PULP KRAFT KAYU JABON SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL
ROSPITA BR PELAWI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
E/ THH
ABSTRACT Kraft Pulp of Jabon-wood as Raw Material For Producing Bioethanol By 1)
Rospita Br Pelawi, 2)I Nyoman J. Wistara, 3)Widya Fatriasari
INTRODUCTION Fast growing species such as Jabon-wood can be a potential lignocellulosic raw material for bioethanol production. Jabon is characterized by its high cellulose content, relatively low lignin content, fast growing species, and unsuitable for contruction materials due to its low strength and durability. This research was intended to evaluate the potential of bioethanol production from jabon-wood. Determination of the most appropriate lignin content and freeness level of pulp that will produce the highest conversion degree of wood into ethanol were also carried out. MATERIALS AND METHODS Jabon-wood chips were cooked by Kraft method with different alkali active and temperature to achieved kappa number 0, 10, 20, 30, 40, and 80. Oxygen delignification and bleaching are used for kappa number 15 to achieved kappa number 0. Pulp with adjusted kappa number was beaten with PFI mill to achieved freeness level 400, 300, 200, and 100 mL CSF (Canadian Standard Freeness). Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) method is used to produce ethanol. Medium volume is 10 mL, where 3% cellulose (w/v), 0.04% NPK (w/v), 0.15% ZA (w/v), 20% Saccharomyces cerevisiae filtrate (v/v) of the medium volume, cellulase enzyme (activity 4.5-7 IU/mL) three times from the amount of cellulose (v/w) and citric acid 1M 0,5 mL as buffer. Water bath shaker is used to medium incubation for three days (72 hours) with temperature 40 0C. Reducing sugars is determined by using Somogyi-Nelson with spectrophotometer, while ethanol content is determined by compare between samples area and ethanol standard chromatogram with gas chromatography. RESULT The result showed that lignin and freeness level influenced sugars and ethanol production. Much lower kappa number and freeness of produced pulp, will tend to resulting as more higher yield on converted reducing sugars to ethanol, ethanol content, and cellulosic convertion. Pulp with kappa number 0 (bleached pulp) and 10 with freeness level 100 mL CSF had highest percentage of reduced sugars that converted to ethanol (8.36% and 7.32%), ethanol content (0.52% dan 0.47%), cellulosic convertion (24.15% and 22.12%), and ethanol yield (16.39% and 14.35%). Based on the data, jabon-wood was potential as raw material for producing bioethanol. Keywords: Bioethanol, Anthocephalus cadamba Miq, lignin, freeness, SSF 1) Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University 2) Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University 3) Researcher of Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Science
3
RINGKASAN
Rospita Br Pelawi. E24070003. Pulp Kraft Kayu Jabon sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol. Dibawah bimbingan I Nyoman J. Wistara, Ph.D dan Widya Fatriasari, S.Hut, M.M. Semakin menipisnya energi fosil dan keinginan manusia menggunakan energi yang ramah lingkungan mendorong pencarian energi alternatif yang terbarukan. Salah satu energi alternatif tersebut adalah bioetanol. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) adalah salah satu jenis tanaman kehutanan yang potensial sebagai bahan baku etanol karena kadar selulosanya yang tinggi, umur panen yang singkat dengan kelas kuat dan awet yang rendah (tidak cocok dijadikan sebagai bahan baku konstruksi). Serpih kayu jabon dimasak dengan proses Kraft dengan kadar alkali aktif dan suhu yang berbeda bergantung pada bilangan kappa pulp yang diinginkan yaitu 0, 10, 20, 30, 40, dan 80. Bilangan kappa 0 (lignin Klason 0%) diperoleh dengan memberi perlakuan pulp dengan bilangan kappa 15 dengan ODL (Oxygen Delignification) dan bleaching. Pulp-pulp tersebut digiling dengan PFI mill untuk mendapat level freeness 400, 300, 200, dan 100 mL CSF (Canadian Standard Freeness). Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) merupakan metode yang dipilih untuk memproduksi etanol. Volume media 10 mL dengan kadar selulosa 3% (w/v), NPK 0,04% (w/v), 0,15% (w/v), 20% filtrat Saccharomyces cerevisiae (v/v) dari volume media, enzim selulosa beraktivitas 4,5-7 IU/mL 3 kali kadar selulosa (v/w), dan 0,5 mL asam sitrat 1M. Media diinkubasi pada suhu 40 0C selama 3 hari (72 jam). Gula pereduksi ditentukan dengan spektrofotometer mengacu pada metode Nelson-Somogyi dan kadar etanol ditentukan dengan menggunakan gas kromatografi (GC) dengan membandingkan area kromatogram sampel dengan standar. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa semakin rendah bilangan kappa (kadar lignin pada pulp) dan semakin kecil level freeness (semakin besar perlakuan beating) maka kadar gula pereduksi yang terkonversi jadi etanol, kadar etanol, konversi selulosa dan rendemen etanol akan semakin tinggi. Pulp dengan lignin Klason 0% dan 1.5% pada level freeness 100 mL CSF merupakan pulp dengan kombinasi perlakuan terbaik dalam menghasilkan etanol dibanding dengan kombinasi perlakuan lainnya. Kombinasi perlakuan tersebut masing-masing menghasilkan kadar gula pereduksi terkonversi menjadi etanol 8,36% dan 7,32%, kadar etanol 0,52% dan 0,47%, konversi selulosa 24,15% dan 22,12% dan rendemen etanol 16,39% dan 14,35%. Berdasarkan data yang diperoleh, disimpulkan bahwa pulp kayu jabon cukup potensial dijadikan sebagai bahan baku bioetanol. Keywords: Bioetanol, Anthocephalus cadamba Miq, lignin, freeness, SSF 4
PULP KRAFT KAYU JABON SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL
ROSPITA BR PELAWI (E24070003)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pulp Kraft Kayu Jabon sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol adalah karya saya sendiri dibawah bimbingan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Desember 2011
Rospita Br Pelawi NIM E24070003
5
Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Pulp Kraft Kayu Jabon sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol : Rospita Br Pelawi : E24070003 : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
I Nyoman J.Wistara, Ph.D NIP. 19631231 198903 1 027
Widya Fatriasari, S. Hut, M.M NIP. 19771208 200604 2 022
Diketahui, Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc NIP. 19660212 199103 1 002
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala kebaikan-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada 4 April 2011 sampai dengan 25 Agustus 2011 di RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), UPT BPP Biomaterial LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Cibinong, BBPK (Balai Besar Penelitian Pulp dan Kertas) Bandung, Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Bersama Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas tentang pengaruh lignin dan perlakuan penggilingan pulp terhadap produksi bioetanol dari pulp kraft kayu jabon. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi industri yang bergerak dalam bidang produksi etanol sebagai alternatif pengganti bagi biomassa bergula dan berpati. Sehingga kekhawatiran akan ancaman keamanan pangan dunia dapat dihindari.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Selain itu penulis juga menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan sehingga penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Desember 2011
