BIBEL SEBAGAI SUMBER TAFSIR AL-QUR’AN (Studi Pemikiran Mustansir Mir dalam Understanding The Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an)
Oleh: Ahmadi Fathurrohman Dardiri NIM: 1220510030
TESIS Diajukan kepada Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora
YOGYAKARTA 2015
MOTTO
ـــ َمــ ِمــــْمـ ٌمـ ـــ َم ُمـ ِمّمـ ِم ْم ِم ْمــ ٍم َم َم ْم “Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada yang Maha Mengetahui.” (QS Yusuf 12:76)
PERSEMBAHAN
Tesis ini dipersembahkan untuk:
Allah S.W.T. Satu-satunya tujuan dalam hidupku; Inilah bahasa syukurku kepada-Mu
***
Kedua orang tuaku Dr. H. Ahmad Dardiri Hasyim, S.H., M.H. Dr. Hj. Darsinah, S.E., M.Si. Terima kasih untuk cinta, kasih, sayang, dan semua pengorbanan yang telah diberikan; inilah salah satu bukti-kecil baktiku kepadamu berdua
***
Zakia El Muarrifa Cinta dalam hidupku
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji tentang aplikasi kutipan Bibel dalam karya tafsir tematik Mustansir Mir berjudul Understanding The Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an. Kerangka kerja kutipan Bibel sebagai salah satu sumber tafsir al-Qur’an juga ditelusuri, dari tradisi tafsir Klasik hingga Modern. Selain itu, biografi akademik Mustansir Mir, tokoh yang diteliti, juga dipaparkan secara mendalam dan terstruktur. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis kritis, yang difungsikan untuk menganalisa kerangka kerja kutipan Bibel dalam tradisi tafsir. Selain itu, pendekatan tersebut juga digunakan untuk menemukan paradigma kajian alQur’an Mustansir Mir, yang keterangannya diperoleh dari mengkaji karya akademik Mir secara kronologis. Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Diharapkan, selain objek penelitian dapat dijelaskan secara analitis, deskripsi hasil penelitian dapat dilakukan secara menyeluruh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerangka kerja kutipan Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an, dari karya-karya tafsir Klasik hingga Modern, cukup akomodatif dan apresiatif, selain ditemukan unsur-unsur polemik di dalamnya. Dalam karya tafsirnya, sikap Mustansir Mir terhadap Bibel tergolong apresiatif. Adapun pola kutipan Bibel dalam karya tafsirnya tersebut terbagi ke dalam 3 bagian: 1) kesatuan ajaran Abrahamik; 2) kisah para nabi; dan 3) konsep-konsep dalam Islam. Melalui karyanya, Mir ingin menegaskan bahwa konten al-Qur’an dan Bibel memiliki banyak kesamaan. Informasi kesejarahan dalam Bibel yang kaya dapat memperkuat premis-premis dalam al-Qur’an. Mir bahkan memastikan bahwa al-Qur’an memiliki “tiang-pancang” atau keterkaitan dengan Bibel (The Qur’an has stakes in the Bible). Persoalannya, “Benarkah Bibel (jika memang tepat disebut sebagai versi “baru” al-Taura>t dan al-Inji>l yang di-tas|di>q oleh al-Qur’an) memiliki kaitan konten dengan al-Qur’an secara langsung?” Jika ya, maka pertanyaan kelanjutannya adalah, “Bukankah konsep-konsep dalam Islam yang katanya di-tas}di>q oleh alQur’an sebagian besarnya adalah budaya dan tradisi lokal Arab?” Banyak bukti mengenai hal ini. Jika al-Qur’an terbukti melakukan tas}di>q terhadap budaya lokal Arab, Tepatkah para mufasir Muslim merujuk kepada Bibel sebagai sumber bagi tafsir mereka? Tidakkah lebih tepat bagi mereka untuk merujuk kepada budaya lokal Arab? Demikian. Walla>hu a’lam bi al-s}awa>b.
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI Nomor 158/1987 dan 0543
b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988. A. Konsonan Tunggal Huruf
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ا
Alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب
ba’
b
Be
ث
ta’
t
Te
ث
ṡa’
ṡ
Es (dengan titik di atas)
ج
Jim
j
Je
ح
ḥa’
ḥ
Ha (dengan titik di bawah)
خ
kha’
kh
Ka dan Ha
د
Dal
d
De
ذ
Żal
ż
Zet (dengan titik di atas)
ر
ra’
r
Er
ز
Zai
z
Zet
ش
Sin
s
Es
ش
Syin
sy
Es dan Ye
ص
Sâd
ṣ
Es (dengan titik di bawah)
ض
ḍad
ḍ
De (dengan titik di bawah)
ط
ṭa’
ṭ
Te (dengan titik di bawah)
ظ
ẓa’
ẓ
Zet (dengan titik di bawah)
ع
‘ain
‘
Koma terbalik di atas
Arab
x
غ
Gain
g
Ge
ف
fa’
f
Ef
ق
Qâf
q
Qi
ك
Kâf
k
Ka
ل
lam
l
El
م
mim
m
Em
ن
nun
n
En
و
wawu
w
We
ه
ha’
h
Ha
ء
hamzah
‘
Apostrof
ي
ya’
y
Ye
B. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap
عدة
Ditulis
‘iddah
C. Ta’ Marbutah 1. Bila dimatikan ditulis h
هبت
Ditulis
Hibah
جسيت
Ditulis
Jizyah
(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali jika dikehendaki lafal aslinya). 2. Bila diikuti dengan kata sandang ‚al‛ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h.
كراهت األولياء
Ditulis
xi
Karāmah al-auliyā’
3. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan dammah ditulis t.
زكاةالفطر
Zakātul fit} r i
Ditulis
D. Vokal Pendek
ﹻ ﹷ ﹹ
Kasrah
Ditulis
i
Fathah
Ditulis
a
Dammah
Ditulis
u
E. Vokal Panjang Fathah + alif
Ditulis
Ā
جاهليت
Ditulis
Jāhiliyyah
Fathah + ya’ mati
Ditulis
Ā
يسعى
Ditulis
Yas‘ā
Kasrah + ya’ mati
Ditulis
Ī
كرين
Ditulis
Karīm
Dammah + wawu mati
Ditulis
Ū
فروض
Ditulis
furūd
Fathah + ya’ mati
Ditulis
Ai
بينكن
Ditulis
Bainakum
Fathah + wawu mati
Ditulis
Au
قول
Ditulis
Qaulun
F. Vokal Rangkap
xii
KATA PENGANTAR
Hamdan wa syukran li man kholaqa al-insa>n wa ‘allamahum al-baya>n. wa ba’du.. Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan segenap manusia. Melalui hidayah, rahmat, inayah, dan mahabbah-Nya yang tak terhingga, alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul ‚Bibel Sebagai Sumber Tafsir alQur’an (Studi Pemikiran Mustansir Mir dalam Understanding The Islamic
Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an).‛ Shalawat dan salam selalu teriring kepada Nabi-Rasul Muhammad SAW., sang utusan Allah yang memiliki sikap yang mulia, di mana penulis selalu ingin mencontoh semua hal yang dilakukannya. Kemuliaan sikapnya menjadikan kitab suci al-Qur’an yang diamanahkan Allah kepadanya untuk didakwahkan terasa istimewa. Bukan saja karena muatan al-Qur’an yang memang istimewa, namun cara penyampaiannya oleh Muhammad semakin menjadikan al-Qur’an terasa mengena di hati, tak terkecuali di hati penulis. Perjalanan menyelesaikan tesis ini begitu berat bagi penulis. Dari mulai awal penulisan proposal hingga revisi pasca munaqosyah, kesemuanya penulis lakukan dengan penuh kesungguhan. Pemunculan ide tesis pertama kalinya, proses penggodokannya, penguatan narasi, hingga proses koreksi tahap akhir adalah sekelumit perjalanan dan proses panjang yang penulis lalui; alhmadulillah semua proses yang harus penulis lalui berjalan sesuai keinginan. Pada akhirnya, semua proses ini terasa begitu istimewa sekalipun melelahkan. Selain penting, xiii
proses-proses ini menjadi bukti kesungguhan penulis dalam menempuh jenjang akademik strata II. ‚Jihad intelektual‛ ini adalah bahasa penulis mendekatkan diri kepada Allah Sang Maha Rahman. Ya, berkarya adalah salah satu bentuk ungkapan rasa syukur penulis kepada Allah atas semua anugerah yang secara khusus diberikan kepada penulis. Dalam melakukan ‚jihad intelektual‛, penulis tidak sendirian. Segenap pihak dengan penuh kerelaan membantu proses penyelesaian penulisan tesis penulis. Dukungan moral, spiritual, dan finanasial mengalir deras kepada penulis dari ayah dan ibu tercinta Dr. H. Ahmad Dardiri Hasyim, M.H. dan Dr. Hj. Darsinah, M.Si. Kepada mereka, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Kehangatan yang saudara-saudari penulis berikan juga memberi semangat tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis. Kepada Ahmadi Hasanuddin Dardiri, Ahmadi Syarif Hidayatullah Dardiri, Muhammad Amiruddin Dardiri, Fuad Abdussalam Dardiri, dan Annisa Rahmalia Dardiri, penulis menghaturkan terima kasih. Rasa syukur, sikap hormat, dan perasaan terima kasih penulis juga tertuju kepada pihak-pihak yang menjadi alasan penulis mampu mengarungi sekelumit proses penulisan tesis. Mereka adalah: 1.
Para Kyai dan Asatidz penulis di Madrasah Ibtidaiyyah Pondok Huffadz Kanak-Kanak Yanbu’ul Qur’an Kudus, terima kasih untuk bimbingan tiada henti dalam menghafalkan al-Qur’an 30 juz, selama 3 tahun lamanya. Para guru penulis di Sekolah Dasar Ta’mirul Islam Surakarta, terima kasih untuk kesabaran yang ditunjukkan dalam memberi xiv
pendidikan yang menumbuhkan semangat dan harapan. Para Kyai dan Asatidz penulis di Madrasah Tsanawiyyah Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, terima kasih untuk ilmu dasar (Nahwu dan Sharaf) yang tak akan lekang sepanjang masa di diri penulis. Para Kyai, guru, dan kawankawan di Madrasah Aliyah Keagamaan MAN 1 Surakarta alumni 2006 (Gletzhy Alligator), terima kasih untuk kepemimpinan, dunia kebahasaan asing, pertemanan hangat, dan optimisme yang kini tumbuh di diri penulis. Para tentor bahasa Inggris di SMART ILC Pare, Kediri, terima kasih untuk dedikasi agung dalam mengajarkan ilmu tata bahasa Inggris (grammar) kepada penulis secara mendalam. Para Kyai dan dosen di Institut Agama Islam Negeri (dulu) Walisongo Semarang, terima kasih untuk gemblengan akademik yang, meskipun penuh lika-liku, namun tetap berkesan. Para Kyai dan dosen di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, terima kasih untuk lautan ilmu, hujan hikmah, hidangan akademik istimewa, dan semua dedikasi atas nama keilmuan yang telah diberikan kepada penulis; ‚UIN Suka‛ memang sangat istimewa!! 2.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Drs. H. Akh Minhaji, M.A., Ph.D. (dan Rektor terdahulu Prof. Dr. H. Musa Asy’arie) beserta seluruh jajarannya, terima kasih untuk suasana akademik yang luar biasa, perpustakaan pusat UIN Suka yang istimewa, dan visi-misi akademik yang mendunia.
3.
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M. Phil., Ph.D., (dan direktur terdahulu Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A.) beserta seluruh jajarannya. Terima kasih untuk optimisme akademik yang ditumbuhkan di diri penulis dan pelayanan akademik yang memuaskan.
xv
4.
Ketua Program Studi Agama dan Filsafat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Moch. Noor Ichwan, M.A., terima kasih kasih telah memberikan harapan awal bagi kemungkinan penulisan tesis ini. Terima kasih untuk suasana akademik yang menarik; kebijakan akademik yang dibuat sangat membantu mahasiswa dalam memaksimalkan proses penyerapan ilmu dari para dosen, selain juga kemudahan administratif yang memungkinkan mahasiswa menyelesaikan penulisan tesis sesegera mungkin.
5.
Dr. H. Waryono, M.Ag., selaku pembimbing dan penguji tesis. Terima kasih untuk diskusi yang konstruktif, memberi harapan, dan penuh kecermatan. Dedikasi, bimbingan, dan kehangatan diskusi bersama ‚Ustadz‛ Waryono, demikian sapaan penulis kepada beliau, di tengah kesibukan mengajar dan menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, patut penulis apresiasi setinggi-tingginya. Penulis merasa sangat berterima kasih. Penulis akan selalu mengingat pesan tentang ‚Logical Sequence‛ dalam penuliskan karya ilmiah dan akan menerapkannya di setiap karya penulis.
6.
Dr. Phil. Al Makin, selaku penguji tesis. Masukan dan kritik dahsyat dari beliau berhasil ‚merusak‛ pondasi penting tesis yang penulis bangun. Dari kritik tersebut, pak Al Makin telah memberikan pemahaman mendalam kepada penulis tentang suatu hal penting; bahwa perjalanan menuju ke puncak menara tertinggi akademik masih sangat panjang, karenanya penulis perlu belajar lebih tekun untuk mencapai grade tertinggi di akademik: professorhip. Terima kasih telah menjadi dosen istimewa bagi penulis; dosen paling kritis yang pernah penulis temui di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. xvi
7.
Kepada segenap dosen pengajar di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis haturkan terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan. Penulis perlu menyebut beberapa dosen yang sangat berkesan di hati dan pikiran penulis: Prof. Dr. Said Agil Husein Munawwar, M.A., untuk uraian materi kuliah al-Qur’an dan Hadis yang sangat istimewa dan menumbuhkan optimisme akademik bagi penulis; Dr. Hamim Ilyas, M.A., untuk uraian materi sejarah dan ilmu al-Qur’an yang seperti al-s}ira>t} al-
mustaqi>m dan sangat sistematis; Prof. Dr. Amin Abdullah, M.A., untuk imajinasi dalam bidang pemikiran keislaman; Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A., untuk ide penulisan tesis ini di tengah perkuliahan bersama beliau; dan Dr. Alim Ruswantoro, M.A., untuk jokes yang agung dan uraian yang ‚mengena di hati‛ di tengah penat materi filsafat Barat. 8.
Kolega penulis di jurusan Studi Qur’an dan Hadis (SQH) angkatan 2012, khususnya kelas A dan B, terima kasih untuk diskusi dan kehangatan ruang akademik yang menimbulkan optimisme.
9.
Teman-teman diskusi akademik yang asik: Ahmad Khotim Muzakka, Fejrian Yazdajird Iwanebel, Nasihin Aziz Raharjo, Muhammad Lutfil Anshari, dan Muhammad Nurul Hakim.
10. ‚Kyai Filsafat‛ UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Fakhruddin Faiz, M.A., terima kasih untuk dedikasinya mengajari penulis (dan juga jamaah lainnya) dalam Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta. Selain menumbuhkan optimisme, uraian materi yang disampaikan dalam bahasa yang sederhana sangat mengena di hati. 11. Secara khusus, kepada yang tersayang Zakia El Muarrifa dan keluarga (Bapak Imam Syarofuddin, Ibu Muflichah Munir, dan Adik Fathuddin Abi
xvii
Dzar), terima kasih untuk kehangatan kekeluargaan, dukungan moral, dan kasih sayang yang diberikan.
Selain yang telah tersebut, tentu ada banyak pihak yang membantu dalam penyelesaian tesis ini. Kepada mereka, semoga Allah memberi balasan kebaikan yang melimpah dan tentunya barakah. Tesis ini telah selesai dikerjakan. Sebagaimana tak ada gading yang tak retak, demikian pula tesis ini yang tiada luput dari kekurangan di dalamnya. Karenanya, penulis mengharapkan sumbangan kritik dan masukan konstruktif dari siapapun yang membaca penelitian ini, dalam rangka memajukan diskursus keilmuan al-Qur’an agar lebih progresif dan humanis. Walla>hu a’lam bi al-s}awa>b.
Yogyakarta, 17 April 2015
Ahmadi Fathurrohman Dardiri NIM: 1220510030
xviii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI ......................................................v HALAMAN NOTA DINAS PEMBIMBING ...................................................... vi HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... viii ABSTRAK ............................................................................................................ ix PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...................................................x KATA PENGANTAR ........................................................................................ xiii DAFTAR ISI ....................................................................................................... xix BAB I
: PENDAHULUAN .................................................................................1 A. Latar Belakang .................................................................................1 B. Rumusan Masalah ..........................................................................15 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................15 D. Kajian Pustaka ................................................................................16 E. Kerangka Teori ................................................................................24 F. Metode Penelitian ..........................................................................33 G. Sistematika Pembahasan ................................................................34
BAB II
: BIBEL SEBAGAI SUMBER PENAFSIRAN AL-QUR’AN.............37 A. Tinjauan Ontologis Bibel ................................................................37 1. Relasi Kesejarahan al-Qur’an dan Bibel ...................................38 2. Pengertian Dasar Bibel ..............................................................47 3. Pandangan mufasir terhadap ayat-ayat polemik al-Qur’an ......53 B. Berbagai Istilah Sumber Tafsir dari Luar Tradisi Islam ................59 4. Israiliyyat...................................................................................60 1. Al-Dakhi>l ..................................................................................63 2. Cross Reference ........................................................................66 3. Al-Naql min al-Kutub al-Qadi>mah ...........................................69 xix
C. Karya Tafsir Bersumber dari Bibel .................................................72 1. Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar ......................72 2. Mah}as> in al-Ta’wi>l .....................................................................75 3. Al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n .....................................................77 4. Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m .........................................................80 5. Understanding The Qur’an ........................................................83 6. Qur’an: A Reformist Translation ..............................................85 7. The Holy Qur’an: English Translation & Commentary ...........88 BAB III : MUSTANSIR MIR DAN STUDI AL-QUR’AN ...............................91 A. Aktivitas Akademik Mustansir Mir ...............................................91 B. Fokus Studi al-Qur’an Mustansir Mir ............................................98 1. Koherensi al-Qur’an .................................................................99 2. Kajian Linguistik al-Qur’an ....................................................103 3. Al-Qur’an dalam Tinjauan Kesusastraan ................................113 4. Al-Qur’an dalam Studi Interrelijius ........................................126 C. Paradigma Kajian al-Qur’an Mustansir Mir .................................132 BAB IV : APLIKASI KUTIPAN BIBEL MUSTANSIR MIR DALAM
UNDERSTANDING THE ISLAMIC SCRIPTURE: A STUDY OF SELECTED PASSAGES FROM THE QUR’AN ............................134 A. Tinjauan Metodologis Understanding The Islamic Scripture: A
Study of Selected Passages from The Qur’an ...............................134 B. Aplikasi Kutipan Bibel dalam Understanding The Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an ..........141 1. Kesatuan Ajaran Agama Abrahamik ......................................142 2. Kisah Para Nabi .......................................................................159 3. Konsep-Konsep dalam Islam ...................................................175 C. Analisis Aplikasi Kutipan Bibel Mustansir Mir ...........................189 BAB V
: PENUTUP ........................................................................................193 A. Kesimpulan ....................................................................................193 B. Saran ..............................................................................................194
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................195 LAMPIRAN .........................................................................................................210 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................213 xx
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Al-Qur’an sebagai kitab suci mengklaim dirinya mus}addiq (pemberi
konfirmasi) dan muhaymin (korektor) dan atas kitab-kitab sebelumnya (li ma>
bayna yadaih). Beberapa faktor disebutkan mengapa al-Qur’an perlu melakukan koreksi tersebut. Salah satunya adalah pemalsuan kitab suci yang dilakukan oleh
ahl al-kita>b.1 Problem koreksi karena pemalsuan, karenanya, menolak tuduhan inkonsistensi Tuhan di balik firman-Nya. Adapun konfirmasi yang al-Qur’an lakukan dengan cara mengakomodasi hukum dan tradisi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, hal ini menunjukkan adanya relasi tegas antara al-Qur’an dengan kitab-kitab li ma> bayna yadaihi, khususnya terkait nilai tauh}i>d, pokokpokok agama, dan tujuannya (maqa>s}id).2 Pertanyaannya, dapatkah klaim alQur’an tersebut divalidasi secara historis? Khali>l ‘Abd al-Kari>m menemukan bukti historis bahwa al-Qur’an banyak mengakomodasi (dan memodifikasi) aturan-aturan yang berkembang di kawasan Arab. Ritus-ritus peribadatan, sosial, hukuman, peperangan, hingga ritus politik,
1
Al-Qur’an mengatakan ahl al-kita>b melakukan pemalsuan kitab suci. Setidaknya, dua kata kunci dalam al-Qur’an menggambarkan tuduhan tersebut, yaitu kata harrafa (dalam QS alBaqarah 2:75, al-Nisa’ 4:46, dan al-Maidah 5:13 dan 41) dan baddala (dalam QS al-Baqarah 2:59 dan al-A’raf 7:162). Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama Lain (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 172-176. 2 Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur’a>b al-H}aki>m (Kairo: Dar al-Manar, 1947), cetakan ke-2, vol. 1, hlm. 380 dan 383.
1
2 kesemuanya menjadi sumber utama bagi hukum-hukum dan konsep-konsep dalam Islam. Bentuk konfirmasi-modifikasi yang dilakukan al-Qur’an sangat beragam dan terjadi di banyak hal; hampir kesemuanya dilabeli dengan istilahistilah baru yang merepresentasikan konsep dasar Islam.3 Tesis Kari>m tersebut dikuatkan statemen ‘Umar Ibn Khatta>b perihal asal muasal Islam. ‚Arab adalah
bahan baku Islam.‛ Menurut Kari>m, bahan baku (materi) tersebut mencakup asal muasal, sumber , dan pilar, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.4 Relasi al-Qur’an dengan kitab-kitab li ma> bayna yadaih dikuatkan dengan fakta banyaknya tradisi keilmuan umat Islam yang dipengaruhi oleh sumber lokal Arab. Banyak sarjana Muslim yang menggunakan sumber-sumber tersebut dalam rangka mengembangkan tradisi keilmuan Islam. Digunakannya Bibel5 sebagai salah satu sumber pengetahuan oleh para sarjana Muslim di 2 abad pertama Islam (abad I dan II Hijriyah) adalah contoh paling nyata dari relasi al-Qur’an dengan kitab-kitab li ma> bayna yadayh pada tahapan paling maju.6
3
Khali>l ‘Abd al-Kari>m, al-Judu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Syari>’ah al-Isla>miyyah (Kairo: Da>r Mis}r al-Mah}ru>sah, 2004). 4 Ibid., hlm. 16. 5 Bibel (The Bible) adalah istilah lain Alkitab. Bibel memuat Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian baru (PB). PL yang memuat 39 Kitab, ditinjau dari kontennya terbagi ke dalam 3 jenis: 1) Kitab-Kitab Sejarah, 2) Kitab-Kitab Syair, dan 3) Kitab-Kitab Para Nabi. Pada jenis pertama, memuat Pentateuch (lima kitab) yang diyakini sebagai kitab suci Taurat yang diturunkan Tuhan kepada Musa. Pentateuch tersebut antara lain: kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Sementara pada jenis kedua, memuat kitab Mazmur (Psalms) yang diyakini turun kepada nabi Daud dan Kidung Agung ( Song of Songs), kisah tentang Sulaiman. Pada jenis ketiga, semua kisahnya memuat kisah para nabi yang berjumlah 16. Adapun PB, memuat 27 kitab, yang 4 kitab di antaranya (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) ditulis oleh para murid Isa dan diyakini sebagai kitab suci Injil. Keempatnya disebut Injil Kanonik. Drs. Abu jamin Roham, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur’an Dalam Segi Isi dan Riwayat Penulisannya (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984), hlm 12-13, dan 127. 6 Ada teori yang mengatakan bahwa ketika itu Bibel versi tulis kesulitan diakses. Ada 3 sebab di balik sulitnya Bibel diakses para sarjana Muslim awal. Antara lain: 1) Bibel masih berupa tradisi oral; 2) materi Bibel yang beredar, jika pun dalam bentuk tulis, hanya terbatas pada kisah-kisah para nabi (Qas}as} al-Anbiya>’); dan 3) Bibel yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
3 ‘Ali> Ibn Rabba>n al-T}abari> (194-251 H/ 810-865 M), mantan penganut Kristen Nestorian ini dalam karyanya berjudul Kita>b al-Di>n wa al-Daulah fi> Is}ba>t
Nubuwwah al-Nabiy Muh}ammad S}allalla>hu ‘Alaihi wa Sallam banyak merujuk kepada Hebrew Bible (versi Syiriac7) dan tradisi Yahudi. Karya ini ditulis untuk meyakinkan umat Islam akan kenabian Muhammad dan keaslian ajaran yang dibawanya.8 Sayangnya, usaha Ibn Rabba>n mengutip Hebrew Bible rentan dari manipulasi.9 Kutipan dalam Mazmur 48:1, ‚Great is the Lord and He is greatly to
be praised,‛ (versi Arabnya, ‚Inna Rabbana> ‘az}i>mun mahmu>dun jiddan‛), oleh Ibn Rabba>n, kata ‚mahmu>d‛ diterjemahkan menjadi Muhammad. Menurutnya, dalam tradisi Arab dan non-Arab, kata Rabb tidak hanya bermakna Tuhan melainkan juga ‚laki-laki‛ (men).10 Lain lagi dengan Abu> Muhammad ‘Abdulla>h Ibn Muslim Ibn Qutaybah (lahir 213 H/ 828 M). Dalam empat karyanya,11 diketahui bahwa kitab Kejadian
jika pun ada, hanya menjangkau beberapa bagian/fragmen saja dari teks Bibel secara keseluruhan. Camilla Adang, Muslim Writers on Judaism and The Hebrew Bible: From Ibn Rabba>n to Ibn H}azm (Leiden: E.J. Brill, 1996), hlm. 250. 7 Hanya Bibel versi Syriac yang memungkinkan untuk dijadikan Ibn Rabba>n sebagai sumber. Selain karena Ibn Rabba>n tidak menguasai bahasa Yunani dan Hebrew, Arabic Bible juga masih jarang ditemui. Ibid., hlm. 111. 8 Ada keragukan dari para peneliti modern di balik motif ‚murni menulis‛ Ibn Rabba>n pada karya ini. Dikatakan, karya ini adalah permintaan Khalifah al-Mutawakkil (memerintah 847-861 M). Selain itu, tidak banyaknya pemikir pasca Ibn Rabba>n yang menjadikan karya ini sebagai rujukan menjadi sebab lain yang mendasari diragukannya motif tulus di balik penulisan karya ini. Ibid., hlm. 27-30. 9 Selain terhadap Yahudi, Ibn Rabba>n juga menyasar Kristen sebagai objek kritik. Hal ini termuat dalam karya lain Ibn Rabban berjudul al-Radd ‘ala> al-Nas}a>ra>. Ibid., hlm. 26. 10 Ibid., hlm. 144-145. 11 Empat karya yang dimaksud adalah: 1) ‘Uyu>n al-Akhba>r, secara khusus pada bab Zuhud, yang menerangkan Nabi Daud yang karakter personalnya disarikan dari keterangan Bibel. 2) Ta’wi>l Mukhtalif al-hadi>s,| berisi pandangan politik dan keagamaan Ibn Qutaybah terkait hadis-hadis yang dipersoalkan otentisitasnya di dalam tradisi Islam. 3) Kita>b al-Ma’a>rif, karya yang layaknya ensiklopedia. Karya ini memuat kisah para Nabi dan Rasul sebelum Muhammad dengan merujuk pada sejarah dalam Tradisi Bibel. 4) Kitab Dala>il al-Nubuwwah. Seperti umumnya para sarjana Muslim ketika hendak meneguhkan Muhammad sebagai Nabi yang sah
4 (Genesis) versi Arab menjadi sumber paling mungkin diakses mufasir keturunan Persia tersebut.12 Kutipan atas kitab Kejadian dalam karyanya Kita>b al-Ma’a>rif yang dilakukan secara redaksional-kata ternyata tidak menjamin terhindar dari sifat manipulatif. Suatu ketika, Ibn Qutaybah mengutip Kejadian 3:22 dan 8:21. Namun, kutipan ‚Behold, the man is become as one of us,‛ (Kejadian 3:22) dan ‚And God caused a pleasant smell to rise from the offering,‛ (Kejadian 8:21) sengaja dihilangkan.13 Kedua unsur Antropomorfisme Tuhan tersebut ditolak lantaran adanya konsep tajsi>m; tradisi Islam menolak konsep tajsi>m. Implikasi kelanjutannya adalah berubahnya konsep Tuhan dalam Hebrew Bible dan ‚dipaksa‛ berada dalam konsep Ibn Qutaybah yang seorang Muslim. Abu> Muhammad ‘Ali> Ibn Ah}mad Ibn H}azm (lahir 384/994) dalam 4 karyanya14 membuat hubungan antara Islam dan Yahudi semakin meruncing.
Kita>b al-Fis}al fi> al-Milal wa al-Ahwa>’ wa al-Nih}al, karya Ibn H}azm yang dianggap paling awal tentang comparative religion justru banyak menonjolkan sisi polemik antara Islam dan Yahudi, dibanding sisi komparatifnya.15 Tatkala melakukan kritik pedas terhadap kisah-kisah dalam tradisi Yahudi, kisah-kisah (legitimate), maka sumber-sumber Bibel dengan mudahnya dapat dikutip para sarjana Muslim, sebagaimana yang Ibn Qutaybah lakukan pada buku ini. Ibid., hlm. 33-36. 12 Bukti yang menguatkan digunakannya Kejadian sebagai kutipan utama adalah kemunculan kalimat khusus yang mengiringi kutipan Kejadian, yang mana yang mengindikasi Ibn Qutaybah melakukan kutipan secara langsung terhadapnya. Kalimat khusus yang dimaksud antara lain: ‚I have read in Torah,‛, atau ‚I have found in The Torah,‛, dan atau ‚It is said in The Torah‛. Adapun selain Kitab Kejadian, kutipannya hanya parafrase kreasi Ibn Qutaybah. Ibid., hlm. 113. 13 14
Ibid.
4 karya yang dimaksud antara lain: 1) al-Us}u>l wa al-Furu>’, 2) Kita>b al-Fis}al fi> al-Milal wa al-Nih}al, 3) Iz}ha>r Tabdi>l al-Yahu>d wa al-Nas}a>ra> li al-Tawra>t wa al-Inji>l wa Baya>n Tana>qud} ma bi Aydi>hi min Z}a>lika mimma> la> Yah}tamil al-Ta’wi>l, dan 4) al-Radd ‘ala> Ibn al-Naghri>la alYahudiy, La’anahulla>h. 15 Berbeda dengan karya al-Maqdi>si> berjudul Bad’ yang dianggap lebih pantas sebagai karya pertama tentang comparative religion lantaran tidak begitu kentara sisi polemiknya, dibandingkan dengan karya Ibn H}azm. Camilla Adang, Muslim Writers on Judaism ..., hlm. 65.
5 tersebut justru adalah kisah-kisah yang ditolak keberadaannya oleh kalangan Yahudi.16 Anehnya, rasa ingin-tahu (curiosity) Ibnu H}azm akan tradisi Yahudi ternyata rendah.17 Sikap ini menjadi kontra-produktif bagi seorang peneliti. Selain absen melakukan kroscek atas suatu transmisi, apakah benar-benar berasal dari tradisi Yahudi, sumber rujukan dari kisah-kisah yang dikritiknya juga tidak disertakan. Dari fakta-fakta ini, Ibn H}azm lantas secara lantang menyatakan kebohongan transmisi pengetahuan Yahudi secara umum.18 Selain itu, Ibn H}azm juga mengatakan bahwa semua kitab suci (termasuk Hebrew Bible) akan inferior jika dibandingkan dengan transmisi al-Qur’an; terjadi banyak penyimpangan dalam transmisi Hebrew Bible.19 Inilah alasan mengapa Ibn H}azm disebut telah dipenuhi mindset polemik dalam studinya terhadap Yahudi. Selain terhadap agama Yahudi, Ibnu H}azm juga memiliki sikap sinis terhadap pengikut Yahudi. Karyanya al-Radd ‘ala> Ibn al-Naghri>la al-Yahudiy
16
Adang mengemukakan 2 kisah yang dikritik Ibnu H}azm namun tidak bisa dipastikan berasal dari tradisi Yahudi. 1) Diceritakan dari Rabbi Yahudi tentang kisah burung yang terbang ke langit, lalu bertelur, dan menjatuhkannya ke Bumi. Ketika jatuh ke Bumi, telur tersebut menghancurkan 13 kota. 2) Kisah tentang panjang janggut Fir’aun yang katanya mencapai 300 cubits (lengan-bawah manusia). Ibid., hlm. 99. 17 Ibid., hlm. 76, 227, dan 251. Ibnu H}azm keliru ketika menjelaskan tanduk domba yang berfungsi sebagai terompet (ram’s horn) sebagai bagian dari tradisi Yahudi. Penganut Yahudi secara tegas menolak dikaitkan dengan fakta ram’s horn yang tidak pernah ada dalam tradisi mereka. Ibid., hlm. 76-77 18 19
Ibid.
Misalnya, pada karya Ibn H}azm berjudul Iz}ha>r Tabdi>l al-Yahu>d wa al-Nas}a>ra> li alTawra>t wa al-Inji>l wa Baya>n Tana>qud} ma bi Aydi>hi min Z}a>lika mimma> la> Yah}tamil al-Ta’wi>l. Ibid., hlm. 66. Selain itu, Ibn H}azm juga ditengarai mengetahui tiga versi (menuskrip) Taurat. Barangkali, Di sinilah Ibn H}azm memijakkan pengetahuannya tentang Yahudi dan tradisinya; tidak seotentik al-Qur’an. Ibid., hlm. 137. Ibn H}azm seperti lupa bahwa al-Qur’an memiliki banyak versi manuskrip, sebelum akhirnya disatukan secara politik melalui konsensus pemuka Sahabat yang berasal dari suku Quraisy. Lihat Khali>l ‘Abd al-Kari>m, Quraisy : Min al-Qabi>lah ila> al-Dawlah al-Markaziyyah (Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1998), hlm. 15-20.
6
La’anahulla>h, Ibn H}azm menyerang seorang Yahudi bernama Samuel20 yang menurutnya adalah dalang di balik penyebaran pamflet berisi esai kritis yang ditujukan kepada al-Qur’an. Meski belum dipastikan kebenaran isi pamflet tersebut (apakah benar-benar menyerang al-Qur’an) dan apakah penulis pamflet tersebut adalah benar-benar Samuel, Ibn H}azm nyatanya menulis al-Radd sebagai bentuk pembelaannya terhadap al-Qur’an. Terlepas dari kasus pamflet tersebut, sejarah mencatat bahwa pada pertengahan abad 5 H muncul gelombang sikap sinis terhadap Islam di Spanyol.21 Menjadi wajar kiranya, jika Ibn H}azm hadir sebagai salah satu pembela al-Qur’an dan Islam ketika itu. Meski terjadi sikap sinis di sebagian kalangan Muslim atas Hebrew Bible dan tradisi Yahudi, tidak serta merta dikatakan bahwa mindset polemik adalah pandangan umum sarjana Klasik ketika itu.22 Menurut Camilla Adang, ada 4 alasan di balik kutipan terhadap Hebrew Bible di kalangan sarjana Muslim Klasik: 1) menjelaskan sejarah Bani Israel yang melahirkan para nabi utusan Allah sebelum Muhammad; 2) merunut genealogi agama Yahudi dan sistem keagamaan mereka; 3) membersihkan unsur-unsur kenabian Muhammad dari beragam serangan yang melemahkan; dan 4) untuk tujuan polemik, yaitu dengan
20
Nama lengkapnya adalah Ismail ibn al-Naghri>la atau Samuel ben Yosef ha-Levi (nama Yahudi). Sarjana Yahudi ini hidup bersamaan dengan Ibn H} azm. Ketika itu, dalam suatu masa, Samuel menjadi lebih populer dibanding Ibn H}azm, di mata pemerintahan Islam. Camilla Adang, Muslim Writers on Judaism ..., hlm. 68. 21 Ibid., hlm. 67-69. 22 Meski Ibn Rabba>n, Ibn Qutaybah, dan Ibn H}azm berkesimpulan bahwa Taurat dan Injil ternasakh (abrogated) dan rusak (corrupted), namun hanya Ibn H}azm yang dinilai Adang melakukan kutipan terhadap Bibel untuk sesuatu hal yang polemik. Menurut Adang, Ibn H}azm sengaja menggunakan sumber Bibel untuk membuktikan keterpalsuan Taurat dan sebagian Injil. Ibid., hlm. 250-251.
7 membuktikan bahwa Hebrew Bible ternasakh dan rusak.23 Alasan-alasan tersebut menunjukkan adanya sikap akomodatif-konstruktif kalangan sarjana Muslim untuk ilmu pengetahuan sekaligus egois-destruktif untuk tujuan polemik. Aktivitas mengutip Bibel juga terjadi dalam tradisi Sufi, seperti yang Ima>m al-Ghaza>li> lakukan melalui karyanya al-Radd al-Jami>l li Ila>hiiyati ‘I>sa> bi
S}ari>h} al-Inji>l. Salah satu pembahasan yang al-Ghaza>li> kemukakan adalah adanya unsur-unsur manusia dalam diri Isa. Menariknya, sumber-sumber yang dikutip alGhazali adalah sumber internal Kristen (penganut Isa) yaitu Bibel.24 Selain dalam bidang sejarah dan sufi, aktivitas kutipan Bibel juga terjadi dalam tradisi tafsir. Ini menarik mengingat tafsir memuat unsur-unsur teologis Islam. Persinggungan dengan Bibel dikhawatirkan oleh sebagian kalangan karena akan mengantarkan pada benturan teologis dan berpotensi memunculkan sikapsikap polemik. Berikut adalah beberapa karya mufasir Klasik hingga Modern yang menggunakan Bibel sebagai salah satu sumber tafsirnya.
Pertama, Abu> Ja’far Muhammad Ibn Jari>r al-T}abari> (lahir 224/839). Karyanya berjudul Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l al-Qur’a>n danTa>ri>kh al-Rusul wa
al-Muluk, al-T}abari> sedikit banyak bersinggungan dengan tradisi Yahudi. Alihalih mengutip Hebrew Bible sebagai sumber tafsirnya, al-T}abari> justru secara 23 24
Ibid., hlm. 250.
Adapun ayat-ayat dalam Bibel yang dikutip al-Ghazali antara lain: a) I Timotius 2:5-6 tentang Isa sebagai perantara Tuhan dan manusia; b) Matius 23:9-10 tentang satu Bapak di Bumi, yaitu Tuhan, dan satu pemimpin di bumi, yaitu Isa; 3) Yohanes 11:14-15 tentang ungkapan syukur Isa, di mana hal ini menunjukkan unsur manusia; 4) Matius 27:46 tentang perasaan takut Isa ketika (menurut tradisi Kristen) hendak disalib seraya memanggil nama Tuhan.; dan 5) dalam Yohanes 12:49-50 tentang pengakuan Isa bahwa Tuhan-lah yang mengutus dirinya kepada manusia. Waryono Abdul Ghafur, Kristologi Islam: Telaah Kritis Kitab al-Radd al-Jami>l Karya al-Ghazali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan 2, 2012), hlm. 159-161.
8 sinis mengkritik Taurat dan tradisi Yahudi menggunakan sudut pandang Muslim. Misalnya, terkait penolakan Yahudi atas kenabian Muhammad. Sayangnya, alT}abari> tak sekalipun mengkonfirmasi hal tersebut secara langsung dari Hebrew
Bible dan tradisi Yahudi.25 Menilai dari sudut pandang Muslim bukannya tidak tepat, namun berpotensi menjadi bias terhadap Hebrew Bible dan tradisi Yahudi.
Kedua, Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m Ibn ‘Umar al-Biqa>’i> (1406-1480 M) dalam karya tafsirnya Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>yah wa al-Suwar (selanjutnya
Naz}m). Ketika menafsirkan QS al-Baqarah 2:87, al-Biqa>’i> mengutip keterangan dari Injil-Injil Kanonik26 secara masif. Salah satu yang dikutipnya adalah Matius 4:12-17, yang berisi kisah Isa ketika bertolak dari Nazaret menuju Galilea.27 AlBiqa>’i> mengutip Bibel karena ketiadaan keterangan yang memadai tentang Isa di
25
Berikut rincian kutipan dari al-T}abari> yang dimaksud: Tuhan membuat perjanjian dengan Yahudi (Bani Israel) yang mengharuskan mereka memberitahu kabar di dalam kitab suci mereka tentang (kedatangan) Muhammad dan mempercayai kerasulan Muhammad. Gagal memenuhi perjanjian tersebut, sembari mendakwa Muhammad seorang pembohong, Yahudi merusak perjanjian dengan Tuhan. Karenanya, mereka kehilangan ampunan Tuhan dan kesempatan memasuki Surga (sebagai konsekuensi atas apa yang mereka perbuat). Camilla Adang, Muslim Writers on Judaism ..., hlm. 151. 26 Injil Kanonik adalah istilah 4 kitab dalam Perjanjian Baru yang dianggap paling sahih oleh sebagian besar pemuka agama dan umat Katolik-Kristen, karena transmisinya sampai kepada Isa (Jesus) dan diyakini sebagai Inji>l. Injil Kanonik memuat empat kitab: Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. 27 Al-Biqa>’i> dalam menjelaskan ayat tersebut mengutip Matius 4: 12-17, lalu Markus 1:14, dan kembali kepada Matius 4: 18-23. Setelah itu, diikuti kutipan panjang pada Yohanes 1: 28-51, 2: 1-13, dan 4:1 hingga 4:54. Lalu dikutip lagi Markus 1: 21-22, Matius 4:23-25 dan 5:112, dan diakhiri dengan Lukas 6: 23-26. Walid A. Saleh, In Defense of The Bible: A Critical Edition and An Introduction to al-Biqa>’i>’s Bible Treatise (Leiden: Brill, 2008), hlm. 24. Rujuk juga sumber primernya pada Ibra>hi>m Ibn ʻUmar al-Biqa>’i>, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>yah wa al-Suwar (Kairo: Da>r al-Kita>b al-Isla>miy, t.t.), Vol. 2, hlm. 21-29. Sejauh pengamatan penulis, tidak ditemukan pencantuman pasal/ayat pada tiap-tiap Injil yang dikutip al-Biqa>’i> dalam karyanya. Hal ini tentu menyulitkan pembaca karya al-Biqa>’i> yang berusaha melakukan penelusuran lebih jauh pada Injil-Injil yang dikutip. Penulis beruntung dapat merujuk karya Walid A. Saleh yang secara serius merekonstruksi pemikiran al-Biqa>’i> dengan jalan menyusun Edisi Kritis karya al-Biqa>’i> berjudul al-Aqwa>l al-Qawi>mah fi> H}ukmi al-Naql min al-Kutub al-Qadi>mah dan menyusun biografi kritis al-Biqa>’i>.
9 dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi.28 Kebutuhan al-Biqa>’i> mengutip Bibel masih termasuk kebutuhan primer, yaitu ketiadaan informasi yang memadai.
Ketiga, T}ant}a>wi> Jauhari> dalam karyanya al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n alKari>m (selanjutnya al-Jawa>hir). Ketika menafsirkan QS al-Baqarah 2:29 tentang Tujuh Langit (sab’ sama>wa>t), T}ant}a>wi> mengatakan bahwa penjelasannya tentang
sab’ sama>wa>t memiliki kesamaan informasi dengan Injil Barnabas.29 Dalam Injil
28
Terkait Bibel yang dikutip al-Biqa>’i>, muncul pertanyaan terkait ketiadaan penjelasan mengenai perlunya mengutip Bibel dalam karya Naz}m tersebut. Gerald Hawting, Book Review: In Defense of The Bible: A Critical Edition and Introduction to al-Biqa>’i>’s Bible Treatise, dalam Journal of the Royal Asiatic Society, Third Series, Vol. 20, No. 4, October 2010, hlm. 550. Namun, hal ini segera terjawab dengan kehadiran al-Aqwa>l yang naskah aslinya telah direkontruksi ulang oleh Walid A. Saleh. Keresahan tersebut segera terjawab oleh kehadiran karya lain al-Biqa>’i> yang datang belakangan berjudul al-Aqwa>l al-Qawi>mah fi H}ukm al-Naql min al-Kutub al-Qadi>mah (selanjutnya al-Aqwa>l). Al-Aqwa>l memaparkan ulasan mengapa mengutip Bibel diperbolehkan, disertai pendapat para ulama yang memperbolehkannya, dan beberapa fakta adanya kebutuhan mengutip Bibel di masa lalu, baik dalam tradisi tafsir maupun kajian kesejarahan. Melalui karya al-Aqwa>l, pembaca Naz}m akan memahami alasan al-Biqa>’i mengutip Bibel dan bahkan akan menganggap hal tersebut sebagai sebuah kebutuhan dalam tafsir. Walid A. Saleh, ‚A FifteenthCentury Muslim Hebraist: al-Biqa>’i> and His Defence of Using The Bible to Interpret the Qur’an‛ dalam Speculum, vol. 83, no. 3 (July, 2008), hlm. 641-650. 29 Abad 18 dan 19 M, sejarawan Kristen Liberal mendaku telah menemukan kebenaran sejarah Yesus. Manuskrip tentang historical Jesus ini mendedah informasi yang berseberangan dengan doktrin Gereja tentang Yesus. Adalah Injil Barnabas yang menyampaikan informasi penolakan Yesus bahwa dirinya dianggap ‚anak Tuhan‛. Selain itu, Injil ini juga berulang kali menyerukan informasi kedatangan Muhammad sebagai utusan Tuhan pasca Yesus. Sejauh ini, manuskrip Injil Barnabas paling tua yang dapat ditemukan adalah manuskrip berbahasa Italia dan dalam bahasa Spanyol. Pada versi Italia memuat juga keterangan/penjelasan yang ditulis dalam bahasa Arab. Dianggap sebagai Injil non-Kanonik (tidak diakui valid oleh Gereja dan umat Kristen), Injil ini, menurut beberapa penelitian, merujuk pada (atau serupa secara konten dengan) manuskrip tertanggal akhir abad 5 M atau 7-8 M (dalam bahasa Yunani). Sejauh ini, belum ada temuan yang dapat membatalkan informasi tersebut lantaran keberadaan manuskrip berbahasa Italia dan Spanyol tersebut menjadi manuskrip paling tua, dan tidak ada manuskrip lain yang lebih tua yang dapat membatalkan informasi dari manuskrip berbahasa Spanyol dan Italia tersebut. Karenanya, oleh kalangan peneliti (sejarah), Injil Barnabas diyakini dan dianggap masih valid, lantaran belum ada bukti lain yang membatalkannya. Sikap yakin tersebut terlepas dari polemik di kalangan Gereja terkait otentisitas isi Injil Barnabas. Injil Barnabas yang memuat 222 bab tentang kisah Isa/Yesus dianggap telah membentuk ‚Harmoni Kitab Suci‛ (gospel harmony) dalam diri Bibel secara keseluruhan. Ini dikarenakan muatannya yang menghindari polemik antar-kitab suci. Berikut beberapa tema utama dalam Injil Barnabas: 1) poin-poin sentral Injil-Injil, 2) materi apokrifa/yang diragukan keasliannya tentang Yesus, 3) informasi ganjil terhadap Perjanjian Lama, dan 4) berisi ajaran Islam. Oddbjørn Leirvik, ‚History as a Literary Weapon: The Gospel of Barnabas in Muslim-Christian Polemics‛ dalam Studia Theologica , no. 1, 2002, hlm. 4-7.
10 Barnabas dijelaskan bahwa lapisan langit terdiri dari 9 susunan: 7 langit pada al-
Sama>wa>t al-Sab’ yang jarak tempuh antar langitnya mencapai sekitar 500 tahun perjalanan manusia di Bumi, sementara 2 langit lainnya adalah al-Kursiy dan al‘Arsy.30 Dalam al-Jawa>hir, T}ant}a>wi> mengutip Injil Barnabas sebanyak 11 kali.31
Keempat, Rasyi>d Rid}a> dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}akim (atau al-Mana>r). Rid}a> mengutip Yohanes 17:3 ketika menafsirkan QS Ali Imran 3:64 tentang
Kalimatun Sawa>’ (kesamaan ajaran di antara umat Islam dan Ahli Kitab). Dalam ayat tersebut, Kalimatun Sawa>’ dijelaskan sebagai peneguh atas keesaan Allah: dijalankan melalui penyembahan kepada Allah, tanpa kesyirikan kepadaNya, dan tidak pula menjadikan manusia sebagai Tuhan. Penjelasan ayat tersebut diikuti kutipan Yohanes 17:3 yang juga menegaskan keesaan Allah.32 Dalam al-Mana>r, Rid}a> beberapa kali mengutip Injil-Injil Kanonik dan Injil Barnabas.33
Penolakan Injil Barnabas sebagai sumber valid juga dijelaskan oleh Iskandar Jadeed dalam tulisannya. Baca Iskandar Jadeed, ‚Suatu Kesaksian Palsu (Satu Pertanyaan: Mengapa Orang Kristen tidak Mengenal Injil Barnabas?)‛. Sumber: www.the-goodway.com/ind/books/4030/format-pdf Diakses 1 September 2014. 30 T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m (Mesir: Mus}tafa> al-Ba>bi> alH}albi> wa Aula>duhu bi Mis}ra, 1350 H), Vol. 1, hlm. 47. Terkait Injil Barnabas yang dikutipnya, T}ant}a>wi> menilainya sebagai Injil yang paling mendekati kebenaran (aqrab al-Inji>l ila> al-h}aqq). Muhammad H}usein al-Z|ahabiy, al-Tafsi>r wa alMufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Vol. 2, hlm. 373. 31 Pasal-pasal dalam Injil Barnabas yang dikutip T}ant}a>wi> antara lain: 72, 82, 96, 105, 116, 136, 137, 142, 191, 192, dan 208-222. Husni Fithriyawan, Injil dalam Kitab Tafsir al-Qur’an
Modern (Studi Komparatif Kitab Tafsir al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karya T}ant}a>wi> Jauhari> dan Tafsi>r Al-Mana>r Karya Muhammad Rasyi>d Rid}a>), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, hlm. 90. 32 Berikut kutipan Yohanes 17:3, ‚Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka
mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus‛. Muhammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Mana>r (Mesir: Da>r al-Mana>r, 1367 H), vol. 3, hlm. 326. 33
Pengutipan pada Injil Barnabas sebanyak 3 kali: pasal 72, 96, dan 97. Pada Injil Matius 14 kali, Injil Markus 10 kali, Injil Lukas 5 kali, dan Injil Yohanes 13 kali. Lebih lengkapnya, rujuk Husni Fithriyawan, Injil dalam Kitab Tafsir al-Qur’an Modern..., hlm. 89-90.
11
Kelima, Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i> dalam al-Mi>za>n fi> Tafsi>r alQur’a>n. Pada suatu kesempatan, pada ulasan kisah Zakaria dalam QS Ali Imran 3:35-41, T}aba>t}aba>’i> melakukan kritik atas penafsiran Klasik yang dianggap menyimpang dengan mengatakan bahwa seseorang yang mendatangi Zakaria adalah syaitan. Penafsiran ini dirujuk sumbernya dari Qatadah dan ‘Ikrimah. Merujuk Lukas 1:20, T}aba>t}aba>’i> menjelaskan bahwa yang mendatangi Zakaria adalah Malaikat Jibril (Gabriel).34 Dari pemaparan di atas, kebutuhan mengutip Bibel merupakan fakta tak terbantahkan dan telah berlangsung lama dalam tradisi Islam, dalam beragam kualitas dan kuantitas penekanannya. Khusus bagi tafsir, ini menjadi penegas akan peranan penting sumber-sumber dari luar Islam dalam memperkaya wacana tafsir, selain juga usaha menempatkan al-Qur’an sebagai bagian tak terpisahkan dari lingkungan-sosial (milieu) kitab suci agama-agama Abrahamik.35 Persoalan yang mengemuka adalah soal relasi historis antara al-Qur’an dan Bibel.36 Dari kesemua teks biblis yang menjadi sumber tafsir, menurut Leirvik, Injil Barnabas adalah yang paling ‚digemari‛ beberapa kelompok sarjana Muslim apologetis. Hal ini tak lain karena kandungannya yang mengantarkan pada relasi
34
Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah alA’lami> li al-Mat}bu>’a>t, 1991), vol. 3, hlm. 214. 35 Reynold menyebut hubungan ini sebagai ‚relationship of homily and scripture‛. Di sini, al-Qur’an juga digambarkan sebagai homilist, ‚seseorang/pihak‛ yang menyebarluaskan ajaran atau diskursus agama ‚pendahulunya‛. Karenanya, sebagai hasil akhir, wajar jika al-Qur’an dan kitab sebelumnya (apakah itu Hebrew Bible atau The Gospels) memiliki kesamaan objek bahasan. Al-Qur’an, karenanya, wajar jika disebut sebagai pengejawantah nilai-nilai kedua kitab suci pendahulunya. Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical Subtext (New York: Routledge, 2010), hlm. 232-234. 36 Persoalan ini akan dibahas pada bagian Kerangka Teori.
12 penuh harmoni antara Muslim dan Kristen, terlepas dari problem otentisitas Injil Barnabas yang hingga kini masih dipertanyakan. 37 Pada 2008, muncul karya tafsir yang menggunakan Bibel sebagai salah satu sumber tafsir. Adalah Mustansir Mir, seorang sarjana al-Qur’an Pakistan yang secara terbuka mengakui menggunakan Bibel sebagai salah satu sumber tafsir dalam karyanya berjudul Understanding The Islamic Scripture: A Study of
Selected Passages from The Qur’an.38 Menarik untuk disimak: 1) apakah model kutipan terhadap Bibel lebih simpatik atau mengandung mindset polemik; atau 2) berpijak pada pondasi teologis atau historis, menarik untuk disimak. Jelas akan muncul pertanyaan mengapa Bibel dijadikan salah satu sumber rujukan dalam karya tafsir Mir. Dijelaskan Mir bahwa al-Qur’an memiliki tiangpancang pada dan keterkaitan dengan Bibel. ‚The Qur’an has stakes in the
Bible,‛ Demikian statemen Mir.39 Terdapat keterkaitan tegas antara al-Qur’an dan Bibel jika keduanya dibandingkan (in comparison, dalam arti didudukkan) secara sejajar. Persoalan bagian mana yang layak dan tepat untuk dibandingkan, tergantung kepada tema pembahasan. Pembandingan ini, tegas Mir, tidak lantas diartikan sebagai bentuk menempatkan al-Qur’an dan Bibel pada posisi yang
37
Oddbjørn Leirvik, ‚History as a Literary Weapon: The Gospel of Barnabas..., hlm. 13. Bandingkan dengan penolakan terhadap Injil Barnabas oleh Iskandar Jadeed. Baca Iskandar Jadeed, ‚Suatu Kesaksian Palsu… 38 Mustansir Mir, Understanding the islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an (New York: Pearson Education, 2008). Karya ini terdiri atas 37 topik pilihan, di mana 13 topik di antaranya menggunakan kutipan Bibel sebagai sumber tafsirnya. Menurut Mir, 37 topik tersebut cukup representatif menjelaskan apa itu al-Qur’an dan apa itu Islam, ditinjau dari sisi redaksional ayat-ayat alQur’an. Ibid., hlm. ix. 39 Ibid., hlm. 49.
13 mutlak setara pada semua aspek.40 Ini artinya, antara al-Qur’an dan Bibel memang ada aspek-aspek yang setara dan selaras informasinya pada beberapa bagian tertentu, sementara bagian lainnya memungkinkan terjadi pergesekan baik yang bersifat profan maupun sakral. Karya berjudul Understanding The Islamic Scripture: A Study of Selected
Passages from The Qur’an secara khusus ditujukan Mir bagi pembaca awam alQur’an di Barat. Tinjauan khasnya adalah kajian kebahasaan (linguistics) alQur’an yang, menurut Mir, seringkali luput dari perhatian para sarjana Barat.41 Bukti keseriusan Mir ditunjukkan dengan dedikasi akademiknya di bidang linguistik di balik karyanya berjudul Dictionary of Qur’anic Terms and Concepts (terbit 1987), sebuah kamus berbasis konsep-konsep yang disarikan dari ayatayat al-Qur’an.42 Mir tertarik sekali ingin melengkapi kekosongan fokus sarjana Barat terhadap tinjauan linguistik atas al-Qur’an, dan berharap dapat memberi sumbangsih bagi Qur’anic Studies yang menjadi minat studinya.43 Selain kualitas kesarjanaan yang mumpuni di diri Mir,44 yang membuat penulis tertarik meneliti karya tafsir Mir adalah fakta di balik kelahiran karya
40
Berikut kutipan pernyataan Prof. Mustansir Mir, ‚ I think that, in some cases, comparisons can be made between the Qur’anic and Biblical verses. Exactly how such comparisons are to be made depends on the writer dealing with the subject. Making such comparisons does not necessarily mean that one is putting the two scriptures on the same level or in the same category.‛ Sumber: korespondensi penulis dengan Prof. Mustansir Mir melalui email. Tanggal 26 Okober 2013. 41 Ibid. Meski berasal dari Pakistan, Mir telah berdomisili lama di Amerika Serikat. 42 Mustansir Mir, Dictionary of Qur’anic Terms and Concepts (New York: Garland Publishing, Inc., 1987). 43 Selain Qur’anic Studies, Mir tertarik kajian Iqbal Studies. Sumber: korespondensi penulis dengan Prof. Mustansir Mir melalui email. Tanggal 26 Okober 2013. 44 Mustansir Mir tergolong aktif menulis makalah ilmiah. Setidaknya, ada lebih dari 40 makalah ilmiah yang dipublikasikan atas nama Mir, baik itu yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah,
14 tafsir tersebut. Setidaknya, ada 2 hal yang dapat dikemukakan di sini. Pertama, Mustansir Mir adalah seorang sarjana imigran dari Pakistan yang menjadi pengajar tetap di Youngstown University (YSU) dan telah menetap lama di kota Youngstown, negara bagian Ohio, Amerika Serikat (AS). Mir tinggal di kota ini sejak awal 1990-an. Seperti di kota-kota lain di AS, masyarakat Muslim adalah minoritas. Karenanya, penting bagi mereka untuk membaur harmonis dengan masyarakat AS yang mayoritas Kristen, agar terjalin komunikasi yang baik antara minoritas dan mayoritas. Kedua, kelahiran karya ini juga dibumbui dengan tragedi pengeboman menara kembar WTC pada 11 September 2001. Umat Islam di Youngstown yang ketika itu hidup harmonis seperti dipandang sinis oleh karena tragedi terorisme tersebut. Mir sibuk memperkenalkan kembali Islam di Youngstown secara damai agar dapat diterima. Banyak sekali aktifitas interrelijius yang diadakan dan diikuti Mir, sebagai usaha nyata menyebarkan sikap damai dan bersahabat antar anggota masyarakat berbeda agama.45 Dari dua alasan di atas, kelahiran karya ini seperti sebuah keharusan, di mana masyarakat Muslim perlu memperkenalkan diri secara lebih ‚tepat‛ kepada masyarakat Youngstown khususnya dan masyarakat AS pada umumnya. Dalam pandangan penulis, selain karena penulisan 37 topik dalam karya tersebut dilakukan dalam bahasa yang sederhana, ‚bahasa mengena‛ lainnya adalah dengan jalan menjadikan Bibel sebagai sumber tafsir bagi karya tersebut. Meski
antologi. Maupun entri ensiklopedia. Selengkapnya, lihat daftar karya ilmiah Mir di bagian akhir bab I. 45 Biografi lengkap Mustansir Mir akan dibahas di Bab III.
15 terkesan oportunis dan apologetis, dengan cara merespon aktif keadaan sosial,46 setidaknya usaha Mir murni bertujuan untuk menggandeng masyarakat Barat (dalam hal ini AS) untuk bersinergi dengan Islam dan sama sekali tidak ditujukan untuk hal-hal yang mengarah kepada polemik kitab suci.
B.
Rumusan Masalah Dengan latar belakang masalah sebagaimana terurai, berikut rumusan
masalah penelitian ini. 1.
Bagaimana kerangka kerja kutipan terhadap Bibel sebagai salah satu sumber tafsir dalam studi tafsir al-Qur’an?
2.
Bagaimana aplikasi kutipan terhadap Bibel sebagai salah satu sumber tafsir al-Qur’an dalam karya Mustansir Mir berjudul Understanding The Islamic
Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dengan demikian, tujuan penelitian ini antara lain dalam rangka:
1.
Menelusuri digunakannya Bibel sebagai sumber tafsir dalam tradisi tafsir.
2.
Mendalami aplikasi dan kerangka kerja penggunaan Bibel sebagai salah satu sumber tafsir al-Qur’an dalam karya Mustansir Mir berjudul Understanding
The Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an.
46
Sesungguhnya, kemunculan tafsir adalah dalam rangka merespon problem sosial. Ini dapat dibuktikan dengan kemunculan tafsir-tafsir tematik di era Modern, pasca diperkenalkannya metode tafsir tematik oleh ‘Abd al-Hayy al-Farmawi.
16 Kegunaan penelitian ini antara lain: 1.
Memperkaya khazanah tentang perkembangan kajian studi tafsir al-Qur’an terkait penggunaan sumber Bibel sebagai salah satu sumber tafsir al-Qur’an.
2.
Memperkenalkan Mustansir Mir dan pemikirannya dalam diskursus studi tafsir al-Qur’an kontemporer kepada peminat studi tafsir di Indonesia, khususnya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D.
Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah usaha menempatkan sebuah penelitian dalam
jejaring ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini, kajian akan dibagi dalam 3 bagian besar, antara lain: a) digunakannya Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an; b) relasi al-Qur’an dengan teks-teks yang mengitarinya dan teks-teks dari masa yang lebih belakang; dan c) kajian atas pemikiran Mustansir Mir.
Pertama, kajian tentang relasi Bibel dan al-Qur’an, di mana Bibel dalam posisi sebagai sumber tafsir.471) Penelitian Walid A. Saleh berjudul In Defense of
The Bible: A Critical Edition and An Introduction to al-Biqa>’i>’s Bible Treatise.48 Buku ini merupakan usaha rekonstruksi naskah al-Aqwa>l karya al-Biqa>’i> yang dilakukan Saleh. Meski tidak terkait langsung dengan karya Naz}m al-Biqa>’i> yang mengutip Bibel sebagai sumber tafsir, Saleh banyak menghimpun informasi terkait al-Biqa>’i> sehingga dapat membantu memahami Naz}m dan menyusun
47
Kajian pustaka di bagian ini tidak menyertakan tafsir-tafsir yang teridentifikasi menggunakan Bibel sebagai sumber tafsir. Alasannya, ulasan atas karya-karya tersebut akan dibahas pada bab II bagian ketiga. 48 Walid A. Saleh, In Defense of The Bible: A Critical Edition…, 2008.
17 jejaring keilmuan al-Biqa>’i> dalam studi tafsir. Dari karya Saleh ini, diketahui al-
Aqwa>l lahir sebagai bentuk pembelaan al-Biqa>’i> atas gugatan pihak terhadap karya Naz}mnya, utamanya terkait kutipan Bibel yang dilakukan al-Biqa>’i>. Selain itu, Saleh juga menulis ulasan atas karya Naz}m dalam bentuk makalah ilmiah. a)
Sublime in its Style, Exquisite in its Tenderness: The Hebrew Bible Quotations in al-Biqā’ī’s Quran Commentary,49 makalah yang fokus membahas kutipan Hebrew Bible (PL) pada Naz}m. b) An Islamic Diatessaron: al-Biqa>’i>’s Harmony of Four Gospels,50 makalah yang fokus membahas kutipan The Gospels (PB) pada Naz}m. c) A Fifteenth-Century Muslim Hebraist: al-Biqa>’i> and His Defense
Using The Bible to Interpret The Qur’an,51 makalah yang membahas biografi akademik al-Biqa>’i> dan karya al-Aqwa>l. Makalah paling akhir ini sebenarnya adalah embrio di balik penulisan buku Saleh di atas. 2) Makalah ilmiah Dennis Halft OP berjudul Hebrew Bible Quotations in
Arabic Transcription in Safavid Iran of the 11th/17th Century: Sayyed Aḥmad ʿAlavī’s Persian Refutations of Christianity.52 Makalah ini berisi penelusuran di balik penolakan Sayyid Ahmad ‘Alawi atas Kristianitas. Halft menyimpulkan bahwa sumber-sumber Hebrew Bible yang diperoleh ‘Alawi bukan tergolong
49
Walid A. Saleh, ‚Sublime in Its Style, Exquisite in Its Tenderness: The Hebrew Bible Quotations in al-Biqa>’i>’s Qur’a>n Commentary‛ dalam Y. Tzvi Langermann dan Josef Stren,
Adaptations and Innovations: Studies on The Interaction between Jewish and Islamic Thought and Literature from the Middle Ages to The Late Twentieth Century, Dedicated to Professor Joel L. Kraemer (Paris-Louvain-Dudley, MA: Peeters, 2007), hlm. 331-347. 50
Walid A. Saleh, ‚An Islamic Diatessaron: al-Biqa>’i>’s Harmony of Four Gospels‛ dalam Sara Binay dan Stefan Leder, Translating The Bible into Arabic: Historical, Text-Critical, and Literary Aspects (Beirut: Orient-Institut Beirut, 2012), hlm. 87-115. 51 Walid A. Saleh, ‚A Fifteenth-Century Muslim Hebraist…, hlm. 629-654. 52 Dennis Halft OP, ‚Hebrew Bible Quotations in Arabic Transcription in Safavid Iran of the 11th/17th Century: Sayyed Aḥmad ʿAlavī’s Persian Refutations of Christianity‛ dalam Intellectual History of The Islamicate World, Vol. 1, 2013, hlm. 235-252.
