83
BAB VI DINAMIKA PENGUPAHAN PEMETIK DI PERKEBUNAN GUNUNG MAS Upah pada dasarnya merupakan alasan utama seorang bekerja di perkebunan, dan dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan nilai upah di perkebunan. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa PGM merupakan bagian dari sistem agribisnis yang bergantung kepada sistem kapitalis dan sistem tersebut berpengaruh pada sistem kerja dan pengupahan di perkebunan. Dalam penelitian ini ditunjukkan bagimana perubahan upah dari waktu ke waktu tidak memberikan perubahan kehidupan bagi buruh petik di perkebunan, walaupun terjadi dinamika pengupahan pemetik teh di perkebunan sebab meningkatnya nilai upah yang diterima tidak berdampak pada meningkatnya daya beli pemetik dari waktu ke waktu. Secara umum bab ini hendak menunjukkan kondisi buruh petik di perkebunan dalam sistem pengupahan yang telah berlangsung dari waktu ke waktu di perkebunan. 6.1
Pengupahan di Perkebunan Gunung Mas
6.1.1
Alasan Menjadi Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas Buruh di perkebunan bukanlah pekerjaan yang diharapkan setiap orang bahkan
calon pekerja di perkebunan, namun menjadi buruh di perkebunan telah berlangsung secara turun temurun sampai saat ini. Alasan seorang calon pekerja menjadi buruh di perkebunan merupakan hal menarik untuk diketahui. Dalam sistem kerja di perkebunan telah terjadi ketidakadilan pada pekerjaan sebagai pemetik dan hal tersebut pun disadari oleh calon pekerja. Buruh hanyalah dipandang sebagai faktor produksi dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas, namun regenerasi buruh di PGM tidak berhenti akibat posisi buruh yang paling rendah dan diskriminasi upah yang juga diterimanya. Keberadaan buruh di PGM terbentuk secara turun temurun antar generasi yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain buruh di perkebunan secara tidak langung
84
diisolasi dari sumber informasi sehingga masyarakat perkebunan tidak memiliki pilihan, dan besarnya ketergantungan mereka terhadap perkebunan sehingga mereka memilih untuk tetap bekerja sebagai buruh. Informan Pemetik Ibu Mn berusia 27 tahun bercerita, “Saya berasal dari sini (Rawadulang). Saya merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Keluarga saya merupakan keluarga turun-temurun bekerja di perkebunan. Nenek saya merupakan seorang pemetik di perkebunan. Ibu merupakan seorang pemetik perkebunan yang sudah pensiun saat ini. Kedua kakak perempuan saya bekerja sebagai pemetik di PGM, sedangkan kakak laki-laki saya bekerja babad di PGM, dan yang lain memutuskan untuk mencari pekerjaan lain di luar PGM. Saya memutuskan untuk menjadi pemetik dan tetap tinggal di Perkebunan.Saya pertama kali bekerja sebagai pemetik sekitar 15 tahun lalu jauh sebelum saya menikah. Sebenarnya menjadi seorang pemetik bukanlah cita-cita saya sejak dulu. Saya ingin sekali bisa bekerja selain menjadi pemetik, namun berbeda halnya dengan sekarang, dulu sekolah susah, saya pengen sekolah tapi tidak memiliki biaya, sehingga saya hanyalah tamatan kelas lima SD karena tidak ada biaya lagi untuk melanjutkan. Setelah tidak lagi melajutkan sekolah, saya sering diajak bekerja oleh Ibu dan Kakak saya. Saya bekerja metik pertama kali saat berumur 12 tahun, waktu itu saya memutuskan untuk bekerja karena Ibu saya diberhentikan oleh perkebunan sehingga hanya kakak saya saja yang bekerja, jadi saya membantu untuk meringankan beban keluarga, dan saya bekerja hingga saat ini di perkebunan. Saya awalnya mendaftar sebagai pemetik kepada mandor kebun, dan kemudian diizinkan untuk menjadi pemetik dengan status harian lepas. Saya menempati posisi ini sudah hampir 15 tahun, namun sampai hari ini saya belum diangkat sebagai pekerja tetap, dan bahkan sekarang saya diberhentikan sementara oleh perkebunan karena tidak ada biaya, untungnya kakak saya berstatus pemetik tetap sehingga saya bisa nempel dengan kakak saya.Saya sebenarnya cape kerja begini (sebagai pemetik), karena kerjanya cape tapi digajinya kecil soalnya harga pucuknya rendah cuma Rp. 530 per kilonya, tapi suami saya juga masih lepas jadi kondisi di rumahnya belum stabil. Saya bekerja selain buat nambahin penghasilan keluarga, minimal bisa buat ngasih jajan anak setiap hari karena disini mah anak jajannya banyak, selain itu juga kerja dirumah mah lebih cape karena ga ada selesainya kerjaan, abis nyuci terus masak, terus nyuci piring. Sebenarnya mah capean kerja di rumah dari pada metik, kalo metik mah bisa sambil ngobrol juga sama pemetik lain.Saya sebenernya pengen nyari kerjaan lain gitu biar lebih enak hidupnya, tapi saya ga tega ninggalin anak-anaknya masih pada kecil. Lagian kerja sekarang mah enak kalo udah tetep bisa dapet bonus, tunjangan, sama pensiun. Kerja disini juga ga ada syarat pendidikan tertentu, kalo mau kerja, mau cape ya bisa kerja di perkebunan. Selain itu tidak perlu untuk memikirkan rumah karena udah dapet fasilitas dari perkebunan. Sekarang mah kerja gini aja yang giat biar kenilainya bagus, kalo ada pengangkatan bisa dibawa, dan yang penting mah masih bisa makan tiap harinya.”
