 0,05. Namun, pada penelitian Pangestika (2010) diperoleh hasil tidak ada hubungan antara pendidikan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian Adhyani dkk (2011) juga diperoleh hasil yang tidak signifikan antara pendidikan dengan penggunaan MKJP. Sama halnya pada hasil penelitian Mestad dkk (2012) juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara pendidikan SMA dengan pendidikan Perguruan Tinggi dalam penggunaan MKJP. Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) yang dilakukan di Etiopia Barat juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara akseptor KB yang tidak sekolah atau jenjang pendidikan kedua dengan penggunaan MKJP jika dibandingkan dengan akseptor yang kuliah. 3. Status Pekerjaan Pekerjaan ada berbagai jenis, jenis pekerjaan adalah macam-macam kegiatan melaksanakan tugas pokok, setiap pekerjaan juga mempunyai sifat yang berbeda-beda, ada yang membutuhkan waktu 24 jam ada pula yang hanya beberapa jam (Bratakusumah dan Solihin, 2004). Pekerjaan mempengaruhi seseorang dalam menggunakan MJKP. Ibu yang bekerja cenderung lebih mudah bergaul dan menerima informasi baru yang didapatkan. Hubungan antar status pekerjaan dengan pemakaian MKJP dapat disebabkan karena akseptor KB yang bekerja memiliki kesempatan untuk 35
memperoleh informasi baik dari teman kerja atau dari media lain sehingga kesempatan untuk menggunakan MKJP dapat lebih besar. Selain itu, akseptor KB yang bekerja juga mempertimbangkan berbagai hal seperti waktu pemakainan KB jangka pendek (Non MKJP) yang harus diminum tiap hari seperti pil atau tiap bulan seperti suntik yang dapat menyita banyak waktu serta tidak efektif. Menurut Fienalia (2012), wanita bekerja kemungkinan lebih menyadari kegunaan dan manfaat KB serta lebih mengetahui pilihan metode yang ada jika dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil bahwa wanita yang bekerja mempunyai peluang 1,7 kali (CI:1,3-2,2) menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil yang signifikan antara status pekerjaan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa akseptor KB dengan status bekerja berpeluang 1,529 menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja. Namun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati (2002) dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara pekerjaan dengan penggunaan MKJP. 4. Tingkat Penghasilan Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan, dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan dan/atau menimbun serta menambah kekayaan. Menurut Pasal 4 ayat 1 UU PPh yang 36
dimaksudkan dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun (Judisseno, 2005). Penghasilan memiliki pengaruh terhadap penggunaan MKJP. Semakin tinggi penghasilan seorang keluarga/wanita semakin memungkinkan untuk menggunakan MKJP. Hal ini dapat disebabkan karena dengan penghasilan yang cukup dapat membuat seseorang mampu untuk membayar transportasi dan biaya prosedural penggunaan MKJP (Teffera dan Wondifraw, 2015). Berdasarkan penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil bahwa indeks kekayaan berpengaruh terhadap penggunaan MKJP. Wanita yang memiliki indeks kekayaan tinggi memiliki peluang 4,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki indeks kekayaan rendah. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hubungan yang signifikan antara indeks kekayaan dengan status penggunaan MKJP, dimana akseptor KB yang mempunyai indeks kekayaan dalam kategori mampu berpeluang 1,440 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan kategori miskin. Namun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati (2002) dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara penghasilan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian Pangestika (2010) juga memperoleh hasil 37
tidak ada hubungan antara penghasilan dengan penggunaan MKJP, begitu pula yang ditemukan pada penelitian Fienalia (2012) diperoleh hasil tidak ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan status penggunaan kontrasepsi. Kota Tangerang Selatan mempunyai UMK (Upah Minimum Kota) yang lebih tinggi dibandingkan DKI Jakarta. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Tahun 2014, UMK Tangerang Selatan Mencapai 2.440.000 rupiah. Tahun 2015 UMK Tangerang Selatan naik kembali menjadi 2.710.000 rupiah (Keputusan Gubernur, 2014). 5. Tempat Tinggal Daerah tempat tinggal dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Daerah tempat tinggal biasanya dibedakan berdasarkan rural dan urban. Pada penelitian Nasution (2011) diperoleh hasil tempat tinggal memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) yang tinggal di perkotaan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan Pasangan Usia Subur (PUS) yang tinggal di pedesaan di 4 Provinsi yang menjadi wilayah penelitian. Hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada Provinsi Jawa dan Sulawesi. 6. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan 38
domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat terus menerus dan bertahan lama (Sunaryo, 2004). Proses adopsi perilaku menurut Rogers (1974) dimulai dari kesadaran akan stimulus yang diberikan, kemudian ada rasa ketertarikan terhadap stimulus, lalu dilanjutkan dengan proses menimbang-nimbang tentang baik tidaknya stimulus tersebut. Setelah menimbang-nimbang, individu masuk pada tahapan mencoba menerapkan perilaku baru yang dipaparkan, kemudian setelah dicoba dan merasa nyaman, individu akan mengadopsi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap, dan kesadarannya terhadap stimulus yang diberikan (Sunaryo, 2004). Tingkatan pengetahuan didalam kognitif ada 6 yaitu (Sunaryo, 2004): a. Tahu Tahu artinya dapat mengingat suatu informasi yang telah diberikan sebelumnya. Ukuran seseorang tahu akan sebuah informasi adalah orang tersebut dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan. Tahu merupakan tingkatan paling rendah dalam pengetahuan b. Memahami Pada
tingkat
memahami
seseorang
tidak
hanya
dapat
menyebutkan dan menguraikan, tetapi juga dapat menjelaskan,
39
memberikan contoh dan juga dapat menyimpulkan suatu informasi yang diberikan c. Penerapan Penerapan yaitu kemampuan menggunakan informasi yang diterima pada situasi dan kondisi nyata. d. Analisis Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek kedalam bagian-bagian kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain. e. Sintesis Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Ukuran seseorang memiliki pengetahuan pada tingkatan ini adalah orang tersebut dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada. f. Evaluasi Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek atau informasi yang diberikan. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri. Pengetahuan berhubungan dengan penggunaan MKJP. Pengetahuan akseptor KB sangat erat kaitannya terhadap pemilihan alat kontrasepsi, karena 40
dengan adanya pengetahuan yang baik terhadap metode kontrasepsi tertentu akan merubah cara pandang akseptor dalam menentukan kontrasepsi yang paling sesuai dan efektif digunakan sehingga membuat pengguna KB lebih nyaman terhadap kontrasepsi tersebut. Pengetahuan yang baik akan alat kontrasepsi dapat menghindari kesalahan dalam pemilihan alat kontrasepsi yang paling sesuai bagi pengguna itu sendiri (Dewi dan Notobroto, 2014). Pada penelitian Gebremichael dkk (2013) diperoleh hasil bahwa wanita dengan pengetahuan sedang berpeluang 4,2 kali lebih besar menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita dengan pengetahuan rendah, dan wanita dengan pengetahuan tinggi berpeluang 4,2 kali lebih besar menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita dengan pengetahuan rendah. Pada penelitian Shegaw Getinet dkk (2014), juga diperoleh hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan penggunaan MKJP. Pengetahuan menengah meningkatkan peluang 3,4 kali dan pengetahuan tinggi meningkatkan peluang 2,3 kali menggunakan MKJP. Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014),
tingkat pengetahuan
responden kelompok pengguna non MKJP cenderung lebih kurang daripada kelompok pengguna MKJP, dimana hasil persentase menunjukkan sebesar 91,7% dibandingkan reponden pengguna MKJP hanya 8,3%. Pengaruh pengetahuan responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP nilai p= 0,000 < α= 0,05. Disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pengetahuan responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan 41
MKJP. Namun, hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Mengistu Meskele dan Wubegzier Mekonnen (2014) yang memperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan minat wanita dalam menggunakan MKJP. 7. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau informasi,
baik
yang
bersifat
internal
maupun
eksternal
sehingga
manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu. Tingkatan sikap adalah menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab (Sunaryo, 2004). Sikap berhubungan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian Gebremichael dkk (2013) diperoleh hasil bahwa wanita dengan sikap positif terhadap MKJP mempunyai peluang 2 kali lebih besar menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki sikap negatif terhadap MKJP. Hasil yang serupa diperoleh pada penelitian Mengistu Meskele dan Wubegzier Mekonnen (2014) yang memperoleh hasil wanita yang memiliki sikap positif 2,5 kali lebih mungkin menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki sikap negatif terhadap MKJP. Pada penelitian Shegaw Getinet et al (2014) juga diperoleh hasil bahwa wanita dengan sikap
42
positif berpeluang 3 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita dengan sikap negatif terhadap MKJP. 8. Mendengar Mitos dan Kesalahpahaman tentang MKJP Mitos adalah cerita-cerita yang menyingkapkan atau menerangkan pandangan hidup seseorang. Pada zaman sekarang, pembuat mitos yang paling berpengaruh adalah media massa (F Fore, 2002). Mitos dan kesalahpahaman yang terdapat di masyarakat mengenai MKJP seperti IUD dapat menyebabkan radang panggul, IUD dapat mengakibatkan kemandulan, kontra indikasi pada wanita yang belum pernah hamil, MKJP dapat meningkatkan berat badan, implan menyebabkan perdarahan, IUD tidak dapat menghentikan kehamilan, MKJP menyebabkan kehamilan ektopik, MKJP menyebabkan siklus menstruasi menjadi tidak teratur, IUD menyakitkan, MKJP menyebabkan rambut rontok, MKJP menyebabkan osteoporosis, IUD tidak muat di panggul wanita dan masih banyak lagi kesalahpahaman dan mitos mengenai MKJP di masyarakat (SH&FPA, 2013 dan Russo et al, 2013). Berbagai penelitian menunjukan adanya hubungan antara pernah mendengar mitos dan kesalahpahaman terkait kontrasepsi dengan status penggunaan kontrasepsi. Pada penelitian Mengistu Meskele dan Wubegzier Mekonnen (2014), yang meneliti mengenai faktor yang berhubungan dengan minat wanita dalam menggunakan MKJP, memperoleh hasil bahwa wanita yang tidak pernah mendengar mitos dan kesalahpahaman tentang MKJP berpeluang 1,7 kali menggunakan MKJP. Pada penelitian Kakaire O et al 43
(2014) yang dilakukan dengan metode kualitatif juga memperoleh hasil bahwa mitos dan kesalahpahaman mengenai MKJP dapat mempengaruhi persepsi wanita. 9. Diskusi dengan Pasangan/Suami tentang MKJP Ketika sudah menjadi pasangan suami istri, suami merupakan orang pertama yang berpengaruh terhadap berbagai pengambilan keputusan. Salah satunya adalah pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Suami berperan penting dalam menentukan kontrasepsi yang akan dipakai sebagai aplikasi program keluarga berencana. Salah satu hal yang memberikan peluang akseptor untuk menggunakan MKJP adalah dengan berdiskusi oleh pasangan (Gudaynhe dkk, 2014). Adhyani dkk (2011) mengatakan bahwa seorang istri di dalam pengambilan keputusan untuk memakai atau tidak memakai alat kontrasepsi membutuhkan persetujuan dari suami karena suami dipandang sebagai kepala keluarga, pelindung keluarga, pencari nafkah dan seseorang yang dapat membuat keputusan dalam suatu keluarga. Pengetahuan yang memadai tentang alat kontrasepsi, dapat memotivasi suami dan untuk menganjurkan istrinya memakai alat kontrasepsi tersebut. Berdasarkan penelitian Gudaynhe dkk (2014) diskusi suami istri ditemukan memiliki hubungan yang signifikan, wanita yang sudah menikah yang memiliki pengalaman berdiskusi dengan suami tentang kontrasepsi 1,8 kali memiliki peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan yang tidak 44
pernah berdiskusi dengan suami [AOR (95%CI) = 1.876(1. 159, 3.036)]. Hal ini mungkin terjadi karena jika tidak ada diskusi antara suami dan istri, akan menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap penggunaan MKJP. Pada penelitian Yalew dkk (2015) diperoleh hasil wanita yang memiliki frekuensi sering berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP memiliki peluang 3,89 kali lebih tinggi menggunakan MKJP dibandingkan dengan yang hanya berdiskusi sekali atau dua kali saja. 10. Umur Pertama Melahirkan Umur pertama melahirkan yang ideal, menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ditentukan dan dipengaruhi oleh risiko yang diakibatkan dari melahirkan, kemampuan tentang perawatan kehamilan, pasca persalinan dan masa diluar kehamilan dan persalinan, serta derajat kesehatan reproduksi. Di beberapa penelitian, umur pertama melahirkan dikaitkan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian Jingbo dkk (2013) diperoleh adanya hubungan antara umur pertama melahirkan dengan penggunaan MKJP (p<0,001) dan korelasi yang positif (CC=0,598). Namun, banyak penelitian yang mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara usia pertama melahirkan dengan penggunaan MKJP seperti pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) dan penelitian Gudayne dkk (2014). 11. Jumlah Anak Hidup Jumlah anak yang dimiliki Pasangan Usia Subur (PUS) dapat mempengaruhi status penggunaan MKJP. Salah satu faktor yang menentukan 45
keikutsertaan PUS dalam berKB adalah banyaknya anak yang dimilikinya, diharapkan pasangan yang memiliki jumlah anak lebih banyak kemungkinan untuk memulai kontrasepsi lebih besar dibandingkan pasangan yang mempunyai anak lebih sedikit (Dewi dan Notobroto, 2014). Jumlah anak mulai diperhatikan setiap keluarga karena semakin banyak anak semakin banyak pula tanggungan kepala keluarga dalam mencukupi kebutuhan materil selain itu juga untuk menjaga kesehatan sistem reproduksi karena semakin sering melahirkan semakin rentan terhadap kesehatan ibu. Semakin banyak anak yang dimiliki maka semakin besar kecenderungan untuk menghentikan kesuburan sehingga lebih cenderung untuk memilih metode kontrasepsi mantap. Jumlah anak hidup yang dimiliki seorang wanita, akan memberikan pengalaman dan pengetahuan, sehingga wanita dapat mengambil keputusan yang tepat tentang cara atau alat kontrasepsi yang akan dipakai (Dewi dan Notobroto, 2014). Berdasarkan laporan dari SDKI 2012, hampir 50% wanita menikah menyatakan tidak ingin mempunyai anak lagi (termasuk yang telah disterilisasi). Kelompok ini diharapkan akan melakukan penjarangan kelahiran. Sekitar 15% wanita menikah menyatakan ingin menambah anak segera; 6% belum memutuskan kapan ingin menambah anak; dan 5% belum memutuskan apakah akan menambah anak. Sebagian besar (sekitar 50%) responden SDKI 2012, baik wanita maupun pria, menyatakan ingin memiliki
46
2 anak dan sekitar 20% menginginkan 3 anak. Relatif sedikit yang menyebutkan ingin memiliki 5 anak atau lebih. Pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil yang signifikan antara jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP. Wanita yang memiliki lebih dari 4 anak berpeluang 5,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki anak. Hal ini dapat disebabkan wanita yang telah memiliki anak telah mencapai targetnya dalam ukuran keluarga. Oleh karena itu, wanita lebih menyukai metode yang efektif dalam mencegah kehamilan. Pada penelitian Nasution (2011) yang dilakukan di 6 Provinsi di Indonesia memperoleh hasil bahwa jumlah anak memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan jumlah anak 0-2 berpeluang lebih tinggi tidak menggunakan MKJP dibandingkan dengan PUS yang memiliki anak 3 atau lebih di 6 Provinsi di Indonesia yang menjadi tempat penelitian. Penelitian Megan L. Kavanaugh dkk (2011) yang dilakukan di United States menggunakan data sekunder pada tahun 2002 dan 2006-2008 juga memperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian Nasution (2011) yaitu jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP baik tahun 2002 maupun 20062008 memiliki hubungan signifikan (1-2 anak 2002 OR=5,8; 2006-2008 OR 22,1, ≥3 anak 2002 OR=5,0; 2006-2008 OR=8,7). 47
Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil responden pengguna non MKJP sebagian besar memiliki anak >4 dibandingkan dengan responden pengguna MKJP yang memiliki anak ≤2. Uji logistik menunjukkan nilai p= 0,000 < α= 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh jumlah anak responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP. Namun pada penelitian Philip Goldstone dkk (2014) diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan jumlah anak dengan penggunaan MKJP. 12. Riwayat Aborsi Aborsi adalah tindakan menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”, yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Hal ini merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Aborsi pada wanita yang sedang mengandung anak dapat terjadi dengan cara sengaja maupun tidak sengaja (aborsi.org, 2004). Aborsi dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan sifat kejadiannya yaitu spontan/alamiah, aborsi sengaja, dan aborsi terapetik. Aborsi spontan/alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau dapat disebabkan karena kelalaian atau ketidaksiapan ibu saat mengandung seorang anak (Chang, 2009). Aborsi buatan/sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan 48
disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Aborsi terapeutik/medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang (aborsi.org, 2004). Dalam berbagai penelitian, riwayat aborsi dihubung-hubungkan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian kavanaugh dkk (2011) riwayat aborsi dihubungkan dengan penggunaan MKJP, namun diperoleh hasil yang negatif antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian goldstone dkk (2014) dibahas bahwa wanita yang memiliki riwayat aborsi lebih dari 3 kali cenderung memilih IUD (RR: 3,30;95% CI, 2.67-4.85) dan implant
(RR,1,51;95%CI,1.12-2.03)
dalam
penggunaan
kontrasepsi
dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Pada penelitian Connolly dkk (2014) juga diperoleh hubungan yang signifikan antara penurunan aborsi dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang (p=0,04) pada remaja. Pada penelitian Mestad dkk (2011) diperoleh hasil tidak ada hubungan antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP. 13. Tempat Pelayanan KB Tempat pelayanan KB dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Fasilitas pelayanan KB dibagi atas 49
pemerintah dan swasta. Baik pelayanan pemerintah maupun swasta, semua fasilitas pelayanan KB harus melakukan upaya-upaya dalam peningkatan akseptor KB. Salah satu peranan fasilitas pelayanan KB baik pemerintah maupun swasta adalah melakukan pelayanan preventif yaitu dengan mengutamakan metode terpilih MKJP (IUD, implan, MOW, MOP) selain non MKJP) (BKKBN, 2014). Pada penelitian Nasution (2011) diperoleh hasil sumber pelayanan KB memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan sumber pelayanan KB dari Pemerintah dan Swasta memiliki peluang yang lebih tinggi untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan Pasangan Usia Subur (PUS) dengan sumber pelayanan KB lain di 4 Provinsi yang menjadi wilayah penelitian. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada Provinsi Jawa dan Sumatera. Pada penelitian Katherine Blumoff Greenberg dkk (2013), tempat pelayanan KB juga memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan MKJP. F. Kerangka Teori Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang. Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi adalah faktor yang melekat dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi seseorang dalam
50
melakukan suatu tindakan (Maulana, 2009). Faktor sosiodemografi yang mempengaruhi seseorang dalam bertindak misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan dan tempat tinggal, sedangkan faktor sosioekonomi misalnya pekerjaan dan pendapatan (Gaol, 2013). Faktor kognitif adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berpikir lebih kompleks, serta kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Faktor kognitif seseorang dapat dibentuk oleh paparan lingkungan eksternal. Suatu tindakan seperti pemilihan metode kontrasepsi dipengaruhi faktor kognitif seperti pengetahuan, sikap, mitos yang didengar serta diskusi dengan pasangan atau suami (Semiun, 2006). Faktor reproduksi merupakan karakteristik yang terkait dalam sistem reproduksi seorang wanita, yang juga menggambarkan risiko-risiko kesehatan yang ada sehingga dapat dijadikan pertimbangan seseorang dalam hal kehamilan dan kelahiran (BKKBN, 2011). Faktor reproduksi yang berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi yaitu jumlah anak hidup, umur pertama kali melahirkan, dan riwayat aborsi. KB merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Sebagai suatu program, faktor pelayanan sangat berpengaruh terhadap tingkat penggunaan kontrasepsi di masyarakat (BKKBN, 2014). Faktor pelayanan yang dapat mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi adalah tempat pelayanan KB. Berdasarkan sifatnya tempat pelayanan KB dibagi berdasarkan kategori pelayanan swasta (praktik bidan swasta, RS 51
swasta atau klinik swasta) dan pelayanan pemerintah (Puskesmas atau RS pemerintah). Berikut kerangka teori determinan penggunaan MKJP: Bagan 2.1 Kerangka Teori Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi: 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor Kognitif: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Mitos dan ketidakpahaman tentang MKJP 4. Status diskusi dengan suami tentang MKJP
Umur Tingkat pendidikan Status pekerjaan Tingkat penghasilan Tempat tinggal
Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Faktor Pelayanan:
Faktor Reproduksi:
1. Tempat pelayanan
1. Umur pertama kali melahirkan 2. Jumlah anak hidup 3. Riwayat aborsi
Sumber: Dimodifikasi dari Gudayne dkk (2014)
52
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan diteliti, untuk mendeskripsikan secara jelas antara variabel dependen dengan variabel independennya (Kemenkes RI, 2012). Variabel independen yang diteliti adalah faktor sosiodemografi dan sosioekonomi, faktor kognitif faktor reproduksi, dan faktor pelayanan. Berikut penjelasan pentingnya variabel tersebut diteliti: 1.
Umur penting untuk diteliti, karena ketika seorang wanita sudah berada pada umur yang cukup tua (>30 tahun) maka risiko kesehatan yang dialami akan meningkat, sehingga berbahaya jika terjadi kehamilan. Hal tersebut dapat mendorong wanita menggunakan metode kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan seperti MKJP.
2.
Tingkat Pendidikan juga penting untuk diteliti karena tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menerima informasi yang diberikan, salah satunya informasi mengenai pilihan metode kontrasepsi. Hal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan terkait metode kontrasepsi yang akan digunakan.
53
3.
Status pekerjaan ibu juga penting untuk diteliti karena hal ini terkait dengan akses terhadap informasi dan pengaruh orang sekitar yang dapat berpengaruh terhadap pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
4.
Tingkat penghasilan penting diteliti karena berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Hal ini menyangkut dengan biaya penggunaan kontrasepsi jangka panjang dan biaya transportasi yang digunakan untuk mengakses pelayanan.
5.
Status diskusi dengan suami juga penting diteliti, karena suami merupakan orang paling dekat dan orang pertama yang dapat memberikan pengaruh pada akseptor. Diskusi dengan suami tentang MKJP dapat mempengaruhi keputusan akseptor untuk menggunakan MKJP.
6.
Umur melahirkan pertama kali juga penting diteliti karena umur melahirkan memberikan pengaruh terhadap faktor reproduksi wanita. Wanita akan memiliki risiko lebih besar terhadap komplikasi jika melahirkan pada umur < 18 tahun.
7.
Jumlah anak juga penting untuk diteliti karena ketika seseorang merasa anak yang dimiliki sudah cukup maka orang tersebut cenderung untuk memilih metode kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan.
8.
Riwayat aborsi juga penting untuk diteliti karena aborsi/keguguran dapat terjadi akibat kegagalan kontrasepsi. Wanita yang pernah memiliki riwayat aborsi atau keguguran cenderung akan memilih metode kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan. 54
9.
Tempat pelayanan KB juga penting untuk diteliti karena penggunaan MKJP oleh akseptor KB dapat disebabkan oleh pengaruh tempat pelayanan yang dikunjungi. Hal ini juga terkait dengan ketersediaan fasilitas di pelayanan tersebut. Berdasarkan kerangka teori yang ada, terdapat variabel yang tidak diteliti
dari kerangka teori yaitu pengetahuan, sikap, kesalahpahaman tentang MKJP yang termasuk pada kategori faktor kognitif. Variabel ini tidak diteliti karena penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yaitu variabel ditanyakan adalah variabel sebelum atau awal ketika menggunakan kontrasepsi. Maka akan menimbulkan
bias
informasi
jika
variabel
pengetahuan,
sikap,
dan
kesalahpahaman terhadap MKJP dijadikan variabel penelitian. Variabel lain yang tidak diteliti adalah variabel tempat tinggal karena homogen. Semua wilayah yang dijadikan lokasi penelitian masuk kedalam daerah urban.
55
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Umur Menggunakan KB Tingkat Pendidikan
Status Pekerjaan Tingkat Penghasilan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP Umur Pertama Melahirkan Jumlah Anak Hidup Riwayat Aborsi Tempat Pelayanan KB
56
B. Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel Variabel Dependen 1. Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Definisi Operasional
Alat Ukur Cara Ukur
Responden yang Kuesioner menggunakan salah satu dari MKJP seperti IUD, Implan, atau MOW
Variabel Independen 1. Umur Umur responden setelah Kuesioner menggunakan persalinan terakhir dan mulai KB menggunakan kontrasepsi yang digunakan saat ini, dihitung dalam tahun 2.
Tingkat Pendidikan
Jenjang sekolah formal Kuesoiner tertinggi yang dicapai oleh responden pada saat awal menggunakan kontrasepsi yang saat ini digunakan setelah persalinan terakhir
57
Hasil Ukur
Skala Ukur
Dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden
0. Kasus (Jika Ordinal menggunakan MKJP) 1. Kontrol (Jika tidak menggunakan MKJP)
Dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden
0. > 30 tahun 1. ≤ 30 tahun
Dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden
Ordinal
(Asih dan Oesman, 2009) 0. Pendidikan tinggi Ordinal (SMA, Diploma atau Perguruan Tinggi) 1. Pendidikan rendah (SD atau SMP) (Nasution, 2011)
No Variabel 3. Status Pekerjaan
Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Kuesioner Dengan cara 0. Bekerja Ordinal 1. Tidak Bekerja menyebarkan kuesioner kepada (Teferra dan Wondifraw, responden 2015)
4.
Kuesioner
5.
6.
Definisi Operasional Kegiatan ekonomi yang dilakukan responden dengan maksud memperoleh pendapatan atau keuntungan saat mulai menggunakan kontrasepsi yang sekarang digunakan Tingkat Penghasilan yang diperoleh rumah tangga dalam 1 bulan Penghasilan sebelum menggunakan kontrasepsi yang sekarang digunakan saat ini, bentuk rupiah diklasifikasikan berdasarkan Upah Minimum Kota Tangerang Selatan Status diskusi Status responden pernah atau dengan suami tidak pernah tentang MKJP membicarakan/berbincangbincang/berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP sebelum menggunakan kontrasepsi yang digunakan saat ini
Dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden
0. Tinggi jika Ordinal >2.442.000 1. Rendah jika ≤ 2.442.000
(BPS, 2014) Kuesioner
Umur pertama Umur saat responden Kuesioner kali melahirkan pertama kali melahirkan dalam satuan tahun
58
Dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden
0. Ya (jika pernah Ordinal berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP) 1. Tidak (jika tidak pernah berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP)
(Gunaydhe dkk, 2014) Dengan cara 0. < 18 tahun menyebarkan 1. ≥ 18 tahun kuesioner kepada responden (Getinet dkk, 2014)
Ordinal
No Variabel 7. Jumlah hidup
8.
9.
Definisi Operasional anak Total anak yang dilahirkan dan masih hidup sampai pada saat responden mulai menggunakan kontrasepsi yang digunakan saat ini Riwayat Aborsi Pengalaman aborsi responden baik aborsi spontan maupun medis sebelum menggunakan kontrasepsi yang sekarang digunakan Tempat Tempat awal responden pelayanan KB memperoleh pelayanan kontrasepsi yang digunakan saat ini
Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Kuesioner Dengan cara 0. 3 atau lebih 1. 1 atau 2 menyebarkan kuesioner kepada (Fienalia, 2012) responden Kuesioner Dengan cara 0. Ada 1. Tidak ada menyebarkan kuesioner kepada responden (Kavanaugh et al, 2011) Kuesioner
59
Dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden
Skala Ukur Ordinal
Ordinal
0. Swasta (praktik Ordinal bidan swasta, RS swasta, atau klinik swasta) 1. Pemerintah (Puskesmas dan RS permerintah (Nasution, 2011)
C. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang dirancang oleh peneliti adalah: 1. Umur akseptor >30 tahun berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 2. Akseptor yang bekerja berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 3. Tingkat pendidikan tinggi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 4. Tingkat penghasilan tinggi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 5. Diskusi dengan suami tentang MKJP berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 6. umur pertama kali melahirkan <18 tahun akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 7. Jumlah anak hidup 3 atau lebih akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 8. Adanya riwayat aborsi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 9. Tempat pelayanan KB di fasilitas swasta berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
60
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi case control unmatched. Studi kasus kontrol adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan sebab akibat (exposureoutcome), dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparan. Dalam penelitian ini, kelompok kasus adalah pengguna MKJP, sedangkan kelompok kontrol adalah bukan pengguna MKJP (Non MKJP). Desain studi case control dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar peluang dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014. Kelemahan desain case control adalah dapat terjadinya bias informasi akibat pertanyaan yang bersifat masa lalu (recall). Oleh karena itu, untuk meminimalisir bias informasi, informasi yang dikumpulkan sesuai kondisi awal menggunakan kontrasepsi yang saat ini digunakan setelah persalinan terakhir.
61
Bagan 4.1 Desain Penelitian Apakah ada faktor risiko/peluang?
Retrospektif
Penelitian Mulai dari sini
Kasus (Pengguna Metode Kontrasepsi Jangka Panjang)
Ya
Tidak
Ya
Kontrol (Pengguna Metode Kontrasepsi Non Jangka Panjang)
Tidak B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang, yang terdiri dari 4 kelurahan yaitu kelurahan Pamulang Barat, Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik dan Pondok Cabe Ilir. Penelitian ini dilakukan pada Februari-September 2015. Lokasi penelitian dipilih karena penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014 rendah yaitu hanya 6,4% dimana target BKKBN yang harus dicapai adalah 26,7%. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi penelitian (population study) adalah akseptor KB si Puskesmas Pamulang tahun 2014. Populasi penelitian terdiri dari kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus merupakan akseptor KB yang
62
menggunakan MKJP yaitu IUD, implan atau MOW. Sedangkan kontrol merupakan akseptor KB yang tidak menggunakan MKJP (Non MKJP) yaitu suntik dan pil. Selain itu, penentuan populasi penelitian yang dapat diteliti (eligible population) adalah akseptor yang telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus dan kontrol yaitu: a.