Penulis
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe tanggal 23 Juli 1989 dari ayah Andel Pelawi dan Ibu Role Br Tarigan. Penulis adalah anak ke empat dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah dilalui oleh penulis adalah bersekolah di SMA Negeri 1 Tigabinanga dan lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis masuk IPB melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan memilih mayor Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) di jalur Cikeong-Burangrang, PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan melaksanakan Praktek Kerja Industri bagian pengendalian kualitas di RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Silvikultur semester ganjil 2010/2011 dan mata kuliah Pulp dan Kertas pada semester ganjil 2011/2012. Penulis pernah menjadi anggota KOPMA IPB, KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik), dan HIMASILTAN (Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan). Beasiswa yang diperoleh penulis selama kuliah di IPB adalah beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) mulai dari Januari 2009 sampai dengan Juli 2011. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi berjudul “Pulp Kraft Kayu Jabon sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol”, dibawah bimbingan I Nyoman J. Wistara Ph.D dan Widya Fatriasari, S. Hut, M.M.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................i RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... ii DAFTAR ISI.................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................ iv PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 METODOLOGI ............................................................................................... 4 HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 7 Karakteristik Bahan Baku..................................................................... 7 Kadar Gula Pereduksi ............................................................................. 7 Kadar Etanol dan Konversi Selulosa ...................................................... 10 Rendemen Etanol.................................................................................... 11 KESIMPULAN................................................................................................ 13 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14
iii
DAFTAR TABEL
1. Tabel kondisi pemasakan untuk mendapat lignin Klason yang diinginkan 4 2. Tabel kondisi bleaching yang digunakan untuk mendapatkan bleached pulp ............................................................................................................ 5 3. Tabel komposisi karbohidrat pulp kayu jabon ............................................ 7 4. Tabel kadar gula pereduksi tersisa dan yang terkonversi menjadi etanol dari pulp pada berbagai persentasi lignin dan freeness .............................. 8 5. Tabel kadar etanol dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan freenes 10 6. Tabel konversi selulosa dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan freeness.................................................................................................. 11 7. Tabel Rendemen etanol dari uulp pada berbagai kandungan lignin dan freeness ................................................................................................. 12
iv
PENDAHULUAN
Semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar berbasis fosil dan meningkatnya dampak negatif penggunaan bahan bakar ini terhadap perubahan iklim, telah mendorong pencarian energi alternatif yang bersifat terbarukan. Salah satu energi alternatif tersebut adalah bioetanol. Bioetanol adalah etanol berbahan dasar biomassa terbarukan yang merupakan bahan bakar bersih karena pembakarannya tidak menyebabkan tambahan emisi karbon dioksida di atmosfir (Demirbas 2005), yang dengan demikian tidak berdampak pada peningkatan gas rumah kaca (Sun & Cheng 2002). Bioetanol dapat dicampur dengan bahan bakar petrol dan memiliki keuntungan dalam hal nilai oktan yang relatif lebih tinggi (Balat et al. 2008, Saifuddin & Hussain 2011). Selain itu, penggunaan bioetanol berbasis biomasa yang bersifat terbarukan dianggap dapat menjaga keamanan energi nasional (Nzelibe & Okafoagu 2007). Keunggulan bahan bakar berbasis bioetanol dari bahan bakar berbasis fosil diharapkan akan menyebabkan permintaan dan penggunaan bioetanol meningkat (Zheng et al. 2009), sehingga biaya produksi dapat ditekan.
Biomassa bahan baku etanol dapat diklasifikasi ke dalam tiga jenis, yaitu biomassa bergula, berpati dan berselulosa. Tetapi dewasa ini sebagian besar bioetanol diproduksi melalui fermentasi glukosa jagung (Lin & Tanaka 2006) dan jagung adalah salah satu bahan pangan utama dunia. Penggunaan bahan pangan sebagai bahan baku etanol akan menyebabkan harga makanan semakin meningkat, demikian pula dengan harga bioetanol (Erdei et al. 2010).
Pilihan terbaik untuk bahan baku etanol adalah biomassa berselulosa karena ketersediannya yang melimpah dan harganya yang relatif terjangkau. Jenis biomassa berselulosa alami paling melimpah adalah kayu. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) merupakan salah satu jenis kayu potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku etanol karena jabon memiliki kadar selulosa kayu yang relatif tinggi (±52,4%), kadar lignin relatif rendah (±25,4), umur panen yang singkat dengan riap diameter 7-10 cm/tahun (Mansur & Tuheteru 2010), kayu jabon memiliki riap rata-rata tahunan 10-20 m3/hektar dan tidak cocok dijadikan sebagai bahan baku kontruksi karena memiliki kelas kuat IV dan kelas awet V (Sapulete & Kapisa 1994). Oleh karena itu, salah satu alternatif pemanfaatan paling tepat untuk kayu jabon adalah sebagai bahan baku bioetanol.
Dalam konversi kayu menjadi bioetanol, lignin perlu dihilangkan karena menjadi halangan fisik bagi proses hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana (Dawson & Boopathy 2008). Kedua penulis ini selanjutnya menyatakan bahwa hidrolisis maksimum terhadap selulosa akan berlangsung apabila 50% atau lebih lignin dihilangkan. Selain memberikan hambatan fisik terhadap hidrolisis, lignin
1
diduga bersifat biosida terhadap fermipan akibat struktur dasarnya yang bersifat fenolik (Chirkova et al. 2011). Lignin dapat dihilangkan dengan memberikan perlakuan alkali terhadap kayu (Han et al. 2011).
Dalam produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa, praperlakuan sebelum proses hidrolisis harus dilakukan untuk menghilangkan atau memodifikasi matrik lignin dan hemiselulosa yang melingkupi selulosa (Zheng et al. 2009). Proses hidrolisis yang dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatik berperan untuk membuka struktur selulosa dan mendegradasi hemiselulosa dan selulosa menjadi gula tunggal sehingga dapat difermentasi menjadi etanol (Demirbas 2008). Hidrolisis enzimatik dianggap lebih baik dari hidrolisis kimia karena enzim bersifat sangat spesifik, memerlukan kondisi reaksi lebih ringan dan kebutuhan energi yang rendah (Sun & Cheng 2002).
Enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah enzim selulase yang secara spesifik menyerang selulosa dan menghasilkan gula pereduksi glukosa (Sun & Cheng 2002). Fase hidrolisis menghasilkan unit-unit gula secara bertahap, sehingga efektifitas proses hidrolisis dapat diukur melalui tingkat gula pereduksi yang dihasilkan (Panagiotou et al. 2004).
Di dalam dinding sel, molekul selulosa membentuk suatu lapisan yang terdiri dari daerah kristalin dan daerah amorf. Tingkat kristalinitas selulosa dapat mencapai 50 – 90 % (Foyle et al. 2007). Daerah kristalin sulit dipenetrasi oleh agen penghidrolisis karena adanya ikatan intra dan antar rantai selulosa yang sangat kuat melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Dadi et al. 2006; Yoshida et al. 2008). Dengan demikian, daerah kristalin selulosa memegang peran menentukan sehubungan dengan laju hidrolisis oleh enzim selulase, sebagaimana dilaporkan oleh Hall et al. (2010) untuk selulosa avicel murni. Agen penghidrolisis berberat molekul rendah hanya memiliki akses penetrasi terbatas pada daerah dengan tingkat kristalinitas tinggi, dan umumnya hanya berpenetrasi ke dalam bagian non-kristalin (Ioelovich 2009; Zuchairah 2005).
Sebagaimana telah disebutkan (Hall et al 2010), bahwa kristalinitas berperan penting dalam menentukan laju hidrolisis selulosa. Dengan demikian perlakuan awal yang dapat menurunkan kristalinitas bahan berlignoselulosa sangat penting untuk mempermudah hidrolisis selulosa secara lebih sempurna (Mishra et al. 2011) sehingga hal tersebut dapat diikuti dengan peningkatan rendemen etanol (Orchidea et al. 2010). Penggilingan pulp telah dilaporkan menyebabkan pembukaan struktur serat, hidrasi polisakarida dan pengembangan serat (Lecourt et al. 2010). Pengembangan pulp kemungkinan dapat memfasilitasi penetrasi agen penghidrolisa ke dalam serat dan mengoptimalkan hidrolisis selulosa, seperti yang telah dilaporkan oleh Wistara et al. (2010). Tingkat
2
penggilingan pulp dapat dinyatakan sebagai CSF (Canadian Standar Freeness) (Smook 1992; Kerekes 2004).
Perlakuan awal perlu dilakukan terhadap pulp agar kristalinitas pada selulosa dapat diubah menjadi amorf sehingga diperoleh rendemen glukosa yang lebih tinggi (Mishra et al. 2011; Orchidea et al. 2010). Salah satu perlakuan awal terhadap pulp adalah proses penggilingan (beating) pulp. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penggilingan pulp dapat menyebabkan hidrolisis selulosa berjalan secara optimal (Wistara et al. 2010). Proses hidrolisis yang dapat berjalan optimal tersebut disebabkan oleh penggilingan pulp yang dapat meningkatkan porositas selulosa, meningkatkan jumlah fine serat, dan menurunkan derajat polimerisasi (Lecourt et al. 2010). CSF (Canadian Standar Freeness) atau biasa disebut sebagai freeness adalah nilai yang digunakan untuk menentukan tingkat kekuatan penggilingan pulp (Smook 1992; Kerekes 2004). Sampai dengan nilai freeness tertentu, nilai freeness pulp akan semakin rendah seiring dengan meningkatnya kekuatan penggilingan.
Bioetanol adalah produk yang terbentuk melalui proses fermentasi. Fermentasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jenis mikroorganisme dan substrat. Saccharomyces cerevisiae sering digunakan sebagai fermipan karena khamir tersebut cukup toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu bertahan hidup pada suhu tinggi dan pH rendah, stabil selama kondisi fermentasi, dan penghasil etanol yang tinggi (Hector 2011). Dalam kondisi pertumbuhan aerobik, khamir Saccharomyces lebih menyukai substrat yang berasal dari gula heksosa (glukosa, manosa, galaktosa) daripada substrat yang berasal gula xylosa (Millati et al. 2008).
Konversi biomasa berlignoselulosa menjadi etanol dapat dilakukan dengan metode SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation). Dalam metode ini hidrolisis bahan menjadi gula tunggal dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol berlangsung secara simultan. SSF menjadi pilihan karena fermentasi simultan produk hidrolisis secara signifikan menurunkan hambatan proses hidrolisis (Sun & Cheng 2002), dapat memperbaiki kinetika fermentasi dan biaya produksi, serta meningkatkan efisiensi konversi selulosa menjadi etanol 25% lebih baik dibanding dengan sakarifikasi dan fermentasi yang dilangsungkan pada reaktor terpisah (Koesnandar 2001).
Penjelasan sebelumnya dari bagian bab pendahuluan menunjukkan bahwa kayu jabon potensial sebagai bahan baku etanol, kristalinitas selulosa berperan penting dalam menentukan laju hidrolisis dan lignin memberikan hambatan fisik dan kimia terhadap hidrolisis. Dengan demikian adalah penting untuk menentukan kelayakan pulp kayu jabon sebagai bahan baku bioetanol. Selain itu adalah sama pentingnya untuk menentukan kadar lignin dan freeness kristalinitas) optimal pulp kayu jabon agar diperoleh tingkat konversi maksimum dari pulp menjadi etanol.
