63
BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR
Survey airborne LIDAR terdiri dari beberapa komponen alat, yaitu GPS, INS, dan laser scanner, yang digunakan dalam wahana terbang, seperti pesawat terbang atau helikopter. Beberapa karateristik dari survey airborne LIDAR adalah : 1. Survey dapat dilakukan siang maupun malam hari 2. Survey airborne LIDAR dapat dilakukan dalam cuaca yang kurang baik, seperti saat berawan, selama tidak ada awan di antara wahana terbang dan permukaan tanah. 3. Mempunyai kerapatan scan yang tinggi, mulai dari 5000 hingga 50.000 pancaran laser per detik. 4. Mampu menerima satu hingga lima pantulan laser (multiple return)
6.1
Prosedur Pelaksanaan Survey Airborne LIDAR
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan survey pengambilan data airborne LIDAR, antara lain: survey pendahuluan terhadap daerah proyek, dan pengadaan titik kontrol.
6.1.1
Survey Pendahuluan
Dalam survey pendahuluan, dilakukan penghitungan koordinat-koordinat batas area survey. Selain itu tipe area pengambilan data harus diketahui untuk mengetahui keadaan aktual dari area survey, seperti: kerapatan vegetasi, objek-objek penting, keadaan
64 topografi, dan lain-lain. Tipe area survey sangat penting untuk diketahui untuk menentukan kecepatan wahana terbang, sudut scanning, kerapatan scanning, serta ketinggian terbang.
6.1.2
Titik Kontrol Tanah
Pelaksanaan titik kontrol tanah terdiri dari: base station, kontrol kaliberasi, dan kontrol area proyek. Seluruh titik kontrol tersebut harus mengacu pada suatu jaring titik kontrol geodesi yang berguna untuk konsistensi, dan pemeriksaan kesalahan yang terjadi pada sistem airborne LIDAR. a.
Base Station, atau stasiun titik kontrol harus terletak pada jarak 30 hingga 40 kilometer dari area proyek. Penentuan lokasi titik kontrol tersebut sangat terkait dengan akurasi vertikal dan horisontal.
Umumnya base station
diletakkan berdekatan dengan tempat take-off dan landing dari wahana terbang. b.
Kontrol kaliberasi Sistem Airborne LIDAR, adalah titik-titik yang diletakkan di sekitar area take-off dan landing wahana udara.
c.
Titik Kontrol Area Proyek adalah titik-titik kontrol yang diletakkan di sekitar area survey untuk melakukan pengujian akurasi terhadap data yang dihasilkan sistem airborne LIDAR. Jumlah dan letak sebaran dari titik kontrol area proyek bergantung dari topografi dan tingkat kerapatan vegetasi area survey.
65 6.1.3
Pola Scanning Airborne LIDAR
Terdapat beberapa pola scanning dari sistem airborne LIDAR. Pola scanning ini bergantung dari tipe sensor yang digunakan. Pola yang dihasilkan juga sangat tergantung dari jenis terrain, dan tingkah laku wahana terbang pada saat pelaksanaan survey. Beberapa pola scanning dalam survey airborne LIDAR adalah: a.
Pola zigzag
b.
Pola garis paralel
c.
Pola ellips
d.
Pola garis paralel-toposys
6.1.4
Pengumpulan Data Airborne LIDAR
Keberhasilan dari survey airborne LIDAR sangat bergantung dari kontrol kaliberasi dan kontrol kualitas dari pengambilan data.
a.
Airport bidirectional dan quality control
Pelaksaanaan kaliberasi sistem airborne LIDAR yang dilakukan dari dua arah, sehingga menghasilkan data yang berlebih. Kemudian dilakukan perataan untuk menentukan nilai akurasi yang akan digunakan dalam survey airborne LIDAR.
b.
Project cross flight lines
Cross flight lines adalah jalur terbang yang berpotongan dengan jalur terbang utama dengan sudut tertentu. Fungsi dari jalur ini adalah untuk mendeteksi kesalahan sistematis dari sistem airborne LIDAR.
66 c.
Lokasi kaliberasi dan titik kontrol tanah
Sejumlah titik kontrol geodesi diletakkan di lokasi kaliberasi serta sepanjang area proyek sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan nilai quality control yang lengkap, seperti yang ditunjukkan gambar 6.1.