85
Cerita tersebut merupakan gambaran umum pemetik teh dengan segala alasannya untuk tetap bekerja di perkebunan. Sebagian besar dari pemetik umumnya tidak memiliki alternatif pekerjaan lain dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang mereka miliki sehingga bekerja sebagai pemetik merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mencukupi kebutuhan mereka. Selain itu, fasilitas yang diberikan oleh perkebunan membuat mereka bergantung pada perkebunan karena fasilitas yang diberikan perkebunan merupakan alternatif untuk mengatasi persoalan hidup saat ini. Alasan utama perempuan bekerja sebagai pemetik adalah tidak mencukupinya kebutuhan rumahtangga. Namun, rendahnya tingkat pendidikan para pencari kerja khususnya pemetik di perkebunan dan sumber informasi yang terbatas maka bekerja sebagai pemetiklah harapan yang dimilikinya. Besarnya jumlah pemetik di perkebunan mencakup seluruh pemetik (tetap, lepas, dan musiman) mengakibatkan perkebunan memiliki kelebihan tenaga kerja. Berlebihnya tenaga kerja perkebunan tersebut merupakan suatu aset tidak bergerak yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh pihak perkebunan. Pemetik sebagai aset perkebunan disebabkan pemetik tidak memiliki nilai jual yang tinggi terhadap pihak perkebunan. Pemetik menggantungkan hidupnya melalui pekerjaan diperkebunan. Masyarakat perkebunan cenderung terisolasi dari informasi yang ada di luar sehingga anggapan bahwa hanya dari perkebunanlah sumber kehidupan mereka menjadi dasar ketergantungan mereka pada perkebunan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya rumah dinas yang diberikan kepada pekerja dan membuat mereka akan terus menjadi pekerja perkebunan walaupun upah yang diterima rendah. Akibatnya pemetik tidak dapat keluar dan mencari alternatif pekerjan lain selain bekerja di perkebunan, karena kultur dan kondisi masyarakat serta lingkungan perkebunan membuat mereka tidak memiliki pilihan untuk keluar dari kondisi tersebut.
86
6.1.2
Pengupahan di Perkebunan Gunung Mas “Disini mah gajinya kecil paling cuma cukup buat makan sehari hari” (Pemetik Ibu Yn, 55 tahun) “Istri saya sudah kerja metik dari harga pucuk masih Rp.4, tapi sampe sekarang ya gini-gini ajah ga ada yang berubah” (Pemetik Bapak Ad, 60 tahun) Begitulah kutipan pernyataan yang diungkapkan oleh pemetik dari dua jenis
kelamin yang berbeda, yang menyatakan pernyataan yang sama bahwa upah yang diberikan oleh PGM terhadap buruhnya adalah rendah. Namun, upah merupakan unsur utama yang menjadi alasan bekerjanya seseorang di perkebunan, sehingga pengupahan dalam penelitian ini menjadi penting untuk dianalisis lebih lanjut untuk melihat perbedaan upah yang diterima oleh pekerja laki-laki dan pekerja perempuan dengan status yang sama yaitu sebagai buruh. Berdasarkan kutipan di atas pun terlihat bahwa terdapat beberapa rumahtangga yang menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari upah istrinya sebagai pemetik. Kontribusi upah pemetik dalam pendapatan rumahtangga akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya. Pengupahan merupakan unsur utama dalam berbagai pekerjaan begitupun di perkebunan. Perkebunan membedakan pengupahan pekerja berdasarkan jenis dan status pekerjaan. Pekerjaan dengan status tertentu seperti mandor, mandor besar, sinder, dan sinder kepala, memiliki upah yang cukup stabil dan lebih tinggi dibandingkan upah pekerjaan dengan status sebagai buruh. Pekerjaan dengan status tertentu seperti mandor mengharuskan tingkat pendidikan tertentu sehingga upah yang diberikan lebih tinggi. Sedangkan pekerjaan dengan upah rendah dan pekerjaan yang berat diberikan kepada perempuan. Hal tersebut dikarenakan sifat perempuan yang cenderung nurut dan manut kepada perintah dan kebijakan yang diberikan oleh pihak perkebunan. Pada dasarnya, perkebunan telah menetapkan job description kepada setiap pekerja di perkebunan saat diangkat menjadi karyawan tetap perkebunan yang juga
87
diatur mengenai waktu bekerja serta upah yang akan diterima. Namun dalam realisasinya di pekerjaan, aturan pekerjaan umumnya hanya diberikan secara tegas kepada buruh, sedangkan kepada mandor misalnya diberikan secara berbeda. Narasumber pemetik Ibu Mn berusia 27 tahun menyatakan bahwa, “kalo pemetik mah setiap harinya kerja dari jam tujuh pagi sampai jam tiga atau empat sore, dari senin sampai sabtu, harusnya sih ada mandor yang mengawasi cuma ya gitu disini mah mandornya suka seenaknya. Kalo pagi biasanya baru dateng jam Sembilan pagi, pulangnya suka duluan, kalo hari jumat biasanya jam 11 udah pulang karena solat jumat dan tidak kembali lagi. Kalo sekarang (sabtu) saya tidak tahu kenapa tidak ada mandornya, padahal kemaren udah marah-marah anak buahnya gara-gara ga ada yang ngawasin…” Pekerjaan merupakan alasan utama pemberian upah bagi pemetik begitupun dengan pekerja lain di perkebunan. Pemberian pekerjaan yang berbeda berdampak pada perbedaan pemberian upah di perkebunan antara laki-laki dan perempuan, namun hal tersebut tidak berlaku di bagian pemetikan sebab upah dibayar berdasarkan jumlah pucuk yang didapatkan oleh pemetik setiap harinya. Di bagian pemetikan waktu kerja berpengaruh penting untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi, semakin lama bekerja (melakukan pemetikan) maka semakin banyak jumlah pucuk yang dapat dipetik. Waktu kerja bukanlah faktor utama bagi pekerja lain dibagian perkebunan untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi. Seperti administratur, staf kantor induk, maupun mandor, yang upahnya dipengaruhi oleh faktor lain yaitu tingkat pendidikan. Dalam hal ini, pekerjaan selain buruh dibayar berdasarkan jenjang pendidikan dimana pemikirannya (kemampuan dan keterampilan) yang dibayar oleh perkebunan, sedangkan buruh dibayar berdasarkan tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja. Namun untuk membedakan upah berdasarkan jenis pekerjaan yang didalamnya terdapat waktu kerja akan disajikan secara ringkas pada Tabel 4.
