•
475 •
UNDAN~UNDANGPEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI: Peneterapannya •
_________ Oleh: Oemar Seno Adji _________ ,
1. Parsial-Integral Pemberantasan korupsi yang sekarang diga1akkan dan ditingkatkan dan merupakan imp1ementasi dari Undang-undangnya terkenal No.3 tahun 1971, bukanlah suatu usaha temporer, melainkan tahun 1970 pun - sebelum ditetapkan Undang-undang No.3 tahun 1971 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (se1anjutnya disebut UUPTPK)' diucapkan oleh Presiden pada Sidang Kabinet Paripurna, tanggal 30 J anuari 1970, yang telah memberikan penegasan-penegasan mengenai sikap Pemerintah ten tang masalah yang mendapatkan perhatian dari masyarakat waktu itu - dan waktu sekarang pula - ialah pemberantasan ko• rupsi. Menarik perhatian pula, bahwa dalam Pidato tahun 1970 (30 J anuari) menyinggung pula Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 1968, yang antara lain menegaskan ; "Dalam usaha nyata untuk mewujudkan aparatur negara yang tertib dan bersih maka tindakan·tindakan khusus telah diadakan untuk memberantas korupsi. Agar supaya tindakall itu dapat dilakukall lebih cepat dan tertih terhadap setiap orang baik sipil mal/pUll ABRI, maka dibentuk Team Pemberantasall Korupsi yang dipimpin oleh .faksa ".
Dalam melakukan tindakan justisial, .lalam menyelesaikan tindak pidana korupsi harus selalu menempuh prose-
dure dan ketentuan hukum yang berlaku, justru karen a Pemerintah ingin tetap beIjalan berdasarkan Rule of Law, demikian dinyatakan dalam Pidato tahun 1970 tersebut. •
Dalam hubungan ini, untuk mengefektifkan 1agi pemberantasan korupsi, telah dibentuk komisi 4, terdiri atas, WILOPO, SH, U. KASIMO, Prof. Ir. JOHANNES, ANWAR TJOKROAMINOTO, dengan waktu itu MayJen. SOETOPO YUWONO, sedangkan Bung HATTA ditetapkan sebagai Penasehat (Presiden) komisi 4. Diketahui pula, bahwa komisi 4 terse but telah mengadakan penelitian terhadap RUU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dipandang cukup maju dan dapat membantu pekeIjaan Penuntut Umum. Baik dalam Pidato sidang kabinet paripurna 1970 (30 Januari) kemudian dalam keterangan Pemerintah sewaktu diajukan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pi dana Korupsi (tanggal 28 Agustus 1970), selanjutnya dalam pidato Kenegaraan pada tahun 1970 itu juga (16 Agustus), te1ah dikemukakan bahwa RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan aspek repressif/judisial dati Pemberantasan Korupsi yang harus dilakukan secara overall, integral dan simultan. Dalam rangkaian usaha pemberantasan tersebut perundangan mengenai pemberantasan tindak pidana - telah mel\ielaskan diri
\
476
Hukum
dalam nama yang diberikan kepada sekedar merupakan sarana ataupun wahana justisial, yang secara essensial tak dapat dipisahkan dari langkah atau tindakan lain, yang sifatnya adalah preventif dan administratif. Jikalau tindakan repressiffjustisial dapat disalurkan melalui peraturanperaturan Pidana Materiel dan Hukum Acara (Pidana) nya dapat menghadapkan seorang yang dituduh, dituntut dan dipidana kepada Polisi, J aksa, Hakim Pidana dan tersangkut dengan bidang-bidang hukum Penitent air, berupa Pidana Pemasyarakatan ataupun pidana mengenai harta kekayaan (vermogensstraffen), maka langkah prevensi/administratif, dengan mengusahakan perbaikan ekonomi, disertai dengan perbaikan aparatur negara (**) kesemuanya itu perlu mendampingi jalan yang hendak ditempuh secara justitieel tersebut dalam menghadapi penyelewengan/penyalahgunaan keuangdan kewenangan. (**) Yang meliputi reorganisasi, penyempurnaan tata ketja, perbaikan prosedure, ketegasan bidang tugas wewenang, pertanggungan jawab yang jelas, sistem perizinan, tanpa melupakan penertiban personil dan materiel dan pula pengawasan yang efektif. •
an
Penyelesaian perkara secara justisial, dengan cepat dan efisien, yang didasarkan atas perundang-undangan; kait-mengkait dan tidak dapat dipisahkan dengan langkah preyensi/administratif dalam menghadapi pemberantasan korupsi. yang harus dilakukan secara integral, overall dan simultan, sehingga Undang-undang ten tang Pemberantasan Tindak Pidana' Korupsi itu sekedar merupakan bagian essensial dari pemberantasan secara keseluruhan itu. •
2. Negara Hukum Nasional-Internasional Menarik perhatian, bahwa lahirnya Un-
dan Pembangunan
dang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diantarkan oleh pandangan masyarakat yang waktu itu tercennin dalam tulisan-tulisan di beberapa mass media (antara lain Soemarno P. Wiryanto, SH., Tasrif, SH. dan Jainlain), sedangkan sebuah Panel-Diskusi tentang "Korupsi dan .Pembangunan" (diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, tanggal 1 12 Agustus 1970), mengadakan pendekatan dari masing-masing disiplin permasalahan "Korupsi dan Pem bangunan" waktu itu disoroti dari sudut ekonomi, sosial politik dan hukum untuk itu diadakan inventarisasi pokok pikir- ' an masing-masing dalam diskusi ekonomi dan korupsi, dalam panel diskusi sosial politik dan korupsi, dan panel diskusi Hukum dan Korupsi. Didahului oleh sebuah simposium "Tracee Baru" pada tahun 1966 mengenai "Indonesia Negara Hukum" di Universitas Indonesia, dengan disertai oleh para Satjana Hukum, hasil-hasilnya menggambarkan adanya resonansi pada Hukum positif (terdapat dalam Pelita I, 1969-1970, 1973/1974) yang seolah-olah mengadakan konfirmasi adanya 3 ciri dan unsur utama dalam Negara I1ukum Indonesia:
°-
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak • • azaSI manUSla. b. Peradilan bebas dan tak memihak.
c. Legalitas dalam arti hukum. baik formil maupun materi/.
