DESAIN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA (STUDI KASUS KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR)
BUDIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Desain Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan Negara (Studi Kasus Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2010
Budiyono
RINGKASAN Budiyono. 2010. Desain Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara (Studi Kasus Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur). Di bawah bimbingan Supiandi Sabiham sebagai ketua komisi pembimbing, Etty Riani dan Ruchyat Deni Djakapermana sebagai anggota komisi. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), maka program pengembangan wilayahnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan bahwa KSN perbatasan negara kegiatan penataan ruang wilayahnya diprioritaskan dan didorong percepatan pertumbuhan ekonominya melalui pembangunan di berbagai sektor. Salah satu sektor yang harus dikembangkan untuk terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan nrgara yaitu sektor permukiman. Pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman disebutkan sebagai pengembangan kawasan permukiman khusus. Kawasan permukiman khusus menjadi salah satu program pembangunan yang diprioritaskan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kawasan permukiman khusus di wilayah perbatasan negara dikembangkan dengan basis potensi sumber daya alam (SDA) wilayah. Untuk mengetahui kondisi permukiman dan potensi SDA di wilayah perbatasan digunakan data dan informasi profil wilayah perbatasan. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan dan arah kecenderungan perkembangan kondisi permukiman serta potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan dapat diketahui. Adapun data dan informasi profil di wilayah perbatasan meliputi kondisi fisik, pola perkembangan dan persebaran permukiman, potensi sumber daya alam dan lingkungan, serta sosialekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Kabupaten Nunukan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berada di wilayah perbatasan negara dan telah ditetapkan sebagai KSN. Konsekuensi dari penetapan tersebut, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk mendorong percepatan kegiatan pembangunan di berbagai sektor. Wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan selama ini belum mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dalam peningkatan anggaran pembangunan infrastruktur wilayah, permukiman, dan fasos/fasum sebagai prasyarat untuk mewujudkan pusat pertumbuhan baru (bounder city). Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara masih sulit untuk dilaksanakan karena selama ini pemerintah belum menyiapkan kebijakan dan strategi yang terpadu sebagai arahan pelaksanaan pembangunan bagi instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mendesain kebijakan pengembangan kawasan permukiman wilayah perbatasan negara yang terpadu dan berkelanjutan, maka kebijakan pengembangan yang disusun harus memiliki dimensi lebih rinci dan
operasional, khususnya di tingkat kabupaten. Pendekatan pengembangan dilakukan melalui pembentukan klaster-klaster permukiman berbasis potensi SDA wilayah. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru (bounder city) wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan dapat segera terwujud. Penelitian disertasi ini terdiri dari empat tahapan analisis. Tahap pertama yaitu analisis kondisi permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan untuk mengetahui kondisi saat ini (existing condition). Kondisi wilayah yang dianalisis meliputi aspek-aspek persebaran penduduk, pola pengembangan dan persebaran permukiman, kondisi fisik permukiman termasuk tingkat kekumuhan (slum area), serta ketersediaan prasarana, sarana, fasos, dan fasum. Hasil analisis menunjukkan kondisi kawasan permukiman yang pada umumnya berkelompok, berpencar, Lingkungan permukiman yang kumuh (slum area), tidak tertata, minim prasarana, fasos, dan fasum. Hal tersebut merupakan dampak dari kawasan permukiman yang tidak dikelola dengan baik dan kurangnya kegiatan yang terkait dengan program pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara. Kedua, analisis potensi SDA wilayah dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Hasil analisis sektor unggulan yang potensial digunakan untuk mendukung pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kluster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) yaitu sektor pertambangan, Kluster II (Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat) sektor perkebunan, dan Kluster III (Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik) sektor perikanan. Ketiga, analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) yang menghasilkan faktor-faktor penting sebagai pengungkit serta analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mengkaji komponen kunci yang dominan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan. Hasil analisis struktur AHP yaitu (1) komponen faktor menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama, (2) komponen stakeholder menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mempunyai peran utama dalam pengembangan kawasan permukiman, (3) komponen tujuan menunjukkan bahwa pengembangan dan penataan kawasan serta peningkatan kesejahteraan mendapat prioritas utama, dan (4) komponen sasaran menunjukkan bahwa strategi pengembangan kawasan permukiman menjadi prioritas utama untuk mendorong percepatan pembangunan di wilayah perbatasan negara. Keempat, penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan menggunakan rekomendasi hasil analisis dan kajian. Arah kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan dibangun melalui dua skenario yaitu: 1.
Skenario pertama dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition) dari kebijakan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara. Untuk pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pembentukan klasterklaster permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru, (2) pembuatan informasi terpadu, (3) promosi berkala produksi sektor unggulan wilayah, (4) penguatan kerja sama antara pemda dan swasta/investor, (5) peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat, (6) pembangunan terminal-
terminal berbasis sektor unggulan wilayah sebagai showroom yang mudah diakses, dan (7) pembangunan terpadu infrastruktur kawasan dan permukiman. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: (1) peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) pembangunan wilayah perbatasan, (2) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan, dan (3) evaluasi anggaran dana khusus untuk pembangunan wilayah perbatasan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti halhal berikut: (1) pengawasan dan penegakan hukum, (2) pelatihan keterampilan dan penyuluhan masyarakat, dan (3) evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan. 2.
Skenario kedua dibangun atas dasar keadaan masa depan yang mungkin terjadi. Hal ini dapat dipertimbangkan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumber daya wilayah yang dimiliki sebagai rekomendasi dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yang seimbang antara kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk pengembangan kawasan permukiman direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pembuatan informasi terpadu untuk promosi berkala hasil-hasil sektor unggulan, (2) penguatan kerja sama antara pemda, swasta/investor, (3) peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat, (4) pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan sebagai showroom yang mudah diakses, (5) pembangunan terpadu infrastruktur dan permukiman, dan (6) pemeliharaan fasum dan fasos oleh pemda dengan melibatkan masyarakat. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembagalembaga keuangan dan (2) evaluasi penganggaran dana alokasi khusus untuk pembangunan permukiman di wilayah perbatasan baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pengawasan dan penegakan hukum serta (2) pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat oleh pemda bekerja sama dengan lembaga-lembaga diklat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja.
Rekomendasi kebijakan pengembangan permukiman berkelanjutan berbasis potensi SDA wilayah dapat menjadi pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan negara. Kondisi tersebut mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan secara seimbang sehingga wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara (show window) semakin baik, tertata, tertib, maju, dan berkelanjutan. Dalam mempertahankan keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, pemerintah perlu merumuskan kebijakan strategis seperti: (1) penataan kawasan, (2) pembuatan kriteria lokasi, perencanaan kawasan, pola pengembangan pembiayaan dan kelembagaan, serta (3) pengembangan investasi permukiman dan sektor pembangunan lainnya. Hasil penelitian disertasi ini selain dijadikan arahan dalam pelaksanaan pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Kabupaten Nunukan, juga dapat direplikasikan ke wilayah perbatasan lain di Indonesia dengan memerhatikan karakteristik daerah masing-masing.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur kepada Allah swt. karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini saya susun sejalan dengan tugas dan fungsi saya sebagai pegawai Kedeputian Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Judul dan substansi materi disertasi ini dipilih karena adanya dukunngan dari ketersediaan sebagian informasi dan data yang sudah saya miliki. Selain itu, ada pula harapan yang besar dari pemerintah dan masyarakat agar pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, khususnya di Kabupaten Nunukan, dapat segera terwujud. Wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur berfungsi sebagai beranda depan negara. Akan tetapi, kondisi permukiman yang ada di wilayah tersebut pada umumnya masih tertinggal, tidak tertata, dan tidak dikelola dengan baik. Perlu adanya upaya yang harus dilakukan agar pengembangan permukiman wilayah perbatasan negara dapat tertata dan terkelola dengan baik. Oleh karena itu, setiap program pembangunan yang akan dilaksanakan harus tertuang dalam kebijakan dan strategi pengembangan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam penelitian disertasi ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam pelaksanaan kebijakan bidang permukiman sering kali mengalami kesulitan di daerah, khususnya di wilayah perbatasan negara yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah karena jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu, saya memilih topik penelitian ini. Akan tetapi, saya
pun menyadari pula bahwa
penelitian disertasi ini masih jauh dari sempurna. Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, dan Bapak Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj, M. Eng., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran,
pemikiran, dan bimbingan untuk menyelesaikan disertasi ini. Kepada Dr. drh. Hasim, DEA sebagai Plh. ketua program studi saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan dorongan semangat yang telah diberikan. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M. Eng. sebagai penguji luar ujian tertutup. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Bapak Dr. Ir. Tito Murbaintoro, MM sebagai penguji luar ujian terbuka. Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatian dalam penyelesaian disertasi ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
Bogor, September 2010
Budiyono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama lengkap Budiyono lahir di Kebumen pada tanggal 12 Oktober 1959. Penulis menyelesaiakan pendidikan SDN tahun 1970, SMP tahun 1973, dan STM Jurusan Sipil tahun 1976 di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, penulis mengikuti dinas pendidikan di Lembaga Politeknik PU-ITB Jurusan Pembangunan Kota di Bandung (1988), S1 pada jurusan Teknik Planologi di Universitas Krisnadwipayana (UN-ITB) Jakarta (1996), pendidikan S2 pada Jurusan Kebijakan Publik di Universitas Krisnadwipayana Jakarta (2001), dan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB (2006--Sekarang). Selain itu, penulis juga mengikuti pendidikan informal/diklat antara lain: Kursus Manajemen Proyek Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) Regional Sulawesi dan Irian Jaya (1988), Kursus Pelatihan Tenaga Pelaksanaan Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS) (1999), Kursus Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP-KAPET) (2002), Kursus Peningkatan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Bidang Hukum (2003), ADUM/PIM-1 (2006), Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau AMDAL-A (Plus) (2007). Seminar, workshop, dan kongres yang pernah diikuti antara lain di Jakarta, Kongres Nasional Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) ( 1994), Jakarta, Konferensi Energi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (1997), Jakarta, Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi (2000), Balikpapan, Convention, Seminar 7th Construction Show of The 11th BIMP-EAGA Working Group Meeting on Construction Materials (2003). Jakarta, Pembahas pada Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang pengganti Undang-Undang No.24/1992 tentang Penataan Ruang Versi Perguruan Tinggi (Round Table Meeting Perguruan Tinggi, Juni-Desember 2006) (2006); Jakarta, Seminar dan Lokakarya RUU Penataan Ruang (Penyelenggara: REI, HKTI, DMI, IAI, IAP, ASSPI, URDI) (2006).
Riwayat penugasan dan jabatan penulis antara lain dinas di Dit. Tata Kota dan Tata Daerah, Ditjen Cipta Karya, Dep. PU sebagai Staf Juru Gambar (1980) dan sebagai Staf Profesional (1990), Dit. Bina Pelaksanaan Wilayah Barat, Ditjen Cipta Karya, Dep. PU sebagai Staf Profesional (1995), Dit. Pengembangan Kawasan Khusus, Ditjen Penataan Ruang, Dep. PU sebagai Plt. Kepala Seksi, Subdit Promosi dan Investasi Kawasan (2003), Asdep Pengembangan Kawasan Khusus Deputi Pengembangan Kawasan, Kementerian Perumahan Rakyat sebagai Kepala Sub. Bidang Kawasan Ekonomi, Bidang Penataan Kawasan (2006-sekatang). Penulis juga sebagai pengajar/dosen luar biasa di berbagai perguruan tinggi antara lain asisten dosen bidang Perencanaan Kota pada Jurusan Planologi, Universitas Krisnadwipayana (1995), dosen di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Krisnadwipayana (1997--sekarang), dosen Pascasarjana S-2 Jurusan Kajian Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Krisnadwipayana (2008--sekarang), dosen di jurusan Perencanaan Kota dan Real Estate, Universitas Tarumanagara (2000--sekarang), dosen pembimbing kerja praktik mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Trisakti (2007--2009). Karya ilmiah berbentuk diktat telah ditulis untuk mahasiswa dan praktisi yang berjudul (1) “Prasarana Wilayah dan Kota”, edisi-3 (2003), (2) diktat “Penerapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kota dan Bentuk Penanganan Pembangunan Permukiman Perkotaan” (2004). Tanda jasa kehormatan yang diperoleh dari Presiden RI yaitu Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2001) dan Satyalancana Karya Satya 20 Tahun ( 2003 ). Penulis menikah dengan Novi Prasinta tanggal 08 November 1991. kemudian dikaruniai satu orang putri bernama Emy Mutia Zahrina serta dua orang putra yaitu Muhammad Nugroho Ramadhan dan Muhammad Mashuri Adinugroho. Bogor, September 2010
Budiyono
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. xv DAFTAR TABEL ......................................................................................... xviii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxi I
PENDAHULUAN.................................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran ...................................................................... 1.6 Kebaruan (Novelty) ....................................................................... 1.7 Istilah dan Definsi ..........................................................................
1 1 4 7 7 7 10 12
II
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1 Pembangunan Berkelanjutan .......................................................... 2.2 Penataan Ruang Wilayah ............................................................... 2.3 Pengembangan Permukiman .......................................................... 2.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan .............................................. 2.5 Konsep Kebijakan ..........................................................................
15 15 18 20 22 29
III
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 3.1 Metode Penelitian .......................................................................... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.3 Rancangan Penelitian ..................................................................... 3.3.1 Pengumpulan dan Analisis Data Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman .............................. 3.3.2 Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ........ 3.3.3 Analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) ........... 3.3.4 Analytical Hierarchy Process (AHP)................................. 3.3.5 Skenario Kebijakan dan Strategi Pengembangan .............
38 38 39 39
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 4.1 Tinjauan Umum Kabupaten Nunukan ........................................... 4.1.1 Administrasi dan Geografi ................................................. 4.1.2 Ketinggian dan Kemiringan ............................................... 4.1.3 Jenis Tanah .........................................................................
48 48 48 51 51
IV
xv
40 40 42 45 47
4.1.4
Pola Penggunaan Lahan ................................................... 53 4.1.4.1 Kehutanan .......................................................... 54 4.1.4.2 Pertanian ............................................................ 55 4.1.4.3 Perkebunan......................................................... 56 4.1.4.4 Perikanan ........................................................... 56 4.1.4.5 Pertambangan...................................................... 57 4.1.4.6 Permukiman ....................................................... 58 4.1.5 Kondisi Penduduk Kabupaten Nunukan .......................... 61 4.1.6 Kondisi Prasarana dan Sarana .......................................... 63 4.1.6.1 Jalan dan Angkutan Sungai................................ 63 4.1.6.2 Angkutan Udara ................................................. 67 4.1.6.3 Air Bersih ........................................................... 67 4.1.6.4 Listrik dan Telekomunikasi ............................... 70 4.1.7 Kondisi Ekonomi Daerah ................................................. 70 4.1.8 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Nunukan ............... 72 4.1.9 Potensi Sumberdaya Alam dan Wilayah.......................... 74 4.1.9.1 Kehutanan ........................................................... 74 4.1.9.2 Pertanian ............................................................. 75 4.1.9.3 Perkebunan ......................................................... 76 4.1.9.4 Perikanan ............................................................ 76 4.1.9.5 Pertambangan ..................................................... 77 4.1.9.6 Permukiman ....................................................... 78 4.2 Analisis Kondisi Permukiman Perbatasan ................................... 82 4.2.1 Kondisi dan Permasalahan Permukiman Perbatasan............ 82 4.2.2 Pengembangan Lahan Permukiman ..................................... 85 4.2.3 Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Permukiman......... 88 4.3 Analisis Komparatif Sektor Unggulan Kawasan .......................... 89 4.3.1 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster I ............................ 91 4.3.2 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster II .......................... 93 4.3.3 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster III ......................... 96 4.4 Analisis Strukturisasi Permasalahan dan Komponen Dominan Kebijakan ................................................... 101 4.4.1 Elemen Permasalahan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ........................................... 102 4.4.2 Elemen Tolak Ukur dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara .......................................... 108 4.4.3 Komponen-komponen Dominan dalam Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Wilayah Perbatasan Negara di Kabupaten Nunukan.............112
xvi
4.4.4 Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ............................................................. 4.4.4.1. Penyusunan Strategi Pengembangan .................... 4.5 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ................................ 4.5.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ............................................ 4.5.1.1 Desain Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman..... ...................................... 4.5.1.2 Desain Strategi Pengembangan Pembiayaan ........ 4.5.1.3 Desain Strategi Pengembangan Kelembagaan ..... 4.5.1.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan ........ 4.5.2 Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ..................... V PEMBAHASAN UMUM ...................................................................... VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY) ............................................................... LAMPIRAN ....................................................................................................
xvii
131 131 138
139 139 145 146 149 153 158 163 165 171 173
DAFTAR TABEL
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2008 di Kabupaten Nunukan .......................................................... Jumlah KK, jumlah rumah dan kebutuhan rumah tahun 2008 ................ Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen............................ Hasil reachability matrix (RM) final elemen ........................................... Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2007 ... Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata jiwa per rumah tangga tahun 2007 ................................................................... Banyaknya pelanggan air minum menurut jenis pelanggan 2007 ........... Struktur perekonomian menurut lapangan usaha tahun 2003 - 2007....... Daftar daerah berdasarkan indeks fiskal dan kemiskinan daerah di Kalimantan Timur………………………………………………………. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster I .................. Nilai sektor unggulan kluster I ................................................................. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster II................. Nilai sektor unggulan kluster II................................................................ Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster III ............... Nilai sektor pendukung klaster III............................................................ Perhitungan kebutuhan lahan sawah (RTRW Kabupaten Nunukan 2004-2014) ............................................... Elemen permasalahan pengembangan kawasan permukiman perbatasan............................................................. Elemen tolok ukur pengembangan kawasan permukiman perbatasan ................................................................................................. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014... ......... Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi masa yang akan datang ........................................ Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kawasan.............. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kelembagaan pada kondisi masa yang akan datang ................................. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan pembiayaan......... Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan pembiayaan pada kondisi masa yang akan datang ................................... Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kelembagaan ......
xviii
5 6 43 43 62 63 69 71 80 90 91 94 94 96 97 100 103 109 120 132 133 134 135 136 137
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Diagram kerangka pemikiran penelitian .................................................. Diagram paradigma pembangunan berkelanjutan .................................... Lokasi penelitian ...................................................................................... Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ................................. Hirarki kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ....................... Persentase luas wilayah per kecamatan.................................................... Administrasi Kabupaten Nunukan ........................................................... Peta fisiografis Kabupaten Nunukan........................................................ Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah Kabupaten Nunukan ................................................................................. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan....................................................... Peta pola penggunaan lahan ..................................................................... Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung .............................................. Peta kesesuaian lahan untuk pertanian ..................................................... Peta kesesuaian lahan untuk permukiman................................................ Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan 2007 ...... Persentase panjang jalan menurut jenis permukaan 2007 (km) .............. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan....................................... Banyaknya pelanggan pada PDAM Nunukan 2002 - 2007...................... Banyaknya air minum yang disalurkan 2002 - 2007 (m3) ....................... Banyaknya tenaga listrik yang diproduksi 2004 – 2007 .......................... Luas kawasan hutan menurut tata hutan kesepakatan 2007 (ha) ............. Persentase produksi padi menurut kecamatan 2007................................. Produksi komoditi kakao dan kelapa 2006-2007 ..................................... Persentase produksi perikanan menurut kecamatan 2007 ........................ Produksi pertambangan batubara dan minyak bumi 2006-2007 .............. Kawasan tambang batubara dan minyak bumi.......................................... Kawasan permukiman yang berkelompok dan terpencar ........................ Kawasan permukiman yang berada di atas batas wilayah perbatasan ..... Kawasan permukiman yang berada di muara sungai dan kumuh ............ Peta pengembangan permukiman di setiap kluster .................................. Pembagian kluster di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan .............. Produksi minyak bumi (MMSTB) 2000 - 2007 (BBL) ........................... Kesesuaian lahan untuk pertambangan .................................................... Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan ................................................. Produksi komoditi tanaman perkebunan 2002-2007 (ton) ....................... Peta Kabupaten Nunukan berdasarkan kelerengan .................................. xix
10 16 39 45 46 49 50 50 51 52 54 55 56 58 62 65 66 68 69 70 74 75 76 77 77 78 84 84 85 87 90 92 93 95 96 98
37. Peta Kabupaten Nunukan berdasarkan wilayah ketinggian ..................... 38. Peringkat elemen masalah berdasarkan nilai driver power...................... 39. Diagram hierarki dari subelemen masalah dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ........ 40. Matriks DP-D untuk subelemen masalah dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ........ 41. Peringkat elemen tolok ukur berdasarkan nilai driver power................. 42. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbataan negara .......... 43. Matriks DP-D untuk subelemen tolok ukur dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ........ 44. Diagram hirarki AHP pada pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara ................................................................ 45. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ....................... 46. Urutan prioritas stakeholder dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara........................ 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ....................... 48. Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ....................... 49. Bentuk penanganan pembangunan permukiman .....................................
xx
101 104 106 107 110 111 112 113 114 117 119 123 145
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kebutuhan data MPE, kriteria dan deskripsi .......................................... Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ...................... Analisis ISM faktor kunci elemen masalah ............................................ Analisis ISM faktor kunci elemen tolok ukur ......................................... Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses) .................................... Daftar responden ...................................................................................... Foto kondisi permukiman di wilayah perbatasan ....................................
xxi
173 174 193 194 195 228 232
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan dengan garis pantai kurang lebih 81.900 km dan memiliki kawasan yang berbatasan dengan sepuluh negara, baik perbatasan darat maupun laut. Wilayah darat Republik Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Wilayah laut ZEE Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Wilayah laut teritorial Indonesia berbatasan dengan tujuh negara, yaitu Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (Bappenas 2004). Wilayah perbatasan darat Indonesia berada di tiga pulau, yaitu Pulau Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor. Perbatasan tersebut tersebar di empat provinsi dan lima belas kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan yang berbeda-beda. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial serta ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan pada masa lalu bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan daripada kesejahteraan. Akibatnya wilayah perbatasan menjadi daerah yang tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan masyarakatnya menjadi miskin sehingga secara ekonomi wilayah ini lebih berorientasi kepada negara tetangga. Sebagai contoh, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia. Malaysia telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Dengan pemerlakuan perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan tersebut. Kerjasama
2
subregional antara Indonesia dengan negara tetangga ASEAN pada khususnya dan negara Kawasan Asia Pasifik pada umumnya perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan subregional tersebut, Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga. Prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan subregional perlu disiapkan. Penyediaan prasarana dan sarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, penentuan prioritas diperlukan baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya. GBHN 1999 telah mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 - 2004 yang memuat programprogram prioritas selama lima tahun. Komitmen pemerintah melalui kedua produk perundang-undangan tersebut pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menetapkan bahwa penataan ruang wilayah perbatasan negara akan diprioritaskan dan percepatan pertumbuhannya didorong melalui pembangunan di berbagai sektor, antara lain sektor permukiman agar dapat terwujud pusat-pusat petumbuhan baru di wilayah perbatasan. Sektor permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang mempunyai peran strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. UUD 1945 pasal 28 h ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan
lingkungan hidup baik dan dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pentingnya mendapatkan tempat tinggal bagi warga negara juga diatur
3
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40. Oleh karena itu, permukiman sebagai wadah tempat tinggal perseorangan maupun dalam entitas sosial baik dalam bentuk keluarga atau lainnya merupakan hak setiap orang. Pengembangan permukiman di wilayah perbatasan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, diamanatkan sebagai pengembangan permukiman khusus. Pengembangan permukiman khusus menjadi salah satu program prioritas pembangunan wilayah perbatasan dalam upaya pengembangan potensi ekonomi dan
sumber
daya
alam.
Masih
terbatasnya
infrastruktur
dan
kurang
berkembangnya permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun perdesaan menyebabkan aktivitas sosio-ekonomi banyak berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan negara tetangga, hal ini juga menyangkut keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan akan identitas nasional. Dalam rangka mewujudkan keterpaduan dalam pembangunan di wilayah perbatasan khususnya dalam sektor permukiman, perlu dipahami profil karakteristik dan kebutuhan pengembangan permukiman. Hal ini dimaksudkan agar diketahui arah kecenderungan pengembanganya yang meliputi aspek-aspek keselarasan antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, keterkaitan antara pusat-pusat pertumbuhan baru dengan pusat-pusat kegiatan (kota), penguatan pola interaksi orientasi ekonomi yang berbasis potensi sumber daya alam wilayah. Oleh karena itu, diperlukan penyiapan perangkat kebijakan pengembangan kawasan pemukiman di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan maupun pada kawasan yang sangat terinci di wilayah perbatasan negara. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori yaitu: (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4) mendorong sinergitas hubungan kota dan desa, (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Cho 2006).
4
Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Namun, apabila tidak terkendali, hal ini akan dapat menjadi penghambat dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan di wilayahnya (Canales 1999). Berdasarkan hal tersebut kiranya perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.
1.2
Perumusan Masalah
Kabupaten Nunukan yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berada pada wilayah perbatasan negara dalam PP Nomor 26 Tahun 2008 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) wilayah perbatasan negara. Konsekuensi penetapan sebagai KSN adalah bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memprioritaskan kegiatan penataan ruangnya dan semua sektor pembangunan terkait di kawasan tersebut. Sementara kondisi wilayah perbatasan di Kabupaten Nunukan belum mendapatkan perhatian serius dalam pembangunan bidang sosial, ekonomi, maupun fisik seperti prasarana kawasan permukiman untuk mendorong tumbuhnya pusat pertumbuhan baru (border city). Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan pembangunan dengan wilayah perbatasan negara tetangga yang kemudian menyebabkan banyaknya pelintas batas antarnegara. Hal ini akan lebih menguntungkan ekonomi negara tetangga dan mengurangi kesadaran masyarakat akan identitas nasional. Kondisi Kabupaten Nunukan seperti halnya kota-kota kecil di wilayah perbatasan yang masih kurang berkembang. Padahal, kota-kota kecil tersebut seharusnya dapat berfungsi sebagai pusat-pusat permukiman untuk aktivitas penduduk di wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang masih jarang di Kabupaten Nunukan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
5
Tabel 1. Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk tahun 2008 di Kabupaten Nunukan Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Kecamatan 2 (km ) (jiwa) (jiwa/km2) Krayan 1837,45 8438 5 Krayan Selatan 1756,46 2271 1 Lumbis 3645,50 9380 3 Sembakung 2055,90 8503 4 Nunukan 1596,77 53951 34 Sebuku 3124,90 11731 4 Sebatik 104,42 20283 194 Sebatik Barat 142,19 11028 78 Jumlah 14263,68 125585 9 Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Permasalahan lainnya adalah permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan kondisi lingkungannya tidak tertata, terpencar, kumuh, dan tidak dikelola dengan baik. Selain itu, belum ada koordinasi pembangunan permukiman antara stakeholders terkait secara efisien dan efektif di wilayah perbatasan sehingga diperlukan adanya perangkat kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan di daerah. Wilayah perbatasan Pulau Kalimantan seperti Kota Nunukan di Kabupaten Nunukan juga merupakan salah satu pintu gerbang dan transit dengan Malaysia. Kawasan tersebut sering menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan pendatang yang bekerja di Malaysia. Dalam lingkup Kabupaten Nunukan sebagai salah satu wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan, pembangunan yang dilaksanakan masih menyisakan persoalan yang cukup menonjol, yakni ketimpangan pembangunan antara wilayah daratan di Pulau Kalimantan dengan wilayah kepulauan, seperti Pulau Nunukan sebagai ibukota kabupaten. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan jumlah rumah dengan jumlah KK sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Jumlah KK, jumlah rumah, dan kebutuhan rumah tahun 2008 Kecamatan Krayan Krayan Selatan Lumbis Sembakung Nunukan Sebuku Sebatik Sebatik Barat Jumlah
Jumlah KK 1917 545 2366 2230 14653 2593 5163 3235 32702
Jumlah Rumah 1150 382 1538 1561 10990 1556 2840 2265 22280
Kebutuhan Rumah 767 164 828 669 3663 1037 2323 971 10422
Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Pada kawasan permukiman yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia seperti Kabupaten Nunukan diperlukan adanya pengembangan dan penataan terkait dengan rencana Pemerintah Malaysia untuk melakukan pemagaran pada wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan banyaknya perumahan yang berada persis di batas wilayah Indonesia dengan Malaysia. Kondisi ini membutuhkan strategi kebijakan pengembangan wilayah yang menjamin tercapainya keterpaduan dan keseimbangan dalam pembangunan seluruh kawasan secara lebih sinergi. Pengembangan wilayah perbatasan darat di Pulau Kalimantan secara umum dan Kabupaten Nunukan secara khusus pada masa datang diharapkan dapat lebih diarahkan sebagai pengembangan kawasan khusus dengan pola pemanfaatan ruang yang spesifik, sesuai dengan dinamika wilayah perbatasan. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, muncul pertanyaanpertanyaan penelitian yang menjadi landasan pelaksanaan kegiatan yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana kondisi permukiman yang ada di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan? b. Bagaimana potensi SDA yang terkait dalam mendukung pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ?
7
c. Bagaimana pengaruh-pengaruh faktor-faktor penting permasalahan perbatasan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.? d. Bagaimana kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan untuk mendukung fungsi wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi permukiman yang ada (existing condition) di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. 2. Mengindentifikasi dan menganalisis potensi SDA yang terkait dan mendukung pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. 3. Menganalisis dan merumuskan faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. 4. Menyusun kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. 1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai masukan kebijakan dalam mengembangkan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara secara terpadu di Indonesia. Selain itu, dari aspek pengembangan keilmuan ke depan diharapkan bermanfaat bagi pembelajaran dalam sistem pengambilan keputusan dalam pengembangan permukiman berkelanjutan, khususnya di wilayah perbatasan negara.
8
1.5
Kerangka Pemikiran
Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda satu dengan lainnya. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara tetangga memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian kondisinya relatif sama, bahkan ada pula yang kondisi sosial ekonominya lebih terbelakang. Adanya kondisi tersebut, mengakibatkan masing-masing wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian, perlu ada suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi khusus termasuk di dalamnya berlaku untuk pengembangan permukiman. Secara umum, pengembangan kawasan permukiman perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan pengembangan yang menyeluruh dan terpadu, meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama
yang
efektif
mulai
dari
pemerintah
pusat
hingga
tingkat
kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro dan disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Adapun jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional. Kebijakan umum pengembangan kawasan permukiman perbatasan antarnegara terdiri dari kebijakan-kebijakan seperti peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang melalui kebijakan pengembangan permukiman yang berkelanjutan. Selama ini, pengelolaan wilayah perbatasan berbeda dengan paradigma saat ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan pada aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan
sumber
pendapatan
negara,
dan
mengejar
ketinggalan
9
pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan termasuk kawasan permukiman dan infrastruktur secara terpadu, tertata, dan berkelanjutan. Paradigma masa lalu yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai ”halaman belakang” merupakan pandangan yang keliru sebab wilayah perbatasan di Indonesia memiliki nilai politik, ekonomi, dan keamanan yang sangat strategis, tidak saja bagi bangsa Indonesia melainkan juga bagi negara-negara lainnya, terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada di titik silang Benua Eropa-Asia, Asia-Australia, dan Australia-Eropa. Dengan posisi strategis ini, Indonesia berpeluang sangat besar di Kawasan Asia dan Pasifik pada masa yang akan datang. Akselerasi pembangunan wilayah perbatasan
melalui
pengembangan
kawasan
permukiman
sebagai
pusat
pertumbuhan baru dan sekaligus sebagai embrio kegiatan ekonomi merupakan upaya yang logis. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur dan sektor strategis membutuhkan biaya dan investasi yang besar. Dalam rangka mendukung kegiatan tersebut diperlukan upaya penataan ruang, pembangunan infrastruktur kawasan, kebijakan investasi, SDM, serta kelembagaan yang mendukung pengembangan pusat pertumbuhan. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan yang telah diterapkan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Percepatan
pembangunan
wilayah
perbatasan
dengan
menggunakan
pendekatan kesejahteraan kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat dapat dimulai dengan mengembangkan terlebih dahulu mengembankan kawasan permukiman perbatasan. Hal ini menyebabkan minimnya infrastruktur wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Dalam rangka memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan kawasan permukiman perbatasan dengan
10
menggunakan pendekatan kesejahteraan. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Wilayah perbatasan Negara
Potensi
Aktivitas Kegiatan Perdagangan
Permasalaha
Sumber Daya Alam
Kesenjangan Prasarana dan Sarana
Kesenjangan Ekonomi dan Kemiskinan
Kawasan Tidak Tertata dan Kumuh
Ancaman Kehilangan SDA & Wilayah
Sektor Potensial Kws Untuk Diinvestasikan Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan
Pendekatan Lingkungan dan Hankam
Analisis MPE
Pengembangan Kawasan Perkim Perbatasan Negara Karakteristik Pembangunan di Wilaah Perbatasan Negara Malaysia
Analisis ISM
Analisis AHP
Pembanding
SDA dan Lingkungan
Formulasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perkim Perbatasan Negara
Prioritas Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran penelitian 1.6
Kebaruan (Novelty)
Dalam mewujudkan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, pada pelaksanaannya sering terjadi kesenjangan koordinasi
11
antara stakeholders terkait di pusat maupun di daerah. Hal ini mengakibatkan, tidak terwujudmya kondisi kawasan permukiman yang tertata, terarah, dan berkelanjutan. Untuk pelaksanaan ke depan, diperlukan suatu instrumen pengaturan berupa kebijakan dan strategi pengembangan. Kajian dan penelitian yang memberikan pembuktian pentingnya instrumen pengaturan tersebut adalah bentuk arahan-arahan kebijakan dan strategi untuk pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara selama ini belum ada. Terkait
dengan
pelaksanaan
pengembangan
kawasan
permukiman
berkelanjutan, belum pernah ada penelitian atau upaya mendesain suatu kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan khususnya di wilayah perbatasan negara yang bersifat komprehensif dan terpadu. Kalaupun ada, masih terbatas pada kegiatan stimulan pengembangan sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang bersifat sektoral.
Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsepsi dan pemikiran baru bahwa pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, berdasarkan faktor pengungkit yang menjadi permasalahan utama di wilayah perbatasan negara sebagai dasar pembuatan kebijakan dan strategi pelaksanaan sebagai instrumen petunjuk pelaksanaan kepada para pelaku pembangunan dalam pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan. 2. Memperkuat konsepsi dan pemikiran pengembangan kawasan permukiman yang terpadu berbasis SDA sektor unggulan agar kawasan permukiman yang dikembangkan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat mendorong percepatan pembangunan permukiman di wilayah perbatasan negara (sebagai beranda depan negara) yang lebih baik (terarah, tertata), dan berkelanjutan. 3. Membuat desain kebijakan dalam pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara sebagai suatu model decision support system melalui tahapan: identifikasi faktor dominan, menetapkan SDA sektor unggulan kawasan, merumuskan kebijakan, dan menyusun strategi pelaksanaannya dengan menggunakan analisis terpadu yang melibatkan pakar dan stakeholders terkait serta sistem lunak (soft system
12
methodology/SSM) dengan alat analisis metode perbandingan eksponensial (MPE), interpretative structural modelling (ISM), dan analytical hierarchy process (AHP).
1.7
Istilah dan Definisi
Beberapa istilah atau definisi yang dipakai meliputi: 1. Wilayah Adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas-batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 2. Kawasan Adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 3. Kawasan Khusus Adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan/atau daerah) untuk menyelenggarakan kegiatan dengan fungsi khusus seperti industri, perbatasan, nelayan, pertambangan, pertanian, pariwisata, pelabuhan, cagar budaya, dan rawan bencana (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 4. Wilayah Perbatasan Adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain, baik terletak perbatasan darat maupun perbatasan laut (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor
17
Tahun
2006
tentang
Petunjuk
Pelaksanaan
Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah Perbatasan, Pasal 1 Bab Ketentuan). 5. Kawasan Perdesaan
13
Adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 6. Kawasan Perkotaan Adalah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum) 7. Rumah Adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum) 8. Perumahan Adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum) 9. Permukiman Adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 10. Kawasan Permukiman Adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dengan fungsi utama untuk permukiman (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan).
14
11. Perumahan Wilayah Perbatasan Adalah perumahan kawasan khusus untuk menunjang kegiatan berbagai fungsi di wilayah perbatasan negara (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah perbatasan, Pasal 1 Bab Ketentuan). 12. Persyaratan Ekologis Adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 13. Prasarana Lingkungan Kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum). 14. Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Permukiman Upaya pengembangan permukiman yang diselenggarakan melalui kegiatan penetapan lokasi dan perencanaan kawasan termasuk untuk mitigasi bencana; penyediaan tanah; penyiapan lahan; penyediaan prasarana dan sarana kawasan; dan pengendalian pelaksanaan pengembangan kawasan (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Pengembangan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan). 15. Masyarakat di Perbatasan Negara Adalah orang atau sekelompok orang yang bekerja dan bertempat tinggal di kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah perbatasan, Pasal 1 Bab Ketentuan).
