ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
BUNUH DIRI: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB, CARA YANG DITEMPUH DAN RESPONS KOMUNITAS Rahesli Humsona Dosen Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126
Abstract This research aimed to find out the some factor that may cause of why people committed suicide, and wanted to know community mamber’s responses upon that kind of deviant behavior. Deskriptive qualitative research method has been employed for doing the research. Research result indicated that heavy burden of lives as well as lonw social over control upon individual may caused suicide. Although the mamber of community regarded that suicide was diviant and negative, but that they treated the victims as best as possible. Key Words: Suicide, Social Integration, Burden of Lives, Response of Community Members.
Sebenarnya hanya ada satu masalah falsafi yang benar-benar serius, yakni bunuh diri. Menilai bahwa hidup ini layak atau tidak layak dijalani: itulah jawaban pertanyaan filsafat. Selebihnya, apakah dunia memiliki tiga dimensi, apakah jiwa memiliki sembilan atau dua belas kategori, merupakan kelanjutan saja (Camus (1999:3). Bunuh diri mampu menggeser perdebatan tentang tema kematian itu sendiri, karena fenomena bunuh diri itu telah meluas di hampir seluruh belahan dunia, baik di negara
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
yang maju teknologinya maupun di negaranegara sedang berkembang, dari negaranegara yang kaya sampai miskin (Darmaningtyas, 2002:72). Bunuh diri merupakan masa-lah yang penting dan menarik, karena sesungguhnya tanpa tindakan itu, seperti halnya makhluk hidup yang lain, setiap manusia suatu saat niscaya akan mati. Dalam usia berapapun dan dengan alasan apapun, datangnya kematian tetap pantas adanya. Dengan demikian, kematian pasti datang, kendati tidak dapat
59
Jurnal Sosiologi D I L E M A diduga kapan datangnya. Dan dengan demikian pula orang tidak dapat benar-benar mempersiapkan untuk menghadapinya. Dari tinjauan sosiologis, dengan beberapa perkecualian,bunuh diri pada umumnya dianggap sebagai perilaku menyimpang (Clinard,1963: 403), yang dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. Dari tinjauan agama, semua agama formal di Indonesia melarang tindakan bunuh diri, karena dianggap mengingkari kodrat yang telah diten-tukan Tuhan. Oleh karena itu, dalam banyak masyarakat pelaku bunuh diri tidak mendapatkan perlakuan layak-nya orang yang mati oleh sebab lain. Selain itu, dianggap tabu membica-rakan orang yang akan dikubur sebagai korban bunuh diri. Sebisa mungkin kematian sebagai akibat bunuh diri ditutupi, atau dikatakan mati akibat kecelakaan. Sementara dalam pandangan psikologi analitik, tindakan bunuh diri sebagai kebencian terhadap seseorang yang membalik menjadi dorongan membunuh dirinya sendiri. Alder (1964) menekankan faktor sosio kultural dan mengurangi pentingnya faktor libido, bukan destruktif diri tetapi penyelesaian masalah yang kurang matang. Bunuh diri bisa dilakukan oleh siapa saja. Laki-laki maupun perempuan, orang yang sudah sangat tua, orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Menurut WHO, pada tahun 2000 terdapat satu milyar orang yang tewas karena bunuh diri. Selama 45 tahun angka bunuh diri di seluruh dunia meningkat 60 persen. Meski secara umum angka bunuh diri lebih tinggi dilakukan oleh laki-laki dewasa, angka bunuh diri remaja juga mengkhawatirkan. Di Amerika Serikat pada tahun 2001 terdapat 30.622 orang yang bunuh diri. Khusus untuk remaja, angkanya menurun perlahan-lahan sejak tahun 1992, namun angkanya masih dinilai terlalu tinggi, yakni 3.971 remaja berusia 15-24 tahun pada tahun 2001, di mana 86 persen adalah laki-laki dan 60