seperti pernah dirumuskan dan disimpulkan oleh Simposium " Tracee Baru" terse but. Maka suatu perundang-undangan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam aspek Hukum Pidana materiel maupun Hukum Acara Pidana dalam Negara Hukum Indonesia; berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila ; tidak akan meninggalkan hak azasi manusia dan prinsip le-
477
Tindak Pidana Kornpsi
galitas, yang dalam Negara Hukum manapun dipandang sebagai palladium dari kepastian hukum, apa lagi sistem Peradilan bebas, dari faktor extra-judisiel dan dari paksaan (compulsion) dan jauh dari tekanan, direktiva at au rekomendasi darieksekutive ataupun legislatif. Dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terse but, ia ditegaskan dalam Peraturan Peralihan pasal 36, yang menyatakan antara lain, bahwa terhadap segala tindakan pidana korupsi yang dilakukan sebelum saat Undang-undang ini berlaku, tetapi diperiksa dan diadili setelah Undang-undang ini berlaku, maka diperlakukan Undang-undang yang berlaku pada saat tindak pidana itu dilakukan. J elas disini, bah wa pasal 36 tersebut mengikuti azas legalitas, mempu-
nyai kekuatan untuk dikemudian hari dan tidak retroaktif sifatnya. Diketahui kiranya, bahwa dalam pembicaraan di Parlemen waktu itu, tergambar suatu keinginan untuk memperlakukan perundang-undangan surut dan dapat meliputi perbuatan koruptif yang dilakukan sebelum Undangundang sekarang itu ditetapkan . Keinginan terse bu t sukar diterim a, oleh karena suatu penyimpangan dari azas terse but ataupun penyimpangan dari hak-hak azasi manusia hanya dibenarkan dalam keadaan darurat-exceptional ( noo drecht), yang waktu itu tidak terlihat. Dalam keadaan darurat demikian, dalam kehidupan Hukum Indonesia dahulu (Staatsblad 1945 - 135) dise but kadang-kadang dengan "Brisbane-ordonnantie"), "Tijdelijke Buitengewone bepalingen van Strafrecht" (* *), azas legalitas, seperti dinyatakan dalam pasal I ayat I KUHP dikesampingkan dalam melaksanakan ordonansi tersebut (**) Belahda dengan " Besluit Buitengewoon strafrecht". •
Maka, tidak dengan tangan ringan, tidak secara "Lichtvaardig", kita akan memalingkan diri dari azas .legalitas yang sangat mengkaitkan Hukum Pidana dengan Negara Hukum Prof. Rutgers ("Strafrecht en rechtsstaat"), yang memusatkan diri pada azas legalitas ini dalam pasal I WvS dan mencarl "toevlucht" kita pada "noodrecht" yang exceptional dan yang menyampingkan larangan retroaktivitas peraturan pidana. Beberapa kali dikatakan, bahwa penyelesaian perkara tindak pidana korupsi harus did as ark an atas ketentuan dan prosedure yang berlaku, karena hendak menyandarkan diri pada Rule of Law dan kemudian bahkan dikatakan, bahwa penyimpangan dari Hukum Acara Pidana (Umum) itu masih harus bergerak dalam batas yang diakui oleh prinsip dalam negara hukum. Hal terakhir jelaskan dinyatakan dalam Penjelasan dari Undang-undang No.3 tahun 1971 antara lain, bahwa penyimpangan-penyimpangan dari Hukum Acara Pidana Umum itu sekedar dimaksudkan untuk mempercepat prosedure dan mempermudah pembuktian dalam fase penyidikan , penuntutan dan serta pemeriksaan dipersidangan. Walaupun diadakan penyimpangan, hal demikian tidak berarti bahwa hak-hak azasi tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak dijamin at au tidak dilindungi, akan tetapi diusahakan sedemikian rupa sehingga penyimpangan-penyimpangan itu tidak merupakan penghapusan seluruhnya hak-hak azasi tersangka/terdakwa, melainkan sekedar merupakan penghapusan seluruhnya hak-hak azasi tersangka/terdakwa, melainkan sekedar merupakan pengurangan yang terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bahaya yang ditimbulkan karena korupsi. Sifat-sifat khusus, yang pada hakekatnya penyimpangan dan menganNopember J 983 •
478
Hukum dan Pembangunan
dung limitasi terhadap hak dan kewajiban seseorang dan kewajiban seseorang yang ikut serta dalam suatu proses pidana masih dibenarkan dan diperkenankan, tanpa mengelakkan diri dalam arus penyimpangan dan penghapusan hak-hak terse but. Sejak permulaan sehingga ia dirumuskan dalam Undang-undang No.3 tahun 1971 tersebut dalam pasal 17, adalah pandangan apakah ia diverge rend ataupun convergerend sifatnya mengenai beban pembuktian (bewijslas, burden of proof) menimbulkan keraguan apakah terdapat disini suatu omkering van bewijslast, reversal of the burden of proof, atau pembalikan beban pembuktian ataukah pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak menyandarkan diri pada pembalikan pembuktian . Undang-undang No.3 tahun 197 L terse but - hingga sekarang - sesuai dengan pandangan para SaIjana Hukum belum dapat menerima suatu azas kemungkinan pembalikan beban pembuktikan, yang dapat menimbulkan persoalan dengan hak seorang terdakwa/tersangka pada non self incrimination. Begitu pula dari sejarah parlementer telah ditegaskan , bahwa om kering van bewijslast terse but dihindarkan, dengan mengadakan sedikit toegift dalam soal pem buktian yang hendak dipermudah, didampingi dengan percepatan prosedure yang hendak di• capcu. Secara sadar, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana tidak mengikuti "azas" reversal of the burden of proof, seperti dimungkinkan oleh "Prevention of COlluption Act" tahun 1961 di Malaysia, dan "Prevention of Corruption Act" dari Inggeris tahun 1961. Kedua-duanya mengikuti azas Presumption of Corruption yang antara lain menyatakan , bahwa apabila ternyata suatu Gratification, uang atau•
pun pemberian itu diterima oleh seorang pejabat maka uang tersebut dipandang (deemed) diterima corruptly, kecuali kebalikannya itu dapat dibuktikan (unless the contrary if proved). Maka, apabila tersangkit/terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah - sedangkan pembuktian itu dibebankan kepadanya - ia salah menerima gratification corruptly. Tidak diperlukan lagi Jaksa membuktikan kesalahan terdakwa, jikalau kit a menganut azas omkering van bewijslast dalam bentuk murni aslinya. Apabila kit a tidak mengikuti azas pembalikan pembuktian tidak membe- , narkan adanya presumption of corruption, seperti terlihat pada perundangundangan Pembera.r;ttasan Tindak Pidana Korupsi ini jelas tidak menggam barkan azas omkering van bewijslast dan . ia tidak mewajibkan seorang tersangka/terdakwa dalam perkara korupsi untuk membuktikan ketidak salahannya, yang mengakibatkan bahwa apabila ia tidak dapat mem buktikan ketidak salahannya, ia dipandang salah melakukan tindak pidana korupsi dan J aksa tidak usah lagi mem buktikan kesalahan-kesalahan tersangka jterdakwa tersebut. Bahwa dikatakan dalam ayat 3 pasal 17 UUTPK tadi, bahwa dalam hal tersangka/terdakwa tidak dapat membuktikan ketidak salahannya, J aksa masih tetap masih diwajibkan memberi pembuktiap tentang kesalahan tersangka/terdakwa. Dalam hal kebalikan• nya, apabila tersangka/terdakwa mampu memberikan pembuktian bahwa ia tidak bersalah yang dapat merupakan suatu · fait d 'excuse dinyatakan oleh pasal 17 UUTPK masih sempat diberikan kesempatan untuk mengadakan pembuktian kontranya (tegenbewijs). Ia sekedar memperkuat pandangan, bahwa dalam UUTPK tersebut tidak terdapat adanya suatu -
Tindak Pidana Korupsi •
pembalikan pembuktian, melainkan sekedar suatu pergeseran dari beban pembuktian, dim ana seorang tersangka/terdakwa yang dituduh melakukan suatu tindak pidana korupsi dalam hal-hal terse but diberikan kesempatan oleh Hakim untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah me~akukan tindak pidana korupsi. Hal-hal tersebut meliputi keadaan, apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan bahwa perbuatannya itu menu rut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau apabila terdakwa itu menerangkan (dalam pemeriksaan) bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum. Ia didampingi dengan ketentuan, apabila terdakwa tersebut berhasil atau tidak dalam mempergunakan kesempatan yang diberikan Hakim kepadanya untuk membuktikan ketidak-salahannya. Berhasillah terdakwa terse but, maka keterangannya dipandang menguntungkan baginya, sedangkan sebaliknya apabila ia tidak berhasil, maka keterangannya setidaktidaknya merugikan baginya. Dalam UUTPK inilah, diberikan peranan kepada . Jaksa untuk masih membuktikan ataupun memberikan suatu pem buktian kontra, apabila terdakwa berhasil atau tidak dalam memberikan keterangan sesuai dengan perkenan Hakim. J alan demikian pula ditunjukan dalam penghin&an di pasal310 KUHP dalam hubungannya dengan pasal 312 K UHP, dimana seorang terdakwa yang dituduhkan melakukan penghinaan dengan suatu charge with an act or fact diberikan kesempatan oleh Hakim (*) untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana (penghinaan) yang dituduhkan kepadanya apabila ia menyatakan . antara lain bahwa ia melakukan hal itu untuk
479
kepentingan umum (*) (pasal 312 KUHP). Berhasillah tersangka/terdakwa itu dalam pembuktian, terbukalah suatu kesempatan untuk memperiakukan azas fait d 'excuse baginya, sedangkan apabila ia tidak berhasil dalam pembuktiannya, maka ia dapat dihadapkan dengan tindak pidana lain ("fitnah", menurut pasal 311 KUHP). Paralelitas terse but hanya - sekali la:gi - menunjukkan, bahwa tidak terdapat suatu pembalikan pembuktian dalam hal ini. Ia sekedar merupakan suatu penyimpangan dalam soal pembuktian yang dipermudah dalam batas-ba.tas yang dimungkinkan oleh Rule of Law, dalam batas yang digarisk an oleh Nt;gara Hukum kita. Ia mengingatkan kita pada suatu kesimpulan yang pernah dicapai dalam kongres di New Delhi (1959) oleh International Comission of Jurists dengan Rule of Law concepnya dikatakan an tara lain: . "The application of the Rule of Law involves an acceptance of the principle that an accused person is assumed to be innocent until he has been proved to be guilty. An acceptance of this general principle is not inconsistent with provision of law which in particular cases, shift , the burden of proof once certain facts creating a contrary presumption have been established. The person guilt of the accused should be proved in each case".
