Dalam Bahasa dan Mata Uang Apa Laporan Keuangan Disajikan ? Oleh: Tarkosunaryo Paper ini bermaksud untuk menyajikan analisis penggunaan mata uang yang seharusnya digunakan oleh perusahaan dalam menyusun laporan keuangan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia serta standar akuntansi keuangan di Indonesia. Ketentuan hukum yang digunakan dalam analisis ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia No 40 tahun 2007, Undang-Undang Republik Indonesia No 8 tahun 1997 serta Undang-Undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Sedangkan Standar Akuntansi Keuangan adalah Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI). Mata uang yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan sangat penting karena akan berpengaruh terhadap penyajian angka-angka saldo transaksi dalam laporan keuangan, termasuk transaksi yang dilakukan dalam mata uang selain mata uang yang digunakan dalam laporan keuangan. Selain aspek kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, permasalahan yang sering terjadi terkait dengan penentuan mata uang pelaporan dan mata uang yang digunakan dalam pencatatan transaksi adalah bagaimana perlakuan pengaruh atas perubahan nilai tukar mata uang (selisih kurs) yang terjadi ketika suatu transaksi didenominasikan pada selain mata uang pelaporan dan pencatatan. Aspek Ketentuan Hukum 1) Undang-Undang Perseroan Terbatas Pada umumnya badan usaha di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas sehingga harus tunduk pada pengaturan pada UU RI No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Dalam UU PT diatur bahwa Direksi berkewajiban untuk menyusun laporan keuangan paling lambat 6 bulan setelah tahun buku berakhir yang terdiri atas neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan (pasal 66). Laporan keuangan tersebut disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang ditetapkan oleh organisasi profesi akuntansi yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Direksi wajib menyerahkan laporan keuangan Perseroan kepada akuntan public untuk diaudit apabila (i) kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, (ii) Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, (iii) Perseroan merupakan Perseroan Terbuka, (iv) Perseroan merupakan persero, (v) Perseroan mempunyai asset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah paling sedikit Rp 50 milyar, atau (vi) diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Laporan atas hasil audit akuntan public disampaikan secara tertulis kepada RUPS melalui Direksi. Dalam hal kewajiban audit tersebut tidak dipenuhi maka laporan keuangan tidak disahkan oleh RUPS (pasal 68). Neraca dan laporan laba rugi dari suatu Perseroan yang wajib audit harus disampaikan kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hokum dan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 66).
Persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS. Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan, kecuali terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya (pasal 69). KUHP pasal 392 mengatur bahwa seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris persero terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan daftar atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. 2) Undang-Undang Dokumen Perusahaan UU PT juga mewajibkan Direksi membuat laporan tahunan (termasuk laporan keuangan) sebagaimana dimaksud dalam UU PT dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (pasal 100). Dalam UU Dokumen Perusahaan diatur bahwa setiap perusahaan wajib membuat catatan terdiri dari neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan, rekening, jurnal transaksi harian, atau setiap tulisan yang berisi keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu perusahaan (pasal 5). Dalam penjelasan UU ini dijelaskan bahwa neraca tahunan adalah salah satu bentuk catatan yang menggambarkan posisi kekayaan, utang, dan modal pada akhir tahun buku yang merupakan pertanggungjawaban keuangan. Sedangkan yang dimaksud dengan rekening adalah salah satu bentuk catatan yang dibuat perusahaan untuk menampung transaksi yang sejenis yang digunakan sebagai dasar penyusunan laporan keuangan, dan dapat juga disebut buku besar atau