BAB V PROSES SOSIALISASI NILAI KERJA PERTANIAN 5.1 Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian dalam Keluarga Mahasiswa Batak Toba di IPB Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dilihat dari pernah tidaknya responden diajak ke sawah dan diajarkan bertani, baik oleh orangtua, teman, kerabat atau lainnya. Proses sosialisasi yang berlangsung dihubungkan dengan nilai-nilai budaya sehingga melalui nilai-nilai yang disosialisasikan akan diketahui apakah pekerjaan pada sektor pertanian mampu mewujudkan status sosial yang merupakan perwujudan nilai budaya Batak Toba. Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dikategorikan menjadi (a) tinggi, apabila responden pernah diajak ke sawah dan diajarkan bertani, (b) sedang, apabila pernah diajak ke sawah dan (c) rendah, apabila tidak pernah diajak ke sawah dan diajarkan tentang pertanian. Proses sosialisasi nilai kerja pertanian dikatakan rendah (skor antara 2 sampai 6). Dari 106 responden penelitian, sebesar 44,34 persen mahasiswa IPB suku Batak Toba Angkatan 42 memiliki tingkat sosialisasi nilai kerja pertanian yang dikategorikan rendah yang artinya mahasiswa tersebut tidak diajak ke sawah atau lahan pertanian dan diajarkan bertani oleh agen sosialisasi. Rendahnya tingkat sosialisasi pekerjaan dikalangan mahasiswa IPB etnis Batak Toba dengan alasan tidak memiliki lahan dan sudah tinggal di kota yang jauh dari keberadaan sawah. Selain itu para orangtua telah memberikan kebebasan kepada anak-anaknya mengenai pekerjaan yang mereka inginkan sesuai dengan keterampilan dan minat. Distribusi jumlah dan persentase responden menurut proses sosialisasi nilai kerja pertanian secara singkat dan jelas tergambar pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008 Proses Sosialisasi Rendah
Jumlah
Persentase 47
44,34
Sedang
41
38,68
Tinggi
18
16,98
Responden yang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian sedang (skor 7 sampai 11) sebesar 38,68 persen. Sedangkan, responden yang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian tinggi (skor 12 sampai 17) lebih rendah dibandingkan responden yang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian sedang atau tinggi yaitu 16,98 persen. Diduga, proses sosialisasi nilai kerja pertanian tinggi akan memiliki nilai kerja yang baik. Sosialisasi nilai kerja pertanian ini dikatakan tinggi karena mereka mendapat pengalaman serta pengetahuan tentang pertanian dari orangtua atau keluarga serta kerabat dan juga lingkungan serta ditambah setelah kuliah di IPB. Meskipun bukan dari keluarga petani, mereka yang berada di lingkungan pertanian kadang kala diajak oleh tetangga-tetangga atau teman untuk membantu di sawah terutama pada musim penanaman dan panen. Bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau jauh dari lingkungan pertanian, mengenal pertanian ketika mereka pulang ke kampung halaman tempat kakek-nenek mereka berada dan tentunya setelah kuliah di IPB.
