BENTUK PENGGUNAAN DAN PRODUKTIFITAS LAHAN SISTEM DUSUNG (Studi Kasus Di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)
JAN WILLEM HATULESILA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah), adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis.
Bogor, Nopember 2008
Jan Willem Hatulesila E 051060031
3
ABSTRACT JAN WILLEM HATULESILA. Usage Form and Land Productivity of Dusung System (Case Study In District Leihitu, Central Maluku Regency). Under academic supervision of NURHENI WIJAYANTO and BASUKI WASIS. The practice of agroforestry system in Maluku had been occurring for many generations since long time ago, and the people usually called this system as dusung. Agroforestry dusung was a heritage from the ancestors to their descendants, and comprise wood tree, fruits, sago, palm and medicinal plants. This research was conducted to identify the type of land use in dusung system, rearn the land productivity in dusung system, study and to analyze the forms of dusung system for land conservation at Wakal village and Hatu village, Leihitu district, central Maluku, Ambon Island. There were three types of land uses on dusung system, namely farm system, mixed planting system and monoculture planting system. Of these three land uses, the highest production was in mixed planting system on Wakal and Hatu villages which were (Rp 9.716.000,- /ha/year and Rp 11.468.000,- /ha/year). Production in monoculture system in the two villages were respectively (Rp 5.050.000,- /ha/year and Rp 6.785.000,- /ha/year), whereas those of farm system were (Rp 3.466.924,- /ha/year and Rp 2.394.804,/ha/year). Erosion on land use in dusung system varied according to the type of land uses and land slope. Erosion index ranged within 0 - 1, while degree of erosion was categorized as ranging from low to medium. Erosion in Wakal Village, for farm system was 53.83 ton/ha/year which was greater than ETot 48 ton/ha/year. In monoculture planting system erosion reach of 72.30 ton/ha/year, which was greather than ETot 45 ton/ha/year. On the other hand, farm system in Hatu Village had caused erosion of 49.5 ton/ha/year greater than ETot 30/ha/year. Mixed planting system in Wakal and Hatu had erosion of respectively 30.68 to /ha/year and 12.14 ton/ha/year, which were below ETot 45 ton/ha/year and 43.2 ton/ha/year. Keyword: Land use, productivity, dusung system
4 RINGKASAN Jan Willem Hatulesila. Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah). Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO, dan BASUKI WASIS. Praktek sistem agroforestri di Maluku sudah berlangsung secara turun temurun biasa disebut masyarakat dengan istilah dusung. Terbentuknya agroforestri dusung, merupakan warisan yang ditinggalkan leluhur kepada anak cucu, berupa tanaman berkayu (pohon), tanaman buah-buahan, tanaman sagu, tanaman palem, tanaman rempah ataupun tanaman obat-obatan. Melihat pentingnya sistem usaha tani pola agroforestri dusung dari aspek ekologis, konservasi dan ekonomis sebagai hutan rakyat yang dapat membentuk ekosistem hutan sekunder dengan keanegaragaman tinggi, maka perlunya dilakukan penelitian dan kajian tentang sistem penggunaan lahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung, mengetahui produktifitas tanaman pada agroforestri dusung dan memprediksi tingkat bahaya erosi tanah pada penggunaan lahan agroforestri dusung. Lokasi penelitian di Kecamatan Leihitu Kabupaten, Maluku Tengah, Pulau Ambon. Metode analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi penyusun agroforestri dusung. Hasil survei lapangan dan wawancara dengan petani dilakukan untuk mengetahui produktifitas tanaman usaha tani sistem agroforestri dusung. Prediksi besarnya erosi pada bentuk penggunaan lahan sistem dusung menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu terdiri dari; ladang dan kebun monokultur dengan pola penanaman tumpangsari dan monokultur merupakan bentuk agroforestri sederhana. Sedangkan penggunaan lahan kebun campuran dengan pola penanaman tumpangsari dan agroforest merupakan bentuk agroforestri kompleks. Hasil perhitungan produktifitas tanaman di Desa Wakal dan Hatu menunjukan bahwa penggunaan lahan kebun campuran menempati produksi tertinggi sebesar Rp. 9.716.000,- ha/thn dan Rp. 11.468.000,- /ha/tahun, kebun monokultur sebesar Rp. 5.050.000,- /ha/tahun dan Rp. 6.785.000,- /ha/tahun serta ladang sebesar Rp. 3.466.924,- /ha/tahun dan Rp. 2.394.804,- ha/tahun. Erosi pada lahan dusung bervariasi menurut bentuk penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Nilai indeks bahaya erosi berkisar 0 – 1, dengan tingkat bahaya erosi dikategorikan ringan sampai sedang. Erosi tanah pada dusung di Desa Wakal, untuk bentuk penggunaan lahan ladang 53,83 ton/ha/tahun melampaui ETot 48 ton/ha/tahun dan kebun monokultur, 72,30 ton/ha/tahun melampaui ETot 45 ton/ha/tahun. Erosi tanah di Desa Hatu, untuk bentuk penggunaan ladang 49,5 ton/ha/tahun, melampaui Etot 30 ton/ha/tahun. Erosi pada kebun campuran di Desa Wakal dan Hatu yakni 30,68 ton/ha/tahun dan 12,14 ton/ha/tahun masih berada di bawah nilai ETot 45 ton/ha/tahun dan 43,2 ton/ha/tahun.
5
@ Hak cipta milik IPB Tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajib IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
6
BENTUK PENGGUNAAN DAN PRODUKTIFITAS LAHAN SISTEM DUSUNG (Studi Kasus Di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)
JAN WILLEM HATULESILA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
7
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc
8 Judul Tesis
: Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)
Nama
: Jan Willem Hatulesila
NRP
: E 051060031
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S Ketua
Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S
Tanggal ujian : 3 Nopember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal lulus :
9 PRAKATA Segala puji, hormat dan syukur kepada Bapa di Sorga, karena atas kasih dan anugerah-Nya sehingga tesis dengan judul; Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung dengan studi kasus pada Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku ini dapat diselesaikan. Penulis menyadai bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu saran dan masukan untuk perubahan-perubahan selanjutnya sangat penulis harapkan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan tinggi kepada; 1. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S dan Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S. selaku komisi pembimbing akademik. 2. Universitas Pattimura sebagai lembaga yang mengusulkan penulis untuk program tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah dan Provinsi Maluku di Masohi dan Ambon yang telah mendukung penelitian ini. 4. Institut Pertanian Bogor khususnya program sekolah pascasarjana dimana penulis telah menuntut ilmu sekaligus memberikan dorongan untuk penulis dapat menyelesaikan studi. 5. Departemen Pendidikan Tinggi yang sudah memberikan beasiswa BPPS untuk saya dapat menyelesaikan studi di IPB. 6. Lembaga
Pemerintah
maupun
Non
Pemerintah
(Yayasan)
antara
lain:
DEPDIKNAS, YBO, YSW dan DAMANDIRI) melalui program bantuan beasiswa untuk penelitian dan penyelesaian studi S2 di IPB. 7. Keluarga tercinta di Ambon, Mama (Dik dan Iss), Bapak (Atang dan Nus), Eta dan Bu Cak, Bu Mon dan Kaka Lili, Yeri dan Sani dan semua saudara, terutama Istri (Ade) dan anak-anak tercinta (Billy dan Kristalia) yang setia berdoa sepanjang waktu selama 2 Tahun. 8. Teman-teman PERMAMA yang telah memberikan dorongan dan dukungan doa (Usi Nona, Degen, Pa Son, Pa Agus, Maku, Bu Mon) ; teman teman Kos Abimanyu (Yusmi, Dulah, Moh, Dahlan) dan rekan-rekan Program Studi IPK (Baim, Agus, Yano, Cen) atas dorongan dan bantuannya. Bogor, Nopember 2008 Jan W. Hatulesila
10
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 September 1973 sebagai anak 7 dari 8 orang bersaudara oleh Jonathan Hatulesila dan Hendrika Anthony/H. Pada tanggal 23 Januari 2004 penulis menikah dengan Lestari Purnamasari Lumamuly dan dikaruniai satu orang anak, yaitu Cornellyus Brillian Hatulesila (4 tahun). Penulis lulus dari SD Negeri 1 Rumahtiga pada tahun 1987, SMP Negeri 7 Ambon tahun 1990, SMA Negeri 3 Ambon tahun 1993. Penulis menyelesaikam program sarjana di Universitas Pattimura Tahun 2000 pada Jurusan Kehutanan.. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Tinggi untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Tahun 2004, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon.
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang…………………………………………………………. Rumusan Masalah...………………………………………………….. Tujuan Penelitian …………….….…………………………………….. Manfaat Penelitian ….…………………...…………………………….. Kerangka Pemikiran ….…………………...……………………………
1 3 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan ...............................................……………………... Produktifitas Lahan ……………………………………………………. Sistem Agroforestri .…………………………………………………… Agroforestri Dusung di Maluku ..……………………………………… Manfaat Agroforestri …………...……………………………………... Faktor Erosi Tanah …………...……………………………………......
7 9 11 12 13 14
METOD PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ..……………………………………….... Pendekatan Penelitian ..………………………..………………………. Teknik Pengumpulan Data ..………………………..…………………. Analisis Data ………………...…………………………………………
16 16 16 16
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Wilayah dan Kependudukan ………………………… 19 Topografi dan Penggunaan Lahan … …………………………………. 22 Iklim ...............................................................…………………………. 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung ……………...................................... Bentuk Penggunaan Lahan Sistem Dusung ….………………………... Pola Usaha Tani Tradisional Sistem Dusung ………...……………….. Tingkat Penggunaan Lahan Sistem Dusung .......……………………… Produktifitas Usaha Tani Dusung ........................................................... Erosi Tanah Pada Lahan Dusung ............................................................
25 27 29 32 35 37
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 41 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 42 LAMPIRAN ....................................................................................................... 45
12
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah penduduk Desa Wakal menurut golongan umur ............................ 20 2. Jumlah penduduk Desa Wakal berdasarkan mata pencaharian .................. 21 3. Jumlah penduduk Desa Hatu menurut golongan umur ............................... 22 4. Jumlah penduduk Desa Hatu berdasarkan mata pencaharian ..................... 22 5. Keadaan Topografi di Desa Wakal dan Hatu ............................................. 23 6. Penggunaan Lahan di Desa Wakal dan Hatu .............................................. 23 7. Keadaan iklim di Pulau Ambon Selama Tahun 2007 ................................ 24 8. Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan .......................................................... 25 9. Bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu ........... 27 10. Matriks pola usaha tani sistem dusung berdasarkan proses terbentuknya .. 30 11. Tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung .....................
33
12. Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu ........................................................................................... 35 13. Prediksi erosi pada bentuk penggunaan lahan usahatani dusung di Desa Wakal dan Hatu .............................................................................. 38
13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran .....................................................................................
6
2. Peta lokasi penelitan .................................................................................... 19 3. Bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung ............................................ 28 4. Proses terbentuk dusung ............................................................................... 31 5. Persentase produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu ............................. 35 6. Profil vegetasi dusung di Desa Wakal ......................................................... 51 7. Profil vegetasi dusung di Desa Hatu ............................................................ 52
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Komposisi jenis tanaman yang ditemukan pada agroforestri sistem 45 dusung di Desa Wakal ................................................................................. 2. Komposisi jenis tanaman yang ditemukan pada agroforestri sistem dusung di Desa Hatu .................................................................................... 48 3. Gambar profil vegetasi dusung di Desa Wakal .......................................... 51 4. Gambar profil vegetasi dusung di Desa Hatu ...........................................
52
5. Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal ......................................................................................................... 53 6. Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Hatu ............................................................................................................. 54 7. Daftar Istilah ............................................................................................... 55 8. Karakteristik lahan berdasarkan bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu .............................................................................. 56 9. Hasil perhitungan erosi berbagai bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu .............................................................................. 57 10. Rata-rata curah hujan selama 10 Tahun (1997 – 2007) di Pulau Ambon .... 58 11. Penilaian butir (M) oleh rumus Hammer (1978) ………………………… 58 12. Hasil perhitungan nilai tolerasi erosi (ETot) pada bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu .................................................................... 59 13. Nilai faktor pengelolaan dan konservasi lahan pada berbagai jenis penggunaan lahan sistem dusung disesuai dengan indikator CP oleh Abdurachman dkk.(1984); Ambar dan Syarifudin (1979) .......................... 60 14. Penilaian permeabilitas tanah oleh Hammer (1978) ……………………..
60
15. Kriteria tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung ........... 61
15 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan lingkungan daerah tropik berkaitan erat dengan pembukaan hutan dan lahan yang menyebabkan erosi, kepunahan flora dan fauna serta terjadinya perluasan lahan kritis. Pertambahan penduduk dan kerusakan hutan dan lahan merupakan dua faktor utama yang mempunyai hubungan erat, karena interaksi masyarakat secara langsung dengan keberadaan hutan dan lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan mempengaruhi produktifitas lahan dengan sendirinya. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan dengan bentuk pola usahatani lahan kering merupakan kegiatan yang banyak dijumpai disetiap daerah di Indonesia. Praktek-praktek penggunaan lahan seperti ini dalam keberadaannya secara alamiah banyak mengakibatkan terjadinya penurunan kondisi biofisik lahan seperti sifat fisik-kimia tanah, ketersediaan air, kandungan unsur hara, dan kepekaan erosi tanah merupakan penyebab terjadinya penurunan produktifitas lahan. Sistem agroforestri telah terbukti secara turun temurun di daerah tropis, sebagai usaha konservasi tanah yang berhasil untuk mencegah perluasan tanah tandus dan kerusakan kesuburan tanah serta mendorong pelestarian sumberdaya alam merupakan alternatif yang baik untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan produktifitas lahan (Rudebjer et al. 2002). Bentuk-bentuk agroforestri di Indonesia sudah terkenal di beberapa daerah seperti repong damar di Krui-Lampung, kebun karet campuran di Jambi, Tembawang di Kalimantan Barat, Pelak di Kerinci-Jambi, kebun durian campuran di Gunung Palung – Kalimantan Barat, Parak di Maninjau-Sumatera Barat, kebun campuran di sekitar Bogor-Jawa Barat (de Foresta et al. 2000). Sistem-sistem agroforestri kompleks ini sangat penting sebagai model penggunaan lahan yang menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan mempertahankan luas hutan berikut keanekaragaman hayatinya. Dalam sistem agroforestri, Nair (1993) mengelompokkan sistem agroforestri ke dalam tiga kelompok besar, yaitu; (1) sistem agrisilvikultur (improved fallow, taungya, alley cropping/hedgerow intercropping, multilayer
16 tree gardens, multipurpose trees on crop lands, plantation crop combinations, homegardens, trees in soil coservation and reclamation, shelterbelts and windbreaks, live hedges, fuelwood production), (2) sistem silvopastoral (trees on rangeland or pastures, protein banks, plantation crops with pastures and animals),
(3)
multipurpose
sistem woody
agrosilvopastoral hedgerows,
(homegarden
apiculture
with
involving
trees,
aqua
animal, forestry,
multipurpose woodlots). Pada sistem agroforestri yang kompleks, jenis tanaman campuran dengan pola bercocok tanam tajuk multistrata, dijumpai pada kegiatan usahatani lahan kering. Kegiatan ini merupakan usaha konservasi lahan yang dilakukan dengan pola penanaman berstruktur, terbagi dalam dua sistem, yaitu penanaman tajuk berstrata antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim dan penanaman tajuk berstrata antara tanaman-tanaman tahunan saja. Dilain pihak, sistem agroforestri sederhana merupakan perpaduan antara tanaman pepohonan dan tanaman pangan, tanaman perdu, dan rerumputan (Huxley 1999). Praktek sistem agroforestri di Maluku sudah berlangsung secara turun temurun, dan biasa disebut masyarakat dengan istilah dusung. Terbentuknya agroforestri dusung, merupakan warisan yang ditinggalkan leluhur kepada anak cucu, berupa tanaman berkayu (pohon), tanaman buah-buahan, tanaman sagu, tanaman palem, tanaman rempah ataupun tanaman obat-obatan. Wattimena (2007) mengemukakan bahwa dusung di Maluku Tengah (Ambon Seram dan Banda) terletak berjarak 1 – 10 km dari desa. Daerah ini merupakan dataran rendah basah (0-500 m dpl), maka tanaman buah-buahan (duren, manggis, duku, bacang), tanaman rempah-rempah (pala, cengkih, kemiri) dan tanaman pangan (umbi-umbian dan pisang) adalah tanaman dengan iklim (suhu, curah hujan) yang sesuai pada daerah tersebut. Sedangkan pada daerah tepi sungai dan daerah basah pada umumnya terdapat monokultur pohon sagu, daerah pesisir pantai monokultur kelapa sedangkan daerah-daerah curam adalah bambu dan enau. Pemanenan tanaman-tanaman tersebut dilakukan menurut intensitas waktu yang berbeda misalnya beberapa kali setahun, beberapa tahun sekali atau setahun sekali, karena berbagai jenis tanaman memiliki waktu berproduksi yang juga berbeda.
