Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
TINJAUAN SKISTOSOMIASIS PADA HEWAN DAN MANUSIA DI LEMBAH NAPU, LEMBAH BESOA DAN LEMBAH DANAU LINDU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH TOLIBIN ISKANDAR Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK Skistosomiasis merupakan penyakit parasiter yang bersifat zoonosis, disebabkan oleh investasi cacing Schistosoma japonicum ditemukan di 3 daerah terpencil yaitu lembah Napu, lembah Besoa dan lembah danau Lindu. Siput sebagai pejamu perantara sedangkan hewan sebagai pejamu yang sifatnya reservoir yaitu rusa, sapi, kerbau, domba, babi, anjing, tikus dan celurut. Masalah kesehatan yang dihadapi pemerintah di Propinsi Sulawesi Tengah sejak lama, untuk menanggulang penyakit ini dengan melihat aspek biologi, dinamika transmisi, aspek klinik, dan pengobatan masal menggunakan praziquantel. Walaupun sudah diadakan pengendalian secara intensif dimulai tahun 1980, tetapi penularan skistosomiasis masih terus berlangsung. Untuk itu, perlu dirancang suatu pendekatan baru untuk menanggulangi penyakit tersebut. Kata kunci: Skistosomiasis, hewan, manusia
PENDAHULUAN Skistosomiasis disebabkan oleh cacing golongan Trematoda yang dikenal sebagai cacing darah (Blood Fluke), menyerang beberapa negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia (PUTRALI et al., 1988). Jenis cacing yang menyerang hewan dan manusia adalah Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, S. intercalatum dan S. mekongi. Daerah penyebaran S. mansoni di Afrika adalah Mesir, Sudan, Libia, Uganda, Tanzania, Mozambique, Rhodesia, Zambia, Congo, Senegal, Gambia, Nigeria, Gabon, Togo, Ghana, Pantai Gading, Liberia dan Sierra Lione. Sedangkan di Amerika Selatan ditemukan endemik di Venezuela, Brazil, Suriname, Republik Dominika, Pueterico, Guadelope, St. Marten, St. Lucia, St. Kitts dan Antiqua (BARRINGTON et al., 1979). S. haematobium di temukan di Timur Tengah antara lain di Yaman,, Aden, Saudi Arabia, Libanon, Syria, Turki, Irak dan Iran. S. interculatum di temukan di Libanon, Uganda, Kenya, dan Madagaskar (BARRINGTON et al., 1979).
228
Skistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di daerah yang sangat terpencil di Sulawesi Tengah, yaitu di lembah Napu, Besoa dan dataran tinggi Lindu. Hewan yang bisa menjadi inang reservoar yaitu sapi, babi, anjing, kucing, kerbau, domba, rusa, kuda, tikus dan celurut (HADIDJAJA, 1982; EFFENDI et al., 1994; TJITRA, 1994). Sedangkan pada manusia pertama kali dilaporkan di Desa Tomado oleh Tesch pada tahun 1937 (MULLER dan TESCH, 1937). Penelitian selanjutnya telah menemukan penyebabnya, yaitu cacing Schistosoma japonicum. Inang perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971 di daerah pesawahan Paku oleh Pinardi Hadidjaja, dan oleh Davis yaitu siput (snail) yang diidentifikasi sebagai subspesies dari Oncomelania hupensis dan diberi nama Oncomelania lindoensis (DAVIS dan CARNEY, 1973). Penelitian yang mendalam mengenai siput penular tersebut telah dilakukan semenjak tahun 1972 dengan mendirikan laboratorium lapangan yang disebut le Petit Soleil atau “Matahari Kecil”. Penelitian yang intensif akhirnya menemukan bahwa siput tersebut bersifat amfibius tidak tahan akan kekeringan dan juga tidak dapat hidup dalam keadaan terendam air dalam waktu yang cukup lama (SUDOMO, 1994). Kelemahan siput tersebut