Diketahui, bahwa terdapat penyimpangan-penyimpangan dari Hukum Acara Pidana biasa, segala sesuatu dengan tujuan, untuk mempercepat penyelesaian perkara dan untuk mempeIIIludah pembuktian. Pasal 17 tersebut adalah satu penyimpangan, dengan maksud untuk mempermudah pembuktian, akan tetapi ia merupakan apa yang disebabkan suatu penggeseran dalam pem buktian, suatu shifting of the burden of proof yang belum merupakan suatu pembalikan pembukNopember 1983
480
Hukum dan Pembangunan
tian, yang dipandang tidak inkonsisten dengan azas praduga tak bersalah, azas presumption of innocence. Ia -pasal 17 UUTPK - terse but adalah 1ebih diperkenankan dalam Negara dibawah Rule of Law terse but - walaupun agak menyimpang dari Hukum Pembuktian biasa, dalam perkara korupsi sebagai particular cases. Kesemuanya menunjukkan, bahwa substansi Undang-Undang TPK tersebut masih bergerak dalam batasbatas persyaratan yang ditetapkan oleh Negara Hukum. Ia tidak melepaskan prinsip legalitas, pengholIllatan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia diakui tidak dihapuskan sepenuhnya, sedangkan Peradilan bebas secara fungsional ditegakkan dan penyimpangan-penyimpangan dalam Hukum Acara Pidana masih bergerak dalam batas-batas yang diperkenankan oleh Hakim. •
Beberapa inovasi Undang-Undang TPK sekarang (No. 3 tahun 1971) didahului oleh UndangUndang No. 24 Prp tahun 1960 tentang pengusutan dan pemeriksaan Tindak Pi dana Korupsi yang mencabut Peraturan Penguasa Perang Pus at KSAD, tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013 serta Peraturan Pelaksanaannya dengan 2 kategori perbuatan' korupsi, Pidana dan Perdata , dimana perbuatan korupsi yang bersifat perdata dalam suatu perkara diajukan oleh suatu badan koordinator secara perdata (civil rechtelijk) langsung kepada Pengadilan Tinggi. •
Perobahan disertai dengan pencabutan Undang-Undang No . 25 Prp tahun 1960, membawa penciptaan delik baru dengan perumusan baru , yang didampingi pula dengan ketentuan mengenai Hukum Acara Pidana yang agak berbeda dengan Un dangundang tahun 1960 tersebut. Delik•
•
delik yang dikwalifisir se bagai tindak pidana korupsi, seperti termuat dalam pasal 'l Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.3 tahun 1971 terdiri at as ciptaan delik baru di laar KUHP dan delik-delik yang bersum ber p ada K UHP dan sekarang diangkat sebagai tindak pidana korupsi, sedangkan delik-delik terakhir ini dapat dikelompokan sebagai suapmenyuap (baik yang berupa suapan aktif, maupun pasif) pemborongan (pasal 387 KUHP) penggelapan jabatan, pemerasan dan knevelarij leverantie, pemborongan ataupun erfpachtingen dan lain-lain. Dari pada itu , tindak pidana korupsi yang tidak bersumber pada KUHP termuat an tara• lain dalam: a. Pasal 1 ayat a dengan perumusannya yang luas dan sering menimbulkan persoalan"persoalan yuridis dengan kata-kata: "Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain , atau suatu badan , yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehny a bahwa perbuatan tersebut m erugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perumusan delik ini, y ang akan m erobah Undang-undang Prp No . 24 tahun 1960 meliputi 3 persoalan mengenai siapakah yang menjadi subyek dari lindak pidana, pengertian ten tang "memperkaya diri atau orang lain " dan "melawan hukum " (yang rJppat merugikan keuangan atau perekonomian negara) yang sering diketengahkan dalam pembicaraan dan akan sedikit diperdalam /cemudian ;
b. Pasal 1 ayat b , yang memandang sebagai tindak pidana korupsi: "Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan ataupun sarana •
Tindak Pidana Korupsi
•
•
yang ada padanya karena iabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan ke· uangan negara atau perekonomian negara. Pasal ini dalam penerapannya tampak· nya tidak demikian menimbulkan per· soalan seperti pasal 1 ayat a diatas.
c. Pasal a ayat d, yang dalam perumusannya · mengandung suatu perbuatan penyuapan aktif, yang tidak k~ta memiliki pada penyuapan pasif dalam pasal 418 K UHP. Pasal 419 KUP kiranya diketahui, bahwa ia mempunyai tegenhanger dalam akNeve omkoping pada pasal 209 KUHP, sehingga Pembentuk Undang-undang memandang perlu untuk menciptakan delik baru, yang mengatur suapan aktif kepada seorang pejabat, tennasuk dalam pasal 418 KUHP dan yang sekarang di-inkorporasikan dalam pasal 1 ayat d UUTPK terse but. Dari pada itu, kelompok Tindak Pidana Korupsi yang meliputi suapmenyuap baik ia merupakan omkoping aktif maupun pasif, perlu diaoakan peninjauan lanjutan dengan Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, walaupun undang-undang TPK No.3 tahun 1971 dan ·ketentuan mengenai suapmenyuap dalam KUHP adalah perundang-undangan yang dipandang di luar Undang-undang No . 11 tahun 1980 terse but . • Hukum Acara Pidana Khusus, suatu terminologi terse but dalam pasal 28 KUHP dan dalam Penjelasannya mepula Undang-undang TPK ini, telah betrekken dalam pembicaraan pasal 17 yang menelaah soal beban pembuktian, apakah dimungkinkan adanya pembalikan pembuktian, apakah masih diikuti cara pembuktian lain yang diperkenankan oleh rule of Law. Pasal 17 diikuti oleh pasal 18 (Undang-undang TPK) yang mengatur
481 tentang kewajiban terdakwa untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya (dan harta benda nya istri/suami, anak dan setiap orang, serta badan), yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, apabila diminta oleh Hakim dan yang dalam pembicaraan parlementer selalu dibarengi dengan pasal 17 tersebut. Pasal 18 tersebut yang dimintakan oleh Hakim mengenai keterangan tentang harta ten tang harta benda pula dapat dimintakan oleh Penyidik (pasal 6) yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang b ersangku tan. Persoalan verschonings!echt khususnya dari mereka yang karena martabat, jabatan atau peketjaan wajib menyimpan rahasia (yang waktu ada pada seorang Advokat, Dokter, Notaris) terbatas pada Petugas Agama, sehingga hanya Petugas Agama inilah yang dibebaskan untuk memberikan keterangan kesaksian dan pejabat-pejabat lain wajib memberikan keterangan terse but (pasal 8 dan 21) menjadi pertanyaan sekarang, apakah seorang wartawan yang berdasarkan atas Undang-undang Pokok Pers memiliki pula hak tolak dapat dimasukkan dalam kategori mereka yang memiliki verschoningsrecht berdasarkan atas Undang-undang TPK ini. Pemeriksaan oleh Hakim dalam absentia dimungkinkan oleh Un dangundang TPK terse but dan karenanya ia merupakan penyimpangan dari ketentuan umum yang mewajibkan tersangka/terdakwa untuk hadir dalam • persidangan. Prioritas pemeriksaan diberikan kepada perkara-perkara korupsi secara perundang-undangan guna dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (pasal 4). Saksi baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan dimuka sidang Pengadilan, dilarang menyebut nama/alamat atau hal-hal Nopember 1983
482 •
lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya pelap or (pasal 10 dan 19). Ada ketentuan tersendiri dalam perkara-perkara koneksitas, yang dilakukan oleh seorang ABRI dibawah lingkungan Peradilan Militer, yang menyatakan bahwa Pengadilan Negerilah yang berwenang pada prinsipnya untuk mengadili perkara demikian. Selanjutnya, baik dalam perkara koneksitas maupun dalam perkara korupsi biasa, diakui dengan kata-kata tegas dan luas, bahwa faksa Agung selaku penegak hukum dan Pen untut Umum tertinggi memimpin/mengkoordinir tugas kepolisian repressif/ justitieel dalam penyidikan perkaraperkara korupsi yang diduga atau mengandung petunjuk telah dilakukan oleh seorang sipil maupun oleh seorang militer (pasal 26). Ketentuan tersebut adalah penjelmaan dari usaha unifonnatis dalam penyelidikan. Pasal 26 UUTPK tersebut akhirnya dapat menampung Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 yang antara lain menyatakan bahwa Team Pemberantasan Korupsi dengan J aksa Agung sebagai Ketuanya mempuhyai fungsi memimpin dan mengkoordinir semua penegak Hukum yang berwenang dalam melakukan penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh ABRI maupun oleh orang sipil. Pad a hekekatnya, fungsi J aksa Agung sebagai pimpinan tugas Kepolisian repressiffjustitieel dan menjadikan suatu "penyidik" bii uitstek dan itu, waktu ditetapkan UUTPK, menjadikan Jaksa tokoh penyidik sentral dalam penyidikan, itu merupakan suatu pengukuban dari fungsinya pimpinan justisieel, baik dalam penydikan dan penuntutan. S.ekarang ia diakui dalam pass) 284 KUHAP sebagai suatu ke-
Hukum dan Pembangunan
tentuan dalam Hukum Acara Pidana Khusus, dim ana J aksa Agung masih berperan sebagai Pimpinan dalam . penyidikan perkara korupsi. Ketentuan prosessual, yang tampaknya menyimpang dari hukum Acara Pidana biasa, seperti terlihat dalam UUTPK terse but tidak demikian sifatnya, sehingga ia menghapuskan sarna sekali hak-hak seseorang yang terlibat dalam suatu proses pidana. Masihlah ia bergerak dalam batasbatas yang diperkenankan dan dibenarkan dalam Negara Hukum kita.
