BUPATI LOMBOK TIMUR
PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (6), Pasal 21, Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (7), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (4) Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, perlu menetapkan Peraturan
Bupati
tentang
Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; Mengingat
:
1.
Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor
69
Tahun
Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II
1958
tentang
dalam Wilayah
Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655 ); 3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3029);
4.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3091) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);
5.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
6.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 7.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
8.
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 9.
Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
10. Peraturan Pedoman
Pemerintah Pembinaan
Nomor dan
79
Tahun
Pengawasan
2005
tentang
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 11. Peraturan
Pemerintah
Nomor
58
Tahun
2005
tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5179);
14. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2 Tahun 2008
tentang
Kewenangan
Urusan
Pemerintahan
Pemerintahan
Kabupaten
yang Lombok
menjadi Timur
(Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 1); 15. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Lombok Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 4); 16. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun
2012
Nomor
12,
Tambahan
Lembaran
Daerah
Kabupaten Lombok Timur Nomor 11).
MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
PERATURAN
BUPATI
TENTANG
KETENTUAN
PELAKSANAAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN
2012
TENTANG
PAJAK
BUMI
DAN
BANGUNAN
PERDESAAN DAN PERKOTAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan : 1.
Daerah adalah Kabupaten Lombok Timur.
2.
Bupati adalah Bupati Lombok Timur.
3.
Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset yang selanjutnya
disebut
Dinas
adalah
Dinas
Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Asset Kabupaten Lombok Timur atau Dinas yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pendapatan dan pengelolaan keuangan Daerah. 4.
Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset yang selanjutnya disebut Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Kabupaten Lombok Timur atau Kepala Dinas pada Dinas yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pendapatan dan pengelolaan keuangan Daerah.
5.
Pajak
Daerah
yang
selanjutnya
disebut
Pajak
adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 6.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
7.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan
daerah. 8.
Surat
Pemberitahuan
Bangunan
Perdesaan
Pajak
Terutang
Pajak
Bumi
dan
Perkotaan
yang
selanjutnya
disingkat SPPT PBB adalah surat yang digunakan memberitahukan
besarnya
Pajak
Bumi
dan
dan
untuk
Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak. 9.
Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas umum daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
10. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-udangan
perpajakan. 11. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D
adalah
dokumen yang digunakan sebagai dasar
pencairan dana yang diterbitkan oleh Bendahara Umum Daerah berdasarkan Surat Perintah Membayar. 12. Tempat Pembayaran adalah tempat yang ditetapkan Bupati sebagai tempat pembayaran untuk menerima pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 13. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.
14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Bupati untuk menerima dan menatausahakan setoran penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 15. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data,
keterangan,
dan/atau
bukti
yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar
pemeriksaan
untuk
menguji
kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau tujuan lain
dalam
rangka
melaksanakan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah. 16. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil pemerintah Kabupaten Lombok Timur atau Tenaga Ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak. 17. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. 18. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak
disetujui
dituangkan
dalam
Berita
Acara
Hasil
Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. 19. Kertas Kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang
diselenggarakan
prosedur
pemeriksaan
oleh yang
Pemeriksa ditempuh,
Pajak
mengenai
pengujian
yang
dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan. 20. Bukti permulaan adalah keadaan dan/atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada Negara/Daerah. 21. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
22. Tim Pembahas adalah tim yang dibentuk oleh Kepala Dinas Pendapatan,
Pengelolaan
Kabupaten
Lombok
perbedaan
antara
Keuangan
Timur,
dan
bertugas
pendapat
Wajib
Aset
untuk
Pajak
Daerah
membahas
dengan
Hasil
Pembahasan atas Tanggapan Wajib Pajak oleh Tim Pemeriksa Pajak. 23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat SKPD PBB, adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan
besarnya jumlah pokok pajak yang terutang. 24. Surat Tagihan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,yang selanjutnya disingkat STPD PBB, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 25. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan
dalam
peraturan
penerapan
perundang-undangan
ketentuan
tertentu
perpajakan
daerah
dalam yang
terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi
dan
Bangunan
Perdesaan
dan
Perkotaan,
Surat
Ketetapan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Tagihan Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 26. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDLB,
adalah
surat
ketetapan
pajak
yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
27. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Bupati ini yaitu: a.
tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak;
b.
Tata cara penerbitan SPPT, SKPD, SKPDN;
c.
tata cara pengisian dan penyampaian SPOP, SPPT,
SKPD,
SKPDN; d.
tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak;
e.
tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan;
f.
tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak;
g.
tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
h.
tata
cara
penghapusan
piutang Pajak
yang
sudah
kadaluwarsa; dan i.
tata cara pemeriksaan Pajak.
BAB III TATA CARA P E N D A F T A R A N , PENDATAAN DAN PENILAIAN OBJEK
PAJAK DAN SUBJEK PAJAK Bagian kesatu Pendaftaran Pasal 3
(1)
Pendaftaran objek pajak PBB-P2 dilakukan oleh subjek Pajak dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP).
(2)
SPOP dan LSPOP diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani
dan
disampaikan
ke
Dinas,
selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau kuasanya. (3)
Formulir SPOP disediakan dan dapat diperoleh di Dinas atau ditempat-tempat lain yang ditunjuk. Bagian kedua Pendataan Pasal 4
(1)
Pendataan subjek dan objek PBB-P2 dilakukan oleh Dinas dengan menggunakan formulir SPOP dan LSPOP, dengan ketentuan :
a. setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPOP dan LSPOP; b. SPOP dan LSPOP sebagaimana pada huruf a, harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya disertai dengan lampiranlampiran yang diperlukan dan disampaikan kepada Dinas; c. sepanjang tidak ada perubahan data objek pajak, subjek pajak maupun Wajib Pajak maka data SPOP dan LSPOP dapat
digunakan
untuk
penetapan
PBB-P2
tahun
selanjutnya; dan d. bentuk, isi formulir, dan petunjuk pengisian SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagamana tercantum dalam lampiran I (satu) yang merupakan
bagian
tidak
terpisahkan
dari
peraturan
Bupati ini; (2)
Pendataan subjek dan objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam ayat dapat dilakukan dengan alternatif : a. penyampaian
dan
pemantauan
pengembalian
SPOP,
adalah pendataan yang hanya dilaksanakan pada wilayah desa yang belum mempunyai peta, merupakan wilayah terpencil dan mempunyai potensi PBB-P2 relatif kecil, penyebaran SPOP dilakukan alternatif secara perseorangan berdasarkan sket/ peta blok yang ada kepada wajib pajak atau kuasanya atau secara kolektif melalui aparat desa dengan terlebih dahulu membuat sket / peta blok; b. identifikasi
objek
pajak,
adalah
pendataan
yang
dilaksanakan pada wilayah desa, sudah mempunyai peta yang dapat menentukan posisi relatif objek pajak dan merupakan hasil pendataan secara lengkap tiga tahun terakhir tetapi belum mempunyai data administrasi PBBP2; c. verifikasi
data
objek
pajak,
adalah
pendataan
yang
dilakukan pada wilayah desa yang sudah mempunyai peta dan data administrasi PBB-P2 secara lengkap dalam tiga tahun terakhir; dan d. pengukuran bidang objek pajak, adalah pendataan yang dilakukan pada wilayah desa yang hanya mempunyai sket peta desa dan atau peta tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif objek pajak. Pasal 5 (1)
Setiap objek pajak diberi NOP.
(2)
Struktur NOP terdiri dari 18 (delapan belas) digit, dengan urutan : a. digit ke-1 dan ke-2 merupakan kode propinsi;
b. digit ke-3 dan ke-4 merupakan kode kabupaten; c. digit ke-5 sampai dengan digit ke-7 merupakan kode kecamatan; d. digit ke-8 sampai dengan digit ke-10 merupakan kode kelurahan/ desa; e. digit ke-11 sampai dengan digit ke-13 merupakan kode nomor urut blok; f. digit ke-14 sampai dengan digit ke-17 merupakan kode urut objek pajak; dan g. digit ke-18 merupakan kode tanda khusus; (3)
Pemberian NOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini. Pasal 6
(1)
Pendataan terhadap mutasi utuh tidak menghilangkan NOP induk.
(2)
Pendataan terhadap mutasi pecah, masing-masing penerima pecahan
mendapatkan
NOP
baru,
sisa
tanah
tetap
menggunakan NOP lama. (3)
Pendataan terhadap mutasi pecah tanpa ada sisa maka NOP diberikan kepada salah satu penerima mutasi pecah.
(4)
Terhadap NOP yang hilang diberikan NOP baru. Pasal 7
Persyaratan dikeluarkannya NOP : a.
melampirkan copy bukti kepemlikan (sertifikat) dan atau penguasaan atau pemanfaatan;
b.
surat keterangan kepemilikan, warisan, hibah dan sejenisnya dari desa/ kelurahan yang diketahui oleh Camat; dan
c.
mengisi formulir SPOP dan LSPOP disertai tanda tangan Wajib Pajak atau kuasanya. Bagian ketiga Penilaian Pasal 8
(1)
Penilaian adalah kegiatan Dinas terhadap Objek PBB-P2 untuk menetapkan NJOP.
(2)
Kegiatan penilaian dapat dilaksanakan melalui : a. Penilaian massal, dimana nilai jual objek bumi dihitung berdasarkan nilai indikasi rata-rata yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT) sedangkan NJOP Bangunan dihitung berdasarkan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB); dan/ atau
b. Penilaian individu diterapkan pada objek umum yang bernilai tinggi atau objek pajak khusus. (3)
Objek Pajak yang dinilai dalam kegiatan penilaian terdiri atas:
a. Objek Pajak standar yaitu Objek Pajak dengan kriteria luas tanah paling banyak 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), jumlah lantai bangunan paling banyak 3 dan luas bangunan
paling
banyak
1.000
m2
(seribu
meter
persegi);dan
b. Objek Pajak non standar adalah Objek Pajak dengan kriteria luas tanah lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), jumlah lantai bangunan lebih dari 3 dan luas bangunan lebih dari 1.000 m2 (seribu meter persegi). (4)
Kegiatan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tiga pendekatan penilaian, meliputi : a. pendekatan data pasar; b. pendekatan biaya; dan/ atau c. pendekatan kapitalisasi pendapatan.
(5)
Penilaian dengan pendekatan data pasar dilakukan dengan objek pajak lain yang sejenis yang nilai jualnya sudah diketahui dengan melakukan beberapa penyesuaian.
(6)
Penilaian dengan pendekatan biaya dilakukan untuk penilaian bangunan dengan cara memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk
membangun
baru
dikurangi
dengan
penyusutan. (7)
Pendekatan kapitalisasi pendapatan dilakukan pada objekobjek yang menghasilkan (komersil) dengan cara menghitung atau memproyeksikan seluruh pendapatan atau sewa dalam satu
tahun
terhadap
objek
pajak
dikurangi
dengan
kekosongan, biaya operasional, dan hak pengusaha. (8)
Pelaksanaan kegiatan teknis penilaian menjadi kewenangan Kepala Dinas.
