1
2
Cinta Tersembunyi acrylic on canvas 50cm x 60cm
Menunggu Pagi acrylic on canvas 30cm x 40cm
3
Di Bukit berbunga acrylic on canvas 60cm x 50cm
4
Dia Sudah Datang acrylic on canvas 60cm x 50cm
Hening acrylic on canvas 60cm x 50cm
Ilalang pun Berharap Hujan acrylic on canvas 40cm x 20cm
5
Gairah Hidup acrylic on canvas 30cm x 50cm
Simple acrylic on canvas 40cm x 70cm
6
Taize Di pagi hari acrylic on canvas 30cm x 20cm
Contemplatio acrylic on canvas 40cm x 70cm 7
Merenung acrylic on canvas 20cm x 30cm
Rumah Impian acrylic on canvas 70cm x 30cm
8
Pengantar Pelukis
S
eperti gerak penari yang mengikuti irama musik, demikian pula aku dalam berkarya lukis. Terkadang lembut seperti angin yang bertiup sepoi perlahan, kadang pula goresan-goresannya merupakan sapuan kasar bagai angin badai yang sedang melanda. Tiap proses berkarya dimulai dengan meditasi, berkomunikasi dengan alam, menyerap energi dan daya Illahi masuk kedalam tubuh lalu dialirkan kedalam bentuk lukisan. Lewat lukisan, aku mengajak umat manusia untuk hidup selaras dengan alam sehingga alam pun menuntun langkah hidup kita mencapai ‘takdir’ kita. Selamat menikmati lukisan-lukisanku.
9
Testimoni Pak Kiai Assalammualaikum Wr Wb,
S
ering kali saya bergumam sendiri, terutama saat saya sedang melukis atau baru saja menyelesaikan sebuah lukisan. “kapan ya saya diundang untuk membuka sebuah pameran lukisan??” Gumam itu berlalu begitu saja tanpa saya pikir lebih lanjut sampai suatu siang saya mendapat telepon dari Nata yang meminta kesediaan saya untuk membuka acara pameran lukisan tunggalnya yang kedua. Tanpa banyak pikir, saya langsung meng’iya’kan permintaan Nata itu. Walaupun saat itu saya belum melihat sekali pun corak dan gaya lukisan Nata. Tidak ada gambaran sedikit pun. Selang beberapa hari setelah telepon, Nata mengunjungi kediaman saya yang menyatu dengan Pondok Pesantren tradisional Roudlotul Fatehah di daerah Plered, Bantul. Saat itulah pertama kali saya melihat lukisan-lukisan Nata dalam format foto. Bagi saya lukisan-lukisan Nata adalah bahasa alam yang diterjemahkan dalam bentuk bahasa visual. Objek dan warnanya mencerminkan jalan hidup yang sederhana dan penuh keheningan, mencerminkan kedalaman batin sang pelukis, dan pikiran yang tercerahkan, yang dalam bahasa sastra Timur dikenal dengan TAO. Saat memandang lukisan-lukisan Nata, saya dapat merasakan pancaran energi yang terus menerus keluar dari lukisan-lukisan itu. Saya sendiri tidak tahu kenapa seperti itu, tapi semakin lama saya
10
memandangi lukisan-lukisan tersebut, saya semakin merasakan bahwa lukisan-lukisan Nata memancarkan energi penyembuhan. Harapan saya dengan dibukanya Pameran Tunggal lukisan Nata yang kedua ini, banyak orang yang semakin berapresiasi pada karya seni lukis dan pada alam semesta ciptaan-Nya. Untuk Nata, saya ucapkan selamat berpameran dan terus berkarya. Tuhan memberkati. Wassalammualaikum Wr Wb, Bantul, 12 November 2012 KH MUHAMMAD FUAD RIYADI Pimpinan Pondok Pesantren Tradisional Roudlotul Fatehah Plered bantul
11
12 – 12 – 12 Salam budaya, Di akhir bulan Suro ’28-1946, Posnya Seni Godod menggelar pameran tunggal karya Nata dari Jakarta. Perupi yang tangguh ini mendapat ilham untuk silahturahmi di Yogyakarta dan untuk selanjutnya akan merambah kota lain sebagai agenda pameran tunggalnya. Rebo kliwon, 12 Desember 2012 mengawali Nata untuk berkiprah secara mandiri di “kandangnya” para perupa tersohor di negeri ini. Perjuangan tiada henti untuk mondar-mandir Jakarta-Yogya, Yogya-Jakarta, Jakarta-Posnya Seni Godod, Jakarta-Rusnoto, JakartaKyai Fuad, Jakarta-Galang, Yogya-Jakarta hingga akhirnya berhenti di Yogya pada 12 – 12 – 12. Karyanya mengalun bagaikan hembusan angin tornado yang bisa menyusup ke hati penikmatnya, menghampiri, menyapa, mengajak untuk berdialog. Selamat mbak Nata, perjalanan masih panjang tetapi semakin dekat, dekat, dekat dan dekat sekali Dan akhirnya selamat menikmati, menghayati dan semoga bermanfaat. Yogya, Methuk Suro 14 November 2012 Doa untuk Nagari di Gunung Tirto, Kasihan, Bantul Godod Sutejo Posnya Seni Godod Yogyakarta Suryodiningratan MJ II/ 641, Gang Rahmat, Yogyakarta – 55141