Implementasi ludisial Undang-undang Pemberantasan Tin• dak Pidana Korupsi seperti dikatakan adalah sarana legislatif yang tersedia dan sekedar merupakan aspek represif-justisial dari persoalan korupsi yang dihadapi; karenanya ia didampingi bahkan didahului dengan langkah-langkah prevensi dan administrasi • sehingga kedua-duanya merupakan usaha bersama dalam mengadakan penanggulangan korupsi. Pula, diketahui bahwa peraturan perundang-undangan , mulai dari tahun 1958 , melalui tahun 1960 dan akhirnya tahun 1971 tersebut mengenai korupsi merupakan suatu rangkaian ketentuan-ketentuan , yang dalam fase penyidikan itu hanya bersumber dua, dimana akhirnya Kopkamtib/Opstib khususnya menyerahkan perkara korupsi itu kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diselesaikan secara justisial. Baru pertama kali dalam kehidupan Hukum mengenai korupsi itu diajukan sebagai sebuah disertasi oleh Dr.A. Hamzah pada Universitas Hasannuddin di Ujung Pandang (tanggal 27 Nopem ber 1982) dibawah pimpinan Rektor Prof. Dr. Hasan Walinono). Sejarah Parlementer dari Undang-undang TPK No. 3 tahun 1971 kiranya mengandung bahan yang
Tindak Pidana Korupsi
483
ngan siapakah yang dip an dang sebagai patut untuk mendapat penelaahan dan untuk diketahui. subyek dari tindak pidana tersebut, akan menggambarkan pandangan-panMenurut perhitungan tahun 19771981 telah terdapat perlimpahan perdangan yang berbeda, khususnya dakara-perkara korupsi - jumlahnya ada lam putusan Pengadilan, yang karena34 - oleh OPSTIB kepada Kejaksanya tidak belum menggariskan yang an, sedangkan kami akan membatasi konstan 'mengenai permasalahan. diri pada perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat, cause celeSubyek bre yang diajukan oleh Kejaksaan dan Tidak dijelaskan dalam perundangmendapat keputusan dari Pengadilan , undangan terse but, yang dengan sendikesemuanya itu belum menggambar- ' rinya membuka pertanyaan, apakah kan garis yang jelas dari persoalan subyek terse but harns seorang pegayang timbul dari Un dang-un dang TPK wai negeri (dalam artian hukum No.3 tahun 1971 tersebut. Pidana), y ang dalam UUTPK tersebut Dr. A. Hamzah - dalam disertasisecara otentik telah mendapat perluasnya - yang mengajukan suatu hipoan dalam pasal 2, sewaktu dinyatakan tesa, bahwa UUTPK sebagai sarana , bahwa pengertian seorang "pegawai pembangunan cukup baik, dan dalam negeri" (yang dim aksud dalam Un dangkurun waktu 5 tahun (1977-1 981) un dang ini) meliputi juga o rangkerugian negara yang ditimbulkan oleh orang yang menerim a gaji atau upah perbuatan korupsi ini ± Rp.137.415 . dari keuangan negara, atau dari suatu 541.812,83 sedangkan sebahagian tebadan Hukum y ang menerima bantu an lah dapat diselamatkan atau ditarik dari keuangan negara atau daerah, kembali Rp.39.802.278 .207,89. Daatau badan hukum yang mempergunalam kurun waktu 5 tahun lagi ( 1977kan modal dan kelonggaran-kelonggar1981) terse but masuk · ke Kajaksaan an negara atau masyarakat, ataukah 1.170 perkara ditambah dengan tungsetiap orang/bukan pegawai negeri dagakkan I tahun sebelumnya 115 perpat menjadi subyek dari TPK dalam kara (1976) yang berhasil diselesaikan p asal I ay at a terse but. adalah sebanyak 1.041 perkara diantaJikalau dalam perkara ROBBY ranya yang telah diputus oleh PengaTJAHYADI (Pengadilan Negeri Jakardilan Negeri 875 perkara. ta Pusat 7 Maret 1973), Restriksi yang lain yang hendak kemudian Pengadilan Tinggi Jakarta kita fokuskan pada pasal I ayat a (tanggal 7 September 1979) seorang UUTPK yang tampaknya mengandung swasta dapat bertindak sebagai subyek suatu perumusan yang luas dan dipandari PTK tersebut, maka dalam perkadang kurang jelas, sehingga kadangra EDDY LUKMAN (Pengadilan Tingkadang meniinbulkan pandangan yang gi yang sarn a (Jakarta) - -sebagai s~ ber-varitas dan divergerend sifatnya. orang swasta dibebaskan dari tuduhan Unsur-unsur perbuatan memperkaya berdasarkan atas pasal I ayat a UUTPK. Pengadilan Tinggi yang sarna itu diri atau orang lain atau suatu Badan, pula, dalam putusannya terhadap Hadi yang secara langsung atau tidak langNezoro Widjoyo - seorang swasta sung merugikan keuangan negara dan (1 Mei 1980, Nomor 3/1978), kern bali perekonomian negara kemudian unsur melawan hukum, dari pasal 1 ayat a pada p andangan semula, bahwa seUUTPK , pula disinggung dalam Memoorang swasta dapat dipersalahkan meri Penjelasan, akan digandengkan delanggar pasal 1 ayata UUTPK. Nopember 1983
484 Jikalau dalam penjelasan tidak demikian ditegaskan, apakah seorang swasta dapat melakukan tindak pidana korupsi, khususnya yang tertera dalam pasal 1 ayat a terse but, perlu kita melihatnya ini dari sudut, makna dan pengertian ten tang korupsi, yang sering dikaitkan dengan "jabatan" umum tersebut. Sewaktu Prof. Syed Hussein Alatas dalam bukunya "Sosiologi Korupsi" tersebut berbicara mengenai makna dari korupsi, yang digandengkan dengan "korupsi pejabat", maka ada 4 perbuatan yang secara dikemukakan, ialah extortion, bribe (yang meliputi apa yang kita namakan actieve dan passiev omkoping), faud dan yang ia sebutnya dengan nepotisme . . . . . . . ... . Khususnya extortion, fraud, bribe dan sebagainya adalah hal-hal yang dicantumkan dalam KUHP kita, sedangkan sekarang terdapat suatu perkembangan bahwa extortion ataupun bribe tersebut dapat dilakukan di luar Hukum Pidana dan dapat dilakukan dalam segala bentuk, baik dalam bidang perekonomian, sosial politik, kebudayaan dan dalam dunia business, (Bribe and Extortion in world business oleh Neil H. Jacoby, Peter Nehemkis, Richard Eells) dan yang umumnya merupakan delik jabatan (ambsdelicten). Kemudian sosioloog dan ekonom ternama "Gunnar Myrdal" (Asian Drama II, halaman 937), sebelum mengadakan ulasan mengenai corruption, sebab dan dampaknya (cause' and effects), ingin mengadakan suatu perumusan meng~nai istilah korupsi , dalam pengertian" yang paling luas, dengan menyatakan: "The term "corruption" will be used· in its widest sense, to include not only all forms of "improper of selfish exercise of power and influence attached to a public office or to the special position one
Hukum dan Pembangunan
occupies in public life", but also the activity of the bribers".