17 Aspek konservasi tanah dan hasil produksi melalui usahatani sistem agroforestri dusung yang berlangsung di Maluku, telah memberikan manfaat ganda bagi kesejahteraan penduduk sepanjang tahun. Untuk itu sistem penggunaan lahan ini perlu dipelajari, diteliti serta dikembangkan sebagai salah satu sistem pertanian/kehutanan tradisional yang masih tetap terpelihara dan mampu menghidupi masyarakat pedesaan secara turun temurun. Upaya pemanfaatan dan pengelolaannya secara intensif dan berkelanjutan harus tetap dijaga dan dipelihara oleh penduduk setempat secara lestari. Rumusan Masalah Praktek agroforestri dusung di daerah Maluku Bagian Tengah dan Utara cenderung sama karena keberadaan dusung umumnya dimiliki oleh semua desa/kampung.
Kepemilikan
dusung
telah
diatur
secara
turun-temurun
berdasarkan nama marga (faam), dengan batas petuanan yang jelas untuk tiap marga baik berupa batas alam atau batas yang ditandai dengan menanam tanaman penyangga yang mudah dikenal sebagai pembatas antar luas kepemilikan lahan, baik dusung yang dimiliki perseorangan atau marga (keluarga). Menurut Silaya (2005) istilah dusung digunakan pada lahan yang berkaitan dengan pemilikan dan penggunaannya seperti dusung sagu, dusung damar, dusung pala, dusung cengkeh, dusung kelapa dan lainnya. Pengelolaan dusung diatur berdasarkan kearifan lokal masyarakat, baik dalam memanfaatkan hasil panen atau dalam melakukan kegiatan bercocok tanam. Kegiatan mengelola dilakukan secara bersama-sama atau secara gotong royong. Budaya kerjasama ini biasa disebut masyarakat dengan istilah masohi. Proses terbentuknya dusung dimulai dengan menanam tanaman umur pendek (umbi-umbian dan sayuran) yang seterusnya berkembang dengan kombinasi dari tanaman campuran (kayu-kayuan dan buah-buahan). Pola penanaman tanaman secara tradisional pada lahan dusung ini, selanjutnya akan berkembang membentuk hutan sekunder yang dicirikan dengan terbentuknya stratifikasi tanaman yakni, strata bawah (rerumputan/perdu/rempah-rempah/obatobatan), strata menengah (buah-buahan) dan adanya strata lapisan atas (tanamantanaman berkayu).
18 Hasil produksi dari dusung telah terbukti memegang peranan penting dalam pemenuhan sandang, pangan dan papan bagi masyarakat di Maluku. Namun sistem pengelolaan dusung di Maluku belum optimal, karena keterbatasan sumberdaya manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem penguasaan lahan, pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, penanaman dan pemeliharaan pohon serta resiko dari ketidak pastian usahatani. Faktor-faktor ini yang menjadi kendala petani untuk mengembangkan usahatani. Masyarakat petani dusung hanya mengandalkan kesuburan tanah alami untuk poses produksi, sehingga produksi usahatani yang diperoleh belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Untuk itu diperlukan suatu riset awal sebagai gambaran sistem usahatani pola dusung dalam proses produksi dan bagaimana pengelolaannya dengan menerapkan sistem pertanian konservasi agar sistem usahatani ini dapat berkelanjutan (sustainable agriculture). Melihat pentingnya sistem usahatani agroforestri dusung dari aspek ekologis (konservasi sumberdaya alam hayati endemik lokal), ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam pengelolaannya, maka perlu dilakukan penelitian dan kajian tentang : 1. Bagaimana bentuk penggunaan lahan pada sistem agroforestri dusung di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. 2. Bagaimana produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung. 3. Sejauhmana tingkat bahaya erosi pada bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung.
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi bentuk penggunaan lahan pada sistem agroforestri dusung di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. 2. Mengetahui produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung. 3. Memprediksi tingkat bahaya erosi pada bentuk penggunaan lahan agroforestri dusung.
19 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi untuk pembuat kebijakan tentang sistem pengelolaan agroforestri dusung, yang dapat dikembangkan dalam program konservasi lahan, konservasi ekologis dan peningkatan ekonomi masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Maluku Tengah.
Kerangka Pemikiran Sistem agroforestri dusung merupakan warisan sekaligus modal produksi yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai musim panen.
Manfaat langsung
maupun tidak langsung dari hasil produksi tanaman yang ditanam atau tumbuh sendiri di dalam dusung, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun/hutan tersebut. Kombinasi tanaman pada agroforestri dusung dicirikan dengan beberapa tipe penggunaan lahan yang terbentuk pada setiap agroekosistemnya, dimulai dengan komposisi yang paling sederhana sampai yang lebih kompleks. Misalnya kombinasi tanaman monokultur hutan sagu (Metroxylon, spp), kombinasi tanaman perladangan umbi-umbian (ubi jalar atau Discorea alata, kumbili atau Discorea esculentum singkong atau Manihot esculenta, pisang atau Musa spp) dan lainnya. Kombinasi tanaman campuran strata bawah (rerumputan, tanaman rempah-rempah dan obat-obatan, kusu-kusu padi atau Andropogon amboinensis, untuk makanan ternak). Kombinasi tanaman campuran strata menengah seperti buah-buahan (durian, langsat, manggis, duku, gandaria, jambu, kenari), tanaman palawija (cengkeh, pala, coklat, kenari dan petai), dan kombinasi tanaman berkayu strata atas seperti sengon, jabon, titi, jenis ficus) (Wattimena 2007). Adanya pertambahan penduduk dan perubahan sosial ekonomi masyarakat di Pulau Ambon dan kepulauan lainnya diperkirakan akan berdampak pada perubahan penggunaan dan menurunkan nilai produktifitas lahan sebagai sumber kelangsungan hidup bagi masyarakat.
Kondisi ini akan mempengaruhi fungsi
dan peran struktur tanaman pada sistem agroforestri dusung, karena pola pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi, ekologis dan ekonomis.
20 Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan. Konsep dusung kalau ditelusuri sebenarnya adalah suatu modifikasi dari ekosistem yang baru terbentuk dengan manfaat yang lebih besar. Misalnya dari segi ekologi karena memiliki keberagaman hasil yang perlu dilestarikan baik hewan, tanaman maupun jasad renik, dari segi ekonomi bahwa masyarakat sudah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dari hasil tanaman-tanaman yang diusahakan. Dari segi konservasi melalui stratifikasi tajuk yang terbentuk dapat menciptakan siklus air secara teratur dan menciptakan siklus energi dan aliran materi untuk proses dekomposisi tanah dan pertumbuhan tanaman (Agus 2003). Keberadaan fungsi dan peran dusung sebagai bentuk usahatani agroforestri apabila dikelola secara baik dan profesional akan memberikan keuntungan ganda bagi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Namun apakah kondisi ini sampai sekarang masih dapat dipertahankan ?. Untuk memprediksi kerusakan lahan yang telah terjadi pada agroekosistem dusung, maka diperlukan suatu studi awal tentang bentuk penggunaan dan produktifitas lahan di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.
Kondisi Biofisik Agroekosistem
Kondisi Sosial Ekonomi
- Dusung Kebun/Ladang - Dusung Buah-buahan dan Perkayuan - Dusung Pala & Cengkeh - Dusung Sagu
Produktifitas Lahan
Kondisi Sosial Budaya
Pola Usahatani Sistem Dusung
Prediksi Tingkat Bahaya Erosi
-
Luas Lahan Optimum Sistem Pertanaman Populasi Jenis Tanaman Hasil Produksi Tanaman
Identifikasi Penggunaan Lahan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Agroforestri dusung
21 TINJAUAN PUSTAKA Indonesia merupakan negara yang penting dalam konteks perubahan iklim dunia karena memiliki luas hutan tropis terbesar setelah Brasil. Namun kanyataannya saat ini degradasi hutan dan lahan di Indonesia sudah semakin bertambah sehingga luas kawasan hutan semakin berkurang seperti kebakaran hutan, perambahan dan penebangan liar (illegal logging), konversi lahan hutan menjadi areal penggunaan lain seperti perkebunan, pertambangan dan usaha-usaha lainnya. Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Prinsip penerapan penggunaan lahan melalui sistem ini, baik secara tradisionl maupun semi modern di beberapa daerah di Indonesia telah terbukti memberikan manfaat ganda secara optimal, dimana sasaran dan tujuan utama melalui hasil produksi dari kombinasi tanaman kehutanan dan tanaman pertanian/ perkebunan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan factor-faktor yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Lahan secara umum adalah sebidang tanah yang dipandang sebagai ruang muka bumi yang diatasnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia, dalam ukuran luas, yaitu ha, m2, tumbak, bahu dan lainnya (Wasis
22 2002). Pengelolaan lahan misalnya akan mempunyai dampak-dampak langsung terhadap kesinambungan pertanian, keragaman hayati, lingkungan, perikanan di pedalaman dan di pantai, perkebunan dan produktifitas hutan alam, dan persediaan air. Di sini pola penggunaan lahan akan mencerminkan kegiatan manusia yang dapat memberikan perubahan secara cepat terhadap penggunaan lahan pada suatu wilayah. Menurut Widianto et al (2003). Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan. Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain: (a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah, (b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan, (c) mempertahankan cadangan karbon, (d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan (e) mempertahankan keanekaragaman hayati. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk tujuan evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau seperti untuk kegiatan perkebunan, pertanian tanaman pangan atau kegiatan peternakan atau daerah untuk sarana rekreasi. Sedangkan penggunaan lahan secara khusus adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu lokasi dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu, misalnya tanaman pangan tanah hujan, pengelolaan lahan dengan ternak atau usaha penanaman tanaman hanya untuk satu jenis tanaman atau beberapa jenis tanaman agroforestri. Tipe penggunaan lahan untuk tujuan multiguna atau lebih dari satu jenis tanaman dapat dibedakan juga menjadi tipe penggunaan lahan majemuk (multiple land utilization type) yaitu, penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis sekaligus, dimana masing-masing jenis memerlukan input, syarat-syarat dan memberikan hasil yang berbeda sebagai contoh daerah hutan produksi yang sekaligus digunakan untuk daerah rekreasi. Sebaliknya tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type) adalah penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis usaha budidaya, dimana penggunaan lahan yang berbeda akan dilakukan dalam waktu yang berbeda pula misalnya rotasi tanaman atau
23 penggunaan lahan dalam satuan waktu yang sama akan dilakukan penanaman secara bersamaan, misalnya sistem pertanian tumpangsari (Wiradisastra 2006). Berdasarkan uraian di atas maka, menurut penulis yang dimaksud dengan penggunaan lahan adalah segala bentuk campur tangan manusia yang dilakukan dengan menanam berbagai jenis tanaman baik secara monokultur maupun campuran, dan bersifat jangka pendek maupun jangka panjang sehingga menjadi ekosistem hutan sekunder dengan keanekaragaman hayati yang terbentuk.
Produktifitas Lahan Pengetahuan mengenai potensi lahan untuk tujuan pengembangan usaha budidaya tanaman pertanian, perkebunan maupun kehutanan selalu mengarah pada penilaian evaluasi terhadap karakteristik dan kualitas lahan berdasarkan persyaratan faktor pembatas tumbuh tanaman. Penilaian produktifitas suatu lahan umumnya didasarkan pada toleransi terhadap erosi yang masih diperbolehkan dinyatakan dengan simbol Edp atau ada juga yang menyebutnya nilai T, adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar. Laju erosi ini masih boleh ditoleransi karena masih terpeliharanya suatu kedalaman efektif tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman yang diusahakan diatasnya sehingga memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi secara lestari (Arsyad (1989) ; Hammer (1982) mengatakan bahwa kedalaman ekuivalen tanah adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktifitasnya berkurang dengan 60 % dari produktifitas tanah yang tidak tererosi. Menurut Junaidy (2006). Pengelolaan lahan adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan lahan sehingga tingkat produktifitasnya tidak menurun, sebaliknya dapat meningkat dengan melakukan pengendalian terhadap bentuk erosi yang mungkin dapat terjadi. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan berkelanjutan dewasa ini sudah mencoba memanfaatkan sebaik-baiknya barangbarang dan layanan-layanan alam tanpa merusak lingkungannya. Rossiter et al. (1994) mengemukakan bahwa produktifitas lahan selalu berhubungan dengan daya dukung tanah sebagai jumlah penduduk yang ditunjang persatuan daerah, pada tingkat teknologi dan tingkat kehidupan tertentu.
24 Wiradisastra (2006) menyatakan bahwa para ahli sekarang ini telah mempelajari hubungan antara tipe tanah, tipe vegetasi dan sistem penggunaan lahan setempat untuk menentukan kepadatan penduduk yang kritis dan hasil kerja mereka terhadap kemajuan metodologi daya dukung. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan oleh seorang ahli ekologi budaya adalah mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya dalam ukuran luas, kepadatan penduduk, pembagian dan komposisi kelompok-kelompok produktif, hak melakukan produksi dan ukuran penguasaan tanah. Studi penentuan daya dukung saat ini, sudah mengungkapkan langsung dan dapat dipercaya untuk perencanaan penggunaan lahan dengan metode CPD (critical population dencity) sebagai jumlah penduduk maksimum pada suatu areal lahan (pada tingkat teknologi) yang dapat didukung secara permanen tanpa menimbulkan kerusakan pada lahan. Metodologi ini melibatkan penentuan 3 faktor utama yaitu, Kelas Kemampuan Lahan (land capability class), Faktor Penggunaan Lahan (land use factor) dan Faktor Budidaya Tanaman (Cultivation Factor) dimana ; 1) Kelas Kemampuan Lahan ; berhubungan dengan survei tanah dan vegetasi alami, topografi, pemukiman dan informasi areal yang sekarang atau secara potensial dibudidayakan termasuk faktor kerusakan lahan yang mungkin terjadi. 2) Faktor Penggunaan Lahan ; berhubungan dengan informasi ukuran luasan usahatani yang dibudidayakan pada setiap tipe vegetasi alami tanah oleh setiap rumah tangga atau kelompok masyarakat petani setiap musimnya. 3) Faktor Budidaya Tanaman ; berhubungan dengan jumlah tanaman dan produksi tanaman berdasarkan luasan lahan yang diusahakan setiap rumah tangga atau kelompok masyarakat petani setiap musimnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka, menurut penulis produktifitas lahan adalah total produksi tanaman budidaya yang diukur berdasarkan nilai ekonomi maupun nilai konservasi lahan yang diterapkan per satuan waktu.
25 Sistem Agroforestri Pengembangan sistem agroforestri sekarang ini, sangat didorong oleh adanya perubahan paradigma terhadap pengelolaan hutan kemasyarakatan yang lebih
mempertimbangkan
basis
sumberdaya
alam
(natural
resources
management). Hal ini bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan, memperbaiki kualitas lahan hutan, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengetahuan lokal petani dan kepedulian global akan kelestarian alam (Utami et al. 2003). Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering di Indonesia adalah penerapan sistem agroforestri.