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dimanfaatkan untuk memberantasnya dan memutuskan rantai penularan skistosomiasis di daerah endemik. Pemberantasan siput O. h. lindoensis tidak dapat dilakukan oleh sektor pertanian dan peternakan, kesehatan saja tetapi harus dilakukan bersama dengan sektor lain, karena habitat siput tersebut terdapat di daerah pertanian, hutan, sepanjang irigasi dan daerah penggembalaan. Kerjasama yang erat antara sektor-sektor terkait akan lebih berhasil dari pada penanganan oleh salah satu sektor saja. Makalah ini merupakan tinjauan mengenai penyakit Skistosomiasis yang bersifat endemik di Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Tujuannya agar penyakit tersebut diantisipasi jangan menyebar ke daerah lain. SISTEMATIK KLASIFIKASI DAN ASPEK BIOLOGI Berdasarkan morfologi dan anatomi, cacing Schistosoma di masukkan dalam kelas Trematoda karena bentuknya seperti daun sub kelas Digenea karena berkembang dalam tubuh tuan rumah perantara sebelum menjadi dewasa, kemudian di masukkan dalam super ordo Anepitheliocystidia, dari ordo Striglatoidea, sub ordo Schistosotoidea, family Schistosomatidae dan genus Schistosoma (SOULSBY, 1982). Larva Cercaria memiliki ekor terpisah (Fork tail), kelaminnya terpisah dan jenis betina umumnya digendong oleh jantan pada canalis gynaecoporus. Cacing ini hidup dalam saluran pembuluh balik definitif host terutama di vena-vena mesenterica, memakan sel darah merah (eritrosit), memiliki batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker). Batil isap mulut untuk melekat dan mengisap sedangkan batil isap perut untuk melekat dan memegang (SUDOMO, 1984). Cacing jantan berukuran antara 9,5 – 20 mm (panjang) dan 0,55 – 0,97 mm (lebar), cacing betina 12 – 26 mm (panjang) dan 0,3 mm (lebar). Ukuran cacing betina yang lebih halus dan kecil memungkinkan baginya untuk masuk ke kapiler-kapiler dinding usus dan bertelur disitu. Demikian pula halnya pada dinding kantong air seni (vesica urinaria) untuk jenis haematobium. Telur-telur dapat
tahan hidup di rongga usus sampai tiga minggu sebelum dikeluarkan bersama kotoran. Ciri-ciri lainnya dapat dikemukakan sebagai berikut: tubuh bersifat bilateral simetris, saluran pencernaan tanpa anus, tidak memiliki bagian pharynx, tubuh tak berongga melainkan diisi dengan parenchym, lapisan otot berkembang baik, tanpa sistim peredaran darah dan sistim pernapasan. Sistim pengeluaran terdiri dari sel api (Flame cell) yang berhubungan dengan kantong-kantong ekskresi. Sampah metabolisme di salurkan dari Flame cell ke canalis excretorius kemudian ke vesica urinaria melalui saluran pengumpul lalu dikeluarkan melalui lubang khusus yakni excretory pore yang terdapat di ujung caudal tubuh (HADIDJAJA, 1982). Sistim sarafnya sederhana terdiri dari satu pasang ganglion saraf depan atau saraf melingkar yang dihubungkan dengan satu sampai tiga pasang saraf longitudinal oleh saraf transversal. Sistim pencernaan terdiri dari mulut pada ujung anterior, kemudian oesophagus dengan kelenjar-kelenjar pencernaan, lalu bercabang (bifurcatio) menjadi dua saluran belakang (ceca), dan berakhir buntu tanpa anus. Sistim reproduksi jantan terdiri dari testis berlobi tujuh yang masing-masing berhubungan dengan saluran vas eferens kemudian bersatu pada vas deferens, masuk ke vesica seminalis sebagai depot spermatozoa. Akhir saluran kelamin ini adalah atrium genitalis dan porus genitalis yang terletak sedikit di bawah batil isap perut, atau diantara kedua batil tergantung jenisnya (SOULSBY, 1982). DAUR HIDUP CACING SCHISTOSOMA Daur hidup cacing S. japonicum mengikuti dua pola siklus hidup yakni pola siklus I mulai dari manusia kemudian ke siput penular dan akhirnya kembali ke manusia, pola siklus II mulai dari siput penular kemudian ke hewan dan akhirnya kembali ke siput (BARRINGTON et al., 1979). Kedudukan siput penular sangat penting dalam rantai penularan karena dari tubuh siput ini cercaria dapat menginfestasi baik manusia maupun hewan.
