DESA GUNTARANO
Membangun Irigasi Mendongkrak Produksi ISBN : 978-602-8218-26-9 Penyusun E. Eko Ananto Firdaus Kasim Dahli Masahuri
Editor Dadang W Iriana Tata Letak dan Perwajahan Selo Sumarsono
Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian 2009
1
Pengantar Kurun 2003-2009, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, mengimplementasikan Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi - P4MI (Poor Farmer’s Income Improvement Through Innovation Project - PFI3P). Program yang ditargetkan untuk meningkatkan pendapatan petani di daerah miskin ini mencapai 1.067 desa yang tersebar di lima kabupaten. Yaitu Blora dan Temanggung (keduanya di Jawa Tengah), Donggala (Sulawesi Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), serta Ende (Nusa Tenggara Timur). Ruang lingkup kegiatan meliputi pemberdayaan petani, dengan meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat, serta pengembangan kelembagaan desa. Termasuk perbaikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan pertanian. P4MI juga meningkatkan akses pada jaringan informasi. Serta menyediakan teknologi tepat guna untuk mendukung pengembangan inovasi pertanian. Dengan harapan, mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani miskin. Dokumen ini mengungkapkan kiprah P4MI sekaligus kisah para pelaku dan masyarakat petani penerima manfaat di salah satu desa di Kabupaten Donggala. Jakarta, Juni 2009
Kepala Badan Litbang Pertanian Dr.Ir. S. Gatot Irianto, MS.D.A.A.
2
DESA GUNTARANO
Saluran irigasi mampu mengairi 83 hektar lahan bawang merah, 30 hektar sawah, dan 5 hektar kebun jagung. Produksi bawang merah pun meningkat dari 5-6 ton menjadi rata-rata 7 ton umbi kering panen per hektar.
3
Membangun Irigasi Mendongkrak Produksi ebagian wilayah Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya di Lembah Palu, merupakan sentra produksi bawang merah. Namun, terdapat dua masalah utama yang menghambat pengembangan bawang di sana, yaitu curah hujan tahunan rendah dan lapisan tanahnya dangkal serta berbatu. Kondisi itu diperparah oleh lapisan olah yang didominasi oleh pasir, debu, dan liat. Tanah yang bertekstur demikian sangat sarang dan mudah meloloskan air. Curah hujan di Lembah Palu sekitar 760 mm per tahun, dengan 2 bulan basah dan 5 bulan kering. Jika hanya mengandalkan curah hujan, hasil pertanian dan produktivitas lahan sulit ditingkatkan. Sumber air untuk irigasi sebetulnya berlimpah, karena ada sungai besar yang membelah kota Palu yang dapat dimanfaatkan untuk irigasi, tetapi belum termanfaatkan secara optimal. Varietas bawang merah yang diusahakan petani adalah varietas unggul lokal yang sudah bertahun-tahun menjadi kebanggaan petani Lembah Palu. Mereka lebih suka komoditasnya disebut bawang goreng dibandingkan bawang merah, karena menjadi bahan baku untuk komoditas olahan bawang goreng.
S
4
DESA GUNTARANO
Saluran irigasi menjadi modal dasar masyarakat Guntarano menuju kemandirian
5
Butuh Irigasi Salah satu sentra produksi bawang goreng di Lembah Palu yaitu Desa Guntarano. Desa di Kecamatan Tanantovea, Donggala, itu meliputi luas wilayah sekitar 5.384 hektar (ha). Dari Palu, Ibukota Provinsi Sulteng, Guntarano hanya berjarak 15 km. Atau 49 km dari ibukota kabupaten, dan 12 km dari ibukota kecamatan. Jumlah penduduknya 1.513 jiwa, terdiri dari 758 laki-laki dan 755 perempuan, dengan total keluarga 349 KK. Sekitar 52,4% penduduk Guntarano tergolong miskin. Sebanyak 313 KK diantaranya bermata pencaharian sebagai petani.