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation's Conference on The Human Environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (World Commission on Environment and Development (WCED) 1987). Komisi Brundland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi merupakan suatu proses perubahan di mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum,
pembangunan berkelanjutan
tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut merupakan atribut yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumber daya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum di mana karakter sektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce and Tannis 1999). Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan. Hal ini digunakan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan kesepakatan ini, dijelaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola
16
konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Sehubungan dengan konsep pelaksanaan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan dalam bentuk kerangka segitiga.
EKOLOGI
SOSIAL • Nilai-nilai budaya • Partisipasi • Konsultasi
Sumber Daya Alam Wilayah Perbatasan)
Keadilan Pemerataan Kesejahteraan
Gambar 2. Diagram pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993 atau Djakapermana 2010) Menurut pengelolaan
kerangka sumber
tersebut, daya
alam
suatu
kegiatan
pembangunan
(termasuk
dan
berbagai
dimensinya)
dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi berarti kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan mengonservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,
17
pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi, diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Kedua, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat, swasta, dan konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan di banyak negara
dan
oleh
berbagai
lembaga
dengan
mengembangkan
indikator
keberlanjutan. Sebagai contoh, Centre for International Forestry Research (CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU No. 23 Tahun 1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas karena tidak hanya meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan
lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya
pengelolaan wilayah tidak akan tercapai. Bahkan, yang akan terjadi justru kerusakan lingkungan (baik "renewable" maupun yang "non renewable") yang justru akan menjadi "cost" yang "never ending". Sebaliknya bila ada rekayasa pengaturan pemanfaatan ruang dengan baik terhadap berbagai potensi, sumber daya lahan melalui upaya perencanaan penggunaan lahan
18
akan dihasilkan suatu usulan optimasi ruang yang optimal. Adanya pengalokasian ruang-ruang kegiatan produksi setelah melalui proses
optimasi
pemanfaatan
ruang,
diharapkan
terjadi
peningkatan
pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut. Arahan pengaturan berbentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah serta memprediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang. Dengan demikian, tercapai sinergi antara berbagai jenis kegiatan pengelolaan sumber daya alami dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah. 2.2
Penataan Ruang Wilayah Penataan ruang adalah proses mengoptimalkan sumber daya alam bagi
kepentingan manusia dan mahkluk hidup lainnya yang didasarkan pada daya dukung alam dengan didukung tekonologi yang sesuai, serasi, selaras, dan seimbang dengan ekosistem lainnya serta memberikan manfaat bagi pengembangan wilayah (UU 26/2007). Untuk mencapai tujuan penataan ruang tersebut, proses penataan ruang harus melalui tahapan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2004), dalam proses penataan ruang wilayah, harus dipahami terlebih dahulu konsep-konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Semua unsur yang terkait konsep ruang wilayah ini harus sinergi, terpadu, dan saling memengaruhi secara sistem dengan memberikan manfaat optimal. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (delineasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang berupa satuan geografis, di dalamnya terdapat berbagai unsur
19
terkait yang yang dibatasi oleh koordinat tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu. Menurut Rustiadi (2004), pengertian ini akan selalu terkait aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan, maupun pertahanan. Beberapa literatur pada umumnya juga memberikan batasan pengertian wilayah yang terkait dengan aspek lingkungan, ekonomi, kondisi fisik sumber daya alam, karakteristik sosial budaya, dan wilayah batas administrasi yang rigid. Secara umum, beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokan sebagai berikut. 1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS) dengan sub-DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya. 2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat) ekonomi, seperti wilayah produksi, konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa. Biasanya hal ini juga terkait dengan satuan fungsi tingkat pertumbuhan ekonomi, wilayah pasar, pendapatan daerah, dan struktur pusat pelayanan ekonomi serta transportasi. Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya.
Dalam konteks pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor pembangunan, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan klaster ini menjadi penting. Hal ini ditujukan agar dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel dan komponen dominan yang memengaruhi proses pengembangan permukiman di wilayah perbatasan negara sebagai pusat pertumbuhan baru. Memahami kecenderungan pertumbuhan kota (pusat pertumbuhan baru) sangat terkait dengan empat faktor, yaitu kebijakan, stakeholders, perilaku masyarakat, dan proses serta pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2) Pola merupakan tingkat paling rendah di mana pola dapat dilihat secara langsung hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4) Perilaku mengindikasikan kegiatan dari pelaku yang terlibat. Hasilnya berupa
20
model seperti sebuah tingkatan, dari pola secara bertahap meningkat ke kebijakan. Dalam aturan teori hierarki, memahami tiap tingkat harus mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai perbandingan hubungan yang paling dekat. Untuk memahami proses, konsekuensinya adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku yang merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999). 2.3
Pengembangan Permukiman Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Permukiman disebutkan pengertian dasar istilah permukiman. Perumahan adalah suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan serta penghidupan. Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000—2020 antara lain pengembangan lokasi perumahan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, serta tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat 1999). Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya.
Pengelolaan
pembangunan
perumahan
harus
memperhatikan
ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang. Berdasarkan pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek permukiman sangat terkait dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.
21
Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan ruang dan prasarana serta sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) adalah terjadinya : (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan. Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; serta (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005). Lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, selanjutnya perlu dibuat rencana tapak (site planning) agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak ini penting karena akan menentukan bentuk suatu kawasan/kota. Selain itu, rencana tapak dapat menciptakan kemudahan atau kesukaran bagi para penghuni, serta dapat mempengaruhi tingkah laku penghuni di mana pun kawasan permukiman tersebut berada, termasuk di wilayah perbatasan negara. Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan. Sebagai contoh, fakta adanya kawasan permukiman liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumahnya, para pekerja menyewa dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan perumahannya oleh para stakeholders terkait, pembelanjaan gaji untuk kebutuhan kesejahteraan akan lebih besar sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002).
22
Penanganan pengembangan kawasan permukiman disesuaikan dengan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Pada pasal 2, dijelaskan bahwa lingkup pengaturan, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan, meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaataannya. Adapun yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Malaysia termasuk di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier (ribbon development) (Departemen PU 2002). 2.4
Pengembangan Wilayah Perbatasan Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda
satu dengan yang lain. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang berbatasan. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara tetangga memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian kondisinya relatif sama akibat dari lemahnya hubungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Bahkan, adapula yang kondisinya jauh lebih terbelakang (Combes 2002). Kondisi tersebut mengakibatkan masing-masing wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian, perlu ada suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi khusus yang berlaku secara umum bagi seluruh wilayah perbatasan, baik darat maupun laut. Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan wilayah perbatasan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro. Penyusunannya berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional.
23
Kebijakan umum pengembangan wilayah perbatasan antarnegara terdiri dari beberapa kebijakan sebagai berikut. Peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang. Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan paradigma saat ini. Pada masa lalu, pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang. Pengembangan wilayah perbatasan ditujukan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pintu gerbang internasional bagi kawasan Asia Pasifik. Paradigma masa lalu yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai ”halaman belakang” merupakan pandangan yang keliru. Hal ini disebabkan wilayah perbatasan di Indonesia memiliki nilai politik, ekonomi, dan keamanan yang sangat strategis, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara lainnya, terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada di titik silang benua Eropa-Asia, Asia-Australia, dan Australia-Eropa. Dengan adanya posisi strategis ini, Indonesia berpeluang memainkan peluang yang sangat besar di Kawasan Asia dan Pasifik pada masa yang akan datang. Akselerasi pembangunan wilayah perbatasan melalui pengembangan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi merupakan upaya yang logis. Untuk itu, diperlukan upaya penataan ruang, pembangunan prasarana dan sarana, kebijakan investasi, SDM, serta kelembagaan yang mendukung pengembangan pusat pertumbuhan. Sasaran dari pusat-pusat pertumbuhan (kota) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori yaitu (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber
24
daya alam, (2) mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan mengefisienkan
pembiayaan
pembangunan
infrastruktur
(4)
mendorong
sinergisitas hubungan kota dan desa, serta (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Cho 2006). Terdapat beberapa faktor bagi para perencana (planner) dalam melakukan delineasi
batas-batas
pusat
pertumbuhan
(kota)
seperti
faktor
tekanan
pertumbuhan (growth pressures), kekuatan defleksi (potential deflection), dan kekuatan fiskal (fiscal strength). Ketiga faktor tersebut merupakan faktor utama dalam menentukan pertumbuhan suatu kota. Faktor ini mempunyai kekuatan mendeterminasi masa depan sebuah pusat pertumbuhan (kota) apabila secara legalitas mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitarnya. Faktor berikutnya adalah kepemilikan lahan. Faktor ini relatif statis karena tidak mudah diintervensi oleh kebijakan dan regulasi karena status yang umumnya jangka panjang. Terakhir adalah estimasi kapasitas infrastruktur dan kapasitas institusi terkait untuk keberlanjutan suatu batas pusat pertumbuhan (Avin 2006). Dinamika kegiatan perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Apabila tidak terkendali akan dapat menjadi hambatan dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan,
ekonomi,
dan
peningkatan
kesejahteraan
secara
berkesinambungan di wilayahnya (Canales 1999). Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan yang telah diterapkan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. a. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan pada masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Hal ini menyebabkan minimnya sarana dan prasarana wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah
25
perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah
perbatasan
dengan
menggunakan
pendekatan
kesejahteraan
(Bappenas 2004). b. Pengakuan terhadap hak adat/ulayat masyarakat Hak-hak ulayat masyarakat perbatasan yang berada di negara lain perlu diakui dan diatur keberadaannya. Keberadaan tanah ulayat sesungguhnya memiliki permasalahan secara administratif karena keberadaannya melintasi batas negara di dua wilayah negara. Walaupun demikian, karena hak-hak ulayat ini secara tradisional menjadi aset penghidupan sehari-hari masyarakat tersebut, keberadaanya tidak dapat dihapuskan. Sebaliknya, hak-hak ini perlu diakui dan diatur secara jelas. c. Penataan
batas-batas
negara
dalam
rangka
menjaga
dan
mempertahankan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Beberapa wilayah perbatasan masih memiliki permasalahan garis batas dengan negara tetangga yang hingga kini masih dalam pembahasan melalui beberapa perundingan bilateral. Di beberapa lokasi bahkan telah terjadi pergeseran pilar batas yang menyebabkan kerugian-kerugian bagi negara baik secara ekonomi maupun lingkungan. Selain itu, keberadaan tanah ulayat masyarakat adat yang ada di wilayah perbatasan menjadi sebuah permasalahan tersendiri dalam penetapan batas negara. Oleh karena itu, diperlukan penataan dan pengaturan batas negara secara menyeluruh untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI (Bappenas 2004). d. Peningkatan kapasitas pertahanan dan keamanan beserta prasarana dan sarananya Lokasi geografis Indonesia yang berada di posisi silang dua samudera besar yang terdiri dari beribu pulau menuntut Indonesia memiliki sistem pertahanan yang kuat. Salah satunya dengan ditunjang oleh armada udara. Hal ini diperlukan untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap seluruh wilayah termasuk wilayah perbatasan yang berada di wilayah terluar,
26
menangulangi berbagai pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan, serta mengantisipasi berbagai ancaman dari luar. Meskipun saat ini peningkatan armada dan aparat hingga tingkat yang optimal sulit dilakukan oleh pemerintah, peningkatan kapasitas armada dan aparat perlu terus diupayakan hingga tingkat yang memadai. Di samping peningkatan kapasitas armada dan aparat hingga jumlah yang memadai, peningkatan sarana dan prasarana khusus di perbatasan untuk mengawasi arus keluar masuk baik manusia maupun barang ke wilayah NKRI. e. Peningkatan perlindungan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan kawasan konservasi Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Di Kalimantan dan Papua, hampir seluruh wilayah perbatasannya terdiri dari hutan tropis dan kawasan konservasi yang diakui dunia sebagai ”paru-paru dunia”. Adapun kawasan perbatasan laut memiliki potensi sumber daya laut dan perikanan yang sangat besar. Potensi sumber daya alam berupa kawasan konservasi atau tanaman nasional di hutan tropis dan kelautan ini perlu dilindungi kelestariannya selain dibudidayakan bagi kesejahteraan masyarakat lokal (Bappenas 2004). f. Peningkatan fungsi kelembagaan dan koordinasi antarinstansi terkait dalam pengelolaan wilayah perbatasan Peningkatan kapasitas dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan perbatasan dilakukan melalui optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan antarinstansi pemerintah. Selain itu, diperlukan penataan hubungan kerja, baik secara horizontal maupun vertikal, peningkatan koordinasi dan konsultasi antar lembaga, serta pengembangan database informasi wilayah perbatasan yang dapat dijadikan acuan bersama oleh seluruh stakeholder terkait. Pemahaman yang baik terhadap fungsi dan peran, tata hubungan yang jelas, koordinasi yang intensif, serta tingkat pengetahuan yang sama, diharapkan dapat menyelaraskan berbagai kewenangan, kebijakan, dan peraturanperaturan antara pemerintah pusat dan daerah. g. Peningkatan kerjasama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang
27
Mengelola perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Dalam era globalisasi saat ini, setiap negara di dunia saling tergantung satu sama lain serta saling membutuhkan. Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan. Oleh karena itu, peningkatan kerjasama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan akan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat dihindarkan terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial budaya maupun ekonomi. Selain itu, kerjasama antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan. Adanya berbagai skenario pengembangan dan berbagai konsekuensinya, kondisi lapangan, perkembangan di dalam maupun lingkungan regional serta setelah dikonsultasikan kepada berbagai kalangan, disepakati visi pengembangan wilayah perbatasan antarnegara yaitu ”Menjadikan wilayah perbatasan antarnegara sebagai kawasan yang aman, tertib, menjadi pintu gerbang negara dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Visi tersebut mengandung berberapa pengertian sebagai berikut : 1. Aman, berarti terciptanya kondisi keamanan yang dapat dikendalikan dan kondusif bagi kegiatan usaha serta bebas dari kegiatan ilegal; 2. Tertib, berarti seluruh aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya di perbatasan dan daerah sekitarnya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku; 3. Pintu gerbang negara, berarti wilayah perbatasan sebagai halaman depan negara yang harus tertata, bersih, tertib, aman, dan nyaman; 4. Pusat pertumbuhan, berarti wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai kawasan ekonomi dan perdagangan berkerjasama dengan pihak investor dalam maupun luar negeri secara legal;
28
5. Berkelanjutan, berarti bahwa seluruh proses pembangunan di wilayah perbatasan harus memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan lindung dan laut secara seimbang dan memperhatikan daya dukung alam; 6. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berarti dengan berkembangnya wilayah perbatasan, masyarakat lokal di perbatasan dan di daerah sekitarnya dapat memperoleh kesempatan melaksanakan kegiatan usaha ekonomi sehingga pendapatan dan kesejahteraan meningkat; 7. Terpeliharanya NKRI, berarti seluruh kegiatan pengembangan wilayah perbatasan, baik darat maupun laut tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan serta menjaga terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka mencapai visi yang dicita-citakan di atas, beberapa misi yang perlu dilaksanakan oleh pihak yang terkait yaitu: 1. Mempercepat penyelesaian garis batas antarnegara dengan negara tetangga sehingga tercipta garis batas yang jelas dan diakui kedua belah pihak; 2. Mempercepat pengembangan beberapa wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan yang dapat menangkap peluang kerjasama antarnegara, regional dan internasional, secara selektif dan prioritas; 3. Menata dan membuka keterisolasian serta ketertinggalan wilayah perbatasan dengan meningkatkan kegiatan pengembangan kawasan permukiman, prasarana, dan sarana perbatasan yang memadai; 4. Mengelola sumber daya alam darat dan laut secara seimbang serta berkelanjutan, bagi kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara; 5. Mengembangkan
sistem
kerjasama
pembangunan
antarnegara,
antarpemerintahan, maupun antarpelaku usaha di wilayah perbatasan. 2.5
Konsep Kebijakan Konsep kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan permukiman
atau sering disebut perencanaan (kebijakan dan strategi) dalam penataan kawasan (strategic settlement planning) lebih banyak menunjukkan sebuah alat untuk dapat
29
mengoperasionalkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota untuk bidang permukiman. Model dan perencanaan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman ini telah mulai dikembangkan di beberapa negara termasuk Indonesia khususnya untuk menjawab kebutuhan mendesak permintaan pembangunan permukiman. Healey (2004) menjelaskan tentang new strategic spatial planning in Europe, suatu bahasan pengelolaan ruang dan lokasi permukiman yang optimal dalam jurnal internasional Urban and Regional Research (Healey 2004). Ada beberapa alasan perlunya langkah operasionalisasi rencana pengembangan permukiman, tetapi kenyataannya masih sulit untuk dilaksanakan dan bahkan menjadi perdebatan para planners Eropa. Alasannya masih diperlukan adanya arahan kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan pembangunan permukiman antara lain karena masih adanya permasalahan koordinasi kebijakan khususnya dengan pemerintahan lokal dalam mencari cara bagaimana membuat wilayah kabupaten/kota lebih ekonomis dan kompetitif dalam mengembangkan kawasan permukimannya. Pengembangan kawasan permukiman dengan memanfaatkan asset base-nya, perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumber daya alam dan lahan yang optimal. Hal ini untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan akses distribusi penduduk lokal untuk berinteraksi dengan wilayah pusat pertumbuhan (perkotaan). Untuk itu (Healey 2004) menetapkan kriteria dalam kebijakan dan strategisnya, yaitu (1) skala pengelolaan, (2) skala posisi kota dan wilayahnya, (3) regionalisasi, (4) kelayakan material dan identitas, (5) konsep pengembangannya, dan (6) bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional. Semua kriteria ini selanjutnya dijabarkan dalam langkah
kebijakan
dan
strategi
untuk
mengoperasionalkan
perspektif
pengembangan ruang kawasan permukiman. Kebijakan atau policy pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang diambil oleh suatu pihak menanggapi persoalan tertentu. Tindakan tersebut dapat berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Partowidagdo 2004). Adapun yang menjadi pendekatan dalam proses pengambilan kebijakan berdasarkan perkembangan keilmuan, kebijakan tersebut sangat bermacam-macam. Akan
30
tetapi, pada bagian ini hendak dikaji dua model pendekatan pengambilan kebijakan yakni pendekatan partisipatif dan pendekatan sistem. (1)
Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Dalam pengambilan keputusan, partisipasi merupakan wujud keterlibatan
secara aktif suatu pihak terhadap suatu hal, permasalahan, atau aktivitas kegiatan dengan menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya baik fisik maupun nonfisik dengan tujuan-tujuan tertentu. Berbagai definisi mengenai partisipasi mengacu pada suatu kompleksitas bahwa “partisipasi” dipandang secara bermacam-macam tergantung pada siapa objek pelaku dan siapa yang mendefinisikannya. Dalam hal ini, partisipasi dapat berarti partisipasi sosial, partisipasi ekonomi, partisipasi politik, partisipasi keilmuan, dan lain sebagainya. “Partisipasi” itu sendiri berbeda dari intervensi karena partisipasi lebih cenderung diartikan sebagai sumbangan keterlibatan dari suatu pihak pada suatu hal di antara banyak pihak lainnya. “Partisipasi” dapat membatasi kualitas tujuan dari hal yang dilibatkannya tersebut pada masa depan. Di Indonesia, “partisipasi” didefinisikan sebagai prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap kegiatan (salah satunya kegiatan penyelenggaraan pemerintahan). Proses pengambilan keputusan adalah suatu mekanisme tahap demi tahap bagaimana suatu keputusan dari berbagai alternatif yang ada akhirnya dapat terpilih. Pengambilan keputusan pada dasarnya terbagi atas pengambilan keputusan normatif dan pengambilan keputusan deskriptif. Proses pengambilan keputusan normatif dalam kasus ini merupakan suatu tahapan atau langkahlangkah bagaimana sebuah keputusan seharusnya dibuat. Adapun proses pengambilan keputusan deskriptif adalah suatu tahapan atau langkah mengenai keputusan pada saat ini dibuat dan bekerja (Hansen 1994). Oleh karena itu, selain sebagai pihak yang dipertimbangkan kepentingannya dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan, masyarakat (publik) berhak berpartisipasi aktif dalam pembangunan itu sendiri untuk menentukan bagaimana seharusnya pembangunan yang tepat guna dan tepat sasaran sesuai dengan harapan mereka. Dengan kata lain, dalam rangkaian proses pengambilan keputusan publik pada kegiatan pembangunan, “partisipasi” dapat dikatakan
31
sebagai sarana atau alat bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan tersebut. Hal ini demi menjaga agar fungsi-fungsi pembangunan dapat menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Konsep partisipatif dalam pengambilan keputusan pada kegiatan pembangunan sangat erat dengan konsep bottom-up planning. Suatu konsep yang mengangkat arah dan kebijakan pembangunan dari aspirasi masyarakat dan stakeholder pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah hanya menjadi penyeimbang dan pelaksana serta penyempurna dari aspirasi-aspirasi yang berkembang tersebut. Hal inilah yang membedakan konsep partisipatif (bottom-up approach) dengan konsep otoritas sentralistik pemerintah (top-down approach) dalam proses pengambilan keputusan. Desentralisasi, secara konseptual merupakan salah satu wujud pendekatan partisipatif dalam pembangunan. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai stakeholder tunggal penentu arah kebijakan pembangunan di mana pemerintah sebagai institusi mempunyai otoritas top-down dalam menentukan setiap keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik (masyarakatnya). Akan tetapi, dengan adanya konsep desentralisasi, pemerintah dengan terbuka membagi kewenangannya pada masyarakat untuk dapat menentukan arah dan kebijakan pembangunan daerahnya masing-masing pada taraf yang lebih rendah. Artinya, keberadaan desentralisasi dapat membuat masyarakat terlibat secara aktif sehingga melahirkan pengambilan keputusan-keputusan secara bottom-up pada rangkaian kegiatan pembangunan. Bahkan menurut Poteete (2002), desentralisasi merupakan sarana membagi konsentrasi otoritas dan kewenangan pengambilan keputusan yang terkait dengan pembangunan suatu wilayah negara pada institusi pemerintah yang lebih rendah daripada institusi nasionalnya. Artinya, dengan adanya desentralisasi, telah terjadi suatu upaya mendekati masyarakat untuk berpartisipasi dengan aktif melibatkan diri untuk menyampaikan aspirasinya pada pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah mengumpulkan aspirasiaspirasi
tersebut
dan
menyampaikannya
pada
pemerintah
pusat
ditindaklanjuti sebagai suatu kebijakan yang berwawasan kemasyarakatan.
untuk
32
(2)
Pendekatan Sistem Penyusunan Kebijakan Sistem adalah gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur
dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan (Marimin 2004). Sistem itu kompleks, dinamik, dan probabilistik (stokastik), sedangkan falsafah sistem adalah sibernetik, holistik, dan efektif (Eriyatno 2003). Selanjutnya, (Aminullah 2004) menyatakan bahwa berpikir sistemik adalah berpikir yang menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu. Menurutnya, ada enam langkah proses berpikir sistemik untuk pemecahan masalah, yaitu pengungkapan kejadian nyata, penentuan kejadian yang diinginkan, penetapan kesenjangan, pembuatan analisis, penyusunan kebijakan, dan pemerkirakan dampak. Berpikir sistem merupakan reaksi terhadap kegagalan ilmu pengetahuan alam ketika dihadapkan kepada masalah dunia nyata yang sangat kompleks dalam sistem sosial (Jackson 2000). Dalam menghadapi masalah yang kompleks ini, pendekatan ’holism’ lebih diutamakan dibandingkan dengan pada ’reductionism’. Pada pendekatan ’holism’, interkoneksitas beragam bagian dikenali dan hubungan antarbagian diperhatikan, bahkan sampai pada outcome yang tidak diduga. Metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan melalui pendekatan sistem terdiri atas tahapan proses sebagai berikut: analisis, rekayasa model, implementasi rancangan, dan implementasi dan operasi sistem. Adapun metodologi sistem pada prinsipnya adalah: analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik, dan penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (Eriyatno 2003). Perkembangan terakhir dalam pendekatan sistem adalah pengadopsian pendekatan
transdisiplin.
Bila
tim
multidisiplin
menjamin
terjaganya
komplementaritas sistem pengetahuan yang berbeda, interdisiplin menjembatani perbedaan pandangan disiplin. Adapun transdisiplin adalah sebuah proses yang melampaui perspektif disiplin (Attwater 2005). Hal yang kurang lebih sama seperti dikemukan oleh (Meppem 1998) yang menemukan bahwa pendekatan transdisiplin sangat penting untuk mengarahkan kegiatan perencanaan dan pengelolaan berkelanjutan. Cara berpikir disiplin konvensional yang sempit dalam lingkaran kebijakan membatasi kapasitas pengambil keputusan untuk mengurai kompleksitas masalah kebijakan dan manajemen lingkungan di dunia nyata.
33
Perumusan kebijakan perlu memperhatikan kompleksitas itu dan mendorong fleksibilitas pembelajaran perubahan yang berlangsung secara terus-menerus. Sementara konstruksi kerangka konseptual multidisiplin mengenai kualitas lingkungan dan kualitas hidup diperlukan untuk mendorong kemajuan di bidang pengembangan kota, kualitas lingkungan, dan kesejahteraan manusia. Lebih jauh lagi, (McIntyre dan Mills, 2008) menyatakan bahwa pendekatan transdisiplin sangat penting untuk memperoleh kesadaran atau jalan yang lebih besar menembus domain pengetahuan yang kita miliki. Selain itu, yang lebih penting, ia akan membantu politisi membuat keputusan kebijakan yang lebih baik. Intervensi sistemik telah dikenalkan oleh Midgley (2000) yang telah mempraktikkannya dalam sejumlah bidang, yaitu pengembangan layanan perumahan untuk orang tua, perencanaan penanganan bencana, perencanaan dan evaluasi pengawasan khusus bagi penderita gangguan mental (mentally disorder), dan pengembangan penanganan remaja yang kabur dari rumah atau pusat perawatan. Dalam semua kegiatan ini, Midgley melaksanakan penetapan batas (boundary critique) dan keberagaman metodologi (methodological pluralism, yaitu menggabungkan berbagai metoda secara kreatif). Dengan mengaplikasikan soft system methodology, baik tanpa maupun dengan disertai penggunaan metode kuantitatif. Perbedaan antara pendekatan statistik dengan pendekatan sistem dijelaskan oleh (Eriyatno dan Sofyar 2007) bahwa pendekatan statistik adalah tata cara riset yang mapan dan dapat diandalkan terutama dalam lingkungan penelitian yang terkendali ataupun terisolasi (ceteris paribus). Akan tetapi, keandalannya menjadi berkurang bilamana wahana penelitian merambah ke dunia nyata (real world) yang merupakan kombinasi kompleks dari faktor-faktor sosial, kultural, ekonomi, psikologis, legal, dan komunikasi. Di sinilah diperlukan pendekatan sistem. Pengertian model kebijakan adalah rekonstruksi buatan untuk menata secara imajinatif dan mengintepretasikan pengalaman tentang keadaan bermasalah (problematic situation) dalam rangka mendeskripsikan, menjelaskan, dan meramalkan aspek-aspek terpilih dari keadaan bermasalah tersebut dengan maksud memecahkan permasalahannya (Partowidagdo 2004). Klasifikasi model kebijakan berdasarkan tujuannya dapat dibagi atas model deskriptif dan model normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan alasan pemilihan dan atau
34
meramalkan akibat alternatif kebijakan. Tujuan model normatif selain menjelaskan dan atau meramalkan juga memberikan aturan dan rekomendasi untuk mendapatkan penyelesaian yang optimal. Model rekomendasi terdiri atas analisis manfaat biaya, analisis keefektifan biaya, dan analisis multitujuan. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), pada prinsipnya, analisis dan sintesis terlibat dalam setiap langkah untuk mewujudkan pikiran menjadi substansi. Keduanya saling melengkapi karena untuk mengidentifikasi aktivitas yang murni, analisis/sintesis memerlukan prinsip analisis/sintesis mutu tertentu. Analisis mendominasi studi dan pengetahuan mengenai substansi alamiah dan sistem, sedangkan sintesis mendominasi dalam pengembangan substansi yang konseptual atau artificial. Pendekatan sintesis harus menggunakan pendekatan sistem yang mempunyai
karakteristik
integration,
interdisciplinarity,
interconnectivity,
imaginative, dan holistic. GDM (Group Decision Making) dan FGD (Focus Group Discussion) sudah menjadi prosedur riset yang dapat diandalkan guna mengkaji perihal yang kompleks dan dinamik tanpa harus melakukan reduksi faktor. Penelitian ilmiah yang menggunakan kelompok (group) sebagai sumber ilmiah sekaligus untuk pengembang konsep (Eriyatno dan Sofyar 2007). Penyusunan kebijakan secara kuantitatif dan kualitatif di antaranya dapat dikonstruksikan melalui pendekatan sistem dengan metode perbandingan eksponensial (MPE), interpretative structural modelling (ISM), dan analytical hierarchy process (AHP). (a) Metode MPE Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak (Eriyatno dan Sofyar 2007). Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras. Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu (1) menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, (2) menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan
35
yang penting untuk dievaluasi, (3) menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, (4) melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, (5) menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan (6) menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial. Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. (b) Metode ISM Untuk mempelajari sistem sosial secara menyeluruh dan historis, analisis kebijakan mempunyai kekurangan dalam menetapkan dasar metodologinya. Kebijakan yang dihasilkan masih kurang mendalam untuk menganalisis prediksi dan penyelesaian permasalahan sosial, seperti kemiskinan, huru-hara, SARA, dan polusi. Hal ini karena tidak adanya metodologi penelitian sistem yang menyeluruh di mana komponen-komponennya tidak dapat dipisah-pisahkan (Eriyatno 2003). Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis di mana informasi kualitatif dan normatif mendominasi input kebijakan. Teori integratif dan interdisiplin ini banyak timbul dari ilmu sistem (system science). Pada tahun 1990-an yang telah dikenal adalah sistem ahli (expert system), total system intervention (TSI), soft system methodology (SSM), decision matrix (ECM dan MICMAC), viable system models (VSM), serta interpretative structural modelling (ISM) sebagai permodelan struktural. Permodelan struktural mencakup dua tahap. Pada tahap pertama, diterapkan suatu alat pembangkit dari sejumlah daftar elemen yang berhubungan dengan perihal yang ditelaah. Tahap kedua terdiri atas pemilihan hubungan-hubungan
36
yang relevan dan suatu alat strukturisasi yang tepat sehingga elemen-elemen tersebut dapat diformasikan. Alat pembangkit (generating tool) yang dapat digunakan adalah (Eriyatno 2003): 1) Diskusi Ahli, di mana melalui proses musyawarah dan brainstroming, ditetapkan daftar elemen oleh para panelis yang terpilih dengan ketat. 2) Expert Survey, melalui in-depth interview dari berbagai pakar lintas disiplin, didapatkan kesimpulan tentang daftar elemen (Brainwriting atau Clinical Interviewing). 3) Metode DELPHI, dengan pengumpulan informasi terkendali, iteratif dan berumpan balik. Teknik ini merupakan yang terbaik untuk pembangkitan pendapat, tetapi prosesnya sangat mahal dan memerlukan waktu lama. 4) Media Elektronik, seperti computerized conferencing, generating graphics atau tele-conference. Sejak tahun 1980-an, telah berkembang metodologi holistik untuk penelitian sistem sosial, yang lebih berorintasi terhadap metode penelusuran daripada teknik penguraian. Metodologi holistik cenderung pada penyusunan konsep dasar dan definisi persoalan, khususnya pada nonlinear multi-feedback loop system, yang mempersyaratkan tindakan (policy action). Metodologi ini dimulai dengan mendefinisikan elemen dari sistem total, struktur, batasannya dan keterkaitannya dengan sistem lainnya. Struktur menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antarelemen dalam membentuk suatu sistem. Struktur adalah dasar dari setiap sistem sebab istilah sistem itu sendiri diturunkan dari dua kata Yunani yang artinya ”menyebabkan tegak bersama” atau ”menempatkan kebersamaan”. Permodelan struktural menghasilkan bentuk grafis dengan mengalokasikan kompleksitas permasalahan dalam tingkatan/level. Model struktur menjabarkan format dan struktur terhadap pengukuran hasil kuantitatif sehingga dapat dipandang sebagai proses permodelan deskriptif dan holistik di mana para pengguna mendapatkan apresiasi menyeluruh terhadap sistem tersebut (the whole greater than just sum of this parts). Setelah dilakukan identifikasi dari hubungan satu sama lain, kemudian model yang terbentuk dikaji secara keseluruhan guna
37
mengembangkan pemahaman total. Oleh karena itu, melalui permodelan struktural, para pengguna model mampu meningkatkan pendalaman yang lebih baik terhadap perilaku sistem secara utuh sehingga akan dihasilkan penetapan prioritas pada tahap kesisteman. Alat strukturisasi (structuring tool) yang populer untuk hubungan tak langsung digunakan teknik interpretative structural modelling (ISM) (Eriyatno 2003). (c) Metode AHP Analytical Hierarchy Process (selanjutnya disebut AHP) adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Alat utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah ke dalam kelompok-kelompoknya dan kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Perbedaan mencolok antara model AHP dengan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada jenis inputnya. Model-model yang sudah ada umumnya memakai input yang kuantitatif atau berasal dari data sekunder. Otomatis, model tersebut hanya dapat mengolah hal-hal kuantitatif pula. Model AHP memakai persepsi manusia yang dianggap ‘expert’ sebagai input utamanya. Kriteria ‘expert’ di sini bukan berarti bahwa orang tersebut haruslah jenius, pintar, bergelar doktor, dan sebagainya, tetapi lebih mengacu pada orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan, merasakan akibat suatu masalah atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut. Karena menggunakan input yang kualitatif (persepsi manusia), model ini dapat mengolah juga hal-hal kualitatif di samping hal-hal yang kuantitatif. Pengukuran hal-hal kualitatif, seperti telah dijelaskan di atas, menjadi hal yang sangat penting mengingat makin kompleksnya permasalahan di dunia dan tingkat ketidakpastian yang makin tinggi.
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian
Penelitian penyusunan desain kebijakan ini menggunakan pendekatan sistem. Alasan penggunaan pendekatan ini adalah karena sistem yang diamati, yakni sistem pengembangan permukiman, bersifat kompleks dengan pelaku yang majemuk (Eriyatno 2003 dan Marimin 2004). Penggunaan pendekatan sistem, baik sebagai falsafah, ilmu, maupun alat, untuk menyempurnakan kebijakankebijakan yang ada terkait pengembangan kawasan permukiman perbatasan yang selama ini pada umumnya dibangun dari hasil penelitian dengan pendekatan secara partial. Dalam pendekatan sistem, pola keterkaitan antara ketiga aspek keberlanjutan
dalam
pengembangan
kawasan
permukiman,
yaitu
aspek
lingkungan, sosial, ekonomi sebagai dimensi dari sistem, dapat terlihat dengan jelas. Keluaran penelitian ini adalah sebuah desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Metode pendekatan sistem memiliki karakteristik aplikasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Secara lebih khusus, model kebijakan ini dibangun melalui soft system methodology/SSM, khususnya menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), interpretative structural modelling (ISM), dan analytical hierarchy process (AHP). Metode yang bersifat probabilistik ini digunakan agar peluang dan unsur ketidakpastian dapat ditampung dalam mendesain kebijakan pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, dengan studi kasus di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. SSM memberikan tempat bagi berbagai persepsi, nilai, keyakinan, dan perhatian dalam analisis penelitian. Metode ini menggunakan knowledge sebagai alat analisis dan intepretasinya. Penggunaan data hanya sebagai penunjang penggunaan knowledge. Dalam rangka mengidentifikasi sistem, dilakukan pengumpulan data melalui survei sekunder, yaitu melalui literature review, dan survei primer, melalui observasi dan interview. Data primer dikumpulkan untuk memperoleh situasi masalah di studi kasus. Hasil survei ini kemudian diverifikasi melalui focus group discussion (FGD) dan dijadikan acuan untuk penyusunan desain kebijakan.
