MENIMBANG CALON PEMIMPIN NASIONAL DENGAN PEMILIHAN SECARA LANGSUNG Oksidelfa Yanto
osok pemimpin yang baik mempunyai peran penting dalam kehidupan suatu bangsa dan negara. Karena dengan kepemimpinan yang baik, suatu bangsa dan negara dapat menghadapi berbagai rintangan dan persoalan yang akan menghadang. Dengan demikian, nantinya masyarakat secara keseluruhan akan terlindungi dan tersejahterakan. Agar semua itu bisa terujud, maka sudah saatnya kita menyiapkan pemimpin untuk masa depan sedini mungkin. Jika tidak, jangan harap kemakmuran bagi rakyat akan tercipta. Jika kemakmuran rakyat tidak tercipta itu berarti
negara
Kesatuan Republik Indonesia akan selalu dibayang-bayangi bahaya disintegrasi yang tak berkesudahan. Jika kita tengok sejarah perjalanan bangsa Indonesia ke belakang maka akan kelihatan jelas bahwa cita-cita kemerdekaan para bapak bangsa (founding father) pertama-tama bukan hanya melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan. Lebih dari itu, kemerdekaan yang telah diraih bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Diakui memang, bahwa sampai saat ini pemimpin yang kita harapkan dapat mewujudkan semua yang telah diamanatkan oleh para pendiri bangsa di atas belum sepenuhnya terwujud dalam bingkai negara Pancasila yang kita cintai ini. Pemimpin belum menunjukkan sikap keteladanannya
pada
bangsa
dan
negara.
Demokrasi
politik
yang
didengungkan selama ini telah menjadi pentas adu kekuatan untuk memperebutkan dan mempertahankan kedudukan dan kekuasaan tanpa
Jurnal Universitas Paramadina Vol.3 No. 1, September 2003: 77-90
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
memperhatikan norma dan etika yang berlaku. Begitupun hukum telah disiasati dan dimanipulasi untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga yang terjadi justru kekuasaan dan kedudukan tidak diarahkan untuk memberikan kebahagiaan dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi kekuasaan
dan kedudukan tersebut telah disalahgunakan sehingga
melahirkan suatu gejolak dan keresahan. Betapa menyedihkan kondisi bangsa ini, pemimpin yang diharapkan dapat membawa kedamaian ternyata belum muncul dalam kemajemukan suku, agama dan bahasa di negara Indonesia ini. Serta yang lebih menyedihkan lagi kemajemukan suku, agama dan bahasa tersebut justru telah menimbulkan konflik yang cukup mengerikan. Sudah banyak korban berjatuhan akibat pertikaian SARA, solusi dan jalan damai telah sering dilakukan, akan tetapi semuanya hanya sia-sia belaka, konflik dan pertikaian tetap jalan terus. Namun yang jelas bagaimana pun krisis kepemimpinan yang terjadi di negara Indonesia, kita tentu tidak boleh putus asa. Bertolak pada hal di atas, maka pada pemilu 2004 tahun depan adalah saat yang tepat untuk melakukan rekonstruksi kepemimpinan nasional. Jika tidak dilakukan sudah pasti nasib masyarakat sebagai anak bangsa negeri ini akan semakin kelabu dan akan berada di ambang kehancuran. Masalah yang dihadapi bangsa ini memang luar biasa parahnya. Di samping situasi politik yang masih carut-marut juga belum terciptanya supremasi hukum yang cukup berkeadilan, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemimpin yang ada. Berdasarkan pada hal di atas maka tulisan ini mencoba menekankan betapa pentingnya kepemimpinan masa depan lebih berorientasi untuk kepentingan bangsa dan negara dan bukan untuk
kepentingan
pribadi
dan
golongan.