18 sumber langsung, melainkan dari para sarjana Muslim Klasik yang, seperti telah disinggung di atas, dipenuhi paradigma polemik. Karenanya, Halft berkesimpulan bahwa ketika melakukan pembuktian kesalahan (refutatition) atas nilai-nilai Kristianitas, ‘Alawi tampak tidak menguasai bahasa Hebrew secara baik; ‘Alawi bukan seorang Hebraist (ahli linguistik Hebrew) sejati.53 3) Penelitian Jane Dammen McAuliffe berjudul Qur’anic Christian: An
Analysis of Classical and Modern Exegesis. Penelitian ini fokus pada penelusuran 7 pokok pembahasan terkait nilai-nilai Kristianitas yang terdapat pada karyakarya mufasir era Klasik hingga Modern. Keberhasilan McAuliffe mengupas 7 topik tematik tersebut seperti menemukan sisi-sisi lain dari para mufasir, yaitu bentuk penghargaan khusus mereka kepada penganut Kristen (commendation of
Christians) dari tinjauan teologis.54 Ini artinya, ada benih-benih simpatik yang besar dalam tradisi tafsir, dalam bentuk komunikasi interrelijius yang apresiatif, baik itu di era Klasik, Pertengahan, maupun Modern. 4) Penelitian Waryono Abdul Ghafur berjudul Kristologi Islam: Telaah Kritis Kitab al-Radd al-Jami>l Karya al-Ghazali. Penelitian ini mengupas karya alGhazali berjudul al-Radd al-Jami>l li Ila>hiiyati ‘I>sa> bi S}ari>h} al-Inji>l dan fokus pada pemaparan sosok Isa menurut al-Ghazali.55 Dengan mengutip Bibel, al-Ghazali bermaksud menjelaskan siapa Isa sesungguhnya, yang berbeda dari cara pandang
53 54
Ibid., hlm. 235 dan 244.
Jane Dammen McAuliffe, Qur’anic Christian: An Analysis of Classical and Modern Exegesis (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). 55 Waryono Abdul Ghafur, Kristologi Islam: Telaah Kritis…
19 umumnya penganut Kristen.56 Dalam menjelaskan sosok Isa, al-Ghazali banyak menampilkan sisi kemanusiaan Isa.57 Efek dari usaha penelusuran sosok Isa dalam Bibel adalah bahwa al-Ghazali seperti sedang menggulirkan sikap-sikap polemik kepada umat Kristiani, meski tidak demikian adanya. 5) Penelitian Husni Fithriyawan berjudul ‚Injil dalam Kitab Tafsir alQur’an Modern (Studi Komparatif Kitab Tafsir al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-
Kari>m karya T}ant}a>wi> Jauhari> dan Tafsi>r Al-Mana>r Karya Muhammad Rasyi>d Rid}a>).58 Penilitian ini mengulas dijadikannya Injil-Injil Kanonik dan Injil Barnabas sebagai sumber tafsir oleh T}ant}a>wi> dan Rid}a>. Sementara T}ant}a>wi> hanya mengutip Barnabas dan mengakuinya sebagai satu-satunya Injil yang paling mendekati kebenaran (al-haqq), Rid}a> mengutip keempat Injil Kanonik dan Injil Barnabas sekaligus. Pada penelitian tersebut, menarik dicermati bahwa aspek orisinalitas dan otoritas, yaitu status ‚canonical‛ pada Injil-Injil Kanonik dan pernyataan aqrab ila> al-haqq pada Injil Barnabas, masih menjadi titik tolak utama T}ant}a>wi dan Rid}a dalam mengutip Bibel. Artinya, kedua mufasir tersebut masih mempertimbangkan aspek ‚otentisitas‛ sebagai hal penting, meskipun faktanya justru berlawanan. Seperti telah dibahas, Injil Barnabas dipertanyakan otentisitasnya dari sisi historis, karenanya ditolak oleh sarjana Kristen.59
Kedua, relasi al-Qur’an dengan tradisi yang lebih belakang di mana Bibel (juga tradisi Kristen dan Yahudi) dianggap mempengaruhi ayat-ayat al-Qur’an. 56
Ibid., hlm. 128-129. Untuk mengetahui karya al-Radd al-Jami>l Li Ila>hiiyati ‘I>sa> bi S}ari>h} al-Inji>l, dapat diunduh di laman website berikut ini: www.ghazali.org/books/jamil.pdf 57 Ibid., hlm. 159-161. 58 Husni Fithriyawan, Injil dalam Kitab Tafsir al-Qur’an Modern ..., 2008. 59 Iskandar Jadeed, ‚Suatu Kesaksian Palsu…
20 1) Penelitian Christoph Luxenberg berjudul The Syro-Aramaic Reading of The
Koran: A Contribution to The Decoding of The Language of The Koran. Karya ini menelusuri pengaruh bahasa Syriac (Syro-Aramaic)60 terhadap al-Qur’an. Bahasa paling penting abad 7 M tersebut (bertepatan dengan masa al-Qur’an diturunkan) digunakan secara masif sebagai bahasa komunikasi di gereja-gereja. Dalam membuktikan keterpengaruhan al-Qur’an oleh bahasa Syriac, Luxenberg memberi banyak contoh kosa kata dalam al-Qur’an yang akar katanya berasal dari bahasa Syriac.61 2) Karya Gabriel Said Reynolds berjudul The Qur’an and Its Biblical
Subtext. Karya ini melacak keterpengaruhan al-Qur’an oleh teks Biblis (teks-teks bernuansa Bibel, utamanya versi oral) yang tersebar di Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Reynolds melacak keterpengaruhan tersebut pada 5 karya tafsir paling masyhur dalam 13 topik khusus.62 3) Senafas dengan penelitian Reynolds adalah Simposium Mingana edisi ketujuh berjudul ‚The Qur’an and Arab Christianity‛ yang digelar oleh The Alphonse Mingana Manuscript Collection, di Universitas Birmingham, pada 1720 September 2013. Robert Hoyland, salah satu pemateri simposium tersebut meneliti literatur Arab Kristen pra-Islam yang didasarkan pada prasasti martir
60
Syriac adalah kependekan dari Syro-Aramaic. Cabang dari bahasa Aramaic ini banyak digunakan oleh penduduk yang tinggal di Barat Daya Mesopotamia (mencakup wilayah Syria, Lebanon, dan bagian Selatan Turki masa modern). Bahasa ini cukup dominan di kawasan Timur Tengah dan seringkali difungsikan untuk penyebaran Agama Kristen. Hampir 10 abad digunakan di kawasan Timur Tengah, sejak abad 7 M, posisinya digantikan oleh bahasa Arab. Christoph Luxenberg, The Syro-Aramaic Reading of The Koran: A Contribution to The Decoding of The Language of The Koran (Berlin: Verlag Hans Schiler, 2007), hlm. 9. 61 Untuk lasan lebih lengkap, baca karya Christoph Luxenberg dalam Ibid. 62 Lebih lanjut, baca Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical Subtext...
21 (martyrion, pasukan perang) tertanggal 570 M, yang mana bertepatan dengan tahun kelahiran Muhammad dan lebih tua 40 tahun dari kenabian Muhammad dan kemunculan Islam. Berdasarkan pada fakta tersebut, Hoyland mengajukan sebuah hipotesis yaitu adanya kemungkinan al-Qur’an terpengaruh oleh dialek Arab Kristen atau Syria. Adapun 5 peneliti lainnya,63 dengan fokus hubungan antara Islam dan Kristen di masa pra-Islam, sepakat bahwa ada persoalan yang belum tuntas di balik textual formation of the Qur’an, apakah al-Qur’an benarbenar mandiri sebagai kitab suci atau berada di bawah pengaruh tradisi Kristen yang tersebar di Arab ketika itu.64
Ketiga, penelitian tentang karya Mustansir Mir. Tidak banyak penelitian yang membahas pemikiran Mir selain hanya beberapa ulasan singkat dalam jurnal-jurnal ilmiah. 1) Ulasan atas Understanding The Islamic Scripture: A
Study of Selected Passages from The Qur’an oleh Muzaffar Iqbal. Iqbal secara 63
Kelima peneliti lainnya, antara lain: a) Juan Pedro Monferrer-Sala, yang mencoba merekonstruksi kisah kaum Sodom yang dihancurkan di al-Qur’an dan mengkomparasikannya dengan penelitian arkeologis.; 2) Alba Fedeli, yang meneliti fragmen al-Qur’an koleksi museum Mingana, di mana ditemukan adanya penulisan ulang pada fragmen-fragmen tersebut dalam rangka mencocokkan diri (to conform to) dengan versi kanonik al-Qur’an yang hadir di masa yang lebih belakang.; 3) Kristina Szilagyi, menelusuri keruntuhan konsep corporealism (paham tentang kepemilikan tubuh, seperti juga antropomorfimisme dengan karakter kemanusiaan) yang melekat atau dilekatkan dalam diri Tuhan, padahal hal tersebut termasuk common sense dalam sejarah manusia. Szilagyi membandingkan term al-s}amad pada QS al-Ikhlas 112 dan gambaran ‚fisik‛ Tuhan QS al-Najm 53:7-10 (sebagai bentuk corporealism) dengang tradisi pengetahuan Kristen sekitar abad 8-10 M. Paham corporealism juga ditemukan di Kristen, namun dikritik habis oleh penganut Kristen. Szilagyi berkesimpulan bahwa penlakan Kristen atas corporealism berpengaruh terhadap tradisi Islam untuk menolak hal tersebut.; 4) Berbeda dari grand theme keterpengaruhan al-Qur’an oleh kitab suci sebelumnya, Thomas Hoffman menawarkan cara baca baru bahwa al-Qur’an hendaknya tidak dipahami sebagai dokumen yang mengumpulkan informasi dari beragam sumber, melainkan dokumen ‚tunggal‛ yang berisi beragam hal dan yang memperebutkan posisi dan pengaruh di tengah masyarakat.; 5) Gabriel Said Reynolds berusaha menghadirkan perdebatan mengenai pembentukan teks al-Qur’an (textual formation) yang masih berpotensi menghadirkan kejutan, dari pada menerima taken for granted naskah al-Qur’an versi Usman. Reynolds berusaha untuk tidak terburu-buru menyimpulkan proses pembentukan teks alQur’an secara final. Sumber: http://iqsaweb.wordpress.com/tag/seventh/-mingana-symposium-onarab-christianity-and-islam/ Diakses 1 Desember 2014. 64
Ibid.
22 kritis mempertanyakan metode terjemah Mir terhadap kosa kata tertentu alQur’an. Misalnya kata rahi>m (bermakna superlatif, most) yang diterjemahkan ‚very Merciful‛. Selain berbeda dari kalangan umum yang menerjemahkan kata
rahi>m dengan ‚the most Merciful‛, tinjauan gramatikal sederhana sekalipun menyepakati kata ‚most‛ lebih tepat digunakan dibandingkan dengan kata ‚very‛.65 Dari tinjuan konten, termasuk penggunaan Bibel sebagai sumber tafsir, Iqbal menolak klaim Mir bahwa karyanya ditujukan kepada ‚general english-
speaking readers‛. Menurut Iqbal, karya ini lebih tepat ditujukan bagi kalangan advanced students ditinjau dari bobot informasinya.66 Referensi Bibel yang digunakan Mir dalam melakukan tafsir menjadi sorotan utama Iqbal. Persinggungan antar kedua kitab suci tersebut, menurut Muzaffar, dapat membahayakan persoalan aqi>dah. Pasalnya, persoalan antariman juga terkait, ‚entire spectrum of fundamental beliefs about the nature of
revelation, the status of God’s Prophets, life, death, and the Hereafter.‛67 2) Ulasan atas buku Verbal Idioms of The Qur’an oleh Andrew Rippin. Karya berjenre kamus ini diperuntukkan bagi kalangan advanced students, karena fokus pembahasannya yang tergolong rumit; idiom (makna ungkapan) al-Qur’an. Model idiom dalam al-Qur’an, di dalam karya ini, di bagi ke dalam 5 jenis. a) Idiom yang bukan arti harfiahnya yang dikehendaki melainkan arti tersiratnya. b) Idiom berupa kata kerja yang diikuti preposisi yang berimplikasi pada lahirnya 65
Muzaffar Iqbal, ‚Book Review: Understanding the Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from the Qur’an, by Mustansir Mir‛ dalam Islam & Science, vol. 6, Summer 2008, no. 1, hlm. 61-62. 66 Ibid., hlm. 60. 67 Ibid., hlm. 65-67.
23 suatu makna baru. c) Idiom berupa kata kerja yang diikuti preposisi yang memiliki makna implikatif selain (tentunya) makna baru. d) Kata yang secara teknis bukanlah idiom karena dihilangkannya (omitted) beberapa kosa kata yang awalnya melekat, namun tetap memiliki makna layaknya frasa. Sebab, makna frasa yang dimaksud telah sepenuhnya melekat pada non-idiom word tersebut. e) Ekspresi idiom yang diragukan kepastian maknanya karena adanya kemungkinan makna lain yang dapat dihadirkan.68 Menurut Rippin, pembagian kategori idiom tersebut jelas membantu dalam memahami al-Qur’an, meski aplikasinya berpotensi problematikmengingat besarnya pengaruh pemikiran Farah}i> dan Is}la>h}i< di dalam diri Mir. Rippin meragukan apakah dua tokoh tersebut cukup mumpuni dalam menjawab beragam persoalan terkait interpretasi ayat-ayat al-Qur’an, meski hanya dari tinjauan kebahasaan.69 Keberatan ini beralasan mengingat Mir identik sebagai penerjemah utama pemikiran Farah}i> dan Is}la>h}i>, seperti tertuang dalam disertasinya.70 Keberatan Rippin ini perlu ditekankan mengingat banyak interpretasi ayat al-Qur’an menjadi ambigu manakala ditafsirkan hanya dari satu sudut pandang (dalam hal ini Mir dengan pengaruh pemikiran Farah}i> dan Is}la>h}i>). 3) Ulasan atas Iqbal: Makers of Islamic Civilization (2006) oleh Minlib Dallh. Karya ini memiliki kaitan dengan karya terdahulu Mir tentang Iqbal berjudul Tulip in The Desert (1990) yang memuat beberapa terjemahan-pilihan puisi Iqbal dari bahasa Urdu ke Inggris. Karya Iqbal hadir sebagai penganta
68
Andrew Rippin, ‚Book Review: Verbal Idioms of The Qur’an, by Mustansir Mir‛ dalam Journal of Near East Studies , vol. 54, no. 3, July 1995, hlm. 229-230. 69 Ibid. 70 Mustansir Mir, Thematic and Structural Coherence in The Qur’an: A Study of Is}lahi>’s Concept of Naz}m, University of Michigan, 1983.
24 singkat kepada pemikiran Iqbal. Ditujukan kepada new reader on Iqbal, buku ringkas ini fokus pada ulasan karya puisi dan prosa Iqbal.71 Dari sini diketahui bahwa Iqbal juga menyampaikan pemikiran reformasi pemahaman keagamaan dan filsafat dalam karya puisi dan prosanya. Artinya, dalam memperkenalkan kajian filsafatnya, Iqbal tidak selalu menempuh cara-cara akademik an sich. Selain itu, melalui karya sastra, diketahui bahwa sikap reformis Iqbal tidak terjadi setelah dirinya mengenyam pendidikan di Barat, melainkan jauh sebelum itu. Informasi ini diperoleh Mir dari kajian mendalam atas kandungan puisi dan prosa karya Iqbal. Dari semua karya sastra Iqbal, ditemukan pula pengaruh besar ayat-ayat al-Qur’an terhadap diri Iqbal.72 Dari beberapa penelitian di atas, tidak satupun memiliki kesamaan fokus pembahasan dengan penelitian ini; Bibel sebagai Sumber Tafsir al-Qur’an (Studi Pemikiran Mustansir Mir dalam Understanding The Islamic Scripture: A Study
of Selected Passages from The Qur’an). Semua penelitian terdahulu tersebut akan menjadi sumbangan bermanfaat bagi penelitian ini.
E.
Kerangka Teori Pada bagian latar belakang telah dikemukakan banyaknya sarjana Muslim
yang mengutip Bibel sebagai sumber informasi bagi karya-karya mereka. Yang menjadi pertanyaan adalah, ‚Bagaimana sesungguhnya relasi al-Qur’an dengan
71
Minlib Dallh, ‚Book Review: Iqbal: Makers of Islamic Civilization‛, dalam Religion
and Theology, Vol. 15, no. 2, 2008, hlm. 198-200. 72 Ibid.
25 Bibel?‛ Berikut ini adalah beberapa teori yang mengemukakan relasi al-Qur’an dengan kita-kitab lima> bayna yadaih.
Pertama, teori keterpengaruhan al-Qur’an oleh Bibel. Jospeh Benzion Witztum dalam disertasinya menguji kisah-kisah al-Qur’an dan menemukan keterpengaruhan sumber Yahudi dan Kristen di dalamnya. Kisah-kisah al-Qur’an tersebut, ternyata, adalah kisah yang juga disinggung dalam Hebrew Bible dan
New Testament namun diceritakan dalam versi berbeda, baik tokoh maupun detail ceritanya. Beberapa kalangan Yahudi dan Kristen menyebut, versi kisah alQur’an yang berbeda dianggap sebagai bentuk penyimpangan (deviate) yang dilakukan al-Qur’an.73 Apa yang ditengarai sebagai sumber Yahudi-Kristen, menurut Witztum, berhulu pada tradisi Syriac, secara khusus pada materi ritmisrelijius dalam al-Qur’an. Witztum berpijak pada fakta kemiripan al-Qur’an dengan diskursus keagamaan di Syria ketika itu (Syriac Homilies) ditinjau dari beberapa elemen tertentu, antara lain: a) elements of the plot, b) literary form, c)
diction, dan d) typological function.74 Witztum ingin menegaskan bahwa sekalipun general ideanya adalah keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi Bibel, namun ditekankan pada tradisi Syriac Tradition dan bukan tradisi lainnya. Gagasan Witztum didukung tesis Sidney Griffith tentang keberadaan
Arabic Bible di Arab abad 7 masehi. Ketika itu, Bibel Arab versi oral adalah 73
Witztum menguji 4 kisah al-Qur’an, antara lain: kisah Adam, kisah Qabil-Habil, kisah pembangunan Ka’bah oleh Ibrahim dan keseluruhan kisah Yusuf. Pemilihan empat kisah ini bukannya tanpa alasan. Pasalnya, keempat kisah yang dimaksud merupakan ‚penceritaan ulang‛ (atau setidaknya memiliki kesamaan) kisah dalam Hebrew Bible, yang mana juga diceritakan ulang dalam tradisi Kristen. Jospeh Benzion Witztum, The Syriac Milieu of The Qur’an: The Recasting of Biblical Narratives, disertasi Pricenton University, 2011, hlm. 1-4. 74 Ibid.
26 yang paling mungkin tersebar di tengah masyarakat. Meluasnya versi oral ini merupakan efek dari banyaknya interpretasi yang dilakukan terhadap Bibel.75 Adapun versi tulis, masih jarang ditemui bahkan di masa pra-Islam sekalipun. Jikapun ada, maka itu sangat terbatas, lantaran sifat sakral yang melekat kepadanya. Bibel biasanya tersimpan di gereja, sinagog, atau disimpan oleh para biarawan, rabbi, dan pemimpin komunitas tertentu yang memiliki otoritas untuk mengaksesnya secara langsung. Menurut Griffith, kemunculan Bibel Arab versi tulis justru didorong oleh keberadaan al-Qur’an versi tulis ketika itu, baik dalam bentuk sebagian maupun keseluruhannya. Ini dibuktikan dengan manuskrip
Hebrew Bible dan New Testament yang kesemuanya diperkirakan muncul dalam bentuk tulis pada pertengahan abad 8 M hingga 9 M.76 Adapuun perkiraan penulisannya dilakukan di luar Arab, yaitu di Palestina/Syria dan Mesopotamia.77 Kemunculan Bibel Arab versi tulis pasca abad 7 M semakin menemukan relevansinya ketika di hadapkan dengan hadis Nabi yang berbunyi,
75
Untuk Yahudi, bahasa Hebrew Bible ketika itu adalah Hebrew dan Aramaic, sementara New Testament menggunakan bahasa Greek dan Aramaic. Sidney H. Griffith, ‚When Did the Bible Become an Arabic Scripture?‛ dalam Intellectual History of the Islamicate World, vol 1, 2013, hlm. 9. 76 Ibid., hlm. 7-10. Untuk lebih jelas mengenai manuskrip-manuskrip yang dijadikan sumber oleh Griffith, rujuk Ibid, hlm. 17-21. Hebrew Bible versi Arab tulis, dari sumber-sumber internal Rabbanite dan Karaite. Rabbinite adalah sekte yang mempercayai hukum-hukum Talmud karangan para Rabbi Yahudi. Talmud sendiri disusun pasca runtuhnya Kuil Yerussalem pada tahun 70 masehi hingga ssekarang ini. Talmud, tak lain, adalah tafsir otoritatif di kalangan Yahudi. Namun, tak semua umat Yahudi mau menerima tafsir pada Rabbi Yahudi. Mereka yang menolak dikenal dengan sebutan Karaite. Sementara Karaite adalah sekte Yahudi yang hanya menerima Hebrew Scripture sebagai hukum resmi. Sekte ini menolak hukum aplikatif (Talmud) yang dirumuskan para Rabbi Yahudi. Kelompok ini muncul di Irak pada abad 8 M. Sumber: ‚Rabbinic Judaism‛ dan ‚Talmud and Midrash‛, dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Karaite‛ dalam Advanced English Dictionary, Princenton University. Atau, pada website http://wordnet.princenton.edu yang bisa diakses kapan saja. 77 Sidney H. Griffith, ‚When Did the Bible…, hlm. 16.
27 ‚…’an Abi> Hurairah qo>la: Ka>na ahl al-kita>b yaqra’u>n al-Taura>t bi al-
‘Ibra>niyyah wa yufassiru>naha> bi al-‘Arabiyyah li ahl al-Isla>m. Fa qo>la Rasu>lulla>h: La> tus}addiqu> ahl al-kita>b wa la> tukaz|z|ibu>hum, wa qu>lu> a>manna> billa>h wa ma> unzila ilaina>…‛78 Tesis keterpengaruhan al-Qur’an oleh teks-teks biblis juga dikemukakan Gabriel Said Reynolds dalam karyanya The Qur’an and Its Biblical Subtext.79 Reynolds melacak keterpengaruhan al-Qur’an dalam 5 tafsir masyhur di kalangan Muslim pada 13 tema al-Qur’an yang dijadikan sebagai sampel studi kasusnya.80 Reynolds berkesimpulan bahwa kelima mufasir tersebut merujuk pada tradisi teks Yahudi-Kristen yang mana difungsikan sebagai sumber penjelas yang detail atas tafsir mereka. Namun demikian, para mufasir secara aklamasi sepakat dalam keraguan untuk mengutip teks Biblis apabila terkait dengan hal-hal fundamental dalam Islam yang berpotensi mengusik keimanan mereka.81
78
Al-Bukhari, S}oh}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibnu Kas|i>r, 2002), hlm. 1099 dan 1816, hadis ke-4485 dan 7362. 79 13 tema tersebut adalah: 1) The Prostration of The Angels, 2) al-Syayt}a>n al-Raji>m, 3) Adam and Feathers, 4) Abraham and Gentile Monotheist, 5) The Laughter of Abraham’s Wife, 6) Haman and The Tower to Heaven, 7) The Transformation of Jews, 8) Jonah and His People, 9) The Nativity of Mary, 10) ‚Our Hearts are Uncircumcised‛, 11) ‚Do Not Think Those Who Were Killed in The Path of God Dead‛, 12) The Companions of The Cave, dan 13) Muhammad. 80 5 karya yang dimaksud adalah karya tafsir Muqa>til ibn Sulayma>n (wafat 150/767), Abu> al-Hasan Ibra>hi>m al-Qummi> (wafat setelah 307/919), Abu> Ja’far Muhammad Ibn Jari>r alT}abari> (224/839-310/923), Muhammad al-Zamakhsyari> (wafat 538/1144), dan Ibn Kas|i>r (wafat 774/1373). Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical…, hlm. 27-29. 81 Ibid., hlm. 219. Sebagai contoh, para mufasir secara aklamasi memunculkan nama Sarah sebagai istri Ibrahim. Informasi ini didapatkan dari Kejadian 11: 29-31, 12:4-15, atau 16: 1-9. Sebaliknya, para mufasir ragu mengatakan bahwa Adam diciptakan sesuai ‚gambaran Tuhan‛ ( image of God) sebagaimana keterangan Kejadian 1: 27. Ibid. Menurut Reynolds, hal-hal terkait antropomorfisme (karakter manusia) dalam diri Tuhan juga sangat dihindari para mufasir. Alasannya jelas, tajsim (perwujudan secara fisik) atas Tuhan sangat ditentang dalam tradisi Islam. Berbeda dari peneliti Barat umumnya yang meneliti
28 Asumsi umum ‚sesuatu dari luar yang masuk ke dalam al-Qur’an‛, baik itu berupa Bibel ataupun Syi’r Ja>hiliy, menurut Reynolds, harus ditelaah secara cermat. Ini penting mengingat apa yang mempengaruhi al-Qur’an, di balik ayatayatnya yang mirip dengan informasi Bibel, tak lain terjadi karena persinggungan al-Qur’an dengan Bibel yang alamiah. Hal ini dapat dilihat dari cara al-Qur’an menjelaskan suatu kisah legenda, namun dalam bentuk kiasan, perumpamaan, atau sindiran, yang kesemuanya serba tidak kaku dan literal.82 Pendapat Reynold ini menegaskan tesis Griffith tentang keberadaan Bibel Arab versi oral. Meski merasa yakin akan hipotesa terkait pengaruh Bibel terhadap alQur’an, Griffith tidak gegabah dengan pendapatnya sambil memberi saran untuk menelaah teks al-Qur’an secara langsung untuk mengetahui ‚apa yang terjadi‛ di balik sejarah pembentukan teks al-Qur’an (textual formation of the Qur’an). ‚The Qur’an itself furnishes the best documentary evidence for this answer,‛ demikian tutur Griffith.83 Mun’im Sirry juga menyarankan hal serupa. Namun, hal ini perlu dilakukan secara cermat dan kritis. Melalui pemahaman cermat dan kritis terhadap al-Qur’an, seorang peneliti, menurut Sirry, dapat menyingkap banyak hal terkait kesejarahan al-Qur’an yang hingga kini masih spekulatif. Apa yang kita dapatkan dari al-Qur’an, tegas Sirry, akan melebihi apa yang kita dapatkan dari keterangan kitab-kitab Si>rah Nabawiy paling otoritas sekalipun.84
langsung pengaruh Bibel pada teks al-Qur’an, yang barangkali spekulatif dan antagonis, Reynolds memilih untuk membuktikan hal itu melalui tradisi tafsir al-Qur’an. Ibid., hlm. 27-29, 36, dan 44. 82 Ibid., hlm. 36. 83 Sidney H. Griffith, ‚When Did the Bible…, hlm. hlm. 9. 84 Sirah Nabawi adalah konstruksi sejarah belakangan. Menurut Sirry, bukan tidak mungkin Sirah Nabawi merupakan akal-akalan sejarawan Muslim awal. Tawaran Sirry adalah menelaah al-Qur’an secara langsung. Tentu telaah yang dimaksud bukan telaah harfiah tanpa
29
Kedua, teori keterpengaruhan Islam oleh gerakan keagamaan H}ani>fiyyah dan aktivitas sosial suku-suku di kawasan Arab. Khali>l ‘Abd al-Kari>m, seorang sejarawan Arab menyebutkan bahwa kemunculan Islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh suku-suku Arab dan gerakan keagamaan H}ani>fiyyah Ibrahim yang tersebar di kawasan Arab. Ketika itu, terdapat gerakan H}ani>fiyyah di 3 kawasan besar Arab. Di Yas|rib, gerakan keagamaan ini dipopulerkan oleh Abu> ‘A>mir alRa>hib. Adapun di T}ai> f, dipopulerkan oleh seorang penyair dan bangsawan suku S|aqi>f bernama Umayyah Ibn Abi> al-S}alt. Sementara di Makkah, salah satu kawasan paling ramai, dipopulerkan oleh beberapa kalangan, antara lain Zayd Ibn ‘Amr Ibn Nufayl (paman ‘Umar Ibn al-Khatta>b), Waraqah Ibn Naufal (sepupu Khadi>jah istri Nabi), ‘Abdulla>h Ibn Jah}sy, dan Ka’b Ibn Luayy Ibn Gha>lib.85
H}ani>fiyyah (juga tradisi lokal Arab) mewariskan banyak aturan-aturan keagamaan dan sosial yang sebagian besar di antaranya diadopsi oleh Islam.86
sikap kritis. Sumber: Mun’im Sirry, Diskusi Publik dengan tema ‚Tafsir Reformis: Jalan Baru Menuju Dialog Antar Iman‛, 25 Juni 2014, di Pendopo Hijau LKiS, Yogyakarta. 85 Khali>l ‘Abd al-Kari>m, al-Judu>r al-Ta>ri>khiyyah…, hlm. 24. 86 Kari>m mencatat adanya 5 kelompok-ritus yang diwarisi Islam, baik dari suku-suku Arab secara umum maupun gerakan keagamaan H}ani>fiyyah secara khusus. Pertama, ritus peribadatan. Ritus peribadatan yang diwarisi dari suku-suku di Arab antara lain: pengagungan Ka’bah dan tanah suci, aktivitas Haji dan Umrah, sakralisasi bulan Ramad}a>n dan bulan-bulan Hara>m, penghormatan terhadap Ibrahim dan Ismail, dan pertemuan umum pada hari Jum’at. Adapun ritus yang diwarisi dari H}ani>fiyyah meliputi: kebiasaan beri’tikaf di gua Hira sebagai ritual beribadah, pemotongan tangan terhadap pelaku pencurian, larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan, penolakan menyembah berhala, dan pengharaman terhadap penyembelihan binatang sebagai persembahan untuk berhala, Riba, meminum arak, dan perzihanan. Kedua, Ritus sosial yang meliputi: penggunaan mantera, pemeliharaan unta, poligami, pembedaan Arab dan ‘Ajam, pembedaan Arab urban dan Badui, pandangan terhadap pertanian, asal muasal pungutan al-‘usyr (sepersepuluh), tradisi pengawalan kelompok ( al-istija>rah, bagi orang-orang lemah, dan al-jiwa>r, bagi kelompok kuat yang memiliki banyak musuh), penghormatan terhadap nasab, dan perbudakan. Ketiga, ritus hukuman yang meliputi al-‘a>qilah (denda yang dibebankan bagi suatu suku atas tindakan pembunuhan yang dilakukan anggota sukunya) dan al-qasa>mah (sumpah 50 orang untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan pembunuhan terhadap salah seseorang, jika menolak melakukan al-qasa>mah maka pihak tertuduh akan dieksekusi, adapun jika terbukti, maka kepadanya dibebankan denda 100 unta).
30 Teori ini berimplikasi pada ketiadaan sifat istimewa dari dakwah yang dilakukan Nabi selain melakukan modifikasi atas aturan sosial dan keagamaan yang telah ada. Mengutip pendapat sejarawan Prancis Gustav Lobon, Kari>m menyatakan bahwa di balik kesempurnaan hukum-hukum Islam (jika memang tepat disebut demikian), hal tersebut sulit dipisahkan dari keberadaan tradisi peradaban yang cemerlang dan mapan di masa lalu dan dalam kurun waktu yang panjang.87 Serupa kajian yang dilakukan Kari>m adalah studi Al Makin, secara khusus terhadap historisitas Islam awal. Karya disertasinya (yang kemudian dibukukan) berjudul Representing The Enemy: Musaylima in Muslim Literature mengurai bukti-bukti yang memvalidasi adanya gerakan-gerakan keagamaan yang serupa dakwah Nabi di Makkah dan Madinah. Menurut Al Makin, ‚There was more than
one Qur’a>n, one masjid, one prophet, one Arab monotheistic movement; indeed, certain vital terms employed by Muslims did not originally belong to them exclusively.‛88 Menariknya, sumber rujukan Al Makin adalah rujukan utama di kalangan internal Islam, antara lain: kitab si>rah, magha>zi>, ta>ri>kh, t}abaqa>t, asba>b
al-nuzu>l, tafsi>r, i’ja>z al-Qur’a>n, dala>il al-nubuwwah, dan rija>l al-Hadi>s|.89
Keempat, ritus peperangan meliputi: konsep seperlima bagian rampasan perang, al-salb (pengambilan semua harta pihak yang kalah perang oleh pemenang perang), dan al-s}afiy (bagian harta yang diperuntukkan bagi pemimpin pemenang perang, sementara sisanya dibagikan kepada para prajuritnya). Kelima, ritus politik yang meliputi khila>fah dan syu>ra. Ibid., hlm. 17-98. 87 Ibid., hlm. 100-101. Lihat juga dalam pendahuluan buku Kari>m mengatakan bahwa alQur’an dan Islam memodifikasi aturan-aturan masyarakat Arab dan membuang sebagian lainnya sebelum benar-benar diadopsi oleh Islam. Ibid., hlm. 13-14. Barangkali, adopsi-koreksi inilah yang menjadi ‚primadona‛ bagi sebagian kalangan Arab ketika itu, khususnya bagi mereka yang mendapatkan keuntungan dari aturan-aturan baru Islam, terutama mereka yang termarjinalkan secara sosial. Fakta sejarah inilah yang, menurut sebagian peneliti, membuat Islam mampu bertahan dan menjadi pemenang di kawasan Arab. 88 Al Makin, Representing The Enemy: Musaylima in Muslim Literature (Frankfurt: Peterlang, 2010), hlm. 263. 89 Ibid., hlm. 3.
31 Di Yamamah, gerakan kenabian dilakukan oleh Musaylimah Ibn H}abi>b, pemuka agama dari suku H}ani>fah. Sementara di Yaman dilakukan oleh T}ulayh}ah al-Aswad.90 Ada 2 versi penanggalan soal kapan kenabian Musaylimah dan alAswad dideklarasikan. Sebagian besar sejarawan mengatakan hal tersebut terjadi masa akhir kenabian Muhammad, yaitu di saat Nabi selesai melaksanakan ibadah haji; ketika itu Nabi mengalami sakit yang cukup parah dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Musaylimah dan al-Aswad mengambil momentum Nabi sakit dengan mendeklarasikan diri sebagai nabi di wilayahnya masing-masing. Sebagian lainnya mengatakan bahwa Musaylimah memproklamirkan diri sebagai nabi sebelum Nabi melakukan Hijrah ke Madinah. Pendapat lain mengatakan bahwa Musaylimah mengaku nabi bahkan di saat ayahanda Nabi, Abdullah, belum lahir. Pendapat ‚mengejutkan‛ lainnya mengatakan bahwa justru Nabi Muhammad lah yang meniru kenabian Musaylimah. Hal ini didasarkan pada tesis kenabian Musaylimah yang terjadi sebelum ayahanda Nabi lahir dan Musaylimah ketika itu telah dijuluki al-Rah}ma>n. Tuduhan Nabi meniru kenabian Musaylimah adalah ketika lafadz basmalah yang dipopulerkan Nabi mengandung kata al-
Rah}ma>n, julukan yang dimiliki Musaylimah.91 Tesis kenabian Musaylimah yang terjadi sebelum Hijrah dan sebelum ayahanda Nabi lahir berimplikasi pada konfirmasi historis keberadaan dakwah Musaylimah. Dikatakan, Nabi ketika itu tidak merasa risau akan dakwah yang dilakukan Musaylimah, mengingat masyarakat Yamamah sendiri masih tidak 90
Selain Musaylimah dan T}ulayh}ah, menurut Al Makin, ditemukan pula nabi-nabi lain baik yang semasa dengan Nabi (contemporaray) maupun yang muncul pasca wafatnya NabiSelengkapnya, rujuk ibid., hlm. 150-156. 91 Ibid., hlm. 108-115.
32 satu suara soal kenabian Musaylimah: sebagian menerima dan sebagian lainnya menolak. Jika demikian, maka penyebutan al-kaz|z|a>b (the arch liar) oleh Nabi92 terhadap Musaylimah jelas jauh dari unsur-unsur politik sebagaimana pendapat umum di kalangan peneliti Muslim atau soal tiru-meniru kenabian sebagaimana telah disinggung. Al Makin menyatakan, ‚Neither Muh}ammad nor Musaylimah
imitated each other. Instead, each of two served as a prophet and leader to his own people.‛93 Jadi, di antara Nabi dan Musaylimah tidak benar-benar terjadi gesekan; masing-masing memiliki tugas kenabian sendiri-sendiri. Yang menjadi pertanyaan penting, karenanya, adalah bagaimana sesungguhnya masyarakat Arab memaknai kata ‚al-kiz|b‛ dan ‚al-kaz|z|a>b‛ ketika itu?94 Lalu, apa maksud Nabi melabeli al-kaz|z|a>b terhadap Musaylimah? Tidak diketahui pasti. Dari teori keterpengaruhan Islam oleh H}ani>fiyyah dan budaya lokal Arab, Kari>m dan Al Makin ingin mengatakan bahwa Islam ‚berhutang besar‛ pada budaya Arab yang memainkan peranan penting bagi perkembangan Islam. Selain mengafirmasi kritik teori keterpengaruhan Bibel terhadap Islam oleh Griffith dan beberapa sarjana lainnya, teori ini sekaligus mempertanyakan kalangan mufasir Muslim yang mengutip Bibel sebagai sumber bagi tafsir mereka. Pasalnya, Bibel tidak bisa dikatakan mempengaruhi al-Qur’an secara langsung mengingat adanya 92
Diketahui, Musaylimah mengaku nabi ketika menuliskan surat yang ditujukan kepada nabi. Berikut kutipan surat Musaylimah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad: ‚ Min
Musaylimah Rasu>l alla>h ila> Muh}ammad Rasu>l alla>h. Sala>m ‘alaik, amma> ba’d. Fa inni> qad usyriktu fi> al-amr ma’ak, wa inna lana> nis}f al-ard}, wa li quraysy nis}f al-ard}, wa la>kin quraysy qaum ya’tadu>n.‛ Ibid., hlm. 26 Berikut bunyi balasan surat dari Nabi, yang ditujukan untuk Musaylimah. Bimilla>h alRahma>n al-Rah}i>m. Min Muh}ammad al-Nabiy ila> Musaylimah al-Kaz|z|a>b: Amma> ba’d. Inna al-ard} yuri>s|uha> man yasya>’ min ‘iba>dih, wa al-‘a>qibatu li al-muttaqi>n. wa al-sala>m ‘ala> man ittaba’a alhuda>. Ibid., hlm. 73. 93 Ibid., hlm. 263. 94 Selengkapnya, Rujuk Ibid. hlm. 156-164.
33 tahapan yang harus dilalui untuk mencapai kesimpulan tersebut, yaitu pengaruh budaya lokal Arab yang mapan, sebagaimana disinggung Kari>m dan Al Makin. Lebih lanjut, Bibel, sebagai ‚kumpulan‛ kitab suci, bukanlah entitas mandiri mengingat adanya pengaruh budaya yang lebih tua yang mengitarinya.95 Jika demikian, maka apakah Bibel yang dirujuk para mufasir Muslim benar-benar sebuah kitab suci atau hanyalah karya sejarah yang oleh sebagian besar umat manusia (juga mufasir Muslim) sebagai kitab suci?96
F.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif berbasis kepustakaan. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Dokumentasi adalah pengumpulan dokumen dan karya tulis dalam bentuk tulisan (berupa buku dan makalah ilmiah) baik sifatnya primer maupun sekunder. Metode pengumpulan data lain yang digunakan adalah wawancara. Metode ini merupakan pertemuan dua orang dalam rangka bertukar informasi; informan memberi informasi kepada peneliti,97 dan dilakukan dengan korespondensi melalui surat elektronik (e-mail).
95
Rujuk, misalnya, karya Victor H. Matthews dan Don C. Benjamin, Old Testament Parallels: Law and Stories from The Ancient Near East, Fully Revised and Expanded Third Edition (New York: Paulist Press, 2006). Menurut kedua penulisnya, karya semacam ini sudah banyak ditulis di kalangan sarjana Barat. Ini cukup meyakinkan validitas tesis keterpengaruhan Bibel (dalam hal ini PL) oleh budaya yang lebih tua. 96 Statemen ini juga akan berimplikasi terhadap al-Qur’an. Jika benar al-Qur’an banyak mengadopsi budaya lokal Arab, bukankah ini berarti al-Qur’an juga ‚tak lebih‛ dari kitab sejarah sebagaimana Bibel? Menarik untuk diperbincangkan 97 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, cetakan ketujuh, 2009), hlm. 308-309 dan 319-330.
34 Berikut ini adalah dokumen primer dalam penelitian ini yang meliputi karya ilmiah Mustansir Mir dalam bentuk buku, makalah ilmiah jurnal, makalah ilmiah antologi, maupun makalah entri pada ensiklopedia.98 Adapun sumber sekunder meliputi: 1) karya para peneliti yang membahas karya-karya Mustansir Mir; 2) karya yang mengulas tentang digunakannya Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an; 3) karya tafsir yang mengutip Bibel; dan 4) sumber-sumber lain yang relevan. Dalam melakukan analisa data, penulis menggunakan metode deskriptifanalitis bersifat historis kritis. Maksud dari dari deskriptif-analitis adalah bahwa dokumen-dokumen yang diteliti, selain dipaparkan secara jelas, dilakukan analisa mendalam kepadanya. Sifat historis kritis dimaksudkan untuk mengkaji objek penelitian menggunakan paradigma kronologis dan cara pandang kritis. Cara baca historis-kronologis yang kritis tersebut memungkinkan penulis mengetahui objek yang diteliti secara mendalam, berkesinambungan, dan kritis-objektif.
G.
Sistematika Pembahasan Setiap penelitian memerlukan sistematika pembahasan terukur sehingga
menuntun penelitian kepada arah dan hasil yang diharapkan. Berikut adalah sistematika pembahasan penelitian ini. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri atas 7 subbab: 1) latar belakang, mendedah pentingnya kajian ini dilakukan; 2) rumusan masalah, berisi butir-butir
98
Selengkapnya, lihat karya-karya Mustansir Mir pada Daftar Pustaka.
35 pertanyaan yang ingin diteliti; 3) tujuan dan kegunaan penelitian, menjelaskan pentingnya kajian ini dan kemanfaatannya bagi kajian tafsir al-Qur’an; 4) kajian pustaka, berisi ulasan terhadap kajian terdahulu yang memiliki kaitan dengan penelitian ini; 5) kerangka teori, penjelasan teori-teori terkait penelitian ini yang secara khusus berfungsi sebagai titik pijak penelitian ini; 6) metode penelitian, berupa penjelasan jenis studi, data, metode, dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini; dan 7) sistematika pembahasan, gambaran umum struktur penelitian ini dari awal hingga akhir penelitian. Bab II mengulas pembicaraan Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an. Wacana ini akan dijabarkan ke dalam 3 subbab besar: 1) tinjauan ontologis Bibel, menelaah Bibel secara mendalam, baik dari sudut pandang Kristen maupun alQur’an, khususnya pada tinjauan ayat-ayat polemik yang dimuat al-Qur’an; 2) menjelaskan istilah-istilah kutipan bersumber dari luar Islam, seperti Isra>i>liyya>t,
al-Dakhi>l, Cross Reference, dan al-Naql min al-Kutub al-Qadi>mah; dan 3) ulasan beberapa karya tafsir yang menjadikan Bibel sebagai salah satu sumber tafsirnya. Bab III berisi pemaparan biografi Mustansir Mir yang terbagi ke dalam 3 subbab: 1) Aktifitas akademik Mustansir Mir; 2) Fokus studi al-Qur’an Mustansir Mir; dan 3) Paradigma Kajian al-Qu’an Mustansir Mir. Bab IV fokus pada menjawab rumusan masalah kedua peneilitian ini, yaitu pembahasan aplikasi kutipan Bibel dalam karya tafsir Mustansir Mir
Understanding The Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The
36
Qur’an. Namun demikian, akan dipaparkan terlebih dahulu ulasan singkat karya ini pada bagian awal bab. Bab V merupakan penutup yang berisi konklusi utama hasil penelitian. Disampaikan pula rekomendasi dan saran bagi penelitian lanjutan. Sehingga, selain dapat melengkapi kekurangan penelitian ini, dapat memperkuat kajian Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an di masa mendatang.
37
BAB II BIBEL SEBAGAI SUMBER PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Membicarakan Bibel dalam kedudukannya sebagai kitab suci, tidak akan pernah ada habisnya. Tinjauan dari sisi kesejarahan, otentisitas, tekstualitas, penafsiran terhadapnya, hingga resepsi teologis dan kulturalnya yang terkadang sangat pelik akan selalu menyertai Bibel. Kajian terhadap Bibel, karenanya, layak diberi perhatian, khususnya terkait digunakannya Bibel sebagai sumber tafsir alQur’an. Wacana Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an belum menjadi topik hangat kajian sarjana tafsir al-Qur’an kontemporer. Sebab paling mungkin adalah keberadaan istilah-istilah serupa yang lebih populer, seperti Isra>i>liyy>at atau al-
Dakhi>l, yang menghalangi dikenalnya wacana ini dalam studi tafsir. Pada bab ini, wacana Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an akan dibahas dalam 3 subbab besar. Bagian pertama mengulas pembicaraan terkait tinjauan ontologis Bibel. Bagian kedua membahas beberapa istilah-istilah sumber tafsir dari luar tradisi Islam. Bagian terakhir membahas beberapa kitab tafsir yang secara implisit dan eksplisit mengutip Bibel sebagai salah satu sumber tafsirnya.
A. Tinjauan Ontologis Bibel Tinjauan ontologis Bibel dalam sub-bab ini terbagi ke dalam 3 poin utama: 1) Relasi kesejarahan al-Qur’an dan Bibel; 2) Pengertian dasar Bibel; dan 3) Pandangan mufasir terhadap ayat-ayat polemik al-Qur’an. 37
38 1. Relasi Kesejarahan al-Qur’an dan Bibel Telah dikemukakan pada kerangka teori bahwa dalam perjalanan sejarah tekstualitasnya (the textual formation), al-Qur’an kemungkinan dipengaruhi 2 oleh tradisi: tradisi Bibel Arab oral (disinggung oleh Sidney Griffith) dan tradisi lokal Arab (diwacanakan oleh Khali>l ’Abd al-Kari>m). Berikut ini akan dipaparkan teori-teori terkait relasi kesejarahan antara alQur’an dan Bibel, juga relasi keduanya dengan teks-teks yang lebih tua. Pembicaraan mengenai relasi kesejarahan al-Qur’an berkaitan erat dengan keadaan di kawasan Arab pada abad 6-7 Masehi. Ketika itu, ada 2 imperium besar (Bizantium dan Persia) yang bersaing memperebutkan pengaruh. Arab memilih bersikap netral dan menghindar dari perpolitikan, dengan cara tidak bersekutu pada satu kekuatan tertentu. Langkah ini berkaitan pula dengan netralitas Arab dari pengaruh keagamaan kedua imperium tersebut: agama Yahudi di pihak Persia, meski bukan teologi mainstream; dan agama Kristen di pihak Bizantium, dengan Abyssinia (Etiopia) sebagai salah satu pendukung utamanya dari sisi keagamaan.1 Selain tradisi paganisme penyembahan berhala, masyarakat Arab dikenal memiliki sesembahan Tuhan Esa sebagaimana ajaran Yahudi dan Kristen; agama ini dikenal dengan H}ani>f. Netralitas Arab dari pemihakan politik di antara Bizantium dan Persia memberikan keuntungan tersendiri
1
Montgomery Watt, Muhammad’s Mecca: History in The Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988), hlm. 38. Rujuk karya Watt lainnya dalam Montgomery Watt, Bell’s Introduction, (Edinburgh: Edinburgh University Press, revised edition, 1990), hlm 1-3.
39 bagi Arab berupa kemandirian teologis. Wajar jika agama H}ani>f dapat berkembang pesat di Arab.2 Salah satu penikmat keuntungan kemandirian teologis Arab adalah Muhammad, di mana ketika mendakwahkan ajaran Islam tidak dirisaukan dengan kepungan teologi Yahudi dan Kristen yang telah menyebar luas seluas kekuasaan Bizantium dan Persia. Muhammad hanya harus menghadapi pertentangan dari masyarakat Arab sendiri, secara khusus adalah para pemuka agama Makkah yang menyerang ajaran Islam karena kepentingan bisnis dan ekonomi, bukan berdasarkan pada pertimbangan teologis. Fakta bahwa Muhammad menikmati keuntungan teologis tersebut dapat dilihat pada betapa mudahnya Islam diterima di Madinah, meski ketika itu Madinah dipenuhi oleh penganut Yahudi.3
2
Setidaknya, agama H}ani>f tersebar di 3 lokasi besar di Arab: Yas|rib (didakwahkan oleh Abu> ‘A>mir al-Ra>hib); T}a>if (didakwahkan oleh penyair dan bangsawan suku S|aqi>f bernama Umayyah Ibn Abi> al-S}alt); dan Makkah (didakwahkan oleh Zayd Ibn ‘Amr Ibn Nufayl, Waraqah Ibn Naufal, ‘Abdulla>h Ibn Jah}sy, dan Ka’b Ibn Luayy Ibn Gha>lib). Khali>l ‘Abd al-Kari>m, al-Judu>r al-Ta>ri>khiyyah…, hlm. 24. Selain itu, Al Makin mengisyaratkan adanya para pemuka agama H}ani>f lain yang turut dikenal di tengah masyarakat Arab. Al Makin menyebut mereka sebagai nabi-nabi, apakah kehadiran mereka sebelum diangkatnya Muhammad sebagai utusan Tuhan, di masa yang bersamaan, atau di masa sesudah wafatnya Muhammad. Para nabi tersebut, dalam tradisi Islam dikelompokkan sebagai pihak yang dianggap memalsukan kenabian Muhammad (disebut alkaz|z|a>b). Rujuk Al Makin, Representing The Enemy…, hlm, 146-158. Hubungan antara H}ani>f dan Islam, dalam ulasan Watt terhadap ayat-ayat al-Qur’an, tidak dapat dibuktikan secara tegas. Pasalnya, kata h}ani>f (berikut derivasinya) di dalam alQur’an sama sekali tidak mengandung makna pertautan teologis, namun memiliki banyak ragam makna. Selengkapnya, rujuk Montgomery Watt, Muhammad’s Mecca…, hlm. 37-38. Sementara itu, Khali>l ‘Abd al-Kari>m membuktikan bahwa tradisi agama H}ani>f banyak yang diwarisi Islam. Sebagian besar tradisi yang diteruskan tersebut dilabeli dengan penamaan baruyang sesuai dengan grand design Islam. Melalui imitasi tradisi agama H}ani>f inilah Islam melepaskan diri pengaruh Lokal Arab yang dalam beberapa hal dianggap menyimpang. Khali>l ‘Abd al-Kari>m, al-Judu>r al-Ta>ri>khiyyah…, hlm. 16. 3 Meski umat Yahudi di Madinah tergolong banyak. Bukannya mereka membentuk ‚kelompok Yahudi‛ tersendiri, mereka justru terkelompokkan dalam persukuan (clan) Arab. Artinya, persukuan Arab lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan pandangan keagamaan mereka (Yahudi). Rujuk Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: The Clarendon Press, 1956), hlm. 192-195.
40 Dari tinjauan kesejarahan di atas, dapat dikatakan bahwa pengaruh eksternal Yahudi dan Kristen bagi perkembangan Islam awal minim dan nyaris tidak ada sama sekali. Namun demikian, hipotesis ini agaknya perlu digugurkan ketika didapati fakta lain yang menginformasikan hal yang berlawanan, yaitu keterpengaruhan al-Qur’an dari tinjauan internal (tekstual al-Qur’an). Al-Qur’an, sebagai bukti tekstual paling otentik dari kesejarahan Islam awal, menurut Luxenberg, justru dipenuhi unsur-unsur dari luar Islam. Melalui kajian filologi mendalam dan dengan merujuk sumber-sumber sarjana Muslim klasik, Luxenberg melakukan falsifikasi masif terhadap konten al-Qur’an. Melalui pengujian kosa kata, konteks ayat, dan bahkan tematik surat, Luxenberg membuktikan bahwa konten al-Qur’an banyak dipengaruhi tradisi dan bahasa Syro-Aramaic (Syriac).4 Keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi dan bahasa Syriac, merujuk pendapat Yehuda D. Nevo dan Judith Koren, berkisar pada 2 hal berikut ini: a) penerjemahan bahasa Syriac ke bahasa Arab, lalu hasil terjemahan tersebut digunakan sebagai bahasa standar al-Qur’an; atau b) reformulasi ulang teks keagamaan Yahudi-Kristen berbahasa Syriac ke dalam bahasa Arab yang kelak berperan penting bagi sejarah formulasi teks al-Qur’an.5 Kemungkinan keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi Syriac, menurut Luxenberg, dapat dibuktikan melalui pembagian jenis teks al-Qur’an ke dalam muh}kama>t (precise dan well-known) dan mutasya>biha>t (similar).
4 5
Christoph Luxenberg, The Syro-Aramaic Reading of The Koran…, hlm. 70-325. Ibid., hlm. 326.
41 Dalam bahasa Syriac, muh}kama>t sepadan dengan h}atti>ta> (berarti well-
known), dan mutasya>biha>t sepadan dengan da>mya>ta> (berarti similar dan comparable). Makna well-known pada muh}kama>t, menurut Luxenberg, merujuk kepada canonical scripture (Bible) yang validitasnya meyakinkan (faithful) bagi para penganutnya. Adapun similar pada mutasya>biha>t merujuk kepada Bibel Apokrifa yang ‚hampir sama‛ (similar) kualitasnya dengan Bibel Kanonik. Enggan mengakui bahwa al-Qur’an bersumber dari Bibel dan tradisi-bahasa Syria, menurut Luxenberg, Muhammad melakukan pembelaan penting dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah lisa>n’arabiy mubi>n, bahwa al-Qur’an benar-benar berasal dari bahasa Arab (sebagaimana dalam QS al-Nahl 16:103 dan QS al-Syu’ara>’ 26:195).6 Melalui pernyataan ini, Muhammad bermaksud mengamankan premis paling dasar terkait otentisitas al-Qur’an, bahwa al-Qur’an sejak awal memang berbahasa Arab dan bukan berasal dari bahasa selain Arab. Selain melalui tinjauan teks, penelusuran keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi Bibel juga ditelusuri dalam karya-karya tafsir. Gabriel Said Reynolds dalam The Qur’an and Its Biblical Subtext berhasil menemukan keterpengaruhan tafsir oleh sumber-sumber Biblis.7 Pada kisah as}h}a>b al-
kahf, misalnya, para mufasir memberikan penjelasan yang merujuk kepada sumber-sumber Biblis. Unsur Biblis dalam kisah as}h}a>b al-kahf yang dimaksud adalah alasan mereka terjebak di dalam suatu gua, terkunci di 6 7
Ibid., hlm. 104-108.
Seperti telah dikemukakan di awal, Reynolds mengambil studi kasus pada 13 tema alQur’an, di mana tinjauannya terfokus pada 5 tafsir. Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical…, hlm. 27-29.
42 dalamnya, dan lalu tertidur selama ratusan tahun lamanya. Muqa>til, alQummi>, dan al-T}abari>, dalam kesimpulan Reynolds, memberi informasi bahwa alasan utama as}h}a>b al-kahf terjebak di gua adalah karena sengaja melarikan diri dari raja Decius yang memaksa mereka menyembah berhala. Dikatakan, as}h}a>b al-kahf adalah para penganut Isa yang taat; mereka mengimani ajaran Isa dan menegakkan ajaran Monoteisme (menyembah Tuhan Esa). Dikatakan pula, raja Decius mulai melakukan kebrutalan kepada mereka yang masih memegang teguh ajaran Isa. Keadaan ini tak memberi mereka pilihan selain melarikan diri. Adapun versi lain, bersumber dari al-T}abari> dan Ibn Isha>q}, dikatakan bahwa ketika Decius sedang menyiksa mereka yang enggan menyembah berhala, salah seorang dari as}h}a>b al-kahf melontarkan pernyataan bahwa mereka telah memiliki sesembahan Tuhan Esa dan enggan menyembah Tuhan selain Tuhan yang mereka imani, lebih-lebih terhadap berhala. Decius lantas membebebaskan mereka dan segera saja mereka mengasingkan diri ke sebuah gua. Suatu ketika bepergian dan melewati gua tersebut, Decius sengaja menutup gua tersebut dari luar sehingga mereka as}h}a>b al-kahf mustahil keluar dari gua dan akan mati kelaparan di dalamnya. Sementara al-Zamakhsyari> berpendapat kisah ini terjadi pada masa perkembangan agama Kristen, Ibn Kas|i>r justru berpendapat bahwa kisah ini terjadi jauh sebelum Kristen ada (yaitu di masa Yahudi). Sayangnya, Ibn Kas|i>r gagal
43 membuktikan hipotesisnya, lantaran masih mengasosiasikan kisah ini kepada raja Decius yang memerintah Romawi pada 249-251 M.8 Sejatinya, kisah as}h}a>b al-kahf yang tertidur selama ratusan tahun adalah folklor (cerita turun temurun dalam tradisi oral) Yunani, yang sulit dipastikan keberadaannya, baik waktu dan lokasinya. Dikatakan, folklor ini mengambil tempat di kota Ephesus, kawasan Turki bagian barat (Seljuk). Kota Ephesus sangat berkaitan dengan kisah dewi Artemis yang tugasnya melindungi Ephesus. Menurut versi lain, kisah ini berasal dari tradisi yang sumber asalnya berbahasa Syriac dan berkembang secara khusus di kalangan Gereja. Selain oleh Muhammad, kisah as}h}ab> al-kahf yang penuh muatan relijius juga pernah diajarkan oleh Pendeta Ephraem (306-376 M) dan Babai Agung (w. 628 M) kepada umat Kristen.9 Kisah ini dikenal dalam tradisi Arab melalui persebaran sumber-sumber oral para biarawan yang fasih berbahasa Syriac. Kemungkinan, dari sinilah kisah as}h}a>b al-kahf diadopsi menjadi salah satu kisah dalam al-Qur’an.10 Dimuatnya kisah as}h}a>b al-kahf oleh al-Qur’an adalah sebentuk apresiasi Islam terhadap kisah-kisah legenda. Selain apresiasi, ini adalah cara al-Qur’an mempersuasi sebagian umat Kristen yang menolak keras 8
Baik al-Zamakhsyari> maupun Ibn Kas|i>r mengkiaskan kisah as}h}a>b al-kahf dengan kisah pelarian diri Muhammad ke gua Hira karena menghindari kejaran kaum Pagan Makkah. Tentu saja ini bagian h}ikmah (dan ‘ibrah) dari suatu kisah dan jauh dari unsur-unsur kesejarahan yang dimaksud. Ibid., hlm. 174-176. 9 Sulit dipastikan siapa di antara Nabi Muhammad dan Babai Agung yang lebih dahulu mengajarkan kisah ini sebagai kisah bernilai relijius. Yang pasti, Pendeta Ephraem adalah pihak pertama yang memanfaatkan kisah dan diajarkan kepada umat Kristiani. 10 Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical…, hlm. 165-167 dan 179-182. Baca juga ‚Ephesus‛ dan ‚Seven Sleepers of Ephesus‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011.
44 konsep resurrection (kebangkitan setelah mati, misalnya pada Yehezkiel 37:3-10) dalam tradisi Kristen dengan berpijak pada Matius 9:24-25.11 Bagi kelompok ini, fakta as}h}a>b al-kahf tertidur selama ratusan tahun lebih masuk akal dari pada konsep resurrection. Cara al-Qur’an melakukan persuasi ini tergolong ‚politis‛. Pasalnya, Islam di saat bersamaan juga memiliki konsep resurrection, misalnya dalam QS al-Isra’ 17:49, QS alKahf 18:48, QS al-Anbiya’ 21:104, dll., yang bahkan bertentangan dengan muatan di balik kisah as}h}ab al-kahf tersebut.12 Terkonfirmasinya pengaruh Yahudi dan Kristen dalam sejarah tekstualitas al-Qur’an dan tradisi tafsir membuat al-Qur’an memiliki relasi yang sangat dekat dengan Bibel. Ini hampir pasti mengkonfirmasi pernyataan al-Qur’an bahwa dirinya adalah mus}addiq dan muhaimin atas Bibel (QS al-Maidah 5 :48), meskipun tidak demikian adanya. Relasi alQur’an dan Bibel tidak sesederhana seperti pada statemen harfiah alQur’an tersebut. Adanya kesamaan kisah al-Qur’an dan Bibel, menurut penulis, sangat mungkin terjadi dengan mempertimbangkan pendekatan
cultural memory (memori kultural) yang diperkenalkan Ronald Hendel. Pendekatan ini menawarkan 3 teori pembacaan dalam menganalisa kisahkisah legendaris seperti as}h}a>b al-kahf. Teori-teori tersebut antara lain: a) 11
Konsep Resurrection dapat dirujuk pada Yehezkiel 37:3-10. Di sana dijelaskan bahwa tulang belulang akan dihidupkan kembali oleh Tuhan dengan disematkan urat dan ditumbuhkan daging padanya. Setelah dibalut dengan kulit, diberikan nafas padanya, sehingga manusia yang mati hidup kembali. Di sisi lain, konsep ini juga ditentang oleh sumber lainnya. Dalam Matius 9:24-25 diceritakan bagaimana Isa yang berhasil menghidupkan kembali seorang anak yang telah mati mengatakan, ‚Anak ini tidak mati, tetapi tidur.‛ Padahal, jika ditelaah secara kritis, tidak mungkin anak tersebut ‚hanya‛ tertidur sementara semua orang mengkonfirmasi kematiannya. 12 Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical…, hlm. 182.
45
Social Frameworks (kerangka sosial), bahwa suatu kisah dilihat dari kacamata kerangka sosial; b) Mnemohistory (sejarah ingatan), bahwa suatu kisah ditelusuri melalui tinjauan kesejarahan-ingatan masyarakat yang geneologis; dan c) Poetics (kepuisian dan tekstual), dan bahwa investigasi terhadap suatu kisah harus dapat dibuktikan melalui penelusuran tekstual yang dapat dibuktikan validitasnya.13
Social Frameworks dan Mnemohistory akan condong kepada filterisasi sekaligus pembentukan memori kultural sebagai pengetahuan alam-bawah-sadar individu dan masyarakat. Memori kultural ini tidak mutlak dijadikan pedoman, namun akan dipilah kembali: apakah akan diingat kembali, dianggap tidak relevan, dan atau dilupakan sama sekali. Memori kultural cenderung dicari bagian-bagian yang relevan yang memiliki keterkaitan tertentu. Sifat memori ini sangat plural (memiliki banyak versi). Karena berkaitan dengan banyak individu dan kelompok, memori kultural rawan menimbulkan konflik. Hendel menyatakan bahwa, ‚Different groups may contest one another’s memories, producing what
we may call countermemories.‛ Akan selalu terjadi kontestasi dalam setiap memori kultural. Sebagai sebuah sumber, memori kultural
13
Ketiga teori tersebut, secara berurutan, terkait erat dengan keilmuan sosial, antara lain: Sosiologi, Sejarah, dan Literatur. Ronald Hendel, ‚Cultural Memory‛ dalam Ronald Hendel, ed., Reading Genesis (Cambridge : Cambridge University Press, 2010), hlm. 29-33.