39
Berkaitan dengan hal ini, Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan bahwa penelitian ilmiah yang menggunakan kelompok (grup) sebagai sumber ilmiah sekaligus untuk pengembang konsep sudah menjadi prosedur riset. 3.2
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Nunukan yang merupakan salah satu kabupaten wilayah perbatasan Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 3). Penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan, sejak bulan November 2008 sampai dengan bulan Mei 2009.
Gambar 3. Lokasi penelitian
3.3
Rancangan Penelitian
Beberapa rancangan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis kondisi kawasan permukiman, analisis potensi sektor unggulan kawasan, analisis
stakeholders
terkait,
dan
perumusan
kebijakan
serta
strategi
pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara sebagaimana diuraikan berikut:
40
3.3.1 Pengumpulan dan Analisis Data Kebijakan Permukiman Penelitian ini akan melakukan pengumpulan, kompilasi, dan penganalisisan data dari berbagai produk kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengaturan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. a. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum pengaturan dan kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia, meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, instruksi presiden, dan peraturan menteri yang terkait dengan kebijakan pembangunan permukiman
di
Indonesia.
Sumber
data
diperoleh
dari
beberapa
instansi/lembaga yang berkaitan langsung dengan kebijakan Pembangunan Permukiman di Indonesia. Adapun data primer berupa hasil yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara dengan responden di lapangan. b. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kritis (critical approach). Muhadjir (2000) mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis kajian hukum dan perundang-undangan, yaitu (a) mengadakan kritik terhadap teori dan praktik dari peraturan perundang-undangan yang ada, (b) membangun konstruksi teoritik yang baru, (c) dari kontrak teoritik baru dituangkan dalam program institusional sebagai pijakan pengembangan kelembagaan, dan (d) menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik berupa konsekuensi logis internal dan eksternalnya. Hasil analisis kritis tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundangundangan yang selama ini digunakan dalam pengaturan pengembangan kawasan permukiman sudah efektif di wilayah perbatasan di Indonesia. 3.3.2 Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak (Eriyatno dan Sofyar 2007). Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah
41
terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaanya lebih kontras. a. Prosedur MPE Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu (1) menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, (2) menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, (3) menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, (4) melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, (5) menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan (6) menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut. m Total nilai (TNi) = Σ (RKij) TKKj j=1
dengan: TNi RKij TKKj n m
= Total nilai alternatif ke-i = derajat kepentingan relatif kriteria ke–j pada pilihan keputusan i = derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0 ; BULAT = jumlah pilihan keputusan = jumlah kriteria keputusan
Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai pada setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif, semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial. b. Keuntungan Metode MPE Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang menggambarkan urutan
42
prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. 3.3.3
Analisis Interpretative Structural Modelling (ISM)
Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural (interpretative structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan pada masa yang akan datang. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno dan Sofyar 2007). Oleh karena itu, tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. a. Penyusunan Hierarki − Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen.
Setiap
elemen
akan
diuraikan
menjadi
sejumlah
subelemen. − Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang mengandung suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu, dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol: - V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j - A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i - X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama - O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai eij = 1 adalah adanya hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak adanya hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. − Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0.
43
Tabel 3. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen 12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Setelah structural self interaction matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat responden, simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix (RM) final elemen disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil reachability matrix (RM) final elemen 1
2
3
4
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 D L Keterangan : DP R D L
= driver power = rangking = dependence = level/hierarki
6
7
8
9
10
11
12 DP R
44
Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat diketahui nilai driver power dengan menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai ranking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. b.
Klasifikasi suplemen
Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor yaitu: − Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (autonomous). Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan sedikit meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. − Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (dependent). Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. − Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (linkage). Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. − Sektor
4;
strong
driver-weak
dependent
variabels
(independent).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
45
Analisis matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 4 berikut :
Daya Dorong (Drive Power)
Independent Variable Sektor IV
Lingkage Variablel Sektor III
Autonomous Variable Sektor I
Dependent Variable Sektor II
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 4. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antarfaktor 3.3.4 Analytical Hierarchy Process (AHP) Penelitian ini bertujuan untuk mendesain kebijakan pengembangan kawasan permukiman perbatasan melalui pendekatan analytical hierarchy process (AHP). a. Metode Pengumpulan Data Desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman perbatasan di Indonesia harus sesuai dengan karakteristik wilayah, termasuk di dalamnya karakteristik sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Prioritas desain sistem pengembangan kawasan permukiman perbatasan di Indonesia dianalisis melalui pendekatan analytical hierarchy process (AHP) yang berbasiskan pada expertise judgement sehingga pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar memahami permasalahan lingkungan. Responden dipilih dari kalangan pemerintah, pemerintah daerah (dinas/instansi daerah yang mengurus permukiman), LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. b. Analisis Data Hierarki desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman perbatasan di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 5. Hirarki disusun mulai dari tingkatan (level) paling tinggi sampai paling rendah dalam hierarki. Tingkatan tertinggi merupakan fokus, disusul oleh faktor, pelaku (aktor), dan alternatif kebijakan.
46
Perkim Perbatasan Negara
Fokus
Kebijakan Pemerintah
Faktor
Stake Holders
Tujuan
Sasaran
Pemerintah
Tingkat Pendapatan
Pemerintah Daerah
Pengembangan. Dan Penataan Kawasan
Pendanaan Pembangunan
Swasta
Masyarakat
Peningkatan Kesejahteraan
Pemulihan Ekosistem
Strategi Pengembangan (Kawasan)
Strategi Pengembangan (Kelembagaan)
Prasarana dan Sarana
Pakar
Pengembangan Prasarana Kawasan
BKM / LSM
Minimasi Konflik
Strategi Pengembangan (Pembiayaan)
Gambar 5. Hierarki kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara berpasangan (pairwise comparisons) tingkat kepentingan atau tingkat pengaruh satu elemen dengan elemen lainnya yang berada dalam satu tingkatan (level) berdasarkan pertimbangan tertentu. Nilai yang diberikan berada dalam skala pendapat yang dikeluarkan oleh Saaty (1993). Nilai rata-rata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan diolah menggunakan perangkat lunak criterium plus versi 3. Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari faktor, aktor, dan sifat kebijakan yang mempengaruhi kebijakan pengembangan kawasan permukiman perbatasan di Indonesia.
47
3.3.5 Skenario Kebijakan dan Strategi Pengembangan Setelah dibuat pengklasifikasian dari subelemen dan komponen dominan dalam membuat desain kebijakan, dilakukan deskripsi analisis kebijakan yang sesuai keadaan lapangan dan hasil analisis ISM dan AHP dengan memperhatikan beberapa hal dibawah ini: 1. Menentukan keadaan (state) suatu faktor −
Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi (bukan khayalan) dalam suatu waktu pada masa mendatang.
−
Keadaan bukan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor (seperti besar/sedang/kecil atau baik/buruk), tetapi deskripsi situasi sebuah faktor.
−
Setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas. Bila keadaan dari suatu faktor lebih dari satu makna keadaan, keadaan-keadaan tersebut harus dibuat secara kontras.
−
Selanjutnya, mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk terjadi atau berjalan bersamaan (mutual incompatible).
2. Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor-faktor yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : −
Skenario yang mempunyai peluang besar untuk terjadi pada masa datang disusun terlebih dahulu.
−
Skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor. Oleh sebab itu, sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible (saling bertolak belakang).
−
Setiap skenario (mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis) diberi nama.
−
Langkah selanjutnya memilih skenario yang paling mungkin terjadi.
3. Implikasi Skenario merupakan kegiatan terakhir yang meliputi : −
Skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas konstribusinya terhadap tujuan studi.Skenario tersebut didiskusikan implikasinya.
−
Tahap selanjutnya menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang sudah disusun.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Tinjauan Umum Kabupaten Nunukan
4.1.1 Administrasi dan Geografi Wilayah Kabupaten Nunukan terletak di daerah khatulistiwa sehingga dipengaruhi iklim tropis basah dengan karakteristik yang khas, yakni curah hujan cukup tinggi dengan penyebaran merata sepanjang tahun. Di Wilayah Kabupaten Nunukan tidak terdapat pergantian musim yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan, Wilayah Kabupaten Nunukan termasuk dalam 2 (dua) wilayah utama, yaitu: − Wilayah hujan bagian barat dengan curah hujan maksimum yang umumnya terjadi pada Januari atau Mei. Curah hujan rata-rata lebih dari 266,5 mm. Hujan maksimum sekunder terjadi pada April-Juni, sedangkan hujan minimum terjadi pada Februari. Kecamatan yang termasuk dalam wilayah ini yaitu Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, dan sebagian wilayah Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sembakung. − Wilayah hujan bagian timur dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan April atau Mei. Hujan minimum umumnya terjadi pada bulan Juli-Agustus dengan curah hujan rata-rata 188,95 mm, tetapi curah hujan rata-rata tahunan lebih kecil dibandingkan curah hujan pada bagian kawasan pesisir, yaitu sebesar 199,5 mm. Kecamatan yang termasuk dalam wilayah ini adalah Kecamatan Nunukan, Sebatik, sebagian Kecamatan Sebuku, Lumbis, serta Sembakung.
Secara administratif wilayah Kabupaten Nunukan dibagi sembilan wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Nunukan, Kecamatan Nunukan Selatan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Sebatik Barat, Kecamatan Sebuku, Kecamatan Sembakung, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Krayan, dan Kecamatan Krayan Selatan. Berdasarkan hasil penataan wilayah desa/kelurahan di Kabupaten Nunukan, telah terjadi pemekaran kecamatan. Sebelum pemekaran, Sebuku masuk ke dalam Kecamatan Nunukan dan saat ini sudah menjadi kecamatan sendiri. Selain itu, Kecamatan Krayan mengalami pemekaran menjadi Kecamatan Krayan dan Kecamatan Krayan Selatan.
49 Kabupaten Nunukan memiliki luas 14.263,68 km2. Pada tahun 2007 (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008) Kabupaten Nunukan dihuni oleh 125.585 jiwa dengan kepadatan penduduk 8 jiwa per kilometer persegi. Kabupaten Nunukan sendiri terletak pada posisi 1150 33’ - 1180 3’ Bujur Timur serta 30 15’ 00’’ - 40 24’ 55’’ Lintang Utara. Persentase luas wilayah per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 6.
Krayan Selatan 12,31%
Sebatik Barat 1,00%
Krayan 12,88% Sebatik 0,73% Lumbis 25,56%
Sebuku 21,91%
Nunukan 11,19%
Sembakung 14,41%
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 6. Persentase luas wilayah per kecamatan Kabupaten Nunukan merupakan wilayah paling utara dari Provinsi Kalimantan Timur. Posisinya yang berada di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia menjadikan Kabupaten Nunukan sebagai daerah yang strategis dalam peta lalu lintas antarnegara. Peta administrasi dapat dilihat pada Gambar 7. Wilayah Kabupaten Nunukan terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan. Sebagian besar didominasi oleh satuan fisiografi dataran tinggi dan pegunungan dengan luas 679.457 ha atau 47,63% dari luas wilayah. Dataran tinggi dengan kelerengan yang bervariasi merupakan wilayah paling luas yaitu mencapai 488.962 ha atau 34,28% dari luas wilayah. Peta fisiografis Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 8.
50
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 7. Administrasi Kabupaten Nunukan
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 8. Peta fisiografis Kabupaten Nunukan
51 4.1.2 Ketinggian dan Kemiringan Wilayah daratan Kabupaten Nunukan terletak pada ketinggian antara 0 hingga 1.500 mdpl (meter di atas permukaan laut) ketinggian 0 sampai 100 mdpl meliputi areal seluas 716.808 ha atau 50.25% dari luas Wilayah Kabupaten Nunukan. Wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1.500 mdpl hanya seluas 246 ha atau sebesar 0.02%. Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah di Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 9.
1.000 - 1.500 m 18,87%
1.500 - 2.000 m 0,02%
0 - 100 m 50,25% 500 - 1.000 m 19,98%
100 - 500 m 10,87%
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 9. Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah Kabupaten Nunukan Kelerengan wilayah daratan Kabupaten Nunukan bervariasi. Kawasan di bagian utara dan selatan Kabupaten Nunukan lebih didominasi oleh kawasan dengan kelerengan rendah yaitu di bawah 15%, sedangkan kawasan yang memiliki tingkat kelerengan di atas 15% banyak terdapat di kawasan barat dan tengah Kabupaten Nunukan. 4.1.3 Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di Wilayah Kabupaten Nunukan hanya delapan jenis tanah dan yang paling luas adalah podsolik/regosol sebesar 410.486 atau 28,79%. Jenis tanah ini umumnya terdapat di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, dan Lumbis. Jenis tanah yang luasnya paling kecil yaitu alluvial/gambut sebesar 50.896 ha atau sebesar 3,7% dari luas wilayah. Jenis tanah Kabupaten Nunukan yaitu tanah alluvial yang hampir seluruhnya terdapat di Kecamatan Nunukan, Sebatik, Sebuku, dan Sembakung. Tanah alluvial/gambut hanya terdapat di Kecamatan Lumbis dengan luasan 837 ha, sedangkan di Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan tidak terdapat sama sekali.
52 Kabupaten Nunukan memiliki kedalaman efektif tanah yang bervariasi antara kurang dari 30 cm sampai lebih dari 90 cm. Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman tanah yang menyebabkan akar tanaman masih bisa tumbuh dengan baik. Sebagian besar wilayah Kabupaten Nunukan memiliki kedalaman tanah 30 60 cm dan >90 cm. Wilayah Kabupaten Nunukan dengan kedalaman tanah antara 30 - 60 cm seluas 600.442 ha atau 37,25% dari total luas wilayah Kabupaten Nunukan. Wilayah Kabupaten Nunukan yang memiliki kedalaman tanah >90 cm seluas 711,545 ha atau 12,24% dari total luas wilayah Kabupaten Nunukan. Ditinjau dari tekstur tanah, wilayah Kabupaten Nunukan mempunyai tekstur tanah halus, sedang, dan kasar. Tekstur tanah adalah perbandingan partikel liat, debu, dan pasir yang terdapat pada suatu gumpalan tanah. Tekstur tanah di Kabupaten Nunukan sebagian besar mempunyai tekstur tanah sedang, dengan luas 1.097.489 ha atau 67,52% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. Penyebaran dan luas masing-masing kelas tekstur tanah wilayah daratan di Kabupaten Nunukan untuk Kecamatan Sebatik dengan luas wilayah 27.303 ha dengan kelas tekstur tanah halus seluas 7.278 ha atau 26,66% dari luas wilayah kecamatan, tekstur sedang dengan luas 17.383 ha atau 63,67% dan gambut 2.642 ha atau 9,68% dari total luas kecamatan. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan dapat dilihat di Gambar 10.
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 10. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan
53 4.1.4 Pola Penggunaan Lahan Persebaran penduduk di Kabupaten Nunukan tidak merata, sebagian besar penduduk mendiami wilayah pesisir. Jumlah penduduk yang relatif besar cenderung mengelompok di daerah perkotaan, terutama daerah yang mempunyai aktivitas ekonomi yang cukup tinggi yang ditandai dengan adanya sarana transportasi dan keadaan ekonomi masyarakatnya yang memadai. Sebagian besar pemukiman penduduk di Kabupaten Nunukan yang berada di kawasan pesisir menempati daerah dataran rendah, di tepi pantai, muara-muara sungai kecil, dan bantaran sungai. Jenis-jenis penggunaan lahan terdiri atas pemukiman, pertanian (meliputi penggunaan lahan untuk perkebunan dan persawahan), kehutanan, perikanan, lahan konsesi untuk kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi, serta lahan untuk fasilitas umum. Jenis mata pencaharian penduduk di kawasan pesisir Kabupaten Nunukan bervariasi dengan kecenderungan pada aktivitas kehutanan, pertanian, perikanan, perdagangan, dan pelayanan jasa. Mata pencaharian di sektor perdagangan, pelayanan jasa, dan perikanan terkonsentrasi pada pada Kecamatan Nunukan dan Sebatik. Di sektor pertanian dan perkebunan hampir merata di semua kecamatan. Hasil pengamatan terhadap pola pemanfaatan lahan di Kecamatan Nunukan menunjukkan bahwa sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian yang berkembang dapat dilihat dari peningkatan lonjakan kenaikan produksi padi dan palawija dari 20.084 ton pada tahun 1997 menjadi 44.436 ton pada tahun 2007 (BPS Kabupaten Nunukan 2008). Kecenderungan lonjakan produksi pertanian ini besar kemungkinannya diperoleh melalui perluasan lahan pertanian dalam jumlah yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode hampir sepuluh tahun, telah terjadi perubahan fungsi lahan, dari hutan nonproduksi (hutan alam) menjadi lahan pertanian. Perkembangan penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Nunukan dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas manusia. Peta pola penggunaan lahan berdasarkan RTRW disajikan pada Gambar 11.
54 POLA PENGGUNAAN LAHAN
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 11. Peta pola penggunaan lahan 4.1.4.1 Kehutanan Hutan yang terdapat di Kabupaten Nunukan seluas 1.426.368 ha yang terdiri dari hutan taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi (kawasan hutan dan kawasan budi daya nonkehutanan). Sebagian besar wilayah hutan merupakan kawasan budi daya nonkehutanan seluas 470.914 ha atau 33,01% dari kawasan hutan seluruhnya. Hutan lindung jaraknya relatif jauh dari permukiman yang ada. Hutan produksi pada umumnya telah diusahakan/ditebang oleh pemegang HPH maupun bekas ladang penduduk yang telah ditinggalkan, sedangkan hutan sejenis berupa hutan reboisasi tanaman industri dari pemegang HPH. Kabupaten Nunukan memiliki kawasan hutan lindung seluas 167.428 ha atau 11,7% dari luas wilayahnya. Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung di Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 12.
55
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 12. Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung 4.1.4.2 Pertanian Kelompok pertanian lahan kering meliputi kebun campuran, tegalan, dan ladang. Kebun campuran adalah penggunaan lahan kering yang sifatnya menetap atau kombinasi tanaman semusim dan tanaman keras. Penggunaan lahan pertanian lainnya pada umumnya merupakan campuran tanaman kopi, durian, nangka, rambutan, dan lain-lain. Tegalan adalah pertanian lahan kering dengan jenis tanaman semusim seperti tanaman ketela pohon, pisang, dan padi gunung. Ladang seperti halnya tegalan, ditanami dengan jenis tanaman semusim, tetapi sifatnya hanya sementara antara satu hingga tiga kali musim panen. Luas penggunaan untuk pertanian lahan kering 8.304 ha atau 0,58% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. Peta kesesuaian lahan pertanian di Kabupaten Nunukan dapat dilihat pada Gambar 13.
56
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 13. Peta kesesuaian lahan untuk pertanian 4.1.4.3 Perkebunan Perkebunan yang dimaksud yaitu perkebunan dengan jenis tanaman keras monokultur, baik perkebunan rakyat, perkebunan besar, maupun perkebunan swasta. Dalam rangka pengembangan sektor perkebunan di Kabupaten Nunukan, diterapkan pembinaan dengan menggunakan pola partial/swadaya, PIR/NES, dan perkebunan besar baik oleh negara maupun swasta, sedangkan akhir-akhir ini berkembang pola kemitraan dengan komoditas unggulan yaitu sawit. Budi daya tanaman perkebunan utama yang mendapat pembinaan secara khusus antara lain budi daya tanaman karet, kelapa, kopi, lada, kakao, kelapa sawit, dan cengkeh. Di samping itu, budi daya lainnya bersifat introduksi dan dikembangkan secara diversifikasi seperti vanili, aren, pala, dan jambu mete. Luas penggunaan lahan perkebunan yaitu 17.731 ha atau 1,24% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. 4.1.4.4 Perikanan Kabupaten Nunukan selain mempunyai potensi perikanan tangkap, juga perikanan budi daya seperti tambak/kolam berupa areal dengan penggenangan permanen yang telah mendapat campur tangan manusia baik itu berupa kolam air tawar maupun air laut atau yang telah dikenal dengan tambak. Rawa-rawa yang merupakan areal penggenangan permanen dan dasarnya yang dangkal ditumbuhi
57 tumbuh-tumbuhan besar yang umumnya berupa rerumputan rawa dan semak belukar. Luas penggunaan lahan kolam/tambak/rawa seluas 16.295 ha atau 1,14% dari luas wilayah Kabupaten Nunukan. 4.1.4.5 Pertambangan Pengembangan pertambangan di Kabupaten Nunukan hingga saat ini belum termanfaatkan secara optimal, padahal Kabupaten Nunukan memiliki beberapa potensi pertambangan yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu: 1.
Bahan galian golongan strategis (golongan A), yaitu minyak bumi dan batu bara. Minyak bumi terdapat di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, Muara Bukat (Kecamatan Nunukan), dan Muara Sungai Sembakung (Kecamatan Sembakung). Selain di Simenggaris, batu bara juga terdapat di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, Sembakung, dan Sebatik. Minyak bumi yang terdapat di Muara Bukat dan Muara Sungai Sembakung telah dieksploitasi oleh Pertamina. Kandungan batu bara yang terdapat di Simenggaris sedang diuji kandungannya oleh perusahaan swasta P.T. Anugerah Jati Mulya.
2.
Bahan Galian golongan vital (golongan B), terdiri dari: - Emas, terdapat di Hulu Sungai Sebuku (Kecamatan Nunukan), Hulu Sungai Sembakung (Kecamatan Lumbis), dan Sungai Krayan. - Gips, terdapat di sekitar Sungai Sedadap, Pulau Nunukan, dan Sembakung. Walaupun demikian, belum terdapat studi terperinci tentang jumlah kandungan cadangan mineral yang ada.
3.
Bahan Galian Golongan C, terdiri dari: - Pasir kuarsa, terdapat di Kecamatahn Krayan. - Andesit, terdapat di Sungai Nyamuk, Pulau Sebatik, dan Kecamatan Sembakung. - Batu gunung, terdapat di Kecamatan Nunukan - Gamping, dengan kandungan CaO kandungan CaO 55,2% dan MgO 0,05%, tetapi jumlah cadangan yang ada diperkirakan tidak banyak, terdapat di Pasir Putih, Pulau Nunukan. Selain itu, terdapat juga di Kecamatan Krayan. - Bahan galian setengah permata (half precious probing material) di Sungai Bilal, Pulau Nunukan.
58 4.1.4.6 Permukiman Penggunaan lahan permukiman meliputi perumahan, perkantoran, tempat olahraga, taman, kuburan baik yang di perkotaan maupun pedesaan, demikian juga permukiman transmigrasi. Luas penggunaan untuk permukiman ini adalah 7.130 ha atau sekitar 0,05% dari luas wilayah Kabupaten. Selain dikembangkan di Pulau Nunukan sebagai kawasan perkotaan dengan pusat
pemerintahan,
pengembangan
kawasan
permukiman
juga
akan
dikembangkan di Pulau Sebatik (dua kecamatan). Kecamatan Lumbis, Sembakung, Krayan Induk, dan Krayan Selatan merupakan bagian dari wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Pengembangan kawasan permukiman tersebut mendorong terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan negara yang berbasis potensi SDA wilayah. Kesesuaian lahan untuk permukiman dapat dilihat pada Gambar 14.
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 14. Peta kesesuaian lahan untuk permukiman a. Perumahan Perkotaan Berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan, deliniasi kawasan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: − Kemiringan lereng relatif landai (0 - 15%) − Tidak berada pada daerah banjir
59 − Tidak berada pada daerah resapan air − Tersedia air baku yang cukup − Bebas dari bahaya gangguan geologi lingkungan − Mempunyai tingkat aksesibilitas dan dapat dijangkau − Tidak berada pada daerah rawan gempa − Berada dekat pusat kota − Tidak berada dalam kawasan lindung Berdasarkan kriteria tersebut, areal potensial dikembangkan untuk kegiatan permukiman perkotaan terletak di Pulau Nunukan atau Kota Nunukan, di bagian Pulau Sebatik, serta kota-kota kecamatan lainnya. Sehubungan dengan potensi pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan, diperlukan pengaturan ruang sebagai berikut: 1.
Dapat dibangun akomodasi perkotaan serta sarana sosial-ekonomi yang dapat memfungsikan kota tersebut sebagai pendorong pengembangan kawasan sekitarnya atau daerah hinterland-nya. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi yang ada disesuaikan dengan potensi daerah belakangnya.
2.
Pemanfaatan air tanah sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan penduduk perkotaan dan sistem aktivitas. Selain itu, air sungai juga dimanfaatkan sebagai bahan baku air bersih harus melalui pengelolaan sehingga memenuhi kelayakan sebagai air bersih yang siap untuk dikonsumsi masyarakat.
3.
Pembangunan unit-unit permukiman diwajibkan untuk menyediakan lahan kuburan, minimum 5% dari luas areal pengembangan perkotaan.
4.
Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada sistem prasarana dasar yang artinya pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan bangunan dan lingkungan yang serasi dan seimbang, meliputi sistem drainase, air bersih, air kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang, dan perumahan.
5.
Pengembangan permukiman minimal harus menghindari lahan-lahan pertanian yang produktif.
6.
Sistem prasarana drainase: - Harus mempertimbangkan badan sungai yang ada sebagai saluran penerima
60 -
Koefisien aliran permukaan (run off) tidak lebih dari 25%. Pada lereng atau tanah yang peka terhadap erosi harus ada rekayasa teknis sehingga kekeruhan drainase tidak semakin pekat
- Perhitungan drainase berdasarkan banjir 10 sampai 25 tahun. 7.
Sistem air bersih: -
Pengambilan air baku diutamakan dari air permukaan (sungai) dengan melakukan pengelolaan sehingga layak untuk dijadikan air minum dan kebutuhan air bersih lainnya.
-
Untuk meningkatkan recharge air tanah, dianjurkan untuk membuat sumur resapan terutama pada tanah yang stabil dan mempunyai daya serap tinggi.
-
Kapasitas kemampuan pelayanan didasarkan pada perhitungan kebutuhan air bersih rata-rata 100 liter/orang/hari, sesuai dengan standar hidup perkotaan.
b. Perumahan Pedesaan Berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan, delineasi pengembangan kawasan permukiman pedesaan di Kabupaten Nunukan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Ketinggian <1.000 mdpl, kecuali desa-desa yang sudah ada di atas ketinggian 1.500 mdpl. 2. Mempunyai sistem dan atau potensi pengembangan pengairan dan drainase. 3. Kemiringan tanah <30%, kecuali jenis tanah regosol, litosol, rezina, dan organosol dengan kemiringan <15%. 4. Kedalaman efektif tanah > 30 cm. 5. Bukan daerah kritis/bahaya lingkungan beraspek geologi, seperti daerah patahan aktif, erosi, dan longsoran. 6. Tidak berada dalam kawasan berfungsi lindung. 7. Kemiringan lereng relatif landai 0 - 15%.
Permukiman desa yang tidak sesuai dengan kriteria di atas tetap dipertahankan terutama di desa yang terdapat pada kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang terletak di ketinggian di atas 1.000 mdpl. Adapun permukiman desa yang terletak di daerah bahaya geologi lingkungan, seperti patahan aktif, erosi, dan longsoran tidak terdapat di Kabupaten Nunukan.
61 Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada desa-desa di daerah kritis, tetapi desa-desa berada dalam kawasan lindung. Berdasarkan potensi pengembangan permukiman perdesaan di Kabupaten Nunukan, perlu dilakukan pengaturan ruang sebagai berikut: 1.
Permukiman penduduk lokal/desa-desa yang berada pada kawasan lindung tetap dipertahankan. Namun, diusahakan untuk dimukimkan kembali ke dalam kawasan yang sesuai untuk permukiman, melalui pengembangan kawasan budi daya, baik budi daya pertanian maupun budi daya kehutanan.
2.
Dapat dibangun sarana sosial-ekonomi berdasarkan kebutuhan sesuai dengan karakteristik tiap desa. Pada desa-desa yang berada di daerah aliran sungai perlu dikembangkan pelabuhan sungai yang berskala lingkungan, selain sarana prasarana sosial lainnya, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan sarana budaya.
3.
Diperkenankan bangunan yang menunjang fungsi kawasan/kegiatan utama untuk kepentingan umum.
4.
Pengembangan jalan sesuai dengan kebutuhan dan juga disesuaikan dengan karakteristik masing-masing desa. Bagi desa-desa yang terletak di daerah aliran sungai, digunakan akses sungai sebagai pintu keluar masuk desa. Pengembangan jalan lainnya dapat diintegrasikan dengan pengembangan lahan usaha masyarakat.
5.
Permukiman pedesaan memiliki kepadatan maksimum lima rumah/hektar dan KDB maksimum 5%, dan tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat) atau usaha tani.
6.
Perlu disesuaikan secara dini agar permukiman perdesaan yang berbasis sentra pertanian tidak berubah menjadi permukiman perkotaan agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan serta konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik.
4.1.5 Kondisi Penduduk di Kabupaten Nunukan Keadaan penduduk di Kabupaten Nunukan berdasarkan distribusi menurut kecamatan, jumlah terbesar di Kecamatan Nunukan sebesar 42,96% dan Kecamatan Sebatik sebesar 16,15% (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008). Secara keseluruhan distribusi berdasarkan kecamatan terlihat pada Gambar 15.
62
Sebatik Barat 8,78%
Krayan 6,72%
Krayan Selatan 1,81%
Sebatik 16,15%
Sebuku 9,34%
Lumbis 7,47% Sembakung 6,77%
Nunukan 42,96%
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 15. Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan 2007 Berdasarkan kepadatan penduduk dari delapan kecamatan yang ada terlihat bahwa Kecamatan Sebatik memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yaitu 194,2 jiwa/km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 20.283 jiwa dan luas wilayah 104,42 km2. Kepadatan Kecamatan Sebatik Barat yaitu 77,6 jiwa/km2. Di kecamatan lainnya, kepadatan penduduk yang ada hanya berkisar antara 1,29 - 33,79 jiwa/km2. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2007 Kecamatan Krayan Krayan Selatan Lumbis Sembakung Nunukan Sebuku Sebatik Sebatik Barat Jumlah
Luas Wilayah (km²) 1.837,54 1.756,46 3.645,50 2.055,90 1.596,77 3.124,90 104,42 142,19 14.263,68
Jumlah Penduduk (Jiwa) 8.438 2.271 9.380 8.503 53.951 11.731 20.283 11.028 125.585
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km²) 4,59 1,29 2,57 4,14 33,79 3,75 194,24 77,56 8,80
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Rata-rata jiwa per rumah tangga terbanyak terjadi di Kecamatan Sebuku dengan jumlah rata-rata sebanyak 4,52 jiwa/keluarga dengan jumlah rumah tangga sebanyak 2.593 KK dan jumlah penduduk sebanyak 11.731 jiwa.
63 Tabel 6. Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata jiwa per rumah tangga tahun 2007 Penduduk Rumah Tangga Rata-Rata Jiwa/ Kecamatan (jiwa) (kk) Keluarga Krayan 8.438 1.917 4,40 Krayan Selatan 2.271 545 4,17 Lumbis 9.380 2.366 3,96 Sembakung 8.503 2.230 3,81 Nunukan 53.951 14.653 3,68 Sebuku 11.731 2.593 4,52 Sebatik 20.283 5.163 3,93 Sebatik Barat 11.028 3.235 3,41 Jumlah 125.585 32.702 3,84 2006 118.707 30.245 3,92 2005 115.210 32.895 3,50 2004 109.527 19.685 5,56 2003 106.323 19.546 5,44 2002 97.398 18.860 5,16 Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
4.1.6
Kondisi Prasarana dan Sarana
4.1.6.1 Jalan dan Angkutan Sungai Prasarana dan sarana perhubungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menunjang
kegiatan
pembangunan.
Kelancaran
perhubungan
antarkecamatan, kabupaten, kota kecamatan, dan pedalaman/kawasan pedesaan akan mempercepat jalanya roda pembangunan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan keamanan. Prasarana perhubungan meliputi subsektor perhubungan darat, subsektor perhubungan laut, subsektor perhubungan air, dan subsektor perhubungan udara. Peranan perhubungan sangat vital dalam menunjang kegiatan pembangunan terutama darat. Prasarana jalan menjadi faktor utama dalam mendukung lancarnya mobilisasi kegiatan pembangunan di daerah. Program pembangunan jalan Kabupaten Nunukan untuk pertumbuhan ekonomi yaitu: -
Pembangunan Jalan Lingkar Pulau Nunukan antara lain sebagai berikut: Binusan – Sungai, Fatimah – Sungai, Bilal - alun-alun – Sedadap – Sungai, Jepun – Tanjung, Harapan – Sungai, Lancang – Mamolo - Binusan, dengan jarak ± 51,60 km.
-
Pembangunan Jalan Lingkar Pulau Sebatik antara lain sebagai berikut Bambangan – Setabu – Sungai, Taiwan – Tanjung, Aru – Sungai, Pancang Sungai Nyamuk - Aji Kuning - Bambangan, dengan jarak ± 58,50 km.
64 -
Pembangunan Jalan Lingkar Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan melalui Long Bawan – Kuala, Belawit – Lembudud – Long, Layu - Tang Laan – Tanjung, Pasir - Long Padi – Binuang - Ba Liku – Bungayan - Wa Yagung Long Bawan, dengan jarak ± 125 km.
-
Pembangunan jalan lintas kecamatan, yang menghubungkan kecamatankecamatan di Kabupaten Nunukan melalui: - Kecamatan Sebuku (Pembeliangan) - Kecamatan Sembakung (Atap), dengan jarak ± 22,79 km. - Kecamatan Sebuku (Pembeliangan) - Kecamatan Lumbis (Mansalong), dengan jarak ± 65,60 km. - Kecamatan Lumbis (Mansalong) - Kecamatan Krayan (Long Bawan), dengan jarak ± 235 km.
-
Pembangunan jalan lintas kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Nunukan dan Malinau yaitu Kecamatan Sebuku (Pembeliangan) - Kecamatan Lumbis (Mansalong) - Kabupaten Malinau - Kecamatan Malinau Utara (Salap), dengan jarak ± 87,63 km.
-
Pembangunan jalan lintas negara yang menghubungkan Kabupaten Malinau dan Nunukan ke batas negara sejauh ± 180,43 km. Jaringan jalan yang ada di Kabupaten Nunukan terbagi atas jalan negara, jalan
provinsi, dan jalan kabupaten. Berdasarkan jenis permukaannya, jaringan jalan darat dibagi menjadi jalan aspal, jalan berbatu/diperkeras, dan jalan tanah. Pada jalan negara dan jalan provinsi, masih diusulkan penetapannya ke tingkat provinsi/pusat. Hubungan antaribukota kecamatan di dalam kabupaten sebagian besar masih menggunakan jalur angkutan laut dan sungai. Jaringan jalan kabupaten relatif masih terbatas dibandingkan dengan luas wilayah administrasi Kabupaten Nunukan. Meskipun demikian, semua ibukota kecamatan maupun desa-desa yang ada dapat dijangkau dengan jalan darat, sehingga memudahkan penduduk untuk berinteraksi dan beraktivitas walaupun sebagian besar jalan tersebut belum beraspal. Jaringan jalan ke lokasi rencana PPN untuk daerah Sungai Mensapa dapat langsung dijangkau oleh kendaraan roda empat dengan baik karena keberadaan
65 lokasi yang berdekatan dengan jalan lingkar Pulau Nunukan. Jaringan jalan menuju Sungai Jepun, Sedadap, dan Kampung Buton sudah tersedia jalan agregat yang dapat dilalui oleh mobil sampai ke rencana lokasi. Pemerintah Kabupaten Nunukan merencanakan pengembangan prasarana jalan yang meliputi: 1.
Pemeliharaan secara periodik dan rutin serta peningkatan jalan menuju ibukota kecamatan dengan konstruksi hotmix.
2.
Membuka isolasi daerah melalui pembangunan dan peningkatan jalan desa.
3.
Melanjutkan pembangunan ruas jalan baru dengan melengkapi kebutuhan rambu-rambu lalu lintas untuk keamanan dan ketertiban pemakai jalan.
4.
Meningkatkan kelas jalan. Kondisi jaringan jalan di Nunukan dapat dilihat berdasarkan jenis permukaan
jalan maupun kelas jalan. Sebagian besar (53,5%) jaringan jalan yang ada masih merupakan jalan berpermukaan campuran (agregat antara jalan aspal, batu, dan tanah). Persentase panjang jalan disajikan pada Gambar 16.
Aspal 16%
Tanah 49% Kerikil 35%
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 16. Persentase panjang jalan menurut jenis permukaan 2007 (km) Jumlah panjang jalan di wilayah Kabupaten Nunukan, termasuk wilayah perkotaannya, mencapai 816,90 km. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan dapat dilihat pada Gambar 17.