Rumusan ini nampaknya memperhatikan pula laporan dari sebuah committee mengenai prevensi korupsi (report of the committee on prevention of corruption), yang melihat ketuanya sering dinamakan "Santhanam Committee report" kita melihat bahwa terutama soal korupsi ditujukan kepada mereka yang memegang jabatan umum (public office) atau pun kepada mereka yang mempunyai posisi khusus dalam kehidupan publ1k. Dalam laporan kongres PBB ke-6 mengenai "Prevention of Crime and treatment of offenders" di Caracas pada tahun 1980, soal korupsi ini disinggung dalam salah satu Item "Crime and the Abuse of Power" (offence and offenders beyond the reach of , law) yang sebagaikonsep melibatkan evaluasi moral dan etis. Oleh komite dalam PBB tersebut dilihat adanya 2 tipe dari pelanggaran yang sukar di· jangkau oleh hukum, ialah (a) ada pelanggaran-pelanggaran yang tidak dikwalifisir sebagai kejahatan dalam arti Hukum (Crime) akan tetapi sangat merugikan masyarakat dan (b) ada pelanggaran yang menurut hukum dikwalifisir dan dirumuskan sebagai Crime terhadap mana para para penegak hukum secara politik dan ekonomi ataupun karena keadaan sekitar pelanggaran yang dilakukan adalah sedemikian rupa sehingga laporan ataupun penuntutan sulit diadakan (lihat report halaman 67 dst.). Disebutlah beberapa delik yang dikategorikan di dalamnya, seperti korupsi, pelanggaran pajak (tax evasion) pelanggaran mengenai keuangan (currency) penyelundupan (smuggling), pelanggaran terhadap lingkungan hidup, exploitasi buruh dan lain-lain. Selanjutnya dikatakan dalam laporan Caracas terse but, bahwa penyalah-
485
Tindak Pidana Korupsi
gunaan (abuses) dari kekuasaan politik, ekonomi ataupun sosial tidak beroperasi dalam isolasi, melainkan ada suatu antar-kaitan (interlink) satu sarna lain. Digambarkan disitu misalnya, bahwa. suatu tindak pidana ekonomi merupakan faktor penyebab dan , memberatkan bagi perbuatan korupsi dalam proses pemerintahan dan dari pejabat (public officials) dipisahkan disitu tindak pidana ekonomi (economic crime) dari perubahan korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat, sehingga dapat digambarkan bahwa perbuatan korupsi terse but dilakukan oleh seorang pejabat sedangkan tindak pidana , itu dapat dilakukan oleh setiap orang. Maka, persoalan yang dapat bertindak sebagai subyek dari tindak pidana korupsi, yang terse but dalam pasal I ayat a UUTPK, apakah ia dapat diperluas pada swasta ataupun pada seorang pegawai negeri, kiranya dapat dihadapi dengan ketentuan, bahwa pertama-tama sebagai suatu tindak pidana korupsi subyek adalah seorang • • pegaW81 negen. Penjelasan dari UUTPK , khususnya mengenai pasal I , tampak mengarahkan, bahwa terutama seorang pejabat itulah yang dapat dipandang sebagai subyek dari ~dak pidana korupsi. Dikatakan dalam penjelasan pasal 1, sebelumnya memasuki penjelasan mengenai ayat a, antara Jain: Pasal1 : "Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manivestasi dari per· buatan korupsi dalam arti yang luas mempergunakim kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut · atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dikwalifisir sebagai tindak
pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan Hukum Pidananya dan Acaranya"
Tampak dari penjelasan dari pasal I tersebut, bahwa tindak pidana korupsi itu ditujukan kepada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam jabatan umum, sedangkan kemungkinan .untuk melakukan suatu tindak . pidana korupsi bagi seorang swasta apabila ia mem berikan . suap kepada seorang pegawai negeri. Seorang non pegawai negeri selama tersedia baginya suatu ,perundang-undangan dalam bidang Jain, yang dapat merugikan keuangan ataupun perekonomian negara, dapat bertindak sebagai subyek dalam perundang-undangan spesifik itu (perpajakan, tindak pidana ekonomi, sarana penipuan, pemalsuan dan lainJain). Selaku su byek dari tindak pidana korupsi seperti dimaksudkan dalam pasal 1 ayat a UUTPK, semestinya ia jauhkan baik dalam tuduhan maupun. dalam . putusan Pengadilan. Ia baru dapat dipertim bangkan dalam jangkauan UUTPK tersebut apabila perbuatan yang dilakukan dan yang men.imbulkan kerugian dalam keuangan dan perekonomian negara itu belum atau tidak dikwalisir sebagai suatu Crime menurut hukum . ,
Memperkaya Diri Dalam perkara-perkara korupsi, yang didasarkan atas tuduhan melang.gar pasal 1 ayat a UUTPK dan tuduhan itu dijadikan landasan bagi putusan Pengadilan diakui (oleh Dr. A. Hamzah), bahwa perbuatan yang dipidanakan dengan sarana yang ditempuh yaitu memperkaya diri sendiri (atau orang Jain atau suatu badari) dengan melawan hukum adalah sedemikian luas sifatnya sehingga banyak perNopem i ·er 1983
486
Hukum dan Pembangunan
buatan yang dilakukan oleh seorang swasta dapat dimasukan dalam perumusan yang sangat luas itu. Dari pada itu, perkara ENDANG WIJAYA menunjukkan, bahwa ia dikeluarkan dari pasal 1 ayat a UUTPK sebagai dasar tuduhan, sedangkan dalam perkara pajak terhadap seorang Pres.Dir Warga Negara Jepang ia pula dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) berdasarkan atas pasal 1 ayat a UUTPK terse but walaupun ada pertimbangan-pertimbangan hukum tertentu. Tidak diketahui, apakah pelepasan dari segala tuntutan hukum tersebut, apakah ia tidak memenuhi unsur "memperkaya diri sendiri. .dst", ataukah unsur lain "melawan hukum" ataukah iii dipandang tidak dapat bertanggung jawab pidana secara strict, secara pribadi. Akan tetapi adalah jelas, bahwa pasal 1 ayat a UUTPK sebagai dasar tuntutan terse but tidak dapat diperlukan pelanggaran pajak dan disalurkan pada UUTPK (pasal 1 ayat a) terse but. Penjelasan dalam Undang-undang TPK, demikian pula dalam perundangundangan sebelumnya, mengenai istilah "memperkaya diri" sekedar dihubungkan dengan pasal lain (18), tanpa mengadakan kata "memperkaya diri dst. dalam pasal 1 ayat a terse but dikatakan dalam penjelasan terse but antara lain: Sub a:
Perkaraan "memperkaya diri sen· diri" atau orang lain atau suatu badan " dalam ayat ini dapat di· hubungkan dengan pasal 18 ayat (2) yang memberikan kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan terdakwa ten tang sumber kekayaannya sedemikian rupa sehingga kekayaannya yang tak seimbang dengan penghasilan atau penambahan kekayaan tersebut dapat dipergunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain
bahwa terdapat telah melakukan tindak pidana korupsi".
Tampak memori Penjelasan hendak menghubungkan larangan untuk memperkaya diri dalam UUTPK terse but dengan kewajiban kepada terdakwa/ tersangka untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan atas permintaan Hakim. Kewajiban tersebut tidak ada, apabila Hakim tidak memintanya. (*) sehingga penambahan kekayaannya •
yang tidak wajar dapat diredusir dari keterangannya (*) .
.
Persyaratan dalam Memori PenJe-
lasan inilah bah wa larangan memperkaya diri sebagai salah satu bentuk dari TPK terse put mempunyai hubungan dengan kewajiban untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya - begitu hakim memintakannya, yang tidak dapat dalam perkara yang mengambil pasal 1 ayat a sebagai dasar tuduhan. Pemeriksaan terhadap seorang tersangka, yang dituduh memperkaya <;Iiri sendiri (dengan melawan hukum) umumnya tidak menyebut dalam pertimbangannya apakah atas pelIllintaan hakim itu ia memberikan keterangan sumber kekayaannya. Mulailah dalam perkara-perkara terse but mereka mengadakan penafSiran tersendiri ten tang perbuatan untuk memperkaya diri sendiri. Bahkan dikemukakan suatu pendapat lain mengenai pengertian "memperkaya diri sendiri" dalam pasal 1 ayat a tersebut oleh pihak Kejaksaan (26 orang asisten operasi Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia dan 14 senior J aksa, yang menghadiri pendidikan bidang operasi di Jakarta), yang menyatakan bahwa istilah "memperkaya diri" harus diartikan: "Adanya perubahan berupa tambahan kekaJI!!Iln atau perubahan cara hidup seseorang seperti orang kaya ".