perkiraan. Kemudian dalam penjelasan UU ini juga dijelaskan bahwa jurnal transaksi harian adalah salah satu bentuk catatan yang menggambarkan adanya transaksi yang dapat berupa buku harian atau catatan harian atau tulisan lainya. Kewajiban pembuatan catatan berupa neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan, rekening, jurnal transaksi harian atau setiap tulisan yang berisi keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu perusahaan tersebut dimaksudkan agar setiap saat dapat diketahui keadaan kekayaan, utang, modal hak dan kewajiban perusahaan, untuk melindungi baik kepentingan perusahaan, kepentingan pemerintah maupun kepentingan pihak ketiga. Dengan kalimat lain bahwa catatan tersebut bertujuan untuk menghasilkan informasi keuangan yang bersifat general purpose. Kewajiban ini bersifat keperdataan sehingga risiko yang timbul karena tidak dilaksanakannya kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan. Catatan yang dibuat sebagaimana dimaksud pada pasal 5 UU Dokumen Perusahaan tersebut, wajib dibuat dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia. Dalam hal terdapat izin dari Menteri Keuangan, catatan tersebut dapat disusun dalam bahasa asing (pasal 8). Wajib dalam hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa catatan harus dibuat sesuai dengan ketentuan dalam UU Dokumen Perusahaan. Apabila tidak dibuat dengan menggunakan huruf Latin, mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia, maka secara hokum, perusahaan tersebut dianggap belum membuat
catatan, dan kelalaian tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan. Catatan yang berbentuk neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan, atau tulisan lain yang menggambarkan neraca dan laba rugi, wajib ditandatangani oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang bersangkutan (pasal 9). Apabila neraca tahunan atau perhitungan laba rugi tahunan belum ditandatangani oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk, secara hokum perusahaan dianggap belum membuat neraca tahunan atau perhitungan laba rugi tahunan. Yang dimaksud dengan pimpinan perusahaan adalah seseorang yang berdasarkan Anggaran Dasar memimpin perusahaan yang bersangkutan dan mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk adalah seseorang yang diberi kewenangan oleh pimpinan perusahaan untuk mengelola dokumen perusahaan sesuai UU Dokumen Perusahaan. Catatan berupa neraca dan perhitungan laba rugi tahunan wajib dibuat diatas kertas, sedangkan catatan keuangan lainya dibuat diatas kertas atau dalam sarana lainya dan wajib disimpan selama 10 tahun (pasal 10 dan pasal 11). Penggunaan kata wajib dalam ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa apabila catatan yang berbentuk neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan, atau tulisan lain yang menggambarkan neraca laba rugi, tidak dibuat di atas kertas, perusahaan dianggap belum membuat catatan. 3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diatur bahwa setiap wajib pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan kepada Direkturat Jenderal Pajak. Dalam hal wajib pajak berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan maka Surat Pemberitahuan Tahunan pajak penghasilan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan public tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, maka Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan ke Direktorat Jenderal Pajak (pasal 4). UU KUP pasal 28 mengatur bahwa pembukuan atau pencatatan yang diselenggarakan wajib pajak harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. Pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. Dalam UU KUP diatur wajib pajak meliputi orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Pada umumnya, bahasa asing atau mata uang asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan adalah bahasa Inggris dan mata uang dollar Amerika Serikat. Dalam UU KUP diatur bahwa pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak terhutang. Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau system yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Dalam UU KUP yang dimaksud dengan pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. 