1 Calon Perseorangan di Masa Transisi Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung
Teguh Kurniawan, M.Sc Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM Email:
[email protected],
[email protected]
Abstract The verdict of Constitutional Court (MK) on 23 July 2007 regarding the request to examine the Law No. 32 year 2004 about Regional Government has bring new hope of opportunity for individual candidates to be participate in the local direct election of the governor/mayor/regent. The opportunity becomes wider since the agreement of the House of Representatives (DPR) to the Bill on the Revision of the Law No. 32 year 2004 in April 1st 2008 after such a long time debates and lobbying. The bill then become the Law No. 12 year 2008 after the President approve it and signing the bill in April 28th 2008. The promulgation of the new law has given consequence that the local direct election of the governor/mayor/regent that held after April 28th 2008 should have accommodating the individual candidates. However, this issue is not simple as it seen. There are some problems that appear regarding the possibility for individual candidates to be participate in the local direct election, especially at several regions that has entering the phase of candidates registration in early May. This condition becomes a problem since the fact that there are some technical rules that should be follows by these individual candidates before they can register as a candidate. If the problems could not be address wisely, the situation will becomes susceptible for the possibility of disputes as well as horizontal conflicts in those regions. Keywords: individual candidates, the direct election of governor/major/regent, transition era
1. Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Permohonan Pengujian Undang-Undang (UU) 32/2004 pada 23 Juli 2007 telah membawa harapan baru terkait peluang calon perseorangan untuk turut bersaing dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadasung). Peluang tersebut menjadi semakin besar dengan telah disetujuinya Draft UU Revisi UU 32/2004 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 1 April 2008 setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan relatif lama. UU ini untuk kemudian diundangkan menjadi UU 12/2008 (LN No. 59 Tahun 2008 dan Tambahan LN No. 4844 Tahun 2008) setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 April 2008. Dengan berlakunya UU 12/2008 ini maka seharusnya Pilkadasung yang diselenggarakan setelah 28 April 2008 haruslah dapat mengakomodir para calon perseorangan. Kondisi tersebut ternyata tidak mudah untuk segera diwujudkan. Terdapat sejumlah permasalahan yang muncul terkait dengan keikutsertaan dari calon perseorangan dalam pelaksanaan Pilkadasung. Permasalahan yang muncul diantaranya adalah perdebatan mengenai kemungkinan keikutsertaan para calon perseorangan ini dalam Pilkadasung di sejumlah Daerah khususnya yang pada awal Mei 2008 memasuki masa pendaftaran calon, mengingat ada sejumlah ketentuan teknis yang harus diikuti oleh para calon Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
2 perseorangan tersebut. Kondisi ini apabila tidak disikapi secara bijaksana dikhawatirkan menimbulkan kerentanan akan terjadinya sengketa, gesekan serta konflik horisontal di Daerah-Daerah tersebut. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji permasalahan tersebut dari perspektif Politik, Pemerintahan Daerah dan Hukum Administrasi Negara. Terdapat sejumlah issue utama yang dicoba untuk dibahas didalam tulisan ini seperti hak konstitusional versus masalah teknis; undang-undang versus peraturan pelaksanaan yang lebih rendah; rezim pemda versus rezim pemilu; serta permasalahan akuntabilitas dari calon perseorangan. Diharapkan melalui tulisan ini dapat memberikan gambaran dan perspektif mengenai kondisi yang terjadi dan solusi bijaksana yang dapat dan telah ditempuh guna mengakomodir calon perseorangan dalam pilkadasung sekaligus mencegah kemungkinan sengketa, gesekan serta konflik horisontal yang dapat terjadi. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan sumbang saran bagi pelaksanaan Pilkadasung yang lebih baik lagi di masa mendatang. 2. Hak Konstitusional versus Masalah Teknis Berdasarkan perspektif hukum, sebuah Undang-Undang dinyatakan berlaku ketika telah diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri Sekretaris Negara. Dengan demikian, semenjak 28 April 2008 calon perseorangan telah dapat menggunakan haknya untuk dapat turut serta dalam bursa pemilihan Kepala Daerah. Peluang ini menjadi terbuka dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU 12/2008 yang memungkinkan pasangan calon perseorangan untuk mengikuti sebuah pemilihan Kepala Daerah. Pasal ini merupakan pasal revisi dari Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 sebagai akibat dari Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa sejumlah pasal dari UU 32/2004 (diantaranya Pasal 56 ayat (2)) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya memberikan kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada. Dengan berlakunya UU 12/2008 pada kenyataannya tidak serta merta membuat calon perseorangan dapat mengikuti bursa pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan adanya sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan untuk dapat ikut serta dalam sebuah Pilkadasung. Persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan adanya dukungan dari sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU 12/2008. Berdasarkan ketentuan dalam UU 12/2008, untuk dapat maju dalam Pilkadasung, pasangan calon perseorangan harus mendapatkan dukungan dari sejumlah orang dalam persentase tertentu yang dibuktikan dengan surat dukungan dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari orang yang memberikan dukungan. Bukti dukungan ini harus diserahkan kepada penyelenggaran Pilkadasung (Komisi Pemilihan Umum/KPU Daerah) dalam waktu tertentu (21-28 hari sebelum waktu pendaftaran calon) untuk kemudian akan diverifikasi. Permasalahan persyaratan dukungan dan verifikasi-nya inilah yang kemudian dijadikan sebagai alasan atau menjadi penyebab gagalnya pasangan calon perseorangan untuk dapat Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
3 ikut serta dalam pelaksanaan Pilkadasung di sejumlah Daerah. Terdapat sejumlah KPU Daerah—khususnya di Daerah yang pada awal Mei 2008 telah memasuki tahapan pendaftaran calon1—yang menolak untuk mengakomodir pasangan calon perseorangan karena alasan masalah waktu penyerahan syarat dukungan dan verifikasi-nya. KPU di Daerah-Daerah ini merasa bahwa tidak cukup waktu lagi untuk dapat memasukkan berkas dukungan bagi pasangan calon perseorangan. Mereka beranggapan bahwa tahapan pelaksanaan Pilkadasung sudah tidak mungkin lagi diubah. Menurut mereka, hanya kejadian bencana alam dan kerusuhan massal saja yang yang dapat mengubah tahapan pelaksanaan Pilkadasung yang sudah ditetapkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 6/2005 sebagaimana telah diubah dengan PP 17/2007. Selain itu, KPU Daerah yang menolak ini juga beralasan bahwa mereka menunggu Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dari KPU Pusat mengenai penyerahan persyaratan dukungan dan verifikasi-nya. Dilain pihak, ada sejumlah KPU Daerah yang mau mengakomodir pasangan calon perseorangan untuk turut serta dalam pelaksanaan Pilkadasung. Padahal Daerah-Daerah ini juga melaksanakan tahapan pendaftaran calon di awal Mei 20082. KPU Provinsi Sumatera Selatan misalnya, mereka telah jauh-jauh hari menyiapkan kemungkinan keikutsertaan calon perseorangan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Langkah ini diambil oleh KPU Provinsi Sumatera Selatan dengan mempertimbangkan telah disetujuinya Draft Revisi UU 32/2004 pada 1 April 2008, sehingga menurut