46 menggunakan paradigma presentist, di mana menggunakan masa lalu untuk diterapkan pada masa kini.14 Pada kasus as}h}ab> al-kahf, al-Qur’an, menurut penulis, menggunakan paradigma presentist tersebut untuk mempola kisah sesuai keinginan. Tentu saja, hal ini diterapkan dengan mempertimbangkan kerangka sosial masyarakat Arab dan sejarah ingatan mereka tentang as}h}a>b al-kahf yang beredar di tengah-tengah mereka. Karenanya, ketika ditemukan perbedaan kisah as}h}a>b al-kahf antara versi Bibel dan al-Qur’an (jumlah pemuda dalam gua, alasan mereka terjebak di dalamnya, atau waktu-tempat kisah tersebut berasal), hal ini sama sekali tidak mengejutkan. Bahkan, perbedaan semacam ini menjadi sesuatu yang wajar adanya. Perbedaan versi kisah as}h}ab> al-kahf dalam al-Qur’an dan Bibel tercermin dalam narasi tekstual (baca: poetics) keduanya. Melalui pendekatan cultural memory, diketahui bahwa sebagian kisah klasik yang dimuat Bibel (secara khusus dalam PL) adalah bagian dari kesejarahan kuno di masa sebelumnya. Penulusuran terhadap PL oleh Victor H. Matthews dan Don C. Benjamin berhasil membuktikan adanya relasi kisah-kisah dalam PL dengan tradisi Timur Tengah Kuno (Ancient
Near East) yang lebih tua.15 Kisah-kisah Gilgamesh, yang bukti arkeologisnya ditemukan di Irak dalam bentuk tanah liat keras (clay 14
Memori kultural (ingatan kolektif), umumnya mewujud dalam 2 pola: dalam bentuk benda, misalnya patung atau bangunan bersejarah; dan dalam simbol, yang bersifat spiritual dan keilahian (superimpose reality) seperti ibadah Haji atau ziarah ke tanah Jerussalem. Ibid. 15 Victor H. Matthews dan Don C. Benjamin, Old Testament Parallels: Law and Stories from The Ancient Near East, Fully Revised and Expanded Third Edition (New York: Paulist Press, 2006).
47
tablet) berusia 2600-2300 SM, misalnya, sebagian narasi teksnya memiliki kesamaan isi dengan Bibel. Tokoh-tokoh dalam sejarah Mesopotamia
Kuno
periode
Sumeria
tersebut,
penggambarannya
diserupai oleh tokoh-tokoh dalam Bibel, antara lain: Enkidu dengan Adam, Utnapishtim dengan Nuh, dan Dilmun dengan surga Eden, dll.16 Dalam tradisi Mesir Kuno periode Old Kingdom (antara 2575-2134 SM) ditemukan pemujaan terhadap Atum, tuhan yang diyakini mengawal hidup masyarakat Mesir Kuno (dari lahir hingga mati), tanah mereka, dan raja mereka (Pharaohs). Teks tersebut tertulis pada kertas papirus dengan aksara Herioglif. Pemujaan terhadap Atum, salah satunya, dilakukan dengan jalan menyanyikan syair-syair tersebut. Menurut Matthews dan Benjamin, pemujaan terhadap Atum dalam tradisi Mesir Kuno diserupai oleh kisah penciptaan Surga dan Bumi dalam Kejadian 1:1-2:4.17 Kedua contoh kesamaan PL dengan teks-teks yang lebih tua cukup meyakinkan bagi pembuktian tesis keterpengaruhan Bibel (dalam hal ini PL) oleh tradisi dan budaya yang lebih tua. 2. Pengertian Dasar Bibel Bibel atau Alkitab adalah kitab suci umat Yahudi dan Kristiani.18 Bibel terdiri atas Perjanjian Lama (Hebrew Bible atau Old Testament)
16
Banyak juga narasi teks dalam Gilgamesh yang sama dengan Bibel, khususnya dalam kitab Kejadian. Selengkapnya, lihat Ibid., hlm. 21-32. 17 Selengkapnya, lihat Ibid., hlm. 7-9. 18 Terkait status kanonikal pada Bibel (terdiri atas Old Testament dan New Testament), Yahudi, Katolik, dan Kristen Protestan memiliki pandangan berbeda. Yahudi hanya menerima OT sebagai kitab suci dan menolak NT. Adapun Katolik dan Kristen Protestan, baik OT maupun
48 dan Perjanjian Baru (New Testament).19 Perjanjian Lama (PL) terdiri atas 39 kitab, sementara Perjanjian Baru (PB) terdiri atas 27 kitab.20 Keduanya bagian Bibel tersebut memiliki sejarah transmisinya masing-masing. Validitas PL dapat dirujuk kepada kumpulan manuskrip yang ditemukan di Laut Mati dalam bentuk gulungan (dikenal Dead Sea
Scrolls). Manuskrip-manuskrip tersebut kini disimpan di Perpustakaan NT dianggap suci. Perbedaan Katolik dan Protestan adalah sikap mereka terhadap karya Apokrifa. Katolik menerima Apokrifa (karena umumnya diintegrasikan dengan OT dalam cetakan Bibel mereka). Sementara Protestan menganggap Apokrifa kurang otoritatif dan dianggap lebih rendah otoritasnya dari OT dan NT. John Barton, The Bible: The Basics (London and New York: Routledge, 2010), hlm. 21-22. Karya Apokrifa adalah sekumpulan tulisan dalam tradisi Yahudi yang dianggap nonkanonik. Awal mula kemunculan karya Apokrifa adalah penerjemahan oleh sarjana Yahudi (sebelum tahun 90 Masehi) terhadap teks-teks Hebrew Bible ke dalam bahasa Yunani. Bahasa Yunani yang menjadi bahasa utama pada kawasan Mediterania menjadi alasan utamanya. Terjemahan yang dikenal dengan nama Septuagint tersebut ternyata dimaksudkan untuk mengakomodasi kaum Yahudi yang bermukim di Mesir yang kebanyakan telah mengenal bahasa Yunani. Selain teks Hebrew Bible, fragmen-fragmen Old Testament dalam bahasa Aramic juga ikut disertakan dalam dalam Septuagint tersebut. Inilah barangkali yang menjadi acuan beberapa sarjana Yahudi dalam Konsili Jamnia (pada tahun 90 Masehi) dalam memutuskan adanya muatan non-kanonik pada Septuagint tersebut, dengan menyandarkan pada Talmud, dan menyebutnya sebagai Sefarim Hezonim (karya-karya yang tidak berkaitan, Extraneous Books). Pada perjalanannya, sikap Yahudi dan Kristen terhadap kitab-kitab Apokrifa beragam. Ada kitab-kitab yang diterima dan yang ditolak. Di atas semua itu, fakta penting dari kitab-kitab Apokrifa tersebut adalah bahwa meskipun secara umum tidak diimani secara teologis oleh Yahudi dan Kristen, harus diakui bahwa banyak dari sarjana Yahudi dan Kristen yang masih melakukan penelitian terhadap karya-karya Apokrifa. Untuk keterangan lebih jauh, termasuk apa saja karya-karya yang termasuk dalam Apokrifa, rujuk pada ‚Apocrypha‛, ‚Biblical Literature‛, dan ‚Septuagint‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). 19 Terkait penyebutan ‚Old Testament‛ dan ‚New Testament‛, Melito (wafat 190 M) adalah orang pertama yang menyebutnya demikian. Disematkannya ‚ old‛ dan ‚new‛ adalah semata-mata membuat kontras dan tanda di antara kedua bagian dalam Bibel. Adapun kata ‚testament‛, ini semata bentuk Latin dari istilah ‚covenant‛ yang lebih dahulu populer. John Barton, The Bible…, hlm. 22. 20 PL sendiri memiliki beragam versi. Versi Protestan (yang digunakan dalam penelitian ini) terdiri atas 39 kitab. Sementara versi Katolik terbagi atas 46 kitab. Versi Gereja Ortodoks Timur terdiri atas 51 kitab. Adapun versi Yahudi (dengan sebutan Hebrew Bible) hanya 24 kitab. Keempat versi PL sepakat dengan pembagian konten PL ke dalam 5 bagian: 1) Pentateuch, 5 Kitab Musa, yang dianggap sebagai Taurat; 2) Kitab-Kitab Sejarah; 3) Kitab-Kitab Nasehat (wisdom books); 4) Nabi Besar (Major Prophets); dan 5) 12 Nabi kecil (Twelve Minor Prophets). PB terbagi atas 5 bagian juga: 1) Injil Kanonik; 2) Sejarah Para Rasul; 3) Surat-Surat Paulus; 4) Surat-Surat Lain; dan 5) Kitab Wahyu. Pembagian ini juga disepakati kelompokkelompok dalam Kristen, antara lain: Protestan, Katolik Roma, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Kerasulan Armenia, Gereja Ortodoks Koptik, Gereja Ortodoks Tewahedo, dan Kristen Syria.
49 Qumran, Israel. Manuskrip yang diyakini berasal dari tahun-tahun akhir SM ini memiliki kecocokan dan kedekatan dengan Kodeks Leningard berbahasa Ibrani. Kodeks Leningard sendiri adalah manuskrip terlengkap PL tertanggal abad 10 M yang dijadikan pijakan utama PL yang dicetak dan disebarluaskan di era modern.21 Temuan arkeologis di atas memang meyakinkan semua kalangan. Namun, penelusuran atas PL tetap berlanjut dengan motode beragam. Salah satunya adalah melalui tinjauan unsur kebahasaan Ibrani di balik manuskrip-manuskrip tersebut. Sejarawan Lebanon Kamal Salibi, melalui metode Onomastika,22 mengatakan bahwa bahasa Ibrani (bahasa asli PL, bahasa pada 2 jenis manuskrip di atas) pernah mengalami ‚mati suri‛ selama hampir 10 abad lamanya, yaitu pada rentang abad 6-5 SM hingga abad 5-6 M. Pada sekitar abad 5-6 M, tutur Salibi, bahasa Ibrani mulai dipelajari kembali seiring dengan dimulainya pemberian vokal atas PL berbahasa Ibrani oleh kaum Masoret Palestina dan Babilonia. Perlu diketahui, bahasa Ibrani yang digunakan PL adalah bahasa yang hanya berbentuk konsonan-tanpa-vokal. Aktivitas pemberian vokal setidaknya berlangsung dari abad 5 hingga 10 M, bertepatan dengan masa kejayaan Islam dan persebaran al-Qur’an ke seluruh penjuru dunia.23 Dari ulasan Salibi, PL yang beredar sekarang ini dipandang rentan terjadi perubahan
21
John Barton, The Bible…, hlm. 26. Penyelidikan tentang asal-usul, bentuk, dan makna nama diri, terutama nama orang dan tempat. Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia. 23 Kamal Salibi, Mencari Asal Usul Kitab Suci, terj. Dono Indarto (Jakarta-Bogor: Litera AntarNusa, 1987), hlm. 28-29. 22
50 manakala aktivitas pemberian vokal di masa lalu tidak dilakukan dengan teliti dan menggunakan paradigma yang sesuai konteks zaman ketika itu. Stagnasi PL dari dipelajari selama 10 abad lamanya jelas menjadi beban terkait mempertahankan otentisitas PL. Hal ini jualah yang sekaligus memicu perdebatan perenial di kalangan sarjana-sarjana modern atas status otentisitas PL, apakah valid ataukah masih dipertanyakan. Salibi, melalui metode Onomastika, secara tegas mengambil kesimpulan bahwa PL ditulis bukan di kawasan Palestina, melainkan Arabia Barat. Argumentasi tentang asal-usul (origins) PL ini cukup meyakinkan. Pasalnya, Salibi mendasarkan argumentasinya pada kajian konten PL yang mana diikuti dengan penjelasan berbasis geografis. Misalnya, ayat-ayat yang menunjukkan suatu lokasi, oleh Salibi, dikaji secara mendalam dan dikomparasikan dengan fakta-fakta geografis.24 Pandangan Salibi bahwa PL berasal dari Arabia Barat sempat memicu kontroversi di dunia akademik, keagamaan, dan arkeologi. Menariknya, sejauh
pengamatan
penulis,
tesis
Salibi
secara
tidak
langsung
mengafirmasi tesis Griffith tentang keberadaan Arabic Bible dalam bentuk oral ketika al-Qur’an turun. Aspek keselarasan pandangan kedua peneliti tersebut terletak pada 2 fakta berikut ini. (1) Jika lokasi-lokasi yang dibicarakan dalam Bibel lebih dekat dengan Arabia Barat dari pada Palestina, maka keberadaan Bibel di tanah Arab seharusnya dominan. Faktanya, Arabic Bible ketika itu tersebar cukup luas, meski hanya 24
Ibid., hlm. 100-113.
51 berbentuk oral. (2) Meskipun hanya berbentuk oral, sulit ditemuinya naskah-naskah Arabic Bible di Arab ketika itu bukan karena kelangkaan data melainkan faktor otoritas kepemilikan naskah, di mana naskahnaskah Bibel hanya boleh dimiliki oleh kalangan tertentu saja.25 Karena itu, tesis Griffith soal peredaran bentuk oral Arabic Bible, selain tidak mengkonfirmasi kelangkaan ketersebaran Bibel di kawasan Arab, mengafirmasi kemungkinan Bibel muncul dari Arabia Barat. Adapun PB, mayoritas umat Kristiani menyepakatinya sebagai kanon sejak abad 4 M.26 Kodeks Sinaiticus, naskah yang memuat keseluruhan isi PB, kini tersimpan rapi di perpustakaan kota London. Seperti kebanyakan manuskrip lama yang dikaji kembali sejarawan modern, sebuah manuskrip, tak terkecuali PB, ternyata juga mendapatkan ‚sentuhan‛ perbaikan. Khusus pada PB, perbaikan atau usaha merapikan manuskrip dilakukan terhadap susunan (order) di dalamnya. Karenanya, tidak mengejutkan jika ditemukan perbedaan antara PB versi manuskrip dengan PB versi cetakan di era modern.27 Waryono Abdul Ghafur menjelaskan bahwa PB dapat ditelusuri jejaknya pada seorang Uskup bernama Irenius (lahir 130 M), yang dikenal sebagai pelopor pengumpulan catatan-catatan para rasul-rasul/murid25
Selengkapnya, baca Sidney H. Griffith, ‚When Did the Bible Become an Arabic Scripture?‛ dalam Intellectual History of the Islamicate World, vol 1, 2013. 26 Kanon adalah sekumpulan kitab suci yang diterima oleh para penganut dan dapat dipercaya validitasnya. Kanon yang berasal dari bahasa Yunani berarti ‚alat pengukur‛. Dari makna kanon ini dimaksudkan bahwa suatu kitab suci menjadi alat ukur untuk kehidupan dan doktrin suatu umat. Michael Keene, Kristianitas, terj. F.A. Soeprapto (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 36. 27 John Barton, The Bible…, hlm. 25-27.
52 murid Isa (khususnya surat-surat Paulus) yang sekarang dikenal dengan PB. Pada mulanya PB adalah catatan rasul-rasul/ murid-murid Isa yang dikirimkan ke beberapa daerah Kristen. Waryono mencatat beberapa alasan di
balik
catatan-catatan para rasul-rasul/murid-murid
Isa
dikumpulkan kembali dan lalu dijadikan kanon (dikumpulkan menjadi buku), seperti sekarang ini.28 Proses kanonisasi tersebut nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan 3-4 abad lamanya (hingga sekitar abad 6 M) untuk sampai pada kesimpulan diakuinya 4 Injil sebagai Kanonik. Keempat Injil tersebut adalah: Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes.29 Di masa mendatang, pada abad 11 M, pihak Kristen mulai memisahkan diri dari bayang-bayang tradisi Yahudi dengan cara merumuskan sendiri ‚kitab suci‛ mereka, yaitu Perjanjian Baru.30 Dari tinjauan ontologis Bibel dan kesejarahannya, dapat diketahui bahwa otentisitas Bibel masih debatable. Namun, seperti kitab-kitab suci 28
Berikut ini adalah beberapa alasan yang dikemukakan Waryono: Gereja hanya mempunyai PL sebagai pedoman. Meskipun dianggap memiliki otoritas, Gereja merasa lebih nyaman jika mereka memiliki pegangan sendiri, tidak menggunakan PL yang lebih dekat dengan nilai keagamaan Yahudi; 2. Perselisihan di antara para pemuka jemaat di zaman rasul-rasul Isa; 3. Perselisihan dalam Gereja dan perselisihan akidah; 4. Adanya upaya mempersatukan beragam interpretasi tentang doktrin-doktrin yang seringkali diperselisihkan; dan 5. Adanya kekhawatiran dari pihak Gereja karena banyak meninggalnya perawi lisan di kalangan rasul-rasul Isa. Waryono Abdul Ghafur, Kristologi Islam: Telaah Kritis Kitab Rad al-Jami>l karya alGhazali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan 2, 2012), hlm. 83-85. 1.
29 30
Ibid.
Ada beberapa alasan di balik usaha pemisahan ini, antara lain: Perbedaan bahasa. Bahasa asli PB adalah Yunani, sedangkan PL berbahasa asli Ibrani atau Arami; 2. Perbedaan kultur. Kultur di balik PB adalah budaya Hellenis, sementara PL adalah Timur Tengah Kuno; 3. Perbedaan fokus pembicaraan. PB tidak terkait dengan sejarah suatu bangsa, sementara semua pembicaraan PL berkaitan dengan Yahudi. Ibid., hlm. 81-82. 1.
53 lainnya yang niscaya bergelut dengan unsur kesejarahan, Bibel tidak seharusnya dipandang ‚semata-mata‛ dari sisi historisitasnya; Bibel harus dipandang dari sisi relijiusnya pula. Kebenaran dan validitas suatu kitab suci, menurut penulis, tidak semata-mata berbasis validitas kesejarahan melainkan juga keyakinan di diri umatnya terhadap kitab suci tersebut. 3. Pandangan mufasir terhadap ayat-ayat polemik al-Qur’an Pandangan internal Islam beraliran progresif terkait Bibel ternyata sangat apresiatif dan menggembirakan. Menurut mereka, Bibel masih mungkin diterima sebagai kitab suci sekalipun al-Qur’an menilainya ‚telah dipalsukan‛ dan cacat dari sisi validitasnya dari tinjauan sejarah. Dalam QS al-Ma’idah 5:13, dikatakan bahwa sebagian Taurat memang telah dilupakan, yuh}arrifu>n al-kalima ‘an mawa>di’ihi> wa nasu> h}az}z}an
mimma> z|ukkiru> bihi>. Rid}a> mengatakan bahwa ayat tersebut dikuatkan pula oleh ayat-ayat dalam Ulangan 31:24-30 dan 32:44-46, yang mengindikasikan adanya potensi Bani Israel dalam melupakan Taurat. Dalam Ulangan tersebut, Musa berseru kepada umatnya:31 ‚Sedangkan sekarang, selagi aku hidup bersama-sama dengan kamu,
kamu sudah menunjukkan kedegilanmu terhadap Tuhan, terlebih lagi nanti sesudah aku mati.‛ (Ulangan 31:27) Taurat yang hilang, meskipun direstorasi oleh Ezra yang seorang ahli Taurat, Rid}a> meragukan kemampuan restorasi tersebut sehingga
31
156-158.
Muhammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947), vol. 3, hlm.
54 mencapai akurasi penuh. Selain itu, muncul pertanyaan, ‚Dari mana Ezra melakukan restorasi, sementara Taurat yang asli telah hilang terlebih dahulu?‛ Mengaku mendapatkan ilham yang sahih untuk kembali menuliskan isi Taurat, Ezra melakukan restorasi Taurat. Rid}a> menilai restorasi tersebut tetap dianggap sah sehingga otentisitas Taurat tetap diterima. Salah satu unsur yang membuat Rid}a> menerima restorasi Ezra adalah karena Ezra melakukan restorasinya dengan bantuan hafalannya, selain merujuk pada informasi kesejarahan yang ada. Pada zaman Musa, budaya tulis belum populer. Basis pengetahuan adalah hafalan. Maka, ditulisnya kembali Taurat oleh Ezra berdasarkan hafalan adalah langkah yang dapat dibenarkan.32 Taurat restorasi Ezra, menurut Rid}a>, ‚justru‛ selaras dengan informasi dari al-Qur’an. Pertama, al-Qur’an menginformasikan tentang
ahl al-kita>b yang diberikan kitab suci dengan kalimat u>tu> nas}i>ban min alkita>b (QS Ali Imran 3:23).33 Kedua, al-Qur’an menganggap para ahl alkita>b sengaja melupakan ‚sebagian‛ dari kitab suci mereka, dengan pernyataan ‚wa nasu> h}az}z}an mimma> z|ukkiru> bihi>,‛ (QS al-Maidah 5:13). Sekali lagi, al-Qur’an memunculkan term ‚sebagian‛ (haz}z}an) pada ayat tersebut. Berdasarkan clue yang ada, Rid}a> berkesimpulan terkait Taurat dengan pernyataan berikut ini,34
32 33
Ibid.
Yang perlu digarisbawahi adalah kata nas}i>ban di potongan ayat tersebut. Nas}i>ban berarti ‚sebagian‛. Apakah ini merupakan clue (petunjuk) bahwa al-Qur’an merujuk kepada hasil Taurat hasil restorasi Ezra? Tidak ada yang dapat memastikan. 34 Muhammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Mana>r…, Vol. 3, hlm., 145-158.
55
‚Wa bi ha>z|a>, yajma’ bayna al-a>ya>t al-wa>ridah fi> al-Taura>t wa bayna al-ma’qu>l wa al-ma’ru>f fi> ta>rikh al-qaum.‛ Adapun terhadap Injil, Rid}a> memiliki pandangan yang berbeda. Meski merujuk QS al-Maidah 5:13 tentang kaum Nasrani yang melupakan janji Tuhan, inna> nas}ar> a> akhaz|na> mi>s|aq> ahum fa nasu> h}az}z}an mimma>
z|ukkiru> bih, hal ini tidak cukup meyakinkan bagi Rid}a> menerima Injil (PB). Menurutnya, Injil versi PB (terdiri atas 4 Injil Kanonik) memiliki sejarah kepenulisan ‚ulang‛ yang berbeda jauh dari Taurat; Injil ditulis oleh beberapa penulis berbeda dan dalam rentang waktu yang berbeda pula untuk sampai pada kanonisasi di abad 4 M.35 Berbekal dari apa yang dikatakan al-Qur’an tentang dilupakannya Injil oleh kaum Nasrani dan kesejarahan di balik penulisan Bibel oleh para murid Isa, maka, menurut Rid}a>, siapapun akan mengetahui perbedaan Injil versi PB dengan Injil versi al-Qur’an; bahwa Injil PB bukanlah Injil yang ditas}di>q al-Qur’an.36 Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>, dalam tafsirnya al-Mi>za>n fi>
Tafsi>r al-Qur’a>n juga menyinggung status dua al-kutub al-muqaddasah 35 36
Ibid., hlm. 158-160
Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rid}a> menerima PL dengan catatan penting bahwa otentisitas PL tidak diterima mutlak. Penerimaan Rid}a> didasarkan pada kekuatan hafalan Ezra, di mana ketika itu, tradisi hafalan menjadi garda terdepan pengetahuan lantaran tradisi tulisan belum meluas. Terhadap PB, Rid}a> menolak mutlak dengan alasan bahwa penulisan PB oleh murid Isa dianggap ‚terlalu profan‛. Lebih dari itu, kanonisasi atas tulisan murid-murid Isa juga tidak mencerminkan otoritas agung, karena dilakukan oleh pihak Gereja melalui konsilikonsili yang diadakan. Penolakan Rid}a> atas PB didasarkan pada pendapat gurunya, Muhammad Abduh, yang mengatakan bahwa al-Qur’an hanya mengenal Taurat dan Injil yang diturunkan ke Bumi kepada Musa dan Isa dalam satu kali ‚hantaran‛ (nazala marrah wa>h}idah). Al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung soal ‚restorasi ulang‛ sebagaimana yang Ezra lakukan terhadap PL atau soal ‚penulisan ulang‛ sabda Tuhan kepada Isa oleh para muridnya. Penolakan Abduh atas kedua bagian Bibel tersebut bersifat final, dengan mendasarkan pada argumen rasional dan berdasarkan atas informasi dari ayat-ayat al-Qur’an. Ibid.
56 tersebut. Mufasir Iran ini mengutarakan bahwa Taurat dan Injil yang sekarang beredar adalah yang juga ditas}di>q (diverifikasi) al-Qur’an dalam QS al-Maidah 5:48. Namun, tas}di>q tersebut mengecualikan poin-poin yang telah disimpangkan. Artinya, ada bagian Taurat dan Injil yang ‚benar‛ dan ada bagian yang ‚disimpangkan‛. Sadar akan ketersimpangan ini, bukannya menolak validitas kedua kitab suci tersebut, T}aba>t}aba>’i> justru tetap menerima keduanya. T}aba>t}aba>’i> mendasarkan pijakannya pada QS al-Maidah 5:14 yang menyinggung soal pengambilan janji Allah kepada Bani Israel. Di ayat tersebut dijelaskan bahwa sebagian hukum Taurat dilupakan oleh Bani Israel (fa nasu> h}az}z}an mimma> z|ukkiru> bih). Adanya janji
Allah
dengan Bani
Israel
justru
mengkonfirmasi
‚keberadaan‛ Taurat.37 Alasan ‚keberadaan‛ inilah yang membuat T}aba>t}aba>’i> kukuh dalam menerima Taurat. Adapun Injil, selain menjadi
mus}addiq atas Taurat berikut hukum-hukumnya, adalah juga kitab suci yang berisi cahaya, petunjuk, dan hikmah bagi manusia di Bumi. Bagi T}aba>t}aba>’i>, Injil dari Allah ini (juga Taurat) tak sama dengan Injil yang beredar saat ini, sekalipun itu empat Injil Kanonik (juga Pentateuch).38 Namun demikian, ini tak membuat T}aba>t}aba>’i> menolak mutlak Injil (juga Taurat) yang beredar sekarang ini (yaitu Bibel) sebagai kitab suci. Meskipun mengandung unsur yang telah disimpangkan, bagian dari Bibel juga ada yang ditas}di>q oleh al-Qur’an.
37
Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah alA’lami> li al-Mat}bu>’a>t, 1991), vol. 3, hlm. 9. 38 Seperti dalam QS a-l-Maidah 5:47 dan al-Zukhruf 43:63. Ibid., vol. 3, hlm. 228-229.
57 Tinjauan ontologis Bibel juga dilakukan Mun’im Sirry. Melalui bukunya Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an
Terhadap Agama Lain,39 Sirry memperkenalkan pembacaan polemik,40 yaitu pembacaan yang fokus pada ulasan terhadap ayat-ayat polemik dalam al-Qur’an yang secara literal melontarkan kritik pedas terhadap Bibel. Sirry mencoba menelusuri apa dan siapa sasaran al-Qur’an dalam ayat-ayat polemiknya. Melalui analisis yang cermat dan kritis terhadap ayat-ayat yang melakukan kritik terhadap Trinitas, tuduhan pemalsuan, dan penyembunyian kitab suci,41 Sirry mengajukan tesis kritis yang
39
Sirry merujuk pendapatnya pada beberapa mufasir reformis (dibedakan dari mufasir modern), antara lain: Paradigma reformis lebih dikedepankan dalam karya Sirry terkait dua hal utama: 1) reformisme adalah cara memelihara Islam dengan cara ‚meremajakan‛ unsur-unsur dinamis tradisi Islam. Sementara Modernisme bertitik tolak dari pemikiran Barat dan bukan tradisi Islam. 2) Reformasi adalah modernisme ‚terbatas‛, dalam arti bahwa dalam usaha mempertahankan diri, Islam harus diperbarui dan dijauhkan dari kejmudan. Pembaruan yang dilakukan, sekali lagi, tetap berpijak pada tradisi klasik Islam, tentu dengan visi ‚antikejumudan‛ yang dimaksud. Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci…, hlm. xxxiv-xxxvi. 40 Pembacaan polemik menempatkan diri pada posisi tengah antara pembacaan eksklusif dan inklusif. Pembacaan ini berangkat dari sebuah logika sederhana ‚satu sumber dengan dua sikap‛, bahwa dari satu sumber (al-Qur’an) muncul dua sikap yang bahkan bertolak belakang. Di satu sisi muncul sikap inklusif al-Qur’an terhadap ahl al-kita>b, di sisi lain al-Qur’an bersikap ekslusif terhadap mereka. Polemik, dalam catatan sejarah, telah menjadi salah satu cara ampuh dalam melanggengkan status quo suatu komunitas agama atas lainnya. Polemik memberi jaminan psikologis bahwa keyakinan terhadap apa yang dianutnya adalah benar dan mustahil menyimpang atau salah. Ibid., hlm. 42. Jika teori yang berlaku umum dalam sejarah polemik agama-agama memang demikian adanya, maka ‚Apakah al-Qur’an juga menerapkan teori yang sama?‛ Hal ini masih belum dapat dipastikan. 41 Berikut akan dipaparkan perbincangan polemik di balik ayat-ayat al-Qur’an yang diharapkan dapat menjelaskan tinjauan ontologis Bibel. Pertama, konsep Trinitas yang dikritik al-Qur’an. Dalam QS al-Maidah 5:116 dijelaskan bahwa Isa tidak pernah meminta umatnya menjadikan dirinya dan ibunya (Maryam) sebagai sesembahan selain Allah. Sekilas, statemen ini mengkonfirmasi konsep Trinitas yang terdiri atas Tuhan, Isa, dan Maryam. Yang menjadi pertanyaan adalah, ‚Mengapa al-Qur’an memandang Maryam sebagai salah satu bagian dari Trinitas?‛ Ibid., hlm. 36. Sementara, Trinitas yang dikenal dalam ortodoksi Kristen tidak demikian; Trinitas Kristen terdiri atas Tuhan Bapak (father), Tuhan Anak (son), dan Roh Kudus (holy spirit), sebagaimana dalam Matius 28:19 dan II Korintus 13:13. ‚Trinity‛, dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011).
58
Ditengarai, kritik al-Qur’an atas konsep Trinitas bukanlah konsep Trinitas mainstrean Kristen, melainkan konsep kelompok sempalan dalam Kristen pemuja Maryam (disebut Collyridian). Sekte yang didominasi perempuan ini memuja Maryam di luar batas kewajaran. Cara pemujaan dilakukan dengan memberi sesajen ‚kue kecil‛. Dalam bahasa Yunani, ‚kue kecil‛ disebut Collyris, dan dari sinilah nama Collyridian terambil. Sekte sempalan ini sama sekali tidak berafiliasi dengan ajaran mainstream Kristen dikarenakan status sempalan mereka. Mereka berasal dari Thrace (Bulgaria) dan tersebar ke utara (hingga Scythia/Crimea) dan selatan (hingga Semenanjung Arab). Para peneliti menganggap, penyebaran sekte ke Collyridian ke selatan adalah titik pertemuan kritik al-Qur’an dan konsep Trinitas yang termuat dalam QS al-Maidah 5:116. Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci…, hlm. 34-38. Meski belum final, asumsi keterpengaruhan al-Qur’an oleh sekte Collyridian patut dikaji secara mendalam. Kedua, tuduhan al-Qur’an terhadap pemalsuan kitab suci. Setidaknya, terdapat dua kata kunci yang menggambarkan tuduhan al-Qur’an tersebut, yaitu kata harrafa (QS al-Baqarah 2:75, QS al-Nisa’ 4:46, dan QS al-Maidah 5:13 dan 41) dan baddala (QS al-Baqarah 2:59 dan QS alA’raf 7:162). Kalimat ‚yuharrifu>na al-kalima‛ dalam QS al-Maidah 5:13, menurut Abu al-Kalam Azad bukanlah usaha ‚merubah perkataan Allah‛ dalam arti leksikal, melainkan penafsiran ayat suci secara sesuka hati mereka, sehingga merusak makna asal ayat. Adapun kalimat ‚fa baddala al-laz|i>na z}olamu> qaulan ghaira al-laz|i> qi>la lahum‛ dalam QS al-Baqarah 2:59 terkait klaim kitab suci sebelum al-Qur’an telah dipalsukan dan diubah, menurut Jama>l al-Di>n al-Qa>simi, terlalu mengada-ada. Al-Qa>simi memberi contoh kabar kedatangan Muhammad dan adanya hukuman Rajam yang tercantum dalam Taurat dan Injil sebagai bukti validitas Bibel jika dihadapkan pada pesan dan muatan ayat-ayat al-Qur’an. Ibid., hlm 172-176. Yang menarik dari tuduhan pemalsuan ini adalah fakta lain dalam al-Qur’an yang justru berlawanan dengan tuduhan tersebut, yaitu al-Qur’an mengklaim dirinya sebagai mus}addiq atas kitab-kitab terdahulu (dalam QS al-Maidah 5:48). Di satu sisi, al-Qur’an menyatakan diri sebagai mus}addiq, sementara di sisi lain justru menyatakan keterpalsuan kitab suci yang ditas}diqnya. Dua sikap al-Qur’an ini sekilas terasa membingungkan. Sikap saling-kontradiktif pada ayat-ayat al-Qur’an terasa jelas sekali ketika penyebaran Islam dilakukan di Makkah dan Madinah. Ketika di Makkah, ayat-ayat al-Qur’an tidak memuat statemen yang mengecam Yahudi-Kristen secara eksplisit. Saat iu, statemen kecaman hanya ditujukan pada penyekutuan terhadap Allah yang Esa. Selain itu, ayat-ayat al-Qur’an banyak yang bernada positif dengan menyebut Kristen dan Yahudi sebagai umat yang memiliki kitab suci dan (sebagian mereka) berpegang teguh pada kitab suci yang mereka punyai. Lain halnya ketika di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an seperti ‚terseret‛ konflik sosial antara Muhammad dan Yahudi-Kristen Madinah. Ibid., hlm. 75. Pada periode Makkah, dakwah Islam menekankan keselarasan ajaran Islam dengan ajaran-ajaran terdahulu, termasuk juga perihal siksaan bagi siapa yang mengingkari sifat Allah yang Esa (karena menyembah berhala).41 Lain halnya ketika di Madinah, titik penekanan dakwah, selain pada sisi persuasif, misalnya afirmasi al-Qur’an atas kitab suci terdahulu dan terkait dimuatnya berita kedatangan Muhammad dalam kitab suci tersebut, juga didapati model komunikasi bernada konfrontatif. Misalnya, antara al-Qur’an dengan Yahudi-Kristen terkait desakralisasi al-Qur’an atas klaim ‚kepemilikan‛ sosok Ibrahim dalam Yahudi dan Kristen. AlQur’an menolak tegas anggapan itu sambil mensifati Ibrahim seorang muslim (orang yang berserah diri), sebagaimana dalam QS Ali Imran 3:67. Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci…, hlm. 10-12 dan 19-21. Yang menarik dari ragam fakta di atas adalah, ‚apa yang menyebabkan al-Qur’an merubah pola pendekatan terhadap penganut kitab-kitab suci terdahulu?‛ Menarik untuk disimak jawaban atas pertanyaan tersebut. Rujuk penjelasan detailnya dalam Ibid., hlm. 46-49. Ketiga, tuduhan al-Qur’an terhadap Yahudi-Kristen terkait menyembunyikan kitab suci, dengan kata kunci katama (QS al-Baqarah 2:42, 146, 159, 174 dan QS Ali Imran 3:71, 187), khofiya (QS al-Ma’idah 5:15 dan QS al-An’am 6:91), atau nabaz|a wara>’a z}uhu>rihim (QS alBaqarah 2:101 dan QS Ali Imran 3:187).Terkait menyembunyikan kitab suci ini, secara retoris, sesungguhnya hanya mempersoalkan sikap tidak terpuji (sebagian) umat Yahudi-Kristen karena telah menyembunyikan kitab suci mereka. Selain itu, al-Qur’an juga sama sekali tidak
59 sangat substansial bahwa kritik-kritik al-Qur’an yang dialamatkan kepada
ahl al-kita>b tidak benar-benar menghapus (naskh) konsep-konsep teologis dalam kitab suci ahl al-kita>b. Dengan kata lain, Bibel sama sekali tidak ternaskh sebagaimana yang umat Muslim duga di balik ayat-ayat polemik al-Qur’an.42
B. Berbagai Istilah Sumber Tafsir dari Luar Tradisi Islam Bibel sebagai sumber tafsir adalah sesuatu yang asing bagi dunia Islam. Sebagai tradisi luar, keberadaan Bibel jelas akan menuai beragam sikap, dari sikap apatis hingga penolakan. Dalam tradisi tafsir, ditemukan beberapa istilah untuk menyebut sumber-sumber tafsir yang berasal dari luar tradisi Islam, antara lain: Isra>i>liyya>t, al-Dakhi>l, Cross-Reference, dan al-Naql Min al-Kutub al-
Qadi>mah. Istilah-istilah tersebut penting untuk dijelaskan di dalam penelitian ini dalam rangka menempatkan pembicaraan Bibel sebagai sumber tafsir dalam kajian tafsir al-Qur’an, apakah benar-benar sebuah kajian independen dan sama sekali berbeda, atau justru memiliki kesamaan dengan istilah-istilah lain yang terlebih dulu ada. Berikut ini akan dipaparkan secara mendalam istilah-istilah sumber tafsir dari luar tradisi Islam. menyinggung persoalan otoritas-otentisitas kitab suci Yahudi-Kristen secara langsung. Dari sini dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an secara implisit mengafirmasi ‚ketiadaan masalah‛ pada kitab suci Yahudi-Kristen, mengingat yang bermasalah sesunggunya adalah para penganutnya saja, dan bukan kitab sucinya. Ibid., hlm. 49. 42 Kesimpulan penulis di atas terlepas dari fakta lain yang masih dan selalu dipertanyakan, misalnya, ‚Apakah Taurat-Injil tersebut adalah sebagaimana adanya ketika turun pertama kali kepada Musa-Isa?‛ Pertanyaan ini penulis ajukan dengan menyandarkan pada penelitian Adnin Armas yang menyajikan data terkait banyaknya para peneliti Kristen Liberal yang mengkritik Bibel sehingga nyaris dianggap tidak orisinal sebagaimana aslinya ketika pertama kali diturunkan kepada Musa-Isa. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi alQur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 35-47.
60 1. Isra>i>liyya>t Isra>i>liyya>t adalah informasi yang bersumber dari Bani Israel (anak cucu Ya’qub). Oleh sebagian kecil sarjana al-Qur’an, Isra>i>liyya>t dikaitkan dengan sumber-sumber tua yang dinisbahkan kepada umat Kristiani dan kisah-kisah palsu buatan musuh-musuh Islam (atau Ghara>ni>q). Namun, Isra>i>liyya>t tetap lebih identik dengan sumber-sumber dari tradisi Yahudi, baik dari tinjauan harfiah, atau karena sikap permusuhan Yahudi terhadap Islam yang demikian keras (QS al-Maidah: 82), dan atau karena agungnya peradaban Yahudi atas bangsa-bangsa lainnya.43 Salah satu contoh Isra>i>liyya>t terdapat dalam tafsir Muqa>til ibn Sulayma>n terkait pernikahan Nabi Muhammad dan Zainab (QS al-Ah}za>b 33:37-38). Muqa>til menafsirkan secara khusus potongan ayat ‚sunnat
alla>hi fi al-laz}i>na khalau min qabl,‛ dengan cukup sinis. Berikut kutipan statemen Muqa>til: ‚Demikian Sunatullah yang terjadi kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Seperti ketika Nabi Daud tertarik kepada perempuan (yaitu istri Urya bin Hanna>n) yang dijadikan sebagai bagian ujian dari dakwahnya dan pada akhirnya Allah menyatukan keduanya 43
Muhammad H}usein al-Z|ahabiy, al-Isra>i>liyya>t fi al-Tafsir> wa al-Hadi>s| dalam Edisi Antologi Karya H}usein al-Z|ahabiy berjudul Buhu>s| fi> ‘Ulu>m al-Tafsi>r wa al-Fiqh wa al-Da’wah (Kairo: Da>r al-Hadi>s,| 2005), hlm. 17-18. Peradaban agung Yahudi, dibarengi dengan rutinnya penduduk Arab Makkah bepergian ke Yaman di musim dingin dan ke Syam di musim panas, membuat persinggungan antara Yahudi dan kawasan Islam semakin erat. Pasalnya, Yaman dan Syam merupakan basis tempat tinggal Yahudi. Selain itu, tatkala pusat Islam berada di Madinah, umat Islam secara intens juga berbaur dengan kaum Yahudi Madinah. Jika pada akhirnya para pemuka Yahudi seperti Abdulla>h bin Sala>m, Wahb ibn Munabbih, dan Ka’b al-Ah}ba>r memeluk Islam, menjadi wajar jika mufasir awal seperti al-T}abari> banyak merujuk pada sumber-sumber yang berasal dari para muallaf dari Yahudi. Ibid., hlm. 19-20.
61 (Daud dan istri Urya bin Hanna>n). Begitu jualah yang terjadi antara Muhammad dan Zainab, ketika sang Nabi jatuh cinta kepadanya. Yang demikian (pada Muhammad) itu seperti yang terjadi pada Nabi Daud. Itulah yang sesuai firman Allah ‘wa ka>na amr alla>hi
qadaran maqdu>ra>’ dalam QS al-Ah}za>b 33:38.‛44 Al-Z|ahabiy mengecam keras penafsiran Muqa>til tersebut. Menurut al-Zahabiy|, mustahil Nabi berbuat cela seperti gambaran negatif Muqa>til lantaran adanya is}mah yang melekat di diri seorang Nabi.45 Yang menarik, penjelasan Muqa>til dikutip oleh tafsir yang datang belakangan.46 Sementara itu, beberapa tafsir lain berusaha menghindari konflik dengan mencukupkan diri membahas soal pembolehan pernikahan Nabi dengan Zainab (meskipun kontroversial) dengan memunculkan argumen bahwa nabi adalah juga seorang ‚manusia‛.47 Keterpengaruhan Isra>i>liyya>t juga menyasar pada tradisi ilmu Kalam. Misalnya, pendapat penganut S}abi>’ah tentang kematian Ali yang serupa cerita meninggalnya Isa. Ali, menurut mereka tidak mati secara wajar (terbunuh), melainkan diangkat Allah ke langit; sementara yang dibunuh adalah orang yang diserupakan dengannya.48 Terhadap Isra>i>liyya>t, sarjana al-Qur’an berbeda sikap. Al-Suyu>t}i> dalam al-Durr al-Mans|u>r berusaha bijak menyikapi Isra>i>liyya>t. Berbeda 44 45 46
Ibid., hlm. 100. Ibid., hlm. 100-101.
Salah satu yang mengutip penjelasan Muqa>til tersebut adalah al-Syarbi>ni dalam karyanya Al-Sira>j al-Muni>r. Al-Khat}i>b al-Syarbi>ni>, Al-Sira>j al-Muni>r fi al-I’a>nah ‘ala> Ma’rifat Ba’d} Ma’a>ni Kala>m Rabbina> al-H}aki>m al-Khabi>r (tnp kota: Bula>q, 1285 H) vol. 3, hlm. 252. 47 Muhammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Maha>sin al-Ta’wil>…, hlm. 4865. 48 Muhammad H}usein al-Z|ahabiy, al-Isra>i>liyya>t fi al-Tafsir>…, hlm. 21.
62 dari al-T}abari> yang memilah mana sumber Isra>i>liyya>t paling valid atau dari Ibn Taymiyyah yang terlalu kaku dan membatasi diri dalam mengutip sumber Isra>i>liyya>t, al-Suyu>t}i> berusaha hati-hati dalam menerima-menolak Isra>i>liyya>t. al-Suyu>t}i> jarang sekali mengomentari secara lebih jauh apalagi mengesampingkan Isra>i>liyya>t seperti yang al-T}abari> lakukan.49 Al-Suyu>t}i> seperti ingin membiarkan Isra>i>liyya>t ‚berbicara atas nama dirinya sendiri‛ terkait fakta-fakta yang beriringan dengannya, tanpa adanya penghakiman sepihak dari al-Suyu>t}i.50 Salah satu langkah penting al-Suyu>t}i> dalam menyikapi Isra>i>liyya>t adalah dengan melihat di mana posisi suatu sumber Isra>i>liyya>t dalam tradisi penafsiran Awal. Artinya, waktu kemunculan Isra>i>liyya>t menentukan diterima tidaknya sebagai suatu sumber tafsir. Semakin tua (dekat kepada era Nabi) sebuah sumber Isra>i>liyya>t, semakin besar kemungkinan diterima. Demikian pula berlaku sebaliknya.51 Sikap ‚menerima‛ Isra>i>liyya>t sama bersalahnya dengan ‚menolak‛ Isra>i>liyya>t. Pasalnya, menerimanya dapat berimplikasi pada ‚serangan‛ terhadap al-Qur’an (jika konten yang dibawanya berlawanan). Ini seperti dituturkan Norman Calder ketika menelaah penggunaan sumber-sumber
49
Shabir Ally, The Culmination of Tradition-Based Tafsir: The Qur’an Exegesis of alDurr al-Mans|u>r of al-Suyu>t}i> (d.911/1505), Disertasi University of Toronto, Department of Near and Middle Eastern Civilizations, 2012, hlm. 93. 50 Berikut beberapa langkah al-Suyut}i> terkait Israiliyyat. Pertama, memberikan informasi tambahan (bisa jadi berupa Israiliyyat) yang tidak ditemukan di tafsir lain (misalnya pada karya al-T}abari>). Ini cara al-Suyu>t}i> memperkaya informasi sebagai cara memvalidasi data pada tahap paling awal. Kedua, menghubungkan kembali keterkaitan Israiliyyat dengan informasi baru tersebut. Dari sini, suatu penafsiran akan mengarah kepada pemaknaan baru. Ketiga, sebagai implikasi lanjutannya, dengan menghadirkan Israiliyyat yang diperkaya informasi baru, maka hal ini dapat menyetarakan Israiliyyat tersebut dengan informasi lain serupa yang memiliki ‚posisi‛ lebih tinggi dari mereka (ditinjau dari aspek validitasnya dalam studi tafsir). Ibid., hlm. 93. 51 Ibid., hlm. 140-141.
63 Isra>i>liyya>t oleh mufasir modern, yang mana ‚mostly used carelessly and
polemically‛.52 Adapun jika menolak Isra>i>liyya>t, dapat diartikan juga menolak keterangan mufasir yang telah mengutipnya, seperti al-T}abari dan al-S}uyu>ti} >.53 Dapat dikatakan, pembicaraan mengenai layak tidaknya Isra>i>liyya>t dijadikan sebagai sumber tafsir al-Qur’an masih jauh dari kata final; masih debatable hingga kini. Ada perbincangan menarik terkait Isra>i>liyya>t dalam tradisi tafsir. Jika sumber-sumber Isra>i>liyya>t bersumber dari luar Islam, maka sumber Islam yang masuk (atau dimasukkan) ke dalam tradisi tafsir Bibel disebut dengan Isla>miyya>t. Term ini diperkenalkan dalam rangka menjembatani kemungkinan dikutipnya informasi dari tradisi Islam dan dimasukkan ke dalam tradisi kitab suci lain (Bibel).54 Namun, pembahasan ini tidak akan disampaikan di sini. 2. Al-Dakhi>l
Al-Dakhi>l berakar kata dari al-Dakhl, yang berarti aib dan keraguan dalam ucapan. Secara harfiah, al-Dakhi>l bermakna setiap kata yang masuk ke dalam perbincangan Arab dan bukan merupakan bagian dari bahasa tersebut. Al-Dakhi>l dapat pula diartikan sebagai suatu aib dan kerusakan yang masuk ke dalam suatu perbincangan yang disebabkan keasingannya
52
Robeto Totolli, ‚Origin and Use of The Term Isra>i>liyya>t in Muslim Literature‛ dalam
Arabica, vol. 46, no. 2 (1999), hlm. 193. 53 Ibid., hlm. 209. 54
Ismail Albayrak, ‚Reading the Bible in The Light of Muslim Sources: From Isra>i>liyya>t to Isla>miyya>t dalam Islam and Christian-Muslim Relations, vol 23, no. 2, April 2012, hlm. 113127.
64 atau berbaurnya seseorang dari luar komunitas ke dalam suatu komunitas tertentu.55 Dalam studi tafsir, al-Dakhi>l adalah kutipan dalam tafsir yang sulit dipastikan kebenarannya, atau sumber yang valid kutipannya namun secara logika maknanya menyimpang dan berpotensi merusak tafsir.56
Al-Dakhi>l, dengan sifat merusak dan adanya aib yang dilekatkan padanya, terbagi dalam 2 jenis: al-Naql (kutipan) dan al-‘Aql (pendapat).
Al-Dakhi>l al-Naql bersumber dari pernyataan Nabi, Sahabat, dan Tabi’in yang proses transmisinya dianggap lemah bahkan dipalsukan.57 Sementara
al-Dakhi>l al-‘Aql bersumber dari pemikiran mufasir yang menyimpang ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an karena kurang dipenuhinya syarat dasar sebagai seorang mufasir atau orientasi yang ‚bermasalah‛ sehingga menimbulkan kerancuan dalam penafsirannya.58
55
Ibra>hi>m Abdurrahma>n Khali>fah, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r (Kairo: Fakultas Ushu>luddi>n Universitas al-Azhar, t.t.) hlm. 20-21. 56 Ibid., hlm. 40. Rujuk juga Ah}mad al-Syah}a>t Ah}mad Mus>sa>, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r (Kairo: Fakultas Ushu>luddi>n Universitas al-Azhar, t.t.), hlm. 12. 57 Berikut ini adalah jenis Hadis| yang tergolong dalam al-Dakhi>l al-Naql: 1. Hadis yang tidak layak dijadikan Hujjah, mencakup hadis Maud}u>’ dan hadis D}a’i>f yang‘ada>lah perawinya diragukan, 2. Riwayat-riwayat palsu dari para Sahabat Nabi atau yang dinisbahkan mereka dengan sanad yang lemah, 3. Israiliyyat yang murni dinukil dari para sahabat, apakah itu bertentangan dengan alQur’an atau sesuai dengan Hadis, dan atau sama sekali tidak diketahui apakah bertentangan dengan al-Qur’an-Hadis atau tidak, 4. Riwayat yang dinukil dari Sahabat yang tidak logis namun justru membingungkan, 5. Riwayat-riwayat palsu atau lemah dari para Tabi’in, dan 6. Riwayat mursal dari Tabi’in yang sesuai al-Qur’an-Hadis namun tetap tidak bisa naik statusnya menjadi H}asan. Ibra>hi>m Abdurrahma>n Khali>fah, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r…, hlm. 33-34. 58 Berikut ini adalah jenis Hadis yang tergolong dalam al-Dakhi>l al-‘Aql : 1. Kesalahan penafsiran yang disebabkan karena kurangnya perangkat ijtihad yang dimiliki oleh seorang mufassir, meski tujuannya untuk sesuatu yang baik, 2. Pendapat menyimpang karena orientasi menyimpang. Misalnya, mengesampingkan makna dza>hir ayat al-Qur’an secara mutlak, seperti apa yang dilakukan Mu’tazilah dan sebagian filosof Muslim,
65 Dari tinjauan di atas, al-Dakhi>l diketahui memiliki cakupan lebih luas dibanding Isra>i>liyya>t karena al-Dakhi>l mencakup sumber-sumber bi
al-ma’s|ur> bersanad sekaligus bi al-ra’yi yang dianggap menyimpang. Istilah al-Dakhi>l dalam tafsir serupa istilah Bida’ al-Tafa>si>r gagasan al-Ghuma>ri>. Sisi kesamaannya terletak pada adanya pembagian al-Manqu>l dan al-Ra’yi pada kedua istilah tersebut. Dari sisi al-Manqu>l, Bida’ al-
Tafa>si>r mencakup hadis d}a’i>f, hadi>s| maud}u>’, dan sumber-sumber Isra>i>liyya>t.59 Sementara dari sisi al-‘Aql, Bida’ al-Tafa>si>r mencakup jenisjenis tafsir yang tercela (maz|mu>m) yang berpotensi merusak tafsir.60
Pendapat kaku yang berorientasi makna dza>hir ayat al-Qur’an, dan secara mutlak mengesampingkan aspek pemikiran logis. Hal ini sebagaimana dilakukan kelompok musyabbihah dan mujassimah (menyerupakan Allah dengan mahluk), 4. Pendapat yang muncul dari cara pikir dan perenungan yang ‚terlalu‛ mendalam para sufi dan juga filosof, 5. Pola pikir yang terlalu fokus terhadap sisi linguistik al-Qur’an, yang tanpa disadari menjauhkan tujuan utama tafsir, 6. Pola pikir yang terlalu fokus terhadap aspek kemukjizatan al-Qur’an, misalnya para ilmuan yang mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan fenomena alam dan temuantemuan sains termutakhir, dan 7. Pemikiran dari para penganut ateisme dan kelompok yang menentang ayat-ayat Allah dan benci terhadap Islam. Ibra>hi>m Abdurrahma>n Khali>fah, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r…, hlm. 37-39. 59 Mohamad Sobirin, Bid’ah-Bid’ah Penafsiran dalam al-Qur’an menurut Abdulla>h alGhuma>ri>, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013, hlm. 109-112. 60 Berikut ini adalah beberapa kategori dalam Bida’ al-Tafa>si>r al-‘Aql. 1) Bida’ Maz}habiyyah I’tiqa>diyyah, terfokus pada penyimpangan yang didasarkan pada kepentingan mazhab yang dianut seorang mufasir. 2) Bida’ Lughawiyyah, terfokus pada penyimpangan unsurunsur kebahasaan dan gramatika Arab dalam memahami al-Qur’an, baik dengan memberi porsi kebahasaan secara berlebih atau justru tidak menyertakannya sama sekali. 3) Bida’ Nawa>qis} alMufassir, terfokus pada kurang terpenuhinya kapasitas mufasir akan pengetahuan dasar Ulu>m alQur’a>n atau ilmu-ilmu yang terkait, sehingga berimplikasi pada kerancuan hasil penafsiran seorang mufasir. 4) al-Bida’ al-Isya>riyyah, penyimpangan penafsiran yang dilakukan para sufi dan filosof karena penafsiran mereka yang terlalu jauh dari tekstualitas ayat al-Qur’an sehingga berakhir pada kerancuan proses dan hasil tafsirnya karena tampak mengada-ada. 5) al-Bida’ al‘Ilmiyyah, penafsiran yang berbasis pengetahuan ilmiah. Selain melebar dari sisi teks dan konteks, model bida’ tafsir jenis ini seringkali menjadi wasi>lah seorang mufasir menjustifikasi temuan ilmiah mutakhir mereka. Ibid., hlm. 112-132. 3.
66 Penulis enggan memasukkan Bida’ al-Tafa>sir sebagai bagian dari subbab ini. Selain melenceng jauh terkait pengambilan sumber dari luar tradisi Islam, apa yang digagas al-Ghuma>ri> justru lebih menekankan sisi ‚layak‛ tidaknya suatu penafsiran. Gagasan ini terasa arogan dan rentan menimbulkan klaim kebenaran (truth claim) dalam tradisi tafsir. 3. Cross Reference Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte-Nafeh dalam karya terjemah al-Qur’an berjudul Qur’an: A Reformist Translation yang menyebut istilah cross-reference sebagai cara merujuk kepada Bibel sebagai sumber commentary karya terjemahan al-Qur’an mereka. Karya berjenre reformis ini kental dengan ulasan ayat al-Qur’an yang diikuti dengan reformasi pandangan terhadap hasil penfasiran dan terjemahan alQur’an yang dianggap timpang dan diskriminatif.61 Karenanya, mengutip Bibel adalah salah satu langkah mereka untuk mendapatkan hasil penafsiran yang selaras dengan maksud al-Qur’an.62 Terhadap Bibel yang
61
Ada beberapa hal dalam karya ini yang sengaja didorong untuk tampil ke permukaan, antara lain: a) mendorong para mufasir bersikap-berpikir kritis; b) menggarisbawahi tafsir sebagai jalan bagi pengembangan pengetahuan ; c) mengharuskan sebuah penafsiran yang lantang menolak otoritas yang menyalahi tatanan sosial ; dan d) mengedepankan sikap tafsir untuk menolak segala tirani politik serta penindasan. Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran: A Reformist Translation (USA: Brainbow Press, 2007), hlm. 10-11. 62 Alasan mengapa pengutipan Bible perlu dilakukan erat kaitannya dengan rumusan mereka dalam mencapai terjemahan al-Qur’an yang komprehensip dan dapat menemukan makna substantif al-Qur’an. Berikut ini adalah beberapa pedoman dalam menerjemahkan (dan memberi komentar terhadap) ayat-ayat al-Qur’an. 1. Penggunaan logika dan analisa bahasa secara konsisten dibandingkan dengan sekadar mengutip pendapat mufasir Klasik. 2. Pengutipan Bibel dengan berpedoman pada sisi filosofis dan saintifik informasi yang Bibel hadirkan, sehingga memberi manfaat bagi penguatan terjemah al-Qur’an tersebut.
67 dikutipnya, Yuksel tidak sekedar mengutip Bibel untuk memperkuat argumennya melainkan sebagai pelengkap yang substantif; difungsikan sebagai penguat statemen, pelengkap penjelasan, sarana pembanding, dan bahkan sebagai sasaran kritik. Ini membuktikan adanya sikap kritis Yuksel terhadap Bibel.63 Term cross reference gagasan Yuksel ini memiliki keserupaan dengan metode cross reference dalam tradisi tafsir al-Qur’an yang mana dimaksudkan untuk aktifitas perujukan suatu ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an lainnya (tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n). Formulasi rigid metode ini adalah berupa penyertaan catatan pinggir pada ayat-ayat alQur’an yang memiliki kesusaian tema dengan ayat yang ditafsirkan. Setidaknya, terdapat 4 karya tafsir yang secara spesifik mempola tafsirnya dengan model tafsir cross-reference tersebut, antara lain: 1)
Ad}wa>’ al-Baya>n fi I>da} >h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n, karya Muhammad al-
3.
Dalam rangka menghindari bias terjemah, diperlukan informasi dari beragam disiplin ilmu, sehingga dapat memperkaya sisi redaksional kata (dalam terjemah) maupun maksud inti suatu ayat. 4. Perlu membubuhkan endnotes sebagai tambahan informasi bagi terjemah al-Qur’an dan menempati posisi penting bagi rekonstruksi pemahaman yang dikehendaki penerjemah. Meski demikian, endnotes tetaplah informasi tambahan, yang posisinya tidak lebih tinggi maupun layak disetarakan dengan terjemah al-Qur’an. 5. Dihindarinya kutipan hadis Nabi bukan tanpa alasan. Kebanyakan kitab hadis lebih cenderung mengedepankan aspek transmisi dari pada isi hadis. Karenanya, Yuksel lebih mendahulukan ‚konten ide‛ pernyataan (dari manapun itu, termasuk hadis) dibanding ‚siapa‛ penyampainya. 6. Sebagai penutup, Yuksel menegaskan bahwa karya ini tak lain adalah sebuah ijtiha>d dalam mencari kebenaran (truth). Sementara itu, pencarian kebenaran tidak boleh berhenti. Sebagai implikasinya, ijtiha>d terjemah al-Qur’an ini, menurut para penulisnya, jelas bukan final dan memungkinkan untuk dikoreksi. Ibid., hlm. 11-12. 63 Akrimi Matswah, Penafsiran Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha
Schulte-Nafeh Terhadap Ayat-Ayat Gender dalam Qur’an: A Reformist Translation (Studi Analisis Kritis), Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013, hlm. 200.
68 Ami>n al-Sinqit}iy ; 2) al-Tafsi>r al-Qur’a>niy li al-Qur’a>n, karya ‘Abd alKari>m Khat}i>b; 3) al-Hida>yah wa al-‘Irfa>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n, karya Muhammad Abu> Zayd; dan 4) Der Koran: Kommentar und
Konkordanz, karya Rudi Paret.64 Berbekal term cross-reference ‚versi‛ tafsi>r al-Qur’an bi al-Qur’an, sarjana al-Qur’an kontemporer menghendaki adanya al-Qur’an edisi baru yang menyertakan catatan pinggir berupa ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung keserupaan isi dan arah pembicaraan, seperti berikut ini.65
سورة الفاتحة PP
بسم هللا الرحمن الرحييم PP: 27:30 A
الحمد هلل رب العلمين A: 26:23-24
Contoh cross-reference ‚versi‛ tafsi>r al-Qur’an bi al-Qur’an mengingatkan penulis pada al-Mu’jam al-Mufahras Li Ma’a>ni> al-Qur’an
al-‘Az}i>m karya Muhammad Bassa>m Rusydi al-Zayn. Karya ini merupakan 64
Sumber: http://iqsaweb.wordpress.com/2012/11/19/qcrtqq/ Diakses pada 2 April 2014. Iqsaweb adalah halaman website resmi lembaga kajian al-Qur’an IQSA (International Qur’anic Studies Association). Tambahan satu karya di bidang cross reference ini adalah terjemahan al-Qur’an berjudul The Holy Qur’an: English Translation & Commentary karya Malik Ghulam Farid. Dalam terjemahan al-Qur’an tersebut, selain catatan kaki dalam bentuk angka yang memuat penjelasan tentang ayat, disertakan pula catatan kaki dalam bentuk huruf yang berisi keterangan nomor surah al-Qur’an dan ayat yang dapat dirujuk pembaca. Misalnya pada QS al-Anbiya>’ 21:104 ketika menjelaskan kalimat ‚kama> bada’na> awwala khalqin nu'i>duh ‛, Farid mengutip ayat-ayat yang mengandung keserupaan informasi, antara lain: QS Taha 20:55, QS al-Ankabut 29:19, dan QS al-Rum 31:11. Lihat Malik Ghulam Farid, The Holy Qur’an: English Translation & Commentary (Rabwah: The Oriental and Religious Publishing Corporation Ltd., 1969), hlm. 709. 65 Sumber: http://iqsaweb.wordpress.com/2012/11/19/qcrtqq/ Diakses pada 2 April 2014.
69 indeks al-Qur’an berbasis tema dan memuat ayat-ayat al-Qur’an yang saling berkaitan.66 Berikut ini contohnya:
Meskipun 3 gagasan cross reference di atas memiliki konsep yang berbeda, ada satu hal yang sama pada ketiganya; ketiganya mengutip sumber-sumber otoritatif baik dari internal al-Qur’an maupun dari kitab suci lain (Bibel) sebagai wasilah untuk menjelaskan ayat al-Qur’an. 4. Al-naql min al-kutub al-qadi>mah67 Term ini diangkat mengacu pada karya Ibra>hi>m al-Biqa>’i> berjudul
al-Aqwa>l al-Qawi>mah fi H}ukm al-Naql min al-Kutub al-Qadi>mah (atau
66
Muhammad Bassam Rusydi al-Zayn, al-Mu’jam al-Mufahras Li Ma’a>ni> al-Qur’a>n al‘Az}i>m (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1416 H), hlm. 1072. 67 Ada fakta menarik terkait digunakannya istilah ini. Ketika menggunakan istilah ‚ alQadi>mah‛, ekspektasi yang barangkali muncul adalah kitab-kitab suci di luar tradisi Abrahamik juga menjadi bagian di dalamnya. Lantas, mengapa tetap bersikukuh dengan istilah ‚alQadi>mah‛? Jawabannya jelas; inilah istilah yang pertama kali digunakan seorang mufasir yang hebraist (ahli linguistik Hebrew) yang mengutip Bibel sebagai salah satu sumber tafsirnya.
70
al-Aqwa>l) yang ditulis sebagai penguat konsep dijadikannya Bibel sebagai sumber tafsir pada karya tafsirnya berjudul Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-
A>yah wa al-Suwar (atau Naz}m).68Al-Aqwa>l terbit di tengah proses penggarapan Naz}m.69 Artinya, al-Biqa>’i> ‚mengakui‛ Bibel secara
legitimate, dan menggunakannya sebagai sumber tafsir, justru sebelum alAqwa>l hadir.70 Al-Biqa>’i> menempatkan Bibel dan al-Qur’an pada posisi yang ‚tidak berlawanan‛ dan bahkan saling melengkapi. Kebolehan mengutip Bibel sebagai suatu sumber tafsir al-Qur’an dianalogikan al-Biqa>’i> dengan bolehnya seorang polemicist71 mengutip Bibel dengan tujuan polemisnya. Jika untuk tujuan ‚buruk‛ saja sah, tentu sah pula untuk tujuan yang baik, seperti yang al-Biqa>‘i> lakukan.72 Menurut al-Biqa>’i>, ada tiga jenis sumber terdahulu: Maud}u>’ (palsu),
D}o’i>f (lemah), dan tidak keduanya. Kategori ‚tidak keduanya‛ inilah yang
68
Dalam al-Aqwa>l, al-Biqa>’i> mengemukakan banyak hal terkait boleh tidaknya mengutip Bibel, antara lain: 1) fatwa pembolehan ulama, 2) rekam jejak dalam tradisi Islam tentang tidak dilarangnya mengutip Bibel, dan 3) bukti para sarjana sebelum al-Biqa>‘i> yang mengutip Bibel. Untuk lebih jauh mengenai rangkuman isi al-Aqwa>l, baca Walid A. Saleh, ‚A FifteenthCentury Muslim Hebraist: al-Biqa>’i> and His Defense Using The Bible to Interpret The Qur’an‛ dalam Speculum, vol. 83, no. 3, hlm. 641-650. 69 Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m Ibn ‘Umar al-Biqa>’i>, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>yah wa alSuwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, t.t.), vol. 22, hlm 444. 70 Saleh menyebutnya sebagai apologi al-Biqa>‘i>. Namun demikian, penjelasan dalam alAqwa>l cukup komprehensip sebagai sebuah perspektif tentang penggunaan Bibel sebagai sumber tafsir. Walid A. Saleh, ‚An Islamic Diatessaron: al-Biqa>’i>’s Harmony of Four Gospels‛ dalam Sara Binay dan Stefan Leder, Translating The Bible into Arabic: Historical, Text-Critical, and Literary Aspects (Beirut: Orient-Institut Beirut, 2012), hlm. 86. 71 Misalnya, Ibnu Hazm sebagaimana dipaparkan Camilla Adang dalam karyanya. Camilla Adang, Muslim Writers on Judaism and The Hebrew Bible: From Ibn Rabba>n to Ibn H}azm (Leiden: E.J. Brill, 1996), hlm. 66 dan 137. 72 Walid A. Saleh, ‚A Fifteenth-Century Muslim Hebraist: al-Biqa>’i>…, hlm. 637-638.