4) Simpulan Aspek Ketentuan Hukum Berdasarkan uraian mengenai ketentuan hokum tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku setiap Perseroan Terbatas wajib menyusun laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang ditetapkan oleh organisasi profesi akuntansi yang diakui pemerintah Republik Indonesia. Laporan keuangan tersebut disusun untuk tujuan umum baik dalam rangka pengesahan pertanggungjawaban direksi dalam RUPS sesuai UU PT, penyampaian laporan keuangan kepada pihak lain maupun pemerintah sesuai UU KUP maupun ketentuan lainya. Laporan keuangan tersebut disusun dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan dalam bahasa Indonesia. Perseroan Terbatas dapat menyusun pembukuan dan menyajikan laporan keuangan dalam mata uang asing dan/atau bahasa asing setelah mendaptkan izin dari Menteri Keuangan. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi bentuk usaha lain selain Perseroan Terbatas. Aspek Standar Akuntansi Keuangan Berdasarkan ruang lingkup penerapan, terdapat dua standar akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh DSAK-IAI yang digunakan sebagai basis penyusunan laporan keuangan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berbasis Internasional Financial Reporting Standards dan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP). SAK-ETAP digunakan sebagai basis penyusunan laporan keuangan bertujuan umum (general financial statements) untuk entitas yang tidak memiliki akuntabilitas public signifikan. Suatu entitas tidak memiliki akuntabilitas public signifikan yaitu ketika entitas tidak termasuk dalam salah satu dari dua kategori berikut ini, yaitu: (i) entitas yang telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau (i) entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang adan atau pedagang efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi. Namun demikian entitas yang termasuk dalam dua kategori tersebut dapat menerapkan SAK-ETAP sebagai basis penyusunan laporan keuangan
ketika otoritas yang berwenang membuat regulasi yang mengizinkan penggunaan SAK-ETAP. Pilihan untuk menerapkan SAK-ETAP sebagai basis penyusunan laporan keuangan bersifat voluntary. Entitas yang memilih untuk tidak menggunakan SAK-ETAP dalam penyusunan laporan keuangan maka entitas tersebut harus menggunakan SAK yang berbasis IFRS. Demikian juga entitas yang memiliki akuntabilitas public signifikan (entitas yang termasuk dalam dua kategori diatas) harus menggunakan SAK sebagai basis penyusunan laporan keuangan. 1) Pengaturan Mata Uang Dalam SAK-ETAP Dalam SAK-ETAP Bab 25 Mata Uang Pelaporan diperkenalkan beberapa istilah terkait dengan mata uang, yaitu mata uang fungsional, mata uang pelaporan, dan mata uang pencatatan. Mata uang fungsional adalah mata uang utama dalam arti substansi ekonomi, yaitu mata uang utama yang dicerminkan dalam kegiatan operasi entitas. Mata uang pelaporan adalah mata uang yang digunakan dalam menyajikan laporan keuangan. Sedangkan mata uang pencatatan adalah mata uang yang digunakan oleh entitas untuk membukukan transaksi. Dalam Bab tersebut diatur bahwa mata uang pelaporan yang digunakan entitas di Indonesia untuk menyusun laporan keuangan adalah mata uang Rupiah. Entitas dapat menggunakan mata uang selain Rupiah sebagai mata uang pelaporan hanya jika mata uang tersebut memenuhi kriteria sebagai mata uang fungsional. Sedangkan untuk pencatatan transaksi diatur bahwa mata uang yang digunakan sebagai mata uang pencatatan harus sama dengan mata uang pelaporan. Dengan kata lain bahwa pada umumnya laporan keuangan entitas di Indonesia disajikan dalam mata uang Rupiah. Demikian pula pencatatan transaksi juga dilakukan dalam mata uang Rupiah. Entitas dapat menggunakan mata uang selain Rupiah (missal Dollar Amerika Serikat) sebagai mata uang pelaporan dan mata uang pencatatan hanya jika mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut memenuhi kriteria sebagai mata uang fungsional. Oleh karena itu, mata uang fungsional dapat merupakan mata uang Rupiah atau selain Rupiah, bergantung pada fakta substansi ekonominya. Suatu mata uang dikategorikan sebagai mata uang fungsional menurut SAK-ETAP apabila memenuhi seluruh indikator yaitu: (i) indikator arus kas, yaitu arus kas yang berhubungan dengan kegiatan utama entitas didominasi oleh