12
WARNA, RUPA, IRAMA SEMESTA Oleh: Rip V. Dinar*
T
ragedi yang menimpa manusia selalu datang tanpa skenario, tanpa tanda-tanda atau rekayasa. Dampak tragedi tersebut bisa berakibat trauma bagi yang mengalaminya tapi bisa juga menimbulkan semacam proses kreatif. Menjadi saksi dan catatan perjalanan getir yang lebih bermakna jika divisualkan lewat karya seni –dalam hal ini puisi dan lukisan-. Tragedi, sepahit apa pun, dapat mendorong/meningkatkan proses berkarya seorang seniman. Selama dalam masa keheningan, kepasrahan menunggu kesembuhan, ada dorongan Adikodrati yang muncul dalam pikiran untuk berbuat sesuatu. Peristiwa yang dialaminya akan menimbulkan gejolak dan reaksi serta motivasi untuk menghasilkan karya-karya lukisan, yang barangkali bisa lebih berbobot dari karya-karya sebelumnya. Seperti yang dialami Y.F. NATA setelah mengalami kecelakaan fatal 2005, yang mengakibatkan kerusakan fisik yang cukup serius pada sembilan puluh persen anggota tubuhnya, justru membuat daya imajinasi dan kreativitasnya meningkat. Selama seratus tujuh belas hari dirawat di RS Carolus Jakarta, ada semacam kekuatan besar
13
yang muncul secara bergelombang yang membuahkan karya-karya tulisan dan lukisan. Tahun 2008 Nata menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul ‘Cinta itu Tidak Dosa’ –Amare Non Est Peccatum-. Disusul dengan novel pertamanya di tahun 2009 yang berjudul ‘Muridku, Guruku’. Tahun ini, tanggal 12 Desember 2012, Nata menggelar pameran lukisan tunggal yang kedua di Pos Seni Godod Sutejo Yogyakarta. Kali ini Nata lebih berfokus pada rasa kebersatuannya dengan alam. Lukisannya sarat dengan warna-warna cerah, meski terkadang tampak sedikit muram. Nata tidak sekedar memvisualkan alam seperti yang terlihat, tetapi lebih masuk ke perenungan, suara hati, menangkap irama semesta sehingga hasil pergulatan batinnya akan tertuang dalam berbagai tafsiran. Lukisan-lukisan Nata sekilas tampak biasa-biasa saja. Tetapi coba cermati simbol-simbol yang tertuang dalam bidang kanvasnya. Amati dan resapi: warna dan goresan yang tertoreh, kita akan menemukan “sesuatu” yang setiap apresian akan memberikan tafsiran yang berbeda-beda. Nata adalah seorang wanita perupa yang mencoba eksis melahirkan karya-karya berikutnya, yang selalu mencari hal-hal yang baginya layak untuk divisualkan, layak untuk dinikmati siapa pun, baik lewat tulisan-tulisan maupun lukisan, walau sibuk mengajar dan membimbing tunas-tunas muda di SMA Ora et Labora Serpong dan SMP Yos Sudarso Purwakarta. Menulis dan melukis bagi Nata ibarat suatu pernyataan sikap atau bukti kesaksian tentang suatu peristiwa yang dialami. Kesaksian tersebut dipresentasikan kepada masyarakat –khususnya masyarakat
14
pecinta dan penggiat seni-, agar lebih memaknai arti kehidupan serta mensyukuri bahwa, semua yang telah, sedang dan akan dialami adalah berkat karunia-Nya. Selamat berpameran, semoga sukses. Ciganjur, 5 oktober 2012 * Pengamat & Penggiat Seni Rupa
15
Meditasi Visual Nata dan Celah Perspektif Estetika Timur “Jika estetika adalah semata-mata penampakan ‘tangible’, maka kekuatannya –seperti terror mimpi- menjadi bias abadi hanya sepanjang tidak ada keraguan terhadap realitas penampakan, dan akan kehilangan kebenarannya ketika terjaga”. [HansGeorg Gadamer]
P