Kasus Kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus adalah sebagai berikut : 1) Kriteria Inklusi a) Akseptor KB yang menggunakan salah satu MJKP yaitu implan, IUD, atau MOW dan tercatat di kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014 (n=48) b) Akseptor KB yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Wilayah kerja Puskesmas Pamulang terdiri dari empat kelurahan yakni Kelurahan Pamulang Barat, Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik dan Pondok Cabe Ilir (n=46). 2) Kriteria Eksklusi a) Tidak
mempunyai
suami
penelitian (n=0)
63
(meninggal/cerai)
pada
saat
b) Tidak pernah melahirkan (n=0) c) Alamat tempat tinggal tidak jelas (n=5) Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah diterapkan pada kelompok kasus, diperoleh kasus yang eligible untuk diteliti sebanyak 41 akseptor KB MKJP. b. Kontrol Kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kontrol adalah sebagai berikut : 1) Kriteria Inklusi a) Akseptor KB yang tidak menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MJKP) yaitu pil atau suntik minimal sejak tahun 2014 (n=640). b) Akseptor KB yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Wilayah kerja Puskesmas Pamulang terdiri dari empat kelurahan yakni Kelurahan Pamulang Barat, Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik dan Pondok Cabe Ilir (n=637). 2) Kriteria Eksklusi a) Tidak
mempunyai
suami
(meninggal/cerai)
penelitian (n=1) b) Akseptor yang hamil pada saat penelitian (n=2) c) Tidak pernah melahirkan (n=0) d) Alamat tidak jelas pada kohort KB (n=58)
64
pada
saat
Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah diterapkan pada kelompok kontrol, diperoleh kontrol yang eligible untuk diteliti sebanyak 576 akseptor KB Non MKJP. 2. Sampel Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu (Ariawan, 1998)
z n
1 / 2
(1 1 / k ) p (1 p ) z1 ( p1 (1 p1 ) ( p2 (1 p2 )) / k ( p1 p2 ) 2
dimana :
dan P = (P1 + kP2)/(1+k) P1
: proporsi paparan pada kelompok kasus
P2
: proporsi paparan pada kelompok kontrol
Peneliti akan menggunakan : a. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1:3 b. Tingkat kemaknaan ( z1 / 2 ) = 5% (1,96) c. Kekuatan uji ( z1 )= 80% (0,84) Dari penelitian sebelumnya, hasil sebagai berikut:
65
2
Variabel Umur
Jumlah anak Diskusi dengan pasangan terkait penggunaan kontrasepsi
P1
Tabel 4.1 Besar Sampel Penelitian P2 OR
N Kasus 0,87 0,62 (Asih 4,2 (Asih 28,65=29 (Asih dan dan dan Oesman, Oesman, Oesman, 2009) 2009) 2009) 0,60 0,28 3,9 19,34=20 (Fienalia (Fienalia (Fienalia 2012) 2012) 2012) 0,87 0,64 3,89 33,06=34 (Yalew (Yalew (Yalew dkk, 2015) dkk, 2015) dkk, 2015)
N Kontrol 87
N Total 116
60
80
102
136
Berdasarkan perhitungan sampel diperoleh sampel minimal sebanyak 136 dengan 34 kasus dan 102 kontrol. Bagan 4.2 Sampel Catatan kohort KB Puskesmas Pamulang Tahun 2014 (n= 688) Akseptor MKJP (Kasus) (n=48) terdiri dari IUD 34, Implan 8, MOW 6
Akseptor Non MKJP (Kontrol) (n=640) terdiri dari suntik 582 dan pil 58
Tinggal di luar wilayah (n=2)
Tinggal di luar wilayah (n=3)
Tidak mempunyai suami (meninggal/cerai) pada saat penelitian (n=0)
Tidak mempunyai suami (meninggal/cerai) pada saat penelitian (n=1)
Akseptor hamil saat penelitian (n=2) Alamat tidak jelas (n=5)
Alamat tidak lengkap (n=58)
Total Akseptor penggunan MKJP = 41
Total Akseptor Non MKJP = 576
Semua Kasus (n=41) Kontrol dengan perbandingan 1:3 (n=123)
66
Berdasarkan kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014 didapatkan pengguna MKJP sebanyak 48, namun 7 kasus dikeluarkan karena tidak memenuhi kriteria inklusi dan memenuhi kriteria eksklusi. Dengan demikian, sampel yang diteliti pada penelitian ini sebanyak 41 kasus dan 123 kontrol. Total sampel yang akan diambil adalah 164. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Kelompok kasus dan kontrol dibagi berdasarkan status penggunaan KB akseptor yang terdapat dikohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014. D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup dan terstruktur sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Variabel-variabel yang ditanyakan dalam kuesioner yaitu umur menggunakan KB, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, umur pertama menikah, umur pertama melahirkan, jumlah anak hidup, riwayat aborsi, dan tempat pelayanan KB. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu tela’ah dokumen dan menyebar kuesioner yang berisi pertanyaanpertanyaan kepada responden terkait determinan penggunaan MKJP. Tela’ah dokumen dilakukan pada kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014 untuk memperoleh jenis kontrasepsi (MKJP atau Non MKJP) yang digunakan Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang dalam menentukan
67
sampel kasus dan kontrol, alamat lengkap, dan nama Pasangan Usia Subur (PUS). Sedangkan, kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner terstruktur dan tertutup. Kuesioner dibagikan pada akseptor yang terdaftar di Kohort KB Puskesmas Pamulang dan masuk sebagai sampel penelitian baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Peneliti mencari alamat responden yang masuk sebagai sampel penelitian kemudian memberikan inform consent dan kuesioner untuk diisi. F. Manajemen Data Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan penelitian setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah (raw data) perlu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data ini dilakukan dengan bantuan sofware pengolah data melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1.
Editing Peneliti melakukan pengecekan isian kuesioner responden dan memastikan responden sudah mengisi dengan benar semua pertanyaan yang telah disajikan. Data yang belum lengkap atau terjadi kekeliruan dalam pengumpulan data diperbaiki dan dilakukan pendataan ulang terhadap responden
2.
Coding Pengkodean dilakukan pertama kali dalam pembuatan jawaban kuesioner. Pilihan jawaban menggunakan kode berupa angka untuk
68
memudahkan dalam tahap pengelolahan data selanjutnya. Variabel yang di coding yaitu status penggunaan MKJP, umur menggunakan KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkatpenghasilan, diskusi dengan suami tentang kontrasepsi, umur pertama kali melahirkan, jumlah anak hidup, riwayat aborsi, dan tempat pelayanan KB. 3.
Entry Data Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden dalam bentuk kode (angka) dimasukkan kedalam software pengolah data.
4.
Cleaning Setelah data dimasukkan, dilakukan pengecekkan kembali data yang telah dimasukkan. Pengecekkan kembali ini guna melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya
kesalahan-kesalahan
kode,
ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembenaran atau koreksi.
G. Analisis Data Analisis data yang akan digunakan pada penelitian ini meliputi dua tahapan, yaitu analisis univariat dan analisis bivariat: a. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan pada semua variabel penelitian untuk melihat frekuensi (jumlah dan proporsi) dari setiap variabel
69
penelitian. Hasil dari analisis univariat disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. b. Analisis Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini akan membandingkan antara kelompok kasus dan kontrol untuk menghasilkan odds ratio (OR) dengan 95% confidence interval (CI). Uji Chi-square digunakan untuk
melihat
hubungan
variabel
dependen
dengan
variabel
independen. Data yang digunakan berupa data kategorik dan hasil analisis berupa OR dan 95% CI pada tiap variabel. Odds Ratio (OR) merupakan ukuran relatif studi kasus kontrol yang menunjukkan berapa banyak kemungkinan paparan (odds exposure) antara kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kriteria odds ratio sebagai berikut (Budiman, 2009): 1.
Nilai OR = 1, bukan merupakan faktor yang berisiko/berpeluang menyebabkan terjadinya kasus
2.
Nilai OR > 1, merupakan faktor yang berisiko/berpeluang menyebabkan terjadinya kasus
3.
Nilai OR < 1, merupakan faktor protektif terjadinya kasus Rumus dari Odds Ratio adalah:
OR=
=
Keterangan: OR
:Odds ratio peluang terhadap penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
70
a/d
:Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang tidak terpapar
c/d
:Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kontrol yang tak terpapar
Adapun signifikansi/kemaknaan nilai OR dalam interpretasi CI 95% yaitu jika rentang nilai lower limit dan upper limit tidak terdapat nilai 1 maka disimpulkan OR bermakna. Sedangkan jika CI 95% dan OR terdapat nilai 1, maka disimpulkan bahwa nilai OR tidak bermakna (Szumilas, 2010).
71
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Pamulang adalah salah satu puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Puskesmas Pamulang menempati tanah seluas ± 2400 m2 di Jalan Surya Kencana No. 1, RT 01, RW 22, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Jumlah penduduk berdasarkan data dari Kecamatan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang sebanyak 155.016 orang dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 33.047 kepala keluarga, tersebar di empat kelurahan. Jumlah Posyandu yang ada sebanyak 69, Posbindu sebanyak 19, dan Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak 1 buah di Kelurahan Pondok Cabe Udik. Jumlah BPS (Bidan Praktik Swasta) yang ada dan memberikan laporan ke Puskesmas Pamulang sebanyak 27 BPS. UPT Puskesmas Pamulang berada di sebelah timur Kota Tangerang Selatan, terletak di wilayah Kecamatan Pamulang dan mempunyai luas wilayah 16,38 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut: 1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat
2.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Setu
3.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Depok
4.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Timur dan Kota Depok
Puskesmas Pamulang mempunyai 4 Kelurahan dalam wilayah kerjanya, yaitu:
72
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 No 1 2 3 4
Nama Kelurahan Pamulang Barat Pamulang Timur Pondok Cabe Ilir Pondok Cabe Udik Jumlah Sumber: Data Kecamatan Pamulang Tahun 2014
Jumlah Penduduk 56.458 36.951 37.663 23.944 155.016
Dari tabel 5.1 tersebut terlihat bahwa kelurahan yang mempunyai jumlah penduduk paling banyak adalah Kelurahan Pamulang Barat, sedangkan kelurahan yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit adalan Kelurahan Pondok Cabe Udik.
B. Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang menggunakan berbagai jenis kontrasepsi yang dikelompokkan berdasarkan MKJP (IUD, implan, MOW) dan non MKJP (suntik dan pil). Dapat dilihat distribusi frekuensi jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut: Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Jenis Kontrasepsi yang Digunakan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Jenis Kontrasepsi Non MKJP Pil Suntik MKJP IUD Implan MOW Total
Jumlah 32 91 28 7 6 164
73
Persentase (%) 19,5 55,5 17,1 4,3 3,7 100,0
Berdasarkan tabel 5.2, dapat dilihat bahwa sebagian besar akseptor KB menggunakan jenis metode kontrasepsi non MKJP yaitu suntik (55,5%). Pada penelitian ini, akseptor KB pengguna MKJP adalah kelompok sampel kasus yang berjumlah 41 akseptor, terdiri dari 27 IUD, 7 implan dan 6 MOW. Sedangkan pengguna non MKJP adalah kelompok sampel kontrol yang berjumlah 123 akseptor, terdiri dari 31 pil dan 91 suntik. C. Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor sosiodemografi akseptor KB diwilayah kerja Puskesmas Pamulang yang diteliti pada penelitian ini yaitu umur menggunakan KB dan tingkat pendidikan, sedangkan faktor sosioekonomi yang diteliti yaitu status pekerjaan dan tingkat penghasilan. Dapat dilihat distribusi frekuensi faktor sosiodemografi dan sosioekonomi pada akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut:
74
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 Kategori
Akseptor KB n (%)
Umur Menggunakan KB >30 tahun ≤30 tahun Jumlah
76 (46,3) 88 (53,7) 164 (100,0)
Tingkat Pendidikan Tinggi (SMA, Diploma, atau Perguruan Tinggi) Rendah (Tidak sekolah, Tidak lulus SD, SD, atau SMP) Jumlah
87 (53,0) 77 (47,0) 164 (100,0)
Status Pekerjaan Bekerja (Buruh, Wiraswasta, PNS, pegawai BUMN/Swasta) Tidak Bekerja Jumlah
33 (20,1) 131 (79,9) 164 (100,0)
Tingkat Penghasilan Tinggi (>2.442.000) Rendah (≤2.442.000) Jumlah
72 (43,9) 92 (56,1) 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.3 terlihat bahwa akseptor KB lebih banyak yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun yaitu sebesar 53,7%. Dari segi pendidikan, lebih banyak yang memiliki kategori pendidikan tinggi (53,0%), sedangkan dari status pekerjaan, sebagian besar akseptor KB tidak bekerja (79,9%). Pada kategori penghasilan, lebih banyak akseptor yang berpenghasilan rendah (56,1%). D. Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor kognitif akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang pada penelitian ini diukur melalui status diskusi akseptor KB dengan suami tentang MKJP. Dapat dilihat distribusi frekuensi faktor kognitif
75
akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut: Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Kognitif di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 Kategori
Akseptor KB n (%)
Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP Ya Tidak Jumlah
96 (58,5) 68 (41,5) 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.4 terlihat bahwa sebelum menggunakan kontrasepsi, akseptor KB lebih banyak yang melakukan diskusi dengan suami terlebih dahulu tentang MKJP (58,5%). E. Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor reproduksi akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang pada penelitian ini terdiri dari umur melahirkan pertama kali, jumlah anak hidup dan riwayat aborsi. Dapat dilihat distribusi frekuensi faktor reproduksi akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut:
76
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 Kategori
Akseptor KB n (%)
Umur Pertama Kali Melahirkan Umur < 18 tahun Umur ≥ 18 tahun Jumlah
10 (6,1) 154 (93,9) 164 (100,0)
Jumlah Anak Hidup 3 atau lebih anak 1 atau 2 anak Jumlah
47 (28,7) 177 (71,3) 164 (100,0)
Riwayat Aborsi Ada Tidak Ada Jumlah
21 (12,8) 143 (87,2) 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.5 terlihat bahwa sebagian besar akseptor KB melahirkan pada umur diatas 18 tahun (93,9%), memiliki anak 1 atau 2 (71,3%) dan tidak memiliki riwayat aborsi/keguguran (87,2%). F. Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor pelayanan akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang dilihat berdasarkan tempat pelayanan yang dikunjungi. Dapat dilihat distribusi frekuensi faktor pelayanan akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut: Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 Kategori
Akseptor KB n (%)
Tempat Pelayanan KB Swasta (Bidan Swasta, Klinik Swasta, RS Swasta) Pemerintah (Puskesmas, RS Pemerintah) Jumlah
77
127 (77,4) 37 (22,6) 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.6 terlihat bahwa sebagian besar akseptor KB lebih banyak mengunjungi tempat pelayanan kesehatan swasta (77,4%) dibandingkan dengan pelayanan kesehatan pemerintah untuk mendapatkan pelayanan Keluarga Berencana (KB). G. Determinan Penggunaan MKJP Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Penggunaan MKJP oleh Akseptor KB dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang dianalisis untuk mengetahui peluang akseptor KB dalam menggunakan MKJP adalah umur menggunakan
KB,
tingkat
pendidikan,
status
pekerjaan,
tingkat
penghasilan, status diskusi dengan suami tentang MKJP, riwayat aborsi, umur pertama kali melahirkan, jumlah anak hidup, dan jenis tempat pelayanan KB yang dikunjungi. Dapat dilihat analisis determinan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014 sebagai berikut: 1. Umur Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis umur akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut:
78
Tabel 5.7 Analisis Hubungan Umur Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Umur Akseptor KB Menggunakan MKJP Non MKJP KB n % n % >30 tahun 30 73,2 46 37,4 ≤30 tahun 11 26,8 77 62,6 Jumlah 41 100,0 123 100,0
Total N 76 88 164
OR
95% CI
% 46,3 4,565 2,090-9,973 53,7 100,0
Berdasarkan tabel 5.7 terlihat bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok yang berumur lebih dari 30 tahun (73,2%), sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak pada kelompok yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun (62,6%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% adalah sebesar 4,565 (2,090-9,973), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 4,565 kali menggunakan MKJP dari pada akseptor KB yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun. 2. Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis tingkat pendidikan akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut:
79
Tabel 5.8 Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Tingkat Pendidikan Tinggi Rendah Jumlah
Akseptor KB MKJP Non MKJP n % n % 22 53,7 65 52,8 19 46,3 58 47,2 41 100,0 123 100,0
Total N 87 77 164
% 53,0 47,0 100,0
OR
1,033
95% CI
0,509-2,099
Berdasarkan tabel 5.8 terlihat bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok pendidikan tinggi (53,7%) dibandingkan dengan kelompok pendidikan rendah (46,3%), begitu pula pada akseptor KB pengguna non MKJP menunjukkan pola distribusi yang sama. Nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 1,033 (0,509-2,099), dengan demikian nilai OR tidak bermakna. 3. Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis status pekerjaan akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.9 Analisis Hubungan Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Status Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Jumlah
Akseptor KB MKJP Non MKJP n % n % 17 41,5 16 13,0 24 58,5 107 87,0 41 100,0 123 100,0
80
Total
OR
95% CI
N % 33 20,1 4,737 2,100-10,687 131 79,9 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.9 terlihat bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok tidak bekerja (58,5%) dibandingkan kelompok bekerja (41,5%), sedangkan akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar tidak bekerja (87,0%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 4,737 (2,10010,687), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang bekerja berpeluang 4,737 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja. 4. Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis tingkat penghasilan akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.10 Analisis Hubungan Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Tingkat Penghasilan Tinggi Rendah Jumlah
Akseptor KB MKJP Non MKJP n % n % 24 58,5 48 39,0 17 41,5 75 61,0 41 100,0 123 100,0
Total N % 72 43,9 92 56,1 164 100,0
OR
2,206
95% CI
1,075-4,528
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok dengan tingkat penghasilan tinggi (58,5%), sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak pada kelompok dengan tingkat penghasilan 81
rendah (61,0%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 2,206 (1,075-4,528), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang berpenghasilan tinggi berpeluang 2,206 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berpenghasilan rendah. 5. Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis status diskusi dengan suami akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.11 Analisis Hubungan Akseptor KB yang Berdiskusi dengan Suami dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Status Diskusi dengan Suami Ya Tidak Jumlah
Akseptor KB MKJP Non MKJP n % n % 39 95,1 57 46,3 2 4,9 66 53,7 41 100,0 123 100,0
Total
OR
95% CI
N % 96 58,5 22,579 5,220-97,665 68 41,5 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.11 terlihat bahwa sebagian besar (95,1%) akseptor KB pengguna MKJP melakukan diskusi dengan suami tentang MKJP, sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang tidak berdiskusi dengan suami (53,7%) dibandingkan dengan yang berdiskusi dengan suami (46,3%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 22,579 (5,22097,665), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang telah berdiskusi dengan suami 82
tentang MKJP terlebih dahulu berpeluang 22,579 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak berdiskusi dengan suami mengenai MKJP. 6. Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis umur pertama kali melahirkan akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.12 Analisis Hubungan Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Umur Pertama Kali Melahirkan Umur < 18 tahun Umur ≥ 18 tahun Jumlah
Akseptor KB Total OR 95% CI MKJP Non MKJP n % n % N % 2 4,9 8 6,5 10 6,1 0,737 0,150-3,620 39 95,1 115 93,5 154 93,9 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.12 terlihat bahwa sebagian besar akseptor KB melahirkan pertama kali pada umur 18 tahun atau lebih, baik pada akseptor KB pengguna MKJP (95,1%) maupun akseptor KB pengguna non MKJP (93,5%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 0,737 (0,150-3,620), dengan demikian nilai OR tersebut tidak bermakna.