Sebab
pada
dasarnya
kepemimpinan merupakan fenomena kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap perkembangan corak dan arah kehidupan masyarakat. Selain itu kepemimpinan juga merupakan salah satu fungsi yang dapat mendorong
78
Oksidelfa Yanto “Menimbang Calon Pemimpin Nasional dengan Pemilihan Secara Langsung”
terwujudnya cita-cita, aspirasi,
dan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat (Kusumoprojo, 1992), demi kemajuan di masa mendatang. Diskursus Mengenai Kepemimpinan Diskursus mengenai siapa yang layak dan pantas untuk tampil sebagai pemimpin negeri ini telah menjadi perdebatan sengit dalam wacana politik belakangan ini. Beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya diskursus ini adalah: Pertama, terkait dengan perolehan suara sebanyak 20 persen bagi parpol dalam pemilu. Karena dalam ketentuan Pasal 5 ayat (4) RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa usulan nama pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu anggota DPR yang memperoleh suara dalam pemilu secara kumulatif nasional sekurang-kurangnya 20 persen. Syarat ini dinilai telah melanggar konstitusi, sebab dalam Pasal 6A UUD 45 sama sekali tidak mencantumkan adanya syarat perolehan suara. Di samping itu, pencantuman syarat 20 persen tersebut merupakan pengekangan terhadap arti demokrasi yang sesungguhnya. Karena telah menyumbat tampil atau munculnya calon Presiden yang mewakili berbagai aspirasi dalam kehidupan masyarakat yang dinilai berpotensi untuk memimpin negeri ini. Kedua, terkait dengan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilakukan. Dalam pemilihan kali ini pasangan Presiden dan Wakil Presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan preseden baik bagi perkembangan sistem demokrasi negeri ini yang sudah lama dicita-citakan. Pemilihan Presiden yang telah dilaksanakan selama ini hanya dilakukan melalui Sidang Umum MPR atau Sidang Istimewa MPR. Dimulai sejak pemilihan Presiden pertama pada zaman Soekarno sampai dengan pemilihan Presiden terakhir pada zaman Gus Dur atau Megawati. Saat itu pemilihan Presiden dilakukan terlebih dahulu, kemudian baru dilakukan pemilihan Wakil Presiden. Pendek kata, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara langsung atau dalam
79
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
satu paket. Dan mekanisme ini tidak sepenuhnya menjamin terpilihnya sosok ideal pemimpin nasional harapan masyarakat. Pemilihan Presiden dengan cara ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
semangat
reformasi
yang
didengungkan.
Karena
hanya
menghasilkan pemimpin yang tidak kredibel dalam mengayomi masyarakat. Dari itulah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung ini menjadi isu penting, cara ini nantinya diharapkan akan dapat menghasilkan pimpinan nasional yang benar-benar sesuai dengan harapan rakyat. Lebih dari itu pemilihan secara langsung ini juga menunjukkan suatu kenyataan bahwa dalam masyarakat
tercermin keinginan yang kuat untuk memilih
pemimpin yang jujur dan bersih sesuai dengan apa yang dicita-citakan serta mempunyai sifat kepemimpinan yang terukur dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa. Ketiga, menyangkut para kandidat yang dijagokan. Para calon Presiden yang diusulkan oleh masing-masing partai politik yang ada, masih terdapat muka lama yang oleh masyarakat sudah diketahui kelemahannya dalam mengurus bangsa yang cukup rumit ini. Padahal dalam masyarakat tersimpan keinginan Presiden mendatang harus diisi oleh mereka dengan muka-muka baru yang benar-benar mengerti persoalan bangsa dengan sikap arif dan bijaksana. Beberapa poin di atas setidaknya telah menjadi isu menarik dalam perkembangan sistem demokrasi yang ada pada saat ini. Keempat, berkenaan dengan pendidikan yang dimiliki oleh seorang calon Presiden. Dalam rancangan undang-undang partai politik seorang calon Presiden diharuskan memiliki gelar atau pendidikan akademik minimal Sarjana (S1). Hal ini penting mengingat kompleksitasnya persoalan bangsa yang terjadi saat ini. Sehingga pemimpin masa depan dituntut untuk mempunyai dan memiliki kecakapan dan kemampuan berfikir logis dan sistematis (Lie, 2003). Beberapa poin di atas diyakini telah menjadi wacana yang melelahkan dalam peta politik di tanah air dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan ini atau setidaknya semenjak dibahasnya rancangan