mata uang tertentu; (ii) indikator harga jual, yaitu harga jual produk entitas dalam periode jangka pendek sangat dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar mata uang tertentu atau produk entitas secara dominan dipasarkan untuk ekspor; dan (iii) indikator biaya, yaitu biaya-biaya entitas secara dominan sangat dipengaruhi oleh pergerakan mata uang tertentu. Pendekatan pembobotan pada setiap indicator tersebut dapat dilakukan ketika menentukan mata uang fungsional, namun entitas harus memberikan bobot paling besar untuk indicator arus kas. Demikian pula entitas disyaratkan untuk menggunakan pertimbangan professional dengan mempertimbangkan aspek operasi dan kegiatan rinci entitas, namun harus dilakukan dengan tingkat relevansi dan keandalan yang paling tinggi. Sehingga entitas memiliki tolok ukur yang konsisten dalam penentuan mata uang fungsional. Implikasi atas pengaturan mata uang pelaporan dan mata uang pencatatan adalah dampak selisih kurs akibat transaksi yang didenominasikan pada mata uang selain mata uang pelaporan dan pencatatan. Mata uang fungsional dianggap sebagai mata
uang dasar dalam menentukan nilai tukar atau dalam perhitungan selisih kurs. Transaksi yang didenominasikan selain mata uang fungsional harus ditranslasikan ke mata uang fungsional dengan menggunakan kurs yang terjadi pada tanggal transaksi. Pada akhir periode, saldo-saldo posmoneter yang didenominasikan dalam mata uang asing dilaporkan ke dalam mata uang pelaporan dengan menggunakan kurs penutup. Sedangkan untuk akun-akun nonmoneter dilaporkan dengan menggunakan kurs transaksi. Selisih kurs yang terjadi dicatat dalam laporan laba rugi. Akun moneter adalah akun SAK-ETAP juga mengatur bahwa entitas diharuskan untuk mengubah mata uang pencatatan dan pelaporan ke Rupiah, jika mata uang fungsional berubah dari bukan Rupiah ke Rupiah. Keputusan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan jika terjadi perubahan substansi ekonomi dari mata uang fungsional. 2) Pengaturan Mata Uang Dalam SAK SAK mengatur perihal mata uang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 10 (2010): Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing (PSAK 10). Pada dasarnya PSAK 10 mengatur bahwa setiap entitas harus mencatat transaksi keuangan dalam pembukuan entitas dengan menggunakan basis pengukuran yang dinyatakan dalam mata uang fungsionalnya. Oleh karena itu, setiap entitas harus mengevaluasi dan menentukan apa mata uang fungsionalnya. Transaksi yang dilakukan dalam valuta asing (valuta selain dalam mata uang fungsional) harus dijabarkan ke dalam mata uang fungsional dengan menggunakan kurs spot pada tanggal transaksi. Pada akhir periode pelaporan, saldo-saldo pos moneter dalam valuta asing dinilai ulang ke dalam mata uang fungsional dengan menggunakan kurs penutup pada tanggal pelaporan. Sedangkan pos nonmoneter dalam valuta asing dijabarkan dengan menggunakan kurs pada tanggal transaksi (saldo tercatat). Selisih kurs yang terjadi diakui dalam laporan laba rugi. Dalam hal entitas melaksanakan pembukuan dan pencatatan dalam mata uang selain mata uang fungsionalnya, maka pada saat menyiapkan laporan keuangan entitas menjabarkan semua jumlah-jumlah dalam pembukuan ke dalam mata uang fungsional dengan menggunakan prosedur: (i) pos moneter menggunakan kurs penutup dan (ii) pos nonmoneter menggunakan kurs pada tanggal transaksi. Sehingga saldo yang dihasilkan setelah prosedur tersebut dilakukan akan sama dengan saldo pembukuan ketika dilakukan dalam mata uang fungsional. Kemudian, PSAK 10 menyatakan bahwa pada umumnya laporan keuangan entitas di Indonesia disusun dalam mata uang Rupiah. PSAK 10 juga mengatur bahwa setiap entitas dapat menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsional atau mata uang yang berbeda. Perbedaan mata uang tersebut terjadi karena berbagai sebab diantaranya karena (i) untuk tujuan konsolidasi bagi entitas induknya di luar negeri yang mata uang penyajiannya berbeda dengan entitas lokal, (ii) mata uang fungsional entitas tersebut ternyata berbeda dengan mata uang pembukuan dan/atau penyajian laporan keuangan yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, (iii) untuk tujuan memenuhi kebutuhan kelompok investor tertentu, atau (iv) sebab lainya.