229
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Dalam mekanisme perasukan cacing ini ke dalam tubuh inang, stadium kehidupan larva mirasidium, larva serkaria dan bentuk morfologi maupun anatomi Schistosomula sangat penting. Mirasidium berbentuk seperti pepaya atau daun. Pada tubuhnya terdapat bulu getar atau cilia, dalam keadaan hidup lebih langsing yang telah difiksasi. Ukuran panjang berkisar 82,8 – 144 µ, lebar antara 37,6 – 68,4 µ dengan angka rata-rata panjang 109,8 µ ± 11,9 µ dan lebar 54,6 µ ± 5,8 µ. Pada bagian luar tubuhnya terlihat sekitar 21 plat epidermal yang tersusun dalam 4 baris dengan sel-sel yang berbentuk segitiga, segiempat, lonjong dan bentuk perisai. Pada sel-sel ini terdapat banyak silia yang tidak terlihat di daerah interseluler, makin ke arah caudal silia makin panjang. Dengan perlengkapan silia ini mirasidium berenang mencari siput perantara dan menembus ke dalam tubuh siput kemudian berkembang menjadi sporokista induk, selanjutnya sporokista anak akhirnya keluar sebagai larva serkaria. Larva serkaria bersilia sepanjang permukaan tubuhnya, ekor bercabang, bergerak mundur (bagian kepala mengikuti ekor). Baik larva miracidium maupun cercaria bergerak mengapung di bawah permukaan air, bersifat fototaxis, gravitasi negatif, dan mobilitas dipengaruhi oleh temperatur sekitar. Larva mirasidium dan larva serkaria dapat dilihat pada Gambar 1.
dan menghasilkan telur. Dari telur sampai menjadi dewasa dibutuhkan waktu sekitar 40 hari, serkaria selama 24 jam dan selama 3 bulan sporokista dapat bertahan dalam siput penular (HADIDJAJA, 1982). PROSES PERAKSUKAN SKISTOSOMA Peraksukan cacing skistosoma ke dalam jaringan inang dimulai dengan perlekatan bagian-bagian tertentu dari parasit itu pada permukaan tubuh inang. Bagian-bagian tersebut yaitu batil isap mulut dengan papila apicalisnya, sebagai bagian yang paling utama, dibantu oleh batil isap perut (tidak untuk penetrasi), papila lateralis, reseptor-reseptor penunjang, papila dorsalis, canalis gynaecophorus yang secara makroskopis posisinya dapat ditunjukkan pada Gambar 2 (HADIDJAJA, 1984).
P = Papilla (apicale lateral) bersifat aktif Gambar 2. Cacing Schistosoma japonicum
Gambar 1. Larva mirasidium
Larva serkaria berenang bebas di air untuk mencari inang tetap, manusia ataupun hewan sebagai inang perantara kemudian menembus kulit dan menjadi schistosomulum yang selanjutnya merasuk ke dalam jaringan dan berkembang menjadi dewasa, kemudian kawin
230
Perlekatan dan peraksukan cacing tesebut dapat terjadi karena adanya struktur jaringan kulit dan jaringan dalam tubuh inang yang dapat dirusak setelah terjadi proses perlekatan. Tubuh inang memiliki alat pertahanan untuk melawan kehadiran cacing tersebut antara lain adalah: sistim pertahanan kulit, sistim pertahanan seluler (fagosit), sistim pertahanan humoral (Immunoglobulin, antibodi), dan sistim pertahanan jaringan khusus (Fixed tissue phagocytes). Sistim pertahanan kulit bersangkut paut dengan proses perlekatan dan penetrasi. Kulit merupakan pintu masuk cacing yang utama, tidak semua bagian kulit dapat menjadi pintu masuk tergantung pada jenis dan sturktur dari kulit tersebut (STIREWALT, 1956 dalam SOULSBY, 1982).
