BAB V PEMBAHASAN
Sebesar 56,7% pasien DM tipe 2 telah mengalami DPN. Hal ini sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa prevalensi DPN di dunia mencapai lebih dari 50% (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Pada penelitian ini, pasien dengan DPN rata-rata berusia 52 tahun dengan jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan mayoritas (82.3%) memiliki status IMT yang normal. Umumnya pasien DPN berusia >50 tahun, namun terdapat satu pasien yang berusia 33 tahun yang telah mengalami DPN. Hal ini dapat terjadi karena pasien tersebut telah menderita DM tipe 2 selama > 10 tahun dan memiliki kadar gula darah yang tidak terkontrol. Pada penelitian ini, jumlah pasien DPN yang laki-laki lebih banyak daripada yang perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian retrospektif yang telah dilakukan oleh Aaberg et al. (2008) dan Kamenov et al. (2010) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih cepat mengalami DPN daripada perempuan. Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa gaya hidup laki-laki lebih berisiko daripada perempuan sehingga DPN lebih cepat dialami oleh laki-laki. Gaya hidup berisiko pada lakilaki yang dimaksud di atas adalah pekerjaan yang sering menimbulkan stres, kebiasaan merokok, alkohol, dan penggunaan obat-obatan terlarang, dan ketaatan berobat yang rendah. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan laki-laki lebih rentan terkena DPN yaitu berkurangnya hormon androgen seperti testosteron, dihidrotestosteron yang terjadi pada pasien DM. Hormon androgen tersebut 46
47
memiliki efek neuroprotektif spesifik pada sistem saraf pusat dan tepi, sehingga ketika jumlah hormon tersebut berkurang, DPN lebih mudah terjadi (Aaberg et al., 2008; Kamenov et al., 2010). Lama menderita DM tipe 2 dan kadar gula darah merupakan dua faktor risiko utama terjadinya DPN. Seseorang yang menderita DM tipe 2 dalam waktu yang lama dan kadar gula darahnya tidak terkontrol dengan baik akan menyebabkan
terjadinya
keadaan
hiperglikemia
yang
kronis.
Keadaan
hiperglikemia yang kronis ini dapat mengakibatkan beberapa komplikasi, salah satunya yaitu DPN. Proses dari keadaan hiperglikemia kronis hingga terjadinya DPN diperantarai oleh berbagai mekanisme, yaitu peningkatan aktivasi jalur poliol, peningkatan jumlah AGEs, dan terbentuknya ROS, yang ketiganya menyebabkan terjadinya iskemik pada saraf perifer, sehingga terjadilah DPN (Subekti, 2009). Hiperglikemia kronis yang terjadi di intraseluler akibat menderita DM tipe 2 selama bertahun-tahun menyebabkan penumpukan AGEs di dalam dan sekitar saraf perifer. AGEs ini dapat mempengaruhi transport akson sehingga terjadi penurunan Nerve Conduction Velocity (NCV). Selain itu, AGEs juga menyebakan penurunan NADPH dengan mengaktivasi NADPH-oxidase. Hal ini memicu terbentuknya hidrogen peroksida dan stress oksidatif lainnya. Terbentuknya ROS ini menjadi awal berbagai mekanisme terjadinya DPN termasuk aktivasi jalur polioldengan cara menghambat aktifitas GAPDH dan menumpuknya 6-phosphate glucose. Saat jalur poliol teraktivasi, terjadi peningkatan aktivitas aldose reductase yang mengkatalisasi perubahan glukosa menjadi sorbitol. Sorbitol juga
48
akan dimetabolisme menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase. Penumpukkan sorbitol dan fruktosa di dalam sel saraf inilah yang menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik,
sehingga
mengakibatkan
degenerasi,
nekrosis,
dan
pembengkakan sel saraf dan terjadilah DPN (Yang et al., 2014). Mekanisme tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa lama menderita DM tipe 2 mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian DPN. Pada penelitian ini menunjukkan hasil rerata lama menderita DM tipe 2 pada pasien DPN yaitu 10,23 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa DPN dapat terjadi setelah ≥10 tahun menderita DM tipe 2. Selain itu, pasien yang telah menderita DM tipe 2 selama ≥10 tahun memilik risiko terjadinya DPN sebesar 5,82 kali. Penelitian mengenai hubungan antara lama menderita DM tipe 2 dengan kejadian DPN pernah dilakukan sebelumnya, namun hasil yang didapatkan berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Pirart pada 4400 pasiennya menyebutkan bahwa lebih dari 50% pasiennya mengalami DPN setelah menderita DM tipe 2 selama 25 tahun. Hal ini membuktikan bahwa kejadian DPN terus meningkat seriring dengan lamanya menderita DM tipe 2 (Tesfaye dan Selvarajah, 2012). Penelitian lain yang dilakukan oleh Morkrid et al. (2010) membuktikan bahwa prevalensi DPN meningkat seiring dengan meningkatnya durasi menderita DM tipe 2 yaitu, dari 14,1% (pasien telah menderita DM tipe 2 selama 5 tahun) menjadi 27,8% (pasien telah menderita DM tipe 2 selama 9-11 tahun). Penelitian yang dilakukan oleh Busui et al. (2009) juga membuktikan
49
