KAJIAN KUALITAS KAYU JABON (Antochepalus cadamba Miq.) SEBAGAI BAHAN BAKU BINGKAI KAYU (Studi Kasus di PT Daisen Wood Frame, Bogor) Study on Jabon Wood Quality as Wood Frame Raw Materials (Case Study at PT Daisen Wood Frame, Bogor) Oleh/By: Ary Widiyanto dan/and Mohamad Siarudin Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis ABSTRACT Jabon wood (Anthocephalus cadamba Miq.).is recently used as alternative raw material for wood frame industries. One of the important machining properties required in wood frame processing is planing properties. This study aims to find out the quality of Jabon wood planing output as wood frame raw materials. About 5 % (139.860 specimens) of the total wood raw material is tested and classified using company quality standard. The result shows that Jabon has a good quality for wood frame raw materials, shown from the high percentage (70,39 %) of the specimens which are classified as grade A (without defect). The type of defect frequently found is bowing/caving (about 22,39 % of the total sample). Keywords: Jabon wood, raw material, wood frame, planning, machining properties ABSTRAK Kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) saat ini banyak digunakan sebagai bahan baku alternatif dalam industri bingkai kayu. Salah satu sifat pemesinan kayu yang sangat diperhatikan dalam industri bingkai kayu adalah sifat penyerutan (planing) karena bahan hasil penyerutan inilah yang akan digunakan dalam proses selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas kayu Jabon hasil penyerutan sebagai bahan baku industri bingkai kayu. Sejumlah 139.860 contoh uji (sekitar 5 % dari total bahan baku) digunakan sebagai sampel dalam pengujian dan klasifikasi kualitas, yang didasarkan pada standar kualitas perusahaan. Hasil menunjukkan bahwa kayu Jabon memiliki kualitas yang baik sebagai bahan baku industri bingkai kayu, yang ditunjukkan tingginya persentase sampel (70,39 %) yang memenuhi kualitas grade A (tanpa cacat). Jenis cacat yang paling banyak ditemui pada kayu jabon adalah cacat brngkok (22,39 % dari total sampel). Kata kunci: Kayu Jabon, bahan baku, bingkai kayu, penyerutan, sifat pemesinan
I. PENDAHULUAN Kontribusi sektor kehutanan terhadap pendapatan negara melalui ekspor produk kayu olahan cenderung turun prosentasenya beberapa tahun belakangan ini. Meskipun demikian posisi industri kehutanan Indonesia masih sangat strategis mengingat jumlah hutan kita yang 1
masih cukup luas dan makin berkembangnya hutan rakyat. Industri kayu olahan saat ini berkembang pesat sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKBTM) tahun 1980 tentang pembatasan ekspor kayu bulat (log) dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan dalam negeri. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mengatur tata niaga ekspor kayu antara lain SK Menteri Perdagangan Nomor 305/KP/1986 tentang larangan ekspor untuk kayu gergajian jenis ramin, meranti putih dan agathis serta Nomor 292/KP/IX/1988 tentang larangan ekspor kayu gergajian yang bernilai rendah serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.013/1992 tentang tidak dikenakan pajak ekspor khusus untuk produk kayu olahan (Sirait, 2004). Semua kebijakan tersebut bertujuan memberikan nilai tambah (value added) yang lebih tinggi. Nilai tambah tersebut dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri hilir atau industri kayu olahan jadi. Sehingga diharapkan terjadi peningkatan ekspor dan mendorong perekonomian nasional melalui peningkatan devisa negara serta mengoptimalkan pemanfaatan potensi hutan. Semua keputusan tersebut juga diharapkan dapat mendorong perusahaan yang pada awalnya hanya memproduksi kayu gergajian untuk mengembangkan usahanya ke arah industri pengolahan kayu, yang memiliki ekonomi lebih tinggi. Industri bingkai (frame) kayu merupakan salah satu bagian dari industri pengolahan kayu nasional, yang turut menyumbang devisa melalui ekspor ke beberapa negara. Dua negara utama tujuan ekspor industri adalah Jepang dan Amerika. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah industri pembuatan bingkai di Indonesia, karena mayoritas industri pembuatan bingkai adalah industri kecil dan beberapa masuk kategori home industry, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Hal dikarenakan untuk membuat bingkai kayu, khususnya untuk produk lokal, tidak diperlukan mesin yang terlalu rumit. Meskipun demikian, industri bingkai kayu merupakan kategori industri yang meningkatkan nilai tambah kayu, karena merupakan salah satu industri yang mengolah kayu menjadi produk jadi. Disamping itu, pembuatan bingkai tidak memerlukan bahan baku papan yang lebar, sehingga bisa memanfaatkan kayu sisa potongan. Pemilihan kayu untuk industri bingkai pada umumnya menekankan dua syarat utama. Pertama kayu harus memiliki kekerasan yang cukup, sehingga pada saat penyambungan ujung kayu dapat menyatu sempurna. Jika kayu terlalu lunak maka bahan penyambung (stapler/ v-nail) akan amblas, sebaliknya jika terlalu keras stapler/ v-nail tersebut akan sedikit bengkok atau tidak tertancap sempurna. Syarat kedua kayu tersebut memiliki serat yang lurus dan halus, sehingga setelah proses penyerutan tidak memerlukan proses pengampelasan yang 2
terlalu lama. Berdasarkan kedua syarat tersebut, dahulu banyak yang memakai kayu ramin (Gonistilus bancanus) sebagai bahan baku. Dengan adanya larangan pemakaian kayu ramin (Departemen Kehutanan, 2001), maka industri bingkai banyak yang mencari dan mencoba menggunakan jenis kayu lain sebagai bahan baku. Salah satu jenis kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku adalah kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Pertimbangan utamanya adalah kayu jabon memiliki serat yang lurus dan tekstur yang cukup halus. Meskipun lebih lunak dari ramin, jabon memiliki keunggulan yaitu pertumbuhannya sangat cepat, dengan riap sampai tanaman berumur 6-8 tahun adalah 7 cm/tahun dan akan menurun menjadi 3 cm/tahun sampai tanaman berumur 20 tahun. Secara fisis anatomis jabon memiliki ciri-ciri; warna kayu teras berwarna putih, kayu gubal tidak dapat dibedakan dari kayu teras , tekstur agak halus sampai agak kasar, arah serat lurus, kesan raba permukaan kayu licin atau agak licin. Kayu jabon memiliki berat jenis 0,42 (0,29 - 0,56) dan termasuk Kelas Kuat III- IV, serta Kelas Awet V (Martawijaya et al. 1989). Di beberapa daerah kayu jabon juga disebut klampayan/lampean (Jawa Tengah), hanja, gempol (Jawa Barat) (Mandang, Y. dan I.K.N. Pandit (1997) Dalam industri bingkai, sifat pemesinan kayu yang sangat diperhatikan adalah penyerutan (planing) karena bahan hasil penyerutan inilah yang akan digunakan dalam proses selanjutnya. Artinya jika bahan baku tidak memenuhi persyaratan pada proses penyerutan, bahan ini tidak digunakan lagi pada tahapan selanjutnya (moulding, sanding, painting, finishing sampai assembling). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas kayu jabon
hasil
penyerutan
sebagai
bahan
baku
industri
bingkai
kayu,
kemudian
membandingkannya dengan standar yang dipakai oleh perusahaan.
II. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN PT Daisen Wood Frame yang beralamat di Komplek Cibinong Center Industrial Estate (CCIE) Blok B1-B2 Citeureup, Bogor. Jawa Barat. Berdiri pada tanggal 7 Maret 1995 dan memiliki luas lahan 12,640 m 2. Sebagian saham perusahaannya dimiliki oleh pihak asing atau sering disebut PMA (Penanaman Modal Asing). Hasil produksi seratus persen diekspor ke Jepang. Bahan baku kayu yang digunakan secara umum ada dua, yaitu kayu solid yang terdiri dari jabon (mayoritas), medang, melapi, karet serta pinus, dan finger joint product jenis jelutung dan pulai. Perusahaan ini memproduksi dua jenis bingkai kayu, natural color frame (bingkai yang menggunakan cat jenis clear dengan serat kayu yang masih terlihat) 3
mayoritas menggunakan kayu jabon dan solid color frame (bingkai yang menggunakan warna-warna solid sehingga serat kayu tidak terlihat) umumnya menggunakan kayu fingerjoint product dari jelutung & pulai. III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa sortimen-sortimen yang dikirim oleh supplier PT Daisen Wood Frame dan sudah dipotong sesuai dengan ukuran yang diperlukan dalam pembuatan bingkai. Semua papan contoh tersebut dalam keadaan kering dengan kadar air 10-12%. Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah meteran, caliper, alat tulis, serta loupe dengan pembesaran sepuluh kali. B. METODE PENELITIAN 1. Contoh Uji Jumlah contoh uji yang diteliti adalah 41,7015 m3 atau + 5% dari total kebutuhan kayu tahunan PT Daisen Wood Frame yang berkisar 800 m 3. Ukuran contoh uji yang dipakai terdiri dari 10 yaitu 13 x 22, 13 x 30, 14 x 49, 16 x 23, 17 x 27, 17 x 33, 17 x 45, 19 x 66, 21 x 24 dan 21 x 50. Adapun panjangnya bervariasi, mulai 350 mm s.d. 2000 mm.