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Bagian kulit yang terbuka merupakan tempat masuknya larva cacing. Pada tikus kebanyakan rambutnya berasal dari bagian sisik-sisik keras (bertulang) maka pintu masuknya berada di antara sisik-sisik itu. Pada domba dengan gerakan atau kontraksi otot maka cercaria akan masuk diantara lapisan selsel squamous dari stratum korneum kulit dan mengalami perubahan menjadi skistosomulum setelah melepaskan bagian ekornya. Dalam proses ini bekerja enzim proteolitik seperti hyaluronidase, yang bekerja pada serat-serat kolagen. Pada tupai, larva dapat masuk melalui pinggiran rambut (menyusur) ke kelenjar sebacea. Sedangkan pada manusia pintu masuknya pada bagian kerutan kulit, bila bagian kulit itu menebal dan tegang maka larva kurang bebas untuk mengadakan penetrasi (HADIDJAJA, 1982). Larva skistosomula memiliki sistim koordinasi gerakan yang kompleks. Dalam proses penetrasi serkaria dan masuknya skistosomula dalam jaringan diperlukan bahan pengaktif sebagai trigger berupa bahan kimia yakni host lipid, energi panas dan cahaya. Larva skistosomula ini akan berkembang selama perjalanannya melalui jaringan inang dan menjadi tahan terhadap tekanan osmotik serta salinitas yang tinggi (BARRINGTON et al., 1979). TINJAUAN HASIL PENELITIAN EPIDEMIOLOGI DI KABUPATEN POSO Lembah Napu Penelitian pada hewan di lembah Napu tahun 1982 mendapatkan kasus skistosomiasis pada tikus dengan angka infeksi 11,9%, angka infeksi siput 1,7% (HADIDJAJA, 1989). Peneliti lain di kecamatan Lore Utara (Lembah Napu) di desa Dodolo prevalensi pada anjing 3%, babi 0,2% pada kerbau 0,1% dan pada kuda 0,1% dengan gejala klinis demam, sakit perut dan diare (EFFENDI et al., 1993). Penelitian pada tahun 1988 – 1989 hasilnya 35 hewan piaraan positif telur S. japonicum yaitu 31 ekor anjing, 2 ekor sapi, dan 2 ekor babi; dengan praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal. Angka kesembuhan praziquantel terhadap hewan piaraan adalah 87,9% (ANONIM. 1990). Hasil survai siput di Lembah Napu 0,9%
positif mengandung serkaria (SUDOMO, 2000). Demikian pula ISKANDAR dan LUMENO (2002), menemukan tikus liar yang mengandung cacing S. japonicum dengan memasang 102 perangkap mati (snap-trap) yang tertangkap dibedah sebanyak 34 ekor tikus dari jenis Rattus hoffmani dan Rattus norvegicus 2 ekor (5,8%) diantaranya positif cacing pada hati Gambar 3.
Gambar 3. Hati tikus yang terinfestasi S. japonicum
Penelitian di lembah danau Napu pada tahun 1972 pada manusia (CARNEY et al., 1974) di 5 desa (Watumaeta, Wuasa, Alitupu, Winowonga dan Maholo) yang jumlah penduduknya 1843, mendapatkan angka infeksi S. japonicum 43% dari 583 tinja yang diperiksa. Pada tahun 1974 penelitian di 4 desa lain (Kaduwaa, Tamadue, Sedoa dan Watutau) dengan jumlah penduduk 1214, mendapat angka infeksi 31% dari 1003 tinja yang diperiksa (CARNEY et al., 1977). Penelitian ini kemudian (1981) dikembangkan di 3 desa (Maholo, Tamadue dan Winomanga) dengan jumlah penduduk 755 dan mendapatkan angka infeksi skistosomiasis 56% dari 633 tinja yang diperiksa. Angka infeksi tikus adalah 1,65 % dan angka infeksi siput 4%. Disamping itu juga ditemukan 14 fokus siput yang positif. Setelah selama 6 bulan dilakukan pengobatan dengan praziquantel, kasus skistosomiasis enjadi 5% pada manusia, angka infeksi pada tikus 4,8%,
231
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