88 Tabel 4 Perbedaan Pengupahan Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 Istirahat
Pulang
Tingkat pendidikan
Upah Pekerjaan
Pekerjaan dilakukan
12.00 – 14.30
16.00 (namun sering pulang sebelum selesai)
S1 (sarjana)
¾ Rp. 2.500.000
12.3014.30
16.00
SMA
¾ Rp. 1.500.000
Mengamati produksi dan menetapkan kebijakan Melakukan pekerjaan kantor
06.00
10.00
13.00
SMP, SMA
Koperasi (Senin-Sabtu) Mandor Pemetikan (Senin-Sabtu)
08.00
12.30 – 13.00 bebas
16.00
SMA
Tetap = Rp. 750.00018 Lepas = sesuai dengan jumlah hari masuk, satu hari Rp. 15.000 Rp. 750.000
koperasi
SMA, namun ada yang SMP
Rp. 900.000-1.500.000
Mengawasi20
Pekerja pangkas(ngore d, rawat, dll) (Senin-Sabtu)
06.00
10.00
Sesukanya, kadang mengikuti pemetik, kadang pulang lebih awal namun hari jumat pulang 11.00 Setelah selesai
Tidak sekolah, SD/ SMP
Pekerjaan di kebun
Pemetik (Senin-Sabtu)
06.15/06.30
10.00/ nimbang I
Tetap : harian Rp. 25.000 Lepas : berdasarkan jumlah patok yang telah dibersihkan, 1 patok Rp.10.500 luas 1 patok sekitar 3x4 meter Tetap : borongan21 + minggu/cuti/libur dibayar Rp. 20-25ribu, tergantung golongan dan strip pekerja lepas : hanya berdasarkan borongan pucuk/kg Rp.530
Jenis pekerjaan Administratur (Senin-Sabtu)
Karyawan kantor induk (Senin-Sabtu) Pabrik : Pengepakan (Senin-Sabtu)
Berangkat kerja (masuk) 08.00 (namun sering datang tidak tentu) 08.00
Sesukanya kadang jam 08.00, kadang jam 09.0019
Kadang jam 15.00 (pucuk sedikit), pucuk banyak bisa sampai jam 18.00
SD/ tidak sekolah
yang
pengepakan
Memetik teh
Sumber : Data primer penulis berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan (2010)
Dalam Tabel 4 menunjukkan upah yang diterima oleh buruh hanyalah 10 persen dari upah yang diterima oleh administratur, namun buruh melakukan pekerjaan yang lebih berat (menggunakan tenaga lebih banyak) dibandingkan dengan administratur. 18
Upah pekerja pabrik, kebun diluar pemetikan adalah harian adalah Rp. 25 ribu per hari Jam kerja mandor seringkali tidak jelas, kadang datang jam 9.00 sesuai waktu kerja kantor atau lebih siang bahkan mungkin tidak ada rencana datang hanya saja takut ada pemeriksaan dari pusat makanya dia bekerja 20 Hanya sebatas mengawasi tanpa membantu apabila melakukan perpindahan kebun walaupun menurut mandor alasan tidak ada mandor perempuan diperkebunan adalah agar dapat membantu pemetik mengangkat angkat namun dalam observasi dilapang mandor hanya seperti tuan tanah yang mengawasi apakah budaknya bekerja dengan benar, tanpa sama sekali membantu 21 Sistem kerja buruh pemetik teh adalah sistem borongan. Dalam Permenaker no. Per-03/Men/1994, yang disebut sebagai tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan atau satuan hasil kerja (Bab I, Pasal I) 19
89
Namun, upah yang diterima oleh sesama buruh di perkebunan pun berbeda di bidang yang berbeda, dan pemetik tetap mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan buruh lain misal buruh pabrik. Karyawan di bagian pabrik terdiri dari mandor besar pabrik, mandor, dan buruh pabrik perkebunan yang terdiri dari buruh tetap dan buruh lepas. Sistem penggajian pabrik untuk mandor besar dan mandor adalah berdasarkan surat ketetapan direksi, sedangkan untuk buruh pabrik diatur oleh manajemen, seperti halnya buruh petik teh. Aturan upah bagi buruh pabrik berdasarkan jumlah hari kerja buruh tersebut. Buruh pabrik tetap dibayar berdasarkan hari kerja ditambah dengan hari libur maupun cuti, sedangkan buruh pabrik lepas hanyalah berdasarkan banyaknya hari buruh tersebut dipekerjakan. Upah pekerja tetap dalam satu hari adalah sebesar Rp. 25.000 sehingga dalam satu bulan bisa mencapai Rp. 750.000, sedangkan untuk pekerja lepas upah dalam satu hari mereka bekerja adalah sebesar Rp. 10.000 – Rp. 15.000 sehingga jika dalam satu bulan mereka dipekerjakan selama satu bulan penuh maka upah yang didapatkan adalah Rp. 300.000 – Rp. 450.000, namun umumnya buruh pabrik lepas hanya dipekerjakan paling lama 20 hari dalam satu bulan. Sistem pengupahan di pabrik membedakan upah untuk pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, besarnya perbedaan upah per hari adalah Rp. 1000 sehingga dalam satu bulan perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan mencapai Rp. 30.000. Pembedaan upah tersebut disebabkan keberadaan perempuan di pabrik hanyalah pekerja “tambahan” dan dianggap diberikan pekerjaan lebih ringan dibandingkan dengan laki-laki misal dalam pengepakan yang di dominasi buruh perempuan di pabrik. Laki-laki di pabrik umumnya bertugas untuk menjalankan mesin, mengangkat kardus ke truk, mengangkat pucuk ke pabrik dan melakukan pekerjaan berat lainnya sedangkan
90