3
BAHAN DAN METODE Kayu jabon berberat jenis 0.36 dengan umur sekitar 12 tahun (berasal dari daerah Basrah, Riau) dicacah menjadi serpihan dengan menggunakan mesin chipper, lalu disaring dengan menggunakan chip screener. Serpihan dengan ukuran diameter sekitar 3-7 mm tersebut dimasak dengan menggunakan metode Kraft. Kondisi pemasakan yang digunakan berbeda, bergantung pada lignin Klason yang diinginkan. Kondisi pemasakan serpih untuk mendapatkan setiap bilangan kappa (lignin Klason) yang diinginkan tercantum di dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi pemasakan untuk mendapat lignin Klason (LK) yang diinginkan. Parameter Rasio LW Pemasakan pada suhu 30- 90 0C Pemasakan pada suhu 90- 140 ⁰C, menit Pemanasan dari suhu 140 ⁰C - suhu pemasakan, menit
LK 1,5% 6
LK 2,3%
LK 3,0%
LK 4,5%
LK 6,0%
LK 12,0%
6
6
6
6
6
30
30
30
30
30
30
45
45 45 45 45 45
50 50 50 50 50 50
Waktu Pemasakan pada suhu maksimum, menit
65
65
65
65
65
65
Suhu Pemasakan maksimum, ⁰C
165
165
165
160
160
160
Pemakaian AA, % Na₂O
27
21
16
16
15
10
Sulfiditas WL, %
30
30
30
30
20
20
Kekuatan WL, gr/L
110
110
110
110
744
744
Pemakaian WL pada setiap pemasakan, mL
862
671
511
479
336
162
Air yang ditambahkan, mL
1217
1376
1536
1568
4346
3902
Berat chip, gr
403
403
403
403
918
803
Kadar Air, %
13
13
13
13
13
13
Chip OD, gr
350
350
350
350
800
700
Keterangan: LW = Liquor to wood (perbandingan antara cairan dengan kayu (v/w)) AA = Alkali aktif WL = White liquor (cairan pemasak)
Pulp dengan lignin Klason 0,0% diperoleh dari pulp dengan lignin Klason 2,3% (bilangan kappa 15) yang diberi perlakuan ODL (oxygen delignification) dan bleaching dengan menggunakan bahan kimia klorin dioksida melalui tahap
4
D0ED1D2. Pulp yang melalui perlakuan ini disebut sebagai bleached pulp. Kondisi bleaching yang digunakan untuk mendapatkan bleached pulp tercantum di dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kondisi bleaching yang digunakan untuk mendapatkan bleached pulp
Spesifikasi Proses
D0
Konsentrasi ClO₂
2,0%
Konsentrasi NaOH
E
D1
D2
1,5%
1,5%
1,0%
Suhu (⁰C)
90
65
80
80
Waktu (menit)
90
60
180
180
Tekanan (atm)
atmosfer
atmosfer
atmosfer
atmosfer
10
10
10
10
Konsistensi (%)
Masing-masing jenis pulp digiling dengan PFI mill untuk mendapat pulp dengan freeness 400, 300, 200, dan 100 mL CSF (Canadian Standard Freeness). Kadar selulosa pulp diukur dengan metode Browning (1967).
Etanol dibuat dengan menggunakan metode SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation), dimana sakarifikasi menggunakan enzim selulase (aktivitas enzim 4,5-7 IU/mL) dan fermentasi menggunakan filtrat Saccharomyces cerevisiae. Volume media adalah 10 mL dengan kadar selulosa 3%. Sebagai nutrisi bagi khamir dilakukan penambahan NPK 0,04% (w/v) dan ZA 0,15% (w/v) ke dalam media, lalu penambahan 0,5 mL asam sitrat 1 M dilakukan untuk menjaga stabilitas pH media. Enzim selulase (3 kali kadar selulosa (v/w)) dan filtrat S. cerevisiae (20% volume media (v/v)) ditambahkan secara simultan setelah perlakuan sterilisasi pada media dengan autoclave. Penambahan enzim selulase dan filtrat S.cerevisiae ke dalam media dilakukan di ruang laminar flow untuk mencegah kontaminasi media oleh mikroba dan media dipastikan tertutup rapat sebelum masuk proses inkubasi. Kegiatan SSF berlangsung di dalam waterbath shaker pada suhu 40 0C selama 3 hari (72 jam). Media dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih setelah inkubasi untuk mendormankan kerja khamir dan menonaktifkan enzim. Sebelum pengujian kadar gula pereduksi dan etanol, sampel harus disimpan di dalam lemari pendingin bersuhu 0-4 0C untuk mencegah kerusakan.
Kadar gula pereduksi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV- Vis Hitachi U-2001 yang mengacu pada metode Nelson-Somogyi (1952) pada panjang gelombang 500,00 nm dan diatur agar absorbansi yang terdeteksi berada pada kisaran 0,2 – 0,8 (Ronald et al. 2005). Penentuan kadar etanol dilakukan dengan memasukkan sampel yang telah diencerkan dan disaring dengan membrane filter 0.45µm. Filtrat diuji memakai kromatografi gas (GC)
5
dengan auto inject. Tipe GC yang digunakan adalah GC 2014 Shimadzu. GC tersebut menggunakan kolom RTX WAX pada suhu 150 0C, suhu injektor 180 0 C, suhu detektor 200 0C, tekanan injeksi 84,6 kPa, colomn flow 0,65 mL/menit, dan total flow 55,5 mL/menit. Etanol akan terdeteksi pada kisaran waktu retensi 2,5-2,8 menit. Kadar etanol ditentukan dengan membandingkan luas area kromatogram sampel dengan luas area etanol standar berkonsentrasi 0,5%. Kadar etanol digunakan untuk menentukan rendemen etanol dan derajat konversi selulosa. Rendemen etanol dan derajat konversi selulosa dihitung menggunakan rumus berikut (Wistara et al. 2010).
Keterangan: 1,111 = konversi selulosa menjadi ekivalen glukosa 0,51 = faktor konversi untuk glukosa ke etanol berdasarkan stoikiometri biokimia khamir 0,974 = BJ etanol
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 taraf yaitu bilangan kappa dan level freeness pulp. Jenis sampel adalah pulp kayu jabon dengan lignin klason 0,0%, 1,5%, 3,0%, 4,5%, 6,0%, dan 12,0%, yang terbagi dalam 5 level freeness 100, 200, 300, 400 mL CSF dan unbeaten pulp dengan ulangan 2 kali.
Analisis data menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) faktorial dengan model matematis sebagai berikut: Yijn = μ + αi + βj + (αβ)ij + εij Keterangan: Yijn = Nilai respon pada taraf ke-i faktor bilangan kappa, taraf ke-j faktor level freeness dan ulangan ke-n. µ = Nilai tengah populasi (rata-rata yang sebenarnya) αi = Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor bilangan kappa βj = Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor level freeness (αβ)ij= Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor bilangan kappa dan taraf ke-j faktor level freneess εij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-i yang memperoleh kombinasi ij
Data kadar gula pereduksi dan etanol (kadar etanol, rendemen etanol dan konversi selulosa) diolah dengan software SAS 9.1 for windows dengan uji lanjut Duncan.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku. Sebelum hidrolisis dilakukan, kadar holoselulosa dan selulosa-α pulp terlebih dahulu ditentukan. Hasil pengujian disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Komposisi karbohidrat pulp kayu jabon Lignin Klason pulp (%)
Holoselulosa (%)
Selulosa-α (%)
0,0
98,4
96,7
1,5
96,7
94,0
3,0
95,7
92,3
4,5
94,3
90,7
6,0
92,4
88,7
12,0
83,8
79,9
Tabel 2 memperlihatkan kadar karbohidrat cenderung menurun dengan meningkatnya kadar lignin klason. Kadar lignin Klason yang tinggi menunjukkan kadar lignin sisa pulp yang tinggi pula, sehingga persentase karbohidrat dalam setiap gram pulp menjadi lebih rendah. Bleached pulp memiliki kadar selulosa tertinggi dan pulp dengan lignin Klason 12,0% memiliki kadar selulosa terendah . Kadar karbohidrat untuk setiap level freeness pada lignin Klason yang sama diasumsikan sama, karena perlakuan mekanis hanya mempengaruhi panjang serat dan kadar fine dari pulp (Henriksson et al. 2007).