Gambar 6.1 Skema Kontrol Kaliberasi pada Area Airport [www.airbornelassermapping.com]
6.1.5
Proses Pengumpulan Data Airborne LIDAR
Proses pengumpulan data airborne LIDAR dilakukan dengan menggunakan wahana terbang seperti pesawat atau helikopter. Sebelum melakukan survey, wahana terbang melakukan kontol kaliberasi pada area take-off. Setelah dipastikan sistem bekerja dengan benar dan menghasilkan data yang akurat, wahana terbang melaju sesuai dengan jalur terbang yang direncanakan untuk melakukan pengambilan data. Operator akan mengawasi jalannya pengambilan data.
67 6.2
Aplikasi dari sistem Airborne LIDAR
Sistem airborne LIDAR menghasilkan data berupa titik-titik yang mempunyai nilai ketinggian. Produk akhir dari survey airborne LIDAR adalah model tiga dimensi dari permukaan bumi beserta dengan objek-objek yang berada di atasnya. Model tiga dimensi dari permukaan bumi atau yang lebih dikenal dengan digital terrain model (DTM) dapat digunakan dalam berbagai kepentingan, antara lain : mitigasi bencana, perencanaan dan pemeliharaan infrastruktur, manajemen ruang udara lapangan terbang, dan lain-lain. Tabel 6.1 memperlihatkan beberapa aplikasi dari survey airborne LIDAR.
Tabel 6.1 Aplikasi dari Airborne LIDAR No. 1
Aplikasi Airborne LIDAR
Manajemen gangguan ruang udara Paper oleh Waheed Uddin, University of pada lapangan terbang
2
Perencanaan
dan
Mississipi, Amerika Serikat, 2002
pemeliharaan Paper oleh Waheed Uddin, University of
jalan bebas hambatan 3
Sumber
Mississipi, Amerika Serikat, 2002
Deteksi potensi kebocoran pipa Paper oleh Darryl Murdock, 2006 gas cair
4
Mitigasi bencana banjir
Situs internet gis.esri.com
5
Mitigasi bencana tanah longsor
paper oleh Sammy Cheung, 2006
6
Pemodelan daerah perkotaan
Robert Fowler, 2001
7
Pemodelan daerah basah
Robert Fowler, 2001
8
Pengukuran tinggi vegetasi
Paper oleh Andersen, Reutebuch, dan McGaughey, 2006
Berikut ini adalah uraian dari beberapa aplikasi dari survey Airborne LIDAR dalam berbagai bidang.
68 6.2.1
Manajemen gangguan ruang udara pada lapangan terbang
Lapangan terbang sebagai tempat tinggal landas dan mendarat pesawat udara, mempunyai permukaan imajiner sebagai batas untuk mengidentifikasi gangguan pada proses pendaratan atau tinggal landas berupa objek-objek tertentu seperti bangunan, pohon, maupun permukaan bumi.
Sebagai contoh, FAA sebagai pihak yang berwenang atas penerbangan komersial di Amerika Serikat, membuat permukaan imajiner bagi lapangan terbang yang terdiri dari : 1. Permukaan horisontal (50 meter di atas lapangan udara) 2. Permukaan kerucut 3. Permukaan primer, yaitu permukaan di atas runway 4. Permukaan pendekatan 5. Permukaan transisi
Seluruh permukaan di atas terintegrasi menjadi suatu sistem yang bertujuan melindungi proses pendaratan atau tinggal landas pesawat udara sesuai dengan peraturan yang disyaratkan. Gambar 6.2 dan 6.3 menunjukkan bentuk permukaan imajiner tersebut.
69
Gambar 6.2 Permukaan imajiner di atas lapangan udara [Uddin, 2002]
Gambar 6.3 Permukaan imajiner [Uddin, 2002]
Setiap lapangan terbang mempunyai syarat ketinggian yang berbeda untuk permukaan imajinernya, bergantung pada jenis dan besar pesawat yang dapat mendarat di lapangan terbang tersebut. Dan untuk lapangan terbang yang mempunyai lebih dari satu runway, maka bentuk permukaan imajinernya pun lebih rumit.
70 Selain untuk memberikan ruang yang aman bagi pesawat terbang untuk tinggal landas, mendarat dan bermanuver di atas lapangan terbang, permukaan imajiner juga ditujukkan agar menara pengawas pada lapangan terbang memiliki pandangan yang luas untuk mengamati daerah sekitarnya.
Airborne LIDAR mempunyai kemampuan untuk melakukan pengukuran ketinggian di permukaan bumi dengan ketelitian yang tinggi dengan waktu yang relatif cepat. Oleh karena itu survey airborne LIDAR sangat cocok digunakan untuk melakukan pengawasan terhadap objek-objek di sekitar lapangan udara yang melanggar batas ketinggian permukaan imajiner bandara tersebut.
