BAHAN PEWARNA ALAMI KAYU ASAL KAMPUNG MBENTI DISTRIK MINYAMBOUW KABUPATEN MANOKWARI
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah Ini Dibuat Untuk Mengikuti Kegiatan Perkemahan Bakti Satuan Karya Pramuka Wanabakti Tingkat Nasional IV Tahun 2014
Oleh: Siswa-Siswi Smk Kehutanan Negeri Manokwari
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KEHUTANAN NEGERI MANOKWARI 2014
LEMBARAN PERSETUJUAN Judul
:
Penulis
: Siswa-siswi Smk Kehutanan
Manokwari, 14 November 2014 Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
PERNYATAAN
Dengan ini kami menyatakan bahwa karya tulis ilmiah ini adalah hasil karya sendiri dan bukan duplikasi dari hasil karya orang lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam tubuh tulisan dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir karya tulis ilmiah ini. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa apa yang kami nyatakan tidak sesuai, maka kami bersedia menerima sanksi yang berlaku.
Manokwari, 25 Juli 2012
Penulis
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kasih dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk mengikuti kegiatan Perkemahan Bakti Satuan Karya Pramuka Wanabakti Tingkat Nasional IV tahun 2014. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang telah membantu penulis, antara lain: 1. Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan Negeri Manokwari (Kepala Sekolah, Pegawai dan Guru-guru) yang telah berkenan memberi semangat, motivasi, saran dan kritikan kepada penulis mengenai karya tulis ilmiah ini. 2. Bapak Rizard Waas, Ibu Meryanti Totong dan Ibu Fajar Purwanti selaku pembimbing yang telah sabar membimbing, mengarahkan dan membagi ilmunya kepada penulis. 3. Kakak kami Agung Rahmat selaku mentor yang telah memberi inspirasi. 4. Rekan-rekan angkatan VI yang telah membantu dalam proses pembuatan karya tulis ilmiah dan tidak bisa kami sebut satu persatu. Akhirnya penulis menyadari bahwa substansi karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan segala kekurangannya diharapkan semoga informasi yang tertuang dalam karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Manokwari, 14 November 2014
Penulis
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan bahan pewarna alami pada kayu yang digunakan oleh masyarakat suku Hatam yang bermukim di Kampung Mbenti Distrik Minyambouw yang nantinya dapat dijadikan sumber bahan pewarna alami kayu (cat) yang tidak berbahaya untuk digunakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan teknik observasi. Variabel yang diamati adalah perubahan warna pada contoh uji. Sampel bahan pewarna alami yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu simer (Saurauia sp.). Kayu kenanga (Cananga odorata) yang digunakan sebagai contoh uji berukuran 4cm x 4cm x 5cm. Pelaksanaan penelitian terdiri dari pengambilan sampel dan ekstraksi, pemotongan contoh uji, pewarnaan contoh uji yang terdiri dari proses pengaplikasian bahan pewarna dan proses fiksasi. Selanjutnya dilakukan pengamatan pada warna yakni perubahan warna yang terjadi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bahan pewarna alami simer digunakan untuk mewarnai contoh uji dapat mengubah warna kayu.
Manokwari,14 november 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………………. i PERNYATAAN ………………………………………………….
ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
iii
ABSTRAK …………………………………………………………………
vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. v PENDAHULUAN Latar Belakang …………………………………………………………. 1 Masalah …………………………………………………………………. 2 Tujuan dan Manfaat …………………………………………………….. 3 TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Penghasil Warna Alami ……………………………………. 9 Deskripsi Jenis Kayu …………………………………………………… 15 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu ……………………………………………………..
