DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU Al-Quran Al-Karim. Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. (1999). Kamus Kontemporer ArabIndonesia. Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak. Yogyakarta. Anas, Muhammad. (2013). Psycologi: Menuju Aplikasi Pendidikan. Pustaka Education. Bangil. Arifin, Anwar. (2011). Komunikasi Politik Filsafat-Paradigma-Teori-Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta. ____________. (2014). Politik Pencitraan, Pencitraan Politik. Graha Ilmu. Yogyakarta. Berger, Peter L. (1994). Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial. Pustaka LP3ES. Jakarta. Bungin, Burhan. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Fajar Interpratama Offset. Jakarta. ______________. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. ______________. (2013). Sosiologi Komunikasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Campbell, Tom. (1994). Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan. Kanisius. Yogyakarta. Creswell, John W. (1998). Quantitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. Sage Publication INC. USA. Dewa, Mas. (2003). Kiai Juga Manusia, Mengurai Plus Minus Pesantren; Kiai, Gus, Neng, Pengurus & Santri. Pustaka El-Qudsi. Probolinggo.
277 http://digilib.mercubuana.ac.id/
278
Dhofir, Zamakhsyari. (1994). Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. LP3ES. Jakarta. Effendi, Ahmad Fuad dan Amir Hamzah Wiryosukarto, et.al. (1996). KH. Imam Zarkasyi dari Gontor: Merintis Pesantren Modern. Gontor Press. Ponorogo. Effendy, Onong Uchjana. (1992). Dinamika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Fathurrohman, Imam dan Solemanto. (2009). Pemimpin Muda Transformatif: Saatnya Meraih Mandat Rakyat. Penerbit Flashbook. Bogor. Fathurrohman, Imam. (2014). Menapaki Kaki-Kaki Langit. Yayasan Sentra Fananie. Jakarta. Geertz, Clifford. (1983). Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta. Hidayat, Dedy N. (2003). Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Jakarta. Jainuri, Achmad. (1999). The Formation of the Muhammadiyah’s Ideology 1912 – 1942. IAIN Sunan Ampel Press. Surabaya. Jarvis, Sharon E., & Soo-Hye Han. (2008). Political Communication. In. W.F. Eadie (Ed.). 21st Century Communication. Thousand Oaks, CA: Sage. Kuswarno, Engkus. (2009). Fenomenologi: Metode Penelitian Komunikasi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Penerbit Widya Padjadjaran. Bandung. Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Prenada Media Group. Jakarta. Mandan, Arief Mudatsir. (ed.). (2008). Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid. Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS). Jakarta.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
279
Mastuhu. (1999). Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Paramadina. Jakarta. Miles, Matthew B & Huberman, A Michaels. (1992). Analisa Data Kualitatif, terj. Rohidi, Tjetjep Rohendi. UI Press. Jakarta. Moleong, J. Lexy. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Nimmo, Dan. (2009). Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media. Pen. Tjun Surjaman. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Nuruddin. (2004). Komunikasi Massa. Cespur, Malang. Pawito. (2009). Komunikasi Politik Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Jalasutra. Yogyakarta. Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. LPSP3. Depok. Rakhmat, Jalaluddin. (2011). Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Ratna, Nyoman Kutha. (2010). Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2007). Teori Sosiologi Modern. terj Alimandan. Kencana. Jakarta. Roger D. Wimmer & Joseph R. Dominick. (2000). Mass Media Research, Wadsworth Pub. Salim, Agus. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta. Simuh. (1996). Sufisme Jawa. Bentang Budaya. Yogyakarta. Singarimbun, Masri. (1989). Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
280
Sobur, Alex. (2013). Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi, PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. __________. (2001). Etika Pers: Profesionalisme dengan Nurani. Humaniora Utama Press. Bandung. Sodikin, dan Basrowi. (2002). Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Insan Cendekia. Surabaya. Steenbrink, Karel A. (1986). Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. LP3ES. Jakarta. Suharto, Ahmad. (2011). Profil Pondok Modern Darussalam Gontor. Penerbit Pondok Modern Darussalam Gontor. Ponorogo. Sulistiany, R. (1999). Potret Jalanan. PT. Balai Pustaka. Jakarta. Suyatna, Bagong. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternative Pendekatan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Syam, Nur. (2005). Islam Pesisir. LkiS. Yogyakarta. Wahid, Umaimah. (2012). Komunikasi Politik, Perkembangan Teori dan Praktik. Widya Komunika. Jakarta. West, Richard & Lynn Turner. (2007). Pengantar Teori Komunikasi. Salemba Humanika. Jakarta. Wimmer, Roger D. & Joseph R. Dominick. (2000). Mass Media Research, Wadsworth Pub. Yin, Robert K. (2003). Studi Kasus Desain dan Metode. PT. Remaja Grafindo Persada. Jakarta. Zarkasyi, Abdullah Syukri. (2005). Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Zed, Mestika. (2003). Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950. LP3ES. Jakarta.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
281
JURNAL Afdjani, Hadiono dan Soleh Soemirat. (2010). “Makna Iklan Televisi (Studi Fenomenologi Pemirsa di Jakarta Terhadap Iklan Televisi Minuman ‘Kuku Bima Energi’ Versi Kolam Susu”. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 8, No. 1. Akbar, Ilham. (2010) “Pola Komunikasi Antar Pribadi Kaum Homoseksual Tehadap Komunitasnya di Kota Serang (Studi Fenomenologi Komunikasi Antarpribadi Komunitas Gay di Kota Serang Banten)”, Jurnal FISIP Untirta. Galvin, Thomas P. (2015). “A Phenomenological Study of Identity Construction among Military Officers Promoted from the Middle Ranks to the Roles of Senior Leaders”. Pennsylvania: ProQuest. Hajaroh,
Mami.
(tt)
“Paradigma,
Pendekatan,
dan
Metode
Penelitian
Fenomenologi”. Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Yogyakarta. Hariyanto, Gustaf, A.B. Tangdililing, dan Hardi Suja’ie. (2014). “Konstruksi dan Rekonstruksi Identitas Kelompok Etnis Dayak Katolik di Desa Korek Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya”. Jurnal Tesis PSIS – PMIS. Universitas Tanjungpura Pontianak. Maryani, Eni, and Hadi Suprapto Arifin. (2012). “Konstruksi identitas melalui media sosial”. Journal of Communication Studies - Universitas Padjadjaran. Vol. 1 No. 1. Prianti, Desi Dwi. (2011). “Studi Fenomenologi Tentang Pengalaman Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua-Anak Terhadap Pemahaman Anak Pada NormaNorma Perilaku (Kasus Pada Anak Penyandang Autisme)”. Jurnal Ilmiah Komunikasi MAKNA. Vol. 2 No. 1. Rachmani, Meidiana, etc. (2014). “Pola Komunikasi Jarak Jauh (Studi Fenomenologi Pada Orang Tua dan Mahasiswa Asal Kalimantan di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
282
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsrat Manado)”. Jurnal “Acta Diurna”. Volume III No. 3. Siagian, Haidir Fitra dan Mohammad Yusof Abdullah. (2011). “Optimalisasi Fungsi dan Peran Pemuka Pendapat di Sulawesi Selatan”. Jurnal Stimulus Universitas Muslim Indonesia. Edisi II. Makassar. Suisyanto. (2002). “Dakwah Bil Hal, Suatu Upaya Menumbuhkan Kesadaran dan Mengembangkan Kemampuan Jamaah”. Jurnal Aplikasia IAIN Sunan Kalijaga. Vol. III, No. 2. Sulaiman,
Adhi
Iman.
(2010).
“Realitas
Politikus
Perempuan
sebagai
Komunikator Politik”. Jurnal MIMBAR. Vol. XXVI, No. 1. Wirman, Welly. (2014). “Pengalaman Komunikasi dan Konsep Diri Perempuan Legislatif (Studi Fenomenologi Pada Anggota DPRD Provinsi Riau Periode 2009-2014)”. Repository University of Riau.
ONLINE DAN APLIKASI Al-Quran in Word 2010 Adam, Luthfi. (2015). Inlandsche Journalisten Bond (1914-1915): Melawan dengan
Pena
dan
Busana.
http://www.remotivi.or.id/amatan/205/
Inlandsche-Journalisten-Bond-(1914-1915):-Melawan-dengan-Pena-danBusana. (Diakses pada 18 November 2015). Ghazali,
Halim.
(2009).
Pesantren
Bukan
Lumbung
Teroris.
http://reliefnewsletter.wordpress.com/2009/09/07/pesantren-bukanlumbung-teroris/. (Diakses pada 16 Juni 2015). Kamseno,
Sigit.
(2011).
Sketsa
Biografi
Hidayat
Nur
Wahid.
http://www.dakwatuna.com/2011/03/23/11469/sketsa-biografi-hidayatnur-wahid/#ixzz384RsA3i4. (Diakses pada 10 Mei 2015).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
283
Kurniati, Een. (2015). Sejarah Pendidikan Islam: Jangan Melupakan K.H. Zainuddin Fananie. http://abiummi.com/sejarah-pendidikan-islam-janganmelupakan-k-h-zainuddin-fananie/. (Diakses pada 22 Mei 2015). Sarwat,
Ahmad.
(2006).
Definisi
Ulama,
Kyai,
dan
Ustadz.
http://www.eramuslim.com/umum/definisi-039ulama-kyai-danustadz.htm. (Diakses pada 7 November 2015). www.alkhoirot.net.
(2015).
Ustadz
Definisi
dan
Asal
Mula
Kata.
http://www.alkhoirot.net/2012/07/definisi-ustadz.html. (Diakses pada 6 November 2015). www.kbbi.web.id.
(2015).
Kamus
versi online/daring (dalam jaringan).
http://kbbi.web.id/alumni. (Diakses pada 4 Maret 2015). ______________.
(2015).
Kamus
versi
online/daring
(dalam
jaringan).
http://kbbi.web.id/ceramah. (Diakses pada 12 November 2015). www.kemdikbud.go.id. (2015). http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/dosen. (Diakses pada 6 November 2015). www.gontor.ac.id. (2015). Sejarah Pondok Modern Darussalam Gontor. http://www.gontor.ac.id/pondok-tegalsari. (Diakses pada 15 April 2015). www.tribunnews.com. (2015). Panglima TNI Sebut Peran Santri Penting dalam Perjuangan Indonesia. http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/22/ panglima-tni-sebut-peran-santri-penting-dalam-perjuangan-indonesia. (Diakses pada 20 November 2015). Zainuddin, Ahmad. (2015). Apakah Anda Termasuk Sebaik-baik Manusia? http://muslim.or.id/8144-apakah-anda-termasuk-sebaik-baik-manusia.html. (Diakses pada 13 November 2015).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
284
WAWANCARA M. Agus Gofurur Rochim. Wawancara dilakukan pada 14 Mei 2015 di Pondok Pesantren Madinatunnajah, Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan. Chaider S. Bamualim. Wawancara dilakukan pada 9 Juni 2015 di kantor Center for The Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dian Assafri. Wawancara dilakukan pada 1 Juni 2015 di Hotel Kartika Chandra Jakarta lalu dilanjutkan dengan surat elektronik (email). Helmi Hidayat. Wawancara dilakukan pada 31 Maret 2015 di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid. Wawancara dilakukan melalui sambungan telepon pada 20 Oktober 2015. Husnan Bey Fananie. Wawancara dilakukan pada 29 Maret 2015 di kediamannya di Jalan Pangkalan Jati No. 24 Gandul, Depok. Imam Wahyudi. Wawancara dilakukan pada 3 Juni 2015 di kantor DPR RI. Lookh Makhfudz. Wawancara dilakukan melalui sambungan telepon pada 20 Oktober 2015. Sunandar Ibnu Nur. Wawancara dilakukan pada 22 Juni 2015 di Gedung Tower, Universitas Mercu Buana Jakarta.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
285
LAMPIRAN A. Surat Permohonan Wawancara Kepada Yth.
Bapak/Ibu Alumni Pondok Modern Gontor
di
Jakarta, 27 April 2015
Tempat
PERIHAL: PERMOHONAN WAWANCARA Assalamu’alaikum, wr, wb. Teriring salam, semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa berkenan melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada Bapak/Ibu dan keluarga dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Ámín Yá Mujíbassá-ilín. Bersama surat ini, saya Imam Fathurrohman, mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jakarta, bermaksud memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk diwawancarai dalam rangkaian penelitian tesis saya berjudul: Komunikasi Politik Alumni Pondok Modern Gontor (Studi Fenomenologi Kiprah Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Politik). Melalui studi fenomenologi, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui konsep diri, tindakan, dan pola komunikasi politik alumni Pondok Modern Gontor dalam berpolitik. Mengingat proses wawancara berlangsung hanya 2 (dua) bulan, sejak April-Mei 2015, besar harapan saya agar Bapak/Ibu berkenan meluangkan waktu untuk proses wawancara dimaksud. Sebagai tambahan informasi, bersama surat ini saya lampirkan: Outline Penelitian Tesis, Surat Ijin Penelitian Tesis, Daftar Riwayat Hidup, Foto copy KTP dan Kartu Tanda Mahasiswa, serta Foto copy IPK sampai semester 3. Demikian surat permohonan wawancara ini dibuat. Atas perhatian, kebijaksanaan, dan partisipasi Bapak/Ibu, saya haturkan banyak terima kasih. Jazâkallâhu khairan katsîran. Wassalamu’alaikum, wr, wb. Hormat saya, Imam Fathurrohman
No. HP: 082113804909 (telepon, SMS, dan WhatsApp); PIN BB: 24C4b1EE
http://digilib.mercubuana.ac.id/
286
B. Daftar Pertanyaan Wawancara Wawancara ini untuk mengetahui konsep diri, tindakan, dan pola komunikasi alumni Pondok Modern Gontor dalam politik. Berikut adalah daftar pertanyaannya: Pengalaman di Gontor: Kapan Anda mulai belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor? Apa alasannya? Berapa lama Anda nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor? Bisa ceritakan kisah yang paling berkesan saat Anda nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor? Motif dan Konsep Diri: Sejak kapan Anda masuk ke dunia politik? Apa motif Anda masuk ke dunia politik? Adakah background pekerjaan atau lingkup sosial yang dijadikan “kendaraan” untuk masuk ke dunia politik? Bagi Anda, sebenarnya apa makna politik? Tindakan, Pengalaman, dan Pola Komunikasi: Mengapa Anda pilih partai ini (sebutkan nama partai) untuk berkiprah di dunia politik? Apakah kekuasaan menjadi obsesi Anda di dunia politik? Tindakan apa saja yang telah Anda lakukan sebagai politisi/komunikator politik? Pola komunikasi seperti apa yang Anda lakukan untuk berkomunikasi dengan rekan sejawat atau konstituen? Apakah latar belakang Anda sebagai santri Pondok Modern Gontor memiliki pengaruh dalam strategi komunikasi yang Anda lakukan? Menurut Anda, Pondok Modern Gontor memiliki andil dalam perjalanan karir politik Anda? Bagaimana hubungan Anda dengan komunitas alumni PMG semisal IKPM atau PAGON? Apakah Anda juga memanfaatkan jaringan komunitas alumni tersebut? Landasan/Gontor: Pak Zar (KH. Imam Zarkasyi) konon selalu mengulang kata-kata: “Saya lebih suka santri menjadi pemimpin di sebuah langgar kecil tapi memiliki jamaah yang konsisten”. Apakah itu juga berarti sebuah stimulant dari Pak Zar agar para santrinya menjadi pemimpin di masyarakat/umat? Bagi Anda, apa makna tagline pondok berbunyi “Pondok Modern Gontor di atas dan untuk semua golongan”?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
287
Pondok Modern Gontor memiliki “Panca Jiwa” yang diajarkan dan menjadi pedoman bagi para santri di Pondok Modern Gontor. Apakah itu menjadi landasan Anda dalam bertindak di dunia politik? Bagaimana Anda memaknai pepatah pondok: Fi ayyi ardhin tatho’ wa Anta mas-úlun ‘an islámiha? Bisa diceritakan sedikit ajaran Pondok Modern Gontor yang berkesan bagi Anda?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
288
C. Biodata Narasumber dan Transkrip Hasil Wawancara BIODATA DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, MA Lahir Tempat Lahir Istri
Ayah Ibu
: 8 April 1960 : Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah : Kastiyan Indriyati (meninggal) Diana Abbas Thalib (2008-sekarang) : Inayati Dzil Izzati, Ruzaina, Alla Khairi, Hubaib Shidiqi, Daffa Muhammad Hidayat, dan Daffi Muhammad Hidayat : H. Muhammad Syukri : Siti Rahayu
Alamat Partai politik Situs web
: Mampang Prapatan, Jakarta Selatan : Partai Keadilan Sejahtera : www.hidayatnurwahid.com
Anak
Pendidikan SD Negeri Kebondalem Kidon (Lulus 1972) Pondok Pesantren Wali Songo (1972) Pondok Modern Darussalam Gontor (1978) IAIN Sunan Kalijaga (1979) Universitas Islam Madinah (1983-S1, 1987-S2, 1992-S3) Organisasi Gerakan Pramuka Pondok Modern Gontor Himpunan Mahasiswa Islam Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Arab Saudi (1983-1985) Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI), Yayasan Al-Haramain Forum Dakwah Islam Pekerjaan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Petahana (mulai 8 Oktober 2014) Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI ke-11 (1 Oktober 2004-1 Oktober 2009) Presiden Partai Keadilan ke-2 (21 Mei 2000-11 Oktober 2004) Pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta Dosen Universitas As-Syafiiyah Peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) Al-Khairat Nara sumber dan Penceramah di berbagai tempat, baik on air maupun off air. Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana (2009)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
289
Karya Tulis Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar (Skripsi) Al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah (Tesis) Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah (Disertasi) =============================================================== TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA : Wakil Ketua MPR RI 2014-2019 : 20 Oktober 2015 : Interview by phone
Keterangan IF HNW
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Hidayat Nur Wahid (Nara Sumber)
============================================================ Peneliti cukup lama melakukan hunting terhadap DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA. Setelah mengirimkan surat permohonan wawancara dan outline penelitian tesis langsung ke kantor DPP PKS, peneliti juga mendatangi kantor wakil ketua MPR RI ini di Senayan untuk menindaklanjutinya. Bahkan selanjutnya peneliti juga cukup intens menjalin komunikasi dengan ajudannya menanyakan kesediaan beliau. Akhirnya, kesempatan itu datang. Atas lobi DR. H. Husnan Bey Fananie, MA, peneliti dapat mewawancarai DR. H. Hidayat Nur Wahid walaupun melalui sambungan telepon dan direkam dengan digital recorder. Tepat pukul 14.00 WIB pada 20 Oktober 2015, peneliti melakukan wawancara sekira 25 menit 20 detik. Berikut adalah petikannya: IF:
HNW: IF: HNW:
Assalamu’alaikum, Ustad Hidayat. Mohon maaf saya mengganggu waktunya sebentar, Ustad. Saya Imam Fathurrohman sedang melakukan riset untuk tesis dengan judul: Komunikasi Politik Alumni Pondok Modern Gontor (PMG). Jadi yang ingin saya ketahui adalah seputar motif dan konsep diri, tindakan, pengalaman, dan pola komunikasi politisi alumni PMG. Karena sebelumnya saya sudah melakukan searching di internet, kiranya saya hanya akan bertanya seputar hal-hal yang belum saya temukan saja. Iya. Apa yang mau ditanyakan? Baik. Ustad, apa motif Anda terjun ke dunia politik? Motifnya terutama ingin melanjutkan peran umat Islam dalam sejarah negeri ini. Sejak dulu mereka sudah berperan dalam mendidik dan memajukan bangsa Indonesia, termasuk di bidang politik. Salah satu tokoh yang disebut sebagai guru politik bangsa Indonesia adalah HOS Cokroaminoto. Selain itu para tokoh Islam juga sangat tampak dalam BPUPKI yang terlibat dalam penentuan tanggal, asas negara, Piagam Jakarta. Umat Islam juga ada saat menghadirkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
290
Resolusi Jihad, menghadirkan Hari Pahlawan, dan lain-lain. Termasuk juga menggagalkan kudeta komunis dan reformasi. Nah, saya ingin melanjutkan peran itu dan menjaga keberlangsungan peran umat Islam melalui jalur politik karena banyak kepentingan umat yang bisa diperjuangkan melalui politik. Itu yang sedang kami kerjakan saat ini. IF: HNW:
IF: HNW:
IF: HNW:
Apakah motif itu sudah dibangun sejak awal, ketika Anda masih kuliah di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi? Saya memang suka sejarah dan mengetahui peran kesejarahan umat Islam itu. Tapi jika kemudian saya masuk ke dunia politik secara spesifik, memang baru terjadi saat reformasi. Sekalipun sebenarnya saya juga aktif di berbagai organisasi, baik sejak di Gontor maupun di Arab Saudi ketika saya menjadi Ketua PPI Arab Saudi. Jadi kalau terlibat dengan politik secara umum, saya memang sudah lama terlibat. Tapi kalau saya menjadi anggota partai politik itu baru terjadi ketika Reformasi saat kami mendirikan Partai Keadilan (PK). Saat mendirikan Partai Keadilan, apakah ketika itu memang Anda tidak merasa ada partai yang ada dan mampu mengakomodir aspirasi Anda? Kami berpendapat bahwa kami ini generasi yang lahir di era Reformasi dan belum aktif di partai politik manapun, dimana kami lahir di era Masyumi telah dibubarkan. Dan kami merasa generasi yang tumbuh dalam lingkungan kami ini belum terwadahi oleh organisasi politik yang ada. Kami tidak menghadirkan dikotomi atau pengkotakan, tetapi kami mewadahi aspirasi umat Islam. Ini kami buktikan dengan melakukan aliansi dengan parpol lain, bahkan di DPR kami pun berkoalisi dengan PAN. Hal ini dimaksudkan sebagai pewadahan untuk memaksimalkan peran dan bukan pengkotakan. Awalnya, Partai Keadilan identik dengan ideologi yang sangat kental. Namun belakangan setelah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ideologi partai menjadi lebih terbuka. Apa yang menjadi latar belakangnya? Itu pengamatan yang kurang tajam terhadap PKS. Saya tidak melihat ada perbedaan secara prinsip termasuk kekentalan dalam konteks keislaman. Apa yang terjadi di PKS sekarang itulah yang terjadi di PK. Adapun saat ini PKS lebih terbuka, seperti yang sebutkan tadi bahwa pada waktu PK, saat kami tidak mencapai electoral threshold maka kami pun berkoalisi. Kami tidak berkoalisi dengan parpol Islam tetapi dengan PAN yang nasionalis. Meskipun saat itu ada PPP dan PBB yang berideologi Islam. Dari koalisi dengan PAN itu kemudian kami membentuk Fraksi Reformasi. Hal itu menjadi bukti bahwa kami sudah terbuka, dalam arti tidak eksklusif negatif tapi bisa membuka diri dengan siapapun termasuk parpol yang bukan berasaskan Islam. Dan saat ini pun merupakan pembesaran dari apa yang terjadi pada waktu itu. Saya sebagai pelaku dan pembuat kebijakan di dalam tidak melihat adanya perbedaan yang prinsip. Jika sekarang kami semakin meluas dan banyak, itu hanyalah merupakan resiko dari perjalanan usia. Sejak PK, kami tidak pernah menutup diri, eksklusif, dan tidak bisa bekerjasama dengan pihak lain, atau hanya peduli tentang keumatan. Sejak era PK pun kami sudah menyuarakan isu tentang anti korupsi. Dan itu buka isu eksklusif Islam. Justru itulah yang menjadi salah satu ciri PKS. Kami dikenal publik bukan dari sisi ideologi Islam, tetapi dari sikap peduli, tidak korupsi, dan lainnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
291
IF:
HNW:
IF:
HNW: IF: HNW:
Baik. Saya flashback di mana Anda berada di era Gontor. Ini terkait dengan latar belakang para alumni yang memilih jalur politik. Dari perbincangan dengan beberapa nara sumber diketahui bahwa sesungguhnya PMG memang sengaja menyiapkan santrinya untuk menjadi pemimpin di masyarakat. Apakah benar begitu, Ustad? Iya, memang begitu. PMG memang didirikan untuk membentuk calon-calon pemimpin umat dan bangsa di masa depan. Kegiatan sehari-hari di PMG kan memang menandakan hal itu. Dari sejak awal, misalnya, kami dididik seputar berpengetahuan luas, berpikiran bebas, persaudaraan, akhlak mulia, dan lainnya. Tapi kemudian hal itu dibingkai dengan perilaku sehari-hari seperti yang tadinya eksklusif digabungkan dalam satu kamar atau konsulat dan berbaur dengan kawan-kawan dari berbeda daerah. Dari situ saja bisa dikatakan bahwa kami harus mampu betul untuk eksis, bekerja sama, menghadirkan yang lebih baik, dan itulah konsep-konsep kepemimpinna. Belum lagi kami diajarkan tentang kedisiplinan dari sisi waktu dan kegiatan. Disiplin adalah salah satu konsep yang penting bagi para calon pemimpin. Di samping kedisiplinan ada juga reward and punishment. Di PMG itu kan punishment sangat berat. Sehingga menjadi gambaran jika ingin menjadi pemimpin itu harus disiplin dan menerima resiko dihukum. Kemudian kami juga dibiasakan untuk menerima pelajaran umum dan agama yang disampaikan dengan Bahasa Arab dan Inggris. Bahkan kami diwajibkan untuk berbicara dalam Bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak melakukannya, kami dieknakan sanksi. Dari situ kami disiapkan untuk menjadi calon pemimpin yang berpengetahuan luas dan mampu berkomunikasi dengan baik. Kami juga menerima pelajaran muhadlarah lalu lomba pidato 3 bahasa yang sebenarnya mengasah kami untuk menjadi lebih baik dari pada yang lainnya. Kami juga wajib mengikuti Gerakan Pramuka. Saya pernah menjadi utusan PMG untuk mengikuti Jambore tingkat provinsi. Pramuka ini menjadi salah satu cara untuk menggembleng jiwa para santri untuk menjadi para pemimpin yang mampu beradaptasi, survive, dan bekerjasama. Kami juga aktif di organisasi santri lainnya seperti OPPM. Semuanya itu dibingkai dalam keislaman dan ukhuwah Islamiyah. Pak Kiai Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa beliau lebih senang melihat santrinya memimpin sebuah mushalla kecil dengan sedikit jamaah yang konsisten, dibandingkan santri yang memimpin sebuah mushalla besar dengan banyak jamaah yang tidak konsisten. Secara eksplisit, apakah statement itu merupakan keinginan Pak Zar agar para santrinya menjadi pemimpin dalam masyarakat? Iya, memang. Selalu ada penugasan santri untuk melakukan koordinasi dengan masyarakat. (…suara tidak jelas) Anda masuk ke dunia politik. Menurut Anda, sebenarnya apa politik itu? Banyak masyarakat yang memaknai politik itu kotor. Pendapat itu muncul karena adanya praktik politik kotor yang dilakukan sebagian politisi. Tapi itu kan cara pandang yang sekuleristik, apatis, dan tidak sesuai dengan prinsip dasar politik. Dasar politik itu kan untuk terlibat dalam sebuah kebijakan yang membawa kebaikan, bukan keburukan atau kotor. Kedua, Jikapun ada yang melakukan politik kotor, maka ada ketentuan yang akan menghukumnya. Jadi,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
292
politik kotor itu bukanlah adagium yang tidak bisa dikoreksi. Dan politik kotor itu merupakan satu penyimpangan dalam berpolitik. Untuk itulah kami menghadirkan sebuah partai baru yang berasaskan Islam. Kami berijtihad bahwa berpolitik merupakan cara untuk membuat kebijakan bagi kepentingan public. Maka seharusnya ia dihadirkan dalam partai yang tidak kotor. Kalaupun ada kotornya, maka ia harus dikoreksi. Bukan berarti karena dia kotor lalu harus dihindari. Atau sebaliknya, karena politik kotor maka agama jangan dibawa ke sana agar tidak dikotori politik. Hal itu juga semakin menegaskan bahwa istilah politik itu kotor berasal dari istilah sekuler. Dengan alasan itu maka dia akan membatasi bahkan tidak memberi ruang bagi agama untuk terlibat di dalam politik. Saya selalu mengatakan bahwa jika logika ini diterima, maka tidak perlu ada hukum, tidak perlu ada KPK, tidak perlu ada punishment bagi para pelaku politik yang kotor. Jika politik itu kotor maka karenanya tidak boleh agama datang dan membersihkannya. Jika kita ingin menghadirkan lembaga pemberantasan korupsi, politik yang berpihak kepada rakyat, tidak menipu, tidak melanggar hukum, maka politik harus dibersihkan menggunakan agama. Jika ada yang mengatakan politik itu kotor, berarti kan dia mengatakan jangan bawa agama ke dalam politik. Karena agama itu bersih, politik itu kotor. Kalau agama masuk politik, maka agama akan terkotori. Jika logika itu digunakan dan kita tidak ingin hasil dari politik yang kotor, maka politik harus dibersihkan dengan satu materi yang bisa membersihkan sesuatu yang kotor. Analoginya, jika Anda membeli baju kotor tentu Anda tidak ingin memakainya sebelum baju itu bersih. Lalu bagaimana cara membersihkannya? Tentu menggunakan sabun. Tidak mungkin menggunakan air comberan atau suatu materi kotor lainnya. Tetapi pasti menggunakan sesuatu yang bersih. Maka bagi kami, jika politik itu kotor maka yang membersihkannya adalah agama. Karena agama didatangkan untuk membersihkan politik yang kotor itu. Dan memang ketika agama didatangkan tidak serta-merta politk yang kotor itu bisa bersih. Pertarungan politik bisa sangat matrealistik, oleh karenanya banyak fitnah dan seolah-olah agama tidak bisa berperan. Kami berkeyakinan, jikapun ada masalah, maka itulah bagian dari kehidupan. Pada zaman para sahabat Nabi Saw. pun ada yang berbuat salah, tetapi bukan berarti mereka berbeda prinsip. Jika ada yang salah maka harus dihukum, karena kesalahan itu prinsipnya manusiawi dan harus ada perbaikan. Jadi saya kembali tegaskan bahwa istilah politik itu kotor merupakan ungkapan yang sangat menipu dan bias serta akan mengekalkan produk-produk dari politik yang kotor itu. Sementara agama akan dihalangi masuk dengan alasan agama akan terkotori. Tapi kami katakana jika ingin politik kotor itu dibersihkan, maka harus menggunakan agama. Adapun agama yang baik adalah Islam yang membawa pada keterbukaan, sikap adil, professional, dan amanah. Hal ini akan menghadirkan prinsip-prinsip berpolitik yang membawa kemaslahatan. IF: HNW:
Baik. Anda sepakat atau tidak bahwa ajaran yang diterima di PMG itu memiliki andil dalam perjalanan politik Anda? O, iya. Itu pasti. Apa yang telah saya sebutkan tadi itu sangat mendasar membentuk jiwa saya. Bahwa kemudian di Madinah (pergaulan) saya lebih luas lagi. Kalau di PMG kan kawan-kawan saya dari Indonesia, sementara di Madinah itu kawan-kawan saya berasal lebih dari 115 negara di seluruh dunia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
293
Di sana saya juga bertemu dengan kawan-kawan Indonesia dari beragam organisasi seperti HMI, IMM, PMMI, sementara saya aktif di PPI. Itu semua merupakan kelanjutan dari apa yang pernah saya dapatkan dan ikuti di PMG. Dan ketika pondasi-pondasi itu sudah ada, maka tinggal pengembangannya saja. IF: HNW:
IF:
HNW:
IF:
Terkait jaringan alumni PMG, apakah Anda manfaatkan sebagai jejaring di politik? Saya tidak memakai jalur itu, karena saya tahu persis bahwa Gontor itu untuk dan di atas semua golongan. Jadi saya tidak menggunakannya untuk kepentingan politik. Bahkan ketika saya akan mendirikan Partai Keadilan, saya sudah komunikasi dengan Ustad Syukri (KH. Abdullah Syukri Zarkasyi). Saya sampaikan bahwa saya mohon izin akan mendirikan partai politik. Beliau kaget juga karena memang saya tidak pernah belajar ilmu politik dan tidak pernah menjadi anggota partai politik, tapi tiba-tiba ingin mendirikan partai politik. Saat itu beliau bertanya, ada anak Gontor lainnya? Saya jawab ada, yaitu Ustad Saharmo, Ustad Natsir Zein menjadi salah satu deklarator PK. Beliau katakan, silakan saja. Tapi kan Anda pasti ingat bahwa Gontor itu tidak berpolitik dan tidak memihak satu golongan. Kemudian saya katakana bahwa tidak akan melibatkan Gontor di dalam jaringan politik yang akan kami kelola. Adapun saya meminta izin dengan maksud agar beliau tidak salah paham dan menimbulkan masalah. Jadi saya tidak menggunakan jaringan alumni Gontor untuk kepentingan politik. Tapi kemudian ada alumni PMG yang satu ide, satu pemikiran, satu cita-cita untuk memperjuangkan kemaslahatan umat, itu merupakan faktor berikutnya. Dan itu bukan karena jaringan Gontor. Baik. Ustad, pada periode 2009-2014 ada sekitar 5-6 alumni PMG yang duduk di parlemen pusat. Tapi sekarang pada periode 2014-2019, hanya 2 alumni PMG saja yang bertahan dan itupun dari PKS. Menurut Anda, apa ada yang salah dengan pola komunikasi politik mereka sehingga tidak bisa bertahan? Wah..itu harus dikaji satu persatu, karena untuk menjadi anggota DPR itu polanya tidak sama setiap partai. Kan mereka tidak semua dari PKS, tapi ada yang dari Golkar, Demokrat, atau PDIP. Pertama, kebijakan dari masing-masing partai yang menempatkan calon itu di dapil yang bisa menang atau tidak menang. Itu juga jadi faktor yang menentukan. Sekuat apapun calon jika ditempatkan di dapil yang tidak dikenal, maka ia pun kecil kemungkinan menang. Atau taruhlah ia ditempatkan di dapil yang baik, tetapi sekarang kan menggunakan sistem proporsional terbuka, dimana mengandalkan suara terbanyak di masing-masing calon, kemudian ada tokoh lain yang sudah lebih dulu mengakar, atau duitnya lebih banyak, popularitasnya lebih tinggi, maka kemungkinan kecil ia menang. Itu faktor-faktor yang harus dikaji satu persatu. Tapi sistem proporsional terbuka dan kebijakan partai itulah yang menjadi bagian apakah calon akan terpilih atau tidak. Di sisi lain, kualitas diri seorang calon juga penting, meski policy parpol untuk mencalonkan seseorang itu lebih penting. Baik. Selain sekarang sibuk sebagai Wakil Ketua MPR RI, apakah Anda masih mengajar?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
294
HNW:
Iya. Hal ini juga menjadi satu hal yang selalu mengganggu saya. Tetapi saya paham betul bahwa menjadi dosen itu satu pilihan yang jika diambil maka kita harus all out juga. Soalnya kita berhadapan dengan mahasiswa, apalagi mengajar pascasarjana maka mereka harus mendapatkan sesuatu yang terbaik dari dosennya. Problem saya ketika sudah terlibat di DPR/MPR RI, seringkali banyak tugas yang tidak terduga sehingga kontinuitas untuk mengisi perkuliahan itu menjadi sulit. Padahal saya suka pilih mengajar Sabtu-Minggu, tapi ada saja tugas di hari itu baik dari DPR maupun partai. Dan itu tidak bisa dihindari. Dulu saya sempat mengambil Bapak Idris Abdul Shomad sebagai asisten dosen. Tapi karena beliau terpilih menjadi wakil walikota Depok, maka yaa sudah. Dari pada saya mengajari mahasiswa untuk belajar bolos karena saya banyak tidak masuk, maka lebih baik saya untuk sementara ini tidak mengambil jadwal kuliah. Tapi kalau kaitannya dengan bimbingan tesis atau desertasi atau menjadi penguji, maka saya masih memungkinkan karena tidak memerlukan banyak waktu.