Kadar Gula Pereduksi. Gula pereduksi adalah gula sederhana yang dapat dikonversi menjadi etanol dengan bantuan mikroba. Tingkat produksi gula berkorelasi positif dengan tingkat hidrolisis selulosa oleh enzim selulase (Panagiotou et al. 2004) sehingga nilai gula pereduksi dapat digunakan sebagai penduga daya kerja enzim selulase pada proses hidrolisis. Dalam produksi etanol menggunakan metode SSF sebagian gula langsung dikonversi menjadi etanol. Dengan demikian, nilai pengukuran gula pereduksi dengan spektrofotometer menunjukkan jumlah gula sisa dari hasil hidrolisis gula kompleks yang belum terfermentasi. Nilai gula pereduksi tersisa dan yang terkonversi menjadi etanol disajikan pada Tabel 4 berikut. Secara teoritis, rendemen maksimum konversi gula pereduksi menjadi etanol adalah 0,51 g/g (Erdei 2010; Demirbas 2005).
7
Tabel 4. Kadar gula pereduksi tersisa dan yang terkonversi menjadi etanol dari pulp pada berbagai persentasi lignin dan freeness
LK (%)
Freeness (ml CSF)
100 200 300 400 Unbeaten pulp GPS GPT GPS GPT GPS GPT GPS GPT GPS GPT
0,0
2,72
8,36
2,36
3,56 2,80
3,36 2,46
2,69
2,95
3,06
1,5
2,69
7,32
3,00
2,86 3,06
2,75 2,49
2, 43
3,70
2,87
3,0
3,10
2,22 3,46
2,58 2,85
2,45 3,11
2,62
3,84
3,44
4,5
3,55
3,17 2,95
2,44 3,29
2,66 2,75
2,40
3,61
2,85
6,0
6,08
2,32 8,78
2,22 5,15
2,20 8,21
1,95
8,59
1,47
2,15 8,02
2,11 8,02
2,11 7,81
1,95
8,61
2,20
12,0 9,38
Keterangan : GPS= Gula pereduksi tersisa (%) GPT= Gula pereduksi terkonversi menjadi etanol (%)
Kadar gula pereduksi dipengaruhi kadar lignin Klason dan freeness pulp. Hal ini dikarenakan lignin yang berasosiasi secara kimia dan fisik dengan karbohidrat (Dawson & Boopathy 2008) dapat mempengaruhi daya kerja enzim selulase dalam menyerang selulosa (Studer et al. 2011). Perlakuan mekanis (penggilingan) terhadap pulp dapat merusak struktur mikrofibril serat dan menurunkan derajat kristalinitas dinding sel (Henriksson 2007). Perusakan struktur mikrofibril dan penurunan derajat kristalinitas selulosa akan menyebabkan pulp mengembang lebih baik sehingga enzim dapat masuk ke dalam struktur serat dan lebih efisien dalam mendegradasi selulosa menjadi gula sederhana. Data di dalam Tabel 4 menunjukkan hal ini. Jumlah gula sederhana yang dhasilkan cenderung meningkat dengan meningkatnya derajat penggilingan yang ditunjukkan oleh menurunnya nilai freeness pulp.
Tabel 4 menjelaskan bahwa secara umum semakin kecil kadar lignin Klason dan nilai freeness maka kadar gula pereduksi yang terkonversi jadi etanol akan cenderung semakin besar. Hal ini berawal dari sisa lignin pada pulp semakin rendah yang berindikasi pada kadar fenolik lignin yang dapat menjadi biosida pada khamir (Chirkova et al. 2011) semakin rendah sehingga terbentuk etanol yang tinggi. Demikian juga dengan porositas selulosa yang semakin tinggi yang akan memudahkan selulase untuk menyerang selulosa sehingga produksi gula pereduksi terjadi dengan lebih mudah (Taherzadeh 2005; Wistara et al. 2010). Semakin mudah gula pereduksi untuk diproduksi dapat semakin meningkatkan jumlah gula pereduksi yang terbentuk dan selama tidak ada hambatan di dalam proses fermentasi, etanol yang terbentuk akan semakin tinggi (Erdei 2010).
Uji lanjut Duncan berdasarkan kadar nilai gula pereduksi tersisa menunjukkan bahwa pulp dengan lignin Klason 1,5%, 3,0%, dan 4,5% tidak saling berbeda
8
nyata, sedangkan pulp dengan lignin Klason 0,0%, 3,0%, 6,0%, dan 12,0% masing-masing saling berbeda nyata. Hal ini berarti jenis pulp yang berlignin Klason 1,5%, 3,0%, dan 4,5% tersebut akan menghasilkan jumlah gula pereduksi tersisa yang sama jumlahnya. Fakta ini memberi suatu gambaran bahwa akan lebih baik menggunakan pulp dengan lignin Klason 4,5% dibanding 3,0% dan 1,5%. Pada dasarnya untuk mendapatkan pulp dengan lignin Klason lebih rendah memerlukan bahan kimia dengan konsentrasi, waktu atau suhu pemasakan yang lebih besar. Oleh karena itu melalui pemilihan bahan baku yang tepat diharapkan dapat menghemat biaya atau energi dalam proses produksi etanol.
Nilai kadar gula pereduksi untuk unbeaten pulp berbeda nyata dengan kadar gula pereduksi pulp yang digiling (beaten pulp), sedangkan pulp dari freeness 100 ml CSF, 200 ml CSF, 300 ml CSF, dan 400 ml CSF tidak saling berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa pulp yang digiling dan tidak digiling memiliki pengaruh terhadap agen penghidrolisis, dimana pulp yang telah melalui proses mekanis memiliki derajat kristalinitas selulosa yang lebih rendah dibanding pulp yang tidak melalui proses mekanis (Taherzadeh 2005).