sisanya dilakukan oleh remaja perempuan. Sebanyak 54 persen dilakukan dengan menggunakan senjata api. Fenomena bunuh diri juga da-pat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun oleh adanya anggapan bahwa bunuh diri sebagai tindakan yang buruk sehingga anggota keluarga atau masyarakat menutupi sebab kematiannya, data yang diketahui biasanya lebih kecil dari fakta yang sebenarnya. Dari data yang dimuat harian Kompas (17 Juli 2004), selama semester pertama tahun 2004 jumlah kasus bunuh diri di Indonesia sudah mencapai 92, hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang tercatat 112 kasus. Jumlah bunuh diri di Indonesia memang jauh lebih kecil daripada di AS, namun apabila jumlah pelakunya terus meningkat dan belakangan ini banyak warga miskin yang bunuh diri, tentu ada yang salah dalam masyarakat. Penelitian ini ingin melihat :1). Bagaimana karakteristik pelaku bu-nuh diri (menyangkut jenis kelamin, usia dan latar belakang status sosial ekonominya) ? 2). Faktor-faktor apa yang menyebabkan korban memilih untuk melakukan bunuh diri ? 3). Bagaimana cara yang ditempuh ? 4) Bagaimana respons komunitas terha-dap tindakan tersebut ? Bunuh diri merupakan tindakan merusak diri sendiri yang berakibat pada kematian. Clinard (1963:403) menyebutkan, ”generally, suicide refers to the destruction of one’s self, self killing, or, in a legalistic sense, selfmurder.” Jadi, bunuh diri merupakan tindakan menghilangkan nyawa oleh diri sendiri. Istilah bunuh diri memiliki beberapa pengertian, antara lain: (1). Bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri dengan menggunakan zat (racun atau obat) yang mengakibatkan kematian (commited suicide), (2). Percobaan bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri atau menggunakan zat
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
yang tidak mengakibatkan kematian (attempted suicide), (3). Tindakan bunuh diri adalah tindakan yang meliputi percobaan bunuh diri dan bunuh diri, (4). Pikiran bunuh diri adalah munculnya pikiran untuk melakukan tindakan bunuh diri lepas sampai percobaan bunuh diri atau bunuh diri atau sebatas hanya pada pikiran saja (Darmaningtyas,2002:74). Dengan berbagai sebab, fenomena bunuh diri merupakan tindakan yang dikenal di segala jaman dan di setiap masyarakat. Pembahasan Durkheim tentang bunuh diri merupakan karya klasik yang selalu ditengok untuk mengulas fenomena itu sampai kini. Karya terkenalnya tentang bunuh diri memberi gambaran tentang apa yang dimaksudnya. Durkheim meli-hat apakah ada pola atau dorongan sosial di balik tindakan menghabisi nyawa yang sepintas tampak sangat individual ini. Ia menduga adanya tekanan moral yang dialami individu. Durkheim melihat faktor-faktor sosial yang melatar-belakangi tindak-an individual. Dengan membanding-kan statistik dari masyarakat yang berbeda-beda, Durkheim memperli-hatkan bahwa ada keteraturan dalam pola-pola bunuh diri. Durkheim menggambarkan adanya empat tipe bunuh diri (Osborne dan Loon, 1998:36), yaitu bunuh diri egoistik, anomik, altruistik dan fatalistik. Kedua tipe yang pertama itu angka bunuh diri berbeda-beda menurut tingkat integrasi sosial (Johnson, 1986: 192). Semakin rendah integrasi, semakin tinggi angka bunuh diri. Bunuh diri egoistik merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang-orang yang tidak menikah mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi daripada yang menikah. Orang Protestan mempu-nyai angka bunuh diri yang lebih tinggi daripada orang-orang Katholik karena kepercayaan mendorong
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
individualisme yang lebih besar dalam ikatan komunal dalam gereja protestan lebih lemah. Contoh ini memperlihatkan bahwa bunuh diri egoistik dapat disebabkan oleh baik tekanan budaya pada individualisme maupun oleh kurangnya ikatan pribadi dengan kelompok primer. Bunuh diri anomik muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu dijamin oleh norma-norma yang sesuai yang didukung oleh prinsip-prinsip moral yang umum. Norma-norma pengatur ini menjamin bahwa keinginan indi-vidu dan aspirasinya pada umumnya sebanding dengan alat-alat yang tersedia karena itu individu berjuang dan menerima imbalan sesuai harap-an. Kalau norma-norma pengatur ini tidak berdaya lagi maka akibatnya adalah bahwa keinginan individu tidak dapat dipenuhi lagi.Keinginan ini kemu-dian melekat di luar kemungkinan untuk mencapainya dan individu itu terus-meneris mengalami frustrasi,sementara kebu-tuhan dan keinginan manusia tidak mungkin terpenuhi semuanya.Tetapi biasanya dilepaskan keinginan