71 menurutnya diterapkan dalam Naz}m. Definisi kategori ini (yang adalah parameter utama validitas Bibel di hadapan tafsir) adalah: 73 ‚Apa yang sesuai dengan al-Qur’an, diterima. Apa yang tidak sesuai (menyimpang secara prinsip), maka ditolak, kecuali jika ada penjelasan lain yang membuatnya diterima.‛ Istilah lain yang serupa al-Naql min al-Kutub al-Qadi>mah adalah
Biblical Subtext yang diajukan Reynolds. Istilah ini secara makna tidak menyatakan mengenai pengutipan Bibel sebagai sumber tafsir melainkan tentang keberadaan karya-karya bersumber dari Bibel (Biblical Tradition) yang mengitari al-Qur’an ketika turun. Artinya, ada kemungkinan karyakarya Biblis mempengaruhi terbentuknya al-Qur’an,74 seperti gagasan Wansbrough dalam karya Quranic Studiesnya.75 Apa yang digagas Reynolds jauh melampaui istilah-istilah seperti
Isra>i>liyya>t, al-Dakhi>l, Cross-Reference, dan al-Naql (pembicaran keempat istilah tersebut masih berkisar pada tafsir). Biblical Subtext berbicara terkait ontologi al-Qur’an; bahwa terbentuknya al-Qur’an dipengaruhi oleh tradisi Bibel. Apa yang digagas Reynolds merupakan usaha mencari keterkaitan antara al-Qur’an dan Bibel, pada scope yang lebih luas. 73
Walid A. Saleh, In Defense of The Bible: A Critical Edition and An Introduction to alBiqa>ʻi>’s Bible Treatise (Leiden: Brill, 2008), hlm. 131. 74
Pola kelahiran teks memang saling bersinggungan. Satu teks dengan lainnya dalam hal tertentu saling mempengaruhi. Termasuk juga pola lahirnya suatu agama, sulit dilepaskan dari pengaruh agama-agama yang mendahuluinya. Islam, misalnya, tidak sedikit mengakomodir ajaran-ajaran agama terdahulu (Kristen dan Yahudi). Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical Subtext (New York: Routledge, 2010), hlm. 80 dan 253-255. 75 John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004).
72
Dari ulasan di atas, diketahui bahwa Bibel sebagai sumber tafsir al-Qur’an tidak tergolong pembicaraan baru. Istilah seperti Cross Reference dan al-Naql
min al-Kutub al-Qadi>mah mengindikasikan telah dikenalnya wacana Bibel sebagai sumber tafsir dalam tradisi tafsir al-Qur’an.
C. Karya Tafsir Bersumber dari Bibel Pada sub-bab ini akan diulas beberapa karya tafsir yang menggunakan Bibel sebagai salah satu sumber tafsirnya. Perlu dijelaskan di sini bahwa semua karya terkait al-Qur’an akan disebut ‚tafsir‛; apakah karya tersebut berupa tafsir al-Qur’an 30 juz, terjemah al-Qur’an 30 juz dengan komentar, atau karya tafsir tematik pilihan. Selama karya tersebut menjadikan Bibel sebagai sumber tafsir, maka karya tersebut akan disebut sebagai tafsir di dalam penelitian ini. Berikut adalah beberapa karya tafsir yang mengutip Bibel sebagai sumber tafsirnya. 1. Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar Tafsir Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar adalah buah karya Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m Ibnu ‘Umar al-Biqa>’i> (1407-1480 M/ 809885 H). Dalam Naz}m, al-Biqa>’i> banyak mengutip Bibel, baik berupa kutipan eksplisit maupun implisit.76 Menurut al-Biqa>’i>, mengutip Bibel
76
Untuk kutipan eksplisit, contohnya dapat dilihat pada paragraf selanjutnya. Adapun kutipan implisit, sebagai misalnya, dapat dirujuk kepada statemen al-Biqa>’i> ketika menjelaskan QS Ali Imran 3:7 tentang penjelasan Muh}kam-Mutasya>bih. Lihat Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m Ibn ‘Umar al-Biqa>’i>, Naz}m al-Durar…, vol. 4, hlm 227-229.
73 adalah bentuk pengakuan terhadap keberadaan al-Kutub al-Qadi>mah. Menurut al-Biqa>’i, aktifitas ini dianggap sebagai sunnah ‘az}i>mah.77 Dalam mengutip Bibel, al-Biqa>’i> mempola kutipannya. Dalam PL, al-Biqa>’i> mengistimewakan Mazmur dan menampilkan kutipannya lebih banyak dibandingkan kutipan dari kitab-kitab lain dalam PL. Walid A. Saleh menilai hal ini sebagai suatu keanehan. Pasalnya, kutipan Mazmur tak jarang justru jauh dari konteks ayat yang sedang ditafsirkan, seperti pada QS al-Anbiya’ 21:105. Menurut Saleh, kiranya al-Biqa>’i> cukup mengutip Mazmur 37:29 dalam menjelaskan ayat tersebut, ditinjau dari kedekatan maknanya. Namun, al-Biqa>’i> justru berpanjang lebar dengan banyak kutipan Mazmur lain yang tidak terkait langsung dengan ayat yang sedang ditafsirkan.78 Terhadap PB, al-Biqa>’i> yang hanya mengutip 4 Injil Kanonik juga mempola kutipannya. Kutipan Injil Kanonik yang berjumlah ratusan pasal tersebar dalam 20 ayat al-Qur’an79 didominasi oleh kutipan Injil Matius. Lebih dari itu, al-Biqa>’i> menjadikan Matius tersebut sebagai platform bagi Injil-Injil Kanonik lainnya untuk ‚menyesuaikan‛ diri.80
77 78
Ibid., vol. 22, hlm 444.
Kutipan Mazmur yang dianggap bertele-tele antara lain: 1:1-6, 2:1-12, 5:1-12, 6:1-10, 9:4-9, 13:1-6, 15:1-6, 17:1-9, 18:1-49, 22:1-31, 31:1-24, 34:1-22, 35:1-28, dan 37:1-40. Walid A. Saleh, ‚Sublime in Its Style, Exquisite in Its Tenderness: The Hebrew Bible Quotations in alBiqa>’i>’s Qur’a>n Commentary‛ dalam Y. Tzvi Langermann dan Josef Stren, Adaptations and
Innovations: Studies on The Interaction between Jewish and Islamic Thought and Literature from the Middle Ages to The Late Twentieth Century, Dedicated to Professor Joel L. Kraemer (ParisLouvain-Dudley, MA: Peeters, 2007), hlm 366. 79 Walid A. Saleh, ‚An Islamic Diatessaron: al-Biqa>’i>’s Harmony…, hlm. 89-115. 80 Ibid., hlm. 87. Lihat juga Walid A. Saleh, In Defense of The Bible: …, hlm. 24.
74 Karena menulis al-Aqwa>l, al-Biqa>’i> dipandang sebagai seorang inklusif. Al-Aqwa>l sendiri secara lantang mengakomodasi pembolehan mengutip Bibel sebagai sumber tafsir. Dianggap sebagai pionir dalam bidang kutipan Bibel, al-Biqa>’i> ternyata masih gagal menghindarkan diri dari polemik. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan di Naz}m, al-Biqa>’i ‚terpaksa‛ mengutip ayat-ayat bertema keeasaan Tuhan, yang mana berimplikasi pada penolakan konsep Trinitas. Apa yang al-Biqa>’i> lakukan bukannya untuk tujuan polemik dan bukannya tidak memiliki alasan rasional. Al-Biqa>’i> beralasan dirinya ingin menemukan keselarasan antara apa yang al-Qur’an dan Injil Kanonik katakan tentang keesaan Tuhan. Sayangnya, efek dari keinginan tersebut adalah bahwa al-Biqa>’i> seolaholah menolak Teologi Trinitas Kristen.81 Secara umum, fokus al-Biqa>’i> terkait kutipan dari Bibel masih seputar tema-tema yang menjadi perdebatan di tengah umat Islam. Misalnya, tema tentang siapakah Roh Kudus (pada QS al-Baqarah 2:87 dan 253), pengangkatan Isa ke langit (pada QS al-Nisa’ 4:158), status Taurat dan Inji>l di hadapan al-Qur’an (pada QS al-Maidah 5:46), dan lain sebagainya.82 Menurut penulis, posisi al-Biqa>’i> yang berkeinginan menelusuri unsur-unsur polemik antara al-Qur’an dan Bibel tidak lantas mengkonfirmasi adanya pola pikir sinis dalam diri al-Biqa>’i>.
81 82
Walid A. Saleh, ‚An Islamic Diatessaron: al-Biqa>’i>’s Harmony…, hlm. 87. Lihat beberapa tema lainnya dalam Ibid., hlm. 89-115.
75 2. Mah}a>sin al-Ta’wi>l
Mah}as> in al-Ta’wi>l adalah karya Muhammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> (1866-1914 M). Selain terhadap Bibel, al-Qa>simi> juga mengutip Hadis Nabi, pendapat para Sahabat, anasir bahasa Arab, dan pendapat mufasir Klasik hingga Modern.
83
Terkait Bibel, al-Qa>simi> tidak memberikan
argumen secara eksplisit terkait alasan di balik kebolehan mengutip Bibel. Namun demikian, ada beberapa Hadis Nabi yang dijadikan rujukan oleh al-Qa>simi> terkait alasan kebolehan mengutip Bibel. Misalnya, hadis yang menggambarkan sikap Nabi menaruh simpati kepada seorang pembaca Taurat. Ketika itu, Nabi didatangi seseorang yang mengaku membaca alQur’an dan Taurat sekaligus, ‚Inni> qara’tu al-Qur’a>n wa al-Taura>t.‛ Nabi menganggapi hal tersebut dengan memberi saran untuk adil dalam membaca al-Qur’an dan Taurat, ‚Iqra’ ha>z|a> lailah wa ha>z|a> lailah.‛84 Kutipan Bibel, bagi al-Qa>simi>, berfungsi sebagai penguat informasi al-Qur’an. Misalnya, ketika menjelaskan QS al-Baqarah 2:183 tentang wajibnya berpuasa, al-Qa>simi> memaparkan informasi dari Bibel yang memperkuat argumen wajibnya berpuasa; bahwa kewajiban berpuasa
83
Sejauh penelusuran penulis, dalam 10 jilid tafsir al-Qa>simi>, ditemukan pula pendapat mufasir Kalsik hingga Modern di dalamnya. Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>si>n al-Ta’wi>l (Beirut: Da>r al-Fikr, 2005), vol. 1, hlm. 11-12. 84 Ibid., hlm. 32-35. Hadis lain yang dikutip al-Qa>si>mi> adalah seruan Nabi kepada umat Islam untuk tidak segan menyampaikan kisah dari Bani Israel. ‚Ballighu ‘anni> wa lau a>yah, wa h}addis|u> ‘an bani> Isra>i>l wa la> h}araja.‛ Lihat hadis ini dalam Al-Bukhari, S}oh}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibnu Kas|i>r, 2002), hlm. 473, hadis ke 3461.
76 telah ada sejak era Musa dan Isa.85 Contoh lain adalah pada QS alBaqarah 2:248, terkait istilah Ta>bu>t86 di dalam al-Qur’an. Menyadari alQur’an alpa menjelaskan Tabut, al-Qa>simi> mengutip Keluaran 25:1-16, 31:18, dan 34:1 yang menjelaskan apa itu Tabut.87 Cara pengutipan Bibel dalam Mah}as> in al-Ta’wi>l dilakukan dalam dua hal. Pertama, al-Qa>simi> mengutip secara tersurat (berupa kutipan utuh).88 Tidak jarang, kutipan tersebut sangat panjang. Wajar jika tafsir ini tampak seperti parade kutipan Bibel.89 Kedua, kutipan secara tersirat, dengan hanya menyatakan makna kandungan suatu pasal dalam Bibel.90 Kutipan langsung terhadap Bibel, meskipun seperti parade, ternyata jarang dilakukan al-Qa>simi>; kutipan langsung hanya terjadi pada beberapa ayat al-Qur’an saja, seperti berikut ini:
85
Berikut kutipan dari Bibel terkait kewajiban berpuasa: Ezra 8:21; Yesaya 58:3; Yoel 1:14, 2:12-16; Zakharia 8:19; Matius 6:17-18, 17:21, 4:2; dan II Korintus 6:4-5, 11:27. Jama>l alDi>n al-Qa>simi>, Mah}a>si>n al-Ta’wi>l…, vol. 2, hlm 439-441. 86 Tabut adalah semacam peti suci tempat menyimpan benda suci, seperti gulungan kitab atau dua loh batu yang diyakini telah diterima Musa dari Yahweh di Gunung Sinai. Karen Armstrong, Sejarah Alkitab: Telaah Historis atas Kitan yang Paling Banyak Dibaca di Seluruh Dunia, terj. Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, cetakan III, 2014), hlm. 281. 87 Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>si>n al-Ta’wi>l…, vol. 2, hlm. 577-578. 88 Sejauh penelusuran penulis, kutipan langsung diletakkan pada paragraf tersendiri, terpisah dari paragraf yang memuat penafsiran al-Qa>simi>. Sementara kutipan tersirat diletakkan dalam satu paragraf yang memuat tafsir, dan hal ini sangat menyulitkan pembaca menemukan kutipan Bibel, khususnya dengan cara baca skimming (membaca cepat). 89 Misalnya, ketika menjelaskan QS al-Baqarah 2:286 tentang doa ‚la>tah}mil ‘alaina> is}ran kama> h}amaltahu> ‘ala> al-laz}i>na min qablina>‛ yang menggambarkan betapa pedih hukum di masa lalu, al-Qa>si>mi> banyak mengutip informasi dari Keluaran, Bilangan, Ulangan, dan Imamat. Berikut ini adalah ayat-ayat Bibel yang dikutip al-Qa>si>mi>: Keluaran 12:15, 21:15-17 dan 27-29, 23:10-12 dan 19, 34:20; Bilangan 15:37-39, 19:11-16, 35:13; Ulangan 15:19, 21:18-21, 22:10-11, 24:14; Imamat 4:1-3, 5:2 dan 5-6, 11:33, 12:1-8, 15:19-21, 17:15, 19:23-25 dan 27, 25:3-7. Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>si>n al-Ta’wi>l…, vol. 2, hlm. 632-634. 90 Misalnya, ketika menjelaskan QS Ali Imran 3:50 terkait hukum yang ada pada Taurat, yaitu larangan beraktifitas pada Hari Sabat/Sabtu, ‚ wa li uh}illa lakum ba’d}a al-lad|i> h}urrima ‘alaikum‛ dan sikap Isa terkait hal tersebut. Melalui Matius 12:9-13 dan 5:17 yang dijelaskan secara singkat, al-Qa>si>mi> menjelaskan bahwa diutusnya Isa tidak dalam rangka menghapus hukum di dalam Taurat melainkan menggenapinya. Ibid., hlm. 697.
77 1. Ayat tentang puasa pada QS al-Baqarah 2:183,91 2. Ayat tentang Ta>bu>t pada QS al-Baqarah 2: 24892 dan 252,93 3. Ayat tentang al-laz|i>na min qablina> QS al-Baqarah 2:286,94 4. Ayat tentang kematian Isa dalam QS al-Nisa’ 4:157-158,95 dan 5. Ayat kabar gembira bagi Muhammad bahwa dirinya dikabarkan kedatangannya di Taurat dan Inji>l pada QS al-A’ra>f 7:157.96 Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas yang diikuti dengan kutipan Bibel, tampak sekali Al-Qa>si>mi> tidak larut dalam pembicaraan seputar teologis dalam Bibel yang berpotensi menimbulkan polemik antar kitab suci. 3. Al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n
Al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’an adalah magnum opus Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>. Terhadap al-kutub al-muqaddasah (Taurat dan Injil yang kini menjadi Bibel), T}aba>t}aba>’i> tetap menerima keduanya sebagai kitab suci. Alasannya jelas, bahwa tidak semua aspek atau ayat dalam Bibel mutlak tersimpangkan. 91
Kutipan Bibel yang menceritakan tentang adanya kewajiban berpuasa antara lain: Ezra 8:21; Yesaya 58: 3-5; Yoel 1:14 dan 2:12-16; Zakharia 8:19; Matius 6: 17-18 dan 17:21 dan 4:2; dan II Korintus 6:4-5 dan 11:27. Ibid., hlm. 440-441. 92 Kutipan Bibel yang berbicara tentang Tabut (tempat penyimpanan dalam bentuk batu, di dalamnya memuat dua loh, dan kedua loh ini berisi 10 ajaran Allah untuk Musa), dalam Keluaran 25:1-16, 31:18, dan 34:1. Ibid., hlm. 577-578. 93 Kutipan Bibel berikut ini merupakan keterangan tambahan yang melengkapi kisah tentang ajaran Allah kepada Musa, dalam bentuk Tabut, seperti dalam I Samuel 17: 1-52. Ibid., hlm. 580-582. 94 Kutipan Bibel berikut ini secara khusus menjelaskan salah satu bagian ayat QS alBaqarah 2:286, yaitu do’a Rabbana> wa la> tah}mil ‘alaina> is}ran kama> h}amaltahu> ‘ala> al-laz|i>na min qablina>. Kutipan Bibel yang dimaksud telah disinggung sebelumnya. Ibid., hlm. 632-634. 95 Kutipan Bibel berikut ini terkait Isa, antara lain: Lukas 22: 2, 38, 37, 3-34, dan 39-71; Lukas 23:1-25, 32-38, dan 44-56; dan Lukas 24:1-43 dan 50-51, dan 9: 28-32. Ibid., vol. 3, hlm. 1173-1183. 96 Kejadian 16:11-12, Ulangan 33:1-2, Kejadian 21: 20-21, Ulangan 18: 17-19, Bilangan 20:14, Ulangan 34:10, 1:38, Ibid., vol. 5, hlm. 1911-1913
78 Seperti kebanyakan mufasir yang mengutip Bibel, T}aba>t}aba>’i> juga menyinggung ayat-ayat bertema polemik seperti ketuhanan Maryam dan Isa, juga kisah para nabi dengan versi penceritaan berbeda (kisah nabi Yusuf, Musa, Nuh, dan Luth). Dalam tafsirnya, al-Mi>za>n, T}aba>t}aba>’i> mengutip Bibel di beberapa tempat di al-Qur’an, antara lain pada: 1) QS Ali Imran 3:35-41;97 2) QS Ali Imran 3:42-60;98 3) QS Ali Imran 3:7980;99 4) QS al-Maidah 5:15-19;100 5) QS al-Maidah 5:27-32;101 6) QS alMaidah 5:41-50;102 7) QS al-Maidah 5:112-115;103 8) QS al-An’am 6:83;104 9) QS Hud 11:36-49;105 10) QS Hud 11:77-83;106 11) QS Hud 11:96-99;107 12) QS Yusuf 12: 93-102;108 13) QS al-Kahfi 18:100-102;109 14) QS al-Kahfi 18:94;110 15) QS Maryam 19:14-15;111 16) QS al-Qas}as} 28:29-42;112 dan 17) QS S}ad 38:29;113 Dari belasan kelompok ayat di atas, menarik untuk disimak bagaimana pandangan T}aba>t}aba>’i> terkait konsep Trinitas dalam teologi Kristen. Tatkala menjelaskan QS Ali Imran 3:79-80 terkait kemustahilan
97
Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>, al-Mi>za>n…, vol. 3, hlm. 214. Ibid., hlm. 224. 99 Ibid., hlm. 327-329, 335-336, 340, dan 345-346 100 Ibid., vol. 5, hlm. 253. 101 Ibid., hlm. 330-331. 102 Ibid., hlm. 367-368. 103 Ibid., vol. 6. hlm. 223-224. 104 Ibid., vol. 7, hlm. 227-232, dan 239. 105 Ibid., vol 10, hlm. 241-244. 106 Ibid., hlm. 343-345. 107 Ibid., hlm. 367. 108 Ibid., vol. 11, hlm 263-267. 109 Ibid., vol 13, hlm. 387-388. 110 Ibid., hlm. 375-376. 111 Ibid., vol 14, hlm. 29-31. 112 Ibid., vol. 16, hlm. 32-33 dan 45-46. 113 Ibid., vol. 17, hlm 200. 98
79 nabi Isa meminta umatnya menyembah dirinya, T}aba>t}aba>’i> mengulas dua hal penting yang membentuk asumsi disembahnya Isa oleh umatnya di kalangan Kristen. Pertama, frasa ‚Tuhan Bapak‛ yang menegaskan keberadaan Tuhan Bapak. Misalnya pada Matius 5: 16 dan 44-48, 6: 9 dan 15; Lukas 6:36; dan Yohanes 20:17. Keberadaan Tuhan Bapak diperlukan untuk menopang argumen dua oknum Tuhan lainnya. Kedua, pernyataan Isa yang tegas menyertakan adanya Tuhan selain Tuhan Bapak (Allah), yaitu ‚Tuhan Anak‛ (diri Isa) dan ‚Roh Kudus‛, seperti dalam Matius 28:19 dan Yohanes 8:42, 10:30, 14:5-11, 17:1 dan 20-23.114 Dua proposisi tersebut (mengandung isyarat Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus) menjadi pondasi dasar rumusan teologi Trinitas Kristen. Oleh T}aba>t}aba>’i>, tiga bagian tersebut dirumuskan seperti berikut ini: ‚Inna al-z|a>t jauharun wa>hidun, lahu> aqa>ni>m s|ala>s|‛ (satu zat, tiga oknum). Oknum yang dimaksud di sini adalah sifat yang melekat dalam sesuatu yang berwujud fisik dan termanifestasi. 3 oknum yang dimaksud adalah Wujud (Ada), Ilmu (Kata), dan Kehidupan (Roh). Penjelasan tiga oknum tersebut adalah seperti berikut: ‚Kata‛ adalah Isa, yang berwujud dari/ manifestasi ‚Ada‛, yang turun ke Bumi melalui kawalan ‚Roh‛.115 Ketika konsep Trinitas dihadapkan dengan statemen al-Qur’an yang menolak keberadaan Tuhan selain Allah, misalnya ‚Isa> adalah anak Allah‛, ‚Allah memiliki anak‛, ‚Allah tak lain adalah Isa anak Maryam‛,
114 115
Ibid., vol. 3, hlm. 327-329. Ibid., hlm. 329.
80 atau ‚Allah adalah satu dari tiga (oknum)‛, maka Trinitas tersebut mutlak tertolak.116 Ketertolakan Trinitas oleh al-Qur’an inilah yang menurut T}aba>t}aba>’i> menjadi salah satu bukti pengecualian dari bagian Bibel yang di-tas}di>q oleh al-Qur’an. Meskipun demikian, sebagaimana disinggung di awal, ketertolakan Trinitas tidak lantas membuat T}aba>t}aba>’i> menolak Bibel secara keseluruhan sebagai kitab suci dari Tuhan, lebih-lebih menolak untuk melakukan kutipan kepadanya sebagai sumber tafsir. 4. Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m
Tafsi>r al-Qur’a>n al-H}aki>m adalah karya Muhammad Rasyi>d Rid}a> yang inspirasi penulisannya banyak diperoleh dari gurunya, Muhammad ‘Abduh. Tafsi>r yang dikenal dengan al-Mana>r ini tergolong reformis. Selain kritis terhadap tafsir klasik yang dogmatis, al-Mana>r juga peka akan persoalan-persoalan sosial. Terkait Bibel, Rid}a> tampak bersikap kritis. Berpegang teguh pada nilai-nilai validitas dan otentisitas, Rid}a> hanya melakukan kutipan Bibel terhadap Pentateuch dan 4 Injil Kanonik. Selain itu, Injil Barnabas juga dijadikan sumber tafsir, meski tidak tergolong otentik di kalangan umat Kristen.117 Selain itu, Barnabas juga asing di kalangan Muslim Klasik dan pertengahan, seperti Ibnu H}azm (hidup abad 10 M) dan al-Biqa>’i> (hidup 116 117
Ibid., hlm. 326.
Selain tertolak oleh kalangan Kristen, karena tidak sesuai ajarannya, ada kecurigaan bahwa Injil yang ‚memihak‛ kepada Islam ini adalah karangan seorang Kristen yang memeluk Islam. Selain tinjauan konten, penelusuran historis juga menunjukkan kalo kemunculan paling awal Injil Barnabas adalah abad 16 M. Iskandar Jadeed, ‚Suatu Kesaksian Palsu (Satu Pertanyaan: Mengapa Orang Kristen tidak Mengenal Injil Barnabas?)‛. Sumber: www.the-goodway.com/ind/books/4030/format-pdf Diakses 1 September 2014.
81 awal abad 15 M). Geoffrey Parrinder mengatakan bahwa Injil Barnabas, ‚unknown even to Muslim apologetics till the sixteenth century.‛118 Terhadap Pentateuch, Rid}a> mengutip beragam informasi yang tidak ditemukan keterangannya di al-Qur’an.119 Misalnya, ketika menjelaskan kisah banjir besar pada masa Nabi Nuh, Rid}a> banyak mengutip keterangan dari kitab Kejadian (dari 6:9 hingga 9:29).120 Yang menurut Rid}a> menarik adalah kesamaan alasan di dalam al-Qur’an dan di Bibel di balik hukuman banjir yang Allah timpakan kepada umat Nuh, yaitu sifat merusak dan dzalim dalam diri umat Nuh.121 Dalam al-Mana>r, terhadap Injil Kanonik, kutipan yang Rid}a> lakukan tergolong banyak. Pada Injil Matius, kutipan dilakukan sebanyak 14 kali. Pada Markus sebanyak 10 kali. Pada Lukas sebanyak 5 kali. Sementara pada Yohanes sebanyak 13 kali.122 Ketika menafsirkan QS Ali Imran 3:64 tentang Kalimatun Sawa>’ (kesamaan ajaran di antara umat Islam dan Ahli Kitab), Rid}a> mengutip Injil Yohanes 17:3. Kalimatun Sawa>’ dalam al-
118
Geoffrey Parrinder, Jesus in the Qur’an (London: Sheldon Press 1976), hlm. 111. Pernyataan di atas barangkali adalah kesimpulan terburu-buru penulis tentang bidang apa yang menjadi fokus perhatian Rid}a>, berkaitan dengan kutipan-kutipan Bibel (dalam hal ini PL). Namun demikian, setidaknya penulis dapat mendasarkan pernyataan penulis pada ulasan Rid}a> atas QS Hud 11:48-49, di mana Rid}a> membahasa secara panjang lebar kisah-kisah pada nabi dan membubuhinya dengan keterangan yang dikutip dari kitab Kejadian. Nah, kitab Kejadian inilah yang menjadi patokan penulis dalam menyatakan bahwa dari keseluruhan PL hanya Pentateuch saja yang dikutip Rid}a> dalam tafsirnya. Muhammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Mana>r …, vol. 12, hlm 101. 120 Dari mulai usia Nuh, bagaimana keadaan keluarga Nuh, dan perjanjian antara Tuhan dan Nuh (juga umatnya) pasca surutnya banjir. 121 Selengkapnya, Ibid., hlm. 102-112 122 Husni Fithriyawan, Injil dalam Kitab Tafsir al-Qur’an Modern..., hlm. 89-90. 119
82 Qur’an adalah gambaran tentang keesaan Allah, sementara dalam Injil Yohanes 17:3 berisi pesan serupa, yaitu penegasan keesaan Allah.123 Adapun kutipan terhadap Injil Barnabas terjadi sebanyak 3 kali: pasal 72, 96, dan 97.124 Tiga pasal tersebut, secara berturut-turut, memuat pembicaraan tentang: 1) kedatangan Muhammad, yang dijelaskan secara implisit; 2) bahwa akan ada Messiah utusan Tuhan, namun Isa mengakui bahwa bukan dirinya yang dimaksud; dan 3) bahwa tidak akan ada nabi setelah kedatangan sang Messiah yang ciri-cirinya seperti Muhammad tersebut, sambil Isa menegaskan bahwa dirinya bukanlah ‚anak Tuhan‛ meski banyak anugerah yang diberikan kepadanya. Dari 3 pasal ini dapat dirasakan bahwa isi Injil Barnabas memang bersifat polemik. Iskandar Jadeed bahkan meyakini bahwa Injil yang lebih menguntungkan Islam ini, selain ditengarai dikarang seorang Muslim muallaf, kepopuleran Injil Barnabas di era modern adalah akal-akalan Rid}a.> Menurutnya, terjemahan Injil Barnabas versi Arab (oleh Dr. Khalil Sa’adah, pada 1907 M) adalah semata-mata memenuhi permintaan Rid}a.> 125 Dari pemaparan di atas, khususnya pada kutipan Injil Barnabas oleh Rid}a>, penulis khawatir bahwa kajian polemik kitab suci akan merebak
123
Berikut kutipan Yohanes 17:3, ‚Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus‛. Muhammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Mana>r…, vol. 3, hlm. 326. 124
Penulis belum menemukan ayat al-Qur’an yang dibubuhi kutipan Injil Barnabas. Dalam bukunya berjudul Suatu Kesaksian Palsu (Satu Pertanyaan: Mengapa Orang Kristen tidak Mengenal Injil Barnabas?), Jadeed juga mengulas pasal-pasal yang dianggap menyimpang dengan Bibel dan pasal-pasal yang memiliki kesamaan pandangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Iskandar Jadeed, ‚Suatu Kesaksian Palsu… 125
83 kembali di era modern. Apakah ini menjadi tanda-tanda kebangkitan dan kemunculan generasi neo-polemik penerus Ibnu H{azm? Layak dinanti. 5. Understanding The Qur’an Karya berjudul Understanding The Qur’an adalah tafsir tematik dengan 13 pembahasan karya Muhammad Abdel Haleem. Karya ini fokus pada kajian tematik al-Qur’an yang umum dibahas (perennial themes) di kalangan sarjana al-Qur’an. Suatu hal berbeda yang Haleem tawarkan adalah perujukan terhadap Bibel sebagai salah satu sumber tafsirnya. Berbeda dengan Fazlur Rahman yang dalam karya tafsir tematiknya
Major Themes of the Qur’an mengambil kesimpulan adanya keterkaitan antara al-Qur’an dengan Bibel, dan menganggap Muhammad sebagai salah seorang keturunan Yahudi atau Kristen,126 Haleem tak memiliki maksud untuk melakukan kajian relasi ontologis antara al-Qur’an dan Bibel secara mendalam (lebih-lebih antara Muhammad dan persoalan keturunannya), melainkan hanya bermaksud memperkaya pembahasan alQur’an dengan merujuk Bibel.127 Dalam karyanya, Haleem condong mengutip kitab Kejadian. Selain kitab Kejadian, Haleem hanya mengutip beberapa ayat saja.128
126
Berikut kutipannya, ‚The Qur’an is no more than an echo of Judaism (or Christianity) and Muhammad was no more than a Jewish (or Christian) disciple! ‛ Muhammad Abdel Haleem, Understanding The Qur’an (London: IB Tauris & Co. Ltd., 1999), hlm. viii. 127
Haleem tak ingin mempersoalkan pembicaraan dan tinjauan ontologis Bibel, meskipun hal ini bersifat esensial. Ibid. 128 Berikut beberapa ayat selain kitab Kejadian yang dikutip Haleem dalam karyanya, antara lain: 1) Matius 6:9-14 dan Lukas 11:2-4, sebagai Lord’s Prayer; 2) Markus 10:11-12; 3)
84 Kisah Yusuf menjadi pembahasan istimewa dalam tafsir ini. Kisah Yusuf termasuk yang paling banyak dibubuhi kutipan dari kitab Kejadian. Ini wajar karena Haleem mencoba melakukan pembacaan ulang atas kisah Yusuf dengan cara membandingkan informasi dari kitab Kejadian dan QS Yusuf secara berhadap-hadapan. Alasan Haleem di balik pembacaan ulang ini adalah karena para peneliti Barat secara tegas juga memperhadapkan kisah Yusuf versi Bibel yang historis dengan versi al-Qur’an yang relijius. Pembacaan ulang Haleem atas kisah Yusuf menghasilkan suatu tinjauan penting, bahwa kisah Yusuf di al-Qur’an dan Bibel memiliki perberbedaan dalam fungsi dan dalam penekanan kisah.129 Telaah Haleem terhadap kisah Yusuf menghasilkan suatu tesis bahwa kisah Yusuf di dalam al-Qur’an condong kepada didactic spirit (spirit mendidik), sementara kisah Yusuf di dalam kitab Kejadian kental akan nuansa historis sekaligus luput dari uraian nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Misalnya, ketiadaan penekanan rasa sayang Ya’qub kepada Yusuf yang membuncah atau besarnya rasa kehilangan dan ratapan Ya’qub atas kepergian Yusuf ketika diberitakan terbunuh oleh serigala (Kejadian 37:12-36). Sebaliknya, al-Qur’an menggambarkan adanya kedekatan yang mesra antara Ya’qub dan Yusuf anak kesayangannya,
Lukas 18:16; 4) Matius 5:32; 5) Ulangan 20:10-18; 6) Ulangan 13:12-16; 7) I Korintus 15:2; 8) I Korintus 45-47; 9) Kejadian 1:8; dan 10) Mazmur 136. 129 Muhammad Abdel Haleem, Understanding The Qur’an…, hlm. 138-139.
85 juga kedekatan Ya’qub dengan Tuhan tatkala dirundung sedih karena kehilangan anak kesayangannya Yusuf (QS Yu>suf 12:12-18).130 6. Qur’an: A Reformist Translation
Qur’an: A Reformist Translation karya Edip Yuksel, Layth Saleh alShaiban, dan Martha Schulte-Nafeh (selanjutnya Yuksel). Pada sampul depan karya ini terdapat penjelasan bahwa terjemahan al-Qur’an ini menawarkan rujukan kepada Bibel (cross-reference). Ketika memaparkan keterangan suatu ayat al-Qur’an dalam endnotes, jika pembahasan ayat tersebut memiliki kaitan dengan konten Bibel, hampir pasti disertakan kutipkan dari Bibel disertai dengan ulasan yang cukup mendalam. Misalnya, pada QS al-Baqarah 2:59 terkait pengubahan (tabdi>l) kitab Suci oleh orang-orang zalim. Di situ dijelaskan betapa potensi Bibel untuk disimpangkan sangat besar. Sebagai buktinya, disertakan beberapa pasal dalam Bibel yang dianggap telah dimanipulasi. Selain itu, disertakan pula ayat-ayat al-Qur’an yang menopang tesis pemanipulasian tersebut.131 Namun demikian, tidak berarti fokus kutipan terhadap Bibel dalam karya ini hanya pada hal-hal polemik saja. Sepanjang penelusuran penulis, kutipan Bibel dalam karya ini memiliki ragam fungsi. Pertama, sebagai konfirmasi konten ayat al-Qur’an, bahwa apa yang termuat dalam alQur’an juga dimuat dalam Bibel. Misalnya sifat Rahma>n dan Rahi>m Allah dalam QS al-Fatihah 1:3. Ayat ini dikuatkan dengan penjelasan dari 130 131
Ibid., hlm. 156-157.
Untuk mengetahui pasal-pasal dalam Bibel yang telah dimanipulasi, rujuk Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran: A Reformist …, hlm. 64.
86 Keluaran 34:6; II Tawarikh 30:9; Nehemia 9:17 dan 31; Mazmur 103:8 dan 116:5; Yoel 2:13; dan Yunus 4:2. Contoh lainnya adalah penjelasan tentang Hari Akhir yang dijelaskan dalam Matius 12:36; tentang kaumkaum mana saja yang mendapat hukuman dari Allah karena perbuatan mereka;132 atau tentang Monoteisme seperti dalam Ulangan 6:4-5 dan Markus 12:29-30, dan lain-lain.133
Kedua, sebagai pemberi informasi tatkala al-Qur’an absen dalam menjelaskannya. Misalnya tentang kelahiran Isa. Dalam QS Maryam 19:24-25 dijelaskan bahwa kelahiran Isa terjadi di bawah pohon Kurma. Bibel menjelaskan lokasi kelahiran Isa, terlepas dari kontradiksi antara satu sumber Bibel dengan lainnya. Injil Lukas 2:4-7 menginformasikan Nazaret sebagai tanah kelahiran Isa, sementara Injil Matius 1:18-25 dan 2:1-12 menunjukkan Betlehem. Dalam Injil Markus 1: 24, 10:47, 14:67, dan 16:6, Isa disebut sebagai ‚orang Nazaret‛.134
Ketiga, sebagai perbandingan antara al-Qur’an dan Bibel, dalam rangka mencari informasi paling valid. Sekilas, hal ini mengarah kepada potensi polemik kitab suci, dengan asumsi bahwa ‚seorang Muslim pasti 132
Lebih jelasnya, lihat Ibid., hlm. 41. Ibid., hlm. 41 dan 60. 134 Ibid., hlm. 65 dan 216. Terbersit dalam diri penulis tentang cara Yuksel menjelaskan tafsirnya, yang mana lebih mengedepankan sisi ‚kesegeraan‛. Misalnya, sekalipun QS al-Baqarah 2:62 tidak terkait secara langsung kelahiran Isa, namun pembahasan terhadap Isa (termasuk juga kutipan terhadap Bibel di dalamnya) hampir menyeluruh dan seperti ‚merampas hak‛ ayat 19:24-25 tentang kelahiran Isa. Bukti lain yang mendukung kesegeraan ini adalah minimnya keterangan di paruh kedua surat-surat al-Qur’an, dengan hanya memberikan rujukan kepada keterangan ayat-ayat paruh pertama. Misalnya, pembicaraan terkait keesaan Tuhan ( ah}ad) dalam QS al-Ikhlas 112:1. Sepatutnya, ayat ini diberikan penjelasan yang luas terkait keesaan Allah. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Ibid., hlm. 394. 133
87 membela al-Qur’an‛. Namun, berbekal worldview holistik (mencakup beragam informasi) dan analisa kritis, karya ini berhasil meredam segala hal yang mengarah kepada sikap apologetik tersebut. Misalnya, hujatan QS al-Nisa’ 4:171 tentang larangan menjadikan Isa sebagai Tuhan. Selain menunjukkan kutipan Bibel yang mengakui keesaan Tuhan (kitab Ulangan 6:4),135 yang berarti menolak teologi Trinitas Kristen, Yuksel juga menyinggung soal Konferensi Nicaea pada 325 M136 yang menjadi tonggak utama dirumuskannya teologi Trinitas Kristen. Konferensi inilah yang menurut Yuksel menjadi sebab dijadikannya Isa sebagai Tuhan.137 Apa yang tampak seperti perdebatan polemik berbau teologis (dalam fungsi ketiga) adalah bentuk derivasi sikap ‚reformist‛ di diri Yuksel dkk. dalam mengurai kekusutan studi al-Qur’an, dalam hal ini bidang penerjemahan al-Qur’an. Karenanya, perdebatan berbau polemik di atas sulit sekali terhindarkan.
135
Selain dalam Ulangan 6:4, lihat juga pasal-pasal lainnya, dalam Ulangan 4:39, 6:4, dan 32:39; Keluaran 20: 2-3; I Samuel 2:2; I Raja-Raja 8:60, dan Yesaya 42:8 dan 45:5-6. 136 Selain Konferensi Nicaea, Konsili Constantinopel (pada 381 M) dan Konsili Chalcedon pada 451 M) juga menjadi titik balik perumusan teologi Trinitas Kristen. Teologi Trinitas mulanya diperkenalkan pertama kali oleh Tertullianus (120-225 M). Penjelasan tentang Allah, menurut Tertullianus, adalah sebagai berikut: ‚Allah dalam satu substansinya (zatNya) tiga dalam oknum/personaNya.‛ Dalam istilah latin, dikenal Unasubstantia, tres personae. Bambang Broto Sudjaly, Sejarah Dogma Trinitas (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1986), hlm. 7-9. 137 Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran: A Reformist…, hlm. 110. Contoh lainnya adalah konsep ‚Anak Tuhan‛ pada diri Isa. Statemen ‚Anak Tuhan‛ ditemukan dalam Bibel, namun dengan arti ‚pengikut Tuhan‛. Fakta tersebut sekaligus menolak anggapan bahwa Isa adalah satu-satunya ‚anak Tuhan‛. Karena, semua pengikut Tuhan yang taat kepada Tuhan adalah juga ‚Anak-Anak Tuhan‛. Ibid. Masih terkait ‚Anak Tuhan‛, Yuksel mengakui ada keganjilan pada teks yang (sekarang beredar) berbunyi, ‚the only begotten son‛ (dalam Yohanes 1:18 dan 3:16, 18). Menurut Yuksel, kata ‚only begotten‛ hanya tambahan belaka. Pasalnya, kata tersebut tidak ditemukan dalam versi manuskrip Injil Yohanes. Ibid., hlm. 111.
88 7. The Holy Qur’an: English Translation & Commentary Terjemahan al-Qur’an Ahmadiyah The Holy Qur’an: English
Translation & Commentary karya Malik Ghulam Farid138 tergolong karya unik. Dengan mengutip banyak sumber, karya ini memberi kesan informatif bagi pembacanya. Sumber rujukan karya ini tidak hanya kitab hadis dan tafsir saja, melainkan karya-karya dari beragam jenre, seperti: sejarah, geografi, tasawuf, filologi, fiqh, nahwu, ilm al-ma’a>ni, dan kitab suci agama lain seperti Bibel, kitab Zend-Avesta, literatur Budha, literatur Yahudi, dan karya-karya terkait Promised Messiah.139 Sepanjang penelusuran penulis, kutipan Bibel dalam karya ini mencapai lebih dari 120 lokasi di al-Qur’an (diletakkan dalam footnote). Kutipan Bibel pada karya ini memiliki beragam fungsi: ada kalanya menjadi penguat tema yang dibahas oleh al-Qur’an,140 menjadi penjelas istilah-istilah khusus dalam al-Qur’an, seperti kata Isra>i>l yang berarti Ya’qub,141 atau dikolaborasikan dengan temuan ilmiah modern.
138
Tidak akan disadari kalau karya setebal 1500-an halaman ini adalah karya ikhtisar (abridged edition). Edisi asli karya terjemahan al-Qur’an ini setebal 3000 halaman dan tercetak dalam 3 jilid. Ketebalan tersebut dirasakan berat untuk digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, karya ini diringkas menjadi 1500-an halaman dan hanya dalam 1 jilid. Malik Ghulam Farid, The Holy Qur’an: English Translation & Commentary (Rabwah: The Oriental and Religious Publishing Corporation Ltd., 1969), hlm. i. 139 Ibid., hlm. k-p. 140 Sebagai contoh, pada QS 26:14 tentang nabi Musa yang tidak sengaja membunuh seorang Mesir. Kisah ini juga diceritakan dalam Keluaran 2:11-15. Atau, pada QS 26:196 yang berisi kabar kemunculan al-Qur’an pada kitab-kitab suci terdahulu. Kisah ini juga diceritakan dalam Ulangan 18:18 dan 33:2, Yesaya 21:13-17, Habbakuk 3:3-5, Matius 21:42-45, dan Yohanes 16:12-14. Ibid., hlm. 794 dan 811-812. 141 Isra>i>l adalah nama lain dari Ya’qub, sebagaimana dalam Kejadian 32:28. Kata Israel digunakan dalam tiga hal berbeda: 1) Ya’qub secara personal, dalam Kejadian 32:28, 2) Keturunan Ya’qub, dalam Ulangan 6:3-4, dan 3) Sesorang berbudi luhur dan bertakwa kepada Tuhan. Ibid., hlm. 27.
89 Pada jenis kutipan Bibel yang dikolaborasikan dengan temua ilmiah, ada suatu contoh yang menarik untuk dikemukakan. Pada catatan kaki QS Maryam 19:25, dijelaskan bahwa mustahil Isa lahir pada 25 Desember (yang kini diperingati dengan perayaan Natal). Sebabnya, bulan Desember berada pada musim dingin. Sementara, tumbuhnya buah kurma yang menjadi pertanda kelahiran Isa (dalam QS Maryam 19:25), menurut ilmu Astronomi, berlangsung pada Agustus-September. Ditetapkannya 25 Desember (untuk pertama kali) sebagai peringatan kelahiran Isa (tepatnya pada 340 M) sangat kental dengan nuansa politis-psikologis. Ditengarai, ada 2 alasan di balik penetapan tersebut. Pertama, Desember bertepatan dengan titik balik Matahari142 pada musim dingin (winter solstice).
Winter solstice yang juga ulang tahun Matahari (birthday of the Sun) diperingati masyarakat dalam bentuk festival tahunan. Meletakkan perayaan kelahiran Isa pada Desember dianggap tepat karena bersamaan dengan festival yang melibatkan masyarakat secara luas. Kedua, secara khusus, 25 Desember adalah festival penyembahan berhala (pagan
festival) di Roma. Pihak gereja, berkenaan dengan kebiasaan masyarakat merayakan winter solstice dan birthday of sun, yang mana bertepatan dengan pagan festival, meleburkan ketiga perayaan tersebut sebagai
Contoh istilah khusus dalam al-Qur’an yang dijelaskan melalui kutipan Bibel di antaranya: ‘ahd (covenant) antara Tuhan dan Bani Israel (QS al-Baqarah 2:41), anfusakum (hawa nafsu) dalam diri Bani Israel (QS al-Baqarah 2: 55), atau salwa> (burung putih) sebagai hadiah Tuhan bagi Bani Israel (QS al-Baqarah 2:58), dan lain sebagainya. Ibid., hlm. 28, 32, dan 33. 142 Titik balik Matahari hanya terjadi 2 kali dalam 1 tahun (yang lainnya dinamai summer solstice).
90 perayaan suci kelahiran Isa (the feast of the Nativity).143 Selain tertolak oleh keilmuan Astronomi, penetapan 25 Desember juga menyimpang dan tidak sesuai informasi Bibel. Dalam Lukas 2:6-8 dikatakan bahwa ketika Maryam
menidurkan
Isa
anaknya
suatu
malam,
ada
beberapa
penggembala yang masih menjaga sekawanan ternaknya pada malam hari. Gambaran malam yang dipenuhi sekawanan ternak adalah gambaran malam hari yang hangat. Malam yang demikian hangat jelas tidak menggambarkan keadaan malam hari di musim dingin.144 Penolakan perayaan Natal oleh Farid tidak berarti mengkonfirmasi adanya sisi polemik di diri Farid. Pasalnya, kritik yang Farid ajukan murni ulasan kritis yang mendalam; sama sekali bukan untuk tujuan polemik.
Pemaparan karya-karya tafsir di atas adalah usaha penulis membuktikan adanya tafsir-tafsir yang menggunakan Bibel sebagai sumber tafsir. Faktanya, masih banyak karya-karya tafsir lain yang belum terbahas dalam penelitian ini. Berikut adalah beberapa di antaranya: 1. J.M. Rodwell, The Koran (London: J.M. Dent 7 Sons Ltd., 1957). 2. T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Kari>m (Mesir: Mus}tafa> al-Ba>bi> al-H}albi> wa Aula>duhu bi Mis}ra, 1350 H) 3. Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation. and
Commentary (New Delhi: Goodwords Book, 2008). 4. Dan lain sebagainya. 143 144
Malik Ghulam Farid, The Holy Qur’an: …, hlm. 647.
Ibid.
91
BAB III MUSTANSIR MIR DAN STUDI AL-QUR’AN
Penelitian terhadap tokoh dan pemikirannya membutuhkan penelusuran terhadap aktivitas akademik dan karya-karyanya. Penelusuran secara kronologis dan flashback dapat menggambarkan perkembangan pemikiran seorang tokoh, sehingga memudahkan seorang peneliti menyusun biografi akademiknya. Usaha menyusun biografi melalui karya akademik termasuk langkah tempuhan terakhir ketika sumber rujukan dasar, seperti firsthand konwledge (informasi yang didapat berkat kedekatan peneliti dengan tokoh) atau autobigrafi, sulit diperoleh.1 Bab ini terbagi dalam 3 bagian besar. Bagian pertama memaparkan biografi akademik Mustansir Mir, ditinjau dari aktivitas akademik di dalam dan di luar kampus. Bagian kedua membahas fokus studi al-Qur’an Mustansir Mir, diketahui melalui pengkajian terhadap karya-karya Mir terkait studi al-Qur’an. Bagian ketiga membahas paradigma kajian al-Qur’an Mir; bagian ini mengulas
world view Mustansir Mir, inti pemikiran, dan kecenderungan akademiknya.
A. Aktivitas Akademik Mustansir Mir Diakui sendiri oleh Mustansir Mir bahwa aktivitas akademiknya tak pernah diulas dan ditulis oleh peneliti manapun. Sejauh ini, penulis merupakan 1
Lebih jauh mengenai studi tentang biografi, ujuk ‚Biography‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011).
91
92 orang pertama yang menulis biografi akademik Mir. 2 Penulis mendapati banyak kesulitan karena minimnya informasi terkait Mir. Karenanya, penulis bergerilya mencari informasi dari beragam sumber. Informasi yang penulis dapatkan3 diulas dan dicari relevansi akademiknya dengan mempertimbangkan aspek kronologis. Mustansir Mir adalah sarjana berkebangsaan Pakistan. Sosok yang lahir pada 1949 ini menyelesaikan pendidikan Bachelor of Arts (BA) dan Master of
Arts (MA) di Punjab University (Lahore, Pakistan) pada 1967 dan 1969. Tidak puas dengan gelar master di Pakistan, Mir meneruskan studi master untuk kedua kalinya di University of Michigan (Ann Arbor, Michigan, lulus pada 1980). Mir melanjutkan studi doktoral pada almamater yang sama. Pada 1983, Mir meraih gelar Doctor of Philosophy dengan disertasi berjudul ‚Thematic and Structural
Coherence in The Qur’an: A Study of Is}la>hi>’s Concept of Naz}m ‛4 pada jurusan Pengkajian Timur Dekat (Department of Near Eastern Studies).5 3 tahun pasca kelulusannya, Mir bekerja di Michigan University. Di sana, Mir mengabdi sebagai asisten profesor bidang Near Eastern Studies selama 7 tahun (dari 1986 hingga 1993).6 Selain di Michigan University, Mir tercatat pernah mengajar di 2 kampus lain: di salah satu universitas di Lahore (Pakistan, kemungkinan besar 2
Sumber: korespondensi penulis dengan Prof. Mustansir Mir melalui email. Tanggal 26 Okober 2013. 3 Penulis berusaha melacak aktifitas akademik Mir dari sumber manapun; surat kabar kampus, surat kabar di kawasan Mir bertempat tinggal (kota Youngstown), laporan atas aktifitas akademik yang dihadiri Mir baik sebagai panitia atau pembicara, dan dari sumber manapun yang mencatat aktifitas akademik Mir. 4 Mustansir Mir, Coherence in The Qur’an: A Study of Is}la>h}i’s Concept of Naz}m in Tadabbur-i Qur’a>n (Indianapolis: American Trust Publications, 1986). 5 Sumber: http://web.ysu.edu/gen/ysu_generated_bin/documents/basic_module/administration_full_service_ faculty.pdf Diakses pada 1 September 2014. 6 Sumber: http://um2017.org/faculty-history/faculty/mustansir-mir Diakses pada 1 September 2014.
93 adalah Punjab University, kampus alamamaternya) dan di International Islamic University of Malaysia (IIUM).7 Pasca mengajar di 3 kampus tersebut, akhirnya secara permanen Mir mengajar di Youngstown State University (YSU, terletak di kota Youngstown, negara bagian Ohio, Amerika Serikat) hingga kini. Di YSU, Mir mengampu mata kuliah Islamic Studies dengan fokus pada Qur’anic Studies dan Iqbal Studies. Selain itu, Mir juga diberi amanah mengelola The Center for Islamic Studies (TCIS, Pusat Kajian Studi Islam, secara struktural berada di bawah Department of Philosophy and Religious Studies).8 Di bawah kendali Mir, TCIS berkembang cukup pesat. Ini dibuktikan dengan terlaksananya beberapa program yang dicanangkan TCIS, antara lain: 1) Penerbitan Jurnal
Studies in Contemporary Islam sejak 1999 hingga 2008.9 Jurnal ini fokus pada pemberian ruang bagi perkembangan kajian Islam di luar Timur Tengah; 2) Penerbitan buletin Iqbal Na>mah yang mengkaji pemikiran Iqbal, seorang penyair dan filosof modern India;10 3) Penerbitan buletin E Pluribus di bawah program
Pluralism Project yang juga sub-program dalam TCIS. Selama tahun 2004-2009, buletin ini hadir di kalangan civitas akademika kampus YSU dan masyarakat Lembah Mahoning (valley), kota Youngstown;11 4) Pengadaan workshop dan seminar tahunan bertema Islamic Studies. Program ini (sejak 2000 hingga 2011) diperuntukkan bagi civitas akademika kampus YSU dan publik Youngstown. 7
Sumber: http://berkleycenter.georgetown.edu/people/mustansir-mir Diakses pada 1 September 2014. 8 Sumber: http://web.ysu.edu/class/islamst Diakses pada 1 September 2014. 9 Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/Studies_in_Contemporary_Islam_m232.html Diakses pada 1 September 2014. 10 Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/IqbalNamah_m265.html Diakses pada 1 September 2014. 11 Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/Pluralism_Project_m267.html Diakses 1 September 2014.
94 Dengan mendatangkan pembicara dari negara lain, diharapkan diskusi yang dilakukan menjadi lebih kaya perspektif sekaligus memperkaya kajian Islamic Studies di YSU;12 5) Penerbitan artikel tentang Islam dari aspek sejarah dan budaya. Sayang, program ini tidak berjalan sesuai harapan; disebabkan minimnya kontribusi para peneliti dalam program ini;13 dan 6) Pembentukan Komite Penasehat (advisory committee) yang untuk memperkokoh pondasi keilmuan TCIS dan menegaskan perannya sebagai agen pendidik dan pengayom bagi masyarakat Youngstown. Ada 6 penasehat di komite ini; 3 orang dari kampus YSU dan 3 orang dari komunitas Muslim setempat. 6 penasehat tersebut akan menjadi partner TCIS dalam kajian-kajian keislaman selama 2 tahun.14 Selain sibuk dengan aktivitas mengajar dan mengelola TCIS, Mir tak lupa berpartisipasi aktif dalam aktivitas akademik-publik baik dalam komunitas lokal maupun internasional. Pada tingkatan lokal (di sekitar kota Youngstown) Mir banyak berpartisipasi dalam diskusi publik baik yang digelar oleh YSU maupun komunitas setempat.15
12
Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/Center_Activities_m266.html Diakses pada 1 September 2014. 13 Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/Youngstown_Papers_in_Islamic_Religion_History_and_Culture_m3 71.html Diakses 1 September 2014. 14 Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/Advisory_Committee_on_Islamic_Studies_m237.html Diakses 1 September 2014. 15 Berikut adalah beberapa aktivitas Mir pada tingkatan lokal: 1. Pembicara pada diskusi terosisme yang diadakan YSU pasca tragedi 11 September 2001, pada 18 Oktober 2001. Sumber: http://www.vindy.com/news/2001/oct/19/ysuforum-focuses-on-bin-laden/?print Diakses pada 1 September 2014. 2. Pembicara pada diskusi monotheistic religions yang diadakan The Adult Education Committee of St. Michael Parish. Kegiatan mingguan selama oktober 2001 tersebut mengundang banyak pembicara. Pada 15 Oktober, Rabbi Simeon Kolko berbicara tentang Judaism, 22 Oktober Pat Manning berbicara tentang Christianity, dan 29
95
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9. 10.
11.
12.
13. 14.
Oktober Mustansir Mir berbicara tentang Islam. Sumber: http://www.vindy.com/news/2001/oct/06/pastor-appreciation/?print Diakses pada 1 September 2104. Pembicara di Howland Community Church pada 11 Nopember 2001, dengan tema ‚Islam in the Context of Current Conflicts‛. Sumber: http://www.vindy.com/news/2001/nov/03/islam-talk-set/?newswatch Diakses pada 1 September 2104. Pembicara pada pertemuan dengan perwakilan PPB dengan tema ‚Roots of Terrorism‛, diselenggarakan di Youngstown pada 24 Januari 2002. Sumber: http://www.vindy.com/news/2002/jan/15/roots-of-terrorism/?print Diakses pada 1 September 2104. Penerima penghargaan dalam bidang Philosophy and Religious Studies dari Distinguished Professorship Awards, pada 28 April 2002. Sumber: http://www.vindy.com/news/2002/apr/28/ysu-honors-convocation/?print Diakses pada 1 September 2104. Pembicara utama (keynote speaker) pada acara open house Islamic Society of Greater Youngstown pada 11 Sepetember 2002, memperingati setahun tragedi 11 Sepember 2001.15 Mir adalah juru bicara (spokesman) bagi komunitas Islamic Society of Greater Youngstown. Sumber: http://www.vindy.com/news/2002/apr/07/mahoningvalley-leaders-hope-to-rekindle-dialogue/?print Diakses pada 1 September 2014. Pembicara pada seminar bertema ‚Sejarah, Kesenian, Arsitektur, Agama, dan Praktek Peribadatan dalam Islam‛, yang diselenggarakan YSU di Kilcawley Center, 13 Agustus 2003. Acara ini merupakan rangkaian acara CROW (Creative Retirement Opportunities That Work), organisasi masyarakat yang fokus pada pembelajaran intensif bagi para lansia. Sumber: http://www.vindy.com/news/2003/aug/07/noarrest-made-in-rape-beating/?print Diakses pada 1 September 2104. Memimpin diskusi bertajuk ‚Studying The Jewish and Islamic Tradition: The Joseph Story‛ yang digelar di kampus YSU pada 15 Pebruari 2006. Sumber: US Fed News Sevice, edisi 13 Pebruari 2006. Pembicara pada seminar bertajuk ‚Studying The Jewish and Islamic Traditions: The Exodus Story‛, diagendakan YSU pada 5 April 2006. Sumber: US Fed News Sevice, edisi 3 April 2006. Pembicara pada Leaders Symposium pasca-serangkaian acara drama dan pementasan ‚J.B.‛ karya Archibald MacLeish yang diselenggarakan Jurusan Teater YSU. Forum pada 7 April 2006 ini membicarakan konten pementasan dan relasinya dengan isu-isu agama yang sedang hangat; Mir menjadi pembicara mewakili komunitas Muslim. Sumber: http://www4.vindy.com/content/entertainment/317386751566214.php Diakses pada 1 September 2104. Salah satu pemateri pada diskusi panel bertajuk ‚The Sacred and Secular: A Clash about Civilization‛ yang membahas kontroversi pembuatan karikatur Muhammad, pada 19 April 2006, di McDonough Museum Art. Sumber: http://www4.vindy.com/content/local_regional/285905043979885.php Diakses pada 1 September 2104. Mustansir Mir menjadi pembicara pada seri kuliah musim gugur 2007 yang diadakan YSU, dengan tema bertajuk ‚Understanding The Roots of The Problems in The Middle East‛, pada 2 Nopember 2007. Sumber: US Fed News Sevice, edisi 15 Oktober 2007. Pembicara pada diskusi publik bertajuk ‚Afterlife‛ yang diadakan oleh YSU di Galeri Kilcawley Center, kampus YSU, pada 31 Januari 2008. Sumber: US Fed News Sevice, edisi 28 Januari 2008. Pembicara pada seminar bertajuk ‚Studying The Jewish and Islamic Traditions: Conception of Evils‛, oleh YSU pada 10 April 2008. Sumber: News Brief Youngstown State University, edisi 4 April 2008.
96
Selain di Youngstown, Mir juga berpartisipasi dalam kegiatan akademik internasional. Berikut adalah infromasi kegiatan Mir yang berhasil dikumpulkan. 1. Seminar bertajuk ‚Building Bridges‛, dialog interrelijius antara Muslim dan Kristen. Seminar ini digelar di Doha (Qatar) pada 7-9 April 2003.16 2. Konferensi al-Qur’an dua tahunan The Qur’an: Text, History, & Culture pada 12-14 Nopember 2009, di SOAS (The School of Oriental and African Studies), University of London. Selain menjadi moderator diskusi
Structure and Composition, Mir menjadi pembicara dengan makalah ‚Reading The Qur’an with The Bible in Mind‛.17 3. Konferensi al-Qur’an dua tahunan The Qur’an: Text, Society, and Culture pada 10-12 Nopember 2011, di SOAS (The School of Oriental and African Studies), University of London. Selain menjadi moderator diskusi
15. Pembicara pada seminar umum oleh YSU bertajuk ‚Studying The Jewish and Islamic Traditions: Concept of Justice‛, pada 30 September 2009. Sumber: News Brief Youngstown State University, edisi 28 September 2009. 16. Pembicara pada seminar umum oleh YSU bertajuk ‚Studying The Jewish and Islamic Perceptions of History‛, pada 18 November 2009. Sumber: News Brief Youngstown State University, edisi 28 September 2009. 17. Pembicara pada seminar umum oleh YSU bertajuk ‚Studying Judaic and Islamic Traditions: Women in Judaism and Islam‛, pada 10 Pebruari 2010. Sumber: News Brief Youngstown State University, edisi 8 Pebruari, 2010. 18. Pembicara di salah satu televisi lokal, pada serangkaian acara perayaan St. Patrick’s Day di Youngstown, 17 Maret 2012. Secara khusus, diskusi Mir adalah terkait perayaan 5 tahun Diversity Leadership Recognition. Sumber: http://www.vindy.com/news/2012/mar/17/today-is-st-patricks-day-andcelebration/?print Diakses pada 1 September 2104. 19. Pembicara pada Community Lecture Series yang diselenggarakan oleh C.S. Lewis Institute (CSLI). Kuliah publik bertema ‚ Are We Free and Does It Matter?‛ tersebut dilaksanakan pada 21 Maret 2014 di Butler Borth, Youngstown; membahas kaitan antara freewill (kebebasan untuk berkehendak) dan determinism (kehendak terbatas) dalam filsafat. Sumber: The Senior News, vol. 28, no. 3, Maret 2014, hlm. 11. Sumber lain: http://www.vindy.com/news/2014/mar/18/discussion-will-explorechristian-muslim/?print Diakses pada 1 September 2104. 16 Michael Ipgrave (ed.), Scriptures in Dialogue: Christian and Muslim Studying The
Bible and The Qur’an Together (A Record of The Seminar ‘Building Bridges’ held at Doha, Qatar, 7-9 April 2003), (London: Church House Publishing, 2004). 17
Sumber: https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2009/ Diakses pada 1 September 2014.
97
Textual Study of The Qur’an I, Mir menjadi pembicara dengan makalah ‚The Structure of Surah al-Baqarah According to Amin Ah}san Is}la>h}i>‛.18 4. Konferensi al-Qur’an dua tahunan The Qur’an: Text, Society, and Culture pada 7-9 Nopember 2011, di SOAS (The School of Oriental and African Studies), University of London. Selain menjadi moderator diskusi Ethics
II, Mir menjadi pembicara dengan makalah ‚Why Did The Egyptian Noblewoman Cut Their Hands? Is}la>h{i>’s Interpretation of Qur’an 12:3‛.19 5. Diberi amanah untuk menjadi salah satu penasihat (advisory board) jurnal tahunan al-Hikmat terbitan Punjab University, kampus almamater Mir.20 6. Diberi amanah untuk menjadi salah satu editor (Editorial Board) pada Journal of Qur’anic Studies terbitan Center for Islamic Studies at SOAS (School of Oriental and African Studies).21 Dari informasi di atas, diketahui Mir banyak terlibat dalam diskusi publik dengan tema interrelijius. Sikap Mir yang tampak egaliter, inklusif, dan toleran, barangkali memiliki kaitan dengan karya-karya artikel Mir di awal tahun 2000-an yang banyak mengkaji seputar relasi antara Islam, Kristen, dan Yahudi.22 Selain itu, tragedi terorisme 11 September 2001 juga menjadi sebab utama Mir aktif dalam dialog interrelijius. Pasca tragedi WTC, seperti diketahui bersama, hampir semua komunitas Muslim di Amerika Serikat disibukkan dengan ‚aktivitas‛
18
Sumber: https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2011/ Diakses pada 1 September 2014. 19 Sumber: https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2013/ Diakses pada 1 September 2014. 20 Tidak diketahui berapa lama Mir menjabat sebagai Advisory Board pada Jurnal alHikmat. Sumber: http://pu.edu.pk/home/journal/11/Editorial-Board.html Diakses pada 1 September 2104. 21 Tidak diketahui berapa lama Mir menjabat sebagai Editorial Board pada Journal of Qur’anic Studies. Sumber: Journal of Qur’anic Studies, Vol. 5. No. 1 dan 2, 2003. 22 Lihat tabel karya makalah ilmiah Mir pada Bab 1.