19
Alat dan Bahan …………………………………………………………
19
Metode Penelitian ………………………………………………………
19
Variabel Pengamatan …………………………………………………… 20 Pelaksanaan Penelitian …………………………………………………. 20 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................…………………………….........… 23 [
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………. 48 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 50
PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu banyak dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat Papua. Berbagai bentuk pemanfaatan hutan telah dilakukan sejak dahulu. Salah satu bentuk pemanfaatan hasil hutan dalam kehidupan adalah pemanfaatan tumbuhan sebagai penghasil warna alami. Masyarakat Papua khususnya suku Hatam yang bermukim di Kampung Mbenti Distrik Minyambouw telah menggunakan tumbuhan sebagai bahan pewarna alami makanan maupun pewarna alami kerajinan tangan secara turun temurun jauh sebelum mengenal bahan pewarna sintetik. Penggunaan bahan pewarna sangat diperlukan untuk menghasilkan suatu produk yang lebih bervariasi dan menambah nilai artistik produk tersebut. Kemajuan teknologi pewarnaan, yaitu dengan semakin berkembangnya pewarna sintetik secara tidak langsung telah mengakibatkan berubahnya sistem atau pola hidup masyarakat, terutama di daerah dekat perkotaan dalam memanfaatkan tumbuhan penghasil warna alami. Pewarna sintetik secara cepat menggantikan peran dari pewarna alami sebagai bahan pewarna. Hal ini disebabkan karena biaya produksinya yang lebih murah, jenis warna yang lebih banyak dan kemampuan pewarnaan yang lebih baik. Kemudahan dan kepraktisan yang diperoleh dengan menggunakan pewarna sintetik dibandingkan dengan penggunaan pewarna alami telah menyebabkan berkurangnya kebiasaan menggunakan pewarna alami dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini berdampak pada berkurangnya pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai pewarna alami dari waktu ke waktu, bahkan hilang sama sekali (Sutarno, 2001). Di Papua pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat mencakup berbagai bentuk seperti tumbuhan obat, tumbuhan pewarna dan lain-lain. Masyarakat suku Hatam di Kampung Mbenti memanfaatkan tumbuhan sebagai pewarna alam untuk pewarna kerajinan tas/noken, makanan, kosmetik dan ukiran. Sebagian besar tumbuhan yang dimanfaatkan diperoleh dari hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Pewarna alami yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk mewarnai
kerajinan tangan seperti anyaman berupa tas/noken. Peralatan yang diwarnai berupa panah yang merupakan senjata tradisional bagi masyarakat. Sedangkan untuk bahan makanan terutama digunakan untuk mewarnai ubi/nasi, dan sebagai kosmetik untuk mewarnai tubuh yang biasanya digunakan pada saat tertentu yang mereka inginkan (seperti pada saat karnaval) (Sutarno, 2001). Penggunaan pewarna alami di Papua masih terbatas pada penggunaan secara lokal. Salah satu penyebabnya adalah tingginya keanekaragaman adat istiadat yang terdapat di daerah ini, dengan corak kehidupan serta bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga penggunaan pewarna alami pada salah satu etnik lebih sulit disebarluaskan ke etnik lainnya (Sutarno, 2001). Masalah Penggunaan pewarna sintetik dapat berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan kanker kulit, kanker mulut, kerusakan otak. Selain itu juga dapat menimbulkan dampak bagi lingkungan seperti pencemaran air dan tanah yang juga berdampak secara tidak langsung bagi kesehatan manusia karena di dalamnya terkandung unsur logam berat seperti timbal (Pb), tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang berbahaya. Hal tersebut merupakan pendorong bagi orang untuk kembali menggali potensi pewarna alami yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan (Djuni, 2002). Tumbuhan yang menjadi sumber pewarna alami sebagian besar terdapat di alam, sementara saat ini banyak dilakukan kegiatan pembukaan wilayah hutan untuk kebutuhan pemukiman yang meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan pemekaran wilayah pemerintahan telah mengakibatkan berkurangnya tumbuhan penghasil warna alami yang berada di hutan. Diduga banyak sumber bahan pewarna alami yang digunakan masyarakat lokal telah sulit dijumpai bahkan hilang tanpa teridentifikasi. Sementara penelitian tentang tumbuhan penghasil warna yang digunakan oleh masyarakat suku Arfak, khususnya suku Hatam belum banyak dilakukan (Sutarno, 2001). Upaya pengembangan dan pelestarian tumbuhan penghasil warna alami di Papua menghadapi kendala yaitu pada umumnya pengetahuan tentang