IF: HNW:
Terakhir mengajar di mana dan kapan? Terakhir saya mengajar regular ketika menjadi Ketua MPR RI di tahun 2004. Tapi kalau mengisi seminar, bimbingan, atau menjadi penguji masih berjalan sampai sekarang di UIN Syarif Hidayatullah…. (suara tidak terdengar).
IF:
Baik, Ustad Hidayat. Terima kasih atas waktunya dan mohon maaf sudah mengganggu. Wassalamu’alaikum.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
295
BIODATA DR. H. HUSNAN BEY FANANIE, MA Tempat dan Tanggal Lahir Ayah Ibu Istri Putra/Putri Agama
: Jakarta, 13 November 1967 : DR. H. Rusdy Bey Fananie bin KH. Zainuddin Fananie : Hj. Kiki Zakiah binti H. Zaini Meki : Hj. Diana Mustafa (meninggal) Hj. Dian Sarastien : Kifah Gibraltar Bey Fananie Rumi Cahya Nurani Bey : Islam
PENDIDIKAN (S3) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2015) Pendidikan Lemhannas RI, PPRA XLII (2008) (S2) Faculty of Theology and Art in INIS Master of Art Program, RijksUniversiteit Leiden, Nederland (1994 – 1997) Faculty of Political Science, Government College, Punjab University, Lahore, Pakistan (1992 – 1993) (S1) History & Islamic Studies at University of The Punjab, Lahore Pakistan (1990 – 1992) English Departement at National Institute of Modern Languages (NIML), Qu’aidi Azam Ali Jinnah University, Islamabad, Pakistan (1989 – 1990) Fakultas Pendidikan Institut Pendidikan Darussalam, Pondok Modern Gontor (1986 – 1988) Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor, Ponorogo (1982 – 1986) SMP Negeri IV Jakarta (1979 – 1982) SD Negeri Kebon Manggis 08 Pagi, Matraman, Jakarta Timur (1973 – 1979) PENGUASAAN BAHASA Indonesia, Arab, Inggris, Urdu, dan Belanda RIWAYAT PEKERJAAN & ORGANISASI Pengajar di Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor (1986 – 1988), Mata Pelajaran: Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Pidato, Geografi, Sejarah Dunia, Filsafat, dan Al-Qur’an. Redaktur Majalah Mahasiswa “Himmah” IPD Gontor Ponorogo (1986 – 1988). Anggota Dewan Mahasiswa IPD Gontor Ponorogo (1986 – 1988). Anggota Editor Buku “Napak Tilas Pengabdian KH. DR. Idham Chalid dan NU” (1998 – 1999). Redaktur Harian Independen, Jakarta (1998 – 1999). Redaktur Indonesian Observer, Jakarta (1999). Asisten Pribadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (1999 – 2001). Wakil Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Pandeglang, Banten (2000). Asisten Pribadi Wakil Presiden RI (2001–2004) Bidang Pendidikan, Sosial, Politik, Budaya, Agama dan Hubungan Internasional. Anggota Majelis Pengurus Harian ICMI Pusat (2005 – Sekarang).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
296
Sekretaris Dewan Pakar PPP (2003 – 2007) Pemimpin Redaksi Majalah PAKAR PPP (2002 – 2007) Peserta Pendidikan Reguler Angkatan XLII Lembaga Ketahanan Nasional RI, Jakarta, Maret – Desember (2008). Ketua Umum The Fananie Center Foundation (2009 – Sekarang) Staf Khusus Menteri Agama RI (2010 – 2012) Anggota DPR/MPRI RI (2012 – 2014) PENGALAMAN DI LUAR NEGERI Anggota Indonesian Muslim Student Association in Sub-Continent (1989 – 1992) di Lahore, Pakistan. Jurnalis Part Time LKBN ANTARA (1993 – 1995) di Eropa Barat, Cabang Den Haag, Belanda. Editor Majalah “Al-Itthaad” Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (1993 – 1997) di Den Haag, Belanda. Pemimpin Redaksi Buletin “Visie” ICMI (1995 – 1997) di Belanda. Ketua Bidang Public Relation ICMI di Belanda (1995 – 1997). Presiden Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa/Young Muslim Association in Europe (1994 – 1995) Wilayah Den Haag, Rotterdam, Amsterdam, dan Leiden. Sejumlah kunjungan ke luar negeri bersama Wakil Presiden RI sebagai Asisten Pribadi dan Penerjemah ke negara-negara Timur Tengah (2003).
========================================================== TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: DR. H. Husnan Bey Fananie, MA : Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan : 29 Maret 2015 : Jl. Pintu Air 3 No. 24, Gandul-Pondok Labu
Keterangan IF HBF
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Husnan Bey Fananie (Nara Sumber)
============================================================ IF:
Secara garis besar saya ingin menggali pengalaman Anda dalam berpolitik. Di dalamnya nanti saya akan meminta penjelasan tentang motif dan konsep diri Anda sebagai komunikator politik. Termasuk alasan Anda memilih partai politik saat ini. Baik, kita mulai. Apa motif Anda masuk ke dunia poiltik? HBF: Jadi, begini. Waktu saya belajar di Pakistan selama 6 tahun lalu dilanjutkan di Belanda selama 4 tahun—berarti 10 tahun saya belajar di luar negeri—saya melihat banyak hal yang terkait dengan umat Islam. Contohnya di Pakistan. Saat saya pergi ke Pakistan tahun 1988, di sana sedang ada gejolak politik. Saat itu Presiden Pakista Zia-ul Haq baru saja tewas dibom saat naik pesawat. Ditambah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
297
suasana politik yang memanas karena saat itu Afganistan yang merupakan negara tetangga Pakistan sedang berperang melawan Uni Soviet. Para pejuang Mujahidin Afganistan berjihad melepaskan diri dari penjajahan Uni Soviet. Kondisi tersebut sedikit-banyaknya mempengaruhi pola kehidupan dan cara berpikir saya dalam konteks politik. Walaupun saat itu saya memang tidak belajar ilmu politik. Tapi setelah saya menyelesaikan studi di Ali Jinnah University untuk mengambil diploma Sasrta Inggris, lalu saya ke Lahore, di Punjab University saya mengambil Islamic Studies sekaligus saya juga akhirnya ingin mengetahui banyak tentang politik, sehingga saya juga masuk kuliah S1 di Government College—Punjab University di Fakultas Political Science. Kenapa seperti itu? Saya melihat di mana-mana umat Islam dalam keadaan lemah, terutama dalam konteks politik, ekonomi, dan budaya. Tolok ukurnya adalah Pakistan, dimana Pakistan merupakan sebuah Republik Islam yang didirikan Ali Jinnah dan didukung Muhammad Iqbal, seorang pemikir yang memiliki ide two nations yang memisahkan negara Hindu dan negara Islam. Dari situlah saya melihat bahwa ternyata umat Islam perlu dan harus memiliki kekuatan politik. Hal itu dipertegas lagi saat saya meneruskan studi ke Belanda, dimana saya mengkhususkan diri mengambil jurusan Pendidikan Islam Modern di Leiden University. Di situ saya melihat bahwa penjajahan di Indonesia yang dilakukan Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, tidak terlepas dari hal-hal yang terkait dengan ideologi, kepercayaan, agama, belief (keyakinan). Perlu diketahui bahwa saat penjajah Belanda melalui VOC di datang ke Indonesia di abad ke-15, negeri ini masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang mayoritas beragama Islam, seperti Samudera Pasai, Minangkabau, Palembang, Demak, Banten, Cirebon, Ternate, Tidore, Makassar, Bone, hingga ke Raja Ampat. Saya melihat, ternyata, pemahaman ideologi yang menjadi dasar gerakan kemasyarakatan dapat juga dibawa ke gerakan-gerakan politik-kemasyarakatan. Dan nyatanya memang benar. Indonesia dapat disatukan oleh Bung Karno karena adanya satu benang merah, yaitu adanya kesamaan keyakinan dan asas yang sama: Lá iláha illalláh. Lain halnya jika kita melihat suku bangsa, dimana Indonesia memiliki sekitar 500 lebih suku bangsa, apalagi melihat keragaman bahasa. Baik suku bangsa maupun bahasa yang beragam itu tidak memungkinkan untuk bersatu menjadi Indonesia. Saya menilai, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dapat bersatu karena adanya kesamaan ideologi berupaka satu keyakinan dalam sebuah agama. Ternyata, orang Sumatra sama dengan kita, sama-sama orang Islam dan ingin memerdekakan diri dari penjajah. Sehingga saya juga memiliki pendekatan rasional, bahwa sesungguhnya jika kita ingin Indonesia menjadi negara yang bersatu dan kuat, haruslah didasari oleh kesamaan keyakinan. Hal itu saya lihat di mana-mana. Israel bisa ada karena umat Yahudi di seluruh penjuru dunia bersatu. Kesamaan menganut Yahudi itulah yang menyatukan mereka dalam konteks politik. Begitu juga dengan Indonesia yang memiliki sejarah panjang agama-agama. Ada sejarah Hindu, Budha, hingga yang terakhir Islam. Islam ini kemudian menjadi anutan, budaya, dan adat. Seperti di Minangkabau ada istilah “adat bersandi sara, sara bersanding kitabullah” yang artinya adat bersandikan syariat, sementara syariat bersandikan kitabullah. Begitu pula halnya dengan daerah-daerah lain yang mayoritas muslim dan menjadikan Islam sebagai way of live. Islam tidak mengkotak-kotakan hanya masjid, mushalla, pesantren, atau majelis taklim. Islam itu juga ada di dalam ekonomi, sosial, politik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
298
IF:
Apa terbersit juga dalam pikiran Anda bahwa Indonesia sebaiknya menjadi Khilafah Islamiyah? HBF: Begini. Saya akui saat di Pakistan kemudian ke Belanda, saya memiliki landasan ideologi. Apalagi saat di Belanda, saya memimpin sebuah organisasi berlandaskan keislaman, yaitu Persatuan Pemuda Muslim Eropa (PPME). Terlebih saat saya kembali ke Indonesia, bertepatan dengan Reformasi dimana Pak Harto lengser, saya memperhatikan banyaknya kekuatan-kekuatan yang muncul saat itu, saya bertekad bahwa saya harus berpihak dan memiliki landasan yang jelas. Muncul banyak partai politik saat itu dan saya juga sempat ingin mendirikan partai nasional-demokrat. Namun saya berpikir tidak mungkin mendirikan sebuah partai yang dapat mengayomi semua orang, karena akan banyak kepentingan. Hingga saya memiliki kesempatan untuk masuk ke sebuah partai berasaskan Islam. Kenapa demikian? Karena background saya pun seperti itu. Saya berasal dari pesantren, aktivis pemuda muslim, cara pandang saya saat itu juga ingin memiliki sebuah kekuatan Islam yang modern dan bisa membangun negeri ini. Apalagi saya perhatikan para politisi kebanyakan adalah muslim. Kenapa kita tidak menjelaskan jati diri kita sebagai muslim? Kenapa kita harus bersembunyi di balik kata-kata pluralis, sekuler, liberal, dan sebagainya? Keyakinan kita jelas sebagai muslim. IF: Baik. Anda sendiri memaknai politik itu sebagai apa? HBF: Politik itu proses, strategi, metode, atau cara bagi kita untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu jika dalam konteks politik praktis adalah kekuasaan. Dalam konteks umum, politik itu merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh. Bagi saya, politik menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas, pemahaman, ide-ide keislaman. IF:
Artinya, apapun yang terkait dengan keislaman, maka Anda akan habis-habisan membela hal tersebut melalui kendaraan politik. Begitu? HBF: Jelas. Tapi juga harus diingat bahwa politik praktis bukan satu-satunya cara. Saya memahami bahwa politik itu sangat luas. Contohnya apa yang sudah dilakukan Pondok Modern Gontor, dimana sudah melakukan upaya politik yang sangat baik dan sukses dalam bentuk politik pendidikan (educational politic). Pondok Modern Gontor tidak melakukan politik praktis, tetapi melakukan sebuah proses pendidikan dan membangun kader-kader calon pemimpin yang akan berkiprah di segala bidang, baik di politik praktis, kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, dakwah, budaya, sosial, dan sebagainya. Pondok Modern Gontor mendidik para santri untuk mandiri, berkarakter, memiliki wawasan, memiliki nyali yang luar biasa serta memiliki keterampilan untuk menghadapi kehidupan. Jadi saya tegaskan, sangat disayangkan jika ada partai politik tidak berlandaskan sebuah ideologi apapun. Contohnya, sebuah parpol ada yang mengaku nasionalis atau liberalis, pluralis, nasionalis-religius, demokrat, atau religius-demokrat. Buat saya itu semua tidak jelas. Kenapa? Karena bagi saya ideologi adalah ketetapan, keyakinan. Jika ada sebuah parpol berlandaskan nasionalis, pertanyaan saya adalah: apakah parpol yang berasaskan Islam itu tidak nasionalis? Tentu saja nasionalis. Karena parpol ada di dalam sebuah negara yang bernama Indonesia. Memang ada yang bilang PAN, PKS, dan PKB adalah parpol Islam. Oh, tidak. Mereka bukanlah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
299
parpol yang berlandaskan Islam. PAN itu nasionalis-Pluralis, PKB itu berlandaskan kebangsaan meski di dalamnya adalah kalangan Nahdliyin. Begitu juga PKS. Malah PKS itu parpol bebas dan terbuka sekarang ini. Parpol Islam itu jika berlandaskan Islam dan disebutkan di dalam AD/ART seperti yang dimiliki PPP. Ideologinya jelas dan memperjuangkan amar ma’ruf dan nahy munkar. PPP memiliki landasan kuat dan juga didukung ayat-ayat Al-Quran seperti:
IF:
Bukannya setiap parpol juga berpendapat demikian? Artinya, meski asasnya bukan Islam, tetapi mereka berargumen begitu. Atau boleh jadi, pilihan ideologi itu hanya pencitraan politik saja? HBF: Tetapi mereka itu tidak berlandaskan Islam. Ada juga memang orang-orang di PPP yang menjadikan PPP hanya sebagai kendaraan saja. Biasanya mereka tidak mencerminkan sosok muslim sejati. IF: Kalau ada yang seperti itu, lalu Anda ada di pihak mana? HBF: Saya berusaha menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah dan menjalankan sunnah Rasulullah dengan landasan-landasan yang telah ditentukan. Dalam konteks kepartaian, di situ ada AD/ART, bagaimana membangun partai secara islami, apa saja syarat dan rukunnya, dan punishment and reward. Memang tidak semua kader PPP tahu tentang Islam, karena banyak jug ayang baru belajar. Semua ini adalah proses. Makanya, PPP tengah berproses dalam rangka menjalankan kehidupan politik yang islami. Jadi dari awal, kader PPP sudah diwanti-wanti bahwa you sedang berjalan di koridor Islam. Jadi kalau ada parpol tidak berlandaskan ideologi, maka di atas jalan/ideologi yang mana ia berjalan? Contohnya, parpol non-Islam seperti PDIP, Partai Golkar… IF: Parpol nasionalis kan memiliki ideologi Pancasila? HBF: PPP juga menggunakan Pancasila. Jelasnya, asas partai adalah Islam, sementara asas bernegara adalah Pancasila. Itu sudah jelas, final. Bagi PPP, Pancasila itu merupakan bagian dari Islam yang besar karena semua sila di Pancasila sangat Islami. IF:
Lalu bagaimana menurut Anda parpol yang berideologi bukan Islam tetapi mengaku memiliki basis massa muslim? HBF: Berarti tidak punya standar doong..tidak memiliki jati diri. Indonesia ini penduduknnya mayoritas muslim. Tetapi mereka tidak menjadikan Islam sebagai pijakan ideologinya. Berbeda dengan PPP yang berideologikan Islam, karena:
Tidak hanya masuk dalam Islam “biasa” saja, tetapi secara keseluruhan. Makna “silmi” dalam ayat di atas adalah Islam yang sangat detail dan mengglobal. Itulah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
300
dasar kita (PPP-red). Jadi seorang muslim sejati, maka semua gerakan, tindakan harus islami. IF: Lalu, kenapa PPP tidak sekalian saja membuat Khilafah Islamiyah? HBF: Nah, dalam konteks Khilafah Islamiyah, itu begini. Nabi Muhammad Saw. tidak pernah memerintahkan kita untuk membentuk sebuah negara Islam, kerajaan, khilafah. Di zaman Nabi, Madinah diatur secara egaliter. Kita mau contoh Nabi atau siapa? Indonesia yaa seperti ini. Kita tidak boleh mengikuti gerakan-gerakan khilafah yang pernah jaya di zaman Khilafah Utsmaniyah lalu kita transfer ke Indonesia. Itu tidak bisa. Kenapa? Karena kita berbeda, mulai adat istiadat, budaya, peradaban. Tetapi kita tidak beda dalam konteks akidah. IF: Berarti Anda menolak konsep Khilafah Islamiyah? HBF: Bukan menolak, tetapi saya tidak sepaham karena kita berada di Indonesia. Kita memang tidak cocok. Artinya, bukan hanya menolak, lebih dari tidak menolak. Kita tidak cocok. Indonesia adalah NKRI yang berlandaskan UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Itu harga mati. Tetapi dalam konteks islami, landasan tersebut islami. Islam itu universal, bukanlah khilafah atau kerajaan seperti di Arab Saudi atau imamiyah seperti di Iran. IF:
Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa simbol Islam dalam parpol itu tidak penitng, tetapi yang penting adalah bagaimana mengejawantahkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. HBF: Parpol selain PPP tidak berislam secara kaffah. Mereka malu-malu mengatakan jati dirinya sebagai parpol Islam. Saya malah sangat setuju kalau ada parpol di Indonesia yang berlandaskan agama, seperti parpol Islam, Budha, Hindu, Katholik, dan lainnya. Jadi jelas. Tugas PPP sebagai parpol Islam itu untuk menjaga koridor-koridor agar umat tetap dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman dan terjaga. Coba, bagaimana jika tidak ada partai Islam? Indonesia kan bukan negara Islam? Karena bukan negara Islam dan penduduknya majemuk, maka kita harus menjaga umat Islam. Antara lain dalam pembentukan undangundang di DPR, dimana kita harus menjaga kepentingan umat Islam. Berbeda jika negara ini berlandaskan Islam, bukan Pancasila. Maka tidak perlu ada partai Islam. IF: Undang-undang seperti apa? HBF: UU seperti antinarkoba, anti minuman keras, dll. Adanya UU Antinarkoba itu dari parpol Islam, sehingga muncul BNN. Termasuk menginfomasikan pada dunia bahwa penduduk Indonesia mayoritas muslim. Bahkan Indonesia menjadi negara percontohan karena Islam tumbuh sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan Islam radikal yang keras dan penuh teroris. IF:
Tadi Anda menyebutkan bahwa motif masuk politik adalah karena melihat kondisi umat Islam saat di Pakistan dan Belanda. Tetapi, sebagai cucu seorang KH. Zainuddin Fananie yang merupakan politisi di era Orde Lama, apakah fakta tersebut juga mempengaruhi keputusan Anda masuk ke dunia politik? HBF: Saya tahu bahwa saya berasal dari keluarga pesantren. Saya juga tahu bahwa kakek saya KH. Zainuddin Fananie, selain merupakan pendidikan atau educational thinker, pemikir pendidikan juga melek dan mengerti tentang politik. Hal itu disebabkan tidak ada gerakan sosial, pendidikan, dakwah, dan lainnya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
301
yang tidak didukung kegiatan politik. Jadi, kalau Anda tanya apa yang sedang saya lakukan di PPP sejak datang ke Indonesia dari Pakistan dan Belanda, maka jawaban saya adalah saya sedang mengawal dan menjaga apa yang dilakukan umat Islam di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya. Saya bisa dibilang pendidik karena berasal dari keluarga pesantren Gontor yang merupakan lembaga pendidikan. Di sisi lain saya juga seorang politikus yang sedang menjaga apa yang telah dihasilkan oleh Pondok Modern Gontor. Seperti yang tadi disebutkan bahwa Pondok Modern Gontor sendiri tidak melakukan politik praktis untuk mencapai kekuasaan, tetapi melakukan politik pendidikan dengan mencetak manusia-manusia handal yang paham dan mengerti kehidupan islami dan memberdayakan umat. IF:
Pondok Modern Gontor mencetak generasi/santri yang dapat memberdayakan umat. Adakah kata-kata yang diucapkan Pak Kiai dan ustad kepada para santri agar mampu memberdayakan umat? HBF: Oh, banyak. Dan yang paling jelas adalah:
Artinya, di manapun bumi dipijak, kamu bertanggung jawab atas keislamanmu. Lebih lanjut lagi Pak Kiai sering mengatakan, kalau kalian berjuang untuk agama di bidang apapun, maka kalian harus berkorban. Berkorban itu adalah daya upaya yang kita keluarkan dengan maksimal. Beliau mengatakan daya upaya itu bondo (harta), bahu (tenaga), pikir (pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu nyawa). Itu dikeluarkan untuk memberdayakan umat, membangun kekuatan Islam. IF:
Titik tekannya adalah Islam. Lalu bagaimana dengan alumni yang tidak memilih parpol Islam sebagai kendaraan politiknya? HBF: Dalam konteks alumni, Pondok Modern Gontor tidak melihat sebuah kekuatan parpol tertentu. Pondok Modern Gontor memberikan kebebasan kepada santrinya ketika keluar nanti, asal mereka tetap berjalan dalam nilai-nilai dan asas keislaman. Pondok Modern Gontor juga tidak mengharuskan alumninya untuk memilih parpol tertentu karena memang tidak berpolitik praktis. Meski tetap ada garis besar bahwa santrinya harus mengangkat umat dan Islam dalam kehidupan ini termasuk dalam politik. Lalu bagaimana dengan alumni yang tidak masuk parpol Islam? Keislaman itu untuk dirinya. Ia harus mengajarkan dan memberikan pemahaman keislaman di parpol yang bukan Islam. IF:
Artinya, dalam simbol, ia membawa warna hijau di parpol yang bukan hijau. begitu? HBF: Iya, kurang lebih seperti itu. Seperti Mas Zainun Ahmadi di PDIP. Dia harus membawa ruh dan menjaga keislamannya ke partai tersebut, seperti pesan pondok. Dia harus membela umat. Itu tugas sebagai santri yang telah dididik Pondok Modern Gontor. Meski memang pastinya cara berpikir mereka juga sudah banyak dipengaruhi pragmatism, sekularisme, kapitalisme. Tapi saya yakin pada dasarnya mereka komitmen dengan keislamannya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
302
Saya sendiri kenapa memilih parpol Islam, karena parpol seperti ini cenderung langsung kepada umat. Itulah kenapa saya mengunci diri untuk selalu berada di partai Islam. Tetapi seandainya, saya yang merupakan alumni dan keluarga Pondok Modern Gontor kemudian masuk ke dalam parpol non Islam, pasti lebih banyak kepentingan di luar umat yang masuk kepada saya. Pengaruh-pengaruh pramatisme, sekularisme, dll. Sebaliknya, di partai Islam, saya lebih mudah untuk bersuara. IF:
Baik. Lalu bagaimana Anda melihat alumni Pondok Modern Gontor yang berideologi jauh dari mainstream ajaran Gontor, seperti Abu Bakar Ba’asyir? Apakah Anda percaya jika Abu Bakar Ba’asyir juga sejatinya tengah berupaya membina umat Islam? HBF: Iya, saya percaya itu. Walaupun saya tidak setuju dengan beberapa hal yang dia lakukan. Diantaranya pemahaman dia yang sempit bahwa kekuasaan itu harus direbut dengan radikal dan memaksakan ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi keindonesiaan. Saya ini sangat menjunjung tinggi pemahaman seputar Islam keindonesiaan. Konteks budayanya berbeda jika harus memaksakan ideologi seperti di Pakistan, Afganistan, atau Irak. Islam tidak berbeda namun budaya masyarakatnya yang berbeda. Karena perbedaan itulah saya selalu mengimbau, ayoo kita bangun umat dengan cara-cara Rasulullah yang tidak ada pemaksaan. Di dalam Piagam Madinah tidak disebutkan satupun klausul pembumihangusan Yahudi, Majusi, Nasrani, dan Quraisy. Tidak ada pemaksaan bagi mereka untuk masuk Islam. Dengan keramahan Rasulullah tersebut, masyarakat Madinah yang memiliki budaya berbeda dengan masyarakat Mekkah, bisa menerima kaum muhajirin. Kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Padahal masyarakat di negeri ini sangat ramah. IF:
Sebagai seorang komunikator politik, selain mengisi pengajian di majelis taklim, apa lagi model komunikasi yang Anda lakukan? HBF: Kalau di dalam partai saya melakukan pengkaderan dan silaturrahim ke daerah untuk menyapa kader-kader partai. Sementara dalam konteks kemasyarakatan, saya mengisi pengajian di majelis taklim, berdialog dan bersinergi dengan ormasormas kepemudaan dan keagamaan. Utamanya saya mengusung tema tentang Islam rahmatan lil ‘alamin yang memiliki kekuataan yang penuh kedamaian dan kebaikan. Saya tidak pernah mengompori atau memanasi masyarakat bahwa kelompok di luar kita harus dimusuhi. Saya ajak masyarakat untuk memahami mereka sebagai kelompok yang belum mendapatkan hidayah dari Allah Swt. Bukankah Rasulullah mencontohkan kita untuk men-tabligh-kan Islam dengan rahmat, halus, dan penuh kebaikan? Jadikan Islam sebagai agama yang bisa diterima oleh semua orang. IF:
Di PPP saat ini Anda masuk ke kubu siapa? Romy atau Djan Faridz? Lalu apa jabatan Anda sekarang? HBF: Saya di kubu Romy dengan jabatan salah satu Ketua DPP PPP bidang pemenangan pemilu, khususnya sebagai koordinator wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
303
BIODATA DRS. H. HELMI HIDAYAT, MA Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 26 April 1965 Agama : Islam Alamat : Jl. Kalisari II RT 006/02 No. 79 Pasar Rebo Jakarta Timur 13970 RIWAYAT PENDIDIKAN Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1977 – 1983) Teologi dan Filsafat IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (S1) (1985 – 1990) Department of Social Anthropology, the University of Hull, the United Kingdom (S2) (2002– 2003) RISET DAN AKTIVITAS Anggota Forum 2000 untuk pembentukan kota kembar Jakarta-Taipei di Taipei, Taiwan, atas biaya pemerintahan setempat (1994) Peserta Advanced Journalism Study Programme oleh the Thomson Foundation di Cardiff University, Wales, the United Kingdom, atas biaya the British Council (1996) Peserta riset ‘’The Heritage of UAE’’ di enam negara bagian Uni Emirat Arab atas biaya pemerintahan setempat (1997) Pendiri Yayasan Kamil (1999) Koordinator Program Jaringan Pesantren Pemantau Pemilu Indonesia (JP3I) atas biaya UNDP (1999) Pendiri sekaligus Koordinator Program Indonesian Police Watch (Polwatch) atas biaya the Ford Foundation, Partnership for Governance Reform dan lain-lain (1999) Riset tentang community policing di New York (AS), Rio de Jenairo, Sao Paolo, Porto Alegre dan Recife (Brazil) atas biaya the Ford Foundation (1999) Peserta aktif NGO Global Forum oleh The 21st Century Foundation di Oxford University, the United Kingdom, atas biaya the British Council (2002) Peserta 3Rd Senior Journalists’ Seminar oleh East-West Center di Washington DC, Detroit dan Seattle atas biaya East-West Center, Hawaii, the United States (2005) RIWAYAT PEKERJAAN Reporter Harian Umum PELITA (1990 – 1993) Redaktur di berbagai rubrik Harian Umum REPUBLIKA (1993 – 2003) Memimpin beberapa majalah dan jurnal ilmiah untuk kalangan terbatas (lembaga swadaya masyarakat) (2003 – sekarang) Narasumber tetap acara keagamaan di TVRI dan RRI, presenter lepas acara keagaamaan di Jak TV, narasumber di YMTV, dan beberapa TV swasta lainnya (2005 – sekarang) Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi serta Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (2005 – sekarang) Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta =======================================================
http://digilib.mercubuana.ac.id/
304
TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: Drs. H. Helmi Hidayat, MA : Ketua Baitul Muslimin, Organisasi Sayap PDIP : 31 Maret 2015 : Universitas Muhammadiyah Jakarta
Keterangan IF HH
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Helmi Hidayat (Nara Sumber)
============================================================ UMJ, 31 Maret 2015. Wawancara dilakukan di kantin Universitas Muhammadiyah Jakarta selepas Ustad Helmi Hidayat mengajar. Berikut ini adalah paparan lengkap wawancara dengan dosen UIN Jakarta, lulusan Pondok Modern Gontor tahun 1983, dan alumni The University of Hull, United Kingdom tersebut: Dalam bukunya Wisdom of Gontor, Tasirun mengatakan bahwa Hidayat Nur Wahid mengakui jika moto dan Panca Jiwa yang didapat selama nyantri di Pondok Modern Gontor menjadi ruh bagi para santri. Bagaimana menurut Anda? HH: Anda sebenarnya tidak mesti mengutip Hidayat Nur Wahid bahwa moto dan Panca Jiwa adalah ruh, karena dengan sendirinya adalah ruh. Ada yang lebih valid untuk mengatakannya, yaitu para kiai sekarang. Tapi, minimal kami para alumninya menyetujui moto dan Panca Jiwa sebagai ruh. Tapi kalau Hidayat beralasan karena moto dan Panca Jiwa ini dia termotivasi, saya tidak yakin. Melihat peta politik tanah air saat itu. Partai Keadilan (PK)—sebelum Partai Keadilan Sejahtera—memang lahir karena persoalan politik. Soeharto lengser, dibukanya partai-partai, dan lahirlah PK. Lalu tiba-tiba para lulusan Timur Tengah datang dan bergabung, salah satunya melalui halaqah bernama AlHaramain. Saya pernah mengisi sebuah acara yang digelar halaqah-nya Anis Matta waktu masih di Buncit. Tapi intinya benar bahwa Gontor itu membuka peluang untuk apa saja. Gontor tidak hanya membentuk santrinya untuk menjadi pimpinan dalam pengetian politik, karena Pak Zar pernah berkata bahwa beliau lebih bangga pada pimpinan sebuah langgar kecil dengan jamaah yang konsisten dibandingkan pemimpin besar tapi tidak mampu berdedikasi apa-apa.
