BAB II Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Dalam bab dua ini akan memaparkan aspek-aspek teoretis tentang masalah atau fenomena yang akan diteliti. Aspek tersebut adalah pengertian nilai, bentukbentuk nilai, sumber nilai dalam kehidupan manusia, proses sosialisasi nilai dan implikasinya dalam proses pendidikan, tujuan pendidikan Islam dan nilai-nilai pendidikan agama Islam. A. Pengertian Nilai Nilai adalah ukuran atau harga yang penting atau berguna bagi manusia, nilai tidak dapat dipastikan secara kaku dan tidak ada ukuranukuran yang objektif tentang nilai. Nilai menurut ensyclopedi Britania sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin dan Abdul Mujib adalah suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat. Nilai bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra, sedangkan yang dapat ditangkap hanya barang dan tingkah laku yang mengandung nilai tersebut. Nilai juga bukan fakta yang terbentuk, kenyataan dan konkret. Oleh karena itu masalah nilai bukan soal benar atau salah tetapi soal dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak sehingga bersifat subjektif. Nilai tidak mungkin diuji dan ukurannya terletak pada diri yang menilai.1
1
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 110.
21
22
Secara umum scope pengertian nilai adalah tidak terbatas. Segala sesuatu yang ada di alam ini adalah bernilai, maka nilai seluas potensi kesadaran manusia. Variasi kesadaran manusia sesuai dengan individualitas dan keunikan kepribadiannya. Ada manusia yang menuju materi, karena baginya hidup ditentukan oleh materi dan ada manusia yang menuju keindahan, karena didalamnya manusia menikmati kebahagiaan, ada pula manusia yang mengabdi dirinya untuk ilmu pengetahuan, semuanya adalah merupakan perwujudan kesadaran nilai dalam masing-masing pribadi.2 Nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan manusia. Nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia menjadi lebih luhur, matang sesuai dengan martabat manusia (human dignity). Dalam ilmu Filsafat ilmu yang membahas tentang nilai adalah ilmu aksiologi. Nilai adalah sesuatu yang berharga yang diidamkan oleh stiap insan. Adapun nilai yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Nilai jasmani, yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat dan nilai guna. 2. Nilai rohani, yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika dan nilai religi.3
2
Muhammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 127-130. 3
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam 2007), hlm. 37.
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press,
23
B. Bentuk-bentuk Nilai Menurut Brubacher sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Khobir dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan nilai dibedakan menjadi: 1. Nilai instrinsik adalah nilai yang dianggap baik bagi dirinya sendiri. Nilai ini bersifat pribadi, ideal dan merupakan nilai yang terpusat pada kodrat manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir pendidikan Islam yakni self realisasi (realisasi diri). 2. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai ini bersifat relatif dan subjektif, tergantung pada akibat yang ditimbulkan dalam usaha untuk mencapai nilai-nilai yang lain.4 Menurut Yinger sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Khobir dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan nilai bisa dilihat dengan beberapa penampilan, diantaranya: 1. Nilai sebagai fakta watak, nilai ini menunjukkan sejauh mana seseorang bersedia menjadikan nilai sebagai pegangan dalam bimbingan dan pengambilan keputusan.
4
Ibid., hlm. 39.
24
2. Nilai sebagai fakta kultural, nilai ini menunjukkan bahwa nilai tersebut diterima dan dijadikan sebagai kriteria normatif dalam pengambilan keputusan anggota masyarakat. 5 Dilihat dari segi orientasi, sistem nilai-nilai dapat dikatagorikan ke dalam empat bentuk. 1. Nilai etis, yaitu nilai yang mendasarkan orientasinya pada nilai baikburuk. 2. Nilai pragmatis, yaitu nilai yang mendasarkan orientasinya pada berhasil dan gagalnya sesuatu. 3. Nilai efek sensorik, yang mendasari orientasinya (menyenangkan atau menyedihkan). 4. Nilai relegius, yakni yang mendasari orientasinya pada dosa dan pahala, halal dan haram. Para ahli memandang bentuk-bentuk nilai berdasarkan bidangbidang apa yang dinilai, misalnya nilai hukum, nilai estetika, nilai etika dan sebagainya. Namun pada dasarnya nilai-nilai tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Nilai formal yaitu nilai yang tidak ada wujudnya, tetapi memiliki bentuk lambang dan simbol-simbol. 2. Nilai material yaitu nilai yang terwujud dalam kenyataan , pengalaman, rohani, jasmani, nilai ini terbagi menjadi dua: 5
Ibid., hlm. 37-38.