66
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 17. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan Pelayanan mobilisasi penduduk dan barang antarpulau, alat angkutan utama yang digunakan adalah kapal laut dan udara. Selain itu, untuk keperluan lokal (dalam kota) digunakan angkutan darat. Berdasarkan data Kantor Badan Statistik Kabupaten Nunukan tahun 2002, tercatat satu pelabuhan laut, dua bandar udara perintis, dan enam bandar udara air strip. Tersedia jadwal rute angkutan sungai, laut, dan udara yang melintasi Kabupaten Nunukan, yakni sebagai berikut : 1.
Angkutan Sungai Tarakan - Nunukan Terjadwal (setiap hari)
2.
Angkutan Sungai Antarnegara Nunukan - Tawau (setiap hari)
3.
Angkutan udara Tarakan - Nunukan
4.
Angkutan Kapal Laut Nunukan Toli – Makassar – Balikpapan - Surabaya PP Angkutan sungai di Kabupaten Nunukan memegang peranan penting, tidak
hanya sebatas pada daerah pedalaman, tetapi juga sangat berperan pada daerah yang sudah berkembang di sekitar pantai. Sistem angkutan sungai ini berkembang di sepanjang Sungai Sebuku (Sungai Tulid dan Sungai Tikung), sepanjang Sungai Sembakung yang menghubungkan daerah yang tersebar di sepanjang sungai mulai dari hulu ke hilir dan sepanjang sungai di Lumbis serta Krayan Selatan yang ada di wilayah pedalaman Kabupaten Nunukan.
67 Sesuai dengan sifat-sifat sungai, peranan angkutan sungai demikian pentingnya untuk kelancaran arus barang, maupun penumpang ke dan dari pedalaman. Hal ini disebabkan masih terbatasnya prasarana dermaga perairan darat. Namun, di lain pihak adanya kegiatan angkutan sungai yang dilengkapi dengan prasarana dermaga dapat mempengaruhi ekosistem yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, ekosistem perairan dapat tercemar oleh bahan organik yang berasal dari pengguna angkutan dan bahan organik seperti bahan bakar, dan oli. Bahan-bahan ini dapat menambah ambang total petroleum hidrokarbon di dalam air. 4.1.6.2 Angkutan Udara Bandar udara Kabupaten Nunukan merupakan bandar perintis yang melayani daerah di Kabupaten Nunukan, bahkan antarkota yang ada di Provinsi Kalimantan Timur dengan jenis pesawat baling-baling kecil dan sedang. Kondisi yang sama juga terlihat pada perpaduan dengan angkutan lainnya untuk dapat menjangkau wilayah pedalaman dan perbatasan dengan penerbangan perintis. 4.1.6.3 Air Bersih a. Ketersediaan Prasarana dan Sarana Air Bersih Sumber air baku bagi kebutuhan air bersih diambil dari Sungai Bolong dan Sungai Bilal. Jumlah sambungan aktif mencapai 1.348 unit, terdiri 1.049 unit sambungan rumah (SR), 14 unit hidran, dan 289 unit sambungan nonrumah tangga. Perkembangan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan air bersih. Permasalahan yang ada dalam penyediaan air bersih di Kabupaten Nunukan ini yaitu sebagian besar daerah belum memilik sambungan air PDAM sebagai badan yang dapat mengolah dan menyediakan air bersih. Kecamatan Nunukan telah memiliki PDAM, sedangkan kecamatan lain masih memanfaatkan sumber air lainnya, seperti mata air dan air permukaan sebagai sumber air bersih. Selain itu, kapasitas yang tersedia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, adanya jaringan distribusi yang belum menjangkau ke seluruh wilayah, dan masih tingginya tingkat kebocoran air. Sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan di Kabupaten Nunukan ini sebelumnya sangat potensial. Sumber daya air tersebut terdiri dari air permukaan dan air tanah dalam. Kapasitas air bersih yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena permasalahan distribusi dan kualitas air yang belum sesuai dengan kebutuhan.
68 Pembangunan dan pemanfaatan embung-embung yang berasal dari sungai-sungai dapat sangat bermanfaat dalam mengatasi keterbatasan air baku untuk air minum pada musim kering. b. Tingkat Pelayanan Air Bersih Perkotaan Berdasarkan sistem sambungan perpipaan, tingkat pelayanan air bersih penduduk Kabupaten Nunukan sebesar 18%. Sisanya, sebanyak 82% penduduk di wilayah Kota Nunukan masih menggunakan sumber air baku yang berasal dari tanah, air permukaan, maupun air hujan. Penyediaan air yang bersih dan layak digunakan untuk keperluan sehari-hari dapat dipenuhi dengan tersedianya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM yang beroperasi di Kabupaten Nunukan berada di Kecamatan Nunukan dan Sebatik. Jumlah pelanggan PDAM Nunukan pada tahun 2007 (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008) mencapai 1.912 pelanggan atau dengan kata lain mengalami peningkatan masing sebesar 9,63% dibanding tahun sebelumnya. Selengkapnya data perkembangan pelanggan dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 18.
2.500 1.912
2.000
1.744 1.496
1.496
1.510
1.573
2002
2003
2004
2005
1.500 1.000 500 0 2006
2007
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 18. Banyaknya pelanggan pada PDAM Nunukan 2002—2007
69 Berdasarkan data tahun 2007, terdapat 1.912 orang dengan jumlah pelanggan terbanyak dari rumah tangga (tempat tinggal), instansi/kantor pemerintah. Di Kecamatan Nunukan, terdapat 1.484 pelanggan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Banyaknya pelanggan air minum menurut jenis pelanggan 2007 Jenis Pelanggan Nunukan Rumah Tangga (Tempat Tinggal), Instansi/Kantor Pemerintah 1.484 Household, Government Hotel/Objek Wisata, Toko, Industri, Perusahaan 390 Hotel, Market, Industry, Factory Badan Sosial, Rumah Sakit, Rumah Ibadah dsb 12 Social, Hospital Sarana (Fasilitas) Umum 26 Public Facilities Hydran Pelabuhan Hydran Port Lainnya/Industri Others Jumlah 1.912
Sebatik
Lumbis
219
229
90
63
4
1
2
3
1
-
-
-
316
296
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Seiring dengan peningkatan jumlah pelanggan, banyaknya air minum yang disalurkan oleh PDAM Nunukan juga mengalami peningkatan sebesar 17,41%. Data selengkapnya mengenai perkembangan banyaknya air minum yang disalurkan terlihat pada Gambar 19.
1.000.000
887.632
900.000 756.006
800.000 700.000 600.000 500.000
468.832
470.339
2003
2004
514.418
385.179
400.000 300.000 200.000 100.000 0 2002
2005
2006
2007
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 19. Banyaknya air minum yang disalurkan 2002-2007 (m3)
70 4.1.6.4 Listrik dan Telekomunikasi Prasarana listrik dan telekomunikasi merupakan fasilitas dasar yang sangat dibutuhkan untuk mendorong perkembangan kabupaten. Pelayanan listrik di Kabupaten Nunukan menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dikelola oleh PLN wilayah VI. Produksi tenaga listrik Kabupaten Nunukan mengalami peningkatan sebesar 28,29% pada tahun 2007. Peningkatan ini diiringi dengan meningkatnya tenaga listrik yang terpasang sebesar 16 MWH atau terjadi peningkatan sebesar 33,33% dari tahun sebelumnya. Otomatis tenaga listrik yang terjual juga mengalami peningkatan sebesar 26,80%. Tenaga listrik yang terjual sebesar 35.248 MWH, di mana sebagian besar digunakan oleh rumah tangga sebesar 18.550 MWH, kemudian kegiatan usaha sebesar 9.235 MWH. Adapun untuk kepentingan publik, industri, dan sosial masing-masing sebesar 4.921, 1.672, dan 870 MWH. Data perkembangan banyaknya tenaga listrik yang diproduksi dapat dilihat pada Gambar 20. 40.000 30.000 20.000 10.000 0
2004
2005
2006
2007
Diproduksi
25.556
29.553
26.557
34.070
Terjual
23.103
26.129
24.562
31.145
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 20. Banyaknya tenaga listrik yang diproduksi Tahun 2004-2007 (MWH) 4.1.7 Kondisi Ekonomi Daerah Secara umum, wilayah Kabupaten Nunukan memiliki sektor ekonomi andalan berupa pertambangan. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 sebesar 1,38% dengan migas dan 17,37% tanpa migas. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tambah dari sektor pertambangan dan penggalian yang memberikan bagian terbesar terhadap nilai PDRB.
71 Perkembangan ekonomi di Kabupaten Nunukan banyak dipengaruhi oleh sektor perdagangan, baik regional (dalam wilayah kabupaten), maupun perdagangan lintas batas dengan wilayah Negara Bagian Sabah di Malaysia Timur. Selain itu, terdapat pula perdagangan barang-barang yang berasal dari wilayah Sabah, Malaysia. Perlu dicermati bahwa ada usaha-usaha perdagangan ilegal yang berlangsung secara lintas batas antara negara Malaysia dan Indonesia di sekitar wilayah perkotaan Kecamatan Nunukan. Struktur perekonomian Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 terlihat masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui. Hal ini tercermin pada tabel 8, nilai distribusi PDRB atas dasar harga berlaku yang masih didominasi oleh sektor pertambangan penggalian dan pertanian masing-masing sebesar 51,44% dan 24,84%. Hal ini menunjukkan perlu adanya dorongan dalam proses transformasi ekonomi Kabupaten Nunukan dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Tabel 8. Struktur perekonomian menurut lapangan usaha tahun 2003 – 2007 (%) Sektor/Sub Sektor
2003
2004
2005
2006
2007*)
Pertanian
37,08
33,27
21,03
21,01
24,84
Pertambangan dan Penggalian
38,85
43,01
62,40
57,78
51,44
Industri Pengolahan
0,04
0,04
0,03
0,03
0,24
Listrik, Gas dan Air Minum
0,60
0,65
0,46
0,49
0,49
Bangunan
6,77
6,28
3,95
4,19
4,33
Perdagangan, Hotel dan Restoran
9,37
9,84
7,27
10,08
11,28
Angkutan dan Komunikasi
2,30
2,34
1,68
2,03
2,06
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
0,17
0,16
0,11
0,13
0,14
Jasa-jasa
4,82
4,41
3,06
4,26
5,18
PDRB
100
100
100
100
100
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
72 4.1.8 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Nunukan Kebijakan struktur tata ruang dalam RTRW Kabupaten Nunukan adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan sistem kota atau sistem pusat-pusat permukiman yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung serta fungsi kegiatan dominan. 2. Mengembangkan prasarana wilayah yang mampu mendukung terwujudnya sistem kota-kota (sistem pusat-pusat permukiman) di Kabupaten Nunukan. 3. Mengembangkan kawasan-kawasan potensial di Kabupaten Nunukan dan mendukung terwujudnya struktur tata ruang yang diinginkan. Kebijakan
pemanfaatan
ruang
Kabupaten
Nunukan
yang
bertujuan
mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem, dan meningkatkan daya dukung lingkungan buatan guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. 1.
Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
2.
Meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan ruang secara serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan.
3.
Meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan fungsi dan tatanan lingkungan hidup. Pengembangan prasarana wilayah diarahkan untuk mendukung terwujudnya
prasarana wilayah yang diarahkan untuk mendukung terwujudnya struktur tata ruang dan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, peningkatan dan pembangunan prasarana wilayah didasarkan pada rencana struktur tata ruang serta rencana pemanfaatan ruang wilayah. Secara lebih rinci kebijakaan pengembangan prasarana yaitu sebagai berikut: 1.
Pengembangan prasarana transportasi diarahkan untuk menghubungkan antara sentra produksi, pusat pengumpul, dan distribusi serta pasar.
2.
Pengembangan
prasarana
pengairan
diarahkan
untuk
mendukung
pengembangan pertanian lahan basah (sawah) dan tambak. 3.
Pengembangan pasokan energi listrik diarahkan untuk memenuhi kebutuhan di sentra produksi dan permukiman.
73 4.
Pengembangan prasarana penyediaan air bersih diarahkan pada pusat permukiman dan daerah yang rawan air bersih.
5.
Pengembangan prasarana industri perkebunan dan perikanan skala besar. Kecamatan Nunukan dan Sebatik merupakan pusat pertumbuhan hierarki I di
Kabupaten Nunukan. Hal ini berdasarkan kegiatan sosial-ekonomi yang berada dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia sehingga sangat strategis
untuk
pengembangan
perdagangan
antarnegara.
Ciri-ciri
pusat
pertumbuhan ini ditandai oleh antara lain sebagai berikut: − Pola penggunaan lahan yang didominasi oleh kegiatan nonpertanian, antara lain adanya kegiatan campuran (permukiman dan kegiatan lainnya). − Adanya pemusatan lokasi kegiatan sosial ekonomi yang mencirikan kegiatan perkotaan. − Ketersediaan fasilitas sosial dan sarana ekonomi yang lengkap. − Mudah diakses dari segala penjuru wilayah di Kabupaten Nunukan. Sesuai dengan fungsi pertumbuhan, Kecamatan Nunukan sebagai Ibukota Kabupaten merupakan pusat kegiatan ekonomi skala regional dan skala internasional, lokasi pangkalan niaga, pergudangan, terminal agribisnis, industri, pemukiman, dan faslitas sosial-ekonomi yang berorientasi pelayanan antarpulau dan antarnegara. Selanjutnya, dalam RTRW, disebutkan rencana pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan. Pengembangan permukiman perkotaan dilakukan melalui peningkatan fungsi pusat-pusat ekonomi perkotaan dan pusat-pusat permukiman desa yaitu di Kecamatan Nunukan, Mansalong, Long Bawan, Pembeliangan, Tau Lumbis, Tanjung Karang, dan Atap. Rencana pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan diarahkan pada pengembangan permukiman perkotaan yang dapat memenuhi kebutuhan lingkungan hunian yang serasi dan selaras. Rencana pengembangan permukiman perkotaan di Kabupaten Nunukan akan diarahkan pada permukiman perkotaan Nunukan, Tanjung Karang, Atap, Long Bawan, Mansalong, Pembeliangan, dan Tau Lumbis.
74 4.1.9
Potensi Sumber Daya Alam dan Wilayah
4.1.9.1 Kehutanan Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya hayati. Selain itu, dapat pula memantapkan fungsi ekosistem sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan sosial, baik dalam kawasan hutan maupun masyarakat di sekitar hutan. Pengelolaan hutan sebagai sumber daya alam perlu ditingkatkan dan disempurnakan agar memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu, kegiatan kehutanan perlu memperhatikan tata guna hutan, usaha perlindungan dan pengamanan flora dan fauna, areal tanah kritis, hutan tanam industri, serta penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat. Luas kawasan hutan di Kabupaten Nunukan seluas 1.426.368 ha yang terdiri dari taman nasional, hutan lindung, kawasan hutan, dan kawasan budi daya nonkehutanan. Sebagian besar wilayah hutan adalah kawasan budi daya nonkehutanan, yakni seluas 470.914 ha atau 33,01% dari kawasan hutan seluruhnya. Produksi kayu bulat tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 71,73% dibanding tahun sebelumnya yaitu dari 123.911,37 m3 menjadi 35.034,58 m3. Luas kawasan hutan disajikan pada Gambar 21.
Tam an Nasional 25.02%
Hutan Lindung 11.74%
Kaw asan Budidaya Non Kehutanan 33.01%
Kaw asan Hutan 30.23%
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 21. Luas kawasan hutan menurut tata hutan kesepakatan 2007 (Ha)
75 4.1.9.2 Pertanian Pertanian merupakan sektor primer yang mendominasi aktivitas perekonomian di Kabupaten Nunukan. Pengembangan di bidang pertanian perlu ditingkatkan agar memberikan hasil yang lebih baik dari segi kuantitas dan kualitas. Pertanian yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan terus diupayakan untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Pada tahun 2007 luas panen padi (sawah dan ladang) di Kabupaten Nunukan mengalami peningkatan, yakni sebesar 4,28%. Produksi tanaman padi juga mengalami kenaikan, yaitu menjadi 48.127 ton atau dengan kata lain terjadi peningkatan produktivitas padi sebesar 9,65%. Kecamatan Krayan adalah daerah yang mempunyai luas panen dan jumlah produksi padi ladang yang lebih besar dibandingkan kecamatan yang lain, yaitu 38,11% dari total luas panen serta 40,83% dari total produksi. Peningkatan luas tanam yang pesat dibandingkan tahun sebelumnya dan diiringi dengan peningkatan hasil produksi dari masing-masing tanaman. Tanaman bawang daun merupakan komoditas tanaman sayur-sayuran yang mengalami penurunan hasil produksi. Persentase produksi padi disajikan pada Gambar 22..
Sebuku 4%
Sebatik 21% Krayan 41%
Nunukan 11%
Sembakung 3%
Lumbis 6%
Krayan Selatan 14%
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 22. Persentase produksi padi menurut kecamatan 2007
76 4.1.9.3 Perkebunan Luas areal komoditas kelapa sawit pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 25,4% dibandingkan dengan tahun 2006. Sebagian besar luas areal kelapa sawit terdapat di Kecamatan Sebatik, Sebatik Barat, Sebuku, Lumbis, Sembakung dan Nunukan. Dilihat dari rata-rata produksi yang dihasilkan oleh setiap komoditas perkebunan, produksi terbesar dihasilkan oleh tanaman kakao sebesar 18.903,10 ton atau meningkat 6,8% dibandingkan tahun 2006. Persentase produksi komoditas kakao dan kelapa disajikan pada Gambar 23
20000
18903.1
17702
Hasil (Ton)
15000 10000
kakao 7686.71
7458.32
kelapa
5000 0 2006
2007 Tahun
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 23. Produksi komoditas kakao dan kelapa 2006-2007 (ton) 4.1.9.4 Perikanan Produksi perikanan pada tahun 2007 tercatat 4.947,57 ton, yang terdiri atas 4.585,36 ton produksi perikanan penangkapan dan 362,21 ton perikanan budi daya. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi perikanan tahun 2006 naik 9,31%. Pada tahun 2007, jumlah rumah tangga perikanan penangkapan tercatat 2.273 rumah tangga atau naik sebesar 30,26 persen dibandingkan tahun 2006 (Gambar 25). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa meningkatnya produksi ikan di lokasi penelitian bukan disebabkan oleh peningkatan produktivitas perairan, tetapi disebabkan peningkatan jumlah penangkap ikan sebesar 30,26%. Persentase produksi perikanan disajikan pada Gambar 24.
77
Lum bis 0.37%
Sem bakung 19.09%
Krayan 1.03% Sebatik Barat 15.94%
Nunukan 25.87%
Krayan Selatan 0.17% Sebuku 0.16%
Sebatik 37.37%
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 24. Persentase produksi perikanan menurut kecamatan 2007 4.1.9.5 Pertambangan Hasil tambang batu bara mengalami peningkatan yang sangat pesat, yakni pada tahun 2006 jumlah produksi sebanyak 1.165.287 ton. Kemudian pada tahun 2007 menjadi 1.846.937.129 ton. Produksi minyak bumi di Kabupaten Nunukan selama tahun terakhir ini mengalami penurunan jumlah produksi. Dinas pertambangan mencatat produksi minyak bumi dari P.T. Perkasa Equatorial Sembakung Ltd. pada tahun 2007 sebesar 1.362.304 BBL atau menurun sebesar 22,59% dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi pertambangan batu bara dan minyak bumi 2006—2007 dapat dilihat pada Gambar 25.
Ton/BBL
2000000 1500000
1670048
1846937 1362304
1165287 Batubara
1000000
Minyak bumi
500000 0 2006
2007 Tahun
Sumber : Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 25. Produksi pertambangan batubara dan minyak bumi 2006-2007
78
Sumber : Survei Lapangan, 2008
Gambar 26. Kawasan tambang batubara dan minyak bumi 4.1.9.6 Permukiman A. Potensi Pengembangan Lahan Permukiman Potensi pengembangan kawasan permukiman meliputi perumahan, perkotaan, dan perdesaan. Demikian juga permukiman lain, seperti permukiman transmigrasi baik lokal maupun antarwilayah di Indonesia cukup luas. Berdasarkan arahan RTRW kabupaten, lahan untuk permukiman adalah 7.130 ha atau sekitar 0,05% dari luas wilayah kabupaten. Pengembangan kawasan permukiman selain dikembangkan di Pulau Nunukan sebagai kawasan perkotaan dengan pusat pemerintahan juga akan dikembangkan di Pulau Sebatik (dua kecamatan). Selain itu, dikembangkan juga di Kecamatan Lumbis, Sembukung, dan Krayan yang merupakan bagian wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Rencana andalan pengembangan tersebut dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru di perbatasan negara yang berbasis potensi SDA wilayah yang prospektif dan potensial mendukung keberlanjutan kawasan permukiman. Permukiman desa yang tidak sesuai dengan kriteria di atas tetap dipertahankan terutama di desa-desa yang terdapat pada kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang terletak di ketinggian diatas 1.000 mdpl. Adapun permukiman desa yang terletak pada daerah bahaya geologi lingkungan, seperti patahan aktif, erosi, dan longsoran tidak terdapat di Kabupaten Nunukan. Hasil analisis menunjukkan tidak ada desa yang berada di daerah kritis, tetapi ada desa yang berada dalam kawasan lindung.
79 Berdasarkan potensi pengembangan permukiman perdesaan di Kabupaten Nunukan, perlu adanya pengaturan ruang seperti permukiman penduduk lokal/desa-desa yang berada pada kawasan lindung. Akan tetapi, perlu diusahakan pemukiman kembali kawasan yang sesuai untuk permukiman. Fasilitas sosial dan ekonomi dapat dibangun sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik msing-masing desa. Pada desa-desa yang berada di daerah aliran sungai perlu dikembangkan pelabuhan sungai yang berskala lingkungan, penyediaan prasarana dan sarana, serta fasilitas sosial dan ekonomi. Bangunan yang menunjang fungsi kawasan/kegiatan utama diperkenankan dibangun untuk kepentingan umum. Bagi desa-desa yang terletak pada daerah aliran sungai dan menggunakan akses sungai sebagai pintu keluar masuk desa dapat dibangun jalan akses dan menempatkan prasarana dan sarana sosial lainnya. Pengembangan jalan lainnya dapat diintegrasikan dengan pengembangan lahan usaha masyarakat. Permukiman perdesaan memiliki kepadatan maksimum lima rumah/hektar dan KDB maksimum 5%. Tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat) atau usaha tani. Permukiman perdesaan yang berbasis sentra pertanian perlu disesuaikan secara dini agar tidak berubah menjadi permukiman perkotaan agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan. Selain itu, konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik. B. Potensi Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Kemampuan daerah dalam sharing pembiayaan pembangunan kawasan permukiman dilihat dari kemampuan indikator nilai indeks fiskal daerah. Untuk Kabupaten
Nunukan,
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
61/PMK.07/2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dalam Rangka Perencanaan
Pendanaan
Urusan
Bersama
Pusat
dan
Daerah
untuk
Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran 2011, masuk dalam kategori sangat tinggi. Nilai indeks fiskal dapat menunjukkan kemampuan daerah dalam pendampingan pembiayaan bersama dengan pemerintah pusat. Pemerintah Kabupaten Nunukan telah memperlihatkan adanya potensi kemampuan sharing pembiayaan pada program-program stimulan pembangunan perumahan dari pemerintah pusat seperti dari Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Pekerjaan
Umum,
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan,
80 Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan kementerian lain yang terkait. Nilai indeks fiskal di Kalimantan Timur terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Daftar daerah berdasarkan indeks fiskal dan kemiskinan daerah di Kalimantan Timur No.
Kab / Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kab. Berau Kab. Bulungan Kab. Kutai Kartanegara Kab. Kutai Barat Kab. Kutai Timur Kab. Malinau Kab. Nunukan Kab. Pasir Kota Balikpapan Kota Bontang Kota Samarinda Kota Tarakan Kab. Penajam Paser Utara Kab. Tana Tidung Sumber :
Indeks Ruang Fiskal Daerah (IRFD) 2.999 4.067 4.464 3.796 4.426 8.971 3.248 2.175 1.195 3.185 1.062 1.829 2.935 30.928
Indeks Persentase Penduduk Miskin Daerah (IPPMD) 0.886 1.450 0.993 1.335 1.134 1.550 1.800 1.416 0.300 0.303 0.421 0.721 0.698 1.450
Kelompok 4 1 4 1 1 1 1 1 4 4 4 4 4 1
Tingkatan Penyediaan DUUB Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2010 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah dalam rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan tahun anggaran 2011
Penentuan tingkat besaran penyediaan dana daerah untuk urusan bersama (DUUB) adalah dengan pertimbangan sebagai berikut: a.
DDUB yang harus disediakan oleh daerah disesuaikan dengan katagori kelompok.
b.
DDUB yang harus disediakan oleh daerah dengan rincian sebagai berikut: − Daerah yang termasuk dalam kelompok 1 menyediakan DDUB sangat tinggi; − Daerah yang termasuk dalam kelompok 2 menyediakan DDUB sedang; − Daerah yang termasuk dalam kelompok 3 menyediakan DDUB rendah; − Daerah yang termasuk dalam kelompok 4 menyediakan DDUB tinggi.
c. Penentuan batas persentase terendah dan tertinggi DDUB yang harus disediakan oleh daerah dengan mempertimbangkan hasil keputusan rapat koordinasi instansi yang terkait dengan program penanggulangan kemiskinan nasional.
81 d. Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyiapkan bahan perhitungan rincian penyediaan DDUB untuk masingmasing daerah berdasarkan batas persentase terendah dan tertinggi. e. Hasil perhitungan rincian penyediaan DDUB disampaikan oleh direktur jenderal perimbangan keuangan atas nama menteri keuangan kepada tim nasional paling lambat bulan Maret sebelum penyusunan rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga. f. Hasil perhitungan rincian penyediaan DDUB digunakan oleh pusat (tingkat nasional) sebagai bahan penetapan besaran DDUB pada masing-masing daerah. Berdasarkan data indeks fiskal tersebut, dapat dilihat bahwa Kabupaten Nunukan masuk pada kategori kelompok sangat tinggi. Oleh karena itu, diharapkan kondisi ini dapat terus dipertahankan. Kriteria mensyaratkan indeks fiskal harus dievaluasi secara periodik untuk menentukan besaran bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat. Mengingat kedudukan Kabupaten Nunukan sebagai kawasan strategis nasional (KSN) di wilayah perbatasan dapat menjadi pertimbangan tersendiri untuk tetap mendapat prioritas bantuan pembiayaan pengembangan. Prioritas ini dapat berupa peningkatan dana alokasi khusus (DAK), khususnya sektor permukiman dan infrastruktur wilayah perbatasan. Menarik masuknya investasi baru sektor unggulan daerah untuk mendorong percepatan pembangunan wilayah perbatasan. Dalam rangka mewujudkan keterpaduan dalam pembangunan di wilayah Perbatasan khususnya dalam sektor permukiman, perlu dipahami profil pelaksanaan pembangunan di daerah yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan pengembangan. Hal ini bertujuan agar arah kecenderungan pengembangan dapat diketahui. Arah kecenderungan pengembangan meliputi aspek keselarasan antara kawasan budi daya dengan
kawasan lindung, keterkaitan antara pusat-pusat
pertumbuhan baru dengan pusat-pusat kegiatan (kota), penguatan pola interaksi orientasi ekonomi yang berbasis potensi sumber daya alam wilayah menjadikan kemauan politik (political will) pemerintah pusat dan daerah (Rosentraub 1996).
82 4.2
Analisis Kondisi Permukiman Perbatasan
Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara dengan kondisi umum yang tidak tertata, terpencar, nomaden, kumuh, dan tidak terkelola dengan baik, mempunyai dampak langsung terhadap keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Secara ekologi, perlu memerhatikan daya dukung dan kesesuaian lahan untuk pengembangan permukiman. Aspek lain yang juga harus diperhatikan khususnya dalam pengembangan ekonomi adalah sektor unggulan wilayah yang potensial dikembangkan sehingga akan menjamin peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat agar keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah perbatasan dapat terlaksana. Adapun potensi SDA wilayah berdasarkan RTRW Kabupaten Nunukan terdiri dari
subsektor
perkebunan,
sektor
pertambangan, subsektor pertanian tanaman pangan, subsektor perikanan, subsektor kehutanan, subsektor pariwisata, dan sektor industri 4.2.1 Kondisi dan Permasalahan Permukiman Perbatasan Permukiman dalam istilah ini merupakan padanan kata human settlements. Permukiman diartikan sebagai tempat manusia hidup dan berkehidupan. Suatu permukiman terdiri atas the content (isi, yaitu manusia) dan the container (wadah, yaitu tempat fisik manusia tinggal yang meliputi elemen alam dan buatan manusia). Pengetahuan mengenai permukiman disebut ekistics (istilah Yunani). Ilmu ekistics dikembangkan oleh CA Doxiadis pada tahun 1967 (Winarso 2001). Permukiman merupakan suatu kesatuan wilayah tempat suatu perumahan berada. Oleh karena itu, lokasi dan lingkungan perumahan tersebut tidak akan pernah dapat lepas dari permasalahan dan lingkup keberadaan suatu permukiman yang seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya (termasuk orang yang datang ke tempat tersebut). Elemen-elemen permukiman terdiri atas alam, manusia, masyarakat, perumahan, dan jaringan infrastruktur (Sastra dan Marlina 2006). Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan (live) dan penghidupan (livelihoods). Adapun
83 perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa permukiman memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan perumahan. Kawasan permukiman adalah kawasan budi daya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dengan fungsi utama untuk permukiman (Permenpera 2006). Terkait dengan fenomena kawasan permukiman perbatasan negara, yang dimaksud kawasan permukiman perbatasan padanannya adalah kawasan perumahan dan permukiman khusus untuk menunjang kegiatan berbagai fungsi di wilayah perbatasan negara. (Permenpera 2006). Kawasan permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan, kondisinya (existing condition) sangat dipengaruhi oleh persebaran penduduk di masing-masing kecamatan yang berada di wilayah perbatasan kabupaten. Persebaran penduduk di wilayah
perbatasan
pada
umumnya
tidak
merata
sehingga
kawasan
permukimannya terlihat mengelompok dan terpencar. Kondisi lingkungan permukiman terdiri dari perumahan yang kumuh (slum area), tidak tertata, dan minim prasarana, sarana, fasos, dan fasum lingkungan. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan yang tidak baik dan kurangnya kegiatan terkait program/proyek pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara. Persebaran penduduk yang mengelompok dan terpencar terlihat dari distribusi pusat-pusat permukiman yang ada di masing-masing kecamatan. Kecamatan kelompok wilayah kepulauan seperti Kecamatan Sebatik terdapat kawasan permukiman yang terdiri 5.163 KK yang lokasinya di ujung timur pulau. Kecamatan Sebatik Barat terdiri 3.235 KK yang lokasinya di ujung barat pulau. Kecamatan Nunukan sebanyak 14.653 KK. Kelompok wilayah daratan adalah Kecamatan Krayan Selatan 545 KK lokasinya di ujung barat wilayah administrasi kabupaten dan Kecamatan Lumbis 2.366 KK di bagian tengah wilayah daratan.
84
Sumber : Dokumentasi Survei, 2009
Gambar 27. Kawasan permukiman yang berkelompok dan terpencar Pola perkembangan kawasan permukiman yang mengelompok dan terpencar di wilayah perbatasan berdampak negatif terhadap keutuhan wilayah NKRI karena berpeluang dimanfaatkan negara tetangga untuk menggeser patok-patok perbatasan untuk memperluas wilayah negaranya. Penggeseran patok-patok perbatasan negara dilakukan pada lokasi yang tidak terdapat permukiman sebagai tempat hunian dan aktivitas penduduk/masyarakat perbatasan. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun, kehilangan wilayah teritorial negara terus terjadi dan semakin meluas. Pergeseran batas wilayah di Pulau Sebatik sudah jauh ke dalam wilayah tertorial Indonesia, belum lagi yang terjadi di wilayah perbatasan lain di Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Krayan.
Sumber : Dokumentasi Survei, 2009
Gambar 28. Kawasan permukiman yang berada di atas batas wilayah perbatasan Masyarakat wilayah perbatasan yang memiliki karakteristik lingkungan sosial yang spesifik, seperti kegiatan pelintas batas, transaksi jual beli, dan kegiatan ekonomi bersama baik legal maupun yang ilegal memerlukan kemudahan berkomunikasi dan aksesibilitas yang baik. Kebutuhan tersebut pada umumnya belum terpenuhi atau memadai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhannya,
85 masyarakat melakukan upaya sendiri yang umumnya tidak sesuai dengan peratuaran dan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, membangun perumahan di sepanjang bantaran sungai dan sampai melanggar batas wilayah perbatasan negara lain. Untuk memudahkan masyarakat dalam akses ke laut, digunakan sampan/perahu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang penting dan mendesak ke negara tetangga. Kondisi masyarakat perbatasan dengan karakteristik lingkungan yang spesifik menjadi fenomena tersendiri, antara lain dalam membangun perumahan dan fasilitas tidak memperhatikan batas-batas wilayah negara. Oleh karena itu, banyak bangunan rumah dengan ruang tamu wilayah di Indonesia dan dapur di Malaysia atau yang dikenal dengan rumah Malaysia-Indonesia (Malindo).
Sumber: Dokumentasi Survei, 2009
Gambar 29. Kawasan permukiman yang berada di muara sungai dan kumuh Kondisi kawasan permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan tersebut mencerminkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah kurang memberikan perhatian pengembangan wilayah dan masyarakat perbatasan, khususnya dalam pengembangan kawasan permukiman. Pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan harus tertata, berkelanjutan, dan dikelola dengan baik melalui kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman perbatasan. 4.2.2 Pengembangan Lahan Permukiman Potensi pengembangan kawasan permukiman meliputi perumahan, perkotaan maupun perdesaan, termasuk kegiatan permukiman lain seperti,
permukiman
transmigrasi baik lokal maupun antarwilayah di Indonesia cukup luas tersedia. Pengembangan kawasan permukiman akan dikembangkan di Pulau Nunukan,
86 Pulau Sebatik, Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Krayan sebagai kawasan perkotaan dan pusat pemerintahan. Penggunaan lahan permukiman meliputi perumahan, perkantoran, tempat olahraga, taman, dan kuburan, baik yang di perkotaan maupun pedesaan, serta permukiman transmigrasi. Luas penggunaan lahan untuk pengembangan permukiman adalah 7.130 Ha atau sekitar 0,05% dari luas wilayah kabupaten (RTRW Kabupaten Nunukan 2005). Rencana pengembangan kawasan permukiman tersebut dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru di perbatasan negara yang berbasis potensi SDA wilayah. Luas lahan untuk pengembangan kawasan permukiman, ± 60 % diperuntukkan untuk kawasan permukiman klaster-klaster di kecamatan yang berada di sepanjang wilayah perbatasan. Permukiman-permukiman perdesaan yang tidak sesuai dengan kriteria kebutuhan akan tetap dipertahankan, khususnya desa-desa untuk mendukung kegiatan pelestarian kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang terletak di ketinggian di atas 1.000 mdpl. Permukiman desa yang terletak pada daerah rawan bencana geologi lingkungan, seperti patahan aktif, erosi, dan longsoran tidak terdapat di Kabupaten Nunukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada permukiman di daerah kritis, tetapi terdapat permukiman di desa-desa yang berada dalam kawasan lindung. Sehubungan dengan potensi pengembangan permukiman perdesaan di Kabupaten Nunukan, perlu adanya pengaturan ruang, pengembangan, dan pengelolaan yang lebih baik. Pengembangan kawasan permukiman sesuai dengan arahan RTRW kabupaten, di Kecamatan Nunukan dan Nunukan Timur akan dikembangkan lahan seluas 1.700 ha sebagai kawasan permukiman perkotaan dan pusat pemerintahan. Adapun di Kecamatan Sebatik Timur akan dikembangkan kawasan permukiman perkotaan, pusat pertumbuhan baru Pulau Sebatik. Kecamatan-kecamatan tersebut berada di klaster III. Di Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat yang berada di klaster II, akan dikembangkan lahan seluas 1.850 Ha sebagai kawasan permukiman perdesaan dan pusat desa pertumbuhan berbasis potensi SDA wilayah, khususnya sektor perkebunan. Adapun di Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan yang berada di klaster I akan dikembangkan lahan seluas 750 ha sebagai kawasan
87 permukiman perdesaan dan permukiman perkotaan untuk pusat pertumbuhan baru berbasis
potensi
SDA
wilayah,
khususnya
sektor
pertambangan.