IF:
IF:
Kira-kira apa motif Pak Zar mengatakan seperti itu, agar para santrinya tampil sebagai pemimpin? HH: Itu paradigm berpikir beliau. Menurutnya, semua anak Gontor harus menjadi matahari. Inilah kelebihan Gontor sekaligus kekurangannya. Karena itu Anda tidak mungkin menyatukan pemimpin dari Gontor di satu tempat. Coba Anda lihat PKS, meskipun banyak anak Gontor (alumni Pondok Modern Gontor—red), di dalamnya gontok-gontokan. Saya tahu persis. Juga jangan karena Lukman Hakim Saifuddin (Menag) itu dari PPP lalu kemudian saya masuk PPP. Ingat, di mana-mana matahari itu harus satu. Tapi sebagai teman, kita ber”hahahihi”. Tapi kalau sudah bersaing, wuiih luar biasa. Kita ditindas. Itu pengalaman
http://digilib.mercubuana.ac.id/
305
saya. Itu negatifnya. Dari sisi positifnya, kita semua jadi pemimpin. Memang di mana-mana pisau itu bermata dua: bisa untuk memotong apel, tapi bisa juga untuk membunuh orang. Jadi, paradigma Pak Zar itu bukan tanpa sisi negatif. Sementara dari sisi positifnya juga luar biasa. Itu tidak perlu kita bahas. Bahkan faktanya, saat ini era Gontor. Muhammadiyah, NU, Persis, PKS, PPP, dan lain-lainnya. Gontor luar biasa. IF: Bang, Anda masih aktif di PDIP? HH: Masih. Saya salah satu ketua Baitul Muslimin. Tapi saya jarang ikut rapat. IF: Kenapa? HH: Saya agak kecewa di Baitul Muslimin. Boleh saja kan, dalam perjalanan saya kecewa? Tapi memang tidak penting saya cerita kenapa kecewa, hehe.. IF: Baik. Apa sih motif Anda aktif di Baitul Muslimin? Di partai merah pula.. HH: Dalam paradigma saya, saya ingin Indonesia seperti Al-Madinah Al-Munawarah. Kota Al-Madinah Al-Munawarah itu multikulturalis persis seperti kita. Dari sisi agama, saat itu ada dua agama besar yang berkuasa, yaitu Yahudi dan Nasrani baru kemudian Shabi-în. Dari sisi kesukuan, ada dua suku yang berkuasa, yakni Auz dan Hadraj serta suku-suku kecil. Itu dari sisi geopolitiknya. Di sana, bertahun-tahun tidak pernah ada pemimpinnya. Kenapa? Karena setiap ada pemimpin yang tampil dari Yahudi, maka kelompok Nasrani akan ‘memotong’. Ketika pemimpin dari Auz yang muncul, maka kelompok Hadraj akan ‘memotong’. Begitu juga sebaliknya. Terus seperti itu. Maka kemudian mereka bersepakat untuk ‘meng-impor’ pemimpin supaya netral. Dan terpilihlah Muhammad Al-Amin. Maka terjadilah Perjanjian atau Ikrar ‘Aqabah Pertama yang berisi sumpah setia. Kemudian terjadi lagi Perjanjian ‘Aqabah Kedua yang membuat mereka hijrah. Dan ketika hijrah, geopolitik bertambah kompleksitasnya. Kalau dulu Auz-Hadraj, Yahudi-Nasrani, sekarang ditambah Muhajirin-Anshar. Itu kan luar biasa dan begitu juga di Indonesia yang banyak suku dan kelompok. Tapi kan disatukan dengan sebuah peradaban baru bernama Islam. Rasulullah sangat menghormati multikulturalisme. Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, sekretaris beliau seorang Yahudi. Beliau membuat perjanjian dengan Yahudi dan Nasrani. Semua dirangkul. Saya berkeinginan Indonesia seperti Madinah di zaman Rasulullah. IF: Kenapa PDIP yang dipilih bukan Partai Golkar atau partai politik lainnya? HH: Kalau Partai Golkar sudah ada sayap Islamnya namanya Jamus (Jam’iyyatul Muslimin). Jamus ini sebetulnya bentukan PDI. Saya juga baru tahu. Namun diambil alih oleh Golkar. Biasalah, dulu kan Golkar terkuat. Sementara PPP sudah Islam. Dan menurut saya, yang paling konyol dalam hal berbangsa dan bernegara adalah PDIP. Kenapa konyol? Pertama, ketika pada tahun 1999 PDIP memenangkan pemilu, mereka euforia. Saat itu PDIP paling banyak menempatkan kadernya sebagai anggota DPR RI. Tapi coba lihat, kebanyak dari mereka itu cuma lulusan SMA, tidak pandai, masuk gara-gara duit, dan lain sebagainya. Kedua, setiap rapat DPP, mereka minum minuman keras. Itu benar..benar. Kebiasaan itu baru berakhir setelah dibentuk Baitul Muslimin, setelah ada Hamka Haq. Minuman keras betulan. Mungkin juga Golkar begitu. Tapi kan saya tidak berani bilang begitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
306
karena saya tidak mengalaminya. Di PDIP saya dengar begitu dari Hamka Haq. Saya tidak pernah melihatnya karena itu kan rapat DPP bukan Baitul Muslimin, sementara saya bukan pengurus partai. Hamka Haq bicara seperti itu di depan umum, di sebuah forum dan tidak mungkin dia berbohong. Oknum-oknum yang merasa tersindir cuma tertawa saja. Kami (dibaca PDIP) adalah partai pertama yang membuat shalat Id di kantor DPP. Bukan PKS atau Golkar dan saya khatib pertamanya. Lucunya, waktu potong kurban, hewannya masih dikalungin kembang dan disiapkan kendi. Sudah seperti orang Hindu. Itulah PDI Perjuangan. Di situlah kami masuk. Nasionalisme mereka begitu kental. Saking kentalnya, mereka selalu berhadapan dengan partai hijau. Kalau dengan Golkar sudah cair, karena dulu kan Golkar itu partai politik terbaik se-Asia Tenggara. Bukan Partai Golkar sekarang yang hancurhancuran. Partai Golkar punya lebih dari 1000 doktor, hampir 2000 master, dan tidak ada partai politik di Asia Tenggara sehebat Partai Golkar. Jadi kalau masuk Partai Golkar bukan menjadi tantangan buat saya. Buat apa lagi saya memberi warna? Jadi, PDIP yang lebih layak saya masuki dengan Baitul Muslimin. Ketika saya masuk, saya bukan tidak memiliki pikiran akan menjadi bulanbulanan. Dan benar saja, hal itu terjadi. Gontor memusuhi saya, ustad-ustad juga memandang miring kepada saya. Tapi buat saya inilah perjuangan. Memangnya elu yang punya surga? Yang tahu isi hati saya kan Allah. IF: Bagaimana sebenarnya sejarah Baitul Muslimin? HH: Pertama kali yang mengusulkan berdirinya Baitul Muslimin adalah para petinggi organisasi masyarakat dan alm. Taufik Kiemas. Karena mereka berpandangan sama seperti saya. Menurut Taufik Kiemas, akan berbahaya bagi bangsa jika merah dan hijau terus saling berhadapan. Lalu dipanggillah Din Syamsuddin, Hasim Muzadi, Syafi’i Ma’arif, dan lainnya. Kemudian disepakati didirikannya Baitul Muslimin. Maksudnya agar ada sayap Islam di PDIP. Partai seperti PDIP harus diantisipasi supaya tidak terus berhadap-hadapan dengan partai Islam. Sama-sama muslim tapi bentrok hanya karena gara-gara beda ideologi, padahal sama-sama hamba Allah dan umatnya Nabi Muhammad. Ini mengerikan. Maka dibuatlah Baitul Muslimin dan saya senang terlibat di dalamnya. IF: Dari Gontor ada berapa orang yang terlibat di dalamnya? HH: Ada tiga: saya, Zainun Ahmadi, dan Nova Andika. Zainun Ahmadi sempat jadi anggota DPR RI dan Nova Andika masih menjadi pengurus partai. Oh, ada satu orang lagi yang dibawa Nova Andika (belakangan diketahui bernama Imam Wahyudi). Jadi semuanya yang saya tahu ada 4 orang. IF:
Tapi Anda percaya bahwa ketiga teman tadi memiliki motif yang sama dengan Anda? Apakah ada di antara mereka yang memiliki motif kekuasaan? Seperti contohnya, Bang Zainun Ahmadi, karena ia berada di dalam kepengurusan PDIP ia mencoba memperkuat pengaruh melalui Baitul Muslimin? HH: Saya tidak berani mengatakan semua orang seperti saya. Kan wawasan orang berbeda-beda, bacaan bukunya berbeda. Buktinya, sekarang saya tidak lagi menjadi caleg. Sudah selesai. Saya sudah pernah mengalami jadi caleg…oh, begitu. Anggap saja riset antropologis, begitu. (Jadi caleg itu) tidak cocok sama saya. Tadi di mobil saya berpikir, untung saya tidak jadi anggota DPR. Coba bayangkan jika jadi anggota DPR yang sekarang sedang kisruh. Apa enaknya begitu? Saya berpikir enak hidup begini, bisa bercanda dengan mahasiswa. Sepertinya hidup bersahaja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
307
seperti ini lebih enak. Memang saya tidak cocok. Tetapi kan saya ingin berbuat, makanya sampai sekarang saya tidak lepas. Kedua, mereka tahu kapasitas saya. Jadi, yang sifatnya akademis (mereka menggunakan jasa saya). Saya baru pulang dari Filipina. Sebenarnya itu undangan untuk partai (PDIP). Coba bayangkan, dari sekian banyak orang di PDIP, lha kok saya yang sudah lama tidak aktif malah diundang. Mereka tahu (kapasitas saya). IF: Tapi secara struktural di Baitul Muslimin Anda masih ketua? HH: Masih ketua. Tapi ini kan sayap. Di partai saya cuma di departemen kecil. Saya bukan pengurus DPP tapi departemen. Kan ada yang lebih besar lagi. Kenapa tidak mereka ini yang diutus ke Filipina. Karena Bahasa Inggrisnya jeblok. Tapi kalau disuruh debat, mereka jago semua dan memang kerjaannya itu. Dan banyak partai seperti itu. Yang pintar itu sedikit. Fadli Zon itu sebenarnya pintar, tapi karena ia tenggelam oleh kekuasaan jadinya dia begitu. IF:
Kalau melihat dari sini, motif berpolitik alumni Gontor itu berbeda. Seperti Husnan yang motifnya karena ingin memajukan umat setelah melihat realitas di Pakistan, Hidayat Nur Wahid yang sebenarnya tidak ingin berpolitik, dan Anda memiliki motif lain yang berbeda. Dari perbedaan ini, apakah Anda melihat jika sebenarnya para alumni memiliki muara yang sama seperti yang dikatakan Pak Zar? HH: Iya. Kalau itu iya, muaranya sama. Itu saya setuju. Cuma datang kesempatannya berbeda dan itu yang membuat motif pun berbeda-beda. Contohnya, coba kalau saya posisinya sama seperti Hidayat Nur Wahid yang lulusan Timur Tengah bukan lulusan Eropa, lalu ketika saya pulang ke Indonesia mungkin saya akan mendirikan Partai Keadilan. Karena wawasan saya pasti bercorak Wahabi. Begitu pula halnya, saya seperti ini kan karena saya produk Gontor. Coba saya alumni Tebu Ireng, pasti tidak seperti ini gaya saya. Pasti berbeda. Pendidikan pasti mewarnai orang. Berikutnya, saat ini anak-anak Gontor (alumni muda) berbondong-bondong masuk (ke dalam partai politik) yang kalau dilihat secara sekelebat motifnya adalah kekuasaan. Itu harus diakui. Kan kami juga sering bertemu dan mengobrol. Banyak yang bergerak secara structural bukan kultural. Kalau kultural kan harus sabar meniti karir dan punya niat untuk membenahi, kalau tidak ada jabatan tidak apaapa. Mungkin Allah menghendaki begitu, legowo. Tapi kalau struktural, (pikirannya) kok gue gak jadi anggota dewan ya..? Sakit jadinya. Tapi yang idealis juga ada satu-dua. Contohnya saya, kemudian ada beberapa kawan yang berpartai tapi tidak mau jadi caleg. Ada anak Gontor yang begitu, dia menyumbang terus sampai akhrinya waktu Luthfi (Luthfi Hasan Ishaq, Presiden PKS) ditangkap KPK, dia saya ledekin. Kata dia, biar saja, itu kan Luthfi. Tapi sebagai partai, kita tetap menegakkan Islam, ane tetap nyumbang. Sampai begitu. Banyak juga teman-teman di Gontor di grup BBM. Ketika saya mendukung Jokowi, mereka Prabowo semua. Saya berhadapan dengan mereka. Mereka juga idealis dan kuat sekali kalau sekadar jadi anggota DPRD. Tapi mereka tidak mau. Pilihan itu harus kita hormati. IF:
Bagaimana dengan pola komunikasi alumni Gontor? Saya melihat Hidayat Nur Wahid dan Husnan, misalnya, sama-sama melakukan ceramah di majelis taklim, halaqah-halaqah, seperti cara santri pada umumnya. Anda sendiri sebagai praktisi partai dan ustad di partai politik melihatnya seperti apa? Apakah ada pola komunikasi yang lain?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
308
HH: Belum. Belum ada. Tapi ada jawabannya kenapa… Karena memang segitu yang diberikan Gontor kepada kami. Awalnya memang kami tidak dicetak sebagai politisi. Saya yakin itu. Minimal sampai generasi kami. Ini kan karena ada kesempatan untuk kami berkiprah. Berbeda memang dengan pesantren yang sejak awal (punya tujuan kalau ada lulusannya) jadi pejabat bisa menggelontorkan ke sini. Kalau Gontor kan tidak. Cetak lepas, cetak lepas. Kalaupun ada alumninya jadi pemimpin, paling senang biasa saja. Alami. Makanya pola komunikasi politiknya, pola kampanyenya jadi tradisional. Tidak ada yang seperti Fadjroel Falakh yang begitu merakyat melalui gerakan LSM-nya. Memang ada teman-teman di Gontor yang bergerak di LSM. Tapi kan sudah jadi poltisi. Saleh Abdullah, misalnya. Nah, alumni yang maju kebetulan adalah tokoh publik seperti Hidayat Nur Wahid dan Ansory Siregar di PKS serta Husnan di PPP yang memang kan penceramah dan itu paling tradisional yang bisa dilakukan. Begitu juga seperti Wahab dari PKB. Saat dia jadi anggota DPRD, pola kampanyenya juga sama, ceramah. Dari sisi pola komunikasi, jangan berharap banyak dari kami, tapi mungkin dari motif bisa lebih kaya. IF:
Saat Anda bergabung di Baitul Muslimin, apa ada juga motif ingin meraih kekuasaan? HH: Dulu iya. Saya tidak munafik. Kan saya pernah jadi caleg. Dalam banyangan saya, jika nanti jadi anggota DPR, maka saya akan begini, begini… motifnya dari duniawi sampai ukhrawi. Paham kan maksud saya? Tapi dalam perjalanan saya kecewa karena di Baitul Muslimin, posisi sekjen lama direbut oleh sekjen yang baru sekarang dengan kasak-kusuk politik. Dan saya sekarang mundur pelan-pelan. Dipecat pun tidak apa-apa. Maunya saya, kita ini masuk dengan akhlak islami, tapi ini kok sama saja dengan PDI. IF:
Bagaimana dengan keterlibatan Baitul Muslimin dalam pemenangan Jokowi kemarin? HH: Baitul Muslimin luar biasa (mendukung Jokowi). Minimal kami menggerus ketika perang urat syaraf. Kan luar biasa perang urat syaraf kemarin. Prabowo yang tadinya jomplang tiba-tiba naik. (Kemenangan) itu kerja keras semua pihak, termasuk Baitul Muslimin. IF: Termasuk meng-counter isu Kristen, China? HH: Iya. Bahkan dulu waktu Mega diterpa isu presiden tidak boleh perempuan, Baitul Muslimin luar biasa (meng-counternya). Bikin brosur… IF: Pola komunikasinya seperti apa? HH: Banyak. Debat, seminar, brosur, booklet, dan lain sebagainya. Kami cetak banyak. Betapa Aisyah itu pernah memimpin dalam perang Jamal, misalnya. Ratu Bilqis di Al-Quran diabadikan sebagai malikah, sehingga tidak larangan perempuan untuk memimpin. Itu kan cuma hadits yang bisa kita telusuri bersama apakah sesuai atau tidak. Kenapa kemudian hadits seolah-olah seperti Al-Quran? Itu cara kami. Waktu pemenangan Jokowi juga banyak (menggunakan pola komunikasi seperti itu). Kami dalam banyak hal, Baitul Muslimin, mengenalkan bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang pengusaha kecil, berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah kaya raya. Soemitro siapa yang tidak kenal?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
309
IF:
Saat ini profesi Anda adalah dosen dan sedang menikmatinya. Ke depan, jika ada kesempatan untuk maju lagi menjadi caleg, apakah kesempatan itu akan diambil? HH: Saya tidak tahu jawabannya. Sebab ke depan kita tidak pernah tahu. Saya bicara fakta. Ketika kemarin (pemilu 2014) saya tidak mencalonkan diri, Sekjen Baitul Muslimin sekarang namanya Ahmad Basarah yang juga ketua fraksi PDIP, menelepon saya dan mengatakan: Ustad, Antum tidak mencalonkan lagi? Antum tidak mungkin lagi nomor 4, pokoknya nomor Antum naik di atas itu. Saya jawab, enggak, saya ingin berjuang di Baitul Muslimin saja. Buktinya sampai sekarang saya masih datang. Itu jawaban saya, dulu. Jawaban saya itu, kalau bileh dibilang, adalah jawaban saya yang tahu diri. Tidak banyak punya uang, kemudian tidak banyak punya jaringan di PDIP. Kalau saya disuruh ‘kerja bakti’ dna mencari betul-betul, jangan di kolam PDIP. Cari di kolam lain, begitu kira-kira. Di PDIP saya tidak mempunyai jaringan di ranting-ranting. Saya realistis. Akhirnya saya berpikir, kan memang khittah awalnya ingin berdakwah, kenapa saya jadi gila kekuasaan juga? Tapi, kekuasaan kan tidak hanya menjadi anggota DPR kan? Misalnya saya diminta menjadi staf ahlinya Jokowi, speech writer atau apa, tentu saya mau. Kan memang itu tujuannya. Kalau saya jawab tidak dan tiba-tiba iya, kan saya jadi munafik. Maka sejujurnya saya katakana iya. Kalaulah kekuasaan jangan dibatasi sebagai anggota DPR saja. Kan banyak ya… mungkin duta besar dari PDIP, tidak apa-apa. Saya berprinsip, jika kita punya power, maka itu lebih baik. Al-mu’minul qawiy khairun minal mu’minudh dha’if. Harus realistis. Rasulullah juga kan membangun jaringan di Madinah. Kenapa tidak? IF:
Baik. Sebenarnya, menurut pandangan alumni Pondok Modern Gontor, PDIP itu seperti apa sih? HH: Waktu di pondok ada sebuah mahfudzat (kalimat baik yang dihafal) yang selalu diulang-ulang oleh Pak Zar (allahummaghfirlahu), yaitu: annâsu a’dâ-u ma jâhilu (orang cenderung memusuhi yang ia tidak tahu). Orang kan tidak tahu seberapa dalamnya sumur. Tapi bagi yang tahu seberapa dalamnya, dia masuk saja. Nah, mereka (alumni Pondok Modern Gontor) itu cuma tidak tahu PDIP. Mereka tahunya yang tadi saya katakan, yang konyol tadi. Dan mereka pun tidak berusaha masuk. Ooh, ternyata tidak sekonyol yang saya bayangkan, mestinya kan begitu. Karena saya tahu, makanya saya masuk. Ooh, ternyata PDIP tuh gak konyolkonyol amat, misalnya begitu. Itu yang kemudian menjadi stigma buruk di kepala mereka. Kedua, mereka melihat sendiri bahwa gerakan PDIP ini, di antara faksi-faksinya terdapat komunis di dalamnya yang menggerus banyak kebijakan Islam. Semakin marah mereka itu. Yaa sudah tidak usah didukung, lawan saja. Maka kemudian karena mereka menempatkan diri sebagai lawan dan melihat ada lawannya di PDIP maka mereka marah. Itu wajar. Malah saya katakana, eh elu jangan marah-marah, PDIP ini biasa saja. Jawab dia, alaaah enggak… begitu kira-kira. Saya berada di posisi itu. Ketika saya menjadi komunikator PDIP, saya menjadi bulan-bulanan orang yang tidak mencoba memperluas wawasan. Seolah-olah negara ini harus menjadi Negara Islam. Kan harus realistis. Orang-orang seperti itu banyak dan masih seperti itu sampai sekarang. Teman-teman di grup BBM, apalagi angkatan saya ke atas umumnya langsung menjaga jarak. Saya bilang, elu pimpinan pesantren tapi cara berpikirnya begitu. Buat saya sih peanut. Lha saya masuk PKS bisa. Kenapa you masuk PDIP tidak bisa? Coba mana yang lebih lentur?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
310
IF:
Jika Anda bilang bahwa tahun ini, dalam pusaran politik, adalah tahunnya Gontor, bisa jadi betul jika memperhatikan fenomena saat ini. Apakah hal ini juga berkaitan dengan ajaran Gontor, misal pernyataan Pak Zar tentang pentingnya anak gontor menjadi imam di sebuah surau kecil? HH: Seperti yang saya bilang, anak-anak Gontor ini kadang tidak sadar bahwa sesungguhnya Trimurti itu punya paradigm yang hebat luar biasa dan jauh ke depan (visioner). Di dalam teori komunikasi kan ada teori jarum suntik? Meskipun dibantah oleh penemunya, tapi ada benarnya walaupun sedikit. Dan itu berlaku kepada anak-anak Gontor. Mereka tidak sadar banget kalau sudah disuntik oleh doktrin-doktrin yang tanpa mereka sadari. Yang saya maksud dengan doktrin antara lain, coba saja bayangkan, kami kelas 3 SMP sudah diajari filsafat melalui kitab Attarbiyyah wa Atta’lîm. Di situ kami diperkenalkan teorinya Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain sebagainya. Buku berbahasa arab itu kami hafalkan dan tanpa sadar masuk ke dalam pikiran, darah, dan daging. Kelas 1 SMA ketika teman-teman seusia tawuran, kami diajarkan untuk berpikir sangat liberal melalui Bidâyatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Coba saja, apa itu tidak multipluralis? Tapi itu kami tidak terasa. Hanya belajar dan belajar saja. Berbeda jika kami hanya belajar dalam madzhab Syafi’i. Di situ kita dikunci dan yang lain tidak boleh masuk. Di kelas 2 SMA kami belajar tentang agama-agama, lalu belajar logika dan itu pelajaran semester 6 di IAIN. Kalau teman-teman itu belajar lalu pulang, saya tidak. Saya renungkan baik-baik. Gila yaa..saya datang dari Jakarta belajar seperti ini. Pesantren yang luar biasa. Sampai Demi Allah, ketika bapak saya terbujur kaku setelah dimandiin di RS Pasar Rebo, saya pegang kakinya lalu saya ucapkan: Pa, terima kasih yaa… Apa sudah sekolahkan Ami ke Gontor. Itu yang saya bilang. Bukan yang lain. Bukan IAIN dan bukan Inggris. Nah, korban dari teori jarum suntik ini adalah santri Pondok Gontor dan itu tidak terasa. Begitulah metode dari para kiai kami. Begitulah mencetak matahari. IF: Jadi, perbedaan itu sudah biasa. Meski ada hijau di partai merah sekalipun? HH: Mestinya biasa. Begini.. ketika kami keluar dan Pak Zar meninggal dunia, kan Gontor berganti rezim. Ada santri Gontor yang disiapkan untuk meng-counter liberal. Buat apa? Justru anak Gontor banyak yang liberal dan itu sudah pas. Kan tidak mungkin zina massal atau telanjang massal. Kan tidak pernah anak Gontor berbuat seperti itu. Hanya cara berpikir yang liberal. []
http://digilib.mercubuana.ac.id/
311
BIODATA H. LOOKH MAKHFUDZ, SS Tempat Tanggal Lahir : Malang, 29 Maret 1969 Istri : Sulistyowati Anak : Mujahidi Billah Siraj Sunny Rifqy Rahman Ayah : H. M. Fauzan Rowi Ibu : Hj. Taseni Alamat Partai politik
: Jl. Kyai Sofyan Yusuf 27, Kedungkandang, Malang : Partai Amanat Nasional
Pendidikan SD Kebonsari 3 Malang SMPN 9 Malang Pondok Modern Gontor Ponorogo STIBA Malang Pengalaman Organisasi Ketua IKPM Gontor Kota Malang Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Malang Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Kota Malang Ketua DPC PAN Kedungkandang, Kota Malang Ketua DPP PAN Kota Malang Ketua IPI Jawa Timur Pengalaman Pekerjaan Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Malang Pimpinan Pondok Muhammadiyah Al-Munawaroh, Kota Malang Direktur Sahlan Tour & Travel ===============================================================
http://digilib.mercubuana.ac.id/
312
TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: H. Lookh Makhfudz, SS : Ketua DPD PAN Kota Malang, Jawa Timur : 20 Oktober 2015 : Interview by phone
Keterangan IF LM
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Lookh Makhfudz (Nara Sumber)
============================================================ Komunikasi dengan H. Lookh Makhfudz, SS, sebenarnya sudah dimulai sejak Agustus 2015. Namun karena berbagai hal, nara sumber baru dapat diwawancarai pada 20 Oktober 2015. Ustad Lo, demikian biasa ia disapa, dikenal sebagai seorang da’i di Kota Malang. Sejak muda ia merupakan aktivis Muhammadiyah. Tak heran jika kemudian karir politiknya bermula dari organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tersebut. Berikut adalah petikannya: IF:
Ustad Lo, Anda terpilih menjadi anggota DPRD Kota Malang untuk periode 20092014. Apa sebenarnya motif yang mendasari Anda masuk ke dunia politik? LM: Motifnya untuk dakwah agar bisa mewarnai, internalisasi nilai-nilai bahwa kami bukanlah sebagai subordinat melainkan ordinat. Kami melihat bahwa politik itu adalah salah satu instumen untuk berdakwah. IF:
Tapi, seorang Lasswell mengatakan bahwa politik itu dilakukan untuk meraih kekuasaan. Bagaimana menurut Anda? LM: Iya, justru itu. Karena dakwah ada yang dilakukan dengan power (tangan), lisan, dan doa. Dan kami ini masuk pada level dakwah dengan power. Bukankah muslim yang kuat lebih disukai dibandingkan muslim yang lemah? Nah kami berada di level muslim yang memiliki power. Itu alasan mendasar. IF: Anda aktif di PAN, bukan? LM: Saya ketua PAN. IF:
Baik. Kenapa PAN yang Anda pilih sebagai kendaraan politik? Atau apakah ada partai lain sebelumnya? LM: Saya memiliki paham bahwa partai nasionalis itu lebih bisa diterima. Warnanya jelas. Bahwa ada partai nasionalis-agamis itu yaa PAN. IF: Pada waktu 2009-2014, konstituen Anda adalah jamaah. Benar demikian? LM: Iya. IF: Apakah Anda juga menggarap jaringan alumni semacam IKPM Gontor? LM: Alumni PMG itu orangnya independen dan obyektif. Itu sesuai dengan ciri-ciri modern. Ketika LHI (Luthfi Hasan Ishak) menjadi Presiden PKS, misalnya, kan tidak serta-merta alumni PMG berbondong-bondong untuk mendukungnya. Begitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
313
juga dengan keberadaan Ustad Hidayat Nur Wahid di PKS, kan Gontor juga tidak serta-merta mendukungnya. IF:
Tapi mungkin atau tidak jika IKPM bisa mengantarkan seseorang meraih posisinya di politik? LM: Kasihan Gontornya ketika digunakan sebagai label. Tapi kalau personal alumninya yaa tidak apa-apa. Kasihan Gontor sebagai institusi digunakan untuk kepentingan politik, kasihan. Karena politik itu kan ranah abu-abu. IF:
Ketika Anda meraih posisi anggota DPRD Kota Malang, bagaimana pola komunikasi yang digunakan? LM: Melalui kerja sosial. Anak Gontor itu kan identik dengan kerja sosial. Doktrindoktrin Gontor itu kan seperti: khairunnas anfa’uhum linnas. Hal ini menjadi support bagi kami sehingga menggiring alumninya untuk menonjol di masyarakat. IF: Pada periode 2014-2019 ini Anda tidak terpilih lagi. Kenapa? LM: Persoalan hati nurani. Ketika untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat itu harus membeli suara itu kan riskan. Hal ini bertentangan dengan hati nurani karena ketika di PMG kami diajarkan untuk ikhlas. Sementara lawan politik tidak mempedulikan hal itu. IF:
Baik. Anda sepakat bahwa terjunnya Anda di politik ini pun karena ada andil PMG? LM: Iya, tentu. PMG itu sangat berarti. Pertama, PMG mengajarkan kepada kami tentang kebebasan berpikir, demokratis dalam bermusyawarah, saling mengenal (ta’aruf), bertindak jujur. Intinya, PMG telah memberikan pembentukan karakter yang luar biasa baik sebagai politisi maupun pemimpin atau apapun di masyarakat. IF:
Kira-kira kurikulum apa yang diberikan PMG sehingga memacu alumninya berkiprah sebagai pemimpin di masyarakat? LM: PMG memberikan ajaran karakter kepada kami, di antaranya kemandirian. Ini dirasakan luar biasa oleh setiap alumninya. Kemandirian berpikir dan bertindak. Kemandirian dan kejujuran. IF:
Pak Kiai Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa beliau lebih senang melihat santrinya memimpin sebuah mushalla kecil dengan sedikit jamaah yang konsisten, dibandingkan santri yang memimpin sebuah mushalla besar dengan banyak jamaah yang tidak konsisten. Secara eksplisit, apakah statement itu merupakan keinginan Pak Zar agar para santrinya menjadi pemimpin dalam masyarakat? LM: Tentunya. Jadi jargon-jargon seperti ready to be right and ready to be left, itu memang selalu dikemukakan di PMG. Seperti juga jargon “siap memimpin dan siap dipimpin.” Pemimpin dalam arti yang luas, sekalipun jadi guru ngaji. Karena yang penting adalah bermanfaat bagi umat. Sehingga, khairunnas anfa’uhum linnas wa ahsanu khuluqan itu menjadi doktrin agar kita bermanfaat bagi manusia. IF: Menurut Anda, apa arti politik itu? LM: Politik itu kan sebuah cara yang bisa dianggap dalam rangka meraih kekuasaan, membela kepentingan, dan lain sebagainya. Tentu jika ada orang yang tidak baik kemudian hendak kita perbaiki, maka ia akan mengatakan cara itu tidak bagus, kotor. Begitu pula ketika kita membela yang baik, maka yang kotor akan dikatakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
314
caranya tidak benar. Jadi yang penting itu, the man behind the guns, bagaimana manusia menggunakan alatnya. Politik itu kan alat, senjatanya. Memang negeri ini perlu politisi-politisi yang berakhlak baik. Jadi jika politik dikatakan kotor dan kita tidak masuk ke ranah itu, maka politik akan tetap kotor. Maka berlaku kaidah:
Sesuatu yang tidak merepresentasikan kebaikan yang kita inginkan, tidak boleh kemudian lantas ditinggal. Tapi ada sebagian yang dianggap mereka buruk, ada saja kebaikan di sana dan di sanalah kita memulai untuk berbuat baik. IF: Di PAN itu Anda sejak kapan? LM: Saya bergabung sejak PAN berdiri. Awalnya anggota, hingga kemudian terpilih jadi ketua PAN Kota Malang pada 2005. IF: Bagaimana metode komunikasi Anda dalam berpolitik? LM: Kalau secara struktur, saya menggunakan komunikasi instruksional. Hal ini dilakukan saya sebagai pejabat partai di daerah kepada kader internal partai yang masuk sebagai structural. Tetapi kepada eksternal-nonstruktural saya menggunakan pendekatan persuasif melalui berbagai pendekatan seperti sosiologis, antropologis, pendidikan, dan lainnya. IF:
Ke depan, apakah Anda masih memiliki obsesi untuk meraih kekuasaan sebagai anggota legislatif atau walikota? LM: Setiap insan politik atau politisi selalu berpikir bagaimana meng-upgrade diri menjadi seseorang yang lebih mulia. Nah, artinya dalam lintasan kekuasaan, tentunya ada angan-angan bagaimana meraih kekuasaan tersebut. Sama halnya ketika seorang guru ingin menjadi dosen. Hanya saja persoalannya, mungkinkah? Jika sesuatu yang tidak mungkin dimungkin-mungkinkan akan seperti:
Tapi kalau saya sih mengalir sajalah. Baik. Di DPR RI periode 2009-2014 ada sekitar 5-6 alumni PMG. Nah, sekarang yang bertahan hanya 2 saja. Apa kira-kira yang menjadikannya seperti itu? Bagaimana menurut Anda? LM: Kadang-kadang ada kejenuhan sebagai politisi. Sebagai manusia, kita ini kan ingin sesuatu yang tenang dan membahagiakan keluarga. IF:
IF:
Selain aktif di politik, apakah Anda juga memiliki lembaga sosial untuk beraktifitas? LM: Sementara ini saya masih merintis semua. Panti asuhan dan pondok. IF:
Oh, baik. Memang banyak alumni PMG yang berkarir di lembaga sosial meski pada akhirnya muaranya untuk kekuasaan. Apa betul begitu? LM: Iya. Karena di PMG kami diarahkan untuk berkuasa. Banyak kasus alumni PMG yang tidak memiliki gairah kekuasaan dan bekerja di lembaga sosial semacam pondok, dia akan terusir. Contoh kasus di Medan. Ketika seorang alumni PMG tidak menginginkan jabatan, lalu setelah pondok itu maju, maka alumni PMG itu diusir.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
315
BIODATA IMAM WAHYUDI Tempat Tanggal Lahir : Bangka, 13 September 1978 Pendidikan SDN 51 Bangka MTs Al-Islam Bangka Ponpes Al-Barokah Kertosono KMI Pondok Modern Gontor Ponorogo Universitas Sriwijaya Palembang Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta
1988-1993 1993-1995 1995-1996 1996-1999 2000-2005 2012-2014
Pengalaman Kerja Guru di KMI Pondok Modern Gontor Ponorogo Wartawan Lintas Timur, Palembang Guru Ponpes Al-Khair, Palembang Peneliti Senior LSM IPCOS, Jakarta Peneliti Jajak Pendapat Metro TV, Jakarta Dosen Unsera, Serang Tenaga Ahli Anggota DPR-RI, Jakarta
1999-2000 2002-2004 2002-2005 2006-sekarang 2007-2008 2011-2013 2009-sekarang
Pengalaman Organisasi Pengurus OPPM KMI Pondok Modern Gontor Ponorogo Ketua WAKI (Wahana Kerohanian Islam) FISIP Unsri Ketua BEM Universitas Sriwijaya Palembang Ketua KAMMI Palembang Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia – PDIP Kepala Sekretariat PP Baitul Muslimin Indonesia Penasehat Persatuan Mahasiswa Melayu Bangka Belitung Sekretaris Yayasan Kembang Setaman Jakarta Pengurus PWNU DKI Jakarta Pengurus PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia)
1998-1999 2001-2002 2002-2003 2002-2003 2007-sekarang 2007-2012 2012-2014 2011-sekarang 2014-sekarang 2015-sekarang
============================================================
http://digilib.mercubuana.ac.id/
316
TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: Imam Wahyudi : Kepala Sekretariat Baitul Muslimin – Politisi PDIP : 3 Juni 2015 : Gedung DPR/MPR RI
Keterangan IF IW
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Imam Wahyudi (Nara Sumber)
============================================================ Wawancara dilakukan di sebuah ruangan kecil di lantai 5 gedung DPR/MPR RI pada 3 Juni 2015. Imam Wahyudi yang merupakan Tenaga Ahli Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP adalah lulusan Pondok Modern Gontor tahun 1999. Masuk sebagai pengurus PDIP melalui organisasi sayap PDIP, Baitul Muslimin. IF: IW:
Bisa diceritakan, bagaimana Anda masuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)? Setelah menyelesaikan studi S1 di Universitas Sriwijaya Palembang pada tahun 2005, saya mencoba daftar sebagai CPNS di Kementerian Luar Negeri. Namun gagal. Pada 2006 saya aktif di LSM IPCOS yang mayoritas merupakan lulusan UI Jakarta dan salah seorang petinggi PDIP bernama Almarhum Tara Ginting. Karena sosok Tara Ginting inilah kemudian IPCOS dianggap sebagai lembaga think tanknya PDIP. Tapi saya dan teman-teman tidak serta merta masuk sebagai kader PDIP. Kami banyak mengerjakan proyek tentang partai lokal dan partai nasional. Salah satu ciri khas Pondok Modern Gontor itu adalah jaringan alumninya yang sangat kuat. Di awal-awal 2005-2006 saya punya teman alumni namanya Asep Affandi dari Banten dan Wahid yang mengelola majalah Gontor. Ketika itu kami bertiga rajin mengunjungi senior-senior alumni Pondok Modern Gontor. Hal ini juga sesuai pesan Ustad Syukri Abdullah Zarkasyi yang mengatakan, kalian harus membangun jaringan seluas-luasnya. Maksud kami bertiga, utamanya saya, adalah kami ingin eksis di Jakarta. Itu kan awal-awal kami “hidup” di Jakarta. Kami datang mengunjungi Ustad Husnan Bey Fananie, Ustad Zainun Ahmadi, dan lainnya. Saya pribadi menganggap Ustad Husnan dan Ustad Zainun adalah mentor. Bahkan kami sering menginap di rumah Ustad Husnan. Kami juga mengunjungi Ustad Din Syamsuddin, apalagi saat pengajian Orbit kami juga sering ikut. Kami juga mengunjungi KH. Hasyim Muzadi, Pak Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR RIFBR), Habib Hirzin (Komnas HAM), dan lainnya. Saya mengunjungi Zainal Maarif dan Habib Hirzin, salah satunya dalam rangka meminta rekomendasi untuk meneruskan studi ke luar negeri. Namun di tengah perjalanan, saya yang sering ‘nongkrong’ di kantor notaris Zainun Ahmadi bertemu dengan berbagai kalangan, di antaranya pegiat LSM dan pengurus PDIP. Pada 2007 saya diajak Zainun Ahmadi membentuk sayap PDIP, yaitu Baitul Muslimin. Beliau mengajak saya berdakwah melalui Baitul Muslimin untuk mengajak rekanrekan di PDIP yang dicitrakan masyarakat sebagai eks PKI dan tempatnya orangorang tidak benar. Menurut beliau, kalau kita terus mengecap begitu, kapan kita
http://digilib.mercubuana.ac.id/
317
bisa memperbaikinya? Lagipula PDIP itu partai besar dan pemilihnya 80 persen adalah muslim. Sebenarnya saya tidak asing mendengar ucapan Ustad Zainun karena memang saya sering terlibat pembicaraan dengan Tara Ginting dan Chusnul Mariyah tentang PDIP. Saya menyambut baik ajakan Ustad Zainun dan pada 2007 itulah kami bersama-sama membangun Baitul Muslimin. Ustad Zainun ditunjuk sebagai salah seorang formatur (ada 5 orang) dan Sekjen oleh Almarhum Taufik Kiemas. Saya sendiri ditunjuk sebagai kepala sekretariat Baitul Muslimin, lalu kami membentuk DPC dan DPW di seluruh Indonesia. Jadi dari 2007 sampai sekarang kami terus berbenah. Saat ini Ustad Zainun tidak lagi sebagai Sekjen tetapi di dewan penasihat. IF: IW:
Lalu? Nah, mulai dari situlah saya mulai berinteraksi dan terlibat aktif dengan penguruspengurus PDIP. Lalu pada 2009 Ustad Zainun ditempatkan partai di Jatim X meliputi Gresik dan Lamongan. Karena hubungan pribadi dan kepala sekretariat Baitul Muslimin, beliau sesekali meminta saya untuk membantunya. Apalagi saya dianggap masih “hijau” sehingga saya diperbantukan. Alhamdulillah kita menang dan beliau masuk sebagai anggota DPR RI. Lalu beliau meminta saya untuk membantunya di DPR RI sambil membangun jejaring alumni Pondok Modern Gontor yang ada di PDIP.
IF:
Baik. Artinya, Anda masuk ke PDIP diajak Ustad Zainun untuk berdakwah melalui Baitul Muslimin. Nah, ketika sudah masuk ke PDIP, apakah ada motif lain di samping berdakwah, semisal ingin mendapatkan kekuasaan? Bagaimanapun dalam berorganisasi kita memiliki target-target dan puncaknya adalah sebagai ketua umum. Sementara di partai politik, capaian akhirnya adalah kekuasaan. Dan jika sudah memiliki kekuasaan, maka untuk mengartikulasikan keinginan akan lebih mudah. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk mengubah sesuatu ke arah yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain. Memang sepertinya berbeda cara pandang dengan teman-teman Gontor di PKS dan PPP atau partai Islam/berbasis umat Islam lainnya yang selaras antara asas partai dengan kesantriannya. Namun saya pribadi ingin mengikuti arahan para kiai di pondok, yakni meluaskan jejaring di manapun berada untuk menjadi perekat umat.
IW:
IF: IW:
Anda sendiri memang sudah ada niat untuk menjadi politisi? Saya ambil studi S1 itu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Selain itu saya juga pernah aktif di HMI dan saya kira untuk menjadi seorang pemimpin, baik sebagai bupati, gubernur, presiden, atau anggota DPR RI, maka saat ini cara yang paling mainstream adalah melalui partai politik. Sepertinya sudah naluri saya ingin terjun di partai politik untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain. Seperti ajaran yang sering saya dengar waktu di pondok bahwa:
“Sebaik-baiknya manusia itu adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”. Saya berpikir bahwa kebahagiaan untuk pribadi sudah cukup dan saatnya untuk berbagai kebahagiaan bagi orang lain. Seperti ajaran pondok tadi, bagaimana kita
http://digilib.mercubuana.ac.id/
318
berkontribusi sebanyak-banyaknya bagi masyarakat. Karena itulah manusia terbaik. IF: IW:
IF:
IW:
IF: IW:
Artinya, Anda ingin menjadikan partai politik sebagai kendaraan bagi Anda untuk bermanfaat bagi orang lain? Tapi apakah arti politik itu menurut Anda? Politik itu merupakan upaya untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Bahwa memang banyak masyarakat mengatakan politik itu kotor setelah melihat kondisi perpolitikan Indonesia, dimana banyak para pelaku politik mengkhianati amanah yang diberikan. Ini adalah kesimpulan masyarakat bahwa politik itu kotor. Mereka berpandangan semua partai politik itu kotor, baik partai Islam maupun non Islam. Padahal kita juga bisa lihat, seperti wali kota Surabaya Risma, namanya harum. Toh politik itu juga tidak melulu kotor. Ada juga kader PDIP Ganjar Pranowo yang namanya bagus dengan pelan-pelan membangun provinsi Jawa Tengah. Atau apa yang dilakukan wali kota Bandung Ridwan Kamil, misalnya, bisa membantah pemeo masyarakat tersebut. Memang ada oknum yang membuat pandangan masyarakat seperti itu. Untuk itu bagi saya yang berada di dalam partai politik, dibutuhkan kerja keras untuk memperbaikinya. Baik. Kalau kita melihat kiprah KH. Zainuddin Fananie yang menjadi Konsul Muhammadiyah di Sumatera Bagian Selatan lalu turut bergerilya melawan penjajah, dan menjadi guru spiritualnya Sukarno, sebenarnya alumni Gontor sudah mulai berpolitik. Lalu turun di eranya KH. Idham Chalid yang menjadi Wakil Ketua MPRS dan Ketua Umum PBNU terlama dan termuda sepanjang sejarah, serta Presiden PPP, ada juga Nurchalish Madjid yang kerap menyuarakan aspirasi politiknya meski bukan seorang politisi praktis, Din Syamsuddin yang pernah berpolitik di Golkar, KH. Hasyim Muzadi yang pernah mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati, dan kini alumni Gontor luar biasa banyak terlibat di dalam partai politik lalu menjadi anggota DPR maupun DPRD. Nah, berdasarkan fakta tersebut, bagaimana Anda melihat fenomena alumni Gontor yang ramai-ramai berpolitik? Harus dipahami bahwa sebenarnya Gontor itu mencetak kader yang siap terjun ke masyarakat. Meski kami sekolah di Kulliyatul Muslimin AI-Islamiyah (KMI) yang setara dengan SMA, namun kami dicetak sebagai kader, dipaksa untuk menjadi pemimpin, dan harus siap terjun ke masyarakat di usia 17-18 tahun. Bayangkan. Karena tuntutan itulah kami berevolusi dengan belajar terus dan kemudian pola pikir dan watak kami berkembang terus ketika sudah di luar. Hal itu yang menjadi semacam doktrin bagi kami, utamanya dengan ajaran-ajaran yang kami terima di pondok. Doktrin seperti apa? Seperti dalam Panca Jiwa, kami didoktrin untuk memiliki pikiran bebas. Kami belajar tentang banyak hal, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Salah satunya kami belajar ushul fiqh dalam kitab Bidâyatul Mujtahid yang mempelajari 4 madzhab. Karena kami juga sudah dibekali 2 bahasa, Inggris dan Arab, maka kami dipersilakan untuk membaca banyak buku dan kitab di perpustakaan, baik yang berbahasa Inggris maupun Arab. Dengan Bidâyatul Mujtahid, kami memiliki dasar untuk memahami perbedaan. Jadi hal-hal bersifat furu’iyyah itu biasa dan tidak menjadi persoalan karena kami sudah terbiasa berinteraksi dengan pola pikir dan cara pandang berbeda.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
319
IF: IW:
IF:
IW:
Adakah kurikulum yang secara “dekat” melecut santrinya untuk kemudian berniat berkiprah di dunia politik? Seperti kata-kata mutiara atau mahfudhat, itu juga menjadi motivasi bagi kami. Kelihatannya simple, seperti man jadda wa jada, man shobaro dhofiro, man sâro ‘ala ad-darbi washola, dan lainnya. Kalau kita pelajari lalu yakini, maka akan menjadi kekuatan sekaligus membentuk karakter kita. Apalagi santri (tidak hanya Gontor) menjadi perekat umat. Pak Zar sering mengatakan, “saya lebih suka santri menjadi imam di sebuah surau kecil dengan jamaah yang istiqamah, dibanding seorang santri yang menjadi imam di sebuah surau besar namun jamaahnya tidak istiqamah”. Nah, apakah dari pernyataan itu juga ada misi tersirat bahwa santri Gontor harus menjadi pemimpin umat? Dan Pak Zar juga suka mengatakan Fî ayyi ardlin tatho’ wa anta mas-ûlun ‘an islâmiha. Bagaimana Anda melihat doktrin seperti ini? Iya. Itu sangat melekat dalam diri santri. Utamanya saya. Sebelum saya keluar dari Gontor, saya sempat mengabdi setahun. Dan menjelang akhir pengabdian itu kami dipanggil Pak Syukri dan ditanya satu persatu. Beliau menetapkan 3 pesan, salah satunya perkuat ukhuwah Islamiyah dengan rajin silaturrahim. Arti silaturrahim itu luas, antara lian membangun jejaring sosial, membangun komunitas, organisasi, lembaga antar agama dan lain sebagainya. Maknanya cukup luas. Namun jangan lupa bahwa misi utamanya adalah li i’lâi kalimâtillah.
IF: IW:
Membangun jejaring itu masih terus dilakukan? Terus. Lho, justru kita yang di partai politik itu harus terus membangun jejaring itu. Kita harus terikat dan harus selalu berada di tengah masyarakat.
IF: IW:
Kalau membangun jejaring di antara alumni masih terus? Itu jelas. Saya sangat senang bersilaturrahim dengan sesama alumni. Apalagi ketika bersama Ustad Zainun saya sering diajak bertemu dengan Ustad Hidayat Nur Wahid waktu beliau jadi wakil ketua MPR RI, Ustad Lukman Hakim Saifuddin, Ustad Anshory Siregar, saya juga masih sering bertemu Habib Hirzin, apalagi dengan Ustad Husnan yang saya anggap sudah seperti kakak sendiri.
IF:
Artinya, apa yang didapat dari Gontor itu sangat berkesan dan memberikan andil cukup besar dalam karir Anda. Betul seperti itu? Iya. Para senior seperti Din Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi, atau di bawah mereka sering mangatakan bahwa sekalipun mereka lulusan universitas terkemuka di luar negeri, mereka tidak pernah mengatakan bahwa saya ini lulusan luar negeri, baik Amerika maupun Timur Tengah. Tapi mereka mengatakan saya ini santri lulusan Gontor. Itu yang membuat saya juga bersyukur pernah belajar di Gontor. memang luar biasa.
IW:
IF: IW:
Sebenarnya bagaimana Anda bisa tertarik masuk ke Gontor? Berapa lama Anda nyantri di sana? Saya asli Bangka Belitung. Saya sekolah SDN kemudian MTs Al-Islam Kemoja sambil mondok karena jarak dari rumah sekitar 20 km. Ketika mondok saya punya guru Bahasa Arab yang alumni Gontor. Kalau kami masuk jam 7, beliau itu sudah ada di kelas kurang dari jam 7. Dia berbeda dengan guru-guru lainnya. Nama beliau Ahmad Sofyan dan sekarang menjadi ketua Islamic Center di Bangka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
320
Belitung. Saya banyak berinteraksi dengan beliau. Dia mengajar Bahasa Arabnya enak, tulisannya juga bagus. Kemudian dia kasih saya majalah Wardun (warta dunia) dan saya banyak informasi tentang Gontor dari beliau. Untuk itu setelah saya selesai tsanawiyah lalu saya lanjutkan ke Gontor. Kalau di Gontor itu kan biasanya penerimaan Syawal. Sementara sekolah selesai bulan Mei. Makanya saya diantar oleh konsulat Bangka Belitung ke Pondok Pesantren Al-Barokah milik Pak Harmoko di Desa Ngepung, Kertosono, Nganjuk, pimpinan Kiai Rosyidin Ali Said yang istrinya itu adiknya Pak Syukri. Itu pondok alumni juga. Di pondok itu saya setahun karena misi utama saya masuk Gontor. Ketika bulan Syawal saya ikut lagi dan Alhamdulillah terpilih masuk. Lalu saya ikut tes akselerasi dan diterima. Saat itu yang tes dari pondok alumni sekitar 300 orang dan diterima 40 orang. Saya salah satunya dan salah satunya juga anaknya Kiai Hasan namanya Haikal Januarsyah, sering dipanggil Ancah dan sekarang salah seorang pimpinan pondok. Jadi saya di Gontor 3 tahun, masuk ke kelas 3 lalu langsung ke kelas 5 eksperimen (sekarang intensif) karena saya sudah punya dasar di Pondok Al-Barokah. Saya langsung jadi pengurus baru. Saya tidak pernah jadi qudamâ (santri lama). Kelas 6 saya jadi pengurus OPPM semacam OSIS sebagai pengurus syirkah (koperasi). Dari situlah saya sudah senang berorganisasi. Jadi total saya 3 tahun jadi santri ditambah 1 tahun mengabdi jadi ustad. Kalau lulus, saya angkatan 1999 awal karena di tahun itu kelulusan ada 2 kali karena Syawal-nya ada 2 kali di tahun itu. IF: IW:
Kalau di PDIP adakah juga khirij selain Ustad Zainun? Ada, di Sumatera Utara. Namanya Affan Gaffar, beliau wakil ketua DPRD Provinsi Sumut. Ada juga anggota DPRD Kota Surabaya namanya Husnul Khatimah.
IF:
Ke depan, apa obsesi Anda? Baik sebagai pribadi, pengurus parpol, maupun alumni Gontor. Seperti saya katakan di awal bahwa saya ingin berada di tengah-tengah masyarakat supaya bermanfaat bagi orang lain, ingin turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memakmurkan masyarakat. Tentunya untuk mencapai itu ada washilah, yaitu masuk ke partai politik. Saya pernah menjadi caleg tingkat provinsi di Bangka Belitung tapi gagal. Awalnya saya bercita-cita jika jadi anggota dewan satu periode lalu saya akan maju pencalonan bupati atau gubernur sambil kita terus menciptakan track record baik semaksimal mungkin di tengah-tengah masyarakat. Kita ingin berkontribusi untuk masyarakat.
IW:
IF: IW:
Waktu jadi caleg kemarin, pola komunikasi seperti apa yang Anda gunakan? Apakah Anda juga memiliki “kendaraan sosial” untuk mendukung itu? Secara formal tidak ada. Tapi saya tetap membangun jaringan bersama temanteman alumni Gontor, alumni Unsri, saya juga wadah PAMALAYU (Persatuan Mahasiswa Melayau) Bangka Belitung yang merupakan paguyuban mahasiswa asal Bangka Belitung di Jakarta. Termasuk IKPM Gontor di Bangka Belitung juga saya yang menggerakkan, tapi bukan organisasinya melainkan individunya. Pola komunikasi itu kan salah satunya bagaimana caranya menjual diri supaya laku. Kita ini kan santri yang sudah harus siap terjun ke masyarakat dan yang pernah kita pelajari di pondok itu kan: ath-tharîqatu ahammu min al-mâddah (cara itu lebih penting dari materi). Saya jadi penceramah, khatib, memberikan sambutan di acara pernikahan, komunikasi door to door juga saya lakukan. Semua saya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
321
lakukan. Tapi yaa memang penyakit masyarakat itu “ujung-ujungnya duit (UUD)”. Itu betul saya rasakan. IF: IW:
Ada pola komunikasi lain, seperti bulletin Jumat, pamphlet, atau booklet? Ada. alat peraga seperti itu ada, tapi bulletin Jumat tidak. Saya buat kartu nama, pamphlet, booklet, brosur, spanduk, kalender, dan baliho.
IF: IW:
Kalau dengan jaringan alumni seperti IKPM, bagaimana? Bagaimanapun IKPM itu tidak ke mana-mana tapi ada di mana-mana. Celah sekecil apapun saya manfaatkan. Kalau ternyata saya bermanfaat, toh nama Gontor juga yang harum. Bahkan hari ini pun di kabinet Jokowi ada 2 alumni, yaitu Lukman Hakim Syaifuddin sebagai Menteri Agama dan AM Fachir sebagai Wakil Menteri Luar Negeri. Kepada beliau-beliau itu dan alumni lainnya saya memperkenalkan diri. Cuma soal memilih saya serahkan kembali kepada mereka.
IF: IW:
Bagaimana langkah Anda berkomunikasi saat menjadi caleg dulu? Pertama saya kunjungi tokoh-tokoh masyarakat, seperti kepala desa, ulama, budayawan, karang taruna, termasuk pimpinan pondok pesantren terutama pondok alumni Gontor. Secara pribadi mereka mendukung. Apapun warna partainya asal kita benar-benar tulus berjuang untuk rakyat.
IF: IW:
Pencalegan kemarin dapat nomor urut berapa? Saya nomor urut 7. Saya pikir tidak masalah karena kan suara terbanyak. Apalagi menurut orang daerah, kalau orang pusat “turun” itu biasanya mengacau karena mengganggu stabilitas politik di daerah. Jadi saya cukup menyadarinya saja. Nomor urut memang tidak belaku, karena di sana yang jadi nomor urut 2 dan 5 dari orang daerah. Tapi artinya, saya yang datang dari pusat cukup diperhitungkan masyarakat daerah.
IF:
Seperti yang kita ketahui bahwa Gontor itu kaya akan nilai dan falsafah. Gontor memiliki Panca Jiwa yang poin terakhirnya adalah Jiwa Bebas atau berpikiran bebas. Bagaimana Anda memaknai hal ini? Soalnya, dalam realitas berkehidupan, alumni Gontor memiliki latarbelakang pekerjaan yang berbeda-beda bahkan di luar mainstream. Seperti menurut Kang Mauludin Anwar, raja copet di Tanah Abang merupakan alumni Gontor. Begitu pula menurut Ustad Romadonus, raja copet di Tanjung Priok juga alumni Gontor. Saya pribadi memiliki hipotesis bahwa alumni Gontor itu di mana-mana selalu muncul sebagai pemimpin. Apapun profesinya. Seperti ada juga pemeo yang berkembang di antara alumni Gontor bahwa tidak boleh ada “dua matahari” di sebuah organisasi. Nah, melihat realitas tersebut, bagaimana Anda menilainya? Iya..sekali lagi saya katakana bahwa kami memang dicetak, diplonco, untuk menjadi pemimpin. Kalau boleh saya sebut inilah kelemahan santri dan alumni Gontor, kami tidak siap dipimpin. Ibaratnya, kalau ada santri atau alumni Gontor jalan berempat di jalan raya, maka kami akan jalan beriringan karena tidak ada yang mau jalan di belakang. Nah, bisa dibayangkan jika itu terjadi di sebuah organisasi. Kami ingin menonjol di manapun.
IW:
IF:
Baik. Lalu bagaimana dengan berpikiran bebas tadi? Ada contoh, Ustad Abu Bakar Baasyir yang notabene alumni Gontor. Sementara banyak orang memandang cara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
322
IW:
IF: IW:
IF: IW: IF:
IW:
IF: IW:
Ustad Abu berpolitik itu di luar mainstream bahkan dicap sebagai tokoh teroris. Anda yakin bahwa Ustad Abu seperti itu? Selama ini banyak orang memandang salah Pondok Gontor. Secara organisasi, Gontor itu bukanlah Muhammadiyah, NU, atau Persis. Coba saja lihat, Din Syamsuddin yang merupakan alumni Gontor, tampil sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Begitu juga KH. Hasyim Muzadi yang pernah jadi Ketua Umum PBNU. Bahkan PMG juga memiliki alumni yang dicap teroris seperti Ustad Abu, meski tidak dapat dibuktikan. Dan juga ada Nurcholish Madjid yang dianggap tokoh liberal. Nah, melihat fenomena itu, sebenarnya PMG tidak bisa menjamin alumninya nanti akan jadi apa. Seperti halnya apakah kita nanti dapat surge atau neraka. Dalam perkembangannya kemudian, alumni memiliki hak untuk berkembang, di antaranya aktualisasi diri. Para alumni kan nantinya ada yang kuliah dan terus berkembang. Nah dalam perjalanannya, meski doktrin PMG cukup kuat, bisa jadi doktrin di luar juga sama kuat atau lebih kuat untuk mengubah karakter mereka. Baik. Artinya, Anda menilai bahwa karakter mereka dibentuk oleh dunia di luar PMG. Tapi kan mereka punya pondasi, yakni Panca Jiwa yang diajarkan di PMG. Nah, kira-kira, apakah mereka juga termotivasi oleh Panca Jiwa tersebut? Bebas di situ, menurut saya, tidak bisa diartikan bebas seluas-luasnya. Bebas di sini artinya, kita tetap terikat dengan suatu akidah. Selama pemahaman kita ada di wilayah dunia bukan akidah/teologi, maka sah-sah saja. Toh, nyatanya sebelum kita, khilafiyah itu biasa. Para imam madzhab juga biasa berbeda pendapat. Selagi Al-Quran dan Hadits itu jadi pegangan. Anda yakin jika sebebas-bebasnya alumni Gontor berperilaku, mereka tetap berpegangan pada Al-Quran dan Hadits? Saya memahaminya seperti itu. Meski pada perkembangannya memang ada alumni yang terbentuk karakternya tidak sesuai dengan ajaran pondok. Seperti yang Kang Awan katakan kepada saya bahwa, kami itu diajarkan untuk jadi orang yang selalu di depan bukan di belakang. Kenapa begitu? Karena dalam sebuah organisasi, ketua itulah yang menentukan kebijakan. Sebaliknya, kalau di belakang, kami hanya akan mengekor. Kalau di depan, kami bisa menentukan kebijakan yang memberikan maslahat bagi umat. Nah, saya kira alasan tukang copet itu juga sama. Biar lebih islami lah nyopetnya, hehe… Kalau langkah taktisnya, kenapa saya pilih PDIP, bisa jadi karena adanya ‘kecelakaan politik’ di mana Ustad Zainun mengajak saya ke Baitul Muslimin. Karena jika tidak diajak Ustad Zainun, boleh jadi saya malah bergabung ke PKS atau PPP. Jadi mentor politik saya di Jakarta itu 2 orang, yaitu Ustad Zainun Ahmadi dan Ustad Husnan Bey Fananie. Setelah di PDIP, Anda yakin selamanya akan di PDIP? Saya mencoba untuk tidak jadi politisi kutu loncat. Karena untuk pencitraan juga kurang bagus. Toh setelah saya dalami, partai politik itu kan hanya washilah saja, sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Partai politik berlabel agama juga banyak yang tidak beres. Jadi semuanya kembali kepada individu masingmasing. Apalagi saya melihat karakter Indonesia itu kan berwarna, tidak bisa disekat oleh satu warna saja. Bhinneka Tunggal Ika. Kalau kita ingin mendirikan agama Islam, maka Bali akan lepas. Kalau ingin mendirikan agama Hindu, maka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
323
akan banyak daerah yang akan lepas, dan seterusnya. Jadi biarlah jadi Indonesia sejatinya dengan Garuda Pancasila sebagai lambangnya. Nah, berdasarkan hal itu, menurut saya rumah yang paling tepat adalah PDIP yang dapat menaungi semuanya. Dan di dalamnya, saya berusaha semampu saya untuk berdakwah mengajak rekan-rekan di PDIP, karena saya di PDIP juga lebih kental dikenal sebagai santri Gontor dibanding alumni Unsri. Untuk ke luar, saya juga mengkampanyekan bahwa rumah yang paling tepat itu PDIP yang nasionalis dan bisa menampung berbagai kalangan. IF: IW:
Anda berdakwah di partai merah itu tidak merasa kesulitan? Sebetulnya, semakin tandus itu kan semakin banyak pahalanya. Kalau saya masuk di PKS atau PPP, saya itu ibarat jalan di atas jalan tol yang bebas hambatan. Dan di sinilah nikmatnya.