98 memperkenalkan sisi damai Islam kepada segenap publik AS; Mir menjadi salah seorang yang aktif ‚memperkenalkan kembali‛ Islam di kawasan Youngstown. Mir memiliki pandangan keagamaan bahwa ada kebenaran di agama selain Islam. Pandangan ini menjadi pondasi dasar bagi Mir dalam menilai bahwa baik al-Qur’an dan Bibel memiliki kesamaan kandungan pesan.23 Pandangan ini diterapkan Mir dalam karya tafsirnya Understanding The Islamic Sripture: A
Study of Selected Passages from The Qur’an yang secara eksplisit mengutip Bibel sebagai salah satu sumbernya. Menurut Mir, mengutip Bibel bukan hal asing dalam tradisi tafsir. Ada beberapa tafsir Klasik dan Modern yang mengutip Bibel. Hanya saja, para mufasir tersebut ‚enggan‛ menunjukkan pengakuan secara formal (formal recognition) akan adanya kebutuhan terhadap Bibel sebagai salah satu sumber rujukan bagi karya tafsir mereka.24
B. Fokus Studi al-Qur’an Mustansir Mir Ada sebuah pernyataan bahwa suatu karya dalam bentuk buku adalah cerminan keutuhan pemikiran seseorang. Dibandingkan makalah ilmiah, karya buku lebih unggul pada banyak sisi, antara lain pada kedalaman pembahasan dan keluasan cakupan persoalan. Penulis sepakat akan pernyataan tersebut, namun enggan menyepakati pernyataan tersirat soal superioritas karya buku atas karya makalah ilmiah. Selain berbeda spektrum, biasanya makalah ilmiah difungsikan
23
Sumber: https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2009/ Diakses pada 1 September 2014. 24 Mustansir Mir, Understanding the islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an (New York: Pearson Education, 2008), hlm. 8-9.
99 sebagai catatan pendahuluan singkat (preliminary notes atau brief survey) yang mencoba melihat titik lemah suatu keilmuan atau teori tertentu. Fakta ini justru mencerminkan sisi kritis para penulis makalah ilmiah. Adapun tolok ukur bagus dan tidaknya suatu karya adalah kontribusi nyata suatu karya terhadap kemajuan ilmu, dibuktikan dengan banyak-sedikitnya kutipan dan perujukan karya-karya lain terhadapnya. Berikut ini akan dipaparkan fokus studi al-Qur’an Mustansir Mir yang disarikan dari karya-karyanya, baik dalam bentuk buku maupun makalah ilmiah. 1. Koherensi al-Qur’an Konsep Koherensi al-Qur’an (Naz}m) sama sekali bukan pemikiran Mustansir Mir, sekalipun dirinya banyak menulis tentang topik tersebut. Pasalnya, karya buku Mir dengan topik Koherensi al-Qur’an tak lain hanyalah ulasan atas pemikiran Ami>n Ah}san Is}lah}i> dalam tafsir Tadabbur-
i Qur’a>n. Konsep koherensi Is}la>hi} >, menurut Mir, tergolong berbeda dan lebih advanced dibandingkan dengan pemikiran koherensi al-Qur’an dari sarjana al-Qur’an lain. Pandangan Is}la>hi} > diketahui mengadopsi pemikiran gurunya, Hami
n Fara>h}i>.25 Melalui karya Coherence in The Qur’an
(A Study of Is}la>hi>’s Concept of Naz}m in Tadabbur-i Qur’a>n), Mir berhasil
25
Amin Ah}san Is}la>h}i> adalah murid yang paling dekat dengan Hami>d al-Di>n Fara>h{i>. Karya Tadabbur-i Qur’a>n merupakan karya Is}la>h}i> yang inspirasinya diambil dari pemikiran Fara>h{i> tentang Naz}m. Mustansir Mir, Coherence in The Qur’an..., hlm. 8. Keterangan lainnya dapat dirujuk pada website resmi tafsir Tadabbur-i Qur’a>n pada www.tadabbur-i-quran.org/a-brief-introduction-to-tadabbur-i-quran/intro-by-shehzad-saleem/ Diakses 1 September 2014.
100 mengulas konsep Koherensi al-Qur’an menurut Is}la>h}i> dan menelusuri geneologi pemikiran Naz}m dalam studi al-Qur’an.26
Naz}m di era Klasik dan Pertengahan terbagi ke dalam 2 kategori umum. Kategori pertama terbatas pada hubungan antara kata dan makna. Ketika itu, Ulama Klasik masih memandang Naz}m sebatas pada persoalan kata dan makna dalam ayat al-Qur’an.27 Sementara kategori kedua fokus pada linearitas kandungan pesan al-Qur’an yang termuat dalam satu surah al-Qur’an. Meskipun lebih luas cakupannya, tinjauan linearitas kandungan pesan al-Qur’an pada kategori kedua masih memanfaatkan model pertama (hubungan antara kata dan makna) sebagai mikro-struktur bangunannya.28
26
Koherensi al-Qur’an adalah konsep sarjana Muslim yang ditujukan sebagai konter atas pandangan sarjana Barat tentang ‚tidak intergral‛nya susunan al-Qur’an (disconnectedness, disjointedness, disunity) karena tidak padunya pembicaraan ayat-ayat al-Qur’an dalam banyak surah. Thomas Carlyle Menilai al-Qur’an sebagai ‚keteracakan yang rumit‛ (confused jumble). Menurut Mir, barangkali Carlyle dipengaruhi pra-pemahaman akan Bibel yang struktur isinya tersusun sistemastis-kronologis, sementara al-Qur’an tidak demikian. Mustansir Mir, ‚Some Aspects of Narration In The Qur’an‛ dalam Roberta Starman Sabbath (ed.), Sacred Tropes: Tanakh, New Testament, and Qur’an as Literature and Culture (Leiden and Boston: Brill, 2009), hlm. 93. Meskipun hadir sebagai konter atas sarjana Barat, nyatanya konsep Koherensi al-Qur’an telah ada sejak era Klasik Islam. Bermula dari kajian I’ja>z al-Qur’a>n yang ramai diperbincangkan di kalangan sarjana Muslim, muncul istilah Naz}m al-Qur’a>n (naz}m secara harfiah berarti susunan atau gubahan syair) yang dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tidak ada satu teks manapun yang dapat meniru kedigdayaan al-Qur’an di balik susunan ayat-ayatnya yang indah. Mustansir Mir, Coherence in The Qur’an..., hlm. 10. 27 Abu> Sulayma>n H}amd Ibnu Muh}ammad Al-Khat}t}a>bi> (319-388 H /931-998 M) berpendapat bahwa Naz}m tak lain adalah susunan kata ‚khusus‛ yang dimiliki al-Qur’an, di mana mampu menghasilkan makna khusus pula. Artinya, Naz{m memiliki ‚makna‛ yang sama sekali baru dan terlepas dari makna dasar kosa kata yang digunakan. Tiga pemikiran Naz}m sarjana Klasik lainnya, seperti Abu> Bakr Muh}ammad Ibnu alT}ayyib al-Ba>qilla>ni> (338-403 H/ 950-1013 M), ‘Abd al-Qa>hir al-Jurja>ni> (w. 471/1078 M) dan Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d Ibnu ‘Umar al-Zamakhsyari> juga masih pada kisaran antara pertautan kosa kata dan makna dalam al-Qur’an. Lebih lengkapnya, rujuk Ibid., hlm. 11-16. 28 Al-Zarkasyi> (745-794 H/ 1344-1391 M) menyebut linearitas tersebut sebagai Muna>saba>t (interrelasi antar ayat-ayat dalam suatu surah al-Qur’an). Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, diikuti sarjana Muslim Pertengahan lain, berusaha menerapkan konsep Naz}m al-Qur’a>n kepada seluruh surah al-Qur’an. Yang luput dari mereka adalah tiadanya usaha mereka menyatukan semua surah dalam al-Qur’an sebagai satu kesatuan integral dan saling berkaitan. Ibid., hlm. 17-19.
101 Adapun Naz}m di era Modern, pendekatan yang digunakan adalah organik-holistik yang secara khusus tertuju pada konsep ‚ surah as unity ‛ (surah sebagai satu kesatuan). Para sarjana al-Qur’an modern berbeda pendapat dalam istilah yang mereka gunakan. Asyraf ‘Ali> Thanavi menggunakan istilah rabt (ikatan), bahwa setiap ayat dalam sebuah surah terkait satu sama lain, baik dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya. Sayyid Qutb menggunakan istilah mih}wa>r (central thesis), bahwa ayatayat dalam satu surah terfokus pada satu ide utama. Karenanya, setiap ayat harus dipahami mengacu pada ide utama tersebut. ‘Izzat Darwaza menyebut mutara>bit} (berkaitan) dan munsajim (harmoni) untuk kelompok ayat dalam satu surah yang saling berkaitan. M. Husein T}aba>t}aba>’i> menyebut adanya gharad} (tujuan) pada setiap surah; Gharad} meliputi bagian pendahuluan surah, kesimpulan akhir, dan pembicaraan umum di dalamnya. Amin Ah}san Is}la>hi} > menyebut adanya central theme yang disatukan oleh ‘amu>d (secara harfiah berarti ‚tiang‛). ‘Amu>d, dengan demikian, mengikat antar bagian surah. Ketika ‘amu>d ditemukan, maka
central theme surah akan diketahui. Dari semua term sarjana modern di atas, yang disebut paling akhir adalah yang paling ambisius membuktikan kebenaran konsep The Sura as Unity.29
29
Secara umum, aplikasi konsep Surah as a unity dilakukan dengan 2 langkah tempuhan: 1) surah dibagi ke dalam beberapa bagian, lalu 2) mufasir membuat hubungan antar bagian dalam surah tersebut sehingga membentuk jaringan diskursus yang antar bagiannya saling sambungmeyambung. Mustansir Mir, ‚The Sura as A Unity: A Twentieth Century Development in Qur’an Exegesis‛ dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader Shareef (ed.), Approaches to The Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993), hlm. 212-215, dan 217.
102 Usaha melacak geneologi pemikiran Naz}m mengantarkan Mir pada 3 kata kunci penting yang mampu merepresentasikan makna Naz}m, yaitu
Continuity, Context, dan Coherence. Continuity adalah hubungan atau linkage antar ayat dalam satu surah, baik semua ayat atau sekelompok ayat saja. Context berbicara mengenai kerangka makna yang terbentuk dari satu ayat atau lebih, sehingga membantu memahami detail masingmasing ayat dari kelompok ayat tersebut. Adapun Coherence berbicara mengenai kesatuan tema pembicaraan suatu surah.30 Selain mendedah pemikiran Is}la>hi} > dan mengantarkan Mir pada penelusuran geneologi pemikiran Naz}m dalam tradisi tafsir, Mir secara khusus juga mengulas konsep Naz}m gagasan Abu> Bakr al-Ba>qilla>ni>,31 dan melakukan kritik terhadapnya.32 Dua fakta ini, yaitu pelacakan geneologi kajian Naz}m dalam studi tafsir dan ulasan atas kritik Ba>qilla>ni> terhadap 30
Mustansir Mir, ‚Continuity, Context, and Coherence in The Qur’an: A Brief Review of The Idea of Naz}m in Tafsi>r Literature‛ dalam al-Baya>n Journal, vol. 11, no. 2, Dec 2013, hlm. 15, dan 26-27. 31 Menurut Ba>qilla>ni>, Naz}m adalah relasi ideal antara kata dan makna. Diksi, keindahan susunan kata, dan kemuliaan pimikiran yang melekat dalam al-Qur’an merupakan bukti keberadaan Naz}m al-Qur’a>n. Menurut Ba>qilla>ni>, 3 bagian Naz}m tersebut menjadikan al-Qur’an lebih superior dibandingkan dengan puisi Arab yang sezaman dengan al-Qur’an. Mustansir Mir, ‚Ba>qilla>ni>’s Critique of Imru> al-Qays‛ dalam James A. Bellamy (ed.), Studies in Near Eastern Culture and history: In Memory of Ernest T. Abdel-Massih (Ann Arbor, Michigan: Center for Near Eastern and North African Studies, The University of Michigan), 1990, hlm. 118. 32 Statemen Ba>qilla>ni di atas, jika ditinjau secara ilmiah, tentu patut dipersoalkan. Mir mencatat ada 2 hal yang bermasalah dari konsep Naz}m Ba>qilla>ni. Pertama, Ba>qilla>ni gagal membedakan dua cara pandang dalam linguistik: sifat-dasar analisis sastrawi (literary analysis) dan sifat-dasar analisis logis (logical analysis). Ibid., hlm. 119 Kedua, adanya sikap sinis Ba>qilla>ni ketika menguji konsep Naz}m pada karya puisi Imru> al-Qays berjudul Mu’allaqah. Mir mencatat, ketika al-Qays menghasilkan karya puisi yang topik pembicaraannya telah disinggung penyair lain, Ba>qilla>ni dengan sinis menganggap karya al-Qays ‚tidak orinisil‛. Adapun ketika al-Qays mampu melakukan inovasi dalam karya puisinya, Ba>qilla>ni mengkritik al-Qays karena telah ‚berada di luar umum‛nya gaya penyair kebanyakan. Menurut Mir, Ba>qilla>ni> dipenuhi karakter negatif jika berkaitan dengan al-Qays. Lebih dari itu, menurut Mir, konsep Naz}m cetusan Ba>qilla>ni> gagal diterapkan dan tak memiliki pondasi kuat untuk dijadikan sebagai bagian dari teori-teori I’ja>z al-Qur’a>n. Ibid., hlm. 129.
103 al-Qays, menjadi bukti bahwa Mir memahami betul kajian Koherensi alQur’an secara mendalam. 2. Kajian Linguistik al-Qur’an Salah satu concern kajian Mustansir Mir adalah linguistik al-Quran. Ini dibuktikan dengan 2 karyanya terkait linguistik, yaitu: 1) Dictionary
of Qur’anic Terms and Concepts; dan 2)Verbal Idioms of The Qur’an. Karya pertama (terbit 1987) merupakan kamus yang memuat konsep dan istilah dalam al-Qur’an. Teknis penyusunannya menggunakan istilah Inggris sesuai urutan abjad latin. Misalnya, ablution digunakan sebagai pengganti wud}u>’, justice sebagai pengganti ‘adl, dan seterusnya. Dalam mengurai istilah dan konsep al-Qur’an, Mir merujuk banyak karya sarjana Muslim. Empat karya yang paling sering dikutip adalah: 1) Ihya>’ Ulu>m al-
Di>n karya al-Ghazali, 2) Hujjat Alla>h al-Ba>lighah karya Sha>h Wali> Alla>h al-Dihlawi>, 3) Tafhi>m al-Qur’a>n karya Abu> al-A’la> Mudu>di>, dan 4)
Tadabbur-i Qur’a>n karya Ami>n Ah}san Is}la>hi} >.33 Adapun karya kedua, Verbal Idioms of The Qur’an (terbit 1989), merupakan kamus idiom dengan fokus pada idiom yang berbentuk kata kerja (verbal idioms). Teknis penyusunannya menggunakan istilah Arab dan ditulis sesuai urutan abjad Hijaiyah.34 Sebagai contoh, kata ittakhaz|a dapat ditinjau dari 4 formulasi berbeda (sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an). 1)
33
Mustansir Mir, Dictionary of Qur’anic Terms and Concepts (New York: Garland Publishing, Inc., 1987), hlm. xii-xiii. 34 Mustansir Mir, Verbal Idioms of The Qur’an (Ann Arbor: Center for Near Eastern and North African Studies, University of Michigan, 1989).
104
ittakhaz|a+objek; 2) ittakhaz|a+objek+objek; 3) ittakhaz|a+objek+preposisi; dan 4) ittakhaz|a+objek+objek+preposisi ‚bayna‛. Berikut adalah contohcontoh kata ittakhaz|a dalam ayat-ayat al-Qur’an, secara berurutan, di mana masing-masing dari keempat formulasi kata ittakhaz|a tersebut memiliki makna khas yang berbeda satu sama lain.35 1. Ya> ayyuha> al-laz|i>na a>manu> la> tattakhiz|u> bit}a>natan min du>nikum… (QS A>li ‘Imra>n 3:118) 2. Wa ma> kuntu muttakhiz al-mud}illi>n ‘ad}uda>… (QS al-Kahf 18:51) 3. Qul ma> as-alukum ‘alaih mi ajrin illa> man sya>-a an yattakhiza ila>
Rabbihi sabi>la>… (QS al-Furqa>n 25: 57) 4. Tattakhiz|un> ayma>nakum dakhalan baynakum… (QS al-Nah}l 16:92) Kedua karya Mir di atas berpengaruh bagi Mir dalam membangun paradigma kajian linguistik Mir pada tahun-tahun selanjutnya. Pada 1990, misalnya, lahir dua tulisan berjudul Between Grammar
and Rhetoric (Bala>ghah): A Look at Qur’an 2:217 dan The Qur’anic Oaths: Farahi’s Interpretation. Makalah Between Grammar and Rhetoric (Bala>ghah): A Look at Qur’an 2:217 berisi ulasan gramatikal terhadap QS al-Baqarah 2:217 yang mana mengantarkan Mir pada tesis soal kemungkinan diajukannya aspek yang lebih dari sekedar unsur gramatikal,
35
Ibid., hlm. 38-40.
105 yaitu retorika (Bala>ghah), dalam menyelesaikan problem pada QS alBaqarah 2:217.36 Adapun makalah The Qur’anic Oaths: Farahi’s Interpretation, yang membahas persoalan sumpah dalam al-Qur’an, fokus pada 2 hal. Pertama, perdebatan mengenai kealpaan sebagian mufasir Klasik dalam membahas
muqsam ‘alaih (complement of oath); mereka hanya memberi perhatian mendalam kepada muqsam bih (object of oath).37 Kedua, Tawaran Fara>h}i> dalam persoalan tersebut, dengan cara meletakkan struktur oath pada tempat yang ‚seharusnya‛, yaitu pada tinjauan historis-linguistik. Secara historis, oath yang relijius memiliki ragam bentuk ekspresi beragam di tengah masyarakat.38 Keberagaman jenis sumpah yang ada (baik dari sisi 36
Potongan ayatwa kufrun bihi>, pada QS al-Baqarah 2:217, yang terletak di antara wa s}addun ‘an sabi>lilla>h dan wa al-masjid al-h}ara>m, dirasa ganjil oleh kalangan sarjana al-Qur’an karena tak sesuai unsur gramatikal Arab dan membuatnya rancu jika ditafsirkan. Perlu telaah secara lebih cermat dan seksama dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Mustansir Mir, ‚Between Grammar and Rhetoric (Bala>ghah): A Look at Qur’an 2:217‛ dalam Islamic Studies, Vol. 29, No. 3, Autumn 1990, hlm. 278-280. Menurut Mir, lafal kufrun bihi> memiliki relasi yang tidak sekedar gramatikal dengan bagian ayat lainya. Lafal kufrun bihi> memang ‚menyelinap‛ secara aneh. Namun, menurut Mir, hal tersebut memiliki penjelasannya tersendiri. 1) Keberadaan kufrun bihi> justru menegaskan bahwa setiap keburukan yang digambarkan dalam QS al-Baqarah 2:217 disebabkan adanya kekufuran. 2) Lafal kufrun bihi> dibaca seolah-olah tidak berada di tengah-tengah ayat tersebut. Keberadaanya sebagai sisipan saja (parenthetic remark). 3) Dimunculkannya kufrun bihi> adalah dalam rangka menarik perhatian pembaca. Setelah memberi penjelasan cukup panjang, Mir menawarkan tinjauan bala>ghah dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Menurut Mir, QS alBaqarah 2:217 merupakan ayat dengan gaya bahasa satire (sindiran), seperti juga ayat-ayat satire lain dalam al-Qur’an, misalnya QS al-Maidah 5:2, QS al-A’raf 8:36, dan QS al-Fath 48:25. Ibid., hlm. 280-283. 37 Tafsir al-T}aba>ri>, al-Zamakhsyari>, dan al-Ra>zi membuktikan keberpihakan pada muqsam bih, misalnya, dengan pelekatan unsur‘az}amah (kemuliaan) pada muqsam bih. Mustansir Mir, ‚The Qur’anic Oaths: Farahi’s Interpretation‛ dalam Islamic Studies, Vol. 29, No. 1, Spring 1990, hlm. 6-7. Keberpihakan tersebut membuat posisi muqsam ‘alaih tidak lagi dianggap penting, terisolasi dari muqsam bih, dan bahkan tidak lagi memiliki keterkaitan integral dengan muqsam bih sebagai satu kesatuan struktur Qasm atau Oath. Ibid., hlm. 10. 38 Ekspresi sumpah di tengah masyarakat dilakukan dengan beragam cara. Antara lain, dengan: a) berjabat tangan dengan tangan kanan ( yami>n, secara harfiah juga berarti sumpah); b) mencelupkan tangan ke dalam semangkuk air; c) menggosokkan parfum di tangan; d)
106 lafal, aksi, lokasi, waktu, dan upacara yang digelar) dimaksudkan untuk menjadi persaksian kebenaran atas apa yang disumpahkan (to serve as a
witness to the truth of what was sworn to, yaitu muqsam ‘alaih).39 Oath yang relijius, menurut Fara>h}i>, tidak harus dipertahankan semata-mata sebagai aktivitas relijius belaka, melainkan juga sebagai aktivitas yang dapat dipelajari secara ilmiah, khususnya terkait redaksional kata yang digunakan dalam oath. Karena itu, tawaran dan arah penelitian oath Fara>h}i> adalah dengan mempelajari muqsam bih dan muqsam ‘alaih secara mendalam, khususnya terkait relasi yang dibangun keduanya. Oath, tidak bisa dipungkiri, adalah logika berpikir al-Qur’an (Qur’anic logic) dan tidak semata-mata sebagai instrumen berpikir (rhetorical devices). Wajar jika fokus Fara>h}i> pada oath tidak hanya tertumpu pada pengunggulan
az}amah pada muqsam bih, melainkan juga memperhatikan aspek penekanan di balik muqsam ‘alaih dengan cara yang meyakinkan.40 Hasilnya, melalui ulasan beberapa ayat al-Qur’an yang menggunakan sumpah, Fara>h}i> membagi oath dalam 4 jenis: 1) Phenomenal Oath, 2)
Historical Oath, 3) Experiental Oath, dan 4) Conjugate Oath.41 Oleh murid Fara>h}i>, Ami>n Ah}san Is}la>hi} >, ditambah 3 kategori baru, antara lain:
Scriptural, Composite, dan ‚Others‛.42
menyembelih hewan dan memercikkan darah hewan dalam sebuah upacara sumpah, dan lain sebagainya. Ibid. 39 Ibid., hlm. 11 40 Ibid., hlm. 11-12 dan 14. 41 Ibid. 42 Ulasan selengkapnya, rujuk Ibid., hlm. 18-24.
107 Tahun berikutnya (1991), Mir juga menghasilkan karya bidang linguistik, yaitu makalah jurnal berjudul Jiha>d in Isla>m. Makalah ini melacak pemaknaan Jiha>d dalam tradisi Islam, baik era Klasik maupun Modern (era Modern meliputi Neo-Klasik, Apologetik, dan Modernis). Satu kesamaan utama dari pemaknaan Jiha>d dalam 4 era tersebut adalah adanya usaha membuat hubungan antara sisi teologis dan praksis. Artinya, Jihad dimaknai sesuai tujuan-tujuan praksis yang sesuai dengan kebutuhan manusia.43 Tidak ada tawaran orisinil dari Mir di makalah ini selain keberhasilan Mir menelusuri geneologi pemaknaan Jihad dalam Islam. Makalah ini layak dijadikan rujukan utama dalam mengetahui perjalanan pemaknaan Jiha>d dalam Islam. Pada 1993, Mir menulis Passives in The Qur’an: Preliminary Notes yang berisi tentang struktur kalimat pasif ayat-ayat al-Qur’an. Mir menekankan aspek khusus dari struktur pasif, yaitu: 1) pada nilai semantik dan makna konotasinya; dan 2) pada konteks di balik struktur pasif tersebut.44 Pada QS al-Jin 72:10 misalnya, dua metode berbeda digunakan dalam menampilkan dua kosa kata yang sama, yaitu kata kerja
ara>da. Kalimat pertama menggunakan bentuk pasif uri>da (pada wa anna> la> nadri> a syarrun uri>da bi man fi> al-ard}), sementara kalimat kedua dengan bentuk aktif ara>da (pada am ara>da bi him rabbuhum rasyada>). Ternyata, 43
Mustansir Mir, ‚Jiha>d in Isla>m‛ dalam Hadia Dajani-Shakeel dan Ronald A. Messier,
The Jiha>d and Its Times: Dedicated to Andrew Stefan Ehrenkreutz (Ann Arbor: Center for Near Eastern North African Studies, University of Michigan, 1991), hlm. 113-126. 44 Mustansir Mir, ‚Passives in The Qur’an: Preliminary Notes‛ dalam Mustansir Mir and Jarl E. Fossum (eds.), Literary Heritage of Classical Islam: Arabic and Islamic Studies in Honor of James A. Bellamy (Pricenton: The Darwin Press, 1993), hlm. 170-171.
108 bentuk pasif dimaksudkan untuk menghindari dialamatkannya sifat buruk (syarrun) kepada Tuhan, sedangkan bentuk aktif untuk menggambarkan bahwa yang baik (rasyad) berasal dari Tuhan.45 Tentu saja, digunakannya bentuk pasif pada kalimat pertama dan bentuk aktif pada kalimat kedua erat kaitannya dengan konteks pembicaraan ayat tersebut.46 Fakta adanya bentuk kata kerja pasif dalam al-Qur’an hendaknya diimbangi dengan penelitian lain yang fokus pada aspek aktifnya, agar penelitian pasif dalam al-Qur’an menjadi lebih komprehensif. Demikian saran Mir.47 Pada entri Encyclopaedia of the Qur’an volume 3, Mir menulis artikel ‚Names of The Qur’an‛. Artikel berusaha menelusuti nama-nama al-Qur’an yang termuat dalam al-Qur’an, selama 23 tahun masa dakwah Muhammad. Nama-nama al-Qur’an, menurut Mir, mampu mewakili pesan yang ingin disampaikan al-Qur’an. Misalnya, kata kala>m alla>h digunakan untuk menegaskan bahwa al-Qur’an benar-benar berasal dari Allah. Atau, 45 46
Ibid.
Penelusuran kata kerja pasif dalam al-Qur’an mengantarkan pada pengelompokan tema ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata kerja (fi’il) bentuk pasif. Antara lain: 1. Tema ketuhanan. Struktur pasif diperlukan untuk menghindari dialamatkannya sesuatu yang buruk (evil) kepada Tuhan. Misalnya, pada QS al-Jinn 72:10, wa anna> la> nadri> a syarrun uri>da bi man fi> al-ard}, sebagaimana telah disinggung. 2. Tema kenabian dan pewahyuan. Biasanya, lafal pewahyuan dalam al-Qur’an menggunakan u>h}iya dengan maksud menjaga integritas dan otentisitas wahyu. Misalnya, pada QS al-An’a>m 6:19, wa u>h}iya ilayya ha>z|a> al-Qur’a>n li unz|irakum bihi>. 3. Tema hari akhir. Format pasif biasa digunakan untuk sesuatu yang maha-besar (grandeur) seperti penggambaran Hari Kiamat. Misalnya, pada QS al-Takwi>r 81:1, iz|a> al-syams kuwwirat dan QS al-Zalzalah 99:1, iz|a> zulzilat al-ard} zilza>laha>. 4. Tema perintah dan larangan. Format pasif juga digunakan untuk sesuatu yang berisi perintah dan larangan. Misalnya, kata-kata umira (diperintahkan), uh}illa (dihalalkan), nuhiya (dilarang), kutiba (ditetapkan/ diperintahkan), dan h}urrima (diharamkan). 5. Tema-tema lainnya. Misalnya, dalam menggambarkan sifat alami manusia (QS alMa’a>rij 70:19, inna al-insa>n khuliqa halu>‘a>), atau balasan bagi amal baik (QS al-H}ajj 22:23, yuh}allauna fi>ha> min asa>wira min z|ahab wa lu’lu’a>), dan lain sebagainya. Ibid., hlm. 172-178. 47 Ibid.
109 kata Baya>n-Mubi>n-Arabiy yang menegaskan keunggulan al-Qur’an dan
linguistic purity yang dimilikinya. Juga, kata Huda>-H}ikmah yang menggambarkan bahwa al-Qur’an memiliki hikmah dan kebijaksanaan yang dapat dipetik manusia. Dari penelusuran Mir atas nama-nama alQur’an yang cukup komprehensip, artikel tersebut layak menjadi rujukan untuk mengetahui nama-nama al-Qur’an secara lebih mendalam.48 Ulasan linguistik Mir juga ditemukan pada artikel berjudul The
Queen of Sheba’s Conversion in QS 27:44: A Problem Examined. Ratu Saba dan salah sangkanya ketika melihat kaca berlatar air sehingga secara reflek menyingkap gaun dan memperlihatkan betisnya (fa lamma> ra’athu
h}aibathu lujjah wa kasyafat ‘an sa>qaiha>), menurut Mir, adalah sebuah analogi retoris berupa kesalahan teologis Ratu Saba karena menyembah Matahari (dalam QS al-Naml 27:24). Ketika pada akhirnya Ratu Saba memeluk Tuhan yang dipeluk Sulaiman, tidak menjadikan kisah tersebut hanya terfokus pada ‚apa yang tampak‛ (burha>niy) sebagai kisah pindah agamanya seorang Ratu, melainkan juga sebagai bukti koherensi dalam internal QS al-Naml, baik pada ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat 44 maupun dalam koherensi keseluruhan ayat-ayat dalam QS al-Naml.49 Puncak karya Mir bidang linguistik terekam dalam artikel antologi Mir berjudul Language (2006). Artikel ini berisi ulasan sisi kebahasaan al48
Wadad Kadi dan Mustansir Mir, ‚Names of The Qur’an‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001), vol. 3, hlm. 505-515. 49 Mustansir Mir, ‚The Queen of Sheba’s Conversion in Q. 27:44: A Problem Examined‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 9, No. 2, 2007, hlm. 52-53.
110 Qur’an. Menurut Mir, bahasa al-Qur’an lebih dari sekadar bahasa Arab biasa. Bahasa al-Qur’an, meskipun akar kata yang digunakan kurang dari 2000 kata, mampu memberi nilai lebih pada bahasa Arab (valorization), antara lain dengan menggunakan suatu kata dalam konteks yang baru. Contohnya, pada QS al-H}ujura>t 49:12, digunakan istilah akala lah}m (memakan daging) yang disandingkan dengan kata akh (saudara), dan menjadi a yuh}ibbu ah{adukum an ya’kula lah}ma akhi>h. Kata akh memang bermakna ‚saudara‛, namun dalam frasa tersebut lebih dekat kepada arti ‚saudara seiman‛. Selain itu, mustahil bagi bangsa Arab membayangkan memakan daging seorang saudara sendiri. Bagi mereka, yang menjadi santapan bagi mereka adalah hewan ternak.50 Model seperti inilah yang Mir maksud dengan valorization (memberi nilai lebih atas bahasa Arab). Fakta bahwa al-Qur’an turun secara tadri>jiy dan dalam live setting mengafirmasi bahwa al-Qur’an memang turun untuk menjawab persoalan sehari-hari. Persoalan sehari-hari tersebut lebih tepat jika dihadapi dengan bahasa oral (bukan bahasa tulis yang formal, orality). Orality, menurut Mir, memungkinkan al-Qur’an ‚berekspresi‛ secara lebih bebas dalam 2 hal: penggunaaan ayat secara berirama (saj’) dan seringnya pergantian detil pembicaraan (iltifa>t).51
50
Mustansir Mir, ‚Language‛, dalam Andrew Rippin (ed.), The Blackwell Companion to The Qur’an (Malden: Blackwell Publishing Ltd., 2006), hlm. 89-92. 51 Berikut adalah penjelasan tentang saj’ dan iltifa>t dalam al-Qur’an. 1) Pada penggunaan prosa yang berima atau saj’, misalnya, dapat ditemukan pada QS al-Takwi>r QS 81:114, QS al-Na>zi’a>t 79:1-5, dan di banyak surah lainnya. Mir mencatat suatu hal penting dari tipe saj’ ini, yaitu apabila terjadi perubahan rima ( rhyme), di manapun letaknya, maka hal itu menandakan suatu subjek pembicaraan telah berganti. Perhatikan bagaimana QS al-Takwi>r
111 Kekayaan sisi kebahasaan al-Qur’an dapat ditinjau dari pemilahan jenis karya literatur (genre). Ayat-ayat al-Qur’an terbagi atas: 1) Karya naratif layaknya prosa (narrative), seperti pada QS Hu>d 11, QS Yusuf 12, QS al-Anbiya>’ 21, atau QS al-Mu’minu>n 23, yang kesemuanya memuat kisah-kisah dalam al-Qur’an; 2) Prosa yang berirama layaknya puisi (poetic), seperti telah dibahas. Ayat-ayat jenis ini biasanya tergolong surah-surah Makkiyyah awal dan tengah (early and middle Meccan
surahs); 3) Susunan frasa seimbang (balanced phrasal construction), seperti tampak pada QS al-Gha>syiyah 88:13-16 dan 17-20;52 4) berbentuk lagu-laguan (hymnal) untuk pujian kepada Tuhan, meski tidak banyak. Misalnya, pada QS al-H}ajj 22:18, QS, QS al-Nur 24:41-44, dan QS alRum 30:20-27; dan 5) mengandung aturan dan hukum (legal), seperti pada mu’amalah yang diatur dalam QS al-Baqarah 2:282-283.53 Al-Qur’an menganut prinsip Arab Klasik yang berbunyi, ‚khair al-
kala>m ma> qalla wa dalla‛, yaitu irit dalam menggunakan kosa kata (verbal 81:15-19 berbeda pembicaraan dengan 14 ayat sebelumnya. 2) Pergantian detil ( iltifa>t) dalam alQur’an meliputi subjek, jumlah, atau penekanan. Selain itu, dalam live setting, pergantian detil pada ayat-ayat al-Qur’an akan lebih sering terjadi. Misalnya, pada QS al-T}ala>q QS 65:1. Lafal ya> ayyuha> al-nabiyyu diikuti dengan kata ganti jamak iz|a> t}allaqtum al-nisa>’. Pada ayat tersebut, barangkali al-Qur’an sengaja merubah kata ganti (dari anta menjadi antum) karena konteks pembicaraan t}ala>q pada surah tersebut adalah persoalan sosial. Bandingkan dengan QS al-Ah}za>b 33:45 yang lebih personal dengan tetap menggunakan kata ganti ketiga tunggal, ya> ayyuha> alnabiyyu inna> arsalna>ka sya>hidan. Ibid., hlm. 93-96. Terkait pergantian detil secara lebih sering, meskipun terkesan acak dan keluar dari pola gramatika bahasa Arab, ini tidak mengurangi urgensi pembicaraan al-Qur’an karena didukung fakta bahwa sifat natural al-Qur’an adalah sering mengedepankan konteks. 52 Berikut ini kutipan pada QS al-Gha>syiyah 88:13-16 dan 17-20. فيها سرر مرفىعــة * وأكىاب مىضىعــة * ونمارق مصفىفــة * وزرابي مبثىثــة أفال ينظرون إلى اإلبل كيف خلقـت * وإلى السماء كيف رفعـت * وإلى الجبال كيف نصبـت * وإلى األرض كيف سطحـت 53
Mustansir Mir, ‚Language‛…, hlm. 93-96.
112
economy).54 Selain itu, bahasa al-Qur’an juga tidak kaku (parataxis) dalam menyampaikan pesan.55 Sebagai naz|i>r (pemberi peringatan) bagi manusia, al-Qur’an mengadopsi metode pengulangan (repetition) yang berfungsi untuk menekankan pembicaraan dan metode perumpamaan (imagery) sebagai wasilah perenungan bagi manusia.56 Keunggulan sisi kebahasaan al-Qur’an harus dipisahkan dari bahasa logika al-Qur’an (Qur’anic Logic) yang jauh lebih kompleks. Seberapapun dikagumi sisi kebahasaan al-Qur’an, hal tersebut hanya keunggulan sisi
54
Verbal Economy berupa kepadatan pesan dan penghilangan kata dan frasa ketika telah dipahami maksudnya Pertama, kepadatan pesan (terseness). Misalnya, QS al-‘Ankabut 29:14-15 yang menceritakan kisah Nuh hanya dalam 2 ayat. Kedua, penghilangan kata atau frasa ketika konteks pembicaraan dianggap telah dipahami ( ellipsis). Misalnya, pada QS Yusuf 12:82 di mana dikatakan wa is’al al-qaryah al-lati> kunna> fi>ha>, di mana seharusnya ada tambahan kata ahl (penduduk) di antara kata is’al dan kata al-qaryah, untuk kelengkapan susunan kata ‚penduduk desa‛.Ibid., hlm. 97-99. 55 Al-Qur’an juga menganut gaya susunan rapi pada kalimat, frasa, bahkan kata, dengan cara menempatkan jenis kata, frasa, atau kalimat yang sama secara berdampingan dengan kata sambung yang tidak terlalu kaku (parataxis). Misalnya, susunan kata kerja dalam bentuk sederhana seperti QS al-A’raf 7:31 ya> bani> a>dama khuz|u> zi>natakum ‘inda kulli masjid wa kulu> wa isyrabu> wa la> tusrifu>. Pada tahap yang lebih tinggi, Mir mengisyaratkan koherensi antar ayat sebagai bagian dari parataksis tersebut. Misalnya, pada QS al-An’a>m 6:74-90 tentang kisah Ibrahim yang mencari Tuhan (khususnya pada ayat 76 hingga 78). ‚fa lamma> janna ‘alaihi al-
layl… fa lamma> ra-a> al-qamar ba>zighan… fa lamma ra-a> al-syamsa ba>zighatan… fa lamma> afalat…‛ Ibid., hlm. 99-100. 56
Salah satu alasan kehadiran al-Qur’an adalah sebagai pengingat bagi manusia. Unsur ini diaplikasikan dalam bentuk pengulangan ( repetition) dan perumpamaan (imagery) dala alQur’an. Suatu tema yang diulang dalam al-Qur’an, biasanya difungsikan sebagai penekanan betapa penting suatu tema tersebut. Pengulangan dalam al-Qur’an sangat banyak. Antara lain, kisah para nabi, larangan syirik kepada Allah, dan ajakan untuk beramal saleh. Adapun ayat-ayat perumpamaan al-Qur’an, umumnya difungsikan untuk sarana perenungan bagi manusia. Perumpamaan dapat berbentuk 3 jenis: a) kiasan ( simile), seperti pada QS al-Rahman 55:37 tentang gambaran Hari Akhir dengan langit yang terbelah dan menjadi mawar merah mengkilap, fa iz|a> insyaqqat al-sama>’ fa ka>nat wardatan ka al-diha>n; b) penggambaran bukan dengan kata yang sebenarnya/ metafora ( metaphor), misalnya pada QS alTaubah 9:111 di mana Allah ‚membeli‛ orang-orang Mukmin dan jiwa mereka dengan Surga. Maksudnya, adalah orang yang mati di jalan Allah, Allah akan memberinya pahala Surga; dan c) dan kisah rekaan/ buatan (parable), seperti dalam QS al-Qalam 68:17-33 tentang kisah pemilik kebun yang enggan berbagi kepada fakir miskin yang membutuhkan. Kepada mereka, Allah menimpakan malapetaka gagal panen. Ibid., hlm. 100-105.
113 luar al-Qur’an.57 Untuk mengetahui Qur’anic Logic, perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi terhadap al-Qur’an. 3. Al-Qur’an dalam Tinjauan Kesusastraan Ketertarikan Mustansir Mir terhadap kajian kesusastraan al-Qur’an terjadi bersamaan dengan ketertarikan Mir terhadap kajian linguistik alQur’an. Sama-sama bergumul dengan teks sebagai objek materialnya, kajian kesusastraan yang Mir lakukan berhilir pada penyebutan al-Qur’an sebagai suatu karya sastra (The Qur’an as Literature).58 Penyebutan ini tidak bisa dilepaskan dari aspek sastrawi yang dimiliki al-Qur’an. Meski tak lebih kaya dari aspek sastrawi Bibel, aspek sastrawi al-Qur’an yang sedikit tersebut mampu mengundang decak kagum. Al-Qur’an, menurut Mir, benar-benar mendayagunakan (make masterful use) kata, frasa, dan teknik pemaparan yang ada untuk menyihir pembacanya. Narasi tegas alQur’an juga sanggup meringkas informasi kompleks, dan tidak jarang membuat pembaca kewalahan memahami pesan yang ‚dipadatkan‛. Kekayaan sastrawi al-Qur’an, alih-alih diterjemahkan sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat ‘ajam (non-native arabic speaker), yang terjadi justru keterbatasan bahasa sekunder dalam menampung keindahan, kekuatan narasi, dan ketegasan bahasa al-Qur’an.59
57 58
Ibid., hlm. 106.
Mustansir Mir, ‚The Qur’an as Literature‛ dalam Religion & Literature, Vol. 20, No. 1, Spring 1988. 59 Penggunaan majas (figures of speech), sindiran (satire), ironi (mencibir dengan bahasa pujian, atau sebaliknya), teknik penceritaan dramatisasi ( dramatic dialogue), dan pemunculan karakter di hadapan pembaca, meski tidak secara detail dipaparkan. Ibid., hlm. 52-53.
114 Kajian pertama Mir mengenai kekayaan sastrawi al-Qur’an dimulai dengan ulasan kisah Yusuf dalam artikel The Qur’anic Story of Joseph:
Plot, Themes, and Characters (1986). Dari tinjauan plot, ketegangan kisah Yusuf menempati separuh-awal QS Yusuf (ayat 4-44). Penyajiannya cukup dramatis karena dibumbui adegan yang mencolok. Kisah Yusuf mereda di bagian kedua QS Yusuf (ayat 45-101), ditandai dengan Yusuf mampu menerjemahkan mimpi Raja (ayat 45-49).60 Secara umum, tema dalam kisah Yusuf terbagi 2 bagian: pemenuhan tujuan ketuhanan dan tujuan kemanusiaan.61 Dalam rangka memastikan kisah Yusuf merasuk ke dalam benak pembacanya, metode yang digunakan adalah penyajian kisah secara ironi (situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan).62 Dalam artikel The Qur’an as Literature, Mir membahas aspek-aspek sastrawi al-Qur’an secara luas. Pertama, mengenai betapa selektifnya alQur’an dalam memilih kosa kata yang akan digunakan (word choice).63
60
Menurut Mir, kisah Yusuf dalam QS Yusuf hanya termuat dalam 97 dari total 111 ayat (yaitu dari ayat 4 hingga 101). Jumlah ayat yang cukup besar menjadikan kisah ini cukup gamblang dan menjadi mudah dipahami. Mustansir Mir, ‚The Qur’anic Story of Joseph: Plot, Themes, and Characters‛ dalam The Muslim World, Vol. LXXVI, No. 1, January 1986, hlm. 1 dan 4-5. 61 Tujuan yang bersifat kemanusiaan tersebut, antara lain: a) nomenklatur bahwa dalam mencapai tujuan hidup, manusia hendaknya manusia menyertakan Tuhan dalam setiap usahanya (tawakkal); b) selain itu, manusia hendaknya menyelaraskan antara aturan Tuhan dan keinginan manusia; c) bahwa hidup di dunia yang dijalani manusia adalah ujian Tuhan dalam menilai amal yang dilakukan manusia; d) dan Tuhan menyiapkan balasan yang setimpal atas perbuatanperbuatan tersebut; dan e) penggambaran penyesalan manusia setiap kali gagal menjalani amanah hidupnya dan ini merupakan sunnah kehidupan ( sunnah al-haya>h). Ibid., hlm. 5-10. 62 Kehadiran ironi semakin menguatkan anggapan bahwa kisah Yusuf memang ‚diatur‛ Tuhan untuk dijadikan ah}san al-qas}as}. Untuk pembacaan lebih lanjut mengenai ironi dalam kisah Yusuf, rujuk Mustansir Mir, ‚Irony on The Qur’an: A Study of Story of Joseph‛, dalam Issa J. Boulatta (ed.), Literary Structures of Religious Meaning in The Qur’an (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 173-187. 63 Dalam QS al-Ahzab 33:13 digunakan kosa kata Yas|rib sebagai pengganti Madinah untuk menggambarkan unsur provokasi pihak munafiq kepada orang mukmin sehingga
115
Kedua, bagaimana al-Qur’an memberi kesan visual (pictorial element) kepada pembacanya melalui metode kiasan (simile) dan penyamaan atau pembandingan (similitude).64 Ketiga, dipaparkan pula unsur sastrawi lain yang digunakan dalam rangka menarik perhatian pembacanya, seperti: 1. Humor, ulasannya akan dipaparkan pada paragraf selanjutnya; 2. Satire, bahasa untuk menyatakan sindiran, seperti pada QS alBaqarah 2:217 yang telah disinggung di atas; 3. Ironi, situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan; 4. Permainan kata, seperti pada QS al-Baqarah 2:61, di mana kosa kata
mis}r digunakan dan, di sisi lain, berpotensi merujuk kepada makna Mesir, sementara yang diinginkan adalah makna ‚kota‛; 5. Pemunculan statemen ambigu, seperti pada QS Hud 11:13. Ambigu yang dimaksud adalah, sementara kaum kafir diminta membuat 10 surat yang menyerupai al-Qur’an, al-Qur’an justru menyertakan kata muftaraya>t (berarti ‚dibuat-buat‛) dan menjadi penegas bahwa merekalah yang justru meniru dan membuat surah seperti al-Qur’an, bukan Muhammad yang melakukan sihir seperti tuduhan mereka; 6. Pemilihan jenis narasi/kisah. Narasi al-Qur’an atas suatu hal, apakah itu kisah atau hal lainnya, ditemukan di banyak surah al-Qur’an. menimbulkan rasa keputusasaan di diri mereka. Mustansir Mir, ‚The Qur’an as Literature‛…, hlm. 53-54. 64 Contoh simile telah disinggung di atas, dengan contoh QS al-Rahman 55:37. Contoh similitude terdapat pada QS al-Nur 24:35-40. Pada ayat 35 digambarkan bagaimana cahaya Allah diberikan kepada orang-orang mengikuti aturan Allah (pada ayat 36-38). Sementara pada ayat 40 digambarkan kegelapan cahaya bagi orang kufur kepada Allah (ayat 39). Ada kesepadanan pada kelompok ayat tersebut; yang pertama memperoleh cahaya, sedangkan lainnya memperoleh kegelapan. Al-Qur’an juga menggunakan metode narasi yang sanggup memberi kesan ‚lebih‛ pada narasi yang disajikan. Antara lain: narasi terbalik (anastrophe); penggunaan satu kata kerja untuk dua atau aktifitas lebih (zeugma); pengulangan bunyi yang menimbulkan efek tertentu (anaphora); penyisipan bunyi atau huruf dalam suatu kata ( epenthesis); dan penggunaan bentuk sintaksis yang sepadan (parallelism). Sayangnya, Mir tidak memberi contoh ayat-ayat pada sisi sastrawi tersebut. Ibid., hlm. 54-57.
116 Masing-masing narasi di tiap-tiap surah sesungguhnya telah lengkap dan mandiri secara makna (self-contained). Misalnya, kisah Ibrahim di QS al-An’a>m 6, QS al-Anbiya>’ 25, QS al-Z|ar> iya>t 51, dan QS alMumtahanah 60. Setiap surah tersebut memiliki porsi penceritaan Ibrahim yang berbeda satu sama lain dan independen. Tidak ada unsur saling ketergantungan. Uniknya, sumber-sumber independen tersebut satu sama lain bisa saling melengkapi; 7. Dialog dramatis, menggunakan bahasa obrolan sederhana namun mengandung wawasan mendalam yang mempengaruhi pikiran dan tingkah laku manusia;65 8. Persoalan penyajian unsur pertokohan. Al-Qur’an, seperti lazim diketahui, sering menjelaskan suatu hal secara ringkas. Pada suatu kisah, sesekali bukan figur yang ditampilkan melainkan hanya ciricirinya saja. Misalnya, QS al-Mudas|s|ir 74:18-25 menggambarkan tipikal orang-orang yang membenci dakwah Muhammad. Figur riil ayat-ayat tersebut adalah para pemuka kafir Makkah yang takut kehilangan kekuasaan akibat tersebar-luasnya pengaruh agama Islam yang dibawa Muhammad. Masyarakat tertarik mengikuti ajaran Muhammad, lalu timbul kedengkian dari pemuka kafir Makkah. Dimunculkannya ciri tokoh dan bukan figur, pada ayat-
65
Misalnya, pada QS al-Syu’ara>’ 26:16-35 di mana terjadi obrolan serius antara Fir’aun dan Musa mengenai diri mereka berdua. a) Musa yang berusaha mendakwahi Fir’aun justru disodori fakta oleh Fir’aun bahwa dirinya seharusnya malu mendakwahi orang yang telah merawatnya di masa kecil dan merasa lebih malu karena dirinya pernah membunuh seseorang di masa mudanya, seperti pada ayat 18 hingga 22. b) Berusaha tegar oleh penyodoran fakta yang sedikit mengusik benaknya, Musa kembali fokus dengan dakwahnya dan sampailah Musa dan Fir’aun pada obrolan serius terkait ketuhanan di antara keduanya, seperti pada ayat 23 hingga 34. Dialog dramatis lainnya juga terjadi pada QS al-Shaffat 37:100-110 di mana Ibrahim diperintahkan membunuh anak yang kelahirannya sangat diidamkannya, juga oleh istrinya. Dikatakan pula, sebelum membunuh anaknya (Ismail), Ibrahim mengajukan pertanyaan, ‚Bagaimana pendapatmu (mengenai hal ini)?‛ Sang anak justru menjawab tanpa ragu, ‚Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, wahai ayahku .‛ Siapapun yang membaca kisah ini akan mengetahui betapa keridhoan Ibrahim dan anaknya dalam menjalankan perintah Allah luar biasa agung. Dua dialog yang menguras hati pembacanya inilah yang Mir maksud dengan dialog dramatis. Ibid., hlm. 61-62.
117 ayat tersebut, selain karena common sense dan verbal economy, adalah karena unsur teologis yang berimplikasi pada larangan mengganggu dakwah Muhammad, jika tidak ingin ciri-ciri yang membenci dakwah Muhammad pada ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka.66 Setelah menyebut al-Qur’an sebagai karya sastra, Mir berusaha mengkokohkan tesis tersebut dengan menulis karya artikel dengan topik yang berkaitan. Pada 1991, Mir menulis makalah berjudul Humor in The
Qur’an. Menurut Mir, salah satu alasan mengapa humor tampil dalam alQur’an adalah fakta transmisi oral al-Qur’an yang tejadi secara berangsur (tadrijiy) dan kontekstual. Aspek dinamis di balik turunnya al-Qur’an tersebut mengafirmasi kemungkinan digunakannya humor sebagai metode penyampaian pesan al-Qur’an.67 Pasalnya, humor adalah salah satu cara paling efektif dalam menyampaikan pesan.68
66 67
Ibid., hlm. 57-63
Misalnya pada kata ha>z|a> dalam kalimat ha>z|a> ba’li> syaikha> (QS Hud 11:72). Mir menganggap, kata ha>z|a> pernyataan istri Ibrahim barangkali diikuti gestur tubuh yang bercampur aduk antara perasaan terkejut, harapan, atau ketidak-percayaan yang kesemuanya tergambar sebagai sisi humor yang ‚sopan‛ (gentle humor) yang digambarkan al-Qur’an. Lain lagi pada QS al-Naml 27:19, Sulaiman yang memahami bahasa hewan digambarkan tersenyum agak tertawa (tabassama d}a>h}ika>) tatkala mengetahui instruksi seekor semut kepada semut lainnya yang khawatir terinjak-injak pasukan Sulaiman. Lain lagi tatkala diutarakan balasan bagi golongan ‚kanan‛ (orang-orang baik) sebagaimana dalam QS al-Wa>qi’ah 56:35-38, dengan menjadikan para perempuan tua menjadi muda kembali kelak ketika mereka menjadi penghuni surga. Muhammad, menurut Mir, menggunakan gentle humor tatkala menyampaikan pesan QS alWaqi’ah 56:35-38 tersebut kepada para perempuan tua yang menjadi lawan bicara al-Qur’an. Anggapan Mir tampak lumrah mengingat balasan kebaikan ‚dari tua menjadi muda‛ bagi perempuan tua tak lebih dari pemanis pembicaraan saja. Mustansir Mir, ‚Humor in The Qur’an‛ dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 3-4, July-October 1991, hlm. 179. 68 Mustansir Mir, ‚Humor in Islam‛ dalam Salvatore Attardo (ed.), Encyclopedia of Humor Studies, 2 vols. (Los Angeles: Sage Publications, 2014), vol. 1, hlm. 403.
118 Menurut Mir, humor dalam al-Qur’an menarik untuk dikaji. Mir menemukan ada 5 teknik penyampaian humor dalam al-Qur’an:69 1. Irony, situasi yang bertentangan antara tampilan-luar dan realitasnya, misalnya pada kisah Musa dan hamba Allah (‘abd min
‘iba>dina>, dikenal dengan Khidr) dalam QS al-Kahf 18:65-72. Musa yang bermaksud belajar kepada Khidr, diberi syarat untuk bersarab selama proses belajar. Khidr, uniknya, menyatakan di permulaan bahwa Musa tak akan mampu bersabar selama belajar kepadanya. Musa mengatakan menyanggupi mampu sabar. Faktanya, Musa gagal bersabar pada 3 kesempatan yang diujicobakan Khidr kepadanya. Menurut Mir, ini tipikal humor yang ironi; 2. Anticlimax, situasi kemunduran sampai pada taraf yang tidak berarti. Kisah ini terdapat pada pertemuan Musa dan Tuhan. Di tengah situasi agung ini, menurut Mir, Tuhan yang meminta Musa melemparkan tongkatnya diharapkan ada sesuatu yang lebih istimewa dari ‚sekadar‛ jelmaan ular di balik tongkat Musa. Menurut Mir, ini tipikal humor antiklimaks; 3. Circumlocution, penggunaan kalimat berpanjang lebar dan tidak perlu. Pada QS al-Kahf 18:60-64 diceritakan perjalanan Musa dan muridnya menemui Khidr. Ketika itu mereka kehilangan bekal, lantaran sang murid lupa membawa bekal mereka selepas melepas penat di pantai. Mendengar permintaan sang guru, ‚a>tina ghada>-
ana> la qad laqi>na> min safarina> ha>z|a> nas}aba>,‛ sang murid panik dan berpanjang lebar menjelaskan keadaan ikan bekal mereka. Ikan tersebut menghamburkan diri ke laut dengan cara yang aneh. Menurut Mir, keadaan panik oleh karena lalai menjaga amanah berupa bekal inilah yang membuat murid Musa mengeluarkan statemen yang berpanjang lebar; 69
Mustansir Mir, ‚Humor in The Qur’an‛…, hlm. 181-182 dan 187-189.
119 4. Caricature,
penggambaran
yang
sifatnya
buatan
(menjadi
karikatur). Contohnya adalah pada QS al-Mudas|s|ir 74:18-25 di mana
digambarkan
para
pemuka
Kafir
Makkah
merasa
kebingungan akan keindahan bahasa al-Qur’an yang disampaikan Muhammad. Tak tahu harus berbuat apa, mereka hanya bisa menyampaikan in ha>z|a illa> qaul al-basyar. Uniknya, sebelum statemen ini terucap, digambarkan pula keadaan mereka, ‚innahu>
fakkara wa qaddara, fa qutila kaifa qaddara, s|umma qutila kaifa qaddara, s|umma naz}ara, s|umma ‘abasa wa basara, s|umma adbara wa istakbara..‛ Mir menilai penggambaran rasa kebingungan para pemuka Kafir Makkah tersebut sebagai humor jenis karikatur; 5. Rhythm, penggambaran humor melalui irama, yang dalam ini, berbeda dari apa ‚yang semestinya‛. Misalnya, pada QS al-A’ra>f 7:143, digambarkan bagaimana Musa sedang berdialog dengan Tuhan. Di dalam suasana yang agung itu, menjadi sebuah lelucon, menurut Mir, ketika terjadi suatu kejadian yang sangat ‚tidak berkelas‛ (ease in rhythm). Kejadian yang dimaksud adalah kharra
Mu>sa> s}a’iqa>, Musa jatuh pingsan. Barangkali, ekspektasi dari keadaan Musa ketika Tuhan menampakkan diri adalah ketakjuban yang agung, namun yang terjadi adalah kondisi berbeda. Mir merujuk pendapat Stephen Leacock dalam menyatakan kejadian ‚tidak berkelas‛ tersebut sebagai suatu humor. ‚In the highest
class of comic verse, the very ease of the rhythm becomes, as it were, a source of humor.‛ Salah satu fungsi utama humor adalah meniadakan jurang pemisah antara yang sakral dan profan. Perhatikan bagaimana Musa ‚meminta‛ Tuhan menampilkan dirinya pada QS al-A’raf 7:143. Tidak tampak sisi sakral yang berlebihan pada kejadian tersebut. Perhatikan pula bagaimana
120 Musa sedikit ‚acuh‛ dan tampak bertele-tele menjawab pertanyaan Tuhan mengenai tongkat yang dibawanya (QS Taha 20:17-20).70 Selain sebagai jembatan bagi sakral dan profan, Mir menjelaskan ada 4 fungsi lain humor dalam tradisi Islam, sebagaimana dalam artikelnya Humor in Islam, yaitu: a) menekankan aspek moralitas; b) melakukan kritik terhadap perilaku sosial menyimpang; c) menghilangkan ketegangan pada situasi ganjil; dan d) menghadirkan hiburan.71 Keberadaan humor memang urgen dan tak bisa dipisahkan dari tradisi Islam. Menurut Mir, sulit membayangkan keberadaan Islam (al-Qur’an) tanpa humor.72 Pada 1992, Mir melanjutkan studi sastrawi al-Qur’an dengan mendedah kajian dialog (dialogue) dalam al-Qur’an. Dialog, sebagai cara bertukar pikiran antara dua orang atau lebih, merupakan salah satu aspek penting dalam al-Qur’an. Terhadap mereka yang ‚mempertanyakan‛ Islam di masa awal penyebaran Islam, dialog dilakukan cukup intensif, terutama pada fase kedua dan ketiga penyebaran Islam di Makkah.73 Dialog dalam al-Qur’an memiliki 7 tipe: 1) dialog antara Nabi dan umatnya; 2) dialog antara Tuhan dan utusannya; 3) dialog antar sesama umat manusia; 4) dialog dalam bentuk konsultasi satu sama lain; 5) dialog
70 71
Ibid., 190-191.
Mustansir Mir, ‚Humor in Islam‛…, hlm. 402. Ibid., 406. 73 Adapun pada fase pertama di Makkah, Islam masih mengalami penolakan keras dari masyarakat Makkah. Sementara pada fase Madinah, dialog justru jarang dilakukan lantaran umat Islam sudah mapan secara teologis. Dialog dalam fase kedua dan ketiga tersebut secara khusus memang ditujukan untuk dan berorientasi pada pengenalan Islam. Mustansir Mir, ‚Dialogues‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001), vol. 1, hlm. 531. 72
121 dengan latar pembicaraan Hari Akhir; 6) dialog satu arah yang biasanya berupa nasehat; dan 7) dialog ‚acak‛ dengan banyak narasumber namun tanpa pendengar.74 Tipe-tipe dialog tersebut umumnya dihadirkan dalam 3 format penceritaan:75 1. iz| atau iz|a>+verb, berfungsi mengingatkan kembali kejadian di masa lalu (recall the time when such-and-such an event occured);76 2. fa lamma> +verb+qa>la, berfungsi mengingatkan kembali kejadian suatu hal (when such-and-such a thing happened);77 3. formulasi kalimat hal ata>ka hadi>s|u…,
berfungsi menanyakan
kembali apakah suatu informasi telah sampai pada mereka (Has
the report about so-and-so reached you?)78 Tinjauan dialog dalam al-Qur’an juga dikomparasikan dengan puisi Arab pra-Islam dan Bibel. Untuk puisi pra-Islam, meski diakui memiliki kekuatan pada liriknya, kehadirannya tak lebih dari simbol kekuasaan para petinggi suku di Arab. Penyair bertalenta yang kabarnya ‚dimiliki‛ para petinggi suku menjadikan karya kepenyairan mereka tidak lagi independen dan seringkali berisi hasutan untuk berperang. Al-Qur’an, selain berorientasi pada pembebasan sosial, aspek sastrawinya memberi 74
Mustansir Mir, ‚Dialogue in The Qur’an‛ dalam Religion & Literature, Vol. 24, No. 1, Spring 1992, hlm. 9-10. 75 Mustansir Mir, ‚Dialogues‛…, hlm. 532. 76 Misalnya, perbincangan antara Tuhan dan Malaikat ketika Tuhan hendak menciptakan mahluk manusia sebagai khalifah di Bumi, seperti dalam QS al-Baqarah 2:30-33, atau perbincangan antara Bani Israil dan Musa, dalam QS al-Maidah 5:20-25, di mana Bani Israel menolak memasuki tanah Palestina dan terjadi dialog antara mereka dengan Musa. Ibid. 77 Misalnya, pada QS Yunus 10:76 tatkala kebenaran Tuhan telah dihadirkan Musa di hadapan Fir’aun dan pengikutnya, namun mereka justru menganggapnya sihir yang nyata. Ibid. 78 Misalnya, pada QS Taha 20:9-36 tentang kisah Musa kembali ke Mesir dan diperintah Tuhan mendakwahi Fir’aun. Atau pada QS al-Z|a>riya>t 51:24-29 tentang kabar gembira dari Malaikat yang ditujukan kepada Ibrahim, bahwa siti Sarah mengandung Ishaq. Ibid.
122 kesan ‚tantangan‛ bagi kepenyairan pra-Islam ketika itu. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an berhasil memprovokasi masyarakat Makkah untuk berdialog secara aktif dengan al-Qur’an.79 Dengan Bibel, khususnya Old Testament, al-Qur’an memiliki kesamaan metode dialog, yaitu penggunaan narration-through-dialogue, seperti dalam QS Hud 11:25-49, 50-60, 61-68, 77-83, dan 84-95 (secara berurutan, kelompok ayat tersebut memuat kisah nabi Nuh, Hud, Salih, Lut, dan Syua’ib).80 Fokus dialog al-Qur’an dan Bibel umumnya pada konten pembicaraan yang sama, bukan pada aspek kebahasaan yang ganjil. Adapun tokoh dalam dialog sama-sama tidak ditampilkan secara detail, mengingat fokus utama dialog adalah bagaimana pembaca tertarik untuk memperhatikan substansi pembicaraan. Perbedaan al-Qur’an dan
Old Testament terletak pada sisi ontologisnya: Old Testament banyak bermuatan pembicaraan sehari-hari, sementara surah-surah Makkiyah alQur’an menekankan konsep-konsep utama dalam Islam (a set of major
themes), seperti monoteisme, wahyu, kenabian, dan hari akhir.81 Tinjauan sastrawi al-Qur’an dalam kerangka studi Barat yang Mir lakukan juga menyentuh kajian majas (figure of speech) dalam al-Qur’an. Mir mencoba melakukan penelusuran jenis majas apa saja yang digunakan
79 80 81
Mustansir Mir, ‚Dialogue in The Qur’an‛ ..., hlm. 17.
Ibid. Ibid., hlm. 18.
