Bintang di atas Lembah
Dr. Edi Purwanto
Yayasan Pendidikan
Philadelphia
Bintang di atas Lembah
Penulis: Dr. Edi Purwanto ISBN: 978-602-73171-1-6 Penerbit: Yayasan Pendidikan Philadelphia Redaksi: Villa Tomang Baru N1/15, Gelam Jaya Tangerang Telp. +6221 59311997 Fax. +6221 59311997 Email:
[email protected] Cetakan Pertama, September 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
ii
DAFTAR ISI Di Kota Indah Nan Mulia
1
Bersama & Bahagia
7
Oh Ayah…
19
Perjuangan Demi Menggapai Bintang
43
Seperti Anak Ayam Kehilangan Sang Induk
73
Pulang Kampung
87
Sinar Binatang di Tengah Kegelapan
119
Prahara Melanda
134
Kecupan Bahagia Terakhir
177
Terbongkarnya Rahasiaku
191
Akhir Perjalananku
249
Sepucuk Surat untuk Kakak
271
iii
BABAK I DI KOTA INDAH NAN MULIA
Betapa indah dan bahagia duduk di pangkuan ayah tercinta dalam dimensi kemuliaan ini. Tinggal di kota sorgawi yang penuh dengan kemuliaan dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal. Sebuah kota yang tiada memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Tuhan meneranginya. Ku duduk dalam pangkuan ayah tercinta di tengah taman kota itu sambil menikmati indahnya istana nan mulia, memandangi aliran sungai air kehidupan yang jernih bagaikan kristal yang mengalir keluar dari takhta kemuliaan. Tiada kata terucap baik dari mulutku maupun ayah, karena kami sungguh terkesima dan menikmati indahnya kota dan istana di mana kami tinggal sekarang. Hingga tiba-tiba mataku tertuju di kejauhan sana, seseorang yang berpakaian putih terang cemerlang dengan wajahnya yang bersinar berjalan memasuki gerbang emas kota dan menapaki jalanjalan emas kota ini. Aku terperanjak dari pangkuan ayah dan berdiri serta berkata, “Itu Tuan Malakat ayah. Aku akan menghampirinya dan bertanya bagaimana keadaan ibu dan kakak.” Ayah hanya menatapku dan sambil tersenyum tenang, dari matanya aku mengerti seakan ayah berkata, “Iya cepat temui beliau, dan tanyakan bagaimana keadaan kakak dan ibumu, Nak.”
2
Aku berlari menuju seseorang yang sedang menapaki jalan emas itu. “Tuan, Tuan… tunggu tuan.” Malaikat itu berhenti dan menoleh ke arahku dengan wajah yang penuh ramah dan senyuman yang manis dari bibirnya, menunggu aku yang sedang berlari ke arahnya di atas rerumputan hijau nan indah bertebarkan bunga-bunga di taman kota ini. “Ada apa Indah? Apa ada yang bisa aku bantu,” sapa tuan malaikat dengan penuh kasih dan keramahan. “Aku melihat Tuan baru saja memasuki gerbang kota, dari mana kiranya gerangan Tuan?” tanyaku kepadanya. “Aku baru saja menjalankan tugas dari Raja untuk menjelajahi bumi. Memang ada apa Indah?” sahutnya. “Kalau Tuan baru kembali dari menjelajah bumi, apakah Tuan memperhatikan bagaimana keadaan ibu dan kakakku yang masih ada di bumi?” tanyaku dengan tidak sabar lagi menunggu jawaban. “Oh, ibu kamu sehat. Beliau telah menjalani hidupnya dengan bahagia. Beliau telah merelakan kepergianmu, namun tanpa pernah melupakan kamu, Indah. Semua masalah yang pernah dihadapinya kini telah berlalu.” Aku senang sekali mendengarnya. “Lalu bagaimana dengan kakakku?” Aku berharap kabarnya adalah sama menyenangkan dengan kabar tentang ibuku. Wajah tuan malaikat mendadak sayu. Aku melihat ada sesuatu yang berat untuk ia katakan kepadaku. Perasaanku melunglai namun tak sabar tuk segera dengar kabar tentang kakakku darinya. 3
“Kakakmu baik-baik saja, Indah,” katanya tuk menghiburku. “Namun apakah Tuan telah mengatakan yang sesungguhnya kepadaku?” Sahutku. “Di balik mata Tuan, ada sesuatu yang Tuan sembunyikan dari saya. Tolong Tuan katakan yang sebenarnya, bagaimana keadaan kakakku?” Aku mendesak. “Indah, sebagaimana tadi saya katakan, kakakmu baik-baik saja. Tetapi….” “Tetapi apa Tuan? Tolong ceritakan kepadaku.” Aku mendesaknya dan tidak sabar menunggu jawabannya. “Tetapi ia masih terus memikirkanmu, Indah. Kakakmu memang sudah merelakan kepergianmu karena menurutnya itu adalah yang terbaik bagi kebahagiaanmu. Namun sepertinya kakakmu masih terus dirundung rasa bersalah karena merasa bahwa dulu ia tidak dapat berbuat apa-apa untukmu. Bahkan ia menyalahkan dirinya karena berpikir bahkan ia tidak pernah berusaha untuk menjagamu, hingga akhirnya harus kehilangan kamu.” “Kakak…” suaraku parau, tenggelam dalam kerongkonganku, tak tahan rasanya mengetahui mengapa kakak masih merasa bersalah atas kepergianku. “Aku tidak pernah menyalahkan kakak,” kataku dalam hati. “Aku tahu bahwa kakak 4
telah melakukan semua yang terbaik, baik untukku maupun keluarga kita. Mengapa kakak menghukum diri sendiri sekian lamanya. Dua puluh tahun telah berlalu sejak aku pergi untuk selamanya, namun mengapa kakak masih merasa bersalah. Kakak tidak ada salah apa-apa.” Aku terus bergumam dalam hatiku merasakan betapa pedih hati kakak. Aku sangat mengenalnya. Kami pernah hidup bersama, tumbuh bersama dalam kedekatan kasih sayang antara adik dan kakak. Aku berdiri tertegun, dan pikiranku melayang menembus batas-batas kekekalan, meluncur turun melewati langit dan gugusan-gugusan bintang, terus menembus masuk atmosfir hingga akhirnya menyapu sebuah lembah yang penuh damai, Lembah Mbrejo, tempat di mana kami dilahirkan dan dibesarkan, yang tersimpan sejuta kenangan manis dan bahagia…. ****
5
BABAK 2 BERSAMA & BAHAGIA
“Indah, cepat jangan sampai kita terlambat. Sudah siang ini,” panggil kakak di depan pintu rumah, sementara aku baru saja selesai mengenakan kaos kakiku. “Iya kak, sebentar. Tunggu aku,” sahutku sambil mengikat tali sepatuku. Ku sambar tas sekolahku yang berisi beberapa buku tulis dan segera ku bergegas untuk berangkat sekolah. Ku lihat kakak ada di bawah pohon cermai di depan halaman rumah sambil memungguti buahbuah cermai yang jatuh sembari menunggu aku. “Ayo kak, aku sudah siap,” sapaku ketika kakak masih asyik memungut buah cermai yang banyak jatuh di bawah pohonnya. Pagi itu sangat cerah. Ku tengok ke arah timur matahari sudah mulai mengintip di ufuk timur sebagai pertanda bahwa hari sudah melewati pukul 6 pagi. Kampung di mana kami tinggal berada di sebuah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan dari empat penjuru angin. Di sebelah Timur ada bukit, demikian juga di sebelah Barat, Utara dan Selatan. Untuk keluar kampung kami harus mendaki bukit, sementara orang luar yang ingin masuk kampung kami harus menuruni bukit. Itulah sebabnya orang menamakan kampung kami Lembah Mbrejo. 8
Tanpa kami sadari rupanya ada sepasang mata yang terus memandangiku bahkan sejak aku keluar dari pintu rumah, menyusuri halaman tanah berdebu yang luas hingga kami naik ke jalan tanah berbatu itu. Tidak tahu asalnya dari mana tiba-tiba aku mendengar suara ibu, “Kenapa kamu memandangi Indah sampai tak berkedip seperti itu Ti?” Tegor ibuku sambil tersenyum kepada seseorang yang ternyata ibu Wati, tetangga depan rumah yang rupanya telah sedari tadi memandangiku tanpa berkedip. “Ini lo Mbak, bajunya Indah kok pas banget ya. Cantik benar anakmu ini Mbak,” sahut ibu Wati sambil terus tersenyum lebar. Rupanya ibu Wati terpesona karena baju seragam Pramuka yang ku kenakan cocok sekali denganku, sehingga aku kelihatan cantik sekali di matanya. Aku tidak tahu secantik apa sih sebenarnya diriku. Namun dari cara orang-orang di sekitarku membicarakanku, sepertinya memang aku cantik… he he he. Aku suka tersipu malu bila akhirnya juga merasa kalau aku ini cantik. Namun ayah selalu memuji bahwa aku adalah putrinya yang paling cantik di dunia ketika ayah sedang mendudukkanku di atas pangkuannya sembari membelai rambutku yang panjang. Setiap ayah melihat baju yang bagus di pasar, dia sontak membelinya untukku. Ayah pulang dan 9
memintaku untuk mencoba baju baru itu, dan setelah aku berlenggak-lenggok dengan baju baru ku, ayah menciumku dan memuji bahwa aku adalah putrinya yang cantik. Ayah melakukannya seakan aku adalah anak satu-satunya, dan seakan baginya kakak tidak ada. Aku sering melihat dari sorotan mata kakak, ia merasa sebagai anak yang tidak disayangi. Aku melihat iri di matanya melihat betapa sayangnya ayah padaku. Namun demikian kakak tak pernah membenciku sedikitpun. Malahan kakak selalu tampil menjadi kakak yang begitu menyayangiku. Ibuku dan ibu Wati kemudian melanjutkan percakapannya, namun kami tidak mempedulikan percakapan mereka selanjutnya. Setelah pamit ibu untuk berangkat ke sekolah dan menyapa ibu Wati, kami terus melangkah dan melalui tanjakan setapak tidak jauh dari rumahku. Kemudian kami menyusuri jalan setapak di tengah hamparan ladang jagung yang luas di kanan dan kiri kami. Hari itu memang musim menanam jagung, dan jagung-jagung itu baru tumbuh setinggi pinggang anak kecil. Ku lihat hamparan luas menghijau ladang jagung, gemerlap cahaya terpantul dari setiap bulir daunnya oleh karena tetes-tetes embun pagi yang mulai diterpa sang mentari jatuh ditiup angin pagi. 10
Semilir angin pagi yang sedikit dingin ku rasakan dan menyapu hamparan luas ladang jagung menghijau itu. Daun-daunnya melambai-lambai tertiup angin seakan ingin mengucapkan, “Selamat pagi Indah.” Kupu-kupu putih beterbangan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, hinggap dari satu daun ke daun yang lain, dan sesekali terbang menyeberang di depan kami seakan ingin mengucapkan, “Selamat pagi Indah.” Kami terus berjalan, sesekali bercanda, karena kakak suka menggangguku, sehingga ku cubit dia, dan kami tertawa bersama. Kadang kami berjalan, kadang kami berlari-lari kecil, sesekali kakak berhenti dan menggosokkan sepatu sekolahnya yang berdebu ke rerumputan yang masih basah oleh embun, dan sepatunya pun menjadi mengkilat kembali. Sambil memandangi sepatunya iapun tersenyum. Matahari tersenyum melihat kebahagiaan kami. Burung-burung berkicau bersautan sambil memandangi kami seraya tersenyum, seakan ingin mengucapkan selamat pagi dan terkesima melihat kebahagiaan kami. Cabang-cabang pohon joar dan jati melambailambai tertiup angin seakan memandangi kami, 11
tersenyum dan ingin berkata, “Selamat pagi Indah. Selamat pergi sekolah. Kejarlah cita-citamu.” Pucuk-pucuk pepohonan bergoyang ke kanan dan ke kiri diterpa oleh angin pegunungan seakan mereka saling menyenggol kawannya sambil berbisik, “Lihatlah dua anak kecil itu. Bukankah setiap pagi kita melihat keceriaan dan kebahagiaan mereka. Mereka benar-benar kakak dan adik yang rukun dan saling menyanyangi.” Kami terus menyusuri ladang-ladang jagung itu, dan sesekali berpapasan ataupun menyapa para tetangga petani yang kebetulan sedang berada di ladang mereka. Orang-orang itu meletakkan cangkulnya sejenak, atau berhenti menyabit rerumputan, berdiri memandangi kami berdua sambil tersenyum, seakan ingin berkata, “Kakak beradik yang sungguh akrab dan saling menyanyangi.” Sepuluh menit sudah kami habiskan waktu perjalanan menyusuri ladang jagung yang luas itu, hingga tibalah kami di bawah bukit sebelah Selatan kampung, dan kami harus mendaki bukit yang tingginya hampir dua ratus meter itu, karena sekolahku berada di atas bukit sana. Tidak ada sekolah di Lembah Mbrejo. Kami bersekolah di sebuah SD Negeri Purworejo 2 yang 12
berlokasi di atas bukit sebelah selatan kampungku. Aku duduk di kelas empat, sementara kakakku sudah duduk di kelas 6. “Ayo hati-hati Indah. Sini pegang tangan kakak,” kata kakak sembari mengulurkan tangannya. Bukit itu hampir tegak lurus, dan ada jalan setapak berkelok-kelok yang membawa kami sampai ke puncak bukit. Ketika kami sampai di bagian bukit yang sangat curam, langkah kakiku tidak cukup panjang untuk mendaki, maka biasanya kakak akan mendaki lebih dulu dan kemudian mengulurkan tangannya untuk menarikku dari atas. Namun pada bagian yang tidak terlalu curam, dan tentunya sangat terjal, kakak menyuruh aku berjalan di depan, sementara kakak berjalan di belakangku dan siap menopangku bila aku terpeleset atau jatuh. Setelah berjuang akhirnya sampai juga kami di puncak bukit itu. Masih ada jalan setapak dengan hamparan luas ladang jagung di sebelah kanan dan hamparan luas ilalang dengan bunga-bunga putihnya yang bergoyang-goyang di sebelah kiri, yang harus kami lalui, dan sekitar lima menit lagi kami baru akan sampai di sekolah, bila kami terus melanjutkan perjalanan. 13
Setelah sampai di puncak bukit, biasanya kami tidak langsung melanjutkan perjalanan. Kami istirahat sejenak sembari menunggu keringat kami kering diterpa angin. Cukup berkeringat memang mendaki bukit yang tinggi dan curam itu. Sementara aku duduk, kakak memandangi sepatunya yang berdebu karena sulitnya medan terjal dan tanah berbatu pada waktu kami mendaki. Kakak mencari rerumputan yang masih menyisakan embun pagi, kemudian lagi-lagi mengusapkan sepatunya pada embun itu, kanan dan kiri, dan ia tersenyum karena sepatunya mengkilat kembali. Di puncak itu kadang kami duduk, kadang berdiri sambil menikmati pemandangan yang indah menyapu lembah yang menghijau oleh hamparan ladang jagung maupun pepohonan yang subur di setiap sela ladang. Tak tersia-siakan, kami juga memandang gunung-gunung tinggi menjulang berderet jauh di sebelah utara. Dari puncak itu, di pagi yang cerah, kami dapat menyaksikan Gunung Kawi, Gunung Kelut, Gunung Bromo, dan beberapa gunung lain di sebelah baratnya yang kami tidak tahu apa namanya. “Matahari sudah mulai meninggi, Indah. Sudah hampir jam 7. Ayo cepat berjalan lagi. Nanti kita bisa terlambat,” ajak kakak. Aku anggukkan 14
kepala dengan wajah yang mengisyaratkan masih kelelahan, namun kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan menyusuri hamparan luas ladang jagung dan ilalang di kanan dan kiri jalan setapak itu. Sesekali kami bercanda, sesekali kami lompat ke kanan dan ke kiri berlari-lari kecil dengan wajah ceria. Sesekali kakak manangkap seekor kupu-kupu putih kecil yang sedang hinggap di pucuk bunga, namun kemudian melepaskannya terbang kembali. Lima menit kemudian kami tiba di sekolah. Biasanya kami membutuhkan waktu hampir tiga puluh menit berjalan kaki menyusuri hamparan ladang luas dan mendaki perbukitan untuk mencapai sekolah kami. Kakak seorang anak yang memiliki semangat belajar sangat tinggi dan memiliki cita-cita setinggi langit, walau dengan semua keterbatasan kami. Kakak selalu menjadi “Bintang Kecil,” itulah sebutanku yang sontak ditertawakan oleh ayah dan ibu karena aku salah menyebutnya. Seharusnya aku menyebutnya “Bintang Kelas,” dan bukannya “Bintang Kecil.” Namun toh kakak tidak pernah peduli, mau aku sebut “Bintang Kelas” ataupun “Bintang Kecil,” kakak diam saja. Kakak tamat SD dengan peringkat pertama, demikian juga ketika kakak lulus SMP, kakak juga 15
memperoleh peringkat pertama. Itulah sebabnya aku menjulukinya dengan “Bintang Kecil.” Terkadang aku melihat diriku bodoh dibandingkan dengan kakakku yang sangat pintar. Namun kakak selalu berkata kepadaku bahwa di dunia ini tidak ada orang bodoh. Asal kita mau berusaha, belajar tekun maka kita pasti bisa memahami apapun. Mula-mula nasehat itu aku dengar sambil lalu saja, karena toh faktanya aku ini bodoh dan tidak sepintar kakakku. Namun ketika aku duduk di kelas 6 SD, aku baru sadar bahwa kata-kata kakak benar. Setelah berusaha akhirnya aku juga bisa berprestasi dan lulus SD dengan prestasi yang baik. Selama sekolah di SMP paling tidak aku selalu masuk 10 besar. Kakakku memang benar. Kakak selalu hadir menjaga dan melindungiku. Tak dia biarkan entah teman, atau siapapun mengganggu atau menyakitiku. Aku tahu kakak begitu menyayangiku. Aku dan kakak selalu bersama. Pergi ke sekolah bersama, bermain bersama, walaupun kadang-kadang kami juga bermain dengan dua kakak sepupuku, yaitu Mas Sus dan Mbak Lis yang hampir seumuran dengan kakak. Tanpa mereka berdua kami selalu berdua. 16
Terkadang kami bermain di rumah saja, atau terkadang bermain di ladang atau di sawah sambil menunggu ayah dan ibu bekerja menyemai jagung atau menanam padi. Sementara aku bermain pasarpasaran di bawah teduhnya pohon joar yang rindang di pinggir sawah, kakak biasanya asyik menyusuri pematang sawah untuk mencari-cari lubang di mana ia menemukan jangkrik di balik lubang itu. Demikianlah semasa tumbuh bersama, aku dan kakak seakan tak terpisahkan oleh apapun. Kami bahagia hingga suatu hari….
17
BABAK 3 OH AYAH…
Kami menangis di kamar karena tidak tahu apa yang harus kakak dan aku lakukan. Aku dan kakak masih terlalu kecil, masih anak SD. Ayah bertengkar hebat dengan ibu. “Terus saja judi sana. Nggak usah pulang sekalian,” ku dengar ibu berteriak sambil menangis. Sementara terdengar barang-barang dibanting, entah oleh ayah atau oleh ibu, kami tidak tahu. Sudah dua hari ayah tidak pulang. Belakangan memang ayah jarang pulang rumah. Banyak orang bilang ayah berjudi dengan teman-temannya di kampung sebelah. Dan setiap pulang selalu terjadi keributan. Bahkan pernah waktu itu, setelah dua hari dan dua malam ayah tidak pulang, pulang-pulang terjadi keributan besar. Ibu melempar ayah dengan batu dan kepala ayah berdarah, sontak ayah mengambil kayu untuk memukuli ibu, dan ibu lari mencari perlindungan ke Pak De. Aku dan kakak menangis menjerit-jerit, ketakutan dengan harapan ayah dan ibu berhenti bertengkar. Namun walau bagaimana ayah sangat menyayangi aku dan kakak. Walau kesal, aku juga tidak dapat menyangkal bahwa aku sangat sayang ayah.
20
Sejak ayah mulai gemar berjudi dan sering terjadi pertengkaran di rumah, aku lihat sikap kakak kepada ayah mulai berubah. Aku melihat dari sorot matanya, kakak mulai membenci ayah. Kakak sering membantah ayah. Sementara aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali diam seribu bahasa. Aku sayang ayah, namun aku juga sayang kakak. Setelah reda ayah berkata kepada ibu yang masih kesal dengan menunjukkan muka yang masih marah dengan wajah sembab karena seharian menangis, “Aku memang salah, ya sudah maafkan aku,” kata ayah datar. Ibu tidak menjawab, aku melihat kemarahan yang luar biasa masih nampak di wajahnya. Hingga suara ibu yang masih serak memecah kesunyian, “Terus sekarang bagaimana?” ibu bertanya. “Aku sudah bicara kepada tetangga seberang sungai untuk meminjami uang, dan dia bisa mengolah sawah kita dan menikmati hasilnya selama dua tahun, dan setelah dua tahun kita kembalikan hutangnya,” kata ayah datar. Ibu bangkit berdiri dan sontak berteriak, “Jadi kamu jual-belikan sawah kita? Aku tidak akan melepaskannya,” seru ibu sambil berkacak pinggang. Kakak dan aku sudah ketakutan setengah mati, prahara pertengkaran kami pikir akan mulai lagi. 21
Namun syukurlah ayah, tidak merespon dengan emosi. “Ya kalau kamu tidak setuju ya tidak apa-apa. Karena aku terlanjur sepakat dengan tetangga itu, aku nggak enak untuk membatalkannya. Jadi kamu saja ya yang membatalkannya,” kata ayahku datar. Ibu berteriak lagi, “Saya tidak mau. Kamu yang punya urusan. Selesaikan sendiri.” Ayah diam, hening menyelimuti ruangan itu. Rupa-rupanya ayah baru saja kalah judi, dan dia telah berhutang kepada teman judinya sebesar Rp. 2 juta, uang yang cukup besar pada zaman itu, hingga harus menjual-belikan sawah. “Kalau begitu, ijinkan aku menjual kambingkambing di kandang itu untuk membayar hutangku. Aku janji setelah ini aku tidak akan berjudi lagi,” kata ayah meyakinkan. Dalam keadaan putus asa, tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan, ibu hanya terdiam, membisu seribu bahasa. Suasana hening kembali. Tidak ada yang bicara satupun. Malampun mulai larut. Terdengar suara gemericik air hujan di luar rumah. Akhirnya ayah memandang kami berdua, kakak dan aku, memberi isyarat supaya kami masuk kamar dan tidur. 22
Kami pun masuk kamar, dan kulihat tersirat kemarahan dan kebencian di wajah kakak terhadap ayah, namun kakak pun mendengarkan ayah menuntunku masuk kamar. Aku hanya berharap ayahku benar-benar menepati janjinya. Mau berubah dan tidak gemar berjudi lagi. ***** Ayam jantan berkokok menandakan malam telah berlalu dan saatnya bangun pagi. Ku dengar dari dalam kamarku suara burung-burung berkicau terbang ke sana ke mari di antara pepohonan di luar rumah. Kami pun bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Tak ku lihat ibu di rumah sedari aku bangun dan akan berangkat ke sekolah. Ke ladang mungkin pikirku. Itu adalah hal biasa bagiku. Kadang-kadang bahkan ketika kami bangun, ayah dan ibu sudah tidak ada di rumah, karena mereka sudah berangkat ke ladang. Sementara kami pun jarang sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Tatkala kami telah mandi dan bersiap tuk pergi ke sekolah, aku melihat ayah sedang duduk di kursi kayu, di ruang tamu dan aku pun menghampirinya untuk pamit berangkat sekolah. Ayah menciumku, membelai rambutku dan melepasku untuk berangkat. Ku perhatikan kakak 23
sudah menungguku di pintu, tanpa berkata apapun. Aku tahu kakak masih marah pada ayah. Kakak pun tidak pamit ke ayah. Ayah juga diam saja. Wajahnya tetap tenang tanpa menunjukkan marah atau tersinggung melihat sikap kakak. “Indah…,” suara ayah memanggilku serta merta menghentikan langkahku untuk keluar pintu. “Iya ayah…,” sahutku. “Nanti pulang sekolah, kamu dan kakak langsung ke rumah nenek ya,” pesan ayahku. Aku sedikit bingung, “Kenapa begitu ayah?” tanyaku. Ayah menatapku dan dari sorot matanya seakan berkata, “Nggak usah nanya kenapa, pokoknya ikuti saja perintah ayah.” “Baik ayah. Nanti aku dan kakak langsung pulang ke rumah nenek,” sahutku sambil melangkah menuju pintu dan kakak yang sedari tadi menungguku di depan pintu tetap diam seribu bahasa. Seakan tidak peduli dengan apa yang ayah katakan. Akhirnya kami berangkat sekolah, dan sepanjang jalan kakak hanya terdiam. Pagi itu seakan angin berhenti berhembus. Tak nampak bulir-bulir daun jagung ataupun cabang-cabang pohon melambai-lambai. Semua diam tak bergerak seakan turut merasakan kepedihan hati kakakku. **** 24
Sepulang sekolah, seperti yang telah dipesankan oleh ayah, aku dan kakak langsung pulang ke rumah nenek. Rumah nenek berada tepat di bawah bukit yang ku daki setiap pagi. “Sudah pulang. Sana makan ambil sendiri,” sapa nenek kepada kami. Kamipun langsung menaruh tas sekolah kami di ranjang nenek, dan menyerbu masuk dapur berbilik bambu itu untuk mengambil makanan. Sedari tadi pagi aku tidak mendengar suara kakak sedikitpun. Kakak diam sepanjang hari ini. Hingga akhirnya, “Memang ibu kemana nek?” tanya kakak yang tak ku mengerti mengapa ia bertanya demikian. “Nggak tahu, ibumu pergi ke mana. Ayahmu tadi pagi juga sudah berangkat mencari ibumu. Ibumu minggat karena kelakukan ayahmu,” sahut nenek seakan menunjukkan kekesalannya pada ayah. Rupanya kakak mengetahui sesuatu yang tidak aku tahu. Ternyata ibu telah pergi dari rumah tadi pagi-pagi buta. Ayah dan kakak telah mengetahui itu sejak tadi pagi. Itulah sebabnya mengapa ayah berpesan supaya kami pulang ke rumah nenek, karena ayah pergi ke kota mencari ibu.
25
Hari itu aku dan kakak tinggal di rumah nenek dan bermalam di sana. Malam terasa sunyi karena rumah nenekku berada di tengah hamparan ladang yang luas dan jauh dari tetangga. Hanya terdengar desiran angin yang menghempas cabang-cabang pohon. Daun-daun yang lebat itu saling bergesekan antara satu pohon dengan pohon lainnya hingga menimbulkan suara-suara berderak bak derap pasukan infantri sedang bergerak menuju medan laga. Sesekali burung malam berkaok-kaok melintas menuju bukit. Suara jangkrik-jangkrik bersautan mengalunkan simponi menambah suasana malam semakin sunyi mencekam. Tidak ada kata dan canda sebelum kami tertidur dan lelap disapu malam. Gelapnya malam itu menambah betapa senyap menyerang rumah nenek yang seakan tiada kehidupan manusia di dalamnya. Hanya kelap-kelip lidah api kecil berwarna kekuningan yang timbul tenggelam dari cahaya lentera kecil dalam gantang semakin menambah rasa sunyi menembus jiwa. Angin sepoisepoi menembus celah-celah bilik bambu menerpa setiap insan yang tertidur lelap bak tersihir hingga suara kokok ayam jantan mengusir kekuatan sihir malam dan suara merdu kicauan burung-burung membangunkan kami semua. Dengan malas aku bangun dari tempat tidurku ketika kakak memanggil-manggil untuk pergi mandi. “Masih terlalu pagi,” keluhku karena sisa seramnya 26
malam masih menyelimuti hamparan ladang luas itu. Aku tidak tahu mengapa kakek mendirikan rumah di tempat terpencil, jauh dari tetangga di bawah bukit dan di tengah hamparan ladang yang luas. “Ayo cepat kita pergi mandi nanti kita terlambat,” desak kakak ketika melihatku masih duduk bermalas-malasan di atas bebatuan depan rumah. Di pagi buta nan dingin dengan desiran angin pagi yang menusuk sampai ke tulang wajar membuat aku begitu enggan untuk berdiri dan pergi mandi. Tidak ada air di rumah nenek. Untuk memperoleh air minum ataupun mandi kami harus menyusuri jalan setapak di tengah hamparan semak belukar yang tingginya melebihi tinggi kami yang segera menenggelamkan kami dari pandangan ketika kami mulai menyusuri jalan setapak itu. Tepat di bawah jurang bukit dan di antara pohon-pohon raksasa ada air mengalir dari sumber mata air di antara bebatuan jurang itu. Sebuah pancuran bambu telah dibuat untuk mengalirkan air dari mata air yang langsung meluncur ke bawah dan mengguyur siapapun yang mandi di bawah pancuran itu. Dingin sekali air pancuran pagi itu. Selain di tempat terbuka di tengah hamparan semak belukar dan pepohonan angin pagi mendesir menerpa tubuh yang sedang bermandi di bawah pancuran itu. 27
Ada kecemasan yang selalu meresap ke dalam hati siapapun ketika mandi di bawah jurang yang rimbun dengan pepohonan raksasa yang konon katanya angker. Konon orang dilarang menebang kayu walaupun hanya batang-batang kecil yang dipercaya akan menyebabkan celaka kan menimpa orang yang melanggar aturan itu. Itulah yang semakin membuat hati berdesir ketika desiran angin dan bunyi air yang mengucur dari atas menambah suasana pagi buta semakin menyeramkan. Sementara aku mandi kakak menjagaku di balik semak belukar seperti seorang pengawal yang siap untuk menghadang siapapun yang datang dan membahayakan tuan putrinya. Ku keringkan rambutku sambil duduk di atas batu besar laksana putri Dewi Anjarwati duduk di atas batu besar sambil mengeringkan rambut di bawah air terjun Coban Rondo. Kini giliran aku yang menunggu kakak mandi sambil mengawasi dari atas batu besar itu dan siap menjerit memberi aba-aba jika ada bahaya hendak menghampiri kami. Setelah selesai mandi, kamipun kembali menyusuri jalan rungkut menerobos hamparan semak belukar menjulang tinggi itu hingga tibalah kami di 28
rumah dengan selamat dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Ku lihat sang mentari telah menyembul di antara pepohonan di atas bukit sebelah timur. Kamipun kembali siap mendaki bukit terjal itu. Tidak ada keceriaan pagi itu. Walaupun burung-burung telah berkicauan menggubah irama-irama merdu menyemarakkan pagi, namun keceriaan belum memancar dari wajah kakak kesayanganku. Alam terpaku bertanya-tanya apa gerangan yang telah menyirnakan keceriaan dari anak-anak ini. Apa gerangan yang telah merenggut sukacita dan kebahagiaan dari hati tanpa dosa ini, hingga tarian alam, sapaan angin, kehangatan matahari pagi tidak dapat membangkitkan gairah jiwa anak ini. Suara canda gelak tawa dari anak-anak SD itu tidak dapat membangkitkan gairah kakak untuk memancarkan semangat dari wajah yang biasa ku lihat. Ada luka, kecewa dan duka lara yang sedang mengiris-iris hatinya. Bahkan hingga kami pulang sekolah tiada canda tawa nan ceria sepanjang jalan setapak di tengah hamparan hijau dedaunan dan rumput ilalang. Siang itupun kami kembali pulang ke rumah nenek. “Langsung makan sana,” sambut nenek sambil mengumpulkan kayu-kayu kering di bawah rindangnya pohon besar di pojok halaman rumah 29
ketika melihat kami memasuki halaman rumah dan menyapanya. Langsung saja kami melempar tas sekolah ke ranjang nenek dan menghambur ke dapur mencari makan sendiri. Kami duduk di teras depan dapur sambil menikmati semilir angin dan segarnya bau daun-daun yang melambai-lambai dihempas angin di bawah terpaan matahari yang menghasilkan oksigen dengan limpahnya hingga mengalahkan panasnya terik matahari siang. “Ibu gimana nek? Sudah ketemu belum?” tanya kakak sembari menyuapkan sendok penuh nasi ke mulutnya. “Sudah. Ibumu sudah pulang. Dia sekarang sudah di rumah,” jawab nenek. “Hore, ibu sudah pulang,” teriakku kegirangan mendengar berita itu. Wajah kakak yang sedingin es sejak kemarin juga mulai berubah menjadi ceria. Kakak tersenyum menatapku memberi isyarat untuk segera menghabiskan makanan di piring. Tak ku nikmati makanan itu. Kami makan sambil tergesa-gesa karena ingin cepat selesai dan pulang ke rumah. “Sudah, makannya jangan buru-buru, nanti kesedak,” nasehat nenek sambil menengok ke arah kami dengan tangan masih memegang kayu kering. 30
Selesai makan, kami buru-buru cuci piring kami, menyambar tas sekolah kami dari tempat tidur nenek dan langsung menghambur keluar, “Kami pulang dulu ya nek,” kata kakak sambil berlari. “Indah juga pulang ya nek,” kataku tidak mau kalah sambil berlari mengikuti kakak dari belakang. Ada sesuatu yang aneh dalam perasaanku ketika kami tiba di rumah. Kami melihat ibu sudah di rumah. Dari wajahnya kelihatannya ibu sudah tidak marah. Ibu tersenyum menyambut kami berdua. “Sudah makan?” tanya ibu. “Ya sudah bu. Tadi kami makan di rumah nenek,” sahut kakak. Aku masuk memeluk ibu dan bermanja-manja di pangkuannya, sementara kakak langsung nyelonong ke kamar menaruh tas sekolahnya. “Loh, ayah mana bu?” tanyaku penuh keheranan, karena di rumah ada ibu, namun ayah yang kemarin katanya pergi ke kota mencari ibu kok malah tidak ada di rumah. Ibu hanya tersenyum dan tidak menjawab. Ibu mungkin berpikir percuma menjelaskan kepadaku yang masih kelas 4 SD, karena mungkin aku tidak akan mengerti. “Ayah ketemu ibu?” tanya kakak, sembari menyibak kelambu yang menutupi pintu kamar keluar dari dalam kamar. 31
“Iya ibu sudah ketemu ayah,” sahut ibu. “Terus sekarang di mana ayah? Ibu sudah memaafkan ayah?” tanya kakakku. “Ayah masih ada di kota Malang, di rumah kakak sepupumu. Besok paling juga sudah pulang,” jelas ibuku. “Terus kemarin ibu pergi ke mana?” cecar kakak. “Kemarin ibu pergi ke rumah kakak sepupumu itu. Terus ayah menyusul ibu ke sana,” jelas ibu datar. “Ke sini kalian berdua,” panggil ibu. Ibu mengangkatku ke pangkuannya, sementara kakak duduk di kursi kayu di dekatnya. “Ayahmu kan punya hutang banyak,” ibu mulai membuka pembicaraan. “Terus di sini sulit kayaknya ayahmu untuk berubah. Jadi semalam di rumah kakak sepupumu yang di kota Malang itu, kami telah berunding dan memutuskan supaya ayah dan ibu untuk sementara mengontrak rumah di kota dan akan berjualan makanan seperti kakak sepupumu itu,” jelas ibu. “Jadi ibu minta, kamu jaga adikmu ya. Kalian tidak bisa ikut ayah dan ibu, karena kalian kan masih 32
sekolah. Nanti kalau sudah lulus sekolah boleh kita semua pindah ke kota ya,” lanjut ibu memberi pengertian kepada kami. “Sementara ini kalian tinggal sama nenek ya, nanti setiap bulan ibu kirim uang dan beras ke nenek untuk kalian,” lanjut ibu. Kakak hanya terdiam, dan aku juga tidak tahu harus berkata apa, karena aku masih kecil dan tidak mengerti apa-apa. Pokoknya aku ikuti saja kakakku, karena itu pasti baik juga untukku. Kami duduk bercengkerama di teras sampai pukul tiga sore, hingga tiba-tiba datang seorang wanita yang menghampiri kami dengan tergesa-gesa, dengan wajah penuh kemarahan tercermin di matanya. “Darimana?” sapa ibu ramah yang ditanggapi dengan wajah sinis dan senyum menyeringai. “Mari silahkan masuk,” ibu mempersilahkan tamunya untuk masuk rumah. “Tidak usah. Di sini saja,” bentak wanita itu. Lalu ibu duduk di atas lesung tumbukan padi dengan wajah bingung dan malu karena dibentakbentak oleh tamunya. Kami duduk di tanah sambil mengais-ngais debu dan sesekali memandang wanita 33
itu yang masih marah dan berbicara dengan nada tinggi. “Saya ingin tahu siapa yang menggagalkan kesepakatan?” teriak wanita itu.
mau
“Saya tidak tahu menahu urusan kamu dengan suamiku,” sahut ibu sambil menahan emosi. “Kalau yang kamu maksud adalah sawah kami yang mau dijual-belikan ke kamu, memang benar saya tidak rela,” tegas ibu. “Kamu membuat kesepakatan dengan dia tanpa kehadiran saya. Jadi kalau kamu tidak terima bicaralah sama dia. Namun saya tegaskan saya tidak akan melepaskan sawah itu,” kata ibu dengan tegas. Wanita itu tersenyum menyeringai, “Tanah cuman secuil saja segitunya. Aku juga nggak kepingin banget untuk mengolah sawahmu yang hanya sejengkal itu. Namun aku tersinggung karena kesepakatan yang telah dibuat dibatalkan sepihak,” kata wanita itu masih dengan nada tinggi dengan senyum menghina. “Memang tanahku tidak seluas tanahmu,” sahut ibu. Aku melihat luka hati karena tersinggung nampak di wajah ibu karena penghinaan itu. “Aku tahu keluarga kalian memang kaya, dan kami miskin. Aku tahu tanah kalian luas sementara 34
kami hanya punya sejengkal tanah itu. Namun aku tetap akan mempertahankan tanah kami, dan sekali lagi kamu membuat kesepakatan dengan suamiku tanpa kehadiranku, jadi urus sendiri dengan dia.” Wanita itu terus memaki-maki ibu dan keluarga kami tanpa henti. Mulai pukul 3 sore sampai matahari mulai terbenam wanita itu tidak beranjak dari teras rumah kami. Terus memaki dan bersumpah serapah, menghina dan mengejek ibu dan keluarga kami. Ibu hanya terdiam sambil menahan emosi. Air mata mengalir dan membanjiri pipi ibu karena tidak tahan mendengar penghinaan dan makian itu. Namun ibu tetap diam. Aku tengok kakak yang terus mengais-ngais debu di sampingku. Aku melihat mata kakak menatap wanita itu penuh kebencian. Matanya berkaca-kaca, seperti ingin menangis namun tertahan di kelopaknya. Aku benar-benar melihat dari mata kakak betapa sakit hatinya mendengar wanita itu terus menghina, memaki dan merendahkan ibu dan kondisi keluarga kami. Setelah puas melampiaskan kemarahannya wanita itu beranjak dari duduknya, berdiri dan langsung berbalik pergi tanpa permisi. Sebagai anak kecil, seakan baru kali ini aku melihat wanita terjahat di dunia. 35
Ibu menuntun aku dan kakak masuk rumah, karena matahari sudah mulai tenggelam, dan hari sudah mulai gelap. Ibu mengajak kami berdoa di ranjang dipan di ruang tamu dan tiba-tiba di luar rumah terdengar hujan angin yang sangat deras sekali. Dari antara celah atau lubang dinding bilik bambu, kami dapat mendengar suara gemuruh dari pohon mahoni, pohon-pohon kelapa bergoyang ke sana ke mari ditiup angin yang kencang. Suara air hujan yang lebat terdengar begitu derasnya diiringi dengan suara halilintar dan kilat menyambar-nyambar yang dapat terlihat dari celahcelah dinding bambu rumah kami, sementara ruang tamu hanya diterangi satu sumbu lampu minyak. Kami mengikuti ibu berdoa yang terus sambil menangis. Suasana malam itu begitu mencekam hati kami. Petir, halilintar, angin kencang, derasnya air hujan dan kilat yang menyambar-nyambar malam itu semakin mencekam hati kami, karena baru saja kami mendengar hujatan, penghinaan, makian, sumpah serapah dari wanita tadi. Kakak menangis kencang, karena ibu juga menangis, dan akupun ikut menangis.
