BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji tingkat kepatuhan pada PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah berdasarkan PSAK 102 (Akuntansi Murabahah) dan fikih muamalah. Dalam rangka meningkatkan dan memberikan informasi yang tepat dan wajar maka perbankan syari’ah sebaiknya menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan PSAK Syariah. Perkembangan terkini dari PSAK 102 adalah Dewan Standar Akuntansi Syariah menerbitkan Exposure Draft (ED) PSAK 102 pada tanggal 30 Oktober 2013 diikuti dengan Buletin Teknis 5 dan 9 mengenai murabahah pada bulan Januari 2014. PSAK 102 digunakan untuk menjadi alat evaluasi praktik akuntansi murabahah di BPRS HIK. Fikih muamalah memberikan aturan tentang cara bertransaksi dengan syariah yang terkadang tidak dijelaskan dalam PSAK Syariah. Sehingga, fikih muamalah dirasa perlu untuk dijadikan acuan dalam bertransaksi secara syariah. Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Malik memiliki madzhabnya masing-masing tetapi penggunaan madzhab disesuaikan dengan dominansi penggunaannya. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang mana mengikuti “pendidikan” yurisprudensi Islam dari Imam Syafi’i. Sehingga, madzhab Syafi’i digunakan untuk menjadi alat evaluasi praktik transaksi murabahah di BPRS HIK. PSAK 102 memiliki 28 standar yang terdiri dari karakteristik, pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan. Dari 28 standar tersebut, 23 standar
57
telah sesuai dan 5 standar tidak sesuai. Kelima standar yang tidak sesuai adalah sebagai berikut: 1. Paragraf 12 pada bagian karakteristik menyebutkan bahwa diskon atas pembelian barang yang diterima setelah akad murabahah disepakati diperlakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad tersebut. Praktik akuntansi murabahah di BPRS HIK ialah diskon seperti yang tertera pada paragraf 11 langsung diberikan kepada nasabah walaupun tidak diatur dalam akad karena tia adalah hak nasabah. 2. Paragraf 19 pada bagian pengakuan dan pengukuran menyebutkan bahwa pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan. Ketidaksesuaian dikarenakan oleh BPRS HIK tidak menggunakan akun persediaan walaupun sudah disediakan. 3. Paragraf 24 menyebutkan bahwa keuntungan murabahah diakui: a) Pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun; atau b) Selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metoda-metoda berikut ini digunakan, dan dipilih sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahahnya: i. Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metoda ini terapan untuk murabahah tangguh di mana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta serta penagihannya relatif kecil.
58
ii. Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah. Metoda ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh di mana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga. iii. Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metoda ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh di mana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktik, metoda ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya: Praktik akuntansi murabahah BPRS HIK tidak sesuai dengan standar ini. BPRS HIK menggunakan metoda anuitas dalam mengakui keuntungannya, sehingga berlawanan dengan poin (b) (ii). Fakta yang terjadi adalah BPRS HIK tidak melaksanakan mekanisme jual beli tetapi pembiayaan. Mekanisme jual beli terjadi apabila barang langsung disalurkan oleh bank kepada nasabah. Mekanisme pembiayaan terjadi apabila pemasok langsung menyalurkan barangnya kepada nasabah dan bank berperan sebagai mediator. Maka itu, perusahaan harus mengacu pada PSAK 55, PSAK 50, PSAK 60, dan PSAK lain yang relevan untuk pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapannya. (Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia, 2013). Pengakuan keuntungan lebih besar di awal diterapkan oleh BPRS HIK. Hal ini bukanlah merupakan persentase
59
anuitas, melainkan permainan angka dalam artian positif. Angsuran yang sama setiap bulan namun jumlah tagihan pokok dan marjin diubah prosinya. BPRS HIK hanya menggunakan persentase sebagai asumsi hasil penentuan marjin keuntungan. 4. Paragraf 24 pada bagian pengakuan dan pengukuran menyebutkan bahwa pengakuan keuntungan, dalam paragraf 23 (b) (ii), dilakukan secara proporsional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan persentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Persentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara marjin dan biaya perolehan aset murabahah. Praktik akuntansi murabahah BPRS HIK tidak sesuai dengan standar ini yang merupakan lanjutan dari paragraf 23. 5. Paragraf 25 menyebutkan bahwa berikut ini contoh perhitungan keuntungan secara proporsional untuk suatu transaksi murabahah dengan biaya perolehan aset (pokok) Rp800 dan keuntungan Rp 200; serta pembayaran dilakukan secara angsuran selama tiga tahun; di mana jumlah angsuran, pokok, dan keuntungan yang diakui setiap tahun adalah sebagai berikut: Tahun
Angsuran (Rp)
Pokok (Rp)
Keuntungan (Rp)
1
500
400
100
2
300
240
60
3
200
160
40
Tabel 2 Contoh Angsuran Murabahah
Praktik akuntansi murabahah BPRS HIK tidak sesuai dengan standar ini yang merupakan lanjutan dari paragraf 23 dan 24.
60
Syarat jual beli madzhab Syafi’i memiliki 22 syarat dalam jual beli yang terdiri dari 3 bagian, yakni aqid, shighat, dan ma’qud alaih (barang). Dari 22 syarat tersebut, 21 syarat telah sesuai dan 1 syarat tidak sesuai oleh BPRS HIK. Satu syarat tersebut adalah syarat Islam pada bagian aqid. BPRS HIK tidak membatasi pemilihan nasabah dengan agama. Menurut pengalaman BPRS HIK sampai saat ini, barang yang ingin dibeli nasabah yang tidak beragama Islam bukanlah berupa kitab suci atau kitab-kitab yang berkaitan dengan agama. Jadi, tidak masalah apabila nasabah beragama selain Islam selama tidak membeli kitab Al-Qur’an atau kitabkitab yang berkaitan dengan agama. 6.2 Saran Terkait penelitian ini, peneliti memberikan rekomendasi kepada BPRS HIK sebagai berikut: 1. Sebaiknya BPRS HIK secara berkelanjutan terus memperbaharui dan mengikuti praktik murabahahnya sesuai dengan PSAK 102 tentang Murabahah. Hal ini dikarenakan PSAK Syariah masih akan terus berubah dalam rangka penyempurnaan. 2. Sebaiknya BPRS HIK menggunakan PSAK yang sesuai dengan praktiknya dari segi pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan. Sebagai contoh,
murabahah
dikategorikan
sebagai
pembiayaan
apabila
menggunakan pengakuan keuntungan secara anuitas. BPRS HIK harus mengacu pada PSAK 55, PSAK 50, dan PSAK 60 dalam rangka pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan pembiayaan murabahah (Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).
61
6.3 Batasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian yang disampaikan peneliti, yaitu: 1. Kesimpulan terbatas berdasarkan deskripsi data dan analisis transaksi dan akuntansi murabahah di BPRS HIK, sehingga tidak dapat diterapkan untuk seluruh transaksi pembiayaan di BPRS HIK. 2. Penelitian hanya berdasar pada PSAK 102 dan Fikih Muamalah dalam ruang lingkup murabahah. 3. Observasi untuk membuktikan syarat shighat dalam syarat jual beli Madzhab Syafi’i secara lisan hanya dilakukan kepada satu nasabah sehingga belum merepresentasikan populasi.
62