123 al-Qur’an. Setidaknya, ada 10 jenis majas yang dijadikan acuan Mir dalam studi kali ini. Berikut adalah 10 majas yang dimaksud:82 1. Asyndeton, penghilangan kata hubung dalam frasa, klausa, atau kalimat. Asindeton difungsikan Al-Qur’an untuk menggarisbawahi pentingnya suatu doktrin;83 2. Polysyndeton, pemakaian kata hubung beberapa kali; biasanya digunakan untuk menjelaskan episode panjang suatu pembicaraan. Isinya beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan pembicaraan;84 3. Parallelism, susunan struktur secara berurutan, seperti ABA’B’;85 4. Chiasmus, susunan struktur secara berkebalikan, berkebalikan dari
parallelism;86 5. Envelope, suatu pernyataan utama yang dikemukakan di awal dan diulang kembali di akhir;87 82
Mustansir Mir, ‚Some Figures of Speech in The Qur’an‛ dalam Religion & Literature, vol. 40, no. 3 (Autumn 2008), hlm. 31-45. 83 Misalnya, diikutinya sifat ‘Azi>z (punya kekuatan) oleh sifat H}aki>m (bijaksana) dalam diri Allah, di banyak ayat al-Qur’an. Pelekatan kedua sifat tersebut secara simultan penting agar menimbulkan kesan yang kuat bagi pembaca bahwa di balik kekuatan yang dimiliki, Allah menggunakannya secara bijak. Contoh lainnya adalah sifat Allah dalam QS al-Hasyr 59:24, Huwa Alla>h al-Kha>liq al-Ba>ri’ al-Mus}awwir (Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, dan Yang Membentuk Rupa). Ibid., hlm. 33-34. 84 Misalnya, pembicaraan yang ditujukan kepada Bani Israil (QS al-Baqarah 2:40-67): 1. Aufu> bi ‘ahdi>… 2. A>minu‛ bi ma> anzaltu mus}addiqan li ma> ma’akum… 3. La> talbisu> al-h}aqq bi al-ba>t}il… 4. Aqi>mu> al-s}ala>h… 5. Dan seterusnya.;
Ibid. 85
Struktur ini dapat ditemui pada QS al-Qas}as} 28:73, ‚Dan karena rahmatNya, dijadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian karuniaNya (pada siang hari).‛ Kata ‚malam‛ berkorespondensi dengan ‚beristirahat pada malam hari‛, sementara kata ‚siang‛ dengan ‚mencari penghidupan pada siang hari‛. Struktur pada ayat tersebut adalah ABA’B’. Struktur serupa juga ditemukan pada QS al-Layl 92:5-10, dengan struktur ABCDA’B’C’D’. Ibid., hlm. 34-37. 86 Struktur ini dapat ditemui pada QS Ali Imran 3:106-107. ‚Pada hari di mana ada muka yang putih berseri (A) dan ada pula muka yang hitam muram (B). Adapun orang-orang hitam muram mukanya (B’), dikatakan kepada mereka, mengapa kamu kafir sesudah beriman? Karena itu, rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang putih mukanya (A’), maka mereka berada dalam rahmat Allah, mereka kekal di dalamnya.‛ Jelas sekali struktur berkebalikan diterapkan pada dua ayat tersebut adalah ABB’A’. Ibid.
124 6. Personification, menghidupkan penggambaran alam. Alam raya yang indah dan memukau manusia dijadikan al-Qur’an sebagai alat dakwah al-Qur’an. Alam dibuat hidup dan seolah-olah memiliki perasaan seperti manusia (some sort of sentience);88 7. Metonymy, majas dalam bentuk pemakaian hal-hal yang ditautkan kepadanya sebagai pengganti suatu hal. Mir menemukan 3 tipe:
cause for effect, effect for cause, dan attribute for name;89 8. Synecdoche, majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan. Ada dua tipe: a) part for whole; dan b) whole for part;90 87
Misalnya, tentang keutamaan orang yang menjaga sholat mereka, pada QS alMu’minun 23:1-9. Pada ayat 2 dikemukakan salah satu Mukmin sukses adalah yang khusyuk dalam sholatnya, dan ditekankan pada bagian akhir pembicaraan (ayat 9) dengan menyatakan bahwa orang Mukmin sukses adalah ‚yang menjaga sholat mereka‛. Contoh lainnya ditemukan pula pada kisah Bani Israel pada QS al-Baqarah 2:47-48 di mana mereka diminta merenungkan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka. Pernyataan tersebut ditekankan kembali pada ayat 122-123 surah al-Baqarah, yang berjarak puluhan ayat dari ayat yang ditekankan (47-48). Ibid., hlm. 37-38. 88 Gambaran ini dapat ditemukan pada QS al-Isra’ 17:44 di mana Langit Tujuh, Bumi, dan apa yang ada di sekitarnya digambarkan bertasbih kepada Allah. Padahal, jika dicermati secara mendalam, soal bertasbihnya mahluk-mahluk itu adalah niscaya, tidak memiliki implikasi teologis sama sekali. Mereka tidak memiliki hawa nafsu seperti manusia. Mereka tidak dibebani amal buruk dan amal buruk, mereka hanya bertasbih dan bertasbih, dan itulah takdir mereka. Oleh al-Qur’an, mahluk-mahluk tersebut dibuat seolah-olah dengan ‚penuh kesadaran diri‛ melakukan tasbih kepada Allah. Usaha al-Qur’an melakukan personifikasi jelas merupakan metode yang sangat brilian. Ibid., hlm. 38-40. 89 Berikut ini adalah penjelasan ketiga majas Metonymy yang dimaksud: 1. Cause for effect, yang dimaksudkan adalah akibatnya, namun yang dikemukakan adalah sebabnya. Misalnya, pada QS al-Mujadilah 58:22 dikatakan ula>ika kataba fi> qulu>bihim al-i>ma>n. Mustahil hati manusia ‚ditanami‛ dengan Iman. Terkecuali jika manusia membuka hatinya untuk ‚ditanami‛ Iman. Dibukanya hati manusia oleh pemiliknya (yaitu sisi ‚akibat‛) inilah yang dituju ayat tersebut. Yang dituju adalah akibat, namun yang dikemukakan adalah sebab. 2. Effect for cause, yang dimaksud adalah sebabnya, namun yang dikemukakan adalah akibatnya. Misalnya, pada QS al-Mu’min 40:13 dikatakan wa yunazzilu (Alla>h) la kum min al-sama>’i rizqa>. Rizki yang diturunkan Allah dari langit tidak ada lain kecuali hujan. Dari hujan inilah akan menyuburkan tanah dan menumbuhkan pepohonan. Dari pepohonan inilah muncul buah-buahan yang dapat dinikmati manusia. Yang dituju adalah sebab, yaitu wasilah rizki Allah dari langit berupa hujan, namun yang dikemukakan adalah akibat, yaitu rizki dari Allah. 3. Attribute for name, digunakannya suatu atribut untuk menyebut nama seseorang. Misalnya, pada QS al-Fil 105:1 dikatakan kaifa fa’ala rabbuka bi as}h}a>b al-fi>l. Pasukan Gajah (as}h}a>b al-fi>l) yang dimaksud adalah pasukan Abrahah yang menaiki gajah sebagai kendaraan. Ibid., hlm. 40-42.
125 9. Syllepsis, majas yang mempunyai ketentuan bahwa suatu kata dapat berfungsi baik pada dua pengertian yang berbeda dan dalam dua kesempatan berbeda;91 10. Zeugma, majas yang mempunyai ketentuan bahwa suatu kata dapat berfungsi baik pada dua pengertian yang berbeda, meski hanya akan berfungsi dengan baik pada satu pengertian saja.92 Dalam studi majas, ada 2 pembagian besar ditinjau dari metode tempuhannya. Pertama, perangkat yang meningkatkan makna melalui suatu susunan kata yang luar biasa (disebut schemes). Kedua, perangkat yang meningkatkan makna melalui penggunaan kata-kata dalam rasa yang luar biasa (disebut tropes). 5 kelompok majas pertama di atas (asyndeton,
polysyndeton, parallelism, chiasmes, dan envelope) tergolong schemes, sementara 5 kelompok majas kedua (personification, metonymy,
synecdoche, syllepsis, dan zeugma) tergolong tropes.93 Keseriusan Mir dalam kajian kesusastraan al-Qur’an memungkinkan dirinya membentuk lingkaran studi (cicrle of study) tersendiri. Bersama 90
a) Part for whole, digunakannya sebagian untuk keseluruhan, seperti pada ‚ wajh‛ untuk keseluruhan tubuh, pada ayat fa walli wajhaka syat}ra al-Masjid al-H}ara>m (QS al-Baqarah 2:144); dan b) Whole for part, digunakannya keseluruhan untuk menggambarkan sebagian, seperti pada ‚al-nas‛ untuk sebagian manusia, pada ayat inna al-na>sa qad jama’u> lakum (QS Ali Imran 3:173). Ibid., hlm. 42-44. 91 Misalnya, pada QS al-Zumar 39:23 dengan potongan kalimat s|umma tali>nu julu>duhum wa qulu>buhum ila> z|ikr Alla>h. Kata kerja La>na-Yali>nu, yang berarti lembut, dapat digunakan untuk menggambarkan kelembutan kulit dan hati untuk selalu berdzikir kepada Allah. Kelembutan kulit dan hati, menurut Mir, dapat disepadankan dengan kelembutan raga-jiwa manusia, dalam berdzikir kepada Allah. Ibid., hlm. 44-45. 92 Misalnya, pada QS al-Hasyr 59:9 dengan potongan kalimat wa al-laz|i>na tabawwau> alda>r wa al-i>ma>n min qablihim. Kata kerja Tabawwa-a, yang berarti ‚menempati‛, hanya cocok digunakan untuk kata al-da>r yang berarti rumah: ‚menempati rumah‛. Namun begitu, kawa tabawwa-a juga dapat disandingkan dengan Iman, menjadi ‚menempati Iman‛, meski terasa canggung. Dengan begitu, kata tabawwa-a di atas bisa berarti menempati rumah secara fisik dan secara spiritual. Ibid. 93 Ibid., hlm. 45.
126 Wadad Kadi, Mir memperluas cakupan pembahasan sastrawi al-Qur’an pada soal bagaimana al-Qur’an ‚berinteraksi‛ dengan tradisi Islam dalam beragam bahasa dan di beberapa lokasi: pada bahasa Arab, Persia, Urdu, dan di Punjab (Asia Selatan) dan Malaysia (Asia Tenggara).94 4. Al-Qur’an dalam Studi Interrelijius Studi interrelijius Mir mulai dirintis pada tahun 1988, melalui artikel The Qur’an as Literature yang mengapresiasi literary master piece Bibel dan al-Qur’an.95 4 tahun kemudian (1992), berpijak pada konsep sastrawi al-Qur’an yang dikuasainya, Mir membandingkan tipe dialog alQur’an dan Bibel dalam artikel Dialogue in The Qur’an.96 Komparasi sisi ironi kisah Yusuf dalam al-Qur’an dan Bibel pada artikel Mir Irony in The
Qur’an (2000)97 semakin menegaskan fokus studi interrelijius di diri Mir. Satu hal penting dalam studi interrelijius adalah adanya pengakuan, peneriman, dan penghargaan seseorang kepada penganut agama lain di luar agamanya. Mir tahu betul bagaimana menempatkan diri secara sosial dan akademik dalam dialog antar agama. Secara sosial, sebagaimana telah disinggung, Mir sukses dengan aktivitas interrelijius-nya. Sementara dari sisi akademik, dua artikel Mir berjudul ‚The Jewish and Christian
Encounter with Modernity: Relevance for Muslims‛ dan ‚Christian
94
Baca keterangan lebih lanjutnya dalam Wadad Kadi dan Mustansir Mir, ‚Literature and The Qur’an‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an (LeidenBoston-Köln: Brill, 2001), vol. 3, hlm. 205-227. 95 Mustansir Mir, ‚The Qur’an as Literature‛ …, hlm. 49. 96 Mustansir Mir, ‚Dialogue in The Qur’an‛…, hlm. 17-19. 97 Mustansir Mir, ‚Irony on The Qur’an: A Study of Story of Joseph‛…, hlm. 182-184.
127
Perspectives on Religion and Science and Their Significance for Modern Muslim Thought‛ menjadi bukti bahwa sisi akademik Mir sejalan dengan aktivitas sosialnya. Kedua artikel tersebut menjadi bukti bagaimana Mir menghargai pemikiran penganut Yahudi dan Kristen dan menjadikannya sebagai rujukan bagi masyarakat Muslim.98 Beberapa artikel lain juga mencerminkan concern studi interrelijius Mir. Misalnya, ulasan Mir mengenai pandangan Islam tentang Isa dan kemungkinan dialog antara penganut Islam dan Kristen, dalam artikel berjudul Islamic Views of
Jesus.99 Begitu juga komparasi aspek sufistik dalam tradisi Yahudi dan Islam, yaitu Kabbalah dan Sufism, melalui karya Mir berjudul Kabbalah
and Sufism: A Comparative Look at Jewish and Islamic Mysticism. Selain melakukan komparasi, Mir juga menelusuri geneologi Kabbalah dan Sufism secara komprehensip dalam tradisi Islam dan Yahudi.100
98
Artikel pertama terkait cara pandang sarjana Kristen dan Yahudi terhadap modernitas. Dari mereka, rumusan perihal Tuhan dan alam, Sekularisme, Pluralisme, dan dialog antar agama muncul ke permukaan dan memberi manfaat bagi masyarakat Muslim, terlepas dari kontroversi yang timbul sebagai efek dominonya. Mustansir Mir, ‚The Jewish and Christian Encounter with Modernity: Relevance for Muslims‛ dalam Ansar, Zafar Ishaq, dan John L. Esposito (ed.), Muslims and The West: Encounter and Dialogue (Islamabad: Islamic Research Institute and International Islamic University, Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, 2001), hlm. 178-195. Sementara artikel kedua, memuat hubungan antara ilmu dan agama. Yang di kalangan Muslim dikenal sebagai Islamization of Knowledge tak lain adalah bentuk pemanfaatan kalangan Muslim dari cara pandang sarjana Kristen terhadap ilmu dan agama. Mustansir Mir, ‚Christian Perspectives on Religion and Science and Their Significance for Modern Muslim Thought‛ dalam Peters, Ted, Muzaffar Iqbal, dan Syed Nomanul Haq (ed.), God, Life, and The Cosmos: Christian and Islamic Perspectives (Burlington, VT: Ashgate, 2002), hlm. 99-124. 99 Mustansir Mir, ‚Islamic Views of Jesus‛ dalam Gregory A. Baker (ed.), Jesus In The World’s Faiths: Leading Thinkers from Five Religions Reflect on His Meaning (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2005), hlm. 115-124. 100 Mustansir Mir, ‚Kabbalah and Sufism: A Comparative Look at Jewish and Islamic Mysticism.‛ dalam Charles Selengut (ed.), Jewish-Muslim Encounters: History, Philosophy and Culture (St. Paul, Minn.: Paragon House, 2001), hlm.165–179.
128 Selain 4 kategori studi al-Qur’an di atas, Mir memiliki 2 fokus studi lain: 1) sebagai juru bicara bagi pemikiran India-Pakistan dan 2) pengulas tafsi>r ‘ilmiy (scientific exegesis). Pertama. Sebagai jubir pemikiran India-Pakistan, Mir cukup konsisten menyuarakan pemikiran orisinil ‚para kolega‛nya. Terhadap pemikir Pakistan, Fara>h}i> dan Is}la>h}i, Mir sukses memperkenalkan pemikiran al-Qur’an (Koherensi al-Qur’an) dan metode penafsiran mereka. Ini tampak pada 2 artikel berjudul Fa-qad s}aghat qulu>bukuma>: The Interpretation of Qur’an 66:4 by Fara>h}i>
and Is}la>hi} >101 dan Elephants, Birds of Prey, and Heaps of Pebbles: Fara>h}i>’s Interpretation of Surah al-Fi>l.102 Selain pemikiran Fara>h}i> dan Is}la>hi} >, pemikiran Iqbal juga mendapatkan perhatian dari Mir. Dimulai dengan menerjemahkan karya puisi Iqbal ke dalam bahasa Inggris pada 1990 dengan judul Tulip in The Desert: A Selection of the
Poetry of Muhammad Iqbal,103 2 tahun selanjutnya Mir mengulas sisi permainankata dan ironi (wordplay and irony) puisi iqbal dalam artikel berjudul Wordplay
and Irony in Iqbal’s Poetry.104 Pada 2006, Mir mempublikasikan buku tentang pemikiran Iqbal berjudul Iqbal: Makers of Islamic Civilization, yang secara
101
Satu hal paling unik dari artikel ini adalah perujukan Fara>h}i> dan Is}la>h}i> kepada puisipuisi Arab pra-Islam. Menurut Mir, salah satu alasan digunakannya sumber puisi oleh keduanya adalah dalam rangka merekonstruksi situasi Makkah ketika itu, melalui analisis atas puisi-puisi Arab tersebut. Mustansir Mir, ‚Fa-qad s}aghat qulu>bukuma>: The Interpretation of Qur’an 66:4 by Is}la>h}i> and Fara>h}i>‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 1, No. 1, 1999, hlm. 150. 102 Pada artikel ini, Mir menawarkan cara baca integral agar dapat memahami keseluruhan pesan surah. Cara baca ‚koherensi‛ ini memang pemikiran utama Fara>h}i>. Selain itu, dalam menafsirkan ayat-ayat dalam surah al-Fil, Fara>h}i> juga menggunakan sumber dari Bibel. Mustansir Mir, ‚Elephants, Birds of Prey, and Heaps of Pebbles: Farahi’s Interpretation of Su>rah al-Fi>l‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 7, No. 1, 2005, hlm. 39-40. 103 Mustansir Mir (ed.), Tulip in The Desert: A Selection of the Poetry of Muhammad Iqbal (London: C. Hurst & Co. (Publishers) Ltd., 1990). 104 Mustansir Mir, ‚Wordplay and Irony in Iqbal’s Poetry‛ dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 3, No. 1, 1992, hlm. 77-93.
129 khusus mengulas pemikiran Iqbal melalui karya puisi dan prosanya; karya ini layak disebut sebagai ‚biografi akademik‛ Iqbal.105 Yang barangkali tidak pernah diduga dari sosok Iqbal adalah bahwa dirinya pernah menafsirkan QS al-Ikhlas. Informasi diketahui setelah Mir mengulas penafsiran Iqbal atas QS al-Ikhlas dalam makalah berjudui Iqbal’s Commentary on Su>rat al-Ikhla>s}.106 Satu lagi sarjana India yang pemikirannya diulas Mir adalah Abu> al-A’la> Maudu>di>. Mufasir Modern ini memiliki karya berjudul Tafhi>m al-Qur’a>n dalam bahasa Urdu. Mir secara khusus fokus pada ulasan metode terjemahan ayat alQur’an ke dalam bahasa Urdu, dan mengurai konsep Maudu>di> terkait Islam sebagai sistem hidup dan relevansinya dengan era modern. Jenis terjemahan bahasa Urdu dalam Tafhi>m terbagi ke dalam 3: 1) terjemahan maknawiah, yaitu terjemahan yang diikuti penjelasan yang memudahkan pembaca memahami ayat al-Qur’an, 2) terjemahan idiomatik, di mana Maudu>di> berusaha mencari padanan idiom-idiom al-Qur’an dengan idiom-idiom dalam struktur bahasa Urdu, dan 3) penerjemahan berdasarkan potensialitas makna, Maudu>di> berusaha mencari makna lain yang mungkin dimiliki kosa kata al-Qur’an.107 Sementara terkait Islam sebagai sistem hidup yang integral (integrated system of life) dan
105
Mustansir Mir, Iqbal: Makers of Islamic Civilization (Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 2006). Tak berhenti sampai di situ, Mir yang menjadi kepala TCIS YSU juga mempelopori penerbitan Iqbal Na>mah, sebuah buletin yang secara khusus mengulas pemikiran Iqbal. Buletin yang terbit 4 kali dalam setahun ini, selain terhadap pemikiran Iqbal, buletin ini juga mengulas karya puisi Iqbal, berikut terjemahan dan penafsirannya (commentary). Sumber: http://web.ysu.edu/gen/class/IqbalNamah_m265.html Diakses pada 1 September 2014. 106 Mustansir Mir, ‚Iqbal’s Commentary on Su>rat al-Ikhla>s}‛ dalam Intellectual Discourse, vol. 10, no. 2, 2002, hlm. 193-201. 107 Mustansir Mir, ‚Some Features of Maudu>di>’s Tafhi>m al-Qur’an‛ dalam American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 2, No. 2, 1985, hlm. 236-238.
130 relevansinya dengan modernitas, Mir sangsi atas kekuatan narasi Maudu>di> di
Tafhi>m al-Qur’a>n dalam menjelaskan hal tersebut.108 Kedua. Mir sebagai pengulas tafsi>r ‘ilmiy. Keberadaan tafsir ini yang selalu diperdebatkan para mufasir membuat Mir tertarik untuk mengulasnya. Meski hanya menulis sebuah artikel berjudul Scientific Exegesis of The Qur’an:
A Viable Project?, ulasan Mir atas tafsi>r ‘ilmiy cukup cermat dan analitis. Artikel Mir tersebut terbagi ke dalam tiga bagian: 1) keterangan kemunculan
tafsi>r ‘ilmiy dalam tradisi tafsir;109 2) argumen yang mempertanyakan tafsi>r ‘ilmiy dalam tradisi tafsir, khususnya mengenai kemampuannya bertahan dalam
108 109
Ibid., 244. Tafsi>r ‘ilmiy pertama kali muncul sebagai ilmu bukan pada tradisi kesarjanaan Islam
Klasik atau Pertengahan, melainkan pada kesarjanaan Modern. Adalah T}ant}a>wi> Jauhari> dalam tafsirnya al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m al-Muh{tamal ‘Ala> al-‘Aja>ib (w. 1940) yang pertama memperkenalkan tafsi>r ‘ilmiy dalam bentuk karya tafsir. Penelitian individual lain yang mendahului karya T}ant}a>wi> barangkali telah ada, namun tidak dalam bentuk tafsir 30 juz. Karya lain yang serupa adalah karangan muallaf Perancis Maurice Bucaille berjudul The Bible, The Qur’an, and Science (1978). Mir menekankan bahwa telah banyak karya individual atau kelompok yang berisi kajian tafsi>r ‘ilmiy namun barangkali pengaruh akademiknya tidak sebesar kedua karya tersebut. Namun begitu, tafsi>r ‘ilmiy tetaplah sebagai ilmu yang membuat umat Muslim terpikat kepadanya. Ini dibuktikan dengan banyaknya seminar, lokakarya, publikasi penelitian, dan penfasiran oral dalam forum-forum kajian tafsir yang kesemuanya memuji tafsi>r ‘ilmiy sebagai metode yang cukup relevan dalam menafsirkan al-Qur’an yang ‚katanya‛ memuat segala sesuatu (statemen al-Qur’an memuat segala sesuatu merujuk kepada QS al-‘An’a>m 6:38, ma> farrat}na> fi al-kita>bi min syai’in). Mustansir Mir, ‚Scientific Exegesis of The Qur’an – A Viable Project?‛ dalam Islam & Science, Vol. 2, No. 1, Summer 2004, hlm. 33-36. Statemen dalam QS al-‘An’a>m 6:38, menurut al-Z|ahabiy, tidak bisa dimaknai dengan ‚memuat penjelasan ilmiah‛ dalam al-Qur’an, apalagi dengan penjelasan detail. Al-Z|ahabiy mengindikasikan bahwa memang ada penjelasan al-Qur’an atas segala sesuatu, namun sifatnya hanya prinsip umumnya (us}u>l ‘a>mmah). Pasalnya, ilmu pengetahuan yang changable dan tidak final menjadi rentan jika disandingkan dengan al-Qur’an. Kerentanan yang dimaksud juga terkait relevansi penafsiran tafsi>r ilmiy, apakah mampu bertahan lama, misalnya untuk beberapa dekade bahkan berabad-abad lamanya ataukah hanya akan usang dalam hitungan tahun saja. Ibid., 36-37. Menurut penulis, kurang tepat mempertanyakan ketahanan relevansi tafsi>r ‘ilmiy di hadapan zaman. Lebih dari itu, bukan jaminan bahwa tafsir-tafsir yang ada, sekalipun al-ma’s|u>r, dapat bertahan di tengah kemajuan zaman. Yang paling penting adalah bagaimana keberadaan tafsir jenre ilmiah ini mampu berkontribusi bagi kajian al-Qur’an, bermanfaat bagi manusia di zamannya, dan membuktikan diri sebagai bagian dari sejarah manusia yang layak dikenang.
131 tradisi tafsir di masa mendatang;110 dan 3) catatan kritis Mir mengenai tafsi>r
‘ilmiy dan perkembangannya.111
110
Terkait argumen yang ‚mempertanyakan‛ tafsi>r ilmiy di sini, tegas Mir, bukan melulu pada poin kerentanan bertahannya hasil penafsirannya di zaman mendatang, melainkan pada poin-poin berikut ini. a) Ayat ma> farrat}na> fi al-kita>b min syai’in hendaknya tidak dimaknai secara berlebihan, misalnya dengan cara mengafirmasi keterkaitan al-Qur’an dengan keilmuan terkini,110 seperti pada karya Afzalur Rahman berjudul Qur’anic Science. b) Tafsir jenre ilmiah ini justru diragukan. Pasalnya, contoh yang selalu dikutipnya, yaitu QS al-Anbiya’ 21:30 tidak benar-benar membicarakan the Big Bang theory sebagaimana diklaim pendukung tafsi>r ‘ilmiy, melainkan bukti kekuasaan Tuhan atas langit dan bumi ciptaannya. c) Bahwa selain terhadap alQur’an, kajian ilmiah juga dilakukan terhadap Bibel oleh umat Kristiani. Persoalannya, terhadap tema-tema yang sama-sama dimuat dalam al-Qur’an dan Bibel, hasil penafsiran sarjana Kristen atas Bibel berbeda dengan hasil penafsiran sarjana Muslim terhadap al-Qur’an. d) Para pendukung tafsi>r ilmiy tidak sedikit yang diragukan kapabilitasnya sebagai sarjana al-Qur’an. e) Meskipun dukungan pada aktivitas tafsi>r ilmiy cukup masif, baik dari pihak-pikah berpengaruh (beberapa dukungan berasal dari pemerintahan negara Islam) maupun dalam bentuk dana yang melimpah, nyatanya aktivitas ‚ilmiah‛ yang dicanangkan sangat jauh dari layak, lantaran tidak mencerminkan aktivitas kesarjanaan al-Qur’an yang mumpuni. ‚Seperti banjir bandang di tengah gurun,‛ Demikian Mir menggambarkannya. Ibid., 37-38. 111 Berikut adalah 3 catatan kritis Mir mengenai tafsi>r ‘ilmiy dan perkembangannya: 1. Al-Qur’an yang bersifat ketuhanan jelas berbeda dengan informasi ilmiah yang berbasis alam dan manusia. Membuktikan keunggulan al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan mendasarkan dari dua sumber berbeda, sumber ketuhanan dan sumber ilmiah (divine and scientific source). Poin pertama tidak perlu dipertanyakan. Poin kedua, sebagaimana diketahui bersama, sumber ilmiah bersifat changable. Perubahan dalam ilmu bisa terjadi kapan saja dan oleh sebab apa saja. Mir merasa sangsi, apakah dibenarkan suatu pandangan bahwa al-Qur’an layak terpenjara dalam dunia keilmuan yang changable? 2. Jelas sekali bahwa sumber-sumber ilmiah berasal dari tradisi Barat. Jika pun tidak semuanya, itu terjadi pada sebagian besarnya. Lalu, di mana orisinalitas nilai-nilai keislaman akan menempatkan dirinya dalam tafsi>r ilmiy? Pada akhirnya, para mufasir pendukung tafsi>r ilmiy hanya akan ‚membaptis‛ keilmuan Barat menjadi bagian dari tradisi tafsir al-Qur’an, yang dalam bahasa kekinian dikenal dengan ‚Islamisasi Pengetahuan‛. 3. Oleh pendukung tafsi>r ilmiy, prediksi masa depan al-Qur’an, misalnya QS al-Rum yang memprediksi kemenangan Persia atas Romawi, dikatakan sebagai bagian dari penjelasan ilmiah. Sementara, informasi tersebut juga mengadung kesejarahan. Lantas, termasuk jenre ilmiah atau historis-kah informasi QS al-Rum tersebut? Kategorisasinya menjadi rancu. 4. Mengacu pada poin kedua, Mir memberi catatan penting sebagai syarat keberlangsungan tafsir> ilmiy di masa mendatang. Mir mengatakan, ‚The project of tafsi>r ‘ilmiy, unless it can give evidence of authenticity of origin, will never be truly viable in Islam.‛ (Proyek Tafsi>r ‘Ilmiy, kecuali dapat membuktikan diri sebagai otentik pada asal-usulnya, tidak akan pernah dapat bertahan dalam tradisi Islam.) Ibid., 40-43.
132 C. Paradigma Kajian al-Qur’an Mustansir Mir Sebagaimana diuraikan dalam dua subbab terdahulu, dapat diketahui bahwa Mir memiliki paradigma berpikir yang khas yang berusaha memadukan beragam jenis kecenderungan ilmiah. Sejauh pengamatan penulis, setidaknya Mir memiliki lima aspek kecenderungan ilmiah yang menarik untuk dikaji.
Pertama, berpikir filosofis. Menurut penulis, Mir terpengaruh pola berpikir Iqbal yang kental dengan dimensi filosofis. Keterpengaruhan ini wajar karena Mir banyak bergelut dalam kajian Iqbal Studies, yang mana telah dirintisnya sejak lama, tepatnya pada 1990 ketika Mir melakukan penerjemahan karya puisi Iqbal. Kedua, mengkaji sesuatu secara komprehensip. Dalam menuliskan karyanya, baik secara luas maupun terbatas (fokus pada pembahasan tertentu), tampak sekali Mir mengerjakannya secara komprehensip. Penulis menemukan relasi tipikal pola kajian Mir ini dengan fokus studi Koherensi alQur’an, yang interkorelatif antara satu bagian studi dengan bagian studi lainnya. Makalah ilmiah Mir tentang kisah Yusuf (pada 1986) sudah membuktikan hal itu, lebih-lebih karya Mir di masa selanjutnya.
Ketiga, tipikal kajian Mir terbilang unik dan orisinil. Mir berusaha memberi cara pandang berbeda dari sebagian pemikir lain pada fokus kajian yang sama. Penulis mendapati keunikan ini dalam banyak karya Mir. Mir, menurut penulis, barangkali bermaksud untuk mencari celah fokus studi yang tidak pernah disentuh pemikir lain. Jelas sekali ini merupakan sumbangsih nyata bagi dunia akademik, sekecil apapun bentuk sumbanganya. Sayangnya, tipikal berpikir yang
133 tergolong ‚anti-mainstream‛ ini membuat hasil karya Mir tidak banyak dirujuk oleh para pemikir lainnya (non-referensial).
Keempat, Mir terbuka dalam pemikiran dan tidak judgemental (mudah menghakimi). Keterlibatan Mir dalam aktivitas antar agama di Youngstown berpengaruh bagi pola pokir Mir, sekaligus membuktikan sikap toleran yang Mir miliki. Sikap terbuka ini mengantarkan mir pada terobosan akademik di diri Mir, yaitu dengan menjadikan Bibel sebagai sumber penafsiran, dalam karya buku paling baru Mir (2008) berjudul Understanding the Islamic Scripture: A Study of
Selected Passages from The Qur’an. Mir menjadikan Bibel sebagai sumber tafsir bukan tanpa alasan. Berikut statemen Mir terkait hal tersebut.112 ‚The Qur’an’s engagement with the Bible, at several levels, is well
known. One can plausibly argue that, in the many cases in which the Qur’an either cites the Bible or refers to it directly or indirectly, one’s understanding of the Biblical material in question can enhance one’s understanding of the Qur’an. …the use of the Bible as an aid to Qur’anic exegesis.‛ Kelima, juru bicara pemikiran India-Pakistan dan karya-karya berbahasa Urdu. Poin pertama, telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Adapun pada poin kedua, ini dibuktikan dengan ulasan Mir atas tafsir berbahasa Urdu Tadabbur-i
Qur’an karya Fara>h}i> dan Is}la>hi} >, Tafhi>m al-Qur’a>n karya Maudu>di>, dan puisi dan prosa Iqbal berbahasa Urdu. 112
Sumber: https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2009/ Diakses 1 September 2014.
134
BAB IV APLIKASI KUTIPAN BIBEL MUSTANSIR MIR DALAM
UNDERSTANDING THE ISLAMIC SCRIPTURE: A STUDY OF SELECTED PASSAGES FROM THE QUR’AN
Bab ini terbagi atas 2 bagian: bagian pertama berisi tinjauan metodologis karya tafsir Mustansir Mir Understanding The Islamic Scripture: A Study of
Selected Passages From The Qur’an, sementara bagian kedua berisi paparan aplikasi kutipan Bibel dalam karya tersebut.1 Berikut ulasan selengkapnya.
A. Tinjauan Metodologis Understanding The Islamic Scripture: A Study of
Selected Passages From The Qur’an Karya ini merupakan karya termutakhir Mustansir Mir (terbit 2008). Sebagai tafsir tematik pilihan, karya ini ditujukan bagi general english-speaking
readers (pembaca berbahasa ibu bahasa Inggris) yang lemah mengenai linguistik Arab dan al-Qur’an. Karya ini diperuntukkan bagi kelompok audiens yang jarang disasar Mufasir.2 Dalam pengantar, selain dipaparkan ulasan mengenai al-Qur’an,
1
Model kutipan Bibel pada karya tafsir Mir tergolong berbeda dari mufasir lainnya. Jika dilakukan kajian secara mendalam, perbedaan antara Mir dengan mufasir lainnya terasa jelas. Pasalnya, fokus studi al-Qur’an dan paradigma berpikir Mir cukup berbeda, karena perbedaan konteks zaman dan geografis di antara Mir dan mufasir lainnya. Apa yang Mir hadapi relatif berbeda dari mufasir lainnya. Mir hidup di tengah masyarakat Amerika yang dominan umat Kristen. Ketika itu, Amerika dilanda Islamofobia akut pasca tragedi 9/11 (baca: ‚Nine Eleven‛, pengeboman gedung World Trade Center pada 11 September 2001). Kiranya penjelasan ini cukup menjawab sisi perbedaan yang penulis maksudkan, antara Mir dengan mufasir lainnya. Satu perbedaan paling jelas adalah bahwa karya tafsir Mir ‚hanya‛ berupa tafsir tematik, sementara tafsir lainnya kebanyakan berupa tafsir 30 juz atau terjemahan al-Qur’an 30 juz. 2 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an (New York: Pearson Education, Inc., 2008). hlm. ix.
134
135 disertakan pula penjelasan tentang konten buku dan pendekatan yang digunakan. Diharapkan, pengantar tersebut dapat memberi pra-pemahaman kepada pembaca, sehingga siap sebelum menelaah isi buku. 1. Pengantar: Seputar Al-Qur’an Al-Qur’an, menurut Mir, dapat dimaknai dua hal: hafalan (recitation
from memory) dan bacaan (reading). Hafalah adalah representasi tradisi oral bangsa Arab; hafalan juga ikut menjaga akurasi al-Qur’an. Adapun bacaan, di sisi lain, mengafirmasi adanya kebutuhan ‚menulis‛; sehingga ada sesuatu ‚yang dibaca‛. Disadari atau tidak, tradisi bacaan-menulis ini merangsang pertumbuhan budaya tulis dalam tradisi Arab. Wajar jika alQur’an dikatakan ikut memperkaya ilmu pengetahuan di kawasan Arab.3 Berbeda dari Bibel yang kontennya (pasca kanonik) kronologis dan sistematis, al-Qur’an hadir tidak menampakkan adanya sistematika baku.4 Misalnya, perbedaan tipikal surah pendek dan surah panjang. Pada surah pendek, ayat-ayat al-Qur’an yang termuat di dalamnya condong kepada kesatuan tema (the unity).5 Sementara pada surah panjang, yang tampak adalah sisi kesinambungan (continuity) dan koherensinya (coherence).6 Surah-surah al-Qur’an terbagi atas Makkiyyah (turun pada periode Makkah) dan Madaniyyah (turun pasca Hijrah ke Madinah). Menurut Mir, 3 4 5
Ibid., hlm. 1-2. Ibid., hlm. 3-4.
Selengkapnya, rujuk Mustansir Mir, ‚The Su>ra as a Unity: A Twentieth Century Development in Qur’an Exegesis‛, dalam G.R. Hawting (ed.), Approaches to The Qur’an (London: Routledge, 1993), hlm. 211-224. 6 Rujuk bab III-VI pada Mustansir Mir, Coherence in The Qur’an: A Study of Is}la>h}i’s Concept of Naz}m in Tadabbur-i Qur’a>n (Indianapolis: American Trust Publications, 1986).
136 mengetahui tipikal surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah penting bagi mufasir. Karena, di balik pengetahuan dua jenis surah tersebut, akan diketahui pula mukha>t}ab al-Qur’a>n. 7 Adanya konteks sosial di balik turunnya al-Qur’an mengharuskan aktifitas tafsir dilakukan secara cermat. Kealpaan suatu informasi di balik suatu ayat al-Qur’an berpotensi mengantarkan kepada penafsiran yang problematik. Karenanya, Mir perlu merumuskan beberapa syarat mufasir terkait konteks sosial al-Qur’an tersebut. 1) Wajib mengetahui sisi linguistik al-Qur’an, selain juga puisi Arab pra-Islam. Pengetahuan ini dapat mengantarkan pada pengetahuan akan dunia Arab pra-Islam secara komprehensip, meliputi kepercayaan, adat istiadat, kearifan lokal, relasi kesukuan, aktifitas sosial, tradisi perupacaraan, dan lain-lain. 2) Sebagai ‚objek‛ kajian, al-Qur’an harus dipahami dalam totalitasnya (totality), bahwa satu bagian al-Qur’an niscaya menjelaskan bagian lainnya (al-
qur’a>n yufassiru ba’d}uhu> ba’d}a>). Memahami totalitas yang dimaksud adalah bentuk usaha menelusuri ‚pola pikir utuh‛ al-Qur’an, alih-alih memahami satu bagian saja yang dianggap paling penting. 3) Memahami perbincangan kesejarahan al-Qur’an (Historical Qur’anic Scholarship), yaitu informasi kesejarahan al-Qur’an, khususnya yang bersumber dari
7
Surah Makkiyyah fokus pada pemaparan nilai fundamental Islam, seperti monoteisme dan ajaran moralitas. Sementara itu, surah Madaniyyah ditujukan kepada masyarakat yang secara kelompok sosial beragam. Yahudi, Kristen, Islam, dan Munafik (memeluk Islam dengan intrik) adalah para lawan bicara utama surah-surah Madaniyyah. Hadir di tengah masyarakat yang mapan secara sosial memungkinkan surah Madaniyyah beranjak dari seputar pembicaraan nilai fundamental Islam kepada pembicaraan sosial antar manusia ( mu’a>malah). Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 4-6.
137 Muhammad (yaitu Hadi>s)| sebagai informan pertama atas al-Qur’an. Meski hadi>s| tidak selalu menjelaskan al-Qur’an secara detail, setidaknya
hadi>s| menjangkau aspek-aspek penting dalam al-Qur’an, misalnya uraian terkait terminologi khusus dalam al-Qur’an dan pemikiran dasar (thought) al-Qur’an mengenai suatu topik tertentu.8 Bahasa al-Qur’an memiliki beberapa karakter. 1) Religius dan Etis, dengan pesan utama Monoteisme. 2) Tergolong puitis, namun tidak berbentuk puisi.9 3) Berciri tegas dan ekonomis dalam menyampaikan pesan. 4) Perubahan topik obrolan yang kerap kali terjadi pada surahsurah panjang. Menurut Mir, ini menunjukkan bahwa al-Qur’an turun dalam ‚live setting‛ (sedang berlangsung) dalam bentuk obrolan cair, di mana suatu pembicaraan dapat beralih dari satu topik ke topik lainnya tanpa suatu pemberitahuan formal kepada audiens.10 2. Konten Tafsir Dimaksudkan sebagai ‚intisari‛ al-Qur’an menjelaskan apa itu alQur’an dan apa itu Islam, Understanding The Islamic Scripture: A Study
of Selected Passages from The Qur’an memuat 37 topik yang dianggap representatif sebagai ‚intisari‛ yang dimaksud. Puluhan topik tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 5 tema besar:11
8 9
Ibid., hlm. 7-8.
Untuk mengetahui ulasan unsur-unsur sastrawi al-Qur’an, rujuk subbab ‚Al-Qur’an dan Tinjauan Kesusastraan‛ pada bab III. 10 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 6-7. 11 Ibid., Hlm. 9-10.
138 a. Kisah-kisah fundamental dalam Islam b. Ajaran-ajaran al-Qur’an tentang etika dan doktrin dasar Islam c. Beragam titah Tuhan dalam al-Qur’an d. Pandangan al-Qur’an tentang alam sebagai salah satu penuntun manusia menuju realitas yang lebih luas e. Relasi antara Tuhan, dunia, dan kemanusiaan Pesan paling utama dari keseluruhan 37 topik tersebut adalah bahwa moralitas menjadi intisari dan tujuan utama yang ingin dicapai karya ini. Moralitas, menurut Mir, lahir dari konsepsi keimanan yang hulunya adalah berserah diri kepada Tuhan (submission to God) di seluruh aspek kehidupan.12 3. Tinjauan Teknis Setiap topik terdiri atas suatu (kelompok) ayat dalam bentuk terjemahan berbahasa Inggris, yang diikuti dengan 4 pembahasan utama (minimal). Dalam menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an, satu hal yang Mir pegangi sebagai pertimbangan utama adalah aspek kedekatan terjemahan dengan teks asal (teks al-Qur’an, bahasa Arab). Mir berusaha keras agar
Menurut penulis, 37 topik tersebut mengutarakan topik-topik yang seringkali ditanyakan terkait Islam. Keberadaan topik-topik tersebut tak lain adalah usaha aktif Mir menghadirkan buku ‚panduan‛ yang dapat menjawab beragam pertanyaan tentang Islam, baik dari mereka yang tidak mengetahui Islam maupun dari mereka yang tertarik mempelajari Islam secara mendalam. Berikut adalah beberapa topik di antaranya: 1. One God, One Humanity 2. Torah, Evangel, and Qur’an 3. The Primordial Covenant 4. Commandments 5. Relations with Non-Muslims 6. An Argument for The Afterlife 12 Ibid., Hlm. 207.
139 terjemahannya tidak menjauh dari teks asal, dengan cara tidak memberi informasi tambahan, sekalipun itu memudahkan pembaca. Ini Mir lakukan agar tidak merusak sintaksis bahasa asal. Namun demikian, Mir berusaha agar terjemahannya mudah dicerna pembacanya (readable translation) dengan menggunakan pemilihan kata yang tepat (diksi).13 Adapun 4 pembahasan utama yang dimaksud berisi pendahuluan (introduction), tafsir (commentary), isu-isu utama (issues), dan ulasan kesusastraan (literary notes).14 Bagian pendahuluan berisi pengantar yang mendekatkan pembaca kepada konteks dan pembicaraan terkait ayat yang akan ditelaah. Bagian tafsir berisi penjelasan lebih mendalam terkait ayat yang sedang ditelaah. Di sini, terkadang Mir menggunakan metode al-
Qur’a>n yufassir ba’d}uhu> ba’d}a>. Bagian isu-isu utama biasanya memuat pembicaraan baru terkait ayat yang sedang ditelaah. Sementara pada ulasan kesusastraan, Mir berusaha memaparkan kandungan sastrawi yang dimiliki al-Qur’an. Selain unsur sastrawi, tinjauan kebahasaan terkadang ditampilkan Mir dalam bagian literary notes ini. Jika tema pembahasan dalam suatu bab sangat luas, Mir biasanya akan menyertakan 2 jenis subbab tambahan: 1) terkait topik pembahasan, bisa muncul lebih dari satu subbab; dan 2) terkait relasi topik pembahasan dengan Bibel, biasanya muncul tak lebih dari satu subbab. Bagian kedua inilah yang menjadi concern penulis dalam penelitian ini. 13
Ibid., Hlm. 10. Bagian introduction dan commentary selalu disertakan. Sementara bagian issues dan literary notes bisa muncul secara bersamaan dan terkadang muncul sendiri-sendiri. 14
140 Kemunculan isu-isu utama, ulasan kesusastraan, dan 2 jenis subbab tambahan adalah usaha nyata Mir membahas secara komprehensip 37 topik dalam karyanya (selain pendahuluan dan penafsiran). Hal tersebut sengaja Mir lakukan sebagai antisipasi atas kemunculan pertanyaanpertanyaan yang mungkin diajukan para pembaca karyanya.15 4. Bibel sebagai Sumber Tafsir al-Qur’an Sebagaimana Mir akui bahwa al-Qur’an merupakan integral part of
larger scriptural tradition (bagian integral dari tradisi kitab suci yang lebih luas, dalam hal ini agama-agama Abrahamik),16 maka mempelajari Bibel merupakan salah satu usaha paling tepat dalam mengelaborasi ayatayat al-Qur’an, apakah itu dalam bentuk menyetujui, mengkomentari, melakukan kritik, atau bahkan menolak muatan al-Qur’an. Apa yang Mir lakukan dengan mengutip Bibel dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, nyatanya telah dilakukan beberapa mufasir terdahulu, seperti telah disinggun di bab sebelumnya. Namun demikian, menurut Mir, tidak banyak dari mereka yang mau mengakuinya secara eksplisit dan formal bahwa Bibel memang memberi ‚bantuan‛ dalam menafsirkan al-Qur’an. Berikut pernyataan Mir, ‚In fact, Muslim Qur’anic commentators often cite the Bible or
draw on it, but one feels that there needs to be, on the part of
15
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 11. Disebutkan Mir, kitab suci agama Abrahamik memilik tema-tema sentral, antara lain: keesaan Tuhan, kenabian, wahyu, amal baik, dan pertanggungjawaban amal. Ibid., hlm. 9. 16
141
Muslim scholars, a more explicit and more formal recognition of the Bible as an aid to Qur’anic Exegesis. ‛ 17 Dari 37 topik dalam Understanding The Islamic Scripture: A Study
of Selected Passages from The Qur’an (lihat Lampiran 1), hanya 13 topik yang memuat ayat-ayat Bibel sebagai sumber tafsir. Kitab-kitab dalam Bibel yang digunakan Mir sebagai sumber tafsirnya meliputi: 1) Kejadian, Keluaran, Imamat, Ulangan, I Samuel, I Raja-Raja, Ayub, mazmur, dan Amsal, pada PL; dan 2) Matius, Lukas, dan Yohanes, pada PB.18
B. Aplikasi Kutipan Bibel dalam Understanding The Islamic Scripture: A Study
of Selected Passages From The Qur’an Aplikasi kutipan Bibel dalam karya tafsir Mir, penulis membaginya ke dalam 3 tema besar: 1) Kesatuan Ajaran Agama Abrahamik; 2) Kisah Para Nabi; dan 3) Konsep-Konsep dalam Islam. Pembahasan pertama memuat ulasan terkait ajaran keagamaan dalam agama-agama Abrahamik, berusaha mengurai apakah ajaran Islam selaras dengan ajaran agama Yahudi dan Nasrani atau tidak. Tema kedua membahas kisah-kisah Nabi ditinjau dari ayat-ayat al-Qur’an dan Bibel, berusaha mengurai sejauh kisah-kisah Nabi dalam Bibel memberi sumbangsih informatsi bagi al-Qur’an. Tema ketiga fokus pada uraian konsep-konsep dalam Islam yang dikomparasikan dengan konsep-konsep dalam Bibel.
17 18
Ibid.
Lihat selengkapnya pada Lampiran 1 yang memuat daftar ayat al-Qur’an dan Bibel dalam Understanding The Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an .
142 1. Kesatuan Ajaran Agama Abrahamik a.
Al-Fatihah sebagai Esensi Asasi al-Qur’an Al-Fatihah adalah miniatur al-Qur’an. Di dalamnya terangkum 3 ajaran utama al-Qur’an: ajaran keesaan Tuhan (monotheisme), ajaran berupa aturan yang menuntun manusia (prophecy), dan ajaran tentang kehidupan pasca mati atau Akhirat (the afterlife).19 Al-Fatihah, mengambil bentuk do’a yang Allah ajarkan kepada manusia, menurut Mir, memiliki argumen filosofis yang khas. AlFatihah memadukan antara aspek ketuhanan dan realitas manusia. Al-
19
Ayat 1-2 menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan, yang menguasai langit dan bumi. Ayat 3 menjelaskan bahwa Tuhan akan mengadili semua amal manusia di Akhirat. Setelah menegaskan diri untuk berkomitmen menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada Tuhan (ayat 4), manusia memohon petunjuk kepada Tuhan dalam mengarungi hidupnya (ayat 5) dan merinci permohonan petunjuk yang dimaksud, yaitu petunjuk seperti yang ditujukan bagi orangorang yang Allah beri kenikmatan, bukan yang dimurkai dan tersesat (ayat 6). Penjelasan surah al-Fatihah di atas tidak memasukkan Basmalah sebagai bagian dari al-Fatihah. Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 15. Dalam al-Fatihah terdapat keharmonisan antar dua kutub ( polar harmony) yaitu kelompok ayat 1-3 dan 4-6. Masing-masing kelompok ayat tersebut mempola polar harmony berupa: 1) pemikiran dan aksi (thought and action), bahwa kontemplasi manusia atas nilai-nilai ketuhanan akan menuntun mereka kepada aksi dalam hidup secara lebih baik; 2) perasaan dan pengetahuan (emotion and cognition), bahwa perenungan manusia akan anugerah Tuhan yang berikan kepadanya yang begitu banyak membuat manusia menyadari dan mengakui keberadaan Tuhan (recognition), dengan begitu manusia menjadi butuh kepada Tuhan; 3) inisiatif dan respon (initiative and response), bahwa Tuhan sebagai inisiator dengan memberi stimulan kepada manusia berupa anugerah, kasih, dan sayang. Dengan bekal itu, manusia memberi respon yang sepadan, yaitu dengan selalu memohon petunjuk kepada Tuhannya; 4) pemberian keistimewaan dan tanggung jawab (privilage and responsibility), bahwa anugerah Tuhan kepada manusia yang demikian agung selayaknya mengantar manusia kepada kesadaran tinggi untuk selalu mematuhi aturan-aturan yang telah Tuhan tetapkan, manusia sepantasnya melayani Tuhan sebagaimana Tuhan (terlebih dahulu) melayaninya dengan sangat baik; 5) bersifat personal dan kemanusiaan (individual and humanity), bahwa relasi antara manusia dan Tuhan secara individu berada pada satu sisi, sementara sisi lainnya adalah hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Kedua relasi tersebut mutlak ada dalam kehidupan manusia; dan 6) dunia dan akhirat (this world and the next), bahwa anugerah Tuhan yang bersifat ‚fisik/materi‛ yang diberikan kepada manusia adalah bekal dalam menghadapi kehidupan dunia yang akan datang. Di akhirat, berbekal anugerah Tuhan yang bersifat materiil tersebut dan pertolongan Tuhan kepada manusia (yang selalu meminta perlindunganNya), manusia akan menghadapi dunia Akhirat yang semua hal di dalamnya bersifat non-materi atau non-fisik. Ibid., hlm. 17.
143 Fatihah memiliki implikasi penting bagi Islam sebagai sebuah agama agama; Islam mewujud sebagai respon positif atas hati-pikiran manusia dan realitas di sekitarnya. Respon positif ini tepat bagi kemanusiaan (humanity) era modern ini, di tengah skeptisisme agama yang merebak; agama dilabeli dengan product of fear.20 Mengambil bentuk do’a, pesan-pesan al-Fatihah juga ditemukan dalam Matius 6:9-13, dengan sebutan Lord’s Prayer. Unsur kesamaan kandungan keduanya dijelaskan Mir berikut ini: i. Ayat 1-2 (al-hamd lilla>hi rabb al-‘a>lamin dan al-rah}ma>n al-rah}i>m) serupa kandungannya dengan pasal 9: ‚Bapa kami yang di Sorga,
Dikuduskanlah nama-Mu.‛ Frasa Bapa Kami menunjukkan adanya referensi langsung kepada Tuhan, di mana Tuhan menjadi tempat bagi manusia untuk berlindung. ii. Ayat 3 (ma>lik yaum al-di>n) serupa kandungannya dengan pasal 10: ‚Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di Bumi seperti di
Sorga.‛ Namun, makna Kerajaan Tuhan masih diperdebatkan apakah hanya terkait kerajaan Tuhan di dunia atau mencakup di luar-dunia/Akhirat, dan atau keduanya sekaligus. iii. Ayat 4 (iyya>ka na’bud wa iyya>ka nasta’i>n) serupa kandungannya dengan pasal 11-12: ‚Berikanlah kami pada hari ini makanan kami
yang secukupnya. Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.‛ Baik al-Qur’an maupun Lord’s Prayer mengisyaratkan adanya perasaan ‚butuh kepada Tuhan‛ dalam diri manusia.
20
Ibid., hlm. 15-17.
144 iv. Ayat 5-6 (ihdina> al-s}ira>t} al-mustaqi>m dan s}ira>t} al-laz|i>n an’amta
‘alaihim ghair al-maghd}u>b ‘alaihim wa la> al-d}al> li>n) serupa dengan pasal 13: ‚Dan janganlah membawa kami ke dalam percobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.‛ Ada kebutuhan dalam diri manusia untuk selalu menapaki jalan yang lurus (al-
s}ira>t} al-mustaqi>m) dan enggan menapaki jalan-jalan lain, sekalipun itu menjadi sarana ujian bagi manusia yang dapat membuatnya menjadi lebih tegar dan sabar. 21 Tinjauan atas al-Fatihah yang dihadapkan dengan Lord’s Prayer juga dilakukan S. Sperl dalam artikel berjudul The Literary Form of
Prayer: Qur’an Surah One, The Lord’s Prayer, and A Babylonian Prayer to Moon God.22 Menggunakan tinjauan Fraseologi23 Sperl membagi 7 ayat al-Fatihah ke dalam 10 bagian,24 di mana kesepuluh bagian surah al-Fatihah tersebut, oleh Sperl, dianggap menyerupai
Lord’s Prayer dalam Lukas 11:2-5 dan Matius 6:9-13. Mengacu pada unsur fraseologi, Sperl lebih memilih Matius 6:9-13 karena dianggap 21
Ibid., hlm 18-19. S. Sperl, ‚The Literary Form of Prayer: Qur’an Surah One, The Lord’s Prayer, and A Babylonian Prayer to Moon God‛ dalam Bulletin of School of Oriental and African Studies, 22
University of London, vol. 57, no. 1, in Honour of J.E. Wansbrough (1994), hlm. 213-227. 23 Fraseologi: cara memakai kata atau frasa di dalam konstruksi yangg lebih luas, baik dalam bentuk tulis maupun ujar. Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia. 24 Berikut ini adalah pembagian S. Sperl terhadap QS al-Fatihah ke dalam 10 bagian: 1. Bismilla>h al-rah}ma>n al-rah}i>m 2. Al-h}amd lilla>h rabb al-‘a>lami>n 3. Al-rah}ma>n al-rah}i>m 4. Ma>lik yaum al-di>n 5. Iyya>ka na’bud 6. Wa iyya>ka nasta’i>n 7. Ihdina> al-s}ira>t} al-mustaqi>m 8. S}ira>t} al-laz|ina an’amta ‘alaihim 9. Ghair al-maghd}u>b ‘alaihim 10. Wa la> al-d}a>lli>n S. Sperl, ‚The Literary Form of Prayer…, hlm. 214.
145 lebih mendekati frasa-frasa al-Fatihah di atas. Sperl juga membagi Matius 6:9-13 ke dalam 10 bagian.25 Seperti pada al-Fatihah, 5 poin pertama Matius 6:9-13 berkaitan dengan unsur ketuhanan atau eskatologi, sementara 5 poin kedua terkait dunia manusia. Baik al-Fatihah maupun Matius 6:9-13, keduanya sama-sama menyiratkan kedekatan alamiah antara unsur ketuhanan dan kemanusiaan.26 Namun, Sperl mengakui jika keduanya tidak mutlak sama. Sperl mencatat 2 perbedaan penting pada kedua sumber tersebut: 1) unsur ‚penyembahan‛ dalam al-Fatihah tidak ditemukan padanannya dalam Matius 6:9-13; dan 2) adapun pada ekspresi ‚permohonan‛ duniawi, Matius 6:9-13 menggunakan frasa beragam; give, forgive, do not lead, dan deliver.. Dalam al-Fatihah, hanya digunakan frasa ihdina> atau ‚lead us‛ terkait permohonan duniawi tersebut. Namun demikian, kedua perbedaan tersebut tidak
25
Berikut ini adalah pembagian S. Sperl terhadap Matius 6:9-13 ke dalam 10 bagian: 1. Our Father who art in heaven, 2. May thy name be hallowed 3. May thy kingdom come 4. May thy will come to pass 5. As in heaven so also on earth 6. Our bread for the morrow give us to-day 7. And forgive us our debts 8. As we have also forgiven our debtors 9. And do not lead us into temptation 10. But deliver us from evil Ibid., hlm. 219. 26
Ibid.
146 lantas menampik adanya kesamaan di keduanya, yaitu sama-sama bersumber tradisi liturgi yang sama, agama Ibrahim.27 Usaha Sperl dalam mendekatkan al-Fatihah dan Lord’s Prayer bukan termasuk yang pertama. Tercatat pada 1928, Winkler pernah meneliti dan berkesimpulan bahwa al-Fatihah dan Lord’s Prayer memiliki keterkaitan. Lain lagi dengan Moses Gaster yang mendaku bahwa al-Fatihah merupakan tiruan dari Ens}ira-nya masyarakat Samaria (bagian dari bangsa Israel).28 Oleh Rudi Paret, Winkler dianggap gagal membuktikan keterkaitan al-Fatihah dan Lord’s
Prayer secara konkrit. Sementara argumen Gaster soal al-Fatihah yang dianggap meniru Ensira dianggap kurang meyakinkan.29 Lain lagi dengan Chawkat Moucarry dalam melihat al-Fatihah dan Lord’s Prayer. Merujuk kepada sumber-sumber internal Islam (tafsir Klasik dan Modern) dan Kristen, Moucarry yang seorang Kristen Arab membagi al-Fatihah dan Lord’s Prayer ke dalam 3 bagian: konsep Tuhan, kemuliaan Tuhan, dan kebutuhan manusia akan Tuhan. Pertama, konsep Tuhan. Menurut Moucarry, ayat 1 QS al-Fatihah Bismilla>h al-Rahma>n al-Rah}i>m adalah bentuk penegasan
27 28
Ibid., hlm. 220. Ens}ira adalah syahadat keimanan atau pengakuan keimanan ( confession of faith)
masyarakat Samaria. Masyarakat Samaria mendiami kawasan Palestina bagian utara. Meskipun ‚berbadarah‛ Israel, mereka enggan disebut sebagai Israel. Masyarakat Samaria adalah satusatunya kelompok yang bertahan di tanah Palestina ketika terjadi penyerangan besar-besaran oleh kerajaan Babilonia yang meluluhlantakkan kerajaan Israel (utara Palestina) ketika itu. Serangan tersebut dikenal dengan Babylonian Exile. S. Noja Noseda, ‚Al-Sa>mira‛ dalam Gibb, H.A.R., et. al., The Encyclopaedia of Islam: New Edition (Leiden: E.J. Brill, 1991), vol. 8, hlm. 1044. 29 Rudi Paret, ‚Fa>tih}a‛ dalam Ibid., vol. 2, hlm. 841.
147 bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Kata Alla>h berasal dari ila>h (God) yang dibubuhi al (The) sebagai tanda ma’rifah (The God). Tanda ma’rifah tersebut sekaligus menegaskan penolakan keberadaan tuhan-tuhan lain selain Allah (Syirk30). Selain keesaan Tuhan, sifat
Rah}ma>n -Rah}i>m menjadi bagian terpenting yang melekat dalam diri Allah; kasih-sayang Allah tercurah kepada semua mahluk-Nya.31 Adapun Tuhan dalam Lord’s Prayer (Matius 6:9b) digambarkan lebih personal, ‚Bapa kami yang di Sorga,‛. Jarak Tuhan dan manusia seperti face-to-face. Tidak perlu ada pujian khusus kepada Tuhan sebagai sapaan pendahuluan ketika hamba ingin menyapa Tuhannya. Kedekatan ini membuat Tuhan dipanggil dengan sebutan Bapa (Father), seperti gambaran ‚ayah‛ bagi seorang anak.32 Keistimewaan lain dari relasi Tuhan dan manusia adalah karena mereka diciptakan sesuai dengan ‚gambaran‛-Nya (His image, dalam Kejadian 5:1-3).33
30
Syirk adalah dosa yang Allah tidak akan pernah memaafkannya. Pesan ini termuat dalam QS al-Nisa 4:48. 31 Chawkat Moucarry, Two Prayers for Today: The Lord’s Prayer and The Fatih}a (Tiruvalla, India: Christava Sahitya Samithy, 2007), hlm 32-35. 32 Dalam membedakan dengan father yang bersifat manusia, muncullah ungkapan Father in heaven (Bapa si Sorga). Ibid., hlm. 37-38. 33 Ibid., hlm. 43. Al-Qur’an dan Bibel (dalam hal ini antara Islam dan Kristen) memiliki cara pandang berbeda dalam pembicaraan mengenai Tuhan. Ini dikarenakan keduanya memiliki konsep keagamaan yang berbeda. Jika Tuhan dalam Islam identik dengan konsep keesaan, kemuliaan, dan keagungan, konsep Tuhan dalam Kristen lebih identik dengan cinta dan kasih. Perbedaan cara pandang keduanya juga terjadi pada pembicaraan mengenai konsep Trinitas yang ada dalam Kristen. Islam menolak konsep Trinitas secara rasional, sementara Kristen memandangnya dari sisi spiritual dan jauh melampui batas rasional manusia. Umat Kristiani menerima Trinitas bukan karena mereka memahaminya, melainkan karena menundukkan pikirannya pada Tuhan yang menampakkan dirinya dalam Yesus sebagai Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Moucarry atas hal ini menyatakan, ‚Bukankah sikap penyerahan diri (isla>m) dan kepercayaan (i>ma>n) seperti inilah yang menjadi karakter seorang hamba?‛ Ibid., hlm. 86-93.
148
Kedua, kemuliaan Tuhan, yang termuat dalam ayat 2-4 dalam QS al-Fatihah. Disifatinya Allah dengan Rabb al-‘a>lami>n adalah karena kepenguasaan-Nya atas seluruh ciptaan-Nya di alam raya. Karenanya, wajar jika dalam ayat 4 ma>lik yaum al-di>n, Allah diasosiasikan dengan kesepihakan kehendak-Nya yang absolut dalam mengampuni atau menghukum amal perbuatan manusia di Hari Akhir nanti. Yang menarik adalah bahwa ayat 3 al-Rah}ma>n al-Rah}i>m (terlepas dari kesan redundant atas ayat 1) seperti menjadi penegasan bahwa Allah tetap akan memiliki keadilan dan kemurahan hati di balik semua yang menjadi ketetapannya, tak terkecuali di Hari Akhir nanti. Adapun kemuliaan Tuhan dalam Matius 6:9c-10 terletak pada 3 aspek, yaitu Nama, Kerajaan, dan Kehendak. Ketiganya menjadi misi utama Jesus untuk diwujudkan di Bumi, di hadapan umatnya.34
Ketiga, kebutuhan manusia akan Tuhan. Telah disinggung bahwa dalam tradisi Islam Tuhan lebih sering digambarkan dengan keesaan dan kemuliannya dibandingkan dengan ‚kedekatan‛ dengan hambaNya. Menjadi wajar jika dibutuhkan prolog ketika hamba meminta pertolongan kepada Tuhan (nasta’in>n), yaitu dengan cara menyatakan
Trinitas yang dimaksud al-Qur’an tergolong simpang siur. Terkadang, pembicaraan alQur’an mengenai Trinitas adalah bukan Trinitas itu sendiri, melainkan Triteisme. Triteisme adalah ‚tiga Tuhan‛ yang meiputi Allah, Maryam, dan Isa. Sementara Trinitas adalah Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Lihat ulasan lebih lengkapnya dalam Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 34-38. 34 Seperti telah diketahui bersama, bahwa konsep Allah dalam Islam identik dengan keadilan dan kemurahan hati, sementara dalam Kristen dengan cinta dan dalm Yahudi dengan kebenaran ketuhanannya (divine righteousness). Chawkat Moucarry, Two Prayers for Today…, hlm. 46-53 dan 55-60.
149 diri menyembah kepada-Nya (na’budu), seperti pada ayat 5 QS alFatihah. Adapun isi permintaan hamba kepada Tuhan (ayat 6-7 QS al-Fatihah), secara umum hanya satu: jalan yang ‚lurus‛ (mustaqi>m), seperti jalan hamba Allah yang diberi petunjuk, dan bukan seperti jalan hamba Allah yang tersesat.35 Kebutuhan manusia akan Tuhan dalam Lord’s Prayer fokus pada 3 hal pokok: makanan, ampunan, dan dihindarkan dari segala bentuk godaan dan potensi berbuat jahat.36 Kedekatan kandungan al-Fatihah dan Lord’s Prayer, atau bahkan dengan Ens}ira, membuktikan adanya kedekatan yang nyata (jika enggan menyebut kesatuan) antara ajaran-ajaran Islam, Nasrani, dan Yahudi, yaitu ajaran yang hulunya berasal dari ajaran hani>f Ibrahim. b.
