BUKU PANDUAN DASAR IBADAH DAN MUAMALAH BERDASARKAN AMAL MADINAH
AQIDAH IMAM ASY'ARI, FIQIH IMAM MALIK, TARIQAT IMAM JUNAID, FATWA PERBANKAN
Judul Asli: The Practical Guidebook of Essential Islamic Sciences A Commentary on Ibn Ashir’s Al-Murshid al-Mu’in oleh Shaykh Ali Laraki al-Husaini dan Shaykh Abdullah bin Hamid Ali serta Fatwa on Banking Oleh Sidi Umar Ibrahim Vadillo
Bismillaahirrahmaanirrahiim Was Shalatu wassalaamu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘alaa Aalihi wa Sahbihi ajma’in
“Siapapun yang Allah kehendaki mendapat banyak kebaikan, Allah akan membuat orang itu mengerti secara mendalam (fiqih) Deen nya.” (Hadist riwayat Imam Malik, Muslim, alBukhari)
http://www.kesultananbintan.com
1
Kata Pengantar oleh Syaikh Abdul Hayy al 'Amarawi Bismillaahirrahmaanirrahiim. Shallallahu'ala Muhammad Banyak Muslimin dan Muslimat yang tidak paham bahasa Arab benar-benar membutuhkan kitab yang ditulis oleh Abdul Wahid ibnu 'Asyir al-Andalusi dan syarahnya oleh Muhammad ibnu Ahmad dari Fez yang diketahui sebagai Mayyarah, yang berdasarkan pada tiga asas pokok yang diterangkan oleh hadist Nabiyullah shallallaahu'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Sahihnya, dari 'Umar ibnu al-Khattab, yang berkata: “Suatu hari ketika kami sedang duduk dengan Nabiyullah shallallaahu'alaihi wasallam seorang laki-laki mendatangi kami dengan pakaian yang sungguh putih dan rambutnya benar-benar hitam, sedangkan bekas perjalanannya tidak tampak, dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk dekat Nabi shallallaahu'alaihi wasallam dan menempelkan lututnya ke lutut Nabi dan menempatkan dua tangannya di atas paha Nabi dan berkata 'Muhammad, ajarkan padaku tentang Islam.' “Rasulullah shallallaahu'alaihi wasallam berkata, 'Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dan mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan puasa Ramadhan, dan melakukan Haji ke Baitullah jika engkau mampu dalam perjalanannya. Dia berkata, 'Engkau telah berkata benar,' dan kami heran pada orang itu, dia bertanya tapi membenarkan. “Orang itu berkata, “Ajarkan padaku tentang Iman.' Nabi berkata, 'Bahwa engkau percaya kepada Allah, MalaikatNya, KitabNya, Nabi-nabiNya, dan Hari Akhir, dan bahwa engkau percaya ketetapan Allah baik dan buruknya.' Orang itu berkata, 'Engkau berkata benar.' “Orang itu berkata lagi, 'Ajarkan padaku tentang Ihsan.' Nabi berkata, 'Bahwa engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Nya, sebab engkau tidak dapat melihat Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.' “Orang itu berkata, 'Beritahu aku kapan terjadinya Kiamat.' Nabi berkata, 'Yang ditanyai tentang terjadinya Kiamat tidak lebih tahu dari yang bertanya.' “Orang itu berkata, 'Kalau begitu ceritakan padaku tentang tanda-tandanya.' Nabi berkata, 'Bahwa hamba sahaya perempuan melahirkan majikan perempuannya, dan engkau melihat, penggembala kambing dan domba yang bertelanjang kaki, telanjang baju dan miskin, berlomba meninggikan gedung. “Dia pergi, dan aku tertegun beberapa saat. Kemudian Nabi berkata, 'Umar, apakah engkau tahu siapa orang yang bertanya tadi?' aku berkata, 'Allah dan Nabinya paling mengetahui ' Nabi berkata, 'Itu adalah Jibril yang datang kepadamu untuk mengajarimu Deen mu'.” Deen terdiri dari tiga unsur, sebagaimana direfleksikan dari hadist di atas, ketika Nabiyullah shallallaahu'alaihi wasallam berkata: Itu adalah Jibril yang datang kepadamu untuk mengajarimu Deen mu'. Tiga unsur inilah yang terkandung dalam syair Ibnu 'Ashir dan syarahnya oleh Mayyarah. Yang pertama adalah Iman, kedua Islam dan ketiga adalah Ihsan, dan Ihsan ini adalah ilmu Tasawwuf. Muslim harus percaya Nabi Musa 'alaihissalaam dan kitabnya Taurat, dan percaya Nabi 'Isa 'alaihissalaam dan kitab yang diwahyukan kepadanya Injil, begitu pula pada semua Nabi lainnya, 'alaihimussalaam. Dalam Surat al-Baqarah ayat 284 disebutkan: 2
“Rasul itu telah beriman kepada kitab yang diturunkan dari Tuhannya kepadanya, demikian juga kaum mukminin. Semuanya telah menyatakan beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, dan semua Rasul-Nya dan mereka mengatakan: Kami tidak memperbedakan antara seorangpun dari para Rasul-Nya” Bagian ini yang terkandung dari bagian pertama buku ini yakni tentang Iman. Saudara kita 'Ali Laraki telah melakukan sebagaimana ucapan Nabi shallallaahu'alaihi wasallam “Sampaikanlah dariku bahkan jika hanya satu ayat.” Dan yang disampaikan bukan hanya satu ayat melainkan sejumlah ayat seperti dalam Surat al-Maidah tentang wudu, Surat al-Baqarah tentang zakat dan puasa, serta Surat Al-'Imran tentang Haji. Saya sangat berterima kasih kepada Saudara 'Ali untuk usaha besarnya ini. Saya memohon kepada Allah untuk menganugerahinya keberhasilan. Syaikh 'Abdul Hayy al-'Amarawi dari Masjid Qarawiyyin Fez. Kata Pengantar (Shaykh Ali Laraki) DIA ADALAH SANG imam besar, lautan ilmu, mujahid, Abu Muhammad, 'Abdul Wahid ibnu 'Ali ibnu 'Asyir, dari keturunan Anshar, berasal dari Andalusia tetapi pindah ke Fes yang menjadi negerinya. Dia memiliki ilmu luas dari berbagai disiplin ilmu, seperti cara membaca Qur'an (qiraat), cara menulis Qur'an (rasm), tatabahasa (nahwu), morfologi (sharaf), sintaksis (i'rab), syarah Qur'an (tafsir), hadist, teologi (kalam), hukum (fiqih), tasawwuf, logika (mantiq), kejelasan bicara (bayan), ilmu puisi ('arud), perhitungan waktu (tawqit), aritmatika (hisab), prinsipal jurisprudensi (ushul fiqih), hukum waris (fara'id), pengobatan (thibb), dan lain-lain. Dia naik haji ke Mekkah, ikut serta dalam kampanye jihad militer, sering beri'tikaf, dan shalat tahajud di malam hari. Dia memiliki karya dalam berbagai bidang ilmu, yang di antara karya-karya itu adalah syair al-Mursyidul Mu'in 'alad Dlaruri min 'Ulumid Diin yang menerangkan tentang 'aqidah Imam Asy'ari, fiqih Imam Malik dan tasawwuf Imam Junaid 1. Dalam kitab itu dia mengumpulkan akar dan sekaligus cabang Deen dan jika orang yang membacanya memahaminya, maka orang itu akan segera meninggalkan kesalahpahamannya tentang Iman. Sebab Iman tidak boleh bertaklid. Dia meninggal di kota Fes, di kota itu juga dia dimakamkan, pada tanggal 3 Dzulhijjah 1040 H / 3 Juli 1631 M. Semoga Allah meliputinya dengan kasih sayangNya dan menempatkannya dalam Surga yang luas Amin. Karya Karya beliau adalah syair yang sangat terkenal berjudul al-Mursyidul Mu'in ala Dlaruri min 'Ulumid Deen' Artinya adalah Panduan yang membantu memahami ilmu-ilmu Deen 2 yang 1 2
Biografi Imam Asy-'ari, Imam Malik dan Imam Junaid akan diterangkan nanti Kata Deen ini umumnya diterjemahkan sebagai 'agama/religi'. Alasan kenapa tidak diterjemahkan agama adalah karena agama memiliki konotasi kepercayaan Kristen-Yahudi dan berhubungan dengan Tuhan
3
perlu. Syair ini dihapal dan dipelajari di Maroko, tempat penulis tinggal dan di Afrika Utara dan Afrika Barat, sebagai buku pertama yang dipelajari di Madrasah setelah atau bersama dengan penghafalan Qur'an. Berisi ringkasan pengantar aqidah Imam Asy'ari, fiqih Imam Malik dan tasawwuf Imam Junaid. Berisi segala sesuatu yang seorang Mukmin perlu ketahui untuk memperoleh dasar pengetahuan Deen. Awalnya buku ini ditulis berkenaan dengan salah satu rukun Islam yakni haji, tetapi penulis (Syaikh Ibnu 'Asyir) mengenalkan rukun Islam lainnya dengan tambahan bab mengenai tasawwuf. Disajikan dalam bentuk syair agar mudah dihafal. Struktur kitab ini adalah sebagai berikut: 1. Pengantar umum seputar pengarang kitab dan pokok bahasan (nadzam 1 – 5) 2. Pengantar bab aqidah dan gambaran singkat tentang hukum 'aqli dan tanda-tanda mukallaf (nadzam 6 -13) 3. Paparan aqidah Muslim menurut Imam al-Asy'ari (nadzam 14 – 17) 4. Pengantar ilmu fiqih dengan definisi hukum syara' dan tingkatannya (nadzam 48 – 53) 5. Bab Taharah (bersuci) (nadzam 54 – 98) 6. Bab Salat (nadzam 99 – 181) 7. Bab Zakat (nadzam 182 – 210) 8. Bab Puasa (saum) (nadzam 211 – 228) 9. Bab Haji (nadzam 229 – 290) 10. Bab Tasawwuf (nadzam 291 – 312) 11. Epilog (nadzam 313 – 317) Kesebelas poin ini dibagi kepada tiga bagian dasar: - Aqidah Imam Asy'ari - Fiqih Imam Malik - Tasawwuf Imam Junaid Alasan kenapa kitab ini dibagi kepada tiga bagian adalah karena bagian-bagian itu adalah ilmu yang berhubungan dengan tiga bagian agama yang disebutkan dalam hadist terkenal di mana di hadist itu ada Malaikat Jibril. Dalam hadist ini juga disebut Ummul Ahadist, Malaikat Jibril menampakkan diri secara fisik kepada para Sahabat Nabi shallallahu'alaihiwasallam, dengan kepentingan bertanya kepada Nabi shallallahu'alaihiwasallam tentang Iman, Islam, Ihsan. Dari hadist itu ulama menyimpulkan bahwa Deen terstruktur dari tiga bagian: - Islam - Iman - Ihsan Nasrani Yahudi dan pelembagaan mereka yang kita coba hindari. Kata Arab Deen memiliki nuansa kepatuhan, tanggungjawab, kewajiban yang harus dipenuhi, kesetiaan, dengan kata lain, semua hal yang seseorang transaksikan sepanjang hidupnya berdasarkan apa yang orang itu percayai sebagai nyata adanya. Hal ini akan menyertakan semua transaksi antara manusia dengan Tuhannya. Kata Deen juga menyertakan segala sesuatu yang orang percayai mengenai dunia ini dan kehidupan berikutnya terlepas dari percaya atau tidaknya kepada Tuhan dan kehidupan sesudah mati. Karena itu atheisme, ekumenisme dan demokrasi adalah Deen juga. Akibatnya ketika kita berkata bahwa Islam adalah sebuah Deen, kita maksudkan adalah agama/dan juga konsekuensi sosial dan politik yang berasal dari Deen itu
4
Islam mengatur tujuh anggota tubuh yang harus dipertanggungjawabkan oleh manusia: - telinga - mata - lidah - perut - farji (kelamin) - tangan - kaki Iman adalah yang harus kita percayai sepenuh hati. Dan Ihsan atau keunggulan moral yang dicapai dengan menempuh perjalalan spiritual yang dimulai dari kesadaran diawasi oleh Yang Maha melihat (muraqabah), dan berakhir dengan perenungan (musyahadah). Hal ini telah menjadi rumusan tradisional Islam sepanjang sejarah Muslim, wilayah geografis dan pusat besar ilmu pengetahuan, seperti universitas al-Qayrawiyyin, az-Zaituna dan alAzhar, sampai para pembaharu muncul dua abad terakhir ini dan mendefinisikan ulang Islam serta menyesatkan orang-orang. Syarah al-Mursyidul Mu'in dibutuhkan oleh Muslim guna meluruskan penyimpangan Islam yang menyebabkan kebingungan. Insya Allah kitab ini akan menyediakan pemahaman Deen yang memadai guna pembelajaran lebih lanjut ilmu-ilmu Deen Islam yang lain. Syair dalam kitab ini akan mengajarkan cara yang benar untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Nabi-nabiNya, Hari Akhir, dan Takdir, menetralisir racun penyimpangan antropomorfik yang telah dicekokkan kepada Muslim, membahayakan keimanan kepada Allah yang mencegah Muslim dari memperoleh pengetahuan ibadah yang sejati. Kitab ini mengajarkan aturan-aturan fiqih seperti salat, zakat, puasa dan haji bagi orang-orang yang sebelumnya tidak paham fiqih, maksudnya orang-orang yang tidak mengikuti dengan teguh aturan salah satu dari empat madzhab fiqih yang lazim diketahui. Tidak bermadzhab akan menimbulkan kebingungan memahami aturan Syariat karena tidak ada fondasinya. Para mufti yang tidak bermadzhab menimbulkan kebingungan dan kerusakan. Apa yang penting untuk dipahami oleh seorang Muslim adalah bahwa syarat ijtihad adalah sebagai berikut: - Muslim - Bertanggungjawab - Memiliki integritas moral ('adalah) - Sadar dengan keadaan sosial dan jaman serta tempat di mana dia hidup - Berfikiran tajam dan cerdas - Menguasai bahasa Arab secara luas, leksikologi dan retorika Arab - Mengetahui Qur'an. Mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh mansukh, mengetahui ayat-ayat hukum (sekitar 500 ayat kira-kira), mengetahui pengajaran Nabi shallallahualaihiwasallam seputar ayat-ayat itu oleh para Sahabat, Tabi'un dan ulama 5
lain dalam ilmu tafsir Qur'an; mengetahui bermacam qiraat (cara membaca Qur'an) dan implikasi perbedaan hukum dari cara-cara membaca itu. - Mengetahui Sunnah. Ini berimplikasi pada pengetahuan terhadap hadist yang berhubungan dengan hukum, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui hadist dan para perawinya, mengetahui pertentangan hadist dan tingkatan-tingkatan hadist. - Mengetahui pendapat hukum Sahabat beserta pembuktian periwayatan mereka. - Mengenali pokok hukum ada mufakat atau tidaknya - Mengetahui aturan qiyas (analogi) dan penerapannya secara tepat - Menguasai Ushul Fiqih - Mengetahui tujuan Syariah (Maqasid asy-Syariah) dan penerapannya supaya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak perlu. Dikarenakan sebagian besar Muslim tidak memenuhi kualifikasi ini maka wajib untuk bertaqlid, mengikuti seorang mujtahid atau sebuah madzhab. Seseorang hanya boleh berTaqlid mengikuti salah satu dari empat madzhab, selain empat itu adalah haram berdasarkan ijma (konsensus/mufakat). Seorang awam tidak boleh mempertanyakan dalil mengenai suatu perkara dalam fiqih seolaholah dia memiliki kapasitas untuk memahaminya. Dia musti mematuhi sebuah madzhab dan mengikuti Imamnya karena sang Imam itulah dalilnya. Adapun untuk Ihsan, berkenaan dengan ilmu tasawwuf. Menyangkal Ihsan berarti meninggalkan salah satu unsur utama Deen. Kitab ini insya Allah menyediakan bagi Muslim dasar yang mendalam mengenai tiga ilmu esensial Deen, sehingga dapat mengenali guna menghindari doktrin menyimpang dalam aqidah yang mengajarkan konsep antropomorfik tentang Allah, serta mengenali ajaran yang mengecilkan peran madzhab fiqih, atau mengenali ajaran yang menyepelekan tasawwuf. PENGANTAR PENGARANG (Syaikh Ibnu 'Asyir) PENGARANG, ABDULWAHID ibnu Asyir, memulai dengan namanya sendiri, karena nama pengarang adalah persoalan penting, karena itu tidak dibolehkan untuk bertindak atau memberi fatwa dari sebuah kitab yang pengarangnya tidak dikenal dan isi kitabnya tidak ditegaskan tentang apa bahasannya. Dia menyebutkan nama Allah berkenaan dengan hadist: “Apapun yang tidak dimulai dengan nama Allah akan terputus.” (Abu Dawud, anNasa'i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) Dia memulai dengan memuji Allah (hamd) mengikuti tata cara Qur'an yang dimulai dengan pujian kepada Allah. Pengetahuan yang wajib kita ketahui adalah mengenai wudu, ghusl (mandi besar), salat, saum, membayar zakat, haji jika mampu, dan segala sesuatu yang terhubung kepada apa yang wajib untuk dipercaya mengenai Allah dan RasulNya shallallahu'alaihiwasallam. Hal yang sama berhubungan dengan jual-beli, qirad (kemitraan dalam permodalan jual-beli) atau sewa-menyewa, wajib berdasarkan ijma mempelajari aturan-aturan transaksi apapun yang akan dilakukan, karena haram untuk melakukan perbuatan apapun sampai hukum syara' (aturan Allah) mengenai perbuatan itu diketahui. 6
Pengarang bershalawat kepada Muhammad, keluarganya, sahabat dan orang yang mengikutinya. Bershalawat bagi Nabi shallallahualaihiwasallam adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup jika seseorang mampu. Menurut pendapat lain adalah sunnah muakkadah yang hendaknya tidak ditinggalkan, kecuali jika sudah tidak ada kebaikan lagi pada orang itu. Menurut pendapat lain, wajib setiap kali Nabi shallahu'alaihi wasallam disebut. Ada pendapat berbeda apakah bershalawat diijinkan bagi nabi lain? Yang pasti diijinkan sebab shalawat kepada Nabi termasuk juga keluarga beliau dan leluhur beliau yang juga para nabi, begitu pula para Sahabat. Nabi shallallahu'alaiwasallam adalah wasitah yang melalui beliau setiap kebaikan telah sampai kepada kita sekarang dan seterusnya. Pengarang memohon pertolongan Allah al-Majid dalam menyusun nadzam yang akan memberi manfaat kepada yang ummi (buta huruf). Definisi ummi adalah seseorang yang secara intelektual dalam keadaan sejak lahir tidak terjamah oleh bacaan maupun tulisan. Pengarang menjelaskan bahwa syairnya tentang: 1. Aqidah Imam Asy'ari 2. Fiqih Imam Malik dan 3. Tariqat Imam Junaid as-Salik Abu'l-Hasan al-Asy'ari meninggal sekitar tahun 332 H / 943 M. Dia adalah imam dalam aqidah. Dia adalah orang pertama yang menulis tentang aqidah secara ekstensif, meringkas, dan mempertahankannya dari penyimpangan. Imam Malik adalah Imam Madinah, Imam Daarul Hijrah dari generasi ketiga salaf, yang meninggal di tahun 179 H / 795 M. Madzhabnya adalah unik, mewakili Sunnah Nabi yang hidup yang diriwayatkan secara mutawatir (berganda) oleh perilaku keseharian penduduk Madinah al-Munawwarah, kota yang diberkahi, di mana Syari'ah diwahyukan. Dia diketahui sebagai Imam dari para Imam karena menjadi guru dari Imam asy-Syaibani al-Hanafi, Imam asy-Syafi'i dan dari Imam asy-Syafi'i, Imam Ahmad. Dia juga menjadi guru dari para perawi hadist terkemuka di jamannya, yang merawikan hadistnya kepada al-Bukhari, Muslim dan Imam lain dalam periwayatan hadist. Imam al-Junaid meninggal tahun 297 H / 909 M di Baghdad dan dikenal sebagai 'Imam Dunia pada jamannya 3' Walaupun beliau seorang ulama fiqih yang hebat, beliau lebih dikenal sebagai Imam Sufi. Beliau memformalkan ilmu kenabian tentang penyucian diri dan Ihsan untuk generasi berikutnya dan banyak tarekat otentik menelusuri jalur dan metode mereka kepadanya. Dengan ini pengarang memberitahukan kepada kita bahwa syairnya telah menyatukan unsurunsur terpenting dari tiga, 'aqidah, fiqih, dan tasawwuf, yang berhubungan kepada tiga bagian Deen: Iman, Islam dan Ihsan. Pengantar Aqidah Aqidah adalah ilmu tentang Iman. Kata itu berasal dari akar 'ain-qaf-dal, yang menyatukan. 3
Menurut ahli sejarah Muslim Ibnu al-Atsir.
7
selama lebih dari seribu tahun., golongan Ahlussunnah wal Jama'ah yang didefinisikan sebagai orang-orang yang mengikuti aqidahnya Imam Asy'ari, Imam Maturidi atau Imam Atsari. Kitab ini membahas Imam al-Asy'ari, lahir di Basrah tahun 260 H. Aqidahnya dirumuskan untuk membentengi Iman dari sekte-sekte yang menyimpang, terutama Mu'tazilah. Imam Asy'ari sendiri dulunya adalah seorang Mu'tazilah sampai bermimpi bertemu Nabi shallahu'alaihi wassalaam. Insya Allah bagian ini menjelaskan bukti rasional ('aqliyyah) yang diperlukan untuk membuktikan keberadaan Allah dan untuk menangkis doktrin palsu seperti keberadaan Allah mewujud pada makhluknya, seperti menjelma dalam tubuh manusia, di langit atau alam, Maha Suci Allah dari semua yang mereka gambarkan! Aqidah secara tradisional dibagi kepada tiga wilayah: 1. Pengetahuan akan Allah dan Sifat-sifatNya (ilahiyyat) 2. Pengetahuan akan Nabi dan sifat-sifat mereka (nubuwiyyat) 3. Pengetahuan yang Ghaib (tidak terjamah panca indera) (ghaibiyat), termasuk eskatologi4 dan angelologi5, dll. Dan terkadang yang keempat ditambahkan: 4. Pengetahuan tentang berbagai macam hal (jami'), seperti siapakah Khulafaur Rasyidin dan subjek-subjek lain. Aqidah juga disebut Kalam, Tauhid, atau Ushuluddin, kalam adalah nama metodenya. Tauhid berhubungan dengan ke-Ahad-an Allah 'dan Ushuluddin merujuk kepada fondasi Deen,' karena tidak ada fondasi atau perbuatan apapun yang bernilai tanpa adalanya keyakinan yang benar. Dalil/Hukum 'Aqli dan bagian-bagiannya Dalil/Hukum dibagi kepada tiga jenis. Pengetahuan aqidah berkisar pada yang pertama dan ketiga: 1. Hukum 'aqli, yang ditegaskan atau ditolak oleh orang yang berakal, seperti 2+2=4, dan tidak memerlukan pembuktian menggunakan dua kategori di bawah ini: 2. Hukum 'adi, yang ditegaskan atau ditolak oleh pengalaman, semisal pengetahuan bahwa menaruh tangan di atas api adalah panas. 3. Hukum syar'i, yang ditegaskan atau ditolak oleh Qur'an atau Sunnah seperti adanya hidup sesudah mati. Hukum 'aqli dibagi kepada tiga jenis: 1. Hukum wajib, yang wajib benar seperti: sebuah tubuh dapat bergerak atau diam 2. Hukum mustahil, yang mustahil benar seperti: sebuah tubuh dapat bergerak dan dan dapat diam sekaligus pada waktu yang sama 3. Hukum jaiz (boleh) yang bisa benar atau bisa salah seperti: sebuah tubuh dapat bergerak Setiap dari tiga itu dibagi kepada dua: 4 5
Studi tentang pokok persoalan mengenai kematian, Hari Akhir, Mizan, Surga dan Neraka Studi tentang malaikat
8
a. Hukum yang secara langsung dipahami, (dlaruri) seperti: 1). Hukum 'aqli wajib: 1+1=2 2). Hukum 'aqli mustahil: 1+1=3 3). Hukum 'aqli jaizi (boleh): tubuh boleh/dapat bergerak b. Hukum yang memerlukan pemikiran mendalam (nadzari) seperti: 1). Hukum 'aqli wajib: ½ dari ¼ dari 1/10 dari 80 adalah 1 2). Hukum 'aqli mustahil: ½ dari ¼ dari 1/10 dari 240 adalah 2 3). Hukum 'aqli jaizi: Allah akan menghukum hamba yang patuh dan taat Mukallaf dan Tanda-tandanya Kewajiban pertama bagi Mukallaf yang memiliki kemampuan untuk mencari dan berfikir mendalam adalah mengetahui: 1. Allah dan 2. Para Nabi-nabiNya beserta dengan sifat-sifat dari Allah dan Nabi-nabiNya, berdasarkan bukti-bukti dan hukum-hukum (dalil) Pengetahuan ('ilmu) adalah lawan kata dari taqlid6 dalam konteks aqidah ini. Ilmu didefinisikan sebagai 'keyakinan teguh berdasarkan bukti yang berhubungan dengan kenyataan7' Karena itu siapapun yang keyakinannya (Iman) tidak berdasarkan 'keyakinan teguh' (jazm), seperti sok tahu8 (dzann), ragu (syakk), khayal (wahm), maka Imannya tidak sah berdasarkan ijma. Juga tidak sah jika keyakinannya tidak berhubungan dengan realitas seperti keyakinan Kristen, Yahudi, dan Atheis. Adapun ber-Iman tanpa bukti (taqlid), pendapat luas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah adalah, tidak sah bertaqlid dalam persoalan Iman. Karena itu wajib bagi orang beriman mendasarkan keyakinannya pada bukti yang kokoh, bukan hanya mengikuti pendapat. Tidak seperti fiqih dan tasawwuf di mana ber-Taqlid adalah wajib 9, taqlid tidak diterima dalam persoalan aqidah. 6 7 8
Taqlid didefinisikan sebagai mengikuti pendapat seseorang tanpa pengetahuan akan bukti mengenai benar tidaknya apa yang diikuti Imam Malik juga membuat definisi tentang ilmu sebagai suatu cahaya yang Allah letakkan dalam hati Inggris, to speculate, membentuk pendapat tanpa pengetahuan yang lengkap (Oxford, learners pocket dictionary new edition). Arab: Dzann: sangka (Kamus bahasa Arab Mahmud Yunus). Indonesia: pra·sang·ka n pendapat (anggapan) yg kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri; sang·ka v duga; kira: saya -- kamu tidak akan datang hari ini; n keraguan; kesangsian; (KBBI). Kata 'sangka', berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya menyangka alias belum tahu pasti, kebanyakan sangka adalah salah hasilnya, disebut dalam Qur'an Surat Hujuraat ayat 12:
“sesungguhnya sebagian dari sangka adalah dosa” 9
Dalam Tasawwuf, kata Musahabah ( mengikuti, menyertai) lebih digunakan ketimbang taqlid. Beda Musahabah dengan taqlid adalah, taqlid dalam fiqih, diijinkan untuk mengikuti imam yang sudah meninggal, sedangkan musahabah dalam Tasawwuf harus mengikuti Syaikh yang masih hidup (Diwan Bughat al-Muridin as-Sa'irin) oleh Syaikh Muhammad ibnu al-Habib al-Amghari al-Idrisi p.70, Dar asSadir Beirut
9
Ada tiga prasyarat bagi orang Mukallaf 1. Waras 2. Puber, dengan salah satu dari tanda-tanda di bawah ini: a. Haidh b. Hamil c. Keluar cairan reproduksi (selama mimpi basah) d. Rambut kemaluan yang tebal – jika a - d tidak terjadi maka: e. Berumur 18 tahun Hijriah, dalam hal ini ada dua pendapat: 1). Saat masuk tahun ke-18 setelah selesai tahun ke-17 atau 2). Setelah selesai 18 tahun 3. Memiliki akses kepada Risalah Islam10 ***
Pengantar Ilmu Tauhid Shaykh Abdullah bin Hamid Ali Dikatakan bahwa bagian yang berikutnya adalah dasar dari segala sesuatu dalam Islam: 'Tauhid' Tauhid disebut sebagai Ummul Qowa'id, karena tanpa mengakui keberadaan dan ketauhidan Allah, tidak ada ibadah apapun yang bermanfaat di dunia, dan di akhirat tidak berpahala apapun. Karena itu pada bagian berikutnya akan dibahas Ummu Qowa'id yakni Tauhid dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. 1. Sifat-sifat Wajib Allah Secara Hukum Aqli dan Hukum Syar'i, adalah keharusan bahwa kita sebagai Muslim mengakui kebenaran sifat-sifat Allah: 1. 2. 3. 4. 5.
'Ada' (Wujud), 'Keabadian tanpa Permulaan' (Qidam), 'Bertahan tanpa Akhir (Baqa)', 'Mutlak tidak bergantung pada Makhluk' (Qiyamuhu bi Nafsihi), 'Tidak memiliki kesamaan dengan makhluk (Mukhalafatu Hawaditsi)' dan 6. 'Satu dalam Dzat' (Wahdaniyat).
lil
Ada (Wujud) dianggap sebagai 'Sifat Nafsiyyah', karena Allah tidak dapat disifati oleh sifat apapun jika Allah tidak 'Ada' terlebih dahulu. Lima atau dari bagi
Sifat yang berikutnya disebut sebagai sifat-sifat yang 'meniadakan' membebaskan (Sifat Salbiyyah), karena meniadakan dari Allah lawan sifat yang disebutkan, yang akan dibahas pada 'Sifat-sifat Mustahil Allah'.
Tambahkanlah Sifat-sifat Wajib berikut ini yang berasal baik itu dari Dalil Naqli dan juga Dalil Aqli kepada Sifat-sifat Wajib Allah: 10 Sebagaimana dimiliki oleh kebanyakan orang saat ini. Jika orang itu sombong, tidak bertanggungjawab, malas mencari, fanatik, atau tidak percaya Islam, maka mereka ini adalah kafir. Wallahua'lam
10
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
'Berkuasa (Qudrat)', 'Berkehendak (Iradat)', 'Mengetahui ('Ilmu)', 'Hidup (Hayat)', 'Mendengar (Sami'an)', 'Melihat (Bashiran)', 'Berfirman (Kaliman)'
Ke-Tujuh Sifat ini dikenal sebagai Sifat Abstrak (Sifatul Ma'ani). Alasan kenapa disebut sifat abstrak adalah pikiran tidak dapat melukiskan bentuk nyata dari sifat-sifat itu. Imam Abu Hasan Al-Ash'ari memandang Tujuh Sifat Wajib Allah ini, dan juga Enam Sifat Wajib yang Pertama, sebagai Sifat-sifat yang sesuai dengan Hukum Aqli dan juga Hukum Naqli. Adapun sifat-sifat Wajib Allah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menurut Hukum Syar'i dan Aqli haruslah Ada. Artinya tidak dapat dibantah keberadaannya. 2. Merupakan bagian dari keberadaan Allah (Sifat Dzatiyyah), sehingga Sifat-sifat tersebut abadi tanpa adanya permulaan seperti Dzat Allah. Ada yang berpendapat Allah memiliki sifat 'Menggunakan Panca Indera' (idrak) yang dengan sifat itu Allah mampu merasa, menyentuh, mencium bau, dan rasa. Tetapi sifat ini tidak perlu digubris karena bertentangan dengan Sifat Wajib Allah yakni 'Allah Tidak Sama dengan Makhluk-Nya' (Mukhalafatu lil Hawaditsi). Perbedaan antara Asma Allah dan Sifat Allah adalah bahwa Asma Allah adalah kata sifat. Kata sifat menunjukkan kepemilikan dari sifat tertentu (misal ber-kekuatan, ber-keinginan, atau ber-pengetahuan), Memiliki Kemuliaan), atau melakukan perbuatan tertentu (misal menciptakan, memberikan hidup, menganugerahkan rezeki). Sifat-sifat Allah adalah Sifat-sifat yang ditandai dengan Asma-asma Allah. Contohnya adalah Asma Allah 'Yang Maha Menciptakan' (Al-Khaliq). Menciptakan adalah tindakan atau sifat dari tindakan (Sifat Fi'liyah). Asma Allah yang lain adalah 'Yang Maha Kuasa' (Al-Qadir). 'Yang Maha Kuasa' bermakna 'Yang Berkuasa Mutlak' atau “Yang Memiliki Sifat Berkuasa' Jadi ber-Kuasa adalah Sifat dan 'Yang Maha Kuasa' adalah Asma Allah. Sifat-sifat Yang Mustahil Bagi Allah Lawan dari Sifat-sifat Wajib Allah adalah Sifat-sifat Mustahil Allah yakni: 1. 'Tiada' ('Adam) lawan dari 'Ada' (Wujud) 1. 'Baharu' (Hudust) lawan dari 'Keabadian tanpa Permulaan (Qidam)'. 2. 'Binasa' (Fana) lawan dari 'Bertahan tanpa Akhir (Baqa')'. 3. 'Bergantung' (Qiyamuhu Bi Ghairihi) lawan dari 'Mutlak Tidak Butuh
pada Makhluk' (Qiyamuhu Bi Nafsihi) 4. 'Menyamai dengan Makhluknya' (Mumatsalatu lil Hawaditsi) lawan
dari 'Allah Tidak Sama dengan Makhluknya' (Mukhalafatu lil Hawaditsi). 5. 'Berbilang-bilang (Ta'addud) lawan dari 'Satu dalam Dzat-Nya' (Wahdaniyat).
11
6. 'Lemah' ('Ajzun) lawan dari 'Berkuasa (Qudrat)', 7. 'Terpaksa' (Karohah) lawan dari 'Berkehendak (Iradat)', 8. 'Bodoh' (Jahlun) lawan dari 'Mengetahui ('Ilmu)', 9. 'Mati' (Mautun) lawan dari 'Hidup (Hayat)', 10. 'Tuli' (Summun) lawan dari 'Mendengar (Sami'an)', 11. 'Bisu' (Bukmun) lawan dari 'Berfirman (Kaliman)', 12. 'Buta' ('Umyun) lawan dari 'Melihat (Bashiran)'.
Sifat-sifat yang Boleh Bagi Allah (Sifat Jaizah) Sebelum Ibnu 'Ashir berbicara tentang Sifat-sifat Wajib dan Mustahil Allah, dia menyebutkan Sifat yang masuk dalam ranah mungkin terjadi. Ini bukan Sifat Wajib dan bukan pula Sifat Mustahil. Semua perbuatan Allah dijelaskan sebagai Mungkin, yakni hal-hal yang terjadi di luar Dzat keTuhanan. Karena nya hal-hal tersebut masuk sebagai kategori 'diciptakan', karena apapun di luar Dzat Allah adalah diciptakan. Sifat-sifat Allah ada dua jenis: 1. 'Sifat Dzat Ke-Tuhanan ', dan 2. 'Sifat Perbuatan'. 'Sifat Perbuatan' secara teknis bukanlah Sifat melainkan Tindakan. Disebut Sifat karena dilakukan oleh Allah sehingga menjadi Sifat. Misal Allah Memberi Rezeki menjadi Sifat yakni 'Yang Maha Memberi Rezeki' (Ar-Rozzaak). Asma Allah merujuk kepada dua Sifat: 1. Sifat Dzatiyyah (esensi) atau 2. Sifat Fi'liyyah (perbuatan). Berdasarkan penerangan di atas, orang akan beranggapan bahwa para pengikut Imam Asy'ari membatasi jumlah Sifat-sifat Allah. Namun yang sebenarnya adalah mereka membatasi Sifat menjadi 'Sifat Wajib', 'Sifat Mustahil', dan 'Sifat Boleh' bagi Allah. Dan ketika seseorang mengerti perbedaan antara Asma (nama) dan Sifat, maka orang itu akhirnya dapat memahami bahwa selama Allah memiliki Kuasa untuk memperbuat apapun yang dikehendaki-Nya, maka Asma-asma-Nya menjadi tidak terbatas, sebab tidak ada yang dapat dilakukan tanpa Kuasa untuk melakukan suatu perbuatan. Untuk dapat memahami hal ini dengan lebih baik, yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah merenungkan perbuatan Allah seperti 'Mencipta', 'Memberi Hidup', 'Mematikan', 'Mengampuni, dll. Allah tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang demikian jika tidak memiliki 'Kuasa' terlebih dahulu. Karena itu menjadi jelas bahwa Sifat Abadi Allah adalah bagian dari Kekuasaan Allah. Dan selama Allah memiliki ke-Kuasa-an abadi untuk melakukan perbuatan-perbuatan Nya, maka Allah kapanpun dapat mencabut Asma 'Yang Menciptakan (Al-Khaliq), 'Yang Memberi Hidup', 'Yang Mematikan', 'Yang Mengampuni', 'Yang Maha Pengasih' (Ar-Rohmaan), dan semua Asma Allah lainnya yang menunjukkan adanya Sifat tertentu atau suatu Perbuatan. Seseorang dapat mencipta, menyelamatkan, atau mengasihi, setelah orang itu memiliki Kuasa untuk melakukannya. Dan karena kemungkinannya tidak terbatas, maka Asma Allah juga tidak terbatas. Karena itu para pengikut Imam 'Asy'ari tidak membatasi Sifat-sifat Allah sebagaimana anggapan para pengikut ajaran akidah imam lain.
12
Bukti-bukti Aqliyah Sifat-sifat Allah Sekarang Ibnu 'Ashir membahas bukti aqliyah dari keber-Ada-an Allah dan ke-Ahad-an-Nya. Bukti pertama untuk keberadaan Allah adalah bahwa: Segala sesuatu itu pastilah ada pembuatnya. Karena itu alam semesta harus ada pembuatnya juga. Karena itu pembuat alam semesta harus ada. Jika kita menimbang 'ada' dan 'tiada' dan membandingkan satu sama lain di atas timbangan fantasi, tidak diragukan lagi bahwa timbangan akan sama seimbang, karena 'ada' 'tiada' nya dunia adalah sama sejauh kemungkinan-kemungkinan yang dihasilkan oleh akal. Satu-satunya cara bagi satu sisi timbangan untuk lebih berat daripada sisi yang lain adalah memberikan tekanan atau berat lebih pada salah satu sisi nya. Ini adalah perumpamaan bagi alam semesta. Faktanya adalah kita melihat keberadaan alam semesta. Kita menerima bahwa sesuatu harus ditaruh sebagai pemberat timbangan yang sisinya memuat 'keberadaan' sehingga timbangannya lebih berat dari sisi yang memuat 'ketiadaan'. Tetapi ketika kita berkata bahwa “alam semesta menjadi 'ada' dengan sendirinya”, kita secara terang-terangan mengatakan bahwa 'keberadaan' dan 'ketiadaan' alam semesta adalah sama mungkinnya. Tetapi pada saat yang sama, 'keberadaan' alam semesta lebih mungkin daripada 'ketiadaan' nya dalam pandangan akal. Tentu alasan semacam ini saling berlawanan karena garis lurus mendatar tidak sama dengan garis miring diagonal. Padahal alasan/logika yang digunakan untuk menyatakan bahwa 'alam semesta ada dengan sendirinya' mengharuskan 'keberadaan' dan 'ketiadaan' adalah sama mungkinnya. Tetapi ini tidak mungkin, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Ibnu 'Ashir berikut ini. Mengatakan 'alam semesta ada dengan sendirinya' tentu juga bertentangan dengan hukum tata benda yang hanya ada dua kemungkinan 'ada' atau 'tiada'. Karena itu sebuah timbangan, 'ada benda' di atasnya atau 'tiada' tidak akan pernah sama. Lebihnya berat pada suatu timbangan karena adanya benda di atas satu sisi timbangan melawan sisi lain timbangan yang tidak ada benda di atasnya, adalah sesuatu yang tidak akan pernah berubah dalam dunia nyata. 'Kecelakaan' adalah istilah teknis yang digunakan dalam pembahasan ilmu semesta untuk merujuk sesuatu yang hanya dapat ada dengan cara menumpang pada sesuatu yang lain. Kamus Webster mengartikannya sebagai 'sebuah kejadian atau sifat yang tidak penting' [Webster’s II New College Dictionary 1995]. Contoh dari kecelakaan adalah sesuatu seperti bergeraknya suatu benda, macetnya sebuah engsel, bersambungnya rangkaian kereta, menyebarnya debu di udara, ter-warnai-nya sebuah bejana, dll yang semuanya tidak disengaja. Hanyalah sebuah 'benda' yang dapat disifati oleh kecelakaan atau sifat. Dan sebuah benda hanya dapat 'ada' ketika disesuaikan kepada keadaankeadaan ini. Karena itu ketika Ibnu 'Ashir menyatakan bahwa alam semesta yang diciptakan dapat ditentukan karena adanya kecelakaan dan dzat di luar alam semesta itu sendiri padahal kenyataannya keduanya tidak terpisah, maka artinya:
13
1- Benda tersebut memiliki sifat tambahan di luar dzatnya/sifatnya 2- Sifat-sifat tambahan itu muncul (misal diciptakan) 3- Benda-benda tersebut tidak pernah kekurangan sifat-sifat tambahan yang diperlukan untuk terjadi dengan sendirinya, padahal 4- Mustahil bagi benda-benda tersebut untuk memunculkan sesuatu yang tidak ada permulaannya. Karena itu bukti bahwa alam semesta diciptakan adalah materi yang membuat alam semesta tidak dapat dipisahkan dari sifat yang ada pada alam semesta itu, yang mana itu pastilah diciptakan. Dan apapun yang tidak dapat dipisahkan dari sifat yang diciptakan darinya maka sesuatu itu juga diciptakan. Karena itu materi yang membuat alam semesta adalah diciptakan. Dan bukti bahwa adanya 'kecelakaan' adalah juga 'diciptakan' yaitu bahwa benda-benda tampak berubah dari 'ada' menjadi 'tiada', dan dari 'tiada' menjadi 'ada'. Dan sesuatu apapun yang 'berubah' adalah 'diciptakan'. Karena itu 'kecelakaan' adalah 'diciptakan'. 'Lingkaran Logika' dalam hal ini mengharuskan kita untuk membayangkan penciptaan dan penciptaan alam semesta sebagai sebuah lingkaran. Kita diharuskan membayangkan bahwa 'satu bagian titik' dari semua titik yang membentuk lingkaran menandakan asal dari alam semesta. Satu titik tersebut dipercaya menjadi sebab dari semua kehidupan berikutnya, juga ditandai oleh titik-titik lain yang digambar di atas garis lingkaran. Setiap titik berikutnya adalah pencipta dari titik yang datang belakangan sampai titik terakhir mencapai titik pertama yang dirancang untuk menjadi asal mula dari semua titik-titik lainnya, kecuali bahwa titik terakhir sekarang dipandang menjadi asal dari titik pertama yang mana merupakan asal dari semua titik. Ini berarti bahwa pencipta alam semesta adalah pencipta dirinya sendiri dan segala sesuatu yang lain. Tetapi jenis logika seperti ini adalah salah/rusak.
Lingkaran Logika
Adapun dalam 'Rantai Logika', kita membayangkan awal penciptaan sebagai sebuah urutan kejadian sebagaimana mata rantai dalam sebuah rantai yang bersambung dengan akhir tanpa permulaan. Yang diajukan dalam rantai logika adalah mata rantai terakhir pada rantai menciptakan mata rantai sebelumnya. Dan mata rantai ini menciptakan mata rantai sebelumnya, dan seterusnya. Logika jenis ini juga salah/rusak karena kita tidak akan pernah mencapai sebuah akhir atau menetapkan 'wujud asli yang permulaan'. Kesimpulan akhir dari lingkaran logika dan rantai logika adalah: Alam Semesta menciptakan dirinya sendiri. Dengan dasar hujjah ini Ibnu 'Ashir berkata “Jika 'keabadian tanpa permulaan (Qidam)' tidak menjadi sifat Allah, pernyataan ini akan mengharuskan keber-'Ada'-an Allah setelah 'tiada'. Dan ini akan mirip dengan lingkaran logika atau rantai logika. Jika Allah sama dengan makhluk, Allah akan memiliki sifat diciptakan, karena sesuatu yang diciptakan tidak ada bedanya dengan sesuatu lain yang diciptakan sesuai dengan namanya 'makhluk' artinya 'diciptakan' bukan 'Yang Menciptakan' (al-Khaliq).
14
Jika Allah tidak Ahad, Allah akan membutuhkan bantuan selain-Nya untuk menciptakan alam semesta. Sedangkan Allah 'Tidak Berhajat Kepada Apapun' dalam penciptaan. Allah adalah Satu dan Tiada Duanya (Ahad). Dan ke-Ahad-an Nya serta rancangan yang 'Satu' dari alam semesta membimbing kita kepada satu kesimpulan bahwa hanya ada satu Pencipta, karena ketidak-Ahad-An Tuhan (ganda), akan menjadi banyak pula rancangan ganda alam semesta. Jika Allah tidak memiliki Sifat 'Hidup (Hayat)', maka Allah tidak dapat memberi hidup kepada siapapun, dengan alasan seseorang yang dirinya sendiri saja kekurangan, tentu tidak dapat memberi kepada orang lain. Jika Allah tidak 'Berkehendak (Iradat)' menciptakan apa yang diinginkan oleh-Nya, maka Allah tidak sengaja menciptakan apa yang diinginkan-Nya. Jika Allah tidak mengetahui apa yang diciptakan-Nya mencipta, Allah tidak dapat mencapai tujuan-Nya.
sebelum
Allah
Dan jika Allah tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan (Qudrat) untuk mencipta, alam semesta tidak akan pernah ada. Keenam proposisi tersebut adalah: 1- Jika 'keabadian tanpa permulaan (Qidam)' bukan Sifat Wajib Allah, maka hal itu akan mengharuskan Allah 'Ada' setelah 'Tiada'. 2- Jika 'Binasa' (Fana) adalah Sifat Wajib Allah, 'keabadian tanpa permulaan (Qidam)' akan ditiadakan.
maka
Sifat
3- Jika Allah 'Menyamai dengan Makhluknya' (Mumatsalatu lil Hawaditsi), maka 'Ada' nya Allah setelah 'tiada' akan menjadi tak terelakkan. 4- Jika Sifat 'Mutlak tidak bergantung pada Makhluk' (Qiyamuhu bi Nafsihi) bukan Sifat Wajib Allah, maka Allah akan 'Bergantung' (Qiyamuhu Bi Ghairihi) 5- Jika Allah tidak 'Satu dalam Dzat' (Wahdaniyat), Allah tidak akan memiliki 'Kuasa' untuk melakukan apapun atas kehendak-Nya. 6Jika Allah tidak 'Hidup (Hayat)','Berkehendak (Iradat)','Mengetahui ('Ilmu)','Berkuasa (Qudrat)', Anda tidak akan melihat dunia. Akibat yang timbul dari setiap proposisi di atas meskipun salah adalah: 1- Allah menjadi 'Ada' setelah 'Tiada' 2- Allah tidak memiliki sifat 'keabadian tanpa permulaan (Qidam)' 3- Adalah tidak terelakkan bahwa Allah 'ada' setelah 'tiada' 4- Allah bersifat 'Bergantung' (Qiyamuhu Bi Ghairihi). Sebab 'Mutlak tidak bergantung pada Makhluk' (Qiyamuhu bi Nafsihi) tidak lagi terpenuhi. 5- Allah tidak lagi memiliki 'Kuasa' untuk berbuat sekehendak-Nya karena tidak Ahad 'Satu dalam Dzat' (Wahdaniyat)
15
6- Tidak satupun yang akan tercipta jika Allah tidak memiliki Sifat-sifat Wajib 'Hidup (Hayat)', 'Berkehendak (Iradat)','Mengetahui ('Ilmu)','Berkuasa (Qudrat)' Setiap konsekuensi yang didapat adalah salah. Akibatnya, antesedennya berturut-turut juga salah. Antesedennya adalah: 1- 'Keabadian tanpa permulaan (Qidam)' bukanlah Sifat Wajib Allah 2- Mungkin bagi Allah untuk mengalami 'Kebinasaan' (Fana) 3- Allah bersifat 'Menyamai dengan Makhluknya' (Mumatsalatu lil Hawaditsi) 4- 'Mutlak tidak bergantung pada Makhluk' (Qiyamuhu bi Nafsihi) bukan Sifat Allah. 5- 'Satu dalam Dzat' (Wahdaniyat) bukan Sifat Wajib Allah 6- 'Hidup (Hayat)','Berkehendak (Iradat)','Mengetahui ('Ilmu)','Berkuasa (Qudrat)' bukan Sifat Wajib Allah. Hujjah untuk Memahami Sifat-sifat Allah 'Mendengar' (Sami'an), 'Melihat' (Bashiran), dan 'Berfirman' (Kaliman) Baik itu Hukum Syar'i dan Hukum 'aqli menegaskan wajibnya bagi Allah Sifat-sifat yang sudah dijelaskan sejauh ini. Namun untuk Sifat-sifat 'Mendengar' (Sami'an), 'Melihat' (Bashiran), dan 'Berfirman' (Kaliman) ditegaskannya oleh Hukum Syar'i saja. Bagi orang yang berakal sehat, Kesempurnaan Sifat-sifat Allah yang lain, cukup sebagai bukti Wajibnya Sifat-sifat 'Mendengar' (Sami'an), 'Melihat' (Bashiran), dan 'Berfirman' (Kaliman) bagi Allah. Ini berarti bahwa Hukum Syar'i dan Hukum Aqli dapat menjadi hujjah bagi Sifat-sifat Wajib Allah. Sebagian Sifat dapat dikuatkan oleh kedua Dalil. Sedangkan sebagian Sifat lagi dapat dibenarkan oleh Hukum Syar'i saja. Tetapi tidak ada satu pun Sifat Allah yang ditegaskan oleh Hukum Aqli saja tanpa dukungan Hukum Syar'i. Sebaliknya hanya Hukum Syar'i sajalah yang digunakan untuk menguatkan Asma-asma Allah (Asmaul Husna). Hukum Aqli tidak memiliki tempat dalam Asma Allah. Hujjah ini dikemukakan oleh Imam Abū Al-Ĥasan Al-Ash’arī. Kita telah membahas satu-persatu Sifat-sifat Wajib Allah, Mustahil, dan Sifat Boleh Allah dengan penjelasan yang jelas dan sebanding dengan kenyataan yang ada di dunia. Jika Sifat Mustahil dikacaukan dengan Sifat Boleh ataupun Sifat Wajib, maka akan terjadi perubahan pada dunia nyata yang kita tinggali sekarang ini. Karena itu jangan coba-coba utak-atik lagi sedikitpun, karena dunia dan segala isinya, makhluk dan juga alam semesta, tetap akan berjalan sesuai kehendak Allah Sang Pencipta. Yang ada juga orang yang mencoba utak-atik akan kacau sendirian. Sifat-sifat Wajib bagi Rasul (Sifat Wajiba) Setelah menjelaskan Sifat-sifat Allah, Wajib, Mustahil, dan Boleh beserta dalil-dalilnya, yang harus diketahui oleh seorang Muslim yang sudah terkena kewajiban beribadah, Ibnu 'Ashir kini mengawali penjelasan Sifat-sifat yang harus diketahui oleh seorang Muslim berkenaan dengan
16
Rasul-rasul Allah. Pertama, Ibnu 'Ashir berbicara Sifat-sifat inti. Sifat-sifat ini ada tiga:
mengenai
beberapa
1- Jujur. Rasul harus Jujur dalam semua penyampaian dari Allah. Para Rasul Jujur dalam setiap hal baik itu dalam mewartakan kabar dari Allah dan juga keseharian mereka. Mereka tidak pernah dusta tentang apapun baik itu disengaja ataupun tidak disengaja. 2- Dapat Dipercaya. Para Rasul melindungi setiap anggota tubuh mereka, luar dan dalam, dari melakukan perbuatan terlarang atau tercela. 3- Menyampaikan. Ini merupakan Sifat sekaligus Tugas para Rasul untuk menyampaikan semua yang diperintahkan oleh Allah tanpa menyembunyikan sedikit juapun berita, baik itu menyembunyikan karena lupa atau menyembunyikan karena sengaja tidak menyampaikan. Sifat inti para Rasul yang keempat yang tidak disebutkan oleh Ibnu 'Ashir adalah Sifat 'Cerdas' (Fathanah) yang menjamin bahwa para Rasul Allah tidak ditipu atau dimanfaatkan. Jika Rasul tidak cerdas, Setan akan dapat menipu Rasul untuk mempercayai bahwa Setan adalah Malaikat yang menyampaikan Wahyu Al-Quran. Lawan dari Sifat-sifat mulia yang diterangkan di atas adalah, 'kebodohan', 'kelalaian', 'kelinglungan'. Sifat-sifat Mustahil Bagi Rasul Sekarang Ibnu 'Ashir menjelaskan sifat-sifat Mustahil bagi Rasul Allah. Orang-orang yang berakal sehat tidak akan menerima sifat-sifat ini sebagai Sifat Rasul. Di antara sifat-sifat Mustahil ini adalah lawan dari Sifat-sifat Wajib yang telah disebutkan di atas. 1- Dusta. Dusta adalah lawan dari Jujur. Yaitu bicara sesuatu yang berlawanan dengan kenyataannya. 2- Berkhianat. Berkhianat atau tidak dapat dipercaya adalah lawan dari Dapat Dipercaya. Mustahil bagi Rasul yang diutus oleh Allah melakukan tindakan berkhianat dengan melakukan perbuatan yang terlarang atau terkutuk. 3- Menyembunyikan Risalah. Ini juga Sifat Mustahil dari Rasul, yakni tidak menyampaikan risalah atau salah satu bagian risalah yang mana penyampaian risalah adalah tugas dari Allah kepada para Rasul. Sifat-sifat yang Boleh bagi Rasul Di sini Ibnu 'Ashir membahas Sifat-sifat yang Boleh bagi Rasul. Di antara sifat-sifat yang boleh adalah Rasul dapat digambarkan mengalami sakit, lapar, nyeri, makan, minum, menikah, lupa (namun lupa ini adalah lupa di luar persoalan risalah yang disampaikan atau tidak diperintahkan untuk disampaikan), dan sifat-sifat lain yang tidak memberi kesan ketidaksempurnaan bagi Rasul seperti ketidakwarasan atau yang semacamnya. Sekarang Ibnu 'Ashir menjelaskan hujjah bahwa Rasul harus ber-Sifat Jujur, Amanah, dan melaksanakan perintah Allah. Setiap mukjizat yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya adalah cara Allah memberitahu kita siapa yang bukan Rasul yang sungguh-sungguh diutus oleh Allah untuk menyampaikan Risalah.