mereka paling lambat tanggal 1 Mei 2008 Draft RUU tersebut akan resmi menjadi UU sehingga calon perseorangan harus diakomodir. Langkah yang berbeda ditempuh oleh KPU Kabupaten Bogor dan KPU Kota Bandung. Kedua KPU Daerah ini melakukan revisi terhadap SK Penetapan Pentahapan Pilkadasung yang telah mereka buat. Bahkan KPU Kabupaten Bogor berani mengambil langkah untuk memundurkan Jadwal Pencoblosan selama 21 (dua puluh satu) hari guna mengakomodir calon perseorangan3. Berangkat dari kasus-kasus di atas, terlihat bahwa gagalnya keikutsertaan calon perseorang di sejumlah Daerah lebih dikarenakan alasan teknis meskipun konstitusi secara sah telah menjamin hak dari calon perseorangan untuk dapat turut serta dalam Pilkadasung. Terkait hal ini, menurut pandangan sejumlah pakar, masalah konstitusional tidak boleh dikalahkan oleh persoalan teknis. Seharusnya dicari jalan teknis untuk mencapai tujuan konstitusional, misalnya dengan mengundurkan jadwal atau menggunakan teknologi baru untuk mempermudah proses verifikasi dukungan. Dengan kata lain, permasalahan teknis tidak boleh menghambat hak-hak warga negara yang telah diatur dalam konstitusi. Namun demikian, hal-hal seperti ini seringkali tidak dipahami oleh para penyelenggara negara termasuk KPU (baik di Pusat maupun Daerah). Apabila mereka paham, maka penolakan terhadap calon perseorangan untuk turut dalam Pilkadasung di sejumlah Daerah transisi tentu tidak akan terjadi. KPU Pusat seharusnya sudah dari jauh-jauh hari menyiapkan Draft Petunjuk Pelaksanaan Penyerahan Dukungan 1
Daerah-Daerah di maksud misalnya Kabupaten Enrekang dan Kota Pare-Pare di Provinsi Sulawesi Selatan 2 Daerah-Daerah di maksud misalnya Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Bogor dan Kota Bandung di Provinsi Jawa Barat 3 Langkah ini dilakukan oleh KPU Kabupaten Bogor dengan membuat SK No. 15 Tahun 2008 tentang Perubahan atas SK KPU Kabupaten Bogor No. 4 Tahun 2008 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Peneyelenggaraan Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Bogor. Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
4 dan Verifikasinya untuk mengantisipasi berlakunya UU Revisi terhadap UU 32/2004. Permasalahan ini juga tidak akan muncul apabila Pembuat UU (baca DPR) membuat aturan peralihan yang tegas mengenai pelaksanaan Pilkadasung di Daerah-Daerah yang dalam waktu dekat akan melaksanakan Pilkadasung. Ketidakpahaman dari para penyelenggara mengenai urgensi hak konstitusional ini yang disinyalir menjadi sebab gagalnya keikutsertaan calon perseorangan dalam Pilkadasung di sejumlah Daerah. 3. Undang-Undang versus Peraturan Pelaksanaan yang lebih rendah Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kegagalan keikutsertaan pasangan calon perseorangan di sejumlah Daerah salah satunya dikarenakan adanya keengganan dari KPU setempat untuk mengubah Tahapan Pilkadasung yang telah mereka tetapkan. Mereka bersikeras bahwa hanya sejumlah klausul tertentu lah sebagaimana diatur dalam PP 6/2005 juncto PP 17/2007 yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan pengubahan Tahapan Pilkadasung. Mereka seakan menutup mata terhadap telah berlakunya UU 12/2008 yang dalam struktur perundang-undangan memiliki hierarkhi yang lebih tinggi dibandingkan sebuah PP. Pada sisi lainnya, kalau kita pelajari secara seksama Keputusan dari KPU di Daerah mengenai Pentahapan Pilkadasung sendiri sebenarnya juga telah didasarkan pada Dasar Hukum yang salah. Kasus di Kabupaten Enrekang misalnya, KPU setempat telah memutuskan bahwa pencoblosan akan dilaksanakan pada Agustus 2008 atau 60 (enam puluh) hari sebelum masa jabatan Bupati berakhir dengan berdasarkan kepada Peraturan KPU Pusat No. 11 Tahun 2007. Menurut Peraturan KPU Pusat No. 11 Tahun 2007, waktu pencoblosan 60 (enam puluh) hari sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir itu dalam rangka mengantisipasi terjadinya putaran