perempuan hanya bekerja di depan mesin untuk memasukan teh kedalam kardus. Dalam hal ini, laki-laki dianggap melakukan pekerjaan yang lebih berat sehingga diupah lebih tinggi, namun secara tidak sadar buruh perempuan pun memiliki resiko pekerjaan yang tinggi sehingga pembedaan upah tersebut merupakan ketidakadilan bagi buruh perempuan. Buruh petik perkebunan tidak dibedakan upah untuk buruh petik laki-laki dan upah untuk buruh petik perempua, berbeda halnya dengan buruh pabrik. Pada dasarnya, pemetik di PGM terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun secara jumlah didominasi oleh pemetik perempuan. Dalam pemetikan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa upah diberikan berdasarkan jumlah petikan, namun pemetik harus memiliki barang-barang yang dibutuhkan untuk menjadi pemetik. Pemetik harus memiliki alat-alat yang akan membantu pemetikan seperti Catok (topi), Waring (tempat pucuk), Keranjang, Sepatu (boots), plastik untuk melindungi dari basah mapun hujan dan baju pemetik terdiri dari dua macam CV dan Kaos. Perusahaan hanya memberikan baju pemetik yaitu CV dan kaos bertuliskan PT. Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas, sedangkan peralatan lain harus dimiliki sebelum bekerja antara lain keranjang pemetik, tudung, waring dan sepatu (boots) yang masing-masing harus dibeli sendiri dengan kisaran harga Rp. 10.000- Rp. 80.000 per jenisnya. Jumlah total buruh petik dengan status tetap saat ini adalah 103 orang pekerja. Dalam pemetikan, mandor memegang 35-37 orang, yang terdiri dari tiga orang mandor panen. Dalam pemetikan produksi dilakukan setiap hari, tidak ada libur kecuali hari minggu ataupun libur nasional. Target pemetikan setiap harinya adalah 44 kilogram22 per orang per hari menurut ketetapan perkebunan, namun menurut ketetapan mandor 22
Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh perkebunan berdasarkan surat ketetapan Direksi
91
adalah 32 kilogram per orang per hari jika pucuknya sedang banyak. Harga pucuk yang diberikan perusahaan kepada pemetik tidak menentu tergantung dari pendapatan pucuk pemetik itu sendiri, dan tergantung pada harga teh di pasaran dunia. Pada saat harga teh di pasaran internasional stabil, jika jumlah petikan mencapai target yaitu 44 kilogram per orang per hari maka harga pucuk per kilogramnya adalah Rp. 570 per kilogram, dalam hal ini 44 kilogram tersebut dihitung berdasarkan pucuk setelah dikeringkan (pucuk kering). Jika jumlah petikan kurang dari 44 kilogram maka manajemen dalam hal ini mandor, dan petugas tata usaha kantor (TUK) akan menurunkan target petikan menjadi 29-32 kilogram per orang per hari dengan harga pucuk per kilogramnya adalah Rp. 530 per kilogram. Rendahnya harga pucuk yang diterima oleh pemetik teh ditinjau dari alokasi dana yang diberikan perusahaan untuk membayar pekerja perkebunan berdasarkan harga teh di pasaran internasional terdapat ketimpangan yang cukup signifikan. Harga teh Indonesia dipasaran Internasional adalah US$ 1,4 per kilogram dimisalkan dengan perbandingan nilai tukar dollar terhadap rupiah adalah Rp. 10.000 dan harga pucuk untuk pemetik adalah Rp. 530, jika diasumsikan biaya distribusi, transportasi, dan biaya lain diluar penggajian pegawai adalah 50 persen dari harga teh maka alokasi dana yang dikeluarkan pihak perkebunan untuk pemetik hanyalah 0,07 persen dari pendapatan per kilogram teh yang dijual di pasaran internasional. Upah pemetik sendiri dihitung berdasarkan borongan, sehingga untuk mengambil jalan tengah dari fluktuasi harga pucuk maka perkebunan menetapkan harga pucuk per kilogramnya adalah Rp. 530. Ketetapan target petikan tersebut tidak mutlak dan berbeda antar mandor sebab setiap mandor memiliki target masing-masing agar
92
dapat naik strip dan mendapatkan bonus serta premi23 dari perusahaan. Pemetik sendiri akan mendapatkan bonus berupa kenaikan strip, dalam hal ini kenaikan strip akan berpengaruh pada besarnya upah minggu ataupun hari libur yang diterima pemetik. Harga pembelian pucuk yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu HP = R(HJ-B)24 dimana HP adalah harga pucuk teh yang diterima oleh petani di tingkat pabrik (Rp per kilogram) pucuk teh basah, R adalah persen rendeman rata-rata pucuk teh basah menjadi kering, HJ adalah harga rill rata-rata tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal selama dua minggu sebelumnya sesuai komposisi dan jenis mutu teh yang dihasilkan (Rp per kilogram), dan B adalah biaya olah yang meliputi biaya pengolahan, pemasaran dan penyusutan yang dikeluarkan perusahaan (Rp per kilogram) teh kering. Berdasarkan pengamatan peneliti, pemetik tetap memiliki gaji pokok adalah sebesar Rp. 208.958. Namun, upah yang dibayarkan kepada pemetik hanya berdasarkan borongan ditambah dengan upah hari minggu/libur/cuti, sedangkan gaji pokok pemetik tidak termasuk kedalam upah yang diterima pemetik setiap bulannya. Perhitungan upah pemetik tetap dimisalkan borongan pemetik selama satu bulan adalah satu ton yaitu 1000 kilogram, maka upah pemetik adalah Total jumlah borongan selama 1 bulan ditambah Upah Minggu/libur/cuti maka (1000 kilogram x Rp. 530) + ( Rp. 25.000 x 4) sehingga upah pemetik adalah Rp. 630.000 dengan catatan bahwa borongan tersebut adalah pucuk kering25. Upah Minggu/libur/cuti tersebut berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 25.0000. Upah minggu/libur/cuti yang diterima pemetik dengan strip tujuh adalah Rp. 22.000. Upah minggu/libur/cuti yang diterima pemetik dengan strips sembilan adalah Rp. 25.000. 23
Premi (bayaran kerja lembur) disebut juga tips yang diberikan perusahaan kepada karyawan , khususnya pengawas dan pelaksana I untuk keperluan lembur atau keperluan perkebunan lain, untuk staf manajerial besarnya premi adalah Rp. 100.000 per orang. 24 Dikutip dari http://www.csrreview-online.com/lihatartikel.php?id=24 25 Pucuk kering dari pemetik adalah jumlah petikan dipotong 3-5 kilogram saat penimbangan. Jika pucuk sedang banyak maka jumlah potongan penimbangan dapat lebih dari lima kilogram.