Peta
pengembangan permukiman di setiap klaster terlihat pada Gambar 30.
KLUSTER II: 1850 Ha KLUSTER I: 750 Ha
KLUSTER III: 1700 Ha
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008 dan Hasil Analisis
Gambar 30. Peta pengembangan permukiman di setiap klaster Pengembangan prasarana, sarana, fasos, dan fasum sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi di kawasan permukiman dapat dibangun sesuai kebutuhan dan karakteristik wilayah kecamatan. Pada kecamatan yang berada di daerah aliran sungai perlu dikembangkan pelabuhan sungai, selain sarana prasarana sosial lainnya, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan sarana budaya. Bangunan yang menunjang fungsi kawasan/kegiatan utama diperkenankan untuk kepentingan umum. Pengembangan jaringan jalan dapat diintegrasikan dengan pengembangan lahan usaha masyarakat. Permukiman perdesaan memiliki kepadatan maksimum 25 rumah/hektar dan KDB maksimum 20%. Tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat) atau usaha pertanian. Pada permukiman perkotaan kepadatan maksimum 80 rumah/hektar dan KDB maksimum 40%, serta tipe bangunan disesuaikan dengan penghuni kawasan (budaya setempat). Penataan dan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan ke depan akan mendorong perkembangan wilayah perdesaan yang berbasis sentra
88 pertanian menjadi desa kota (sub urban) sebagai pusat pertumbuhan baru (Wacker 2002). Adapun untuk menjaga kawasan permukiman yang sudah dibangun agar tetap berkelanjutan perlu dilakukan pengendalian dan penyesuaian sejak dini agar tidak berubah menjadi permukiman perkotaan yang tidak terarah (urban sprawl). Hal ini bertujuan agar lahan pertanian produktif dapat dipertahankan dan konservasi tanah serta air dapat dilakukan dengan baik.
4.2.3 Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Permukiman Kemampuan pengembangan
daerah kawasan
(kabupaten/kota) permukiman
dalam
khususnya
sharing dalam
pembiayaan pembangunan
permukiman berdasarkan indikator nilai indeks fiskal daerah. Kabupaten Nunukan termasuk dalam kategori sangat tinggi. Nilai indeks fiskal dapat menunjukkan kemampuan
daerah
dalam
pendampingan
pembiayaan
bersama
dengan
pemerintah pusat. Pemerintah Kabupaten Nunukan telah memperlihatkan adanya potensi kemampuan sharing pembiayan pada program-program stimulan pembangunan perumahan dari pemerintah pusat seperti dari Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daeah Tertinggal, dan kementerian lain yang terkait. Data indeks fiskal menunjukkan bahwa Kabupaten Nunukan masuk pada kategori kelompok sangat tinggi, dengan skor indeks ruang fiskal daerah (IRFD) 3.248 dan skor indeks persentase penduduk miskin daerah (IPPMD) 1.800. Dengan demikian, diharapkan kondisi ini dapat terus dipertahankan. Kriteria mensyaratkan agar secara periodik indeks fiskal harus dievaluasi untuk menentukan besaran bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat. Mengingat kedudukan Kabupaten Nunukan sebagai kawasan strategis nasional (KSN), wilayah perbatasan dapat menjadi pertimbangan tersendiri untuk tetap mendapat prioritas bantuan pembiayaan pengembangan. Prioritas bantuan pembiayaan pembangunan dapat berupa peningkatan dana alokasi khusus (DAK), khususnya bidang permukiman perbatasan, infrastruktur, dan investasi sektor unggulan untuk mendorong percepatan pembangunan wilayah perbatasan. Kemampuan sharing Pemda Kabupaten Nunukan ditunjukkan pada setiap mendapatkan bantuan stimulan oleh pemerintah pusat, berupa dana pendamping
89 dan usulan dana program pembangunan melalui APBD dari masing-masing dinas terkait. Pada 2006 kemenpera memberikan bantuan stimulan pembangunan kawasan permukiman nelayan senilai kurang lebih Rp 4 miliar. Pemda menglokasikan dana untuk pembuatan kanal dan sarana air bersih senilai Rp 9 miliar serta biaya pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan permukiman nelayan seluas 100 ha. Kesediaan pemda bersama-sama dengan pemerintah pusat mengalokasikan dana APBD dalam mengembangkan
kawasan permukiman
nelayan perbatasan membuktikan bahwa indeks fiskal yang sangat baik berkorelasi dengan kemampuan daerah dalam menyiapkan dana untuk pembiayaan pembangunan permukiman.
4.3
Analisis Komparatif Sektor Unggulan Kawasan
Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Sektor-sektor potensial yang mempunyai peranan penting terhadap pengembangan kawasan permukiman tersebut antara lain adalah perkebunan, pertambangan, pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, dan industri. Kriteria yang menjadi pertimbangan di setiap sektor tersebut ada delapan, yaitu kesesuaian lahan, produktivitas, lokasi startegis, jumlah tenaga kerja, nilai produk, jangkauan pasar, akses transportasi, akses komunikasi. Kriteria tersebut berkorelasi positif dalam meningkatkan potensi pasar di wilayah perbatasan (Hanson 1998). Dalam
menganalisis
sektor-sektor
potensial
dan
prospektif
dengan
menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), di kecamatan wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan dibuat 3 (tiga) klastering subkawasan, yaitu: 1. Klaster I meliputi Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan 2. Klaster II meliputi Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat 3. Klaster III meliputi Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik Dalam penetapan klaster sesuai dengan kondisi potensi sumber daya alam kawasan pada kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah perbatasan, Kabupaten Nunukan secara geografis dapat terlihat pada Gambar 31.
90
KLUSTER II KLUSTER I KLUSTER III
Gambar 31. Pembagian klaster di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan 4.3.1 Sektor Unggulan Subkawasan Klaster I Kecamatan yang termasuk dalam klaster I adalah Kecamatan Krayan dan Kecamatan Krayan Selatan. Adapun pembobotan kriteria terhadap sektor unggulan dengan metode MPE dapat disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor unggulan klaster I
Sumber: Hasil Analisis
Perikanan
Kehutanan
Pariwisata
Industri
Kesesuaian Lahan Produktivitas Lokasi Strategis Jumlah Tenaga Kerja Nilai Produk Jangkauan Pasar Akses Transportasi Akses Komunikasi
Bobot
Pertanian
1 2 3 4 5 6 7 8
Kriteria
Pertambangan
No
Perkebunan
Klaster I
8 8 7 6 9 6 7 7
7 6 6 6 7 7 6 6
9 8 7 7 8 9 7 7
5 4 6 7 5 5 5 5
4 4 6 6 4 5 4 4
5 5 6 5 6 5 6 6
5 5 6 5 6 6 5 5
6 7 6 5 7 7 6 6
91 Berdasarkan hasil perhitungan dengan teknik MPE, terlihat urutan atau prioritas sektor yang potensial di Klaster I Kabupaten Nunukan. Hasil tersebut disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Nilai sektor unggulan klaster I Klaster I No 1 2 3 4 5 6 7
Sektor Perkebunan Pertambangan Pertanian Perikanan Kehutanan Pariwisata Industri
Nilai MPE 48.802.137 197.161.384 2.978.746 768.201 11.730.004 11.357.413 48.771.106
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat disimpulkan bahwa sektor yang paling menentukan pada klaster I adalah sektor pertambangan dengan nilai 197.161.384. Perkebunan menempati urutan kedua dengan nilai MPE yaitu 48.802.137, prioritas ketiga adalah industri dengan nilai MPE 48.771.106. Urutan dari posisi ke-4 sampai ke-7, kehutanan dengan nilai MPE yaitu 11.730.004, pariwisata dengan nilai MPE yaitu 11.357.413, pertanian dengan nilai MPE yaitu 2.978.746 dan perikanan dengan nilai MPE yaitu 768.201. Data BPS (2007) menunjukkan bahwa produk pertambangan unggulan adalah minyak bumi dan batu bara. Jumlah produksi minyak bumi pada tahun 2007 sebanyak 1.362.304 ton. Jumlah produksi minyak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Gambar 32.
92
40.000 30.000 20.000 10.000 0
2004
2005
2006
2007
Diproduksi
25.556
29.553
26.557
34.070
Terjual
23.103
26.129
24.562
31.145
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 32. Produksi minyak bumi (MMSTB) 2000 - 2007 (BBL) Produk batu bara pada klaster I juga merupakan produk unggulan. Data BPS (2007) menunjukkan jumlah produksi batu bara di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 sebesar 1.846.937.129 ton. Jumlah produksi bahan tambang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari tahun sebelumnya sebesar 1.165.287 ton. Berdasarkan peta kesesuaian lahan, lokasi klaster I merupakan pegunungan dan perbukitan yang tidak teratur serta mempunyai kelerengan >40%. Berdasarkan peta kesesuaian lahan yang menunjukkan di atas 90%, kawasan Klaster I sangat sesuai untuk pertambangan (Gambar 33). Oleh karena itu, sektor tambang menjadi unggul pada klaster I dan didukung juga oleh daya dukung sumber daya alam yang ada pada kawasan klaster I.
93
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 33. Kesesuaian lahan untuk pertambangan Urutan kedua adalah sektor perkebunan. Hal ini didukung oleh kesesuaian lahan serta jenis tanah yang mendukung kegiatan perkebunan sehingga dapat mencegah erosi pada wilayah-wilayah yang berlereng. Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan menunjukkan klaster I yang di atas 55% cocok untuk lahan perkebunan.
4.3.2 Sektor Unggulan Subkawasan Klaster II Kecamatan yang termasuk klaster II adalah Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat. Adapun pembobotan nilai dengan metode MPE dapat dilihat pada Tabel 12.
94 Tabel 12. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor unggulan klaster II
Perikanan
Kehutanan
Pariwisata
Industri
1 Kesesuaian Lahan 2 Produktivitas 3 Lokasi Strategis 4 Jumlah Tenaga Kerja 5 Nilai Produk 6 Jangkauan Pasar 7 Akses Transportasi 8 Akses Komunikasi Sumber: Hasil Analisis
Bobot
Pertanian
Kriteria
Pertambangan
No
Perkebunan
Klaster II
8 8 7 6 9 6 7 7
9 8 7 8 9 7 7 7
7 6 7 7 7 6 6 6
8 7 6 7 7 5 5 4
5 4 6 6 6 5 5 4
8 8 7 5 6 5 5 5
5 5 5 6 5 4 5 4
7 7 6 7 7 7 7 5
Hasil perhitungan dengan teknik MPE memperlihatkan urutan atau prioritas sektor yang potensial di Klaster II Kabupaten Nunukan. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13. Nilai sektor unggulan klaster II Klaster II No Sektor 1 2 3 4 5 6 7
Perkebunan Pertambangan Pertanian Perikanan Kehutanan Pariwisata Industri
Nilai MPE 450.094.848 49.345.744 63.403.343 10.970.583 44.643.171 2.957.761 53.300.111
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan tabel 13 di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor yang paling menentukan adalah sektor perkebunan dengan nilai 450.094.848. Pertanian menempati urutan kedua dengan nilai MPE 63.403.343. Prioritas ketiga adalah industri dengan nilai MPE 53.300.111. Posisi ke-4 sampai ke-7 berturut-turut pertambangan dengan nilai MPE 49.345.744, kehutanan dengan nilai MPE 44.643.171, perikanan dengan nilai MPE 10.970.583, dan pariwisata dengan nilai MPE 2.957.761.
95 Klaster II, berdasarkan peta land system, termasuk dalam kelompok punggung gunung batuan metamorfik yang tidak teratur yang menyebabkan klaster II sangat cocok untuk perkebunan. Selain itu, berdasarkan peta kesesuaian lahan untuk perkebunan, hampir di atas 90%. Kedua kecamatan tersebut sangat sesuai untuk tanaman perkebunan (gambar 34). Jenis komoditas unggulan perkebunan pada klaster II adalah kakao dan kelapa sawit.
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 34. Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan Data BPS (2008) menunjukkan produksi kakao di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007 sebanyak 18.903,10 ton. Produksi kelapa sebanyak 7.686,71 ton. Produksi kakao dan kelapa terus mengalami peningkatan dari 2002 sampai tahun 2007 seperti terlihat pada Gambar 35 berikut.
96
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
17702 15257.35
18903.1
15889.6 17073.35 13592.3 7458.32
6430.8
6407.32
7686.71
7406.6 6407.32
2002
2003
2004
2005
kelapa
2006
2007
kakao
Sumber: Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008
Gambar 35. Produksi komoditas tanaman perkebunan 2002-2007 (ton) 4.3.3 Sektor Unggulan Subkawasan Klaster III Kecamatan yang termasuk dalam klaster III adalah Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Kecamatan Sebatik. Penilaian terhadap alternatif kegiatan penunjang pusat-pusat pertumbuhan terdapat di Kabupaten Nunukan berdasarkan sektor unggulan dengan pembagian klaster. Adapun hasil pembobotan nilai dengan metode MPE dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor unggulan klaster III
Sumber: Hasil Analisis
Perikanan
Kehutanan
Pariwisata
Industri
Kesesuaian Lahan Produktivitas Lokasi Strategis Jumlah Tenaga Kerja Nilai Produk Jangkauan Pasar Akses Transportasi Akses Komunikasi
Bobot
Pertanian
1 2 3 4 5 6 7 8
Kriteria
Pertambangan
No
Perkebunan
Klaster III
8 8 7 6 9 6 7 7
7 7 8 6 7 7 7 7
5 5 8 5 5 7 7 7
8 8 9 7 7 8 7 7
9 9 9 8 8 9 7 7
7 6 8 6 5 5 7 7
5 7 8 5 5 5 7 7
7 7 8 6 6 7 7 7
97 Hasil perhitungan dengan analisis MPE memperlihatkan urutan atau prioritas metode pengembangan wilayah perbatasan yang potensial dalam rangka meningkatkan pusat-pusat pertumbuhan. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 15. Tabel 15. Nilai sektor unggulan klaster III No 1 2 3 4 5 6 7
Sektor Klaster III Perkebunan Pertambangan Pertanian Perikanan Kehutanan Pariwisata Industri
Nilai MPE 55.791.752 6.611.887 80.717.887 227.534.810 13.204.061 11.884.039 25.515.841
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan tabel 15 di atas dapat di lihat bahwa sektor unggulan yang paling mendukung pusat pertumbuhan dalam pengembangan wilayah perbatasan adalah sektor perikanan dengan nilai 227.534.810. Sektor pertanian menempati urutan kedua yang dapat mendukung pusat pertumbuhan dalam pengembangan wilayah perbatasan dengan nilai MPE 80.717.887, prioritas ketiga sektor perkebunan dengan nilai MPE 55.791.752. Posisi ke-4 sampai ke-7 adalah industri, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan. Alternatif pertama yang harus lebih diperhatikan dalam pengembangan wilayah perbatasan pada klaster III yang meliputi Kecamatan Nunukan dan Kecamatan Sebatik yaitu peningkatan sektor perikanan. Perikanan tangkap dan budi daya perikanan laut merupakan kegiatan yang paling potensial dan telah mendukung pendapatan Kabupaten Nunukan selama ini. Pada gambar, ditampilkan kondisi topografi pada klaster III yang didominasi oleh tingkat kelerengan 0 - 8% dan 15 25%. Hal tersebut mengandung arti bahwa budi daya perikanan darat di klaster III tidak disarankan karena kondisi topografi Kabupaten Nunukan yang berlerenglereng seperti yang ditunjukkan pada Gambar 36. Keadaan berpotensi menyebabkan longsor dan tidak memungkinkan untuk adanya budi daya perikanan darat.
98 Di urutan kedua diikuti sektor pertanian dengan komoditas unggulan yang dapat mendukung pusat pertumbuhan, yakni budi daya tanaman pangan terutama padi sawah yang produktivitasnya terus meningkat (Kabupaten Nunukan dalam Angka 2008).
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 36. Peta Kabupaten Nunukan berdasarkan kelerengan Sumber daya alam pertanian, terutama lahan dapat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar Kabupaten Nunukan. Kebutuhan pangan yang dimaksud adalah kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok, sayur-sayuran, dan palawija. Berdasarkan tiga perkiraan skenario, jumlah penduduk 5 dan 10 tahun yang akan datang membutuhkan areal pertanian basis. Kebutuhan pangan Kabupaten Nunukan selama setahun sebagai berikut: a. Lahan Sawah Sawah adalah lahan penghasil padi yang selanjutnya diolah menjadi beras sebagai makanan pokok masyarakat Kabupaten Nunukan. Sebagai dasar perhitungan, kebutuhan setiap orang setiap tahun adalah 150 kg. Setiap 1 kg beras dihasilkan dari 1,54 kg gabah kering giling dan setiap hektar lahan menghasilkan 4,9 ton gabah kering giling per tahun. Adanya asumsi bahwa lahan efektif adalah 60% dari total lahan, maka jumlah kebutuhan total adalah jumlah kebutuhan dasar ditambah 67% (Tabel 15). Kebutuhan cadangan lahan sawah di Kabupaten
99 Nunukan sebesar 16.182,37 ha, untuk memenuhi kebutuhan beras sebanyak 47.481 ton gabah kering giling per tahun. b. Lahan Palawija Untuk kebutuhan bahan pangan lainnya, seperti kacang-kacangan, ubi, jagung dan lain-lain, terperinci dengan tingkat konsumsi dan produktivitas sebagai berikut: -
Jagung; kebutuhan konsumsi per orang per tahun adalah 26,7 kg dan produktivitas 2.6 ton/hektar/tahun.
-
Ubi kayu; kebutuhan konsumsi 57.09 kg/orang/tahun, tingkat produktivitas 16.2 ton/ha/tahun.
-
Ubi jalar; kebutuhan konsumsi 11.52 kg/orang/tahun, tingkat produktivitas 10.3 ton/ha/tahun.
-
Kacang tanah; kebutuhan konsumsi 3.35 kg/orang/tahun, produktivitas 0.9 ton/ha/tahun.
-
Kedelai;
konsumsi
7.25
kg/orang/tahun,
tingkat
produktivitas
1.3
ton/ha/tahun. -
Kacang hijau; konsumsi 1.1 kg/orang/tahun dan tingkat produktivitas 0.9 ton/hektar/tahun.
c. Lahan Peternakan Rakyat Pada tahun 2000, populasi ternak di Kabupaten Nunukan adalah 2.099 ekor sapi, 4.124 ekor kerbau, 449 ekor kambing, 2.821 ekor babi, 225.350 ekor ayam buras, 57.530 ekor ayam ternak, dan 5.968 ekor itik. Dengan asumsi pertumbuhan 5% per tahun, kebutuhan lahan untuk kegiatan peternakan tersebut membutuhkan lahan seluas 185 hektar pada tahun 2007 dan berkembang menjadi 236 hektar pada tahun 2012.
100 Tabel 16. Perhitungan kebutuhan lahan sawah (RTRW Kabupaten Nunukan 2004-2014) Skenario
Tahun
Jumlah Penduduk
Keperluan Beras (ton) 150
Keperluan Gabah (ton) 1,54
Keperluan Dasar 4,90
Kebutuhan Lahan (Ha) 67%
2009
96.961
13.979,40
21.528
4.393,47
7.337,09
2014
107.053
15.434,55
23.768,90
4,850,80
8.100,83
2009
116.784
16.072,05
24.750,64
5.051,15
8.435,42
2014
144.840
19.933,35
30.696,97
6.264,69
10.462,03
2009
163.171
19.698
30.334,53
6.190,72
10.338,50
2014
239.751
30.832,35
47.481,21
9.690,04
16.182,37
Index Pesimis
Optimis
Ambisius
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan peta ketinggian lahan pada Gambar 37, pada klaster III didominasi ketinggian lahan berkisar antara 0 - 100 mdpl yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman padi. Hal ini juga didukung dengan peningkatan luas panen padi (sawah+ladang) di Kabupaten Nunukan pada tahun 2007, di mana tanaman padi naik sebesar 4,28% (Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008). Produksi tanaman padi juga mengalami kenaikan, yaitu menjadi 48.127 ton atau dengan kata lain terjadi peningkatan produktivitas padi sebesar 9,65%. Alternatif ketiga dalam pengembangan wilayah perbatasan pada klaster III adalah sektor perkebunan. Hal ini didukung dengan peningkatan luas areal komoditas kelapa sawit pada tahun 2007 sebesar 25,4% dibandingkan dengan tahun 2006 (Kabupaten Nunukan dalam Angka 2008). Sebagian besar dari luas areal kelapa sawit terdapat di Kecamatan Sebatik, Sebatik Barat, Nunukan yang berada pada klaster III, sedangkan Lumbis dan Sebuku berada pada klaster II.
101
Sumber: Bappeda Kabupaten Nunukan, 2008
Gambar 37. Peta Kabupaten Nunukan berdasarkan wilayah ketinggian Kesimpulan hasil analisis MPE yang dilakukan untuk sektor-sektor
yang
potensial dalam mendukung pengembangan permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan untuk klaster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) adalah sektor pertambangan, klaster II (Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat) sektor perkebunan, dan klaster III (Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik) sektor perikanan. 4.4 Analisis Strukturisasi Permasalahan dan Komponen Dominan Kebijakan Pengembangan permukiman di wilayah perbatasan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1992 memuat amanat tentang pengembangan permukiman khusus. Pengembangan permukiman (permukiman khusus) menjadi salah satu program prioritas pembangunan wilayah perbatasan dalam upaya pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam. Adanya keterbatasan infrastruktur dan permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun
perdesaan
yang
kurang
berkembang
menyebabkan
aktivitas
sosioekonomi banyak berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan negara tetangga, hal ini berkaitan juga dengan keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan terhadap identitas nasional.
102 Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori, yaitu (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4) mendorong sinergitas hubungan kota dan desa, dan (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Seong 2006). Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Apabila tidak terkendali akan dapat menjadi hambatan dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial,
kependudukan,
ekonomi,
dan
peningkatan
kesejahteraan
secara
berkelanjutan di wilayahnya (Canales 1999). Berdasarkan hal tersebut kiranya perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. 4.4.1 Elemen Permasalahan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Menurut Saxena (1994) yang dikutip Marimin (2005) berdasarkan hasil kajian pendapat
pakar,
disusunlah
struktur
permasalahan
untuk
keberhasilan
pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan yang terbagi atas lima elemen pada permasalahan yang terdiri dari 24 subelemen kendala. Secara lengkap elemen permasalahan dan subelemen kendala terlihat pada tabel 17.
103 Tabel 17. Elemen permasalahan pengembangan kawasan permukiman perbatasan No 1
Elemen (Masalah) Pengelolaan SDA wilayah perbatasan masih kurang
No 1 2 3 4 5 6 7 8
2
Pengembangan dan Penataan kawasan permukiman kurang optimal
9 10 11 12 13
3
Pembangunan infrastruktur wilayah & permukiman belum sejalan
14 15 16 17 18 19
4
5
Kelembagaan belum mendukung pengembangan permukiman Pembiayaan belum mendukung pengembangan permukiman
20 21 22 23 24
Sub elemen (Kendala) Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan Perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut Pengembangan dan pengelolaan SDA belum optimal Rendahnya kesejahteraan masyarakat Aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional Persepsi wilayah perbatasan merupakan wil dan pintu belakang negara Pemanfaatan dan pengendalian tata ruang masih lemah Letak geografis Indonesia di titik silang benua EropaAsia, Asia-Australia & Australia- Eropa Banyak pemukiman berada di batas wilayah perbatasan Kondisi lingkungan tidak tertata, berpencar, kumuh & tidak dikelola dengan baik Rencana Tata Ruang Wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman Terbatasnya fasum & fasos Terbatasnya pelayanan publik Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan perkim Perkembangan infrastruktur & permukiman yang tidak terencana Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai peruntukan Penegakan hukum dan peraturan masih lemah Adanya privatisasi lahan oleh pemerintah & swasta Belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan Terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan Pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal
Dari lima elemen hasil kajian ini, pada setiap elemennya dijabarkan menjadi sejumlah subelemen yang rinci. Subelemen ini berupa indikator-indikator keberlanjutan yang mempunyai nilai tinggi yang telah dipilah-pilah sesuai dengan konteks kelima elemen program tersebut. Berikut ini adalah hasil hubungan
104 kontekstual antarsubelemen pada setiap elemen yang digambarkan dalam bentuk terminologi subordinat yang mengacu pada perbandingan berpasangan antar subelemen, di mana terkandung suatu arahan pada hubungan tersebut (Eriyatno dan Sofyar 2007). Hasil yang digunakan dalam model ISM adalah kajian dari pendapat pakar melalui wawancara mendalam seperti yang tertuang pada matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM). Pakar yang terlibat dalam proses ini adalah pakar dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat yang terpilih berdasarkan pengetahuan, pengalaman di bidang pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan. Gambaran dari masing-masing elemen masalah mengenai peringkat berdasarkan nilai driver power yang ada dapat dilihat pada gambar 38.
12.00 10.00
Hasil
8.00 6.00 4.00 2.00 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
Sub Elemen (Kendala)
Gambar 38. Peringkat elemen masalah berdasarkan nilai driver power Berdasarkan gambar 38 di atas, nilai driver power elemen masalah tertinggi pada subelemen 7 atau kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional dan subelemen 4 atau rendahnya kesejahteraan masyarakat, sedangkan yang memiliki nilai driver power terendah adalah 2 atau perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut. Masyarakat di wilayah perbatasan yang bersebelahan dengan wilayah negara tetangga yang jauh lebih maju pada umumnya memiliki orientasi sosial
105 ekonomi yang berorientasi kepada wilayah negara tetangga. Penggunaan alat tukar dan akses informasi serta komunikasi nasional yang terbatas dikhawatirkan dalam jangka panjang akan melunturkan rasa kebangsaan dan bela negara masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu meningkatkan upaya sosialisasi peningkatan wawasan kebangsaan melalui program-program pembangunan yang selaras dengan pengembangan permukiman dan penyediaan prasarana dan sarana. Kemiskinan
dan
ketertinggalan
masyarakat
merupakan
salah
satu
permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan pada masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Hal ini menyebabkan prasarana dan sarana wilayah minim, fasilitas umum dan sosial terbatas, serta kesejahteraan masyarakat rendah. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat tertarik ke wilayah negara tetangga. Dalam rangka memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 39. Subelemen dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage, dan independent. Analisis data ISM dapat terlihat pada Lampiran 3. Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa elemen masalah dalam strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara diawali oleh (1) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional, (2) terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan, (3) rendahnya kesejahteraan masyarakat, (4) terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan permukiman, (5) terbatasnya fasos dan fasum, (6) kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan, (7) aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga, (8) kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga, (9) minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman, (10) terbatasnya pelayanan publik, (11) penegakan hukum dan peraturan masih lemah, dan (12) pemanfaatan dan pengelolaan dana
106 pembangunan belum optimal. Dua belas elemen masalah tersebut berada pada sektor independent. Dengan demikian,
strategi pengembangan
kawasan
merupakan elemen yang berperan sebagai peubah bebas berkekuatan penggerak besar, tetapi tidak tergantung kepada sistem. Kemudian diikuti oleh elemen masalah wilayah perbatasan yang menjadi pintu belakang negara dan belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan.
107
Level 1
Perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut
Dependent
Banyak pemukiman berada di batas wilayah perbatasan
Level 2 Letak geografis Indonesia di titik silang benua
Pemanfaatan dan pengendalian tata ruang masih lemah
Kondisi lingkungan tidak tertata, berpencar, kumuh & tidak dikelola dengan baik
RTRW yang tidak sesuai dengan kebutuhan
Level 3 Pengembangan dan pengelolaan SDA belum optimal
Perkembangan infrastruktur & permukiman yang tidak terencana
Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai peruntukan
Adanya privatisasi lahan oleh pemerintah & swasta
Level 4 Belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan
Persepsi Wilayah Perbatasan merupakan wilayah dan pintu belakang negara
Level 5 Aktivitas sosek masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga
Independent Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga
Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman
Terbatasnya pelayanan publik
Penegakan hukum dan peraturan masih lemah
Pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal
Level 6 Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan
Level 7
Level 8
Rendahnya kesejahteraan masyarakat
Terbatasnya fasos dan fasum
Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan permukiman
Terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan
Kurangnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional
Gambar 39. Diagram hierarki dari subelemen masalah dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
108 Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kedua belas elemen faktor kunci masalah yang berada di sektor dependent sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam strategi pengembangan kawasan posisinya akan mengikuti elemen lainnya yang berada di sektor independent. Hasil kajian subelemen pada analisis ISM berupa (a) Matriks reachability dan interpretasi dari elemen masalah yang terpengaruh program yang disajikan pada Lampiran 3. (b) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program seperti disajikan pada Gambar 39. (c) Matriks driver power-dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 40. Independent
Linkage
Autonomus
Dependent
25 24 23 4, 23 22 21 1, 15, 17 20 5, 6, 14, 16, 20, 19 18 17 24 16 15 14 13 12 8, 22 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111012 13 14 15 16 17 18 3, 1918, 20 21 19,22 2123 24 25 9 8 7 6 9, 10, 12, 13 5 4 3 2 2, 11 1 0 7
Gambar 40. Matriks DP-D untuk subelemen masalah dalam strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Perlu dicermati bahwa posisi masalah persepsi wilayah perbatasan merupakan wilayah dan pintu belakang negara serta masalah belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan dalam upaya pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan berada di dekat sektor linkage. Hal ini berarti faktor kunci dapat berubah menjadi sektor linkage apabila faktor-faktor yang lain mendukung subelemen tersebut. Berdasarkan hasil analisis, dua belas faktor kunci prioritas penggerak elemen tolok ukur yang sangat memengaruhi faktor lain dalam keberhasilan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yaitu subelemen-subelemen yang terletak pada sektor I
109 (independent). Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat faktor-faktor kunci yang berperan sebagai peubah linkage, tetapi dengan peningkatan peranan secara optimal dari faktor-faktor kunci seperti persepsi wilayah perbatasan merupakan wilayah dan pintu belakang negara (8) dan persepsi belum adanya kebijakan dan pedoman pembangunan permukiman perbatasan akan berdampak terhadap peningkatan faktor-faktor kunci tersebut sebagai peubah linkage. Dalam desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, setiap tindakan meningkatkan peranan sektor-sektor independent. Tindakan meningkatkan peranan terhadap sektor-sektor tersebut akan menghasilkan terwujudnya program menuju sistem pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. 4.4.2
Elemen Tolok Ukur dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara
Berdasarkan hasil kajian dan pendapat pakar, disusunlah struktur tolok ukur untuk menuju keberhasilan pengembangan kawasan permukiman yang terbagi atas lima elemen pada tolok ukur yang terdiri dari 16 subelemen kendala. Secara lengkap elemen tolok ukur dan subelemen kendala terlihat pada Tabel 18. Adapun hasil yang digunakan dalam model ISM adalah kajian dari pendapat pakar melalui wawancara mendalam seperti yang tertuang pada matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM) pada Lampiran 4. Pakar yang terlibat dalam proses ini adalah pakar dari kalangan pemerintah, legislatif, pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi, lembaga profesi, masyarakat, dan LSM yang terpilih berdasarkan pengetahuan, pengalaman di bidang pengembangan kawasan permukiman.
110 Tabel 18. Elemen tolok ukur pengembangan kawasan permukiman perbatasan No Elemen (Tolok Ukur) 1 Otimalisasi pengelolaan SDA kawasan
No Sub elemen (Kendala) 1 Penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan wilayah perbatasan 2 3
4 5 2
Peningkatan pengembangan dan penataan kawasan permukiman
6
7 8 3
Pengembangan infrastruktur wilayah dan permukiman terpadu
9 10
11 4
Pengembangan kelembagaan
12
13 14
5
Alokasi dana untuk pengelolaan wilayah perbatasan
15 16
Peningkatan kegiatan pengembangan pemukiman, sarana, dan prasarana wilayah Pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika wilayah perbatasan Pengelolaan SDA darat dan laut secara seimbang Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara Pembangunan wilayah perbatasan melalui pengembangan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru sebagai dan embrio kegiatan ekonomi Penataan ruang wilayah Pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana Partisipasi horison & vertikal pusat dan daerah Pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan pada aspek keamanan, sosial ekonomi, budaya, lingkungan, dan kesejahteraan secara seimbang Sinergi/keterpaduan dan keseimbangan pembangunan berdasarkan potensi wilayah Peningkatan kerjasama pembangunan antar negara, antarpemerintahan, dan antar stakeholders di wilayah perbatasan Pembuatan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan Penyusunan kebijakan tingkat makro dan mikro, investasi, SDA, dan kelembagaan pendukung pusat pertumbuhan Penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan Evaluasi kegiatan untuk penganggaran dana pada kegiatan selanjutnya
111 Gambaran dari masing-masing elemen tolok ukur mengenai peringkat
Driver Power
berdasarkan nilai driver power yang ada disajikan pada Gambar 41.
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
Elemen (Tolok Ukur) Gambar 41. Peringkat elemen tolok ukur berdasarkan nilai driver power Berdasarkan Gambar 41 di atas, nilai driver power elemen tolok ukur tertinggi pada subelemen 5 (peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara) dan 15 (penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan), sedangkan yang memiliki nilai driver power terendah adalah 3 (pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika wilayah perbatasan). Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 38 dan pada Gambar 39 subelemen dikelompokkan kedalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Analisis data ISM disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan Gambar 42, gambar tersebut menjelaskan pendapat para ahli tentang elemen tolok ukur dalam strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan. Elemen tolok ukur tersebut diawali oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara, penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan, penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan wilayah perbatasan, pembangunan infrastruktur, prasarana dan sarana, pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan pada aspek sosekbudhankam dan lingkungan. Selain
itu,
kesejahteraan
secara
seimbang,
peningkatan
kerja
sama
pembangunan antarnegara antarpemerintahan dan antar-stakeholders di wilayah
112 perbatasan merupakan elemen tolok ukur tersebut. Hasil kajian subelemen pada analisis ISM berupa (a) Matriks reachability dan interpretasi dari elemen tolok ukur yang terpengaruh program, yang disajikan pada lampiran 4, (b) Diagram model struktural ISM dari elemen tolok ukur yang terpengaruh program seperti disajikan pada Gambar 38, (c) Matriks driver power-dependence untuk elemen tolok ukur yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 42. Level 1
Pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika wilayah
Dependent
Level 2 Pengelolaan SDA darat dan laut secara seimbang
Partisipasi horison & vertikal pusat dan daerah
Penyusunan kebijakan tingkat makro dan mikro, investasi, SDA dan kelembagaan pendukung pusat pertumbuhan
Level 3 Peningkatan kegiatan pengembangan pemukiman, sarana dan prasarana wilayah
Linkage Pembangunan Wilayah Perbatasan
Penataan ruang wilayah
Sinergi dan keseimbangan pembangunan
Pembuatan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan
Independent
Level 4 Penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan wilayah perbatasan
Evaluasi kegiatan untuk penganggaran dana pada kegiatan
Pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana
Pendekatan pengelolaan Wilayah Perbatasan pada aspek sosekbudhankam dan lingkungan serta kesejahteraan secara seimbang
Peningkatan kerjasama pembangunan antar negara, antar pemerintahan, dan antar stakeholders di wilayah perbatasan
Level 5 Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara
Penganggaran dana untuk pembangunan kawasan permukiman perbatasan
Gambar 42. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
113 Berdasarkan hasil analisis terdapat 6 faktor kunci prioritas penggerak elemen tolok ukur yang sangat memengaruhi program menuju strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yaitu subelemen-subelemen yang terletak pada sektor I (independent). Setiap tindakan yang meningkatkan peranan dari sektor-sektor tersebut akan menghasilkan
sukses
program
menuju
sistem
pengembangan
kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. Independent 5, 15
0
1
2
3
4
5
Autonomus
17 16 15 1, 8, 10, 14 12 13 12 11 10 9 8 7 9 6 7 8 6 5 4 3 2 1 0
Linkage
2, 6, 7, 11, 13 10 11 12 13 14 15 16 17 4, 9, 14, 16
3
Dependent
Gambar 43. Matriks DP-D untuk subelemen tolok ukur dalam pengembangan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara 4.4.3 Komponen-komponen Dominan dalam Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Kabupaten Nunukan A. Hasil Pembobotan pada Setiap Komponen Dalam menganalisis komponen yang dominan dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan, digunakan model AHP untuk memilih arahan kebijakan yang tepat dan penting dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Gambar 39 merupakan diagram hirarki AHP yang telah didiskusikan dan merupakan pendapat pakar melalui wawancara yang mendalam. Pakar yang terlibat antara lain dari Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen PU, Menpera, KLH, DPR RI, perguruan tinggi, pemda, lembaga profesi, masyarakat, swasta, dan LSM.