25
a. Nilai rohani, terdiri atas logika; misalnya cerita, nilai estetika; misalnya musik, berpakaian anggun, nilai etika; misalnya ramah, serakah, dan nilai religi: misalnya sanksi dan syirik. b. Nilai jasmani atau nilai panca indra, terdiri atas nilai hidup, misalnya berjuang, menindas, nilai nikmat misalnya puas, nyaman, aman dan nilai guna misalnya butuh, penunjang dan peranan.6
C. Sumber Nilai dalam Kehidupan Manusia Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib sumber nilai dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: 1. Nilai Ilahi Nilai ilahi adalah nilai yang dititahkan oleh Tuhan melalui para Rasul-Nya yang berbentuk taqwa, iman, adil yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Nilai ilahi mempunyai dua segi normatif dan operatif. Segi normatif menitik beratkan pertimbangan baik-buruk, benar-salah, hak-batil dan diridhai-dikutuk. Sedangkan segi operatif mengandung lima kategori yang menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu: a. Fardhu atau wajib b. Sunnah c. Mubah, jaiz atau halal
6
Muhaimin dan Abdul Majid, op. cit., hlm. 116.
26
d. Makruh e. Haram7 2. Nilai insani Nilai ini tumbuh atas kesepakatan manusia hidup dan berkembang dari peradapan manusia. Nilai ini bersifat dinamis, sedangkan keberlakuannya dan keberadaannya relatif nisbi yang dibatasi oleh masyarakat dan waktu. Dalam pandangan Islam tidak semua nilai yang telah melembaga dalam masyarakat dapat diterima atau ditolak, sikap Islam dalam mengahadapi tantangan nilai yang ada dalam masyarakat menggunakan klasifikasi yaitu: a. Memelihara unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif. b. Menghilangkan unsur nilai dan norma yang sudah mapan tetapi negatif. c. Menumbuhkan unsur nilai dan norma yang belum ada dan dianggap positif. d. Bersikap menerima, memelihara, memilih, mencerna dan menggabungkan dalam satu sistem dan menyampaikannya pada orang lain terhadap nilai pada umumnya.
7
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 468.
27
e. Menyelenggarakan perubahan nilai atau norma agar sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma agama Islam.8
D. Proses Sosialisasi Nilai dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan Proses dari pelaksanaan pendidikan tidak mungkin berjalan tanpa arah tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pendidikan baik isinya maupun rumusnya tidak mungkin ditetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Bahkan seharusnya kita memegang satu keyakinan tentang nilai-nilai yang kita anggap sebagai kebenaran. Membahas tentang nilai-nilai pendidikan akan jelas melalui rumusan dan uraian tujuan pendidikan, sebab di dalam rumusan tujuan pendidikan tersimpul semua nilai pendidikan yang hendak diwujudkan di dalam pribadi peserta didik. Proses sosialisasi nilai dapat dilakukan dengan dua cara yaitu evolusi dan revolusi. Cara evolusi menuntut adanya keuletan dan kesabaran, dengan rentang waktu yang panjang dan disampaikan secara berangsur-angsur. Sebaliknya cara revolusi menuntut adanya perombakan tata nilai yang sudah usang dan dimodifikasi atau bahkan diganti dengan nilai-nilai baru. Cara ini kelak menutup adanya kemungkinan perpecahan, perselisihan, atau bahkan peperangan. 9 Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari nilai dan nilai itu selanjutnya perlu diinstitusikan. Institusionalisasi nilai yang terbaik adalah 8
Ibid., hlm.76.
9
Abdul Khobir, op. cit., hlm. 43.
