BAB PENGELOLAAN DAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI
2.1. Pencemaran Lingkungan Upaya pengendalian pencemaran di Indonesia sampai saat ini masih mengalami banyak kendala. Sebagian dari penghasil bahan pencemar baik industri maupun domestik masih belum melakukan pengolahan terhadap limbah, karena adanya berbagai kendala antara lain kurangnya kesadaran bahwa pengelolaan limbah merupakan investasi jangka panjang yang harus dilakukan, kurangnya informasi teknologi instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang efektif dan efisien dan kurangnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknologi pengolahan limbah. Banyak kasus pencemaran yang mengakibatkan kerugian di pihak lain yang tidak mengetahui sama sekali permasalahan sehingga harus menanggung akibat tanpa adanya beban bersalah dari para pelaku pencemaran. Sebagai contoh, kasus pencemaran di sepanjang pantai Jakarta (Mei 2004) yang mengakibatkan ribuan ikan mati terdampar. Pencemaran ini telah merugikan para nelayan, namun tidak ada satu pihak pun yang mau bertanggung jawab. Kasus pencemaran lain yang terbaru adalah adanya indikasi pencemaran di teluk Buyat - Sulawesi Utara oleh limbah B3 (Juli 2004) yang menyebabkan masyarakat yang tinggal sekitar teluk banyak terserang penyakit kulit dan indikasi adanya penyakit seperti kasus Minamata di Jepang. Dampak kerugian di pihak lain akan masih berlanjut jika ikan-ikan yang mati keracunan diambil dan diperjual belikan di masyarakat.
18
Akhir-akhir ini kerisauan masyarakat akibat pencemaran lingkungan telah mencapai tingkat yang mencekam. Banyak ahli berdiskusi tentang hal tersebut, namun permasalahan masih terus berlangsung. Kerisauan masyarakat ini akan semakin bertambah jika penanganan permasalahan tidak kunjung selesai meskipun berbagai proyek penanggulangan telah menghabiskan dana milyaran rupiah. Suatu proyek yang tidak kecil namun tak ada hasil yang jelas. Hal-hal seperti ini akan menyulut ke persoalan sosial yang rumit antara penghasil limbah, masyarakat yang terkena dampak dan para pihak yang telah memberikan proyek penanggulangan dengan memanfaatkan dana dari pihak lain. Pertumbuhan industri, pertambangan, perkebunan, pertanian dan sektor-sektor perekonomian lainnya semua memiliki andil dalam menciptakan pencemaran lingkungan. Pemakaian bahan kimia berbahaya pada industri, penggunaan racun yang berlebihan di sektor pertanian dan perkebunan, penggunaan pupuk dengan dosis yang berlebih selain mengancam sebagian kehidupan biota juga dapat membuat resisten terhadap makhluk lain. Sebagian tanaman tidak dapat tumbuh, tetapi sebagian lainnya dapat tumbuh cukup subur hingga mengganggu keseimbangan alam yang ada. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, pengelolaan sanitasi yang semakin buruk, dan penataan kota yang kurang baik ternyata juga dapat menciptakan pencemaran terhadap lingkungan. Rendahnya pendapatan masyarakat akibat dari berbagai krisis perkembangan ekonomi dunia, kondisi perumahan yang jelek, kesehatan yang buruk, perumahan yang tidak memberikan dukungan terhadap lingkungan serta kemiskinan telah memperburuk kondisi lingkungan. Untuk membuktikan bahwa suatu lingkungan telah tercemar sangatlah mudah, tetapi untuk membuktikan siapa yang telah melakukan hal tersebut sangatlah sulit dilakukan. Pembuktian secara hukum memerlukan data hasil analisa laboratorium yang secara ilmiah, teknis dan hukum dapat dipercaya serta tidak dapat terbantahkan, yang mana semua itu memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang lama.
19
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya pencemaran akibat kegiatan industri antara lain dengan pengembangan proses produksi bersih (nir limbah), minimisasi limbah, penggantian bahan berbahaya dan dengan teknologi pengolahan limbah (end of pipe). Teknologi pengolahan limbah meskipun digunakan sebagai pilihan penyelesaian terakhir dan dianggap kurang effisien, tetapi sampai saat ini teknologi ini masih sangat diperlukan. Berbagai ketentuan dan peraturan perundangan juga telah diterbitkan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan kerusakan lingkungan akibat berbagai kegiatan, namun jika semua itu tanpa diikuti oleh kesadaran dari semua pihak untuk mendukung program-program pelestarian lingkungan, mustahil akan dapat berjalan. Meskipun berbagai cara telah ditempuh untuk mencapai proses produksi bersih (nir limbah), tetapi teknologi ini belum dapat diterapkan pada semua sektor industri yang ada. Jika langkah-langkah minimisasi limbah telah ditempuh tetapi limbah masih dihasilkan, maka langkah pengolahan (end of pipe) harus dilakukan. Pada umumnya industri kecil atau rumah tangga sampai saat ini masih mengalami kendala dalam melakukan pengolahan limbahnya. Agar para pengusaha kecil tidak terbebani untuk mengolah limbahnya maka perlu diberikan teknologi pengolahan limbah yang sederhana, effisien, dan effective agar dapat dioperasikan dengan mudah dan baik. 2.2. Sumber Limbah Limbah dihasilkan dari berbagai sumber. Sumber-sumber limbah yang potensial antara lain : •
• • •
Dari proses produksi, - Sisa produk pada waktu pembersihan alat/reactor, - Produk gagal/tidak memenuhi spesifikasi, - Ceceran produk di lingkungan kerja, - Bekas/ sisa bahan pembersih, - Uap dari bahan baku/produk, - Bahan yang telah rusak/ kedaluwarsa dll. Dari laboratorium, Dari kamar mandi dan toilet, Dari wastafle, 20
• •
Dari kantin, Dari air untuk membersihkan lingkungan.
2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Limbah Setiap kegiatan menghasilkan limbah dengan jumlah dan karakteristik yang berlainnan. Meskipun jenis dan besaran kegiatan suatu industri sama, belum tentu jumlah dan karakteristik limbahnya sama. Kalau disimak lebih detail, jumlah dan karakteristik limbah banyak dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain : • • • • • •
Peralatan proses yang tidak bekerja pada kondisi optimum, Peralatan /fasilitas kerja yang kurang memenuhi persyaratan/ minim, Ketrampilan kerja dan kemampuan kerja dari SDM, Tingkat kesadaran SDM untuk menjaga lingkungan kerja, Hubungan kerja antar unit yang ada, SOP (Standard Operation Procedure) yang ada.
Dengan mengetahui berbagai factor sumber timbulan limbah dan factor-faktor yang mempengaruhinya, diharapkan kita dapat memonitor dan menekan seminim mungkin timbulan limbah yang ada. Dengan meminimalisasikan timbulan limbah dan mengelola limbah sesuai dengan prosedur pengelolaan yang benar kita mendapatkan berbagai keuntungan antara lain : • • • • • • • •
Mengurangi kehilangan bahan baku/ produk, Meningkatkan effisiensi proses produksi dan kerja, Menghemat biaya pengolahan limbah, Mengurangi resiko kecelakaan kerja, Mengurangi resiko bencana akibat pencemaran limbah, Menghindarkan konflik sosial dengan lingkungan sekitar akibat limbah, Meningkatkan emage di mata konsumen, karena kita telah melakukan proses produksi bersih. Meningkatkan jumlah penjualan produk dll.
21
2.4. Strategi Pengelolaan Limbah Kegiatan Industri Kecil/ Rumah Tangga Industri kecil atau industri rumah tangga secara umum keberadaannya adalah menyebar, namun ada juga yang terkonsentrasi dalam satu sentra industri kecil. Pada umumnya industri seperti ini mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut : • • • • • • •
berkembang dengan modal usaha kecil, menggunakan teknik produksi dan peralatan yang sederhana, keselamatan dan kesehatan kerja kurang mendapatkan perhatian, tingkat pendidikan SDM nya relatif rendah, kegiatan riset dan pengembangan usaha masih minim, belum mengutamakan faktor-faktor kelestarian lingkungan, belum mampu mengolah limbahnya sampai memenuhi baku mutu yang berlaku.