ada belahan bumi mana saja masyarakat di alam raya ini selalu saja muncul gagasan-gagasan khas supernatural (boven natuur) meskipun tak mudah jika harus merumuskannya secara universal. Pandangan psikologi, mencermati bahwa gagasan supernatural ini lahir dari rasa takut, khawatir dan cemas pada sesuatu yang bergejolak dalam diri maupun sesama manusia yang tak bisa diatasi oleh dirinya. Hal ini yang menyebabkan seseorang lalu memikirkan secara khusus dan menganggap di alam raya ini ada kekuatan-kekuatan yang maha dahsyat, kekuatannya melebihi nalar. Sehingga untuk menjawab masalah pada wilayah supernatural tentu melalui jalur pendalaman jiwa dalam ruang meditasi dan aktivitas religiusitas yang diputuskan. Banyak cara seorang seniman mengekspresikan gagasangagasannya, termasuk ritual khas sebelum melakukan proses penciptaan seninya. Melakukan meditasi misalnya. Kendati tak banyak seniman yang memiliki kecenderungan ini namun Nata menjadi bagian dari sejumlah seniman tersebut. Meditasi menjadi bagian khas bagi
16
seniman-seniman tertentu yang meyakini bahwa proses kreatif yang didasari proses meditasi memungkinkan seseorang dapat dengan jernih menerjemahkan keseluruhan perasaan, impian-impian, dan gagasan imajinatifnya secara tuntas. Kejernihan pemikiran maupun perasaan baginya hal pokok yang mendorong aktivitas kreatif ketika berhadapan dengan ruang kreatif melalui semua aspek penunjang lainnya. Meditasi acapkali dianggap sebagai langkah eksplorasi ruang supernatural yang terhampar pada jagad raya dengan dinamika dan harmonisasinya. Tampaknya saya harus memulai pembicaraan ini dengan penelusuran estetika Timur sebagai kajian pengantar pembahasan karya Nata, mengingat pola kerja kreatifnya yang didasari laku spiritual melalui meditasi. Saya langsung teringat pada Romo Danang Bramasti, SJ seorang Pastur yang melukis perjalanan spiritual melalui meditasi. Subjek matter Romo Danang merupakan refleksi meditasi yang seringkali dilangsungkan dengan durasi 60 menit ketika mengikuti Retret selama 9 bulan di Dublin, Irlandia. Karya meditasi visualnya dipresentasikan melalui pameran “Perjalanan Menuju Lepas Bebas”, di kampus Sanata Dharma Yogyakarta, pada 10 Agustus 2012 silam sebagai manifestasi panggilan Tuhan dalam dirinnya sebagai Seniman Jesuit.
Lukisan
potret dirinya menggambarkan tiga raut wajah berbeda berjudul “Diriku” sebagai
penggambaran jiwanya dalam keadaan sedih,
senang dan tenang. Olah meditasi juga dilakukan Aas dengan melakukan pengolahan energi yang secara formal juga menyertai profesi Aas (alumni Teknik Mesin ITB 1994) saat ini (sebagai guru meditasi dan seni olah tubuh
17
berbasis bioenergi, dan pendiri komunitas Cosmic-Link Bandung). Aas yang dimanfaatkan secara positif pengolahan bio energy, salah satunya dengan cara melukis sebagai representasi pengalaman mengolah alam (bio energy). Anish Kapoor seorang seniman India (negeri yang mewaris tradisi kebatinan, bahkan sebelum agama Hindu dan Buddha dilahirkan) dengan karya seni eksperimental lebih bertendensi mengundang orang untuk shock sejenak. Kemudian mampu memotivasi orang lain untuk bermeditasi, merenungi hakikat kehidupan dan eksistensi diri manusia sendiri. Kendati tetap mewarisi spirit tradisi meditasi, seniman ini tak sekedar menyuguhkan aspirasi kreatifnya secara verbal (artikulasi mantra, gerak yoga, atau presentasi gambar-gambar orang bertapa) namun ia lebih memilih memberikan stimulasi gairah meditasi melalui dinamisasi ruang, eksplorasi bentuk, eksploitasi warna, dan penyajian ilusi optik yang menggedor nyali. Paparan di atas sesungguhnya hendak memberikan gambaran sejumlah seniman yang menjadikan meditasi sebagai langkah efektif dalam bagian penting proses kreatif. Meditasi selalu mendekati dan melebur dengan alam berikut pengalaman spiritual yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya mencapai keseimbangan maupun keselarasan dirinya dengan alam.