93
Pemetik sendiri diangkat tetap
dengan
golongan 1A strip tiga dengan upah
minggu/libur/cuti adalah Rp. 20.000. Pemetik boleh tidak masuk atau izin saat bekerja, namun perhitungan upahnya hanya dibayar satu hari saja, jika tidak masuk diwaktu kerja dan bukan cuti maka upah minggu akan hilang. Pemetik lepas diberikan upah berdasarkan jumlah borongan setiap bulannya. Pemetik lepas juga diberikan penilaian setiap bulannya, penilaian tersebut sebagai salah satu indikator dapat diangkat atau tidaknya pemetik lepas menjadi tetap. Dimisalkan jumlah borongan satu ton yaitu 1000 kilogram, maka upah yang didapat adalah 1000 kilogram dikali dengan Rp. 530 (1000 x Rp. 530) maka upah pemetik satu bulannya adalah Rp. 530.000. Pemetik nempel diberikan sama seperti upah pekerja harian lepas, yang membedakannya adalah waktu kerja pekerja nempel berbeda dengan pekerja lepas. Pekerja nempel adalah dianggap sebagai pekerja tambahan yang bersifat hanya membantu keluarganya, sehingga pada waktu tertentu seperti menjelang lebaran pekerja nempel dilarang untuk bekerja. Tidak semua pekerja harian lepas dapat melakukan nempel, sehingga pekerja yang lain hanya menunggu panggilan bekerja dari perkebunan ataupun menganggur. Perbedaan upah pemetik adalah berdasarkan lama bekerja di perkebunan sehingga golongan dan strip yang dimiliki lebih tinggi yang berpengaruh pada upah yang diterima, status kerja, jumlah borongan, dan potongan-potongan yang dikenakan perusahaan setiap gajian. Potongan untuk pemetik tetap mendapat potongan koperasi selama sebulan, pensiun, dan astek26. Potongan untuk pemetik harian lepas hanyalah potongan koperasi jika berhutang dalam satu bulan, sedangkan untuk pemetik nempel tidak mendapat potongan sebab upah yang diterima menggunakan nama orang lain (bersama). 26
Astek adalah Jamsostek (jaminan sosial dan asuransi kesehatan) dari perkebunan yang diberikan kepada karyawan dan buruh dengan status tetap. Potongan astek diberikan kepada buruh dengan status tetap setiap bulannya sebagai jaminan saat berobat atau sakit parah.
94
Posisi pemetik dalam pengupahan hanyalah sebagai objek. Dimana semua kegiatan produktif yang menghasilkan upah diatur oleh pihak perkebunan. Pemetik khususnya, mengetahui posisi mereka dalam stratifikasi sosial di perkebunan. Pemetik menyadari apa yang terjadi pada kehidupan mereka selama menjadi pekerja. Pemetik mengetahui bahwa mereka dirugikan dengan harga pucuk yang rendah, dan ada orangorang tertentu yang diuntungkan dari kerugian mereka. Mereka mengetahui penyebab mengapa mereka hanya diberikan harga pucuk Rp. 530 per kilogram. Namun, pemetik tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari keadaan tersebut karena pemetik bergantung pada keberadaan perkebunan. 6.1.3
Dinamika Pengupahan Bicara tentang pengupahan di perkebunan, tidak hanya berhenti pada bagaimana
pengupahan tersebut berlangsung saat ini tetapi bagaimana pengupahan tersebut berubah dan berlangsung dari waktu ke waktu. Kehidupan pemetik di perkebunan pun sudah menjadi sorotan sejak dahulu, karena banyaknya ketidakadilan pengupahan dan eksploitasi tenaga kerja. Perubahan pengupahan merupakan salah satu perubahan yang terjadi di perkebunan dari waktu ke waktu. Namun, penelitian ini hanya berdasarkan observasi dan wawancara dengan informan dan data mengenai perubahan upah maupun upah itu sendiri tidak diberikan oleh perkebunan. Perubahan kebijakan dalam kurun waktu 30 tahun antara lain tidak terbukanya manajemen perkebunan saat ini khususnya persoalan upah dan buruh, pergantian administratur yang cukup sering di PGM, kebijakan penebangan pohon pelindung yang seharusnya tidak ditebang, tidak dipekerjakannya lagi pekerja harian lepas (BHL) dan pekerja musiman, pembelian pucuk dari perkebunan swasta maupun rakyat dan
95
ditiadakannya pengangkatan karyawan tetap oleh pihak perkebunan27. Secara umum perubahan pengupahan di perkebunan terjadi dari waktu ke waktu meliputi perubahan nominal upah, insentif, penambahan fasilitas, dan pemberian tunjangan. Namun perkebunan masih menganut sistem borong dalam pemetikan yang upah dibayar berdasarkan jumlah borong, sehingga perubahan nominal jumlah upah tidak berarti merubah nasib buruh tersebut menjadi lebih sejahtera saat ini. Narasumber pemetik Ibu Mn berusia 27 tahun menyatakan bahwa “Kerja di Perkebunan sekarang mah enak harga pucuknya lebih tinggi jadi pendapatannya lebih banyak, selain itu diberikan tunjangan pensiun, bonus kerja, dan pendapatan tambahan lain dari perkebunan seperti tunjangan pendidikan. Namun, walaupun harga pucuk saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan saat ibu saya bekerja, kondisi kehidupan saya tidak berubah bahkan saya merasa kehidupan saya saat ini lebih sulit” Tren perubahan upah yang diterima oleh buruh petik perkebunan dari waktu ke waktu yang dikorelasikan terhadap kemampuan membeli beras. Jika dalam satu bulan dimisalkan jumlah petikan sebanyak satu ton maka dalam kurun waktu dari 1980 sampai 2010 banyaknya beras yang dapat dibeli pemetik ditampilan pada Tabel 5. Tabel 5 Daya Beli Pemetik Berdasarkan Perubahan Upah Pemetik di Perkebunan Gunung Mas Tahun 1980-2010 Ket Nilai Upah/kg28 Harga Beras/kg29 Upah dalam 1 bulan (Rp) Jumlah Beras yang Dibeli
Tahun 2000an Rp. 250 Rp. 2800
2009 Rp. 490 Rp.5500
2010 Rp.530 Rp. 6000
150.000 200.000
250.000
490.000
530.000
227 kg
89 kg