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, maka perlu disediakan teknologi yang sederhana yang dapat diterapkan oleh para pengusaha tanpa merasa terbebani sehingga pengolahan limbah dapat diterapkan dan dioperasikan dengan benar. Untuk menghindari terjadinya pencemaran akibat tibulnya limbah industri, maka diperlukan pengelolaan limbah dengan benar dan tentunya dengan biaya yang seminimal mungkin. Hal ini harus dilakukan mulai dari sumbernya dan proses produksi yang ada, yaitu dengan penerapan teknologi bersih (nir-limbah), minimalisasi limbah (re-use, recycle dan lain-lain), baru teknologi pengolahan limbah sebagai alternatif terakhir. 2.5. Teknologi Produksi Bersih Teknologi produksi bersih merupakan suatu konsep yang dikembangkan sebagai tindak lanjut dari Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World Summit on Sustainable Development) yang diselenggrakan di Rio de Janerio pada tahun 1992. Teknologi produksi bersih terkait erat dengan program Agenda 21 dan merupakan salah satu jalan menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan (Raka, Zen, Soemarwoto, Djajadiningrat, siadi, 1999). 22
Program produksi bersih merupakan upaya proaktif dalam sistem produksi untuk tidak melakukan tindakan dan proses apapun sebelum yakin benar bahwa produknya nanti akan lebih ramah terhadap lingkungan. Pengalaman juga menunjukkan bahwa dengan menerapkan produksi bersih pada industri biaya produksi dapat dipotong secara nyata, disamping itu dapat mengamankan kelestarian peran dan fungsi lingkungan. 2.6. Minimisasi Limbah Pengawasan polusi pada dasarnya bukan merupakan pemecahan masalah, tetapi hanya mengubah permasalahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Bentuk suatu limbah mungkin berubah, tetapi tidak hilang. Pemecahan masalah seperti tersebut di atas merupakan metode kontrol secara konvensional, dalam beberapa hal mereka membuat lebih banyak polusi dari pada menghilangkannya dan menggunakan sumber daya yang tidak seimbang dengan keuntungan yang didapatkan, sehingga yang muncul hanyalah sebuah paradok lingkungan, yaitu pengambilan sumber daya untuk menghilangkan polusi, dengan mengambil lebih banyak sumber daya untuk mengatur residu dan dalam prosesnya menimbulkan polusi yang lebih banyak. Adanya pengolahan limbah merupakan suatu tambahan proses pada industri, sedangkan minimisasi limbah melibatkan semua aspek pada proses produksi yang rumit. Adanya pendapat bahwa pengontrolan polusi dan minimisasi limbah merupakan tujuan jangka panjang, tidak dapat dicapai dan tidak sesuai untuk strategi jangka pendek telah mendesak para penghasil limbah untuk mencari berbagai alternatif dalam upaya minimisasi limbah, namun yang menjadi penghambat upaya tersebut adalah resiko terjadinya perubahan kualitas produk akibat pengerjaan minimisasi limbah yang dikerjakan dengan merubah proses industri yang semata-mata hanya untuk menurunkan jumlah limbah yang dihasilkan tanpa didasari oleh keahlian khusus. Semestinya upaya untuk menurunkan jumlah limbah haruslah dapat mendatangkan keuntungan terhadap lingkungan melalui pencegahan polusi dan penghematan biaya industri sehingga akan mendatangkan perbaikan ekonomi. Usaha minimisasi limbah yang berhasil biasanya merupakan hasil dari peningkatan 23
effisiensi operasional industri tersebut, yang mana sebagian upaya tersebut akan menghasilkan produk samping, tidak hanya difokuskan pada pengubahan proses industri. Untuk mencapai sasaran minimisasi limbah yang optimal, pimpinan perusahaan perlu melakukan penelitian yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: • • • •
•
•
• •
apakah manajer, teknisi, peneliti dan pekerja familier dengan teknik-teknik pengurangan limbah ? punyakah mereka hasil-hasil pengujian minimisasi limbah ? apakah perusahaan telah memberikan penghargaan terhadap usaha minimisasi limbah ? apakah manajer mampu mengetahui nilai ekonomi dari limbah dengan membandingkan nilai bahan baku, termasuk biaya pengelolaan pulutan dan pertanggungan jawab dampak (pasiva) jangka panjang? apakah telah dipertimbangkan para teknisi lingkungan yang selama ini dilatih terhadap manajemen pengelolaan limbah sistem “end-of-pipe” diubah dengan manajemen “fron-end process changes” ? apakah para insinyur teknik telah dibekali dengan pengetahuan minimisasi limbah dari semua phase proses dalam industri ? apakah manajer telah mempertimbangkan minimisasi terhadap semua limbah ? apakah neraca bahan yang ada telah menggambarkan diskripsi input-output, yang sensitif terhadap limbah?
Ada beberapa pendekatan teknik minimisasi limbah yang tepat untuk mengurangi jumlah limbah antara lain : • • •
recycling limbah atau sebagian dari limbah dimana limbah dihasilkan, memperbaiki terminologi proses dan peralatan yang akan mengubah sumber limbah utama, memperbaiki operasi pabrik seperti melakukan house keeping yang terbaik, memperbaiki cara pengangkutan material dan merawat peralatan, outomatisasi peralatan proses, monitoring dan meningkatkan pengelolaan limbah,
24
• •
memadukan penghitungan neraca bahan ke dalam proses desain. Subtitusi bahan baku yang menyebabkan dihasilkannya bahan berbahaya, Redisain atau reformulasi produk akhir.
Banyak industri yang ingin mengurangi jumlah limbahnya, tetapi tidak mengetahui bagaimana memulainya dan mengimplementasikan ke dalam permasalahan yang komplek. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu dilakukan prioritas dalam pelaksanaannya. Gambar di bawah ini merupakan urutan prioritas untuk meminimalisasi limbah berbahaya yang dihasilkan. Pada kondisi ideal penghilangan limbah berbahaya secara total adalah merupakan sesuatu yang memungkinkan. Penghilangan sumber
Pengurangan sumber
Recycle
Reuse dan Recovery
Pengolahan
Penimbunan residu
Gambar 2.1. Urutan Prioritas Untuk Meminimalisasi Limbah Model pengelolaan limbah seperti pada Gambar 2.2 dapat didisain dengan menetapkan sumber dan kuantitas limbah dan proses utama lainnya. Model ini akan menghasilkan neraca masa yang mempunyai bentuk umum dan hubungan sebagai berikut :
25
Input = produk + bahan yang terrecovery + limbah yang dikeluarkan + limbah yang dibuang.
Bahan
Usaha untuk mendapatkan bahan
Recycle
Produk
Penggunaan bahan
Limbah
Reuse
Akumulasi limbah
Penyaluran
Recovery
Pengelolaan limbah on-site
Pembuangan
Pengelolaan limbah off-site
Penyaluran
Pembuangan
Gambar 2.2. Konsep Disain Model Pengelolaan Limbah Hubungan neraca masa akan dikembangkan untuk setiap langkah proses dalam model menajeman limbah. Dengan menggunakan hubungan proses ini, sistem minimisasi limbah akan menjadi alat yang penting untuk pengumpulan data yang dibutuhkan dalam pengembangan alternatif minimisasi limbah berikutnya yang akan dipilih dan ditetapkan. Pemilihan alternatif ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
26
Alternatif minimisasi: - Modifikasi proses - Subtitusi bahan - Recycle, reuse, recovery
Evaluasi ekonomi Kriteria seleksi : - Ekonomi - Konservasi - Regulasi - Hubungan masyarakat
Prioritas alternatif
Pemilihan dan penerapan Gambar 2.3. Proses Pemilihan Alternatif Minimisasi Limbah
2.7. Pemilihan Teknologi Pengolahan Limbah Industri Saat ini banyak sekali tersedia teknologi pengolahan limbah yang ditawarkan. Pengolahan limbah secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok proses, yaitu proses pengolahan secara fisika, proses pengolahan secara kimia dan proses pengolahan secara biologi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dan dipenuhui sebelum menentukan proses pengolahan dan sistem yang akan digunakan. Jika terjadi kesalahan dalam pemilihan teknologi ini, maka IPAL yang dibangun tidak akan memberikan hasil olahan yang optimal.
27
2.8. Teknologi Proses Pengolahan Air Limbah 2.8.1. Pengolahan Air Limbah Secara Fisika dan Kimia Pengolahan air limbah bertujuan untuk menghilangkan parameter pencemar yang ada di dalam air limbah sampai batas yang diperbolehkan untuk dibuang ke badan air sesuai dengan syarat baku mutu yang diijinkan. Pengolahan air limbah secara garis besar dapat dibagi yakni pemisahan padatan tersuspensi (solid–liquid separation), pemisahan senyawa koloid, serta penghilangan senyawa polutan terlarut. Ditinjau dari jenis prosesnya dapat dikelompokkan : proses pengolahan secara fisika, proses secara kimia, proses secara fisika-kimia serta proses pengolahan secara biologis. Penerapan masing-masing metode tergantung pada kualitas air baku dan kondisi fasilitas yang tersedia. Dalam tabel berikut ditampilkan kontaminan yang umum ditemukan dalam air limbah serta sistem pengolahan yang sesuai untuk menghilangkannya. Klasifikasi jenis proses pengolahan untuk menghilangkan senyawa pencemar dalam air limbah dapat dilihat pada Tabel 2.1. Ditinjau dari urutannya proses pengolahan air limbah dapat dibagi menjadi tiga jenis pengolahan, yakni : •
Pengolahan Primer, digunakan sebagai pengolahan pendahuluan untuk menghilangkan padatan tersuspensi, koloid, serta penetralan yang umumnya menggunakan proses fisika atau proses kimia.
•
Pengolahan Sekunder, digunakan untuk menghilangkan senyawa polutan organik terlarut yang umumnya dilakukan secara proses biologis.
•
Pengolahan Tersier atau Pengolahan Lanjut, digunakan untuk menghasilkan air olahan dengan kualitas yang lebih bagus sesuai dengan yang diharapkan. Prosesnya dapat dilakukan baik secara biologis, secara fisika, kimia atau kombinasi ke tiga proses tersebut.
28
Tabel 2.1. Jenis Proses Pengolahan Untuk Menghilangkan Senyawa Pencemar Dalam Air Limbah KONTAMINAN
SISTEM PENGOLAHAN Screening dan communition Sedimentasi Padatan Flotasi Tersuspensi Filtrasi Koagulasi/sedimentasi Land treatment Lumpur aktif Trickling filters Biodegradable Rotating biological contactors Organics Aerated lagoons (kolam aerasi) Saringan pasir Land treatment Khlorinasi Pathogens Ozonisasi Land treatment Suspended-growth nitrification and denitrification Fixed-film nitrification and denitrification Nitrogen Ammonia stripping Ion Exchange Breakpoint khlorinasi Land treatment Koagulasi garam logam/sedimentasi Koagulasi kapur/sedimentasi Phospor Biological/Chemical phosphorus removal Land treatment Adsorpsi karbon Refractory Tertiary ozonation Organics Sistem land treatment Pengendapan kimia Logam Berat Ion Exchange Land treatment Padatan Ion Exchange Inorganik Reverse Osmosis Terlarut Elektrodialisis Keterangan : B = Biologi, K = Kimia, F = Fisika
29
KLASIFIKASI F F F F K/F F B B B B F/B B/K/F K K F B B K/F K K B/K/F K/F K/F B/K K/F F K F K K F K F K
Salah satu contohnya adalah proses pengolahan air limbah perkotaan untuk daur ulang menjadi air bersih terdiri dari pengolahan primer, pengolahan sekunder dan pengolahan lanjut. Di dalam penggunaan daur ulang air limbah untuk digunakan sebagai suplai air bersih ada beberpa kategori kontaminan yang harus diperhatikan secara khusus yakni antara lain kontaminan organik termasuk pestisida, bakteria patogen dan virus serta kontaminan logam berat misalnya merkuri, timbal, chrom valensi 6, cadminm dan lain-lain.