(9)
Dalam melakukan kegiatan pendaftaran, pendataan, dan penilaian Objek dan Subjek Pajak dalam rangka pembentukan dan/atau pemeliharaan basis data, Dinas dapat bekerja sama dengan Kantor Pertanahan, dan/atau instansi lain yang terkait.
(10) Pendataan dan penilaian Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
dalam
rangka
pembentukan
dan/atau
pemeliharaan basis data dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan dan ditunjuk oleh Dinas.
BAB IV TATA CARA PENERBITAN SPPT, SKPD, DAN SKPDN Pasal 9 (1)
SPPT diterbitkan pada setiap tahun pajak.
(2)
Penerbitan
SPPT sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
didasarkan pada SPOP. (3)
SPOP disampaikan oleh wajib pajak kepada Bupati melalui Kepala Dinas paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh wajib pajak.
(4)
Penerbitan SPPT dilakukan oleh Kepala Dinas. Pasal 10
(1)
Penerbitan
SPPT dilakukan
secara
massal
atau
secara
individual. (2)
Penerbitan SPPT secara massal dilaksanakan pada awal tahun pajak untuk semua objek pajak.
(3)
Penerbitan
SPPT
secara
individual
dilakukan
atas
permohonan wajib pajak. Pasal 11 SPPT secara individual dapat berbentuk: a.
salinan SPPT;
b.
SPPT Objek Pajak Baru;
c.
SPPT Mutasi; atau
d.
SPPT Pembetulan. Pasal 12
SPPT bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah dan/ atau bangunan. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan petunjuk pengisian SPPT diatur oleh Kepala Dinas. Pasal 14 Salinan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a diterbitkan apabila SPPT wajib pajak rusak atau hilang. Pasal 15 (1) SPPT Objek Pajak Baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b diterbitkan apabila dilakukan pendaftaran objek pajak baru yang belum terdaftar pada administrasi Dinas.
(2)
Kondisi Objek Pajak belum terdaftar pada administrasi Dinas disebabkan karena: a. adanya perubahan alam; b. adanya perubahan peruntukan objek pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; atau c. adanya perubahan administrasi pemerintahan. Pasal 16
SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) diterbitkan sesuai dengan tahun perolehan hak. Pasal 17 (1)
SPPT mutasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c
diterbitkan apabila terdapat perubahan data objek pajak
dan/atau subjek pajak. (2)
Perubahan
data
objek
pajak
disebabkan
adanya
pemecahan dan/atau penggabungan objek pajak. (3)
Perubahan data subjek pajak disebabkan adanya peralihan hak antara lain karena waris, jual beli, atau hibah. Pasal 18
SPPT pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d
diterbitkan apabila
terdapat
kesalahan
tulis,
kesalahan
hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Pasal 19 Kepala Dinas atas permohonan wajib pajak dapat menerbitkan Surat Keterangan NJOP apabila SPPT dalam tahun pajak berjalan belum diterbitkan. Pasal 20 (1)
Kepala
Dinas
atas
permohonan
wajib
pajak
dapat
membatalkan ketetapan SPPT sebagai akibat dari penerbitan SPPT yang tidak benar. (2)
Penerbitan SPPT yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan antara lain: a. SPPT ganda; b. objek pajak tidak ada; c. objek pajak/subjek pajak yang dinyatakan batal demi hukum; dan/atau d. penetapan sebagai wajib pajak atas suatu objek pajak yang belum diketahui wajib pajaknya.
Pasal 21 (1)
SPPT ditandatangani Kepala Dinas dalam bentuk: a. tanda tangan basah; b. cap tanda tangan; atau c. cetakan tanda tangan.
(2)
Penandatanganan
SPPT yang
diterbitkan
secara
massal
dilakukan dengan: a. cap tanda tangan atau cetakan tanda tangan untuk objek pajak dengan ketetapan pajak sampai dengan Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan b. tanda tangan basah untuk objek pajak dengan ketetapan pajak lebih dari Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). (3)
Penandatanganan SPPT yang diterbitkan secara individual dapat dilakukan dengan: a. cap tanda tangan atau cetakan tanda tangan untuk objek pajak dengan ketetapan pajak sampai dengan Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan b. tanda tangan basah untuk objek pajak dengan ketetapan pajak lebih dari Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 22
(1)
SPPT yang diterbitkan disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak atau dapat melalui petugas tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun/ lingkungan.
(2)
Wajib pajak menandatangani tanda bukti penerimaan SPPT dan mencantumkan tanggal diterimanya SPPT tersebut. Pasal 23
(1)
Tanggal
jatuh
tempo
pembayaran
pajak
yang
terutang
ditentukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT. (2)
Tanggal
jatuh
tempo
pembayaran
pajak
yang
terutang
dituangkan dalam SPPT.
BAB V TATA CARA PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SPOP, SPPT, SKPD, DAN SKPDN
Pasal 24 Wajib pajak mengajukan permohonan penerbitan SPPT secara individual, surat keterangan NJOP, dan pembatalan ketetapan SPPT secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
Pasal 25 Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilampiri dengan persyaratan administrasi sebagai berikut: a.
penerbitan SPPT secara indiviual: 1. salinan SPPT: a) fotokopi identitas pemohon; b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa; c) Fotokopi SPPT tahun sebelumnya; d) Surat
keterangan
SPPT
rusak
atau
hilang
dari
Kepala Desa setempat; e) Bukti pembayaran PBB 5 (lima) tahun sebelumnya. 2. SPPT objek pajak baru: a) fotokopi identitas pemohon; b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa; c) SPOP yang telah
diisi
dengan
benar,
jelas,
lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya; d) fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah; e) denah lokasi objek pajak yang berbatasan langsung; f)
surat keterangan dari pihak yang berwenang mengenai alasan/penyebab pendaftaran objek pajak baru;
g) surat pengantar dari Kepala Desa setempat. 3. SPPT mutasi objek/subjek pajak: a) fotokopi identitas pemohon; b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa; c) SPOP yang telah
diisi
dengan
benar,
jelas,
lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya; d) fotokopi SPPT tahun pajak
yang
bersangkutan dan
bukti pelunasan pajak 5 (lima) tahun terakhir; e) fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah; f)
fotokopi dokumen perolehan hak;
g) denah lokasi objek pajak yang berbatasan langsung; h) SSPD BPHTB yang sudah divalidasi. 4. SPPT pembetulan: a) fotokopi identitas pemohon; b) surat kuasa bagi yang diberi kuasa; c) SPOP yang telah
diisi
dengan
benar,
jelas,
lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya; d) SPPT asli tahun pajak yang bersangkutan dan bukti pelunasan pajak 5 (lima) tahun terakhir; dan e) fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah.
b.
surat keterangan NJOP: 1. fotokopi identitas pemohon; 2. surat kuasa bagi yang diberi kuasa; 3. fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah; 4. fotokopi SPPT tahun sebelumnya dan bukti pelunasan pajak 5 (lima) tahun terakhir.
c.
pembatalan ketetapan SPPT: 1. fotokopi identitas pemohon; 2. surat kuasa bagi yang diberi kuasa; 3. SPPT asli tahun yang bersangkutan; 4. surat pengantar dari Kepala Desa setempat. Pasal 26
(1)
Dinas melakukan pemeriksaan
berkas
permohonan paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2)
Dinas dalam melaksanakan pemeriksaan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dapat melakukan
peninjauan ke lokasi dan/atau meminta dokumen penunjang selain yang dipersyaratkan. (3)
Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan Dinas untuk
Kepala
mengabulkan atau menolak permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (4)
Keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan: a. paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi permohonan salinan SPPT dan surat keterangan NJOP; b. paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi permohonan pendaftaran objek pajak baru; c. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar permohonan
mutasi
objek
bagi
pajak/subjek
pajak,
dan
pembetulan SPPT; d. paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap dan benar bagi permohonan pembatalan SPPT. (5)
Apabila jangka waktu
sebagaimana
ayat (4) telah terlampaui dan tidak ada maka permohonan dianggap dikabulkan.
dimaksud
pada
suatu keputusan,
Pasal 27 (1)
Dalam hal
Keputusan
Kepala
Dinas
mengabulkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) digunakan sebagai dasar: a. pembenahan/pemutakhiran basis data pajak pada Dinas; b. penerbitan SPPT secara individual. (2)
Keputusan
Kepala
Dinas
mengabulkan
permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf a, diwujudkan
dalam
bentuk penerbitan salinan SPPT atau
surat keterangan NJOP. (3)
Kepala
Dinas
mengabulkan
permohonan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas. Pasal 28 Kepala Dinas dapat menerbitkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut: a.
SPOP tidak disampaikan wajib pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan setelah wajib pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Dinas; atau
b.
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak
yang terutang lebih besar dari jumlah pajak
yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak. Pasal 29 (1)
Penerbitan SKPD dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran diterima wajib pajak.
(2)
Penerbitan SKPD dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 uruf b didasarkan laporan hasil pemeriksaan kantor atau lapangan yang dilakukan oleh Dinas. Pasal 30
Penandatanganan SKPD dilakukan oleh Kepala Dinas dengan tanda tangan basah. Pasal 31 SKPD disampaikan kepada wajib pajak secara langsung atau dapat
melalui
petugas
tingkat
kecamatan,
desa/kelurahan,
dusun/lingkungan. Pasal 32 (1)
Tanggal
jatuh
tempo
pembayaran
pajak
yang
terutang
ditentukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan SKPD. (2)
Tanggal
jatuh
tempo
dituangkan dalam SKPD.
pembayaran
pajak
yang
terutang
BAB VI TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN ANGSURAN, DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK Bagian Kesatu Pembayaran Pasal 33 Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Pasal 34 (1)
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional,
pembayaran
atau penyetoran pajak
dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. (2)
Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah, termasuk pula hari libur dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 35
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dapat dilakukan ke Kas Umum Daerah, melalui Petugas Pemungut, Petugas Penerima Setoran (PPS) PBB Kecamatan, Bendahara Penerimaan Dinas, Petugas Online Payment System (OPS), atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk dengan menggunakan SPPT, SKPD dan STPD. Pasal 36 (1)
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran melalui Petugas Pemungut memperoleh Tanda Terima Sementara (TTS) dan pembayaran diangap sah apabila Wajib Pajak telah menerima SSPD sebagai pengganti TTS dari petugas pemungut.;
(2)
SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) divalidasi/ dicap oleh
pejabat
yang
berwenang,
aslinya
disertai
SPPT
dikembalikan ke Wajib Pajak yang bersangkutan. (3)
SSPD dibuat rangkap 4 (empat) yang terdiri dari : a. lembar ke-1 diberikan kepada Wajib Pajak; b. lembar ke-2 dan ke-3 diberikan kepada Kas Umum Daerah; c. lembar ke-4 untuk petugas penerima setoran.