Menurut pandangan
klasik, terjadinya suatu karya seni berpangkal dari pengalaman estetis yang timbul dari perjumpaan dengan alam. Saat itu mungkin hanya berlangsung selama beberapa detik, saat matahari yang sedang terbenam mewarnai awan-awan dengan warna-warni yang indah. Kemudian seniman mengabadikan saat kebahagiaan itu dan terjadilah
18
karya seni. Dan, setiap kali ia memandang karyanya, ia akan teringat kembali saat yang indah itu. Karena karya itu bersifat simbolik, lewat lambang-lambang mengingatkan kembali pada saat itu. Dan, setiap orang yang mengamati karya itu lalu juga menangkap isyarat-isyarat, lambang-lambang itu dan dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh sang seniman (Hartoko, 1983:81). Kekhasan masyarakat Timur adalah pada pemahaman spiritual untuk menempuh jalan apa saja termasuk pada membangun nuansa meditasi dalam proses penciptaan seni. Meskipun saat ini sudah tidak banyak dilakukan. Hal yang paling menarik pada Estetika Klasik dari Filsafat Timur yakni; konsep estetikanya yang lebih menekankan pada muatan-muatan spiritual dan prinsip-prinsip keselarasan semesta yang bersifat transenden. Hal inilah yang paling spesifik pada estetika filsafat timur berbeda dengan filsafat barat, dimana kecenderungan terhadap kerangka rujukan filsafat keindahannya yaitu pada alam semesta sebagai manifestasi yang sangat ke-Illahian, ke-gestalt-an nilai-nilai spiritualitas dan meletakan sumber keindahan pada nilai harmonisasi alam. Filsafat estetika Timur memiliki kecenderungan yang khas: Pertama, (Bersifat Naturalistik) Alam semesta merupakan manifestasi Illahi, sumber keindahan terletak pada Nilai Keharmonisan Alam. Dan, manusia berada dalam gerak harmoni alam. Kedua, (Menekankan Kepekatan Intuisi), Keyakinan adanya ’bentuk’ yang tersembunyi sebagai energi universal pada setiap materi, serta adanya pemahaman atas ketidakberhinggaan alam, hanya kekuatan jiwa yang murnilah yang dapat menangkapnya. Ketiga, (Simbolistik-
19
Spiritualistik), Semua bentuk membawa muatan-muatan nilai-nilai kekuatan rohani dan pesan-pesan spiritual.
Meminjam Spirit Estetika Timur: India dan Taoisme Untuk memahami persfektif tradisi filsafat timur adalah dasar-dasar filsafat yang pada prinsipnya bersifat religius.
Tujuan utamanya
bermuara pada pengalaman mistis-langsung atas realitas, hubungan erat antara pengalaman mistis-filsafat dan religius dapat kita tengok pada kekhasan Hinduisme misalnya. Spiritualisme yang berasal dari India dalam wacana filafat estetika timur, seperti matahari terbit bergulir ke Tiongkok bersinergi dengan budaya yang sama tuanya, lalu berlanjut diperkaya dengan filsafat dari kebudayaan Jepang dan melangkah ’ekspansi raksasa’ ke dunia Barat. Pencuatan karakteristik filsafat timur bertitik tolak nuansa spiritual dalam pencerahan. (Fritjof Capra: 2002: 298) Menilik estetika Timur maka tak lupa untuk mengkaji Hinduisme yang bermula sekaligus berkembang di India. Hinduisme tak sematamata memengaruhi pemikiran religius dan kehidupan intelektual India selama berabad-abad, namun juga nyaris sepenuhnya menentukan kehidupan sosial dan kulturalnya. ’Tradisi Hinduisme yang paling intelektual adalah Vedanta yang didasarkan pada Upanishad dan menekankan Brahman sebagai konsep metafisis, non personal, bebas dari muatan mitologis apapun. Namun, meski bertaraf filosofis dan intelektual tinggi, jalan pembebasan Vedanta sangat berbeda dengan faham filsafat barat manapun, melibatkan meditasi harian dan latihan
20
spiritual lainnya untuk mengadakan penyatuan dengan Brahman’. [Fritjof Capra: 2000: 84]. Pada perspektif ekspresi seninya, merepresentasikan prinsipprinsip tradisi Hinduisme.