36
“Aku akan membalas penghinaan ini ibu,” teriak kakak setelah ibu berkata “Amin” mengakhiri doanya. “Aku akan belajar giat. Aku akan menjadi orang yang sukses dan berhasil. Aku akan buktikan kepada semua orang, dan juga kepada dia,” aku tahu yang kakak maksud dengan “dia” adalah wanita yang tadi sore datang ke rumah kami. “Aku akan buktikan kepada dia bahwa keluarga kita tidak patut direndahkan seperti ini,” tegas kakak dengan muka merah penuh kemarahan sementara pipinya telah basah oleh air mata, dan matanya sembab karena terus menerus menangis. “Sudah lupakan saja. Jangan marah begitu. Itu juga terjadi karena kesalahan ayahmu,” nasehat ibu menenangkan. “Tidak ibu,” sahut kakak yang tidak dapat ditenangkan. “Memang ayah bersalah, aku benci ayah. Namun tidak seharusnya wanita itu menghina ibu dan keluarga kita seperti itu,” teriak kakak dengan nada tinggi penuh kemarahan. “Sudahlah, kita serahkan saja kepada Tuhan ya. Dan kamu juga tidak boleh membenci ayahmu. Itu namanya durhaka,” kata ibu menasehati. Kakak terdiam, tidak tahu lagi harus berkata apa. Kemarahannya mulai surut. Sementara malam semakin larut dan sunyi. Hanya terdengar suara air 37
hujan yang masih deras, dan suara pepohonan yang bergerak ke sana kemari tertiup angin kencang. Kilat masih menyambar-nyambar dan cahayanya menerobos dinding bilik rumah kami. Malam yang benar-benar mencekam. “Kita tidur di sini saja,” kata ibu sambil membaringkan badannya di ranjang dipan beralaskan bambu dan tikar tanpa kasur itu, sembari menarik kakak dan aku untuk berbaring di sebelah kanan dan kirinya. Angin yang kencang menerobos masuk melalui celah-celah dinding bilik dan menghembus lampu sumbu di meja hingga mati. Aku sangat ketakutan, namun ibu berkata, “Tidak usah takut, Tuhan senantiasa menjaga kita. Sudah kita tidur saja.” Malam itu kami berbaring di sana dalam kegelapan, dengan suara-suara mencekam di luar rumah, suara hujan angin, pepohonan yang seakan akan rubuh tak tahan menahan kencangnya tiupan angin dan air hujan dan cahaya kilat yang menyambar-nyambar menerobos ke dalam rumah melalui celah-celah bilik. Aku sangat ketakutan, “Kapan ayah pulang bu?” tanyaku sambil menangis ketakutan karena malam begitu mencekam. Seakan seluruh dunia mencekam dan di sana hanya ada kami bertiga. 38
Tidak ada suara apapun kecuali, suara petir, hujan deras, pepohonan mendayu-dayu, angin yang berhembus kencang, dan kilat yang menyambarnyambar. “Besok ayah mungkin sudah pulang. Sekarang kita tidur ya sayang,” hibur ibu menenangkan kami. “Glegerrrrrrrrrrrrrrrrrrr…..” “Ibu suara apa itu? Aku takut bu. Kakak apa itu kak?” aku memeluk ibu dan menyembunyikan wajahku ke pelukan ibu. Aku tahu itu bukan suara guruh atau halilintar. Aku sangat mengenalnya. Suara itu lebih menyeramkan dari guruh dan halilintar. Aku yakin arah datangnya suara itu dari arah kuburan desa di pojok utara bukit sebelah Timur. Beberapa orang di kampungku percaya kalau ada suara gleger menggema yang datang dari arah kuburan desa seperti itu berarti akan ada warga desa yang akan meninggal. “Kalau benar begitu, siapa yang meninggal malam ini?” gumamku dalam hati dengan hati yang tercekam oleh ketakutan. “Siapa yang meninggal bu?” tanyaku semakin memeluk ibu erat-erat. 39
“Indah. Kamu apa sudah lupa. Kita diajar di gereja untuk tidak percaya hal-hal mistik atau tahyul seperti itu kan,” tegur kakakku. Benar. Aku ingat, di gereja kami diajar bahwa memang apa yang namanya iblis, setan, lelembut, danyang atau apalah itu sebutannya memang adalah makhluk-makhluk roh yang memang benar-benar ada. Namun di gereja kami juga diajar untuk tidak takut akan hal-hal seperti itu karena kami memiliki Tuhan yang lebih besar, lebih berkuasa dari semuanya. Kini aku sedikit tenang. “Suara itu sepertinya berasal dari air terjun di samping kuburan, ya bu?” kata kakak sambil memeluk ibu ketakutan. Melihat kakak memeluk ibu erat-erat, aku tahu sebenarnya kakak juga ketakutan seperti aku. “Tadi bicaranya sok berani,” gumamku dalam hati dengan wajah sedikit sinis. “Sepertinya iya,” jawab ibu sambil memeluk kami. “Sudah nggak usah takut. Sekarang kalian tidur saja dalam pelukan ibu. Ibu akan menjaga kalian. Tuhan akan melindungi kita. Kan kita tadi sudah berdoa sebelum tidur,” kata ibu menenangkan kami. “Karena hujannya sangat lebat, jadi mungkin ada batu besar di dinding tebing air terjun itu yang jatuh. Jadi suara itu pasti suara batu besar yang jatuh dari air terjun itu,” jelas ibu. 40
“Iya, saya yakin suara itu memang berasal dari arah air terjun,” sahut kakak mulai tenang. Kami memeluk ibu yang berada di tengah, di antara aku dan kakak. Sekitar satu kilometer dari rumah kami memang ada air terjun, di sudut penjuru pertemuan bukit sebelah Utara dan Timur, yang tepat berada di samping kuburan kampung kami. Dari air terjun itu mengalir sungai yang penduduk kami namakan Kali Gede atau sungai besar. Kami sering mendengar suara batu runtuh dari tebing air terjun terutama kalau lagi hujan lebat. Bahkan ketika banjir besar tidak jarang ladang-ladang di pinggir sungai tergerus arus sungai yang deras dan meluluh lantahkan. Sehingga semakin hari Kali Gede itu semakin lebar dan besar. Mungkin karena baru tadi sore hati kami teraduk-aduk kesedihan oleh hinaan dan makian wanita itu yang kemudian diikuti oleh hujan lebat dan angin kencang disertai kilat dan halilintar yang membuat hati kami semakin dicekam oleh kesedihan dan ketakutan. Sehingga suara-suara yang mengejutkan semakin mencekam kesedihan hati kami. Karena lelah menangis dan kutemukan kedamaian dalam pelukan ibu, akhirnya akupun 41
tertidur. Aku terlelap dan tiada tahu lagi apa yang terjadi malam itu.
42
BABAK 4 PERJUANGAN DEMI MENGGAPAI BINTANG
Ayam jantan berkokok tanda pagi telah tiba. Ku dengar suara burung-burung berkicauan, dengan riang melompat dari satu ranting ke ranting lain, terbang dari satu pohon ke pohon lain. Ku dengar sayup-sayup dari dalam rumah, di jalan para tetangga saling membicarakan hujan lebat semalam. Ada yang berkata bahwa ladangnya yang tepat di bibir sungai hanyut oleh gerusan arus sungai dan mereka kehilangan tanah mereka, karena sudah menjadi sungai dengan batu-batu besar bergelimpangan di sana sini. Ku dengar ada juga yang membicarakan runtuhnya batu besar di air terjun di samping kuburan, yang langsung membuatku teringat bahwa suara yang menyeramkan tadi malam memang benar suara dari batu yang runtuh di air terjun itu. “Ayo indah cepat bangun, kita harus pergi mandi dan berangkat ke sekolah,” panggil kakak dari ruang depan. Akupun langsung bangun, menyibak kelambu, berjalan keluar kamar masih sambil sempoyongan. Kakak sudah menunggu dengan menenteng ember kecil tempat sabun dan sikat gigi dan handuk. “Ayo cepat, nanti kita terlambat sekolah karena jalanannya licin,” desak kakak.
44
Kami akhirnya pergi ke belik, sebuah cekungan mata air, tempat di mana orang kampungku mandi bersama. Tidak ada toilet atau kamar mandi di rumah seperti orang kota. Di belik itulah biasanya kami semua mandi. Tanah di halaman rumah begitu becek dan di sana sini ada kubangan air bekas hujan semalam. Udara begitu dingin. Daun pohon-pohon mengisut kedinginan karena baru saja diterpa derasnya hujan dan kencangnya angin. Banyak cabang dan ranting pohon yang patah, daun-daun berserakan di sana sini. Benar-benar hujan deras telah melanda kampung kami malam itu. Jalanan tanah berbatu itu licin sekali. “Sudah lepas saja sandalmu, nanti malah terpeleset jatuh,” kata kakak. Aku melepas sandal dan menjinjingnya, sementara kakak mengulurkan tangannya untuk menuntunku. Belik itu berada di sebelah timur sungai sekitar seratus meter dari rumah kami. Berada di tengah sawah, sehingga dari jalan tanah kemudian kami menyusuri pematang sawah milik orang untuk sampai ke belik itu. Kakak tidak melepaskan tangannya, menuntun aku agar aku tidak terpeleset dan jatuh. Setelah selesai mandi kami kembali menyusuri pematang sawah menuju jalan dan 45
kemudian pulang ke rumah tanpa mengenakan sandal, karena tanah berbatu yang begitu licin. Sesampai di rumah kamipun bersiap-siap untuk berangkat pergi sekolah. “Ayo indah, kita tidak tahu sudah jam berapa ini, karena matahari belum nampak,” panggil kakak yang ternyata sudah siap berangkat sekolah. Pada zaman itu kami sangat mengandalkan matahari sebagai petunjuk waktu. Tidak ada jam dinding di rumah kami ataupun jam tangan yang kami miliki. Itu barang mewah yang tidak mungkin dimiliki orang desa miskin seperti kami. Kalau matahari sudah mulai mengintip di bukit sebelah timur, itu artinya sudah jam 6 pagi. Akibat hujan lebat semalam, matahari belum nampak, namun sebenarnya mungkin sudah lewat jam 6 pagi. “Sebentar kak, tunggu aku. Aku mau pakai kaos kaki,” sahutku dari dalam. “Tidak usah pakai dulu sepatunya, nanti kotor. Tanahnya lagi becek. Sepatunya dijinjing saja, nanti baru pakai kalau sudah tiba di sekolah,” kata kakak. Beberapa saat kemudian… “Ya sudah kita berangkat,” kataku sambil menepuk punggung kakak yang berdiri di depan pintu menghadap ke jalan. 46
“Sini kakak bawakan sepatumu,” pinta kakak. “Tasnya aku bawa sendiri ya kak,” sahutku sambil mengulurkan sepasang sepatu berisi kaos kaki di dalamnya kepada kakak. Kakak mengikatkan tali-tali sepatu kami menjadi satu, kemudian ia mencangklong tas sekolahnya di belakang dan menyelempangkan tali dua pasang sepatu itu di pundaknya, sepasang sepatu di belakang punggung dan sepasang di depan dadanya. Kemudian kakak mengulurkan tangan menarik tanganku dan kami berangkat sekolah. “Kami berangkat bu,” seru kakak dari halaman sambil menengok ibu di dapur yang letaknya di teras sebelah kanan rumah dengan pintu dapur yang terbuka langsung menghadap halaman. “Iya, hati-hati. Jaga adikmu baik-baik. Jangan sampai terpeleset,” sahut ibu dari dalam dapur. Kelihatannya ibu sedang merebus air di dapur. Kami tidak sarapan sebelum pergi ke sekolah karena memang kami tidak biasa sarapan pagi. “Ayo ulurkan tanganmu,” perintah kakak yang sudah berada di atas tanjakan jalan setapak tidak jauh dari rumah, sambil mengulurkan tangannya. Ku pegang tangan kakak, dan ditariknya aku ke atas. Kemudian kami menyusuri jalan setapak yang becek 47
dan berbatu di antara hamparan ladang jagung yang biasa kami lalui. Kami tidak mengenakan sepatu atau alas kaki, karena tanahnya yang licin. “Hati-hati, injak tanah saja, nggak apa-apa kotor, nanti kita cuci kaki di sekolah,” nasehat kakak. “Jangan injak batunya, nanti kakimu terluka,” kata kakak penuh perhatian. Aku ikuti saran kakak, sambil tanganku dipegang erat-erat oleh kakak karena takut aku terpeleset dan jatuh. Pagi yang cerah walaupun matahari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya di balik awan putih. Hanya burung-burung yang ku dengar berkicau dan berlompatan dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ku dengar cuit-cuit suara burung-burung kecil memanggil induknya menandakan ketakutannya karena baru saja melewati malam yang sangat mengerikan. Hujan lebat, angin kencang dan kilat yang menyambar-nyambar. Dahan-dahan pohon melunglai dan masih basah kuyup, seakan anginpun kelelahan, istirahat dan berhenti bertiup menggoyang-goyang dahandahan pohon seperti biasanya. Hanya terasa hembusan halus dinginnya angin pagi menusuk sampai ke tulang. 48
Daun-daun jagungpun melunglai menahan beratnya sisa air hujan yang masih bertengger di atas daun-daun itu. Kupu-kupupun malas untuk terbang ke sana ke mari. Diam terpaku dan tak bergerak di pucuk-pucuk bunga, dan sesekali yang sudah bosan berpindah ke bunga yang lain. Kami terus menyusuri hamparan ladang jagung itu hingga tiba di medan yang paling sulit, yaitu mendaki puncak bukit sebelah selatan kampung kami. Bukan hanya terjal berbatu dan hampir tegak lurus, namun pagi itu ditambah dengan tanah yang tentunya licin sekali sehabis hujan. Kami harus super hati-hati, karena di kanan kiri jalanan setapak terjal pendakian itu terhampar semak dan onak duri yang lebat, ditambah dengan batu-batu kapur yang bergerigi dan tajam di balik semak-semak dan onak duri itu. “Ayo pelan-pelan saja,” kata kakakku sambil membimbingku mulai mendaki bukit itu. Kakak akan melepaskan tangannya ketika lorongnya begitu sempit, dan menjagaku dari belakang sementara aku pelan-pelan terus melangkah naik. Tiba-tiba… “Bresetttt… gedebuk…,” terdengar suara dari belakangku yang sontak membuatku menengok ke belakang.
49
“Kakak,” teriakku ketika melihat kakak terpeleset di belakangku. Satu kakinya menyangkut pada semak-semak di pinggir jalan setapak itu, sementara satu kakinya menahan tubuhnya dengan berjejak pada batu. “Sudah tidak apa-apa,” kakak menatapku hendak menenangkanku sementara ia masih dalam keadaan tertelungkup sambil mengangkat kepalanya di jalanan tanah licin berbatu itu. Pelan-pelan kakak menggapai tali sepatu di pundaknya, lalu memindahkan satu kaki yang terperosok ke semak untuk mencari batu pijakan, dan setelah mendapatkan batu pijakan dengan kaki yang meraba-raba, pelan-pelan ia bangun. “Aahhh,” kakak berusaha bangun. Baju kakak kotor penuh tanah dan ku lihat siku tangannya berdarah. Sepasang sepatunya penuh lumpur, karena dia tadi jatuh tertelungkup, dan sepasang sepatu yang di dadanya adalah sepatu kakak. Sedangkan sepasang sepatuku yang berada di belakang punggungnya tidak terkena tanah. Aku melihat kakak bangun sambil menahan sakit. Matanya merah dan berlinang air mata, namun ia berusaha untuk menahannya agar air mata itu tidak jatuh di depanku. Aku tahu bahwa ia sangatlah kesakitan. 50
Aku yakin ia kesakitan. Dadanya pasti sakit karena terantuk bebatuan. Tak tahan air mataku menetes mengalir di pipiku. “Sudah, jangan menangis, kakak tidak apaapa. Ayo jalan lagi,” perintah kakak setelah berhasil bangun. Kakak tetap berjalan di belakangku, sambil mencangklong tas sekolahnya ke belakang dan menyelempangkan dua pasang tali sepatu di punggungnya. “Kenapa berhenti,” tanya kakak ketika aku mendadak berhenti. “Aku nggak bisa naik kak,” kataku memelas. “Ya sudah minggir sedikit, kasih jalan kakak lewat ya,” perintah kakak. Saat itu kami sampai pada bagian jalan yang curam dan kakiku tidak cukup lebar untuk bisa menanjak naik. “Sini ulurkan tanganmu,” perintah kakak setelah ia sampai di atas sambil merunduk dan tangan kirinya memegangi sepasang sepatu di dadanya agar tidak jatuh. Kugapai tangan kanan kakak, dan ditariknya aku ke atas. Beberapa saat kemudian kami sampai di puncak. Lega sekali, dan tentu lelah sekali. Namun aku tidak dapat istirahat sambil duduk seperti biasanya, karena rumput-rumput masih basah, 51
demikian juga batu-batunya. Tanahnya masih sangat becek. Kami istirahat sambil berdiri sejenak mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke sekolah sambil berdiri. Langit masih kelabu. Gunung-gunung menjulang tinggi yang biasa nampak dari bukit itu tidak dapat terlihat lagi oleh karena tertutup kabut dan awan tebal. “Ayo indah, ini tentu sudah siang walaupun matahari tidak terbit pagi ini,” ajak kakak untuk melanjutkan perjalanan. Pagi memang cerah, hanya saja matahari masih tertutup awan putih. Kami melanjutkan perjalanan menyusuri hamparan ilalang dan ladang jagung yang daun-daunnya mulai menegak karena beban air hujan yang mengguyurnya sudah mulai jatuh ke tanah. Akhirnya kamipun tiba di sekolah. Arah kami tepat dari arah belakang sekolah, karena sekolah menghadap ke jalan sebelah selatan. Dan biasanya kami masuk dari pintu gerbang samping sebelah timur, karena di sana ada jalanan setapak dari arah kami datang. Kami memperhatikan halaman maupun terasteras sekolah begitu sepi dan sunyi. Tidak seperti biasanya anak-anak bermain-main di halaman ataupun teras sekolah. Ada yang main kelereng atau jepretan karet gelang, khususnya yang laki-laki. Ada 52
juga yang main lumbung-lumbungan atau main bola bekel, khususnya anak-anak perempuan. Namun setiba kami di pintu pagar samping sekolah, kami melihat begitu sunyi dan sepi. “Ayo cepat indah. Kamu cuci kakimu di kubangan air itu, lalu kenakan kaos kaki dan sepatu,” kata kakakku sambil buru-buru membuka tali sepatuku yang terikat dengan tali sepatunya dan kemudian menyerahkan kepadaku. “Kita sudah terlambat ini. Teman-teman sudah masuk kelas. Kita pasti kena hukuman ini,” kata kakak sambil mencuci kakinya, dan membersihkan lumpur pada baju dan celananya dengan air kubangan. Sementara aku sendiri mulai mencuci kakiku cepat-cepat dan setelah itu melompat ke lantai teras belakang sekolah untuk mengenakan kaos kaki dan sepatu. “Ayo cepat,” desak kakak yang rupanya sudah selesai mengenakan sepatunya. “Sebentar aku ikat tali sepatu dulu kak,” sahutku. Tanpa mengulur waktu kakak langsung merunduk di bawah kakiku membantu mengikatkan sepatuku. Kamu lewat teras depan saja biar sepatumu tidak kena tanah,” perintah kakak. “Aku takut nanti dimarahi guru kak,” jawabku dengan wajah ketakutan hampir menangis. Aku takut 53
karena kalau lewat depan berarti akan melewati kantor guru yang berada tepat sebelah kiri kelasku. “Nggak apa-apa. Kamu kan masih kelas empat. Perempuan lagi. Kamu nggak akan kena marah. Percayalah kepada kakak,” kata kakak menyakinkan sambil menatapku dan memberi isyarat dengan matanya seakan ingin sekali lagi berkata, “Jangan takut. Semua akan baik-baik saja.” Walaupun aku masih ragu, namun akhirnya aku mengikuti perintah kakak. Aku melewati teras samping timur sekolah, lalu belok ke teras depan dan lewat tepat di depan kantor guru, sambil menunduk langsung lari masuk kelas. Lega rasanya. Ternyata guru kelasku belum masuk kelas. Aku langsung duduk dan memasukan tas sekolah ke laci bangku mejaku. Namun aku masih kuatir jangan-jangan dari kantor guru tadi, guru kelasku melihat aku terlambat. “Terlambat,” tanya teman sebelahku. Aku memandangnya sambil mengangguk tanpa berkatakata. Ku tengok ke kiri, jendela kaca yang menghadap ladang jagung di belakang sekolah, dan dari jendela itu ku lihat kakak mengendap-endap menuju kelasnya yang berada di bangunan lain sebelah barat. Kakak takut kena hukuman karena 54
terlambat. Akupun berdoa agar kakak tidak dihukum walaupun terlambat karena memang keadaan baru hujan lebat sementara medan jalan yang begitu sulit. “Selamat pagi anak-anak,” sapa guru kelasku dengan ramah sembari melenggang masuk dari pintu langsung menuju meja gurunya. “Selamat pagi ibu guru,” sahut kami serempak. Aku masih takut jangan-jangan ibu guru tadi melihat aku terlambat. “Indah….,” panggil ibu guru yang sontak membuat jantungku serasa berhenti berdetak. “I, iya bu,” jawabku ketakutan. “Tadi ada teman yang melapor bahwa ia melihat dari atas bukit katanya kakakmu terjatuh ya ketika mendaki bukit,” tanyanya penuh dengan ramah. “Be, benar bu,” jawabku terbata-bata. “Ibu dan kami semua guru bangga dengan kakak kamu. Kamu juga harus bangga punya kakak seperti dia. Sudah pintar, rajin dan tidak pernah menyerah lagi,” kata ibu guru memuja kakakku. Aku lega sekali, kalau semua guru memang bangga pada kakak, berarti hari ini kakak pasti tidak dihukum karena terlambat. 55
“Aku juga bangga pada kakakku. Kakakku kan Bintang Kecil,” kataku dalam hati. “Sudah anak-anak sekarang buka buku bahasa Indonesia, dan kita akan mulai pelajaran kita,” kata ibu guru memberi perintah kepada kami yang sontak menyadarkanku dari lamunan. Kamipun menikmati setiap pelajaran sepanjang hari itu. **** “Teng… teng…. teng…. teng,” ku dengar loceng berbunyi yang disambut sorak riuh muridmurid sekolah kami karena itu pertanda sudah saatnya kelas usai tepat pukul 12 siang. Ibu guru mengingatkan agar kami memeriksa buku-buku dan alat-alat tulis agar jangan sampai ada barang yang ketinggalan. Setelah kami mengucapkan “Janji Murid” dan doa, satu per satu kami mencium tangan ibu guru kemudian langsung lari berhamburan keluar dengan gembiranya. Ku cangklong tas sekolahku di atas pundak kananku, segera setelah keluar pintu kelas ku arahkan mataku langsung ke pintu kelas kakak pada bangunan lain yang menghadap ke halaman upacara yang langsung bisa terlihat dari depan kelasku. “Kakak belum pulang,” gumamku ketika melihat pintu kelas masih terbuka dan terlihat dari 56
tempatku berdiri melalui pintu itu anak-anak kelas enam masih duduk di bangku masing-masing. Setelah menunggu beberapa saat sambil mondar-mandir di depan kelas, anak-anak kelas enam pun mulai keluar satu per satu dari kelas itu, dan ku lihat kakak sambil mencangklong tasnya ke belakang keluar dari kelasnya dan langsung melangkah dengan tenang menuju tempat di mana aku berdiri. “Sudah lama?” menghampiriku.
tanya
kakak
sambil
“Belum,” jawabku. Kakak menengadah ke atas, melihat keadaan cuaca siang itu. Matahari tepat di atas kepala dengan memancarkan panas sinarnya. “Sudah panas, mudah-mudahan jalanan sudah kering,” kata kakak seakan berbicara dengan dirinya sendiri. “Ayo cepat pulang,” ajak kakak sambil mendorong bahuku mengajak jalan. Memang benar, jalanan setapak di tengah hamparan ladang jagung dan ilalang yang tadi pagi begitu becek sekarang sudah mulai kering, walaupun keringnyapun masih mangkal, yang penting tidak becek lagi. Kami melangkah dan menyusuri jalan setapak itu di bawah terik sinar matahari yang berada tepat di atas kepala. Semilir angin yang berhembus meniup 57
baju dan rambut kami membuat panasnya terik matahari tidak begitu terasa. Dengan hati-hati kami menuruni bukit itu, dan syukurlah karena jalananya sudah kering dan tidak licin lagi. Namun demikian kami harus tetap berhatihati. Setibanya di rumah, ku lihat dari halaman ternyata ibu masih asyik memasak di dapur. Mungkin tinggal merebus air minum untuk persediaan nanti sore. Sambil mendongakkan kepala ke pintu dapur yang terbuka aku menyapa ibu, “Sudah matang belum bu? Saya sudah lapar.” “Sudah. Sana taruh tas kalian lalu makan,” sahut ibu. Aku segera berlari menuju pintu dan masuk rumah, melemparkan tas ke ranjang sementara ku lihat kakak sedang melepas sepatunya di pojokan ruang depan yang masih berlantaikan tanah nan lembab. “Kak aku sudah lapar, aku ke dapur duluan ya,” kataku. Kakak menengok ke arahku sambil tangannya masih membuka tali sepatu yang satunya, mengangguk dan dari tatapan matanya seakan berkata, “Iya duluan sana, nanti kakak menyusul.” Akupun langsung lari keluar pintu depan, menyusuri teras depan dan masuk dapur. Kebanyakan rumah di kampungku pada zaman itu memiliki dapur 58
di teras samping rumah. Dapur itu memiliki pintu depan sebagai pintu masuk dan pintu belakang yang biasanya dipakai akses untuk membuang sampah di kubangan sampah belakang rumah dekat kandang sapi atau kandang kambing. Di rumah kami tidak ada pintu penghubung antara ruang rumah dengan dapur. Jadi kalau mau ke dapur harus keluar dari pintu depan kemudian belok ke kanan menyusuri teras depan baru sampai ke pintu dapur. “Masak apa bu,” tanyaku segera setelah ada di dapur. “Itu, ibu masak jangan bobor kesukaanmu,” sahut ibu. Orang Jawa menyebut sayur atau masakan dengan istilah “jangan.” Aku dan kakak paling suka makan dengan jangan bobor itu. Jangan bobor itu adalah sayur bayam yang direbus dengan banyak air kemudian diberi santan kelapa dan bumbu-bumbu dan menjadi sayur berkuah santan. Sayur itu segar sekali bila dinikmati di siang hari yang panas, ditambah dengan perut yang lapar. Aku ambil centong nasi dan mengambil nasi tim ke piringku lalu, “Sini ibu ambilkan sayurnya,” kata ibu sambil meraih piringku. Ibu mencedok sayur kesukaanku langsung dari kuali yang masih berada di atas tungku tanah dan menyiramkanya ke atas nasi di piringku.
59
“Enakkk,” gumamku ketika mencium aroma sayur bayam kuah santan kesukaanku itu, hingga tibatiba terdengar suara di belakangku, “Masak apa bu?” tanya kakak. “Lihat sendiri apa ini,” sahut ibu sambil menunjukkan piringku yang sudah berisi nasi dengan siraman sayur bayam kuah santan di atasnya. “Enak nih,” kata kakak yang langsung mengambil piring di rak piring kayu yang sudah dekil dan bau itu. Diambilnya nasi tim kesukaan kami dan kemudian dicedoknya sendiri sayur bayam kuah santan itu ke atas nasinya dan kemudian kami duduk di sebuah kayu gelondongan di lantai tanah dalam dapur dan dengan lahapnya kami menyantap makan siang kami. “Benar-benar enak dan segar,” kata kakak mengomentari makanan yang baru saja masuk ke mulutnya itu. “Ayah belum pulang bu?” tanya kakak sambil menguyah makanan di mulutnya. “Belum. Nanti sore mungkin. Karena ayah masih harus mencari rumah kontrakan di kota. Nanti kalau sudah dapat langsung pulang,” sahut ibu menjelaskan. 60
“Terus nanti sapinya gimana? Siapa yang ngurus?” tanya kakak. “Nanti sapinya dikembalikan ke yang punya saja. Jadi kamu tenang saja.” Pada waktu itu kami memelihara sapi milik orang dengan perjanjian bagi hasil. Anak pertama akan menjadi milik si pemilik, dan anak kedua akan menjadi milik kami yang merawat dan memberi makan. Dulu hal seperti itu adalah hal yang umum di kampung kami. “Terus kambing-kambingnya jadi dijual?” tanya kakak. “Ya iyalah. Kalau nggak darimana membayar hutang ayahmu,” sahut ibu sambil memandangi kami sembari tersenyum. Siang itu setelah makan kami habiskan waktu hanya bermain berdua. Karena bosan kamipun menghampiri dua kakak sepupu kami, Mas Sus dan Mbak Lis dan bergabung dengan mereka untuk bermain bersama. Begitu asyiknya kami bermain tanpa terasa mataharipun terus merangkak turun ke ufuk barat dan itu tandanya sudah sore dan kami harus berhenti bermain dan pergi mandi. ****
61
Benar saja. Sebagaimana tadi siang dikatakan ibu, sekitar pukul 7 malam, ayah pulang dari kota. Walaupun tidak ada jam dinding di rumah kami, kami dapat memperkirakan bahwa waktu sudah pukul 7, karena sekitar sejam yang lalu matahari terbenam di ufuk barat. “Hore ayah datang,” aku berteriak dan melompat lari ke arah pintu yang langsung disambut oleh tangan ayah, mengangkatku dan memelukku dan menciumku. “Kok sampai malam gini?” tanya ibu. “Iya, tadi diturunkan di Tumpak Dawet, terus jalan kaki,” jelas ayah. Pada waktu itu angkutan umum masih jarang sekali. Kalau lagi mujur ada angkutan yang sampai pasar desa, Pasar Bantengan namanya, pasar itu tertetak di atas bukit sebelah timur, setengah jam perjalanan dengan jalan kaki dari lembah di mana kami tinggal. Namun kalau ayah bilang turun di Puncak Dawet berarti jauh sekali. Dari Puncak Dawet ke pasar desa itu bisa setengah jam perjalanan dengan jalan kaki di atas jalan makadam yang penuh batubatu kerikil tajam. Karena jalananan berbatu itulah, maka kalau bukan kliwon atau pahing jarang sekali ada angkutan umum sampai ke pasar desa.
62
Pasar desa itu hanya buka seminggu dua kali yaitu kliwon dan pahing. Itu penghitungan hari orang Jawa dengan urutan hari seperti berikut ini: pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. “Terus gimana. Dapat tidak kontrakannya?” tanya ibu sambil memberikan segelas air yang dituangnya dari teko alumunium kepada ayah yang sedang duduk di kursi kayu sambil memangku aku. “Iya, sudah dapat,” sahut ayah setelah meneguk air dari gelas itu sembari meletakkan gelasnya ke meja. “Tadi sekolah nggak sayang?” tanya ayah kepadaku sembari menundukkan kepala menatap wajahku yang masih ada di atas pangkuannya. “Iya, Indah sekolah ayah,” jawabku sambil mendongakkan wajahku ke arah wajah ayah. “Tahu nggak ayah, tadi kakak terpeleset jatuh di bukit itu. Bajunya habis kotor semua,” laporku kepada ayah. “Makanya kalau jalan tuh hati-hati. Dipakai tuh mata,” jawab ayah sambil melotot menatap kakak yang sedang duduk di ranjang dipan. Kakak memandang ayah dengan muka cemberut lalu melengos, berdiri dan langsung 63
nyelonong ke kamar, tanpa mengucap sepatah katapun. Aku jadi merasa bersalah, karena laporanku yang berharap ayah iba terhadap nasib kakak, justru malah sebaliknya kakak dimarahi. “Terus gimana kamu. Kamu jatuh juga nggak?” tanya ayah kepadaku. “Tidak ayah,” jawabku sambil memikirkan perasaan kakak yang pasti terluka lagi karena perkataan ayah. Aku bermanja-manja di atas pangkuan ayah sambil bercanda karena aku sudah kangen sekali dengan ayah. “Sudah malam. Sekarang Indah pergi tidur ya. Kan besok harus sekolah,” perintah ayah sambil menurunkan aku dari pangkuannya. “Cium dulu,” pintaku kepada ayah. Ayah merundukkan badannya untuk mencium kedua pipi dan keningku dan…, “Selamat malam ayah,” ucapku sambil berbalik dan berlari-lari kecil menuju kamar. Ku sibakkan kelambu pintu kamar dan masuk dan ku lihat kakak tidur tengkurap sambil membenamkan wajahnya dalam-dalam ke bantal kepalanya. 64
Pelan-pelan aku mendekatinya lalu tidur di sampingnya. Kami tidur satu ranjang dengan kakak, sedangkan ayah dan ibu tidur di ranjang satunya yang juga masih dalam satu kamar yang sama. “Maafkan aku ya kak,” kataku sambil berbalik dan menggoyang-goyangkan bahu kakak. “Heemm,” jawab kakak tanpa berbalik dan tetap membenamkan wajahnya dalam-dalam ke bantal tidurnya. Aku tidak berani bertanya lagi. Aku tahu kakak pasti sedih sekali baru saja mendengar kata-kata ayah yang menyakitkan walupun sudah dua hari tidak bertemu. Aku berbaring di sisinya sambil memandang langit-langit kelambu jaring yang melindungi kami dari gigitan nyamuk. Hingga akhirnya ku lihat ayah dan ibu masuk kamar dan langsung berbaring di ranjang mereka sekitar satu meter setengah jaraknya dari ranjang tempat tidur kami. Mereka sepertinya berpikir bahwa kami sudah tidur. “Dapat kontrakan harga berapa?” tanya ibu berbisik. Yang kemudian dijawab oleh ayah sambil berbisik sehingga aku tidak mendengar berapa jumlah nominalnya.
65
Mereka bicara sambil tiduran di ranjang sambil berbisik-bisik karena takut membangunkan tidur kami. “Lalu dapat duit sebesar itu dari mana?” tanya ibu masih sambil berbisik. “Kita harus jual rumah ini,” jawab ayah datar. “Apa?” suara ibu meninggi karena terkejut. “Sssttt,” ayah menenangkan ibu. “Nanti anakanak bangun,” kata ayah. “Terserah kamu. Kalau kamu tidak setuju juga nggak apa-apa,” kata ayah. “Kan kamu yang mengajak kita pindah ke kota dan usaha di sana,” lanjut ayah. “Kita sudah tidak punya apa-apa kan? Bahkan surat-surat tanah sekarang kan ada di Bank. Sementara aku jual-belikan tanah ke tetangga seberang sungai kamu tidak setuju, ya gimana lagi,” terang ayah. Ibu hanya diam. Tidak komentar, tidak mendebat. Hanya diam seribu bahasa. Memang kami sudah tidak memiliki apa-apa selain rumah itu. Walaupun kami memiliki tanah namun sertifikat tanah semuanya ada di Bank sebagai jaminan hutang yang pernah dipinjam oleh ayah di Bank. 66
Ladang dan sawah kami paling hanya dapat disewakan atau dijual-belikan. Maksud jual-beli di kampung kami pada waktu itu adalah seseorang meminjamkan uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa si pemberi pinjaman dapat menggarap tanah itu untuk suatu periode waktu tertentu. Bila sudah jatuh temponya si pemilik tanah harus mengembalikan pinjamannya tidak kurang se sen pun. Jika pemilik tanah tidak dapat mengembalikan hutang pinjamannya, maka otomatis tanah itu menjadi milik si pemberi pinjaman. Sistem itu yang disukai oleh pemberi pinjaman, sehingga sistem sewa pada waktu itu kurang diminati orang. Saya tahu ibu tidak rela melepaskan tanah, maka ibu menolak sawahnya dijual-belikan. Sehingga akhirnya ibu pun harus menyetujui rumah kami dijual sebagai modal usaha di kota. Karena dengan menjual rumah, tanah masih tetap aman. Rumah pada waktu itu terbuat dari tiang-tiang kayu dengan dinding bilik bambu, jadi model rumah seperti itu dapat dibongkarpasang. Menjual rumah seperti itu tidak harus kehilangan tanah pekarangan, karena hanya rumahnya yang dibongkar lalu dibawa si pembeli untuk didirikan kembali di tanah miliknya.
67
Malam semakin larut. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin berhembus mengombangambingkan dahan-dahan pohon. Langit gelap dan sepertinya bulan dan bintangpun bersembunyi di balik awan hitam. Memang malam itu hujan tidak turun, namun langit cukup gelap. Sayup-sayup terdengar suara katak bersautsautan di sawah belakang rumah membuat akupun terserang rasa kantuk yang luar biasa, hingga akhirnya tertidur pulas. **** “Pagi yang cerah,” gumamku dalam hati ketika pagi telah tiba dan aku sedang menggeliatkan tubuhku yang mungil di halaman rumah sambil menunggu kakak untuk pergi mandi. Burung-burung berkicau dan anak-anak ayam gemeriyik mencari kehangatan pada sayap induknya yang sedang merundukkan tubuh dan mengembangkan sayap untuk melindungi anakanaknya dari angin pagi yang masih dingin itu. Langit sangat cerah dan aku yakin matahari akan terbit pagi ini dan jalanan setapak menuju sekolah sudah kering dan tidak selicin kemarin. Kakakpun keluar dari pintu menuju halaman di mana 68
aku berdiri dan memberi isyarat kepadaku untuk pergi ke mata air dan mandi. Setelah pulang mandi tentu saja kami siapsiap untuk pergi ke sekolah. Pagi ini aku lebih duluan siap dari kakak. Aku menunggu kakak di pintu depan sambil memandangi kakak yang sedang mengikat tali sepatunya di pojok ruang tamu berlantaikan tanah yang lembab itu. “Jadi rumah ini mau dijual bu,” tanya kakak mendongakan wajahnya ke arah ibu sambil tangannya masih berusaha mengikat tali sepatunya. Rupanya semalam kakak juga mendengar pembicaraan ayah dan ibu di kamar itu. “Iya,” jawab itu. “Terus ibu setuju? Lalu kita akan tinggal di mana?” tanya kakak. “Habis gimana. Kalau tetap di sini ayah kamu akan terus judi. Kalau usaha di kota ayahmu akan berpisah dengan teman-teman yang mempengaruhinya dan tentunya kesibukan di kota tidak akan memberikan ruang dan waktu untuk dia berjudi,” jelas ibu seperti pasrah. “Terus kami tinggal di mana?” tanya kakak.
69
“Kamu dan adikmu tinggal di rumah nenek dulu. Nanti ibu kirimi beras dan uang setiap bulan,” jelas ibu. “Ini gara-gara ayah,” kata kakak sambil menunjukkan kekesalannya. “Jangan begitu. Sudah kamu anak kecil nggak tahu apa-apa,” kata ibu. “Ya udah kami pergi sekolah dulu bu,” pamit kakak sambil berdiri dan menghampiri aku. “Ya, hati-hati di jalan. Jaga selalu adikmu,” kata ibu. “Ya bu,” jawab kakak. “Ayo berangkat,” ajak kakak kepadaku. “Indah juga berangkat ya bu,” pamitku. “Ya, hati-hati. Jangan bikin susah kakak ya,” pesan ibu. “Iya bu,” jawabku.