83
7. Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis jumlah anak hidup akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.13 Analisis Hubungan Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Jumlah Anak Hidup 3 atau lebih 1 atau 2 Jumlah
Akseptor KB Total OR 95% CI MKJP Non MKJP n % n % N % 20 48,8 27 22,0 47 28,7 3,386 1,605-7,144 21 51,2 96 78,0 117 71,3 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.13 terlihat bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak yang memiliki anak 1 atau 2 (51,2%) dibandingkan dengan yang memiliki anak 3 atau lebih (48,8%) sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar memiliki anak 1 atau 2 (78%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 3,386 (1,605-7,144), dengan demikian nilai OR tersebut bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki anak 3 atau lebih berpeluang 3,386 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor yang memiliki anak 1 atau 2.
84
8. Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis riwayat aborsi akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.14 Analisis Hubungan Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Riwayat Aborsi Ada Tidak Ada Jumlah
Akseptor KB MKJP Non MKJP n % n % 10 24,4 11 8,9 31 75,6 112 91,1 41 100,0 123 100,0
Total
OR
95% CI
N % 21 12,8 3,284 1,278-8,444 143 87,2 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.14 terlihat bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak yang memiliki tidak memiliki riwayat aborsi (75,6%) dibandingkan yang memiliki riwayat aborsi (24,4%), sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar memiliki tidak memiliki riwayat aborsi (91,1%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 3,284 (1,278-8,444), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki riwayat aborsi berpeluang 3,284 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak memiliki riwayat aborsi.
85
9. Tempat Pelayanan KB dengan Penggunaan MKJP di wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Analisis tempat pelayanan KB yang dimanfaatkan akseptor KB dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 5.15 Analisis Hubungan Tempat Pelayanan KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Tempat Pelayanan KB Swasta Pemerintah Jumlah
Akseptor KB Total OR 95% CI MKJP Non MKJP n % n % N % 17 41,5 110 89,4 127 77,4 0,084 0,036-0,195 24 58,5 13 10,6 37 22,6 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.15 terlihat bahwa jumlah akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak yang memanfaatkan tempat pelayanan KB pemerintah (58,5%) dibandingkan dengan yang memanfaatkan pelayanan KB swasta (41,5%), sedangkan akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar memanfaatkan pelayanan swasta (89,4%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 0,084 (0,036-0,195), dengan demikian nilai OR bermakna namun bersifat protektif,
sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
akseptor
yang
memanfaatkan tempat pelayanan KB di swasta mencegah penggunaan MKJP sebesar 0,084 kali dibandingkan dengan akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di Pemerintah.
86
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan dalam Penelitian 1. Pada hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat nilai OR yang memiliki rentang CI (Confident Interval) cukup lebar yaitu pada variabel status diskusi dengan suami tentang MKJP. Walaupun nilai OR yang didapat bermakna, namun rentang yang terlalu lebar ini menandakan nilai presisi pada analisis tersebut rendah sehingga informasi yang didapatkan kurang bernilai. Rentang CI yang terlalu lebar ini dapat mengindikasikan bahwa jumlah sampel terlalu sedikit. 2. Pada penelitian ini tidak diteliti faktor terkait budaya seperti mitos dan ketidakpahaman mengenai MKJP yang hanya dapat digali informasinya secara mendalam dengan cara kualitatif B. Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Kontrasepsi
adalah
tindakan
menghindari/mencegah
terjadinya
pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma, sehingga tidak terjadinya kehamilan (BKKBN, 2015). Terdapat berbagai macam metode kontrasepsi. Berdasarkan lama efektifitasnya, kontrasepsi dibagi menjadi MKJP dan non MKJP. Kontrasepsi yang termasuk dalam kelompok MKJP yaitu IUD, implan, MOP, dan MOW, sedangkan kontrasepsi yang termasuk dalam kelompok non MKJP yaitu kondom, pil, suntik, dan metode-metode lain yang tidak termasuk dalam MKJP (BKKBN, 2011).
87
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah suntik sebesar 55,5%. Sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih banyak yang menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek seperti suntik dan pil. Padahal, angka kegagalan metode KB non MKJP masih cukup tinggi. Angka kegagalan suntik mencapai 6 per 100 akseptor pengguna suntik, yang artinya 6 dari 100 penggunanya tetap mengalami kehamilan setelah menggunakan kontrasepsi suntik, sedangkan angka kegagalan pil mencapai 6-8 kehamilan dari 100 akseptor pengguna pil (Susanto, 2015). Berdasarkan penelitian Asih dan Oesman (2009) yang melakukan analisis lanjut pada data SDKI diperoleh jumlah pemakaian non MKJP sebesar 82,2% sedangkan pemakai MKJP hanya sebesar 17,8%. Data yang diperoleh BKKBN terkait metode kontrasepsi yang digunakan di Indonesia juga menunjukkan hasil sejalan yaitu metode kontrasepsi yang digunakan akseptor KB didominasi oleh suntikan (36%) dan pil KB (15,1%). Oleh karena itu pemerintah sedang melakukan upaya untuk peningkatan MKJP karena dinilai lebih efektif dalam menekan laju pertumbuhan penduduk (Dewi, 2013).
C. Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi adalah faktor yang melekat dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu tindakan (Maulana, 2009). Faktor sosiodemografi yang mempengaruhi seseorang dalam bertindak misalnya umur, jenis kelamin dan pendidikan,
88
sedangkan faktor sosioekonomi misalnya pekerjaan dan pendapatan (Gaol, 2013). Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi yang diteliti dalam penelitian ini yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Pada
penelitian
ini,
diperoleh
hasil
lebih
banyak
akseptor
menggunakan KB pada umur kurang atau sama dengan 30 tahun (53,7%). Menurut Fienalia (2012), umur akseptor KB mempengaruhi metode kontrasepsi yang akan digunakan. Hal ini sejalan jika dilihat dari jenis kontrasepsi yang banyak dipakai adalah non MKJP. Akseptor non MKJP sebagian besar adalah ibu-ibu muda yang memiliki umur kurang dari 30 tahun. Hasil yang diperoleh pada penelitian Nasution (2011) juga diperoleh jumlah Non MKJP di Papua dan Maluku lebih banyak pada umur kurang dari 30 tahun yaitu sebesar 84,91%. Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil bahwa akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak berumur 20-30 tahun (33,3%), sedangkan akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak berumur >30 tahun (29,8%). Berdasarkan kategori pendidikan lebih banyak yang memiliki pendidikan tinggi sebesar 53%. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya suatu hal termasuk dalam pemilihan kontrasepsi (Fienalia, 2012). Pada penelitian Meskele dan Mekonnen (2014) di Etiopia Selatan juga memperoleh hasil pendidikan tinggi memiliki jumlah yang cukup besar pada kelompok pengguna MKJP yaitu sebesar 63,2%. Di Indonesia, pada penelitian Cindra Paskaria (2015) juga memperoleh hasil lebih banyak kategori pendidikan tinggi yaitu 68,77%, sedangkan pada penelitian Asih dan Oesman (2009)
89
menunjukkan jumlah yang sedikit berbeda dimana lebih tinggi pendidikan rendah yaitu 53,7% dari pada pendidikan tinggi, walaupun tidak terpaut jauh. Pada kategori status pekerjaan, lebih banyak Akseptor KB yang tidak bekerja yaitu 79,9%. Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) di Barat Laut Etiopia juga diperoleh jumlah akseptor KB yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) lebih banyak dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain yaitu sebesar 32,5% pada kelompok MKJP dan 39,5% pada kelompok Non MKJP. Di Indonesia, pada penelitian Asih dan Oesman (2009), diperoleh hasil yang berbeda dimana jumlah akseptor KB yang bekerja lebih banyak dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja yaitu sebesar 59,2%. Berdasarkan tingkat penghasilan, lebih banyak akseptor KB yang memiliki penghasilan rendah yaitu sebesar 56,1%, walaupun tidak terpaut jauh dengan akseptor KB yang memiliki penghasilan tinggi (43,9%). Menurut Fienalia (2012) penghasilan seseorang dapat berpengaruh dalam keikutsertaan akseptor menggunakan KB. Pada penelitian Mestad dkk (2012) juga menunjukkan akseptor KB dengan kategori penghasilan rendah lebih banyak yaitu sebesar 73,4%. Namun, pada penelitian Asih dan Oesman, berdasarkan kategori indeks kekayaan menunjukkan hasil yang berbeda dimana lebih banyak akseptor KB yang berada pada kategori mampu yaitu sebesar 63,2%. Begitu pula pada penelitian Paskaria (2015) ditemukan lebih banyak akseptor KB berada pada kategori sosial ekonomi mampu (58,64%) dari pada sosial ekonomi miskin.
90
D. Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor kognitif adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berpikir lebih kompleks, serta kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Faktor kognitif seseorang dapat dibentuk oleh paparan lingkungan eksternal. Suatu tindakan seperti pemilihan metode kontrasepsi sangat berpengaruh terhadap pengaruh eksternal terutama dari pasangan atau suami. Faktor kognitif yang diteliti pada penelitian ini adalah status telah atau tidak pernah akseptor KB berdiskusi dengan suami tentang MKJP (Semiun, 2006). Pada penelitian ini diperoleh lebih banyak akseptor KB yang melakukan diskusi dengan suami tentang MKJP yaitu sebesar 58,5%. Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) juga diperoleh hasil lebih banyak akseptor KB yang melakukan diskusi dengan pasangan baik pada kelompok MKJP (80,8%) maupun pada kelompok Non MKJP (70%). Namun pada penelitian yalew dkk (2015) diperoleh hasil lebih banyak akseptor yang jarang melakukan diskusi dengan suami dibandingkan yang sering melakukan diskusi dengan suami yaitu sebesar 74,7%. E. Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Faktor reproduksi merupakan karakteristik yang terkait dalam sistem reproduksi seorang wanita, yang juga menggambarkan risiko-risiko kesehatan yang ada sehingga dapat dijadikan pertimbangan seseorang dalam hal kehamilan dan kelahiran (BKKBN, 2011). Pada penelitian ini, faktor reproduksi yang diteliti yaitu jumlah anak hidup, umur pertama kali melahirkan, dan riwayat aborsi.
91
Pada penelitian ini, diperoleh hasil berdasarkan kategori jumlah anak akseptor KB sebagian besar memiliki jumlah anak 1 atau 2 (71,3%). Menurut Fienalia (2012), jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita akan mempengaruhi tingkat pemakaian kontrasepsi. Jika dilihat dari jenis kontrasepsi yang paling banyak dipakai adalah non MKJP (suntik 55%), hal ini menunjukkan terdapat pola kecenderungan antara umur dan jenis kontrasepsi, dimana peserta non MKJP sebagian besar adalah ibu yang masih ingin memiliki anak lagi. Data SDKI 2012, jumlah anak yang dimiliki akseptor KB sebagian besar
(70,96%) (Paskaria, 2015). Pada penelitian
Meskele and Mekonnen (2014) di Etiopia Selatan diperoleh hasil yang sedikit berbeda, akseptor KB justru lebih banyak yang memiliki anak 3 atau lebih yaitu sebesar 50,4%, walaupun tidak terpaut jauh dengan yang memiliki anak 1 atau 2. Pada kategori umur melahirkan, sebagian besar (93,3%) akseptor KB melahirkan pertama kali pada usia 18 tahun atau 18 tahun keatas. Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) juga diperoleh hasil bahwa lebih banyak akseptor KB melahirkan pertama kali pada umur diatas 18 tahun yaitu sebesar 41,7% pada kelompok kasus (MKJP) dan 51,7% pada kelompok kontrol (non MKJP). Pada penelitian Gebremichael dkk (2014) juga demikian, jumlah akseptor yang melahirkan diatas usia 18 tahun lebih banyak dari usia dibawah 18 tahun yaitu sebesar 84,3%. Pada kategori riwayat aborsi, sebagian besar akseptor KB tidak memiliki riwayat aborsi (87,2%). Pada penelitian Gebremichael dkk (2014) juga diperoleh hasil bahwa sebagian besar akseptor KB tidak memiliki
92
riwayat aborsi yaitu sebesar 89,5%. Penelitian lain yaitu penelitian Mestad dkk (2012) juga diperoleh hasil lebih banyak yang tidak memiliki riwayat aborsi yaitu sebesar 75,8% dibandingkan yang memiliki riwayat aborsi. Jika dilihat berdasarkan kelompok MKJP dan non MKJP pun pada kedua kelompok lebih banyak yang tidak memiliki riwayat aborsi yaitu berturutturut sebesar 75,6% dan 76%. F. Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 KB merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Sebagai suatu program, faktor pelayanan sangat berpengaruh terhadap tingkat penggunaan kontrasepsi di masyarakat. Pada penelitian ini faktor pelayanan yang diteliti adalah tempat pelayanan KB yang dibagi berdasarkan kategori pelayanan swasta (praktik bidan swasta, RS swasta atau Klinik swasta) dan pelayanan pemerintah (Puskesmas atau RS pemerintah). Tempat pelayanan KB yang banyak dipilih oleh akseptor KB adalah pelayanan swasta yaitu sebesar 77,4%. Pada penelitian Nasution (2011) di Provinsi Maluku dan Papua pada kelompok MKJP paling banyak yang memanfaatkan pelayanan pemerintah yaitu sebesar 29,49% sedangkan pada kelompok Non MKJP paling banyak yang memanfaatkan pelayanan swasta yaitu sebesar 90,29%. Namun hasil yang berbeda di dapat di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara dimana kelompok MKJP lebih banyak yang memanfaatkan pelayanan swasta yaitu sebesar 35,86% dan pada kelompok non MKJP lebih banyak yang memanfaatkan pelayanan pemerintah yaitu
93
sebesar 64,84%. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan ketersediaan tempat pelayanan di masing-masing daerah. G. Determinan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Penggunaan MKJP dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang dihubungkan mempunyai pengaruh terhadap penggunaan MKJP yaitu umur menggunakan KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat penghasilan, status diskusi dengan pasangan/suami, umur melahirkan pertama kali, riwayat aborsi, jumlah anak hidup, dan tempat pelayanan KB. Berikut pembahasan dari hasil statistik yang diperoleh berdasarkan determinan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014: 1. Umur Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Umur Wanita Usia Subur (WUS) dapat mempengaruhi metode kontrasepsi yang akan digunakan. Umur merupakan faktor instrinsik yang mempengaruhi
keputusan
seseorang
dalam
menggunakan
metode
kontrasepsi. Umur berpengaruh dengan struktur organ, fungsi organ, komposisi biokimiawi dan sistem hormonal (Dewi dan Notobroto, 2014). Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar 4,565 (2,090-9,973), dengan demikian nilai OR tersebut bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 4,565 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun. Pada analisis univariat terlihat pula bahwa jumlah Akseptor KB pengguna
94
MKJP lebih banyak yang berumur lebih dari 30 tahun sebesar 73,2%, sedangkan jumlah Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun sebesar 62,2%, dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan umur dengan penggunaan metode kontrasepsi. Di wilayah kerja puskesmas pamulang, akseptor KB yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek seperti pil dan suntik didominasi ibu muda yang masih ingin memiliki anak lagi. Hubungan antara umur dengan penggunaan MKJP yang didapatkan pada analisis juga menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap MKJP hanya digunakan ketika sudah tidak menginginkan anak lagi untuk menghentikan kehamilan. Padahal MKJP merupakan kontrasepsi yang juga efektif untuk menjarangkan kelahiran dan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesuburan contohnya implan dan IUD. Menurut Rosana (2013), memang paradigma masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa MKJP hanya digunakan ketika ingin menghentikan kehamilan. Periode umur tertentu, misal umur diatas 30 tahun, dapat meningkatkan risiko-risiko kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan dan penyakit metabolik lainnya. Risiko kelainan tersebut dapat membahayakan keselamatan jiwa, terlebih ketika terjadinya kehamilan. Hal ini membuat seseorang membutuhkan alat kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan, karena semakin tinggi umur seseorang, risiko kesehatan yang terjadi dapat semakin berat (Dewi dan Notobroto, 2014).
