BUBUR AYAM CINTA Oleh
Adji Kalo saja sejak awal Zaki tahu, mungkin ia nggak akan pernah bertindak senekad ini. Tapi hatinya memang nggak bisa diajak kompromi. Sejak pertama kali Zaki melihat Belia di kampus, sejak itu pula hatinya deg-deg ser. Nggak bisa dikendalikan. Bella ibarat bunga mawar. Merah menyala. Bikin orang blingsatan. Memang dia suka pake baju merah sih. Tapi bukan itu saja yang bikin Zaki nggak bisa tidur semalaman. (di samping karena kamar kosnya yang memang jadi sarang nyamuk!), senyumnya itu lho yang bisa bikin Zaki
bakalan
mengkhayal semalam suntuk. Dian Sastro aja kayaknya masih kalah sama Bella. “Namanya siapa?” “Bella...” “Baru masuk ya?” “Iyya...” Mendengar suara Bella yang manja, Zaki senyum-senyum sendiri. Duuh… seandainya ada bidadari dari surga, mungkin prototype-nya kayak begini ini. “Heh! Kamu?” Zaki terlengak. Mimpinya buyar dalam seketika. “Dari tadi cengar-cengir melulu! Ngelihatin apa? Udah gila ya? Sini kamu!” Zaki maju dengan gemetar. Bella sudah tidak ada lagi di depannya. Mungkin sudah masuk ke ruangan senior yang lain. Ternyata yang nanya tadi bukan dia, tapi seniornya, yang sekarang memandangnya dengan galak. “Mana berkas-berkasnya?” hardik laki-laki berambut gondrong dengan muka dilipat-lipat. “Ini…” Zaki dengan panik membongkar tas ranselnya. Dan hari itu Zaki apes bukan main. Pas foto yang dibawanya kurang satu. Jadilah dia dikerjain habis-habisan oleh para senior yang haus darah itu.
***** Kalau sekarang Zaki jadi ingat kejadian itu lagi, itu karena Zaki kangen sama Bella. Sudah beberapa hari ini Zaki nggak ngelihat Bella. Hanya ngelihat thok lho. Soalnya dia bukan siapa-siapanya Bella. Bukan teman. Apalagi pacar. Dia hanya dari golongan minoritas. Yang makannya bukan di kantin kampus yang harganya selangit itu. Tapi biasa nongkrong di warung pinggir kali dekat kampus yang banyak ditemani lalat ijo. Hii… Jadi, kalo diibaratkan pungguk dengan bulan, Zaki itu burung pungguk, Bella itu rembulannya. Sampai kapan pun, burung pungguk akan selalu merindukan bulan. Belum pernah ada cerita rembulan yang merindukan pungguk. Belum pernah juga ada kisah burung pungguk sampai ke bulan. Mungkin nanti kalau burung pungguknya sudah bisa naik jet, baru bisa kesampaian niatnya. Tapi boleh nggak sih kalau ia jatuh cinta sama Bella? Tentu saja nggak. Lumrah kok kalau orang jatuh cin ta. Kata anak-anak, cinta itu nggak memandang kasta. Makanya, Zaki merasa sah-sah saja kalau perasaan cintanya mulai tumbuh dalam hati. Mungkin itu nggak pernah diucapkan Bella. Melihat orangnya saja, Zaki sudah merasa puas. Tapi, beberapa hari ini Zaki nggak ngelihat Bella sama sekali. Kemana ya anak itu? Apa dia nggak tahu kalau arjunanya ini sedang dilanda rindu setengah mati. Apa dia nggak tahu kalau arjunanya ini makan serba tidak enak? Makan tempe, rasanya sudah nggak seperti daging ayam lagi. Makan tahu, nggak kayak irisan beef lagi. Makan kerupuk apa lagi! Udah nggak kayak makan french fries. Pokoknya semuanya serba nggak indah semenjak Bella nggak pernah keliatan di kampus beberapa hari ini. Dan hari itu Zaki tahu kalau Bella sakit. Ia mendengarnya dari anak-anak kelas Bella yang sedang bergerombol di depan kelas mereka. “Sakit apa sih?” sahut salah seorang anak. “Katanya sih tipus.”