**** Demikianlah akhirnya rumah kami dijual dan ayah bersama ibu pindah ke kota Malang, sementara 70
aku dan kakak tinggal di rumah nenek di bawah bukit itu. Selama di kota tidak terdengar ayah berjudi. Ayah benar-benar disibukkan oleh pekerjaannya. Kadang-kadang ayah atau ibu pulang menjenguk kami dan tentunya sering membawa oleh-oleh baju baru khususnya baju baru untukku. Kadang-kadang saja ayah membelikan baju baru untuk kakak. Maka tidak heran ku lihat ada iri di hati kakak. Namun syukurlah kakak tetap sayang aku dan tidak pernah membenciku. Kalau kami sedang libur, orangtua kami pesan kepada saudara untuk mengantar kami ke kota dan tinggal bersama ayah dan ibu di kota selama liburan. Tinggal di rumah nenek yang jauh dari tetangga membuat kami kesepian, apalagi tanpa kasih sayang orangtua yang tentu menjadi dambaan semua anak seusia kami. Kami benar-benar seperti sepasang anak ayam yang kehilangan induknya. ****
71
BABAK 5 SEPERTI ANAK AYAM KEHILANGAN SANG INDUK
Malam itu bulan purnama bulat tepat di atas kepala. Tidak heran memang bila banyak muda-mudi yang sedang dimadu kasih akan memuji-muji kekasih pujaan hatinya sembari merayu, “wajahmu seindah rembulan.” Rembulan memang begitu indah. Lebihlebih ketika purnama bulat penuh bergelantung di langit biru dikelilingi oleh bintang-bintang berkelapkelip seakan sedang mengedip-ngedipkan mata menggoda rembulan yang cantik. Nenek menggelar tikar lebar di halaman tanah depan rumah yang spontan mendorong kami berlari masuk ke kamar untuk mengambil bantal dan sebentar saja kami sudah berada di atas tikar dan berbaring dengan bantal-bantal itu sebagai alas kepala kami. Aku dan kakak berbaring memandang ke langit. “Sungguh indah tiada tara,” gumamku dalam hati sambil memuji Tuhan yang telah mencipta dan mendesain alam dengan jari-jari-Nya mengayunkan kuas ke sana kemari merajut bintang-bintang dan purnama di atas langit sebagai kanvasnya. “Oh luar biasa,” gumamku tiada henti memuji keagungan-Nya. Sementara kami berbaring memandang ke langit, nenek duduk di ujung tikar memandangi alam yang begitu indah diterpa sinar purnama. Di pandanginya tumpukan jerami, daun-daun padi yang telah mengering yang memang sengaja dikeringkan untuk persediaan makanan bagi sapi di musim hujan 74
nanti yang ditumpuk di ujung halaman bak tumpukan permadani yang indah diterpa sinar sang bulan. Kadang-kadang kakak melompat ke atas dan menghempaskan tubuhnya ke atas jerami bak permadani di bawah sapuan sinar purnama, yang tentunya sontak membuat nenek menegornya, “Mau badanmu gatal. Tidur di jerami itu kan bisa membuat semua badanmu gatal. Ada banyak binatang ngengat yang akan menggigitmu,” omel nenek. Kadang kakak langsung melompat turun, namun kadang ia diam seakan tak mendengar omelan nenek dan asyik menikmat empuk dan lembutnya jerami itu. Ia tetap membaringkan tubuhnya di atas jerami kotor itu sambil memandang ke langit. Sayup-sayup terdengar desau air terjun dari arah mata angin Timur Laut. Air terjun mengalir cukup deras di kala itu. Karena posisi rumah nenek di dataran tinggi dibandingkan dengan rumah-rumah di kampungku, maka dari sana kami dapat melihat aliran air terjun bagaikan aliran emas murni tersapu oleh cahaya emas sang purnama yang bertengger di atasnya. Seluruh bumi seperti bercahaya kekuningkuningan seakan kami sedang hidup di zaman yang ditampilan dalam film dokumenter warna kusam bak di istana-istana zaman purba. Sambil terbaring memandang ke langit beralaskan bantal dan tikar dengan batu-batu kerikil 75
menyembul di balik tikar, menusuk-nusuk punggungku sehingga membuatku bergerak ke sana kemari mencari posisi yang enak dan terbebas dari kerikil tajam yang seakan iri padaku yang asyik menikmati indahnya langit biru bertebarkan bintangbintang dan indahnya purnama yang sesekali tersapu oleh awan-awan putih tipis yang berjalan mengikuti tiupan sang bayu. Bergerombol-gerombol kalong, sejenis kelelawar besar bertebaran di atas sana, di bawah terpaan rembulan dan bintang-bintang. Menambah lukisan Tuhan pada kanvas langit semakin hidup dan mempesona. Ayah pernah bercerita bahwa binatangbinatang malam itu terbang dari Alas Kidul (hutan sebelah selatan) yang jaraknya berkilo-kilo meter dari kampungku, yaitu di pesisir Laut Selatan. Rombongan kelelawar-kelelawar raksasa itu terbang di saat matahari telah tenggelam ke arah Berang Lor (seberang utara), yaitu menuju perbukitan Gunung Kelud dan Gunung Kawi untuk menjarah buah-buah kopi yang sudah saatnya matang di perkebunan di lereng gunung. Mereka akan kembali ke selatan sebelum fajar, ketika kami semua masih tertidur lelap. Sehingga kami hanya melihat mereka pergi melintasi angkasa kampung kami, namun tak pernah melihat kembalinya mereka ke Selatan, kecuali melihat mereka kembali melintas pada malam berikutnya terbang ke Utara. 76
Berbeda dengan rumah kami yang sudah terjual yang berada di jalan utama kampung, rumah nenek berada di tengah hamparan ladang yang luas, jauh dari tetangga dan hanya dapat diakses melalui jalan setapak yang biasa kami lalui ketika berangkat dan pulang sekolah. Rumah itu tepat berada di bawah bukit sebelah selatan. Setelah puas menikmati langit yang cerah, kakak bangun, berdiri dan melangkah menuju tempat kakek yang sedang duduk di atas sabuk kelapa menghangatkan badannya dengan api unggung dari serabut dan batok-batok kelapa dan sesekali menusuk-nusukkan sebatang ranting kering ke jantung api unggun itu untuk memeriksa apakah singkong yang dibakar di dalam api itu sudah empuk dan matang. “Sudah matang belum kek,” tanya kakak sembari mencari sabuk kelapa untuk dapat dia duduki. Aku mengikuti dari belakang dan berjongkok di sampingnya memandangi api itu. Tanpa berkata apa-apa kakek langsung mengorek-ngorek tumpukan serabut yang terbakar sehingga membuat api unggunnya sedikit berantakan. Kakek mengeluarkan singkong yang dibakar dari dalam api, kemudian mengambil pisau karatan di sampingnya, lalu membersihkan debu dan kulit singkong yang telah gosong, dan tentunya masih 77
panas karena baru saja dikeluarkan dari dalam api. Kakek mengorek-ngorekan bagian tajam pisau karatan itu untuk menyingkirkan arang dari kulit singkong yang gosong itu. “Ini sudah matang,” kata kakek sambil mendorong singkong bakar itu ke arah kakak dengan pisau karatan yang masih ditangannya. Aku langsung menyerbu ke arah kakak. “Minta dong,” kataku memelas. Kakak asyik membolak-balikkan singkong itu di atas tanah karena memang masih panas. “Hati-hati. Itu masih panas,” kata kakek. Kakak menggenggam singkong itu dengan kedua tangannya dengan maksud mematahkannya menjadi dua dan, “Ah… panasss,” teriak kakak melempar singkong itu ke tanah sambil mengebasngebaskan tangannya yang kepanasan. “Makanya, tadi kan sudah dibilang panas,” kata kakek sambil memandang kakak yang masih mengebas-ngebaskan kedua tangannya, kemudian kakek kembali merapikan serabut dan batok yang tadi berantakan, sehingga terkumpul dan api menyala kembali membentuk api unggun. Kakak membalik-balik kembali singkong itu di atas tanah dengan ranting kering, dan sesekali menyentuh dengan ujung jarinya untuk memastikan 78
bahwa singkongnya sudah tidak panas lagi. Kemudian kembali kakak menggenggamnya dengan kedua tangannya dan mematahkannya menjadi dua dan “Krakkk,” singkong pecah terbelah. Nampak dari dalamnya masih ada asap mengepul yang menandakan bagian dalamnya masih panas. “Ini. Makannya hati-hati. Masih panas,” kata kakak sembari mengulurkan potongan singkong itu kepadaku yang langsung aku sergap dengan tangan kananku, dan… “Panasss,” teriakku sambil melemparnya ke tanah. “Tadi aku bilang juga panas,” kata kakak sambil tersenyum dan terbersit rasa kasihan kepadaku. Kakak memungut potongan singkong yang ku lempar ke tanah tadi, dan meniup-niupnya untuk mendinginkannya. Aku lihat kepulan asap tipis dari dalam singkong itu yang semakin lama semakin kecil dan setelah memastikan sudah tidak terlalu panas dan sudah bisa dimakan kakak mengulurkannya kepadaku. “Ini sudah dingin,” kata kakak. Ku nikmati singkong bakar yang masih hangat sambil melanjutkan menikmati dan mengagumi indahnya alam dengan canda ria bersama kakak tersayang.
79
Hingga akhirnya malampun larut dan nenek memerintahkan kami masuk untuk tidur agar besok tidak terlambat bangun. **** Kehilangan orangtua. Bisa dikatakan demikian karena memang ayah dan ibuku berada di tempat nan jauh dan tiada pernah bersua atau mendengar suaranya. Zaman itu belum ada handphone seperti sekarang. Jangankan handphone atau telepon, mengirim suratpun tidak akan ada tukang post yang akan mengantar ke kampung kami. Jangankan Pak Post, kami saja tidak tahu alamat kami itu apa dan di mana. Paling-paling kalau ada tetangga yang baru pulang dari kota kami berharap ada kabar dari ayah dan ibu untuk kami. Namun seringkali kami harus kecewa karena seringkali tak ada pesan atau kabar yang mereka bawa dari ayah dan ibu untuk kami karena orang-orang dewasa itu berpikir hal-hal seperti itu tidak penting. Anak-anak kecil seperti kami tidaklah dipandang penting oleh mereka. Sedih sekali rasanya. Kami ke sana ke mari berdua menyusuri jalan-jalan kampung, bermain berdua seakan dua anak yatim piatu. Sering kami iri dengan teman-teman yang orangtuanya masih 80
lengkap dan mereka bisa hidup bersama dan bermanja-manja. Aku ingat setiap sore sebelum tidur, atau setiap pagi sebelum berangkat sekolah, duduk bermanja-manja di pangkuan ayah sambil merasakan kasih sayang dari belaian tangan dan kecupan ayah di kedua pipiku. Namun kini ayah berada nan jauh di kota. Aku tidak tahu apakah ayah memikirkan dan merindukan aku atau tidak. Kami benar-benar seperti dua anak ayam yang kehilangan induknya. Namun yang membesarkan hatiku adalah karena aku memiliki kakak yang begitu sayang yang selalu berada di sisiku dan menjagaku selalu. Seorang kakak yang tidak pernah patah semangat dalam mengejar cita-cita. Penghinaan dan ejekan dari teman-teman sebagai anak raja judi, atau bahkan ejekan dari orang dewasa yang mungkin hanya maksud bercanda dengan menyebut kami adalah anak raja judi memang sangat menyakitkan hati kakak. Namun semua itu tidak meluruhkan semangatnya dalam mengejar citacita. Justru ku lihat sakit hati yang begitu membahana dalam hati dan jiwanya bagaikan bara api yang menyala-nyala membakar setiap nadinya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia tidak patut 81
diperlakukan rendah seperti itu. Kakak sering berkata kelak mereka akan dibuatnya malu. Hampir setahun sudah ayah dan ibu meninggalkan kami dan bahkan ketika kakak harus menghadapi EBTANAS (Evaluasi Tahap Akhir Nasional) – pada zaman sekarang anak-anak menyebutnya UN (Ujian Nasional) – kami berjuang tanpa orangtua yang memotivasi mendampingi kami. Betapa pedihnya hati kakak, ketika ia seharusnya dapat menunjukkan kepada ayah bahwa ia adalah anak yang patut dibanggakan, namun ayah tidak hadir di sana. Ketika hasil ujian diumumkan, para wali murid diundang untuk menerima pengumuman hasil perjuangan putra-putri mereka menghadapi EBTANAS, bahkan ayah pun tiada hadir di sana. Ketika Pak Parlan, Kepsek kami mengumumkan bahwa peringkat pertama dengan jumlah NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi pada kelulusan tahun itu diraih oleh kakakku, semua hadirin berdiri dan bertepuk tangan memberikan applause, namun ku lihat kakakku hanya menunduk tak berespon. Aku merasakan kesedihan hatinya. Aku tahu yang diharapkan pada hari yang membanggakan seperti itu adalah kehadiran ayah menyaksikan Pak 82
Parlan mengumumkan prestasi yang diraihnya dengan iringan applause dari semua orang yang hadir di situ. Tapi apa boleh dikata. “Aku di sini bangga dengan apa yang kakak capai,” kataku dalam hati. Aku tidak berani bicara apa-apa di hadapan kakak bahkan sampai ketika kami berdua pulang. Sepanjang jalan itupun aku hanya diam, sambil sesekali ku tengok wajah kakak yang muram terus melangkah sambil menunduk di sepanjang jalan seakan menghitung setiap batu kerikil yang sudah kami lewati. Sampai di rumah pun tidak ada yang menanyakan apakah kakak lulus atau tidak atau bagaimana prestasinya. Hal-hal seperti itu tidak terpikirkan oleh kakek ataupun nenek yang tidak tahu menahu soal sekolah. Selain mereka buta huruf, mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang sekolah. “Selamat ya Kak,” ucapku sambil mencium pipinya dengan tiba-tiba. Kakak menengok ke arahku sambil tersenyum tanpa ucapkan kata. Namun dari tatapan matanya aku tahu ia ingin berkata, “Terimakasih Indah.” ***** Suatu siang yang panas, sekitar pukul 1 kami menerima kabar bahwa kakak akan dibawa ke kota 83
dan disekolahkan di sana dan tinggal bersama ayah dan ibu. Tentu saja kabar itu sontak membuatnya girang. Kesedihan dan kekecewaannya runtuh seketika. Akupun girang karena pikirku kini sudah saatnya kami berkumpul kembali dengan ayah-ibu serta kakak dan kembali menjadi keluarga yang lengkap. Ternyata rasa girangku itu tidaklah lama. Karena menurut beritanya hanya kakak yang akan dibawa ke kota, sementara aku harus tetap tinggal di desa bersama nenek. “Nanti aku sekolah sama siapa kak?” rengekku sambil menangis seakan di dalam dunia yang luas ini hanya ada aku seorang diri. Kakak menatapku iba namun tiada dapat menjawab apa-apa. Kakak terdiam sambil menatapku dalam-dalam dan mengusapkan tangannya menghapus air mata di pipiku tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Aku menangis dan terus menangis. “Tuhan…,” seruku. “Ayah dan ibu sudah meninggalkanku mengapa kini kakakku harus pergi juga,” jeritku dalam hati sementara air mata terus mengalir dengan derasnya. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa memikirkan tiada lagi yang peduli dan menyayangiku. “Maafkan kakak Indah. Kakak harus menggapai bintang kakak,” kata kakak memohon. 84
Aku lihat di balik matanya yang berkaca-kaca dengan kilauan air mata yang tertahan di kelopak matanya tersimpan kesedihan dan jeritan hati yang mendalam. Ia harus membuat pilihan yang dua-duanya sulit. Jika ia tidak pergi, ia tidak dapat menggapai bintangnya. Aku tahu hatinya penuh dendam dan kebencian ingin membalas semua perlakukan orangorang yang merendahkan kami dengan menunjukkan bahwa dirinya dapat sukses. Namun di sisi lain jika ia memilih pergi, ia tahu aku sendiri di sini. “Mulai sekarang kamu main sama Martha ya, Indah!” kata kakakku. Martha adalah adik sepupuku, umur sekitar dua tahun di bawah umurku. Aku sedikit terhibur karena memang bersama Martha aku bisa sedikit menghilangkan rasa sepi yang menyelimuti hati bahkan merasuk sampai setiap nadi darahku. Benar saja akhirnya kakak dibawa pergi ke kota Malang dan mendaftar ke SMP di sana, tinggal bersama ayah dan ibu. Sementara aku masih di sini, di desa nan sepi bersama kakek dan nenek dan putri nenek yang paling kecil sekitar 5 tahun lebih tua dariku.
Aku sangat mengerti. Berbagai duka yang kami alami membuat kami menjadi lebih dewasa dari 85
umur kami. Sejak itu aku menjadi pendiam dan tertutup. Aku tidak mau menunjukkan kepada orang lain bahwa sesungguhnya aku berduka, berbeban berat, dan menderita. Walau hati ini perih bagai disayat sembilu aku tidak ingin meredamkan semangat kakakku yang membahana untuk menggapai bintangnya. Aku juga tidak ingin orang lain memberitahu kakakku bahwa aku menderita, karena itu akan mengganggu konsentrasinya. Aku harus memendam semua rasa dan selalu tersenyum walau hati menangis. Kakakku telah jauh dariku. Demikian juga ayah dan ibu. Kini aku benarbenar sendiri. Dalam pikiranku kakek dan nenekku yang sudah tua tidak mungkin peka masalah-masalah seperti itu. ****
86
BABAK 6 PULANG KAMPUNG
Setahun sudah kakak pergi meninggalkanku sendiri di kampung yang sunyi sepi ini. Tiada surat yang bisa dikirim olehnya untukku atau sebaliknya. Kadang aku pikir, mungkin kakak sudah sibuk dengan pelajaran dan buku-bukunya dan pikirannya dipenuhi dengan cita-cita dan rasa untuk membuktikan diri dan sudah melupakanku. Betapa senangnya hatiku. Liburan telah tiba. Sebentar lagi aku akan ketemu kakak, karena liburan ini pasti ia pulang. Walaupun sebenarnya aku ragu dan malu bertemu dengannya, karena tahun ini aku tidak naik kelas. Aku tetap tinggal di kelas 5. Benar saja liburan itu kakak pulang. Itu adalah hal yang sangat membahagiakanku setelah sekian lamanya tidak bertemu kakak yang dulu selalu di sisiku dan menjagaku. Rupanya ayah menitipkan kakak pulang bersama tetangga yang sedang pulang dari kota Malang. Ayah sendiri dan ibu tidak pulang. Hanya kakak. Namun tidak apa-apa pikirku. Toh ada kakak yang akan menemaniku selama liburan ini. Kemanapun kakak pergi, aku selalu mengikutinya. Seakan aku sudah lupa bahwa ada adik sepupuku Martha yang selama ini menjadi teman baikku. Aku tahu pastilah dia kecewa merasa terlupakan tatkala kakak telah ada bersamaku. Aku seakan masa bodoh dengan perasaannya. Aku benarbenar bahagia sekarang. 88
Aku ragu ingin menyampaikan apa sebenarnya yang terjadi pada sekolahku. Namun aku pikir aku harus jujur dari pada nanti justru orang lain yang memberitahu kakak. “Kak, aku minta maaf…” kataku ragu untuk melanjutkan kata-kataku. Aku tertunduk dan kakak dengan wajah bingung memandangiku. “Minta maaf karena apa?” tanyanya sambil menganggkat daguku yang sedang tertunduk. “Kakak tidak akan marah kan?” tanyaku. Kakak mengangguk, seakan berkata, “Iya, kakak tidak akan marah.” “Aku tidak naik kelas,” kataku ragu dan langsung kembali tertunduk. Kakak terdiam dan memandangiku beberapa saat dan… “Ya, sudah mau gimana lagi. Nggak apa-apa, kakak tidak marah asal kamu berjanji tahun ini belajar lebih giat lagi,” hiburnya padaku. Aku lega mendengarnya dan akupun kini berani menatap wajahnya kembali. Sambil tersenyum manja sekali lagi ku tegaskan, “Jadi benar kakak tidak marah?” 89
Kakak hanya tersenyum sambil menangguk. Kakak seperti memahami apa yang menyebabkan kegagalanku kali ini. Aku memang benar-benar menderita, kesepian, tanpa ada yang mendukung dan memotivasiku. Aku tenggelam dalam duka lara yang tiada terkira dalam kesendirian mengarungi lautan hidup bergelora yang begitu tidak bersahabat. Aku tahu tidak seharusnya aku jadikan itu sebagai alasan. Namun benar kata kakak, masih ada waktu dan kesempatan bagiku untuk memperbaiki kegagalan tahun ini. Kakak terus meyakinkanku seperti yang sudah-sudah bahwa tidak ada orang bodoh di dunia, yang ada hanya orang yang tidak mau berusaha. Jadi kakak tidak ingin aku menganggap diriku sendiri adalah anak yang bodoh. Seminggu sudah kami nikmati liburan bersama yang membahagiakan. Namun tiba-tiba ada saudara yang datang dari kota Malang membawa pesan dari orangtuaku bahwa mereka meminta aku dapat liburan di kota Malang bersama mereka. Orangtuaku berpesan kepada saudara itu untuk membawa serta aku ke kota Malang ketika ia kembali ke kota. Itu artinya aku harus berpisah lagi dengan kakak. Sementara kakak menghabiskan liburan di desa, aku menghabiskan liburan di kota.
90
“Sudah tidak apa-apa, Indah. Kamu ikut saja dia pergi ke kota. Kamu bisa senang-senang dengan ayah di sana. Kakak liburan di sini saja. Kakak sudah bosan suasana kota dan kakak juga ingin ketemu teman-teman lama di sini,” tutur kakak yang mendorongku untuk mengikuti pesan dari ayah dan ibu. Sekitar dua hari kemudian aku pun ikut saudara itu pergi ke kota. Kakak tersenyum melepas kepergianku. Hari sudah malam ketika kami tiba di rumah kontrakan dan bertemu ayah dan ibu. Aku langsung menghambur masuk dan melompat ke pangkuan ayah. “Indah rindu ayah dan ibu,” rajukku dan ayah menciumiku sementara ibu tersenyum melihatku. “Gimana tadi mabuk perjalanan tidak?” tanya ayah. “Nggak dong yah. Masa gitu saja mabuk,” jawabku menyombongkan diri. Ayah mengucapkan terimakasih kepada saudara yang telah membawaku ke hadapannya sementara ibu menyedu kopi untuk tamunya itu. Hampir seminggu telah berlalu aku dapat tinggal bersama dengan ayah dan ibuku. Ketika waktu senggang setelah pulang jualan ayah dan ibu 91
mengajak jalan-jalan ke alun-alun kota Malang. Ayah dan ibu juga mengajakku untuk bermain bom bom car di Gadjah Mada Plaza dekat alun-alun kota Malang. Itu adalah pengalaman pertamaku yang sangat mengesankan. Pengalaman naik escalator di plaza itu saja sudah membuatku seakan berada di dunia lain. “Kok tangga bisa jalan sendiri,” pikirku tersenyum dalam hati. Pokoknya orang pasti melihat betapa kampungannya diriku kala itu. “Bagaikan Putri cantik turun dari gunung he he he,” tawaku dalam hati. Aku tidak tahu apa yang kakak lakukan selama liburan di desa. Bahkan akupun sudah melupakannya karena begitu terkesannya aku dengan berbagai hal yang dapat dilihat di kota ini. Benarbenar senang liburan tahun ini, walaupun sebenarnya sedih karena tahun ini aku tidak naik kelas. Masih sekitar seminggu lagi aku akan berada di sini. Namun kakak harus segera kembali ke kota, karena kakak masuk sekolah seminggu lebih cepat daripada aku. Pikirku kali ini aku juga akan memiliki kesempatan berlibur dengan kakak di kota. Aku ingin naik bom bom car lagi bersama kakak ketika ia sampai di sini. Namun apa yang kita pikirkan seringkali justru sebaliknya yang terjadi. Malam itu datang lakilaki kurus dengan rambut panjang dengan tangan 92
bertato ke kontrakan kami. Aku mengenal dia, karena selama aku liburan di sini memang orang itu sering bermain di kontrakan kami bahkan sudah berani mulai menjahili aku. Laki-laki itu datang dengan wajah sedih dan bahkan menitikkan air mata. Ia hanya diam sehingga membuat ayah dan ibu bingung. “Ada apa Yo. Cerita saja,” kata ayah mencurigai sesuatu yang tidak beres. Laki-laki itu sebenarnya adalah preman di daerah itu dan ia memberitahu ayah bahwa ada saingan dagang ayah yang menghendaki agar ayah disingkirkan. Orang itu telah membayar temannya untuk membereskan ayah. Sontak ayah terkejut, “Terus apa yang harus kami lakukan,” tanya ayah minta pendapat. “Aku tidak bisa melindungi sampean. Preman yang disewa itu juga teman saya sendiri. Saya serba salah. Jadi begini saja,” ia mulai memberikan jalan keluar. “Untuk sementara sampean tinggalkan dulu kota ini dan pulanglah ke desa. Nanti kalau keadaan sudah aman sampean kembali ke sini,” jelasnya.
93
Tidak tahu mengapa preman itu mengeluselus kepalaku bahkan sampai menitikkan air mata, seakan tidak berdaya untuk melindungi keluargaku yang memang sudah dekat dengan dia. Air mata itulah yang membuat ayah yakin bahwa apa yang dikatakannya benar. Malam itu juga ayah mengajak kami untuk membereskan segala sesuatu dan bersiap berangkat esok harinya untuk pulang ke desa. “Selama beberapa hari ini aku masih bisa menjaga keluarga sampean. Jadi tenang saja. Aku akan mencegah temanku untuk mengulur waktu sementara sampean bersiap pergi,” katanya memberi jaminan kepada kami. Malam itu tentu saja kami semua tidak dapat tidur nyenyak. Tak henti-hentinya ayah dan ibu mengajak berdoa bersama agar Tuhan melindungi kami. Kakakpun tidak mengetahui masalah ini bahkan aku pikir ia malah telah bersiap untuk kembali ke kota Malang, karena hari senin ia sudah kembali harus masuk sekolah. Malam terus merangkak dan akupun terlelap hingga terbangun oleh karena suara ayah dan ibu yang bercakap-cakap sambil dengan terburu-buru membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke kampung, termasuk baju seragam dan buku-buku kakak. 94
”Kita tunggu suasana sepi dulu, nanti kalau kelihatannya sudah aman kita cepat-cepat meninggalkan kota ini dan pulang ke kampung,” jelas ayah kepada ibu. “Sudah bangun Sayang,” kata ayah sambil menghampiri dan menciumku. “Hari ini kita pulang kampung ya,” kata ayah. Aku mengangguk sambil bangun dari tempat tidur. Siang itu kamipun dengan sangat berhati-hati dan waspada meninggalkan kota menuju kampung halaman kami. Malam sekitar pukul 7 kami tiba di rumah nenek membawa beberapa barang yang dibungkus dalam karung. Kakak membantu ibu membuka karungkarung itu hingga ku lihat rasa terkejut bergayut pada wajahnya. “Kenapa kok semua baju sekolah dan buku-bukuku dibawa pulang bu?” tanya kakak dengan wajah yang terheran-heran. “Hari senin saya kan sudah harus masuk sekolah bu. Mengapa kok malah semua baju seragam dan buku-bukuku dibawa ke sini?” tanya kakak keheranan karena sebelumnya tentu ia berpikir ayah dan ibu yang tiba-tiba muncul di hari Sabtu malam itu adalah untuk menjemputnya kembali ke kota. 95
“Kamu tidak usah sekolah lagi,” kata ayah sambil matanya melotot ke arah kakak. Aku melihat di wajah kakak seakan ia merasa dunia runtuh seketika. Ia merasa bahwa ia sudah tidak memiliki masa depan lagi. Apalagi untuk membuktikan diri kepada orang-orang yang telah menghina dan merendahkan kami. Tak tertahankan air mata mengalir dari matanya membasahi pipinya jatuh ke tanah bagaikan hujan. “Perjuangan itu ternyata hanya sampai di sini,” pikirnya……. Kakak menangis dan langsung lari ke kamar. Aku dapat merasakan kesedihan dan keputusasaannya karena berpikir bahwa cita-citanya telah pupus sampai di sini. Dunia begitu gelap segelap gua di kedalaman ratusan meter di bawah tanah. Seandainya saja ayah bisa menjelaskan lebih lembut dan mengerti perasaan anak mungkin sedikit bisa mengurangi dukanya. Aku tidak tahu mengapa antara ayah dan kakak sering terlibat cekcok. Kakak suka membantah karena kekesalannya melihat ayah telah menyengsarakan keluarga dan membuat kami sering menjadi sasaran penghinaan dan ejekan karena kegemaran judinya. Namun saya tidak tahu mengapa ayah jarang bisa mengungkapkan perasaan sayangnya 96
pada kakak dengan kata-kata yang manis dan penuh pujian. Ayah akan marah besar kalau prestasi kakak turun, walaupun hanya karena turun menjadi peringkat kedua di kelasnya. Namun ayah tidak pernah memberikan pujian tatkala kakak kembali merebut peringkat pertama di kelasnya. Itulah mungkin yang membuat kakak sering berpikir bahwa ayah tidak sayang padanya. Karena dengan jelas terlihat sikap dan perlakukan ayah terhadap aku dan kakak bertolak belakang 180 derajat. Namun aku tahu dari kedalaman hati ayah, ia sangat menyayangi kakak. Ayah tidak pernah membedakan antara aku dan kakak. Namun tidak tahu mengapa ayah sepertinya sulit untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada kakak dalam sikap dan tindakan. Seperti ada kecanggungan untuk mengakui bahwa ia juga sangat menyanyangi kakak. Aku hanya berharap suatu saat kelak kakak dapat mengerti bahwa ayah sesungguhnya sangat menyanyanginya. Bukan hanya kakak yang sebenarnya binggung dan terus bertanya-tanya di dalam hati mengapa ayah dan ibu pulang kampung dengan membawa pulang semua baju dan apa yang dimilikinya. Kakek, nenek dan semua saudara yang datang untuk melihat kepulangan mereka di rumah nenek juga dipenuhi dengan beribu-ribu tanda tanya. 97
Mereka, orang-orang dewasa itu ngobrol ke sana kemari sementara ayah memerintahkan saya menyusul kakak untuk tidur karena malam sudah larut. Aku melihat kesedihan dan penderitaan kakak, namun tiada berani mengganggunya yang membenamkan wajahnya dalam-dalam ke bantalnya. Aku rapikan tempat tidur nenek yang sekitar dua meter jaraknya dengan tempat di mana kakak tidur. Aku rebahkan diriku di sana dan karena merasa lelah karena baru saja menempuh perjalanan jauh, akupun terlelap dan tidak tahu bagaimana keadaan kakak malam itu. **** Pagi sekitar pukul 10 kakak mendengar cerita dari saudara-saudara alasan sesungguhnya mengapa ayah dan ibu pulang bersama semua barangnya. Mereka menjelaskan bahwa ada seorang preman suruhan pesaing usaha untuk membunuh ayah dan berita itu disampaikan kepada ayah oleh seorang preman yang biasanya main di kontrakan ayah di kota. Preman teman ayah ini memberitahu bahwa temannya dibayar untuk membunuh ayah, oleh sebab itu ia meminta dengan sangat agar ayah dan ibu segera meninggalkan kota itu, karena ia tidak sanggup melindunginya.
98
Tadi malam sebenarnya aku juga ingin menceritakan masalah itu ke kakak. Namun aku tidak berani, karena kakak masih benar-benar terpukul. Mendengar itu kakak justru merasa kasihan kepada ayah dan ibu. Kemarahannya sirna seketika. Namun mengapa tidak dari semalam ayah dan ibu langsung menceritakan hal itu kepadanya. Mungkin orang-orang dewasa itu memang merasa bahwa mereka tidak memiliki kewajiban untuk menceritakan masalah-masalah orang dewasa kepada anak-anak walaupun sebenarnya imbasnya juga mengenai anak kecil, khususnya pada kakak. Kakak datang dan minta maaf kepada ayah dan ibu atas sikapnya yang kasar semalam. Dan ayah hanya berkata supaya kakak segera mencari kakak sepupu di kampung itu untuk mengurus kepindahan sekolahnya. Ayah tidak mungkin lagi pergi ke kota karena keadaan belum aman. Hari senin kemudian kakak diantar oleh kakak sepupu kami pergi ke kota untuk mengurus surat kepindahan sekolahnya. Akhirnya kakak pindah sekolah di sebuah SMP PGRI di dekat balai desa, sekitar setengah jam perjalanan dengan jalan kaki dari dusun kami mengikuti jalan utama keluar kampung naik ke bukit sebelah timur. **** 99
Rencana manusia yang begitu matangpun kadang tidak selalu berbuah manis, apalagi rencana yang dibuat secara spontan, tergesa-gesa dan karena emosi semata. Tujuan kepindahan orangtua kami ke kota dua tahun yang lalu adalah demi menyembuhkan “penyakit” ayah, yaitu gemar berjudi dan mengadu nasib untuk menjadi lebih baik. Namun ketika kini terpaksa harus kembali ke kampung kami sudah tidak punya apa-apa. Rumah sudah dijual. Sertifikat tanah baik ladang maupun sawah tergadaikan di Bank dan ayah tidak mampu menebusnya kembali. Sementara karena hutang tersembunyi lainnya, ayah harus merelakan tanah pekarangan untuk disita oleh pemberi pinjaman. Bisa dikatakan mereka pergi dengan harapan memperoleh kejayaan, namun justru pulang dalam kepapaan. Tidak ada rumah untuk ditinggali, tiada tanah sawah atau ladang untuk digarap. Benar-benar miskin dan mara. Untung saja masih ada orang yang baik hati. Teman dekat ayah memiliki anak yang konon menikah dengan seorang lelaki Tionghoa. Mereka pernah membangun rumah tembok, mungkin satusatunya rumah mewah di kampung saat itu. Rumah itu cukup besar dan berdiri di dekat pasar desa. Tidak tahu mengapa, mungkin karena bisnis di desa tidak 100
menguntungkan keluarga ini konon katanya pindah ke Jakarta untuk membangun usaha. Rumah itu menjadi kosong. Tidak tahu juga mengapa orangtuanya yang adalah teman ayah itu kok juga tidak mau menghuninya. Sebelumnya rumah itu sudah dihuni oleh beberapa orang silih berganti tanpa dimintai uang sewa. Namun entah mengapa tidak ada yang betah menempati rumah itu. Dari cerita mulut ke mulut dari orang-orang di kampungku, konon katanya rumah itu banyak hantunya. Tidak tahu mengapa orang-orang itu berpikir kalau orang Tionghoa membangun rumah pasti ditanami sesuatu, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan masalah mistik. Itulah konon yang katanya membuat rumah itu berhantu. Kami diajar oleh pendeta di gereja untuk tidak takut pada hal-hal mistik atau hantu seperti itu. Bahkan ayah yang pada waktu itu jarang-jarang pergi ke gerejapun tidak takut dengan hal-hal seperti itu. Rumah itu cukup besar. Ada ruang tamu dengan tiga atau empat kamar tidur dan dapur yang luas. Di rumah itu kami memiliki kamar sendirisendiri. Kakak dengan kamar pribadinya. Aku dengan kamar pribadiku, dan ayah-ibu dengan kamar pribadi mereka. Dan kami tidak membayar uang sewa untuk menempati rumah itu. 101
Pada beberapa bulan pertama kami semua mendiami rumah itu memang ada banyak hal yang ganjil. Kadang-kadang kami mendengar dari dalam rumah atap rumah seperti dilempari batu-batu kerikil atau suara-suara mengejutkan lainnya. Bahkan ibu sering dibuat jengkel dengan perginya bumbu-bumbu dapur yang entah hilang lenyap ke mana. Kadang kami dihantui mimpi-mimpi buruk antara sadar dan tidur. Kami tidak tahu apa artinya semua itu. Namun kami berusaha untuk tetap tidak takut, dan percaya pada kekuatan Tuhan. Lambat laun semua keganjilan itu hilang sendiri. “Para hantu itu sudah pada bosan dan kehabisan cara untuk membuat kita takut,” kata kakak sambil berkelakar. Namun demikian setiap saudara yang menginap di rumah kami selalu merasa diganggu oleh hal-hal gaib hingga akhirnya mereka tidak mau menginap di rumah itu. Akupun tidak terlalu lama tinggal di rumah itu, karena di samping jarak tempuh dari rumah itu ke sekolahku lebih jauh dibandingkan bila aku tinggal di rumah nenek, ada alasan lain mengapa aku harus pindah ke lembah itu lagi. Kakak perempuan tertua ayah yang rumahnya sekitar seratus meter di bawah rumah nenek membutuhkan teman dan meminta orangtuaku agar aku diijinkan tinggal dengannya. Bu De, panggilku untuk kakak perempuan tertua ayah itu. Ia sudah tua dan anak-anaknya sudah 102
besar dan hampir semuanya bekerja di kota sehingga ia tinggal sendirian di rumah. Walaupun Pak De juga masih hidup, namun karena mereka berdua sudah tua dan sering tidak akur, mereka tidur sendiri-sendiri. Aku pindah ke rumah itu, sementara ayah-ibu dan kakak tinggal di rumah yang konon katanya rumah berhantu itu. Kakak memilih tinggal di sana karena jarak sekolahnya tidak jauh dari rumah itu. Hanya setiap Sabtu dan Minggu aku menginap di rumah itu dan menghabiskan waktu bermain dengan kakakku. Walaupun kedekatan antara aku dan kakak masihlah erat, namun sudah ada orang ketiga yang dapat menjadi teman dekat kami masing-masing. Bagiku ada Martha, adik sepupuku, dan kakak juga sudah disibukkan dengan teman dekatnya sejak SD. Dia adalah Mas Yus. Mas Yus adalah kawan sejati sekaligus lawan sejati kakak. Mas Yus pindah ke SD kami ketika ia naik kelas IV. Mas Yus itu anaknya pintar. Kehadirannya di SD itu menjadi saingan berat kakak dalam hal prestasi. Piala yang sebelumnya selalu ada dalam genggaman kini seringkali harus beralih tangan. Mas Yus sering merebut posisi peringkat pertama di kelas kakak yang otomatis membuat kakak harus rela dengan hanya menduduki peringkat kedua yang akan disusul dengan kemarahan ayah pada kakak. 103
Kakak berjuang dan dapat merebut kembali piala peringkat pertamanya, namun semester berikutnya jatuh lagi ke tangan Mas Yus. Begitu terus menerus piala peringkat satu itu beralih tangan antara tangan Mas Yus dan kakak. Namun aku bangga karena pada saat kelulusan, pada puncak perjuangan anak SD, piala itu jatuh kembali ke tangan kakak. Namun yang ku tak habis pikir, tidak ada teman baik, tiada teman sejati dan persahabatan sejati yang aku pernah saksikan seperti yang ku lihat pada persahabatan kakak dengan Mas Yus. Mereka adalah teman baik, namun mereka juga para pesaing yang sengit. Bagi kakak dan Mas Yus, lawan sejati adalah kawan sejati mereka.
**** Hari yang aku pikir sebagai hari yang paling membanggakan kakak, walaupun kenyataannya tidak seindah yang kubayangkan, adalah ketika ayah dapat menghadiri undangan sekolah mendengarkan hasil ujian atau pengumuman kelulusan kakak di SMP PGRI itu. Mula-mulanya ayah masih ogah-ogahan untuk pergi. Tidak tahu mengapa. Apakah ayah pikir hal-hal seperti itu tidak penting tiadalah ku mengerti. Namun akhirnya ia pergi juga setelah didesak ibu untuk pergi. 104
Kakak sudah berada di sekolahnya sejak pukul 11.00, sementara acara pengumumnya rencananya akan dilakukan pukul 12.00. Antara ruang di mana para murid kelas 3 SMP yang sedang menunggu bagaimana nasibnya dan ruang yang disediakan untuk wali murid dihubungkan dengan sebuah pintu yang dibiarkan terbuka. Pukul 12.30 semua orangtua wali murid sudah memenuhi ruang sebelah, namun kakak belum melihat ada ayah hadir di sana. Walaupun tidak terlalu berharap banyak, sebentar-bentar kakak menengok ke jendela kaca yang menghadap ke jalan berharap ayah berjalan memasuki halaman sekolah. Akhirnya ia putus asa karena di ruang sebelah sudah terdengar suara Pak Kepsek membuka acara dengan menjelaskan hal-hal yang harus diketahui oleh para orangtua tentang anakanak mereka, sementara ayah belum jua nampak batang hidungnya. Pada detik-detik terakhir harapan dan asanya, hatinyapun lega karena dilihatnya dari jendela kaca itu ayah sedang berjalan memasuki halaman sekolah ke arah ruang rapat itu. Pak Kepsek mulai menjelaskan bahwa dibandingkan dengan semua SMP swasta di kecamatan itu prestasi anak SMP ini tidak kalah.