Ekspresi religius begitu terpatri pada
beberapa patung pahatan sebagai representasi pemujaannya pada Dewa Syiwa, Wishnu, dan Durga (Sakti), sebagai personifikasi dari totalitas Brahman yang meniru berbagai aspek tunggal ke-Illahian baik sebagai Nataraja (Raja Para Penari) dikenal juga sebagai penari Kosmik, Syiwa adalah dewa Pencipta dan Pemusnah yang melalui tariannya mempertahankan irama semesta yang tiada henti. Berbeda dengan Buddhisme yang selama berabad-abad menjadi tradisi spiritual dominan di negeri-negeri timur (Indocina, Sri Lanka, Nepal, Tibet, Korea, dan Jepang). Seperti Hinduisme di India, Buddhisme juga membawa pengaruh kuat dalam filsafat dan kehidupan intelektual, kultural dan seni dengan nuansa yang berbeda, jika nuansa Hinduisme adalah mitologis dan ritualistik maka Buddhisme adalah psikologis. Banyak filsuf India yang telah mengungkapkan pikiran-pkirannya tentang estetika, diantaranya; Abinavagupta: ’Seni tidak meniru alam (mimesis) secara objektif. Seni tari bukan semata-mata representasi realitas kehidupan, tetapi merupakan cara untuk untuk melihat dan mengungkapkan kehidupan’. Avagosa: ’Seni rupa Buddhisme merupakan manifestasi dari cahaya sang Budha. Tubuh Budha dalam patung (arca) sesungguhnya merupakan gumpalan massa yang cemerlang yang tidak ada bedanya dengan pikiran. Realita fisikalitas hanya merupakan refleksi dari ’bayangan’ sang Budha’. Kuntaka: ’Kesempurnaan lukisan bukan pada adanya kesamaan naturalistik
21
dari objek yang digambarkan, tetapi kemampuan si pelukis untuk memberikan daya ’kehidupan’ dan daya penarik di dalam karya lukis itu’. Yoganantha: ’Keindahan (ramaiya) adalah sesuatu yang memberikan rasa kenikmatan yang unik yang berbeda dan bukan sekedar emosi personal tetapi ia bersifat universal karena secara hakiki keindahan bersifat transenden. Konsep dasar Estetikanya memiliki 3 karakteristik, yakni: Spiritualistik (Semua karya seni melambangkan nilai religi dan mencintai alam sebagai kesatuan kosmos. Menonjolkan karakter kejiwaan dibanding bentuk real). Simbolistik (Setiap bentuk yang hadir memiliki muatan nilai-nilai. Adanya makna-makna dan sifat sugestif yang melebihi ungkapan artistiknya). Dan, Naturalistik (Sumber keindahan adalah alam). Selama abad ke-6 SM, berkembang dua sisi filsafat China yakni Confusianisme dan Taoisme. Dua kecenderungan pemikiran besar filsafat China yang saling berseberangan namun hakikatnya saling melengkapi. Confusianisme secara umum menekankan pendidikan anak-anak yang harus mempelajari berbagai aturan dan kaidah yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat, sementara Taoisme dipe lajari oleh orang lanjut usia untuk mengembangkan dan memeroleh kembali spontanitas asal yang telah dihancurkan oleh kaidah sosial. Fritjof Capra mencoba merumuskan dalam pengertian kosmik aslinya, Tao adalah realitas ultimat, tak terdefinisi, dan sedemikian sehingga ia serupa dengan Brahman bagi orang Hindu dan Dharmakarya bagi orang Buddhis. Dalam pandangan China adalah esensi dari alam semesta. Tao adalah proses kosmik layaknya Yin dan Yang dimana
22
segala sesuatu terlibat; dunia dipandang sebagai sebuah aliran dan perubahan yang terus-menerus. [Fritjof Capra: 2000 : 101]. Konsep estetika Taoisme paling menonjol dalam wacana estetika China. Manifestasinya terdapat dalam seni lukis China tradisional yang memiliki muatan-muatan filsafati yang berakar dalam filsafat Taoisme yang tumbuh pada abad ke-7 SM. Konsep estetik Taoisme berada dalam simpul-simpul metafisika, kosmologi, dan etika Tao, bahwa pengalaman dan kesadaran estetik bersifat imanen sekaligus transenden dalam keselarasan semesta melalui Wu-Wei (non-action) dan Te (virtue). Prinsip-prinsip estetik Taoisme meliputi prinsip-prinsip kelembutan (gentleness, rou), prinsip kesederhanaan (frugality, shien), dan prinsip kerendahan hati (humulity, qien-shi) yang kesemuanya bermuara atau menyatu ke dalam prinsip keselarasan (harmony, Te-Yi) semesta. Esensi keindahan adalah keselarasan semesta yang terbentuk dari kumpulan berbagai unsur dalam suatu keselarasan harmonis, dan didapat dalam diri manusia manakala manusia telah melakukan wu-wei dengan mengikuti gerak irama alam tanpa penyangkalan, pendistorsian dan eksploratif. Representasi filsafat Taoisme yang diacu dan menjadi kecenderungan universal seniman atau seorang pelukis dalam proses kreatifnya. Hal tersebut dapat diidentifikasi melalui: 1.
Fenomena alam dibentuk dengan kelembutan goresan (sapuan) yang bersifat einmalig (sekali jadi) mencitrakan adanya penghalusan dan pelunakan.
2.
Fenomena alam yang diekspresikan tidak mengarah pada ketajaman bentuk naturalistik (realis), massif, mewah,
23
detail, berlebihan dan rumit tetapi mengungkapkan ksederhanaan bentuk yang mengesankan kerelaan. 3.
Fenomena alam yang dilukiskan semata-mata menunjukkan kebesaran alam Manusia ditempatkan noktah yang kediriannya terserap dalam alam.