80
Oksidelfa Yanto “Menimbang Calon Pemimpin Nasional dengan Pemilihan Secara Langsung”
undang-undang bidang politik khususnya materi yang menyangkut soal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Fenomena-fenomena dalam perkembangan sistem politik di atas yang berkaitan dengan calon pemimpin nasional memang menarik untuk dicermati, karena
sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, telah
membuka peluang bagi siapa saja dengan kendaraan politiknya untuk berkompetisi secara terbuka dalam memperebutkan kursi kepemimpinan nasional. Keadaan ini merupakan kali pertama dalam sejarah politik Indonesia sejak tahun 1945 atau sejak proklamasi kemerdekaan. Saat itu calon pemimpin nasional yang diusulkan selalu terbatas pada satu kandidat saja. Akan tetapi, pada saat sekarang calon pemimpin nasional datang dari berbagai kalangan yang sangat beragam, baik yang dicalonkan maupun yang mencalonkan. Dari partai politik misalnya, Megawati Soekarno Putri, Amien Rais serta Hamzah Haz. Ini belum termasuk para calon dari partaipartai yang lainnya. Dari kalangan pengusaha muncul nama-nama seperti Surya Paloh, Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie, Dari kalangan profesional dan cendikiawan muncul juga nama-nama seperti, Syahrir, Nurcholish Madjid, Ryaas Rasyid dan Hasyim Muzadi. Sedangkan dari kalangan Purnawirawan TNI muncul nama-nama Agum Gumelar, Wiranto, Soesilo Bambang Yudoyono. Banyaknya kandidat yang muncul dan berambisi untuk menjadi pemimpin nasional tersebut menunjukkan bahwa, sebenarnya cukup banyak tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap layak untuk memimpin negeri ini pada lima tahun kedepan. Persoalannya adalah, mampukah mereka membawa perubahan yang cukup berarti bagi perkembangan corak kehidupan masyarakat, baik di bidang politik, ekonomi dan hukum di masamasa mendatang. Pemimpin Tak Menepati Janji Sejak jatuhnya mantan Presiden Soeharto, pimpinan-pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh nasional yang dijagokan selama ini untuk maju ke
81
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
arena kekuasaan kelihatannya belum mempunyai kemampuan untuk menghayati dan memahami secara serius dan mendalam tentang masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Buktinya sudah tiga kali terjadi pergantian pimpinan nasional sejak mantan Presiden Soeharto tumbang, persoalan serius bangsa ini belum juga teratasi secara siginifikan. Kondisi ini, menurut penulis disebabkan karena kekuasaan tidak sepenuhnya berakar untuk kepentingan masyarakat akan tetapi kekuasaan dipakai untuk dinikmati dengan memanfaatkan kedudukan dan sering mengabaikan penderitaan rakyat. Bukan rahasia lagi, kondisi politik Indonesia yang amburadul saat ini rupanya terus menggambarkan kejelekan yang tidak pantas dipertontonkan. Mereka para pemimpin tidak mampu mengendalikan hawa nafsu untuk memburu kekuasaan. Para pemimpin negeri ini cenderung dan pasti menyeleweng. Hanya suatu sistem kontrol sosial yang efektif akan menghentikan penyelewengan dan mengurangi kecenderungan pada kesewenang-wenangan (Kleden, 2000). Penyelewengan yang dilakukan oleh para pemimpin negeri ini membuat wibawa mereka di mata masyarakat semakin merosot. Keadaan ini disebabkan oleh tingkah laku mereka yang cenderung tidak sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Undang-undang ataupun GBHN. Di samping itu, banyak pemimpin negeri ini yang selalu sibuk bertengkar, mengumbar
