Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Dampak Penurunan Harga Susu terhadap Agribisnis Sapi Perah Rakyat oleh
Atien Priyanti dan I G A P Mahendri
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
DAMPAK PENURUNAN HARGA SUSU TERHADAP AGRIBISNIS SAPI PERAH RAKYAT Atien Priyanti dan I G A P Mahendri Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Bogor
ABSTRAK Penurunan harga susu di pasar internasional selama dua tahun terakhir juga telah mengakibatkan turunnya harga susu di tingkat peternak. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dampak penurunan harga susu terhadap agribisnis sapi perah rakyat, ditinjau dari aspek pendapatan rumahtangga dan alokasi waktu kerja peternak sapi perah. Data primer diperoleh dari wawancara terhadap 177 peternak sapi perah di Jawa Barat, DIY dan Jawa Tengah serta Jawa Timur yang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2008. Model persamaan simultan 2SLS dan analisis simulasi dilakukan pada studi ini, sekaligus untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga peternak sapi perah serta dampak perubahan yang terjadi. Hasil analisis menunjukkan bahwa harga susu berpengaruh sangat nyata terhadap produksi susu yang dihasilkan yang bermuara pada pendapatan dari usaha sapi perah. Pendapatan ini akan mempengaruhi terhadap curahan waktu kerja usaha sapi dari anggota keluarga peternak dan berpengaruh negatif terhadap curahan waktu kerja untuk usaha non sapi perah. Simulasi penurunan harga susu sebesar 10% menunjukkan turunnya pendapatan total rumahtangga petani sebesar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa turunnya harga susu di tingkat peternak akan berkompetisi terhadap alokasi waktu kerja keluarga petani untuk lebih mencurahkan kegiatannya pada usaha non sapi. Kebijakan pengaturan harga susu sangat diperlukan guna mempertahankan agribisnis sapi perah rakyat, disamping mendukung program kedaulatan pangan karena masih besarnya komponen impor pada bahan baku produk susu. Kata kunci : harga susu, pendapatan peternak, simulasi PENDAHULUAN Perkembangan harga bahan baku produk susu di pasar internasional menunjukkan penurunan yang sangat signifikan selama 2 tahun terakhir. Pada periode Januari 2008 sampai dengan April 2009 menunjukkan bahwa rata-rata harga 1,25% butter fat skim milk powder mengalami penurunan sebesar 116%, yaitu dari US$ 4275/MT menjadi US$ 1975/MT. Hal yang hampir sama juga terjadi pada rata-rata harga whole milk powder yang mengalami penurunan sampai 123%, dari US$ 4600/MT menjadi US$ 2062,5/MT pada periode yang sama (International Dairy Market, 2009). Penurunan harga bahan baku susu ini kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan volume perdagangan dunia yang relatif stagnan, adanya trend penurunan harga 1
komoditas produk pertanian di pasar global, serta kecenderungan menurunnya perekonomian pasar ekspor utama Indonesia (USA). Di dalam negeri, sampai dengan bulan Oktober tahun 2008 penurunan harga bahan baku susu dunia belum direspon secara nyata oleh industri pengolah susu (IPS) yang merupakan mayoritas pembeli susu segar dalam negeri (SSDN) di tingkat peternak. Dari 9 kota/kabupaten sentra produksi susu harga di tingkat peternak masih menunjukkan kecenderungan yang relatif meningkat yang ditunjukkan dengan rata-rata harga di tingkat nasional meningkat dari Rp.2661/l menjadi Rp.3125/l. Rata-rata harga susu terendah adalah Rp.1900/l sampai Rp.2600/l, sedangkan rata-rata harga susu tertinggi mencapai Rp.3875/l sampai Rp.4000/l (Departemen Pertanian, 2008). Harga susu di tingkat peternak ini sesuai dengan standar total solid 12 persen