(A)
(B)
Gambar 1. Salah satu contoh uji kayu Jabon (A) dan contoh uji dalam palet (B) Contoh uji yang digunakan adalah kayu yang akan digunakan oleh perusahaan untuk pembuatan bingkai. Contoh uji berbentuk kayu yang sudah diserut (planner) dan merupakan kiriman dari supplier yang sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan dan sudah mendapatkan penjelasan tentang standar kualitas kayu oleh bagian quality control (QC) perusahaan.
4
2. Pengujian Setiap contoh uji diamati secara visual dengan bantuan loupe dan dicatat cacat-cacat yang timbul/ditemukan pada permukaan. Sortimen yang memiliki cacat dijumlahkan, kemudian dihitung persentasenya terhadap jumlah seluruh contoh uji dan diklasifikasikan kualitasnya, dengan mengacu pada standar kualitas yang dimiliki perusahaan. Standar perusahaan dipakai karena belum ada standar baik internasional maupun nasional yang mengatur kualitas bahan baku industri bingkai kayu. Kualitas bahan baku bingkai kayu diklasifikasikan menjadi tiga kelas kualitas/grade, yaitu A, B, dan C. Dasar yang digunakan dalam penentuan standar kualitas bahan baku bingkai kayu adalah keberadaan cacat-cacat tertentu. Kualitas grade A adalah bahan baku kayu yang tidak memiliki cacat pada seluruh bagiannya; cacat yang masih diperbolehkan pada kategori grade B adalah bluestain dan serat patah; Sedangkan jenis-jenis cacat pada kategori grade C antara lain serat terangkat, tanda serpih, membengkok, pinhole, mata kayu, pecah, serat berpadu, heavy bluestain dan lateks hole. Ilustrasi mengenai cacat-cacat tersebut bisa dilihat pada Tabel 1. Pada standar kualitas yang dipakai perusahaan, pengujian juga dipakai untuk proses penyortiran berdasarkan tiga kelas kualitas/grade tersebut. Kayu grade A akan langsung dipakai pada proses produksi umumnya untuk natural color frame, grade B untuk solid color frame sedangkan grade C akan ditolak/dirijek dan kayu dikembalikan ke supplier. Pengamatan dilakukan pada kedua muka lebar dari contoh uji tersebut. Selanjutnya data mengenai jenis cacat serta persentase contoh uji yang masuk kedalam kelas pemesinan yang telah ditentukan dianalisis secara deskriptif. Tabel 1. Jenis cacat yang diamati Table 1. Type of defects in wood Jenis Cacat (Kind of Defect)
Gambar Ilustrasi
Bluestain
5
Serat patah (torn grain)
Serat berbulu (fuzzy grain)
Serat terangkat (raised grain)
Tanda serpih (chip mark) Membengkok (bowing/caving)
Pinhole
Mata kayu (loose knot)
Mata kayu mati Mata kayu hidup
Pecah (crack)
6
Serat
berpadu
(fused
grain/tiger grain)
Heavy bluestain
Lateks hole
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengecekan 100% terhadap contoh uji diketahui bahwa jumlah grade A kayu jabon cukup besar yaitu 70,93%, grade B 0,68% dan grade C 28,39%. Bahan baku yang paling sedikit jumlah rijeknya adalah yang luas permukaannya paling kecil, sedangkan yang paling banyak rijeknya adalah yang paling besar luas penampangnya. Ini menunjukan makin luas penampang kayu makin besar kemungkinan rijeknya. Hal ini disebabkan untuk mendapatkan ukuran yang kecil dalam proses pembelahan bisa dilakukan dengan menghindari cacat yang ada. Jumlah dan persentase rijek untuk tiap ukuran selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 2 dibawah ini: Tabel 2. Hasil pengecekan kualitas kayu Table 2. Wood quality checking result N O
UKURAN
13 x 22 x 350 ~ 650 1 mm 13 x 30 x 350 ~ 650 2 mm 14 x 49 x 450 ~ 1200 3 mm 16 x 23 x 350 ~ 1000 4 mm 17 x 27 x 400 ~ 1000 5 mm
Hasil Inspeksi Grade A Grade B Pcs % Pcs % 14.21 81,5 13 0,7 1 8 5 8 17.90 76,8 25 1,1 1 2 7 0 56,7 0,6 2.636 9 28 0 25.92 79,7 0,1 4 1 54 7 20.81 62,7 23 0,7 6 5 9 2 7
Grade C Pcs % 17,6 3.073 4 22,0 5.145 8 42,6 1.978 1 20,1 6.546 3 12.11 36,5 7 3
