BAB VI KONDISI KOMPONEN-KOMPONEN PARIWISATA DI NIAS SELATAN SEBAGAI PENDUKUNG KEMAJUAN KOMODIFIKASI HOMBO BATU
Sebagaimana telah disinggung pada Bab II dalam sub judul “Konsep Pariwisata Budaya”, dalam penelitian ini penulis menggunakan standar komponen-komponen pariwisata yang dikemukakan oleh Gunn (1995) yang masih sangat relevan digunakan dalam kegiatan industri pariwisata saat ini. Dalam jurnalnya yang berjudul “Cultural Tourism Planning”, Gunn mengemukakan 5 (lima) komponen pariwisata yang harus dikembangkan oleh pihak tuan rumah selaku the supply side of tourism, yakni: (a) Daya tarik wisata/attractions; (b) Transportasi; (c) Pelayanan/service; (d) Informasi; (e) Promosi. Menurut Gunn, kelima komponen ini merupakan bagian-bagian yang terintegrasi dalam sebuah fungsi sistem pariwisata secara menyeluruh. Sebab semua komponen tersebut saling ketergantungan, saling mempengaruhi satu sama lain dalam meningkatkan angka kunjungan wisata di suatu desatinasi pariwisata. Bercermin dari tulisan Gunn, bagaimanakah dengan kondisi komponenkomponen pariwisata di Nias Selatan, terkhusus terhadap pendukung komodifikasi hombo batu di Desa Bawömataluo? Secara fakta di lapangan, kelima komponen pariwisata yang distandarkan oleh Gunn dengan beberapa pertanyaan mendasar pada tiap komponen tersebut, di Nias Selatan pada umumnya dan terkhusus kondisi daya dukung di Desa Bawömataluo, sebagian besar masih belum terpenuhi.
87
88
6.1 Daya Tarik Desa Bawömataluo (Attractions) Menurut Gunn (1995, p.4), merupakan suatu kekuatan bagi pariwisata apabila menjadikan segala sesuatu membuat orang tertarik untuk melihat dan mengalaminya. Pariwisata menciptakan “pull” atau daya tarik yang kuat, daya pikat (the lure), kerinduan bagi wisatawan untuk kembali berkunjung karena merasa seperti di rumahnya sendiri, merasa nyaman. Selain itu, pihak tuan rumah harus menciptakan rasa puas kepada wisatawan. Pengunjung harus meninggalkan suatu destinasi wisata dengan perasaan jauh lebih memuaskan pada kenyataan di lapangan dibandingkan dengan apa yang dijanjikan di iklan. Gunn berpendapat bahwa, meningkatkan pengembangan daya tarik budaya dapat menjadi stimulus yang sangat besar dalam meningkatkan kunjungan wisatawan. Daya tarik (attractions) adalah sumber hidup bagi pariwisata (the life blood of tourism). Oleh karena itu, menurut Gunn, langkah awal untuk membangun suatu budaya yang menarik untuk dijadikan sebagai destinasi wisata adalah melakukan penelitian secara menyeluruh terhadap sumber daya budaya yang belum dikembangkan. Berangkat dari beberapa hal yang dipertanyakan oleh Gunn, juga terdapat pada sumber daya budaya yang bisa dijadikan attractions yang dimiliki oleh Desa Bawömataluo baik yang sudah maupun yang belum dikembangkan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, antara lain: 1) Adakah
bahasa
daerah
dan
arsitektur
bersejarah
yang
sudah
diperkenalkan, diperbaiki dan terbuka untuk publik? Dari segi bahasa, kepulauan Nias memiliki dua bahasa yakni bahasa Nias bagian utara (li niha you) dan bahasa Nias bagian selatan (li niha raya). Bahkan Nias Selatan sendiri memiliki 3 (tiga) logat bahasa (Laiya, 2006: 7), yakni:
89
(a) Si fa haega gaö (daerah Maenamölö, P.P. Batu dan Hibala) (b) Si fa kao andrö (daerah Amandraya, Lahusa dan Gomo) (c) Si fa ba da’ö (daerah Lölö Matua dan Lölö Wa’u) Desa Bawömataluo termasuk dalam li niha raya dengan logat si fa haega gaö. Sedangkan untuk arsitektur bersejarah dimiliki desa ini yakni Omo Ni Fo Bawa Lasara atau Omo Sebua. Menurut Jerome A. Feldman (1977) yang diulas kembali oleh Alamsyah dan Julaihi Wahid (2012: 21) bahwa beberapa dari bangunan yang terbuat dari kayu yang paling mengagumkan di Asia Tenggara adalah rumah-rumah pimpinan yang diketemukan pada bagian selatan dari Pulau Nias.