serta rataan untuk kadar lemak dan berat jenis masing-masing sebesar 4,1 persen dan 1,0255 (dasar suhu rataan 30-320C), dengan sebagian besar rataan total plate count, jumlah kandungan bakteri dalam setiap ml susu berkisar antara Grade I (0 - ≤0,5 juta) dan Grade II (> 0,5 ≤ 1 juta). Sejak bulan Nopember 2008, harga susu di tingkat peternak cenderung menurun sampai sekitar Rp.2700/l. Pada pertengahan bulan Januari 2009 salah satu IPS telah menurunkan harga pembelian susu segar dari para peternak sebesar Rp.200 per kg. Hal ini dilakukan dengan penyesuaian nilai premium daya saing susu segar dari Rp.700 per kg menjadi Rp.500 per kg dengan kadar total solid minimal 12%. Kesepakatan antara GKSI dan salah satu IPS di Jawa Timur pada tanggal 3 Mei 2009 menyatakan bahwa harga beli SSDN turun sebesar Rp.150/l dan diberlakukan tanggal 11 Mei 2009. Bagi IPS lain di Jawa Tengah/DIY dan Jawa Barat menurunkan harga belinya sebesar Rp.100/l. Bersamaan dengan situasi tersebut, menurut GKSI harga riil susu yang ditetapkan oleh IPS di beberapa koperasi turun berkisar Rp.200/l – Rp. 400/l (Setiadi, 2009). Di Indonesia sebagian besar susu dihasilkan oleh peternakan rakyat yang tersebar di beberapa sentra produksi. Sebagian besar susu disetor ke IPS yang akan mengolah menjadi susu bubuk, susu kental manis, susu pasteurisasi, keju, mentega dan lain-lain. Hubungan kerjasama antara peternak dengan IPS umumnya melalui koperasi. Departemen Perindustrian (2009) menyatakan bahwa konsumsi produk susu dominan dalam bentuk susu bubuk (43,3%) yang diikuti oleh susu kental manis (20,4%). Penggunaan produk susu dalam produk lain seperti biskuit, ice cream, permen, coklat, dan lain-lain juga cukup tinggi mencapai 27,5 %. Konsumsi susu segar mencapai 8,5% meliputi UHT (4,6%), susu sterilisasi (2,7%) dan susu pasteurisasi (1,2%). Hal ini menunjukkan bahwa masih besar peluang untuk meningkatkan konsumsi susu segar untuk semua jenis. Konsumsi susu segar relatif lebih kecil dibandingkan dengan susu bubuk dan susu kental manis karena faktor kemasan susu UHT dan susu steril botol yang 2
relatif mahal dibandingkan dengan isi yang dikemas, sedangkan kapasitas pabrik terpasang masih cukup rendah dalam tingkat produksi riilnya. Peluang meningkatkan produksi dan konsumsi susu segar perlu diimbangi dengan kondisi harga SSDN di tingkat peternak. Harga susu segar yang rendah berpotensi menghancurkan agribisnis sapi perah. Peternak tidak lagi termotivasi untuk mengusahakan sapi perah, dan dapat mengalihkan usaha tersebut ke usaha lain seperti usaha sapi potong yang dipandang lebih menguntungkan. Implikasinya adalah populasi sapi perah yang diharapkan untuk terus meningkat tidak akan terjadi, dan bahkan beberapa sentra usaha sapi perah di Pulau Jawa terancam terpuruk. Sampai dengan akhir tahun 2008, produksi susu nasional mencapai 574 ribu ton dengan Jawa Timur sebagai pemasok terbesar (44%) dan diikuti oleh Jawa Barat (39%) (Ditjen Peternakan, 2008). Daya saing usaha sapi perah harus ditingkatkan melalui peningkatan efisiensi usaha, seperti: skala usaha, biaya produksi dan usaha yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi seberapa besar dampak dari penurunan harga susu di tingkat peternak terhadap pendapatan rumahtangga petani dan alokasi waktu kerja anggota keluarga peternak. Hal ini diharapkan dapat menjadikan masukan bagi pemangku kepentingan dalam upaya menerapkan kebijakan harga susu di tingkat peternak. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Rendahnya harga susu akhir-akhir ini tidak dapat memotivasi peternak sapi perah untuk mengembangkan usahanya. Harga output merupakan faktor utama yang menentukan dalam suatu unit usaha produksi. Dalam komoditas susu, struktur pasar oligopsoni yang terbentuk turut mempengaruhi terbentuknya harga susu di tingkat peternak. Pemasaran susu segar yang dihasilkan peternak sebagian besar diserap oleh beberapa IPS dalam struktur pasar oligopsoni sehingga posisi tawar peternak dalam penetapan harga susu menjadi sangat lemah. Harga susu segar pada tingkat peternak sangat rendah dan tidak memotivasi peternak dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk susu, yang selanjutnya menjadi penghambat pengembangan industri sapi perah nasional. Penurunan harga susu mempunyai tesis mempengaruhi terhadap pendapatan rumahtangga peternak melalui penurunan produksi susu. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan alokasi waktu kerja dari usaha sapi perah kepada usaha non sapi perah. Adanya perubahan ini memberikan dampak terhadap usaha sapi perah yang diindikasikan dengan adanya perubahan pendapatan rumahtangga petani dari usaha sapi perah dan usaha lainnya, baik dalam usahatani maupun off farm. Dalam jangka panjang 3
hal ini sangat mempengaruhi terhadap agribisnis sapi perah secara nasional dan upayaupaya yang telah dilaksanakan selama ini untuk meningkatkan produktivitas dan produksi sapi perah menjadi sia-sia. Data dan Pemilihan Responden Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan jenis data primer yang diperoleh dari wawancara dengan peternak sapi perah. Survei dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2008 dimana data diperoleh langsung dari rumahtangga peternak melalui teknik wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan. Daftar pertanyaan meliputi (1) karakteristik rumahtangga peternak, (2) penguasaan lahan dan ternak sapi perah serta masing-masing produksinya, (3) penggunaan tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi perah, dan (4) komponen pendapatan usaha sapi perah. Sejumlah 177 peternak yang dipilih secara acak telah diwawancara sebagai responden. Penentuan propinsi dan kabupaten dalam penelitian ini dilakukan secara purposive, meliputi empat propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, yang merupakan daerah sentra produksi susu yang sekaligus memiliki populasi sapi perah terbesar di Indonesia. Masing-masing propinsi dipilih dua kabupaten yang mewakili agro ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi. Jawa Barat diwakili oleh kabupaten Bandung Utara, Bandung Selatan serta kabupaten Sumedang, propinsi Jawa Tengah diwakili oleh kabupaten Boyolali dan Klaten, propinsi DIY diwakili oleh kabupaten Sleman, serta kabupaten Pasuruan dan Malang yang mewakili propinsi Jawa Timur. Kerangka Analisis Spesifikasi model dalam studi ini adalah dinamis dengan sistem persamaan simultan, dimana peubah endogen ditentukan secara simultan dan interdependen. Sistem persamaan simultan yang dirumuskan tersebut diatas akan diselesaikan melalui metode pendugaan model 2SLS (Sitepu dan Sinaga, 2006). Analisis terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga peternak sapi perah dikelompokkan dalam tiga blok, yakni (1) produksi, (2) alokasi curahan tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak, dan (3) alokasi curahan tenaga kerja keluarga untuk usaha lain. Model persamaan simultan 2SLS dipergunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan keterkaitan antara peubah-peubah tersebut. Model persamaan simultan dapat dituliskan sebagai berikut: PRODi = a0 + a1 PSUSU i + a2 JTRKi + a3 JGDHi + a4 CKUSi + a5 LAKTi + a6 JAKi + e1 (1) 4
dimana: PROD PSUSU JTRK JGDH CKUS LAKT JAK e i = 1,2...177