28
melalui upaya pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai, proses pembiasaan terhadap nilai, proses rekontruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai. Fungsi pendidikan
khususnya
pengembangan
pendidikan
nilai-nilai
agama
Islam Islam
adalah serta
pewarisan
memenuhi
dan
aspirasi
masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan pembangunan agar terwujudnya sistem keadilan, kesejahteraan dan ketahanan.10 Sistem nilai mempunyai relasi baik terhadap proses pendidikan. Sistem
nilai
memerlukan
transmisi,
pewarisan,
pelestarian
dan
pengembangan melalui pendidikan. Demikian juga dalam proses pendidikan dibutuhkan sistem nilai dalam pelaksanaan yang ditimbulkan dari nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kecerdasan, kerajinan dan ketekunan. Sistem tidak hanya dijadikan sebagai bahan konsultasi dalam rumusan tujuan pendidikan, tetapi juga menjadi acuan strategi dan teknologi pendidikan yang mencakup masalah pendidik, peserta didik, kurikulum pendidikan, metode dan media pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan serta interaksi edukatif dengan dunia luar.11 Nilai ilahi dalam aspek teologi (kaidah keimanan) tidak pernah mengalami perubahan, sedangkan aspek amaliahnya mungkin mengalami
10
Ibid.
11
Ibid.
29
perubahan sesuai dengan kebutuhan zaman. Sedangkan nilai insani selalu mengalami perkembangan dan perubahan kearah yang lebih maju dan lebih tinggi. Tugas pendidikan memadukan nilai-nilai baru dan nilai-nilai lama secara selektif, inovatif dan akomadatif guna mendinamisasikan perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntunan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolak ukur bagi nilai-nilai baru.12 E. Tujuan Pendidikan Islam Dalam konteks dasar yang memberi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan peserta didik kearah pencapaian tujuan pendidikan Islam. Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya tentang tujuan pendidikan Islam diantaranya Ahmad D. Marimba yang berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian muslim. Sedangkan menurut Abdul Fattah Jalal tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah Swt. 13 Dilihat dari segi cakupan atau ruang lingkupnya, tujuan pendidikan Islam dapat dibagi mejadi enam tahapan sebagai berikut:
12
Ibid.
13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 46.
30
1. Tujuan pendidikan Islam secara universal, maksudnya bahwa pendidikan harus ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan dan fisik manusia. Dengan demikian, pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, intelektual, ilmu pengetahuan, fisik maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar tercapai kebaikan. 2. Tujuan pendidikan secara nasional, maksudnya adalah tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan disetiap negara (Islam). Dalam kaitan ini, setiap negara merumuskan tujuan pendidikannya dengan mengacu kepada tujuan universal sebagaimana tersebut di atas, membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rasa seni dan bertanggung-jawab bagi masyarakat, bangsa dan negara. 3. Tujuan pendidikan Islam secara institusional, maksudnya adalah tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh masing-masing lembaga pendidikan Islam, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi.
31
4. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat program studi (kurikulum), maksudnya yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan program studi. 5. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat mata pelajaran, yaitu tujuan pendidikan yang didasarkan pada tercapainya pemahaman, penghayatan dan pengalaman ajaran Islam yang terdapat pada bidang studi atau mata pelajaran tertentu. 6. Tujuan pendidikan Islam pada tingkat pokok bahasan, yaitu tujuan pendidikan
yang
didasarkan
pada
tercapainya
kecakapan
(kompetensi) utama dan kompetensi dasar yang terdapat pada pokok bahasan tersebut. 14 Sedangkan menurut Al-Abrasyi tujuan pendidikan Islam dapat dirumuskan dalam lima pokok, yaitu: 1. Pembentukan akhlak 2. Persiapan untuk dunia dan akhirat 3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. 4. Menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu pengetahuan.
14
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 91.