95
Pada penelitian yang dilakukan Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil sejalan dengan penelitian ini, yaitu adanya pengaruh antara umur akseptor KB dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP. Pada analisis univariat diketahui bahwa pada kelompok MKJP lebih banyak pada umur >30 tahun (29,8%) sedangkan kelompok non MKJP lebih banyak pada umur 20-30 tahun (33,3%). Penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian Nasution (2011) yang meneliti faktor-faktor penggunaan MKJP di 6 Provinsi di Indonesia, diperoleh hasil umur memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di 5 provinsi yaitu Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Penelitian tersebut menarik kesimpulan bahwa umur Pasangan Usia Subur (PUS) < 30 tahun memiliki risiko untuk tidak menggunakan MKJP lebih tinggi dibandingkan dengan PUS umur > 30 tahun. Namun, hasil yang tidak berhubungan antara umur dengan penggunaan MKJP diperoleh pada Provinsi Sumatera. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil sejalan dimana akseptor KB yang berumur 30 tahun atau lebih berpeluang 4,2 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur kurang dari 30 tahun. Pada penelitian Mestad et al (2012) juga menunjukkan hasil adanya hubungan antara umur dengan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) pun demikian, didapatkan hasil akseptor KB yang berumur 25-34 tahun berpeluang 1,99 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur 15-24 tahun, sedangkan akseptor KB yang berumur ≥
96
35 tahun berpeluang 2,12 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur 15-24 tahun. Hasil yang berbeda didapat pada penelitian Gudaynhe dkk (2013). Pada penelitian tersebut didapatkan hasil hubungan yang protektif antara akseptor KB dengan umur 30-34 terhadap penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut, wanita yang memiliki usia 20-24 tahun 3,69 kali mempunyai peluang untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki umur 30-34 tahun. Namun, hasil yang tidak sejalan dengan penetilian ini juga diperoleh pada penelitian Meskele dan Mekonnen (2014) dan Shegaw Getinet dkk (2014) dimana diperoleh hasil tidak ada hubungan antara umur dengan keinginan menggunakan MKJP. Hubungan yang diperoleh antara umur dengan penggunaan MKJP pada penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk meningkatan cakupan penggunaan MKJP. Hal ini dapat dilakukan dengan penyuluhan yang difokuskan pada akseptor KB berumur kurang atau sama dengan 30 tahun tentang kelemahan dan kelebihan tiap metode kontrasepsi dan penekanan bahwa MKJP merupakan metode yang aman dan efektif dalam menunda atau menjarangkan kelahiran. 2. Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Pendidikan menjadi salah satu faktor yang mencegah atau mendorong seseorang dalam bertindak, misalnya dalam memilih metode kontrasepsi yang akan digunakan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang diberikan seseorang kepada orang lain yang sedang berusaha
97
mencapai kedewasaan dalam arti normatif dengan menggunakan cara berupa alat, bahasa atau media guna mencapai perubahan tingkah laku dan tujuan (Herijulianti, 2001). Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam menyerap informasi dan mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan atau efek samping bagi kesehatan terhadap pilihan metode kontrasepsi yang ada. Orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru (Dewi dan Notobroto, 2014). Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95% yaitu sebesar 1,033 (0,509-2,099), dengan demikian nilai OR tersebut tidak bermakna. Hal ini dimungkinkan karena pada penelitian ini distribusi pendidikan baik pada kelompok kasus maupun kontrol sama-sama lebih banyak pada akseptor KB kelompok pendidikan tinggi. Hasil yang tidak berhubungan juga dapat dikarenakan pemilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan tidak hanya diputuskan oleh akseptor, tetapi terdapat pengaruh dari orang-orang disekitar akseptor misalnya suami, orang tua atau teman dekat maupun tokoh yang dianggap penting seperti kader kesehatan dan petugas kesehatan di wilayah setempat. Hal ini didukung oleh Faizahlaili (2009) yang mengatakan bahwa penggunaan kontrasepsi dipengaruhi berbagai faktor salah satunya pengaruh orang-orang terdekat. Selain itu, hasil yang tidak berhubungan pada penelitian ini dapat dikarenakan kategori pengelompokkan yang digunakan dimana pendidikan SMA masuk pada kategori pendidikan tinggi sehingga baik kelompok MKJP maupun non MKJP lebih banyak pada kategori pendidikan tinggi.
98
Walaupun pemerintah masih menerapkan wajib belajar 9 tahun yaitu sampai SMP, masyarakat di kota besar saat ini seperti Tangerang Selatan sudah banyak yang mencapai pendidikan sampai SMA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pangestika (2010) diperoleh hasil tidak ada hubungan antara pendidikan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian Adhyani dkk (2011) juga diperoleh hasil yang tidak signifikan antara pendidikan dengan penggunaan MKJP. Sama halnya pada hasil penelitian Mestad dkk (2012) juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara pendidikan SMA dengan pendidikan Perguruan Tinggi dalam penggunaan MKJP. Pada penelitian Paskaria (2015) yang menganalisis data SDKI tahun 2012 juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan akseptor KB dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) yang dilakukan di Etiopia Barat juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara akseptor KB yang tidak sekolah atau jenjang pendidikan kedua dengan penggunaan MKJP jika dibandingkan dengan akseptor yang kuliah. Namun hasil yang berhubungan diperoleh pada kelompok pendidikan perguruan tinggi dengan pendidikan primer, yang berarti akseptor KB yang mencapai level pendidikan sampai perguruan tinggi berpeluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang hanya mencapai level pendidikan primer. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian Asih dan Oesman (2009) dimana pada penelitian tersebut disimpulkan akseptor KB dengan
99
pendidikan diatas SLTP berpeluang 1,086 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan pendidikan SLTP kebawah. Perbedaan hasil juga ditemukan pada penelitian Meskele dan Mekonnen (2014) yang memperoleh hasil bahwa akseptor KB dengan tingkat pendidikan tinggi berpeluang 2,8 kali meningkatkan keinginan untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak berpendidikan. Hasil yang tidak berhubungan pada penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk meningkatkan cakupan MKJP dengan pemberian edukasi yang tidak hanya pada wanita usia subur saja melainkan juga kepada orang-orang terdekat akseptor seperti suami, agar mendorong dan mendukung pasangannya menggunakan MKJP. Selain itu, peran orang berpengaruh seperti kader kesehatan dan petugas kesehatan dengan cara menjadi role model di masyarakat dengan menggunakan MKJP juga dapat dilakukan dalam upaya peningkatan cakupan MKJP.
3. Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Pekerjaan ada berbagai jenis, jenis pekerjaan adalah macammacam kegiatan melaksanakan tugas pokok, setiap pekerjaan juga mempunyai sifat yang berbeda-beda, ada yang membutuhkan waktu 24 jam ada pula yang hanya beberapa jam (Bratakusumah dan Solihin, 2004). Pekerjaan mempengaruhi seseorang dalam menggunakan Metode MJKP. Pada penelitian ini pekerjaan dibagi berdasarkan status bekerja dan tidak bekerja.
100
Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95% yaitu sebesar 4,737 (2,100-10,687), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan akseptor KB yang bekerja berpeluang 4,737 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja. Pada analisis univariat terlihat pula adanya kecenderungan dimana kelompok non MKJP sebagian besar berstatus tidak bekerja (87%). Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang memang sebagian besar merupakan ibu rumah tangga sehingga lebih memiliki banyak waktu untuk menggunakan kontrasepsi jangka pendek seperti pil dan suntik. Akseptor KB yang bekerja berpeluang lebih untuk menggunakan MKJP karena mempertimbangkan berbagai hal seperti waktu pemakaian KB jangka pendek (Non MKJP) yang harus diminum tiap hari seperti pil atau tiap bulan seperti suntik yang dapat menyita banyak waktu serta tidak efektif. Selain itu, Akseptor KB yang bekerja memiliki kesempatan untuk memperoleh informasi baik dari teman kerja atau dari media lain sehingga kesempatan untuk menggunakan MKJP dapat lebih besar. Menurut Fienalia (2012), wanita bekerja kemungkinan lebih menyadari kegunaan dan manfaat KB serta lebih mengetahui pilihan metode yang ada jika dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil sejalan dengan penelitian ini, yaitu wanita yang bekerja mempunyai peluang 1,7 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Pada penelitian Yalew dkk (2015) di Barat Laut Etiopia,
101
juga diperoleh hubungan antara pekerjaan dengan penggunaan MKJP dimana akseptor KB dengan pekerjaan buruh dan pelajar meningkatkan peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor yang tidak bekerja. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil yang signifikan antara status pekerjaan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa akseptor KB dengan status bekerja berpeluang 1,529 menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja. Namun, hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati (2002) dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara pekerjaan dengan penggunaan MKJP. Hasil yang berhubungan antara pekerjaan dengan penggunaan MKJP ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP yaitu dengan melakukan penyuluhan tentang MKJP yang difokuskan pada ibu-ibu rumah tangga melalui kegiatan-kegiatan di lingkungan Rumah Tangga (RT) seperti arisan atau pengajian ibu-ibu oleh kader kesehatan atau ibu-ibu PKK wilayah setempat.
4. Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan, dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan dan/atau menimbun serta menambah kekayaan. Menurut Pasal 4 ayat 1 UU PPh yang dimaksudkan dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
102
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun (Judisseno, 2005). Penghasilan memiliki pengaruh terhadap penggunaan MKJP. Pada penelitian ini, penghasilan akseptor KB dibagi menjadi 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kategori penghasilan tinggi adalah penghasilan diatas upah minimum kota Tangerang Selatan tahun 2014 berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu > 2.442.000, sedangkan penghasilan rendah yaitu ≤ 2.442.000. Berdasarkan analisis diperoleh nilai OR pada CI 95% sebesar 2,206 (1,075-4,528), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan akseptor KB yang berpenghasilan tinggi berpeluang 2,206 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berpenghasilan rendah. Pada analisis univariat terlihat pula bahwa jumlah Akseptor KB pengguna MKJP lebih banyak yang berpenghasilan tinggi (58,5%), sedangkan jumlah Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang berpenghasilan rendah sebesar 62,2%, dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan tingkat penghasilan dengan penggunaan metode kontrasepsi. Penghasilan yang rendah dapat berpengaruh terhadap pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan karena berkaitan dengan kemampuan akseptor dalam membayar biaya pelayanan. Kelompok penghasilan tinggi memiliki kesempatan lebih besar menggunakan MKJP karena memiliki
103
aksesibilitas yang lebih tinggi khususnya dalam segi finansial untuk membayar biaya pemasangan MKJP. Akseptor KB pengguna non MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang menjadi sampel lebih banyak pada kategori penghasilan rendah dan sebagian besar mengakses pelayanan swasta. Biaya pemasangan MKJP di pelayanan swasta memang lebih mahal dibandingkan dengan pelayanan pemerintah. Namun, jika dihitung biaya yang dikeluarkan perbulan untuk KB non MKJP dibandingkan dengan sekali pemasangan MKJP yang memberikan efektiftifitas beberapa tahun, lebih banyak uang yang dihabiskan untuk menggunakan non MKJP perbulan (Yudi, 2015). Selain itu, subsidi terhadap MKJP juga telah dilakukan
pemerintah.
Rata-rata
pada
setiap
tahunnya,
BKKBN
mengeluarkan alokasi dana hingga Rp500 miliar (Susanto, 2015). Bahkan, Puskesmas Pamulang sebagai salah satu institusi kesehatan pemerintah yang berada di wilayah tempat tinggal responden tidak memungut biaya untuk pelayanan KB termasuk pelayanan pemasangan MKJP. Menurut
Teffera
and
Wondifraw
(2015)
Semakin
tinggi
penghasilan seorang keluarga/wanita semakin memungkinkan untuk menggunakan MKJP. Hal ini dapat disebabkan karena dengan penghasilan yang cukup dapat membuat seseorang mampu untuk membayar transportasi dan biaya prosedural penggunaan MKJP. Berdasarkan penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil sejalan dengan penelitian ini yaitu indeks kekayaan berpengaruh terhadap penggunaan MKJP. Wanita yang memiliki indeks kekayaan
104
tinggi memiliki peluang 4,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki indeks kekayaan rendah. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hubungan yang signifikan antara indeks kekayaan dengan status penggunaan MKJP, dimana akseptor KB yang mempunyai indeks kekayaan dalam kategori mampu berpeluang 1,440 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan kategori miskin. Pada penelitian Paskaria (2015) yang menganalisis lanjut data SDKI 2012 juga diperoleh hasil adanya hubungan antara status ekonomi dengan penggunaan MKJP. Akseptor KB dengan status ekonomi mampu berpeluang 1,76 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan status ekonomi miskin. Pada penelitian Arliana dkk (2013) juga diperoleh adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan pilihan metode kontrasepsi, akseptor non MKJP cenderung pada kelompok yang memiliki pendapatan rendah. Namun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati (2002) dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara penghasilan dengan penggunaan MKJP, begitu pula yang ditemukan pada penelitian Fienalia (2012) diperoleh hasil tidak ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan status penggunaan kontrasepsi. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dengan melakukan penyuluhan pada kelompok berpenghasilan rendah mengenai manfaat menggunakan MKJP baik segi efektifitas dan finansial serta sosialisasi
105
mengenai pemasangan MKJP yang tidak dipungut biaya di Puskesmas Pamulang.
5. Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Salah satu hal yang memberikan peluang akseptor untuk menggunakan MKJP adalah dengan berdiskusi oleh pasangan/suami (Gudaynhe dkk, 2014). Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar 22,579 (5,220-97,665), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang telah berdiskusi dengan suami tentang MKJP berpeluang 22,579 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak pernah berdiskusi dengan suami mengenai MKJP. Pada analisis univariat terlihat pula bahwa jumlah Akseptor KB pengguna MKJP sebagian besar telah berdiskusi dengan suami tentang MKJP (95,1%), sedangkan jumlah Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang tidak berdiskusi dengan suami tentang MKJP (53,7%), dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan status diskusi dengan suami tentang MKJP terhadap penggunaan metode kontrasepsi. Ketika sudah menjadi pasangan suami istri, suami merupakan orang pertama yang berpengaruh terhadap berbagai pengambilan keputusan. Salah satunya adalah pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Suami berperan penting dalam menentukan kontrasepsi yang akan dipakai sebagai aplikasi program keluarga berencana. Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang menjadi sampel dalam 106
penelitian ini sebagian besar melakukan diskusi dengan suami tentang MKJP pada kelompok MKJP, hal ini menunjukkan adanya kontribusi suami dalam mempengaruhi keputusan seorang istri dalam memilih kontrasepsi. Adhyani dkk (2011) mengatakan bahwa seorang istri di dalam pengambilan keputusan untuk memakai atau tidak memakai alat kontrasepsi membutuhkan persetujuan dari suami karena suami dipandang sebagai kepala keluarga, pelindung keluarga, pencari nafkah dan seseorang yang dapat membuat keputusan dalam suatu keluarga. Pengetahuan yang memadai tentang alat kontrasepsi, dapat memotivasi suami dan untuk menganjurkan istrinya memakai alat kontrasepsi tersebut. Pada penelitian Yalew dkk (2015) di Barat Laut Etiopia, diperoleh hasil sejalan dengan penelitian ini yaitu frekuensi sering berdiskusi akseptor KB dengan suami memberikan peluang untuk menggunakan MKJP lebih besar dibandingkan dengan akseptor KB yang jarang berdiskusi dengan suami. Berdasarkan penelitian Gudaynhe dkk (2014) diskusi suami istri juga ditemukan memiliki hubungan yang signifikan, wanita yang sudah menikah yang memiliki pengalaman berdiskusi dengan suami tentang kontrasepsi 1,8 kali memiliki peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan yang tidak pernah berdiskusi dengan suami. Hal ini berarti jika pasangan suami istri tidak berdiskusi tentang pilihan metode KB yang akan digunakan khususnya terkait MKJP akan memberikan pengaruh negatif terhadap penggunaan MKJP.