Nilai gula pereduksi tersisa tertinggi diperoleh pada pulp dengan lignin Klason 12,0% dan 6,0% yaitu sebesar 8, 4% dan 7,4%, namun nilai gula pereduksi yang terkonversi menjadi etanol terkecil juga diperoleh dari kedua pulp dengan lignin Klason tersebut. Kejadian ini diduga oleh keberadaan lignin yang dapat mengganggu proses fermentasi alkohol di dalam media jika melewati ambang batas tertentu. Adanya pendugaan tersebut diperkuat dengan pernyataan Chirkova et al. (2011) bahwa senyawa fenol yang berasal dari lignin merupakan biosida alami bagi organisme, sehingga diduga fermentor di dalam media terbunuh oleh senyawa fenol tersebut.
Nilai pereduksi yang berhasil terkonversi jadi etanol tertinggi diperoleh dari pulp berlignin Klason 0,0% (bleached pulp) dan 1,5% dengan freeness 100 mL CSF, yang masing-masing sebesar 16,4% dan 14,3%. Perlakuan mekanis berevolusi tinggi yang diberikan dengan kadar lignin yang sangat sedikit menyebabkan kedua jenis pulp tersebut unggul dalam produksi etanol dibanding jenis pulp lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh kekuatan mekanis terhadap pulp yang menyebabkan kerusakan serat (Smook 1992) sehingga menjadi lebih amorf, yang berefek pada kelancaran proses hidrolisis karena memudahkan akses bagi agen penghidrolisis dalam menyerang selulosa sehingga diperoleh peningkatan rendemen glukosa (Orchidea et al. 2010). Kadar lignin yang sedikit juga menyebabkan kemudahan bagi enzim dalam menyerang selulosa karena lignin yang berasosiasi dengan polisakarida dan sebagai penghambat akses bagi
9
enzim menuju selulosa hanya terdapat dalam jumlah kecil (Dawson & Boopathy 2008).
Jika dilihat dari nilai gula pereduksi total diperoleh bahwa pulp dengan lignin Klason 6,0% dan 12,0% memiliki total gula pereduksi tertinggi yakni masing- masing dengan nilai rataan 9,40% dan 10,40%. Hal ini diduga karena pada pulp dengan lignin Klason lainnya terjadi produksi etanol dengan lebih cepat, sehingga mengganggu proses hidrolisis. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sun dan Cheng (2002) bahwa etanol pada media dapat menjadi penghambat bagi aktivitas enzim selulase di dalam proses SSF.
Kadar Etanol dan Konversi Selulosa. Kadar etanol menyatakan banyaknya gula yang terkonversi menjadi etanol, sebagai acuan untuk mengetahui kinerja proses fermentasi. Sedangkan nilai konversi selulosa adalah sebagai indikasi keberhasilan SSF. Kadar etanol berbanding lurus dengan konversi selulosa, karena konversi selulosa merupakan perbandingan antara jumlah etanol yang terbentuk dengan selulosa dalam media yang mungkin terbentuk menjadi etanol. Tabel 5 dan 6 masing-masing menunjukkan kadar etanol dan konversi selulosa yang dihasilkan.
Tabel 5. Kadar etanol dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan freeness Kadar Etanol (%)
0,0
100 0,52
Freeness (mL CSF) 200 300 400 Unbeaten pulp 0,22 0,21 0,17 0,19
1,5
0,47
0,18
0,18
0,16
0,19
3,0
0,15
0,17
0,16
0,17
0,23
4,5
0,22
0,17
0,18
0,16
0,20
6,0
0,17
0,16
0,16
0,14
0,11
12,0
0,19
0,19
0,16
0,17
0,19
LK (%)
Tabel 5 dan 6 menjelaskan bahwa bleached pulp dan pulp berlignin Klason 1,5% dengan freeness 100 mL CSF memiliki nilai kadar etanol dan konversi selulosa tertinggi dibanding jenis pulp lainnya. Kadar etanol dan konversi selulosa untuk bleached pulp masing-masing sebesar 0,52% dan 24,15% sedangkan untuk pulp dengan kadar lignin klason 1,5% masing-masing sebesar 22,1% dan 0,47%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nzelibe dan Okafoagu (2007) dan Wistara et al. (2010) bahwa semakin sedikit kandungan lignin di dalam pulp membuat proses hidrolisis enzim berjalan lebih optimal.
10
Tabel 6. Konversi selulosa dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan freeness Konversi Selulosa (%) LK (%)
Freeness (mL CSF) 200 300 400 Unbeaten pulp 10,27 9,70 7,76 8,84
0,0
100 24,15
1,5
22,12
8,64
8,30
7,35
8,66
3,0
6,90
8,02
7,63
8,15
10,71
4,5
10,19
7,83
8,53
7,70
9,14
6,0
7,76
7,42
7,36
6,53
4,93
12,0
8,82
8,66
7,29
8,00
9,01
Fragmentasi serat, perubahan struktur mikrofibril, pembentukan fines dan penurunan derajat kristalinitas akibat penggilingan (Henriksson et al. 2007) akan memfasilitasi penetrasi enzim ke dalam struktur selulosa dan menyebabkan proses hidrolisis berlangsung lebih sempurna. Semakin tinggi derajat penggilingan, maka dampaknya terhadap perubahan struktur dan fisik serat semakin tinggi pula. Jika peningkatan derajat hidrolisis diikuti oleh peningkatan derajat fermentasi, maka semakin tinggi derajat pengilingan (nilai freeness semakin rendah) semakin tinggi pula kadar etanol dan konversi selulosa dari proses SSF. Hal ini secara cukup jelas ditunjukkan oleh Tabel 5 dan 6.
Rendemen Etanol. Rendemen etanol adalah volume etanol yang dapat dihasilkan oleh setiap berat kering bahan baku yang dinyatakan dalam persen. Sama halnya dengan konversi selulosa, rendemen etanol juga berbanding lurus dengan kadar etanol, dimana semakin besar kadar etanol maka rendemen etanol yang dihasilkan semakin tinggi.
Kadar lignin klason dan freeness pulp memiliki pengaruh sangat nyata secara statistik terhadap rendemen etanol yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menyatakan pulp dengan lignin klason 0,0% (bleached pulp) dan 1,5% berbeda nyata dengan pulp berlignin klason lainnya, tetapi pulp dengan lignin klason 3,0% dan 4,5% serta pulp dengan lignin klason 6,0% dan 12,0% tidak saling berbeda nyata. Kemungkinan bahwa keberadaan lignin pada konsentrasi tertentu dapat menghambat proses SSF. Pada kadar 3,0% dan 4,5%, lignin mulai menghambat proses fermentasi.