89 kg
88 kg
1980an Rp. 100 Rp. 400
1994 Rp. 150 Rp. 660
100.000 250 kg
1998 Rp. 200 Rp. 2100
95 kg
Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
27
Ditiadakannya pengangkatan karyawan lepas belum ditetapkan oleh pihak perkebunan, namun rumor tersebut sudah beredar dikalangan pekerja. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya pengangkatan setelah tahun 2001 oleh pihak perkebunan dalam beberapa tahun terakhir. 28 Penentuan nilai upah yang diterima pemetik dari waktu ke waktu berdasarkan hasil wawancara yang dikumpulkan oleh peneliti di lapangan 29 Achmad Suryana dan Sudi Mardianto 2001, Bunga Rampai Ekonomi Beras, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI), Jakarta, halaman 248
96
Kenaikan upah yang diberikan pihak perkebunan tidak berdampak pada meningkatnya kesejahteraan buruh petik sebab pada dasarnya daya beli buruh petik tidak berubah bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan oleh naiknya harga kebutuhan pokok terutama beras. Akibatnya buruh tetap berada dalam kondisi miskin sampai hari ini, walaupun upah dan tunjangan yang diberikan perkebunan meningkat. Perubahan upah dari waktu ke waktu yang diberikan perkebunan secara ringkas pada Tabel 6. Tabel 6 Perubahan Upah Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas Tahun 1950-2010 Waktu 1950an (orde lama)
Harga Pucuk (per kg) Rp.4,00
Lepas31
Fasilitas30
Upah
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur
Rp. 100
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur
1990an (orde baru ke reformasi)
Rp. 150
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur + THR
2000an (reformasi)
Rp 200 – Rp.400
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur + bonus + THR
2009 (sekarang)
Rp. 490
1980an (orde baru)
Keterangan
Tetap Rumah dinas, kesehatan, cuti haid, pesangon saat pensiun Rumah dinas, kesehatan, cuti haid, pesangon saat pensiun Rumah dinas, kesehatan, cuti haid, pesangon saat pensiun Rumah dinas, kesehatan, biaya pendidikan, sosial, kesehatan tunjangan pensiun, dan gaji pensiun Rumah dinas, kesehatan, biaya pendidikan, sosial, kesehatan tunjangan pensiun, dan gaji pensiun
Lepas hanya sebentar, hanya satu bulan lepas langsung bisa tetap. Lepas selama 3 bulan bisa diangkat tetap Lepas dalam jangka waktu cukup lama tapi masih banyak yang diangkat tetap Lepas dalam jangka waktu cukup lama hanya beberapa yang diangkat tetap
Lepas Borong + upah Lepas lebih dari 10 ditiadakan, minggu/libur + tahun belum diangkat pekerja lepas bonus + THR tetap sampai hari ini nempel 32pekerja dengan alasan belum tetap. Upah butuh pemetik yang diterima tambahan berdasarkan borongan. Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
30
Diluar jaminan kesehatan, jaminan rumah, dan jaminan sosial yang diberikan oleh perkebunan Pekerja lepas di PGM adalah pekerja lepas yang waktu dan jam kerjanya sama dengan pemetik tetap, sebab pekerja lepas merupakan calon pekerja tetap yang akan dinilai oleh mandor, yang membedakan dengan pekerja tetap antara lain upah hari minggu/libur, dan fasilitas yang diberikan perkebunan. 32 Karyawan lepas yang nempel di pekerja tetap memiliki suka dukanya, dukanya adalah selain hanya berdasarkan jumlah petikan karyawan tersebut ketika lebaran tidak mendpaat pesangon, bonus, dan lainlain selain itu juga tidak diperbolehkan untuk bekerja sewaktu akan lebaran sehingga sebagian besar dari pekerja nempel kebingungan ketika akan lebaran. 31
97
Kehidupan pemetik tidak berubah secara sosial ekonomi, karena pemetik masih berada dalam situasi yang sama selama kurun waktu lebih dari 30 tahun bekerja di perkebunan. Secara sosial ekonomi, kondisi pemetik tidak berubah antara lain disebabkan 1) rumah yang mereka tinggali sampai hari ini merupakan rumah turun temurun dari keluarga sebelumnya, 2) sebagian besar benda dalam rumah adalah peninggalan sebelumnya. Walaupun terjadi perubahan secara signifikan jika dilihat dari nilai nominal upah yang diterima, namun daya beli pemetik tidak berubah secara signifikan. Penambahan barang seperti televisi misalnya, dapat dibeli dengan mengharapkan bonus ataupun tunjangan dari perkebunan. Pemetik Ibu Yn berusia 55 tahun bercerita bahwa, “…Saya sudah bekerja sebagai pemetik tahun ini tepat 30 tahun, dan memang saya bekerja tinggal satu tahun ini, sebab tahun depan saya sudah pensiun. Sebenernya mah bingung nantinya mau tinggal dimana, pengennya sih masih disini biar enak apa-apanya. Dari dulu lahir sampai sekarang sudah tua saya tinggal disini, dari dulu hidup saya ya begini-begini saja tidak ada yang banyak berubah, dulu ibu saya pemetik sekarang dilanjutin saya dan adik saya jadi pemetik. Kalo upah dari metik mah sebenarnya tidak cukup, biasanya habis buat makan sehari-hari juga soalnya sekarang apa-apa mahal beda kalo dulu mah. Sekarang mah saya lagi nunggu bonus 30 tahunan, rencananya sih buat bikin rumah kecil nanti kalo di udah pensiun…” Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam sistem pengupahan di PGM tidak terjadi dinamika pengupahan pemetik di perkebunan. Kenaikan harga pucuk yang diberikan oleh perkebunan tidak sebanding dengan naiknya harga barang dan kebutuhan pokok sehingga pemetik dari tahun ke tahun tetap dalam kondisi kehidupan yang sama yaitu miskin. Dibawah ini akan didapat dilihat perbandingan daya beli pemetik saat ini dengan 20 tahun yang lalu pada Tabel 7.