retorika
dalam
upaya
penegakan
hukum
namun tidak
mempunyai keberanian yang tegas untuk menindak para pelaku kejahatan, terutama kejahatan bidang korupsi. Kewibawaan seorang pemimpin memang harus selalu dituntut untuk dipertahankan. Sebab seorang pemimpin akan menentukan nasib orang yang akan dipimpinnya. Seorang pemimpin harus menjaga wibawa kepemimpinannya, harus menjaga amanat kepemimpinannya. Dalam ajaran agama manapun seorang pemimpin adalah suatu hal yang sangat prinsip sifatnya. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa pemimpin itu adalah amanat kekhalifahan. Amanah keterwakilan langsung dari Tuhan kepada manusia
82
Oksidelfa Yanto “Menimbang Calon Pemimpin Nasional dengan Pemilihan Secara Langsung”
dengan tugas pokok untuk memakmurkan dunia dalam konsistensi hukumNya (Marham, 2001). Agar pemimpin masa depan dapat dicintai rakyatnya tentu harus dilakukan dengan cara melaksanakan amanat rakyat secara utuh dan menyeluruh tanpa terpengaruh oleh kedudukan dan kekuasaan yang dimilikinya. Rakyat tidak boleh dibingungkan lagi oleh ‘akrobat-akrobat’ politik para pemimpinnya. Rakyat butuh ketenangan dan kedamaian, bukan janjijanji omong-kosong. Dan nantinya masyarakat di mana pun harus selalu dapat hidup tentram dan jauh dari rasa ketakutan. Di masa yang akan datang pemimpin nasional yang akan maju memimpin bangsa ini harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan suara rakyat.
Perlu
diperhatikan
apa-apa
yang
telah
dijanjikan
untuk
mengembalikan kredibilitasnya. Ini hanya dapat dilakukan jika saja apa yang diucapkan oleh para pemimpin dapat dijadikan pegangan. Sebab selama ini sering para pemimpin mengucapkan janji manis dalam banyak kesempatan, tetapi janji yang pernah diucapkan itu sering dilupakan (Sairin, 2002). Pimpinan Nasional Harus Mengabdi Pada Bangsa dan Negara Di tengah krisis multidimensi bangsa yang berkepanjangan saat ini memang tidak gampang mencari sosok yang ideal sebagai pemimpin nasional. Sudah banyak janji yang disampaikan oleh mereka yang tampil memimpin negeri ini, baik sebelum terpilih maupun setelah terpilih. Akan tetapi keadaan bangsa yang carut-marut terus saja berlangsung tanpa ada yang mampu untuk menghentikannya. Semuanya gagal dalam mengemban tugasnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Berbagai konflik mulai dari Aceh, Maluku, Ambon dan berbagai pertikaian lainnya mengambarkan keadaan tersebut. Krisis yang berkepanjangan ini memang bisa dianggap sebagai salah satu penyebab semakin runyamnya permasalahan dan merajalelanya tindak kekerasan (Sairin, 2002). Secara teoritis konflik dan kekerasan berakar dari hegemoni makna dan kebekuan struktur kelas sosial, bahkan
83
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
keagamaan yang tak memiliki tanggung jawab moral menyelesaikan masalah kaum miskin, petani dan buruh (Mulkhan, 2001). Kebekuan
struktural
makin
mengeras
ketika
elite
penguasa
memperkuat posisinya dengan nilai-nilai ideologis dan teologis, tak ada lagi jendela dan pintu di atas kelas dan golongan politik atau keagamaan sebagai dasar tumbuhnya hubungan komunikatif (Mulkhan, 2001). Masyarakat,
khususnya
rakyat
kecil
terus
saja
mengalami
penderitaan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, pengangguran semakin tak terbendung, gelandangan dan anak jalanan semakin banyak dan memprihatinkan, pertikaian dan konflik antar golongan masyarakat masih sulit untuk dihentikan. Hal ini menyebabkan tumbuhnya kantongkantong kesengsaraan dan kemiskinan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih parah lagi korupsi tumbuh subur dalam lingkup birokrasi. Padahal seharusnya mereka bekerja untuk kepentingan rakyat banyak. Dan bukan untuk menyusahkan rakyat dengan perilaku korupsi yang sudah semakin parah tersebut. Banyaknya kantong-kantong korupsi di Indonesia membuat kita selalu dicap sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tertinggi dari negara-negara lainnya. Di negara Indonesia tempat-tempat yang rawan korupsi