Bagian Kedua Penyetoran Pasal 37 (1)
Petugas Pemungut dalam waktu 1 x 24 jam wajib menyetorkan hasil pungutan PBB-P2 kepada Petugas Penerima Setoran Kecamatan.
(2)
Penyetoran
Pajak
Perkotaan
oleh
Bumi Petugas
dan
Bangunan
Penerima
Perdesaan
Setoran
dan
Kecamatan
dilakukan ke Kas Umum Daerah paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima dari Petugas Pemungut maupun dari Wajib Pajak dengan menggunakan Daftar Penerimaan Harian (DPH). (3)
Apabila waktu penyetoran bertepatan dengan hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(4)
Bank pemegang Kas Umum Daerah mencatat penerimaan PBB-P2 dalam rekening penerimaan daerah.
(5)
Bank pemegang Kas Umum Daerah melaporkan penerimaan PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas setiap hari Senin pada
minggu berikutnya
setelah PPS Kecamatan
menyetor penerimaan PBB-P2 dengan melampiri SSPD lembar ke-3. Bagian Ketiga Angsuran Pasal 38 (1)
Wajib Pajak dapat mengajukan Surat Permohonan Angsuran Pembayaran secara tertulis untuk mengangsur pembayaran pajak yang masih harus dibayar kepada Bupati melalui Kepala Dinas.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah SPPT diterima Wajib Pajak disertai alasan dan jumlah pembayaran yang dimohon untuk diangsur.
(3)
Apabila batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat dipertimbangkan oleh Kepala sepanjang
Wajib
Pajak
dapat
membuktikan
Dinas
kebenaran
keadaan di luar kuasanya tersebut. (4)
Bentuk format surat permohonan angsuran pembayaran oleh wajib pajak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
Pasal 39 (1)
Atas dasar Surat Permohonan Angsuran dari Wajib Pajak, Kepala Dinas menugaskan Staf terkait untuk melakukan penelitian
sebagai
bahan
pertimbangan
disetujui
atau
tidaknya permohonan angsuran. (2)
Berdasarkan hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas atas nama Bupati menerbitkan Keputusan berupa menerima seluruhnya, sebagian atau penolakan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak berkas permohonan diterima dengan lengkap.
(3)
Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak dapat lagi diajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran.
(4)
Wajib Pajak yang masih punya tunggakan utang pajak tahun sebelumnya, tidak dapat mengajukan angsuran pembayaran.
(5)
Masa angsuran utang pajak tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
(6)
Bentuk format Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran V dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini. Bagian Keempat Penundaan Pembayaran Pasal 40
(1)
Wajib Pajak dapat mengajukan Surat Permohonan Penundaan Pembayaran secara tertulis untuk menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar kepada Bupati melalui Kepala Dinas.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diajukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah SPPT diterima Wajib Pajak dengan disertai alasan penundaan.
(3)
Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya,
permohonan
Wajib
Pajak
masih
dapat
dipertimbangkan oleh Kepala Dinas sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut. (4)
Bentuk format permohonan penundaan pembayaran oleh wajib pajak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
Pasal 41 (1)
Atas dasar Surat Permohonan Penundaan, Kepala Dinas menugaskan Staf terkait untuk melakukan penelitian sebagai bahan pertimbangan disetujui atau tidaknya permohonan penundaan;
(2)
Berdasarkan hasil pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Kepala
Dinas
menerbitkan
Keputusan
berupa
menerima atau penolakan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak berkas permohonan diterima dengan lengkap. (3)
Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat lagi diajukan permohonan untuk menunda pembayaran.
(4)
Wajib Pajak yang masih punya tunggakan utang pajak tahun sebelumnya,
tidak
dapat
mengajukan
penundaan
pembayaran. (5)
Masa penundaan utang pajak tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
(6)
Bentuk format Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VI dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
BAB VII TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN Pasal 42 Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati melalui Kepala Dinas atas: a.
SPPT PBB;
b.
SKPD PBB; dan
c.
SKPDLB PBB. Pasal 43
(1)
Wajib
Pajak
dapat
mengajukan
keberatan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 jika: a. wajib pajak berpendapat bahwa luas objek pajak bumi dan/atau bangunan atau nilai jual objek pajak bumi dan/atau
bangunan
tidak
sebagaimana
penafsiran
peraturan
mestinya;
dan/atau b. terdapat
perbedaan
perundang-
undangan PBB. (2)
Keberatan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
diajukan secara : a. perorangan atau kolektif untuk SPPT PBB; atau b. perorangan untuk SKPD PBB dan SKPDLB PBB.
(1)
dapat
Pasal 44 (1)
Pengajuan keberatan SPPT PBB secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a dilakukan untuk setiap SPPT PBB yang bernilai sampai dengan Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) diajukan secara tertulis kepada Bupati melalui
Kepala
Dinas
dengan
melampirkan
persyaratan
sebagai berikut: a. asli SPPT PBB, SKPD PBB, SKPDLB PBB yang diajukan keberatan; dan b. surat keterangan Lurah/ Kepala Desa setempat. (2)
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB,
SKPD PBB, dan SKPDLB PBB, kecuali apabila
Wajib Pajak atau kuasanya dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (3)
Surat Keberatan yang diajukan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk.
(4)
Dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh Kuasa yang ditunjuk Wajib Pajak, maka harus dilampiri dengan: a. surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang lebih dari Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); b. surat kuasa, untuk Wajib Pajak Badan. Pasal 45
(1)
Pengajuan keberatan untuk SPPT PBB secara perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a dilakukan untuk setiap SPPT PBB lebih dari Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2)
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut : a. asli SPPT PBB yang diajukan keberatan; b. penghitungan jumlah PBB yang terutang menurut Wajib Pajak disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan keberatannya; c. fotocopy identitas Wajib Pajak dan fotocopy identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan; d. fotocopy bukti kepemilikan tanah dan sejenisnya; e. fotocopy Izin Mendirikan Bangunan atau surat keterangan dari Lurah/ Kepala Desa setempat; dan f. fotocopy pembayaran rekening listrik bulan terakhir.
(3)
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB, kecuali apabila Wajib Pajak melalui Lurah/ Kepala Desa setempat dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4)
Tanggal Penerimaan surat keberatan yang dijadikan dasar untuk memproses surat keberatan adalah : a. tanggal terima surat keberatan, dalam hal disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya kepada Dinas; atau b. tanggal tanda pengiriman surat keberatan, dalam hal disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat. Pasal 46
(1)
Pengajuan
keberatan yang
tidak
memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 atau Pasal 45, dianggap bukan sebagai surat keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan. (2)
Dalam hal pengajuan keberatan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan kembali sepanjang memenuhi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) atau Pasal 45 ayat (3). Pasal 47
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB yang terutang dan pelaksanaan penagihannya. Pasal 48 Keputusan atas pengajuan keberatan SPPT PBB, SKPD PBB, dan SKPDLB PBB diberikan oleh : a.
Kepala Dinas, dalam hal jumlah PBB
yang terutang bernilai
sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan b.
Bupati, dalam hal jumlah PBB yang terutang lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 49
(1)
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditetapkan berdasarkan
hasil
penelitian
pada
Dinas
dan
apabila
diperlukan, dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan. (2)
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(3)
Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, Kepala Dinas terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis mengenai waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak.
(4)
Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a,
penelitian
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilaksanakan oleh Dinas. Pasal 50 (1)
Keputusan Kepala Dinas atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a disertai laporan hasil penelitian keberatan diberikan paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keberatan.
(2)
Kepala
Dinas meneruskan
berkas
pengajuan
Keberatan
kepada Bupati a ta s pe nga ju an keb e rata n sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b dalam jangka waktu paling
lama
15
(lima belas)
hari
kerja
sejak
tanggal
diterimanya Surat Keberatan. Pasal 51 (1)
Bupati sesuai kewenangannya dalam jangka waktu paling lama
12
(dua
belas)
bulan
terhitung
sejak
tanggal
diterimanya surat keberatan, harus memberikan keputusan atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b. (2)
Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah PBB yang terutang.
(3)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Keputusan belum diterbitkan, pengajuan Keberatan dianggap dikabulkan dan diterbitkan Keputusan sesuai dengan pengajuan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.
(4)
Dalam hal Keputusan keberatan menyebabkan perubahan data dalam SPPT PBB, SKPD PBB, dan SKPDLB PBB, Dinas menerbitkan SPPT PBB, SKPD PBB, SKPDLB PBB baru berdasarkan keputusan Keberatan tanpa mengubah saat jatuh tempo pembayaran.
(5)
SPPT PBB, SKPD PBB, SKPDLB PBB baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak bisa diajukan Keberatan. Pasal 52
Bentuk formulir yang digunakan dalam rangka pengajuan dan penyelesaian keberatan PBB ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Dinas.
BAB VIII TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK Pasal 53 (1)
Bupati karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangi atau membatalkan SPPT PBB, SKPD PBB atau STPD PBB.
(2)
Pengurangan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal penerbitan SPPT PBB, SKPD PBB atau STPD PBB memang tidak benar.
(3)
Permohonan pembatalan SPPT PBB, SKPD PBB atau SPTD PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diajukan secara perseorangan, kecuali SPPT PBB dapat juga diajukan secara kolektif.
(4)
Permohonan pengurangan atau pembatalan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. Surat permohonan pengurangan atau pembatalan; b. Fotocopy identitas Wajib Pajak,
atau kuasa Wajib Pajak
dalam hal dikuasakan; c. nama dan alamat wajib pajak; d. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa objek pajak tersebut termasuk objek pajak yang dapat dibatalkan; dan e. dokumen pendukung lainnya. Pasal 54 Tanggal
penerimaan
surat
permohonan
pengurangan
atau
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) adalah: a.
tanggal terima surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan langsung oleh Wajib Pajk atau kuasanya kepada petugas
Tempat
Pelayanan
Terpadu
atau
petugas
yang
ditunjuk; b. tanggal tanda pengiriman surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat. Pasal 55 Bentuk formulir pengurangan atau membatalkan SPPT PBB, SKPD PBB atau STPD PBB ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Dinas.
Pasal 56 Kepala Dinas atas nama Bupati berwenang memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT PBB, SKPD PBB, atau STPD PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1). Pasal 57 (1)
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ditetapkan berdasarkan hasil penelitian di kantor, dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan;
(2)
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dilakukan berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian;
(3)
Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendahrendahnya
setingkat
eselon
III
terlebih
dahulu
memberitahukan secara tertulis waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak. Pasal 58 (1)
Kepala Dinas dalam jangka waktu paling lama 6 (enam ) bulan sejak tanggal penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, harus memberi keputusan atas permohonan Wajib Pajak.
(2)
Keputusan Kepala Dinas atas permohonan pengurangan atau pembatalan SPPT PBB, SKPD PBB, atau STPD PBB yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa mengabulkan
sebagian
atau
seluruhnya,
atau
menolak
permohonan Wajib Pajak. (3)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Kepala Dinas tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Dinas harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.