Uji lanjut Duncan juga menyatakan bahwa nilai rendemen etanol pada pulp dengan freeness 100 ml CSF sangat berbeda nyata dengan pulp pada freeness lainnya. Sedangkan pulp dengan freeness 200 ml CSF, 300 ml CSF, 400 ml
11
CSF, dan unbeaten pulp tidak saling berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan penggilingan pulp akan berpengaruh terhadap rendemen etanol ketika pulp tersebut digiling dengan revolusi tinggi. Nilai rendemen etanol untuk setiap jenis pulp yang diteliti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rendemen etanol dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan freeness
Rendemen Etanol (%-v/w)
LK (%) 100
200
Level freeness (mL CSF) 300 400
Unbeaten pulp
0,0
16,39* + 6,97* 6,58* 5,27* 6,00
1,5
14,35*
5,60
5,39
4,77
5,62
3,0
4,35
5,06
4,81
5,14
6,75*+
4,5
6,22+
4,78
5,21
4,70
5,58
6,0
4,55+
4,34
4,31
3,83
2,89
12,0
4,22
4,14
3,49
3,83
4,31+
Keterangan: * Nilai rendemen etanol tertinggi berdasarkan bilangan kappa + Nilai rendemen etanol tertinggi berdasarkan level freeness
Tabel 7 memperlihatkan bahwa rendemen etanol tertinggi dihasilkan dari pulp dengan lignin Klason 0,0% (bleached pulp) dan 1,5% dengan freeness 100 mL CSF yaitu sebesar 16,39% dan 14,35%. Hal ini dikarenakan tingkat hidrolisis akan semakin meningkat dengan semakin rendahnya kadar lignin (Linde et al. 2008). Keberadaan lignin yang sedikit akan memperluas ruang gerak enzim untuk menyerang selulosa karena lignin yang berfungsi sebagai komponen pengikat selulosa berada pada tingkat minimal. Hidrolisis yang berjalan optimal jika diikuti dengan fermentasi yang optimal akan menghasilkan etanol yang maksimal.
Secara umum, rendemen etanol dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat revolusi penggilingan yang semakin tinggi (freeness yang semakin rendah) menyebabkan rendemen etanol yang dihasilkan semakin tinggi juga. Nilai rendemen yang diperoleh dari pulp dengan lignin Klason 12,0% dan 3,0% berbeda dengan nilai rendemen yang diperoleh dari pulp dengan lignin Klason 6,0%, 3,0%, 1,5%, dan 0,0%. Rendemen etanol tertinggi dari pulp dengan lignin Klason 12,0% dan 3,0% diperoleh dari pulp tanpa perlakuan penggilingan, sedangkan pada pulp dengan lignin Klason 6,0%, 3,0%, 1,5%, dan 0,0% rendemen etanol tertinggi diperoleh dari pulp dengan freeness 100 ml CSF (penggilingan dengan revolusi tertinggi). Hasil yang berbeda dari kedua jenis pulp tersebut (pulp dengan lignin Klason 12,0% dan 3,0%) dapat disebut sebagai penyimpangan karena berdasarkan pernyataan Wistara et al. (2010),
12
pulp yang melalui proses penggilingan (beaten pulp) seharusnya memiliki rendemen etanol yang lebih tinggi dibanding pulp tanpa melalui proses penggilingan (unbeaten pulp). Terdapatnya penyimpangan tersebut sulit diduga penyebabnya karena belum ada penelitian yang mengkaji efektifitas unbeaten dan beaten pulp dalam menghasilkan etanol. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengkaji hal ini.
Secara teknis, kondisi paling optimal untuk mendapatkan rendemen etanol tertinggi diperoleh saat bahan baku yang digunakan adalah jenis pulp berlignin Klason 0,0% (bleached pulp) dengan freeness 100 mL CSF, kemudian diikuti oleh pulp berlignin Klason 1,5% dengan freeness 100 mL CSF. Namun secara ekonomis, produksi etanol dengan bahan baku bleached pulp tidak mungkin diaplikasi mengingat mahalnya harga bahan kimia untuk proses bleaching.
Pulp dengan lignin Klason 12,0% (tingkat delignifikasi 52%) pada dasarnya memiliki potensi menghasilkan rendemen etanol yang tinggi, mengingat kadar gula pereduksi total yang diperoleh tinggi yaitu dengan rata-rata 18,75% (penjumlahan dari rata-rata gula pereduksi tersisa dengan rata-rata gula pereduksi terkonversi menjadi etanol). Hal ini membenarkan hal yang dikatakan oleh Dawson dan Boopathy (2008) bahwa hidrolisis enzim masih dapat berlangsung optimal ketika sebanyak 50% atau lebih lignin dihilangkan. Namun, fakta menarik tersebut tidak diimbangi oleh proses fermentasi yang optimal dikarenakan struktur dasar lignin seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian pendahuluan dan pembahasan, memiliki sifat fenolik yang berlaku sebagai biosida alami bagi khamir yang mulai menghambat proses fermentasi pada kadar lignin Klason 3,0%. Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, fermentasi optimal berlangsung pada tingkat delignifikasi 94% atau lebih (kadar lignin Klason 1,5% atau lebih rendah).
KESIMPULAN Kadar lignin dan perlakuan penggilingan pulp cenderung berpengaruh terhadap produktifitas etanol. Semakin kecil kadar lignin Klason dan freeness pulp yang digunakan dalam produksi etanol akan meningkatkan produktifitas etanol yang dihasilkan. Kayu jabon berpotensi dijadikan sebagai bahan baku bioetanol karena menghasilkan rendemen etanol dan persentase konversi selulosa yang cukup tinggi pada bleached pulp dan pulp berbilangan kappa 10 (lignin Klason 1.5%) pada freeness 100 mL CSF. Proses hidrolisis enzim masih bisa berlangsung optimal pada saat 50% atau lebih lignin dihilangkan, namun proses fermentasi alkohol hanya bisa berlangsung optimal ketika tingkat delignifikasi minimal 94%.
13
DAFTAR PUSTAKA
Balat M, Balat H, Oz C. 2008. Progress in bioethanol processing. Progress Energy Combustion Science. 34:551-573.
Browning BL. 1967. Method of Wood Chemistry. New York: Wiley Interscience Publisher.
Chirkova J, Andersone I, Irbe I, Spince B, Andersons A. 2011. Lignins as agents for bio-protection of wood. Biology, Chemistry, Physics, & Technology of Wood. 65:497-502.