105
“Bapak-bapak sekalian,” kata Pak Kepsek membuka pengumumannya. “Kami bangga dengan pencapaian putra dan putri bapak-bapak sekalian, terutama murid yang berhasil memperoleh NEM tertinggi,” lanjut Pak Kepsek. “Nilai setinggi ini jarang kita temukan di sebuah sekolah di pelosok desa seperti ini karena soal yang sama diujikan kepada seluruh siswa-siswi SMP di seluruh Indonesia, baik di kota besar, kota kecil bahkan di pelosok desa seperti di tempat kita ini,” jelas Pak Kepsek bangga. “Walaupun memang kita sedih juga karena ada lima siswa-siswi kita yang tidak lulus, kiranya prestasi pemilik NEM tertinggi di SMP kita ini sedikit dapat mengobati kekecewaan kita karena bagi mereka yang tidak lulus juga masih ada kesempatan untuk mengulang di kelas 3 lagi,” lanjut Pak Kepsek. “Sekarang mohon perhatian bapak-bapak dan anak-anak kami semua. Saya akan mengumumkan siswa yang berhasil memperoleh NEM tertinggi di SMP kita tercinta ini,” kata Pak Kepsek kemudian diam sejenak sambil senyum menghias bibirnya. Semua yang di ruangan itu diam, penasaran menunggu satu nama yang akan disebut pak Kepsek. Hati kakak melonjak kegirangan ketika namanya disebut. Itu artinya dialah siswa yang memperoleh 106
nilai NEM tertinggi, alias peringkat pertama dalam kelulusan SMP itu. Ia tersenyum lega dengan hati yang bangga dan bahagia karena namanya disebut sebagai siswa terbaik oleh Kepsek di depan ayahnya. Sayang kakak tidak dapat melihat bagaimana reaksi ayah yang tersenyum bangga mendengar nama putranya disebut sebagai yang terbaik dari antara prestasi anak-anak lain. Ada tembok pembatas ruangan yang menghalangi mata kakak untuk dapat melihat wajah ayah yang ceria penuh kebanggaan atas prestasi putra kesayangannya itu. Kakak hanya melihat wajah ayah yang biasabiasa saja ketika keluar dari ruangan rapat di akhir acara. Kakak juga hanya dapat melihat wajah ayah menyiratkan seakan tidak ada sesuatu yang penting dan mengesankan hari ini ketika mereka sudah ada di rumah. “Gimana hasilnya kak?” tanyakku ketika kakak memasuki pintu rumah disusul ayah dibelakangnya. “Ya pasti luluslah. Siapa dulu dong,” jawab kakak tersenyum sambil membusungkan dadanya. “Sombong,” kataku sebal melihat kakak seperti mengejekku karena aku tidak pernah menjadi 107
juara satu di kelas. “Tunggu saja nanti. Sebentar lagi pengumuman kelulusan SD dan aku yakin bisa dibanggakan,” gumamku dalam hati. “Kakak hanya bercanda kok,” kata kakak mereda kejengkelanku. “Jadi maksudnya lulus nggak?” tanyaku. “Iya aku lulus adikku yang cantik,” kata kakakku sambil mencubit kedua pipiku. “Gombal,” kataku sambil menyengir dengan senyum di bibirku. “Rangking nggak?” tanyaku. “Tanya saja pada ayah tuh?” jawabnya dengan harapan biar ayah yang menceritakan keberhasilannya kepadaku dengan rasa bangga. “Biasa saja,” jawab ayah datar sambil nyelonong menuju dapur. Kakak langsung menunduk kecewa dan mukanya langsung ditekuk dan kulihat kesedihan di sana. Harapan untuk memperoleh pujian dari ayah yang selalu diharapkannya itu sia-sia belaka. Padahal ketika ayah mengatakan itu ia menatapku sambil tersenyum dan menaikan alis matanya pertanda bahwa ia hanya ingin mengganggu kakak saja. Namun sayang kakak tergesa-gesa 108
menundukkan kepalanya sehingga tidak dapat melihat betapa rasa bangga itu nampak jelas di wajah ayah. Dari isyarat mata ayah aku tahu bahwa kakakku memperoleh peringkat pertama. “Hore…. Kakakku tetap jadi Bintang Kecil,” seruku sambil melompat dan bertepuk tangan di depan kakakku yang sontak membuatnya terkejut dan memandangku dengan penuh tanya. “Dari mana kamu tahu kalau aku dapat peringkat satu,” tanyanya penuh keheranan. “Dari ayah,” kataku. “Kapan dia bilang begitu. Kan dia bilang biasa saja,” kata kakak dengan muka masam. “Anak sekolah itu kan kerjanya hanya sekolah. Jadi kalau dapat peringkat satu itu sudah sewajarnya. Wong kerjanya hanya sekolah saja kok. Kalau kerjanya cuman sekolah terus tidak dapat peringkat itu patut dihajar,” komentar ayah dari dalam dapur yang sontak membuat kakak menunduk dengan muka muram lagi. **** “Inilah saatnya membuktikan kata-kata kakak,” kataku dalam hati ketika kami siswa-siswi kelas enam sudah berkumpul di suatu ruangan dengan didampingi oleh orangtua wali murid. 109
Kali ini aku benar-benar berharap menjadi salah satu dari siswa-siswi yang berprestasi. Harapan seperti itu bukanlah hal yang biasa dalam hidupku. Prestasi apa yang diharapkan oleh anak bodoh seperti aku. Semester lalu benar-benar menjadi titik balik dari kesadaranku untuk dapat berharap bahwa pada lulusan ini saya dapat terdaftar dalam deretan anak berprestasi. Sungguh memalukan memang. Di kelas 5 aku tidak naik ke kelas 6, alias tinggal kelas. Kupandang diriku begitu bertolak-belakang dari kakakku yang cerdas itu. Jika tahun lalu akhirnya aku naik kelas itu adalah suatu kebahagiaan. Aku malu dengan kakakku maka aku berjuang dan berusaha membuktikan katakata kakakku bahwa tidak ada orang bodoh di dunia ini, yang ada hanya orang yang tidak mau berusaha. Aku akhirnya berusaha sekuat tenaga dan dinyatakan naik ke kelas 6. Aku teringat pembagian raport semester yang lalu. Ayahku ada juga dalam ruangan itu. Ku dapat melihat diwajahnya bahwa ia tidak mengharapkan apa-apa dariku kecuali aku dapat nilai yang cukup walaupun tidak bagus sekali. Karena memang prestasiku selama ini biasa-biasa, bahkan tadi aku bilang pernah tinggal kelas. Aku sendiri pernah berpikir bahwa aku ini anak bodoh. Kakakku saja yang selalu bilang tidak ada orang bodoh di dunia ini jika mau berusaha. 110
Kali itu aku benar-benar sudah berusaha sebisa yang bisa ku lakukan. Aku berharap dapat nilai yang cukup untuk mempersiapkan kelulusanku pada semester berikutnya. Oleh sebab itulah aku lihat di wajah ayah tidak ada harapan yang lain selain ingin melihat nilai raportku tidaklah terlalu jelek. Wali kelas kami mulai menjelaskan tentang perkembangan prestasi dari anak-anak didiknya kepada para wali murid yang hadir di situ. Hingga tiba saatnya seperti biasanya, setiap pembagian Wali kelas akan membacakan siapa-siapa yang menduduki peringkat pertama, kedua dan ketiga. “Hal yang tidak penting,” kataku dalam hati. Bagi kakak pengumuman seperti itu adalah yang paling dinantikan karena ia berharap namanya disebut, namun hal seperti itu tidak penting bagiku dan bahkan membosankan. Aku ingin guru wali kelasku itu segera saja menyebut nama siswa yang memperoleh peringkat pertama, kedua dan ketiga sehingga acara itu segera selesai. Betapa jengkelnya hatiku melihat guru itu mempermainkan hati orang-orang di situ dengan sambil senyam-senyum tidak segera menyebutkan nama siswa berprestasinya. Sambil menunggu dengan bosan aku menengok keluar jendela kaca menikmati pemandangan pohon-pohon rindang di pinggir 111
pekarangan sekolah yang mengayun-ayun diterpa angin siang itu. “Dan yang memperoleh peringkat pertama pada pertengahan tahun ini adalah,” umum guru wali kelasku menunda waktu lagi. “Tidak penting,” kataku dalam hati sambil menengok ke arah guruku dengan hati dongkol dan mulai bosan dengan tingkah lakunya, lalu ku sapukan pandanganku ke luar jendela lagi. “Indah Kriswanti,” kata guruku yang langsung disambut dengan sorak dan tepuk tangan para orangtua dan teman-temanku. Aku masih tertegun memandang pepohonan di luar jendela itu seperti tidak percaya apa yang baru saja ku dengar. Aku palingkan wajahku ke arah guruku dan beliau tersenyum lebar dengan tatapan mata bangga padaku namun aku masih belum percaya apa yang telah ku dengar. Aku menoleh ke teman-temanku dan mereka tersenyum dan menghampiriku untuk memberi selamat. Aku masih bengong seperti anak yang kebingungan. Ku tatap ayah dan kulihat seyum bangga ada di wajahnya. Ia menatapku, tersenyum dan mengangguk penuh bangga. “Benarkah aku menjadi rangking 1,” aku masih tidak percaya. “Kalau begitu benar kata kakak bahwa jika mau berusaha akupun bisa jadi Bintang Kecil. Hatiku membumbung tinggi. Ada 112
kesombongan hinggap dalam batinku. Maklum saja karena itulah pertama kalinya dalam hidupku aku mendapat peringkat pertama. Tak sabar rasanya untuk segera mengumumkan prestasiku kepada kakak yang menanti di rumah. Kakak tersenyum ketika aku sampaikan prestasiku dengan penuh kesombongan. Aku tidak tahu apakah itu senyum karena muak atau apa. Tapi aku yakin itu tentunya senyum kebanggaan dari seorang kakak yang melihat keberhasilan adik kesayangannya. “Benarkan apa yang selalu kakak bilang,” kata kakak mengingatkanku. Memang benar jika kita mau berusaha tidak ada orang bodoh di dunia ini. Inilah kesimpulanku pada waktu aku membuktikan bahwa kata-kata kakak itu 100% benar. Sekarang kami berkumpul di ruang yang sama bersama para orangtua untuk mendengarkan pengumuman kelulusan kami. Betapa girangnya ketika Pak Parlan, Kepsek kami mengumumkan bahwa semua siswa-siswi di SDN Purworejo 2 itu lulus semua. Aku melonjak kegirangan karena itu artinya akupun juga lulus. Kami saling memberikan salam kepada teman karena semua lulus. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini aku benar-benar menyimak dan menantikan pengumuman dari Pak Parlan tentang siapa yang akan 113
menjadi peringkat pertama, kedua dan ketiga. Hatiku begitu melonjak dan jiwaku membahana ketika namaku kembali disebut sebagai salah satu dari tiga murid berprestasi itu. “Siapapun bisa menjadi juara. Amin,” kataku dalam hati mengaminkan perkataan kakak yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Murid yang sempat tinggal kelas di kelas 5, kini menjadi murid yang berprestasi di kelas 6. “Suatu mujizat,” kataku dalam hati. **** Aku habiskan hari-hariku bersama kakak selama liburan. Kakak telah lulus SMP dan aku telah lulus SD pada tahun yang sama. Sudah pasti aku siapkan diriku untuk mendaftar di satu-satunya SMP PGRI di desaku itu. Kakak juga sibuk mendengarkan radio untuk mencari informasi tentang SMA atau sekolah kejuruan yang cocok baginya. Hingga ditemukannya informasi pendaftaran sebuah sekolah kejuruan yang baru saja buka. Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) itulah nama sekolah yang telah menarik hati kakak. Kakakku adalah seorang anak yang berpikiran jauh ke depan. Ia pernah menjelaskan kepadaku mengapa ia memilih sekolah itu.
114
Pada waktu itu Indonesia sedang menggiatkan gerakan pariwisata tahun 1991. Pada tahun yang sama sekolah itu berdiri dan ketika kakak mendapat informasi tentangnya, itu adalah tahun kedua berdirinya SMIP tersebut, yaitu tahun 1992. “Jika aku bisa masuk sekolah ini,” kata kakak kepadaku, “Ini akan mempersiapkanku untuk dapat menjanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun bila tidak punya biaya untuk kuliah, tamat sekolah aku tentu langsung dapat kerja dan mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliah,” jelas kakak. “Baru mau daftar di SLTA, sudah mikirin kuliah,” kataku dalam hati dengan senyum sinis. Aku tahu persis keadaan ekonomi ayah. “Bisa disetujui mendaftar ke sekolah itu saja sudah anugerah, apalagi mikirin mau kuliah lagi,” pikirku dalam hati. Namun itulah kakakku. Dia tidak pernah berpikir untuk waktu ini, ia selalu memikirkan waktu yang jauh di depan yang kadang membuatku pusing untuk ikut terseret dalam pikiran dan hayalan yang bagiku rumit dan tidak masuk akal itu. Benar saja keributan sudah dimulai. “Sebentar lagi pasti ada perang dunia ini,” gumamku dalam hati. Ku dengar suara kencang silih berganti di ruang tamu. Kakak ngotot minta diijinkan masuk sekolah pilihannya, sementara ayah berbicara lebih lantang lagi bahwa tidak ada uang untuk membiayai 115
sekolahnya. Kakak mulai mengungkit bahwa ini semua adalah kesalahan ayah, karena kalau ayah tidak berjudi ia tentu saja dapat sekolah. “Itu urusanku sendiri. Wong aku sendiri ini yang cari uang,” kata ayah dengan nada tinggi. “Kamu sudah ku kasih makan sampai segede ini saja sudah syukur, jangan minta lebih,” lanjut ayah. “Kalau mau sekolah ya cari biaya sendiri sana,” tegas ayah menantang kakak. Kakak hanya terdiam serta tertunduk tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Citacitanya terancam pupus lagi. Keinginannya untuk mempermalukan orang-orang yang pernah menghina dan merendahkan terbang tertiup angin. Seluruh dunianya gelap segelap tengah malam. Ayah beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke kamarnya, sementara kakak masih duduk tertunduk layu seperti tiada tenaga lagi. Dengan lunglai ia berdiri dan membalikkan badannya melangkah keluar rumah dengan air mata mengalir di pipinya. Putus asa yang amat mendalam merasuk ke dalam jiwanya. Kupandangi dia dari balik kaca jendela. Ia berdiri terpaku di tengah halaman rumah dalam gelapnya malam. Langitpun mendung semendung hatinya. Gelap segelap jiwanya. Bulan bersembunyi 116
di balik awan tebal seakan tiada tega memandang duka di wajahnya. Bintang-bintangpun seperti luruh dan tiada yang tersisa. Yang ada hanya langit gelap, tiada tebaran bintang-bintang. Sebuah cahaya yang begitu kecil memancar dalam ketinggian. Satusatunya bintang muncul di langit yang kelam. Begitu kecil dan begitu jauh berkelip-kelip timbul tenggelam tersapu awan hitam berakaran. “Hanya satu bintang,” kakak berkata kepada dirinya sendiri. “Namun begitu jauh tiada tersentuh,” lanjutnya. “Dapatkah ku gapai bintang itu?” tanyanya pada diri sendiri. Ia terus berdiri terpaku memandang langit tiada berkedip. Biarpun seluruh bintang luruh dari langit yang gelap itu, namun masih ada satu bintang di sana. Pertanyaannya dapatkah ia menggapai bintang yang begitu jauh. Bagiku itu lebih mustahil dari pada pungguk merindukan bulan. Namun tiada tega hati ini untuk berkata, “Sudahlah kakak. Bintang itu terlalu jauh digapai. Terima saja apa yang ada.” Kakak masih terdiam terpaku menatap langit sementara aku terpaku memandanginya dari balik jendela kaca hingga sapuan angin malam dan kekelaman menyapu kami berdua dalam duka tiada terkira.
**** 117
BABAK 7 SINAR BINTANG DI TENGAH KEGELAPAN
Dalam kelamnya malam beratapkan langit tak berbintang, di antara hembusan angin malam yang dingin, berdiri di sana seorang bocah bertemankan duka lara dan putus asa. Ia memandang ke langit kelam mencari sesuatu yang hilang hingga nampaklah pijar-pijar kecil jauh di atas langit, setitik bintang dalam kesendirian bagai titik di atas lengkungan kanvas gelap yang memayungi dunia. Ku hampiri dia yang termenung terpaku menatap ke titik pijar di kejauhan menembus awanawan hitam berarakan bak pasukan kegelapan yang berjalan dalam barisannya tuk menebar ketakutan, kengerian, duka nestapa atas dunia di malam bak menyimpan seribu misteri neraka di Lembah Derita. Lembah Derita, itulah nama baru yang tepat dalam kehidupan kami untuk Lembah Mbrejo. “Apa yang sedang kakak lihat dalam kekosongan langit hitam nan kelam sehingga tak berkedip kakak memandang dan menengadahkan wajah kakak ke atas sana. Apa kiranya gerangan yang membuat jiwa kakak gundah dan duka nestapa memancar keluar dari relung-relung jiwa kakak melalui pancaran wajah putus asa itu,” sapapu yang dengan tiba-tiba mengejutkannya. Aku melihat ada duka yang tiada tara di wajah kakakku dan asa yang telah sirna terpancar di matanya. Sejenak aku melihat kakak mengacuhkanku yang masih berdiri di sampingnya, sejenak menatap 120
aku namun kemudian menarik tatapannya dari padaku dan kembali memandang ke atas dengan pandangan tajam menembus jarak dan ruang ke arah satu-satunya bintang yang berkedip-kedip sendirian di hamparan tirai langit hitam yang begitu luasnya. Kemudian kakak berkata, “Aku ingin menjadi bintang. Karena aku ingin menjadi salah satu bintang yang menghiasi langit biru.” “Pandanglah langit di atas itu Kak,” pintaku sambil ku menatap ke langit dan diikuti olehnya. “Lihatlah semua bintang luruh diterpa badai awan hitam nan pekat sehingga tak tersisakan keindahan malam di langit biru yang telah menjadi hitam kelam itu. Bagaimana mungkin kakak mau menjadi bintang di langit?” tanyaku menantangnya. “Kamu salah Indah. Lihatlah lebih teliti. Telusurilah setiap inchi dari langit hitam yang begitu luasnya bak kanvas raksasa yang mana setiap insan dapat melukis apapun yang ia suka. Lihatlah kedapkedip nan jauh di sana itu,” katanya sambil menunjuk cahaya bintang nan jauh di langit hitam yang kecil cahayanya timbul tenggelam dalam arak-arakan awan hitam yang melintas. “Walaupun seluruh bintang di langit runtuh. Aku akan tetap menjadi bintang seperti bintang kecil di kejauhan itu. Walaupun awan hitam menerpa, menerjang, menyapu runtuh semua bintang, aku akan 121
tetap bertahan di sana dalam kesendirian dan kesunyian dalam luasnya horizon yang gelap gulita,” jelasnya kepadaku dengan semangat membara yang dikobarkan oleh api dalam jiwa besar di dalam tubuh kecilnya yang lemah dan selalu bertemankan dengan penyakit yang sering mendera. “Jika kakak memiliki semangat sehebat itu, mengapa kini engkau berdiri terpaku menatap langit dalam duka dan kesunyian?” tanyaku menyelidik. Ia menengok kepadaku dengan lemah. Menatap dengan wajah yang penuh putus asa dan dengan suara lemah tenggelam dalam kerongkongannya, “Bintang itu terlalu jauh, Indah. Apakah mungkin aku dapat merengkuhnya. Andaikan aku punya sayap, kan ku terbang tinggi melintasi langit dan ku petik bintang itu dan ku beritakan kepada semua namaku adalah Bintang. Bintang yang telah berhasil menggapai bintang. Bintang yang telah berhasil mengarungi lautan awan panas, melintasi langit dan memetik satu bintang yang tersisa dari antara bintang-bintang di langit yang telah runtuh diserang oleh badai awan hitam,” ungkapnya dengan nada memelas dengan suara bergetar. “Mari kita duduk Kak. Kan ku temani kakak meratap pilu dalam kesunyian,” ajakku sambil melangkah menuju sebongkah batu besar dan ku duduk di atasnya sementara kakak mengikuti ajakkanku, mengusap-usap batu di depanku dengan 122
tangannya lalu duduk berhadap-hadapan denganku dalam kebisuan. Ku pandangi wajahnya yang melukiskan goresan-goresan duka dari hari-hari penuh derita yang ia telah lewati di usia belia ini. Tiada keluar kata terucapkan oleh bibir yang tenggelam dalam hitamnya kelam malam tak berbintang bersama alunan suara kepak sayap kelelawar yang melintas di atas kami. Hingga nafas panjang ditariknya dan mulai meracaulah ia dalam sengsaranya. Ku biarkan kakak bicara melepas segenap duka dalam jiwanya agar lega mengisi dinding-dinding hatinya yang terluka. “Kau tentu tahu Indah. Telah ku bangun asaku sejak usia belia, ku gantungkan citaku setinggi langit, telah ku lewati hari-hari berat dalam mengejar cita yang menari-nari dalam jiwa. Ku telusuri medan terjal hamparan lembah bersamamu, ku turuni lembah demi lembah, ku daki bukit demi bukit bersamamu demi menggapai cita dan asa,” demikianlah ia mulai membuka hati dan seakan ingin memuntahkan seluruh isi hatinya kepadaku yang sedang berhadapan muka dengannya. “Kau tentu tahu. Hujan lebat ku terobos. Derasnya air turun menghantam tubuhku yang lemah bak batu-batu gunung meluncur menimpaku. Basah kuyup tak ku hiraukan diriku. Nasib baik bila ku sempat gapai daun pisang atau ku petik daun talas sebagai payung alam menudungiku dari gencarnya air 123
hujan yang seakan tiada belas kasihan padaku. Semua itu demi ilmu dan cita-citaku.” “Anginpun seakan tak mengerti deritaku dan dengan sengaja mempermainkanku dengan menghempas-hempas daun talas di tangan yang lemah ini hingga terbang terlepas disusul curahan hujan menyiramku sambil bibir tersungging nampak di wajahnya. Anginpun tertawa terbahak-bahak mentertawakan nasibku yang tidak baik dan berharap ku hentikan langkahku, ku hancurkan asaku, ku remukkan citaku, dan ku kubur masa depanku dalam asa yang telah putus dalam lautan masa depan suram tiada harapan.” “Apakah kau ingat Indah, apa yang telah kita lewati bersama? Jalan setapak nan terjal dan licin ku lalui. Terpeleset diriku dan terhempas tubuh kecilku ke atas semak berduri. Batu-batu kecil nan tajam itu menggores tangan dan kakiku. Darah mengalir dari luka goresan namun ku dengar tawa burung-burung yang terbang melintas atasku. Mata-mata ular berbisa dengan tajam menatapku dari balik semak belukar hendak mencari saat tepat menyerang dan membinasakanku. Teman-teman kecilku tertawa seakan melihat pertunjukan cuma-cuma di pagi berembun dengan sisa-sisa air hujan masih memayungi cabang-cabang pohon. Hanya tangis dan tatapan kasih darimu di depanku, adikku, yang memampukanku bangkit kembali dari keterpurukanku.” 124
“Kehidupan yang ditenggelamkan dalam hinaan dan makian ku selami. Ketika setiap mata memandangku dengan jijik. Setiap tangan menggapai ingin mencabut diriku yang dipandangnya telah mengotori tamannya. Ucapan hina bak ribuan anak panah menghujam jantungku tak ku hiraukan.” “Apa salahku, Indah? Aku hanya ingin mengapai citaku. Aku hanya ingin merengkuh bintangku. Tak terpikir di hati tuk rugikan sesama dan alam ini. Namun dengan tangan-tangan yang kokoh kuat, mengapa mereka hendak membinasakanku, menghentikan langkahku dan melemparku ke lautan hitam derita tiada bertepi.” Kakak diam sejenak sambil sesekali menarik nafas panjang. Ku lihat kepedihan yang teramat dalam menggores hatinya yang suci. “Tentu kamu ingat Indah. Dulu rumah ini penuh dengan hantu. Namun telah ku kalahkan hantuhantu itu dengan imanku. Ku buat mereka tidak betah hidup bersama kita di rumah ini. Namun kini hantuhantu dalam wujud manusia itu telah datang berbondong-bondong bak semut menemukan dan mengerubungi bangkai ulat. Hantu-hantu dalam wujud manusia itu telah menenggelamkan ayah kita ke dalam lautan dosa. Rumah yang seharusnya menjadi istana kebahagiaan keluarga kita, justru diubahnya menjadi rumah judi. Dosa itu kini telah 125
melahirkan derita. Namun aku bersumpah takkan ku biarkan dosa ini menjadi raja, memerintah dan mengendalikan hidupku. Ku tangkap dan ku genggam derita yang tiada lain adalah putranya. Kan ku jadikan derita ini sebagai senjata bak tombak yang akan ku hujamkan ke jantung dosa yang tiada lain ibunya sendiri, dan ku rengkuh bahagia setelah itu.” “Lihatlah tonggak tanaman yang telah membusuk ini Indah,” lanjutnya sambil menunjuk tonggak sejenis bunga yang tumbuh di halaman yang berada tepat di samping kakak. “Kalau kamu perhatikan, dulu bunga ini tumbuh dengan subur dan menghijau daun menyegarkan mata yang memandang. Namun lihatlah kini tinggal pangkal yang membusuk oleh karena ulat-ulat yang telah memakannya habis hingga pangkal-pangkalnya. Hijaunya daun nan segar itulah sesungguhnya yang mengundang ulat-ulat itu untuk mendatanginya. Demikian juga halnya dengan dosa Indah,” kembali ia menatapku dengan tatapan tajam. “Dosa itu seperti pohon yang membiakkan ulat-ulat ini, sementara penderitaan itu bak ulat yang memakan habis pohon ini. Demikianlah yang akan ku lakukan dengan dosa yang telah menenggelamkan ayah kita dan membenamkan keluarga kita dalam jurang penderitaan tanpa dasar ini.”
126
“Kakak,” aku memotong kata-katanya karena kakak telah menenggelamkanku dalam perenungan akan penderitaan yang selama ini kami lewati sehingga tak tertahankan ingin ku bersatu dalam perjalanan panjang pengembaraan hidup di dunia yang telah tenggelam dalam dosa dan penderitaan itu. “Aku pernah membaca buku tentang seorang ilmuwan yang bernama John Audubon. Suatu ketika ia mengamati seekor kupu-kupu yang begitu indah meronta, menggelapar dalam kesesakan dan kesulitan yang amat besar tuk membebaskan diri dari kuatnya jaring kepompong yang mengurungnya. Tersentuhlah ia oleh penderitaan mahkluk kecil nan indah itu dan dengan lembut ia robek kepompong tuk membebaskannya dan kupu-kupu itupun terbang namun belum jauh ia mengepakkan sayapnya, sayapnya melunglai lemas dan jatuhlah ia ke tanah dan mati.” “Kemudian hari ilmuwan itu sadar bahwa alam telah mengikat kupu-kupu itu dalam kepompongnya sedemikian rupa dan ia dipaksa untuk menggelepar sampai otot-otot sayapnya cukup kuat untuk terbang. Seperti itulah kiranya alam telah membentuk kita untuk memiliki kekuatan demi hari yang berjaya kelak,” demikianlah ku beri sedikit penghiburan untuk kakakku tercinta itu. “Sekarang katakanlah kepada adikmu ini, apa sesungguhnya yang kakak rindu hingga kakak 127
tenggelamkan diri kakak dalam duka dan putus asa,” tanyaku kepadanya. “Tentu kamu tahu adikku. Belum lama ku berjaya, kini ku t‟lah berduka. Betapa bahagia jiwa ini tatkala ku gapai prestasi tertinggi sebagai buah perjuangan selama ini. Ku menjadi bintang di antara teman-teman kecilku. Telah ku penuhi janjiku tuk menjadi nomer satu dari antara pesaing di kelasku hingga aku lulus sekolah menengah pertamaku dengan piala di tanganku.” “Namun lihatlah, Indah. Bintang itu masih terlalu jauh tuk ku gapai. Masih banyak perjuangan yang harus ku lewati tuk sampai. Tiada takut dan gentar ku kan melangkah menapaki jalan berduri, mendaki gunung tinggi, terbang melintasi api menuju bintang berpijar laksana percikan api.” “Tiada perduli berapa lama lagi tuk sampai. Tiada perduli berapa jauh ku kan melangkah pergi. Tiada perduli berapa sulit jalan-jalan yang harus ku lewati. Tiada perduli berapa banyak dan luasnya lautan yang harus ku seberangi. Tiada perduli seberapa berbahayanya lembah tak bertepi yang harus ku susuri. Tiada perduli seberapa panas gurun pasir yang harus ku lintasi. Tiada perduli seberapa tinggi gunung-gunung yang harus ku daki. Tiada perduli berapa dalam jurang-jurang curam yang harus ku turuni. Aku akan tetap melangkah sampai bintang itu ku gapai atau ku harus mati.” 128
“Namun baru saja ku ingin melangkah. Tangan-tangan yang kuat nan perkasa memaksaku tuk berhenti. Menenggelamkanku dalam kekalutan malam ini.” “Aku ingin pergi tuk mengejar mimpi. Ku ingin pergi mengisi hari dengan pengetahuan tiada bertepi. Namun ayah kita bilang ku harus berhenti sampai di sini. Karena tiada lagi uang tuk menunjang, walau banyak yang telah dihabiskannya terbuang di meja judi.” “Ayah menghentikan keinginan hati ini. Ia ingin aku berhenti sampai di sini. Turun ke ladang menanam padi. Menyambut masa depan dengan hati pedih.” “Namun Indah. Aku ingin tetap pergi mengejar cita dan asa. Ke kota kan ku kejar mimpi dan ku isi diriku dengan pengetahuan dan keluasan budi.” Kini ku mengerti mengapa kakak berduka dalam sepi. Setelah ia menggapai prestasi tertinggi di sekolah menengah pertamanya, ia ingin melanjutkan pengejaran mimpinya untuk melanjutkan ke sekolah menengah atas, namun harus terhadang oleh keadaan dan tentangan orangtua kami. Dalam kekalutan ia merasakan mimpi buruk nan suram telah menghampirinya. Dalam kekalutan ia seperti buta tak 129
melihat peluang yang mungkin dimasukinya. Dalam kekalutan ia melihat seluruh dunia telah menjadi gelap seperti kelamnya malam tak berbintang dan tingginya satu bintang tersisa yang seperti tiada mungkin tergapai. Orang-orang di sekitar kami bukan hanya menyindirnya bak Pungguk merindukan bulan, bahkan Pungguk yang merindukan bulan masih lebih masuk akal dari pada cita dan mimpinya. “Kakak,” kataku tuk tetap menyalakan api semangat dalam dadanya, mengipasi bara dalam jiwanya. “Kakak telah berkata, „Tiada perduli berapa lama lagi tuk sampai. Tiada perduli berapa jauh ku kan melangkah pergi. Tiada perduli berapa sulit jalanjalan yang harus ku lewati. Tiada perduli berapa banyak dan luasnya lautan yang harus ku seberangi. Tiada perduli seberapa berbahayanya lembah tak bertepi yang harus ku susuri. Tiada perduli seberapa panas gurun pasir yang harus ku lintasi. Tiada perduli seberapa tinggi gunung-gunung yang harus ku daki. Tiada perduli seberapa dalam jurang-jurang curam yang harus ku turuni. Aku akan tetap melangkah sampai bintang itu ku gapai atau ku harus mati.‟ Di mana kakak buktikan kata-kata itu?” “Bukankah kakak sedang melalui medanmedan sulit itu hari ini. Bukankah kakak berkata kan 130
terus melangkah atau mati. Buktikanlah kata-katamu itu kini.” Kakak tersentak mendengar cacianku. Tabir tebal yang menutup matanya runtuh dan belenggubelenggu baja yang membelenggu kaki dan tangannya jatuh, hingga jiwanya bebas dan meluap melalui mulutnya dalam kata dan mata dalam harapan, “Kamu benar Indah. Terimakasih telah membuka tabir dari mataku dan meruntuhkan belenggu dari tubuhku. Ini saatnya aku harus tetap berdiri menerima tantangan dan melangkah dengan pasti menuju angan dan harapan.” Kakak bangkit seperti tersadar dari mimpi panjang yang menyiksa. Kembali memandang ke langit dan bersumpah, “Aku akan gapai dirimu wahai bintang kecil di ketinggian langit. Aku akan merasuk di dalam dirimu dan menjadi bintang yang menyinari alam semesta hingga tak lagi kegelapan menguasai dan menenggelamkan anak-anak negeri ke dalam keputus-asaan.” Kemudian dia berkata, “Terimakasih Indah.” Ia menarik tatapannya dari langit ke arahku dan aku tersenyum bahagia melihat semangat di dalam matanya. ****
131
BABAK 8 PRAHARA MELANDA
Malam kesokan harinya…… Malam mulai merangkak bagaikan selimut sutra nan halus pelan-pelan menebarkan dirinya tuk menutupi bumi dalam keteduhan dan ketenangan. Tak seperti malam sebelumnya, langit pun cerah, hanya sedikit awan putih nan tipis melintas bagai lembaranlembaran kapas dalam kepasrahan ditiup sang bayu. Kakak berdiri tegak di atas batu memandang langit seakan menantang semua yang berada di atas sana. Dengan jiwa yang bergelora karena cita dan asa tiada henti senyum terlukis di wajahnya yang telah bahagia. Tiada ku tahu apa yang bocah itu pikirkan dan rancangkan dalam relung-relung jiwa yang telah dihangatkan oleh bara yang mengangkat hatinya jauh tinggi ke antara bintang-bintang di atas langit sana. Ku hampiri dia tuk bertanya apa kiranya gerangan yang membuatnya bergembira di malam ceria bertaburkan bintang-bintang setelah perginya senja. “Apa yang membuat jiwa kakak terangkat dalam suka, ketika kemarin ku melihatnya tenggelam dalam duka,” sapaku tiba-tiba. Kakak langsung menarik tatapannya dari langit dan menoleh kepadaku di bawah cahaya temaram malam. 134
“Lihatlah Indah,” ia menunjuk sambil menengadah ke langit diikuti oleh mataku yang tunduk pada telunjuk jari kecil itu menatap ke langit. “Bukankah hanya satu bintang kemarin tergantung di langit yang hitam kelam. Bukankah telah runtuh bintang-bintang tersapu oleh kelamnya awan. Namun lihatlah kini, jutaan bintang yang tak terhitung jumlah dan kemuliaannya kembali mengisi, menghiasi langit biru tak bertepi bagaikan samudra dengan riak-riak ombak dan ikan-ikan berlompatan ke udara warna-warni.” Kakak kemudian duduk di atas batu itu, diikuti oleh langkahku menuju batu dan duduk berhadapan dengannya. “Terimakasih Indah. Kau telah menghidupkan kembali jiwaku dalam asa dan harapan. Tak selamanya awan hitam pekat kan berkuasa. Kini lihatlah bintang-bintang itu kembali mengambil tempatnya dan berjaya dalam gemerlap kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya,” syukur kakak sambil kembali menengadahkan wajahnya ke langit. “Pagi ini aku bangun dengan sambutan mentari yang berseri. Kicau burung-burung bersenandung menaikan puja dan puji. Angin berhembus menghempas jerami dan menggantikan dengan segarnya bau hijau dedaunan bertaburkan 135
kilatan-kilatan embun menyegarkan hati.”
pagi
yang
sungguh
“Pagi ini ayah telah menantangku untuk memberi bukti tentang semangat dan asa yang menggelora dalam hati tuk menggapai mimpi. Ku terima tantangannya dan telah diijinkannya aku tuk pergi mengejar mimpi.” “Lalu apa sekarang,” tanyaku.
yang
akan
kakak
lakukan
“Aku akan pergi ke Kota Bunga.” Kota Bunga yang kakakku maksudkan adalah Kota Malang. “Aku akan nikmati harum mewangi dari mewarni pucukpucuk bunga indah nan segar hingga jiwa ini dipenuhi oleh pengetahuan yang menjadi bekalku tuk terbang tinggi menuju angkasa, lebih tinggi lagi menggapai bintangku di atas langit sana,” jawab kakak dengan semangat dan asa yang begitu membahana dalam jiwanya. “Apapun akan ku jalani demi cita-cita. Tak peduli terik panas matahari yang akan membakar, maupun deru hujan badai menimpa, aku akan tetap mengejar bintangku dan di Kota Bungalah ku kan hirup segala ilmu yang bagaikan air di padang sahara tuk segarkan jiwaku yang dahaga.” “Apa sesungguhnya yang kakak ingin kejar dalam hidup kakak hingga ajal menjemputmu?” 136
tanyaku menyelidik apa yang tersembunyi di balik dinding-dinding hati kakak tentang harapan yang disebutnya sebagai bintang yang kan dia rengkuh itu. Kakak menatapku dengan tajam. Aku melihat keyakinan terpancar di wajahnya sebelum mulutnya menafaskan kerinduan dari hatinya yang paling dalam. “Seperti kataku Indah. Aku hanya ingin menjadi bintang di langit yang tak pernah pudar atau runtuh oleh badai awan hitam. Aku hanya ingin terus memancar tuk menerangi dunia walau hanya dengan setitik cahaya di tengah hamparan langit kelam. Ku ingin menjadi petunjuk bagi mereka yang tersesat di tengah luasnya gurun pasir tak bertepi. Ku ingin menjadi penuntun bagi mereka yang terapung-apung dalam kapal di tengah samudera luas bagaikan sebuah titik di tengah luasnya lautan tak terperi.” “Aku ingin menjadi bintang yang mengisi hati setiap pujangga tuk menggoreskan pena dan menuliskan kata-kata indah yang menyegarkan dan menenangkan jiwa.” “Aku ingin menjadi bintang kecil yang menjadi harapan bagi mereka yang sedang dalam keputus-asaan seperti yang ku alami kemarin malam. Ku ingin menjadi motivasi bagi mereka yang telah kehilangan asa dan tenggelam dalam kesuraman.” 137
“Pendeknya aku hanya ingin menjadi berguna bagi orang lain. Menjadi berkah bagi sesama dan tiada lagi yang lain,” jelasnya padaku. “Kalau demikian pergilah kakak. Kejarlah cita dan gapailah bintangmu. Namun ingatlah bahwa awan gelap yang kau saksikan semalam mungkin saja akan menjadi pertanda akan datangnya badai hitam kehidupan yang akan berusaha menerjang dan menghentikan langkahmu. Berjalanlah terus, jangan pernah menyerah. Sesungguhnya adikmu ini akan senantiasa menemanimu,” pesanku yang dijawab dengan anggukan serta senyuman. Kakak kembali memandang ke langit, menikmati ribuan bintang tak terhitung jumlahnya. Menghirup udara segar pedesaan dan menatap indahnya alam yang sekiranya menjadi gambaran masa depannya. Ia tenggelamkan dirinya dalam semangat dan hangatnya jiwa di bawah payung langit abu-abu berbintang. Akhirnya kakakpun menerima tantangan ayah. Ia telah membulatkan tekad untuk pergi ke kota Malang demi menggapai cita walau tiada biaya tersedia. Adik dari ibu memiliki usaha di kota. Kakak menetapkan hati untuk mengunjunginya dan mengaduhkan cita dalam prahara kepadanya. Ia berharap paman dapat mendukungnya.
138
Kakakku bukanlah remaja dengan tubuh yang kuat dengan otot-otot perkasa. Ia hanyalah anak lakilaki lemah karena tubuhnya terus-menerus diserang penyakit dari sejak kecilnya. Namun di balik tubuh yang lemah dan tutur kata yang lembut di sana ada jiwa menderita yang tak dapat mati. Aku ingat ketika ia menulis sebuah puisi untuk menggambarkan dirinya sendiri. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai Si Rumput Teki. Aku bukanlah karang tinggi menjulang, Tegak menantang hempasan ombak lautan Merentang menyongsong badai menerjang Menatang kehidupan dan memberi rasa tenang Aku bukanlah perisai baja yang mampu menahan hujan anak panah Menepis setiap terjangan pedang berdentang Berbaris membentuk formasi bertahan Melindungi jiwa dari tusukan ribuan tombak membahana Aku bukanlah ombak menderu Menghempas semua yang menghadang Menggelora menggetarkan penantang Aku hanyalah rumput teki yang tumbuh di halaman rumah Tiada menarik bagi peñata taman 139
Mereka menganggapku seperti parasit Mereka mengharapkanku lenyap tak kembali Namun sekuat apapun engkau menghempasku, menerjangku, Aku akan tetap berada di sini Engkau boleh injak-injak diriku sesuka hatimu Namun esok ku berdiri kembali tegak menantangmu Engkau boleh mencabutiku, Namun dari setiap akarku akan tumbuh tunas baru Engkau boleh membakarku dengan api yang menghanguskan Ketika hujan gerimis mengguyur bumi Kan kau lihat aku muncul di hadapanmu kembali Engkau injak dan engkau cabut setiap helai, Engkau pisahkan setiap akar dari tanah dan Engkau bakar setiap helai serta akarnya Setitik akar yang tersisa dalam gumpalan tanah Yang luput dari matamu yang penuh nafsu 140
Kan muncul tunas yang kan s’gra menyapu halamanmu Engkau tidak dapat membunuhku dengan nafsumu Walau engkau berpikir dirimu kuat Engkau berpikir dapat menerjang karang dan meluluh lantahkan menjadi debu Walau engkau berpikir dirimu seperti panah Pasupati yang menghujan, Membubarkan pasukan kurawa Walau engkau berpikir dirimu seperti gelombang dahsyat yang menghancur leburkan setiap kapal yang melintas Namun engkau tidak akan dapat membunuh rumput teki ini
Seperti itulah kakakku. Tak seorangpun dapat menghentikan rumput teki itu tuk bertunas kembali. Tak seorangpun akan melenyapkannya dari muka bumi. Ia akan terus tumbuh walau dalam sesak dan terlupakan. **** 141
Akhirnya perpisahan itu datang. Kakak meninggalkan kami pergi mengejar cita-cita. Itulah saat-saat di mana banyak hal terjadi dalam keluargaku dan dalam hidupku yang tidak diketahui oleh kakak. Ku dengar kakak telah bersekolah di sekolah pilihannya dan sepulang sekolah ia bekerja hingga larut malam. Dengan dukungan paman akhirnya kakak bisa menghidupi dirinya sendiri dan membiayai sekolah dari hasil keringatnya sendiri. Kakak bekerja bersama paman. Baginya paman adalah jembatan yang menghubungkan antara cita dan asa yang hampir tak terhubungkan oleh kepapaan. Aku salut dengan kegigihannya mengejar citacita dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan berat yang belum saatnya ditanggung oleh anak seusianya. Namun itulah kakak. Keinginannya untuk menunjukkan bahwa tak seorangpun harus menghina dan menginjak-injak harga dirinya menjadi bara api yang terus membakar tiada pernah surut ataupun mati. **** Aku tahu segala yang dialaminya di kota dari ceritanya ketika ia pulang ke kampung dan ia habiskan hari-harinya bersama denganku. Yang paling ku ingat adalah cerita perjumpaannya dengan keluarga budiman yang dengan bersemangat ia ceritakan kepadaku. Ia sangat terharu dengan 142
kebaikan keluarga itu, dan itu dapat ku lihat dalam sorot matanya ketika ia bercerita…. Satu masa telah berlalu, hujan lebat menguyur Kota Bunga, menundukkan bunga-bunga dalam kelunglaian menahan berat air yang menimpanya. Petir dan halilintar menyambar-nyambar di tengah lalu lalangnya kendaraan di jalan utama kota. Di bawah pohon besar nan rindang, berdiri anak muda dengan memegang gagang-gagang gerobaknya, berteduh di bawah rindangnya cabang-cabang pohon tuk hindarkan diri dari curahan air yang t‟lah dimuntahkan oleh langit sore itu. Kakakku ternyata masih belum berpisah dengan duka lara walau telah berada di Kota Bunga. Itulah anak muda yang berteduh di bawah rindangnya pohon menghindari amukan sang tirta yang turun dari langit gelap bagai murka. Di tengah hiruk-pikuk manusia dan gelak tawa canda para remaja, ternyata ada putra bangsa yang tiada pernah menikmati indahnya masa remaja. Kemiskinan yang telah menderanya memaksanya untuk bekerja di usia belia demi menggapai cita-cita. Panasnya terik matahari t‟lah membakar kulitnya yang semakin kelam, menembus sampai tulang-tulangnya, hingga panas berganti dingin ketika hujan lebat menguyur kota, menggiring orang-orang beruntung masuk ke istana mereka tuk memanjakan 143
diri, atau menghempaskan tubuhnya menikmati tidur nyenyak di hari mendung nan dingin. Namun di luar sana, di jalanan kota, sosok anak muda ringkih tiada putus asa terus melangkah mendorong gerobaknya demi sepiring nasi dan segelas ilmu. Ia bangun di pagi hari untuk pergi menimba ilmu di sekolah, dan segera menerobos panas dan hujan sepulang sekolah demi membiayai hidup dan pendidikannya. Itulah Bintang, kakakku. Lama sudah ia berteduh di bawah rindangnya cabang-cabang pohon, namun hujanpun tiada reda. Waktu terus berlalu dan dilihatnya bundelanbundelan mie yang masih banyak belum terjual hingga mendorongnya berani terus melangkah menantang hujan dan badai. Ia tinggalkan pohon besar itu, kakinya yang kurus kering itu nampak melangkah dengan tertatih-tatih, sementara tangan yang bak tinggal tulang memegang erat gaganggagang gerobak, badannya yang kurus keringpun sontak diguyur lebatnya hujan. Basah kuyup baju semata wayangnya, bagaikan burung pipit bertengger kedinginan di atas karang saat hujan badai menerjang. Ia susuri setiap lorong-lorong kota nan padat, namun tiada nampak sosok manusia di sana. Yang ada tinggallah sunyi sepi tatkala semua orang terlelap dalam kedamaian dan kehangatan di atas tempat tidur empuk dan di balik hangatnya selimut lembut mereka. 144
“Pernahkah mereka berpikir bahwa sesungguhnya di luar sana, si miskin berjalan tertatihtatih menyusuri lorong-lorong kota menawarkan makanan yang dapat menghangatkan tubuh mereka di tengah lebatnya air hujan menyerbu kota demi sepeser uang untuk menyambung hidup dan mengejar cita-cita,” gumamku dalam kepedihan hati ketika mendengar cerita perjuangan dan penderitaan kakakku yang miskin itu. Dengan gagang-gagang gerobak di kedua tanganya ia terus berjalan, menerjang hujan dan badai. Tiada dia perhatikan setiap jepretan kilat ataupun kejutan halilintar. Hingga dari sekian banyak pintu-pintu yang tertutup terbukalah pintu sebuah rumah di depannya dan bersama itu keluarlah tuan rumah dengan senyum ramah menghentikan langkahnya. “Tolong tunggu anak muda. Aku ingin memesan mie hangat yang kau jual demi menghangatkan tubuhku dan istri serta anak-anakku,” panggilnya. Kakak pun berhenti sambil membalas senyum dengan senyum termanis. Lelaki setengah baya itu memandanginya yang telah basah kuyup oleh deraan hujan dengan penuh iba dan belas kasihan. “Dapatkah kau dorong gerobakmu masuk ke teras rumah ini? Cukuplah kiranya kau menyiksa dirimu dengan membiarkan hujan dengan tiada rasa menderamu,” pintanya. 145
“Terik matahari yang membakar kulit hingga sunsum tulang sudah biasa menyengatku. Hujan dan badai sudah biasa menenggelamkanku dalam kedinginan tiada terukur. Mata-mata yang memandang hina dan senyum sinis merendahkan biasa membalas senyumku. Hingga keballah tubuh dan hatiku dari segala derita yang datang mendera. Jadi biarkanlah air hujan ini terus mencobaku tuk hentikan langkahku. Terimakasih untuk belas kasihmu Tuan, namun biarkan saja ku tetap di sini,” jawabnya dengan senyum ramah sambil mempersiapkan mangkok-mangkok tuk hidangkan mie hangat bagi sang pembeli itu. Gadis kecil keluar dari pintu menyusul sang ayah, di belakangnya dua adik lelakinya turut menyerbu. Gadis kecil nan jelita itupun menatapnya dengan binar mata indah penuh kesucian dan katakata tulus nan lembut mengalir keluar dari bibirnya bagaikan nada-nada lagu yang mengalun dalam kedamaian, “Dengarkanlah kiranya tawaran ayahku, sehingga makanan yang kau hidangkan untuk kami bukan hanya menghangatkan tubuh kami, namun juga jiwa kami. Apalah artinya hangatnya tubuh kami, ketika kami nikmati hangatnya makanan yang kau hidangkan sementara hati dan jiwa kami tersiksa memandang tiada peduli penderitaan sesama,” katanya memohon.