pemanfaatan dan pembudidayaan tumbuhan penghasil warna alami hanya diketahui oleh kaum tetua sehingga dikhawatirkan pengetahuan pemanfaatan bahan pewarna alami dapat musnah apabila pengetahuan ini tidak digali untuk tujuan pengembangan pengetahuan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian guna mengetahui jenis tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pewarna alami yang digunakan oleh masyarakat suku Hatam yang bermukim di Kampung Mbenti Distrik Minyambouw. Selain itu diperlukan pengujian bahan pewarna alami yang diaplikasikan pada kayu komersial yang nantinya dapat dijadikan sumber bahan pewarna kayu (cat) yang tidak berbahaya untuk digunakan. Tujuan dan Manfaat Tujuan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengaplikasikan bahan pewarna alami pada kayu yang nantinya dapat dijadikan sumber bahan pewarna alami kayu (cat) yang tidak berbahaya untuk digunakan. Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar mengenai alternatif bahan pewarna yang aman dan ramah lingkungan bagi manusia.
TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Penghasil Warna Alami Tumbuhan pewarna alami dapat diartikan sebagai tumbuhan yang secara keseluruhan maupun salah satu bagiannya baik batang, kulit, buah, bunga maupun daunnya dapat menghasilkan suatu zat warna tertentu setelah melalui proses baik perebusan, penghancuran maupun proses lainnya. Pada umumnya zat warna diperoleh dari tumbuhan yang diambil dari hutan atau sengaja ditanam, digunakan untuk mewarnai ukiran, patung, makanan, anyaman, tenunan serta bahan kerajinan lainnya berasal dari pohon, perdu dan liana yang diolah secara tradisional (Makabori, 1999). Penggunaan pewarna alami di Papua masih terbatas pada penggunaan secara lokal. Salah satu penyebabnya adalah tingginya keanekaragaman adat istiadat yang terdapat di daerah ini, dengan corak kehidupan serta bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga penggunaan pewarna alami pada salah satu etnik lebih sulit disebarluaskan ke etnik lainnya (Sutarno, 2001). Deskripsi Jenis Kayu Kenanga (Cananga odorata) Kenanga termasuk dalam family Anonaceae. Memiliki nama perdagangan cananga, sedang nama umum di Indonesia adalah kenanga. Beberapa nama daerah di Papua antara lain adalah toekoei, iba, betsa (Manikiong, Manokwari); pundjap, somdjak, sommitjake (Kebar, Manokwari); soembiak (Amberbaken, Manokwari); mandoen (Biak); antoe, tangling (Skou, Jayapura). Daerah penyebaran jenis ini di Papua antara lain di Sekoli, Nemo, Holtekamp (Jayapura); Ransiki, Mandoswaar, Sidei, Kebar, Amban, Oransbari, Anisandau, Krabo gebergte (Manokwari); Sausapor, Warsamson, Kaloal-Salawati (Sorong); P.Adi (Fakfak); Randawaya II (Serui). Di Papua hanya dikenal satu jenis saja yaitu Cananga odorata Hook f. et Th. Tumbuh secara alam di hutan tropis basah Papua yang bersama-sama dengan
jenis-jenis pohon lainnya merupakan hutan belukar ataupun rimba tua di dataran rendah di tepi pantai sampai ketinggian kurang lebih 720 meter di atas permukaan laut, pada tanah bukit batu, berbatu, tanah pasir dan tanah liat yang tidak tergenang air, tapi jarang pada tanah rawa. Pada umumnya tumbuhnya agak banyak, terpencar satu dengan lainnya di antara jenis-jenis pohon lainnya. Kenanga berupa pohon tinggi di hutan alam tropis basah Papua dengan tinggi mencapai lebih kurang 43 m, sedang tinggi rata-rata maksimum batang bebas cabang 20 m dengan diameter rata-rata maksimum setinggi dada 100 cm. Batangnya sedikit tegak dan tidak silindris sempurna, mempunyai bagian kulit yang mati tebalnya 0,1-2 mm berwarna kelabu kecokelatan