dan angka infeksi pada siput 6%. Kenaikan angka infeksi pada pada tikus dan siput karena ada variasi musim, yaitu penelitian dilakukan pada akhir musim kemarau (PUTRALI et al., 1988). Penelitian lain di lembah Napu (1982) mendapatkan kasus skistosomiasis 35,8% angka infeksi siput 1,7%, dan angka infeksi tikus 11,9% (HADIDJAJA, 1989). Penelitian ulang (1983) di 3 desa (Maholo, Winowanga dan Tamadue) dengan jumlah penduduk 708 orang, mendapat angka infeksi skistosomiasis lebih tinggi yaitu 65,95% dari 241 tinja yang diperiksa. Kemudian diadakan pengobatan dengan prazinquantel dosis 30 mg/kg BB, diberi 2 kali dalam 1hari selama 6 bulan. Angka kesembuhan adalah 92,6% (SUDOMO, 2000). Lembah Besoa Lembah Besoa letaknya berdekatan dengan lembah Napu. Pada tahun 1986-1987 dilakukan survai dengan pemeriksaan tinja di 10 desa dengan jumlah penduduk 3064. Kasus skistosomiasis yang ditemukan juga rendah yaitu 0,9% dari 2307 tinja yang diperiksa. Angka infeksi tikus didapatkan 2,7% dan ditemukan 4 fokus siput yang positif. Dari 10 desa yang diteliti hanya 3 desa yang positif skistosomiasis yaitu : Torire dengan angka infeksi 1,5%, Talabosa 0,4%, dan Betue 9,9%. Gejala klinis yang ditemukan antara lain : splenomegali 6,8%, hepatomegali 1,1%, dan disentri 4% (RENYMANORA et al., 1988). Lembah Danau Lindu Pada tahun 1937, survai tinja dengan pemeriksaan langsung di daerah danau Lindu mendapatkan angka infeksi telur S. japonicum (BRUG dan TESCH, 1937). Kemudian berturutturut pada tahun 1940 dan 1956 dilakukan survai ulang dan didapatkan angka infeksi skistosomiasis yang lebih tinggi yaitu 55% dan 26% (BONNE dan SANDGROUND, 1940; BUCK dan UHRMANN, 1956). Pada tahun 1971, penelitian di 3 desa (Tomado, Langko, dan Anca) dengan jumlah penduduk 1459 dan mendapatkan kasus
232
skistosomiasis 53% dari 126 tinja yang diperiksa (HADIDJAJA et al., 1972). Setahun kemudian (1972), penelitian diperluas menjadi 4 desa (Tomado, Langko, Anca dan Puroo) dengan jumlah penduduk 1500 orang dan mendapatkan angka infeksi 37,9% dari 1417 sampel yang diperiksa (CLARKE et al., 1974). Penelitian tersebut diikuti dengan penelitian klinis (1972) tanpa mengidentifikasi tandatanda dan gejala positif dari penderita skistosomiasis (GUNNING et al., 1972). Pada tahun 1974, penelitian diperluas lagi menjadi 5 desa (Tomado, Langko, Anca, Puroo dan Paku) dengan jumlah penduduk 1515 orang dan mendapatkan angka infeksi 37,5% dari 1423 sampel yang diperiksa (DAZO et al., 1976). Pada tahun 1981, penelitian di daerah danau Lindu dikembangkan dan mendapatkan kasus skistosomiasis 15,8%, angka infeksi siput 0,3%, dan angka infeksi tikus 2,44% (HADIDJAJA, 1989). Penelitian dilanjutkan pada tahun 1984 di desa Langko dan mendapatkan kasus skistosomiasis 64,8% dengan pemeriksaan tinja, sedangkan dengan teknik Circumoval Precipitin Test (COPT) 64,4%. Kasus penderita berat yang dilaporkan adalah 25,4% sedang 30,3%, ringan 41,5%, dan tanpa gejala 2,8%. Gejala klinis dari penderitapenderita tersebut adalah demam (83,4%), sakit perut (70,2%), dermatitis (56,4%), diare (50,3%), mual-muntah (41,1%), nafas pendek (39,1%), perut tegang (35,1%), lemah (33,1%), splenomegali (27,8%), hepatomegali (25,2%) (HADIDJAJA, 1984). Setelah dilakukan usaha pemberantasan dengan pengobatan praziquantel, molluscide, perbaikan lingkungan dan penyuluhan kesehatan, angka infeksi skistosomiasis menjadi 1,14%, angka infeksi siput 1,14% dan angka infeksi tikus 1,32% (HADIDJAJA, 1989). Penelitian skistosomiasis tahun 1996 pada manusia di kawasan danau Lindu prevalensinya yaitu di desa Anca 0,3%, desa Tomado 1,1%, desa Kanawu 0,5%, desa Langko 3,0%, desa Puroo 0,9%, desa Salutui 2,1% (SUDOMO, 2000). Penyakit ini sulit dibrantas karena keadaan alam yang menunjang seperti habitat siput O. h. lindoensis terdapat di daerah pertanian, hutan, sepanjang irigasi dan daerah penggembalaan, penyakit ini disebut Demam Keong atau Penyakit Lindu (LUMENO, 2004).