98 Tabel 7 Perbandingan Daya Beli Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 No. 1.
Upah yang Diterima 20 tahun yang lalu, maka upanya Rp. 200.000
Barang yang dapat dibeli
Sisa Penghasilan dan Penggunaannya
Untuk membeli kebutuhan pokok (beras, lauk pauk, jajan anak, rokok), menghabiskan penghasilan lebih dari 50 persen sebab harga kebutuhan pokok rendah Saat ini, barang yang dapat dibeli selama satu bulan antara lain kebutuhan pokok, transportasi, biaya pulsa, biaya listrik, biaya arisan dan kondangan yang menghabiskan seluruh penghasilan bahkan seringkali tidak cukup
Sisa penghasilan umumnya disimpan atau digunakan untuk membayar hutang dan membeli barang-barang keperluan rumahtangga seperti kursi, lemari,dll 2. Saat ini (2010), upah Saat ini pemetik seringkali tidak yang diterima Rp. memiliki sisa penghasilan sebab telah 530.000 habis untuk mencukupi kebutuhan pokok. Barang yang dimiliki umumnya didapat dengan berhutang atau saat mendapatkan uang lebih seperti bonus/tunjangan Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
Dinamika pengupahan pada pemetik tidak terjadi di PGM. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu 1) Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh pemetik sehingga mereka tidak dapat memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan upah yang lebih baik, 2) Tekanan yang diberikan perkebunan dalam bentuk doktrinasi kepada pemetik menyebabkan mereka cenderung pasrah menerima keadaannya, 3) Kultur masyarakat yang menganggap upah perempuan hanya penghasilan tambahan dalam keluarga, 4) Walaupun terdapat pemetik laki-laki, pekerjaannya sebagai pemetik merupakan pekerjaan tambahan untuk membantu penghasilan, 5) Tingginya ketergantungan mereka terhadap perkebunan sehingga mereka tidak berani mengambil resiko mempertanyakan upah mereka. Narasumber pemetik Ibu Mn usia 27 tahun bercerita bahwa, “…Sebenarnya bekerja di perkebunan dari dulu sampai sekarang ya begini saja, dibayarnya kecil, cuma ya mau bagaimana lagi soalnya memang begitu. Sebenarnya mah mungkin harga pucuk dari direksi itu beda sama harga pucuk yang dikasih ke kita. Katanya mah harga pucuk dari direksi mah Rp.1000 per kilo, kalo kata orang sini mah kalo harga pucuk Rp.1000 per kilo pada makmur di sini, bisa pada kaya-kaya. Kita (pemetik) mikir gitu teh soalnya setiap ada pemeriksaan kayak kalo ada direksi waktu gajian, gajian teh diundur, kalo ada pemeriksaan pas lagi kerja, disuruh yang rapih kerjanya, dan itumah udah dari dulu sejak ibu saya masih kerja memang sudah gitu kalo ada direksi pasti diundur gajiannya, kayak ada yang ditutupin gitu. Sebenarnya kita mah tahu yang terjadi d isini (perkebunan) cuma mau gimana lagi kita juga ga tahu harus gimana, pengennya sekarang mah cuma tetep bisa kerja ajah…”
99
Kondisi tersebut membuat buruh semakin tergantung kepada perkebunan sebab dengan tinggal di perkebunan maka biaya hidup mereka lebih rendah, perkebunan juga memberikan bonus serta tunjangan yang akan meringankan beban hidup mereka. Buruh petik dalam hal ini mengalami ketergantungan terus menerus bahkan setelah mereka pensiun pun masih tetap bergantung. Namun kondisi pensiunan saat ini lebih baik dengan adanya gaji pensiun yang diberikan oleh perkebunan, sedangkan kondisi pensiunan sebelum diberikan gaji pensiun tidak lebih baik dibandingkan dengan saat mereka menjadi buruh di perkebunan. Pensiunan pemetik (Ibu Ch, 68 tahun) bercerita bahwa, “…Saya berasal dari sini (Rawadulang) sejak lahir. Keluarga saya turun temurun bekerja di perkebunan, ibu dan nenek saya dulu juga bekerja sebagai pemetik di perkebunan. Saya bekerja sebagai pemetik sejak kecil sebab saya tidak bersekolah dan hanya bisa bekerja jadi buruh petik di perkebunan. Saya mulai benar-benar bekerja di perkebunan sejak berumur Sembilan atau sepuluh tahun, waktu itu bekerja sebagai pemetik tetap tidak susah seperti sekarang, dulu saya hanya meminta izin untuk bekerja sebagai pemetik, kemudian diajukan dan langsung diangkat sebagai pemetik tetap. Kerja di perkebunan dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Bekerja dari pagi sampai sore metik pucuk, cuma bedanya dulu pucuknya lebih banyak dibandingkan sekarang. Dulu mah kerja beda sama sekarang dulu mah upahnya kecil dan tidak mendapat tunjangan lain, kalo sekarang kerja menjadi buruh petik lebih enak karena upahnya besar dan banyak tunjangannya kalo tetap mah, hanya saja diangkat jadi tetapnya lebih sulit dibandingkan dulu. Upah yang dulu saya terima walaupun kecil dibandingkan sekarang tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebab zaman dulu harga kebutuhan pokok murah, apa-apa juga murah. Dulu saya bisa beli kursi ini dari dulu, lemari dari pendapatan, kalo buat makan saja sih udah cukup banget waktu dulu mah, kalo sekarang mah biar pendapatannya gede tapi buat makan aja susah Saya sudah pensiun hampir 30 tahun dari perkebunan, pertama kali kerja saya sempat pensiun waktu anak-anak masih kecil karena tidak ada yang menjaga kemudian saya masuk bekerja kembali hanya saja saat bekerja kembali saya tidak mengajukan tetap sehingga kemudian saya dipensiunkan dini sebagai pemetik dan hanya diberi pesangon sebesar Rp.6000. Upah yang diberikan saat saya bekerja berubah-ubah mulai dari sen sampai rupiah seperti sekarang. Saya tidak diberikan tunjangan pensiun maupun gaji pensiun oleh perkebunan oleh sebab itu sampai hari ini saya masih tinggal dengan anak saya, sebab anak saya masih berstatus lepas begitu juga dengan suaminya sehingga saya berbagi tempat awalnya, tapi sekarang ya saya tinggal