107
Pada penelitian Paskaria (2015) yang menganalisis lanjut data SDKI 2012 diperoleh hasil adanya hubungan antara peran suami dengan status penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan suami yang berperan dalam pemilihan kontrasepsi berpeluang 11,9 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan suami yang tidak berperan dalam pemilihan kontrasepsi. Hasil yang bermakna pada penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang metode kontrasepsi khususnya MKJP pada pasangan usia subur sehingga baik istri maupun suami dapat mengetahui pilihan metode kontrasepsi yang efisien dan efektif.
6. Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Umur pertama melahirkan yang ideal, menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ditentukan dan dipengaruhi oleh risiko yang diakibatkan dari melahirkan, kemampuan tentang perawatan kehamilan, pasca persalinan dan masa diluar kehamilan dan persalinan, serta derajat kesehatan reproduksi. Di beberapa penelitian, umur pertama melahirkan dikaitkan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian ini, dilihat dari OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar 0,737 (0,150-3,620), dengan demikian nilai OR tersebut bersifat protektif namun tidak bermakna. Hal ini disebabkan baik kelompok kasus (MKJP) maupun kontrol (Non MKJP) sebagian besar melahirkan pada umur lebih dari 18 tahun.
108
Efek protektif yang terjadi menandakan bahwa umur melahirkan pertama kali kurang dari 18 tahun mencegah orang untuk menggunakan MKJP. Walaupun hasil yang diperoleh pada analisis hubungan tidak bermakna, namun hal ini menunjukkan bahwa semakin muda umur akseptor ketika melahirkan pertama kali mencegah terhadap penggunaan MKJP. Hasil yang tidak berhubungan ini dapat disebabkan pengkategorian umur yaitu 18 tahun, terdapat sumber yang mengatakan bahwa batas umur melahirkan pertama kali yang ideal adalah 20 tahun keatas (Desefentison, 2013). Selain itu hasil yang tidak berhubungan dapat juga terjadi akibat tidak
dilakukannya
matching
sampel
terhadap
potensi
variabel
counfonding yang mungkin ada. Hasil yang tidak berhubungan seperti pada penelitian ini ditemukan pula di berbagai penelitian terdahulu, seperti penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) dan penelitian Gudayne dkk (2014) yang memperoleh hasil bahwa umur pertama melahirkan tidak memiliki hubungan dengan status penggunaan MKJP. Namun, hasil berbeda diperoleh pada penelitian Jingbo dkk (2013) diperoleh adanya hubungan antara umur pertama melahirkan dengan penggunaan MKJP dan korelasi yang positif. Efek protektif pada hasil analisis hubungan yang diperoleh perlu dipertimbangkan
untuk
dijadikan
masukan
terhadap
peningkatan
penggunaan MKJP pada PUS yang menikah namun umur istri belum cukup untuk melahirkan. Hal ini dikarenakan, umur pertama melahirkan masuk ke dalam faktor risiko maternal. Umur melahirkan yang terlalu muda dapat meningkatkan risiko perdarahan dan infeksi serta dapat
109
meningkatkan risiko kematian ibu. Selain itu, melahirkan usia muda juga dapat meningkatkan risiko keguguran, persalinan prematur dan cacat bawaan pada anak (Anggarani dan Subakti, 2013). Risiko-risiko melahirkan terlalu dini juga diperparah dengan kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kehamilan dan kelahiran sehat (Anggarani dan Subakti, 2013). Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan pada pasangan usia subur ketika awal menikah mengenai risiko kesehatan reproduksi yang mungkin terjadi, misalkan jika umur istri ketika pernikahan masih terlalu muda, pasangan tersebut dapat menggunakan kontrasepsi terlebih dulu sampai umur istri matang untuk mengalami kehamilan dan melahirkan.
7. Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Salah satu faktor yang menentukan keikutsertaan PUS dalam berKB adalah banyaknya anak yang dimilikinya. PUS yang memiliki jumlah anak lebih banyak kemungkinan untuk memulai kontrasepsi lebih besar dibandingkan daripada pasangan yang mempunyai anak lebih sedikit (Dewi dan Notobroto, 2014). Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar 3,386 (1,605-7,144), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki anak 3 atau lebih berpeluang 3,386 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor yang memiliki anak 1 atau 2. Pada analisis univariat terlihat pula
110
kecenderungan dimana pada kelompok non MKJP sebagian besar memiliki anak 1 atau 2 (78,0%). Hubungan antara jumlah anak 3 atau lebih dengan penggunaan MKJP ini menggambarkan pola kecenderungan di masyarakat yang menganggap bahwa MKJP hanya cocok untuk dipakai ketika jumlah anak yang dimiliki sudah cukup (tidak menginginkan anak lagi). Padahal MKJP tidak hanya efektif untuk mengakhiri kehamilan tetapi juga menjarangkan kelahiran. WUS yang memiliki anak 1 atau 2 tetap memiliki risiko kesehatan apabila jarak antara anak satu dengan yang lain berdekatan, sehingga perlu penggunaan MKJP seperti IUD dan implan sebagai metode yang efektif dalam menjarangkan kelahiran dan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesuburan. Jumlah anak mulai diperhatikan setiap keluarga karena semakin banyak anak semakin banyak pula tanggungan kepala keluarga dalam mencukupi kebutuhan materil. Selain itu, pembatasan jumlah anak juga dilakukan untuk menjaga kesehatan sistem reproduksi, karena semakin sering melahirkan semakin rentan terhadap kesehatan ibu. Semakin banyak anak yang dimiliki PUS maka semakin besar kecenderungan untuk menghentikan kesuburan sehingga lebih cenderung untuk memilih metode kontrasepsi yang lebih efektif. Jumlah anak hidup yang dimiliki seorang wanita, akan memberikan pengalaman dan pengetahuan, sehingga wanita dapat mengambil keputusan yang tepat tentang cara atau alat kontrasepsi yang akan dipakai (Dewi dan Notobroto, 2014).
111
Menurut Teffera dan Wondifraw (2015), jumlah anak yang dimiliki berpengaruh terhadap pilihan metode kontrasepsi yang digunakan dikarenakan ketika seseorang telah memiliki anak sesuai dengan target anak yang ingin dimiliki, maka orang tersebut akan memilih metode kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan. Pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil yang signifikan antara jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP. Wanita yang memiliki lebih dari 4 anak berpeluang 5,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki anak. Pada penelitian Nasution (2011) yang dilakukan di 6 Provinsi di Indonesia memperoleh hasil bahwa
jumlah anak memiliki hubungan dengan
penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan jumlah anak 0-2 berpeluang lebih tinggi tidak menggunakan MKJP dibandingkan dengan PUS yang memiliki anak 3 atau lebih di 6 Provinsi di Indonesia yang menjadi tempat penelitian. Penelitian Megan L. Kavanaugh dkk (2011) yang dilakukan di Amerika Serikat menggunakan data sekunder pada tahun 2002 dan 20062008 juga memperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian ini, dimana jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP baik tahun 2002 maupun 2006-2008 memiliki hubungan signifikan. Akseptor KB yang mempunyai anak 1-2 mempunyai peluang 5,8 kali (pada tahun 2002) dan 22,1 kali (pada tahun 2006-2008) menggunakan MKJP dibandingkan dengan
112
akseptor KB yang tidak memiliki anak, sedangkan akseptor KB yang memiliki anak ≥ 3 mempunyai peluang 5 kali (pada tahun 2002) dan 8,7 kali (pada tahun 2006-2008) menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak memiliki anak. Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil responden pengguna non MKJP sebagian besar memiliki anak > 4 dibandingkan dengan responden pengguna MKJP yang memiliki anak ≤ 2. Uji logistik menunjukkan terdapat pengaruh jumlah anak responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) ditemukan adanya efek protektif dimana akseptor KB yang memiliki anak 0-2 mencegah penggunaan MKJP 0,493 kali dibandingkan dengan akseptor KB yang memiliki anak lebih dari 2. Pada penelitian Yalew dkk (2015) di Barat Laut Etiopia, juga diperoleh hasil akseptor KB yang memiliki anak 5 atau lebih berpeluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak memiliki anak. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada akseptor KB yang
memiliki jumlah anak 1-4 dibandingkan dengan
akseptor yang tidak mempunyai anak. Penelitian Philip Goldstone dkk (2014) juga memperoleh hasil tidak sejalan yaitu tidak ada hubungan jumlah anak dengan penggunaan MKJP. Hasil yang bermakna pada penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan pengguna MKJP dengan meningkatkan sosialisasi dan ajakan pada akseptor KB yang memiliki anak 1 atau 2 untuk mau
113
menggunakan MKJP dengan menekankan informasi bahwa MKJP tidak hanya efektif untuk menghentikan kehamilan namun juga efektif untuk menunda kehamilan dan menjarangkan kelahiran tanpa mempengaruhi kesuburan. 8. Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Aborsi adalah tindakan menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”, yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Hal ini merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Aborsi pada wanita yang sedang mengandung anak dapat terjadi dengan cara sengaja maupun tidak sengaja (aborsi.org, 2004). Aborsi dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan sifat kejadiannya yaitu spontan/alamiah,
aborsi
sengaja,
dan
aborsi
terapetik.
spontan/alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun.
Aborsi
Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau dapat
disebabkan
karena
kelalaian
atau
ketidaksiapan
ibu
saat
mengandung seorang anak (Chang, 2009). aborsi buatan/sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Aborsi terapeutik/medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi
114
mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa (aborsi.org, 2004). Dalam berbagai penelitian, riwayat aborsi dihubung-hubungkan dengan penggunaan MKJP. Salah satu jenis MKJP adalah IUD atau spiral, kontrasepsi ini aman dipasang pasca terjadinya aborsi atau keguguran. Selain aman, IUD juga memiliki efektifitas tinggi hingga 5 tahun. Pemakaian IUD pasca keguguran atau aborsi sangat dianjurkan karena IUD merupakan metode non hormonal yang efektifitasnya tinggi (Bednarek dan Edelma, 2011). Pada penelitian ini, dilihat dari OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar 3,284 (1,278-8,444), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki riwayat aborsi berpeluang 3,284 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak memiliki riwayat aborsi. Pada analisis univariat terlihat kecenderungan dimana kelompok non MKJP sebagian besar tidak memiliki riwayat aborsi (91,1%). Hasil yang bermakna pada penelitian ini menandakan bahwa pengalaman
aborsi
atau
keguguran
yang
dialami
akseptor
KB
meningkatkan peluang akseptor KB dalam menggunakan MKJP. Namun, penelitian ini merupakan penelitian retrospektif bukan penelitian prospektif sehingga tidak dapat memastikan apakah pengalaman aborsi atau
keguguran
yang
dialami
115
memang
merupakan
faktor
yang
menyebabkan seseorang menggunakan MKJP. Tetapi jika aborsi atau keguguran yang dialami merupakan efek dari kegagalan kontrasepsi yang digunakan akseptor KB, tentu akan mendorong akseptor KB menggunakan metode kontrasepsi yang lebih efektif dalam mencegah kehamilan seperti MKJP. Berdasarkan penelitian Collony dkk (2014) MKJP efektif untuk menurunkan angka aborsi akibat kehamilan tidak diinginkan. Kasus kehamilan
tidak
ketidakpatuhan
diinginkan
menggunakan
paling alat
banyak
kontrasepsi.
disebabkan MKJP
karena
merupakan
kontrasepsi jangka panjang yang praktis, sekali dilakukan pemasangan bisa efektif hingga jangka waktu yang lama. Pada penelitian Ford dan MacCormac (1995) diperoleh hasil menggunakan kontrasepsi pil 9 tahun atau lebih berhubungan dengan jumlah aborsi spontan (keguguran) sebesar 11,3%. Hasil penelitian kualitatif Prassana (2014) mengungkapkan bahwa abortus yang dialami informan dalam penelitiannya disebabkan oleh faktor kegagalan KB karena informan merupakan akseptor KB Pil dan responden tidak mengkonsumsi pil KB tersebut sesuai dengan aturan konsumsi. Pada penelitian yang dilakukan Bednarek dan Edelman (2011) yang meneliti efek komplikasi pada wanita yang memasang IUD setelah keguguran atau aborsi dibandingkan dengan wanita yang memasang IUD untuk menunda kehamilan, diperoleh hasil yaitu tidak ada perbedaan komplikasi yang terjadi pada dua kelompok, artinya pemasangan IUD setelah keguguran atau aborsi aman dan tidak menimbulkan komplikasi tambahan. Selain itu, perempuan yang menggunakan IUD pasca aborsi
116
memiliki risiko melakukan aborsi ulangan yang lebih rendah (Bednarek dan Edelman, 2011). Pada penelitian Goldstone dkk (2014) diperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian ini. Goldstone dkk menyebutkan bahwa wanita yang memiliki riwayat aborsi lebih dari 3 kali cenderung memilih IUD dan implant dalam penggunaan kontrasepsi dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Pada penelitian Connolly dkk (2014) juga diperoleh hubungan yang signifikan antara penurunan aborsi dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang pada remaja. Hasil yang tidak sejalan diperoleh pada penelitian Kavanaugh dkk (2011) yang memperoleh hasil yang negatif antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP. Hasil yang tidak sejalan dengan penelitian ini juga diperoleh pada penelitian Mestad dkk (2011) dan Gebremichael dkk (2014). Pada dua penelitian tersebut diperoleh hasil tidak ada hubungan antara riwayat aborsi dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang. Riwayat aborsi atau keguguran dapat terjadi akibat kegagalan kontrasepsi. Kegagalan KB dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak direncanakan. Kehamilan yang terjadi pada usia diatas 35 tahun sangat mungkin menimbulkan kelainan pada janin yang lebih besar dan sangat berisiko menyebabkan abortus spontan (keguguran) (Desefentison, 2013). Kehamilan yang tidak direncanakan juga dapat menyebabkan keguguran karena endometrium yang belum siap untuk menerima implantasi hasil konsepsi atau dapat juga terjadi akibat gizi wanita kurang karena terlalu
117
pendek jarak kehamilan sehingga risiko keguguran atau aborsi spontan menjadi lebih tinggi (Manuaba, 2000). Hubungan
yang
bermakna
antara
riwayat
aborsi
dengan
penggunaan MKJP ini dapat dijadikan acuan untuk memberikan pemahaman pada pasangan usia subur mengenai kehamilan risko tinggi (risti) sehingga PUS dapat waspada jika istri telah masuk kedalam golongan risti pilihan metode kontrasepsi yang digunakan akan lebih efektif untuk mencegah kehamilan. Selain itu, jika akseptor memang sudah tidak berkeinginan memiliki anak lagi disarankan untuk menggunakan metode kontrasepsi yang lebih efektif sehingga tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak meningkatkan risiko aborsi atau keguguran.