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
KESIMPULAN Hewan piaraan yang menjadi pejamu perantara S. japonicum yaitu: sapi, kerbau, domba, babi, anjing, kuda. Lembah Napu, lembah Besoa, dataran tinggi lembah danau Lindu, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah merupakan daerah endemis skistosomiasis. Gejala klinis pada anjing demam, sakit perut dan mencret. Sedangkan pada manusia ditemukan terutama: demam, sakit perut, dermatitis, diare, dan muntah mual. Diagnosis dapat ditegakkan selain dengan pemeriksaan tinja, juga dapat dengan biopsi rektum atau biopsi hati atau Circumoval Precipitin Test (COPT). Praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal untuk pengobatan ternak cukup efektif. Sedangkan untuk manusia dosis 60 mg/kg BB, dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 1 hari, cukup efektif. Pemberantasan multiintervensi dengan pengobatan penderita, pemberantasan siput dengan mulluscide dan perbaikan kebersihan lingkungan serta penyuluhan kesehatan berhasil menurunkan angka infeksi skistosomiasis. Walaupun skistosomiasis terdapat di daerah yang terbatas, tetapi dengan adanya migrasi penduduk, pembangunan dan perkembangan ekonomi, serta banyaknya ternak menjadi pejamu perantara, perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ini dapat meluas dan meledak. DAFTAR PUSTAKA 1990. Subdit Filariasis dan ANONIM. Schistosomiasis. Direktotar Jenderal PPM dan PLP, Depkes RI, Jakarta. BARRINGTON, E.R.S., A.J. WILLIS, and M. A. SLEICH. 1979. A Series of Student Texts in Contemporary Biology. Edward Arnold Limited, London. BONNE, C., and J.H. SANDGROUND. 1940. Billharzia japonicum aan het Lindoe meer. Geneesk Tijdschr Ned Indie. 80:477. BRUG, S.L. and J.W. TESCH. 1937. Parasitaire wormen aan het Lindoe meer (Oa Paloe, Celebes). Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:2151.
CARNEY, W.P., M. SJAHRUL SALLUDIN, and J. PUTRALI. 1974. The Napu valley, a new schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 5:246-251. CARNEY, W.P., P.V.D. VAN PEENEN, R. SEE, and B. LIMA. 1977. Parasites of man in remote areas of Central and South Sulawesi Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Hlth. 8:380389. CLARKE, M.D., W.P. CARNEY, J.H. CROSS, S. OEMIJATI and A. JOESOEF. 1974. Schistosomiasis and other human parasitoses of Lake Lindu in Central Sulawesi, Indonesia. American J. Trop. Med. and Hyg. 23-385. DAVIS, G.M., and W.P. CARNEY. 1973. Description of Oncomelania hupensis lindoensis: first intermediate host of Schistosoma japonicum in Sulawesi. Proc. Acad. Nat. Sci. Philadelphia. 125:1-34. EFFENDI, N. ENDAH, ASMAN dan HERRY. 1993. Survai Schistosomiasis pada hewan di lembah Napu, kecamatan Lore Utara kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Laporan BPPH Wilayah VII Ujung Pandang. HADIDJAJA, P., W.P. CARNEY, M.D. CLARKE, and S. OEMIJATI. 1972. Schistosoma japonicum and intestinal parasites of the inhibitants of Lake Lindu, Sulawesi. A preliminary report. Southeast Asian J. of Trop. Med. and Pub. Hlth.3:594-599. HADIDJAJA, P. 1982. Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Thesis Doktor Universitas Indonesia. HADIDJAJA, P.. 1984. Clinical study of Indonesian schistosomiasis at Lindu lake area, Central Sulawesi. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 15(4):507-514. HADIDJAJA, P. 1989. Important trematodes in man in Indonesia. Bul. Penel. Kes. 17(2):107-113. ISKANDAR, T. dan H. LUMENO. 2002. Isolasi penyebab demam keong dari tikus liar di sekitar danau Lindu Sulawesi Tengah. Pros. Sem. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner Puslitbangnak, Deptan. Bogor. LUMENO, H. 2004. Mekanisme infeksi cacing Schistosoma japonicum pada manusia dan hewan. Belum dipublikasi. MULLER, H. and J.W. TESCH. 1937. Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:2143.
233
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PUTRALI, J., N. SJAMSUDIN, M. SUDOMO, and P. HADIDJAJA. 1988. Schistosomiasis control by mass treatment using praziquantel in Indonesia. Maj. Parasitol. Indon. 2(1 & 2):2532. SUDOMO, M. 1994. Ecology of schistosomiasis in Indonesia with certain aspects of control. Southeast asian J. trop. Med. Pub. Health.4:471.
234
SUDOMO, M. 2000. Schistosomiasis Control in Indonesia. Maj. Parasitol. Ind. 13(1-2):1-10. E. 1994. Penelitian-penelitian TJITRA, Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran.96:31-36.