Gambar 2.4. Konsep Proses Pengolahan Air Limbah Perkotaan Menjadi Air Bersih
30
Oleh karena itu proses pengolahannya harus dilakukan hatihati dengan kontrol kualitas yang dapat dipertanggung-jawabkan. Salah satu konsep pengolahan air limbah perkotaan untuk dijadikan air bersih yakni menggunakan kombinasi proses pengolahan primer, pengolahan sekunder dengan proses biologis dilanjutkan proses pengolahan lanjut secara fisika-kimia misalnya meliputi proses klarifikasi, penghilangan nutrien, recarbonasi, filtrasi, adsorpsi dengan karbon aktif, proses ion exchange , serta demeineralisasi dengan proses reverse osmosis serta ozonisasi dan khlorinasi. Dengan kombinasi proses tersebut dapat mengolah air limbah sampai menghasilkan air olahan dengan kualitas sebagai air minum. Diagram pengolahannya dapat dilihat seperti pada gambar di atas. 2.8.1.1. Proses Screening (Penyaringan) Di dalam proses pengolahan air limbah, screening (saringan) atau saringan dilakukan pada tahap yang paling awal. Saringan untuk penggunaan umum (general porpose screen) dapat digunakan untuk memisahkan bermacam-macam benda padat yang ada di dalam air limbah, misalnya kertas, plastik, kain, kayu dan benda dari metal serta lainnya. Benda-benda tersebut jika tidak dipisahkan dapat menyebab-kan kerusakan pada sistem pemompaan dan unit peralatan pemisah lumpur misalnya weir, block valve, nozle, saluran serta perpipaan. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah yang serius terhadap operasional maupun pemeliharaan peralatan. Saringan yang halus kadang-kadang dapat juga digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi. 2.8.1.1.1. Tipe Screen Screen atau saringan dapat dikelompokkan menjadi dua yakni saringan kasar (coarse screen) dan saringan halus (fine screen). Saringan kasar diletakkan pada awal proses. Tipe yang umum digunakan antara lain : bar rack atau bar screen, coarse woven – wire screen dan comminutor. Saringan halus (fine screen) mempunyai bukaan (opening screen) 2,3 – 6 mm, ada juga yang mempunyai bukaan yang lebih kecil dari 2,3 mm. Biasanya untuk saringan halus pembersihannya dilakukan secara mekanis. Beberapa tipe screen yang sangat halus (micro screen) juga telah banyak dikembangkan untuk dipakai pada pengolahan sekunder. 31
Bar screen terdiri dari batang baja yang di las pada kedua ujungnya terhadap dua batang baja horizontal. Penggolongan bar screen yakni kasar, halus dan sedang tergantung dari jarak antar batang (bar). Saringan halus jarak antar batang 1,5 – 13 mm, saringan sedang jarak antar batang 13 – 25 mm, dan saringan kasar (coarse scrre) jarak antar batang 32 – 100 mm. Saringan halus (fine screen) terdidi dari fixed screen dan movable screen. Fixed atau static screen dipasang permanen dengan posisi vertikal, miring atau horizontal. Movable screen dibersihkan harus secara berkala. Kedua tipe saringan halus tersebut juga dapat menghilangkan padatan tersuspensi, lemak dan kadang dapat meningkatkan oksigen terlarut (DO level) air limbah. 2.8.1.1.2. Kriteria Perencanaan Bar Screen Bar screen biasanya digunakan untuk fasilitas pengolahan air limbah dengan skala sedang atau skala besar. Pada umumnya terdiri dari screen chamberdengan struktur inlet dan outlet, serta peralatan saringan. Bentuknya dirancang sedemikian rupa agar memudahkan untuk pembersihan serta pengambilan material yang tersaring. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan bar screen antara lain yakni : kecepatan atau kapasitas rencana, jarak antar bar, ukuran bar (batang), sudut inclinasi, head loss yang diperbolehkan. Kriteria perencanaan bar screen dapat dilihat pada berikut : Tabel 2.2. Kriteria Desain Untuk Bar Screen Kriteria Desain Kecepatan aliran melalui screen (m/det) Ukuran Bar (batang) Lebar (mm) Tebal (mm) Jarak antar bar (batang) (mm) Slope dgn horizontal (derajat) Head loss yang dibolehkan, clogged screen (mm) Maksimum head loss, clogged screen (mm)
Pembersihan Manual 0.3 – 0,6
Pembersihan Mekanis 0,6 – 1,0
4–8 25 - 50 25 - 75 45 - 60 150 800
8 – 10 50 - 75 75 - 85 75 – 85 150 800
32
2.8.1.1.3. Screen Chamber Screen chamber terdiri dari saluran empat persegi panjang, dasar saluran biasanya 7 –15 cm lebih rendah dari saluran inlet (incoming sewer). Screen chamber harus dirancang sedemikian rupa agar tidak terjadi akumulasi pasir (grit) atau material yang berat lainnya di dalam bak. Jumlah bak minimal 2 buah untuk IPAL dengan kapasitas yang besar. Struktur inlet umumnya divergen (melebar) untuk mendapatkan head loss yang minimum. Beberapa contoh bentuk scrren chamber dapat dilihat seperti pada gambar berikut :
A. Intake Bar Rack
B. Traveling Screen
C. Drum Screen
D. Microstrainer
Gambar 2.5. Jenis Penyaring Dalam Sistem Pengolahan Air Limbah: (A). Intake Bar Rack, (B) Traveling Screen, (C) Rotary Drum Screen, (D) Microstrainer 33
2.8.1.2. Unit Pemisah Pasir (Grit Removal) Di dalam proses pengolahan air limbah pasir, kerikil halus, dan juga benda-benda lain misalnya kepingan logam, pecahan kaca, tulang, dan lain lain yang mana tidak dapat membusuk, harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk : • • •
•
Melindungi kerusakan pada peralatan mekanik seperti pompa, flow meter dll agar tidak terjadi abrasi atau kebuntuan. Untuk menjaga atau mencegah kebuntuan di dalam sistem perpipaan dan terjadinya pengendapan di dalam saluran. Untuk mencegah pengerakan (cementing) di dasar bak pengendapan awal atau bak pengolah lumpur (sludge digesting). Untuk mengurangi atau menghilangkan akumulasi dari material inert yang tidak dapat terurai di dalam bak aerasi atau reaktor biologis serta bak pengolah lumpur yang akan mengakibatkan kerugian volume (loss of usable volume).
2.8.1.2.1. Lokasi Bak Pemisah Pasir Untuk menetukan tata letak bak pemisah pasir, pertimbangan yang utama adalah untuk melindungi kerusakan pada peralatan mekanik seperti pompa dll. Oleh karena itu unumnya bak pemisah pasir (grit chamber) diletakkan atau dipasang sebelum pompa air baku limbah (raw sewage pump). Tetapi kadangkadang kondisi saluran terlalu dalam untuk peletakan bak pemisah pasir, maka untuk kondisi yang demikian bak pemisah pasir diletakkan sesudah pompa atau digabungkan dengan bak pengendapan awal. 2.8.1.2.2. Tipe Bak Pemisah Pasir Pemilihann tipe bak pemisah pasir didasarkan pada beberpa faktor antara lain yakni jumlah dan kuantitas pasir (grit), serta pengaruh grit terhadap peralatan teratment. Bak pemisah pasir umumnya dikategorikan dalam dua jenis yaitu : tipe selective removal dan tipe pemisah pasir dan menghilangkan organik yang ada dilam air limbah. Pasir atau grit secara selektif dipisahkan dari organik lainnya di dalam bak pemisah pasir dengan kontrol kecepatan atau bak pemisah pasir dengan aerasi (aerated grit chamber). 34
Bak Pemisah Pasir Dengan Kontrol Kecepatan Grit atau pasir di dalam air limbah mempunyai berat jenis antara 1,5 – 2,7, sedangkan zat organik (organic matter) mempunyai berat jenis sekitar 1,02. Dengan demikian untuk memisahkan grit dengan material organik dapat dilakukan dengan pengendapan bertahap (differential sedimentation). Bak pemisah pasir dengan kontrol kecepatan adalah seperti bak pengendap dengan bentuk sempit memanjang dengan kontrol kecepatan pada kondisi terbaik. Pada beberapa bak pemisah pasir, untuk mengontrol kecepatan dilakukan dengan menggunakan multiple channel (multi saluran). Yang lebih ekonomis dan dapat mengontorl aliran atau kecepatan yang lebih baik adalah dengan menggunakan peralatan kontrol (control section) pada bagian belakang bak (channel). Control section ini dapat mempertahankan kecepatan yang konstan di dalam bak terhadap perubahan aliran. Peralatan kontrol aliran dapat dapat dilakukan dengan menggunakan : Proportional weir, Sutro weir, Parshall Flume, atau Parabolic flume. Sebagai contoh, untuk grit dengan diameter 65 mesh atau 0,21 mm, kriteria desain untuk grit chamber adalah sebagai berikut :
Kecpatan horizontal = 0,3 m/detik Kecepatan Pengendapan = 1,15 m/detik Waktu Tinggal (detention Time) = 60 detik
Head loss melalui grit chamber dengan kontrol aliran adalah 30 – 40 % terhadap tinggi permukaan air maksimum di dam bak. Untuk pembersihan bak dapat dilakukan secara manual atau mekanik. Pembersihan secara manual hanya dilakukan untuk plant skala kecil. Bak pemisah pasir dengan aerasi Bak pemisah pasir dengan aerasi digunakan secara luas untuk memisahkan grit secara selektif. Bentuknya hampir sama dengan bak aerasi dengan aliran spiral. Aliran spiral di dalam bak didapatkan dengan cara mendifusikan udara bertekanan ke dalam air. Kecepatan udara diatur untuk mendapatkan kecepatan 35
aliran dekat dasar bak sedemikian rupa sehingga cukup untuk mengendapakan pasir (grit). Partikel organik yang lebih ringan akan terbawa aliran spiral dan akan keluar dari bak. Bak pemisah pasir dengan areasi biasanya digunakan untuk memisahkan partikel pasir (grit) dengan berat jenis 2,5 dan diameter lebih besar atau sama dengan 65mesh (0,21 mm), dan umumnya digunakan untuk plant dengan skala medium atau besar. Kriteria Desain bak pemisah pasir dengan aerasi Beberap kriteria perencanaan yang harus diperhatikan di dalam merancang bak pemisah pasir antara lain : Tipe partikel grit dan material lainnya. Waktu Tinggal di dalam bak. Suplai udara. Struktur inlet dan outlet. Dead spce. Bentuk geometri bak. Peralatan baffle dll. Kriteria perencanan untuk tipikal bak pemisah pasir dengan aerasi dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3. Kriteria Perencanan Untuk Tipikal Bak Pemisah Pasir Dengan Aerasi Kriteria Perencanaan Dimensi : Panjang (m) Lebar (m) Kedalaman (m) Ratio lebar/kedalaman Ratio Panjang/lebar Kecepatan aliran pada permukaan (m/detik) Waktu Tingga pada aliran puncak (menit)
Besaran (range value) 7,5 – 20 2,5 – 7,0 2–5 1:1–5:1 2,5 : 1 – 5 : 1 0,6 – 0,8 2-5
Keterangan Lebar bak adalah terbatas untuk memberikan aksi putaran aliran dalam bak.