114 Permukiman PerbatasanNegara
Fokus
Stakeholders
Tujuan
Sasaran
Tingkat Pendapatan 0,120
Kebijakan Pemerintah 0,418
Faktor
Pemerintah 0,337
Pemerintah Daerah 0,222
Pengembangan Dan Penataan Kawasan 0,326
Pendanaan Pembangunan 0,271
Swasta 0,150
Masyarakat 0,133
Peningkatan Kesejahteraan 0,313
Pemulihan Ekosistem 0,158
Strategi Pengembangan (Kawasan) 0,624
Strategi Pengembangan (Kelembagaan) 0,130
Prasarana dan Sarana 0,191
Pakar 0,091
Pengembangan Prasarana Kawasan 0,116
BKM / LSM 0,068
Minimalisasi Konflik 0,087
Strategi Pengembangan (Pembiayaan) 0,246
Gambar 44. Diagram hierarki AHP pada pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara Hierarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas yang dimulai dari penetapan fokus pada level l yaitu fokus pada pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Level 2 adalah faktor yang terdiri atas kebijakan pemerintah, tingkat pendapatan, pendanaan pembangunan, prasarana, dan sarana. Level 3 adalah aktor terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, pakar, dan BKM/LSM setempat. Aktor tersebut terkait dengan pengembangan kawasan permukiman dan masing-masing aktor mempunyai peran, pengaruh, dan kekuatan terhadap kebijakan-kebijakan pengembangan kawasan. Level 4 adalah tujuan untuk pengembangan kawasan permukiman yang terdiri atas pengembangan dan penataan kawasan, peningkatan kesejahteraan, pengelolaan SDA dan ekosistem kawasan, pengembangan prasarana kawasan dan minimalisasi konflik. Level 5 adalah sasaran yang terdiri atas strategi pengembangan kawasan, strategi pengembangan pembiayaan, dan strategi pengembangan kelembagaan. Hasil pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan yang disampaikan kepada
115 pakar dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat, pakar perguruan tinggi, dan BKM/LSM, kemudian diolah dengan perangkat lunak Expert Choice. Hasil analisis AHP pada setiap level dari heirarki desain pengembangan kawasan berkelanjutan. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi (combined) dari pendapat para pakar pada setiap matriks berpasangan. B.
Pembobotan Kriteria Faktor dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi
pengaruh utama dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan. Gambar 45 menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.
Keterangan : KBPM = Kebijakan Pemerintah PDPB = Pendanaan Pembangunan PSSR = Prasarana dan Sarana TKPM = Tingkat Pendapatan
Gambar 45. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan Berdasarkan gambar 45, hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 2) kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama dengan masing-masing bobot nilai adalah 0,418 dan 0,271. Kebijakan pemerintah akan membantu membangun pusat-pusat pertumbuhan baru kegiatan ekonomi dan perdagangan. Penyiapan perangkat kebijakan dan pendanaan pembangunan diperlukan guna pengembangan kawasan permukiman di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan maupun pada kawasan yang sangat terperinci di wilayah perbatasan negara. Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah
116 secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian stimulan bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Hal tersebut dilakukan agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai. Adapun, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang ditempuh adalah partisipasi masyarakat, swasta, LKM, dan LSM. Memahami kecenderungan pertumbuhan kawasan perkotaan di wilayah perbatasan (pusat pertumbuhan baru) sangat terkait dengan 4 faktor: kebijakan, stakeholders, perilaku masyarakat, proses dan pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2) Pola pertumbuhan merupakan cerminan dapat dilihat secara langsung hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4) Perilaku mengindikasikan kegiatan dari pelaku yang terlibat. Hasilnya adalah model pola pentahapan dan proses penyusunan kebijakan. Aturan dalam teori hierarki, memahami tiap tingkat harus mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai perbandingan hubungan yang paling dekat. Konsekuensinya untuk memahami proses adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999). Kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia tahun 2000—2020 antara lain pengembangan lokasi kawasan permukiman dengan memerhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, pola tata guna lahan, kesehatan lingkungan, dan tersedianya fasilitas sosial dan umum. Lokasi permukiman perlu memperhatikan keserasian dengan lingkungannya. (Permenpera 1999). Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budi daya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang.
117 Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) telah terjadi: (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan. Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005). Setelah lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, perlu dibuat rencana tapak kawasan (site planning) agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak kawasan ini penting karena akan menentukan bentuk dan pola kawasan yang dapat menciptakan suatu kawasan permukiman yang tertata sehingga kemudahan dan kenyamanan para penghuni dapat tercipta serta dapat mempengaruhi perilaku penghuni di mana pun kawasan permukiman tersebut berada termasuk di wilayah perbatasan negara. Hasil analisis AHP selanjutnya yang menjadi prioritas adalah peningkatan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,191 dan yang menjadi prioritas yang terakhir adalah tingkat pendapatan dengan bobot nilai 0,120. Adanya peningkatan prasarana dan sarana serta peningkatan tingkat pendapatan. Diharapkan program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu dapat dilaksanakan di wilayah perbatasan negara Kabupaten Nunukan, sehingga akan memberikan keuntungan kepada pemerintah dan mensejahterakan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. C.
Pembobotan Kriteria Stakeholder dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar, tersusun stakeholder yang menjadi
pengaruh utama dalam pengelolaan pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan, Gambar 46 menunjukkan urutan prioritas stakeholder tersebut.
118
Keterangan :
PP = Pemerintah Pusat PD = Pemerintah Daerah ST = Swasta MY = Masyarakat PK = Pakar
Gambar 46. Urutan prioritas stakeholder dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara berkelanjutan Berdasarkan gambar 46 hasil analisis AHP yang merupakan stakeholder (level 3) menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mempunyai peran utama dalam pengembangan kawasan permukiman, bobot nilai masing-masing stakeholder adalah 0,337 dan 0,222. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap penetapan alternatif kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Hal tersebut disebabkan kenyataan di lapangan maupun pada tingkat kebijakan sangat ditentukan oleh pengaruh dan peran dari aktor pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kewenangan penuh untuk mendorong percepatan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan kabupaten Nunukan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro
119 dan disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah, sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional. Swasta memiliki bobot nilai sebanyak 0,150. Swasta merupakan salah satu stakeholder
yang
mempunyai
peran
terhadap
pengembangan
kawasan
permukiman. Swasta mempunyai peran sebagai penggalian sumber dana untuk investasi pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan permukiman, seperti pernyataan Direktorat Jendral Pemberdayaan Sosial (2005) mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggung jawab sosial swasta di antaranya dapat memberikan implikasi positif terhadap peningkatan
kesejahteraan
masyarakat,
meringankan
beban
pembiayaan
pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerja sama antara masyarakat, pemerintah dengan swasta. Stakeholder selanjutnya adalah masyarakat yang mempunyai bobot nilai 0,133. Masyarakat berperan penting untuk menjaga wilayah perbatasan. Pembangunan permukiman sangat penting dilakukan di wilayah perbatasan tersebut menyangkut keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan akan identitas nasional. Hak-hak ulayat masyarakat perbatasan perlu diakui dan diatur keberadaannya. Keberadaan tanah ulayat secara sesungguhnya memiliki permasalahan secara administratif karena terkadang keberadaannya melintasi batas negara di dua wilayah negara. Walaupun demikian, karena hak-hak ulayat ini secara tradisional menjadi aset penghidupan sehari-hari masyarakat tersebut, keberadaanya tidak dapat dihapuskan, tetapi sebaliknya perlu diakui dan diatur secara jelas. Stakeholder selanjutnya adalah pakar dan BKM/LSM masing-masing stakeholder tersebut mempunyai bobot nilai 0,91 dan 0,68. Kedua stakeholder tersebut mempunyai peran dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan terhadap sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan dan usaha-usaha penegakan hukum jika ada suatu pelanggaran dalam setiap kegiatan pembangunan.
120 D. Pembobotan
Kriteria
Tujuan
dalam
Pengembangan
Kawasan
Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian utama, gambar 47 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.
Keterangan :
PPK = Pengembangan dan Penataan Kawasan PKS = Peningkatan Kesejahteraan PE
= Pengembangan SDA dan Ekosistem Kawasan
PRK = Pengembangan Prasarana Kawasan MK
= Minimasi Konflik
Gambar 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Berdasarkan gambar 47 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan
pengembangan
dan
penataan
kawasan
dan
peningkatan
kesejahteraan mendapat priotitas utama dalam kriteria tujuan dengan masingmasing bobot nilai 0,326 dan 0,313. Pengembangan kawasan menjadi prioritas sesuai dengan GBHN 1999 mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan merupakan
kawasan
tertinggal
yang
harus
mendapat
prioritas
dalam
pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Penanganan pengembangan kawasan permukiman sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pada pasal 2 memuat penjelasan bahwa lingkup pengaturan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang
121 menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran,
perbaikan,
perluasan,
pemeliharaan,
dan
pemanfaataannya.
Pengembangan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Indonesia berbeda dengan di Malaysia. Dalam mengembangkan kawasan permukiman, Malaysia khususnya di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier/ribbon development (Departemen PU 2002). Seiring meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan permukiman sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia ikut meningkat pula. Berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk berdasarkan pada tiap-tiap skenario yang direncanakan, serta dengan menggunakan asumsi bahwa setiap keluarga terdiri dari 5 orang, maka perkiraan kebutuhan minimum rumah pada tahun 2009 dan tahun 2014 berdasarkan tiap skenario dapat ditentukan seperti tertera pada Tabel 19. Tabel 19. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014 Kawasan
Skenario
Jumlah Penduduk
Kebutuhan Rumah (unit)
Perumahan
Pesimis 2009
96.961
18.640
2014
107.053
20.579
Optimis 2009
116.784
21.429
2014
144.840
26.578
Ambisius 2009
163.171
26.264
2014
239.751
41.110
Sumber: Hasil Analisis
Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan di masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan sehingga menyebabkan minimnya prasarana dan sarana
wilayah,
terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi
122 aktivitas sosial-ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Kebijakan pengembangan wilayah perbatasan negara ke depan adalah dengan peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai daerah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang. Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan pradigma saat ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan kepada aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang. Prioritas selanjutnya adalah pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah dengan bobot nilai 0,158. Pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah sangat penting untuk dilaksanakan sehingga SDA dan wilayah tidak terdegradasi akibat adanya pembangunan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan pembangunan perlu direncanakan secara terpadu berdasarkan pada pengelolaan secara optimal potensi-potensi SDA dan ekosistem wilayah. Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan seperti fakta adanya kawasan permukiman yang liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah, para pekerja
123 menyewa tempat tinggal dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan rumahanya oleh para stakeholders terkait, maka gajinya akan lebih besar untuk kebutuhan kesejahteraan sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002). Prioritas selanjutnya yaitu pengembangan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,116 yang sangat penting dilakukan untuk pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam di kawasan tersebut. Prioritas terakhir adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,087 yang penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat dengan masyarakat negara tetangga, masyarakat dengan pemerintah daerah, dan masyarakat dengan pemerintah provinsi/pusat. Hal ini dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah maupun masyarakat. Peningkatan kerja sama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang pengelolaan perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Di era globalisasi seperti saat ini, setiap negara di saling tergantung satu sama lain. Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamananan. Oleh karena itu, peningkatan kerja sama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat menghindari terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial-budaya maupun ekonomi. Selain itu kerja sama, antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan. Kelembagaan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan RI Malaysia yang ada saat ini adalah General Border Committee (GBC) yang diketuai oleh Panglima TNI. Forum ini mengadakan pertemuan setahun sekali dengan pergantian tempat antara Indonesia dan Malaysia. Permasalahan perbatasan yang ada saat ini terjadi pada sembilan titik. Permasalahan ini sangat kompleks dan menyangkut kepastian hukum wilayah NKRI atau Malaysia, yaitu masalah (1) Tanjung Datu, (2) Batu Aum, (3)
124 Semilau, (4) Sungai Sinapad, (5) Sungai Semantipal, (6) Nanga Badau, (7) Sungai Buan, (8) Gunung Raya, dan (9) Pulau Sebatik. Kerja sama di bidang sosial-ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo telah dilengkapi dengan kelompok kerja (KK). Sosek Malindo di tingkat provinsi/negeri ditujukan untuk (a) menentukan proyekproyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyekproyek pembangunan sosial-ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerja sama pembangunan sosial-ekonomi di daerah perbatasan. E.
Pembobotan
Kriteria
Sasaran
dalam
Pengembangan
Kawasan
Permukiman Perbatasan Negara Berkelanjutan Hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas utama dalam keberhasilan
pengembangan
kawasan
permukiman
perbatasan
negara
berkelanjutan. Gambar 48 menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.
Keterangan : SPKW = Strategi Pengembangan Kawasan SPPM = Strategi Pengembangan Pembiayaan SPKL = Strategi Pengembangan Kelembagaan
Gambar 48. Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Berdasarkan gambar 48 hasil analisis AHP yang merupakan sasaran (level 5) menunjukkan strategi pengembangan kawasan menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,624. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan ketersediaan infrastruktur dasar yang memadai untuk dilakukan pengembangan wilayah
125 perbatasan di Kabupaten Nunukan. Prioritas kedua yaitu pengembangan pembiayaan dengan bobot nilai 0,246. Hal tersebut didukung oleh adanya dukungan pembiayaan dari pemerintah untuk melakukan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Prioritas yang terakhir adalah strategi pengembangan kelembagaan dengan bobot nilai 0,130. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan perencanaan tata ruang yang partisipatif, pembentukan pengelolaan
community-based permukiman
organization
berkelanjutan,
(CBO),
bantuan
sosialisasi
teknis
dan
program advokasi
pengembangan desain rumah dan lingkungan, pelembagaan aktivitas sosialkultural, peningkatan kelengkapan lingkungan (neighbourhood attachment), peningkatan investasi publik. a. Strategi Pengembangan Kawasan Arah pembangunan jangka panjang nasional yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perbatasan merupakan wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking. Dengan demikian, kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Adapun program pembangunan berupa penyusunan rencana pengembangan wilayah perbatasan dengan program kegiatan sebagai berikut: -
Penetapan arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan dengan orientasi mendukung pergerakan aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.
-
Penetapan garis batas negara secara jelas dan benar.
-
Peningkatan sarana dan prasarana pendukung terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat setempat serta guna membantu pengamanan kawasan perbatasan.
-
Pengembangan wilayah perbatasan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi strategis dengan pemanfaatan sumberdaya alam setempat.
-
Peningkatan kualitas sumber daya manusia agar lebih berpotensi dan profesional.
-
Penetapan fungsi lembaga pengelola wilayah perbatasan sesuai dengan kapasitas.
126 Arah kebijakan pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan Provinsi Kalimantan Timur adalah: -
Perlu dibuka jalur transportasi yang menghubungkan wilayah perbatasan dengan daerah-daerah lainnya, baik yang menuju Indonesia maupun Malaysia untuk memudahkan pemasaran hasil-hasil bumi setempat.
-
Perlu dibuka pos-pos imigrasi di wilayah perbatasan untuk melegalkan arus barang yang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia.
-
Perlu dibangun pelabuhan laut yang khusus melayani arus keluar-masuk barang dari Indonesia di Wilayah Nunukan Kepulauan.
-
Mempercepat tercapainya kemandirian masyarakat dan pemerintah Kabupaten Nunukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
-
Mengembangkan
dan
menyerasikan
laju
pertumbuhan
pembangunan
antarwilayah kecamatan, wilayah pedesaan, antarsektor ekonomi, serta membuka wilayah pedalaman, perbatasan, wilayah yang terisolasi, dan kawasan tertinggal lainnya. -
Mengoptimalkan pemanfaatan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam
yang
dapat
diperbaharui
dengan
prinsip
pembangunan
yang
berkelanjutan. -
Meningkatkan investasi dan peran wisata untuk mendorong penguatan ekonomi rakyat.
Rencana Strategi Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2003--2008. Bagian dokumen perencanaan daerah ini yang memuat salah satu prioritas pembangunan daerah perbatasan dengan program prioritas: -
Pembangunan sarana dan prasarana jalan darat yang menghubungkan pusat pusat pertumbuhan ekonomi di daerah kota dan pantai dengan wilayah di perbatasan termasuk jalan tembus menuju ke daerah Malaysia.
-
Pembukaan sarana dan prasarana perintis dan air strip yang sudah ada di daerah perbatasan dan bantuan subsidi penerbangan ke daerah perbatasan.
-
Pengawasan sumber daya alam di daerah perbatasan dan pencurian oleh pihak-pihak yang kurang bartanggung jawab serta pengawasan pemindahan patok-patok batas negara di perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
-
Pengembangan potensi ekonomi yang tersedia di daerah perbatasan melalui
127 pola agribisnis dan agroindustri dengan tujuan ekspor ke negara tetangga. -
Peningkatan kerja sama sosial-ekonomi antara pemerintah dan masyarakat perbatasan antarkedua negara malalui payung kerja sama-SOSEK MALINDO dan kerja sama bidang lainnya yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
b. Strategi Pengembangan Pembiayaan Pada pasal 18 A ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah diatur secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. UndangUndang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk mendukung penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pendanaan atau pembiayaan tersebut menganut prinsip "Money Follow's Function", yang mengandung makna pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, kebutuhan, serta permasalahan daerah. Studi pengembangan Kawasan Strategis Nasional perbatasan Provinsi Kalimantan Timur yang menyangkut pula pemerintahan 4 kabupaten merupakan masalah nasional yang perlu mendapat perhatian khusus. Jangan sampai kasus Sepadan, Legitan, dan Ambalat terulang kembali di daerah daratan perbatasan Kalimantan
Timur
pendanaan/pembiayaan pendapatan
Asli
dengan
Serawak
pelaksanaan
Daerah,
Dana
(Malaysia).
pemerintahan
Perimbangan,
Sumber-sumber
daerah
terdiri
atas
Pinjaman
Daerah
dan
pendapatan lain yang syah. Wilayah perbatasan berkaitan dengan pemerintah pusat sehingga pendanaan pembangunan wilayah perbatasan juga dapat bersumber dari RAPBN, keuangan pusat yang dikonsentrasikan kepada gubernur, atau yang ditugaskan dan/atau desa dalam rangka tugas pembantuan. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana
128 alokasi khusus (DAK). Dana perimbangan ini digunakan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya untuk menghindari ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan pemerintahan daerah. Dana bagi hasil (DBH) diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2000 dan pada pasal 21 sektor pertambangan, panas bumi sesuai dengan undang-undang No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, dan termasuk dana reboisasi. Dana alokasi umum (DAU) digunakan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dana potensi daerah. Wilayah perbatasan berkaitan dengan empat kabupaten sehingga ada peluang peningkatan DAU untuk membangun wilayah perbatasan. Dana alokasi khusus (DAK) digunakan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang menjadi prioritas nasional karena membangun wilayah perbatasan merupakan masalah daerah dan masalah nasional. Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 juga mengatur hibah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional dalam bentuk devisa/rupiah, bentuk barang dan jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar lagi. Selain itu, terdapat sumber-sumber pembiayaan lain yaitu pinjaman daerah yang digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pelayanan masyarakat. Sumber dana yang lain yaitu dana dekonsentrasi yang bertujuan untuk menjamin tersedianya dana untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan pada gubernur sebagai wakil pemerintah. Sumber dana/biaya dan kekayaan sumber daya alam yang ada di Provinsi Kalimantan Timur dan keempat kabupaten yang termasuk wilayah perbatasan cukup besar apabila dana
tersebut
dapat
dimanfaatkan
dengan
kebijakan,
perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan yang baik. c. Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengembangan strategi nasional perbatasan Provinsi Kalimantan Timur berkaitan dengan Kabupaten Nunukan sehingga sesuai dengan amanat Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan
yang
menjadi
urusan
pemerintah
pusat.
Dalam
129 menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan. Penyelenggaraan desentralisasi memberikan syarat terhadap pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Urusan pemerintah terdiri dari urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintah atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah yaitu urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren harus proporsional antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten. Oleh karena itu, ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisien. Penggunaan ketiga kriteria tersebut
diterapkan
secara
kumulatif
sebagai
satu
kesatuan
dengan
mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antarkegiatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan. Untuk mencegah teradinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak maka ditentukan kriteria akuntanbilitas. Kriteria tersebut yaitu tingkat pemerintah yang paling berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut adalah yang paling dekat dari dampak yang timbul.Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yang mendorong akuntanbilitas pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada penyelenggaraan urusan pemerintahan harus ekonomis. Seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam
130 menghadapi globalisasi. Penerapan kriteria eksternalitas, akuntanbilitas, serta semangat ekonomis diwujudkan melalui kriteria efisiensi. Ketiga kriteria ini dapat disinergikan
dalam
rangka
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi. Urusan kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan
wajib
adalah
urusan
pemerintahan
yang
wajib
diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan yaitu urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan upaya pengembangan potensi unggulan (core competence). Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah membuat prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan harus difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Agar pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan memiliki payung hukum yang kuat, maka urusan wajib dan pilihan yang diselenggarakan oleh daerah harus dituangkan ke dalam peraturan daerah yang menjadi acuan dalam penentuan penyelenggaraan pemerintah daerah. Ketentuan tersebut meliputi penentuan struktur organisasi perangkat daerah, personil, dan anggaran. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan, tiap tingkat pemerintahan harus melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan. Hal ini menjadi kewenangan pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Pemerintah berkewajiban menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dijadikan pedoman dalam mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pedoman yang memuat norma, standar, prosedur, dan kriteria tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menilai kemampuan apakah suatu urusan
131 pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah mampu diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Bagi pemerintahan daerah yang belum memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditentukan, kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut dapat ditunda sampai dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah. Untuk melaksanakan urusan pemerintah yang belum mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Pelaksanaan urusan pemerintah yang belum mampu dilaksanakan
oleh
pemerintah
daerah
provinsi
dilimpahkan
kepada
departemen/LPND yang membidangi urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah didasarkan pada asas tugas pembantuan yang secara bertahap dapat diserahkan kepada urusan pemerintah daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan ini diserahkan apabila pemerintah daerah benar-benar telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan demikian, tugas pembantuan dapat dimanfaatkan sebagai instrumen peningkatan kemampuan pemerintah daerah sebelum urusan pemerintahan tersebut benar-benar diserahkan kepada daerah yang bersangkutan. Pemberdayaan
pemerintah
daerah
sangat
penting
dilakukan
untuk
meningkatkan kapasitas daerah sehingga mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat penyelenggaraan urusan pemerintah yang efisien sesuai dengan kewenangannya. Oleh karena itu, departemen/LPND bertanggung jawab menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria wajib dalam mengikutsertakan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait termasuk pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kapasitas dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan perbatasan dilakukan melalui optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan antarinstansi pemerintah, penataan hubungan kerja baik secara horisontal maupun secara vertikal, peningkatan koordinasi, dan konsultasi antarlembaga. Selain itu, peningkatan juga dilakukan melalui pengembangan database informasi wilayah perbatasan yang dapat dijadikan acuan bersama oleh seluruh
132 stakeholder terkait. Pemahaman yang baik terhadap fungsi dan peran, tata hubungan yang jelas, koordinasi yang intensif, serta tingkat pengetahuan dan persepsi yang sama, diharapkan dapat menyelaraskan berbagai kewenangan, kebijakan dan peraturan-peraturan antara pemerintah pusat dan daerah. 4.4.4 Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara 4.4.4.1 Penyusunan Strategi Pengembangan Berdasarkan hasil analisis keterkaitan dan kinerja pengembangan kawasaan permukiman menunjukkan, sistem yang ada saat ini masih belum berkelanjutan. Sistem yang belum berkelanjutan menyebabkan perlunya perumusan berbagai strategi dan rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Berdasarkan hasil AHP, disusun analisis kebijakan yang dilakukan melalui tiga kajian strategi pilihan. Dari analisis tersebut, diketahui tiga masalah yang paling berpengaruh terhadap strategi dan rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, antara lain (1) Strategi Pengembangan Kawasan, (2) Strategi Pengembangan Pembiayaan, dan (3) Strategi Pengembangan Kelembagaan. Perkiraan kondisi (state) dipengaruhi potensi hubungan antarkomponen terkait untuk penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan (Cadenasso 2003). Berdasarkan dominasi responden mengenai kondisi masalah di masa yang akan datang, hal yang harus dilakukan yaitu kombinasi antarkondisi masalah dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai (incompatible). Dari kombinasi antarkondisi masalah didapatkan dua skenario yaitu (1) Strategi optimis dan (2) Strategi pesimis.
a. Penyusunan Strategi Pengembangan Kawasan Interpretasi kondisi masalah dalam peubah skenario dilakukan melalui keterkaitan strategi yang disusun dalam suatu skenario. Dalam hal ini, beberapa perubahan dilakukan pada peubah tertentu sehingga strategi yang bersangkutan dapat disimulasikan. Perkiraan permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi di masa yang akan datang disajikan pada tabel 20.
133 Tabel 20. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi masa yang akan datang No 1
Masalah 5 Kesadaran masyarakat akan identitas nasional
2 4. Kesejahteraan Masyarakat
3 1. Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan
4 15. Terbatasnya fasos dan fasum
5 14.Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman
7A Menurun, karena kawasan perumahan dan permukiman di wilayah perbatasan tidak didukung pembangunan infrastruktur lingkungan yang terpadu dengan infrastruktur primer kota
Keadaan (State) 7B Tetap, karena pengadaan infrastruktur wilayah perbatasan dilakukan seadanya
7C Meningkat, karena pembangunan infrastruktur mendukung pertumbuhan kawasan
4A Menurun, karena pemerintah menganggap bahwa pembangunan sosial ekonomi wilayah perbatasan tidak penting
4B Tetap, karena pembangunan tidak terkoordinasi dengan baik
4C Meningkat, karena pemerintah melakukan pembangunan sosial ekonomi, melakukan koordinasi, dan melibatkan sektor swasta
1A Menurun, karena SDA dikelola kurang optimal dan kondisi perekonomian dan pemerataan pembangunan menurun
1B Tetap, karena banyak pengusahaan lahan di lakukan segelintir masyarakat (spekulan tanah)
1C Meningkat, karena pembangunan terarah dan terencana
15A Menurun, karena masyarakat tidak peduli dengan pemanfaatan lahan, yang penting aman dan tidak diakui oleh pihak lain
15B Tetap, karena tidak ada sosialisasi yang baik, hanya sedikit penjelasan
15C Meningkat, karena pembangunan fasos dan fasum di wilayah perbatasan mulai dilakukan oleh instansi terkait, dan ada sosialisasi yang baik dari pemerintah tentang pemanfaatan lahan yang baik
14A Menurun, karena Kondisi letak geografis kurang mendukung untuk peningkatan kerjasama luar negeri antar negara
14B Tetap, karena adanya pembangunan yang tetap berjalan namun dalam jumlah yang masih minim
14C Meningkat, karena kurang perhatian pemerintah terhadap wilayah perbatasan
134 6 6. Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga
6A Menurun, karena pembangunan belum merata di segala bidang
6B Tetap, karena ada perhatian pemerintah akan pentingnya wilayah perbatasan, namun implementasinya belum dilakukan
6C Meningkat, karena karena pembangunan yang dilakukan di wilayah perbatasan negara tetangga lebih intens dan lebih fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
Tabel 21 . Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kawasan No. Strategi 1. Skenario 1 2. Skenario 2
Kombinasi Kondisi Faktor 7A/4A/1A/15A/14A/6A 7C/4B/1C/15C/14C/6C
Skenario satu dibangun berdasarkan keadaan faktor kunci dengan kondisi pengembangan kawasan yakni kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional (7A) karena kawasan perumahan dan permukiman di wilayah perbatasan tidak didukung pembangunan infrastruktur yang terpadu dengan infrastruktur primer kota. Selain itu, pengadaan infrastruktur wilayah perbatasan dilakukan seadanya. Rendahnya kesejahteraan masyarakat (4A) karena pemerintah menganggap bahwa pembangunan sosial-ekonomi wilayah perbatasan tidak penting dan pembangunan tidak terkoordinasi dengan baik. Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1A) karena SDA dikelola kurang optimal, kondisi perekonomian dan pemerataan pembangunan tidak merata, serta banyak pengelolaan lahan dilakukan segelintir masyarakat (spekulan tanah). Terbatasnya fasos dan fasum (15A) karena masyarakat tidak peduli dengan pemanfaatan lahan. Dalam pemanfaatan lahan bagi masyarakat yang penting adalah keamanan dan lahan tersebut tidak diakui pihak lain. Hal ini terjadi karena tidak ada sosialisasi yang baik dari pemda mengenai pentingnya pemanfaatan lahan. Kurangnya infrastruktur kawasan dan permukiman (14A) karena letak geografis tidak mendukung peningkatan kerja sama luar negeri antarnegara sehingga perlu adanya pembangunan infrastruktur dan permukiman. Kondisi sosial dan ekonomi negara tetangga lebih baik (6A) karena pemerintah memperhatikan pembangunan di segala bidang dan pentingnya wilayah perbatasan.
135 Skenario dua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan kawasan yaitu, meningkatnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional (7C). Kesadaran masyarakat akan identitas sosial meningkat karena kawasan perumahan dan permukiman di wilayah perbatasan didukung pembangunan infrastruktur yang terpadu dengan infrastruktur primer kota secara bertahap dan terencana. Kesejahteraan masyarakat relatif tetap (4B) karena pemerintah melihat tingkat kesejahteraan di wilayah perbatasan cukup baik sehingga tidak menjadi prioritas utama. Menurunnya kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1C) karena SDA dikelola dengan sangat baik. Bukan hanya itu, kondisi perekonomian dan pemerataan pembangunan juga meningkat serta meningkatnya pembangunan fasos dan fasum (15C) karena masyarakat mengoptimalkan pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya dan berkoordinasi dengan pemda. Kondisi sosial dan ekonomi di negara tetangga lebih baik (6C) karena pembangunan di wilayah perbatasan lebih difokuskan pada aspek peningkatan keamanan melalui law enforcement, dengan pembangunan
sosial-ekonomi
disesuaikan
dengan
kebutuhan
masyarakat
perbatasan. b. Penyusunan Strategi Pengembangan Pembiayaan Strategi yang disusun dalam skenario dikaitkan melalui interpretasi kondisi masalah ke dalam peubah skenario. Beberapa perubahan dilakukan pada peubah tertentu di dalam skenario sehingga strategi yang bersangkutan dapat disimulasikan. Berikut ini perkiraan permasalahan pengembangan pembiayaan pada kondisi di masa yang akan datang. Tabel
22.
Perkiraan
responden
mengenai
permasalahan
pengembangan
pembiayaan pada kondisi masa yang akan datang No 1
Masalah 23.Terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan
Keadaan (State) 23A 23B Menurun, karena kondisi sharing Tetap, karena pendanaan pusat, provinsi, kota kondisi sharing meningkat, alokasi dana khusus pendanaan untuk pengembangan dan pusat, provinsi, pengelolaan kawasan kota dari tahun permukiman perbatasan ke tahun tidak meningkat seiring kebijakan mengalami prioritas pembangunan di peningkatan wilayah perbatasan
23C Meningkat, karena menganggap pembangunan permukiman wilayah perbatasan tidak penting,
136 2 17. Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan perkim
3 24. Pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal
17A Menurun, karena keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan kawasan semakin besar, adanya kesadaran bahwa pembangunan wilayah sangat penting
17B Tetap, karena pendekatan diproyeksikan dan tidak transparan
17C Meningkat, karena pemerintah menganggap bahwa pembangunan di wilayah perbatasan kurang penting
24A Menurun, karena kondisi aturan tentang tatacara penggunaan anggaran akan jelas ditingkatkan
24B Tetap, karena sudah ada perhatian pada infrastruktur dan permukiman
24C Meningkat, karena tidak adanya pengendalian terhadap pengelolaan dana pembangunan, adanya anggapan bahwa perbatasan hanya sekedar batas
Tabel 23 . Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan pembiayaan No. Strategi 1. Skenario 1 2. Skenario 2
Kombinasi Kondisi Faktor 23A/17A/24A 23C/17B/24C
Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan pembiayaan karena terbatasnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23A). Hal ini dilakukan karena kondisi sharing pendanaan pusat, provinsi, kabupaten/kota tidak seimbang. Dana alokasi khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan meningkat seiring kebijakan prioritas pembangunan di wilayah perbatasan. Pendanaan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Dana untuk pengembangan, pengelolaan infrastruktur, dan perkim (17A) berkurang karena keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan wilayah perbatasan masih rendah. Rendahnya pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan (24A) terjadi karena kondisi pengatuaran tata cara penggunaan anggaran belum jelas sehingga perlu adnay peningkatan kinerja agar penggunaan dana pembangunan dapat optimal. Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan pembiayaan yaitu meningkatnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23C)
137 karena kondisi sharing pendanaan pusat, provinsi, kabupaten/kota meningkat. Alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan meningkat seiring kebijakan prioritas pembangunan di wilayah perbatasan. Pendanaan untuk pengembangan serta pengelolaan infrastruktur dan permukiman tetap (17B) karena keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap pembangunan kawasan semakin besar, tetapi belum dilakukan secara baik, seperti belum optimalnya pemanfaatan serta pengelolaan dana pembangunan infrastruktur dan permukiman kondisinya tetap (24B) atau belum meningkat. c. Penyusunan Strategi Pengembangan Kelembagaan Strategi pengembangan kelembagaan yang disusun dalam skenario dilakukan dengan menginterpretasikan kondisi masalah ke dalam peubah skenario. Dalam hal ini, dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam skenario sehingga strategi yang bersangkutan dapat disimulasikan. Berikut ini perkiraan permasalahan pengembangan kelembagaan pada kondisi di masa yang akan datang. Tabel
24.
Perkiraan
responden
mengenai
permasalahan
pengembangan
kelembagaan pada kondisi masa yang akan datang No 1
Masalah 16. Pelayanan publik
2 20. Penegakan hukum dan peraturan
3 5. Aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga
16A Menurun, karena pembangunan belum diimbangi dengan peningkatan terhadap pelayanan publik 20A Menurun, karena penegakan hukum dan peraturan masih lemah dan cenderung menurun. Ini terlihat oleh banyaknya pelanggaranpelanggaran yang tidak menjalani proses hukum 5A Menurun, karena kondisi pembiayaan sudah optimal melalui lembaga pemerintah/swasta
Keadaan (State) 16B Tetap, karena pemerintah menganggap kebijakan dan pedoman tidak diperlukan 20B Tetap, karena tidak ada terobosan berarti dalam upaya penegakan hukum
5B Tetap, karena Pemda membiarkan infrastruktur permukiman apa adanya
16C Meningkat,karena wilayah perbatasan hanya menjadi pintu belakang menjadi penting 20C Meningkat, karena Law enforcement meningkat
5C Meningkat,karena rencana pemda asal jadi tanpa pemikiran matang,dibukanya beberapa pintu
138 No
Masalah 16A
Keadaan (State) 16B
16C penyeberangan antar wilayah, pembangunan SDA di sektor perkebunan, pertambangan dan pertanian belum dapat menyerap tenaga lokal dan menjadi kegiatan penunjang perkembangan wilayah perbatasan
Tabel 25. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kelembagaan No. Strategi 1. Skenario 1 2. Skenario 2
Kombinasi Kondisi Faktor 16A/20A/5A 16B/20C/5C
Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan faktor kunci dengan kondisi pengembangan kelembagaan. Dalam skenario ini dapat dilihat terbatasnya pelayanan publik (16A) karena pembangunan tidak diimbangi dengan peningkatan pelayanan publik dan pemerintah menganggap kebijakan terkait pelayanan publik belum mendesak. Penegakkan hukum dan peraturan masih lemah (20A) dan cenderung menurun. Kondisi ini terlihat dari banyaknya pelanggaran yang tidak diproses secara hukum dan tidak ada terobosan berarti dalam upaya penegakkan hukum. Aktivitas sosial-ekonomi masyarakat rendah (5A) karena kondisi pembiayaan melalui lembaga pemerintah/swasta masih rendah. Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan faktor kunci dengan kondisi pengembangan kelembagaan. Pada skenario kedua, pelayanan publik tetap (16B) karena pembangunan tidak diimbangi dengan peningkatan terhadap pelayanan publik. Penegakkan hukum dan peraturan meningkat (20C) yang dapat dilihat dari berkurangnya pelanggaran yang dilakukan masyarakat perbatasan negara. Aktivitas sosial-ekonomi masyarakat dengan wilayah negara tetangga berkurang (5C) karena kondisi pembiayaan pembangunan di wilayah perbatasan meningkat melalui lembaga pemerintah/swasta, tetapi pemda membiarkan pembangunan infrastruktur dan permukiman masih apa adanya.
139 4.5. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Percepatan pembangunan wilayah, terutama wilayah perbatasan, sangat memerlukan keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan wilayah di perbatasan tersebut. Pada prinsipnya, komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan wilayah perbatasan telah tercermin dalam kebijakan pembangunan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1993 yang masih konsisten dengan GBHN tahun 1999--2004. Dalam GBHN tahun 1999—2004 pada Bab IV butir G dinyatakan bahwa perlu peningkatan pembangunan
di
seluruh daerah termasuk wilayah perbatasan dengan tetap berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, hingga saat ini peningkatan pembangunan wilayah perbatas belum memperlihatkan hasil yang nyata. Kondisi ini disebabkan adanya ketimpangan pembangunan antara wilayah perbatasan dengan wilayah nonperbatasan. Oleh karena itu, infrastruktur wilayah masih terbatas dan permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun perdesaan kurang berkembang. Dampak dari hal ini yaitu aktivitas sosioekonomi banyak yang berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan terhadap negara tetangga, keterbatasan infrastruktur dan permukiman di wilayang perbatasan juga menyangkut kondisi keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan terhadap identitas nasional. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori yaitu (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4) mendorong sinergisitas hubungan kota dan desa, serta (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Seong 2006). Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) di perbatasan negara. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat menjadi hambatan pengembangan potensi pertumbuhan yang selama ini berfungsi sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan
140 peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan (Canales 1999). Berdasarkan hal paparan di atas, perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Penyusunan kebijakan dan strategi tersebut dilakukan melalui lima tahapan analisis, yaitu analisis kondisi permukiman, analisis potensi sektor unggulan wilayah dengan menggunankan model perbandingan eksponensial (MPE), analisis faktor penting dengan
interpretative
structural
modelling
(ISM),
desain
kebijakan
pengembangan dengan analytical hierarchy process (AHP), serta skenario pengembangan dan rekomendasi kebijakan. Permodelan interpretasi struktural interpretative structural modelling (ISM) merumuskan alternatif kebijakan di masa yang akan datang. Pembuatan desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman perbatasan menggunakan pendekatan
analytical
hierarchy
process
(AHP).
Selanjutnya
dibuat
pengklasifikasian subelemen dan desain kebijakan melalui deskripsi analisis kebijakan yang sesuai dengan keadaan di lapangan, hasil analisis ISM, dan AHP. Tahapan tersebut menentukan keadaan (state) suatu faktor, membangun skenario yang mungkin terjadi, dan menentukan implikasi dari skenario tersebut. 4.5.1 Desain Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Kajian pengembangan strategi dilakukan pada tiga peubah yang dianggap menentukan dan menjadi rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yaitu (1) Pengembangan kawasan, (2) Pengembangan pembiayaan, dan (3) Pengembangan kelembagaan. 4.5.1.1 Desain Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Penanganan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut, belum diatur dan diarahkan melalui kebijakan dan strategi pengembangan kawasan yang bersifat nasional dan menyeluruh. Penanganan beberapa kasus atau masalah permukiman di wilayah perbatasan negara yang terjadi selama ini disebabkan belum melibatkan semua stakeholders baik pemerintah daerah, masyarakat, maupun swasta. Di samping itu, koordinasi masing-masing instansi terkait baik di pusat maupun daerah masih lemah.
141 Pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan negara, termasuk di dalamnya pengembangan kawasan permukiman, hanya berpedoman pada kebutuhan yang telah diamanatkan dalam GBHN 1999, Propenas 2000—2004, dan sesuai dengan kebijakan sektor masing-masing. Upaya penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman perbatasan sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penyusunan kebijakan dan strategi telah diupayakan oleh beberapa instansi pemerintah baik pusat maupun daerah melalui kajian dan studi. Hingga saat ini, upaya tersebut belum menghasilkan suatu peraturan yang dapat dijadikan acuan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan. Pengembangan kawasan permukiman perbatasan disusun berdasarkan faktor lingkungan yang strategis dan diperkirakan akan memengaruhi perkembangan wilayah perbatasan di masa yang akan datang. Pengembangan kawasan permukiman perbatasan ini diharapkan mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang tercipta akibat adanya perubahan lingkungan strategis baik lokal, regional, dan global. Adapun beberapa faktor kunci, antara lain: a.
Pengembangan diarahkan pada wilayah yang memiliki potensi SDA sektor unggulan agar keberlanjutan kawasan permukiman dapat didukung.
b.
Pengembangan didukung dengan penyediaan prasaran dan sarana wilayah serta lingkungan yang memadai.
c.
Pengembangan dapat mendorong terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan sebagai tempat aktivitas dan usaha penduduk serta berfungsi untuk meminimalisasi konflik di wilayah perbatasan.
d.
Pengembangan kawasan permukiman yang mengedepankan peningkatan kesejahteraan, ekonomi, serta fungsi pertahanan dilakukan bersama-sama dan seimbang sehingga dapat meningkatkan stabilitas wilayah perbatasan. Strategi pengembangan kawasan permukiman perbatasan bertumpu pada
masyarakat yang menjadi subjek kegiatan yang tinggal di wilayah perbatasan, dan atau memiliki tempat usaha, maupun bekerja di wilayah perbatasan. Hasil analisis data dengan metode ISM memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional menjadi permasalahan yang paling krusial
142 di wilayah perbatasan. Hal-hal yang berkembang di masyarakat yang berpotensi menurunkan nilai identitas bangsa di wilayah perbatasan antara lain penggunaan mata uang ringgit sebagai alat pembayaran yang sah, tayangan televisi dengan dominasi acara-acara dari Negeri Malaysia, aktivasi pasar lebih ramai di wilayah Malaysia, kemudahan pengurusan KTP dan pembelian tanah di wilayah Malaysia, dan lain sebagainya. Kenyataan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat berkurang daripada rasa untuk mempertahankan identitas nasional. Salah satu solusi yang harus segera dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan identitas nasional yaitu dengan menciptakan lapangan kerja padat karya seluas-luasnya untuk masyarakat di wilayah perbatasan. Lapangan pekerjaan tidak akan terwujud tanpa dukungan pemerintah dalam menciptakan kegiatan melalui pembuatan kebijakan-kebijakan pendukung oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di wilayah perbatasan. Hasil analisis MPE memperlihatkan hasil dari tiga klaster berbasis potensi sektor unggulan yang dapat mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan apabila didukung oleh semua stakeholders. Orientasi seluruh kegiatan lebih banyak diupayakan dengan basis pemberdayaan masyarakat sebagai subjek pembangunan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat. Pemerintah bekerja sama dengan LSM dan pakar-pakar terkait yang berasal dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian dalam mewujudkan kemandirian masyarakat melalui pengadaan pelatihan dan penyuluhan. Tolok ukur peningkatan kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional yang paling nyata ditandai dari peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara, serta adanya anggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pengembangan kawasan permukiman perbatasan oleh pemerintah. Selama ini dana kegiatan-kegiatan dalam upaya percepatan pertumbuhan pembangunan di wilayah perbatasan relatif belum memadai karena hanya bersumber dari anggaran rutin setiap tahunnya. Pada Gambar 38 memperlihatkan bahwa penganggaran dana perlu dilakukan pemerintah secara berkala agar upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan pendapatan masyarakat dapat dicapai. Sumber dana pembangunan permukiman di wilayah perbatasan baik dana rutin maupun dana alokasi khusus akan menentukan jenis penanganan pembangunan.
143 Jenis penanganan pembangunan disesuaikan dengan karakteristik tenaga kerja dan masyarakat setempat yang didukung dengan potensi sektor unggulan yang tersedia di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Sesuai hasil analisis MPE di masingmasing klaster subkawasan, potensi sektor unggulan klaster 1 yaitu pertambangan, klaster 2 perkebunan, dan klaster 3 sektor perikanan. Berdasarkan ketentuan pada pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, bentuk penanganan pembangunan perumahan dan permukiman memiliki dua kategori yaitu bentuk pembangunan baru (PB) dan peningkatan kualitas (PK). Ketentuan tersebut dapat digunakan dalam menentukan bentuk penanganan pembangunan di setiap jenis kegiatan usaha yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan permukiman masingmasing tenaga kerja atau masyarakat yang bersangkutan. Bentuk penanganan pembangunan permukiman sektor unggulan pertambangan yaitu pembangunan baru (PB) dan peningkatan kualitas (PK), sektor unggulan perkebunan yaitu pembangunan
baru
(PB),
sedangkan
sektor
unggulan
perikanan
yaitu
pembangunan baru (PB) dan peningkatan kualitas (PK). Dalam pelaksanaan pembangunan permukiman akan mengubah bentang alam di lokasi tersebut. Dalam hal ini, ekosistem di kawasan tersebut dibuat menjadi ekosistem nonalami yang dapat mengubah total ekosistem alami. Berdasarkan hal tersebut, kajian terhadap lingkungan harus dilakukan secara seksama. Dalam hal ini pelaku harus membuat AMDAL sebagai kriteria pembangunan permukiman yang dilakukan agar tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dengan kata lain, kelestarian lingkungan akan tetap terjaga dengan baik walaupun di lokasi tersebut dilakukan pembangunan kawasan permukiman. Adapun salah satu hal yang dapat dilakukan dalam melakukan kajian terhadap kelayakan dari segi lingkungan yakni melakukan analisis terhadap dampak lingkungan (AMDAL) di lokasi yang akan dibangun. AMDAL menjadi semakin penting apabila suatu wilayah berhadapan atau di dalamnya terdapat ekosistem fragile di wilayah pesisir seperti ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove, dan ekosistem karang. Adanya AMDAL yang dilakukan secara serius akan dapat menyelesaikan berbagai
masalah
seperti
masalah
ekologi.
Terjaganya
ekologi
akan
tetapmemungkinkan lestarinya lingkungan, sehingga dapat diharapkan kualitas
144 udara, tanah & air yang baik. Selain itu, ekosistem yang fragile sekalipun seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang akan terpelihara dengan baik karena berbagai hal yang dapat diminimalkan, sehingga ekosistem tersebut tidak terganggu walau di sekitarnya dibangun kawasan permukiman. AMDAL juga akan menjaga aspek sosial terpelihara dengan baik mengingat dalam AMDAL akan ada petunjuk untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial, melunturnya budaya, dan berbagai aspek sosial lainnya yang mungkin dapat luntur akibat terjadinya pembangunan kawasan permukiman. Dalam penanganan pembangunan permukiman tetap memperhatikan kriteria AMDAL
kegiatan
pembangunan
permukiman
terpadu
yaitu
dengan
mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada, penggunaan energi yang minimal, pengendalian limbah dan pencemaran, menjaga kelanjutan sistem sosialbudaya lokal, dan peningkatan pemahaman konsep lingkungan (Kepmen KLH 2000). Terkait dengan penanganan pembangunan kawasan permukiman terpadu dengan lingkungan khususnya bagi permukiman di pesisir dan nelayan, Kabupaten Nunukan yang mempunyai wilayah pesisir yang luas dan pulau-pulau kecil terluar yang strategis, harus memperhatikan dan menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem hutan mangrove dalam pelaksanaannya. Wilayah pesisir Kabupaten Nunukan pada umumnya berpotensi untuk pengembangan permukiman baik nelayan maupun permukiman lainnya, karena jauh dari ancaman bencana tsunami. Namun demikian adanya potensi pengembangan permukiman di wilayah pesisir tersebut dapat mengancam keberadaan hutan mangrove yang selama ini masih terjaga kelestariannya dengan baik. Kondisi tersebut perlu dijaga tanpa menghambat kebijakan pemda dalam pengembangan permukiman di wilayah pesisir dalam hal ini pembangunan permukiman tersebut hendaknya diterapkan persyaratan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku seperti, perlindungan pantai dengan mangrove yang ketebalan hutannya tetap dijaga tidak kurang dari 50 - 1000 meter, sesuai kondisi hidro-oseanografi di wilayah tersebut. Ketebalan hutan yang difungsikan sebagai lapisan penyangga (buffer zone) menurut RTRW Kabupaten Nunukan (2005) adalah 130 kali tinggi pasang surut. Hutan mangrove yang baik akan dapat
145 menjaga permukiman di wilayah pesisir karena berperan sebagai perangkat analisis mitigasi alami dalam menjaga keberlanjutan, hal ini disebabkan oleh: a. Penanganan abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain dan mangrove dapat memberi dampak ikutan yang menguntungkan kualitas perairan di sekitarnya. b. Mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut. Dengan demikian, persediaan sumber air baku untuk air minum masyarakat penghuni permukiman pesisir tetap terjaga kualitasnya. c. Secara estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya, selain berfungsi sebagai ekosistem pesisir juga mempunyai vegitasi yang beragam dengan panorama indah dan hijau. d. Bangunan laut dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain, sebaliknya hutan mangrove menahan erosi. e. Kawasan pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina (silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan sehingga biota laut di sekitarnya dapat tumbuh dengan baik. f. Mangrove dapat menetralisasi lahan yang telah tercemar oleh logam berat sehingga pemanfatan lahan di wilayah pesisir baik untuk permukiman dan kegiatan bangunan lainnya tidak meluas dan efisien. Pembangunan kawasan permukiman juga harus dapat menjaga kelestarian lingkungan sehingga sumber daya alam tetap lestari, ekosistem tetap dalam kondisi prima sehingga dapat menjamin masyarakat yang hidup di dalamnya lebih sejahtera karena selalu mendapat hasil tangkapan dalam jumlah banyak. Salah satu aspek lingkungan yang harus diperhatikan dalam pembangunan kawasan permukiman yaitu harus dimulai dari sebelum pembangunan dilakukan (persiapan pembangunan),
pada
pascapembangunan
saat
pelaksanaan
permukiman
hingga
pembangunan dihuni
permukiman,
masyarakat.
dan
Upaya
mempertahankan ekosistem hutan mangrove pada masyarakat yang sudah menghuni di kawasan permukiman dilakukan melalui pendekatan sistem sosialbudaya lokal. Hal bertujuan agar masyarakat mampu berpartisipasi dalam
146 pengendalian limbah dan pencemaran sehingga pemahaman masyarakat terhadap konsep lingkungan terus meningkat. Peningkatan pemahaman masyarakat penghuni terhadap konsep keberlanjutan lingkungan dapat mendorong usaha perbaikan kerusakan hutan mangrove yang dilakukan melalui kegiatan penanaman kembali. Masyarakat bersama pemda melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di pesisir wilayah Kabupaten Nunukan. Adapun bentuk penanganan pembangunan permukiman di masingmasing klaster sesuai dengan potensi SDA pendukung pengembangan permukiman berkelanjutan dapat dilihat pada gambar 49.
2
3
1
n
1
Kluster 1 : Pembangunan Baru & Peningkatan Kualitas
2
Kluster 2 : Pembangunan Baru
3
Kluster 3 : Pembangunan Baru & Peningkatan Kualitas
Gambar 49. Bentuk penanganan pembangunan permukiman 4.5.1.2 Desain Strategi Pengembangan Pembiayaan Strategi pengembangan pembiayaan dalam percepatan pembangunan di wilayah perbatasan sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan peran pemerintah terutama pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Selama ini pemerintah membuat dan menerima alokasi dana yang belum memadai untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman di wilayah perbatasan. Peran pemerintah
147 yang besar dapat mengintervensi lembaga keuangan dengan mengeluarkan kebijakan penganggaran
untuk memudahkan biaya pembangunan rumah dan
melindungi hak masyarakat di wilayah perbatasan. Pemerintah juga menjadi fasilitator untuk penguatan kerja sama dengan stakeholders lainnya dalam mengupayakan pembanguann permukiman dan infrastruktur serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya. Adapun lembaga keuangan berperan dalam mengupayakan kemudahan kredit perumahan dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat yang diawasi oleh lembaga masyarakat lokal. Tujuan peningkatan pendapatan, kesejahteraan masyarakat,
peningkatan pendapatan daerah dan
negara di wilayah perbatasan dapat tercapai melalui pengembangan pembiayaan. Faktor-faktor
yang
mengindikasikan
tolok
ukur
keberhasilan
dalam
pengembangan pembiayaan yaitu penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan wilayah perbatasan dengan cara pembangunan infrastruktur serta prasarana dan sarana dalam jangka waktu yang sama. Pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan yang dilakukan yaitu pengelolaan yang menyeluruh dan terpadu dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan, lingkungan, serta kesejahteraan secara seimbang. Dukungan dalam pencapaian pengembangan
pembiayaan pun dilakukan bersama-sama dengan kegiatan
peningkatan kerja sama pembangunan antarnegara, antarpemerintah, dan antarstakeholders di wilayah perbatasan. 4.5.1.3 Desain Strategi Pengembangan Kelembagaan Secara umum, pengembangan kawasan permukiman perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerja sama yang efektif dari pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dan strategi dari tingkat makro sampai tingkat mikro yang disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Sedangkan, jangkauan pelaksanaannya bersifat strategik sampai dengan operasional baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Desain strategi pengembangan kelembagaan yang berlaku bagi seluruh wilayah perbatasan baik darat maupun laut, perlu dijabarkan dalam suatu strategi.
148 Kebijakan di atas perlu dilaksanakan melalui upaya-upaya: a. Penyelarasan kegiatan-kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui anggaran pembangunan sektoral dan daerah yang diarahkan bagi pengembangan kawasan pertumbuhan baru, dan pengembangan wilayah secara terpadu di perbatasan. b. Keberpihakan dan perhatian yang lebih besar dari sektor-sektor terkait di pusat terhadap kawasan permukiman perbatasan. c. Penguatan dan pembentukan lembaga pengembangan kawasan permukiman perbatasan yang bertugas untuk menyusun kebijakan dan pengkoordinasian berbagai kegiatan terkait di tingkat pusat dan daerah. d. Pemberian dukungan dan fasilitas pengembangan kawasan permukiman perbatasan oleh instansi pusat dan pihak swasta dalam maupun luar negeri. e. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam kegiatan pengembangan kawasan permukiman perbatasan termaktub dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan permukiman perbatasan sejauh mungkin perlu dikelola oleh pemerintah daerah. Namun, kondisi kelembagaan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat di beberapa wilayah perbatasan masih
perlu
ditingkatkan.
Program
peningkatan
dan
pengembangan
kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk lembaga adat, akan sangat membantu dalam proses pengembangan yang partisipatif. f. Sinkronisasi kewenangan pengelolaan dan peraturan perundangan-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah perlu diiringi dengan sinkronisasi antara kewenangan dan peraturan-peraturan yang dibuat, baik antara instansi terkait maupun antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini untuk menghindari terjadinya
tumpang
tindih
kewenangan
pengelolaan
maupun
adanya
ketidaksinkronan peraturan yang ada. Selain itu diperlukan adanya basis data (database) mengenai wilayah perbatasan yang dapat menjadi referensi bersama. Upaya ini dilakukan untuk memudahkan terjadinya pertukaran informasi antarinstansi terkait sehingga meningkatkan koordinasi serta menciptakan kesepahaman yang sama dalam pengelolaan kawasan permukiman perbatasan.
149 Strategi pengembangan kelembagaan ditujukan pada masyarakat agar memperoleh posisi kemandirian (bargaining) dari posisi tawar sebelumnya sebagai objek pembangunan. Dalam pengembangan kelembagaan kemandirian masyarakat tidak akan terlaksana bila tidak didukung, dilindungi, serta tidak adanya kerja sama dari stakeholders lainnya. Pemerintah sebagai penyelenggara menekakan untuk lebih mengedepankan kualitas pelayanan publik serta kontinuitas penegakkan hukum dan peraturan untuk menghidupkan aktivitas ekonomi masyarakat di negeri sendiri. Pemerintah juga berperan untuk meneruskan kebijakan tersebut pada penyelenggara setempat yaitu pemerintah provinsi, badan kerja sama antarnegara, dan pemerintah kabupaten untuk diaplikasikan dan dilaksanakan di wilayah perbatasan. Pemerintah memfasilitasi peningkatan aktivitas perekonomian di wilayah perbatasan dengan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan mayarakat di wilayah perbatasan dibutuhkan agar masyarakat dapat mandiri sesuai potensi sektor unggulan pada setiap klaster dan membentuk kelompok-kelompok tani menuju kelompok-kelompok usaha. Kelompokkelompok usaha ini memiliki posisi yang lebih kuat karena adanya kerja sama antaranggota sesuai kapasitas dan bermitra dengan pihak lain dalam mengupayakan keuntungan usaha. Hal ini dapat berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan terbukanya peluang-peluang usaha yang dibantu dalam memperoleh modal/kredit usaha dan dari lembaga-lembaga keuangan. Pemerintah pun memfasilitasi upaya peningkatan kelembagaan masyarakat dengan mendatangkan pakar untuk memberikan pelatihan maupun penyuluhan sehingga tolok ukur keberhasilan pembangunan dari peningkatan kesejahteraan masyarakat pun tercapai. Peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan dapat mendorong peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan yang terkait dengan pengembangan kawasan permukiman, khususnya penguatan dan pembentukan lembaga-lembaga yang ada agar program kegiatan penyuluhan dan pelatihan keterampilan dapat berjalan dengan lancar dan baik.
150 4.5.1.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Perilaku strategi ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai faktor yang dikaji yang diakibatkan adanya perbedaan kombinasi faktor penting di wilayah perbatasan. Oleh karena itu, ditetapkan dua skenario pengembangan yang dapat dibangun dalam kebijakan sebagai berikut: a. Skenario I Skenario pertama
dibangun atas dasar kondisi dan permasalahan saat ini
(existing condition) dari kawasan permukiman yang ada di wilayah perbatasan negara. Skenario ini mengandung pengertian bahwa skenario yang dirumuskan perlu
dilaksanakan
berdasarkan
konsep
walaupun
mengandung
usaha
pengembangan dan pengelolaan. Akan tetapi, tidak mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan sehingga tidak memiliki prospek kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yang berpandangan jauh ke depan. Pada skenario pertama para pelaku pembangunan (stakeholder) dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara beranggapan bahwa faktor-faktor yang dikaji merupakan faktor yang potensial untuk meminimalisasi permasalahan pengembangan wilayah perbatasan di masa yang akan datang. Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan kawasan yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional (7A); rendahnya kesejahteraan masyarakat (4A); kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1A); terbatasnya fasos dan fasum (15A); kurangnya infrastruktur kawasan dan permukiman (14A); kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga (6A). Penerapan skenario pertama ini akan memberikan implikasi berupa (1) Meningkatnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan (3) Kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan berkurang. Kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini direkomendasikan upaya yang dapat mendorong percepatan pengembangan kawasan permukiman berbasis potensi sektor unggulan wilayah seperti hal-hal berikut:
151 1.
Pembuatan klaster permukiman berbasis potensi sektor unggulan wilayah berikut akses menuju dan keluar wilayah klaster
2.
Kemudahan akses informasi dan pasar
3.
Pembuatan informasi terpadu
4.
Promosi berkala untuk hasil-hasil sektor unggulan wilayah
5.
Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan usaha yang berbasis potensi masyarakat dan kearifan lokal
6.
Penguatan kerja sama antara pemda, swasta/investor, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan dalam peningkatan keterampilan masyarakat
7.
Pembukaan lapangan pekerjaan padat karya di wilayah perbatasan negara
8.
Pembuatan pemetaan penggunaan lahan untuk perencanaan dan penataan kawasan permukiman yang disepakati oleh semua stakeholder yang terkait termasuk masyarakat pengguna dan dapat diakses oleh stakeholder yang terkait
9.
Pembangunan terpadu infrastruktur dengan kawasan permukiman beserta pusat-pusat kegiatan di sepanjang perbatasan
10. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan 11. Pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan wilayah sebagai showroom yang dapat diakses secara mudah 12. Pembangunan fasos dan fasum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara bertahap 13. Pemeliharaan fasos dan fasum oleh pemda dengan melibatkan masyarakat sebagai pengguna dengan pemberian reward pada daerah dengan fasos dan fasum yang terpelihara baik Skenario pertama yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi pengembangan pembiayaan yaitu terbatasnya alokasi dana khusus (DAK) untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23A); kurangnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan permukiman (17A); pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal
(24A).
Untuk
mendukung
kebijakan
pengembangan
kawasan
permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini, maka
152 pada komponen pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1.
Kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan
2.
Menerapkan subsidi silang pada kegiatan usaha bersama masyarakat
3.
Kemudahan kepemilikan rumah bekerja sama dengan lembaga keuangan dengan biaya terjangkau
4.
Pembuatan kebijakan penganggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan wilayah perbatasan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang dievaluasi penggunaannya. Skenario pertama dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan
kondisi komponen pengembangan kelembagaan yaitu; terbatasnya pelayanan publik (16A); penegakan hukum dan peraturan masih lemah (20A); aktivitas sosial ekonomi masyarakat rendah (5A). Dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini maka pada pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1.
Pembuatan dan penguatan kerja sama dan kelompok usaha bersama di wilayah perbatasan
2.
Pengawasan dan penegakkan hukum terkait kegiatan di wilayah perbatasan negara
3.
Pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat yang diprakarsai pemda bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk kebutuhan tenaga kerja industri
4.
Pembuatan lembaga inti-plasma kegiatan usaha sektor unggulan dengan kelompok usaha yang dibina oleh pemda dan swasta/investor
5.
Kemudahan birokrasi pembuatan sertifikasi legalitas lahan usaha dan permukiman.
6.
Evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait wilayah perbatasan.
153 b. Skenario II Skenario kedua mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dapat dipertimbangkan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Rekomendasi kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara dapat seimbang antara lingkungan, sosial, dan ekonomi dari masyarakat. Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi komponen pengembangan kawasan yaitu; meningkatnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional (7C); kesejahteraan masyarakat relatif tetap (4B); menurunnya kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan di wilayah perbatasan (1C); meningkatnya pembangunan fasos dan fasum (15C); meningkatnya pembangunan infrastruktur kawasan dan permukiman; kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga (6C). Kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini dalam pengembangan kawasan maka harus didukung dengan rekomendasi berikut ini: 1.
Pembuatan informasi terpadu
2.
Promosi berkala untuk hasil-hasil sektor unggulan wilayah
3.
Pembangunan terpadu infrastruktur dengan kawasan permukiman
4.
Penguatan kerjasama antara pemda, pengusaha/investor, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan dalam peningkatan keterampilan masyarakat
5.
Pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan daerah sebagai showroom yang dapat diakses secara mudah
6.
Pemeliharaan fasos dan fasum oleh pemda dengan melibatkan masyarakat dengan pemberian reward pada daerah apabila kondisi fasos dan fasum yang terpelihara secara baik Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan
kondisi komponen pengembangan pembiayaan yaitu; meningkatnya alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman perbatasan (23C); peningkatan dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur dan permukiman tetap (17B); optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan dana
154 pembangunan tetap (24B). Dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini maka untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1. Kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan 2. Evaluasi penganggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan wilayah perbatasan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang Skenario kedua yang dibangun berdasarkan keadaan dari faktor kunci dengan kondisi komponen pengembangan kelembagaan yaitu; pelayanan publik tetap (16B); penegakkan hukum dan peraturan meningkat (20C); aktivitas sosialekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga berkurang (5C). Untuk mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara pada skenario ini, maka pada pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: 1. Pengawasan dan penegakan hukum terkait kegiatan di wilayah perbatasan 2. Evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait pengembangan wilayah perbatasan 3. Pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat yang diprakarsai pemda bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk kebutuhan pengembangan tenaga kerja industri sektor unggulan wilayah (pertambangan, perkebunan, dan perikanan) 4.5.2 Rekomendasi
Kebijakan
Pengembangan
Kawasan
Permukiman
Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara diperlukan kaitannya dengan adanya hak dan kewajiban dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Selain itu, setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam pembangunan permukiman. Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut serta dalam pembangunan
155 permukiman.
Keterpaduan
pengembangan
kawasan
permukiman
dapat
terselenggara jika memenuhi 3 indikator, yaitu: 1.
Terwujudnya koordinasi/kerja sama antar-stakeholders dalam setiap tahapan penyelenggaraan pengembangan permukiman berikut prasarana dan sarana secara terpadu dalam suatu kelembagaan
2.
Terwujudnya kawasan permukiman layak huni secara terpadu dan berkelanjutan
3.
Berlangsung proses investasi dan pembiayaan pengembangan kawasan permukiman secara terpadu dan berkelanjutan berbasis potensi SDA wilayah Dalam pembangunan permukiman, peran serta masyarakat baik sebagai
individu maupun komunitas wajib dilakukan. Hal ini bertujuan agar hak setiap warga untuk mendapatkan rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur bisa terpenuhi dengan upaya dilakukan oleh masyarakat dibantu oleh stakeholders. Dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, direkomendasikan upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mendorong percepatan pertumbuhan wilayah melalui seperti hal-hal sebagai berikut: 1.
Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan dan pembinaan dalam bidang permukiman secara terpadu dan berkelanjutan dilaksanakan oleh stakeholders terkait
2.
Mendorong terciptanya pengembangan klaster-klaster kawasan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan negara
3.
Mendorong terciptanya peraturan dan perundang-undangan di bidang permukiman perbatasan berbasis potensi SDA wilayah
4.
Penguatan dan pembentukan lembaga kerjasama pembangunan di wilayah perbatasan negara
5.
Menyusun norma, standar, panduan, manual (NSPM) bidang permukiman yang berbasis pemberdayaan masyarakat, kearifan lokal, dan lingkungan
6.
Meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan
156 7.
Meningkatkan kapasitas SDM dan pelaku pembangunan permukiman berbasis kawasan
8.
Mendorong berkembangnya inovasi, teknologi, dan investasi pembangunan kawasan permukiman perbatasan
9.
Mendorong pelaksanaan penataan ruang kawasan permukiman berbasis potensi SDA wilayah prospektif dan partisipatif
10. Mendorong peran serta swasta/masyarakat dalam pembangunan dan perbaikan rumah dalam rangka pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni dan terjangkau 11. Mengembangkan kredit mikro perumahan bagi pembangunan dan perbaikan rumah dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau 12. Meningkatkan penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) kawasan permukiman perbatasan Sedangkan, dalam pengembangan sektor unggulan kawasan Kabupaten Nunukan dari hasil dan pembahasan yaitu sektor pertambangan, sektor perkebunan,
dan
sektor
perikanan
dalam
pengembangannya
diperlukan
persyaratan-persyaratan yang dapat mendukung keberlanjutan suatu kegiatan baik dalam pemanfatan ruang dan lahan adalah sebagai berikut: Sektor Pertambangan: 1. Toleransi ekploitasi kegiatan pertambangan tidak lebih dari 60% luas kawasan potensial pengembangan sektor pertambangan. 2. Ekploitasi kegiatan pertambangan dengan menggunakan sistem 3 fit (3 lubang penambangan secara bersamaan). 3. Reklamasi dilakukan secara kontinyu untuk mengembalikan unsur hara tanah agar memudahkan dalam pemulihan fungsi kawasan melalui reboisasi atau dimanfatkan
untuk
pengembangan
fungsi
lain
seperti
perkebunan,
permukiman, dan penghijauan. 4. Pengembangan teknologi ekploitasi dari penggalian ke sistem pengeboran menyamping sehingga dapat meminimalkan sisa lubang-lubang galian yang
157 dapat merusak dan mendorong terjadinya degradasi lahan secara luas dalam waktu yang lama. 5. Pengembangan sektor pertambangan harus berorientasi pada manfaat ekonomi (economic benefit) melalui manajemen pengelolaan dengan komposisi perbandingan sharing 70% untuk perusahaan (investor) dan 30% dialokasikan untuk biaya rehabilitasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Sektor Perkebunan: 1. Pengembangan
sektor
perkebunan
dilakukan
dengan
pendekatan
pengembangan perkebunan inti rakyat (PIR), inti-plasma, perusahaan negara (PTPN), dan swasta. 2. Pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan dalam hal peilihan benih, penanaman benih, pemeliharaan, panen, dan kegiatan pascapanen. 3. Komoditas sektor perkebunan yang akan dikembangkan selain berdasarkan potensi sektor unggulan kawasan juga memperhatikan kecenderungan pasar regionalnya dan animo masyarakat agar prospek pengembangannya dapat berkelanjutan. Sektor Perikanan: 1. Pengembangan sektor perikanan dengan memanfaatkan sumber daya laut sesuai dengan kemampuan daya dukung perairan (fishing ground) baik dari ketersediaan sumber daya (tidak over fishing) maupun kemampuan dalam menghindari penggunaan bahan pencemar 2. Pemanfaatan sumber daya laut dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan pengembangan kemampuan dalam pemanfaatan teknologi baru bidang perikanan 3. Mengembangkan sektor perikanan secara optimal dengan mengupayakan pelestarian ekosistem lingkungan pesisir, pantai, dan laut yang terjaga agar keberlanjutan kawasan dapat terwujud.
V PEMBAHASAN UMUM
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), maka program pengembangan wilayahnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan bahwa
KSN
perbatasan
negara,
kegiatan
penataan
ruang
wilayahnya
diprioritaskan dan didorong percepatan pertumbuhan ekonominya melalui pembangunan di berbagai sektor. Salah satu sektor yang harus dikembangkan untuk terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan nrgara yaitu sektor permukiman. . Hal ini bertujuan agar kawasan permukiman yang dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan negara dapat segera terwujud. Sektor permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang mempunyai peran strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 28 h ayat 1, dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, pengembangan permukiman di wilayah perbatasan diamanatkan sebagai pengembangan permukiman khusus. Pengembangan permukiman khusus menjadi salah satu program pembangunan di wilayah perbatasan yang diprioritaskan pemerintah pusat dalam upaya pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam yang tersedia. Masih terbatasnya infrastruktur dan kurang berkembangnya kawasan permukiman di wilayah perbatasan, baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun pedesaan, menyebabkan aktivitas sosial dan ekonomi banyak berorientasi ke negara tetangga. Kondisi tersebut selain menyebabkan ketergantungan pada negara tetangga, juga berkaitan dengan keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan terhadap identitas nasional.
159 Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan tertata di wilayah perbatasan, perlu dipahami terlebih dahulu profil, karakteristik, dan kebutuhan pengembangannya. Hal ini bertujuan agar diketahui arah dan kecenderungan pengembangan kawasan permukiman yang meliputi aspek-aspek (1) keselarasan antara kawasan budi daya dengan kawasan lindung, (2) keterkaitan antara pusat pertumbuhan baru dengan pusat kegiatan (kota), dan (3) penguatan pola interaksi orientasi ekonomi yang berbasis potensi sumber daya alam wilayah. Pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara memerlukan suatu kebijakan pengembangan di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan, dan kawasan yang terinci di wilayah perbatasan negara.
5.1 Kondisi dan Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Kondisi permukiman di wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan pada umumnya tidak tertata, terpencar, nomaden, dan kumuh. Hal tersebut terjadi karena permukiman di wilayah perbatasan negara tidak dikelola dan dikembangkan dengan baik dan terpadu. Pengembangan kawasan permukiman perbatasan yang baik dan terpadu di masa yang akan datang memerlukan suatu kebijakan yang operasional sebagai acuan bagi stakeholders terkait di pusat dan daerah. Kebijakan pengembangan kawasan permukiman perbatasan yang dimaksud yaitu kebijakan yang berbasis pada potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan menjaga kelestarian ekosistem wilayah agar kawasan permukiman yang dikembangkan dapat berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui pendekatan pembentukan klaster-klaster kawasan permukiman yang dapat dijadikan pusatpusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan. Pengembangan tersebut akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan secara seimbang sehingga wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara (show window) dapat semakin baik, tertata, tertib, maju, dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), potensi SDA sektor unggulan wilayah di klaster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) yaitu sektor pertambangan, klaster II (Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat) sektor perkebunan, dan klaster III (Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik) sektor perikanan. Potensi sektor unggulan di setiap klaster
160 menjadi pendukung pengembangan kawasan permukiman perbatasan untuk dapat terus tumbuh, berkembang, dan berkelanjutan.
5.2 Faktor Penting dan Komponen Dominan dalam Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Hasil analisis ISM menggambarkan pendapat para pakar bahwa elemen masalah dalam pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara diawali dari kurangnya kesadaran masyarakat terhadap identitas nasional dan terbatasnya Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pengembangan kawasan permukiman perbatasan. Selain itu, masalah lain adalah (1) terbatasnya dana untuk pengembangan infrastruktur, (2) terbatasnya fasos dan fasum, (3) kesenjangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan, (4) kecenderungan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga, (5) kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga, (6) minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman, (7) terbatasnya berbagai pelayanan publik dan penegakan hukum, (8) pemanfaatan dan pengelolaan dana pembangunan belum optimal, (9) masih dianggapnya wilayah perbatasan sebagai pintu belakang negara, serta (10) belum tersedianya kebijakan dan pedoman pengembangan permukiman di wilayah perbatasan. Kunci permasalahan tersebut yang menjadi faktor penentu prioritas penanganan
yang
sangat
menentukan
bagi
berhasil
tidaknya
program
pengembangan permukiman di wilayah perbatasan, khususnya di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimatan Timur. Peningkatan kerja sama pembangunan antarnegara, pemerintahan, dan stakeholders di wilayah perbatasan merupakan pengubah independent. Setiap tindakan untuk meningkatkan peranan aspek tersebut akan mendorong keberhasilan program pembangunan dalam pengembangan kawasan permukiman perbatasan negara menuju kondisi yang lebih baik. Adapun lemahnya perhatian terhadap aspek-aspek tersebut akan menyebabkan ketidakberhasilan program pembangunan Wilayah. Berdasarkan hasil analisis AHP, faktor (level 2) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama. Stakeholder (level 3) menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah
161 mempunyai peran utama. Tujuan (level 4) menunjukkan bahwa pengembangan dan penataan kawasan serta peningkatan kesejahteraan mendapat prioritas utama. Sasaran (level 5) menunjukkan bahwa strategi pengembangan kawasan menjadi prioritas utama. 5.3
Prioritas, Arahan Kebijakan, dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan Dalam mendukung pelaksanaan kebijakan, ada beberapa hal yang
direkomendasikan untuk pengembangan kawasan permukiman perbatasan, yaitu (1) pembuatan klaster-klaster permukiman berbasis potensi sektor unggulan wilayah berikut akses-aksesnya, (2) adanya kemudahan akses informasi dan pasar, (3) pembuatan informasi terpadu, (4) promosi berkala untuk hasil-hasil sektor unggulan wilayah, (5) peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan usaha-usaha yang berbasis potensi masyarakat dan kearifan lokal, (6) adanya penguatan kerja sama antar-stakeholder, (7) pembukaan lapangan pekerjaan di wilayah perbatasan, (8) pembuatan peta penggunaan lahan, (9) pembangunan terpadu infrastruktur dan permukiman, (10) pembangunan terminal berbasis potensi sektor unggulan wilayah, dan (11) pembangunan fasum dan fasos kawasan permukiman. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan beberapa hal, yaitu (1) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan, (2) peningkatan sumber Dana Alokasi Khusus (DAK), (3) penerapan subsidi silang pada kegiatan usaha bersama, dan (4) kemudahan kepemilikan rumah dengan biaya terjangkau. Adapun untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan beberapa hal, yaitu (1) pembuatan dan penguatan kelompok-kelompok usaha bersama, (2) pengawasan dan penegakkan hukum, (3) pelatihan dan penyuluhan masyarakat oleh pemda bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk kebutuhan tenaga kerja industri sektor unggulan, (4) kemudahan birokrasi pembuatan sertifikasi legalitas lahan, dan (5) evaluasi serta pembuatan kebijakan terkait. Integrasi hasil analisis MPE, ISM, dan AHP disarankan ada dalam penyusunan
kebijakan
dan
strategi
serta
diprioritaskan
dalam
upaya
pengembangan kawasan. Prioritas selanjutnya yaitu pengembangan pembiayaan, sedangkan
prioritas
terakhir
yaitu
pengembangan
kelembagaan.
Dalam
162 pelaksanaan kebijakan dan strategi terdapat sembilan rekomendasi yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut: 1.
Meningkatkan
peran
pemerintah
melalui
fasilitas
penyelenggaraan
pembinaan dan pengembangan kawasan permukiman perbatasan pada semua stakeholders. 2.
Mendorong penguatan dan pembuatan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan bidang permukiman berbasis lingkungan serta potensi SDA di wilayah perbatasan.
3.
Mendorong terwujudnya peningkatan dana alokasi khusus (DAK) dan dana pembiayaan investasi untuk pengembangan permukiman dan infrastruktur di wilayah perbatasan.
4.
Mengembangkan klaster-klaster kawasan permukiman perbatasan berbasis potensi SDA wilayah dan masyarakat.
5.
Mengembangkan peningkatan kualitas lingkungan dalam pembangunan permukiman melalui penataan ruang kawasan berbasis masyarakat dan kearifan lokal di wilayah perbatasan.
6.
Meningkatkan
stimulasi
pembangunan
kawasan
permukiman
dan
infrastruktur di wilayah perbatasan. 7.
Mendorong peran dan partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan serta perbaikan rumah untuk pemenuhan kebutuhan rumah layak huni.
8.
Mengembangkan kredit mikro perumahan untuk pembangunan dan perbaikan rumah dalam pemenuhan kebutuhan rumah layak huni.
9.
Meningkatkan penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) permukiman di wilayah perbatasan.
Dalam mengimplementasikan kebijakan, diperlukan program-program yang strategis seperti model dan pedoman pengembangan serta penataan kawasan permukiman yang berbasis potensi SDA wilayah, kriteria lokasi, perencanaan, pengembangan pola investasi, dan program pengembangan berbagai sektor pembangunan sebagai alat pembinaan pemerintah pusat dan provinsi kepada pemerintah Kabupaten Nunukan.
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Kondisi permukiman perbatasan negara di Kabupaten Nunukan cenderung tidak tertata, terpencar, nomaden, kumuh, tidak dikelola dengan baik, dan tidak berkelanjutan.
2.
Setiap klaster subkawasan memiliki sektor unggulan yang potensial untuk mendukung pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Adapun potensi klaster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) yaitu sektor pertambangan, di klaster II (Kecamatan Lumbis, Sebatik Barat, dan Sebuku) sektor perkebunan, dan di klaster III (Kecamatan Nunukan dan Sebatik) sektor perikanan.
3.
Faktor penting strukturisasi kondisi permasalahan permukiman di wilayah perbatasan negara dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Selain itu, dapat juga dijadikan acuan pembangunan bagi stakeholder terkait.
4.
Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan dilakukan dengan pengembangan
berbasis
potensi
SDA
sektor
unggulan
wilayah.
Pengembangannya diikuti dengan peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam usaha-usaha yang berbasis potensi masyarakat dan kearifan lokal. Selain itu, dilakukan peningkatan pengembangan pembiayaan dengan dana alokasi khusus (DAK) yang bersumber dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga mendorong iklim investasi yang dapat menarik sumber dana swasta. Pengembangan kelembagaan dilakukan melalui penguatan lembaga yang ada dan pembentukan lembaga kerja sama untuk pengembangan wilayah perbatasan.
164
6.2 Saran Keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara hendaknya tetap dipertahankan melalui hal-hal sebagai berikut: 1.
Pengembangan dan penataan kawasan permukiman perlu dibuat model pedoman yang mencakup kriteria lokasi dan rencana program sektoral sebagai alat pembinaan penataan serta pengembangan kepada pemerintah daerah dan pelaku pembangunan lainnya.
2.
Perlu menyiapkan kajian-kajian awal dan prastudi kelayakan sebagai acuan investasi dalam pembangunan permukiman, infrastruktur, prasarana, dan sarana lingkungan yang sifatnya jangka menengah serta panjang untuk mendorong percepatan pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan sebagai kawasan strategis nasional (KSN).
3.
Melakukan pembinaan teknis penyelenggaraan pembangunan permukiman perbatasan, seperti sosialisasi dan penyuluhan berbasis informasi program strategis pada momen hari besar nasional.
4.
Penelitian lanjutan tentang (1) model perencanaan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara berbasis potensi sumber data alam (SDA) wilayah (pertambangan/perkebunan/perikanan/sektor lainnya), (2) model perencanan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara berbasis potensi agroindustri/agropolitan, (3) model perencanaan kota baru berkelanjutan di wilayah perbatasan negara (border city), dan (4) kajian pengembangan
pembiayaan/kelembagaan
berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.
pembangunan
permukiman
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah E. 2004. Berpikir Sistemik untuk Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis, dan Ekonomi. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Attwater R, Booth S, Guthrie A. 2005. The Role of Contestable Concepts in Transdisciplinary Management of Water in the Landscape. Systems Research and Behavioral Science 22(3):185-192. Avin U, Bayer M. 2006. Right – Sizing Urban Growth Bounderies and Integration Effects in Border Regions – A Survey Of Economic The One And Empirical Studies, Journal planning, architecture and engineering. Volume 1: Hal. 3. Columbia Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2003. Model dan Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan Kabupaten Nunukan, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Jakarta : BPPT Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Nunukan. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Nunukan Bauder H. 2003. Equality, Justice and the Problem of International Borders: The Case Of Canadian Immigration Regulation. Canada : University of Guelph. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Nunukan Dalam Angka 2007. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Nunukan Dalam Angka 2008. Jakarta Brakman S, Garretsen, Schramm. 2006. The Final Frontier! Border Effects and German Regional Wages. Germany : Hamburg Institute of International Economics. Cadenasso, Pickett S.T.A. 2003. A Framework for a Theory of Ecological Boundaries. BioScience Journal. Volume : 53, Hal. : 1. New York : American Institute of Biological Sciences. Canales A. 1999. Industrialization, Urbanization, and Population Growth on the Border, Journal Border Lines. Volume 1: Hal. 4. Mexico
166
Charles A. T. 2001. Sustainable Fisheries Systems, Blackwell Science, UK. Cheng J. 1999. Understanding Urban Growth System: Theories And Methods. Volume 3: Hal. 4. Netherlands Chilton S. M, W.G. Hutchinson. 2002. A Qualitative Examination of How Respondents in A Contingent Valuation Study Rationalize Their WTC Responses to an Increase In The Quantity Of The Environmental Good. Newcastle : Elsevier B.V Cho S. H. 2006. Estimating Effects of an Urban Growth Boundery on Land Development, Journal of Agricultural and Applied Economics. Volume 38: Hal. 1. Washington, USA Collier W, R. Vickerman. 2004. Inter-Regional Capital and Labour Flow Across an International Border: A European Case Study. Canterbury : University of Kent at Canterbury Combes, P.P. M. Lafourcade, T. Mayer. 2002. Can Business and Social Networks Explain the Border Effect Puzzle?, Hamburg : Hamburg Institute of International Economics. Departemen Pekerjaan Umum. 2002. Studi Banding Bidang Penataan Ruang di Malaysia, tentang Kawasan Perbatasan Negara. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta. Djakapermana R. D. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor : IPB Press Eriyatno. 1996. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor : IPB Press. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan. Bogor : IPB Press Gilbreath J. 2002. Financing Environmental dan Infrastructure Needs on the Texas – Mexiko Borders : Will the Mexican – US. Integrated Border Plan Help, The Journal of Environment & Development. Volume 4: Hal. 5. USA
167
Hansen S.O. 1994. Decision Theory, A Brief Introduction. Stockholm: Royal Institute of Technology. Hanson G.H. 1998. Regional Adjustment To Trade Liberalisation. Regional Science and Urban Economics Journal. Volume 28, Hal: 22. Massachussetts. USA. Healey P. 2004. The Treatment of Space and Place in the New Strategic Spatial Planning in Europe. International Journal of Urban and Regional Research Volume : 28 Hal. 45-67. Jackson MC. 2000. Systems Approach to Management. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia. Jakarta Kementerian Negara Perumahan Rakyat. 2007. Pembentukan Kelembagaan Dalam Rangka Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus. Jakarta. Kementerian Negara Perumahan Rakyat. 2007. Rencana Rinci Penataan Kawasan Di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Jakarta. Kirmanto D. 2005. Pembangunan perumahan dan permukiman yang berawawasan lingkungan strategis dalam pencegahan banjir di perkotaan.[serial online] http://www.pu.go.id/Ditjen_mukim/ensiklopedia/perumahan/cegahban jir.html. [30 November 2005]. Jakarta Kuswara. 2004. Penataan Sistem Perumahan dan Permukiman Dalam Rangka Gerakan Nasional Pengembangan Satu Juta Rumah. Jurnal penelitian permukiman. 20: 23-29. Jakarta Laws of Malaysia. 2001. National Land Code (Act 561965) & Regulations (As At 20 Th March 2001) International Law Book Services (ILBS). Malaysia. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi, Pengambilan Keputusan, Kriteria Majemuk, Grasindo, Jakarta.
168
McIntyre-Mill JJ. 2008. Systemic Ethics: Social, Economic and Environmental Implications of Eating Our Yellow Cake in South Australia. Jackson MC. (Editor in-chief). System Research and Behavioral Science 25(2):225-248. [MENKEU] Menteri Keuangan. 2010. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2010 Tentang Indeks Fiskal Dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat Dan Daerah Untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran 2011. Jakarta. [MENLH] Menteri Lingkungan Hidup. 2000. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04/2000 Tentang Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu. Jakarta [MENPERA] Menteri Negara Perumahan Rakyat. 2006. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat RI No. 14/PERMEN/M/2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus. Jakarta [MENSESNEG] Menteri Sekretaris Negara. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Jakarta [MENSESNEG] Menteri Sekretaris Negara. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta. [MENSESNEG] Menteri Sekretaris Negara. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Jakarta [MENSESNEG] Menteri Sekretaris Negara. 2000. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. Jakarta [MENSESNEG] Menteri Sekretaris Negara. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta [MENSESNEG] Menteri Sekretaris Negara. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Jakarta
169
Meppem T, Gill R. 1998. Planning for Sustainability as A Learning Concept. Ecological Economics 26:121-137. Midgley G. 2000. Systemic Intervention: Philosophy, Methodology, and Practice. New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Muhadjir N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The International Bank for Recunstraction and Development. The World Bank. Washington, DC. USA Pearce D, H. Tannis. 1999. Review of Technical Guidance on Environmental Appraisal Department of Environment, Transport and the Regions. A report by EFTEC (Economics for the Environment Consultancy). UK. Partowidagdo W. 2004. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung: Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB. Poteete A. 2002. Social Bases of Political Competition: Ethnicity and Political Consolidation in Botswan. Paper presented at the Annual Meeting of the American Political Science Association, Boston Marriott Copley Place, Sheraton Boston & Hynes Convention Center, Boston, Massachusetts, Agustus 28, 2002. Prozorou S. 2004. Border Region and the Politics of EU-Russian Relation, the role of the Evin Tempering and Producing Border Conflicts. United Kingdom : The University of Birmingham. Rosentraub M. S, Helmke P. 1996. Location Theory, A Growth Coalition, and A Regime In The Development of A Medium-Sized City. Urban Affairs Review. Volume : 31, Hal. : 2. USA. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D. R. 2004. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Konsep Dasar dan Teori. Bogor : Fakultas Pertanian IPB Saaty T. L. 1993. The Analytic Hierarchy Process: Planning, Setting, Resource Allocation. Pittsburg: British Library Cataloguing. USA. Sastra S, Marlina E. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan: Sebuah Konsep Pedoman dan Strategi Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: ANDI.
170
Serageldin I. 1996. Sustainability and the Wealth of Nations : First Steps in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No. 5. The World Bank, Washington, D.C. Soemarwoto O. 1977. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djambatan Wacker, M. Sokolow A.D, Elkins R. 2002. County Right-to-Farm Ordinances in California: An Assessment of Impact and Effectiveness. University of California Agricultural Center Journal. Volume: 15, Hal. : 3. California, USA. Warpani S. 1984. Analisis Kota dan Daerah. Bandung : Penerbit ITB. [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. United Nations World Commission and Environment and Development. Oxford University Press. London. Winarso H, Kombaitan B. 2001. The Large Scale Residential Land Development Process in Indonesia: The Case of Jabotabek. [paper]. World Planning Schools Congress.
173
Lampiran 1. Kebutuhan data MPE, kriteria dan deskripsi 1.
Kebutuhan Data MPE
1
Kesesuaian Lahan
2
Produktivitas
3
Lokasi Strategis
4
Jumlah Tenaga Kerja
5
Nilai Produk
6
Jangkauan Pasar
7
Akses Transportasi
8
Akses Komunikasi
2.
Industri
Pariwisata
Kehutanan
Perikanan
Bobot
Pertanian
Kriteria
Pertambangan
No
Perkebunan
Kluster
Kriteria dan deskripsi
KITERIA Luas Lahan Kesesuaian Lahan Produktivitas Lokasi Strategis Jumlah Produksi Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Unit Usaha Jumlah Investasi Jangkauan Pasar Kelompok Organisasi Akses Transportasi Akses Komunikasi
Deskripsi Jumlah total luasan lahan (ha) yang digunakan per sektor kegiatan
174
Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
KUISIONER Interpretatif Structural Modelling (ISM)
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA
Nama Responden
:
Nomor Responden
:
Kelompok Responden ::
Pewawancara :
2009
175
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara (i) untuk diwawancarai, adapun wawancara ini untuk kepentingan penelitian di wilayah perbatasan negara serta tidak akan mempengaruhi konduite, status maupun kelangsungan pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara (i). Hasil wawancara ini kami rahasiakan untuk kepentingan penelitian. Nomor responden
:
Tanggal
:
Kelompok responden
:
Tempat Wawancara
:
A. Identitas dan Latar Belakang Responden (Masyarakat, LSM, Pemerintah, Para Pakar, Industri) 1. Nama
:
2. Jenis kelamin
: 1. Laki-laki
3. Umur
:
4. Pendidikan terakhir
: 1. Tidak tamat SD
tahun
5. PT/Akademi 5. Agama
:
6. Pekerjaan pokok
:
7. Jabatan
:
8. Alamat
:
2. Perempuan
2. SD 3. SMP 6. Lainnya..............
4. SMU
176
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling--ISM) Teknik
Permodelan
Interpretasi
Struktural
(Interpretatif
Structural
Modelling) digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang.
Analisis ini digunakan sebagai salah satu alat (tool) dalam penelitian
yang dilakukan dengan judul ”KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN
BERKELANJUTAN
DI
WILAYAH
PERBATASAN
NEGARA”. Dengan analisis ingin diketahui faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam peningkatan daya dukung lingkungan, sesuai dengan pendapat dari para pelaku (stakeholder) yang terlibat di dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah perbatasan negara.
Selanjutnya faktor kunci dan tujuan
strategis tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi daya dukung lingkungan, melalui pemodelan dinamika sistem. Oleh karena itu, penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai ahli (expert) mengenai pengembangan wilayah di perbatasan negara. Teknik
Permodelan
Interpretasi
Struktural
(Interpretatif
Structural
Modelling) digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang.
Menurut Marimin (2004), ISM adalah proses pengkajian kelompok
(group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.
Teknis ISM
merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
177
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Tahapan dalam melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu Penyusunan Hirarki dan Klasifikasi subelemen (Eriyatno, 2003). a. Penyusunan Hierarki •
Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen.
•
Menentapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol: ¾ V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j ¾ A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i ¾ X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama ¾ O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j.
178
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
1 lebih penting dari 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
•
12 V
11
10
9
8
6 lebih penting dari 1
7
6 A
5
4
3
2
1
Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM).
SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM)
dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0.
179
Lanjutan Lampiran 2.
Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
PETUNJUK PENGISIAN Kuesioner ini dimaksudkan untuk menstrukturisasi sub elemen-sub elemen pada elemen-elemen yang terkait dengan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, yang saling berkaitan. Elemen-elemen tersebut adalah: permasalahan, kendala utama, tujuan dan tolok ukur keberhasilan program. Strukturisasi dilakukan dengan teknik interpretative structural modelling (ISM). Untuk maksud tersebut, Bapak/Ibu dimohon memberikan pendapat tentang keterkaitan antar sub elemen pada suatu elemen dengan mengisikan simbol V, A, X, O pada sel matriks di bawah. Pendapat dinyatakan dengan simbol V, A, X, atau O dan diisikan pada sel matriks sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: V :
Jika sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-i lebih berperan daripada sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-j
A :
Jika sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-j lebih berperan daripada sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-i
X :
Jika sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-i dan sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-j sama-sama berperan
O :
Jika sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-i dan sub elemen yang terlibat dalam pelaksanaan program ke-j sama-sama tidak berperan
180
Lanjutan Lampiran 2.
Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Bapak/Ibu dimohon memberikan pendapat tentang keterkaitan antar sub elemen kendala pada elemen masalah yang terkait dengan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, dengan mengurutkan dari yang paling berpengaruh hingga tidak terkait sama sekali sebagai berikut: NO
MASALAH
1 Pengelolaan SDA kawasan masih kurang
NO
KENDALA
1. 2.
Kesenjangan pembangunan & kemiskinan antara penduduk asli dengan pendatang Perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut
3.
Pengelolaan SDA belum optimal
4.
Rendahnya kesejahteraan masyarakat
5.
Aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga Kurangnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional Persepsi kawasan perbatasan merupakan pintu belakang negara Pengendalian & pengawasan tata ruang masih lemah
6. 7. 8. 2 Penataan kawasan permukiman belum optimal
9. 10. 11. 12.
14.
Kondisi lingkungan tidak tertata, berpencar, kumuh & tidak dikelola dengan baik Rencana Tata Ruang Wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman
15.
Terbatasnya fasum & fasos
16.
Terbatasnya pelayanan public
17.
Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur
13. 3 Pembangunan infrastruktur
Letak geografis Indonesia di titik silang benua eropaasia, asia-australia & australia- eropa Banyak pemukiman berada di batas wilayah
181
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara NO
MASALAH
NO
KENDALA
Pembangunan infrastruktur
18.
4 Kelembagaan belum mendukung pengembangan permukiman
20.
Perkembangan infrastruktur & permukiman yang tidak terencana Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai ketentuan Penegakan hukum dan peraturan masih lemah
21.
Adanya privatisasi lahan oleh pemerintah & swasta
22.
5 Pembiayaan belum
23.
Ketiadaan pedoman pelaksanaan pembangunan perumahan Belum ada alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan perbatasan Pengawasan pengelolaan dan penggunaan dana belum optimal
19.
24.
Tulis : V = Jika sub elemen vertikal lebih berperan daripada sub elemen horizontal yang terlibat A = Jika sub elemen horizontal lebih berperan daripada sub elemen vertikal yang terlibat X = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama berperan O = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama tidak berperan
182
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Tabel 1. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2
183
Lanjutan Lampiran 2. Kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara 1. Menurut Ibu/Bapak urutan masalah yang paling berpengaruh terhadap pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Tulis : V = Jika sub elemen vertikal lebih berperan daripada sub elemen horizontal yang terlibat A = Jika sub elemen horizontal lebih berperan daripada sub elemen vertikal yang terlibat X = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama berperan O = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat sama sama tidak berperan SKOR
PERMASALAHAN 1. Pengelolaan SDA kawasan masih kurang 2. Penataan kawasan permukiman belum optimal 3. Pembangunan infrastruktur wilayah & permukiman belum sejalan 4. Kelembagaan belum mendukung pengembangan permukiman 5. Pembiayaan belum mendukung pengembangan permukiman
2. Menurut Ibu/Bapak urutan kendala yang paling berpengaruh terhadap pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara: Tulis : V = Jika sub elemen vertikal lebih berperan daripada sub elemen horizontal yang terlibat A = Jika sub elemen horizontal lebih berperan daripada sub elemen vertikal yang terlibat X = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama berperan O = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama tidak berperan
184
Lanjutan Lampiran 2.
Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
SKOR KENDALA 1. Kesenjangan pembangunan & kemiskinan antara penduduk asli 2. Perbedaan karakteristik antara wilayah darat dan laut 3. Pengelolaan SDA belum optimal 4. Rendahnya kesejahteraan masyarakat 5. Aktivitas sosial ekonomi masyarakat lebih ke wilayah negara tetangga 6. Kondisi sosial dan ekonomi lebih baik di negara tetangga 7. Kurangnya kesadaran masyarakat akan identitas nasional 8. Persepsi kawasan perbatasan merupakan pintu belakang negara 9. Pengendalian & pengawasan tata ruang masih lemah 10. Letak geografis Indonesia di titik silang benua eropa-asia, asia11. Banyak pemukiman berada di batas wilayah 12. Kondisi lingkungan tidak tertata, berpencar, kumuh & tidak dikelola 13. Rencana Tata Ruang Wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan 14. Minimnya infrastruktur kawasan dan permukiman 15. Terbatasnya fasum & fasos 16. Terbatasnya pelayanan publik 17.Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pengelolaan infrastruktur 18. Perkembangan infrastruktur & permukiman yang tidak terencana 19. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan sesuai 20. Penegakan hukum dan peraturan masih lemah 21. Adanya privatisasi lahan oleh pemerintah & swasta 22. Ketiadaan pedoman pelaksanaan pembangunan perumahan 23.Belum ada alokasi dana khusus untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan perbatasan 24. Pengawasan pengelolaan dan penggunaan dana belum optimal
185
Lanjutan Lampiran 2.
Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Keadaan (State) Faktor Di Masa Datang Berdasarkan faktor kunci yang telah diidentifikasi pada pertanyaan diatas, menurut Bapak/Ibu bagaimana keadaan (state) faktor-faktor tersebut di masa datang? Mohon keadaan (state) faktor-faktor tersebut di masa datang di tulis dalam matriks yang disediakan. Keadaan (state) faktor di masa datang dapat berupa dinamika seperti : meningkat, tetap, menurun, atau lainnya. Matriks Keadaan (State) Faktor Kunci Faktor Kunci
Keadaan (State) di Masa Datang Meningkat Karena...
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tetap Karena...
Menurun Karena...
186
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Faktor Kunci
Keadaan (State) di Masa Datang Meningkat Karena...
Tetap Karena...
Menurun Karena...
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Bapak/Ibu dimohon memberikan pendapat tentang keterkaitan antar sub elemen tolok ukur pada elemen tujuan yang terkait dengan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, dengan mengurutkan dari yang paling berpengaruh hingga tidak terkait sama sekali sebagai berikut:
187
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
NO 1
TUJUAN Optimalisasi pengelolaan SDA kawasan
NO 1. 2. 3. 4. 5.
2
3
4
Peningkatan pengembangan & penataan kawasan permukiman
6.
Pengembangan infrastruktur wilayah & permukiman terpadu
9.
Pengembangan kelembagaan
12.
7. 8.
10. 11.
13. 14. 5.
Alokasi dana untuk 15. pengelolaan 16. kawasan perbatasan
TOLOK UKUR Penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan kawasan perbatasan Peningkatan kegiatan pengembangan pemukiman, sarana dan prasarana perbatasan Pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika Pengelolaan SDA darat dan laut secara seimbang Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara Pembangunan kawasan perbatasan melalui pengembangan permukiman sebagai pusat Penataan ruang Pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana Partisipasi horison & vertikal pusat dan daerah Pendekatan pengelolaan kawasan perbatasan pada aspek keamanan, sosial ekonomi, budaya Sinergi/keterpaduan dan keseimbangan pembangunan berdasarkan potensi Peningkatan kerjasama pembangunan antar negara, antar pemerintahan, dan antar Pembuatan kebijakan pengembangan permukiman berkelanjutan Penyusunan kebijakan tingkat makro dan mikro, investasi, SDA dan kelembagaan pendukung Penganggaran dana untuk pembangunan kawasan perbatasan Evaluasi kegiatan untuk penganggaran dana pada kegiatan selanjutnya
188
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Tulis : V = Jika sub elemen vertikal lebih berperan daripada sub elemen horizontal yang terlibat A = Jika sub elemen horizontal lebih berperan daripada sub elemen vertikal yang terlibat X = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama berperan O = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama tidak berperan Tabel 2. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen 16 15 14 13 12 11 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
9
8
7
6
5
4
3
2
1
189
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
3. Menurut Ibu/Bapak urutan tujuan yang paling berpengaruh terhadap pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Tulis : V = Jika sub elemen vertikal lebih berperan daripada sub elemen horizontal yang terlibat A = Jika sub elemen horizontal lebih berperan daripada sub elemen vertikal yang terlibat X = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama berperan O = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama tidak berperan
SKOR TUJUAN 1. Optimalisasi pengelolaan SDA kawasan 2. Peningkatan pengembangan & penataan kawasan permukiman 3. Pengembangan infrastruktur wilayah & permukiman terpadu 4. Pengembangan kelembagaan 5. Alokasi dana untuk pengelolaan kawasan perbatasan
190
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
4. Menurut Ibu/Bapak urutan tolok ukur yang paling berpengaruh terhadap pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Tulis : V = Jika sub elemen vertikal lebih berperan daripada sub elemen horizontal yang terlibat A = Jika sub elemen horizontal lebih berperan daripada sub elemen vertikal yang terlibat X = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama berperan O = Jika sub elemen vertikal dan sub elemen horizontal yang terlibat samasama tidak berperan SKOR TOLOK UKUR 1. Penataan dan pembukaan isolasi serta ketertinggalan kawasan perbatasan 2. Peningkatan kegiatan pengembangan pemukiman, sarana dan prasarana perbatasan 3. Pengembangan kawasan khusus dengan pemanfaatan ruang spesifik sesuai dinamika kawasan perbatasan 4. Pengelolaan SDA darat dan laut secara seimbang 5. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara 6. Pembangunan kawasan perbatasan melalui pengembangan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru sebagai embrio 7. Penataan ruang 8. Pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana 9. Partisipasi horison & vertikal pusat dan daerah
191
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara SKOR TOLOK UKUR 10. Pendekatan pengelolaan kawasan perbatasan pada aspek keamanan, sosial ekonomi, budaya dan lingkungan serta kesejahteraan secara seimbang 11. Sinergi/keterpaduan dan keseimbangan pembangunan berdasarkan Potensi 12. Peningkatan kerjasama pembangunan antar negara, antar pemerintahan, dan antar stakeholders di wilayah perbatasan 13. Pembuatan kebijakan pengembangan permukiman berkelanjutan 14. Penyusunan kebijakan tingkat makro dan mikro, investasi, SDA dan kelembagaan pendukung pusat pertumbuhan 15. Penganggaran dana untuk pembangunan kawasan perbatasan 16. Evaluasi kegiatan untuk penganggaran dana pada kegiatan selanjutnya
192
Lanjutan Lampiran 2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Matriks Keadaan (State) Faktor Kunci Faktor Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Keadaan (State) di Masa Datang Meningkat
Tetap
Menurun
Karena...
Karena...
Karena...
193
Lampiran 3.
Hasil Pengolahan ISM VAXO No. 1 2 3 4 5 6 1 1 1 1 0 1 1 2 0 1 0 0 0 0 3 0 1 1 0 0 0 4 1 1 1 1 1 1 5 0 1 1 0 1 1 6 0 1 1 0 1 1 7 1 1 1 1 1 1 8 0 1 1 0 0 0 9 0 1 0 0 0 0 10 0 1 0 0 0 0 11 0 1 0 0 0 0 12 0 1 0 0 0 0 13 0 1 0 0 0 0 14 0 1 1 0 1 1 15 1 1 1 0 1 1 16 0 1 1 0 1 1 17 1 1 1 0 1 1 18 0 1 1 0 0 0 19 0 1 1 0 0 0 20 0 1 1 0 1 1 21 0 1 1 0 0 0 22 0 1 1 0 0 0 23 1 1 1 1 1 1 24 0 1 1 0 1 1 Dep 6 24 18 3 12 12 Keterangan:
Analisis ISM faktor kunci elemen masalah
7 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
8 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 14
9 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
10 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 24
12 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
13 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22
14 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 12
15 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 6
16 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 12
17 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 6
18 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18
19 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18
20 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 12
21 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18
22 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 14
Dep
= Dependence
Angka 1= Terdapat hubungan kontektual
DP
= Driver Power
Angka 0= Tidak terdapat hubungan kontektual
EK
= Elemen Kunci atau rangking
23 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3
24 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 12
Drv 21 2 10 23 18 18 24 12 6 6 2 6 6 18 21 18 21 10 10 18 10 12 23 18
194
Lampiran 4.
Analisis ISM faktor kunci elemen tolok ukur
Hasil Pengolahan ISM VAXO No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
14
2
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
10
3
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
5
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
16
6
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
10
7
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
10
8
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
14
9
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
5
10
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
14
11
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
10
12
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
14
13
0
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
10
14
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
5
15
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
16
16
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
5
6
11
16
15
2
11
11
6
15
6
11
6
11
15
2
15
Dep
Drv
Keterangan: Dep DP EK
= Dependence = Driver Power = Elemen Kunci atau rangking
Angka 1= Terdapat hubungan kontektual Angka 0= Tidak terdapat hubungan kontektual
195
Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
KUESIONER (Analisis Hirarkhi Proses)
IDENTITAS PAKAR
No. Kuesioner
: ……………………………………………………………
Nama Pakar
: …………………………………………………………...
Alamat
: ……………………………………………………………
Pekerjaan
: ……………………………………………………………
Hari/Tanggal
: ……………………………………………………………
Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Data dan semua informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun disertasi dan saya akan jamin kerahasiaannya. Atas berkenannya Bakpak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan terima kasih.
Analisis data kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Wilayah Perbatasan Negara di Kabupaten Nunukan menggunakan Metode Analisis Hierarki Proses (AHP). Metode kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Wilayah Perbatasan Negara di Kabupaten Nunukan disusun atas lima tingkat hierarki, seperti gambar di bawah ini.
196
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
Perkim Perbatasan Negara
Fokus
Kebijakan
Tingkat
Pendanaan
Prasarana dan
Pemerintah
Pendapatan
Pembangunan
Sarana
Faktor
Pemerintah
Stakeholders
Pemerintah
Tujuan
Swasta
Daerah
Pengembangan Dan Penataan Kawasan
Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat
Pemulihan Ekosistem
Pakar
Pengembangan Prasarana Kawasan
BKM / LSM
Minimalisasi Konflik
Sasaran
Strategi
Strategi
Strategi
Pengembangan (Kawasan)
Pengembangan
Pengembangan
197
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
1. Urutkan prioritas faktor yang paling penting di bawah ini Urutan Prioritas
Kriteria Faktor Kebijakan Pemerintah Tingkat Pendapatan Pendanaan Pembangunan Prasarana dan Sarana
2. Urutkan Prioritas stakeholder yang paling berperan dibawah ini Urutan Prioritas
Kriteria Stakeholder Pemerintah Pemerintah Daerah Swasta Masyarakat Pakar BKM/LSM
3. Urutkan prioritas Tujuan yang paling penting dibawah ini Urutan Prioritas
Kriteria Tujuan Pengembangan dan penataan ruang Peningkatan Kesejahteraan Pemulihan Ekosistem Pengembangan prasarana kawasan Minimasi Konflik
198
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
4. Urutkan Prioritas sasaran yang paling penting Urutan Prioritas
Kriteria sasaran Strategi Pengembangan Kawasan Strategi Pengembangan Kelembagaan Strategi Pengembangan Pembiayaan
PETUNJUK PENGISIAN Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara membandingkan variabel satu dengan variabel lain (Komponen kiri dengan komponen kanan pada baris yang sama pada kolom/tabel isian. Skala yang digunakan didasarkan pada skala yang ditetapkan Saaty, seperti terlihat pada tabel di bawah ini Tabel 1. Penilaian antar variabel Nilai
Keterangan
1
Variabel A sama penting dengan variabel B
3
Variabel A sedikit lebih penting dari variabel B
5
Variabel A Jelas lebih penting dari variabel B
7
Variabel A sangat jelas lebih penting dari variabel B
9
Variabel A mutlak lebih penting dari variabel B
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai variabel yang berdekatan
Keterangan : Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A
199
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
200
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
201
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
202
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
203
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
204
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
205
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
206
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
207
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
208
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
209
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
Lanjutan Lampiran 5
210
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
211
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
212
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
213
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
214
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
215
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
216
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
217
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
218
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
219
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
220
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
221
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
Lanjutan Lampiran 5. Contoh Kuisioner AHP (Analisis Hirarkhi Proses)
222
Lanjutan Lampiran 5. Contoh Kuisioner AHP (Analisis Hirarkhi Proses)
223
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
224
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
225
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
226
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
227
Lanjutan Lampiran 5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses)
232
FOTO KONDISI KAWASAN PERBATASAN Kabupaten Nunukan
Pulau Sebatik
Pelaksanaan FGD Dengan Pemda
Survei Lapangan
Patok Perbatasan
Batas Maya Wilayah Perbatasan
233
Kota Tawau, Malaysia
Perumahan Terpencar
Rumah Panggung
Perumahan Kumuh
Perumahan Kumuh
Rumah Malindo (Malaysia - Indonesia)
234
Tambang Batubara
Perkebunan Kakao
Perkebunan Kelapa Sawit
Perikanan & Nelayan
Perikanan
Industri Perikanan