dan bagian kulit yang hidup tebalnya 10-30 mm yang pada penampang melintang warnanya kelabu atau cokelat muda, sedang bila dilihat dari dalam warnanya kuning merang. Tajuk biasa berbentuk bulatan dan warnanya hijau. Ciri-ciri kayu kenanga adalah antara kayu gubal dan kayu teras tidak dapat dibedakan dengan tegas. Kayu teras berwarna putih kecokelatan sedang kayu gubal berwarna lebih muda sampai putih. Serat kayu lurus, teksturnya halus sedang. Kayu kenanga termasuk kayu sangat ringan, lunak, tidak kuat dan tidak awet, oleh karena itu memerlukan banyak perawatan. Adapun klasifikasi sifat fisik dan mekanik kayunya adalah sebagai berikut: berat jenis kering udara = 0,35. Kelas kuat = IV. Kelas awet = V. Kayu mudah kering dengan kembang kerut sedang, mudah dikerjakan dan mudah digergaji, daya pagut terhadap paku ataupun sekrup baik, cat dan pelitur dapat melekat dengan baik. Kegunaan terbatas untuk kotak kayu, pelampung, bahan pembuatan alatalat musik yang sebelumnya perlu diawetkan terlebih dahulu.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari dan berlangsung selama 2 bulan dari Mei sampai Juli 2012. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, hot plate, thermometer, vacuum, gelas ukur, gelas erlenmeyer, spatula, corong, toples, baskom, parang, sarung tangan, panci, sikat, kain lap, kamera, buku warna dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian tumbuhan pewarna alami yang digunakan oleh masyarakat suku Hatam Kampung Mbenti Distrik Minyambouw (kulit kayu simer (Saurauia sp.)), kayu kenanga (Cananga odorata), aquades, etanol, tawas, aluminium foil, kertas koran, kertas label dan kertas saring. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan teknik observasi. Variabel Pengamatan Variabel yang diamati adalah perubahan warna pada contoh uji. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Sampel dan Ekstraksi Bagian tanaman (kulit kayu) diambil dari Kampung Mbenti Distrik Minyambouw. Kemudian seluruh sampel dirajang lalu ditimbang. Setelah ditimbang, sampel dididihkan bersama air dengan perbandingan 1:5 dan disaring
untuk mendapatkan air ekstrak. Sedangkan ampasnya dibungkus dalam aluminium foil. Pemotongan Contoh Uji Kayu yang digunakan sebagai contoh uji yang akan diwarnai yaitu Kayu kenanga (Cananga odorata) diamplas permukaannya sampai halus dan rata terlebih dahulu, lalu dibersihkan menggunakan etanol, setelah itu dikeringkan. Ukuran contoh uji yang digunakan adalah 4cm x 4cm x 5cm dan diberi label A, B, C dan D untuk masing-masing bagian gubal dan teras. Untuk satu jenis bahan pewarna menggunakan satu jenis kayu. Dari satu jenis kayu, digunakan 24 contoh uji bagian gubal dan 24 contoh uji bagian teras. Jumlah contoh uji yang digunakan dari satu jenis kayu adalah 48 contoh uji untuk satu jenis bahan pewarna. Jumlah contoh uji yang digunakan dari dua jenis kayu adalah 96 contoh uji untuk satu jenis bahan pewarna. Dalam penelitian ini, jumlah contoh uji yang digunakan untuk 2 jenis bahan pewarna alami adalah 192 contoh uji. Pemotongan contoh uji kayu yang akan diwarnai dapat dilihat pada Gambar 1. Teras
Gubal
4 cm 4 cm 5 cm Gambar 1. Pengambilan Contoh Uji
Contoh Uji
Pewarnaan Contoh Uji Pewarnaan contoh uji terdiri dari tiga bagian, yaitu mordanting, pengaplikasian bahan pewarna dan fiksasi (Purwaningrum, 2007). Untuk satu jenis bahan pewarna dan satu jenis bagian kayu digunakan contoh uji sebanyak 3 buah. Perlakuan mordanting tidak perlu dilakukan dikarenakan proses mordanting tidak berpengaruh dalam proses pewarnaan kayu. Sehingga tahap awal adalah proses pengaplikasian bahan pewarna. Contoh uji akan direndam dengan bahan pewarna selama 24 jam pada suhu 70C, kemudian ditiriskan. Tahap kedua dan terakhir adalah proses fiksasi. Tawas dilarutkan dalam air (larutan fiksasi) dengan perbandingan 200 gram/1 liter air. Contoh direndam dalam larutan fiksasi selama 1 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman simer (Saurauia sp.) penghasil warna alami yang diperoleh selama pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tanaman simer (Saurauia sp.)
