254
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penulis menganggap bahwa, makna tidak selalu merujuk pada kesimpulan-kesimpulan yang dibuat. Namun demikian , kesimpulan menjadi sebuah prasyarat penting dari sebuah penulisan mengenai apa yang telah dideskripsikan sebelumnya. Jika dapat dianggap bahwa sebuah eksposisi atau deskripsi merupakan sebuah wacana yang terserak, sekalipun terstruktur dalam sebuah mekanisme penulisan. Maka benang merah yang terdapat didalamnya harus diuraikan kembali. Untuk itulah, sebuah kesimpulan mutlak diperlukan. Ada beberapa hal yang hendak Penulis simpulkan, tidak bermaksud menyederhakankan, apa yang telah Penulis uraikan sebelumnya, mengenai tesis ini yang berjudul: Konsep Berpikir Multidimensional Musa Asy’arie dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, sebagai berikut: 1. Konsep berfikir multidimensional merupakan suatu konsep berfikir yang memandang manusia sebagai makhluk multidimensional. Berpikir multidimensional menurut Musa Asy’arie adalah konsep berpikir dengan menggunakan metode rasional-transendental. Menurutnya, metode ini sangat diperlukan untuk menghadapi kompleksitas dan pluralitas dari zaman ini. Dalam rasional transendental, dimensi rasionalnya dicapai melalui pikir atau ijtihad yaitu kesungguhan berpikir sungguh-sungguh,
255
multidimensi. Sementara dimensi transendental dicapai melalui dzikir atau ittihad yaitu penyatuan dalam kegaiban, rujukannya pada kita Al-Qur’an sebagai doktrin yang menuliskan dimensi transenden dan hikmah profetik dari proses berpikir mendalam, sebagai suatu sunnah Rasulallah dalam berpikir, yang telah dijalaninya secara konsisten. Selain metode rasional-transendental, dalam berfikir multidimensional Musa Asy’arie mengintegrasikan lima pendekatan, yaitu pendekatan historik, pendekatan doktrinal, metodik, organik dan teleologik. 2. Dalam berfikir multidimensional, setidaknya ada 3 landasan filosofis yang terdiri dari landasan ontologis, epistemologis, dan landasan aksiologis. . landasan ontologis berfikir multidimensional disini menjelaskan mengenai hakikat manusia multidimensional, yang dalam Al-Qur’an dengan istilah nafs yang terdiri dari jasad, hayah, dan ruhani. Landasan epistemologis menjelaskan
cara
yang
dapat
ditempuh
untuk
dapat
berfikir
multidimensional. Menurut Musa Asy’arie, ada setidaknya enam cara yang dapat ditempuh untuk dapat berpikir multidimensional, yaitu: Pertama, memahami konsep diri, maksudnya adalah memahami bahwa hakikatnya manusia adalah makhluk multidimensional yang terdiri dari unsur alam, unsur budaya dan unsur Illahi; Kedua, menyeimbangkan proses zikir dan pikir, seseungguhnya keduanya merupakan aktualitas aqal. Daya zikir untuk menyadari dan menghayati sesuatu yang bersifat transenden, dan daya pikir untuk memahami sesuatu yang imanen; Ketiga, melihat alam dan manusia dari dimensi Illahiyah; Keempat, memandang kebudayaan
256
dari dimensi Insaniyah; Kelima, memahami sesuatu dari prosesnya, memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada proses didalamnya, tidak ada suatu kesuksesan/kebahagiaan atau kemiskinan/kemalangan terjadi secara tiba-tiba tanpa proses didalamnya; Keenam, menghindari berpikir a historis, dalam berpikir multidimensional kesadaran terhadap sejarah akan melahirkan kesadaran baru untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan, sehingga masa depan bukan merupakan pengulangan masa lalu yang buruk; Landasan aksiologis, merupakan nilai atau kegunaan dari berfikir multidimensional. ekonomi Islam merupakan salah satu hasil dari berfikir multidimensional, yang menjadikan segala aktivitas ekonomi sebagai sarana untuk dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah, baik sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah. 3. Implikasi dari konsep berfikir multidimensional ini, munculnya suatu tawaran konsep pendidikan yaitu Konsep pendidikan Islam Tauhidik yang merupakan suatu konsep pendidikan yang mengintegrasikan antara Iman (filsafat), Islam (iptek), dan Ihsan (tasawuf). Pendidikan Tauhidik, yaitu suatu konsep pendidikan yang bermaksud menjaga keseimbangan antara antara spiritualitas, moralitas dan intelektualitas. Secara keagamaan, dalam Islam dikenal adanya tiga tahapan, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Dalam tahap iman, seseorang meyakini dan mempercayai sepenuhnya kehadiran Tuhan. Melalui keyakinan ini seseorang kemudian memasuki tahapan Islam, yaitu patuh menjalani syariat agama yang memuat hukum-hukum