Ketika laporan keuangan disajikan dalam mata uang yang berbeda dengan mata uang fungsional maka entitas menjabarkan saldo-saldo pembukuan dalam mata uang fungsional ke dalam mata uang penyajian dengan menggunakan kurs sebagai berikut: (i) asset dan liabilitas untuk setiap laporan posisi keuangan yang disajikan (termasuk komparatif) dijabarkan dengan menggunakan kurs penutup pada tanggal laporan posisi keuangan tersebut, (ii) penghasilan dan beban untuk setiap laporan laba rugi komprehensif dijabarkan dengan menggunakan kurs pada tanggal transaksi, dan (iii) semua selisih kurs yang dihasilkan diakui dalam pendapatan komprehensif lain. Prosedur ini hanya berlaku dalam kondisi ketika mata uang fungsional entitas bukan suatu mata uang dari kondisi ekonomi hiperinflasi (yaitu kondisi ekonomi ketika akumulasi tingkat inflasi dalam tiga tahun terakhir melebihi 100%). Dalam PSAK 10, mata uang fungsional didefinisikan sebagai mata uang pada lingkungan ekonomi utama dimana entitas beroperasi, yaitu lingkungan entitas dimana menghasilkan dan mengeluarkan kas. Dalam menentukan mata uang fungsional entitas mempertimbangkan factor berikut ini sebagai factor utama, yaitu: (a) mata uang yang paling berpengaruh terhadap harga jual barang dan jasa dan dari Negara yang kekuatan persaingan dan peraturannya sebagian besar menentukan harga jual barang dan jasa entitas, (b) mata uang yang paling mempengaruhi biaya tenaga kerja, bahan baku, dan biaya lain dari pengadaan barang dan jasa. Selain itu, entitas juga dapat menambahkan factor-faktor berikut ini sebagai factor tambahan dalam menentukan mata uang fungsional, yaitu: (a) mata uang yang mana dari aktivitas pendanaan dihasilkan atau (b) mata uang yang mana penerimaan dari aktivitas operasi pada umumnya ditahan. Demikian juga dalam hal entitas memiliki kegiatan usaha luar negeri, maka dalam menentukan mata uang fungsional juga perlu mempertimbangkan sifat dan karakteristik dari kegiatan usaha luar negeri. Apabila berbagai indicator tersebut bercampur dan mata uang fungsional tidak jelas, maka manajemen menggunakan pertimbangannya untuk menentukan mata uang fungsional yang paling tepat menggambarkan pengaruh ekonomi dari transaksi, peristiwa dan kondisi yang mendasari. Oleh karena itu, mata uang fungsional tidak berubah hingga kemudian terdapat perubahan pada transaksi, peristiwa dan kondisi yang mendasari tersebut. 3) Simpulan Aspek Standar Akuntansi Keuangan Fokus pengaturan mata uang dalam SAK-ETAP maupun SAK terletak pada penentuan mata uang fungsional dan pengakuan dampak selisih kurs yang terjadi. SAK mensyaratkan pengukuran transaksi untuk kemudian dicatat dalam pembukuan harus dengan menggunakan mata uang fungsional. Sedangkan laporan keuangan dapat disajikan dalam mata uang fungsional maupun mata uang yang berbeda. Sedikit berbeda pengaturan dalam SAK-ETAP, bahwa pada umumnya pembukuan dan laporan keuangan di Indonesia disajikan dalam Rupiah. Entitas yang menggunakan SAK-ETAP dapat menyajikan laporan keuangan selain dalam mata uang Rupiah ketika mata uang tersebut memenuhi kriteria sebagai mata uang fungsional. Penutup Undang-Undang mewajibkan Direksi Perseroan Terbatas untuk menyusun laporan keuangan sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang ditetapkan organisasi profesi
akuntansi yang diakui pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut juga mewajibkan Direksi ketika menyusun laporan keuangan harus menggunakan bahasa Indonesia dan mata uang Rupiah. Direksi Perseroan Terbatas dapat menyajikan laporan keuangan dalam bahasa asing dan/atau mata uang selain Rupiah ketika telah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Direksi Perseroan Terbatas menyerahkan laporan keuangan kepada akuntan publik untuk diaudit agar kualitas informasi lebih dapat dipercaya ketika asset atau peredaran usaha melebihi Rp 50 milyar atau diwajibkan oleh ketentuan perundang-undangan lainya. Direksi Perseroan Terbatas juga berkewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan kepada instansi pemerintah setelah diaudit oleh akuntan publik sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan terkait dengan pelaporan keuangan tersebut juga berlaku bagi jenis perusahaan lainya. Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia menitikberatkan pada aspek pengukuran transaksi dalam mata uang fungsional yang kemudian dicatat dalam pembukuan dan disajikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan sesuai SAK dapat disajikan dalam mata uang fungsional atau mata uang lainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.