Mutmainah
DESENTRALISASI PENDIDIKAN DALAM MEMBANGUN PROFESIONALITAS GURU Oleh : Mutmainah* Abstrak∗ Memasuki abad ke- 21 yang dikenal dengan sebutan abad informasi ini dituntut keprofesionalan para penyelenggara pendidikan. Hal ini disebabkan para penyelenggara pendidikan dituntut untuk lebih memfokuskan kegiatannya pada tantangan masyarakat industri dan masyarakat umum, yaitu mampu menyiapkan dan menyediakan tenaga-tenaga yang siap latih, terampil, dan berkualitas. Masyarakat menuntut bahwa hasil pendidikan harus bermutu tinggi. Untuk menyikapi tuntutan tersebut, maka salah satu langkah yang ditempuh oleh para pembuat kebijakan dan para perencana serta administrator pendidikan adalah dengan menerapkan gerakan konsep desentralisasi pendidikan dalam pengembangan sistem pendidikan nasional kita. Melalui penerapan konsep desentralisasi ini, maka penyerahan dan pelimpahan wewenang kontrol pengambilan kebijakan dan pembuatan keputusan dalam hal-hal yang meliputi aspek kurikulum, alokasi dan pemanfaatan sumberdaya, dan dalam beberapa kasus, prosedur penilaian siswa, serta keputusan-keputusan bidang ketenagaan, diserahkan sepenuhnya kepada sekolah sebagai pengguna dan pelaksana kegiatan pendidikan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, sekaligus sebagai tempat yang paling dekat bagi siswa, orang tua dalam menyatakan kebutuhan utamanya dan memutuskan kebutuhan apa yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan sekolah, tanpa ada intervensi dari pihak pusat. Kesemuanya ini diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan dengan menghasilkan para tenaga pendidik yang profesional dan peserta didik yang berkualitas sesuai harapan masyarakat. Kata Kunci: Desentralisasi, Pendidikan, dan Profesionalitas Guru . Pendahuluan Salah satu masalah yang sangat serius dalam bidang pendidikan di tanah air kita saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Banyak pihak berpendapat, bahwa rendahnya mutu pendidikan merupakan salah satu faktor yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi tuntutan pembangunan bangsa di berbagai bidang. Rendahnya mutu pendidikan terkait dengan skenario yang dipakai oleh pemerintah dalam membangun pendidikan, yang selama ini lebih menekankan pada pendekatan input-output. Pemerintah berkeyakinan bahwa dengan meningkatkan mutu input, maka dengan sendirinya akan dapat meningkatkan mutu output.
∗
Penulis adalah staf pengajar pada pada Jurusan Tarbiyah STAIN Manado
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 57
Mutmainah Dengan keyakinan tersebut inilah, maka kebijakan dan upaya yang ditempuh pemerintah adalah pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, pengadaan guru, dan menyediakan dana operasional pendidikan secara lebih memadai. Kenyataan tersebut memberi gambaran umum, bahwa pendekatan input-output secara makro belum menjamin peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Pendekatan input-output yang bersifat makro tersebut kurang memperhatikan aspek yang bersifat mikro, yaitu proses yang terjadi di sekolah. Dengan kata lain, dalam membangun pendidikan selain memakai pendekatan makro juga perlu memperhatikan pendekatan mikro, yaitu dengan memberi fokus secara lebih luas pada institusi sekolah yang berkenaan dengan kondisi keseluruhan sekolah, seperti iklim sekolah dan individuindividu yang terlibat di sekolah terutama tentang profesionalitas pendidik yang ada di sekolah. Begitu pentingnya pendekatan mikro dalam membangun kualitas pendidikan, maka penerapan model desentralisasi pendidikan sangat tepat digunakan dengan asumsi antara lain : (1) Sistem sentralisasi pendidikan yang diterapkan selama ini belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan, (2) kebijakan pendidikan selama ini lebih terfokus pada input oriented dan output oriented, padahal seharusnya sekolah sebagai sistem hendaknya melihat dari sisi input, proses, dan output, (3) Model desentralisasi pendidikan dianggap tepat dan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, (4) Desentralisasi pendidikan lebih memberikan kesempatan dan kebebasan kepada sekolah dan stakeholder dalam mengembangkan sekolahnya.1 Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai penyelenggara otonomi proses pengambilan keputusan dan merupakan suatu pembaruan dalam rangka peningkatan kualitas dan demokratisasi pendidikan, sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru, serta semua yang terlibat dalam komponen pembelajaran. Dengan adanya otonomi sekolah, diharapkan sekolah dapat lebih leluasa mengelola sumber daya pendidikan dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta sekolah dapat lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat dan mampu melibatkan masyarakat dalam membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah. Konsep Dasar Perlunya Desentralisasi Pendidikan Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk membuat keputusankeputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak, baik secara regional maupun secara internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan”sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi mulai dari kekuasaan tingkat pusat hinggga daerah. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan’. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan namun, mereka dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam 1