Relasi Taurat, Injil, dan al-Qur’an Konsep mus}addiq atau pemberi konfrimasi (sebagaimana dalam QS al-Ma’idah 5:48 atau Matius 5:17) adalah derivasi pembicaraan
35
Kata ganti ‚kami‛ pada 2 ungkapan tersebut adalah wujud rasa persaudaraan antar sesama hamba Allah, yaitu bahwa di antara umat Islam seharusnya memiliki kaitan yang erat termasuk dalam ibadah. Kebersamaan tersebut diistilahkan dengan jama>’ah. Ibid., hlm. 62-70. 36 Makanan, dengan redaksi kata ‚roti‛, sesungguhnya bukan semata kebutuhan fisik. ‚Roti‛ yang adalah simbol makanan pokok dimaksudkan sebagai ‚kebutuhan dasar‛ manusia. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar ini, manusia akan dapat mengamalkan ajaran Tuhan lainnya, baik yang berdimensi sosial maupun spritual. Tuduhan yang dialamatkan kepada Bibel, yaitu bahwa di muatannya hanya berisi persoalan non-spiritual, menurut Moucarry, tidak tepat. Karena, banyak hal dalam hidup yang tidak bisa dipahami hanya dari apa yang tampak. Moucarry, melalui permintaan manusia kepada Tuhan berupa ‚roti‛, ingin menegaskan cara pandang yang berbasis implikasi. Adapun ampunan, selain hak prerogatif Tuhan. Ampunan ini adalah khusus bagi dosa manusia kepada Tuhan dan bersifat spiritual. Adapun dosa manusia terhadap sesama, harus diselesaikan secara manusiawi. Terkait permohonan untuk dihindarkan dari godaan dan potensi berbuat jahat, ini tidak berarti bahwa manusia ‚meminta‛ Tuhan untuk tidak memberi ujian kepada mereka, melainkan untuk memberi kekuatan tatkala mereka dihadapkan kepada ujian Tuhan berikan. Lagi pula, ujian adalah jalan yang mengantarkan manusia pada kemuliaan iman yang lebih tinggi nilainya di hadapan Tuhan. Permohonan ini adalah bentuk kesadaran diri seorang hamba akan kelemahannya; hanya kepada Tuhan mereka memohon bantuan. Ibid., hlm. 72-79.
150 sekaligus penegasan mengenai petunjuk hidup yang telah dilupakan manusia dan tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup mereka. Petunjuk yang dimaksud adalah aturan pembalasan yang sepadan atas suatu perbuatan buruk manusia kepada manusia lainnya, yang dikenal dengan qis}a>s} (retribution). Mir menengarai adanya pengabaian yang nyata pada persoalan qis}a>s} sehingga pembicaraan tersebut terulang di banyak tempat di Bibel dan kembali ditegaskan oleh al-Qur’an.37 Keluaran 21:23 (PL) berpesan tentang balasan yang sepadan, yaitu nyawa yang hilang dibalas dengan nyawa. Sementara itu, dalam Ulangan 19:21 dan Imamat 24:20 dipesankan bahwa mata harus diganti dengan mata. Matius 5:38-39 (PB) juga berpesan hal yang sama; mata diganti dengan mata. QS al-Ma’idah 5:45 juga berpesan hal serupa, bahwa nyawa, mata, hidung, telinga, gigi, dan luka harus dibalas dengan yang sepadan.38 Pembicaraan qis}a>s} tidak serta merta menganjurkan manusia menunjukkan rasa kekejaman satu sama lain. Sebaliknya, ada rasa kemanusiaan yang sangat agung di balik eksekusi qis}a>s}. Al-Qur’an menyatakan bahwa di balik penegakan hukum qis}a>s} ada kehidupan (QS al-Baqarah 2:179). Matius 5:39 juga mengajarkan bagaimana sikap legawa juga tetap menjadi pedoman utama dalam hidup. Dikatakan dalam ayat Matius tersebut, ‚siapapun
yang menamapar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.‛
37 38
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 125-126.
Ibid.
151 Al-Biqa>’i> mengutip 5 poin penting terkait hukum qis}a>s} al-Qur’an yang penjelasannya ditemukan dalam Bibel. Pertama, barang siapa memukul orang lain hingga mati, hukuman mati adalah balasan yang setimpal. Kedua, apabila ada dua orang bertengkar dan tanpa sengaja menyebabkan seorang perempuan mengalami keguguran, maka: 1) orang tersebut didenda dengan membayar nominal uang yang layak yang diperuntukkan bagi perempuan tersebut, dengan catatan jika bayi dalam kandungannya belum bernyawa atau usia bayi dalam kandungan kurang dari 4 bulan; dan 2) orang tersebut membayar kematian bayi dalam kandungan dengan nyawanya, jika bayi dalam kandungan telah berusia di atas 4 bulan. Selain kepada nyawa, hukum
qis}a>s} yang setimpal juga berlaku pada kecacatan dan kehilangan organ tubuh, seperti mata, gigi, tangan, kaki, luka, dan tamparan.39
Ketiga, selain kepada manusia, pembunuhan atas hewan juga berlaku qis}a>s}, dengan cara mengganti hewan yang sepadan, seperti dalam Imamat 24:17-21.40 Keempat, kepada budak pun dikenakan hukuman yang sepadan. Apabila seorang tuan memukul budaknya dan menciderai mata atau giginya, balasan yang setimpal adalah dengan memerdekan budak tersebut. Ini seperti dalam Keluaran 21:26-27.41
39
Tidak diketahui secara pasti kutipan pasal berapa yang al-Biqa>’i> tuliskan. Penulis berusaha menelaah kata kunci yang ada di Arabic Bible, namun hasilnya tetap nihil. 40 Sebenarnya, dalam Keluaran 21:28-36 dijelaskan pula soal pembalasan yang sepadan jika pelakunya adalah hewan ternak. Secara umum, pembalasan dibebankan kepada pemiliknya, dengan alasan bahwa pemilik ternak dianggap tidak mampu menjaga hewan ternaknya. 41 Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m Ibn ‘Umar al-Biqa>’i>, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>yah wa alSuwar (Kairo: Dar al-Kutub al-Islami, t.t.), vol. 6, hlm 156-157.
152 Dalam persoalan qis}a>s}, mekanisme peradilan dan persaksian menjadi bagian penting dalam rangka menegakkan keadilan di antara para pihak yang terlibat. 1) Seorang saksi diharamkan bersaksi palsu (syaha>dah zu>r). Balasan bagi pemberi kesaksian palsu adalah dengan memberi hukuman yang sama persis dengan hukuman korban persaksian palsu yang diberikannya. 2) Bagi seorang hakim atau pengadil, haram bagi mereka menerima suap dalam bentuk apapun, sehingga dapat menyebabkan gugurnya keadilan dalam qis}a>s{, apakah itu untuk vonis mati, denda tinggi, hukuman sebanding, atau rajam.42 Bersaksi palsu adalah sebentuk tuduhan yang merugikan orang lain. Code of Hammurabi43 juga mengatur hal tersebut, pada pasal 1 dan 3 dikatakan bahwa barangsiapa melakukan tuduhan kejahatan kepada seseorang tanpa bisa membuktikan tuduhannya secara konkret akan dieksekusi mati.44 Adapun suap,45 yang dalam hal ini
42 43
Ibid., vol. 6, hlm 157-158. Code of Hammurabi adalah aturan hukum yang diterapkan di era Mesopotamia Kuno,
tepatnya di era pemerintahan raja ke-6 dari Dinasti Pertama Kerajaan Babylonia (raja Hammurabi). Code of Hammurabi ditulis dalam bahasa Akkadia (menggunakan Cuneiforma Script) dan memuat 282 hukum. Jejak Code of Hammurabi pertama kali ditemukan oleh seorang Egyptologist (ilmuwan tentang budaya Mesir) Prancis bernama Gustave Jequier pada 1901 di Susa, Elam (sekarang Khuzestan, Iran). Ketika itu Gustave Jequier berada dalam sebuah ekpedisi atas biaya pemerintah Perancis yang dipimpin Jacques de Morgan. Code of Hammurabi yang ditemukan berwujud Diorit (batuan beku yang tersusun dari butiran kasar) berwarna hitam dengan tinggi sekitar 2,43 meter (8 kaki). Code of Hammurabi ditengarai adalah hukum yang diterima Hammurabi dari Tuhan Matahari (Sun God). Hal ini ditunjukkan dengan penemuan arca yang menggambarkan Hammurabi sedang menerima wahyu dari Tuhan Matahari. Robert Francis Harper, The Code of Hammurabi: King of Babylon about 2250 B.C. (Chicago: The University of Chicago Press dan Callaghan & Company, 1904), hlm. xi. 44 Ibid. hlm. 11. 45 Suap memang menjadi common enemy. Ada pembicaraan dalam Bibel tentang suap, antara lain: a) suap dianggap terkutuk, karena menjadi wasilah terjadinya pembunuhan, seperti dalam Ulangan 27:25; dan b) suap membutakan karena sanggup menjadikan orang semulia hakim memutarbalikkan keadilan. Hakim yang seharusnya berlaku adil menjadi buta karena suap,
153 terkait pula dengan persaksian palsu, juga diatur dalam pasal 4 Code
of Hammurabi, bahwa penerima suap akan diminta untuk melakukan eksekusi mati atas dirinya sendiri.46 Dari contoh qis}a>s, tampak bahwa konten al-Qur’an memiliki relasi yang sejalan dengan konten al-Taura>t (diasosiasikan dengan
Pentateuch) dan al-Inji>l (diasosiasikan dengan 4 Injil Kanonik dan kitab-kitab lainnya dalam PB).47 c.
Mukjizat Tuhan bagi Isa QS Ali Imran 3:49 menjelaskan ada 4 kemukjizatan di dalam diri Isa: a) menghidupkan burung dari tanah liat; b) menyembuhkan orang cacat; c) menghidupkan orang mati; dan d) menjamin ketersediaan suplai makanan bagi umatnya. Di Bibel, diinformasikan setidaknya ada 35 mukjizat yang Isa miliki; sayang sekali, Mir tidak merinci apa saja mukjizat-mukjizat Isa di dalam Bibel selain membahas apa yang ada dalam al-Qur’an saja.48
Pertama, menyembuhkan penderita buta. Ketika menyembuhkan kebutaan, Isa melakukannya dengan meludah ke tanah; ludah yang seperti dalam Keluaran 23:8, Ulangan 16:18-20, dan I Samuel 8:3. Orang yang menolah suap untuk melawan orang yang tidak bersalah, jaminan baginya adalah kekuatan hati untuk selamalamanya, seperti dalam Mazmur 15:5. 46 Robert Francis Harper, The Code of Hammurabi…, hlm. 11. Dalam melakukan eksekusi qis}a>s}, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: a) ketika tervonis mati akan dieksekusi, minimal ada 2 orang laki-laki saksi; dan b) ketika tervonis rajam akan dieksekusi, pemberi kesaksian atas tindakan tervonis rajam menjadi orang pertama yang melempar batu, lalu diikuti anggota masyarakat yang menyaksikan eksekusi rajam. Ibid. 47 Pembahasan ontologi Bibel (PL dan PB) telah dibahas pada bab II terdahulu. 48 Sayang sekali, Mir tidak menyebutkan detil mukjizat Isa di dalam Bibel. Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 89.
154 bercampur tanah ditempelkan ke mata seorang buta; lalu dibasuh di kolam Siloam (Siloam berarti ‚yang diutus‛); dan seketika seseorang buta dapat melihat (Yohanes 9:1-7). Adapun terhadap penderita kusta (penyakit kulit), Isa cukup menyentuh kulit penderita kusta, lalu penyakit tersebut sembuh (Matius 8:1-3 dan Lukas 17:11-14). Kedua, menghidupkan orang mati. Kemukjizatan ini ditunjukkan dengan 2 cara: 1) mengusapkan tangan kepada anak perempuan yang mati (Matius 9:18-25); dan 2) menyeru ‚bangkitlah‛ kepada pemuda yang mati (Lukas 7:11-16).49 Ketiga, Mukjizat Isa dalam berkomunikasi tingkat tinggi dengan masyarakatnya. Mukjizat ini terjadi di usia yang cukup muda. QS Ali Imran 3:46 menyebutkan 2 versi usia Isa, yaitu ketika masih dalam buaian Maryam (fi al-mahd) dan menginjak usia dewasa (kahlan). Sementara Lukas 2:41-47 menyebutkan usia Isa ketika itu adalah 12 tahun. Diceritakan Lukas, Isa mampu menjawab ragam pertanyaan yang diajukan masyarakat kepadanya. Menariknya, para alim ulama (Israel) hadir di tengah forum yang diadakan di Bait Suci Yerussalem ketika itu; mereka dibuat terpukau oleh kecerdasan intelektual Isa.50 Keempat, kemukjizatan terkait kemampuan Isa
49
Ibid. Ibid. Ada perbedaan penekanan usia Isa di balik kemukjizatan intelektualnya. AlQur’an memberi kata kunci fi> al-mahd dan kahlan, yang berasosiasi dengan usia bayi dan dewasa. Al-Mahd berarti kasur atau ayunan, dan mengandung makna bahwa sang anak masih dalam perawatan ibunya. Ini seperti bunyi potongan syair, ‚ min al-mahd ila> al-lah}d‛, dari lahir hingga mati (dikuburkan). Adapun al-Kahl berarti usia setengah-tua (middle age), yaitu pria dewasa matang, tidak lagi muda dan tidak pula berusia lanjut ( syaikh). T}aba>t}aba>’i> memberikan perkiraan usia 34 tahun sebagai usia yang cocok bagi deskripsi al-kahl. Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah al-A’lami> li al-Mat}bu>’a>t, 1991), vol. 3, hlm 226. 50
155 menjaminan apa yang umatnya dapat makan dan simpan sebagai persediaan makanan (wa unabbi-ukum bi ma> ta’kulu>n wa ma>
taddakhiru>n fi> buyu>tikum, QS Ali Imran 3:49). Dalam Matius 6:2534 dan Lukas 12:22-40 disinggung tidak hanya soal makanan yang dijamin Allah (melalui pernyataan verbal Isa), namun juga soal minuman dan pakaian. Jaminan ini, sesungguhnya berasal dari Allah, seperti
diinformasikan
pula
bagaimana
burung-burung
yang
bertebaran di langit juga dijamin ketersediaan makanannya oleh Allah. Barang siapa mencari Surga Allah (‚Kerajaan Allah‛, dalam arti lilla>hi ta’a>la>), maka kesemuanya akan ditambahkan kepadanya. Di balik semua kemukjizatan yang dimiliki Isa, yang menurut Mir paling menarik adalah adanya statemen eksplisit dari Isa bahwa semua mukjizat yang terjadi dalam dirinya tak lain hanyalah atas seizin Allah (bi iz|nilla>h). Keberadaan Allah di balik kemukjizatan Isa mengkonfirmasi satu hal penting bahwa Isa tak lain hanyalah seorang
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic ed. J. Milton Cowan (Ithaca: Spoken Language Service, Inc., 1976), hlm. 844 dan 928. Dibandingkan al-Qur’an, persoalan usia Isa dalam Bibel masih menjadi perdebatan. Louay Fatoohi dalam bukunya The Mystery of Historical Jesus mengatakan bahwa masa kecil Isa antara usia 5-12 tahun digambarkan sebagai sosok yang sangat tak beraturan dan buruk perilakunya. Bahkan, kenakalan Isa dianggap tidak lagi wajar untuk anak usia belasan tahun. Keterangan yang diperoleh dari Injil Thomas tentang Masa Kecil Isa (Infancy Gospel of Thomas) ini, sekalipun menggambarkan masa kecil Isa buruk, diinformasikan pula bahwa masa kecil Isa memang dipenuhi banyak kemukjizatan, salah satunya adalah memukau masyarakatnya di Bait Suci Yerusalem, dengan statemen-statemennya (sebagaimana dalam Lukas 2:42-50). Louay Fatoohi, The Mystery of Historical Jesus: Sang Mesias Menurut al-Qur’an, Alkitab, dan SumberSumber Sejarah, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan, Edisi Kedua 2013), hlm. 801-802.
156 hamba, dan Allah-lah Tuhan seluruh alam raya. Hal ini dikuatkan statemen Isa pada QS Ali Imran 3:51 dan pada Yohanes 20:17.51 ‚Sesungguhnya Allah-lah Tuhanku dan Tuhan kamu sekalian.
Maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.‛ (QS Ali Imran 3:51) ‚Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapa-mu, kepada Allah-
Ku dan Allahmu.‛ (Yohanes 20:17) Sebagai penerus kerasulan, posisi Isa atas Taurat bukan dalam rangka menghapuskan ajarannya, melainkan melengkapinya. Hal ini seperti terekam dalam QS ali Imran 3:50 dan Matius 5:17 dan dikuatkan dengan statemen Isa tentang perumpamaan mulia Taurat,52 ‚Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum
Taurat batal.‛ (Lukas 16:17) d. Sepuluh Titah Tuhan (Ten Commandments) QS al-Isra’ 17:22-39 berisi seruan monoteisme; perintah untuk tidak menyekutukan Allah dan tidak menyembah Tuhan selain Allah. Berpijak pada monoteisme, al-Qur’an membangun pondasi amaliah sosial. Pada ayat QS al-Isra’ 17:22-39, manusia diseru untuk: 1.
Berbuat baik dan berperilaku agung terhadap orang tua;
2.
Bembalas kebaikan mereka dengan cara mendoakan mereka agar selalu dikasihi Allah;
51 52
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 89.
Ibid.
157 3.
Berbagi rizki kepada keluarga terdekat dan, berturut-turut, kepada orang miskin dan musafir yang membutuhkan bekal;
4.
Rizki dari Allah hendaknya tidak dinafkahkan secara mubazir;
5.
Setidaknya perkataan sopan adalah sesuatu yang mulia untuk dikerjakan, ketika tidak berlimpah rizki untuk dibagi;
6.
Untuk tidak terlalu kikir dan tidak terlalu pemurah dalam berbagi rizki, diperlukan keseimbangan yang proporsional;
7.
Tidak membunuh anak karena takut miskin;
8.
Tidak melakukan sesuatu yang berpotensi zina;
9.
Tidak membunuh jiwa yang haram dibunuh, kecuali dengan alasan yang sah;
10. Menghindari hal-hal yang berpotensi mendzalimi harta yatim; 11. Jujur dalam menakar barang dagangan; 12. Jangan mengikuti sesuatu hal yang tidak diketahuinya dengan baik, setiap hal ada pertanggungjawabannya; 13. Tidak berlaku sombong. Pesan-pesan ayat tersebut, menurut Mir, sepadan dengan Ten
Commandments dalam Keluaran 20:1-17.53 Seperti ayat al-Qur’an di atas, Ten Commandments diawali dengan ajaran monoteisme. Hal ini tampak dari frasa ‚I am the Lord‛ yang digunakan, baik dalam Keluaran 20:2, di Ulangan 5:6, dan di banyak tempat lain di Bibel.54
53
Selain 2 Keluaran 20:1-17, Imamat 19:1-37 dan Ulangan 5:6-21juga relevan untuk disebut sebagai Ten Commandments. Ibid., hlm. 155. Persoalannya, ayat-ayat dalam Imamat 19 tersebut, dalam tradisi Bibel, tidak dikenal sebagai Ten Commandments. 54 Ibid., hlm. 156.
158 Berpijak pada monoteisme, Ten Commandments menyeru amaliahamaliah sosial berikut ini: 1.
Mengkuduskan hari Sabat (sabtu), setelah 6 hari beraktifitas;
2.
Menghormati kedua orang tua;
3.
Larangan membunuh;
4.
Larangan berzina;
5.
Larangan mencuri;
6.
Larangan bersaksi palsu/dusta;
7.
Jangan iri kepada orang lain, baik dalam kepemilikan harta, istri, budak, ternak, atau apapun itu. Ada satu perbedaan muatan pesan pada kedua sumber tersebut,
yaitu kewajiban untuk menakar secara berimbang (di al-Qur’an) dan larangan mencuri (di Bibel). Menurut Mir, menakar secara berimbang adalah bentuk lain untuk tidak mencuri. Dua seruan ini mengandung tujuan yang sama, menjaga hak orang lain.55 Secara konsep dan istilah, Ten Commandments tidak dikenal dalam al-Qur’an. Namun, dari tinjauan konten di atas, bisa dipastikan bahwa kedua sumber tersebut memuat pesan-pesan yang sama, yang bersifat spiritual dan sosial. Korelasi positif monoteisme dan ibadah sosial membuktikan bahwa antara aspek ketuhanan dan kemanusiaan
Bahkan didapati pula larangan syirik; Allah menolak segala bentuk pemberhalaan yang menyimpangkan manusia dari menyembah Allah sehingga Allah menjadi cemburu karena kesyikirikan tersebut (dalam Keluaran 20:3-5). 55 Ibid., hlm. 155.
159 dapat dan selalu saling beriringan. Kehidupan manusia, karenanya, akan selalu beriringan dengan nilai-nilai ketuhanan. Beberapa kesamaan pesan dan keselarasan pembicaraan dalam alQur’an dan Bibel menjadi bukti adanya ‚kesatuan ajaran‛ di antara agama-agama Abrahamik. Mir dengan yakin menyatakan, ‚It shows
unmistakably that the Qur’an has stakes in The Bible.‛56
2. Kisah Para Nabi Tema ini bermaksud memaparkan kutipan Bibel di dalam tafsir Mir yang berkaitan dengan kisah-kisah Nabi dalam tradisi agama Abrahamik. Bahwa didapati perbedaan penekanan pada setiap kisah adalah niscaya. Namun, keselarasan di balik setiap kisah membuktikan adanya relasi substantif antara Islam dan agama pendahulunya (Yahudi dan Kristen). a. Kisah Adam dan Superioritas Laki-Laki atas Perempuan Kisah penciptaan Adam diawali dengan pemberian gelar Tuhan kepadanya sebagai khali>fah fi> al-ard}, wakil Tuhan di Bumi (QS alBaqarah 2:30). Sosok Adam disebut sebagai mahluk yang diciptakan menurut gambar-Nya (Kejadian 1:26-27). Frasa ‚menurut gambarNya‛ sepadan dengan ‚keinginan‛ Tuhan menggelari Adam dengan
khali>fah meski hal tersebut ditentang keras para Malaikat. Oleh Allah, Adam dan pasangannya dipersilahkan menempati Surga (QS 56
Ibid., hlm. 49.
160 al-Baqarah 2:35) bernama Eden (Kejadian 2:8 dan 15). Dalam bahasa al-Qur’an Surga Eden dikenal dengan janna>t ‘adn, yaitu Surga yang dijanjikan kepada manusia yang berbuat baik. Selama di Eden, keduanya dilarang mendekati pohon terlarang (QS al-Baqarah 2:35) apalagi memakan buahnya. Sebab, memakannya berarti kematian bagi mereka (Kejadian 2:16-17).57 Disebutkan dalam Kejadian 2:17 bahwa pohon tersebut adalah pohon pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan,58 yang akan menyerupakannya dengan Tuhan, yang tahu tentang yang baik dan buruk (Kejadian 3:5).59 Inilah beberapa informasi al-Qur’an dan Bibel yang saling melengkapi. Selain kesamaan informasi, Mir juga menemukan perbedaan kisah Adam dalam al-Qur’an dan Bibel dalam 2 hal. Pertama, pasca Adam diciptakan, al-Qur’an menginformasikan bahwa Adam diajarkan banyak hal oleh Allah dan diminta Allah mengajarkannya kepada Malaikat (QS al-Baqarah 2:31). Sementara dalam Bibel, Adam diminta menamai sendiri apa-apa yang Allah ciptakan baginya (Kejadian 2:19-20). Kedua, ketika Adam dan pasangannya memakan buah terlarang, al-Qur’an menjadikan syaitan sebagai sebab mereka 57 58
Ibid., hlm. 27.
Malik Ghulam Farid, The Holy Qur’an: English Translation & Commentary (Rabwah: The Oriental and Religious Publishing Corporation Ltd., 1969), hlm. 27 59 Terkait pohon terlarang tersebut, baik al-Qur’an maupun Bibel masih belum final apakah pohon tersebut benar-benar pohon secara fisik atau tidak. Pertama, Bibel memberi indikasi ‚menyerupai Tuhan‛ bagi siapa yang memakan buah tersebut (Kejadian 3:5). Selama ‚menyerupai‛ Tuhan adalah simbol, maka pohon tersebut niscaya berupa simbol. Kedua, alQur’an menunjukkan bahwa perkataan buruk diumpamakan seperti pohon yang buruk (QS Ibrahim 14:25-26). Dua variabel ‚buah terlarang‛ dan ‚perkataan buruk‛ adalah hal yang samasama perlu dihindari. Ketiadaan penjelasan detil mengindikasikan bahwa pohon tersebut adalah benar-benar sebuah simbol yang entah apa maknanya. Ibid.
161 tergoda memakan buah terlarang tersebut (QS al-Baqarah 2:36). Adapun Bibel menyebut Ular sebagai sebab keduanya tergoda memakan buah terlarang tersebut (Kejadian 3:1-5).60 Salah satu perbedaan yang Mir luput tunjukkan adalah bahwa di dalam alQur’an tidak ditunjukkan siapa yang lebih dahulu tergoda untuk memakan buah terlarang tersebut (QS al-Baqarah 2:36). Di Bibel, pasca tergoda oleh Ular, Hawa adalah orang pertama yang tertarik memakan buah tersebut dan menawarkannya kepada Adam (Kejadian 3:6). Dialamatkannya kesalahan pada Hawa, disadari atau tidak, telah mempengaruhi cara pandang yang subordinatif terhadap perempuan dalam tradisi pembacaan Bibel.61
60
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 28. Dalam Qur’an: A Reformist Translation, Yuksel dkk. mencurigai adanya eksploitasi terhadap ayat-ayat Bibel yang secara harfiah bernada sinis dan tidak simpatik terhadap perempuan. Ayat-ayat tersebut dieksploitasi dalam rangka menegakkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Dalam I Timotius 2:7-15 dikatakan, perempuan dilarang berdandan, diminta selalu berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, dan bahkan diharuskan berposisi sebagai pihak yang selalu bertanggungjawab atas kesalahan yang menimpa keluarganya, dengan mengambil perumpamaan Adam dan Hawa ketika tergoda memakan ‚buah terlarang‛. Semua dosa perempuan tersebut akan tertebus dengan kelahiran seorang anak dari rahimnya. Begitu juga dalam I Korintus 14:34-35, seorang perempuan tidak boleh berbicara pada pertemuan Jemaat, perempuan diharuskan berdiam diri, dan menundukkan diri. Jika ingin mengetahui lebih jauh terkait materi pembicaraan dalam Jemaat, hendaknya bertanya kepada suaminya ketika mereka kembali ke rumah. Dalam I Petrus 3:7, perempuan digambarkan sebagai kaum yang lebih lemah dibanding laki-laki. Menariknya, informasi Petrus tersebut juga meminta para suami untuk hidup secara bijaksana dan menghormati perempuan. Karena, perempuan adalah pewaris kasih karunia Tuhan, yaitu kehidupan. Perempuan adalah juga alasan utama di balik terkabulnya doa seorang laki-laki (suami). Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran: A Reformist Translation (USA: Brainbow Press, 2007), hlm. 63. Pandangan positif terhadap perempuan, seperti dalam I Petrus 3:7, seharusnya lebih dikedepankan. Pasalnya, gambaran perempuan yang negatif, baik pada I Timotius 2:7-15 maupun I Korintus 14:34-35, sesungguhnya bertentangan dengan fakta-fakta lain dalam Bibel, misalnya informasi tentang adanya Nabi perempuan. Nabiah Miryam (Keluaran 15:20), Nabiah Debora (Hakim Hakim 4:4-5), Nabiah Hulda (II Raja Raja 22:14), dan Nabiah Noadiah/Noaja (Nehemiah 6:14) adalah bukti nyata kemampuan perempuan dalam berinteraksi di tengah masyarakat. Diangkatnya mereka menjadi Nabiah adalah dalam rangka mengemban misi ketuhanan sekaligus misi sosial. Ibid. 61
162 b. Kisah Ibrahim, Ismail, dan Bangunan Ka’bah QS al-Baqarah 2:124 dan Kejadian 26:4-5 menginformasikan bahwa Ibrahim lulus menjalani tes yang Allah berikan. Karenanya, Allah menjanjikan keberkahan bagi umat dan keturunan Ibrahim di masa mendatang. Kata kalima>t dalam potongan ayat wa iz| ibtala>
ibra>hi>ma rabuuhu> bi kalima>t fa atammahunn dalam QS al-Baqarah 2:124 sepadan dengan versi Ibrani kata ‚Firman‛ dalam Kejadian 26:5, yaitu qo>l (perintah). Perbedaannya, kata kalima>t mengandung makna implisit ‚perintah‛, sementara kata qo>l secara eksplisit berarti perintah Allah.62 Janji keberkahan bagi Ibrahim adalah dengan menjadikannya sebagai ima>m bagi umatnya, serupa bunyi informasi dari Kejadian 12:2, ‚Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar,
memberkati engkau serta membuat namamu masyhur.‛63 Allah juga menganugerahkan keturunan yang darinya akan melahirkan bangsa yang besar, yaitu Ismail yang lahir dari seorang budak bernama Hajar. Dikatakan dalam Kejadian 17:20 bahwa dari Ismail diturunkan 12 anak yang kesemuanya menjadi raja.64 Sayangnya, kedudukan agung
Status kenabian mereka juga menjadi alasan utama menolak citra negatif perempuan yang digambarkan 3 kelompok ayat Bibel di atas. 62 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 34. 63 Janji Tuhan kepada Ibrahim yaitu menganugerahi Ibrahim keturunan yang banyak, dimuat juga dalam Kejadian 13:16; 16:10; dan 18:17-18. Ibid. 64 Informasi tersebut diperkuat Kejadian 21:13 dan 18, yang mengatakan bahwa dari 12 keturunan Ismail tersebut akan lahir bangsa besar. Kejadian 25:12-16 memberi informasi 12 keturunan Ismail yang dimaksud. Mereka adalah: 1) Nebayot; 2) Kedar; Adbeel; 4) Mibsam; 5) Misyma; 6) Duma; 7) Masa; 8) Hadad; 9) Tema; 10) Yetur; 11) Nafish; dan 12) Kedma. Untuk
163 Ismail di Bibel tidak membuatnya disebut Nabi. Ini tampak dalam ekspresi mengeluh Ibrahim kepada Tuhan, ‚Ah, sekiranya Ismail
diperkenankan hidup di hadapan-Mu.‛ (Kejadian 17:18).65 Salah satu pembicaraan penting al-Qur’an dalam kisah Ibrahim dan Ismail adalah pembangunan Ka’bah (QS al-Baqarah 2:125). Mir menyayangkan bahwa pembicaraan ini tidak ditemukan di Bibel.66 Namun, ada sebuah ulasan spekulatif bahwa haji disinggung dalam Bibel. Misalnya, dalam Yesaya 60:6-7 ditemukan 2 petunjuk terkait hal-hal yang mengarahkan kepada pembicaraan haji; keduanya saling berkaitan satu sama lain.
Pertama, soal unta dan Midian. Dalam Yesaya 60:6 dikatakan, ‚Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari
Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba.‛ Unta adalah hewan yang mampu bertahan hidup di kawasan gurun yang kering dan panas. Berdasarkan sifat ini, unta dapat hidup di banyak tempat di dunia yang panas dan kering. Sementara, Midian adalah kawasan barat-laut jazirah Arab. Masyarakat Midian disebut-sebut adalah masyarakat keturunan Ibrahim dari Sarah (Kejadian 25:1-2). Syeba atau Bersyeba/Be’r Sheva adalah lokasi di barat-laut jazirah Arab, tepatnya di Israel (sekarang). Dari sini, kaitan antara unta dan Midian
keterangan lebih lanjut mengenai 12 keturunan Ismail, rujuk laman website berikut ini: www.nabataea.net/12tribes.html Diakses 1 Nopember 2014. 65 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 34. 66 Ibid.
164 sangat positif mengarah ke lokasi jazirah Arab sebagai lokasi yang dibicarakan dalam Yesaya 60:6. Kedua, soal keturunan Ibrahim (cucu-cucu Ibrahim). Dalam Yesaya 60:7 dikatakan bahwa Kedar dan Nebayot (anak-anak Ismail, cucu-cucu Ibrahim) mempersembahkan domba-domba jantan mereka kepada Tuhan. Peribadatan dalam bentuk persembahan domba ini sekaligus menyemarakkan rumah ibadah tersebut. Persembahan tersebut serupa ibadah kurban (‘i>d al-
ad}h}a>) dalam Islam. Lantas, pertanyaannya adalah, di lokasi manakah di jazirah Arab yang berupa tempat persembahan, ramai didatangi peziarah, di mana unta digambarkan sebagai ‚menutupi daerahmu‛ karena banyaknya jumlah unta yang memenuhi lokasi tersebut, dan domba jantan dipersembahkan kepada Tuhan dalam suatu perayaan ibadah? Ternyata, ciri-ciri dalam Yesaya 60:6-7 juga diisyaratkan dalam QS al-Hajj 22:26-27. Ayat ini berisi seruan untuk mensucikan tempat ibadah (yaitu Ka’bah) di mana di dalamnya orang-orang melakukan thawaf, ruku’, dan sujud. Allah juga memerintahkan kepada Ibrahim untuk menyeru umatnya berhaji ke Ka’bah. Umat yang memenuhi seruan Ibrahim tersebut datang dari segala penjuru dengan berjalan kaki dan menaiki unta. Seruan berhaji dan didatangi manusia dengan menaiki unta inilah yang dianggap ‚sepadan‛ dengan beberapa kata kunci yang termuat dalam Yesaya 60:6-7.
165 Selain dalam Yesaya 60:6-7, ditemukan teori lain terkait haji dalam Bibel. Kata berbahasa Arab Hajj sepadan dengan kosa kata
Chag (dibaca Khag) dalam bahasa Ibrani. Chag berarti perayaan atau feast dalam bahasa Inggris. Kisah tentang Chag bermula ketika pada 946 SM Raja Solomon memiliki inisiatif mendirikan tempat ibadah berupa kuil (temple) di Yerussalem di tengah perayaan Sukkot (Feast
of Sukkot, atau Chag of Sukkot), sebagaimana dalam I Raja-Raja 8. Sukkot sendiri adalah ibadah mengelilingi kuil Yerussalem selama 7 hari (Ulangan 16:13 dan 16), dengan mendaras Mazmur (kitab Zabur yang Tuhan berikan kepada Daud). 6 hari pertama Sukkot, tawaf dilakukan sekali dalam sehari, sementara tawaf di hari ke-7 dilakukan sebanyak 7 kali. Masing-masaing tawaf adalah bentuk penghormatan kepada Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, dan Daud. Karena perayaan Chag of Sukkot sangat familiar di masyarakat Yahudi, oleh mereka, perayaan tersebut hanya diberi sebutan Chag,67 yang secara pengucapan serupa kata Hajj dalam bahasa Arab, yang dalam terjemahan resmi Bibel berbahasa Inggris digunakan feast. Lalu, haruskah seorang Muslim melakukan haji ke kuil Yahudi di Yerussalem, karena akar haji berasal dari sana? Atau sebaliknya, Yahudi yang perlu berhaji ke Mekkah oleh karena tata cara berhaji mereka telah ‚direvisi‛ oleh Islam melalui Muhammad? Basis ajakan
67
Baca ulasannya di www.jesustomuslims.org/articles/hajj-biblical-perspective Diakses 1 Nopember 2014.
166 terhadap Yahudi untuk berhaji ke Mekkah adalah ketika Tuhan memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis kepada Masjidil Haram (QS al-Baqarah 2:142-144). Bilamana Yahudi enggan, hemat penulis, hal itu sah-sah saja. Statemen al-Qur’an wa lilla>h al-masyriq wa al-
marhrib, fa ainama> tuwallu> fa s|amma wajh alla>h, bahwa Tuhan ada di mana-mana, barangkali akan dijadikan sebagai ‚alasan penolakan‛ yang sah oleh Yahudi. Yesaya 66:1-2 juga menyinggung hal serupa, bahwa Tuhan merupa apa saja dan berada di mana saja, sehingga tidak perlu harus mendatangi lokasi tertentu untuk melakukan doa. c. Kisah Peperangan antara Pasukan T}alu>t (Israel) dan Ja>lu>t (Palestina) Peperangan antara pasukan T}al> u>t dan Ja>lu>t dalam QS al-Baqarah 2:246-251 memiliki beberapa perbedaan dengan versi Bibel. Pertama, alasan di balik penunjukan T}al> u>t sebagai raja bagi Bani Israel. AlQur’an menjelaskan bahwa faktor keengganan Bani Israel berperang melawan pasukan Ja>lu>t adalah semata-mata faktor keengganan dalam berperang. Karenanya, mereka meminta seorang Raja baru diangkat bagi mereka (QS al-Baqarah 2:246). Sementara itu, versi Bibel lebih bersifat ketuhanan, yaitu dengan mengatakan bahwa penolakan Bani Israel berperang adalah karena mereka menolak Allah sebagai Raja bagi mereka (I Samuel 8:7 dan 12:17).68 Kedua, kembalinya Ta>bu>t kepada rakyat Israel. Versi al-Qur’an, Ta>bu>t yang hilang karena dirampas rakyat Palestina dikembalikan kepada rakyat Israel melalui 68
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 46.
167 Malaikat (tah}miluh al-mala>ikah, QS al-Baqarah 2:248). Dijelaskan dalam Bibel bahwa keberadaan Ta>bu>t yang menjadi malapetaka di tengah rakyat Palestina (berbentuk penyakit yang mematikan) adalah alasan utama pengembalian Ta>bu>t oleh otoritas Palestina kepada rakyat Israel. Bukannya oleh Malaikat, Pengembalian Ta>bu>t rakyat Palestina dilakukan dengan menggunakan gerobak yang dikaitkan pada dua lembu dan langsung mengarah ke tanah Israel (I Samuel 5:112 dan 6:6-12).69 Di balik perbedaan yang ada, ditemukan beberapa kesamaan antara al-Qur’an dan Bibel di kisah peperangan tersebut. Pertama, penolakan dan penerimaan T}al> u>t sebagai raja. Rakyat Israel sempat menolak penunjukan T}al> u>t sebagai Raja oleh Allah, sebelum akhirnya menerimanya (QS al-Baqarah 2:249-250 dan I Samuel 10:24). Kedua, diangkatnya Daud menjadi Rasul sekaligus Raja yang Allah anugerahi Zabu>r (QS al-Isra’ 17:22 atau dalam kisah Mazmur).70 Ulasan atas kisah peperangan antara rakyat Israel dan Palestina menggambarkan betapa al-Qur’an dan Bibel saling melengkapi satu sama lain.71 Di balik pemilihan topik konflik antara kedua kelompok
69
Dalam al-Qur’an, kembalinya Ta>bu>t menjadi tanda diangkatnya T}a>lu>t menjadi Raja bagi rakyat Israel, seorang raja yang kelak berhasil memimpin rakyatnya mengalahkan pasukan Palestina (QS al-Baqarah 2:251). Ibid., hlm. 48. 70 Ibid., hlm. 47-48. 71 Lihat bagaimana Bibel memberi informasi dibalik kembalinya T>a>bu>t ke Israel, yaitu petaka yang Ta>bu>t hadirkan bagi rakyat kafir Palestina ketika itu (I Samuel 5:1-12 dan 6:6-12).
168 masyarakat ini,72 menurut penulis, Mir sengaja mengangkatnya sebagai bahan renungan mendalam atas konflik Israel dan Palestina di masa kini. Boleh jadi, konflik yang ada sekarang ini sama sekali tidak terkait konflik atas nama agama (Yahudi-Islam), melainkan ‚sekedar‛ konflik komunal perennial, yang mengakar dan terjadi jauh sebelum agama Islam hadir. Perlu diketahui pula bahwa sosok ka>fir dalam topik ini dan dalam konflik ketika itu adalah rakyat Palestina, bukan sebaliknya. d. Kisah Yusuf di Penjara Bersama Dua Tahanan Pada QS Yusuf 12:36-42 dipaparkan obrolan antara Yusuf dan dua orang dipenjara. Kelompok ayat tersebut tidak menjelaskan siapa mereka dan sebab mereka berdua dipenjara. Ayat al-Qur’an fokus pada bagaimana mereka meminta Yusuf menjelaskan mimpi yang mereka alami. Di tengah menjelaskan mimpi tersebut, Yusuf sengaja menyelipkan pembicaraan tentang agama yang Yusuf anut, yaitu 72
Malik Ghulam Farid mencatat sisi lain dari kisah ini. Pertama, beberapa mufasir dianggap salah dalam mengindentifikasi T}a>lu>t sebagai Saul. Menurutnya, sosok T}a>lu>t lebih dekat dengan sosok Gideon dalam Hakim-Hakim 6-8. Lebih-lebih Gideon hidup di masa yang sama dengan T}a>lu>t, yaitu 1250 SM. Bibel menjuluki Gideon dengan ‚Pahlawan yang gagah berani‛. Sementara T}a>lu>t merupakan penakluk Ja>lu>t, sang penguasa Palestina. Dikatakan pula bahwa di dalam al-Qur’an terdapat friksi di antara internal Bani Israel, ada yang menerima dan ada yang menolak kepemimpinan T}a>lu>t. Di saat itulah, di masa kempimpinan Gideon, Bani Israel menyatu dan penyatuan friksi di antara mereka menjadi sempurna di masa Daud. Selain itu, adanya ‚ujian‛ untuk tidak minum di kala perang (dalam QS al-Baqarah 2:249) serupa dengan Hakim-Hakim 7:4-7. Dikatakan pula bahwa pasukan Gideon ketika itu tersisa 300 orang. Uniknya, ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang bersumber dari sahabat Nabi. Ketika di tengah perang Badar, al-Barra>’ berkata demikian, ‚Pasukan kami di perang Badar berjumlah 313 orang . Jumlah ini sama dengan jumlah orang yang menikuti T}a>lu>t.‛ Hadis ini jelas mengafirmasi kesamaan tokoh T}a>lu>t di al-Qur’an dan Gideon di Bibel. Malik Ghulam Farid, The Holy Qur’an…, hlm. 100. Hadis nabi yang dimaksud berbunyi, ‚Kunna natahaddas|u anna as}h}a>b badr yauma badr ka-‘iddati as}h>a>b T}a>lu>t, s|ala>s|a mi-ah wa s|ala>s|ata ‘asyara rajulan.‛ Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah al-Tirmiz|i, Sunan al-Tirmiz|iy, ed. Muhammad Nasiruddin al-Albani (Riyadh: Maktabah alMa’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1417 H), hlm. 377, hadis ke-1598.
169 agama yang dianut moyangnya, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub (ma>
ka>na lana> an nusyrika bi alla>h min syai’, QS Yusuf 12:38).73 Ada 3 hal yang penting untuk diketahui di balik kisah Yusuf.
Pertama, menurut Mir, Bibel hadir untuk menjelaskan kisah Yusuf di mana al-Qur’an tidak menjelaskannya secara detail. Misalnya, tidak ditemukan penjelasan tentang siapa 2 orang yang masuk penjara bersama Yusuf, dalam QS Yusuf 12:36. Dijelaskan Kejadian 40-41 bahwa mereka adalah kepala juru roti dan kepala juru minuman.74 Bahwa informasi ini telah menjadi common sense dalam Islam, diakui atau tidak, Bibel sangat berperan akan hal ini.75 Kedua, anekdot di al-Qur’an tentang dakwah Yusuf kepada kedua tahanan tersebut di sela-sela penjelasan mimpi yang kedua tahanan tanyakan
73
Rid}a> menyinggung potongan ma> ka>na lana> dengan menyinggung sosok Esau, saudara kembar Ya’qub, anak dari pasangan Ishaq dan Ribka (Kejadian 25:19-26). Rid}a> menyebut bahwa Esau menyembah berhala, yang membuat Ishaq lebih menyayangi saudaranya (Ya’qub). Muhammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947), vol. 12, hlm. 306. Namun, ketika penulis menelusuri ayat-ayat dalam Kejadian, tidak ditemukan penyembahan berhala dalam diri Esau. Sebaliknya, Esau digambarkan sebagai pribadi mulia, bahkan lebih mulia dibandingkan Ya’qub. Lihat dalam Keluaran 25:27-34, bagaimana Esau legowo atas saudara kembarnya (Ya’qub) tatkala meminta hak kesulungan dari dirinya. Lihat pula dalam Kejadian 27, bagaimana Ya’qub menelikung Esau dengan mengambil apa menjadi hak Esau, yaitu keberkatan yang Ishaq janjikan kepada Esau. Ya’qub memang dibujuk dan diprovokasi Ribka, istri Ishaq yang cemburu karena dimadu Ishaq. Tapi setidaknya, Ya’qub memiliki pertimbangan rasional sehingga dapat menahan diri untuk tidak mendzalimi saudara kembarnya sendiri, demi kepuasan pribadi, yaitu dengan mengambil pemberkatan dari Ishaq yang sejatinya hak Esau. Ada potensi dalam diri Ya’qub untuk menolak perilaku buruk dirinya terhadap Esau tersebut. Ini tergambar dari bagaimana Ya’qub menyadari kesalahannya karena mendzalimi Esau. Ya’qub digambarkan khawatir andai Esau datang kepada dirinya untuk membalas dendamnya, sebagaimana dalam dalam Kejadian 32:1-21. Namun, Esau yang berkepribadian legowo bahkan mendatangi Ya’qub sama sekali bukan untuk membalas dendam namun untuk bertegur sapa. Esau merasa rindu saudara kemabrnya terebut. Semua ini tergambar dalam Kejadian 33:3-16. 74 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 145 75 Hanya saja, tidak banyak mufasir yang mengakui bahwa infromasi asing yang memberi masukan signifikan terhadap tradisi tafsir adalah berasal dari Bibel, sebagaimana Mir singgung pada pendahuluan bukunya.
170 kepada Yusuf. Sepanjang ayat QS Yusuf 12:37-40, Yusuf memberikan pemahaman tentang ajaran tauhid kepada mereka. Seperti diketahui, pertanyaan tentang mimpi yang diajukan terletak di ayat 36, sementara jawaban Yusuf terletak di ayat 41. Penyelipan ajaran yang tidak disadari ini, menurut Mir, sama sekali tidak ada penjelasannya di Bibel, sekalipun berbentuk analogi kisah.76 Benar sekali statemen Mir, bahwa memang tidak ditemukan sisi anecdotal berupa penyelipan ajaran Tauhid dalam Kejadian 40:1-23. Ketiga, diakui atau tidak, pemaparan kisah Yusuf dalam QS Yusuf 12:36-42, lebih-lebih secara keseluruhan surah, menampakkan perbedaan nyata di antara al-Qur’an dan Bibel. Al-Qur’an memiliki fokus pada sisi religius dan etis secara tajam (a very sharp religious and ethical
focus), sementara Bibel tidak demikian adanya.77 e. Kisah Nabi Musa dan Perintah Berdakwah kepada Fir’aun QS Taha 20:9-36 menceritakan bagaimana Musa bertemu Tuhan, ‚berbincang‛ hangat, dan diakhiri dengan perintah Tuhan kepadanya untuk memerangi Fir’aun78 yang dianggap berlaku menindas terhadap 76 77
Ibid. Ibid,, hlm. 145.
Ulasan atas kisah Yusuf telah Mir urai secara mendalam dalam makalahnya berjudul The Qur’anic Story of Joseph: Plot, Themes, and Characters . Penulis telah membahas makalah tersebut pada bab III. Rujuk makalah aslinya pada Mustansir Mir, ‚The Qur’anic Story of Joseph: Plot, Themes, and Characters‛ dalam The Muslim World, Vol. LXXVI, No. 1, January 1986. 78 Pertanyaan yang mengemuka adalah siapa Fir’aun yang al-Qur’an maksud, ditinjau dari keterangan al-Qur’an dan bukti arkeologi? Adalah Ramses II yang memerintah selama 66 tahun (pada 1279-1213 SM) yang melakukan pengejaran Musa dan umatnya hingga ke Laut Mati, yang kemudian ditenggelamkan Allah. Baca ulasan mendalam mengenai Fir’aun pada masa Musa dalam makalah berjudul The Indentification of Pharaoh During The Times of Moses, yang dipublikasikan di laman website
171 rakyatnya (t}agha>). Musa menyanggupi perintah Tuhan dengan sebuah syarat personal; Musa meminta Harun (saudaranya) dijadikan wazi>r untuk membantunya dalam berdakwah. Tuhan mengabulkannya.79 Alasan utama di balik perintah Tuhan untuk berdakwah kepada Fir’aun adalah aspek t}ughya>n Fir’aun terhadap rakyatnya (QS Taha 20:24). Kezaliman yang dimaksud setidaknya ditinjau pada 2 hal, yaitu: a) Fir’aun menyiksa dan berbuat sewenang-wenang terhadap sebagian dari masyarakatnya; dan b) Fir’aun membunuh semua bayi laki-laki keturunan Bani Israel dan menyisakan bayi-bayi perempuan, oleh karena khawatir kerajaannya akan dihancukan oleh keturunan laki-laki Bani Israil. Kezaliman Fir’aun tersebut termuat dalam QS al-Baqarah 2:49, QS al-A’raf 7:127, dan QS al-Qashash 28:3-6. Diutusnya Musa kepada Fir’aun tidak membuat Fir’aun berhenti bertindak tiran. Fir’aun mengingkari seruan Musa dan ayat-ayat Tuhan (QS al-A’raf 7:103 dan QS al-Anfal 8:54). Fir’aun bahkan
berikut ini: www.islamic-awareness.org/Quran/Contrad/External/mosespharaoh.html Diakses pada 1 Nopember 2014. 79 Pada kelompok ayat tersebut, Tuhan juga menganugerahkan Musa 2 mukjizat lain, yaitu : 1) tongkat yang menjadi ular, pada QS 20:17-21; dan 2) kesembuhan dari penyakit kulit, Kusta, hanya dengan Musa mengepitkan tangannya ke ketiak, tangannya menjadi sembuh tanpa luka dan tampak putih, pada QS 20:22-23. Malik Ghulam Farid mencatat suatu persamaan di balik Kisah Musa; ketidakmampuan Musa dalam berbicara Hebrew secara lancar dan Musa mengakui membutuhkan Harun sebagai partner dakwahnya (QS Taha 20:27-33 dan Keluaran 4:10-16). Malik Ghulam Farid, The Holy Qur’an…, hlm. 626. Berbeda dari Farid, Mir menyebut topik terkait Harun sebagai topik yang memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Al-Qur’an menempatkan Harun sebagai seorang wazi>r yang juga rasu>l Allah, sementara Bibel menganggap Harun semata-mata seorang juru bicara (spokesman). Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 163.
172 ingin membunuh Musa. Allah terpaksa menenggelamkan Fir’aun dalam proses memburu Musa dan Bani Israel (QS Taha 20:77-79). Kisah perjuangan Musa melawan Fir’aun, menurut Mir, adalah salah satu cara Tuhan menghibur nabi Muhammad agar tegar dalam menjalankan misi kenabian di tanah Arab. Fakta bahwa Musa pernah diburu penguasa Mesir (Fir’aun) menjadi cermin keadaan Muhammad tatkala berdakwah di Makkah. Muhammad ketika itu diburu para penguasa Makkah.80 Pada titik di mana Tuhan mengabulkan beberapa permohonan Musa sebagai bekal dakwahnya (QS Taha 20:25-36), menurut penulis, juga menjadi tanda penting bagi Muhammad bahwa Tuhan akan selalu berada di belakang dakwah para Rasul utusannya. Kisah Musa dalam QS Taha 20:9-36 juga diinformasikan dalam Bibel, antara lain Keluaran 3:1-2, 5-6, dan 7-10; dan 4:1-2, 3-4, 6-7, dan 10-16. Kisah Musa versi Bibel memiliki detil perbedaan dengan versi al-Qur’an. Pertama, ketika Musa menemukan sumber api di tengah perjalanan kembali ke Mesir. Pada QS Taha 20:10, Musa dikatakan melihat api dari kejauhan dan ingin mengambil (manfaat dari) api tersebut. Lain lagi dalam Keluaran 3:1-2, di mana Malaikat dikatakan sengaja menampakkan diri dalam bentuk api yang menyala dan muncul dari balik semak berduri.
80
Ibid., hlm. 158.
173
Kedua, obrolan di tempat di mana sumber api berada, yaitu di lembah suci bernama T}uwa>. Baik dalam Keluaran 3:5 dan QS Taha 20:11-16 menjelaskan bahwa Musa ditegur untuk melepas alas kaki ketika berada di T{uwa>. Perbedaannya terletak pada suasana tenang di balik penunjukan Musa sebagai Nabi di lembah T}uwa> versi al-Qur’an, sementara di Bibel tidak demikian adanya (Keluaran 3:3-4).81
Ketiga, kesembuhan tangan Musa dari penyakit Kusta hanya dengan mengapitkan ke ketiaknya. QS Taha 20:22 menggambarkan hal tersebut secara rasional, yaitu Musa hanya perlu mengapitkan tangannya ke ketiak, lalu sembuh dari Kusta. Sementara, Bibel menggambarkan kesembuhan dari Kusta dalam bentuk guaruan; Musa diperintahkan untuk melakukan 2 kali apitan ke ketiaknya; apitan pertama membuat tangannya menderita kusta, dan apitan kedua menjadikan tangannya sembuh kembali (Keluaran 4:6-7).82
Keempat, Mir mencatat perbedaan signifikan di balik dakwah Musa kepada Fir’aun. Al-Qur’an menilainya sebagai misi agung dalam rangka menegakkan nilai-nilai kemanusiaan (QS Taha 20:24). Di sisi lain, Bibel hanya fokus pada seruan Tuhan kepada Musa untuk menyelamatkan masyarakat Mesir dan Israel dari kekejaman Fir’aun (Keluaran 3:7-10). Menurut Mir, dengan menyelamatkan masyarakat 81 82
Ibid., hlm. 162.
Informasi Bibel tentang 2 apitan tersebut sulit diterima. Kesan yang timbul adalah bahwa mukjizat Musa seperti sebentuk pamer dan menghilangkan sisi mu’jiz-nya (secara harfiah berarti ‚melemahkan‛) yang dapat membuat umat terkagum-kagum sehingga menimbulkan rasa percaya (belief). Dalam Islam, mukjizat berfungsi sebagai unsur pelengkap dalam diri Nabi-Rasul yang memperkuat kenabian dan kerasulan mereka. Ibid., hlm. 163.
174 Mesir dan bangsa Israel ‚saja‛, yang tampak adalah adanya unsurunsur ‚kelompok‛ (bangsa) yang sama sekali tidak mencerminkan kagungan sebuah misi dari Tuhan.83 Mir menangkap keunikan tersendiri di balik kisah Musa. Tatkala sedang ‚berbincang‛ dengan Tuhan, QS Taha 20:17-18 menyajikan perbincangan tersebut sebagai amusing moment (menghibur).84 Maksudnya, tidak tampak ada ketegangan di balik obrolan yang pada intinya adalah mendaulat Musa berdakwah kepada seorang raja yang tiran. Perhatikan kutipannya berikut ini. ‚Apakah yang di tangan kananmu, Musa?‛ Musa Menjawab, ‚Ini
adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya. Dengannya, aku pukul (menggugurkan daun) untuk kambingku. Aku juga mempergunakannya untuk keperluan lainnya.‛ Sesuatu yang amusing tersebut berbeda dari keterangan Bibel yang, dianggap Mir, terlalu serius. Perhatikan betapa kaku obrolan antara Musa dan Tuhan dalam Keluaran 4:2-2-4.85
Tuhan berfirman kepadanya: ‚Apakah yang di tanganmu itu?‛ Jawab Musa: ‚Tongkat.‛ Firman Tuhan: ‚Lemparkanlah itu ke tanah.‛ Dan ketika dilemparkannya ke tanah, maka tongkat itu 83 84
Ibid. Ibid.
Wajar jika Mir menilai obrolan antara Musa dan Tuhan sebagai sesuatu yang menggembirakan. Mir sangat sensitif mengenai hal ini, karena pernah menulis makalah berjudul Humor in The Qur’an, dan memunculkan tesis bahwa memang ada aspek-aspek humor (dalam arti menghibur dan menghindarkan dari ketegangan) di balik ayat-ayat al-Qur’an. Baca Mustansir Mir, ‚Humor in The Qur’an‛ dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 3-4, July-October 1991, hlm. 179-193. 85 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 163.
175
menjadi ular, sehingga Musa lari meninggalkannya. Tetapi Firman Tuhan kepada Musa: ‚Ulurkanlah tanganmu dan peganglah
ekornya.‛
Musa
mengulurkan
tangannya,
ditangkapnya ular itu, lalu menjadi tongkat di tangannya. Sebagaimana tema kesatuan ajaran Abrahamik, tema kisah Nabi penting untuk dihadirkan. Perlu diketahui, Para Nabi-Rasul memiliki jalinan keturunan secara genetika dengan Ibrahim secara tidak langsung, selain sisi teologis yang umum dikenal. Ini berarti, selain dari sisi teologis, di antara Muslim-Kristiani-Yahudi ada persaudaraan secara genetika, seberapapun jauh relasi genetika tersebut.
3. Konsep-Konsep dalam Islam Dua tema terdahulu (kesatuan ajaran Abrahamik dan kisah Nabi) telah secara positif membuktikan keselarasan antara Bibel dan al-Qur’an dari sudut pandang teologis dan historis. Bagian ini membahas tentang konsep-konsep dalam Islam yang ditinjau dari sumber-sumber Bibel. a. Konsep Kenabian dan Wahyu Konsep wahyu dan kenabian dalam Islam tidak serupa dengan pewahyuan dan kenabian terdahulu. Islam memiliki cara berbeda dalam membuktikan kenabian dan pewahyuan tersebut, yaitu dengan tidak menghadirkan mukjizat pemberi kejutan yang bersifat temporal, namun dengan memberi analogi yang lebih masuk akal. Misalnya, dikatakan bahwa pewahyuan al-Qur’an dan kenabian Muhammad
176 sama dengan yang terjadi pada nabi-nabi pendahulu Muhammad.86 Metode al-Qur’an ini barangkali anomali, namun termasuk cara paling jitu. Selain tak lekang oleh waktu, misalnya ketika diuji kembali oleh umat di masa mendatang, metode tersebut sekaligus menghindari kejenuhan metodis mukjizat, di mana mukjizat selalu hadir dalam rangka memenuhi permintaan umat, yang bersifat kontekstual-lokal dan lekang oleh waktu, sehingga rentan diingkari kembali.87 Konsep kenabian Islam yang ketat mensyaratkan ketangguhan dan keuletan pemangku tugasnya. Selain itu, seorang nabi/rasul harus mendapat dukungan penuh dari masyarakatnya.88 Tanpa dukungan tersebut, dakwah nabi/rasul hanya akan berakhir dengan kegagalan. Usaha di balik memperoleh dukungan, biasanya setelah melalui usaha persuasif tanpa lelah.89 Yang tidak kalah penting adalah bahwa nabi dan rasul pasti memiliki kekuatan intelektual yang luar biasa, baik itu 86
QS al-Nisa’ 4:163-165 menyatakan bahwa Muhammad menerima wahyu yang juga diberikan kepada nabi-nabi terdahulu (Nuh, Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Isa, Ayuub, Yunus, Harun, Sulaiman, dan Daud) yang juga dikenal ahl al-kita>b. Ibid., hlm. 114-116 87 QS al-Baqarah 2:55 dan QS al-Nisa 4:153 dan 164 mencatat bahwa ahl al-kita>b akan mengimani Tuhan hanya jika Tuhan benar-benar dihadirkan di hadapan mereka. Ibid. Kehadiran mukjizat, dalam bentuk apapun itu, hanya akan menjadi kesia-siaan oleh karena sifat keras kepala mereka. Dalam hal kemukjizatan kepada umatnya, al-Qur’an telah memilih metode tempuhan paling tepat. 88 Kenabian yang dimaksud di sini adalah juga kerasulan, namun bukan dengan maksud mempersamakannya. Penulis merasa lebih nyaman menggunakan satu istilah saja, yaitu prophecy atau kenabian, karena telah digunakan secara luas. Perbedaan definisi nabi dan rasul dapat ditinjau dari tugas-tugas yang diemban. Status nabi atau rasul masih diperdebatkan, terutama mengenai peran dan wewenangnya. Kadangkala, nabi digambarkan sebagai ‚pembantu‛ Rasul. Kadangkala, nabi-nabi tertentu dianugerahi kemuliaan yang lebih tinggi atas nabi-nabi lainnya. Namun yang pasti, Rasul memiliki wewenang lebih luas dibandingkan nabi. Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 117. 89
Ibid.
177 dalam bentuk taken for granted ataukah melalui tahapan pemerolehan pengetahuan secara gradual.90 Konsep Kenabian (atau Kerasulan) yang demikian ‚ketat‛ dalam al-Qur’an tidak berlaku dalam Bibel. Mir mencatat bahwa Bibel memiliki definisi kenabian yang lebih luas dan dengan syarat yang lebih longgar. Lihat saja Keluaran 15:20 yang menyebutkan Miryam (bukan Maryam ibunda Isa), saudara Musa dan Harun, sebagai nabi perempuan, sementara tidak begitu diketahui latar belakangnya selain hanya pemusik rebana. Lain lagi dalam I Samuel 10:1-10 dan 19:20. Di sana, nabi digambarkan sebagai sekelompok musisi yang mabuk berat setelah berpesta. Ciri-ciri demikian jelas ditolak al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa titah Tuhan bukan berasal dari orang yang hilang akal sehatnya, seperti penyair atau peramal (QS al-T}u>r 52:29 dan QS al-H}a>qqah 69:41-42).91 Secara umum, sifat ajaran yang didakwahkan nabi/rasul adalah universal. Dakwah mereka selalu dimulai dari masyarakat lokal untuk kemudian merambah kepada masyarakat universal. Adanya dukungan dari masyarakat, sebagaimana dimaksud di atas, akan mengantarkan kesuskesan dakwah universal nabi/rasul, karena adanya korelasi yang
90 91
Fazlur Rahman, Kenabian di Dalam Islam (Bandung: Pustaka, 2003), hlm. 21. Ibid., hlm. 117.
178 berkesinambungan tanpa putus di balik dukungan tersebut (dari lokal menuju universal).92 Dalam II Tawarikh 15:1-19, diceritakan tentang bagaimana sisi profetik (kenabian) dalam diri Azarya bin Oded mempengaruhi jiwa, pikiran, dan tindakan seorang penguasa bernama raja Asa. Di sini, tampak sekali adanya hal-hal magis yang melekat dalam diri seorang nabi/rasul, di mana dakwah yang mereka sampaikan kepada umat umumnya sangat mengena di hati dan sulit untuk diingkari. Salah satu penjelasan rasional atas hal ini adalah karena muatan di balik dakwah nabi/rasul adalah titah-titah Tuhan (II Petrus 1:19-21). Meski magis dan dibekali kekuatan Tuhan, proses dakwah tetap dilakukan atas nama kasih. Tanpa kasih, suatu dakwah tak akan berfaedah bagi nabi/rasul (I Korintus 13:1-3), dalam arti akan mempersulit capaian hasil dakwah yang dikehendaki. b. Penciptaan Hawa Dalam QS al-Nisa’ 4:1 dijelaskan tentang penciptaan manusia dan pasangannya (zauj). Kata min pada potongan ayat wa khalaqa
minha> zaujaha>, menurut Mir, hanya menyinggung soal genus, berupa kesamaan jenis secara biologis, antara manusia dan pasangannya.93 Bibel sendiri menyinggung bagaimana pasangan manusia pertama tersebut tercipta dalam 5 frasa (dalam Kejadian 2:21-23). 92 93
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an …, hlm. 117. Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 97.
179 1. He took one of his ribs 2. The rib, which the LORD God had taken from man, 3. Adam said, This is now bone of my bones 4. …and flesh of my flesh: 5. She was taken out of Man. Mir menilai, frasa ‚salah satu tulang rusuknya‛ menunjukkan sisi fisik sebagai sumber penciptaan pasangan tersebut. 4 frasa lainnya menunjukkan arti non-fisik, yang lebih dekat dengan pembicaraan
genus seperti yang al-Qur’an singgung.94 Meski konten pembicaraan al-Qur’an dan Bibel terkesan berbeda, keduanya sepakat soal genus pada kedua pasang mahluk tersebut.95 Lebih dari itu, sebagai sumber tafsir, Bibel menambahkan informasi tambahan yang melengkapi kealpaan informasi dalam al-Qur’an, misalnya kata tulang rusuk dan nama Hawa (Kejadian 3:20). Dalam sebuah hadis Nabi, pembicaraan tulang rusuk tergambar dalam bentuk perumpamaan. Tidak ditemukan keterangan bahwa istri Adam (Hawa) benar-benar secara fisik diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan hanya perumpamaan. Perumpaan ini merujuk pada sifat bawaan perempuan yang tidak boleh diperlakukan terlalu kasar atau terlalu lembut. Nabi bersabda,96
94 95 96
5184.