(4)
Atas permintaan tertulis dari Wajib Pajak, Kepala Dinas harus memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian atau
seluruhnya
permohonan
Wajib
Pajak
sebagimana
dimaksud pada ayat (2). Pasal 59 (1)
Bupati karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangi atau menghapuskan Sanksi Administrai yang tercantum dalam SKPD PBB atau STPD PBB.
(2)
Pengurangan
atau
penghapusan
sanksi
administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal sanksi administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. (3)
Permohonan
pengurangan
atau
penghapusan
sanksi
administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memuat: a. surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; b. fotocopy identitas Wajib Pajak,
atau kuasa Wajib Pajak
dalam hal dikuasakan; c. nama dan alamat wajib pajak; d. alasan
pengurangan
atau
penghapusan
sanksi
administrasi; dan e. dokumen pendukung lainnya yang dapat menunjukkan bahwa pengenaan sanksi administrasi bukan karena kesalahan Wajib Pajak. Pasal 60 Tanggal
penerimaan
surat
permohonan
pengurangan
atau
penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) adalah : a.
tanggal terima surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan langsung oleh Wajib Pajk atau kuasanya kepada petugas
Tempat
Pelayanan
Terpadu
atau
petugas
yang
ditunjuk; b. tanggal tanda pengiriman surat permohonan, dalam hal permohonan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat. Pasal 61 Ketentuan
mengenai
bentuk
formulir
pengurangan
atau
penghapusan sanksi administrasi PBB atas SKPD PBB atau STPD PBB ditetapkan oleh Kepala Dinas. Pasal 62 (1)
Kepala Dinas atas nama Bupati dapat memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), dalam
hal
besarnya
sanksi
administrasi
paling
Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
banyak
(2)
Bupati
dapat memberikan Keputusan atas permohonan
pengurangan
atau
penghapusan
sanksi
administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), dalam hal besarnya sanksi administrasi lebih dari
Rp. 75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah). Pasal 63 (1)
Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Kepala Dinas sebagimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Kepala Bidang permohonan
Pajak dan Bagi Hasil meneruskan berkas pengurangan
atau
penghapusan
sanksi
administrasi yang tercantum dalam SKPD PBB atau STPD PBB kepada Kepala Dinas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari
kerja
sejak
tanggal
penerimaan
surat
permohonan. (2)
Dalam hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Bupati sebagimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2), Kepala Dinas meneruskan berkas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD PBB atau STPD PBB kepada Bupati dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat permohonan. Pasal 64
(1)
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ditetapkan berdasarkan hasil penelitian di kantor, dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan dengan penelitian di lapangan.
(2)
Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(3)
Dalam hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendahrendahnya
setingkat
Eselon
III
terlebih
dahulu
memberitahukan secara tertulis waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak. Pasal 65 (1)
Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam ) bulan sejak tanggal
penerimaan
dimaksud
dalam
surat
Pasal
60,
permohonan harus
memberi
sebagaimana Keputusan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. (2)
Keputusan
Bupati
atas
permohonan
pengurangan
atau
penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPD PBB atau STPD PBB sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(3)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
terlampaui
dan
Bupati
tidak
memberikan
suatu
Keputusan, permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap
dikabulkan
dan
Bupati
harus
menerbitkan
Keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.
(4)
Atas permintaan tertulis dari Wajib Pajak, Bupati harus memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian atau
seluruhnya
permohonan
Wajib
Pajak
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
BAB IX TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK Pasal 66 Kelebihan pembayaran PBB terjadi apabila: a.
PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang; dan
b.
dilakukan pembayaran PBB yang tidak seharusnya terutang. Pasal 67
(1)
Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran PBB, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Dinas dalam Bahasa Indonesia disertai alasan
yang
jelas
dengan
mencantumkan
besarnya
pengembalian yang dimohon. (2)
Tanda terima surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan oleh Dinas atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat permohonan melalui pos
tercatat,
menjadi
tanda
bukti
penerimaan
surat
permohonan. Pasal 68 (1)
Kelebihan pembayaran PBB diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak.
(2)
Atas
dasar persetujuan Wajib Pajak
kelebihan
pembayaran
PBB,
yang
kelebihan
berhak atas
tersebut
dapat
diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama Wajib Pajak lain. (3)
Perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pemindahbukuan.
Pasal 69 (1)
Berdasarkan hasil penelitian atau pemeriksaan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, maka dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap, Kepala Dinas atas nama Bupati menerbitkan :
a.
SKPDLB PBB, apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;
b.
Surat Pemberitahuan, apabila jumlah PBB sama dengan jumlah PBB yang seharusnya terutang;
c.
SKPD PBB, apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.
(2)
Apabila
setelah
jangka
waktu
12
(dua
belas)
bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Dinas atas nama Bupati tidak memberikan Keputusan, m a k a dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut,
Kepala Dinas atas nama Bupati
menerbitkan
SKPDLB PBB. Pasal 70 (1)
Kelebihan pembayaran PBB yang masih tersisa dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya S K P D L B PBB hasil pemeriksaan Dinas atas nama Bupati.
(2)
SKPDLB dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut : a. lembar ke-1 untuk Wajib Pajak yang bersangkutan; b. lembar ke-2 untuk Bidang Perbendaharaan; dan c. lembar ke-3 untuk Arsip.
(3)
Kepala Dinas
atas nama Bupati wajib menerbitkan SP2D
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak SKPDLB diterima. (4)
Bentuk SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Dinas.
(5)
Jika pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian. Pasal 71
(1)
Bidang
perbendaharaan
setelah
menerima
lembar
ke-2
SKPDLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) huruf b, selanjutnya membuat SP2D.
(2)
SP2D dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut : a. lembar ke-1 untuk Kas Umum Daerah; b. lembar ke-2 untuk bidang yang menerbitkan SKPDLB; dan c. lembar ke-3 untuk Arsip.
(3) Kas Umum Daerah melakukan pengurangan penerimaan PBB tahun berjalan untuk dikembalikan ke Wajib Pajak dengan pemindahbukuan.
BAB X TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK YANG SUDAH KADALUWARSA Pasal (1)
72
Hak untuk melakukan penagihan pajak kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah.
(2)
Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa; atau b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.
(3)
Dalam hal diterbitkannya Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa.
(4)
Pengakuan
utang
Pajak
secara
langsung
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. (5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. Pasal (1)
Bupati
dapat
73
menghapuskan
Piutang
Pajak
Daerah
dikarenakan tidak bisa tertagih dan sudah kedaluwarsa. (2)
Penghapusan Piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
oleh
Bupati
berdasarkan
permohonan
penghapusan piutang pajak oleh Kepala Dinas. (3)
Permohonan penghapusan piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat wajib pajak; b. jumlah piutang pajak; c. tahun pajak; d. alasan penghapusan piutang pajak . (4)
Piutang Pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. SPPT PBB; b. SKPD PBB; c. STPD PBB; d. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; atau e. Obyek pajak yang berdasarkan penelitian tidak termasuk kriteria
Pajak
Bumi
dan
Bangunan
Perdesaan
dan
Perkotaan. (5)
Piutang Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang menurut data tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi disebabkan karena: a. wajib pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan
atau
meninggal
dunia
dengan
tidak
meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; b. wajib pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi; c. tidak ditemukan alamat pemiliknya karena objek pajak sudah tutup dan alih manajemen; d. hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa; atau e. wajib pajak tidak dapat ditagih lagi karena sebab lain, seperti wajib pajak yang tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen-dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri lagi
disebabkan
keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti bencana alam, kebakaran dan lain sebagainya; dan f. sebab lain sesuai hasil penelitian. (6)
Piutang
pajak
Wajib
Pajak
Badan
yang
menurut
data
tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi disebabkan karena: a. Wajib Pajak bubar, likuidasi atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator atau kurator tidak dapat ditemukan; b. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta kekayaan lagi;
c. penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat Paksa kepada pengurus, direksi, likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, baik secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan pengumuman atau media massa; d. hak
untuk
melakukan
penagihan
pajak
sudah
kedaluwarsa; atau e. sebab lain sesuai hasil penelitian. Pasal 74 Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi sebagaimana dimaksud setempat
dalam atau
Pasal
73,
penelitian
wajib
dilakukan
administrasi
oleh
penelitian
Dinas
yang
hasilnya dilaporkan dalam Laporan Hasil Penelitian. (1)
Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat(1) harus menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapus. Pasal
75
Piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 hanya dapat diusulkan untuk dihapus setelah adanya Laporan Hasil Penelitian. Pasal 76 (1)
Dinas menyusun daftar usulan penghapusan piutang pajak berdasarkan Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 setiap akhir tahun takwin.
(2)
Daftar
usulan
disampaikan
sebagaimana
kepada
Kepala
dimaksud Dinas
pada
setiap
ayat
awal
(1)
tahun
berikutnya. (3)
Kepala Dinas menyampaikan daftar usulan yang telah diteliti kepada Bupati. Pasal 77
(1)
Formulir yang dipergunakan untuk
pelaksanaan usulan
penghapusan piutang pajak adalah daftar rekapitulasi piutang pajak yang diperkirakan tidak dapat atau tidak mungkin lagi untuk
dilakukan
penelitian
setempat
atau
penelitian
administrasi tentang kedaluwarsa penagihan pajak. (2)
Buku
yang
dipergunakan
untuk
pelaksanaan
usulan
penghapusan piutang pajak adalah buku register usulan penghapusan piutang pajak. (3)
Bentuk formulir dan buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Dinas.
Pasal 78 (1)
Berdasarkan
permohonan
penghapusan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (5) dan ayat (6), dengan persetujuan Bupati, Kepala Dinas menetapkan penghapusan piutang
pajak
yang
besarannya
sampai
dengan
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Penghapusan piutang pajak Wajib Pajak Badan sebagaimana dalam
Pasal
73
ayat
(6)
yang
besarannya
lebih
dari
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan oleh Bupati.
BAB XI TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK Pasal 79 (1)
Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka
melaksanakan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan daerah. (2)
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Kepala Dinas. Pasal 80
(1)
Tujuan Pemeriksaan adalah untuk: a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak; dan b. tujuan
lain
dalam
rangka
melaksanakan
ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. (2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak: a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak; b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi; c. tidak
menyampaikan
atau
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Objek Pajak tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran; d. melakukan
penggabungan,
peleburan,
pemekaran,
likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
e. menyampaikan
Surat
Pemberitahuan
yang
memenuhi
kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib
Pajak
yang
tidak
dipenuhi
sesuai
ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. (3)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka: a. Wajib Pajak mengajukan keberatan; b. pengumpulan
bahan
guna
penyusunan
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto; c. pencocokan data dan/atau alat keterangan; d. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; e. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; f. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau g. memenuhi
permintaan
informasi
dari
negara
mitra
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Pasal 81 (1)
Ruang lingkup Pemeriksaan terdiri dari: a. pemeriksaan lapangan yang dilakukan di tempat Wajib Pajak; b. pemeriksaan kantor yang dilakukan di Dinas.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
dilaksanakan
dengan
Pemeriksaan
Lengkap
atau
Pemeriksaan Sederhana Lapangan. (3)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor atau Pemeriksaan dengan korespondensi.