9. Tempat Pelayanan KB Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 Tempat pelayanan KB dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Fasilitas pelayanan KB dibagi atas pemerintah dan swasta. Baik pelayanan pemerintah maupun swasta, semua fasilitas pelayanan KB harus melakukan upaya-upaya dalam peningkatan akseptor KB. Salah satu peranan fasilitas pelayanan KB baik pemerintah maupun swasta adalah melakukan pelayanan preventif yaitu dengan mengutamakan metode terpilih MKJP (IUD, implan, MOW, MOP) selain non MKJP (BKKBN, 2014). Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95% sebesar 0,084 (0,036-0,195), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat 118
disimpulkan bahwa akseptor KB yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di swasta mencegah penggunaan MKJP sebesar 0,084 kali dibandingkan dengan akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di Pemerintah. Pada analisis univariat terlihat kecenderungan dimana Akseptor KB pengguna MKJP justru lebih banyak memanfaatkan pelayanan pemerintah (58,5%) sedangkan akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar memanfaatkan pelayanan swasta (77,4%) Efek protektif yang didapat pada penelitian ini terjadi dikarenakan pengguna Non MKJP seperti pil dan suntik sebagian besar memanfaatkan tempat pelayanan bidan swasta dibandingkan pelayanan pemerintah seperti Puskesmas. Hal ini juga dapat disebabkan oleh jarak pelayanan antara bidan swasta lebih dekat dibandingkan dengan puskesmas (BPS yang ada dan melapor ke Puskemsas junlahnya 27 BPS), serta ketersediaan layanan yang diberikan oleh puskesmas karena puskesmas Pamulang hanya memberikan pelayanan KB suntik 3 bulan dan tidak melayani KB Suntik 1 bulan. Pada penelitian Nasution (2011) diperoleh hasil sumber pelayanan KB memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pelayanan akseptor KB yang mendapatkan sumber pelayanan pemerintah meningkatkan peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang memanfaatkan pelayanan selain pemerintah. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada Provinsi Jawa dan Sumatera. Pada penelitian Katherine Blumoff Greenberg dkk
119
(2013), tempat pelayanan KB juga memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan MKJP. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang, dapat dilakukan dengan pembinaan yang dilakukan oleh dinas kesehatan kepada Bidan Praktik Swasta (BPS) untuk turut berpartisipasi dalam upaya peningkatan MKJP dengan cara mengajak dan mendorong akseptor KB yang datang ke BPS untuk memilih MKJP sebagai pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
120
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1.
Sebagian besar akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang menggunakan metode non MKJP yaitu suntik sebesar 55,5%
2.
Akseptor KB lebih banyak menggunakan KB umur kurang atau 30 tahun (53,7%) dan lebih banyak yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (53,0%). Sebagian besar akseptor KB merupakan ibu rumah tangga (tidak bekerja) yaitu sebesar 79,9%, sedangkan tingkat penghasilan akseptor KB lebih banyak pada kelompok penghasilan rendah yaitu 56,1%
3.
Sebagian besar Akseptor KB melakukan diskusi dengan suami tentang MKJP (58,5%).
4.
Sebagian besar akseptor KB memiliki umur pertama kali melahirkan 18 tahun keatas (93,9%), jumlah anak yang dimiliki anak 1 sampai 2 anak (71,3%) dan tidak memiliki riwayat aborsi (87,2%)
5.
Sebagian besar akseptor KB memanfaatkan pelayanan swasta (77,4 %)
6.
Akseptor KB yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 4,565 kali menggunakan MKJP dari pada akseptor KB yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun
7.
Tingkat pendidikan akseptor KB bukan faktor yang berpeluang mendorong akseptor menggunakan MKJP
121
8.
Akseptor KB yang bekerja berpeluang 4,737 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja
9.
Akseptor KB yang berpenghasilan tinggi berpeluang 2,206 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berpenghasilan rendah
10. Akseptor KB yang pernah berdiskusi dengan suami terkait MKJP berpeluang 22,579 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak pernah berdiskusi dengan suami mengenai MKJP 11. Umur pertama melahirkan akseptor KB bukan merupakan faktor yang berpeluang mendorong akseptor menggunakan MKJP 12. Akseptor KB yang memiliki anak 3 atau lebih berpeluang 3,386 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor yang memiliki anak 1 sampai 2 13. Akseptor KB yang memiliki riwayat aborsi berpeluang 3,284 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak memiliki riwayat aborsi. 14. Akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di swasta mencegah penggunaan MKJP sebesar 0,084 kali dibandingkan dengan akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di Pemerintah.
122
B. Saran 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Melakukan pembinaan kepada Bidan Praktik Swasta (BPS) agar turut serta mengajak akseptor KB untuk menggunakan atau mau beralih menggunakan MKJP 2. Bagi Puskesmas Pamulang dan Petugas Lapangan Keluraga Berencana a. Meningkatkan penyuluhan dan sosialisasi mengenai pilihan metode kontrasepsi terutama MKJP pada Pasangan Usia Subur (PUS) baik suami maupun istri, kelompok akseptor KB yang tidak bekerja (ibu rumah tangga), kelompok akseptor KB berpenghasilan rendah, akseptor KB berumur < 30 tahun serta akseptor KB yang memiliki 1 atau 2 anak . b. Memberikan penyuluhan terkait kondisi-kondisi kehamilan risiko tinggi pada akseptor KB sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan metode kontrasepsi. c. Menjadi role model di masyarakat dengan menggunakan atau ikut serta dalam penggunaan MKJP 3. Bagi Pasangan Usia Subur (PUS) Disarankan pada Pasangan Usia Subur (PUS) untuk memilih MKJP sebagai pilihan metode kontrasepsi karena lebih efektif baik untuk menjarangkan kehamilan atau pengakhiri kelahiran. 4. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti lain dapat melakukan penelitian lanjutan terkait MKJP dengan desain yang berbeda misalnya dengan desain studi kohort
123
yaitu dengan mengikuti wanita usia subur yang baru melakukan persalinan atau baru mengalami aborsi, kemudian untuk menggali informasi lebih dalam dapat dilakukan dengan metode kualitatif.
124
DAFTAR PUSTAKA
Aborsi.org. 2004. Definisi Aborsi. Diakses pada 14 September 2015 dari http://www.aborsi.org/definisi.htm Adhyani, Annisa Rahma, dkk., 2011. Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Kontrasepsi Non IUD Pada Akseptor KB Wanita Usia 20-39 Tahun. Universitas Diponegoro. Semarang Anggarani, Deri Rizki dan Subakti, Yazid. Kupas Tuntas Seputas Kehamilan. Cetakan I. Jakarta: AgroMedia Pustaka, 2013 Arliana, Wa Ode Dita, dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Bagi Akseptor KB di Puskesmas Jailolo. Jurnal e-NERS (eNS), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 1- 10 Azzam, Ummu. La Tahzan untuk Wanita Haid. Jakarta: Qultum Media, 2012 Bednarek, Paula H and Edelman. 2011. Contraception Following Ectopic Pregnancy, and Induced or Spontaneous Abortion. Contraception. Willey online Library. DOI: 10.1002/9781444342642.ch24 Bernadus, Johana D dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (Akdr) Bagi Akseptor Kb Di Puskesmas Jailolo. Jurnal e-NERS (eNS), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 1- 10 BKKBN. 2014. Peranan Rumah Sakit Swasta dalam Mendukung Pelayanan KB. Subid Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah dan Swasta. BKKBN, 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP. Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN. 2011. Kajian Implementasi Kebijakan Penggunaan Kontrasepsi IUD. Pusat Penelitian dan Pengembangan KB-KS. BKKBN, 2012. Analisis Dampak Kependudukan Terhadap Ketahanan Pangan. Direktorat Analisis Dampak Kependudukan, Jl. Permata No. 1 Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur BKKBN, 2012. “Metode Kontrasepsi”, diakses pada 27 November 2014 dari http://www.bkkbn.go.id/infoprogram/Documents/METODE%20%20KONT RASEPSI%20BERDASARKAN%20SARAN%20DITJALPEM.pdf
125
BKKBN. 2013. Pemantauan Pasangan Usia Subur Melalui Mini Survei Indonesia. Puslitbang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera BKKBN. Cara-cara Kontrasepsi yang Digunakan Dewasa Ini. Diakses pada 8 Oktober 2015 dari http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/cara.htm Bratakusumah, Deddy Supriady dan Solihin, Dadang. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Cetakan IV. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Agustus 2004. Budiman, Chandra. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta: EGC, 2009 Chang, William. Bioetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2009 Connolly, Anne dkk. 2014. Association between long-acting reversible contraceptive use, teenage pregnancy, and abortion rates in England. International Journal of Women’s Health 2014:6 961–974 Desefentison, W. Ngir. Bukan Lagi Dua Melainkan Satu, Panduan Konseling Pranikah dan Pascanikah. PT Visi Anugerah Indonesia: Bandung, 2013 Dewi, Denok Maya. 2013. MKJP Lebih Efektif Dalam Mencegah Kematian Ibu. Diakses pada 3 September 2015 dari http://kepri.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=c5f91c965b3c-4ed9-ae57-fd504e8beabe&View=83451488-c54c-4643a629eda410c30b13&ID=4094 Dewi, Putri Hariyani Chandra dan Notrobroto, Hari Basuki. Rendahnya Keikutsertaan Pengguna Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Pada Pasangan Usia Subur. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 3, No. 1 Juli 2014: 66-72 Faizahlaili, Gadi Gusnanti. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Praktek Keluarga Berencana (KB) Wanita Usia Subur (WUS) (Studi Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat) Tahun 2009. Universitas Indonesia, Depok. Fore, Wiliam. Para Pembuat Mitos: Injil, kebudayaan dan media. Penerjemah: Wenas Kalangit. Cet. 3. Jakarta: Gunung Mulia, 2002 Fienalia, Rainy Alus. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2011. Depok. FKM UI
126
Ford JH dan MacCormac L. Pregnancy and lifestyle study: the long-term use of the contraceptive pill and the risk of age-related miscarriage. Human Reproductive 1995 Jun;10(6):1397-402. Gaol, Tiomarni Lumban. 2013. Pengaruh Faktor Sosiodemografi, Sosioekonomi dan Kebutuhan Terhadap Perilaku Masyarakat Dalam Pencarian Pengobatan Di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013. Universitas Sumatera Utara Gebremichael, Hailay dkk. 2014. Acceptance Of Long Acting Contraceptive Methods And Associated Factors Among Women In Mekelle City, Northern Ethiopia. Science Journal of Public Health Getinet, Shegaw dkk. 2014. Long Acting Contraceptive Method Utilization and Associated Factors among Reproductive Age Women in Arba Minch Town, Ethiopia. Greener Journal of Epidemiology and Public Health. Glasier, Anna. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2005 Goldstone, Philip dkk. 2014. Factors predicting uptake of long acting reversible methods of contraception among women presenting for abortion. The medical journal of Australia Greenberg, Katherine Blumoff dkk. 2013. Factors associated with provision of long-acting reversible contracepton among adolescent health care providers. Journal Adolescent health Gudaynhe, Shimels Wudie dkk. 2014. Factors Affecting the use of Long-Acting Reversible Contraceptive Methods among Married Women in Debre Markos Town, Northwest Ethiopia 2013. Global Journal of Medical Research: Gynecology and Obstetrics Volume 14 Issue 5 Version 1.0 Year 2014 Type: Double Blind Peer Reviewed International Research Journal Publisher: Global Journals Inc. (USA) Online ISSN: 2249-4618 & Print ISSN: 0975-5888 Hastono, Sutanto Priyo. Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 2007 Herijulianti, Eliza. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC, 2001 Jingbo yu, Merck dkk. 2013. Association of Long Acting Reversible Contraceptive Use and Public Health Measures in Kenya and Ethiopia. International Conference on Family Planning
127
Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapam Akuntansi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005 Kakaire O et al. 2014. Post Abortion Women’s Perceptions of Utilizing Long Acting Reversible Contraceptive Methods in Uganda. A Qualitative Study. Journal of Obstetrics and Gynecology Kavanaugh, Megan L. 2011. Characteristics of women in the united states who use long-acting reversible contraceptive methods. Journal of obstetricians and gynecologists vol. 117 no. 6, june 2011 Kemenkes RI. 2012. Panduan Penyusunan Proposal, Protokol dan Laporan Akhir Penelitian. Jakarta: Balitbangkes, Kemenkes RI Kemenkes. 2013. Buletin Kesehatan Reproduksi, Situasi Keluarga Berencana di Indonesia. Semester II ISSN 2088-270x Kemenkes. 2014. Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. Keputusan Gubernur No:561/Kep.506.Huk/2014 tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2015 Kurniawati, Ediana. 2002. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemakaian Alat Kontrasepsi Pada Ibu Pasangan Usia Subur Di Desa Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo DIY Tahun 2002. Yogyakarta Laporan Tahunan 2013. Dinas Kesehatan Tangerang Selatan Loue, Sana. Gender, Ethnicity, and Health Research. Kluwer Academic/Plenum Publishers. United States : 1999. MacNaughton, Neil Scot. Health-Seeking Behaviour and Health Services Use by Latino Men in Rural. ProQuest Information and Learning Company, United States: 2006. Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu kebidanan, peyakit kandungan dan keluarga berencana untuk pendidikan. Jakarta: EGC, 2000 Maulana, Heri D.J. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC, 2009
128
Meskele, Mengistu dan Mekonnen, Wubegzier. 2014. Factors affecting women’s intention to use long acting and permanent contraceptive methods in wolaita Zone, Southern Ethiopia: A cross sectional study. BMC Women’s Health Mested, Renee dkk. 2011. Acceptance Of Long-Acting Reversible Contraceptive Methods by Adolescent Participants in The Contraceptive CHOICE Project. NIH Public Access. Contraception. 2011 November ; 84(5): 493–498. doi:10.1016/j.contraception.2011.03.001 Mochtar. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC, 2009 Murti, Bhisma. 2011. Struktur Riset. Fakultas Kedokteran, UNS
Nasution, Sri Lilestina. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP Di Enam Wilayah Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan KB dan Keluarga Sejahtera. BKKBN Nurmila, Nina. 2011. Tafsir Edisi 36: Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan. Rahima (Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan. Diakses pada 2 Maret 2015 dari http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 827:tafsir-alquran-keluarga-berencana-dan-pemberdayaanperempuan&catid=35:tafsirtafsiralquran&Itemid=306 Nuryati, Sinta dan Fitria, Dedes. 2014. Pengaruh Faktor Internal dan Faktor Eksternal terhadap Pemilihan Alat Kontrasepsi pada Akseptor KB Baru di Kabupaten Bogor. Jurnal ilmiah kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 5 Tahun 2014. ISSN: 2302-1721 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta Pangestika, Meitri Widya. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur Di Desa Kaligangsa Kulon Kecamatan Brebes Tahun 2010. Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Dian Nuswantoro. Semarang Paskaria, Cindra. 2015. Faktor - Faktor Non Medis Yang Mempengaruhi Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Pada Wanita Pascasalin Di Indonesia. Journal of Medicine and Health Vol. 1 No. 2. August 2015
129
Prassana, Rhaditya. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Abortus Di Badan Layanan Umum Daerah (Blud) Rumah Sakit Umum Kota Banjar. Jurnal Penelitian Rosana, Dolly. 2013. BKKBN Optimis Peserta KB Beralih ke MKJP. Diakses pada 4 September 2015 dari http://www.antarasumsel.com/berita/279154/bkkbn-optimistis-peserta-kbberalih-ke-mk Russo, Jennefer A dkk. 2013. Myths and Misconceptions About Long-Acting Reversible Contraception (LACR). Journal of Adolescent Health 52 (2013) S14-S21. Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta, Kanisius: 2006 SH&FPA, 2013. Time For A Change: Increasing The Use Of Long Acting Reversible Contraseptive Methods in Australia. Sexual Health and Famili Planing Australia and Public Health Association Australia. Sinsin, Iis. Seri Kesehatan Ibu dan Anak Masa Kehamilan dan Persalinan. Gramedia, Jakarta: 2008. Sudaryanto dkk. 2014. Buku Panduan Program Kependudukan Dan KB Sebagai Materi Khotbah Jum’at di Jawa Tengah. Tim Penyusun: Majelis Uiama Indonesia (MUI), BKKBN, Biro Bina Mental dan Sosial, BP3AKB, IAIN Walisongo Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC, 2004 Susanto, Cornelius Eko. 2015. Pemakaian MKJP Menurun. Diakses pada 4 September 2015 dari http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/13420/Pemakaian-MKJPMenurun/2015/07/11 Szumilas, Magdalena. Explaining Odds Ratios. J Can Acad Child Adolesc Psychiatry, 19:3, August 2010 Teffera, Alemayehu Shimeka and Wondifraw, Abebach Asmamaw. 2015. Determinants of long acting contraceptive use among reproductive age women in Ethiopia: Evidence from EDHS 2011. Science Journal of Public Health 2015; 3(1): 143-149. ISSN: 2328-7942 (Print); ISSN: 2328-7950 (Online)
130
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tanggaCetakan 1. Jakarta: Visimedia, 2007 Winner, Brooke dkk. 2012. Effectiveness of Long-Acting Contraception. The New England Journal of Medicine
Reversible
Yudi. 2015. Program Keluarga Berencana di Kuningan Terus Digaungkan. Diakses pada 22 September 2015 dari http://infopublik.id/read/122579/program-keluarga-berencana-di-kabupatenkuningan-terus-digaungkan.html
131
LAMPIRAN
xx
Lampiran 1
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA DETERMINAN PENGGUNAAN METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2014 Assalamu’alaikum wr. wb. Saya, Putri Anggraeni mahasiswa semester 8 Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam melakukan penelitian terkait “Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014” memohon kesediaan Ibu menjadi partisipan dalam penelitian ini. Adapun pertanyaan dalam kuesioner ini bersifat sangat pribadi dan sensitif sehingga mungkin dapat mengganggu kenyamanan dan privasi Anda. Semua informasi yang Ibu berikan terjamin kerahasiannya. Kejujuran Ibu dalam menjawab setiap pertanyaan sangat diharapkan demi kevalidan dan kebenaran data. Setelah Ibu membaca maksud dan tahapan penelitian di atas, maka saya mohon untuk mengisi nama dan tanda tangan dibawah ini sebagai persetujuan. Demikian lembar persetujuan ini saya buat. Atas perhatian dan kerjasama Ibu, saya ucapkan terimakasih.