Sistem ini lebih berasaskan
kelestarian, serta meningkatkan hasil produksi melalui kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama. Pengertian agroforestri adalah hutan buatan yang didominasi oleh tanaman serbaguna yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Di lihat dari jauh agroforestri tampak lebih teratur ketimbang hutan alam primer, namun dari dekat berisi kebun campuran pepohonan rerumputan dan aneka tumbuhan lainnya (ICRAF 2003). Menurut Huxley (1999), agroforestri tergantung dari tipe dan latar belakang orang yang mengamatinya, sering disebut ladang, kebun primitif terlantar, hutan alam atau lahan kosong. Di Indonesia kebun-kebun agroforestri sangat beragam dan memiliki penampilan yang berbeda. Namun secara umum agroforestri dapat dikelompokan menjadi dua sistem usahatani, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah sistem usahatani dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim, seperti tanaman pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan atau dengan pola lain seperti berbaris membentuk lorong. Jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomis tinggi (kelapa, karet, cengkeh, kopi kakao, nangka, melinjo, petai mahoni atau bernilai ekonomis rendah (dadap, lamtoro, kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai,
26 kacang-kacangan, ubi kayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Bentuk agroforestri sederhana ini dapat dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini muncul karena adanya kendala alam seperti tanah rawa dan bebatuan. Perpaduan ini juga dapat dijumpai pada daerah berpenduduk padat dengan ciri tanaman-tanaman yang ditanam untuk kebutuhan jangka pendek (tanaman pangan). Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem usahatani menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Pada sistem ini selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Ciri utama sistem ini adalah kenampakan fisik dan dinamika didalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforestri (Nair 1993).
Agroforestri dusung di Maluku Di Provinsi Maluku telah dikenal sistim agroforestri tradisional yang di kenal dengan nama dusung. Dusung merupakan suatu sistim penggunaan lahan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan baik hutan maupun tanaman usaha. Masyarakat Ambon dan Lease mengartikan dusung sebagai suatu lahan yang diusahakan baik dengan tanaman umur panjang (ciri pohon kehutanan), dan tanaman umur pendek (ciri tanaman pertanian) dan di miliki oleh keluarga/marga, mata rumah atau rumahtau. Di atas lahan itu terdapat tanaman umur panjang yang bervariasi atau jenis-jenis tanaman peladangan yang mempunyai waktu produksi berbeda ada yang jangka pendek (1 sampai 3 bulan), menengah (5 sampai 6 bulan) ataupun jangka panjang (1 sampai 2 tahun). Wattimury (2001) pola dusung merupakan pola penggunaan lahan dengan produktifitas tertentu dalam jangka panjang dengan mengacu pada kelestarian sosial dan kelestarian fisik. Kelestarian sosial, bahwa seluruh kerabat keluarga menggantungkan kehidupan secara jangka panjang dapat di kelola pada dusung
27 tersebut. Sedangkan kelestarian fisik bahwa dusung dapat berfungsi sebagai alat konservasi tanah dan air. Sistem penggunaan lahan dusung secara tradisional oleh penduduk sekitar telah diterapkan sejak ratusan tahun lalu, upaya ini dapat mempertahankan fungsi ekonomi, sosial dan fungsi konservasi terhadap sumberdaya hutan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
petani
sambil
memelihara
dan
memperbaiki lingkungan, meningkatkan kualitasnya dan berlanjut sesuai dengan asas konservasi. Menurut Ajawaila (1996), dusung merupakan suatu budaya dan tradisi usahatani masyarakat Maluku dengan tanah-tanah yang digarap atau di perusah dengan segala tanaman yang tumbuh di atasnya. dusung juga di artikan sebagai
tempat
pemukiman
beberapa
kelompok
keluarga
atau
suatu
perkampungan kecil. Beberapa jenis dusung yang dapat dilihat dari segi kepemilikannya seperti, dusung dati, dusung pusaka, dusung perusah, dusung Negeri, dan dusung Raja.
Manfaat Agroforestri Ada beberapa keunggulan dan manfaat agroforestri ditinjau dari segi ekonomi, konservasi dan ekologi untuk daerah tropis ( ICRAF 2003) antara lain; 1. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan; a. Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran dan proses-proses dalam agroindustri b. Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen c. Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan. 2. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar; a. Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah terutama untuk daerah pegunungan atau berhawa dingin. 3. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian; a. Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khsusnya untuk produkproduk yang dapat menggantikan ketergntungan dari luar seperti zat pewarna, obat-obatan, zat perekat, rempah-rempah dan lainnya.
28 b. Diversivikasi baik berupa produk atau jasa dan mengurangi fruktuasi harga pasar atau menghindari kegagalan fatal pemanenan pada budidaya tunggal. 4. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit (masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan) a. Mengusahakan peningkatan pendapatan, dengan kegiatan usahatani dilahan yang tersedia. b. Mengatur penyediaan tenaga kerja berdasarkan tingkat usia dari setiap keluarga yang masih tradisional berdasarkan adat istiadat dan hak kepemilikan lahan. c. Memelihara nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat 5. Memperbaiki kualitas lingkungan dan menghasilkan kemampuan produksi dan jasa secara berkelanjutan. a. Mencegah terjadinya erosi tanah dan degradasi lahan b. Perlindungan keanekaragaman hayati c. Perbaikan tanah melalui fungsi humufikasi dan ketersedian unsur hara dan mulsa hasil dekomposisi untuk nutrisi tanaman d. Shelterbelt, pohon pelindung (shack trees), wind brake, pagar hidup (life fence). e. Mengatur tata air melalui fungsi hidroorologis
Faktor Erosi Tanah Pengelolaan dan pemanfaatan sistem agroforestri dusung di Maluku sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun. Adanya pertambahan penduduk dan perubahan sosial ekonomi masyarakat di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya diperkirakan akan berdampak pada perubahan penggunaan dan menurunkan nilai produktifitas lahan sebagai sumber kelangsungan hidup bagi masyarakat. Penilaian erosi pada bentuk penggunaan lahan sistem dusung dilakukan dengan metode USLE (Universal Soil Loss Equation).
Sifat sederhana dari
metode ini telah banyak dipakai untuk menilai atau memprediksi besarnya erosi yang terjadi pada suatu bentuk lahan atau areal pertanian.
Pada dasarnya
pengukuran dan perhitungan USLE sangat ditentukan oleh nilai erodibilitas tanah, nilai erosivitas hujan, topografi, vegetasi dan jenis tanaman serta faktor tindakan
29 konservasi yang relatif homogen (Darsiharjo 2004). Besarnya erosi persatuan penggunaan lahan dapat dihitung, seperti faktor iklim (curah hujan); topografi (panjang dan kemiringan); kepekaan tanah (erodibilitas), dan sistem pertanaman (penutupan vegetasi). Berdasarkan data curah hujan tahun 1997 – 2007 rata-rata curah hujan di pulau Ambon 10 tahun terakhir sebesar 134, 9 mm/thn dengan rata-rata jumlah hari hujan 13,92 hari dan curah hujan maksimum 901,35 mm. Pendugaan faktor erodibilitas tanah ditentukan berdasarkan data hasil analisis laboratorium, terutama yang berhubungan dengan tekstur (% pasir, liat dan debu), permiabilitas, struktur tanah dan kandungan bahan organik. Nilai erodibilitas (K) pada berbagai bentuk penggunaan lahan cukup bervariasi tergantung pada kepekaan tanah terhadap erosi. Kondisi topografi sangat menentukan laju erosi yang mungkin terjadi pada saat musim hujan. Oleh karena itu pengukuran panjang (L) dan kemiringan lereng (S) menjadi faktor penentu laju kehilangan lapisan tanah atas karena tercuci oleh adanya pengikisan air melalui aliran permukaan (run off). Keberadaan fungsi dan peran dusung sebagai bentuk usahatani agroforestri apabila dikelola secara baik dan profesional akan memberikan produksi yang tinggi. Namun apakah kondisi ini sampai sekarang masih dapat dipertahankan ?. Untuk memprediksi kerusakan lahan akibat erosi yang telah terjadi pada agroekosistem dusung, maka diperlukan suatu kajian dan analisis kerusakan lahan yang berhubungan dengan produktifitas tanah terutama lapisan top soil pada setiap bentuk penggunaan lahan yang telah ada dan sementara dibudidayakan masyarakat.
30 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah dengan lokasi sampel yaitu Desa Wakal dan Desa Hatu. Kegiatan ini berlangsung selama ± 60 hari yang dimulai dari bulan Maret s/d Mei 2008. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Secara umum studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti.
Studi kasus dapat memberikan informasi
penting mengenai hubungan antar-variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.
Selain itu, studi kasus dapat
menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam, dalam rangka pengembangan ilmu (Yin 1997; Bungil 2003).
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan berdasarkan metode survei sosial ekonomi petani melalui wawancara.
Data biofisik lahan yang dikumpulkan berkaitan
dengan bentuk penggunaan lahan, jenis tanaman produktif yang diusahakan pada sistem dusung, sedangkan data sosial ekonomi yang dikumpulkan adalah jenis dan jumlah tanaman yang berproduksi per luas penggunaan lahan usahatani dusung. Responden yang dipilih pada kedua desa sampel berjumlah 30 orang. Pemilihan responden (informan kunci) dilakukan secara sengaja (purposive sampling) kepada petani dengan kriteria: a) lebih banyak beraktifitas di dusung, b) memiliki dusung lebih dari satu, c) memiliki jenis tanaman beragam di dusung, d) sumber pendapatan utama adalah dari hasil tanaman di dusung.
Analisis Data Data biofisik lahan dan sosial ekonomi yang dikumpulkan selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Produktifitas lahan dinilai berdasarkan
31 nilai produksi usahatani yang diperoleh untuk tiap bentuk penggunaan lahan sistem dusung. Analisis vegetasi dilakukan untuk melihat struktur dan komposisi tanaman agroforestri sistem dusung, (Soerianegara dan Indrawan 1986) : Kerapatan
Kerapatan Relatif
Frekwensi
Jumlah Pohon Suatu Jenis Luas Petak Contoh Kerapatan Suatu Jenis = x 100 % Kerapatan Seluruh Jenis
=
=
Frekwensi Relatif =
Jumlah Petak ditemukan Suatu Jenis Jumlah Seluruh Petak
Frekwensi Suatu Jenis x 100 % Frekwensi Seluruh Jenis
Jumlah Luas Bidang Dasar Luas Petak Contoh Dominansi Suatu Jenis x 100 % Dominansi Relatif = Dominansi Seluruh Jenis
Dominansi
=
NPJ = Kerapatan Relatif + Frekwensi Relatif + Dominasi Relatif Perhitungan produktifitas lahan agroforestri sistem dusung, (Wasis 2002) yang dirumuskan sebagai berikut:
n
NP = Σ [Pi x Hi)], dimana; i =1
NP = Nilai produktifitas lahan Pi = Produksi tanaman ke i (ton) Hi = Harga produksi tanaman ke-i (Rp/ton) Besarnya erosi yang terjadi pada setiap bentuk penggunaan lahan diprediksi menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation); erosi diperbolehkan (Edp) dan Indeks Bahaya Erosi (IBE), (Wischmeier dan Smith 1978) dalam (Arsyad 1989) yang dirumuskan sebagi berikut:
32
A = R K LS C P A R K L S C P
: : : : : : :
Jumlah tanah rata-rata tererosi setiap tahun (ton/ha-1/tahun-1) Faktor erosivitas hujan Faktor erodibilitas tanah Faktor panjang lereng (meter) Faktor kemiringan lereng (derajat/%) Faktor pengelolaan tanaman Faktor tindakan konservasi tanah yang digunakan
DE – Dmin + kecepatan pembentukan tanah Kelestarian tanah Edp = Erosi diperbolehkan DE = Kedalaman ekuivalen (kedalaman x faktor kedaman) Dmin = Kedalaman tanah minimum yang diperbolehkan Edp =
A ETot IBE = Indeks Bahaya Erosi A = Erosi Aktual ETot = Erosi yang dapat di toleransikan IBE =
33
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Wilayah dan Kependudukan Kabupaten Maluku Tengah merupakan Kabupaten terluas di Maluku dengan 11 Kecamatan. Kecamatan Leihitu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di Pulau Ambon. Secara administratif Kecamatan Leihitu memiliki 16 Desa petuanan yaitu Morela, Mamala, Asilulu, Wakasiu, Alang, Liliboi, Hila, Kaitetu, Seit, Negeri Lima, Ureng, Larike, Asilulu, Wakasiu, Allang dan Hatu. Luas wilayah Kecamatan Leihitu dihitung menurut luas Desa adalah 258 km2 atau 25.800 ha. Jumlah penduduk di Kecamatan ini sebanyak 64.476 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 12.168 KK, kepadatan penduduk 278 jiwa/km. Secara astronomis Kecamatan Leihitu merupakan daerah yang subur terletak antara garis lintang 03,30o – 03,45 o LS dan garis bujur 127,45o – 128,15o BT. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian di Kecamatan Leihitu yang memiliki batas-batas wilayah antara lain;
•
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Liang, di Kecamatan Salahutu
•
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Laut Buru
•
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Laut Seram
•
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Ambon-Baguala
LEGENDA :
Wakal
Batas Kecamatan Lokasi Penelitian
Hatu
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
34 Lokasi penelitian (Desa Wakal dan Desa Hatu) mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut;
Desa Wakal Desa Wakal terletak di jazirah Leihitu tepatnya dipantai Utara Pulau Ambon. Secara administratif Desa Wakal termasuk dalam Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, dengan batas wilayah geografis sebagai berikut:
•
Sebelah Utara berbatasan dengan laut Seram
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rumahtiga
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Hitumessing
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Hila-Kaitetu Dilihat dari letaknya, Desa Wakal dapat ditempuh dengan jarak dari pusat
Kota Ambon (Ibu Kota Provinsi Maluku) sejauh 40 km dan dengan ibu kota Kecamatan Leihitu sejauh 8,5 km, dengan luas wilayah Desa adalah 1,5 ha atau 15 km2. Berdasarkan data statistik Desa Wakal Tahun 2007, maka jumlah penduduk Desa Wakal adalah 422 jiwa yang terdiri dari laki-laki 187 jiwa dan perempuan 235 jiwa (Tabel 1). Penduduk Desa Wakal sebagian besar bekerja sebagai petani dengan mengusahakan tanaman pertanian selain berprofesi sebagai guru, pegawai negeri sipil dan lainnya, disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Wakal menurut golongan umur Golongan Umur (Tahun) 0–1 1–5 5–6 7 – 15 16 – 22 22 – 59 > 60 Jumlah
Penduduk (Jiwa) Laki-Laki Perempuan (Orang) (Orang) 8 6 26 18 16 20 48 74 35 25 38 69 16 23 187
Sumber : Kantor Desa Wakal Tahun 2007
235
Total (Jiwa)
Persentase (%)
14 44 36 122 60 107 39
3,32 10,43 8,53 28,91 14,22 25,36 9,24
422
100,00
35 Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Wakal berdasarkan mata pencaharian Jenis Pekerjaan Petani Peternak Nelayan Pedagang Pegawai TNI/POLRI Pensiunan Swasta Imam Wiraswasta Pengemudi Belum Bekerja Tidak Bekerja Jumlah
Laki-Laki (Orang) 185 8 40 21 18 4 8 10 4 21 12 65
Perempuan (Orang) 67 3 14 15 3 3 15 85
Total (Jiwa) 252 11 40 35 33 4 11 13 4 36 12 150
Persentase (%) 32,56 1,42 5,17 4,52 4,26 0,52 1,42 1,68 0,52 4,65 1,55 19,38
75 471
98
173
22,35
303
774
100,00
Sumber : Kantor Desa Wakal, Tahun2007
Desa Hatu Desa Hatu terletak di jazirah Leihitu tepatnya di pantai Selatan Pulau Ambon. Secara administratif Desa Hatu termasuk dalam Kecamatan Leihitu, dengan batas-batas wilayah geografis sebagai berikut:
•
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Negeri Lima
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut (Teluk Ambon)
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Laha
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Liliboi
Lokasi Desa Hatu berjarak dari pusat Kota Ambon (Ibu Kota Provinsi Maluku) 38 km dan dengan ibu kota Kecamatan Leihitu berjarak 49,7 km, dengan luas wilayah Desa adalah 1,8 ha atau 18 km2.
Berdasarkan data statistik Desa Hatu
Tahun 2007, maka jumlah penduduk adalah 601 jiwa yang terdiri dari laki-laki 292 jiwa dan perempuan 309 jiwa (Tabel 3). Penduduk Desa Hatu sebagian besar mempunyai pekerjaan bertani, selain sebagai guru, pegawai negeri sipil dan profesi usaha lainnya, disajikan pada Tabel 4.