adalah
tender
proyek-proyek
besar,
termasuk
juga
yang
pendanaannya dari luar negeri, kemudian kredit perbankan, penerimaan pajak, bea cukai, pemberian perizinan untuk berbagai usaha, termasuk yang berkaitan dengan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Lokasi lain yang rawan korupsi adalah badan-badan peradilan dan pengusutan perkara, serta pada transaksi dalam bidang pertanahan (Muhammad, 1999). Berkaitan dengan ini, Baharuddin Lopa (2001) membagi korupsi dalam sifatnya kepada dua bagian. Pertama, korupsi yang bermotif terselubung. Korupsi seperti ini ialah korupsi yang secara sepintas lalu kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata-mata. Contoh, seseorang pejabat menerima suap dengan janji akan berusaha agar seseorang (si pemberi
84
Oksidelfa Yanto “Menimbang Calon Pemimpin Nasional dengan Pemilihan Secara Langsung”
suap) berhasil dapat dipilih untuk jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau diangkat dalam suatu jabatan. Tetapi kenyataannya setelah ia menerima suap ia tak memperdulikan lagi janjinya itu kepada orang yang memberikan suap tersebut. Yang pokok ialah mendapatkan uang tersebut. Kedua, yang bermotif ganda. Yaitu, seseorang melakukan korupsi yang secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya mempunyai juga motif lain, yakni motif kepentingan politik. Contohnya, seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan penyalahgunaan kekuasaannya, pejabat itu mengambil keputusan memberikan sesuatu fasilitas kepada si pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan membawa hasil kepadanya. Yang pokok ialah dapatnya si pejabat menyalahi kewajibannya dengan cara memberikan fasilitas tersebut, sehingga dengan perbuatannya yang tercela itu semakin mudah juga si pejabat itu jatuh dari jabatannya. Melihat begitu tingginya pengaruh kejahatan korupsi terhadap perkembangan kehidupan masyarakat, maka perlu para pejabat yang ada dan yang akan memimpin negeri ini nantinya untuk menyadari sepenuhnya bahaya dari kejahatan korupsi ini. Karena akibat kejahatan ini yang paling dirugikan adalah masyarakat banyak. Untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme, menurut Baharuddin Lopa sebenarnya tidak begitu sulit. Kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korupsi tetap ada di hati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi tetap akan terjadi (Lopa, 2001:85). Sedangkan Mar’ie Muhammad (1999) mengatakan bahwa untuk menangkal dan menekan serendah mungkin korupsi diperlukan reformasi politik dan birokrasi pemerintah. Ditegakkannya transparansi di perusahaanperusahaan, serta reformasi di bidang kelembagaan dan peradilan. Reformasi di bidang politik dilakukan agar sejauh mungkin kekuasaan
85
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
eksekutif dapat dibatasi dan diawasi secara efektif, serta diterapkannya sistem check and balance. Selain itu badan-badan pengawasan dan pemeriksaan harus betul-betul independen dan efektif. Kondisi-kondisi di atas jika tidak diperhatikan oleh pemimpin masa depan maka akan membuat Indonesia yang kita warisi dari pendiri bangsa ini akan terus disebut sebuah negeri dengan seribu satu masalah. Saat satu masalah belum rampung sudah ditumpuki masalah lain, satu pertanyaan belum terjawab sudah dikejar pertanyaan lain, satu keruwetan belum terurai sudah terjebak keruwetan baru (Asyin, 2001). Berurai dan berakarnya