manu-sia yang tidak habis-habisnya itu menjadi manifest karena meningkat-nya frustrasi yang muncul dari keinginan yang tidak terpenuhi itu, angka bunuh diri meningkat. Apabila status ekonomi orang mendadak naik hambatanhambatan kemiskinan ti-dak ada lagi dan harapan-harapan mereka terhadap perbaikan selanjut-nya malah meningkat dalam bentuk yang lebih dramatis lagi. Bunuh diri altruistik merupa-kan hasil dari suatu tingkat integrasi sosial yang terlampau kuat.Tingkat integrasi yang tinggi itu menekan individualitas ke titik di mana indivi-du dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri. Bunuh diri altruistik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi. Pertama norma-norma ke-lompok mungkin menuntut pengor-banan kehidupan individu. Kedua, 61
Jurnal Sosiologi D I L E M A norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tuga-tugas yang begitu berat untuk dapat dicapai sehingga individuindividu itu mengalami kegagalan walaupun mereka sudah menunjukkan usaha yang paling optimal. Kalau iden-tifikasi mereka dengan kelompok dan dengan tugas-tugasnya cukup kuat, pengalaman akan kegagalan mung-kin mengakibatkan demoralisasi yang hebat dan hilangnya perasaan harga diri kalau membiarkan kelom-poknya itu jatuh. Bunuh diri mungkin dipilih sebagai satu alter-natif daripada terus hidup dengan rasa malu yang sedemikian itu. Bunuh diri fatalistik dilaku-kan oleh sekelompok orang, karena di belakangnya terdapat kontrol berlebihan. Dorongan kolektif kuat yang mempengaruhi orang, memaksa mereka untuk melakukan sesuatu untuk membebaskan diri (Osborne dan Loon, 1998:39). Penelitian ini adalah pene-litian deskriptif kualitatif. Data sekunder dengan teknik dokumen diperoleh dari media massa cetak. Untuk itu dipilih harian umum di tingkat nasional dan lokal yakni Kompas dan Meteor, serta tabloid Nova dan Nyata bulan Februari hingga Oktober 2004. Data yang dikumpulkan beru-pa deskripsi tentang berbagai kasus bunuh diri, yang menyangkut waktu terjadinya peristiwa, karakteristik pelaku, faktor-faktor penyebab, cara yang dipilih pelaku serta respons keluarga atau warga sekitar terhadap kasus bunuh diri. Unit analisis penelitian ini adalah pada tingkat individu. Metode analisis yang digunakan adalah content analysis, yaitu dengan interpretasi peristiwa. Proses analisis dilakukan dengan mengaji seluruh data, membuat kategori dan mengait-kannya dengan masalah penelitian dan tinjauan teori. Apabila data yang diperoleh belum sesuai, maka data digali lebih mendalam, dikaji dan
62
dianalisis kembali untuk mendapat-kan kesimpulan akhir.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Pelaku Durkheim membagi empat tipe bunuh diri berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi individu mengambil tindakan bunuh diri, yaitu bunuh diri egoistik, anomik, altruistik dan fatalistik, di mana keempat tipe tersebut ditemukan dari hasil penelitian ini. Karakter pelaku bunuh diri tidak mengenal jenis kelamin, artinya bunuh diri dilakukan oleh baik laki-laki maupun perempuan bisa melakukan tindakan bunuh diri, walaupun jumlah laki-laki masih lebih banyak dari perempuan. Juga, bunuh diri tidak hanya dilakukan oleh orang berusia lanjut tetapi juga remaja bahkan anak-anak, tidak hanya oleh orang dari lapisan bawah melainkan juga orang yang kaya raya. Bunuh diri dapat dilakukan oleh siapa saja. Usia pelaku bunuh diri merentang antara 12 hingga 80 tahun. Data penting yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya jumlah anak-anak yang melakukan bunuh diri altruistik yang sebagian muncul karena perasaan malu. Faktor-faktor yang Mempenga-ruhi Banyak faktor pemicu yang dapat mendorong semakin mening-katnya angka kematian karena bunuh diri khususnya pada anak usia sekolah. Salah satu faktor adalah ekonomi. Nampaknya anak atau remaja zaman sekarang daya juang dirinya sangat lemah dibandingkan dulu yang lebih kreatif menciptakan sesuatu untuk menyenangkan diri. Sekarang mereka cenderung mudah mendapatkan sesuatu, sehingga di saat tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan, akan merasa kesu-litan. Hal ini dapat menumpuk dan menimbulkan depresi pada dirinya.