146
Kelembutan dan ketulusan hati gadis itu telah meluluhkan harga dirinya dan iapun menurut. Didorongnya gerobak itu ke bawah teduhnya teras rumah, hingga hujan tiada lagi mampu menyentuhnya. Si ayah dan anak-anak itupun tersenyum bahagia. Rasa haru mulai menyelimuti hati kakak dan menari-nari mengelitik setiap dinding jiwanya. “Dari semua manusia yang hanya peduli pada nasib diri dan keluarganya, ternyata masih ada keluarga yang peduli dan prihatin terhadap nasib sesamanya,” gumamnya dalam hati sambil mulai memasukan setiap bundel mie ke dalam air rebusan dan meracik bumbu pada lima mangkok pesanan keluarga budiman itu. Hangatnya sambutan keluarga itu telah menghangatkan jiwanya. Bahkan tubuhnya yang telah basah kuyup oleh serangan hujanpun mulai terasa hangat oleh kehangatan yang menguap dari setiap dinding jiwanya. Disuguhkannya mie hangat kepada keluarga suami-istri serta ketiga anaknya yang telah menunggu di ruang tamu yang tiada berkedip memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan penuh iba dan belas kasihan. Mereka pun menyambut hidangan hangat itu dengan senyum penuh keramahan. Ada kasih dan kedamaian yang menyelimuti dan memenuhi setiap ruang dalam rumah itu.
147
Ia berdiri tertegun sejenak di depan gerobaknya, membelakangi sang tuan rumah hingga suara lembut dari belakangnya memaksanya untuk menoleh dengan hati semakin teraduk-aduk oleh rasa haru tiada tara. “Hangatkanlah kiranya dirimu dengan secangkir kopi hangat racikanku ini Tuan, dan kiranya kehangatan hati kami juga dapat menghangatkan jiwamu,” kata gadis kecil, sang Nona dari tuan rumah itu sambil menghunjukkan segelas kopi hangat kepada kakak. Belum habis ia terkejut oleh kelembutan dan ketulusan hati gadis itu, tiba-tiba muncul dari pintu utama ayahnya menyerahkan sehelai pakaian dan berkata, “Lepaskanlah pakaianmu yang telah basah kuyup sebelum air yang membasahinya meresap ke dalam setiap pori kulitmu dan memenuhi paruparumu. Gantilah pakaian basah itu dengan sehelai pakaian sederhana yang dapat ku berikan kepadamu.” Anak muda itu tertegun dalam keharuan. Hingga lidahnya pun kelu tiada mampu berucap kata. Dengan secangkir kopi di tangan kanan dan sehelai pakaian di tangan kiri, ia hanya dapat ucapkan desahan lirih yang tenggelam dalam kerongkongannya, “Terimakasih!” yang dibalas dengan senyum ramah nan tulus dari Tuan dan Nona rumah itu yang kemudian melangkah masuk menikmati hangatnya mie yang telah ada di meja 148
ruang utama setelah mempersilahkan anak muda itu untuk duduk di kursi antik dengan meja bundar di depannya yang terletak di teras rumah itu untuk menikmati secangkir kopi hangat setelah mengganti pakaiannya. Sejenak ia masih tertegun karena haru yang semakin menyelimuti dan memenuhi jiwanya. Anak muda itu melihat suatu oase cinta kasih memancar keluar dengan begitu jernihnya dari setiap ruang rumah itu dan dari setiap sudut hati penghuninya. Suatu oase cinta kasih bagaikan air bening yang menyegarkan setiap hati yang dahaga dalam mengarungi perjalanan panjang gurun sahara kehidupan yang penuh sensara. Seakan ia menemukan gemerlapnya titik-titik embun pagi yang menyegarkan setiap helai hijau dedaunan dan membasahi merah merekahnya kelopak-kelopak bunga mawar. Seakan ia menemukan setitik cahaya dalam gelap nan pekatnya gua-gua yang menguburnya dalam duka dan derita. Seakan ia menemukan desahan suara lembut menyegarkan di tengah kengerian suara guruh dan halilintar dalam kesunyian. Seakan ia menemukan sapaan lembut sahabat di tengah kesendirian yang panjang tiada berujung. Seakan ia menemukan air tawar nan menyegarkan mengucur dari dalam karang di tengah lautan tak bertepi. Semua itu ia temukan dalam keramahan dan kasih dari setiap hati penghuni rumah kedamaian itu. 149
Anak muda itu duduk di sana, di belakang meja bundar dengan pakaian kering yang telah menggantikan pakaian basahnya dan secangkir kopi hangat ada di atas meja itu, bak merasakan nikmatnya menjadi orang kaya yang tak harus didera oleh lebatnya hujan dan panasnya terik matahari, namun duduk dalam keteduhan dan kedamaian sambil menikmati hangatnya secangkir kopi. Hujan berangsur-angsur berhenti. Percikpercik air sisa hujan gemerlap di antara kelopakkelopak mawar, seperti butiran-butiran air mata haru yang jatuh dari wajah anak muda itu, oleh karena percikan-percikan kasih yang menyembur dari oase kasih dalam hati para penghuni rumah itu. Tiada pernah dikenalnya nama setiap insan dalam rumah penuh cinta kasih itu. Namun setiap wajah mereka telah tersimpan indah dan kekal di dalam hatinya. Tentu jugalah tiada dikenal nama kakakku yang miskin itu oleh mereka, namun tentulah setiap orang miskin dan menderita selalu mengisi dan tersimpan selamanya di hati mereka. Setelah menerima uang seharga hidangan yang dipersembahkannya, dengan hati yang penuh haru dan syukur didoronglah kembali gerobaknya meninggalkan rumah dan semua kebaikan penghuninya pergi melanjutkan perjalanan hidup menyusuri setiap lorong kota. Keluarga yang 150
memiliki oase cinta kasih pun dengan senyum penuh kasih, tulus dan kelembutan melepas kepergian kakakku yang miskin nan malang itu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, musim hujan maupun kemarau silih berganti, selama lebih dari dua tahun ini ia terus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya. Di Kota Bunga itu ia hirup wanginya ilmu di tengah pahitnya derita kehidupan. Namun tiada pernah nampak putus asa di wajahnya, karena api semangat dalam jiwanya tiada pernah padam yang terus membara dan membakar di dalam dada untuk tetap berjuang demi asa dan cita. Anak miskin, yang adalah kakaku ini, benarbenar ingin membuktikan kepada orang-orang di kampung ku yang selama ini telah menenggelamkan dirinya di dalam hinaan, merendahkan dirinya ke dalam lautan putus asa yang begitu dalam hingga tiada memberi tempat untuknya bernafas. Ia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa tiada seorang pun akan mampu membunuh dan memusnahkan si rumput teki ini. Walau kini ia bagaikan titik hitam di tengah samudera luas tiada bertepi, namun ia percaya bahwa ia akan naik ke angkasa mengatasi langit dan bercahaya terang menghiasi kanvas luas tiada batas di langit jingga. Ia yakinkan dirinya kan dapat gapai bintangnya, kan bersinar bagai bintang di langit. Walau seluruh 151
bintang luruh dihantam badai awan hitam, ia percaya akan tetap bersinar di sana. Itulah sebagaian kisah kakakku di Kota Bunga…..
**** Sementara kakak pergi ke kota Malang untuk mengejar cita-citanya, kini aku yang menggantikannya tinggal di rumah bersama ayah dan ibu. Aku melanjutkan sekolah di SMP di mana kakak pernah bersekolah. Aku tinggalkan rumah nenek atau Bude karena dengan tinggal bersama ayah dan ibu jarak tempuh ke sekolah tidaklah jauh. Di SMP ini ada cinta, ada duka, dan ada prahara yang menghancurkan hidupku seperti tiada rasa. Ayah kembali kepada hobby lamanya. Bahkan kalau dulu ayah pergi menjelajah kampung orang hanya sekedar untuk berjudi. Kini ayah telah membawa semua teman lamanya untuk menggelar judi di rumah pinjaman itu. Hantu-hantu rumah itu telah pergi. Hantuhantu itu telah terusir tiada tahan hidup serumah dengan kami yang beriman. Namun kini hantu-hantu dalam wujud manusia telah memenuhi rumah itu dengan kartu-kartu hijau permaian ceki itu. Ibu pun sudah tiada sanggup untuk menahannya. 152
Kalah judi sudah bukan pengalaman asing lagi bagi kami. Demi membayar hutang judi ibu terpaksa harus meminjam ke sana-sini, kepada lintah darat sekalipun. Hutang semakin menumpuk, tiada barang berharga yang dapat dijual atau pun digadai. Sejengkal tanah pun kami tidak punya lagi, karena semua sertifikat tanah dianggunkan di Bank. Kabar ayahku sebagai raja judi seakan tersiar ke seantero negeri. Aku merasa malu dikenal temanteman sebagai anak si raja judi. Kemiskinan mendera dan hutang bertumpuk bak gunung yang akan segera meletuskan lahar panas yang akan membakar kami semua. Setelah semuanya ayah jatuh sakit. hatinya telah tergerogoti oleh penyakit yang mengerikan bagi orang desa itu. Rentenir dan para pemberi hutang mengejar ibu untuk segera mengembalikan pinjamannya. “Tagih saja pada suamiku,” kata ibu membela. “Tidak. Kami tidak berurusan dengannya. Kamu yang datang meminjam uang kepada kami. Sekarang kami menagih hutang kamu,” jawab mereka. Walaupun sebagian kemudian mendatangi ayah, paling-paling ayah hanya menjawab, “Kapan aku pinjam uang kepada kalian?” yang sontak membuat mereka mati kutu. 153
Ibu benar-benar menjadi perisai ayah bak ribuan panah dihunjamkan ke dirinya demi melindungi ayah. Tiada tahan didera duka, akhirnya ibu pun pergi entah kemana. Dan kini tinggalah kami berdua. Kabar tentang ibu tak kunjung datang, ayah pun mencoba pergi ke kota hingga akhirnya ku dengar telah bekerja seperti yang dikerjakan kakak. Sejak itu selama bertahun-tahun aku tidak pernah berjumpa dengan ibuku. Ibu seperti lenyap ditelan bumi. Ku dengar dari kakak bahwa ibu sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota Bekasi kemudian pindah lagi ke kota Surabaya dan tidak tahu di mana lagi ibu berada. Aku hampir tidak pernah lagi berjumpa atau mencurahkan isi hatiku kepadanya hingga di ujung perjalananku. Kini aku benar-benar sendiri. Tiada ayah atau pun ibu. Kakak pun hanya kalau musim liburan pulang sebentar, karena pada hari liburan sekolah pun ia tetap harus bekerja. Aku benar-benar sendiri tiada tahu kepada siapa harus mengaduh. Tiada ingin ku meluluhkan cita kakakku, maka semua dukaku ku simpan dalam jiwa dan kututup rapat dalam dada. Mantan guru SD-ku mendekatiku dengan segala cara menarik perhatianku. Dia adalah laki-laki dewasa, bila tidak dibilang tua, baik dan penuh 154
perhatian dan ingin sekali mengisi hatiku dengan bahagia dan menghapus semua kata duka dan lara. Beberapa kali beliau berkunjung ke rumah nenek. Tidak tahu hanya sekedar ingin membangun silahturahmi persaudaraan atau ada tujuan lain yang berhubungan denganku. Namun aku tidak mau terjebak dalam lingkaran yang tak ku mau. Aku selalu menghindar tatkala beliau datang hingga Bibiku dengan kata-kata yang menyakitkan hatiku menyalahkanku. Ia menasehatiku agar bersikap baik dan tidak kabur-kaburan ketika sang mantan guruku itu bertamu. Memang aku tidak sopan meninggalkan beliau saat berkunjung. Namun aku tidak mau terjebak dalam memberi harapan. Aku tahu hati beliau menginginkan diriku. Aku maklum dengan Bibi dan beberapa saudara. Di kampungku kebanyakan teman SD ku tidak melanjutkan sekolah ke SMP dan langsung dicarikan jodoh. Bagi mereka adalah hal yang memalukan kalau anak perempuannya dikatai orang tidak laku. Walaupun sebenarnya anak-anak itu masih belia. Bahkan ada beberapa teman SMP yang harus putus sekolah karena telah datang lelaki yang meminta orangtuanya untuk menikahinya. Mungkin itulah yang menyebabkan Bibi atau beberapa saudara yang lain menasehatiku atau bahkan 155
ada juga yang memarahiku untuk bersikap baik kepada mantan guruku yang berusaha mendekatiku. “Lelaki itu sudah mapan. PNS lagi. Hidupmu bakal terjamin. Janganlah kamu menjadi bodoh,” kata Bibi kepadaku. Tiada ku sanggah perkataannya, ku hanya tertunduk diam membisu. Aku tidak bisa menerima cintanya. Aku masih belia dan aku masih ingin mengejar cita. Aku yakin kakakku akan setuju dengan pendapatku. Bahkan suatu ketika kakak berkata kepadaku, “Ia memang laki-laki yang baik, namun kamu tahu ada suatu batas dan jurang yang tak mungkin kalian seberangi.” “Aku tahu itu kak,” jawabku meyakinkannya. “Namun tahukah kakak bila salah satu teman kakak waktu di SMP telah menyatakan cinta kepadaku,” kataku dalam hati. Tiada mampu ku ungkapkan ini kepada kakak. Aku tidak tahu apakah aku jatuh cinta padanya. Aku hanya curahkan isi hatiku kepada Martha. Walaupun tidak dengan jelas, aku memberikan sinyal dari curhatku bahwa aku menyukai pria itu. Namun status sosial memisahkan kami. Dia adalah putra dari keluarga berada sementara aku seorang putri menyedihkan dari keluarga papa. Putri yang tiada tahu dimana lagi ibu 156
atau ayahnya. Putri miskin yang tentu bukan dambaan calon mertua manapun. Aku selalu menolak pria itu ketika mengajakku untuk pergi keluar jalan-jalan. Aku menjaga jarak dengan mendirikan tembok tebal atau aku akan dianggap orangtuanya sebagai wanita bermuka tembok. Aku sering mengaduh dalam kesendirian. Jika jiwa ini sudah tak tahan lagi. Ku aduhkan beban ini kepada Martha atau Muji sahabat sejatiku sejak SD. Ku terima pekerjaan memasang kancing-kancing baju dari penjahit di depan rumahku demi sekeping uang logam. Tiada pernah lagi ayah atau ibu memberi uang kepadaku. Kakak pun hanya ketika mengunjungi ke kampungku yang belum tentu sekali dalam enam bulan dan memberikan sedikit uang kepadaku. Orang bilang aku cantik seperti putri, namun putri melarat dan menyedihkan adalah kenyataannya. Namun aku bersyukur, ayah mulai berubah. Ia mulai rajin ke gereja mencari Tuhan hingga penyakit yang menggerogoti levernya mengambil nyawanya. Tiba-tiba ibu muncul di rumah sakit di mana ayah dirawat untuk menggantikan kakak yang beberapa hari telah menjaganya di sana. “Pulanglah ke tempat kontrakan. Istirahatlah biar ibu yang menjaga ayah,” kata ibu kepada kakak yang nampak begitu lelah setelah beberapa hari menjaga ayah semalammalaman di rumah sakit. 157
Kakakpun pamit untuk pulang istrirahat di kontrakannya sementara ibu yang menggantikannya menjaga ayah di rumah sakit. “Dari mana kamu tahu aku sakit dan dirawat di sini?” tanya ayah kepada ibu dengan suara lemah dan mata penuh kesedihan dan penyesalan karena telah membuatnya begitu menderita bahkan membuatnya seakan menjadi buronan. Sejak ibu menjadi penjamin dari hutanghutang ayah, ibu bagaikan buronan yang dikejar dan dicari-cari oleh para pemberi hutang dan lintah darat itu. Bahkan ibu tidak berani menampakkan dirinya di kampung kami. Aku ingat ketika nenek memberitahuku, “Semalam ibumu pulang, namun tadi pagi-pagi buta ibumu pergi lagi.” Nenek menjelaskan bahwa karena rindunya padaku dan pada nenek, ibu berjalan kaki selama dua jam untuk pulang ke kampung malam itu, karena tidak mungkin ada kendaraan di waktu malam seperti itu. Ia tak henti-hentinya memandangiku dan menciumku yang masih terlelap tanpa menyadari kehadiran ibu di sana. Aku memang merasa seakan bermimpi bahwa ibu pulang untuk menemuiku dan menemani tidurku. Namun itu sepertinya hanya dalam mimpiku saja.
158
Ibu harus segera pergi di pagi yang masih gelap gulita sebelum orang-orang di kampung itu terbangun. Ibu tidak berani berpapasan atau dilihat oleh orang yang akan segera menangkap dan memaksanya untuk membayar hutang-hutang ayah. Ibu berjalan di dalam gelapnya malam menjelang pagi, menempuh perjalanan lebih dari 2 jam dengan kaki-kakinya yang kurus dan kelelahan. Air mata tiada berhenti mengalir dengan derasnya dari matanya menyusuri perjalanan panjang yang penuh penderitaan itu. Ayah menyadari bahwa semua itu adalah kesalahannya. Dengan mata berkaca-kaca terbaring tanpa daya di ranjang kesakitan itu ayah berkata, “Maafkan aku. Aku telah membuatmu begitu menderita.” “Jika Tuhan memberikan kesempatan kedua kepadaku, aku akan menebus semua kesalahanku pada kalian,” kata ayah bersungguh-sungguh. “Namun sepertinya aku sudah….,” kata ayah yang segera dipotong oleh ibu, “Sudahlah, aku sudah memaafkan kamu. Sekarang yang penting kami bertobat dan minta ampun di hadapan Tuhan dan pikirkan kesembuhanmu demi anak-anak,” kata ibu tak kuasa membendung air matanya. Walaupun ayah telah membuat ibu sengsara, namun ayah pernah mengisi kehidupan ibu dengan 159
kebahagiaan. Ada sayang yang masih terpancar dari matanya yang memancar dari dalam hatinya. Ayah pun memohon kepada Tuhan agar Tuhan mengampuninya. Ayah memohon dengan sangat akan pengampunan Tuhan dan ingin berbalik dari hidupnya yang penuh dosa dan mempersembahkan hidup dan hatinya bagi Tuhan. Ada kedamaian terpancar dari wajah ayah setelah ia mengakui dosanya di hadapan Tuhan. Ada sukacita terpancar dari matanya seakan ia telah menyadari pengampunan telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. “Jika aku harus pergi, tolong jaga anak-anak. Sekolahkan mereka setinggi yang mereka mau,” kata ayah sambil menahan air mata yang berlinang di balik kelopak matanya seakan ia merasa bahwa malaikat telah datang untuk menjemputnya pulang. “Kamu mau pergi ke mana. Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana. Aku tidak memiliki apa-apa untuk menyekolahkan anak-anak. Kamu harus segera sembuh dan kuat demi mereka,” kata ibu sambil menangis karena tidak mengerti ayah mau pergi ke mana. “Aku mengantuk. Aku ingin tidur,” kata ayah dengan suara yang semakin lemah. 160
“Ya sudah. Tidurlah aku akan menjagamu di sini,” sahut ibu sambil menarik kursi plastik di sampingnya dan duduk di samping ranjang sambil menggenggam telapak tangan kiri ayah. “Aku kedinginan. Maukah kamu memeluk aku,” tanya ayah. Tanpa menjawab ibupun bangun dan kemudian memeluk ayah. Ayahpun tertidur, namun dari mulut dan telinganya tiba-tiba darah mengalir tiada henti dan hal itu sontak mengejutkan ibu. “Suster, tolong. Suster tolong,” jerit ibu memanggil-manggil sekiranya ada suster rumah sakit itu mendengar jeritannya. Seorang suster datang dan mencoba untuk menghentikan pendarahan hingga akhirnya dengan suara yang berat ia menengok kepada ibu, “Ibu yang tabah ya!” Kata-kata itu langsung menyadarkan ibu, bahwa ayah sudah tiada. Ia menangis dan memeluk ayah yang sudah berlumuran darah. Separuh tubuhnya terbenam oleh darah di atas ranjang itu, karena darah yang sempat diinfuskan ke dalam tubuhnya selama beberapa hari ini keluar dengan derasnya tanpa henti. Pagi itu Mas Tris, kakak sepupuku, tiba-tiba datang ke kontrakan kakak dan mengajak kakak 161
untuk segera kembali ke rumah sakit. Kakak mencium bahwa ada hal yang tidak beres dengan kedatangan Mas Tris dan kakakpun segera bergegas kembali ke rumah sakit ditemani Mas Tris dan betapa terkejut dan histerisnya dia melihat ayah sudah terbujur kaku, sementara suster masih sibuk membersihkan darah yang masih menggenangi ranjang ayah. “Mengapa derita dan duka lara ini menimpa keluarga kami lagi Tuhan,” tanya kakak kepada Tuhan sambil tiada tertahankan air mata dengan deras mengalir dari kedua matanya. Kakak ingat apa yang pernah ayah ucapkan kepada temannya, tanpa menyadari bahwa kakak mendengarkan dari belakangnya, tidak lama sebelum kepergian ayah untuk selamanya. Hari itu adalah hari yang tak pernah terlupakan. Setelah setiap piala kemenangan, juara di kelas tiada pernah mendatangkan pujian dari sang ayah, namun tiada disadari ayah, kakak mendengar dari balik pintu betapa bangganya ayah memuji dan memuja putranya di depan para tetangga. Pujian itu bagaikan tetes-tetes embun yang menyegarkan dahaga tanah kering. Pujian itu laksana segenggam air di atas daun di tengah padang sahara. Pujian itu bagaikan pegas yang menghentak jiwanya terbang melayang tinggi mengatasi awan. Pujian itu laksana senyuman indah dari wajah cantik kekasih yang dirindukan selama ribuan masa. Pujian itu laksana hujan yang 162
membahasahi tanah kering setelah disapu oleh kemarau panjang. Pujian itu laksana ruang bernafas setelah terperangkap oleh air di bawah tanah. Pujian itu laksana api yang membara yang memperbesar bara semangat dalam jiwanya. Karena pujian itu adalah yang ditunggunya selama bertahun-tahun, hingga legalah kini walau pujian itu tidak diucapkan langsung kepadanya. Kini, tak lama setelah pujian indah nan menyegarkan itu keluar dari mulut sang ayah, tiada pernah lagi ia akan dapat berharap kembalinya embun pagi yang menyegarkan itu, karena sang ayah telah menutup mulut untuk selamanya, menutup matanya untuk selamanya karena ganasnya penyakit telah mencabut nyawanya. Kakak kecewa, kakak marah, karena kakak belum dapat membuktikan kepada sang ayah bahwa ia bisa menjadi bintang yang bercahaya di langit. Ia belum bisa menunjukkan kepada sang ayah untuk terus menyenandungkan irama puji-pujian atas keberhasilan sang putra. Ayah telah menutup mata ketika masih melihat keadaan putrannya dalam keterpurukan dan penderitaan. Ayah menutup mata ketika masih melihat putranya hanyalah seonggok sampah yang hina. Ayah menutup mata selamanya ketika masih melihat putranya bagaikan pemuda tiada masa depan. Seorang muda yang terus-menerus bertemankan duka 163
lara dalam bekerja demi mengejar cita-cita. Itulah yang membuat hati kakakku hancur. Dengan lembut dan derai air mata ibu memeluk kepala kakakku dan mencoba menghiburnya, “Sudahlah nak. Ayah sudah pulang ke rumah Bapa di Sorga. Ayah sudah bertobat. Ia sudah bahagia sekarang di sana. Pesan ayah adalah supaya kamu terus sekolah sampai terwujud apa yang kamu cita-citakan,” kata ibu dengan tangis dan derai air mata sambil semakin mengeratkan pelukannya. Akupun tiada di sana. Betapa malang diriku. Aku hanya mendengar semua cerita ini dari ibu tentang semua yang terjadi pada ayah di detik-detik terakhirnya. “Aku adalah anak kesayangan ayah dan ayah adalah ayah kesayanganku. Namun mengapa ayah pergi tanpa mengucap pesan apapun kepadaku,” tanyaku dalam hati dengan penuh luka lara ketika harus menyambut peti jenazah ayah di kampung halamanku. Aku tidak melihat hari-hari terakhir ayah karena aku masih ada di desa dan bahkan tak mendengar bahwa ayah sedang sakit di kota. Tidak ada berita yang sampai ke kampungku tentang ayah yang sedang jatuh sakit di kota. Hingga tiba-tiba kami dikejutkan oleh mobil ambulan yang berhenti di gang kecil menuju rumah kakak ayah yang tertua, membawa jenazah ayah yang didampingi oleh ibu dan kakak. 164
Hatiku bagai disayat sembilu. Serasa sang nasib melemparkanku ke dalam kegelapan yang begitu pekat tiada cahaya menerobos memberi harap pada hati yang berduka ini. Seperti anak sapi yang masih menyusu memandangi tubuh induknya yang terkulai mati di hadapannya. Seperti anak ayam yang menciap-ciap di samping induknya yang mati diserang ular berbisa. Seperti anak burung yang berciit-ciit menyaksikan induknya jatuh ke tanah dan mati oleh karena peluru senapan angin pemburu. Betapa sakitnya hati kami, ketika berada di pusara ayah, kami membaca tulisan „Raja Judi,‟ dan entah siapa yang menggoreskannya di sana. Aku sakit dan aku marah. Di atas pusara ayah itu, kakak berkata, “Kepada siapa lagi aku harus buktikan bila aku bisa, ketika sang penantang ini telah menutup mata selamanya. Siapa lagi yang dapat mencaci maki demi membakar api di dalam dada tuk tetap membara, ketika penyulut bara telah tiada. Apalah arti semua ini?” jeritnya dalam hati. Tiada rela ia kehilangan ayah tercinta untuk selamanya. Karena bersamanya ia selalu terjaga. Bersamanya ia selalu berusaha. Untuk membuktikan kepadanyalah yang merupakan bahan bakar yang terus menyalakan semangat dalam jiwanya. Namun kini untuk siapa ia ingin membuktikan. “Tuhan, untuk apa semua jerih lelah dan perjuanganku selama ini! Untuk siapa aku 165
membuktikan diriku, karena kepada dia aku berjuang untuk menjadi bintang, namun dia kini telah menutup mata untuk selamanya,” jeritnya kepada Tuhan. “Untuk siapa Tuhan?” “Untuk orang-orang yang selama ini telah menenggelamkan engkau dalam hinaan. Yang merendahkan engkau seperti sampah. Yang berusaha mencabut engkau seakan parasit. Untuk dia yang akan selalu memandang engkau dari atas sana!” jawabku yang berada di sampingnya di atas pusara ayah. Ku pandangi wajah kakakku layu bagai pohon Lamtoro yang telah tertebas dan diterpa teriknya matahari. Tiada api di sana, tiada kehidupan terpancar dari jiwanya. “Kakak. Lihatlah ke sana,” aku menunjuk ke arah matahari senja yang merangkak turun di ufuk barat. Kakak mengikuti telunjukku dan memandang matahari yang meredup dengan biasan warna-warni langit sekelilingnya, serta pucuk gunung yang menanti untuk segera menelannya. “Kakak telah berangkat dengan semangat membara dari Lembah Derita ini untuk mengejar citacita dan menimba ilmu di Kota Bunga. Panas terik dan hujan badai tiada kau pedulikan demi dapat menghidupi dirimu dan membayar ilmu yang kau teguk. Seperti senja di ufuk barat itu. Perjalananmu 166
sudah hampir sampai di titik akhir. Mengapa engkau harus berhenti dan mematikan asa yang selama ini membara dalam jiwa. Lihatlah di balik bukit yang akan menelan senja dalam kegelapan mungkin ada secercah sinar pagi di bagian bumi lainnya dan di sanalah engkau dapat bersinar.” “Kakak…. Ingatlah setiap kata menyakitkan, setiap caci maki yang merobek-robek hati, setiap hinaan yang menghancur leburkan setiap angan. Kau harus ubah kata-kata menyakitkan itu menjadi puja, menggantikan caci maki dengan puji, membinasakan hinaan dengan harapan. Engkau harus bangkit. Di pusara ini kau harus diingatkan bahwa ayah kita pergi dengan meninggalkan benci. Mereka akan mengoreskan kata-kata hujatan di pusara ini, „Sang Raja Judi.‟ Kata-kata itu akan tertulis di pusara ini setelah setiap kali engkau menghapusnya. Dalam tawa tiada perasaan mereka akan terus goreskan hujatan itu di pusara ini. Apakah kau akan membiarkannya?” bentakku sambil menangis serta menatap matanya dengan tajam hingga membuatnya tersentak dengan mata berkaca-kaca. “Hanya satu cara untuk menghapus kata-kata hujatan yang akan terus tergores dalam pusara ini, yaitu kau buktikan kepada mereka bahwa yang telah tertanam dalam pusara ini menumbuhkan tunas yang akan terus naik mengatasi awan dan bercahaya bak bintang di atas angkasa.” 167
“Kembali berangkatlah ke Kota Bunga setelah masa berkabung telah berujung. Hiruplah sebanyak mungkin harum mewangi dari bunga-bunga bermekaran. Minumlah sebanyak mungkin ilmu yang akan menjadi bekalmu untuk menapaki jalan-jalan yang lebih terjal dan licin yang dapat meluncurkanmu ke dalam lautan derita tiada akhir,” kataku memberi semangat sambil ku tiada tahan luapkan emosi dalam tangisku. Kakak tertunduk di atas pusara, seakan ia berkata-kata di dalam jiwa dan membahana hingga menembus sorga, “Ayah, aku berjanji akan membuatmu tenang dan bahagia di atas sana. Aku berjanji akan membuatmu tiada henti berbangga. Aku berjanji tuk membungkam setiap mulut tiada hati yang selalu menghujatmu. Aku berjanji akan menutup mata mereka yang selalu memandang hina kita. Aku akan mengubah roman mereka yang muak dengan senyum dan cinta. Tenanglah sekarang engkau, dan di atas pusara ini aku akan kembali dengan menjadi bintang yang terus bersinar di atas sana,” katakatanya dalam hati yang diakhirinya dengan menatap ke langit jingga. Kami tinggalkan pusara ayah tuk bergabung dengan keluarga yang masih berduka. Walaupun derita pernah digoreskan oleh ayah dalam hidup kami, namun bahagia juga pernah menari-nari ketika kami masih bersama. 168
Belum lenyap duka menyelimuti jiwa, tatapan mata-mata yang menghujamkan tombak-tombak hinaan menembus dada kami. Gelak tawa atas perginya ayah membahana memenuhi Lembah Derita itu, hingga api yang telah padam di dalam jiwa mulai menyala bagai belerang yang mendidih setelah ditelan Gunung Api selama bermasa-masa. Kini seluruh jiwanya terbakar dan dadanya merasakan rasa panas membara hingga merahnya api menyembul keluar dari matanya. “Benar katamu Indah. Aku tidak boleh kalah. Aku harus kembali ke Kota Bunga dan akan kembali ke sini setelah merengkuh bunga-bunga yang dapat membuat mereka terkesimak dan berebut mencium harumnya bunga-bunga yang ku sebar di Lembah Derita ini,” katanya dengan tekad bulat kembali meninggalkan Lembah Derita menuju Kota Bunga. Di hampirinya pusara ayah, sebelum ia tinggalkan duka demi mengejar cita. Kembali tergores sudah kata hujatan pada pusara, „Sang Raja Judi‟ yang dituliskan oleh tangan yang tak berjiwa dan hati yang tiada perasaan, pengecut yang bersembunyi di balik kegelapan malam dan tatapan mata. Dihapusnya kata hujatan itu dengan air mata dengan harap tenang sudah ayah di atas sana. Walau goresan kata hujatan kembali terukir di sana oleh tangan-tangan yang sama setelah kepergiannya. Ia 169
harus berjuang hingga akhirnya tiada mampu lagi tangan dan hati itu untuk menuliskan kembali kata hujatan bagi ayah oleh karena malu melihat sang putra yang telah kembali menjadi manusia yang berbeda.
**** Sejak ayahku telah pergi tuk selamanya, aku benar-benar seperti sendirian di tengah dunia yang begitu luas ini. Ibu hidup dengan dirinya sendiri, entah di mana. Ia segera menghilang usai pemakaman ayah. Ia bersembunyi dari kejaran para lintah darat itu. Kakak segera kembali ke kota dan hidup dengan segala cita dan kesibukan pekerjaannya. Dan akupun kembali menumpang di rumah Bude dan menemaninya dalam sakit yang terus mendera paruparunya. Ia mengidap TBC. Aku hidup tanpa orangtua. Tidak pernah lagi ku melihat baju baru dalam hidupku sejak itu. Semua bajuku telah usang, karena sejak hutang ayahku menumpuk selama beberapa tahun ini, hampir tak pernah ayahku membelikan baju baru. Semua bajuku pun telah usang, lusuh dan tak seorang remaja putrid pun yang sekiranya mau mengenakannya. Aku benar-benar hidup dalam kemiskinan seorang diri mengarungi hidup ini. Aku makan dari belas kasihan di rumah nenek atau Bude. Namun 170
makan pun bagaikan sekam dan minum pun bagai duri. Itulah yang sesungguhnya ku rasakan sepanjang hari-hariku setelah kepergian ayah. Yang lebih membuatku menderita adalah ketika bertemu dengan orang-orang yang kepadanya ayah atau ibu pernah berhutang. Suatu kali sepulang sekolah di tengah canda dan tawa bersama temanteman, langkahku dihentikan oleh seorang ibu, “Indah tunggu sebentar,” katanya. Aku pun berhenti, demikian juga teman-teman sekolah yang sedang berjalan bersamaku. “Iya ada apa bu,” tanyaku kepadanya. “Sekarang ibu kamu ada di mana?” tanyanya kepadaku. Aku sudah dapat membaca arah pembicaraan itu. Pasti ia sedang mencari informasi tentang ibu karena ingin menagih hutang kepadanya. “Maaf bu, saya tidak tahu alamatnya di mana. Terakhir yang saya dengar katanya ibu saya bekerja di Surabaya. Namun tepatnya di mana alamatnya saya tidak tahu,” jawabku. “Nanti kalau ketemu ibumu sampaikan kepadanya suruh segera membayar hutang-hutangnya ya,” kata orang itu dengan muka sinis. “Iya akan saya sampaikan bu,” aku menunduk dengan rasa malu yang luar biasa. Aku malu karena 171
orang itu membicarakan hutang ibuku di depan semua teman-temanku. Setelah sekiranya keperluaannya selesai, aku pun bersama teman-teman melanjutkan perjalanan kami. Aku hanya diam tertunduk sepanjang jalan. Aku benar-benar malu dengan teman-temanku. Tidak ada lagi canda dan tawa sepanjang perjalanan. Teman-teman pun hanya terdiam seakan memahami perasaan hatiku dan tidak enak hati untuk bertanya selain hanya terdiam. Sekitar dua ratus meter perjalanan kami, seorang ibu yang lain kembali menghentikanku dan langsung berkata, “Indah, sekarang ibumu di mana?” tanyanya. “Saya tidak tahu bu,” jawabku sambil tertunduk. Air mata rasanya sudah tak tahan akan jatuh dari mataku. Aku sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh ibu itu. “Bilang pada ibumu, kalau nanti kamu ketemu, suruh temui saya dan bereskan hutanghutangnya padaku,” katanya sambil meninggalkanku. Dengan masih tertunduk ku jawab, “Baik bu. Nanti saya akan sampaikan.” Aku tak tahan lagi menahan air mata yang terus mengalir di pipiku. Aku melangkah melanjutkan perjalananku sambil menangis dalam kesedihan yang mendalam. Teman172
temanku mengikuti sebagian di belakangku dan sebagian di sampingku. Aku tahu mereka ingin sekali menghibur kesedihanku namun mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka takut akan menambah kesedihanku. Maka sepanjang perjalanan sekolah kami semua diam seribu bahasa, hingga kami saling mengucapkan salam perpisahan ketika kami menuju rumah masing-masing. Sebenarnya hal seperti itu sudah sering aku alami, namun aku tidak tahu hari itu begitu menyiksaku. Aku duduk sendiri dalam sunyi dan meratapi nasibku yang begitu menyedihkan. Aku bahkan menjadi selalu was-was ketika seseorang hanya sekedar menyapa atau memanggilku. Pikiranku langsung mengarah pada prasangka bahwa orang itu akan menanyakan ibuku dan membicarakan hutanghutang ibuku. Hari itu begitu membuat aku malu, karena itu terjadi di depan semua teman-teman dekatku. Aku sungguh merasa dipermalukan dan merasa begitu hina. Seakan aku adalah anak seorang penipu yang menghilang setelah menipu banyak orang dengan meninggalkan banyak hutang. Aku sungguh malu dan menderita. Dari sejak pulang sekolah sampai sekitar pukul 3 sore aku duduk termenung, menangis dan 173
meratapi nasib burukku. Akhirnya aku pun berdiri dan melangkah ke mana kaki ini memimpinku yang penting aku dapat menghibur jiwa yang terluka ini. Sampailah kaki ini membawa ke ladang Bik Sum. Ku ceritakan duka dan kesedihanku kepadanya. Ku curahkan isi hatiku, betapa aku merasa malu dan terhina ketika setiap orang menanyakan di mana keberadaan ibu kepadaku dan membicarakan masalah hutang-hutang ibuku. Apalagi hari ini, itu dilakukan di hadapan teman-temanku. Bik Sum menghiburku agar aku senantiasa tabah dan berserah kepada Tuhan. Penghiburan itu sedikit mengobati luka hatiku. Namun tak dapat ku sangkal bahwa sulit rasanya menghapus duka lara dan penderitaan akibat merasa terhina dan direndahkan seperti ini. Aku seorang gadis dengan perasaan yang begitu lembut dan mudah terluka. Namun memang benar semuanya harus aku serahkan kepada kehendak Tuhan saja.