(4)
Apabila dalam pelaksanaan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan indikasi transaksi yang mengandung unsur transfer pricing dan/atau transaksi khusus
lain
yang
berindikasi
adanya
rekayasa
transaksi
keuangan, maka pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan. Pasal 82 (1)
Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
(2)
Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
(3)
Dalam hal tertentu, Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor. Pasal 83
(1)
Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
(2)
Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
(3)
Apabila dalam Pemeriksaan Lapangan ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam
serta
memerlukan
waktu
yang
lebih
lama,
Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. (4)
Dalam
hal
Pemeriksaan
dilakukan
berdasarkan
kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, jangka waktu pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pasal 84 (1)
Pemeriksaan
untuk
menguji
kepatuhan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 harus dilaksanakan sesuai dengan standar pemeriksaan. (2)
Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan. Pasal 85
(1)
Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya.
(2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang : a. telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama;
b. jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan c. taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan. (3)
Dalam hal diperlukan, Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari Dinas yang ditunjuk oleh Bupati. Pasal 86
Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu : a.
pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
b.
luas
Pemeriksaan
(audit
scope)
ditentukan
berdasarkan
petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan
data,
pengamatan,
permintaan
keterangan,
konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan; c.
temuan Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan;
d.
pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim serta seorang atau lebih anggota tim;
e.
tim Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu
yang
bukan
merupakan
Pemeriksa
Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), baik yang berasal dari Dinas maupun yang berasal dari instansi di luar Dinas yang telah ditunjuk oleh Bupati sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara; f.
apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain;
g.
pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Dinas, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau ditempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa Pajak;
h.
pemeriksaan dilaksanakan pada
jam kerja
diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
dan apabila
i.
pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan;
j.
laporan
Hasil
Pemeriksaan
digunakan
sebagai
dasar
penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak. Pasal 87 Kegiatan
Pemeriksaan
untuk
menguji
kepatuhan
pemenuhan
kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf i dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Kertas Kerja Pemeriksaan wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai : 1) bukti
bahwa
Pemeriksaan
telah
dilaksanakan
sesuai
standar pelaksanaan Pemeriksaan; 2) bahan
dalam
Pemeriksaan
melakukan dengan
Wajib
Pembahasan Pajak
Akhir
mengenai
Hasil temuan
Pemeriksaan; 3)
dasar pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan;
4) sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan 5) referensi untuk Pemeriksaan berikutnya. b. Kertas
Kerja
Pemeriksaan
harus
memberikan
gambaran
mengenai: 1)
prosedur Pemeriksaan yang dilaksanakan;
2)
data, keterangan, dan/atau bukti yang diperoleh;
3)
pengujian yang telah dilakukan; dan
4)
simpulan dan hal-hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan Pemeriksaan. Pasal 88
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan yaitu : a.
laporan Hasil Pemeriksaan disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat kesimpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundangundangan
perpajakan
dan
memuat
pula
informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
pengungkapan
b.
laporan
Hasil
Pemeriksaan
untuk
menguji
kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan antara lain mengenai: 1)
penugasan Pemeriksaan;
2)
identitas Wajib Pajak;
3)
pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
4)
pemenuhan kewajiban perpajakan;
5)
data/informasi yang tersedia;
6)
buku dan dokumen yang dipinjam;
7)
materi yang diperiksa;
8)
uraian hasil Pemeriksaan;
9)
ikhtisar hasil Pemeriksaan;
10)
penghitungan pajak terutang; dan
11)
simpulan dan usul Pemeriksa Pajak. Pasal 89
(1)
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib : a. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan; c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; d. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; e. menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; f. memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang telah ditentukan; g. melakukan memenuhi
pembinaan kewajiban
kepada
Wajib
perpajakannya
Pajak sesuai
dalam dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; h. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak
paling lama 7 (tujuh) hari
sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan i.
merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
(2)
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib : a. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan; b. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; c. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; d. memberitahukan secara tertulis hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; e. melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila Wajib
Pajak
hadir
dalam
batas
waktu
yang
telah
ditentukan; f. memberi petunjuk kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya
agar
pemenuhan
kewajiban
perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; g. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan;dan h. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan. Pasal 90 (1)
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang: a. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen
yang
menjadi
dasar
pembukuan
atau
pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang
dapat
memberi
petunjuk
tentang
penghasilan
yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; d. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa : 1)
menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam dikelola
secara
elektronik
mengakses data yang memerlukan
peralatan
dan/atau keahlian khusus; 2)
memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka
barang
bergerak
dan/atau
tidak
bergerak;dan/atau 3)
menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Dinas.
e. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak; f. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;dan g. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Kepala Dinas. (2)
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang: a. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Dinas dengan menggunakan surat panggilan; b. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen
lain
elektronik, yang
termasuk
data
yang
dikelola
secara
berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak,
atau objek yang terutang pajak; c. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; e. meminjam kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik melalui Wajib Pajak;dan f. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Kepala Dinas.
Pasal 91 (1)
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak : a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan; b. meminta
kepada
pemberitahuan
Pemeriksa secara
Pajak
tertulis
untuk
memberikan
sehubungan
dengan
pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan; c. meminta
kepada
Pemeriksa
Pajak
untuk
memberikan
penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; d. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat
Tugas
apabila
susunan
Tim
Pemeriksa
Pajak
mengalami perubahan; e. menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; f. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan; g. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam hal
terdapat perbedaan
pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan h. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak
melalui pengisian
formulir kuesioner Pemeriksaan. (2)
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak: a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan; b. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; c. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila susunan Pemeriksa Pajak mengalami pergantian; d. menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; e. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan; f. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh
Tim
Pembahas,
dalam
hal
terdapat
perbedaan
pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;dan
g. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak
melalui pengisian
formulir Kuesioner Pemeriksaan.
Pasal 92 (1)
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib : a. memperlihatkan
dan/atau
meminjamkan
buku
atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan
kesempatan
untuk
mengakses
dan/atau
mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa : 1)
menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola
secara
elektronik
memerlukan
peralatan
dan/atau keahlian khusus; 2)
memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3)
menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Dinas.
e. menyampaikan
tanggapan
secara
tertulis
atas
Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;dan f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
(2)
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib: a. memenuhi
panggilan
untuk
datang
menghadiri
Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; b. memperlihatkan
dan/atau
meminjamkan
buku
atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; c. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; d. menyampaikan
tanggapan
secara
tertulis
atas
Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; e. meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik; dan f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan. Pasal 93 Untuk keperluan pelaksanaan pemeriksaan menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak dapat meminjam dokumen yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Pasal 94 (1)
Dalam hal Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilaksanakan dengan Pemeriksaan Lapangan, maka : a. buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan
diperoleh/ditemukan
pada
saat
pelaksanaan
pemeriksaan ditempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman. b. dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan belum diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pemeriksa Pajak membuat surat
permintaan
peminjaman. c. buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara
elektronik
dimaksud
pada
serta huruf
keterangan b,
wajib
lain sebagaimana diserahkan
kepada
Pemeriksa Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan kepada Wajib Pajak.
(2)
Dalam hal Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilaksanakan dengan Pemeriksaan Kantor, maka: a. buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan oleh Pemeriksa Pajak, harus dicantumkan pada surat panggilan. b. buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara
elektronik
serta
keterangan
lain sebagaimana
dimaksud pada huruf a, wajib dipinjamkan pada saat Wajib Pajak memenuhi panggilan dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman. c. dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum dipinjamkan pada saat Wajib Pajak memenuhi b,
panggilan sebagaimana dimaksud pada huruf
Pemeriksa
Pajak
membuat
surat
permintaan
peminjaman. d. buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara
elektronik
dimaksud
pada
serta huruf
keterangan c,
wajib
lain sebagaimana diserahkan
kepada
Pemeriksa Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak surat panggilan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang memuat
permintaan peminjaman diterima oleh Wajib
Pajak. (3)
Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola
secara
elektronik
serta
keterangan
lain
belum
dipenuhi dan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c atau ayat (2) huruf d belum terlampaui, Pemeriksa Pajak dapat menyampaikan peringatan secara tertulis paling banyak 2 (dua) kali. Pasal 95 (1)
Setiap penyerahan buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain dari Wajib
Pajak,
Pemeriksa
Pajak
harus
membuat
bukti
peminjaman. (2)
Dalam hal buku, catatan, dan dokumen yang dipinjam berupa fotocopy dan/atau data yang dikelola secara elektronik, Wajib Pajak yang diperiksa harus membuat surat pernyataan bahwa fotocopy dan/atau data yang dikelola secara elektronik yang dipinjamkan kepada Pemeriksa Pajak adalah sesuai dengan aslinya.
(3)
Dalam
hal
jangka
waktu
1
(satu)
bulan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf c atau ayat (2) huruf d
terlampaui
dan
surat
permintaan
peminjaman
tidak
dipenuhi sebagian atau seluruhnya, Pemeriksa Pajak harus membuat berita acara mengenai hal tersebut. (4)
Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola
secara
elektronik
serta
keterangan
lain
perlu
dilindungi kerahasiannya, Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan agar pelaksanaan Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat Wajib Pajak dengan menyediakan ruangan khusus. Pasal 96 (1)
Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan peminjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) sehingga besarnya penghasilan kena pajak tidak dapat
dihitung,
penghasilan
Pemeriksa
kena
pajak
Pajak
secara
dapat
jabatan
menghitung
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2)
Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh
permintaan
peminjaman
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 94 ayat (3) sehingga besarnya penghasilan kena pajak tidak dapat dihitung, Pemeriksa Pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pasal 97 (1)
Dalam
hal
Wajib
Pajak
tidak
memenuhi
kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan, Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan. (2)
Dalam hal Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemeriksa
Pajak
membuat berita
acara
penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak. (3)
Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan Pemeriksa Pajak dalam rangka Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak membuat
berita
acara
tidak
Pemeriksaan oleh Wajib Pajak.
dipenuhinya
panggilan
(4)
Apabila pada saat dilakukan Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak tidak ada di tempat, maka : a. pemeriksaan tetap dapat dilaksanakan sepanjang ada pihak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk mewakili Wajib Pajak, terbatas untuk hal yang ada dalam kewenangannya, dan selanjutnya pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya; b. guna
keperluan
pengamanan
pemeriksaan,
sebelum
dilakukan penundaan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan; c. apabila pada saat Pemeriksaan Lapangan dilanjutkan setelah dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada huruf
a,
Wajib
Pajak
tetap
tidak
ada
di
tempat,
pemeriksaan tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai Wajib Pajak yang bersangkutan untuk mewakili
Wajib
Pajak
guna
membantu
kelancaran
Pemeriksaan; d. dalam hal pegawai Wajib Pajak yang diminta mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c menolak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan, pegawai Wajib Pajak tersebut harus menandatangani surat pernyataan penolakan membantu kelancaran pemeriksaan; e. dalam
hal
pegawai
Wajib
Pajak
menolak
untuk
menandatangani surat pernyataan penolakan membantu kelancaran pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf d, Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan membantu kelancaran pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak. (5)
Surat
pernyataan
penolakan
penolakan
Pemeriksaan,
panggilan
Pemeriksaan,
membantu
kelancaran
pemeriksaan,
berita surat
acara
berita
tidak
dipenuhinya
pernyataan
Pemeriksaan,
dan
acara
penolakan
berita
acara
penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) huruf d dan huruf e, dapat dijadikan dasar untuk penetapan pajak secara jabatan atau diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Pasal 98 Pemeriksa Pajak berwenang melakukan penyegelan dalam hal Wajib Pajak : a.
tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
b.
tidak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan yang antara lain berupa tidak memberikan kesempatan untuk mengakses data yang dikelola secara elektronik dan/atau membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak. Pasal 99
(1)
Untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci, Pemeriksa Pajak melalui Kepala Dinas dapat memanggil Wajib Pajak.