Dadi AP, Varanasi S, Schall CA. 2006. Enhancement of cellulose saccharification kinetics using an ionic liquid pretreatment step. Wiley Periodicals. Inc. Wiley Interscience. 95(5):904-910.
Dawson L, Boopathy R. 2008. Cellulosic Ethanol Production from Sugarcane Baggasse without Enzymatic Saccharification. Bioresource. 3(2):452-460.
Demirbas A. 2005. Bioethanol from cellulosic material: a renewable motor fuel from biomass. Energy Sources. 27: 327-337.
Erdei B, Barta Z, Sipos B, Reczey K, Galbe M, Zacchi G. 2010. Ethanol production from mixtures of wheat straw and wheat meal. Biotechnology for Biofuels. 3(16):1-9.
Foyle T, Jennings L, Mulcahy P. 2007. Compositional analysis of lignocellulosic materials: evaluation of methods used for sugar analysis of waste paper and straw. Bioresource Technology. 98:3026-3036.
Hall M, Bansal P, Lee JH, Realff MJ and Bommarius AS. 2010. Cellulose crystallinity – a key predictor of the enzymatic hydrolysis rate. School of Chemical and Biomolecular Engineering. 277:1571-1582.
Hector RE, Dien BS, Cotta MA, Qureshi N. 2011. Enginering industrial Saccharomyces cerevisiae strains for xylose fermentation and comparison for switchgrass conversion. Journal Industrial Microbiology Biotechnology. 38:1193-1202.
Henriksson M, Henriksson G, Berglund LA, Lindstorm T. 2007. An enviromentally method for enzyme assisted preparation of microfibrillated cellulose (mfc) nanofibers. European Polymer Journal. 43:3434-3441.
Ioelovich M. 2009. Accessibility and crystallinity of cellulose. Bioresources. 4(3):1168-1177.
14
Kerekes, RJ. 2004. Characterizing refining action in PFI mills. Tappi Journal. 4:9-13.
Koesnandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol meggunakan ko-imobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces serevisiae secara Fed-Batch. Jurnal Mikrobilogi Indonesia. 6(1):15-18.
Lecourt M, Meyer V, Sigoillot JC, Petit-Conil M. 2010. Energy reduction of refining by cellulases. International Journal of the Biology, Chemistry, Physics, & Technology of Wood. 64:441-446.
Lin Y, Tanaka S. 2006. Ethanol fermentation from biomass resources: current state and prospects. Applied Microbiology and Biotechnology. 69:627–642.
Linde M, Galbe M, Zacchi G. 2008. Bioethanol production from non-starch carbohydrate residues in process streams from a dry-mill ethanol plant. Bioresources Technology. 99:6505-6511.
Mansur I, Tuheteru FD. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya.
Millati R, Karimi K, Edebo L, Nikklasson C, Taherzadeh MJ. 2008. Ethanol production from xylose and wood hydrolyzate by Mucor indicus at different aeration rates. Bioeresources. 3(4):2033-2037.
Nzelibe HC, Okafoagu CU. 2007. Optimization of ethanol production from Garcinia kola (bitter kola) pulp agrowaste. African Journal of Biotechnology. 6(17):2033-2037.
Orchidea R, Andi KW, Dedy RP, Lisa FS, Khoir L, Reza P, Cakra DM. 2010. Pengaruh metode pretreatment pada bahan lignosellulosa terhadap kualitas hidrolisat yang dihasilkan. Makalah. Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono di Surabaya. 24 Juni.
Panagiotou G, Christakopoulus P, Olsson L. 2004. Simultaneous saccharification and fermentation of cellulosa by Fusarium oxysporum F3- growth characteristics and metabolite profiling. Elsevier Inc. Enzyme and Microbial Technology. 36:693-699.
Ronald EW, Eric AD, Steven JS, Petern S. 2005. Handbook of Food Analytical Chemistry: Water, Proteins, Enzymes, Lipids, and Carbohydrates. Canada: John Wiley & Sons. Inc.
Saifuddin N, Hussain R. 2011. Microwave assited bioethanol production from sago starch by co-culturing of ragi tapai and Saccharomyces cerevisiae. Journal of Mathematics and Statistics. 7(3):198-206.
15
Sapulete E, Kapisa N. 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Buletin Penelitian Kehutanan. 10(3):183-195.
Smook GA. 1992. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Bellingham: Angus Wilde Publications Inc.
Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolisis of lignocellulose materials for ethanol production: a review. Bioresource Technology. 83:1-11.
Studer MH, DeMartini JD, Davis MS, Sykes RW, Davison B, Keller M, Tuskam GA, Wyman CE. 2011. Lignin content in natural Populus variants affects sugar release. Proceedings of National Academy of sciences of the United States of America. 108(15):6300-6305.
Taherzadeh MJ, Karimi K. 2008. Pretreatment of lignocellulosic wastes to improve ethanol and biogas production: a review. International Journal of Molecular Sciences. 9:1621-1651.
Wistara N, Haroen WK, Panggabean PR. 2010. Properties of fluff pulp from kenaf (Hibiscus cannabinus L.). In: Dwiyanto et al. (eds). Proceedings of the First International Symposium of Indonesian Wood Research Society. 2-3 November 2009, Bogor-INDONESIA. Pp:266-271.
Wistara N, Sitanggang VJ, Hermiati E. 2010. Ethanol productivity of cellulose exposed to various physical conditions. In: Wistara et al. (eds). Proceedings of the Second International Symposium of Indonesian Wood Research Society. 2-3 November 2011, Ina Beach Hotel, Bali-INDONESIA. Pp:441- 447.
Wrolstard RE, Eric AD, Steven JS, Peter S. 2005. Handbook of Food Analytical Chemistry: Water, Protein, Enzymes, Lipids, and Carbohydrates. Canada: John Wiley & Sons. Inc.
Yoshida M, Liu Y, Uchida S, Kawarada K, Ukagami Y, Ichinose H, Kaneko S, Fukuda K. 2008. Effect of cellulose crystalinity, hemicelluloses, and lignin on the enzymatic hydrolysis of Miscanthus sinensis to monosaccharides. Bioscience, Biotechnology, Biochemistry. 73(3):805-810.
Zuchairah IM. 2005. Hidrolisa Enzymatik pada Serat Selulosa. Teknologi Industri. 10(2):119-128.
Zheng Y, Pan Z, Zhang R. 2009. Overview of biomass pretreatment for cellulosic ethanol production. International Journal Agricultural and Biological Engineering. 2(3):51-68.
16