persoalan yang menimpa, menimbulkan suatu kesan dalam masyarakat bahwa bangsa ini tengah menghadapi krisis kepemimpinan. Pendek kata, dalam masyarakat muncul suatu stigma bahwa hingga awal tahun 2004 nanti belum ada tanda-tanda bangsa ini akan memiliki pemimpin yang kuat yang menjiwai aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Dan siapa pun nantinya yang akan naik menjadi pemimpin nasional sepertinya tidak akan mampu membawa perubahan apa-apa secara signifikan dalam kehidupannya, baik di bidang ekonomi, politik dan hukum. Sebagai masyarakat yang cinta akan kedamaian dan kemakmuran kita tentu tidak boleh putus asa. Untuk itu, semua komponen bangsa harus bertekad di masa-masa mendatang, kita harus mendapatkan pemimpin nasional yang benar-benar mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia ini, bukan mengabdi untuk kepentingan golongan semata. Sejatinya, pimpinan nasional harus mampu melepas semua kepentingan pribadi dan golongan partainya, menjauhi budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyebabkan keterpurukan bangsa selama ini. Oleh karena itu, para pimpinan partai politik yang sekarang duduk di lembaga legislatif hendaknya menyadari bahwa sebenarnya bangsa ini membutuhkan pemimpin yang jujur dan bermoral tinggi. Pemimpin yang kuat dan mempunyai visi kepemimpinan nasional dalam mengayomi rakyatnya.
86
Oksidelfa Yanto “Menimbang Calon Pemimpin Nasional dengan Pemilihan Secara Langsung”
Partai politik yang ada hendaknya mampu memilih para kandidat pimpinan nasional yang menjiwai semangat reformasi, pemimpin yang mampu mewujudkan terciptanya pembangunan politik santun dan bukan pembangunan politik amburadul dan saling gontok-gontokan satu sama lain. Pembangunan politik berarti bahwa diadakan perubahan terhadap pola kehidupan politik yang sedang berlangsung, untuk secara berangsur-angsur, bertahap dan sistematis makin mendekati struktur dan kultur politik yang dicita-citakan, sehingga kehidupan politik itu memungkinkan berlangsungnya pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya dan pembangunan pertahanan keamanan nasional, menuju masyarakat yang dicita-citakan (Machmud, 1986). Untuk itu rakyat sebagai bagian dari negara ini harus dapat memilih pemimpin masa depan yang berakhlak tinggi dan mempunyai hati nurani yang bersih. Rakyat harus menimbang mana calon pemimpin yang layak dan pantas. Karena rakyatlah yang akan memegang peran terpenting untuk memilih mereka yang berkualitas yakni melalui pemilihan secara langsung. Jika hal ini tidak dikedepankan maka pemimpin yang diharapkan
niscaya tidak akan muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Dan itu berarti pembangunan politik atau kehidupan politik santun akan sulit terwujud di masa-masa yang akan datang. Kesimpulan Lalu apakah pemilu yang menurut rencana akan digelar tahun 2004 nanti akan mampu menghadirkan dan memunculkan kandidat atau figur pimpinan nasional masa depan yang lebih baik? Jelas tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Semuanya masih serba teka-teki. Namun apa pun alasannya pimpinan nasional masa depan harus lebih baik dari yang sebelumnya. Agar semua itu dapat dicapai, maka calon pimpinan nasional yang diajukan pada masa mendatang haruslah tokoh yang berkarakter baik dan bermoral tidak tercela. Pemimpin masa depan harus bisa memahami penderitaan rakyat dan memahami kemajemukan serta keberagaman
87
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