Survey airborne LIDAR dapat menghasilkan DTM dengan kerapatan titik yang tinggi serta ketelitian yang tinggi pula. Jika DTM tersebut dipotongkan dengan data permukaan imajiner suatu bandara, maka akan didapatkan data tentang objek-objek yang melewati batas permukaan imajiner. Gambar 6.4 menunjukkan Digital Terrain Model dari daerah sekitar lapangan terbang Jackson di Mississipi, Amerika Serikat.
Gambar 6.4 DTM dari Lapangan Terbang Jackson, Mississipi, Amerika Serikat [Uddin, 2006]
71 Pembuatan DTM dengan survey airborne LIDAR sangat cocok diterapkan di Indonesia, karena umumnya lapangan terbang di kota-kota besar terletak di dekat kawasan padat penduduk. Jumlah dan rapatnya bangunan akan menyebabkan sulitnya survey terestris, sehingga memunculkan banyak hambatan seperti lamanya waktu survey, banyak data yang tidak dapat diambil, pemanipulasian data, dan lain-lain, seperti yang terlihat pada gambar 6.5.
Gambar 6.5 Lapangan Terbang di Kota Bandung yang terletak di kawasan padat penduduk [ Sumber : Google Earth ]
6.2.2
Perencanaan dan pemeliharaan jalan bebas hambatan [Uddin, 2002]
Survey airborne LIDAR dapat juga digunakan dalam proses perencanaan jalan bebas hambatan. Kemampuan airborne LIDAR menghasilkan data titik ketinggian yang rapat dan mimiliki ketelitian yang tinggi merupakan keunggulan metode ini jika dibandingkan dengan survey lainnya.
72 Jalan bebas hambatan umumnya mengharuskan kendaraan yang melewatinya dapat dipacu dengan kecepatan tinggi, oleh karena itu hambatan-hambatan alam, seperti bukit, lembah, dan objek lainnya, harus dapat diatasi dengan berbagai rekayasa seperti pembuatan terowongan, jembatan, bahkan pengerukan bukit. Untuk dapat melakukan perencanaan rekayasa, dibutuhkan data mengenai daerah yang akan dilewati dengan ketelitian yang tinggi.
Airborne LIDAR mampu menghasilkan data dengan kerapatan yang tinggi, ketelitian yang relatif tinggi, serta informasi-informasi tambahan, seperti kepadatan vegetasi dengan relatif cepat. Gambar 6.6 berikut menunjukkan DTM hasil pengolahan data airborne LIDAR yang digunakan untuk perencanaan pembuatan jalan bebas hambatan di sekitar Jackson, Mississipi, Amerika Serikat.
Gambar 6.6 Peta Kontur Hasil survey LIDAR untuk Perencanaan Jalan Bebas Hambatan di Amerika Serikat [Uddin, 2002]
Survey airborne LIDAR dilakukan pada daerah yang direncanakan akan dilewati jalan bebas hambatan. Kemudian data dari survey tersebut diolah dan terbentuk DTM. Dengan
73 DTM, perencana dapat merencanakan jalur jalan bebas hambatan yang memenuhi syarat, melakukan perencanaan rekayasa, seperti pembuatan jembatan, pengerukan bukit dan penimbunan lembah, dan lain-lain. Selain itu survey airborne LIDAR juga dapat dilakukan di sepanjang jalan bebas hambatan untuk keperluan pemeliharaan jalan. Akurasi dari sensor laser yang berada pada level cm, dapat mendeteksi penurunan permukaan jalan bebas hambatan secara teliti.
6.2.3
Deteksi potensi kebocoran pipa gas cair [Murdock, 2006]
Pipa distribusi gas dapat terletak di atas maupun di bawah permukaan tanah. Pada bagian pipa yang terletak di atas permukaan tanah, pengamatan terhadap badan pipa sangat mudah dilakukan. Tetapi tidak demikian dengan pipa yang terletak di bawah permukaan tanah. Kerusakan pipa tidak akan dapat dilihat secara langsung. Oleh karena itu di Amerika Serikat terdapat Airborne Natural Gas Emission LIDAR (ANGEL) Service, yang melakukan survey untuk mendapatkan data tentang potensi kerusakan pipa yang terletak di bawah tanah.
Dalam survey ini, perangkat laser akan digabungkan dengan kamera beresolusi tinggi untuk merekam gambar keadaan sekitar daerah survey. Bentuk pipa yang umumnya memanjang, sangat memudahkan survey airborne LIDAR yang memiliki lintasan yang memanjang pula.
74 Survey ANGEL dilakukan pada daerah Spencerport, NewYork, Amerika Serikat. Tahapan pertama dari pelaksaaan survey ANGEL adalah dengan melakukan survey airborne LIDAR pada lintasan pipa gas. Selanjutnya data hasil survey airborne LIDAR tersebut dioverlaykan dengan data pipa gas sebelumnya, sepeti yang dapat dilihat pada gambar 6.7 di bawah ini.
Gambar 6.7 Jalur Pipa Gas dan Jalur Terbang Survey LIDAR [Murdock, 2006]
Pengambilan data pada daerah survey dilakukan pada dua selang waktu, ataupun dilakukan secara periodik. Masing-masing data pada periode waktu tersebut akan dibandingkan satu dengan lainnya.
Data tersebut dianalisa untuk melihat adanya potensi kebocoran pipa. Potensi kebocoran tersebut dapat ditentukan dari perbedaan ketinggian pada permukaan tanah di atas jalur pipa tersebut. Pada titik yang memiliki perbedaan ketinggian (lebih tinggi, atau lebih rendah dari daerah sekitarnya, potensi kebocoran pipa adalah tinggi. Gambar 6.9 menunjukkan potensi kebocoran pada jalur pipa gas.
75
Gambar 6.8 Data LIDAR pada Jalur Survey [Murdock, 2006]
Gambar 6.9 Potensi Kebocoran pada Jalur Pipa Gas [Murdock, 2006]
6.2.4
Mitigasi bencana banjir
Banjir adalah luapan air yang menggenangi daerah tertentu pada waktu-waktu tertentu. Dalam memperkirakan luasnya daerah yang akan terendam, tidak cukup hanya mengandalkan data jarak suatu daerah dari sumber air. Terkadang daerah yang berada jauh dari sumber air dapat terendam, tetapi daerah yang lebih dekat dengan sumber air
76 tidak tergenangi oleh air. Data yang utama dari penentuan luas daerah yang diperkirakan terendam oleh air adalah data ketinggian dari daerah tersebut.
Airborne LIDAR adalah suatu metode penentuan posisi yang memiliki tingkat ketelitian yang tinggi untuk horisontal maupun vertikal, data yang rapat, serta waktu survey yang relatif cepat. Data DTM yang dihasilkan oleh survey airborne LIDAR memiliki ketelitian elevasi yang tinggi, jika digabungkan dengan data perkiraan volume air, akan menghasilkan informasi mengenai perkiraan daerah yang akan terendam banjir yang akurat. Gambar 6.10 menunjukkan pemodelan genangan air pada DTM suatu wilayah perkotaan hasil pengolahan data LIDAR.
Gambar 6.10 Pemodelan Bencana Banjir [gis.esri.com]
Terdapat beberapa software yang dapat melakukan perkiraan banjir dengan akurat, antara lain adalah : HEC-geoRAS, ArcGIS Hydrodata Model, GIS Stream Pro, RiverCAD, dan lainnya.
77 6.2.5
Mitigasi bencana tanah longsor [Cheung, 2005]
Bencana tanah longsor adalah fenomena bergeraknya suatu massa tanah ke tempat yang lebih rendah. Tanah longsor umumnya terjadi di daerah yang bergaris kontur rapat. Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan tanah longsor adalah : 1. Nilai kecuraman suatu daerah. 2. Tingkat curah hujan. 3. Tutupan lahan.
Survey airborne LIDAR mampu menghasilkan dua dari tiga informasi di atas, yaitu nilai kecuraman dan tutupan lahan suatu daerah. Jika data curah hujan dapat diperoleh dari stasiun pengamatan curah hujan, maka informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui potensi terjadinya tanah longsor telah lengkap.
Model muka bumi tiga dimensi yang dihasilkan dari data hasil survey airborne LIDAR dapat mempunyai tingkat kerapatan dan ketelitian yang sangat tinggi. Dan kemampuan laser scanner pada sistem airborne LIDAR untuk menerima lebih dari satu pantulan sinar laser, akan menghasilkan data tentang kerapatan tutupan lahan di daerah tersebut. Sehingga pemodelan dari bencana tanah longsor dapat dilakukan dengan akurat, dan dalam waktu yang relatif cepat.
78
Gambar 6.11 Pemodelan dari Perkiraan Tanah Longsor
[Cheung, 2005]
Gambar 5.10 di atas memperlihatkan pemodelan daerah yang terkena dampak bencana tanah longsor, dioverlaykan di atas foto udara pada suatu daerah di Hongkong, China. Nilai ketinggian tanah yang akan menerjang daerah tersebut pun dapat diprediksi hingga level 0.1 meter.