: produksi susu (l/hari) : harga susu segar di tingkat peternak (Rp/liter) : jumlah pemilikan sapi perah (ekor) : jumlah sapi perah gaduhan (ekor) : curahan waktu kerja untuk usaha sapi perah (jam/tahun) : periode laktasi (bulan) : jumlah angkatan kerja keluarga (orang) : error term : jumlah pengamatan responden
CKUSi = b0 + b1 YUSi + b2 UMURi + b3 CKULi + b4 JAKi + b5 YULi + b6 LHNi + e2 dimana: YUS : pendapatan usaha sapi perah (Rp/tahun) UMUR : umur responden (tahun) CKUL : curahan waktu kerja untuk usaha lain (jam/tahun) YUL : pendapatan rumahtangga non sapi perah (Rp/tahun) LHN : luas lahan (m2) e : error term i = 1,2...177 : jumlah pengamatan responden CKULi = c0 + c1 RTKULi + c2 JAKi + c3 UMURi + c4 CKULi + c5 YRTi + + e3 dimana: RTKUL : penerimaan di luar usaha sapi perah (Rp/tahun) YRT : pendapatan total rumahtangga (Rp/tahun) e : error term i = 1,2...177 : jumlah pengamatan responden Persamaan identitas meliputi: YRT = YUS + YUL
(2)
(3)
(4)
Penyelesaian metode ini menggunakan bantuan komputer dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.02. Simulasi model persamaan simultan dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan beberapa peubah yang dianggap relevan dengan penerapan suatu kebijakan pemerintah, atau sebagai peubah yang dianggap penting diketahui dampaknya terhadap pendapatan rumahtangga peternak sapi perah. Salah satu kebijakan yang sering dilakukan pemerintah adalah mengintervensi pasar dengan menentukan harga output dan harga input produksi usahatani. Dampak dari penurunan harga SSDN sebesar 10% ingin diketahui pada penelitian ini.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Rumahtangga Peternak Sapi Perah Secara umum dinyatakan bahwa jumlah anggota keluarga adalah bervariasi antara 3,5–4,17 jiwa per keluarga, dimana hal ini mengindikasikan tersedianya jumlah angkatan kerja keluarga dan jumlah anak yang masih menjadi tanggungan sekolah (Tabel 1). Angkatan kerja keluarga diukur dengan jumlah anggota keluarga yang berumur sama dengan atau lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi jumlah anggota keluarga yang dimiliki, akan semakin besar pula jumlah angkatan kerja keluarga yang ada. Ukuran keluarga dapat dilihat dari dua sisi, yakni sebagai potensi ketersediaan tenaga kerja yang dimiliki oleh rumahtangga petani dan di sisi lain adalah sebagai beban tanggungan keluarga. Tabel 1. Rata-rata karakteristik rumahtangga peternak Uraian Jumlah peternak (orang) Jumlah anggota keluarga (orang) Umur KK (tahun)
Jawa Barat 62 4,13 38,52
Jawa Tengah 32 3,55 41,40
DIY 28 3,56 44,67
Jawa Timur 55 4,17 36,78
Penguasaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Sapi Perah Usaha ternak sapi perah di Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan usaha pokok, sehingga pengusaan sumberdaya lahan pertanian di wilayah ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan di DIY dan Jawa Tengah (Tabel 2). Rata-rata luas lahan sawah adalah 571 m2 dengan luasan terkecil di DIY (66,7 m2) dan terbesar di Jawa Tengah (1176 m2). Rata-rata luas lahan non sawah (tegalan) lebih besar dibandingkan dengan lahan sawah, yakni sekitar 1327 m2, dimana pada umumnya ditanami tanaman pangan seperti jagung dan singkong serta tanaman hortikultura karena topografinya yang terletak di kawasan dataran tinggi. Salah satu keterbatasan dalam penguasaan sumberdaya lahan pertanian ini mengakibatkan peternak untuk menyewa lahan perhutani sebagai penyedia lahan hijauan pakan sapi perah dengan ditanami rumput gajah. Rata-rata lahan yang disewa adalah 3229 m2, sehingga rata-rata total lahan garapan peternak adalah 5128 m2. Rata-rata penguasaan sapi perah yang dimiliki peternak bervariasi cukup tinggi. Rata-rata jumlah sapi terbanyak dimiliki oleh peternak di Jawa Timur (8 ekor) dan terendah adalah peternak di Jawa Barat (4,2 ekor). Komposisi kepemilikan sapi perah ini hanya 51,6% yang merupakan sapi laktasi sebagai penghasil susu, selebihnya adalah sapi kering, dara dan pedet. Hal ini menunjukkan bahwa beban usaha sapi laktasi cukup tinggi dalam menanggulangi input produksi untuk sapi yang tidak berproduksi. 6