***** Suatu pagi di hari Minggu yang cerah, ku turuni jalan bebatu depan rumah nenek dan ku temui adik sepupuku yang selama ini telah menjadi sahabat baikku. Ada sesuatu yang ingin ku sampaikan kepadanya. Walau malu rasanya hati ini, namun terpaksa ku harus jujur agar ia tidak menungguku. 174
“Martha, maafkan embak. Kamu pergi ke gereja sendiri ya,” kataku kepada Martha di suatu Minggu pagi. “Kenapa Mbak Indah,” tanya Martha keheranan. “Mbak Indah tidak punya baju. Masa setiap Minggu pakai baju itu terus. Embak malu,” sahutku menahan pedih. Bahkan ketika orang-orang berkata aku cantik jelita bak seorang putri, namun yang disebut putri ini bajupun hanya satu. Hanya itu-itu saja. “Sebutan putri itu hanya hinaan untuk merendahkanku,” kataku dalam hati. “Ya mungkin benar aku seperti seorang putri. Seperti putri salju dengan baju putih berdebu,” pikirku kesal dalam hati. “Nggak apa-apa kali Mbak. Masak sih ada orang yang memperhatikan. Ayo kita pergi saja, atau…” kata Martha tidak melanjutkan kata-katanya. Aku lihat keraguan dan kebingungan terpancar dari matanya. “Atau apa?” tanyaku. “Mbak Indah kira-kira muat nggak ya pakai baju aku,” jawabnya polos. Aku tersenyum memandang kepolosannya. “Ya tidak mungkin muat Ta. Badanmu kan masih 175
kecil. Pendek pula. Mana mungkin muat. Kan kamu lihat Mbak Indah badannya tinggi,” jelasku sambil tersenyum dan mengelus kepalanya. “Ya sudah. Tidak apa-apa. Mbak akan temani kamu pergi ke gereja,” kataku sambil berbalik menuju rumah nenek untuk bersiap diri. Sesampainya di gereja aku perhatikan matamata yang memandangku. Aku selidik apa yang ada di balik tatapan mata mereka. Aku bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. Tidak ada satu matapun yang ku lihat menatap dan memandang hina diriku. Tatapan lembut mereka penuh kasih dan perhatian hingga membuat sirna semua perasaan rendah diriku. “Terimakasih Tuhan,” ucapku mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberikan teman-teman seperti mereka. ****
176
BABAK 9 KECUPAN BAHAGIA TERAKHIR
Malam tahun baru yang menyenangkan dan membuatku lupa akan segala duka nestapa yang selama ini mendera. Kami para muda-mudi dan remaja berkumpul di gereja untuk menyambut datangnya tahun baru bersama. Semua teman gereja hadir di sana dengan busana-busana terbaik yang mereka punya. Namun aku tetap menggunakan busana sang putri yang kusam seakan minta pensiun menemaniku pergi ke gereja. Namu tidak apa. Malam itu aku benar-benar gembira dan bahagia. “Muji, malam ini aku sangat bahagia,” kataku dengan menebar senyum termanis yang kumiliki kepada sahabat terbaikku. “Kenapa,” tanya Muji sahabat baik ku itu. “Malam ini aku dapat berkumpul dengan keluargaku. Lihat itu ada kakak di sini. Ia menyempatkan diri pulang dari kota untuk menghabiskan malam baru bersama dengan kita,” jelasku. “Walaupun orangtuaku tidak ada di sini, kehadiran kakakku sudah lebih dari segalanya. Itulah yang membuatku bahagia,” kataku yang langsung disambut dengan senyum Muji yang turut bahagia melihat kebahagianku. Seakan mereka ingin berkata, “Baru kali ini aku melihat ceria dan raut bahagia di wajah Indah. Aku ingin wajah cantikmu selalu terpancar seperti malam ini dan jangan biarkan kembalinya duka menutupinya.” 178
Aku benar-benar tidak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku ketika kakak dapat menemaniku di malam akhir tahun ini. Walaupun mungkin itu adalah kebahagiaan terakhir yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Tak seorangpun tahu apa yang ku sadari tentang keadaanku. Ku pandangi kakakku yang sedang bercengkerama dengan teman-teman lamanya, karena mereka telah lama tak berjumpa sejak kakak pergi ke kota Malang mengejar cita-cita. Di balik lampu petromax yang memisahkan aku di antara kelompok pemudi dan remaja putri dengan kakak di antara kelompok pemuda dan remaja putra, ku lihat wajah kakaku yang hanya 6 bulan atau setahun sekali bisa ku pandangi. Kakak menengok ke arahku, seakan ia sadar bila sedari tadi aku memperhatikannya. Ia tersenyum padaku yang ku balas dengan senyumku juga. Aku benar-benar bahagia malam itu, walaupun sebenarnya tubuhku semakin melemah. Tiba-tiba aku terbatuk-batuk dan ku tutup mulutku demi menjaga kesopanan sebagai seorang gadis. Ada sesuatu yang basah ku rasakan pada telapak tanganku. Ku tarik tanganku dari mulutku dan ku lihat telapak tanganku yang terasa basah, dan… “Darah!” gumamku dalam hati. Ini adalah hal biasa, yang sudah sering ku alami tanpa seorang pun tahu karena tiada pernah aku ceritakan ini kepada orang lain. 179
Kakak ternyata masih memandangiku, dan ketika ku angkat wajahku ke arahnya ia berbisik, “Kenapa?” Walaupun aku tidak mendengar katakatanya, namun dari mimik gerak bibirnya aku tahu itulah yang ia tanya. Ku geleng-gelengkan kepalaku sambil tersenyum tuk meyakinkannya bahwa tiada sesuatu yang terjadi padaku. Hanya batuk biasa. Walau di wajahnya ku lihat keraguan akan jawabku, kemudian kakak kembali bercengkerama dengan teman-temannya, sambil sesekali menatapku seakan ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi padaku. TBC! Aku yakin itu sedang menyerang paruparuku. Bude, yaitu kakak perempuan ayahku yang sering memintaku menemaninya tidur mengidap penyakit TBC selama bertahun-tahun ini. Orang kampung tidak menyadari bahwa penyakit itu adalah penyakit menular. Aku pun juga tidak pernah sadar bahwa kedekatan, bahkan tidur bersama, tak jarang saling berpelukan dapat pelan-pelan menularkan penyakit itu melalu nafas kami. Sama seperti orang-orang di kampungku, akupun tidak tahu TBC itu penyakit yang dapat menular atau tidak. Hanya saja aku mulai curiga, karena aku mengalami batuk-batuk yang sering mengeluarkan darah dari mulutku ini sejak aku sering tidur bersama Bude. Apalagi aku ingat anak bungsu Bude yang umurnya setahun di atas kakakku meninggal karena TBC pada sekitar umur 8 tahun, dan orang yang paling dekat dengan anak itu adalah 180
ibunya, yaitu Bude. Dan Bude pun mengidap penyakit yang sama. Namun karena anak-anaknya lumayan mampu, jadi ketika kesehatan Bude menurun mereka langsung membawanya ke dokter untuk dirawat dan diobati. Jika kakakku tahu bila aku terkena TBC, ia pasti akan sangat menderita. Karena aku tahu biaya yang dikeluarkan anak-anak Bude untuk pengobatan ibu mereka tidaklah sedikit. Kakak tidak mungkin memiliki uang sebanyak itu untuk membawaku berobat. Untuk hidup dan sekolahnya saja ia harus banting tulang siang-malam. Aku tak ingin kakak tahu bahwa aku sedang sakit, dan tak ku beritahu siapa pun tentang sakitku, agar mereka tidak melapor ke kakakku. Lebih baik aku nikmati saja malam Tahun Baru yang menggembirakan itu. Tak ingin TBC ini merenggut kebahagiaanku malam itu. Aku benarbenar bahagia. Kehadiran kakak di sanalah sesungguhnya yang membuatku sangat berbahagia lebih dari apapun. Pukul 00:00, kami mengakhiri doa bersama dan itu adalah saat yang menggembirakan di mana seluruh duka lara bagaikan runtuh bersama dengan suara terikan bersama dalam rasa syukur karena Tuhan telah memimpin hidup umat-Nya hingga dapat memasuki tahun yang baru. Kami yang ada di ruangan itu saling berjabat tangan mengucapkan 181
selamat Tahun Baru sambil senyum yang terindah yang kami semua miliki di jam berbahagia itu. Setelah berbahagia bersama, bersenda gurau setelah memanjatkan syukur kepada Tuhan, menikmati hidangan yang kami telah siapkan, kami pun saling berpisah dengan berkelompok-kelompok pulang ke rumah masing-masing, karena jarak tempuh antara lembah di mana kami tinggal dengan gereja membutuhkan waktu sekitar 30 menit jalan kaki menuruni bukit sebelah timur. Dengan obor di tangan beberapa pemuda, kami secara berkolompok menembus gelapnya malam itu. Dalam salah satu kelompok itu ada kakak dan saya yang berjalan di sampingnya sambil bercerita dan bercanda bersama dengan teman-teman dalam kelompok kami. Tiba-tiba saja kakak menengok ke arahku yang berada di sampingnya, “Kamu yakin tidak apa-apa. Besok kakak temani kamu ke Puskesmas ya. Batukmu itu harus diobati,” kata kakak dengan cemas. “Nggak usah kak. Ini hanya batuk biasa kok. Paling besok juga sembuh. Puskesmas paling juga tutup kan. Besok kan tanggal merah,” jawabku meyakinkannya. Aku tidak mau mengetahui fakta bila dokter menyatakan aku terkena TBC, apalagi sampai kakak mengetahuinya.
182
“Kamu yakin?” tanya kakak dengan menatapku tajam. Ku coba untuk tabah dan tak ingin ia membaca di wajahku akan keraguanku dan ku tegaskan, “Iya, aku yakin ini hanya batuk biasa. Sudahlah kakak nggak usah pikirkan. Aku baik-baik saja,” kataku. “Maafkan aku Indah. Kakak sudah jarang sekali berada di sisimu tuk menjagamu,” kata kakak dengan wajah sedih. “Aku tidak apa-apa kak. Sudah kakak tenang saja. Aku di sini baik-baik saja. Kan banyak saudara di kampung sini. Juga masih ada kakek dan nenek, juga Bude. Jadi aku pasti baik-baik saja. Justru aku yang selalu kepikiran dengan kakak. Ku dengar di kota kakak harus bekerja hingga larut malam sepulang sekolah dan pagi-pagi harus bangun kembali untuk pergi ke sekolah. Di sana tidak ada siapa-siapa. Justru aku yang kwatirkan kakak. Kalau kakak sakit siapa yang merawat…” “Sudahlah,” kakak memotong kata-kataku. “Kamu nggak usah pikirkan kakak. Kakak bisa menjaga diri,” kakak memintaku untuk tidak mengkwatirkannya. “Ya sudah kalau memang menurutmu, itu hanya batuk biasa. Namun kalau tidak sembuhsembuh nanti kamu sendiri pergi ke Puskesmas ya. Minta tolong saja sama siapa gitu untuk mengantarmu 183
ke Puskesmas. Nanti kakak tinggalin sedikit uang untukmu. Namun maafkan kakak, kakak hanya bisa kasih sedikit uang, karena kakak tidak punya banyak uang,” jelas kakak. “Iya kak. Terimakasih. Tapi kakak tidak usah banyak mikirin aku ya. Aku baik-baik saja di sini. Kakak harus fokus memikirkan sekolah dan pekerjaan,” kataku meyakinkannya. Kakak menganggukkan kepalanya dengan wajah yang masih meragukan kesehatanku. Kami terus berjalan dan kembali bercanda, bercerita dengan remaja putra dan putri dalam kelompok kami di bawah naungan langit hitam di malam gelap dan obor yang terbuat dari bambu di tangan salah satu pemuda berjalan di depan memimpin rombongan kami hingga sampailah kami di rumah masing-masing tuk beristirahat karena esok kami harus bangun pagi tuk saling berkunjung dari satu rumah ke rumah lain untuk saling memberikan ucapan Selamat Tahun Baru. **** Pagi sudah tiba. Matahari sudah agak meninggi di ufuk timur sebagai tanda sekarang sudah pukul 9 pagi. Aku dan kakak sudah siap untuk berkunjung dari rumah ke rumah. Sampai di jalan utama kampung, kami melihat banyak orang, tua maupun muda, remaja maupun anak-anak hilir mudik 184
saling memberi ucapan Selamat Tahun Baru. Mereka semuanya nampak berbeda dari biasanya, karena semua telah rapi mengenakan baju baru mereka masing-masing. “Maafkan kakak tidak bisa belikan baju baru untukmu Indah,” tiba-tiba kakak berkata kepadaku sambil menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Matanya berkaca-kaca seakan menahan air mata kesedihan melihat deritaku. Tak ingin ini merusak kebahagiaan kami. Aku menengadahkan wajahku menatap mata kakak dengan tatapan tajam yang ku usahakan tuk tampak tabah dan sembunyikan derita hatiku, dengan senyuman lebar aku berkata, “Kakak kan juga tidak pakai baju baru! Sudahlah kak, aku tidak apa-apa. Tahun Baru ini kita tidak pakai baju baru tidak masalah, yang penting kan hati kita yang harus baru,” kataku sambil tersenyum dan bermanja di hadapan kakak. “Mari kita bergabung dengan teman-teman yang lain kak,” ajakku sambil menarik tangannya untuk melangkah dan bergabung dengan teman-teman dalam sukacita dan berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Tak ku pedulikan baju usangku berbanding dengan baju baru mereka. Tak ku pedulikan apakah orang-orang menatap kami dengan hati kasihan atau 185
tidak. Aku hanya tidak ingin merusak kebahagiaan ini dengan hal-hal materiil yang tidaklah penting ini. Karena aku merasa seakan ini adalah kebahagiaan terakhir yang takan pernah datang lagi dalam hidupku. 6 bulan lagi aku lulus SMP, sementara kakak lulus SLTA. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Pokoknya aku hanya ingin menikmati hari-hari bahagia yang masih boleh aku nikmati. Matahari pun terus merangkak ke atas tepat di atas kepala kami setelah kami berkunjung dari rumah ke rumah. Sepertinya sudah lebih dari separuh rumah di kampung itu telah kami kunjungi. Matahari terus merangkak turun ke arah barat, dan tiba-tiba kakak berkata, “Sudah pukul 3. Hari sudah sore Indah. Maafkan kakak, kakak hanya bisa menemanimu sampai di sini. Kakak harus kembali ke rumah dan pamit kakek dan nenek untuk kembali ke kota. Karena kalu kesorean nanti tidak ada kendaraan. Sekarang kamu lanjutkan merayakan Tahun Baru ini dengan teman-temanmu. Kakak harus segera berangkat.” Kesedihan dan kesepian langsung merasuk ke dalam jiwaku di tengah keramaian teman-teman yang saling bercanda tatkala ku dengar kata-kata kakak, kebagaiaanku yang telah berada di puncak seakan 186
langsung runtuh ke dasar jurang duka yang begitu dalam. “Maafkan kakak Indah,” kata kakak kembali dengan menatapku karena ia melihat ada sedih dan kecewa yang nampak jelas di wajahku. “Mengapa harus hari ini kakak pergi lagi. Apa tidak bisa besok saja,” pintaku merajuk. “Besok kakak harus bekerja Indah. Kalau tidak bekerja kakak kan nggak bisa sekolah nanti. Jadi maafkan kakak ya,” pinta kakak memelas. Aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku mengerti alasan kakak. Aku hanya menganggukkan kepala dalam sedih dan kecewa. “Kamu tidak apa-apa kan, Indah. Kamu akan baik-baik saja kan bila kakak tinggal,” tanyanya ragu. Lagi aku menganggukkan kepala. “Apa perlu aku temani kakak pulang ke rumah nenek sebelum pergi ke kota?” tanyaku menawarkan diri. “Tidak usah. Kamu nikmati saja kebahagiaan hari ini dengan teman-teman. Kakak pulang sendiri saja dan setelah sampai di rumah nenek kakak langsung berangkat ke kota. Jadi ketika kamu nanti pulang kakak sudah tidak ada di rumah ya!” 187
Aku anggukkan kepalaku, “Kakak hati-hati di jalan ya. Jangan lupa jaga kesehatan. Jangan pikirkan aku karena di sini pastinya aku baik-baik saja,” pintaku meyakinkannya yang disambut dengan anggukan kepalanya. Kakak melangkah menghampiriku, memegang kepalaku dengan kedua tangannya, menatap tajam mataku dan berkata, “Mungkin 6 bulan lagi, setelah kakak lulus, kakak akan kembali ke sini. Kakak berharap dapat membawa kamu ke kota dan kita bisa hidup bersama. Kakak berharap kamu juga bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SLTA,” lalu kakak mencium pipiku, kanan dan kiri dan keningku. “Kakak pergi sekarang ya,” kata kakak sambil melepaskanku. Ia berbalik dan melangkah pulang meninggalkanku pada teman-teman. Belum jauh ia melangkah, ia berhenti dan berbalik menatapku, dengan senyum dan anggukan ku yakinkan dia bahwa aku baik-baik saja. Ia berbalik dan melangkah pergi. “Pergilah dan kejarlah cita-citamu kak,” gumamku dalam hati. Tak terasa air mata mengalir di pipiku. Baru sehari aku memiliki kesempatan berbahagia bersama keluargaku, kini kakak sudah harus pergi. Aku tidak tahu di mana ibu pada saat seperti ini. Ibu tidak pernah pulang walaupun ini adalah hari bahagia. Para 188
rentenir dan penagih hutang itu akan segera menyergapnya jika ia muncul di kampung kami. “Ayah, aku rindu ayah. Dapatkah ayah membawaku ke tempat ayah,” kataku dalam hati dengan tiada mampu air mata terbendung. “Aku rindu ayah. Aku rindu pelukan ayah. Aku rindu bermanja di pangkuan ayah. Jemputlah aku ayah. Bawalah aku pergi ke tempatmu. Di sini aku sendiri bertemankan sepi.” “Indah, sudahlah jangan bersedih. Nanti kakakmu juga akan kembali lagi,” kata teman sambil menepuk bahuku hendak menghiburku. Ku hapus air mata di pipi dengan tanganku. Ku tarik nafas panjang tuk coba tabah. Sejenak teman baik itu menatapku dan ketika melihatku tenang kembali ia mengajakku tuk bergabung dengan teman-teman menikmati sukacita dalam canda dan tawa meyambut tahun baru dengan harapa-harapan baru. Matahari terus merangkak turun ke arah barat. Sepertinya senja akan segera tenggelam dalam lautan dan malam akan tiba. Kami pun bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Dengan lemah dan putus asa aku melangkah pulang ke rumah nenek tanpa harapan. Aku tahu kakak sudah pergi. Kakak sudah tidak ada di rumah. Benar saja sampai di rumah aku hanya jumpai kakak dan nenek. “Kakakmu sudah pergi dan ini ia 189
menitip uang untuk diberikan kepadamu,” kata nenek sambil mengulurkan beberapa uang kertas kepadaku. “Terimakasih nek,” sahutku sambil menerima uang yang sangat berharga itu, uang hasil dari perasan keringat kakakku. “Kakakmu pesan supaya besok kamu pergi ke Puskesmas. Memang kamu sakit apa?” tanya nenek kebingungan. “Nggak sakit apa-apa kok nek. Aku hanya batuk biasa. Kakak saja yang berlebihan,” sahutku sambil ngeloyor menuju kamar. Ku habiskan malam itu dalam sunyi dan sepi. Malam ini sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Mungkin hanya perasaanku saja, karena baru saja aku bahagia bersama kakak, kini tiba-tiba kakak sudah tiada di sini lagi. Hatiku begitu sunyi, walaupun tidak seperti biasa justru malam itu di rumah nenek ramai. Karena anak-anak dan cucunya mulai berdatangan di penghujung hari Tahun Baru itu. Para orangtua saling bercerita dan bercengkerama demikian juga di antara anak-anak cucu nenek bermain dan bercanda. Namun aku lebih baik menyendiri di kamar dalam kesunyian. Hatiku tetap sunyi walaupun di tengah keramaian orang-orang di ruang tamu itu. Malam itu aku benarbenar kesepian. Ingin mati saja rasanya. 190
BABAK 10 TERBONGKARNYA RAHASIAKU
Enam bulan telah berlalu sejak kakakku berjanji akan kembali ke kampung tuk menjemputku. Namun belum juga ada kabar dan tanda-tanda kedatangannya. Tubuhku semakin lemah dan batukku semakin menjadi-jadi. Lebih sering lagi belakangan ini keluar darah dari mulutku ketika aku batuk. Beberapa teman dan saudara mengetahui itu, namun mereka tidak dapat berbuat atau berkata apa-apa. Mereka hanya menaruh kasihan kepadaku. Ada juga yang menganjurkanku ke dokter agar diketahui apa sebenarnya penyakitku, namun aku hanya mengiyakan saja. Aku sudah lulus SMP dan sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolah namun langkahku tidak sepanjang langkah kakakku, karena aku hanyalah seorang gadis yang sakit-sakitan. Aku tidak tahu apakah kakak benar-benar akan datang membawaku ke kota sehingga aku bisa bersama dengannya dan melanjutkan sekolah. Aku juga kasihan dengan kakak yang selama ini banting tulang sekolah sambil bekerja demi cita-cita yang ingin digapainya. Aku hanya bisa menanti. Setiap ada tetangga yang ku dengar pulang dari kota sangat ku harapkan ada yang membawa berita dari kakak. Namun tak ada satu berita pun yang mereka bawa tentang kakakku. Mengenai ibuku bahkan aku tidak tahu di kota mana lagi sekarang beliau berada. Yang ku tahu hanyalah bahwa terakhir ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di kota Surabaya. Ibu benar-benar menghilang 192
seperti ditelan bumi. tentangnya.
Tak ada kabar
apapun
Memang kakak pernah memberitahuku bahwa ibu bekerja di kota Surabaya, namun alamatnya di mana, kata kakak, ia juga tidak tahu. Ibu pernah memberi alamat dan nomer telpon tempat kerja yang lama, namun sekarang ia telah pindah ke tuan yang baru. Kakak pernah meminta ibu agar bila ia pindah kerja tidak usah memberi alamat dan nomer telpon, karena kakak tidak bisa berbohong jika ada orang menanyakan keberadaan ibu. Dengan benar-benar tidak tahu alamatnya, maka ia tidak terpaksa harus berbohong. Kakak juga pernah cerita bahwa kadangkadang ibu datang ke kontrakan kakak di kota Malang dan menanyakan kabarku dan berpesan agar aku mau bersabar dalam pencobaan berat ini karena selama hutang-hutang ayah belum terbayar ibu tidak mungkin bisa pulang ke kampung halaman. Jika kakak pada akhirnya benar-benar menjemputku dan membawaku ke kota Malang untuk hidup bersamanya, harapku ibu bisa datang menemuiku. Aku sudah rindu pada ibu. Sekian lama aku tak pernah bertemu dengannya. Di kampung ini aku benar-benar sebatang kara. Ayah telah berpulang kepada Tuhan, ibu bekerja di kota tanpa pernah menengokku, sementara kakakku juga berada di kota lain mengejar cita-citanya. Sekarang ini aku hanya 193
berharap agar kiranya kakak lulus sehingga citacitanya terwujud. Setiap hari aku habiskan waktuku hanya duduk termenung di teras depan rumah nenekku. Aku hanya berharap tiba-tiba kakak muncul dari antara pepohonan di jalan setapak di antara hamparan ladang luas menuju rumah nenek. Hati ini selalu sedih dan kecewa karena yang diharapkan datang tak kunjung datang jua. “Indah!” Suara itu mengejutkanku dan sontak membuyarkan lamunanku. Aku kenal betul suara siapa itu. Aku menengok ke belakang dan kakak ternyata sudah berdiri di sana. Segera ku bangkit dari dudukku dan ku peluk erat kakakku. Dielusnya rambut panjangku dengan penuh kasih sayang dan, “Maafkan kakak. Kakak terlambat datang adikku!” bisiknya. Ku lepaskan pelukkanku, senyum bahagia ku persembahkan kepadanya. “Nggak apa-apa kak. Yang penting sekarang kakak kan sudah di sini,” sahutku sambil tersenyum kegirangan. “Setiap hari aku duduk di sini menanti kemunculan kakak dari antara pohon-pohon itu. 194
Namun dari mana datangnya kakak, kok tiba-tiba ada di belakangku,” tanyaku heran. “Kakak lewat jalan samping dan melihatmu duduk di sini memandang ke arah jalan depan itu. Kakak tahu kalau kamu sedang menunggu kakak, maka sengaja kakak mengendap-endap lewat samping menerobos ladang itu agar dapat mengejutkanmu,” jelas kakak sambil tersenyum. “Kakak jahat,” kataku manja. “Kakek dan nenek ada di rumah?” tanya kakak tiba-tiba sambil menengok ke arah pintu rumah. “Kakek masih di kebun, tapi kalau nenek ada di rumah,” jawabku. Lalu kakak memberi isyarat kepadaku dan melangkah menuju pintu rumah diikuti olehku di belakangnya. “Nek aku pulang,” sapa kakak sambil memasuki pintu depan. Nenek memandanginya sambil tersenyum. Ku lihat bahagia nampak di raut wajahnya yang sudah keriput dimakan usia ketika melihat cucu kesayangannya datang. “Berangkat jam berapa kamu tadi nak? Jam segini kok sudah sampai rumah,” tanya nenek. 195
“Tadi berangkat pagi nek,” jelas kakak. “Bagaimana kabar ibumu?” tanya nenek dengan penuh kerinduan ingin mendengar kabar anaknya. “Baik nek. Bulan lalu ibu menjengukku di kontrakan dan Ibu juga menanyakan kabar Indah dan nenek. Ibu juga titip uang untuk diberikan kepada nenek,” jelas kakakku. Aku iri dengan kakak, karena ia masih bisa bertemu dengan ibu. Tidak seperti aku yang terpenjara di pelosok lembah ini dan tidak pernah dapat berjumpa walau hanya sekedar melihat wajah ibu sekejab mata saja. “Ya syukurlah kalau ibumu sehat. Terus di mana ibumu sekarang berada,” tanya nenek. “Ibu bekerja sebagai pembantu di Surabaya nek. Hanya saja saya tidak tahu alamatnya di mana. Aku sengaja memintanya untuk tidak memberitahu alamatnya kepadaku supaya aku tidak berdusta ketika orang-orang itu bertanya di mana ibu berada,” jelas kakak. Nenek hanya mengangguk. Sepertinya nenek bisa memahaminya. Ada kesedihan dan kerinduan kepada anaknya nampak di wajah tuanya yang sudah keriput. “Nenek ingat pada tengah malam ketika ibumu tiba-tiba muncul di rumah ini,” tiada tahan 196
nenekpun menangis sambil melanjutkan bercerita, “Nenek ingat ketika pagi-pagi buta sebelum ayam pun bangun dari tidurnya, nenek mengantar ibumu berjalan mendaki bukit itu dan terus berjalan sampai benar-benar jauh dari kampung ini. Kasihan ibumu. Bahkan ia tidak bisa pulang ke kampung dan rumah orangtuanya sendiri karena para penagih hutang yang terus mengejarnya,” suara nenek serak seperti tenggelam dalam kerongkongannya dan air matanya pun terus menetes dari pipi tuanya yang sudah keriput itu. “Sudahlah nek. Yang penting ibu sekarang kan sehat-sehat saja,” hibur kakakku sambil mengelus-elus pundak nenek yang sudah tinggal tulang. “Iya,” jawab nenek sesenggukan sambil mengusap air mata di pipinya. “Kamu sudah makan belum?” tanya nenek dengan suara yang masih parau. “Belum nek,” jawab kakak. “Sana kamu cari sendiri di dapur. Indah tolong temani kakakmu makan sana,” perintah nenek kepadaku. “Baik nek. Ayo kak,” ku tarik tangan kakak dan ku tuntun dia ke dapur. Senang rasanya siang ini aku ingin melayani kakakku. 197
“Kakak duduk saja di situ, biar aku yang mengambilkan makan untuk kakak,” pintaku. “Tidak usah Indah. Biar kakak ambil sendiri,” tolaknya. “Tidak bisa. Aku yang harus ambilkan makanannya. Kakak duduk saja di situ. Kali ini kakak harus nurut pada adikmu ini,” paksaku sambil tersenyum padanya. Aku benar-benar bahagia hari ini. Dengan sigap segera ku raih piring dari rak piring kayu yang sudah budukan dan bau itu, ku sendok nasi dan ku tuangi sayur lodeh terong ke atasnya dan ku bawakan kepada kakak yang duduk di pintu dapur. “Ini tuan pangeran, silahkan dinikmati makanannya!” candaku sambil senyum lebar tersungging di bibirku ketika ku ulurkan makanan itu kepada kakak. “Kau ini,” sahut kakak tersipu malu sambil menerima makananya. “Kamu nggak sekalian makan. Ayo temani kakak makan dong,” ajak kakak. “Tadi aku sudah makan kak. Sudah kakak saja yang makan dan aku temani duduk di sini,” jawabku sambil mengusap-usap gelondongan bambu besar untuk ku duduki. Aku duduk di samping kakakku sambil memperhatikan setiap suapan yang masuk ke mulutnya. 198
“Kenapa kamu ngelihati kakak terus? Sini bantu kakak makan,” sambil tersenyum kakak menyodorkan sesuap nasi di sendoknya ke mulutku. “Nggak ah,” sontak aku menghindari sendok itu. “Kalau nggak mau nanti kakak pergi lagi lho,” ancamnya dan terpaksa aku caplok nasi yang disuapkan kakak itu. “Sudah. Kakak saja yang makan. Aku sudah makan. Aku sudah kenyang,” protesku sambil mengunyah nasi yang masih ada di mulutku. Siang itu aku benar-benar bahagia. Panas terik matahari tak terasa. Apalagi angin cukup kencang berhembus menerpa kami berdua yang duduk di depan pintu dapur, di bawah teras. Pucuk-pucuk pohon dan daun-daun pada cabang-cabangnya melambai-lambai ditiup angin, dan bau dedaunan yang begitu segar merasuk ke dalam nafasku. Benarbenar segar. Aku sungguh bahagia. Aku temani kakakku makan sambil bercerita, bergurau dan bercanda. Jarang-jarang dan sudah lama tidak memiliki saat-saat seperti ini. “Kalian ini kayak anak sedang pacaran saja,” suara nenek yang tiba-tiba muncul mendekati kami sambil tersenyum. Rupanya nenek iri dengan 199
kebahagian kami sehingga ia juga ingin bergabung dengan kami. Aku dan kakak hanya tersenyum ke arah nenek. “Sudah kenyang belum. Sana tambah lagi kalau belum kenyang,” kata nenek sambil mencari tempat yang enak untuk duduk. “Mau tambah lagi enggak kak. Sini aku ambilkan kalau mau tambah,” tanyaku. “Sudah cukup adikku yang cantik. Kakak sudah kenyang,” sahut kakak sambil tersenyum menggodaku dan mencubit pipiku. “Kalau begitu sini piringnya biar ku cuci,” aku berdiri sambil merebut piring di tangannya yang sontak membuatnya bengong karena tiba-tiba saja piring itu terlepas dari tangannya. Segera ku bergegas ke dalam dapur tuk mencuci piringnya dan ku tinggalkan dia bersama nenek. “Bawa adikmu ke dokter,” kata nenek tibatiba yang terdengar dari tempatku mencuci piring. “Wah, nenek akan cerita apa ini sama kakak,” pikirku dengan hati was-was.
200
“Memang Indah sakit nek. Kelihatannya sehat saja,” jawab kakakku terkejut. “Batuknya itu nggak sembuh-sembuh…” jelas nenek yang langsung dipotong oleh kakak. “Batuk? Maksudnya dari enam bulan yang lalu itu belum sembuh juga? Bukankah sudah saya tinggalin uang, apakah ia tidak pergi ke dokter?” tanya kakak nrocos karena begitu terkejut dan hatinya diselimuti oleh rasa cemas. “Adikmu itu bandel. Dia tidak mau di antar ke Puskesmas. Sebenarnya batuknya itu sudah lama sekali. Bukan sejak kamu pulang yang lalu. Namun sudah lama. Kadang sembuh, kadang kambuh lagi. Begitu terus,” jelas nenek. “Kalau begitu berarti bukan batuk biasa to nek. Jangan-jangan penyakit TBC seperti Bude. Wah kenapa anak itu bandel sekali. Sudah dikasih uang kok bukan malah pergi ke Puskesmas,” suara kakak meninggi menandakan kecemasan yang luar biasa memenuhi hatinya. “Makanya mumpung kamu di rumah….” “Aku tidak apa-apa kok.” Aku potong katakata nenek ketika muncul dari pintu dapur dan duduk di samping kakak. Aku kwatir nenek akan bercerita yang bukan-bukan yang akan membuat kakak kwatir. 201
“Tidak apa-apa katamu,” sahut nenek dengan nada meninggi sambil melotot kepadaku. Aku tertunduk tidak berani menantang tatapan mata nenek yang sudah mulai marah. “Bibi kamu bilang, katanya pernah melihat kalau ada darah keluar dari mulut adikkmu, ketika adikmu batuk-batuk,” jelas nenek yang sontak membuat kakak terkejut dan langsung menoleh ke arahku dengan hati penuh tanya. Aku tertunduk saja. “Benar begitu Indah?” tanya kakak dengan suara meninggi karena cemas. Tak kuasa ku tuk menjawabnya selain mengangguk lesu membenarkan cerita nenek. “Sejak kapan kamu batuk dan mengeluarkan darah?” tanya kakak dengan kecemasan yang begitu mendalam di wajahnya. “Hanya kadang-kadang saja kok kak. Ya kadang kalau batuknya keras ada sedikit darah. Kalau batuk biasa-biasa saja ya nggak ada darahnya,” jelasku sambil merasa ketakutan. Kakak pasti marah kalau mengetahui kebenarannya. “Kakak tanya sejak kapan. Waktu kakak pulang beberapa bulan yang lalu, pada waktu tahun baru itu, sudah begini. Ada darah keluar saat kamu 202
batuk?” tanya kakak mendesakku. Aku hanya mengangguk dan tertunduk lesu. “Ya Tuhan, Indah. Mengapa dulu itu kamu yakinkan kakak kamu baik-baik saja. Mengapa kamu pun tidak pergi ke Puskesmas. Bukankah kakak tinggalkan sedikit uang untuk kamu. Kalau nanti penyakitmu makin parah bagaimana,” kakak terus bicara nerocos hingga akhirnya menarik nafas panjang karena tidak tahu harus bicara apa lagi. “Makanya mumpung kamu di rumah. Paksa dan bawa adikmu ke Puskesmas. Mudah-mudahan saja penyakitnya tidak berbahaya. Tapi periksakanlah dulu,” permintaan nenek kepada kakak. “Besok kamu harus ikut kakak ke Puskesmas. Kita minta dokter memeriksamu apa sebenarnya sakitmu,” kata kakak sambil memandangiku yang masih tertunduk. Aku tidak berani mengangkat wajahku menatap matanya. Aku hanya terdiam tak tahu harus bagaimana. Rasanya aku ingin segera keluar dari suasana yang tidak menyenangkan ini. Namun sayangnya aku tidak bisa. Nenek terus menceritakan tentang penyakitku dan memberitahu kakak betapa bandelnya aku yang tidak mau diurus oleh adik-adik ibuku. Berkali-kali kakak menatapku yang sedang tertunduk dengan tatapan tajam ketika nenek terus bercerita yang menurutku kadang-kadang melebih-lebihkan 203
keadaanku. Namun aku tidak dapat berkata apa-apa, kecuali diam membisu, tertunduk lesu mendengar ocehan nenek dan tatapan tajam mata kakak. Sesekali ku beranikan mengangkat wajah dan memandang kakak, namun segera tertunduk kembali ketika kakak membalas tatapanku. Aku melihat kecemasan yang begitu mendalam di wajah kakakku. Aku justru kwatir dengan keadaannya. Aku takut ocehan nenek itu justru membuatnya semakin mengkwatirkanku dan tersiksa karena merasa telah membiarkanku menderita dalam sakit selama ini. Sepertinya nenek tak pernah kehabisan bahan cerita tentang diriku hingga pukul 3 sore nenek masih terus bicara di teras depan dapur itu. Kakak memandangiku yang masih tertunduk lebih dari dua jam itu. Mungkin timbul rasa kasihan di hatinya. Tiba-tiba kakak menepuk bahuku, “Sudah Indah. Nggak apa-apa. Kakak tidak marah,” kata-kata itu sontak mengangkat jiwaku dari pilu ke dalam kegembiraan. Pelan-pelan ku beranikan diriku untuk mengangkat wajahku, dan kakak tersenyum menatapku sambil mengelus-elus rambut panjang berombakku. “Nanti kamu ikut kakak ke Puskesmas ya,” kata kakak dengan lembut sambil tersenyum kepadaku. Aku melihat kecemasan dan kesedihan dari 204
dalam senyumnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali ku anggukkan kepalaku. “Sekarang coba ceritakan kepada kakak, bagaimana kabarmu selama beberapa bulan sementara kakak tidak ada di sini,” pinta kakak sambil tersenyum lebar memecah suasana yang mencekamku itu. Dengan tersenyum aku kembali menemukan kegembiraanku kembali dan ku ceritakan kepada kakak apa saja yang ku lewati selama beberapa bulan berpisah ini. Terutama hal-hal yang menyenangkan dan lucu, walaupun tak banyak halhal seperti itu yang ku lalui. Kakakku dengan seksama memperhatikanku sambil tersenyum seperti murid sekolah yang sedang mendengarkan gurunya sedang menjelaskan sesuatu kepadanya. Setelah suasana yang sangat menyiksaku itu, kembali ku temukan bahagia bersama dengan kakak. Ku habiskan hari itu bersama dalam canda, cerita dan tawa. Matahari terus merangkak ke barat hingga akhirnya bersembunyi di balik punggung bukit dan bintang-bintang segera menguasai malam bertebaran di langit yang cerah. Bulan pun menggantung di langit dengan begitu anggunnya. Ladang-ladangpun nampak tersapu cahaya emas sang bulan. Begitu indah bak di negeri dongeng.
205
Tiba-tiba kakak bertanya kepadaku sambil menengadahkan wajahnya ke langit, “Coba pilih salah satu dari bintang-bintang yang bertebaran di langit itu, yang mana yang ingin kau gapai?” Aku mengangkat wajahku ke langit dan menyapu hamparan bintang-bintang dan aku pun menjawab pertanyaan kakak, “Tidak ada!” “Tidak ada?” tanya kakak terkejut yang sontak menarik tatapannya dari langit menengok ke arahku. Aku masih memandang ke langit, “Ya, tidak ada satu bintang pun yang ingin ku gapai kak. Karena aku justru ingin menjadi salah satu dari bintangbintang itu,” jawabku sambil terus memandang ke langit. Kakak mengangguk dan kembali memandang hamparan bintang di langit dan berkata, “Tunjuklah, kamu ingin menjadi salah satu bintang yang mana!” Ku tunjuk salah satu bintang yang bercahaya begitu terangnya di atas langit sana dan ku katakan, “Aku ingin menjadi bintang itu kak.” Kakak memandang ke arah bintang yang ku tunjuk. Dipandanginya terus bintang itu sampai tak berkedip.
206
Kami duduk-duduk di halaman rumah sambil menikmati bintang-bintang dan cahaya bulan keemasan dengan semilir angin menerpa kami. Melanjutkan cerita dan canda, hingga suara nenek menghentikan keseriusan kami. “Tidak ingat makan ya. Sana ambil makan dulu,” tegur nenek dari depan pintu rumah. “Baik nek,” jawab kakak sambil berusaha akan berdiri dari duduknya yang langsung ku tekan bahunya, “Sudah kakak duduk saja. Aku yang akan melayani tuanku,” kataku mengganggu kakak. “Sudah aku ambil sendiri,” berontak kakak. “Tidak. Kakak duduk saja. Nanti makanan kakak akan datang sendiri ke sini. Nikmati saja tarian pepohonan di bukit sana,” sambil aku menunjuk ke arah bukit di depan kami, “sudah lama kakak tidak menikmati keindahan alam di sini,” tegasku sambil berdiri dan berlari menuju ke arah pintu luar dapur yang berada di samping rumah. Kakak pun terpaksa menurutiku tetap duduk sambil menikmati suasana indah malam yang cerah oleh karena cahaya bulan purnama itu sambil menunggu datangnya makanan yang akan ku bawakan untuknya.
207
Sepertinya kakak begitu menikmati pemandangan alami malam itu. Aku sungguh mengerti begitu lama ia tidak menikmati alam yang begitu indah yang menyimpan banyak kenangan sewaktu kami masih anak-anak. Kakak menatap jalan setapak di lereng bukit, jalan terjal yang setiap pagi harus kami daki ketika masih SD dulu. Tiba-tiba ia tersenyum, sepertinya ia mengingat sesuatu. Mungkin saja ia mengingat pada waktu terpeleset jatuh di bukit terjal itu hingga seluruh pakaiannya kotor karena lumpur dan tanah. Begitu asyiknya ia bernostalgia dalam kenangan dan pikirannya sendiri sampai tak menyadari kalau aku sudah kembali berada di belakangnya. “Ini makanan sudah siap tuan,” candaku membuyarkan lamunannya. Ku serahkan piring berisi makan malamnya di tangan kananku sementara tangan kiriku memegang satu piring lagi berisi makan malamku. Ia menerima makanannya sambil tersenyum. “Sudah nikmati dulu makan malamnya kak. Nanti dilanjutkan lagi melamunnya,” godaku. Kakak hanya tersenyum sambil memandangku dan kemudian mulai menyendok dan menyuapkan ke mulutnya.
208
“Sudah lama sekali ya Indah,” tiba-tiba ia berkata sambil menguyah makanannya pelan-pelan. “Apanya yang lama,” tanyaku. “Kamu ingat nggak waktu aku jatuh di lereng itu,” ia menunjuk dengan sendok di tangannya ke arah jalan terjal lereng di dekat rumah nenek itu. Aku tersenyum. Aku tidak pernah melupakan perjuangan anak-anak kecil dalam menuntut ilmu hingga tiap pagi mendaki lereng bukit terjal itu dan jalanan begitu licin ketika musim hujan dan bagaimana kakak pernah terpeleset jatuh di sana. “Tak terasa sekarang kita sudah besar. Aku sudah lulus SLTA sementara kamu sudah lulus SMP. Anak-anak kecil itu benar-benar luar biasa ya,” kata kakak memuji diri kami sendiri ketika mengingat semasa kecil itu. Kami nikmati makan malam kami sambil duduk di sebongkah batu di halaman rumah di bawah terpaan sinar bulan dan hembusan angin malam. Sungguh malam yang membahagiakan. Aku pernah berpikir saat-saat seperti ini tidak pernah terjadi dalam hidupku. Aku pikir kebahagiaan tahun baru beberapa bulan yang lalu adalah kebahagiaan terakhirku. Namun ternyata aku salah.