Total QTY Pcs
M3
17.419
3,3809
23.303
5,3335
4.642
2,5315
32.524
6,4449 10,140 4
33.172
17 x 33 x 350 ~ 750 6 mm 17 x 45 x 400 ~ 1400 7 mm 19 x 66 x 350 ~ 600 8 mm 9 21 x 24 x 650 mm 21 x 50 x 1200 ~ 10 2000 mm TOTAL
11.40 7 1.098 2.166 860 2.183 99.20 2
79,8 3 22,7 0 70,3 2 76,7 9 39,8 9 70,9 3
16 7 21 0 0 47 94 8
1,1 7 0,4 3 0,0 0 0,0 0 0,8 6 0,6 8
2.715 3.719 914 260 3.243 39.71 0
19,0 0 76,8 7 29,6 8 23,2 1 59,2 5 28,3 9
14.289
3,3709
4.838
2,5558
3.080
0,6643
1.120
0,3669
5.473 139.86 0
6,9125 41,701 5
Adapun klasifikasi cacat kayu grade B dan grade C hasil pengecekan contoh uji bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Hasil pengecekan kualitas kayu Table 3. Wood quality checking result Jenis Cacat (Type of Defect)
Grade B (pcs)
Bluestain
Grade C (pcs)
6
Serat patah (torn grain)
942
Serat berbulu (fuzzy grain)
1.506
Serat terangkat (raised grain)
812
Tanda serpih (chip mark)
12
Membengkok (bowing/caving)
31.309
Pinhole
2.760
Mata kayu (loose knot)
788
Pecah (crack)
2.287
Serat berpadu (fused grain)/ tiger grain
118
Heavy bluestain
3
Lateks hole
115
TOTAL
948
39.710
A. Grade B Ada dua jenis cacat yang termasuk kategori grade B, yaitu bluestain sebanyak 6 pcs dan serat patah (torn grain) sebanyak 942 pcs. Bluestain disebabkan oleh jamur yang biasanya hanya menginfeksi bagian gubal dan cenderung menyebabkan perubahan warna pada kayu. Akibat bluestain, warna kayu berkisar dari biru, 8
hitam kebiruan dan abu-abu hingga coklat, kuning, oranye, ungu, dan merah. Warna noda tergantung pada organisme
penyebab
infeksi dan
jenis spesies serta
kelembaban kayu.( Anonim, 2011b) Serat patah ditemukan hampir pada semua contoh uji kecuali pada ukuran 19 x 66 mm dan 21 x 24 mm. Timbulnya serat patah akibat adanya tekanan atau tarikan pada permukaan kayu. Hal ini mungkin terjadi pada penumpukan kayu dalam palet (Gambar 1) , sehingga kayu-kayu yang terletak dibagian bawah mendapatkan gaya tekan yang lebih besar. B. Grade C Untuk grade C, jenis cacat yang paling banyak ditemukan adalah bengkok sebanyak 31.309 pcs. Dari 10 ukuran contoh uji, bengkok paling banyak ditemukan pada ukuran 17 x 27 mm sebanyak 10.161 pcs (32,45%). Secara keseluruhan jumlah cacat ini setara dengan 78,84% dari total rijek grade C. Banyaknya cacat bengkok kemungkinan disebabkan dimensi bahan baku bingkai yang diminta ukurannya relatif kecil, mulai 13 x 22 sampai 21 x 50 mm, tetapi panjangnya sampai dengan 2000 mm. Penyetelan (setting) gergaji belah dan mesin planer yang kurang presisi bisa meningkatkan kayu yang bengkok. Jumlah cacat terbanyak kedua untuk grade C adalah pinhole dengan 2.760 pcs (6,95% dari total rijek grade C). Pinhole disebabkan oleh mikroorganisme pemakan kayu, dalam istilah di PT Daisen disebut “kutu kayu”, yang merusak kayu sampai bagian dalam. Jika dibiarkan, kayu akan hancur menjadi bubuk. Pencegahan yang bisa dilakukan antara lain dengan fumigasi yang dilakukan setelah kedatangan kayu dari supplier. Fumigasi terbukti mampu membunuh mikroorganisme ini beserta koloni dan telur/larvanya. Cacat pecah yang ditemukan berjumlah 2.287 pcs (5,76%). Pecah pada kayu kemungkinan disebabkan proses pengeringan yang kurang sempurna. Pecah umumnya ditemukan pada bagian ujung kayu, dan memanjang searah panjang kayu. Untuk mengurangi pecah, harus dipastikan bahwa proses pengeringan berjalan baik, atau dengan mengolesi oli, resin, urea atau polyetilen glikol (PEG) pada ujung kayu. Pada tahap awal pengeringan digunakan temperatur rendah, kemudian dinaikkan secara perlahan (Sucipto, 2009) Untuk ke enam jenis cacat lainnya, yaitu serat berpadu (fused grain), serat terangkat (raised grain), tanda serpih (chip mark), mata kayu (loose knot) baik hidup maupun mata kayu mati, heavy bluestain dan lateks hole, jumlahnya relatif sedikit 9