“Ih, kok sakit tikus sih? Emang di kosannya banyak tikusnya?” “TIPUS! T-I-P-U-S,” sahutnya temannya yang berambut pirang gosong dengan sebal. “Oo..” balasnya. Temannya cuek sambil makan kentang goreng dari kantin kampus. “Terus sekarang di mana? Di rawat di rumah sakit?” “Nggak. Bella takut sama jarum suntik.” “Oo... pantesan dia nggak mau pacaran sama anak kedokteran.” Zaki manggut-manggut. Meskipun dia nggak bisa ngikutin pembicaraan tanpa arah itu, tapi Zaki ngerasa senang mendengarnya. Oh, jadi Bella sakit? Pantes saja nggak pernah kelihatan. “Terus sekarang di mana? Di kosan aja?” Temannya mengangguk. Zaki langsung menyingkir dari tempat itu. Takut ketahuan kalau dia lagi jadi spionase. ***** Zaki berdiri di depan rumah besar itu dengan ragu-ragu. Seumur-umur baru kali ini dia berani nekad. Tangannya sampai basah oleh keringat dingin. Semangkuk bubur ayam yang ditutup koran dengan rapi berada di tangan kanannya. Semangkuk bubur ayam yang masih hangat. Lengkap dengan suwiran ayam dan kacang kedelai yang garing. Kalo bukan saran Dio, tetangga kamar kosnya, dia nggak akan bakalan senekad ini. Tapi anak kedokteran yang rada nyentrik itu dengan style meyakinkan memanas-manasinya. “Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Ntar direbut orang baru tahu rasa!” Ya,
kalau
nggak
sekarang,
kapan
lagi?
Kata
hatinya,
ikut
pula
mendukung. “Orang yang sakit itu butuh perhatian. Kalau kamu bisa memberinya perhatian yang lebih, pasti kamu bakalan diingat terus menerus.” Perhatian lebih? Seperti apa? “Misalnya ngirimin dia makanan.” Zaki makin berminat. “Terus?”
“Kalau lagi sakir tipus, biasanya belum boleh makan yang keras-keras. Makannya harus yang lunak-lunak.” Zaki memandang sekali bungkusan bubur ayam itu. Harumnya masih terasa. Dan hangat di tangannya karena bubur ayam yang masih panas itu membuat hatinya juga ikut terasa hangat. “Cari siapa, ya?” seorang wanita separuh baya dengan memandangnya keheranan. Zaki tergagap. “Ini... bubur ayam...” “Buat?” wanita itu masih memandangnya menyelidik. “Buat.... buat Bella...” karena saking gugupnya, Zaki hampir saja lupa nama Bella. “Oo... mangkuknya mau diambil?” “Nggak usah. Nanti saya ke sini lagi, Bu.” Wanita itu langsung menutup pintu pagar. Nggak ada basa-basi lagi. Zaki langsung cabut. Nggak apa-apa, hiburnya riang. Yang penting bubur ayam-nya sudah diterima. Mudah-mudahan, habis makan bubur ayam itu, ia jadi cepat sembuh. Sore harinya, Zaki mengetuk rumah kos yang megah itu lagi. Lagi-lagi wanita itu yang menerimanya. Tapi kali ini sambutannya lebih ramah. “Oh, ya, mau ngambil mangkok ya? Ini. Jangan lupa besok ya,” katanya. Zaki
menerimanya
dengan
hati
b erbunga-bunga.
Hilang perasaan
gundahnya. Hilang perasaan ragunya. Ternyata Bella menyukai bubur ayam bawaannya. Ah, bubur ayam cinta! Zaki nggak sabar menunggu besok hari. Menunggu waktunya ia mengirim bubur ayam itu ke depan rumah kosnya, dan melihat senyum wanita setengah baya tadi, dan berharap ia berkata, “Bella suka sekali bubur ayamnya.” Ah, indahnya. Zaki ingin membayangkannya sendirian. Bahkan Dio yang mencegatnya di depan kamar kos, tidak digubrisnya. “Gimana?” tanyanya.
Tapi Zaki langsung menutup pintu kamarnya. Ia nggak mau berbagi kebahagiaan dengan siapa pun. ***** Tak terasa hampir seminggu Zaki sudah mengirim bubur ayam. Kata ibu penjaga kos itu, Bella sudah agak baikan. Sudah sudah bisa jalan-jalan. Ini semua berkat bubur ayamnya. Zaki makin berbunga-bunga dipuji begitu. “Ini mungkin yang terakhir, Bu,” kata Zaki sambil menyerahkan mangkuk bubur ayamnya. Ibu itu dengan wajah tersenyum menerimanya. Tapi baru saja Zaki melangkah pulang, ibu itu memanggilnya. “Sebentar nak, Non Bella pengen ketemu katanya.” Zaki tercekat. Bella pengen ketemu? Antara rasa gugup, cemas, dan bahagia berkumpul jadi satu. “Tunggu sebentar ya?” kata ibu itu sambil masuk ke dalam. Zaki berdiri dengan gugup. Akhirnya.... Bella mau juga bertemu dengan saya, Zaki harap-harap cemas. Rasanya semenit seperti setahun. Dan Zaki benar-benar merasa seperti dibawa terbang ke awan-awan di langit ketika melihat Bella muncul. Pujaan hatinya. Impiannya setiap malam. Bella tersenyum penuh arti. “Terima kasih ya bubur ayamnya sudah diantar ke sini. Sampe begitu ngerepotin.” “Ah, nggak apa-apa. Emang sudah seharusnya menolong orang yang sakit,” kata Zaki. Bijak sekali dia. “Berarti
nggak
kena charge
delivery dong
ya,”
katanya
sambil
memamerkan senyum. Zaki tersipu-sipu. Bella ternyata bisa bercanda juga. Bella mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Apa itu? Apa dia mau ngasih hadiah? “Jadi berapa semuanya?”
Zaki garuk-garuk kepala. “Tiga ribu kan ya satu mangkoknya? Berarti dua puluh satu ribu,” ia mengambil uang di dompetnya. “Tapi karena kamu begitu baek mau nganterin ke sini, ambil deh semuanya.” Ia menyerahkan selembar dua puluh ribuan dan sepuluh ribuan. Zaki masih belum mengerti. “Tadinya sebenarnya saya bisa suruh bibik ngambil ke warung. Tapi ternyata malah dianterin ke sini,” ia memamerkan senyumnya. “Sekali lagi, makasih ya.” Zaki masih termangu di tempatnya. Jadi? Selama ini dia disangka tukang bubur ayam? Bella sudah tidak ada di depannya. Sekali lagi Zaki memandangi dua lembar uang dan mangkok bubur ayam yang kosong di genggaman tangannya. Hatinya meringis. Oh, bubur ayam cinta...
Depok, 13 Juli 2005 BIOGRAFI PENULIS ADJI (M. Adji) lahir dan besar di Lahat, sebuah kota kecil di Sumatra Selatan. Ia lalu meninggalkan kota kelahirannya dan meneruskan sekolah di Universitas Padjajaran, Jatinangor, mengambil program studi Sastra Indonesia. Daerah pinggiran Bandung yang berhawa sejuk inilah yang banyak menempa karakternya dalam aktivitas kampus dan luar kampus. Di almamaternya, anak terakhir dari tujuh bersaudara pasangan H.M. Ramli dan Hj. Rogayah ini lalu menjadi staf pengajar honorer dan dipercaya memegang mata kuliah Keterampilan Menulis. Saat ini sedang melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Sambil kuliah, ia juga bekerja sebagai wartawan di sebuah tabloid di Jakarta. Belajar menulis sejak kecil, saat ia mulai berkenalan dengan majalah anak-anak semacam Bobo, Tom-Tom, dan Ananda. Saat di SMA, ia mulai berani mengirimkan cerpen-cerpennya ke majalah remaja. Uniknya, justru tulisan pertamanya yang dimuat adalah artikel pendek mengenai kegiatan sekolah. Tapi pengalaman tak terlupakan itu menjadi pelecut baginya untuk tetap tekun menulis. Barulah pada saat kuliah, tulisannya yang saat itu diikutkan dalam lomba cerpen di majalah Anita Cemerlang meraih penghargaan dan dimuat di majalah tersebut. Setelah itu, tulisannya berupa cerpen dan artikel mulai rutin mengisi beberapa media cetak, di antaranya Republika, Rakyat Merdeka, Warta Kota, Pelita, Galamedia, dan Aksi. Cerpennya yang berjudul Menanti ke Barat masuk sebagai nominasi dalam Lomba Cerpen Festival Kreativitas Pemuda yang diadakan Depdiknas dan termuat dalam antologi cerpen Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama (ICW, 2004). Novel yang pernah diterbitkan adalah Pelangi Hati (Lingkar Pena Publishing House, 2004), Aktivis Funky: Will You Marry Me? (Lingkar Pena Publishing House, 2005), dan Klub 4 1/2
(MU3, 2005). Novel keempat yang berjudul Bukan Cinta Biasa sedang menunggu proses terbit. email :
[email protected] Nama
: M. Adji
Alamat : Asrama Mahasiswa UI Blok D1 233 Depok 16424 Telp
: 0815-8778696 / email :
[email protected]
Account: Bank BNI Cabang Unpad Bandung No. Rek. 22890009