Gamabr 6.1 Potret Omo Ni Fo Bawa Lasara di Desa Bawömataluo. Foto: Hasil kunjungan penulis, Juni 2012.
Omo Ni Fo Bawa Lasara adalah rumah tinggal raja yang memimpin banua (desa) di selatan Pulau Nias. Dimensi fisiknya relative besar sehingga menjadi sangat dominan dan dapat berfungsi sebagai bangunan yang sangat dibanggakan di dalam suatu desa. Peletakan Omo Ni Fo Bawa Lasara di dalam
90
suatu banua (desa) selalu dibarengi dengan adanya bale (balai pertemuan) dan areal hombo batu. Bentuk denah dari Omo Ni Fo Bawa Lasara berbentu persegi panjang dan disokong oleh 66 tiang utama (ehomo) dengan jarak yang bervariasi. (Alamsyah et al. 2012: 25). Desa Bawömataluo menjadi sangat dikenal oleh karena Omo Ni Fo Bawa Lasara di desa ini merupakan yang terbesar di Nias Selatan selain pemeliharaan warisan budaya di desa setempat. Selain itu, tangga naik (bosi nora bawa goli) menuju pintu gerbang utama desa ini merupakan yang terbanyak dibanding desa-desa lainnya, yakni sebanyak 88 anak tangga.
Gambar 6.2 Potret Arsitektur yang bersejarah di Desa Bawömataluo. Foto: Hasil kunjungan penulis, Juni 2012.
Daya tarik Bawömataluo ini mengundang perhatian begitu banyak pihak. Terlebih pada saat gempa besar yang berkisar 8,3 SR melanda
91
Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005 lalu. Ketika bangunan-bangunan modern ambruk, rata dengan tanah dan membuat ribuan nyawa melayang di kota Gunung Sitoli dan Teluk Dalam, rumah-rumah adat di Nias Selatan justru tetap berdiri kokoh dan tidak ada berita yang melaporkan bahwa ada korban tewas di desa-desa adat ini. Uniknya lagi, meskipun terbuat dari kayu dan beratap rumbia, bagunan-bangunan ini tidak terdapat paku atau barang besi untuk menyambung kayu-kayu tersebut antara satu dengan yang lainnya. Salah satu yang penasaran dengan arsitektur rumah adat di Nias Selatan adalah Dr. T. Yoyok Wahyu Subroto dari fakultas teknik UGM dan melibatkan sejumlah profesor dari Jepang untuk melakukan penelitian, sekaligus bertujuan untuk membantu percepatan pengakuan desa Bawömataluo sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Menurut pengakuan Yoyok kepada SPC (suarapengusaha.com, 2012) bahwa Desa Bawömataluo selama ini menghiasi berbagai media iklan produk dengan atraksi lompat batunya. Tapi sebenarnya, lebih dari itu, arsitektur desa yang telah berusia sekitar 200 tahun itu juga sangat unik dan sekaligus menjadi kekuatannya untuk ditawarkan sebagai warisan dunia. 2) Apakah terdapat beberapa area yang menarik namun terlihat jelek dan memerlukan perbaikan? Hal yang perlu perbaikan mendesak adalah Omo Hasa Ni Fo Bawa Lasara. Kondisinya memang tahan gempa, namun pernah atapnya diterjang angin puting beliung pada pertengahan tahun 2012 (niasonline.net) sehingga ketika hujan, seluruh perabot yang dominan terbuat dari kayu, termasuk
92