IF: IW:
Oke. Saat ini alumni Gontor yang terlibat di Baitul Muslimin siapa saja? Ada Ustad Zainun Ahmadi, Helmi Hidayat, Nova Andika, dan saya. Kami berjuang dengan teman-teman dari HMI dan lainnya, karena di PDIP itu juga banyak warnanya. []
http://digilib.mercubuana.ac.id/
324
BIODATA DR. H.M. DIAN ASSAFRI, SH., MH Tempat/Tgl. Lahir Alamat Jenis Kelamin Status Perkawinan Nama Istri Anak Agama Tinggi Badan Berat Badan Ayah Pekerjaan Ibu Pekerjaan Alamat Orang Tua
: Tanjung Karang, 20 April 1980 : Jl. Mawar Raya No. 11. A Rt. 12 Rw. 10 Kalisari, Pasar Rebo - Jakarta Timur. : Pria : Menikah : Endah S.S Assafri : 1. Nasya Aulia Assafri 2. Jihan Zahra Madina Assafri 3. Qorina Al Mahira Assafri : Islam : 175 CM : 65 Kg : Ahmad Nasa’i Bin H. Nahrawi : Pensiunan PNS : Emawati. Spd : Kepala Sekolah SDN 1 Panutan Pagelaran Tanggamus Lampung. : Jl. Raya Pagar Alam Gg. Cempaka No.44 Tanjung Karang Barat Bandar Lampung.
Pendidikan Formal SDN I Patoman, Pagelaran, Kabupaten Tanggamus (Lulus tahun 1993) SMPN I Patoman, Pagelaran, Kabupaten Tanggamus (1995) Pondok Pesantren Wali Songo, Ngabar Ponorogo (1995) Pondok Pesantren Modern GONTOR Darussalam Jawa Timur (1999) SMU Surya Dharma II Bandar Lampung (ujian persamaan, 1999) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Ank. 99 (2003) Magister Hukum Universitas Indonesia (2012) Doktoral UTB (2014) Doktoral UGM (sedang berjalan) Pendidikan Non Formal Kursus Bahasa Arab di Gontor, JawaTimur Kursus Bahasa Inggris di Gontor, JawaTimur Kursus Bahasa Inggris di Teknorat Lampung Kursus Bahasa Inggris Texas, Lampung Kursus Bahasa Inggris di ABA, Lampung Kursus Komputer di WIDYA KOMPUTER, Lampung Training Kepengacaraan di Yogyakarta Pelatihan Ketahanan Nasional untuk Pemuda (TANNASDA) bersama Lembaga Ketahanan Nasional RI (LEMHANAS) dan Kementrian Pemuda dan Olahraga RI (KEMENPORA) Pekerjaan Pimpinan Al-Quran Center Az-Zahra Direktur LP2M MIDADA CENTER
http://digilib.mercubuana.ac.id/
325
Staff Adm. Umum Sekpim MPR RI periode 2004 – 2009 Staff Ahli A-391, A-110, A-207, A-308 dan A-245 DPR/MPR RI periode 2014-2019 Staff Pengajar Universitas Indonesia Universitas Pancasila, Universitas Trilogi STKIP Kusuma Negara Lembang 9
Karya Tulis Pelaksanaan Pemilihan Presiden secara Langsung di Amerika Serikat dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. Dampak Pengaruh Pergaulan Remaja terhadap Narkoba. Supremasi Hukum dalam Kubangan Legislatif, Eksekutif danYudikatif. Menjadi Ketua Panitia pada Acara Seminar-Seminar Timbang-timbang Supremasi Hukum di Indonesia di Yogyakarta Perdagangan Berjangka Komoditi Ditinjau dari Segi Hukum Islam Pemberdayaan untuk Rekonsilasi di Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian di Yogyakarta Sarasehan Hukum Wajah Lembaga Peradilan dan Peraktek Hukum di Indonesia. Seminar Nasional Pendidikan Nilai Bagi Anak Era Milenium III Dilematika Kedudukan dan Peran Wapres dalam Struktur Ketatanegaraan RI oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Universitas Islam Indonesia Pengalaman Organisasi Ketua OSIS SMPN I Patoman, Pagelaran, Tanggamus, Lampung Ketua Regu Lomba Jambore Daerah di Lampung Ketua OPPM Bagian Keamanan Pondok Pesantren Modern GONTOR, JawaTimur Ketua Umum FORKAMMI (Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim Indonesia) Koordinator Perguruan Tinggidan Politik Kemahasiswaan di Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Ketua HMI FH UII Yogyakarta bidang Organisasi dan Kaderisasi Panitia Dies Natalis UII ke-56 sebagai Humas dan Transportasi Sekretaris Jenderal Lembaga Training Paralegal “Devil Advocate” Ketua Gema Kosgoro bidang Pendidikan dan Budaya Ketua Bidang Pendidikan dan Budaya Baitul Muslimin Indonesia Ketua Kelas Magister Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Ketua IPPMI (Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia) Bidang Dakwah Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa KOSGORO Ketua Majelis Dakwah Islamiyah – DPP Partai Golkar Pengalaman Kerja Asst. Dosen Dr. Kaelany HD. MA Universitas Indonesia (UI) Asst. Dosen Profesor Dr. Darwis Abdullah, Universitas Indonesia (UI) TIM Penulis Biografi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Studi, Mengabdi, dan Berprestasi) Adm. Umum Sekretariat Pimpinan Wakil Ketua MPR RI periode 2004 – 2009 Adm. Umum Sekretariat Pimpinan MPR RI Staf Ahli A-391 DPR/MPR RI
http://digilib.mercubuana.ac.id/
326
Staf Ahli A-110 DPR/MPR RI Staf Ahli A-245 DPR/MPR RI AIG LIPPO selama 6 tahun di Yogyakarta Bintang Muda Event Organizer sebagai Marketing Manajer dari tahun 2000-2003 di Yogyakarta Hotel Quality Solo sebagai Programmer Event Gema Nada Pertiwi (Perusahaan Rekaman) Ketua Lembaga Pelatihan Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat pada MIDADA CENTER Pendiri Al-Qur’an Center Az-Zahra Penggagas “Pemuda Qur’ani” Bersama Deputi I Bidang Pemberdayaan Pemuda Menpora RI Pimpinan CV. Dian Artha Persada (Percetakan dan Spanduk 24 jam non stop) Arisdan Farizan Law Firm Bimbingan Jhon Pieter Nazar dan Maqdir Ismail Pendiri Sekolah Pengusaha Sukses Anjungan Lampung Taman Mini Indonesia Indah sebagai Staff Khusus Kepala Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi Lampung. Staff Pengajar di Universitas Indonesia Staff Pengajar di Universitas Pancasila Staff Pengajar di Universitas Trilogi Staff Pengajar di STKIP Kusuma Negara Staff Pengajar di Universitas Muhammadiyah Wakil Ketua I Bidang Akademik di STAI Cindera Hati Bogor Staf Kantor Rio and Zulfikar Law Firm
Kemampuan Khusus Bahasa Arab Bahasa Inggris ===============================================================
http://digilib.mercubuana.ac.id/
327
TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: DR. H.M. Dian Assafri, SH., MH : Pengurus DPP KNPI dan Tenaga Ahli di DPR RI Fraksi Partai Golkar : 1 Juni 2015 : Hotel Kartika Chandra, Jakarta
Keterangan IF : Imam Fathurrohman (Peneliti) DA : Dian Assafri (Nara Sumber) ============================================================ Kegiatan aktifis muda sekaligus politisi Partai Golkar ini lumayan padat. Setelah berkalikali gagal menemuinya, peneliti berhasil melakukan door stop untuk mewawancarainya di tengah Musyawarah Nasional KNPI pada 1 Juni 2015 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Gaya lelaki asli Lampung ini di tengah massa peserta Mukernas sudah seperti politisi “kawakan”. Dirinya tak canggung menyapa setiap peserta sambil menjabat tangan dan berbincang sekadarnya. Ia mengaku tak ingin dicap sombong oleh peserta Mukernas yang notabene hampir semua nama mereka dihafalnya. Sayang, wawancara tidak sempat dilakukan karena padatnya jadwal Dian. Sesuai kesepakatan, wawancara dilakukan melalui email. IF: DA:
IF: DA:
IF: DA:
Bisa diceritakan, Kapan Anda mulai belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor? Apa alasannya? Berawal saya masuk di pondok pesantren wali songo pada tahun 1995 setelah satu tahun lamanya saya belajar di pondok pesantren wali songo dan masuk pada awal ramadhan pada tahun 1996 barulah saya masuk di pondok modern darussalam gontor ponorogo. Pondok modern darussalam gontor terkenal dengan kedesiplinannya dan bahasanya, maka itulah yang menjadi alasan saya masuk ke Pondok Modern Darussalam Gontor untuk melatih diri dalam kedisiplinan dan memperdalam bahasa Arab dan Inggris. Saya nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor selama 4 tahun masuk pada tahun 1996 dan lulus pada tahun 1999. Bisa ceritakan kisah yang paling berkesan saat Anda nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor? Seluruh kegiatan yang ada di pondok modern darussalam gontor semua nya mempunyai kisah dan cerita yang beragam tetapi ada satu kisah yang tidak bisa saya lupakan selama saya mengenyam pendidikan di pondok modern darussalam gontor yaitu (antri) karna gontor mengajarkan santri santrinya untuk antri mulai dari makan, mandi,sampai mengambil surat izin libur pun harus antri inilah kisah selama saya di pondok modern darussalam gontor yang tidak bisa saya lupakan karna tidak pernah saya temukan di dunia pendidikan manapun. Sejak kapan Anda masuk ke dunia politik? Berawal dari pertemuan dengan Bapak AM Fatwa yang pada saat itu menjadi wakil ketua MPR RI yang datang ke Yayasan Al Qur’an Center kami sebagai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
328
tamu kehormatan. Beliau mengajak saya untuk ikut beliau ke senayan. Namun saya sempat menolak tawaran tersebut di karenakan Kyai kami di Gontor dulu memberikan wejangan agar kita berdiri di atas dan untuk semua golongan hal inilah yang menjadi dasar di karenakan saya mendidik anak anak di Al Qur’an Center yang beragam asal usul dan latar belakang orang tuanya masing masing akan tetapi Bapak Am Fatwa memberikan penjelasan bahwa bergabung nya saya di senayan dengan beliau sebagai staf Adm Umum Wakil Ketua MPR RI bukan bergabung di partai politik atau keormasan melainkan melekat di kesekjenan pada waktu itu. Karena tidak terlibat langsung dengan politik praktis itulah makanya saya berkenan untuk hijrah ke senayan sejak itu pula lah saya terlibat dengan kegiatan kegiatan dunia politik meskipun tidak secara langsung itulah karir saya pertama kali saya masuk di dunia politik yang di lanjutkan menjadi Staf Ahli beberapa anggota DPR RI yang berbeda daerah pemilihan dan lintas partai politik selama tiga periode hingga sekarang menjadi Staf Ahli Komisi di DPR RI. IF: DA:
Apa motif Anda masuk ke dunia politik? Ingin membantu dan berbuat untuk masyarakat agar memiliki keterampilan kemandirian dan mampu keluar dari masalah kemiskinan dan kebodohan melalui jalur pendidikan sudah barang tentu cita cita ini harus di wujudkan di mulai dari kegiatan kegiatan selama ini saya lakukan dari tahun 2004 yaitu mengambil anak anak yang putus putus sekolah di kampung kampung untuk di kuliah kan secara gratis hingga S3-nya, kegiatan inilah yang mendorong saya untuk melakukan sesuatu yang lebih kepada masyarakat untuk memperjuangkan kegiatan ini melalui perjuangan di lembaga wakil rakyat sehingga kegiatan mulia ini mampu di terapkan secara merata ke daerah daerah lain. Mengingat, kita tidak hanya memiliki konsep namun lebih dari pada itu kita mampu membumikan gagasan pemikiran dan konsep yang kita miliki serta aspirasi dari masyarakat luas melalui lembaga politik. Karena yang saya yakini lembaga politik bertujuan mensejahterakan rakyat dengan menjalankan amanah dan keinginan serta aspirasi dari rakyat namun terkadang cita cita tersebut di salah gunakan oleh oknumoknum yang mengatas namakan rakyat sehingga dampaknya tingkat kepercayaan masyarakat kepada elit-elit politik berkurang bahkan kepercayaan masyarakat hilang, di tambah lagi banyak kita jumpai prilaku prilaku politisi yang merugikan keuangan negara dan mementingkan kepentingan pribadi kelompok dan golongannya saja dari pada mengutamakan masyarakat luas. Belum lagi sumber pendanaan partai politik yang sampai hari ini masih belum di atur secara jelas dan terperinci, transparan dari beberapa hal tersebut di atas inilah, yang mendorong saya untuk melakukan perbaikan dan pembenahan dengan terlibat langsung dengan menjembatani program program pemerintah disingkronkan dengan aspirasi masyarakat pada umum nya.
IF:
Adakah background pekerjaan atau lingkup sosial yang dijadikan “kendaraan” untuk masuk ke dunia politik? Ada. Cuma, saya berkeyakinan jika menjadikan orang lain sukses maka sejuta peluang sukses lainnya akan di bukakan dan di mudahkan oleh-Nya. Dari moto diatas itulah yang mendorong saya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan cara membentuk kelompok kelompok masyarakat binaan yang saya beri nama mitra( 1) mitra (2) mitra (3) sampai dengan mitra (11) dimana kelompok kelompok mitra binaan tersebut bertugas membumikan seluruh program program dari kementerian terkait yang menjadi mitra dari komisi 1 sampai dengan komisi
DA:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
329
11 di DPR RI contohya mitra 4 di bidang pemberdayaan kelompok kelompok tani di bidang pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di masing masing desa. Pemberdayaan masyarakat kelompok perikanan, peternakan, perkebunan dll. Mitra 9 dengan konsep pengobatan gratis untuk warga dari desa ke desa yang sudah berjalan kurang lebih selama 2 tahun sampai dengan sekarang, mitra 10 program “satu rumah satu sarjana” selain itu juga ada”rumah prestasi” dan juga “rumah 1000 sarjana” belum lagi mendirikan “rumah baca masyarakat” serta mendirikan “rumah sehat warga” dengan memberikan penyuluhan tentang hidup sehat dan juga mendirikan Yayasan Al Qur’an Center guna memberikan kesempatan kepada anak anak putus sekolah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan di bekali kegiatan ekonomi dan bekal agama agar kita mampu mempersiapkan generasi yang memiliki keseimbangan dunia dan akhirat. IF: DA:
Bagi Anda, sebenarnya apa makna politik itu? Makna politik Politik dipandang oleh banyak golongan sebagai perkara kotor. Hingga akhirnya, tak sedikit pula orang yang tidak mau berkecimpung di dunia politik. Memang, sudah sewajarnya jika banyak orang berasumsi demikian. Sebab, realitas di lapangan menyebutkan bahwa politik memang seperti itu. Namun perlu diketahui, kekotoran politik yang biasa dipandang oleh banyak kalangan,tidak serta-merta dapat diambil kesimpulan bahwa politik itu kotor. Sebab, pada dasarnya politik itu baik. Namun, karena terpedaya oleh orang-orang kotor yang berada di dalamnya, hingga akhirnya, politik dipandang sebagai perkara yang menyebabkan banyak kemadhorotan. Nah, pandangan seperti inilah yang secara tidak langsung membuat dunia perpolitikan di negeri ini dipandang sebelah mata. Dengan berdalih politik itu kotor ” membuat banyak orang baik tidak mau berkecimpung di dunia politik yang sudah terkenal dengan kekotorannya. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka tidak mau terkena getah dari kekotoran politik. Padahal, jika dipikir secara rasional suatu sistem tidak akan menjadi buruk jika aktor atau pemerannya adalah orang-orang baik.
IF: DA:
Mengapa Anda pilih partai ini (sebutkan nama partai)? Meski bukan anak kader partai Golkar, saya tidak serta merta menjatuhkan pilihan politik pada Partai Golkar. Pada saat itu timbul kesadaran politik baru dalam pikiran saya peduli politik atau tidak peduli politik. Kalau saya tidak peduli politik, kemudian negeri ini salah urus, bangkrut, dan sejenisnya, saya hanya bisa meratapi. Pada titik itu kemudian saya memutuskan untuk “peduli politik”. Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab. Tetapi jika Negara ini maju maka saya juga bertanggung jawab. Pikiran peduli politik pada waktu itu masih sebatas dalam konteks kepentingan kebangsaan secara umum. Setelah memutuskan peduli politik, saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik. Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam rasionya: saya ini harus ikut partai apa? Saya ini mau ikut partai kecil, dan langsung jadi kepala teri, atau saya ikut partai besar jadi buntut ikan hiu, atau buntut naga? Begitu dalam pikiran saya. Pertimbangan itu terus di pikirkan hingga pada akhirnya, memutuskan untuk bergabung dengan partai besar. Saya berkesimpulan, untuk apa saya jadi kepala teri kalau akhirnya ukurannya hanya sebesar teri. Artinya, saya cepat puas, cepat senang, tetapi sebetulnya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
330
tempaannya atau penggodokannya tidak maksimal. Ga apa-apa saya jadi buntut naga tetapi disitu saya ditempa, digodok, sehingga ketika suatu ketika saya jadi kepala naga, maka itu pasti sudah melalui tempaan luar biasa dan itu pasti tangguh. Pada akhirnya saya melabuhkan pilihan pada Partai Golkar dengan tiga pertimbangan utama: Pertama, sumber daya manusia di Partai Golkar. Dibanding partai lain, Partai Golkar memiliki sumber daya manusia yang sangat teruji, terlatih, pintar-pintar, educated, dan mapan. SDM partai Golkar tangguh, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dari segi kuantitas pun sangat banyak, sudah menyebar di nusantara. Kedua, infrastruktur Partai Golkar juga sudah establish hingga tongkat kecamatan dan desa sekalipun. Ketiga, demokratis. Di kala partai besar lain masih banyak dibayangi “kepemimpinan kharismatis” dan “tokoh sentral”, Partai Golkar sudah menunjukkan diri sebagai partai modern dan demokratis. Tidak ada tokoh sentral, semua orang punya kesempatan sama untuk menjadi pimpinan, tak peduli dari garis keturunan siapapun atau etnis manapun. Partai pada akhirnya menjadi sangat dinamis dan kompetitif. Yang melaju pasti yang teruji dan kader terbaik. Saya memutuskan untuk ikut aktif di Partai Golkar dengan segala implikasinya, seperti harus siap jadi “buntut” partai. Dan keputusannya ditindaklanjuti dengan aktif mengikuti kegiatan partai, sering berkunjung ke DPP Partai Golkar Slipi, serta menjalin komunikasi dengan tokohtokoh Partai. Mengenang masa awal bergabung dengan partai Golkar, saya mengalami banyak pengalaman yang menuntut kesabar saya. “Awal-awal bergabung sering diakalin orang. Tapi dari situ saya dapat pengalaman, dapat pelajaran, “oh ternyata gini toh caranya ngakalin orang”. Karena berpikir positif seperti itu, saya akhirnya tabah saja jika diakali seniornya. “Diakali sekali tabah, diakalin dua kali tabah, diakali lagi tabah lagi. Setiap kali diakalin berarti ilmu saya terus bertambah. Jadi itu pengalaman yang menarik. Memasuki Pemilu 2014 dengan nomor urut 8 saya mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Dapil Jabar II kabupaten Bandung dan kabupaten Bandung Barat. IF: DA:
Apakah kekuasaan menjadi obsesi Anda di dunia politik? Kekuasaan dan Politik sebenarnya saling berkaitan karena tujuan politik itu adalah mencapai kekuasaan. Tapi bagi saya disinilah proses mempelajari perilaku keorganisasian dalam politik. Karena pada saat kita sudah menjadi pemimpin keberadaan kita sangatlah mempengaruhi perilaku orang- orang yang ada dalam organisasi . dan bagi saya kekuasaan bukanlah segalanya di dalam politik. Keberhasilan menjadi penguasa dalam politik itu ketika kita bisa menjaga amanah masyarakat dan kegiatan politik yang kita lakukan dalam mengambil keputusan itu bisa bermanfaat bagi masyarakat.
IF: DA:
Tindakan apa saja yang telah Anda lakukan sebagai politisi/komunikator politik? Saya pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Jabar II pada pemilu 2014. Saya juga melakukan lobbying dengan menghubungi pejabatpejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputuan-keputusan yang di ambil dengan menjalin komunikasi yang baik dengan mereka. Dalam kegiatan organisasi, saya ikut serta dalam kepengurusan organisasi pemuda tingkat nasional dan gerakan mahasiswa, seperti organisasi AKUMINDO, dan lainnya. Dan saya juga selalu memperluas koneksi dengan teman-teman, pejabat pemerintah dan swasta juga pengusaha.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
331
IF: DA:
IF: DA:
IF: DA:
IF: DA:
IF:
DA:
Pola komunikasi seperti apa yang Anda lakukan untuk berkomunikasi dengan rekan sejawat atau konstituen? Menjalin Pola komunikasi horizontal antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok antar pemuda se indonesia di KNPI, dan Gema kosgoro. Pola komunikasi melalui jalur-jalur organisasi formal seperti pejabat-pejabat pemerintahan, serta menjalin pola komunikasi informal komunikasi melalui pertemuan atau tatap muka bersama tokoh-tokoh masyarakat. Apakah latar belakang Anda sebagai santri Pondok Modern Gontor memiliki pengaruh dalam strategi komunikasi yang Anda lakukan? Iya. Pada awal saya masuk ke pondok modern darussalam gontor ponorogo dan pada saat itulah saya sudah diajarkan cara untuk berkomunikasi dengan salah satu kegiatan yaitu latihan pidato dan setelah 2 tahun lamanya saya di pondok modern darussalam gontor dan masuk tahun ke 3 dimana saya di didik untuk menjadi pengurus asrama disinilah banyak hal yang saya pelajari untuk cara berkomunikasi dengan anggota asrama sampai di penghujung studi saya ketika saya duduk di kelas 6 KMI dan pada saat itu saya mendapat amanah untuk menjadi bagian keamaan pusat yang dimana saya di bentuk dan dilatih agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan seluruh santri pondok modern darussalam gontor dengan menggunakan bahasa dari amanah-amanah itulah yang saya gunakan untuk berkomunikasi setah saya masuk dalam dunia politik. Menurut Anda, Pondok Modern Gontor memiliki andil dalam perjalanan karir politik Anda? Gontor mengajarkan santri-santrinya untuk menjadi seorang pemimpin umat pemimpin masyarakat karna Kyai kami mengajarkan “sekali hidup-hiduplah yang berarti” semboyan tersebutlah yang selalu mengiringi setiap langkah kehidupan saya khusus nya di dalam bidang politik yang pada saat ini saya langsung terjun ke dunia politik. Bagaimana hubungan Anda dengan komunitas alumni PMG semisal IKPM atau PAGON? Apakah Anda juga memanfaatkan jaringan komunitas alumni tersebut? Ikatan keluarga pondok modern merupakan salah satu struktur keorganisasian pondok modern darussalam gontor guna untuk memper erat ikatan silaturahim keseluruh alumni pondok modern darussalam gontor setelah lulus dan berkiprah di masyarakat secara pribadi saya merasakan dan sudah saya alami hubungan saya bersama alumni-alumni IKPM sangat erat dan hubungan saya bersama IKPM di dalam karir saya saat ini sangat berpengaruh demi menjaga tali silaturahim. Pak Zar (KH. Imam Zarkasyi) konon selalu mengulang kata-kata: “Saya lebih suka santri menjadi pemimpin di sebuah langgar kecil tapi memiliki jamaah yang konsisten”. Apakah itu juga berarti sebuah stimulant dari Pak Zar agar para santrinya menjadi pemimpin di masyarakat/umat? Pimpinan pondok modern darussalam gontor di setiap perkumpulan selalu mengatakan lebih baik mengajar di surau-surau kecil tapi memiliki jamaah konsisten dan bermanfaat bagi orang lain dari pada di sebuah tempat yang besar tapi tidak konsisten, maksud dari semboyan diatas seluruh santri di ajarkan supaya jadi seorang pemimpin msyarakat tetapi Gontor mengajaran seorang pemimpin bukan hanya seorang yang memiliki jabatan tinggi tetapi pemimpin
http://digilib.mercubuana.ac.id/
332
menurut ajaran Gontor adalah seorang yang mampu mengajar di surau-surau kecil. IF: DA:
IF: DA:
Bagi Anda, apa makna tagline pondok berbunyi “Pondok Modern Gontor di atas dan untuk semua golongan”? Gontor merupakan ponpes yg sdh diwakafkan pada umat Islam seluruh dunia, sehingga gontor berdiri di ataa dan untuk semua golongan dan Gontor benarbenar lembaga yang mandiri, tidak berafiliasi ke ormas atau parpol tertentu dan Gontor juga tidak mendukung capres tertentu Gontor mendukung masyarakat untuk menentukan sendiri pemimpin pilihan umat Jika ada pihak yg menyatakan bahwa Gontor mendukung salah satu Capres, itu itdak benar karena gontor itdak berpolitik praktis dan Gontor juga memberikan kepada para alumni untuk diberi kebebasan dalam menentukan pilihannya tetapi dengan tidak membawa nama Gontor secara lembaga karena gontor tetap pada komitmen awal untuk menjadi perekat umat mencetak kader pemimpin umat. Itulah makna yang saya pahami dari semboyan “Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan”. Pondok Modern Gontor memiliki “Panca Jiwa” yang diajarkan dan menjadi pedoman bagi para santri di Pondok Modern Gontor. Apakah itu menjadi landasan Anda dalam bertindak di dunia politik? Panca jiwa pondok modern darussalam gontor merupakan landasan dalam hidup seluruh santri Gontor tidak hanya di dalam bidang pendidikn saja tetapi segala aspek di dalam kehidupan slah satunya di dalam bidang politik panca jiwa juga yang mendasri kehidupan saya di dalam bidang politik khususnya yang terdiri dari lima jiwa:(.jiwa keikhlasan), Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik,jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang di segani dan santri yang taat,cinta dan penuh hormat.jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan allah, di manapun dan kapanpun. ( Jiwa kesederhanaan), kehidupan di pondok modern darussalam gontor diliputi oleh suasana kesederhanaan.sederhana bukan berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin atau melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu terdapat nilainilai kekuatan,kesanggupa,ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar,berani maju dan tak pantang mundur dalam segala keadaan.bahkan disinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.(jiwa berdikari),berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang di bekalkan Gontor kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajardan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri,tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Inilah zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran sama-sama memakai). Dalam pada itu, pondok tidaklah bersifat kaku,sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok di kerjakan oleh kyai dan para santrinya sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok. (jiwa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
333
ukhuwwah islamiah), kehidupan di pondok modern darussalam gontor diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah islamiah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat. (jiwa bebas), bebas dalam berpikir dan berbuat,bebas dalam menentukan masa depa,bebas dalam memilih jalan hidup,dan bahkan bebas dari segala pengaruh negatif dari luar,masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali di temukan unsurunsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalah gunakan,sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas(untuk tidak mau di pengaruhi), berpegang teguh dengan tradisi yang di anggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya. Sehinggga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengingatkan diri pada yang di ketahui saja. Maka kebebasan ini harus di kembalikan ke aslinya,yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif,dengan penuh tanggung jawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri,maupun dalam kehidupan masyarakat.jiwa yang meliputi suasana kehidupan pondok pesantren itulah yang di bawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat.jiwa ini juga harus di pelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. IF: DA:
IF: DA:
Bagaimana Anda memaknai pepatah pondok: Fi ayyi ardhin tatho’ wa Anta masúlun ‘an islámiha? Santri pondok modern darussalam gontor di didik dan dibina untuk menjadi kader-kader pemimpin ummat akan tetapi bukanlah seorang pemimpin yang mempunyai jabatan tinggi yang dimaksud di dalam pendidikan pondok modern darussalam gontor akan tetapi yang di maksud oleh pondok pesantren darussalam gontor adalah dimanapun kalian berada disitulah kalian mempunya amanah yang mulia dan tanggung jawab yang besar atas keislaman daerah/tempat tersebut. Bisa diceritakan sedikit ajaran Pondok Modern Gontor yang berkesan bagi Anda? Menjadi siswa akhir KMI merupakan tahapan puncak sebelum menjadi alumni Gontor. Tentunya ujian yang dihadapi juga lebih berat ketimbang kelas 1-5 KMI di kelas 6 ada ajaran yang sangat berkesan dalam hidup saya yaitu praktek ngajar tarbiyah amaliyah diman kelas 6 harus mempersiapkan betul-betul dang sunggusungguh dalam tarbiyah amaliyah karna tidak mudah bagi kelas 6 disitu kelas 6 di tuntut untuk menjadi seorang guru dan sebulum melaksanakan praktek mengajar masing2 kelas 6 harus membuat persiapan baik secara tertulis maupun mental dan tidak cukup hanya sampai sini saja ujia kelas 6 akan tetapi setalah praktek mengajar mereka langsung dihadapkan dengan ujian lisan akhir KMI. Jika santri kelas 1-5 yang diuji masuk satu persatu, pada ujian akhir KMI, para siswa memasuki ruang ujian secara berpasangan. Selama 10 hari, msing-masing dari merekamasuk ruangan ujian selama 7 kali untuk 7 materi yang duijikan. Dan setelah selesainya ujian lisan selama 10 hari dilanjutkan dengan ujian tulis selama 14 hari ajaran inilah yang berkesan bagi saya selama saya di pondok modern darussalam gontor.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
334
BIODATA DR. CHAIDER S. BAMUALIM, MA Tempat Tanggal Lahir Alamat Pekerjaan Email
: Kupang, 24 Mei 1966 : Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang : Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta :
[email protected]
Pendidikan 1. Pondok Modern Gontor PMG (1979-1986) 2. S1 – Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1990-1995) 3. S2 – Rijk Universiteit, Leiden, Nederland (1996-1998) 4. S3 – Doctorate Program, Leiden UnIversity, the Netherlands, (2008-2015) Professional Training 1. Fulbright Institute of American Studies’ Program on “Religion in America: Pluralism and Public Presence”, USA, 22 June 2003 - August 04, 2003. 2. Undergraduate Study, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1990-1995) 3. MA Degree, Islamic Studies Program, Leiden University (1996-1998). 4. PhD Student at Doctorate Program Leiden University, the Netherlands (20082015). 5. Research Fellow, National University of Singapore (NUS), April 2008-June 2011) on Project research, Islam and Social Dynamics in Indonesia: Comparative Analysis of politics, law, and culture in post-Soeharto Indonesia. (Singapore: Department of History, Faculty of Arts and Social Sciences (FASS), 2011). Working Experiences 1. Lecturer at the Faculty of Social and Political Sciences at Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) Jakarta in the field of Identity Politics (2009-Present). 2. Research Fellow, Department of History, National University of Singapore (NUS), April 2008-June 2011). 3. Lecturer at the Faculty of Ushuluddin at Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) Jakarta in the field of Islamic Political Thoughts (1999-2009). 4. Director, Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2006-2008). Article Published in International Journal Author, “Islamic Militancy and Resentment against Hadhramis in post-Suharto Indonesia: A Case Study of Habib Rizieq Syihab and His Islamic Defenders Front, published by international Journal of Comparative Study of South Asia, Africa, and Middle East (CSSAAME), Volume 31, Number 2, 2011. Duke University Press. Publications (2002-2015) 1. Editor, Modul Pendidikan Perdamaian di Pesantren Berperspektif Islam dan HAM (Jakarta: CSRC UIN Jakarta dan Konrad Adenauer Stiftung, 2015). 2. Editor, Tanya-Jawab Relasi Islam & Hak Asasi Manusia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta dan Konrad Adenauer Stiftung, 2014). 3. Author, “Philanthropy, Pesantren and the Promotion of Social Justice,” Jurnal Pesantren, Vol. 1, 2010, pp. 1-19.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
335
4. Author, “What wrong with the notion of Jihad,” in Cheyne Scott and Irfan Abubakar (eds), Islam and Contemporary Issues (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2007). 5. Editor, Module Resolusi Konflik Agama dan Etnik di Indonesia (Jakarta: PBB-UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006). 6. Editor (et.al) Islamic Philanthropy and Social development in Contemporary Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006). 7. Editor (et.al), Filantropi Islam dan Keadilan Sosial (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006). 8. Author, “Islamic Philanthropy for Social Justices: Trends and Challenges”, Kultur, the Indonesian Journal for Muslim Cultures, Vol. 7. No. 1. 2008. 9. Author, “Rezim Hukum Filantropi Islam: Menggagas Filantropi untuk Keadilan Sosial: Suatu Pendekatan Politik Hukum,” Jurnal Respublika (2006). 10. Author, “Nexus antara Fundamentalisme Islam dan Terorisme,” in Millah, Jurnal Studi Agama, Vol. VI, No. 1, Agustus 2006 (Yogyakarta: Program Pascasarjana [S2], UII Yogyakarta). 11. Author, “Konsolidasi Militan Islam dan Reproduksi Makna Jihad” (The Consolidation of Islamic Militancy and the Reproduction of the Meaning of Jihad), Jurnal Refleksi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, 2005). 12. Editor, Transisi Politik dan Konflik Kekerasan (Jakarta: PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) 13. Editor, Portrait of Contemporary Indonesian Islam, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. 14. Author, “Konsolidasi Militan Islam dan Reproduksi Makna Jihad”, dalam Jurnal Refleksi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, 2005). 15. Author, “Fundamentalisme Islam: Antara Komunalisasi dan Demokratisasi di Indonesia” (Fundamentalism and Communalism in Contemporary Indonesia), in Hikmat Budiman and Landry H. Subianto (eds), Komunalisme dan Demokrasi: Negosiasi antara Rakyat dan Negara (Communalism and Democracy: Negotiation between State and People) (Jakarta: Interseksi and The Japan Foundation, March, 2003). 16. Author, “Fundamentalisme Islam dan Tantangan Modernitas” (Islamic Fundamentalism and the Challenge of Modernity), Refleksi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, 2003) 17. Editor, Islam and the West: Dialogue of Civilizations in Search of a Peaceful Global Order, (PBB-UIN Jakarta and Konrad Adenauer Stiftung/KAS), Jakarta, 2003). 18. Editor, KULTUR, the Indonesian Journal for Muslim Cultures, Vol. 2. Number 2 2002, published by Centre for Languages and Cultures, State Institute for Islamic Studies, Jakarta. 19. Editor, Communal Conflict in Contemporary Indonesia (Jakarta: CLC IAIN Jakarta 2002).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