257
dan peraturan serta tata cara dalam ibadat dan muamalat sebagai perintah dari Tuhan yang diyakininya itu. Dengan menjalankan syariat agama pada tahapan kedua ini seseorang diharapkan dapat memasuki tahapan berikutnya; ihsan. Tahap ini adalah tahap aktualisasi diri manusia yang didasarkan pada hubungannya yang intens dengan Tuhan secara pribadi, menerima amanat-Nya sebagai wakil-Nya, untuk kemudian melaksanakan tugas
kebudayaan,
yakni
memakmurkan,
mensejahterakan,
dan
menyelamatkan kehidupan di muka bumi. Ketiga tahapan keagamaan di atas dapat dikembangkan dalam dunia keilmuan; tahapan Iman berkembang dalam ilmu ketuhanan dan yang menjelaskan hakikat semua yang ada. Tahapan pertama ini yang biasanya lebih dikenal dengan istilah filsafat dan hikmah. Tahapan Islam (syariah), yang menetapkan prinsip ibadat dan muamalat, berkembang dalam ilmu sosial, kebudayaan dan iptek yang terkait dengan manusia danalam. Sedangkan Ihsan, sebagai tahapan terakhir, berkembang dalam ilmu tasawuf. Tujuan tahapan terakhir ini adalah mengembangkan wawasan batin, menembus dimensi yang transendental-spiritual, dan yang akan mengantarkan pengalaman spiritual manusia ke dimensi yang Ilahi sebagai proses menuju mi’raj. Tahapan syariat dalam Islam mempunyai jangkauan yang luas, meliputi tata hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Tahapan-tahapan ini menyangkut aspek agama, sosial, budaya dan iptek. Sebagai realisasi dan aktualisasi diri manusia untuk mematuhi ajaran
258
dan wahyu Allah, syariat dan juga disebut sebagai lapangan kebudayaan yang sangat luas. Kebudayaan adalah proses eksistensi diri menjadi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba Tuhan yang menerima amanat khalifah, wakil Tuhan di muka bumi. Tahapan Islam tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan kesatuan dengan tahapan Iman dan Ihsan. Dengan demikian, epistemology tauhid menjadikan ilmu sosial, kebudayaan ,dan iptek (Islam) tidak terpisahkan dengan filsafat (Iman) dan tasawuf (Ihsan). Iptek dipakai untuk menghadapi dan memecahkan persoalan teknik operasional yang sifatnya konkret dan berdimensi material. Filsafat, sebagai basisnya, akan memberikan wawasan dan landasan nilai-nilai dalam operasionalisasi iptek. Sedangkan tasawuf akan mengantarkan seseorang masuk ke dalam dimensi transendental, sebagai bagian dari perwujudan iman dan pengabdian diri kepada Tuhannya. Dengan demikian, Pendidikan Islam Tauhidik bermaksud untuk membantu manusia mengembangkan potensi yang dimiliki agar dapat menjalankan
perannya
baik
sebagai
‘abdullah
maupun
sebagai
khalifatullah. Selain itu untuk menjaga keseimbangan antara kecerdasan rohaniah (religius), kecerdasan kultural, kecerdasan sosial, kecakapan emosional, dan kecerdasan intelektual.
B. Saran Beberapa saran yang hendak penulis sarankan adalah sebagai berikut: 1. Pembaharuan dalam keberagamaan Islam hendaknya berangkat dari konsepsi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah (utamanya Sunnah
259
Nabi dalam berpikir). Namun perangkat ilmiah modern tetap dibutuhkan untuk memberikan kontribusinya dalam membuat suatu bangunan keilmuan yang utuh. 2. Konsep berpikir multidimensional Musa Asy’arie dapat dijadikan sebuah rujukan dalam merubah paradigma berpikir yang selama ini “dianut” oleh sebagain umat muslim yang pada akhirnya menimbulkan kemunduran peradaban. 3. Konsep Pendidikan Islam Tauhidik yang penulis jelaskan dalam tesis ini belum menyentuh pada aspek implementasi, sehingga menjadi tugas peneliti selanjutnya untuk dapat menjadikan konsep pendidikan Islam tauhidik ini menjadi terealisasikan dan mampu membawa angin perubahan bagi pendidikan di negeri ini.