Kepemilikan pedet jantan relatif kecil, karena pada umumnya pedet jantan dijual pada umur 6–12 bulan. Pedet betina dan sapi dara dipergunakan sebagai replacement sapi induk, sehingga kepemilikannya relatif besar. Tabel 2. Rata-rata penguasaan sumberdaya lahan pertanian dan sapi perah Uraian Luas lahan sawah (m2) Luas lahan non sawah (m2) Total pemilikan lahan (m2) Sewa lahan hijauan (m2) Total lahan garapan (m2) Kepemilikan sapi (ekor): – Sapi laktasi – Sapi kering – Sapi dara – Pedet betina – Pedet jantan Jumlah ternak (ekor)
632,30 225,80 858,10 2.592,60 3.450,60
Jawa Tengah 1.176 3.215 4.391 1.866,70 6 257,90
66,67 930 996,67 4.820 5.816,70
Jawa Timur 410,70 938,10 1.348,80 3.635,50 4.984,40
2,47 0,24 0,76 0,73 0,02 4,21
3,21 0,82 0,55 1,21 0,94 6,73
2,13 0,40 1,13 0,97 0,40 5,03
4,59 0,64 0,91 1,50 0,38 8,03
Jawa Barat
DIY
Hasil Pendugaan Persamaan Simultan Hasil pendugaan model pada studi ini cukup representatif menjelaskan kinerja ekonomi rumahtangga peternak sapi perah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang menyusun masing-masing persamaan hanya mampu menjelaskan variasi peubah dalam proporsi yang relatif kecil. Pada derajat bebas masingmasing, uji F menghasilkan kesimpulan bahwa model regresi yang dibangun secara statistik nyata pada taraf nyata 0.001. Hasil uji t menunjukkan bahwa sebagian besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh terhadap peubah endogennya masing-masing pada taraf nyata 10%. Komponen produksi susu terdiri dari harga susu (PSUSU), jumlah pemilikan sapi perah (JTRK), jumlah sapi perah gaduhan (JGDH), curahan waktu kerja untuk usaha sapi perah (CKUS), periode laktasi (LAKT) dan jumlah angkatan kerja keluarga (JAK). Tabel 3 menunjukkan bahwa harga susu, jumlah ternak yang dimiliki maupun gaduhan dan curahan waktu kerja untuk usaha sapi perah sangat berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Hasil ini sesuai dengan perolehan Priyanti (2008) yang menyatakan bahwa harga susu segar di tingkat peternak sangat berpengaruh terhadap produksi susu. Secara signifikan hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu segar dapat meningkatkan produksi susu di tingkat peternak. Perhitungan nilai elastisitas sebesar 0.63 menunjukkan bahwa produksi susu tidak responsif terhadap perubahan harga susu segar. 7
Tabel 3. Hasil parameter dugaan dan elastisitas produksi susu Peubah Intercep PSUSU JTRK JGDH CKUS LAKT JAK
Parameter dugaan - 9.6337 0.0027*) 1.7796*) 2.0794*) 0.0180*) 0.5428 0.1087
Elastisitas
Prob > | T |
0.6298 0.8299 0.1136 0.0250 0.1152 0.0254
0.0122 0.0193 0.0001 0.0001 0.1016 0.1616 0.7928