Sudarwan Danim, Menjadikan Komunitas Pembelajar (Jakarta:Bumi Aksara, 2003), h.112
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 58
Mutmainah bentuk juklak dan juknis yang terkadang tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah. Di samping itu pula, menurut Suryadi (2003) kekuasaan birokrasi juga menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggung jawab dalam pemeliharaan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No.10/1973 merupakan salah satu penyebab awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih kepemilikan sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, perlahan rasa memiliki dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya bertanggung jawab mulai berubah menjadi hanya berpartisipasi terhadap pendidikan. Selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi asing terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah (Suryadi, 2003). Berdasarkan pengalaman tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang, sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Hal ini sejalan dengan tuntutan reformasi dan demoktarisasi di bidang pendidikan, dimana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh, dalam pendidikan dasar propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia antara lain adalah : 1. Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana, dan profesional termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah. 2. Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. 3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana. 4. Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat, baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan. 5. Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional. 6. Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan.
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 59
Mutmainah 7.
Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independent.2 Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, dimana proses pengambilan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Melalui desentralisasi pendidikan memberikan kebebasan, baik kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang terkait dengan banyak hal. Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan desentralisasi pendidikan atau otonomi penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dapat mencapai sasaran utama program restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal seperti : 1. Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. 2. Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif, sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga, serta menjalankan syariat agama. 3. Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja. 4. Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran. 5. Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. 6. Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah3. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kita dapat memahami bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan profesionalisme guru dan mutu lulusan lembaga pendidikan serta efisiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukkan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan.
2
Komite Reformasi Pendidikan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nasional (Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2001), h. 154 3 Musa I. Otonomi Penyelenggaraan pendidikan Dasar dan Menengah (tp., 2001), h. 2
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 60
Mutmainah Kompetensi Profesionalisme Guru Kompetensi sering disebut dengan kemampuan, kekuatan, kesanggupan, atau tanggung jawab 4 . Jika kompetensi dikaitkan dengan aktifitas guru, maka kompetensi dimaksudkan adalah kemampuan esensial yang mutlak dimiliki guru sebagai penanggung jawab dalam kegiatan belajar mengajar, dan merupakan jati diri keprofesionalnya dalam mengelola kegiatan belajar hingga bernilai efektif dan efisien. Kompetensi juga dapat diartikan sebagai kemampuan atau kecakapan dalam menentukan dan memutuskan suatu persoalan yang berkaitan dengan tugas yang diembannya5. Kaitannya dengan profesionalitas guru, mengandung makna sebagai gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti dalam melaksanakan profesi keguruannya, atau dengan kata lain kompetensi profesionalisme guru adalah orang yang memiliki kemampuan khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal, bukan hanya sekedar alat untuk transmisi kebudayaan, tetapi mentransformasikan kebudayaan itu ke arah budaya yang dinamis yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, produktifitas yang tinggi, dan kualitas karya yang dapat bersaing. Guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya. Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal, tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar, serta menguasai landasan-landasan kependidikan. Selain itu, guru yang profesional tidak cukup sebatas menjadi anggota organisasi profesi, katakanlah anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), melainkan harus menjadi profesional dalam arti yang sesungguhnya (to be profesional). Itulah sebabnya Mukhtar Lutfi (1984) mengatakan, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru agar ia dapat disebut sebagai guru profesional, yaitu : 1. Menjadikan pekerjaan guru itu sebagai panggilan hidup yang sepenuh waktu, artinya pekerjaan guru dilakukan sepenuhnya serta berlangsung untuk jangka waktu yang lama, bahkan seumur hidup. 2. Membangun pekerjaan guru dengan berbagai pengetahuan dan kecakapan atau keahlian yang dipelajari dan bukan terjadi seketika. 3. Pekerjaan guru itu dilakukan sesuai teori, prinsip, prosedur, dan anggapan dasar yang sudah baku secara universal, sehingga mampu memberi pedoman dan pelayanan terhadap mereka yang membutuhkan. 4. Menjadikan pekerjaan guru sebagai pengabdian untuk mencerdaskan masyarakat dan bukan untuk mencari keuntungan secara material bagi diri sendiri. 5. Pekerjaan guru hendaknya mengandung unsur-unsur kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif terhadap orang atau lembaga yang dilayani. 6. Pekerjaan guru hendaknya dilakukan secara otonomi atas dasar prinsip- prinsip atau normanorma yang ketetapannya hanya dapat diuji atau dinilai oleh rekan seprofesinya.
4
Hasbi Lawrens dan Burhaniu MS, Kamus Ilmiah Populer (Jombang:Lintas Media), h.28
5
Tabrani Rusyan, Profesionalisme Tenaga Kependidikan, (Bandung:Yayasan Karya Sarjana Mandiri, 1990), h.85
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 61
Mutmainah 7.
Pekerjaan guru hendaknya memuat kode etik, yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masyarakat. 8. Pekerjaan guru dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan pelayanan (klien) yang pasti dan jelas. Berdasarkan kriteria guru profesional yang disebutkan di atas, maka pekerjaan guru sebagai pekerjaan profesi tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan terlebih karena secara kebetulan, sebab bila kita tilik tugas guru sebagai profesi paling tidak memiliki tiga tugas utama, yaitu mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan fungsinya dalam pembelajaran guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi yang meliputi : kompetensi untuk mengembangkan pribadi peserta didik khususnya kemampuan intelektual, membawa peserta didik menjadi anggota masyarakat indonesia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, dan masyarakat sekitarnya.6 Guru profesional adalah orang yang bertindak sebagai evaluator di dalam proses belajar mengajarnya dan membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan program belajar mengajar, dan sebagai administrator ia mampu memanejeriali lingkungan sekolah dengan berbagai kebutuhan administrasi pembelajaran, serta sebagai komunikator ia dapat berkomunikasi dengan peserta didik dalam upaya untuk mengembangkan kepribadian peserta didik sebagai bagian dari kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, profesionalisme seorang guru tidak terlepas dari pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan profesi keguruan dan disiplin ilmu lainnya dalam hal bertindak sebagai seorang pendidik sekaligus obyek pembelajar. Pengetahuan dan wawasan keilmuwan yang luas bagi seorang guru tidak hanya mengetahui bagaimana cara mengajar yang baik, akan tetapi perlu memiliki wawasan keilmuwan tentang hidup bermasyarakat, Karena persoalan guru tidak hanya dating dari lingkngan itu sendiri, akan tetapi sebagian besar pengaruhnya datang dari kondisi lingkungan pada masing-masing lembaga pendidikan sebagai tempat melaksanakan tugas. Salah satu indikator penting yang ditunjukkan oleh profesionalitas guru dalam melaksanakan tugas, adalah dapatnya guru menjabarkan, memperluas, dan menciptakan relevansi kurikulum dengan kebutuhan peserta didik dan perkembangannya, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Yang lebih penting lagi mampu mewujudkan dan mengimplementasikan materi-materi yang akan diajarkan sesuai dengan tuntutan perkembangan proses pembelajaran yang ada, sekaligus mencermati seluruh unsur penunjangnya yang tentunya sasaran akhir adalah tercapainya prestasi belajar yang maksimal. Terkait dengan pernyataan di atas, seorang ahli pendidikan bernama Cooper mengemukakan empat faktor yang harus dimiliki oleh guru dalam meningkatkan profesionalitasnya, yakni : 1. Mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia. 2. Mempunyai penngetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya.
