BINGKAI KAYU DENGAN BAHAN BAKU KAYU PINUS Oleh: Ary Widiyanto dan Mohamad Siarudin Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis email:
[email protected] I. PENDAHULUAN Industri bingkai (frame) kayu merupakan salah satu bagian dari industri pengolahan kayu nasional, yang turut menyumbang devisa melalui ekspor ke beberapa negara. Dua negara utama tujuan ekspor industri adalah Jepang dan Amerika. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah industri pembuatan bingkai di Indonesia, karena mayoritas industri pembuatan bingkai adalah industri kecil dan beberapa masuk kategori home industry, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Hal ini dikarenakan untuk membuat bingkai kayu, khususnya untuk produk lokal, tidak diperlukan mesin yang terlalu rumit.
Meskipun demikian, industri bingkai kayu
merupakan kategori industri yang meningkatkan nilai tambah kayu, karena merupakan salah satu industri yang mengolah kayu menjadi produk jadi. Disamping itu, pembuatan bingkai tidak memerlukan bahan baku papan yang lebar, sehingga bisa memanfaatkan kayu sisa potongan (Widiyanto dan Siarudin, 2011). Dalam industri bingkai, kayu yang dipilih harus memenuhi dua syarat utama, yaitu, pertama, kayu harus memiliki kekerasan yang cukup, sehingga pada saat penyambungan ujung kayu dapat menyatu sempurna. Jika kayu terlalu lunak maka bahan penyambung (stapler/ v-nail) akan amblas, sebaliknya jika terlalu keras stapler/ v-nail tersebut akan sedikit bengkok atau tidak tertancap sempurna. Syarat kedua kayu tersebut memiliki serat yang lurus dan halus, sehingga setelah proses penyerutan tidak memerlukan proses pengampelasan yang terlalu lama. Berdasarkan kedua syarat tersebut, dahulu banyak yang memakai kayu ramin (Gonistilus bancanus) sebagai bahan baku. Dengan adanya larangan pemakaian kayu ramin (Departemen Kehutanan, 2001), maka industri bingkai banyak yang mencari dan mencoba menggunakan jenis kayu lain sebagai bahan baku. Salah satu jenis kayu yang cukup banyak digunakan sebagai bahan baku adalah pinus. Pinus terdiri atas banyak spesies, salah satunya adalah Pinus merkusii. Di 1
Indonesia, pinus dikenal dengan nama tusam. Pinus merkusii merupakan jenis pohon pionir berdaun jarum yang termasuk dalam famili Pinaceae. Pohon pinus tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah Kerinci. Tanaman pinus di Pulau Jawa didominasi oleh jenis Pinus merkusii Jung et de Vriese. Kayu terasnya berwarna putih krem kemerahan, riap tumbuhnya agak jelas, tekstur kasar, serat lurus sedikit berpadu, kayu agak lunak, tidak berpori , mempunyai saluran aksial menyebar dan jarang, jarijari sangat halus dan sempit serta berwarna putih (Martawijaya et al, 1989). Meskipun bisa mencapai diameter yang besar, pemanfaatan pohon pinus yang utama adalah sebagai penghasil getah, yang bisa diolah menjadi berbagai macam produk. Harga kayu pinus juga relatif lebih rendah dibandingkan kayu jenis rimba lainnya, seperti mahoni dan meranti. Dengan adanya alternative pemanfaatan kayu pinus sebagai bahan baku bingkai maka diharapkan bisa meningkatkan nilai tambah dan harga jual kayu. Dalam industri bingkai, sifat pemesinan kayu yang sangat diperhatikan adalah penyerutan (planing) karena bahan hasil penyerutan inilah yang akan digunakan dalam proses selanjutnya. Artinya jika bahan baku tidak memenuhi persyaratan pada proses penyerutan, bahan ini tidak digunakan lagi pada tahapan selanjutnya (moulding, sanding, painting, finishing sampai assembling). Penelitian ini nertujuan untuk mengetahui kualitas kayu pinus hasil penyerutan sebagai bahan baku industri bingkai kayu, kemudian membandingkannya dengan standar yang dipakai oleh perusahaan. II.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN PT Daisen Wood Frame yang beralamat di Komplek Cibinong Center Industrial
Estate (CCIE) Blok B1-B2 Citeureup, Bogor. Jawa Barat. Hasil produksi seratus persen diekspor ke Jepang. Bahan baku kayu yang digunakan secara umum ada dua, yaitu kayu solid yang terdiri dari pinus (mayoritas), medang, melapi, karet serta pinus, dan finger joint product jenis jelutung dan pulai. Perusahaan ini memproduksi dua jenis bingkai kayu, natural color frame (bingkai yang menggunakan cat jenis clear dengan serat kayu yang masih terlihat) mayoritas menggunakan kayu pinus dan solid color frame (bingkai yang menggunakan warna-warna solid sehingga serat kayu tidak terlihat),umumnya menggunakan kayu fingerjoint product dari jelutung & pulai.