kedua. Padahal dalam UU 32/2004 diatur bahwa pencoblosan dapat dilakukan 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir. Artinya, untuk kasus di Kabupaten Enrekang, pelaksanaan pemungutan suara dapat dilakukan September 2008. Dengan demikian, waktu pendaftaran baru dibuka 3 (tiga) bulan sebelum pencoblosan atau Juni 2008 sehingga masih memungkinkan calon perseorangan untuk mendaftar. Menyangkut hal ini, salah seorang pakar yang menjadi nara sumber penulis mengatakan bahwa Peraturan KPU Pusat No. 11 Tahun 2007 tersebut dapat dikatakan telah menyalahi ketentuan pengawasan hukum. Menurut nara sumber, dalam hukum terdapat 2 (dua) jenis pengawasan yakni kesesuaian hukum (prinsip kepastian negara hukum) dan kesesuaian tujuan. Kesesuaian hukum harus berada di atas kesesuaian tujuan. UU 32/2004 mengatur waktu pencoblosan 30 (tiga puluh) hari dalam rangka kepastian hukum, sehingga Peraturan KPU Pusat tersebut bertentangan dengan UU. KPU Pusat harus dapat membuktikan bahwa kalau dilaksanakan 30 (tiga puluh) hari akan terjadi masalah sehingga diperlukan waktu 60 (enam puluh) hari. Kalau KPU Pusat tidak bisa membuktikan maka aturan yang dibuat oleh KPU Pusat harus merujuk kepada UU yakni 30 (tiga puluh) hari. Pakar lain yang menjadi nara sumber penulis berpendapat sedikit berbeda. Menurut nara sumber ini, apa yang diputuskan oleh KPU Pusat boleh saja dilakukan dalam kerangka Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
5 diskresi. Namun demikian, jangan terlalu kaku. Artinya peraturan dan pelaksanaan dari Peraturan KPU tersebut harus disesuaikan juga dengan kondisi di Daerah. Kalau memang di Daerah memungkinkan untuk dilaksanakan pencoblosan 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir, maka waktu 60 (enam puluh) hari yang diatur oleh KPU Pusat tidak boleh diseragamkan. Atau dengan kata lain, KPU Daerah berhak untuk berpendapat berbeda dengan KPU Pusat sesuai dengan kondisi di wilayahnya. Terkait permasalahan di atas, dalam pandangan awam penulis sendiri dengan berdasarkan pada sejumlah literatur hukum yang penulis baca maka apa yang telah dilakukan oleh KPU Pusat dengan mengeluarkan Peraturan KPU No. 11 Tahun 2007 telah melanggar salah satu asas keberlakuan peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superior derogat legi in feriori). Apabila hal ini dipahami oleh KPU Pusat dan juga KPU Daerah, maka kegagalan dari calon perseorangan untuk dapat bertarung dalam Pilkadasung di sejumlah daerah dapat dihindarkan. 4. Rezim Pemerintahan Daerah (Pemda) versus Rezim Pemilu Issue lainnya yang dalam pandangan penulis semakin menambah carut-marut pelaksanaan Pilkadasung termasuk keikutsertaan calon perseorangan adalah berlakunya 2 (dua) rezim dalam pelaksanaan Pilkadasung yakni rezim pemda dan rezim pemilu4. Pilkadasung sendiri pada dasarnya adalah merupakan mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah pada suatu Daerah Otonom. Dalam kacamata teori Pemerintahan Daerah, Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah merupakan bentukan dari Pemerintah Pusat dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam cabang kekuasaan eksekutif (Presiden). Karenanya, penyelenggaraan pemerintahan di suatu Daerah Otonom harus senantiasa merujuk kepada aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat (Presiden) yang dalam hal ini dapat menugaskan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah, maka Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan unsur Pemerintah di Daerah. Menyangkut kedudukan Kepala Daerah dan DPRD ini, kerancuan mulai muncul disebabkan adanya mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan DPRD yang agak berbeda. Dalam konteks Kepala Daerah, pemilihannya diatur berdasarkan UU 32/2004 yang artinya masuk dalam rezim pemda, sementara untuk DPRD pemilihannya diatur dalam UU yang mengatur tentang pemilu (rezim pemilu). Kerancuan ini semakin besar ketika UU mengatur bahwa penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan DPRD 4