Jika bak pemisah pasir diguna-kan untuk pre aerasi atau untuk memisahkan grit dengan ukuran yang lebih kecil dari 65 mesh (0,21mm) maka dibutuh-kan waktu tinggal yang lebih lama. 36
Suplai Udara
4,6 – 12,4 liter/det per meter panjang bak. (3 – 8 cfm/ft)
Struktur Inlet dan Outlet
-
Baffles
-
Geometri bak
-
37
Udara yang lebih banyak diberikan untuk bak pemisah pasir yang lebih lebar dan lebih dalam. Untuk kecepatan udara 4,6–8 lt/det.m dan untuk ukuran bak 3,5 –5 m lebar, kedalaman 4,5 m akan memberikan kecepatan permukaan sekitar 0,5– 0,7 m/detik. Kecepatan di dasar bak kurang lebih 75 % dari kecepatan permukaan. Kecepatan 0,23 m/det dibutuh-kan untuk dapat bergeraknya partikel 0,2 mm bergerak sepanjang dasar tangki. Struktuir inlet dan outlet harus cukup untuk mencegah terjadi-nya aliran singkat/turbulensi. Struktur inlet dalam bak harus dibuat sedemikian rupa agar aliran influen masuk ke dalam putaran aliran. Bagian inlet dan outlet dirancang sedemikian rupa agar kecepatan aliran pada bagian tersebut lebih besar atau sama dengan 0,3 m/det untuk berbagai kondisi untuk mencegah terjadinya pengendapan grit pada bagian tersebut. Baflle atau sekat membujur dan sekat melintang digunakan untuk menambah efisiensi pemisahan grit. Jika panjang bak jauh lebih besar dari lebar bak dipakai baflle melintang. Yang harus diperhatikan untuk geometri bak adalah letak difuser udara, slope dasar bak, hoper dan peralatan pengambilan endapan yang terkumpul. Difuser udara umumnya diletakkan kira-kira 0,6 meter di atas dasar bak yang miring.
Contoh bak pemisah pasir dapat dilihat pada di bawah ini.
Tipikal aerated grit chamber
Jalur aliran helical di dalam aerated grit chamber Gambar 2.6. Contoh Bak Pemisah Pasir (Grit Chamber)
38
2.8.1.3. Proses Nertalisasi atau Pengontrolan pH Proses netralisasi bertujuan untuk menetralkan pH atau keasaman air limbah sampai menjadi netral. Hal ini dimaksudkan agar proses pengolahan air limbah secara biologis dapat berjalan dengan baik. Bahan kimia yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4) atau asam khlorida (HCl) untuk menetralkan air limbah yang bersifat alkali. Sedangkan untuk zat alkali yang banyak digunakan antara lain yakni soda ash atau soda abu (NaHCO3), Kapur tohor (CaO), Ca(OH)2 , CaCO3, natrium hidroksida (NaOH). Proses penetralan umumnyan dilakukan dengan pengadukan di dalam bak pencampur dengan waktu tinggal 5 – 30 menit, dan biasanya dilengkapi dengan kontroler pH. Untuk penetralan dengan menggunakan kapur, dapat menimbulkan endapan garam kalsium. 2.8.1.4. Proses Koagulasi – Flokulasi Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel koloid dengan cara penambahan senyawa kimia yang disebut koagulan. Koloid mempunyai ukuran tertentu sehingga gaya tarik menarik antara partikel lebih kecil dari pada gaya tolak menolak akibat muatan listrik. Pada kondisi stabil ini penggumpalan partikel tidak terjadi dan gerakan Brown menyebabkan partikel tetap berada sebagai suspensi. Melalui proses koagulasi terjadi destabilisasi, sehingga partikel-partikel koloid bersatu dan menjadi besar. Dengan demikian partikel-partikel koloid yang pada awalnya sukar dipisahkan dari air, setelah proses koagulasi akan menjadi kumpulan partikel yang lebih besar sehingga mudah dipisahkan dengan cara sedimentasi, filtrasi atau proses pemisahan lainnya yang lebih mudah. Bahan kimia yang sering digunakan untuk proses koagulasi umumnya dikalsifikasikan menjadi tiga golongan, yakni Zat Koagulan, Zat Alkali dan Zat Pembantu Koagulan. Zat koagulan digunakan untuk menggumpalkan partikel-partikel padat tersuspensi, zat warna, koloid dan lain-lain agar membentuk gumpalan partikel yang besar (flok). Sedangkan zat alkali dan zat pembantu koagulan berfungsi untuk mengatur pH agar kondisi air baku dapat menunjang proses flokulasi, serta membantu agar pembentukan flok dapat berjalan dengan lebih cepat dan baik. 39
Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dengan penambahan senyawa kimia yang disebut zat koagulan. Flokulasi adalah proses penggumpalan (agglomeration) dari koloid yang tidak stabil menjadi gumpalan partikel halus (mikro-flok), dan selanjutnya menjadi gumpalan patikel yang lebih besar dan dapat diendapkan dengan cepat. Senyawa kimia lain yang diberikan agar pembentukan flok menjadi lebih cepat atau lebih stabil dinamakan flokulan atau zat pembantu flokulasi (flocculant aid). Di dalam sistem pengolahan air limbah dengan penambahan bahan kimia proses koagulasi sangat diperlukan untuk proses awal. Partikel-partikel yang sangat halus maupun partikel koloid yang terdapat dalam air limbah sulit sekali mengendap. Oleh karena itu perlu proses koagulasi yaitu penambahan bahan kimia agar partikel-partikel yang sukar mengendap tadi menggumpal menjadi besar dan berat sehingga kecepatan pengendapannya lebih besar. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya juga dengan proses koagulasi. Bahan kimia yang sering digunakan untuk proses koagulasi – flokulasi umumnya dikalsifikasikan menjadi tiga golongan yakni Zat Koagulan, Zat Alkali dan Zat Pembantu Koagulan. 2.8.1.4.1. Bahan Koagulan Zat koagulan digunakan untuk menggumpalkan partikelpartikel padat tersuspesi, zat warna, koloid dan lain-lain agar membentuk gumpalan partikel yang besar (flok) sehingga dapat dengan cepat dapat diendapkan pada bak pengendap sedangkan zat alkali dan zat pembantu koagulan berfungsi untuk mengatur pH agar kondisi air baku dapat menunjang proses flokulasi serta membantu agar pembentukan flok dapat berjalan denganlebih cepat dan baik. Pemilihan zat koagulan harus berdasarkan pertimbangan antara lain : jumlah dan kualitas air yang akan diolah, kekeruhan air baku, metode filtrasi serta sistem pembuangan lumpur endapan. Koagulan yang sering dipakai antara lain aluminium sulfat (alum), poly aluminium chloride (PAC). Di samping itu ada senyawa polimer tertentu yang dapat dipakai bersama-sama dengan senyawa koagulan lainnya. 40
2.8.1.4.2. Aluminium Sulfat (Alum), Al2(SO4)3 .18 H2O Alum merupakan bahan koagulan yang banyak dipakai untuk pengolahan air karena harganya murah, flok yang dihasilkan stabil serta cara pengerjaanya mudah. Garam aluminium Sulfat jika ditambahkan kedalam air dengan mudah akan larut akan 3bereaksi dengan HCO menghasilkan aluminium hidroksida yang mempunyai muatan positip. Sementara itu partikel-parikel koloidal yang terdapat dalam air baku biasanya bermuatan negatip dan sukar mengendap karena adanya gaya tolak menolak antar partikel koloid tersebut. Dengan adanya hidroksida aluminium yang bermuatan positip maka akan terjadi tarik menarik antara partikel koloid yang bermuatan negatip dengan partikel aluminium hidroksida yang bermuatan positip sehingga terbentuk gumpalan partikel yang makin lama makin besar dan berat dan cepat mengendap. Selain partikel-partikel koloid juga partikel zat organik tersuspensi, zat anorganik, bakteri dan mikroorgaisme yang lain dapat bersamasama membentuk gumpalan partikel (flok) yang akan mengendap bersama-sama. Jika alkalinitas air baku tidak cukup untuk dapat bereaksi dengan alum, maka dapat ditambahkan kapur (lime) atau soda abu agar reaksi dapat jalan baik. 2.8.1.4.3. Ammonia Alum, (NH4 )2(SO4). Al2(SO4)3 . 24 H2O Merupakan garam rangkap Amonium Aluminium Sulfat. Kelarutan dalam air memerlukan waktu lebih lama dari pada Alum dan daya koagulasinya lebih rendah. Penggunaanya biasanya terbatas untuk instalasi kecil dan untuk air baku dengan kekeruhan yang tidak begitu tinggi. Misalnya untuk kolam renang, industri kecil dan lainnya. Pembubuhannya dapat dilakukan dengan cara sederhana yakni dengan alat bubuh tipe pot (pot type feeder). Amonia Alum diletakkan dalam suatu bejana, lalu air dilewatkan kedalam bejana tesebut sehingga sebagian alum larut. Selanjutnya larutan yang terjadi diinjeksikan ke air baku.