336
TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan
: DR. Chaider S. Bamualim, MA : Dosen FISIP & Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tanggal Wawancara Tempat
: 9 Juni 2015 : Kantor CSRC, UIN Jakarta
Keterangan IF CSB
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Chaider S. Bamualim (Nara Sumber)
============================================================ IF:
Ada yang bilang bahwa saat ini adalah saatnya alumni PMG. Mereka ada di semua lini kehidupan di negeri ini. Selain menjadi ustad, guru dan dosen, wartawan, pebisnis, alumni PMG juga banyak yang berkiprah di organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik. Nah, kali ini saya ingin Anda melihat fenomena alumni PMG yang berpolitik. Bagaimana menurut Anda? CSB: Mengenai artikulasi politik alumni PMG itu menurut saya harus dilihat dari bagaimana filsafat dan prinsip-prinsip bermasyarakat yang diajarkan PMG. Kirakira pola politik seperti apa yang diinginkan the founding fathers. Prinsip-prinsip yang menonjol di Gontor itu—yang menurut saya adalah political statement— adalah Gontor untuk dan di atas semua golongan. Itu tagline dan political standing. Di sini dapat dilihat bahwa artikulasi politik Gontor itu terbuka dan tidak mengarahkan alumninya untuk menganut satu aliran politik tertentu atau tidak menyeru alumninya untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada aliran tertentu. Bukankah dari dulu sudah ada PPP sebagai parpol Islam? Tapi kan Gontor tidak pernah sekalipun mengarahkan para alumninya untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Itu keren sekali kan? Kalau sekarang di dunia demokrasi seperti saat ini ada pesantren-pesantren seperti PMG yang memberikan kebebasan pada alumninya untuk menentukan pilihan politiknya sendiri, itu lumrah. Tapi yang unik PMG sudah melakukan hal itu sejak dulu. Padahal di era Orba posisi pemerintah saat itu dianggap tidak mendukung politisasi Islam. Karena itu hubungan pemerintah Orba dan tokoh-tokoh Islam tidak harmonis. Seharusny dalam posisi seperti itu PMG bisa mengarahkan para alumninya atau keluarga besar Gontor untuk menyuarakan aspirasi politiknya pada PPP. Tapi Gontor tidak melakukan itu. Jadi prinsip atau tagline PMG itu genuine yang dibangun di atas satu gagasan atau filsafat politik yang maju untuk ukuran zamannya. IF:
Baik. Apa benar selama di Gontor Anda pernah mendengar Pak Zar mengatakan bahwa beliau lebih suka santrinya memimpin sebuah langgar berisi jamaah sedikit namun konsisten dibandingkan santrinya memimpin sebuah langgar berisi jamaah banyak tapi tidak konsisten? CSB: Iya. Bahkan saya lebih dari itu. Ada juga pernyataan Pak Zar yang mengatakan bahwa saya tidak lebih bangga memiliki santri yang jadi menteri atau pejabat tinggi ketimbang mereka yang duduk di mushalla kecil dan membina umat. Sama saja kebanggaannya. Artinya, orang yang pulang dan berdakwah mau bersusah-susah di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
337
masjid membina umat itu nilainya tidak lebih kecil daripada menjadi menteri atau pejabat tinggi. Ini juga merupakan sikap dan dorongan pimpinan pondok kepada santri yang kemudian menginspirasi mereka untuk terlibat dalam aksi-aksi perubahan sosial. Statement itu tidak ada kaitannya dengan politik, tapi sepertinya menginspirasi para alumninya untuk bekerja di grass root. Dan siapapun yang bekerja di grass root itu sebenarnya sedang membangun basis politik. Statement itu tidak bermuatan politik tapi lebih pada filosofis bagaimana alumni harus berperan di masyarakat dan berpengaruh pada kemuliaan seseorang. Kemuliaan itu bukan terletak pada posisi atau jabatan apa yang bisa dicapai. Kemuliaan di sini terletak pada kesediaan untuk mengabdikan ilmu, pengetahuan, dan pengalaman kepada masyarakat meskipun muridnya hanya satu. Ini sikap, prinsip, filsafat sosial kiai kami. Di manapun santrinya bisa berperan. Hal ini juga merupakan semacam energi encouragement kepada alumni yang nasibnya kurang beruntung. Mereka tidak usah berkecil hati meskipun hanya mengajar di TPA, guru ngaji, Dai, atau apapun peran socialnya, santri Gontor tetap besar. Statement ini mendorong para alumni yang termarjinalisasi menjadi optimistik. IF:
Selain statement tersebut, apakah ada kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi stimulant bagi tumbuhnya motivasi menjadi leader di masyarakat? CSB: Memang Gontor menyiapkan santrinya untuk siap terjun di masyarakat dan tidak canggung berperan sebagai apa saja. Makanya leadership itu penting dan ada di dalam berorganisasi. Jadi berorganisasi itu sangat penting di Gontor. Di Gontor itu tidak terlalu penting seberapa banyak santrinya menguasai kitab-kitab kuning. Tapi yang paling penting itu mentalitas belajar para santri. Jadi mental leadership di PMG itu adalah ketekunan dan kedisiplinan. PMG menyiapkan mental leadership itu melalui banyak cara, seperti dalam organisasi Pramuka, muhadlarah, bidang kesekretariatan, olahraga, kesenian, beladiri, dan banyak lainnya. Semua itu diajarkan dan santri itu pulang dengan alat kepemimpinan yang sangat banyak. Kalau tidak bisa jadi imam masjid kan bisa jadi ketua karate, jadi ahli kaligrafi, dan lainnya. IF: Baik. Kalau Anda menlihat fenomena berpolitik alumni PMG bagaimana? CSB: Meskipun Islam sebagai ideology cukup kuat diajarkan PMG sehingga banyak alumni yang berkiprah di parpol berideologi Islam, tapi banyak juga alumni yang masuk ke parpol berbasis ideology non Islam. Itu disebabkan adanya Jiwa Bebas dalam setiap santri PMG. Kami ini kalau masuk HMI bisa, Muhammadiyah atau NU pun bisa, karena PMG itu post. Jadi kalau dari segi kulturnya, Gontor itu post NU, post Muhammadiyah. Santri PMG bisa masuk ke mana-mana. Mentalitas inilah yang dipersiapkan. Seperti kitab-kitab yang diajarkan, antara lain Bidâyatul Mujtahid itu kan dari sisi fikih mengajarkan santri untuk berpikir terbuka dan melihat opsi-opsi di dalam ilmu fikih. Kalau ujian fikih di PMG itu, ustad akan bertanya mana menurutmu yang benar. Kan tidak ada di tempat lain seperti itu. Jadi semuanya harus terbuka untuk perbedaan-perbedaan pemikiran. Moto berpikiran bebas juga membantu alumni Gontor untuk masuk pada jaringan politik yang secara Islam tidak ideologis. Misalnya di PDIP, Golkar, dan Demokrat itu kan ada alumni Gontor meski tidak terlalu menonjol. Tapi saya kira mereka sudah tidak canggung bermain di parpol nasionalis karena mentalitas sudah dipersiapkan meski menurut saya tradisi Islam di Gontor cukup kuat secara ideologis, tapi juga mempersiapkan santrinya agar tidak fanatik buta. Jadi membuka kesempatan bagi para santri untuk mengartikulasikan kepentingan-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
338
kepentingan sosial, kultural, maupun politik mereka. di NU bisa, Muhammadiyah bisa, PAN, oke, Golkar oke, PKS oke, dan lain sebagainya. Basis Gontor itu memang lebih kuat modernisnya dibandingkan tradisionalisnya. Karena sejarahnya Pak Zar di Padang. Tapi kan juga ada Pak Sahal. IF: Anda yakin bahwa masuknya alumni PMG itu murni ideologi, bukan kekuasaan? CSB: Orang berpolitik itu tujuannya kekuasaan. Tapi kita tidak bisa mengesampingkan bahwa para santri itu tidak membawa misi-misi ideologis sama sekali. Itu tidak mungkin. Dalam teori sosial selalu aspek subyektif, relijius, ideologis dalam teori politik. Dalam politik itu kan orang tujuannya kekuasaan. Orang harus paham bahwa santri itu hidup dalam kultur, system nilai, dan tradisi yang kuat, sehingga ketika mereka sudah berpolitik mereka tetap memperjuangkan hal-hal yang bertentangan dengan ideology mereka. Misalnya, dalam UU Pendidikan Nasional, para aktifis PPP dulu memperjuangkan agar kata “takwa” tetap ada sebagai tujuan pendidikan. Jadi, kalau tidak, mereka akan menjadi sekuler sama sekali. Unsur-unsur keislaman tetap mereka perjuangkan di partai-partai politik Islam seperti PPP, PKB, PKS. Apalagi jika dianggap ada yang mengganggu kepentingan Islam, termasuk ideologinya. Meskipun itu juga sulit karena tidak semua bisa dicapai. IF:
Apakah karena ideologi itu juga yang menjadi motif alumni PMG berpolitik? Seperti halnya Pak Zar yang mengatakan: Fî ayyi ardlin tatho’ wa anta mas-ûlun ‘an Islâmiha. Artinya, para alumni diupayakan untuk membangun nilai-nilai Islam di manapun mereka berada. Bagaimana menurut Anda? CSB: Kita sulit mengukur motif mereka. Tapi saya tetap pada prinsip bahwa secara teoritis orang berpolitik itu tujuannya kekuasaan dan matrealistik. Itu teorinya (Laswel). Tapi, Anda juga tidak bisa mengabaikan bahwa tokoh-tokoh utama Islam yang berperan di dunia politik itu selalu juga memperjuangkan kepentingan/motif keagamaan seperti: Fî ayyi ardlin… itu selalu ada. Kendatipun apa yang mereka perjuangkan itu ada dimensi politik. Umpamanya, tokoh seperti Hidayat Nur Wahid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, ketika memperjuangkan suatu kebijakan lebih islami, tidak bisa dikatakan melulu memperjuangkan Fî ayyi ardlin tatho’, karena di situ juga ada motif politiknya karena diperlihatkan juga kepada konstituennya bahwa mereka memperjuangkan kepentingan Islam. Jadi menurut saya itu mix dan kita tidak bisa menilai mana yang lebih besar. Ketika hal itu menyangkut kepentingan individu, kadang-kadang yang muncul adalah motif matrealistiknya, motif sekulernya, mungkin lebih besar. Tapi ketika menyangkut kepentingan umat, kadang-kadang muncul Islamic emotion-nya. IF:
Baik. Kalau kita lihat, politisi-politisi alumni Gontor ini melakukan pola komunikasi melalui jaringan-jaringan termasuk IKPM dan PAGON. Menurut Anda, pola komunikasi tersebut bisa terbangun secara baik atau tidak? CSB: Secara komunal, Gontor sebagai satu identitas politik memang lebih cair, belum terartikulasi secara solid. Gontor sebagai satu madzhab atau satu kelompok dengan kepentingan politik tertentu itu tidak ada. Itu karena sifatnya yang cair sehingga ada di mana-mana. Aliran politik alumni PMG itu macam-macam. Dan jaringan PMG yang ada belum cukup kuat untuk memposisikan Gontor sebagai satu aspirasi aliran politik tertentu. Mungkin bisa saja pimpinan PMG bisa memainkan peran-peran itu dan itu tergantung pada konteksnya, seperti pemilu atau calon yang mencoba mendekati
http://digilib.mercubuana.ac.id/
339
Gontor agar mendapatkan suara secara simbolik. Tapi PMG itu selalu konsisten bahwa Gontor untuk dan di atas semua golongan. Makanya pimpinan Gontor biasanya sangat hati-hati, tidak mau secara eksplisit memperlihatkan dukungan kepada suatu partai. Makanya, menurut saya, jaringan-jaringan PMG itu tidak cukup efektif untuk mengklaim dirinya sebagai satu basis politik yang kuat. Itu bahkan tidak ada atau kecil sekali kemungkinannya. Jaringan-jaringan ini malah cenderung fragmented, tidak ada satu aspirasi politik tunggal yang diperjuangkan. IF:
Artinya, calon legislative alumni Gontor juga belum tentu mendulang suara dari IKPM? CSB: Belum tentu. Para alumni di IKPM ini hanya mendukung karena adanya kedekatan emosional saja. Misalnya, mereka akan mendukung Husnan karena kedekatannya sebagai keluarga kiai, bukan sebagai caleg dari PPP yang notabene merupakan partai ideologi Islam. Tapi pengaruh itu bisa saja kalah dengan adanya pengaruh yang lebih kuat, meski itu datangnya dari Golkar, Demokrat, PDIP, atau lainnya. Coba saja lihat Hasyim Muzadi yang terang-terangan mendukung PDIP. Di sisi lain, Din Syamsuddin agak “kabur” karena mengundang Jokowi dan suatu ketika juga mengundang Prabowo. Apa yang dilakukan Hasyim Muzadi dan Din itu sebenarnya tergantung tradisi NU dan Muhammadiyah yang melatarinya. Memang artikulasi politik itu kan tergantung pada konteks sosialnya. Gontor itu berdiri pada inklusifisme social, keagamaan, politik, yang ingin dikonstruksi oleh founding fathers, bukan afiliasi-afiliasi fanatik yang irasional. Jadi tidak bisa diklaim bahwa politik Gontor itu PKS, PPP, atau lainnya. Umumnya, para alumni ini cukup kritis dan punya sikap. Artinya, pilihan politik maupun ideology keagamaan mereka itu matang. Mereka sudah dibekali dengan baik saat di PMG, apalagi kemudian mereka kuliah di dalam maupun di luar negeri. Unsur-unsur ideology organisasi kemudian turut membentuk mereka. Sebagai contoh, jika Anda aktif di NU, maka ajaran di NU akan membentuk cara pandang Anda tentang politik. Begitu juga jika Anda aktif di Muhammadiyah, Salafi, Tarbiyah, dan lainnya. Kalau Anda aktif di HMI juga akan begitu. HMI akan mengkonstruksi cara pandang kamu tentang politik. Begitulah yang terjadi dengan alumni PMG di mana mereka akan cair dalam artikulasinya tetapi lebih ditentukan oleh konteks dimana dia hidup. Artinya, karena santri itu merupakan entitas yang cukup matang dalam keislamannya, maka tidak mudah dikendalikan. Kecuali orang seperti Pak Zar masih hidup dan mengarahkan santri-santrinya untuk menyalurkan aspirasi ke salah satu partai politik. Mungkin semua santri akan ikut karena “ihtiram”. Berbeda jika melihat pimpinan PMG saat ini yang tidak memiliki kharisma sebesar Pak Zar. IF:
Apakah Anda bisa menilai kelebihan pola komunikasi khas yang dilakukan alumni PMG? CSB: Sebenarnya tidak ada yang terlalu spesifik. Mereka lebih dipengaruhi oleh konteks sosial politiknya. Hanya saja, tampaknya, alumni PMG memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan audiens mereka. Dan pada dasarnya alumni PMG itu tidak terlalu ideologis atau tidak terlalu bermadzhab. Akhirnya mereka cenderung fleksibel. IF:
Nah, bagi politisi alumni PMG yang tidak berafiliasi pada NU atau Muhammadiyah, apakah itu menguntungkan?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
340
CSB: Para alumni PMG yang berpolitik menggunakan basis sosialnya, itu sebenarnya bagus. Karena politik itu kan tergantung basis sosialnya. Jadi jika Anda memiliki basis social semacam NU dan Muhammadiyah, maka itu lebih mudah untuk menggaet voters. Jika Anda bukan NU dan Muhammadiyah tapi memiliki dukungan sosial yang bagus, itu bisa saja. Gontor itu bisa berfungsi sebagai network tapi kan tidak sebagai ormas. Saya kira bisa saja Gontor nanti berpikir akan menjadi ormas jika hendak berpolitik praktis. Karena Gontor itukan punya tradisi keagamaan yang khas, tidak NU dan tidak Muhammadiyah. IF:
Faktanya, pada periode 2009-2014 ada sekitar 7 anggota DPR/MPR RI yang merupakan alumni PMG. Sementara pada 2014-2019 ini hanya tinggal 2 orang saja yang menjadi anggota parlemen. Apakah itu terjadi karena mereka tidak memiliki basis sosial yang kuat di masyarakat? CSB: Betul. Mereka harus memiliki jaringan kuat di basis sosialnya. Jika merupakantokoh buruh, mereka harus benar-benar menggarap basis sosialnya itu menjadi sebuah kekuatan. Kalau tidak, mereka harus menjadi tokoh nasional yang disukai publik karena keunggulan personalnya. Kalau NU itu kan basis sosialnya kuat. Berbeda dengan IKPM yang merupakan jaringan alumni pesantren. Kecuali, IKPM benar-benar direvitalisasi. Saya kira akan memungkinkan untuk menjadi kekuatan sosial. Itu bisa saja, tinggal bagaimana strategi pengorganisasiannya. Mereka kan sudah memiliki ideology, doktrin, jaringan social, reputasi, tradisi. Saya kira akan banyak juga orang yang tertarik untuk masuk ke dalam kultur Gontor. IF:
Saya juga menemukan beberapa alumni PMG muda yang berkiprah di dunia politik. Apakah Anda percaya, jika ke depan akan banyak alumni PMG yang berpolitik? CSB: Iya, saya percaya. Karena memang Gontor tidak mengharamkan alumninya berpolitik. Justru karena watak pendidikan PMG yang memberi tekanan pada aspek leadership membuat alumni PMG muncul sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat, ketua organisasi, dai, tokoh masyarakat, dan lainnya. Bahkan karena ketokohan mereka, bisa saja mereka jadi pimpinan tokoh politik. Potensi itu besar sekali. Karena ajaran Trimurti itu adalah para santri menjadi semacam pelayan umat. Basically, dengan menjadi pelayanan umat itu mereka sudah menjadi tokoh politik. IF:
Baik. Kita ngobrol tentang individu Bang Chaider. Anda masuk ke PMG tahun berapa? CSB: Saya masuk tahun 1979 ketika mau naik ke kelas 2 SMP dan saya keluar tahun 1986. IF: Mengapa PMG menjadi pilihan saat itu? CSB: Ketika itu ada tetangga saya yang lebih dulu menjadi santri PMG dan reputasi PMG sebagai sekolah agama yang hebat. Itu pula yang membuat orangtua mengirim saya ke PMG. Tetangga saya itu kan setelah dari PMG berlanjut ke Mesir dan mendapat titel doktor. Kedua orangtua saya berkhayal agar saya seperti tetangga itu. IF: Apa ada satu mata pelajaran yang sangat Anda sukai di PMG? CSB: Mahfudhat. Itu yang paling asyik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
341
IF: Kalau ekstrakurikuler? CSB: Ketika itu saya menjadi ketua kursus Bahasa Inggris. Kan ada beberapa klub Bahasa Inggris seperti future, show down, spirit. Saya aktif di future. Saya mulai kelas 3 itu aktif di Future English Course yang dibangun oleh ustad-ustad dari NTB. Kalau Pramuka menjadi kegiatan wajib para santri. Sempat juga ikut klub sepakbola, tapi tidak begitu aktif. IF: Setelah selesai belajar, apakah Anda juga mengabdi? CSB: Tidak. Sebenarnya saya ingin juga mengabdi, tapi tidak ditunjuk. Menjadi ustad itu kan prestisius juga. Saya pulang kampung ke Kupang. Tapi salahnya, saya juga tidak langsung kuliah. Di Kupang, saya mengaktifkan remaja masjid, membuat pengajian, membuat pesantren Ramadhan, dakwah keliling ke kantung-kantung muallaf di Kupang, menghidupkan tradisi-tradisi keislaman seperti memperingati Isra Mi’raj dan Muharram. Saya jadi tokoh di Kupang sepanjang 1987-1990. Kemudian ada seorang teman yang mengingatkan saya untuk kuliah. Saya sempat mengajar di SMA Muhammadiyah setahun. Menurutnya, saya sekarang bisa mengajar, tapi nanti saya tidak bisa karena ke depan mengajar SD saja sudah harus S1. Dia menyarankan saya untuk kuliah. Namanya Putra. Kepercayaan diri kami sebagai alumni PMG itu luar biasa tinggi. Jadi kalau pulang kampong itu kami merasa sudah bisa hidup tanpa kuliah sekalipun. Kepercayaan diri yang kadang-kadang berlebihan. Kuliah di IAIN itu seolah tidak dianggap, karena ketika itu saya ingin kuliah di Saudi atau Mesir. Ketika itu saya hampir kuliah di sana. Teman saya yang kuliah di Al-Azhar dan sempat mengajar di Saudi itu bahkan sampai menyurati Bin Baaz, tokoh salafi paling konservatif di Saudi untuk meminta beasiswa buat saya. Tapi entah kenapa surat itu tidak sampai atau bagaimana, saya tidak mendapatkan beasiswa. Wah, kalau saja dapat, bisa jadi saya sekarang menjadi seorang salafi, hehe… Prof. Ricklef geleng-geleng kepala sambil tertawa kalau saya cerita ini. Dia bilang, kamu bisa jadi ultra konservatif kalau jadi. Padahal kalau saya berangkat dari 1986, saya bisa jadi professor sekarang ini. baru tahun 1990 saya berangkat ke Yogyakarta untuk kuliah. Setelah tamat, saat itu pemerintah sedang melakukan rekrutmen dosen-dosen terpilih untuk disekolahkan ke luar negeri. Saya ikut dalam seleksi itu dan berhasil. Rencananya ke Kanada. Kami di training selama 9 bulan. Beberapa dikirim ke Kanada, lainnya ke Timur Tengah. Saya sendiri masuk program yang disekolahkan ke Barat. Saya diberikan pelatihan di IAIN Jakarta. Ketika itu saya jadi ketua kelas Bahasa Inggris. Untungnya saya tidak masuk ke kelas Bahasa Arab karena prosesnya sulit sekali. Bahkan programnya tidak jalan. Sulit sekali berhubungan dengan orang-orang Arab itu. Ketika pelatihan baru 5 atau 6 bulan, saya mendapat tawaran studi dari Belanda. Karena TOEFL masuk, saya berangkat duluan ke Belanda pada Januari 1996 pas Ramadlan. Di Belanda, kebetulan sedang musim salju, dingin sekali. Sebelum berangkat ke Belanda, saya bertemu Ustad Amal yang sedang main ke IAIN dan bercerita bahwa Husnan ada di Belanda. Hari pertama di Belanda, saya masuk hotel yang tidak jauh dari pasar dan banyak warung makan Indonesia. Di situ saya bertemu Husnan sedang mengayuh sepeda bututnya. Dia senang sekali. Dia tidak tahu kalau saya mau ke Belanda. Kami kan tidak ada komunikasi. Saat itu Husnan kuliah di Leiden. Lalu saya diajaknya keliling-keliling Belanda. Saya kuliah di Belanda sampai 1998.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
342
Pulang dari sana, pada 1999 saya wajib ikut tes CPNS karena saya dikirim pemerintah. Jadilah saya PNS ditempatkan di IAIN Jakarta. Sekarang mengajar di FISIP mata kuliah identitas politik, ideology politik, kadang-kadang sejarah peradaban. Kemudian saya terlalu aktif di CSRC yang di awal pengembangannya banyak sekali riset karena Indonesia baru masuk dunia demokrasi saat itu. Jadi banyak sekali proyek riset yang masuk ke Indonesia, seperti philanthropy, conflict, radicalism, dan lainnya. Karena kesibukan itu pula saya baru ambil program S3 pada tahun 2008, ikut program penelitian dengan satu professor ahli yaitu Prof. Ricklef di UNUS. Di Belanda itu kan PhD dengan penelitian. Daftar di Belanda sebagai PhD student, tapi risetnya memanfaatkan proyek saya di Singapura. Saya beruntung. Jadi saya bukan dapat scholarship dan dapat beasiswa S3. Tidak. Saya dapat proyek dan digaji standar Singapura. Proyek selesai pertengahan 2011 lalu saya pulang ke Indonesia. Setelah pulang, malahan studi S3 saya sedikit terbengkalai karena banyak masalah. Baru pada 2013 saya selesaikan disertasi dan pada 2014 masuk proses editing, kosnultasi dengan professor. Baru pada November 2014 disertasi saya di-approve oleh promotor. Tapi baru pada September atau Oktober 2015 disertasi saya baru akan diujikan. Lama sekali prosesnya, karena disertasi itu kan harus diuji dan dikirim ke beberapa professor lagi, dilaporkan ke dekan, dan lain sebagainya. []
http://digilib.mercubuana.ac.id/
343
BIODATA M. AGUS GOFURUR ROCHIM, M.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 15 November 1967 Pendidikan SDN di Cirebon (Lulus tahun 1981) SMPN 1 Cirebon (1981) KMI Pondok Modern Gontor (1981-1987) STAI Darussalam Gontor (1987-1991) Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (2003) Pelatihan Training in the Field of Agricultural Cooperation, Tokyo, Jepang Pelatihan Dakwah dan Bahasa Arab, Universitas Al- Azhar Mesir Dauroh Bahasa Arab, Universitas Ummul Quro Arab Saudi Pelatihan Petugas Haji Indonesia, Pusat Pelatihan Haji Jakarta Ketatalaksanaan Madrasah Tsanawiyah, Balai Pendidikan & Pelatihan Pegawai Teknis Bandung Pelatihan tenaga perpustakaan, Pondok Modern Gontor Ponorogo ESQ Leadership, Gedung Dhanapala Jakarta Training of Trainers, PP. Darunnajah Jakarta Penataran P4, Pondok Modern Gontor Ponorogo Kursus Pembina Pramuka Mahir, Pondok Modern Gontor Workshop Study dan Piloting Penyetaraan KMI/TMI dengan SMU, UIN Jakarta Sertifikat Pembina Pramuka Mahir, Kwartir Cabang Pramuka Ponorogo (1985) Guru Bahasa Arab, Haiatul Ighotsah Al-Islamiyah Arab saudi (1996) Guru Bahasa Arab, Al-Azhar University Kairo, Mesir (1996) Trainer, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jakarta (2004) Pengalaman Pekerjaan Pimpinan Pesantren Pesantren Madinatunnajah (1997-Sekarang) Kepala Sekolah MTs Madinatunnajah (1997-1999) Kepala Sekolah MA Madinatunnajah (1999-2001) Menjadi narasumber di berbagai pengajian dan khatib Jumat. Pengalaman Organisasi Kwarnas Pramuka MUI Kabupaten Tangerang sebagai Ketua Komisi Aliran Sesat (2000-2005) OPPM Gontor Gerakan Pramuka Pondok Modern Gontor ===============================================================
http://digilib.mercubuana.ac.id/
344
TRANSKRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan Tanggal Wawancara Tempat
: M. Agus Gofurur Rochim, M.Pd : Pengasuh Pondok Pesantren Madinatunnajah, Jombang-Ciputat : 14 Mei 2015 : Kantor Sekretariat Pondok Pesantren Madinatunnajah
Keterangan IF AGR
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Agus Gofurur Rochim (Nara Sumber)
============================================================ IF:
Meski mungkin tidak ada kurikulum yang disengaja, namun sepertinya ada nilai dan falsafah yang diajarkan para kiai dan ustad yang menjadi stimulan para santrinya untuk berkiprah di masyarakat. Sebagai permulaan, mohon dikisahkan mengapa Pondok Modern Gontor menjadi pilihan Ustad untuk nyantri? AGR: Bismillâhirahmânirrahîm. Waktu saya SD itu sudah ada niat untuk mondok. Ketika itu Gontor sudah dikenal sebagai pondok modern yang menerapkan dua Bahasa sebagai kompetensi dari santrinya dan di masyarakat terkenal karena Bahasa Arab dan Bahasa Inggrisnya. Hal itu menjadi inspirasi bagi kedua orangtua dan saya pun mondok tidak terpaksa. Itu tahun 1981. Sebetulnya ada kisahnya. Ketika itu Buya Hamka wafat dan ayah saya terinspirasi. Apalagi dari 11 anaknya tidak ada satupun yang mondok. Maka beliau ingin salah satunya mondok. Waktu itu ayah saya berusia 63 tahun. Maka segera saya dikirim ke Gontor, padahal saya sudah kelas 1 SMPN 1 Cirebon mau naik ke kelas 2. Tapi memang sejak kecil saya ini sudah dekat dengan dunia pesantren, dalam arti saya mengaji ke ustad. Bahkan saya juga pernah 1 tahun tinggal di kiai untuk belajar AlQuran. Jadi sebetulnya saya sudah mandiri sejak kecil, sehingga waktu di Gontor tidak ada masalah karena sudah biasa. IF: Di Cirebonnya di mana? AGR: Saya tinggal di Kesambi, Kota Cirebon. IF: Di Gontor berapa lama? AGR: Saya di KMI dari kelas 1-6 itu dari tahun 1981-1987. Lalu diberikan kesempatan praktik belajar mengajar sebagai guru, tetapi kita juga dikhususkan untuk kuliah di perguruan tinggi Darussalam, saya mengambil Fakultas Ushuluddin selama 4 tahun. Jadi sejak 1987-1991, baru saya pulang. Jadi total 10 tahun saya di Gontor. IF: Saya dengar dari Ust. Husnan, katanya Anda juga aktif di Pramuka? AGR: Betul. Bahkan tahun kemarin saya dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan Kwarnas Bidang Binawasa, yaitu untuk Pramuka anggota dewasa seperti pelatih dan Pembina. IF:
Selama Anda di Gontor, adakah kurikulum, cara pengajaran, atau kegiatan yang sangat berkesan?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
345
AGR: Menurut saya luar biasa cara Gontor mengajarkan kehidupan. Jadi bagaimana menerapkan Antara konsep hidup dan praktikknya di masyarakat itu sangat sesuai. Kita dibekali bekal kehidupan. Jadi, kami mendapatkan nilai-nilai yang berguna di masyarakat. IF:
Ustad, nanti ada pertanyaan lain tentang Gontor. Tapi sekarang saya ingin menanyakan fenomena berpolitik alumni PMG. Ustad melihatnya bagaimana, kok banyak alumni PMG yang masuk dunia politik? AGR: Memang ada hubungan Antara nilai-nilai yang diajarkan para kiai di Gontor dengan sikap hidup. Di antara yang paling penting adalah Panca Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah, serta kebebasan. Nah barang kali dari lima jiwa ini, maka nila-nilai itu di praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Selama 24 jam baik di dalam kelas, dan terutama di luar kelas merupakan hidden kurikulumnya. Jadi sebenarnya kurikulum Gontor itu menjadi sempurna karena pendidikan dan pembinaan di luar kelas itu justru lebih kuat dalam membentuk karakter. Nah ini yang disebut dengan the hidden curriculum. Umpamanya, kehidupan di asrama itu diatur. Di Gontor, dalam satu kamar tidak boleh ada yang berasal dari satu daerah. Berbeda dengan pesantren lain yang di dalam satu asrama, satu kamar atau kobong, biasanya ada yang khusus dari Jakarta saja, Sunda saja, Jawa saja, dan lain sebagainya. Nah, di Gontor itu kami dibaurkan. Maka ke-bhinneka-an itu sudah diterapkan dari awal. Bahkan kalau kami berkumpul 3 orang, misalnya saya dari Cirebon, maka tidak boleh kami berbicara dengan Bahasa Cirebon. Kalau ketahuan kami ditegur supaya kami berbaur. Dampaknya, kalau kita cuma berbaur dengan teman satu daerah, maka kami akan terbiasa dengan Bahasa daerah. Padahal di Gontor kami diharuskan berbicara Bahasa Arab dan Inggris. Di situ milyu-nya. Kemudian Panca Jiwa itu benar-benar diterapkan, baik di dalam maupun di luar kelas, baik dalam kegiatan ibadah, belajar, dan organisasi itu menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Kalau kemudian ada alumni yang akhirnya setelah keluar itu memiliki pandangan dan sikap yang beragam, saya kira itu buah dari Panca Jiwa, terutama adalah pembinaan dalam hidden curriculum. Sehingga ketika dia menemukan kesempatan di luar yang sebetulnya sudah ada dasarnya di Gontor, maka dengan dia mudah memasuki dunianya. Seperti para politisi—di zaman saya dulu—sebenarnya ada juga yang sudah memiliki latar belakang dasar-dasar politik tertentu sebelum masuk Gontor. Santri sekarang itu lebih homogen dibandingkan zaman saya dulu yang sangat heterogen. Dulu, teman saya ada yang sudah menikah. Bukan lagi cuma lulusan SMP atau SMA. Bahkan sebelum-sebelumnya, menurut para senior saya, para pejuang kemerdekaan yang sudah tua-tua itu nyantri juga di Gontor. jadi menurut saya sebelumnya mereka ada begral latar belakang kehidupan. Kemudian mendapakatkan nilai-nilai Gontor menjadi lebih matang. Oleh karena itu, saya meyakini sikap alumni tadi sesuai dalam berpolitik. Saya kira, pertama karena sudah ada kematangan dari pribadinya dan kedua ada nilainilai tadi sehingga mereka akan mempunyai komitmen dengan perjuangannya. Tapi semuanya diikat dalam ukhuwah Islamiyah maka kiai kami selalu memberikan pesan kepada alumni Gontor harus menjadi perekat umat. Bagaimanapun dan di manapun, lapangan perjuangannya, misinya adalah bagaimana ukhuwah tadi itu. Merekat umat, bukan memecah belah tapi menjadi perekat umat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
346
IF:
Terkait hal ini, konon, Pak Zar sering mengulang kata-kata bahwa beliau lebih menyukai santrinya memimpin di sebuah surau kecil dengan jamaahnya yang sedikit tapi konsisten dibandingkan memimpin surau dengan jamaahnya yang banyak tapi tidak konsisten. Jadi memang santri Gontor itu disiapkan para kiai untuk menjadi pemimpin umat. Begitu, Ustad? AGR: Para pendiri pondok, yakni Trimurti, memang memiliki kata-kata bijak yang selalu kita ikuti. Di antaranya adalah “siap dipimpin dan siap memimpin”. Kalimat ini kami dengar pertama kali saat program perkenalan di kelas 1. Artinya, kita siap dipimpin oleh kakak kelas, baik di kamar, di rayon, di klub pidato, di klub olahraga, di pramuka, dan lain sebagainya. Kita memang harus betul-betul taat kepada pemimpin. Hal ini merupakan cerminan dari firman Allah Swt.:
Sementara dalam sabda Nabi Muhammad Saw.:
Di Gontor, terjemahan dari ayat dan hadits itu adalah para santri siap dipimpin dan siap memimpin. Saat kita diberikan kesempatan memimpin, di situlah kita meneruskan kepemimpinan dari kakak-kakak kelas sebelumnya. Kepemimpinan itu ada mulai hal yang paling kecil. Contohnya, di kamar terdapat kepengurusan. Di kelas juga demikian, di klub-klub muhadlarah, klub olahraga, kesenian, pramuka. Bahkan yang paling jelas itu kepemimpinan di pramuka, mulai penggalang, penegak, hingga pandega semuanya adalah hirarki. Jadi menurut saya, Gontor telah mengajarkan kepemimpinan itu by design dan memang milieu (lingkungan pergaulan) nya diciptakan seperti itu, sehingga dari sekian banyak santri itu pasti pernah mengalami kepemimpinan mulai dari sektor paling kecil hingga paling besar. Nah, saat kelas 4-5 aktif di kepengurusan rayon/konsulat di masing-masing daerah dan puncaknya di kelas 5-6 aktif di organisasi pelajar pondok modern (OPPM). Organisasi OPPM ini seperti OSIS namun dengan dinamika yang lebih terasa kuat. IF:
Di dalam Panca Jiwa terdapat poin tentang “kebebasan”. Saya ingin menggali lebih dalam tentang makna “kebebasan” ini. Di luar, usai para santri keluar dari almamaternya, mereka berkiprah di banyak organisasi termasuk organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada juga berkiprah di Ormas yang tidak mainstream, seperti yang dilakukan KH. Abu Bakar Baasyir. Bagaimana Anda melihat hal tersebut? Apakah terdapat korelasi antara “kebebasan” yang terdapat di dalam Panca Jiwa dengan pilihan-pilihan ideologi organisasi para alumni Gontor tersebut? AGR: Kebebasan yang dimaksudkan Panca Jiwa, sejatinya, sesuai dengan kebebasan yang terdapat di dalam Islam. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu keistimewaan Islam adalah menghormati adanya kebebasan (
).