(2)
Penjelasan Wajib Pajak yang diberikan kepada Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam berita acara pemberian keterangan Wajib Pajak. Pasal 100
(1)
Pemeriksa keterangan
Pajak
melalui
dan/atau
Kepala
bukti
Dinas, dapat meminta
yang
berkaitan
dengan
Pemeriksaan yang sedang dilakukan terhadap Wajib Pajak kepada pihak ketiga secara tertulis. (2)
Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keterangan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permintaan keterangan atau bukti atau surat izin dari pihak yang berwenang.
(3)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi oleh pihak ketiga, Pemeriksa Pajak segera menyampaikan Surat Peringatan pertama.
(4)
Apabila Surat Peringatan pertama tidak dipenuhi oleh pihak ketiga,
Pemeriksa
Pajak
segera
menyampaikan
Surat
Peringatan kedua. (5)
Apabila Surat Peringatan kedua tidak juga dipenuhi oleh pihak ketiga, Pemeriksa Pajak segera membuat berita acara tidak dipenuhinya permintaan keterangan atau bukti dari pihak ketiga.
Pasal 101 (1)
Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir.
(2)
Pemberitahuan
hasil
Pemeriksaan
kepada
Wajib
Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila Pemeriksaan
dilanjutkan
dengan
Pemeriksaan
Bukti
Permulaan. (3)
Surat
Pemberitahuan
Hasil
Pemeriksaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beserta lampirannya disampaikan oleh Pemeriksa Pajak melalui Kurir, Faksimili, Pos, atau jasa pengiriman lainnya. (4)
Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan berhak hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan paling lama : a. 3 (tiga) hari kerja sejak Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak untuk Pemeriksaan Kantor; dan b. 7 (tujuh) hari kerja sejak Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak untuk Pemeriksaan Lapangan. Pasal 102
(1)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4) Wajib Pajak menyampaikan surat tanggapan hasil Pemeriksaan yang berisi tentang persetujuan atas seluruh hasil Pemeriksaan dan hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak menggunakan tanggapan tersebut sebagai dasar untuk membuat risalah pembahasan dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang ditandatangani oleh Tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
(2)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4) Wajib Pajak menyampaikan surat tanggapan hasil Pemeriksaan yang berisi tentang persetujuan atas seluruh
hasil
Pembahasan
Pemeriksaan Akhir
Hasil
namun
tidak
Pemeriksaan,
hadir
dalam
Pemeriksa
Pajak
menggunakan surat tanggapan tersebut sebagai dasar untuk membuat
risalah
pembahasan
dan
berita
acara
ketidakhadiran Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak.
(3)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4) Wajib Pajak menyampaikan surat tanggapan hasil Pemeriksaan yang berisi tentang ketidaksetujuan atas sebagian atau seluruh hasil Pemeriksaan dan hadir dalam Pembahasan
Akhir
Hasil
Pemeriksaan,
Pemeriksa
Pajak
menggunakan surat tanggapan tersebut sebagai dasar untuk melakukan pembahasan akhir denganWajib Pajak dan hasil pembahasannya dituangkan dalam risalah pembahasan dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang ditandatangani oleh Tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
(4)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4) Wajib Pajak menyampaikan surat tanggapan hasil Pemeriksaan yang berisi tentang ketidaksetujuan atas sebagian atau seluruh hasil Pemeriksaan namun tidak hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak menggunakan surat tanggapan tersebut sebagai dasar untuk membuat
risalah
pembahasan
dan
berita
acara
ketidakhadiran Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak.
(5)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4) Wajib Pajak tidak menyampaikan surat tanggapan Pembahasan
hasil
Pemeriksaan
Akhir
Hasil
dan
tidak
Pemeriksaan,
hadir
Pemeriksa
dalam Pajak
membuat berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak.
(6)
Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Pemeriksa Pajak telah membuat dan menandatangani berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (5), Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dianggap telah dilaksanakan.
(7)
Dalam hal Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3), Pemeriksa Pajak membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(8)
Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan agar perbedaan tersebut dibahas lebih dahulu oleh Tim Pembahas.
(9)
Hasil pembahasan oleh Tim Pembahas sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dituangkan dalam risalah Tim Pembahas yang merupakan bagian dari Kertas Kerja Pemeriksaan.
(10) Jangka Waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor harus diselesaikan paling lama 3 (tiga) minggu.
(11) Jangka Waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan harus diselesaikan paling lama 1 (satu) bulan. Pasal 103 (1)
Risalah pembahasan dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Hasil Pemeriksaan.
(2)
Pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak dihitung sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali: a. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir
tetapi
menyampaikan
tanggapan
tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) atau ayat (4), pajak
yang
terutang
dihitung
berdasarkan hasil
Pemeriksaan yang telah diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan memperhatikan tanggapan tertulis dari Wajib Pajak; b. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir
dan
tidak
menyampaikan
tanggapan
tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (5), pajak yang terutang dihitung berdasarkan hasil Pemeriksaan yang telah diberitahukan kepada Wajib Pajak. Pasal 104 (1)
Hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan dilaksanakan tanpa: a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, dapat dibatalkan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak oleh Bupati.
(2)
Dalam hal dilakukan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan
Pemeriksaan.
dan/atau
Pembahasan
Akhir
Hasil
(3)
Dalam
hal
pembatalan
dilakukan
karena
Pemeriksaan
dilaksanakan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan, berdasarkan surat keputusan pembatalan hasil Pemeriksaan,
Pemeriksa
Pajak
melanjutkan
Pemeriksaan
dengan memberitahukan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan melakukan pembahasan akhir dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dan Pasal 102. Pasal 105 (1)
Meskipun
telah dilakukan Pemeriksaan dan Bupati belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri
tentang
Pemberitahuan
yang
ketidakbenaran telah
pengisian
disampaikan
sesuai
Surat dengan
keadaan yang sebenarnya dan Pemeriksaan tetap dilanjutkan. (2)
Pengungkapan
dalam
laporan
tersendiri
tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan sebelum Pemeriksa Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. (3)
Pengungkapan
dalam
laporan
tersendiri
tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Pemeriksa Pajak diperlakukan sebagai tambahan informasi atau data dan menjadi bahan pertimbangan bagi Pemeriksa Pajak sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak. Pasal 106 (1)
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila: a. pada saat pelaksanaan Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan; b. pada
saat
Wajib
Pajak
Badan
diperiksa
memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5); atau c. Wajib Pajak menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, tidak memenuhi
panggilan
membantu
Pemeriksaan
kelancaran
Kantor,
Pemeriksaan
menolak
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97. (2)
Dalam
hal
Pemeriksaan
yang
dilakukan
merupakan
Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2), usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus memperhatikan
jangka
waktu
penyelesaian
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
permohonan
(3)
Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, pelaksanaan Pemeriksaan dihentikan dengan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan sumir, kecuali usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
penyelesaian
Pemeriksaan
ditangguhkan
sampai
dengan: a. pemeriksaan bukti permulaan diselesaikan dan tidak dilanjutkan dengan penyidikan; b. penyidikan dihentikan dan tidak dilakukan penuntutan; c. diterimanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Wajib Pajak bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Pasal 107 (1)
Pemeriksaan
yang
ditangguhkan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (3) dilanjutkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apabila: a. pemeriksaan bukti permulaan tidak dilanjutkan dengan penyidikan; b. penyidikan dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan c. diterima
putusan
pengadilan
yang
telah
mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyatakan Wajib Pajak bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. (2)
Dalam hal Pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 108
(1)
Pemeriksaan Ulang
hanya dapat dilakukan berdasarkan
instruksi atau persetujuan Bupati. (2)
lnstruksi
atau persetujuan Bupati
untuk
melaksanakan
Pemeriksaan Ulang dapat diberikan : a. apabila terdapat data baru yang semula belum terungkap; atau b. berdasarkan pertimbangan Kepala Dinas. (3)
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan harus didahului dengan Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal sebelumnya terhadap kewajiban perpajakan yang sama telah diterbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan.