Kasus Responden Menurut Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008 Kasus 1 : RS merupakan mahasiswa yang berasal dari daerah perkotaan yang jauh dari lingkungan pertanian namun kakek dan neneknya merupakan petani. Kedua orangtuanya merupakan lulusan sarjana dan berprofesi sebagai dosen dan guru. RH menyatakan bahwa dia tidak pernah diajak atau diajarkan tentang bertani oleh kedua orangtua namun pada saat pulang kampung sering diajak oleh kakek dan nenek di kampung ke sawahnya bahkan diajari tentang bertani. Menurutnya pekerjaan bertani itu sangat sulit dan melelahkan namun kalau tidak ada generasi yang mau jadi petani bagaimana memenuhi kebutuhan pangan negeri ini. Pekerjaan bertani itu akan sangat bagus apabila menerapkan ilmu terutama yang kuliah di fakultas pertanian. Mereka seharusnya mampu mengembangkan pertanian. Pertanian sebenarnya bukan pekerjaan yang tidak bagus, sebagai generasi muda yang berpendidikan sudah layak menciptakan inovasi baru tentang cara bertani sehingga pertanian tidak dipandang sebagai pekerjaan yang buruk lagi. Kasus 2 : MP adalah mahasiswa fakultas pertanian yang berasal dari daerah Tapanuli. Kedua orangtua memiliki lahan pertanian yang dikelola sendiri sehingga ketika berada di rumah sering diajak dan diajar tentang bertani. Menurutnya pertanian itu unik tapi memang melelahkan. Setelah saya kuliah, dunia pertanian itu lebih terasa dan menyenangkan. Pertanian itu tidak seburuk anggapan orang-orang selama ini. Ini merupakan tugas kita sebagai generasi muda untuk membangun pertanian yang lebih baik dengan metode baru yang tentunya dengan teknologi ramah lingkungan. Kasus 3 : DH tinggal di perkotaan dengan orangtua bekerja sebagai pengusaha. DH sejak dini selalu dipesankan orangtua agar meneruskan pekerjaan orangtuanya. Ia beranggapan bahwa sebenarnya tidak terlalu berminat jadi pengusaha. Ia juga tidak pernah diajak apalagi untuk diajarkan bertani. Pertanian baginya suatu pekerjaan yang sulit sehingga dibutuhkan tenaga baik fisik atau pikiran dan lainnya. Kasus 4 : YS memiliki orangtua baik ayah atau ibu bekerja sebagai PNS. Ia juga tidak pernah diajak dan diajar tentang bertani karena tempat tinggal mereka yang jauh dari lingkungan pertanian dan juga tidak memiliki lahan pertanian. Orangtuanya sejak dini menyampaikan bahwa pekerjaan sebagai PNS sudah cukup terutama bagi perempuan.
5.2 Hubungan Karakteristik Orangtua Dengan Proses Sosialisasi 5.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Proses Sosialisasi Tingkat pendidikan merupakan salah satu pembentuk kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan Tabel 7, diperoleh bahwa tingkat pendidikan orangtua responden dengan proses sosialisasi berbanding terbalik yaitu semakin tinggi pendidikan orangtua maka proses sosialisasi nilai kerja pertanian semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan orangtua maka semakin tinggi proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Ayah responden yang berpendidikan
rendah memiliki proses sosialisasi nilai kerja pertanian yang rendah. Demikian halnya dengan ibu responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki proses sosialisasi nilai kerja pertanian yang rendah. Besarnya persentase ayah responden berpendidikan rendah yang memiliki proses sosialisasi nilai kerja pertanian rendah karena ayah responden menganggap bahwa pekerjaan bukanlah suatu yang harus dipaksakan dan cenderung akan meninggalkan pertanian apabila memiliki pendidikan yang tinggi. Ayah responden yang menyekolahkan anaknya setinggi mungkin adalah kewajiban dari orangtua namun dalam memilih pekerjaan anak bukanlah suatu keharusan dari orangtua tetapi dengan pendidikan yang semakin tinggi mereka cenderung akan menghindari pekerjaan pertanian. Seorang ayah berharap dengan pendidikan yang diraih anaknya kelak akan menjadi bekal bagi anaknya untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat ataupun dengan pendidikannya. Ibu memilih memberi kebebasan kepada anaknya untuk menjalankan bidang yang disukai. Hanya saja, orangtua baik ayah dan ibu tetap mengarahkan namun untuk keputusan akhir berada di tangan si anak. Responden menyatakan bahwa pendidikan orangtua yang tergolong tinggi mengakibatkan orangtua semakin berpikir secara demokrasi, dimana responden diberi kebebasan untuk menentukan bidang yang diinginkan. Tetapi, orangtua memberi kebebasan kepada anak karena orangtua memandang anaknya sudah mampu mempertimbangkan yang mana bidang lebih baik dan sesuai dengan usaha, baik materi dan non-materi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan selama masa pendidikan. Hubungan tingkat pendidikan dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian tergambar secara singkat dan jelas pada Tabel 7.