Kebebasan itu fitrah manusia. Maksud dari “kebebasan” di dalam Panca Jiwa adalah jiwa merdeka. Hal ini juga bermakna merdeka dan tidak mau tunduk kepada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
347
penjajah. Melihat sejarahnya, Pondok Gontor didirikan sebelum kemerdekaan pada 1926, saya yakin di dalam sikap Trimurti memiliki semangat juang nasionalisme yang tidak rela melihat negeri Indonesia ini dijajah. Untuk itu saya juga yakin jika para pendiri bermaksud agar para santrinya mempunyai mental orang merdeka bukan mental budak. Maka Jiwa Bebas itu adalah jiwa merdeka, bukan robot, bukan pesuruh, bukan babu, bukan orang yang selalu diatur. Namun demikian, kebebasan ini tetap saja ada bingkainya, tidak mengikuti paham kebebasan seperti di Barat yang bebas tanpa nilai. Kebebasan di Gontor memiliki bingkai syariah Islamiyah dan pendidikan, termasuk ukhuwah di dalamnya. Salah satu contoh, di Gontor para santri tidak dikekang untuk berkreasi dalam kesenian. Dalam hal kesenian, Pondok Gontor memiliki aktifitas kesenian yang beragam seperti band musik. Tapi, bermain musik tidak mungkin musik yang urakan, lupa waktu shalat, syairnya dipilih yang sopan. Itu kan sesuai dengan naluri manusia. Di zaman saya ada doktrin yang sangat saya ingat, yakni bahwa santri Gontor itu “otaknya harus bercabang”. Maksudnya, santri Gontor itu harus kreatif, inovatif, dan memiliki kesadaran. Contohnya, jika melihat bangku yang kehujanan, maka santri harus segera mengambilnya tanpa diperintah. Melihat ada lampu belum dimatikan, maka segera dimatikan. Itulah kesadaran, kreatif, tidak menunggu. Hal ini pula yang menumbuhkan rasa tanggaung jawab, dimana tanggung jawab merupakan ciri dari seorang pemimpin. IF:
Bagaimana Anda melihat pemeo yang sering disematkan kepada alumni Gontor bahwa di dalam sebuah organisasi tidak boleh ada 2 matahari? AGR: Saking independennya santri Gontor, rupanya di dalam praktiknya, banyak juga alumni yang siap memimpin tapi tidak siap dipimpin. Tapi saya melihat fenomena ini biasanya terjadi di sebuah perkumpulan di bidang bisnis saja. Tapi kalau di bidang pendidikan, pesantren misalnya, banyak para alumni yang dapat bekerjasama dan sinergi. Saya cuma melihat, jika ada kongsi bisnis yang melibatkan dua atau lebih santri Gontor, biasanya tidak akan bertahan lama. Kalau Ormas, saya tidak melihat hal tersebut. Karena umumnya Ormas tidak banyak dihuni alumni Gontor. Meski memang top leader-nya alumni Gontor, namun di middle leader-nya kebanyakan bukan Gontor. IF: Apa karena segan karena top leader-nya dari Gontor? AGR: Saya kira tidak demikian juga. Tapi memang ada adagium di Gontor bahwa: Gontor di atas semuanya (
). Namun saya kira adagium ini
termotivasi oleh pepatah Jerman “Ubber Alles”, bahwa: Jerman di atas semuanya
)
). Saat itu memang muncul rasa bangga yang luar biasa
terhadap Gontor. Ibarat besi, kami para santri itu sedang dalam kondisi panas yang siap ditempa untuk menjadi apa saja. Ketika mengalami suasana batin seperti itu maka muncul superioritas yang selalu ingin tampil. Padahal jika saja potensi ini mampu dimenej, maka akan menjadi luar biasa. Inilah yang kita lihat terhadap sikap seprioritas sejumlah alumni Gontor yang siap memimpin namun tidak siap dipimpin. IF:
Artinya, memang ada pengaruh, apa yang diajarkan Gontor (meski itu hidden kurikulum) terhadap sikap alumninya yang selalu muncul sebagai pemimpin di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
348
masyarakat, baik pemimpin di organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik, sebagai politisi. Nah, saya ingin Ustad coba melihat, sebenarnya apa sih motif para alumni itu berpolitik? AGR: Dalam nasihatnya, kiai kami sering berbicara bahwa santri tidak boleh berpolitik praktis tapi jangan buta politik. Itu selama menjadi santri Gontor. Santri dilarang untuk berpolitik praktis, tapi jangan buta politik. Hal itu terus diulang. Artinya, siapapun yang masuk ke Gontor harus melepaskan baju dan identitas ormas atau parpolnya. Gontor itu berdiri di atas dan untuk semua golongan. Jika Gontor memiliki warna tertentu maka akan menutup peluang bagi warna lain untuk masuk ke Gontor. Anak NU, Muhammadiyah, Persis boleh nyantri di Gontor. Demikian juga anak PPP, PDIP, Golkar, PKB, semuanya bisa belajar di Gontor. Jadi, ketika mereka masuk di Gontor, maka mereka harus melepas semua atribut asal mereka itu. Para santri dilarang berpolitik praktis karena juga akan mengganggu niat awal mereka untuk menuntut ilmu. Meski demikian, kami juga tidak buta politik. Karena waktu zaman saya, kami bisa membaca koran yang ditempel di dinding, sering diperdengarkan radio Australia setiap jam 6 pagi, dan para ustad kami juga sering berbagi informasi tentang dunia perpolitikan Indonesia. IF:
Baik. Kembali pada pertanyaan di awal. Apa sebenarnya motif para alumni berpolitik? AGR: Saya melihat, politik itu bukan tujuan melainkan media (washilah) untuk mencapai tujuan kita, yakni: . Saya selalu ingat kalimat itu ada dalam setiap doa para kiai, bagaimana meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini, bagaimana memuliakan Islam dan umatnya. Tentu banyak cara untuk hal tersebut, seperti melalui dakwah, seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. IF: Itu kan idealnya, Ustad. Tapi adakah motif lain seperti kekuasaan? AGR: Tentunya, setelah keluar dari Gontor, maka Gontor pun memberikan keleluasaan untuk berjuang di medannya masing-masing. Ada yang berjuang di NU, Muhammadiyah, PPP, PDIP, dan lain sebagainya. Silakan berjuang. Karir itu kan perlu dibangun dan tentunya ada keinginan untuk memiliki kekuasaan. Karena dengan kekuasaan itu, jika diperoleh dengan cara yang baik, maka akan dapat mencapai tujuan yang baik pula. IF:
Baik, Ustad. Saya ingin bertanya tentang pola komunikasi. Seperti saya yang melihat secara langsung pola komunikasi yang digunakan Ustad Husnan Bey Fananie saat berkampanye di Bogor dan Cianjur. Beliau masuk ke majelis taklim ibu-ibu dan bapak-bapak, serta remaja masjid. Pola komunikasi seperti itu kan khas sekali dari pesantren atau parpol Islam. Menurut Anda, apakah pola komunikasi seperti itu efektif? AGR: Baik. Secara teknis kami tidak pernah diajarkan Gontor seperti itu. Contohnya, kita mengenal adanya tahlilan dan barzanji di masyarakat. Saya sendiri bisa memimpin tahlil dan barzanji jika diminta. Padahal kami tidak pernah diajarkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
349
tahlilan dan barzanji di Gontor. Artinya, kami memang disiapkan Gontor untuk bisa cepat beradaptasi. Barangkali inilah pola komunikasi yang efektif. Contoh lain, jika di sebuah daerah sholatnya pakai doa qunut, maka kami pun siap menjadi imam sholat dengan doa qunut tersebut. Kami harus segera bisa menyesuaikan diri. Begitu juga jika kami menjadi imam sholat di sebuah masyarakat yang tidak biasa pakai doa qunut, yaa kami bisa menyesuaikan. Karena kami tahu bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan. Saya melihat, sebenarnya alumni Gontor itu mudah berkomunikasi dengan masyarakat. Tidak kaku melainkan sangat “shalihun” atau fleksibel, bisa menyesuaikan di mana dia berada, sehingga komunikasi bisa dibangun. IF: Anda sendiri pernah terlibat di sebuah organisasi politik? AGR: Sebagai pimpinan pondok pesantren, tentunya saya harus membatasi diri dan dengan penuh kesadaran saya tidak bisa masuk ke organisasi politik tertenu. Karena ini akan mengurangi kebebasan itu sendiri. Namun demikian saya tetap memiliki sikap dan tetap bisa berkomunikasi dengan rekan-rekan di parpol manapun. Toh prinsipnya, selama tujuannya adalah apa yang menghalangi saya untuk berkomunikasi dengan rekan-rekan di partai politik tanpa saya harus tercebur ke partai politik? IF:
Baik. Anda memahami politik itu seperti apa? Politik itu sebuah cara (ath-thariqah) saja bukan untuk meraih kekuasaan, melainkan untuk
. Di
dalam politik, sebaiknya kita saling bekerjasama dalam sebuah team work, ada yang menjadi pemimpin, jamaah, dan lain sebagainya untuk mencapai tujuan yang sebenarnya. Kekuasaan bukanlah tujuan, apalagi dengan kekuasaan itu dia akan menghalalkan segala acara. IF: Adakah pesan bagi para alumni Gontor yang berkiprah di politik? AGR: Bagi para alumni yang terjun di dunia politik praktis, saya berharap bahwa kita memiliki tujuan luhur seperti yang selalu diutarakan guru kita, yakni . Kita yakin dengan usaha yang sungguh-sungguh (mujahadah), maka tujuan itu akan dapat diraih. Namun, realitanya, milieu politik Indonesia ini tengah kotor seperti comberan, sehingga mau tidak mau rekan-rekan alumni ini terkena baunya. Paling tidak, kalau sadar sudah terkena baunya, kita harus perbanyak thaharah-nya. Suka atau tidak suka, hal ini penilaian mayoritas. Jadi harus diimbangi, jika kotor maka segera bersihkan. Ingat, hadits Nabi Muhammad Saw.:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
350
Mudah-mudahan dengan pesan Nabi Muhammad Saw. itu, pesan takwa, pesan selalu berbuat kebaikan, dan pesan selalu mengedepankan akhlak, moral, etika yang baik, dapat mengubah wajah perpolitikan Indonesia menjadi wajah yang penuh kebaikan, damai, beradab, dapat mengubah yang kotor jadi bersih, mengubah kerakusan menjadi keikhlasan. Artinya, Anda yakin jika kiprah para lumni Gontor di politik dapat menjadi agent of change untuk kebaikan? AGR: Kita harus optimis. Karena sebelum Kiamat, kita harus selalu optimis. Seperti Nabi Muhammad Saw. yang selalu berpesan, “andai kita tahu besok itu kiamat, hari ini pasti tetap aku perintahkan kalian untuk menanam”. Artinya, jika tidak ada yang berusaha untuk memperbaikinya, mungkin politik tanah air ini akan tambah kotor. Kalau saya yakin, teman-teman alumni Gontor tahu “jalan pulang”. Kalaupun tersesat pasti akan kembali lagi. [] IF:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
351
BIODATA DR. SUNANDAR IBNU NUR, MA Tempat Tanggal Lahir : Bogor, 26 Juni 1962 Alamat : Jl. Saraswati Ujung no: 37 Rt. 005/011 Cipete Utara Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Agama : Islam Isteri : Dra. Tuti Ali (26 April 1966) Anak : 1. Fira Sintia Octa Zafira (23 Oktober 1997 ) 2. Fischa Desfariha Winanda (3 Desember 1998) 3. Feris Alwidar Jan Alfaen (1 Januari 2000) RIWAYAT PENDIDIKAN SDN III Dramaga, Caringin, Bogor, Jawa Barat (lulus tahun 1974). SMPN V Bogor, Jawa Barat (lulus tahun 1977). KMI Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (lulus tahun 1982) Sarjana Muda (BA.) Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (tahun 1986). Sarjana Lengkap (Drs.), Fakultas Ushuluddin, Jurusan Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (lulus tahun 1989). Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Program Studi Pendidikan Islam (lulus tahun 1998). PRESTASI AKADEMIK Nominator 10 pelajar SMP Teladan Kotamadya Bogor (tahun 1976). Juara lomba pidato dalam bahasa Inggris se-Gontor, Ponorogo, Jawa Timur(tahun 1979). Juara pertama kejuaraan bulu tangkis di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (tahun 1980). Juara kedua lomba pidato dalam bahasa Indonesia antar Perguruan Tinggi Tingkat Nasional (tahun 1986). Sarjana Terbaik Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, (tahun 1989). Memperoleh beasiswa Supersemar pada Program S1, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (tahun 1987 – 1989). Terpilih sebagai utusan ASEAN Youth Training Leadership (tahun 1990). Terpilih sebagai panitia KTT Non Blok (Field Officer), Hotel Hilton, Jakarta (tahun 1991). Memperoleh Dana Proyek Departemen Agama RI pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (tahun 1995 – 1997). Memperoleh Dana Proyek Deoartemen Agama RI pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (tahun 1998 – 2000) PENGALAMAN ORGANISASI Organisasi Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, bagian Olahraga (tahun 1980 – 1982). Pembina Gugus Depan (Gudep) POT – 5 Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, (Tahun 1981).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
352
Ketua klub sepak bola “Darussalam,” di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (tahun 1979 – 1981). Ketua dan pendiri klub badminton “Hayam Wuruk,” di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (tahun 1980 – 1982). Senat Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bagian olahraga (tahun 1984 – 1986). Koordinator klub sepak bola mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Tahun 1986 – 1988). Pengurus BPKM (Badan Pelaksana Kegiatan Mahasiswa) IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bagian Pengabdian Masyarakat dan Kesejahteraan Mahasiswa (tahun 1987 – 1988). Ketua Steering Committee PROPESA (Program Pengenalan Mahasiswa Baru) IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (tahun 1988). Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI, Cabang Ciputat (tahun 1986 – 1987). Bendahara Umum Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, Cabang Ciputat (tahun 1986 – 1988). Sekretaris Umum KMA–PBS (Keluarga Mahasiswa Penerima Beasiswa Supersemar) IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (tahun 1987 – 1989). Peserta Penataran P4 Pola 140 Jam Plus Leadership diselenggarakan oleh Menpora dan BP7 (tahun 1990). Pengurus LPPII (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Intelektualitas Islam), bidang pendidikan (tahun 1990). Sekretaris Umum KAHMI, cabang Ciputat (tahun 1997). Ketua Umum IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor, Provinsi DKI (tahun 2003 – 2007). Ketua Bidang Sosial dan Keagamaan Yayasan UIN Syahid Jakarta, sejak tahun 2005 - 2012 Ketua Departement Informasi dan Komunikasi Asosiasi Dosen Indonesia, (ADI), tahun 2006 – 2010 Sekjen DPP PAGon (Persatuan Alumni Gontor), tahun 2007 - 2011 PENGALAMAN BEKERJA/MENGAJAR Guru bidang studi bahasa Inggris dan bahasa Arab di SMA Imam Bonjol, Ciputat (tahun 1984 – 1990). Guru private bahasa Inggris di Kompleks Pertamina dan Perumahan Bank Indonesia, dan lain-lain (tahun 1986 – 1994). Guru bidang studi bahasa Inggris di Madrasah Aliyah Darul Ma’arif, Jakarta Selatan (tahun 1990 – 1992). Instruktur dan Koordinator bahasa Inggris di Sasana Karya Utama (SKU), Ciputat (tahun 1990 – 1992). Instruktur bahasa Inggris di Standard English Course, Bendungan Hilir, Jakarta (tahun 1990 – 1992). Kepala Sekolah di SMIP Triguna Jaya, Ciputat, dan guru bidang studi bahasa Inggris (tahun 1991 – 1993). Supervisor di PT. Bhayangkara ONH Plus, Jakarta Selatan (tahun 1992). Guru bidang studi bahasa Inggris di SMA Triguna Jaya, Ciputat (tahun 1992 – 1994).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
353
Guru bidang studi bahasa Inggris di SMIP Puspita Bangsa, Ciputat (tahun 1993 – 1994). Manager dan instruktur bahasa Inggris di Akademika English Course, Ciputat (tahun 1994 - 1995). Direktur Zafira English Course, Jakarta Selatan (tahun 1997). Dosen pada Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (tahun 1991 sekarang). Presenter Kuliah Subuh TPI (tahun 1991 – 1999). Anggota Team Kreatif Produksi Siaran Kuliah Subuh TPI (free lance) tahun 1996 – 1999. Konsultan Agama dan Budaya di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), Jakarta (tahun 2000 – 2003). Direktur PT. Prabu Multimedia, Jakarta (tahun 2003 – 2005). Penggagas dan Presenter acara Suara Rakyat, disiarkan di Anteve, Jakarta (Oktober tahun 2003- Januari 2004) Penggagas dan Presenter acara Suara Rakyat Lintas Agama (Suara LIMA), disiarkan di TVRI (April, tahun 2005). Penggagas dan Presenter acara Suara Pemuda Lintas Partai, Agama, dan Suku (SuPeLPaS), disiarkan di TVRI (Mei, tahun 2005). Presenter acara Hikmah Pagi TVRI, Jakarta (tahun 2005 – sekarang). Direktur Utama Tri-F Production, Jakarta (tahun 1998 – sekarang). Direktur Utama PT. Tri Vastabika, Jakarta (tahun 2005 – sekarang). ===============================================================
TRAKSRIP WAWANCARA Nara Sumber Pekerjaan
: DR. Sunandar Ibnu Nur, MA : Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanggal Wawancara Tempat
: 22 Juni 2015 : Gedung Tower UMB Jakarta
Keterangan IF SIN
: Imam Fathurrohman (Peneliti) : Sunandar Ibnu Nur (Nara Sumber)
============================================================ IF:
Ustad, riset tesis saya ini ingin menggali tentang motif, tindakan, pengalaman, dan pola komunikasi alumni Pondok Modern Gontor (PMG) yang berpolitik. Paling 4 hal itu yang ingin saya tanyakan kepada Ustad untuk melihat fenomena berpolitik para alumni PMG. Nah, sebagai pembuka, bagaimana Anda melihat fenomena alumni PMG yang banyak berkiprah di politik? SIN: Pertama, alumni PMG itu anwa’ wa asykal. Setelah selesai nyantri di PMG mereka memilih banyak profesi yang beragam termasuk di kancah politik. Tetapi sebenarnya dalam konteks politik, PMG telah memiliki barrier, yaitu PMG untuk dan di atas semua golongan. Pada tagline ini dapat diketahui bahwa PMG tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
354
berpihak pada satu kelompok tertentu, baik ormas, kesukuan, maupun politik. Saya belum melihat maksud golongan ini ke mana. Kalau maksudnya adalah politik, maka sesungguhnya PMG tidak menggiring alumninya untuk terjun ke kancah politik. Karena jika sudah terjun maka sudah dipastikan ia akan memihak partai politik yang diikutinya. Mereka dibebaskan untuk menentukan pilihan. Hal ini juga berdasar pola pengajaran di PMG yang mengajarkan Bidâyatul Mujtahid karya Ibn Rusyd, sebuah kitab fikih yang mengajarkan pemikiran 4 madzhab (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hambali). Itulah ciri khas PMG yang sejak awal sudah mengajarkan perbedaan pendapat dan dibebaskan memilih pendapat yang sesuai dengan visi dan misi hidupnya, sesuai dengan latar belakang keluarga dan lingkungan. Berdasarkan hal itu maka tidak heran jika alumni PMG ada yang menjadi Ketua Umum PBNU seperti KH. Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah seperti Din Syamsuddin, Ketua PKS Hidyat Nur Wahid, dan lainnya yang ada di Golkar, PPP, PDIP, Demokrat, dan sebagainya. IF:
Baik. Saya juga mendengar bahwa Pak Zar pernah mengatakan bahwa beliau lebih suka santrinya menjadi imam dengan jamaah sedikit namun konsisten dibandingkan menjadi imam dengan jamaah besar namun tidak konsisten. Dalam kesempatan lain, Pak Zar juga konon berkata:
Apakah statemen ini juga menjadi stimulant bagi para santrinya menjadi bumper umat? SIN: Betul, saya setuju. Falsafah dari almarhum KH. Imam Zarkasyi begitu mendalam dan meresap dalam sanubari para santrinya. Beliau memang seorang kiai yang ikhlas, pemimpin yang kharismatik, sehingga ajaran-ajarannya dijadikan falsafah hidup oleh para santrinya. Termasuk kata-kata beliau: “Anak-anakku nanti kalau sudah keluar dari pondok ini, amalkan ilmumu walaupun kepada 2 atau 3 santri di surau kecil”. Kata-kata ini penekanannya pada keikhlasan, tidak komersial. Bahwa kemudian ada alumni yang di dunia politiknya itu cenderung komersial dan keduniawian, itu bentukan dari luar Gontor. Bentuk mentalitas setelah berbaur dengan lingkungannya, organisasi maupun rekan-rekan politiknya. Misalnya kasus mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq (LHI) yang disinyalir terlibat korupsi, suap menyuap, memiliki istri lebih dari dua bahkan masih SMA, saya kira itu bukanlah efek ajaran Gontor. Kenapa demikian? Coba saja bandingkan, berapa ribu PMG melahirkan alumni lalu ada 1-2 orang seperti itu, berarti cuma nol koma nol sekian prosentasenya. Itu berarti bukan karena efek ajaran Gontor, tetapi memang karena bentukan lingkungan barunya. IF:
Artinya, Anda percaya dengan adanya pemeo bahwa politik itu kotor?