209
Kakak menetapi janjinya untuk datang walaupun sedikit terlambat. Kamipun tak beranjak dari duduk kami walaupun makanan dipiring kami sudah habis. Kami letakkan piring-piring itu di tanah di samping kami duduk dan tiba-tiba kakak dengan wajah serius bertanya, “Jujur pada kakak, apa sebenarnya yang kamu rasakan dengan penyakitmu itu?” “Ya sering batuk saja kak. Memang benar kadang-kadang kalau batuknya terlalu keras akan keluar darah dari mulutku. Tapi kakak tidak perlu kwatir lah,” jawabku meyakinkannya. “Oh iya, Indah. Gimana kamu melanjutkan sekolah atau tidak?” tanyanya.
ingin
“Sebenarnya sih ingin kak. Tapi kan tidak ada biaya. Nggak apa-apa, aku tidak usah melanjutkan sekolah, yang penting aku bisa tinggal sama kakak saja aku sudah senang kok,” jelasku. Sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolahku, namun aku tidak ingin menjadi beban kakak nantinya. Asal bisa hidup bersama keluarga, bisa tinggal bersama kakak saja aku benar-benar sudah cukup bahagia. Karena mungkin di sana aku juga dapat bertemu dengan ibu yang menurut kakak kadangkadang datang berkunjung.
210
“Indah. Maafkan kakak, karena sepertinya kita belum bisa tinggal bersama,” jelas kakak dengan wajah sedih yang sontak membuat hatiku hancur. Harapanku tiba-tiba runtuh dan wajah ceriaku tibatiba berubah sedih dan hati pun menjadi pilu. Sepertinya kakak langsung menangkap perubahan wajah dan hatiku dan didekatilah diriku. Dielus-elusnya rambutku dan mulailah ia berusaha menghiburku, “Maksud kakak itu begini Indah. Demi kebaikan kamu dan juga kakak. Demi masa depan kita,” kakak mulai menjelaskan dan berharap bisa meyakinkanku tuk tatap hidup dalam harapan. “Kakak ingin melanjutkan kuliah. Kakak sudah mencari perguruan tinggi di mana ada kemungkinan besar kakak dapat beasiswa atau sponsor dan kakak sudah mendaftar dan menunggu panggilan untuk mengikuti tes masuk,” jelasnya. “Kali ini mungkin kakak tidak bisa kuliah sambil bekerja. Karena kampusnya bukan di kota Malang, di mana selama ini kakak sekolah dan bekerja. Kakak mungkin harus tinggal di asrama. Jadi tidak mungkin kan membawa kamu,” jelasnya kepadaku seakan ingin aku dapat memahaminya. “Aku tidak apa-apa kok kak. Kalau begitu ijinkan aku pergi ke kota untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga ya,” jawabku karena aku tidak betah lagi dalam kesendirian di kampung yang 211
sepi ini. Kalau aku bekerja di kota, mungkin aku bisa berharap ibu dapat menemuiku. “Tidak, Indah. Kamu tidak boleh bekerja. Katanya tadi kamu ingin sekolah. Jadi kamu harus tetap melanjutkan sekolah,” kata kakakku yang jelas membuatku bingung tak mengerti. Kalau kakak tidak lagi bekerja dan pindah ke kota lain, dengan siapa aku akan tinggal di kota dan siapa yang akan membiayai sekolahku. Aku benarbenar tidak mengerti apa yang kakak maksudkan. “Begini Indah. Kakak telah mendapat informasi bahwa kamu bisa masuk ke sekolah asrama. Selain belajar, di sana kamu juga akan diajari berbagai ketrampilan dan untuk biaya hidup dan sekolah ada kemungkinan dicarikan sponsor oleh pihak sekolah,” jelas kakakku dengan harapan agar aku mau pergi ke sekolah asrama itu. “Di mana sekolah itu kak?” tanyaku dengan harapan yang kembali muncul di hatiku. “Di kota Surabaya. Ibu sebenarnya juga berada di kota itu. Jadi siapa tahu nanti ibu bisa sering menengokmu,” jelas kakak memberi harapan. “Bagaimana menurutmu?” tanya kakak ingin mendengar tanggapanku. 212
“Iya aku mau kak. Terus siapa nanti yang mengantarku?” tanyaku. “Nanti kita lihat apa teman kakak bisa membantu karena kakak juga belum tahu persis di mana tempatnya. Seumur hidup kakak kan belum pernah pergi ke kota Surabaya,” jelasnya. Aku hanya mengangguk. Kemudian kami terdiam dan kembali menikmati malam cahaya purnama malam itu, hingga malam semakin larut dan kami pun harus masuk untuk beristirahat karena paginya harus segera siap-siap pergi ke Puskesmas sebagaimana janjiku kepada kakak. **** “Ayo Indah kita harus buruan berangkat. Nanti Puskesmasnya sudah tutup lho,” panggil kakak sementara aku masih di kamar untuk bertukar pakaian. “Sudah siap?” tanya kakak ketika aku muncul di hadapannya. Aku hanya menganggukkan kepala. “Kenapa? Kamu takut? Nggak usah takut. Paling-paling cuma diperiksa dan dikasih obat. Jadi kamu tidak perlu takut,” kata kakak meyakinkanku. Aku hanya menggangguk. Sebenarnya aku bukan takut dokter atau takut diobati. Yang ku 213
takutkan hanyalah bila dokter itu memberitahu kami bahwa penyakitku adalah penyakit berbahaya. “Sudah mau berangkat,” tanya nenek yang tiba-tiba muncul dari arah dapur. “Iya nek. Saya mau bawa Indah ke Puskesmas Binangun,” jelas kakak. “Kok ke sana. Di dekat balai desa kita kan ada Puskesmas,” tanya nenek heran. “Lebih baik aku bawa ke Puskesmas Binangun, karena katanya di sana peralatannya lebih lengkap dan dokternya lebih baik,” jelas kakak. Nenek hanya memandangi kami seolah tidak mengerti apa yang dijelaskan kakak. Maklum ia sudah tua dan wawasannya hanya seluas lembah di mana kami tinggal. “Baik kami berangkat dulu nek,” kata kakak sambil melangkah keluar pintu yang ku ikuti dari belakang. Nenek pun hanya membiarkan kami pergi.
mengangguk
dan
Belum jauh kami melangkah tiba-tiba nenek menghentikan langkah kami, “Jadi ke Puskesmas Bingangun ya,” tanya nenek. 214
“Iya nek. Memang kenapa?” tanya kakak heran. “Oh iya, teman ayahmu tempo hari datang menanyakan ibumu. Coba nanti kamu mampir ke rumahnya dan tanyakan ada masalah apa. Kata orang rumah teman ayahmu dekat dengan Puskesmas Binangun,” jelas nenek. “Baik nek. Saya akan coba mampir ke rumahnya nanti,” jawab kakak sambil berbalik dan melangkah pergi. Aku mengikuti di belakangnya. Sepertinya kakak sudah mengerti tentang teman ayah yang dimaksud nenek. Kami pun pergi menyusuri ladang yang luas menuju jalan utama kampung. Sesampainya di jalan kampung kami terus berjalan ke arah timur, mendaki bukit sebelah timur dan terus berjalan menuju pasar desa karena di sanalah kami akan menemukan angkutan umum yang akan membawa kami ke Puskesmas itu. **** “Adik saya sakit apa dok?” tanya kakak segera setelah dokter memeriksa tenggorokanku. “Tidak apa-apa. Tidak perlu risau,” jawab dokter sambil menulis kwitansi biaya berobat yang harus kami bayar. 215
“Tapi sering ada darah keluar dari mulutnya ketika ia batuk dok,” desak kakak. “Oh itu disebabkan oleh karena luka di tenggorokan akibat batuk terlalu keras. Tapi tidak ada masalah yang serius kok,” jawab dokter Puskesmas itu meyakinkan. Aku begitu lega mendengar penjelasan dokter itu. Ternyata penyakit mematikan yang sering aku bayangkan itu tidak terjadi padaku. Namun aku masih melihat keraguan di wajah kakak bahkan setelah kami membayar biaya pengobatan dan melangkah keluar dari ruang pengobatan. “Sepertinya ada yang tidak beres,” katanya tiba-tiba. “Apanya yang tidak beres kak,” tanyaku. “Sepertinya dokter itu tidak teliti atau karena peralatan di Puskesmas ini tidak memadai,” jelasnya dengan wajah yang tidak puas. “Sudahlah kak. Dia kan dokter. Tentu jauh lebih tahu dari kita. Dokter bilang kan darah itu hanya akibat luka tenggorokan akibat batukku terlalu keras. Dan memang benar demikian. Hanya ketika aku batu terlalu keras maka berdarah. Kalau tidak batuk terlalu 216
keras nggak berdarah kok,” jelasku meyakinkannya agar tidak berpikir macam-macam. Kakak hanya diam namun aku masih melihat keraguan di wajahnya hingga ku alihkan pembicaraan agar ia tidak terus larut dalam kecurigaannya. “Gimana sekarang kita jadi mampir ke rumah mantan teman ayah tidak,” tanyaku membuyarkan pikirannya. “Oh iya, aku hampir lupa. Iya kita mampir dulu ke sana, siapa tahu ada kabar baik yang dapat kita peroleh,” jelasnya kepadaku. “Kakak tahu rumahnya?” tanyaku. “Katanya sih nggak jauh dari sini. Kita tanyatanya orang saja nanti pasti ketemu,” jelasnya. “Mudah-mudahan dari teman ayah kita dapat uang sehingga bisa membawa kamu ke rumah sakit di Wlingi, karena peralatan rumah sakit di sana lebih lengkap,” kata kakak tiba-tiba. “Dapat uang? Memangnya ia saudara kita?” tanyaku dengan wajah bingung tak mengerti dengan ucapan kakak. “Begini Indah. Yang pernah ku dengar, dulu ayah pinjam uang ke Bank dengan memberikan 217
sertifikat tanah kita sebagai jaminan itu tidak sendirian. Dulu katanya, mudah-mudahan nggak salah, sebenarnya uang yang diperoleh dari pinjaman Bank itu dipakai bersama antara ayah dan temannya itu, walaupun jaminannya adalah tanah kita. Kalau nggak salah ayah pernah bilang kalau ia membantu temannya untuk menjaminkan sertifikat tanah ke Bank untuk memperoleh modal usaha temannya itu. Ketika uang telah diperoleh sebagian diambil ayah, dan kamu tahu, dihabiskannya di meja judi, sementara sebagian lagi dipakai temannya itu untuk modal usaha. Jadi siapa tahu saja kita disuruh datang untuk menerima sedikit uang dari keuntungan bisnisnya,” jelas kakak yang sebenarnya aku pun tidak mengerti apa maksudnya. Setelah kami bertanya ke beberapa orang yang kami temui di jalan akhirnya kami tahu di mana rumah teman ayah itu dan segera bergegas berjalan menuju ke sana. “Wah rumahnya bagus kak. Megah!” kataku kepada kakak. “Iya. Jangan malu-maluin nanti ya kalau masuk ke rumah orang kaya,” pesan kakak yang ku jawab dengan anggukan kepalaku. Ternyata rumah teman ayahku itu megah sekali. Tidak seperti rumah orangtuaku yang terbuat dari bilik bambu dan itupun sudah dijual demikian 218
juga dengan tanahnya yang disita oleh pihak Bank. Rumah tembok itu begitu luas dan megah. Aku benarbenar berharap disambut dengan ramah oleh si pemilik rumah, karena ia adalah mantan teman baik ayahku. Setelah mengucapkan salam di depan pintu yang terbuka itu, sang tuan rumah muncul dan menanyakan siapa kami dan apa keperluan kami. Kakak memperkenalkan dirinya dan datang ke rumah itu karena katanya ada pesan dari teman ayah yang sedang mencarinya. Ibu itu rupanya langsung mengerti dan mempersilahkan kami masuk. Dengan hati-hati kami masuk dan setelah dipersilahkan duduk kami pun duduk di sofa yang empuk itu. Benar-benar seumur hidup baru kali ini aku duduk di sofa yang begitu nyaman sambil melihat-lihat ruangan rumah yang megah. Kakakku segera menyenggol kakiku dengan kakinya dan memberi isyarat supaya aku tidak melihat ke sana kemari. “Iya, begini ibu. Kami kemari ingin bertemu Bapak, karena katanya Bapak ingin bertemu saya. Bapaknya ada di rumah?” kakak menjelaskan maksud kedatangannya. Si ibu yang tiada lain adalah istri mantan teman ayah itu kemudian menjelaskan bahwa 219
suaminya tidak ada di rumah. Kemudian mulailah ia menjelaskan mengapa suaminya mencari kami. “Begini nak ya. Perlu kalian ketahui bahwa sebelum meninggal ayah kamu telah meninggalkan hutang Bank yang menjadi beban keluarga kami. Sejak menerima pinjaman ayah kamu tidak pernah membayar bunganya sehingga sekarang bunganya telah menumpuk. Makanya kami mencari keluarganya untuk memintanya bertanggung jawab atas masalah ini,” jelasnya yang sontak membuat kami terkejut. Kakak tentu terkejut karena tadi ia berharap datang ke rumah itu memperoleh sesuatu yang dapat dipakai untuk membawaku berobat, karena ia pikir ayah adalah orang yang pernah menolong temannya untuk memberikan sertifikat tanah demi memperoleh modal usahanya. Tetapi justru sebaliknya sekarang istri teman ayah meminta kami bertanggung jawab membayar hutang ayah. Benar-benar membingungkan. “Wah kalau begitu kami tidak mengerti apaapa soal itu bu. Itu terjadi sudah lama sekali ketika kami masih kanak-kanak,” jelas kakak kepada sang tuan rumah. “Tapi kamu kan anaknya. Sekarang kamu dong yang harus bertanggung jawab,” tegasnya 220
dengan wajah yang berubah seperti ingin marah dengan suara meninggi. “Begini saja bu. Karena saya tidak mengerti masalah yang sebenarnya, nanti saya minta ibu saya untuk menemui ibu atau bapak untuk menjelaskannya, karena mungkin ibu kami lebih mengerti masalah ini,” jelas kakakku dengan berusaha bersikap tenang. “Ya sudah, segera suruh ibu kalian datang menemui kami, kalau tidak tanah kalian akan benarbenar hilang disita Bank,” jelasnya. Akhirnya kami pun pamit pulang dan ketika meninggalkan rumah itu, aku masih melihat bingung dan sedih terlihat di wajah kakak. “Bukannya dapat duit, malah dimaki-maki,” kataku sambil terus berjalan di samping kakak. “Kakak jadi bingung. Seingat kakak dulu ayah pernah bilang bahwa dengan menjaminkan tiga sertifikat tanah kita ayah dan temannya mendapat pinjaman dari Bank. Dan uang itu katanya dibagi dua, di mana sebagian besar dipakai temannya untuk modal usaha. Kalau benar begitu bukankah mereka yang seharusnya berhutang kepada keluarga kita, mengapa kok jadinya malah kita yang berhutang kepada mereka. Aku benar-benar bingung,” jelas 221
kakak dengan wajah yang memang benar-benar nampak bingung. “Dan lagi, aku pernah dengar katanya tanah itu sudah disita Bank, tetapi mengapa si ibu tadi bilang kalau kita tidak dapat membereskan hutang pokok serta bunganya maka kita akan kehilangan tanah kita. Kalau demikian tanah itu masih milik kita dong,” kakak terus bicara dalam kebingungan. “Ya sudah biar ibu saja yang selesaikan kak. Kalau kakak minta ibu ke sini aku pikir tidak masalah. Kan jauh dari kampung kita. Tidak ada yang tahu kan,” usulku memberi jalan keluar. “Iya ibu memang harus datang kemari. Siapa tahu nanti justru ternyata kita malah bisa ambil kembali tanah keluarga kita,” jelas kakak yang tak ku mengerti bagaimana caranya. Aku juga tidak tahu apakah kakak mengerti apa yang ia sendiri katakan. “Bagaimana mungkin kita bisa mengambil tanah kita kembali, kalau hutang-hutang ke Bank tidak diselesaikan. Uang dari mana untuk menyelesaikannya,” kataku dalam hati karena bingung dengan kata-kata kakak. Kami pun terus melangkah menyusuri jalan kampung itu menuju jalan utama di mana kami dapat memperoleh angkutan umum menuju pasar desa kami. Namun tiba-tiba kakak mengubah rencananya, 222
“Indah, kamu berani nggak pulang sendiri? Kakak sih mau coba pergi mencari informasi tentang jadwal tes masuk ke kampus dan nanti sore kakak kembali lagi ke rumah nenek,” tanya kakak kepadaku. “Oh begitu. Saya bisa kok kak. Kan saya bukan lagi anak-anak, masa sih tidak berani,” sahutku sambil tersenyum. “Baik kalau begitu nanti kakak tunggu sampai kamu dapat angkutan umum, baru setelah itu kakak cari angkutan umum ke kota,” jelas kakak. “Tapi nanti sore kakak langsung pulang kan?” tanyaku berharap, karena baru sehari ketemu kok sudah berpisah lagi. “Tenang saja adikku sayang. Kakak pasti akan kembali ke rumah nenek nanti sore. Kamu tunggu saja di rumah ya,” jelasnya sambil tersenyum dan mencubit pipiku. Setelah sampai di jalan raya kami pun menunggu beberapa saat karena belum tentu setiap satu jam sekali ada angkutan umum yang lewat. Tidak lama kemudian ada angkutan umum lewat. “Aku pulang dulu kak,” kataku sambil menuju pintu angkudes (angkutan desa). 223
“Iya, hati-hati!” sahut kakak melepasku pergi. Sekitar pukul 1 siang aku tiba di rumah kembali dan aku pun langsung menyibukkan diri dengan membantu nenek mengumpulkan kayu-kayu kering di belakang rumah. “Kemana kakakmu, kok nggak pulang bareng,” tanya nenek sambil membersihkan rantingranting kecil dari kayu kering dengan parangnya. “Katanya ke kota sebentar nek. Nanti sore juga pulang,” jawabku. “Terus tadi jadi ke dokter. Apa kata dokter. Kamu sakit apa,” tanya nenek. “Kata dokter sih hanya luka pada tenggorokan ketika batuknya terlalu keras, jadi berdarah,” jelasku. “Syukurlah kalau begitu. Terus tadi jadi mampir ke rumah teman ayahmu,” tanya nenek. “Jadi nek,” jawabku. “Terus katanya apa,” tanya nenek sambil menengok ke arahku serius. “Aku nggak ngerti masalahnya nek. Aku bingung. Nanti saja tanya kakak. Dia mungkin yang dapat menjelaskannya,” jawabku. 224
“Ya sudah kamu kumpulkan kayu-kayu yang nenek sudah bersihkan ini ke sebelah sana ya,” kata nenek sambil menunjuk ke arah tumpukan kayu bakar di teras belakang dapur. “Di tumpuk saja di sana. Nenek mau menyusul kakek ke ladang,” jelas nenek sambil melangkah pergi dengan parang masih di tangannya. “Iya nek,” jawabku sambil mengumpulkan kayu-kayu kering untuk ditumpuk di pojok teras belakang dapur itu. Hari terus berjalan, matahari pun terus merangkak ke barat. Setelah ku selesaikan pekerjaanku di belakang rumah, aku masuk dapur melihat apa yang bisa aku lakukan untuk mempersiapkan makan malam. Sesampai di dapur aku termenung sejenak memikirkan apa yang akan dimasak hari ini. “Oh iya,” aku bicara sendiri sambil mengacungkan jari telunjuk ke depan wajahku sendiri. “Aku harus cari sayur bayam di ladang. Kakak pasti suka nanti kalau pulang ada sayur bayam berkuah santan kesukaan kami pada waktu kecil tersedia. Pasti sudah lama dia tidak makan sayur bayam,” gumamku dalam hati. Aku pun segera bergegas menyusul nenek ke ladang, menyusuri 225
hamparan ladang luas, menyeberangi sungai kecil dan akhirnya sampailah ke ladang. Ku lihat nenek sedang memetik sesuatu sementara kakek dengan tubuhya yang sudah renta mencangkul membersihkan rumput di antara tanamannya. “Nenek cari apa,” tanyaku tiba-tiba sambil melangkah menuju ke arahnya. Nenek pun berbalik kepadaku yang sudah berada di belakangnya. “Pekerjaanmu sudah selesai. Semua kayunya sudah ditumpuk rapi,” tanya nenek memastikan. “Sudah beres semua nek,” jawabku. “Lalu kamu ke sini mau apa,” tanya nenek sambil memetik daun-daun kacang yang masih muda. “Mau cari bayam nek. Kakak kan suka sayur bayam,” jelasku. “Ya sudah kalau begitu sana kamu petik sayur bayam di sana,” nenek menunjuk ke arah beberapa bayam yang tumbuh liar di ladang itu, “nanti kita campur dengan daun kacang muda ini,” jelas nenek sambil terus memetik daun kacang yang masih muda. Matahari terus merangkak ke barat, namun kakak pun belum kelihatan datang. Karena pastinya ia 226
akan melewati jalanan setapak di pinggir ladang nenek kalau misalnya ia sudah pulang. “Sudah kamu pulang dulu dan bersihkan sayurnya, nanti nenek menyusul dan memasaknya,” perintah nenek setelah sayur yang kami perlukan cukup. “Tidak usah nek. Biar saya saja yang masak,” pintaku sambil melangkah pergi. Sesampainya di rumah dengan semangat ku bersihkan sayur dan mempersiapkan segala sesuatu termasuk memarut kelapa untuk mendapatkan santannya sebelum aku mulai memasak sayur kesukaan kakak itu. Namun aku gelisah karena sudah sesore ini kok kakak belum pulang. Apakah semua urusannya beres. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengannya dan segera berada bersama kami di sini. “Sayur sudah siap, nasi pun sudah matang, sekarang waktunya mandi,” gumamku dalam hati setelah semua beres. Aku pungut handuk yang sedang dijemur di jemuran kawat depan dapur dan mengambil ember kecil berisi sabun dan perlengkapan mandi dan ku lihat di kejauhan nenek menggendong keranjangnya dan kakek memanggul cangkulnya, “Rupanya mereka sudah pulang,” 227
gumamku dalam hati sambil melangkah pergi untuk mandi. Matahari sudah mulai tenggelam di balik bukit sebelah barat, “Apa mungkin kakak juga belum kembali juga ya,” gumamku dalam hati. “Kakak sudah pulang belum nek,” tanyaku segera setelah aku kembali dari mandi. “Belum,” jawab nenek. “Kemana ya dia. Kok jam segini belum pulang,” pikirku dihinggapi rasa cemas. Aku terus menunggu bahkan hingga malam sudah mulai menyelimuti bumi. “Sudah, kamu makan sana dulu,” perintah nenek yang melihatku duduk di halaman menunggu kakak. “Nanti saja nek. Nunggu kakak. Nanti makan bareng kakak,” jawabku. “Kakakmu mungkin tidak pulang. Sudah gelap begini mana mungkin ada kendaraan,” jelas nenek rasional.
228
“Iya nek. Saya tunggu sebentar lagi, siapa tahu tadi mampir ke rumah teman sebentar jadi terlambat sampai di rumah,” jawabku berharap. Benar saja. Kakak belum muncul hingga sekitar pukul 9 malam. Itu artinya kakak tidak mungkin pulang malam ini. Semalam itu tidak mungkin ada angkutan umum. Maka dengan lemah aku bergegas menuju dapur mengambil nasi dan sayur bayam kesukaan kami dengan tidak begitu semangat. Ada kekecewaan di hatiku. Aku sudah mempersiapkan semua ini ternyata kakak tidak pulang hari ini. Sayur kesukaanku itu pun terasa hambar di lidahku. Karena yakin kakak tidak pulang aku pun pergi tidur dengan masih sedikit harapan siapa tahu tiba-tiba kakak muncul walaupun sudah malam. Di kamar pun aku susah tidur mencemaskan kakak. Karena tadi siang ia telah berjanji pulang, kok sampai sekarang belum muncul juga. “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu padanya,” doaku dalam hati. Sunyinya malam dan desahan angin malam akhirnya melelapkanku dalam tidur. **** Ayam berkokok, di susul dengan kicau burung-burung bersautan tanda bahwa pagi sudah 229
tiba. Aku bangun dan langsung menuju dapur mengambil sapu lidi dan menyapu halaman, membersihkan daun-daun yang berserakan di halaman rumah karena tiupan angin. Seperti itulah kebiasaan anak gadis di desa kami. Sebelum semua orang bangun dan lewat depan rumah kita, anak gadis di rumah itu harus sudah bangun duluan untuk menyapu membersihkan halaman dan membersihkan kandang ayam dari kotorannya. Ku lihat nenek muncul dari pintu depan dapur dengan masih berselimutkan kain karena pagi itu memang dingin, namun karena aku sudah keluar tenaga jadi tidak terlalu merasa dingin. “Jadi tadi malam kakak tidak pulang nek?” tanyaku dengan masih berharap bahwa dalam lelapku semalam kakak ternyata sudah pulang. “Belum. Mungkin mampir temannya,” nenek memperkirakan.
ke
rumah
“Nanti siang masak sayur bayam lagi ya nek,” kataku sambil masih memegang sapu. “Sayur bayam lagi,” nenek tersenyum heran. “Ya sudah kamu nanti yang mencari sayurnya dan memasak ya,” kata nenek. Aku melanjutkan pekerjaanku hingga matahari mulai terbit dan ku lihat dari halaman itu 230
anak-anak SD rame-rame menyusuri jalan setapak di depan rumah menuju ke arah bukit yang harus mereka daki demi menimba ilmu. Tentu saja sontak mengingatkan masa kecilku ketika setiap pagi aku dan kakak menyusuri jalan itu dan mendaki bukit terjal yang sama. Ku lihat kakak dan nenek sudah bersiap untuk berangkat ke ladang. “Ingat nanti kamu yang masak ya Indah,” kata nenek sambil melangkah pergi mengikuti kakek yang berjalan di depannya meninggalkan halaman rumah kami. “Iya nek. Nanti Indah yang petik sayur dan memasaknya,” jawabku sambil merapikan kayu bakar di samping teras dapur. Setelah urusan pekerjaan rumah selesai aku pergi ke ladang untuk memetik sayur. Aku yakin hari ini kakak pasti pulang. Setelah selesai ku petik bayam di ladang, ku lihat kakek dan nenek masih asyik membersihkan rumput yang merambat di bawah tanaman, maka ku hampiri mereka hendak membantu membersihkan rumput dengan tanganku. “Sudah kamu pulang sana. Masak nasi dan sayurnya sekalian. Jadi ketika kakakmu pulang masakannya sudah siap,” perintah nenek yang langsung ku jawab dengan anggukan kepala dan 231
berdiri mengambil tumpukan bayam yang telah aku petik yang teronggok di atas batu licin di tengah ladang. “Aku pulang dulu, kek, nek,” pamitku sambil melangkah pergi menerobos tanam-tanaman setinggi bahuku. “Sudah pukul 9,” gumamku, “aku harus cepatcepat bersihkan sayur ini dan memasak nasi. “Hari ini aku akan masak sayur bayam terenak di dunia,” pikirku dalam hati sambil tersenyum sendiri. Setelah aku selesai memarut kelapa dan memeras santannya aku mulai masukkan menjadi satu dengan bayam dalam kuali yang sudah berada di atas tungku tanah. Ku rapikan kayu bakar yang sudah mulai terbakar habis, dan ku ambil kayu kering dan ku masukkan ke tungku itu untuk menambah apinya. “Hmm baunya sudah harum. Sepertinya segar sekali untuk di makan di siang yang panas ini.” “Masak apa nona cantik,” ku dengar suara mengagetkanku dari arah belakang. Aku langsung berbalik dan ku lihat senyum di wajah kakakku. “Sudah pulang kak. Ini aku masak sayur bayam kesukaanmu,” jawabku. “Wah sekarang adikku sudah besar ya. Sudah pintar masak. Harum… pasti enak dan segar ini,” puji 232
kakak sambil menghirup bau harum dari sayur yang sedang dimasak. “Iya. Tadi malam aku juga masak sayur ini. Pikirku kakak pulang, ternyata ditunggu sampai malam tidak datang juga,” kataku dengan muka cemberut manja. “Iya, maafkan kakak ya. Kemarin setelah mencari informasi di kampus, kakak mampir ke Mbak Mar. Tidak tahunya ternyata alamat kampus itu tidak jauh dari rumah Mbak Mar,” jawabnya membela diri. “Oh, jadi begitu. Aku hanya cemas ada terjadi apa-apa saja di jalan,” kataku. “Nggak usah takut. Kakak kan laki-laki perkasa, siapa yang berani macam-macam dengan kakak,” kata kakak tersenyum sambil membusungkan dada dan berusaha menunjukkan otot-otot pada lengannya yang tidak kelihatan. “Badan cungkring gitu saja bilang perkasa. Lihat tuh, tangannya saja tinggal tulang, mana ototototnya? Nggak kelihatan,” tawaku menggodanya. “Ah kamu ini,” kata kakak tersipu malu.
233
“Ya sudah lanjutkan memasaknya, nanti gosong tuh sayur. Kakak mau ganti baju dulu,” katanya sambil ngeloyor masuk ke rumah. “Mandi dulu kak biar segar,” teriakku dari dapur. Tidak tahu apa dia mendengarku atau tidak. Aku asyik memasak sambil bersenandung sementara aku tak tahu apa yang sedang dilakukan kakak sejak masuk ke rumah tadi. “Sayurnya sudah matang, Ndah,” sapa nenek ketika masuk dapur. “Sudah nek. Ini tinggal angkat dari tungku,” jelasku. “Ya sudah kamu siap-siapin ya,” perintah nenek sambil meletakkan kerangjang dari gendongannya dan menaruh parang ke tempatnya, sementara kedengaran kakek sedang melemparkan seikat kayu kering ke atas tumpukan kayu di belakang rumah. “Sudah pulang nek,” sapa kakak yang tibatiba muncul dari pintu terusan. Wajahnya cerah seperti baru mandi. “Semalam nginap di mana?” tanya nenek.