Pasal 109 (1)
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan
materi
yang
berkaitan
dengan
tujuan
Pemeriksaan. (2)
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan
dilakukan dengan kriteria antara lain sebagai berikut: a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; d. wajib Pajak mengajukan keberatan; e. pengumpulan
bahan
guna
penyusunan
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto; f. pencocokan data dan/atau alat keterangan; g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; h. penentuan
satu
atau
lebih
tempat
terutang
Pajak
Pertambahan Nilai; i.
pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j.
penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
k. memenuhi
permintaan
informasi
dari
negara
mitra
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Pasal 110 (1)
Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
(2)
Jangka
waktu
Pemeriksaan
Kantor
terkait
dengan
Pemeriksaan untuk tujuan lain adalah paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 14 (empat belas) hari yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. (3)
Jangka
waktu
Pemeriksaan
Lapangan
terkait
dengan
Pemeriksaan untuk tujuan lain adalah paling lama 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
(4)
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan
permohonan
Wajib
Pajak,
jangka
waktu
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3)
harus
memperhatikan
jangka
waktu
penyelesaian
permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak. (5)
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf c dilakukan berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak, jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pasal 111
(1)
Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
(2)
Standar
Pemeriksaan
untuk
tujuan
lain
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum, standar pelaksanaan
Pemeriksaan,
dan
standar
pelaporan
hasil
Pemeriksaan. Pasal 112 Pemeriksa Pajak yang melaksanakan Pemeriksaan untuk tujuan lain juga harus memenuhi standar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 113 Pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilakukan sesuai dengan standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu: a.
pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan dan mendapat pengawasan yang seksama;
b.
luas Pemeriksaan disesuaikan dengan kriteria dilakukannya Pemeriksaan untuk tujuan lain;
c.
pemeriksaan dilakukan oleh tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim;
d.
pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Dinas, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak;
e.
pemeriksaan dilaksanakan pada
jam kerja
diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
dan apabila
f.
pelakasanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan; dan
g.
laporan Hasil Pemeriksaan untuk tujuan lain digunakan sebagai dasar penerbitan surat keputusan atau sebagai bahan masukan untuk pembuatan keputusan. Pasal 114
Kegiatan Pemeriksaan untuk tujuan lain harus didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf i dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a.
kertas kerja pemeriksaan wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai: 1)
bukti
bahwa
Pemeriksa
Pajak
telah
melaksanakan
Pemeriksaan berdasarkan standar Pemeriksaan; dan 2) b.
dasar pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan;
kertas
kerja
pemeriksaan
harus
memberikan
gambaran
mengenai: 1)
data, keterangan, dan/ atau bukti yang diperoleh;
2)
prosedur Pemeriksaan yang dilaksanakan; dan
3)
simpulan dan hal-hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan Pemeriksaan. Pasal 115
Kegiatan pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan, yaitu: a.
laporan hasil pemeriksaan disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait;
b.
laporan hasil pemeriksaan untuk tujuan lain antara lain mengenai: 1)
penugasan pemeriksaan;
2)
identitas wajib pajak;
3)
dasar (tujuan) pemeriksaan;
4)
buku dan dokumen yang dipinjam;
5)
materi yang diperiksa;
6)
uraian hasil pemeriksaan;
7)
simpulan dan usul pemeriksa.
Pasal 116 (1)
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib: a. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan; b. memberitahukan secara tertulis tentang dilakukannya Pemeriksaan untuk tujuan lain kepada Wajib Pajak; c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; d. menunjukkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; e. membuat
Kertas
Kerja
Pemeriksaan
sebagai
dasar
penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan; f. mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan/atau g. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan. (2)
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib: a. menyampaikan surat panggilan tentang
dilakukannya
Pemeriksaan untuk tujuan lain kepada Wajib Pajak; b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan; c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; d. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak; e. membuat
Kertas
Kerja
Pemeriksaan
sebagai
dasar
penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan; f. mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan/atau g. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
Pasal 117 (1)
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan
jenis
Pemeriksaan
Lapangan,
Pemeriksa
Pajak
berwenang: a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain
yang
berhubungan
dengan
tujuan
Pemeriksaan; b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen
yang
pencatatan,
menjadi
dokumen
dasar
lain,
pembukuan
dan/atau
barang
atau yang
berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan; d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau e. meminta keterangan dan/atau data yang diperIukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Kepala Dinas. (2)
Dalam hal pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan
jenis
Pemeriksaan
Kantor,
Pemeriksa
Pajak
berwenang: a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen
lain
termasuk
data
yang
dikelola
secara
elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak; b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau c. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Kepala Dinas.
Pasal 118 (1)
Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak: a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan; b. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan pemberitahuan
secara
tertulis
sehubungan
dengan
pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan; c. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; d. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila terdapat
perubahan susunan Tim
Pemeriksa Pajak; dan/atau e. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak
melalui pengisian
formulir Kuesioner Pemeriksaan. (2)
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak: a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperIihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan; b. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; c. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila terdapat
perubahan Susunan Tim
Pemeriksa Pajak; dan/atau d. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak
melalui pengisian
formulir Kuesioner Pemeriksaan.
Pasal 119 (1)
Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib : a. memperlihatkan dan meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
b. memberi
kesempatan
untuk
mengakses
dan/atau
mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan
dan/atau
barang,
atau
pencatatan,
yang
berkaitan
dokumen dengan
lain, tujuan
Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau d. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan
data
dan/atau
keterangan
lain
yang
diperlukan. (2)
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berkewajiban: a. memperlihatkan dan meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan/atau b. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan
data
dan/atau
keterangan
lain
yang
diperlukan. Pasal 120 (1)
Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi dan keterangan lain yang dipinjam harus disesuaikan dengan tujuan
dan
kriteria
Pemeriksaan
untuk
tujuan
lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109. (2)
Peminjaman
buku,
catatan,
dan
dokumen
serta
data,
informasi, dan keterangan lain harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dan Pasal 94. Pasal 121 (1)
Apabila dalam Pemeriksaan untuk tujuan lain Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119,
Wajib
Pajak
harus
menandatangani
surat
pernyataan penolakan Pemeriksaan. (2)
Dalam hal terjadi penolakan untuk menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemeriksa
Pajak
membuat berita
acara
penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak.
Pasal 122 (1)
Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, permohonan Wajib Pajak tidak dapat diproses atau dipertimbangkan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka: a. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; b. penentuan
satu
atau
lebih
tempat
terutang
Pajak
Pertambahan Nilai;dan/atau c. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian; dan d. sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan. (2)
Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, Wajib Pajak akan diberi Nomor Pokok Wajib Pajak dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka: a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; dan/atau b. pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
(3)
Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, permohonan Wajib Pajak tidak dikabulkan dalam hal pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka: a. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; dan/atau b. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Wajib Pajak Kena Pajak. Pasal 123
(1)
Dalam
pelaksanaan
pemeriksaan
untuk
tujuan
lain,
Pemeriksa Pajak melalui Kepala Dinas juga dapat memanggil Wajib Pajak untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci atau meminta keterangan dan/atau bukti yang berkaitan dengan
Pemeriksaan
kepada
pihak
ketiga
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor
6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah ketiga kali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
(2)
Permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atau kepada pihak ketiga
sebagaimana
dilaksanakan
sesuai
dimaksud dengan
pada
ayat
ketentuan
dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88.
(1)
harus
sebagaimana
BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 124 Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Lombok Timur. Ditetapkan di Selong pada tanggal 9 Januari 20132 Agustus 2012 BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY Diundangkan di Selong pada tanggal 10 Januari 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR, Ttd USMAN MUHSAN BERITA DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 1
LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
BENTUK, ISI FORMULIR, DAN PETUNJUK PENGISIAN SPOP DAN LSPOP
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET
BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY
LAMPIRAN II PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
STRUKTUR NOMOR OBJEK PAJAK (NOP) Terdiri dari 18 (delapan belas) digit. Digit ke-1 dan ke-2
: kode propinsi;
Digit ke-3 dan ke-4
: kode kabupaten;
Digit ke-5 sampai dengan digit ke-7
: kode kecamatan;
Digit ke-8 sampai dengan digit ke-10
: kode kelurahan/ desa;
Digit ke-11 sampai dengan digit ke-13
: kode nomor urut blok;
Digit ke-14 sampai dengan digit ke-17
: kode urut objek pajak; dan
Digit ke-18
: tanda khusus;
BAGAN STRUKTUR NOP Kode Wilayah Administrasi Pemerintah
5
2
Provinsi
0
3
Kabupaten
0
7
0
Kecamatan
0
0
2
Desa/Kelurahan
0
1
0
0
Nomor Urut Blok
0
8
1
Nomor Urut Objek
0 Tanda Khusus
Contoh penulisan :
Kode propinsi
: (52)
– Nusa Tenggara Barat
Kode kabupaten
: (03)
– Lombok Timur
Kode kecamatan
: (070)
– Selong
Kode kelurahan/ desa
: (002)
_ Pancor
Kode nomor urut blok
: (010)
– Urutan Blok
Kode urut objek
: (0081) _ Urutan Objek Pajak
Tanda khusus
: (0)
–
Objek Pajak yang
sudah
dilakukan
pendataan
SISMIOP
BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY
LAMPIRAN III PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
CONTOH SURAT PERMOHONAN ANGSURAN PEMBAYARAN PBB Lampiran Hal
: 1 (satu) set : Permohonan Angsuran Pembayaran PBB
Yth. Bupati Lombok Timur Cq. Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Asset Kabupaten Lombok Timur. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : .................................................................................... NPWP : .................................................................................... Alamat : .................................................................................... .................................................................................... Desa/Kelurahan*) : .................................................................................... Kecamatan : .................................................................................... Kabupaten/Kota*) : .................................................................................... Nomor Telepon : .................................................................................... mengajukan permohonan angsuran pembayaran PBB sebesar .................... (.........kali angsuran) dari PBB yang terutang, atas objek pajak: NOP Alamat
: :
Desa/Kelurahan*) Kecamatan Kabupaten/Kota*)
: : :
.................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... ....................................................................................
Alasan mengajukan permohonan: 1. ................................................................................... 2. ................................................................................... 3. st. Bersama ini dilampirkan: 1. fotokopi SPPT/SKP/PBB*) Tahun Pajak ...................; 2. Surat Kuasa Khusus/surat kuasa*) dalam hal surat permohonan tidak ditandatangani Wajib Pajak; 3. dokumen pendukung: a. .................................................................................... b. .................................................................................... c. dst. Demikian disampaikan untuk dapat dipertimbangkan. ....................,.....................20.......... .. Wajib Pajak/Kuasa Wajib Pajak*)
(...................................................) Keterangan : *) coret yang tidak perlu BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY
LAMPIRAN IV PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
CONTOH SURAT PERMOHONAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PBB Lampiran Hal
: 1 (satu) set : Permohonan Penundaan Pembayaran PBB
Yth. Bupati Lombok Timur Cq. Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Asset Kabupaten Lombok Timur. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : .................................................................................... NPWP : .................................................................................... Alamat : .................................................................................... .................................................................................... Desa/Kelurahan*) : .................................................................................... Kecamatan : .................................................................................... Kabupaten/Kota*) : .................................................................................... Nomor Telepon : .................................................................................... mengajukan permohonan Penundaan pembayaran PBB yang terutang, atas objek pajak: NOP Alamat
: :
Desa/Kelurahan*) Kecamatan Kabupaten/Kota*)
: : :
.................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... .................................................................................... ....................................................................................
Alasan mengajukan permohonan: 1. ................................................................................... 2. ................................................................................... 3. st. Demikian disampaikan untuk dapat dipertimbangkan.