41
2.8.1.4.4. Sodium Aluminat, NaAlO2 Dibuat dengan melarutkan Al2O3 ke dalam larutan NaOH, daya koagulasinya tidak begitu kuat. Dapat bersifat sebagai koagulan dan zat alkali serta efektif untuk menghilangkan zat warna. Sering digunakan untuk pengolahan air boiler dan jarang digunakan untuk pengolahan air minum. Biasanya digunakan bersama-sama dengan alum karena dapat membentuk flok dengan cepat. Reaksi kimia antara Sodium Aluminat dengan alum dan karbon dioksida adalah sebagai berikut : 6 NaAlO2 + Al2(SO4)3.18H2O + 18 H2O + 6 H2O
8 Al(OH) 3 + 3 Na2SO4
2 NaAlO2 + CO2 + 3 H2O
2 Al(OH) 3 + 3 Na2CO3
2.8.1.4.5. Ferrous Sulfat (Copperas) Secara komersial Ferro sulfat diproduksi dalam bentuk kristal berwarna hijau atau butiran (granular) untuk pembubuhan kering dengan kandungan Fe(S04 ) kira-kira 55 %. Ferro Sulfat bereaksi dengan alkalinitas alami tetapi dibanding reaksi antara alum dengan HCO3- lebih lambat. Biasanya digunakan bersama-sama dengan kapur (lime) untuk menaikkan pH, sehingga ion ferro terendapkan dalam bentuk ferri hidroksida, Fe(OH)3 . Ferrous Sulfate ini kurang sesuai untuk menghilangkan warna, akan tetapi sangat baik untuk pengolahan air yang mempunyai alkalinitas dan kekeruhan dan DO yang tinggi. Kondisi pH yang sesuai yakni antara 9,0 - 11,0. Reaksinya adalah sebagai berikut : 2 Fe(SO4).7 H2O + 2 Ca(HCO3)2 + 1/2 O2 + 4 CO2 + 2 Ca(SO4) + 13 H2O
2 Fe(OH)3
2 Fe(SO4).7 H2O + 2 Ca(OH)2 + 1/2 H2O + 2 Ca(SO4) + 13 H2O
2 Fe(OH)3
42
Proses ini biasanya lebih murah dibandingkan dengan alum, tetapi penggunaan dua macam bahan prosesnya lebih sulit dan pengolahan air dengan menggunakan ferro sulfat dan kapur dapat memperbesar kesadahan air. 2.8.1.4.6. Chlorinated Copperas Cara ini adalah merupakan metode lain dari penggunaan ferro sulfat sebagai koagulan. Dalam proses ini khlorine ditambahkan untuk mengoksidasi ferro sulfat menjadi ferri sulfat. Reaksinya adalah sebagai berikut : 3 Fe(SO4) + 1,5 Cl2
Fe2(SO4)3 + FeCl3 + 13 H2O
Secara teoritis 1,0 lb khlorine dapat mengoksidasi 7,8 lb copperas. Tetapi untuk mendapatkan hasil yang baik pembubuhan khlorine biasanya sedikit berlebih dari kebutuhan teoritis. 2.8.1.4.7. Ferri Khloride, FeCl3 . H2O Ferri khloride dan ferri sulfat merupakan bahan koagulan dengan nama dagang bermacam-macam. Dapat bereaksi dengan bikarbonat (alkalinitas) atau kapur. Reaksinya adalah sebagai berikut : 2 FeCl3 + 3 Ca(HCO3)2
2 Fe(OH)3 + CaCl2 + 21 H2O
2 FeCl3 + 3 Ca(OH)2
2 Fe(OH)3 + 3 CaCl2
Keuntungan dari koagulan garam ferric antara lain yakni : proses koagulasi dapat dilakukan pada selang pH yang lebih besar, biasanya antara pH 4 - 9. Flok yang terjadi lebih berat sehingga cepat mengendap, serta efektif untuk menghilangkan warna, bau dan rasa. 2.8.1.4.8. Poly Aluminium Chloride (PAC) Poly Aluminium Chloride (PAC) merupakan bentuk polimerisasi kondensasi dari garam aluminium, berbentuk cair dan merupakan koagulan yang sangat baik. Mempunyai dosis yang bervariasi dan sedikit menurunkan alkalinitas. Daya 43
koagulasinya lebih besar dari pada alum dan dapat menghasilkan flok yang stabil walaupun pada suhu yang rendah serta pengerjaannyapun mudah. Dibandingkan dengan Aluminium Sulfat, PAC mempunyai beberapa kelebihan yakni kecepatan pembentukan floknya cepat dan flok yang dihasilkan mempunyai kecepatan pengendapan yang besar yakni 3 - 4,5 cm/menit, dan dapat menghasilkan flok yang baik meskipun pada suhu rendah. Dari segi teknik dan ekonomi, alum biasanya dipakai pada saat kondisi air baku yang normal sedangkan poly aluminium chloride dipakai pada saat temperatur rendah atau pada saat kekeruhan air baku yang sangat tinggi. 2.8.1.4.9. Penentuan Dosis Koagulan Penentuan dosis koagulan bervariasi sesuai dengan jenis koagulan yang dipakai, kekeruhan air baku, pH, alkalinitas dan juga temperatur operasi. Disamping itu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lainnya misalnya kandungan zat besi dan mangan yang tinggi, mikroorganisme. Untuk aluminium sulfat padatan, dapat dipakai langsung dalam bentuk padatan (bubuk) tetapi sering kali dilarutkan terlebih dahulu sebelum dibubuhkan kedalam air baku. Konsentrasi larutan alum biasanya sekitar 5 -10 % untuk instalasi kecil dan untuk isntalsi yang besar biasanya 20 -30 %. Sedangkan untuk poly aluminium chloride harus dipakai dalam bentuk aslinya (cair) tanpa pengenceran karena jika diencerkan akan terhidrolisa. Perhitungan dosis koagulan dapat dilakukan dengan memakai rumus sebagai berikut : -3
Vv = Q x Rs x (100/C) x 10 dimana :
Vv Q Rs C
= Dosis volumetrik koagulan ( lt/jam). = Laju alir air baku ( M3). = Dosis koagulan yang diharapkan (ppm). = Konsentrasi larutan koagulan ( % ). 44
2.8.1.5. Zat Alkali (Alkaline Agent) Zat alkali dipakai untuk pengolahan air minum dengan tujuan untuk pengaturan pH dan alkalinitas air baku agar proses koagulasi - flokulasi dapat berjalan dengan baik dan efektif. Zat zat alkali yang sering digunakan yakni kapur mati (slake lime), soda abu, NaHCO3. Batu kapur (slake lime) banyak dipakai karena harganya murah dan hasilnya baik. Tetapi mempunyai beberapa kekurangan yakni kelarutannya kecil dan dapat memperbesar kesadahan. Dosis zat zat alkali yang dibubuhkan harus ditentukan sesuai laju pembubuhan harus ditentukan berdasarkan alkalinitas air baku dan laju pembubuhankoagulan. Perlu atau tidaknya penambahan zat alkali tersebut serta dosisnya (rata-rata, minimum dan maksimum) harus ditentukan berdasarkan alkalinitas air baku, laju pembubuhan koagulan serta alkalinitas air olahan yang diharapkan dengan menggunakan jar tes. Untuk menghitung dosis zat alkali yang diperlukan dapat memakai rumus sebagai berikut : W = [( A2 + K x R ) - A1] x F Keterangan: W
=
Dosis pembubuhan zat alkali ( mg/lt = ppm )
A1
=
Alkalinitas air baku (mg/lt = ppm )
A2
=
Alkalinitas yang diinginkan (mg/lt = ppm )
K
=
Harga numerik dari koagulan yang digunakan (dapat dilihat pada tabel 13)
R
=
Dosis koagulan (ppm).
F
=
Harga numerik untuk zat alkali yang digunakan
45
2.8.1.6. Zat Koagulan Pembantu Pada saat kekeruhan air baku tinggi misalnya setelah hujan, pada saat musim dingin ataupun pada saat permintaan produksi meningkat, maka jika memakai zat koagulan saja sering kali pembentukan flok kurang baik. untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan memakai koagulan pembantu sehingga pembentukan flok berjalan dengan baik. Pemilihan jenis zat koagulan pembantu harus dapat menghasilkan flok yang baik / stabil dan tidak berbahaya ditinjau dari segi kesehatan. Disamping itu juga harus ekonomis serta pengerjaannya mudah. Sebagai bahan koagulan pembantu yang sering dipakai yakni silika aktif dan sodium alginat (sodium alginic acid). Dosis zat koagulan pembantu harus ditentukan dengan pertimbangan pada keadaan biasa/normal dosis silika aktif yakni 1 - 5 ppm sebagai SiO2 dan untuk sodium alginat yakni antara 0,2 - 2 ppm. 2.8.1.7. Bak Koagulasi Partikel-partikel kotoran dalam air baku yang mempunyai 2 ukuran dengan diameter 10- dengan cara pengendapan biasa tanpa bahan kimia. Tetapi untuk partikel yang sangat halus 2 dengan ukuran lebih kecil 10- mm dan juga partikel-partikel koloid sulit untuk dipisahkan dengan pengendapan tanpa bahan kimia. Oleh karena itu di dalam sistem pengolahan air limbah misalnya untuk penghilangan warna organik, proses koagulasi sangat penting agar partikel koloid yang sulit mengendap tadi dapat digumpalkan sehingga membentuk grup partikel yang lebih besar dan berat yang dengan cepat dapat diendapkan atau disaring. Untuk itu perlu bak koagulasi untuk mendapatkan proses koagulasi yang efektif. Proses koagulasi dibagi menjadi dua tahap yang pertama yaitu koagulasi partikel-partikel kotoran menjadi flok-flok yang masih halus/kecil dengan cara pengadukan cepat segera setelah koagulan dibubuhkan. Tahap ini disebut dengan pencampuran cepat dan prosesnya dilakukan pada bak pencampur cepat 46
(mixing basin). Tahap selanjutnya adalah proses pertumbuhan flok agar menjadi besar dan stabil yaitu dengan cara pengadukan lambat pada bak flokulator. Proses tersebut dinamakan flokulasi. Dengan demikian untuk proses koagulasi diperlukan dua buah bak yakni untuk bak pencampur cepat dan bak flokulator. 2.8.1.7.1. Bak Pencampur Cepat Bak pencampur cepat harus dilengkapi dengan alat pengaduk cepat agar bahan kimia (koagulan) yang dibubuhkan dapat bercampur dengan air baku secara cepat dan merata.Oleh karena kecepatan hidrolisa koagulan dalam air besar maka diperlukan pembentukan flok-flok halus dari koloid hidroksida yang merata dan secepat mungkin sehingga dapat bereaksi dengan partikel-partikel kotoran membentuk flok yang lebih besar dan stabil. Untuk itu diperlukan pengadukan yang cepat. Ada dua cara pengadukan yang dapat dipakai yaitu pengadukan dengan energi yang ada dalam air itu sendiri dan pengadukan dengan energi yang didapat dari luar. A. Pengadukan Berdasarkan Energi Dari Air Itu Sendiri Dapat dilakukan dengan cara aliran dalam bak/kolam dengan sekat horizontal maupun vertikal (baffled flow type). Atau dapat juga dengan membuat aliran turbulen dalam sistem perpipaan dengan kecepatan aliran di atas 1,5 m/detik. Selain cara tersebut di atas dapat juga dilakukan dengan Parshall flume ataupun dengan cara menyemprotkan melalui lubanglubang kecil (nozzle). B. Pengadukan Berdasarkan energi mekanik dari luar Cara yang paling umum dipakai yaitu dengan flush mixer uang berupa motor dengan alat pengaduk berupa balingbaling (propeler) maupun paddle, dengan kecepatan rotasi lebih kecil 1,5 m/detik. Waktu pengadukan standar antara 1 5 menit. Beberapa metode pencampuran yang lain yaitu : (1) turbin atau padle mixer (2) propeler mixer (3) pneumatic mixer (4) hydraulic mixing dan (5) in-line hydraulic dan static mixing dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 47
Gambar 2.7. Metoda Alat Pencampur (Mixing) (A) Menggunakan Mixer Propeler, (B) Menggunakan Mixer Propeler Pada Proses Dengan Aliran Kontinu, (C) Menggunakan Mixer Turbin, (D) Menggunakan Hydraulic Jump, (E) Menggunakan In-Line Mixer Konstruksi bak pencampur cepat harus kuat dan aman serta bentuknya sedemikian rupa agar terhindar adanya aliran singkat. biasanya berbentuk empart persegi panjang, bujur sangkar ataupun bulat (circular).
48
2.8.1.7.2. Flokulator Fungsi flokulator adalah untuk pembentukan flok-flok agar menjadi besar dan stabil sehingga dapat diendapkan dengan mudah atau disaring. Untuk proses pengendapan dan penyaringan maka partikel-partikel kotoran halus maupun koloid yang ada dalam air baku harus digumpalkan menjadi flok-flok yang cukup besar dan kuat untuk dapat diendapkan atau disaring. Flokulator pada hakekatnya adalah kombinasi antara pencampuran dan pengadukan sehingga flok-flok halus yang terbentuk pada bak pencampur cepat akan saling bertumbukan dengan partikel-partikel kotoran atau flok-flok yang lain sehingga terjadi gumpalan gumpalan flok yang besar dan stabil. Proses pembentukan flok dimulai dari proses koagulasi sehingga terbentuk flok-flok yang masih halus. Flok-flok tersebut akan saling bertumbukan dengan sesama flok atau dengan partikel kotoran yang ada dalam air baku sehingga akan menggabung membentuk gumpalan flok yang besar sehingga mudah mengendap. 2.8.1.7.3. Cara Pengadukan Pengadukan dalam proses flokulasi ada dua cara yaitu pengadukan berdasarkan energi yang ada dalam air itu sendiri dan pengadukan berdasarkan energi mekanik dari luar. A. Pengadukan Berdasarkan Energi Yang Ada Dalam Air Itu Sendiri Cara yang sering digunakan adalah dengan sistem saluran atau bak dengan penyekat baik secara horizontal maupun vertikal. Secara sederhana prosesnya dapat dilihat pada Gambar 2.8. B. Pengadukan Berdasarkan Energi Mekanik Dari Luar Ada beberapa metode pengadukan yang banyak dipakai, bentuk yang sering digunakan antara lain adalah bentuk paddle yang digerakkan dengan motor, selain itu ada bentuk flokulator tipe paddle dll. Beberapa tipe flokulator yang banyak digunakan dapat dilihat seperti Gambar 2.9. 49
Dalam hal ini gradien kecepatan dapat dihitung dengan rumus : P G = Vµ
Gambar 2.8. Bak Flokulasi Tipe Baffle
Gambar 2.9. Beberapa Tipe Reaktor Untuk Proses Flokulasi 50
2.8.1.8. Sedimentasi atau Pengendapan Sedimentasi adalah suatu unit operasi untuk menghilangkan materi tersuspensi atau flok kimia secara gravitasi. Proses sedimentasi pada pengolahan air limbah umumnya untuk menghilangkan padatan tersuspensi sebelum dilakukan proses pengolahan selanjutnya. Gumpalan padatan yang terbentuk pada proses koagulasi masih berukuran kecil. Gumpalan-gumpalan kecil ini akan terus saling bergabung menjadi gumpalan yang lebih besar dalam proses flokulasi. Dengan terbentuknya gumpalan-gumpalan besar, maka beratnya akan bertambah, sehingga karena gaya beratnya gumpalan-gumpalan tersebut akan bergerak ke bawah dan mengendap pada bagian dasar tangki sedimentasi. Bak sedimentasi dapat berbentuk segi empat atau lingkaran. Pada bak ini aliran air limbah sangat tenang untuk memberi kesempatan padatan/suspensi untuk mengendap. Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk menentukan ukuran bak sedimentasi adalah : surface loading (beban permukaan), kedalaman bak dan waktu tinggal. Waktu tinggal mempunyai satuan jam, cara perhitungannya adalah volume tangki dibagi dengan laju alir per hari. Beban permukaan sama dengan laju alir (debit volume) rata3 rata per hari dibagi luas permukaan bak, satuannya m per meter persegi per hari. Q Vo
=
A
Vo = laju limpahan/beban permukaan (m3/m2 hari) 3 Q = aliran rata-rata harian, m per hari 2 A = total luas permukaan (m )
Beberapa kriteria desain bak pengendapan primer dapat dilihat pada Tabel 2.4 Tabel 2.4. Kriteria Desain Bak Pengendapan Primer Parameter Desain
Harga (besaran) Range Tipikal 1,5 – 2,5 2,0 32 - 40
Waktu Tinggal Hidrolik (Jam) 3 2 Overflow rate ( m /m .hari) Aliran Rata-rata 51
Aliran puncak 3 Weir Loading (m /m.hari) Dimensi : Bentuk Persegi Panjang Panjang (m) Lebar (m) Kedalaman (m) Kecepatan pengeruk lumpur (m/menit) Dimensi : Bentuk bulat (circular) Kedalaman (m) Diameter (m) Slope dasar (mm/m) Kecepatan sludge scrapper (r/menit)
80 - 120 125 - 500
100 250
15 - 90 3 - 24 3-5 0,6 – 1,2
25 - 40 6 - 10 3,6 1,0
3-5 3,6 - 60 60 - 160 0,02 – 0,05
4,5 12 - 45 80 0,03
Sumber : Metcalf & Eddy, 1979.
Gambar 2.10. Salah Satu Contoh Bak Pengendapan Bentuk Bulat
52
2.8.1.9. Flotasi (Pengapungan) Kebalikan dari proses pengendapan, flotasi adalah proses pemisahan padatan-cairan atau cairan-cairan yang dalam hal ini partikel atau cairan yang dipisahkan mempunyai berat jenis yang lebih kecil dari pada cairan. Apabila perbedaan berat jenis secara alamiah cukup untuk dilakukan pemisahan, maka proses flotasi dinamakan “flotasi alamiah” (natural flotation). Apabila ditambahkan sesuatu dari luar untuk mempercepat pemisahan partikel, walaupun secara alamiah berat jenis partikel tersebut lebih ringan dari pada cairan, dinamakan “flotasi dibantu”(aided flotation). Istilah “flotasi terdorong” (induced flotation), diterapkan pada keadaan berat jenis partikel secara alamiah lebih besar dari pada cairan, namun dibuat agar berat jenisnya lebih kecil. Sebagai contoh penggabungan gas-partikel sehingga berat jenisnya lebih kecil dari cairan.