Kemudian pada era postmodern para seniman pengagum sekaligus menganut paham filsafat Taoisme tetap menggali kedalaman filosofinya dan konsisten dengan prinsip-prinsip estetika Taoisme. Bagaimanapun estetika klasik pada filsafat timur membangun dan mengembangkan piranti kesadaran hubungan kosmiknya dengan alam secara seimbang dan pada representasi karyanya mencuatkan kekuatan spiritualitas ketimuran yang gestalt. Inilah kekhasan estetika timur dengan kekuatan kearifan lokal yang teruji baik muatan nilai maupun representasi visualnya. Hal ini kiranya dapat dijadikan garis penegas perdebatan panjang pada wacana seni rupa postmodern yang acapkali Barat menuduh Timur cenderung ikut-ikutan Barat, demikian pula tudingan Timur tentang Barat yang tak memiliki akar dan kepribadian budaya. Wacana tersebut tentu berpengaruh pada pemetaan kekuatan pada historiografi seni rupa dunia. Keindahan adalah sebuah pemunculan moment estetik yang keberadaanya terbentuk secara alami maupun hasil kreasi manusia yang mampu membangkitkan kesadaran estetik dan mampu memberi insight secara langsung terhadapnya yang dengan sendirinya mampu memicu timbulnya efek psikologis dan memvibrasi perasaan bagi orang lain yang melihatnya. Efek psikologis tersebut mencakup sensibilitas estetik yang kemudian
24
melahirkan persepsi-persepsi mengenai keindahan tersebut secara subjektif dari hasil pengamatan dan pemahaman intersubjektif baik imajinatif maupun emosional.
Meditasi Visual dan Eksplorasi Estetik Nata alumni seni rupa IKIP Jakarta sebagai pribadi cukup jenak bergulat pada dunia pendidikan dan penulisan fiksi dengan menerbitkan novel maupun esei tampaknya ingin mempresentasikan diri melalui pentas multi talenta.
Ia dengan kepekaan estetiknya mengetengahkan
pandangan-pandangan estetiknya melalui artikulasi visual. Kita bisa menelusuri keindahan presentasi gagasan kreatif dan eksplorasi visual dari perayaan meditasi visual seorang Nata yang sejatinya seorang pelukis berdarah oriental dan menjadikan keseniannya jalan mengolah dinamika alam sebagai bagian penting menemukan harmonisasi alam. Proses penciptaan seni baginya merupakan ruang kontemplasi menjumput sejumlah rasa kagum, keterpesonaan, menanam kenangan indah, meletakan harapan, mendeskripsikan impian, dan mengkomunikasikan sejumlah penanda penting sebagai bentuk rasa syukur terhadap karunia kehidupan yang dilimpahkan Sang Khaliq. Di sanalah ia menemukan sejumlah peluang menemukan cahaya Rokhul Qudus dan perjumpaannya kembali dengan masa lalu dan masa depan. Cermati saja karya ‘taize di pagi hari’, ‘contemplation’,’ hening’, ‘rumah impian’, ‘my dream comes true’, ‘senyum di pucuk pinus’, ‘ilalangpun berharap hujan’, dan‘sanctuary’seakan konfigurasi meditasi visual yang menyuguhkan dunia tanpa persoalan namun landskape
25
alam penuh pesona dan hamparan harmonisasi alam yang ritmis nan lengang. Konstruksi ruang tanpa ketegangan dan hiruk-pikuk manusia. Sebuah dimensi spiritual tanpa batas mewujud dan mengedepankan kedalaman emosi yakni sebuah pengolahan dimensi yang mampu mendekatkan impian dengan realitas. Dimensi yang menggerakan perspektif batiniah seseorang untuk melebur pada dinamika spiritual manusia dengan alam seperti ajaran Zen. Inti ajaran Zen adalah Samadhi atau meditasi, meditasi identik dengan Zen seperti arti zen sendiri yaitu meditasi yang menghasilkan wawasan yang mendalam (Mudji Sutrisno,1984:9). Dalam sutra-sutra Mahayana, Samadhi atau meditasi mempunyai arti pembebasan spiritual secara sadar dan tidak sekedar latihan konsentrasi semata yang dilaksanakan dengan baik namun lebih sekedar itu. Meditasi dapat didefinisikan sebagai percobaan yang gigih dan metodologis untuk melihat realita ruang dalam. Mencoba menarik pikiran dari segala obyek-obyek eksternal, untuk melepaskan indera dari rangsangan masing-masing objeknya dan untuk memusatkan perhatian ke dimensi sebelah dalam (Sangharakshita,1991:57). Pandangan lain menyatakan bahwa Samadhi atau za-zen dalam istilah zen, dilakukan dalam sikap lotus atau bersila dengan meletakkan kaki kanan di atas paha kiri dan kaki kiri di atas paha kanan. Kedua tangan di atas kaki yang bersila dalam posisi rileks. Telapak tangan kiri di atas tangan kanan dengan posisi terbuka. Kedua ujung ibu jari dipertemukan. Posisi badan tegak tetapi tidak kaku. Mata memandang beberapa meter ke depan dengan sedikit terbuka, napas diatur dan dirasakan hembusannya.