6.2.6
Pemodelan Perkotaan [Fowler, 2001]
Pemodelan DTM untuk daerah perkotaan dengan tingkat akurasi tinggi diperlukan untuk beberapa aplikasi seperti pada bidang telekomunikasi, penegakan hukum, serta perencanaan penanggulangan bencana. Pemanfaatan airborne LIDAR untuk membuat DTM daerah perkotaan memberikan banyak keuntungan dibandingkan dengan metode terestrial, antara lain : 1. Waktu survey yang relatif cepat 2. Mampu menghasilkan data yang banyak dan menjangkau daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh survey terestris. 3. Ketelitian yang relatif tinggi, yaitu : 10-20 cm untuk vertikal, dan 10-100 cm untuk horisontal.
79
Gambar 6.12 Overlay data LIDAR dengan Citra (kiri). Hasil Ekstraksi Bangunan dari Data LIDAR (kanan) [istarno, 2006]
Dalam proses segmentasi pada pengolahan data LIDAR, data titik dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, seperti bangunan, permukaan tanah, vegetasi, dan lain sebagainya. Setelah itu data bangunan direkonstruksi dan dimodelkan menjadi model bangunan yang identik dengan bangunan aslinya.
Gambar 6.13 Visualisasi 3-Dimensi Bangunan Buatan Manusia [Istarno, 2006]
6.2.7
Pemetaan Daerah Basah dan Daerah yang Berbahaya [Fowler,2001]
Pemetaan yang dilakukan pada daerah basah, seperti rawa-rawa atau daerah pasang surut, umumnya terkendala pada sulitnya area survey. Genangan air, lumpur,dan lebatnya
80 vegetasi menjadi hambatan utama dalam melakukan survey terestris. Oleh karena itu survey airborne LIDAR menjadi solusi untuk survey pemetaan untuk daerah basah.
Survey dapat dilakukan dengan relatif cepat, memiliki ketelitian yang tinggi, dan cukup mudah dilaksanakan. Tertutupnya permukaan bumi oleh vegetasi yang lebat dapat diatasi oleh kemampuan laser scanner menerima hingga lima pantulan.
Gambar 6.14 Daerah Rawa dengan Tutupan Vegetasi yang Rapat
[Fowler,2001]
Selain itu, survey airborne LIDAR juga dapat dilakukan untuk memetakan daerah-daerah yang berbahaya, seperti daerah gunung berapi, daerah yang terkontaminasi oleh zat berbahaya, dan lain-lain.
81 6.2.8
Pengukuran Tinggi Vegetasi
Beberapa bidang pekerjaan memerlukan data tentang tinggi suatu vegetasi, seperti pepohonan. Terkadang jumlah pepohonan sangat banyak atau memiliki elevasi yang sangat tinggi, sehingga sulit jika diukur secara terestris.
Airborne LIDAR memiliki kemampuan untuk melakukan pengukuran tinggi pepohonan dengan waktu yang relatif cepat dan memiliki ketelitian yang tinggi. Kemampuan laser scanner menerima pantulan sinar laser hingga lima pantulan membuat berkas sinar mampu menembus pepohonan hingga ke permukaan tanah. Gambar 6.15 di bawah menunjukkan data titik LIDAR pada suatu pohon.
Gambar 6.15 Raw LIDAR Data untuk objek Berupa Pohon [Andersen 2006] [Andersen 2006]
Gambar 6.16 Pengukuran Terestris Vegetasi [Andersen 2006]
82 Data airborne LIDAR di atas, kemudian dibandingkan dengan data hasil pengukuran terestris seperti yang dapat dilihat pada gambar 6.16 di atas. Perbandingan ketelitian vertikal dan ketelitian horisontal antara dua metode yang digunakan, serta berdasarkan jenis vegetasi yang diukur dapat dilihat pada gambar 6.17 dan 6.18 berikut. Pengukuran dilakukan di daerah barat Amerika Utara.
Ponderosa Pine
Douglas Fir
Terestris
Airborne LIDAR
Gambar 6.17 Perbandingan Ketelitian Vertikal dari Dua Jenis Vegetasi (Kanan), serta Antara Survey Airborne LIDAR dan Survey Terestris (Kiri) [Andersen 2006]
Gambar 6.18 Ketelitian Horisontal Survey Airborne LIDAR berdasarkan jenis vegetasi. Objek berupa segitiga hijau menunjukkan pohon Douglas Fir, sedangkan lingkaran cokelat menunjukkan pohon Ponderosa Pine
Dengan ketelitian vertikal kurang lebih 15cm dan ketelitan horisontal di bawah satu meter, data mengenai tinggi pepohonan yang dihasilkan survey airborne LIDAR dapat diandalkan untuk berbagai bidang kajian yang memerlukannya.