Bahan pewarna alami dari ekstrak simer (Saurauia sp.) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bahan pewarna alami dari ekstrak simer (Saurauia sp.)
Gambar 4. Kayu kenanga; (1) Kayu kenanga bagian gubal setelah diwarnai dengan pewarna simer; (2) Kayu kenanga bagian teras setelah diwarnai dengan pewarna simer; (3) Kayu kenanga yang tidak diwarnai (tidak diberi perlakuan)
Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat terlihat bahwa contoh uji yang telah diwarnai dengan bahan pewarna alami menghasilkan warna yang berbeda dibandingkan dengan contoh uji yang tidak diwarnai (tidak diberi perlakuan). Hal ini terlihat dari perbedaan warna yang terlihat pada saat pengamatan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dari tiap contoh uji dan bagian kayu, juga disebabkan oleh faktor luar seperti suhu. Pengamatan dilakukan secara visual (kualitatif) bukan dengan alat (spectrophotometer) sehingga untuk mengetahui hasil yang lebih baik antara kayu bagian gubal dan teras tidak dapat dilakukan.
PENUTUP Kesimpulan 1.
Bahan pewarna yang digunakan sebagai bahan pewarna alami oleh masyarakat suku Hatam Kampung Mbenti Distrik Minyambouw salah satunya adalah kulit kayu Simer (Saurauia sp.) dapat diaplikasikan di kayu dengan proses perebusan dan pencelupan atau perendaman tetapi hasil yang diperoleh sebagai bahan pewarna belum diuji kepermanenannya.
2.
Contoh uji yang diwarnai dengan kedua bahan pewarna alami menghasilkan warna yang bervariasi pada kayu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dari tiap contoh uji dan bagian kayu, juga disebabkan oleh faktor luar seperti suhu.
3.
Hasil pewarnaan kayu dengan merendam kayu menggunakan bahan pewarna alami dalam bentuk cair (larutan dengan kepekatan/kekentalan rendah) dapat mengubah warna kayu.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai berbagai tanaman penghasil warna alami yang terdapat di alam Papua dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses pewarnaan pada kayu dengan menggunakan bahan pewarna alami berbentuk pasta dengan cara dilaburkan serta diuji kepermanenannya serta perlu dilakukan konservasi dan budidaya tanaman penghasil warna alami secara intensif sehingga tanaman penghasil warna alami tidak berkurang atau punah.