100
disini, cuma dikasih tempat dibelakang rumah. Sehari-hari saya menjaga cucu saat anak saya bekerja, di hari jumat saya biasanya pergi pengajian di daerah Sampay dengan berjalan kaki. Saat pengajian biasanya saya diberi uang ataupun beras. Selama ini saya tidak pernah meminta uang kepada anak saya, sehari-hari tapi ada saja orang yang bantu walaupun saya tidak punya penghasilan.” Pensiunan pemetik tersebut merupakan gambaran kehidupan pensiunan pemetik yang cukup banyak jumlahnya di Desa Rawadulang. Umumnya pensiunan pemetik menggantungkan hidupnya pada anaknya. Dalam hal ini, pensiunan pemetik ini hanya diberikan satu ruang kecil dibelakang rumah berukuran 3 x 2,5 meter yang didalamnya terdapat dapur, kamar mandi, dan kamar tidur (lampiran Gambar 8). Kehidupan para pemetik memang penuh dengan ketidakadilan bukan hanya saat mereka masih bekerja, tapi bahkan setelah mereka tidak lagi bekerja (pensiun). Ketidakadilan setelah pensiun tidak hanya terjadi akibat sistem perkebunan namun juga terjadi dalam lingkungan rumahtangga (keluarga). Hal tersebut terlihat dari tidak dianggapnya para pensiunan pemetik di dalam keluarga mereka sendiri. Pensiunan hanya dijadikan “pembantu” untuk beberapa rumahtangga dimana tugas domestik dialihkan kepada pensiunan pemetik (ibu), dan untuk beberapa rumahtangga lain pensiunan dianggap sebagai beban keluarga. Pensiunan tersebut umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan mengharapkan pemberian dari orang lain. 6.2
Ikhtisar Alasan utama perempuan bekerja sebagai pemetik adalah tidak mencukupinya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Namun, rendahnya tingkat pendidikan para pencari kerja khususnya pemetik di perkebunan dan sumber informasi yang terbatas maka hanya bekerja sebagai pemetiklah harapan satu-satunya alternatif pekerjaan. Besarnya jumlah pemetik di perkebunan mencakup seluruh pemetik (tetap, lepas, dan musiman) mengakibatkan perkebunan memiliki kelebihan tenaga kerja pada pekerjaan sebagai pemetik. Berlebihnya tenaga kerja perkebunan tersebut merupakan
101
suatu aset tidak bergerak yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh pihak perkebunan. Pemetik merupakan salah satu aset tenaga kerja yang dimilik oleh perkebunan. Pemetik dijadikan sebagai aset perkebunan sebab pemetik tidak memiliki nilai jual yang tinggi bagi pihak perkebunan. Pemetik menggantungkan hidupnya melalui pekerjaan diperkebunan. Masyarakat perkebunan cenderung terisolasi dari informasi yang ada di luar sehingga anggapan bahwa hanya dari perkebunanlah sumber kehidupan mereka. Hal tersebut diperkuat dengan adanya rumah dinas yang diberikan kepada pekerja dan membuat mereka akan terus menjadi pekerja perkebunan walaupun upah yang diterima rendah. Fasilitas yang diberikan perkebunan merupakan alternatif untuk mengatasi persoalan hidup mereka saat ini. Akibatnya perkebunan dapat dengan mudah melakukan eksploitasi tenaga kerja melalui pemberian upah yang tidak memenuhi standar upah minimun regional (UMR), pembagian kerja yang tidak adil bagi perempuan, pembedaan fasilitas berdasarkan jenis kelamin, eksploitasi, dan kekerasan yang dialami pemetik dalam hubungan kerja. Sistem pengupahan di PGM menunjukkan terjadi dinamika pengupahan pemetik di perkebunan.
Hal tersebut terlihat dari fluktuasi naiknya harga pucuk teh yang
diterima pemetik dari tahun ke tahun. Dinamika tersebut tidak berpengaruh pada perubahan kondisi sosial ekonomi pemetik teh. Kenaikan harga pucuk yang diberikan oleh perkebunan tidak sebanding dengan naiknya harga barang dan kebutuhan pokok. Akibatnya, pemetik sampai hari ini tetap berada pada kondisi kehidupan yang sama yaitu miskin. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah tingkat pendidikan yang rendah sehingga upah dibayar rendah. Kondisi tersebut berdampak pada kehidupan pemetik perempuan setelah pensiun. Ketidakadilan setelah pensiun tidak hanya terjadi akibat sistem perkebunan
102
namun juga terjadi dalam lingkungan rumahtangga (keluarga). Hal tersebut terlihat dari tidak dianggapnya para pensiunan pemetik di dalam keluarga mereka sendiri. Pensiunan hanya dijadikan “pembantu” untuk beberapa rumahtangga yaitu menggantikan tugas domestik anaknya sebab pensiunan pemetik umumnya masih tinggal dalam satu rumah yang dibedakan.
Pensiunan tersebut umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari
dengan mengharapkan pemberian dari orang lain. Proses marginalisasi terhadap pemetik terjadi dalam hal upah. Sewaktu masih bekerja mereka dieksploitasi dengan beban pekerjaan yang berat baik di kebun maupun dirumah, sedangkan saat ini mereka dianggap sebagai beban dalam rumahtangga dan kehidupan anaknya. Dinamika pengupahan pemetik di Perkebunan Gunung Mas menunjukkan bahwa pemetik dibedakan pengupahannya dengan pekerja lain di perkebunan, selain itu dinamika pengupahan pemetik yaitu perubahan nilai upah yang diterima pemetik, tidak berdampak pada berubahnya kondisi pemetik sejak masih bekerja bahkan setelah pensiun sampai hari ini. Marginalisasi dalam pengupahan menekankan bahwa perempuan disingkirkan dari upah yang lebih baik sejak masih bekerja dan setelah pensiun perempuan disingkirkan dari kondisi hidup yang lebih baik di perkebunan.