Contact Peneliti: 089519725889 Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian dan bersedia mengisi lembar kuesioner yang telah disediakan dibawah ini dengan sadar tanpa paksaan.
__________,
2015
(.........................................)
BACALAH PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER IR. IDENTITAS PARTISIPAN Identitas partisipan diperlukan untuk menghindari pemberian kuesioner pada orang yang sama dan untuk mengkonfirmasi ketika ada pertanyaan yang belum dijawab atau ada jawaban partisipan yang kurang jelas. IR1 Kelurahan IR2 Nama Ibu IR3 Tanggal Lahir, Umur IR4 No Telp/HP (Mohon diisi) IR5 Jumlah anggota dalam keluarga _____ jiwa IR6 Alamat sekarang (sesuai tempat tinggal) IR7
Metode kontrasepsi apa yang sekarang ibu gunakan?
1. Pil 2. Suntik 3. IUD/spiral 4. Implan/susuk 5. MOW/steril wanita A. SOSIODEMOGRAFI DAN EKONOMI
BERIKAN TANDA SILANG (X) PADA PILIHAN JAWABAN ANDA. A1
A2.
A3.
A4
Tahun berapa ibu pertama menggunakan alat KB yang sekarang ibu pakai? Berapa usia ibu ketika persalinan terakhir dan menggunakan alat KB yang sekarang ibu pakai? Saat mulai menggunakan alat KB yang ibu gunakan saat ini, Apa pendidikan terakhir ibu?
Saat mulai menggunakan alat KB yang ibu gunakan saat ini, Apa pekerjaan ibu pada ?
Diisi Petugas
Bulan________Tahun ________
________________Tahun
0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 0. 1. 2. 3. 4. 5.
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Akademi (Diploma) Tamat Perguruan Tinggi S1/S2/S3 Tidak bekerja Buruh Wiraswasta/ Pedagang PNS Pegawai BUMN/SWASTA Lainnya.......................(sebutkan)
[
]
[
]
A5.
Saat mulai menggunakan alat KB yang ibu gunakan saat ini, berapa ___________________ rupiah rata-rata pendapatan perbulan keluarga? B. FAKTOR KOGNITIF
B1
Apakah ibu berdiskusi dengan suami ketika akan menggunakan alat KB?
B1a B2
B2a
C1 C1a C2 C2a C3
D1
1. 2. 3. 4.
Selalu (lanjut B2) Sering (lanjut B2) Jarang (lanjut B2) Tidak pernah
[
]
[
]
[
]
Jika jawaban jarang atau tidak ________________ pernah, mengapa? Apakah ibu pernah berdiskusi/ 1. Selalu (lanjut C1) membicarakan/berbincang-bincang 2. Sering (lanjut C1) dengan suami tentang alat KB 3. Jarang (lanjut C1) jangka panjang seperti IUD/spiral, 4. Tidak pernah susuk/implan, atau steril wanita? Jika jawaban jarang atau tidak ________________ pernah, mengapa? C. FAKTOR REPRODUKSI Berapa umur ibu ketika pertama kali melahirkan? Tanggal lahir anak pertama Apakah ibu pernah mengalami aborsi/keguguran?
_______________ tahun
Tanggal__ Bulan__ Tahun_____ 1. Ya 2. Tidak (lanjut C4) Jika ya, berapa kali? _________ kali Berapa jumlah anak kandung yang _________ orang ibu lahirkan dan masih hidup? Laki-laki = ______orang Perempuan = ______ orang D. FAKTOR PELAYANAN Dimana ibu paling sering 1. Puskesmas memperoleh pelayanan KB yang ibu 2. Bidan Swasta gunakan saat ini? 3. Rumah Sakit Pemerintah 4. Rumah Sakit Swasta 5. Lainnya_______________
Lampiran 2 1. Analisis Univariat Metode_KB Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Pil
32
19.5
19.5
19.5
Suntik
91
55.5
55.5
75.0
IUD
28
17.1
17.1
92.1
Implan
7
4.3
4.3
96.3
MOW
6
3.7
3.7
100.0
164
100.0
100.0
Total
Jenis_KB Frequency Valid
MKJP
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
41
25.0
25.0
25.0
Non MKJP
123
75.0
75.0
100.0
Total
164
100.0
100.0
kategori_umurKB Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
umur KB>30 tahun
76
46.3
46.3
46.3
umur KB <= 30 tahun
88
53.7
53.7
100.0
164
100.0
100.0
Total
kategori_pendidikan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
pendidikan tinggi
87
53.0
53.0
53.0
pendidikan rendah
77
47.0
47.0
100.0
164
100.0
100.0
Total
pekerjaan Frequency Valid
bekerja
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
33
20.1
20.1
20.1
tidak bekerja
131
79.9
79.9
100.0
Total
164
100.0
100.0
kategori penghasilan Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
penghasilan tinggi >2442000
72
43.9
43.9
43.9
penghasilan rendah <=2442000
92
56.1
56.1
100.0
164
100.0
100.0
Total
diskusi_MKJP Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
ya
96
58.5
58.5
58.5
tidak
68
41.5
41.5
100.0
Total
164
100.0
100.0
umur melahirkn Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
umur < 18 tahun
10
6.1
6.1
6.1
umur >= 18 tahun
154
93.9
93.9
100.0
Total
164
100.0
100.0
jumlah anak Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
3 atau lebih anak
47
28.7
28.7
28.7
0 sampai 2 anak
117
71.3
71.3
100.0
Total
164
100.0
100.0
Valid Percent
Cumulative Percent
riwayat_aborsi Frequency Valid
ya
Percent
21
12.8
12.8
12.8
tidak
143
87.2
87.2
100.0
Total
164
100.0
100.0
Kat_tempatpelayanan Frequency Valid
swasta pemerintah Total
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
127
77.4
77.4
77.4
37
22.6
22.6
100.0
164
100.0
100.0
2. Analisis Bivariat Case Processing Summary Cases Valid N kategori_umurKB * Jenis_KB kategori_pendidikan * Jenis_KB pekerjaan * Jenis_KB kategori penghasilan * Jenis_KB diskusi_MKJP * Jenis_KB umur melahirkn * Jenis_KB jumlah anak * Jenis_KB riwayat_aborsi * Jenis_KB Kat_tempatpelayanan * Jenis_KB
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
164
100.0%
0
.0%
164
100.0%
164
100.0%
0
.0%
164
100.0%
164
100.0%
0
.0%
164
100.0%
164
100.0%
0
.0%
164
100.0%
164 164 164 164
100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
0 0 0 0
.0% .0% .0% .0%
164 164 164 164
100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
164
100.0%
0
.0%
164
100.0%
A. kategori_umurKB * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP kategori_umurKB
umur KB>30 tahun
Count Expected Count % within Jenis_KB
umur KB <= 30 tahun
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
Count Expected Count % within Jenis_KB
Non MKJP
Total
30
46
76
19.0
57.0
76.0
73.2%
37.4%
46.3%
11
77
88
22.0
66.0
88.0
26.8%
62.6%
53.7%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
15.825a 14.419 16.170
Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.000 .000 .000 .000
15.728
Exact Sig. (1sided)
1
.000
.000
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,00. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
.311 .311 164
.072 .072
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kategori_umurKB (umur KB>30 tahun / umur KB <= 30 tahun) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
4.565
2.090
9.973
3.158
1.701
5.864
.692
.567
.843
164
Approx. Tb 4.159 4.159
Approx. Sig. .000c .000c
B. kategori_pendidikan * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP kategori_pendidikan
pendidikan tinggi
Count
pendidikan rendah
65
87
21.8
65.2
87.0
53.7%
52.8%
53.0%
19
58
77
19.2
57.8
77.0
46.3%
47.2%
47.0%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
22
Expected Count % within Jenis_KB
Non MKJP
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
Asymp. Sig. (2sided)
df
.008a .000 .008
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.928 1.000 .928 1.000
.008
Exact Sig. (1sided)
1
.537
.928
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,25. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
.007 .007 164
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
.078 .078
Approx. Tb .090 .090
Approx. Sig. .929c .929c
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kategori_pendidikan (pendidikan tinggi / pendidikan rendah) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
1.033
.509
2.099
1.025
.602
1.744
.992
.831
1.184
164
C. kategori pekerjaan * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP pekerjaan
Bekerja
17
16
33
Expected Count
8.2
24.8
33.0
41.5%
13.0%
20.1%
24
107
131
32.8
98.2
131.0
58.5%
87.0%
79.9%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
Total
Count % within Jenis_KB
tidak bekerja
Non MKJP
Count Expected Count % within Jenis_KB
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
15.491a 13.771 13.959
Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.000 .000 .000 .000
15.396
Exact Sig. (1sided)
1
.000
.000
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,25. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
.307 .307 164
.086 .086
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for pekerjaan (bekerja / tidak bekerja) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
4.737
2.100
10.687
2.812
1.722
4.591
.594
.414
.852
164
Approx. Tb 4.111 4.111
Approx. Sig. .000c .000c
D. kategori penghasilan * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP kategori penghasilan
penghasilan tinggi >2442000 Count Expected Count % within Jenis_KB penghasilan rendah <=2442000
% within Jenis_KB Total
48
72
18.0
54.0
72.0
58.5%
39.0%
43.9%
17
75
92
23.0
69.0
92.0
41.5%
61.0%
56.1%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
24
Count Expected Count
Non MKJP
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
Asymp. Sig. (2sided)
df
4.754a 3.994 4.731
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.029 .046 .030 .045
4.725
Exact Sig. (1sided)
1
.023
.030
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,00. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
.170 .170 164
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
.078 .078
Approx. Tb 2.199 2.199
Approx. Sig. .029c .029c
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kategori penghasilan (penghasilan tinggi >2442000 / penghasilan rendah <=2442000) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
2.206
1.075
4.528
1.804
1.052
3.094
.818
.676
.989
164
E. diskusi_MKJP * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP diskusi_MKJP
ya
Count
57
96
24.0
72.0
96.0
95.1%
46.3%
58.5%
2
66
68
17.0
51.0
68.0
4.9%
53.7%
41.5%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
% within Jenis_KB Count Expected Count % within Jenis_KB Total
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
39
Expected Count tidak
Non MKJP
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
30.147a 28.171 36.711
Asymp. Sig. (2sided)
df 1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.000 .000 .000 .000
29.963
1
Exact Sig. (1sided)
.000
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00. b. Computed only for a 2x2 table
.000
Symmetric Measures Asymp. Std. Errora
Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
.429 .429 164
Approx. Tb
.051 .051
Approx. Sig. .000c .000c
6.040 6.040
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for diskusi_MKJP (ya / tidak) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
22.579
5.220
97.665
13.812
3.452
55.268
.612
.516
.726
164
F. umur melahirkn * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP umur melahirkn
umur < 18 tahun
Count Expected Count % within Jenis_KB
umur >= 18 tahun
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
Count Expected Count % within Jenis_KB
Non MKJP
Total
2
8
10
2.5
7.5
10.0
4.9%
6.5%
6.1%
39
115
154
38.5
115.5
154.0
95.1%
93.5%
93.9%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
.142a .000 .149
Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.706 1.000 .700 1.000
.141
Exact Sig. (1sided)
1
.523
.707
164
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,50. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
-.029 -.029 164
.073 .073
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for umur melahirkn (umur < 18 tahun / umur >= 18 tahun) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
.737
.150
3.620
.790
.222
2.809
1.071
.775
1.480
164
Approx. Tb -.375 -.375
Approx. Sig. .708c .708c
G. jumlah anak * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP jumlah anak
3 atau lebih anak
Count
27
47
11.8
35.2
47.0
48.8%
22.0%
28.7%
21
96
117
29.2
87.8
117.0
51.2%
78.0%
71.3%
41
123
164
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
% within Jenis_KB Count Expected Count % within Jenis_KB Total
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
20
Expected Count 0 sampai 2 anak
Non MKJP
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
Asymp. Sig. (2sided)
df
10.826a 9.553 10.213
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.001 .002 .001 .002
10.760
Exact Sig. (1sided)
1
.001
.001
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,75. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
.257 .257 164
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
.082 .082
Approx. Tb 3.384 3.384
Approx. Sig. .001c .001c
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for jumlah anak (3 atau lebih anak / 0 sampai 2 anak) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
3.386
1.605
7.144
2.371
1.423
3.949
.700
.540
.908
164
H. riwayat_aborsi * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP riwayat_aborsi
ya
10
11
21
Expected Count
5.2
15.8
21.0
24.4%
8.9%
12.8%
31
112
143
35.8
107.2
143.0
75.6%
91.1%
87.2%
41
123
164
Count Expected Count % within Jenis_KB
Total
Total
Count % within Jenis_KB
tidak
Non MKJP
Count Expected Count % within Jenis_KB
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
6.572a 5.261 5.859
Asymp. Sig. (2sided)
df 1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.010 .022 .015 .015
6.532
1
Exact Sig. (1sided)
.011
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,25. b. Computed only for a 2x2 table
.014
Symmetric Measures Asymp. Std. Errora
Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
.200 .200 164
Approx. Tb
.089 .089
Approx. Sig. .010c .010c
2.600 2.600
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for riwayat_aborsi (ya / tidak) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases I.
Lower
Upper
3.284
1.278
8.444
2.197
1.272
3.793
.669
.441
1.015
164
Kat_tempatpelayanan * Jenis_KB Crosstab Jenis_KB MKJP
Kat_tempatpelayanan
swasta
Count
110
127
31.8
95.2
127.0
41.5%
89.4%
77.4%
Count
24
13
37
Expected Count
9.2
27.8
37.0
58.5%
10.6%
22.6%
41
123
164
% within Jenis_KB
% within Jenis_KB Total
Total
17
Expected Count pemerintah
Non MKJP
Count Expected Count % within Jenis_KB
41.0
123.0
164.0
100.0%
100.0%
100.0%
Chisquare Test Value
Asymp. Sig. (2sided)
Df
40.497a 37.798 36.485
Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
1 1 1
Exact Sig. (2sided)
.000 .000 .000 .000
40.250
Exact Sig. (1sided)
1
.000
.000
164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,25. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value Interval by Interval Ordinal by Ordinal N of Valid Cases
Pearson's R Spearman Correlation
Asymp. Std. Errora
-.497 -.497 164
.079 .079
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Kat_tempatpelayanan (swasta / pemerintah) For cohort Jenis_KB = MKJP For cohort Jenis_KB = Non MKJP N of Valid Cases
Lower
Upper
.084
.036
.195
.206
.125
.341
2.465
1.583
3.840
164
Approx. Tb -7.288 -7.288
Approx. Sig. .000c .000c