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Susilo Tri. 2011. Diakses pada tanggal 20 Nopember 2011 dari http://chemistry35.blogspot.com/2011/08/zat-warna-alami-dansintesisbuatan Djuni, Pristiyanto. 2002. Pewarna Kue Yang Alami. Diakses pada tanggal 20 Nopember 2011 dari http://www.SuaraMerdeka.Com/Harian/021/14/Ragam Hamid, Tilani S.dan Muhlis, Dasep. 2005. Perubahan Sifat Fisika dan Kimia Kain Sutera Akibat Pewarna Alami Kulit Akar Pohon Mengkudu (Morinda Citrifolia). Jurnal Teknologi, Edisi No. 2, Tahun XIX, Juni 2005, 163-170 ISSN 0215-1685. Harbelubun, A.E, Elisa, M.K, dan Yohanes, Y.R. 2005. Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya Secara Tradisional Oleh Suku Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke. Biodiversitas. 6:4 hal 285-288. Hardjanti, Sri. 2008. Potensi Daun Katuk sebagai Sumber Zat Pewarna Alami dan Stabilitasnya Selama Pengeringan Bubuk dengan Menggunakan Binder Maltodekstrin. Jurnal Penelitian Saintek, Vol. 13, No. 1, April 2008: 1-18. Hidayat, Nur dan Anis, Elfi. 2006. Membuat Pewarna Alami. Trubus Agrisarana. Jakarta. Husodo, T. 1999. Peluang Zat Pewarna Alami Untuk Pengembangan Produk IKM Kerajinan Dan Batik. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Yogyakarta. Kehati, 2009. Flora kita, Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Indonesia. Kehati Kumpulan Prosea. Diakses pada tanggal 20 Nopember 2011 dari http://www.proseanet.org/flora_kita/browser.php?p_catagory=2 Koentjaraningrat, 1993. Masyarakat di Anggi Manokwari Irian Jaya, Masyarakat Terasing di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Lee TA, Sci BH, Counsel. 2005. The Food From Hell: Food Colouring. The Internet Journal of Toxicology.Vol 2 no 2. China: Queers Network Research.
Listiana, Wina. 2009. Pemakaian Zat Pewarna Pada Makanan. Diakses pada tanggal 20 Nopember 2011 dari http://duniaveteriner.com/2009/07/studiliteratur-pemakaian-zat-pewarna-pada-makanan/print Makabori, S. 1999. Teknik Silvikultur Jenis — Jenis Tanaman Penghasil Warna Alam Irian Jaya. Makalah Seminar Menggali Potensi Warna Alam Irian Jaya. Departemen Kehutanan Dan Perkebunan Propinsi Irian Jaya. Purwaningrum, Dian S. 2007. Pengaruh Lama Waktu Mordan Tawas Terhadap Ketuaan Warna dan Kekuatan Tarik Kain Sutera Dalam Proses Pewarnaan Dengan Zat Warna Daun Mangga Pada Busana Pesta Anak. Skripsi Sarjana Jurusan Teknik Jasa dan Produksi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. (tidak diterbitkan). Risnasari, Iwan. 2002. Tanin. Fakultas Pertanian. Jurusan Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara Medan. Samsudin, Asep M. dan Khoiruddin. Ekstraksi, Filtrasi Membran dan Uji Stabilitas Zat Warna Dari Kulit Manggis (Garcinia mangostana). Semarang. Sarakan, Luchmilla Vlasyofa. Tumbuhan Penghasil Pewarna Alami Dan Pemanfaatannya Dalam Kehidupan Suku Mampiour di Distrik Kebar Kabupaten Manokwari Papua. Diakses pada tanggal 20 Nopember 2011 dari http://Sinta.ukdw.ac.id/Sinta/resources/nutrisrv/nim31980667 Sobandi, Bandi. 2011. Teknik Pengolahan Zat Warna Alam (ZPA) Untuk Pewarnaan Batik. Sugianto. 2010. Diakses pada tanggal 20 Nopember 2011 dari http://sugiantoindustri.blogspot.com/search/label/TECHNOLOGY Sutarno, S. 2001. Tumbuhan Penghasil Warna Alami dan Pemanfaatannya Dalam Kehidupan Suku Meyah di Desa Yoom Nuni Kab. Manokwari. Skripsi Sarjana Mahasiswa Kehutanan UNIPA Manokwari. (tidak diterbitkan). Wibowo, A. 2003. Identifikasi Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Warna Alami dan Pemanfaatannya Dalam Kehidupan Suku Hatam Di Kampung Mbenti Distrik Anggi Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua Manokwari. (tidak diterbitkan).