2
III. CONTOH UJI DAN PENGUJIAN 1. Contoh Uji Jumlah contoh uji yang diteliti sebanyak 59.112 pcs atau 11,5955 m3. Ukuran contoh uji yang diteliti terdiri dari 3 ukuran yaitu 14 x 23 mm, 16 x 23 mm dan 17 x 27 mm dengan panjang bervariasi, mulai 350 mm s.d. 1200 mm. Contoh uji yang digunakan adalah kayu yang akan digunakan oleh perusahaan untuk pembuatan bingkai. Contoh uji berbentuk kayu yang sudah diserut (planner) dan merupakan kiriman dari supplier yang sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan dan sudah mendapatkan penjelasan tentang standar kualitas kayu oleh bagian quality control (QC) perusahaan. 2. Pengujian Setiap contoh uji diamati secara visual dengan bantuan loupe dan dicatat cacatcacat yang ditemukan pada permukaan. Sortimen yang memiliki cacat dijumlahkan, kemudian
dihitung
persentasenya
terhadap
jumlah
seluruh
contoh
uji
dan
diklasifikasikan kualitasnya, dengan mengacu pada standar kualitas yang dimiliki perusahaan. Standar perusahaan dipakai karena belum ada standar baik internasional maupun nasional yang mengatur kualitas bahan baku industri bingkai kayu. Kualitas bahan baku bingkai kayu diklasifikasikan menjadi tiga kelas kualitas/grade, yaitu A, B, dan C. Dasar yang digunakan dalam penentuan standar kualitas bahan baku bingkai kayu adalah keberadaan cacat-cacat tertentu. Kualitas grade A adalah bahan baku kayu yang tidak memiliki cacat pada seluruh bagiannya; cacat yang masih diperbolehkan pada kategori grade B adalah bluestain dan serat patah; Sedangkan jenis-jenis cacat pada kategori grade C antara lain serat terangkat, tanda serpih, membengkok, pinhole, mata kayu, pecah, serat berpadu, heavy bluestain dan lateks hole. Ilustrasi mengenai cacat-cacat tersebut bisa dilihat pada Tabel 1. Pada standar kualitas yang dipakai perusahaan, pengujian juga dipakai untuk proses penyortiran berdasarkan tiga kelas kualitas/grade tersebut. Kayu grade A akan langsung dipakai pada proses produksi umumnya untuk natural color frame, grade B untuk solid color frame sedangkan grade C akan ditolak/dirijek dan kayu dikembalikan ke supplier. Pengamatan dilakukan pada kedua muka lebar dari contoh uji tersebut.
3
Selanjutnya data mengenai jenis cacat serta persentase contoh uji yang masuk kedalam kelas pemesinan yang telah ditentukan dianalisis secara deskriptif. Tabel 1. Jenis cacat yang diamati
Bluestain Serat patah (torn grain)
Serat terangkat (raised grain)
Serat berbulu (fuzzy grain)
Tanda serpih (chip mark) Membengkok (bowing/caving)
Mata kayu mati Mata kayu hidup
Pinhole
Mata kayu (loose knot)
Pecah (crack) Serat berpadu (fused grain/tiger grain)
4
Heavy bluestain Lateks hole Sumber: Widiyanto dan Siarudin, 2011 IV. KUALITAS KAYU PINUS Setelah dilakukan pengecekan 100% terhadap contoh uji diketahui bahwa jumlah grade A kayu pinus cukup besar yaitu 49.73%, grade B 32.01% dan grade C 18.26%. Bahan baku yang paling banyak jumlah Grade A-nya adalah ukuran 17 x 27 mm, sedangkan yang paling banyak rijeknya (Grade C) adalah ukuran 14 x 23 mm. Hal ini kemungkinan disebabkan untuk ukuran 14 x 23 mm panjang sortimen kayu mencapai 1200 mm, sedangkan panjang sortimen untuk ukuran 17 x 27 mm hanya mencapai 550 mm. dengan luas penampang yang kecil, semakin panjang sortimen akan meningkatkan kemungkinan ditemukan cacat kayu. Dalam hal ini cacat kayu yang dominan adalah bengkok, dengan total jumlah rijek untuk jenis bengkok sebanyak 9.155 pcs, atau 84,64 % dari total rijek Grade C. Jumlah dan persentase rijek untuk tiap ukuran selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 2 dibawah ini: Tabel 2. Hasil pengecekan kualitas kayu (berdasarkan kategori)
NO
Ukuran Sortimen
14 x 23 x 350 ~ 1 1200 mm 16 x 23 x 350 ~ 750 2 mm 17 x 27 x 400 ~ 550 3 mm TOTAL