26
Di dalam za-zen diciptakan suasana yang hening untuk kontemplasi yang mendalam (Watts,1976:176). Samadhi atau meditasi ini, Zen mengarah pada pikiran sebagai titik kontak pada realita. Sejatinya pikiran absolut adalah realita. Dengan demikian dengan menunjuk kepada pikiran, Zen menunjuk kepada realita, menunjuk pada pencerahan adalah pengalaman dari realita, menunjuk pada hakekat keBuddhaan (Sangharakshita,1991:56). Setelah melakukan tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam Samadhi biasanya seorang Kadoka sampai pada realita.
Dalam
Samadhi ini seorang Kadoka menunjuk pada satu obyek yaitu alam. Dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki dan dengan tingkatantingkatan dalam Samadhi yang dilalui akhirnya seorang Kadoka sampai pada realita lukisan alam yang absolut seperti tujuan dari meditasi yang kemudian diekspresikan. Dalam ajaran Zen alam semesta ini dipandang selalu bergerak, dinamis dan terdapat saling hubungan dengan keadaan manusia. Zen tidak menekankan kepercayaan kepada Tuhan secara personal. Dalam aliran ini alamlah yang justru dikatakan sebagai guru segala sesuatu dan segala sesuatu pelajaran sehingga penganut aliran ini cenderung lebih mendekatkan dan berguru pada kejadian-kejadian yang ada di alam. Zen mengutamakan pengalaman mendapatkan penerangan, penerangan tersebut dinamakan satori, orang mampu melihat atau menemukan inti diri dan menyadari keBuddhaannya. Namun pengalaman itu tidak bisa diucapkan atau diungkapkan dengan katakata yang hanya terbatas (Sutrisno,1994:129). Seni mendapatkan
27
tempat yang khusus untuk memahami ajaran Zen. Hal ini dikarenakan suatu karya seni dalam Zen merupakan suatu wujud nyata yang dapat dirasa atau direfleksikan. Ajaran tentang hidup dalam Zen ditemukan dalam seni. Pandangan Life is an art yaitu hidup merupakan manifestasi kebebasan. Seperti burung-burung di awan dan ikan-ikan di air, itulah hidup. Bentuk kebebasan hidup tergambar dalam seni, yang tidak lain adalah kehidupan itu sendiri (Suzuki,1969:69). Thomas Munro, seorang filsuf dan teori seni, memahami keindahan dalam perumusan seni adalah alat buatan manusia yang dibuat untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan hasil dari pengamatan, pengenalan, imajinasi, baik yang rasional maupun emosional. (Soedarso Sp: 2006 : 68). Secara intensitas keindahan dalam seni dimaksudkan untuk memengaruhi penikmatnya dalam merasa kan moment estetik yang terepresentasi dalam sebuah karya seni yang dikaitkan dengan kemampuan cerapan inderawi dan perseptual atas muatan nilai keindahan tersebut. Sehingga keindahan yang tampak dalam cerapan inderawi dapat dijadikan pintu masuk bagi penikmat dalam menguak esensi dan misteri kekuatan keindahan dibalik karya seni secara mendalam dan sejati. Nilai keindahan yang sempurna dalam karya seni menurut Erich Kahler, adalah tergabungnya pengungkapan perasaan yang kuat, yaitu memadukan kecermatan yang sensitif (sensitive precision of expression) dalam pengungkapan dengan keserasian dari satu keanekaragaman unsur-unsur yang kaya (harmonization of a rich variety of elements).
28
Prinsip-prinsip keindahan dalam sebuah karya seni rupa yang berperan membangun artistik dan estetikanya antara lain; Pertama : terpenuhinya unsur-unsur visual diantaranya; titik, garis,
bentuk,
warna, tekstur, bidang dan lainnya. Kedua : pengelolaan prinsipprinsip desain diantaranya; komposisi, proporsi (scale), irama (rhythm), keseimbangan (balance), kesatuan (unity). Pada dasarnya pemenuhan unsur-unsur visual jelas sangatlah penting, mengingat bahasa estetik dari sebuah karya seni rupa (seni lukis) adalah bahasa visual. Meminjam ungkapan Henry M. Sayre dalam A World of Art, bahwa representasi nilai keindahan dalam sebuah karya seni lebih ditentukan pada kepekaan seseorang dalam mengelola aspek-aspek visual dengan menguasai berbagai prinsip desain, selebihnya adalah keunikan-keunikan yang dieksplorasi seseorang baik pada aspek teknis maupun konseptual dalam sebuah pencapaian tujuan estetika yang lebih personal. (Henry M. Sayre: 1997: 151-157). Di sini jelas bahwa aspek keindahan dalam konteks visual form ‘tangible’ memosisikan dirinya pada skala prioritas utama kemudian disusul aspek keindahan ‘intangible’ yang tersembunyi dibalik karya seni tersebut. Dan, kaidah-kaidah keindahan lainnya yang membangun nilai estetik lainnya merupakan hal mutlak dalam sebuah tinjauan nilai estetika, termasuk berbagai aspek kemampuan dan kepiawaian teknik [kapasitas ekplorasinya] artistik seorang seniman dalam mewujudkan gagasan dasar yang digali atas subjek matter yang direpresentasikan dalam ekspresi seninya. Muatan ekspresi yang lekat pada kepiawaian seorang seniman dapat terejawantah secara solid, ketika ia dengan segenap jiwanya menumpahkan aspirasi kreatifnya.