Tabel 7. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian Menurut Tingkat Pendidikan Orangtua Responden, 2008 Tingkat Pendidikan N
Rendah %
Proses Sosialisasi Sedang N %
Total Tinggi N %
N
%
Ayah Rendah Sedang Tinggi
1 19 27
50,0 35,8 52,9
1 23 17
50,0 43,4 33,3
0 11 7
0 20,8 13,7
2 53 51
100 100 100
Rendah Sedang Tinggi
2 17 28
50,0 32,7 56,0
0 25 16
0 48,1 32,0
2 10 6
50,01 9,2 12,0
4 52 50
100 100 100
Ibu
Orangtua
responden
mengharapkan
anaknya
kelak
lebih
tinggi
pendidikannya dan secara tidak langsung menginginkan anaknya untuk memiliki pekerjaan yang lebih tinggi dari orangtua. Hal ini seperti yang disampaikan oleh ST yang bekerja sebagai wiraswasta. Pendidikan terkahir ayahnya adalah SMA dan ibu lulusan SPG : “Orangtua berpikir maju, namun demikian mereka selalu dengan halus mengharapkan saya jauh lebih baik dari mereka. Menurut orangtua saya, dengan bekal pendidikan yang saya dapat sekarang ini tentunya akan membuka jalan yang lebih baik dibanding dengan mereka yang hanya lulusan SMA atau SPG. Orangtua saya menasehatkan bahwa tidak ada pekerjaan yang buruk. Berhubung keluarga saya tidak memiliki lahan bertani dan bukan petani, orangtua tidak menyinggung nilai kerja pertanian. ”
Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian dapat diketahui melalui perhitungan alat analisis chi-square yang diperoleh hasil bahwa pendidikan orangtua (ayah) tidak terdapat hubungan dengan proses sosialisasi. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan uji chi-square dimana nilai chi-square lebih rendah dengan chi-square tabel yaitu nilai chi square hitung sebesar 3,578 dan nilai chi square tabel sebesar 9,488. Nilai chi
square hitung lebih kecil dari chi-square tabel sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan ayah berhubungan tidak nyata dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Sedangkan, berdasarkan hasil perhitungan statisik chi-square tingkat pendidikan ibu memiliki nilai chi-square hitung sebesar 9,918 dan nilai chi-square tabelnya 9,488. Dari hasil tersebut nilai chi-square hitung lebih besar dari chi-square tabel artinya tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian.
5.2.2 Hubungan Tingkat Pendapatan Orangtua Dengan Proses Sosialisasi Untuk mengetahui adanya tidaknya hubungan antara pendapatan orangtua dengan proses sosialisasi diuji dengan tabulasi silang serta uji statistik chi-square. Tingkat pendapatan orangtua dibagi dalam dua bagian yaitu tingkat pendapatan ayah dan tingkat pendapatan ibu. Berdasarkan hasil tabulasi silang seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8, diketahui bahwa semakin tinggi pendapatan orangtua cenderung akan memiliki proses sosialisasi yang rendah. Berdasarkan pengujian chi-square diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan ayah ataupun tingkat pendapatan ibu dengan proses sosialisasi. Hubungan tingkat pendapatan dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian secara singkat dan jelas tergambar pada Tabel 8.
Tabel 8. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian Menurut Tingkat Pendapatan Orangtua Responden, 2008 Tingkat Pendapatan
Ayah Tidak memiliki pendapatan Rendah Sedang Tinggi Ibu Tidak memiliki pendapatan Rendah Sedang Tinggi
Proses Sosialisasi Rendah Sedang Tinggi N % N % N %
Total N
%
6 24 15 2
42,9 39,3 53,6 66,7
7 24 9 1
50,0 39,3 32,1 33,3
1 13 4 0
7,1 21,3 14,3 0,0
14 61 28 3
100 100 100 100
21 21 5 0
45,7 41,2 55,6 0,0
17 21 3 0
37,0 41,2 33,3 0,0
8 9 1 0
17,4 17,6 11.1 0,0
46 51 9 0
100 100 100 100
Dari hasil uji chi-square pada tingkat pendapatan ayah terhadap proses sosialisasi diperoleh nilai chi-square sebesar 4,129 dan chi-square tabel sebesar 12,592. Dengan demikian, tingkat pendapatan orangtua berhubungan tidak nyata dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Semakin tinggi pendapatan orangtua maka cenderung memiliki melakukan proses sosialisasi nilai kerja pertanian rendah. Mengingat orangtua responden yang bekerja sebagai petani hanya sebagian kecil sehingga pendapatan yang diterima dari pekerjaan di nonpertanian dirasa lebih baik . Oleh karena itu, sosialisasi nilai kerja yang diberikan pun cenderung disesuaikan dengan pekerjaan yang dilakukan yaitu nilai kerja non-pertanian (Lampiran 1). Namun pada saat dilakukan diskusi kelompok, diperoleh informasi yang berbeda dengan hasil pengujian statistik. Berdasarkan pernyataan responden, besar kecilnya pendapatan orangtua mereka memang menjadikan suatu pertimbangan untuk memilih pekerjaan Responden yang ikut serta dalam diskusi menyatakan orangtua tidak memaksakan bagi anaknya untuk mencari pekerjaan tertentu tetapi menyarankan agar mereka mencari pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan. Memang tidak dipungkiri bahwa setiap orang