Untuk memahami secara mendalam mengenai kedua jenis rezim ini dapat dilihat dalam Pheni Chalid (Editor), 2005, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Depok: Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Partnership for Governance Reform in Indonesia serta Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press dan Yogyakarta: Citra Media. Baca juga Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
6 dilakukan oleh KPU yang tunduk pada rezim pemilu. Karena KPU masuk dalam rezim pemilu, maka KPU di Daerah adalah merupakan bagian dari struktur KPU Pusat yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh KPU Pusat, termasuk dalam penyelenggaran Pilkadasung. Tumpang tindih kedua rezim ini, pada kenyataannya ikut menambah kompleks penyelenggaraan Pilkadasung termasuk dengan keberadaan calon perseorangan. Dalam konteks ini, Surat Menteri Dalam Negeri No. 188.2/1189/SJ tertanggal 7 Mei 2008 perihal “ Tindak Lanjut UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004” dapat membantu menjelaskan kompleksnya permasalahan Pilkadasung dan keikutsertaan calon perseorangan akibat tumpang tindihnya rezim pemda dan rezim pemilu. Surat Mendagri tersebut mengatur mengenai dapat diakomodirnya calon perseorangan dalam Pilkadasung serta prosedur pengunduran diri dari seorang Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah incumbent. Pada kasus di Kabupaten Enrekang misalnya, KPU setempat tetap menolak untuk memberi kesempatan kepada calon perseorangan meskipun mereka mengetahui adanya Surat Mendagri tersebut. KPU Daerah merasa tidak perlu untuk patuh kepada Surat Mendagri karena atasan langsung mereka adalah KPU Pusat. Dilain pihak, dalam hal calon incumbent, KPU Daerah merasa perlu untuk berkonsultasi kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan merujuk atau menggunakan aturan yang ada dalam Surat Mendagri tersebut. Berdasarkan kasus di atas, kita dapat melihat adanya ketidakkonsistenan sikap KPU di Daerah akibat berlakunya 2 (dua) rezim dalam pengisian jabatan Penyelenggara Daerah, khususnya Kepala daerah. Tidak konsistennya KPU di Daerah juga dapat dilihat dalam hal pemberlakuan bagian per bagian dari UU 12/2008. Pada satu sisi mereka menolak calon perseorangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2008, tetapi di sisi lain mereka menggunakan aturan dalam UU yang sama dalam hal wajib mundurnya calon Kepala daerah yang berasal dari incumbent. 5. Akuntabilitas Calon Perseorangan Issue besar lainnya yang dihembuskan oleh berbagai kalangan yang pada akhirnya merugikan calon perseorangan adalah mengenai akuntabilitas dari calon perseorangan apabila mereka terpilih menjadi Kepala Daerah. Bagi sejumlah pihak, calon Kepala Daerah yang diusung oleh partai politik (parpol) dan gabungan parpol akan jauh lebih akuntabel dibandingkan dengan calon perseorangan. Menurut kalangan ini, seorang Kepala Daerah yang pencalonannya diusung oleh parpol atau gabungan parpol, akan dapat ditegur oleh parpol pengusungnya apabila ternyata tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Kepala Daerah dengan baik. Karenanya mereka mempertanyakan siapa yang akan dapat menegur seorang Kepala Daerah yang berasal dari calon perseorangan apabila tidak dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Tidak sependapat dengan pandangan ini, salah seorang pakar yang menjadi nara sumber penulis mengungkapkan sejumlah alasan mengapa keberadaan calon perseorangan sangat Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