6
Departemen Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republkc Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Depdiknas, 2003), h. 2.
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 62
Mutmainah 3.
Mempunyai sikap yang tepat tentang dirinya sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya. 4. Mempunyai keterampilan tekhnik mengajar.7 Dari keempat faktor yang telah dirumuskan oleh Cooper di atas, rasanya merupakan keharusan bagi seorang guru untuk dapat mengkolaborasikannya hingga menjadi satu perangkat utuh dalam menunjang terciptanya aktivitas belajar yang berkualitas. Dalam mendukung tercapainya guru yang profesional, maka seorang guru dituntut agar mempunya komitmen tinggi dalam bidang pendidikan terutama melakukan kreasi, sehingga tercipta suasana belajar yang efektif. Guru profesional yang dimaksudkan paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Selalu membuat perencanaan kongkrit dan detail yang siap untuk dilaksanakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Maksudnya adalah bahwa sebelum mengajar guru sudah harus mempersispkan diri sebaik mungkin, baik persiapan fisik, mental, maupun meteri pelajaran yang akan diajarkan. Persiapan fisik berupa : penampilan jasmani, baik berupa pakaian, kerapian, dan kebugaran jasmani. Persiapan mental mencakup sikap batin guru untuk mempunyai komitmen dan mencintai profesi pendidik untuk membantu peserta didik mencapai taraf kedewasaan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Sedangkan kesiapan materi meliputi penguasaan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Penguasaan ini tercermin dari pemahaman yang utuh tentang materi pokok yang ada dalam kurikulum dan diperkaya dengan wawasan keilmuwan mutakhir. Dengan demikian, guru diharapkan tidak sekedar menyampaikan materi pokok yang tertuang dalam kurikulum baku, namun harus dikembangkan dan diperkaya dengan ilmu pengetahuan lain termasuk keterampilan dalam mengelola media pembelajaran. 2. Berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang menempatkan peserta didik sebagai arsitek pembangun gagasan dan guru berfungsi untu “melayani” dan berperan sebagai mitra peserta didik, supaya peristiwa belajar bermakna berlangsung pada semua individu. Untuk itu, guru perlu mengkondisikan kegiatan pembelajaran melalui pengelolaan media penunjang yang memungkinkan peserta didik aktif mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 3. Bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif. Maksudnya, guru diharapkan dapat mengembangkan serta memadukan sendiri materi pokok yang ditetapkan dalam kurikulum dengan media pembelajaran yan diperlukan. Disini dituntut sikap kritis seorang guru dalam memainkan perannya untuk mengaitkan dengan problem realitas yang ada disekitarnya. 4. Berkehendak mengubah pola tindakan dalam menetapkan peran peserta didik, peran guru, dan daya mengajar. Peran peserta didik digeser dari peran sebagai ‘konsumen’ gagasan, seperti menyalin, mendengar, dan menghafal ke peran sebagai “produsen” gagasan, seperti bertanya, meneliti, mengarang, mendemonstrasikan, dan eksperimen. Dengan demikian, peran guru harus berada pada fungsi sebagai fasilitator (pemberi kemudahan peristiwa belajar) dan bukan pada fungsi sebagai penghambat peristiwa belajar. Gaya mengajar seorang guru harus lebih difokuskan pada model pemberdayaan dan pengkondisian daripada model latihan (drill) dan pemaksaan (indoktrinasi).
7
Cooper dalam Nana (Bandung:Algensindo, 2000), h.68
Volume 4 Juli - Desember 2007
Sudjana,
Dasar-dasar
proses
Belajar
Mengajar,
IQRA’ 63
Mutmainah 5.