akan mengupayakan pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi seperti yang disampaikan oleh WS yang kedua orangtuanya bekerja sebagai wiraswasta “kedua orangtua selalu menganjurkan kalau saya nanti harus memperoleh penghasilan yang lebih baik dari mereka karena mereka mengatakan memang dengan pekerjaan sekarang mereka mampu membiayai keluarga tetapi sekarang keadaannya berbeda. Kedua orangtua saya dulu hanya lulusan SMA sedangkan sekarang saya sudah kuliah penghasilannya pun hendaknya lebih baik dari orangtua. Berbicara tentang pertanian, orangtua menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani tidak buruk tergantung bagaimana kita mengelolanya karena kebetulan tempat tinggal saya merupakan lingkungan pertanian. Memang keluarga tidak memiliki lahan, tapi saya sering diajak ke lahan pertanian tetangga dan kerabat bahkan sayapun ikut belajar bertani , ” Selanjutnya dengan uji chi-square untuk melihat hubungan tingkat pendapatan ibu dengan proses sosilisasi diperoleh nilai chi square hitung sebesar 0,773 lebih kecil dari chi-square tabel yaitu 9,488. Hal ini berarti tingkat pendapatan ibu berhubungan tidak nyata dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian.
5.2.3 Hubungan Jenis Pekerjaan Orangtua dengan Proses Sosialisasi Berdasarkan jenis pekerjaan orangtua baik ayah dan ibu responden diketahui bahwa mayoritas pekerjaan ayah dan ibu adalah sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Bila dihubungkan antara jenis pekerjaan dengan proses sosialisasi seperti yang ditunjukkan Tabel 9 diperoleh hasil bahwa pekerjaaan sebagai PNS memiliki proses sosialisasi yang rendah. Para responden menyatakan bahwa jenis pekerjaan dikatakan baik atau buruk apabila mampu memenuhi kebutuhan seharihari dan bekal masa depan melalui tabungan. Dengan demikian dalam penelitian ini pekerjaan tidak dikategorikan secara bertingkat hanya dikelompokkan saja.
Hubungan jenis pekerjaan orangtua dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian secara singkat dan jelas tergambar pada Tabel 9. Tabel 9. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian Menurut Jenis Pekerjaan Orangtua Responden, 2008 Jenis Pekerjaan
Proses Sosialisasi Rendah Sedang Tinggi N % N % N %
Total N
%
Ayah Petani Non-Petani Tidak Bekerja Meninggal
0 45 0 2
0 46,4 0 40
1 37 1 2
100 38,1 33,3 40
0 15 2 1
0 15,5 66,7 1
1 97 3 5
100 100 100 100
1 44 0 2
50 43,57 0 66,7
1 39 0 1
50 38,61 0 33,3
0 17 0 0
0 16,83 0 0
2 101 0 3
100 100 100 100
Ibu Petani Non-Petani Tidak Bekerja Meninggal
Berdasarkan perhitungan uji chi-square maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis pekerjaan dengan proses sosialisasi. Dilihat dari nilai chi-squarenya, maka akan diketahui ada tidaknya hubungan jenis pekerjaan ayah dengan proses sosialisasi. Berdasarkan perhitungan maka chi-square hitung sebesar 7,580 lebih kecil dari chi-square tabel yaitu 12,592 yang artinya jenis pekerjaan ayah berhubungan
tidak nyata dengan proses sosialiasi nilai kerja
pertanian. Demikian ibu, diperoleh chi square hitung 7,035 lebih kecil dari chisquare tabel yaitu 12,592 artinya jenis pekerjaan ibu berhubungan tidak nyata dengan proses sosialiasi nilai kerja pertanian. Namun, pada saat dilakukan diskusi dengan responden diperoleh informasi orangtua dengan jenis pekerjaan yang memiliki nilai sosial yang baik serta secara ekonomi menguntungkan cenderung akan menyampaikan kepada anaknya untuk mencari bidang pekerjaan yang sama dan sangat diharapkan apabila mampu