2.8.1.9.1. Flotasi Dengan Microbubbles Proses induced flotation yang menggunakan gelembung halus atau microbubbles yang berdiameter 40–70 micron disebut dissolved air flotation (DAF). Teknik yang umum digunakan untuk menghasilkan microbubble adalah pressurization. Gelembung diperoleh dengan cara mengekspansi cairan yang telah banyak mengandung udara pada tekanan beberapa bar. Jenis tekanan yang dilepaskan akan menentukan kualitas gelembung yang dihasilkan. Cairan yang ditekan dapat air baku (full-flow pressurization) atau recycle air olahan (recycle pressurization). Pada proses klarifikasi air permukaan atau air industri digunakan sistem recycle pressurization. Pada kasus pemekatan lumpur, digunakan full-flow pressurization atau recycle pressurization, 2.8.1.9.2. Natural Flotasi Flotasi alamiah biasanya diterapkan pada proses pemisahan minyak. Pada flotasi ini kemungkinan didahului dengan proses penyatuan gelembung (microdroplets menempel satu dengan yang lain) untuk mencapai ukuran minimum sehingga terjadi pemisahan. 53
2.8.1.9.3. Aided Flotation (Flotasi Dibantu) Flotasi ini adalah flotasi alamiah yang ditingkatkan dengan menyemburkan gelembung udara. Proses ini biasa diterapkan pada pemisahan lemak yang terdispersi dalam cairan. Dalam sistem ini terdapat dua daerah; satu daerah untuk pencampuran dan emulsifying; yang lainnya daerah penenang untuk proses flotasi. 2.8.1.9.4. Penerapan Flotasi Penerapan DAF (Dissolved Air Flotation) pada pengolahan air : • Pemisahan flok pada proses klarifikasi/penjernihan. • Pemisahan dan perolehan kembali serat pada efluen pabrik kertas. • Pemisahan minyak terflokulasi atau tidak terflokulasi dalam air limbah yang terdapat pada efluen refineri, airport dan pabrik baja. • Pemekatan lumpur dari pengolahan biologi air limbah atau dari proses klarifikasi air minum. • Klarifikasi cairan lumpur aktif. Salah satu contoh pemisahan padatan-cairan dengan cara flotasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Keterangan: 1. Inlet; 2. Inlet air yang bertekanan; 3. Lokasi pencampuran; 4. Oulet; 5. Pelimpah;
6. 7. 8. 9.
Pembuang lumpur; Pembersih dasar bak; Pembersih permukaan; Air disirkulasi untuk diberi tekanan.
Gambar 2.11. Pemisahan Padatan-Cairan Dengan Cara Flotasi 54
2.8.1.10. Filtrasi (Penyaringan) Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan padatan tersuspensi dari dalam air yang diolah. Pada penerapannya filtrasi digunakan untuk menghilangkan sisa padatan tersuspensi yang tidak terendapkan pada proses sedimentasi. Pada pengolahan air buangan, filtrasi dilakukan setelah pengolahan kimia-fisika atau pengolahan biologi. Ada dua jenis proses penyaringan yang umum digunakan, yaitu penyaringan lambat dan penyaringan cepat. Penyaringan lambat adalah penyaringan dengan memanfaatkan energi potensial air itu sendiri, artinya hanya melalui gaya gravitasi. Penyaringan ini dilakukan secara terbuka dengan tekanan atmosferik. Sedangkan penyaringan cepat adalah penyaringan dengan menggunakan tekanan yang melebihi tekanan atmosfir. Berdasarkan jenis media filter yang digunakan, penyaringan dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu filter media granular (butiran) dan filter permukaan. Pada jenis media granular, media yang paling baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: Ukuran butiran membentuk pori-pori yang cukup besar agar partikel besar dapat tertahan dalam media, sementara butiran tersebut juga dapat membentuk pori yang cukup halus, sehingga dapat menahan suspensi. Butiran media bertingkat, sehingga lebih efektif pada saat proses pencucian balik (backwash). Saringan mempunyai kedalaman yang dapat memberikan kesempatan aliran mengalir cukup panjang. Sejauh ini media yang paling baik adalah pasir yang ukuran butirannya hampir seragam dengan ukuran antara 0,6 hingga 0,8 mm. Laju operasi untuk penyaringan ditentukan oleh kualitas air baku, pengolahan kimia yang diterapkan dan media filter. Pada umumnya laju penyaringan pada saringan pasir cepat adalah 2 82,4 liter per menit/m . Sistem yang ada pada saat ini dapat 2 menaikkan aliran hingga 206 liter per menit/m . Unggun saringan yang terdiri dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada diatas media pasir yang lebih halus (berat jenis 2,6). Susunan media dari atas ke bawah kasar-halus, akan memudahkan aliran air. Flok yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan unggun. 55
2.8.1.11. Adsorpsi Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara dua fasa. Pada umumnya zat terlarut terkumpul pada interface. Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan materi dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di industri, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent polar akan menarik air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total luas permukaan umumnya antara 500 – 1500 2 3 m /gr. Berat jenis kering lebih kurang 500 kg/m . 2.8.1.12. Gas Stripping Pada saat ini penggunaan gas stripping hanya terbatas pada pengolahan air limbah. Zat-zat yang umum di stripping adalah amonia, hidrogen sulfida, sulfur dioxide dan phenol. Pada proses stripping air dialirkan ke bawah melalui media ring atau pada permukaan yang beralur. Sementara udara bersih atau gas lain dialirkan berlawanan arah. Sistem ini disebut teknik packed column. Pada sistem ini, aliran gas ke atas (disebut stripping gas) mengambil gas-gas terlarut yang akan dihilangkan dalam cairan. Pada saat cairan turun di dalam kolom, cairan mengeluarkan gas terlarut sementara gas pada phasa gas masuk ke dalam air. Perpindahan gas terjadi karena adanya ketetapan hukum mass transfer gas dan cairan. Efisiensi perpindahan tergantung pada : • Distribusi atau penyebaran air ke seluruh permukaan kolom • Luas area interface gas-cairan • Kemurnian dari stripping gas, untuk mencegah pengotoran air yang diolah • Distribusi gas stripping dalam kolom. 2.8.1.13. Proses Membran Padatan terlarut dapat dipisahkan dari air atau air limbah melalui penggunaan membran semipermiable yang mempunyai diameter pori berukuran 0,001 mikron. Apabila pemisahan terjadi dengan melewatkan air melalui membran maka proses disebut osmosis atau hyperfiltration. Proses sebaliknya yaitu 56
melewatkan molekul atau ion terlarut melalui membran disebut proses dialysis. Sebagai tenaga penggeraknya dapat berupa fisik (tekanan), kimia (konsentrasi), panas (temperatur) atau listrik. Penerapan proses membran adalah desalinasi air untuk penggunaan air domestik dan air industri, pengolahan limbah industri dan pengambilan kembali (recovery) materi berharga dari aliran air buangan. Reverse Osmosis Apabila dua larutan yang mempunyai konsentrasi berbeda dipisahkan oleh membran semipermible, maka perbedaan chemical potential akan terjadi pada membran. Air akan menembus membran dari konsentrasi rendah/encer (potensi lebih tinggi) ke bagian yang konsentrasi tinggi/pekat (potensi rendah). Aliran akan terus berlangsung hingga beda tekanan mengimbangi perbedaan chemical potential. Penyeimbang beda tekanan disebut tekanan osmotic dan besarnya tergantung pada karakteristik larutan, konsentrasi dan temperatur. Apabila tekanan diberikan pada arah sebaliknya dan lebih besar dari tekanan osmotic, maka yang terjadi aliran mengalir dari konsentrasi pekat ke konsentasi rendah. Proses ini disebut reverse osmosis. 2.8.1.14. Pengeringan / Pengolahan Lumpur Lumpur yang dihasilkan dari proses sedimentasi diolah lebih lanjut untuk mengurangi sebanyak mungkin air yang masih terkandung didalamnya. Proses pengolahan lumpur yang bertujuan mengurangi kadar air tersebut sering disebut dengan pengeringan lumpur. Ada empat cara proses pengurangan kadar air, yaitu secara alamiah, dengan tekanan (pengepresan), dengan gaya sentrifugal dan dengan pemanasan. Pengeringan secara alamiah dilakukan dengan mengalirkan atau memompa lumpur endapan ke sebuah kolam pengering (drying bed) yang mempunyai luas permukaan yang besar dengan kedalaman sekitar 1 atau 2 meter. Proses pengeringan berjalan dengan alamiah, yaitu dengan panas matahari dan angin yang bergerak di atas kolam pengering lumpur tersebut. Cara pengeringan seperti ini tentu saja sangat bergantung dari cuaca dan akan bermasalah bila terjadi hujan. Bila lumpur tidak 57
mengandung bahan yang berbahaya, maka kolam pengering lumpur dapat hanya berupa galian tanah biasa, sehingga sebagian air akan meresap ke dalam tanah dibawahnya. Contoh pengeringan lumpur antara lain pengeringan lumpur dengan cara tekanan (pengepresan) dan proses pengeringan lumpur dengan gaya centrifugal (centrifuge )
Gambar 2.12. Pengeringan Lumpur Dengan Tekanan Dan Gaya Centrifugal 58
2.8.2. Pengolahan Air Limbah Secara Biologi 2.8.2.1. Pengolahan Air Limbah Dengan Biakan Tersuspensi Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan sistem biakan tersuspensi telah digunakan secara luas di seluruh dunia untuk pengolahan air limbah domestik. Proses ini secara prinsip merupakan proses aerobik dimana senyawa organik dioksidasi menjadi CO2 dan H2O, NH4 dan sel biomasa baru. Untuk suplay oksigen biasanya dengan menghembuskan udara secara mekanik. Sistem pengolahan air limbah dengan biakan tersuspensi yang paling umum dan telah digunakan secara luas yakni proses pengolahan dengan Sistem Lumpur Aktif (Activated Sludge Pocess). 2.8.2.2. Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif Pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif konvensional (standar) secara umum terdiri dari bak pengendap awal, bak aerasi dan bak pengendap akhir, serta bak khlorinasi untuk membunuh bakteri patogen. Secara umum proses pengolahannya adalah sebgai berikut. Air limbah yang berasal dari ditampung ke dalam bak penampung air limbah. Bak penampung ini berfungsi sebagai bak pengatur debit air limbah serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran yang besar. Kemudian, air limbah dalam bak penampung di pompa ke bak pengendap awal. Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi (Suspended Solids) sekitar 30 - 40 %, serta BOD sekitar 25 %. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan ke bak aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat organik tersebut digunakan oleh mikrorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan demikian didalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang biomasa dalam jumlah yang besar. Biomasa atau mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah.
59
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow) dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh micro-organisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan konsentrasi BOD 250 -300 mg/lt dapat di turunkan kadar BOD nya menjadi 20 -30 mg/lt. Skema proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif standar atau konvesional dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.13. Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif Standar (Konvensional) Surplus lumpur dari bak pengendap awal maupun akhir ditampung ke dalam bak pengering lumpur, sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah. Keunggulan proses lumpur aktif ini adalah dapat mengolah air limbah dengan beban BOD yang besar, sehingga tidak memerlukan tempat yang besar. Proses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dalam jumlah yang besar. Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain yakni kemungkinan dapat terjadi bulking pada lumpur aktifnya, terjadi buih, serta jumlah lumpur yang dihasilkan cukup besar.
60
Contoh Pengolahan air limbah dengan lumpur aktif: • Modifikasi proses lumpur aktif konvensional (Standar) • Modifikasi proses lumpur aktif konvensional • Sistem aerasi berlanjut (Extended Aeration System) • Proses dengan sistem oksidasi parit (Oxidation Ditch) • Sistem aerasi bertingkat (Step Aeration) • Sistem stabilisasi kontak (Contact Stabilization) • Sistem aerasi dengan pencampuran sempurna (Completely Mixed System) • Sistem lumpur aktif kecepatan tinggi (High-RateActivated Sludge) • Sistem aerasi dengan oksigen murni (Pure Oxygen Aeration) 2.8.2.3. Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Film Mikrobiologis (Biofilm) Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau biofilter secara garis besar dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar 2.14. Proses tersebut dapat dilakukan dalam kondisi aerobik, anaerobik atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan dengan tanpa adanya oksigen dalam reaktor air limbah.
Gambar 2.14. Kalsifikasi Cara Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Film Mikro-Biologis (Proses Biofilm) 61
Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah merupakan gabungan proses anaerobik dan proses aerobik. Proses ini biasanya digunakan untuk menghilangan kandungan nitrogen di dalam air limbah. Pada kondisi aerobik terjadi proses + nitrifikasi yakni nitrogen ammonium diubah menjadi nitrat (NH4 NO3 ) dan pada kondisi anaerobik terjadi proses denitrifikasi yakni nitrat yang terbentuk diubah menjadi gas nitrogen (NO3 N2 ). 2.9. Perencanaan IPAL Pemilihan proses dan sistem yang tidak tepat atau disain IPAL yang salah akan menimbulkan berbagai persoalan di dalam IPAL itu sendiri, misalnya : • • • •
biaya investasi, operasional maupun perawatannya akan menjadi mahal, sistem tidak dapat bekerja secara optimal, hasil olahan tidak seperti yang diinginkan, sulit dalam pengendalian/operasional.
Untuk menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, maka dalam perencanaan suatu IPAL harus dilakukan tahap demi tahap secara berurutan dimulai dari upaya minimisasi limbah, manajemen pengelolaan limbah, sampai dengan pemilihan teknologi dan sistem. Dalam satu jenis limbah dengan karakteristik tertentu terkadang mengandung berbagai macam bahan pencemar di dalamnya, yang mana setiap jenis polutan tersebut mempunyai sifat-sifat yang berlainan. Jika menghadapi limbah seperti ini, maka diperlukan teknik-teknik untuk mengkombinasikan proses maupun sistem yang akan digunakan, yang mana sistem manajemen limbah dari sumbernya juga memegang peran yang sangat penting. Gambar 2.15 menunjukkan contoh diagram alir sistem pengelolaan limbah dari sumbernya. Sedangkan Gambar 2.16 dan 2.17 menunjukkan diagram alir perencanaan IPAL sampai dengan operasionalnya.
62
Gambar 2.15. Diagram Alir Sistem Pengelolaan Limbah Industri
63
Gambar 2.16. Tahapan Awal Perencanaan & Pembangunan IPAL
64
Gambar 2.17. Tahapan Lanjutan Perencanaan dan Pembangunan IPAL Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan lagi jika pengguna IPAL terdapat lebih dari satu (1) atau IPAL yang akan dibangun merupakan IPAL terpadu yang akan dimanfaatkan untuk mengolah limbah yang bersumber dari beberapa industri, yaitu : • • •
Lokasi IPAL (di kawasan industri / sentra industri kecil). Bagaimana hubungan antar perusahaan (harmonis / tidak). Bagaimana sistem instalasi saluran limbah antar perusahaan. 65
• • • • • •
Bagaimana sistem pembiayaannya (investasi, operasional & perawatannya). Siapa penanggung jawab IPAL. Bagaimana kesepakatan antar perusahaan dan antara perusahaan dengan pengelola. Apakah diperlukan unit pre-treatment pada tiap perusahaan. Berapa karakteristik standar limbah yang boleh masuk ke IPAL terpadu. Bagaimana perbandingan besaran usaha yang ada.
Gambar 2.18. Sistem Pengelolaan Limbah Sentra Industri Kecil
66
Gambar 2.18. menunjukkan sistem pengelolaan limbah di sentra industri kecil. Limbah dari industri sebelum masuk ke IPAL terpadu harus dilakukan kontrol kualitas terlebih dahulu. Hal ini untuk menjaga agar karakteristik limbah yang masuk tidak mempunyai fluktuasi yang terlalu besar agar tidak mengganggu proses pengolahan. Dengan adanya sistem kontrol limbah ini maka bagi industri yang menghasilkan limbah dengan karakteristik di atas standar yang diberlakukan harus melakukan pre-treatment terhadap limbahnya terlebih dahulu sampai diperoleh standar kualitas limbah yang boleh masuk ke IPAL terpadu. Sedangkan bagi industri yang menghasilkan limbah dengan karakteristik di bawah atau sama dengan kualitas limbah yang diperbolehkan masuk ke dalam IPAL terpadu dapat langsung menyalurkan limbahnya ke dalam IPAL terpadu. Di outlet limbah setiap industri juga perlu dipasang alat ukur debit limbah, sehingga jumlah limbah yang yang disalurkan ke IPAL terpadu dapat dipantau. Jumlah limbah yang disalurkan ini akan menentukan jumlah biaya yang harus ditanggung oleh industri bersangkutan. Air limpasan saluran (air hujan) harus dipisahkan dari saluran limbah. Hal ini untuk menjaga agar IPAL tidak menerima beban (jumlah) limbah yang terlapau besar di atas kapasitas disain nya. Disamping itu juga untuk menghindari terjadinya pengenceran limbah.
67
DAFTAR PUSTAKA 1. Kep. Men. Perindustrian dan Perdagangan RI. Nomor: 254/MPP/Kep/7/1997, tentang “Kriteria Industri Kecil di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia” 2. Setiyono, “Teknologi IPAL Yang Efektif dan Efisien”, Disampaikan pada Semiloka “Teknologi Pengolahan Limbah Cair Yang Ekonomis dan Aplikatip”. Diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Teknik Kimia Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara (USU). Medan 5 Agustus 2004 3. Setiyono, “Teknologi Ramah Lingkungan Untuk Pengelolaan Bahan Organik Berbahaya” disampaikan pada “Inception Workshop Initiating Implementation of The Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants”. Jakarta, 17-18 September 2002 4. -----, “ Gesuidou Shissetsu Sekkei Shisin to Kaisetsu “, Nihon Gesuidou Kyoukai, 1984. 5. -----, “Pekerjaan Penentuan Standard Kualitas Air Limbah Yang Boleh Masuk Ke Dalam Sistem Sewerage PD PAL JAYA”, Dwikarasa Envacotama-PD PAL JAYA, 1995. 6. Abel. P.D. 1989. "Water Pollution Biology", Ellis Horwood Limited, Chichester, West Sussex, England. 7. Annonim, “Ultra Filtration For Oily Wastewater Treatment”, Abcor. 8. Bansal.K.M., “ Produced Water Treatment Technologies “ , Conoco Inc, Huston, Texas, USA, 1992. 9. Berne, F., and Cordonnier, J. “Industrial Water Treatment” , Gulf Publishing Company, 1995. 10. Cheremisinoff, Paul N., Handbook of Water and Wastewater Treatment Technology, Marcel Dekker, Inc., New York, 1995. 11. Design Criteria for Waterworks Facilities, Japan Water Works Association, 1978. 12. Fair, Gordon Maskew Et.Al., " Eements Of Water Supply And Waste Water Disposal”, John Willey And Sons Inc., 1971. 13. Gabriel Bitton. 1994. "Wastewater Microbiology", A John Wiley & Sons, INC., New York. 14. Gouda T., “ Suisitsu Kougaku - Ouyouben”, Maruzen kabushiki Kaisha, Tokyo, 1979.
68
15. Hammer, Mark J., Water and Wastewater Technology, John Wiley & Sons, Inc., 1975 16. Hikami, Sumiko., “Shinseki rosohou ni yoru mizu shouri gijutsu (Water Treatment with Submerged Filter)”, Kougyou Yousui No.411, 12,1992. 17. Lay. B.W. dan Hastowo .S. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 18. Menteri Negara KLH 1991. Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup. Nomor : Kep03/MENKLH/11/1991, tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, Jakarta. 19. Metcalf And Eddy, " Waste Water Engineering”, Mc Graw Hill 1978. 20. Pelczar M.J. Jr. dan Chan. E.C.S. 1986. "Dasar-Dasar Mikrobiologi", UI-Press, Jakarta. 21. Qasim, Syed R., Wastewater Treatment Plans, CBS College Publishing, 1985. 22. Said, N.I., “Sistem Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga Skala Individual Tangki Septik Filter Up Flow”, Majalah Analisis Sistem Nomor 3, Tahun II, 1995. 23. Sawyer. C.N. dan McCarty. P.L. 1989. "Chemistry For Environmental Engineering", International edition, McGrawHill Book, Singapore. 24. Sterrit. R.M. dan Lester.J.N. 1988. "Microbiology for Environmental and Public Health Engineers", E.&F.N Spon Ltd, London. 25. Sueishi T., Sumitomo H., Yamada K., dan Wada Y., “ Eisei Kougaku “ (Sanitary Engineering), Kajima Shuppan Kai, Tokyo, 1987. 26. Sugirharto, 1987. "Dasar-dasar Pengelo-laan Air Limbah". UI Press, Jakarta. 27. Tschobanoglous, George & Schroeder, D.Edward, Water Quality, Addison-Wesley Publishing Company, United States of America, 1987. 28. Viessman W, Jr., Hamer M.J., “ Water Supply And Polution Control “, Harper & Row, New York,1985. 29. Water Treatment Handbook, Lavoisier Publishing, Sixth edition, 1991.
69