dengan prosentase masing-masing jenis cacat kurang dari 2,5%. Serat berpadu diduga disebabkan perbedaan kembang susut sel-sel kayu pada berbagai arah (radial, aksial maupun tangensial). Ketika ada beberapa sel kayu yang berdekatan dan menyusut kearah yang sama, kemudian hal ini mengakibatkan satu atau lebih serat menyatu/berpadu pada suatu titik, sehingga cacat ini disebut serat berpadu, atau dalam istilah di perusahaan ini disebut tiger grain, karena bentuk paduan serat kayu ini mirip dengan bentuk cakar harimau. Jika diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya, maka cacat yang ditemukan bisa dikelompokkan menjadi empat hal utama, pertama akibat proses yang kurang sempurna meliputi cacat bengkok, pecah dan tanda serpih, kedua, sifat alami kayu meliputi mata kayu baik hidup maupun mata kayu mati, serat berpadu dan lateks hole, ketiga kombinasi proses dan sifat alami kayu meliputi serat berbulu dan serat terangkat, serta keempat disebabkan oleh organisme perusak kayu yang meliputi heavy bluestain dan pinhole. Semua cacat tersebut tidak diperkenankan dalam pembuatan bingkai, khususnya untuk bingkai dengan warna natural, yang berarti cacat-cacat tersebut akan terlihat meskipun sudah dilakukan pengecatan (painting) karena tujuan pembuatan bingkai natural adalah untuk mendapatkan bingkai dengan serat kayu tetap terlihat. Secara keseluruhan kualitas kayu jabon cukup baik sebagai bahan baku industri bingkai kayu, karena jumlah kayu grade A yang cukup besar yaitu 70,93%. Apalagi jika ditambahkan dengan grade B yang masih bisa dimanfaatkan untuk bahan baku solid color frame. Untuk menghindari dan mengurangi cacat kategori grade C, bisa dilakukan tindakan pencegahan (preventive), antara lain penyetelan (setting) mesin yang presisi dan sering dikalibrasi (cek ulang), proses pengeringan kayu yang sempurna sehingga mencegah serangan bluestain dan cacat-cacat yang berhubungan dengan kembang susut dimensi kayu. Sistem penggergajian dalam pembuatan papan juga bisa meminimalisir ditemukannya cacat yang memang merupakan sifat alami kayu seperti mata kayu dan lateks hole. V. KESIMPULAN 1. Kayu Jabon (Antochepalus cadadamba Miq.) memiliki kualitas yang memenuhi persyaratan sebagai bahan baku industri bingkai kayu. Hal ini terlihat dari tingginya persentase kayu jabon yang memenuhi grade A (tanpa cacat), yaitu mencapai 70,39 %. 10
2. Mayoritas cacat yang ditemukan adalah bengkok (bowing/caving), dengan persentase mencapai 22,39 % dari total sampel.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011a .http://www.scribd.com/doc/39507140/15/Gambar-2-5-Skema-prinsip-pullout-fiber-test. Diakses Tanggal 22 Desember 2011. Anonim. 2011b. Blue Stain. U.S. Department of Agriculture.Forest Service. Forest Products Laboratory. http://www.fpl.fs.fed.us/documnts/techline/blue-stain.pdf. Diakses Tanggal 22 Desember 2011. Mandang, Y. dan I.K.N. Pandit. Pedoman Identifikasi Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea Bogor dan Pusdiklat SDM Kehutanan. Bogor. Martawijaya A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Sirait, B.H. 2004. Analisis Pengadaan dan Pengendalian Bahan Baku Kayu (Studi Kasus di PT Daisen Wood Frame). Skripsi Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR 168/Kpts-IV/2001 Tanggal 11 Juni 2001 Tentang Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Ramin (Gonystylus spp) Sucipto, T. 2009. Pengeringan Kayu Secara Umum. 2009. Karya Tulis Departemen Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Tidak Dipublikasikan.
11