SIN: Pemeo itu sering saya dengar sejak di PMG, yaitu:
atau the
politic is dirty dan saya setuju dengan pemeo itu. Karena dalam konteks Indonesia, partai politik Islam saja “gontok-gontokan”. Menjadi ironis di DKI yang banyak ulama, tokoh Islam, profesor dan doktor, tetapi yang terpilih sebagai gubernur adalah nonmuslim.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
355
IF: Lalu, bagaimana Anda melihat kiprah para alumni di kancah politik? SIN: Saya husnudhon bahwa para alumni berpolitik itu berdasar dari ajaran Gontor sekaligus mengamalkan hadits Nabi Saw.:
(sampaikan
dariku walau satu ayat) atau juga firman Allah Swt.:
“..dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung,” (QS. Ali ‘Imrân [3]: 104). Misi ini terpatri kuat ditambah lagi dengan hadits yang sering didengungdengungkan saat nyantri dulu:
Bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Atau ada juga: . Bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling baik akhlaknya dan paling bermanfaat bagi sesamanya. Itu yang terpatri. Makanya ketika mereka keluar dari PMG maka yang adalah semangat untuk membawa perubahan, semangat untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dan saya yakini mereka yang berkiprah di politik itu memiliki keyakinan bahwa untuk mengubah sesuatu itu harus dari dalam. Maka semangatnya adalah melakukan perubahan dan perbaikan atas dunia yang selama ini sangat kental kekotorannya itu. Saya kira itu tujuan yang baik. Tetapi karena godaan duniawi itu sangat kencang dan mereka mendapatkan kekayaan, seringkali membuat mereka berubah paradigm berpikirnya, sense of responsibility, bahkan bisa jadi berkurang juga pertahanan akidah/keimanan mereka. Kelunturan iman itu disebabkan: pertama, karena tidak adanya ‘azam untuk terus bertahan. Kedua, karena kondisi perpolitikan Indonesia yang mengharuskan para politisi untuk memiliki uang banyak agar kekuasaannya bertahan lebih lama. Karena sisten seperti itu mereka seringkali tidak menyadari sebenarnya sudah terperangkap hukum-hukum machiavelis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Itu faktual dan mereka keluar dari idealismenya. IF:
Baik. Kita bicara pola komunikasi, Ustad. Sebagai dosen dan praktisi komunikasi, bagaimana Anda melihat alumni PMG menjalankan strategi komunikasinya di partai politik. Menurut catatan saya, pada periode 2009-2014 ada sekitar 7 alumni PMG yang masuk di parlemen pusat. Tapi pada periode 2014-2019 hanya tinggal 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
356
alumni PMG di parlemen pusat. Menurunnya jumlah tersebut, apakah karena ada yang salah dengan pola komunikasi alumni PMG? Lalu bagaimana dengan fungsi IKPM atau PAGON sebagai wadah alumni, apakah tidak bisa dimanfaatkan oleh politisi alumni PMG tersebut? Menurut saya ini merupakan kekurangan atau kelemahan alumni PMG, baik yang berkiprah di politik maupun tidak. Seolah-olah mereka tidak memiliki keterpanggilan untuk saling mendukung dan saling bahu-membahu. Mereka yang ada di kancah politik berjuang sendiri tanpa adanya sinergi dengan wadah-wadah alumni. Saya melihatnya nafsi-nafsi. Meskipun ada, itu muncul tidak dari wadah alumni karena para personil di dalamnya memiliki visi dan misi yang berbeda. Untuk itu tidak bisa wadah alumni dijadikan kendaraan politik oleh orang-orang tertentu. Di sisi lain, mereka yang tidak terjun ke politik, juga berjalan nafsi-nafsi sehingga merasa tidak terpanggil untuk membantu sesama alumni di kancah politik. Berbeda jika saya melihat lembaga lain semacam UI, Unpad, ITB, yang cukup kental memberikan suatu dukungan. Gontor itu lebih kental pada paguyubannya, kebersamaannya. Memang betul ukhuwah-nya kuat tetapi tidak dalam hal dukung mendukung di kancah politik. IF:
Sebenarnya, apakah bisa wadah alumni itu dijadikan solid dalam mendukung alumni PMG di kancah politik? SIN: Ini sangat erat kaitannya dengan ajaran di PMG, dimana setiap santri dikondisikan untuk menjadi orang nomor satu. Di PMG ditularkan virus-virus superioritas yang berdampak secara psikilogis sehingga santri PMG merasa super dan ingin menjadi orang nomor satu, tidak ingin menjadi orang nomor dua. Makanya tidak ada dua matahari. Jangankan di politik, di organisasi ekstra seperti HMI, IMM, atau PMII, mereka tidak saling mendukung. Dalam konteks itu merek akan nafsi-nafsi. Kalau tidak menjadi ketua maka lebih baik tidak. Itu dampak negatif dari virus superioritas yang ditanamkan ketika di PMG. Meski sebenarnya banyak sisi positifnya, antara lain agar santri menjadi optimis dan sukses. Tapi bagi santri atau alumni yang tidak pandai mengolahnya, maka hal itu menjadi negatif. IF:
Pola komunikasi yang digunakan politisi alumni PMG, sepertinya, masih sama seperi pola komunikasi yang diterapkan alumni pondok pesantren lainnya. Seperti penggunaan pola komunikasi dengan ceramah di majelis taklim atau organisasi lainnya, ceramah di radio dan televisi atau media cetak, juga melalui penggunaan media sosial. Sebagai praktisi komunikasi, apakah Anda melihat ada pola komunikasi lain yang sesuai dengan kapasitas politisi alumni PMG? SIN: Sebetulnya pola-pola komunikasi yang konvensional dan tradisional itu tidak cukup di tengah persaingannya yang sangat ketat, apalagi dengan adanya kecanggihan IT dan bermacam medianya. Maka kalau ingin melanggengkan kekuasaannya di kancah politik, mereka harus bisa memanfaatkan media-media konvensional tadi, misalnya dengan media televisi. Lagi-lagi dalam hal ini tidak ada keterpanggialn mutual benefit antara praktisi politik dengan alumni lain yang berkiprah di media televisi. Bahkan saya tidak melihat adanya upaya duduk bersama antara praktisi politik dengan praktisi media. Kalaupun ada keinginan, tetapi tidak didasarkan pada profesionalisme. Jadi kalau ke sesama alumni inginnya meminta bantuan ikhlas. Tapi kalau ke orang lain mau bekerja secara professional
http://digilib.mercubuana.ac.id/
357
dan proporsional dengan anggaran. Ini merupakan contoh salah kaprah pengertian ikhlas yang diajarkan di PMG dengan aplikasinya di dunia kerja. Di sisi lain, para politisi alumni PMG memang lebih asyik dengan pola-pola komunikasi konvensional. Sementara banyak juga di antara mereka yang merasa adanya konflik batin antara melakukan cara-cara politik machiavelis dengan kondisi batin mereka yang notabene adalah santri. Dengan keterbatasan dana mereka, maka mereka tidak bisa memanfaatkan media yang memang membutuhkan dana tidak murah. Hal ini tentu saja dilematis bagi mereka. IF:
Tapi, apakah sebenarnya mereka bisa mendulang suara dari para alumni PMG lainnya? SIN: Sebenarnya bisa. Ukhuwah mereka kental, cuma tidak bisa dilakukan secara maksimal. IF:
Baik. Sekarang saya ingin bertanya seputar pribadi Anda. Kenapa Anda tertarik sekolah di PMG? SIN: Sejak kecil saya tinggal bersama ibu kandung di Darmaga dekat kampus IPB, karena saya tidak mengenal ayah yang menikah lagi dengan perempuan lain. Baru ketika kelas 5 SD saya mengenal ayah saya yang ternyata sopir truk dan mangkalnya di Darmaga Caringin, tidak jauh dari tempat saya tinggal. Sejak tamat SD saya tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Lalu saya sekolah di SMPN 5 Bogor. Ibu tiri saya itu cantik dan memiliki anak yang cantik dan ganteng. Sementara saya ini dari kampung yang biasa mandi di sungai, berkulit keeling, kurus, dan membawa sifat umumnya anak kampung. Mungkin karena sifat kampung itu saya pun dibenci oleg ibu tiri. Lalu berlakulah pepatah:
Nah, ibu tiri ke saya itu seperti
, semua apa yang saya lakukan itu
diapandangnya salah. Saya selalu dicaci-maki, dijelek-jelekkan di depan ayah dan keluarga ayah saya. Saat itu ayah saya profesinya sebagai pedagang di Jakarta yang pulangnya 2-3 hari sekali. Maka selama tinggal bersama ibu tiri, seolah-olah berlaku syair dalam lagu: “ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja”. Kalau ayah ada, ibu tiri berpura-pura baik. Kalau ayah tidak ada, kembali lagi judesnya, memperlakukan tidak adil, dan lain-lain. Sebelum berangkat sekolah, saya harus menyapu halaman karena banyak daundaun cengkeh berserakan. Daun-daun cengkeh itu bisa berpengki-pengki. Belum lagi saya harus belanja dan mengiris bawang. Karena kondisi demikian, sering dicaci-maki, saya sering mengadu kepada Allah dalam tahajud. Air mata saya bisa sampai membasahi sajadah, dan shalat tahajud bisa sampai 30-40 rakaat. Dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya. Ketika kelas 3 SMP, saya ikut camping di Salabintana Sukabumi. Suatu ketika, saat shalat dzuhur di mushalla tak jauh dari tempat camping, saya mengobrol dengan salah seorang anak sekolah penduduk setempat. Ternyata dia adalah salah seorang santri PMG yang sedang berlibur. Saya bertanya tentang suasana di PMG, apakah di sana ada lapangan sepak bola dan lapangan badminton? Karena saya memang hobi dua olahraga itu. Lalu dia jawab ada. Jawaban itu menjadi catatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
358
bagi saya, bahwa ternyata ada pesantren yang memiliki fasilitas lapangan sepak bola dan badminton. Lalu ketika pulang camping, dalam suasana kumpul-kumpul bersama keluarga, saya ditanya ingin melanjutkan sekolah ke mana. Saya memang masuk dalam 10 siswa teladan di SMPN 5 Bogor dan bisa saja masuk ke SMA favorit di Bogor. Saya pun menjawab: ingin melanjutkan ke PMG. Saya kira itu merupakan hidayah dari Allah Swt. Kebetulan, ibu tiri saya mempunyai saudara yang sudah lulus dari PMG. Saat berkumpul itu, karena ada ayah saya dan ibu tiri itu kan mendadak menjadi baik, saya dijanjikan untuk dikenalkan dengan saudara ibu tiri. Setelah dikenalkan dengan paman dari keluarga ibu tiri dan beliau siap mengantar saya, maka tanpa menunggu pengumuman kelulusan apalagi ijazah, saya pun berangkat ke PMG. Waktu itu memang bukan musim pendaftaran karena bukan bulan Syawal dan saya pun diantar ke Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar. Di pondok ini saya tinggal selama 7 bulan. Selama itu pula kehidupan saya prihatin karena kiriman wesel sering telat. Maklum saja, wesel telat dikirim karena yang mengaturnya adalah ibu tiri. Kadang-kadang 2 atau 3 bulan telat. Namun untungnya, di pondok saya bisa tetap makan. Nah, saat teman-teman santri pulang Ramadhan, saya bersama kawan satu kelas asal Medan Sa’dun Maulana (sekarang sudah meninggal) ingin muqim di PMG. Karena tidak punya uang, saya numpang ke PMG naik dokar. Lemari pakaian dan kasur pun diangkut ke PMG. Sampai di PMG karena tidak punya uang, saya belum bayar tapi boleh berutang dahulu. Ternyata sampai lebaran pun saya belum dapat kiriman wesel sehingga belum juga punya uang untuk pendaftaran. Lalu datang kawan dari Semarang bernama Faiz yang baru pulang kampung. Kepadanya saya pinjam uang untuk pendaftaran sebesar Rp. 13.500. Itu tahun 1978. Saya ikut tes dan lulus, kemudian ikut lagi tes untuk masuk kelas eksperimen. Saya pun lulus juga. Maka saya resmi menjadi santri PMG di kelas Eksperimen B. Selama 2 tahun kehidupan saya di pondok masih prihatin karena wesel sering telat. Ketika kelas 5 eksperimen, ibu kandung saya menemui ayah dan menegurnya perihal sering telatnya kiriman wesel tersebut. Kemudian ayah mengambil sebuah kebijakan, dimana ayah akan mengirim langsung wesel tersebut setiap bulan tidak melalui ibu tiri. Nah, waktu kelas 5 itulah kehidupan saya berubah, dimana saya berlebih secara finansial. Ketika itu saya dikirim uang tiap bulan sebesar Rp.100.000, padahal untuk biaya hidup cukup Rp.20.000 saja. Bahkan saya seringkali makan di kantin, bukan di dapur umum. Itulah siklus kehidupan, “life is like a will now down and now up……experience on top” benar-benar saya rasakan. Catatan saya, perginya saya ke PMG dari rumah tidak seperti persepsi orang bahwa sekolah di pesantren itu ibarat dikirim ke penjara suci atau dibuang. Saya tidak merasa seperti itu. Justru saya merasa terbebas dari cengkeraman ibu tiri. Saya merasa senang. Jadi saya di PMG selama 4 tahun. Saya sebenarnya berpotensi jadi peminder karena selama 3 tahun saya di bawah tekanan ibu tiri. Bahkan pernah ibu tiri menghasut ayah sampai beliau marah betul dan mengusir saya dari rumah. Saking sedihnya, saya sempat berpikir ketika itu untuk menubrukkan diri ke kereta. Hidup itu begitu sempit. Itu terjadi saat tinggal bersama ibu tiri. Makanya tak heran jika ketika saya masuk PMG menjadi momen yang membebaskan. Waktu kelas 5 kehidupan saya di pondok berlebih karena usaha ayah di pasar juga sedang maju. Kehidupan baik itu berlanjut sampai saya selesai mondok di tahun 1982. Di pondok, saya menjadi pemain inti untuk sepakbola dan badminton. Saya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
359
sempat menjadi juara badminton se-PMG, saya menjadi ketua Darussalam Club dan juga sering disewa sebagai pemain badminton dan sepakbola oleh kecamatan Mlarak dan pemkab Ponorogo. Saya bermain di posisi kiri luar. Di pondok juga saya menjadi juara pidato Bahasa Inggris. Kenapa saya bisa berprestasi seperti itu? Karena saya tutupi rasa minder itu dengan melahap buku-buku motivasi dan dibaca berulang-ulang. Berangsur-angsur saya bisa menatap masa depan dengan optimistik. Selama di pesantren, baik selama 7 bulan di Walisongo maupun 4 tahun di PMG, saya tidak pernah sekalipun ditengok orangtua. Bahkan ketika liburan pun saya tidak pernah pulang karena dilarang ibu tiri. Tapi saya senang karena bisa jalanjalan melalui lomba-lomba sepakbola ke Surabaya, Sidoarjo, Jakarta, Lampung, dan banyak daerah lainnya. Tapi memang pernah waktu liburan akhir kelas 5, saya pulang ke rumah ibu kandung di Darmaga dan tidak bilang ke ayah maupun ibu tiri. Cukup pahit memang. Nah, sekarang ini, ketiga anak saya yang nyantri di Darul Qalam Balaraja, saya tengok mereka 2 minggu sekali dan saya manjakan mereka, apa yang mereka mau saya berikan termasuk yang tidak mereka minta pun saya berikan. Seolah-olah saya balas dendam. Setelah tamat dari PMG tahun 1982 saya pulang ke rumah ibu tiri dan ikut membantu seorang senior PMG yang membuka kursus Bahasa Arab. Saya ikut mengajar Bahasa Arab yang ternyata siswanya adalah orang-orang tua, bapakbapak dan ibu-ibu. Ada seorang ibu yang simpatik kepada saya karena menurutnya saya anak lulusan PMG, masih muda, dan akhirnya sering mengundang ke rumahnya. Ibu itu menjadi orangtua angkat saya dan bahkan akhirnya saya lebih sering menginap di rumah orangtua angkat dibandingkan rumah ibu tiri. Saya tinggal di situ sambil kuliah di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Tidak berapa lama, saya ikut tes masuk di IAIN Ciputat dan saya pun lulus. Sejak 1983 saya kuliah di IAIN Ciputat sambil tetap mengajar Bahasa Arab di YAPIS, Pesantren Darul Ulum Bantar Kemang, di Kebon Jeruk, di Caringin Bogor, di tempat kursus yang dikelola senior PMG. Selama mengajar itu saya diberi motor oleh ibu tiri yang saat itu sedang baik. Saya dibelikan motor paling besar, Suzuki TRS. Sebagai mahasiswa saya aktif mendirikan Persatuan Sepakbola IAIN dan mulai ikut turnamen mahasiswa di Kuningan juga aktif di badminton. Saya juga mulai aktif ceramah dan menjadi ketua Lembaga Dakwah IAIN (LDMI). Setelah selesai kuliah di IAIN pada 1989 saya diminta jadi asisten dosen. Ketika Fakultas Dakwah berdiri sendiri pada 1990 saya pun diterima jadi dosen. Saya melanjutkan S2 di IAIN Yogya pada tahun 1994 atas beasiswa Depag dan lulu 1997. Setelah selesai S2 saya kembali mengajar lalu pada tahun 1998 ikut tes S3 dan lulus dengan beasiswa sampai 2000 selesai kuliah. Hanya saja pada tahun 2000-2003 saya menjadi konsultan agama dan budaya di RCTI yang membuat saya masuk kantor setiap hari. Karena itulah desertasi saya lupakan, apalagi sejak 20042007 saya juga menjadi IKPM DKI Jakarta. Pada 2008 saya mendirikan PAGON dan pada 2009 saya dapat warning untuk segera menyelesaikan desertasi. Lalu pada 2009 saya terpaksa pindah ke IAIN Surabaya untuk meneruskan desertasi sampai selesai pada akhir 2011. Jadi ujian doctoral saya pada Januari 2012. Setelah itu hingga sekarang saya menjadi akademisi, muballigh, dan motivator. Beberapa tahun ini jadwal Jumat saya penuh, saya juga melakukan pelatihan-pelatihan khatib Jumat, MC, dan presenter, saya juga menjadi EO untuk kegiatan-kegiatan dakwah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
360
Satu hal yang membuat saya berbeda dengan alumni PMG maupun IAIN lainnya adalah saya merupakan representator alumni IAIN yang menjadi praktisi di televisi. Sejak 1991-2000 saya menjadi coordinator kuliah Subuh di TPI, tahun 2000-2003 saya menjadi konsultan agama dan budaya di RCTI, 2004-2011 saya menjadi rekanan TVRI sebagai koordinator moderator Hikmah Fajar, Dialog Lintas Agama, serta acara lainnya karena saya juga mampu mendesain program dan mencarikan sponsornya. Setelah itu saya sering mengisi acara-acara dakwah di MNCTV, ANTV, TRANSTV, dan RRI. Saya menjadi representator bagi alumni PMG di dunia pertelevisian, selain Nana Supriatna senior saya yang menjadi Executive Producer ANTV, saya yang menjadi konsultan di RCTI, dan belakangan muncul Mauludin Anwar sebagai Kepala Berita Liputan 6 SCTV. Ketika 2004 saya menjadi tim sukses Hasyim Muzadi di Ring 1 saya mendapat undangan dari East West Center untuk mengikuti seminar International for Senior Journalist yang dilaksanakan di Washington, Atlanta, dan Los Angeles selama sebulan penuh. Jauh sebelumnya pada 1991 saya menjadi utusan IAIN sebagai peserta Asean Youth Training Leadership sebuah program dari Menpora dengan negara-negara Asean. Belakangan, profesi saya sebagai pembimbing ibadah umrah dari berbagai travel, seperti Az-Zikra Travel, Tazkia Travel, Azkia Travel, dll. Setiap tahun saya berangkat umrah. Ini semua saya syukuri. Dulu saya hidup prihatin, tetapi berkat Gontor saya menjadi seperti ini dan bahkan menjadi bagian dari 200an doktor alumni PMG. IF:
Terakhir, Ustad. Kenapa PAGON didirikan? Apakah tidak berseberangan dengan IKPM? SIN: Jadi ketika saya menjadi ketua umum IKPM DKI Jakarta, Helmi Hidayat sebagai wakil ketua, dan Saeful Bahri sebagai bendahara, sejumlah program kami sangat dikooptasi oleh pihak pondok. Ada sejumlah kekecewaan dari kami atas kebijakan pondok yang sampai akhirnya kami memutuskan untuk membuat wadah alumni baru, yakni PAGON. Dalam prosesnya, kami mensosialisasikan pendirian PAGON ini ke para senior seperti Hidayat Nur Wahid dan Din Syamsuddin. Kemudian PAGON dilaunching di Hotel Ambara dan menghadirkan Abu Bakar Baasyir dan juga dihadiri adik dari Kiai Hasan yang berarti PAGON masih mendapat dukungan dari keluarga kiai. Meski Pak Syukri tidak menyetujuinya, namun Pak Hasan mendukung. Bahkan ketika Pak Hasan ke Jakarta, kami silaturrahim kepada beliau dan menyampaikan program-program PAGON. Karena disertasi saya terbengkalai, maka saya memutuskan untuk nonaktif di PAGON. Efeknya, PAGON mati suri. Apalagi tidak ada donator. Sebetulnya PAGON saat ini bisa kembali aktif, apalagi orang yang menentang PAGON yaitu Pak Syukri sedang sakit. []
http://digilib.mercubuana.ac.id/
361
FOTO-FOTO
TRIMURTI—Tiga saudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Dari kiri ke kanan: KH. Ahmad Sahal (1901-1977), KH. Zainuddin Fananie (1905-1967), dan KH. Imam Zarkasyi (1910-1986).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
362
PONOROGO—Masjid Jami’ Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi salah satu pusat kegiatan para santri.
PONOROGO—Salah satu gedung di sudut Pondok Modern Darussalam Gontor menjadi tempat para santri melakukan aktivitas belajarnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
363
PONOROGO—Penulis berpose dengan DR. H. Husnan Bey Fananie, MA di depan makam pendiri Pondok Gontor Lama, Kiai Sulaiman Jamaluddin. Saat itu di lokasi pemakaman keluarga kiai, pada medio Februari 2014, penulis juga melakukan ziarah ke makam para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor (Trimurti), yakni KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fananie, dan KH. Imam Zarkasyi. Lokasi pemakaman keluarga kiai terletak tak jauh dari asrama pondok. []
JAKARTA—Penulis bersama Drs. H. Helmi Hidayat, MA dalam sebuah wawancara di salah satu sudut Universitas Muhammadiyah Jakarta, pada 31 Maret 2015.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
364
JAKARTA—Penulis melakukan pose bersama Imam Wahyudi usai wawancara di salah satu sudut gedung DPR/MPR RI pada 3 Juni 2015.
JAKARTA—Penulis bersama DR. H.M. Dian Assafri, SH, MH dalam sebuah sesi wawancara di Hotel Kartika Candra pada 1 Juni 2015. Saat itu penulis melakukan wawancara saat narasumber berada di tengah suasana kongres nasional KNPI.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
365
CIPUTAT—Penulis berpose dengan DR. H. Chaider S. Bamualim, MA usai melakukan wawancara di kantor Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 9 Juni 2015.
CIPUTAT—Penulis foto bersama M. Agus Gofurur Rochim, M.Pd usai wawancara di kantor sekretariat Pondok Pesantren Madinatunnajah, Jombang-Ciputat, pada Kamis malam ba’da Isya, 14 Mei 2015.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
366
JAKARTA—Penulis difoto bersama DR. H. Sunandar Ibnu Noer, MA, Kepala Perpustakaan Universitas Mercu Buana Jakarta, dan Dosen FIKOM Universitas Mercu Buana Jakarta usai acara bedah buku berjudul “Muhammad” karya Martin Lings di Gedung Tower UMB Jakarta, pada 5 Ramadhan 1436 H atau 22 Juni 2015. Kemudian wawancara dilakukan di mushalla gedung usai acara tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
367
BIODATA PENULIS
Nama
Tempat, tanggal lahir Alamat Sekarang Handphone PIN BB E-mail Website Agama Suku Tinggi Badan Berat Badan Bahasa Asing Hobi Pekerjaan Sekarang Pendidikan Terakhir
: Imam Fathurrohman
: Cirebon, 28 Agustus 1978 : Perumahan Telaga Kahuripan, Gugus Candraloka BB 2 No. 6 RT. 02/10 Desa Tegal, Kemang, Bogor : 0821 1380 4909 : 24C44B1E :
[email protected] : http://silayung88.blogdetik.com : Islam : Sunda Cirebon : 162 cm : 64 kg : Arab, Inggris (pasif) : Menulis dan Membaca : Direktur Riset dan Perencanaan PT. Bilik Cakrawala Utama : Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta
PENDIDIKAN FORMAL SD Negeri Susukanlebak II, Lemahabang, Cirebon (Tamat 1990) MTs Negeri Babakan Ciwaringin, Cirebon (1993) MAN Buntet Pesantren, Cirebon (1996) Jurusan Bahasa & Sastra Arab, Fakultas Adab & Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2002) Semester IV Magister Ilmu Komunikasi Politik, Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana, Jakarta (2013- sekarang sedang penelitian tesis)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
368
PENDIDIKAN NONFORMAL Madrasah Ibtidaiyah “Al-Muawanah”, Cirebon (Tamat 1990) Pondok Pesantren “Al-Hikmah” Babakan Ciwaringin, Cirebon (1990-1993) Pondok Pesantren “Al-Firdaus” Asrama C Buntet Pesantren, Cirebon (1994) Pondok Pesantren “Abdurrahim” Pasawahan, Cirebon (1995) PENGALAMAN ORGANISASI Ketua II OSIS MAN Buntet Pesantren Cirebon (1994-1995) Pradana Pramuka MAN Buntet Pesantren Cirebon (1994-1995) Anggota Teater Syahid, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1996) Anggota Sanggar Lukis SAMIAJI, Cirebon (1997) Kontributor Pameran Lembaga Kaligrafi Al-Quran (LEMKA) IAIN Jakarta (1998) Koordinator Litbang HMI Komisariat Fakultas Adab IAIN Jakarta (1998-1999) Pemimpin Redaksi Jurnal Adabia (1998-1999) Karikaturis Majalah INSTITUT (1998-1999) Pemimpin Redaksi Jurnal Sastra & Budaya ‘Sanskerta’ (1999-2000) Ketua Umum Komunitas Studi Seni Sastra & Budaya Sanskerta, Fakultas Adab, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000-2001) Direktur Lembaga Penerbitan Mahasiswa “INSTITUT” IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1999-2001) Dewan Redaksi “TEATRUM” Teater Syahid IAIN Jakarta (2000) Anggota Komunitas Perupa Ciputat (2000) Ketua Majelis Taklim “Al-Mahsyar”, Sawangan-Depok (2008-sekarang) PENGALAMAN TRAINING Training Pers INSTITUT, LPM INSTITUT (1997) Training Jurnalistik Tingkat Dasar, IAIN Jakarta (1998) Training Pers Tingkat Lanjut Nasional, LPM INSTITUT – AJI (1999) Training Polling, LPM INSTITUT – KOMPAS (1999) Training Disain Grafis, LPM Bina Indonesia, Ciputat (2002) PENGALAMAN PENELITIAN Penelitian Gerakan Mahasiswa Era Habibie, HMI Cabang Ciputat (1998) Survei Mahasiswa tentang kandidat Rektor IAIN Jakarta (1998) Penelitian Kualitas Dosen IAIN Jakarta (1999) Penelitian Karya Ilmiah: Konfigurasi Lain Khat Arab (Telaah Kritis Atas Lukisan Kaca Cirebon Pada Generasi Awal) (2002) Penelitian Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu JABOTABEK, BAPPENAS – JICA Technical Cooperation (2002) Penelitian Jangkauan Siaran TV7, Pacific (2002) Stakeholder Pertamina Mapping, PT Dharmapena Citra Media (2007) Survei Pengguna Pertamax, PT. Cipta Karsa Indonesia (2011) Koordinator Wilayah Survei Brand & Reputation Pertamina di 14 Kota, PT. Cipta Karsa Indonesia (2009, 2010, 2011, 2012)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
369
PENGALAMAN PEKERJAAN EVENT ORGANIZER EO Rapat Kerja Departemen Perindustrian, Direktorat Jenderal ILMTA di Bandung (2008) EO Konferensi Pers Departemen Perindustrian, Direktorat Jenderal ILMTA di Jakarta (2008) EO Focus Group Discussion di 10 Kota di Indonesia -- PT. Pertamina (Persero), 2007 EO Journalist Gathering, Chief Editor Gathering, Temu Pakar -- PT. Pertamina (Persero), 2009 – 2010. PENGALAMAN PEKERJAAN DI MEDIA DAN PENERBITAN Redaktur & Graphic Designer Buletin INCIS (2003) Redaktur Majalah PAKAR (2003) Peneliti Pusat Kajian Media UIN Jakarta (2003) Reporter Majalah Taubah Yayasan Kerukunan Keluarga Muslim BSD (2004 – 2005) Reporter Majalah Men’s Obsession, PT. Dharmapena Cipta Media (2005) Redaktur Pelaksana Majalah TAUBAH, PT. Dharmapena Cita Insani (2005 – 2006) Staf Perencanaan & Publishing, PT. Dharmapena Citra Media (2006) Editor in Chief untuk buku-buku pengetahuan Islam, Penerbit HIKMAH, Mizan Group (2008) Editor in Chief untuk buku-buku pengetahuan Islam, Penerbit FLASHBOOK (2008-sekarang) Redaktur Majalah DUTA RIMBA Perum Perhutani (2011-2013) Konsultan dan Pengelola Majalah PANAH MERAH Magz, PT. East West Seed Indonesia (2014-sekarang) PENGALAMAN PEKERJAAN DI BIDANG PUBLIC RELATION Staf Riset dan Monitoring Media Tim Kampanye Gabungan Nasional SBY – JK (2004) Koordinator Pengolah Data Content Media Analysis, PT. Pertamina (Persero) – PT. Dharmapena Citra Media (2007) Koordinator Pengolah Data Stakeholders Pertamina Mapping, PT. Pertamina (Persero) – PT. Dharmapena Citra Media (2007) Audit Citra Pertamina, PT Dharmapena Citra Media (2007) Koordinator Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Peningkatan Citra PT. Pertamina (Persero) di 10 Kota di Indonesia, PT. Pertamina (Persero) – PT. Dharmapena Citra Media (2007) Koordinator Pengolah Data Stakeholders Pertamina Mapping, PT. Pertamina (Persero) – PT. Dharmapena Citra Media (2007) Jasa Konsultasi Pertamina Media Relation, dengan bidang pekerjaan: Issue Mapping, Media Monitoring, Media Mapping, Stakeholder Mapping, Penulisan Artikel Positif di Media, Visit to Media, Journalist Gathering dalam rangka memediasi Pertamina berhubungan dengan media (surat kabar, majalah, televisi, radio, dan internet), PT. Cipta Karsa Indonesia (2009 – 2013). Jasa Konsultasi Perhutani Media Relation, dengan bidang pekerjaan: Issue Mapping, Media Monitoring (2010-2011).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
370
Pemateri pada Pelatihan PR untuk SKPD Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (November 2015) KARYA TULIS DAN PUBLIKASI BUKU Penulis buku “Saya Tak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami”, Penerbit HIKMAH, Mizan Group (2006) Penulis buku “Profil Kota-Kota di Indonesia”, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), (2007) Tim Penulis buku “Hj. Yuyun Moeslim Taher, SH: Memandu Keluarga dengan Kesetiaan”, Quick Book (2008) Penulis buku “Bimbingan Spiritual 5+: Solusi Berbagai Persoalan”, Penerbit HIKMAH, Mizan Group (2009) Penulis buku “Pemimpin Muda Transformatif: Saatnya Meraih Mandat Rakyat!”, Flashbook (2009) Penulis buku “The Iron Ladies: Pengokoh Bangsa, Perekat Keluarga”, Flashbook (2009) Penulis buku biografi Husnan Bey Fananie: “Menapaki Kaki-Kaki Langit”, Fananie Center (Agustus 2014) Penulis buku “Hikayat Bojonegoro”, Mizan (Finishing) Editor buku “Napak Tilas di Negeri Ngaos Mamaos”, Quick Book (2011) Editor buku “Pengabdian Yance: Mengusung Ideologi Kesejahteraan REMAJA Memakmurkan Bumi Wiralodra”, Flashbook (2011) Editor buku “Karunia Tak Ternilai”, Mawardi Prima Publishing (2015) Editor buku “ARB: Sang Nakhoda”, Flashbook (Finishing)
http://digilib.mercubuana.ac.id/