234
“Nginap di rumah Mbak Mar nek,” jawab kakak sambil melangkah menuju ke arahku, “Gimana sudah matang sayurnya Mbok,” tanya kakak menggodaku. “Mbok, mbok. Memang aku mbokmu,” kataku ketus dengan muka cemberut. “Canda. Gitu aja marah,” kakak tersenyum sambil mengambil sendok dan menyendok kuah sayur dari kuali yang masih panas. Ditiup-tiupnya sebentar dan kemudian, “Hmm seger… jadi lapar nih,” ia bicara sendiri dengan ekspresi menikmati nikmatnya sayur itu. Aku pun merasa bangga karena ternyata masakanku tidak kalah enak dengan masakan ibu yang dulu sering memasakkan sayur bayam berkuah santan ketika kami masih kecil-kecil. “Ya sudah langsung saja kalian makan sana,” perintah nenek sambil duduk di atas kursi pendek dan mengipas-ngipas tubuhnya yang sudah keriput dengan kipas anyaman bambu buatan kakek. “Sudah pulang kamu,” sapa kakek ketika masuk dari arah pintu depan dapur dengan bertelanjang dada. Nampak jelas kulit keriput dan tulang-tulang iganya. “Sudah kek. Baru pulang dari ladang?” sahut kakak. 235
“Iya. Langsung makan situ,” perintah kakek. “Terus kakek dan nenek?” tanya kakak. “Sebentar lagi biar keringat ini kering. Sudah kalian makan duluan saja,” perintah nenek. “Aku ambilin kak. Kakak duduk saja sana,” perintahku dan kakakpun menurut, ia melangkah mencari sesuatu yang dapat diduduki di samping nenek. “Makan di teras depan sana biar semilir angin menyegarkan tubuh dan menambah selera,” perintah nenek sebelum kakak duduk. Kakak pun mengikuti perintah nenek dan melangkah keluar pintu duduk di atas dipan tikar di teras depan. “Ini untuk kakak,” kataku tiba-tiba sambil mengulurkan makanannya dari arah sampingnya. Ia menyambutnya dengan senyum sementara aku mencari posisi duduk di dipan tepat di sampingnya. “Segar sekali ya makan sayur bayam di tengah hari yang panas dengan terpaan semilir angin seperti ini,” kata kakak sambil berulang kali menghirup aroma masakan di piringnya dan menghirup kuah dengan sendoknya. 236
Kami pun makan berdua di teras itu sambil menikmati semilir angin yang menerpa dan suara angin menggoyang-goyangkan pucuk-pucuk dan cabang-cabang pohon begitu jelas terdengar di telinga kami. Aku juga mendengar dari arah dalam dapur dentingan sendok dan piring yang menandakan kakek dan nenek juga sedang makan di dalam. Hari yang cerah, makanan yang nikmat dan segar, semuanya itu menggambarkan suasana hatiku yang begitu bahagia dengan kehadiran kakak bersamaku. Kami tidak beranjak dari tempat itu walaupun makanan di piring kami sudah habis, walaupun bahkan tadi kakak sempat nambah nasi dan sayurnya. Kami letakkan piring kosong di samping kami sambil menikmati semilir angin sepoi-sepoi menerpa tubuh kami dan mengerak-gerakkan rambutku yang panjang. Kami hanya terdiam seakan tenggelam dalam nikmatnya suasana alam yang begitu sejuk dan menyegarkan hingga kakak memecah kesunyian, “Semalam aku sempat bicara dengan Mbak Mar tentang kondisi kita, dan Mbak Mar bilang bagaimana kalau sementara kamu tinggal di rumahnya menjaga anaknya yang masih kecil. Aku pikir itu ide yang baik, karena di samping tempatnya dekat dengan kampus itu, sehingga nanti aku sering bisa mengunjungimu, pastinya ibu juga dapat 237
menengokmu di sana tanpa tertangkap oleh para penagih hutang itu,” jelas kakak. “Terus, kakak pernah bilang mau mengirim aku ke sekolah asrama di Surabaya, itu gimana? Tidak jadi?” tanyaku. “Bukan begitu maksud kakak. Kakak kan harus cari informasi lebih jelas lagi mengenai sekolah itu. Karena kakak juga baru dapat informasinya dari teman. Maksud kakak sementara menunggu informasinya jelas dan kamu bisa pergi ke sana, sementara kamu tinggal di rumah Mbak Mar dulu dari pada di sini terus katanya kamu kan kesepian,” jelas kakak. “Oh begitu. Aku ikut saja apa kata kakak,” jawabku menurut. Mbak Mar adalah kakak sepupuku yang memiliki hati yang baik dan penuh kelembutan. Belum lama ini aku pernah bertemu dengannya. Itu adalah hari setelah lewat Tahun Baru. Ia memandangiku dengan penuh belas kasihan dengan membayangkan apa yang ku rasakan ketika semua keluargaku pergi meninggalkanku. Mbak Mar tinggal di daerah lain dan jarang sekali kami saling bertemu. Tidak banyak kata yang ia ucapkan kepadaku. Mbak Mar benar-benar merasa kasihan kepadaku sehingga ia lebih banyak 238
memandangiku dengan penuh kasih dari pada berkata-kata. Sesekali saja ia bicara padaku. Dari wajahnya aku melihat bahwa ia benar-benar merasa kasihan melihat keadaanku. Sebelum ia pergi, ia mengambil dompet dari tasnya dan memberikan aku uang Rp. 10,000. Jumlah uang yang sangat besar bagiku pada waktu itu. Aku menerimanya tanpa basabasi. Aku sangat bahagia dan berterimakasih, karena uang itu sangatlah berharga bagiku. Dalam pertemuan itu memang Mbak Mar juga sempat bertanya kepadaku apakah aku mau tinggal di rumahnya menemani anak-anaknya yang selalu sendirian di rumah di tinggal pergi kerja. Waktu itu aku hanya menganggukkan kepala, namun demikian aku belum bisa memutuskan untuk segera pergi ke rumahnya. Dengan uang Rp. 10,000 itu aku dapat membeli baju baru yang indah di pasar bahkan masih ada sisanya. Kebetulan harga baju yang menarik hatiku itu seharga Rp. 9,000. Dengan demikian aku masih memiliki uang sisa Rp. 1.000,- dan ku belikan makanan yang cukup mengenyangkanku dan bahkan dapat berbagi dengan kakekku yang sudah tua itu. Jadi bila sekarang kakak menganjurkanku untuk menerima tawaran Mbak Mar, untuk tinggal di rumahnya itu adalah kabar yang menggembirakanku. Karena selain Mbak Mar orangnya baik, di sana mungkin ibuku bisa menjengukku tanpa takut dengan 239
para penagih hutang. Aku sudah sangat rindu dengan ibu. “Kalau misalnya nanti terlambat daftar ke sekolah itu, kita bisa daftar lagi tahun depan. Gimana kamu tidak masalahkan kalau harus berhenti sekolah barang setahun dulu?” tanyanya meminta pendapatku. “Nggak apa-apa kak. Pokoknya aku ikut kakak saja. Pasti pemikiran kakak adalah yang terbaik bagiku,” jelasku meyakinkannya. Ku lanjutkan obrolan kami ke sana kemari sambil menikmati sejuknya udara karena banyaknya oksigen yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan rindang di sekitar rumah itu. Ku dengar mulai ada suara dengguran dari dalam yang menandakan bahwa kakek dan nenek sedang tidur siang melepas lelah karena baru saja tubuh mereka yang renta itu bekerja di ladang. **** Sesuai rencana kakak, akhirnya aku tinggal di rumah Mbak Mar yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kampus di mana kakak diterima masuk kuliah. Aku tidak langsung melanjutkan sekolah sambil menunggu pendaftaran di tahun ajaran baru. Di rumah Mbak Mar ini aku sering bertemu kakak dan bahkan benar saja ibu bisa menjengukku 240
sekarang tanpa harus ketakutan bertemu para penagih hutang. Aku sungguh bahagia. Siang itu kakak berkunjung ke rumah Mbak Mar untuk menjengukku. Hanya ada aku dan anakanak yang di rumah sementara Mbak Mar dan suaminya belum pulang kerja. “Perempuan itu selalu bersikap sinis seperti itu kepada kamu,” tanya kakak tiba-tiba ketika memperhatikan seorang ibu tetangga rumah yang dari kata-katanya dan sikapnya memang tidak suka kepadaku. Mungkin saja karena memandangku hanyalah gadis miskin yang hidupnya hanya menumpang dan menyusahkan saudara. Aku melihat kemarahan di wajah kakak. Tapi aku segera redakan ketersinggungan dan kemarahan kakak. Aku tahu dari kecil kakak paling marah melihat aku diperlakukan tidak baik oleh orang lain. “Sudah biasa kok kak. Biarin saja,” sahutku menenangkannya. “Kamu sabar ya Indah. Kebetulan di kampus kakak, kakak ada ketemu teman yang dulu katanya tamatan dari sekolah yang di Surabaya itu. Dia bilang katanya akan mencarikan informasi untuk kamu,” jelasnya. “Ada pemudi yang rumahnya tidak jauh dari sini juga pernah menawarkan kepadaku, apakah aku 241
mau sekolah di tempat dia sekolah dulu. Sekolah itu juga sekolah asrama dan adanya juga di kota Surabaya. Mbak Sarah namanya,” kataku dan menjelaskan kepada kakak apa nama sekolah tersebut dan bagaimana kehidupan di asramanya. Ketika aku menyebutkan nama sekolah tersebut kakak terkejut dan langsung menyahut, “Ya itu sekolah yang kakak maksud. Kebetulan sekali kalau begitu. Rumah Mbak Sara itu di mana mungkin kakak bisa bertemu dengan dia?” tanyanya bersemangat. “Tidak jauh dari sini, tapi kayaknya jam segini dianya nggak ada di rumah,” jelasku. “Coba nanti kalau ketemu dia tanyakan gimana detailnya dan apa dia bisa membantu kamu untuk mendaftarkan diri ke sekolah itu,” pintanya. “Iya kak, nanti aku tanyakan. Tapi kakak yakin itu adalah sekolah yang sama dengan yang kakak maksud,” tanyaku menegaskan. “Iya betul. Semua gambaran yang kamu berikan tadi persis sama dengan sekolah yang kakak maksud. Kakak yakin memang benar kalau itu adalah sekolah yang sama,” tegasnya. “Ya kalau begitu biar aku sendiri yang bicara dengan Mbak Sara dan mengurus segala sesuatunya. Kakak tenang saja, konsentrasi kuliahnya. Mbak Sara 242
orangnya baik. Dia pasti mau membantuku dengan ikhlas,” jelasku. “Baiklah kalau begitu. Kakak percaya kepadamu dan juga kepadanya,” jawabnya dan kemudian kami terlibat dalam pembicaraan tentang soal kabarku selama ada di rumah kakak sepupuku ini. “Ibu sebenarnya pernah menghubungi aku. Ibu merasa nggak enak dengan Mbak Mar dan suaminya karena takutnya keberadaanmu di sini menjadi beban bagi mereka,” jelasnya kepadaku. “Memang Mbak Mar dan suaminya baik sekali orangnya, dan tulus ingin menolong kita, namun ibu tidak enak. Aku sendiri sebenarnya juga tidak enak,” lanjutnya. “Aku sebenarnya juga nggak enak kok kak. Makanya nanti kalau aku ketemu Mbak Sara, aku akan langsung tanyakan apakah aku segera dapat berangkat ke Surabaya dan masuk asrama. Katanya di sana kan diajari berbagai ketrampilan juga. Aku sangat tertarik sekolah ke sekolah itu,” jawabku. Syukurlah akhirnya setelah aku ketemu dengan Mbak Sara, dia berjanji akan membantuku dan akan segera mengantarku ke sekolah yang dimaksud. Aku sangat bersyukur akhirnya bisa bersekolah lagi. Benar saja Mbak Sara akhirnya yang 243
mengantar aku pergi ke kota Surabaya yang begitu asing bagiku dan meninggalkan ku di asrama sekolah itu. Aku bahagia karena berharap ibu akan sering menjengukku karena kebetulan ibu bekerja di Surabaya. Hanya saja karena tidak tahu alamatnya, aku hanya berpesan kalau ibu datang menjenguk kakak, aku minta untuk memintakan alamat ibu supaya aku bisa menghubunginya atau ibu bisa menengokku di sekolah itu. Dengan berat akhirnya kakak melepasku pergi jauh ke kota Surabaya. Aku dapat merasakan rasa kehilangan yang mendalam di hati kakak. Aku tahu sebenarnya kakak ingin menetapi janjinya bahwa setelah tamat SMP kami akan berkumpul sebagai keluarga. Namun demi cita-cita kami rela berpisah dan kami yakin kami akan bahagia nantinya. Aku percaya duka lara yang terus mendera hidup kami hanyalah suatu jembatan yang akan menghubungkan antara cita-cita kami dan kebahagiaan. **** Satu bulan telah berlalu aku kehidupanku di asrama, namun belum tanda ibu datang mengunjungiku. “Apa berkunjung ke kakak sehingga belum 244
menikmati ada tandaibu belum tahu kalau
sebenarnya aku sudah berada di Surabaya,” gumamku dalam hati. Ada suka dan duka di asrama ini. Aku mulai belajar ketrampilan bahkan sebelum aku masuk sekolah karena tahun ajaran baru belum mulai. Ada banyak teman yang suka dan ramah kepadaku, namun juga ada yang cemburu ketika teman-teman laki-laki banyak mendekatiku. Aku sendiri tak menghiraukan mereka. “Aku di sini hanya ingin belajar dan bukan untuk hal yang lain,” gumamku dalam hati. Aku tidak tahu mengapa semakin hari batukku semakin menjadi-jadi. Bahkan sekarang lebih sering keluar darah dari mulutku. “Mungkin karena cuaca kota Surabaya yang panas,” pikirku. Aku tak ingin kakak mengetahui keadaanku, karena ia bisa terganggu. Aku sempat berkirim surat kepadanya dan mengabarkan keadaanku bahwa di sini aku baik-baik saja. Aku minta dalam suratku agar kakak tidak merisaukanku atau mengkwatirkanku. Sedikit berbohong aku jelaskan bahwa batukku sudah sembuh. Jadi ku minta dia tidak mencemaskanku. Tentu saja itu tidak benar. Aku terpaksa harus berbohong tentang keadaanku agar kakak tidak mencemaskanku. Karena aku yakin aku akan segera pulih lagi. Aku bersyukur tidak seperti pada waktu masih di kampung, kami tidak bisa saling berkirim surat, 245
kini kami bisa saling berkirim surat. Sebenarnya kami bisa saling menghubungi ke nomer telepon sekolah kami masing-masing, karena aku tidak ada uang maka tidak mampu menelepon interlokal dari wartel ke sekolah kakak. Aku yakin demikian juga halnya dengan kakak. Jadi bagi kami bisa saling berkirim surat saja sudah suatu kebahagiaan. Kakak membalas suratku dengan mengatakan bersyukur kalau aku baik-baik saja. Ia juga mengabarkan bahwa keadaannya juga baik-baik saja. Hanya saja ia bilang bahwa ibu belum sempat berkunjung ke tempatnya jadi belum bisa memberitahu tentang keberadaanku. Setelah dua bulan di asrama aku merasakan sakitku semakin parah dan semakin sering lagi darah keluar dari mulutku. Hingga membuatku benar-benar tidak berdaya. Aku terbaring tanpa daya di asrama itu. “Aku sakit parah kakak,” kataku dalam hati. “Tapi kakak tidak perlu mencemaskanku. Nanti aku juga sembuh,” gumamku. Aku benar-benar tidak ingin kakak mencemaskanku. Akhirnya pihak asrama menanyakan di mana keberadaan keluargaku. Aku hanya dapat memberikan referensi tempat kakakku kuliah dan nomer telpon asramanya. Aku sebenarnya takut kalau pihak asrama akan memberitahu kakakku tentang parahnya penyakitku. Aku tidak mau kakak tahu bahwa aku sedang sakit parah. Aku tidak mau ia 246
mencemaskanku. Pasti membutuhkan biaya untuk ke kota ini, dan aku yakin uangnya tidak cukup untuk datang ke Surabaya. Pikirku kalau kakak sampai tahu keadaanku, dia pasti akan langsung berusaha menjengukku. Aku tidak mau menyusahkannya, karena sepanjang hidupnya tak henti dilanda duka dan sengsara. Aku berdoa kepada Tuhan agar segera menyembuhkanku dan berdoa agar pihak asrama tidak akan memberitahu keadaanku kepada kakak. Hari-hari ku jalani di tempat tidur di kamar asrama yang sederhana tanpa daya. Aku hanya takut kakak akhirnya tahu keadaanku. Kepala asrama akhirnya membawaku ke rumah sakit. Di rumah sakit itu aku melewati serangkaian pemeriksaan termasuk foto röntgen atau foto X-ray untuk mengetahui keadaan paru-paruku. Aku sunguh kwatir sesuatu yang mengerikan harus terjadi padaku. ****
247
BABAK 11 AKHIR PERJALANANKU
Hasil foto X-ray menunjukkan bahwa keadaan paru-paruku sudah parah sekali. Ternyata aku mengidap penyakit TBC stadium tinggi. Kini aku sudah pasrah. Apapun yang terjadi padaku adalah bahagia akhirnya. Hanya itulah yang ku pikirkan. “Kalau Tuhan masih memberi kesempatan kepadaku untuk hidup, akan ku serahkan hidupku untuk melayani Dia dan sesama. Namun jika tidak berarti Tuhan ingin aku pulang ke dalam pangkuanNya dalam bahagia dan segera berjumpa dengan ayahku yang telah pulang lebih dulu ke sorga,” itulah kata-kata dalam hati untuk menguatkan jiwaku. Aku justru mengkwatirkan kakakku. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit aku dibawa kembali ke asrama. Aku masih terkapar tak berdaya di ranjang tidurku di kamar isolasi di asrama kami. Aku benar-benar tidak dapat bangun dan begitu menderita tersiksa oleh penyakit ini. “Tuhan tolong kuatkan aku,” seruku kepada Tuhan. Aku benar-benar terkejut ketika siang itu tibatiba kakak muncul di hadapanku, seperti mimpi rasanya. Aku pun tak mau membuatnya cemas. Entah mendapat kekuatan dari mana tiba-tiba saat itu aku langsung bisa bangun dan duduk menyambut kakakku. Kakak menatapku dengan wajah sedih. Ia mendesah, “Mengapa kamu bilang di suratmu kalau 250
kamu baik-baik saja, Indah. Kamu sakit parah adikku,” keluh kakak dengan mata berlinang menahan tangis. “Benar kak. Waktu itu aku baik-baik saja. Hanya beberapa hari ini aku sakit. Nggak parah kok. Nanti juga sembuh,” hiburku. “Nggak parah gimana. Ini sudah parah sekali,” kata seniorku sinis yang membuatku jengkel kepadanya. “Tidak seharusnya ia membuat kakakku cemas seperti itu,” gumamku dalam hati. Betapa kesalnya diriku ketika akhirnya kakak senior itu menyodorkan foto X-ray ke kakak dan menjelaskan betapa parahnya sakitku. “Paru-parunya sudah rusak parah. Lihat saja di foto X-ray ini,” katanya. Kakak menerima foto Xray itu dan mengamatinya. “Kamu sakit parah Indah. Mengapa kamu sembunyikan dari kakak,” keluh kakak dan air matanya pun tiada tertahan mengalir di pipinya. “Benarkan kecurigaan kakak waktu kita pergi ke Puskesmas dulu. Aku yakin dokter itu salah dengan mengatakan bahwa darah itu berasal dari tenggorokan akibat batuk terlalu keras. Kamu sudah lama mengalami TBC ini, Indah,” keluh kakak sambil terus menerus menarik nafas. 251
Aku hanya terdiam tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang pasti aku bahagia karena hari ini kakak kembali bersamaku. Kakak ada di sisihku ketika aku sedang terpuruk dan sangat kesakitan. Bahkan hari ini aku bisa bangun dan duduk walaupun sebelumnya aku benar-benar lemah dan tidak mampu untuk duduk. Hilang semua rasa sakitku ketika kakak kembali di sampingku. Berulang-ulang kakak mengelus-elus rambutku dan mencium pipiku. Kakak sangat menyanyangiku. Aku tahu itu. “Dari mana kakak tahu kalau aku sakit,” tanyaku memecah kekakuan. “Tadi malam kakak diberitahu bapak asrama. Beliau bilang telah menerima telpon dari sini yang menjelaskan bahwa kamu sakit parah. Maka kakak langsung bergegas berangkat pagi-pagi tadi,” jelasnya “Terus kakak dapat uang dari mana untuk biaya kemari?” tanyaku cemas, karena aku tahu kakak tidak punya banyak uang. “Sudah kamu tidak perlu cemaskan itu. Memang tadi malam ada teman kakak yang memberikan sedikit uangnya untuk menambah sedikit uang yang ada pada kakak. Pokoknya yang penting 252
sekarang kakak ada bersama kamu,” jawabnya menenangkanku. “Kok kakak tahu alamat ini, dari mana?” tanyaku. “Teman kakak yang dulu pernah sekolah di sini yang memberi arahan naik apa dan turun di mana dan memberikan alamat ini kepada kakak,” jawabnya menjelaskan. “Kak, aku mau minum. Bisa tolong ambilkan untukku,” pintaku manja. Kakak langsung berdiri melangkah ke arah meja di samping ranjangku dan dituangnya air dari teko ke gelas dan kemudian dia menghunjukkan air itu ke mulutku. Akupun meneguk air yang begitu menyegarkan kerongkonganku. “Sudah kamu rebahan saja. Tidak apa-apa. Capek nanti kalau duduk terus,” pinta kakak ketika melihatku kembali terbatuk-batuk. Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku karena aku tak mau batukku membuat kakak tertular TBC. Ia membantuku, merebahkan aku pelan-pelan, membetulkan letak bantal kepalaku. Aku sandarkan kepalaku di atas bantal itu dan…
253
“Kenapa tanganmu. Sini kakak lihat,” kata kakak yang sontak menarik tangan kananku yang ku kepalkan. “Darah lagi,” kata kakak ketika membuka kepalan tanganku. Ia mengambil tisu untuk membersihkan telapak tanganku. Itu adalah darah dari mulutku ketika baru saja aku terbatuk-batuk. Ku lihat kecemasan mendalam ada nampak di wajah kakak. Ia sangat mengkwatirkanku. Sepanjang hari itu sampai sekitar pukul 9 malam kakak terus menemaniku di kamar itu. Duduk di samping tidurku. Menguatkanku, berdoa untukku dan kadang-kadang bernyanyi menghiburku. Berulang-ulang ia meminta maaf kepadaku karena merasa bersalah tidak dapat menjagaku dengan baik. Aku berulang-ulang juga meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Aku justru sangat bangga dan bahagia memiliki kakak seperti dirinya. Aku katakan bahwa aku sangat menyanyanginya. Aku tegaskan kepadanya bahwa dia adalah kakak terbaik di dunia. Justru aku sedih jika melihat dia selalu mengkwatirkan dan mencemaskan aku. Tidak tahu mengapa hari itu bukan saja aku bisa bangun dari tempat tidurku. Bahkan aku bisa bercengkerama dan sedikit bercanda dengan kakak walaupun dalam keadaan terbaring. Kadang aku ikuti 254
kakak bernyanyi. Pokoknya aku tidak mau melihat kakak mencemaskanku. “Kak. Kakak besok harus segera kembali ke kampus. Jangan cemaskan aku. Aku akan baik-baik saja. Kakak sudah lihat kan, hari ini aku sudah dapat duduk, bernyanyi dan bercanda,” kataku meyakinkannya. “Tapi kamu belum sehat betul, Indah. Kakak harus bawa kamu pulang,” jawabnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar kakak dapat segera kembali melanjutkan hidupnya karena aku rasa hidupku tidaklah lama lagi. Akhirnya kali ini aku harus bicara agak kasar kepada kakak walaupun itu sangat menyakitkan hatiku. “Pokoknya besok kakak harus pulang. Aku yang enggak enak sama pimpinan asrama di sini kalau kakak berlama-lama di sini,” tegasku. Kakak tidak dapat menjawab apa-apa. Ia hanya diam tertunduk sedih. “Kalau begitu kamu harus kakak bawa pulang,” katanya kemudian. “Kakak punya uang? Untuk pergi ke sini saja kakak harus menerima sumbangan dari teman kan. Memang kakak punya uang untuk merawat aku?” 255
tanyaku sambil membelalakkan mataku. Kakak tertunduk lesu. Lidahnya kelu dan terdiam dalam kesedihan. “Maafkan aku kak. Aku harus bicara kasar. Kakak pasti terluka. Namun aku tidak tahu bagaimana meyakinkan kakak untuk tidak lagi mencemaskanku,” gumamku sedih dalam hati. Aku yakin kata-kata itu pasti menyakitkan hati kakak, namun aku tidak punya cara lain untuk meyakinkannya. “Besok kakak akan coba menelepon tempat kerja ibu yang lama. Siapa tahu kalau majikannya yang lama masih punya informasi di mana ibu berada sekarang ini. Aku akan minta supaya ia memberitahu ibu agar langsung ke sini. Baru setelah itu kakak merasa tenang untuk meninggalkanmu,” jawabnya dalam keputus-asaan. Pukul 9 malam semua penghuni asrama harus masuk ke kamar mereka masing-masing. Ada tembok pemisah antara asrama putra dan putri. Maka datanglah kakak senior putra menjemput kakak untuk tidur di asrama putra. Kakak mencium kedua pipi dan keningku lalau mengucapkan selamat malam kepadaku.
256
Kakak melangkah pergi hendak meninggalkanku di ruangan itu. Aku melihat seakan berat langkahnya dan tiba-tiba sebelum sampai pintu ia berhenti, menengok ke arahku, “Kamu yakin baikbaik saja, Indah?” tanyanya cemas. Aku jawab dengan senyum dan anggukan kepala untuk meyakinkannya. Akhirnya dia pun melangkah keluar dan menghilang di balik pintu. Kesunyian mulai merasuki hatiku kembali. Aku sebenarnya masih ingin ditemani kakak. Aku sebenarnya ingin kakak menemani tidurku malam ini. Namun peraturan asrama tidak memungkinkan itu. Namun tidak apalah hari ini aku benar-benar bahagia. Malam terus merangkak dalam kesunyian. Kembali ku rasakan rasa sakit yang begitu menyiksa dadaku. Sesekali aku terbatuk-batuk dan selalu darah keluar dari mulutku. “Masihkah akan ku lihat wajah kakakku esok pagi,” gumamku cemas dan putus asa. Walaupun begitu sulit untuk tidur akhirnya akupun terlelap hingga suara bel tanda bangun pagi terdengar dari arah halaman asrama. Teman-teman mulai bangun, bergiliran mengantri untuk mandi dan setelah itu disusul dengan doa pagi bersama. Itu adalah hal rutin bagi yang tinggal di asrama yang akan dilanjutkan dengan makan pagi bersama sebelum sebagian belajar di kelas dan yang lain mengikuti pelatihan ketrampilan. 257
Aku sendirian di kamar itu. Semua teman telah meninggalkanku untuk berkumpul bersama dalam doa pagi. Namun aku bersyukur tiba-tiba kakak muncul dari pintu dan menghampiriku di tempat tidur. “Bagaimana, kamu bisa tidur malam ini, Indah,” tanyanya yang ku jawab dengan anggukan. “Kakak bisa tidur?” tanyaku balik yang dijawabnya dengan anggukan. “Kak. Aku bosan tiduran terus di sini. Sumpek kak. Bisa bantu aku keluar menikmati udara pagi,” rajukku padanya. “Memang kamu kuat jalan,” tanyanya. “Dicoba saja ya kak,” jawabku sambil berusaha untuk duduk. Kakak membantuku bangun dan pelan-pelan ku turunkan kakiku ke bibir ranjang, dibantunya aku berdiri. Setelah berdiri sejenak mengatur nafas dipapahnya aku melangkah menuju pintu dan mencari tempat duduk di teras asrama. “Segar sekali cuaca pagi ini kak. Sudah beberapa hari aku terkungkung dalam ruangan seperti dalam penjara bawah tanah,” kataku setelah menghirup udara pagi dengan senyuman.
258
Di teras itu kakak mengajakku berdoa dan bernyanyi. Menguatkan dan menghiburku. Wajahku pun mulai cerah seperti tiba-tiba sudah sembuh dari sakitku. “Hari ini kakak pulang saja. Aku sudah sembuh. Coba lihat,” kembali aku mendesaknya untuk pulang. Aku tidak mau dia melihatku dalam penderitaan yang aku yakin segera akan ku lewati. “Iya, sebentar lagi kakak akan keluar untuk mencari telepon umum. Kalau kakak sudah dapat jaminan bahwa ibu bisa ditemukan kakak baru bisa meninggalkanmu,” jelas kakak. Aku hanya mengangguk dan berharap kakak bisa menemukan ibu. Matahari sudah mulai terbit dan semakin meninggi sehingga sinarnya menerpaku dalam kehangatan. Kami nikmati pagi itu bersama hingga beberapa saat kemudian kakak menyarankanku untuk kembali ke kamar karena sinar matahari sudah mulai terasa menyengat. Aku pun menurut dan dipapahnya aku masuk kembali ke dalam kamar, dibantunya aku merebahkan diri di tempat tidurku. Dirapikannya bantal di kepalaku dan diselimutinya tubuhku. Setelah duduk sejenak di samping tidurku kakak meminta ijin kepadaku, “Kakak coba cari telepon umum dulu ya. Kakak coba cari keberadaan 259
ibu. Kamu tahu di mana kakak bisa temukan telepon coin dekat sini?” tanyanya kepadaku. “Kakak keluar pintu gerbang lalu belok kiri. Nah di pojokan situ ada telepon coin kak,” jelasku kepadanya sambil menggerak-gerakkan jariku memberi petunjuk arah. “Aku tinggal dulu sebentar. Kamu tidak masalah kan?” tanyanya kepadaku. “Tidak apa-apa kak. Sebentar lagi temanteman juga sudah selesai makan pagi dan pasti ada yang ditunjuk menemaniku di sini,” jawabku dan belum selesai kata-kataku salah satu teman putri sudah memasuki kamar, “Itu dia temanku sudah datang,” kataku sambil mata tertuju ke arah teman yang akan bertugas menemaniku di sini. Kakak tersenyum kepadanya lalu berdiri, “Titip adikku dulu dik ya. Aku mau keluar sebentar,” kata kakak kepada temanku sambil melangkah keluar yang dijawab dengan senyuman temanku. Agak lama kakak tidak muncul-muncul. Aku mulai cemas. Jangan-jangan dia tersesat atau masih kesulitan menemukan keberadaan ibu. Hatiku lega karena beberapa saat setelah aku mulai mencemaskannya, ku lihat dia muncul dari arah pintu dan aku sambut dengan senyum. Aku berusaha 260
bangun dan kakak segera mencegahku, “Sudah tiduran saja. Jangan banyak duduk. Tadi kan sudah lama duduk di luar,” larangnya. “Bagaimana, kakak menemukan alamat ibu?” tanyaku penuh harap. “Ternyata memang ibu sudah pindah kerja lagi. Majikan lama yang kakak telepon menjelaskan bahwa memang ibu sudah tidak bekerja di tempatnya, namun sekarang ia juga sudah pindah lagi dari tempat kerjanya yang baru, belum lama ini.” “Di telepon aku memohon-mohon padanya agar bapak itu mau membantuku dengan ku jelaskan keadaanmu yang sudah parah. Kemudian bapak di ujung telepon itu bilang bahwa mungkin pembantu yang masih bekerja di rumahnya yang dulu adalah teman ibu tahu di mana sekarang ibu bekerja karena mereka masih sering berhubungan. Bapak itu meminta alamat asrama ini dan berjanji akan menemukan ibu dan memintanya segera kemari,” jelasnya padaku. “Sekarang aku lega. Karena ibu pasti akan segera menemukan tempat ini. Kakak tidak terlalu cemas kalau ibu berada di sampingmu. Ibu lebih tahu bagaimana merawatmu,” lanjutnya. “Tadi kakak juga sekalian menemui pimpinan asrama di sini dan pamit kepada beliau dan 261
memastikan bahwa ibu akan segera datang kemari. Dan orang baik itu memahaminya,” jelasnya padaku. “Jadi sesuai permintaanmu hari ini juga kakak akan pulang. Walaupun sebenarnya kakak tidak tega meninggalkanmu seperti ini. Di sanapun kakak pasti akan memikirkan keadaanmu terus, Indah,” katanya dengan wajah yang penuh kecemasan. “Sudahlah kak. Aku akan baik-baik saja. Paling nanti atau besok ibu sudah menemukan tempat ini dan menemani aku. Jadi kakak tenang saja,” hiburku menenangkannya. Walaupun jujur sebenarnya hati berat sekali harus kembali berpisah dengannya. Kakak hanya mengangguk lemah seperti tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Hatinya begitu gundah dan kacau. Itu nampak dari wajah yang sangat ku kenal itu. Setelah menungguiku dengan penuh kasih sayang, hari pun terus merangkak siang, aku kwatir nanti kakak kemalaman sampai di kota tempat dia menempuh ilmu. “Sudah kakak berangkat saja! Nanti kalau kesiangan berangkatnya, bisa malam sampai di Wlingi. Sudahlah aku baik-baik saja kok,” desakku.
262
Kakak tidak menjawab apa-apa. Ia seperti tidak tahu harus berbuat apa. “Aku tunggu ibu sampai di sini dulu ya. Baru setelah itu kakak pulang,” pintanya. “Tidak usah kak. Pasti ibu datang. Percayalah kak. Kan tadi kakak sudah pamit pimpinan asrama. Nggak enak kan kalau tidak segera berangkat,” jelasku mendesaknya untuk segera pulang. Aku mulai merasakan pada tubuhku sakit yang luar biasa. Aku tidak mau kakak melihat penderitaanku. Semakin lama dia di sini semakin berat aku berusaha untuk menunjukkan diri seakan baik-baik saja. Aku merasa sudah tidak tahan lagi berpura-pura sehat. Tubuhku semakin melemah dan rasa sakit di dadaku semakin nyeri dan menyesakkan dada. Karena aku terus mendesaknya akhirnya kakak berkata, “Baiklah kalau begitu. Tapi kamu janji akan baik-baik saja ya. Jangan berbohong seperti dalam suratmu yang lalu.” Aku tersenyum dan ia mencubit pipiku. Sebelum pergi ia berdoa untuk kesembuhanku. Ia dengan sungguh-sungguh memohon kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan kepadaku. Kemudian ia menunduk dan mencium kedua pipi dan keningku yang masih 263
terbaring dan dengan suara serak ia memohon pamit, “Kakak pergi dulu ya. Kakak akan terus berdoa untukmu. Ibu akan segera datang dan kamu akan segera sembuh. Maafkan kakak, Indah,” tiada tahan air mata jatuh di pipinya dan segera ia berbalik membelakangiku dan mengusap pipinya. Ia berbalik lagi padaku dan berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya dan sambil tersenyum ia berkata, “Kakak pergi ya.” Aku mengangguk dan tersenyum. Aku berusaha untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja walaupun semakin berat aku berpura-pura. Ia berdiri dan melangkah pergi walaupun dengan berat hati. Ia berhenti sebelum sampai ke pintu dan berbalik kepadaku. Aku tersenyum dan mengangguk meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Ia memandang teman yang menjagaku, tersenyum dan dari sorot matanya seakan ia ingin minta tolong kepadanya untuk menjagaku dengan baik. Temanku pun dapat membaca isyarat kakak dan tersenyum sambil mengangguk. Setelah memandangiku beberapa saat kakak pun melangkah pergi dan menghilang di balik pintu. Aku tahu sebenarnya berat sekali hatinya untuk meninggalkanku sendirian dalam penderitaan dan sakit yang menyiksaku. Sebenarnya aku sendiri juga sangat ingin kakak tetap di sisiku menemaniku 264
sampai akhir perjalananku yang ku rasakan semakin dekat. Tanpa terasa air mata pun membanjir dan membasahi pipiku. “Sudahlah Indah. Jangan menangis. Serahkah saja semua pada Tuhan,” hibur teman yang menjagaku sambil mengusap pipiku. “Aku tidak tahan lagi. Aku mau kakakku ada di sini menemaniku sampai akhir perjalananku,” teriakku sambil menangis menjadi-jadi. “Tadi kan kamu sendiri yang memintanya pergi. Sekarang dia sudah pergi kamu menangis seperti ini. Sudahlah Indah, pasti ada rencana Tuhan yang indah bagi hidupmu,” hibur temanku. Aku tidak mempedulikan kata-katanya. Aku terus menangis sejadi-jadinya. Aku membayangkan sekarang kakak sudah keluar dari lokasi sekolah dan asrama atau bahkan sudah naik bis menuju kotanya. Aku terus memanggil-manggilnya. “Kakak, jangan pergi kak. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Aku butuh kakak. Aku sakit parah kak,” aku terus menangis sejadi-jadinya.
265
“Kan kakak kamu tadi bilang bahwa ibumu akan segera datang ke sini. Kamu nanti tidak sendirian, Indah. Sudahlah serahkan pada Tuhan saja ya,” hibur temanku. Tiada ku pedulikan kata-katanya. Aku terus menangis hinga sayup-sayup ku lihat banyak teman dan staf asrama masuk kamarku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Tak ku pedulikan pula mereka. Aku terus menangis meraung-raung. “Kakak, jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku. Aku menderita di sini kak. Aku sakit parah kakak. Temani aku kak,” tangisku yang terus menjadi-jadi hingga kurasakan tubuhku mulai melemah dan tenagaku pun mulai habis dan akhirnya dengan begitu lemah hanya ku dapat memanggil, “Kakak………” dan setelah itu semuanya gelap dan aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku tersadar kembali aku sudah berada di rumah sakit. Ku coba membuka mataku dan samar-samar ku lihat wajah yang tidak asing bagiku. Wajahnya sembab seperti baru menangis semalaman, “Ibu!” panggilku. “Iya sayang. Ibu ada di sini nak,” sahut ibuku yang ternyata sudah menungguiku di rumah sakit. Berarti benar kata kakak bahwa ibu pasti segera datang. Aku bahagia sekali. 266
“Ini di mana bu?” tanyaku yang masih belum begitu sadar. “Di rumah sakit nak. Jangan kwatir semua akan baik-baik saja Sayang,” jelas ibu menghiburku. “Kemana saja ibu selama ini? Apakah ibu baik-baik saja?” tanyaku. “Ibu baik-baik saja Sayang. Maafkan ibu selama ini meninggalkanmu. Ibu terpaksa. Ibu percaya kamu bisa memahaminya,” kata ibu sambil bercucurkan air mata. Ku angkat tanganku tuk menghapus air matanya dan ibu membiarkanku membelai pipinya. “Kamu pasti akan sembuh nak. Percaya pada Tuhan ya. Kita sedang menerima pencobaan. Namun pasti Tuhan mempunyai rencana yang begitu indah untuk keluarga kita. Kamu percaya kan, Sayang?” hibur ibu kepadaku. Aku menganggukkan kepala. “Iya, Indah percaya bu. Ibu jangan tinggalkan Indah lagi ya!” pintaku kepada ibu. Air mata ibu mengalir semakin deras ia menangis sesenggukan, “Iya Sayang, ibu janji tidak akan meninggalkanmu Sayang,” kata ibu meyakinkanku sambil mengusap keningku dan mengelus-elus rambutku. 267
“Ibu…” “Iya Sayang.” “Kemarin kakak datang ke sini menjengukku,” kataku. Aku tidak mampu lagi melanjutkan kata-kataku. Aku hanya menangis. “Jangan menangis Sayang. Ibu ada di sini,” ibu menghapus air mataku dan menguatkanku. Aku menangis sebenarnya karena tiada tahan memikirkan tidak dapat mengucapkan selamat tinggal kepada kakak di ujung perjalananku. Namun aku juga tidak tahan untuk membiarkan dia melihat penderitaanku. “Kakak aku sudah tidak kuat lagi kak. Aku harus pergi meninggalkanmu. Ayah sudah menungguku,” jeritku dalam hati. Aku terus menangis dan ibu terus menguatkanku dan menyakinkanku bahwa aku pasti sembuh dan kami akan berkumpul kembali berhagia sebagai keluarga yang lengkap walaupun ayah telah lebih dulu pergi. “Ibu. Apakah ibu siap untuk menerima pencobaan lagi?” tanyaku kepada ibu. Sepertinya ibu tidak mengerti maksud perkataanku. Ibu menjawab, “Ibu sudah lama 268
menderita. Sudah setiap hari mengalami pencobaan. Ibu selalu siap untuk menerima pencobaan seberat apa pun dalam hidup ibu. Sudahlah nak. Ibu sekarang akan menjagamu. Kamu pasti sembuh. Ibu akan mengobatimu,” kata ibu. Rasanya damai hati ini mendengar kata-kata ibu yang sudah jarang sekali ku dengar. “Ibu, aku mau tidur dalam pelukan ibu. Apakah ibu mau memelukku?” pintaku dengan suara lemah. “Iya Sayang. Tidurlah ibu menjagamu di sini,” jawab ibu yang langsung mendekapku. Tiada henti ia menciumi pipiku. Mengusap kening dan rambutku. Aku benar-benar merasakan damai. Jiwaku seakan merasa terbang tinggi dan tinggi menembus awan dan lebih tinggi lagi menuju ke tempat yang penuh dengan kedamaian. Di sinilah ku temukan ayah dan sejak itu tak pernah ku buka mataku lagi tuk selamanya dalam pelukan ibu yang ku rindukan selama ini.
****
269
BABAK 12 SEPUCUK SURAT UNTUK KAKAK
Kurasakan seseorang menepuk bahuku dan kemudian mengelus rambutku yang panjang dan indah berkilauan. Tepukan dan belaian itu membangunkanku dari lamunan. “Sudahlah, Indah Sayang… Kini kakakmu sudah menjadi pria dewasa, yang dapat menjaga dirinya sendiri. Jangan terlalu kamu pikirkan dia. Ia telah memaafkan semua orang yang pernah menyakiti hatinya dan menanam serta menimbun dendam dan kebencian di dalam jiwanya. Ia telah memaafkan semua orang itu dan hidup bahagia,” kata Tuan malaikat. “Memang kakakmu tidak tinggal bersama dengan ibumu di kampung halaman. Ia tinggal di kota. Ibumu memilih untuk tetap tinggal di Lembah Mbrejo. Ibumu telah berjanji akan tinggal bersama keluarga kakakmu ketika keponakanmu sudah masuk kuliah nanti. Namun kakakmu selalu menjaga ibumu. Ia telah membuatkan rumah yang nyaman untuk ibumu, dan paling tidak seminggu sekali menelepon ibumu, walaupun hanya sekedar menanyakan bagaimana kabarnya.” “Kakakmu telah berhasil menggapai bintangnya. Ia telah berhasil mewujudkan citacitanya,” hibur Tuan malaikat. “Ia memiliki istri yang sayang dan setia, dan mereka bahagia dengan kehadiran putri semata 272
wayangnya. Nama keponakanmu itu Agnes. Seorang putri cantik jelita, yang tiada kalah cantik dan jelitanya denganmu Indah,” kata Tuan malaikat itu yang sontak membuatku tersipu malu mendengar pujiannya tentang diriku. “Setiap kali kakakmu membelai rambut putrinya, mencium pipinya, ia selalu teringat padamu. Di matanya seakan kau terlahir kembali di dalam diri putrinya. Dia sangat menyayanginya,” lanjut Tuan malaikat. “Maka kamu janganlah bersedih atau pun berduka. Kakakmu dapat menjaga dirinya dan selalu bahagia.” “Tuan, apa saja yang sebenarnya telah terjadi pada kakak atau pun ibu setelah kepergianku,” tanyaku dengan rasa ingin tahu yang mendalam. “Hhahhh….,” Tuan malakat menarik nafas panjang sambil menatapku dalam-dalam dengan mata sayu kemudian mulai bercerita. “Setelah kakakmu meninggalkanmu untuk kembali ke kota di mana ia mengejar cita, tiada sedikit pun ia berhenti memikirkanmu. Bahkan ia berpuasa dan berdoa memohon agar kiranya Tuhan menyembuhkanmu. Hingga suatu pagi seseorang yang dihormatinya berkata, „Kamu tidak perlu berpuasa lagi karena adikmu telah pulang!‟” 273
“Dia masih tidak mengerti apa maksud orang itu. Ia berpikir kamu sudah dibawa pulang ke kampung halamanmu. Namun kemudian orang itu memperjelas bahwa kamu telah pulang ke Sorga yang sontak membuatnya berdiri terpaku bagaikan patung. Ada kemarahan, ada kebencian terhadap semua orang yang memenuhi hatinya. Ia menyalahkan ayahmu, ibumu dan semua orang yang menurutnya telah menyengsarakanmu dan lebih dari itu semua, dia lebih menyalahkan dirinya sendiri,” jelas Tuan malaikat sementara aku diam terpaku mendengarkan kisahnya dengan seksama. “Ketika peti jenazahmu tiba di kampung halaman untuk dimakamkan, kakakmu tiada mampu tuk menerima kenyataan dan akhirnya tak sadarkan diri. Ia benar-benar menyalahkan dirinya sendiri.” “Tahukah kamu Indah, sesungguhnya ketika kakakmu membawa kamu ke Puskesmas karena batuk kamu tiada kunjung sembuh dan darah yang sering keluar dari mulutmu, kakakmu tahu bahwa itu bukan akibat luka pada tenggorokan seperti yang dijelaskan oleh dokter Puskesmas itu. Ia tahu ada penyakit serius yang sedang kamu derita. Namun ia menghibur diri dengan berharap bahwa informasi dari dokter itu benar. Ia tidak ingin membayangkan atau menerima kenyataan bahwa kamu sedang menderita penyakit yang berbahaya, karena tiada sepeser uang pun untuk mengobati kamu.” 274
“Setelah apa yang diduganya benar. Bahwa paru-parumu terserang oleh penyakit ganas di hari menjelang kepergianmu bahkan dia tidak memiliki uang untuk membawamu ke rumah sakit dan meninggalkanmu di asrama itu dengan harap mungkin justru pengurus asrama itu yang akan mampu membiayai rumah sakit demi kesembuhanmu. Itulah alasannya ia tidak membawamu pulang pada waktu itu.” “Setelah ia kembali ke kotanya dan terpaksa harus menerima kenyataan untuk tidak berjumpa denganmu selamanya selain menyambut peti jenazahmu, ia menangis dan hatinya bagai tersayatsayat sembilu. Ia menghukum dirinya sendiri. Ia mengutuki dirinya sendiri, „Mengapa aku tidak membawamu pulang dan mengobatimu Indah,‟ katanya. „Mengapa aku justru percayakan kamu kepada orang lain. Kakak seperti apakah aku ini. Tuhan mengapa kami begitu miskin sehingga tiada daya tuk selamatkan adikku satu-satunya. Aku benarbenar layak dilaknat. Aku yang layak mati Tuhan, bukan adikku,‟ itulah yang terus ia ucapkan mengutuki diri dan menyalahkan diri sendiri.” Aku menyimak dengan seksama apa yang diceritakan oleh Tuan malaikat itu kepadaku. “Tahukah kamu Indah. Penderitaan itu belum berakhir sampai di situ. Bahkan setelah tubuhmu 275
disemayamkan, dikuburkan, esok harinya sekelompok ibu-ibu memanggil ibumu dan meminta hutang-hutangnya untuk segera dibayar. Ketika ibumu belum dapat menyanggupinya, mereka mencaci maki dan menghina-hina ibumu…. „Tuhan, mengapa Tuhan, bahkan tanah kuburan adikku pun belum kering sudah datang kepedihan ini lagi,‟ seru kakakmu kepada Tuhan.” “Malamnya, ibumu terpaksa sembunyisembunyi kembali meninggalkan kampung itu bahkan tidak sempat berpamitan dengan kakakmu. Kakakmu benar-benar menderita sendirian. Rasanya ia ingin menemani kamu, dikubur dalam lubang yang sama. Ia begitu putus asa. Ia marah. Ia begitu terluka seperti tiada tempat lagi dalam hati dan jiwanya untuk mengoreskan luka lain, karena hati itu telah hancur penuh luka.” “Kini setelah kakakmu telah menggapai bintangnya. Setelah seluruh hutang-hutang ayahmu lunas dibayar. Setelah rumah yang nyaman dibangunnya untuk ibumu di kampung. Setelah ia menikmati kebahagiaan bersama keluarga kecilnya. Setelah ia memaafkan semua orang, ia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah menelantarkanmu.” “Ia selalu berpikir seandainya saja sakitmu terjadi pada hari ini, ia akan mengusahakan segalanya 276
dan yakin dapat menyembuhkanmu. Namun kakak iparmu selalu menguatkan dia dengan berkata, „Sayang… Itu adalah kehendak Tuhan. Jika peristiwa itu terjadi bahkan hari ini, kamu tidak akan dapat menyelamatkan Indah, jika memang Tuhan menghendaki dia pulang.‟” “Namun memang sulit baginya untuk melupakanmu. Sulit baginya menerima kenyataan kamu pergi tanpa ada usaha darinya untuk mencegahmu. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa kemiskinan waktu itu telah membuatnya tiada daya tuk selamatkanmu.” “Tapi percayalah Indah, seiring waktu, kakakmu akan dapat menerima semua kenyataan ini dan berhenti untuk menghukum dirinya sendiri,” hibur Tuan malaikat ketika aku menyimak ceritanya dengan seksama. “Baiklah Indah,” Tuan malaikat menumpangkan tangannya ke atas kepalaku dan sedikit mengelus rambutku, kemudian berkata, “Kalau begitu saya pergi dulu Indah ya.” Tuan malaikat melambaikan tangan ke arah ayahku yang masih duduk di tengah taman itu, dan ku tengok ayah sedang tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
277
“Baik terimakasih banyak Tuan malaikat,” sahutku penuh kelegaan. Tuan malaikat pergi, sementara aku berlarilari kecil, sambil melompat ke kanan dan ke kiri di atas rerumputan hijau nan indah menuju tempat di mana ayahku sedang duduk. Kemudian aku duduk di samping ayah sambil menyenderkan kepalaku ke bahu ayah. “Ayah, Tuan malaikat tadi bilang bahwa ibu sekarang sudah hidup tenang dan tidak lagi dikejarkejar penagih hutang, sementara kakak sudah menggapai bintangnya. Namun masalahnya kakak masih merasa bersalah karena kepergianku ayah. Seandainya saja kita bisa menulis surat dari sini kepada kakak, pasti kakak akan mengerti bahwa tidak seharusnya ia terus menerus menyalahkan dirinya,” jelasku kepada ayah. “Ayah mau tahu nggak kalau seandainya aku bisa menulis surat untuk kakak, kata-kata seperti apa yang akan ku tuliskan di sana?” kataku. Ayah menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum seakan ingin berkata, “Coba katakan kepada ayah kata-kata seperti apakah yang ingin kau tuliskan!” Aku menengadah ke atas, mataku bergerak ke kanan dan ke kiri memikirkan kata-kata yang ingin sekali ku katakan kepada kakak. 278
Sembari menatap indahnya taman yang luas, hamparan rerumputan menghijau berhiaskan bungabunga, dengan aliran sungai yang jernih bagaikan kristal, mataku menatap jauh menembus loronglorong waktu, hingga ku ucapkan kata-kata ini untuk kakak tercinta: Kakak….. Tiada pernah sedetikpun ku berpikir kakak bersalah Kepergianku karena kehendak sang Pencipta Dia tahu yang terbaik untukku dan untuk kakak Kakak… Kini aku t’lah bersama ayah di sorga Kami bahagia di sini kak… Kami harap kakak dan ibu juga bahagia di sana Ingatkah kakak…. Betapa sayangnya ayah kepadaku Sampai sering membuat kakak iri padaku Namun tiada pernah kakak membenciku Tak ingin ku biarkan ayah sendiri dalam sunyi Maka ku kembali lebih cepat tuk menemaninya di sini Ingatkah kakak… Ketika kita memandang bintang bertebaran Di atas lembah masa kecil kita Tiada ingin ku gapai bintang Menjadi bintang adalah harapanku 279
Kini terpenuhi sudah mimpiku Kakak… Datanglah ke lembah itu ketika engkau rindu Pandanglah langit dalam keceriaan bintang-bintang Ketika kau pandang yang paling berbinar Kerinduanmupun akan terbayar Ku dengar beritamu dari Tuan malaikat Kini kakak telah memiliki istri yang cantik nan setia Juga seorang putri cantik nan jelita.. Betapa bahagianya seandainya ku sempat Melihat kebahagiaan kakak dengan mataku sendiri Ingin rasanya ku belai rambut keponakanku yang jelita itu… Ingin ku pinta pada Tuhan tuk turun Menjadi malaikat pelindung baginya Kakak… Jangan terus salahkan diri mu.. Aku sudah bertemu ayah di sini Aku menunggu di sini, entah kapan kalian datang Kakak, ibu, kakak ipar dan keponakanku Kelak kita semua akan bersama di sini Aku akan ajak keponakanku Berkeliling, menelusuri setiap lorong kota Kota kemuliaan nan indah, Di sini, di Sorga…
280
Sudah ya kakak… Sampai di sini dulu surat dari adikmu Sampaikan salamku tuk kakak ipar yang cantik Dan keponakanku yang jelita Salam sayang dari adikmu Indah
281
Tentang Penulis Dr. Edi Purwanto, M.M. menyelesaikan pendidikan terakhirnya dan meraih gelar Dr. (S3) cum laude di bidang studi pembangunan dari Program Pascasarjana Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dr. Edi Purwanto saat ini bekerja sebagai pendidik dan pelayan sesama, dan berstatus sebagai Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Bunda Mulia, Jakarta.