32
5. Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari rezeki.15 Berdasarkan tujuan pendidikan Islam di atas, bisa diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam yaitu supaya terbentuknya akhlak yang mulia dan bisa berguna bagi semua orang dan dirinya sendiri. Selain itu pendidikan Islam juga tidak hanya terpaku dalam pendidikan agama, pendidikan Islam juga mengajarkan tentang pendidikan umum dan pentingnya kehidupan bermasyarakat, bertoleransi terhadap agama dan ajaran lain, serta pendidikan Islam juga memberikan bekal keterampilan kepada kita semua supaya nantinya dapat memperoleh profesi yang layak dalam bidangnya.
F. Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam Nilai secara umum dihubungkan dengan hal-hal yang positif, artinya sesuatu dikatakan bernilai kalau sesuatu tersebut ada harganya atau ada manfaatnya dan sebaliknya sesuatu yang diangap tidak bernilai kalau tidak ada harganya atau tidak ada manfaatnya. Dalam pendidikan agama Islam terdapat suatu nilai yang merupakan usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam, menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil)
15
Ibid.
33
yang berkepribadian muslim dan berakhlak mulia serta taat pada Islam, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut Ahmad D. Marimba pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.16 Senada dengan pendapat diatas, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits.17 Hakekat sebenarnya dari inti nilai-nilai pendidikan Islam meliputi nilai keimanan atau akidah, nilai ibadah atau syariah, nilai kesusilaan atau akhlak. Ketiga nilai tersebut didasarkan pada sumber Islam berupa alQur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. 1. Nilai keimanan atau akidah Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan, karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan, karena akidah Islam ditautkan dengan rukun iman yang menjadi asas seluruh ajaran Islam. Secara terminologis akidah adalah
16
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996),
hlm. 61. 17
Ibid.
34
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keraguan.18 Akidah Islam berawal dari keyakinan kepada dzat yang mutlak yang maha Esa yang disebut Allah. Allah maha Esa dalam Dzat, sifat, perbuatan dan wujud-Nya. Kemahaesaan Allah dalam Dzat, sifat, perbuatan dan wujud-Nya disebut dengan tauhid. Tauhid menjadi inti rukun iman seluruh keyakinan Islam. Aqidah Islam merupakan pokok-pokok keyakinan rukun iman, yaitu: 1) iman kepada Allah, Tuhan yang maha Esa, 2) iman kepada malaikat-malaikat, 3) iman kepada kitab-kitab Allah, 4) iman kepada Rasul-rasul Allah, 5) iman kepada adanya hari akhir, 6) iman kepada qadha dan qadar Allah. 1) Keyakinan kepada Allah Ketuhanan yang maha Esa menjadi dasar negara republik Indonesia. Menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 negara Indonesia berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa. Menurut akidah Islam, konsepsi tentang ketuhanan yang maha Esa disebut tauhid. 2) Keyakinan kepada para malaikat Malaikat adalah makhluk ghaib, tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Mereka diciptakan Allah dari cahaya 18
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI, 1992), hlm. 5.
35
dengan sifat pembawaan selalu taat dan patuh kepada Allah, selalu membenarkan dan melaksanakan perintah Allah. Para malaikat mempunyai tugas tertentu, baik di alam ghaib maupun di
alam dunia. Tugas
malaikat di
dunia antara lain
menyampaikan wahyu Allah kepada manusia melalui para Rasul-Nya, mengukuhkan hati orang-orang yang beriman, memberi
pertolongan
kepada
manusia,
membantu
perkembangan rohani manusia, mendorong manusia berbuat baik, mencatat perbuatan manusia dan melaksanakan hukuman Allah. Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa tugas malaikat berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan pengembangan rohani manusia, maka manusia wajib meyakini adanya makhluk yang bertugas untuk menumbuhkan dan mengembangkan rohaninya. Kewajiban untuk percaya kepada malaikat dinyatakan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 177 yang artinya: Bukanlah mengahadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesunggguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orangorang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat dan
36
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orangorang yang bertakwa. 19(Q.S. Al-Baqarah ayat 177) 3) Keyakinan kepada kitab-kitab Allah Kitab-kitab Allah memuat wahyu Allah. Kata kitab yang berasal dari kata kataba (artinya ia telah menulis) memuat wahyu Allah. Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy, kata ini mengandung makna suara, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Dalam pengertian yang umum, wahyu adalah firman Allah yang disampaikan malaikat Jibril kepada para rasul-Nya. Firman Allah itu mengandung arahan petunjuk, pedoman yang diperlukan oleh manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia dan di akhirat. Wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia, semua terekam dengan baik di dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an menyebut beberapa kitab suci yaitu Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud As. Taurat diturunkan kepada nabi Musa As. Injil
19
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Semarang: CV. Asy-Syifa, 2010), hlm. 10.