7 diperlukan dalam pelaksanaan Pilkadasung. Menurut nara sumber ini, terdapat setidaknya 3 (tiga) alasan mengapa kita harus menerima calon perseorangan, yaitu: (1) parpol di negara kita belum memiliki political merit system yang menjadi dasar sistem politik yang baik. Bukti dari adanya kondisi ini diantaranya adalah masih banyaknya parpol yang tidak siap untuk menjadi tulang punggung Pilkadasung sehingga banyak calon Kepala Daerah yang diusung oleh parpol tersebut adalah bukan kader parpol sendiri; (2) keberadaan calon perseorangan tidak melanggar konstitusi dan justru memperkuat penyelenggaraan demokrasi; (3) dalam hal akuntabilitas, maka akuntabilitas dari calon perseorangan adalah kepada rakyat yang memilihnya. Kalau Kepala Daerah dari calon perseorangan bersikap tidak amanah, maka rakyatlah yang akan menurunkannya. Namun demikian, perlu dibuat pengaturan mekanisme akuntabilitas bagi Kepala Daerah yang berasal dari calon perseorangan. 6. Penutup Sebagai penutup dari tulisan singkat ini dapat disimpulkan bahwa keikutsertaan dari calon perseorangan dalam masa transisi Pilkadasung ternyata sangat dipengaruhi oleh integritas, cara pandang dan kemampuan yang memadai dalam memahami realitas politik, hukum dan pemerintahan daerah dari para penyelenggara Pilkadasung di daerah. Hal ini menjadi sangat signifikan ketika lembaga supra struktur di Pusat tidak berani atau mampu untuk bersikap tegas dan konsisten berdasarkan ketentuan konstitusi yang ada. Bagi daerah dimana anggota KPU-nya memiliki integritas, cara pandang dan pemahaman yang memadai, akomodasi terhadap calon perseorangan dapat dilakukan. Para anggota KPU di Daerah-Daerah ini sangat memahami bahwa mereka memiliki kewenangan untuk menentukan yang terbaik dalam pelaksanaan Pilkadasung di tempatnya. Mereka bersedia untuk bekerja keras dan mengambil resiko guna mendapatkan pemimpin yang terbaik bagi Daerahnya. Karenanya, salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memastikan pelaksanaan Pilkadasung yang sukses di masa depan adalah bagaimana memastikan orang-orang yang profesional, berintegritas dan mampu memahami realitas politik, hukum dan pemerintahan daerah inilah yang duduk sebagai anggota KPU di Daerah. Selain itu, para pembuat kebijakan di Pusat diharapkan untuk dapat membuat kebijakan yang tepat, matang, dan tidak membingungkan dengan mendasarkan kepada kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan atau golongannya. Carut marutnya penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pilkadasung salah satunya disebabkan oleh ketidakmatangan dari kebijakan yang dibuat atau karena pengaruh kepentingan pribadi dan atau golongan yang lebih dominan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Ucapan Terima Kasih Dalam penyiapan tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ dari Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI serta Prof. Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D dari Center for Law and Good Governance Studies FH UI yang telah bersedia untuk membagi pengetahuannya mengenai permasalahan Calon Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008
8 Perseorangan dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dari perspektif Hukum Administrasi Negara dan Pemerintahan Daerah. Selain itu penulis ingin mengucapkan terima kasih pula kepada Drs. Ahmad Fauzi, M.E. dari KPU Kabupaten Bogor yang telah bersedia memberikan salinan sejumlah dokumen yang sangat berguna dan menjadi referensi dalam tulisan ini serta Ir. Trigunawan Jayawardhana, M.Si dan teman-teman lainnya pendukung calon perseorangan di Kabupaten Enrekang yang telah membagi pengetahuan dan pengalaman praktis akan dinamika pelaksanaan Pilkadasung 2008 di Kabupaten Enrekang. Referensi Chalid, Pheni (Editor), 2005, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Depok: Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Partnership for Governance Reform in Indonesia Fadjar, Abdul Mukthie, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press dan Yogyakarta: Citra Media Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Tulisan ini dipresentasikan dalam “Konferensi Administrasi Negara”, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Yogyakarta 27-28 Juni 2008