Berani meyakinkan kepada kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat, agar dapat berpihak terhadap mereka terhadap beberapa inovasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit diterima oleh orang awam dengan menggunakan argumentasi yang logis dan kritis. 6. Bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan, seperti pembuatan alat bantu mengajar atau media pembelajaran, analisis materi pelajaran, penyusunan alat penilaian beragam, pengorganisasian kelas, dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran lainnya.8 Dalam dunia pembelajaran, guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, sehingga tidaklah harus memaksakan kehendaknya untuk dapat dilaksanakan oleh peserta didik sebagai pebelajar. Akan tetapi, sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran yang memiliki profesi mengajar, secara psikologis guru harus memiliki kompetensi untuk mendeteksi siklus yang terjadi dalam kehidupan siswa. Atas dasar itu, maka guru hendaknya lebih terampil dalam hal : 1. Mengenal dan mengikuti harkat dan potensi dari setiap individu. 2. Membina suatu suasana sosial yang meliputi interaksi belajar mengajar, sehingga amat bersifat menunjang secara moral (bathiniyah) terhadap murid bagi terciptanya kesepahaman dan kesamaan arah dalam pikiran serta perbuatan peserta didik dan guru. 3. Membina suatu perasaan saling menghormati, saling bertanggung jawab, dan saling mempercayai antara guru dan murid.9 Model Desentralisasi Pendidikan dalam Membangun Profesionalitas Guru Desentralisasi pendidikan adalah otonomi lembaga pendidikan menuju pada perbaikan sistem dan kerja untuk mencapai hasil pembelajaran yang memuaskan. Oleh karena itu, sudah saatnya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dilaksanakan melalui sistem desentralisasi. Semua komponen pendidikan harus bangkit menata diri dan berinisiatif mengadakan pembaharuan demi mencapai tujuan pendidikan yang dirumuskan secara Nasional. Desentralisasi pengelolaan pendidikan dan manajemen berbasis sekolah sebenarnya merupakan trend internasional dan diterapkan di negara maju mulai tahun 1970-an dan 1980-an, namun baru dapat diadaptasi di Indonesia oleh Depdiknas dengan proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan sumber daya manusia yang belakangan ini dirisaukan dan menuntut perhatian yang serius dari kita semua, terutama untuk profesionalitas guru itu sendiri. Dengan adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan yang dirintis bersamaan dengan penerapan manajemen berbasis sekolah diharapkan dapat : (1) meningkatkan profesionalitas guru, (2) meningkatkan pertanggung jawaban diantara pengambil kebijakan, dan (3) meningkatkan pemberdayaan ke arah perbaikan budaya sekolah dan untuk kegunaan politik, karena pengambil kebijakan di masyarakat benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk peningkatan sekolah.10 Sekolah pada dasarnya merupakan suatu lembaga pendidikan yang berdiri sendiri maupun terkait dengan instansi di atasnya yang harus dikelola dengan profesional, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan memberikan kesempatan kepada guru untuk 8
Departemen Agama RI, Kegiatan Pembelajaran Berdasarkan KBK, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Mapendais pada Sekum, 2003), h.14 9 Zakiah Daradjat, Methodik Khusus Pembelajaran Agama Islam (Jakarta:Bumi Aksara, 1995), h. 263 10 Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h.118
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 64
Mutmainah mengembangkan profesionalitas mengajar. Tak dapat dipungkiri, guru merupakan sumber daya manusia yang keberadaannya sangat menentukan keberhasilan program pendidikan di sekolah, karena guru merupakan pegawai terbanyak di sekolah. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah mempersyaratkan adanya guru yang profesional. Betapa tidak, semua komponen dalam proses pembelajaran disekolah, materi, media, sarana dan prasarana, dana pendidikan, tidak akan memberikan dukungan atau tidak dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pengembangan proses pembelajaran tanpa didukung oleh keberadaan guru yang profesional yang didayagunakan secara profesional. Guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi guru dipandang sebagai suatu proses yang bergerak dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketidak matangan menjadi matang, dari diarahkan orang lain menjadi mengarahkan diri sendiri. Peningkatan profesionalitas guru harus dilakukan secara sistemis, dalam arti direncanakan secara matang, dilaksanakan secara taat asas, dievaluasi secara objektif dan didukung oleh model-model desentralisasi pendidikan yang diharapkan dalam membangun profesionalitas guru itu sendiri. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka model desentralisasi pendidikan yang diharapkan oleh komponen pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah model desentralisasi pendidikan yang fleksibilitas, dimana dengan memberikan kebebasan penuh kepada pengelola pendidikan terutama para guru sebagai subjek pendidik dan murid dalam penjabaran kurikulum, penentuan buku pelajaran, serta pelaksanaan evaluasi, sehingga dalam hal ini guru merasa lebih bebas dan leluasa dalam meramu soal sesuai dengan materi yang diajarkan, serta tidak kaku dan terpaku pada aturan-aturan baku sentralistik yang dianggap mengambil alih hak-hak guru. Selain itu, dengan memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk dapat menentukan materi dan metode yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan tetap mengacu pada kurikulum yang ada, serta kebebasan dalam menciptakan model dan karakteristik pembelajaran berdasarkan kompetensi yang dimiliki dengan tujuan untuk memotivasi dan meningkatkan hasil belajar siswa, tanpa harus diapriori oleh orang lain atau instansi di atasnya. Dengan adanya model desentralisasi pendidikan seperti ini, tidak harus menyebabkan guru bingung dalam mengoptimalkan perannya di lembaga pendidikan, karena melalui wadah tersebut peran yang selama ini belum pernah dilakukan akan menantang untuk memacu diri menjadi orang yang inovatif. Sebagai contoh, jika di era sentralisasi guru cenderung mengkopi perangkat pembelajaran berdasarkan kurikulum yang telah didesain oleh pusat, padahal sesungguhnya banyak yang telah dijabarkan tersebut tidak sinkron dengan keadaan di lapangan, karena terbatasnya fasilitas yang diperlukan oleh letak geografis yang tidak mendukung, maka dengan desentralisasi pendidikan memberikan peluang dan kemerdekaan kepada guru untuk meramu perangkat pembelajaran yang diperlukan, berdasarkan kesiapan fasilitas dan kesediaan peserta didik sebagi objek dalam pembelajaran. Dengan demikian, apa yang menjadi tujuan dari pendidikan nasional itu sendiri untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah akan terarah dan terlaksana secara sistematis. Penutup Model desentralisasi pendidikan yang diharapkan untuk peningkatan mutu pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya adalah model desentralisasi pendidikan yang fleksibilitas, berdaya guna, dan akuntabel. Melalui penerapan model desentralisasi pendidikan tersebut, guru merasa lebih bebas, lebih leluasa, terhindar dari diskriminasi, serta tidak kaku dan tidak terpaku pada aturan-aturan baku
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 65
Mutmainah sentralistik yang dianggap mengambil alih hak-hak guru. Dengan demikian, adanya desentralisasi pendidikan akan memberikan keuntungan besar bagi guru untuk memajukan roda pendidikan, di antaranya adalah dalam hal kebebasan guru menjabarkan kurikulum, menentukan buku pelajaran, memilih media yang akan digunakan, serta melaksanakan evaluasi belajar siswa secara mandiri.
Daftar Pustaka Cooper dalam Nana Sudjana. 2000. Dasar-dasar proses Belajar Mengajar, Bandung:Algensindo Danim, Sudarwan. 2003. Menjadikan Komunitas Pembelajar. Jakarta:Bumi Aksara Daradjat, Zakiah. 1995. Methodik Khusus Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara Departemen Agama RI. 2003. Kegiatan Pembelajaran Berdasarkan KBK, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Mapendais pada Sekum Departemen Pendidikan Nasional, Lembaran Negar Republkc Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional I, Musa. 2001. Otonomi Penyelenggaraan pendidikan Dasar dan Menengah Komite Reformasi Pendidikan. 2001. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nasional, Jakarta: Balitbang Depdiknas Lawrens, Hasbi dan Burhaniu MS, Kamus Ilmiah Populer, Jombang:Lintas Media. Lutfi, Mukhtar. 1984. Dalam Seminarnya Pada mimbar Pendidikan IKIP Bandung Madjid, Nurkholis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Model dan Aplikasi, Jakarta: Grasindo Rusyan, Tabrani. 1990. Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Yayasan Karya Sarjana Mandiri
Volume 4 Juli - Desember 2007
IQRA’ 66