29
Dalam wacana lain, dapat sebagai pembanding bagi pengayaan perpektif kita mengenai makna keindahan dalam karya seni, Wassilly Kandinsky mecetuskan keyakinannya lebih dalam dari aspek visual form. Bagaimanapun juga, ada di dalam seni jenis kesamaan eksternal yang dikemukakan sebagai sebuah kebenaran yang fundamental. Bila ada suatu kesamaan kecenderungan dalam keseluruhan nilai moral dan nilai spiritual, suatu kesamaan dari cita-cita, pada awalnya kehilangan aspek tangible ke sebuah perasaan yang dalam [inner felling] sebagai efek logis dari kebangkitan nilai bentuk eksternalnya dalam merepresentasikan perasaan-perasaan. (Wassilly Kandinsky, terj. Sulebar M Soekarman: 2007:4). Keselarasan semacam ini atau bahkan pertentangannya secara emotif bukanlah suatu kedangkalan atau ketakbernilaian, sesungguhnya justru ‘stimmung’ dari suatu lukisan tersebut dapat untuk memperdalam dan memurnikan perasaan dalam proses pengamatan dan pemaknaannya. Netok Sawiji_Rusnoto Susanto1
Referensi: Fritjof Capra, The Tao of Physics, Jalasutra, Yogyakarta, 2000 Hartoko, Dick, Manusia dan Seni, Kanisius, Yogyakarta, 1983 Sangharakshita, Masa Sthavira, Zen Inti Sari Ajaran . Yayasan Buddhis Karania, 1991. Soedarso Sp, Trilogi Seni, ISI Yogyakarta, 2006 1
30
Penulis adalah Kurator Independen, Kandidat Doktor ISI Yogyakarta, Praktisi Seni, dan Dosen Seni Rupa UST Yogyakarta
Stuart Hall, Representation, Sage Publication, London, 1990. Suzuki,D.T., An Introduction to Zen Buddhism, Riden & Company, London, 1969. Sutrisno, Mudji, Zen dan Fransiskus, Kanisius, Yogyakarta, 1984. Sutrisno, Mudji, Buddhisme: Pengaruhnya dalam Abad Modern, Kanisius, Yogyakarta, 1993 Wassilly Kandinsky, Concerning The Spiritual in Art, (terj: Sulebar M. Soekarman), Yayasan Seni Visual, Jakarta, 2007 Watts , Allan W., The Way of Zen, Penguin Books Ltd. Harmondsworth, Middlesex, 1976 Yusuf Sutanto, ‘Dampak Perkembangan Fisika Modern pada Kebudayaan’ dalam buku Mencari Visi Baru Kehidupan, PPM Jakarta, 2002
31
Lahir di jakarta, 9 juni 1968 1992-1994 sebagai photografer dan penulis fleelance di Majalah HIDUP dan Majalah TRAVEL CLUB. 1992-2001: Pernah menjadi guru seni rupa di almamaternya SMP Lemuel Jakarta, SMA Pangudi Luhur dan SMA Bunda Hati Kudus Jakarta. 1995: Menyelesaikan studinya di jurusan Pendidikan Seni rupa IKIP Jakarta (Sekarang UNJ) 1995-sekarang: karya sosial, pertanian dan pendidikan alternatif di desa Salem Purwakarta, Jawa Barat. 2000-Mei 2005: menjadi volunteer di Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta. 2009-sekarang: Mengajar seni rupa di SMA Ora et Labora Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan dan SMP Yos Sudarso Purwakarta. Waktu luang diisi dengan melukis dan menulis di “Rumah cinTaa” di desa Salem. Pernah pameran lukisan baik tunggal maupun bersama Bukunya yang sudah terbit adalah kumpulan puisi Cinta itu Tidak Dosa. Dan novel pendidikan Muridku Guruku
Alamat tetapnya di
[email protected]
dan +62818812622
Rumah tetapnya di “Rumah cinTaa” di desa Salem, Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
32
My Dream Comes True acrylic on canvas 70cm x 60cm
Keukenhoff dalam’kenangan acrylic on canvas 40cm x 30cm
33
Romantic Flowers acrylic on canvas 40cm x 30cm
Sanctuary acrylic on canvas 70cm x 60cm
34
35
36
37
38
39
40