....................,.....................20.......... .. Wajib Pajak/Kuasa Wajib Pajak*)
(...................................................) Keterangan : *) coret yang tidak perlu
BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY
LAMPIRAN V PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
FORMAT KEPUTUSAN KEPALA DINAS TENTANG PENGANGSURAN PEMBAYARAN PBB (KOP DINAS) KEPUTUSAN KEPALA DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR : ...........................(1) TENTANG PENGANGSURAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KEPALA DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET KABUPATEN LOMBOK TIMUR, Menimbang
:
a. bahwa membaca surat permohonan pengangsuran pembayaran Utang PBB yang diajukan atas nama Wajib Pajak/kuasa dari Wajib Pajak *), ......................(2) nomor .............................. (3) tanggal ................... (4) atas SPPT/SKP PBB/STP PBB*) nomor .................... (5) Tahun Pajak .......................... (6) besarnya Utang PBB sebesar Rp..................... (7) (............... rupiah (8) (yang diterima KPP Pratama ................................... (9) berdasarkan tanda terima nomor ................................. (10) tanggal ................................ (11); b. bahwa sesuai surat permohonan pengangsuran pembayaran Utang PBB yang diajukan atas nama Wajib Pajak/kuasa dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, telah dilakukan penelitian sebagaimana dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian Permohonan Pengangsuran Pembayaran Utang PBB nomor .................... (12) tanggal ..............(13); c. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Dinas tentang Pengangsuran Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Lombok Timur; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; 7. Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
KEPUTUSAN KEPALA DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET KABUPATEN LOMBOK TIMUR TENTANG PENGANGSURAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
KESATU
:
KEDUA
:
KETIGA
:
Menerima seluruhnya/Menerima sebagian/Menolak*) permohonan pengangsuran pembayaran Utang PBB yang tercantum dalam SPPT/SKP PBB/STP PBB*) nomor .................................. (14) Tahun Pajak .............................. (15) : a. Wajib Pajak nama : ............................................................... (16) NPWP : ................................................................(17) alamat : ................................................................(18) b. Objek Pajak NOP : ............................................................... (19) Utang PBB : ............................................................... (20) Jatuh Tempo : ............................................................... (21) Alamat : ............................................................... (22) Desa/Kelurahan*) : ............................................................... (23) Kecamatan : ............................................................... (24) Kabupaten/Kota*) : ............................................................... (25) Sesuai dengan diktum KESATU, kepada Wajib Pajak tersebut ditetapkan untuk mengangsur pembayaran Utang PBB sebesar Rp ......................... (26) sebanyak ........... (27) kali. Ketentuan penghitungan besarnya angsuran sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA adalah sebagai berikut : Angsuran ke Besarnya Jatuh Tempo Denda Angsuran Pembayaran Administrasi 1 .......................(28 )
KEEMPAT KELIMA
2 ....................(30 )
3 ....................(31 )
4 ......................(32 )
Denda Administrasi sebagaimana tercantum pada kolom 4 ditagih dengan menggunakan STP PBB. : Pembayaran angsuran sebagaimana dimaksud pada diktum KETIGA dilakukan di ................ (32) : Keputusan Kepala Dinas ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di ................. (33) pada tanggal .................. (34) a.n. BUPATI LOMBOK TIMUR Kepala Dinas, ...................................... (35)
Keterangan: *) Coret yang tidak perlu
Petunjuk Pengisian Lampiran V Angka 1 : diisi nomor keputusan Pengangsuran Pembayaran PBB; Angka 2 : diisi nama Wajib Pajak atau kuasa Wajib pajak; Angka 3 : diisi nomor surat permohonan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 4 : diisi tanggal surat permohonan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 5 : diisi Nomor Objek Pajak (NOP) atau nomor SKP PBB atau nomor STP PBB; Angka 6 : diisi tahun SPPT atau SKP PBB atau STP PBB; Angka 7 : diisi besarnya utang PBB yang tercantum dalam SPPT atau SKP PBB atau STP PBB; Angka 8 : diisi besarnya utang PBB yang tercantum dalam SPPT atau SKP PBB atau STP PBB dengan huruf; Angka 9 : diisi nama KPP pratama yang menerima permohonan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 10 : diisi nomor tanda terima permohonan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 11 : diisi tanggal tanda terima permohonan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 12 : diisi nomor Laporan Hasil Penelitian Pengangsuran Pembayaran PBB; Angka 13 : diisi tanggal Laporan Hasil Penelitian Pengangsuran Pembayaran PBB; Angka 14 : diisi nomor SPPT atau SKP PBB atau STP PBB; Angka 15 : diisi tahun penerbitan SPPT atau SKP PBB atau STP PBB; Angka 16 : diisi nama Wajib Pajak; Angka 17 : diisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); Angka 18 : diisi alamat Wajib Pajak; Angka 19 : diisi Nomor Objek Pajak (NOP); Angka 20 : diisi utang PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB ditulis dengan angka; Angka 21 : diisi tanggal jatuh tempo SPPT, SKP PBB, atau STP PBB; Angka 22 : diisi alamat objek pajak; Angka 23 : diisi nama Desa/Kelurahan letak objek pajak; Angka 24 : diisi nama Kecamatan letak objek pajak; Angka 25 : diisi nama Kabupaten letak objek pajak; Angka 26 : diisi dengan jumlah utang PBB yang diangsur; Angka 27 : diisi dengan jumlah masa angsuran; Angka 28 : diisi nomor angsuran; Angka 29 : diisi dengan besarnya angsuran; Angka 30 : diisi dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pengangsuran; Angka 31 : diisi dengan besarnya denda administrasi sesuai dengan ketentuan Pasal 107 ayat (2) UU No 28 Tahun 2009 tentang PDRD; Angka 32 : diisi dengan bank/pos persepsi tempat pembayaran angsuran; Angka 33 : diisi kota tempat diterbitkannya surat keputusan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 34 : diisi tanggal diterbitkannya keputusan pengangsuran pembayaran PBB; Angka 35 : diisi nama pejabat yang menerbitkan keputusan pengangsuran pembayaran PBB tanpa gelar.
BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY
LAMPIRAN VI PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
FORMAT KEPUTUSAN KEPALA DINAS TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN PBB (KOP DINAS) KEPUTUSAN KEPALA DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR : ...........................(1) TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN KEPALA DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET KABUPATEN LOMBOK TIMUR, Menimbang
: a. bahwa membaca surat permohonan penundaan pembayaran Utang PBB yang diajukan atas nama Wajib Pajak/kuasa dari Wajib Pajak*) .................. (2) nomor ....................... (3) tanggal ............ (4) atas SPPT/SKP PBB/STP PBB*) nomor ..................... (5) Tahun Pajak ..................... (6) besarnya Utang PBB sebesar Rp .................. (7) (............................... rupiah (8)) yang diterima KPP Pratama ............................. (9) berdasarkan tanda terima nomor ......................................... (10) tanggal ...................... (11); b. bahwa sesuai surat permohonan penundaan pembayaran Utang PBB yang diajukan atas nama Wajib Pajak/kuasa dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, telah dilakukan penelitian sebagaimana dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian Permohonan Penundaan Pembayaran Utang PBB nomor ...................... (12) tanggal ................... (13); c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Dinas tentang Persetujuan Penundaan Pembayaran Utang Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Lombok Timur; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; 7. Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
MEMUTUSKAN : Menentukan :
KEPUTUSAN KEPUTUSAN KEPALA DINAS PENDAPATAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET KABUPATEN LOMBOK TIMUR TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
KESATU
: Menerima seluruhnya/Menerima sebagian/Menolak*) permohonan penundaan pembayaran Utang PBB yang tercantum dalam SPPT/SKP PBB/STP PBB*) nomor ........................... (14) Tahun Pajak ....................... (15) : a. Wajib Pajak nama : ............................................................... (16) NPWP : ............................................................... (17) alamat : ............................................................... (18) b. Objek Pajak NOP : ............................................................... (19) Utang PBB : ............................................................... (20) Jatuh Tempo : ............................................................... (21) Alamat : ............................................................... (22) Desa/Kelurahan*) : ............................................................... (23) Kecamatan : ............................................................... (24) Kabupaten/Kota*) : ............................................................... (25)
KEDUA
: Sesuai dengan diktum KESATU, kepada Wajib Pajak tersebut ditetapkan untuk menunda pembayaran Utang PBB sebesar Rp ............................. (26) dengan ketentuan sebagai berikut : 1. ditunda sampai dengan tanggal ............................. (27); dan 2. dikenai sanksi administrasi berupa denda administrasi sebesar Rp. .......................... (28) yang ditagih dengan STP PBB. : Pelunasan Utang PBB yang ditunda pembayarannya sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA dilakukan di ........................................ (29) : Keputusan Kepala Dinas ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
KETIGA KEEMPAT
Ditetapkan di ................. (30) pada tanggal .................. (31) a.n. BUPATI LOMBOK TIMUR Kepala Dinas, ...................................... (32) Keterangan: *) Coret yang tidak perlu
Petunjuk Pengisian Lampiran VI Angka 1 : diisi nomor Surat Keputusan Penundaan Pembayaran PBB; Angka 2 : diisi nama Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak; Angka 3 : diisi nomor surat permohonan penundaan pembayaran PBB; Angka 4 : diisi tanggal surat permohonan penundaan pembayaran PBB; Angka 5 : diisi Nomor Objek Pajak (NOP), nomor SKP PBB, atau nomor STP PBB; Angka 6 : diisi tahun SPPT, SKP PBB, atau STP PBB; Angka 7 : diisi besarnya utang PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB; Angka 8 : diisi besarnya utang PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB dengan huruf; Angka 9 : diisi nama KPP Pratama yang menerima permohonan penundaan pembayaran PBB; Angka 10 : diisi nomor tanda terima permohonan penundaan pembayaran PBB; Angka 11 : diisi tanggal tanda terima permohonan penundaan pembayaran PBB; Angka 12 : diisi nomor Laporan Hasil Penelitian Penundaan Pembayaran PBB; Angka 13 : diisi tanggal Laporan Hasil Penelitian Penundaan Pembayaran PBB; Angka 14 : diisi nomor SPPT, SKP PBB, atau STP PBB; Angka 15 : diisi tahun penerbitan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB; Angka 16 : diisi nama Wajib Pajak; Angka 17 : diisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); Angka 18 : diisi alamat Wajib Pajak; Angka 19 : diisi Nomor Objek Pajak (NOP); Angka 20 : diisi utang PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB ditulis dengan angka; Angka 21 : diisi tanggal jatuh tempo SPPT, SKP PBB, atau STP PBB; Angka 22 : diisi alamat objek pajak; Angka 23 : diisi nama Desa/Kelurahan letak objek pajak; Angka 24 : diisi nama Kecamatan letak objek pajak; Angka 25 : diisi nama Kabupaten/Kota letak objek pajak; Angka 26 : diisi dengan jumlah utang PBB yang ditunda; Angka 27 : diisi dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran PBB; Angka 28 : diisi dengan besarnya denda administrasi sesuai dengan ketentuan Pasal 62 ayat (1) Perbup Lotim No 1 Tahun 2013; Angka 29 : diisi dengan bank/pos persepsi atau bank/pos tempat pembayaran yang digunakan untuk pembayaran penundaan Utang PBB; Angka 30 : diisi kota tempat diterbitkannya surat keputusan penundaan pembayaran PBB; Angka 31 : diisi tanggal diterbitkannya surat keputusan penundaan pembayaran PBB; Angka 32 : diisi nama pejabat yang menerbitkan surat keputusan penundaan pembayaran PBB tanpa gelar.
BUPATI LOMBOK TIMUR, Ttd M. SUKIMAN AZMY