masyarakat agar konflik-konflik sosial yang membuat bangsa ini semakin terjerat oleh bahaya disintegrasi tidak bermunculan lagi. Kepemimpinan nasional nanti harus selalu berorientasi untuk kepentingan rakyat banyak. Sebab tokoh seperti inilah yang memiliki kapasitas yang potensial untuk membawa bangsa dari krisis multi dimensi ini. Pemilihan tokoh-tokoh yang dianggap mampu dan layak untuk duduk sebagai pimpinan nasional harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Kalau kita gagal lagi maka jangan harap akan ada perubahan yang berarti di masa yang akan datang, yang berarti beban penderitaan rakyat akan semakin bertambah, dan jangan salahkan jika dalam masyarakat akan selalu muncul gerakan-gerakan yang bisa mengacaukan nilai persatuan dan kesatuan. Yang jelas sejarah akan mencatat kalau pada pemilu 2004 nanti kita benarbenar mendapatkan seorang putra terbaik untuk memimpin negeri ini. Suksesi kepemimpinan nasional yang sudah beberapa kali dilakukan beberapa tahun belakangan ini belum sepenuhnya menghasilkan sosok pemimpin untuk memecahkan kemelut negara. Mudah-mudahan semua tokoh yang mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin negeri ini dengan segala janji-janji dan program kerjanya benar-benar akan mampu membawa perubahan yang berarti. Dan bukan janji-janji manis di mulut saja tanpa ada tindak lanjut sesudah terpilih, kita semua tentu sepakat tidak akan mengharapkan hal yang demikian terjadi. Sekali lagi, kita semua harus menyadari bahwa faktor kepemimpinan merupakan fenomena kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap perkembangan corak dan arah kehidupan masyarakat. Dalam lingkup negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, pemimpin yang dikehendaki adalah mereka yang memiliki sikap dan pribadi yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga nantinya akan terwujud aspirasi, cita-cita dan nilai-nilai demi kemajuan di masa mendatang. Tidak dapat kita pungkiri bahwa tantangan ke depan yang dihadapi bangsa Indonesia memang luar biasa parahnya. Di samping situasi politik yang masih "carat-marut" juga
88
Oksidelfa Yanto “Menimbang Calon Pemimpin Nasional dengan Pemilihan Secara Langsung”
belum terciptanya supermasi hukum, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemimpin yang berkuasa. Sekali lagi memilih sosok terbaik bangsa ini untuk menjadi pimpinan nasional masa depan yang kredibel dan capable jelas bukan pekerjaan mudah.
Namun
yang
jelas
apa
pun
alasannya
bangsa
ini
tetap
membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menjawab seluruh tantangan yang ada, sehingga dapat mensejahterakan dan mengayomi rakyatnya. Idealnya, pimpinan nasional harus mempunyai visi dan misi kenegarawanan yang kokoh untuk mengendalikan Negara Kesatuan ini dari bahaya disintegrasi. Nantinya masyarakat dapat hidup tenang dalam suasana damai penuh cinta kasih. Semoga, apa yang kita harapkan untuk mendapatkan pemimpin terbaik akan segera terwujud dalam negara kesatuan yang kita cintai ini.
89
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 77-90
Daftar Pustaka BA’ Asyin, Anis Sholeh. 2001. Merenungkan Indonesia, Kompas, 26 Mai 2001, hal. 4. Kleden, Ignas, 2000. Kontrol Atas Kepemimpinan Nasional, Kompas, 3 November 2000, hal. 4 Wahyono S. Kusumoprojo. 1992. Kepemimpinan Dalam Sejarah Bangsa Indonesia, Jakarta : Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudiman, Lie, Alvin, 2003. Haruskah Presiden Lulusan S1, Majalah Berita Mingguan Forum Keadilan No. 47, 30 Maret 2003, hal. 34. Lopa, Baharuddin, 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta : Buku Kompas, hal. 71. Marham, Idrus, 2001. Filosofi Kepemimpinan dalam Perspektif Keagamaan, Media Indonesia, 11 Mai 2001, hal. 8. Muhammad, Mar’ie, 1999. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam Birokrasi, Yogyakarta : Aditya Media, hal. 71. Mulkhan, Abdul Munir, 2001. Ruwatan Politik Nasional, Kompas, 29 Maret 2001, hal. 4. Machmud, Amir, 1986. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, hal 149. Sairin, Syafri, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Pustaka Pelajar, (Anggota IKAPI), Cetakan I, Oktober 2002, hal. 73.
90