37
diturunkan kepada nabi Isa As. dan al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. 4) Keyakinan kepada para nabi dan Rasul-rasul Allah Antara nabi dan rasul terdapat perbedaan tugas utama, para nabi menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia.
Sedangkan
rasul
adalah
utusan
Allah
yang
berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada manusia dan menunjukkan cara-cara pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang rasul memiliki sifat-sifat dapat dipercaya (amanah), selalu benar (siddiq), cerdas dan bijaksana (fatanah)
dan
selalu
menyampaikan
apa
yang
harus
disamapikannya (tabligh). 5) Keyakinan kepada adanya hari akhir Hari akhir adalah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan di dunia berakhir, termasuk semua proses dan peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari kehancuran alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh kehidupan, kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur, dikumpulkannya seluruh umat manusia di padang Mahsyar, perhitungan seluruh amal perbuatan manusia di dunia, penimbangan amal perbuatan untuk mengetahui perbandingan amal baik dan amal buruk, sampai kepada pembalasan dengan surga atau neraka.
38
6) Keyakinan kepada qadha dan qadar Allah Secara etimologis qadha adalah bentuk masdar dari kata kerja qodhooan yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini qadha adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah Swt. terhadap segala sesuatu. Sedangkan qadar secara etimologis adalah bentuk mashdar dari qadara
yang berarti
ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini ukuran atau ketentuan Allah Swt. terhadap sesuatu-Nya. Qadha dan qadar mempunyai arti sebagai segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah Swt. untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi. Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai keimanan atau akidah
adalah ukuran seseorang untuk
meyakini rukun iman yaitu keyakinan terhadap Allah, keyakinan terhadap malaikat, keyakinan terhadap kitab Allah, keyakinan terhadap nabi dan rasul Allah, keyakinan terhadap hari akhir dan keyakinan terhadap qadha dan qadar Allah. 2. Nilai ibadah atau syariah Perkataan syariat atau syariah dalam bahasa Arab berasal dari kata syari’, yang secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui setiap muslim. Syariat ditetapkan Allah sebagai patokan hidup
39
setiap muslim. Sebagai patokan hidup ia merupakan the way of life umat Islam. Dilihat dari segi hukum syariat yaitu norma hukum dasar yang di wahyukan Allah, yang wajib diikuti orang Islam baik dalam berhubungan dengan Allah maupun berhubungan dengan sesama manusia dalam masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan nilai ibadah atau syariat adalah ukuran seseorang dalam memahami norma hukum dasar yang diwahyukan Allah yang wajib diikuti oleh orang Islam sebagai way of life orang Islam. 3. Nilai kesusilaan atau akhlak Perkataan akhlak berasal dari kata akhlaq, bentuk jamak dari kata khuluq, atau al-khulq yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Dalam kepustakaan, akhlak diartikan sebagai sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik atau mungkin buruk. Perkataan budi pekerti bila dihubungkan dengan akhlak, kedua-duanya memiliki makna yang sama. Baik budi pekerti maupun akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang positif, mungkin negatif, mungkin baik ataupun mungkin buruk. Sifat yang termasuk kedalam pengertian positif (baik) adalah segala tingkah laku, tabiat, watak atau perangai yang
40
mempnyai sifat diantaranya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain sebagainya sifat yang baik. Sedang sifat yang termasuk dalam akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah semua tingkah laku, tabi’at, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat dan lain sebagainya sifat yang biruk.20 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nilai kesusilaan atau akhlak adalah perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
20
Ibid., hlm. 177-238.