, ,
487
Tindak Pidana Korups;
Perluasan pengertian istilah "memperkaya diri dari rumus semula dalam penjelasan, masih merupakan suatu persoalan yuridis apakah dapat dibenarkan, terlepas dari tambahan ketentuan ten tang "perubahan cara hidup seseorang sepertiorang kaya" yang tampaknya tidak nonnatif sifatnya dan dari pertanyaan, apakah cara hidup dapat dimasukkan dalam penambahan kekayaan yang tidak wajar dan tidak seimbang itu. SeJain daripada itu masih terdapat ketentuan dalam ayat 2 pasal 18, yang antara Jain menyatakan, bahwa terdakwa yang tidak berhasil memberikan keterangan (tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau tambahan sumber kekayaannya), keterangan terse but dapat digunakan untuk memperkuat seorang saksi, bahwa terdakw.a melakukantindak pidana korupsi. Tidak hasilnya terdakwa dalam memberikan keterangan yang memuaskan itu, karenanya dipandang sebagai suatu petunjuk belaka dari adanya perbuatan "memperkaya diri" yang harus diperkuat dengan alat bukti Jain, seperti kesaksian (lihat penjelasan). ,
Maka, ketidak berhasilan untuk memberikan keterangan apabila diminta oleh Hakim - tidaklah dengan sendirinya, tidak otomatis membuktikan bahwa terdakwa/tersangka telah memperkaya diri dalam perkara korupsi, melainkan harus - ' ada keterangan saksi yang· dapat menje1askan bahwa ia tersangkat/terdakwa - te1ah memperkaya diri. Maka, dalam perkara yang ditujukan dan dipu tus berdasarkan atas pasal 1 ayat .a, dimana tersangka/ terdakwa itu dipennasalahkan memperkaya diri (dengan me1awan hukum) tanpa diJihat hubungannya dengan pasal 18 ayat 2 tanpa dikemukakan, apakah ada pennintaan Hakim
Kepada tersangka/terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya dan tanpa diteliti apakah terdakwa - atas permintaan hakim terse but - berhasil atau tidak mampu untuk memberikan keterangan yang memuaskan (pasal 18 ayat 1 dan ,
2) terdakwa dipersalahkan memperkaya diri menurut pasal 1 ayat a dari UUTPK No. 3 tahun 1971. Jikalau dalam mengajukan perkara korupsi ex pasal 1 ayat a dimana subyeknya adalah seorang pejabat/ pegawai negeri; belum terlihat adanya hubungan antara pasal 1 ayat a .. dengan pasal 18 (ayat 1 dan 2) dalam menye1esaikan perkara terse but, maka penyelesaian dan pemeriksaan perkara Jain, penerimaan kredit dengan me1awan hukum, komisi dan lain yang nantinya menambah kekayaan seseorang, yang diinkorporasikan dalam UUTPK (pasal 1 ayat a) lebih kurang memperhatikan persyaratan yang ada dalam pasal 18 UUTPK dalam menentukan apakah ada perbuatan pe1anggaran perundang-undangan lain, yang dikonstruksikan sebagai tindak pidana korupsi tersebut, khususnya yang bersangkutan dengan unsur " memperkaya diri" hingga sekarang yang kita .l ihat dalam tuduhan ataupun putusan-putusan belurn pernah menghubungkan itu dengan persyaratan dalam pasal 18 terse but. Kesemuanya itu, perlu diadakan suatu rechtzetting dan di- , kembalikan kepada persyaratan hukum yang wajar, seperti terlihat dalam teks pasalnya maupun dalam penje1asannya. ,
Extensi-Restriksi/Penghalusan Hukum Dalam usaha untuk mengadakan pemberantasan korupsi, terlihat suatu kecenderungan, suatu trend untuk memasukkan pelanggaran peraturan pidaNopember 1983
488
. Hukum dan Pembangunan .
na lain ke dalam lingkungan UUTPK, khususnya yang mengandung perumusan-perumusan yang luas, seperti larangan untuk memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum. Kita melihat dalam perkara Robby Tjahyadi (yang mempunyai hubungan dengan perkara Abu Kiswo, perkara Eddy Lukman, perkara Hadi Negoro Wijaya yang pada hekekatnya merupakan perkara penyelundupan, kemudian perkara Roni Hermawan dihadapkan Pengadilan Negeri Purwokerto yang memalsu cek dengan merugikan B.R.I. perkaradikenal dengan nama "ekspor kopi fiktif' di Medan, dengan merugikan Bank Bumi Daya lebih 5 milyard lebih, kasus Letjen Pol. Drs. Siswaji karena menggunakan SlAP tanpa persetujuan Hankam, kasus Y ojiro Kitajima mengenai delik perp~akan yang diajukansebagai tindak pidana korupsi, pellnasalahan kredit yang diperoleh secara tidak wajar melawan hukum, soal komisi dan lain-lain kesemuanya itu mendorong suatu usaha . mempergunakan UUTPK, khususnya pasal I ayat a, sebagai dasar penuntutan dan putusan Pengadilan. la dimasukkan dalam UUTPK, walaupun telah tersedia pasal lain untuk masing-masing peristiwa, seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, penggelapan jabatan, pemalsuan surat ataupun penipuan, pelanggaran pidana dalam bidang perp~ak,an dan lain sebagainya. Hal demikian dimungkinkan justru karena adanya suatu perumusan yang sangat luas dalam UUTPK, khususnya dalam pasal 1 ayat a tersebut. lJmum, terbuka waktu untuk mempellnasalahkan unsur di dalamnya, memperkaya diri sendiri dengan sarana "melawan hukum" yang ditempuh itu. Tidak dapat dipungkiri, bah wa ada suatu kecenderungan pada para penegak, hanteerder kewenangan dan Pengadllan pula, dalam menghadapi suatu
perumusan yang luas/umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interprestasi yang extensif Malahan, apabila tidak terdapat hambatan, pejabat-pejabat hukum tersebilt bersikap berkelanjutan, dan agak eksessif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe "overspanningen" dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan Hukum, yang dimaksudkan tidak teuuasuk dalam jangkauan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu. ' Timbulah suatu kesan, seolah-olah peraturan Pidana yang luas/umum tersebut merupikan suatu all purpose act suatu perundang-undangan Pidana yang sifatnya adalah all cmbracing dan yang menggiJ,'ing lain perbuatan Pidana ke dalam lingkungan peraturan Pidana yang umum/luas dan terbuka, walaupun bukanlah maksud semula untuk memperlakukan tindak pidana lain sebagai tindak pidana yang luas itu . Sinyalemen dalam penerapan Penpres No. II · tahun 1963 mengenai Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang pula mengandung perumusan yang luas dan terbuka dan yang dipergunakan terhadap perbuatan-perbuatan yang non-subversif sifatnya pernah diketengahkan dalam simposium ilmiah oleh U. L (Tracee baru) mengenai "Indonesia Negara Hukum ", Dipandang adanya suatu kebutuhan , bahwa perlu diadakan restriksi terhadap rumus yang luas/ umum dan terbuka dan diadakan suatu penghalusan hukum, suatu rc c1ilsl'er/iillill gnya clari Prof. Paul Scholten (A 1gemecl1 Deel). dim ana _suatu aturan umum itu dibatasi oleh kekccualian khusus 1974 halaman 61. 69, Suatu
rcchtsverfijning,
penghaJusan
Tindak Pidana K orupsi
hukum mungkin dapat diperlakukan terhadap peristiwa-peristiwa yang secara harfiah dapat diliputi oleh pasal yang bersangkutan, dapat menciptakan kekecualian baru terhadap aturan yang umum sifatnya. Ia dapat menimbulk an pertanyaan, apakah dalam konstelasi khusus dapat diajukan ke"mungkinan untuk tidak mene!apkan suatu aturan dalam keadaan dan hal yang secara harfiah diliputi untuk peraturan tersebut. Rechtsverfijning, penghalusan hukum yang menjadi tugas Hakim dalam melakukan rechtsvinding khususnya dalam menerapkan Perundangundangan ten tang pemberantasan kegiatan subversi, telah mendapat realisasi dalam sebuah Loka-Karya Mahkamah Agung di Batu Malang (tanggal 23 - 27 Oktober 1978), dengan mengadakan suatu pembatasan, suatu restriksi terhadap suatu terhadap suatu perumusan yang umum, luas dan terbuka dan kadang-kadang samarsamar (vaag) sifatnya. Dengan kembali pada Memori Penjelasan dari Undang-undang TPK tersebut, yang antara lain menyatakan, bahwa "subversi selalu berhubungan dengan Politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik ...... ", maka penghalusan hukum yang lebih sinkron dengan Penjelasan terse but, berupa pembatasan dikaitkan dengan sifat politik yang m~liputi dalam bidang perekonomian/keuangan kebudayaan dan lain-lain mungkin dalam bentuk motif, tujuan, latar belakang politik dari pelaku yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan. Penerapan perundangundangan dikesampmgkan dan diciptakan kekecualian-kekecualian,apabila perbuatan yang dilakukan itu tidak terdorong oleh motif, apabila perbuatan yang dilakukan itu tidak terdorong oleh motif, tujuan dan tidak
489 terdapat adanya latar belakang politik di dalamnya. Kemudian ternyata dari beberapa putusan Pengadilan dengan Undang-undang tersebut sebagai dasar tuduhan dan kemudian dibebaskan dari tuntutan hukum. Pula karena tidak ada konsiderasi ataupun tujuan politik yang hendak dicapai. Jikalau pada permulaan, para penegak hukum dan hakim lebih cenderung untuk mengadakan suatu interprestasi secara extensif, maka kelak perumusan yang luas dan samar-samar terse but itu mengadakan suatu restriksi dan mempergunakan lembaga r:echtsverfijning, penghalusan hukum. Ia diperlakukan agar tidak terj'adi . overspanningen dalam Hukum Pidana sehingga ia merupakan suatu all embracing ataupun all purpose Act. •
Paralel dengan jalannya yurisprudensi, maka perumusan yang luas/ umum dan terbuka dalam UUTPK, pasal 1 ayat a dengan memidanakan memperkaya diri dtmgan melawan hukum (yang merugikan keuangan atau perekonomian negara) perlu dihadapkan dengan restriksi, sesuai dengan makna, prevensi · atau remedy dari korupsi tersebut. Dalam hal inipun interpretasidari rumusan-rumusan yang luas itu dikembalikan kepada. Memori Penjelasan yang mengkaitkan ini dengan pasal 18 dengan mewl\iibkan seorang terdakwa untuk memb~ rikan keterangan tentang sumber k~ kayaannya, apabila Hakim itu rilem;ntanya. Penghalusan hukum (rechtsverfilning) tersebut tidak akan menjadikan pasiil dari UUTPK terse but sebagai Hukum Pidana yang mengadakan overkoepeling terhadap pasal-pasal Pidana lain, seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, perpl\iakan dan perundang-undangan Iain di K UHP, Nopember 1983
490
Hukum dan Pembangunan
yang tidak diangkat sebagai tindak Dalam . kenyataan banyak perbuatan Pidana Korupsi. untuk memperkaya diri sendiri; tidak dapat dipidana berdasarkan peraturan Te1ah tiba saatnya sekarang untuk lama karena tidak selamanya didahului tidak melihat UUTPK sebagai suatu oleh suatu kejahatan atau pelanggaran peraturan yang .dalam penerapannya (walaupun menurut rasa kepatutan nantinya dapat menumbuhkan suatu overspanning atau overkoepeling da- • masyarakat perbuatan tersebut dapat dituntut dan dipidana). lam .hukum Pidana, seo1ah-01ah ia Inilah yang menyebabkan bahwa mencakup peraturan-peraturan lain di 1uar UUTPK tersebut. Ia hingga seka- persyaratan ''karena melakukan keja" dalam perrang sering dipergunakan se bagai dasar hatan atau aturan tahun 1960 itu diganti dengan tuduhan, untuk mempermasalahkan atau tidak terhadap terdakwa, walau- kata "Melawan Hukum" yang dalam pun perbuatan itu pada hakekatnya rencana Undang-undang tersebut diartikan: merupakan pe1anggaran lain, yang nonkoruptif sifatnya. "dengan mengemukakan sarana" "me/aMenarik perhatian, bahwa para pewan Hukum" seperti da/am Hukum Perdata yang pengertiannya da/am Un nerap hukum, penegak hukum dan dang-undang ini juga meliputi perbuatPengadilan seo1ah-01ah overzien peran-perbuatan yang bertentangan dengan .oalan ini. Hal demikian di-ondernorma kesopanan yang Iajim atau yang tennen dalam kalangan Ilmu Hukum, bertentangan dengan keharusan da/am seperti terlihat dalam disertasinya pergau/an hidup untuk bertindak cermat Dr. A. Hamzah dan dalam bestek terhadap orang lain, barangnya maupun yang singkat, dalamtulisan sekarang, haknya". ia dapat merupakan bahan Dan yang dengan demikian dimaksudpemikiran, bahwa "ter overdenking" seo1ah-01ah dengan sendirinya dan di- . kan untuk lebih mudah dalam pembuktian tentang perbuatan yang dapat pandang ~iasa, bahwa pe1anggaran dipidana itu. Hukum Pidana dalam bidang lain asal Tanpa ada maksud untuk mengangtellnasuk perumusan dalam UUTPK, diajukan sebagai dasar tuduhan dan kat suatu onrechtelijk sifatnya, maka pengertian tersebut dalam Undang-unputusan. dang ini yang merupakan unsur dari tindak pidana ini mempunyai pengerHokum "Materiele Wetian yang luas dan yang mempunyai deuech telijkheid" . pengertian tentang onrechtmatige daad sesudah tahun 1919. Perbuatan memperkaya diri sendiri •
•
r
dengan sarana yang dipersyaratkan, melawan hukum dalam UUTPK merupakan pengganti dari persebelumnya (tahun 1960), yang didampingi di dalamnya dengan sarana karena "me1akukan suatu kejahatan atau pe1anggaran" dan tampaknya mensyaratkan bahwa tersangka/terdakwa 1ebih dahulu melakukan kejahatan atau untnk dapat memperkaya diri. •
Diketahui kiranya bahwa istilah "melawan hukum" (wederrechtelijk) selama merupakan unsur ("bestanddeel") dari suatu tindak pidana Prof. Van Veen • mengintrodusir kata Facet-Wederrechtelijkheid mempunyai arti sendiri sedangkan dalam beberapa hal kata wedderrechtelijkheid diartikan bertentangan dengan kesopanan yang lazim dalam pergaulan dalam masyarakat in strijd met de zorgvu/digheid die in het
Tindak Pidana K ompsi
491
maatschappelijk verkeer be taamt t.a. v. eens anders persoon of good) Prof. Mr.
J.M. Van Bemmelen - Ons Strafrecht 1. Het materiele strafrecht algemeen deel, halaman 146, 147 dst., 1979, Prof. Mr. J.M. Van Bemmelen Prof. Mr. W.F.C. Van Hattum-Hand en Leerboek van het ned. Strafrecht, Deel II, Bijzondere delicten, 1954, halaman 278, 306). Undang-undang ini (UUTPK, dalam pasal 1 ayat a-nya) mencantumkan "melawan hukum" sebagai unsur dari tindak pidana terse but, yang harus dibuktikan, dan memberikan pengertian yang luas mengenai unsur melawan hukum, "wederrechtelijk" sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan keputusan yang seharusnya dalam pergaul an masyarakat, ataupun yang dikatakan dalam Undang-undang yang bertentangam dengan norma kes.opanan yang lazim "atau" yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cennat terhadap orang lain".
Maka khususnya afwezigheid vall materiele wederrechtelijkheid yang diakui pula dalam menerapkan UUTPK ini diakui sebagai alasan untuk mengPidana (strafuitsluiting) hapuskan umumnya dalam hal ini, suatu alasan pem benar (re ch tvaard igingsgro nd). Ajaran mengenai materiele wederrechtelijkheid yang umum nya diperkembangkan oleh Sarjana-Sarjana Jer. man dahulu, Von Liszt, Zu Dohna dan lain dalam kehidupan hukum kit a, khususnya dalam yurisprudensi Mahkamah Agung, telah diterim a sedangkan yurisprudensi HR sendiri, hingga sekarang masih sangat hati-hati dalam menghadapi persoalan materiele wederrechtelijkheid 2. kecuali arrest veearts 1933 dan oleh kalangan ilmu hukum pula Prof. Hulaman Nieuwe Lijnen in het strafrecht yang telah menerima ini sebagai suatu alasan pembenar yang timbul diluar perundang-undangan.
•
•
Ada persoalan formeele wederrechtelijkheid, apabila terdakwa dipandang memenuhi semua unsur dari tindak pidana dimana unsur melawan hukum tercantum secara tegas/jelas, secara uitdrukkelijk dalam Undang-undang TPK, sedangkan suatu berupa materiele wederrechtelijkheid dalam pengertian negatif dapat diajukan terhadap tindak pidana yang dilakukan dan yang - karenanya - adalah formeel wederrechtelijk. Penjelasan (umum) telah menyinggung soal materiele wederrechtelijkheid dalam hubungannya dengan unsur melawan hukum sewaktu menyatakan antara lain "Dengan mengemukakan sarana" melawan hukum, yang mengandung pengertian fonnil maupun materiil".
Mahkamah Agung sendiri, dalam beberapa putusan beberapa sebelum UUTPK ditetapkan dan satunya sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, yang mengakui bahwa walaupun peran terdakwa yang bersangkutan itu adalah formil wederrechtelijk, akan tetapi materiele tidak wederrechtelijk, ia dilepaskan dari segaIa tuntutan Hukum. Azas materiele wederrechtelijkheid karenanya telah merupakan yurisprudensi konstan dan merupakan sumber hukum yang telah diterima. Perkara If. Moch. Utjo Danaatmadja b. Danaatmadja (No.8IjK/KrjI973), tanggal 30 Maret 1977 adalah karakteristik dalam soal materiele wederrechtelijkheid dimana terdakwa dituduh melakukan pelanggaran pasill 415 (amtsverduistering) KUHP karena mempergunakan anggaran reboisasi untuk tujuan lain, yang melayani kepentingan umum tidak menguntungkan Nopember 1983
<
•
492
Hukum dan Pembangunan
diri pripadi dan tidak merugikan ketidak dapat dipidanakan (Mr. H.B. uangan negara dan karenanya Ir. Moch Vos Leerboek van Ned. Strafrecht, haUtjo terse but dilepaskan dari segala laman 133, 133 dst.). tuntutan hukum fonuil perbuatan iaMaka berdasarkan atas perundanglah wederrechtelijk, akantetapi dip anundangan (pasal 1 ayat a UUTPK) dan dang materieel tidak wederrechtelijk. yurisprudensi konstan yang digariskan Sebelumnya (No.42 K/Kr/1965 keoleh Mahkamah Agung, diakui bahwa putusan tanggal 8 J anuari 1966 hamapabila terdapat afwezigheid van matepir dengan tuduhan yang berupa, Mach- . riele wederrechtelijkheid, tidak dapat roes Effendi, pula dilepaskan dari sedipidana. Ia merupakan suatu alasan gala tuntutan hukum, karena perbuatpenghapusan Pidana, dalam hal ini annya oleh Mahkamah Agung dip ankhususnya alasan pem benar (justifying dang hilang sifatnya sebagai melawan ground, rechtvaardigingsgrondj yang hukum yang berhubungan dengan3 tumbuh diluar perundang-undangan faktor ialah: dan karenanya tidak tertulis sifatnya buitenwettelijke ongeschreven, buiten" 1. Negara tidak dirugikan wettelijke strafuitsluitingsgrond, Uber2. Kepentingan umum dilayani gesetzliche, aussergesetzliche strafaus3. Terdakwa tidak dapat untung. dehunungsgrund. . Inilah merupakan Secara formil ia melakukan pelanggarPenggarisan baru dalam -Hukum Pidaan, melainkan secara materieel pernieuwe lijnen in het strafrecht, sena, buatan adalah tidak wederrechtelijk. perti dikatakan oleh Prof. Hulsman. Perbuatan yang pemah dip an dang tiAfwezigheid van materiele wederdak materieel wederrech telijk, adalah suatu chek yang dikeluarkan oleh Calrechtelijkheid,. disertai dengan afwezigheid van aile schuld (dipersingkat tex, akan tetapi tidak didanakan waktu itu yang disebabkan karena adanya dengan "avas" kadang-kadang disebut Geen straf zonder scHuld, masing-makelambatan dalam administrasi Bank sing merupakan alasan pembenar dan yang bersangkutan meskipun pengealasan pemaaf, yang kedua-duanya meluaran chek kosong secara formil telah rupakan suatu strafuitsluitingsgrond dilakukan. yang mana telah diakui baik oleh llmu Diketahui kiranya bahwa dalam keHukum maupun oleh Yurisprudl!nsi, hidupan hukum kita, soal materiele yang sifatnya tidak tertulis (diluar wederrechtelijkheid hanya memegang Undang-undang), disamping beroepsperanan negatif yaitu bah wa suatu perrecht dari seorang medikus Prof. Mr. buatan itu adalah straffeloos, apabila Remmeling, Inleiding tot de stu die van tidak ada materiele wederrechtelijkhet Ned, Strafrecht, 1981, halaman heid. 272, 194 dst.). Perbuatannya adalah formil wederAdalah menjadi pengharapan, bahrechtelijk, akan tetapi materieel tidak, wa 'apa yang telah digariskan oleh Ilmu sehingga ia harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. : Hukum atau yurisprudensi, dapat men. Sebaliknya, apabila suatu perbuatan jadi bahan sumbangan bagi perencanaitu materieel wederrechtelijk, "matean undang-undang khususnya avas dan riele wederrechtelijkheid" diartikan se- afwezigheid van materiele wederrechtcara positif, akan tetapi ia mengan- elijkheid, bagi KUHP yang akan dadung perbuatan yang fonueel tidak strafuitsluiting, excultang, wederrechtelijk maka berdasarkan papalting dan justifying ground, alasan sal I ayat a KUHP perbuatan tersebut pemaaf dan alasan pembenar itu men•
493
Tindak Pidana Korupsi
jadi uitsluiting yang sifatnya adalah wettelijk.
Peranan Jaksa Agung Semacam anti-corruption drive atau kampanye anti korupsi yang sekarang ditingkat-giatkan lagi sejak tahun sebelum dan sesudah tahun 1970 setelah UUTPK dikeluarkan, dalam tingkatan penyidikan dan penuntutan dipusatkan pada J aksa Agung, yang dalam perkara korupsi adalah penyidik tertinggi dan memimpin penuntutan (pasal 26). Akan lebih efektif dan efisien lagi k,iranya, bahwa peranan Jaksa Agung dalam bidang penyidikan dan penuntutan yang kesemuanya itu dilakukan dalam fase pemeriksaan pendahuluan, itu masih dapat dilanjutkan dalam apa yang dinamakan rechtsingang ketiga, ialah dalam tingkatan kasasi ataupun herziening (peninjauan kern bali perkara pidana. Kita lihat tidak adanya suatu ketentuan, suatu voorziening dalam KUHAP sekarang lain daripada Undang-undang Mahkamah Agung dahulu mengenai peranan J aksa Agung yang dapat memberikan konklusi dalam tingkatan kasasi dan dalam "herziening". Baik pemeriksaan dalam tingkatan kasasi dan "herziening" sebagai upaya Hukum biasa dim ana J aksa Agung tidak sekedar mengajukan requisitoir, melainkan •
suatu konklusi yang lebih dekat pada pemberian pertimbangan, advies, kepada Mahkamah Agung, sekarang ditingkatkan. Dalam Negara yang mengenal lem baga hukum " kasasi", seperti Perancis, Belgia, Belanda, Italla, Indonesia dan lain-lain peranan Jaksa Agung terse but adalah esensial yang tidak dihilangkan. Suatu testing judisial di Belgia (tahun 1970) dimana kedudukan J aksa Agung dalam perkara kasasi di pandang tidak bertentangan dengan hak azasi dari Pemohon kasasi tersebut, bahkan peranannya segal a penyusunan konklusi (yang merupakan karangan-karangan ilmiah kebanyakan) itu tidak dapat dikesampingkan) Prof. Mr. J. Remmelink-Plaats en taak van het openbaar ministerie bij de hoge Raad in strafzaken Belginselen-Opstellen over strafrecht aan Prof. G .E. Mulder, 1981 halaman 291 - 309) . Tidak adanya peranan dan tempat di KU-HAP bagi Jaksa Agung Khususnya dalam Acara Kasasi, adalah suatu anomali dengan lem baga kasasi itu sendiri. J alan untuk mengembalikan ketidak-seimbangan dalam suatu proses dimuka Mahkamah Agung dapat disalurkan melalui peraturan Mahkamah Agung, berdasarkan atas Rule making function dan regelende bevoedheid yang ada pada Mahkamah Agung (dahulu pasal 131 Undang-undang Mahkamah Agung) .
-
Akhir hidup y ang besar bukanlah pengetallIIan m e· lainkan perbuatan. (Thomas Henry Huxley ).
-
Jangan memikirkan hidup ini terlalll serius, ka re"a tidak seorang pun akall dibiarkanllya hidup. (ElberT Hubbard).
Nopember 1 983