F value = 80.95 Prob > F = 0,0001 R-square = 0.7407 Adj R-square = 0.7316 Selain harga susu, jumlah pemilikan sapi perah, jumlah ternak gaduhan dan curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha sapi perah juga memberikan perbedaan yang nyata terhadap produksi susu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah sapi perah yang dikelola oleh peternak dan alokasi waktu kerja anggota keluarga, akan semakin banyak susu yang diproduksi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap pendapatan usaha sapi perah. Perhitungan nilai elastisitas menunjukkan bahwa produksi susu tidak responsif terhadap peubah-peubah penjelas ini. Komponen curahan waktu kerja anggota keluarga untuk usaha sapi terdiri dari pendapatan usaha sapi (YUS), umur responden (UMUR), curahan waktu kerja anggota keluarga untuk usaha non sapi perah (CKUL), jumlah angkatan kerja keluarga (JAK), pendapatan usaha lain (YUL) dan luas kepemilikan lahan (LHN). Tabel 4 menunjukkan bahwa pendapatan usaha sapi dan kepemilikan luas lahan sangat berpengaruh terhadap curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha sapi perah. Secara signifikan hal ini menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dimiliki, akan semakin rendah alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha sapi perah, demikian pula halnya dengan semakin tingginya pendapatan dari usaha sapi perah yang diperoleh peternak. Perhitungan nilai elastisitas sebesar 1.2481 menunjukkan bahwa alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha ini sangat responsif terhadap faktor umur. Semakin tua peternak, maka akan semakin berkurang alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga. Dalam hal ini anggota rumahtangga bersikap rasional untuk mengalokasikan jam kerja dengan memaksimalkan utilitasnya. Mangkuprawira (1985) menyatakan bahwa setiap angkatan kerja anggota rumahtangga dihadapkan pada pilihan bekerja dan tidak bekerja, dimana pilihan bekerja akan memberikan nilai guna pendapatan yang lebih tinggi dan akan lebih mencurahkan waktunya bagi pencapaian kebutuhan rumahtangga.
8
Tabel 4. Hasil parameter dugaan dan elastisitas curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha sapi perah Peubah Intercep YUS UMUR CKUL JAK YUL LHN
Parameter dugaan 22.1196 0.0009*) - 0.4982 - 14.9680 5.4763 0.0012 - 0.0031*)
Elastisitas
Prob > | T |
0.9106 1.2481 0.3653 0.9195 0.3799 0.8185
0.4041 0.0042 0.3300 0.1338 0.3246 0.1593 0.0126
F value = 3.55 Prob > F = 0,0024 R-square = 0.1114 Adj R-square = 0.0801
Komponen curahan waktu kerja anggota keluarga untuk usaha non sapi terdiri dari penerimaan tenaga kerja diluar usaha sapi (RTKUL), umur responden (UMUR), jumlah angkatan kerja keluarga (JAK), curahan waktu kerja anggota keluarga untuk usaha sapi (CKUS) dan pendapatan usaha sapi perah (YUS). Tabel 5 menunjukkan bahwa penerimaan tenaga kerja diluar usaha sapi, curahan waktu kerja anggota keluarga untuk usaha sapi dan pendapatan usaha sapi perah sangat berpengaruh terhadap alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha non sapi perah. Secara signifikan hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penerimaan petani dari usaha non sapi akan semakin tinggi alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha non sapi perah. Sebaliknya, semakin tinggi pendapatan dari usaha sapi perah yang diperoleh peternak akan semakin rendah alokasi alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha non sapi perah. Demikian pula halnya dengan pendapatan dari usaha sapi perah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kompensasi alokasi curahan waktu bekerja dari anggota keluarga petani dalam mengelola usahataninya. Penerimaan tenaga kerja diluar usaha sapi dapat berasal dari usaha taninya sendiri, diluar usahataninya sendiri maupun kegiatan off-farm yang banyak didominasi oleh buruh bangunan dan tukang ojek. Perhitungan nilai elastisitas menunjukkan bahwa alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga pada usaha ini tidak responsif terhadap peubah-peubah penjelas ini.
9
Hasil parameter dugaan dan elastisitas curahan waktu kerja anggota keluarga diluar usaha sapi perah
Tabel 5.