dinding dan lantai bangunan menjadi rapuh. Yoyok menambahkan bahwa di desa Bawömataluo juga masih berdiri salah satu rumah adat dari bahan kayu. Rumah itu salah satu yang terbesar dan tertua yang dimiliki Indonesia saat ini. Namun, meski selamat dari beberapa kali goncangan gempat dahsyat sejak 2004 lalu, kondisinya sudah rapuh karena faktor usia. 3) Adakah festival (pesta, perayaan) dan event (pertandingan, perlombaan, peristiwa) yang potensial untuk dieksplor? Menurut kesaksian Hikayat Manaö, pada tahun 1974 Sultan Hamengku Buwono ke IX melakukan kunjungan ke Nias. Salah satu desa yang dikunjungi adalah Bawömataluo. Melihat potensi pulau Nias dengan budaya yang unik, mendorong Sultan HB IX untuk mempromosikan Nias menjadi tujuan wisata. Manaö yang lahir di Desa Bawömataluo pada tahun 1958 silam itu menjelaskan bahwa pada tahun 1980-an, sering kapal pesiar berhenti di pelabuhan Teluk Dalam dan Lagundri. Dalam dekade yang sama, diadakan acara yang bernama Pesta Ya'ahowu. Acara ini biasanya diselenggarakan di sepanjang Pantai Lagundri hingga ke Pantai Sorake yang memang berdampingan. Pesta Ya’ahowu terus berlanjut hingga tahun 1998 sebelum akhirnya krisis moneter melanda Asia dan dunia. Agenda tahunan ini akhirnya tidak berlanjut lagi hingga saat ini. Terlebih karena kepulauan Nias bukan satu kabupaten lagi, melainkan sudah empat Kabupaten. Kerinduan Manaö, dkk. untuk menghidupkan kembali pagelaran budaya seperti pada Pesta Ya’ahowu akhirnya terwujud pada Mei tahun 2011 lalu, meskipun lingkupnya tidak seluruh Nias tapi hanya dilangsungkan di
93
Bawömataluo. Menurut laporan Kepala Desa Bawömataluo, Ariston Manaö, acara tersebut yang dinamakan “Festival Bawömataluo 2011” menyedot perhatian pengunjung hingga tembus angka 50.000 orang. Acara ini sangat potensial
untuk
promosi
pariwisata
Nias
Selatan,
khususnya
Desa
Bawömataluo. Beberapa hal yang disampaikan oleh Gunn (1995) yang perlu diperhatikan sebagai supply side dalam hal ini adalah Desa Bawömataluo dan Pemerintah daerah Nias Selatan, antara lain: a. Semiman lokal diberdayakan sehingga pengunjung dapat menemukan hasil kerajinan yang unik dan berkualitas dari daerah tersebut. b. Kelompok-kelompok etnik diberikan kesempatan sepenuhnya untuk menunjukkan atau memamerkan adat-istiadat, seni, makanan, dan kualitas hidup khas mereka. c. Anak-anak di sekolah didorong untuk belajar sejarah dan tradisi lokal dan mengembangkan kreativitas mereka. d. Pemerintah daerah setempat menyadari sepenuhnya tentang nilai dari budaya
terhadap
pariwisata
dan
apakah
mereka
mendukung
pengembangannya dalam tindakan dan kebijakan mereka. Gunn (1995) berpendapat bahwa ketika hal potensial ini dan sesuatu yang baru lainnya atau perluasan daya tarik telah diinventariskan, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi para agen atau organisasi-organisasi yang paling logis untuk mengambil tindakan.
Bagi Gunn, dengan mendesain
beberapa kompetisi dan publisitas akan dapat menarik investor dari tiga grup
94
pengembangan yaitu perusahaan komersial, perusahaan-perusahaan nirlaba dan perusahaan-perusahaan jasa publik. 6.2 Sarana Angkutan Umum dan Angkutan Wisata (Transportations) Transportasi merupakan peran nyata yang harus disediakan dengan baik, nyaman dan aman bagi manusia. Dewasa ini, pokok kritis adalah intermodal perjalanan—termasuk penerbangan, berkendara dan hubungan antara semua bentuk perjalanan. (Gunn, 1995: 4). Dalam hubungannya dengan transportasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Gunn, ada beberapa pertanyaan yang diperlukan untuk tercapainya transportasi yang baik, aman dan nyaman sehingga memberikan kesan perjalanan yang menyenangkan bagi wisatawan. Pertama, dapatkah wisatawan (the market origin of travelers) menjangkau destinasi wisata secara gampang dan dalam keadaan siap? Pada tahap ini, meskipun bandara Silambo belum selesai dibangun, namun jalur transportasi untuk menjangkau Nias termasuk lancar. Medan sebagai ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara merupakan kota terbesar di kepulauan Sumatera. Bagi jalur penerbangan, bandara Polonia merupakan hub bagi berbagai jenis penerbangan untuk menjangkau wilayah kepulauan Sumatera. Dari Medan ke Gunung Sitoli dilayani oleh Wings, anak perusahaan Lion Air dengan jadwal 4 kali dalam sehari. Penerbangan lainnya yang melayani rute ini adalah Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan kadang Sabang-Merauke Air Charter (SMAC) juga terbang bila peak season. Jalur laut juga dapat ditempuh dari Teluk Bayur (Sumatera Barat) dan Sibolga (Tapanuli Tengah) menuju ke Pelabuhan Teluk Dalam atau Kota Gunung Sitoli. Jarak kota Teluk Dalam dengan Desa Bawömataluo hanya 12 km. Jalur ini
95
dilayani oleh angkutan umum dengan tarif sekitar Rp. 5.000 per orang dan juga ojek (RBT) dengan tarif rata-rata Rp. 20.000 per orang. Kedua, apakah jalan kabupaten dan jalan menuju destinasi wisata terdapat penunjuk arah, jalan terus diperbaiki dan dikontrol sehingga calon pengunjung berketetapan hati untuk melakukan kunjungan? Dalam tahap ini, jalan kabupaten sudah termasuk mulus dan lancar, terutama dari Gunung Sitoli ke Teluk Dalam. Oleh karena daerah ini masih dalam bentuk pengembangan, maka marka jalan dan penunjuk arah hanya dapat ditemukan pada titik tertentu pada setiap persimpangan di jalan-jalan Kabupaten dan Kecamatan di Nias Selatan. Hal yang perlu diperbaiki adalah, mulai persimpangan jalan menuju Desa Bawömataluo yang panjangnya sekitar 4 km, selain jalannya agak sempit hanya dapat berpapasan truk, beberapa ruas jalan juga mengalami kerusakan yang membutuhkan perbaikan mendesak. Kunjungan ke desa lainnya juga pada Juni 2012 lalu ke desa Hilisimaetanö dan desa Orahili Fau kondisinya malah lebih memprihatinkan, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 6.3 Keadaan ruas jalan pada beberapa desa di Maenamölö. Foto: hasil kunjungan penulis, Juni 2012.
96
6.3 Keramahan dan Kualitas Pelayanan (Services) Disadari atau tidak, pada dasarnya fungsi hombo batu saat ini lebih banyak pada kegiatan kompetisi dan pariwisata. Para pelaku hombo batu memperoleh honor, kompensasi atau penghargaan ketika melakukan atraksi lompat batu. Para penikmat atraksi tersebut tentu saja membayar pertunjukan ini. Sistem pertukaran ini yang disebut Piliang (2011: 23) sebagai komodifikasi yaitu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi. Dengan demikian, hombo batu telah menjadi bagian dari kegiatan pariwisata budaya. Gunn mengatakan bahwa, kalau suatu budaya mau berkembang dan menjadi bagian dari kegiatan pariwisata, beberapa hal berikut ini perlu dipertanyakan, yakni: 1. Apakah kamar-kamar hotel atau motel mengandung informasi mengenai atraksi budaya, peta, biaya dan penjelasan singkat mengenai budaya tersebut? 2. Apakah para staff dan penyedia jasa makanan di daerah pariwisata budaya tersebut dilatih untuk memandu para turis kepada atraksi budaya? 3. Apakah atribut bisnis jasa perjalanan wisata mendukung seni seperti lukisan dan fotografi lokal? 4. Apakah para pebisnis jasa saling bekerja sama dalam mengembangkan dan lebih memelihara atraksi budaya? Pertanyaan-pertanyaan standar dari Gunn ini beberapa bagian telah dilaksanakan oleh beberapa pemilik akomodasi di Nias, seperti Timotius Wau contohnya. Meskipun penginapan miliknya tidak sebesar hotel Sorake Beach Resort, namun Timotius dalam agendanya, selain jadwal surfing bagi tamu, dia
97
juga sering mengantarkan tamu ke desa Bawömataluo untuk menikmati atraksi hombo batu di desa ini. Di Desa Bawömataluo belum ada penginapan untuk wisatawan. Namun tidak jauh dari desa ini terdapat puluhan penginapan berupa lodge atau losmen dan cottage atau pondok yang dikelola oleh penduduk setempat di daerah Sorake dan Lagundri. Wisatawan yang menginap di Sorake dan Lagundri adalah wisatawan domestik dan manca Negara. Mereka pada umumnya tinggal beberapa Minggu di Sorake untuk surfing dan tinggal di Lagundri untuk berenang atau menikmati pasir putih maupun berjemur dengan bermandikan sinar matahari di pantai yang berbentuk huruf U ini.
Gambar 6.4 Pantai Lagundri. Foto: niascommunity.web.id
Gambar 6.5 Pantai Sorake. Foto: trekearth.com
98
Pengelolaan tempat wisata dan akomodasi di Nias Selatan masih sederhana dan bersifat tradisonal sehingga apa yang dipertanyakan oleh Gunn mengenai staff dan penyedia jasa makanan di daerah pariwisata budaya tersebut dilatih untuk memandu para turis kepada atraksi budaya, belum dapat dirasakan oleh wisatawan. Demikian juga dengan atribut bisnis jasa perjalanan wisata mendukung seni seperti lukisan dan fotografi lokal yang umum ditemukan di daerah-daerah tujuan wisata yang sudah maju, belum terlihat di Nias Selatan. Namun begitu, para pebisnis jasa mulai saling bekerja
sama dalam
mengembangkan dan lebih memelihara atraksi budaya, seperti beberapa travel agent di Gunung Sitoli (Tiara Tours) dan Medan (Horas Tour and Travel) yang memperkenalkan atraksi budaya hombo batu kepada tamu-tamu mereka di Eropa dan Jepang. Para pelaku bisnis ini sering kali menjadi pemasok tamu dari manca Negara untuk “menjual” atraksi hombo batu di Desa Bawömataluo. 6.4 Sarana Informasi Wisata Terhadap Wisatawan (Informations) Gunn
berpendapat
bahwa
kemungkinan
terbesar
terhambatnya
perkembangan pariwisata adalah karena informasi yang kurang memadai bagi pengunjung. Beberapa pertanyaan berikut dianjurkan oleh Gunn sebagai bahan investigasi pada daerah tujuan wisata. 1. Pada pintu masuk lokasi, apakah ada pusat informasi bagi pengunjung yang berisi penjelasan mengenai atraksi, jasa dan bagaimana memperolehnya? 2. Apakah buku panduan pada atraksi budaya cukup memadai dan mudah diakses?
99
3. Apakah semua buku panduan akurat dan selalu terbarui seperti jam buka pertunjukan, harga, dan informasi yang dibutuhkan lainnya? 4. Apakah atraksi budaya telah telah dipahami betul oleh para pemandu wisata? 5. Adakah komputer interaktif yang menyediakan informasi terbaru yang diletakkan di tempat-tempat strategis di daerah tujuan wisata? 6. Apakah informasi pengunjung pada budaya lokal siap sedia di perusahaan jasa pariwisata, seperti di motel, hotel, restoran, dan terminal? 7. Adakah program hospitality training telah dipresentasikan di daerah tujuan wisata? Ketujuh pertanyaan vital Gunn tersebut mengenai informasi sepertinya masih jauh dari kenyataan baik di Nias Selatan secara umum dan khususnya di desa Bawömataluo. Terlebih pada pertanyaan nomor 1, belum ada pusat informasi seperti yang dibanyangkan oleh Gunn itu. Untungnya, jaman sekarang merupakan era informasi digital. Segala informasi telah dapat diakses melalui internet. Namun, kenyataan di Nias Selatan, akomodasi di pusat-pusat kegiatan pariwisata seperti di Lagundri dan Sorake sebagian besar berupa lodge atau losmen yang dikelola secara sederhana dan tradisional oleh penduduk setempat. Satu-satunya brosur yang memuat informasi secara menyeluruh mengenai tempat wisata di Nias Selatan diperoleh melalui kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan.
100
6.5 Meningkatkan Kunjungan Wisatawan Melalui Promosi (Promotions) Dalam
persaingan
pariwisata
dunia
saat
ini,
promosi
yang
berkesinambungan menjadi fungsi utama dalam keagenan pariwisata. Gunn (1995: 3) mengatakan bahwa penelitian pada pemasaran pariwisata, misalnya segmentasi pasar dan mempelajari perubahan pasar, merupakan pendekatan yang dianjurkan untuk keperluan promosi. Beberapa hal yang mendasar yang perlu dipertanyakan mengenai promosi secara lokal, antara lain: 1. Adakah program periklanan yang efektif telah diuji dalam artian mengkaji perubahan (conversion studies)? 2. Adakah periklanan pada budaya lokal telah ditempatkan pada media yang paling produktif untuk menjangkau calon wisatawan? 3. Sejauh
mana
penggunaan
publisitas
untuk
mempromosikan
desa
Bawömataluo? 4. Apakah humas (public relations) dipekerjakan untuk mempromosikan kesenian? 5. Apakah pebisnis jasa wisata menawarkan insentif berupa diskon, bonus atau paket yang menarik untuk memperomosikan atraksi budaya kepada pengunjung? Program periklanan yang efektif dan teruji dalam artian mengkaji perubahan, belum ada di Nias Selatan. Begitu juga dengan periklanan pada budaya lokal belum ditempatkan pada media yang paling produktif untuk menjangkau calon wisatawan. Kalaupun terdapat beberapa iklan di televisi yang menayangkan atraksi hombo batu, semata-mata itu untuk tujuan komersil perusahaan tertentu
101
dan bukan khusus mempromosikan hombo batu, meskipun secara tidak langsung lewat iklan ini, masyarakat Indonesia menjadi lebih tahu mengenai hombo batu dari pulau Nias. Publisitas untuk mempromosikan desa Bawömataluo saat ini lumayan banyak, terutama lewat media internet. Terlebih pasca gempa besar pada Maret 2005 di mana kampung ini terus menjadi perhatian banyak kalangan oleh karena tetap kokoh dengan diterpa gempa sehebat itu. Media cetak seperti dan online Sinar Ya’ahowu dan Waspada Online semakin ramai memberitakan sepak terjang Festival Bawömataluo. Demikian juga dengan situs internet yang terfokus pada berita kepulauan Nias seperti niasisland.com (NIC), nias-bangkit.com (NBC) atau niasonline.net. Media-media ini cukup efektif untuk melambungkan nama Bawömataluo baik di nusantara maupun mancanegara. Oleh karena pengelolaan destinasi wisata Bawömataluo masih tergolong tradisional, maka pemanfaatan tenaga public relations belum dilakukan. Untuk pebisnis
jasa wisata menawarkan insentif berupa diskon, bonus atau paket yang menarik untuk memperomosikan atraksi budaya kepada pengunjung justru dilakukan oleh pebisnis tur dan travel di Medan seperti yang diakui oleh pemilik Tokosa Tour, Victor Harefa di Medan dan Indra Surya Fadjar, marketing director Horas Tour. Travel lainnya yang juga berada di Medan adalah Boraspati dengan pemilik Clement Gultom. Menurut para praktisi travel agen ini, mereka sering “menjual atraksi hombo batu” di Nias kepada tamu mereka dalam bentuk paket wisata.