17
Mukjizat adalah cara Allah memberi pengajaran, “Jika kau percaya bahwa Rasul berkata dusta seputar diutusnya Rasul oleh Allah, maka kenapa kau tidak melakukan apa yang Rasul lakukan (mukjizat). Jika kau tidak dapat, maka bersaksilah bahwa Allah telah mengutusnya. Karena itu patuhilah semua ucapan Rasul. Mengatakan Rasul mungkin berbohong, sama saja dengan mengatakan Allah berbohong melalui Mukjizat yang diberikan kepada Rasul yang menyatakan Rasul berkata benar dalam semua ucapannya. Dan karena kita tahu bahwa Allah tidak berdusta dan tidak punya alasan untuk berdusta, maka adalah mustahil bagi Rasul untuk berdusta. Jika ada Rasul Allah yang tidak patuh kepada Allah dengan melakukan pelanggaran besar atau kecil seperti tidak menyampaikan risalah, maka pelanggaran tersebut akan dianggap sebagai bentuk ketaatan, karena kita diperintah untuk meniru para Rasul. Karenanya itu akan berarti bahwa kita menyembunyikan risalah dan berbuat tidak jujur. Maka kita meyakini bahwa adalah suatu keharusan bahwa Rasul menyampaikan risalah dan menjunjung tinggi kesetiaan. Salah satu hikmah yang kita pelajari dari penderitaan di dunia adalah kenikmatan di akhirat yang mana tidak akan dapat dirasakan/dipahami (apalagi diajarkan) kecuali setelah mengalami penderitaan di dunia. Apalah arti dari kenikmatan jika tidak ada penderitaan? Ucapan “Laa ilaaha illallahu, Muhammad Rasul Allah“ mencakup semua yang telah dibahas di nadzam di atas. Dzikir terbaik sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah Hadist adalah “Laa ilaaha illallahu”. Harta Karun yang dimaksud di sini adalah Surga. Digambarkan sebagai harta karun karena Surga tersembunyi dari mata jasmani sehingga dibuat persamaan dengan harta karun yang dikubur dibawah tanah. Islam, Iman, Ihsan Syahadatain adalah syarat bagi semua perbuatan ibadah yang memerlukan niyat sebelum menjadi sah dan diterima. Ini berarti bahwa ibadah yang tidak memerlukan niyat seperti bersedekah atau silaturahim adalah diterima bahkan bagi orang yang belum bersyahadat sebagaimana dinyatakan oleh banyak ulama Islam. Bagi orang kafir di Yaumul Hisab nanti, sedekah dan silaturahimnya akan memberati timbangan amal kebaikannya. Namun, kekafirannya akan lebih berat dari semua kebaikannya terlepas dari berapapun banyaknya kebaikan yang orang kafir itu lakukan di dunia. Islam dan cara hidupnya terdiri dari tiga unsur: 1- Islam – Hukum 2- Iman – Akidah 3- Ihsan – Moral yang baik Ini berdasarkan Hadist terkenal tentang pertanyaan Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW tentang arti dari tiga istilah: Islam, Iman, dan Ihsan.
18
PENGANTAR USUL FIQH PENGANTAR KEPADA ASAS YURISPRUDENSI (USHUL) YANG MEMBANTU MENCAPAI PEMAHAMAN DARI CABANGNYA PENGANTAR FIQIH FIQH DIDEFINISIKAN sebagai ‘ilmu dari pengetahuan penetapan hukum syara’ yang berasal dari Qur’an dan Sunna berkenaan dengan perbuatan tertentu dari orang yang sudah bertanggung jawab (mukallaf). Fiqh meliputi dua bidang: Ibadah, yang berkenaan dengan hubungan antara orang mukallaf dan Allah, seperti salat, puasa dan haji. Transaksi (mu’amalat), yang berkenaan dengan hubungan antara sesama manusia seperti perdagangan, pernikahan, hudud, warisan, dan lain-lain. Macam-macam Hukum Syara’ Secara bahasa, hukm adalah sebuah ketetapan mengenai sesuatu atau seseorang. Sebuah ketetapan dalam Shari’a (hukum Shar’i) adalah Kalam Allah yang menentukan tingkah laku mukallaf dan hanya dapat dikuatkan oleh Wahyu, bukan secara rasional atau empiris. Macam-macam Ketetapan adalah sebagai berikut: 1. Sebuah penetapan beban (taklif) kepada mukallaf, yang bisa berupa: a. Izin untuk bertindak atau sebuah: b. Tuntutan (talab) yang bisa jadi tegas (jazim) atau tidak (ghair jazim) – yang bisa jadi: i. untuk melakukan sebuah tindakan (fi’il) atau ii. menahan diri dari sebuah tindakan (tark). 2. Sebuah syarat (wad’) yang merupakan satu dari tiga hal: a. Sebab – sebagaimana diilustrasikan dalam contoh berikut: i. Sebab daging halal adalah disembelih ii. Sebab salat Dhuhr menjadi wajib adalah matahari melewati puncak tertingginya. b. Syarat – Syarat zakat menjadi wajib adalah berlalunya satu tahun Hijriah, tetapi itu bukanlah sebab karena syarat berikutnya juga harus terpenuhi (yaitu nisab). c. Mencegah (mani’) – yang mencegah perempuan untuk salat adalah darah haidh. Kategori Peraturan Hukum 1. Wajib – yang merupakan tuntutan keras untuk melakukan suatu perbuatan. 2. Sunnah – yang merupakan tuntutan yang tidak keras untuk melakukan suatu perbuatan. 3. Makruh – yang merupakan tuntutan yang tidak keras untuk menahan diri dari suatu perbuatan. 4. Haram – yang merupakan tuntutan keras untuk menahan diri dari suatu perbuatan. 5. Mubah – yang membolehkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Semua ini dijelaskan dengan lengkap sebagai berikut: 19
Wajib/fard: jika tuntutan dari Pembuat hukum adalah keras disebut wajib/fard dan diberi pahala jika dilakukan dan dihukum jika ditinggalkan, seperti beriman kepada Allah dan RasulNya salalahu’alayhiwasalam dan rukun Islam. Sunnah (mandub): jika tuntutan oleh Pembuat hukum lebih rendah tingkat keras/tegasnya, dikategorikan sebagai mandub, yang diberi pahala jika dilakukan dan tidak dihukum jika tidak dikerjakan, seperti salat Fajr (yang merupakan salat dua rakaat sebelum salat wajib Subh). Makruh: jika larangan tidak keras, disebut makruh, yang tidak dihukum jika dikerjakan tetapi diberi pahala jika tidak dikerjakan, seperti membaca Qur’an dalam sajda. Haram: jika larangan adalah keras, disebut haram, yang dihukum jika dikerjakan, tetapi diberi pahala jika tidak dikerjakan, seperti makan babi dan minum wine. Mubah: jika mengerjakan dan meninggalkan suatu perbuatan adalah boleh, disebut mubah atau halal, yang tidak diberi pahala ataupun dihukum. Tetapi jika sesuatu yang halal dilakukan dengan niat mematuhi Allah dan menghindari ketidakpatuhan, itu berpahala. Macam-macam Wajib dan Sunnah Wajib dibagi menjadi dua: 1. Fard ‘ayn, yang merupakan kewajiban atas setiap mukallaf, seperti salat lima waktu. 2. Fard kifaya, yang merupakan kewajiban bersama (komunal) seperti salat al-janaza atau menyelamatkan orang tenggelam. Jika tidak dikerjakan oleh sebagian dari anggota komunitas, maka semuanya bertanggung jawab dan dapat dikenai hukuman, tetapi jika dikerjakan, komunitas itu bebas dari kewajiban. Mandub dibagi menjadi tiga: 1. Sunnah adalah apa yang Rasul salalahu’alayhiwasalam selalu lakukan tanpa menandakan perbuatan itu sebagai suatu kewajiban. Ini disebut juga sunnah muakkadah (sunnah yang dikuatkan) dan terdiri dari dua macam: a. Sunna ‘ayn, sunna individual – seperti salat witir. b. Sunna kifayah, sunna komunal – seperti seorang anggota dari sekelompok orang menjawab salam atas nama sekelompok orang itu, mengumandangkan adhan atau iqama. 2. Mustahab adalah apa yang Rasul salalahu’alayhiwasalam lakukan kadang-kadang. 3. Tatawwu’ (sukarela) adalah perbuatan sunna yang dilakukan atas kemauan sendiri. Kategori ini disebut juga nafila, raghiba, dan fadhila. Definisi pasti dan hubungan antara banyak kategori yang tercantum pada 2 dan 3 adalah topik diskusi antara para ‘ulama. * * *
20
Panduan Bersuci dan Shalat Kategori Air yang Dapat digunakan untuk Bersuci Hukum - Air - Air - Air
Syariat menggolongkan air kepada 3 golongan: alami – mutlak atau suci (Thohur) bersih tapi tidak alami (Thohir) kotor (Najis)
1. Air alami dibagi lagi menjadi dua golongan: air alami dan air yang menyamai air alami. a. Air segar (mutlaq) adalah air yang segar dalam artian tidak ada satupun benda/zat kotor maupun bersih yang tercampur pada air tersebut, dan tidak satupun dari sifat-sifat asli air yang berubah. Ciri-ciri air adalah: warna, bau, dan rasa. Air segar adalah yang umumnya dimaksud dengan air murni. b. Air yang disamakan dengan air segar (Tāhir) adalah air yang dihukumi sebagaimana air segar yakni dapat digunakan untuk bersuci(wudu/mandi). Tetapi air tersebut bercampur dengan benda/zat bersih yang tampaknya telah mengubah satu atau lebih sifat-sifat air. Dikatakan “tampaknya” karena keadaan air ini dapat diterima sebagai alami, atau benda/zat termaksud, yang merubah keadaan air adalah benda/zat tidak dapat dipisahkan dari air tersebut. Sebagai contoh: air rawa, air laut, air yang hijau karena mengandung alga karena tidak mengalir dalam waktu lama, atau sebagaimana dituliskan di awal, air yang berwarna kemerahan alami. Aturan ini berlaku sama pada air es, air salju, dan air dari embun beku yang telah mencair. 2. Air bersih tapi tidak alami adalah air yang telah mengalami perubahan karena bercampur dengan sesuatu yang bersih seperti gula, susu, sabun, atau tanah. Air tersebut boleh digunakan untuk hal-hal umum seperti mencuci piring, minum dll. 3. Air kotor (najis) adalah air yang telah berubah sifat-sifatnya karena tercemar oleh najis seperti darah, kencing, tahi, mani, minuman keras dan yang sejenisnya. Air kotor tidak digolongkan kepada air najis kecuali jika tercampur dengan salah satu dari najis-najis yang telah disebutkan di atas. Hanya air segar (nomor 1a) atau air yang disamakan dengan air segar (nomor 1b) yang boleh digunakan untuk wudu, mandi atau membersihkan najis dari tubuh, baju, atau tempat shalat. Jenis Air
Pengertian
Kegunaan
1. Air alami a.Air segar
Air yang belum tercampur oleh apapun baik bersih atau tak bersih
Sah untuk bersuci dan hal-hal umum lainnya
b.Air yang disamakan dengan air segar
Air yang digolongkan sebagai alami namun telah mengalami perubahan pada salah satu sifatnya (misalnya air laut)
Sama seperti di atas
2. Air bersih tapi tidak alami
Air yang telah berubah oleh benda/zat bersih
Sah untuk keperluan umum bersih-bersih tapi tidak untuk bersuci
3. Air kotor
Air yang telah tercampur dengan najis
Tidak sah untuk bersuci dan juga tidak sah untuk keperluan umum bersih-bersih
21
Hadas Kecil dan Rukun-rukun Wudu Salah satu syarat sah nya Shalat adalah bersuci dari hadas (yakni wudu, mandi, atau tayammum). Penulis mengawali dengan yang paling mendasar; bersuci dari hadas kecil (al-hadath al- asghar). Untuk menghilangkan hadas kecil sebelum Shalat, seseorang harus ber-wudu. Tetapi wudu hanya sah ketika dilakukan dengan benar. Dan jika ada rukun wajibnya yang dihilangkan, wudu menjadi tidak sah. Dan jika Wudu tidak sah, maka Shalat nya tidak sah sehingga harus diulangi lagi dengan kembali berwudu secara sempurna supaya sah. Penulis telah meringkas rukun-rukun wudu yang terdiri dari 7 rukun yakni: Membasuh telapak tangan satu sama lain (dalk) Menyegerakan tindakan di antara rukun-rukun wudu (fawr) untuk menghindari penundaan 1. 2. 3. 4. 5.
Niyat di Membasuh Membasuh mengusap Membasuh
permulaan wudu (niyyah) muka (ghasl wajh) telapak tangan sampai ke siku (ghasl al-yadayn) kepala sekali (mash al-ra’s) kaki sampai ke mata kaki (ghasl al-rijlayn)
Niyat seseorang saat berwudu haruslah mengandung minimal salah satu dari yang tersebut di bawah ini: - Niyat menghilangkan hadas kecil - Bersiap melakukan ibadah yang mewajibkan wudu - Atau memperbaharui wudu untuk ibadah yang memerlukan wudu setelah wudu yang sebelumnya batal. Salah satu dari niat-niat ini adalah cukup. Tetapi seseorang tidak perlu terlalu memusatkan perhatian pada hal ini, karena mungkin hampir tidak pernah orang ber-wudu kecuali kalau dia hendak mengerjakan Shalat. Ingatlah, karena penting untuk tidak menjadi was was dalam hati (waswasah). Adapun kenapa penulis menyebutkan rincian ini, karena mungkin saja seseorang ber-wudu tanpa bermaksud untuk Shalat seperti misalnya pergi ke luar rumah, naik sepeda, membaca kitab Hadist, dll. Jika seseorang ber-wudu untuk hal-hal seperti itu, dan dia Shalat, maka Shalat nya tidak sah, karena niat ber-wudu nya bukan untuk pekerjaan yang memerlukan wudu. Dan niat seperti itu tidak cukup untuk Shalat, yang mana Shalat ini memerlukan sebuah niyat yang dikhususkan untuk ibadah-ibadah yang memerlukan wudu. Penulis juga menyebutkan bahwa wajah tidak termasuk telinga, namun sampai batas wajah dengan telinga. Juga disebutkan bahwa di antara rukun-rukun wajib wudu, yakni menyisir di antara jari-jari. Menyisir di antara jari-jari telapak tangan dimasukkan ke dalam kewajiban dalam Madzhab Maliki, sementara itu menyisir area lain telapak tangan dimasukkan ke dalam pekerjaan Sunnah sebagaimana yang akan dibahas nanti. Adapun untuk jenggot, hanya diwajibkan untuk mengusap permukaan rambut jenggot jika jenggotnya terlalu tebal. Namun jika kulit di bawah jenggot dapat terlihat maka wajib untuk menyisir jenggot dengan jari supaya air mencapai kulit.
22
Perkara-perkara Sunnah dalam Wudu Selanjutnya, penulis membahas Sunnah-sunnah wudu. Perbuatan Sunnah adalah perbuatan yang sangat ditekankan karena Nabi SAW Tidak pernah meninggalkannya. Namun tidak ada bukti yang cukup bahwa perbuatan-perbuatan tersebut diwajibkan. Seseorang yang meninggalkan Perbuatan Sunnah – meskipun tidak berdosa meninggalkannya, adalah dikecam karena dia secara sengaja bermaksud menjauh dari Sunnah Nabi SAW. Sabda Beliau: “Orang yang Menjauh dari Sunnahku adalah bukan golongan umatku”
و من رغب عن سنتي فليس مني Orang yang melakukan Sunnah diberi pahala oleh Allah, dan tidak diganjar dosa jika meninggalkannya. Perbuatan Sunnah dalam wudu sebagaimana dinyatakan oleh penulis, ada 7 yaitu: 1- Memulai wudu dengan mencuci tangan terlebih dahulu (al-bad’ bi ghasl al-yadayn) 2- Mengusap kepala dua kali (radd mash al-ra’s) 3- Mengusap telinga (mash al-udhunayn) 4- Berkumur (madmadah) 5- Menghirup air ke dalam hidung (istinshaq) 6- Menyemburkan air yang telah dihirup ke dalam hidung (istinthar) 7- Berurutan dalam mengerjakan rukun-rukun wajib wudu (tartib alfara’id) Sunnah pertama dalam ber-wudu adalah mencuci tangan. Nabi SAW. Selalu terlihat mencuci tangan sebelum mencelupkan kedua tangan beliau yang mulia kedalam bejana wudu. mengusap kepala satu kali adalah rukun wajib. Juga wajib untuk mengusap seluruh kepala menurut pandangan umum dalam Madzhab Maliki. mengusap kepala dua kali adalah Sunnah. mengusapnya lebih dari dua kali adalah tidak disukai (makruh). Adapun untuk telinga, bagian belakang telinga hendaknya disapu dengan menggunakan ibu jari, sedangkan jari telunjuk digunakan untuk membersihkan daun telinga sebagaimana yang dicontohkan oleh guru-guru agama kita sewaktu kecil. Berurutan mengerjakan rukun-rukun wajib wudu sesuai penomoran yang telah dijelaskan di atas artinya pertama basuh dulu wajah, lalu tangan sampai ke siku, lalu mengusap kepala, kemudian yang terakhir mencuci kaki sampai ke tulang mata kaki (ankle):
Dikarenakan ini adalah Sunnah, maka jika seseorang mengerjakan rukun-rukun wajib wudu tidak secara berurutan, maka wudu nya tetap sah. Tapi harap diingat bahwa mengerjakan rukun-rukun wajib wudu secara berurutan adalah Sunnah.
23
Perbuatan-perbuatan yang Hendaknya Dikerjakan Saat Wudu Karena Berpahala Keutamaan/Fadlilah/Mustahabbat) Setelah perbuatan-perbuatan Sunnah, yang selanjutnya juga penting adalah perbuatan-perbuatan yang memiliki keutamaan dalam hal ber-wudu (Fadlail, jamak dari Fadlilah atau Mustahabbat). Keutamaan yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan yang jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak dikecam sebagaimana perbuatan Sunnah seperti yang telah diterangkan di atas. Sebabnya adalah perbuatan yang termasuk keutamaan tidak cukup bukti untuk ditekankan pengerjaannya sebagaimana Sunnah. Keutamaan-keutamaan wudu sebagaimana yang diterangkan oleh Sidi Ibnu 'Ashir ada 11 yaitu: 7. Mengucap “Bismillaah” pada permulaan wudu 8. Berwudu di tempat yang bersih 9. Menggunakan air dalam jumlah yang sedikit 10. Menempatkan bejana di sebelah kanan tubuh orang yang ber-wudu jika yang digunakan hanya satu bejana 11. Mengulangi membasuh anggota tubuh sekali atau dua kali 12. Mendahulukan membasuh anggota tubuh bagian kanan 13. Membersihkan gigi dan mulut dengan kayu siwak atau sikat gigi 14. Mengerjakan Sunnah secara berurutan 15. Mengerjakan Sunnah berurutan disandingkan dengan rukun wajib wudu secara berurutan pula 16. mengusap kepala dimulai dari bagian depan garis tumbuhnya rambut. 17. Menyisir sela-sela jari kaki saat mencuci kaki. Tabel di bawah keutamaannya:
ini
menunjukkan
rukun
wajib
wudu
beserta
Sunnah
dan
Rukun Wudu
Wajib
Sunnah Keutamaan
Niyat
Ya
Tidak
Membaca Bismillahirrahmaanirrahiim
Cuci Tangan
Tidak
Ya
Ber-wudu di tempat yang bersih
Berkumur
Tidak
Ya
Menggunakan sedikit
air
Menghirup air lewat hidung
Tidak
Ya
Menempatkan kanan tubuh
bejana
Menyemburkan air yang disedot ke hidung
Tidak
Ya
Mengulangi basuhan sekali atau dua kali
Membasuh wajah
Ya
Tidak
Mendahulukan kanan
Membasuh tangan sampai ke siku
Ya
Tidak
Bersiwak atau gosok gigi
mengusap kepala satu Ya kali
Tidak
Mengerjakan Sunnah berurutan disandingkan dengan rukun wajib secara berurutan pula
mengusap kepala kedua kalinya
Tidak
Ya
Mengerjakan Sunnah berurutan
mengusap telinga
Tidak
Ya
mengusap kepala dimulai dari rambut bagian depan
Berurutan dalam rukun wajib wudu
Tidak
Ya
Menyisir di antara saat mencuci kaki
24
dalam
jumlah
air
anggota
di
tubuh
yang
sebelah
bagian
jari-jari
kaki
Saling membasuh tangan saat cuci tangan
Ya
Tidak
Tanpa penundaan di Ya antara rukun(segera)
Tidak
Mencuci kaki sampai ke mata kaki
Tidak
Ya
Perbuatan-perbuatan yang Tidak disukai (Makruh) pada saat Wudu Tabel di bawah ini merinci perbuatan-perbuatan yang makruh dilakukan pada saat berwudu. Perbuatan-perbuatan yang Makruh Pada Saat Berwudu 1. Membasuh/mencuci anggota tubuh melewati batas-batas bagian yang diwajibkan untuk dibasuh. Seperti mencuci kaki melebihi mata kaki. 2. Membasuh anggota tubuh melebihi jumlah yang telah ditentukan seperti mencuci tangan dan kaki 4 kali atau lebih. Atau mengusap kepala lebih dari dua kali.
Persoalan-persoalan yang Berkenaan dengan Wudu Disebutkan di awal bahwa salah satu rukun wajib wudu adalah 'menyegerakan di antara pengerjaan rukun-rukun wudu'. Pada bagian ini, Sidi Ibn ‘Ashir merinci salah satu pembahasan tentang 'menyegerakan'(fawr). Pertama, jika terjadi penundaan dalam pengerjaan rukun-rukun wudu dikarenakan seseorang terhalang dari mendapatkan air yang diperlukan untuk menyelesaikan wudu – karena hal-hal seperti kehabisan air, air menjadi tercemar, pasokan air ledeng di rumah terhenti, dll. - maka orang tersebut dibolehkan hanya membasuh anggota tubuh yang belum terbasuh saat sudah menemukan air selama 'tenggang waktu' belum habis. 'Tenggang waktu' yang dimaksud di sini adalah sejumlah waktu dari saat anggota tubuh dibilas sampai kering nya anggota tubuh tersebut pada cuaca normal. Maksud cuaca normal adalah tidak terlalu dingin atau ber-angin yang menyebabkan air pada anggota tubuh menjadi beku atau mengering dengan cepat. Tenggang waktu di sini dianggap sebagai waktu yang pendek. Masalah kedua adalah persoalan tentang orang yang ingat bahwa dia telah lupa membasuh atau mengusap anggota tubuh yang diwajibkan untuk dibasuh/diusap. Jika sekiranya tenggang waktu telah habis sebelum dia ingat, maka dia hendaknya hanya membasuh anggota tubuh yang tertinggal saja. Tapi jika sekiranya tenggang waktu masih ada, orang tersebut hendaknya membasuh anggota tubuh wajib yang ditinggalkan ditambah dengan anggota tubuh yang memiliki urutan setelah anggota tubuh wajib yang lupa dibasuh walaupun yang memiliki urutan setelahnya telah dibasuh. Sebaliknya, jika tenggang waktu telah habis sebelum seseorang membasuh ulang anggota tubuh yang tertinggal, bukan karena kehabisan air atau lupa, maka wajib bagi orang itu mengulangi Wudu dari awal karena dia telah meninggalkan rukun wajib Wudu yakni 'menyegerakan'.
25
Jika seseorang Shalat tanpa membasuh/mengusap untuk dibasuh/diusap dalam Wudu, maka Shalat diulangi setelah berwudu kembali dengan benar.
anggota tubuh yang nya tidak sah dan
wajib harus
Terakhir, jika terjadi seseorang meninggalkan perbuatan Sunnah dalam Wudu setelah Shalat, maka dianjurkan bagi orang itu untuk membasuh anggota tubuh yang ditinggalkan Sunnah-nya sebelum orang itu mengerjakan Shalat yang berikutnya.
Perkara-perkara yang Membatalkan Wudu Pada bagian ini, Sidi Ibnu ‘Ashir membuat daftar sejumlah perkara yang membatalkan Wudu seseorang sebanyak 16 perkara pembatal Wudu: 1. Kencing 2. Kentut 3. Sesuatu yang keluar dari qubul maupun dubur seperti air kencing, air mani, darah penyakit (seperti darah yang keluar pada perempuan melebihi periode waktu normal menstruasi), atau kentut terus-menerus 4. Berak 5. Tidur lelap 6. Keluar madzi 7. Mabuk 8. Pingsan 9. Gila tiba-tiba 10. Keluar wadi 11. Bercumbu/berpelukan 12. Mencium 13. Menyentuh vagina 14. Menyentuh penis 15. Ragu-ragu tentang status Wudu, sudah batal atau belum 16. Murtad Untuk nomor 3 – jarang terjadi, artinya tidak lazim misalnya seseorang kentut terus-terusan setiap kali wudu karena penyakit umpamanya, keadaan orang yang demikian maka tidak perlu ber-Wudu ulang setiap kali akan Shalat namun disarankan untuk ber-Wudu. Hal yang sama juga berlaku pada laki-laki atau perempuan yang secara tetap keluar madzi walaupun tidak membayangkan hubungan badan, orang dengan gangguan kandung kemih yang secara tetap mendapati sisa air kencing, dan perempuan yang memiliki gangguan rahim sehingga haidh melebihi batas periode. Bagi orang-orang tersebut, hanya sekedar disarankan untuk wudu sebelum Shalat. Jika tidak, mereka dapat Shalat tanpa wudu. Tetapi mereka hendaknya ber-ikhtiar mencari peng-obat-an atas penyakit mereka itu jika ada. Periode waktu maksimal haidh yang dialami perempuan menurut madzhab Maliki adalah 15 hari. Dengan kata lain, perempuan yang dianggap memiliki periode waktu haidh cukup panjang, adalah normal dalam pandangan madzhab Maliki. Adapun yang dimaksud haidh berkepanjangan adalah ketika darah terus keluar melebihi 15 hari. Dalam hal perempuan yang siklus tetap haidh nya lebih dari 15 hari, saat masuk hari ke-16, dia dianggap berpenyakit jika darah terus keluar. Ini berarti bahwa dia diwajibkan untuk mandi besar (ghusl), dan kembali mulai Shalat, Puasa, dan suaminya diijinkan untuk menggaulinya. Adapun untuk Wudu, hanya disarankan bahwa dia ber-Wudu sebelum Shalat sekalipun dalam keadaan darah terus keluar. Sebaliknya, jumlah hari minimal yang perempuan alami dalam keadaan bersih tanpa haidh adalah 15 hari. Ini berarti bahwa jika lebih sedikit dari 15
26
hari berlalu di antara dua siklus haidh dari seorang perempuan, siklussiklus tersebut dianggap bagian dari satu siklus saja, bukan dua yang terpisah. Adapun untuk nomor 5 – tidur lelap, satu dari ciri orang tidur lelap adalah ketika seseorang jatuh tertidur ketika memegang sesuatu di tangannya. Jika benda yang dipegang jatuh tanpa disadari oleh orang itu, maka dia dianggap tidur nyenyak. Jika tidak, tidurnya dianggap tidur ringan, dan tidak cukup untuk membatalkan Wudu dalam Syariat Islam Madzhab Maliki. Mendengkur tidak serta merta menjadi tanda dari tidur nyenyak, karena seseorang mungkin masih bertahan sebagian besar kesadarannya walaupun tidur ringan. Kriteria utama tidur lelap adalah seseorang tidak ingat apapun yang terjadi selama tertidur. Nomor 6 dan 10 adalah 'keluarnya madzi dan wadi.' ada tiga jenis cairan seksual yang keluar: 13. Madzi, cairan encer bening menyerupai mani yang keluar ketika seseorang berfantasi senggama, atau ketika seseorang bersenggama dengan pasangannya, atau selama foreplay 14. Wadi, cairan kental yang keluar setelah kencing dan keluar biasanya tidak berhubungan dengan sex atau ber-fantasi sex. Dan 15. Mani, sperma, atau ejakulasi klimaks. Dua yang pertama – madzi dan wadi – memerlukan wudu setelah membersihkan organ seksual dari bekas-bekasnya. Adapun untuk mani, wudu tidak cukup. Orang yang keluar mani harus mandi besar untuk menghilangkan hadas besar untuk dapat melaksanakan kegiatan beribadah. Adapun untuk wadi, alasan nyata disertakannya oleh para ulama dari Madzhab Maliki, sebagai pembatal wudu adalah untuk menandakan bahwa seseorang tidak perlu mandi besar saat melihat wadi keluar, atau karena wadi terkadang keluar tanpa ada hubungan apapun dengan kencing. Jika tidak maka sepertinya akan tiada guna disertakan, karena kencing sudah disertakan sebagai perkara penyebab batalnya wudu. Nomor 7 – mabuk, juga dianggap salah satu perkara penyebab batalnya wudu. Adapun untuk nomor 8 – jatuh pingsan. Jika seseorang telah wudu, setelah itu kemudian pingsan, atau koma, maka setelah sadar, wudu harus diperbarui untuk Shalat. Tapi jika orang ini belum kunjung sadar sampai tertinggal beberapa kali waktu Shalat, maka tidak perlu mengganti Shalat yang tertinggal selama pingsan/tidak sadar. Ini karena Nabi SAW bersabda: “Pena telah diangkat dari tiga (orang): Dari orang tidur sampai dia bangun, orang pingsan (mubtala) sampai memperoleh kembali kesadarannya, dan orang muda hingga mencapai pubertas (baligh).”
عن النائم حتى يستيقظ و عن المبتلى حتى يفيق و عن:رفع القلم عن ثالثة الصغيرحتى يبلغ Adapun untuk gila – karena kegilaan disebutkan sebagai perkara penyebab batalnya wudu nomor 9, hal yang sama berlaku karena versi lain dari hadist yang telah disebutkan di mana sebagai pengganti sakit, Nabi SAW bersabda: “...orang gila sampai dia kembali waras...”
عن المبتلى حتى يفيق Perkara penyebab batal wudu nomor 11 dan nomor 12 – menyentuh dan mencium, menyentuh dan mencium membatalkan wudu seseorang dalam dua keadaan:
27
1. Ketika mengalami kenikmatan dari menyentuh dan mencium 2. Ketika seseorang bermaksud mendapat kenikmatan dari menyentuh dan mencium walaupun orang itu tidak mendapatkan kenikmatannya. Ini berarti bahwa jika seseorang menyentuh atau mencium istrinya tanpa mengalami kenikmatan dan tanpa maksud untuk bernikmat-nikmat, yang demikian tetap terpelihara wudu-nya. Adapun untuk mencium bibir, banyak Ulama Madzhab Maliki berpandangan bahwa itu membatalkan wudu terlepas dari bermaksud atau tidak bernikmat-nikmat dalam mencium bibir atau mendapat kenikmatan darinya. Adapun sebagian Ulama Maliki lainnya berpendapat bahwa ciuman selamat tinggal (goodbye kiss) atau ciuman kasih sayang misal saat suami atau istri sedang sakit – tidak membatalkan wudu seseorang, kecuali jika dimaksudkan untuk bernikmat-nikmat atau mendapatkan kenikmatan darinya. Apapun kejadiannya, adalah lebih aman bagi seseorang untuk memperbarui wudu nya setelah mencium pasangannya pada bibir, berdasarkan kaidah-kaidah hukum Fiqih (Qaidah Fiqhiyyah) yang ditetapkan oleh para Ulama Maliki: “Ketika teks yang melarang berlawanan dengan teks yang mengizinkan, teks yang melarang didahulukan atas dasar komitmen untuk menjauhi hal yang diharamkan.”
يقدم المحرم احتياطا من ارتكاب الممنوع،إذا تعارض المحرم و المبيح. Menyentuh penis dan vagina dengan telapak tangan atau sisi/ujung jari (perkara pembatal wudu nomor 13 dan 14) – juga membatalkan wudu seseorang. Bagi laki-laki, termasuk perkara pembatal wudu adalah menyentuh kepala atau batang penis atau testis. Adapun untuk perempuan, wudunya batal apabila dia menempatkan tangannya pada belahan/atau bibir dalam vaginanya. Tetapi tidak batal wudunya jika dia menyentuh kulit di luar batas bibir luar vagina. Pembatal Wudu nomor 15 adalah ragu tentang status wudu, ketika seseorang ragu wudu nya sudah batal atau belum maka di saat itulah wudu nya dianggap batal menurut madzhab Maliki. 'Ragu tentang status wudu' dimasukkan ke dalam perkara-perkara pembatal wudu, adalah ciri khusus madzhab Maliki, sedangkan tiga madzhab lainnya menganggap 'ragu status wudu' bukan sebagai salah satu perkara yang membatalkan wudu, atas dasar hadist dari ‘Abbad bin Tamim tentang orang yang membayangkan bahwa dia kentut selama Shalat. Nabi SAW bersabda: “Biarkan dia sampai dia mendengar suara atau mencium bau kentut.”
فال ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا Mereka juga mendasarkan keyakinan mereka pada aturan yang menyatakan bahwa:
اليقين ال يزول بالشك “Keyakinan tidak disingkirkan oleh keraguan.” Tetapi aturan ini berlawanan dengan aturan lain yang para Ulama Maliki telah tetapkan sebagai lebih kuat:
الشك في الشرط مانع من ترتب المشروط “Ragu tentang status suatu perbuatan
28
mencegah dari sah nya perbuatan yang diragukan.” Dan karena wudu adalah syarat sah nya Shalat, maka batalnya wudu akibat 'ragu status wudu' dapat menjadi sebab tidak sah nya Shalat. Adapun untuk murtad – perkara pembatal wudu nomor 16, murtad membatalkan wudu segera setelah seseorang mengatakan secara jelas kemurtadannya. Wudu adalah syarat sah nya Shalat. Dan menjadi Muslim adalah sarat sah nya ibadah. Karenanya ketika seseorang dalam keadaan memiliki wudu lantas murtad lalu bertobat segera setelahnya atau nanti, dia diharuskan untuk memperbarui wudu nya, karena wudu hanya sah ketika dilakukan oleh orang beriman.
Membersihkan Tubuh dari Najis (Istinjak dan Istijmar) Dalam bagian ini, Sidi Ibnu 'Ashir menerangkan tentang syarat-syarat sah nya Shalat – yakni bersihnya tubuh, pakaian dan tempat Shalat dari najis. Dalam bagian ini dikhususkan pembahasan mengenai menghilangkan najis dari tubuh setelah kencing dan berak. Termasuk najis adalah air kencing, tahi, darah, air mani, minuman keras, dan lain lain. Tanah tidak dianggap najis dalam Islam kecuali jika tercampur dengan salah satu dari najis misal pupuk kandang. Orang-orang terdahulu – sebagaimana orang sekarang – memberikan perhatian besar dalam pembersihan najis dari tubuh. Di masa lalu orang menggunakan air beserta benda-benda alam seperti batu, tanah, dan daun-daunan untuk mengelap tubuh dari najis air kencing dan tahi. Kata dalam bahasa Arab untuk membersihkan najis dari tubuh menggunakan air adalah ‘istinja.’ Dan kata yang digunakan untuk menghilangkan najis dari tubuh menggunakan benda alam misal batu, dalam bahasa Arab disebut ‘istijmar.’ Seseorang hendaknya benar-benar yakin bahwa bekas-bekas air kencing atau tahi telah bersih. Khusus bagi laki-laki, hendaknya mengeluarkan sisa air kencing dari penis dengan cara mengurutnya pelan-pelan. Tapi dia hendaknya tidak memerasnya dengan cara menekan terlalu kuat, karena kelebihan air kencing akan menetap pada kandung kemih sehingga ketika dia berdiri atau bergerak setelah kencing, sisa air kencing mungkin tumpah ke celana dalamnya. Dibolehkan menggunakan batu – untuk membersihkan tahi dari dubur seseorang selama tahi nya tidak berantakan saat keluar dari dubur. Jika tidak, maka orang tersebut harus menggunakan air untuk membersihkan tahi nya setelah berak. Seseorang juga boleh menggunakan batu untuk membersihkan sisa air kencing – sebagai tambahan saat istinja – dari penis nya setelah kencing. Tetapi alangkah baiknya selain digunakan air juga digunakan batu bersamaan baik itu pada istinja dan istijmar. Tisu toilet juga layak untuk menggantikan batu. Karena tisu dapat digunakan untuk istinja dan istijmar dengan syarat tisu tersebut dapat menghilangkan tahi dan air kencing.
Mandi Besar (Ghusl) dan Rukun-rukun Wajibnya Pada bagian ini, pengarang bicara tentang salah satu dari 3 bentuk bersuci dari hadas, yakni hadas besar yang dihilangkan lewat mandi besar (Ghusl).
29
Mandi besar diperlukan untuk menghilangkan hadas besar yang mana sebabsebab seseorang ber-hadas besar akan dibahas kemudian. Adapun untuk saat ini, Sidi Ibnu ‘Ashir menerangkan rukun wajib mandi besar. Rukun wajib mandi besar ada 4 yakni: -Niyat dalam hati -Menyegerakan di antara rukun -Menggosokkan tangan ke seluruh tubuh sembari menyiramkan air -Menyisirkan jari yang basah kepada rambut jika ada rambutnya Seseorang hendaknya menggosok seluruh tubuhnya sampai ke bagian yang sulit seperti lipatan lutut, ketiak, leher di bawah dagu, pusar, dan pada selipan di antara pantat. Bagian lain yang sulit dicapai seperti punggung hendaknya dibersihkan menggunakan handuk, sapu tangan, tali, atau dengan meminta orang lain menggosokkan punggung kita. Ingatlah bahwa semua pembersihan ini harus dilakukan dengan air alami. Air bersabun atau berbusa tidak sah untuk digunakan dalam mandi besar.
Perbuatan-perbuatan Sunnah dalam Mandi Besar Perbuatan-perbuatan Sunnah adalah perbuatan yang berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan, tetapi adalah tercela jika meninggalkan Sunnah. Ibnu ‘Ashir menyebutkan Sunnah-sunnah mandi besar sebagai berikut: Berkumur Mencuci tangan Menghirup dan mengerluarkan air lewat hidung Mencuci telinga
Keutamaan-keutamaan dalam Mandi Besar Selanjutnya pengarang kitab menyatakan perbuatan-perbuatan yang menjadi keutamaan-keutamaan mandi besar, yang di bagian ini dirujuk oleh pengarang dengan kata ‘mandub.’ Istilah ‘mandub’ (disarankan) dalam hal ini digunakan persamaan kata ‘fadlilah’, ‘mustahabb,’ meskipun kenyataannya, kata-kata tersebut memiliki perbedaan teknis sendiri-sendiri dalam penggunaannya. Suatu perbuatan dalam syariat Islam dengan status ‘disarankan’ adalah berada di bawah derajat Sunnah, walaupun sama berpahalanya. ‘Mandub’ dalam hal ini berarti ‘mustahabb’, yang mana perbuatan tersebut berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa/dicela jika ditinggalkan. Perbedaan mandub dengan Sunnah adalah bahwa orang yang meninggalkan perbuatan Sunnah adalah dicela sedangkan orang yang meninggalkan perbuatan mustahabb tidak dicela. Ibnu ‘Ashir berikut:
menyebutkan
perbuatan-perbuatan
Menghilangkan najis dari tubuh Memulai dengan Bismillah Menyiramkan air ke kepala 3 kali Mencuci anggota wudu terlebih dahulu Menggunakan air dengan hemat/secukupnya Memulai dari bagian atas tubuh Mendahulukan anggota tubuh bagian kanan
30
yang
‘disarankan’
sebagai
Rukun-rukun Mandi Besar Tabel di bawah ini mewakili rukun-rukun mandi besar dan aturan-aturan dari tiap rukun secara berurutan:
Rukun-rukun Mandi Besar
Fardu
Sunnah
Mustahabb
Niyat
Ya
Tidak
Tidak
Menyegerakan di antara rukun-rukun
Ya
Tidak
Tidak
menyiram Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Menggosok air
seluruh
Menyisir rambut rambutnya
tubuh
sambil
dengan
jari
jika
ada Ya
Berkumur
Tidak
Ya
Tidak
Mencuci tangan terlebih dahulu
Tidak
Ya
Tidak
lewat Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
dari Tidak
Tidak
Ya
Mengucap Bismillah
Tidak
Tidak
Ya
Menyiramkan air ke kepala tiga kali
Tidak
Tidak
Ya
Mencuci anggota wudu terlebih dahulu
Tidak
Tidak
Ya
Menghindari penggunaan air yang berlebihan Tidak
Tidak
Ya
Mencuci bagian atas tubuh terlebih dahulu
Tidak
Tidak
Ya
Mendahulukan anggota tubuh bagian kanan
Tidak
Tidak
Ya
Menghirup hidung
dan
mengeluarkan
air
Membasahi telinga Memulai tubuh
dengan
membersihkan
najis
Gambaran Umum Mandi Besar Berikut ini adalah gambaran umum mandi besar: -Niyat -Mengucap Bismillah -Membersihkan najis seperti air kencing dan tahi dari tubuh -Berwudu seperti biasa namun dengan hanya mencuci anggota -wudu sekali saja -Menyisirkan jari yang basah kepada rambut -Menyiramkan air ke kepala tiga kali -Menyiram air ke bagian atas tubuh sebelah kanan -Menyiram air ke bagian atas tubuh sebelah kiri -Menyiram air ke bagian bawah tubuh sebelah kanan -Menyiram air ke bagian bawah tubuh sebelah kiri Ketika seseorang tidak mencuci kaki ketika wudu saat mandi besar, maka dia harus mencuci kaki pada akhir mandi besar dimulai dengan kaki kanan terlebih dahulu yang dicuci. Saat semua rukun-rukun ini telah dikerjakan, maka mandi besar selesai. Dan orang yang mengerjakan mandi besar seperti yang diterangkan di atas, boleh mengerjakan ibadah-ibadah yang memerlukan wudu selama wudunya belum batal oleh perkara-perkara yang membatalkan wudu seperti kentut atau menyentuh organ seksual.
31
Jika seseorang melakukan perkara-perkara yang membatalkan wudunya selama mandi besar, maka orang tersebut harus memperbarui wudu nya.
Perkara-perkara yang Menjadi Penyebab Mandi Besar Tabel di bawah ini memuat sebab-sebab wajibnya mandi besar dilakukan: Sebab-sebab Wajibnya Mandi Besar 1. 2. 3. 4.
Setelah beres/berhenti keluar darah haidh Setelah beres/berhenti keluar darah nifas Keluar mani Masuknya penis ke dalam vagina walaupun baru menempel
Adapun dua hal pertama yang menyebabkan seseorang menjadi ber-hadas besar adalah haidh dan nifas, haidh dan nifas bukan hanya mencegah seorang perempuan dari Shalat dan Puasa tapi juga tidak diijinkan bagi suaminya untuk mendekati perempuan itu guna berhubungan badan sampai darah berhenti dan perempuan tersebut melakukan mandi besar. Seandainya suaminya menggauli istrinya sementara istrinya belum melakukan mandi besar, maka keduanya baik laki-laki dan perempuan sama-sama berdosa. Sedangkan dua hal lainnya yang menyebabkan seseorang menjadi ber-hadas besar adalah keluar mani, dan menempelnya penis kepada bibir vagina. Setelah seseorang ber-hadas besar maka tidak diijinkan bagi orang yang berhadas besar untuk menyentuh Qur'an sampai orang tersebut melakukan mandi besar. Dan yang dimaksud dengan Qur'an di sini adalah teks dalam bahasa Arab yang disebut ‘Mushaf’. Adapun untuk terjemahan Qur'an dalam bahasa Indonesia, tidak disebut sebagai Qur'an, disebutnya terjemahan saja atau tafsir makna Qur'an. Tetapi alangkah baiknya membaca Qur'an walaupun terjemahannya saja, orang yang membacanya dalam keadaan bersih dari hadas besar ataupun hadas kecil karena Qur'an dan maknanya tidak seperti buku biasa. Sedangkan seorang Muslim harus belajar untuk menghormati kitab Allah. Setiap salah satu dari 4 hal yang menjadi sebab wajibnya mandi besar akan membuat seseorang terhalang dari bolehnya masuk masjid baik orang itu lakilaki atau perempuan. Terakhir, Sidi Ibnu ‘Ashir menyatakan bahwa aturan tertinggalnya sebuah rukun mandi besar sama seperti aturan yang berlaku pada wudu yakni: Jika seseorang meninggalkan rukun wajib wudu dan ingat sebelum tenggang waktu habis, maka dia wajib mengerjakan rukun wudu setelah rukun yang terlupa Jika seseorang meninggalkan rukun wajib wudu dan ingat setelah tenggang waktu habis maka dia wajib hanya mengerjakan rukun wudu yang tertinggal itu saja Jika seseorang meninggalkan Sunnah wudu dan setelahnya ingat, maka hendaknya orang itu mengerjakan Sunnah yang tertinggal sebelum mengerjakan Shalat berikutnya Semua aturan dalam wudu ini juga berlaku pada mandi besar kecuali bahwa seseorang tidak dianjurkan untuk mengulangi membasuh rukun setelah rukun yang terlupa jika ingatnya sebelum tenggang waktu habis.
32
Tayammum Pada bagian ini, penulis menerangkan tentang Tayammum, yang dapat menjadi pengganti dari Wudu dan Mandi besar dalam dua keadaan:
1. Ketika seseorang takut air dapat menyebabkan sesuatu yang tidak baik bagi tubuhnya atau takut mengambil air yang berada di wilayah bersiko 2. Ketika tidak ada air Tayammum dapat dilakukan dengan benda alam yang ada di permukaan bumi seperti tanah, pasir, batu, lumpur kering, dan salju jika cuaca kelewat dingin, dll. Jika seseorang takut bahwa air akan membuatnya sakit, atau memperburuk sakit yang sedang diderita, atau hal yang semacamnya, seseorang boleh melakukan Tayammum. Juga termasuk sebagai sebab dibolehkannya Tayammum adalah rasa takut, yakni takut akan ancaman penjahat, hewan buas, atau yang sejenisnya jika yang demikian terjadi sedangkan tempat pengambilan air beresiko untuk dijangkau. Maka keadaan yang demikian membolehkan seseorang untuk melakukan Tayammum sebagai ganti dari Wudu atau Mandi besar. Adapun untuk ketiadaan air, dibolehkan bagi seseorang untuk ber-tayammum bahkan tanpa adanya halangan rasa takut seperti yang disebutkan di atas. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut nanti. Ibadah-ibadah berikut ini boleh dilakukan dengan Tayammum: Ibadah-ibadah yang boleh dilakukan dengan Tayammum 1. Shalat Wajib satu kali 2. Shalat Sunnah yang segera diikuti dengan Shalat wajib 3. Shalat Jenazah jika dilakukan tak lama berselang setelah Shalat Wajib Adapun untuk orang sakit dan yang sedang bepergian, diijinkan bagi mereka melakukan Tayammum walaupun untuk melakukan Shalat Sunnah saja (nawafil). Selain orang sakit dan yang sedang bepergian, Tayammum dapat digunakan untuk Shalat Sunnah jika Shalat Sunnah dilakukan segera setelah Shalat wajib dengan Tayammum yang diniatkan untuk Shalat Wajib. Jika seseorang dalam keadaan sehat wal afiat, orang itu tidak boleh Jum'at dengan Tayammum tetapi harus dengan Wudu sebab kalau tidak Jum'at nya tidak sah. Jika seseorang dalam keadaan sehat wal afiat, orang itu tidak boleh Jum'at dengan Tayammum tetapi harus dengan Wudu, jika tidak Shalat nya tidak sah dan harus melakukan Shalat Zuhur 4 Rakaat sebagai Shalat Jum'at nya yang tidak sah.
Shalat Shalat Shalat Jum'at ganti
Shalat Sunnah Nawafil dan Shalat Jenazah yang dilakukan setelah Shalat wajib bermakna Shalat Sunnah dapat dilakukan dengan satu Tayammum yang dimaksudkan untuk Shalat wajib. Adapun untuk dua Shalat wajib yang berturut-turut, tidak diijinkan bagi seseorang untuk melakukan dua Shalat wajib dengan satu Tayammum. Untuk Shalat yang berikutnya, hendaknya seseorang mencari terlebih dahulu barangkali bertemu dengan air yang dapat digunakan untuk berwudu, tapi jika sekiranya takut karena beresiko untuk mencapai tempat air karena ada binatang buas misalnya, barulah boleh bertayammum kembali.
33
Rukun Wajib Tayammum 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengarang kitab menyebutkan rukun wajib tayammum sebagai berikut: Mengusap wajah Mengusap tangan sampai ke pergelangan Berniat Merapatkan telapak tangan ke tanah satu kali Menyegerakan di antara rukun-rukun Menggunakan tanah yang bersih Bertayammum dilakukan untuk Shalat wajib dan Baru boleh dilakukan setelah masuk waktu Shalat wajib
Harapan Menemukan Air Sebelum Tayammum: Yakin Ketemu, Yakin Tidak Ketemu, Ragu Ketemu atau Tidak Bolehnya melakukan Tayammum sebagai ganti Wudu atau mandi besar ketika tidak ada air tidak senantiasa mutlak begitu saja dapat dilakukan melainkan ada 3 keadaan yang menentukan sebagaimana yang diterangkan di bawah ini: 1. Orang yang yakin akan menemukan air sebelum waktu Shalat berakhir, maka bagi orang yang demikian, disarankan untuk menunggu sampai menjelang akhir waktu Shalat sebelum bertayammum 2. Orang yang yakin tidak akan menemukan air sampai menjelang akhir waktu Shalat, maka disarankan bagi nya untuk segera bertayammum saat masuk waktu Shalat untuk melakukan Shalat di awal waktu 3. Orang yang ragu apakah akan menemukan air atau tidak sampai menjelang akhir waktu Shalat, maka disarankan bagi orang itu untuk Shalat di pertengahan waktu antara awal waktu Shalat dan akhir waktu Shalat Bagi orang yang melakukan Tayammum, sekalipun tidak memperhatikan persoalan kewaktuan yang di terangkan di atas, Tayammum nya tetap sah karena hanya sekedar perbuatan yang disarankan. Tetapi lebih baik untuk memberikan perhatian terhadap persoalan di atas karena air tetap yang terbaik untuk bersuci dari hadas. Dalam hal Shalat yang waktunya pendek seperti Maghrib, maka kondisi di atas tidak berlaku.
Keutamaan-keutamaan Tayammum
Tayammum
dan
Perkara-perkara
yang
Membatalkan
Keutamaan-keutamaan Tayammum adalah sebagai berikut: 1. 2.
Diawali dengan Bismillah dan Dilakukan dengan gambaran umum sebagai berikut:
Mengucap Bismillah Merapatkan tangan ke tanah sekali Mengusap wajah dengan kedua telapak tangan Menyentuh tanah sekali lagi Mengusap tangan kanan sampai ke siku menggunakan telapak tangan kiri dimulai dari ujung jari sampai ke siku lalu kembali lagi dari siku ke telapak tangan Mengulangi langkah di atas pada tangan yang satunya lagi Tayammum selesai Adapun untuk perkara-perkara pembatal Tayammum, adalah sama dengan Wudu, yakni ada 16, sebagaimana yang telah diterangkan dalam dalam bab Wudu, namun ada tambahan satu perkara: “Menemukan Air sebelum Waktu Shalat”
34
Jika seseorang ber-Tayammum dengan alasan tidak ada air, Tayamummnya menjadi tidak sah jika dia menemukan air sebelum melakukan Shalat. Ini berarti bahwa jika air ditemukan setelah seseorang selesai Shalat, maka tidak wajib bagi orang itu untuk mengulangi Shalat. Namun demikian hanya disarankan mengulangi Shalat asalkan waktu Shalat belum habis. Tetapi jika seseorang ber-Tayammum karena sebab-sebab seperti takut, sakit dan lain-lain sebagaimana yang diterangkan di bagian awal fasal Tayammum, maka tayamummnya tetap sah sekalipun menemukan air sebelum melakukan Shalat. Dalam nadzam yang berkenaan dengan hal ini, telah disebutkan bahwa seseorang yang bertayammum bukan karena ketiadaan air seperti takut perampok, karena tempat air berada di wilayah bahaya misalnya, lalu mendapatkan air sebelum mulai Shalat, maka tidak wajib untuk mengulangi Shalatnya – berlainan dengan seseorang yang berwudu karena tidak ada air. Tetapi dalam nadzam ini, Sidi Ibnu ‘Ashir menyatakan bahwa ada keadaan tertentu yang mendorong seseorang untuk mengulangi Shalatnya ketika menemukan air setelah melakukan Shalat dengan Tayammum karena ketiadaan air: Seseorang yang ber-Tayammum karena takut dirampok, atau dimangsa binatang buas karena air terletak di tempat yang berbahaya Orang yang berharap menemukan air sebelum waktu Shalat berakhir tapi bertayammum di awal waktu Shalat Orang yang sakit menahun tapi masih bisa ber-wudu namun tidak ada orang lain yang membawakannya air untuk ber-wudu Dan yang semisal yang telah disebutkan di atas Tabel Rukun-rukun Tayammum Rukun-rukun Tayammum
Fardu
Sunnah
1. Mengusap Wajah
Ya
Tidak
Tidak
2. Mengusap Tangan sampai pergelangan tangan
Ya
Tidak
Tidak
3. Ber-niyat
Ya
Tidak
Tidak
4. Merapatkan tangan ke tanah atau batu sekali
Ya
Tidak
Tidak
5. Menyegerakan di antara rukun-rukun
Ya
Tidak
Tidak
6. Menggunakan Tanah yang bersih
Ya
Tidak
Tidak
7. Dilakukan untuk satu kali Shalat saja
Ya
Tidak
Tidak
8. Dilakukan pada saat masuk waktu Shalat
Ya
Tidak
Tidak
9. Mengusap tangan sampai ke siku
Tidak
Ya
Tidak
10. Merapatkan telapak tangan ke tanah untuk kedua kalinya
Tidak
Ya
Tidak
11. Mengikuti urutan-uratan dalam mengusap anggota yang diusap
Tidak
Ya
Tidak
12. Mengucap Basmalah
Tidak
Tidak
Ya
13. Mengikuti gambaran umum wudu
Tidak
Tidak
Ya
35
Mustahab
Rukun-rukun Wajib dan Syarat Sah Shalat Suci dari Hadas kecil dan Besar adalah salah satu dari syarat sahnya Shalat. Dan karena telah diterangkan maka kini akan dibicarakan syarat sah Shalat lainnya. Dalam nadzam-nadzam ini, Sidi Ibnu ‘Ashir menjelaskan secara singkat rukun-rukun wajib Shalat dan syarat sah Shalat (shurut al-sihhah). Adapun syarat-syarat wajib Shalat (shurut al-wujub), yang merupakan esensi sebelum Shalat dianggap wajib bagi seseorang adalah:
Baligh dan Waras
Syarat Sah Shalat akan dibicarakan kemudian. Shalat memiliki 16 rukun wajib yang jika tertinggal salah satunya maka menjadi tidak lengkap Shalat nya dan 4 syarat sah Shalat yang jika tidak ada salah satu nya maka menjadi tidak sah juga Shalatnya sekalipun semua rukun wajibnya dikerjakan. Artinya untuk dapat menjadi sah, Shalat harus dikerjakan dengan menyertakan semua rukun-rukun wajibnya dan juga mengerjakan semua syarat-syarat sah nya Shalat.
Rukun-rukun Wajib Shalat Rukun-rukun wajib Shalat ada 16 yakni: 1. Takbiratul Ihram 2. Berdiri setelah Takbiratul Ihram 3. Niyat untuk shalat tertentu 4. Membaca Al-Fatihah 5. Berdiri saat membaca Surat Al-Fatihah 6. Ruku' 7. Bangun setelah ruku' 8. Sujud 9. Bangun setelah Sujud 10. Mengucap salam di akhir Shalat 11. Duduk ketika mengucap salam 12. Melakukan rukun wajib shalat dalam urutan yang ditentukan 13. Tegak lurus dalam semua posisi 14. Tenang dalam setiap posisi dan gerakan (Mutmainnah) 15. Tidak mendahului Imam dalam Shalat 16. Berniat sebagai makmum untuk mengikuti imam Jika seseorang Shalat sendirian, jumlah rukun-rukun wajib ada 14 karena yang ke-15 dan ke-16 terjadi jika Shalat berjamaah. Adapun untuk Takbiratul Ihram – rukun nomor 1, adalah dengan mengucapkan 'Allahu Akbar', sambil mengangkat tangan sampai ke bahu, ini adalah perbuatan yang disarankan, namun hendaknya seseorang tidak secara sengaja meninggalkan mengangkat tangan. Adapun untuk rukun nomor 2 – berdiri setelah takbiratul ihram, ini wajib bagi yang mampu berdiri secara fisik untuk shalat wajib, shalat wajib sambil duduk bagi orang yang mampu berdiri adalah batal shalatnya, karena harus shalat sebagaimana mestinya. Tetapi seseorang boleh duduk untuk Shalat Sunnah, walaupun demikian, seseorang hanya dapat pahala setengah untuk Shalat Sunnah dengan posisi duduk sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW. Rukun wajib nomor 3 – berniat untuk Shalat tertentu, berlaku hanya pada Shalat Wajib, Shalat Jum'at, dan Shalat Witir, yang hanya satu Rakaat.
36
Adapun untuk Shalat Sunnah, niat tertentu tidak diperlukan, walaupun demikian, tidak apa-apa berniat untuk Shalat Sunnah. Sebagai tambahan, niyat tidak diucapkan secara lisan. Niyat ditekadkan dalam hati. Dan tidak ada aturan khusus yang mengatur niyat. Membaca Al-Fatihah – rukun wajib nomor 5, diwajibkan bagi Imam dan orang yang Shalat sendirian. Adapun untuk makmum yang Shalat dibelakang Imam, AlFatihah hanya menjadi keutamaan (mustahabbah) bagi makmum untuk membaca dengan suara lirih selama Imam membaca Al-Fatihah. Adapun rukun wajib nomor 15 – tidak mendahului Imam dalam Shalat, jika terjadi makmum bertakbiratul ihram mendahului Imam, seseorang harus mengulangi takbiratul ihramnya kembali setelah Imam. Jika tidak, Shalat si makmum menjadi tidak sah. Adapun untuk gerakan selain takbiratul ihram dan salam, jika makmum mendahului Imam, maka itu adalah haram. Tetapi shalat nya masih sah menurut syariat, walaupun sulit dibayangkan bahwa Allah menerima Shalat yang demikian. Jika makmum bergerak membarengi Imam, maka hukumnya tidak disukai (makruh), bukan dilarang (haram). Tetapi lebih baik untuk melakukan gerakan-gerakan Shalat mengikuti gerakan imam, bukan membarengi, apalagi mendahului. Dan jika seseorang mengakhiri Shalat dengan mengucap ‘As-Salamu ‘alaykum’ mendahului Imam, maka mau tidak mau Shalatnya batal dan harus mengulangi shalat secara keseluruhan karena melanggar rukun wajib shalat. Makmum harus berniyat untuk ber-makmum. Begitupun Imam harus berniyat untuk menjadi Imam dalam empat Shalat yang tersebut di bawah ini: 1. Shalat Khauf 2. Menggabungkan Shalat selama malam yang hujan 3. Shalat Jum'at 4. Shalat di mana seorang makmum menggantikan Imam yang mundur, maka makmum tersebut harus ber-niyat sebagai Imam Sidi Mayyarah berkata, “Keutamaan Shalat berjamaah tidak dimiliki oleh seorang Imam kecuali jika Imam berniyat bahwa dia adalah seorang Imam. Jika imam tidak ber-niyat sebagai Imam, keutamaan hanya dimiliki oleh makmum”
Syarat-syarat Sah Shalat Dalam ayat ini, Sidi Ibnu ‘Ashir menjelaskan sebagaimana yang tertera pada tabel di bawah ini:
4
syarat
sah
Shalat
Syarat Sah Shalat 1. 2. 3. 4.
Menghadap Qiblat Bersih dari Najis, baik itu tempat, baju, dan juga badan Menutup Aurat Bebas dari hadas kecil dan juga besar
Adapun untuk tiga yang pertama – menghadap qiblat, bersih, dan menutup aurat, ketiganya adalah syarat sah apabila seseorang ingat untuk memenuhinya dan mampu.
37
Ini berarti bahwa jika seseorang lupa atau salah arah qiblat saat Shalat, hanya disarankan bagi orang itu untuk mengulangi Shalat selama waktu Shalat belum habis. Adapun ketika seseorang ingat, maka menjadi kewajiban bagi orang itu setidaknya berusaha menentukan secara tepat arah Qiblat Shalat sebelum memulai Shalat. Jika seseorang tidak berusaha mencari tahu arah qiblat lalu Shalat begitu saja, Shalat nya tidak sah sekalipun dia merubah arah Shalat ke Qiblat yang benar. Ini karena menghadap Qiblat adalah syarat sah Shalat, yang berarti bahwa harus ada sebelum Shalat dimulai. Adapun untuk bersih dari najis, pada pakaian, tempat dan juga badan, ini juga syarat sah Shalat selama seseorang mampu untuk menghilangkan najis. Najis seperti darah, air mani, khamr, dan air kencing serta tahi dari manusia dan binatang, dan binatang yang diharamkan seperti babi, atau hewan yang disembelih dengan cara tidak layak. Najis harus dihilangkan dari baju, badan, dan tempat Shalat. Yang dimaksudkan dengan tempat Shalat adalah tempat orang berdiri saat Shalat dan Sujud, bukan ruangan Shalat. Bahkan jika ada darah di lantai dan seseorang menempatkan karpet di atas najis darah di lantai tersebut, maka ini adalah cukup, karena seseorang tidak bersujud dan berdiri di atas najis. Adapun untuk nomor 3 – menutup aurat, ada dua penggolongan aurat dalam Madzhab Maliki – aurat ringan (al-‘awra al-mukhaffafa) dan aurat berat. Penggolongan ini berbeda antara laki-laki dan perempuan. Tabel di bawah ini menunjukkan batasan-batasannya: Batasan-batasan Aurat Ringan (al-‘awra al-mukhaffafa) 1. Bagi laki-laki
Dari pusar ke kemaluan kemaluan sampai ke lutut
dan
dari
bawah
2. Bagi Perempuan
Dari dada sampai ke atas kepala dan dari lutut sampai ke atas kaki
Tabel di atas menggambarkan apa yang dikenal sebagai 'aurat ringan' (al-‘awra al-mukhaffafa). Seseorang yang sengaja tidak menutup aurat ringan nya saat shalat terkena siksa kubur. Disarankan untuk mengulangi Shalatnya selama waktu Shalat belum habis jika bagian aurat ringan seseorang tersingkap saat Shalat. Batasan-batasan Aurat Berat (al-‘awra al-mughalladzoh) 1. Bagi laki-laki
Penis, Testis, dan Anus
2. Bagi perempuan
Dari bawah dada sampai ke lutut
Aurat berat bagi perempuan adalah dari bawah dada sampai lutut. Bagi lakilaki, yakni alat kelaminnya, area di bawah kemaluannya sampai ke anus. Aurat berat manapun yang tersingkap, maka wajib bagi orang tersebut untuk mengulangi Shalatnya dengan menutup auratnya, tanpa peduli waktu Shalat sudah habis atau belum. Jika tersingkapnya aurat berat sebagai akibat dari lupa, maka tidak ada kewajiban untuk mengulangi Shalat, baik itu waktu Shalat sudah habis atau belum. Hanya disarankan selama Waktu Shalat belum habis, shalat hendaknya diulangi. Adapun orang-orang yang disarankan untuk mengulangi Shalat selama waktu Shalat adalah sebagai berikut:
38
Orang yang lupa mengerjakan satu dari tiga syarat sah Shalat pertama Orang yang tidak mampu memenuhi satu dari tiga syarat sah pertama
Adapun untuk seseorang yang yang tidak mampu menentukan arah qiblat dan seseorang yang tidak mampu menutup auratnya secara layak, orang-orang yang demikian tidak perlu mengulangi Shalatnya saat mereka dapat memenuhi kekurangan syarat-syarat sah Shalat nya, juga tidak disarankan pula. Adapun untuk syarat sah nomor 4 (bebas dari hadas), itu adalah syarat yang tidak dapat ditawar-tawar, dimana syarat sah nomor 4 ini jika tertinggal, maka orang yang meninggalkan nya wajib mengulangi Shalat setelah bersuci dari hadas.
Batasan-batasan Aurat bagi Perempuan dalam Shalat Pengarang telah membicarakan tentang batas-batas aurat bagi laki-laki dan perempuan. Dan pengarang menyatakan bahwa baik itu laki-laki dan perempuan, mempunyai dua golongan aurat: ringan dan berat. Aurat ringan bagi perempuan mulai dari dada sampai kepala dan dari lutut sampai bagian atas kaki. Adapun untuk aurat berat, semua yang ada dari dada sampai ke lutut. Menutup aurat berat adalah syarat sah Shalat yang tanpanya Shalat tidak sah. Adapun untuk aurat ringan, juga wajib dipastikan untuk ditutup. Namun tidak sampai membatalkan Shalat jika tersingkap. Ini berarti bahwa ketika Ulama Madzhab Maliki bicara tentang 'menutup aurat' sebagai syarat sah Shalat, maka yang dimaksudkan adalah 'aurat berat' bukan 'aurat ringan'. Aurat ringan sekalipun bukan syarat sah, namun diistilahi sebagai 'wajib', yakni perbuatan yang berpahala jika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan. Karena itu seandainya pun ada seorang perempuan, sengaja atau tidak, Shalat tanpa menutup rambut, Shalat nya tetap sah, karena perempuan itu tidak meninggalkan syarat sah Shalat atau salah satu dari rukun-rukun wajib Shalat. Walaupun demikian, perempuan tersebut berdosa jika tidak menutup rambut secara sengaja. Dan sulit dibayangkan Allah SWT akan menerima Shalat dari seseorang yang sengaja berbuat dosa. Shalat dihukumi sebagai 'tidak sah' (batila), ketika salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya atau rukun-rukun wajibnya ditinggalkan atau 'tidak sempurna pengerjaan nya' (naqisa), tapi ketika yang ditinggalkan nya adalah keutamaan-keutamaan, maka Shalat nya tetap 'sah' (sahiha) – Jika Shalat dilakukan dengan memenuhi semua syarat-syarat sah, rukun-rukun wajib namun kurang dalam Sunnah-sunnah dan keutamaan-keutamaan nya, maka disebutnya sebagai 'lengkap' (tamma) – Ketika syarat-syarat sah, rukun-rukun wajib, perbuatan-perbuatan Sunnah, dan keutamaan-keutamaan Shalat dikerjakan maka disebutnya 'sempurna' (kamila), ketika perbuatan amal ibadah dilengkapi dengan kehadiran hati dan ketundukan, maka disebutnya 'diterima' (maqbula) – yakni ketika Allah menentukan bahwa hambanya layak mendapatkan pengampunan. Seseorang hanya akan tahu bahwa Allah menerima atau menolak amal ibadanya yakni pada saat bertemu dengan Allah SWT. Sehingga ketika dikatakan bahwa sebuah amalan adalah 'sah'(sahih), maka yang dimaksud adalah berdasarkan
39
penafsiran dari Nas-nah Wahyu dan Sunnah. Tidak ada cukup dalil yang tersedia untuk memastikan bahwa sebuah amalan adalah 'batal' karena meninggalkan sebuah rukun menurut pandangan umum dalam Madzhab Maliki. Karenanya ini berarti bahwa seorang perempuan yang bersikeras Shalat tanpa menutup rambutnya seolah-olah sedang mempertaruhkan jiwa dan Shalat nya pada Hari Kebangkitan dan Penentuan. Kesimpulannya seorang perempuan yang rambut, dada, atau tangan kakinya tidak ditutup saat Shalat, disarankan untuk mengulangi Shalat dengan aurat tertutup sesuai ketentuan selama waktu Shalat belum habis.
Haidh Menghalangi Perempuan dari Bolehnya Mengerjakan Shalat Di awal diterangkan bahwa syarat-syarat wajibnya shalat bagi seseorang adalah 'baligh dan waras'. Dengan kata lain, seseorang tidak diberi pahala atau dihukum hingga mencapai baligh, begitu pula bagi yang tidak waras sampai kembali waras. Tetapi bagi seorang perempuan, ada syarat wajib yang ketiga yakni tidak sedang haidh, walaupun secara hukum, bebas dari haidh bukanlah syarat wajib melainkan penghalang/pencegah. Karena itu istilah yang lebih tepatnya. Haidh menghalangi perempuan yang wajib shalat menjadi tidak boleh mengerjakan Shalat sampai haidh nya selesai. Tanda-tanda berhentinya haidh ada dua: 1. 2.
Cairan kental putih (qassa) Keringnya celana dalam/pembalut dari darah haidh
Tidak seperti puasa, seorang perempuan yang haidh tidak wajib mengganti Shalat yang ditinggalkan selama haidh. Sebagai perkecualian bagi aturan ini adalah ketika siklus haidh seorang perempuan dimulai sebelum matahari terbenam dan dia belum Shalat 'Ashar, dia harus mengganti Shalat 'Ashar yang ditinggalkan pada hari di mulai haidh, setelah haidh nya selesai. Hal yang sama juga berlaku jika perempuan itu tidak Shalat Dzuhur pada hari awal haidh. Maka dia ganti Shalat Dzuhur nya saat haidh nya sudah selesai. Demikian pula, seorang perempuan mengganti Shalat Isya jika haidh nya dimulai sebelum Fajr jika belum Shalat Isya. Dan hal yang sama juga berlaku jika dia tertunda Shalat Maghrib sehingga tidak sempat Shalat, maka dia wajib mengganti Shalat Maghribnya ketika siklus haidh nya berakhir.
Sunnah-sunnah yang ditekankan untuk dikerjakan Saat Shalat Perbuatan-perbuatan Sunnah dalam Shalat ada dua: 1. Sunnah yang ditekankan: semisal Sunnah yang jika ditinggalkan, maka harus melakukan sujud Syahwi sebagai pengganti di akhir Shalat. 2. Sunnah yang tidak ditekankan: semisal Sunnah yang tidak perlu diganti oleh sujud Syahwi di akhir Shalat. Pada bagian ini, Sidi Ibn ‘Ashir menyebutkan Sunnah-sunnah yang ditekankan dalam Shalat. Tabel di bawah ini merincinya: Sunnah-sunnah Shalat Sunnah-sunnah yang ditekankan 1. Membaca sebuah surat Al-Quran setelah surat Al-Fatihah pada Rakaat
40
Kesatu dan kedua 2. Bediri saat membaca Surat 3. Mengeraskan pada waktu-waktu Shalat yang dikeraskan seperti Maghrib, Isya, dan Subuh 4. Memelankan bacaan pada waktu-waktu yang dipelankan seperti Dzuhur dan 'Ashar 5. Takbir yang mendahului setiap gerakan 6. Tasyahud Awal 7. Tasyahud Akhir 8. Tahiyyat Awal 9. Tahiyyat Akhir (disarankan untuk berdoa di akhir tahiyyat akhir) 10. Mengucap Sami'allahu liman hamidah setelah bangun dari ruku' (Bagi Makmum mengucap Rabbana Lakal Hamdu)
Sunnah-sunnah yang tidak ditekankan dalam Shalat Di sini Sidi Ibnu ‘Ashir menerangkan Sunnah-sunnah ditekankan. Tabel di bawah ini menerangkannya:
Shalat
yang
tidak
Sunnah-sunnah Shalat Sunnah-sunnah yang tidak ditekankan 1. Iqamat 2. Sujud pada telapak tangan, lutut, dan jari kaki 3. Tenang saat Imam membaca bacaan pada Shalat yang dikeraskan suaranya 4. Mengikuti Imam menengok ke sebelah kanan saat membaca salam 5. Menengok ke sebelah kiri saat membaca salam (jika ada orang di sebelah kiri) 6. Mengikuti Shalat dengan penuh ketenangan disertai kehadiran hati 7. Penggunaan Sutrah (pembatas) ketika khawatir seseorang akan melintas di area sujud, pada Imam, atau ketika Shalat sendirian. 8. Mengucap salam yang dapat didengar 9. Membaca kalimat Tahiyyat sebagaimana diterangkan dalam Hadist 10. Ber-shalawat atas Nabi Ibrahim pada Tahiyyat Akhir 11. Mengumandangkan Adzan untuk Shalat Wajib pada sebuah jamaah untuk memanggil orang Shalat berjamaah 12. Meringkas Shalat saat sedang di perjalanan
Shalatnya Orang di Perjalanan Keringanan diberikan bagi orang yang melakukan perjalanan atau jauh dari rumah untuk meringkas Shalat-shalat 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Keringanan ini diberikan ketika syarat-syarat di bawah ini terpenuhi:
Jarak perjalanan dari rumah minimal 78 km seseorang telah melampaui batas kota Alasan melakukan perjalanan adalah untuk sesuatu yang dibolehkan
Maka boleh bagi seseorang yang mengadakan perjalanan dengan tujuan mulia, untuk meringkas Shalat nya jika jarak minimal antar kota 78 km atau lebih. Mulai boleh seseorang meringkas Shalat saat sudah melewati batas kota. Karenanya tidak dibolehkan meringkas Shalat saat masih berada di dalam kota. Namun dibolehkan untuk menggabungkan antara Shalat Dzuhur dan 'Ashar, dan antara Maghrib dan Isya sebelum meninggalkan rumah sekalipun bagi orang yang bepergian namun belum melakukan perjalanan melampaui batas kota, tetapi tidak boleh diringkas Shalatnya. Tabel di bawah ini menggambarkan bagaimana Shalat dilakukan sebelum, selama dan setelah kembali dari perjalanan.
41
Meringkas Shalat saat Melakukan Perjalanan Saat berangkat: Boleh menggabungkan Shalat saat berangkat, atau pada saat tiba di tujuan Tidak boleh meringkas Shalat sampai meninggalkan kota Tiba di tujuan: Boleh meringkas Shalat, tapi tidak boleh menggabungkan Shalat selama 3 hari 3 malam atau 19 kali Shalat atau lebih sedikit selama tinggal di tempat rantau. Setelah itu, Shalat harus dilakukan sebagaimana mestinya yakni 4 rakaat. Perjalanan pulang: Boleh meringkas dan menggabungkan Shalat sebelum kembali pulang. Boleh menunda Shalat hingga mencapai kota, dan kemudian meringkas dan menggabungkan Shalat sebelum memasuki kota. Atau boleh menunda Shalat hingga sampai ke rumah, dan kemudian menggabungkan Shalat tanpa meringkasnya. Penting untuk memperhatikan bahwa bolehnya meringkas Shalat apabila jarak perjalanan atau tempat rantau adalah minimal 78 km atau lebih dan melampaui batas kota dan kurang dari 4 hari atau 19 kali Shalat pada saat di tempat rantau, masih boleh meringkas. Ketika sudah mencapai 4 hari atau 20 kali Shalat, orang tersebut harus kembali Shalat 4 rakaat. Berikut ini adalah aturan-aturan tambahan untuk Shalat saat bepergian: Dalam kejadian berangkat dan tiba kembali di rumah saat 'waktu darurat' antara Shalat Dzuhur dan ''Ashar (Time of Urgency). 1 – Berangkat: Jika tidak ada cukup waktu untuk Shalat 3 rakaat, maka hendaknya Shalat diringkas menjadi 2 rakaat dan Shalat 'Ashar tetap 4 rakaat. 2 – Perjalanan pulang: Jika tidak cukup waktu untuk shalat 5 rakaat, hendaknya Shalat Dzuhur dan 'Ashar seolah-olah tidak sedang bepergian. Namun jika hanya cukup waktu untuk Shalat 1 sampai 4 rakaat, hendaknya Shalat Dzuhur 2 rakaat dan 'Ashar tetap 4 rakaat. Berangkat dari rumah dan tiba kembali ke rumah Shalat Maghrib dan Shalat Isya
saat 'waktu darurat' antara
1 – Saat berangkat: Jika cukup waktu sebelum Subuh untuk Shalat se-rakaat atau lebih, seseorang hendaknya Shalat Maghrib seperti biasa kemudian Shalat Isya seolah-olah tidak sedang melakukan perjalanan yakni 4 rakaat. 2 – Saat pulang dari perjalanan: Jika seseorang pulang dari perjalanan dan cukup waktu sebelum Subuh untuk Shalat se-rakaat atau lebih, orang itu hendaknya Shalat Maghrib seperti biasa dan Shalat Isya sebagaimana orang yang melakukan perjalanan, yakni diringkas 2 rakaat. Keterangan tambahan tentang waktu Shalat: Setiap Shalat memiliki yang diistilahkan dengan 'waktu memilih' (time of choice) dan 'waktu darurat' (time of urgency) 1. Waktu Memilih: adalah 'selang waktu' dibolehkan-nya seseorang Shalat tanpa berdosa walaupun orang itu menunda Shalat sampai akhir selang waktu ini. Ini seperti halnya waktu yang dibagi untuk Shalat Dzuhur yang berlangsung sampai waktu Shalat 'Ashar. Selang waktu antara dua waktu Shalat inilah yang disebut dengan 'waktu memilih', dikarenakan seseorang punya pilihan
42
antara melakukan Shalat Dzuhur pada akhir waktu Shalat Dzuhur dan permulaan waktu Shalat 'Ashar tanpa berdosa untuk penundaan. 2. Waktu Darurat: adalah selang waktu yang biasanya terjadi pada akhir suatu Shalat sebelum waktu Shalat berikutnya masuk. Waktu ini di-istilahi dengan 'waktu darurat' atau karena ada keperluan sebab orang yang Shalat pada waktu darurat ini memiliki suatu keperluan atau 'dimaafkan oleh sebabsebab yang membolehkan' untuk menunda Shalat. Ini tidak berarti bahwa jika seseorang menunda Shalat sampai 'waktu darurat' lantas dia bebas dari kewajiban Shalat. Maksudnya adalah orang yang tidak memiliki 'sebab-sebab yang membolehkan menunda Shalat', maka akan berdosa jika menunda Shalatnya. 'Sebab-sebab yang membolehkan menunda Shalat' adalah seperti: ketiduran, pingsan, lupa waktu Shalat, mencapai baligh saat habis waktu Shalat, terserang penyakit gila, masuk Islam atau murtad lalu kembali tobat sebelum waktu Shalat berakhir, atau berhenti haidh sebelum waktu Shalat berakhir saat waktu yang diperlukan untuk mandi dan mengejar Shalat satu Rakaat tidak tersedia dan waktu Shalat habis. Waktu darurat untuk Shalat Dzuhur masuk ketika waktu pilihan untuk Shalat 'Ashar mulai. Dan waktu pilihan untuk Shalat Maghrib berakhir segera setelah matahari terbenam yakni mulai saat seseorang telah melakukan Wudu dan Shalat ketika masuk Waktu darurat Shalat Maghrib yang berlangsung sampai Fajar. Ini berarti ketika seseorang Shalat Dzuhur selama waktu 'Ashar dan Shalat Maghrib selama waktu Isya, orang itu tidak menyatukan dua Shalat berturutturut dalam satu waktu Shalat. Tapi tetap Shalat pada waktu yang telah ditentukan untuk masing-masing Shalat karena Shalat Dzuhur dan 'Ashar juga Shalat Maghrib dan Isya, memiliki 'Waktu yang dibagi bersama'. Perbedaannya ada dalam hal berdosa atau tidak nya seseorang menunda Shalat berdasarkan ada atau tidak nya 'sebab-sebab yang membolehkan menunda Shalat'.
Keutamaan-keutamaan dalam Shalat Pada bagian ini, pengarang menjelaskan keutamaan-keutamaan Shalat tapi bukan Sunnah Shalat. Keutamaan-keutamaan ini mendekatkan kepada kesempurnaan Shalat. Namun jika ditinggalkan tidak berdosa ataupun dikecam. Dan jika dikerjakan, akan diganjar pahala. Tabel di bawah ini memuat keutamaan-keutamaan Shalat: Keutamaan-keutamaan Shalat (Mustahabbat) 1. Menengok ke sebelah kanan saat mengucap Salam 2. Mengucap Amin di akhir Surat AlFatihah 3. Mengucap “rabbana lakal-hamd” 4. Mengerjakan doa Qunut saat Shalat Subuh 5. Mengenakan jubah atau pakaian panjang saat Shalat 6. Bertasbih saat Ruku dan Sujud 7. Shalat dengan posisi tangan di samping 8. Mengucap Allahu akbar setiap mengganti gerakan 9. merapatkan tiga jari tangan kanan dan meluruskan jari telunjuk saat
12. Posisi duduk tahiyyat akhir di setiap posisi duduk, bukan hanya tahiyyat akhir saja tapi termasuk tahiyyat awal dan setiap duduk di antara dua sujud 13. Menempatkan tangan dengan teguh di atas lutut ketika posisi ruku' 14. Meluruskan kaki saat ruku' 15. Membaca bacaan pada Shalat yang tidak dikeraskan bacaannya 16. Menempatkan kedua telapak tangan sejajar dengan telinga saat sujud 17. Mengangkat tangan saat takbiratul ihram 18. Memanjangkan bacaan Shalat pada
43
membaca tahiyyat 10. Menggerakkan jari telunjuk dari kanan ke kiri 11. Memberi jarak dari perut ke paha dan dari siku ke lutut saat sujud bagi laki-laki
Shalat Subuh dan Dzuhur, membaca surat yang panjangnya pertengahan saat Shalat Isya, dan membaca surat pendek pada Shalat 'Ashar dan Maghrib.
Doa Qunut ALLAHUMMA INNA NASTA'INUKA WA NASTAGHFIRUKA WA NUMINU BIKA WA NATAWAKKALU 'ALALAYKA WA NUTHNI 'ALAYKA'LKHAYRA KULLAH
Wahai Allah! Kami benar-benar memohon pertolongan-Mu dan ampunan dari-Mu dan beriman kepada-Mu dan memuji-Mu untuk semua kebaikan NASHKURUKA WA LA NAKFURUKA WA NAKHNA'U LAKA WA NAKHLA'U WA NATRUKU MAN YAKFURUK Kami bersyukur kepada-Mu dan kami tidak kufur kepada-Mu dan menyerahkan diri kami kepada-Mu dan dan pasrah serta meninggalkan semua yang kafir kepada-MU ALLAHUMMA IYYAKA NA'BUDU WA LAKA NUSALLI WA NASJUD WA ILAYKA NAS'A WA NAHFIDH Wahai Allah hanya kepada-Mu saja kami beribadah. Kami berdoa dan bersujud kepada-Mu. Kami berjuang di jalan-Mu NARJU RAHMATAKA WA NAKHAFU 'ADHABAKA'L-JIDD INNA 'ADHABAKA BI'L-KAFIRINA MULHIQ Kami berharap Rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu. Sesungguhnya Siksa-Mu meliputi orang-orang yang kafir Nomor 12, dalam Madzhab Maliki, setiap kali duduk dalam Shalat Posisi nya adalah seperti gambar di bawah ini:
44
Nomor 7, samping:
Penjelasan
tambahan
mengenai
Shalat
dengan
posisi
tangan
di
Shalat dengan posisi tangan di samping disarankan pada Shalat Wajib. Adalah Makruh untuk bersedekap tangan di dada atau di bawah pusar pada Shalat Wajib. Ini berlawanan dengan dibolehkan nya bersedekap pada Shalat Sunnah. Hampir semua faqih terhormat dari golongan Tabi'in Shalat dengan posisi tangan di samping. Di antara para Tabi'in adalah: Said bin Al-Musayyab, Ibrahim An-Nakhai, Hasan Al-Basari, Muhammad bin Sirin, Said bin Jubair, Abdullah bin Zubair, Ibnu Juraij, Imam Al-Auzai, dan Imam Malik bin Anas [Merujuk pada Musannaf dari Ibnu Abi Syaibah]. Dan Abdullah bin Az-Zubair – cucu Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq – mempelajari bagaimana cara Shalat dari kakeknya. Dan ketika Ibnu Abbas ditanya tentang Shalatnya Abdullah bin Zubair, dia berkata: “Jika Engkau hendak melihat Shalat nya Nabiyullah SAW, maka turutilah Shalat nya Abdullah bin Zubair. (Abu Dawud)” Dan dari semua riwayat yang menandakan Nabiyullah SAW Shalat dengan posisi tangan di samping, hanya dua yang Sahih, sedangkan riwayat lainnya tidak menunjukkan bahwa Nabi SAW Shalat dengan posisi tangan di samping. Karena itu renungkanlah!
Perkara-perkara Makruh Selama Shalat Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ada perkara-perkara yang makruh dilakukan pada Wudu, ada juga perkara-perkara yang makruh dilakukan saat Shalat. Tabel di bawah ini menerangkan perkara-perkara yang makruh dilakukan selama shalat:
Perkara-perkara yang Makruh Saat Shalat (Makruhat Al-Salat) 1. Mengucap Bismillaahirrahmaanirrahiim sebelum baca Surah pada Shalat Wajib 2. Mengucap Audzubillahiminasyaithanirrajiim dalam Shalat Wajib 3. Sujud di atas selembar pakaian 4. Sujud di atas lipatan sorban 5. Sujud di atas ujung sorban 6. Membawa sesuatu di lipatan dalam sorban 7. Membawa sesuatu di dalam mulut 8. Membaca Quran dalam posisi ruku dan sujud
9. Memikirkan urusan dunia yang meniadakan kehadiran hati (kekhusyu'an) 10. Gelisah tentang sesuatu atau seseorang 11. Berbelok arah sedikit jauh dari arah Qiblat 12. Memanjatkan doa ketika membaca Quran dan pada saat ruku 13. Memilin (menjalin) jari 14. Mematah-matahkan jari(cetrakcetrok) 15. Bertolak pinggang saat berdiri 16. Menutup mata saat Shalat
Jenis-jenis Shalat Pertama, pengarang menetapkan bahwa ada 5 Shalat Fardu 'Ain. Pengarang menambahkan bahwa ada satu Shalat Fardu Kifayah yang disebut dengan Shalat Jenazah. Shalat Jenazah Rukun Wajib Shalat Jenazah adalah sebagai berikut:
Takbir Empat Kali Berdoa untuk si Mayit setiap kali setelah takbir Niyat
45
Salam
Gambaran Shalat Jenazah: Imam berdiri di depan si Mayit Makmum membentuk Shaf di belakang Imam sebagaimana biasanya Imam mengangkat tangan sampai sebahu dan mengucap 'Allahu Akbar' Makmum mengikuti Imam bertakbir dan baik itu Imam serta Makmum menShalatkan si Mayit dengan tenang Imam kembali bertakbir tanpa mengangkat tangan, yakni 3 kali takbir dengan sedikit jeda antara setiap takbir untuk memohon doa kepada Allah dan begitu pula Makmum melakukan hal yang sama Imam mengakhiri Shalat dengan mengucap salam satu kali ke arah kanan Makmum mengikuti Imam Salam Shalat Jenazah berakhir Shalat Jenazah dilakukan dengan cara berdiri tanpa Ruku', Sujud, dan tanpa Duduk. Berikutnya, pengarang berbicara tentang aturan Mandi Besar, yang telah dibahas di awal cukup panjang, bedanya bahwa Mandi Besar ini tidak sama dengan yang telah dibicarakan, yakni bagi orang hidup, melainkan Memandikan Mayit yang sudah Mati. Ketika seorang manusia mati, maka dia menjadi mayit. Adalah hak mayit untuk dimandikan. Jika tidak ada yang mengerjakannya maka seluruh Muslim berdosa, tapi jika ada satu orang saja yang melakukannya, maka dosa seluruh Muslim gugur. Inilah yang dimaksudkan dengan Fardu Kifayah. Seseorang hendaknya memandikan si Mayit dengan menutup kemaluan si Mayit. Dan air hendaknya dituangkan di atas tubuh si Mayit dengan bilangan ganjil. Bilasan terakhir hendaknya menggunakan air yang diberi wewangian seperti Kamper atau daun bidara (sidr). Kemudian si Mayit hendaknya dikeringkan tubuhnya dan dikafani. Mengafani Mayit juga Fardu Kifayah. Seseorang hendaknya menggunakan sejumlah kain ganjil untuk mengafani tubuh si Mayit: sebuah sabuk, sehelai kain untuk tubuh bagian atas, dan sesuatu untuk mengikat di bagian kepala. Dan setelah Shalat Wajib Lima Waktu, yang juga penting adalah Shalat Sunnah Muakkadah yakni: 1. 2. 3. 4.
Witir – Shalat dengan Rakaat Ganjil Kusuf – Shalat Gerhana Matahari 'Id – Shalat Hari Raya Istisqa' – Shalat Minta Hujan Witir – Shalat dengan Rakaat Ganjil
Adapun untuk Shalat Witir, adalah shalat satu Rakaat di mana seseorang duduk pada akhir Shalat. Gambarannya adalah sebagai berikut: Memulai Shalat sebagaimana biasanya Setelah dua kali sujud, lalu duduk untuk Tahiyyat Setelah Tahiyyat dan mengucap Shalawat kepada Nabi, salam satu kali ke arah kanan. Catatan: Disarankan untuk membaca tiga surat terakhir dari Al-Quran yang disebut dengan 'Tiga Qul' yakni Al-Ikhlash, Falaq, dan Nas yang terdapat pada akhir Al-Quran.
46
Imam Malik me-makruhkan Shalat Witir yang tanpa didahului oleh Shalat Dua Rakaat yang disebut Shalat 'Shaf'. Selama Shalat Shaf, hendaknya membaca Surat Al-A'la pada rakaat pertama, dan Surat Al-Kafirun pada Rakaat kedua. Shalat Kusuf – Shalat Gerhana Matahari Shalat Gerhana Matahari dilakukan berjamaah dengan seorang dilakukan di dalam Masjid dengan tata cara sebagai berikut:
Imam
yang
Pengumuman bagi Muslim untuk Shalat Gerhana Berjamaah di Masjid Imam memimpin Jamaah yang hadir untuk Shalat Gerhana dua rakaat dengan bacaan pelan. Rakaat pertama Imam membaca Al-Fatihah dan Al-Baqarah Setelah selesai membaca, Surah lalu Ruku dengan panjang ruku sama seperti panjang berdiri Setelah itu bangun dari ruku dan kembali membaca Surat Al-Fatihah dan Surat yang panjangnya kurang lebih seperti Surat Al-Baqarah tapi lebih pendek Setelah selesai membaca Surah, lalu kembali Ruku sepanjang bacaan Shalat Lalu Imam bangun dari Ruku' dan berdiri tegak lurus Imam Sujud Imam duduk di antara dua sujud Imam sujud untuk kedua kalinya Imam bangun untuk mengerjakan rakaat ke dua sama seperti rakaat pertama, bedanya pada rakaat kedua ini bacaanya lebih pendek Imam mengakhiri Shalat dengan Assalamu'alaikum Imam berbalik menghadap Makmum dan jika berkenan menawarkan Tausiyah Istisqa – Shalat Minta Hujan Shalat minta hujan dilakukan pada musim kering dengan cara sebagai berikut: Orang-orang keluar ke tempat Shalat bersama Imam dengan mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja, bukan yang terbaik, sebagai bentuk penuh kerendahhatian dan pengharapan doa nya akan dikabulkan Imam lalu memimpin Shalat dua rakaat berjamaah tanpa Adzan dan Iqamat Rakaat pertama membaca Al-Fatihah dan Surat Al-A'la Rakaat kedua membaca Al-Fatihah dan Surat Ghasiyah Setelah selesai Shalat, Imam menyampaikan dua bagian Khutbah sambil banyak-banyak Memohon Ampun kepada Allah Setelah menyampaikan Khutbah Imam Menghadap Qiblat menelungkupkan Jubahnya lalu mengangkat tangan memohon kepada Allah. Dalam doa nya ada permohonan sebagai berikut: اللھم اسق عبادك بھيمتك وانشر رحمتك و أحي بلدك الميت “Allāhummasqi ‘ibādaka wa bahimataka wanshur raħmataka wa aħyi baladakalmayt”. “Ya, Allah berikanlah air kepada hamba-hamba-Mu dan hewan-hewan tungganganMu, sebarkanlah Rahmat-Mu dan berikanlah hidup kepada tanah yang mati”. Shalat 'Id – Shalat Hari Raya Adapun untuk Shalat 'Id yang dilakukan pada akhir bulan Ramadhan dan setelah Hari Arafah selama bulan Haji (Dzulhijjah), adalah Shalat-shalat dengan tata cara sebagai berikut:
47
Imam memasuki tempat Shalat dan Shalat dua Rakaat dengan bacaan keras beserta Jamaah yang hadir Rakaat pertama dengan tujuh kali takbir termasuk di dalamnya takbiratul ihram namun mengangkat tangan hanya untuk takbir yang pertama saja Lalu membaca Al-Fatihah dan Surah lain seperti Surah Al-A'la Ruku' Bangun dari Ruku' Sujud Duduk di antara dua sujud Sujud kembali Berdiri untuk melaksanakan rakaat kedua, bertakbir lima kali, tidak termasuk takbir untuk berdiri dari sujud Membaca Al-fatihah dan Surat lain seperti Surah Al-Ghasiyah Ruku' Bangun dari Ruku' Sujud Duduk di antara dua sujud Sujud lagi Tahiyyat Selesai Shalat, Salam Catatan tambahan mengenai bacaan Shalat yang dikeraskan dan tidak dikeraskan: Tingkat terpelan dari bacaan Shalat yang dikeraskan adalah dapat didengar oleh diri sendiri dan bagi orang yang berdiri di sebelah kita jika ada. Tingkat terkeras dari bacaan yang tidak dikeraskan adalah dapat didengar oleh diri sendiri. Tingkat terpelan-nya adalah menggerakkan lidah. Setelah menekankan pentingnya Sunnah, ada juga Shalat yang dihukumi sebagai raghibah ( sangat dianjurkan ). Shalat raghibah adalah salah satu Shalat yang benar-benar dianjurkan oleh para Qadi. Alasan pertamanya adalah sabda Nabi SAW: “Dua Rakaat sebelum Fajar adalah lebih baik dari dunia dan seisinya” ركعتا الفجر خير من الدنيا و ما فيھا Nabi SAW selalu mengerjakan Shalat dua rakaat ini. Shalat dua rakaat sebelum Shalat Shubuh ini disebut Shalat Fajar. Dalam Shalat Fajar, pandangan yang masyhur dalam Madzhab Maliki adalah bahwa seseorang hendaknya hanya membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat tanpa Surah tambahan. Tetapi tidak mengapa jika ingin menambahkan bacaan Surah sesudah Al-Fatihah. Beberapa Ulama menyarankan membaca Surat Al-Kafirun pada rakaat pertama dan Surat Al-Ikhlash pada rakaat kedua. Contoh dari Shalat Raghibah lainnya adalah: Dua Rakaat setelah Shalat Maghrib Shalat empat rakaat (dua, dua) antara Maghrib dengan Isya Shalat Fajar ini sangat disarankan untuk dilakukan bahkan jika seseorang telah selesai mengerjakan Shalat Shubuh. Dan pengerjaan ini panjang waktunya yakni sampai waktu Shalat Dzuhur. Adapun untuk Shalat Wajib Lima Waktu, adalah wajib untuk mengerjakan shalat Lima Waktu terlepas dari sudah masuk jam berapa hari itu, dan apakah matahari sudah terbit/terbenam atau belum.
48
Namun demikian, Waktu-waktu yang dilarang untuk mengerjakan Shalat dalam Madzhab Maliki ada tiga: 1. 2. 3.
Setelah Subuh sampai matahari terbit kira-kira setinggi tombak Setelah Shalat 'Ashar sampai matahari terbenam Ketika Imam menyampaikan Khutbah Jum'at.
Terlarang untuk mengerjakan Shalat Sunnah selama tiga waktu yang disebutkan di atas. Tetapi untuk mengerjakan Shalat Wajib, tidak ada larangan. Jika seseorang mengerjakan lebih dari satu Shalat Wajib dalam satu waktu, maka urutan-uratan nya harus sama persis berdasarkan urutan-uratan Shalatshalat yang ditinggalkan. Jika tidak maka semua Shalat-shalat yang dikerjakan oleh orang tersebut tidak sah/batal semuanya kecuali jika Shalat-shalat yang dikerjakan tersebut lebih dari Shalat satu hari misal Enam kali waktu Shalat atau lebih. Dalam hal ini, boleh untuk meng-ganti Shalat tidak sesuai urutan-urutan dari shalat-shalat yang ditinggalkan. Adapun untuk Shalat-shalat Sunnah yang tidak ditekankan, adalah baik untuk mengerjakan shalat-shalat Sunnah yang tidak ditekankan ini kapanpun seseorang suka dan berapa kali pun seseorang suka. Tetapi hendaknya Shalat Sunnah dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Shalat-shalat Sunnah yang tidak ditekankan namun penting untuk dikerjakan adalah: Shalat Tahiyyatul Masjid – Yakni Shalat dua rakaat pada saat Masuk Masjid Shalat Dhuha Shalat Tarawih Shalat Shaf – Shalat Dua Rakaat sebelum shalat witir Dua rakaat sebelum Dzuhur Dua rakaat sebelum 'Ashar Empat rakaat tambahan setelah Maghrib Empat Rakaat setelah Dzuhur
* * * Perbaikan atas Shalat Sujud Karena Lupa (Sujud Syahwi) Sunnah untuk melakukan dua sujud setelah tasyahud dan sebelum salam (sujud qabli) jika seseorang secara tidak sengaja meninggalkan: 1. Sunnah Muakkadah seperti membaca pelan bacaan yang seharusnya keras pada shalat wajib (lihat bagian sunnah muakkadah shalat) 2. Dua atau lebih sunnah ringan (disebutkan pada bagian sunnah shalat), seperti tidak melakukan dua takbir (kecuali takbiratul ihram yang wajib) dan dua “sami'Allahu liman hamidah”
49
Dua sujud ini dilakukan seketika dari posisi duduk segera setelah tasyahud dan sebelum salam. Orang tersebut mengulangi kembali tasyahud setelah dua sujud 11 dan kemudian mengucapkan salam. Sunnah untuk melakukan dua sujud setelah salam (sujud ba'di) jika seseorang secara tidak sengaja menambah sesuatu, seperti shalat lima rakaat atau membaca keras bacaan yang seharusnya pelan dalam shalat wajib. Sujud ini dilakukan seketika dari posisi duduk 12 segera setelah salam. Takbiratul ihram hendak nya diucapkan sebelum dua sujud tanpa mengangkat tangan. Setelah dua sujud, orang tersebut mengulangi tasyahud dan kemudian mengucapkan salam lagi. Siapapun, baik itu melakukan penambahan atau pengurangan pada shalat, pengurangan didahulukan tanpa terkecuali, sehingga seseorang harus terlebih dahulu melakukan sujud sebelum salam (sujud qabli). Lupa Melakukan Sujud Syahwi Jika seseorang lupa melakukan sujud syahwi, aturannya bergantung pada keadaan berikut ini: 1. Jika qabli dilupakan, maka qabli itu harus dikerjakan dengan segera setelah salam. Jika tidak dilakukan dengan segera dan waktu berlalu melebihi normalnya seseorang meninggalkan masjid13 setelah shalat maka: a. Shalatnya batal jika qabli itu disebabkan oleh terlewatkannya tiga atau lebih sunnah. b. Shalatnya masih sah jika qabli itu disebabkan oleh terlewatkannya kurang dari tiga sunnah. 2. Jika ba'di yang terlupakan, salat tetap sah dan sujud boleh dilakukan bahkan jika tahun demi tahun telah berganti. Dalam kedua kasus itu, seseorang harus mengakhiri sujud itu dengan sebuah salam setelah tasyahud. Imam memikul tanggung jawab atas kesalahan pengurangan atau penambahan oleh makmum (selama makmum mengikuti imam) dan ini meringankan kebutuhan sujud syahwi bagi makmum. Juga lihat bagian terlambat bergabung jadi makmum (masbuk). Apa yang membatalkan Shalat Shalat dibatalkan oleh: 1. Sengaja meniup udara dari mulut. Jika tidak sengaja, dianggapnya sebagai penambahan, dan orang itu melakukan sujud ba'di. 2. Sengaja berbicara diluar bacaan shalat membatalkan shalat, kecuali jika keperluannya adalah membetulkan kesalahan imam dengan kata-kata yang diizinkan 11 Menurut pendapat masyhur 12 Namun demikian, jika sebuah rakaat tertambahkan dan seseorang ingat ketika berdiri di rakaat tambahan itu 13 Ini adalah jumlah waktu kurang lebih untuk melakukan dzikir sunnah di jari dan shalat dua atau empat rakaat sunnah dan keluar dari masjid, kira-kira 5-10 menit.
50
seperti subhanallah, yang hanya membatalkan shalat jika berlebihan. Jika bicaranya itu tidak sengaja, maka termasuknya tambahan kepada shalat, dan orang itu melakukan sujud ba'di. Berdehem, mengeluarkan dahak, mendesah, sendawa, mengerang karena kesakitan atau menangis karena ketakutan yang begitu besar kepada Allah tidak membatalkan shalat. 3. Tercegah oleh sesuatu, seperti mual, atau keperluan untuk kentut, muntah, kencing atau yang semacamnya, dari melakukan rukun wajib shalat, seperti berdiri, atau rukuk. Tetapi jika seseorang terlewat mengerjakan sunnah, direkomendasikan untuk mengulangi shalat dalam waktu shalat tersebut. 4. Batal wudu' selama shalat membatalkan shalat, baik itu sengaja batal wudunya atau tidak sengaja. 5. Secara tidak sengaja menggandakan jumlah rakaat (seperti menambah dua rakaat ke shalat Subuh, atau menambah empat rakaat ke shalat Dzuhur, 'Ashar, Maghrib atau 'Isya). 6. Tertawa keras, sengaja atau tidak sengaja, apakah seseorang menjadi imam atau makmum, tetapi seorang makmum yang tertawa harus melanjutkan mengikuti imam sampai selesai shalat dan kemudian mengulangi shalat kemudian. 7. Sengaja makan dan/atau minum. 8. Sengaja menambah sujud atau rakaat tanpa alasan 9. Sengaja menelan muntah atau memuntahkan makanan 10. Seseorang yang menyadari telah terlewat lima kali shalat atau kurang yang belum diselesaikan14 Jika seseorang menyadari hal ini dalam shalat berjama'ah, maka orang itu menyelesainya shalat berjama'ahnya, dan kemudian mengerjakan shalat yang belum diselesaikan, dan akhirnya mengulangi kembali shalat yang baru selesai dikerjakan berjama'ah barusan. 11. Seseorang yang menyadari selagi shalat telah terlewat mengerjakan rukun wajib (seperti rakaat atau sajdah) dalam sebuah shalat wajib yang sebelumnya. 15 12. Seseorang yang menyadari ketika shalat, terlewat mengerjakan sujud syahwi qabli karena terlewat mengerjakan tiga atau lebih sunnah setelah orang itu meninggalkan masjid atau sekian lama waktu berlalu, pada shalat wajib yang sebelumnya16.
14 Jika seseorang menyadari bahwa seseorang memiliki enam atau lebih shalat terlewat yang belum diselesaikan (qada') selagi shalat , maka shalatnya sah. 15 Ini karena bahwa shalat yang sebelumnya tidak terselesaikan (karena tidak terpenuhinya rukun wajib) dan menjadi shalat yang belum terselesaikan, sehingga poin nomor 10 yang sebelumnya diterapkan dalam kasus ini 16 Ini karena shalat sebelumnya tidak lengkap dan menjadi shalat yang belum terselesaikan, sehingga poin nomor 10 diterapkan pada kasus ini.
51
Terlewat Mengerjakan Rukun Wajib dalam Shalat Jika seseorang menyadari selama shalat bahwa dia telah terlewat mengerjakan rukun wajib, 17 rukun ini harus dikerjakan ulang sebagaimana diterangkan dalam skenario berikut ini, atau shalat nya tidak sah. - Jika seseorang menyadari sebelum berdiri dari rukuk yang mengikuti, bagaimanapun juga, kerjakanlah rukun yang tertinggal itu. Misalkan, jika selagi membaca Fatihah di rakaat kedua, seseorang ingat sebuah sujud terlewati di rakaat pertama, orang itu hendaknya bersujud seketika itu juga lalu berdiri dan ulang baca Fatihah dari awal. - Tetapi jika seseorang menyadari setelah berdiri dari ruku, keseluruhan rakaat sebelumnya batal. Misalkan, jika seseorang baru saja menyelesaikan rakaat pertama, lantas bangun untuk mengerjakan rakaat kedua, membaca Fatihah dan Surah, lalu rukuk dan setelah itu ingat akan sebuah sujud yang tertinggal di rakaat pertama, rakaat yang sedang dikerjakan dihitung sebagai rakaat pertama, karena rakaat pertama yang sebelumnya batal. Sujud syahwi hendaknya dilakukan setelah salam, karena menambah rukun dalam shalat. - Jika seseorang menyadari setelah salam bahwa sebuah rukun wajib terlewati pada rakaat sebelumnya, rakaat tersebut batal dan orang tersebut mengucap takbiratul ihram dan menyelesaikan shalat dengan menambahkan sebuah rakaat dan melakukan sujud syahwi setelah salam karena melakukan penambahan rukun. Namun jika telah lama waktu berlalu, maka shalatnya tidak sah, karena itu harus diulang. Ragu-ragu mengenai Sudah Belum nya Mengerjakan Rukun Wajib Jika seseorang tidak yakin apakah dia telah terlewat mengerjakan sebuah rukun wajib, maka orang itu hendaknya meyakini bahwa dia belum mengerjakan rukun wajib itu, karenanya dia mengerjakan rukun wajib yang dia anggap tertinggal itu dan melakukan sujud syahwi setelah salam. - Jika tidak yakin nya itu pada waktu Dzuhur atau Ashar apakah seseorang mengerjakan rakaat ketiga atau keempat, maka: a. Selalu lah beranggapan melakukan rakaat ketiga, kemudian b. Tambahkan satu rakaat (yang akan dianggap sebagai rakaat keempat), terus c. Lakukan sujud syahwi setelah salam (untuk mengimbangi kalau-kalau rakaat ditambahkan karena lupa) - Jika tidak yakin apakah seseorang melakukan satu atau dua sujud pada rakaat pertama setelah bangun untuk mengerjakan rakaat kedua, maka orang itu harus beranggapan hanya satu sujud yang dilakukan dan: a. Jika seseorang tidak bangun dari rukuk, maka orang itu segera melakukan sujud yang dianggap terlewat itu kemudian bangun dan memulai kembali rakaat kedua. b. Jika seseorang bangun dari rukuk (menuju i'tidal), maka orang itu memperlakukan rakaat yang dikerjakannya saat itu seolah-olah itu rakaat pertama (rakaat pertamanya batal). - Seseorang bersujud setelah salam (sujud syahwi ba'di) dalam kedua kasus di atas untuk mengganti rukun yang tertambahkan. Aturan-aturan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang tidak dipengaruhi oleh godaan atau ragu yang terus-menerus (istinkah). Ketika seseorang tergoda atau terpengaruh oleh ragu yang 17 Rukun wajib selain takbiratul ihram dan niyat, karena tanpa keduanya shalat bahkan belum dimulai.
52
terus-menerus, dan yang demikian terjadi pada orang itu setidaknya sehari sekali, orang itu hendaknya mengabaikan keraguannya. Dalam kejadian yang demikian, jika seseorang ragu apakah dia telah melakukan tiga atau empat rakaat, maka orang itu beranggapan rakaat keempat telah dikerjakan dan hanya melakukan sujud syahwi setelah salam. Kadang-kadang terjadi bahwa sesuatu ditambahkan dan dikurangi pada waktu yang sama, karenanya orang itu harus melakukan sujud sebelum salam. Hal tersebut dicontoh dalam kasus berikut: - Jika, setelah bangun dari rukuk pada rakaat ketiga, seseorang tidak yakin apakah melakukan satu atau dua sujud pada rakaat kedua: a. Perlakukan rakaat saat itu sebagai rakaat kedua (yakni batal rakaat sebelumnya, termasuk bacaan Surah setelah Fatihah). b. Melanjutkan rakaat saat itu dan menyelesaikan rakaat dengan duduk tasyahud. c. Tambahkan dua rakaat yang di dalamnya hanya membaca Fatihah saja. d. Lakukan sujud syahwi sebelum salam, karena melakukan penambahan (yaitu karena rakaat yang batal dan karena mengurangi sesuatu dari shalat (yaitu Surah yang tidak dibaca pada rakaat ketiga yang diperlakukan sebagai rakaat kedua). Sujud juga dilakukan sebelum salam jika seseorang menyadari dalam sebuah shalat wajib, ketika bangun, bahwa orang itu lupa melakukan duduk di antara dua sujud. Dalam kasus ini, jika selagi bangun, telapak tangan dan lutut telah diangkat dari tanah: a. Melanjutkan kepada posisi berdiri, supaya tidak meninggalkan yang fardu (berdiri) untuk melakukan sunnah (duduk) b. Melakukan sujud syahwi sebelum salam (untuk mengganti duduk yang tidak dikerjakan, tasyahud, dll.). Meskipun demikian, jika kedua telepak tangan dan lutut telah diangkat dari tanah, tetapi seseorang kembali ke posisi duduk,18 dia hendaknya melakukan sujud syahwi setelah salam, tanpa peduli apakah orang tersebut melakukan hal yang demikian karena tidak tahu aturan di atas, lupa, ataukah sengaja. Jika telapak tangan atau lutut belum diangkat dari tanah, seseorang kembali duduk dan tidak ada sujud syahwi yang dilakukan. Namun jika seseorang berdiri, maka bagaimanapun juga orang itu harus sujud sebelum salam karena tidak mengerjakan rukun sunnah yang ditekankan. Aturan di atas hanya untuk shalat wajib. Shalat nafilah yang dilakukan dua rakaat, memiliki aturan khusus: - Jika seseorang menyadari ketika bangun bahwa dia lupa duduk tasyahud, dan malah berdiri untuk mengerjakan rakaat ketiga yang seharusnya tidak dia lakukan, maka dia harus duduk kembali, bahkan jika telapak tangan dan lutut telah diangkat dari tanah, dan kemudian melakukan sujud syahwi setelah salam karena telah melakukan penambahan. - Jika bukan karena lupa, seseorang mengangkat lutut dan telapak tangan, bangun dan menyelesaikan rakaat ketiga, maka orang itu menambahkan rakaat keempat dan melakukan 18 Berlawanan dengan apa yang seharusnya dia lakukan.
53
sujud sebelum salam. *** BAB SHALAT JUM'AT Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk Shalat Jum'at Shalat Jum'at adalah fardu 'ayn bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat nya (syuruth ada'). Waktunya dimulai pada waktu Dzuhur dan berakhir ketika ada cukup waktu bagi satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam setelah menyelesaikan shalat Jum'at. Syarat-syarat untuk dipenuhi (syart ada') supaya shalat Jum'at nya sah adalah: - Bertempat tinggal tetap19 ( istitan ) dalam sebuah kota besar atau kecil atau desa atau perkampungan20 jika tempat-tempat tinggal itu dapat berfungsi secara independen dan ada cukup penduduk Muslim untuk membentuk sebuah komunitas. - Dua khutbah yang mendahului shalat, yang dipisahkan oleh duduknya imam, dan setiap khutbah mengandung: a. Pujian kepada Allah dengan mengucap Alhamdulillah b. Shalawat kepada Rasul salalahu'alaihiwasalam c. Memperingatkan akan Naar d. Kabar gembira tentang Jannah dan e. Setidaknya satu ayat Qur'an - Ada sebuah masjid jami' untuk melaksanakan shalat Jum'at, yaitu bangunan yang dibangun dengan layak, bukan gubuk atau lapangan terbuka, dll. - Seorang imam, yang harus: a. Merdeka, bukan budak b. Laki-laki c. Tidak sedang bepergian - Sebuah jama'ah yang terdiri dari minimal tigapuluh laki-laki yang bertempat tinggal tetap adalah wajib untuk memulai Shalat Jum'at. Tetapi setelah shalat Jum'at dimulai, jumlah minimal duapuluh laki-laki yang masih berada di Masjid sampai akhir Shalat adalah diperlukan supaya Shalat Jum'at nya sah. Syarat-syarat yang Membuat Shalat Jum'at Wajib Syarat-syarat yang membuat Shalat Jum'at menjadi wajib, ( Syurut Wujub ) adalah:21 - Bertempat tinggal sementara ( muqim )22 jika shalat Jum'at telah dimulai oleh orang yang 19 20 21 22
Orang yang bermaksud untuk tinggal di sebuah tempat tanpa batas waktu Ini tidak termasuk karavan atan tenda dan jenis lain perkampungan yang dimaksudkan untuk bergerak Ini adalah syarat-syarat yang di luar kendali seseorang Bertempat tinggal sementara atau muqim adalah seseorang yang bermaksud untuk tinggal di suatu tempat selama satu periode waktu yang panjangnya 20 kali shalat wajib (yaitu empat hari) atau lebih. Konsep ini
54
bertempat tinggal tetap. - Tidak memiliki sebab-sebab yang membolehkan meninggalkan shalat seperti: a. Sakit atau cenderung sakit atau orang yang hampir mati yang takut dengan melayangnya nyawa, kesehatan, atau harta benda jika pergi mengerjakan shalat Jum'at b. Kondisi cuaca yang ekstrim seperti hujan deras c. Merdeka, yakni bukan budak. - Tinggal dalam jarak 5 km dari masjid terdekat, jika seseorang tinggal di luar sebuah kota yang di kota itu ada masjid jami' nya. Jika seseorang tinggal di dalam sebuah kota, menghadiri shalat Jum'at adalah wajib bahkan jika orang itu tinggal dengan jarak 9 km dari masjid jami'. - Laki-laki Mengerjakan shalat Jum'at memberi seseorang keringan atas pengerjaan shalat Dzuhur bagi orang-orang yang tidak diwajibkan untuk hadir, seperti musafir, budak, anak-anak, perempuan dan orang-orang yang tinggal jauh dari masjid melebihi jarak wajib, bagi orang-orang yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat, adalah mustahabb bagi mereka untuk menghadiri shalat Jum'at. Wajib menghadiri shalat Jum'at ketika adhan dikumandangkan bagi orang yang dekat dengan masjid, tetapi orang yang tinggal jauh dari masjid harus memperhitungkan jarak tempuh. 23 Ini berarti setiap perbuatan yang mengganggu seseorang dari memperhitungkan jarak tempuh guna menghadiri shalat Jum'at, menjadi haram, dan transaksi bisnis pada waktu tersebut, hendaknya dibatalkan. Sunnah dan Mustahabb Shalat Jum'at Sunnah shalat Jum'at adalah mandi ( ghusl ) sebelum shalat Jum'at. Jika seseorang tidur, makan siang atau yang semacamnya sebelum melaksanakan shalat Jum'at, mandi hendaknya diulangi. Mustahabb shalat Jum'at adalah: - Pergi menuju masjid di tengah hari - Berpakaian dengan layak - Memakai minyak wangi (khusus laki-laki) - Memelihara diri dengan baik, yaitu dengan menerapkan unsur-unsur fitrah: a. Memangkas kumis sehingga bibir atas tidak tertutup kumis b. Memotong kuku agar tetap pendek c. Mencukur habis semua rambut kemaluan d. Mencabut bulu ketiak e. Menggosok gigi
berbeda dari orang yang bertempat tinggal tetap, yaitu orang yang bermaksud tinggal menetap di suatu tempat. Status lain adalah orang yang bepergian ( musafir ), yaitu orang yang bermaksud tinggal di suatu tempat kurang dari 20 kali shalat wajib. 23 Ini berarti bahwa orang yang jauh dari masjid harus memperhitungkan jarak tempuh agar dapat menghadiri Shalat Jum'at. Karenanya wajib bagi orang itu menghadiri shalat Jum'at bahkan sebelum adhan berkumandang karena jauhnya jarak yang harus orang itu perhitungkan untuk menghadiri shalat Jum'at
55
Shalat Berjamaah Shalat berjamaah adalah wajib bagi shalat Jum'at, sedangkan bagi semua shalat wajib, sunnah berjamaah, yang berpahala 25 – 27 kali lebih besar ketimbang shalat sendirian, bahkan jika seseorang hanya mendapati berjamaah satu rakaat dengan imam (dengan melakukan rukuk sebelum imam bangun dari rukuk') kecuali jika seseorang dengan sengaja menunda bergabung dalam shalat berjamaah. Adalah Mustahabb mengulangi shalat wajib dengan berjamaah, yang sebelumnya dilakukan sendirian, dalam sebuah masjid ( atau tempat lain jika shalat berjamaah terdiri dari minimal tiga orang )24 kecuali dua shalat: - Shalat Maghrib dan - Shalat Isya jika seseorang telah mengerjakan shalat witir. Imam Supaya shalat berjamaah sah, imam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Laki-laki dewasa. Jika seorang laki-laki atau seorang perempuan bermakmum kepada seorang perempuan, shalatnya tidak sah. Mukallaf. Bermakmum kepada orang yang tidak waras, mabuk, atau anak-anak tidak sah shalatnya. Tidak dibolehkan menjadikan anak-anak mengimami shalat nafilah, tetapi jika terjadi yang demikian shalatnya sah Secara fisik mampu mengerjakan rukun wajib shalat. Orang yang tidak mampu secara fisik, mengimami orang yang mampu secara fisik adalah tidak sah. Tetapi orang yang tidak mampu secara fisik dapat mengimami orang dengan ketidakmampuan yang sama, misal, orang yang tidak mampu berdiri, dapat memimpin orang yang tidak mampu berdiri. Mengetahui cukup fiqih dan Qur'an untuk mengerjakan shalat yang sah, dan juga aturanaturan berkenaan dengan wudu dan ghusl dan imam mestinya jangan: - Bermaksiyat (fasiq), berarti bahwa: a. Dia melakukan perbuatan salah, yang memiliki dua tingkatan: 1). Jika perbuatan salah itu tidak terhubung langsung kepada shalat, makmum hendaknya mengulangi shalat pada waktu ikhtiyari, dan hendaknya tidak bermakmum lagi kepada pelaku maksiyat itu 2). Jika perbuatan salah membatalkan shalat yang sedang dikerjakan, shalatnya harus diulangi. b. Dia memiliki aqidah yang menyimpang, yang juga memiliki dua tingkat: 1). Jika para ulama tidak setuju karena menganggap jangan-jangan dalam keyakinan imam itu terdapat kufur, makmum hendaknya mengulangi shalat pada waktu ikhtiyari, dan seseorang hendaknya tidak bermakmum lagi kepada orang itu. 24 Dua orang plus satu orang yang mengulangi bacaan shalat. Tidak disarankan mengulangi bacaan shalat dengan satu makmum saja, kecuali jika orang itu adalah imam tetap ( imam ratib ) dari sebuah masjid. Siapapun yang mengulangi shalat dengan berjamaah hendaknya sebagai seorang makmum bukan imam, jika tidak, shalatnya dan shalat orang yang bermakmum kepadanya akan tidak sah.
56
2). Jika kufurnya itu jelas, semua yang bermakmum kepadanya tidak sah dan harus mengulangi shalat. Janganlah yang salah melafalkan Qur'an ( lahhan ): a. Orang yang tidak sengaja salah melafalkan bacaan, shalat makmumnya sah, tetapi haram mengangkat orang itu jadi imam jika di situ ada orang yang dapat melantunkan bacaan dengan benar. b. Orang yang sengaja salah melafalkan bacaan, salatnya dan shalat makmumnya tidak sah c. Orang yang tidak mampu melafalkan bacaan dan tidak dapat belajar karena cacat, shalat makmumnya adalah sah, tetapi haram mengangkat orang itu sebagai imam jika di situ ada orang yang dapat membaca dengan benar. d. Orang yang mampu melafalkan bacaan dengan benar dan selalu bagus bacaannya, dia hendaknya selalu didahulukan sebagai imam. - Janganlah imam yang bermakmum kepada imam lain (yaitu orang yang tertinggal satu atau dua rakaat dari imam, tidak dapat bermakmum kepada imam lain yang juga tertinggal, setelah imam yang sebenarnya selesai shalat, karena ini membatalkan shalat). Dan khusus untuk shalat Jum'at: a. hendaknya imam jangan seorang budak b. jangan musafir, karena shalat Jum'at tidak wajib bagi budak dan musafir Makruh bagi imam untuk: - Tidak dapat menahan diri (lihat hal-hal yang membatalkan wudu dalam bab bersuci) atau bocor darah atau nanah dari luka dan sakit lain, jika makmum tidak menderita yang sama. - Penduduk pedalaman25 - Tidak disukai oleh orang-orang dalam jama'ah tersebut karena persoalan Deen nya, seperti tidak membayar hutang walaupun mampu membayar. - Lumpuh pada salah satu anggota tubuhnya, berjalan pincang (kecuali jika sedikit pincangnya), atau hilang salah satu anggota tubuhnya. - Tidak memakai jubah jika memimpin shalat di masjid. Dan makruh untuk: - Membiarkan barisan terpecah oleh kolom dan yang semacamnya, kecuali jika tidak ada tempat (misal terhalang tiang) - Berdiri di depan imam kecuali jika tidak ada tempat lagi - Membentuk grup shalat jama'ah setelah imam tetap (ratib) telah selesai shalat. Dan peran imam harus diberikan kepada orang yang tidak mendatangkan rasa tidak suka dari jama'ah yang dia imami, karena posisi sebagai imam adalah lebih tinggi derajatnya yang dapat membangkitkan kecemburuan dan rumor. Sehingga jika orang itu adalah ratib, yakni ditunjuk untuk mengimami shalat wajib lima waktu, maka makruh jika: - Imam tidak dikenal oleh makmum yang dia imami, apakah imam itu seorang yang 'adil atau 25 Menurut komentar dari at-Talib ibn al-Hajj, alasan bahwa penduduk pedalaman tidak secara normal melakukan jama'ah atau shalat Jum'at di kota atau desa
57
fasiq - Bersifat seperti perempuan ( ma'bun )26 - Belum disunat27 kecuali ada alasan yang membolehkan - Seorang budak - Dikebiri, artinya hilang penisnya, atau testisnya atau keduanya - Anak haram/zina, yang lahir di luar ikatan perkawinan Tetapi jika tidak ada seorangpun yang bebas dari cacat-cacat berikut ini, boleh bagi imam untuk: - Impoten ( 'innin )28 - Buta - Tidak mampu melafalkan beberapa huruf tertentu - Lepra, jika penderitaannya enteng. Makmum Makmum harus mengikuti imam dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan shalat, kecuali jika imam menambahkan sesuatu kepada shalat, yang dalam hal ini berlaku dua keadaan: -Jika makmum yakin imam menambahkan sesuatu karena kesalahan, dia: a. Tidak harus mengikuti (misal jika rakaat kelima ditambahkan kepada shalat Isya, dia tetap duduk dan menunggu imam sampai menyelesaikan salam29 atau shalatnya batal kecuali jika dia mengikuti karena tidak sadar atau tidak mengetahui aturan ini dan b. Hendaknya berkata “subhan'Allah” untuk mengingatkan imam akan kesalahannya itu, dan jika imam masih belum sadar kesalahannya itu, makmum hendaknya secara verbal membenarkan imam. - Jika makmum mengetahui, percaya atau beranggapan bahwa imam melakukan penambahan karena imam menggganti rakaat sebelumnya yang tidak sah, makmum harus mengikuti imam ketika imam berdiri mengerjakan rakaat kelima. Jika makmum tetap sengaja duduk, shalatnya batal, tetapi jika dia tetap duduk karena tidak sadar, maka shalat nya sah. Bergabung kepada Shalat Berjamaah dalam Keadaan Terlambat (Masbuk) - Masbuk bergabung dengan segera dengan imam, mengucap rukun wajib takbiratul ihram ketika berdiri, tidak peduli apakah imam sedang berdiri rukuk atau duduk. 26 Menurut penafsiran lain ma'bun bisa bermakna homoseksual. Dalam konteks ini, dapat bermakna seseorang yang menurut rumor suatu kali di masa lampau dia terkait dengan praktek-praktek homoseksual, namun bukan berarti bahwa dia benar-benar homoseksual karena hal tersebut akan membuatnya tidak dapat dipilih sebagai imam. 27 Menurut pendapat masyhur dari madzhab, disunat adalah sunnah. Haram menunjukkan ketelanjangan kepada orang lain kecuali diperlukan untuk alasan medis. Karena itu tidak halal menunjukkan ketelanjangan seseorang untuk mengerjakan yang sunnah. Karenanya disunat umumnya dilakukan pada antara umur tujuh sampai sepuluh tahun. 28 Makna lain kata 'innin adalah orang yang memiliki penis sedemikian kecil sehingga tidak mampu melakukan hubungan seksual 29 Kemudian dia menambahkan sujud syahwi dua rakaat setelah salam
58
- Menambahkan takbir lain hanya jika imam sedang rukuk atau sujud (terlewat mengerjakan hal ini tidak membatalkan shalat), tetapi jika imam sedang berdiri atau duduk, maka dia hanya mengucap takbiratul ihram. - Dan dengan segera mengambil posisi yang sama dengan imam dan kemudian mengikuti imam sampai akhir shalat. - Ketika imam menyelesaikan shalatnya dengan salam, masbuk harus bangun dan: a. Mengganti bacaan apapun yang terlewati dengan volume yang pas (qada'), - Dan meneruskan gerakan dari mulai dia bergabung (bina'). Sehingga ketika menjadi masbuk dalam shalat Isya misalnya, di mana masbuk mendapati awal rakaat terakhir, langkah-langkah berikut ini dilakukan oleh masbuk: - Masbuk memulai shalatnya dengan takbiratul ihram, dan ikut berjamaah dengan imam pada rakaat terakhir yang merupakan rakaat pertamanya masbuk, dengan bacaan Fatihah yang pelan, mengikuti imam. - Setelah imam menyelesaikan salam, masbuk berdiri, mengerjakan rakaat keduanya, membaca Fatihah dan surah dengan keras, mengganti bacaan yang dibaca imam pada rakaat pertama karena bacaan ini terlewat tidak dikerjakan. - Dia kemudian duduk dan membaca tasyahud pada akhir rakaat ini, karena itu adalah rakaat keduanya dan karena duduk tasyahud yang sebelumnya dengan imam tidak dihitung. - Kemudian dia berdiri untuk mengerjakan rakaat ketiganya, membaca Fatihah dan surah dengan keras, mengganti bacaan yang terlewat dari rakaat kedua imam tetapi tidak duduk karena itu adalah rakaat ketiganya.. - Pada rakaat keempatnya, dia membaca Fatihah dengan pelan tanpa surah karena ini adalah bacaan rakaat ketiga imam yang dia terlewat mengerjakannya. - Kemudian dia duduk, membaca tasyahud, dan menyelesaikan shalat dengan salam. Takbir masbuk setelah salamnya imam tergantung pada berapa banyak rakaat yang dia lakukan dengan imam: - Jika di mendapat dua rakaat (misal, rakaat ketiga dan keempat dari shalat Dzuhur, 'Ashar, dan 'Isya atau rakaat kedua dan ketiga dari shalat Maghrib, atau dia mendapat kurang dari satu rakaat (yaitu. Dia bergabung pada rakaat terakhir setelah rukuknya imam), maka dia mengucap takbir ketika bangun. - Tetapi jika dia mendapat satu rakaat (yaitu rakaat ketiga dari shalat Maghrib atau rakaat kedua dari shalat Subuh, atau dia mendapat tiga rakaat (hanya rakaat kedua, ketiga dan keempat dari shalat Dzuhur, 'Asyar dan 'Isya), maka dia tidak mengucap takbir. 30 Penting dicatat bahwa masbuk dalam shalat Subuh tidak mengerjakan doa qunut. Dengan tak hati-hati menghapus setiap kesalahan yang dapat dibetulkan oleh masbuk (dan makmum) dicakup oleh imam selama dia meng-imami; tetapi masbuk bertanggung jawab sendiri untuk semua kesalahan yang dilakukan olehnya setelah imam selesai salam. Namun jika imam melakukan sujud sahwi, dua skenario diterapkan bagi makmum yang mendapat setidaknya satu rakaat dengan imam: - Jika sujud sahwi itu dilakukan sebelum imam salam, masbuk ikut mengerjakannya dengan 30 Ini karena makmum telah mengucap takbir untuk berdiri, tetapi dia harus tetap duduk karena dia harus mengikuti imam. Ini adalah pendapat yang masyhur. Pendapat dari Ibnu Majisyun adalah membaca takbir dalam setiap kasus. Dalam kasus ini, alangkah baiknya bagi orang biasa menggunakan pendapat Ibnu Majisyun sehingga mereka tidak menjadi bingung dalam persoalan ini.
59
imam, dan kemudian menyelesaikan shalatnya sebagaimana digambarkan pada contoh di atas, lalu menyelesaikan shalat dengan salamnya sendiri. - Tetapi jika sujud sahwi itu dilakukan setelah imam salam, masbuk menunda sujud hingga setelah salamnya sendiri selesai.31 Masbuk melakukan sujud sahwi ini bahkan jika dia tidak hadir selama imam melakukan kesalahan. Tetapi jika dia tidak mendapati serakaat berjamaah dengan imam, dia hendaknya tidak melakukan sujud sahwi dengan imam (apakah sujud qabli atau ba'di). Jika dia melakukan, shalatnya akan menjadi tidak sah. Menunjuk Imam Pengganti Batalnya shalat imam selalu membatalkan shalat makmumnya kecuali dalam dua perkara: - Jika imam tiba-tiba menyadari bahwa dia tidak lagi suci dari hadas atau - Dia batal wudunya sehingga tidak lagi suci dari hadas Dalam keadaan itu dia segera meninggalkan shalat.32 Dan kemudian adalah mandub hukumnya imam menunjuk seorang imam baru dari jajaran makmumnya untuk menyelesaikan salat; dan jika dia tidak melakukannya, maka makmum dapat melakukan salah satu dari dua hal berikut: - Menyelesaikan shalat mereka masing-masing atau - Mendorong satu dari makmum lain ke depan sebagai pengganti imam, untuk menyelesaikan shalat berjamaah.33
***
Zakat Pengantar Zakat Arti akar dari kata 'zakat' adalah 'pertambahan' karena zakat menambahkan keberkahan kepada kekayaan yang dibayarkan zakatnya. Arti Syari'ah dari zakat adalah jumlah tertentu dari kekayaan yang diambil dari jenis tertentu kekayaan ketika mencapapai jumlah tertentu, pada waktu yang tertentu, yang kemudian diberikan kepada kelompok orang tertentu. Zakat adalah fardu menurut Kitab Allah dan Sunnah RasulNya salalahu'alaihiwasalam dan menyangkal zakat adalah kufur.
31 Jika masbuk ikut sujud ba'di dengan imam bukan karena ketidaktahuan akan aturan ini atau tidak sengaja, maka shalatnya tidak sah. Jika masbuk melakukannya tidak sengaja, shalatnya sah, tetapi dia mengulangi sujud ba'di setelah dia menyelesaikan salam nya. 32 Jika imam tidak segera meninggalkan shalat, shalatnya dan shalat makmumnya akan menjadi tidak sah, karena makmum kemudian akan mengikuti imam yang berhadas ( muhdist ). 33 Dan ini adalah satu-satunya pilihan dalam shalat Jum'at, karena berjamaah adalah syarat sahnya shalat Jum'at.
60
Seorang Muslim yang menolak membayar zakat sementara menegaskan bahwa zakat adalah fardu, maka diperangi sampai dia membayar zakat dan kemudian dihukum karena bersikeras tidak membayar.34 Ada dua jenis zakat: 1. Zakat al-amwal pada kekayaan, yang dibayar dengan berlalunya satu tahun Hijriyah 2. Zakat al-abdan atau zakat al-fitr , yang dihubungkan kepada 'Id pada akhir Ramadhan Syarat Wajib Tujuh syarat wajib, yang tidak ditanyakan karena syarat-syarat itu di luar kendali mukalaf, adalah: 1. Muslim 2. Merdeka (bukan budak) 3. Bahwa kekayaan tersebut telah mencapai nisab (jumlah minimum pada zakat yang dipungut) 4. Bahwa kekayaan tersebut berada pada kepemilikan hukum seseorang ( yaitu tidak dicuri atau dirampas) 5. Bahwa kekayaan tersebut telah berada pada kepemilikan seseorang selama durasi satu tahun Hijriyah (kecuali bagi hasil panen) 6. Adapun untuk zakat ternak, kedatangan pengumpul zakat 7. Adapun untuk zakat uang, adalah bebas dari hutang Syarat Sah Zakat sah berdasarkan lima syarat: 1. Berniyat membayar zakat 2. Membayar zakat setelah menjadi wajib (yakni tidak dapat dibayar di muka) 3. Membayarkannya kepada seorang amir, dengan syarat bahwa amir tersebut adil, yakni amir mendistribusikan zakat kepada penerima yang berhak35 4. Memberikan zakat langsung kepada delapan penerima yang berhak jika di tempat tersebut tidak ada amir36 5. Zakat hendaknya dibayar pada jenis yang sama dengan kekayaan yang dizakati, artinya zakat pada hasil panen dibayar dalam hasil panen, zakat pada emas dibayar pada emas, dll. Kecuali bagi usaha dagang (shops) dan yang semisalnya, yang zakatnya dibayarkan dalam dinar atau dirham yang senilai. Kekayaan yang Dizakati Wajib untuk membayar zakat dari tiga jenis kekayaan: 34 Ini berarti bahwa keberadaan pemerintah Islam diperlukan untuk pengumpulan secara tepat dan pendistribusian dari zakat. 35 Jika seorang amir memungut zakat dengan paksaan, kewajiban diangkat dari individual pembayar zakat, terlebih lagi jika amir menggunakan dana zakat tersebut untuk keperluan pribadinya. Tetapi seseorang hendaknya menghindari membayarkan zakat kepada amir yang tidak adil tersebut jika mungkin. 36 Atau lebih tepatnya, ketika tiga atau lebih Muslim belum memiliki pemimpin, maka tunjuklah salah seorang untuk menjadi pemimpin guna dapat menjalankan Syariat Islam. Demikian Amir Zaim Saidi menerangkan dalam salah satu majlisnya.
61
1. Uang (Zakat al-'ayn) yang termasuk: a. Dinar dan Dirham37 (Gold and silver) b. Produk-produk yang ditambang c. Barang dagangan 2. Hasil panen (Zakat al-harth) yang meliputi: a. Grain (padi/biji-bijian/jagung) b. Buah-buahan tertentu 3. Hewan ternak (Zakat al-mashiya) yang meliputi: a. Jenis onta b. Jenis sapi c. Jenis domba dan kambing Waktu Zakat Adapun untuk waktu jatuh tempo zakat, ada dua aturan bergantung pada jenis zakat: 1. Untuk uang dan ternak, syaratnya adalah berlalunya satu tahun Hijriyah 2. Hasil panen memiliki dua aturan, bergantung pada jenis: a. Grain jatuh tempo ketika siap untuk dipanen, yakni ketika dapat dipisahkan dari bulir atau tongkolnya. Grain meliputi 1). Gandum 2). Barley 3). Sult (biji-bijian antara gandum dan barley) 4). 'Alas (sejenis gandum) 5). Padi 6). Millet (padi-padian) 7). Jagung b. Selebihnya, produk-produk pertanian yang dapat dizakati jatuh tempo ketika matang dan dibagi kepada empat kategori: 1). Kurma 2). Kismis 3). Tanaman yang memproduksi minyak (yang dibayarkan zakatnya dalam minyak) yang meliputi: a). Zaitun 37 Al-Marrakushi berkata dalam syarahnya untuk kitab Murshid al-Mu'in bahwa zakat hendaknya dikenakan pada apa yang telah menghapuskan Dinar dan Dirham (gold and silver) saat ini, yaitu uang kertas, jika nilainya mencapai nisab (nilai tukar uang kertas rupiah terhadap Dinar dan Dirham di Indonesia diterbitkan oleh Wakala Induk Nusantara www.wakalanusantara.com yang menginduk kepada World Islamic Mint). Tapi tetap zakat uang sahnya adalah dibayarkan dalam Dinar atau Dirham karena sekarang Dinar dan Dirham telah kembali dicetak di bawah otoritas Amir dan Sultan.
62
b). Biji wijen c). Biji lobak Merah d). Safflower 4). Dan beberapa kacang-kacangan yang meliputi: a). Miju-miju (lentils) b). Broad beans (termasuk buncis, kacang panjang, kacang merah) c). Chickpeas d). Normal beans e). Lupins f). Kacang polong g). Grass peas (julubban) Selain tanaman yang memproduksi minyak, semua hasil panen dibayarkan dalam jenis yang sama. Tidak ada zakat pada sayuran hijau dan buah-buahan. Jumlah Minimum (Nisab) dan Jumlah yang Dibayarkan Pada semua hasil panen yang disebutkan di atas dua aturan berlaku: 1. 10% dibayarkan jika pengairan adalah alami. 2. Tetapi hanya 5% dibayarkan jika pengairan buatan yang digunakan. Nisab adalah jumlah minimum yang seseorang harus miliki supaya zakat wajib padanya. Pada produk-produk hasil panen ini nisabnya adalah lima wasq38. Nisab untuk grain dihitung setelah dikeringkan dan diayak. Nisab pada buah-buahan dihitung setelah dikeringkan. Uang dapat dalam bentuk: 1. Dirham, yang nisabnya 200 dirham 2. Dinar, yang nisabnya 20 dinar39 Seperempat dari sepersepuluh yakni 2,5% dibayarkan pada dinar dan dirham. Dibolehkan membayar zakat dirham dalam dinar dan sebaliknya, sesuai nilai tukar dirham ke dinar dan sebaliknya pada saat itu.40 Barang dagangan dibagi kepada dua kategori:
38 Satu wasq sama dengan enampuluh sa'. Satu sa' sama dengan empat mudd dan satu mudd adalah sebanyak isi dua kali dua telapak tangan Nabi salalahu'alaihiwasalam setara kira-kira dua liter. Karenanya nisab dari hasil panen adalah 300 sa' atau sekitar 600 liter. 39 Atau rupiah/dolar dll, yang nilai tukarnya sejumlah dengan dinar atau dirham, atau perhiasan mas dan perak simpanan yang nilainya ditaksir sejumlah dengan nisab dinar atau dirham, yang semuanya dibayarkan zakatnya dalam dinar atau dirham atau kombinasi dari dinar dan dirham. Ketika kekayaan mulai memasuki nisab 200 dirham maka wajib dizakati. Ketentuan lebih lanjut diterangkan di bawah. 40 Sesuai ketentuan nilai tukar dari World Islamic Mint. Di Indonesia nilai tukar ini dikeluarkan oleh Wakala Induk Nusantara www.wakalanusantara.com
63
1. Perdagangan yang berkesinambungan (idara), di mana barang dagangan secara tetap dibeli dan dijual seperti pada usaha jual-beli di pertokoan, grosir, dll., yang harus memperhatikan hal-hal berikut ini ketika menghitung nisab: a. Nilai dari barang dagangan dihitung dari total harga jual stok41 barang di akhir tahun fiskal. Nilainya hendaknya dihitung menurut jumlah yang senilai dengan dinar atau dirham42. b. Jumlah yang telah dihitung ini ditambahkan kepada kekayaan moneter lain 43 dan jika mencapai nisab, 2,5% dibayarkan berdasarkan jumlah gabungan dari poin a + b, dalam dinar atau dirham. c. Sebagai tambahan, pedagang menambahkan nilai utang dagang pihak lain kepadanya, jika utang tersebut jatuh tempo dan dia berharap dibayar. 2. Perdagangan spekulatif (ihtikar) adalah perdagangan dari barang yang dibeli untuk dijual ketika harga pasar tinggi, seperti real estate. Seseorang hanya membayar zakat ketika properti terjual dan uang diterima, dengan syarat satu tahun berlalu sejak properti tersebut ditawarkan.44 Pedagang spekulatif tidak membayar zakat pada hutang orang lain kepadanya sampai utangutang tersebut dibayarkan; maka zakat jatuh tempo dengan segera jika utang itu berumur lebih dari satu tahun, dan jumlahnya mencapai nisab atau lebih.45 Adapun untuk barang-barang yang tidak menjadi objek perdagangan seperti rumah yang ditempati, mobil, furnitur, perabot, dll., barang-barang tersebut bukan bahasan zakat. Zakat pada Ternak Zakat dipungut pada tiga jenis ternak, 1. Jenis unta (camelids) 2. Jenis sapi (bovines) 3. Jenis domba (ovines) – dan tidak ada perbedaan apakah hewan-hewan ini digunakan untuk bekerja, atau tidak, atau apakah diberi makan di kandang atau digembalakan. Jenis Onta Unta (termasuk unta berpunuk satu, lama, dll.), yang mana nisabnya adalah lima kepala, 46 dihitung sebagai berikut: 41 Yang dimaksud dengan stok ini adalah barang yang belum terjual. Demikian Amir Zaim Saidi memberikan penjelasan dalam salah satu twit beliau di http://twitter.com/zaimsaidi 42 Hendaknya dihitung dengan dirham sebab di saat belum seimbangnya perbandingan dinar dengan dirham, jika dihitung dengan dirham akan terlebih dahulu masuk nisab ketimbang dinar. 43 Uang kertas rupiah dan perhiasan emas dan perak yang disimpan. 44 Misal, jika sebuah rumah telah terjual enam bulan setelah ditawarkan untuk dijual, seseorang menunggu enam bulan berikutnya; jika ada uang penjualan tersisa dan mencapai nisab pada waktu tersebut, zakat dibayarkan pada uang yang tersisa itu. Jika kurang dari nisab uang yang tersisa, maka sisa itu ditambahkan kepada uang lain yang dimiliki selama setahun penuh. 45 Atau utang itu sejumlah nisab atau lebih ketika digabungkan dengan uang yang telah dimiliki atau akan dimiliki dalam tahun fiskal tersebut. 46 Jika kurang dari lima kepala, tidak ada zakat yang dibayarkan.
64
Jumlah unta yang dimiliki
Pembayaran
5-9
1 kambing atau domba berumur satu-tahun (jadha'a)
10-14
2 kambing atau domba berumur satu-tahun (jadha'a)
15-19
3 kambing atau domba berumur satu-tahun (jadha'a)
20-24
4 kambing atau domba berumur satu-tahun (jadha'a)
25-35
1 unta betina berumur satu-tahun (bint makhad)
36-45
1 unta betina berumur dua-tahun (bint labun)
46-60
1 unta betina berumur tiga-tahun (hiqqa)
61-75
1 unta betina berumur empat-tahun (jadha'a)
76-90
2 unta betina berumur dua-tahun (bint labun)
91-120
2 unta betina berumur tiga-tahun (hiqqa)
121-129
3 unta betina berumur dua-tahun (bint labun) atau 2 unta betina berumur tiga-tahun (hiqqa)
130 keatas
Untuk setiap ekstra 50 unta, 1 unta betina berumur tiga-tahun (hiqqa) dan untuk setiap 40 unta, 1 unta betina berumur dua-tahun (bint labun)47 48 Jenis Sapi
Untuk jenis sapi termasuk (sapi betina, sapi jantan, dll), tidak ada zakat bagi jumlah di bawah tiga puluh kepala. Zakat dihitung dengan cara berikut ini: 1. Untuk setiap 30 kepala, seseorang harus membayar zakat berupa satu ekor anak sapi berumur dua-tahun (tabi'). 2. Untuk setiap 40 kepala, seseorang harus membayar zakat satu ekor anak sapi betina berumur tiga-tahun (musinna). Dan sebagainya. Lihatlah contoh berikut:
Jumlah sapi Pembayaran yang dimiliki 47 Contoh berikut ini diambil dari kitab al-Fiqh al-Maliki wa Adillatuhu oleh al-Habib bin Taher: 130 kepala adalah 1 hiqqa dan 2 bint labun (yaitu 50+40+40=130), 140 kepala adalah 2 hiqqa dan 1 bint labun (yaitu 50+50+40=140), 150 kepala adalah 3 hiqqa (50+50+50=150), 160 kepala adalah 4 bint labun (yaitu 40+40+40+40=160), 170 kepala adalah 1 hiqqa dan 3 bint labun (yaitu 50+40+40+40=170), 180 kepala adalah 2 hiqqa dan 2 bint labun (yaitu 50+50+40+40=180), 190 adalah 3 hiqqa dan 1 bint labun (yaitu 50+50+50+40=190), 200 kepala adalah bisa 4 hiqqa atau 5 bint labun (yaitu 4x50=200 atau 5x40=200). 48 Di manapun disebutkan bahwa hewan berumur satu-tahun, artinya bahwa hewan tersebut telah menyelesaikan satu tahun hidup dan telah memasuki tahun kedua kehidupannya. Hewan berumur dua-tahun, artinya telah menyelesaikan dua tahun hidup dan telah memasuki tahun ketiga kehidupannya. Dan lain-lain.
65
30-39
1 anak sapi berumur dua-tahun (tabi')
40-59
1 anak sapi betina berumur tiga-tahun (musinna)
60-69
2 anak sapi betina berumur dua-tahun (tabi')
70-79
1 anak sapi betina berumur dua-tahun (tabi') + 1 anak sapi betina berumur tiga-tahun (musinna)
80-89
2 anak sapi betina berumur tiga-tahun (musinna)
90-99
3 anak sapi berumur dua-tahun (tabi')
100-109
2 anak sapi berumur dua-tahun (tabi') + 2 anak sapi berumur tiga-tahun (musinna)
110 - 119
1 anak sapi berumur dua-tahun (tabi') + 2 anak sapi berumur tiga-tahun (musinna)
120-129
4 anak sapi berumur dua-tahun (tabi') atau 3 anak sapi betina berumur tiga-tahun (musinna) Domba dan Kambing
Untuk domba dan kambing, nisabnya adalah empat puluh kepala, yang dihitung sebagai berikut: Jumlah Domba/kambingyang dimiliki
Pembayaran
40-120
1 kambing/domba berumur satu-tahun49
121-200
2 kambing/domba berumur satu-tahun
201-399
3 kambing/domba berumur satu-tahun
400
4 kambing/domba berumur satu-tahun
Dari 400 dan seterusnya tambahkanlah seekor kambing atau domba berumur satu-tahun (jadh'a) untuk setiap 100 kepala. Jadi zakat untuk 500 kepala akan menjadi 5 kambing/domba, untuk 600 kepala zakatnya akan menjadi 6 kambing atau domba dan seterusnya. Hewan yang digemukkan, sakit atau cacat tidak diambil zakatnya; tidak pula betina yang bunting, muda, tua, atau rearing female. Umumnya, zakat yang diambil bukan yang terbaik atau terburuk, tetapi lebih kepada di antara keduanya. Tahun Fiskal Zakat Putusan sehubungan dengan tahun fiskal zakat bergantung pada jenis kekayaan: 1. Permulaan tahun fiskal bagi laba adalah identik kepada permulaan tahun fiskal bagi modal apakah jumlah aslinya melebihi nisab atau tidak, sebagaimana diilustrasikan di bawah: a. Siapapun yang memiliki 20 Dinar selama 10 bulan, lalu menggunakannya untuk membeli barang dagangan dan setelah 2 bulan menjualnya lalu memperoleh laba sehingga uangnya bertambah menjadi 30 Dinar, maka dia membayar zakat pada uang 49 Jantan atau betina
66
sejumlah 30 Dinar dengan segera, seolah-olah laba disembunyikan dalam jumlah asli 20 Dinar. b. Siapapun yang memiliki 15 Dinar selama 10 bulan, lalu menggunakannya untuk membeli barang dagangan dan setelah 2 bulan berjualan memperoleh keuntungan sehingga uangnya bertambah menjadi 30 Dinar, dia harus membayar zakat pada uang senilai 30 Dinar dengan segera, seolah-olah laba disembunyikan dalam jumlah asli yang 15 Dinar. 2. Permulaan tahun fiskal zakat untuk ternak yang dibiakkan adalah sama dengan induknya, tetapi memiliki aturan khusus sehubungan dengan jenis pertambahan yang disebutkan pada poin b di bahwa ini: a. Jika peningkatan jumlah ternak ditimbulkan oleh kelahiran, seseorang harus membayar pada akhir tahun fiskal, seolah-olah jumlah penuh dari kawanan hewan disembunyikan dalam jumlah asli, sebagaimana diilustrasikan dalam contoh-contoh di bawah ini: 1). Siapapun yang memiliki 80 domba/kambing (yang mana zakatnya adalah satu domba/kambing) yang sesudah itu melahirkan 41 anak domba, sehingga jumlah nya bertambah menjadi 121 kepala di akhir tahun fiskal, orang itu wajib membayar zakat (dua domba) untuk jumlah total yang baru. 2). Siapapun yang memiliki 30 domba (yang mana jumlahnya di bawah nisab) yang sesudah itu melahirkan 10 anak domba, sehingga jumlahnya menjadi 40 kepala di akhir tahun fiskal, harus membayar zakat (satu domba) atas jumlah total baru, seolah-olah jumlah keseluruhan ternak disembunyikan dalam jumlah asli 30 domba. b. Namun bagi setiap pertambahan ternak yang bukan disebabkan oleh kelahiran (seperti perolehan melalui warisan, hadiyah atau pembelian), aturan khusus berlaku, sebagaimana diilustrasikan di bawah: 1). Jika jumlah asli kepala di bawah nisab dan nisab dicapai dengan perolehan tambahan kepala, seseorang tidak membayar zakat sampai satu tahun penuh berlalu. Misal. Siapapun yang memiliki 20 domba (yang mana di bawah nisab) dan memperoleh tambahan 20 kepala, tidak membayar zakat sampai satu tahun penuh berlalu pada total jumlah yang 40 itu. 2). Tetapi jika jumlah asli kepala di atas nisab dan tingkat zakat berikutnya dicapai dengan perolehan tambahan kepala, seseorang harus membayar zakat penuh dengan segera, misal, siapapun yang memiliki 40 domba (yang mana zakatnya adalah satu domba) dan memperoleh tambahan 81 kepala, dia harus dengan segera membayar penuh zakat untuk 121 kepala (yang mana zakatnya adalah dua domba), karena jumlah asli ternaknya di atas nisab. Perkecualian Adapun untuk jumlah pertengahan (waqs), tidak ada zakat yang dibayarkan, sebagaimana terlihat dalam tiga contoh di bawah ini (juga lihat tabel-tabel pada bagian Zakat pada ternak): 1. Siapapun yang memiliki 7 unta hanya membayar zakat bagi lima kepala pertama dan sisanya yang dua adalah bebas, karena tidak mencapai tingkat berikutnya, yaitu sepuluh kepala. 67
2. Siapapun yang memiliki antara 40 sampai 59 sapi hanya membayar satu anak sapi. 3. Siapapun yang memiliki antara 40 – 120 domba/kambing hanya membayar satu domba/kambing. Aturan ini hanya berlaku pada ternak. Adapun untuk uang dan barang-barang, zakat dibayarkan pada segala sesuatu yang berjumlah di atas nisab, tanpa memperhatikan seberapa kecil jumlah di atas nisab itu. Tidak ada zakat pada apapun yang jumlah nya di bawah nisab dalam tiga jenis apapun dari kekayaan yang dizakati. Madu, buah (selain kurma dan anggur) dan sayuran (selain dari buncis, kacang merah, kacang panjang) adalah bebas dari zakat, karena zakat hanya jatuh tempo pada grain dan buah-buahan pada dua syarat: 1. Digunakan sebagai sumber dasar makanan dan 2. Dapat disimpan misal padi, gandum dan jagung Kategori yang Dikelompokkan Bukanlah merupakan syarat bahwa jenis kekayaan haruslah sama untuk mencapai nisab, batas minimum bagi mata uang tunai dapat dicapai dari dua jenis: 1. Untuk uang, nisab dapat terdiri dari: a. Hanya dinar misal 20 dinar atau b. Hanya dirham misal 200 dirham, atau c. Gabungan dari dinar dan dirham seperti 10 dinar + 100 dirham, atau 5 dinar + 150 dirham atau 15 dinar + 50 dirham, dll. 2. Untuk ternak, nisab dapat terdiri dari: a. 40 Domba atau b. 40 Kambing atau c. Gabungan kambing dan domba seperti 20 kambing dan 20 domba. Begitu pula unta berpenuk satu boleh dicampur dengan unta dan sapi betina dicampur dengan kerbau, dll. 3. Untuk hasil panen, nisab dapat dicapai dengan: a. Gabungan dari tiga jenis grain: 1). Gandum 2). Barley 3). Sult (grain di antara gandum dan barley) 4). Gabungan dari tujuh kacang-kacangan (seperti kacang polong dan kacang buncis), dll.) b. Gabungan kismis dari berbagai jenis (seperti jenis sultanas, merah, hitam, dll.) c. Gabungan dari kurma berbagai jenis. Penerima Zakat
68
Penerima sah terdiri dari delapan kelompok sebagaimana disebutkan dalam Surat at-Tawba (ayat 60): 1. Fuqara, bermakna orang yang tidak memiliki makanan bagi diri mereka sendiri dan tanggungan mereka selama satu tahun50 2. Masakin, bermakna orang tanpa sarana untuk mendukung diri mereka sendiri bahkan untuk satu hari saja Siapapun yang mengklaim diri faqir, klaim ini diterima, kecuali jika penampilannya bertolak belakang. Jika dia meng-klaim memiliki tanggungan, hal itu menuntut adanya pemeriksaan. Jika dia dikenal sebagai orang kaya, dia harus membuktikan dia telah kehilangan uangnya. Dan dua kelompok itu (fuqara, masakin), harus memenuhi empat syarat berikut: a. Merdeka bukan budak b. Muslim c. Bukan keturunan Rasulullah salalahu'alaihiwasalam d. Belum diurus oleh anggota keluarga yang bertanggung jawab, seperti: 1). Seorang istri diurus oleh suaminya atau 2). Seorang anak laki-laki oleh ayahnya, atau 3). Seorang ayah yang faqir oleh anak laki-laki nya, atau 4). Jika seorang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan si fuqara atau masakin, mengambil tanggung jawab untuk mengurus, seperti anak tiri perempuan diurus oleh ayah tirinya 3. Pejuang di jalan Allah (fi sabilillah) untuk: a. Peralatan b. Senjata dan c. Transport ke garis depan 4. Menggunakan dana zakat untuk membeli dan membebaskan budak Muslim (riqab) 5. Para pengumpul dan pembagi zakat (al-'amilin'alayha) yang haruslah seorang yang:51 a. Muslim b. Merdeka (bukan budak) c. Bukan keluarga dari Rasul salalahu'alaihiwasalam d. Jujur dan adil e. Mengetahui fiqih zakat52 6. Orang-orang yang berhutang (gharimin) yaitu jika seseorang telah berkontrak hutang halal53 dengan orang lain, maka orang itu akan menerima pemberian dari dana zakat guna melunasi hutangnya setelah orang itu membayar apapun yang dapat dia bayarkan. 7. Orang-orang yang hatinya sedang didamaikan (reconcile) (al—muallafatu qulubuhum), yakni kuffar yang didorong untuk masuk Islam dengan menerima sejumlah dana, menurut 50 Aqrab al-Masalik oleh ad-Dardir 51 Shaykh Mayyara menyertakan dewasa dan laki-laki dalam syarah nya, tetapi syarat-syarat tersebut tidak disebutkan dalam buku fiqih terkemuka lainnya seperti Mukhtasar, Aqrab al-Masalik, dll. 52 Mukhtasar dari Khalil menyebutkan poin d dan e. 53 Bukan berkontrak hutang karena judi, menjual alkohol atau transaksi haram jenis apapun.
69
pendapat terkuat. Ada pendapat lain bahwa hal ini merujuk kepada Muslim baru, yang menerima dana zakat guna memperkuat Islam mereka. 8. Musafir (ibn as-sabil) yang tidak memiliki sarana untuk kembali ke tanah air nya, asalkan perjalanan mereka untuk keperluan yang halal. Zakat tidak pernah digunakan untuk membeli atau membangun masjid, membeli kendaraan, membebaskan tahanan, menerbitkan buku, dll. Zakat Fitrah Zakat al-Fitr adalah wajib bagi semua Muslim mampu dan terdiri dari satu sa'54 per orang, bagi diri mereka sendiri dan setiap dari Muslim yang jadi tanggungannya (misal, anak, istri, orang tua yang faqir, dll). Zakat al-Fitr diberikan dalam bentuk makanan pokok normal suatu daerah kepada orangorang di daerah tersebut dari jenis: - Gandum - Barley - Sult - Kurma - Keju kering - Kismis - Jawawut - Jagung - Beras55 Direkomendasikan untuk menyerahkan zakat selambat-lambatnya setelah Fajr sebelum pergi ke tempat salat 'Id. Dibolehkan untuk menyerahkannya satu atau dua hari sebelum 'Id. Haram menunda penyerahannya sampai Maghrib dari hari 'Id, kecuali jika seseorang belum menemukan seorang faqir untuk menerimanya. Jika tidak dibayarkan tepat waktu, Zakat alFitr tertinggal sebagai hutang. Zakat al-Fitr diberikan kepada masakin atau faqir Muslim yang merdeka (lihat di atas). Lebih dari satu sa' boleh diberikan kepada satu faqir atau dapat dibagi kepada beberapa faqir. Hikmah yang terkandung di baliknya adalah bahwa setiap orang pada hari raya 'Id, lepas dari kebutuhan mengemis makanan. *** PUASA Puasa dan Kategori Hukumnya
54 Satu sa' sama dengan empat mudd yaitu sebanyak isi dua kali dua telapak tangan Nabi salalahu'alaihiwasalam setara kira-kira dua liter. 55 Catatan hanya sebagai pengetahuan, bahwa Madzhab Abu Hanifah membolehkan membayar nilai yang sama Zakat al-Fitr dalam uang.
70
SECARA BAHASA Puasa – 'sawm' atau 'siyam' dalam bahasa Arab – berhubungan dengan 'berpantang', tetapi dalam konteks Syariah, bermakna berpantang dari hasrat untuk makan, minum dan seks antara Fajar sampai Maghrib dengan niat mendekat kepada Allah. Total ada lima puasa yang wajib dikerjakan: a. Semua hari dalam bulan Ramadan. b. Mengganti setiap hari yang terlewat tidak berpuasa dari bulan Ramadan dan puasa wajib lain jika terlewati apapun alasannya. c. Berpuasa kafarat bagi perbuatan maksiyat yang mewajibkannya, seperti sengaja tidak berpuasa Ramadhan, atau secara tidak sengaja membunuh manusia. d. Bersumpah demi Allah melakukan puasa, seperti berkata: “Demi Allah, besok saya akan puasa.” Wajib berpuasa hari tersebut. (dan ini berlaku untuk semua bentuk ibadah). 56 e. Mengucapkan dzihar terhadap istri, seorang suami harus puasa dua bulan Hijriah berturut-turut sebelum si suami dibolehkan menggauli istrinya kembali. Ibn 'Ashir menyebutkan empat puasa yang direkomendasikan: a. Di bulan Rajab b. Di bulan Sya'ban c. Keseluruhan bulan Muharram, tetapi terutama hari ke-10 'Asyura. d. Sembilan hari pertama dari bulan Dzul Hijjah terutama tanggal ke-8 dan tanggal ke-9, hari 'Arafah, kecuali untuk jamaah haji. Puasa sukarela (nafilah) boleh pada hari apapun, kecuali hari-hari yang diharamkan berpuasa atau wajib berpuasa. Puasa pada bulan Ramadan perlu diketahui sebagai salah satu dari lima pilar Islam dan siapapun yang menyangkalnya adalah kafir. Seorang Muslim yang menolak melakukannya, sementara tahu bahwa itu adalah wajib, adalah layak untuk menerima hukuman supaya jera dari umaro (otoritas). Menentukan Waktu Ramadan Waktu jatuhnya satu Ramadan ditentukan dalam salah satu dari dua cara: - Jika munculnya bulan baru pada hari ke-29 dari bulan Sya'ban adalah dipastikan benarnya, hari berikutnya dihitung sebagai hari ke-1 bulan Ramadan. - Jika tidak, satu hari lagi (yaitu hari ke-30 dari bulan Sya'ban) ditambahkan dan hari berikutnya dihitung sebagai tanggal ke-1 dari bulan Ramadan. Kedua penentuan itu memerlukan pengetahuan mengenai kalender Islam, sebab permulaan dari bulan Sya'ban haruslah diketahui. Jatuhnya tanggal ke-1 dari bulan Ramadan bukanlah ditentukan dengan perhitungan astronomi, tetapi dengan melihat bulan. Ada dua cara memastikan bahwa bulan baru telah terlihat: - Dua saksi terpercaya bersaksi kepada umaro yang berwenang. - Jika banyak orang (yakni terlalu banyak sehingga sulit dibayangkan bahwa bereka 56 Dzihar adalah seorang suami yang mempersamakan istri nya dengan anggota keluarga yang mahram. Seperti ibu atau adik perempuan, sehingga si istri menjadi tidak boleh digauli oleh suami.
71
bersekongkol untuk berbohong) bersaksi bersama kepada umaro (otoritas) yang berwenang. Otoritas yang berwenang adalah Khalifah, Sultan, Amir atau seorang qadi yang ditunjuk oleh salah satu dari mereka. Kemudian otoritas itulah yang menyebarkan berita dengan cara apapun, tetapi harus memastikan terlihatnya bulan sebagaimana di atas. Saksi terpercaya haruslah mukallaf, merdeka, laki-laki, terpercaya, mengetahui fiqih dari persoalan yang mana dia terlibat di dalamnya dan dalam kasus ini ditunjuk oleh otoritas untuk menghindari laporan palsu. Jika seorang individu melihat bulan baru, bahkan jika tidak seorangpun yang melihatnya, wajib bagi si individu itu untuk berpuasa sendirian. Kewajiban dan Syarat Puasa Ada lima kewajiban puasa: - Berniyat setelah terbenamnya matahari (Maghrib) dan sebelum Fajar untuk berpuasa. Jika niyat dilakukan setelah Fajar, puasa hari itu tidak sah. - Menghindari semua perbuatan seksual. Puasa tidak batal oleh ejakulasi/orgasme karena mimpi basah selama tidur di siang hari, begitu pula secara tidak sengaja keluar madhy ketika bangun dari tidur. Meskipun begitu, sengaja mengeluarkan madhy selama puasa di siang hari membatalkan puasa. - Menghindari makan, minum dan merokok. Menelan ludah dan dahaknya sendiri tidak membatalkan puasa. Disuntik adalah makruh, tetapi tidak membatalkan puasa. - Menghindari muntah secara tidak sengaja. Juga, jika sebagian dari muntah yang tidak sengaja, ditelan secara sengaja, maka hal tersebut membatalkan puasa. - Menghindari apapun masuk ke dalam perut atau melewati tenggorokan melalui hidung, mata atau telinga lewat pembuluh Eustachio,. Karenanya, berenang, menghirup air dalam-dalam untuk berwudu, memakai tetes mata, menggunakah kohl dan yang semacamnya hendaknya dihindari. Semua puasa adalah dari Fajar sampai Maghrib. Puasa Ramadan adalah wajib di atas enam syarat, yaitu bahwa seseorang: - Muslim - Waras - Dewasa - Sehat - Mukim, yaitu tidak ber-Safar - Tidak sedang menstruasi atau nifas. Hal-hal yang menghalangi Puasa Ada dua hal yang menghalangi puasa: - Menjadi tidak waras atau pingsan (tidak termasuk tidur normal) a. Ketika Fajar tiba, dalam hal ini puasa menjadi tidak sah dan harus diganti di lain hari jika puasa nya adalah puasa wajib. b. Selama periode antara Fajar dan Maghrib yang bertahan selama lebih dari setengah hari, dalam hal ini hari tersebut harus diganti jika puasanya adalah puasa wajib. Tetapi jika kondisinya bertahan setengah hari atau kurang, puasanya tetap sah. 72
- Menstruasi atau nifas kapanpun terjadinya antara Fajar dan Maghrib. Maka tidak boleh puasa hari itu dan harus diganti puasanya, jika itu adalah puasa wajib. Halangan diangkat ketika darang berkurang kepada cairan putih atau transparan, dengan tidak ada sedikitpun warna merah muda, coklat atau kuning. Hal-hal yang dimakruhkan selama Puasa Hal-hal yang dimakruhkan selama puasa adalah: - Berfantasi, memandang, mencium, menyentuh atau bercumbu dengan niat seksual,57 bahkan jika seseorang yakin tidak akan keluar madzi. Menjadi haram jika seseorang tidak yakin. - Mencicipi makanan. Pasta gigi hendaknya dihindari karena mungkin dapat tertelan. - Terlalu banyak berbicara yang tidak perlu Perkecualian yang tidak membatalkan puasa adalah: - Tidak sengaja muntah - Tidak sengaja menelan serangga yang masuk ke mulut - Begitu pula dengan debu dari jalan atau dari pekerjaan seseorang, seperti pekerjaan kayu. - Menggunakan kayu siwak dengan syarat kayu siwak itu kering. - Dan bangun dalam keadaan janaba (berhadas besar) setelah Fajar. Mengulangi Niat Ketika puasa berturut-turut, berniat sebelum Fajar di hari pertama untuk semua hari adalah cukup, jika rangkaian puasa tersebut adalah wajib, sebagaimana pada bulan Ramadan. Tetapi jika kontinuitas dari puasa terinterupsi dengan alasan apapun (seperti sakit atau bepergian), niat harus diulangi. Jika puasa tersebut adalah bukan puasa wajib maka harus diulangi niatnya setiap malam bahkan jika puasa tersebut ada dalam rangkaian berturut-turut. Sunnah-sunnah dalam Puasa Ibnu 'Ashir menyebutkan dua sunnah puasa: - Berbuka secepatnya setelah Maghrib dengan air dan kurma. Jika seseorang makan tanpa yakin bahwa itu Maghrib dan: a. Sama sekali tidak mau mencari tahu, maka ulangi puasa hari itu tanpa ada kafarat. b. Mencari tahu datangnya waktu Maghrib, maka tidak ada apapun yang perlu dilakukan. c. Mencari tahu lantas tahu bahwa itu belum Maghrib, maka ulangi puasa hari itu tanpa ada kafarat. - Mengakhirkan sahur sampai waktu imsak (dengan cara meminum segelas air sesaat sebelum imsak). Rasul salalahu'alaihiwasalam biasa berhenti makan sebelum Fajar kira-kira 57 Hal-hal ini adalah makruh di bulan Ramadan dalam relasi yang normalnya dibolehkan seperti dengan istrinya, tetapi jika dengan perempuan lain, hal-hal ini adalah haram baik itu di dalam atau di luar bulan Ramadan.
73
sepanjang bacaan limapuluh ayat. Jika seseorang makan karena tidak yakin apakah sudah imsak (Fajar) atau belum dan: a. Sama sekali tidak memastikan, ulangi puasa di hari itu dengan tidak ada kafarat b. Mencari tahu dan ternyata belum Fajar, maka tidak perlu melakukan apapun c. Mencari tahu dan ternyata sudah Fajar, maka ulangi puasa di hari itu tanpa adanya kafarat. Pada saat mendengar adhan sebagai tanda Fajar, maka stop makan. Membatalkan Puasa Wajib Jika membatalkan puasa wajib apapun (sengaja atau tidak), hari tersebut harus diganti 58. Secara sengaja membatalkan puasa wajib tanpa alasan yang membolehkan (seperti sakit, dll) adalah haram dan menghendaki dilakukannya taubat. Jika puasa secara sengaja atau secara tidak sengaja batal selama Ramadan, puasa hendaknya dilanjutkan (kecuali ada alasan sah untuk tidak berpuasa) karena kesucian bulan tersebut, dan hari tersebut juga harus diganti puasanya. Puasa wajib berturut-turut (seperti kafarat dhihar atau puasa Ramadan) hendaknya dilanjutkan jika batal secara tidak sengaja, dan hari tersebut juga harus diganti. Jika batal secara sengaja, maka puasa-puasa tersebut hendaknya tidak dilanjutkan, karena rentetannya telah terputus dan keseluruhan puasa kafarat perlu dimulai dari awal. Puasa wajib yang tidak berturut-turut (seperti menganti puasa-puasa Ramadan,, kafarat dari sumpah dll), tidak perlu dilanjutkan jika terputus, namun wajib untuk menggantinya di lain hari. Lima perbuatan selama Ramadan memerlukan kafarat jika puasa sengaja dibatalkan dan tanpa alasan yang sah,59 60 , lima perbuatan selama Ramadan61 itu adalah: - Makan - Minum - Merokok - Keluar mani, (bahkan jika terjadinya semata oleh berfantasi) - Meninggalkan niat untuk berpuasa keseluruhan Kecuali dalam tiga kasus: - Salah interpretasi, dengan syarat bahwa: a. Masuk akal, seperti: 58 Kecuali jika orang tersebut bersumpah untuk puasa pada hari tertentu dan dia batal karena sakit, haid atau pingsan, maka dia tidak harus mengganti hari tersebut karena hari yang ditentukan telah berlalu. Dia masih harus mengganti puasa jika dia batal puasa karena lupa, bepergian atau sekedar ingin batal tanpa ada alasan yang sah. 59 Ini berarti bahwa secara sengaja membatalkan puasa pada bulan Ramadan karena alasan yang dibenarkan seperti sakit, haid, dll, tidak memeerlukan kafarat. 60 Ini berarti bahwa tidak sengaja membatalkan puasa di bulan Ramadan karena alasan yang sah seperti sakit, haid, dll, tidak memerlukan kafarat. 61 Ini berarti bahwa membatalkan puasa dalam bulan selain Ramadan tidak memerlukan kafarat.
74
1). orang yang berfikir bahwa dia dapat melanjutkan makan setelah dia membatalkan puasa karena lupa 2). Membatalkan puasa saat bepergian kurang dari jarak minimum (lihat di bawah) 3). Seorang perempuan yang haidnya berakhir sebelum Fajar, tetapi tidak mandi besar (ghusl) sampai setelah Fajar dan percaya bahwa dia hendaknya tidak puasa b. Jika interpretasi tidak masuk akal, maka hal ini menghendaki kafarat. Contoh dari interpretasi yang tidak masuk akal termasuk: 1). Bereaksi terhadap hadis “Tidak ada puasa bagi orang yang menggunjing” dengan percaya bahwa seseorang boleh makan karena telah bergunjing 2). Tidak puasa karena seseorang berharap terjadinya kondisi kesehatan yang biasa terjadi di hari tersebut yang membolehkan batal puasa - Isu kesehatan termasuk: a. Umur tua.62. Dalam hal ini disunnahkan untuk memberi makan orang miskin satu mud makanan pokok bagi setiap hari puasa yang terlewati, tetapi hari yang terlewat tidak perlu diganti b. Hamil. Dalam hal ini puasa yang terlewati harus diganti c. Menyusui63. Dalam hal ini wajib untuk memberi makan orang miskin satu mud makanan pokok bagi setiap hari puasa yang terlewati dan hari yang terlewati harus diganti d. Menderita sangat karena kesehatan yang lemah (bahkan jika mampu bertahan puasa e. Takut seseorang akan mengidap sakit f. Sakit yang makin parah g. Memperlambat sembuhnya sakit. Dalam hal ini puasa yang terlewati harus diganti Takut jadi penyebab kematian atau bahaya ekstrim seperti kehilangan anggota tubuh, kapasitas atau indera, membuat puasa menjadi haram. - Bepergian (musafir) yang membolehkan seseorang untuk memendekkan shalat 64 walaupun disunnahkan untuk berpuasa. Ketika seorang musafir tiba di tujuan pada hari tersebut, dia tidak perlu mulai puasa, tetapi hendaknya tidak makan di depan umum selama Ramadan. Seseorang tidak dianggap sebagai musafir sampai meninggalkan batas kota. Semua hari yang tidak dipuasai selama menjadi musafir harus diganti puasanya. a. Supaya boleh membatalkan puasa selama bepergian, seorang musafir harus berniat sebelum Fajar untuk tidak berpuasa. Jika musafir berniat puasa dan mengemukakan niatnya sebelum Fajar, tidak dibolehkan untuk membatalkan puasa itu, kecuali jika ada keperluan yang memaksa. Jika puasa tersebut batal, musafir harus mengganti hari tersebut dan melakukan kafarat.65 b. Musafir juga diharuskan mengganti hari tersebut dan kafarat jika dia berniat untuk tidak puasa dan mengemukakannya setelah Fajar.66 62 Hal ini berlaku ketika puasa membuat orang tersebut benar-benar payah 63 Wanita hamil dan menyusui dibolehkan untuk tidak berpuasa ketika mereka takut ada apa-apa dengan diri mereka atau kesehatan anak mereka, bukan sekedar hamil atau menyusui. 64 Yaitu perjalanan sepanjang 78 km sekali jalan. 65 Karena telah memiliki pilihat niyat untuk berpuasa atau tidak, dia secara sengaja memilih untuk puasa. Karena itu jika dia membatalkan puasa tanpa alasan yang sah, dia pantas mendapatkan hukuman kafarat. Ashhab, murid Imam Malik, berkata bahwa kafarat tidaklah perlu hanya perlu mengganti hari puasa tersebut. 66 Karena Fajar tiba dan dia telah meninggalkan niatnya untuk berpuasa.
75
c. Jika musafir berniat puasa dan mengemukakan nya setelah Fajar, dia tidak dibolehkan membatalkan puasanya. Meskipun demikian, jika dia melakukannya dia hendaknya hanya perlu mengganti hari tersebut. Membatalkan Puasa Sunnah Adapun untuk membatalkan puasa Sunnah: - Haram membatalkan puasa Sunnah secara sengaja tanpa keperluan yang memaksa. Jika hal tersebut terjadi puasa tidak perlu dilanjutkan tetapi harus diganti. - Dibolehkan untuk membatalkan puasa jika orang tua seseorang atau guru memerintahkan kita untuk membatalkan puasa karena rasa kasihan. Dalam hal ini, wajib untuk mengganti hari puasa tersebut. - Secara tidak sengaja membatalkan puasa tidak perlu diganti tetapi puasa harus dilanjutkan. - Jika secara sengaja batal karena keperluan memaksa, puasa tersebut tidak perlu diganti. Kafarat Kafarat yang disebutkan di atas dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga perbuatan ini: - Berpuasa dua bulan Hijriah berturut-turut67 - Membebaskan seorang budak Muslim yang bebas dari cacat - Memberi kepada enampuluh orang miskin Muslim yang merdeka satu mud makanan pokok, yang lebih disukai oleh ulama Maliki.
***
Dasar-dasar Ilmu Tasawwuf Dan Panduan kepada Ma'rifat Dari Syarah Kitab al-Mursyidul Mu'in oleh Syaikh Ali Laraki Terjemah Qur'an http://selaras.web44.net Pengantar Ilmu Tasawwuf TASAWWUF adalah ilmu untuk memurnikan hati dan sifat untuk memperoleh kedekatan kepada Allah. Hati adalah tempatnya niyat dan semua tindakan didasarkan kepada niyat. Dengan demikian Tasawwuf adalah jantungnya Islam. Imam Malik berkata: “Siapapun yang mengambil tasawwuf tanpa mengambil fiqih menjadi bid'ah (heretical) dan siapapun yang mengambil fiqih tanpa tasawwuf menjadi ma'siyat (transgressor). Hanya orang yang menggabungkan keduanya yang akan mencapai kebenaran.68
67 Jika rentetannya terputus secara tidak sengaja, maka harus dilanjutkan dengan segera, jika terputus secara sengaja tanpa alasan yang sah (seperti sakit, haid, atau paksaan), puasa harus dimulai lagi dari awal. 68 Iqadh al-Himam fi Sharh al Hikam. Al-Maktaba al Thaqafiya, p.5
76
Ibnu Khaldun berkata bahwa pemurnian ini “ ..asalnya adalah aturan yang sudah berlaku umum di antara kaum salaf, namun mulai menyebar menyebar menjadi ilmu pengetahuan dari Abad ke-2. Orang-orang yang mencurahkan diri dalam pemurnian ini disebut sufiyyah atau ahlu at-tasawwuf.” 69 Dikatakan bahwa nama berasal dari suf (wol) yang dikenakan oleh orang-orang ini. Dapat juga merujuk kepada ahlus Suffah, Sahabat miskin yang meninggalkan segala sesuatu untuk hidup di bangku (suffa) Masjid Nabi salalahualaihi wasalam. Istilah lain juga dapat dimasukkan maknanya sejauh secara etimologi masih berhubungan, Wallahu a'lam. Tasawwuf tidak diambil dari buku-buku, karena kemurnian batin tidak dapat diukur seperti halnya fiqih (misal pengetahuan bahwa Dzuhur adalah empat rakaat). Namun ilmu yang disampaikan secara langsung dari orang ke orang lewat sanad (rantai) yang tidak terputus sampai kepada Nabi salalahualaihiwasalam dan hati adalah wadahnya.70 Pengajaran diturunkan dalam rantai yang disebut tariqat (jalan). Tariqat ada banyak. Tetapi walaupun tujuan dari berbagai tariqat ini adalah sama namun metodenya berbeda-beda dari satu tariqat ke tariqat lainnya tergantung jaman dan tempat. Banyak tariqat berawal dari Imam al-Junaid (wafat. 297). Beliau menjadi orang pertama yang memformalkan tasawwuf sebagai ilmu pengetahuan. Dia berkata: “Semua jalan kepada Allah ditutup rapat bagi orang yang menempuh perjalanan (salik), pada jejak langkah kaki Muhammad.” Atau dengan kata lain, tidak ada tasawwuf diluar Syariat. Taubat Unsur pertama tasawwuf adalah bahwa taubat itu wajib segera dan mutlak71, dan penundaan taubat mengharuskan dilakukannya taubat karena menunda-nunda taubat. Taubat bermakna menjauh dari segala maksiyat dengan ikhlas dan penuh penyesalan. Maksiyat dapat berupa: - Kecil (saghira) - Besar (kabira) - Melawan Allah - Melawan manusia - Disadari - Tidak disadari Taubat memiliki tiga syarat: 1. Berhenti berbuat (iqla'); seperti berhenti mabuk, berhenti zina, dll. 2. Berniyat untuk tidak mengulangi secara ikhlash, semua perbuatan maksiyat (nafy al-israr) 3. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan kepada manusia atau harta benda semampu mungkin yang dapat dilakukan (talafi al-huquq); seperti mengembalikan barang yang dicuri. Istighfar sebanyak mungkin adalah bagus (mandub). 69 Dari: Ibnu Khaldun, 'Abdur Rahman. Muqaddimah Ibnu Khaldun. 70 Orang-orang sufi merujuk kepada pengetahuan dan wadahnya, secara metaforis, sebagaimana kopi dan cangkirnya. 71 Wajib melakukan Taubat dari segala maksiyat.
77
Taubat adalah langkah pertama kepada taqwa. Taubat adalah wajib berdasarkan dalil-dalil di bawah ini: 1. Dari kitab Allah: a. Dan bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah hai orang-orang yang beriman, semoga kalian beruntung.(24:31) b. Mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya (11:52) c. Hai orang-orang yang beriman, tobatlah kepada Allah dengan tobat yang seikhlas-ikhlasnya, semoga Tuhanmu menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang banyak mengalir sungai-sungai di bawahnya. (66:8)
d. Sesungguhnya Allah menyenangi orang-orang yang taubat dan orang-orang yang mensucikan dirinya. (2.222) 2. Dari Rasulullah salalahualaihiwasalam yang bersabda: “... bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah ampunanNya, akupun bertaubat kepada Allah ratusan kali sehari.” (Sahih Muslim). Taqwa Taqwa adalah untuk melindungi nafs dari hal-hal yang akan membahayakan seseorang di akhirat dan itu diperoleh dengan empat cara: 1. Melakukan setiap kewajiban lahiriah 2. Melakukan setiap kewajiban batiniah 3. Menghindari setiap haram lahiriah 4. Menghindari setiap haram batiniah Dalam empat cara ini, ada keuntungan bagi penempuh perjalanan spiritual (as-salik) yakni murid. Berikut ini limabelas manfaat taqwa yang diambil dari tafsir Qur'an oleh Imam Ibnu Juzayy: 72 1. Arah Panduan petunjuk bagi orang yang takwa. (2:2) 2. Pertolongan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang takwa. (2:194) 3. Kedekatan dengan Allah Allah menjadi pelindung orang-orang yang takwa. (45:19) 4. Cinta maka Allah sangat mencintai orang-orang yang bertakwa itu. (3:76) 5. Ditutupi oleh Allah perbuatan buruknya Jika kamu bertakwa kepada Allah, pasti Dia akan memberimu furqan
Suatu petunjuk merupakan pelita hati yang dapat membedakan antara yang salah dan yang benar,
antara yang terang dan yang gelap dsb. ,
akan menghapus segala kesalahanmu dan mengampunimu.
(8:29)
6. Jalan keluar dari kesengsaraan dan 7. Rejeki dari jalan yang tidak diduga-duga Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah tentu
diadakan-Nya jalan keluar baginya. dan memberinya rezeki dari "pintu" yang tidak diduga-duga olehnya. (65:2-3)
8. Kemudahan dalam segala urusan Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia memberikan kelonggaran baginya dalam menghadapi kesulitan urusannya. (65:4) 9. Ditutupi perbuatan dosanya dan 10. Pelipatgandaan pahala Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapuskan dosa-dosanya dan memperbesar pahala baginya. (65:5) 11. Diterimanya perbuatan Sesungguhnya kurban yang akan diterima Allah ialah kurban dari orang-orang yang bertakwa (5:27) 12. Keberhasilan bertakwalah kepada Allah, semoga kamu beruntung. (2:189) 13. Berita baik Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Untuk mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. (10:63-64) 72 Dari at-Tashil li 'Ulum at-Tanzil
78
14. Dimasukkan ke dalam Surga Sesungguhnya untuk orang-orang yang takwa tersedia surga yang penuh nikmat dari Tuhannya. (68:34) 15. Keselamatan dari Api Neraka Akhirnya Kami selamatkan orang-orang yang takwa (19:72) Taqwa adalah Wajib berdasarkan dalil-dalil berikut ini: 1. Dari Kitab Allah: a. Yang teramat mulia di antaramu di sisi Allah, ialah orang yang lebih bertakwa. (49:13) b. (3:102) 2. Dari Rasulullah salalahualaihiwasalam c. Hal pertama yang akan membuat seseorang masuk ke Surga adalah taqwa kepada Allah lah dan berakhlak baik.” (Sunan at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Hakim) Haram Lahiriah Menghindari yang haram adalah lebih sulit bagi nafs daripada melakukan yang wajib. Baik buruknya tindakan anggota tubuh berasal dari hati yang memerintah. Rasulullah salalahualaihiwasalam bersabda: “Dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka tubuh juga baik, jika rusak, maka tubuh juga rusak, Itulah hati” (Sahih Muslim dan Sahih al-Bukhari) Untuk menghindari haram lahiriah, seseorang harus menjaga tujuh anggota tubuh. Rasulullah salalahualaihiwasalam bersabda: Allah telah menciptakan tujuh pintu ke Neraka, dan Dia menciptakan pada anak Adam tujuh anggota tubuh; kapanpun anak Adam itu mematuhi Allah dengan salah satu dari tujuh anggota tubuh itu, Allah menutup satu dari pintupintu Neraka, kapanpun dia tidak patuh kepada Allah dengan satu dari tujuh anggota tubuh itu, maka pantas baginya untuk masuk melalui pintu Neraka itu.” (Musnad Ahmad bin Hanbal) Menjaga tujuh anggota tubuh dilakukan dengan cara: 1. Menundukkan padangan dari yang haram untuk dilihat seperti: a. Melihat Orang telanjang, termasuk segala bentuk gambar telanjang. b. Memandangi orang cacat c. Memandangi perempuan (atau anak-anak) dengan birahi. d. Memandangi/menyelidiki harta benda milik orang lain e. Memandangi Muslim dengan pandangan menghina 2. Menutup telinga dari obrolan yang menjelekkan seperti: a. Ghibah, menyebutkan sesuatu tentang seseorang di belakang seseorang, yang orang itu tidak sukai. b. Namimah, menyebarkan omongan yang akan merusak hubungan di antara orangorang. c. Zur, bersaksi palsu kepada hakim (qadi) di pengadilan. d. Kadzib, mengatakan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan. e. Mendengarkan suara lawan jenis bukan muhrim dengan birahi.
79
3. Menjaga lidah dari mengucapkan hal-hal di atas terutama dengan bahasa yang cabul. 4. Menjaga perut dari yang haram, termasuk: a. Makanan yang diperoleh dengan cara merampas atau b. Makanan yang dibeli dengan uang curian, rampasan atau diperoleh dari riba c. Makanan daging dari hewan yang tidak disembelih73 d. Darah yang mengalir e. Babi f. Minuman memabukkan seperti anggur etc. g. Obat-obatan, termasuk ganja. Halal, tidak hanya terbatas kepada perut tetapi diterapkan kepada segala sesuatu yang kita gunakan, kenakan, tempati atau tinggali. Tambahan, jika hal-hal itu diperoleh dengan cara yang melanggar hukum seperti riba, pencurian atau perampasan, maka haram juga hukumnya untuk digunakan. Wallahua'lam. Sengaja meninggalkan yang meragukan adalah berpahala di akhirat, dalam segala hal, termasuk, tempat tinggal, pakaian, peralatan dan yang semacamnya. 5. Menjaga kemaluan dari sodomi, perzinahan dan percabulan, dan masturbasi. 6. Dan akhirnya takut pada Allah, yang selalu menyaksikan, dan tidak membiarkan tangan menyentuh yang haram dan 7. Tidak membiarkan kaki melangkah menuju yang haram. Seseorang hendaknya tidak mengerjakan perkara apapun sampai mengetahui hukum syara' mengenai perkara itu, dengan bertanya kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Itu artinya wajib bagi seseorang yang terlibat dalam kegiatan jual-beli, sewa-menyewa, persekutuan bisnis, dll, untuk mengetahui aturan umum yang berkenaan dengan kegiatankegiatan tersebut. Penyakit Hati Haram batiniah, disebut penyakit hati, dan wajib dihilangkan.74 Termasuk penyakit hati: 1. Riya, berusaha mendapatkan hati orang lain dengan menunjukkan akhlak yang baik. Tanda riya adalah malas dan sedikit berbuat ketika sendiri dan banyak aktifitas jika banyak orang, terutama ketika dipuji. Riya disebut juga 'syirik kecil'. Riya adalah haram berdasarkan dalil-dalil berikut ini: a. Dari Kitab Allah (107:4-6) b. Dari Rasulullah salalahualaihiwasalam 73 Ada perbedaan pendapat daging yang disembelih oleh Ahli Kitab adalah halal jika disembelih secara berbeda dengan cara Muslim. Qadi Abu Bakr ibnu al-'Arabi menyebutkan dalam Ahkamul Qur'an bahwa daging yang disembelih oleh orang Kristen adalah halal bagi Muslim jika dapat diterima oleh pendetanya, bahkan jika disembelih secara berbeda dari cara Muslim. Pandangan ini juga disebutkan dalam al-Mi'yar alMu'rib oleh al-Wansharisi. 74 Imam al-Ghazali berkata bahwa mengobati hati dari penyakit batiniah hukumnya fardu 'ain.
80
1). Hadist qudsi: “Allah berfirman: Siapapun yang berbuat untuk Ku, yang mana dia menyekutukan dalam perbuatan itu selain dari Ku, perbuatannya semuanya untuk orang itu dan tidak ada hubungannya dengan Ku sebab Aku lah yang paling tidak mau disekutukan.'” (Muslim, dari Abu Hurairah) dan 2). “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, kelak di hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan, Allah ‘Azza wa Jalla akan mengatakan kepada mereka (yang berbuat riya’’), “Pergilah kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah apakah kamu mendapati pahala dari mereka?” (HR Ahmad) 2. Cinta akan prestise (sum'ah), yaitu ingin orang bicara baik tentang dirinya, dan ini berhubungan dengan riya. 3. Iri Hati, yang terbagi kepada dua: a. Hasad, mengingin orang kehilangan apa yang Allah telah berikan, bahkan sekalipun tanpa menginginkan apa yang mereka miliki, adalah haram, kecuali terhadap orang yang berbuat maksiyat atau orang kafir yang menggunakan pemberian Allah di jalan yang salah. b. Ghibtah, menginginkan hal yang sama sebagaimana orang lain, tanpa menghendaki orang kehilangan itu. Namun bisa wajib hukumnya, sunnah, atau mubah (boleh) jika yang diinginkan adalah sarana untuk melakukan yang wajib. Iri hati, (hasad) adalah haram berdasarkan dalil-dalil di bawah ini: a. Dari Kitab Allah 1). (4:53) 2). (3:120) b. Dari Rasulullah salalahualaihiwasalam: “Waspadalah terhadap hasad, karena hasad menghanguskan perbuatan baik sebagaimana api menghanguskan kayu.” (Sunan Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah) 4. Congkak ('ujub), yaitu mengagungkan perbuatan baik seseorang sambil melupakan bahwa perbuatan baik itu adalah hadiyah (hidayah) dari Allah. 'Ujub adalah haram berdasarkan dalil-dalil berikut ini a. Dari Kitab Allah: 1). (9:25) 2). (59:2) 3). (59:2) b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: Tiga hal yang bersifat merusak, menuruti kerakusan, mengikuti kehendak, dan mengagumi diri sendiri.” (Al-Bazzar, at-Tabarani, al-Baihaqi, Abu Nu'aym dari Anas bin Malik)
81
c. Dan dari sabahat beliau Ibnu Mas'ud radiyalahu'anhu berkata: “Kehancuran terletak dalam dua hal, putus asa dan 'ujub” Sebab orang yang putus asa tidak melihat adanya kebaikan, sedangkan orang yang 'ujub berfikir dia sudah memilikinya. 5. Sombong (kibr) mengagungkan diri sendiri sambil meremehkan orang lain. Penyakit lain secara singkat disebutkan oleh Mayyarah termasuk: 6. Dendam (ghill) 7. Membenci (hiqd) 8. Durhaka (baghy) 9. Marah bukan karena Allah (ghadab li ghayrillah) 10. Curang (ghish) 11. Serakah (bukhl) 12. Menolak kebenaran karena sombong (al-i'rad 'anil-haqq istikbaran) 13. Terlibat dalam hal yang tidak ada sangkut paut dengan diri (al-khawd fi ma la ya'ni) 14. Berambisi besar (tamak) 15. Takut miskin (khawf al-faqr) 16. Tidak senang dengan takdir (sakhat al-maqdur) 17. Angkuh (batar) 18. Memuji orang kaya atas kesejahteraan mereka (ta'dhim al-aghniya li ghinahum) 19. Meremehkan orang miskin atas kemiskinan mereka (istihza' bil-fuqara' li faqrihim) 20. Bangga (fakhr) 21. Lancang (khayla') 22. Bersaing dalam hal duniawi (at-tanafus fi'd-dunya) 23. Membual (mubahah) 24. Berhias demi makhluk (at-tazayyun lil-l-makhluqin) 25. Gemar disanjung (mudahanah) 26. Cinta pujian untuk sesuatu yang tidak dikerjakannya (hubb al-madh bi ma la yaf'al) 27. Memandangi kecacatan orang lain (al-ishtighal bi 'uyub an-nas 'an 'uyibih) 28. Tidak berterimakasih (nisyan an-ni'mah) 29. Fanatisme (hamiyyah) 30. Takut dan berharap kepada selain Allah (ar-raghba wa ar-rahba lighayrillah) 31. Mencintai kepemimpinan (hubb ar-ri'asa), ini adalah penyakit terakhir yang harus dihilangkan dari hati para siddiqun. 32. Melupakan akhirat (nisyan al-akhira) dan menghibur diri dengan harapan palsu. 33. Cinta dunia (hubb ad-dunya), yang merupakan kepala dari semua perbuatan dosa menurut Rasulullah salalahualaihiwasalam. Melupakan kematian dan mencintai dunia adalah haram berdasarkan dalil-dalil berikut ini: a. Dari Kitab Allah: (75:20-21) b. Dari Rasulullah salalahualaihiwasalam: 1). “Dunia itu terkutuk dan terkutuklah apa yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah dan apa yang Allah cintai, seseorang yang memiliki pengetahuan suci dan orang yang mempelajarinya.” (At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) 2). “Hiduplah di dunia sebagai seorang yang asing atau sedang perjalanan.” (Al-Bukhari, dari Ibnu 'Umar) c. Dari Sahabat 'Ali ibnu Abi Thalib radiyalahuanhu: “Orang-orang itu tidur; ketika mereka mati, mereka bangun.”
82
Tidak ada obat kecuali berpaling kepada Allah dengan kebutuhan yang mendalam untuk menundukkan nafs, melawan kehendak nafs dan mengarahkan nafs kepada kepatuhan, karena sifat alami nafs adalah ketidakpatuhan. (12:53). Syaikh Adalah penting untuk mengikuti arahan dari seorang Syaikh, yang mengetahui jalan, dan telah menyelesaikan jalannya sendiri dan membebaskan dirinya dari hasratnya. Murid adalah orang yang mempercayakan nafs nya kepada sang Syaikh, mematuhinya dalam segala sesuatu yang dia arahkan, tanpa: 1. Ragu-ragu 2. Penafsiran 3. Sungkan Syaikh melayani tiga fungsi: 1. Melindungi dari jebakan/lubang perangkap di jalan tariqat ( mahalik at-tariq ) 2. Mengingatkan murid akan Allah ketika bertemu dengan murid 3. Dan akhirnya membawa hamba kepada Penguasanya, Allah, Penguasa Dunia. Syaikh harus memenuhi empat syarat: 1. Memahami Fardu 'Ain Deen menurut fiqih. 2. Mengetahui metode memurnikan hati dari penyakit hati. 3. Memiliki ma'rifat, ilmu pengetahuan yang dialami langsung, dari Allah. 4. Memiliki izin dari Syaikhnya untuk mengajar, sehingga ajarannya memiliki rantai sanad yang terhubung kepada Rasulullah salalahualaihiwasalam Syaikh pemberi arahan al-Hasan ibnu Mas'ud al-Yusi mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa bergantung dari keadaan yang diupayakan, ada tiga derajat perlunya memiliki Syaikh: 1. Untuk usaha mencapai taqwa (mujahadah), memiliki Syaikh bukan syarat, tetapi memiliki seorang Syaikh pembimbing adalah lebih baik. 2. Untuk usaha mencapai istiqamah, yakni takwa berkelanjutan sampai mati, memiliki seorang Syaikh juga tidak wajib, tetapi akan lebih baik jika ada. 3. Untuk usaha mencapai kasyf, dengan menghilangkan (tajrid) dari nafs sifat-sifat buruknya, dan kecerobohannya untuk mencapai kebenaran (haqiqat), memiliki seorang Syaikh adalah wajib.75 Seseorang hendaknya mengikuti seorang wali yang dengan perantaranya Allah membimbing seseorang, dan keunikan wali tersebut Allah memberikan akses dengan menghilangkan tabir yang berasal dari sifat-sifat kemanusiaannya. Dia mengajar bagaimana mengenali perbuatan salah nafs, untuk dihindari dan mengenali nikmat Allah kepada dirinya, sehingga seseorang lari dari selain Allah menuju kepada kedekatan dengan Allah. Syaikh Mayyarah kemudian mengutip ucapan terkenal di antara orang-orang sufi: “Siapapun yang tidak memiliki Syaikh, syaitan adalah Syaikh nya.” Mengikuti ajaran Syaikh yang memberi arahan didukung oleh dalil-dalil berikut ini: 1. Dari Kitab Allah: 75 Shifa' as-Sa'il oleh Ibnu Khaldun
83
a. (31:14) b. (9:119) 2. Dari nabi salalahualaihiwasalam yang berkata: a. Orang-orang terbaik untuk diajak duduk bersama adalah orang-orang yang, ketika engkau melihat mereka, mengingatkan engkau akan Allah, dan yang ucapannya meningkatkan pengetahuanmu dan yang perbuatannya akan mengingatkanmu akan akhirat.” (Abu Ya'la, dari Ibnu Abbas: sahih menurut as-Suyuti) b. “Yang terbaik di antara kalian adalah orang-orang yang, ketika mereka terlihat, menyebabkan Allah diingat.” (Al-Hakim at-Tirmidzi, dari Anas ibnu Malik) Muhasabah Seseorang harus membawa nafs untuk memperhitungkan setiap nafas. Setiap pagi, nafs harus diingatkan untuk menggunakan hari baru yang Allah telah anugerahkan dan setiap petang, harus memperhitungkan semua perbuatan yang telah dilakukan. Semua perbuatan yang diniatkan harus ditimbang di atas timbangan Syariah sebelum dikerjakan. Perhitungan ini berhubungan kepada dua tingkat perbuatan: 1. Perbuatan wajib, yang merupakan modal dasar yang darinya setiap perbuatan buruk berkurang. 2. Perbuatan yang disunahkan (seperti sedekah, puasa sunnah dan yang semacamnya) adalah tempatnya keuntungan, di atas modal dasar, dan dari perbuatan sunnah ini seseorang mendekat kepada Allah. Rasul salalahualaihiwasalam menjelaskan persoalan di atas dalam sebuah hadist qudsi: “Allah berfirman: 'Orang yang memusuhi wali Ku, Ku nyatakan perang kepadanya. Hamba Ku mendekati Ku dengan tidak ada hal lain yang dicintainya melebihi apa yang kuwajibkan atasnya. Dan hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah (nafilah) sampai Aku mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, Aku adalah pendengaran yang dengan dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya di menggenggam, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepadaku Aku pastilah mengabulkan permintaannya, dan jika dia berlindung kepada Ku, Aku pasti akan melindunginya.'” (Sahih al-Bukhari) Dzikir Seseorang harus banyak berdzikir dengan hati yang ikhlash. Kata dzikir bermakna secara serentak 'menyebut di lidah' dan 'mengingat dalam hati'. Dzikir memiliki tiga tingkatan: 1. Dzikir hanya dengan lidah saja 2. Dzikir hanya dengan hati saja 3. Dzikir dengan lidah dan hati bersama, yang merupakan tingkatan tertinggi. Dan pertolongan untuk melakukan semua itu adalah dari Allah. 84
Melakukan Dzikir adalah berdasarkan dalil-dalil berikut ini: 1. Dari Kitab Allah: a. (2:152) b. (3:191) 2. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: a. “Tidak ada yang disesali oleh ahli Surga kecuali saat-saat ketika mereka tidak mengingat Allah subhanahuwata'ala (At-Tabarani, dari Mu'adh; hasan menurut as-Suyuti) b. “Perumpamaan seseorang yang mengingat Allah dan seseorang yang tidak mengingat Allah adalah seumpama orang yang hidup dan orang yang mati.” (Al-Bukhari) c. “Ketika engkau melewati taman-taman Surga, merumputlah di sana.” Nabi ditanya: “Apakah itu taman-taman Surga?” Nabi berkata: “Lingkaran Dzikir.” (At-Tirmidzi, dari Anas) d. “Lakukanlah banyak dzikir kepada Allah sampai mereka berkata engkau gila.” (Ibnu Hanbal) e. “Tidak ada perbuatan yang dilakukan oleh anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari hukuman Allah melebihi dzikir kepada Allah.” (Ibnu Hanbal, dari Mu'adh) Memerangi Nafs Seseorang harus berjuang melawan nafs nya (mujahadat an-nafs) karena Allah sampai nafs tunduk kepada aturan Allah, menghindari yang salah dan mengerjakan yang benar, lahiriah dan batiniah. Inilah yang disebut Jihad Besar (al-jihad al-akbar). 76 Memerangi nafs adalah wajib berdasarkan dalil-dalil di bawah ini: 1. Dari Kitab Allah: (29:69)77 2. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: a. Sepulang dari pertempuran: “Kita pulang dari jihad asghar kepada jihad akbar (al-Baihaqi, dari Jabir) b. Rasul salalahualaihiwasalam berkata: “Mujahid adalah orang yang mendapat upah jihad melawan nafs nya di jalan Allah.” (At-Tirmidzi, dari Fudala ibnu 'Ubaid) Sikap Hati yang Terpuji Kewajiban batiniah disebut sikap hati yang terpuji. Seseorang harus menghiasi dirinya dengan maqam-maqam keyakinan (maqamat al-yaqin) berikut ini: 1. Takut (khauf). Dalilnya adalah: a. Dari Kitab Allah: 1). (55:46) 2). (35:28)
76 Pengarang kitab al-Burda berkata: “Nafs seperti seorang anak kecil. Jika dia tumbuh dengan menyusui, maka dia senang menyusu, jika disapih, maka tersapih. 77 Surat ini, al-'Ankabut, adalah surah Makkiyah dan jihad militer diatur pada periode madinah. Maksud jihad yang disebutkan di ayat ini adalah jihad melawan nafsu menurut Ibnu Juzayy dalam tafsirnya.
85
b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan taqwa kepada Allah di antara kalian semua.” (Al-Bukhari, dari Anas) 2. Harap (raja'), tetapi membiarkan rasa takut mendominasi (kecuali ketika sakit, maka Harap hendaknya mendominasi) Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut: a. Dari Kitab Allah: (2:218) b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: hadist qudsi: “Anak Adam! Jika kalian beribadah kepada Ku, berharaplah kepada Ku, dan tidak menyekutukan apapun dengan Ku, Aku akan mengampuni mu tanpa peduli apa yang sudah kalian lakukan. Jika kalian menghadap Ku dengan perbuatan salah sebesar langit dan bumi, Aku akan datang kepada kalian dengan ampunan sebesar langit dan bumi. Aku akan mengampunimu, dan Aku tidak peduli.” (AtTabarani, dari Abu Darda' dan dinyatakan hasan oleh as-Suyuti) 3. Bersyukur (syukur) untuk hadiyah yang dianugerahkan: Dalilnya adalah: a. Dari Kitab Allah: (3:145) b. Dari jawaban Rasul salalahualaihiwasalam ketika beliau ditanya kenapa beliau berdiri dalam salat sampai kaki beliau terluka walaupun Allah telah mengampuni kesalahan beliau di masa lalu dan masa depan: “Haruskan aku tidak menjadi hamba yang tidak berterimakasih?” (Disepakati, dari al-Mughirah ibnu Syu'bah) 4. Keteguhan (sabar) dalam penderitaan Dalilnya adalah: a. Dari Kitab Allah: (3:146) b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam, “Tidak seorangpun yang menerima hadiyah yang lebih besar dan lebih baik dari keteguhan (sabar) dalam penderitaan.” (Disepakati, dari Abu Sa'id) 5. Berpaling kepada Allah (taubat) 78 6. Zuhud terhadap dunia dan lebih menyukai akhirat, sehingga seseorang yang zuhud duniawi hanya mengambil seperlunya saja dari dunia. Dalilnya adalah sebagai berikut: a. Dari Kitab Allah: (16:96) b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam “Zuhud lah di dunia dan Allah akan mencintaimu. Zuhudlah atas apa yang ada pada tangan manusia, dan manusia akan mencintaimu.” (Ibnu Majah, at-Tabarani, al-Hakim, al-Baihaqi, dari Sahl ibnu Sa'd dan dinyatakan sahih oleh asSuyuti. 7. Ketergantungan (tawakkul) kepada Allah dalam semua urusan. Dalilnya adalah: 78 Lihat bagian taubat untuk penjelasan dan dalil
86
a. Dari Kitab Allah: 1). (3:122) 2). (3:173) 8. Kepuasan (rida) dengan apa yang Allah telah takdirkan, pahit dan manis nya. Dalilnya adalah: a. Dari Kitab Allah: (5:119) b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: “Allah akan berkata, 'Wahai penghuni Surga!' dan mereka akan menjawab 'Ini kami Ya Rabb, kebaikan ada di hadirat Mu' dan Allah akan bertanya, 'Apakah kalian puas?' dan mereka akan menjawab, 'Bagaimana bisa kami tidak puas? Engkau telah memberi kepada kami apa yang Engkau tidak berikan kepada makhlukMu yang lain!' Dan Allah akan berkata 'Maukah kalian Kuberi yang lebih baik dari ini?' Dan mereka akan berkata, Apa yang lebih baik dari ini?' Dan Allah akan berkata: “Bahwa keridaanKu telah dianugerahkan kepada kalian dan Aku tidak akan pernah lagi tidak rida kepada kalian.” (Disepakati, dari Abu Sa'id al-Khudri). 9. Cinta (hubb/mahabbah) kepada Allah dan cinta kepada RasulNya salalahualaihiwasalam, yang merupakan inti cinta kepada Allah (dan cinta kepada 'ulama dan orang-orang yang bertaqwa) karena kekasih dari kekasih adalah kekasih. Cinta ini memberikan keridaan atas segala sesuatu yang berasal dari Allah, karena cinta membawa serta keridaan atas perbuatan dari sang kekasih. Dalilnya adalah: a. Dari Kitab Allah: 1). (5:54) 2). (3:31) 3). (9:24) b. Dari Rasul salalahualaihiwasalam: 1). “Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang yang berlindung kepada tiga hal itu mengalami manisnya Iman, yaitu bahwa Allah dan RasulNya lebih dicintai dari apapun; bahwa dia mencintai manusia hanya untuk Allah; dan bahwa dia tidak suka kembali kepada kekafiran seperti halnya tidak suka jatuh ke dalam Neraka.” (Disepakati, dari Anas) 2). Umar ibnu al-Khattab bercerita kepada Nabi salalahualaihiwasalam. “Aku mencintaimu lebih dari apapun kecuali jiwaku yang ada antara dua tulang rusukku.” Nabi salalahualaihiwasalam menjawab, “Tidak seorangpun dari kalian akan beriman sampai aku lebih dicintai olehnya melebihi jiwanya sendiri.” 'Umar berkata, “Demi Dia yang telah mewahyukan Kitab kepadamu, aku mencintaimu lebih dari jiwaku yang ada antara dua tulang rusukku.” Nabi salalahualaihiwasalam berkata, “'Umar, sekarang kau telah memilikinya!” (Al-Bukhari, dari 'Abdullah ibnu Hisyam) 10. Ketulusan (sidiq). Seorang hamba harus melakukan semua perbuatan taatnya hanya untuk Allah semata, yang mengawasinya nya lahir dan batin, bukan karena ingin disanjung (sum'ah) ataupun riya, dll. 87
Dalilnya adalah: a. Dari Kitab Allah: (98:5) b. Dari Rasul Allah salalahualaihiwasalam, “Allah tidak melihat bentuk tubuhmu tetapi hatimu.” (Muslim, dari Abu Hurairah) Manfaat Tasawwuf Semua ilmu Islam memiliki manfaat. Ibnu 'Ashir menyebutkan empat keuntungan menelusuri jalan tasawwuf: 1. Ma'rifat berlimpah sebagai akibat dari perbuatan dan hadiah yang diberikan secara langsung oleh Allah, sementara ilmu adalah informasi yang diperoleh dengan penelitian dan pembelajaran. Ma'rifat adalah hasil dari perbuatan, sebagaimana Rasul salalahualaihiwasalam katakan: “Siapapun yang berbuat berdasarkan apa yang dia tahu, Allah akan menganugerahinya pengetahuan yang dia tidak tahu.” 79 Hal ini memiliki dua tingkatan: a. Pengetahuan yang dimiliki oleh semua mukminun, yakni pengetahuan akan Allah dan Rasul salalahualaihi wasalam yaitu Syahadat, yang mana di dalam Syahadat itu sendiri ada pengetahuan yang sangat besar. b. Pengetahuan yang dimiliki oleh para nabi dan para wali, dan ini adalah samudera yang tidak terbatas. Syaikh Ibnu 'Ata'illah berkata: “Siapapun yang mengetahui yang nyata akan merenungkan Allah dalam segala sesuatu. Siapapun yang kosong dari Allah akan kosong dari segala sesuatu, dan siapapun yang mencintai Allah lebih menyukai Allah di atas segala sesuatu.” 80 2. Kebebasan (hurriyyah) dari segala sesuatu kecuali Allah. Syaikh Ibnu 'Ata'Illah berkata: “Tidak ada hal yang engkau cintai, kecuali engkau menjadi hambanya, dan Allah tidak ingin engkau menjadi hamba siapapun kecuali Allah.” 81 Dan “Engkau bebas dari keputusasaan. Engkau adalah hamba dari apa yang kau rindukan.” 82 3. Cinta Allah (hubb). Kami telah menyediakan dalil untuk hal ini. Hal ini digambarkan dalam al-Habl al-Matin yang dikutip dari Ihya' 'Ulum ad-Din bahwa cinta Allah bagi hambaNya adalah dekat dengan cara sebagai berikut: a. Menghilangkan segala sesuatu yang mengalihkan seorang hamba dari Allah b. Menghilangkan dari seorang hamba segala macam maksiyat c. Membersihkan dari seorang hamba semua kekeruhan duniawi d. Menghilangkan tabir yang menyelimuti seorang hamba sampai hamba tersebut seolah-olah melihat Allah dengan hatinya. 4. Allah memilih hamba Nya unuk memasuki Hadrat al-Quds. Ini adalah apa yang dirujuk dalam hadist terkenal malaikat Jibril alaisalam ketika dia bertanya kepada Nabi salalahualaihiwasalam “apa itu Ihsan” dan nabi salalahualaihiwasalam menjawab “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Nya.” Masuk kepada Hadrat al-Quds 79. Abu Nu'aim, dari Anas. 80 Al-Hikam, aphorism 163. 81 Al-Hikam, aphorism 210. 82 Al-Hikam, aphorism 62.
88
Allah adalah keadaan seorang hamba dalam musyahadah atau kontemplasi akan Tauhid sebagaimana diekspresikan dalam hadist. Ketahuilah, semoga Allah merahmati kita semua bahwa tauhid ada dua jenis: a. Tauhid umum yang semua Muslim miliki, yang menghindari syirik terbuka (menyekutukan atau menggambarkan sekutu bagi Allah) b. Tauhid golongan elit, yakni menghindari syirik tersembunyi Syirik tersembunyi adalah menganggap nafs sebagai pusat dan dasar segala sesuatu, sementara tauhid sejati adalah menyadari bahwa keberadaan manusia adalah metaforis (wujud majazi)83 dan hanya Allah yang memiliki keberadaan sejati (wujud haqiqi). 84 Karenanya Ihsan adalah mengetahui bahwa Allah adalah pusat dan ukuran segala sesuatu. Apa yang relevan adalah apa yang Allah inginkan, bukan apa yang nafs inginkan. Tasawwuf adalah ilmu melucuti nafs sampai tidak ada yang tersisa kecuali menyaksikan Samudera Tauhid Yang Tak Terbatas: bahwa Allah adalah Ahad, tanpa sekutu dalam Esensi, Atribut, dan Perbuatan.85 (55:26-27)
***
83 Bermakna bahwa keberadaan manusia tidak memiliki aktualitas dalam dirinya sendiri dan bergantung secara keseluruhan pada Keberadaan Allah. 84 Bermakna bahwa Keberadaan Allah adalah tidak bergantung pada yang selain Allah secara mutlak. 85 Sebagaimana guru dari guru saya, Syaikh Muhammad Ibnu al-Habib al-Hasani, berkata, “Ilmu kalam berakhir di tempat ilmu tasawwuf bermula, yaitu di pantai menuju ke laut lepas yang maha luas”.
89
Bismillaahirrahmaanirrahiim FATWA PERBANKAN Serta Penggunaan Bunga yang diterima dari Simpanan di Bank OLEH UMAR IBRAHIM VADILLO Pengantar Hukum Syara’ adalah aturan yang mengikat keseluruhan aspek hidup seorang Muslim. Inilah aturan-aturan yang lazim diketahui sebagai Halal, Haram, Makruh, Sunnah, dan Mubah. Apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim, akan masuk pada salah satu dari aturan-aturan tersebut. Setiap pelanggaran terhadap aturan, akan berakibat pada kesengsaraan hidup, baik itu di dunia maupun di akhirat nanti. Hukum Syara’ itu sendiri dihasilkan dari kaidah-kaidah yang disebut Ushul Fiqih. Ilmu Ushul Fiqih inilah yang mengolah agar Sumber-sumber Hukum Islam dapat menjadi suatu produk Hukum. Dahulu, di jaman Rasulullah Shallallahu’alayhiwasallam masih hidup, para Sahabat, meniru tindakan dan perbuatan Beliau. Begitu pula ketika ada suatu permasalahan, para Sahabat langsung bertanya kepada Beliau untuk mendapatkan suatu Hukum. Sumber-sumber Hukum Islam Qur’an dan Hadist, adalah bahan mentah yang harus diolah. Tidak diijinkan bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ahli Fiqih (Faqih) untuk menghasilkan suatu produk Hukum. Pengambilan Hukum itu sendiri ada prosedur dan aturan ketat yang harus ditaati, yang terdapat dalam Ilmu Ushul Fiqih. Setiap Madzhab memiliki kaidah Ushul Fiqihnya sendiri-sendiri, tetapi banyak hal-hal yang umum disepakati seperti misalnya Hukum tentang Riba dan Zina. Semua ahli Fiqih (Fuqaha) sepakat bahwa Hukum nya adalah Haram. Lantas apa yang harus kita lakukan ketika mengetahui bahwa suatu perbuatan adalah Haram. Haram adalah suatu perbuatan yang jika dilakukan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala. Ketika kita mendapati bahwa suatu hal/perbuatan adalah Haram maka tinggalkanlah! Tentu saja akan menjadi rumit ketika yang harus kita tinggalkan adalah sesuatu yang sudah membelit kehidupan kita mulai dari A sampai Z. Di sinilah peran penting ilmu Fiqih, dan Faqih yang menguasainya, yang telah bekerja keras siang dan malam, bertahun-tahun, guna menghasilkan suatu produk Hukum , sekaligus cara bersikap menghadapi yang Haram itu. Para pembaca sekalian, bersiaplah mengarungi luasnya lautan ilmu Allah Subhanahuwata’ala. Karena dalam buku kecil ini, pembaca akan diberitahu mengenai ilmu, yang telah dibuat seolah tidak berarti, oleh para penganut Islam modernis, yakni ilmu Fiqih, yang sesungguhnya berperan sebagai penolong yang sangat berharga dalam kehidupan kita, di mana sudah jarang yang menghargai ilmu Fiqih ini. Pembaca akan mengetahui, bahwa pengabaian terhadap Hukum Syara’, terutama yang Haram yang dibahas di sini, telah menjadi sumber penderitaan jutaan orang di seluruh dunia. Para pembaca yang budiman, bersabarlah membaca buku kecil ini. Karena uraian di bagian awal, mengenai Pengantar Memahami Hukum Syara’,adalah ilmu yang telah jarang dipelajari orang. Alangkah baiknya kita kaji kembali. Para pembaca yang budiman, selamat membaca.
90
Pengantar Ushul Fiqih Imam Malik tidak merekam 'Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Aturan Hukum Syariat' 86 (Ushul Fiqih) dalam Madzhabnya. Tapi dalam Ushul Fiqih ini Imam Malik serupa dengan Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengan Imam Malik, namun berbeda dari muridnya Imam Asy-Syafi'i, yang melakukan penyusunan Ilmu Ushul Fiqih secara jelas sistematis dan merinci asal-muasalnya serta menjadikannya sebagai dasar wajib untuk menyimpulkan 'Aturan Hukum Syariat'87 tentang suatu permasalahan. Meskipun begitu Imam Malik meng-isyaratkan Kaidah Ushul Fiqihnya di dalam beberapa fatwa yang dikeluarkannya dan dalam soal-soal serta Hadist-hadist baik itu yang muttasil, munqati', atau mursal isnad juga Hadist balaghat 88, walaupun beliau tidak menjelaskan kaidah Ushul Fiqihnya atau mempertahankan serta menjelaskan asal-usul yang menjadi sebab pengambilan Kaidah Ushul Fiqih yang digunakannya juga sebab kenapa Imam Malik menggunakan kaidah yang demikian. Misalkan, dalam Kitab al-Muwatta ada Hadist-hadist mursal, munqati', dan balaghat tetapi tidak dijelaskan bagaimana Imam Malik memilih Hadist-hadist tersebut karena kitab alMuwatta tidak membahas persoalan tentang isnad. Imam Malik sering meriwayatkan Hadist mursal dan Hadist balaghat tanpa mempersoalkannya. Ini karena perhatian terbesar Imam Malik dalam memilih Hadist adalah memilih Perawi. Yakni ketika Imam Malik yakin dengan sifat baik, kecerdasan, dan pengetahuan dari si Perawi, maka Imam Malik meniadakan perlunya mempersoalkan sanad dari Hadist yang diriwayatkannya. Imam Malik mengambil praktik keseharian dari penduduk Madinah ('Amal Madinah) sebagai Sumber Hukum dan menjelaskan asal-usul yang menyebabkannya mengambil cara yang demikian. Kitab al-Muwatta menunjukkan bahwa Imam Malik menggunakan 'Amal Madinah dalam membuat Qiyas (analogi). Dengan demikian dalam kitab al-Muwatta Anda akan mendapati Pernyataan Jelas atau Isyarat dari Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Aturan Hukum atau Keputusan Hukum, sekalipun Imam Malik tidak benar-benar menjelaskan atau menetapkannya secara khusus. Misal, Imam Malik tidak menjelaskan 'Illat89 dalam Qiyas dan yang semacamnya. Fuqaha Maliki telah menetapkan Aturan Hukum syariat sebagaimana para Fuqaha Hanafi telah lakukan, yakni mempelajari Aturan Sekunder90 dan menghasilkan Ushul Fiqih guna menghasilkan Aturan Hukum Syariat. Fuqaha Maliki menyebut Ushul Fiqih ini sebagai 'Ushul Fiqih Maliki'. Misalkan, Fuqaha Maliki me-ngatakan bahwa Imam Malik menggunakan Asas-asas Tekstual tertentu yang disebut 'Mafhum Mukhalafah' (penafsiran yang menyimpang dari makna jelas teks yang diberikan), 'Fahwa al-Khatab' (makna tersirat dari teks yang diberikan), dan 'Dzahir' (makna samar dari teks yang diberikan). Mereka berkata bahwa Imam Malik juga menyebutkan tentang teks umum yang tidak dikhususkan (general unspecific texts). Yang sebenarnya adalah: Walaupun Asas-asas ini diriwayatkan sebagai telah 86 Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Hukum Syariat' merupakan terjemahan dari Ushul Fiqih dalam bahasa Inggrisnya adalah Fundamental Principles 87 Dengan demikian, mempelajari Ushul Fiqih dalam Madzhab Syafi'i adalah wajib jika bermaksud untuk menghasilkan 'Aturan Hukum Syariat' tentang suatu persoalan. 88 Hadist Balaghat adalah hadist yang dicirikan dengan kata 'Balaghanii', banyak terdapat dalam Kitab alMuwatta yang disusun oleh Imam Malik 89 Tujuan penetapan hukum 90 Aturan Sekunder secondary rule, yakni istilah dalam disiplin 'Ilmu Hukum' untuk tata cara dalam penyusunan aturan hukum Primary rule.
91
dirumuskan oleh Imam Malik, kenyataannya berasal dari Aturan-aturan sekunder yang diriwayatkan dari Imam Malik; dan bukti khusus bahwa Asas-asas ini berasal dari Konteks Aktual91 yang dirumuskan oleh Fuqaha yang datang setelah Imam Malik. Penarikan Kesimpulan dari Teks hanya dapat sah ketika bukti yang diperlukan ada.92 Kita tidak wajib harus menerima Kaidah-kaidah ini sebagai Ilmu Ushul Fiqih Maliki karena kaidah-kaidah tersebut merupakan rumusan dari para ulama yang datang setelah Imam Malik tetapi tidak pula membantahnya, selain itu Kaidah-kaidah tersebut juga tidak diriwayatkan oleh Imam Malik sendirian. Namun kita terikat untuk menolak Kaidah-kaidah yang menurut kita berlawanan dengan Kaidah yang sudah jelas maupun Pernyataan Tegas yang sudah pasti dibuat oleh Imam Malik atau Kaidah-kaidah yang berlaku bagi beberapa Aturan Sekunder yang dibuat oleh Imam Malik walaupun tidak menyeluruh. Kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang digunakan oleh seorang ulama hendaknya diambil dan dihormati kecuali jika terdapat Kaidah Ushul Fiqih Maliki yang sudah jelas, yang bertentangan dengan Kaidah dari ulama tersebut. Dalam hal yang demikian kaidah ulama tersebut harus ditolak jika terbukti ber-tentangan dengan Kaidah Ushul Fiqih Maliki yang sudah jelas diterima93. Kaidah Ilmu Ushul Fiqih Maliki tertulis di berbagai Kitab Ilmu Ushul yang ditulis oleh para pengikut Maliki serta tertulis pula pada Syarah Kitab-kitab Ushul tersebut yang dilakukan oleh pengikut Maliki lainnya. Mereka menjelaskan setiap Kaidah di mana di situ ada pendapat Imam Malik 'Begini dan Begini' tetapi Kaidah itu kenyataannya hanya disimpulkan dari Aturan Sekunder. Di dalam kitab at-Tanqih, Anda akan melihat bahwa al-Qarafi menyebutkan sebuah Kaidah dan kemudian menyertakan pendapat Imam Malik tentang Kaidah Ushul Fiqih itu yang bisa beda atau sama dengan Pandangan Mayoritas. Kumpulan Pendapat yang mendominasi Ushul Fiqih Madzhab Maliki itu, sekuat apapun dinyatakan penentuan sebabnya berasal dari Imam Malik, adalah tanpa diragukan menjadi Landasan tempat para pengikut Maliki berlabuh dan dari situlah Hukum Syara' madzhab Maliki berasal, baik itu para ulama dari generasi awal ataupun yang datang kemudian, dalam madzhab yang sangat produktif ini94. Kami akan menjelaskan Ilmu Ushul secara umum kemudian menuju kepada be-berapa rincian untuk memperagakan asas-asas mendasar untuk menghasilkan kesimpulan dalam Madzhab Maliki, alasan untuk mengembangkan dan me-nyebarkannya, sejumlah besar pertanyaan yang dengannya dihasilkan ke-simpulan itu dan kesesuaiannya untuk berbagai lingkungan. Kami akan ber-usaha untuk menjernihkan asas-asas yang khusus baginya dan yang dipertimbangkan menjadi salah satu yang membedakannya dari madzhab lain dan memberinya kelenturan yang tidak ditemukan pada madzhab lain bahkan melaluinya sebuah madzhab yang didirikan di atas 'Amal yang merupakan kelebihan Madzhab Maliki dari Madzhab lain. Dalam kitab Tartib al-Madarik Qadi 'Iyad menjelaskan landasan umum Fiqih Islam yakni: 91 Konteks aktual yang dimaksud adalah karya-karya dari Imam Malik 92 Maksud dari paragraf ini adalah: Imam Malik tidak pernah merekam Kaidah Ushul Fiqih. Kaidah Ushul Fiqih Maliki disusun oleh para pengikut Imam Malik yang datang sesudah Imam Malik. 93 Dengan kata lain, ini adalah penolakan berdasarkan ukuran, dalam hal ini ukurannya adalah Kaidah Ushul Fiqih Maliki. 94 Maksudnya adalah, walapun para ulama Maliki menyatakan semua kaidah ushul fiqih dirumuskan oleh Imam Malik, namun kenyataannya tidak demikian, itu adalah bentuk penghormatan murid kepada guru. Yang jelas, kaidah ushul fiqih Maliki diperlukan sebagai landasan berpijak bagi para ulama Maliki dalam menghasilkan Aturan-aturan Hukum Syariat (Hukum Syara'). Dan para ulama Maliki sangat produktif dalam hal ini.
92
1- al-Quran, : Teks Gamblang (Nushus jamak dari Nash), Teks Samar (Dzawahir jamak dari Dzahir) dan Makna Tersirat (Mafhumat); 2- Sunnah – Mutawatir (Periwayatan Ganda), Termasyhur (Masyhur) dan Hadist Tunggal; 3- kemudian Ijma, 4- kemudian Qiyas. Kemudian beliau menjelaskan Asas-asas yang digunakan oleh Imam Malik beserta kedudukan dari Asas-asas tersebut. Jika Anda melihat langsung pada Metode dari para Imam ini dan Penetapan Asas-asas mereka dalam Fiqih dan Ijtihad dalam Ilmu syari'at, Anda akan menemukan bahwa Imam Malik menekuni Metodologi yang Jelas sehubungan dengan Asas-asas ini dan menempatkan mereka menurut tingkatannya secara berturut-turut. Imam Malik meletakkan Kitab Allah di urutan Pertama dan me-nyandingkan 'Amal dengan Kitab Allah, menempatkan Keduanya sebelum Qiyas dan Pendapat. Imam Malik meninggalkan Riwayat apapun yang dianggap Tidak Sah oleh orang yang masyhur ke'alimannya, atau ketika dia temukan bahwa sebagian besar penduduk Madinah melakukan sesuatu yang berbeda dan berlawanan terhadap riwayat itu. Imam Malik tidak menaruh perhatian pada orang-orang yang menafsirkan hal-hal menurut pendapat mereka sendiri95. Imam Malik secara tegas menyatakan bahwa aturan berdasarkan Pendapat semacam itu adalah Salah dan Tidak Berdasar (Tartib al-Madarik, p. 16) . Qadi 'Iyad juga mengurutkan dasar Madzhab Imam Malik sebagai Kitab dan Sunnah, Praktik/Amalan/Kebiasaan Penduduk Madinah dan Qiyas, tetapi tidak menyebutkan yang lainnya. Qadi 'Iyad tidak menyebutkan Ijma' atau Asas-asas Metodologis lainnya yang membedakan Madzhab Maliki, seperti Masalih Mursala, Sadd adh-Dhara'i, Adat-istiadat ('Urf), dan Asas-asas Tertentu Lain yang orang lain telah sebutkan. Dalam Syarah kitab al-Bahja Enambelas Asas-asas Mendasar diurutkan sebagai berikut: • Makna Gamblang Teks (Nash) al-Qur'an. • Makna Samar (Dzahir) yang berasal dari Teks yang Umum dan Tidak Khusus. • Teks yang dijadikan Bukti (Dalil), yang mungkin memiliki Penafsiran yang Menyimpang dari Makna Jelasnya. • Makna yang Terkandung (mafhum) dalam Teks, yang memiliki Makna Tambahan bertepatan dengan Makna Jelasnya. • Teks yang Menjelaskan (Tanbih), yang meriwayatkan Alasan Pokok untuk Hukum Syara' (seperti pernyataan 'Itu Najis'). • Lima kategori yang sama sehubungan Sunnah; • Konsensus (ijma'). • Analogi (qiyas). • Amal/perilaku/kebiasaan Penduduk Madinah ('Amal Ahli'l-Madinah). • Ucapan Sahabat (Qawl as-Sahabi) • Memilih meninggalkan Qiyas Jali dan menggantikannya dengan Qiyas Khafi, atau Ketentuan yang Kulli kepada Ketentuan yang Ististna'i karena menurut Mujtahid itu ada Alasan yang Lebih Kuat (Istihsan) • Melarang perbuatan yang dibolehkan karena khawatir terjerumus pada perbuatan yang dilarang (Sadd adh-Dhara'i'). • Ada ketidaksepakatan tentang Asas Ketujuhbelas yakni 'Menghormati Perbedaan Pendapat' (Muroatul Khilaf) Abu'l-Hasan berkata bahwa 'Istishab'(Menetapkan Hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya) adalah salah satu dari mereka. (al-Bahja, p. 126, vol. 2) 95 Seperti para ulama Modernis dan Reformis Islam yang akan dibahas pada Pembahasan Utama berkenaan dengan Masalah Riba
93
Daftar ini adalah Bersifat Logis. Teks yang Tegas dari al-Quran (Nash), dan Teks Samar (Dzahir), Buktinya, dan Penjelasannya adalah terhubung semuanya kepada Sumber Mendasar yang sama, Qur'an, dan Lima Unsur yang Sama juga berlaku pada Sunnah. Semua itu dijelaskan secara tersendiri karena tidak memiliki bobot yang sama ketika penarikan kesimpulan dipertimbangkan. Makna Samar (Dzahir) teks Qur'an tidaklah sekuat Makna Tegas (Nash) dan suatu Teks yang dapat memiliki Makna Menyimpang (Berlainan) tidaklah sekuat Teks Bermakna Gamblang (Jelas) dan seterusnya. Dalam kitab at-Tabaqat, as-Subki menyatakan bahwa ada lebih dari Lima Ratus Asas-asas Mendasar dalam Madzhab Maliki. As-Subki tentu mengacu pada Qowa'id (Kaidah-kaidah) yang berasal dari Aturan Sekunder. Ada perbedaan antara Qowa'id Aturan Sekunder dengan Ushul Fiqih Maliki. Ushul fiqih Maliki adalah sumber bagi penarikan kesimpulan (deduksi), Metode Deduksi yang juga melibatkan Tingkat Kekuatan Sumber Hukum dan Pemilihan Sumber Hukum mana yang lebih didahulukan ketika Sumber-sumber Hukum itu saling berlawanan. Qowa'id Aturan Sekunder adalah Peraturan Umum yang menjelaskan Metode Pengujian Ijtihad dalam Madzhab dan Ikatan-ikatan yang menghubungkan Perkara-perkara kecil yang terkait. Qowa'id Aturan Sekunder adalah Konsep Baru dan saat ini menggantikan Aturan Sekunder karena Qowa'id Aturan Sekunder adalah Asas-asas Pemersatu yang dihasilkan dari Aturan Sekunder. Adalah jelas bahwa Ilmu Ushul harus ada sebelum Aturan Sekunder karena Ilmu Ushul adalah Syarat Sah yang digunakan oleh Faqih dalam Penarikan Kesimpulan. Jadi Qur'an adalah lebih dahulu sebelum Sunnah, Nash Qur'an adalah Lebih Kuat daripada Dzahir Qur'an dan semua prosedur lain yang digunakan dalam membuat Ijtihad. Faktanya adalah walaupun Asas-asas ini diungkapkan oleh Aturan Sekunder namun tidak menandakan bahwa Aturan Sekunder mendahului Asas-asas. Namun lebih kepada Asas-asas ini ada lebih dulu dan Aturan Sekunder berfungsi Menandai dan Mengungkap Asas-asas sebagaimana anak-anak menandai orang tua mereka dan buah menandai pohonnya serta biji-bijian menandai jenis bijinya. Penomoran paling tepat dari Asas-asas dalam Madzhab Maliki adalah sebagaimana yang diberikan oleh al-Qarafi dalam kitabnya Tanqih al-Ushul. Al-Qarafi menyatakan bahwa Asasasas yang Mendasari Madzhab Maliki adalah: 1- Qur'an, 2- Sunnah, 3- Kesepakatan Penduduk Madinah, 4- Qiyas, 5- Qoul Sahabat, bersama dengan Masalih Mursala (Pertimbangan Kepentingan Umum), 6- 'Urf (Adat-istiadat) 7- 'Adat (Penggunaan Umum), 8- Sadd adh-Dhara'i (Melarang perbuatan yang dibolehkan karena khawatir terjerumus pada perbuatan yang dilarang), 9- Istishab (Menetapkan Hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya), dan 10- Istihsan (Memilih meninggalkan Qiyas Jali dan menggantikannya dengan Qiyas Khafi, atau ketentuan yang Kulli kepada ketentuan yang Ististna'i karena menurut Mujtahid itu ada alasan yang lebih kuat)
94
Pentingnya Sunnah dalam Penafsiran Qur’an Qur'an adalah keseluruhan Syariah, Pelindung Agama, Sumber Kebijaksanaan, Tanda keNabian (Mukjizat) serta Cahaya Mata dan Hati. Tidak ada Jalan Keselamatan kecuali Jalan Qur'an. Anda harus melepas pegangan apapun yang berlawanan dengan Qur'an. Tidak satupun dari pernyataan-pernyataan di atas memerlukan penegasan atau penarikan kesimpulan karena telah lazim diketahui dalam Agama dan di kalangan kaum Muslimin. Dikarenakan demikian adanya, siapapun yang ingin melengkapi Pengetahuan Syariat dan ingin memahami Tujuan Hidupnya dan termasuk golongan orang-orang yang Mengikuti Qur'an, maka harus mengambil Qur'an sebagai Pendamping Setianya siang dan malam, dalam pencarian kebenaran dan tindakan... Jika seseorang mampu untuk melakukannya, dia akan segera memiliki murid dan mendapati dirinya berada di antara Para Pendahulu (al-Awwaluun). Dia tidak akan mampu melakukan itu tanpa dibantu oleh Sunnah yang menjelaskan Kitab, yakni karya-karya dari para Imam Awwal (seperti Imam Malik) dan Kaum Salaf (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in), yang akan membimbingnya dalam tujuan mulianya. (p. 247, vol. 3) Demikianlah Pandangan Imam Malik mengenai Qur'an. Sehingga Imam Malik hanya membaca Qur'an atau meriwayatkan Hadist atau menghasilkan Fatwa dari Qur'an dan Hadist untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Imam Malik tidak memandang Qur'an dengan Pandangan Mendebat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata bahwa Qur'an terdiri dari Ungkapan dan Makna atau hanya Makna 96; demikian pula Imam Malik tidak terlibat dalam diskusi apapun dengan Mutakallimun tentang Qur'an sebagai Makhluk karena Imam Malik tidak menganggap persoalan yang demikian untuk diperdebatkan. Imam Malik percaya bahwa kapanpun seorang manusia beradu pendapat dengan manusia lain mengenai hal ini, dia telah mengurangi keyakinan bahwa malaikat Jibril telah menyampaikan Wahyu kepada Muhammad shallallahu'alayhiwasallam. Dalam hal Hukum Syara' yang diambil dari Kitab Allah, seorang Pengambil Hukum Syara' harus mempelajari Susunan Bahasa Qur'an, Sifat Dasar Ayat yang ada dalam Qur'an, Makna yang Disampaikan oleh Ayat tersebut, Makna Sebuah Ayat berdasarkan Ungkapannya (ekspresi), dan Tujuan dari Ayat tersebut. Karena itu seorang Pengambil Hukum Syara' harus mengenali Makna Ungkapan seperti sifat Kesegeraaan dan sifat, yang mana sifat-sifat itu menerangkan persoalan yang dibahas oleh Ayat tersebut. Setiap penggalan Ayat memiliki Tempatnya sendiri dalam keseluruhan Uraian dan juga Derajat Kekuatan Tertentu. Menghasilkan Hukum Syara' dari Qur'an memerlukan pemahaman terhadap semua yang disebut di atas. Imam Malik mengetahui bahwa Qur'an mengandung semua Syariat dan bahwa Sunnah adalah penjelasan terhadap Qur'an. Qur'an tidak dapat dipahami dengan benar dan menyeluruh kecuali jika Penjelasnya yakni Sunnah Nabi dilibatkan untuk memahami Qur'an. Imam Malik haus akan Sunnah itu, bukan semata karena Sunnah adalah Sumber Hukum Islam Kedua, tetapi karena Sunnah juga menjelaskan serta menguraikan Qur'an dan memberikan Rincian Khusus bagi Yang Umum dan Membatasi yang Tidak Terbatas. Qur'an adalah dalam bahasa Arab dan diwahyukan dalam bahasa Arab. Penduduk Arab yang demikian fasih saja memandang bahwa keindahan Qur'an tidak dapat ditiru dan membuat semua orang yang berusaha menirunya kewalahan. Imam Malik menganggap Tidak Pantas bagi seseorang untuk mencoba menjelaskan Qur'an kecuali jika orang itu memiliki 96 Yang berpendapat bahwa Qur'an hanya Makna, menganggap bahwa Terjemah Qur'an ke bahasa apapun diterjemahkan adalah Qur'an juga
95
Pengetahuan Mendalam tentang Bahasa Arab, Perbedaan-perbedaan Dialek, dan Gaya Penyampaian. Sunnah adalah Jalan Lurus untuk Meresapi Makna Kitab. Itulah sebabnya Tidak Benar untuk Berpedoman Hanya kepada Qur'an tanpa mencari bantuan penjelasan dari Sunnah. Demikianlah sedikit pengantar mengenai Hukum. Berikutnya kita akan memasuki bahasan utama yakni tentang Riba. Sedikit Gambaran Kehidupan Modern Saat Ini Secara umum diasumsikan bahwa dari sudut pandang kesejahteraan material, hal-hal tidak pernah lebih baik dari hari ini. Meskipun demikian pembunuhan besar-besaran terjadi di berbagai negara dengan digunakannya senjata pemusnah massal pada penduduk, pembantaian massal ekosistem dan fauna, serta korban kelaparan terbesar dalam sejarah manusia terjadi saat ini. Semua penderitaan masa lalu dan kini97 dilupakan karena digembar-gemborkannya standar hidup manusia sekarang melebihi semua zaman. Tetapi standar hidup itu tidak sama bagi semua orang di dunia. Pada saat perbaikan materi telah dicapai bagi sejumlah kecil orang, sebagian besarnya lagi masih hidup dengan batasan minimal 2 dollar per hari. Ketidakseimbangan kesejahteraaan ini bergandengan tangan dengan ketidakseimbangan militer dan politik yang menghasilkan satu negara besar kuat menjadi pengatur dunia. Selama masa beralihnya kesejahteraan hanya kepada beberapa gelintir orang saja ini, Umat Muslim telah kehilangan status politik dan ekonomi yang begitu makmur di masa lalu. Kesatuan politik yang diwakili oleh Kekhalifahan yang memberikan umat Muslim kehebatan dalam segenap urusan duniawi, dihancurkan, dan sebagai gantinya terpecah belah menjadi negara-negara kecil di bawah PBB. Penghasilan sebagian besar manusia digabungkan dengan GDP nya tidak mencapai 1/10 nya Amerika. Secara politik juga terpecah belah dan menjadi pecundang dalam penghasilan ekonomi. Umat Muslim menghadapi ketertindasan dalam sistem ekonomi saat ini. Di bawah rejim ini, erosi terus-menerus kehidupan budaya dan sosial adalah tidak dapat dihindari yang menghasilkan kemarahan dan frustasi kaum muda. Ketidakseimbangan sistem ekonomi saat ini dihasilkan dari dibuangnya ke-terkaitan ekonomi dari politik. Sistem ekonomi yang menyebabkan ke-tidakseimbangan dibiarkan begitu saja, sedangkan tirani politik individu (diktator) menjadi fokus perjuangan politik untuk digulingkan. Dalam keadaan seperti ini, sistem ekonomi yang begitu zalim, tidak ada yang mempertanyakan dan karena itu keberlanjutan kezalimannya juga dibiarkan. Inti dari sistem ketidakseimbangan inilah yang disebut Kapitalisme. Kapitalisme adalah berdasarkan pada Riba. Riba sendiri adalah ketidakseimbangan. Riba tersistem melalui perbankan, telah merubah kontrak-kontrak bisnis kriminal yang dilegalkan lewat undangundang Negara Fiskal, menjadi alat untuk mendominasi ekonomi. Selama kita masih menjadi budak riba, masyarakat Muslim kita akan tetap diperbudak. Sebuah masyarakat yang salah paham tentang dinamika dunia saat ini akan menemukan bahwa sulit untuk berfokus dalam Penentuan Tujuan. Semua tujuan tersapu bersih oleh emosi yang ada saat sekarang ini. Dan perbuatan yang diniatkan baik hilang karena kurangnya Arah Panduan. Dalam keadaan ini, tidak ada usaha apapun yang membuahkan hasil. 97 Perang Dunia, Depresi Ekonomi, Perang Dingin dll.
96
Memahami Riba adalah penting untuk memahami kapitalisme. Pemahaman Islam mengenai Riba membuka jalan untuk mengembalikan Muamalah dan dengan demikian menciptakan alat untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi. Riba bukan hanya negatif. Riba membuka jalan bagi dihalalkannya semua transaksi haram. Ketika Umat Muslim bingung mana yang Halal dan mana yang Haram, musuh Islam dengan mudah menghancurkan semua usaha umat Islam untuk berbuat baik. Dalam dokumen ini kami ingin menyalakan sedikit cahaya korek api untuk menerangi gelapnya Hutan Belantara Riba supaya minimal tergambar satu langkah ke depan untuk menuju Muamalah. Allah SWT Berfirman dalam al-Qur'an: “Wa ahallallahul bai'a wa harramar riba” Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba Riba adalah Lawan dari Perdagangan, Riba adalah sebentuk korupsi dalam perdagangan. Perdagangan tidak dapat berjalan bersama dengan Riba, begitu pula riba tidak dapat berjalan dengan perdagangan. Namun Riba telah menjadi Inti Wajah Kaum Kafir hari ini: Kapitalisme. Karena alasan ini, riba adalah isu politik paling penting yang dihadapi umat Muslim hari ini. Riba mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan kejahatan riba dapat dilacak jejaknya kepada dua institusi: Bank dan Negara. Meskipun penting, pemahaman ini masih menetap di awangawang bagi kebanyakan Muslim. Kebanyakan orang dengan sederhana berfikir bahwa riba hanya sekedar bunga. Realitas riba yang sesungguhnya adalah jauh lebih rumit dari sekedar bunga. Kesalahpahaman ini bukan terjadi begitu saja. Kesalahpahaman ini adalah hasil dari proses pendidikan yang salah dan indoktrinasi yang menghasilkan dua fenomena: Pertama: Penghancuran kekuatan politik Kekhalifahan, dan Kedua: Proses Reformasi Islam yang mengikuti hancurnya Kekhalifahan. Kesalahpahaman ini membuka gerbang untuk meng-Islamkan institusi terpenting Kapitalisme: Bank. Sedangkan dalam Muamalah institusi terpentingnya adalah Pasar Terbuka. Pendefinisian ulang Riba membuat para penyokong bank Syariah untuk membenarkan perbuatan riba mereka. Karena itulah penting untuk beralih kepada pemahaman yang benar dalam istilah riba ini menurut Fiqih, supaya kita semua dapat melihat apa yang HARAM dan apa yang HALAL. Ini sangat penting untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh kapitalisme, dan kekuasaan ilusi yang dibangun oleh kapitalisme. Kami akan mencoba untuk menerangkan sejelas mungkin Isu Riba dalam Hukum Syariah (Hukum Syara') dan untuk membetulkan kembali kesalahpahaman yang diciptakan oleh para ulama reformis dan modernis. Riba dalam bahasa Arab, secara kata berarti 'Kelebihan'. Qadi Abu Bakr ibnu al-Arabi dalam “Ahkamul Qur'an” mendefinisikan riba sebagai: 'Setiap kelebihan nilai barang yang diberikan atas nilai dari barang yang diterima. Kelebihan ini merujuk kepada dua perkara: 1] manfaat lebih yang timbul dari kelebihan yang tidak dapat dibenarkan dalam berat dan ukuran 2] manfaat lebih yang timbul dari penundaan yang tidak dapat dibenarkan Ibnu Rusyd berkata:
97
“Para Fuqaha sepakat tentang riba dalam perdagangan terdiri dari dua jenis: Penundaan (Nasi'ah) dan Kelebihan yang Ditetapkan (Tafadul).” Karena itu riba ada dua: 1] Riba al-Fadl (kelebihan dari surplus) 2] Riba al-Nasiah (kelebihan dari penundaan) Riba al-Fadl merujuk kepada Jumlah. Riba al-Nasiah merujuk kepada Penundaan Waktu. Riba al-Fadl sangat mudah dimengerti. Dalam sebuah Utang, Riba al-Fadl adalah Bunga yang dikenakan. Tetapi secara umum, Riba al-Fadl digambarkan: Ketika Pihak Pertama meminta Tambahan atas barang yang diterima. Contoh: Pihak Pertama memberikan sesuatu senilai 100 untuk mendapatkan kelebihan misal menjadi 110. Juga Haram ketika terjadi dua penjualan dalam satu kontrak (dikenal sebagai dua transaksi dalam satu transaksi). Juga Haram ketika Pihak Pertama mewajibkan penjualan sesuatu pada satu harga dan menjual kembali setelah beberapa waktu kepada penjual semula dengan harga yang dikurangi. “Para Modernis dan Reformis” telah melakukan “Akrobat Fiqih 98” untuk menyamarkan Riba sebab peminjaman uang ke bank terlalu kentara ribanya. Akrobat Fiqih yang dimaksud salah satunya adalah pada kontrak Murabahah ala Bank Syariah yang sebetulnya adalah Hutang Berbunga atas dasar Penundaan Waktu. Riba al-Nasiah adalah lebih halus. Riba al-Nasiah adalah kelebihan waktu (penundaan) buatan yang ditambahkan pada transaksi. Riba al-Nasiah adalah penundaan yang tidak dapat dibenarkan. Riba al-Nasiah merujuk pada Kepemilikan ('ayn) dan Hutang (dayn) atas alat pembayaran (emas, perak dan bahan makanan pokok yang digunakan sebagai alat pembayaran). ‘Ayn adalah barang dagangan yang nyata, sering dirujuk sebagai Tunai. Dayn adalah janji pembayaran atau hutang atau apapun yang pembayarannya ditunda. Menukar (sarf) dayn dengan ‘ayn adalah sejenis Riba al-Nasiah. Menukar dayn dengan dayn juga Haram hukumnya. Dalam sebuah kegiatan Tukar-menukar hanya diijinkan menukar ‘ayn dengan ‘ayn. Penjelasan ini didukung oleh banyak Hadist. Imam Malik meriwayatkan dalam kitab alMuwatta99: “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia telah mendengar bahwa alQasim ibnu Muhammad berkata, "'Umar ibnu al-Khattab berkata, 'Se-dinar dengan sedinar, dan se-dirham dengan se-dirham, and se-sa' dengan se-sa'. Sesuatu untuk dikumpulkan kemudian tidak untuk dijual untuk sesuatu yang ada di tangan.'" Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa Abuz-Zinad mendengar Sa'id al Musayyab berkata "Riba yang hanya ada pada emas atau perak atau sesuatu yang ditimbang dan diukur dari sesuatu yang dimakan dan diminum."
98 Pendefinisian ulang kontrak-kontrak Muamalah seolah-olah itu adalah Islami untuk menipu pelanggan terutama umat Muslim yang haus akan transaksi yang Syar'i. Istilah ini dinukil dari Amir Zaim Said @ZaimSaidi http://twitter.com/ZaimSaidi 99 Kitab al-Muwatta adalah salah satu dari Kutubus Sittah. Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata: Setelah Kitab Allah, tidak ada yang lebih penting dari kitab al-Muwatta.
98
Sedangkan ulama Madzhab Hanafi Abu Bakr al-Kasani (wafat. 587H) menulis: “Adapun untuk riba al-nasa’ yakni perbedaan (kelebihan) antara akhir penundaan dan periode penundaan dan perbedaan (kelebihan) antara Kepemilikan (‘ayn) dan Hutang (Dayn) dalam hal-hal yang diukur dan ditimbang dengan jenis yang berbeda dan juga dalam hal-hal yang diukur dan ditimbang dengan keseragaman jenis. Adapun menurut Imam Asy-Syafi’i (rahimahullah) , “Riba adalah perbedaan antara akhir periode penundaan dalam bahan makanan dan logam berharga (dengan nilai kurs) secara rinci.”' Riba al-nasiah secara khusus mengacu kepada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf) pada jenis yang sama. Tetapi keharamannya diperluas kepada Jual-Beli secara umum ketika dayn yang mewakili ayn melewati batasan ‘dibolehkannya penggunaan secara pribadi’ dan menggantikan‘ayn sebagai alat tukar. Imam Malik, rahimahullah, menggambarkan hal ini dalam kitabnya 'Al-Muwatta': 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibnu al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orangorang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.' Zayd ibnu Thabit secara khusus menyebut Riba kepada Nota-nota utang itu (dayn) 'yang orang-orang perdagangkan sebelum mengirim barang-barang'. Adalah diijinkan menggunakan emas dan perak atau bahan makanan untuk melakukan pembayaran, tetapi Anda tidak dapat MENGGUNAKAN janji pembayaran. Di dalam Janji Pembayaran terkandung kelebihan yang tidak diijinkan. Jika Anda memiliki dayn, Anda harus menarik dulu ‘ayn yang diwakili oleh dayn itu baru kemudian dapat bertransaksi. Anda tidak dapat menggunakan dayn sebagai uang. Secara umum Aturan Islamnya adalah ‘Anda tidak boleh menjual Sesuatu yang Ada dengan Sesuatu yang Tiada. Praktek semacam ini disebut Rama’dan itu adalah Riba. Imam Malik melanjutkan: 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari ‘Abdullah ibn Dinar dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa ‘Umar ibn al-Khattab berkata: “Jangan menjual Emas dengan Emas kecuali Semisal dengan Semisal. Dan jangan mengambil kelebihan darinya. Jangan menjual Perak dengan Perak kecuali Semisal, dan jangan mengambil kelebihan darinya. Jangan menjual ‘Sesuatu yang Ada’ dengan ‘Sesuatu yang Tiada. Jika seseorang memintamu menunggu pembayaran sampai dia masuk ke rumah, jangan meninggalkannya. Saya takutkan Rama’ padamu. Rama adalah Riba.”' Rama’ hari ini adalah praktek yang lazim di pasar-pasar kita. Mata uang Dayn (uang kertas, nota utang) telah menggantikan penggunaan mata uang‘ayn (Dinar, Dirham). Praktek hari ini adalah apa yang Umar ibn al-Khattab maksudkan ketika dia berkata 'Saya takutkan Rama’ padamu.'
99
Menjual dengan Penundaan bukan hanya di-Haramkan pada logam, termasuk juga Makanan. Malik berkata, 'Rasulullah SAW, melarang menjual makanan sebelum melakukan pengiriman terhadap makanan tersebut.' Karena itu apa yang di-haramkan dalam Riba al-nasiah, adalah Penambahan dari Penundaan yang dibuat-buat yang bukan sifat alami transaksi. Apa yang dimaksud dengan ‘Dibuat-buat’ dan ‘Sifat alami transaksi? Setiap transaksi memiliki fitrahnya masing-masing dari segi Waktu dan Harga. Berikut ini Penjelasannya: Dalam Utang-piutang, dihalalkan adanya Penundaan tetapi Diharamkan adanya Kelebihan Jumlah. Seseorang meminjamkan sejumlah uang, kemudian setelah beberapa waktu, pinjaman itu dikembalikan tanpa Penambahan. Dalam Utang-piutang, Kelebihan Waktu adalah Halal, tetapi Penambahan Jumlah Pembayaran adalah Haram. Ini adalah Riba al-Fadl. Dalam Tukar-menukar Tiada Penundaan dan Tiada Kelebihan Jumlah. Satu Pihak menyerahkan sejumlah uang Tanpa Penundaan dan Jumlah yang Sama diberikan oleh Pihak Lainnya Tanpa Penundaan Pula. Penundaan adalah Haram dalam Tukar-menukar. Jika ingin penundaan menjadi Halal, maka transaksinya harus dirubah menjadi Utang-piutang. Anda tidak dapat menyebut Utang-piutang sebagai ‘Tukar-menukar yang Ditunda. Penundaan dalam Tukar-menukar adalah Riba al-Nasiah. Sewa-menyewa melibatkan Penundaan dan Kelebihan sekaligus dan itu Halal. Ketika Anda menyewa rumah, Anda Mengambil-alih Kepemilikan rumah selama beberapa waktu (kelebihan waktu) dan Anda menyerahkan kembali kepada pemilik rumah itu atas Kepemilikan Rumah selama beberapa waktu ditambah (kelebihan) pembayaran uang sewa. Kelebihan-kelebihan ini baik itu Waktu dan Jumlah uang yang dibayarkan adalah Halal. Tetapi Anda hanya dapat menyewa ‘Barang-barang yang dapat disewakan’. Anda dapat menyewa mobil, rumah, kuda, tetapi Anda tidak dapat menyewa uang atau bahan makanan (barang-barang yang fungible). Berpura-pura menyewakan uang adalah ‘Merusak Fitrah Transaksi’ dan itu menjadikannya sebagai Riba. Dengan demikian setiap transaksi memiliki fitrahnya masing-masing. Anda tidak dapat mengambil sifat alamiah suatu transaksi dan menerapkannya pada transaksi lain tanpa ‘Merusak Fitrah Transaksi’. Menambahkan sifat-sifat yang tidak dapat dibenarkan atau kelebihan kepada sebuah transaksi adalah Riba. Dikarenakan Dayn itu sendiri adalah suatu Penundaan, penggunaan dayn adalah Haram digunakan sebagai alat pembayaran (uang). Adapun hukum dayn itu sendiri adalah Halal, yang diharamkan adalah menggunakannya sebagai uang. Dayn adalah Kontrak Pribadi antara dua individu dan Harus Tetap Pribadi. Transfer Dayn dari satu orang kepada orang lain dapat dilakukan secara Islami, tetapi dengan cara Penghapusan Dayn Pertama baru setelah itu dapat Menciptakan Dayn Berikutnya. Dayn diharamkan Beredar Bebas. Pemilik Dayn harus mencairkan kepemilikan uang yang diwakili oleh dayn yang dipegangnya sebelum bertransaksi. Dayn Haram digunakan dalam Tukar-menukar dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Dan secara khusus di-haramkan menggunakan dayn untuk membayar zakat.
100
Kesalahpahaman Reformis Islam dalam Memahami Riba Para Reformis dan Modernis Islam telah Sengaja menyamakan Riba dengan Riba al-Fadl dan menyepelekan Riba al-nasiah. Ucapan ‘Riba adalah Bunga’ adalah bagian dari kesalahpahaman ini. Kesalahpahaman mereka diawali oleh para Reformis awal, terutama Rashid Redha. Rashid Redha mengajukan klasifikasi baru mengenai Riba. Redha membuat perbedaan dalam perlakuan hukum yakni apa yang dia sebut ‘Riba berdasarkan Qur’an’ dan ‘Riba berdasarkan Sunnah’. Redha mengajukan bahwa Bentuk Pokok Riba adalah diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sebaliknya, Sunnah mengharamkan Riba yang Lebih Ringan - menurutnya – Apa yang Secara Umum Diharamkan (Haram) tetapi Dibolehkan (Mubah) karena suatu keharusan (darurah). Ridha mengajukan bahwa Riba yang diharamkan oleh Qur’an adalah Riba Jahiliyah. (yakni ketika seorang penjual tidak dibayar hak nya setelah waktu yang ditentukan, penjual tersebut akan menaikkan harga) yang secara salah telah dia samakan dengan riba al-nasiah. Dan dia secara salah mengatakan bahwa Riba al-nasiah hanya haram ketika melibatkan Bunga Majemuk, dan karenanya Bunga Tunggal dia hukumi sebagai Mubah (boleh). Dia kemudian mengeluarkan Hukum Syara' bahwa Bunga Tunggal yang dikenakan atau dibayarkan oleh Bank sebagai Tidak Haram dalam artian Mubah berdasarkan Ketetapan dari Qur’an semata Tanpa Menyertakan Sunnah dalam pengambilan Hukum Syara’ ini100. Dia juga mengajukan bahwa peng-haraman ‘Riba berdasarkan Sunnah’ mengacu Pertukaran Khusus. Contoh: Dua orang yang saling Tukar-menukar Emas, maka jumlah emas harus sama dalam berat di kedua pihak dan emas yang dipertukarkan harus berpindah tangan di situ dan saat itu juga (Tunai). Dia beralasan bahwa tidak seperti Riba Jahiliyah, transaksi seperti ini tidak dikenal di kalangan orang Arab, karena sulit membayangkan kenapa dua orang melakukan pertukaran dalam jumlah yang sama, untuk komoditas yang sama, pada satu waktu pula. Riba al-Fadl dipandang sebagai praktek barter yang ditinggalkan, yakni ketika orangorang mempertukarkan emas dengan emas (dan yang semacamnya), namun transaksi seperti ini tidak dipraktekkan lagi karena itu 'Tidak perlu digubris larangan Haram dari Sunnah ini', demikian kira-kira menurut Rasyid Ridha. Hadist Terkenal yang memuat ucapan ‘Tangan ke Tangan’ dan ‘Semisal dengan Semisal’ adalah mengacu pada Riba, tidak dipahami oleh ulama Modernis. Mereka tidak dapat memahami Sangkut Paut dari Istilah-istilah tersebut dengan Riba.. ‘Emas dengan Emas’, ‘Semisal dengan Semisal’, ‘Tangan ke Tangan’, adalah Gambaran Keseimbangan Transaksi yang ada dalam Sunnah101. Satu aspek merujuk kepada Persamaan Jumlah yang mengacu pada Riba al-Fadl; aspek lainnya mengacu pada Kesegeraan Transaksi yang merujuk pada Riba al-Nasiah. Semua Gambaran Keseimbangan ini berfungsi meniadakan kemungkinan Pertukaran ‘Emas yang Tiada’ - (Dayn) dengan ‘Emas yang ada’ (‘Ayn). Hal yang demikian adalah Sangat Terkait karena Pengabaian hal ini 'Membuka Celah' bagi Kafirun untuk menipu umat Muslim agar menyerahkan emas mereka dengan cara menukar Emas dengan Nota Utang Emas Palsu (yang merupakan bentuk asli uang kertas pada 100 Inilah yang dimaksud oleh Imam Malik di awal Uraian bahwa Penafsiran al-Qur'an Tidak Dapat Diterima tanpa Menyertakan Sunnah sebagai Penjelas. 101 Keseimbangan dalam Qur'an juga dapat dilihat pada Hukum Hudud 'Mata dengan Mata', 'Tangan dengan Tangan', 'Hidung dengan Hidung', 'Telinga dengan Telinga'.
101
awalnya). Pengabaian Riba berdasarkan Sunnah ini juga digunakan oleh kaum Modernis untuk meng-Halal kan uang kertas. Padahal Hadist tersebut secara Positif mengacu pada Transaksi Pertukaran Dinar dan Dirham dengan Pecahan yang Berbeda102. Dan secara Negatif mengacu kepada Ketidakmungkinan menggunakan Surat Janji Pembayaran dalam Pertukaran. Baik Positif atau Negatif, keduanya Saling Terkait dan penting bagi Umat Muslim. Kesimpulan dari Pandangan Ridha adalah sebagai berikut: A] Riba al-Nasiah hanyalah Riba al-Jahiliyyah. Dan hanya Bunga Majemuk yang diharamkan. B] Riba al-fadl hanya terkait dengan Tukar-menukar dan bukan Aturan Pokok sehingga dapat diabaikan. Lagi pula Riba al-Fadl dapat di-boleh-kan (Mubah) dengan alasan darurah. demikan kata Ridha. Para pengikut Ridha pada dasarnya memakai klasifikasi yang sama tetapi berbeda dengan Ridha pada Isu Bunga Majemuk. Para Pengikut Ridha sepakat bahwa Bunga Tunggal Juga Haram, tetapi mereka sepakat bahwa dalil Darurah membuat Bunga Tunggal yang Haram hukumnya menjadi Mubah (boleh) dan Mereka juga memandang bahwa Riba al-Fadl bukan hal pokok karena dipandang penerapannya hanya pada masalah barter. Bantahan terhadap kaum Modernis Reformis103 Yang benar adalah baik itu Riba al-Nasiah dan Riba al-Fadl adalah di-Haramkan oleh Qur’an. Sebab kenyataannya Riba berdasarkan Qur’an dan Riba berdasarkan Sunnah persisnya adalah Sama. Gampangnya: Sunnah bertindak sebagai Syarah (penjelas) yang Hidup bagi Qur’an. Riba yang dimaksud sebagai Riba al-Jahiliyyah oleh Rashid Ridha, mengandung Riba alNasiah dan Riba al-Fadl sekaligus. Dalam transaksi yang disebut Riba Jahiliyah, ada unsur Pembayaran Ditunda (Nasiah) dan sebagai gantinya diberikan Tambahan (Fadl). Tetapi Riba al-Nasiah menyertakan lebih dari sekedar Riba al-Jahiliyah. Implikasi dari Posisi Modernis dan Reformis Dengan menyepelekan sifat alami Riba al-Nasiah (Penundaan), kaum Modernis dan Reformis telah menghindari isu yang berkenaan dengan Uang Kertas. Marilah kita lihat isu yang dilupakan oleh kaum Modernis. Uang kertas dapat dianggap sebagai ‘Ayn atau sebagai Dayn. A] Jika kita menerima fakta bahwa uang kertas adalah dayn, maka artinya wajib untuk membayar jumlah tertentu ‘Ayn, karena itu uang kertas tidak dapat digunakan untuk pertukaran dan Haram dalam dua praktek: 1- Dayn tidak dapat ditukar dengan Dayn. Uang kertas dengan Uang kertas adalah Hutang ditukar Hutang, Haram hukumnya. Imam Malik berkata: '[Transaksi yang Tidak Disetujui 102 Seperti 1 keping dinar emas dengan 2 keping 1/2 dinar. 1 keping pecahan 5 dirham dengan 5 keping pecahan 1 dirham. 103 Di Universitas Islam al-Azhar Mesir adalah tempat guru Rashid Ridha yaitu Muhammad Abduh pernah menjabat sebagai mufti al-Azhar semasa kolonial Barat. Di al-Azhar pula para Fuqaha Maliki telah dihabisi Semuanya, bersih tiada tersisa. Demikian Amir Zaim Saidi menuturkan.
102
dari] Penundaan dengan Penundaan adalah menjual Hutang dengan Hutang.' 2- Dayn atas Emas dan Perak Tidak Dapat Ditukar dengan Emas dan Perak, karena Melawan Larangan Mendasar: 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW, berkata, “Jangan104 Menjual Emas dengan Emas kecuali Semisal dengan Semisal dan Jangan Melebihkan satu bagian di atas bagian lain. Jangan Menjual Perak dengan Perak, kecuali Semisal dengan Semisal dan Jangan Melebihkan satu bagian di atas bagian lain. Jangan Menjual Sesuatu yang Tiada dengan Sesuatu yang Ada.' B] Jika kita menerima bahwa Uang Kertas adalah ‘Ayn, maka Nilainya adalah Berat Kertasnya, bukan Angka yang tertulis di atasnya. Jika Nilai Uang Kertas dilebihkan berdasarkan Paksaan, Nilainya menjadi Rusak dan transaksinya Batal menurut Syari’at Islam. Uang Kertas digunakan oleh Negara Fiskal sebagai Pajak Ilegal dan Tidak dapat Mewakili Alat Pembayaran dalam Islam. Memahami Riba al-Nasiah adalah Fundamental untuk Mampu memahami posisi umat Muslim terhadap Uang Kertas. Alasan kenapa ulama Modernis 'memelintir' definisi Riba adalah jelas untuk men-Sahkan sekaligus Menyembunyikan Kejahatan: Perbankan. Pembenaran ini kemudian menjadi Pembenaran atas Bank Islam. Asas Darurah, digabungkan dengan Penghilangan Riba al-Nasiah telah mengijinkan mereka membenarkan uang kertas dan membenarkan Fractional Reserve Banking yang merupakan dasar dari Sistem Perbankan Modern yang saat ini menjadi sumber utama bencana kemanusiaan yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Fractional Reserve Banking juga dipraktekkan oleh Bank Syariah. Insya Allah akan diterangkan di bagian berikutnya. Pemahaman yang tepat tentang Riba al-Nasiah Membongkar Uang Kertas sebagai Sebentuk Riba, Karena Uang Kertas dimaksudkan untuk digunakan dalam cara yang tidak diijinkan oleh Hukum Syariah. Lebih Jauh dengan Uang Kertas Yang pertama kali harus dilakukan sebelum menentukan Hukum Syara' adalah Memahami Permasalahan yang hendak dihukumi dalam hal ini adalah Uang Kertas. Baru setelah itu mencari Hukumnya dari Qur'an dan Fiqih. Uang Kertas telah berubah berangsur-angsur dalam kurun sejarah yang cukup panjang. Apa yang kita pahami sekarang bahwa Uang Kertas sebagai 'Alat Tukar yang Sah', bukanlah fungsi sebenarnya dari uang kertas itu untuk menjadi 'Alat Tukar yang Sah'. Perubahan berangsur-angsur ini telah melewati Tiga Tahap: 1] Uang Kertas sebagai Nota Utang yang dijamin oleh Emas atau Perak. 2] Proses Penghilangan Jaminan Emas atau Perak dari Nota Utang. 3] Uang Kertas sebagai Selembar Kertas yang Tidak Dijamin oleh Logam Mulia apapun, yang Nilainya Ditentukan Secara Paksa oleh Negara. Berikut ini Penjelasan dari Tiga Tahap itu: 1- Tahap Pertama 104 Dalam Kaidah Ilmu Ushul Fiqih, Larangan, (Fi’il Nahi), 'Jangan' ‘Laa’, bermakna Haram 103
Di masa lalu, Uang Kertas dikeluarkan oleh Bank dan mewakili sejumlah Emas atau Perak yang dikenal dengan Logam Mulia. Namun demikian, Uang Kertas itu tidak pernah dijamin 100% oleh Logam Mulia, dulunya Bank Penerbit Uang Kertas Wajib membayar sejumlah Logam Mulia yang nilainya tertera di atas Nota Utang Kertas itu jika ditagih. Pada tahap ini Uang Kertas mewakili sejumlah Hutang Bank kepada Pemegang Uang Kertas. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai hal ini? Sebelum dibahas, kita lanjutkan dulu uraian kejadian yang ada pada tahap pertama ini. Pada tahap ini sejumlah Emas dititipkan ke Bank dan Bank mengeluarkan Nota Utang sebagai tanda bahwa Pemilik Emas punya simpanan Emas di Bank itu. A) Dalam Islam masalah di atas berkenaan dengan persoalan Amanah: Emas Anda dipercayakan kepada seorang Bendahara. Bagaimana Hukum Islam mengenai hal ini? Allah ta'ala berfirman dalam Qur'an Surat al'Imran (3, 75):
Memang ada di antara orang-orang Ahli Kitab yang jika kamu titipkan kepadanya sejumlah besar uang dikembalikannya kepadamu. Tetapi ada pula yang jika dititipi satu dinar pun tidak mau mengembalikan, kecuali jika kamu terus-menerus menagihnya. Ini oleh karena itikad jahatnya, yang berpendapat: "Tak ada kewajiban atas kami terhadap bangsa Arab buta agama. Begitulah mereka sengaja membuat kebohongan terhadap Allah sedang mereka itu mengetahui Hukum Syara' mengenai Penitipan Amanah seperti ini, menurut Qadi Abu Bakr ibn al-Arabi dalam kitabnya ‘Ahkamul Qur'an’, adalah sebagai berikut: “Haram bagi Muslim Menitipkan Amanah kepada Kuffar di luar Dar al-Islam,” Maksud dari ayat ini adalah Haram bagi Muslim menitipkan uang kepada Kafir di manapun karena sekarang ini kita tidak punya Darul Islam. Boleh menitipkan kepada seorang kafir jika tempat penitipan berada di wilayah kekuasaan Otoritas Muslim namun Haram jika penitipan harta berada di bawah Otoritas Kafir. B) Jika Amanah berada di dalam Otoritas Muslim, maka Nota utang Haram digunakan sebagai Uang. Berikut ini Sumber Hukum Islam berupa Sunnah dari kitab al-Muwatta Imam Malik: 104
Imam Malik berkata: “Seseorang hendaknya tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang lain apakah ada atau tiada, tanpa konfirmasi orang yang berhutang, begitu pula hendaknya seseorang tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang mati bahkan jika seseorang mengetahui apa yang almarhum tinggalkan. Karena membelinya adalah transaksi yang tidak pasti dan seseorang tidak mengetahui apakah transaksi itu akan diselesaikan atau tidak” Dalam Penciptaan Nota Utang, Orang yang berhutang harus menjamin nilai nota hutang kepada orang yang menerima nota utang. Dengan demikian, nota utang pertama dicairkan dulu, baru kemudian boleh membuat nota utang baru. Nota utang tetap dijaga sebagai kontrak pribadi antara dua pihak. Alasannya adalah orang yang mengeluarkan nota utang bisa jadi mengeluarkan nota melebihi yang dapat dia bayar. Contoh: si A mengambil 10kg Beras dari si B - Si A mengeluarkan nota utang yang menyatakan bahwa A berhutang 10kg Beras kepada si B - Sebelum nota pertama yang dikeluarkan si A dicairkan untuk membayar utang beras yang 10kg itu, maka si A tidak boleh mengeluarkan nota utang baru kepada si B. Bank menerbitkan Nota uang kertas melebihi yang dapat ditanggung untuk dibayar. Jika setiap penyimpan di bank menarik nilai dari yang tertera di uang kertas yang dipegangnya, bank tidak akan mampu memenuhi kewajibannya. Nota Utang Haram Digunakan dalam kegiatan Tukar-menukar (Sarf). Dalam bab Pertukaran uang dalam kitab Muwatta Imam Malik berkata: “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Ibn Shihab dari Malik ibn Aws ibn al-Hadathan an-Nasri bahwa suatu kali dia diminta menukar 100 dinars. Dia berkata, ‘Talhah ibn ‘Ubaydullah memanggilku dan kami membuat kesepakatan saling menguntungkan bahwa dia akan melakukan pertukaran denganku. Dia mengambil emas dan membolak-balikkan di tangannya dan kemudian berkata, “Saya tidak dapat melakukannya sampai bendaharaku datang membawakan uang dari al-Ghaba.” ‘Umar ibn al-Khattab mendengarkan dan ‘Umar berkata, “Demi Allah! Jangan meninggalkannya sampai Engkau mengambil darinya!” Kemudian dia berkata, “Rasulullah SAW, bersabda, ‘Emas dengan Perak adalah Riba kecuali Tangan ke Tangan (Tunai). Gandum dengan gandum adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Kurma dengan kurma adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Barley dengan barley adalah Riba kecuali tangan ke tangan.’” Dalam Islam Tukar-menukar harus Tunai, dua jenis yang dipertukarkan harus ada di tempat pada saat itu juga (Tunai), jika tidak masuk kategori Riba dan Riba adalah Haram. Persoalan ini mengatur bahwa Nota Utang ditukar Nota Utang adalah Haram karena itu berarti Hutang ditukar Hutang. 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orang-orang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang 105
dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.' Ini berarti Anda tidak dapat menggunakan nota utang untuk berdagang seolah-olah itu adalah uang. Kegunaan nota utang bukanlah untuk uang melainkan kontrak pribadi yang harus tetap pribadi dan tidak menjadi umum. 2- Tahap Kedua Tahap ini merujuk kepada proses yang berlangsung bertahun-tahun ketika uang kertas secara tetap diturunkan nilainya (dibayar kurang dari nilai janji bayar yang tertulis di atasnya) sampai janji bayar benar-benar dicabut. Penghilangan total wajib bayar ini dilakukan pada dolar pada tahun 1973 ketika presiden AS Nixon secara sepihak menarik janji bayar 1 troy ons emas untuk setiap 35 dollar AS. Bagaimana posisi Islam mengenai nota utang ketika pihak-pihak yang terlibat secara sepihak meng-ingkari janji untuk membayar? Tentu saja tidak dapat diterima. Itu adalah pelanggaran kontrak. Jika ini dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dan tidak ada ganti bayar yang diterima, itu adalah pencurian murni. Pencurian dihukum dalam Islam. Menggunakan Uang Kertas berarti Anda sepakat dengan Nota Utang dari lembaga yang jelasjelas pencuri (bank) yang tidak mengakui kesalahannya atau membayar kewajiban utangnya di masa lalu. 3- Tahap Ketiga Akhirnya kita sampai kepada uang yang kita miliki sekarang. Tidak ada janji bayar logam mulia apapun. Hanya nilai hukum berdasarkan kewajiban warga negara suatu negara unuk menerima mata uang nasional sebagai alat untuk menebus utang. Ini adalah Hukum Legal Tender. Itu memberi negara kewenangan untuk Menyita Kesejahteraan bangsa dan membayar kesejahteraan itu dengan nota uangnya sendiri. Hal seperti ini Haram dalam Islam. Imam Malik berkata uang adalah “setiap komoditas yang secara umum diterima sebagai media pembayaran. Hal ini berakibat pada dua hal: A) Uang haruslah sebuah komoditas. Karenanya bisa saja berbentuk kertas. Tetapi kertas adalah berat kertasnya bukan nilai yang tertulis di atasnya. Uang haruslah sesuatu yang berwujud (‘ayn). Uang tidak dapat berupa janji bayar. B) Uang harus umum diterima karena itu tidak dapat dipaksakan. Tidak seorangpun dapat berkata 'wajib bagimu terima uangku'. Bahkan tak seorangpun dapat membuat Dinar Emas dan Dirham Perak wajib bagi setiap orang. Dinar Emas dan Dirham Perak menjadi uang adalah pilihan bebas masyarakat bukan hasil dari undang-undang yang dipaksakan. Sedangkan Uang kertas dipaksakan kepada orang. Paksaan ini tidak dapat diterima dalam Islam untuk dua alasan: - Memaksa Uang Kertas sebagai Uang adalah Penipuan: Negara mewajibkan Anda untuk 106
menerima sesuatu di atas nilai aslinya (nilai aslinya adalah nol) - Bersifat Memaksa. Anda diwajibkan untuk menerima uang kertas suka atau tidak. Pelanggaran Hukum yang lebih jauh dilakukan oleh Hukum Negara yang membatasi penggunaan barang dagangan lain sebagai alat pembayaran 105. Dengan demikian menguatkan monopoli Negara atas mata uang. Secara khusus berkenaan dengan Emas dan Perak. Emas dan perak, dipajaki, atau penggunaannya diatur dan terkadang tidak diijinkan. Dalam beberapa kasus ekstrim Emas disita oleh hukum dari warga negara perseorangan, sebagaimana yang telah terjadi di Amerika. Kesimpulan Akhir Uang Kertas Uang kertas Haram dalam hukum Islam. Apakah dalam bentuknya yang sekarang atau dalam bentuk lain yang telah terjadi di masa lalu. Uang Syar'i adalah Dinar Emas dan Dirham Perak. Setiap barang dagangan yang umum diterima sebagai alat tukar juga diterima sebagai Sah dalam Islam. Lebih Jauh dengan Bank Riba telah jelas diharamkan dalam Qur'an dan Sunnah. Allah dan RasulNya sallallahualayhi wasallam, telah menyatakan perang kepada orang-orang yang tidak berpantang dari riba. Berikut ini beberapa ayat terkait yang menjelaskan tentang Riba. Allah berfirman dalam Qur'an: Orang-orang yang makan riba itu tidak dapat berdiri tegak melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan. Itu disebabkan pendapat mereka yang mengatakan: bahwa jual beli itu sama dengan sistim riba. Padahal Allah telah menghalalkan sistim jual beli dan mengharamkan sistim riba. Maka barangsiapa yang telah menerima pengajaran dari Tuhannya lalu dia berhenti, maka untuk dia ialah yang sudah diambilnya dahulu. Urusannya terserah kepada Allah. Tetapi siapa yang mengulang kembali, mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (2,274) Allah akan menghapuskan sistim riba dan akan memperkembangkan sistim sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafirannya, selalu berbuat dosa. (2,275) Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah! Tinggalkanlah sisa-sisa dari sistim riba itu, jika kamu benar-benar beriman.(2,277) Jika kamu tidak mau mengerjakan Meninggalkan sisa-sisa sistim riba, dengan pengertian masih memungutnya.. maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Tetapi jika kamu mau bertobat Berhenti memungut riba., maka kamu berhak menerima kembali uang pokok modalmu. Kamu tidak merugikan dan tidak pula dirugikan.(2,278)
105 Di Indonesia telah terbit undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang. Undang-undang ini telah dibantah oleh Amir Zaim Saidi dalam artikelnya yang juga dimuat di harian umum Republika, Jumat, 24 Agustus 2012, http://wakalanusantara.com/detilurl/Salah.Paham.Dinar.dan.Dirham./1258
107
Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda Yang dimaksud di sini ialah riba nasi'ah, yaitu harus ditambah pembayaran karena masa perjanjian diperpanjang., dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.(3,130) Lagi pula karena mereka memungut riba dari yang bukan Yahudi yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Lagi pula karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan tidak halal. Kami sediakan untuk orang-orang yang tidak beriman di antara mereka itu siksaan yang sangat pedih.(4,159-160) Rasulullah, sallallahualayhi wasallam, bersabda sebagai berikut mengenai betapa berat dosa dari Riba: Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, bersabda: “Riba ada tujuh puluh jenis, dosa riba yang paling ringan sama seperti seorang laki-laki yang menikah (yakni menyetubuhi) ibu kandungnya sendiri.” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi) Abdallah ibnu Hanzalah meriwayatkan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wasallam, bersabda: “Satu dirham Riba, yang seseorang terima dengan sadar, adalah lebih buruk daripada berzina tigapuluh enam kali.” (Ahmad) Baihaqi meriwayatkannya, pada otoritas Ibnu Abbas, dengan tambahan bahwa Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, lanjut berkata: “Neraka lebih cocok bagi orang yang dagingnya berasal dari yang Haram.” (diriwayatkan oleh Ahmad) Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, bersabda: “Pada malam aku dibawa ke langit aku mendatangi orang-orang yang perutnya sebesar rumah yang berisi ular yang dapat terlihat dari luar perut. Aku bertanya kepada malaikat Jibril siapakah mereka itu dan Jibril mengatakan kepadaku mereka adalah orang-orang yang memakan riba.” (diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah) Samurah bin Jundab meriwayatkan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata: “Malam tadi saya bermimpi dua orang datang dan membawaku ke sebuah tempat hingga sampai ke sungai darah, di mana seseorang berdiri di tengahnya, di pinggir sungai berdiri seorang lagi memegang batu. Orang di tengah sungai berusaha keluar, tetapi orang yang satunya melemparkan batu ke mulut orang yang berusaha keluar dan memaksa orang itu untuk kembali ke tempatnya semula. Kapanpun orang itu mencoba keluar dari sungai darah, dia lempar batu dan dipaksa kembali ke tengah. Aku bertanya: “Siapa ini? Aku diberitahu bahwa: “Orang di tengah sungai adalah orang yang makan riba.” (diriwayatkan oleh Bukhari) Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, mengutuk orang yang memungut Riba, orang yang memberi Riba, orang yang merekam transaksi riba dan orang yang menjadi saksi transaksi riba. Rasul bersabda, mereka semua sama berdosa. (diriwayatkan oleh Muslim) Tentu saja ada alternatif pengganti Riba. Sebagaimana dijelaskan oleh Rumi, “Apa yang Halal adalah mungkin.” Rumi juga berkata Orang munafik adalah orang yang berkata “Apa yang halal tidak mungkin.” Melakukan yang Halal adalah diperintahkan kepada setiap Muslim. Di antara alternatif yang disediakan Syariah bagi transaksi berbasis Riba, adalah Syirkat (atau Musyarokah) dan Qirad (atau Mudarabah). Keduanya adalah dua kontrak bisnis 108
utama dalam Syariah. Asas-asas kontrak bisnis Syariah ini ada pedomannya. Masalahnya adalah penerapan kontrak bisnis Islami ini dalam lingkungan yang tidak cocok untuk kontrak-kontrak itu. Jawaban bagi masalah ini bukanlah merubah kontrak tetapi merubah lingkungan. Di sinilah letak perbedaan utama dengan saudara-saudara kita di Bank Syariah. Mereka melestarikan lingkungan dan instrumen kapitalis dengan mengorbankan aturan yang diberlakukan oleh Syariah. Mereka melakukan ini secara salah atas nama ijtihad dan darurah. Sebaliknya kita, berdiri untuk mendirikan kembali lingkungan Islami melalui restorasi beberapa alat kunci dan institusi perdagangan (infrastruktur Islam), yang penting untuk Syirkat dan Qirad untuk dapat beroperasi secara layak. Isu yang berkenaan dengan hal ini Banyak Muslim yang memiliki rekening bank berbunga. Bunga tanpa diragukan lagi adalah Riba dan karena itu Haram. Hukum Syara' yang bagaimanakah bagi kita sekarang ini ketika kita dipaksa untuk memiliki rekening bank? Kebanyakan orang berfikir darurah. Darurah adalah instrumen Hukum yang diterapkan dalam kasus-kasus di mana seseorang benar-benar butuh sehingga diijinkan untuk berbuat yang mana dalam keadaan normal hal itu Haram. Karakteristik paling kritis dari darurah adalah Ukuran Sementara. Jika Anda berada di gurun gersang dan hanya punya babi untuk dimakan, maka hukumnya Fardu (Wajib) membunuh dan memakan babi tersebut. Memakan babi tidak Halal, namun dalam keadaan ini itu adalah Fardu. Berbeda halnya dengan orang yang beternak babi sambil berkata: “Darurah”. Saat Anda berada dalam situasi darurah, wajib untuk mengerahkan segenap daya upaya untuk keluar dari situasi darurah itu. Tidak diizinkan untuk tetap tinggal dalam situasi darurah itu selamanya. Isu yang kita pikirkan di sini adalah “apa yang harus dilakukan oleh Muslim terhadap bunga yang diterima pada simpanan mereka di bank?” Bagaimana cara yang benar memperlakukan bunga ini, mengingat keadaan sekarang sudah seperti ini? Kebanyakan orang memutuskan antara pilihan-pilihan berikut ini: 1] membiarkan bunga sebagai bagian dari situasi darurah 2] mensedekahkan bunga bank 3] mengembalikan bunga secara langsung atau membuat akun bank khusus tanpa bunga. Pilihan manapun yang diambil tidak termasuk berusaha keluar dari darurah, melainkan hanya melanggengkan darurah dan ini tidak boleh. Pilihan nomor 1 jadi sumber pemasukan bagi pemilik akun bank. Pilihan nomor 2 jadi sumber pemasukan bagi penerima sedekah. Pilihan nomor 3 hanya akan lebih memperkaya bank, membuat pilihan ketiga ini jadi pilihan yang terburuk. Ada pilihan ke-4 yang merupakan salah satu yang kita ajukan: menggunakan bunga bank untuk keluar dari keadaan darurah. 109
Ketika status darurah terjadi, perbuatan yang diperintahkan (untuk dilakukan oleh setiap Muslim) adalah berusaha keluar dari situasi darurah, bukan malah melanggengkannya. Karena itu prioritasnya adalah merubah kondisi darurah. Bunga dapat membantu keluar dari keadaan darurah pada saat kita diwajibkan untuk menggunakan akun bank. Bagaimana caranya? Dengan mendirikan alternatif yang tepat bagi sistem perbankan, bukan bank yang lainnya, tetapi sebuah institusi yang dapat mengizinkan pembayaran tanpa berkenaan dengan aktifitas perbankan. Institusi itu hendaknya mengizinkan kita untuk melakukan pembayaran dan menabung dengan tata cara Islam. Darurah berkenaan dengan lingkungan ekonomi. Karena itu untuk memahami masalah kita tidak cukup berfokus pada transaksi perdagangan, kita akan melihat lebih luas, menjajaki keadaan yang mengelilingi transaksi perdagangan. Dengan demikian kita perlu menyelidiki bagaimana institusi perbankan telah menjadi institusi yang hampir memonopoli penciptaan dan penanganan uang. Kita perlu melihat tabi'at dari perbankan, dan juga tabi'at dari uang kredit yang kita gunakan. Akhirnya kita perlu memahami uang dalam Islam, dan bagaimana kita dapat mendirikan kembali bingkai ekonomi Islam di mana bank bukan lagi hal darurah bagi kita, sambil kita tetap dapat memuaskan semua kebutuhan ekonomi kita. Kunci untuk memahami situasi ekonomi kita sekarang adalah konsep Riba dalam Syariah. Tanpa pemahaman yang tepat terhadap apa yang Haram kita tidak akan mampu membuat penilaian Hukum Syara' yang benar terhadap suatu hal. Untuk memahami Riba kita perlu menghapus beberapa kesalahpahaman, seperti menyamakan bunga dengan Riba – sebab kenyataanya bunga dan riba tidaklah sama. Menyamakan bunga dengan Riba adalah membingungkan. Kalimat seperti ‘bebas bunga’ atau ‘bunga nol persen’ tidak berarti sebuah transaksi adalah bebas Riba. Kalimat-kalimat semacam itu adalah penipuan yang mengarahkan umat Muslim kepada praktek Haram. Persoalan penting lain adalah untuk menyatakan bahwa Bank Syariah adalah Haram, sebagaimana halnya bank konvensional Haram tanpa terkecuali. Bank Syariah mempraktekkan Riba yang sama dengan bank konvensional, kecuali bahwa perbedaanperbedaan istilah yang dijadikan kosmetik pemanis biar menarik, layaknya pelacur yang menarik umat Muslim untuk berzina dengan mengatakan bahwa zina di pelacuran syariah adalah zina Islami. Mereka menyesatkan umat Muslim yang awam dengan digunakannya istilah-istilah Arab dan penyalahtafsiran kontrak-kontrak Islam dan juga pengenalan beberapa praktek Haram tertentu seperti ‘dua transaksi dalam satu’, yang pada umumnya tidak diketahui keharamannya oleh kebanyakan orang. Bank Syariah melanggengkan praktek Haram dengan alasan darurah guna membenarkan penafsiran individu mereka terhadap Syariah, yang membenarkan praktek perbankan. Bank Syariah tidak diniatkan untuk merubah atau menghilangkan situasi darurah, karena hal yang demikian akan membongkar kebohongan mereka. Kita akan membahas persoalan ini lebih mendetail nanti ketika kita melihat metodologi yang digunakan oleh kaum Islam modernis untuk merubah pengertian Riba, sehingga membolehkan mereka menerima institusi perbankan dan uang kertas. Akhirnya kita harus memahami pentingnya apa yang Halal, bagaimana ajaran Islam mengenai yang Halal. Kita telah kehilangan Muamalah Islam dan satu-satunya cara untuk mengembalikan praktek Syariah adalah mengembalikan beberapa aspek kritis infrastruktur ekonomi Islam (pasar terbuka) yang membuat Muamalah menjadi layak. Oleh karena itu masalah ini akhirnya harus menghasilkan pemulihan model ekonomi kita sendiri. Dalam
110
model Islam, kita memiliki rujukan untuk mengembalikan cara berdagang yang benar dan menghilangkan riba dari hidup kita. Kesalahpahaman Riba Akibat Perbuatan Reformis Agama dan Kapitalisme Kapitalisme menimpa agama ketimbang berinteraksi dengannya. Supremasinya dalam masyarakat sekarang ini begitu mutlak sehingga kalimat seperti pajak dan tingkat suku bunga memerintah lebih pasti dari keberadaan Allah. Hukum agama telah dibelokkan guna mengikuti perintah perbankan. Keluar dari revolusi, masuk perang dan bencana ekonomi, kapitalisme telah mengatur dan memaksakan kekuasaan strukturalnya ke seluruh dunia. Keberhasilannya telah begitu menyeluruh hingga tidak ada lagi halangan bahkan secara intelektual. Menghilangnya para raja (yang mewakili hubungan kepada hukum tradisi) dan datangnya demokrasi sebagai pengganti, menyediakan tanah yang subur untuk pertumbuhan bagi pembentukan dunia berdasarkan pemikiran kapitalis. Prestasi gemilang ini mengubah hukum di wilayah agama yang sebelumnya tidak tersentuh. Pemikiran kapitalisme memasuki penilaian hukum agama bahwa kapitalisme diterima sebagai sebuah 'anugerah Tuhan' dan digambarkan seperti penemuan mobil atau radio (maksudnya kemajuan). Kunci kepada hal ini adalah adaptasi larangan tradisi riba melalui pendefinisian yang hati-hati dari istilah riba. Perubahan kepada Kapitalisme menjadi lengkap dalam agama kristen selama proses rumit Reformasi Protestan. Prinsip-prinsip baru ini menghasilkan ‘kristenisasi perbankan’ dan pengucilan Hukum Kanonik kepada moralitas puritan personal. Umat Muslim juga memiliki reformasi sebagaimana halnya kaum protestan. Reformis Islam mengadopsi pola yang sama; adopsi moralitas puritan utamanya kelakuan seksual, dan 'Islamisasi perbankan'. Apa yang kita sebut modernisme dalam Islam adalah sama dengan apa yang kaum Protestan sebut dalam dunia kristen. Dua golongan ini berbagi cetakan yang sama dan hasilnya pun sama bagi kapitalisme, yaitu pendefinisian ulang riba yang mengizinkan perbankan diterima sebagai bagian dari agama. Dua hal yang diperlukan oleh perbankan agar diterima oleh agama: 1] Penerimaan bunga yang dikenakan pada pinjaman, baik secara jelas atau tersamar. 2] Penerimaan Fractional Reserve Banking, yakni sistem penciptaan nota utang sebagai pengganti logam mulia (asalnya, emas dan perak). Hukum Kanonik, sebagaimana diwarisi dari para penulis skolastik dan para pendeta gereja kristen, mengenai persoalan riba sebagai hampir identik kepada bunga. Penafsiran ini berangkat dari paradigma pengikut Aristoteles yang menuntut bahwa nilai dan kontra nilai harus identik. Pengikut Aristoteles secara berangsur meninggalkannya demi definisi yang lebih simpel dan praktis yakni ‘riba sebagai bunga’. Akhirnya revolusi protestan mendefinisi ulang riba dari segala macam riba (tanpa peduli besar kecilnya jumlah) menjadi hanya ‘bunga yang berlebihan’. Penafsiran Protestan setuju bahwa setiap bunga yang sesuai dengan rate pasar diizinkan, dan hanya bunga yang ‘berlebihan’ kesenjangannya dengan pasarlah
111
yang dianggap riba106. Tetapi dalam prakteknya, tanpa batasan yang disepakati berapa persenkah bunga menjadi riba, definisi tersebut sungguh sia-sia dan tak berarti. Definisi pengikut Aristoteles hampir sama dengan pandangan Islam. Qadi Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi mendefinisikan riba sebagai: “Setiap kelebihan yang tidak dapat dibenarkan antara nilai barang-barang yang diberikan dengan nilai barang yang didapat.” Ide umumnya adalah walaupun memiliki penilaian subjektif terhadap barang, dalam transaksi semacam itu harus ada kesamaan dalam satu nilai yang objektif. Para ahli ekonomi seperti Bentham 107 menentang pandangan pengikut Aristoteles atas dasar preferensi nilai subjektif (yang terlihat sebagai nilai nyata). Dari sudut pandang pengikut Aristoteles ‘jika hanya pertukaran’ tidak masuk akal karena semua pertukaran berdasarkan definisi ini adalah tidak seimbang. Ini karena perspektif subjektif dan pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran selalu mengharapkan ‘utilitas’ yang lebih tinggi (nilai subjektif) dari barang yang diterima ketimbang barang yang dilepas. Dengan demikian, dari perspektif utilitarian, seperti halnya berkata “perdagangan sama dengan riba”. Dan Allah memperingatkan orang-orang yang berkata “perdagangan sama dengan riba” (Qur’an 2:274). Setelah pandangan utilitarianismenya Bentham, semua bunga dalam bentuk apapun dianggap boleh. Pemikiran ekonomi yang datang setelah itu didasarkan pada 'kebolehan riba' oleh Bentham. Lebih jauh lagi, dari perspektif utilitarian ini tidak hanya bunga yang diterima tetapi ide tentang keseimbangan tidak lagi disangkut-pautkan dan karena itu diabaikan. Ini menjelaskan ketidakmampuan para ekonom untuk memahami definisi Islam mengenai Riba, yang didasarkan pada persamaan intrinsik dari transaksi semacam itu. Meninggalkan para ekonom dalam kebingungan tiada akhir ketika mencoba memahami ekuivalensi dalam Islam, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat “emas dengan emas, tangan ke tangan, semisal dengan semisal.” Kebingungan mengenai ekuivalensi ini’ adalah hal yang biasa bagi semua ahli ekonomi. Makna Riba dalam Islam adalah lebih mendetail dan menyeluruh ketimbang Hukum Kanonikal. Ekuivalensi Aristoteles diperluas dan dicontohkan dalam Syariat. Syariat menawarkan pemahaman lengkap transaksi perdagangan dan Riba. Pemahaman yang diperluas ini menyertakan penjelasan mendetail dari makna 'kelebihan' dalam dua bentuk: perbedaan dan penundaan. Sebaliknya pemahaman Riba dalam dunia kristen hanya semata riba adalah bunga. Hukum Islam adalah lebih menyeluruh dan jelas. Misalkan, dalam transaksi tertentu yang tidak dibenarkan, dikenalkan penundaan yang dibuat-buat yang tidak dapat dibenarkan karena dipandang 'kelebihan', dan karena itu menimbulkan Riba. Bentuk riba ini telah mengecoh semua ilmuwan kristen di masa lalu. Celah yang lolos dari pemahaman kristen inilah yang berakibat riba akhirnya masuk ke dalam dunia kristen melalui instrumen perbankan dan utamanya penggunaan nota utang (yang di dalamnya ada unsur penundaan). Kami ingin menekankan pentingnya Riba an-nasiah sebagai cara mengenali bentuk riba yang signifikan yang mengecoh para ilmuwan kristen. Para Reformis Islam Di Mesir, selama akhir abad ke-19, sekelompok ulama palsu memulai versi Islam mereka sendiri yakni reformasi mirip kaum protestan. Di antara hal-hal yang mencoba mereka rubah adalah definisi Riba supaya dapat mengakomodir praktek perbankan di masa itu. Dari 106 Pemahaman seperti ini di Indonesia juga dipaksakan lewat film-film yang ditayangkan di televisi di mana rentenir jalanan dibilang sebagai lintah darat sedangkan bank dibolehkan padahal keduanya adalah sama, riba. Bahkan perbankan memiliki dampak merusak yang lebih besar bagi semua orang ketika meminjamkan uang yang diciptakan dari ketiadaan. Demikian Amir Zaim Saidi menuturkan. 107 Jeremy Bentham http://en.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham
112
Muhammad ‘Abduh sampai ulama modern yang pro perbankan di sana menjalankan kegiatan belajar mengajar yang tidak terganggu, yakni menambah unsur baru kepada pendefinisian Islam, dan mengurangi unsur yang ada. Kegiatan inilah yang kita sebut modernisme. Pencapaian akhir dari kegiatan ini adalah ditemukannya Bank Syariah. Inspirasi di balik gerakan modernis adalah Jamal-ud-Din al Afghani (1839-1897), sedangkan otaknya adalah Muhammad ‘Abduh (1845-1905), dan yang menyebarkannya adalah Rashid Reda (1865-1935). Gerakan ini pertama kali muncul sebagai penolakan terhadap kolonialisasi Barat, tetapi penolakan emosional yang disertai oleh kekaguman terhadap Barat. Karena posisinya sebagai Mufti Besar Mesir – sebuah posisi yang diberikan kepadanya pada tahun 1899 oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris di Mesir – Muhammad ‘Abduh menjadi tokoh yang paling berperan dalam perusakan Islam. Fatwa pertamanya sebagai Mufti Besar adalah sebagai berikut: “Bunga dalam simpanan tabungan adalah Boleh”. Dia menulis (5 Desember 1903): “Penetapan Riba tidak diizinkan dalam bentuk apapun; sementara kantor pos menginvestasikan uang yang diambil dari masyarakat, yang tidak diambil dari pinjaman berdasarkan kebutuhan, karena itu mungkin untuk menerapkan investasi uang itu berdasarkan aturan bagi hasil.”* [*maksudnya bagi hasil sama seperti Qirad] (Al-Manar, vol. VI, part 18, p. 717) Penting untuk diperhatikan bahwa ketika dia mencela Riba, dia menerima perbankan. Ini adalah kelakuan semua ulama modernis. Dengan penetapan Hukum Syara' 'Boleh' terhadap Riba ini, dia membuka pintu kepada penerimaan perbankan Syariah. Walaupun dia tidak pernah memformulasikan ide Bank Syariah – karena dia tidak melihatnya sebagai penting untuk menyebutnya Syariah – tapi dia mendirikan dasar bagi ulama modern selanjutnya yang menyusun formulasi bank Syariah dari dasar yang didirikannya. Sebab dasar itu berarti menafsirkan ulang bunga sebagai keuntungan, sebagaimana halnya Syirkat atau Qirad. Penafsiran kritis ini dicapai oleh pengenalan satu set definisi buatan dan skema penipuan. Muhammad Rashid Redha adalah pendiri majalah Al-Manar, yang disebarkan ke seluruh Dunia Islam. Dia berpartisipasi dalam lingkaran para penyokong konstitusi yang sama dan anti Daulah Utsmani sebagaimana Al-Afghani dan 'Abduh. Dia memusuhi Madzhab tradisional untuk memaksakan pendapatnya sendiri. Dia juga keras dalam memusuhi Tasawwuf. Pendapatnya mengenai Barat dan Riba jelas terlihat dalam tulisannya: “Tidak ada dalam agama kita yang tidak sesuai dengan arus peradaban, terutama aspek yang dianggap berguna oleh semua bangsa beradab, kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba dan saya siap untuk bersangsi [dari sudut pandang Syari'ah] bahwa semua pengalaman Eropa sebelum kita menunjukkan bahwa 'kemajuan negara108' adalah dibutuhkan untuk membesarkan Islam. Tetapi saya tidak akan menbatasi diri pada Madzhab yang ada, melainkan hanya bergantung kepada Qur'an dan Hadist Sahih.” (Al-Manar, vol. XII, p. 239) Kalimat “kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba” bermakna bahwa, misalkan, dia memandang tidak apa-apa memiliki polis asuransi jiwa (Al-Manar, vol. XXVII, p. 346, juga vol. VII, p. 384-8, dan vol. VIII, p. 588). 108 Kemajuan negara yang dimaksud adalah pembangunan dan proyek di sana sini yang dibiayai dari Riba: Bank, Uang Kertas, Pajak (Negara Fiskal).
113
Dia juga mencela Ushul Fiqih dengan menyalahgunakan Qiyas untuk memperluas wilayah ke-Haraman hingga menyinggung pemungutan bunga modal 109, dan sebaliknya malah menyarankan untuk memungut bunga atas uang yang tersimpan di bank atau kantor pos sambil mengatakan bahwa itu bukan riba yang dilarang110. (Al-Manar, vol. VII, p. 28). Rashid Reda menciptakan penggolongan Riba baru yang menjadi pedoman bagi semua ulama modern setelahnya. Redha membuat perbedaan perlakuan hukum terhadap Riba yakni “Riba Berdasarkan Qur’an” dan “Riba Berdasarkan Sunnah”. Reda mengatur sedemikian rupa bahwa bentuk pokok Riba adalah yang diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sedangkan Riba Berdasarkan Sunnah, mengharamkan riba yang lebih ringan – menurutnya – yang umumnya diharamkan tetapi diizinkan karena keadaan darurah. Kesalahpahaman Mengenai Riba An-Nasiah Ulama modern pro perbankan telah mewarisi ‘kebingungan mengenai ekuivalensi’ yang sama yang menghantui para ekonom sejak Bentham. Mereka tidak dapat memahami makna ‘emas dengan emas, semisal dengan semisal, tangan ke tangan’. Mereka menyesatkan orang dengan mengganti makna kalimat dengan pemahaman yang lebih sederhana yakni bunga. Dengan demikian mereka mengabaikan dua hal: satu, makna menyeluruh ‘semisal dengan semisal’ yang artinya lebih dari sekedar bunga; dua, mereka sungguh mengabaikan isu penundaan. Kesalahan mereka pada dasarnya sama dengan Ridha. Kesalahan pertama adalah mengidentifikasikan Riba dengan bunga. Mereka berkata bahwa Riba dan bunga adalah hal yang sama dan dapat dipertukarkan istilahnya. Kedua, kesalahan dalam penggolongan Riba yang menghasilkan pemahaman yang tidak memadai mengenai Riba an-nasiah. Di antara para ulama modernis ini, beberapa telah datang dengan klasifikasi yang sama sekali baru: Riba Hutang dan Riba Jual-beli. Keduanya mereka sebut ‘Riba al- Duyun’ dan ‘Riba alBuyu’. Riba al-duyun merujuk kepada kontrak yang ada penundaan, seperti Hutang dan Jualbeli yang ditunda. Riba al-buyu’ merujuk kepada kontrak yang tidak ada penundaan, seperti Jual-beli pada umumnya dan kegiatan Tukar-menukar. Di bawah penggolongan ini mereka bersikeras dalam menyebut penerapan Riba al-fadl (kelebihan) kepada transaksi yang terjadi dalam jual beli111. Dan mereka mengidentifikasi Riba an-nasiah dengan Riba al-jahiliyyah dan juga kelebihan pembayaran dalam hutang. Ini adalah sama dengan penggolongannya Reda, kecuali mereka menggunakan istilah baru. Para modernis ini menyalahtafsirkan Ayat (2:275) dengan mengartikan “Allah telah melarang Bunga”. Dan mereka benar-benar salah mengerti dengan memahami secara literal Hadis “Tidak ada Riba kecuali dalam nasiah.” Menurut kami Hadist ini tidak mengecualikan bentuk lain Riba. Sedang menurut mereka keharaman Riba an-nasiah secara esensial menyiratkan bahwa Syari’ah tidak mengizinkan bunga. Bagi mereka, perkara yang dimaksud adalah “kelebihan 109 Kurang lebih maksudnya menyamakan Qirad sebagai memungut bunga atas modal yang diberi 110 Tujuan dari pendapat ini jelas, jangan modali orang untuk berdagang, tapi simpan saja uang di bank, nanti dikasih bunga yang disebut 'bagi hasil' dan itu tidak haram, demikian kira-kira yang dimaksud oleh Ridha. 111 Ini sama saja dengan menyebut Jual Beli Sama dengan Riba seperti yang dilakukan oleh ekonom seperti Bentham
114
pengembalian yang ditentukan di awal” (Chapra 1985, Towards a Just Monetary System. Leicester: The Islamic Foundation. p. 57). Keharaman Riba yang diartikan sebagai “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” – bersama dengan istilah “bebas bunga” – adalah aspek kunci lain yang menjadi tesis mereka, namun itu tidak dapat menggantikan makna sejati Riba yang sesungguhnya. Apa yang penting mengenai isu ini adalah bahwa mereka menyamakan Riba an-nasiah dengan pinjaman, dan itu dihilangkan dari makna Tukar-menukar dan kontrak lain. Setelah itu kita akan melihat implikasi dari hal ini. Mereka mengakui bahwa ada Riba al-fadl tetapi mereka juga sudah merubah maknanya. Mereka berkata bahwa Riba al-fadl dijumpai dalam pembelian tunai (tangan ke tangan) dan penjualan komoditas. Meliputi semua transaksi yang melibatkan pembayaran tunai pada satu pihak dan kesegeraan pengiriman komoditas di lain pihak. Ini membuat mereka pusing tujuh keliling mengenai makna penundaan dalam tukar-menukar. Mereka menyepelekan fakta bahwa kelebihan yang tidak dapat dibenarkan (tafadul) yang terjadi dalam sebuah hutang adalah Riba al-fadl juga. Kekosongan ini diisi dengan definisi pribadi mereka mengenai Riba an-nasiah, yang membuat mereka menghilangkannya dari makna yang sesungguhnya. Untuk memberikan kemiripan supaya tampak sah bagi posisi salah mereka, mereka mengutip semua otoritas dan Hadist tetapi merubah konteks dan memelintir makna mengenai jenis Riba apa yang dapat diterapkan112, dengan demikian menggelincirkan orang dari pemahaman menyeluruh mengenai Riba ini. Pendek kata, ini adalah benar-benar Penipuan. Salah satu contoh penipuan, mereka berpendapat bahwa dari keharaman Riba al-fadl munculah Sabda Nabi, sallallahualayhi wasallam, yang meminta bahwa jika emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam saling dipertukarkan maka hendaknya ditukar di tempat itu juga dan sama ukuran takaran serta timbangan. Walaupun mereka mengakui bahwa enam jenis komoditas yang disebutkan berfungsi sebagai uang pada jaman itu, mereka tidak mensejajarkan ini dengan tukar-menukar uang. Mereka berkata bahwa uang kertas bukan bagian dari keharaman karena bukan salah satu dari komoditas yang disebut dalam Hadist tersebut. Omongan ini jelas melenceng karena nota utang berlaku baik itu sebagai ‘ayn atau dayn. Jika sebagai ‘ayn nilainya adalah nol. Jika sebagai dayn, maka nota utang mewakili pembayaran yang ditunda yang tidak dibolehkan dalam kegiatan tukar-menukar. Ketika menjelaskan signifikansi Riba al-fadl dan kenapa itu juga diharamkan, Chapra menyediakan alasan berikut ini: Di permukaan, tampak sulit untuk memahami kenapa seseorang ingin menukarkan jenis komoditas yang sama misal emas dengan emas atau perak dengan perak atau komoditas lainnya, ditambah lagi harus di tempat itu juga. Dia berkata bahwa apa yang secara esensial dimaksud adalah keadilan dan permainan yang fair pada tempat transaksi; harga dan nilai barang hendaknya adil dalam semua transaksi ketika pembayaran tunai (terlepas dari apa yang menjadi uang) dibuat oleh satu pihak dan komoditas atau jasa dikirim sebagai balasannya oleh pihak yang satunya. Dia berkata bahwa segala sesuatu yang diterima sebagai “ekstra” oleh salah satu dari dua pihak kepada transaksi adalah Riba al-fadl, yang dapat didefinisikan 112 Maksudnya dapat diterapkan dalam dunia yang dibentuk oleh Riba sekarang ini, yakni bagaimana caranya supaya definisi Riba tidak mengganggu praktek perbankan dan beredarnya uang kertas, beserta semua turunannya seperti jual beli valuta asing, saham dan lain-lain
115
dalam kalimat Ibnu al-Arabi sebagai kelebihan atas apa yang dibenarkan oleh nilai sebaliknya. Karena itu dia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat terjadi jika dua titik dari sebuah timbangan memuat barang-barang dengan nilai yang sama. Dan akhirnya dia menyimpulkan bahwa poin ini dijelaskan dengan sepatutnya oleh Nabi, sallallahualayhi wasallam, ketika Nabi merujuk kepada enam komoditas penting dan menekankan bahwa jika satu timbangan memiliki satu dari komoditas ini, timbangan lain juga harus memiliki komoditas yang sama, “semisal dengan semisal”. Lebih jauh dia melanjutkan pendapat bahwa untuk menjamin keadilan, Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, bahkan mencegah transaksi barter dan meminta bahwa sebuah komoditi untuk dijual terlebih dulu dengan uang perak dan uang perak itu digunakan untuk membeli komoditas yang diperlukan. Ini karena tidak mungkin dalam transaksi barter, kecuali bagi seorang ahli, untuk secara tepat menentukan ekuivalensi yang adil pada satu barang dengan barang-barang lain. Dengan demikian ekuivalensi hanya dapat dibuat berdasarkan ukuran 'kira-kira' sehingga mengarah kepada ketidakadilan satu pihak atas pihak yang lain. Karena itu penggunaan uang membantu mengurangi kemungkinan pertukaran yang tidak adil. (Ibid, pp. 58-59). Posisi ini menghilangkan kemungkinan Riba Nasi'ah dalam kegiatan Tukar-menukar. Dia berkata bahwa transaksi semacam 'emas dengan emas' tidak terjadi lagi dan karena itu isu ini menjadi tidak relevan. Kenyataannya adalah transaksi ini terjadi setiap hari, yakni setiap kali nota utang digunakan. Mereka hanya menganggap bahwa apa yang diharamkan hanyalah bunga pinjaman dan 'kelebihan' dari tukar-menukar jenis barang yang sama. Adapun semua hal lain disepelekan. Mengikuti argumentasi sebelumnya Chapra lebih jauh menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipertukarkan di pasar kemungkinan terkena Riba al-fadl. Dia berkata bahwa keharamannya hanya dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran 'yang tidak adil' dan menutup semua pintu belakang Riba karena, dalam Syari'at Islam, segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang haram juga haram. Dia berpendapat bahwa Nabi, sallallahualayhi wasallam, juga menyamakan dengan Riba, kecurangan halus para pelaku perdagangan di pasar dan harga yang terus naik dalam lelang dengan bantuan agen. Dengan demikian dia berkata, uang ekstra yang diperoleh melalui eksploitasi semacam itu dan juga kegiatan penipuan adalah Riba al-fadl. Riba al-fadl menurutnya adalah setiap bentuk ketidakadilan, dan dia merekatkan kasusnya dengan Hadist Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, yang berbunyi: “Tinggalkanlah hal yang menciptakan keraguan dalam pikiranmu untuk mendukung hal yang tidak menciptakan keraguan.” Dan juga Khalifah Umar yang berkata: “Berpantang bukan hanya dari Riba tapi juga dari Ribah” Ribah bermakna ‘ragu’ yang merujuk kepada income yang mirip Riba atau yang muncul dalam pikiran mengenai halal-haramnya. Meliputi income yang berasal dari ketidakadilan atau eksploitasi terhadap orang lain (Ibid, p.61). Dengan demikian Riba al-fadl sepenuhnya didefinisikan ulang dalam istilah ketidakadilan dan Riba an-nasiah dikesampingkan menjadi sekedar riba yang berkenaan dengan pinjaman,
116
di mana kenyataannya definisi itu tidak cocok kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang” yakni dalam kasus 'hutang dibayar hutang'. Merujuk kepada Fakhruddin al-Razi, Chapra menyimpulkan bahwa Riba an-nasiah dan Riba al-fadl adalah unsur esensial dari ayat: “Allah telah menghalalkan Jual-beli dan mengharamkan Riba.” Dan dia berkata bahwa saat Riba an-nasiah berhubungan dengan pinjaman dan diharamkan dalam ayat itu, Riba al-fadl berhubungan dengan perdagangan dan tersirat dalam bagian pertama. Dia berkata bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan melalui Riba dapat langgeng melalu transaksi bisnis, dan Riba al-fadl merujuk kepada semua ketidakadilan dan eksploitasi, lelang, ketidakpastian, atau spekulasi bisnis, dan monopoli serta monopsoni (Ibid, p.61). Sekarang kita akan menjajaki kalimat ini “Riba an-nasiah berhubungan dengan hutang” kita dapat memahami dasar kesalahan mereka. Apa yang Chapra dan lainnya katakan adalah bahwa Riba nasiah merujuk kepada Riba yang terjadi dalam transaksi yang memiliki penundaan (seperti hutang), sedangkan posisi yang tepat Riba an-nasiah adalah “penundaan yang tidak dibenarkan” yang terjadi di segala jenis transaksi (misalnya dapat terjadi pada Tukar-menukar). Kenyataannya walaupun ada penundaan dalam hutang, itu bukanlah penundaan yang haram. Penundaan dalam hutang adalah Halal (kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang”). “Kelebihan yang tidak dibenarkan” dalam hutang adalah 'kelebihan pembayaran'. Karena itu penundaan bukan penyebab Riba dalam kasus hutang, melainkan kelebihan pembayaranlah yang jadi penyebab Riba. Jenis Riba yang diasosiasikan dengan pengenaan bunga pinjaman adalah Riba al-fadl dan bukan Riba an-nasiah. Kesalahan ini bukan kesalahan yang sederhana, sebab membawa akibat penting. Dengan mendefinisi ulang Riba an-nasiah, justru menghilangkan makna sehingga kehilangan kemampuan mendefinisikan ke-Haraman dalam penundaan yang diharamkan. Ini akan mencegah para Bankir Syariah dari kemampuan mempertanyakan keharaman penggunaan nota utang dalam pertukaran dan transaksi lain di mana penggunaan dayn adalah haram. Kesalahan ini adalah pintu belakang pembenaran uang kertas. Para Bankir Syariah setuju bahwa bunga yang dikenakan oleh bank konvensional “adalah identik dengan kelebihan yang ditetapkan di awal sebagai kewajiban yang harus dibayar, yang merupakan salah satu dari dua jenis riba yang diharamkan oleh Syariat Islam.” Tetapi mereka menyepelekan pertanyaan apapun tentang kemungkinan Riba oleh penundaan dalam pertukaran dan transaksi lain, juga pemahaman kritis tentang uang kertas. Akademi Fiqih Islam yang didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OIC) dalam sesi kedua yang diselenggarakan di Jeddah, Saudi Arabia, 22-28 December 1985, mendeklarasikan bahwa “setiap kelebihan atau keuntungan pada pinjaman yang telah jatuh tempo, sebagai imbalan atas perpanjangan tanggal jatuh tempo, dalam hal peminjam tidak mampu membayar, dan setiap kelebihan atau keuntungan pinjaman pada saat dimulainya perjanjian pinjaman, keduanya adalah bentuk Riba, yang diharamkan oleh Syariah” (Ausaf Ahmed 1995, Evolusi Bank Islam. Dalam Ensiklopedia Bank Islam, London: Institut Asuransi dan Bank Islam. p.17). Kesimpulannya, klasifikasi kaum modernis mereduksi Riba kepada dua isu: Bunga dalam pinjaman dan setiap jenis monopoli atau monopsoni, atau peningkatan harga terus-menerus di pasar. Yang pertama mereka sebut semena-mena sebagai Riba an-nasiah, 117
dan yang kedua Riba al-fadl. Klasifikasi ini memelintir makna dari dua jenis Riba itu dan menyepelekan isu penting penggunaan uang kertas dalam pertukaran dan seluruh permasalahan uang kertas. Dalam esensinya, ide mereka tentang Riba adalah bunga pinjaman. Menyamakan Riba dengan Bunga Pinjaman Ulama pro perbankan menyamakan bunga dengan Riba. Menurut mereka, Riba merujuk kepada iuran yang harus dibayar oleh peminjam kepada yang meminjami bersama dengan utang pokok sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan utang yang jatuh tempo (Chapra 1985, p.64). Dengan kata lain, Riba adalah kelebihan pengembalian yang ditentukan. Di masa lalu telah ada sengketa apakah Riba merujuk kepada sekedar bunga atau semua jenis riba, tetapi sekarang ada kesepakatan di antara para ulama modern bahwa istilah Riba meliputi semua bentuk bunga dan bukan hanya bunga yang “berlebihan” [sebagaimana dipercaya oleh Ridha dan yang lainnya] (Khan, W. M. (1985), Menuju Sistem Ekonomi Islam Bebas Bunga. Leicester, Islamabad: Yayasan Islam, Asosiasi Internasional Ekonomi Islam. p.52). Ulama modern telah menyimpulkan bahwa karakteristik terpenting Riba adalah hasil pasti dari uang ketika berubah jumlah. Dengan kata lain, ketika uang beranak uang, tanpa ditukar dengan barang atau jasa, maka disebut Riba. Karakteristik dasarnya menurut mereka adalah: 1. Harus berhubungan dengan pinjaman; 2. Kelebihan disepakati di awal yang harus dibayar ketika jatuh tempo; 3. Waktu yang ditetapkan untuk pembayaran ulang; dan 4. Semua unsur untuk pembayaran ulang ini diambil sebagai syarat pinjaman. Dalam semua pandangan yang mereduksi Riba ini keseluruhan isu Penundaan disepelekan. Bank Syari'ah adalah Sama Saja dengan Bank Biasa Hasil akhir dari penyimpangan makna Riba ini adalah pembenaran perbankan. Premis mereka adalah ‘perbankan tanpa bunga’ adalah Halal. Kenyataannya walaupun Bank Syariah mendefinisikan diri sebagai Bank Tanpa bunga, sebenarnya juga mengenakan bunga tetapi dengan nama yang berbeda. Mereka menyebutnya 'bagi hasil', terkadang deviden, terkadang mark-up melalui bermacam skema penipuan. Tetapi terpisah dari metode penipuan penyembunyian bunga itu, masalah utamanya, Bank Syariah adalah sama dengan Bank biasa. Bank Syariah seperti halnya semua Bank, mempraktekkan ‘fractional reserve banking’. Fractional reserve banking adalah esensi uang fiat. Melalui metode ini mereka menggunakan dan menciptakan uang fiat dan akibatnya mereka mendukung sistem uang saat ini. Pertama-tama, dalam Islam, orang (bankir) yang menerima titipan (wadi’ah) dari orang lain tidak boleh berdagang dengan uang itu. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran kontrak. Pada masa lalu umat Muslim berurusan dengan pembayaran secara langsung atau melalui jaringan yang terdiri dari para wakil, yang tidak menciptakan kredit, mereka hanya melaksanakan perintah pelanggan, yakni untuk membayar atau menerima pembayaran. Uang dan kredit tidak dicampur. Dan wakil tidak menggunakan uang titipan untuk perdagangan mereka sendiri. Kedua, dalam Islam Anda tidak dapat menggunakan hutang sebagai uang. Dalam kasus uang kertas yang tidak didukung oleh logam mulia apapun, bankir berdagang dengan nota utang yang nilainya ditentukan oleh paksaan Negara. Uang jaman sekarang kenyataannya adalah 118
pajak. Tidak ada cara untuk membolehkan ini dalam Islam. Bankir Islam tidak hanya berdagang dengan uang kertas, mereka menyumbang penciptaan lebih banyak uang kertas melalui penciptaan deposit. Harus diperhatikan bahwa fungsi bank deposit adalah seperti uang. Untuk mengilustrasikan penciptaan uang, kami akan memberikan sebuah contoh. Di Kanada angka-angka yang dipublikasikan oleh Bank Kanada menjelaskan bahwa pada 1998 perbandingan semua cadangan Tunai bank di Kanada ($3.893 milyar) dibandingkan dengan total aset ($1393 milyar) telah meloncat kepada tingkat 1:358, angka yang tidak pernah terjadi dalam sejarah, selama 50 tahun pertama abad ke-20, rasio tidak pernah melebihi 1:15. Karenanya untuk setiap 1 dolar simpanan di Bank Kanada, bank telah menyulap $357 dari ketiadaan yang mereka investasikan atau pinjamkan dengan bunga. Contoh ini menunjukkan bahwa bank sebenarnya adalah kontributor utama suplai uang negara. Apa yang fractional reserve banking izinkan bagi bank adalah untuk meminjami melebihi cadangan dalam bentuk tunai. Sehingga apa yang terjadi ketika setiap orang mulai merasa curiga tentang sistem fractional reserve banking saat ini, dan menarik simpanan di bank? Tidak ada jumlah uang tunai yang cukup. Keruntuhan bank, dapat disaksikan pada peristiwa tragis Great Depression tahun 1930-an. Untuk peristiwa yang lebih kini, terjadi di tahun 1985, ketika sejumlah bank regional di timur-laut Amerika menghadapi kebangkrutan saat menerbitkan kredit ketika tiap individu menarik simpanan. Kita juga menyaksikan sebuah bank runtuh baru-baru ini di Argentina, tahun 2001. Polisi berjaga-jaga, dan nasabah ditolak masuk ke bank untuk menarik tabungan. Sementara itu pejabat terpilih dan pemerintahan di berbagai negara telah berusaha untuk menutup bank, untuk mencegah terjadinya bank runtuh dan menimbulkan bencana keuangan yang tidak terkendali dan secara esensial menghancurkan sistem perbankan saat ini. Solusi yang diambil ketika bank runtuh adalah menggunakan pajak dari warga negara melalui jaminan bank sentral untuk menghilangkan masalah sampai masalah berikutnya muncul kembali. Negara melindungi bank dari keruntuhan dengan cara menjamin simpanan masyarakat, akhirnya menambah masalah dengan pemecahan cadangan bank sentral yang ditarik supaya bank dapat beroperasi kembali. Industri bank saat ini diatur dengan tatacara sedemikian rupa sehingga ada kartel sah pembuat uang. Negara melindungi kartel bank ini dengan berbagai macam kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Bank Syariah tanpa terkecuali adalah bagian dari sistem ini. Bank Syariah mempraktekkan fractional reserve banking yang menjadi dasar dari mayoritas uang yang beredar 113. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk mendukung semua uang yang dibuat. Selisih tersebut dimasukkan ke dalam perekonomian sebagai uang beredar yang memberikan kontribusi terhadap fenomena inflasi114.
113 Tanpa FRB, bank Syariah tidak dapat disebut bank. Demikian Sidi Umar Ibrahim Vadillo menerangkan di depan para profesor dan doktor di Universitas Islam Malaysia tahun 2009. 114 Dirasakan oleh masyarakat sebagai keadaan di mana harga-harga terus-menerus naik karena semakin banyak jumlah uang yang beredar.
119
Ide pertama Bank Syariah berasal dari idenya ‘Abduh, yang menyamakan bank dengan Syirkat dan Qirad. Prinsip yang memicu Bank Syariah tersebut adalah ide bahwa bank menginvestasikan uangnya – karena mereka tidak memberi pinjaman, mereka hanya berinvestasi – sehingga dapat dibuat Halal. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak mengenakan bunga karena mereka menginvestasikan uang mereka kepada bisnis lain. Satusatunya reformasi yang diperlukan, menurut mereka, dalam Islamisasi perbankan investasi bukanlah membayar bunga kepada pemilik akun rekening. Itu bukanlah penyelesaian masalah melainkan cara lain untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan. Sehingga menurut mereka investasi perbankan tanpa membayar bunga kepada pemilik akun adalah Halal. Apa yang Bankir Syariah tidak dapat hindari adalah penyakit perbankan terutama inflasi. Karena mereka tidak dapat membenarkan inflasi dari perspektif Islam, yang lantas mereka katakan adalah masalah inflasi itu adalah tanggung jawab pemerintah, bukan bank. Ini tidak benar. Pemerintah menertibkan inflasi, tetapi produser utama pasokan uang adalah bank, termasuk Bank Syariah. Ketika mereka akhirnya ditekan mengenai masalah inflasi ini mereka berpendapat seperti biasanya bahwa ini adalah masalah darurah. Secara alami, ide Dinar Emas dan Dirham Perak (mata uang Syari'ah) bagi para bankir adalah mengerikan, dan yang memalukan, termasuk pula para Bankir Syariah – karena perbankan tidak dapat beroperasi dengan rejim moneter emas dan perak murni. Mereka memerlukan uang kertas, apakah menjadi bagian dari standar emas, atau bahkan lebih baik, dengan uang fiat baru yang dipaksakan penggunaannya oleh Negara. Bank Syariah adalah bagian dari sistem perbankan. Bank Syariah adalah Haram sedangkan prakteknya adalah akal bulus yang paling licik melawan Syariah yang terjadi sepanjang sejarah. Bank Syariah telah membuat yang Haram jadi Halal. Karenanya kejahatan mereka adalah ganda. Pertama menggunakan yang Haram, dan kedua, merubah Hukum Syariah untuk membenarkan praktek mereka. Murabahah, Apa yang Termasuk dan Apa yang Tidak Termasuk Murabahah adalah kontrak penjualan yang terkenal dalam Islam yang telah disesatkan oleh Bank Syariah. Murabahah memenuhi antara 80 sampai 90 persen transaksi Bank Syariah. Kami mengatakan bahwa tanpa versi Murabahah ala Bank Syariah, Nama Syariah dalam sebuah Bank takkan mampu dipertahankan. Di bawah label Murabahah, yang merupakan sebuah penjualan, Bank Syariah melakukan pembiayaan berdasarkan praktek keharaman yang dikenal sebagai “dua penjualan dalam satu”. Praktek “dua penjualan dalam satu” ini adalah praktek tersamar yang menyembunyikan riba seolah-olah keuntungan. Berikut ini yang dikatakan oleh Bank Syariah mengenai Murabahah? “Murabahah: Secara Literal bermakna mark-up. Kontrak ini umumnya digunakan dalam pembiayaan perdagangan. Di bawah praktek ini, bank membeli atas namanya sendiri barang-barang yang pembeli inginkan. Bank kemudian menjual barang itu kepada pembeli untuk mendapatkan keuntungan. Pembeli lalu menyelesaikan pembayaran kepada bank dengan cara diangsur.” Gambaran ini adalah apa yang kita sebut “dua penjualan dalam satu” dan itu haram. Imam Malik menulis dalam kitab Muwatta:
120
“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Rasulullah Sallallahualayhi wasallam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan.” “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar seorang laki-laki berkata kepada temannya, ‘Belikan aku unta ini sekarang juga supaya aku dapat membeli unta itu darimu dengan cara kredit.’ ‘Abdullah ibnu ‘Umar ditanya tentang hal itu dan dia tidak setuju serta melarangnya.” Sebelum kita membahas persoalan ini secara terperinci, kita akan mempelajari makna asli Murabahah. Dalam Fiqih (Syariah) kontrak Murabahah adalah kontrak penjualan, yang bermakna ada penawaran dan penerimaan harga barang tertentu dalam transaksi tunggal. Perselisihan khas yang timbul dari kontrak Murabahah berhubungan dengan definisi harga dasar di atas yang dia tambahkan mark-up. Dalam sebuah kontrak Murabahah, harga dasar dikaitkan dengan harga akhir. Mark-up yang digunakan sebagai contoh dalam kitab Muwatta Imam Malik adalah 10%. Imam Malik membuat contoh berikut tentang seseorang yang menjual barang dalam Murabahah: “jika seseorang menjual barang seharga seratus dinar dengan harga seratus sepuluh dinar” Dalam penjualan biasa, penjual tidak wajib menyebutkan harga kulakan, tetapi dalam Murabahah Anda menyatakan harga kulakan plus mark-up nya. “Jika seseorang menjual barang dalam Murabahah dan dia berkata, ‘Barang itu senilai seratus dinar bagiku.’ Praktek umumnya adalah penjual membeli barang di satu kota dan kemudian pergi ke kota lain untuk menjualnya dalam Murabahah, mengatakan: “Barang itu saya kulakan harga segini dan saya jual harga segitu” atau cukup dengan berkata “saya jual barang itu dengan keuntungan sepersepuluh (10 persen)” Dalam Murabahah tradisional, barang-barang adalah milik penjual sebelum dia menawarkannya. Dalam Murabahah nya Bank Syariah, pembeli datang kepada bank dan berkata, Saya ingin beli ini dan itu. Kemudian Bank Syariah membelikannya secara Tunai dan menjualnya kepada klien seharga pembelian plus mark-up dengan syarat penundaan. Praktek ini adalah “dua penjualan dalam satu” dan itu Haram. Persoalan kritis Murabahah yang menyita perhatian ulama kita adalah definisi harga dasar, sehingga tidak ada penyalahgunaan. Ada beberapa biaya yang disertakan dalam harga dasar dan ada yang tidak disertakan. Ketika sebuah biaya disertakan maka disebutnya penjual membuat mark-up pada biaya. Ibnu Rushd menjelaskan perkara ini sebagai berikut: Mayoritas Fuqaha setuju bahwa jual-beli ada dua jenis: Jual-beli Musawanah dan Jual-beli Murabahah. Disebut Murabahah ketika penjual menyebutkan harga kulakan, dan kemudian mengambil kelebihan berupa keuntungan dalam dinar atau dirham. Ibnu Rushd menganalisa semua ketidakcocokan dalam masalah ini dalam bab al-Murabahah dalam kitab Bidayatul Mujtahid. Dia menjelaskan isu berkenaan dengan apa yang boleh dan apa yang tidak. Secara umum boleh bagi penjual dengan jalan Murabahah membeli dengan
121
syarat penundaan dan juga menjual dengan syarat penundaan. Hanya ada satu unsur yang dipertimbangkan sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rushd: Malik berkata tentang orang yang menjual barang secara kredit dalam satu periode dan menjual barang itu dengan cara Murabahah, Imam Malik tidak mengizinkannya kecuali dia mengungkapkan periodenya. Imam Asy-Syafi’i berkata bahwa jika hal ini terjadi, pembeli akan memiliki periode (kredit) mirip dengan nya. Maksudnya adalah kontrak Murabahah itu ada aturannya. Yaitu pertimbangan harga dasar atas keuntungan adalah tetap dan didefinisikan dengan jelas. Harga dasar menyertakan harga kulakan dan semua biaya yang dikeluarkan dalam transportasi, dll, sangat mirip dengan kasus agen Qirad. Penjual harus menyatakan biaya ekstra kepada pembeli, dan tidak ada salahnya mengurangi harga jika ada kesepakatan. Murabahah bukanlah kontrak perdagangan seperti halnya Qirad. Murabahah adalah Jual-beli dan karenanya diatur oleh Hukum Jual-beli. Apa yang diharamkan dalam Jual-beli adalah haram juga dalam Murabahah, dan apa yang dibolehkan dalam jual-beli adalah dibolehkan juga dalam Murabahah. Perbedaannya dari jual-beli biasa adalah cara menyatakan harga. Praktek Murabahah versi Bank Islam Barangkali tokoh pemikir Bank Islam yang paling kondang adalah ulama Pakistan Taqi Osmani, yang esai nya tentang Murabahah mengatakan: "Murabahah" kenyataannya adalah istilah Fiqih Islam dan merujuk kepada jenis penjualan tertentu yang tidak berhubungan apapaun dalam pembiayaan dalam arti aslinya.... Murabahah, dalam konotasi Islam nya yang asli, hanya sekedar penjualan. Ciri yang membedakannya dari jenis penjualan lain adalah, Penjual dalam Jual-beli Murabahah mengatakan kepada pembeli berapa biaya yang dia kenakan dan berapa keuntungan yang akan dia kenakan sebagai tambahan biaya. Definisi ini benar kecuali kalimat “berapa keuntungan yang akan dia kenakan sebagai tambahan biaya” seharusnya berbunyi “berapa keuntungan yang dia kenakan sebagai tambahan biaya”. Perbedaan future dengan present adalah esensial untuk dimengerti guna memahami bagaimana praktek penjualan Murabahah ala Bank Islam terjadi. Future menyiratkan ada pra-kesepakatan sebelum penjual kulakan barang untuk dijual kepada pembeli, tetapi definisi dari Taqi Osmani dan perbedaan kalimat ini bukanlah poin utama. Posisi Taqi Osmani, seperti sebagian besar ulama Perbankan Syariah, adalah bahwa Murabahah hanya dijadikan prinsip, yaitu, kesanggupan menyatakan mark-up penjualan, dan yang mereka lakukan kemudian adalah menggabungkan prinsip Murabahah ini dengan penjualan atas dasar syarat penundaan. Yang disebut oleh Bank Syariah sebagai Murabahah bukanlah Murabahah, tetapi hanyalah sebentuk Riba. Taqi Osmani, seperti semua bankir Syariah lainnya, menyepelekan larangan “dua penjualan dalam satu”. Kini kita akan kembali membahas larangan ini. Larangan Dua Penjualan dalam Satu Ibnu Rushd menjabarkan persoalan ini dalam kitab Bidayatul-Mujtahid:
122
“Tema yang terkait dengan subjek di bab ini adalah hadist yang menegaskan bahwa Rasulullah shallallahualayhi wasallam, mengharamkan dua penjualan dalam satu, menurut Hadist dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu Masud dan Abu Hurairah. Abu Umar berkata bahwa semua Hadist ini telah diriwayatkan oleh otoritas terpercaya. Karena itu para Fuqaha secara umum setuju pada implikasi Hadist ini, tetapi berbeda mengenai detailnya – Maksud saya bentuk di mana istilah ini diterapkan dan di mana tidak dapat diterapkan. Mereka juga sepakat kepada beberapa bentuknya. Dua Penjualan dalam satu ini dapat terjadi dengan tiga cara: 1- Pertukaran dua komoditas yang diberi harga dengan dua harga, 2- Menukar satu komoditas yang diberi harga dengan dua harga, dan yang 3- Menukar dua komoditas yang diberi harga dengan satu harga, dalam kasus mana salah satu dari dua harga disatukan. 1- Penjualan dua komoditas yang diberi harga, dengan dua harga digambarkan dalam dua cara: pertama saat seseorang berkata kepada orang lain, “saya akan menjual kepadamu komoditas ini seharga sekian dengan syarat Anda menjual kepada saya rumah itu seharga sekian;” dan kedua dia mengatakan kepada seseorang, “saya akan menjual kepada Anda benda ini seharga satu dinar atau komoditas lain ini seharga dua dinar.” 2- Penjualan satu komoditas dengan dua harga juga digambarkan dengan dua cara: pertama, salah satu dari harga dibayar tunai sementara harga yang lain dibayar kredit, dan hal yang kedua, seperti halnya seseorang yang berkata “saya akan menjual kepadamu baju ini secara tunai dengan harga segini dengan syarat bahwa saya membelinya dari Anda (secara kredit) selama periode sekian waktu dengan harga sekian”. 3- Penjualan dua komoditas dengan harga tunggal adalah seperti mengatakan, “saya akan menjual kepadamu salah satu dari dua barang ini dengan harga sekian dan sekian.” ... namun jika dia berkata, “saya akan membelikanmu baju ini secara tunai seharga sekian dengan syarat bahwa Anda membeli dari saya (secara kredit) dalam sebuah periode,” tidak diizinkan secara bulat (oleh ‘ijma), menurut mereka (para fuqaha), karena itu adalah salah satu kategori ‘ina, yakni penjualan oleh seseorang dari apa yang tidak dia miliki dan juga melibatkan kasus larangan jahl mengenai harga. Ketiga-tiganya adalah Haram. Imam Malik menulis dalam kitab al-Muwatta: “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar al-Qasim ibnu Muhammad ditanya tentang seseorang yang membeli barang-barang seharga sepuluh dinar tunai atau limabelas dinar kredit. Dia tidak mengizinkan dan melarangnya.” Malik berkata bahwa jika seseorang membeli barang-barang dari orang lain baik itu dengan harga sepuluh dinar tunai atau limabelas dinar kredit, yang mana salah satu dari dua harga itu diwajibkan kepada pembeli, maka perbuatan semacam itu janganlah dilakukan karena jika dia menunda pembayaran yang sepuluh dinar, maka akan menjadi limabelas dengan cara kredit, dan jika dia membayar sepuluh, dia akan belanja dengan sepuluh dinar itu untuk barang senilai limabelas jika kredit. Malik berkata bahwa tidak dibolehkan bagi seseorang membeli barang dari orang lain baik itu dengan satu dinar dibayar tunai atau dengan dua dinar secara kredit dan bahwa satu dari 123
dua harga diwajibkan kepadanya. Itu tidak dilakukan karena Rasulullah shallallahualayhi wasallam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan. Ini adalah sejenis jual-beli: 'dua penjualan dalam satu'. Semua dalil ini membuktikan bahwa praktek Murabahah nya Bank Syariah adalah Haram sebab kenyataannya bukan Murabahah tetapi dua penjualan dalam satu, yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahualayhi wasallam. Larangan dua penjualan dalam satu juga menyertakan praktek tersembunyi yang menjadi biasa di pasar-pasar kita saat ini dan telah didukung oleh Bankir Syariah, yakni merujuk kepada orang yang menjual barang dengan dua harga, satu harga dibayar tunai, satu harga dicicil secara kredit. Ini adalah Haram dan harus diberantas. Jika penjual bermaksud menunda penerimaan pembayaran, maka harganya tidak boleh naik115. Taqi Osmani menegaskan bahwa transformasi Murabahah kepada pembiayaan, yang bertujuan Islamisasi pembiayaan, adalah tidak benar dalam Syari'ah tetapi hanya ukuran sementara: “Asalnya, Murabahah adalah jenis suatu penjualan dan bukan mode pembiayaan. Mode ideal menurut Syari'ah adalah mudarabah (qirad) atau musyarakah (syirkat) yang telah dibahas pada bab pertama. Namun, dalam perspektif ekonomi saat ini, ada kesulitan praktis tertentu dalam menggunakan instrumen mudarabah dan musyarakah pada beberapa wilayah pembiayaan. Karena itu ahli Syari'ah kontemporer telah membolehkan, sesuai dengan kondisi tertentu, penggunaan Murabahah pada basis pembayaran yang ditunda sebagai mode pembiayaan. Tetapi ada dua poin esensial yang harus benar-benar dipahami dalam hal ini: 1- Hendaknya jangan pernah diabaikan bahwa, asalnya, Murabahah bukanlah model pembiayaan. Itu hanyalah perangkat untuk lolos dari "bunga" dan bukan instrumen ideal untuk melaksanakan tujuan ekonomi Syariah yang sebenarnya. Karena itu instrumen ini hendaknya digunakan sebagai langkah transit yang diambil dalam proses men-Syariah-kan ekonomi, dan penggunaannya hendaknya dibatasi hanya bagi hal-hal di mana mudarabah atau musyarakah tidak dapat dipraktekkan. Namun, ide ‘langkah transit’ belum disampaikan kepada pelanggan mereka. Pelanggan diberitahu bahwa praktek Murabahah adalah Halal. Masalah terburuk, adalah praktek langkah transit yang dimaksud bukanlah kembali ke Syariah, melainkan integrasi lebih jauh dengan sistem kapitalis, yang mereka sebut men-Syariah-kan ekonomi 116. Maksud dari menSyariah-kan ekonomi bukan keluar dari kapitalisme yang saat ini mengelilingi kita, tetapi menyesuaikan Hukum Syariah supaya cocok dengan kapitalisme, sebab Syariah dan kapitalisme adalah dua hal yang saling berlawanan. Murabahah sebagaimana yang dipraktekkan oleh Bank Syariah adalah benar-benar Penipuan Tariq al-Diwani menulis dalam esai nya “Bank Islam tidaklah Islam” (artikel tersedia di http://www.islamic-finance.com/indexnew.htm) 115 Melainkan harus sama, baik itu dibayar tunai, atau dicicil secara kredit, ini adalah Halal dan masuk kepada kategori transaksi Hutang-piutang, bukan Jual-beli. Dalam Hutang Piutang, Penundaan Pembayaran adalah Halal, tetapi Kelebihan Pembayaran adalah Haram 116 Di Indonesia tahun 2013, telah diluncurkan Gerakan Ekonomi Syariah oleh Bank Indonesia.
124
“The Contractum Trinius, adalah akal-akalan hukum yang digunakan oleh pedagang Eropa jaman pertengahan untuk meng-hutangi orang dengan riba, suatu hal yang dilarang keras oleh Gereja saat itu. Kontrak itu adalah gabungan tiga kontrak yang disatukan, yang jika sendiri-sendiri, kontrak itu dianggap boleh oleh Gereja, tapi jika bersama-sama digabung, menghasilkan pengembalian tetap yang disetujui di awal (hutang berbunga). Contoh, pura-puranya Si A memodali Rp100 ke Si B selama setahun (penundaan). Si A kemudian pura-puranya menjual kepada Si B hak menerima keuntungan dari permodalan tersebut sebesar Rp30 dan dibeli oleh Si B dengan harga Rp15. Kemudian, A akan mengasuransikan diri terhadap kerugian dengan cara kontrak ketiga yang disetujui oleh B dengan biaya dibayar oleh B ke A sebesar Rp5. Hasil dari tiga kontrak berbarengan itu adalah: disepakati di awal pembayaran bunga sebesar Rp10 (kelebihan) pada pinjaman sebesar Rp100 yang ditetapkan oleh A untuk dibayar oleh B di akhir tahun (bunga 10% per tahun ditambah jaminan sebesar 5% total Rp15). Saya telah membaca tentang contractum trinius beberapa bulan sebelum menemukan kejahatan di balik kontrak Murabahah Bank Syariah. Itu adalah jenis kontrak yang Si A gunakan untuk pembelian barang X dari Si B. Bank akan menengahi transaksi dengan meminta A berjanji membeli barang X dari bank dalam hal bahwa bank membeli barang X dari B. Dengan janji yang dibuat di awal ini, bank mengetahui bahwa jika bank membeli barang X dari B bank dapat menjual barang itu kepada A dengan segera. Bank setuju bahwa A membayar barang X tiga bulan setelah bank mengirim barang itu kepada A. Sebagai balas jasanya, A setuju membayar bank sekian persen untuk pembelian barang X sebagai kelebihan dari yang dibayarkan oleh bank kepada si B. Akibatnya adalah bunga tetap atas balas jasa pembiayaan yang dilakukan oleh bank, Kontrak dimulai dengan bank membeli barang X dari B dibayar tunai untuk dikreditkan kepada A dengan harga lebih mahal. Kumpulan trik hukum itu, baik di jaman pertengahan atau yang dipraktekkan oleh Murabahah nya Bank Syariah, tidak lebih dari akal-akalan untuk menghindar dari sebutan Riba, yakni contractum trinius Syariah jaman modern yang dipraktekkan oleh Bank Syariah. Fakta bahwa teks kontrak ini begitu sulit didapat adalah salah satu Fakta memalukan Perbankan Syariah. Jika memang bersih, kenapa dirahasiakan? Berikut ini adalah kutipan dari kontrak Murabahah yang sering digunakan oleh dua lembaga utama selama tahun 1990-an. Penerima dana (beneficiary) adalah klien yang membutuhkan pembiayaan, dan klausa sebelumnya mengharuskan Penerima bertindak sebagai agen dari Bank dalam mengambil pengiriman barang.” Penipuan ini tidak dibolehkan dalam Hukum Syariah. Itu hanyalah akal-akalan untuk menghadirkan yang Haram sebagai Halal. Bahaya dari Pengambilan Semata Prinsipnya Saja dari Kontrak Muamalah Pada saat kontrak Muamalah diambil prinsipnya saja, maka penafsiran akan tercerabut dari ‘Amal117. Hasilnya adalah bahwa ekonomi Syariah dapat bebas dibikin bentuk apapun untuk tujuan 'men-Syariah-kan kapitalisme’.
117 Praktek asli yang berlaku dari kontrak-kontrak Muamalah yang sesungguhnya .
125
Dengan menggunakan karya dari orang seperti Taqi Osmani, satu pasukan baru Bankir Syariah 'berijtihad' dan membangun dasar, melalui metodologi dan prinsip yang sama, mereka bergerak kepada lapisan selanjutnya 'men-Syariah-kan kapitalisme’. Ketika sampai kepada men-Syariah-kan obligasi dan turunannya, sumber-sumber asli Syariah benar-benar dilupakan dan tidak lagi menggunakan pijakan pengambilan “hukum syara'” oleh generasi bankir Syariah yang sebelumnya. Hasilnya adalah khayal di atas khayal. ‘Men-Syariah-kan’ pasar masa depan adalah yang terakhir, namun bukan langkah terakhir, perkembangan penipuan ini menjadi tak terkendali dengan sebutan ‘ekonomi Syariah’. Mengenai isu ini lihat Sebuah Bantahan Yuridis terhadap Taqi Osmani ditulis oleh Hadhrat Maulana Mufti Habibullaah dari Pakistan. Mufti Habibullaah menulis:" “Saya telah membuat studi mendalam tentang buku Mufti Muhammad Taqi Utsmani Sahib, berjudul Islaam Aur Jadeed Ma' eeshat Wa Tijaarat (Islam dan Kehidupan serta Perdagangan Modern). Saya menyimpulkan bahwa Mufti Sahib telah bertindak percuma membangun sistem kapitalis dengan bantuan Islam dan Syariah. Sementara Islam menolak sistem ini, Mufti Saheb malah membuat Syariah tunduk kepada sistem kapitalisme. Tetapi kami (Muslim) kehidupan sosial dan politiknya tunduk kepada Syariah. Mufti Saheb telah berusaha menambahkan kata Jadeed (modern), guna menyajikan sistem kapitalis dalam nuansa syariah. Ini adalah upaya membangun keuntungan moneter bagi para kapitalis yang akan menuntun umat Muslim jadi percaya bahwa keuntungan mereka adalah keuntungan halal. Jadi, mereka akan memanfaatkan keuntungan tersebut tanpa memahami dosa atau tidaknya. Yang demikian benar-benar tak bernilai apapun baik itu di dunia maupun juga di akhirat nanti.” Teknik yang digunakan adalah merubah Hukum Syariah ke dalam prinsip abstrak tanpa konteks ‘amalnya dan kemudian penerapan bebas prinsip-prinsip ini dengan qiyas kepada kontrak yang sama sekali baru. Dengan demikian proses ini dianggap sebagai “Men-Syariahkan sebuah Kontrak118”. Berikut ini adalah contoh bagaimana Mudarabah secara prinsip ditafsirkan sebagai bagi-hasil dan Musyarakah sebagai persamaan partisipasi. Implikasinya adalah Mudarabah adalah sebagai sebuah kontrak Syariah yang disahkan oleh Fiqih menjadi segala bentuk bagi-hasil berdasarkan kontrak kapitalis. “Pengambilan semata prinsip Mudarabah-Musyarakah ini (bagi-hasil & persamaan partisipasi) kepada kontrak pembiayaan lebih dekat kepada partisipasi kooperatif dan aktif antara pemegang saham ketimbang pendayagunaan harta mengendap yang dimiliki oleh seorang kaya untuk memodali partner usahanya.” (Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, Ekonomi Politik Islam, sebuah Kritik kepada Ekonomi Islam. Dipublikasikan dalam jurnal Ekonomi Politik Alternatif. Vol I, No I, January 99; Penang, 1999, p. 9.) Pencatutan istilah ekonomi yang tampaknya tidak berbahaya ini memiliki implikasi ganda. Satu, pencatutan istilah telah menyederhanakan dan menggantikan sifat alamiah yang rumit dari ‘amal yang sesungguhnya, guna mendukung prinsip-prinsip (yang de facto disebut prinsip-prinsip Syariah) yang secara diam-diam membawa semua konotasi dan latar belakang filosofi yang berbeda.
118 Kontrak kapitalis yang dicarikan dalilnya (prinsip-prinsip nya) dari Hukum Syariah supaya dapat disebut Syari'ah, demikian penjelasan Aviliani, seorang ekonom INDEF
126
Dua, prinsip-prinsip Syariah ini digunakan untuk melabeli dan membenarkan situasi lain yang sama sekali berbeda dari kontrak aslinya. Mudarabah atau Qirad adalah lebih dari sekedar ‘bagi hasil’. Banyak kewajiban dan larangan dalam 'Amal Syariah nya yang tidak tercakup oleh istilah ‘bagi-hasil’. Syarikat atau Syirkat berbeda dari ‘persamaan partisipasi’. Apa yang dipahami dengan persamaan partisipasi dalam kapitalisme dan dalam Hukum Syariah adalah benar-benar berbeda. Tahap-tahap Proses Islamisasi Tahap pertama dari ijtihad modernis/reformis dilakukan oleh Muhammad ‘Abduh yang melegalkan bunga dengan dasar kemiripan dengan bagi-hasil dalam Syariah, yaitu Qirad. Qiyas (analogi) kaum modernis adalah sebagai berikut: Semangat Qirad adalah untuk berbagi keuntungan dari bisnis yang sah, oleh karena itu, dari bisnis yang sah kami dapat menawarkan beberapa bentuk 'keuntungan yang dibatasi atau bunganya. Tahap kedua Islamisasi Riba adalah ijtihad Hasan al-Banna mengenai legalisasi dividen sebagai laba yang sah. Qiyas nya terdiri dari ucapan bahwa deviden sama seperti sejenis ‘keuntungan praktis’, walaupun deviden diputuskan oleh mayoritas pemegang saham dan mereka independent dari hasil perusahaan. Tahap ketiga, adalah pembangunan Bank Islam/Syariah, di antara tokoh yang dapat disebutkan adalah: Yusuf Qardawi (Pemimpin Ikhwanul Muslimin dan Kepala Dewan Islam Bank Islam Abu Dhabi) dan Khurshid Ahmad (Pemimpin Jama'atul Islamiyah dan salah seorang Bapak Ekonomi Syariah). Mereka memperkenalkan penggunaan-penggunaan istilah Arab untuk menyembunyikan praktek Riba. Inilah proses yang paling berbahaya. Proses itu mencerminkan penolakan mutlak Hukum Syariah dan merubahnya dengan qiyas kepada ‘prinsip-prinsip Syariah’ sebagai proses reformasi, yang demikian itulah yang dilakukan terhadap Murabahah. Metodologi Kaum Modern Kenyataannya pembiayaan Syariah adalah laboratorium utama kaum modernis untuk berinovasi, yang ditentukan oleh definisi untuk men-Syariah-kan realitas modern. Laboratorium ini merupakan lahan subur berinovasi karena tidak tersentuh oleh realitas politik. Terinspirasi oleh pengalaman Ahmad al-Najjar pada rejim Nasser Mesir, Organisasi Konferensi Islam (OIC) meluncurkan Bank Pembangunan Islam pada tahun 1973. Lalu memulai di tahun 1975 dengan Bank Islam Dubai, mencetak sektor swasta Bank Islam komersial yang dibuka untuk bisnis dan bersaing dengan sukses dengan bank konvensional, pertama di banyak negara Arab dan kemudian di negara Muslim lain dan bahkan negara nonMuslim. Namun meskipun pertumbuhannya cepat, sekarang mereka tampak terhenti. Gejala penyebabnya adalah Bank Islam Dubai memerlukan paket penyelamatan pada tahun 1998, dan sejumlah bank komersial Islam lainnya menunjukkan tanda-tanda terjegal. Satu dari masalah dasar mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki cukup persenjataan instrumen finansial untuk bersaing dengan bank konvensional. Akibatnya mereka mengupah sejumlah insinyur keuangan dan sarjana hukum inovatif untuk berkontribusi menciptakan konsep 127
penipuan baru berdasarkan prinsip-prinsip Syariah dengan harapan bahwa mereka dapat memperoleh 'angin kedua'. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pembiayaan Syariah. Yang pertama mengambil pendekatan makro ekonomi Syariah dan “menambang korpus hukum klasik untuk prinsipprinsip Syariah yang mendasar” sehingga dapat menarik kesimpulan dalam hal ekonomi bebas bunga. Pendekatan lain adalah pendekatan mikro yang kurang lebih berfokus dengan hukum Syariah atau Fiqih terhadap “aksi nyata perseorangan yang memiliki signifikansi agama utama” yang kemudian diubah menjadi prinsip-prinsip Syariah siap-pakai. Mikro formal, perspektif berdasarkan transaksi, adalah salah satu yang paling mempengaruhi praktek dan pembiayaan bank Syariah saat ini. Ini dilakukan dengan mereduksi Fiqih kepada beberapa aturan sederhana yang biasanya keliru sebagai pernyataan Hukum Klasik. Akibat dari percampuran pendekatan ini adalah kebingungan. Ekonom menjawab dengan ketus bahwa pendapat para Fuqaha Salih jaman dulu seharusnya dirasionalisasi, yang tidak setuju dianggap melawan kemajuan agama Islam. Metode yang disukai mereka untuk menguraikan fatwa mereka dan menerapkannya pada situasi kontemporer ada empat: 1- Dengan ijtihad atau penafsiran baru dengan diterangi oleh ‘prinsip-prinsip’ Qur’an dan Hadist; 2- Dengan pilihan (ikhtiyar) di antara pandangan yang telah diajukan oleh ulama di masa lalu dan diadaptasi oleh berbagai kriteria yang mungkin (metode talfiq, comot dari madzhab sana sini), termasuk dalil kepentingan umum atau maslahat (maksudnya pragmatisme), kepada situasi saat ini; 3- Dengan keharusan (darurah); dan 4- Dengan kecerdasan licik seputar hukum (yang mereka sebut hila, jamak. hiyal) atau penggunaan hukum secara pandai untuk mendapatkan pengesahan. Adapun para fuqaha tradisional menghindari ijtihad, adapun jika ada hal yang baru, dapat ditentukan hukum syara' nya berdasarkan sumber hukum yang sudah ada, sedangkan ijtihad adalah metode yang lebih disukai oleh kaum modernis, terutama dalam pembahasan kontemporer tentang pilihan, yang merupakan instrumen finansial kritis bagi masa depan pembiayaan Syariah. Profesor Kamali, seorang ekonom Syariah yang dihargai, saat menyebut ijtihad, secara jelas menggunakan metode talfiq dan kriteria kepentingan umum (pragmatisme) dalam analisa hukum instrumen-instrumen ini. Contoh terbaik dari penggunaan kelicikan hukum adalah Murabahah. Murabahah sebagaimana kami analisa sebelumnya, telah dirubah menjadi alat pembiayaan dengan menggabungkan dua transaksi dalam satu. Ulama modern terakhir kali berpendapat bahwa time value of money adalah hujjah yang sah (walaupun sebenarnya tidak sah) sedangkan mereka menolak disebut membuat uang dari uang. Di bawah kelicikan hukum ini, bank yang membiayai penjualan Murabahah harus benarbenar membeli barang dan kemudian mengajukan ke pembeli. Namun dalam prakteknya, bank Syariah di Pakistan, Malaysia termasuk Indonesia telah menyusun kaidah Murabahah lain, dimana kreditur segera melepaskan barang dagangan kepada pembeli tanpa pernah 128
benar-benar memiliki atau bahkan sepenuhnya mengidentifikasi barang itu. Akademi Fiqih Organisasi Islam telah mengutuk praktek ini, sedangkan banyak bank Syariah yang terlibat dalam kelicikan tersebut tidak memiliki keahlian perdagangan dan pergudangan guna memenuhi kondisi nyata Murabahah seandainyapun hendak dilakukan oleh perbankan. Bagian utama kredit yang dikucurkan oleh Bank Syariah adalah dalam bentuk Murabahah tetapi porsi artifisialnya tidak diketahui. Setiap pembongkaran kelicikan hukum yang dilakukan oleh bank Syariah ini, dapat mengakibatkan keseluruhan operasi pembiayaan bank Syariah ini dalam bahaya. Karena serangan yang terus-menerus ini, bank Syariah terus-menerus membutuhkan intrumen finansial baru guna mempertahankan kegiatan penipuan mereka serta mengecoh lebih banyak lagi orang. Darurah telah digunakan sebagai alat untuk men-Syariah-kan kapitalisme. Penggunaan sesuatu yang darurah harus disertai dengan pengembalian yang Halal, dimulai dengan Zakat. Isu Zakat adalah fundamental bagi Deenul Islam dan fundamental bagi restorasi kehidupan ekonomi Syariah. Zakat tidak dapat dibayar dalam dayn. Bantahan Bankir adalah bahwa dalam keadaan saat ini, Muslim tidak dapat membayar zakat jika tidak dalam uang kertas. Bahkan jika Anda menerima versi realitas ini, Muslim tidak dapat terus berkubang dalam darurah. Prinsip darurah adalah pengampunan, dan sementara itu segala usaha dikerahkan untuk merubah keadaan. Namun alih-alih melakukan itu, ulama pro perbankan menggunakan prinsip darurah ini untuk membenarkan penggunaan uang kertas. Kenyataannya adalah umat Muslim tidak dapat dicegah dari mencetak dan menggunakan Dinar Emas dan Dirham Perak yang Syar'i. Menggunakan darurah dengan cara ini adalah alasan yang dibuat-buat yang berfungsi untuk mempertahankan status quo, yaitu sebagai alat untuk meng-Haramkan yang Halal. Ijtihadnya kaum modernis bukanlah ijtihad. Ijtihad mereka diasosiasikan dengan penolakan taqlid, yang mereka sebut mengikuti Fiqih tradisional secara buta. Itu adalah bentuk lain kelicikan hukum untuk membuat yang Haram jadi Halal. Kunci penyimpangan mereka adalah penolakan Fiqih tradisional (madzhab), yang dipandang seperti halnya warisan abad pertengahan. Sebagai gantinya mereka menuju langsung kepada Qur’an dan Hadist. Teks kehilangan konteks atau putusan hukum yang kemudian berubah menjadi prinsip-prinsip Syariah, seperti prinsip bebas bunga atau prinsip pengesahan time value, dan kemudian prinsip-prinsip itu diterapkan kepada kontrak apapun mulai dari obligasi sampai kepada turunannya, termasuk pertukaran, saham, dan juga kartu kredit, pinjaman serta perdagangan hutang. Penggunaan istilah maslahat, atau kepentingan umum, adalah sebentuk alat Islamisasi. Dengan menggunakan penjelasan yang memadai, maslahat dapat ditafsirkan sebagai apapun. Berdasarkan prinsip maslahat, penggunaan uang kertas dapat dibilang sebagai kepentingan umum. Kenapa Anda harus membawa koin emas yang berat di saku Anda jika Anda dapat menggunakan uang kertas yang lebih ringan atau bahkan kartu kredit yang lebih ringan lagi? Argumen semacam itulah yang mereka gunakan untuk membenarkan praktek kapitalisme yang sedemikian jahat. Masalah T-Bills119 ala Islam adalah sangat penting tidak hanya untuk kebijakan moneter, tetapi juga bagi Bank Syariah, selalu membutuhkan tempat berlindung yang aman untuk parkir kelebihan likuiditas mereka. Dalam hal ini dan masalah serupa lainnya yang ada hanya 119 Kewajiban hutang jangka pendek, definisi selengkapnya lihat di sini http://www.investopedia.com/terms/t/treasurybill.asp
129
ada konsensus mengenai apa yang diizinkan atau apa yang tidak diizinkan dalam imajinasi lembaga semacam Dewan Syariah Nasional. Ada spektrum penuh argumen hukum dan praktik negara. Hampir semua obligasi pemerintah yang ada dapat diterima oleh beberapa Bank Syariah sedangkan sebagian yang lain tidak menerima, tergantung pada penafsiran masing-masing Dewan Syariahnya. Jadi Model Malaysia, model Negara Pakistan dan Iran, dan Model Islam Arab menggunakan kriteria yang berbeda pada isu-isu baru ini. Sementara Model Malaysia telah mengakomodasi Bank Syariah dalam sistem dual bank syariah dan konvensional, itu tidak berarti jelas bahwa praktek Malaysia akan terbukti secara Syariah dapat diterima di negara-negara Arab. Tidak ada rumus Syariah yang berlaku umum untuk sekuritas pemerintah yang secara relatif bebas resiko. Blok bangunan standar lain keuangan konvensional modern adalah 'pilihan', hak tanpa kewajiban untuk membeli atau menjual sesuatu di masa mendatang pada harga tertentu. Profesor asal Malaysia Mohammad Hashim Kamali telah menyajikan pembelaan hukum yang ‘provokatif’ untuk bermacam jenis derivatif Islami berdasarkan pasar berjangka bagi komoditas. Sebagian besar argumennya tergantung pada kapasitas kelembagaan pasar untuk mengontrol unsur-unsur gharar, atau spekulasi, yang melekat di pasar derivatif. Professor Kamali menunjukkan penghargaan yang sangat besar kepada kontrak-kontrak pembiayaan modern yang menurutnya belum diajarkan oleh Fuqaha tradisional. Adapun bankir dan ekonom telah memperluas pemahaman mengenai hukum seputar pembiayaan, namun, dari hari ke hari semakin mengkristal konsensus baru mengenai Derivatif Syariah. Keuangan Syariah telah memperoleh 'keluwesan' yang cukup besar dari langkah-langkah awal yang diambil oleh Bankir Syariah pertama. Semua itu tidak akan selesai sampai benar-benar terintegrasi kepada sistem perbankan kafir. Meskipun dimengerti bahwa banyak orang Muslim menemukan diri mereka dalam situasi di mana mereka menganggap bahwa perbankan diperlukan bagi kehidupan mereka, tidak dibenarkan untuk menyebutnya Syariah. Jika Muslim dipaksa oleh keadaan untuk menciptakan bank, mereka harus menyebutnya "Bank Haram". Nama ini akan membuat orang sadar bahwa semua transaksi yang terjadi di bank dilarang dan akan mendorong orang untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan. Cara untuk menghilangkan ketergantungan pada sistem perbankan adalah dengan menghadirkan yang Halal. Ini dimulai dengan: 1- Pengenalan kembali mata uang Syariah kita, Dinar Emas dan Dirham Perak, dan Pembuatan sistem pembayaran tanpa lewat bank, yakni menghindari percampuran uang dengan kredit. Enam langkah untuk mengenalkan kembali mata uang Syariah kita: 5. Mencetak koin di bawah standar World Islamic Mint (telah dilakukan oleh Amirat Indonesia di bawah kepemimpinan Amir Zaim Saidi). 6. Distribusi dan penjualan koin serta mempublikasikan harga kepada khalayak ramai. (Sudah) 7. Pembentukan jaringan usaha yang menerima Dinar dan Dirham. (telah dibentuk dan beroperasi dinarshops.com ). 8. Pengenalan Wadiah bagi yang ingin menitipkan koin Dinar dan Dirhamnya (telah tersedia di Wakala Induk Nusantara www.wakalanusantara.com ). 130
9. Pembuatan sistim pembayaran berdasarkan berdasarkan Dinar dan Dirham Fisik nyata, yang akunnya terkait ke kartu debet (sedang dalam tahap perencanaan). 10. Pembuatan sistem online dan mobile lainnya yang terkait kepada akun (sedang dalam tahap perencanaan) 2- Setelah sistem pembayaran Syariah terbentuk, tahap berikutnya adalah Pembuatan Pasar Syariah (pasar bebas sewa), Pengenalan kembali karavan, gilda dan pengadilan Syariah yang mengawasi praktek Muamalah dan kontrak bisnis supaya sesuai dengan praktek Syariah yang asli: Syirkat dan Qirad. Muamalah Syariah Syariah memiliki model ekonominya sendiri. Model ini bukanlah model kapitalis, bukan pula model sosialis. Model ini adalah bagian utama dari Qur’an dan Sunnah. Yang memiliki sejarah 1400 tahun, dari awal Islam sampai pembubaran Kekhalifahan di abad ke-20. Model ini melindungi dan mengakui kepemilikan pribadi dan juga kepemilikan Allah (awqaf, jamak dari waqaf) dan didasarkan pada hukum Syariah. Model Syariah menggunakan komoditas fisik sebagai uang. Dinar Emas dan Dirham Perak dikenal sebagai mata uang Syari'ah. Kedua komoditas (emas dan perak) memiliki status khusus karena mereka disebutkan dalam Al-Qur'an dan mereka adalah ukuran untuk hal-hal dasar seperti zakat dan isu-isu tentang hudud. Dinar dan Dirham sangat penting dalam melestarikan mata uang yang stabil, yaitu, mata uang yang berfluktuasi nilai tetapi tidak menderita inflasi. Tidak mengalami inflasi karena tidak bisa diganti dengan uang kredit (menggelembung), karena uang kredit tidak memiliki validitas dalam Hukum Syariah. Pencetakan Dinar dan Dirham sudah menjadi kenyataan. Muslim di seluruh dunia mulai menggunakannya sebagai alat pembayaran dan untuk membayar zakat. Sebuah sistem pembayaran berdasarkan Dinar dan Dirham yang memfasilitasi pembayaran di tingkat internasional dan benar-benar mengikuti Hukum Syariah didirikan pada tahun 1999. Hal ini disebut e-dinar. Ini adalah alternatif praktis untuk transfer perbankan dan memungkinkan individu untuk menghindari penggunaan uang kredit jika mereka ingin. Implikasi hukum dari pengembangan alat ini adalah bahwa kasus darurah tidak lagi dibenarkan. Ada cara alternatif. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa tidak ada kebutuhan untuk tetap berada di dalam sebuah sistem yang tidak dapat diterima, dan bahwa untuk membangun Halal adalah jelas mungkin. Mata uang Syariah Dinar Emas dan Dirham Perak adalah unsur kunci pengembalian Muamalah Syariah: sebuah tata cara lengkap perdagangan di mana Hukum Syariah diterapkan tanpa ada yang dikurangi. Tata cara yang demikian adalah syarat untuk menjalani hidup yang Syar'i. Tatacara Muamalah itu Wajib dikembalikan di jaman sekarang. Pemulihan kembali Mu'amalah terdiri dari pemulihan infrastruktur penting dari perdagangan, seperti Pasar Terbuka, Mata Uang, kafilah, syirkat dan hisbah. Lembaga-lembaga ini telah lama menghilang dan yang diperlukan untuk pemahaman dan penerapan kontrak bisnis Syariah, dan Qirad Syirkat. Tanpa Qirad dan Syirkat sekaligus praktek segolongan orang yang bermaksud mengembalikan Muamalah, tampak tidak mungkin atau tidak dapat dipraktekkan. Dengan demikian, pemulihan Muamalah harus serempak dengan penerapan kontrak-kontrak Syariah. Sebab pemulihan Muamalah dan kontrak-kontrak Islami adalah saling membutuhkan. 131
Untuk keluar dari situasi darurah diperlukan perubahan keadaan dalam perdagangan yang kita lakukan, maksudnya adalah pengembalian praktek Muamalah. Dikarenakan kita sekarang berada dalam sistem perbankan, dan menggunakannya, kita hendaknya menggunakan bunga yang diberikan bank untuk mendukung pengembalian yang Halal. Kami berpendapat bahwa penggunaan terbaik bunga yang diberikan oleh bank adalah untuk mendirikan infrastruktur Islam yang akan membebaskan kita dari ketergantungan terhadap bank. Pengembalian Mu’amalah tidak dapat dilakukan sendirian melainkan harus berjamaah. Umat Muslim harus membentuk Amirat lokal dan menunjuk seorang Amir Jamaah sebagai pemimpin dengan cara bai'at. Pada tingkat internasional, telah didirikan World Islamic Trade Organisation pada tahun 1993 langkah utamanya adalah membuat Islamic Mint, yang mencetak Dinar Emas dan Dirham Perak. Dinar dan Dirham sekarang tersedia di seluruh dunia dan dicetak di lima negara. WITO juga membuat e-Dinar yang tersedia online (www.edinar.com). Website ini menawarkan solusi instan bagi orang-orang yang ingin beralih dari sistem perbankan. Beberapa Kaidah Dasar Kontrak Bisnis dalam Syariah Pengaturan kontrak Muamalah memainkan peran penting dalam kehidupan sosial Muslim dan diatur ketat dalam Hukum Syariah. Semisal dalam kegiatan Tukar-menukar, di situ tidak boleh ada penundaan dan tidak boleh ada kelebihan. Atau dalam Hutang-piutang, di situ tidak boleh ada kelebihan pembayaran tapi boleh ada penundaan waktu. Berbeda dengan Jual-beli, boleh mengambil kelebihan berupa keuntungan tetapi tidak boleh ada penundaan (harus tunai, tangan ke tangan). Semua kontrak bisnis harus ditulis dengan perincian yang jelas. Misalkan, Syirkat, persekutuan usaha dalam Syariah. Sedangkan Qirad, disebut juga Mudharabah, adalah pinjaman untuk usaha dagang. Syirkat dan Qirad utamanya memiliki ketentuan yang harus dijabarkan di awal antara pihak-pihak yang terlibat dan tidak bisa dirubah. Kontrak Bisnis akan menentukan bagaimana masyarakat berkembang dan bersikap. Hasil yang didapat oleh masyarakat dari kontrak bisnis Syariah yang dijalankan dengan benar akan berbeda dengan hasil yang didapat dari kontrak bisnis kapitalis. Itulah sebabnya hampir dua pertiga Fiqih Syariah membahas tentang perdagangan dan bisnis120. Hukum Syariah, berasal dari Al-quran dan Sunnah Rasulullah, sallallahu alaihi wasallam, menguraikan tatacara bagaimana kontrak transaksi jual-beli dan usaha harus dilakukan. Transaksi perdagangan berdasarkan pada pertukaran kepemilikan barang. Jika pertukaran melibatkan pembayaran yang ditunda, maka kontrak harus ditulis. Tetapi tidak perlu jika transaksi dilakukan secara tunai dari ‘tangan ke tangan’. Transaksi bisnis atau perdagangan adalah sah menurut hukum Islam jika seimbang: nilai barang yang diberikan harus sama dengan nilai barang yang diterima. Jika tidak sama maka pertukaran itu menjadi bersifat riba.
120 Yang hilang dari Islam saat ini adalah Muamalah, aturan bisnis, dan aturan perdagangan. Dan pada saat Muslim tidak peduli lagi terhadap Muamalah serta malah mengikut sistem kuffar, bank, saham, dan lain-lain, di situlah Muslim dikalahkan oleh Kuffar. Kekalahan Muslim dari kuffar dikarenakan hilangnya Muamalah dari kehidupan Muslim. Demikian Amir Zaim Saidi menuturkan.
132
Sebuah bisnis terdiri dari dua atau lebih transaksi komersial yang saling terhubung dengan tujuan mendapat keuntungan. Ketika dua atau lebih orang menjalankan suatu bisnis maka diperlukan sebuah kontrak tertulis antara pihak-pihak yang terlibat. Cara utama memahami keadilan (ekuivalensi121) dalam sebuah usaha menurut Hukum Syariah adalah bahwa semua transaksi yang terlibat adalah Wajar. Sebagai tambahan, ketika sebuah kontrak bisnis ditulis, ada beberapa syarat yang harus dipertimbangkan. Kita akan membahas yang terpenting di antara syarat-syarat ini. Barang-barang yang membentuk investasi awal baik milik satu orang (kontrak tidak diperlukan) atau milik lebih dari satu orang (kontrak harus ditulis). Hal ini juga mungkin bahwa barang milik satu orang, tetapi bahwa mereka berasal dari pinjaman bisnis - maka kontrak juga harus ditulis. Karena itu ada dua bentuk dasar yang mungkin dari kontrak bisnis: a] Investor (setiap orang) mentransfer kepemilikan investasi kepada diri mereka sendiri, sebagai sebuah kelompok usaha yang dijalankan oleh mereka sendiri; atau b] Satu atau beberapa investor (setiap orang) mentransfer kepemilikan investasi kepada pihak lain, bisa seseorang, bisa beberapa orang yang disebut agen, yang menjalankan usaha milik investor Kontrak yang pertama di dalam bahasa Arab disebut ‘Syirkat’– kita akan menyebutkan persekutuan – dan kontrak yang kedua di dalam bahasa Arab disebut ‘Qirad’ – kita akan menyebutkan pinjaman bisnis. Syirkat (persekutuan) Persekutuan adalah makna umum bagi orang-orang yang berbagi kepemilikan barang. Karena itu persekutuan memerlukan kepemilikan bersama atas sejumlah barang. Dan jika barang-barang ini diinvestasikan dalam bisnis maka harus ada kontrak bisnis. Kepemilikan bersama atas sejumlah barang dalam bahasa Arab disebut ‘Syirkat Milik’. Sedangkan persekutuan bisnis dalam bahasa Arab disebut ‘Syirkat Akid’. "Syirkat, dalam arti primitif, menandakan gabungan dari dua atau lebih perkebunan, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka tidak dibedakan dari yang lain. Dalam bahasa hukum, itu menandakan penyatuan dua atau lebih orang dalam satu usaha. Istilah Syirkat dapat diperluas kepada kontrak meskipun sebenarnya tidak berhubungan karena kontrak itu sendiri adalah penyebab hubungan. (The Hedaya122, translation by Hamilton, pp 217-31) Syirkat adalah Halal. Di jaman Nabi, sallallahualayhi wasallam, orang terbiasa mempraktekkan Syirkat. Dalam Kitab Muwatta, Imam Malik berkata:
121 Inilah yang menjadi sumber kebingungan para ekonom dan pembaharu Islam, tentang ekuivalensi, sehingga menyamakan jual-beli dengan riba, dan ini dikecam oleh Allah Subhanahu wata’ala 122 Kutipan dari The Hedaya oleh Burhanuddin Abu Bakr Al-Marginani, ditulis pada abad ke-8, diterjemahkan oleh Charles Hamilton di bawah perlindungan dari Warren Hastings, Gubernur di Bengal diterbitkan 1870 di London.
133
“Yang berlaku di antara kami, Syirkat adalah Boleh, menyerahkan tanggung jawab kepada wakil (at-tawliyah) dan penarikan kembali (al-iqalah) ketika berurusan dengan makanan dan hal-hal lain, ketika kepemilikan diambil atau tidak, ketika transaksi secara tunai, dan tidak ada keuntungan, kerugian atau penangguhan harta. Jika keuntungan, kerugian atau penundaan atau bentuk harga salah satu dari dua memasuki setiap transaksi tersebut, maka menjadi penjualan yang Halal, dan menjadi Haram oleh apa yang membuat penjualan Haram, dan itu bukanlah syirkat, atau pengalihan tanggungjawab kepada seorang wakil, atau penarikan kembali.” Syirkat ada dua jenis tergantung bagaimana asal mulanya: Syirkat Milik, atau persekutuan atas hak terhadap properti, dan Syirkat Akid, atau persekutuan kontrak bisnis. Satu yang menarik dalam menggali kontrak bisnis Syirkat, yang biasa disebut Syirkat Akid atau persekutuan bisnis, kondisi yang paling signifikannya adalah: Prinsip Takafu’ (proporsionalitas) Pembagian kemitraan di mana semua mitra bekerja dan jumlah modal tiap mitra disesuaikan dengan jumlah modal yang disetor oleh masing-masing mitra. Jika ada perbedaan modal di antara mitra sedangkan semua mitra bekerja sama kerasnya, maka mitra yang sedikit modalnya dapat mengimbangi dengan kerja yang lebih keras lagi “Saya telah mendengar dari Malik bahwa Syirkat tidak dibolehkan kecuali jika ada keseimbangan (takafu‘) dalam modal. (Imam Sahnun, Mudawwana, 12: 41)”. Keharusan untuk Ikut Andil dalam Bekerja Syirkat mengharuskan partisipasi semua anggota dalam kerja nyata. Ketika semua pekerjaan diberikan kepada satu orang, sedangkan yang lain menyediakan modal dan peralatan, bukan andil kerja yang sama, itu bukanlah syirkat yang sah. Pihak yang tidak bekerja tidak berhak memperoleh pemasukan dan hanya berhak atau pengembalian investasi beserta keuntungannya yang disepakati, dan jika investasinya bukan dalam bentuk tunai (Dinar atau Dirham) misalkan peralatan kerja, maka yang berlaku adalah pengenaan biaya sewa untuk penggunaan alat-alat itu. Surplus modal tidak dapat digunakan sebagai investasi dalam Syirkat tanpa secara fisik terlibat dalam bekerja. Sehingga Anda tidak dapat menjadi pemodal yang berinvestasi dalam produksi yang pengerjaannya dilakukan oleh orang lain. Kontrak yang cocok bagi pemodal yang tidak mau ikut kerja adalah pinjaman bisnis atau Qirad. Dalam Syirkat semua mitra wajib bekerja sama capeknya. Mereka adalah pemilik yang sederajat kedudukannya karena itu sederajat pula tanggung jawabnya. Apa pendapat Anda tentang kesepakatan ketika saya menempatkan seseorang di warung dan berkata kepadanya: Aku akan menerima barang dan Anda akan melakukan pekerjaan dengan syarat bahwa apapun yang Allah berikan pada kita akan dibagi rata' "dia berkata: "Menurut Malik, hal ini tidak dibolehkan123 123 Imam Sahnun Mudawwanah, Kitab Mudawwanah adalah Syarah/Komentar dari Kitab al-Muwatta Imam Malik.
134
Saya berkata: “Bagaimana pendapat Anda mengenai Syirkat antara tiga orang yang satu menyediakan batu gerinda, yang satu menyediakan rumah, dan yang satu menyediakan hewan untuk membantu pekerjaan, dengan syarat bahwa pemilik hewan mengerjakan sendiri semua pekerjaan?” Dia berkata: “Pemilik hewan mengerjakan sendiri semua pekerjaan, dan dia wajib membayar biaya sewa bagi rumah dan gerinda.” Saya berkata: “Bagaimana jika pemilik hewan itu tidak mendapat penghasilan?” Dia berkata “Ya, dia tetap harus bayar biaya sewa sekalipun tidak mendapat penghasilan.” Ibnu Qasim menolak keabsahan Syirkat berdasarkan dana tunai semata (Dinar Dirham) yang menetapkan bahwa semua pekerjaan dilakukan hanya oleh salah satu mitra. Dia menjelaskan penolakannya sebagai berikut: “Dasar penolakan ini menurut Imam Malik, sebuah Syirkat tidak diijinkan kecuali jika mereka mengkombinasikan kerja secara proporsional berdasarkan nilai modal barang yang disetor oleh masing-masing mitra.” Tidak ada pemodal kapitalis yang dapat untung dari kegiatan produksi orang lain tanpa terlibat dalam bekerja. Semua pemilik dalam kepemilikan bersama barang produksi dapat menghitung andil kerja berdasarkan nilai barang yang dimiliki oleh masing-masing dan ini terlepas dari pembagian keuntungan. Kedua prinsip ini menunjukkan kepalsuan Bursa Saham. Pendirian Bursa Saham adalah hasil dari konsep palsu tentang kepemilikan. Konsep palsu kepemilikan ini berdasarkan kepada “kepemilikan mayoritas”. Dengan dasar ini Anda dapat menjadi pemilik perusahaan meskipun tidak memiliki keputusan atas properti. Kepemilikan dituangkan di atas selembar kertas, tetapi di kertas itu juga ditulis bahwa Anda tidak boleh memutuskan – Karena itu Anda tidak dapat memiliki properti. Ini adalah jenis kontrak yang salah. Kontrak pemilikan saham dengan mayoritas kepemilikan menurut Hukum Syariah tidak dapat diterima dan dianggap sebagai bentuk penipuan. Esensi Kepemilikan Kepemilikan bukanlah sebuah dokumen yang menandai bahwa Anda memiliki sesuatu. Kepemilikan berarti Anda berhak dan juga mampu memutuskan bagaimana untuk menggunakan properti Anda. Kalau tidak begitu maka Anda bukan pemilik. Keputusan penggunaan properti adalah esensi kepemilikan. Kepemilikan ada setiap kali sesuatu digunakan atau dikonsumsi, meskipun kepemilikan secara hukum diatur hanya ketika kelangkaan muncul. Misal, tidak ada peraturan untuk memancing di laut, tetapi karena armada penangkap ikan meningkat, menangkap ikan dengan rakus, dan ikan menjadi langka, peraturan kepemilikan menjadi perlu. Setiap orang menggunakan udara untuk bernafas, tetapi penggunaan jalur penerbangan udara ada aturannya. Sebelum ada aturan, di situ ada kepemilikan, tetapi ketika sebuah pesawat udara diatur untuk menggunakan jalur penerbangan udara, tidak ada seorangpun yang menggunakannya. Itu adalah kepemilikan efektif. Karena itu, diatur atau tidak, kepemilikan telah menjadi realitas eksistensial yang terhubung kepada penggunaan sesuatu. Kepemilikan terdiri dari kapasitas menggunakan sesuatu. Memiliki kapasitas memutuskan adalah kepemilikan efektif. Undang-undang perdagangan modern mengizinkan jenis kepemilikan terpisah dari kapasitas memutuskan. Hal ini mengarahkan kepada ide kepemilikan eksklusif hanya pada namanya saja kepemilikan, tetapi
135
tanpa kemampuan membuat keputusan. Hal ini tidak mungkin terjadi dalam Syariah karena kepemilikan adalah kemampuan membuat keputusan. Ketika kepemilikan dibahas secara tersendiri, tidak sulit memahami bagaimana keputusan dibuat. Tetapi bagaimana jika terjadi kepemilikan kolektif? Jika semua pemilik harus memiliki. Karena itu dalam Hukum Syariah, kepemilikan bersama mengajukan dua syarat ini. 1- Semua pemilik memiliki status pengambilan keputusan yang sama, tanpa peduli berapa besar jumlah properti yang terlibat sebagai modal. 2- Hasil bisnis dibagi di antara pemilik dalam proporsi berdasarkan partisipasi dalam bisnis dan dituangkan dalam kontrak. Jika syarat pertama tidak terpenuhi, maka tidak dapat lagi disebut kepemilikan bersama, artinya ada salah satu mitra yang merampas kepemilikan. Hukum Syariah menuntut bahwa setiap kali ada persetujuan komersial antara dua pihak atau lebih, sebuah kontrak harus ditulis. Kontrak inilah yang menentukan keputusan pribadi atas bisnis. Dalam kontrak bisnis itu dengan jelas disebutkan hal-hal yang lumrah terjadi dalam bisnis: siapa penanam modal, siapa agen penjual (jika ada satu), berapa jumlah modal, apa tujuan bisnis, berapa lama waktu bisnis, dan berapakah pembagian hasil. Karena itu ketika Anda menandatangani kontrak, Anda mengetahui dalam hal apa Anda terlibat. Ketika Anda berinvestasi, Anda mengetahui dalam hal apa Anda berinvestasi. Sekarang, yang Anda miliki dalam investasi modern adalah perjanjian bisnis yang tidak mempertimbangkan kontrak sesuai Hukum Syariah. Yang terjadi sekarang adalah, pemodal meminjamkan uang kepada pemilik yang tidak diketahui, untuk usaha yang tidak diketahui, tanpa batas waktu yang diketahui, yang pembagian keuntungannya diputuskan oleh pemilik yang juga tidak diketahui berapaberapanya. Semua ini dilakukan di bawah kepalsuan kepemilikan mayoritas. Kepalsuan Kepemilikan Mayoritas Konsep palsu ini diadakan guna menciptakan mekanisme kendali dan manipulasi, yang berakhir pada pendirian Bursa Saham. Bursa ini didirikan berdasarkan prinsip bahwa siapapun yang memiliki mayoritas saham, dialah pemilik perusahaan. Sistem ini membolehkan kendali pasar hanya oleh segelintir orang. Misal: Tuan Abdullah yang memiliki 51% saham perusahaan A mengendalikan perusahaan A tersebut. Jika dia menggunakan modal perusahaan A untuk membeli 51% saham perusahaan B, maka dia akan memiliki kendali atas perusahaan B walaupun dia hanya memiliki kira-kira 1/4 modal. Jika dia menggunakan modal perusahaan B untuk membeli 51% saham perusahaan C, dia akan mengendalikan perusahaan C, walaupun dia hanya memiliki 1/8 modal. Tuan Abdullah selanjutnya dapat membeli perusahaan D, E, F ... dengan cara yang sama. Kepalsuan konsep kepemilikan mayoritas telah memungkinkan perampasan kepemilikan hukum jutaan kepemilikan minoritas. Melalui prosedur ini, Tuan Abdullah memiliki kekuatan atas sejumlah besar modal yang bukan miliknya. Dia dapat memutuskan hasil pendapatan, yang disebut deviden. Tetapi deviden bukan bagi hasil layaknya bisnis biasa. Perusahaan harus dilikuidasi untuk mengetahui hasil bisnis. Sistem kepemilikan mayoritas membuat perusahaan ini ada tanpa membuahkan hasil, tanpa likuidasi. Karena pemilik mayoritas dapat
136
memutuskan berapa banyak yang akan diinvestasikan ulang dan berapa banyak yang akan dibayarkan sebagai deviden, Anda diikat oleh perusahaan dan tidak berhak berpendapat. Dalam Hukum Syariah, Anda tidak dapat memaksa pemodal untuk berinvestasi ulang tanpa persetujuannya. Karena itu hasil keuntungan usaha harus dibagi secara tuntas, dengan melikuidasi perusahaan setelah periode yang ditetapkan dalam kontrak sebagai durasi berjalannya perusahaan. Jika semua setuju untuk lanjut maka lanjutlah bisnis itu, jika tidak, perusahaan akan dilikuidasi untuk mulai lagi dengan kontrak baru. Dengan demikian kepemilikan selalu dilindungi. Sistem mayoritas kepemilikan hanya melindungi mayoritas pemilik, tetapi tidak melindungi semua pemilik. Qirad (pinjaman bisnis) Qirad biasanya dirujuk kepada tiga kata yang berbeda: Mudharabah (istilah Iraq); Istilah ini adalah sebutan orang Iraq untuk Qirad; menurut Imam al-Sarakhsi, kata ini berasal dari ungkapan ‘al-darb fi al-ard’ yang berarti ‘melakukan perjalanan’. Istilah ini digunakan karena sang agen yang dapat modal memiliki hak mengklaim keuntungan atas usaha dan kerja yang dia lakukan. Ia dianggap sederajat dengan pemodal dalam hal yang berkaitan dengan pengaturan keuntungan dan pengeluaran biaya transport dll. Sebagai gantinya, pemodal berhak menerima bagi hasil atas modal yang diberikannya sekalipun tidak kerja sama sekali. Qirad atau Muqaradah (istilah Madinah); kata ini berasal dari bahasa Arab ‘qard’, menyerahkan hak atas modal oleh pemilik kepada pengguna modal [suatu pinjaman]. Agen dalam bahasa Arab disebut ‘al-‘amil’ dan pemodal dalam bahasa Arab disebut ‘sahibul-mal’ atau ‘rabbul-mal’Commenda (istilah Eropa jaman pertengahan), asal dari kontrak accomendacio of the jus commune. Pemodal disebut commendator dan agen disebut tractator. Kontrak ini diperkenalkan ke Eropa, terutama Eropa bagian Selatan melalui pelabuhan Italia pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 Masehi. Ibnu Rushd berkata; “Ada kesepakatan pendapat di antara Muslim berkenaan dengan legalitas Qirad. Itu dilakukan sebelum Islam datang dan Islam menggunakannya. Ada kesepakatan bahwa Qirad dilakukan dengan pemberian modal dari seseorang kepada orang lain untuk bisnis. Pengguna modal menerima proporsi keuntungan yang disetujui, misalkan, sepertiga, seperempat, atau bahkan seperdua.” (Ibnu Rushd, dalam kitab Bidayat Mujtahid wa Nihayatul-Muqtasid, Cairo, 1329, p. 205) Nabi, sallallahualayhi wasallam, bertindak sebagai al-'amil untuk Sayyidah Khadijah pada saat Nabi belum menikah. Semua Fuqaha Muslim setuju pada peristiwa itu sebagai suatu dalil sahnya bisnis qirad dan mereka juga berpendapat berdasarkan 'Amal qirad yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi, sallallahualayhi wasallam, selama hidup beliau dan setelahnya. Nabi, sallallahualayhi wasallam, mengetahui itu dan membolehkannya. Syarat utama Qirad adalah: 1- Agen Qirad yang diminta untuk membeli kredit atau melakukan pertukaran kemudian menggunakan dana, punya hak untuk minta gaji atas kerja, tanpa kehilangan hak memperoleh keuntungan dari dana yang dia pinjam. 137
2- Agen tidak boleh dibebani dengan proses produksi, seperti menjahit atau membordir. Qirad bukanlah untuk produksi, hanya untuk perdagangan. 3- Setiap pinjaman yang dikabulkan, bahkan dalam bentuk Qirad, yang mana dana itu ditujukan untuk membayar barang dagangan yang pemodal ketahui sudah dibeli, itu bukanlah sebuah Qirad. Itu hanya pinjaman biasa. 4- Agen bebas menjual dan membeli apapun yang dia ingin, di tempat dan waktu yang dia ingin. 5- Qirad tidak boleh berdasarkan kewaktuan. Tidak diijinkan bagi agen menetapkan waktu qirad untuk sekian periode waktu 6- Tidak ada jaminan apapun dalam Qirad mengenai untung ruginya suatu usaha. Pemodal tidak dibolehkan menetapkan syarat mengenai prinsip-prinsip diluar ketentuan Qirad. Apa yang harus dilakukan selanjutnya Dari perspektif Syariah, apa yang dapat seseorang lakukan dengan bunga bank yang dia dapat dari tabungannya? Masalahnya bukanlah bunga, tetapi kenapa dia sampai bisa punya rekening bank. Karena itu solusinya bukanlah meninggalkan bunga bank, yang tidak menyelesaikan masalah. Solusinya adalah merubah keadaan dari keterpaksaan penggunaan yang Haram: yakni situasi darurah sekarang ini. Kita melawan ide pelanggengan status darurah sebagaimana dilakukan oleh Bank Syariah. Posisi kita sebagai Muslim adalah mengambil peran aktif merubah situasi dari keterpaksaan kita sekarang menggunakan yang Haram. Karena itu kami mengajukan penggunaan bunga bank untuk mempromosikan alternatif yang Halal. Kita sebagai Muslim memiliki kewajiban merubah situasi. Kita mengetahui bahwa kita sedang melakukan yang Haram. Kita tidak dapat terus bertahan dalam keadaan darurah, karena darurah hanyalah dibolehkan untuk sementara. Tujuan kita adalah menggunakan seluruh daya dan upaya untuk menghapus ketergantungan kita pada sistem perbankan selangkah demi selangkah setiap waktu terus-menerus. Namun kesulitan sudah terbayang di depan. Tapi kita harus ingat bahwa kita melakukan ini di jalan Allah. Allah telah menyatakan perang terhadap Riba, kewajiban kita adalah meninggalkannya, karena memang lebih sulit untuk tetap tinggal di situ daripada keluar dari situ.
138