36 Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Hatu menurut golongan umur Golongan Umur (Tahun) 0–1 1–5 5–6 7 – 15 16 – 22 22 – 59 > 60 Jumlah
Penduduk (Jiwa) Laki-Laki Perempuan (Orang) (Orang) 8 4 35 48 30 46 65 74 64 52 65 55 25 30 292
309
Total (Jiwa)
Persentase (%)
12 83 76 139 116 120 55
2 13,81 12,65 23,13 19,30 19,97 9,15
601
100,00
Sumber : Kantor Desa Hatu Tahun 2007
Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Hatu berdasarkan mata pencaharian Jenis Pekerjaan Petani Nelayan Pedagang Pegawai Pekerja Kasar Pensiunan Purnawirawan Pelaut Swasta Pendeta Wiraswasta Pengemudi Belum Bekerja Tidak Bekerja Jumlah
Laki-Laki (Orang) 85 54 10 12 10 4 5 2 10 2 25 5 30 35 291
Perempuan (Orang) 24 1 8 8 2 1 3 15 9 71
Total (Jiwa) 109 55 18 20 12 5 5 2 13 4 25 5 45 44 362
Persentase (%) 30,11 15,19 4,97 5,52 3,31 1,38 1,38 0,55 3,59 1,10 6,91 1,38 12,43 12,15 100,00
Sumber : Kantor Desa Hatu Tahun 2007
Topografi dan Penggunaan Lahan Kecamatan Leihitu mempunyai keadaan topografi yang datar (0 - 8 %,), bergelombang (8-15 %), berbukit (15- 40 %) dan bergunung (> 40 %) dengan ketinggian antara 0 – 200 m di atas permukaan laut.
Lokasi penelitian Desa
Wakal dengan daerah datar hanya seluas 20.000 m2 dari pantai, yang memiliki perbukitan tepatnya dibelakang Desa berjarak hanya 100 m dari pantai. Desa
37 Hatu, sepanjang pesisir pantai merupakan daerah datar dengan luas 35.000 m2, perbukitan berada dibelakang desa berjarak 300 m dari pantai. Keadaan topografi dan luas penggunaan lahan seperti disajikan pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Keadaan Topografi di Desa Wakal dan Hatu
Ladang
Keadaan Topografi (%) Wakal Hatu 0 - 25 0 – 15
Kebun Campuran
10 - 40
15 – 40
0 - 10
0 – 15
15 - 45
25 – 75
Penggunaan Lahan
Hutan Sagu Hutan Sekunder
Sumber : Kantor Kecamatan Leihitu Tahun 2007
Tabel 6 Penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu Penggunaan Lahan
Luas Lahan (ha) Wakal 18
Hatu 11
Kebun Campuran
25
36
Hutan Sagu
6
10
Hutan Sekunder
54
73
Ladang
Sumber : Kantor Kecamatan Leihitu Tahun 2007
Iklim Keadaan iklim deaerah penelitian, menurut Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe iklim B dengan nilai Q berkisar pada 14,3 ≤ Q < 33,3.
Ini
menunjukan bahwa daerah tersebut berlaku iklim sedang, karena dianggap seragam. Rata-rata curah hujan untuk tahun 2007 sebesar 284,62 mm/thn dengan rataan hari hujan sebanyak 21,25 hari. Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Juni sebesar 1049,7 mm/thn, disajikan pada Tabel 7.
38 Tabel 7 Keadaan iklim di Pulau Ambon selama Tahun 2007 Kelembaba Bulan
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata
Temperatur rata-rata (0C)
Penyinaran Matahari rata-rata (%)
28,3 27,7 27,2 27,1 27 26,4 25,2 25 25,8 26,9 27,5 29,3 26,8
67 47 34 51 52 51 13 0 56 82 58 61 46
n Nisbi rata-rata (%) 79 80 80 86 85 87 85 86 85 84 83 81 84
Jumlah Curah Hujan (mm) 140,6 1,4 77,2 295,5 254,2 1049,7 191 374 348 231 117,8 232 3415,7
Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandar Udara Pattimura, 2007
Jumlah Hari Hujan (mm)
20 19 17 22 23 24 26 29 15 16 18 26 21,25
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Vegetasi Penyusun Dusung Stratifikasi dusung sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi jenis tanaman, baik jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun jenis tanaman yang tumbuh sendiri selama berlangsungnya proses suksesi.
Hasil
analisa vegetasi pada beberapa bentuk penutupan lahan di Desa Wakal dan Hatu menunjukkan adanya pengaruh suksesi dari dusung vegetasi jarang menjadi
dusung vegetasi sedang dan selanjutnya menjadi dusung vegetasi rapat, disajikan pada Tabel berikut. Tabel 8 Komposisi vegetasi penyusun dusung sesuai tingkat pertumbuhan berdasarkan bentuk penutupan lahan Penutupan Lahan Dusung vegetasi jarang (DVJ)
Jumlah Dusung vegetasi sedang (DVS) Jumlah Dusung vegetasi rapat (DVR) Jumlah
Σ
Kerapatan (individu /ha)
LBD (m2/ha)
(%) LBD
(%) Kerapatan
Σ
Kerapatan (individu /ha)
LBD (m2/ha)
(%) LBD
(%) Kerapatan
Pohon
8
60
4,74
100
2,12
7
40
2,61
100
8,70
Tiang Pancang + Semai
4
70
0,76
0,02
2,47
4
40
0,62
0,02
8,70
9
2.700
0,78
0,02
95,41
10
380
0,39
0,02
82,61
21
2.830
4,74
30
21
460
2,61
10
115
2,79
73,56
5,41
12
135
8,61
81,42
5,88
7
110
1
26,42
5,18
11
260
1,96
18,58
11,33
14
1.900
0,67
0,02
89,41
18
1.900
0,52
0,005
82,79
31
2.125
3,80
23
41
2.295
11,09
Pohon Tiang Pancang + Semai Pohon Tiang Pancang + Semai
8
41
13
305
9,09
81,54
6,89
13
410
13,89
89,21
14,14
11
449
2,06
18,45
10,15
8
330
1,68
10,79
11,38
18
3.670
0,64
0,01
82,96
18
2.160
0,56
0,004
74,48
42
4.424
11,15
47
39
2.900
15,57
51
Hasil analisis vegetasi penyusun dusung pada ketiga bentuk penutupan lahan menunjukkan bahwa jumlah jenis, kerapatan dan luas bidang dasar pohon paling tinggi ditemukan pada bentuk penutupan lahan dusung vegetasi rapat. Di lokasi Desa Wakal ditemukan jumlah dan jenis tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan yang lebih banyak, ini juga ditunjukkan dengan jumlah kerapatan untuk dusung vegetasi jarang sebanyak 2.830 individu/ha atau 30 %, untuk vegetasi sedang sebanyak 2.125 individu/ha atau 23 % dan untuk dusung vegetasi rapat sebanyak 4.424 individu/ha atau 47 %. Sedangkan di Desa Hatu, untuk
40
dusung vegetasi jarang kerapatan tanaman sebanyak 460 individu/ha atau 8 %, untuk dusung vegetasi sedang dengan 2.295 individu/ha atau 41 % dan dusung vegetasi rapat adalah 2.900 individu/ha atau sebesar 51 %. Penelitian Wardah (2008), pada ekosistem kebun hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa luas bidang dasar tingkat pohon dan tiang di ladang paling rendah adalah 0,2 m2/ha dan 0,03 m2/ha, sedangkan untuk tingkat pancang dan semai tidak ditemukan. Sebaliknya luas bidang dasar 0,01 m2/ha sampai 0,02 m2/ha ditemukan lebih banyak di dusung vegetasi jarang, sedang atau vegetasi rapat terutama untuk tingkat tiang, pancang dan semai di Desa Wakal dan Desa Hatu. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian beberapa ahli khusus untuk perubahan suksesi dari bentuk penggunaan lahan hutan sekunder muda menjadi hutan sekunder tua maupun selanjutnya menjadi hutan alam hasil penelitian Wardah (2008), bahwa rata-rata pertumbuhan pohon hutan sekunder muda adalah 15,5 m2/ha dan hutan sekunder tua dapat mencapai 28,4 m2/ha. Studi Dietz et al (2006) di Toro adalah 51 m2/ha; studi hutan alam oleh Brodbeck et al (2003) adalah 31,6 – 33,1 m2/ha. Pada Desa Wakal untuk ukuran kelas diameter pohon antara 20 s/d 30 cm sebanyak 38 pohon/ha sementara untuk diameter > 30 cm hanya sebanyak 18 pohon/ha, hal ini dapat diduga bahwa proses suksesi pada penggunaan lahan
dusung vegetasi rapat baru saja dimulai. Di Desa Hatu diameter tingkat pohon antara 20 s/d 30 cm sebanyak 29 pohon/ha dan untuk diameter > 30 cm sebanyak 43 pohon/ha. Pertumbuhan dan pertambahan jenis-jenis tanaman buah-buahan produktif yang mendominasi dusung vegetasi sedang dan dusung vegetasi rapat diduga akan mempercepat proses suksesi menuju terbentuknya hutan sekunder kerapatan tinggi dengan hadirnya beragam spesies baru, baik tumbuhantumbuhan, hewan atau mikroorganisme. Jenis tanaman buah-buahan produktif pada dusung vegetasi sedang di Desa Wakal dan Hatu, didominasi oleh tanaman coklat (Theobroma cacao sp), durian (Durio zibethinus), kelapa (Cocos nucifera), jambu (Eugenia sp), rambutan (Nephelium lappaceum), langsa (Lancium domesticum). Tanaman monokultur seperti cengkeh (Eugenia aromatica), pala (Myristica fragran) dan sagu (Metroxillon
spp)
akan
membuka
peluang
untuk
mempercepat
proses
41 terbentuknya dusung hutan sekunder kerapatan tinggi, karena sudah masuk juga beberapa tanaman kehutanan seperti kayu samama (Anthosepalus macrophylla), pule (Alstonia scholaris), salawaku (Paraserianthes falcataria), guyawas hutan (Duabanga mollucana), dan kayu yang ditanam masyarakat seperti kayu jati (Tectona grandis), kayu titi (Gmelina mollucana) dan kayu lenggua (Pterocarpus
indicus). Pertambahan jenis tanaman berkayu dan buah-buahan milik masyarakat ini, merupakan hasil penanaman dan pengayaan secara alami yang telah dilakukan 20 sampai 30 tahun yang lalu, karena jumlah diameter tanaman yang ditemukan lebih banyak di atas 30 cm yang mendominasi komposisi tegakan, begitu pula untuk tingkat tiang, pancang dan semai yang ditemukan di lokasi studi.
Bentuk Penggunaan Lahan Sistem Dusung Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petani, maka ditetapkan 3 bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu, disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 3. Tabel 9 Bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu Bentuk Penggunaan Jenis Lahan Tanaman Ladang
Kebun Campuran Kebun Monokultur
Wakal Bentuk Penanaman
Kacang tanah, ubi talas, jagung,ubi jalar, terung, ubi kayu dan lainnya Pisang,coklat, salak, langsa, duku, pulai, rambutan, jati, samama, pisang, lenggua, durian dan lainnya Cengkeh, pala, sagu
Tumpangsari dan Monokultur
Tumpangsari dan Agroforest Tumpangsari dan Monokultur
Hatu Jenis Tanaman
Bentuk Penanaman
Ubi kayu, talas, kacang, timun panjang, terung, dan lainnya
Tumpangsari dan Monokultur
Langsa, nenas, coklat,cempedak, durian, pisang, sengon, kelapa, kenari, lenggua dan lainnya Cengkeh, pala, Sagu
Tumpangsari dan Agroforest Tumpangsari dan Monokultur
Usahatani dusung merupakan multi cropping system yang di dalamnya ditemukan berbagai bentuk penggunaan lahan dengan pola; ladang, kebun campuran, dan kebun dengan hanya satu jenis komoditas tanaman (kebun monokultur).
42 Ladang terbentuk oleh kebiasaan-kebiasan bertani masyarakat secara tradisional dengan menanam jenis tanaman umbi-umbian dan sayuran seperti ubi kayu (Manihot utilisima), ubi jalar (Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia
esculenta), pisang (Musa spp), kacang tanah (Arachis hipogea) dan lainnya. Biasanya luas lahan usahatani adalah sebesar 0,1 – 2 ha dan berjarak 100 - 500 m dari Desa. Kebun campuran terbentuk oleh pola pertanian forest crops yang dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada tahap pembukaan lahan hutan sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan umumnya tanaman komersil yang berfungsi sebagai tanaman pelindung seperti lenggua (Pterocarpus indicus), pule (Alstonia scholaris), guyawas hutan (Duabanga mollucana), titi (Gmelina
mollucana), kemudian dilakukan penanaman pengayaan dengan tanaman buahbuahan untuk jangka panjang yang ditemukan seperti kelapa (Cocos nucifera), kenari (Canarium commune), durian (Durio zibethinus), dan lainnya. Pola usahatani dusung dengan monokultur tanaman tahunan (khusus: cengkeh, pala) terbentuk awalnya dari pola ladang dengan tanaman pangan khususnya untuk konsumsi keluarga kemudian diikuti dengan penanaman tanaman pala (Myristica fragran) dan cengkeh (Eugenia aromatica) sehingga berkembang menjadi dusung dengan pola kebun monokultur. Begitu pula dengan tanaman sagu (Metroxylon spp) yang ditanam pada lahan dataran rendah dengan kondisi tanah tergenang air (rawa), dan daerah cekungan seperti pinggiran sungai.
Gambar 3 Bentuk penggunaan lahan pada sistem dusung Ditinjau dari kelompok sistem agroforestri, maka sistem dusung dengan pola usahatani ladang dan kebun monokultur dapat dikelompokan sebagai bentuk agroforestri sederhana, karena pepohonan umumnya ditanam secara tumpangsari
43 dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim atau ditanam hanya satu atau dua jenis tanaman saja. Sebaliknya kebun campuran merupakan agroforestri kompleks (agroforest) karena biasanya terdapat berbagai jenis tanaman pepohonan (berbasis pohon) yang sengaja ditanam maupun tumbuh sendiri secara alami (Huxley 1999). Bentuk agroforestri dusung sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat, pola bercocok tanam dan kondisi tapak/tempat tumbuh tanaman. Hal ini mencirikan kondisi agroekosistem dusung yang terbentuk juga sangat berbeda dengan ciri agroforestri yang ada dibeberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung di kedua lokasi studi, maka hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh de Foresta et al. (2000) bahwa, pola agroforestri lahir dari praktek tradisional masyarakat dalam rangka diversifikasi produk, baik produksi pangan, tanaman semusim (tanaman pertanian) maupun tanaman kehutanan yang memiliki struktur yang serupa dengan hutan alam primer atau sekunder, karena didominasi pepohonan dan keanekaragaman tetumbuhan.
Pola Usahatani Tradisional Sistem Dusung Sistem silvikultur tradisional dusung sudah ada jauh sebelum sistem silvikultur modern saat ini dikenal. Mengapa ?, karena pola usahatani ini terbentuk sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat secara turun-temurun. Kebiasaan usahatani dengan cara menanam tanaman jangka pendek (peladangan) dan sayuran, akan dilanjutkan dengan menanam tanaman berkayu dan buahbuahan secara bertahap pada lahan milik pribadi maupun milik keluarga (marga/faam). Proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani, seperti disajikan pada Tabel 10. Terbentuknya dusung di lokasi studi ditunjukkan dengan pola usahatani yang sama, dimulai dari pembukaan ewang (hutan primer) untuk berladang. Proses ini dilakukan dengan cara menebang kayu di hutan alam dan memanfaatkan pohon-pohon tersebut untuk kayu bakar, kayu pertukangan maupun kayu bangunan rumah. Setelah itu selang beberapa hari dilihat bahwa biomasa tanaman yang ditebang sudah mulai kering dan siap dibakar, maka
44 dilanjutkan dengan kegiatan pembakaran areal penebangan dan dibiarkan begitu saja selama seminggu. Tabel 10 Matriks proses terbentuknya dusung berdasarkan pola usahatani Proses Pembentukan
Masa Tanam (Tahun)
Jenis-Jenis Tanaman
Ewang (Hutan primer menjadi ladang tahap I *
Ubi kayu, pisang, bayam, jagung, 0,1-0,3 kacang tanah, papaya, dan lainnya Ubi jalar, talas, Aong (ladang tahap 1) matel, tomat, diberakan, ditanami 1-6 kacang panjang, menjadi ladang tahap II terung, timun, * papari dan lainnya Tanaman buah ; Aong (ladang tahap II) kelapa, durian, diberakan lagi & langsat, duku, pengayaan menjadi kebun campuran tahap I Tahun ke-5 rambutan, gandaria, ** mangga, jati, titi, lenggua dan lainnya Kebun campuran tahap kenari, alpukat, I mengalami suksesi manggis, jambu, menjadi hutan sekunder Setiap samama, *** Tahun salawaku, pulai, Pete, Kuini dan lainnya.
Pertumbuhan, Pemeliharaan & Pengayaan (Tahun) 0,1 – 1
Masa Bera (Aong), dan sasi adat (Tahun) 0,6 – 1 atau sesuai aturan adat
Masa Panen (Tahun) 0,3 - 0,6
0,3 – 1
0,8 – 1,5 atau sesuai aturan adat
0,6 – 1
5 – 10
1 – 5 atau sesuai aturan adat
sesuai musim panen
5 – 10
1 – 5 atau sesuai aturan adat
sesuai musim panen
*)
Tanaman pertama setelah pembersihan dan pengolahan tanah sekaligus pembuatan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong) **) Tanaman kedua ditanam sementara kegiatan peladangan dan tegalan dilanjutkan dengan perbaikan pagar pelindung kemudian selang waktu diberakan (terbentuknya aong) ***) Tanaman tumbuh sendiri atau ditanam selama selang waktu diberakan (terbentuknya aong)
Penyiapan lahan untuk mulai bercocok tanam dilakukan lebih kurang dua minggu yang dipahami secara tradisional bahwa abu hasil pembakaran itu mengandung kalium yang berfungsi untuk menetralisir tanah bersifat masam. Kemudian dilakukan penanaman tanaman peladangan/tegalan dan sayuran secara bergiliran untuk jangka waktu pendek seperti ubi kayu (Manihot esculenta), pisang (Musa spp), bayam (Amarantus sp), Jagung (Zea mays), kacang tanah (Arachis hipogea), papaya (Carica papaya), sawi (Brasisca sp), ubi jalar (Xanthosoma sagittifolium), talas (Calocasia esculenta), kacang panjang (Vigna
sinensis), terong (Solannum tuberesum), ketimun (Cucurbita sp), tomat (Solannum lycopersicum), papari
(Nomordica charantia). Kegiatan ini akan
dihentikan setelah dirasakan bahwa tanah tersebut tidak lagi memberikan hasil
45 yang menguntungkan (tidak produktif), maka kemudian lahan tersebut dibiarkan terlantar (diberakan) untuk suatu waktu tertentu biasanya disebut masyarakat dengan istilah aong. Setelah sekian waktu lamanya dilihat bahwa kebun ladang/tegalan yang ditinggalkan (aong) sudah secara alamiah ditumbuhi jenis-jenis tanaman pionir, maka dilakukan upaya penanaman kembali dengan tanaman buah-buahan dan tanaman kehutanan secara bergiliran, seperti kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), langsat (Lancium sp), duku (Lancium domesticum), rambutan (Naphelium lapeceaum) gandaria (Buea macrophylla), mangga (Mangifera spp); jati (Tectona grandis), titi (Gmelina mollucana), lenggua (Pterocarpus indicus), kenari (Canarium commune), alpukat (Persea americana), manggis (Garcinia
mangostana), jambu (Eugenia jambolana), samama (Anthosepalus macrophylla), salawaku (Paraserianthes falcataria), pulai (Alstonia scholaris), pete (Parkia
speciosa), kuini (Mangifera odorata) dan tanaman lainnya yang tumbuh sendiri tanpa dilakukan perawatan sehingga terbentuklah dusung (Gambar 4 dan Tabel 10). Hutan Alam (Ewang)
Semak Belukar
Penebangan dan Pembakaran
Bera (aong)
Penebasan dan Pembakaran
Penanaman Kebun Campuran
Ladang
Kebun Monokultur
Dusung Gambar 4 Proses terbentuk dusung
Pola pertanian dusung secara umum dikenal 2 tipe ditinjau dari aspek pembentukan dan tahapan kegiatannya, yaitu, (1). Membangun dusung dengan membuka lahan hutan, dan (2). Membangun dusung dengan membuka lahan semak belukar. Perbedaan dasar dari kedua sistem ini adalah terletak pada proses pengadaan forest crops.
Pada pola pertanian dusung model pertama, proses
46 pengadaan forest crops sudah dilakukan sejak awal melalui tebang seleksi pada tahap pembukaan lahan hutan sehingga jenis-jenis pohon yang ditinggalkan umumnya berfungsi sebagai tanaman pelindung. Sedangkan pada pola pertanian
dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan kemudian yaitu setelah proses penanaman annual dan perennial crops. Selanjutnya tahapan kegiatan dari model pertama adalah : (1). Menentukan lahan hutan, (2). Membabat tumbuhan bawah, (3). Menebang pohon-pohonan (sistem tebang pilih) dimana pohon yang ditinggalkan akan berfungsi sebagai pohon pelindung, (4). Pembersihan lahan, (5). Penanaman annual crops, (6). Pembuatan pagar pelindung), (7). Penanaman perennial crops dan (8). Pemeliharaan. Pola tanam model kedua ini juga sama dengan pola pertanian dusung model pertama yaitu menggunakan kombinasi tanaman berupa annual, perennial dan forest crops (kombinasi tanaman setahun, tahunan dan hutan). Namun pada pola pertanian dusung model kedua, proses pengadaan forest crops dilakukan pada saat setelah tahap penanaman annual dan perennial crops.
Rangkaian
tahapan kegiatan dari pola pertanian dusung model ini adalah : (1). Menentukan lahan usaha dengan prioritas lahan semak belukar, (2). Pembabatan semak belukar (kegiatan ini biasa dilakukan dengan sistem masohi), (3). Pembakaran dan pembersihan lahan, (4). Penanaman annual crops, (5). Pembuatan pagar pelindung, (6). Penanaman perennial crops, (7). Penyiangan gulma dan (8). Introduksi tanaman hutan sebagai tanaman pelindung (Matinahoru 2005).
Tingkat Penggunaan Lahan Pada Sistem Dusung Terdapat 3 bentuk pengusahaan lahan pada lokasi studi, yaitu pemilikan lahan usahatani dengan luas minimum ≤ 1 ha ( 25 %) ; luas lahan usahatani antara 1 – 2 ha (30 %) dan luas lahan usahatani > 2 ha (45 %). Status kepemilikan lahan oleh masyarakat pada kedua lokasi studi dikategorikan sama, yaitu untuk lahan dengan ukuran minimum sebagian besar milik pribadi, sedangkan luas lahan di atas 2 ha umumnya berstatus milik bersama (keluarga). Tingkat penggunaan lahan dimaksudkan pada lokasi penelitian di Desa Wakal dan Hatu adalah sistem pengelolaan lahan yang spesifik terkait dengan jenis tanaman dan sistem pertanaman yang diterapkan (teknik budidaya),
47 pemanfaatan lahan dan teknik konservasi. Tingkat pemanfaatan lahan dapat dikelompokkan atas kategori berikut : 1. Pemanfaataan lahan 80,01 – 100 % dari lahan tersedia dikategorikan optimal. 2. Pemanfaataan lahan 60,01 – 80 % dari lahan tersedia adalah belum optimal 3. Pemanfaataan lahan 40,01 – 60 % dari lahan tersedia adalah kurang optimal 4. Pemanfaataan lahan ≤ 40 % dari lahan tersedia adalah tidak optimal Penetapan kategori (kurang optimal, belum optimal dan optimal) berdasarkan tingkat pengelolaan lahan akan memberikan alasan terhadap bentuk pemanfaatan lahan yang diusahakan petani sesuai pola tanam masyarakat setempat. Berdasarkan asumsi tersebut, maka kondisi aktual pemanfaatan lahan sesuai bentuk penggunaan lahan di kedua lokasi penelitian sesuai hasil wawancara dengan petani, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung Penggunaan Lahan
Pola Tanam
Rerata
Tingkat
Pemanfaatan
Pengelolaan
Lahan (%)
Lahan
Kategori
Wakal Ladang
Ubi kayu + kelapa
60
Sedang
Terung + cabe
15
Rendah
Kacang tanah
15
Sedang
Ubi talas + pisang
15
Rendah
26,25 Kebun Campuran
Kelapa + pisang
Tidak optimal
75
Tinggi
90
Tinggi
pala + jati + langsa
60
Sedang
Durian + salak + duku
70
Sedang
coklat + langsat+cengkeh
73,75
Belum optimal
Kebun
Cengkeh
80
Sedang
Monokultur
Pala
70
Sedang
Sagu
35
Rendah
61,67
Belum optimal
48 Hatu Ladang
Ubi kayu + terung
45
Sedang
Kacang panjang + terung
10
Sedang
Ubi jalar + jagung + kelapa
15
Sedang
15
Rendah
Ubi talas + pisang
21,24 Kebun
Kelapa + coklat + pisang
Campuran
Tidak optimal
85
Tinggi
80
Sedang
Durian + pala + langsa
60
Rendah
Cengkeh + lenggua
80
Tinggi
Nenas + salawaku
76,25
Belum optimal
Kebun
Cengkeh
85
Tinggi
Monokultur
Pala
80
Sedang
Sagu
40
Rendah
68,33
Belum optimal
Berdasarkan informasi Tabel 11 diketahui bahwa pemanfaatan lahan garapan di Desa Wakal untuk penggunaan lahan ladang sebesar 26,25 %, kebun campuran sebesar 73,75 % dan kebun monokultur sebesar 61,67 %. Tingkat penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk kebun campuran dan kebun monokultur dikategorikan belum optimal karena pada kedua penggunaan lahan ini pengelolaan dan pemanfaatan lahan mulai intensif dilakukan petani ketika tanaman mulai berbuah hingga akhir masa panen. Sebaliknya penggunaan lahan ladang pengelolaan tanaman dilakukan lebih intensif pada tanaman umbi-umbian. Hal ini disebabkan karena usahatani ladang sifatnya tidak menetap karena disesuaikan dengan kondisi iklim. Biasanya kegiatan bertani dilakukan diawal musim kemarau dan kemudian berhenti diawal mulai musim penghujan. Pemanfaatan lahan garapan di Desa Hatu untuk penggunaan lahan kebun campuran sebesar 76,25 % dan kebun monokultur sebesar 68,33 % dikategorikan belum optimal. Sistem usahatani yang dilakukan pada kedua bentuk penggunaan lahan ini bersifat temporer karena kegiatan rutin dilakukan hanya pada saat tanaman mulai berbuah hingga usai masa panen, keterbatasan pengetahuan petani
49 juga menjadi kendala dalam menerapkan teknik budidaya dan pemeliharaan tanaman.
Untuk penggunaan lahan ladang dengan tingkat pengelolaan sebesar
21,24 %, disebabkan karena masyarakat petani di Desa Hatu yang berladang hanya sebagian orang saja yang dilakukan diawal musim kemarau dan berhenti pada awal terjadinya musim hujan. Petani di Desa Hatu lebih mengandalkan kegiatan usahatani tanaman monokultur dibandingkan berladang karena menurut petani tanaman tersebut dapat memberikan hasil produksi secara baik. Hasil
penelitian
Sehe
(2007)
di
Cikapundung
Bandung
Utara
menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan sesuai pola tanam masyarakat setempat dengan pemanfaatan lahan untuk tanaman monokultur sebesar 33,3 % dan tanaman dengan pola agroforestri sederhana sebesar
56,9 – 62,5 %.
Bila
dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut, maka agroforestri sederhana pada sistem dusung adalah pada bentuk penggunaan lahan ladang dan tanaman monokultur.
Sebaliknya pada kebun campuran merupakan bentuk agroforestri
kompleks karena memiliki pola tanam dengan beragam jenis tanaman buahbuahan dan tanaman berkayu. Priyono et al. (2005) mengatakan bahwa dalam manajemen ruang, tanaman kehutanan dan tanaman pertanian (agroforestri) didasarkan pada tindakan silvikultur dan agronomi baik secara pararel atau seri, menjadi dasar dalam menentukan keberlangsungan agroforestri. Dinamika ruang temu sangat menentukan apakah model agroforestri yang berkembang dapat menjaga keseimbangan produk baik tanaman pohon maupun tanaman semusim atau mengarah pada model yang didominasi oleh komponen pohon saja.
Produktifitas Usahatani Dusung Pertimbangan utama usahatani dusung antara lain karakteristik lahan, dan potensi produktifitas lahan, yaitu jumlah dan jenis tanaman yang dapat dipanen per satuan luas lahan. Jumlah produksi tanaman yang dapat dipanen oleh masyarakat di Desa Wakal dan Hatu sangat berbeda dilihat dari bentuk penggunaan lahan, seperti disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 5. Tabel 12 Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu.
50 Bentuk Penggunaan Lahan Desa Wakal
Luas Lahan (ha)
Produktifitas (Rp) / ha
9 38 23
3.466.924,9.716.000,5.050.000,-
Ladang Kebun Campuran
11,6 42,7
2.394.804,11.468.000,-
Kebun Monokultur
26,5
6.785.000,-
Ladang Kebun Campuran Kebun Monokultur Desa Hatu
Produktifitas Lahan Di Desa Hatu
Total Produktifitas (Rp)
18.232.924,-
20.647.804,-
Produktifitas Lahan Di Desa Wakal
12%
19% 28%
33%
ladang 55%
kebun campuran kebun monokultur
ladang 53%
kebun campuran kebun monokultur
Gambar 5 Persentase produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu Hasil perhitungan produktifitas lahan berdasarkan jenis tanaman di Desa Wakal untuk kebun campuran dengan luas lahan 23 ha memiliki nilai produksi terbesar mencapai Rp 9.716.000,- /ha/tahun atau 55 %. Untuk kebun monokultur dengan luas lahan 23 ha produksi sebesar Rp 5.050.000,- /ha/tahun atau 33 %, dan ladang dengan luas 9 ha dengan produksi sebesar Rp 3.466.924,- /ha/tahun atau 12 %. di Desa Hatu produktifitas tanaman tertinggi juga dihasilkan oleh kebun campuran dengan luas lahan 42,7 ha memiliki nilai produksi sebesar Rp 11.468.000,- /ha/tahun atau 53 % diikuti produksi tanaman untuk kebun monokultur sebesar Rp. 6.785.000,- /ha/tahun atau 19 % dengan luas lahan 26,5 dan tanaman untuk ladang dengan luas lahan 11,6 ha, nilai produksi sebesar Rp. 2.394.804,- /ha/tahun atau 28 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktifitas tanaman jangka pendek (3 - 6 bulan) dihasilkan pada penggunaan lahan ladang, karena pola usahatani yang dilakukan petani masih bersifat tradisional dan terbatas hanya untuk dikonsumsi saja. Keberadaan petani di Maluku umumnya sangat bergantung pada kondisi iklim (musim) yang juga secara langsung berpengaruh terhadap pola
51 usahatani dan hasil produksi tanaman. Faktor penting dari upaya meningkatkan produktifitas lahan adalah petani itu sendiri, karena untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah yang relatif rendah, masyarakat petani belum menerapkan pemupukan berimbang dalam teknik usahatani dan masih bergantung pada tingkat kesuburan tanah alami pada sistem usahatani dusung. Menurut petani, tanaman yang memberikan hasil produksi secara berkelanjutan dan menguntungkan adalah pada kebun campuran. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya kombinasi tanaman umur panjang (buah-buahan) yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti durian, coklat, pisang, salak dan kelapa karena waktu produksi tanaman ini secara rutin dapat dipanen
oleh petani.
Tanaman monokultur (cengkeh, pala dan sagu) sebenarnya memiliki nilai ekonomis, namun produksi tanaman ini menurut petani semakin menurun setiap tahun apalagi pemeliharaan tanaman itu tidak dilakukan secara intensif dan teratur, sehingga produksinya pun tidak secara baik setiap musimnya. Berdasarkan hasil penelitian Sehe (2007), pada lahan kering di Hulu Sub Das Cikapundung Bandung Utara bahwa produktifitas tanaman alpokat, nangka dan jeruk pada sistem tanaman campuran memberikan nilai produksi rata-rata sebesar 10.000-15.000 kg/ha/tahun untuk luas lahan 10-25 Hektar. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut jelaslah bahwa tanaman campuran memiliki peluang produksi yang lebih besar. Beberapa hasil studi yang dihimpun oleh Perry (1994) di peroleh informasi bahwa produktifitas akan lebih tinggi pada tegakan campuran daripada tegakan sejenis. Hal ini disebabkan karena pertama, lebih banyak sumberdaya tersedia untuk tegakan campuran yang dapat dihasilkan dari jenis berbeda karena faktor lingkungan bila dibandingkan tegakan sejenis atau terdapat jenis-jenis yang dapat meningkatkan ketersediaan beberapa sumber pembatas misalnya tumbuhan penfiksasi nitrogen.
Kedua
tegakan campuran lebih stabil daripada tegakan
sejenis terutama yang berhubungan dengan fruktuasi iklim, hama dan penyakit serta produktifitas.
52
Erosi Tanah Pada Lahan Dusung Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis tanah secara deskriptif pada ketiga bentuk penggunaan lahan, maka lapisan solum dengan kandungan bahan organik (humus) tinggi dicirikan dengan lapisan berwarna hitam mempunyai kedalaman 0 - 50 cm dari permukaan tanah. Pentingnya informasi mengenai erosi tanah pada sistem agroforestri dusung dimaksudkan untuk melihat lapisan tanah yang subur yang dapat mempengaruhi produksi tanaman karena praktek penggunaan lahan dalam arti luas sangat dipengaruhi oleh faktor erosi dimana terjadi pencucian kandungan bahan organik pada lapisan tanah atas, akibatnya produktifitas lahan akan menurun (Supli 2000). Penentuan besarnya erosi dilakukan dengan menghitung besar erosi aktual dan erosi yang masih dapat ditoleransikan. Hasil bagi antara erosi yang terjadi dengan erosi yang masih dapat dibiarkan menentukan indeks bahaya erosi (IBE). Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan kategori sebagai berikut: 1. IBE ≤ 1, bahaya erosi tergolong ringan 2. IBE = 1 - 4, bahaya erosi tergolong sedang 3. IBE = 4 – 10 , bahaya erosi tergolong berat atau tinggi 4. IBE ≥ 10 bahaya erosi tergolong sangat berat atau sangat tinggi Besarnya erosi (prediksi) yang terjadi pada bentuk penggunaan lahan usahatani
dusung seperti ditunjukkan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13 Prediksi erosi pada bentuk penggunaan lahan usahatani dusung di Desa Wakal dan Hatu Bentuk
Kemiringan Erosi Aktual Tolelir Erosi (E-Tol) IBE Kategori Lereng (%) (ton/ha/tahun) (ton/ha/tahun) TBE
Penggunaan Lahan Desa Wakal Ladang Kebun Campuran
0-8
53,83
48
1,12
Sedang
8 - 30
30,68
45
0,68
Ringan
0 - 30
72,30
45
1,61
Sedang
Kebun Monokultur Cengkeh/pala
53 Sagu
0 - 15
12,99
32,4
0,40
Ringan
Ladang
0 - 30
49,5
30
1,65
Sedang
Kebun Campuran
8 - 45
12,14
33
0,37
Ringan
0 - 30
38,82
43,2
0,90
Ringan
0 - 15
13,38
29,7
0,45
Ringan
Desa Hatu
Kebun Monokultur Cengkeh/pala Sagu
Dusung di Desa Wakal dengan bentuk penggunaan lahan ladang, di temukan berada pada daerah datar pada lereng 0 - 8 % ; kebun campuran 8 – 30 % dan kebun monokultur cukup bervariasi antara 0 - 45 %. Sebaliknya dusung di Desa Hatu dengan bentuk penggunaan lahan ladang berada pada kemiringan lereng antara 0-30 % ; kebun campuran 8-45 % dan kebun monokultur 8-30 %. Selain faktor iklim, curah hujan dan penutupan vegetasi maka kemiringan lereng merupakan faktor penentu terjadinya erosi berdasarkan karakteristik lahan (Lampiran 8). Hasil prediksi erosi aktual pada bentuk penggunaan lahan ladang dan monokultur cengkeh-pala di Desa Wakal adalah 53,83 ton/ha/tahun dan 72,30 ton/ha/tahun. Nilai erosi pada kedua penggunaan lahan ini, berada lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan yakni 48 ton/ha/tahun dan 45 ton/ha/tahun. Besar erosi pada kedua penggunaan lahan ini diduga akibat dari kegiatan usahatani yang dilakukan dengan membersihkan tumbuhan penutup tanah di bawah tanaman cengkeh terutama pada musim panen dan pada saat pola penyiapan lahan untuk penanaman dengan cara membakar sehingga menyisahkan lahan terbuka. Pada sistem perladangan, dengan tanaman ubi kayu ditumpangsari dengan tanaman jagung, penutupan lahannya rendah sehingga erosi yang terjadi cukup tinggi. Sebaliknya untuk penggunaan lahan kebun campuran dan kebun monokultur sagu erosinya adalah 30,68 ton/ha/tahun dan 12,99 ton/ha/tahun. Erosi tersebut masih berada di bawah nilai erosi yang ditoleransikan yaitu 45
54 ton/ha/tahun dan 32,4 ton/ha/tahun. Pada kebun campuran fungsi stratifikasi tajuk sudah terlihat berlapis antara tanaman salak dengan tanaman durian, kelapa, langsa, kenari dan vegetasi bawah yang dijumpai ditutupi oleh rerumputan dan serasah pada bagian permukaan lahan,
sehingga
erosi yang terjadi
relatif
rendah. Pada penggunaan lahan tanaman monokultur sagu, nilai erosi sebesar 12,99 ton/ha/tahun, masih berada di bawah erosi yang dapat ditoleransikan (ETot) yakni 30 ton/ha/tahun. Nilai erosi ini rendah karena tanaman sagu umumnya ditemukan pada daerah dataran rendah (rawa) kemiringan lereng 0-5 % dan pada cekungan sungai dengan tingkat genangan air yang cukup tinggi, karena perakaran tanaman sagu mampu menyerap air yang besar dan sifat tanah umumnya peka terhadap erosi. Prediksi erosi untuk bentuk penggunaan lahan di Desa Hatu, diperoleh erosi tertinggi pada penggunaan lahan ladang yaitu 49 ton/ha/tahun lebih tinggi dari erosi yang masih ditoleransi (ETot) yakni 33 ton/ha/tahun. Besar erosi pada penggunaan lahan ini terlihat pada penanaman tanaman nenas di bawah tegakan kelapa, umumnya lahan terbuka tanpa penutup tanah, begitu juga dengan tanaman kacang panjang yang ditumpangsarikan dengan terung umumnya ditanam pada daerah berlereng pada kondisi tanah terbuka. Erosi pada penggunaan lahan kebun campuran adalah 12,14 ton/ha/tahun, lebih rendah dari erosi yang masih dapat ditoleransikan yakni 33 ton’ha/tahun. Adanya stratifikasi tanaman cukup rapat, seperti durian, petai, jambu, langsa, kelapa dan pisang dengan tumbuhan bawah dan serasah mampu menyerap air dan menjaga stabilitas tanah meskipun umumnya berada pada kemiringan lereng 8 - 40 %. Penggunaan lahan tanaman monokultur cengkeh dan pala besar erosi 38,82 ton/ha/tahun, lebih rendah dari nilai erosi yang ditoleransi (ETot) yakni 43,2 ton/ha/tahun, ini terjadi karena tanaman cengkeh dan pala banyak ditanam secara bergiliran sehingga kondisi tajuk terlihat cukup rapat dan permukaan tanah banyak ditutupi oleh vegetasi bawah. Tanaman monokultur sagu erosi aktual 13,38 ton/ha/tahun tergolong rendah dengan nilai toleransi erosi (ETot) yakni 29,7 ton/ha/tahun. Hal ini karena sifat tanaman sagu dengan kondisi perakaran yang mampu menyerap air dalam jumlah banyak dan memiliki sifat tanah yang peka terhadap erosi.
55 Hasil penelitian Sutono et al. (2003), pada beberapa tipe penggunaan lahan (tegalan dengan tanaman semusim dan tanaman monokultur yakni rambutan dan kaliandris), dimana besarnya hasil erosi menunjukkan bahwa pada tegalan besar erosi dapat dikendalikan dengan penanaman tanaman penutup tanah namun pada tanaman monokultur dengan penanaman singkong memberikan jumlah erosi yang besar. Sedangkan penelitian skala plot yang dilakukan Pujianto (2004) pada tanaman kopi dan rambutan bahwa tindakan pengendalian erosi menggunakan teras bangku dan strip tanaman sangat efektif mengurangi erosi. Menurut Wischmeier dan Smith (1978) bahwa penentuan erosi diperbolehkan (ETot) harus mempertimbangkan jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan pertahun agar produktifitas lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari dalam hal ini terjaganya ketebalan lapisan tanah atas, sifat fisik tanah, kandungan bahan organik dan kandungan zat hara tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian di atas bila dibandingkan dengan penggunaan lahan sistem dusung menunjukkan bahwa, kombinasi tanaman kebun campuran dan kebun monokultur sagu cukup efektif dalam mengurangi terjadinya erosi. Ini memberikan bukti bahwa bentuk pertanaman pada sistem dusung mampu menjaga kerusakan tanah akibat erosi sehingga lapisan solum tanah sebagai lapisan organik yang subur dapat terjaga dengan baik sebagai lapisan produktif bagi pertumbuhan tanaman.
Agus et al. (2003) mengatakan bahwa, sistem penggunaan lahan
berbasis tanaman pepohonan mampu mempertahankan kapasitas mitigasi banjir mendekati kapasitas hutan, karena sistem penggunaan lahan yang berbeda mampu memberikan jasa lingkungan yang berbeda pula tergantung pada sistem itu sendiri dan cara pengelolaannya.
56
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Bentuk penggunaan lahan yang terdapat pada sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu terdiri dari, ladang dan kebun monokultur dengan pola penanaman tumpangsari dan monokultur merupakan bentuk agroforestri sederhana. Sedangkan penggunaan lahan kebun campuran dengan pola penanaman tumpangsari dan agroforest merupakan bentuk agroforestri kompleks. 2. Produktifitas lahan di Desa Wakal dan Hatu menunjukkan bahwa komoditi
dusung dengan tanaman kebun campuran adalah yang tertinggi sebesar Rp 9.716.000,- /ha/tahun dan Rp 11.468,000,- ha/tahun. Kemudian kebun monokultur sebesar Rp 5.050.000,- /ha/tahun dan Rp 6.785.000,- /ha/tahun, dan terendah di ladang sebesar Rp 3.466.924,- /ha/tahun dan Rp 2.394.804,/ha/tahun.
3. Erosi pada lahan dusung bervariasi menurut bentuk penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Nilai indeks bahaya erosi berkisar antara 0 – 1, dengan tingkat bahaya erosi dikategorikan ringan sampai sedang.
Besarnya erosi
pada bentuk penggunaan lahan ladang dan kebun monokultur, di Desa Wakal adalah 53,83 ton/ha/tahun melampaui ETot 48 ton/ha/tahun dan 72,30 ton/ha/tahun melampaui ETot 45 ton/ha/tahun. Sedangkan erosi pada bentuk penggunaan lahan ladang di Desa Hatu adalah 49,5 ton/ha/tahun, melampaui ETot 30 ton/ha/tahun. Erosi pada kebun campuran di Desa Wakal dan Hatu yakni 30,68 ton/ha/tahun dan 12,14 ton/ha/tahun masih berada di bawah nilai ETot 45 ton/ha/tahun dan 43,2 ton/ha/tahun.
Saran 1. Sistem dusung mempunyai peranan yang sangat besar dalam konservasi lingkungan, untuk itu sistem penggunaan lahan ini perlu dikembangkan dalam program rehabilitasi lahan. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang peranan dusung yang berhubungan dengan sistem penanaman dan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah.
57
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A dan Sukmana S. 1990. Prediksi Erosi dengan Metoda USLE: Beberapa Masalah Dalam Penerapan di DAS Bagian Hulu. Risalah Lokakarya Pemantapan Perencanaan Konservasi Tanah dan Evaluasi Tingkat Erosi. Batu, Malang 8-9 Pebruari 1990. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Agus F dan Makimas I. 2003. Environmental roles of agriculture ini Indonesia. Disajukan pada Roles of Agriculture in Development Symposium, 25 th Conference of the International Association of Agricultural Economists, August 17-22,2003, Durban, South Africa. Ajawaila JW. 1996. Sistem Sosial Budaya Agroforestri Dusun. Lokakarya Peranan Dusun Terhadap Kelestarian Lingkungan. Kerjasama WIPTEKCIDIA, Ambon Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Bols PL. 1978. The Isoerodent Map of Java and Madura. Belgium Technical Assistance Project ATA 105. Soil Research Institute, Bogor. Brodbeck F, Halpa F and Mitlöhner R. 2003. Traditional forest garden as “safety net” for rural households in Central Sulawesi, Indonesia. Bonn, Germany: The International Conference on Rural Livelihoods, Forest and Biodiversity, 19 – 23 May 2003, Boon, Germany. Bungil B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Fisiologis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Devisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Darsiharjo. 2004. Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Hulu Sungai (Studi Kasus Daerah Hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara) Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan Djatmiko WA. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF, Bogor. 249 pp. Dietz J, Höelscher D, Leuschner C and Hendrayanto. 2006. Rainfall portioning in relation to forest structure in differently managed montane forest stand in Central Sulawesi, Indonesia. Forest Ecology and Managent 237 : 170-178 Gregory JM, Johnson HP and Kirkham D. 1977. Soil Loss Equation : Derivation for Steep Slopes. Paper No. 77-2525. Am Soc Agric. Engin. Winter Meeting. Chicago Illionis.
58 Hammer, 1978. Soil Conservation Consultant Report. Technical Not No. 7. Soil Research Institute, Bogor Huxley PA. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwel Science Ltd, UK. ISBN 0632-04047-5. 371p ICRAF. 2003. A Series of lecture notes on integrated resources management, based on experience in the alternatives to slash and burn project (forthcoming). ICRAF website: http:/www.icraf.cgiar.org Junaidy E. 2006. Metode Penentuan Nilai Erosi Yang Diperbolehkan Pada Pengelolaan DAS. Jurnal Infp Hutan. Volume III No.3. Matinahoru JM. 2005. Kerusakan Hutan Dan Perladangan Berpindah Pada Beberapa Desa Enclave Di Maluku. Laporan Yayasan Pembangunan Nuduwasiwa Ambon.
Nair PKR. 1993. An introduction to Agroforestri. Kluwer Academic Publiser, The Netherlands. Pariunan YA, Nanere JL, Arifin, Samosir SSR, Tangkaisari R, Lalopuan JR, Ibrahim B, dan Asmardi H. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Bagian Timur-Ujung Pandang. Perry DA. 1994. Forest Ecosystems. The Jhon Hopkins University Press, Baltimore and London. Pujiyanto A, Wibawa and Winaryo. 2001. Pengaruh Teras dan Tanaman Penguat Teras Terhadap Erosi dan Produktivitas Kopi Arabica. Pelita Perkebunan 2001, 17 (1) : 18 – 29. Rossiter D and van Wambeke AR. 1994. Automated Land Evaluation System (ALES). User Manual version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York. Rudebjer P, Taylor P, Romula A dan Del Castillo RA. 2002. Pedoman Pembelajaran Agroforestri. Sebuah Kerangka Untuk Pengembangan Kurikulum Agroforestri di Asia Tenggara. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Training and Education Report No. 51. Bogor. Priyono S, Tohari dan Sabarnurdin S. 2005. Dinamika Sistem Berbagai Sumberdaya (Resource Sharing) dalam Agroforestri: Dasar pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2,2005:165-178. Sehe S. 2007. Analisis Kesesuaian Lahan dan Optimasi Penggunaan Lahan Kering Berbasis Agroforestri (Studi Kasus : Lahan Kering Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Bandung Utara). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB.
59 Silaya. 2005. Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Studi Kasus di Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Thesis S2 UGM. Soerianegara I dan Indrawan A. 1986. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Supli ER. 2000. Pengendalian Erosi Tanah. Bumi Angkasa, Jakarta 2003. Sutono S, Tala’Ohu SH, Sopandi O dan Agus F. 2003. Erosi pada beberapa penggunaan lahan di Das Citarum. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konservasi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Agroklimat, Bogor. Pp.113-133. Utami SR, Verbist B, van Noordwijk M, Hariah K dan Sardjono MA. 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri Indonesia. ICRAF. Bogor. Wardah. 2008. Keragaan Ekosistem Kebun Hutan (Forest Garden) di Sekitar Kawasan Hutan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Wasis B. 2002. Diktat Kuliah Manajemen lahan. Fakultas Kehutanan, IPB. Wattimena GA. 2007. Agroforestri di Maluku. Makalah Diskusi Panel Alumni SMU Negeri 2 Ambon. TMII Jakarta. Wattimury S. 2001. Studi Aspek Sosial Ekonomi Petani agroforestri Tradisional Dusung. Skripsi Fakultas Pertanian Unpatti – Ambon. Widianto, Suprayogo D, Noveras J, Widodo RH, Purnomosidhi P and van Noorwijk M. 2003. Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian; Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat Digantikan System Kopi Monokultur ? Agrivita 26 : 47 – 52. Wiradisastra US. 2006. Metode Inventarisasi dan Studi Garis Dasar Sumberdaya Bagi Negara Berkembang. Terjemahan dari Resource Invenmtory & Baseline Study Methods For Developing Countries Francisco Counan et all (1983). American Assosiation for the Advancement of Science. Wischmeier WH and Smith DD. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. US Dept. Agriculture Handbook. No. 537. Yin RK. 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Grafinfo Persada Jakarta.
60 Lampiran 1 Komposisi Jenis tanaman yang ditemukan pada agroforestri sistem dusung di Desa Wakal No Nama Lokal
Nama Ilmiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Mangifera foetida Alstonia scholaris Persea Americana Cocos nucifera Canarium commune Myristica fragrans Durio zibethinus Musa parasidiaca Theobroma cacao Flacortia inermis Musa parasidiaca Carica papaya L Manihot esculenta Zea mays Musa parasidiaca Carica papaya L Solanum tuberasum Capsicum annum Arachis hipogea Xanthosoma sagittifolium Calocasia esculenta
Bacang Pule Alpukat Kelapa Kanari Pala Durian Pisang Coklat Tomi Pisang Pepaya Ubi kayu Jagung Pisang Pepaya Terung Cabe Kc. tanah Ubi jalar Ubi talas Jumlah
Kerapatan (Individu/ha)
LBD (m2/ha)
10 5 5 5 5 5 5 20 10 10 30 20 120 160 60 160 250 400 750 600 200 2.830
0,67 0,98 0,35 0,35 0,98 0,43 0,63 0,35 0,25 0,18 0,12 0,21 0,24 0,31 0,20 0,04
Ket : Komposisi jenis tanaman pada dusung vegetasi jarang
6,29
NPJ
Kategori
40.90 39.26 25.87 25.87 39.26 27.45 31.73 69.67 71.46 60.10 100.41 68.03 79.00 97.00 62.00 62.00 43.56 50.38 50.38 76.54 38.85 1.159
pohon pohon pohon pohon pohon pohon pohon pohon tiang tiang tiang tiang Pancang Pancang Pancang Pancang Semai Semai Semai Semai Semai
61
No
Nama Lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Pala Cengkeh Rambutan Durian Alpukat Kelapa Jambu Guyawas Hutan Pisang Pepaya Nangka Jambu Duku Coklat Langsa Pisang Pepaya Coklat Jeruk Jati Kopi Pepaya Ubi kayu Pisang Pala Cengkeh Jambu Langsa Kc. panjang Ubi jalar Ubi kayu
29
Jumlah
Nama Ilmiah
Kerapatan LBD (Individu/ha) (m2/ha)
NPJ
Kategori
15 20 10 5 5 20 20 5 10 5 10 10 10 20 30 20 10 40 20 60 40 20 80 40 300 200 100 200 300 250 250
0,22 0,51 0,30 0,24 0,21 0,44 0,48 0,16 0,20 0,03 0,18 0,18 0,11 0,08 0,11 0,27 0,08 0,16 0,04 0,12 0,08 0,04 0,16 0,08
31.38 46.25 29.04 22.32 21.05 54.73 30.22 19.36 25.75 19.90 33.15 33.15 27.06 44.05 59.48 65.06 38.04 69.55 30.10 68.50 47.69 41.02 71.95 58.62 53.39 45.03 26.13 28.91 22.14 18.45 18.45
pohon pohon pohon pohon pohon pohon pohon pohon pohon pohon tiang tiang tiang tiang tiang tiang tiang pancang pancang pancang pancang pancang pancang pancang semai semai semai semai semai semai semai
2.125
4,47
1.200
Myristica fragrans Eugenia aromatica Nephelium lappaceum Durio zibethinus Persea Americana Cocos nucifera Eugenia jambolana Duabanga mollucana blume Musa parasidiaca Carica papaya L Arthocarpus integra Eugenia jambolana Lancium sp Theobroma cacao Lancium damesticum Musa parasidiaca Carica papaya L Theobroma cacao Cittrus aurantifolia Tectona grandis Coffea Arabica Carica papaya L Manihot utilizima Musa parasidiaca Myristica fragrans Eugenia aromatica Eugenia jambolana Lancium damesticum Vigna sinensis Xanthosoma sagittifolium Manihot utilizima
Ket : Komposisi jenis tanaman pada dusung vegetasi sedang
62
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Pala Cengkeh Kenari Rambutan Durian Manggis Gayang Duku Kelapa Pule Titi Langsa Pete Cengkeh Mangga Durian Duku Pala Langsa Kenari Coklat Genemu Rambutan Pinang Coklat Pala Manggis Genemu Pule Kenari Langsa Rambutan Coklat Cengkeh Pinang Kopi Ketapang Bacang Jambu Langsa Gandaria Duku
Myristica fragrans Eugenia aromatica Canarium commune Nephelium lappaceum Durio zibethinus Garcinia mangostana Inocarpus fagiferus Lancium sp Cocos nucifera Alstonia scholaris Gmelina mollucana Lancium damesticum Parkia speciosa Eugenia aromatica Mangifera indica Durio zibethinus Lancium sp Myristica fragrans Lancium damesticum Canarium commune Theobroma cacao Gnetum gnemon Nephelium lappaceum Areca catechu Theobroma cacao Myristica fragrans Garcinia mangostana Gnetum gnemon Alstonia scholaris Canarium commune Lancium damesticum Nephelium lappaceum Theobroma cacao Eugenia aromatica Areca catechu Coffea arabica Terminallia catappa Mangifera indica Theobroma cacao Lancium damesticum Bouea macrophylla Lancium sp
Kerapatan (Individu/ha) 55 70 20 15 20 10 5 10 50 10 15 10 15 30 10 20 10 40 260 10 19 10 20 20 100 40 20 80 40 20 100 20 100 1.750 250 650 150 50 50 150 50 50 4.423
Ket : Komposisi jenis tanaman pada dusung vegetasi rapat
LBD (m2/ha) 0,88 0,99 0,79 0,27 1,66 0,33 0,29 0,20 0,92 0,83 1,05 0,41 0,48 0,11 0,20 0,26 0,09 0,13 0,47 0,18 0,21 0,08 0,15 0,17 0,12 0,08 0,04 0,16 0,08 0,04 0,08 0,04
11,79
NPJ
Kategori
39.78 46.18 25.33 12.57 28.43 8.24 8.12 12.65 40.53 31.37 18.84 11.29 16.67 20.71 15.28 24.90 10.99 18.22 100.41 62.40 49.34 10.32 18.75 16.80 68.94 30.84 19.59 53.35 30.84 30.84 57.25 19.59 18.52 99.92 31.61 68.06 14.11 11.03 11.03 23.67 11.03 11.03 1.259
Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai
63
Lampiran 2 Komposisi Jenis tanaman yang ditemukan pada agroforestri sistem dusung di Desa Hatu No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kenanga Bacang Sagu Cengkeh Kelapa Pisang Mangga Cengkeh Samama Pisang Papaya Jagung Ubi kayu Pepaya Pisang Kc. panjang Ubi talas Timun Nenas Ubi kayu Pepaya
Cananga odorata Mangifera feotida Metroxylon spp Eugenia aromatica Cocos nucifera Musa parasidiaca Mangifera indica Eugenia aromatica Anthosepalus macrophylla Musa sp Carica papaya L Zea mays Manihot utilizima Carica papaya L Musa sp Vigna sinensis Calocasia esculenta Randia spinosa Ananas comosus Manihot utilizima Carica papaya L
Kerapatan (Individu/ha) 10 5 5 5 5 5 5 10 10 10 10 20 20 20 20 50 50 50 50 50 50 460
Ket : Komposisi jenis tanaman pada dusung vegetasi jarang
LBD (m2/ha) 0,34 0,17 0,35 1,41 0,14 0,13 0,06 0,25 0,18 0,08 0,11 0,16 0,16 0,04 0,04
3,62
NPJ
Kategori
57.47 28.99 38.14 47.23 38.14 52.75 37.27 90.86 78.37 119.44 68.16 90.00 90.00 60.00 60.00 60.61 51.52 46.97 46.97 51.52 42.42 1.257
Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Tiang Tiang Tiang Tiang Pancang Pancang Pancang Pancang Semai Semai Semai Semai Semai Semai
64
No
Nama Lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pala Cengkeh Kenari Titi Durian Manggis Salawaku Guyawas Htn Langsa Sagu Pisang Pala Gandaria Cengkeh Langsa Kuini Kenanga
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kenari Durian Lenggua Pisang Pepaya Durian Langsa Pala Kecapi Salawaku Kenari Ubi kayu Pepaya Pala Durian Salawaku Cempedak Kucapi Sagu Ubi kayu Cabe Terung Ubi talas Jumlah
Nama Ilmiah Myristica fragrans Eugenia aromatica Canarium commune Gmelina mollucana Durio zibethinus Garcinia mangostana Paraserianthes falcataria Duabanga mollucana Lancium damesticum Metroxylon spp Musa sp Myristica fragrans Bouea macrophylla Eugenia aromatica Lancium damesticum Mangifera feotida Cananga odorata Canarium commune Durio zibethinus Pterocarpus indicus Musa sp Carica papaya L Durio zibethinus Lancium damesticum Myristica fragrans Sandoricum koetjapie Paraserianthes falcataria Canarium commune Manihot utilizima Carica papaya L Myristica fragrans Durio zibethinus Paraserianthes falcataria Arthocarpus cempeden Sandoricum koetjapie Metroxylon sp Manihot utilizima Capsicum annum Solanum tuberasum Calocasia esculenta
Kerapatan (Individu/ha) 30 10 5 5 20 10 10 10 10 15 10 40 10 30 30 10 20
LBD (m2/ha) 0,74 1,15 0,63 0,66 1,07 0,59 1,35 0,38 0,39 1,35 0,30 0,27 0,28 0,30 0,20 0,18 0,11
10 80 10 10 10 80 40 60 40 20 20 20 20 50 50 50 50 100 450 200 300 200 150 2.295
0,09 0,09 0,18 0,08 0,18 0,04 0,08 0,04 0,04 0,04 0,08 0,16 0,04
Ket : Komposisi jenis tanaman pada dusung vegetasi sedang
11,09
NPJ
Kategori
43.96 26.64 17.91 18.29 41.00 18.80 30.23 19.05 18.73 41.07 24.31 55.01 26.31 43.53 32.39 20.89 29.58
Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang
20.22 17.67 20.89 16.75 16.75 53.15 37.52 46.48 39.44 23.30 30.85 45.95 23.30 12.86 12.86 12.86 12.86 20.71 53.25 32.23 62.13 46.42 33.84 1.200
Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai
65
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Pala Cengkeh Kenari Titi Durian Manggis Kelapa Pule Jambu Kenanga Langsa Genemu Sagu Salawaku Pala Ganemu Gandaria Cengkeh Salawaku Langsa Kuini Kenanga Kenari Durian Durian Cengkeh Langsa Pala Jambu Pule Salawaku Lenggua Kenari Pala Cengkeh Durian Langsa Salawaku Kuini Lenggua Sagu
Myristica fragrans Eugenia aromatica Canarium commune Gmelina mollucana Durio zibethinus Garcinia mangostana Cocos nucifera Alstonia scholaris Eugenia jambolana Cananga odorata Lancium damesticum Gnetum gnemon Metroxylon spp Paraserianthes falcataria Myristica fragrans Gnetum gnemon Bouea macrophylla Eugenia aromatica Paraserianthes falcataria Lancium damesticum Mangifera feotida Cananga odorata Canarium commune Durio zibethinus Durio zibethinus Eugenia aromatica Lancium damesticum Myristica fragrans Eugenia jambolana Alstonia scholaris Paraserianthes falcataria Pterocarpus indicus Canarium commune Myristica fragrans Eugenia aromatica Durio zibethinus Lancium damesticum Paraserianthes falcataria Mangifera feotida Pterocarpus indicus Metroxylon spp
Kerapatan (Individu/ha)
LBD (m2/ha)
65 65 20 10 30 15 20 5 5 20 15 10 90 40 80 10 10 60 40 40 10 30 20 30 80 100 40 120 20 20 40 20 20 200 200 100 100 100 50 50 900 2.900
0,96 1,16 0,44 0,86 1,94 0,81 0,65 0,33 0,35 0,35 0,71 0,38 3,61 1,33 0,34 0,11 0,11 0,35 0,11 0,15 0,08 0,13 0,16 0,14 0,08 0,08 0,08 0,12 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04
Ket : Komposisi jenis tanaman pada dusung vegetasi rapat
16,14
NPJ
Kategori
34.58 40.28 18.45 17.98 22.35 10.34 17.81 7.26 7.44 15.37 14.97 8.93 63.29 20.96 57.76 13.56 25.74 50.05 32.44 27.67 11.77 167.30 114.35 25.53 47.36 51.71 30.28 63.35 18.98 18.98 31.37 18.98 18.98 39.66 40.30 26.82 27.45 27.45 17.06 17.06 104.20 1.426
Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Tiang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Pancang Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai Semai
Lampiran 3 Gambar profil vegetasi dusung di Desa Wakal 35 30 25 20 15 10 5 0
Provil Vertikal
20
3
10
1
2
5
7
9
11 12
60 8
4
17
14
10 13
15
16
18 19
2
21
22
25 23
24 26
27
29 30
8
0 0
5
10
15
Provil Horizontal 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Manggis (Garcinia mangostana) Cempedak (Artocarpus cempeden) Durian (Durio zibethinus) Langsa (Lansium domesticum) Durian (Durio zibethinus) Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Titi (Gmelia mollucana)
20
25
30
35
40
45
50
PANJANG JALUR 50 m 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Durian (Durio zibethinus) Langsa (Lansium domesticum) Durian (Durio zibethinus) Durian (Durio zibethinus) Durian (Durio zibethinus) Titi (Gmelia mollucana Gandaria (Bouvea macropyilla) Langsa (Lansium domesticum)
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Durian (Durio zibethinus) Durian (Durio zibethinus) Langsa (Lansium domesticum) Kelapa (Cocos nucifera) Gandaria (Bouvea macropyilla) Langsa (Lansium domesticum)
25. 26. 37. 28. 29. 30.
Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Durian (Durio zibethinus) Kelapa (Cocos nucifera
Lampiran 4 Gambar profil vegetasi dusung di Desa Hatu
67
35 30 25 20 15 10 5 0
Provil Vertikal
20 1
10
2
3
6 4
11 12
8 5 7 9
10
16 13 14
21 15
17 18 19
22
20
23
28
27 26
24
30 29
25
31
33 32
0 0
5
10
15
Provil Horizontal 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pala (Myristica fragans) Pala (Myristica fragans) Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Kelapa (Cocus nucifera) Genemo (Gnetum gnemun) Durian (Durio zibethinus) Genemo (Gnetum gnemun)
20
30
25
35
45
40
50
PANJANG JALUR 50 m 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Genemo (Gnetum gnemun) Durian (Durio zibethinus) Kelapa (Cocos nucifera ) Rambutan (Naphelium lappecium) Manggis (Garcinia mangostana) Kelapa (Cocos nucifera) Durian (Durio zibethinus) Durian (Durio zibethinus Durian (Durio zibethinus)
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Gandaria (Bouvea macropyilla) Gandaria (Bouvea macropyilla Durian (Durio zibethinus) Titi (Gmelia mollucana) Titi (Gmelia mollucana Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Langsa (Lansium domesticum) Kelapa (Cocos nucifera)
28. 29. 30. 31. 32. 33.