Hasil Inspeksi Sortimen Kayu Grade A Grade B Grade C Pcs % Pcs % Pcs % 4,484 15,108 9,803 29,395
45.00
Total QTY Pcs
M3
1,251
12.56
4,229
42.44
9,964
1.8449
44.24 15,116
44.27
3,924
11.49
34,148
5.8995
65.35
17.05
2,640
17.60
15,000
3.8510
32.01 10,793
18.26
59,112 11.5955
2,557
49.73 18,924
Adapun klasifikasi cacat kayu grade B dan grade C hasil pengecekan contoh uji bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
5
Tabel 3. Hasil pengecekan kualitas kayu (berdasarkan jenis cacat yang ditemukan) Jenis Cacat
Grade B (pcs)
Grade C (pcs)
0
0
18.924
0
Serat berbulu (fuzzy grain)
0
562
Serat terangkat (raised grain)
0
1
Tanda serpih (chip mark)
0
0
Membengkok (bowing/caving)
0
9.155
Pinhole
0
8
Mata kayu (loose knot)
0
773
Pecah (crack)
0
209
Serat berpadu (fused grain)/ tiger grain
0
39
Heavy bluestain
0
46
Lateks hole
0
20
18.924
10.793
Bluestain Serat patah (torn grain)
TOTAL A. Grade B
Ada dua jenis cacat yang termasuk kategori grade B, yaitu bluestain dan serat patah (torn grain). Meskipun demikian tidak ditemukan jenis cacat bluestain, hanya cacat serat patah (torn grain) sebanyak 18.924 pcs. Serat patah ditemukan hampir pada semua contoh uji, dan ditemukan paling banyak pada ukuran 16 x 23 mm sebanyak 15.116 pcs. Timbulnya serat patah adalah akibat adanya tekanan atau tarikan pada permukaan kayu. Hal ini mungkin terjadi pada penumpukan kayu dalam palet, sehingga kayu-kayu yang terletak dibagian bawah mendapatkan gaya tekan yang lebih besar. B. Grade C Untuk grade C, jenis cacat yang paling banyak ditemukan adalah bengkok sebanyak 9.155 pcs. Dari 3 ukuran contoh uji, bengkok paling banyak ditemukan pada ukuran 14 x 23 mm sebanyak 3.892 pcs (42,61%). Secara keseluruhan jumlah cacat ini setara dengan 84,64 % dari total rijek grade C. Banyaknya cacat bengkok kemungkinan disebabkan dimensi bahan baku bingkai
6
yang diminta ukurannya kecil, tetapi panjangnya sampai dengan 1200 mm. Penyetelan (setting) gergaji belah dan mesin planer yang kurang presisi bisa meningkatkan kayu yang bengkok. Jumlah cacat terbanyak kedua untuk grade C adalah mata kayu dengan jumlah 773 pcs (7,16% dari total rijek grade C). dalam pembuatan bingkai, mata kayu tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan bekas baik untuk bingkai natural maupun bingkai solid (dicat). Walaupun bukan untuk tujuan konstruksi, adanya mata kayu juga diduga akan mengurangi kekuatan bingkai, karena ukuran bingkai yang kecil. Serat berbulu juga cukup banyak ditemukan, yaitu sebanyak 562 pcs atay 5, 21% dari total rijek. Timbulnya cacat serat berbulu (fuzzy grain) pada kayu pinus diduga karena kayu ini memiliki serat lunak, sehingga mudah berdiri kembali ketika terjadi gesekan antara ujung serat dengan ampelas. Hal ini juga diduga karena serat-serat kayu yang berpadu tidak terpotong sempurna oleh mata pisau, melainkan terjadi kerusakan serat-serat kayu sehingga terbentuk cacat serat berbulu pada bidang pemotongan (Widiyanto dan Siswanto, 2012). Cacat pecah yang ditemukan berjumlah 209 pcs (1,94%). Pecah pada kayu kemungkinan disebabkan proses pengeringan yang kurang sempurna. Pecah umumnya ditemukan pada bagian ujung kayu, dan memanjang searah panjang kayu. Untuk mengurangi pecah, harus dipastikan bahwa proses pengeringan berjalan baik, atau dengan mengolesi oli, resin, urea atau polyetilen glikol (PEG) pada ujung kayu. Pada tahap awal pengeringan digunakan temperatur rendah, kemudian dinaikkan secara perlahan (Sucipto, 2009 dalam Widiyanto dan Siarudin, 2011) Untuk ke enam jenis cacat lainnya, yaitu serat berpadu (fused grain), serat terangkat (raised grain),
tanda serpih (chip mark), pinhole, heavy
bluestain dan lateks hole, jumlahnya relatif sedikit dengan prosentase masingmasing jenis cacat kurang dari 1%.