mencari jenis pekerjaan yang secara sosial baik dan ekonomi menguntungkan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh YS : “orangtua saya selalu mengingatkan kalau sudah lulus,baiknya mencari pekerjaan yang mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan paling tidak dapat menutupi kebutuhan sendiri dan bila sudah berumahtangga jangan hanya bisanya meminta uang dari suami. Ungkapan ‘jadi PNS sudah cukup untuk perempuan, jangan mencari pekerjaan yang tinggi-tinggi karena suatu saat dapat menimbulkan kecemburuan dari pasangan’. Selain itu, orangtua saya juga menyampaikan, saat berumahtangga suamilah yang bertanggungjawab atas kebutuhan keluarga dan istri membantu meringankan tanggungjawab tersebut” Hal ini jelas tampak dari hasil tabulasi silang bahwa ayah yang bekerja sebagai petani hanya satu orang sehingga dan hasil proses sosialisasinya tergolong sedang yaitu anaknya diajak ke sawah namun tidak diajarkan bertani. Responden yang memiliki ibu sebagai petani hanya dua orang, ternyata hasil proses sosialisasi adalah satu orang mangalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian rendah dan satu orang mengalami proses sosialisasi nilai kerja pertanian sedang. Dengan demikian, orangtua yang pekerjaannya sebagai petani cenderung kurang memberikan sosialisasi nilai kerjanya karena menurut orangtua pekerjaan sebagai non-petani lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Orangtua yang pekerjaannya bukan petani tentu cenderung tidak mensosialisasi nilai kerja pertanian karena pekerjaannya bukanlah petani sehingga untuk memberikan sosialisasi nilai kerja pertanian tidak berlangsung.
5.2.4 Hubungan Kepemilikan Lahan Orangtua dengan Proses Sosialisasi Lahan merupakan memiliki nilai ekonomis sekaligus nilai sosial. Berdasarkan hasil survei diperoleh bahwa orangtua responden yang memiliki
lahan cenderung melakukan sosialisasi nilai kerja pertanian. Kepemilikan lahan oleh orangtua secara keseluruhan digunakan untuk usaha pertanian sehingga mempermudah anaknya untuk mendapatkan sosialisasi nilai kerja pertanian. Namun, bagi responden yang memiliki lahan tidak selalu mendapat sosialisasi nilai kerja pertanian. Responden dengan orangtua memiliki lahan sebanyak 45,5 persen memiliki proses sosialisasi nilai kerja pertanian sedang karena orangtua memberi kebebasan kepada anak untuk menekuni pekerjaan tertentu dan anak lebih disarankan untuk mengikuti jenjang pendidikan yang tinggi sehingga kelak anak tersebut mampu keluar dari pertanian. Kepemilikan lahan baiknya digunakan sebagai tabungan atau jaminan hari tua saja karena lahan tidak akan barang yang tidak akan musnah. Dari hasil diskusi dengan responden yang berasal dari keluarga petani sekaligus memiliki lahan menyatakan bahwa orangtua saya tidak pernah menyuruh saya untuk bertani tetapi sebagai anak saya berusaha meringankan beban orangtua dengan cara membantunya bertani walaupun tidak disuruh. Hubungan kepemilikan lahan orangtua dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian secara singkat dan jelas tergambar pada Tabel 10. Tabel 10. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian Menurut Kepemilikan Lahan Orangtua Responden, 2008 Kepemilikan Lahan
Memiliki Lahan Tidak Memiliki Lahan
Proses Sosialisasi Rendah Sedang Tinggi N % N % N % 12 27.3 20 45,5 12 27,3 35
56,5
21
33,9
6
9,7
Total N 44
% 100
62
100
Selain itu, dari beberapa responden yang orangtuanya memiliki lahan telah membayar pekerja untuk mengelola lahannya, disewakan kepada keluarga dekat dan orang lain dan ada juga yang tidak dikelola, seperti yang ditunjukkan dari hasil tabulasi silang bahwa orangtua yang tidak memiliki lahan dengan proses
sosialisasi nilai kerja rendah sebanyak 56,6 persen. Dari hasil tabulasi silang, juga diperoleh informasi bahwa bagi responden dengan orangtua yang tidak memiliki lahan ternyata juga cenderung memiliki sosialisai yang rendah. Hal ini karena para agen sosialisasi khususnya orangtua yang secara keseluruhan telah memberi kebebasan kepada anak apalagi jika tidak mempunyai lahan sehingga tidak ada alasan bagi orangtua khususnya untuk mensosialisasikan pekerjaan pertanian kepada anaknya. Seperti yang dikemukakan oleh YH : “orangtua tidak punya lahan, jadi saya tidak perlu ke sawah/ladang atau belajar bertani?”. Melalui hasil uji analisis statistik chi-square terbukti bahwa kepemilikan lahan berhubungan nyata dengan proses sosialisasi. Nilai chi square hitung sebesar 10,527 lebih besar dari nilai chi-square tabel yaitu 5,991 yang artinya lahan hubungan nyata dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian.