Durian (Durio zibethinus) Duku ( Lansium domestikum) Kelapa (Cocos nucifera Samama ( Athosepalus cadambra) Samama (Athosepalus cadambra) Kenari (Canarium ambonensis)
68 Lampiran 5 Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal DESA
BENTUK PENGGUNAAN LAHAN LADANG
HARGA SATUAN (Rp)
HARGA (Rp/ton)
PRODUKSI TANAMAN (ton)
9 3,9 2,5 1,6 0,9 0,1
5.000 5.000 8.500 5.000 1.500
2.083.333 3.816.749 2.098.621 3.846.154 49.180.328
0,37 0,29 0,3 0,16 0,007
770.833 1.106.857 629.586 615.385 344.262 3.466.924
38 5,8 1,9 10,5 3,7 5,2 2,6 8,3 0 0
14000 6.000 20.000 6.000 10.000 10.000 7.500 0 0
4.000 1.400 20.000 4.000 20.000 10.000 7.500 0 0
0,34 0,09 0,05 0,17 0,1 0,08 0,5 0 0
1.360.000 126.000 1.000.000 680.000 2.000.000 800.000 3.750.000 0 0
Samama Jati Tawang
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Salawaku SUB T O T A L II
0
0
0
0
0 9.716.000
23 12,8 4,7 5,5
2.5000 1.5000 4.0000
25.000 5.000 40.000
0,13 0,12 0,03
3,250.000 600.000 1.200.000 5.050.000 18.232.924
JENIS TANAMAN
Ubi kayu Talas Jagung Ubi jalar Terung SUB T O T A L I KEBUN CAMPURAN WAKAL
KEBUN MONOKULTUR
Pisang Coklat Kelapa Salak Langsa Duku Durian Rambutan Lenggua
Cengkeh Sagu Pala SUB T O T A L III T O T A L (I + II +III)
LUAS LAHAN
PRODUKTIVITAS (Rp / ha)
69 Lampiran 6 Produktifitas tanaman berdasarkan bentuk penggunaan lahan di Desa Hatu DESA
BENTUK PENGGUNAAN LAHAN LADANG
JENIS TANAMAN
Ubi kayu Talas Ubi jalar Kacang panjang Terung SUB T O T A L I KEBUN CAMPURAN
HATU
KEBUN MONOKULTUR
Coklat Pisang Kelapa Langsa Durian Kenari Lenggua Samama Duabanga Kenanga SUB T O T A L II
Cengkeh Sagu Pala SUB T O T A L III T O T A L (I + II +III)
HARGA SATUAN (Rp).
HARGA (Rp/ton)
PRODUSI TANAMAN (ton)
11,6 3,5 2,4 3,4 0,7 1,6
5.000 5.000 5.000 1.500 1.500
2.083.333 3.816.749 3.846.154 9.000.000 13.180.328
0,35 0,18 0,13 0,04 0,01
729.167 687.015 500.000 360.000 118.623 2.394.804
42.7 4,6 8,2 13,7 5,2 10,4 0,6 0 0 0 0
14.000 6.000 6.000 10.000 7.500 15.000 0 0 0 0
4.000.000 1.400.000 4.000.000 20.000.000 7.500.000 15.000.000 0 0 0 0
0,20 0,12 0,80 0,05 0,80 0,02 0 0 0 0
800.000 168.000 3.200.000 1.000.000 6.000.000 300.000 0 0 0 0 11.468.000
26.5 13,5 5,5 7,5
25.000 15.000 21.000
25.000.000 5.000.000 21.000.000
0,15 0,25 0,085
3.750.000 1.250.000 1.785.000 6.785.000 20.647.804
LUAS LAHAN
PRODUKTIVITAS (Rp / ha)
Lampiran 7 Daftar Istilah 1. Dusung adalah suatu istilah yang dipakai masyarakat untuk menunjukan keberadaan lahan dengan berbagai jenis tanaman yang di budidayakan. 2. Dusung Dati adalah dusung yang dimiliki oleh suatu keluarga, dengan jenis tanaman yang berada di atas tanah dati sebagai hak milik pusaka keluarga. 3. Dusung Pusaka, adalah dusung milik bersama dari sebuah kelompok ahli waris yang diperoleh berdasarkan pewarisan dan dusung tersebut di wariskan secara turun-temurun. 4. Dusung Perusah, yang apabila dari segi hukum, dusung perusah itu kelak oleh perusah diwariskan kepada ahli warisnya, maka akan berubah status menjadi
dusung pusaka berdasarkan hak pemiliknya. 5. Dusung Negeri, adalah dusung yang dimiliki oleh Negeri, yang biasanya di atas
dusung ini ditemukan berbagai jenis tanaman kehutanan. Penduduk negeri tidak diperkenankan untuk mengambil hasil atas dusung tersebut. 6. Dusung Raja, adalah jenis dusung yang dalam kepemilikannya diperuntukkan bagi Raja dan digunakan untuk kepentingan dan kehidupan Raja. Seorang Raja akan kehilangan hak atas dusung Raja, apabila Raja tersebut diganti. 7. Ewang adalah areal hutan alam yang masih terjaga kelestariannya 8. Aong adalah areal berupa bekas lahan pertanian yang dibiarkan terlantar. 9. Dati adalah tanah atau wilayah adat yang dapat mengatur hak masyarakat baik dalam negeri maupun yang berada diluar negeri terhadap wilayah kekuasaannya atas sumberdaya hutan. 10. Sasi adalah aturan pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat, yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan Maluku yang keberadaannya sudah ada sejak jaman dulu kala. 11. Masohi adalah suatu istilah yang dipakai dalam suatu pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong
56
Lampiran 8 Karakteristik lahan berdasarkan bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu Bentuk Penggunaan Lahan
Luas Lahan
Sistem
Tebal Lapisan
(Ha)
Pertanaman
(solum)
9
Tumpangsari & monokultur
0 - 30
38
Agroforestri & tumpangsari
20 3
Jenis Tanah
Tekstur
PH
Bahan Organik
Permiabilitas
Pasir
Debu
Liat
H20
C
N
C/N
P
K
Podsolik
86
10
4
7.50
1.44
0.12
12
71
34
6,83
0 - 40
Brunisem
38
18
11
5.80
1.46
0.13
11.2
20
30
3,91
Agroforestri Monokultur
0 - 40 0 - 20
Litosol Hidromorfik
43 19
26 27
31 54
6.00 6.00
1.82 2.23
0.12 0.14
15.2 15.93
32 2.0
20 0.06
4,68 2,26
11,6
Tumpangsari
0 - 30
Regosol
64
21
15
6.00
1.63
0.15
10.9
32
18
5,60
42,7
Agroforestri & tumpangsari
0 – 40
Kambisol
34
23
23
6.20
1.23
0.10
12.3
35
22
4,01
20,5 6
Agroforestri Monokultur
0 - 40 0 - 20
Podsolik Hidromorfik
51 16
27 33
22 30
6.50 6.10
3.07 2.5
0.19 0.16
16.2 15.63
12 2.9
24 0.08
4,70 2,02
Wakal Ladang (Ubi kayu + ubijalar + talas + jagung + kc.panjang + cili + terung +Kc. tanah) Kebun Campuran (Pisang + kakao + kelapa + salak + langsa + duku + manggis + rambutan + durian + jambu + kenari + pule + jati + buah rao + tawang + pinang + sama + lenggua ) Kebun Monokultur (cengkeh + pala) (sagu) Hatu Ladang (Ubi kayu + ubijalar + talas + jagung + kc.panjang + sawi + terung + timun) Kebun Campuran (pisang + kakao + pepaya + kelapa + Langsa + nenas + durian +cempedak + jambu + titi + kenari + duabanga + tawang +cempaka + pule + samama + lenggua + bintanggur) Kebun Monokultur (cengkeh + pala) (sagu )
57
Lampiran 9 Hasil perhitungan erosi berbagai bentuk penggunaan lahan sistem dusung di Desa Wakal dan Hatu Bentuk Penggunaan Lahan
Luas Lahan (Ha)
Sistem Pertanaman
9
Tumpangsari & monokultur
Jenis Tanah
Nilai LS
Nilai R
Podsolik
0,25
3734,5
Brunisem
4,25
Litosol Hidromorfik
Nilai K
Nilai CP
Nilai Erosi
0,205
0,28
53,83
3734,5
0,193
0,01
30,68
9,50 0,25
3734,5 3734,5
0,204 0,199
0,01 0,07
72,30 12,99
Regosol
0,25
3734,5
0,189
0,28
49,50
Kambisol
1,20
3734,5
0,271
0,01
12,14
Podsolik Hidromorfik
4,25 0,25
3734,5 3734,5
0,245 0,205
0,01 0,07
38,82 13,38
Wakal Ladang (Ubi kayu + ubijalar + talas + jagung + kc.panjang + cili + terung +Kc. tanah)
Kebun Campuran (Pisang + kakao + kelapa + salak + langsa + duku + manggis + rambutan + durian + jambu + kenari + pule + jati + buah rao + tawang + pinang + sama + lenggua )
38
Agroforestri & tumpangsari
Kebun Monokultur (cengkeh + pala) (sagu)
20 3
Agroforestri Monokultur
11,6
Tumpangsari
Hatu Ladang (Ubi kayu + ubijalar + talas + jagung + kc.panjang + sawi + terung + timun)
Kebun Campuran (pisang + kakao + pepaya + kelapa + Langsa + nenas + durian +cempedak + jambu + titi + kenari + duabanga + tawang +cempaka + pule + samama + lenggua + bintanggur)
42,7
Agroforestri & tumpangsari
Kebun Monokultur (cengkeh + pala) (sagu )
20,5 6
Agroforestri Monokultur
58 Lampiran 10 Rata-rata curah hujan selama 10 Tahun (1997-2007) di Pulau Ambon Bulan
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah CH rata-rata (mm) CH rata-rata (cm)
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
78 208 155 169 100
19 47 149 282 436
161 348 314 185 812
87 101 270 158 495
1.206
71 32 182 153 350
66 120 100 2.001 221
102 140 197 245 233
87 52 203 240 589
152 85 188 144 380
141 104 77 296 254
160 474 34 1.924 67 26 116 3.419 285 28
755 689 562 251 238 210 190 3.827 319 32
742 953 481 355 4.351 483 48
1.952 861 335 204 4.463 496 50
972 350 505 86 208 162 3.489 498 50
510 56 20 80 27 65 138 1.684 140 14
207 667 110 142 40 73 268 4.014 334 33
370 216 16 115 101 34 28 1.797 150 15
348 560 212 93 228 90 173 2.875 240 24
1.405 210 70 151 7 18 141 2.951 246 25
1.050 191 374 348 231 118 232 3.415 285 28
Lampiran 11 Penilaian butir (M) oleh rumus Hammer (1978) Kelas Tekstur (USDA)
Nilai M
Kelas tekstur (USDA)
Nilai M
Liat berat Liat sedang Liat berpasir Liat ringan Lempung liat berpasir Liat berdebu Lempung liat
210 750 1213 1685 2160 2830 2830
Pasir Lempung berpasir Lempung liat berdebu Lempung berpasir Lempung Lempung berdebu Debu
3035 3245 3770 4005 4390 6330 8245
59
Lampiran 12. Hasil perhitungan nilai toleransi erosi (ETot) pada bentuk penggunaan lahan di Desa Wakal dan Hatu Wakal
Hatu
Bentuk Penggunaan Lahan Ladang Kebun campuran Monokultur Sagu Ladang Kebun campuran Monokultur Sagu
Jenis Tanah 1 Podsolik brunisem Litosol Hidromorfik Regosol Kambisol Podsolik Hidromorfik
Kedalaman Efektif 2 2000 1500 1500 1200 1200 1100 1800 1100
Nilai Faktor 3 0,8 1 1 0,9 1 1 0,8 0,9
(2x3) 4 1600 1500 1500 1080 1000 1100 1440 990
Umur Pakai 5 400 400 400 400 400 400 400 400
T 6 4 3,75 3,75 2,7 2,5 2,75 3,6 2,47
Berat Volume 7 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
ETot 8 48 45 45 32,4 30 33 43,2 29,7
E Aktual 53,83 30,68 72,3 12,99 49,5 12,14 38,82 13,38
60 Lampiran 13 Nilai faktor pengelolaan dan konservasi lahan pada berbagai jenis penggunaan lahan sistem dusung disesuai dengan indikator CP oleh Abdurachman dkk.(1984); Ambar dan Syarifudin (1979) Bentuk Penggunaan Lahan
Luas Lahan Sistem (Ha) Penanaman
Satuan Penyetaraan
Nilai CP
Peladangan : 1 tahun tanam - 1 tahun bera
0,28
Wakal Ladang (Ubi kayu + ubijalar + talas + jagung + kc.panjang + cili + terung +Kc. tanah)
9
Kebun Campuran (Pisang + kakao + kelapa + salak + langsa + duku + manggis + rambutan + durian + jambu + kenari + pule + jati + buah rao + tawang + pinang + sama + lenggua ) Kebun Monokultur (cengkeh + pala)
20
(sagu)
3
38
Agroforestri Perkebunan : & penutup tanah tumpangsari sempurna 0,01 Agroforestri Perkebunan : penutup tanah sempurna Monokultur Perkebunan : penutup tanah sebagian
0,07
Tumpangsari Peladangan : 1 tahun tanam - 1 tahun bera
0,28
0,01
Hatu Ladang (Ubi kayu + ubijalar + talas + jagung + kc.panjang + sawi + terung + timun) Kebun Campuran (pisang + kakao + pepaya + kelapa + Langsa + nenas + durian +cempedak + jambu + titi + kenari + duabanga + tawang +cempaka + pule + samama + lenggua + bintanggur) Kebun Monokultur (cengkeh + pala) (sagu )
11,6
42,7
Agroforestri Perkebunan : penutup tanah & tumpangsari sempurna 0,01
20,5 6
Agroforestri Perkebunan : penutup tanah sempurna Monokultur Perkebunan : penutup tanah sebagian
Lampiran 14 Penilaian permeabilitas tanah oleh Hammer (1978) Kelas Permeabilitas
cm/jam
Nilai
Cepat (rapid) Sedang sampai cepat (moderate to rapid) Sedang (moderate) Sedang sampai lambat (moderate to rapid) Lambat (slow) Sangat lambat (very slow)
> 25, 4 12,7 - 12,4 6,3 - 12,7 2,0 - 6,3 0,5 - 2,0 < 0,5
1 2 3 4 5 6
0,01 0,07
61 Lampiran 15 Kriteria tingkat penggunaan dan pengelolaan lahan sistem dusung
Kriteria
Indikator
Parameter
Sistem usahatani
Pola tanam
Monokultur Tumpangsari Agroforestri Tinggi Sedang Rendah
Kerapatan tanaman
Bobot (%)
Total Konservasi
Teknik konservasi
Pembuatan pagar Pembuatan teras Pembuatan irigasi
Erosi
Kelas kelerengan
0-8 % 8-40 % > 40 % 0 – 50 cm > 50 cm Tinggi Sedang Rendah
Total
Solum tanah (cm) Kepekaan tanah
Total Sosial budaya
Ketergantungan terhadap lahan Status lahan Adopsi
Norma
Tinggi Rendah Milik pribadi Milik keluarga Milik pribadi dan keluarga Adanya pemahaman dan tindakan petani Tidak adanya pemahaman dan tindakan petani Ada aturan adat Tidak ada aturan adat Total
Ket : Adaptasi dari indikator pengelolaan Das (Agus et al. 2003).
50 15 20 20 15 10 90 10 15 20 45 20 15 10 20 15 20 15 10 125 20 15 10 15 20 20 10 20 15 145