Peubah Intercep RTKUL JAK UMUR CKUS YUS
Parameter dugaan - 0.0032 0.0001*) 0.0690 0.0021 - 0.0034*) - 0.0005*)
Elastisitas
Prob > | T |
0.7625 0.6181 0.2100 0.1373 0.4127
0.9914 0.0001 0.1394 0.6486 0.0124 0.0003
F value = 40.68 Prob > F = 0,0001 R-square = 0.5433 Adj R-square = 0.5300 Dampak Penurunan Harga Susu Simulasi kebijakan dilakukan berdasarkan kecenderungan semakin menurunnya harga jual susu segar di tingkat peternak. Hal ini dilakukan dengan menggunakan persentase penurunan dari kondisi awal yang sama untuk seluruh peubah kebijakan. Pada bagian ini dilakukan simulasi dengan menurunkan harga susu sebesar 10% (Tabel 6). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga susu sebesar 10% akan menurunkan produksi susu dan bermuara pada penurunan pendapatan usaha sapi yang akan mempengaruhi terhadap penurunan pendapatan total rumahtangga peternak sampai 28%. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan memperbaiki harga output dari produk susu segar merupakan kebijakan yang berdampak positif pada kinerja usaha sapi perah rakyat. Tabel 6. Dampak penurunan harga susu sebesar 10% Peubah endogen Produksi susu (l/hari) Curahan waktu kerja usaha sapi (jam/tahun) Curahan waktu kerja untuk usaha non sapi (jam/tahun) Pendapatan usaha sapi (Rp000/tahun) Pendapatan usaha lain (Rp000/tahun) Pendapatan total (Rp000/tahun)
Mean predicted 13.0293
Harga susu turun 10% 12.0745
Perubahan (%) - 7.3289
17 814.4
10 395.5
- 41.6455
458.1
549.8
20.0175
18 182.9
11 495.1
- 36.7807
5 628.4
5 628.4
0
23 811.3
17 123.5
- 28.0867
10
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil pendugaan persamaan simultan menunjukkan bahwa faktor-faktor harga susu, jumlah sapi perah, dan alokasi curahan waktu kerja anggota keluarga petani akan mempengaruhi terhadap produksi susu yang dihasilkan. Secara simultan hal ini akan mempengaruhi terhadap pendapatan usaha sapi perah yang akan bermuara pada pendapatan total rumahtangga peternak. Terdapat keterkaitan keputusan dalam hal alokasi curahan waktu kerja keluarga pada usaha sapi perah dan usaha lain, dimana semakin tinggi alokasi curahan waktu kerja untuk usaha sapi akan mengakibatkan terjadinya realokasi curahan waktu kerja untuk usaha lain yang semakin menurun. Dampak penurunan harga susu sebesar 10% akan mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap pendapatan total rumahtangga petani mencapai 28%. Hal ini disebabkan karena produksi susu menurun sampai sekitar 7.3%, sehingga pendapatan dari usaha susu menurun mencapai 36.7%. Untuk menjamin kelangsungan usaha peternak sapi perah, sangat diharapkan adanya penetapan harga dasar susu di tingkat peternak (farm gate price). Harga dasar ini bersifat regional karena adanya variasi dalam cost unit untuk produksi susu di masingmasing wilayah. DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta. International Dairy Market. 2009. International Dairy http://future.aae.wisc.edu.data-weekly.com/19 May 2009.
Product
Prices.
Mangkuprawira, S. 1985. Alokasi waktu dan kontribusi kerja anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi rumahtangga: studi kasus di dua tipe desa di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Disertasi Doktor. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiadi, D. 2009. Penentuan harga dasar susu di tingkat peternak. Makalah disampaikan dalam Diskusi Analisis Kebijakan Penetapan Harga Dasar Susu. Bogor, 4 Februari 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sitepu, R.K. dan B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalam Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Priyanti, A dan R.A. Saptati. 2009. Dampak harga susu dunia terhadap harga susu dalam negeri di tingkat peternak: kasus koperasi peternak sapi Bandung Utara di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. 11