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
Sementara peritiwa bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Suci misalnya, motivasinya dapat dipicu oleh depresi akut yang dideritanya. Sementara bila dilihat dari status sosial ekonomi,nampak bahwa sebagian korban adalah masyarakat dari lapisan menengah ke bawah. Perempuan yang melakukan bunuh diri rata-rata adalah ibu rumah tangga yang merasa dikecewakan oleh pacar atau suaminya, atau mengalami kesulitan ekonomi. Di samping itu cukup banyak pula yang tidak memiliki pekerjaan atau sebelumnya bekerja dan mengalami PHK, buruh serabutan atau pembantu rumah tangga. Beban kehidupan yang berat telah mendorong mereka melakukan bunuh diri. Sementara orang yang sudah cukup tua, mela-kukan bunuh diri karena diabaikan keluarga atau menderita sakit yang menahun. Di sini nampak bahwa rendahnya integrasi, atau sebaliknya tekanan yang berlebihan pada indivi-dualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok. Menurut beberapa keluarga atau orang dekatnya, korban memi-liki karakter pendiam. Mereka tidak mudah terbuka untuk menyampaikan apa yang dialaminya kepada orang lain. Fenomena ini selaras dengan teori dalam ilmu psikiatri, bahwa orang yang pendiam itu justru orang yang sulit dimengerti karena dalam kediamannya ada hal-hal yang tidak terungkap. Sebaliknya orang yang ekstriver atau terbuka gampang diketahui jika sedang sedih atau gembira. Pada orang yang pendiam, dendam atau amarah di hatinya justru tidak bisa dibaca. Cara yang Ditempuh Penelitian ini menemukan bahwa bunuh diri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang dipandang klasik dan biasanya berhasil adalah dengan gantung diri menggunakan tali, sarung, pakaian, sprei ataupun ikat pinggang. Cara ini dilakukan
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
baik oleh perempuan maupun laki-laki, juga oleh anak-anak belasan tahun.Dengan menggunakan alat tersebut, biasanya korban akan berhasil melaksanakan niatnya. Cara lain yang juga sering digunakan adalah minum obat serangga, misalnya obat nyamuk atau racun tikus. Dengan begitu, korban perlu mempersiapkan sebelumnya, sehingga keputusan untuk bunuh diri tidak muncul secara tiba-tiba. Cara bunuh diri dengan minum obat serangga ini tidak selalu berhasil, apalagi bila tindakan korban segera diketahui oleh orang lain. Terjun dari bangunan bertingkat juga dipilih oleh korban. Cara ini ditemukan dilakukan di apartemen oleh seorang pembantu rumah tangga, di pasar oleh pedagang dan di sekolah oleh seorang murid sekolah tersebut. Ketiga korban tentu membutuhkan keberanian yang luar biasa sebelum melakukan tindakannya dan akhirnya tewas. Cara lain yang dipilih pelaku bunuh diri adalah membakar diri. Ada dua orang pelaku, namun seorang gagal karena segera diketahui oleh ayahnya. Korban yang gagal kemudian justru mengalami luka-luka serius di sekujur tubuhnya, dan tidak mudah hilang selama hidupnya. Cara bunuh diri dengan membakar diri ini juga dilakukan oleh baik laki-laki mapun perempuan. Melukai tubuh dengan benda tajam juga ditemukan dalam penelitian ini. Kasus bunuh diri dengan menggorok leher menggunakan pisau dapur dan mengiris pergelangan tanagn dengan silet sama-sama tidak berhasil. Kendati telah melalui rasa sakit, nampaknya proses bunuh diri ini membutuhkan waktu lama untuk sampai pada waktu meninggalnya korban. -kasus bunuh diri Beberapa pelaku bunuh diri ternyata juga pernah melakukan upaya ini sebelumnya. Cara yang dilakukan ada yang dengan nyemplung sumur dan makan beling. Ketika tindakan sebelumnya tidak berhasil dilakuakan karena keburu diketahui anggota keluarga atau 63
Jurnal Sosiologi D I L E M A oleh berbagai sebab lain, maka dalam kesempatan berikutnya pelaku kemu-ian akan menggunakan cara lain. Ada peristiwa yang tragis, di mana ada korban baru berhasil setelah melakukan upaya bunuh diri sampai tiga kali. Penelitian ini menemukan juga bahwa sebelum melakukan niatnya, ada korban lebih dahulu membunuh orang lain yang dicintainya. Seorang ibu membunuh lebih dahulu anaknya, yang menurutnya apapun yang terjadi ia akan selalu bersamanya. Kasus lain adalah seorang laki-laki yang membunuh pacarnya yang telah membatalkan rencana perkawinan mereka. Nam-paknya rasa sakit hati sekaligus cinta telah mendorong laki-laki tersebut untuk memilih lebih baik mati bersamanya. Respons Keluarga atau Warga Sekitar Bila ditinjau melalui agama, maka semua agama formal di Indonesia melarang tindakan bunuh diri, karena dianggap mengingkari kodrat yang telah ditetentukan Tuhan.Orang yang melakukan bunuh diri dianggap berdosa karena tidak mensyukuri hidup yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Oleh karena itu, dalam banyak masyarakat pelaku bunuh diri tidak mendapatkan perlakuan layaknya orang yang mati oleh sebab lain. Dalam banyak masyarakat juga dianggap tabu membicarakan orang yang akan dikubur sebagai korban bunuh diri. Sebisa mungkin kematian sebagai akibat bunuh diri ditutupi, atau dikatakan mati akibat kecelakaan. Fenomena bunuh diri juga dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun oleh adanya anggapan bahwa bunuh diri sebagai tindakan yang buruk sehingga anggota keluarga atau masyarakat menutupi sebab kematiannya, data yang diketahui biasanya lebih kecil dari fakta yang sebenarnya. 64
Dari penelitian ini ditemukan bahwa bunuh diri banyak dilakukan di Jakarta dan sekitarnya seperti Bogor, Tangerang dan Bekasi. Bunuh diri juga terjadi di Yogyakarta dan Malang . Di Yogyakarta bunuh diri paling banyak dilakukan oleh pelaku di daerah Gunung Kidul, yang memang dikenal sebagai salah satu daerah dengan fenomena bunuh diri tertinggi di Indonesia. Kendati bunuh diri dipandang sebagai tindakan yang negatif, namun ternyata penelitian ini menunjukkan bahwa kerabat dan tetangga berupaya untuk memperlakukan korban dengan sebaik-baiknya. Reaksi pertama ketika mengetahui peristiwa bunuh diri tentu saja kaget. Selanjutnya ada yang kemudian berteriak-teriak untuk meminta pertolongan anggota keluarga atau para tetangga. Bila korban dilihat ternyata masih hidup, maka biasanya akan diupayakan untuk menolong dengan cara yang mereka ketahui. Pada pelaku yang menggu-nakan cara menggantung maka segera dilepaskan dari gantungannya. Namun karena korban bunuh diri dengan cara menggantung biasanya telah meninggal, maka mereka akan melapor kepada RT tenatang kejadian yang baru saja ditemui. Apabila korban menggunkan cara minum obat atau racun serangga, maka biasanya kemudian dipaksa untuk muntah agar racun keluar dari perut. Cara lain yang dilakukan adalah dengan memberi air kelapa muda. Dalam penelitian ini korban yang sempat minum obat serangga ada yang masih bisa diselamatkan karena baru minum sedikit dan tindakannya segera diketahui keluarga. Korban yang mengalami luka bakarpun ada yang kemudian bisa diselamatkan, kendati harus menang-gung cacat seumur hidup. Korban bunuh diri ini telah melakukan dua kali upaya bunuh diri. Bila tidak mendapatkan perhatian yang memu-askan bagi dirinya, maka bisa
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
dipastikan upaya bunuh diri akan kembali dilakukan. Ada dua korban yang meng-gunakan senjata tajam untuk melukai diri dengan pisau dan silet yang kemudian dapat diselamatkan. Rupanya penggunaan senjata tajam ini membutuhkan waktu lama sampai korban menemui ajalnya. Sehingga sebelum korban benar-benar tewas, ada keluarga yang mengetahui tin-dakan itu dan sempat menolongnya. Biasanya peristiwa bunuh diri segera dilaporkan kepada RT setempat. Apabila RT tidak ada di tempat maka akan langsung dilaporkan kepada RW atau polisi. RT kemudian dengan keluarga dan tetangga korban akan bersama-sama memutuskan tindakan apa yang segera akan dilakukan, lapor ke polisi atau membawanya ke rumah sakit terdekat. Bila belum meninggal, maka biasanya akan dipilih untuk segera membawa korban ke rumah sakit. Bila akhirnya korban meninggal, maka pihak rumah sakit yang akan melaporkan kejadian ini kepada polisi. Sementara kalau korban ternyata sudah meninggal maka akan langsung dilaporkan oleh keluarga kepada polisi. Untuk menyelidiki kasus tersebut, polisi akan meminta kepada pihak rumah sakit untuk melakukan autopsi guna mengetahui sebabsebab kematian korban. Cara ini tak selalu ditempuh, misalnya dalam kasus bunuh diri di Gunung Kidul. Dalam beberapa kasus,bila korban berusia lanjut yang telah mengalami sakit menahun, maka keluarga akan langusng memakamkannya tanpa merasa perlu melaporkan ke polisi. Korban akan diperlakukan seperti layaknya orang yang meninggal oleh sebab lain. Korban yang kemudian dite-rima dari rumah sakit juga akan diupayakan dimakamkan seperti ke-matian biasa. Namun dalam upacara pemakaman jarang yang disebutkan meninggal karena bunuh diri. Di
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”
samping itu,biasanya karena diang-gap menyakitkan bahkan memalu-kan, maka sebab-sebab kematian korban tidak akan dibahas lagi.
Penutup Dengan berbagai sebab, fenomena bunuh diri merupakan tindakan yang dikenal di segala jaman dan masyarakat. Namun secara kuantitatif maupun kualitatif fenomena bunuh diri di Indonesia menunjukkan gejala mencengang-kan. Selain meningkat jumlah korbannya, juga dapat ditemukan di berbagai daerah. Ditambah lagi, faktor-faktor yang mempengaruhi serta cara yang ditempuh menun-jukkan gejala semakin beragam. Korban bunuh diri tidak mengenal jenis kelamin, usia dan lapisan sosial ekonomi. Beban kehidupan yang berat telah mendorong mereka melakukan bunuh diri. Sementara orang yang sudah cukup tua, melakukan bunuh diri karena diabaikan oleh keluarga atau menderita sakit yang menahun. Di sini nampak bahwa rendahnya integrasi, atau sebaliknya tekanan yang berlebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial dapat mempengaruhi tindakan bunuh diri. Untuk mencegah tindakan tersebut, pada individu yang nampak memiliki gejala tertentu, harus selalu diberi perhatian dan diajak berkomu-nikasi.Pendampingan atau pemberian semangat dari keluarga dan orangorang di sekitarnya untuk membantu meningkatkan kepercayaan dirinya. Sedangkan pada mereka yang rapuh egonya, bisa diatasi dengan mema-hami mengapa individu mengalami fenomena tersebut. Sejumlah institusi sosial dan keagamaan perlu terus mengupa-yakan pembinaan mental dan menga-tasi depresi. Sisi ruang batin yang kosong dan terluka inilah yang menjadi persoalan individu maupun masyarakat. Memulihkan luka batin, mengampuni, dan 65
Jurnal Sosiologi D I L E M A memaknai hidup adalah bagian terpenting kehidupan yang jauh lebih berharga daripada membunuh diri.
Darmaningtyas, 2002.Pulung Gan-tung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT Gramedia. Jakarta.
Bogdan, Robert dan Steven J Taylor .1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Suatu Pendekatan fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Usaha Nasional. Surabaya. Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus, Pergulatan dengan Absur-ditas, Gramedia. Jakarta. Clinard, Marshall B. 1963. Socio-logy of Deviant Behavior. Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York.
66
Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Osborne, Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi for Beginners. Penerbit Mizan. Bandung. Santosa, Iwan. 2004. Mencabut Kepahitan Memulihkan Harapan Hidup. Artikel dalam Kompas. 17 Juli.
Rahesli Humsona “Bunuh Diri: Faktor-Faktor Penyebab, Cara Yang Ditempuh dan Respon Komunitas”