Pembangunan saluran irigasi untuk pasokan air yang memadai
6
Kondisi lahan di Guntarano menunjukkan adanya ketidakserasian interaksi antara tanah, air, dan udara, dalam memenuhi kebutuhan tanaman. Sebab, tanahnya berpasir dan sarang sehingga mudah meloloskan air, tingkat kesuburan tanahnya rendah, dan curah hujan tahunannya juga rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pengelolaan air dan hara terpadu menjadi upaya sangat penting guna menciptakan media perakaran yang mendukung kebutuhan tanaman bawang. Teknologi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi bawang di Guntarano adalah teknik irigasi yang cocok dan teknologi pengelolaan hara untuk meningkatkan daya dukung tanah dalam menghasilkan komoditas bawang. Oleh karena itu, teknologi pengelolaan air dan hara terpadu dijadikan teknologi inovasi yang dapat dipilih dan diterapkan oleh petani. Berubah Bersama P4MI Kekurangan air di Guntarano, itu cerita masa lampau. Kini, warga Guntarano patut bersyukur, lantaran air berlimpah sehingga lahan pertanian menjadi produktif. Kehidupan mereka pun bisa mandiri dan sejahtera. Lantas, apa yang mengubah kehidupan warga Guntarano? Adalah Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian bersama Pemerintah Kabupaten Donggala, yang memasukkan Guntarano sebagai salah satu desa dalam program pemberdayaan masyarakat. Melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), pada 2005 Badan Litbang Pertanian dan Pemda Kabupaten Donggala mulai membenahi Desa Guntarano.
DESA GUNTARANO
Program pemberdayaan oleh P4MI diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dilakukan di Balai Desa Guntarano yang dipandu oleh kepala desa, fasilitator P4MI, dan Kepala Cabang Dinas Pertanian Kecamatan Tanantovea. Kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Komite Investasi Desa (KID). Tujuannya, untuk memfasilitasi kegiatan pemberdayaan masyarakat tani. Misi utamanya yaitu meningkatkan kemampuan petani dalam perencanaan dan pelaksanaan investasi sarana maupun prasarana yang dibutuhkan. Sehingga bisa mendukung pengembangan inovasi produksi dan pemasaran hasil pertanian. Pemilihan pengurus KID dilaksanakan secara demokratis. Musyawarah untuk memilih pengurus diikuti oleh kelompok tani, segenap unsur dan tokoh masyarakat, serta aparat pemerintahan desa yang bertindak selaku fasilitator. Personalia pengurus terpilih terdiri atas 5 orang (salah seorang diantaranya wanita) yang memenuhi persyaratan dan berasal dari dusun-dusun lingkup Desa Guntarano, ditambah dengan 2 orang fasilitator desa (FD). Salah satu tugas utama KID yaitu memfasilitasi dan memvalidasi usulan investasi tingkat desa. Kemudian mempresentasikannya di tingkat Forum Antar Desa (FAD). Forum itulah yang akan menyeleksi usulan tersebut, layak atau tidak layak untuk didanai P4MI. Saluran Irigasi Untuk mengetahui investasi yang dibutuhkan masyarakat, dilakukan penjaringan aspirasi. Caranya dilakukan melalui survai langsung ke lapangan pada berbagai tingkat lapisan masyarakat. Ditambah dengan melakukan dis-
Saluran irigasi sepanjang 1.552 meter