5.2.5. Hubungan Domisili Orangtua Dengan Proses Sosialisasi Masyarakat Batak berasal dari daerah Tapanuli. Dulu daerah Tapanuli merupakan kawasan yang hidup dengan bertani. Batak Toba adalah salah satu sub etnis Batak Toba yang senang dengan merantau. Keinginan yang besar untuk merantau mencari penghidupan yang layak inilah yang terjadi hingga tak jarang para pemuda lebih senang dengan gaya hidup di kota dan meninggalkan pertanian. Keengganan para pemuda untuk bekerja di sektor pertanian terjadi juga pada generasi Batak Toba. Kehidupan kota yang jauh dari pertanian seringkali dianggap sebagai gaya hidup modern. Hubungan domisili orangtua dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian secara singkat dan jelas tergambar pada Tabel 11.
Tabel 11. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian Menurut Domisili Orangtua Responden, 2008 Domisili
Tapanuli Luar Tapanuli
Proses Sosialisasi Rendah Sedang N % N % 20 34,5 25 43,1 27
56,3
16
33,2
Total Tinggi N % 13 22,4 5
10,4
N % 58 100 48 100
Berdasarkan uji chi-square terbukti bahwa domisili berhubungan nyata dengan proses sosialisasi pekerjaan pertanian. Hal ini berarti semakin jauh domisili dari daerah Tapanuli atau non-Tapanuli maka proses sosialisasinya pun rendah. Hal ini juga terbukti dari pernyatan responden PS : “tempat tinggal saya dekat dengan lahan-lahan pertanian, jadi seandainyapun punya orangtua saya tidak punya lahan saya masih bisa ke sawah dan belajar bertani kepada saudara atau teman” Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa di daerah Tapanuli sebagian besar bermukim dengan saudara-saudara sedarah. Masyarakat Batak yang kental dengan sistem kekerabatannya memungkinkan terjadi proses sosialisasi pekerjaan, misalnya ketika membantu pada saat pengolahan, pemanenan atau lainnya. Berdasarkan perhitungan statistik chi-square maka diperoleh nilai chi-square hitung diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan antara domisili dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian.
5.3 Resume Berdasarkan hasil pengujian statistik maka diperoleh bahwa tingkat pendidikan, tingkat pendapatan orangtua berhubungan tidak nyata dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Karakteristik orangtua yang berhubungan dengan proses sosilisasi adalah kepemilikan lahan dan domisili. Hal ini menunjukkan
bahwa kepemilikan lahan sebagai modal dalam pertanian akan mendorong orangtua untuk mengajarkan tentang bertani dan domisili dengan suasana pertanian menjadi salah satu alasan orangtua atau agen sosialisasi untuk mensosialisasikan tentang pekerjaan pertanian. Secara singkat Tabel 12 menggambarkan hasil uji statistik antara karakteristik orangtua dengan proses sosialisasi nilai kerja pertanian. Tabel 12. Hasil Pengujian Chi-square Karakteristik Orangtua Responden dengan Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pertanian, 2008 Karakteristik Orangtua Tingkat Pendidikan Ayah Tingkat Pendidikan Ibu Tingkat Pendapatan Ayah Tingkat Pendapatan Ibu Kepemilikan Lahan Domisili
Proses Sosialisasi
Hasil Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Tidak Nyata Berhubungan Nyata Berhubungan Nyata
Kecenderungan Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif