Before I Die JENNY DOWNHAM
Dengan kanker yang dideritanya, Tessa Scott hanya memiliki sisa hidup beberapa bulan lagi. Namun ia menyadari bahwa hidup harus dinikmati semaksimal mungkin, meskipun hidup yang dapat ia jalani hanya hingga usia tujuh belas tahun. Ia membuat daftar keinginan—sepuluh hal yang ingin ia wujudkan—demi merasakan berbagai pengalaman. Namun, saat ia perlahan-lahan kehilangan segalanya, ia justru menemukan hal yang sangat berharga dalam hidupnya. Sanggupkah Tessa mewujudkan seluruh keinginannya sebelum hidupnya berakhir?
SEBELUM AKU MATI Diterjemahkan dari BEFORE I DIE Karya Jenny Downham Copyright © Jenny Downham, 2007 Copyright arranged with: Felicity Bryan Literary Agency 2a North Parade, Banbury Road, Oxford, OX2 6LX, United Kingdom Through Tuttle-Mori Agency Co., Ltd. Penerjemah: Indriani Grantika Penyunting: Indriani Grantika Proofreader: Priska Ghania Desain sampul: Indriani Grantika Tata letak isi: Nurul Huda Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Grantika Publishing All rights reserved Hak cipta dilindungi undang-undang
ISBN: 978-602-18147-0-3 Cetakan I: April 2012 Cetakan II: Juli 2012 Cetakan III: Desember 2012
Before I Die
Zoey bertanya, “Kau menangis ya?” Aku tidak yakin. Sepertinya begitu. Aku terdengar seperti para wanita di televisi ketika seluruh keluarga mereka meninggal. Aku terdengar seperti binatang yang menggerogoti kakinya sendiri hingga lepas. Semuanya hilang begitu saja—seolah jemariku hanyalah tulang belulang dan kulitku tembus pandang. Di dalam paru-paru kiriku, bisa kurasakan selsel berkembang biak, menumpuk, seperti abu yang perlahan-lahan mengisi vas. Tak lama lagi aku tak akan sanggup bernapas. “Wajar kalau kau merasa takut,” kata Zoey. “Tidak.” “Tentu saja wajar. Apa pun yang kau rasakan itu wajar.” “Bayangkan, Zoey—merasa takut setiap saat.” “Bisa kubayangkan.” Tapi tentu saja dia tidak bisa membayangkannya. Mana mungkin dia bisa membayangkannya sementara dia bisa menikmati hidupnya? Aku menyembunyikan wajahku di bawah topi lagi, hanya sebentar, karena aku akan rindu bernapas. Dan berbicara. Dan merindukan jendela. Aku akan merindukan cake.
Dan ikan. Aku suka ikan. Aku suka melihat pergerakan mulut ikan, membuka, menutup, lalu membuka lagi. Dan di tempat yang akan kutuju nanti, aku tidak bisa membawa serta apa pun. Zoey melihatku mengusap air mata dengan ujung duvet. “Lakukan bersamaku,” kataku. Dia tampak terkejut. “Lakukan apa?” “Hal-hal yang ada di carikan kertas yang terpencar di mana-mana. Nanti kutulis secara urut dan kau bisa membantuku mewujudkannya.” “Membantumu mewujudkan apa? Hal yang kau tulis di dinding?” “Kumohon, Zoey. Meskipun aku memohon supaya kau tidak membantuku, meskipun aku ini mengerikan bagimu, kau harus membantuku mewujudkannya. Aku punya daftar panjang tentang halhal yang ingin kulakukan.” Ketika dia mengatakan, “Oke,” dia membuatnya terdengar seolah itu hanyalah hal sepele, seolah aku hanya memintanya untuk menjengukku lebih sering. “Kau sungguh-sungguh?” “Aku menyetujuinya, kan?”
Aku bertanya-tanya apakah dia tahu dia membiarkan dirinya terlibat dalam hal seperti apa. *** Ada noda merah di dagu Dr. Ryan. Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak menatapnya saat kami duduk di hadapannya, di mejanya. Aku penasaran—apakah itu saus pasta, atau sup? Apakah dia baru saja selesai membedah? Mungkin itu daging mentah. “Terima kasih sudah datang,” katanya, dan dia me-mindahkan tangannya ke pangkuannya. Ayah menggeser kursinya lebih dekat dengan kursiku dan menekan lututnya ke lututku. Aku menelan ludah, melawan dorongan untuk bangkit berdiri dan berjalan ke luar ruangan. Jika aku tidak mendengarkan, maka aku tidak akan tahu apa yang akan dikatakannya, dan mungkin yang dikatakannya tidak benar. Tapi Dr. Ryan tidak tampak ragu-ragu, dan suaranya terdengar sangat tegas. “Tessa,” katanya, “Sayangnya ini bukan kabar baik. Hasil pungsi lumbar
terakhirmu menunjukkan bahwa kanker telah menyebar ke cairan tulang belakangmu.” “Apakah itu buruk?” tanyaku, sedikit bercanda. Dia tidak tertawa. “Ini sangat buruk, Tessa. “Ini ber-arti kau mengalami kemunduran di sistem saraf pusat. Aku mengerti ini kabar yang sulit untuk diterima, tetapi keadaan berkembang lebih cepat daripada yang kita duga pada awalnya.” Aku menatapnya. “Keadaan?” Dia bergeser di kursinya. “Kondisimu menurun drastis, Tessa.” Ada jendela besar di belakang meja dokter, dan aku dapat melihat dua puncak pohon di luar jendela itu. Aku dapat melihat cabang-cabang pohon, daundaun yang mengering, dan langit yang hanya terlihat sedikit. “Seberapa banyak kondisiku menurun?” “Aku hanya bisa menanyakan apa yang kau rasakan, Tessa? Apakah kau lebih sering merasa letih, atau mual? Apakah kau merasakan nyeri di kakimu?” “Sedikit.”
“Aku tidak bisa menilainya, tetapi aku menyarankanmu untuk melakukan hal-hal yang ingin kau lakukan.” Dia memiliki beberapa foto medis untuk membuktikan ucapannya, dia menyerahkannya untuk dilihat seakan-akan foto itu adalah foto-foto liburan, menunjukkan bintik kecil dari foto yang gelap, lesi— jaringan tubuh yang abnormal, serta jaringan ikat longgar yang mengambang. Seolah-olah ada seorang anak yang terlalu antusias dan membawa kuas serta sekaleng cat hitam yang telah dilepaskan di dalam tubuhku. Ayah berusaha untuk tidak menangis namun siasia. “Apa yang terjadi sekarang?” Ayah bertanya, dan air mata menitik tanpa suara dari matanya dan jatuh ke pangkuannya. Dokter memberinya tisu. Di luar jendela, hujan pertama hari itu turun menerpa kaca. Selembar daun terbawa embusan angin, lalu tampak menyala merah keemasan saat melayang jatuh. Dokter berkata, “Tessa dapat merespons pengobatan intratekal intensif. Aku akan menyarankan metotreksat dan hidrokortison selama empat minggu. Jika berhasil, gejala-gejala yang dialaminya akan
mulai berkurang dan kita akan melanjutkan dengan program perawatan.” Dokter terus berbicara dan Ayah terus mendengarkan, tetapi aku berhenti mendengarkan sedikit pun. Ini benar-benar akan terjadi. Mereka bilang ini akan terjadi, tapi ini lebih cepat daripada yang diperkirakan. Aku benar-benar tidak akan kembali ke sekolah. Tidak akan pernah. Aku tidak akan pernah populer atau meninggalkan sesuatu yang berharga. Aku tidak akan pernah pergi ke perguruan tinggi atau mendapatkan pekerjaan. Aku tidak akan melihat adikku tumbuh dewasa. Aku tidak akan bepergian, tidak pernah bisa memperoleh penghasilan, tidak akan pernah mengemudi, tidak akan sempat jatuh cinta atau sempat pindah rumah atau membeli rumahku sendiri. Ini benar-benar nyata. Sebuah pemikiran menusuk, merayap dari jemari kakiku dan menyayatku, hingga menghambat segala hal lain dan menjadi satu-satunya hal yang kupikirkan. Pemikiran itu menguasaiku, seperti jeritan bisu. Aku sudah sakit begitu lama, membengkak dan sakit-sakitan, dengan warna kulit yang tidak merata,
kuku yang pecah-pecah, rambut yang rontok dan rasa mual yang terasa hingga ke tulang-tulangku. Ini tidak adil. Aku tidak rela mati seperti ini, tidak sebelum aku hidup dengan baik. Tampak begitu jelas bagiku. Aku merasa hampir penuh harapan, itu gila. Aku ingin menikmati hidup sebelum ajal menjemputku. Ini satu-satunya hal yang masuk akal. Saat itulah ruangan itu kembali tampak jelas. Dokter terus membahas tentang percobaan pengobatan, bagaimana obat-obatan itu kemungkinan tidak akan menolongku, tapi mungkin bisa menolong pengidap lain. Ayah masih menangis tanpa suara, aku menatap ke luar jendela dan bertanya-tanya mengapa cahaya tampak memudar begitu cepat. Sudah pukul berapa sekarang? Sudah berapa lama kami duduk di sini? Aku melirik jam tanganku—pukul tiga lewat tiga puluh menit dan siang hari sudah hampir berakhir. Ini bulan Oktober. Anak-anak lain baru saja kembali ke ruang-ruang kelas mereka dengan tas dan tempat pensil baru, menantikan setengah semester yang akan mereka lalui. Seberapa cepatnya setengah semester berlalu. Halloween akan tiba, lalu malam kembang api. Natal. Musim semi.
Paskah. Lalu ada ulang tahunku pada bulan Mei. Aku akan berusia tujuh belas tahun. Berapa lama aku bisa bertahan? Aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah aku punya dua pilihan—terus berlindung di bawah selimut dan melanjutkan hidup sebagai orang yang sekarat, atau kembali melaksanakan daftar keinginanku dan melanjutkan hidupku. *** Ayah mendekat, duduk di kursi dan meraih tanganku. “Kau tahu,” katanya, “Sewaktu kau masih bayi, Ayah dan Ibu sering berbaring terjaga di malam hari untuk mengawasimu bernapas. Kami takut kau akan lupa cara bernapas jika kami tidak mengawasi.” Tangan Ayah bergerak, ada pelunakan pada kontur jari-jarinya. “Kau boleh menertawakan Ayah, tapi itu benar. Keadaan menjadi lebih mudah saat anak-anak sudah lebih besar, tapi kekhawatiran itu tidak pernah hilang. Ayah mengkhawatirkanmu sepanjang waktu.” “Mengapa Ayah mengatakannya kepadaku?” Ayah mendesah. “Ayah tahu kau merencanakan sesuatu. Ayah perlu tahu tentang daftar keinginan
itu, bukannya Ayah ingin menghentikanmu, tapi Ayah ingin kau tetap aman.” “Bukankah itu hal yang sama?” “Tidak, kurasa itu berbeda. Ini seperti kau memberikan hal yang terbaik dari dirimu. Mengenyahkan hal-hal yang terlalu menyakitkan.” Suara Ayah melemah. Itukah yang benar-benar Ayah inginkan? Ingin dilibatkan? ... Daftar selanjutnya adalah... Dan setelah itu, masih ada tujuh hal lagi untuk dilaksanakan. Jika aku memberitahu Ayah, maka Ayah akan mengambil daftar itu. Aku tidak ingin menghabiskan hidupku bergelung dalam selimut di sofa sambil menyandarkan kepala di bahu Ayah. Daftar keinginan itu adalah satu-satunya hal yang membuatku bersemangat.
Terima kasih. Anda telah membaca contoh buku Grantika Publishing. Buku ini tersedia di toko-toko buku terdekat & toko-toko buku online.