Jika diklasifikasikan berdasarkan
penyebabnya, maka cacat yang ditemukan bisa dikelompokkan menjadi empat hal utama, pertama akibat proses yang kurang sempurna meliputi cacat bengkok, pecah dan tanda serpih, kedua, sifat alami kayu meliputi mata kayu baik hidup maupun mata kayu mati, serat berpadu dan lateks hole, ketiga
7
kombinasi proses dan sifat alami kayu meliputi serat berbulu dan serat terangkat, serta keempat disebabkan oleh organisme perusak kayu yang meliputi heavy bluestain dan pinhole. Secara keseluruhan kualitas kayu pinus kurang baik sebagai bahan baku industri bingkai kayu, karena jumlah kayu grade C yang cukup besar yaitu 18,26%. Karena semua kayu grade C ini adan dikembalikan ke supplier, maka hal ini akan memberatkan. Untuk menghindari dan mengurangi cacat kategori grade C, bisa dilakukan tindakan pencegahan (preventive), antara lain penyetelan (setting) mesin yang presisi dan sering dikalibrasi (cek ulang), proses pengeringan kayu yang sempurna sehingga mencegah serangan bluestain dan cacat-cacat yang berhubungan dengan kembang susut dimensi kayu. Sistem penggergajian dalam pembuatan papan juga bisa meminimalisir ditemukannya cacat yang memang merupakan sifat alami kayu seperti mata kayu dan lateks hole. V. KESIMPULAN 1. Secara keseluruhan kualitas kayu pinus kurang baik sebagai bahan baku industri bingkai kayu, karena jumlah kayu grade C yang cukup besar yaitu 18,26%. Karena semua kayu grade C ini adan dikembalikan ke supplier, maka hal ini akan memberatkan. 2. Mayoritas cacat yang ditemukan adalah bengkok (bowing/caving), dengan persentase mencapai 22,39 % dari total sampel. 3. Untuk menghindari dan mengurangi cacat kategori grade C, bisa dilakukan tindakan pencegahan antara lain penyetelan (setting) mesin yang presisi dan sering dikalibrasi (cek ulang), proses pengeringan kayu yang sempurna sehingga mencegah serangan bluestain dan cacat-cacat yang berhubungan dengan kembang susut dimensi kayu.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011a .http://www.scribd.com/doc/39507140/15/Gambar-2-5-Skema-prinsippull-out-fiber-test. Diakses Tanggal 22 Desember 2011.
8
Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR 168/KptsIV/2001 Tanggal 11 Juni 2001 Tentang Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin (Gonystylus spp) Mandang, Y. dan I.K.N. Pandit. Pedoman Identifikasi Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea Bogor dan Pusdiklat SDM Kehutanan. Bogor. Matawijaya, I. Kartasujana, K.Kadir dan S.A. Prawira. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor Sucipto, T. 2009. Pengeringan Kayu Secara Umum. 2009. Karya Tulis Departemen Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Tidak Dipublikasikan. Widiyanto, A dan M.Siarudin. 2011. Kajian Kualitas Kayu Jabon (Antochepalus cadamba Miq.) Sebagai Bahan Baku Bingkai Kayu (Studi Kasus di PT Daisen Wood Frame, Bogor). Jurnal Ilmu & Teknologi Hasil Hutan Vol 4 No 2 Desember 2011. Departemen Hasil Hutan IPB. Hal 41-45. Widiyanto, A dan N.Siswanto. 2012. Sifat Pemesinan Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dan Mangium (Acacia mangium Willd.). Warta Hasil Hutan Vol 7 No 1, 2012. Puslitbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan. Hal 3-6.
9