bahwa 43% subjek penelitiannya mengalami DPN setelah menderita DM tipe 2 selama lebih dari 10 tahun. Kadar gula darah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DPN. Hal ini seperti yang dikemukaan oleh Kelkar (2005), bahwa kadar gula darah yang tinggi menyebebakan tingginya kadar gula di dalam sel saraf. Hal ini terjadi karena glukosa dapat masuk ke sel saraf tanpa bantuan insulin. Glukosa yang masuk ke sel saraf akan diubah menjadi sorbitol dan fruktosa melalui jalur poilol. Proses aktivasi jalur poliol hingga terjadi DPN sebagaimana telah dijelaskan di atas. Teori tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa kadar gula darah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DPN. Gula darah yang terkontrol dapat menghambat terjadinya DPN dan sebaliknya gula darah yang tidak terkontrol berisiko terjadinya DPN sebanyak 24,13 kali. Penelitian mengenai hubungan antara kadar gula darah dengan kejadian DPN telah banyak dilakukan sebelumnya, diantaranya yaitu penelitian oleh Busui et al. (2009) yang menyatakan bahwa terdapat 61% pasien DM tipe 2 dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol (HbA1cnya > 7%) mengalami DPN. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Morkrid et al. (2010) dan Xu et al. (2014) juga membuktikan bahwa kadar gula darah (ditinjau dari kadar HbA1c) merupakan faktor risiko yang siginifikan terhadap kejadian DPN. Selain dua faktor risiko utama di atas, DPN dapat disebabkan oleh faktor lain seperti hipertensi, dislipidemi, obesitas, dan kebiasaan merokok. Faktorfaktor tersebut ikut berperangaruh terhadap kerusakan vasa nervosum yang berakibat terjadinya DPN. Pada penelitian ini, Hipertensi berhubungan secara
50
klinis dengan DPN terlihat dari pasien DPN yang kebanyakan telah mengalami hipertensi. Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor yang ikut berperan terhadap kejadian DPN meskipun secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hipertensi memiliki risiko 1,14 kali untuk terjadinya DPN dibandingkan pasien yang tidak hipertensi. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hipertensi berhubungan erat (lebih dari 60%) dengan munculnya gejala-gejala DPN (Branch, 2010; Gregory et al., 2012). Penelitian lain yang dilakukan oleh Branch (2010) menyatakan bahwa pasien hipertensi dengan tekanan sistolik ≥170 mmHg dan tekanan diastolik ≥96 mmHg memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya DPN. Hasil yang tidak signifikan secara statistik pada penelitian ini dapat terjadi karena pengelompokkan hipertensi hanya sebatas ya dan tidak serta jumlah subjek penelitian yang sangat sedikit. Selain hipertensi di atas, dislipidemia juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian DPN. Sedangkan secara klinis, dislipidemia berhubungan dengan DPN terlihat dari jumlah pasien DPN dengan dislipidemia lebih banyak daripada yang tidak dislipidemia. Dislipidemi memiliki risiko 1,22 kali untuk terjadinya DPN dibandingkan pasien yang tidak dislipidemia. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Katulanda et al. (2012) dan Busui et al. (2009) yang membuktikan bahwa dislipidemia merupakan faktor risiko yang tidak signifikan terhadap kejadian DPN. Berbeda halnya dengan hipertensi dan dislipidemia, obesitas tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian DPN baik secara statistik maupun secara klinis. Obesitas memiliki nilai OR sebesar 0,37 yang artinya bahwa
51
obesitas merupakan faktor protektif terhadap kejadian DPN. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada, yang menyatakan bahwa obesitas berpengaruh terhadap kejadian neuropati otonom dan neuropati sensorimotor (DPN) serta IMT yang normal akan mengurangi risiko terjadinya komplikasi neuropati (Dangi dan Gaur, 2014). Disamping tidak sesuai dengan teori yang ada, hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Al-Kaabi et al. (2014) yang menyatakan bahwa obesitas berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya DPN serta berisiko sebanyak 1,06 kali untuk terjadinya DPN. Selain itu, penelitian oleh Ugoya et al. (2008) juga menyatakan bahwa obesitas merupakan faktor predisposisi terjadinya DPN dan DPN paling banyak ditemukan pada pasien dengan obesitas tingkat III. Kemudian penelitian oleh Dangi dan Gaur (2014) menunjukkan bahwa pasien DPN ditemukan paling banyak pada kelompok obesitas tingkat II dan III. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dapat terjadi karena mayoritas subjek pada penelitian ini memiliki IMT yang normal. Hal ini berarti bahwa pasien DM tipe 2 tersebut telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap diet diabetes. Selain itu, jumlah subjek yang sangat sedikit juga dapat menyebabkan hasil yang tidak sesuai. Kebiasaan merokok tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian DPN baik secara klinis maupun statistik. Meskipun tidak bermakna secara signifikan, kebiasaan merokok memiliki risiko 1,17 kali untuk terjadinya DPN. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Busui et al. (2009) yang membuktikan bahwa kebiasaan merokok tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian DPN.
52
Lama menderita DM tipe 2 dan kadar gula darah merupakan faktor risiko utama terhadap terjadinya DPN. Dari hasil uji analisis regresi logisitik ganda didapatkan nilai Nagelkerke R2=63.8%, yang mengandung arti bahwa kedua variabel tersebut berkontribusi terhadap kejadian DPN sebesar 63.8%. Sedangkan 36.2% lainnya merupakan faktor-faktor lain yang tidak terkendali seperti penyakit rematik, hipotiroid, Cerebrovascular Disease, Parkinson, uremia, komplikasi mikrovaskuler lain (nefropati dan retionopati). Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yakni :1) Tidak semua variabel perancu dianalisis dalam penelitian ini, karena keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti; 2) Jumlah subjek penelitian yang sangat sedikit sehingga dapat mempengaruhi signifikansi hasil penelitian; 3) Kuesioner MNSI telah dapat digunakan untuk skrining pasien dengan DPN dan tidak DPN, namun tidak dapat digunakan untuk diagnosis pasti.