kusi dan wawancara secara individu maupun berkelompok. Dengan cara ini terjaring keperluan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat, yang selanjutnya disusun menurut skala prioritas. Hasil kajian kebutuhan investasi tersebut, selanjutnya dibahas dalam forum lintas kelembagaan desa, meliputi Badan Pembangunan Desa (BPD), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), perwakilan warga dusun, kelompok tani, dan kepemudaan. Tujuannya, untuk membuat rumusan rencana kegiatan. Usulan-usulan kegiatan itu selanjutnya diajukan ke Forum Antar Desa (FAD) untuk memperoleh persetujuan pembiayaan dari P4MI. Hasil musyawarah masyarakat dan KID, menyepakati tiga kegiatan investasi, meliputi kegiatan fisik pembangunan saluran irigasi desa sepanjang 1.552 m. Kegiatan non fisik mencakup demplot bawang goreng seluas 0,25 ha, dan satu paket pelatihan pembuatan virgin coconut oil (VCO) bagi wanita tani. “Se7
mula, investasi desa yang diinginkan warga cukup banyak, termasuk pembangunan jalan usaha tani. Namun kami prioritaskan untuk membangun saluran irigasi. Sebab, dari 145 ha lahan yang potensial dijadikan areal pertanian, 62 ha diantaranya lahan tidur yang sangat perlu pasokan air,” ungkap Zakir Radjampangi, Ketua KID Guntarano. Total dana untuk melaksanakan tiga kegiatan invesatsi desa tersebut mencapai Rp334.590.600. Dana itu diperoleh dari pinjaman lunak Asian Development Bank (ADB) Rp230.000.000, dan Rp104.590.600 berasal dari swadaya masyarakat. Dana swadaya itu terdiri dari nilai tenaga kerja gotong-royong, material, dan bahan bangunan yang disumbangkan dari masyarakat
Areal penanaman bawang bertambah menjadi 83 hektar
8
Tak Lagi Perlu Menginap Manfaat pembangunan saluran irigasi dan pelatihan sangat dirasakan oleh warga Desa Guntarano. Penyediaan dan distribusi air menjadi lancar serta teratur, sehingga mampu memperluas lahan yang terairi sekaligus meningkatkan intensitas penanaman. Secara umum, jumlah pemanfaat mencakup 186 KK. Dari jumlah itu, 156 KK pemanfaat tergolong warga miskin, dan 30 KK sejahtera. “Manfaat dari program P4MI sangat dirasakan oleh masayarakat Desa Guntarano. Sebelum masuk invesatsi (irigasi), di sini ada kesulitan mendapatkan air. Karena tanahnya porus sehingga tingkat peresapan air di sini sangat tinggi. Alhamdulillah berkat bantuan pemerintah, dengan membangun saluran iri-
DESA GUNTARANO
INVESTASI DESA GUNTARANO Jenis Investasi Pembangunan Irigasi Demplot Bawang Merah Pelatihan VCO
Volume 1.552 m 0,25 ha 1 paket
gasi, masalah air dapat teratasi,” papar Akbar, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Guntarano. Akbar, yang juga Ketua Kelompok Tani (KT) Abadi, menggambarkan bagaimana dulu sulitnya memperoleh air. Untuk mendapatkan air, 3 dusun di Guntarano, bergiliran. “Kami sampai menginap di kebun. Dari jam 3 sore kami menunggu sampai subuh, syukur kalau dapat, karena airnya sudah hilang dijalan” kenangnya. “Dulu, saya sendiri sampai 3 hari 3 malam mengawal air. Pas waktunya sampai ke lahan kami, eh… kena giliran orang lain. Akhirnya lahan kami tidak memperoleh air,” imbuh Usman, Ketua KT Sejahtera. Menurut Akbar, sebelum ada saluran irigasi, untuk mengairi lahan bawang 1 ha, perlu waktu 2-3 jam. Tapi kini tidak lagi. “Bagi kami, dulu setitik air adalah dolar,” ucapnya. Sebelum ada P4MI, di Guntarano sempat ada proyek ground water. Namun hasilnya hanya mampu mengairi 30 ha areal bawang. Menyedot air dari dalam tanah itu terbilang biaya mahal. Sebab, setiap kali menghidupkan mesin penyedot perlu biaya untuk membeli solar.
Pemanfaat (KK) L
P
165 5 0
21 0 30
Kala itu, harga air mencapai Rp7.000 per jam. Untuk mengisi bak, sebelum air dialirkan ke lahan, perlu waktu 5 jam. Di sisi lain, lahan bawang merah perlu pengairan 3 kali dalam seminggu. Dan selama pertumbuhannya, areal bawang merah perlu diairi 9 minggu. Luas Areal Bertambah Dengan keterbatasan pasokan air itu pula, banyak lahan di Guntarano yang tidak bisa diolah alias bero. “Sekarang, lahan yang bisa
Menanam padi pun bisa dilakukan
9
Petani sedang mengairi tanaman bawang
diusahakan untuk menanam bawang bertambah menjadi 83 ha. Ditambah untuk sawah 30 ha dan khusus jagung 5 ha,” jelas Akbar. “Dulu, lahan bawang merah yang terairi terbatas. Sama sekali tidak ada sawah, apalagi lahan jagung,” imbuh Wartin Yahya, Ketua KT Sejahtera II, yang juga FD Guntarano. Lebih jauh Akbar menuturkan, sebelumnya, petani Guntarano hanya bisa menanam bawang 2 kali dalam setahun. “Sekarang Alhamdulillah bisa tanam sepanjang tahun, tinggal mengatur pola tanam,” tandasnya. Dengan dibangunnya jaringan irigasi, komoditas yang diusahakan petani Guntarano tidak melulu bawang merah. Pola tanam berubah menjadi padi - bawang merah - jagung. Jum10
lah petani bawang merah di Guntarano, saat ini (Mei 2009) sudah mencapai 186 orang. Sementara petani padi dan jagung, menurut Akbar, jumlahnya belum didata. Meskipun bukan merupakan komoditas utama, kini padi masuk dalam pergiliran tanaman. Varietas padi yang diusahakan antara lain Cigeulis, Ciherang, dan Cisantana. Dibandingkan rata-rata nasional, produksi padi di Guntarano masih rendah, 3-4 ton gabah kering panen (GKP) per ha. Hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh tipe tanahnya yang berpasir dengan tingkat kesuburan rendah. Namun, melalui perbaikan teknik budidaya, tentu hasil tersebut masih berpotensi ditingkatkan menjadi 5 ton per ha.
DESA GUNTARANO
Manfaat lain dengan membaiknya saluran irigasi, yaitu memperpendek waktu pengelolaan air. Biasanya, petani butuh waktu 12 jam untuk menunggu air sampai ke lahannya. Kini hanya 30 menit, sehingga mereka mempunyai banyak waktu untuk mengelola dan memelihara tanaman. Sentuhan Teknologi Di luar pembangunan fisik saluran irigasi, sekali lagi, P4MI juga memfasilitasi pembuatan demplot bawang merah. Menurut Wartin, perbaikan budidaya bawang merah, waktu itu, diprioritaskan untuk pemupukan berimbang dan perbaikan jarak tanam. Karena dalam melaksanakan penanaman, petani Guntarano masih asal-asalan. Perbaikan budidaya dibina oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), BPP, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. “Awalnya, sebelum ada P4MI, jujur saja, para pembina malas datang kepada petani. Kini mereka aktif, apalagi setelah pada 2007 bawang merah di Guntarano terserang hama pengorok daun. Walau tidak ada kegiatan, para pembina datang menengok,” urai Wartin.
Watin sang pelopor pembentukan BMT Kuntum
Upaya pembinaan yang dilakukan instansi terkait itu, akhirnya ditiru oleh para petani Guntarano. Hasilnya luar biasa, produksi bawang merah meningkat dari 5-6 ton menjadi rata-rata 7 ton umbi kering panen (UKP) per ha. Hasil lebih tinggi tersebut diperoleh lantaran kebutuhan air sudah tercukupi dan penerapan sistem pengendalian hama terpadu hasil pelatihan SL-PHT yang diselenggarakan BPTP Sulteng.
Dampak dan Manfaat Investasi Desa Guntarano Uraian - Kebutuhan waktu untuk mendapatkan air sungai di lahan - Luas areal yang mendapat manfaat irigasi (ha) - Produksi bawang merah (t/ha) UKP - Peningkatan intensitas tanam
Sebelum Investasi
Setelah Investasi
12 jam
30 menit
30
83
5-6 padi - bawang merah
7 padi - bawang merah - jagung
11
Belum Terpenuhi Berdasar catatan Wartin, produksi bawang merah di Guntarano rata-rata 581 ton per musim tanam. Produksi sebanyak itu dipasarkan dengan berbagai cara: melalui pengepul, dijual langsung oleh petani, atau diolah menjadi bawang goreng. “Selain bawang goreng biasa, saya juga memproduksi bawang goreng snack untuk camilan,” ungkap Akbar. Untuk memproduksi 1 kg bawang goreng, diperlukan 4 kg bawang merah segar. Harga 1 kg bawang goreng Palu mereka jual Rp100.000. Di Guntarano, bawang goreng memang menjadi komoditas andalan. Selain varietasnya sangat cocok untuk dijadikan olahan, kadar airnya juga rendah, serta hasil bawang gorengnya gurih dan harum. Bila pengemasannya bagus, bawang goreng itu bisa tahan selama setahun. Sebenarnya, menurut Usman, untuk menambah produksi dan pasar, pernah datang pengusaha yang menawarkan kemitraan. Petani bawang Guntarano diminta menyiapkan 100 ha. Dalam 100 ha itu dibagi menjadi 4 tahap penanaman, dengan sekali tanam 25 ha. Dengan pola ini, diharapkan petani Guntarano mampu memasok 30 ton bawang merah segar per bulan. “Rencana ini masih dibicarakan dengan para petani,” aku Usman. Dalam merealisasikan kerjasama kemitraan itu, para petani Guntarano menghadapi hambatan pemenuhan bibit. Sebab, “Untuk 100 ha, bibitnya tidak ada,” aku Usman. Selama ini, bibit hanya dipenuhi dari petani itu sendiri. Memang, Gapoktan Guntarano sudah menyiapkan 2 KT yang khusus menangani penye12
diaan bibit, seluas 4 ha. “Yang terealisasi baru 1 ha, dengan produksi 10 ton,” urai Usman, sang penangkar benih. Harga bibit bawang Palu di Guntarano pada Mei 2009 menembus Rp500.000 per 10 kg. “Mungkin kerjasama kemitraan itu bisa dimulai dengan memperbanyak bibit terlebih dahulu,” harap Usman. 12 Kelompok Tani Tampaknya, kehadiran P4MI mampu mengubah pola pikir dan cara pandang para petani Guntarano. “Kelompok tani di Guntarano sekarang sudah maju. Mereka sudah mempunyai AD/ART, uang kas, dan aturan sendiri,” ucap Wartin. Mengelola kelompok, khususnya mengubah pola pikir petani yang masih awam, lanjut dia, awalnya memang susah. Namun, dengan adanya program P4MI, akhirnya kelompok tani bisa berkembang. Menurut Akbar, cikal bakal kelompok tani sebenarnya sudah lama ada, yaitu sejak 1997. Namun kala itu peran KT masih tersendat-
Usman: Tak perlu menginap lagi di kebun untuk dapat air
DESA GUNTARANO
Para motor penggerak pembangunan Guntarano
sendat. Penyebab utamanya tiada lain karena pasokan air sangat terbatas, terlebih lagi pengetahuan petani untuk melaksanakan budidaya bawang merah masih kurang. “Kelompok tani rekat kembali setelah ada P4MI pada 2005. Peran kelompok berfungsi. Setiap ada informasi, ditanggapi oleh petani,” urai Akbar. Sampai saat ini, kelompok tani di Guntarano berkembang menjadi 12 KT, yang tergabung dalam Gapoktan Guntarano. Manfaat berkelompok bagi petani, menurut Akbar, cukup banyak. Ia memberi contoh yang dilakukan KT Abadi, yaitu menyediakan alsintan, saprodi, dan biaya kesehatan. Pemenuhan kebutuhan kelompok diperoleh dari iuran rutin setiap anggota per bulan Rp5.000. Ditambah iuran dari setiap kali panen, per anggota wajib menyerahkan 1 bembengan (10 kg) atau senilai Rp200.000. Dana yang terkumpul lantas diputar sesuai kebutuhan KT.
“Modal yang terkumpul, untuk sementara, belum diperankan untuk suntikan modal anggota. Sebab, modalnya masih kecil. Hingga Mei ini (2009), baru terkumpul Rp1,5 juta,” kilah Akbar. Berbeda dengan KT Abadi, uang kas KT Sejahtera II sudah bisa dimanfaatkan untuk simpan pinjam kelompok. “Besarnya pinjaman disesuaikan dengan luas tanam. Meski begitu, hingga kini kami baru bisa melayani antara Rp500.000-Rp1.000.000,” ungkap Wartin. Dengan bunga yang tidak pernah ditentukan, pinjaman dikembalikan oleh anggota setelah panen. Misalnya, lanjut Wartin, pinjam Rp1.000.000, ada yang mengembalikan Rp1.050.000, atau lebih Rp100.000 kalau hasil panennya bagus. Dana yang dikelola untuk simpan pinjam itu berasal dari uang iuran anggota, Rp50.000 per sekali panen bawang. Dana yang sudah terkumpul hingga Mei 2009, aku Wartin, baru Rp2 jutaan. Yang jelas, dalam hal pemenuhan saprodi seperti pupuk dan pestisida, petani Guntarano tak perlu lagi membeli ke Kota Palu. Sebab, ada satu kelompok yang khusus menyediakan saprodi, yakni KT Sejahtera II. “Bila anggota perlu pupuk, dia tinggal lapor kepada bendahara. Bendahara memberi pinjaman uang sesuai kebutuhan. Lalu membeli ke KT Sejahtera II,” ucap Usman. Awalnya tidak begitu. Para petani memperoleh sejumlah uang untuk kebutuhan saprodi dari pedagang pengumpul (tengkulak). Dengan syarat waktu panen harus menjual kepada pengumpul itu dan harganya sudah ditentukan. “Biasanya harga yang diterima petani di bawah harga pasar. Tetapi petani tidak bisa apa-apa, karena sudah terikat utang,” tandas Usman. 13
Terpelihara Warga Guntarano menyadari, investasi yang dirancang KID menjadi salah satu pendukung menuju perubahan. Oleh sebab itu, tumbuh rasa memiliki bersama yang besar pada diri warga. Perwujudannya antara lain dengan disusunnya aturan pengoperasian dan perawatan saluran irigasi melalui musyawarah yang disahkan oleh kepala desa. Biaya operasional dan pemeliharaan tertuang dalam peraturan desa. “Untuk pemeliharaan irigasi, kami sudah menyepakati iuran setiap petani Rp25.000 per sekali panen,” papar Wartin. Sampai Mei 2009, dana yang terkumpul di kas KID, lebih dari Rp1,7 juta. Berdasar musyawarah masyarakat, sebagian dana tersebut telah digunakan untuk perbaikan pintu air, sehingga sisanya tinggal Rp750.000. “Pemeliharaan rutin dilaksanakan 3 bulan sekali secara gotong-royong oleh para pemanfaat irigasi,” imbuh Wartin. Membentuk Koperasi Syariah Yang paling menarik adalah inisiatif KID untuk menggagas keberlanjutan kegiatan pasca-P4MI. Pada 2006/2007, KID menggelar musyawarah bersama FD dan LSM setempat, untuk membentuk lembaga keuangan mikro. Hasil musyawarah menyepakati pembentukan koperasi, yang kemudian diberi nama Koperasi Syariah Baitul Maal Wat-Tamwil (BMT) Kuntum. “Kelak, bila program P4MI selesai, kami ingin terus ada kegiatan, sehingga agribisnis di Guntarano terus berkembang, harap Wartin Yahya, yang dipercaya sebagai
14
Manajer Koperasi Syariah BMT Kuntum. Koperasi itu resmi berbadan hukum pada 2008 lalu. Modal awal koperasi diperoleh dari iuran 128 anggota tetap sejumlah Rp30,5 juta, ditambah bantuan dari Pemerintah Daerah yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) Rp30 juta. Wilayah kerja koperasi syariah itu tidak terbatas melayani warga Guntarano. Melainkan mencakup seluruh Kecamatan Tanantovea, plus 3 desa di luar kecamatan. Berbeda dengan kebanyakan lembaga keuangan yang melayani nasabah di kantornya, Koperasi Syariah BMT Kuntum justru menjemput bola. Para petugas mendatangi langsung ke alamat nasabah. Dengan cara itu, Wartin rata-rata mampu mencairkan kredit Rp20 juta per bulan. “Setiap minggu, kami juga bisa menarik dana cicilan kredit dari nasabah Rp7,324 juta,” jelasnya. Pengajuan kredit ke Koperasi Syariah BMT Kuntum, sangat mudah. Calon nasabah cukup membawa foto kopi KTP dan surat nikah suami istri, yang diketahui oleh kepala desa setempat. Sementara agunannya hanya berupa surat jaminan. “Yang terpenting adalah saling kepercayaan,” ucap Wartin. Pinjaman yang dilayani, lanjut dia, minimal Rp500.000. Di luar simpan pinjam, Koperasi Syariah BMT Kuntum, juga menerbitkan tabungan masyarakat. Yaitu Tabungan Masyarakat Sejahtera (Tamara), dan Tabungan Pendidikan (Tadika). Berdasar laporan keuangan per 31 Maret 2009, posisi kekayaan Koperasi Syariah BMT Kuntum, sudah mencapai Rp73,146 juta. S
Akbar Memanfaatkan Kearifan Lokal DESA GUNTARANO
ua tahun silam, seluruh kebun bawang merah di Desa Guntarano yang luasnya 83 hektar, luluhlantak oleh serangan lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis). Tak terkecuali kebun milik Akbar, sang Ketua Kelompok Tani Abadi. “Waktu itu, kebun saya hancur, saya rugi hingga Rp20 juta,” kenangnya. Menurut Akbar, yang juga Ketua Gapoktan Guntarano, hambatan utama dalam budidaya bawang merah di wilayahnya, memang hama penggerek daun. Sampai-
D
15
sampai dinas terkait mengintruksikan para petani tidak menanam bawang merah selama tiga tahun. Langkah itu ditempuh untuk memutuskan siklus hidup si lalat penggerek. “Jika serangannya mengganas, bisa habis satu hektar dalam semalam,” tandasnya. Pengalaman pahit memaksa Akbar memutar otak, mencari cara pengendalian yang jitu. Dia menyimpulkan, ledakan Liriomyza itu dipicu oleh tingginya penggunaan insektisida kimia, sehingga perlu dicari alternatif pengendaliannya. “Saya bersama petani lainnya sudah mencoba berbagai ramuan alami, dan berhasil,” akunya. Pengetahuan Akbar dan petani lainnya bertambah setelah mereka mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang diprakarsai BPTP Sulteng dan Dinas Pertanian Donggala. Ia bersama anggota kelompoknya bersyukur, mereka sekarang melek inovasi teknologi dan wawasannya bertambah. Beberapa jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai insektisida hayati itu adalah akar tuba, akar kelor, sambiloto, daun pepaya, daun srikaya, dan daun mindi. Akar tuba atau akar kelor tersebut ditumbuk, diperas airnya, lalu larutannya disemprotkan. “Larutan ini bisa menyelamatkan 75% dari lahan yang terserang,” ucapnya. Insektisida alami lainnya yaitu campuran sambiloto, daun pepaya, daun srikaya, dan daun mindi. Daun-daun itu dicincang dan dimasukan ke dalam drum. Setengah drum berisi rajangan dan setengahnya lagi diisi air penuh. Setelah dibiarkan dua malam, larutan itu kemu16
dian disemprotkan. Cara ini lebih banyak dipilih petani karena hasilnya lebih manjur. Akbar bersama kawan-kawan juga berhasil menemukan cara mengendalikan ulat grayak (Spodoptera exygua). Yaitu dengan air gerusan cabai. Dosisnya, 1 sendok teh gerusan cabe dicampur dengan 15 liter air (1 tanki knapsack). Penyemprotan insektisida alami tersebut rata-rata dilakukan satu minggu sekali, sejak ditemukan gejala serangan. Sampai menjelang panen, penyemprotan dilakukan 9 kali. “Kalau ingin memanfaatkan musuh alami, tanaman bisa disemprot dengan air gula pasir, untuk mengundang semut. Ulat grayak akan dimangsa oleh semut,” cetusnya. Nah, kalau untuk memberantas rerumputan (gulma), lanjut dia, bisa digunakan larutan sari buah kakao. Alhasil, 186 petani di 12 kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Guntarano, kini sudah bisa bernafas lega. Hama yang sebelumnya menjadi batu sandungan dalam budidaya bawang merah, sejak 2008 sudah bisa dikendalikan melalui kearifan lokal. Upaya itu, menurut Akbar, mampu menekan penggunaan pestisida kimia hingga 50%. Ia bersama anggota kelompoknya bersyukur, mereka sekarang melek inovasi teknologi dan wawasannya bertambah. Semua itu tidak terlepas dari peran Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), yang masuk ke Guntarano pada 2005. Dalam pelaksanaan program yang dicanangkan Badan Litbang Deptan, dan sebagian didanai oleh pinjaman lunak Asian Development Bank (ADB) itu, didukung oleh Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah dan dinas pertanian setempat. S
DESA GUNTARANO
17
Pencetakan buku ini dibiayai oleh Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
ISBN : 978-602-8218-26-9
DESA GUNTARANO
Membangun Irigasi Mendongkrak Produksi
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2009