Ibid., hlm. 98 Ibid. Al-Bukhari, S}oh}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibnu Kas|i>r, 2002), hlm. 1320, hadis ke
180 ‚Perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kamu menegakkannya,
niscaya kamu akan merusaknya. Jika kamu menikmatinya, dalam arti membiarkannya, maka kamu akan mendapati perempuan menjadi bengkok.‛ Informasi hadis tersebut, menurut penulis, adalah ilustrasi apik betapa sebuah komunikasi dinamis menjadi basis dasar relasi antara laki-laki dan perempuan (dalam hal ini cara laki-laki menghadapi perempuan). Ada tafsiran menarik atas statemen Bibel ‚perempuan
tercipta dari tulang rusuk dari laki-laki‛ oleh Matthew Henry, yang sejalan dengan isi hadis tersebut. Henry mengatakan bahwa ‚rusuk‛ tersebut menjadi pertanda bahwa perempuan (juga laki-laki) harus saling berkasih sayang di antara keduanya, karena hubungan sedarah (as own flesh) di balik maksud ‚rusuk‛ tersebut. Maksud ‚rusuk‛ ditafsirkan sebagai ‚sisi samping‛ organ tubuh yang menunjukkan ‚kesetaraan‛, yang turut serta menjadi basis hubungan antara lakilaki dan perempuan.97 Lebih-lebih, jika argumen tersebut berbasis pada Kejadian 2:18 yang mengatakan bahwa manusia (dalam hal ini Adam, manusia pertama) tidak menjadi baik jika hidup sendirian. Karenanya, Tuhan menciptakan Hawa sebagai ‚penolong‛ (dalam arti menjadi teman) yang sepadan dengan dirinya. Baik redaksi kata ‚penolong‛ maupun ‚sepadan‛, keduanya menegaskan sisi kesetaraan secara fungsional di diri Hawa terhadap Adam.
97
Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran…, hlm. 101.
181 c. Arahan Monogami di Balik Keberadaan Poligami Poligami adalah fakta yang tak terbantahkan dalam kehidupan manusia. Bibel mencatat beberapa figur seperti Ibrahim, Ya’qub, Sulaiman,98 Esau, Musa, Gideon, Elkana, dan Daud99 memiliki istri lebih dari satu. Informasi Bibel tersebut secara implisit mengafirmasi kebolehan berpoligami. Al-Qur’an, di sisi lain, juga membolehkan laki-laki berpoligami dengan perempuan dalam jumlah 2, 3, atau 4 (QS al-Nisa 4:3). Yang menarik, hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa Nabi Muhammad juga melakukan poligami.100 Ada baiknya dikemukakan ulasan figur-figur yang berpoligami di masa sebelum Islam secara lebih detail, agar dapat melihat persoalan
98
Ibrahim memiliki istri Sarah, Hajar, (Kejadian 16:3) dan Keturah (Kejadian 25:1). Ya’qub menikahi Leah, Rachel, Bilhah, dan Zilpah (berturut-turut dalam Kejadian 29:23, 29:28, 30:4, dan 30:9). Sulaiman dikatakan memiliki 700 istri dan sekitar 300 gundik (I Raja-Raja 11:3). Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 103. 99 1) Esau saudara Ya’qub, dalam Kejadian 26:34 dan 28:6-9; 2) Musa, sebagaimana dalam Keluaran 2:21, 18:1-6, dan Bilangan 12:1; 3) Gideon, sosok yang dianggap lebih menyerupai tokoh T}alu>t di al-Qur’an (dibandingkan Saul), sebagaimana dalam Hakim-Hakim 8:29-32; 4) Elkana, dalam I Samuel 1:1-8; dan 5) Daud, dalam I Samuel 25:39-44, dan II Samuel 3:2-5 dan 5:13-16. 100 Setidaknya, Nabi Muhammad memiliki 13 istri (di informasi lainnya, dikatakan hanya memiliki 12 istri, tanpa Rayhana bint Zayd). Berikut adalah 13 istri Nabi: 1. Khadijah bint Khuwailid 2. Saudah bint Zam’ah 3. ‘Aisyah bin Abi Bakr 4. Hafshah bint Umar 5. Zaynab bint Khuzaimah 6. Ummu Salamah bint Abi Umayyah 7. Zainab bint Jahsy 8. Ummu Habibah bint Abi Sufyan 9. Juwairiyyah bint al-Haris 10. Sofiyyah bint Hayy 11. Maimunah bint al-Haris 12. Maria al-Qibthiyah 13. Rayhana bint Zaid Baca Sa’id Ayyub, Zauja>t al-Nabiy: Qira>’ah fi> Tara>jum Ummaha>t al-Mu’mini>n fi> H}arakat al-Da’wah (Beirut: Dar al-Hadi, 1998).
182 poligami secara komprehensip. Pertama, sosok Ibrahim, suami Sarah, Hajar, dan Keturah. Dalam Kejadian 16:1-4 dikatakan bahwa Sarah meminta Ibrahim menjadikan Hajar, budak mereka, sebagai istri. Pada akhirnya, melalui izin Sarah, Ibrahim memiliki anak pertamanya bernama Ismail (dari Hajar). Alasan berpoligami Ibrahim adalah karena Sarah istri pertamanya tidak memiliki anak, dan poligami tersebut diizinkan oleh Sarah. QS al-Nisa’ 4:25 juga mengisyaratkan adanya ‚izin‛ dari istri yang lebih tua untuk melakukan poligami.
Kedua sosok Ya’qub,101 suami dari 2 perempuan bersaudara, Rahel dan Lea, dan suami dari 2 budak kedua istrinya. Kedua perempuan tersebut dinikahi Ya’qub setelah menebus bekerja selama 14 tahun lamanya kepada Laban, ibunda Rahel dan Lea. Untuk setiap perempuan, Ya’qub menebusnya dengan 7 tahun bekerja. Ya’qub juga menikahi dua budak perempuan Rahel dan Lea, yaitu Bilha dan Zilpa. Menikahi Bilha dan Zilpa adalah murni dari pemberian Rahel dan Lea karena alasan menopause yang menimpa mereka (Kejadian 29-30). Bisa dibayangkan, betapa di balik menikahi seorang perempuan, ada usaha besar yang perlu dilakukan, dalam hal ini membayarnya dengan jasa bekerja selama 7 tahun lamanya. Seperti juga kisah Ibrahim, poligami Ya’qub dengan budak didasarkan atas izin dari istri tua. Yang serupa dengan al-Qur’an di kisah Ya’qub adalah bahwa dari 4
101
Kisah yang dipaparkan berikut ini (dalam Kejadian 29-30) menyerupai kisah Musa yang melamar 2 puteri Syu’aib dalam QS al-Qas}as} 28:20-28.
183 istri tersebut Ya’qub memiliki 12 anak, sebagaimana termuat dalam mimpi Yusuf, anak tunggal Ya’qub dari Rahel, di QS Yusuf 12:4-6.
Ketiga, Sulaiman dikatakan memiliki 700 istri dan sekitar 300 gundik. Sayangnya, memiliki banyak istri justru membuat Sulaiman jauh dari Tuhan. Selain itu, terlalu banyak istri (ratusan) membuat organisasi kecil ‚keluarga‛ menjadi tidak efektif. Pasalnya, istri-istri Sulaiman menjadi condong kepada Tuhan selain Allah, murni karena kealpaan Sulaiman mengawasi mereka yang disebabkan karena faktor usia tua (dalam I Raja-Raja 11:1-4). Tampak sekali bahwa poligami memiliki syarat-syarat yang ketat, selain memiliki konsekuensi yang lebih berat, dari sudut pandang sosial dan keagamaan. Menurut Mir, sebanyak apapun fakta poligami dalam sejarah yang dilaporkan dalam kitab suci dan kuatnya anjuran berpoligami di dalamnya, semuanya (the overall thrust) tetap mengarah kepada Monogami. Lihat bagaimana al-Qur’an (bagian akhir QS al-Nisa’ 4:3) mensyaratkan keadilan yang harus dipenuhi laki-laki di antara para istrinya. Lihat pula ayat yang mengisyaratkan kegagalan laki-laki berlaku adil di antara para istri mereka, sekuat apapun usaha mereka berbuat adil (QS al-Nisa’ 4:129). Menariknya, Bibel juga mensyaratkan keadilan atas setiap istri dengan tanpa menghilangkan hak-hak mereka: hak sandang, pangan, dan nafkah
184 batin (Keluaran 21:10).102 Bagi laki-laki, poligami adalah godaan yang akan menyimpangkan hati manusia (Ulangan 17:17). Mengapa perlu ditegaskan bahwa monogami adalah main idea alQur’an, karena poligami lebih condong kepada pemberian dukungan pihak laki-laki secara psikologis, sosial, dan ekonomi kepada janda dan anak yatim (QS al-Nisa’ 4:127), seperti yang Nabi Muhammad lakukan di balik polgaminya. Dukungan yang dimaksud adalah ketika terjadi badai kesengsaraan pasca perang yang menggugurkan laki-laki dan pasca bencana alam yang merusak kehidupan sosial.103 Pesan implisit poligami adalah bahwa hal tersebut dilakukan dalam rangka misi sosial dan bukan semata-mata ‚sarana‛ kesenangan duniawi. d. Konsep Mahar Al-Qur’an dan Bibel menyinggung soal mahar (mas kawin) bagi mempelai perempuan. Al-Qur’an mengisyaratkan adanya aspek-aspek penting dalam mahar: a) tanpa penundaan, di balik kata perintah a>tu> pada potongan ayat a>tu> al-nisa>’a s}aduqa>tihinna nih}lah; b) khusus diperuntukkan bagi perempuan yang dinikahi dan bukan keluarganya, di balik kata al-nisa>’; dan c) diberikan dengan penuh kerelaan, di balik kata al-nih}lah, yang berarti ‚pemberian‛. Karenanya, mahar mutlak berada pada penguasaan seorang perempuan yang dinikahi.104
102
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 103-104. Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran…, hlm. 101. 104 Ibid. 103
185 Selain disebut s}aduqah, mahar juga sering disebut ajr; bersifat wajib, baik itu bagi perempuan merdeka atau budak. Terminologi ajr antara lain ditemukan dalam QS al-Nisa’ 4:24 dan 25, QS al-Maidah 5:5, QS al-Ahzab 33:50, dan QS al-Mumtahanah 60:10. Mahar dalam Islam tidak semata-mata berarti bride price (harga wanita) dalam makna yang artifisial. Menurut Mir, mahar adalah simbol izin seorang laki-laki (kepada calon istri) untuk membangun keluarga bersamanya, dan simbol komitmen laki-laki dalam memenuhi biaya hidup keluarga tersebut. Simbol ‚keseriusan‛ di balik mahar ditemukan pada istilah
s}aduqah yang digunakan. Di balik s}aduqah mengandung makna kesetiaan (fidelity) dan kejujuran (truthfulness).105 Seperti al-Qur’an, dalam Keluaran 22:16-17 dinyatakan eksplisit adanya keharusan membayar mas kawin untuk perempuan yang akan dinikahi. Bibel mensyaratkan hal-hal yang sedikit berbeda dari alQur’an, yaitu: a) mahar, sebagai pemberian kepada perempuan, dapat berupa penawaran dari pihak laki-laki atau berupa permintaan dari pihak perempuan (Kejadian 34:12); dan b) mahar yang menurut Islam menjadi hak mutlak perempuan boleh dialih-tangankan menjadi permintaan pihak keluarga perempuan (I Samuel 18:25).106 Konsep Mahar, baik di al-Qur’an dan Bibel, tidak melulu berupa pemberian harta yang diperuntukkan bagi perempuan atau keluarga, 105
Mustansir Mir, Dictionary of Quranic Terms and Concepts (New York & London: Garland Publishing, Inc., 1987), hlm. 58 106 Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 104.
186 namun berlaku pula persembahan bekerja selama kurun waktu yang disepakati, antara laki-laki peminang dan keluarga besar perempuan. Ketentuan ini dapat dirujuk pada kisah Ya’qub (sebagaimana telah disinggung) dan pada kisah Musa dalam QS al-Qashash 28:26-28. e. Konsep Utang Piutang Utang piutang adalah salah satu pilar penting ekonomi.107 Utang piutang dibahas apik dalam QS al-Baqarah 2:282-283. Dokumentasi transaksi, prasyarat pengutang dan pemberi utang, kriteria saksi, syarat juru tulis, hingga transaksi di tengah perjalanan yang anomali, semuanya diatur detil dalam dua ayat tersebut.108 Husein Tabataba’i mencatat, setidaknya ada 20 asas hukum transaksi utang piutang, gadai, dan aktifitas ekonomi lainnya dalam 2 ayat tersebut.109 Bibel juga mengatur transaksi utang piutang, misalnya terkait prosedur dasar utang piutang, saksi, model pencatatan, pengambilan ikrar, dan lain-lain.110 Namun demikian, Mir tidak merinci informasi
107
Utang piutang membantu mempermudah permodalan. Di balik kemudahan yang ditawarkan, diakui atau tidak, terdapat potensi persoalan yang besar jika transkasi ini tidak dikelola secara bijak. 108 Ibid., hlm. 65-67. 109 Muhammad H}usein al-T}aba>t}aba>’i>, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah al-A’lami> li al-Mat}bu>’a>t, 1991), vol. 2, hlm. 440. 110 Berikut ini adalah beberapa aturan utang piutang dalam Bibel, yang dapat penulis telusuri. Dalam Keluaran 22:25-26 dikatakan bahwa haram menerapkan bunga kepada orang miskin. Selain diharamkan, orang miskin yang tersakiti hatinya akibat bunga utang yang secara sewenang-wenang diterapkan akan mencelakakan pemberi utang, karena doa orang miskin akan didengar Tuhan (Ulangan 15:9). Kepada orang miskin yang telilit utang, hendaknya orang-orang yang berkecukupan harta membantu mereka (I Samuel 22:2). Meski banyak sekali anjuran membantu orang-orang miskin yang terlilit utang, utang tetaplah utang. Utang harus dibayar lunas, bagaimanapun keadaan orang yang berutang (Matius 5:26 dan Lukas 12:59). Utang piutang harus dilakukan di atas prinsip kejujuran. Ketidakjujuran dan kedzaliman hanya akan membawa pelakunya kepada malapetaka (Lukas 16:1-8).
187 Bibel tersebut. Mir memberi satu petunjuk penting bahwa Bani Israel di masa lalu, ketika melakukan transaksi utang piutang, mereka tidak mengambil bunga dari transaksi utang piutang jika dilakukan dengan sesama Bani Israel. Jika dilakukan dengan non-Israel, barulah mereka mengambil bunga keuntungan dari transaksi tersebut (Ulangan 23:1920).111 Padahal, orang yang bersedia memberi utang tanpa bunga, maka Tuhan yang akan membalas kebaikan mereka (Amsal 19:17). Di balik kewajiban membayar utang, ada pesan agung di balik utang piutang. Siapapun yang memberi utang kepada orang lain dua kali, kata Nabi, kepadanya diberikan 1 kali pahala s}adaqah serupa barang utangan tersebut. Diriwayatkan Ibn Mas’u>d, Nabi bersabda:
Ma> min muslim yuqrid} musliman qard}an marratain, illa> ka>na ka s}adaqatiha> marrah.112 Hadis di atas menjadi contoh betapa orang yang memberi utang (pinjaman) akan mendapatkan kemuliaan. Di balik pinjaman utang terdapat kebutuhan mendesak seseorang untuk dibantu. Untuk 2 kali pinjaman diganjar pahala yang sepadan dengan ‚memberi‛ (s}adaqah). Kepada mereka yang telilit utang, dalam I Samuel 22:2, hendaknya orang-orang yang berkecukupan harta membantu mereka. Karena, itulah tanda kepemimpinan agung di diri pemberi utang tersebut. 111
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 69. Ibnu Majah, Sunan Ibn Ma>jah ed. M. Nasiruddin al-Albani (Riyadh: Maktabah alMaarif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1417 H), hlm. 414-415, hadis ke 2430. Hadis ini termasuk hadisd}a’i>f yang akan meningkat menjadi h}asan kalau sampai riwayatnya kepada Nabi (marfu>’). 112
188 f. Taqwa di Atas Kecintaan akan Duniawi Kesenangan duniawi meliputi wanita, anak, perhiasan, binatang peliharaan, dan ladang. Namun, yang lebih baik di atas semua itu adalah ketaqwaan manusia kepada Allah (QS ali Imran 3:14-15). Bibel mengatakan hal yang tak berbeda jauh. Bentuk ‚taqwa‛ kepada Tuhan di Bibel adalah ‚rasa takut kepada Tuhan‛ dan kemauan untuk menjalankan aturan-Nya. Selain mengandung unsur kebenaran, aturan Tuhan juga mengandung unsur keadilan. Aturan/hukum Tuhan yang benar dan adil jauh lebih indah dari pada kesenangan duniawi seperti emas dan madu (Mazmur 19:9-11). Taqwa manusia kepada Tuhan akan diganjar kekayaan, kehormatan, dan kehidupan (Amsal 22:4).113 Dalam menjalankan ketaqwaan, salah satu jalan yang ditempuh adalah ibadah di kala sahur atau sesaat sebelum subuh tiba (QS ali Imran 3:17). Bibel mengisyaratkan hal serupa; bahwa ibadah yang dianjurkan adalah ibadah yang dilakukan di tempat yang tersembunyi dan pada ruangan tertutup. Sekalipun tertutup, Tuhan mengetahui siapa saja yang berdoa kepada-Nya dan Tuhan akan membalasnya dengan pahala (Matius 6:6).114 Al-Qur’an memberi isyarat bahwa Tuhan sangat dekat dengan manusia. Karena itu, tidak sulit bagi Tuhan mengabulkan doa manusia, asalkan manusia benar-benar memohonan kepada-Nya (QS al-Baqarah 2:186).
113 114
Mustansir Mir, Understanding the Islamic Scripture…, hlm. 80.
Ibid.
189 Alasan takwa ditempatkan pada puncak keseluruhan kebahagiaan duniawi adalah karena ketakwaan menjadi nilai kemuliaan manusia di hadapan Tuhan (QS al-Hujurat 49:13). Takwa berupa ‚takut kepada Tuhan‛ adalah permulaan segala hikmat atau kebijaksanaan (Mazmur 111:10). Takwa menjadi pangkal dari segala hal bagi manusia. Dari takwa, hanya akan ada kebahagiaan di diri manusia, sebagaimana pesan dalam Ayub 28:28, Mazmur 25:12-14 dan 128:1-6.
C. ANALISIS APLIKASI KUTIPAN BIBEL MUSTANSIR MIR Ada keseriusan di balik pengutipan Bibel yang dilakukan Mir dalam karya tafsirnya. Keseriusan yang dimaksud terletak pada pemilihan tema, yang jika dilakukan klasifikasi secara tertata, akan menampilkan suatu grand theme (tema besar) bahwa Islam adalah agama yang memiliki akar kuat dalam tradisi Kristen dan Yahudi, melalui kesamaan yang ditunjukkan antara al-Qur’an dan Bibel.
Pertama. Pada tema kesatuan ajaran Abrahamik, Mir membuktikan keselarasan antara al-Qur’an dan Bibel melalui: 1) ulasan QS al-Fatihah dan Lord’s Prayer; 2) ulasan qis{as} yang menegaskan sisi ‚konfirmasi‛ (mus}addiq) alQur’an atas Bibel; 3) ulasan kemukjizatan Isa yang paling menonjol, pada QS Ali Imran 3:49 yang juga ditemukan penjelasannya di Bibel; dan 4) sepuluh titah Tuhan (Ten Commandments) yang muatannya serupa QS al-Isra’ 17:22-39. Ada topik penting yang sengaja Mir hindari pembahasannya, yaitu ayatayat yang bernada polemik, seperti: konsep Trinitas (atau justru Triteisme, 3
190 Tuhan); tuduhan menyembunyikan kebenaran (yaktumu>n al-ha}qq); kebenaran kematian Isa,115 dan lain sebagainya. Wajar kiranya Mir menghindari tema-tema polemik tersebut. Selain dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak, kalangan pembaca karya Mir adalah pembaca pemula (general English-speaking readers); mereka belum siap menelaah tema-tema bernuansa polemik dan kontroversial.
Kedua. Pada bagian kisah para Nabi, Mir cenderung mendasarkan pada Bibel terkait informasi kesejarahan yang al-Qur’an alpa hadirkan. Di sini, sumber Bibel dijadikan pelengkap informasi tafsir. Menurut Mir, kisah-kisah al-Qur’an cenderung memuat kisah bermuatan etis dan religius dan banyak alpa terkait informasi historis. Karena itu, mengutip Bibel menjadi relevan dilakukan, tentu selama tidak menyimpang jauh dari pandangan-dunia al-Qur’an (Quranic world
view). Jika terjadi perbedaan yang berbau teologis, maka Mir lebih cenderung mendahulukan Qur’anic world view dibandingkan Biblical world view.116
115
Ulasan menarik atas tema-tema polemik di balik ayat-ayat al-Qur’an, terhadap nonIslam, bisa dirujuk pada Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci... 116 Berikut ini adalah rangkuman ulasan bagian kedua: kisah para nabi. 1) Pada kisah Adam, diakui terdapat perbedaan penekanan: tentang Allah ketika mengajarkan nama-nama benda, siapa penggoda Adam-Hawa dalam memakan buah terlarang, dan siapa yang pertama kali tergoda untuk makan (Hawa). 2) Kisah Ibrahim-Ismail adalah salah satu yang paling berdekatan. Adapun perbedaannya terletak pada aktifitas membangun Ka’bah dan tradisi Haji yang sedikit berbeda antara al-Qur’an dan Bibel. 3) Pada kisah T}a>lu>t (Israel) dan Ja>lu>t (Palestina) didapati dua perbedaan utama: faktor keengganan sekelompok Israel dalam berperang melawan Ja>lu>t dan kembalinya Ta>bu>t ke tangan Israel. 4) Kisah Yusuf di penjara dan dakwahnya kepada kepala juru roti dan juru minuman yang dipenjara, di tengah-tengah Yusuf menafsirkan mimpi yang mereka alami. Bibel melengkapi kisah Yusuf dengan detail-detail kecil, misalnya nama-nama tokoh, yang alpa di QS Yusuf. 5) Kisah Musa dengan beberapa perbedaan yang signifikan, yaitu: a) Perbedaan siapa yang ditemui, tatkala Musa mencoba menghampiri cahaya api. Al-Qur’an mengatakan Tuhan, sementara Bibel adalah Malaikat, lalu Tuhan.; b) Al-Qur’an mengatakan Harun sebagai ‚nabi‛ yang membantu dakwah Musa kepada Fir’aun, sementara Bibel menganggapnya juru bicara.; dan c) Menurut Mir, misi musa di al-Qur’an kepda Fir’a un, khususnya pada QS Taha 20:9-36, adalah pembebasan manusia secara keseluruhan. Sementara Bibel mengindikasi misi pembebasan sekelompok masyarakat tertentu, yaitu Bani Israel dan masyarakat Mesir.
191
Ketiga. Pada bagian konsep-konsep Islam, tidak ada perbedaan signifikan antara al-Qur’an dan Bibel dalam membincang; keduanya seperti ‚satu suara‛, mengingat sama-sama menyuarakan prinsip-prinsip agung yang memuliakan manusia.117 Tiga tema yang Mir hadirkan dalam tafsirnya merupakan tema perennial yang umum dibicarakan di agama-agama Abrahamik; wajar jika Mir mengangkat tema-tema tersebut. Sayangnya, Mir kurang mendalam membahas persamaanperbedaan yang ditemukan dalam al-Qur’an dan Bibel. Hal ini berdampak pada kesan simplifikasi yang timbul (kalau boleh disebut demikian) dalam diri pembaca, utamanya terhadap suatu tema yang seharusnya dibicarakan secara serius dan intensif. Selain kurang mendalam, Mir juga tidak berusaha memilah
117
Berikut ini adalah rangkuman ulasan bagian ketiga: konsep-konsep dalam Islam.
Pertama, pada perbincangan kenabian dan wahyu, meski terdapat perbedaan pada ‚kriteria nabi‛ dalam menerim wahyu, al-Qur’an dan Bibel sama-sama mensyaratkan bahwa seorang Nabi dan Rasul harus berasal dari kalangan yang unggul di tengah umatnya. Karena, hal ini dapat membantu keberhasilan dakwah mereka. Kedua, penciptaan Hawa yang mendasari pandangan inferioritas laki-laki atas perempuan, sejatinya, berasal dari frasa ‚perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki‛ dalam Bibel. Sebutan tulung rusuk bagi perempuan mengandung derivasi makna ‚sisi samping‛ dan ‚darah daging‛ bagian bagi laki-laki; masing-masing bermakna ‚kesejejaran‛ dan ‚saudara sendiri‛. Dari kedua makna tersebut, al-Qur’an atau Bibel seperti sepakat perihal ‚kesetaraan‛ di antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, tidak ada lagi alasan bagi laki-laki memandang perempuan sebagai pihak yang inferior. Ketiga, meskipun poligami merupakan fakta hidup yang didapati pula anjurannya di al-Qur’an dan Bibel, ada ayat-ayat lain yang mensyaratkan keadilan sebagai syarat mutlak terhadap para istri di balik poligami. Artinya, anjuran terhadap poligami seperti dibantah sendiri oleh al-Qur’an dan Bibel. Karena itu, penulis berkesimpulan bahwa monogami menjadi satu-satunya opsi yang paling mungkin dilakukan. Keempat, meski ada perbedaan dalam kemutlakan hak atas mahar, yaitu antara perempuan yang dinikahi atau keluarga perempuan, nyatanya mahar adalah suatu janji suci pihak laki-laki kepada perempuan dalam soal kesetiaan dan kejujuran di rumah tangga yang mereka bangun kelak. Kelima, tata cara utang piutang di al-Qur’an dan Bibel yang tidak jauh berbeda di prinsip dasar; prinsip-prinsip agung dalam utang piutang mengedepankan kepekaan pemilik modal untuk tidak terlalu tinggi dalam mengambil bunga, lebih-lebih meniadakannya bagi kalangan tidak mampu. Keenam, konsep taqwa dan takut kepada Allah, barangkali, menjadi tema paling selaras dalam pembicaraan konsep-konsep dalam Islam. Dikatakan bahwa ungkapan takut akan Tuhan (di Bibel) dalam bentuk doa akan lebih baik jika dilakukan dalam ruang gelap dan tertutup; Islam mengisyaratkan ibadah malam di saat banyak manusia sedang terlelap tidur.
192 mana tema dalam al-Qur’an yang ‚benar-benar‛ terkait dengan Bibel dan mana tema yang dipengaruhi oleh tradisi (kitab suci) yang lebih belakang. Asumsi yang terbangun dari diskursus kutipan Bibel dalam tradisi tafsir adalah bahwa al-Qur’an dan Bibel benar-benar terhubung secara tegas. Perlu dilakukan koreksi penting dan substansial terhadap pandangan ini. Pasalnya, sebagaimana telah dibicarakan di awal Bab 2, relasi al-Qur’an dan Bibel tidak semata-mata relasi satu arah dan kaku, melainkan relasi dinamis antar satu kitab suci dengan lainnya. Lihat saja bagaimana Bibel (secara khusus PL) memiliki relasi dengan teks-teks keagamaan yang lebih tua, baik pada era Mesopotamia Kuno maupun Mesir Kuno. Investigasi terhadap Bibel menyimpulkan bahwa ada teks-teks Bibel yang menyerupai teks-teks yang lebih tua. Begitu juga investigasi terhadap teks al-Qur’an, yang memiliki keserupaan dengan Bibel. Koreksi substansial yang dimaksud adalah, bahwa bukan saja al-Qur’an dan Bibel memiliki relasi yang tegas, namun juga relasi keduanya dengan kitab-kitab suci yang lebih tua (teks-teks dari Mesopotamia dan Mesir Kuno) dan lebih muda. Sifat relasi ini adalah niscaya, sejak kelahiran manusia pertama (Adam) hingga Hari Akhir nanti.118
118
Pembahasan mengenai relasi al-Qur’an dengan teks-teks yang lebih muda tidak akan dibahas di sini. Sedikit disinggung, dikatakan bahwa agama Baha’i> memiliki prinsip monoteisme (serupa Islam, Kristen, dan Yahudi) yang mana kehadirannya menjembatani seluruh agama di dunia. Yang bisa dipastikan, muatan utama kitab suci agama Baha’i> berjudul Kita>b-i-Aqdas tak jauh berbeda dari ajaran-ajaran agama Abrahamik. Rujuk selengkapnya pada laman website resmi agama Baha’i> pada www.bahai.org
193
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam tradisi tafsir al-Qur’an, kutipan terhadap Bibel sebagai sumber tafsir diaplikasikan sangat terbatas. Sejauh ini, hanya terdapat beberapa mufasir yang secara terbuka menjadikan Bibel sebagai sumber tafsir. Yang menjadi pertanyaan adalah: ‚Apakah al-Qur’an benar-benar memiliki kaitan langsung dengan Bibel?‛ Jika benar demikian, ‚Apa bukti yang mendasari pembenaran jawaban tersebut?‛ Seperti telah disinggung, ada 2 teori keterpengaruhan al-Qur’an: 1) oleh Bibel Arab versi oral dan teks-teks Biblis; dan 2) oleh budaya lokal Arab. Teori kedua cukup meyakinkan. Menurut Khali>l ‘Abd al-Kari>m (dalam al-Judu>r al-
Ta>ri>khiyyah li al-Syari>’ah al-Isla>miyyah), keterpengaruhan al-Qur’an fokus pada konsep-konsep lokal Arab yang diakomodasi oleh Islam. Menurut Al Makin (dalam Representing The Enemy: Musaylima in Muslim Literature) teori keterpengaruhan al-Qur’an erat dengan adanya ‚nabi-nabi‛ selain Muhammad, juga masyarakat penganut Hani>fiyyah yang menyembah Tuhan yang Maha Esa. Jika demikian, dapatkah dikatakan bahwa Bibel ‚berkaitan langsung‛ dengan al-Qur’an, yang karenanya relevan dijadikan sebagai sumber tafsir? Lebih dari itu, penelitian ini justru berkesimpulan bahwa tidak hanya Bibel yang dapat
193
194 dijadikan sebagai sumber tafsir, melainkan juga al-kutub al-qadi>mah seperti
Atrahasis, Gilgamesh, Code of Hammurabbi, dan kitab-kitab lain yang memiliki nilai teologis di masa lalu. Pasalnya, teks-teks yang lahir belakangan, baik itu Bibel dan al-Qur’an, menyimpan nilai-nilai cultural memory masyarakat kuno dan ditulis dalam kitab-kitab kuno tersebut (al-kutub al-qadi>mah). Terkait Bibel yang Mir kutip dalam karyanya Understanding the Islamic
Scripture: A Study of Selected Passages from The Qur’an, penulis membaginya ke dalam 3 tema: 1) kesatuan ajaran agama Abrahamik; 2) kisah-kisah Nabi; dan 3) konsep-konsep dalam Islam. Mempertimbangkan cakupan yang lebih luas dalam relasi al-Qur’an-Bibel dengan teks-teks yang lebih tua, karya Mir yang hanya mengutip Bibel patut dipertanyakan. Seharusnya, jika sedari awal memang bermaksud akomodatif terhadap kajian kitab suci, pelacakan dan pengutipan terhadap teks-teks kuno juga diperlukan. Kritik penelitian ini yang ditujukan kepada karya Mir juga ditujukan kepada karya-karya tafsir lain yang serupa.
B. Saran Tak ada gading yang tak retak. Demikian pula penelitian ini, pasti ada celah kekurangannya. Penelitian ini masih menggunakan pola ‚tekstual‛. Dalam arti, apa yang dianggap sebagai tafsir yang mengutip Bibel masih terbatas pada karya tafsir dengan kutipan Bibel ekplisit; penelitian ini belum diarahkan pada tahapan kutipan Bibel implisit. Diharapkan, Penelitian di masa mendatang harus lebih diarahkan kepada kutipan Bibel dalam tafsir yang sifatnya implisit.
195
DAFTAR PUSTAKA Adang, Camilla, Muslim Writers on Judaism and The Hebrew Bible: From Ibn
Rabba>n to Ibn H}azm, Leiden: E.J. Brill, 1996. Ally, Shabir, The Culmination of Tradition-Based Tafsir: The Qur’an Exegesis
of al-Durr al-Mans|u>r of al-Suyu>t}i> (d.911/1505), Disertasi University of Toronto, Department of Near and Middle Eastern Civilizations, 2012. Albayrak, Ismail, ‚Reading the Bible in The Light of Muslim Sources: From Isra>i>liyya>t to Isla>miyya>t dalam Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 23, no. 2, April 2012. Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, Edisi Digital 2011. Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Armstrong, Karen, Sejarah Alkitab: Telaah Historis atas Kitan yang Paling
Banyak Dibaca di Seluruh Dunia, terj. Fransiskus Borgias, Bandung: Mizan, cetakan III, 2014. Ayoub, Mahmoud M. , Afra Jalabi, Vincent J. Cornell, Abdullah Saeed, Mustansir Mir, dan Bruce Fudge, ‚Qur’an‛ dalam Oxford Encyclopedia of
the Islamic World, Oxford Islamic Studies Online. Ayyu>b, Sa’i>d, Zauja>t al-Nabiy: Qira>’ah fi> Tara>jum Ummaha>t al-Mu’mini>n fi>
H}arakat al-Da’wah, Beirut: Dar al-Hadi, 1998. Barton, John, The Bible: The Basics, London and New York: Routledge, 2010. Biqa>’i>, Ibra>hi>m Ibn ʻUmar al-, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>yah wa al-Suwar, Vol. 2, 6, dan 22, Kairo: Da>r al-Kita>b al-Isla>miy, t.t. Bukha>ri>, Abu> ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma>’i>l al-, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibnu Kas|i>r, 2002). Dallh, Minlib, ‚Book Review: Iqbal: Makers of Islamic Civilization‛, dalam
Religion and Theology, Vol. 15, no. 2, 2008.
195
196 Dennis Halft OP, ‚Hebrew Bible Quotations in Arabic Transcription in Safavid Iran of the 11th/17th Century: Sayyed Aḥmad ʿAlavī’s Persian Refutations of Christianity‛ dalam Intellectual History of The Islamicate
World, Vol. 1, 2013. Farid, Malik Ghulam, The Holy Qur’an: English Translation & Commentary, Rabwah: The Oriental and Religious Publishing Corporation Ltd., 1969. Fatoohi, Louay, The Mystery of Historical Jesus: Sang Mesias Menurut al-
Qur’an, Alkitab, dan Sumber-Sumber Sejarah, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, Edisi Kedua 2013. Fithriyawan, Husni, Injil dalam Kitab Tafsir al-Qur’an Modern (Studi
Komparatif Kitab Tafsir al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karya T}ant}a>wi> Jauhari> dan Tafsi>r Al-Mana>r Karya Muhammad Rasyi>d Rid}a>), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008. Ghafur, Waryono Abdul, Kristologi Islam: Telaah Kritis Kitab al-Radd al-Jami>l Karya al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke-2, 2012. Griffith, Sidney H., ‚When Did the Bible Become an Arabic Scripture?‛ dalam
Intellectual History of the Islamicate World, Vol. 1, 2013. Haleem, Muhammad Abdel, Understanding The Qur’an. London: IB Tauris & Co. Ltd., 1999. Harper, Robert Francis, The Code of Hammurabi: King of Babylon about 2250
B.C., Chicago: The University of Chicago Press dan Callaghan & Company, 1904. Hawting, Gerald, Book Review: In Defense of The Bible: A Critical Edition and
An Introduction to al-Biqa>’i>’s Bible Treatise, dalam Journal of the Royal Asiatic Society, Third Series, Vol. 20, No. 4, October 2010. Hendel, Ronald, ‚Cultural Memory‛ dalam Ronald Hendel, ed., Reading Genesis, Cambridge: Cambridge University Press, 2010. Ipgrave, Michael (ed.), Scriptures in Dialogue: Christian and Muslim Studying
The Bible and The Qur’an Together (A Record of The Seminar ‘Building
197
Bridges’ held at Doha, Qatar, 7-9 April 2003), London: Church House Publishing, 2004. Iqbal, Muzaffar, ‚Book Review: Understanding the Islamic Scripture: A Study of Selected Passages from the Qur’an, by Mustansir Mir‛ dalam Islam &
Science, Vol. 6, no. 1, Summer 2008. Jadeed, Iskandar, ‚Suatu Kesaksian Palsu (Satu Pertanyaan: Mengapa Orang Kristen tidak Mengenal Injil Barnabas?)‛. Sumber: www.the-goodway.com/ind/books/4030/format-pdf Diakses 1 September 2014. Jauhari>, T}ant}a>wi>, al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Vol. 1, Mesir: Mus}tafa> al-Ba>bi> al-H}albi> wa Aula>duhu bi Mis}ra, 1350 H. Kadi, Wadad dan Mustansir Mir, ‚Literature and The Qur’an‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, Vol. 3, LeidenBoston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Names of The Qur’an‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 3, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. Kari>m, Khali>l ‘Abd al-, al-Judu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Syari>’ah al-Isla>miyyah (Kairo: Da>r Mis}r al-Mah}ru>sah, 2004). __, Quraisy : Min al-Qabi>lah ila> al-Dawlah al-Markaziyyah (Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1998) Keene, Michael, Kristianitas, terj. F.A. Soeprapto, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006. Khali>fah, Ibra>hi>m Abdurrahma>n, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r, Kairo: Fakultas Ushu>luddi>n Universitas al-Azhar, t.t. Luxenberg, Christoph, The Syro-Aramaic Reading of The Koran: A Contribution
to The Decoding of The Language of The Koran, Berlin: Verlag Hans Schiler, 2007. Ma>jah, Ibnu, Sunan Ibn Ma>jah, ed. M. Nasiruddin al-Albani, Riyadh: Maktabah al-Maarif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1417 H. Makin, Al, Representing The Enemy: Musaylima in Muslim Literature, Frankfurt: Peterlang, 2010.
198 Matswah, Akrimi, Penafsiran Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha
Schulte-Nafeh Terhadap Ayat-Ayat Gender dalam Qur’an: A Reformist Translation (Studi Analisis Kritis), Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. Matthews, Victor H., dan Don C. Benjamin, Old Testament Parallels: Law and
Stories from The Ancient Near East, Fully Revised and Expanded Third Edition, New York: Paulist Press, 2006. McAuliffe, Jane Dammen, Qur’anic Christian: An Analysis of Classical and
Modern Exegesis, Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Mir, Mustansir, ‚Ashes‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of
the Qur’an, vol. 1, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>‛ dalam Oxford Encyclopedia of the Islamic
World, Oxford Islamic Studies Online. __, ‚’Aqi>dah‛ dalam Oxford Encyclopedia of the Islamic World, Oxford Islamic Studies Online. __, ‚Ba>qilla>ni>’s Critique of Imru> al-Qays‛ dalam James A. Bellamy (ed.),
Studies in Near Eastern Culture and history: In Memory of Ernest T. Abdel-Massih, Ann Arbor, Michigan: Center for Near Eastern and North African Studies, The University of Michigan, 1990. __, ‚Between Grammar and Rhetoric (Bala>ghah): A Look at Qur’an 2:217‛ dalam Islamic Studies, Vol. 29, No. 3, Autumn 1990. __, ‚Bread‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the
Qur’an, vol. 1, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Christian Perspectives on Religion and Science and Their Significance for Modern Muslim Thought‛ dalam Peters, Ted, Muzaffar Iqbal, dan Syed Nomanul Haq (ed.), God, Life, and The Cosmos:
Christian and Islamic Perspectives, Burlington, VT: Ashgate, 2002. __, Coherence in The Qur’an: A Study of Is}la>hi} ’s Concept of Naz}m in
Tadabbur-i Qur’a>n, Indianapolis: American Trust Publications, 1986.
199 __, ‚Comparative Study of a Few Verses in Islahi and Other Scholars‛ dalam Hamdard Islamicus, VII, No. 1, 1984. __, ‚Continuity, Context, and Coherence in The Qur’an: A Brief Review of The Idea of Naz}m in Tafsi>r Literature‛ dalam al-Baya>n Journal, vol. 11, no. 2, Dec 2013. __, ‚Dialogue in The Qur’an‛ dalam Religion & Literature, Vol. 24, No. 1, Spring 1992. __, ‚Dialogues‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of
the Qur’an, vol. 1, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, Dictionary of Qur’anic Terms and Concepts, New York: Garland Publishing, Inc., 1987. __, ‚Elephants, Birds of Prey, and Heaps of Pebbles: Farahi’s Interpretation of Su>rah al-Fi>l‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 7, No. 1, 2005. __, ‚Fa-qad s}aghat qulu>bukuma>: The Interpretation of Qur’an 66:4 by Is}la>hi} > and Fara>h}i>‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 1, No. 1, 1999. __, ‚Glorification of God‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 2, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Glory‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the
Qur’an, vol. 2, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Grace‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the
Qur’an, vol. 2, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Humor in Islam‛ dalam Salvatore Attardo (ed.), Encyclopedia of
Humor Studies, Vol. 1, Los Angeles: Sage Publications, 2014. __, ‚Humor in The Qur’an‛ dalam The Muslim World, Vol. LXXXI, No. 3-4, July-October 1991. __, ‚I>ma>n‛ dalam Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Ed. John L. Esposito, Oxford Islamic Studies Online. __, Iqbal: Makers of Islamic Civilization, Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 2006.
200 __, ‚Iqbal’s Commentary on Su>rat al-Ikhla>s}‛ dalam Intellectual
Discourse, vol. 10, no. 2, 2002. __, ‚Irony on The Qur’an: A Study of Story of Joseph‛, dalam Issa J. Boulatta (ed.), Literary Structures of Religious Meaning in The Qur’an, Surrey: Curzon Press, 2000. __, ‚Islahi’s Concepts of Sura-Groups‛ dalam Islamic Quarterly, XXVIII, No. 2, 1984. __, ‚Islahi’s Concept of Sura-Pairs‛ dalam Muslim World, LXXIII, No. 1, 1983. __, ‚Islamic Views of Jesus‛ dalam Gregory A. Baker (ed.), Jesus In The
World’s Faiths: Leading Thinkers from Five Religions Reflect on His Meaning, Maryknoll, NY: Orbis Books, 2005. __, ‚Islam on Human Nature and The Universe: A Comparison with Buddhism, Christianity, and Zoroastrianism‛ dalam Iqba>l-Na>mah, vol. 3, no. 3, Summer 2003. __, ‚Is Islamic Law Capable of Evolution?‛ dalam Iqba>l-Na>mah, vol. 3, no. 4, Fall 2003. __, ‚Jiha>d in Isla>m‛ dalam Hadia Dajani-Shakeel dan Ronald A. Messier,
The Jiha>d and Its Times: Dedicated to Andrew Stefan Ehrenkreutz (Ann Arbor: Center for Near Eastern North African Studies, University of Michigan, 1991. __, ‚Kabbalah and Sufism: A Comparative Look at Jewish and Islamic Mysticism.‛ dalam Charles Selengut (ed.), Jewish-Muslim Encounters:
History, Philosophy and Culture, St. Paul, Minn.: Paragon House, 2001. __, ‚Language‛, dalam Andrew Rippin (ed.), The Blackwell Companion
to The Qur’an, Malden: Blackwell Publishing Ltd., 2006. __, ‚Passives in The Qur’an: Preliminary Notes‛ dalam Mustansir Mir and Jarl E. Fossum (eds.), Literary Heritage of Classical Islam: Arabic and
Islamic Studies in Honor of James A. Bellamy, Pricenton: The Darwin Press, 1993.
201 __, ‚Polytheism and Atheism‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 4, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Scientific Exegesis of The Qur’an – A Viable Project?‛ dalam Islam
& Science, Vol. 2, No. 1, Summer 2004. __, ‚Scriptures in Dialogue: Are We Reckoning Without The Host?‛ dalam Michael Ipgrave, Bearing The World: Prophecy in Biblical and
Qur’anic Perspective, Wiltshire: Church House Publishing, 2005. __, ‚Sin‛ dalam Oxford Encyclopedia of the Islamic World, Oxford Islamic Studies Online. __, ‚Some Aspects of Narration In The Qur’an‛ dalam Roberta Starman Sabbath (ed.), Sacred Tropes: Tanakh, New Testament, and Qur’an as
Literature and Culture, Leiden and Boston: Brill, 2009. __, ‚Some Features of Maudu>di>’s Tafhi>m al-Qur’an‛ dalam American
Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 2, No. 2, 1985. __, ‚Some Figures of Speech in The Qur’an‛ dalam Religion &
Literature, Vol. 40, no. 3, Autumn 2008. __, ‚Tafsi>r‛ dalam Oxford Encyclopedia of the Islamic World, Oxford Islamic Studies Online. __, ‚The Jewish and Christian Encounter with Modernity: Relevance for Muslims‛ dalam Ansar, Zafar Ishaq, dan John L. Esposito (ed.), Muslims
and The West: Encounter and Dialogue, Islamabad: Islamic Research Institute and International Islamic University, Washington DC: Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, 2001. __, Thematic and Structural Coherence in The Qur’an: A Study of
Is}lahi>’s Concept of Naz}m, University of Michigan, 1983. __, ‚Theophany‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of
the Qur’an, vol. 5, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚The Queen of Sheba’s Conversion in Q. 27:44: A Problem Examined‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 9, No. 2, 2007.
202 __, ‚The Qur’an as Literature‛ dalam Religion & Literature, Vol. 20, No. 1, Spring 1988. __, ‚The Qur’anic Oaths: Farahi’s Interpretation‛ dalam Islamic Studies, Vol. 29, No. 1, Spring 1990. __, ‚The Qur’anic Story of Joseph: Plot, Themes, and Characters‛ dalam
The Muslim World, Vol. LXXVI, No. 1, January 1986. __, ‚The Sectional Character of The Sciences‛ dalam Iqba>l-Na>mah, vol. 5, no. 1-2, Winter and Spring 2005. __, ‚The Sura as A Unity: A Twentieth Century Development in Qur’an Exegesis‛ dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader Shareef (ed.),
Approaches to The Qur’an, London dan New York: Routledge, 1993. __ (ed.), Tulip in The Desert: A Selection of the Poetry of Muhammad
Iqbal, London: C. Hurst & Co. (Publishers) Ltd., 1990. __, Understanding the Islamic Scripture: A Study of Selected Passages
from The Qur’an, New York: Pearson Education, 2008. __, ‚Unity of Text of The Qur’an‛ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 5, Leiden-Boston-Köln: Brill, 2001. __, ‚Wordplay and Irony in Iqbal’s Poetry‛ dalam Journal of Islamic
Studies, Vol. 3, No. 1, 1992. __, Verbal Idioms of The Qur’an, Ann Arbor: Center for Near Eastern and North African Studies, University of Michigan, 1989. Modarresi, Hossein, ‚Early Debates on The Integrity of The Qur’an: A Brief Survey‛ dalam Studia Islamica, no. 77, 1993. Moucarry, Chawkat, Two Prayers for Today: The Lord’s Prayer and The Fatih}a, Tiruvalla, India: Christava Sahitya Samithy, 2007. Mu>sa>, Ah}mad al-Syah}a>t Ah}mad, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r, Kairo: Fakultas Ushu>luddi>n Universitas al-Azhar, t.t. Neuwirth, Angelika, ‚Book Review: The Qur’an and Its Biblical Subtext, by Gabriel S. Reynolds‛ dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 14. No. 1, 2012.
203 Noseda, S. Noja, ‚Al-Sa>mira‛ dalam B. Lewis, Ch. Pellat, dan Joseph Schacht,
The Encyclopaedia of Islam: New Edition, Vol. 8, Leiden: E.J. Brill, 1991. Oddbjørn Leirvik, ‚History as a Literary Weapon: The Gospel of Barnabas in Muslim-Christian Polemics‛ dalam Studia Theologica , no. 1, 2002. Paret, Rudi, ‚Fa>tih}a‛ dalam B. Lewis, Ch. Pellat, dan Joseph Schacht, The
Encyclopaedia of Islam: New Edition, Vol. 2, Leiden: E.J. Brill, 1991. Parrinder, Geoffrey, Jesus in the Qur’an, London: Sheldon Press 1976. Qa>simi>, Jama>l al-Di>n al-, Mah}as> i>n al-Ta’wi>l, Vol. 1, Beirut: Da>r al-Fikr, 2005. Rahman, Fazlur, Kenabian di Dalam Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 2003. __, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996 Reynolds, Gabriel S., The Qur’an and Its Biblical Subtext, New York: Routledge, 2010. Rid}a>, Muhammad Rasyi>d, Tafsi>r Al-Mana>r, Vol. 1, 3, dan 12, Kairo: Da>r alMana>r, 1947. Rippin, Andrew, ‚Book Review: Verbal Idioms of The Qur’an, by Mustansir Mir‛ dalam Journal of Near East Studies , Vol. 54, no. 3, July 1995. Roham, Drs. Abu jamin, Pembicaraan di Sekitar Bible dan Qur’an Dalam Segi Isi
dan Riwayat Penulisannya, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984. Saleh, Walid A., ‚A Fifteenth-Century Muslim Hebraist: al-Biqa>’i> and His Defence of Using The Bible to Interpret the Qur’an‛ dalam Speculum, Vol. 83, no. 3, July 2008. Saleh, Walid A., ‚An Islamic Diatessaron: al-Biqa>’i>’s Harmony of Four Gospels‛ dalam Sara Binay dan Stefan Leder, Translating The Bible into Arabic:
Historical, Text-Critical, and Literary Aspects, Beirut: Orient-Institut Beirut, 2012. Saleh, Walid A., In Defense of The Bible: A Critical Edition and An Introduction
to al-Biqa>’i>’s Bible Treatise, Leiden: Brill, 2008.
204 Saleh, Walid A., ‚Sublime in Its Style, Exquisite in Its Tenderness: The Hebrew Bible Quotations in al-Biqa>’i>’s Qur’a>n Commentary‛ dalam Y. Tzvi Langermann dan Josef Stren, Adaptations and Innovations: Studies on
The Interaction between Jewish and Islamic Thought and Literature from the Middle Ages to The Late Twentieth Century, Dedicated to Professor Joel L. Kraemer, Paris-Louvain-Dudley, MA: Peeters, 2007. Salibi, Kamal, Mencari Asal Usul Kitab Suci, terj. Dono Indarto, Jakarta-Bogor: Litera AntarNusa, 1987. Sirry, Mun’im, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an
Terhadap Agama Lain, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013. Sobirin, Mohamad, Bid’ah-Bid’ah Penafsiran dalam al-Qur’an menurut Abdulla>h
al-Ghuma>ri>, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. Sperl, S., ‚The Literary Form of Prayer: Qur’an Surah One, The Lord’s Prayer,
and A Babylonian Prayer to Moon God‛ dalam Bulletin of School of Oriental and African Studies, University of London, vol. 57, no. 1, in Honour of J.E. Wansbrough, 1994. Sudjaly, Bambang Broto, Sejarah Dogma Trinitas, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1986. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D, Bandung: Alfabeta, cetakan ketujuh, 2009. Syarbi>ni>, al-Khat}i>b al-, Al-Sira>j al-Muni>r fi al-I’a>nah ‘ala> Ma’rifat Ba’d} Ma’a>ni
Kala>m Rabbina> al-H}aki>m al-Khabi>r, Vol. 3, tnp kota: Bula>q, 1285 H. T}aba>t}aba>’i>, Muhammad H}usein al-, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Vol. 2 dan 3, Beirut: Muassasah al-A’lami> li al-Mat}bu>’a>t, 1991. Tirmiz|iy, Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah al-, Sunan al-Tirmiz|iy, ed. Muhammad Nasiruddin al-Albani, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa alTauzi’, 1417 H. Totolli, Robeto, ‚Origin and Use of The Term Isra>i>liyya>t in Muslim Literature‛ dalam Arabica, Vol. 46, no. 2, 1999.
205 Wansbrough, John, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation, New York: Prometheus Books, 2004. Watt, Montgomery, Bell’s Introduction, Edinburgh: Edinburgh University Press,
revised edition, 1990. __, Muhammad’s Mecca: History in The Qur’an, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988. __, Muhammad at Medina, Oxford: The Clarendon Press, 1956. Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. J. Milton Cowan, Ithaca: Spoken Language Service, Inc., 1976. Witztum, Jospeh Benzion, The Syriac Milieu of The Qur’an: The Recasting of
Biblical Narratives, disertasi Pricenton University, 2011. Yuksel, Edip, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte Nafeh, Quran: A
Reformist Translation, USA: Brainbow Press, 2007. Z|ahabiy, Muhammad H}usein al-, al-Isra>i>liyya>t fi al-Tafsir> wa al-Hadi>s| dalam Edisi Antologi Karya H}usein al-Z|ahabiy berjudul Buhu>s| fi> ‘Ulu>m al-
Tafsi>r wa al-Fiqh wa al-Da’wah, Kairo: Da>r al-Hadi>s|, 2005. Z|ahabiy, Muhammad H}usein al-, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. 2, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, Vol. 2. Zayn, Muhammad Bassam Rusydi al-, al-Mu’jam al-Mufahras Li Ma’a>ni> al-
Qur’a>n al-‘Az}i>m, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1416 H.
Sumber: Entri Ensiklopedia Online dan Kamus ‚Apocrypha‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate
Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Biblical Literature‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica
Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Biography‛ dalam
Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica
Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011).
206 ‚Ephesus‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate
Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Historical Criticism.‛ Encyclopaedia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopaedia Britannica, 2011. ‚Karaite‛ dalam Advanced English Dictionary, Princenton University. Atau, pada website http://wordnet.princenton.edu yang bisa diakses kapan saja. ‚Rabbinic Judaism‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica
Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Septuagint‛ dalam
Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica
Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Seven Sleepers of Ephesus‛ dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia
Britannica Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011). ‚Talmud and Midrash‛, dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia
Britannica Ultimate Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011) ‚Trinity‛, dalam Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate
Reference Suite (Chicago: Encyclopædia Britannica, 2011).
Sumber: Berita News Brief Youngstown State University, edisi 4 April 2008. News Brief Youngstown State University, edisi 28 September 2009. News Brief Youngstown State University, edisi 8 Pebruari, 2010. The Senior News, vol. 28, no. 3, Maret 2014, hlm. 11. US Fed News Sevice, edisi 13 Pebruari 2006. US Fed News Sevice, edisi 3 April 2006. US Fed News Sevice, edisi 15 Oktober 2007. US Fed News Sevice, edisi 28 Januari 2008.
207 Sumber: Halaman Website http://berkleycenter.georgetown.edu/people/mustansir-mir
Diakses
pada
1
September 2014. http://iqsaweb.wordpress.com/2012/11/19/qcrtqq/ Diakses pada 2 April 2014. http://iqsaweb.wordpress.com/tag/seventh/-mingana-symposium-on-arabchristianity-and-islam/ Diakses 1 Desember 2014. http://um2017.org/faculty-history/faculty/mustansir-mir
Diakses
pada
1
September 2014. http://pu.edu.pk/home/journal/11/Editorial-Board.html Diakses pada 1 September 2104. http://web.ysu.edu/gen/class/Advisory_Committee_on_Islamic_Studies_m237.ht ml Diakses 1 September 2014. http://web.ysu.edu/gen/class/Center_Activities_m266.html
Diakses
pada
1
September 2014. http://web.ysu.edu/gen/class/IqbalNamah_m265.html Diakses pada 1 September 2014. http://web.ysu.edu/class/islamst Diakses pada 1 September 2014. http://web.ysu.edu/gen/class/Pluralism_Project_m267.html Diakses 1 September 2014. http://web.ysu.edu/gen/class/Studies_in_Contemporary_Islam_m232.html Diakses pada 1 September 2014. http://web.ysu.edu/gen/class/Youngstown_Papers_in_Islamic_Religion_History_ and_Culture_m371.html Diakses 1 September 2014. http://web.ysu.edu/gen/ysu_generated_bin/documents/basic_module/administrati on_full_service_faculty.pdf Diakses pada 1 September 2014. http://www4.vindy.com/content/entertainment/317386751566214.php
Diakses
pada 1 September 2104. http://www4.vindy.com/content/local_regional/285905043979885.php pada 1 September 2104.
Diakses
208 http://www4.vindy.com/content/local_regional/322336381841397.php
Diakses
pada 1 September 2104. http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0067
pada
Oxford
pada
Oxford
Islamic Studies Online. Diakses pada 11 Desember 2013. http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0271 Islamic Studies Online. Diakses pada 11 Desember 2013. http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236MIW/e0360 pada Oxford Islamic Studies Online. Diakses pada 11 Desember 2013. http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0661
pada
Oxford
pada
Oxford
pada
Oxford
Islamic Studies Online. Diakses pada 11 Desember 2013. http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0742 Islamic Studies Online. Diakses pada 11 Desember 2013. http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0775 Islamic Studies Online. Diakses pada 11 Desember 2013. https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2009/ Diakses pada 1 September 2014. https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2011/ Diakses pada 1 September 2014. https://www.soas.ac.uk/islamicstudies/conferences/quran2013/ Diakses pada 1 September 2014. http://www.vindy.com/news/2001/nov/03/islam-talk-set/?newswatch
Diakses
pada 1 September 2104. http://www.vindy.com/news/2001/oct/06/pastor-appreciation/?print Diakses pada 1 September 2104. http://www.vindy.com/news/2001/oct/19/ysu-forum-focuses-on-bin-laden/?print Diakses pada 1 September 2014. http://www.vindy.com/news/2002/apr/07/mahoning-valley-leaders-hope-torekindle-dialogue/?print Diakses pada 1 September 2014. http://www.vindy.com/news/2002/apr/28/ysu-honors-convocation/?print Diakses pada 1 September 2104.
209 http://www.vindy.com/news/2002/jan/15/roots-of-terrorism/?print Diakses pada 1 September 2104. http://www.vindy.com/news/2002/sep/12/speaker-pleads-for-peace-muslims-areurged-to-get/?print Diakses pada 1 September 2104. http://www.vindy.com/news/2003/aug/07/no-arrest-made-in-rape-beating/?print Diakses pada 1 September 2104. http://www.vindy.com/news/2012/mar/17/today-is-st-patricks-day-andcelebration/?print Diakses pada 1 September 2104. http://www.vindy.com/news/2014/mar/18/discussion-will-explore-christianmuslim/?print Diakses pada 1 September 2104. www.islamic-awareness.org/Quran/Contrad/External/mosespharaoh.html Diakses pada 1 Nopember 2014. www.jesustomuslims.org/articles/hajj-biblical-perspective Diakses 1 Nopember 2014. www.nabataea.net/12tribes.html Diakses 1 Nopember 2014. www.tadabbur-i-quran.org/a-brief-introduction-to-tadabbur-i-quran/intro-byshehzad-saleem/ Diakses 1 September 2014. www.the-good-way.com/ind/books/4030/format-pdf Diakses 1 September 2014.
Sumber: Lainnya Korespondensi penulis dengan Prof. Mustansir Mir melalui email. Tanggal 26 Okober 2013. Program Alkitab 2.7, keluaran dan hak cipta oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Keseluruhan konten program Alkitab 2.7 ditulis dan dikembangkan oleh J.F. Kasenda (Jakarta, 1999-2000). Diskusi Publik dengan tema ‚Tafsir Reformis: Jalan Baru Menuju Dialog Antar Iman‛ bersama Mun’im Sirry, pada 25 Juni 2014, di Pendopo Hijau LKiS, Yogyakarta.
210 Lampiran I
Daftar Ayat-Ayat al-Qur’an dan Bibel dalam
Understanding the Islamic Scripture (A Study of Selected Passages from The Qur’an)
Bab
Ayat al-Qur’an
Pasal dalam Bibel
1
QS al-Fatihah 1:1-7
Matius 6:9-16 ** Lukas 11:2-4
2
QS al-Baqarah 2:30-39
Kejadian 1:26-27 * 2:8, 15-17, 19-20 * 3:1-6
3
QS al-Baqarah 2:124-129
Kejadian 12:2 * 13:16 * 16:10, 14 * 17:18, 20 * 18:17-18 * 21:13, 18, 20 * 26:5
4
QS al-Baqarah 2:177
-
5
QS al-Baqarah 2:246-251
1. I Samuel 8:4-5, 7, 19-20 * 12:12, 17 2. I Samuel 9:2, 21 * 10:24, 27 * 11:12, 14-15 3. I Samuel 4:10-22 * 5 * 6:7-8, 12 4. I Samuel 14:24 5. -
6
QS al-Baqarah 2:255
-
7
QS al-Baqarah 2:256
-
8
QS al-Baqarah 2:261-269
-
9
QS al-Baqarah 2:282-283
Ulangan 23:19-20
10
QS al-Baqarah 2:285-286
-
11
QS Ali Imran 3:14-17
Mazmur 19:9-10 ** Amsal 22:4 ** Matius 6:6
QS Ali Imran 3:45-51
1. Lukas 1:26-37
12
2. Matius 10:5-6 ** Lukas 7:18-19, 36-39 3. Matius 5:17 ** Lukas 16:17
210
211 4. Yohanes 9:1-7 * 12:11-44 ** Matius 8:1-3 * 9:18-25 ** Lukas 2:41-47 * 7:11-16 * 17:11-14 5. Yohanes 20:17 13
QS Ali Imran 3:102-105
-
14
QS al-Nisa 4:1
Kejadian 2:21-23
15
QS al-Nisa 4:2-4
1. Ayub 24:3 2. Kejadian 16:3 * 25:1 * 29:23, 28 * 30:4, 9 ** I Raja-Raja 11:3 ** Keluaran 21:10 3. Ulangan 21:11-13 ** Kejadian 16:3 * 29:24, 29 ** I Raja-Raja 11:3 4. Kejadian 34:12 ** I Samuel 18:25 ** Keluaran 22:16-17
16
QS al-Nisa 4:59
-
17
QS al-Nisa 4:127-130
-
18
QS al-Nisa 4:163-165
Keluaran 15:20 ** I Samuel 10:10 * 19:20 ** Kejadian 20:7
19
QS al-Maidah 5:44-48
Keluaran 21:23 ** Imamat 24:20 19:21 ** Matius 5:17, 38-39
20
QS al-An’am 6:95-99
-
21
QS al-A’raf 7:172-173
-
22
QS al-Taubah 9:60
-
23
QS Yusuf 12:36-42
-
24
QS al-Nahl 16:125-128
-
25
QS al-Isra 17:22-39
Keluaran 20:1-17 ** Ulangan 5:6-21 ** Imamat 19:1-4, 9-11, 13, 35-37
26
QS Taha 20:9-36
Keluaran 3:1-2, 5-6, 7-10 * 4:1-2, 3-4, 6-7, 10-
Ulangan
212 16 27
QS al-Hajj 22:38-41
-
28
QS al-Nur 24:35
-
29
QS al-Furqan 25:63-76
-
30
QS Luqman 31:12-19
-
31
QS al-Hujurat 49:11-13
-
32
QS al-Mumtahanah 60:8-9
-
33
QS al-Munafiqun 63:1-4
-
34
QS al-Naba 78:1-17
-
35
QS al-Dhuha 93
-
36
QS al-Qari’ah 101
-
37
QS al-Ikhlas
-
Keterangan: *
= Pemisah antar pasal dalam suatu kitab
** = Pemisah antar kitab satu dengan lainnya
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A.
Identitas Diri Nama Lengkap Tempat dan Tanggal Lahir Alamat Nama Ayah – Ibu Alamat e-mail No. Handphone/WhatsApp
B.
: Ahmadi Fathurrohman Dardiri : Surakarta, 23 Juni 1988 : Kalitan 02/02 Penumping Laweyan Surakarta : Dr. H. A. Dardiri Hasyim, S.H., M.H. Dr. Hj. Darsinah, S.E., M.Si. : [email protected] [email protected] : +62 899 558 7060
Riwayat Pendidikan 1.
Pendidikan Formal Madrasah Ibtidaiyyah Krandon, Kudus, 1999.
Tasywiqu
al-Thullab
al-Salafiyyah,
Sekolah Dasar Ta’mirul Islam, Surakarta, 2000. Madrasah Tsanawiyyah Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, 2003. Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN/MAPK), MAN 1 Surakarta, 2006. Strata I Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2012. Strata II Studi Qur’an dan Hadis, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015. 2.
Pendidikan Non-Formal Pondok Pesantren Kanak-Kanak Yanbu’ul Qur’an, Krandon, Kudus, 1999. Ngaji al-Qur’an di Pondok Pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, 2000-2002. Ngaji Alfiyah Metode Amtsilati, Bangsri, Jepara, 2003. Kursus bahasa Inggris di SMART International Language College, di Pare, Kediri, 2006-2007. Kursus Filsafat Islam “Wisata Epistemologi” (Angkatan X) di Rausyan Fikr, Yogyakarta, 2013.
213